Bab 21. Semua Berkumpul
Tiat Sim mendengar angin menyambar belakangnya, ia putar tangan kirinya ke belakang, untuk menangkis seraya mencekal, maka ujung tombak lantas kena terpegang. Ia telah mainkan ilmu silat Keluarga Yo bagian jurus "Hui ma chio" atau "Membaliki kuda", ialah tipu istimewa yang hanya diketahui keluarganya yang mewariskan ilmu silat itu. Sebenarnya habis itu, tanpa menanti musuh menarik pulang tombaknya, tangan kanannya sudah mesti membarengi menyerang, akan tetapi sekarang ia memeluki Pauw Sek Yok dengan tangan kanannya itu, tidak dapat ia menyerang. Maka seraya memutar tubuh, ia membentak: "Ilmu silatku ini diwariskan cuma kepada anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan, dari itu tentulah gurumu tidak dapat mengajarkan kepadamu!"
Memang benar, walaupun Khu Cie Kee lihay, tapi ia tidak dapat mengerti sedalam-dalamnya ilmu silat Keluarga Yo itu, jadi kepandaian Wanyen Kang menggunai tombak itu belum sempurna, maka ditegur begitu, pangeran itu menjadi tercengang. Dengan begitu, mereka mencekal masing-masing satu ujungnya tombak itu. Inilah hebatnya untuk tombak itu sendiri, yang gagangnya sudah tua. Tempo keduanya saling membetot, gagang tombak itu patah sendirinya.
Kwee Ceng lantas lompat maju, ia membentak: "Kau telah bertemu dengan ayahmu sendiri, kenapa kau masih tidak berlutut untuk memberi hormat!"
Wanyen Kang bersangsi, ia menjadi tidak berayal.
Yo Tiat Sim tidak pedulikan pangeran itu, dengan bawa istrinya, ia telah tiba di luar. Ia sudah lantas disambut Bok Liam Cu, gadisnya itu, maka bersama-sama mereka melompati tembok untuk menyingkirkan diri.
Kwee Ceng juga tidak berani berayal-ayalan, segera ia pun lari keluar. Disaat ia hendak melompat tembok, ia merasakan sambaran angin ke arah kepalanya. Ia menjadi kaget sekali, cepat sekali ia mendak. Meski begitu, angin menyambar lewat di mukanya, ia merasakan perih bagaikan kebaret pisau. Itulah menandakan lihaynya si penyerang. Selagi ia terkejut, ia dengar bentakan: "Anak tolol, aku si orang tua sudah lama menantikanmu di sini!" Itulah suaranya Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong!
Pada itu waktu di lain kalangan, tatkala mendengar Pheng Lian Houw mengatakan ialah muridnya Hek Homh Siang Sat, sambil tertawa Oey Yong kata kepada cecu itu: "Kau kalah!" Ia berbicara dengan terpaksa, karena hatinya cemas bukan main mendengar suaranya Kwee Ceng, maka habis berkata, ia terus putar tubuhnya dan bertindak ke pintu.
Cuma dengan satu kelebatan, Pheng Lian Hoauw sudah menghadang di ambang pintu.
"Oleh karena kau adalah muridnya Hek Hong Siang Sat, aku tidak berniat mengganggu padamu," berkata orang she Pheng ini. "Hanya kau bilanglah, apa perlunya gurumu menitah kau datang kemari?"
Oey Yong tertawa. Dia menyenggapi: "Kau sendiri yang bilang, jikalau dalam sepuluh jurus kau tidak dapat mengenali ilmu silatku, kau akan membiarkannya aku berlalu dari sini. Kau adalah satu laki-laki sejati, kenapa sekarang kau menyangkal?"
Pheng Lian Houw gusar sekali. Ia menyahuti dengan membentak: "Jurusmu yang terakhir adalah jurus "Tindakannya si binatang sakti". Apakah itu bukannya pengajaran dari Hek Hong Siang Sat?!"
Oey Yong tertawa pula. "Belum pernah aku melihat Hek Hong Siang Sat," dia kata. "Laginya, dengan kepandaian semacam itu dari mereka, mereka mana tepat menjadi guruku?"
"Percuma kau menyangkal!" bilang Lian Houw.
"Nama Hek Hong Siang Sat pernah aku dengar," Oey Yong bilang tanpa pedulikan perkataan orang. "Apa yang aku tahu tentang mereka ialah mereka pengrusak perikeadilan dan prikemanusiaan, tidak ada kejahatan yang mereka tidak lakukan. Mereka pun telah mendurhaka terhadap guru dan kakek guru mereka, jadinya mereka adalah orang-orang dari Rimba Persilatan? Kenapa Pheng Cecu samakan aku dengan mereka itu?"
Mulanya orang menyangka nona ini tidak hendak omong terus terang, akan tetapi mendengar ia bicara demikian hebat terhadap Hek Hong Siang Sat, yang dikatakan Pheng Lian Houw sebagai gurunya, mereka menjadi saling mengawasi, dari heran mereka jadi mau mempercayai. Orang boleh berdusta hebat tetapi tidak nanti ada murid yang berani mencela dan mencaci guru sendiri di hadapan orang banyak.
Mau tidak mau, Pheng Lian Houw menggeser tubuhnya ke samping.
"Nona kecil, hitunglah kau telah menang," katanya. "Aku si Lao Pheng kagum sekali untukmu! Sekarang aku memikir untuk meminta tanya namamu yang harum."
Oey Yong tertawa lagi. "Maafkan, aku dipanggil Yong-jie," ia menyahut.
"Apakah shemu?" Lian Houw menanya pula.
"Aku tidak punya she," sahut si nona, yang tersenyum.
Semua orang di situ, kecuali Leng Tie Siangjin dan Auwyang Kongcu, telah menjadi pecundangnya nona ini, oleh karena Leng Tie Siangjin telah terluka parah, hingga tidak dapat ia menggeraki tubuhnya, kelihatannya cuma Auwyang Kongcu yang bisa menghalangi nona ini, maka itu, semua mata ditujukan kepada pemuda she Auwyang ini.
Auwyang Kongcu, sambil tersenyum, lantas bertindak perlahan. "Aku yang rendah dan bodoh, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus dari nona," ia berkata.
Oey Yong mengawasi, terutama untuk pakaian orang yang serba putih. "Mereka itu - ini nona-nona cantik yang menunggang unta putih - adakah mereka orang-orangmu?" dia menanya, menegaskan.
Auwyang Kongcu tertawa. "Apakah kau telah bertemu dengan mereka itu?" tanyanya. "Kecantikan mereka itu tidak ada separuhnya dari kecantikanmu."
Oey Yong agaknya jengah, hingga wajahnya bersemu merah. "Di sini ada beberapa tua bangka yang hendak menyusahkan aku, mengapa kau tidak membantu aku?" dia tanya.
Auwyang Kongcu tidak bisa lantas menjawab, dengan tajam ia menatap. Ia merasa hatinya gatal dan tulang-tulangnya lemas......
Anak muda ini lihay ilmu silatnya, di See Hek, wilayah Barat, ia menjagoi seorang diri. Tapi ia pun gemar sekali pada paras elok. Maka juga sejak beberapa tahun dia sudah kirim orang ke pelbagai tempat, untuk mencari nona-nona cantik dan manis, untuk dia ambil mereka itu sebagai gundik-gundiknya. Adalah diwaktu-waktu yang senggang, ia ajarkan mereka itu ilmu silat dan ilmu surat, dari itu dengan sendirinya mereka itu menjadi juga murid-muridnya. Kali ini ia berlalu dari kampung halamannya atas undangan Chao Wang, dia datang ke kota raja - Yan-khia - dengan mengajak sekalian gundik-gundiknya yang merangkap murid-muridnya itu. Dia sengaja menitahkan mereka menyamar sebagai pria, dengan semua dimestikan mengenakan pakaian serba putih seraya menunggang unta-unta putih juga. Oleh karena gundik-gundiknya itu banyak, dia pecah mereka dalam beberapa rombongan. Serombongan di antaranya, yang berjumlah delapan orang, adalah mereka yang di tengah jalan bertemu dengan Kanglam Liok Koay dan Kwee Ceng. Mereka dengar itu Biauw Ciu Sie-seng bicara perihal kuda jempolan, yang keringatnya merah, mereka jadi ketarik hati dan ingin merampasnya untuk diserahkan kepada Auwyang Kongcu, guna mengambil hatinya suami merangkap guru itu. Di luar sangkaan mereka, mereka gagal. Auwyang Kongcu pun bangga akan gundik-gundiknya itu, yang ia percaya adalah tercantik di kolong langit ini, - sekalipun di dalam keraton raja, belum tentu ada tandingannya, - ia tidak nyana mereka itu kalah dari Oey Yong, hingga ia menjadi tergila-gila sampai umpama kata kepalanya pening. Demikian hatinya goncang karna mendengar suara orang yang merdu itu.
"Nah, hendak aku pergi!" katanya si nona pula. "Kalau mereka itu menghalangi aku, kau bantu aku, maukah kau?"
Auwyang Kongcu tertawa. "Untuk aku membantu kau, itu pun dapat," katanya. "Asal kau angkat aku menjadi gurumu dan untuk selamanya kau mengikuti aku."
Si nona tertawa. "Umpama kata aku menjadi muridmu, tak usahlah untuk selama-lamanya aku mengikuti kau!" dia bilang.
"Murid-muridku beda daripada murid-muridnya orang lain," Auwyang Kongcu bilang. "Semua muridku wanita dan asal sekali saja aku memanggil, semuanya bakal datang."
Oey Yong miringkan kepalanya. "Aku tidak percaya!" ujarnya.
Auwyang Kongcu hendak membuktikan perkataannya, ia lantas mengasih dengar suaranya. Sebentar saja di muka pintu terlihat beberapa puluh wanita muda dengan pakaian serba putih yang berseragam, melainkan tubuh orang ada yang kurus dan montok, tinggi dan kate. Dengan lantas mereka berdiri berkumpul di belakangnya anak muda itu. Mereka ini berkumpul di luar selagi Auwyang Kongcu berpesta, baru mereka muncul setelah ada panggilan.
Pheng Lian Houw semua seperti bermata kabur, memandang nona-nona manis itu, mereka jadi kaget sekali dan tergiur hatinya.
Ketika di Kalgan, Oey Yong telah robohkan delapan dari nona-nona itu, ia ketahui kepandaian silat mereka itu biasa saja, sekarang ia sengaja permainkan Auwyang Kongcu supaya orang mengumpulkan gundik-gundiknya itu. Ia mengharap, selagi orang berkumpul banyak, ia dapat mencari jalan untuk meloloskan diri, tapi Auwyang Kongcu cerdik, dia rupanya telah dapat menerka, maka juga ia terus pergi ke ambang pintu, dengan perlahan-lahan dia mengipasi dirinya, sedang di bawah sinar merah dari api lilin, dia mengerling kepada si nona. Dia kelihatannya tenang dan puas.
Mengetahui akalnya gagal, Oey Yong mengasah pula otaknya. "Jikalau kau benar-benar lihay," ia bilang. "Memang tidak ada yang terlebih baik daripada aku mengangkat kau menjadi guru, supaya dengan begitu kemudian aku tak usahlah menerima penghinaan orang."
"Apakah kau hendak mencobanya?" Auwyang Kongcu menegaskan.
"Benar!" jawab si nona.
"Baiklah!" berkata kongcu itu. "Nah, kau kemarilah! Kau tak usah takut, aku tidak akan balas menyerang."
"Bagaimana?" si nona menanya. "Apakah tanpa membalas menyerang kau dapat mengalahkan aku? Benarkah?"
Pemuda itu tertawa. "Walaupun kau pukul aku, mana aku tega membalas memukul?" katanya kemudian.
Lian Houw semua heran. Mereka pun dapat anggapan, pemuda ini benar-benar ceriwis. Mereka pikir: "Nona ini lihay, walaupun dia lebih pandai sepuluh lipat, mana bisa dia mengalahkannya tanpa dia membalas menyerang? Mungkinkah dia hendak menggunai ilmu siluman?"
"Aku tidak percaya yang kau benar-benar tidak bakal balas menyerang!" bilang Oey Yong pula. "Hendak aku telingkung tanganmu ke belakang!"
"Baik," sahut Auwyang Kongcu, yang terus buka ikatan pinggangnya yang ia serahkan kepada si nona, habis mana ia bawa kedua tangannya ke belakangnya, bersedia untuk dibelenggu.
Oey Yong heran, yang orang benar-benar menyerahkan diri untuk dibelenggu, pada wajahnya ia tidak ketarakan suatu apa, ia tetap senyum, tetapi hatinya terkesiap. Ia pikir: "Terang sekali orang ini tidak bermaksud baik, maka sungguh hebat jikalau aku sampai kena dibekuk dia...." Karena ini, ia menjadi berpikir keras. Lekas ia mengambil putusan: "Biarlah, aku bekerja setindak demi setindak...." Maka ia sambuti ikat pinggang itu, yang terbuat dari benang sutra tetapi kuat, dengan itu ia terus ikat tangan orang.
"Bagaimana sekarang - bagaimana kalah menangnya?" si nona tanya.
Auwyang Kongcu lonjorkan kaki kanannya, ia taruh itu di lantai, lalu dengan kaki kiri menahan diri, ia berputar dengan kaki kiri itu, kaki kanannya terus menggurat, maka itu, dengan begitu ia membuat lingkaran. Lingkarannya sendiri dalam kira setengah dim, suatu tanda dari kuatnya kaki kanannya itu. Lingkaran pun seluas enam kaki. Hal ini membuat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw kagum sekali.
"Siapa yang keluar dari lingkaran ini, dia yang kalah," berkata Auwyang Kongcu, kemudian seraya ia bertindak masuk ke dalam lingkaran itu.
"Jikalau dua-duanya yang keluar?" Oey Yong masih menanya.
"Begitu pun boleh dianggap aku yang kalah," jawab Auwyang Kongcu.
"Jikalau kau kalah, toh kau tidak bakal merintangi aku lagi, bukan?" si nona menegaskan.
"Tentu saja! Tapi kalau kau yang kalah, maka kau mesti baik-baik turut aku. Semua orang tua di sini menjadi saksinya!" kongcu itu memberi kepastian.
"Baik!" kata Oey Yong, yang lantas bertindak memasuki lingkaran itu. Ia bukan cuma bertindak masuk saja, begitu masuk lantas kedua tangannya bekerja, tangan kiri dengan jurus "Angin menyambar yanglui", yang satu enteng, yang lain berat, yang satu lemah, yang lain keras, tetapi menerjangnya berbareng.
Auwyang Kongcu sudah lantas mengegos tubuhnya akan tetapi sia-sia saja ia berkelit, kedua tangan si nona mengenai tepat pundaknya, meski begitu yang terkejut adalah si nona sendiri, karena begitu tangan mengenai sasaran, ia menginsyafi keadaan yang tidak wajar. Kongcu itu lihay tenaga dalamnya, dia membilang tidak akan membalas menyerang, dia buktikan perkataannya itu, akan tetapi ia gunai kepandaiannya, meminjam tenaga untuk menyerang tenaga, maka begitu serangan Oey Yong mengenakan padanya, segera ia merasakan pukulannya itu membal balik, hingga ia lantas terhuyung sendirinya, hampir ia melintasi garis lingkaran itu. Ia tentu saja tidak berani menyerang untuk kedua kalinya. Sebaliknya, dengan kecerdikannya, ia kata: "Aku hendak pergi sekarang! Kau tidak dapat keluar dari lingkaran untuk menyusul aku! Tadi kau sendiri yang mengatakannya, kalau kita berdua sama-sama keluar dari lingkaran, kau yang kalah!"
Auwyang Kongcu tercengang karena herannya. Dia hanya bisa berdiri menjublak tanpa bisa bicara apa-apa!
Si nona tidak menghiraukannya lagi, ia bertindak dengan tenang, keluar dari lingkaran. Hanya begitu ia berada di luar, segera ia percepat tindakannya itu. Sebab ia mengerti sembarang waktu bisa terjadi perubahan. Maka terlihatlah gelang rambutnya yang terbuat dari emas itu berkeliauan dan bajunya yang putih berkibar-kibar, sebenatr saja ia sudah tiba di dekat pintu, tiba-tiba terlihat berupa benda besar yang melayang jatuh di depannya. Ia sudah lantas berkelit ke samping, tindakannya pun dihentikan. Segera ia dapat kenyataan, benda itu adalah sebuah kursi thaysu, di atasnya mana ada bercokol satu paderi dari Tibet yang tubuhnya tinggi dan besar, yang mengenakan jubah warna merah. Dia duduk di kursi tapi ia lebih tinggi dari si nona. Anehnya, dia duduk seperti terpaku di kursinya, hingga ia dapat berlompat bersama-sama kursinya itu.
Oey Yong hendak menegur di pederi itu tetapi ia telah di dahului Leng Siangjin, yang dari dalam jubahnya mengasih keluar sepasang cecer tembaga, begitu kedua tangannya dirapatkan, berbunyilah alat tetabuhan itu hingga menulikan kuping. Ia masih heran tatkala di depan matanya berkelebat suatu sinar, lalu sepasang cecer itu menyambar ke arahnya... sebuah di atas, sebuah lagi di bawah.
Dalam keadaan seperti itu, Oey Yong tidak menjadi gugup, ia pun tidak berlompat itu lari menyingkir, sebaliknya, dengan menjejak dengan kedua kakinya, ia justru mencelat ke depan, tangan kanannya diangsurkan, untuk menampa dasarnya cecer, kaki kirinya ditekankan di atasan cecer yang di bawah tubuhnya dipengkeratkan, maka sekejap kemudian, ia sudah lewat di antara kedua senjata rahasia itu. Cuma, walaupun itu sudah lolos dari bahaya, karena ia berlompat maju, ia menjadi mendekati si orang suci itu.
Kali ini Leng Tie Siangjin mengangkat tangannya, dengan ilmu pukulan "Tay ciu ini" atau "Tapak tangan besar", dia memukul ke arah tubuhnya si nona.
Oey Yong seperti juga tidak dapat menahan tubuhnya, ia maju terus, hingga ia seperti hendak menyerbu ke rangkulannya lawannya itu. Orang menjadi kaget hingga mereka pada berseru. Nona yang begitu cantik manis, pastilah bakal runtuh di tangan yang kasar dari si paderi, bukan saja tulang-tulangnya bakal patah, juga isi perutnya, bakalan remuk semua....
Bahaya tidak dapat dicegah lagi, satu suara keras segera terdengar. Serangannya Leng Tie Siangjin tepat mengenai sasarannya, ialah punggung si nona. Selagi orang kaget, si nona sendiri melayang terus bagaikan layangan putus, sampai di luar gedung!
Dari kaget, orang menjadi heran sekali, hingga mereka tercengang. Mereka lihat tangan kanan dari Leng Tie Siangjin mengucurkan darah, sebab telapakan tangannya pecah menjadi sepuluh liang kecil.
Dalam kagetnya, Pheng Lian Houw berseru: "Budak itu memakai Joan-wie-kah! Itulah mustika pemilik pulau dari pulau Tho-hoa di Tang Hay!"
See Thong Thian pun berseru: "Dia masih begini muda, kenapa dia dapat memiliki Joan-wie-kah itu?"
Sementara itu Auwyang Kongcu sudah berlompat, untuk berlari-lari keluar. Biar bagaimana tidak dapat ia melupakan nona yang manis itu, hanya tempo ia sampai di luar, di antara gelap petang tidak dapat lagi ia melihat bayangannya si nona. Ia penasaran, maka sambil serukan sekalian gundiknya, ia lari mencari. Di dalam hatinya ia menghibur diri. "Dia dapat lolos, mungkin ia tidak terluka, maka maulah dia nanti merangkulnya...."
Hauw Thong Hay, yang tidak tahu apa itu Joan-wie-kah, menanyakan itu kepada kakak seperguruannya.
"Pernahkah kau melihat landak?" Pheng Lian Houw mendahului menanya
"Tentu pernah aku melihatnya!" sahut orang she Hauw itu.
"Di dalam bajunya ia memakai baju lapis yang lemas," Lian Houw lantas memberi keterangan. "Baju lapis itu tidak takut kepada senjata tajam seperti golok dan tombak. Baju itu mempunyai duri yang seperti duri landak. Maka siapa memukul atau menendangnya, dia mesti menderita sebab tertusuk duri-duri landak itu."
Hauw Thong Hay mengulur lidahnya. "Syukur aku tidak sampai kena menghajar budak itu..." katanya.
Sembari berbicara, Thong Hay dan Lian Houw sertia Thong Thian turut pergi mengejar, untuk mencari. Malah Chao Wang juga menitahkan Thung Couw Tek mengepalai barisan pengiringnya pergi mencari. Hingga istana pangeran itu menjadi kacau dan gempar!
Di pihaknya Kwee Ceng, yang bertemu sama Nio Cu Ong, dia takutnya bukan main, dia lari tanpa memilih lagi jurusan timur atau barat, selatan atau utara, asal ke tempat yang gelap. Cu Ong sebaliknya mengejar dia dengan hebat. Som Sian Lao Koay ingin membekuk orang untuk dihisap darahnya!
Kwee Ceng dapat lari keras, dia pun berlari-lari di tempat yang gelap, dengan begitu, sekian lama dia tidak dapat dicandak. Sebentar kemudian dia sampai di satu tempat, di mana ada banyak pohon berduri serta batu muncul di sana-sini, bagaikan rebung muda atau pedang yang ditancap di tanah. Dia heran yang di pekarangannya istana ada tempat yang demikian. Dia menjadi terlebih kaget, ketika dia merasakan sakit pada kakinya, yang tertusuk duri. Mendadak kakinya menjadi lemas, terus tubuhnya terjatuh hingga ia menjerit keras. Tapi ia masih sadar, dia lantas siapkan kakinya, supaya setibanya di bawah, tak usah dia jatuh terbanting. Mungkin ia menerka, dia terjatuh ke dalam sebuah liang, yang dalamnya beberapa tombak. Ketika akhirnya kakinya tiba di dasar liang, dia kena injak bukan batu atau tanah keras, hanya serupa benda licin, hingga tidak ampun lagi, ia terus terpeleset dan terguling. Lekas-lekas ia merayap bangun, tangannya terus dipakai mereba-raba kepada benda itu. Untuk kagetnya, dia dapatkan sebuah tengkorak manusia.
"Rupanya ini adalah lubang peranti membuang mayatnya orang yang dibunuh di istana...." ia menduga-duga. Justru hatinya lagi berpikir, di atas sana, dia dengar teriakannya Nio Cu Ong: "Bocah, lekas naik!"
"Aku tidak ada begitu gila mau naik untuk mengantar jiwa...." pikir bocah ini. Dia pun tidak sudi memberi penyahutan, hanya ia lantas meraba ke belakangnya, sembari meraba dia sembari mundur. Ini pun ada penjagaan untuk lari terus andaikata Nio Cu Ong berlompat turun. Di belakangnya, ia tidak dapat meraba apa juga.
"Biarpun kau kabur ke istana Raja Akherat, akan aku susul padamu!" terdengar pula suaranya Nio Cu Ong, bahkan kali ini tubuhnya terus lompat turun.
Kwee Ceng kaget dan takut, terus ia mundur. Dia masih tidak dapat meraba sesuatu apa, yang bisa menghalangi mundurnya, maka ia mundur terus. Kemudian ia putar tubuhnya, untuk berjalan dengan kedua tangannya dilonjorkan ke depan. Dalam liang gelap yang gelap itu, dia tidak dapat melihat apa juga.
Liang itu merupakan sebuah terowongan, baru menyusul kira dua tembok, Nio Cu Ong telah dapat mengetahuinya. Dia bernyali besar, dia andalkan kepandaiannya, dia menyusul terus. Hanya karena berada di tempat gelap, dia bahkan tidak dapat melihat jeriji tangan di hadapannya, dia bertindak dengan enteng, supaya ia tidak mengasih dengar suara apa-apa. Dia takut Kwee Ceng nanti bokong padanya.
Kwee Ceng menyingkir terus dengan hatinya memukul keras. "Terowongan ini mesti ada ujungnya, di sana habislah jiwaku...." ia mengeluh. Ia tidak melihat siapa juga tetapi ia merasa pasti Nio Cu Ong sedang menyusul padanya. Ia menjadi semakin takut.
Lagi beberapa tombak, tibalah Kwee Ceng di satu tempat yang terbuka, di mana terdapat cahaya terang. Itulah ujungnya terowongan itu. Itulah sebuah kamar atau ruang bertembok tanah.
Nio Cu Ong pun tiba dengan segera, lantas dia tertawa lebar. "Ha, bocah, ke mana kau hendak kabur?!" dia berseru.
Kwee Ceng bingung, ia melihat ke sekitarnya.
Justru itu, dari pojok kiri terdengar ini suara dingin seram: "Siapa berbuat kurang ajar di sini?!"
Kwee Ceng kaget, hatinya goncang keras. Siapa sangka di temapt demikian boleh ada penghuninya.
Sekalipun Nio Cu Ong, yang kosen dan nyalinya besar, ia turut terkejut juga.
Kembali terdengar suara seram dingin tadi: "Siapa ke dalam gua ini, dia mesti mati, dia tidak bakal hidup pula! Apakah kamu sudah bosan hidup?!"
Terang suara itu adalah suaranya seorang wanita, hanya kali ini suara itu disusul sama napas yang memburu, mungkin sekali, dialah seorang yang sedang sakit.
"Aku datang kemari tidak sengaja," berkata Kwee Ceng perlahan, menyahuti orang itu. "Aku lagi dikejar-kejar orang..." Sebagai seorang polos, tidak dapat ia berdiam saja atau mendusta.
Baru Kwee Ceng berhenti bicara, atau ia telah dengar sambaran angin. Tahulah ia, Nio Cu Ong tengah menyerang padanya, mungkin untuk ditawan. Ia lantas saja berkelit.
Nio Cu Ong mendapatkan tangkapannya gagal, ia menyerang pula.
Kwee Ceng menjadi cemas dan sibuk, ia berkelit ke kiri dan kanan.
"Siapa yang berani datang kemari menangkap orang?!" terdengar pula suara wanita tadi.
Nio Cu Ong tidak takut, ia bahkan bergusar. "Apakah kau hendak menyamar menjadi iblis untuk menakut-nakuti aku?!" dia menegur.
Wanita itu tidak menyahuti, ia hanya kepada Kwee Ceng: "Eh, anak muda, mari kau sembunyi padaku di sini!" Ia rupanya dapat menduga dari suara orang. Ia mengucap demikian tetapi ia tidak berkisar dari tempatnya.
Kwee Ceng sedang bingung, di dalam keadaan seperti ini, tidak dapat lagi ia bersangsi sedikit juga, maka ia lantas berlompat ke arah darimana suara itu datang. Begitu kakinya menginjak tanah, ia merasakan tangannya disambar dan dicekal tangan lain orang yang dingin anyem, besar tenaga orang itu, tubuhnya segera tertarik hingga ia roboh menubruk sebuah dipan tempat duduk bersemadhi.
Wanita itu masih bernapas memburu, dia kata terhadap Nio Cu Ong: "Barusan seranganmu, yang berupa tangkapan, ada lihay sekali. Apakah kau ada satu jago Rimba Persilatan dari Kwan-gwa?"
Nio Cu Ong heran bukan buatan. "Aku tidak dapat melihat dia, kenapa dia sebaliknya segera mengenali asal-usulnya ilmu silatku?" ia berpikir. "Dia lihay sekali! Mungkinkah ia dapat melihat di tempat gelap?" Ia menjadi tidak mau berlaku semberono, ia lantas menyahuti: "Aku adalah seoarng saudagar jinsom dari Kwantong, she Nio. Bocah ini telah curi barangku, tidak dapat tidak, aku mesti tangkap dia. Aku minta sukalah nyonya tidak menghalangi aku..."
"Oh, kiranya saudagar Som Sian Nio Cu Ong!" berkata wanita itu. "Kalau lain orang, yang tidak tahu apa-apa, lancang masuk ke rumahku ini, dia sudah tidak dapat diberi ampun, apapula kau Nio Lao Koay, kau ketua sebuah partai! Apakah benar kau tidak kenal aturan kaum Rimba Persilatan?!"
Som Sian Lao Koay terperanjat. "Nyonya yang terhormat, aku mohon tanya shemu yang mulia," ia meminta.
"Aku....aku...." sahut si wanita itu.
Kwee Ceng baru mendengar sampai disitu, lantas ia merasakan tangannya wanita itu bergemetar keras, lalu perlahan-lahan cekalannya menjadi kendor. Ia pun mendengar orang merintih, tanda bahwa nyonya itu sangat menderita.
"Apakah kau sakit?" ia tanya perlahan.
Nio Cu Ong dapat mendengar suaranya kwee ceng itu, ia menjadi bergusar pula. Ia sangat andalkan kegagahannya, ia tidak ambil pusing siapa si nyonya itu, yang ia duga sedang sakit keras atau terluka parah. Lantas ia ulur kedua tangannya, untuk membekuk si anak muda. Ia baru saja melanggar bajunya Kwee Ceng lalu mendadak ia merasakan tangannya terbentur tenaga yang besar, hingga ia terkejut, walaupun begitu, ia segera kirim tangan kirinya, untuk menyerang!
"Pergi!" membentak si wanita, yang sebelah tangannya segera mampir di bebokongnya Som Sian Loa Koay, hingga ia terhuyung tiga tindak. Syukur tangguh ilmu dalamnya, ia tidak sampai mendapat luka di dalam. Ia hanya heran atas kesebatan wanita itu.
"He, bangsat perempuan, mari maju!" ia berseru saking murkanya.
Wanita itu terdengar napasnya memburu, tubuhnya tidak bergerak.
Sekarang Nio Cu Ong percaya pasti orang tidak dapat bergerak, karena ini, ia menjadi lebih tabah. Dengan perlahan ia bertindak menghampirkan wanita itu. Disaat ia hendak berlompat, untuk menerjang, tiba-tiba ia mendengar suara angin, lalu sebuah cambuk panjang menyambar ke kakinya. Ia menjadi kaget sekali, tetapi ia tidak mau kasih dirinya diserang demikian, sambil lompat mencelat, kakinya terus menendang ke arah wanita itu!
Tendangan orang she Nio ini ada sangat kesohor, untuk wilayah Kwan-gwa, ia kenamaan duapuluh tahun lebih, tetapi kali ini, kesudahannya membuat ia kaget tidak terkira. Belum lagi tendangannya itu mengenai sasaran atau jalan darahnya kongsun-hiat, tiba-tiba kaku sendirinya. Jalan darah itu ada di batas mata kaki, biasanya siapa kena tertotok, ia mesti lantas roboh. Dalam kagetnya, ia ayun tubuhnya untuk berjumpalitan, sedang tangannya dipakai menyampok. Di dalam hatinya ia berkata: "Wanita ini awas sekali matanya! Dia bisa menotok jalan darah, mungkinkah dia itu siluman?"
Juga sampokan Cu Ong adalah sampokan istimewa, tenaganya telah dikerahkan sepenuhnya kepada tangannya itu. Ia pun menduga orang lagi sakit, kalu serangannya mengenai sasarannya, pastilah itu tidak bakal gagal.
Tiba-tiba terdengar urat-urat meretek, lalu tangannya si wanita diulur panjang, ujung kukunya menyambar ke pundak. Cu Ong terkejut, ia menangkis dengan tangan kirinya. Kali ini kedua tangan bentrok, tetapi untuk kagetnya, ia rasakan tangan lawan dingin sekali, bagaikan es, bukan seperti daging. Tidak ayal lagi, ia buang dirinya ke tanah, untuk bergulingan pergi, bahkan dengan merayap, terus ia keluar dari terowongan itu, hingga diluarnya dapatlah ia bernapas lega.
"Sudah beberapa puluh tahun, belum pernah aku mengalami kejadian seperti ini," pikirnya. "Benarkah di dalam dunia ini ada iblis? Ah, mungkin ongya ketahui rahasia ini..." Maka dengan cepat ia kembali ke Hoa Cui Kok.
Kwee Ceng dapat dengar suara orang berlari pergi, hatinya jadi lega, dengan kegirangan dan bersyukur, lantas ia berlutut di depan wanita itu untuk mengangguk-angguk hingga tiga kali. Ia berkata: "Teecu mengucap banyak-banyak terima kasih untuk pertolongan cianpwee."
Wanita itu bernapas tersengal-sengal, rupanya melawan Nio Cu Ong, ia telah menggunakan tenaga berkelebihan. Ia pun batuk-batuk.
"Kenapa Lao Koay hendak membunuh kau?" ia tanya selang sesaat, setelah napasnya tidak terlalu memburu lagi.
"Ong Totiang mendapat luka, dia membutuhkan obat, maka itu teecu datang ke istana ini..." Kwee Ceng menyahut. Tiba-tiba ia berhenti, karena ia berpikir: "Wanita ini tinggal di dalam istana, apakah ia bukan orangnya Wanyen Lieh?"
"Oh...!" berseru si wanita. "Jadinya kau telah curi obatnya Lao Koay! Aku dengar kabar ia tengah menyakinkan pembuatan obat-obatan...."
"Apakah cianpwee terluka?" menanya Kwee Ceng, yang seperti tidak memperdulikan perkataan orang. "Teecu ada punya empat macam obat yaitu thian-cit, hiat-kat, him-tha dan bu-yok. Ong totiang tentu tidak membutuhkan sebanyak itu. Kalau cianpwee...."
"Mana aku terluka!" memotong si wanita, agaknya ia gusar. "Siapa yang menghendaki kebaikanmu itu!"
"Ya, ya," sahut Kwee Ceng, yang ketemu batunya, hingga tak tahu ia mesti membilang apa. Sebaliknya, hatinya menjadi lemas pula apabila ia dengar suara napas empas-empis dari wanita itu. Maka ia kata pula: "Jikalau cianpwee tidak merdeka untuk jalan, mari boanpwee menggendong buat pergi keluar..."
"Siapakah yang tua?!" wanita itu membentak. "Bocah tolol, cara bagaimana kau ketahui aku sudah tua?"
"Ya,ya," sahut Kwee Ceng, yang tidak berani banyak omong. Ia terus bungkam. Ia telah lantas pikir, untuk meninggalkan pergi kepada wanita ini tetapi ia tidak tega hati. Maka ia membelas. Ia tanya pula: "Kau menghendaki barang apa? Nanti aku pergi mengambilkannya...."
"Ah, kau benar baik...." kata wanita itu, tetapi ia tertawa dingin. Ia ulur tangan kirinya, diletaki di pundak Kwee Ceng, terus ia menarik.
Kwee Ceng merasakan pundaknya itu sakit sekali, tanpa berdaya ia kena ditarik hingga ke depan wanita itu. Yang membikin ia terkejut adalah lehernya terasa dingin dengan mendadak. Sebab tangan kanan si wanita sudah merangkulnya.
"Gendong aku pergi!" berseru si wanita itu, keren.
"Memang aku pun hendak menggendong kau," kata Kwee Ceng dalam hatinya. Ia lantas menggendong, dengan tindakan perlahan ia menuju ke luar.
"Adalah aku yang memaksa kau menggendong aku keluar dari sini," kata si wanita. "Tidak dapat aku dijual orang..."
Mendengar ini, Kwee Ceng merasa orang sangat berkepala besar, orang tidak sudi menerima budi. Ia jalan terus hingga di mulut terowongan, ialah liang yang tadi. Ia mengangkat kepalanya, akan melihat bintang-bintang di langit, habis itu ia mencoba menggunai kedua tangannya, akan merayap naik. Dalam hal kepandaian ini, ia telah berlatih cukup di bawah pimpinan Tan Yang Cu Ma Giok. Liang sumur itu cukup tinggi tetapi Kwee Ceng dapat memanjatnya.
Tidak lama keluarlah mereka dari gua itu.
"Siapa yang ajari kau ilmu ringan tubuh?!" si wanita tanya. "Lekas bicara!" Ia memegang keras leher orang sampai si anak muda sukar bernapas.
Saking kagetnya, Kwee Ceng kerahkan tenaganya di leher, untuk melawan cekikan. Ia tidak tahu orang menguji padanya, cekikan itu menjadi semakin keras. Hanya sesaat kemudian, tangan si wanita menjadi kendor sendirinya.
"Ha, kau mengerti ilmu tenaga dalam yang sejati," seru wanita itu. "Kau bilang barusan Ong totiang mendapat luka. Apakah namanya Ong totiang itu?"
Sebelum menjawab, Kwee Ceng berpikir: "Kau telah tolongi padaku, segala apa kau boleh tanyakan, tidak nanti aku mendusta. Kenapa kau berlaku begini kasar?" Tapi ia toh menjawab: "Ong Totiang itu bernama Ong Cie It, orang dipanggil Giok Yang Cu."
Tiba-tiba wanita itu menggetar, napasnya pun tersengal-sengal. "Jadinya kau adalah muridnya Coan Cin Pay!" katanya. "Ong Cie It itu kau punya pernah apa? Kenapa kau memanggil ia totiang, bukan suhu atau susiok?"
Suhu dan susiok ialah guru dan paman guru.
"Teecu bukan murid Coan Cin Kauw," Kwee Ceng berkata. "Adalah Tan Yan Cu Ma Giok, yaitu Ma Totiang yang pernah ajarkan aku ilmu mengendalikan napas dan bersemadhi."
"Habis, siapakah gurumu itu?!" si wanita tanya pula. Dia agaknya mendesak.
"Guru teecu semuanya ada tujuh orang," sahut Kwee Ceng. "Merekalah yang disebut Kanglam Cit Koay. Guru yang nomor satu ialah Hui Thian Pian-hok, seorang she Kwa."
Wanita itu batuk-batuk beberapa kali, agaknya susah ia berbicara. "Dialah Kwa Tin Ok!" katanya kemudian.
"Benar," Kwee Ceng mengangguk.
"Apakah kau datang dari Mongolia?" tanya wanita itu lagi.
"Benar," sahut Kwee Ceng pula, yang heran sekali. "Kenapa wanita ini ketahui aku datang dari Mongolia?" ia pikir.
"Kau dipanggil Yo Kang, benar tidak?!" masih wanita itu bertanya.
"Bukan, teecu she Kwee," menjawab si anak muda.
Wanita itu perdengarkan suara seperti merintih, dari sakunya ia tarik keluar serupa barang, yang ia letaki di tanah. Itulah sebuah hungkusan, entah dari cita atau kertas. Kapan bungkusan itu telah dibuka, di dalamnya tertampak barang yang berkilauan. Itulah sebuah pisau belati, melihat mana, Kwee Ceng rasanya kenal. Ia menjemput untuk dilihat teliti. Di gagangnya ia dapatkan dua huruf ukiran, bunyinya : "Yo Kang". Itulah pisau yang ia pakai untuk menikam Tong Sie Tan Hian Hong si Mayat Perunggu.
Selagi si anak muda mengawasi pisau itu, si wanita merampasnya. "Kau kenal pisau belati ini, bukan?!" dia tanya.
"Benar," menjawab Kwee Ceng. "Di masa kecil pernah aku pakai pisau ini membunuh seorang jahat, lalu mendadak orang jahat itu lenyap dan pisau ini...."
Belum habis ia mengucap, lehernya sudah dicekal si wanita, terus di cekik. Ia kaget, ia berontak, sebelah tangannya menyerangi si wanita. Tapi tangan itu sudah lantas kena ditangkap!
Segera si wanita melepaskan tangannya yang kanan, ia duduk di tanah. "Kau lihat, aku ini siapa?!" ia tanya dengan bentakannya.
Diwaktu malam seperti itu, seram suaranya.
Matanya Kwee Ceng telah berkunang-kunang tetapi ia masih bisa melihat si wanita yang rambutnya yang panjang riap-riapan, mukanya pucat seperti kertas. Ia lantas mengenali Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi, salah satu dari Hek Hong Siang Sat. Ia kaget tidak kepalang, ia lantas berontak pula tetapi sia-sia saja, tangannya telah dicekal keras, kuku orang sudah masuk ke dalam dagingnya...
Ketika malam itu di atas gunung terjadi pertempuran di antara Kanglam Cit Koay dengan Hek Hong Siang Sat, Tan Hian Hong telah jambak mati kepada Thi A Seng, sebaliknya ia kena ditikam Kwee Ceng pada anggota tubuh kematiannya. Bwee Tiauw Hong sudah buta kedua matanya, tetapi ia masih bisa bawa lari mayat suaminya itu, ia lolos justru ketika itu turun hujan lebat. Sekarang dengan tiba-tiba Kwee Ceng mengantarkan jiwanya, bagaimana Tiauw Hong tidak jadi girang. Sudah belasan tahun ia cari pembunuh suaminya dengan sia-sia. Segera ia menjadi girang bercampur sedih, lantas ia ingat penghidupannya yang dulu-dulu.
"Dulu aku adalah satu nona yang lincah, setiap hari aku memain saja, aku dikasihi oleh ayah dan ibuku," demikian ia melamun, sedang tangannya terus memegang keras si anak muda, "Baru kemudian, sesudah kedua orang tuaku menutup mata, orang perhina aku, hingga oleh guruku, Oey Yok Su, aku ditolongi dan dibawa ke pulau Tho Hoa To, dimana aku diajarkan ilmu silat. Sekejap kemudian, seorang pemuda yang matanya besar terbayang dihadapanku. Dialah Tan Hian Tong, kakak seperguruanku. Sama-sama kita belajar ilmu silat, sampai hati kita cocok satu sama lain. Demikian pada suatu malam di musim semi, di bawah pohon tho, mendadak ia rangkul aku..."
Wajahnya si Mayat Besi menjadi merah dengan tiba-tiba, Kwee Ceng pun dengar napas orang memburu. Habis itu, si wanita menghela napas panjang.
Tiauw Hong lantas melamun pula. Ia ingat sebab takut digusari guru mereka, mereka buron dari Thoa Hoa To, lantas mereka menikah. Itu waktu Tan Hian Hong telah memberitahukan bahwa ia telah mencuri sebagian kitab "Kiu Im Cie Keng". Setelah itu, mereka sembunyikan diri di gunung, untuk menyakinkan ilmu seperti pengajaran kitab istimewa itu, hingga setelah pandai, mereka berkelana dan menjagoi dunia kangouw. Banyak orang kosen yang mereka robohkan, malah Hui Thian Sin-liong Kwa Pek Sia telah mereka binasakan dan Kwa Tin Ok sudah mereka bikin buta matanya.
Bwee Tiauw Hong masih ingat baik-baik perkataan Tan Hian Hong, suaminya itu: "Eh, perempuan bangsat, kitab Kiu Im Cie Keng itu aku cuma dapat curi sebagian saja, bagian bawah. Bagian atasnya adalah mengutamakan pelajaran tenaga dalam. Dengan begitu, pelajaran kita jadi kepalang tanggung. Bagaimana sekarang?"
Atas itu, ia ingat, ia menjawab dengan balik menanya: "Apa daya?"
"Kita kembali ke Tho Hoa TO, kita curi pula yang sebagian itu!"
Ia tidak berani pergi. Biar kepandaian merka sepuluh lipat lebih lihay, mereka masih tidak sanggup lawan dua jari tangan saja dari guru mereka. Hian Hong pun jeri, tetapi dia penasaran, dia hendak pergi mencurinya juga. Dia bilang pada istrinya: "Aku mesti pergi, kita mesti jadi tanpa tandingan di kolong langit ini, atau kau menjadi janda, perempuan busuk!" Ia tidak sudi menjadi janda, maka kejadianlah mereka berdua berlaku nekad.
"Kami tahu, karena buronan kami, suhu telah sangat gusar dan telah umbar kegusarannya itu," Tiauw Hong melamun lebih jauh. "Dalam murkanya suhu telah putuskan ototnya semua muridnya, yang terus ia usir, hingga selanjutnya dipulaunya itu guru hidup berdua saja dengan istrinya serta beberapa budak pelayan. Ketika kami tiba di pulau, kami menemukan berbagai peristiwa yang luar biasa. Kiranya musuhnya suhu telah datang ke pulau untuk mengadu kepandaian. Pertandingan itu itu membuatnya kami kaget, goncang hati kami. Dengan berbisik aku kata kepada suamiku, "Eh, lelaki bangsat, kita gagal, mari kita lekas pergi!" Tapinya suamiku menampik. Kami telah menyaksikan suhu telah dapat membekuk musuhnya, kaki siapa dia telah hajar patah. Aku ingat kepada subo, budi siapa aku tidak dapat lupakan. Aku pergi ke jendela, untuk mengintai. Apa yang aku lihat adalah meja abu. Kiranya subo telah menutup mata. Aku menjadi bersedih. Ditepi meja abu aku lihat satu anak perempuan kecil duduk di kursi, dia mengawasi aku sambil tertawa. Bocah ini mirip dengan subo. Pastilah dia anaknya suboku itu. Aku pikir, mungkinkah subo meninggal sehabis melahirkan yang sulit? Karena ini aku pikir untuk tidak melahirkan anak juga! Selagi aku berpikir begitu, suhu telah dapat dengar suara kami. Suhu muncul di ruang meja abu itu. Aku kaget hingga lemas kaki tanganku, tidak dapat aku bergerak. Aku dengar bocah itu berseru, 'Ayah, empo!' Dia tertawa manis, dia pentang kedua tangannya dengan apa ia tubruk ayahnya. Bocah itu menolong kami. Suhu khawatir dia jatuh, ia menyambuti anak itu. Lantas si bangsat laki-laki menarik tanganku, untuk diajak lari. Kami kabur dengan naik perahu. Air laut telah muncrat memasuki perahu kami, hatiku memukul terus, seperti mau lompat keluar."
Ketika itu angin bersiur, hawanya dingin. Di kejauhan, burung hantu pun mengasih dengar suaranya yang seram. Karena kupingnya jeli, Bwee Tiauw Hong dapat dengar itu semua. Ia masih terbenam dalam lamunannya, tentang peristiwa dulu-dulu itu, yang merupakan pengalamannya.
Demikian ia berkata terus dalam hatinya: "Menyaksikan pertempuran dahsyat dari suhu, barulah suamiku itu padam hatinya. Dia kata, 'Bukan cuma kepandaian suhu belum dapat kita pelajari sebagian saja, juga kepandaian lawannya itu kita berdua tidak dapat melawannya!' Maka itu kami lantas meninggalkan wilayah Tionggoan, kami menyingkir jauh sekali sampai di gurun pasir di Mongolia. Suamiku itu berkhawatir kitabnya nanti ada yang curi, sekalipun aku, dia tidak kasih lihat. Aku juga tidak tahu dimana ia menyembunyikannya. Maka aku kata kepadanya, 'Baiklah, bangsat lelaki, aku tak akan lihat kitabmu!' Dia jawab aku, 'Eh, perempuan bangsat, aku justru berbuat baik terhadapmu! Jikalau kau lihat ini, kau tentu ingin mempelajarinya, tetapi kau tidak mengerti ilmu dalam, tubuhmu bisa rusak.' Aku jawab, 'Baiklah! Jangan kau terus mengaco-belo!' Tapi ia mengajarkan aku Kiu Im Pek-ku Jiauw dan Cwie-sim-ciang, yaitu cengkeramnan Tulang Putih serta Pukulan Meremukkan Hati. Kemudian terjadilah pertempuran di atas gunung itu. Kanglam Cit Koay telah mengepung aku. 'Mataku! Mataku!' Ya, aku merasakan sangat sakit pada mataku, aku merasa gatal sekali. Aku empos semangatku, aku lawan serangan racun. Aku tidak mati, tetapi mataku buta! Suamiku pun binasa! Itulah pembalasan! Pernah kami membinasakan kakaknya dan mata adiknya dibikin buta."
Mengingat itu semua, dengan sendirinya cekalan Bwee Taiuw Hong menjadi semakin keras dan giginya pun bercatrukan.
"Matilah aku kali ini..." kata Kwee Ceng di dalam hatinya. "Entah dia bakal gunai cara kejam bagaimana akan siksa aku hingga aku terbinasa...." Karenanya, ia lantas berkata: "Eh, sekarang aku tidak menghendaki hidup pula! Aku hendak minta suatu apa padamu, harap kau suka meluluskannya."
"Kau hendak minta sesuatu dari aku?" Bwee Tiauw Hong tanya, ia tertawa dingin.
"Ya," jawab Kwee Ceng. "Di tubuhku ada beberapa rupa obat, aku minta kau tolong serahkan itu pada Ong Totiang yang sekarang ini lagi mondok di penginapan Ang Ie, di luar kota barat."
"Seumurku aku tidak pernah melakukan kebaikan!" Tiauw Hong membilang.
Dia tidak ingat lagi berapa banyak kesengsaraan yang dideritanya dan berapa banyak jiwa yang telah dibunuhnya, tetapi pertempuran dahsyat di atas gunung itu, ia masih ingat jelas sekali. Sekonyong-konyong matanya menjadi gelap, ia tidak dapat melihat sinar bintang lagi.
"Suamiku berkata," dia berkata di dalam hatinya lagi, ngelamun, "'Aku tidak bakal ketolongan lagi... rahasianya Kiu Im Cie Keng ada di dadaku....' Itulah kata-katanya yang terakhir. mendadak hujan turun seperti di tuang-tuang. Lalu Kanglam Cit Koay perhebat serangannya atas diriku. bebokongku telah kena tertinju. Penyerang itu sempurna ilmu dalamnya, dia membikin aku merasa sakit sampai di tulang-tulangku. Aku pondong tubuhnya si lelaki bangsat, aku kabur. Aku tidak dapat melihat musuh-musuhku itu, tetapi mereka juga tidak mengejar. Itulah aneh! Hujan turun hebat sekali, langit mestinya gelap gulita, dan mereka itu tidak dapat melihat aku. Aku berlari-lari di dalam hujan. Tubuhnya si lelaki bangsat mulanya masih hangat, lalu perlahan-lahan menjadi dingin. hatiku pun turut menjadi dingin karenanya. Seluruh tubuhku bergemetar, dinginnya luar biasa. 'Lelaki bangsat, apakah benar-benar kau telah mati?' Aku bertanya. 'Kau yang begini lihay, kau mati tidak karuan?' aku cabut pisau belati dari pusarnya, darah lantas muncrat keluar. Sebenarnya apakah yang heran? Orang dibunuh, darahnya pasti mengalir keluar. Aku sendiri, entah berapa banyak orang telah aku bunuh.... Sudahlah, aku pun harus mati bersama si lelaki bangsat. Hanya, tanpa ada orang yang memanggil dia lelaki bangsat, oh, bagaimana tawar! Lantas aku bawa ujung belati ke mulutku, dibawah lidah. Itulah tempat kematianku. Tiba-tiba aku kena raba huruf-huruf ukiran di gagang pisau belati itu. Aku lantas meraba-raba. Itulah dua huruf 'Yo Kang'. Ah, kiranya pembunuh si lelaki bangsat itu bernama Yo Kang! Mana dapat aku tidak menuntut balas? Sebelum membinasakan Yo Kang itu, mana boleh aku mati? Maka itu aku meraba ke dadanya si lelaki bangsat, akan cari rahasianya kitab Kiu Im Cie Keng itu. Sia-sia aku mencari, aku tidak mendapatkannya. Aku penasaran! Aku lalu mencari di rambut kepalanya, terus ke bawah. Tidak ada bagian anggotanya yang aku bikin kelompatan. Tempo aku meraba pula dadanya, di situ aku merasakan kulit dagingnya yang rada luar biasa."
Bwee Tiauw Hong lantas mengasih dengar suara tertawa kering dari tenggorokannya. Hebat suara itu, menyeramkan, Kwee Ceng sampai bergidik.
Bwee Tiauw Hong merasa ia telah berada pula di gurun pasir, hujan besar telah membasahkan seluruh tubuhnya, akan tetapi tubuh itu ia rasakan panas sekali. Dia merasa seperti telah meraba dada suaminya, yang ia selalu panggil dengan sebutan 'lelaki bangsat', sebagaimana dia sendiri dipanggil 'perempuan bangsat' oleh suaminya itu. Nyata dada itu dicacah dengan jarum, merupakan huruf-huruf dan peta. Itu dia rahasianya Kiu Im Cie Keng. Hian Hong khawatir kitabnya dicuri orang, dia cacah tubuhnya sendiri, setelah itu ia bakar kitabnya itu.
"Memang," demikian dia ngelamun pula, "Suhu yang demikian lihay, kitabnya masih kena kita curi. Maka siapa berani tanggung yang kitab kami pun tak ada yang bakal mencurinya? Maka ia kata pada waktu itu, 'Bagus betul pikiranmu ini. Ini artinya, selama orangnya masih hidup, kitabnya pun ada, setelah orangnya mati, kitabnya lenyap bersama.' Aku lantas gunai pisau belati mengiris kulit dadanya si lelaki bangsat. Ah, hendak aku memberi obat kepada kulit itu, supaya tidak menjadi nawoh dan rusak, ingin aku membawa-bawanya di tubuhku. 'Aku ingin kau selalu mendampingi aku...' Ketika itu aku tidak bersedih lagi sebaliknya aku tertawa terbahak-bahak. Dengan kedua tanganku, aku lantas menggali sebuah liang besar. Di situ aku kubur si lelaki bangsat. 'Kau ajarkan aku cengkaraman Kiu Im Pek-ku Jiauw, sekarang dengan kepandaian itu aku menggalikan kau liang kubur. Lantas aku sembunyikan diri di dalam gua, aku khawatir Kanglam Cit Koay dapat mencari aku. Sekarang ini aku bukannya tandingan mereka, maka tunggulah aku selesai dengan pelajaranku. Hm! itu waktu akan aku jambret setiap batok kepala, setiap hati manusia! Aku akan belajar, tidak peduli aku bisa terluka di dalam atau tidak. Peduli apa! Berselang dua hari, selagi perutku lapar, aku dengar suara pasukan tentara lewat di depan guaku. Mereka itu bicara dengan bahasa Nuchen dari negara Kim, aku lantas keluar dari tempat sembunyiku, aku minta barang makanan. Pangeran yang memimpin pasukan itu mengasihani aku, dia suka menolong, malah ia terus ajak aku ke istananya si Tiongtouw. Belakangan aku mendapat tahu, pangeran itu adalah Pangeran Chao Wang, putra nomor enam dari raja Kim. Aku bekerja di taman belakang, bekerja menyapui rumput, di situ secara diam-diam aku menyakinkan ilmu kepandaianku. Beberapa tahun telah lewat tanpa ada yang mengetahui perbuatanku itu. Semua orang menganggap akulah seorang wanita tua yang buta yang harus dikasihani."
"Kemudian pada suatu tengah malam.... Ah! Pangeran cilik yang nakal itu telah datang ke taman belakang, untuk mencari telur burung, dia telah mempergoki aku lagi menyakinkan cambuk perak.
Ia lantas menggerembengi aku, dia memaksa minta aku memberi pelajaran padanya. Terpaksa aku ajarkan dia tiga jurus. Sekali saja, ia telah dapat belajar dengan baik. Ternyatalah ia berotak terang sekali! Aku jadi gembira, maka aku terus mengajari dia. Aku hendak mengajari dia segala macam kepandaian asal dia suka bersumpah tidak membuka rahasia kepada siapa juga, tidak kecuali kepada ongya dan onghui. Aku mengancam, asal rahasia bocor, akan aku cambuk toblos batok kepalanya!"
"Lewat beberapa bulan, pangeran cilik itu memberitahukan kepada aku, bahwa ongya hendak pergi lagi ke Mongolia. Lantas aku minta supaya aku diajak, agar aku bisa bersembahyang di kuburan suamiku. Ongya menerima baik permintaan itu. Dia sangat menyayangi pangeran kecil itu, yang segala keinginannya senantiasa dipenuhi. Oh, disana tidak dapat aku mencari tulang-tulangnya si lelaki bangsat. Lantas aku hendak mencari Kanglam Cit Koay. Sungguh aku sangat beruntung, di sana aku dapatkan tujuh saudara imam dari Coan Cin Kauw. Mataku tidak bisa melihat, cara bagaimana aku bisa melawan mereka? Di antara mereka, yang lihay tenaga dalamnya adalah Tan Yang Cu Ma Giok. Asal ia membuka mulutnya, walaupun ia tidak berbicara keras, suaranya dapat terdengar sampai di tempat jauh. Perjalananku ke Mongolia itu tidak sia-sia belaka. Aku dapat mendesak kepada Ma Giok, hingga ia secara sembarangan mengajari aku sepatah kata rahasianya ilmu dalam. Sepulangnya ke istana, aku berdiam di dalam terowongan dalam tanah, di mana aku menyakinkan kepandaianku. Tidak dapat ilmu dalam itu dipelajarkan tanpa petunjuk, aku mempelajarinya dengan memaksa. Kesudahannya, separuh tubuhku ini tidak dapat digeraki. Aku melarang si pangeran cilik datang padaku. Ia tidak ketahui yang pelajaranku telah tersesat. Coba kalau bocah ini tidak menerobos masuk ke dalam terowongan, pastilah aku akan mati kelaparan di dalam situ. Hm, rupanya dari si lelaki bangsat yang memimpin bocah itu datang padaku, supaya ia menolongi aku, supaya kemudian aku bunuh si bocah untuk menuntut balas untuknya!"
Saking senang dan gembiranya, Tiauw Hong tertawa berkakakan tak hentinya. Dia tertawa haha tercampur hmhm, tertawa dingin!
 Â
Bab 22. Pertempuran Dahsyat
Wanita ini tertawa, hingga tubuhnya menggetar, sedang tangan kanannya mengerahkan tenaganya. Kwee ceng merasakan tenggorokannya tercekik keras sekali. Di saat mati atau hidup itu, ia pegang tangan si wanita, untuk dipaksa melepaskan cekikannya. Ia telah mendapatkan pelajaran dari Ma Giok, ia sudah menyakinkannya beberapa tahun, tenaga dalamnya telah cukup kuat, sedang juga, ia dapat tenaga akibat darah ular yang ia sedot. Pengejarannya Nio Cu Ong dan pertempurannya sama Wanyen Kang membuatnya tenaga obat menguatkan tubuhnya. Maka juga, ia berontak dengan berhasil.
Bwee Tiauw Hong terperanjat. "Tidak jelek kepandaiannya bocah ini!" pikirnya. Dia lantas menjambak pula, sampai tiga kali.
Kwee Ceng selalu berkelit dengan berhasil.
Panas hatinya Tiauw Hong, dia berseru panjang, tangannya menyambar ke batok kepala. Itu dia pukulannya yang berbahaya, pukulan Cwi-sim-ciang.
Kwee Ceng kalah pandai, tangan kanannya pun masih dicekal si wanita, tidak dapat ia berkelit lagi. Tapi dia pun nekat, maka ia angkat tangannya yang kanan, untuk menangkis.
Begitu kedua tangannya beradu, Bwee Tiauw Hong sudah lantas menarik pulang tangannya. Tangannya itu telah tergetar, juga seluruh tubuhnya menjadi panas. Ia menjadi heran sekali. Ia berpikir: "Aku berlatih tanpa guru, aku tersesat. Bocah ini sebaliknya sempurna ilmu dalamnya. Kenapa aku tidak mau memaksa dia untuk mengajari aku?"
Maka kembali ia mencekik leher si bocah itu. "Kau telah membunuh suamiku, tidak ada harapan lagi untuk kau hidup lebih lama!" ia kata dengan bengis. "Tetapi jikalau kau mau dengar perkataanku, akan kau membikin kau mati dengan puas! Jikalau kau membelo, aku nanti siksa padamu!"
Kwee Ceng tidak menjawab.
"Bagaimana Tan Yang Cu mengajarkan kau ilmu bersemadhi?!" Tiauw Hong tanya.
Kwee Ceng dapat menerka isi hati orang. Ia berpikir; Ah, kau ingin aku mengajarkan kau ilmu tenaga dalam! Tidak nanti! Biar aku mati, tidak nanti aku membikin harimau tumbuh sayap!" Maka ia lantas tutup rapat kedua matanya, ia tidak pedulikan ancamanan orang.
Bwee Tiauw Hong mengerahkan tenaga di tangan kirinya, hal itu membuat Kwee Ceng merasai lengannya sakit sekali. Tetapi ia sudah nekat, malah ia kata: "Kau memikir untuk mendapatkan kepandaianku? Hm! Baiklah siang-siang kau matikan keinginanmu itu!"
Tiauw Hong kendorkan pencetannya. "Aku berjanji akan mengantarkan obatmu kepada Ong Cie It, untuk menolongi jiwanya," katanya lemah lembut.
Mendengar ini, Kwee Ceng berpikir. "Inilah urusan penting," katanya dalam hatinya. Lekas ia bilang: "Baik! Tapi kau mesti bersumpah dulu - sumpah yang berat, nanti aku ajarkan kau ilmu yang Ma Totiang ajarkan aku."
Tiauw Hong lantas saja menjadi kegirangan. "Orang she Kwee...." katanya, dengan sumpahnya, "Sesudah si bocah she Kwee yang baru mengajari aku ilmu dalam dari Coan Cin Kauw, apabila aku si orang she Bwee tidak mengantarkan obat kepada Ong Cie It, biarlah tubuhku tidak dapat bergerak seluruhnya, biarlah aku tersiksa untuk selama-lamanya!"
Wanita ini baru memberikan sumpahnya itu lalu tiba-tiba di sebelah kiri mereka, sejarak belasan tembok, ada orang membentak dengan dampratannya; "Budak hina, lekas kau munculkan dirimu untuk terima binasa!"
Kwee Ceng kenali itu suara bentakan, ialah dari Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay.
Lantas ia dengar pula suara seorang lain, "Budak cilik ini mesti ada di dekat-dekat sini! Jangan khawatir, dia tidak bakal lolos!"
Sembari berbicara, mereka itu jalan pergi.
Kwee Ceng terkejut. "Kiranya Yong-jie masih ada disini," pikirnya. "Dan dia telah dipergoki mereka itu...." Dia lantas berpikir pula. Setelah itu, ia kata kepada Bwee Tiauw Hong; "Kau masih harus melakukan baik satu hal lagi, jika tidak, kau boleh siksa aku, aku akan tutup mulutku!"
"Masih ada apalagi?!" tanya Tiauw Hong yang murka sekali.
"Aku ada punya satu sahabat, satu nona kecil," sahut si anak muda: "Sahabatku itu lagi dikejar-kejar lawannya. Kau mesti turun tangan untuk menolongi sahabatku itu!"
"Hm!" Tiauw Hong kasih dengar ejekannya. "Cara bagaiman aku bisa mengetahui di mana adanya sahabatmu itu? Sudah, jangan ngoceh terus! Lekas kau jelaskan ilmu itu!" Dia pun kembali memencet.
Kwee Ceng menahan sakit, hatinya cemas dan mendongkol. Ia membandel. "Kau mau menolongi atau tidak, terserah padamu!" katanya keras. "Aku suka bicara atau tidak, terserah padaku!"
Tiauw Hong kewalahan. "Baiklah bocah, aku menerima baik permintaanmu," bilangnya. "Bocah cilik yang bau, aku tidak sangka Bwee Tiauw Hong satu jago yang telah malang melintang di kolong langit ini, sekarang aku mesti menyerah kepada segala kehendakmu!"
Kwee Ceng tidak menyahuti, dia hanya berkoak-koak: "Yong-jie, ke mari! Yong-jie! Yong-jie..."
Baru dua kali Oey Yong dipanggil, tiba-tiba dia telah muncul dari gerombolan pohon kembang mawar di samping mereka. Dia lantas menyahuti: "Sudah lama aku ada di sini....!"
Memang nona itu sudah sekian lama bersembunyi di situ, maka itu dia pun telah dengar pembicaraan di antara Tiauw Hong dan Kwee Ceng. Dia menjadi terharu dan tertarik hatinya kepada si pria, yang begitu perhatikan dan menyayangi kepadanya. Tanpa merasa, air matanya turun meleleh di kedua belah pipinya yang halus. Tapi ia tidak menangis terus, hanya ia lantas kata pada Bwee Tiauw Hong: "Bwee Jiak Hoa, lekas kau merdekakan dia!"
Kwee Ceng heran, begitu pun Bwee Tiauw Hong.
Bwee Jiak Hoa itu adalah nama benar dari Tiauw Hong, nama sebelum ia berguru, nama itu tidak dikenal kaum kongouw. Nama itu pun sudah beberapa puluh tahun tidak pernah terdengar lagi. Sekarang Tiauw Hong dengar nama orang menyebutnya, ia terperanjat. "Kau siapa?!" ia tanya, suaranya bergemetar.
Oey Yong menjawab, katanya: "Di dalam tumpukan cita menyembunyikan pedang mustika, dalam suara seruling dan tambur ada si bintang tetamu....Aku she Oey...."
Tiauw Hong menjawab terlebih kaget lagi. "Kau...kau....!" tanyanya membentak.
"Kau bagaimana?!" balas tanya Oey Yong. "Masih ingkatkah kau kepada puncak Cek Cui Hong, gua Twie In Tong dan paseban Sie Kiam Teng dari pulau Tho-hoa-to di Tang Hay?"
Tiauw Hong berdiam, ia merasakan seperti tubuhnya melayang-layang. Semua puncak, gua dan paseban itu adalah tempat, dimana ia biasa pesiar semasa dia masih belajar silat. Heran ia akan mendengar disebutnya semua itu.
"Kau pernah apa dengan Oey Suhu, yang namanya Yok di atas dan Su di bawah?" ia tanya kemudian.
"Bagus!" seru si nona. "Kau nyatanya belum melupai ayahku! Tapi juga ayahku belum melupakannya kau! Dia telah datang sendiri menjenguk padamu!"
Tiauw Hong ingin berbangkit bangun akan tetapi kakinya tidak mau menurut perintah. Ia menjadi kaget, seumpama kata semangatnya terbang pergi. Ia menjadi bingung sekali.
"Lekas lepaskan dia!" Oey Yong berkata pula.
Tiba-tiba pula Tiauw Hong ingat: "Selama ini suhu tidak pernah meninggalkan Tho Hoa To, maka cara bagaimana dia bisa datang kemari? Bukankah aku tengah di perdayakan?"
Menyaksikan keragu-raguan orang, Oey Yong berlompat tinggi setombak lebih, selagi lompat, ia putar tubuhnya dua kali sebelum tubuhnya turun, ia menyerang ke arah Tiauw Hong. Itulah jurus "Burung garuda terbang ke langit" dari Cwie-sim-ciang. Sembari menyerang, ia menaya: "Kau sudah mencuri kitab Kiu Im Cie Keng, kau mengertikan jurus ini?"
Tiauw Hong merasakan serangan itu dari anginnya saja, ia angkat tangannya untuk menangkis seraya ia berkata: "Sumoay, marilah kita bicara baik-baik! Mana suhu?"
Oey Yong tidak segera menjawab, di waktu tubuhnya turun ke bawah, ia lantas ulur tangannya akan sambar Kwee Ceng guna ditarik.
Memang Oey Yong ini adalah putrinya Oey Yok Su, Tocu pemilik pulau dari pulau Thoa Hoa To di Tang Hay, Laut Timur. Dia adalah anak tunggal dan tersayang. Ibunya telah meninggal dunia karena kesulitan bersalin setelah ia dilahirkan. Dalam kedukaannya, Oey Yok Su menghibur diri dengan merawat dan memanjakan putrinya ini dengan dibantu sejumlah pelayan. Karena ia sangat disayang, ia menjadi sangat nakal. Ia cerdas sekali tetepi dalam pelajaran ilmu silat, ia kurang bersungguh-sungguh, ia tidak dipaksa ayahnya itu yang ingat ia masih berusia terlalu muda. Maka itu, walaupun Oey Yok Su ada satu jago yang lihay, anaknya baru mendapat permulaan saja dari kepandaiannya itu.
Pada suatu hari Oey Yong pesiar kelilingan di pulaunya itu, sampai ia tiba di gua, dimana ayahnya telah mengurung musuhnya. Ia bicara sama musuh itu. Ia merasa kasihan, ia memberikan sedikit arak. Belakangan Oey Yok Su ketahui perbuatan anaknya itu, ia gusar, ia tegur anaknya itu. Belum pernah Oey Yong ditegur, ia menjadi tidak senang, maka itu ia pergi buron dengan menaiki sebuah getek kayu. Ia menyamar sebagai satu pemuda melarat, ia pergi ke mana ia suka, sampai di Kalgan ia - diluar dugaannya - bertemu sama Kwee Ceng, malah keduanya tertarik satu pada yang lain hingga mereka lantas saja menjadi bersahabat erat. Oey Yong pernah dengar ayahnya omong tentang Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua murid ayahnya itu, maka itu ia jadi tahu nama benar dari Tiauw Hong. Tentang kata-katanya tadi, yaitu: "Di dalam tumpukan cita menyembunyikan pedang mustika, dalam suara seruling dan tambur ada si bintang tetamu", itulah nyanyiannya Oey Yok Suk yangsering dinyanyikan, maka setiap muridnya kenal itu baik sekali. Ia sengaja menyebutkan itu, untuk menggertak kepada Tiauw Hong, yang kepandaiannya tidak dapat ia tandingi. Benar-benar Tiauw Hong jeri dan melepaskan Kwee Ceng.
Tiauw Hong masih berpikir: "Suhu telah datang, entah dengan cara apa dia bakal menghukum aku..." Mukanya menjadi pucat kapan ia ingat kebengisannya Oey Yok Su, tubuhnya menggigil sendirinya. Ia buta tetapi ia seperti membayangkan guru itu dengan bajunya warna kuning muda, dengan pundaknya menggendol sebuah pacul kecil peranti menggali obat-obatan, lagi berdiri di hadapannya. Mendadak tubuhnya menjadi lemas, seperti habis sudah ilmu silatnya, ia terus mendekam ke tanah seraya berkata: "Teecu ketahui dosaku yang mesti dibunuh berlaksa kali, tetapi teecu mohon sukalah guru mengampunkan teecu dari hukuman mati mengingat mata teecu telah buta dan separuh tubuhku cacat..."
Kwee Ceng heran menyaksikan orang demikian ketakutan dan pasrah sedang begitu jauh yang ia ketahui, si Mayat Besi biasanya galak dan telengas, musuh bagaimana tangguh juga tidak dapat buat ia jeri.
Oey Yong tertawa di dalam hatinya. Ia tarik tangan Kwee Ceng, terus ia menunjuk ke luar jendela. Itu artinya ia mengajak sahabat itu lari bersama, buat menyingkir dari istana itu.
Kwee Ceng baru memandang ke tembok tatkala di belakang mereka, mereka dengar satu suara seruan yang disusul tertawa panjang, lalu di sana muncul seorang yang tangannya menggoyang-goyang kipas.
"Anak yang baik, aku tidak kena kau jual!" orang itu berkata sambil tertawa.
Oey Yong lantas kenali Auwyang Kongcu, yang ia tahu ilmu silatnya lihay, dan orang pun hendak membekuk padanya. Ia mengerti yang ia sukar lolos, tetapi ia cerdik sekali, segera ia dapat akal, lantas ia menghadapi Bwee Tiauw Hong dan berkata: "Bwee Suci, ayah paling dengar perkataanku, sebentar nanti aku mohonkan ampun kepadanya, hanya sekarang kau mesti mendirikan dulu beberapa jasa baik, supaya ayah suka mengampunkannya."
"Jasa baik apakah itu?" Bwee Tiauw Hong tanya.
"Ada orang busuk lagi menghina aku," Oey Yong terangkan. "Akan aku berpura-pura tidak sanggup melawan, kaulah yang mesti hajar dia. Sebentar ayah datang, kapan ia lihat kau membantui aku, hatinya tentu girang."
Tiauw Hong suka memberikan bantuannya. Kata-katanya ini sumoy, adik seperguruan, membuat ia mendapat harapan, hingga semangatnya bangun dengan mendadak.
Sementara itu Auwyang Kongcu lagi mendatangi bersama keempat murid wanitanya. Begitu dia tiba di depan mereka bertiga, Oey Yong tarik tangannya Kwee Ceng, untuk memernahkan diri di belakangnya Bwee Tiauw Hong. Nona ini telah pikir, begitu lekas Tiauw Hong dan si kongcu bertempur, ia mau ajak sahabatnya itu menyingkirkan diri.
Auwyang Kongcu melihat Tiauw Hong sedang duduk numprah, nyonya itu berserba hitam dan romannya tidak luar biasa, ia ulur tangannya akan sambar Oey Yong. Mendadak saja ia merasakan angin menyambar ke arah dadanya, ia lihat tangan si nyonya menjambak secara hebat. Ia kaget bukan main. Belum pernah ia mendapat serangan sehebat ini. Lekas-lekas ia mengetok dengan kipasnya ke lengan si nyonya, tubuhnya pun dibawa berlompat berkelit. Walaupun begitu, ia masih kurang sebat, dengan menerbitkan suara memberebet, ujung bajunya robek sepotong sedang kipasnya patah menjadi dua potong. Yang membikin ia terkejut sekali adalah keempat muridnya telah roboh terguling, apabila ia mendekati mereka, untuk memeriksa, nyata mereka sudah putus jiwanya semua, otak mereka telah dilobangi lima jari tangan. Itulah cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw.
Kongcu ini menjadi murka sekali, tidak banyak omong lagi, ia lompat maju, untuk menyerang Bwee Tiauw Hong. Ia keluarkan kepandaiannya yang istimewa, ialah "Sin To Soat San Ciong", atau "Unta Sakti Gunung Salju".
Bwee Tiauw Hong membuat perlawanan dengan Kiu Im Pek-kut Jiauw, kedua tangannya bergerak panjang dan pendek, sambungan tulang-tulangnya mengasih dengar suara meretek, hingga Auwyang Kongcu tidak berani merapatkan diri.
Oey Yong hendak menggunai ketikanya untuk menyingkir, ia baru menarik tangan Kwee Ceng atau tiba-tiba ia dengar bentakan di belakangnya, disusul sama serangan dua tangan. Itulah Hauw Thong Hay yang telah datang ke situ dan lantas menyerang, ke arah muka, sebab dia tahu si nona memakai lapis berduri.
Segera setelah itu, ke situ pun datang See Thong Thian bersama Nio Cu Ong dan Pheng Lian Houw.
Chao Wang bersama putranya repotnya mencari orang yang menculik onghui, mereka berlari-lari bersama barisan pengiring mereka, di dalam dan di laur istana.
Nio Cu Ong lihat bagaimana Auwyang Kongcu terdesak, sampai bajunya robek dan terlihat baju dalamnya. Ia pun lantas ingat bagaimana di dalam gua ia telah dipermainkan nyonya itu, ia menjadi gemas sekali sambil berseru, ia maju akan membantui si pemuda mengepung.
See Thong Thian dan Pheng Lian Houw menanti di pinggiran, bersiap untuk membantui. Hati mereka tapinya gentar menyaksikan kehilayan si nyonya.
Oey Yong main berkelit terhadap pelbagai serangan Hauw Thong Hay, ia membuatnya orang she hauw itu kewalahan.
Tidak lama, Bwee Tiauw Hong merasakan repot melayani dua lawan yang tangguh. Tiba-tiba ia tarik sebelah tangannya dan menyambar bebokongnya Kwee Ceng seraya ia berseru: "Kau podong kedua kakiku!"
Kwee Ceng kaget, ia tidak mengerti maksud orang, akan tetapi ia insyaf bahwa mereka bekerjasama menangkis musuh, ia turut perkataan orang itu, segera ia membungkuk memegang kedua pahanya Tiauw Hong, untuk diangkat.
Dengan tangan kirinya Tiauw Hong tangkis serangan Auwyang Kongcu, dengan tangan kanannya ia jambak Nio Cu Ong, sembari berbuat demikian, ia kata kepada Kwee Ceng: "Kau pondong aku, kau kejar si orang she Nio itu!"
Baru sekarang Kwee Ceng mengerti maksud orang. Pikirnya: "Dia tidak dapat menggunai kedua kakinya, dia membutuhkan bantuanku!" Ia terus bekerja. Ia bukan lagi pondong si nyonya, dia hanya memanggulnya, lalu dia bergerak kesana ke mari menuruti setiap petunjuk nyonya itu, untuk maju memburu, guna mundur sembari menangkis atau berkelit. Ia bertenaga besar, enteng tubuhnya, dan tubuh Tiauw Hong tidak berat, ia jadi dapat berbegrak dengan leluasa. Maka setelah itu Tiauw Hong manjadi menang diatas angin.
"Bagaimana sih caranya menyakinkan ilmu dalam?" dia tanya Kwee Ceng selagi ia melayani musuh. Dia tidak dapat melupakan ilmu itu.
"Duduk numprah, lima hati di hadapkan ke langit," Kwee ceng menjawab.
"Apa itu ynag dinamakan lima hati?" Tiauw Hong menanya pula.
"Dengan itu dimaksudkan telapakan dua tangan, telapakan kedua kaki dan embun-embunan."
Girang Tiauw Hong hingga ia menjadi bersemangat, hingga ketika ia menjambret Nio Cu Ong, dia dapat mencengkram pundaknya. Maka tidak tempo lagi, pundaknya orang she Nio itu berlumuran darah, hingga ia mesti melompat menyingkir.
Kwee Ceng lompat, untuk memburu, tatkala ia melihat Kwie-bun Liong Ong See Thong Thian maju membantu suteenya untuk menggerubungi Oey Yong, ia menjadi kaget, lantas ia putar tubuhnya. "Hajar dulu ini dua orang!" ia kata pada Tiauw Hong.
Nyonya itu sudah lantas kasih bekerja kedua tangannya, yang kiri ke arah bebokongnya Hauw Thong Hay. Dia ini mengkeratkan diri, untuk berkelit. Di luar dugaannya tangan si nyonya, maka kagetlah ia tempo bebokongnya kena dijambak, hingga tubuhnya segera diangkat, sedang di lain pihak lima jari tangan kanan si nyonya itu menyambar ke batok kepalanya. Tanpa berdaya lagi, ia menjadi lemas sekujur tubuhnya, tak dapat ia bergerak lagi.
SeeThong Thian menyaksikan itu, kagetnya bukan main. Ia berlompat, untuk menghalau lengan nyonya itu. Karenanya kedua tangan beradu satu sama lain. keduanya menjadi kaget, tangan mereka sama-sama kesemutan.
Berbareng dengan itu, dari arah kiri terdengar suara angin menyambar. Itulah serangan kim-chie-piauw, atau senjata rahasia yang berupa uang dari Pheng Lian Houw.
Tiauw Hong dapat tahu datangnya serangan gelap, ia menangkis dengan melemparkan tubuhnya Hauw Thong Hay ke arah datangnya piauw itu, maka Thong Hay lantas saja berkoak, "Aduh!" karena tepat ia terkena piauw itu.
See Thong Thian kaget, apapula ia dapatkan tubuh sutee itu bakal jatuh ke tanah. Kalau ia terbanting, celakalah sutee itu. Terpaksa ia melompat maju, untuk menanggapi dengan menyambar pinggang si adik seperguruan itu, yang terus ia lemparkan. Maka kali ini Thong Hay bisa kerahkan tenaganya, hingga ia jatuh dengan wajar.
Tiauw Hong melemparkan tubuh orang dan See Thong Thian menolongi sutee itu, semua itu terjadi dalam sejenak, menyusuli itu, Tiauw Hong segera diserang dari tiga penjuru, oleh piauwnya Pheng Lian Houw, oleh Auwyang Kongcu dan See Thong Thian.
Bwee Tiauw Hong memasang kupingnya, lantas jari-jari tangannya dipakai menyentil, akan menyentil balik setiap piauw, dari itu, semua piauw itu mental kembali, menyerang kepada Auwyang Kongcu, Pheng Lian Houw dan See Thong Thian, juga kepada Nio Cu Ong, yang turut maju pula.
"Apakah itu yang dinamakan mengumpulkan ngo-heng?" Tiauw Hong menanya lagi.
"Itulah kayu dari Tong-hun, emas dari See-pek, api dari Lam Sin, air dari Pak Ceng, dan tanah dari Tiong Ie."
Ngo-heng ialah kayu, emas, api, air dan tanah.
"Apakah itu yang disebut mengakurkan su-ciang?"
"Itu artinya menyimpan mata, mengebalkan kuping, meluruskan napas dan menutup lidah."
"Tidak salah! Itu yang dinamakan ngo-kie-tiauw-goan - lima hawa dipusatkan kepada asalnya?"
"Itulah, mata tidak melihat tetapi semangatnya ada di jantung, kuping tidak mendengar tetapi pendengarannya ada di geginjal, lidah tidak berbunyi tetapi pemikirannya ada di hati, dan hidung tidak mencium bau tetapi rohnya ada di peparu."
Girang Tiauw Hong mendapatkan keterangan ini. Sudah belasan tahun ia menyakinkan Kiu Im Cie Keng, tidak pernah ia mengerti itu. Maka ia menanya. Dengan begini ia telah memecah perhatiannya, belum lagi Kwee Ceng menjawab ia, pundak kirinya dan iga kanannya telah terkena hajar oleh Auwyang Kongcu dan See Thong Thian. Ia bertubuh kuat akan tetapi toh hajaran itu membikin ia merasakan sangat sakit.
Oey Yong pun menjadi cemas. Ia mengharap Tiauw Hong bisa melibat musuh-musuhnya, supaya ia bisa ajak Kwee Ceng kabur, siapa tahu, pemuda ini mesti membantui orang.
Segera juga Tiauw Hong terdesak dibawah angin. Ia heran atas tidak datangnya bala bantuan, maka akhirnya ia teriaki Oey Yong: "Eh, darimana kau memancing begini banyak musuh lihay? Mana suhu?" Ia menanya demikian, sebenarnya ia berkhawatir. Sungguh tak ingin ia bertemu sama gurunya, yang ia tahu telengas,
"Dia bakal segera datang!" Oey Yong menyahuti. "Mereka ini bukannya tandinganmu! Umpama kata kau duduk di tanah, mereka tidak nanti dapat mengganggu selembar rambutmu!" Ia ingin membangkitkan kejumawaannya si Mayat Besi, supaya Kwee Ceng dilepaskan. Tetapi Tiauw Hong tengah sulit sekali, ia repot melayani musuh-musuhnya.
Nio Cu Ong berseru, ia berlompat menerjang.
Tiauw Hong merasakan ada serangan di kiri dan kanannya, ia mementang kedua tangannya untuk menangkis, tetapi ia merasakan rambutnya ada yang tarik. Itulah Nio Cu Ong, yang menyambar rambutnya itu. Ia kaget, begitu pun Oey Yong.
Nona ini segera menyerang punggungnya orang she Nio itu, atas mana Cu Ong menangkis dengan tangan kanannya, sekalian dia hendak membangkol tangannya si nona itu, sedang tangan kirinya tidak melepaskan rambutnya si Mayat Besi.
Untuk membebaskan dirinya, Tiauw Hong menyambar ke rambutnya, maka bagaikan sitebas, rambutnya itu kutung putus, menyusul mana, ia serang Nio Cu Ong.
Dengan mencelat ke samping, Cu Ong menolong dirinya. Sementara itu Pheng Lian Houw lantas mengetahui wanita itu adalah Bwee Tiauw Hong, salah satu dari Hek Hong Siang sat, maka itu, apabila ia dapat kenyataan Oey Yong membantui si Mayat Hidup, dia menegur : "Eh, budak cilik! Kau bilang kau bukannya murid Hek Hong, nyata kau mendusta!"
Oey Yong tidak mau mengalah. "Dia guruku?" dia membalik, mengejak. "Lagi seratus tahun ia belajar silat, dia masih belum mampu menjadi guruku!"
Lian Houw heran. Terang mereka berdua sama ilmu silatnya. Kenapa si nona menyangkal? Kenapa agaknya si nona tidak menghormati Tiauw Hong itu?
Justru itu terdengarlah suaranya See Thong Thian: "Memanah orang lebih dulu memanah kudanya!" Kata-kata itu ditujukan kepada Kwee Ceng, yang ia lantas rabu kakinya.
Tiauw Hong kaget. Ia tahu Kwee Ceng masih lemah, kalau anak itu roboh, ia pun bisa susah. Maka itu, ia membungkuk, untuk menyambut kakinya orang she See itu. Justru itu, dengan tubuhnya si nyonya turun rendah, Auwyang Kongcu membarengi menumbuk bebokongnya.
Tiauw Hong mengasih dengar suara "Hm!" Mendadak saja tangan kanannya terayun, lalu terlihat berkelebatnya satu sinar putih terang. Nyata ia telah kasih keluar cambuknya, dengan apa ia menyambet ke empat penjuru. Cambuknya itu bergerak bagaikan naga beracun, hingga empat lawannya mesti menjauhkan diri.
Pheng Lian Houw berpikir: "Ini perempuan buta mesti lebih dulu dibinasakan, jikalau suaminya si Mayat Perunggu keburu datang, sungguh sulit!" Ia memikir demikian karena ia tidak tahu Tan Hian Hong sudah terbinasa.
Sebenarnya cambuk Tong-liong Gin-pian dari Bwee Tiauw Hong lihay sekali, di dalam kalangan enam tombak, siapa kena dicambuk, dia mesti terbinasa, cuma sekarang ia menghadapi Auwyang Kongcu berempat... semua bukan sembarang orang. Ia cuma bisa membikin mereka itu merenggangkan diri.
Pheng Lian Houw penasaran, sambil berseru, dia menjatuhkan diri, untuk menyerbu dengan bergulingan.
Tiauw Hong tidak tahu orang hendak membokong dia, dia tetapi melayani ketiga musuhnya. Adalah Kwee Ceng, yang menjadi kaget sekali, dalam takutnya, ia menjerit. Atas ini tahulah Tiauw Hong atas datangnya musuh-musuh, ia lantas ulur tangan kirinya, guna menjambret si orang she Pheng itu.
Oey Yong tidak dapat membantu Tiauw Hong lagi, karena cambuk orang merintangi majunya. Dilain pihak, ia melihat ancaman bahaya untuk si Mayat Besi - artinya untuk ia sendiri berdua sama Kwee Ceng. Ia lantas dapat akal, maka ia berteriak: "Semua berhenti! Aku hendak bicara!"
Pheng Lian Houw, yang bisa membebaskan diri, begitupun ketiga kawannya, tidak mengambil mumat atas teriakan itu, mereka terus mengurung.
Oey Yong berkhawatir dan penasaran, hendak ia berteriak pula, atau tiba-tiba ia dengar lain orang mendahulukan padanya: "Semua berhenti, aku hendak ada bicara!" Suara itu datangnya dari arah tembok.
Oey Yong segera berpaling. Enam orang, yang tubuhnya tinggi kate tdak rata, tertampak berdiri di atas tembok. Tapi malam ada gelap, muka mereka tidak terlihat nyata.
Pheng Lian Houw semua tahu, ada datang orang dari pihak ketiga, mereka tidak ambil peduli, mereka berkelahi terus.
Rupanya keenam orang di atas tembok itu tidak dapat manahan sabar, dua diantaranya sudah lantas lompat turun. Mereka ini masing-masing bersenjatakan joan-pian dan pikulan besi, dengan senjatanya itu, mereka lantas serang Auwyang Kongcu. Orang yang mencekal joan-pian itu, cambuk emas, yang tubuhnya kate, membarengi mendamprat: "Bangsat tukang petik bunga, kemana kau hendak lari?!"
Kwee Ceng dengar suara orang, ia menjadi girang sekali. "Suhu lekas tolongi teecu!" ia berteriak.
Memang keenam orang itu adalah Kanglam Liok Koay. Sejak di Utara mereka terpisah dari Kwee Ceng, muridnya mereka itu, kemudian mereka menguntit delapan murid wanita dari Pek To San. Diwaktu malam, mereka lantas mempergoki Auwyang Kongcu beserta sekalian muridnya merampas anak gadisnya suatu keluarga baik-baik. Mereka gusar, mereka lantas menyerang.
Auwyang Kongcu membuat perlawanan, tetapi Liok Koay telah berlatih bersungguh-sungguh di gurun pasir, telah memperoleh banyak kemajuan, mereka membikin ia kewalahan. Begitulah tubuhnya kena dihajar tongkatnya Kwa Tin Ok dan kakinya tertendang Cu Cong. Merasa tidak ungkulan, terpaksa ia lepaskan si nona mangsanya itu dan lari kabur. Dua muridnya terhajar binasa masing-masing oleh Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat.
Wat Lie Kiam Han Siauw Eng lantas menolong si nona, yang ia gendong pulang ke rumahnya. Kemudian Auwyang Kongcu dikejar, tetapi ia licin dan dapat meloloskan diri. Liok Koay juga tidak mengejar dengan berpisahan, karena mereka ketahui, kalau bertempur satu lawan satu, pihaknya tidak sanggup. Tapi mereka terus melakukan penyelidikan. Inilah tidak sukar, sebab rombongannya Auwyang Kongcu gampang dikenali dari dandanan mereka yang serba putih itu. Begitulah mereka menguntit hingga di onghu, istananya Chao Wang itu.
Diwaktu gelap, gampang sekali untuk melihat pakaiannya rombongan Auwyang Kongcu itu, maka itu Lam Hie Jin dan Han Po Kie sudah lantas melakukan penyerangan. Mereka kaget akan dengar teriakannya Kwee Ceng. Empat yang lainnya turut heran juga. Merekan juga lantas mengawasi, hingga mereka dapat lihat dengan tegas: Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi telah bersilat dengan cambuknya, dia sepertinya duduk bersilat di pundaknya Kwee Ceng. Rupanya bocah itu berada dibawah pengaruh orang. Karena ini tanpa bersangsi lagi, Han Siauw Eng maju menyerang si Mayat Besi yang ia sangat benci itu, sedang Coan Kim Hoat maju untuk menolongi muridnya.
Pheng Lian Houw semua heran atas datangnya enam orang itu, apapula mereka itu lantas menyerang Auwyang Kongcu, menyerang si Mayat Besi juga. Lian Houw lantas menggulingkan tubuh, akan keluar dari gelangan. Kemudian ia berteriak: "Semua berhenti! Aku hendak bicara!" Teriakannya nyaring sekali, menulikan telinga.
Nio Cu Ong bersama See Thong Thian mendahulukan mundur.
Kwa Tin Ok, yang dengar teriakan hebat itu, percaya yang orang adalah orang lihay, maka ia pun teriaki saudara-saudaranya: "Shatee dan citmoay, tahan dulu!"
Dua saudara itu menurut, begitupun yang lainnya, mereka semua mundur.
Tiauw Hong pun sudah berhenti bersilat, ia hanya bernapas memburu.
Oey Yong sudah lantas menghampirkan murid ayahnya itu. "Kali ini kau telah berjasa!" katanya. Tapi kepada Kwee Ceng ia memberi tanda dengan gerakan tangan, agar sahabatnya itu melemparkan tubuh orang.
Kwee Ceng mengerti, untuk simpangi perhatian si Mayat Besi, ia memberi keterangan atas pertanyaan orang tadi. Akhirnya ia berkata: "Nah, kau ingatlah baik-baik!" Berbareng dengan itu, dengan mengerahkan tenaga, ia melemparkan tubuh si nyonya sampai jauhnya setombak lebih, ia sendiri segera lompat mundur. Hanya, belum lagi ia menaruh kaki di tanah, cambuk perak yang bergemerlapan sudah lantas menyambar kepadanya. Cambuk itu ada banyak gaetannya.
"Celaka!" teriak Han Po Kie, yang menyaksikan bahaya mengancam muridnya. Tanpa ayal lagi ia menyerang dengan Kim-liong-pian, cambuknya, si Naga Emas. Maka kedua cambuk itu beradu keras. Ia kaget, telapakan tangannya sakit. Cambuknya itu terlepas, terlibat dan tertarik sama cambuknya Bwee Tiauw Hong. Ia menyerang Kwee Ceng begitu lekas ia dapatkan tubuhnya dilemparkan. Ketika ia jatuh ke tanah, lebih dahulu ia menampa dengan tangannya, habis itu ia duduk dengan hati-hati. Ia ketahui datangnya Kanglam Liok Koay begitu lekas ia dengar suaranya Kwa Tin Ok. Ia mendongkol berbareng khawatir. Ia pikir: "Aku cari mereka ke mana-mana, hari ini mereka mengantarkan diri. Coba hari bukannya hari ini, pasti aku bersyukur sangat kepada Langit dan Bumi. Sekarang ini aku lagi dikurung oleh musuh, aku hampir tidak dapat bertahan, jikalau aku mesti tambah musuh dalam dirinya Tujuh Manusia Aneh ini, pastilah aku bakal binasa...." Ia lantas mengertak gigi. Ia lantas mengambil keputusan: "Nio Lao Koay beramai tak ada permusuhannya dengan aku, maka hari ini baiklah aku terbinasa bersama-sama dengan Cit Koay saja!" Ia cekal keras cambuknya, ia memasang kuping, akan dengari gerak-geriknya Cit Koay itu. Ia tahu orang muncul yang berenam, ia heran: "Dari Cit Koay cuma muncul yang enam, entah yang satunya lagi bersembunyi di mana...?" Ia tidak tahu yang Siauw Bie To Thio A Seng telah terbinasa di tangan suaminya.
Liok Koay bersama rombongannya Nio Cu Ong berdiam semua, mereka pun memernahkan diri di jarak tujuh tombak dari wanita kosen itu yang cambuknya sangat lihay.
"Anak Ceng, kenapa mereka itu bertempur?" Cu Cong berbisik kepada muridnya. "Kau sendiri, mengapa kau bantui perempuan siluman itu?"
"Mereka hendak membunuh aku, dia menolongi," jawab Kwee Ceng.
Biauw Ciu Sie-seng heran.
"Aku minta kau memberitahukan nama kamu?!" Nio Cu Ong menegur Kanglam Liok Koay. "Tengah malam buta, kau lancang masuk ke dalam istana, kamu hendak berbuat apa?"
"Aku she Kwa," menyahut Tin Ok. "Kami bersaudara bertujuh orang. Orang Kangouw menyebut kami Kanglam Cit Koay."
"Oh, Kanglam Cit Koay!" kata Pheng Lian Houw. "Sudah lama aku mengagumi nama kamu!"
See Thong Thian tapinya berteriak: "Bagus! Cit Koay telah datang sendiri! Aku orang she See hendak belajar kenal, untuk melihat Cit Koay yang namanya demikian besar, kepandaiannya sebenarnya bagaimana!"
Thong Thian gusar karena ia ingat penghinaan yang diterima empat muridnya. Ia lantas lompat ke depannya Pheng Lian Houw.
Auwyang Kongcu berdiam sambil bersiap. Ia bermusuh dengan Liok Koay dan Bwee Tiauw Hong, yang satu merusak usahanya, yang lainnya membinasakan muridnya atau gundiknya tersayang. Inilah ketikanya untuk turun tangan.
See Thong Thian maju sambil mengawasi keenam Manusia Aneh itu. Ia dapatkan Kwa Tin Ok bercacat mata dan kakinya, Han Siauw Eng satu nona yang manis, Coan Kim Hoat kurus kering, Han Po Kie kate dampak dan gemuk, sedang Cu Cong lemah lembut bukan seperti orang Rimba Persilatan. Cuma Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin, yang romannya gagah. Karena itu, segera ia serang si Tukang Kayu dari gunung Lam San itu.
Lam Hie Jin menancap pikulannya, tanpa bersuara, ia menangkis serangan. Ia lihay akan tetapi baru beberapa jurus, tahulah ia bahwa ia bukannya tandingan musuh she See itu. Karena ini, Han Siauw Eng lantas maju dengan pedangnya dan Coan Kim Hoat dengan dacinnya.
Pheng Lian Houw tidak berdiam saja melihat kawannya dikerubuti, sambil berseru keras, ia lompat maju akan rintangi Coan Kim Hoat, yang senjatanya yang luar biasa itu hendak dirampasnya. Tapi Kim Hoat lihay, gerakannya aneh, ia serangn musuh ini hingga si musuh kaget dan mesti berkelit dengan lompatan jungkir balik "Ular naga membalik tubuh."
"Eh, senjata apa senjata kau ini?" dia tanya, heran, sesudah berkelit ke kiri dan ke kanan. "Ini toh barang yang diperantikan menimbang di pasar tetapi kau pakai untuk menyerang orang!"
Coan Kim Hoat mendongkol dan menyahut: "Dacin ini untuk menimbang kau, babi!"
Lian Houw murka dikatakan babi, lantas ia menyerang dengan hebat, hingga ia membikin Kim Hoat terdesak.
Meyaksikan saudara keenamnya itu kewalahan, Han Po Kie berlompat maju. Cambuknya kena dirampas Bwee Tiauw Hong tetapi ia punyakan kepalannya.
SeeThong Thian dan Pheng Lian Houw benar lihay, walaupun mereka dikepung, mereka masih menang diatas angin. Karena ini, Kwa Tin Ok dan Cu Cong lantas maju, untuk membantui saudara-saudaranya itu, dengan begitu, mereka jadi bertempur dalam dua rombongan dengan masing-masing tiga lawan satu. Kali ini pihak Liok Koay yang menang di atas angin.
Pertempuran di antara Oey Yong dan Hauw Thong Hay juga berjalan dengan seru. Sebenarnya Thong Hay lebih lihay tetapi ia kalah gesit dan ia pun jeri untuk baju lapis si nona, dari itu tidak berani ia menghajar tubuh orang. Karena ini Oey Yong yang dapat mendesak, hingga lawannya itu main mundur.
Auwyang Kongcu telah memasang mata, ia ketahui pihaknya keteter, maka ia lantas mengambil keputusan: "Baiklah aku binasakan dulu ini beberapa manusia jahat. Si wanita siluman, biar bagaimana tidak nanti ia dapat kabur, dia boleh dibereskan belakangan..." Segera ia lompat ke sampingnya Kwa Tin Ok. Ia bergerak dengan jurus "Sekejap seribu lie" dari ilmu silatnya Sin To Soat-san-ciang. Ia pun lantas membentak: "Kamu usilan, bangsat buta, maka kau rasailah lihaynya kongcumu!" Lalu tangannya kanannya meninju.
Kwa Tin Ok mendengar suara angin di kanan, ia menangkis dengan ujung tongkatnya, tetapi ia kebogehan, sebab serangan datang dalam rupa tangan kiri lawan. Ia lantas saja berkelit dengan mendak, berbareng dengan mana, ia menyerang pula dengan jurusnya "harta menunjuk pengaruh".
Auwyang Kongcu menyingkir dari serangan itu, tetapi ia bukannya menyingkir untuk berlari, hanya ia lompat kepada Lam Hie Jin, yang ia terus serang, hingga Hie Jin terkejut dan mesti berbalik akan melayani.
Melayani Hie Jin pun Auwyang Kongcu pun tidak mau mengulur tempo, ia lantas tinggalkan musuh ini, untuk menyerang yang lain. Begitu ia berkelahi, hingga ia menempur Liok Koay dengan bergantian. Maka teranglah, ia tengah mengganggu musuh-musuhnya itu, hingga Pheng Lian Houw dan See Thong Thian jadi dapat bernapas.
Suasana kembali terbalik, Liok Koay yang mulai keteter pula.
Nio Cu Ong sementara itu terus memasang matanya terhadap Kwee Ceng, maka tempo ia menginsyafi aksinya Auwyang Kongcu itu, ia lantas lompat kepada bocah itu sambil ulur tangannya, ia menjambret dengan kedua tangannya.
Kwee Ceng bukan tandingan jago ini, dalam beberapa jurus saja ia sudah terdesak, malah lekas juga dadanya kena dicengkram. Dengan tangan kanannya, Cu Ong menjambak ke arah perut, untuk membikin pecah perut orang, supaya ia bisa menghisap darah anak muda itu.
Dalam saat berbahaya itu, Kwee Ceng membela diri. Ia mengkeratkan perutnya, hingga terdengar suara robek dari bajunya, hingga belasan bungkusan obatnya kena disambar musuh.
Nio Cu Ong dapat mencium bau obat, ia masuki semua bungkusan itu ke dalam sakunya, setelah mana kembali ia menjambak.
Kwee Ceng berontak sekuat-kuatnya, ia dapat meloloskan diri, terus ia lari ke arah Bwee Tiauw Hong sambil berteriak: "Tolongi aku!"
Girang Tiauw Hong mendengar suara orang. Ia memang ingin meminta beberapa keterangan pula kepada anak muda itu.
"Kau peluki aku! Jangan takuti Lao Kaoy!" ia menyahuti.
Kwee Ceng tahu, satu kali ia peluk wanita itu, ia tidak bakal lolos pula, karena itu, ia tidak berani menghampirkan, ia hanya lari berputaran dekat, di sekitarnya.
Nio Cu Ong memburu, hingga ia memasuki kalangan sambaran cambuknya si wanita kosen, sembari mengejar, ia waspada terhadap nyonya itu terutama terhadap cambuknya.
Bwee Tiauw Hong sendiri memperhatikan suaranya Kwee Ceng, gerak-geriknya, maka juga mendadak saja ia geraki cambuknya, untuk merabu kaki si anak muda!
Oey Yong melayani Hauw Thong Hay dengan selalu memperhatikan Kwee Ceng. Ia terkejut ketika Kwee Ceng kena dijambret Nio Cu Ong, untuk menolongi, sudah tidak keburu lagi. Sekarang ia melihat kawannya terancam cambuknya Tiauw Hong, ia dapat menolong, maka dengan meninggalkan Thong Hay, ia lompat ke arah cambuk! Ia tidak takuti cambuk itu, meskipun ia tahu, kecuali ayahnya, sukar dicari orag yang bisa mengalahkannya. Ia pun bukannya hendak menangkis, hanya ia berlompat ke atas cambuk di mana ia menggulingkan tubuhnya.
Kwee Ceng tertolong dari bahaya tetapi sekarang Oey Yong yang kena kelibat cambuk itu, yang terus ditarik Bwee Tiauw Hong. Atas itu Oey Yong lantas berseru: "Bwee Jiak Hoak, beranikah kau melukai aku?!"
Kaget Tiauw Hong mengenali suaranya Oey Yong, hingga ia memandikan peluh dingin. Dia pun berpikir: "Cambukku banyak gaetannya, sekarang aku lukai budak ini, bagaimana suhu dapat mengampunkan aku? Tapi sudah terlanjur, baiklah aku habiskan dia dulu!" Maka dia terus menarik, hingga ia dapat cekal tubuh si nona, untuk diletaki di tanah. Ia percaya tubuh si nona itu sudah tercengkeram pelbagai gaetan cambuknya.
Justru itu Oey Yong tertawa geli. Ia memakai lapisan joan-wie-kah, tubuhnya tidak terluka, melainkan baju luarnya dan dalamnya pada robek. Dengan jenaka ia berkata: "Kau merusaki pakaianku, aku minta ganti!"
Tiauw Hong melongo. Dari suaranya orang, ia dapat tahu nona itu tidak kesakitan. Dengan tiba-tiba ia ingat, maka katanya dalam hatinya: "Ah, tentu saja baju lapis berduri dari suhu telah diberikan padanya!" Ia lantas menyahuti: "Ya, encimu ini yang salah, nanti aku pasti mengganti bajumu ini..."
Oey Yong lantas menggapai pada Kwee Ceng.
Anak muda itu menghampirkan, ia berdiri jauhnya tujuh atau delapan kaki dari Tiauw Hong. Sekarang ia tidak dihampirkan oleh Nio Cu Ong, yang jeri kepada cambuknya si wanita lihay itu.
Kanglam Liok Koay sekarang berkelahi dengan mengumpulkan diri, belakang dengan belakang, dengan begitu mereka dapat melayani See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Hauw Thong Hay dan Auwyang Kongcu berempat. Thong Hay ditinggalkan Oey Yong, ia lantas membantui kawannya itu. Inilah cara berkelahi yang Liok Koay baru pahamkan dan melatih selama mereka berdiam di gurun pasir. Dengan begitu, mereka tidak usah repot-repot menjagai punggung mereka. Meski begini, mereka keteter juga.
Han Po Kie terluka pundaknya, ia berkelahi terus. ia takut keluar dari kalangan, khawatir nanti benteng perlawanannya itu menjadi dobol. Ia berkelahi sambil menggertak gigi, sebab Pheng Lian Houw yang lihay sudah cecar padanya.
Kwee ceng lihat gurunya yang nomor tiga itu terancam bahaya, melupakan segala apa, ia lari menghampirkan, terus ia serang bebokongnya Pheng Lian Houw dengan jurusnya, "Membuka mega untuk menolak rembulan."
"Hm!" Pheng Lian Houw mengasih dengar suara si hidung. Ia berkelit, lantas ia memutar tubuh untuk membalas menyerang.
Justru itu terlihat muncul dari gombolan pohon bunga, sambil berlari-lari mendatangi, dia berseru: "Semua suhu, ayahku ada urusan penting untuk mana ia minta bantuan kamu! Lekas!"
Orang itu mengenakan kopiah emas, kopiahnya miring. Ialah siauw-ongya Wanyen Kang, si pangeran muda.
Pheng Lian Houw semua menjadi bingung. Masing-masing mereka lantas berpikir: "Ongya adalah yang mengundang kami semua, sekarang dia ada punya urusan penting, cara bagaimana aku tidak pergi membantu dia?" Karena ini, mereka lantas lompat mundur, keluar dari gelanggang.
"Ibuku telah dibawa buron penjahat," Wanyen Kang beritahu dengan perlahan. "Ayah minta semua suhu membantu mencari, untuk menolongi. Tidak nanti kami berani melupakan budi suhu semua!"
Pangeran ini datang secara kesusu, malampun gelap, ia tidak dapat melihat Bwee Tiauw Hong, yang numprah di tanah.
"Onghui telah orang bawa lari, inilah hebat!" pikir Lian Houw semua. "Kalau begitu, apa perlunya kami berdiam di dalam istana?" Mereka juga menduga: "Pasti Liok Koay ini lagi menjalankan siasat memancing harimau turun dari gunung, untuk melibat kami semua. Dilain pihak, kawannya pergi menculik onghui!" Karena ini tanpa sangsi lagi, mereka lari mengikuti Wanyen Kang, mereka meninggalkan musuh-musuh mereka.
Nio Cu Ong berlari paling belakang, ia pergi dengan perasaan sangat tidak puas. Ia ingat Kwee Ceng darah siapa ia belum sempat hisap. Justru itu, Kwee Ceng teriakin dia: "Eh, kau pulangi obatku!" Dalam sengitnya, ia menimpuk dengan senjata rahasianya, yaitu paku Cu-ngo Touw-kut-teng.
Cu Cong lompat maju, dengan kipasnya ia sampok paku itu, sesudah jatuh ia pungut, terus dibawa ke hidungnya, untuk dicium. "Oh, paku beracun Cu-ngo Touw-kut-teng! Inilah paku yang asal menemui darah lantas menutup tenggorokan orang hingga orang mati seketika!"
Nio Cu Ong tercengang mengetahui orang kenal pakunya itu.
"Apa?" dia menanya seraya ia merandak, tubuhnya pun diputar.
Cu Cong lari menghampirkan, dengan tangan kirinya ia angsurkan paku itu. "Ini, aku kembalikan pada kau, tuan!" katanya sembari tertawa.
Cu Ong pun ulur tangannya untuk menyambuti. Ia tidak jeri karena ia tahu orang kalah daripadanya.
Cu Cong dapat lihat ujung baju orang penuh rumput dan debu, ia gunai tangan bajunya untuk menyapu itu.
"Siapa kesudian kau mengambil hatiku?!" Cu Ong membentak, terus ia putar tubuhnya untuk berlalu.
Kwee Ceng menjadi masgul sekali. "Dengan begitu saja kita pulang..." katanya menyesal. Satu malaman ia menumpuh bahaya, kesudahannya obat tak didapatkan juga. Untuk menggunai kekerasan, harapannya tidak ada.
"Mari kita pulang!" mengajak Tin Ok selagi muridnya ragu-ragu. Ia pun mendahului lompat ke tembok, maka lima saudaranya lantas menyusul.
"Bagaimana dia, toako?" Han Siauw Eng tanya sambil ia menunjuk Tiauw Hong.
"Kita telah memberikan janji kepada Ma Totiang, biar kita mengasih ampun padanya," sahut kakak tertua itu.
Oey Yong tertawa haha-hihi, ia tidak memberi hormat kepada Liok Koay. Ketika ia pun lompat ke tembok, ia naik ke ujung lainnya.
"Adik kecil, mana suhu?" Tiauw Hong tanya nona itu.
"Ayahku?" balik tanya Oey Yong masih tertawa. "Tentu sekali ayah berada di pulau Thoa Hoa To! Tidak pernah ayah meninggalkan rumah! Ada apa kau menanyakannya?"
Tiauw Hong menjadi sangat gusar, hingga napasnya memburu. Ia tahu ia tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah berhenti sejenak, ia kata pula: "Kau toh yang membilangnya kalau suhu datang ke mari!"
Oey Yong tertawa pula. "Tanpa aku dustakan kau, mana kau mau lepaskan dia?" Dengan "dia" ia maksudkan Kwee Ceng.
Tiauw Hong murka bukan kepalang, dengan kedua tangannya ia menekan tanah, lantas saja ia bangkit berdiri, lalu dengan tindakan terhuyung-huyung, ia menubruk kepada si nona. Ia telah keliru menyakinkannya ilmu silat dalam, akibatnya kedua kakinya mati, dan makin ia memaksakan diri, makin pendek napasnya. Tapi kali ini, ia lupa segalanya.
Oey Yong terkejut, lekas ia lompat turun ke lain sebelah, untuk lari menghilang.
Tiba-tiba Tiauw Hong sadar. "Eh, mengapa aku bisa jalan?" tanyanya pada diri sendiri. Justru ia sadar, habis ia menanya, mendadak ia roboh pula, kedua kakinya lemas dan kaku. Ia pun pingsan.
Gampang sekali kalau Liok Koay hendak merampas jiwa orang akan tetapi untuk menepati janji kepada Ma Giok, mereka tidak mau turun tangan, maka itu mereka berlalu dengan terus. Mereka ajak Kwee Ceng bersama.
"Eh, anak Ceng, kenapa kau berada disini?" kemudian Han Siauw Eng menanya.
Kwee Ceng menjawab guru ini dengan tuturkan semua pengalamannya, sampai ia berikhtiar untuk menolongi Ong Cie It.
"Kalau begitu, mari kita tolongi Ong Totiang!" Cu Cong mengajak.
 Â
Bab 23. Bisa Lawan Bisa
Yo Tiat Sim girang bukan main dapat menemukan istrinya, malah ia dapat menolongi juga, dari itu ia pondong erat-erat istrinya itu ketika ia lari keluar dengan melompati tembok istana.
Di bawah tembok, Liam Cu menantikan ayahnya dengan pikiran tegang. Ia tidak sabaran dan cemas juga. Ia heran ketika ia lihat ayahnya kembali dengan memondong seorang wanita.
"Ayah, siapa ini?" ia lantas tanya.
"Inilah ibumu!" sahut ayah itu. "Mari lekas kita menyingkir!"
Liam Cu kaget dan heran. "Ibuku?" ia menegasi.
"Perlahan!" Tiat Sim mengasih ingat. "Sebentar kita bicara." Ia sudah lantas lari.
Kira-kira serintasan, Pauw Sek Yok tersadar. Ketika itu fajar sudah menyingsing, di antara cahaya pagi remang-remang, ia lihat orang yang memondongnya, ialah suami yang ia buat pikiran siang dan malam. Ia heran hingga ia menyangka ia sedang bermimpi. Ia ulur tangannya, akan meraba muka suaminya.
"Toako, apakah aku juga sudah mati?" ia tanya. Ia percaya suaminya itu sudah meninggal dunia.
Tiat Sim girang hingga ia mengucurkan air mata. "Kita tidak kurang suatu apa...." sahutnya halus. Ia berhenti dengan tiba-tiba sebab kupingnya segera dengar suara berisik berupa teriakan-teriakan dan melihat cahaya terang dari banyak obor. Satu barisan serdadu sedang lari mendatangi. Ia dengar nyata: "Jangan kasih lolos penjahat yang menculik onghui!"
Tiat Sim menjadi kecil hatinya. Ia melihat kesekelilingnya, ia tidak dapatkan tempat untuk menyembunyikan diri. Di dalam hatinya ia kata: Thian mengasihani aku hingga hari ini aku dapat bertemu sama istriku kembali, kalau sekarang akan terbinasa, tak usah aku menyesal...!" Lantas ia kata pada anaknya: "Liam Cu, anakku, kau peluklah ibumu...!"
Sejenak itu terbayanglah di matanya Pauw Sek Yok pengalamannya delapan belas tahun yang lampau, pada peristiwa di dusun Gu-kee-cun di kota Lim-an, di kampung halamannya itu. Ia dipondong oleh suaminya dan dibawa lari sekuat-kuatnya, di dalam gelap petang mereka dikejar tentara. Delapanbelas tahun lamanya mereka telah berpisah, ia berduka dan terhina saking terpaksa, atau sekarang, baru saja ia bertemu kembali dengan suaminya, peristiwa dahulu bakal terulang pula. Maka ia rangkul leher suaminya, tidak mau ia melepaskannya.
Menampak tentara pengejar datang semakin dekat, Yo Tiat Sim menjadi nekat. Daripada terhina ia rela terbinasa dalam pertempuran. Dari itu ia paksa melepaskan rangkulan istrinya itu yang ia serahkan kepada anak gadisnya. Ia lantas lari memapaki tentara pengejarnya. Dalam dua tiga gebrak saja, ia telah dapat merampas sebatang tobak. Senjata ini membangunkan semangatnya, ia bagaikan harimau tumbuh sayap.
Opsir yang memimpin pasukan itu bernama Thung Couw Tek, dia kena ditusuk pahanya hingga ia terjungkal dari kudanya, atas mana tentaranya lantas kabur serabutan. Tanpa pemimpinnya, mereka ketakutan.
Lega juga hatinya Tiat Sim yang mengetahui pasukan itu tidak dipimpin oleh opsir yang kosen, ia pun menyesal yang ia tidak sempat merampas kuda musuh. Tidak ayal lagi, ia ajak istri dan anaknya lari terus.
Setelah terang tanah, Pauw Sek Yok dapatkan suaminya berdarah di sana sini. Ia menjadi kaget sekali. "Kau terluka?" ia tanya.
Di tanya begitu, tiba-tiba saja Tiat Sim merasakan sakit pada belakang telapakan tangannya. baru sekarang ia ingat tadi ia telah disambar sepuluh jari tangannya Wanyen Kang, hingga tangannya itu mengeluarkan darah, karena repot melarikan diri, ia tidak rasai itu, ia lupa pada sakitnya. Sekarang ia pun merasakan kedua lengannya sakit dan sukar digeraki.
Pauw Sek Yok lantas balut tangan suaminya itu.
Hampir itu waktu kembali terdengar suara sangat berisik, lalu terlihat debu mengepul baik dan mengulak. Itulah tandanya satu pasukan besar lagi mendatangi.
"Sudahlah, tak usah dibalut....!" kata Tiat Sim sambil menyeringai. Ia lantas menoleh kepada gadisnya dan kata: Anak, kau menyingkirlah seorang diri! Ibumu dan aku akan berdiam disini..."
Liam Cu tidak menangis, hatinya tegang sekali. Ia menginsyafi bahaya, tapi ia menjadi tenang. Ia angkat kepalanya. "Biarlah kita bertiga mati bersama!" katanya gagah.
Sek Yok heran, ia mengawasi nona itu. "Dia...dia mengapa adalah anak kita?" dia tanya.
Tiat Sim hendak menjawab istrinya tetapi ia dapatkan tentara itu sudah semakin mendekat, justru itu, dilain jurusan ia melihat datangnya dua imam yang satu berkumis dan rambutnya ubanan, wajahnya sangat berwales asih, yang lain kumisnya abu-abu, sikapnya gagah, dibelakangnya tergendol sebatang pedang. Melihat mereka itu, Yo Tiat Sim tercengang, lantas ia sadar. Dalam kegirangan sangat, ia berseru menyapa salah satu imam itu: "Khu Totiang, hari ini kembali aku bertemu denganmu!"
Imam itu memang Tiang Cun Cu Khu Cie Kee serta saudara seperguruannya, Tan Yang Cu Ma Giok. Mereka hendak menempati janji dengan Giok Yang Cu Ong Cie It, akan bertemu di kota raja, guna membicarakan urusan pibu dengan pihak Kanglam Liok Koay. Berdua mereka datang dengan terburu-buru, di luar dugaan, di sini mereka bertemu dengan Yo Tiat Sim suami-istri. Khu Cie Kee telah sempurna Iweekangnya, maka sekalipun telah bertambah delapan belas tahun umurnya, wajahnya tetapi seperti dahulu hari itu, cuma rambutnya yang berubah. Karena itu ia tidak lantas mengenal waktu ia dipanggil dan melihat Tiat Sim, hingga ia mengawasi saja.
Tiat Sim bisa menduga orang lupa padanya, ia berkata: "Apakah totiang masih ingat peristiwa delapan belas tahun yang lampau di dusun Gu-kee-cun di Lim-an, tatkala selagi kita minum arak kita menumpas musuh?"
"Jadinya tuan....!" menegaskan imam itu.
"Aku yang rendah ialah Yo Tiat Sim," Tiat Sim berkata cepat. "Semoga totiang tidak kurang suatu apa."
Habis berkata, orang she Yo itu lantas menjatuhkan diri berlutut di depan orang suci itu.
Tiang Cun Cu lekas membalas hormat, tetapi ia tetap ragu-ragu. Setelah hampir duapuluh tahun, disebabkan penderitaannya, Tiat Sim berubah roman dan suaranya juga.
Orang she Yo ini bisa mengerti kesangsiannya si imam. Di lain pihak hatinya tegang melihat tentara pengejar telah mendatangi semakin dekat. Mendadak saja ia geraki tombaknya dan menikam imam itu dengan tipu tombaknya. Ia pun berseru: "Khu Totiang, kau telah melupakan aku tetapi kau tentu tidak dapat melupakan ini ilmu tombak dari keluarga Yo!"
Tiang Cun Cu terkejut tetapi ia mundur. Ia lantas mengenali ilmu tombaknya Keluarga Yo itu, maka sekarang ia ingat betul peristiwa delapanbelas tahun dulu ketika ia mencoba ilmu silat orang. Ia menjadi girang bercampur terharu dapat bertemu sama kenalan lama ini. "Oh, Yo Laotee!" katanya. "Kau masih hidup....!"
Tiat Sim tarik pulang tombaknya. Ia tidak sahuti imam itu, hanya lantas ia kata: "Totiang, tolongilah aku!"
Imam itu bisa mengerti keadaan orang. Ia menoleh ke arah tentara pengajar. Lantas ia tertawa. "Suheng, hari ini kembali aku mesti membuka pantangan membunuh!" katanya, kepada saudara seperguruannya. "Aku harap kau tidak gusari aku!"
Ma Giok mengerti, ia menjawab: "Kurangilah pembunuhan! Gertak saja mereka itu!"
Khu Cie Kee tertawa nyaring dan lama, lantas ia maju ke arah tentara itu, yang sudah lantas sampai, malah mendapatkan dia menghalang-halangi, mereka itu terus menerjang dengan bengis. Dengan hanya mementang kedua tangannya, ia lantas menarik roboh dua serdadu berkuda itu, tubuh siapa terus ia timpuki ke serdadu yang lainnya yang lagi mendatangi. Maka lagi dua serdadu roboh pingsan.
Luar biasa sebatnya imam ini, dengan cara itu ia robohkan lagi delapan serdadu, delapan-delapannya ia timpuki bergantian kepada kawan mereka, maka lagi-lagi ada delapan serdadu yang terguling. Kejadian ini membikin kaget serdadu-serdadu yang lainnya, mereka lantas putar kuda mereka, untuk lari balik.
Belum lagi semua serdadu kabur, di antara mereka muncul seorang yang tubuhnya besar dan kekar, yang kepalanya licin mengkilap. Dia membentak: "Darimana datangnya si bulu campur aduk ini!" Lantas tubuhnya mencelat ke depan Tiang Cun Cu, yang terus ia serang.
Kata-kata "bulu campur aduk" itu adalah hinaan untuk suatu imam. Tiang Cun Cu tidak menghiraukan itu, hanya melihat orang demikian lincah, ia hendak menguji tangan orang. Ia tangkis serangan itu.
Kedua tangan beradu dengan keras dan bersuara nyaring, habis itu keduanya mundur sendirinya masing-masing tiga tindak.
Khu Cie Kee heran hingga ia kata di dalam hatinya: "Kenapa di sini ada orang begini lihay?"
Selagi si imam ini terheran-heran, adalah Kwie-bun Liong Ong - demikian si lanang itu - merasakan tangannya sakit, hingga ia kaget berabreng mendongkol, maka sekali ia maju menyerang.
Kali ini Khu Tiang Cun tidak berani bergerak sembarangan, dengan sabar ia melayani, sesudah belasan jurus, tangannya menyampok kepala orang hingga di kepalanya See Thong Thian bertapak lima jari berwarna merah.
Orang she See ini insyaf, dengan tangan kosong ia tidak bisa berbuat apa-apa, lantas ia meraba pada pinggangnya di mana ia selipkan genggamannya yang berupa pengayuh besi yang berat, dengan itu ia menyerang pula, menghajar pundak si imam dengan jurusnya "Souw Cin menggendol pedang".
Khu Cie Kee tetap bertangan kosong, setelah berkelit, ia membalas menyerang. Ia bersedia melayani musuh yang bersenjata itu. Adalah masksudnya, untuk merampas senjata lawan. Tetapi See Thong Thian telah punyakan latihan beberapa puluh tahun, tak gampang senjatanya itu dapat dirampas. Sebaliknya, dia bergerak dengan gesit sekali.
Tiang Cun Cu heran juga atas kegagahan orang, hingga ia ingin tanya she dan namanya lawan ini. Hanya, belum sampai ia membuka mulutnya, dari belakang ia dengar ini pertanyaan yang nyaring sekali: "Kau ada totiang mana dari Coan Cin Kauw?" Ia lantas berlompat, untuk menoleh, hingga ia melihat empat orang berdiri berendeng.
Itulah Nio Cu Ong bersama Pheng Lian Houw, Auwyang Kongcu dan Hauw Thong Hay yang telah lantas dapat menyusul See Thong Thian.
Khu Cie Kee lantas mengangguk kepada mereka itu seraya memberikan penyahutannya: "Pinto she Khu. Pinto mohon tanya nama mulia dari tuan-tuan."
Nama Tiang Cun Cu kesohor sekali di Selatan dan Utara, maka itu Pheng Lian Houw berempat saling mengawasi, hati mereka berkata: "Pantaslah dia bernama besar, dia memang gagah." Pheng Lian Houw sendiri berpikir lebih jauh: "Kita sudah melukakan Ong Cie It, itu artinya ganjalan dengan Coan Cin Kauw, sekarang kita bertemu sama Khu Cie Kee, baiklah ia sekalian dibunuh saja! Ini adalah ketika yang paling baik untuk mengangkat nama kita!" Karena berpikir begini, la lantas berseru: "Mari maju berbareng!" Ia pun lantas mengeluarkan sepasang poan-koan-pitnya, dengan apa ia terus terjang imam itu. Ia menerjang sambil berlompat. Ia tahu lawan lihay, maka itu lantas ia menotok kepada kedua jalan darah kin-jie dan pek-hay-hiat.
Khu Cie Kee tidak heran yang orang sudah lantas menerjang kepadanya, ia cuma berpikir, "Si kate ini galak sekali! Dia pun agaknya lihay!" Ia lantas menghunus pedangnya, tetapi ia berkelit dari serangan orang, sebaliknya, ia menikam ke pinggangnya See Thong Thian. Ketika ia telah menarik pulang pedangnya itu, ia meneruskan menikam jalan darah ciang-bun-hiat di iganya Hauw Thong Hay.
Jadi dengan sekali bergerak, imam ini telah melayani tiga lawan. Inilah cara berkelahi yang langka.
Hampir saja Hauw Thong Hay terkena pedang, syukur ia keburu berkelit, tetapi ia kena disusuli, kempolannya kena didupak si imam.
Pheng Lian Houw dan See Thong Thian lantas menyerang, Nio Cu Ong menyusul untuk mengepung. Orang she Nio ini terperanjat untuk kesebatannya si imam.
Auwyang Kongcu melihat bagaimana si imam ini dilibat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw dan bagaimana Nio Cu Ong merangsak dari kirinya, ia pun lantas menggunai ketika untuk mengeroyok. Dengan tangan kiri hanya mengancam, ia menotok dengan kipasnya di tangan kanan, mengarah tiga jalan darah hong-bwee, ceng-cok dan pwee-sim di punggung si imam.
Kelihatannya Khu Cie Kee sudah sangat terdesak, ketiga jalan darahnya itu bakal menjadi sasaran kipas yang istimewa itu, atau mendadak satu bayangan berkelebat si samping si kongcu, lalu kipasnya dia ini kena ditahan.
Itulah Ma Giok yang membantu saudaranya. Imam ini heran mendapatkan munculnya begitu banyak orang pandai, yang terus menggeroyok saudaranya, sedangkan ia tidak mengerti, Auwyang Kongcu pun menyerang secara membokong itu, maka terpaksa ia lompat maju untuk menghalangi.
Auwyang Kongcu lihat berkelebatnya satu bayangan, sambil menarik pulang kipasnya, yang hendak dirampas, ia memandang bayangan itu, ialah seoarng imam berusia lanjut, ubanan rambut dan kumisnya. Ia lantas menduga kepada anggota Coan Cin Kauw yang tertua. Ia pun lompat ke belakang.
"Tuan-tuan siap?" tanya Ma Giok. "Kita tidak kenal satu dengan lain, ada salah paham apakah di antara kita? Aku minta sukalah tuan-tuan menjelaskannya."
Imam ini berbicara dengan sabar sekali, suaranya halus, tidak keras dan mengagetkan seperti suaranya Pheng lian Houw, tetapi pada itu ada nada yang mengandung pengaruh, hingga dengan sendirinya orang-orang yang lagi bertempur itu pada lompat mundur, akan terus mengawasi orang suci ini.
"Apakah she totiang yang mulia?" Auwyang Kongcu bertanya.
"Pinto berasal dari keluarga Ma," Ma Giok menyahut, tetap sabar.
"Oh, kiranya Tan Yang Cinjin Ma Totiang!" berkata Pheng Lian Houw, suaranya tetap keras. "Maaf, maaf!"
"Pengetahuan pinto tentang agamaku masih terlalu sedikit, sebutan Cinjin itu tidak berani pinto terima," menolak Ma Giok.
Pheng Lian Houw mencoba bersikap halus, tetapi di dalam hatinya, ia berpikir: "Kita telah bentrok dengan pihak Coan Cin Kauw, di belakang hari pastilah sukar untuk menyelesaikan masalah ini, sekarang dua anggota utama dari mereka berada disini, baiklah kita berlima mengepung mereka itu untuk membinasakannya. Perkara di belakang ada soal lain. Hanya, apakah di sini masih ada lain-lain saudaranya....?" Ia lantas melihat ke sekitarnya. Di situ cuma tertampak Yo Tiat Sim sekeluarga bertiga jiwa. Maka ia lantas berkata: "Nama Coan Cin Kauw sangat kesohor, kami sangat mengaguminya. Mana lagi lima saudara totiang? Silahkan minta mereka itu sudi menemui kami." Itulah kata-kata pancingan.
"Nama kami kosong belaka, cuma untuk ditertawakan tuan-tuan," menyahut Ma Giok. "Kami bertujuh sudara tinggal di beberapa propinsi, ada sukar untuk kami datang berkumpul. Kali ini kami datang ke Tiong-touw untuk mencari Ong Sutee, baru saja kami mendapat tahu alamatnya, justru kami hendak menjenguk dia, di sini kebetulan kita bertemu sama tuan-tuan. Ilmu silat di kolong langit ini banyak perbedaannya tetapi asal mulanya adalah satu, maka itu bagaimana pula jikalau kita mengikat persahabatan?"
Imam ini jujur, ia tidak menduga bahwa orang lagi memancing padanya.
Pheng Lian Houw girang sekali. Orang cuma berdua dan mereka belum sempat menemui Ong Cie It. Maka boleh ia mengeroyok. Tapi ia masih tertawa, ia berkata: "Totiang berdua tidak mencela kami, itulah bagus sekali. Aku she Sam dan namaku Hek Miauw."
Ma Giok dan Khu Cie Kee heran, mereka pikirkan siapa Sam Hek Miauw ini, yang namanya aneh. Nama itu berarti Tiga Kucing Hitam. Sama sekali mereka belum pernah mendengarnya. Orang toh lihay....
Pheng Lian Houw selipkan senjatanya di pinggangnya, ia menghampirkan Ma Giok.
"Ma Totiang, aku merasa beruntung dengan pertemuan kita ini," katanya seraya mengangsurkan tangannya, untuk berjabat tangan, tapi telapakan tangannya dibalik ke bawah.
Ma Giok menyangka orang bermaksud baik, ia pun mengulurkan tangannya, buat menyambuti. Ia merasa orang memegang keras sekali, ia berpikir; "Kau hendak uji tenagaku, baiklah!" Ia tersenyum, sembari tenaganya dikerahkan. Tiba-tiba ia merasakan lima jari tangannya sakit, seperti tertusuk jarum. Saking kaget, ia lantas menarik pulang tangannya itu. Â
Pheng Lian Houw tertawa tetapi ia mencelat mundur setombak lebih.
Ma Giok melihat telapakan tangannya, lima jarinya berlobang kecil masing-masing dan bergaris hitam.
Ketika tadi Pheng Lian Houw menyelipkan senjatanya, berbareng ia menarik keluar senjata rahasianya, yaitu ban Tok-hoan-taya, yang tipis seperti benang tetapi disitu ada lima batang jarumnya, jarum yang telah dipakaikan racun yang keras sekali, siapa terluka hingga di dagingnya, dalam tempo enam jam dia bakal terbinasa. Ia sengaja memakai nama Sam Hek Miauw, untuk membuat Ma Giok memikirkan, selagi orang tidak bercuriga, ia gunai jarum jahatnya itu. Ketika Ma Giok insyaf ia telah dicurangi dan hendak ia menyerang, si licik sudah lompat mundur.
Khu Cie Kee heran melihat saudaranya berjabat tangan tapi sudah lantas menyerang. "Kenapa?" tanyanya.
"Jahanam licik, dia telah melukai aku dengan racun!" menyahut Ma Giok, yang berlompat maju, untuk menyerang pula.
Khu Cie Kee kenal baik kakak seperguruannya ini, yang sangat sabar, yang untuk beberapa puluh tahun tidak pernah berkelahi, sedang sekarang ia menyerang dengan "Sam Hoa Cie Teng Ciang-hoat", ialah ilmu pukulan paling lihay dari kaumnya, ia mengerti sebabnya kegusaran itu. Maka ia pun menggeraki pedangnya, ia lompat maju ke depan Pheng Lian Houw, untuk menerjang.
Pheng Lian Houw sempat mencabut poan-koan-pitnya, dengan itu ia menangkis, beruntun dua tikaman, terus ia membalas satu kali. Ia tidak tahu, tangan kirinya Tiang Cun Cu lihay seperti tangan kanannya ang memegang pedang. Imam ini menyambuti poan-koan-pit, yang ia sambar ujungnya, terus ia menggentak ke samping seraya berseru: "Lepas!"
Pheng Lian Houw pun ada seorang jago, senjatanya tidak terlepas, ia lawan keras dengan keras, waktu ia mengerahkan tenaga dan menarik, hebat kesudahannya, ialah poan-koan-pitnya itu terputus menjadi dua potong!
"Bagus!" Khu Cie Kee memuji, tetapi ia terus menyerang pula dengan dua-dua tangannya.
Pheng Lian Houw segera main mundur, karena ia merasakan tangan kanannya kesemutan, hingga hatinya menjadi gentar.
Di lain pihak, See Thong Thia dan Nio Cu Ong maju memegat Ma Giok, sedang Auwyang Kongcu dan Hauw Thian Hay segera membantui Pheng Lian Houw.
Khu Cie Kee heran kenapa mendadak berkumpul orang-orang tangguh ini. Ia ingat, semenjak menempur Kanglam Cit Koay, sudah delapan tahun belum pernah ia menemui tandingan. Karena ini, ia bersilat dengan sungguh-sungguh.
Dikepung bertiga, Khu Cie Kee tidak jatuh di bawah angin, tidak demikian dengan kakak seperguruannya. Tangan Ma Giok menjadi bengkak dan hitam, rasanya kaku dan gatal. Itulah tanda bekerjanya racun dahsyat. Inilah tidak disangka imam itu, yang menduga kepada racun biasa. Makin ia bergerak, jalan darahnya makin cepat. Karena menginsyafi bahaya, segera ia menjatuhkan diri untuk duduk bersemadhi, guna mencegah ransakan racun, sedang dengan tangan kirinya melindungi diri.
Nio Cu Ong menyerang terus dengan senjatanya yang merupakan gunting panjang dan See Thong Thian dengan pengagayuh besinya. Maka itu, selang beberapa puluh jurus, Ma Giok terancam bahaya. Ia mesti melawan musuh di luar dan di dalam tubuhnya.
Khu Cie Kee heran melihat kelakuan kakaknya itu, yang seperti dari embun-embuannya terlihat mengepul hawa seperti uap. Hendak ia menolongi tetapi ia tidak sanggup, ketiga musuhnya mendesak keras padanya. Benar Hauw Thong Hay rada lemah tetapi Auwyang Kongcu lebih gagah daripada Pheng Lian Houw. Karena hatinya berkhawatir, ia kena terdesak.
Yo Tiat Sim tahu ilmu silatnya tidak berarti, akan tetapi melihat kedua imam itu terancam bahaya, ia maju menyerang Auwyang Kongcu, yang ia arah punggungnya.
"Saudara Yo, jangan maju!" mencegah Khu Cie Kee. "Percuma kau mengantarkan jiwa...."
Belum habis ucapan imam ini, Auwyang Kongcu sudah menendang patah tombak orang dengan kaki kirinya dan kaki kanannya mendupak roboh orang she Yo itu.
Adalah di itu waktu, dari kejauhan terdengar lari mendatanginya beberapa ekor kuda akan kemudian ternyata, yang datang itu adalah Wanyen Lieh bersama Wanyen Kang.
Wanyen Lieh melihat istrinya duduk di tengah, ia girang, segera ia menghampirkan. Justru itu sebatang golok menyambar kepadanya. Syukur ia keburu berkelit. Ia segera mendapatkan, penyerangnya itu satu nona dengan baju merah, yang goloknya lihat. Nona itu segera dikepung pengikut-pengikutnya.
Wanyen Kang heran menampak gurunya dikepung, ia lantas berteriak: "Semua berhenti! Tuan-tuan berhenti!"
Pangeran ini mesti berteriak beberapa kali, barulah Pheng Lian Houw semua berlompat mundur.
Wanyen Kang segera menghampirkan gurunya, untuk memberi hormat.
"Suhu, mari teecu mengajar kenal," katanya kemudian. "Inilah beberapa cianpwee Rimba Persilatan yang diundang ayahku."
"Hm!" bersuara imam itu, yang segera menghampirkan kakaknya, yang pun sudah tidak berkelahi lagi. Ia terkejut akan melihat tangan kanan kakaknya itu menjadi hitam terus sampai di lengan.
"Ha, racun begini lihay!" serunya. Lantas ia berpaling kepada Pheng Lian Houw, akan perdengarkan suaranya yang keren: "Keluarkan obat pemunahnya!"
Pheng Lian Houw bersangsi, ia melihat orang segera sampai pada ajalnya.
Ma Giok sendiri mengempos terus semangatnya, ia berhasil mencegah menjalarnya racun itu, yang perlahan-lahan mulai turun.
Wanyen Kang lari kepada ibunya, ia berkata: "Ma, akhirnya kita dapat cari kau!"
Tapi pauw Sek Yok berkata dengan keras: "Untuk menghendaki aku kembali ke istana, tidak dapat!"
Wanyen Kang dan Wanyen Lieh menjadi heran. "Apa?!" kata mereka.
Pauw Sek Yok menunjuk kepada Yo Tiat Sim, ia kata nyaring: "Suamiku masih belum mati, meski ia pergi ke ujung langit dan pangkal laut, akan aku ikuti dia!"
Wanyen Lieh heran tetapi ia dapat segera menoleh kepada Nio Cu Ong. Ia mengasih tanda dengan tekukan mulutnya.
Nio Cu Ong mengerti, sekejap saja ia telah menyerang Yo Tiat Sim dengan tiga batang pakunya.
Khu Cie Kee yang waspada dapat melihat serangan orang she Yo itu, ia menjadi kaget. Ia tidak mempunyai senjata rahasia untuk mencegah paku itu. Tiat Sim tentu tak dapat berkelit. Tapi ia tidak putus asa. Ia menyambar satu serdadu di dekatnya, tubuh orang itu ia lemparkan ke arah antara paku dan Tiat Sim.
Segera terdengar jeritannya serdadu yang menjadi korban ketiga batang paku itu.
Melihat itu Nio Cu Ong menjadi gusar, ia lompat kepada si imam untuk menerjang.
Pheng Lian Houw dapat melihat suasana. Ia memangnya tidak sudi menyerahkan obat pemunahnya. Tidak ayal lagi ia berlompat kepada pauw Sek Yok, untuk menangkap onghui yang dicari Wanyen Lieh itu.
Khu Cie Kee melihat sepak terjang orang itu, ia pun lompat menyerang, mulanya menikam Nio Cu Ong, lalu membabat si orang she Pheng itu. Mereka ini berdua terpaksa lompat mundur.
Khu Cie Kee segera menghadapi Wanyen Kang, yang ia bentak: "Anak tidak tahu apa-apa, kau mengaku penjahat sebagai ayahmu selama delapan belas tahun, hari ini kau bertemu ayahmu yang sejati, kenapa kau masih tidak hendak mengenalinya?!"
Wanyen Kang memang telah mendengar keterangan ibunya, ia percaya itu delapan bagian, sekarang ia dengar perkataan gurunya ini, ia lantas menoleh kepada Yo Tiat Sim. Ia melihat seorang dengan pakaian tua dan pecah, pakaian itu kotor dengan tanah. Kemudian ia berpaling kepada Wanyen Lieh, ia tampak orang tampan dengan pakaian indah. Maka dua orang itu beda bagaikan langit dengan bumi. Ia lantas berpikir: "Mustahilkah aku meninggalkan kekayaan dan kemuliaan untuk mengikuti seorang melarat, untuk hidup merantau? Tidak, berlaksa kali tidak!" Maka ia lantas berseru, "Suhu, jangan dengari ocehan iblis ini! Suhu, tolonglah ibuku!"
Khu Cie Kee menjadi sangat mendongkol. "Kau sesat, kau tidak sadar, kau kalah dengan binatang!" Ia mendamprat.
Pheng Lian Houw melihat guru dan murid bentrok, mereka perkeras serangan mereka.
Wanyen Kang juga mendapatkan gurunya dalam bahaya tetapi ia berdiam saja.
Imam itu menjadi sangat murka. "Binatang, lihat aku!" dia membentak.
Wanyen Kang berdiam, hatinya ciut. Ia memang paling takut pada gurunya itu. Maka ia berharap-harap Pheng Lian Houw semua memperoleh kemenangan, supaya gurunya terbinasakan, dengan begitu ia akan selamat untuk selanjutnya.
Tidak lama, lengan kanan Khu Cie Kee kena ditusuk ujung gunting Nio Cu Ong, lukanya tidak hebat tetapi mengeluarkan darah.
Ma Giok melihat bahaya mengancam, ia mengeluarkan sebiji liu-seng, ia sulut itu, lalu melemparkannya, maka suatu sinar api biru lantas meluncur ke udara. Itulah pertandaan di antara kaum Coan Cin Pay.
"Imam tua itu mencari kawan!" berseru Pheng Lian Houw, lantas ia meninggalkan Khu Cie Kee untuk menyerang Ma Giok. Ia lantas dibantu See Thong Thian.
Baru mereka ini bergebrak satu kali, di jurusan Barat Laut terlihat meluncurnya satu sinar biru juga.
"Ong sutee di arah kiri sana!" berseru Khu Cie Kee girang. Ia geser pedangnya ke tangan kiri terus ia menyerang hebat, hingga ia dapat membuka jalan.
"Ke sana!" berseru Ma Giok yang menunjuk ke arah Barat Laut.
Yo Tiat Sim bersama Liam Cu, putrinya dengan melindungi Pauw Sek Yok, lari ke arah yang ditunjuk itu, di belakang mereka, Ma Giok menyusul. Imam ini sudah berlompat bangun.
Khu Cie Kee perlihatkan kepandaiannya, ia menghalangi di belakang.
See Thong Thian berniat mencekuk Pauw Sek Yok, ia berlompat ke depan, tetapi semua percobaannya sia-sia belaka, ia dirintangi kalau bukan oleh Khu Cie Kee tentu oleh Ma Giok.
Tidak lama tibalah mereka di hotel kecil di mana Ong Cie It mengambil tempat.
Khu Cie Kee heran bukan main. "Kenapa Ong Sutee masih belum menyambut?" ia berpikir. Ia baru berpikir atau ia segera melihat munculnya adik seperguruannya itu, yang jalan dibantu tongkat.
Dua-dua pihak terkejut. Mereka sama-sama tidak menyangka, dari kaum Coan Cin pay, sekarang terluka justru mereka yang paling tangguh.
"Mundur ke dalam hotel!" Khu Cie Kee lantas berseru.
"Serahkan onghui baik-baik, aku nanti ampunkan kamu semua!" Wanyen Lieh berseru.
"Siapa menghendaki pengampunan kau bangsat anjing dari negara Kim?!" mendamprat Tiang Cun Cu. Sembari membuka mulutnya, imam ini terus membikin perlawanan dengan hebat, hingga mau tidak mau, Pheng Lian Houw semua mengaguminya.
Yo Tiat Sim menyaksikan pertempuran itu, ia anggap tidak seharusnya Khu Cie Kee bertiga menjadi korbannya, maka tiba-tiba saja ia tarik tangan Sek Yok, untuk pergi keluar, sambil ia berseru: "Semua berhenti! Di sinilah ajal kami!"
Di tangannya Tiat Sim mencekal tombaknya, dengan itu ia lantas tikam ulu hatinya, maka ia terus roboh dengan berlumuran darah.
Sek Yok tidak berduka karenanya, ia juga tidak tubruk suaminya itu, sebaliknya ia tertawa menyeringai, terus ia cabut tombak itu dari tubuh suaminya, untuk gagangnya ditancap ke tanah. Ia menghadap Wanyen Kang seraya berkata: "Anak, masih kau tidak percaya ayahmu yang sejati ini?" Tapi ia tidak menanti jawaban, segera setelah perkataan itu, ia tubruki dirinya ke ujung tombak itu, maka ia pun roboh dengan mandi darah.
kejadian ini ada sangat hebat, semua orang tidak menduganya, maka juga pertempuran berhenti sendirinya.
Wanyen Kang sangat kaget, sambil menjerit: "Ibu!" ia lari untuk menolongi ibunya itu. Ia lantas menangis melihat dada ibunya tertancap tombak.
Khu Cie Kee lantas memeriksa lukanya kedua orang itu, ia putus asa.
Wanyen Kang memeluki ibunya, dan Liam Cu ayahnya. Keduanya menggerung-gerung.
"Saudara Yo," berkata Tiang Cun Cu pada Tiat Sim. "Kau hendak memesan apa? Kau bilanglah padaku, nanti aku lakukan semua itu."
Belum lagi Tiat Sim sempat menjawab, orang pada menoleh ke arah mereka, karena mereka mendengar tindakan dari banyak kaki orang. Segera mereka melihat datangnya Kanglam Liok Koay bersama Kwee Ceng.
Enam Manusia aneh itu dapat melihat See Thong Thian beramai, mereka menduga bakal terjadi pertempuran lagi, mereka lantas menyiapkan senjata mereka masing-masing. ketika mereka sudah datang dekat, mereka menjadi heran. Di sana ada dua orang terluka dan masing-masing tengah dipeluki dan yang lainnya mengawasi dengan roman tidak wajar.
Kwee Ceng kenali Yo Tiat Sim, segera ia menghampirkan. "Paman Yo, kau kenapa?" tanyanya.
Napasnya Tiat Sim sudah lemah, ia kenali anak muda itu, ia tersenyum. "Dahulu hari ayahmu dan aku telah berjanji, kalau kami mendapat anak lelaki dan perempuan, kami akan berbesan, tetapi juga anak pungutku ini ada seperti anakku sendiri...." Ia menoleh kepada Khu Cie Kee, akan meneruskan; "Totiang, tolong kau rekoki perjodohan ini, aku mati pun akan meram."
"Tenangkan hatimu, saudara Yo," menyahut si imam ini.
Pauw Sek Yok rebah di samping suaminya, tangan kirinya mencekal erat tangan suaminya itu, agaknya ia takut sekali suaminya nanti pergi. Ia seperti sudah tidak ingat apa-apa akan tetapi samar-samar ia masih dapat dengar pesan suaminya. Tiba-tiba ia angkat tangannya, untuk merogoh sakunya, darimana ia keluarkan sebilah pisau belati: "Ini buktinya...." katanya, lalu ia tersenyum dan berhenti jalan napasnya.
Khu Cie Kee menyambuti pisau itu. Ia kenali pisau yang dulu hari ia berikan di Gu-kee-cun, Lim-an. Pada pisau terukir terang dua huruf "Kwee Ceng"
Yo Tiat Sim pun kata pada anak muda itu: "Masih ada sebilah lagi, ialah ditangan ibumu. Dengan mengingat ayahmu, aku minta baik-baiklah kau perlakukan anakku ini."
"Aku nanti urus semua, tenangi dirimu," janji pula Khu Cie Kee.
Yo Tiat Sim benar-benar merapatkan kedua matanya dengan tentram.
Kwee Ceng berduka sekali berbareng pusing kepala. "Yong-jie begitu baik terhadapku, mana bisa aku menikah dengan orang lain?" katanya dalam hatinya. Lalu ia menjadi kaget, ia berpikir pula: "Kenapa aku melupai putri Gochin? Khan Agung telah jodohkan putrinya itu kepadaku! Ini......ini....bagaimana....?"
Selama hari-hari belakangan ini, Kwee Ceng sering ingat tuli tetapi tidak sedikitpun putri Gochin.
Cu Cong beramai berdiam saja atas pesan Tiat Sim itu. Memang mereka tidak berniat menolak pesan terakhir itu tetapi mereka tidak jelas duduknya hal, mereka tidak berani berlaku lancang.
Wanyen Lieh telah mesti menghadapi kejadian hebat itu, ia berduka bukan main. Ia lantas saja memutar tubuhnya, untuk meninggalkan tempat itu. Sejak ia mengambil pauw Sek Yok menjadi istrinya, ia telah mencoba segala daya untuk merebut cintanya nyonya itu, tetapi ia tidak berhasil sepenuhnya. Selama belasan tahun, Pauw Sek Yok tidak pernah melupai Yo Tiat Sim, suaminya itu.
Menampak pangeran itu berlalu, See Thong Thian beramai segera ngeloyor pergi juga, disebabkan ragu-ragu untuk menempur pula ketiga imam dari Coan Cin Pay, sudah mereka itu cukup tangguh, sekarang di samping mereka itu ada Kanglam Liok Koay.
Khu Cie Kee dapat melihat orang hendak angkat kaki. "He, Sam Hek Miauw, tinggalkan obatmu!" ia membentak.
Pheng Lian Cu menoleh, ia tertawa lebar. "Cecu kamu she Pheng!" sahutnya. "Akulah yang kaum kangouw julukan Cian ciu Jin-touw! Kau keliru lihat, Khu Totiang?"
Gentar juga Khu Cie Kee. "Pantaslah ia lihay sekali," pikirnya. Tapi kakaknya terancam bahaya. Maka ia kata: "Tidak peduli kau seribu tangan atau selaksa tangan, obat itu kau mesti tinggalkan! Jangan harap kau bisa meloloskan diri!"
Imam ini mengejek dengan selaksa tangan, sebab julukan "Cian Ciu" dari Pheng Lian Houw berarti "seribu tangan."
Lantas Khu Cie Kee lompat menyerang.
Pheng Lian Houw mempunyai tinggal sebatang poan-koan-pit tetapi ia tidak takut, ia menyambut serangan itu, hingga mereka jadi bertempur pula.
Cu Cong melihat Ma Giok duduk bersemedhi, napasnya lagi diempos, sedang sebelah tangan orang hitam legam, ia tanya imam itu kena dapat luka.
"Dia berjabat tangan denganku, siapa tahu dia menggunai jarum beracun," menyahuti imam itu. Dengan "dia" ia maksudkan Pheng Lian Houw.
"Baiklah, itu tidak berarti!" kata Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay. Ia terus berpaling kepada kakaknya dan berkata; "Toako, mari kasihkan aku satu biji leng-jie!"
Kwa Tin Ok tidak mengerti maksud orang tetapi ia berikan barang yang diminta. Leng-jie itu ialah lengkak beracun.
Cu Cong mengawasi dua orang yang lagi bertempur itu, ia tidak ungkulan memisahkan mereka, maka itu ia kata pula kepada kakaknya; "Toako, mari kita pisahkan mereka itu, aku ada daya untuk menolong Ma totiang."
Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam tahu adiknya itu sangat cerdik, ia mengangguk.
Si Mahasiswa Tangan Lihay itu lantas saja berseru: "Kiranya di sana Cian Ciu Jin-touw Pheng Cecu! Kita ada orang sendiri, lekas berhenti berkelahi, aku hendak ada bicara!" Ia mengatakan demikian tetapi ia tarik tangan kakaknya, maka berdua berbareng mereka menyerbu kepada dua orang yang asyik bertempur itu. Yang satu memegang kipas, yang lain tongkat, dengan itu mereka memisahkan.
Dua-dua Khu Cie Kee dan Pheng Lian Houw heran mendengar perkataan orang yang membilang mereka semua adalah "orang sendiri". Mereka suka memisah diri dulu, untuk mendengar penjelasan.
Dengan tertawa manis, Cu Cong menghadapi Pheng Lian Houw. Ia kata: "Kami Kanglam Cit Koay dengan Tiang Cun Cu Khu Cie Kee telah bentrok pada delapan belas tahun yang lampau, itu waktu lima saudara kami telah terluka parah, tetapi Khu totiang pun terluka oleh kami. Urusan itu sampai sekarang masih belum dapat di...." Ia lantas menoleh kepada Khu Cie Kee, untuk menanya; "Bukankah benar begitu, totiang?"
Tiang cun Cu mendongkol sekali. Ia menduga orang hendak membuat perhitungan disaat ia menghadapi musuh berbahaya. Maka ia menjawab dengan nyaring: "Tidak salah! Habis kau mau apa?!"
"Tetapi kita pun ada punya sangkutan sama See Liong Ong," berkata Cu Cong. "Aku dengar See Liong Ong bersahabat sangat erat dengan Pheng Ceecu, karena kami mendapat salah dari See Liong Ong, kami jadi turut bersalah terhadap ceecu..."
"Haha...tidak berani aku menerima itu!" tertawa Pheng Lian Houw.
Cu Cong tertawa, ia berkata pula: "Karena Pheng Ceecu dengan Khu Totiang serta Kanglam Cit Koay ada bermusuhan, bukankah kamu kedua pihak jadi adalah orang sendiri? Maka itu, perlu apa kamu bertarung lagi? Dengan begitu, bukankan aku dengan Pheng Ceecu pun ada orang sendiri? Mari, mari kita mengikat persahabatan!"
Si Mahasiswa Tangan Lihay mengulur tangannya, untuk menarik tangannya orang she Pheng itu.
Pheng Lian Houw cerdik, ia bercuriga untuk kata-kata tidak karuan juntrungan dari Cu Cong. Bukankah Coan Cin pay telah menolongi murid Kanglam Cit Koay? Tidakkah berarti mereka berdua bersahabat? "Tidak, aku tidak dapat diakali, obatku tidak boleh diperdayakan!" Tapi melihat orang mengulurkan tangan, lekas-lekas ia selipkan senjatanya, berbareng ia keluarkan ban beracunnya.
"Saudara Cu, hati-hati!" Khu Cie Kee memberi ingat. Ia terkejut.
Cu Cong berpura-pura tidak mendengar, ia ulur terus tangannya, kelingkingnya ditekuk. Dengan begitu ia telah membangkol ban orang.
Pheng Lian Houw tidak merasakan apa-apa, ia berjabat tangan dengan si Mahasiswa.
Keduanya lantas mengerahkan tenaga masing-masing.
Mendadak Pheng Lian Houw merasakan tangannya sakit sekali, lekas-lekas ia menarik tangannya itu, untuk dilihat. Untuk kagetnya, telapakan tangannya telah berlubang tiga, darahnya yang mengalir berwarna hitam. Ia merasakan gatal, gatal-gatal enak, sakitnya lenyap. Tapi ia orang yang lihay, ia insyaf bahwa ia telah kena racun yang jahat. Makin tidak sakit, makin hebat racun itu. Ia juga merasa lukanya kaku. Ia kaget berbareng gusar, ia juga tidak mengerti kenapa ia sudah kena dicurangi. Ketika ia angkat kepalanya, ia dapatkan Cu Cong berdiri di belakangnya Khu Cie Kee, tangan kirinya mengangkat ban beracunnya yang dijepit dengan dua jari, tangan kanannya menunjuki sebuah lengkak hitam, ujung yang tajam dari buah itu penuh darah.
Kanglam Cit Koay yang nomor dua ini bergelar si Mahasiswa Tangan Lihay, maka tangannya itu benar-benar lihay sekali. Ketika ia mau berjabat tangan, dia sudah siapkan lengkaknya, tempo kedua tangan nempel satu sama lain, ia gaet ban tangan orang dan ujung lengkaknya bekerja!
Bukan main murkanya Pheng Lian Houw, ia berlompat untuk menerjang.
"Kau mau apa?!" membentak Khu Cie Kee, yang melintangi pedangnya.
Cu Cong segera berkata: "Pheng Ceecu, lengkak ini adalah lengkak kakakku, senjata rahasia yang istimewa, siapa terluka karena ini, biarnya ia pandai mengukir langit, ia tidak bakal hidup lebih daripada tiga jam!"
Pheng Lian Houw merasakan tangannya kaku, ia mau percaya keterangan itu, maka tanpa merasa, dahinya mengeluarkan keringat dingin.
"Kau mempunyai jarum beracunmu, aku mempunyai ini lengkakku yang beracun juga," berkata pula Cu Cong. "Kedua racun beda sifatnya, maka beda juga obatnya. Marilah kita bersahabat, kita saling menukar obat. Akur?"
Belum lagi Pheng Lian Houw menyahuti, See Thong Thian sudah majukan diri seraya berkata: "Bagus! Kau keluarkan obatmu!"
"Toako, berikan dia obat itu!" Cu Cong bilang pada kakaknya.
Kwa Tin Ok merogoh dua bungkusan kecil dari sakunya, Cu Cong menyambuti itu.
Khu Cie Kee segera melangkah di tengah. "Saudara Cu, jangan kena terperdayakan!" ia memberi ingat. "Mesti dia yang menyerahkan dulu obatnya!"
Cu Cong tertawa. "Perkataan satu laki-laki mesti dibuktikan dengan kepercayaan," ia kata. "Aku tidak khawatir dia tidak memberikannya."
Pheng Lian Houw merogoh sakunya. Mendadak mukanya menjadi pucat. "Celaka!" serunya perlahan sekali. "Obatku lenyap...!"
Melihat orang ayal-ayalan, Khu Cie Kee murka. "Hm, kau masih mainkan tipu iblismu!" ia membentak. "Saudara Cu, jangan berikan!"
Cu Cong tertawa, ia berkata pula: "Kau ambillah! Kita ada bangsa orang budiman, kata-kata kita ada seumpama kuda dicambuk lari, aku bilang kasih tentu mesti dikasihkan!"
See Thong Thian tahu tangan orang lihay, ia tidak berani menyambuti dengan tangan, sebagai ganti tangannya, ia lonjorkan senjata pengayuhnya.
Cu Cong meletaki obat di atas pengayuh itu dan See Thong Thian menariknya, untuk menjumput itu.
Orang heran dengan kejadian ini. Mengapa Cu Cong memberikan obatnya? Kenapa ia tidak memaksa supaya pihak sana yang memberikan obatnya terlebih dahulu?
See Thong Thian masih menyangsikan obat adalah obat yang tulen, ia kata: "Kanglam Cit Koay adalah orang-orang kenamaan, tidak dapat ia mencelakai orang dengan obat palsu!"
Cu Cong tertawa. "Tidak nanti, tidak nanti!" ia berkata seraya dengan perlahan-lahan mengasihkan lengkaknya kepada Kwa Tin Ok, kemudian dari sakunya ia keluarkan beberapa rupa barang ialah sapu tangan, kim-cie-piauw, beberapa potong perak hancur serta sebuah pie-yan-hu putih.
Pheng Lian Houw melihat semua barang itu, ia melengak. Itulah semua barang kepunyaannya. Ia heran kenapa semua itu ada di tangan lain orang. Ia tidak menyangka, selagi berjabat tangan, Cu Cong telah perlihatkan kepandaiannya.
Cu Cong buka tutupnya pie-yan-hu itu, yang di dalamnya terbagi dua. di situ ada obat bubuk masing-masing berwarna merah dan abu-abu.
"Bagaimana ini dipakainya?" ia tanya Pheng Lian Houw.
"Yang merah untuk dimakan, yang abu-abu untuk dibeboreh," sahut ceecu itu terpaksa.
Cu Cong menoleh kepada Kwee Ceng. "Lekas ambil air! Juga dua buah mangkok!" ia menyuruh.
Bocah itu lari ke dalam hotel, untuk mengambil mangkok dan air, maka sebentar kemudian ia sudah mulai merawat Ma Giok. Mangkok yang satunya ia mau kasihkan kepada Pheng Lian Houw.
"Tunggu dulu!" mencegah Cu Cong. "Kasihkan pada Ong totiang!"
Kwee Ceng melengak tetapi ia serahkan mangkok itu. Ong Cie it juga heran.
"Eh, bagaimana dipakainya dua bungkus obat kamu ini?" See Thong Thian menanya. Ia tidak sabaran.
"Tunggu sebentar, jangan kesusu!" Cu Cong bilang. "Baru satu jam tiga perempat menit, dia tidak bakal mati...." Sembari berkata, Cu Cong mengeluarkan sari sakunya belasan bungkus obat.
Melihat itu Kwee Ceng girang bukan buatan. "Itulah obatnya Ong Totiang!" ia berseru. Ia lantas menyambuti semua obat itu, ia bukai bungkusannya dan letaki di depan Ong Cie It. Ia kata: "Totiang, pilihlah sendiri mana yang kau butuhkan."
Ong Cie It mengawasi semua obat itu, ia menjumput gu-cit, dan tiga lainnya, ia terus masuki itu ke dalam mulutnya, untuk dikunyah, lalu disusuli dengan air.
Nio Cu Ong mendongkol berbareng mengagumi sang lawan. "Begini lihay si mahasiswa jorok ini," pikirnya. "Ia cuma mengebuti bajuku, obat itu sudah lantas pindah ke tangannya..."
Karena gusar, ia memutar tubuh mencabut guntingnya. "Mari, mari! Mari kita mengadu senjata!" ia menantang.
"Mengadu senjata?" Cu Cong tertawa. "Oh, sungguh-sungguh aku tidak sanggup menandinginya!"
Khu Cie Kee pun menyela, "Tuan ini adalah Ceecu Pheng Lian Houw, tetapi tuan-tuan yang lainnya belum kami kenal..."
See Thong Thian dengan suaranya yang serak, memperkenalkan kawan-kawannya.
"Bagus!" seru Tiang Cun Cu. "Di sini telah berkumpul semua orang Rimba Persilatan yang kenamaan. Sayangnya selagi kita belum memperoleh keputusan menang dan kalah, kedua belah pihak ada orang-orangnya yang terluka. Aku pikir baiklah kita menjanjikan lain hari untuk bertemu pula."
"Begitu paling baik!" Pheng Lian Houw menyahuti. "Sebelum menemui Coan Cin Cit Cu, mati pun kita tak dapat memeramkan mata! Tentang harinya, silakan Khu Totiang yang menetapkan sendiri."
Khu Cie Kee tahu lukanya Ma Giok dan Ong Cie It memerlukan rawatan beberapa bulan, sedang saudara-saudaranya yang lain terpencar kelilingan, sukar mencari mereka itu dalam waktu yang pendek, karena ia menyahut: "Baiklah setengah tahun kemudian diharian Pwee gwee Tiong Ciu, kita berkumpul sambil memandangi si Putri Malam sembari menyakinkan juga ilmu silat. Bagaimana penglihatan Pheng Ceecu?"
Pheng Lian Houw setuju dengan pilihan hari itu, pertengahan musim rontok. Ia mengetahui dengan baik, kalau Coan Cin Cit Cu kumpul semua, dengan mereka dibantu oleh Kanglam Cit Koay, jumlah mereka pun menjadi terlebih besar, karena mana pihaknya sendiri perlu mencari kawan. Selama setangah tahun, pasti ia sempat mencarinya. Kebetulan Chao Wang menghendaki mereka pergi ke Kanglam untuk mancuri surat wasiatnya Gak Hui, bolehlah mereka kedua pihak sekalian bertemu di sana. Maka itu, ia pun berkata: "Khu Totiang, sungguh pandai kau memilih hari Pwee gwee Tiong Ciu itu! Karena itu aku anggap kita pun baik sekali memilih juga tempat yang tepat! Aku memikir kepada kampung halaman dari Kanglam Cit Hiap!"
"Bagus, bagus!" menyahuti Khu Cie Kee. "Baiklah, bila tiba waktunya, kita boleh berkumpul di lauwteng Yan Ie Lauw di tengah telaga Lam Ouw di Kee-hin. Aku menganggap tidaklah suatu halangan jikalau tuan-tuan mengundang beberapa sahabatmu."
"Baiklah, begini ketetapan kita!" kata Pheng Lian Houw singkat.
"Pheng Ceecu," berkata Cu Cong setelah kepastian itu. "Dua bungkus obat di tanganmu itu, yang putih untuk dimakan, yang kuning untuk dipakai di luar."
Selama itu tangan kanan Pheng Lian Houw sudah kaku sebagian, selama berbicara dengan Khu Cie Kee, ia menahan sakit, maka itu begitu mendengar perkataannya Cu Cong, tidak berayal sedetik juga, ia lantas makan obat yang putih itu.
Kwa Tin Ok dengan suaranya yang dingin berkata," Pheng Ceecu, dalam tempo tujuh kali tujuh, empatpuluh sembilan hari kau mesti pantang minum arak! Kau pun mesti memantang paras elok! Kalau tidak nanti di harian Pwee gwee Tiong Ciu di Yan Ie Lauw kita tidak bakal kekurangan cecu satu orang, hingga karenanya pastilah lenyap kegembiraan kami!"
Pheng Lian Houw merasa bahwa ia diejek, tetapi karena orang bermaksud baik, ia tidak menunjuk kemurkaan. "Terima kasih untuk perhatianmu!" ia bilang. Ia sungkan menyebutkan kebaikan hati orang.
See Thong Thian sudah lantas menolongi kawan itu memakai obat luar, habis mana ia mempepayangnya untuk diajak berlalu.
Wanyen Kang berlutut di tanah, ia paykui empat kali kepada mayat ibunya, kemudian ia paykui beberapa kali kepada Khu Cie Kee, gurunya itu, habis itu tampa mengucap sepatah kata, ia berlalu dengan mengangkat kepala.
"Eh, Kang-jie, apakah artinya itu?!" sang guru menanya, membentak.
Wanyen Kang tidak menyahuti, ia juga tidak berjalan bersama rombongannya Pheng Lian Houw, ia hanya mengambil sebuah tikungan di pojok jalan.
Khu Cie Kee terdiam. Tetapi ia segera sadar, maka itu ia terus memberi hormat kepada Kwa Tin Ok beramai seraya berkata: "Jikalau hari ini kami tidak mendapat pertolongan Liok Hiap, pastilah kami bertiga sudah kehilangan jiwa kami. Mengenai muridku itu, yang tidak ada sekelingking murid Liok Hiap, untuk pertemuan nanti di Cui Siang Lauw di Kee-hin, disini aku menyatakan taklukku."
Kanglam Liok Koay senang mendengar perkataan si imam, dengan begitu tidak sia-sialah yang mereka telah membuat tempo delapanbelas tahun di gurun pasir. Kwa Tin Ok lantas menjawab dengan merendah.
Sampai di situ, selesai sudah pembicaraan mereka. Ma Giok dan Ong Cie It lantas dipepayang masuk ke dalam rumah penginapan. Coan Kim Hoat pergi membeli peti mati untuk merawat jenazahnya Yo Tiat Sim dan Pauw Sek Yok, suami istri.
Khu Cie Kee bersusah hati melihat Bok Liam Cu yang sangat berduka itu.
"Nona, bagaimana hidupnya ayahmu selama beberapa tahun ini?" ia menanya.
 Â
Bab 24. Pengemis Dengan Sembilan Jeriji
"Selama belasan tahun ayah telah mengajak aku merantau ke Timur dan ke Barat," menyahut si nona. "Belum pernah kami berdiam di suatu tempat lamanya sepuluh hari atau setengah bulan. Ayah membilang, dia hendak mencari satu orang.... seorang engko she Kwee....."
Perlahan sekali suara si nona, kepalanya pun tunduk. Ia likat.
Khu Cie Kee menoleh ke arah Kwee Ceng. "Bagaimana caranya ayahmu mendapatkan kau?" ia tanya si nona pula.
"Aku ada orang asal Gu-kee-cun di Lim-an," Liam Cu menyahut pula. "Sejak kecil aku telah tidak mempunyai ayah dan ibu, aku tinggal menumpang sama seorang bibiku. Bibi itu tidak perlakukan baik padaku, demikian pada suatu hari ia telah memukul aku serta tidak memberikan aku nasi untuk berdahar, selagi aku menangis di depan pintu, lewatlah ayah angkatku ini. Ia merasa kasihan padaku, ia bicara sama pamanku, lalu ia ambil aku sebagai anak pungut. Demikian aku diajak merantau, diajari ilmu silat. Untuk mencari engko she Kwee itu, aku turut ayah merantau. Aku mesti sering melakukan pertempuran, karena ayah telah mengibarkan benderanya, bendera untuk pibu guna mencari pasangan...."
"Nah, inilah soalnya," berkata Khu Cie Kee. "Baiklah kau mengerti, ayahmu itu bukan she Bok, dia she Yo. Selanjutnya kau baik memakai she Yo juga."
"Tidak, aku bukan she Yo, baik aku tetap she Bok," berkata si nona itu. Ia bersangsi.
"Kenapa? Apakah kau tidak percaya aku?" tanya si imam.
"Bukan aku tidak percaya, aku cuma ingin tetap memakai she Bok."
Melihat orang berkukuh, imam itu tidak memaksa. Bukankah orang baru saja kehilangan ayahnya dan hatinya sangat berduka? Ia tidak tahu, didalam hatinya, Liam Cu sudah menyerahkan diri kepada Wanyen Kang. Kalau Wanyen kang itu berayah she Yo, dia pun she Yo juga, maka kalau ia memakai she Yo, mana bisa mereka menikah?
Ong Cie It sementara itu merasakan satu kesangsian. Setelah makan dan pakai obat, ia merasa segar, sembari rebah di pembaringan, ia mendengari pembicaraan saudaranya dan nona itu. Ia ingat bagaimana si nona bertanding sama Wanyen Kang.
"Eh," tanyanya," Kau bilang kau diajari silat oleh ayahmu, kenapa buktinya kau lebih gagah daripada ayahmu itu?"
"Itulah disebabkan pada suatu hari ketika aku berumur tigabelas tahun, aku bertemu sama seorang berilmu, Liam Cu menyahut. "Untuk tiga hari lamanya dia ajarkan aku ilmu silat. Sayang otakku buta, tidak dapat aku mewariskan semua pelajaran yang diajarkan itu..." kata si nona pula.
"Jikalau ia cuma mengajarkan tiga hari, kenapa kau jauh lebih lihay daripada ayahmu?" imam itu menanya pula. "Siapakah orang berilmu itu?"
"Maaf, totiang, bukannya aku berani mendusta, sebenarnya aku telah mengangkat sumpah, dari itu tidak berani aku menyebutkan namanya."
Ong Cie It berdiam, ia tidak menanya lebih jauh. Tapi ia berpikir terus, ia mengingat-ingat ilmu silatnya si nona selama dia melayani Wanyen Kang. Sekian lama ia masih tidak mengingatnya, ia tidak dapat mengenali. Hal ini membuatnya bertambah heran.
"Khu Suko," akhirnya ia tanya kakaknya, "Bukankah kau telah mengajari Wanyen Kang selama delapan atau sembilan tahun?
"Tepatnya sembilan tahun enam bulan," menjawab Khu Cie kee. "Ah, aku tidak sangka sekali bocah itu ada begini punya tidak berbudi...."
"Ah, benar-benar aneh?" Cit It bilang.
Cie Kee heran. "Kenapa?" tanyanya.
Cit It diam, ia tidak memberi jawaban.
"Khu Totiang," Tin Ok menanya. "Bagaimana caranya kau dapat mencari turunannya Yo Toako itu?"
"Itulah terjadi secara kebetulan," sahut Tian Cun Cu. "Semenjak kita membuat perjanjian, aku pergi kemana-mana mancari turunan kedua keluarga Yo dan Kwee itu. Selama beberapa tahun, aku tidak memperoleh hasil. Karena ini aku merasa bahwa dalam halnya pibu, pihak kami pastilah kalah. Tapi aku tidak putus asa. Aku mencari terus. Kembali aku balik ke Gu-kee-cun. Pada suatu hari aku melihat beberapa hamba negeri pergi ke rumahnya saudara Yo itu, mereka mengangkut pergi semua barang perabotan rumah tangga. Aku heran, lantas aku menguntit mereka. Di luar dugaan mereka, aku mendapat dengar pembicaraan mereka. Nyatanya mereka bukanlah sembarang orang. Merekalah pengikut-pengikutnya pangeran Chao Wang dari negara Kim, mereka sengaja datang untuk mengangkuti isi rumahnya saudara Yo. Mereka bilang, tidak boleh ada barang yang kurang, tak terkecuali bangku, meja dan tombak serta luku juga. Oleh karena itu aku heran, aku jadi bercuriga, maka aku menguntit mereka terus sampai di Tiongtouw."
Mendengar sampai disitu, Kwee Ceng sadar. Selama berdiam di dalam gedung Pangeran Chao Wang, ia pernah melihat kamarnya Pauw Sek Yok serta perlengkapannya. Ia heran seorang istri Pangeran, tetapi perlengkapan rumahnya sangat miskin....
Khu Cie Kee melanjuti keterangannya: "Malamnya aku pergi memasuki gedung pangeran itu. Ingin aku mendapat kepastian apa perlunya barang-barang demikian diangkut jauh-jauh, dibawa ke istana. Setelah aku memperoleh kenyataan, aku menjadi sangat gusar berbareng berduka dan terharu sekali. Ternyata Pauw Sek Yok, istrinya saudara Yo itu, sudah menjadi onghui, menjadi istrinya Pangeran Chao Wang itu. Saking murkanya, berniat aku lantas membunuh Sek Yok itu. Kemudian aku mengubah pikiranku itu. Segera aku mendapat kenyataan, Sek Yok tinggal di sebuah rumah batu yang kecil, di situ ia memeluki dan mengusap-usap tombaknya saudara Yo, semalam-malaman ia menangis saja. Teranglah ia tidak dapat melupakan suaminya itu. Karena itu, aku batal membunuhnya. Kemudian lagi aku mendapat keterangan, putranya Pangeran Chao Wang itu adalah putranya saudara Yo. Lewat lagi beberapa tahun, setelah usianya Wanyen Kang bertambah, aku mulai memberikan dia pelajaran ilmu silat."
"Mungkinkah itu binatang sampai sebegitu jauh belum mengetahui asal-usulnya sendiri?" Tin Ok menanya.
"Tentang itu pernah aku mencoba mencari tahu," berkata Khu Cie Kee. "Aku mendapat kenyataan ia telah terpengaruh sangat harta dan kemuliaan, karena itu, aku tidak lantas membeberkan rahasianya. Aku pikir hendak menunggu sampai ia bertemu dan pibu sama Kwee Sie-heng, baru aku hendak mengakurkan mereka, untuk kemudian menolongi ibunya, untuk pernahkan mereka di suatu tempat tersembunyi. Aku tidak sangka sama sekali, sebenarnya saudara Yo masih hidup, malah bersama-sama saudaraku, kita kena terpedayakan hingga beginilah pengalaman kami yang pahit. Ah...!"
Mendengar itu, Bok Liam Cu menangis seraya menutupi mukanya.
Kwee Ceng lantas turut bicara, menuturkan bagaimana dia bertemu sama Yo Tiat Sim, dan bagaimana mereka bertemu juga sama Pauw Sek Yok pada malam itu.
Semau orang lantas memuji Pauw Sek Yok, yang ternoda saking terpaksa, tetapi akhirnya dia berkorban untuk kehormatannya untuk cinta sucinya terhadap suaminya.
Setelah itu, pembicaraan mereka beralih kepada soal bertanding nanti di bulan kedelapan.
"Seluruh anggota Coan Cin Pay bakal hadir, apalagi yang dibuat khawatir?" berkata Cu Cong.
"Aku berkhawatir mereka mengundang banyak kawan hingga jumlah kita menjadi terlebih sedikit," Ma Giok mengutarakan kekhawatirannya.
"Bisakah mereka mengundang banyak orang pandai?" Cie Kee bertanya.
"Bukan begitu, sutee," berkata Tan Yang Cu seraya menghela napas. "Selama beberapa tahun ini aku benar telah memperoleh banyak kemajuan, hingga kau dapat memancarkan pengaruh partai kita, akan tetapi di sebelah itu, jangan kita melupakan, tidak dapat kita bertemberang dan menuruti adat muda..."
Cie Kee tertawa. "Jadi kita harus ketahui, bahwa diluar langit ada yang terlebih tinggi, di atas orang pandai ada lagi orang yang terlebih pandai?" katanya.
"Memang begitu. Lihat saja beberapa orang tadi, bukankah mereka itu tak ada dibawahan kita? Coba mereka dapat mengundang lagi beberapa orang, maka dalam pertemuan di Yan Ie Lauw itu sukar ditentukan dari sekarang, siapa bakal kalah, siapa bakal menang...." jawab Ma Giok lagi.
"Tapi mungkinkah kita Coan Cin Pay bakal roboh di tangannya beberapa jahanam itu?" Khu Cie Kee menegasi.
"Segala apa tak dapat diduga, saudaraku. Buktinya ialah kejadian tadi. Kalau tidak ada Kwa Toako dan Cu Jieko datang membantu, bukankah akan runtuh nama baik kita yang sejak beberapa puluh tahun? Tidakkah kita bertiga bakal kehilangan nyawa kita disini?" kata Ma Giok.
Tin Ok dan Cu Cong lekas-lekas merendahkan diri. "Mereka itu telah menggunakan akal muslihat," kata mereka. "Kemenangan mereka itu tak dapat dibuat sebutan."
Ma Giok menghela napas. "Memang kita harus berhati-hati," katanya. "Lihat saja Ciu Susiok kita. Ia telah mewariskan kepandaiannya guru kita, kepandaiannya itu sepuluh lipat melebihi kita, tetapi ia terlalu mengandalkan diri, sampai sekarang sudah belasan tahun, tak diketahui dimana adanya dia. Maka itu Ciu Susiok itu harus dijadikan contoh."
Mendengar perkataan kakaknya ini, Cie Kee berdiam.
Kanglam Liok Koay tidak mengetahui yang Coan Cin Cit Cu masih mempunyai susiok, paman guru, mereka heran, tetapi mereka tidak berani menanyakan keterangan.
Ong Cie It sendiri membungkam selama dua saudaranya itu berbicara.
Kemudian Khu Cie Kee melirik kepada Kwee Ceng dan Bok Liam Cu. "Kwa Toako," katanya tertawa. "Tidak kecewa murid yang kau pimpin itu. Yo Sutee mendapatkan baba mantu seperti ini, ia mati pun meram...."
Merah mukanya Liam Cu, ia berbangkit, sembari tunduk ia berjalan untuk keluar.
Ong Cie It dapat melihat caranya orang berbangkit dan bertindak, mendadak berkelebatlah suatu ingatan di otaknya, sebab sekali ia turun dari atas pembaringannya dan sebelah tangannya melayang ke pundak orang.
Hebat serangan mendadak ini, tatkala si nona sadar, pundaknya sudah kena ditekan, percuma ia hendak mempertahankan diri, ia terhuyung ngusruk. Tapi tangan kiri Cit It menyusul, sebelum ia jatuh, dia sudah dapat ditolong. Dia heran dan kaget, dengan mendelong ia mengawasi imam itu.
Ong Cie It lantas tertawa. "Jangan kaget, Nona," katanya. "Aku sedang menguji kepandaianmu. Bukankah itu orang yang berilmu yang mengajari kau ilmu silat cuma tiga hari mempunyakan hanya sembilan jari tangan dan dandannya sebagai pengemis?"
Nona Bok menjadi terlebih heran lagi. "Eh, mengapakah totiang ketahui itu?" dia balik menanya.
Cit It tertawa pula. "Kiu Cie Sin Kay Ang Locianpwee itu memang aneh sepak terjangnya," ia berkata, menerangkan. "Dia mirip dengan naga sakti yang nampak kepalanya tetapi tidak ekornya. Kau telah mendapat pengajaran dari dia, Nona, kau beruntung sekali. Sebenarnya ada sangat sukar akan mendapatkan ketika seperti kau itu."
"Hanya sayang guruku itu tidak mempunyai tempo yang luang, dia cuma bisa mengajari tiga hari lamanya," menambahkan si nona.
"Apakah kau tidak kenal kecukupan, Nona?" Ong Cie It menegaskan. "Kau tahu, pengajarannya itu tiga hari melebihkan pengajaran lain orang sepuluh tahun!"
"Totiang benar juga," kata Liam Cu, yang terus berdiam tapi cuma sejenak, terus ia menanya: "Apakah totiang ketahui dimana adanya Ang Locianpwee itu sekarang?"
Cit It tertawa pula. "Perkataanmu menyulitkan aku, Nona!" ia berkata. "Adalah pada duapuluh tahun yang lampau aku menemui dia di puncaknya gunung Hoa San, habis itu aku tidak melihat dan mendengarnya pula."
Liam Cu merasa kecewa, perlahan-lahan ia bertindak keluar.
"Ong Totiang, siapakah itu Ang Locianpwee?" Han Siauw Eng menanya. Sejak tadi si nona sudah tertarik hatinya mendengar disebutnya orang itu yang ada dari tingkat lebih tinggi dan tua (locianpwee).
Imam she Ong itu tersenyum, ia balik ke pembaringannya.
"Han Lie-hiap," Ong Cie It menanya, "Pernahkah kau mendengar sebutan Tong Shia See Tok, Lam Tee Pak Kay dan Tiong Sin Thong?"
Nona Han itu berpikir. "Rasanya pernah aku mendengar tetapi aku tidak tahu apa artinya itu semua."
Tiba-tiba Kwa Tin Ok memotong: "Ang Locianpwee itu bukankah Pak Kay dari Lam Tee Pak Kay itu?"
"Benar," Ong Cie It memberikan jawabannya. "Tiong Sin Thong itu adalah almarhum Ong Cinjin yang menjadi guru kami."
Kanglam Liok Koay kagum mendengar si orang she Ang sama tersohornya dengan gurunya Coan Cin Cit Cu.
Khu Cie Kee menoleh kepada Kwee Ceng, sembari tertawa ia berkata: "Bakal istrimu itu ada muridnya Kiu Cie Sin Kay yang ternama besar, di belakang hari siapa yang nanti berani menghinamu?"
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah, berniat ia membantah tetapi ia tidak dapat membuka mulutnya.
"Ong Totiang," kemudian Han Siauw Eng menanya pula. "Kau cuma menekan pundaknya si nona, cara bagaimana kau lantas bisa mendapat tahu dialah muridnya Kiu Cie Sin Kay itu?"
Selagi Cie It belum menyahuti, Cie Kee menggapai kepada Kwee Ceng, siapa sudah lantas datang menghampirkan. Mendadak saja ia menekan pundak si anak muda.
Kwee Ceng pernah mendapat pelajaran rahasianya ilmu dalam dari Ma Giok, pelajaran yang disebut Hian-bun Ceng-cong, ia juga telah makan darahnya ular, tenaga dalamnya kokoh sekali, dari itu tidaklah ia roboh tertekan si imam.
Khu Cie Kee tertawa. "Anak yang baik!" katanya seraya mengangkat tekanannya.
Kwee Ceng tidak berani melawan lebih jauh tenaga dalam si imam itu tapi justru itu, ia ditekan pula. Kali ini, tidak ampun lagi, ia roboh terjengkang, sebab ia tidak bersiaga. Tapi ia tidak roboh terguling, begitu pula tangannya mengenakan tanah, ia sudah berlompat berdiri pula.
Menyaksikan itu, semua orang tertawa.
"Anak Ceng," Cu Cong lantas berkata, "Khu Totiang telah memberikan kau pelajaran, kau ingatlah baik-baik."
Kwee Ceng menyahuti sambil mengangguk.
"Han Lie-hiap," Khu Cie Kee berkata pula, sekarang kepada Han Siauw Eng, "Siapa pun yang mempelajari ilmu silat, jikalau ia ditekan secara barusan, mesti ia roboh terjengkang, cuma ilmu silatnya Kiu Cie Sin Kay yang tidak mempan tekanan, paling-paling orang terhuyung ke depan. Sebabnya ini ialah kepandaian Ang Locianpwee itu banyak yang bertentangan sama ilmu silat yang kebanyakan."
Liok Koay kagum untuk pengetahuan luas dari kaum Coan Cin Pay itu.
"Apakah Ong Totiang pernah melihat Kiu Cie Sin Kay bersilat?" Cu Cong tanya.
"Pada duapuluh tahun dulu itu," menyahut Ong Cie It, "Kiu Cie Sin Kay telah berkumpul berlima bersama Oey Yok Su di puncak gunung Hoa San, di mana mereka merundingkan ilmu silat pedang, karena aku senantiasa mendampingi guruku, aku jadi dapat mendengar penguraiannya Kiu Cie Sin Kay itu."
"Bukankah Oey Yok Su itu adalah Tong Shia dari Tong Shia See Tok?" Tin Ok tanya pula.
"Benar," menjawab Tiang Cun, yang terus berpaling pada Kwee ceng sambil tertawa mengatakan: "Syukur Ma Suko telah ajarkan kau ilmu silat tetapi si antara kamu belum ada hubungan murid dan guru, jikalau tidak, mungkin terbit salah paham. Kau mesti terlebih rendah tingkatannya daripada bakal istrimu itu, dengan begitu seumurmu, tidak nanti kau dapat menanjak naik...."
Kwee ceng jengah, mukanya merah. "Tidak dapat aku menikah dengannya," katanya.
Khu Cie Kee heran, hingga air mukanya berubah. "Kenapakah?" tanyanya.
Han Siauw Eng menyayangi muridnya itu, ia merasa kasihan, ia mewakilkan menyahut. "Kami cuma ketahui turunan Yo toako adalah anak laki-laki, maka itu selama di Mongolia anak Ceng ini sudah bertunangan. Oleh Khan besar dari Mongolia, Jenghiz Khan, ia telah diangkat menjadi Kim-to Hu-ma."
Mendengar keterangan itu, Khu Cie Kee tertawa dingin. "Bagus betul!" katanya. "Orang adalah satu putri, pantaslah dia beda daripada yang lainnya. Tetapi disini adalah mengenai pesan orang tua mereka. Adakah kamu tidak memperdulikan itu?!"
Kwee Ceng menjadi ketakutan, ia lantas saja menekuk lututnya. "Teecu belum pernah sekali juga bertemu sama ayahku almarhum," ia berkata, "Dari itu tidak tahu teecu tentang pesan ayahku itu. Sukalah Totiang memberi petunjuk?"
Cie Kee tertawa. "Ya, kau tidak dapat dipersalahkan!" katanya. Tadi ia tak ingat akan hal ini. Habis itu lalu ia menutur kejadian pada delapanbelas tahun yang lampau di Gu-kee-cun, bagaimana ia berkenalan sama Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim, bagaimana ia sudah pukul mundur musuh, bagaimana ia menyusul dua orang itu hingga jadi bentrok sama Kanglam Cit Koay, dengan kesudahannya dibuat perjanjian pibu antara keturunannya Siauw Thian dan Tiat Sim itu.
Kwee Ceng lantas saja menangis. Baru sekarang ia ketahui jelas tentang dirinya sendiri. Ia berduka untuk sakit hati ayahnya, sakit hati mana belum terbalas. Karena ini juga ia menjadi ingat baik-baik budi semua gurunya.
Han Siauw Eng menghibur muridnya, ia kata: "Sudah lumrah, laki-laki mempunyakan tiga istri serta empat gundik, maka itu belakang hari bolehlah kau memberitahukan kepada Khan yang agung halnya kau akan menikah dua istri. Ini toh untuk kebaikan kedua pihak, bukan?"
Kwee Ceng menepas air matanya. "Aku juga tidak akan menikahi Putri Gochin!" katanya.
Nona guru itu menjadi terkejut dan heran. "Kenapakah?" tanyanya.
"Aku tidak senang ia menjadi istriku," Kwee Ceng menyahut dengan terus terang.
"Bukankah kau kenal ia dengan baik dan pernah bergaul rapat?" Siauw Eng menanya pula.
"Ya, tetapi aku pandang ia sebagai adik saja, sebagai sahabat. Aku tidak ingin menikah dengannya."
Khu Cie Kee menjadi girang mendengar itu. "Anak yang baik, kau bersemangat!" pujinya. "Peduli apa dia Khan yang agung atau tuan putri, kau baiklah turut pesan ayahmu almarhum dan paman Yo-mu itu, kau menikah dengan nona barusan!"
Kwee Ceng menggeleng kepala. "Aku juga tidak akan nikahi nona ini," katanya.
Semua orang menjadi heran, tidak tahu mereka apa yang dipikirkan pemuda ini.
"Apakah kau telah mempunyai nona lain yang kau penujui?" tanya Siauw Eng perlahan. Dasar wanita, nona Han ini dapat menyelami hati orang.
Muka Kwee Ceng menjadi merah, dia berdiam sejenak, baru ia mengangguk.
Han Po Kie dan Khu Cie Kee terperanjat. "Siapakah nona itu?!" tanya mereka keras.
Kwee Ceng mengasih dengar suaranya perlahan, ia tidak menjawab.
Sedetik itu, Han Siauw Eng lantas ingat Oey Yong, yang ia telah perhatikan ketika malam itu bertempur dengan Bwee Tiauw Hong dan Auwyang Kongcu beramai di dalam istana pangeran. Ia ketahui nona itu berkulit putih bersih dan cantik menarik.
"Bukankah kau maksudkan si nona baju putih?" ia tegaskan muridnya itu.
Kwee Ceng tidak menjawab tetapi mukanya menjadi merah.
"Siapakah dia itu?" Khu Cie Kee tanya si nona Han.
"Aku dengar Bwee Tiauw Hong memanggil ia sumoay dan kepada ayahnya suhu..." menjawab Siauw Eng perlahan sekali. (Sumoay = adik seperguruan wanita dan suhu = suhu)
Dua-dua Kwa Tin Ok dan Khu Cie Kee terperanjat, hingga mereka berlompat bangun. "Mustahilkah ia putrinya Oey Yok Su?" tanya mereka berbareng.
Siauw Eng tarik tangan muridnya, untuk si murid datang dekat kepadanya. "Anak Ceng, apakah nona itu she Oey?" ia menanya perlahan.
Kwee Ceng mengangguk. "Ya," sahutnya, perlahan juga.
Mendapat jawaban itu, Han Siauw Eng tergugup.
"Apakah ayahnya yang jodohkan kau dengan putrinya?" tanya Cu Cong.
"Aku belum pernah bertemu dengan ayahnya dan tidak tahu siapa itu ayahnya," si murid menjawab.
"Kalau begitu, kamu jadi mufakat berdua saja?" Cu Cong menanya pula.
Kwee Ceng tidak mengerti jelas, ia membuka lebar matanya tanpa menjawab.
"Bukankah dia mengatakan mesti menikah dengamu dan kau membilang akan nikahi dia?"
"Tidak pernah dikatakan begitu..." sahut Kwee Ceng, yang terus berdiam, tetapi sesaat kemudian ia menambahkan: "Tidak usahlah itu dijelaskan lagi. Aku tidak dapat tidak mempunyai dia dan dia juga tidak dapat tidak mempunyai aku, hati kita sama mengetahuinya..."
Han Po Kie belum pernah mengenal asmara, mendengar itu ia menjadi tidak puas. "Habis bagaimana jadinya!" ia membentak.
Cu Cong lain lagi. Berkata ini guru yang nomor dua: "Kau tahu tidak, ayahnya nona itu adalah satu iblis besar, yang kalau membunuh orang tidak pernah mengicap matanya? Jikalau ia ketahui kau secara diam-diam mencuri mengambil hati anak gadisnya, apa kau sangka kau masih mempunyai jiwamu itu? Bwee Tiauw Hong belum mewariskan satu persepuluh dari kepandaian gurunya itu, dia sudah sangat lihay, maka jikalau tuan dari Pulau Tho Hoa To itu hendak membunuh kau, siapa yang dapat menolonginya?"
"Yong-jie demikian baik, aku pikir... aku pikir ayahnya tak mungkin bukan orang baik-baik," berkata si murid perlahan.
"Angin busuk!" membentak Po Kie, yang tetap murka. "Kau mesti bersumpah bahwa untuk selanjutnya kau tidak akan bertemu pula dengan nona itu!"
Kanglam Liok Koay sangat membenci Hek Hong Saing Sat yang telah membinasakan Siauw Mie To Thio A Seng si Buddha Tertawa, dengan sendirinya mereka jadi membenci juga guru orang itu.
Kwee Ceng menjadi susah hati. Di satu pihak adalah guru-gurunya yang telah melepas budi banyak kapadanya, dilain pihak adalah cinta sejati. Ia pikir, kalau seumurnya ia tidak dapat bertemu lagi Oey Yong, apakah artinya hidupnya itu - buat apa ia menjadi manusia? Ia jujur dan polos, dari itu halus sekali perasaannya. Tempo ia mendapat lihat guru-gurunya itu mengawasi ia dengan bengis, hancur rasa hatinya. Ia lantas menekuk lutut, air matanya turun mengalir di kedua pipinya.
Han Po Kie lantas maju setindak. "Lekas bicara!" ia membentak.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, di luar jendela sudah terdengar suaranya seorang wanita muda: "Kenapa kamu main paksa orang?!" Tercenganglah Tin Ok semua. Sedang begitu, si nona itu telah berkata pula: "Engko Ceng, lekas keluar!"
Kwee Ceng kenali suaranya Oey Yong, ia kaget dan berbareng heran. Ia lantas berbangkit dan memburu keluar. Di depannya berdiri si nona cantik, tangan kirinya memegangi pelana kuda Han-hiat Po-ma.
Kuda merah itu meringkik panjang, apabila ia melihat ini anak muda, lalu kedua kaki depannya diangkat, untuk berjingkrakan.
Han Po Kie bersama Cu Cong dan Coan Kim Hoat memburu keluar, diikuti Khu Cie Kee berempat.
Menampak ketiga guru itu, Kwee Ceng menunjuk kepada si nona seraya berkata; "Sam-suhu, inilah dia si nona, dia bukannya siluman!"
Oey Yong menjadi gusar. "Hai, orang kate terokmok yang menyebalkan untuk dilihat, kenapa kau berani memaki aku perempuan siluman?!" dia menanya sambil membentak. Dia pun segera menuding Cu Cong tanpa menanti lagi jawabannya Ma Ong Sin si Malaikat Raja Kuda, untuk menambahkan: "Ada lagi kau, mahasiswa iblis yang jorok kotor, kenapa kau mencaci ayahku? Kenapa kau katakan ayahku satu iblis besar yang membunuh orang tidak mengicap mata?!"
Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay sabar, ia tidak sudi melayani seorang nona, maka itu ia tersenyum. Ia mesti akui nona ini sangat cantik, seumurnya belum pernah ia lihat lain nona yang melebihkannya, jadi tidaklah heran yang Kwee Ceng menjadi jatuh hati kepada si nona.
Tapi beda dengan kakaknya yang kedua ini, Han Po Kie gusar bukan main, sampai kumisnya bangun berdiri. "Pergi kau! Lekas kau pergi!" ia mengusir.
Bukannya si nona Oey itu pergi, ia justru menepuk-nepuk tangan, ia bernyanyi; "Hai, labu parang! Hai, bola kulit bundar! Ditendang satu kali, lalu bergelindingan!"
"Jangan nakal, Yong-jie!" kata Kwee Ceng lekas mencegah. "Inilah guruku...."
Han Po Kie maju, ia mengulurkan tangannya akan menolak si nona itu untuk diangkat pergi.
Masih Oey Yong bernyanyi: "Labu parang! Bola kulit bundar!" Ia pun mundur dari tangannya si kate terokmok itu, hanya sambil mundur, mendadak tangannya menyambar pinggang Kwee Ceng, yang terus ia bawa berlompat, maka sedetik kemudian, keduanya sudah bercokol di atas kuda merah, tempo mana si nona itu mengedut tali les, Han-hiat Po-ma membuka tindakan lebar dan kabur!
Han Po Kie boleh sangat gesit dan sebat tetapi tidak snaggup ia menyandak kuda jempolan itu.
Ketika kemudian Kwee Ceng sempat menoleh ke belakang, wajah Po Kie semua terlihat hanya samar-samar saja, lantas bergelempang hitam, terus lenyap, saking keras larinya si kuda merah itu!
Oey Yong mencekal les dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang tangannya si anak muda, hatinya berdenyut keras, walaupun belum lama mereka berpisahan, Kwee Ceng sendiri bingung sekali. Berat untuknya akan perpisahan secara demikian dari keenam gurunya itu, sebaliknya, pepat juga hatinya kapan ia mengingat gurunya itu hendak memisahkan ia dari pacarnya. Mana bisa ia tunduk kepada mereka itu?
Kabur kira-kira satu jam lamanya, Han-hiat Po-ma telah terpisah duaratus lie dari kota Yan-khia. Sampai disitu barulah Oey Yong menarik tali les kudanya, untuk mengasih kudanya berhenti. Lantas ia lompat turun dari binatanag tunggangannya itu, diturut oleh pemuda pujaannya itu. Kuda itu menggosok-gosok lehernya ke pinggang si anak muda, menandakan kelulutannya.
Sepasang muda-mudi ini berpegangan tangan, mereka berhadapan tanpa mengucapkan sepatah kata. Banyak yang mereka ingin ucapkan, tetapi mereka tidak tahu harus bagaimana memulainya. Cuma hati mereka yang berbicara satu pada lain..........
Beberapa saat kemudian, baru Oey Yong melepaskan tangannya dari tangan Kwee Ceng. Ia merogoh ke kantung kulit di pelana, ia menarik keluar sepotong sapu tangan, terus ia pergi ke tepi kali kecil di dekatnya, untuk mencelup saputangan itu, kemudian ia kembali ke pemudanya.
"Kau pakailah ini," katanya perlahan, meminta orang menyusut mukanya yang keringatan.
Kwee Ceng berdiri bengong, agaknya ia berpikir keras sekali. Ia tidak menyambuti saputangan itu, hanya sekonyong-konyong ia berkata, keras; "Yong.jie, tidak dapat kita berbuat begini...."
Pemudi itu terperanjat, ia menatap, "Apa katamu?" tanyanya.
"Kita harus kembali," Kwee Ceng bilang. "Kita mesti menemui guruku semua...!"
Kembali Oey Yong terperanjat. "Kembali?" ia menegasi. "Kita kembali bersama?"
"Benar!" sahut pemuda itu. "Hendak aku mencekal tanganmu, kepada guruku semua dan Ma Totiang beramai ingin aku mengatakan; 'Inilah Yong-jie! Dia bukannya siluman perempuan!'" Sembari berkata begitu, ia menarik tangan yang putih mulus dan lemas dari si nona, kemudian ia angkat kepalanya, untuk mengawasi wajah orang. Ia agaknya hendak mengatakan pula; "Suhu, budi kamu besar laksana gunung, walaupun tubuhku hancur luluh, sukar aku membalasnya... Tapi, tapi Yong-jie bukannya siluman, dialah satu nona yang baik sekali..." ia hendak omong banyak, tapi cuma sampai di situ, berhentilah pikirannya melamun.
Mulanya Oey Yong tersenyum, ia anggap orang jenaka sekali, tetapi kemudian hatinya tergerak. Ia lantas berkata: "Engko Ceng, semua gurumu sangat benci aku, percuma kau omong banyak dengan mereka itu. Sudahlah, jangan engkau kembali! Mari kita pergi ke sebuah gunung sunyi, atau ke sebuah pulau mencil di laut, supaya mereka itu selama umurnya tidak dapat mencari kita...."
Kwee Ceng tetap menatap. "Yong-jie," katanya, suaranya mantap, "Tidak dapat tidak, kita mesti kembali." Â
"Tapi mereka itu hendak memisahkan kita, nanti kita tidak bakal bertemu pula," kata si nona pula.
"Biarnya mati, kita tidak bakal berpisah!" si pemuda memastikan.
Semangat Oey Yong terbangun, kalau tadi hatinya berdebaran, sekarang hatinya itu menjadi mantap.
"Benar!" pikirnya. "Paling banyak kita mati! Mustahil ada yang lebih hebat dari kematian?"
Maka ia kata: "Engko ceng, untuk selama-lamanya aku akan dengar perkataanmu! Sampai mati juga kita tidak akan berpisah!"
"Memang!" sahut si anak muda. "Aku sudah bilang, kau adalah satu nona yang manis!"
Nona itu tertawa. Ia merogoh pula kantong kulitnya, sekarang ia mengeluarkan sepotong besar daging mentah, ia gulung itu dengan lumpur, terus ia tambus. Ia menyalakan api dengan kayu kering.
"Biarlah si kuda lecil merah beristirahat," kata pula si nona. "Habis beristirahat baru kita kembali."
Kwee Ceng mengangguk, hatinya puas.
Tidak lama kemudian keduanya mulai menggayem daging tambus itu, kuda mereka juga sudah kenyang makan rumput. Sebentar kemudian, dengan menaiki kuda, mereka ambil jalan dari mana tadi mereka datang. Di waktu lohor, mereka tiba di hotel. Turun dari kudanya, Kwee Ceng pegang tangannya Oey Yong untuk diajak masuk ke dalam.
Pelayan hotel girang melihat kembalinya anak si muda, ia menyambuti dengan wajah berseri-seri. Ia pernah menerima persen dari Kwee Ceng.
"Kau baik, Tuan?" tegurnya. "Mereka itu sudah berangkat pergi. Tuan ingin dahar apa, silakan sebutkan." katanya.
Tapi Kwee Ceng terperanjat. "Mereka sudah pergi?" ia mengulangi. "Adakah pesanannya?"
"Tidak, mereka menuju ke Selatan, perginya sudah selang dua jam." jawab si jongos.
"Mari kita susul mereka!" Kwee Ceng mengajak kekasihnya.
Oey Yong menurut, maka mereka tinggalkan rumah penginapan itu, mereka kaburkan kuda mereka ke arah yang disebutkan si pelayan itu, yang heran menampak orang pergi secara demikian kesusu. Di sepanjang jalan mereka memasang mata. Sampai sore, mereka tidak dapat menemukan Kanglan Liok Koay.
"Mungkin suhu telah mengambil lain jalan," kata Kwee Ceng. Ia membaliki kudanya.
Han-hiat Po-ma kuat sekali, walaupun penunggangnya dua orang, ia dapat lari tak kurang cepatnya, ia tidak menjadi lelah. Hanya sampai cuaca gelap, mereka tetap tidak melihat Kanglam Liok Koay atau ketiga orang Coan Cin Pay. Kwee Ceng menjadi masgul.
Oey Yong menghibur. Katanya: "Di harian Tiong Ciu mereka bakal berkeumpul di Yan Ie Liauw di Kee-hin, di sana kau pasti bakal dapat menemukan mereka."
"Untuk sampai kepada hari raya Tiong Ciu, temponya masih setengah tahun lagi," kata si anak muda, lesu.
Tapi si nona tertawa manis. "Selama setangah tahun kita toh dapat pesiar ke segala tempat kenamaan!" katanya. "Apakah itu tidak terlebih bagus?"
Mau tidak mau, Kwee Ceng menyatakan setuju. Hatinya menjadi lega juga.
Keduanya lantas memasuki dusun, akan mencari penginapan, guna melewatkan sang malam.
Besoknya Kwee Ceng membeli seekor kuda putih yang besar, untuk ia, supaya Oey Yong dapat menaiki kuda merah kecil itu seorang diri. Tidak leluasa untuk mereka terus menunggang seekor kuda.
Oey Yong tidak dapat menampik kehendak pemudanya itu.
Demikian dengan merendengkan kuda, mereka berjalan perlahan-lahan, untuk menikmati keindahan sang malam. Mereka pergi tanpa tujuan. Sering mereka turun dan duduk saling menyender di tempat yang sepi. Kalau singgah dan bermalam, mereka pun menyewa sebuah kamar. Hati mereka lapang, tidak ada pikirab yang bukan-bukan yang menyandingi mereka. Mereka melainkan memikirkan pesiar dan terbukalah hari mereka.
Pada suatu hari tibalah meteka di Baratnya perbatasan antara Liongkeng-hu dan Tayleng di sebelah timur kota raja. Ketika itu sudah mendekati hari raya Toan-yang, hawa udara mulai panas. Dahi Oey Yong telah berkeringatan. Selagi mereka hendak cari tempat untuk meneduh, si nona mendengar suara mengericiknya air. Ia lantas larikan kudanya ke arah suara itu. Untuk girangnya ia mendapatkan sebuah kali kecil, sampai ia berseru.
Kwee Ceng mengasih kudanya lari menyusul.
Kali itu berair bening, hingga nampak dasarnya. Di kedua tepinya ada tumbuh banyak pohon yang-liu, yang cabang dan daunnya meroyot ke air. Di dalam air pun terlihat sejumlah ikan berenang pergi datang.
Oey Yong gembira sekali, hingga ia membuka pakaian luarnya, lalu terjun ke air.
Kwee Ceng terkejut, hingga ia menjerit. Ia lari ke tepian, hatinya lega. Segera ia melihat si nona berenang di dalam air, menangkap dua ekor ikan yang panjangnya kira-kira satu kaki, ketika diangkat ke muka air, ekornya kedua ikan itu bergerak-gerak, begitupun kepalanya.
"Sambut!" si nona berseru, kedua tangannya terayun.
Kwee Ceng sudah lantas menyambuti, ia bisa memegang kedua ikan itu, tetapi saking licinnya, ikan itu melejit dan lolos, jatuh ke tanah, di mana keduanya berloncatan.
Oey Yong tertawa geli. "Engko Ceng, mari turun, kita berenang!" ia memanggil.
Kwee Ceng tidak bisa berenang, ia menggeleng kepala. Ia menjadi besar di gurun pasir.
"Turunlah, nanti aku ajari!" kata si nona.
Pemuda ini menjadi tertarik, maka ia pun membuka baju luarnya, lalu turun ke kali. Ia tidak menerjun seperti si nona, tetapi ia turun dengan perlahan-lahan, tangannya pun diulurkan. Si nona jail sekali, ia menghampirkan, tahu-tahu ia telah merabuh kaki orang, maka tidak tempo lagi, tubuh Kwee Ceng terpelanting. Ia kaget, karenanya, ia menegak air! Oey Yong lekas pegangi tangan orang, ia menertawai.
"Begini menggeraki tangan," si nona benar-benar lantas mengajari. Ia pun membilangi, untuk selulup mesti menahan napas dan mata dapat dirapati atau dimeleki.
Untuk Kwee Ceng, pelajaran berenang itu gampang sekali. Dengan dapat mengatur napasnya, dengan cepat ia telah dapat mengerti. Demikian ia bisa berenang hilir mudik dan selulup timbul. Tentu sekali, ia menjadi bertambah gembira, sedang kawannya demikian manis dan lincah.
Tidak puas dengan mandi di satu tempat saja, mereka berenang mudik, sampai kuping mereka mendapat dengar suara air nyaring. Kemudian ternyata, di Selatan itu ada air terjun yang tingginya lebih daripada sepuluh tombak, bagaikan rantai perak, air meluncur turun.
"Engko Ceng," kata si nona sangat bergembira, "Mari kita mendaki air tumpah itu!"
"Baik, mari kita mencoba!" Kwee Ceng menyambut. "Kau pakailah baju lapismu!"
"Tidak usah!" menyahut si nona. "Mari kita mulai!".
Kata-kata itu disusul sama gerakan tubuh yang lincah, berbareng dengan mana, si pemuda pun menggeraki kaki tangannya. Tapi air deras sekali, keduanya gagal. Beberapa kali mereka mencoba, tetapi mereka tidak berhasil.
Kwee Ceng penasaran sekali. "Baiklah kita beristirahat, besok kita coba pula!" katanya pada kawannya.
"Baik!" tertawa Oey Yong. Ia pun penasaran.
Besoknya percobaan diulangi, kali ini mereka dapat naik hingga setombak lebih. Hati mereka menjadi besar, mereka mencoba terus. Inilah suatu latihan bagus bagi mereka, yang ilmunya ringan tubuh sudah sempurna. Latihan ini terus dilakukan terus, maka juga di hari kedelapan, Kwee Ceng bisa menyampaikan puncak air terjun itu, dengan menyambar dan menarik tangan orang, ia membantu Oey Yong naik juga.
Bukan main girangnya muda mudi ini.
"Mari kita turun pula!" Kwee Ceng mengajak. Lalu keduanya menyebur mengikuti air tumpah itu.
Demikian mereka berlatih, naik dan turun. Dalam sepuluh hari, Kwee Ceng dapat berenang dengan baik walaupun ia masih kalah lincah dari si nona, ialah untuk menangkap ikan, ia tak dapat menyaingi.
Puaslah hatinya sepasang anak muda ini, maka di hari kesebelas baru mereka melanjuti perjalanan ke Selatan. Sampai di hulu sungai Tiang Kang, hari mulai sore. Terbuka hati Kwee Ceng menyaksikan kebesarannya sungai itu, yang airnya terus mengalir, gelombangnya saling susun.
"Kau mau berenang, engko ceng?" tanya si nona. "Marilah!"
"Baik!" sahut si anak muda. Dan ia lompat turun dari kuda putihnya, yang tepuk kempolannya. "Kau tidak punya guna, pergilah!" Ia pun melepaskan tali les. Dilain pihak, ia menghampirkan kuda merah.
Kapan kuda merah itu telah ditepuk, dengan berani dia terjun ke sungai, sembari terjun ia meringkik keras dan panjang, terus ia berenag pergi.
Kwee Ceng dan Oey Yong pun segera terjun, untuk menyusul. Pandai berenangnya kuda merah itu, dia mendahului di muka.
Di tempat dimana mereka terjun ini tidak ada lain orang, dengan begitu mereka tidak menarik perhatian siapa juga.
Belum begitu lama, tiba-tiba cuaca menjadi gelap. Sebab mega sudah lantas bergumpal-gumpal, langit menjadi mendung. Lalu kemudian terdengarlah suara guntur saling susul dan terlihat kilat menyambar-nyambar.
"Takutkah kau, Yong-jie?" Kwee Ceng tanya.
"Ada bersama-sama kau, aku tidak takut!" menjawab si nona tertawa.
Pemuda itu tersenyum.
Di bawah hujan besar, mereka berenang terus hingga di lain tepi di mana mereka mendarat. Mereka menanti sampai air langit itu berhenti turun, ketika itu tibalah sang malam dan rembulan memancarkan sinarnya di langit yang bersih. Mendung sirna, mega berkumpul lenyap.
Kwee Ceng mencari kayu kering, untuk menyalakan api unggun, di situ mereka memanggang pakaian mereka hingga kering, kemudian keduanya rebah tidur di udara terbuka. Mereka polos, mereka tidak ingat suatu apa.
Keduanya sadar besoknya fajar, tempo mereka dengar suara ayam berkeruyuk dari sebuah rumah tak jauh dari tepi sungai.
"Aku lapar!" berkata Oey Yong, yang menguap. Ia berbangkit, untuk lari ke rumah tadi, sebentar kemudian, ia sudah lari balik, bersama seekor ayam jago yang besar di tangannya.
"Mari kita pergi ke sana, supaya pemilik rumah tidak melihat kita," Kwee Ceng mengajak.
Si nona mengangguk, lantas mereka berjalan sampai sejauh satu lie kira-kira. Kuda merah terus mengikuti mereka. Disini Oey Yong sembelih ayam itu, lalu di cuci bersih, kemudian ia gulung dengan lumpur, untuk ditambus. Maka dilain saat matanglah ayam itu, rontok bulu dan kulitnya, terlihatlah dagingnya yang gemuk. Disaat si nona hendak membeset ayam itu, tiba-tiba ia dengar suara dari belakangnya; "Besetlah menjadi tiga potong, pahanya kasih aku!"
Kedua muda-mudi itu terkejut. Bukankah kuping mereka lihay? Kenapa mereka tidak dengar berkelisiknya orang, hingga orang tahu-tahu sudah berada dibelakang mereka? Mereka memutar tubuh dengan cepat. Maka terlihatlah seorang pengemis usia pertengahan, pakaiannya banyak tambalannya, cuma anehnya, bahannya semua tersulam, hingga mirip pakaian pengemis di atas pentas. Dia pun memegang sebatang tongkat yang mirip batu pualam, sedang dipunggungnya tergemblok sebuah cupu-cupu besar yang merah warnanya. Wajah orang tampak acuh tak acuh wajar sekali.
Belum lagi si muda-mudi itu memberi penyahutan, mereka suka membagi ayam mereka atau tidak, si pengemis sudah lantas menjatuhkan diri duduk di hadapan mereka, tangannya meraba punggungnya, untuk mengambil cupu-cupunya itu, yang tutupnya ia terus buka, maka di detik itu juga tersiarlah harumnya arak. Dia menggelogoki arak itu beberapa ceglokan, terus ia mengangsurkan kepada si anak muda.
"Eh, bocah, kau minumlah!" katanya.
Sebenarnya Kwee Ceng tidak puas untuk kelakuan orang yang tak hormat itu, tetapi karena tingkah laku itu aneh, tidak berani berlaku kasar. "Aku tidak minum arak, lojinkee, kau minumlah sendiri!" sahutnya hormat.
"Dan kau nona kecil, kau minum arak atau tidak?" si pengemis itu menanya Oey Yong.
Si nona tidak menyahuti, ia cuma menggelengkan kepalanya. Tapi sangat jeli matanya, dalam sesaat ia telah dapat melihat jeriji tangan si pengemis yang memegang tempat araknya. Untuk terkejutnya, jeriji itu cuma sembilan, lenyap satu dari lima jeriji tangan kanan! Ia lantas ingat kata-katanya Ong Cie It dan Khu Cie Kee perihal Kiu Cie Sin Kay, si Pengemis Aneh Berjeriji Sembilan.
"Benarkah di kolong langit ini ada peristiwa begini kebetulan?" ia tanya diri sendiri. "Baiklah aku dengar suaranya."
Nona ini tertawa di dalam hati apabila ia sudah mengawasi wajah si pengemis yang terus memandangi ayamnya, hidung dia itu bergerak-gerak, mulutnya berkelemikan tanda mengilarnya. Tetapi ia tidak memikir untuk menjaili orang, maka ia lantas besat ayamnya dibagi dua, yang separuh ia sodorkan pada orang tua itu. Pengemis itu menyambuti seperti menyambar, terus ia masuki ayam itu kemulutnya, dan terus menggayem. Sangat bernafsu ia mendaharnya hingga lekas juga paha ayam itu termakan habis! Tulang-tulang ayam itu ia semburkan.
"Sungguh lezat! Sungguh lezat!" ia memuji berulang-ulang. "Biarnya aku si leluhur pengemis, tidak bisa aku mematangi ayam selezat ini!"
Oey Yong tertawa, ia menyodorkan pula sepotong lainnya.
"Ah, mana dapat!" pengemis itu menolak. "Kamu berdua belum makan...." Mulutnya mengatakan begitu, tetapi tangannya menyambuti, maka dilain saat, habis sudah sebelah ayam tambus itu! Lantas ia menepuk-nepuk perutnya. "Hai, perutku, perutku!" ia mengoceh seorang diri, "Bukankah jarang sekali kau gegares ayam begini lezat?"
Mau tidak mau, si nona tertawa geli.
Pengemis itu merogoh ke sakunya, mengeluarkan sepotong besar perak, yang mana ia sodorkan kepada Kwee Ceng. "Bocah, kau ambillah ini!" katanya.
Pemuda itu menggeleng kepalanya. "Kami menganggap kau sebagai sahabat, kami tidak menginginkan uang," jawabnya.
Pengemis itu menyeringai, agaknya ia likat. "Inilah sulit," katanya. "Meskipun aku pengemis, tidak biasa aku menerima budi orang sedikit juga."
"Apakah artinya seekor ayam?" berkata Kwee Ceng tertawa. "Laginya, ayam ini pun kami dapatkan dengan jalan tangan panjang, tanpa perkenan dari pemiliknya...."
Pengemis itu tertawa terbahak-bahak. "Ah, anak muda, tabiatmu sama dengan tabiatku!" katanya. "Mari, mari bilangi aku, kau ada niat apa, kau kasih aku dengar!"
Belum lagi si pemuda menyahuti, Oey Yong sudah dului padanya. "Aku masih punya beberapa macam sayuran untuk kau cobai, lojinkee!" katanya manis. "Maukah kau turut kami pergi ke pasar di sana?"
Pengemis itu nampaknya sangat girang. "Bagus, bagus!" ia menyahuti.
"Lojinkee she apa?" Kwee Ceng menanya.
"Aku she Ang, anak yang ketujuh," menjawab pengemis itu. "Maka kamu berdua, anak-anak, kau panggil saja aku Ang Cit Kong."
"Ha, benar saja dia!" kata Oey Yong di dalam hatinya. "Tapi dia masih begini muda, cara bagaimana dia sama kesohornya dengan Coan Cin Cit Cu?...."
Walaupun ia memikir demikian, Oey Yong tidak bilang suatu apa. Bertiga mereka sudah lantas berjalan menuju ke Selatan, di mana ada sebuah dusun namanya Kiang-bio-tin. Lantas saja mereka mencari pondokan.
"Kamu berdua menanti sebentar, aku hendak membeli bumbu," kata Oey Yong, yang terus pergi meninggalkan mereka.
Ang Cit Kong mengawasi belakang si nona, lalu ia tertawa. Ia kata kepada Kwee Ceng, "Adakah dia itu istrimu?"
Merah mukanya Kwee Ceng, sulit untuk ia mengiakan atau menyangkal. Ang Cit Kong tidak menanya pula, dia tertawa, lalu ia duduk nyender di kursinya, matanya meram melek.
Tidak lama Oey Yong kembali dengan sayuran dan bumbunya, ia pergi ke dapur untuk matangi itu. Kwee Ceng hendak membantui, sembari tertawa, pemuda ini ditolaknya.
Selang setengah jam, Ang Cit Kong menguap. Segera ia mengendus-endus. "Ah, harum sekali!" katanya. "Masakan apakah itu, ah?!" Ia melongok ke arah dapur, lehernya diulur panjang-panjang.
Melihat tingkah laku orang, Kwee Ceng tertawa di dalam hati.
Bau wanginya barang hidangan mendesak, tetapi Oey Yong belum juga muncul. Si pengemis jadi serba salah, ia bangun, ia duduk, bangun pula, duduk kembali.
"Kau tahu tabiatku?" katanya pada Kwee Ceng, yang ia awasi. "Mulutku aneh, asal aku merasai makanan lezat, lantas aku lupa segala apa!" Kali ini ia tidak likat-likat lagi. Ia perlihatkan tangan kanannya, ia menambahkan: "Orang dahulu membilang, jari telunjuk dapat bergerak, inilah benar. Aku, asal aku melihat orang dahar makanan lezat jeriji telunjukku ini lantas bergerak-gerak tak hentinya, maka satu kali, sangking sengit, aku bacok kutung padanya...."
"Oh....!" Kwee Ceng berseru.
Tapi si pengemis tertawa. Katanya pula; "Meski jari tanganku lenyap, tabiatku tetap ada tak berubah...!"
Baru itu waktu Oey Yong muncul bersama sebuah penampan, di atas itu ada dua mangkok nasi, berasnya putih, secawan arak serta dua mangkok sayuran. Dua mangkok sayuran itu lantas dipindahkan ke meja.
Kwee Ceng merasakan bau harum, tanda lezatnya masakan itu. Masih ada semangkok masakan daging yang menyiarkan bau terlebih harum lagi. Semangkok yang lainnya pula masakan rebung campur-campu, kuahnya hijau.
Oey Yong mengisikan cawan, ia letaki itu di depan si pengemis.
"Cit Kong, mari cobai masakanku!" katanya sembari tertawa.
Tanpa ditawarkan sampai dua kali, Cit Kong sudah lantas menenggak araknya, lalu ia menyumpit dua potong bakso di masuki ke dalam mulutnya, terus ia menggayem, dengan asyik sekali, tandanya bakso itu sangat lezat.
"Ah, aku tahu!" katanya kemudian. "Bakso ini adalah campuran daging kambing, daging babi, daging kerbau, dan daging.....daging...." Dan ia tidak dapat menyebutkan itu.
"Kalau kau bisa membade, betul kau lihay, Cit Kong!" Oey Yong tertawa. Tapi belum ia berhenti tertawa, si pengemis itu sudah berseru: "Itulah daging mencak dicampur daging kelinci!"
Si nona bertepuk tangan. "Bagus! Bagus!" pujinya. "Kau sungguh lihay!"
Kwee Ceng sebaliknya mendoleng. "Hebat Yong-jie!" pikirnya. "Bagaimana dapat ia memasak semua ini?"
Ang Cit Kong girang bukan main, ia menjepit pula dua buah engtoh yang dimasak bersama sayur kuwah hijau itu. "Aku tahu, inilah sup daun teratai campur rebung campur engtoh!" katanya. Ia masuki engtoh itu ke dalam mulutnya dan mengunyah. Mendadak ia mengasih dengar suara "Ah!" berulang-ulang.
Kwee Ceng heran. Ia menduga, engtoh itu tentu lezat sekali.
"Ah, nona kecil, aku takluk padamu!" kata Ang Cit Kong kemudian, sesudah mengunyah. "Pada sepuluh tahun yang lampau, pernah aku makan makanan ini di dapurnya kaisar akan tetapi rasanya tidak selezat ini!"
Oey Yong tertawa. "Cit Kong," katanya, "Coba bilangi, di dapur kaisar ada makanan apa lainnya yang lezat, ingin aku mempelajarinya, supaya aku bisa memasaki untukmu..."
Tapi tak sempat si pengemis berbicara, ia repot dengan baksonya, dengan sayurnya, maka dilain saat, maka semua makanan itu tinggal dua persepuluh bagian. Baru kemudian ia berkata; "Di dapur kaisar tidak ada barang makanan yang dapat melebihkan masakanmu ini!"
Kwee Ceng heran, "Eh, Cit Kong, apakah kaisar telah mengundang kau berjamu?" tanya ia.
Cit Kong tertawa tergelak-gelak. "Betul, kaisar telah mengundang aku!" jawabnya. Cuma kaisar sendiri tidak dapat mengetahuinya! Selama tiga bulan aku sembunyi di atas penglari dapur kaisar, semua barang hidangannya kaisar telah aku cobai satu demi satu, mana yang lezat, aku hajar habis, mana yang tidak lezat, aku biarkan si kaisar yang gegaras! Koki dan lainnya semua heran, mereka sampai mengatakan di dapurnya itu muncul dewa si rase besar!"
Dua-duanya Kwee Ceng dan Oey Yong bersenyum, di dalam hati mereka berkata: "Ini orang sangat doyan makan, mulutnya besar, tapi nyalinya pun gede...!"
"Eh, bocah!" tertawa pula si pengemis. "Kepandaian masak istrimu ini inilah nomor satu di kolong langit ini! Seumurmu, kau sangat berbahagia! Sungguh heran, kenapa semasa aku muda, aku tidak pernah bertemu nona semacam dia....?"
Kwee Ceng tertawa, begitu pun Oey Yong. keduanya lantas berdahar, Si nona perutnya kecil, sudah cukup ia makan satu mangkok. Kwee Ceng sebaliknya menghabisi sampai empat mangkok, sayurannya ia tidak perhatikan. Sayurannya telah dikonpa si pengemis!
Habis meludaskan semangkok sayur, Ang Cit Kong mengusap-usap perutnya. "Eh, anak-anak, aku tahu kau mengerti ilmu silat," katanya tiba-tiba. "Dan kau bocah perempuan, kau masaki aku barang hidangan lezat, aku tahu, kau tidak mengandung maksud baik! Kau tentunya menghendaki aku mengajarkan kau beberapa jurus! Baiklah, tidak apa! Aku telah merasai hidangan lezat, tidak enak jikalau aku tidak mengajari kau! Mari, ikut aku!"
Ia berbangkit, ia gendol cupu-cupunya, ia cekal tongkatnya, lantas ia berjalan keluar.
Tanpa membilang apa-apa, sepasang muda-mudi itu mengikuti, sampai di sebuah rimba.
"Kau ingin mempelajari apa?" Cit Kong tanya Kwee Ceng.
Pemuda itu berpikir; "Banyak sekali macamnya ilmu silat di kolong langit ini. Kalau aku menginginkan sesuatu, benarkah kau sanggup mengajarinya?" selagi si pemuda berpikir, Oey Yong mendahului.
"Cit Kong, kepandaian dia ini tidak melebihkan aku," katanya. "Dia sering marah-marah, ingin sekali dia menandingi aku!"
"Eh, kapan aku pernah marah terhadapmu...?" tanya Kwee Ceng.
Oey Yong mengedipi mata pada pemudanya itu. Kwee Ceng lantas menutup mulutnya.
Cit Kong tertawa, ia berkata: "Aku lihat gerak kaki tanganmu, kau mesti mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, maka kenapa kau tidak sanggup melawan dia? Sekarang hayo kamu berdua bertempur, aku mau lihat!"
Oey Yong jalan beberapa tindak. "Engko Ceng, mari!" ia memanggil.
Pemuda itu bersangsi.
"Jikalau kau tidak pertontonkan kepandaianmu, mana bisa lojinkee mengajarimu?" si nona berkata. "Marilah!"
Kwee Ceng pikir si nona itu benar juga, maka lantas ia kata pada si pengemis: "Apa yang pernah aku pelajarkan tidak sempurna, aku minta sukalah lojinkee memberi petunjuk."
Cit Kong tersenyum. "Mengajari sedikit tidak apa, mengajar banyak, itulah lain!" katanya.
Mendengar itu, Kwee Ceng melengak. Ia heran. Justru itu Oey Yong berteriak. "Awas!" seraya tangannya menyambar! Ia terkejut, lekas-lekas ia menangkis. Tetapi si nona lihay sekali, ia menarik tangannya, kakinya menggantikan merabuh ke bawah.
"Bagus nona cilik!" berseru Ang Cit Kong. "Kau lihay!"
Si nona tidak melayani pujian itu, hanya seperti berbisik ia kata kepada Kwee Ceng: "Mari bertempur sungguh-sungguh...."
Kwee Ceng menurut, ia berkelahi dengan bersemangat. Ia keluarkan ilmu silat ajarannya Lam Hie Jin, yaitu Lam San Ciang-hiat. Hebat permainannya ini disebabkan, sesudah meminum darah ular, tenaganya bertambah berapa lipat.
Oey Yong melayani pelbagai serangan, setelah itu, ia keluarkan kepandaian ciptaan Oey Yok Su, ayahnya, yaitu "Lok Eng Ciang". Dengan begitu tenaganya lantas memain di delapan penjuru, bagaikan badai mengamuk rimba pohon tho. Kwee Ceng kontan menjadi repot, selagi ia kelabakan, empat kali ia terhajar punggungnya. Habis itu si nona berlompat keluar dari gelanggang, dia tertawa.
"Yong-jie, kau lihay!" Kwee Ceng memuji. Ia tidak gusar atau malu, sebaliknya ia girang sekali. Ia tidak dihajar keras oleh si nona.
Â
Bab 25. Tipusilat "Naga Menyesal"
Ketika itu Ang Cit Kong berkata dengan dingin kepada si nona, "Ayahmu ada mempunyai kepandaian tinggi sekali, kenapa kau masih menghendaki aku mengajari dia?"
Oey Yong terkejut, "Eh, kenapa dia mengenali ilmu silat ayahku ini, yang ayah ciptakan sendiri?" pikirnya. Lantas ia menanya: "Cit Kong, kenalkah kau ayahku?"
"Tentu saja!" sahut si pengemis, temberang. "Dia Tong Shia dan aku Pak Kay! Selama beberapa tahun, entah kita sudah bertempur beberapa puluh kali!"
Oey Yong heran. Ia berpikir pula : "Dia pernah berkelahi sama ayahku dan dia masih belum mati, sungguh dia berkepandaian tinggi." Lalu ia menanya pula: "Lojinkee, bagaimana kau mengenali aku?"
"Pergilah kau kacakan dirimu!" sahut pengemis itu. "Kau lihat alismu, matamu, tidakkah itu mirip dengan alis dan mata ayahmu? Mulanya aku tidak mengenali kau, aku cuma merasa seperti mengenal, setelah melihat ilmu silatmu barusan - hm! Walaupun aku belum pernah melihatnya, tetapi aku tahu betul, ilmu itu cuma dapat dibetelori oleh ayahmu itu yang licin bagai iblis itu!"
Oey Yong tidak gusar ayahnya dikatakan sebagai iblis, sebaliknya ia tertawa. "Bukankah lojinkee hendak membilang ayahku sangat lihay?" ia menanya.
"Memang ia lihay," sahut Ang Cit Kong dingin. "Tetapi dia bukanlah yang nomor satu di kolong langit ini!"
Oey Yong bertepuk tangan, gembira sekali dia. "Kalau begitu adalah lojinkee yang nomor satu!" serunya.
"Itulah bukan," berkata si pengemis, mengaku. "Pada lebih daripada duapuluh tahun yang lampau, kita, ialah Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima berkumpul di atas puncak gunung Hoa San, kita membicarakan tentang ilmu silat bertangan kosong dan menggunai pedang, kita telah bertanding selama tujuh hari tujuh malam, kesudahannya ternyata Tiong Sin Thong yang paling lihay, kita berempat mengakui dia adalah yang nomor satu di kolong langit ini."
"Siapa itu Tong Sin Thong?" Oey Yong menanya.
"Apakah ayahmu tidak pernah omong tentang dia?" tanya si pengemis.
"Tidak. Bahkan ayah mendamprat aku, dia tidak menyukai aku, dari itu aku minggat. Untuk selanjutnya ayah tidak menghendaki aku lagi..." kata si gadis dengan sedih.
"Ha, siluman tua itu!" Ang Cit Kong memaki. "Benar-benar dia sesat!"
Oey Yong memperlihatkan roman tidak senang. "Aku melarang kau memaki ayahku!" ia berkata.
Ang Cit Kong tertawa terkakak. "Sayang sekali orang mencela aku si pengemis melarat, tidak ada wanita yang sudi menikah denganku," katanya, "Kalau tidak, dengan adanya kau yang begini manis, pastilah tidak rela aku mengusir kau buron..."
Oey Yong pung tertawa. "Itulah pasti, lojinkee! Dengan kau mengusir aku, siapa nanti yang masaki kau sayur?"
Pengemis itu menghela napas. "Kau benar, kau benar," ujarnya. Ia berhenti sejenak, lalu ia meneruskan; "Tiong Sin Thong itu ada kauwcu, ialah kepala dari Coan Cin Kauw, namanya Ong Tiong Yang. Setelah ia menutup mata, sekarang sukar dibilang, siapakah dikolong langit ini menggantikan dia sebagai yang nomor satu..."
"Coan Cin Kauw, lojinkee bilang? Ah, bukankah disana masih ada si imam she Khu dan she Ong? Bukankah mereka itu lihay ilmu silatnya?" tanya Oey Yong lagi.
"Mereka itu ialah murid-muridnya Ong Tiong Yang. Aku dengar dari tujuh muridnya, Khu Cie Kee adalah yang paling lihay, tetapi walaupun demikian dia tidak dapat menandingi paman gurunya, Ciu Pek Thong." jawab Cit Kong.
Mendengar disebutkannya nama Ciu Pek Thong itu, Oey Yong terperanjat, hendak ia bicara tapi mendadak ia mengurungkannya.
Sejak tadi Kwee Ceng hanya memasang kuping saja, sekarang ia menyelak. "Oh, kiranya Ma Totiang masih mempunyai paman guru..." katanya.
"Ciu Pek Thong itu bukannya imam dari Coan Cin Kauw," Cit Kong memberi keterangan. "Dialah seorang biasa, yang tidak memegang agama. Ilmu silatnya itu diajarkan sendiri oleh Ong Tiong Yang. Ah, bukankah ayahmu tidak menyukai ini bocah tolol yang menjadi kawanmu?"
Pengemis ini mengatakan Kwee Ceng, inilah yang tidak disangka-sangka si anak muda. Ia menjadi bungkam.
Oey Yong tidak menjadi gusar, ia malah tertawa. "Ayahku belum pernah melihat dia," ia menyahuti. "Jikalau lojinkee sudi memberi pelajaran padanya, dengan memandang kau, pastilah ayahku nanti menyukai dia."
"Hai, iblis cilik!" seru si pengemis. "Kepandaian ayahmu belum kau dapatkan satu bagian saja, tetapi mata iblisnya kau telah wariskan semuanya! Aku tidak senang diumpak-umpak orang dipakaikan kopiah tinggi, aku si pengemis tua juga tidak pernah menerima murid, maka siapakah kesudian bocah tolol ini sebagai murid? Hanyalah kau sendiri yang memandangnya dia sebagai mustika!"
Sehabis berkata begitu, Ang Cit Kong berbangkit, dengan membawa tongkatnya, dia ngeloyor pergi.
Kwee Ceng heran, dia berdiri menjublak mengawasi kepergian orang tua itu. "Yong-jie," katanya selang sesaat, "Tabiatnya locianpwee ini sungguh luar biasa."
"Sebenarnya ialah seorang yang baik hatinya!" menyahuti Oey Yong, yang kupingnya sangat terang, hingga ia dapat mendengar satu suara sangat perlahan di atas pohon di samping mereka, hingga ia menduga kepada si pengemis aneh itu. "Dia juga terlebih lihay daripada ayahku..."
Kwee Ceng memperlihatkan roman aneh. "Kau belum pernah menyaksikan kepandaiannya, mengapa kau bisa bilang begitu?"
"Aku dengar itu dari ayahku," jawab Oey Yong.
"Apakah kata ayahmu?" tanya si pemuda lebih lanjut.
"Ayahku bilang, sekarang ini, orang yang kepandaiannya lihay yang dapat memenangkan ayah cuma tinggal Ang Cit Kong seorang. Sayang orang tua itu tidak ketentuan tempat kediamannya, tidak dapat kita sering berkumpul dengannya untuk menyakinkan ilmu." sahut si nona.
Dugaan si nona tepat, Ang Cit Kong tidak berlalu terus. Setelah tak nampak oleh Kwee Ceng dan si nona, lekas-lekas ia kembali. Ia jalan mutar, terus ia lompat naik ke atas pohon, dari itu ia bisa mendengar pembicaraannya muda-mudi itu. Ia pun puas mendengar suaranya Oey Yok Su seperti dikatakan si nona.
"Pada wajahnya Oey Yok Su tidak pernah mengagumi aku, siapa tahu di dalam hatinya dia memandang hormat," pikirnya. Dan ia puas sekali. Ia tidak tahu Oey Yong melainkan mengarang cerita.
"Sayang belum berarti aku menuntut pelajaran dari ayahku," Oey Yong berkata pula, ia bersandiwara terus. "Mengenai itu aku harus menyesalkan diri sendiri. Kenapa dulu aku gemar main-main saja, tidak mau aku belajar dengan rajin. Sekarang kebetulan sekali kita bertemu dengan Ang Cit Kong, asal dia suka memberikan satu-dua pelajaran, bukankah itu terlebih baik daripada pengajaran ayahku sendiri? Menyesal aku telah keterlepasan omong, aku menyebabkan locianpwee itu tidak senang hati...." Habis berkata begitu, ia lantas menangis.
Kwee Ceng menghiburi kekasihnya itu, tetapi justru itu, dari berpura-pura, Oey Yong menjadi menangis sungguhan.
Ang Cit Kong di atas pohon melihat dan mendengar semua itu, hatinya tertarik. Oey Yong menangis tersedu-sedu.
"Pernah aku dengar ayah bilang," katanya kemudian, "Kiu Cie Sin Kay ada mempunyai semacam ilmu silat yang di kolong langit ini tidak ada saingannya, yang sejak jaman dahulu senantiasa menjagoi sendiri, sampaipun Ong Tiong Yang jeri juga terhadapnya. Ilmu silat itu dinamakan... dinamakan... Ah, aku lupa, sedang barusan aku ingat.... Sebenarnya, ingin aku minta diajari ilmu silat itu, namanya... namanya... Ah, aku lupa lagi!"
Ang Cit Kong masih tidak sadar bahwa orang tengah mengepul terus, ia tidak dapat mengendalikan diri dari ataas pohon, hingga ia langsung berseru: "Itulah Hang Liong Sip-pat Ciang!" Dan ia pun lompat turun dari pohon tempat bersembunyinya itu.
Oey Yong berpura-pura terkejut, tapi habisnya ia girang bukan kepalang. "Benar, benar, ah, kenapa aku tidak ingat itu?" dia berseru. "Ayah sering sekali menyebut ilmu silat itu, dia kata itulah ilmu yang ia paling malui...."
"Kiranya ayahmu itu masih suka omong terus-terang!" Ang Cit Kong berkata. "Aku tadinya menyangka, semenjak meninggalnya Ong Tiong Yang, dia menganggap dirinya sebagai si orang kosen nomor satu di dalam dunia ini...!" Dia memandang Kwee Ceng, terus ia berkata, "Eh, bocah, bakatmu kalah dengan bocah perempuan ini, itulah sebabnya kenapa kau tidak dapat menandingi padanya. Eh, nona cilik, pergilah kau pulang ke pondokmu!"
Oey Yong tahu si pengemis hendak memberi pelajaran pada Kwee Ceng, ia girang bukan main, dengan lantas ia lari pulang.
Lantas Ang Cit Kong memandang tajam pada si anak muda. "Lekas kau berlutut dan mengangkat sumpah!" Katanya, bengis. "Tanpa perkenan dari aku, aku larang kau mewariskan kepandaian yang aku ajarkan ini kepada lain orang, termasuk juga itu istrimu yang licin bagai iblis cilik!"
Kwee Ceng menjadi bingung. "Kalau Yong-jie memintanya, mana dapat aku menolak?" ia berpikir. Karena ini, ia berkata: "Cit Kong, aku tak ingin belajar! Biarlah dia tetap jauh terlebih gagah daripada aku..."
Cit Kong heran. "Eh, kenapa begitu?" dia menegaskan.
"Sebab kalau dia minta aku mengajarinya," sahut Kwee Ceng, "Apabila aku tidak suka mengajarinya, aku jadi berlaku tidak pantas terhadapnya. Sebaliknya jikalau aku meluluskan permintaannya dan mengajarinya, aku malu terhadap kau, aku jadi melanggar sumpahku."
Mendengar keterangan ini, Ang Cit Kong tertawa lebar. "Anak tolol, matamu tajam, hatimu baik!" katanya. "Kau jujur sekali! Sekarang begini saja, aku ajarkan kau jurus Kang Liong Yoe Hoei. Aku tahu Oey Yok Su itu sangat angkuh, seumpama kata ia sangat mengagumi pengajarkan ini, tidak nanti dia menjadi tidak tahu malu dengan mencuri mempelajari kepandaianku yang istimewa ini..."
Setelah mengatakan begitu, Ang Cit Kong lantas menekuk kakinya yang kiri, tangan kanannya ditarik mutar sebagai lingkaran, lalu mendadak ia majukan itu ke depan. Kesudahannya sebuah pohon di depannya itu patah batangnya, roboh dengan berisik sekali.
Kwee Ceng terperanjat kagum. Ia tidak sangka tolakan tangan demikian perlahan akibatnya sehebat itu. Itulah emposan tenaga dalam yang sangat besar.
"Pohon ini adalah benda yang tidak bergerak-gerak!" Cit Kong menerangkan, "Kalau manusia, dia pasti dapat mundur berkelit. Mempelajari ilmu pukulan ini, sukarnya ialah mencegah agar lawan tidak dapat mundur, supaya dia itu tidak bisa berkelit, kalau cegahan itu dapat dilakukan, dia pasti bakal roboh seperti pohon ini."
Lagi sekali si pengemis menjalankan pukulannya itu, sampai dua kali, ia sekalian mengajarkan emposan pernapasannya. Untuk ini ia mesti menggunai tempo cukup lama. Sebabnya ialah bakat yang kurang dari Kwee Ceng, yang otaknya bebal, hingga ia selamanya mesti belajar lama barulah ingat dan hapal. begitulah, selang dua jam barulah ia mengerti betul.
Cit Kong berkata: "Perempuan cilik itu, permainan silatnya lebih banyak gertakannya daripada pukulan yang sebenar-benarnya, kalau kau bertanding dengannya dan repot membela diri, pasti sekali kau dipermainkan dia. Kau boleh gesit dan lincah, kau tetap tidak nanti dapat menangi dia. Kau boleh menduga pukulannya yang benar-benar, kenyataannya ialah gertakan belaka. Saban-saban dia bisa membikin kau tidak dapat menerka."
Kwee Ceng mengangguk-angguk.
"Karenanya jikalau kau ingin memecahkan ilmu silatnya itu," Cit Kong membeber rahasia terlebih jauh, "Jangan kau usil pukulannya itu gertakan atau benar-benar, kau tunggu pukulannya tiba, palsu atau benar, kau sambut dengan Kang Liong Yoe Hoei. Apabila dia melihat seranganmu itu, mesti ia menangkis, asal dia menangkis, kalahlah dia!"
"Kemudian bagaimana!" Kwee Ceng tanya.
"Kemudian bagaimana?!" si pengemis mengulangi. "Ha, anak tolol! Dia ada punya berapa banyak kepandaian hingga ia sanggup melawan ini pukulan yang aku ajarkan kau?"
Si pemuda tak berani mananya lagi, ia terus berlatih. Ia pilih sebuah pohon yang kecil, ia hajar itu. Ia kena menghajar dengan tepat, tetapi pohon itu tidak roboh, melainkan bergoyang-goyang.
"Anak tolol!" mendamprat si pengemis. "Mau apa kau menggoyang-goyang pohon itu?! Kau hendak menangkap bajing atau mau memetik buah cemara?!"
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah, ia tertawa menyeringai.
"Sudah aku bilang, kau mesti bikin lawan tidak dapat mundur, tidak bisa berkelit!" Ang Cit Kong berkata pula. "Pukulan barusan tepat tetapi kurang bertenaga, dengan pohon bergoyang, tenagamu menjadi buyar. Mestinya pohon dihajar tanpa ia bergoyang, baru ia dapat dibikin patah."
Kali ini Kwee Ceng sadar. "Jadinya aku mesti sebat sekali supaya lawan tak keburu bersiaga," katanya.
"Memang! Apa mesti disebutkan pula?!" sembrot si pengemis.
Anak muda ini berdiam, ia berlatih pula. Untuk beberapa puluh kali ia memukul, pohon masih bergoyang-goyang. Ia tidak menjadi bosan, ia tidak berputus asa, terus ia mencoba. Barulah hatinya menjadi terbuka ketika kemudian bergoyangnya pohon perlahan sekali. Itu tandanya ia peroleh kemajuan. Sementara itu tangannya telah jadi bengkak dan merah, tetapi ia tidak pedulikan, masih ia berlatih terus.
Ang Cit Kong tidak sabaran, ia duduk menyender, lalu pulas, menggeros keras.
Ulet si anak muda, segera juga ia bisa bikin pohon tidak bergoyang. Ia jadi semakin bersemangat. Kembali ia memukul. Diakhirnya, robohlah pohon itu, terpatah dua! Hampir ia bersorak.
"Bagus!" begitu terdengar suaranya Oey Yong, yang terlihat mendatangi dengan perlahan-lahan, tangannya membawa kotak makanan. Cit Kong belum membuka matanya, hidungnya sudah mencium bau wangi makanan.
"Harum! Harum!" katanya seraya ia berlompat bangun, segera ia membuka tutup kotak hingga ia lihat ayam panggang dan bebek serta setumpuk lumpia. Tanpa diundang lagi, ia menyambar dengan tangan kiri dan kanan, memasuki ayam dan bebek itu bergantian ke mulutnya untuk digeragoti. "Lezat! Lezat!" ia memuji, tapi karena mulutnya penuh, tak nyata pujiannya itu.
Ketika sebentar kemudian ayam dan bebek itu habis, tinggal tulang-tulangnya saja, baru ia ingat Kwee Ceng belum dahar. Agaknya ia jengah sendirinya. Tapi lekas ia berkata: "Mari, mari! Lumpia ini pun lezat....! Lebih lezat dari bebek...!"
Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong tidak menjadi tidak senang, malah si nona tertawa.
"Cit Kong, kau belum dahar masakanku yang paling jempol!" katanya si nona.
Si pengemis menjadi mengilar. "Msakan apa itu? Masakan apa itu?" ia menanya, mendesak.
"Tidak dapat aku sebutkan semua itu sekarang," menjawab si nona. "Ada peecay goreng, ada tauwhu tim, ada juga sup daging!"
Cit Kong menjadi semakin ngilar. "Bagus, bagus!" katanya. "Sudah aku bilang, kau memang anak manis! Apa boleh aku pergi membelikan peecay dan tauwhu sekarang?"
"Tak usah, Cit Kong. Kau yang beli pun tidak cocok sama pilihanku!"
"Ya, benar-benar, mana orang lain dapat memilih seperti kau sendiri!"
Nona Oey itu lantas memutar haluan. "Barusan aku lihat dia menghajar pohon patah dan roboh, sekarang ia lebih lihay daripadaku!" katanya mengenai Kwee Ceng.
Si pengemis itu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak, tidak!" katanya cepat. "Pukulan apa itu, pohon bergoyang-goyang dan melengkung? Mestinya sekali pukul pohon patah dan runtuh!"
"Toh pukulannya barusan sudah hebat, aku tentu tidak sanggup menahannya," kata pula si nona. "Dasar kau yang berat sebelah! Kalau nanti ia menghina aku, bagaimana?"
Cit Kong hendak mengambil hati orang yang pandai masak itu, ia tidak menjadi kurang senang yang ia disesalkan. "Habis kau mau apa?" tanya.
"Kau mesti ajarkan aku ilmu, yang dapat menangi dia," kata si nona. "Sesudah aku paham, aku nanti masaki kau barang hidangan."
"Baiklah! Dia baru belajar serupa ilmu, tidak sukar untuk menangi dia. Nanti aku ajari kau Yang Siang Hoei." Baru ia tutup mulutnya, sudah ia berlompat, untuk terus bersilat. Kedua tangan bajunya yang lebar berkibar-kibar, tubuhnya berlompatan ke Timur dan Barat, pesat gerakannya.
Diam-diam Oey Yong perhatikan sesuatu gerakan orang, maka tempo Cit Kong berhenti bersilat, ia sudah ingat separuhnya, selebihnya ia minta penjelasannya. Dasar ia berotak terang, belum dua jam, ia sudah mengerti seanteronya, dapat ia jalankan ilmu silatnya itu, tinggal memahirkan latihannya saja.
Yang Siang Hoei atau Burung Walet Terbang Berpasangan, terdiri dari tigapuluh enam jurus, gerakannya mirip dengan burung walet terbang menari-nari. Beda adalah Kang Liong Yoe Hoei, atau Naga Menyesal, yang singkat saja, tetapi untuk Kwee Ceng merupakan pelajaran yang sulit.
Habis berlatih, Oey Yong tertawa. "Engko Ceng, sekarang aku lebih menang pula daripada kau!" katanya gembira. "Sekarang aku mau pergi beli sayur!" Dan lantas dia lari pergi.
"Bocah itu cerdik melebihkan kau seratus lipat!" kata Cit Kong pada si anak muda seberlalunya si nona jenaka itu.
"Memang. Barusan aku melihat lojinkee bersilat, mataku kabur, aku cuma ingat tiga empat jurus."
Cit Kong tertawa, tanpa membilang apa-apa, dia pulang ke pondokan. Kwee Ceng berdiam, ia mengikuti pulang.
Malam itu Oey Yong benar memasakkan peecay goreng dan tim tauwhu, peecaynya dimasak dengan minyak ayam dicampur ceker bebek, sedang tauwhunya dicampuri ham. Maka puaslah Cit Kong menangsel perutnya. Habis bersantap, ia heran melihat muda-mudi itu tidur terpiash kamar.
"Apa? Apakah kamu belum menikah?" dia menegaskan.
Oey Yong tukang bergurau, tetapi ditanya begitu, merah mukanya, hingga di antara cahaya api, dia tampak makin cantik.
"Awas Cit Kong!" dia mengancam, "Kalau kau ngaco lagi, besok aku tidak akan masaki kau makanan yang lezat!"
"Apa, eh? Apakah aku ngomong salah?" tanya si pengemis, kaget. Tapi segera ia mendusin, "Ah, aku tolol betul! Bukankah kamu baru mengikat janji sendiri, belum lagi mendapat perkenan orang tua kamu, belum ada rekokan comblang? Jangan takut, aku si pengemis yang nanti jadi comblangnya! Jikalau ayahmu tidak mau menerima, nona, nanti aku tempur dia! Biar kita bertempur lagi tujuh hari tujuh malam, biar sampai ada yang mampus dan hidup!"
Senang hatinya Oey Yong, sembari bersenyum ia memasuki kamarnya.
Besoknya pagi-pagi Kwee Ceng sudah pergi ke rimba untuk menyakinkan pula pukulan Kang Liong Yoe Hoei, yang sebenarnya adalah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ilmu silat Menakluki Naga. Hanya kali ini ia berlatih kosong, tidak lagi ia menghajar pohon, sebab ia khawatir merusak pohon kayu penduduk situ. Baru menghajar duapuluh lebih kali, ia sudah mandi keringat. Tetapi ia girang sekali, sebab ia telah memperoleh kemajuan. Selagi ia beristirahat, tiba-tiba ia dengar suara orang di luar rimba.
"Suhu, kali ini mungkin kita telah melalui tigapuluh lie lebih!" demikian pendengarannya. Terang orang itu adalah murid berbicara sama gurunya. "Nyatanya ilmu lari kamu telah ada kemajuannya," menjawab seorang yang lain.
Kwee Ceng lantas saja kaget. Ia kenali suara orang yang belakangan ini. Ia pun lantas melihat orangnya - berempat - ialah Kaoy Nio Cu Ong, si tua tetapi romannya tetap muda. Ia mengeluh, lantas saja ia kabur mengambil arah ke penginapan.
Juga Nio Cu Ong sudah lantas melihat dan mengenali pemuda itu. "Kau hendak kemana?!" dia membentak seraya terus mengejar.
Tiga yang lain benar adalah murid-muridnya Soam Sian Loa Kaoy, mereka lantas turut memburu, malah dengan berpencaran, untuk memegat dan mengurung.
Kwee Ceng lari terus. Ia mengerti, asal ia dapat keluar dari rimba, dekat sudah ia dengan pondokannya. Tapi ia dapat dipegat murid kepala musuhnya itu.
"Bangsat cilik, tekuk lututmu!" membentak pemegat itu, yang terus menyerang.
Kwee Ceng menekuk kaki kirinya, tangan kanannya diputar, lalu ia menolak. Itulah jurus Kang Liong Yoe Hoei yang baru saja ia pelajari.
Murid Nio Cu Ong itu hendak menjambak, karena ditolak, hendak ia menangkis. Inilah hebat untuknya. Segera ia terserang hingga lengannya itu patah dan tubuhnya terpental enam tujuh kaki, roboh tak sadarkan diri. Sekalipun ia berkelit, belum tentu ia bebas.
Kwee Ceng sendiri heran. Sebenarnya ia memakai tenaganya cuma lima bagian, tapi akibatnya dahsyat sekali. Untuk sejenak ia tercengang, ketika ia mendusin, lekas ia lari pula.
Nio Cu Ong melihat muridnya dirobohkan, ia kaget berbareng gusar, dia mengejar terus. Tepat dimuka rimba, ia dapat memegat.
Kwee Ceng kaget dan khawatir, sebab si musuh tangguh menghalangi di tengah jalan. Hampir tanpa berpikir, ia tekuk lagi kaki kirinya, tangannya dilingkarkan, lalu ia menolak dengan keras. Kembali ia menggunai jurus Naga Menyesal itu.
Soam Sian Loa Koay terperanjat. Ia tidak kenal pukulan itu, yang nampaknya hebat, terpaksa ia berkelit dengan menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan. Dengan begitu ia bebas, tapi justru itu, Kwee Ceng dapat menerobos untuk lari terus. Ketika ia berlompat bangun, dengan niat mengejar terus, ia dapatkan bocah itu sudah tiba di muka pondokannya.
"Yong-jie! Yong-jie!" Kwee Ceng berteriak. "Lekas minta Cit Kong tolongi aku!"
Oey Yong dapat mendengar teriakan itu, ia muncul dengan lantas. Segera ia melihat Nio Cu Ong.
"Eh, kenapa siluman bangkotan ini berada di sini?" pikirnya. "Bagus ia datang, hendak aku menguji Yan Siang Hoei!" Terus ia berteriak; "Engko Ceng, jangan takut! Lawan dulu padanya, nanti aku bantui kau!"
Kwee Cneg cemas hatinya, karena ia tahu Nio Cu Ong lihay dan Oey Yong belum tahu apa-apa. Tapi tidak sempat ia berpikir lama, musuhnya sudah menyandak. Ia memutar tubuhnya, kembali ia menyerang dengan pukulan Kang Liong Yoe Hoei.
Nio Cu Ong berlompat ke samping, kali ini ia kurang sebat, meski ia bebas, tangan kanannya terserembet juga, hingga ia merasakan sakit dan panas. Tentu sekali ia menjadi heran luar biasa. Baru beberapa bulan mereka berpisah, bocah ini telah menjadi demikian lihay. Ia menduga itulah disebabkan Kwee Ceng menminum darah ular. Ingat ini, ia menjadi tambah mendongkol.
Kwee Ceng lihat orang berkelit, ia menyusuli serangannya, dengan pukulan yang serupa.
Nio Cu Ong cerdas dan lihay, segera ia mendapat kenyataan, pukulan orang hanya serupa, maka setelah berkelit pula, dia tertawa dan berkata; "Ha, bocah, kau mempunyai cuma satu jurus ini?"
Kwee Ceng polos, ia tidak tahu orang memancing dia. "Ya," jawabnya. "Toh kau tidak mampu menangkis!" Ia lantas menyerang pula.
Nio Cu Ong berlompat. Sekarang tahu ia bagaimana harus mengelakkan diri. Tiga kali lagi ia diserang, tiga kali ia berkelit, di samping itu, ia membalas menyerang. Kwee Ceng gagal berulang-ulang, ia lantas menjadi repot.
Oey Yong menonton pertempuran itu, ia melihat kawannya terdesak. "Engko Ceng, nanti aku lawan dia!" ia berseru. Ia berlompat ke arah dua orang itu, tubuhnya melayang bagaikan seekor burung walet. Begitu tiba, kepalan kiri dan kaki kanannya segera dikasih bekerja dengan berbareng.
Nio Cu Ong berlompat mundur, habis itu ia membalas menyerang.
Kwee Ceng lantas mengundurkan diri, lalu ia berdiri menonton.
Oey Yong menggunai Yang Siang Hoei dengan baik, tetapi dasar masih baru dan ia pun kalah Iweekang, ia tidak berdaya merobohkan jago tua itu, sebaliknya hampir-hampir ia kena dihajar beberapa kali oleh lawannya, syukur ia memakai tameng joan-wie-kah. Habis tigapuluh enam jurus, ia pun kena terdesak.
Dua muridnya Nio Cu Ong menolongi kakak seperguruannya, yang mereka pepayang, mereka menonton pertempuran itu, mendapatkan guru mereka unggul, mereka berteriak-teriak menganjurkan guru mereka itu. Kwee Ceng berkhawatir untuk kekasihnya itu, terpaksa hendak ia maju membantui.
Justru itu ia dengar suara nyaring dari Ang Cit Kong, yang berada di aling jendela: "Dia bakal menggunai jurus Anjing Galak Memegat Jalan!"
Oey Yong mendengar itu, ia melengak. Ia melihat Nio Cu Ong memasang kuda-kuda terpentang dan kedua tangan dikasih rata. Ia kenali itulah sikap jurus Harimau Galak Memegat Jalan. Ia tertawa di dalam hatinya. Kiranya Cit Kong tukar 'Harimau' dengan 'Anjing'. Ia hanya heran kenapa Cit Kong dapat membade niat orang. Ia lantas membela diri.
Kembali Cit Kong berseru: "Dia bakal menggunai Ular Bau Mengmbil Air!"
Oey Yong sangat cerdas, lantas ia mengetahui, tentulah itu dimaksudkan jurus Naga Hijau Menyedot Air. Jurus itu lihay di depan, kosong di belakang. Karenanya dengan lincah ia berlompat nyamping, terus ke belakang lawannya.
Nio Cu Ong benar-benar menyerang dengan pukulan Naga Hijau Menyedot Air itu. Tentu saja ia gagal, karena si nona sudah mendahului menghalau diri. Malah ia jadi terluang punggungnya. Syukur ia lihay, dapat ia berkelit dari serangan si nona. Segera ia memandang ke arah jendela rumah penginapan.
"Orang pandai siapa di situ? Mengapa kau tidak mau memperlihatkan diri?" dia berseru dengan pertanyaannya.
Ang Cit Kong dengar suara menantang itu, ia membungkam.
Oey Yong ada tulang punggungnya, ia jadi berani sekali. Ia menerjang. Dalam murkanya Nio Cu Ong melawan dengan bengis, ia menggunai pukulan-pukulan yang membinasakan. Tentu sekali, si nona segera terdesak pula.
"Jangan takut!" terdengar pula teriakannya Cit Kong. "Dia bakal menggunai Pukulan si Kunyuk Kempolan Biru Manjat Pohon!"
Oey Yong tertawa cekikikkan, ia lantas mendahului menyerang dengan tinjunya.
Nio Cu Ong benar-benar hendak menyerang dengan jurusnya yang disebut Cit Kong itu, hanya si pengemis aneh itu sengaja tukar namanya jurus itu, yang sebenarnya Kera Sakti Manjat Pohon. Melihat ia diserang, terpaksa ia membatalkan niatnya untuk membela diri, guna menukar jurus. Karena ia tahu, percuma ia melanjuti serangannya dengan tipu silat itu. Dasar ia lebih lihay, tidak sukar untuk ia menolong dirinya. Hanya ia jadi semakin heran. Ia tanya dirinya, "Kenapa orang itu ketahui aku bakal menyerang dengan jurusku itu?"
Oey Yong menyerang terus. Nio Cu Ong membela diri, habis mana, dia berlompat pula keluar kalangan. Ia berteriak ke arah pondokan: "Saudara yang baik, jikalau kau tetap tidak hendak memperlihatkan diri, jangan menyesal apabila aku tidak berlaku murah hati lagi!"
Di mulutnya Som Sian Lao Koay mengatakan demikian, tangannya berkerja. Ia maju menyerang Oey Yong, hebat serangannya itu, maka dalam beberapa jurus saja, si nona terdesak pula.
Cit Kong tidak bersuara pula, ia pun tidak muncul.
Kwee Ceng melihat kekasihnya terdesak dan kelabakan hingga ia mesti main berkelit saja, ia lantas maju untuk membantui. Segera ia menyerang dengan pukulannya Naga Menyesal itu!
Nio Cu Ong mengetahui hebatnya jurus itu, ia lompat mencelat.
"Hajar padanya, engko Ceng!" Oey Yong menganjurkan. "Serang terus-terusan hingga tiga kali beruntun!"
Habis menganjurkan, nona itu memutar tubuhnya, lari ke dalam pondokan. Kwee Ceng menuruti anjuran pacarnya, ia memasang kuda-kudanya. Ia mau menunggu Nio Cu Ong merangsak, hendak ia menyambutnya.
Som Sian Loa Koay menjadi gusar berbareng mendelu, pun ia merasa lucu juga. Dalam hatinya ia berkata: "Setahu darimana bocah ini dapat pelajari jurusnya ini... Toh ia cuma mempunyai satu jurus...." Walaupun begitu, ia tidak berani keras lawan keras, bahkan tidak berani ia datang mendekati.
Karena terpisah cukup jauh, Kwee Ceng tidak bisa menyerang. Dengan begitu, pertempuran jadi mandek, mereka berdiri berhadapan saja.
"Anak tolol, awas!" Nio Cu Ong berteriak kemudian, terus ia berlompat, untuk menyerang.
Kwee Ceng menanti, lantas ia menyambuti dengan serangannnya.
Tapi orang she Nio itu menggunai akal. Dia tidak menyerang terus. Belum lagi tubuhnya datang dekat, tangannya sudah terayun, lalu tiga batang jarum Touw-kut-ciam menyerang si anak muda di tiga jurusan, atas, tengah dan bawah!
Kwee Ceng melihat bahaya, terpaksa ia batalkan serangannya, ia terus berkelit.
Ketika ini digunai Nio Cu Ong berlompat maju, tangannya menyambar ke batang leher orang, menjambak leher baju.
Kwee Ceng terdesak, ia menyundul dengan kepalanya. Tapi Nio Cu Ong benar-benar lihay, si anak muda merasakan ia seperti membentur kapas. Nio Cu Ong puas sekali, hendak ia menghajar anak muda itu.
Kali ini Oey Yong muncul dengan tiba-tiba. "Siluman tua, lihat apa ini?!" dia berteriak.
Nio Cu Ong kenal orang licin, lebih dulu ia pencet jalan darah Kin-ceng-hiat dari Kwee Ceng, baru ia menoleh kepada si nona nakal. Dia lantas mendapatkan Oey Yong menghampirkan dengan tindakan perlahan-lahan, tangannya mencekal sebuah tongkat bambu warna hijau seperti kumala huicui. Untuk kagetnya, dia mengenali tongkat itu hingga ia berseru tertahan: "Ang...Ang Pangcu!"
Oey Yong tidak meladeni, hanya dia membentak: "Masih kau tidak hendak melepaskan tanganmu?!"
Jinak agaknya si jago ini, ia segera melepaskan cekalannya kepada Kwee Ceng. Sejak tadi ia sudah heran, kenapa Oey Yong ada yang mengajari cara bagaimana harus melawan dia dan niat penyerangannya dibeber. Ia mau menduga kepada Ang Cit Kong, ia ragu-ragu, sebab ia tahu, sudah belasan tahun Ang Cit Kong tidak pernah terlihat di dalam dunia kangouw. Sekarang ia lihat tongkat si kepala pengemis, kagetnya bukan main.
Oey Yong mendekati, ia terus memegangi tongkat dengan kedua tangannya. Ia berkata pula dengan membentak: "Cit Kong bilang bahwa ia sudah perdengarkan suaranya tetapi kau bernyali besar, kau tetap berani main gila disini! Maka Cit Kong tanya, kenapa kau berani berlaku kurang ajar begini?!"
Nio Cu Ong sudah lantas menekuk lututnya. "Dengan sesungguhnya aku yang rendah tidak mendapat tahu Pangcu ada disini," katanya dengan hormat, "Kalau aku yang rendah mengetahui, tidak nanti aku berani berbuat salah terhadap Pangcu."
Oey Yong heran. "Dia sangat lihay, kenapa dia takuti Cit Kong begini rupa? Kenapa dia pun memanggil Ang Pangcu?" Tapi, pada parasnya, ia tetap berlaku keren. "Taukah kau apa dosamu?"
"Nona tolong sampaikan kepada Pangcu, bahwa Nio Cu Ong sudah menginsyafi kesalahannya dan minta Ang Pangcu sukalah mengasih ampun," berkata Som Sian Lao Koay.
"Ingat olehmu!" berkata si nona, "Mulai hari ini sampai seterusnya, untuk selamanya tidak boleh kau mengganggu kami berdua!"
"Aku yang rendah tadinya tidak tahu apa-apa," menyahut Nio Cu Ong. "Aku tidak mengandung maksud sengaja, maka itu aku minta sukalah jiwi memaafkannya."
Dengan "jiwi" - "tuan berdua" dimaksudkan Kwee Ceng dan si nona.
Oey Yong menjadi sangat puas, ia tersenyum, lantas ia tarik tangannya Kwee Ceng, buat diajak ngeloyor pergi, masuk ke dalam rumah penginapan. Di dalam pondok itu Ang Cit Kong tengah berduduk menghadapi empat mangkok besar terisi barang hidangan, tangan kirinya mengangkat cawan arak, tangan kanannya mencekal sumpit, mulutnya menggayem dan mencegluk air kata-kata.
"Cit Kong!" kata si nona tertawa. "Dia berlutut, sama sekali dia tidak berani berkutik!" Ia pun sampaikan permohonannya Nio Cu Ong.
Cit Kong menoleh kepada Kwee Ceng, "Pergi kau hampirkan dia, kau hajar serintasan, tidak nanti dia berani melawan!" katanya.
Kwee Ceng melongok di jendela. Ia lihat Nio Cu Ong terus berlutut di antara panasnya matahari, dua muridnya pun berlutut di belakangnya, roman mereka itu runtuh sekali. Ia menjadi tidak tega. "Cit Kong, kasihlah dia ampun," katanya.
"Hai, makhluk tidak tahu diri!" membentak si pengemis. "Orang hajar padamu, kau tidak mampu melawan, aku si tua bangka menolongi padamu, sekarang kau memintakan ampun untuknya! Apakah artinya ini?!"
Ditegur begitu, Kwee Ceng berdiri diam. Ia tidak sangka si pengemis, yang biasanya jenaka dan manis budi, sekarang menjadi galak begini.
Oey Yong tertawa, dia datang sama tengah. "Cit Kong, nanti aku yang hajar dia!" katanya.
Dan lantas ia bertindak keluar dengan masih membawa tongkat istimewa itu. Ia hampirkan Nio Cu Ong, yang berlutut tanpa bergeming, wajahnya wajah ketakutan. Oey Yong lantas menegur: "Cit Kong bilang kau jahat, hari ini sebenarnya kau mesti disembelih, tetapi syukur ada aku punya engko Ceng yang hatinya murah, dia telah memintakan ampun untukmu, ia memohon lama juga barulah Cit Kong meluluskannya."
Kata-kata itu ditutup dengan diangkatnya tongkat, dihajarkan ke kempolan orang.
"Nah, kaupergilah!" akhirnya si nona mengusir.
Nio Cu Ong tidak segera mengangkat kaki, ia hanya memandang ke arah jendela. "Ang Pangcu, aku ingin bertemu padamu, untuk menghanturkan terima kasih yang kau telah tidak membunuh aku," katanya.
Dari dalam pondokan tidak ada terdengar suara apa-apa.
Nio Cu Ong terus bertekuk lutut.
Sampai sekian lama, barulah Kwee Ceng muncul. Ia menggoyang-goyang tangan, ia berkata dengan perlahan: "Cit Kong lagi tidur, kau jangan bikin berisik disini!"
Baru sekarang Nio Cu Ong berbangkit, ia mendelik kepada itu muda-mudi, lalu ia ngeloyor pergi dengan mengajak ketiga muridnya.
Oey Yong dan Kwee Ceng membiarkan orang melotot mata, bersama-sama mereka balik ke dalam pondokan. Benar-benar Cit Kong terlihat lagi menggeros dengan kepalanya diletaki di atas meja. Si nona pegang pundak orang, ia menggoyang-goyang.
"Cit Kong, Cit Kong," katanya. "Tongkat bambu mustikamu ini sangat besar pengaruhnya, jikalau kau tidak pakai, kau berikan saja padaku! Bolehkah!"
Cit Kong mengangkat kepalanya, ia menguap, ia pun mengulet. "Enak saja kau membuka suaramu!" katanya tertawa. "Bendaku ini adalah alat peranti mencari makan dari kakekmu. Seorang pengemis tanpa tongkat pemukul anjing mana bisa jadi pengemis?"
Oey Yong bermanja. "Ilmu silatmu sudah sangat lihay, orang jeri padamu, habis untuk apa kau menghendaki tongkat ini?" dia mendesak.
"Hai, budak tolol!" tertawa si pengemis. "Sekarang lekas kau masaki aku beberapa rupa barang hidangan yang lezat, sebentar aku menutur perlahan-lahan padamu."
Oey Yong menurut, ia lantas pergi ke dapur. Ia menyiapkan tiga rupa masakan. Apabila sudah selesai, ia bawa itu keluar.
Cit Kong memegang cawan araknya dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang sepotong ham, yang ia gerogoti. Ia mengunyah perlahan-lahan. "Makhluk di dalam dunia ini tidak ada yang tidak berkumpul dengan seterunya," ia berkata kemudian. "Hartawan yang kemaruk uang satu rombongan, orang Rimba Hijau tukang membegal atau merampok satu rombongan juga. Demikian kami si tukang minta-minta, kami pun berkumpul dalam satu golongan...."
"Aku tahu sudah, aku tahu sudah!" Oey Yong memotong seraya ia menepuk-nepuk tangan. "Tadi Nio Cu Ong memanggil kau Pangcu, kau jadinya adalah pemimpin dari tukang minta-minta!"
Cerdik nona ini, ia lantas dapat menerka.
"Benar!" Cit Kong mengaku. "Kami bangsa pengemis biasa orang hinakan, bisa digigit anjing, apabila kami tidak bersatu, mana dapat kami hidup? Maka juga ini sebatang tongkat serta ini sebuah cupu-cupu, semenjak jaman Cian Tong Ngo tay sampai hari ini, sudah beberapa ratus tahun, selamanya dipegang oleh orang yang menjadi Pangcu, ialah pemimpin kepala, jadi inilah mirip dengan capnya seorang kaisar atau capnya satu pembesar negeri."
Mendengar itu, Oey Yong meleletkan lidahnya. "Syukur kau tidak mengasihkan padaku!" katanya.
"Kenapa?" Cit Kong tertawa.
"Jikalau semua pengemis di kolong langit ini pada mencari aku, untuk aku mengurus mereka, apakah itu tidak cade?" sahutnya.
Cit Kong tertawa pula. Ia gerogoti pula sepotong ceker. Ia berkata pula: "Rakyat negeri di Utara diurus oleh negeri Kim, rakyat negeri di Selatan diurus oleh kerajaan Song, tetapi pengemis di kolong langit ini..?"
"Tidak peduli mereka yang dari Selatan atau Utara, semua mereka diurus oleh kau , lojinkee!" Oey Yong mendahului.
Ang Cit Kong tertawa terbahak, ia mengangguk.
"Pantaslah itu siluman bangkotan she Nio sangat jeri padamu!" si nona menyambungi. "Kalau semua pengemis di kolong langit ini mencari dia, untuk mengganggu, nah, bukan main sulitnya dia! Umpama satu pengemis menangkap seekor tuma itu ditaruh di lehernya, tidakkah ia bakal mampus kegatalan?"
Kwee Ceng tertawa.
Ang Cit Kong tidak gusar, ia malah turut tertawa.
"Tetapi," menjelaskan si raja pengemis kemudian, "Dia takuti aku bukannya karena itu..."
"Habis karena apa?" tanya Oey Yong.
"Itulah kejadian pada kira-kira duapuluh tahun yang lampau. Itu hari aku bertemu dengannya di Kwan-gwa, kebetulan ia tengah melakukan satu pekerjaan buruk dan aku pergoki dia..."
"Pekerjaan buruk apakah itu?" tanya si nona.
Cit Kong agaknya bersangsi tetapi ia menerangkan juga: "Siluman tua itu percaya kepada omongan sesat tentang memetik bunga untuk menambah tenaga atau panjang umur, dia lantas cari banyak nona-nona untuk dirusaki kesucian dirinya..."
"Apakah itu yang dinamakan merusak kesucian nona-nona?" tanya si nona kembali.
Oey Yong polos, ia belum mengetahui tentang hal kesucian yang dirusak itu. Ketika ia dilahirkan, ibunya lantas menutup mata disebabkan sukar melahirkan, dari itu semenjak bayi ia dirawat oleh ayahnya, kemudian terjadi Oey Yok Su murka besar disebabkan Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua muridnya itu, yang memainkan lelakon asmara dan minggat, saking kalapnya, dia putuskan urat-urat semua muridnya yang lainnya, yang ia pun usir pergi dari pulau Tho Hoa To, maka di pulau itu ketinggalan saja beberapa bujang tua, hingga si nona belum pernah dengar soal-soalnya pemuda dan pemudi dewasa. begitulah sampai usianya limabelas tahun, ia tetap gelap mengenai hal itu. Kalau toh ia suka sama Kwee Ceng, itulah karena perasaannya yang wajar, perasaan yang ia rasakan manis, apabila mereka berpisahan, segera ia merasa sunyi seorang diri. Tapi ia tahu, kalau orang menjadi suami-istri, orang tidak bakal berpisahan pula seumur hidupnya, maka itu ia anggap Kwee Ceng sudah menjadi sebagai suaminya; lain daripada itu, ia gelap.
Untuk sejenak itu, Cit Kong pun dipersulit pertanyaan si nona, hingga ia tidak lantas memberikan jawabannya.
"Setelah satu nona dirusak kesuciannya, apakah dia lantas dibunuh?" Oey Yong tanya pula.
"Bukannya begitu," Cit Kong tertawa. "Wanita yang diperhina secara demikian, hebatnya melebihkan daripada dibunuh. Maka juga ada pembilangan, 'Hilang kesucian urusan besar, mata kelaparan urusan kecil'"
"Habis, apakah dia dihajar kempolannya?" si nona tanya pula.
"Cis!" berludah Cit Kong tetapi dia tertawa. "Bukannya begitu, budak! Baiklah kau pulang untuk menanyakan keterangan ibumu!"
"Ibu sudah lama tutup mata." sahut si nona.
"Oh...." si pengemis melengak. "Nanti saja, kapan tibanya kamu berdua merayakan pernikahanmu, kau bakal mengerti sendiri."
Mukanya si nona menjadi merah, ia memonyongi mulutnya. "Sudahlah jikalau kau tidak sudi menerangkan!" katanya. Samar-samar ia mulai mengerti duduknya hal. Ia menanya pula: "Habis bagaimana sesudah kau pergoki si siluman bangkotan itu berbuat buruk?"
Lega si pengemis mendengar orang bicara dari lain soal.
"Pasti sekali aku urus dia!" ia menyahuti, "Orang she Nio itu telah kena aku bekuk, aku hajar dia, aku paksa ia mengantari pulang semua nona-nona itu kerumahnya masing-masing. Lain dari itu aku paksa ia mengangkat sumpah bahwa dilain waktu dia tidak lagi berbuat sejahat itu, dan aku ancam, apabila aku mempergokinya pula, ia bakal mati tidak, hidup pun tidak!"
"Oh, kiranya demikian!"
Kemudian, habis bersantap, Oey Yong berkata, "Cit Kong, kalau sekarang kau kasihkan tongkatmu kepadaku, aku juga tidak sudi menerimanya, hanya masih ada satu soal. Bukankah kita tidak bakal berdiam bersama-sama untuk selama-lamanya? Bagaimana kalau dilain waktu kami berdua bertemu pula sama siluman she Nio itu dan dia membilangnya padaku, 'He, budak yang baik, dulu hari kau mengandalkan Ang Pangcu, kau menghanjar aku dengan tongkatnya, sekarang aku hendak membalas sakit hati!' Kalau sampai terjadi begitu, bagaimana kami harus berbuat?"
Ang Cit Kong tertawa. "Ha! Kau sebenarnya menghendaki aku mengajari pula lain ilmu silat kepada kau berdua! Kau kira aku tidak tahu? sekarang pergilah kau masak syaur lagi, bikinlah banyakan, kau boleh percaya Cit Kong tidak nanti membikin kau kecele!"
Oey Yong menjadi sangat girang, ia sambar tangannya si pengemis, untuk dibawa ke rimba tadi.
Ang Cit Kong mengajarkan pula jurus yang baru kepada Kwee ceng, yaitu jurus kedua dari Hang Liong Sip-pat Ciang, namanya "Hoei Liong Thay Thian" atau "Naga Terbang ke Langit". Jurus ini mewajibkan Kwee Ceng lompat tinggi sekali, lalu dari atas ia menyerang turun, hingga tenaganya menjadi luar biasa besar. Untuk ini, Kwee Ceng memerlukan tempo tiga hari, baru ia dapat melatih dengan baik. Selama tiga hari itu, Oey Yong sendiri sudah mendapatkan pelajaran lain, ialah untuk dengan tempuling ngo-bje-cie memecahkan sebatang golok. Sementara itu Ang Cit Kong sendiri telah menikmati belasan macam makanan lezat dari si nona.
Demikianlah hari-hari lewat. Tidak sampai satu bulan, Cit Kong sudah wariskan limabelas jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, dari "Naga Menyesal" sampai pada "Liong Thian Ie Ya" atau "Naga bertempur di tanah datar".
Ilmu silat Cit Kong ciptakan sendiri setelah ia memahami kitab "Ya Keng", jurusnya terbatas sekali tetapi kegunaannya besar, sebab setiap jurusnya hebat. Hanya ketika dulu di puncak Hoa San ia mengadu silat sama Oey Yok Su beramai, ilmu ini belum ia pelajarkan habis, meski begitu, Ong Tiong Yang toh memuji ilmunya itu. Cit Kong menyesal yang ia belum sempat menyelesaikan itu, kalau tidak, mungkin ialah yang menjadi pemenang nomor satu. Mulanya dia hendak mengajari Kwee Ceng dua tiga jurus saja, untuk si anak muda pakai menjaga diri, tetapi masakan Oey Yong hebat sekali, setiap hari ditukar dengan hari lewat hari, kejadian ia mewariskan limabelas jurus itu. Maka dalam tempo satu bulan itu, Kwee Ceng telah seperti salin rupa. Oey Yong sendiri telah memperoleh beberapa jurus yang luar biasa, yang campur aduk!
Pada suatu pagi sehabis sarapan, Cit Kong berkata kepada kedua bocah itu; "Eh, anak-anak, kita sudah berkumpul sebulan lamanya, sudah tiba waktunya kita berpisahan."
"Oh, tidak!" Oey Yong mencegah. "Aku masih mempunyai beberapa macam masakan yang hendak aku bikin untuk aku suguhkan kepada kau, lojinkee!"
"Ingat, anak, di kolong langit ini tidak ada pesta yang tidak bubar. Kau tahu biasanya aku si tua bangka belum pernah mengajari orang lebih daripada tiga hari, tetapi terhadap kamu, aku telah memakai tempo satu bulan, kalau mesti tambah hari lagi, oh itulah hebat sekali!" kata si pengemis.
"Kenapa begitu, Cit Kong?" tanya si nona heran.
"Dengan begitu, habislah semua kepandaianku diturunkan kepada kamu!" sahut si raja pengemis.
Oey Yong tersenyum tetapi ia kata: "Cit Kong, orang baik mesti sekali berbuat baik seterusnya berbuat baik hingga diakhirnya. Jikalau kau ajarkan semua delapanbelas jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang kepadanya, bukankah itu baik sekali?"
"Fui!" si pengemis berseru. "Ya, buat kamu baik, tetapi aku si pengemis tidak!"
Oey Yong menjadi bingung. Ia lantas memikirkan daya apa untuk menahan orang tua itu, akan tetapi belum ia dapat pikiran, Cit Kong telah menggendol cupu-cupunya dan mengangkat tongkatnya ngeloyor pergi, jalannya sambil menyeret sepatunya.....
Kwee Ceng menjadi bingung juga, ia lari menyusul. Hebat Cit Kong sebentar saja ia telah lenyap di dalam rimba.
"Cit Kong! Cit Kong!" Kwee Ceng menyusul dan berteriak-teriak. Tidak ada jawaban.
Oey Yong juga menyusul, ia pun memanggil-manggil. Tapi ia pun tidak peroleh penyahutan.
Tapi belum lama, terlihatlah suatu bayangan dan Cit Kong muncul dengan tiba-tiba.
"Ha, kamu berdua budak busuk, mau apa kamu melibat aku?" ia menanya, agaknya ia mendongkol. "Apakah kau masih minta aku mengajari silat? Oh, itulah sukar di atas sukar!"
"Lojinkee sudah mengajarkan banyak, teecu telah puas," berkata Kwee Ceng, yang menyebut dirinya teecu atau murid. "Tidak nanti teecu berlaku temaha, cuma teecu belum dapat membalas budimu yang besar sekali." Ia lantas jatuhkan dirinya, berlutut, untuk paykui kepada itu guru sembatan.
"Ha, tahan!" mendadak si pengemis berseru. "Aku mengajarkan kau silat sebab aku gegaras sayur masakan dia itu, untuk itu, pengajaranku itulah bayaranku! Di antara kita tidak ada soal guru dengan murid!" Mendadak ia pun berlutut, membalas hormatnya si anak muda.
Kwee Ceng kaget sekali, hendak ia paykui pula, untuk membalas, tetapi ia tidak dapat berbuat begitu, tiba-tiba saja si pengemis mengulurkan tangannya dan ia kena ditotok jalan darah dirusuknya hingga ia berdiri dengann kedua kaki ditekuk, tak dapat ia menggeraki tubuhnya!
Cit Kong mengangguk sampai empat kali, guna membalas penghormatan orang, baru ia menotok pula membebaskan jalan darah orang. Ia kata: "Ingat, sekarang jangan kau mengatakannya sudah memberi hormat padaku, bahwa kaulah muridku!"
Kwee Ceng berdiam, tidak berani ia membuka mulut lagi. Sekarang ia menginsyafi benar-benar tabiat kukoay bin aneh dari si raja pengemis yang berjeriji sembilan itu.
Cit Kong lantas memutar tubuhnya, untuk mengangkat kaki, atau mendadak ia bersuara "Ih!" lantas ia membungkuk, tangannya diulurkan ke tanah, di antara rumput, dua jarinya menjepit seekor ular hijau panjangnya dua kaki.
"Ular!" Oey Yong menjerit kapan si pengemis angkat tangannya. Cuma sebegitu ia berseru, atau pundaknya telah ditolak Ang Cit Kong hingga ia terpental jauhnya setombak lebih!
Bab 26. Memikiri Senantiasa
Menyusul itu terdengar pula beberapa suara rumput bergerak-gerak, lalu terlihatlah beberapa ekor ular lainnya. Dengan menggeraki tongkatnya, Ang Cit Kong singkirkan binatang berbisa itu, untuk setiap kemplangannya, tongkatnya mengenai tepat di kepala ular, yang terus mati.
Kalau tadinya ia kaget, sekarang Oey Yong kegirangan hingga ia berseru memuji.
Tengah ia tertawa, di belakangnya muncul dua ekor ular yang lain, yang menyambar sambil membuka bacotnya, untuk menggigit.
"Lari!" Ang Cit Kong berseru. Tapi sudah terlambat, si nona telah kena disambar dan digigit. Ular itu kecil tubuhnya tetapi hebat bisanya, cuma tergigit satu kali, celakalah orang, apapula sekarang menyambar sekali dua.
Ang Cit Kong pun kaget. Kupingnya segera mendengar suara lain, yang terlebih berisik, kapan ia mengawasi, ia tampak nyelosornya sekumpulan ular di tempat kira-kira sepuluh tombak dari mereka. Tidak ayal lagi, ia sambar pinggang Kwee Ceng, ia cekuk pundak Oey Yong, terus ia berlompat, lari keluar dari rimba itu. Dia lari terus kembali ke tempat penginapan. Setibanya di muka pondokan, pengemis itu awasi muka si nona, lantas hatinya menjadi lega. Nona itu tak kurang suatu apa, dia ada seperti biasa.
"Bagaimana kau merasakan?" ia menanya, hatinya girang.
Oey Yong tertawa. "Tidak apa-apa!" sahutnya wajar.
Tapi Kwee Ceng melihat ular tadi masih menyantel di badan kekasihnya, dia kaget, dia ulur tangannya, untuk menangkap ular itu, untuk disingkirkan. "Jangan!" Cit Kong berseru pula saking kagetnya.
Tapi tangan Kwee Ceng telah kena menjambret ular itu, yang kepalanya mengeluarkan darah. Binatang itu tidak bergerak lagi, dia sudah mati! Mulanya Ang Cit Kong tercengang, tetapi dengan lekas ia sadar sendirinya. "Tidak salah lagi!" katanya. "Tentulah joan-wie-kah ayahmu telah diwariskan kepadamu!"
Memang ulat itu menggigit joan-wie-kah, kepalanya pecah, lalu terbinasa.
Selagi Kwee Ceng menyambar seekor ular, banyak yang lainnya lagi keluar dari rimba. Cit Kong sendiri segera mengeluarkan obat hitam dari sakunya, ia masuki itu ke dalam mulutnya untuk dikunyah, dari dalam rimba masih saja terlihat ular yang keluar, hitung ratus, hitung ribu.
Maka Kwee Ceng berseru; "Cit Kong, mari lekas pergi!"
Cit Kong tidak menjawab, ia menurunkan cupu-cupu dari punggungnya, dia membuka sumpalnya, untuk menuang isinya ke dalam mulutnya, dicampur sama obat tadi, sesudah mana ia menyembur ke arah ular-ular itu, ke kiri dan kanan, hingga mereka bertiga terintang semburan arak. Sejumlah ular, yang mencium bau arak campur obat itu lantas rebah tak bergerak, yang lainnya tak berani maju lebih jauh, tapi kerana yang dibelakang masih banyak dan maju terus, mereka jadi kacau sendirinya. Oey Yong gembira menyaksikan ular-ular itu bergumulan, ia menepuk-nepuk tangan.
Selagi si nona ini kegirangan, dari dalam rimba terdengar suara berisik, lalu terlihat tiga orang pria yang pakaiannya putih semua, dengan tangan mencekal masing-masing sepotong pentungan dua tombak lebih panjangnya, lagi berseru-seru mengusir semua ular itu, pentungannya dipakai mengancam, mirip lagaknya dengan bocah angon lagi menggembala kerbau atau kambingnya.
Mual rasanya akan menyaksikan ujal-ujalan semua ular itu.
Ang Cit Kong menangkap seekor ular, yang ia sontek dengan tongkatnya. Dengan dua jari kiri ia jepit leher ular itu, dengan kelingking kanan ia menggurat perutnya ular hingga pecah berlobang, untuk mengasih keluar nyalinya.
"Lekas telan ini! Jangan kena kegigit, sangat pahit!" ia berkata kepada si nona.
Oey Yong menurut, ia lantas telan nyali ular itu. Menyusul itu, ia merasa enak dan segar sekali.
"Eh, engko Ceng, kau juga hendak makan nyali ular?" dia menanya.
Kwee Ceng menggelengkan kepalanya. Ia sudah mengghirup darah ular, ia tidak mempan racun ular itu, malah tidak ada ular yang berani menggigit padanya, cuma Ang Cit Kong dan si nona yang tadinya diarah.
"Cit Kong, ular ini mesti ada yang piara," berkata Oey Yong.
Pak Kay mengangguk. Dengan wajah murka, ia mengawasi ketiga orang serba putih itu, yang sebaliknya pun murka melihat orang bunuh ularnya dan dimakan nyalinya, malah habis membereskan ular-ularnya, mereka maju menghampirkan.
"He, kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah tidak menghendaki lagi jiwamu?!" yang satu menegur dengan bengisnya.
"Tepat!" berseru Oey Yong dengan jawabannya. "Kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah tidak menghendaki jiwa kamu?!"
"Bagus!" berseru Cit Kong seraya menepuk pundak si nona. Ia memuji pembalasannya si nona, yang mulutnya lihay itu.
Tiga orang itu menjadi bertambah gusar, satu yang kulit mukanya putih dan usia pertengahan sudah lantas berlompat, menyodok si nona dengan pentungannya. Melihat sambaran anginnya, dia bukannya sembarangan kepandaiannya.
Cit Kong berlaku sebat, ia melonjorkan tongkatnya, menyambut serangan itu. Dengan begitu Oey Yong jadi luput dari bahaya.
Penyerang itu lantas menjadi kaget, tidak saja pentungannya mandek, pula tak dapat ia menarik pulang. Pentungan itu menempel seperti terpantek pada tongkat si pengemis. Maka ia lantas mengempos semangatnya.
"Kau pergilah!" berseru Ang Cit Kong selagi orang menarik keras, tangannya digentak.
Maka terjengkanglah orang itu, terlempar ke dalam barisan ularnya, pentungannya hancur menjadi puluhan potong pendek. Dia rupanya telah memakan obat pemunah, ular tak berani gigit padanya.
Dua orang yang lain terkejut, mereka mundur dengan seketika.
"Bagaimana, toako?" mereka menanya pada kawannya yang roboh itu. Orang itu berlompat bangun dengan gerakannya "Ikan gabus melentik". Akan tetapi dia terbanting keras, belum sampai bangun berdiri, dia sudah jatuh pula, kembali menimpa ularnya, hingga seperti tadi, ada belasan ular yang mampus ketindihan. Maka kawannya, yang mukanya putih, menyodorkan pentungannya, membantui dia bangun.
Sekarang mereka bertiga itu tidak berani menyerang pula, bahkan mereka lantas masuk ke dalam kalangan ular mereka.
"Siapa kamu!" kemudian tanya orang yang barusan terjungkal itu. "Kalau kau laki-laki, sebutkan nama kamu!"
Ang Cit Kong tertawa terbahak-bahak, ia tidak menyahuti.
"Kamu orang-orang macam apa?!" Oey Yong sebaliknya menanya. "Kenapa kau menggiring begini banyak ular berbisa untuk mencelakai orang?!"
Tiga orang itu saling mengawasi, selagi satu diantaranya hendak menyahuti, dari dalam rimba tertampak munculnya seorang yang berdandan sebagai mahasiswa yang putih mulus bajunya. Dia berjalan perlahan-lahan, tangannya mengerjakan kipasnya. Ia berjalan di antara banyak ular itu, yang pada menyingkir sendirinya.
Kwee Ceng dan Oey Yong sudah lantas mengenali orang itu ialah Auwyang Kongcu, sancu atau pemilik gunung Pek To San. Herannya ular-ular itu menyingkir daripadanya.
Tiga pengiring itu menghampiri si anak muda, untuk berbicara, lantas tangannya menunjuk ke ular-ular yang tak berkutik itu, rupanya mereka mengadu.
Pemuda itu agaknya terperanjat, tapi lekas ia menjadi tenang pula. Dia maju menghampir Ang Cit Kong bertiga, dia memberi hormat sambil mengangguk, kemudian dia tertawa dan berkata: "Beberapa sahabatku ini telah berlaku kurang ajar kepada locinpwee, untuk itu aku menghanturkan maaf." Terus ia memandang Oey Yong, untuk meneruskan: "Kiranya nona ada di sini. Sungguh bersengsara aku mencari padamu..."
Oey Yong tidak mengambil mumat pemuda itu, ia hanya menoleh kepada si pengemis. "Cit Kong, orang inilah telur busuk yang paling besar!" ia memberitahu. "Kau baiklah mengajar adat padanya!"
Ang Cit Kong mengangguk, terus ia memandang si anak muda, romannya bengis. "Untuk mengangon ular ada tempatnya, ada batasnya, ada waktunya, ada aturannya juga!" katanya. "Kau andalkan pengaruh siapa maka kau jadi begini gila-gilaan?!"
"Semua ular ini datang dari tempat yang jauh sekali, semuanya sangat lapar, mereka jadi tidak dapat memakai aturan lagi," menyahut si pemuda.
"Berapa banyak orang telah kamu bikin celaka?" Cit Kong menegur pula.
"Kami menggembala di tanah belukar, belum pernah kami mencelakai orang," menyahut si anak muda.
"Hm!" Cit Kong mengejek. "Belum pernah mencelakai orang! Kau toh si orang she Auwyang?"
"Benar!" dia menjawab itu. "Kiranya nona ini telah memberitahukannya padamu. Kau siapa, lojinkee?" dia balik menanya.
Oey Yong mendahului si pengemis. "Namamu yang busuk! Siapa yang sudi menyebutnya!" kata dia. "Namanya locinpwee ini tidak usah diberitahukan kepadamu, cuma-cuma bakal membikin kau kaget!"
Auwyang Kongcu itu tidak gusar, dia melirik si nona sambil tersenyum.
"Kau anaknya Auwyang Hong, bukankah?" Ang Cit Kong tanya.
Belum si anak muda menyahuti, tiga kawannya sudah gusar duluan. "Pengemis bangkotan tidak karuan, bagaimana besar nyalimu berani menyebut namanya sancu kami?!" mereka menegur.
Ang Cit Kong tertawa lebar.
"Lain orang boleh tidak menyebutnya tetapi aku boleh!" katanya. mendadak orang tua itu mencelat ke arah tiga orang itu dan tahu-tahu "Plak-plok!" muka mereka kena ditampar datang-pergi, setelah mana dengan menekan tongkatnya, ia berlompat balik ke tempatnya berdiri tadi.
"Kepandaianmu ini, Cit Kong, kau belum ajari aku!" berkata Oey Yong, seperti ia tidak menggubris peristiwa.
Cit Kong bukan saja menggaplok, ia juga membuatnya terlepas sambungan baham orang.
Auwyang Kongcu terperanjat, lekas-lekas ia menolongi tiga orang itu. "Apakah cinpwee mengenal pamanku?" ia tanya Cit Kong, sekarang sikapnya hormat.
"Oh, kau jadinya keponakannya Auwyang Hong!" berkata Cit Kong. "Sudah berselang duapuluh tahun yang aku tidak pernah bertemu pula sama si racun tua bangkamu itu! Apakah dia belum mampus?"
Panas hatinya si anak muda, tetapi melihat orang lihay dan orangpun seperti mengenal baik pamannya, ia mau percaya, pengemis ini ada orang tingkat atasan yang lihay. Maka berkatalah ia: "Pamanku sering membilang, sebelum sahabat-sahabatnya pada habis mati terlebih dulu, dia masih belum ingin pulang ke langit..."
Ang Cit Kong tertawa berlengak. "Anak yang baik, pandai kau mencaci orang dengan jalan mutar-balik!" katanya. "Aku hendak tanya kau, perlu apa kau membawa-bawa sekalian mustikamu ini?" Ia maksudkan semua ular itu.
"Biasanya aku yang muda tinggal di barat," Auwyang Kongcu menyahut, "Tapi kali ini aku berangkat ke Tionggoan untuk belajar berkenalan, lantaran iseng - kesepian di tengah jalan, sekalian aku membawa mereka ini untuk main-main saja."
"Terang-terang kau mendusta!" Oey Yong menyemprot. "Ada demikian banyak wanita yang menemani kau, kau masih bilang iseng kesepian!"
Pemuda itu menggoyangi kipasnya hingga dua kali, matanya menatap si nona, lalu ia tersenyum, lantas ia bersenandung: "Duka hatiku, maka kenapa tidak ada lain orang? Karena kau, aku jadi bersenandung hingga kini!" Ia mengambil syair dari Sie Keng, Kitab Syair, yang ia campur aduk.
Oey Yong tidak gusar, ia sebaliknya tertawa. "Aku tidak membutuhkan kau mengambil-ambil hatiku!" ia menganggapi. "Lebih baik tak perlulah kau memikirkan aku!"
Pikiran si anak muda bagaikan melayang, tak tahu ia harus membilang apa....
Ang Cit Kong lantas menegur; "Kau paman dan keponakan, kamu malang melintang di Barat, di sana tidak ada orang yang mengendalikan kamu, jikalau di Tionggoan kau masih hendak berbuat seperti di sana, kau janganlah mimpi di musim rontok! Dengan memandang pamanmu itu, aku tidak ingin berpandangan cupat seperti kau, maka lekaslah kau pergi!"
Auwyang Kongcu mendongkol bukan main, tetapi untuk melawan ia tidak ungkulan, cuma untuk berlalu begitu saja, ia tidak puas. Maka akhirnya ia berkata; "Di sini aku yang muda meminta diri. Umpama kata dalam beberapa tahun ini cianpwee tidak dapat sesuatu sakit keras dan juga tidak menemui bahaya apa-apa, aku undang cianpwee suka berkunjung ke Pek To San untuk berdiam beberapa hari di sana."
Ang Cit Kong tertawa.
"Nyata kau telah menantang aku!" katanya. "Tapi aku si pengemis bangkotan tidak biasanya main janji-janji! Pamanmu tidak takut padaku, aku juga tidak takuti pamanmu itu! Pada duapuluh tahun yang sudah, kita sudah mengadu kepandaian, kita adalah setengah kati sama dengan delapan tail, jadi tidak usahlah kita bertempur pula!" Tiba-tiba ia menambahkan, dengan membentak bengis; "Masih kau tidak hendak menyingkir jauh-jauh!"
Auwyang Kongcu terperanjat, hatinya pun berpikir; "Kepandaiannya pamanku belum separuhnya aku wariskan, orang tua ini rupanya tidak mendusta, aku mana sanggup menjadi tandingannya...." karenanya segera ia menjura, setelah melirik mendelik kepada Oey Yong, lantas ia mengundurkan diri masuk ke dalam rimba.
Ketiga pengangon ular itu sudah lantas mengasih dengar suaranya, bersiul secara aneh. Dengan itu mereka mengusir ular mereka. Maka juga semua binatang berbisa itu membalik tubuhnya, mengesor kembali ke dalam hutan. Sebentar saja, bersihlah tempat itu dari semua binatang berbisa itu, tinggal tanahnya yang penuh lendirnya yang licin mengkilap.
"Cit Kong belum pernah aku melihat ular demikan banyak," berkata Oey Yong. "Benarkah ular itu dipiara mereka?"
Cit kong tidak lantas menyahuti, dia hanya membuka mulut cupu-cupunya untuk menenggak araknya beberapa gelogokan, kemudian dengan tangan bajunya dia menyusuti peluh di dahinya. Ia pun menghela napas panjang. Baru setelah itu ia mengatakannya berulang-ulang: "Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya...!"
"Eh, Cit Kong, kenapakah?" tanya kedua pemuda-pemudi itu heran.
"Untuk sejenak aku dapat mengusir ular itu," menyahut si pengemis kemudian: "Umpama kata tadi benar-benar semuanya menerjang, cara bagaimana ribuan binatang itu dapat ditangkis? Syukur beberapa bocah itu belum tahu apa-apa, mereka tidak mengetahui asal-usulku, mereka jadi kena kugertak. Coba si racun tua bangkotan itu ada di sini, oh, anak-anak, kamu bisa celaka...."
"Jikalau kami tidak sanggup melawan, kami kabur!" berkata si Oey Yong.
Cit Kong tertawa. "Aku si pengemis tua, aku tidak takuti dia!" katanya. "Tetapi kamu berdua, meski kamu ingin menyingkir, kamu tidak bakal lolos dari tangannya si racun bangkotan itu...."
"Siapakah pamannya orang itu? Benarkah dia demikian lihay?" tanya Oey Yong.
"Kau sangka ia tidak lihay? Apakah aku belum pernah dengar disebut-sebutnya Tong Shia See Tok, Lam Tee pak Kay dan Tiong Sin Thong?"
Tentang nama-nama itu Oey Yong pernah mendengarnya dari omongannya Khu Cie Kee dengan Ong Cie It, sekarang mendengar perkataan pengemis, hatinya girang.
"Aku tahu, aku tahu!" sahutnya. "Kau sendiri, lojinkee, adalah Pak Kay, dan kauwcu dari Coan Cin Kauw ialah Tiong Sin Thong."
"Benar! Adakah ini ayahmu yang membilangi? Ayahmu itu ialah Tong Shia dan Auwyang Hong itulah See Tok! Orang yang nomor satu paling pandai di kolong langit ini yaitu Ong Cinjin itu sudah meninggal dunia, maka sekarang tinggal kita berempat yang kepandaiannya rata-rata setengah kati sama dengan delapan tail, hingga kita jadi saling memalui! Ayahmu lihay tidak? Aku sendiri si pengemis lihay tidak?"
Oey Yong mengasih dengar suara perlahan, agaknya ia berpikir.
"Ayahku orang baik-baik, mengapa dia dipanggil Tong Shia?" ia tanya kemudian.
Ang Cit Kong tertawa. "Dia seorang yang kukuh dan licin, dia dari kaum kiri, mustahilkah dia bukannya si sesat?" dia menyahuti. "Bicara dari hal ilmu silat, Coan Cin Kuaw adalah yang sejati, terhadapnya aku si pengemis tua takluk benar-benar dari mulut ke hati." Ia menoleh kepada Kwee Ceng, untuk menegaskan; "Kau telah belajar ilmu dari Coan Cin Kauw, bukankah?"
"Totiang Ma Goik telah mengajarkan teecu selama dua tahun," sahut si anak muda hormat.
"Nah, itu dianya, kalau tidak, tidak nanti dalam tempo pendek satu bulan kau dapat mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku."
"Habis, siapakah itu Lam Tee?" tanya Oey Yong.
"Dialah satu hongya, seorang kaisar," sahut Cit Kong.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran. "Eh, seorang kaisar demikian lihay ilmu silatnya?" mereka menegasi.
"Memang ia seorang kaisar, tetapi dalam hal kepandaiannya, ayahmu dan aku jeri tiga bagian terhadapnya," sahut si pengemis mengaku. "Api dari Selatan mengalahkan Emas dari Barat, maka dialah si penakluk dari si bisa bangkotan Auwyang Hong itu."
Dua-dua muda-mudi ini kurang mengerti, tetapi mereka diam saja, sebab mereka lantas mendapatkan si pengemis dia menjublak, hingga mereka tidak berani menanya lebih jauh.
Cit Kong masih memandangi mega, agaknya ia berpikir keras, alisnya sampai dikerutkan. Nampaknya ia tengah menghadapi satu soal besar yang ia tak mendapatkan pemecahannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia berjalan pulang ke pondok. Mendadak saja terdengar suara memberebet, ternyata bajunya kena langgar paku di pintu dan sobek.
"Aih!" seru Oey Yong, yang mengikuti, tetapi si pengemis sendiri seperti tidak mengetahui hal itu. Maka si nona berkata, "Nanti aku tambalkan!" Lantas dia cari nyonya pemilik pondok, untuk pinjam benang dan jarum, terus ia jahiti baju sobek itu.
Cit Kong masih menjublak ketika ia lihat jarum di tangannya si nona, tiba-tiba saja dia rampas jarum itu, lantas dia membawa lari ke luar. Oey Yong dan Kwee Ceng heran, mereka lari mengikuti.
Sesampainya di luar, Cit kong mengebas tangannya yang memegang jarum itu, lalu terlihat satu sinar berkeredep. Nyata jarum itu telah dipakai menimpuk!
Oey Yong mengawasi jarum meluncur, lalu jatuh, nancap di tanah. Dan nancapnya dengan menikam seekor walang. Saking kagum, dia bersorak. Cit Kong mengeluarkan napas lega.
"Berhasil! Berhasil!" katanya. "Ya, beginilah...."
Oey Yong dan Kwee Ceng tercengang mengawasi pengemis itu.
Ang Cit Kong berkata; "Auwyang Hong si tua bangka beracun itu paling gemar memelihara ular dan ulat berbisa, semua binatang jahat itu dapat mendengarkan segala titahnya. Itulah usaha yang bukan gampang." Ia berhenti sebenatr, lalu ia menambahkan: "Aku rasa juga ini bocah she Auwyang bukannya makhluk yang baik, jikalau nanti ia bertemu pamannya, mungkin ia menghasut yang bukan-bukan, maka itu berbahayalah kalau kita bertemu pada pamannya itu, jadi aku si pengemis tua tidak dapat tidak mesti aku mempunyai suatu senjata untuk melawannya mengalahkan segala binatang berbisa itu!"
Oey Yong bertepuk tangan. "Jadi kau hendak menggunai jarum untuk menikam nancap setiap ular berbisa itu di tanah!" katanya.
Ang Cit kong membuka lebar matanya terhadap si nona. "Ah, kau iblis cilik yang licin!" ujarnya. "Orang baru menyebutnya bagian atas, kau sudah lantas dapat mengetahui bagian bawahnya!"
"Bukankah kau telah mempunyakan obat yang lihay?" Oey Yong tanya, "Bukankah kapan obat itu dicampuri arak, asal kau menyemburnya, ular berbisa itu tidak berani datang dekati padamu?"
"Daya itu cuma dapat dipakai dalam sewaktu," Ang Cit Kong memberi keterangan. "Sudah, kau jangan ngoceh saja, jangan mengganggu aku, hendak aku melatih diri dalam ilmu 'Boan-thian hoa ie'. Aku hendak mendapatkan kepastian bagaimana kesudahannya ilmu itu kalau memakai jarum...."
"Kalau begitu, nanti aku menolongi kau membeli jarum," berkata si nona, yang terus lari keluar.
Ang Cit Kong menghela napas. Katanya seorang diri; "Sudah ada si tua bangkanya yang cerdik licin bagaikan iblis, sekarang ada gadisnya yang serupa cerdik licinnya!"
"Tidak lama, Oey Yong telah kembali dari pasar, dari keranjang sayurannya ia mengasih keluar dua bungkus besar jarum menjahit.
"Semua jarum di kota ini telah kau beli hingga habis!" kata dia sambil tertawa. "Maka besok semua orang laki-laki di sini bakal digeremberengi hingga mati oleh istrinya!" katanya kemudian.
"Bagaimana begitu?" Kwee Ceng tanya.
"Sebab mereka bakal dicaci tidak punya guna! Sebab kalau mereka pergi ke pasar, mereka tidak mampu membeli jarum!" sahut si nona. "Sebatang pun tidak ada!" kata si nona sambil tertawa.
Ang Cit Kong tertawa tergelak. "Dasar aku si pengemis tua yang cerdik!" katanya. "Aku tidak menghendaki istri, supaya aku tak usah disiksa pihak perempuan! Nah, mari kita berlatih! Dua bocah, bukankah kau ingin aku si pengemis tua mengajarkan kau menggunai senjata rahasia? Apakah kamu sanggup?"
Oey Yong tertawa, dia mengikuti di belakang pengemis itu.
"Cit Kong, aku tidak mau belajar!" kata Kwee Ceng sebaliknya.
Ang Cit Kong heran. "Kenapa, eh?" dia tanya.
"Lojinkee sudah mengajari aku banyak ilmu, dalam sesaat ini aku tidak sanggup mempelajarinya semua," Kwee Ceng mengaku.
Ang Cit Kong melengak, tetapi sebentar saja, ia sudah mengerti. Ia tahu orang jujur dan tidak serakah banyak macam pelajaran, alasan saja dia membilang tidak sanggup belajar lebih jauh.
"Ah, anak ini baik hatinya," ia memuji di dalam hati. Ia lantas tarik tangannya Oey Yong, "Mari kita saja yang berlatih."
Kwee Ceng tidak mengikuti, ia hanya pergi ke belakang bukit, di mana seorang diri dia menyakinkan terus lima belas jurusnya, ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang itu. Ia merasakan ia dapat kemajuan, hatinya girang bukan main.
Berselang sepuluh hari, selesai sudah Oey Yong mempelajari "Boan-thian Hoa Ie Teng Kim-ciam", ialah ilmu menimpuk dengan jarum, dengan sekali mengayun tangan, ia dapat melepaskan belasan batang jarum, cuma ia belum dapat memisahkan semua itu ke setiap jalan darah yang ia arah.
ada suatu hari habis berlatih, Cit Kong tidur menggeros di bawah sebuah pohon cemara. Oey Yong membiarkannya. Tahu, yang mereka segera bakal perpisahan, ia lari ke pasar membeli beberapa rupa barang serta bumbunya. Ia ingin memasak beberapa rupa barang hidangan yang lezat untuk si pengemis. Di tengah jalan pulang, sambil menentengnya dengan tangan kiri, tangan kanannya saban-saban diayun, berlatih kosong dengan timpukannya. Ketika hampir sampai di tempat penginapan, kupingnya mendengar kelenengan kuda yang nyaring. Ia lantas menoleh. Ia tampak seekor kuda dikasih lari mendatangi, malah penunggangnya ia lantas kenali, ialah Bok Liam Cu, anak gadisnya Yo Tiat Sim. Ia berdiri diam, mengawasi dengan bengong, hatinya pepat. Ia tahu nona itu ada punya hubungan jodoh dengan Kwee Ceng. Ia memikir juga, "Apa baiknya wanita ini maka enam guru engko Ceng dan imam-imam dari Coan Cin Pay hendak memaksa engko Ceng menikah dengannya?" Memikir begini, dasar masih kekanak-kanakkan, ia menuruti hati panasanya. "Baik aku hajar ia untuk melampiaskan hatiku!" pikirnya pula.
Lantas ia bertindak memasuki penginapannya. Ia lihat Bok Liam Cu duduk seorang diri di sebuah meja, romannya berduka sekali, seorang pelayan sedang menanya dia hendak mendahar apa. Dia memesan semangkok mie dan enam kati daging.
"Apa enaknya daging matang?" kata Oey Yong.
Liam Cu menoleh, ia tercengang. Ia kenali nona yang bersama Kwee Ceng naik seekor kuda di Pakhia. Ia lantas berbangkit.
"Oh, adik pun ada di sini?" katanya. "Silahkan duduk!"
"Mana itu semua imam?" tanya Oey Yong. "Mana si kate terokmok, si mahasiswa jorok? Kemana perginya mereka semua?"
"Aku sendiri saja," menyahuti si Liam Cu. "Aku tidak bersama Khu Totiang beramai."
Oey Yong jeri terhadap Khu Cie Kee beramai itu, maka mendengar jawaban si nona itu, hatinya girang, sembari tertawa ia mengawasi nona itu. Ia mendapatkan orang mengenakan pakaian berkabung, pada rambut di ujung kupingnya ada sekuntum bunga putih dari wol. Dia nampak lebih kurus, ia mengharukan, tetapi justru itu, wajahnya lebih menarik hati. Di pinggang si nona itu pun ada sebatang belati. Ia ingat: "Itulah pisau yang menjadi tanda perjodohannya dengan engko Ceng, pemberian ayah mereka masing-masing..." Maka ia berkata; "Enci, bolehkah aku pinjam melihat pisau belatimu itu?"
Itulah pisau yang Pauw Sek Yok keluarkan disaat dia hendak melepaskan napasnya yang terakhir, dengan dia dan suaminya telah meninggal dunia, pantaslah pisau itu telah jatuh di tangannya Bok Liam Cu. Mulanya Bok Liam Cu tidak berniat mengasihkan, sebab ia dapatkan air muka Oey Yong luar biasa, tetapi karena Oey Yong mendekati perlahan-lahan seraya mengulurkan tangannya, ia tidak dapat menolak. Ia mengasihkan sekalian bersama sarungnya.
Oey Yong lihat ada ukiran nama Kwee Ceng pada pisau itu. Lantas ia berpikir, "Inilah barangnya engko Ceng, mana dapat diberikan padanya?" Ia mencabut pisau itu, sinarnya berkilat, hawanya dingin. "Sungguh pisau yang bagus!" pujinya. Ia masuki pisau itu ke dalam sarungnya, terus ia masuki ke dalam sakunya sendiri. "Akan aku kembalikan ini pada engko Ceng," katanya.
"Apa?!" tanya Liam Cu tercengang.
"Disini terukir nama engko Ceng, pasti ini adalah pisaunya," berkata Oey Yong. "Sebentar bertemu dengannya, hendak aku memulanginya."
Liam Cu gusar. "Inilah warisan satu-satunya dari ayah ibuku, mana dapat aku berikan padamu?!" katanya keras. "Lekas pulangkan padaku!" Ia pun segera berbangkit.
"Kalau kau bisa, ambilah!" sahut Oey Yong, yang terus lari keluar. Ia tahu Cit Kong sedang tidur dan Kwee Ceng lagi di belakang bukit berlatih sendiri.
Liam Cu mengubar, hatinya cemas. Ia tahu, sekali dia menunggang kuda merahnya, nona itu bakal lolos.
Oey Yong lari berliku-liku, sampai di bawahnya sebuah pohon yang besar, ia berdiri diam. Ia lihat di sekitar situ tidak ada lain orang. Sembari tertawa, ia berkata: "Jikalau kau dapat mengalahkan aku, segera aku pulangi pisau ini!"
"Adik, jangan main-main," kata Liam Cu sabar setelah ia menyandak. "Melihat pisau itu, aku seperti melihat ayah ibuku, kenapa kau hendak mengambilnya?"
"Siapa adikmu?!" bentak si nona Oey, terus ia menyerang.
Liam Cu kaget, ia berkelit, tetapi Oey Yong lihay, "Buk! Buk!" dua kali dia kena dihajar iganya. Dia menjadi gusar sekali, lantas ia membalas menyerang, hebat.
"Oey Yong tertawa, "Ilmu silat Po-giok-kun, apa anehnya!" katanya, mengejek.
Liam Cu heran, "Inilah tipu silat ajaran Ang Cit Kong, kenapa dia dapat tahu?" pikirnya. Ia menjadi lebih heran ketika nona itu menyerang pula, ia justru menggunai ilmu silat yang sama. "Tahan!" ia berseru seraya lompat mundur. "Siapa yang ajari kau ilmu silatmu ini?"
"Aku yang menciptakan sendiri!" sahut Oey Yong, tertawa. "Inilah ilmu yang kasar, tidak ada keanehannya!" Perkataannya itu disusul sama dua serangannya, kembali jurus-jurus dari Po-giok-kun itu - Kepalan Memecahkan Kumala.
Liam Cu semakin heran. "Apakah kau mengenal Ang Cit Kong?" ia menanya, sambil menangkis.
"Dia sahabat kekalku, tentu saja aku kenal!" Oey Yong tertawa. "Kau gunai ilmu silat pengajarannya, aku menggunakan ciptaanku sendiri, coba lihat, bisa tidak aku mengalahkan kau!"
Nona ini tertawa tetapi serangannya terus bertambah dahsyat. Tentu saja Liam Cu tidak sanggup menandingi. Sudah kepandaian warisan ayahnya sendiri, dia juga dapat didikan Ang Cit Kong. Sebentar saja nona Bok kena terhajar pundaknya, tempo ia terpukul juga pinggang kanannya, ia roboh seketika. Sudah begitu, Oey Yong menghunus pisau belatinya, ia bulang-balingkan itu di muka orang, saban-saban hampir mengenakan kulit wajahnya. Liam Cu menutup matanya, ia tidak merasakan luka, cuma angin dingin meniup kulit mukanya itu. Satu kali ia membuka matanya, ia lihat pisau berkelebat, cuma berkelebat saja. Ia menjadi mendongkol. "Mau bunuh, bunuhlah, buat apa kau menggertak pula!" ia membentak.
"Kita tidak bermusuhan, buat apa aku membunuh kau?" kata Oey Yong tertawa. "Kau dengar aku, kau mengangkat sumpah, lantas aku akan memerdekakanmu!"
Liam Cu beradat keras, ia tidak sudi menyerah.
"Kalau kau berani, kau bunuhlah!" ia menantang. "Untuk kau minta sesuatu dari aku, bermimpi pun jangan kau harap!"
Oey Yong menghela napas, tetapi ia berkata dengan nyaring, "Nona begini elok, mati muda, sungguh kecewa."
Liam Cu meramkan mata dan menulikan kupingnya, dia berdiam saja.
Hening sejenak, lalu ia mendengar nona itu berkata: "Engko Ceng baik denganku, biar dia menikah denganmu, tidak nanti ia mencintainya..."
Ia menjadi heran, segera ia membuka matanya. "Apa kau bilang?" ia menanya.
"Kau tidak mau mengangkat sumpah, tidak apa," kata Oey Yong, tanpa menjawab. "Biar bagaimana, dia tidak bakal menikah padamu, inilah aku tahu pasti!"
"Sebenarnya siapa yang baik padamu?" tanya Liam Cu semakin heran. "Kau bilang aku hendak menikah dengan siapa?"
"Dengan engko Ceng - Kwee Ceng!" Oey Yong jelaskan.
"Oh, dia!" kata Liam Cu. "Bilanglah, kau menghendaki aku bersumpah apa?"
"Aku ingin kau bersumpah dengan berat, biar bagaimana, kau tidak bakal menikah dengan engko Ceng itu!" sahut Oey Yong.
Akhirnya Liam Cu tertawa. "Biarpun kau ancam aku dengan golokmu di leherku, tidak nanti aku menikah dengan dia!" katanya.
Oey Yong girang mendadak. "Benar?" tanyanya. "Kenapa begitu?"
"Benar ayah angkatku telah memberikan pesannya yang terakhir, aku telah dijodohkan dengannya, sebenarnya," sahut Liam Cu, yang lalu meneruskan dengan perlahan sekali; "Sebenarnya ayah angkatku itu telah sudah berlaku karena pelupaan, dia lupa yang aku telah dijodohkan kepada lain orang..."
Oey Yong menjadi girang sekali. "Oh, maaf!"katanya. "Aku telah menyangka keliru terhadapmu..."
Ia lantas menotok nona itu, akan membebaskan dari totokannya tadi, terus ia menguruti tangan dan kakinya. Sembari berbuat begitu, ia menegasi: "Enci, kau telah berjodoh dengan siapa?"
Mukanya Liam Cu menjadi merah. "Orang itu pernah kau melihatnya," sahutnya.
Oey Yong berpikir. "Orang mana yang pernah aku lihat?" ia tanya. "Mana ada lain pemuda yang sembabat untuk dipasangi denganmu, enci?"
Mau tidak mau, nona Bok itu tertawa. "Apakah di kolong langit ini cuma ada satu engko Cengmu yang paling baik?" dia membalas menanya.
Oey Yong tertawa. "Enci," katanya, "Kau tidak sudi menikah dengannya, apakah karena kau menganggap dia terlalu tolol?"
"Siapa yang bilang engko Kwee itu tolol?" Liam Cu membaiki. "Yang benar dia ada sangat polos dan wajar, bahkan hatinya yang mulia aku sangat mengaguminya."
Oey Yong heran. "Habis kenapa kau tidak sudi menikah dengannya walaupun kau diancam dengan golok di lehermu?" tanyanya pula.
Melihat orang pun polos, Liam Cu mencekal tangannya erat-erat. "Adikku," katanya, "Di dalam hatimu sudah ada engko Kwee itu, umpama kata dilain waktu kau bertemu lain orang yang berlaksa kali lipat menangkan dia, kau tidak akan mencintai lain orang, bukankah?"
Oey Yong mengangguk, "Sudah pasti," sahutnya. "Cuma tidak nanti ada orang yang melebihkan dia!"
Liam Cu tertawa. "Kalau engko Kwee itu mendengar pujianmu ini, entah berapa besar kegirangannya," katanya. "Kau tahu, di itu hari yang ayah angkatku mengajak aku ke Pakhia, di mana kita pibu, di sana telah ada orang yang mengalahkan aku..."
Oey Yong lantas saja sadar. "Oh, aku tahu sekarang!" serunya. "Orang yang kau buat pikirkan itu adalah si pangeran muda Wanyen Kang!"
"Dia boleh menjadi pangeran, dia boleh menjadi pengemis, di hatiku cuma ada dia seorang," Liam Cu mengaku. "Dia boleh menjadi orang baik, dia boleh menjadi orang jahat, di dalam hatiku tetap ada dia seorang!" Perlahan suara nona Bok, tetapi tetap nadanya.
Oey Yong mengangguk, ia membalas mencekal erat tangan orang. Mereka berdua berendeng di bawah pohon itu, hati mereka bersatu padu.
Cuma sebentar Oey Yong berpikir, ia pulangi piasu orang. "Ini aku kembalikan," katanya.
Liam Cu sebaliknya menolak. Katanya, "Ini kepunyaan engko Cengmu itu, ini harus menjadi kepunyaanmu."
Bukan kepalang girangnya Oey Yong. Ia simpan pula pisau itu.
"Enci, kau baik sekali!" katanya, bersyukur. Ia lantas berniat memberikan sesuatu apa tetapi ia tidak ingat ia punya barang yang berharga untuk tanda mata. Maka ia menanya: "Enci, kau datang ke Selatan ini seorang diri untuk urusan apakah? Maukah kau menerima bantuan adikmu ini?"
Mukanya Liam Cu bersemu merah. "Tidak ada urusan yang penting," sahutnya.
"Kalau begitu, mari aku mengajak kau menemui Ang Cit Kong," kata Oey Yong.
Liam Cu menjadi sangat girang. "Cit Kong ada disini?" tanyanya cepat.
Oey Yong mengangguk, lantas ia berlompat bangun seraya menarik tangan orang.
Justru itu di atas pohon terdengar suara berkeresek, lalu terjatuh selemar kulit kayu, disusul mana berkelebat satu bayangan seorang, ynag berlompatan di atas pohon-pohon di dekat situ, lantas lenyap. Dengan heran Oey Yong jumput babakan pohon itu, di situ ia lihat sebaris huruf bertuliskan jarum, bunyinya, "Dua nona yang baik sekali! Yong-jie, apabila kau main gila pula, Cit Kong ingin menggaplokmu beberapa kali!" Di bawah itu tidak ada tanda tangannya, cuma gambaran sebuah cupu-cupu. Tahulah ia, itu ada perbuatannya Ang Cit Kong, maka tahu juga ia, segala sepak terjangnya sudah ketahuan si kepala pengemis itu. ia jengah sendirinya. Tapi ia ajak Liam Cu ke rimba, di sana ia tak tampak Cit Kong. terpaksa mereka balik ke pondokan.
Kwee Ceng sudah kembali dari belakang bukit, heran ia melihat Oey Yong bergandengan tangan bersama Liam Cu.
"Enci Bok, apakah kau dapat melihat guruku beramai?" ia tanya.
"Aku telah berpisahan dari gurumu itu," menjawab Liam Cu. "Mereka telah berjanji untuk bertemu pula di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada Pee Gwee Tiong Ciu."
"Baik-baikkah mereka semua?" tanyannya.
"Jangan kuatir, Kwee Sieheng," sahut Liam Cu tersenyum. "Mereka semua tidak mendongkol karena perbuatanmu itu."
Tidak lega hatinya Kwee Ceng, yang menyangka gurunya semua pasti gusar sekali. Karena ini ia menjadi tidak bernapsu dahar dan minum, ia duduk berdiam saja.
Liam Cu sebaliknya menanya Oey Yong cara bagaimana mereka bertemu dengan Ang Cit Kong. Oey Yong memberikan keterangan dengan jelas.
"Kau sangat beruntung, adikku," kata Liam Cu, seraya menghela napas. "Kau dapat berkumpul begitu lama bersama dia, sedang aku sendiri, bertemu pun susah."
"Tapi diam-diam ia melindungimu, Enci," Oey Yong menghibur. "Kalau tadi aku benar-benar mencelakai kau, dia tentu bakal turun tangan menolongi padamu."
Liam Cu mengangguk, ia membenarkan.
Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang, ia heran. "Yong-jie, bagaimana?" tanya. "Kenapa kau hendak mencelakai enci Bok?"
Oey Yong menoleh sambil tersenyum. "Tidak dapat aku menerangkan kepadamu," sahutnya.
"Dia takut... dia takut..." kata Liam Cu tertawa. Ia pun likat, ia tidak berani bicara terus.
Oey Yong mengitik, "Kau berani menceritakan atau tidak?" katanya.
Liam Cu mengulurkan lidahnya. "Mana aku berani?" sahutnya. "Maukah aku bersumpah?"
"Cis!" Oey Yong berludah. Tapi mukanya kembali menjadi merah. Ia malu sendirinya kapan ia ingat tadi sudah memaksa nona itu bersumpah untuk dinikahi Kwee Ceng.
Kwee Ceng tidak tahu hati orang tapi ia senang melihat mereka rukun sekali.
Habis bersantap bertiga mereka pergi ke rimba berjalan-jalan. Di sini Oey Yong tanya bagaimana caranya Liam Cu bertemu dengan Ang Cit Kong hingga ia diajarkan silat.
"Itu waktu aku masih kecil," menyahut Liam Cu bercerita. "Pada suatu hari ayah ajak aku pergi ke Pian-liang, di sana kita ambil tempat di penginapan. Itu hari aku keluar untuk main-main di depan pintu, aku lihat dua orang pengemis rebah di tanah, tubuh mereka berlumuran darah bekas bacokan, tidak ada orang yang memperdulikan, rupanya mereka jijik atau jeri...."
"Aku mengerti," memotong Oey Yong, "Kau tentu baik hati, kau rawat mereka."
"Aku tidak bisa mengobati mereka tetapi karena kasihan, aku pepayang mereka ke kamar ayah, aku cuci lukanya dan membalutnya," Liam Cu melanjutkan. "Ketika ayah pulang dan aku tuturkan apa yang aku lakukan, ayah menghela napas dan memuji aku. Ia pun kata, dulu juga istrinya murah hati seperti aku. Kemudian ayah memberikan beberapa tail perak kepada kedua pengemis itu, untuk mereka membeli obat. Mereka menerima seraya mengucap terima kasih dan lantas pergi. Selang beberapa bulan, kami tiba di Sin-yang. Kebetulan sekali, aku bertemu kedua pengemis itu, waktu itu luka mereka sudah sembuh. Mereka mengajak aku ke sebuah kuil rusak, di sana aku bertemu sama Ang Cit Kong. Dia memuji aku, lantas ia mengajari ilmu silat Po-giok-kun itu. Baru tiga hari, aku sudah dapat memahamkan. Dihari keempat, aku pergi ke kuil tua itu, ternyata lojinkee sudah pergi, dan selanjutnya aku tidak pernah bertemu pula dengannya."
Oey Yong ketarik hatinya. "Cit Kong telah mengajarkan banyak padaku, Enci," ia berkata. "Kalau kau suka, aku nanti turunkan beberapa di antaranya padamu. Mari kita berdiam di sini untuk belasan hari. Umpama kata Cit Kong ketahui perbuatanku, tidak nanti ia gusar."
"Terima kasih adik," kata Liam Cu. "Sekarang ini aku ada punya urusan sangat penting, tidak ada tempo luangku. Nanti saja, biarnya kau tidak mengajari, aku sendiri yang akan minta padamu."
Sabar dan lembut kelihatannya Liam Cu dari luar, tetapi sekali ia berkata, ia membuatnya orang bungkam. Begitulah Oey Yong, tadinya ia ingin menanya keterangan, lalu ia batal sendirinya.
Pagi itu Liam Cu pergi seorang diri, ia pulang di waktu sore, romannya gembira. Oey Yong lihat itu, ia pura-pura pilon.
Malam itu berdua mereka tidur dalam satu kamar. Oey Yong naik lebih dulu ke atas pembaringannya. Diam-diam mencuri lihat orang duduk menghadapai lampu seraya menunjang dagu, seperti lagi berpikir keras. Ia menutup matanya rapat-rapat, untuk berpura-pura pulas.
Berselang beberapa saat, Liam Cu mengeluarkan serupa barang dari buntalannya, dengan lembut barang itu di ciumi berulang-ulang, dibuatnya main di tangannya, dipandangi lama. Samar-samar Oey Yong melihat seperti sepotong sapu tangan sulam.
Tiba-tiba Liam berbalik, tangannya mengebaskan barang di tangannya itu.
Oey Yong kaget, lekas-lekas ia meram. Ketika ia mendengar siuran angin perlahan-lahan, ia membuka matanya sedikit, akan mengintai. Ia dapatkan Liam Cu jalan mundar-mandir di depan pembaringan, lengannya dilibatkan barang yang tadinya dia buat main itu. Nyatalah itu adalah juwiran jubahnya Wanyen Kang, yang didapat pada harian mereka pibu. Nona Bok tersenyum, rupanya dia membayangi kejadian di harian itu dan hatinya berbunga, begitulah satu kali ia menendang, lain kali kepalanya melayang, alisnya bergerak-gerak.
Oey Yong terus berpura pulas tapi setiap waktu ia mengintai. Ia lihat orang datang dekat sekali padanya dan menatap mukanya. Ia mendengar orang menghela napas dan berkata dengan perlahan: "Kau cantik sekali...." Mendadak nona itu membalik tubuh, ia pergi ke pintu dan membukanya, atau dilain saat ia sudah berada di luar, melompati tembok pekarangan dan pergi....."
Oey Yong heran bukan main. Ia lompat turun, lantas ia keluar, untuk menyusul. Ia lihat orang lari ke arah Barat. Ia menguntit. Tentu saja ia berhasil, karena ia dapat berlari-lari dengan cepat. Ia hanya menjaga agar ia tidak diketahui nona she Bok itu.
Liam Cu pergi ke pasar, menaiki sebuah rumah, sesudah melihat keempat penjuru, dia pergi ke Selatan dimana ada sebuah lauwteng paling tinggi. Setiap hari Oey Yong pergi berbelanja ke pasar, ia tahu itulah rumah keluarga Chio, hartawan terbesar di tempat itu. Ia menjadi heran dan menduga-duga apa mungkin Liam Cu membutuhkan uang.
Sebentar saja keduanya sudah sampai di samping rumah keluarga Chio itu. Dari situ terlihat di depan rumah ada sinar terang dari dua buah lentera besar, yang bertuliskan huruf-huruf air emas: "Utusan Negara Kim". Di bawah itu, di muka pintu, ada berjaga-jaga empat serdadu Kim dengan tangannya mencekal golok.
Liam Cu pergi ke belakang dimana keadaan sunyi, tapi ia masih mencoba menimpuk dengan batu, untuk mencari tahu di situ ada orang yang jaga atau tidak. Setelah itu ia lompati tembok masuk ke pekarangan dalam. Ia jalan di antara pohon-pohon bunga, di gunung palsu.
Oey Yong terus menguntit.
Liam Cu pergi ke jendela sebuah kamar timur, di situ di kertas jendela terlihat bayangan seorang lelaki, yang tengah berjalan mondar-mandir. Si nona menjublak mengawasi bayangan orang itu.
Oey Yong menduga, ia tapinya tidak sabaran.
"Baik aku masuk dari lain sebelah, aku totok roboh orang itu, supaya ia kaget," pikirnya. Ia anggap nona Bok terlalu ragu-ragu. Disaat ia hendak membuka jendela, untuk berlompat masuk, ia dengar pintu dibuka, lalu seorang bertindak masuk. Orang itu memberi kabar bahwa menurut warta, utusan raja yang bakal menyambut yaitu Toan Ciangkun yang berpangkat komandan tentera, akan tiba lusa.
Orang di dalam itu menyahuti, lalu si pembawa kabar mengundurkan diri pula.
"Terang ini adalah utusan negara Kim, kalau begitu enci Bok ada punya maksud lain," Oey Yong berpikir, "Aku tidak boleh semberono." Ia lantas membasahkan kertas jendela, buat membikin sebuah lobang kecil, untuk mengintai ke dalam. Ia heran berbareng gembira. Orang di dalam kamar itu adalah si pangeran muda Wanyen Kang, tangannya memegang serupa benda hitam yang tengah dibuat main sembari ia jalan mundar-mandir, matanya mengawasi wuwungan, entah apa yang dipikirkannya. Tempo pangeran itu datang dekat ke api, Oey Yong melihat tegas barang itu adalah kepala tembok yang sudah karatan, masih ada sisa sedikit gagangnya.
Nona Oey ini tidak tahu tombak itu adalah tombak warisannya Yo Tiat Sim, ayahnya si pangeran, ia hanya menduga, Liam Cu tentu ada hubungannya dengan itu. Ia tertawa di dalam hatinya dan berpikir: "Kamu lucu! Yang satu membuat main juwiran jubah, yang lain membuat main ujung tombak! Kamu berada begini dekat satu sama lain, kenapa kamu bagaikan terpisah antara ujung dunia?". Tanpa merasa, ia tertawa.
Wanyen Kang dapat dengar suara itu, ia terperanjat. "Siapa?!" ia menanya seraya mengebas mati api lilin.
Oey Yong tidak menyahuti, hanya ia melompat kepada Liam Cu, sebelum nona Bok mendusin, ia sudah ditotok hingga tidak dapat bergerak lagi. Baru setelah itu sembari tertawa ia berkata: "Enci, jangan khawatir, jangan sibuk! Nanti aku antarkan kau kepada kekasihmu itu!"
Wanyen Kang telah membuka pintu untuk keluar ketika ia mendengar suara tertawa satu nona sambil terus berkata: "Inilah kekasihmu datang, lekas menyambut dia!" Ia terkejut, tapi ia mesati menantang kedua tangannya, karena ada tubuh yang ditolak kepadanya, hingga ia mesti memeluk orang itu juga. Itulah tubuh yang lemas. Si nona tadi lompat ke tembok, sembari tertawa, dia berkata pula: "Enci, bagaimana nanti kau membalas budiku?" Sesaat kemudian, suara itu lenyap, lenyap bersama orangnya.
Disaat itu juga, tubuh yang lemah itu bergerak, jatuh ke lantai.
Wanyen Kang heran, ia kaget hingga ia mundur. Ia berkhawatir sudah melukai orang.
"Apakah kau masih ingat aku?" ia dapat jawaban, yang perlahan sekali.
Ia kenali suara itu, ia terperanjat. "Kau?" katanya. "Oh!"
"Memang aku," sahutnya Liam Cu.
"Apakah ada orang lain bersamamu?" tanya sang pangeran lagi.
"Yang tadi itu adalah sahbatku yang nakal dan jahil, dia menguntit aku di luar tahuku." jawab sang nona.
Wanyen Kang masuk ke dalam, ia menyalakan api. "Nona mari masuk!" ia mengundang.
Liam Cu bertindak masuk sambil bertunduk, terus ia duduk di sebuah kursi. Ia tunduk terus dan membungkam, cuma hatinya berdebaran.
Wanyen Kang mengawasi orang yang agaknya kaget dan girang, mukanya sebentar pias sebentar merah. Itulah kelikatannya seorang nona. Tentu saja hatinya pun memukul.
"Ada apa malam-malam kau datang mencari aku?" ia menanya akhirnya. Liam Cu tidak menyahuti.
Wanyen Kang ingat kematian hebat dari ayah dan ibunya, tanpa merasa ia menjadi mengasihani nona ini.
"Adik," katanya kemudian, "Karena ayahmu telah menutup mata, selanjutnya kau baik tinggal bersama-sama aku. Aku nanti anggap kau sebagai adik kandungku."
"Aku adalah anak angkat ayah, bukan anak kandung..." kata Liam Cu. Wanyen Kang sadar. "Dia bicara terhadap aku," pikirnya. "Diantara kita jadinya tidak ada hubungan darah...." Ia ulur tangannya, mencekal tangan kanan si nona. Ia tersenyum.
Liam Cu merah pula mukanya, ia berontak perlahan tetapi tangannya tak terlepaskan. Ia tunduk, ia membiarkan tangannya itu terus dipegangi. Hati Wanyen Kang berdebaran. Ia ulur tangan kirinya, dan merangkul leher si nona.
"Inilah untuk ketiga kalinya aku memeluk kau," ia berbisik di kuping orang. "Yang pertama di gelanggang pibu, yang kedua kali di luar kamar. Adalah kali ini kita ada bersama tanpa orang ketiga...."
Liam Cu mengasih dengar suara perlahan, hatinya berdebar bukan main. "Kenapa kau mencari aku?" ia mendengar pula si pangeran bertanya.
"Semenjak dari kota raja aku mengikuti kau," menyahut si nona. "Setiap malam aku mengawasi tubuhmu dari antara jendela, aku tidak berani..."
"Aku tidak mempunyai ayah dan ibu lagi, jangan kau sia-siakan aku..." kata pula Liam Cu kemudian, suaranya sangat perlahan.
Pangeran itu mengusap-usap rambut orang yang bagus.
"Kau jangan khawatir," katanya. "Untuk selama-lamanya aku adalah kepunyaanmu dan kau pun untuk selama-lamanya kepunyaanku. Tidakkah itu bagus?"
Liam Cu puas sekali, ia mendongak menatap wajah pemuda itu. Ia mengangguk.
"Pasti aku akan nikah dengan kau," katanya. "Kalau di belakang hari aku mensia-siakan kau, biar aku terbinasa di antara bacokan-bacokan golok, biar aku mati tidak utuh!" bersumpah sang pemuda.
Liam Cu menangis saking terharu. "Meski aku adalah seorang nona kangouw, aku bukannya satu manusia rendah," ia berkata. "Jikalau kau benar mencintai aku, kau juga mesti menghargainya. Seumurku, aku tidak berpikiran lain, meskipun leherku ditandalkan golok, pasti aku akan mengikuti kau." Perlahan suara si nona tetapi tetap.
Mau tidak mau, Wanyen Kang jadi menaruh hormat. "Adikku, kau baik sekali," ia berkata.
Terbuka hati Liam Cu, ia tertawa. Ia kata: "Aku akan menantikan kau di rumah ayah angkatku di Gu-kee-cun di Liam-an, sembarang waktu kau boleh kirim orang perantaraanmu melamar diriku...." Ia berhenti sebentar, baru ia meneruskan: "Selama kau tidak datang, seumurku aku akan menantikan kau!"
"Jangan bersangsi, adikku," kata Wanyen Kang. "Setelah selesai tugasku, aku nanti menyambutmu untuk kita menikah."
Liam Cu tertawa, ia memutar tubuhnya, bertindak keluar.
"Jangan lantas pergi, adikku!" Wanyen Kang memanggil. "Mari kita beromong-omong dulu...."
Nona itu berpaling tetapi tindakannya tak dihentikannya.
Wanyen Kang mengantar dengan matanya sampai orang melompati tembok, ia berdiri menjublak, kemudian barulah ia balik ke kamarnya. Ia lihat tombaknya dimana masih ada air mata si nona. Ia merasakan dirinya sedang bermimpi.
 Â
Bab 27. Orang Tapakdaksa Dari Danau Thay Ouw
Oey Yong pulang ke pondokannya untuk terus tidur. Ia puas karena ia merasa sudah melakukan sesuatu perbuatan yang baik. Begitulah, ia tidur dengan nyenyak. Ketika besok paginya ia mendusin, ia tuturkan pada Kwee Ceng apa yang ia lakukan itu. Si anak muda pun senang. Keduanya lantas sarapan, terus mereka memasang omong. Tunggu punya tunggu, sampai bersantap tengah hari, Liam Cu masih belum kembali.
"Baiklah kita tidak usah menantikan dia, kita berangkat sekarang!" Oey Yong mengajak akhirnya.
Kwee Ceng setuju.
Mereka pergi ke pasar, untuk membeli seekor kedelai, di waktu mereka mulai berangkat, sengaja mereka memutar ke rumah keluarga Chio, di sana sudah tidak ada lagi lentera tanda dari perutusan negara Kim. Rupanya Wanyen Kang sudah berangkat. Hal ini melegakan hatinya kedua anak muda itu.
Dalam perjalanan ini, Oey Yong menyamar sebagai seorang pemuda, senang ia berpesiar. Mengikuti saluran sungai Oen Ho, mereka menuju ke Selatan. Kuda mereka kuat jalannya, keledai yang mereka beli pun cukup tangguh, dengan begitu, walaupun tidak terburu-buru, mereka juga dapat berjalan lekas.
Pada suatu hari mereka tiba di Gie-hin, suatu tempat pembuatan barang tembikar yang kesohor, di situ mereka menyaksikan aneka warna barang-barang itu. Inilah pemandangan yang lain dengan pemandangan di lain-lain tempat.
Jalan lebih jauh ke Timur, tak lama tibalah mereka di telaga Thay Ouw, pusat tumpahnya air dari tiga kota Timur dan Selatan. Luasnya telaga sekitar lima ratus lie, maka itu juga dinamakan Ngo Ouw atau Danau Lima.
Hatinya Kwee Ceng tertarik. Belum pernah ia melihat air seluas itu. Ia berdiri berendeng bersama Oey Yong di tepian, tangan mereka berpegangan satu pada lain. Tanpa merasa ia berseru kegirangan.
"Mari kita main-main di air," Oey Yong mengajak.
Pemuda itu setuju, dari itu mereka hampirkan perkampungan nelayan, di sebuah rumah mereka menitipkan kuda dan keledai mereka, lalu mereka meminjam sebuah perahu kecil, hingga di lain saat mereka sudah mengayuh di permukaan air, meluncurkan perahu itu, meninggalkan tepian. Dari perahu, mereka sekarang dapat melihat sekitarnya, yang agaknya jadi terlebih luas lagi.
Rambut dan baju Oey Yong dipermainkan angin keras. Ia gembira sekali, sambil tertawa ia berkata: "Dulu hari Hoan Tayhu telah menaiki perahu bersama-sama See Sie pesiar di Danau Lima ini, dia sungguh cerdik sekali. Mati tua disini bukankah ada lebih menang daripada seumur tahun repot sebagai pembesar negeri?"
Kwee Ceng tidak tahu riwayatnya Hoan Tayhu itu. "Yong-jie, coba kau tuturkan tentang Hoan Tayhu dan See Sie itu," ia minta.
Oey Yong suka memberikan keterangan. Maka ia menutur tentang Hoan Tayhu atau Menteri Hoan itu yang bernama Lee, yang pandai, hingga ia berhasil membantu Raja Wat menuntut balas membangun negara, tetapi sesudah berhasil, ia kenal batas, dia mengundurkan diri bersama-sama See Sie, akan hidup dalam kesunyian dan ketenangan di telaga Thay Ouw ini. Pandai ia menutur hingga pemudanya menjadi kesemsem saking tertarik harinya.
"Benar-benar Hoan Lee itu cerdik," kata si pemuda kemudian, "Tidaklah demikian dengan Ngouw Cu Sih dan Bun Ciong, sampai hari ajalnya mereka masih bekerja setia untuk negera. Sukar dicari orang-orang seperti mereka itu."
"Memang!" berkata si nona. "Ini dia yang disebut, 'Negara adil, tak berubah, itulah kegagahan, negera buruk, sampai mati tak berubah, itulah kegagahan.'"
Kwee Ceng tidak mengerti, "Apakah artinya itu?" ia menanya.
"Itu artinya, di dalam negeri bijaksana, kau menjadi pembesar negeri, kau tetap tidak berubah kejujuranmu semenjak bermula, di dalam negara buruk, kau berkorban jiwa raga, kau tetap tidak merusak kehormatan dirimu, itu pun satu laki-laki sejati."
Kwee Ceng mengangguk. "Yong-jie, cara bagaimana maka kau dapat memikir demikian?" ia bertanya pula.
"Aha!" Oey Yong tertawa. "Kalau aku yang dapat memikir begitu, bukankah aku telah berubah menjadi nabi? Itulah ujar-ujarnya Nabi Khong Hu-cu, diwaktu aku masih kecil, ayah paksa aku membacanya."
"Sungguh banyak aku tidak mengerti," Kwee Ceng menghela napas. "Coba aku bersekolah, pastilah aku ketahui itu semua."
"Sebaliknya aku menyesal telah belajar surat," berkata Oey Yong. "Coba ayah tidak memaksa aku bersekolah, melukis, menabuh khim, hanya aku dibiarkan menyakinkan ilmu silat, pasti kita tak usah takuti Bwee Tiauw Hong dan si siluman bangkotan she Nio itu!"
Asyik mereka pasang omong tanpa merasa perahu mereka sudah meninggalkan tepian belasan lie. Di dekat mereka, mereka melihat sebuah perahu kecil dimana seorang nelayan bercokol di kepala perahunya sedang mengail ikan sambil kepalanya ditunduki, hingga dia nampak seperti lukisan gambar saja. Mereka bicara terus, ketika mereka berpaling kepada si nelayan, dia tetap duduk tak bergerak.
"Sungguh dia sabar dan ulet sekali!" kata Oey Yong tertawa. Kemudian di antara desiran angin dia bernyanyi, dari gembira menjadi sedih. Sebab ia menyanyikan "Syair Naga Air". Ia bernyanyi baru separuh, tiba-tiba terdengar sambutan yang serupa, yang kemudian ternyata adalah suara si tukang pancing ikan itu.
Oey Yong terbengong.
"Eh, kau kenapakah?" tanya Kwee Ceng heran.
"Itulah nyanyian yang sering dinyanyikan ayahku," menyahut si nona. "Aku heran seorang tukang pancing di sini pun dapat menyanyikan itu dan suaranya pun bersemangat tetapi pun bernada duka. Mari kita lihat."
Mereka mengayuh, akan menghampirkan tukang pancing itu, siapa justru telah berhenti memancing dan menyimpan pancingnya serta ia mengayuh perahunya pergi.
Ketika kenderaan air mereka berpisah beberapa tombak lagi, tukang pancing itu terdengar berkata: "Di tengah telaga bertemu sama sepasang tetamu mulia, aku girang sekali! Sudikah kalau aku mengundang kalian bersama meminum arak?"
"Cuma kami khawatir mengganggu lotiang," Oey Yong menyahuti. Ia heran untuk kata-kata rapi dari si tukang pancing itu.
"Tidak sama sekali, malah aku bergirang. Silahkan!" dia itu mengundang pula.
Dengan beberapa kali mengayuh pula, Oey Yong merapatkan perahunya kepada perahu si nelayan itu, bersama Kwee Ceng ia pindah perahu, habis menambat perahunya sendiri kepada perahu orang, mereka memberi hormat. Nelayan itu membalasi sambil berduduk terus.
"Maaf, jiwi, kakiku sakit, tidak dapat aku bangun berdiri." katanya.
"Jangan merendah, lotiang," berkata muda-mudi itu.
Mereka mendapatkan orang berusia empatpuluh lebih, mukanya kurus, mirip orang yang lagi menderita sakit berat, tubuhnya jangkung, meski berduduk, ia jauh lebih tinggi dari Kwee Ceng. Ia tidak bersendirian. Di buntut perahu ada satu kacung lagi mengipasi perapian, dimana ia tengah memanasi arak.
Oey Yong perkenalkan she mereka, bahwa saking gembira mereka bermain perahu. Ia memohon maaf yang mereka sudah mengganggu ketentraman si nelayan.
"Kau merendah," kata si nelayan tertawa. "Aku she Liok. Apa jiwi berdua baru pertama kali ini pesiar di telaga ini?"
"Benar," sahut Kwee Ceng.
Kedua pemuda ini - sebab Oey Yong menyamar - lantas diundang minum dan dahar sayur mayur yang terdiri dari empat rupa. Mereka mengucap terima kasih, mereka minum dan dahar bersama. Nyata araknya wangi dan sayurnya pun lezat, mesti itu masakan orang hartawan.
"Siauwko, kau muda sekali, tapi pandai kau menyanyikan syair Naga Air itu," si orang she Liok itu memuji.
"Lotiang pun sama juga," Oey Yong membalasi.
Keduanya lantas bicara hal syair itu, dua-duanya gembira. Kwee Ceng tidak mengerti hal syair, ia membungkam, ia cuma kagum.
Ketika itu terlihat mega berkumpul. Si orang she Liok itu mengundang kedua tetamunya berkunjung ke rumahnya, untuk berdiam beberapa hari. Ia kata rumahnya itu di tepi telaga.
"Bagaimana, engko Ceng?" Oey Yong tanya kawannya.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, si orang she Liok itu sudah berkata pula bahwa rumahnya dekat dan di sana ada puncak yang indah. "Jiwi tengah pesiar, maka itu, jangan kau menampik," ia mendesak.
"Kalau begitu, Yong-jie, mari kita membikin berabe tuan Liok!" akhirnya Kwee Ceng menjawab kekasihnya. Ia pun mengucapkan terima kasih.
Si orang she Liok itu girang, ia terus menyuruh kacungnya mengayuh. Sampai di tepian, langit mulai gelap, Kwee Ceng kata ia hendak membayar pulang dulu perahunya, sedang di rumah si tukang perahu ada kuda dan keledainya, hendak binatang itu dititipkan terus.
"Tidak usah," kata si orang she Liok mencegah. "Disini semua kenal aku, hal itu biar dia saja yang mengurusinya." Dia menunjuk kacungnya.
"Kudaku nakal," kata Kwee Ceng.
"Kalau begitu baiklah, nanti aku menanti di gubukku," kata si orang she Liok itu. Dia tertawa, lantas dia mengayuh perahunya, lenyap di antara pohon-pohon yangliu. Tapi kacungnya ikut Kwee Ceng dan Oey Yong memulangi perahu dan mengambil kuda serta keledai mereka. Kemudian mereka mesti berjalan berliku-liku akan sampai di rumah si orang she Liok, yang merupakan suatu rumah besar dengan pekarangan yang lebar luas. Untuk tiba di muka pekarangan, mereka mesti melintasi dulu sebuah jembatan tunggu. Muda mudi itu saling mengawasi, kagum karena rumah orang itu.
Di muka pintu, kedua tetamu ini disambut seorang muda umur duapuluh lebih yang membawa empat budak. Ia kata ia diutus ayahnya untuk menyambut. Kwee Ceng membalas hormat, ia mengucap terima kasih. Ia melihat pemuda itu mengenakan jubah panjang, wajahnya mirip ayahnya, cuma tubuhnya besar dan kekar. Ia lantas minta belajar kenal.
Pemuda itu menyebutkan namanya, Koan Eng.
Sembari berbicara mereka bertindak masuk, memasuki hingga tiga ruangan. Kedua tetamu ini menjadi terlebih kagum. Rumah itu indah tiang-tiangnya terukir.
"Lekas silahkan tetamu masuk!" lantas terdengar suaranya si orang she Liok, yang berada di ruang belakang.
"Ayahku terganggu kakinya, sekarang ia menantikan di kamar tulis Timur," Koan Eng memberitahu.
Mereka melintasi pintu angin, lantas mereka lihat pintu kamar tulis yang dipentang. Di dalam situ si nelayan duduk di atas pembaringannya. Sekarang ia tidak dandan lagi sebagai tukang pancing, hanya mengenakan pakaian mahasiswa atau sastrawan, tangannya mencekal kipas. Ia menyambut dengan gembira, sambil tersenyum, ia pun lantas mengundang duduk. Koan Eng tidak berani duduk bersama, ia berdiri di samping.
Dua tetamu itu mengagumi kamar tulis itu, yang banyak kitabnya serta juga rupa-rupa barang kuno, tetapi Oey Yong terbengong ketika ia melihat sepasang lian di tembok, bunyinya "Dalam tumpukan pakaian menyimpan pedang mustika" dan "Dalam suara seruling dan tambur ada tetamu tua". Ia heran untuk kata-katanya. Itulah kata-kata yang suka disenandungkan ayahnya. Di bawah lian itu tertulis nama penulisnya berikut keterangannya: "Coretan Ngo Ouw Hoat-jin selama dalam sakitnya". Kata-kata "Ngo Ouw Hoat-jin" itu berarti "Orang tapakdaksa dari Thay Ouw". Ia menduga, si orang tapakdaksa itu tentulah tuan rumah she Liok ini. Bukankah ia lagi menderita sakit kaki?
Tuan rumah heran. "Bagaimana pandanganmu tentang lian itu, laotee?" ia menanya.
"Kalau aku mengaco, harap chung-cu tidak buat kecil hati," sahut Oey Yong. Ia sekarang memanggil "chung-cu" = tuan rumah. Ia kata lian itu mengandung kemurkaan dan penasaran, sedang tulisannya bagus dan keren. Ia anggap orang telah menyimpan pedangnya untuk hidup menyendiri di tempat sepi. Mendengar itu, tuan rumah menghela napas, ia berdiam.
"Aku masih muda dan tidak tahu apa-apa, aku telah sembarangan omong, harap chung-cu suka memaafkan," berkata Oey Yong.
"Jangan mengucap demikian, Oey Laotee," berkata Liok Chung-cu. "Apa yang tersimpan di dalam hatiku berulah hari ini dapat dilihat orang seorang sebagai kau, maka bisalah dibilang, kaulah orang yang paling mengenal aku selama hidupku ini." Lalu ia menoleh kepada putranya, menyuruh lekas menyiapkan barang hidangan.
Oey Yong dan Kwee Ceng meminta tuan rumah jangan membikin berabe tetapi tuan rumah yang muda sudah lantas mengundurkan diri.
"Laotee, pandanganmu tajam, kau mestinya dari keluarga terpelajar, mungkin ayahmu ada seorang sastrawan besar," berekat tuan rumah. "Entah siapa ayahmu itu, bolehkah aku mengetahui nama besarnya yang mulia?"
"Aku tidak mengerti apa-apa, chung-cu terlalu memuji," menyahut Oey Yong. "Ayahku cuma membuka rumah perguruan di kampung halaman."
Tuan rumah itu menghela napas. "Orang terpelajar tak menemui nasibnya yang baik, sejak dahulu hingga sekarang sama saja," katanya. "Oey Laotee, kita ada bagaikan sahabat lama, maka itu aku ingin minta kau melukis sesuatu untukku, sebagai tanda peringatan. Sudikah kau meluluskannya?"
Oey Yong tersenyum. "Oh, chung-cu!" katanya. "Coretan buruk, cuma-cuma akan membikin kotor mata chung-chu saja!"
Mengetahui orang suka meluluskan, tuan rumah menjadi sangat girang, ia suruh kacungnya lekas menyediakan perabot tulis. Si kacung sendiri yang menggosokan baknya.
Oey Yong tidak menampik lagi, cuma berpikir sebentar, lantas ia melukiskan gambarnya seorang mahasiswa usia pertengahan lagi berdiri di latar tengah sedang berdongak sambil menghela napas memandangi si putri malam yang cahayanya terang permai, mahasiswa itu agaknya kesepian, tetapi tangannya dia memegangi gagang pedang, romannya keren. Di samping lukisan itu dituliskan syair: "Siauw Tiong San" dari Gak Hui. Sebagai tanda tangan ia menyebutkan dirinya si anak muda she Oey.
Liok Chung-chu girang sekali, ia memuji dan mengucapkan terima kasih. Ia senang dengan gambar itu.
Habis bersantap, mereka kembali ke kamar tulis, akan pasang omong pula. Tuan rumah menyebutkan halnya kedua gua Thio Kong dan Sian Koan. Ia minta kedua tetamunya tinggal beberapa hari lagi untuk menjenguk kedua gua itu.
"Sekarang silahkan jiwi beristirahat," katanya tuan rumah akhirnya.
Kwee Ceng dan Oey Yong mengucap terima kasih, mereka berbangkit, untuk mengikuti kedua bujang yang membawa lentera, yang hendak mengantar ke kamar yang telah disediakan untuk mereka. Selagi lewat di ambang pintu, Oey Yong mendongak, maka terkejutlah ia menampak di atas pintu ada delapan lembar besi merupakan patkwa. Tapi ia tidak bilang suatu apa, ia mengikuti terus pengantarnya itu. Kamar yang disediakan diperaboti lengkap, pembaringannya dua. Kedua bujang menyediakan teh, ketika hendak mengundurkan diri mereka memberitahu apabila perlu apa-apa, kedua tetamunya boleh membunyikan kelenengan, yang diikat di pinggiran pembaringan. Kemudian mereka memesan agar diwaktu malam jangan kedua tetamunya itu pergi keluar.
"Engko Ceng, lihat, tempat apa ini," berbisik Oey Yong setelah kedua bujang menutup pintu kamar dan berlalu. "Kenapa kita dilarang keluar di waktu malam?"
"Rumah ini luas sekali pekarangannya, berliku-liku juga, mungkin dikhawatirkan kita kesasar," sahut Kwee Ceng.
"Bagaimana engko lihat tuan rumah kita?" si nona menanya pula.
"Dia mirip perwira yang telah mengundurkan diri!" jawab si anak muda.
"Tidak salah! Dia tentu mengerti ilmu silat, bahkan lihay. Kau lihat tidak tadi itu patkwa besi di atas pintu kamar tulis?"
"Patkwa besi? Apakah itu?" tanya si pemuda.
"Itulah senjata yang menjadi alat untuk menyakinkan ilmu Pek-khong-ciang, latihan memukul udara kosong. Ayah pernah ajarkan aku ilmu itu, aku bosan, selang beberapa bulan, aku mengapalkannya siapa tahu, di sini aku melihat alat itu..."
"Kelihatannya Liok Chung-cu tidak bermaksud jahat, maka itu apabila dia tidak membilang sesuatu apa, kita baik perpura-pura pilon."
Oey Yong tersenyum, lalu tangannya mengebas ke lilin, memadamkan api.
"Tanganmu sungguh lihay!" Kwee Ceng memuji perlahan. "Yong-jie, adakah ini Pek-khong-ciang?"
"Cuma sebegini pelajaranku," Oey Yong tertawa. "Ini ada untuk main-main, buat dipakai menyerang orang, tidak dapat."
Sampai di sini, keduanya tidur.
Mereka belum puas ketika kuping mereka dapat menangkap suara bagaikan orang meniup terompet kulit keong, terdengarnya samar-samar, tandanya jauh suara itu, kemudian datang suara yang menyambutnya, tanda terompet itu dibunyikan bukan oleh satu orang. Suara menyambut itu pun samar-samar.
"Engko Ceng, mari kita lihat," Oey Yong mengajak, suaranya perlahan. Ia heran sebab terompet itu terang saling sahutan.
"Lebih baik kita jangan keluar, khawatir terbit gara-gara." sahut si pemuda.
"Siapa bilang untuk menerbitkan gara-gara? Aku mengatakan untuk melihat." jawab si nona bersikeras.
Kwee Ceng terpaksa menurut, maka dengan berhati-hati keduanya membuka jendela, untuk melongok dulu keluar. Di paseban terlihat beberapa orang dengan lentera, beberapa lagi pergi datang, agaknya repot. Di atas genteng pun ada tiga empat orang lagi mendekam. Di antara terangnya lentera, terlihat nyata orang pada membekal senjata tajam. Tidak lama, semua orang itu pergi keluar.
Oey Yong heran, ingin ia mencari tahu, dari itu ia tarik tangan Kwee Ceng pergi ke jendela sebelah barat. Di luar situ tidak ada orang, keduanya lompat keluar. Kerena kegesitannya, mereka tak terlihat orang-orang di atas genting itu.
Dengan memberi tanda dengan tangannya, si nona mengajak kawannya jalan mutar ke belakang. Jalanan di situ dari timur belok ke barat, berliku-liku. Heran adalah setiap paseban di tikungan, modelnya sama. Maka dalam beberapa belokan saja, tak dapat dibedakan lagi mana timur mana barat, mana selatan mana utara. Tapi si nona lihay, ia maju terus dengan cepat, tidak pernah ia bersangsi. Pernah nampaknya di depan tidak ada jalanan tetapi ia menobloskan gunung-gunungan.
Heran Kwee Ceng setibanya mereka di sebuah lorong yang agaknya buntu tetapi di belakangnya pintu angin nyata ada sebuah tempat tenang dan indah, hingga ia kata pada kawannya: "Yong-jie, rumah ini aneh, cara bagaimana kau kenal jalanannya semua?"
Oey Yong tidak menjawab, dengan tangannya ia memberi tanda supaya si pemuda tutup mulut. Mereka melalui beberapa tikungan, baru mereka tiba di tembok belakang. Di situ si nona menekuk-nekuk tangannya, ia maju beberapa tindak, kemudian Kwee Ceng dengar ia menyebutnya perlahan: "Cit satu...tun tiga...ie lima...hiu tujuh...kun...." yang ia tak mengerti, akan akhirnya si nona kata sembari tersenyum: "Cuma di sini ada jalan keluar, yang lainnya penuh dengan alat rahasia." Habis berkata, ia lompat naik ke tembok. Kwee Ceng lantas mengikuti.
"Pekarangan ini diatur menurut patkwa," Oey Yong memberi keterangan. "Inilah keahlian ayahku. Liok Chung-cu bisa menyulitkan orang lain, tidak aku!" Dan ia agaknya puas sekali.
Keduanya naik di tanjakan bukit kecil di belakang, memandang ke arah timur, mereka melihat sebarisan lentera obor yang menuju ke tepi telaga. Oey Yong memberi tanda, ia lari ke arah timur itu, kawannya mengikuti terus. Lantas mereka sembunyi si belakang satu batu besar, mengintai ke tepian. Di situ berbaris perahu-perahu nelayan, orang semua menaiki itu. Sejenak saja, semua api dipadamkan.
Oey Yong berdua menunggu naiknya rombongan paling belakang, di dalam gelap gulita mereka keluar dari tempat persembunyiannya, lari ke sebuah perahu yang paling besar, untuk lompat naik ke gubuk perahu. Gesit dan enteng tubuh mereka, perbuatannya itu tidak ada yang ketahui. Mereka lantas mengintai di sela-sela gubuk. Segera ternyata, duduk di dalam perahu ada si chung-cu muda, Liok Koan Eng.
Semua perahu itu berlayar baru satu lie kira-kira, dari tengah telaga terdengar suara terompet. Dari perahu besar itu terlihat keluar seseorang, dia terus meniup terompet sebagai balasan. Masih perahu berlayar terus.
Selang beberapa lie lagi, terlihat di sebelah depan berbaris-baris perahu kecil berjalan bagaikan kawanan semut, atau titik-titik di atas kertas putih, entah berapa jumlahnya.
Tukang terompet di perahu besar meniup pula terompetnya, tiga kali, lantas perahu kecil segera datang menghampirkan dari perlbagai penjuru.
Oey Yong dan Kwee Ceng heran betul. Agaknya bakal ada pertempuran, tetapi Koan Eng tetap tenang sikapnya, tak seperti ia lagi menghadapi musuh besar.
Lekas sekali semua perahu sudah datang dekat, dari setiap perahu berlompat pindah satu orang, dua orang, tiga empat orang, tak tentu, di dalam, mereka memberi hormat kepada Koan Eng, terus mereka duduk, sikapnya tetap menghormat, duduknya rapi. Tempat duduknya seperti sudah diatur, sebab ada yang datang duluan duduknya di belakang atau di tengah, ada yang datang belakangan justru duduk di kursi kepala. Sebentar saja, semua sudah berduduk. Mereka kelihatan keren, bukan seperti nelayan.
"Thio Toako, apa kabarmu?" tanya Liok Koan Eng seraya ia mengangkat tangannya. Ia memecahkan kesunyian setelah semua orang sudah duduk rapi itu.
Seorang yang kurus tubuhnya berbangkit. Ia menyahuti: "Peruntusan negara Kim itu sudah mengatur sebentar pagi-pagi akan melewati telaga dan Toan Cie-hui akan tiba lagi dua jam. Dengan alasan menyambut perutusan itu, di sepanjang jalan Cie-hui itu sudah memeras harta benda. Ini pun sebabnya dia datang terlambat."
"Berapa banyak hasilnya itu?"
"Setiap kota ada bingkisannya. Serdadu-serdadunya pun merampas di perkampungan. Aku lihat, waktu turun ke perahu, pengikutnya menurunkan duapuluh peti lebih yang semua nampaknya sangat berat."
"Berapa banyak tentaranya itu?" Koan Eng menanya pula.
"Dua ribu serdadu berkuda. Yang naik perahu semuanya adalah serdadu berjalan kaki. Karena perahu tidak banyak, yang ketinggalan ada sekitar seribu jiwa."
"Saudara semua, bagaimana pikiran kamu?" Koan Eng tanya para hadiran.
"Kami menanti titah siauw chung-cu!" ia mendapat jawaban serempak.
Koan Eng lantas bersidakep tangan, lalu ia berkata: "Semua itu keringat darah rakyat, semuanya harta tak halal. Karena mereka lewat di sini, kalau kita tak ambil, kita menentang wet Tuhan! Mari kita ambil semuanya, nanti separuhnya kita amalkan kepada rakyat jelata, yang separuhnya kita bagi rata antara semua markas!"
"Bagus!" semua hadirin setuju.
Baru sekarang Oey Yong berdua ketahui, semua orang itu adalah kepala-kepala perampok dan Koan Eng rupanya adalah pemimpin umumnya!
"Kita tidak dapat berayal lagi, mari segera kita turun tangan!" berkata Koan Eng lagi. "Thio Toako, tolong bawa lima buah perahu untuk membikin penyelidikan di depan!"
Si orang kurus menerima titah itu, ia berlalu paling dulu.
Setelah itu Koan Eng mengatur barisannya, siapa yang jadi pelopor, siapa penyambut atau pembantu, siapa mesti jadi "siluman air", akan selulup di dalam air untuk memahat perahu-perahu musuh, dan siapa mesti jadi tukang angkut harta. Bahkan ditetapkan siapa mesti membekuk si kepala pasukan musuh. Dia kelihatan lemah tetatpi rapi pengaturannya itu. Maka itu, Kwee Ceng berdua bertambah kagum.
Disaat orang hendak mulai berangkat, seorang hadirin berbangkit dan berkata dengan suara dingin: "Kita yang bekerja tanpa modal ini, sudah cukup kalau kita makan dari kaum pedagang kaya raya, tetapi dengan menempur pembesar dan tentara negeri, apa selanjutnya kita masih bisa berdiam di telaga ini?"
Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi orang itu, yang suaranya mereka rasa mengenalinya. Tidak usah mereka memandang lama, lantas mereka kenali orang ini ialah Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong, salah satu dari keempat Hong Ho Su Koay, Empat Iblis dari sungai Hong Ho, yang adalah muridnya See Thong Thian. Maka heran mereka, kenapa iblis itu nelusup di antara kawanan dari Thay Ouw itu.
Wajahnya Liok Koan Eng menjadi merah padam. Belum lagi ia membuka suara, sudah ada dua tiga orang yang menegur Ceng Hiong itu.
"Ma Toako baru datang, tidak heran kau tidak ketahui aturan kami di sini," kata Koan Eng mencoba bersikap sabar. "Bagi kami, satu kali semua orang sudah mengambil keputusan, kami mesti bekerja, biarnya kami semua ludas, kami tidak menyesal!"
"Baiklah!" kata Ceng Hiong. "Kamu lakukan usahamu, aku tidak dapat mencampuri air keruh kamu!" Ia terus memutar tubuhnya, berniat berlalu.
Dua orang, yang tubuhnya besar, melintang di mulut perahu. "Ma Toako!" kata mereka keras. "Kau sudah bersumpah memotong kepala ayam! Sumpah kita adalah, rejeki sama dicicipi, bencana sama diderita!"
Ma Ceng Hiong tidak menggubris cegahan itu. "Minggir!" ia membentak, kedua tangannya dikebaskan.
Sebagai kesudahannya, dua orang tinggi besar itu roboh terpelanting.
Disaat iblis ini hendak bertindak, ia merasakan sambaran angin pada punggungnya. Segera ia berkelit ke samping, tangan kirinya mencabut semacam pusut dengan apa ia membalas menyerang dengan tikaman.
Penyerang yang gesit itu adalah Liok Koan Eng. Dia menangkis, kakinya dimajukan, tangan kanannya menyerang terus. Maka "Duk!" punggung Ceng Hiong kena terhajar hingga dia menjerit keras, memuntahkan darah, tubuhnya terus roboh binasa seketika.
"Bagus!" berseru semua hadirin, diantara siapa ada yang sambar tubuh Ceng Hiong itu, untuk digayor ke tengah telaga!
"Semua saudara, berebutlah maju!" Koan Eng menyerukan tanpa menghiraukan lagi apa yang ia barusan lakukan.
Semua orang menyahuti, lantas semua kembali ke perahu masing-masing.
Sebentar kemudian, semua kenderaan air itu sudah menuju ke timur. Perahu besar Koan Eng mengiringi dari belakang. Tidak lama terlihatlah jauh di sebelah depan beberapa puluh buah perahu besar, yang apinya terang-terang, tengah menuju ke barat.
Di antara perahu kecil lantas terdengar suara terompet keong.
Kwee Ceng dan Oey Yong memasang mata. Mereka tidak usah menanti lama atau kedua pihak perahu sudah datang dekat satu pada lain, lantas terdengar suara bentakan-bentakan disusul mana beradunya senjata atau tubuh yang kecemplung ke muka air.
Selang tidak lama, di pihak perahu tentara terlihat api berkobar, hingga seluruh telaga menjadi merah marong.
"Tentu mereka sudah berhasil," pikir Kwee Ceng berdua.
Tidak seberapa lama, beberapa perahu datang mendekati perahu besar, dari dalam situ terdengar laporan: "Semua musuh sudah musnah, kepala perangnya sudah tertawan!"
Koan Eng girang sekali, dia pergi ke kepala perahu. Dia berseru: "Saudara-saudara, bercapai lelahlah sedikit lagi! Silahkan kamu membekuk utusan negera Kim!"
Pembawa kabar itu bersorak, mereka lantas berlalu pula, untuk menyampaikan titah itu. Habis itu, terdengar suara terompet dari pelbagai perahu kecil, semua perahu memasang layar, menuju ke barat, bertiup keras angin timur.
Perahu besar Koan Eng, yang tadinya berada di belakang, sekarang maju mendahului ynag lain-lain, pesat sekali lajunya.
Kwee Ceng dan Oey Yong berdiam terus, mata mereka mengawasi ke depan. Tidak peduli angin keras mendampar-dampar punggung mereka, mereka gembira sekali. Coba tidak lagi sembunyi, tentulah si nona sudah bernyanyi. Pula menarik akan melihat perahu-perahu kecil mencoba melombai perahu besar itu.
Berlayar kira-kira satu jam, di depan mulai tertampak cahaya terang. Maka dua buah perahu kecil terlihat melesat mendatangi, lalu seorang dikepala salah satu perahu, dengan tangan memegang bendera merah berteriak nyaring: "Kita sudah menemui perahu-perahu perutusan negera Kim itu! Hoo Cecu sudah mulai menyerang!"
"Bagus!" Koan Eng menyahuti.
Lekas sekali ada datang sebuah perahu lain, seorang memberi laporan: "Kaki tangan negera Kim itu lihay, Hoo Cecu telah terluka! Kedua cecu Pheng dan Tang tengah mengepung mereka!"
Kapan perahu itu sudah datang dekat, dua orang memanggul Hoo Cecu yang terluka itu naik di perahu besar. Selagi Koan Eng hendak mengobati cecu itu, sudah lantas datang beberapa perahu lagi, yang membawa kedua cecu Pheng dan Tang yang tadi disebutkan, yang pun telah terluka. Pula dilaporkan yang, "Kwee Tauwnia dari puncak Piauw Biauw Hong telah kena ditombak mati utusan negara Kim, mayatnya kecemplung ke telaga."
Mendengar itu Liok Koan Eng jadi gusar sekali. "Anjing Kim itu demikian galak, nanti aku sendiri pergi membinasakan dia!" ia berseru.
Kwee Ceng dan Oey Yong sesalkan kegalakan Wanyen Kang itu, yang membunuh bangsanya, dilain pihak, mereka khawatirkan kebinasaan pangeran itu, yang tentu tidak sanggup melayani kawanan perampok yang besar jumlahnya itu, hingga kalau dia mati, bagaimana jadinya dengan Bok Liam Cu
"Kita tolongi dia atau jangan?" Oey Yong berbisik.
"Kita tolongi dia tetapi dia mesti dibikin insyaf dan menyesal," sahut anak muda ini.
Oey Yong mengangguk.
Itu waktu Koan Eng sudah membawa sebuah golok yang tajam di dua mukanya, dia berlompat ke sebuah perahu kecil. "Lekas!" dia berseru.
"Mari kita rampas itu perahu kecil di sampingnya!" Oey Yong mengajak kawannya.
Disaat kedua hendak berlompat, tiba-tiba tempik sorak riuh kawanan perampok, kemudian tertampak perahu-perahu rombongan perutusan Kim itu pada karam. Rupanya perahu mereka itu telah dipahat bolong dasarnya. Kemudian, dengan bendera merahnya dikibar-kibarkan, lalu perahu datang melapor: "Anjing Kim itu kecemplung di air. Dia sudah dapat dibekuk!"
Koan Eng girang, dia berlompat kembali ke perahu besar.
Tidak lama, di antara berisiknya terompet, sejumlah perahu kecil datang membawa orang-orang tawanan mereka ialah si utusan Kim, sekalian pahlawan dan pengiringnya, semua sudah lantas digusur naik ke perahu besar.
Kwee Ceng dan Oey Yong mendapatkan Wanyen Kang dibelebat kaki tangannya, matanya meram saja, rupanya ia telah kena tenggak banyak air telaga.
Kebetulan itu sang fajar telah tiba, seluruh telaga mulai terang tertojohkan matahari dari timur, air telaga bersinaran, memain seperti berlugat-legotnya ular-ular emas.
Liok Koan Eng telah memberikan pengumumannya; "Semua cecu berkumpul di Kwie-in-chung untuk berjamu! Semua tauwnia pulang ke markas, untuk menanti hadiah!"
Kaum perampok bersorak-sorai, lantas tertampak mereka berpencaran, lenyap di kejauhan. Dimuka telaga terlihat burung-burung melayang-layang, pula terlihat layar-layar putih. Segala apa tenang sekali, hingga orang tidak nanti menyangka bahwa baru saja dilakukan pertempuran mati hidup....
Kwee Ceng berdua menantikan orang sudah pada ke darat, baru dengan diam-diam mereka pun pulang, untuk berpura-pura tidur.
Beberapa kali dua bujang pelayannya datang ke pintu kamar, mereka ini menyangka tetamunya sedang tidur nyenyak bekas letih pesiar kemarin, mereka tidak berani mengasih bangun.
Lewat lagi sesaat barulah Kwee Ceng berdua membuka pintu. Lantas mereka diberi selamat pagi oleh kedua pelayannya, yang pun cepat menyediakan sarapan pagi seraya memberitahukan bahwa chung-cu menantikan di kamar tulis.
Keduanya menangsal perut sekedarnya, kemudian mereka pergi ke kamar tulis, di mana Liok Chung-cu sambil berduduk di pembaringan, menyambut sambil tertawa; "Angin besar di telaga, semalam gelombang mendampar-dampar gili-gili mengganggu orang tidur! Apakah semalam jiwi dapat tidur nyenyak?"
Kwee Ceng jujur, pertanyaan itu membuat ia bungkam, tetapi Oey Yong menyahuti: "Tadi malam aku mendengar suara terompet kulit keong, rupanya paderi atau imam tengah membaca doa."
Tuan rumah tertawa. Lantas ia mengatakan ingin ia memperlihatkan kumpulan gambar lukisannya kepada kedua tetamunya.
"Tentu suka sekali kami melihat," berkata Oey Yong. "Pasti itu ada lukisan-lukisan yang sangat indah."
Liok Chung-cu menyuruh kacungnya mengambil gambarnya itu, maka sebentar kemudian Oey Yong sudah memandang menikmatinya.
Selagi hatinya sangat ketarik, mendadak Oey Yong mendengar bentakan-bentakan disusul berlari-larinya beberapa orang, seperti seorang lari dikejar beberapa orang. Satu kali terdengar nyata bentakan: "Kalau sudah masuk ke dalam Kwie-in-chung, untuk kabur dari sini lebih sukar daripada mendaki langit!"
Diam-diam Oey Yong melirik tuan rumah, ia mendapat kenyataan orang tenang seperti biasa, bagaikan dia tidak mendengar apa-apa, bahkan ia menanya, dari empat sastrawan besar di jamannya itu, tulisan siapa yang tetamunya paling digemari.
Selagi Oey Yong hendak memberikan jawabannya, tiba-tiba pintu kamar ada yang tabrak, seorang nerobos masuk, pakaian orang itu basah kuyup. Ia lantas mengenali Wanyen Kang, maka ia tarik Kwee Ceng seraya membisiki: "Lihat gambar, jangan pedulikan dia..."
Keduanya segera tunduk, terus mengawasi gambar-gambar lukisan serta pelbagai tulisan. Tuan rumah mengawasi orang yang nerobos masuk itu.
Orang itu memang Wanyen Kang adanya. Dia tertawan karena ia kecemplung dan kena meminum banyak air. Tempo dia mendusin, dia mendapatkan kaki tangannya terbelenggu, dan Liok Koan Eng hendak memeriksa dia. Segera dia mengerahkan tenaganya, sekali berontak, dia membuatnya belenggunya pada putus. Orang semua kaget, lantas mereka bergerak untuk menangkap. Dia membuka kedua tangannya, dua orang yang terdekat terpelanting roboh. Dia terus nerobos, untuk lari. Tapi Kwie-in-chung diatur menurut kedudukan patkwa, siapa tidak ketahui itu, jangan harap ia dapat lolos. Demikian dia lari tanpa tujuan sambil dikejar-kejar, sampai ia menabrak justru pintu kamar tulis.
Liok Koan Eng tidak berkhawatir orang lolos, tetapi melihat orang tawanan masuk ke kamar ayahnya, khawatir ayahnya nanti diserang, dia lompat untuk menghalang di depan ayahnya itu. Di muka pintu segera terlihat sejumlah cecu berdiri menghalang.
Dalam kesusu dan bingung seperti itu, Wanyen Kang tidak dapat memperhatikan Oey Yong berdua, dia menuding Liok Koan Eng dan menegor: "Perampok sangat jahat, kau sudah menggunai akal busuk membocorkan perahu! Tidakkah kamu khawatir ditertawakan kaum kangouw?!"
Koan Eng tertawa lebar. "Kau putra raja Kim, perlu apa kau menyebut-nyebut dua huruf kangouw itu?" ia membaliki.
"Selama di Pakhia aku telah mendengar nama besar kaum kangouw di Selatan," berkata Wanyen Kang berani, "Buktinya - hm - ternyata hari ini kamu hanya...."
"Hanya apa?!" Koan Eng memotong.
"Hanya kamu kaum hina dina yang pandai mengandalkan orang banyak!" sahut pangeran muda itu.
Koan Eng gusar sekali dihina secara demikian. Ia muda tetapi ialah kepala untuk kaum Rimba Persilatan di Kanglam. Ia kata: "Kau ingin bertempur satu sama satu, baru kau mampus tidak menyesal?"
Inilah jawaban yang diharap Wanyen Kang. Memang ia sengaja memancing amarah orang. Maka ia kata; "Kalau orang Kwie-in-chung ada yang sanggup mengalahkan aku, aku akan mandah dibelenggu, tidak nanti aku membilang suatu apa. Siapa yang hendak memberikan pelajaran kepadaku?!" Ia pun bersikap temberang, matanya menyapu semua orang, kedua tangannya digendong di belakangnya.
Kata-kata tersebut itu membangkitkan amarah Cio Cecu dari puncak Bok Lie Hong, juga aseran tabiatnya, maka ia lantas majukan dirinya, malah segera dia menyerang dengan kedua tangannya.
Wanyen Kang berkelit, membikin serangan jatuh di tempat kosong, berbareng dengan itu, kedua tangannya bekerja. Tangan kanan menyambar ke baju di punggung, tangan kiri membantui, maka tubuh cecu itu lantas terangkat, terus dilemparkan ke arah kawan-kawannya di ambang pintu!
Koan Eng terkejut. Orang lihay, mungkin tidak ada cecu lawannya. "Tuan, kau benar lihay!" katanya. "Aku ingin meminta pengajaran beberapa jurus dari kau, mari kita pergi ke thia!"
Tuan rumah yang muda ini berkata demikian sebab ia duga pertandingan mesti hebat, di dalam kamar tulis itu ia khawatir nanti melukai ayahnya serta kedua tetamunya itu yang tidak mengenal ilmu silat...
"Untuk pibu, di manapun sama saja!" kata Wanyen Kang jumawa. "Apakah halangannya di sini? Silahkan cecu memberi pengajaranmu!"
Koan Eng terpaksa, tapi ia berlaku tenang. "Baik!" katanya. "Kau tetamu, kaulah yang mulai!"
Wanyen Kang benar lihay. Mendadak ia ulur tangan kirinya, mengancam, disusul sama dengan tangan kanannya, menjambak baju orang. Ia sudah lantas menggunai jurus dari Kiu Im Pek-kut Jiauw.
"Bocah kurang ajar, tahukah lihaynya chung-cu kamu!" kata Koan Eng di dalam hatinya. Ia tidak berkelit, ia cuma mengkeratkan tubuhnya sedikit, untuk meluncurkan tangan kanannya menghajar lengan orang, sedang dua jari dari tangan kirinya menyambar ke sepasang mata.
Wanyen Kang pun terperanjat mengetahui orang lihay. Inilah ia tidak sangka. Ia lantas menarik pulang kedua tangannya, ia mundur setengah tindak, untuk memutar tangan menangkap lengan lawan. Tapi Koan Eng dapat membebaskan diri.
Melihat lihaynya tuan rumah, Wanyen Kang tidak berani memandang enteng. Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Koan Eng itu sebenarnya ada murid kesayangan dari Kouw Bok Taysu dari kuil Kong Hauw Sie di Lim-an, ia pandai Gwa-kang yaitu ilmu luar Hoat Hoa Cong. Ia pun mengetahui orang lihay, ia bersilat dengan hati-hati. Ia tidak kasih tubuhnya dijambak.
Untuk Gwa-kang, kaum Gwa-kee, ialah ahli luar, ada pribahasa, "Kepalan tiga bagian, kaki tujuh bagian", atau lagi, "Tangan ialah kedua daun pintu, mengandal kaki menendang orang," Maka itu, Koan Eng bersilat mengandal pada pribahasa itu.
Hebat pertarungan ini, sampai seratus jurus lebih belum ada yang menang atau kalah, Kwee Ceng dan Oey Yong diam-diam memuji Koan Eng demikian lihay.
Setelah bertempur lama, hati Wanyen Kang gentar. Ia tahu, ia terkurung dan lama-lama ia bisa kehabisan tenaga, kalau ia mesti banyak menempur banyak musuh bergantian, celakalah dirinya. Ia pun sebenarnya masih lemah bekas disebabkan menenggak terlalu banyak air. Karena itu, ingin ia lekas mengakhirkan pertandingan itu, untuk menyingkirkan diri.
Lewat lagi beberapa jurus, Koan Eng merasa ia keteter. Musuh telah mendesak sangat. Satu kali ia terlambat, pundaknya kena terhajar. Tidak tempo lagi ia terhuyung mundur. Wanyan Kang merangsak, untuk memberikan hajaran terakhir. Justru ia maju, justru kaki kiri tuan rumah meleset ke arah dadanya. Itulah dupakan "Kaki jahat" yang berbahaya sekali.
Wanyen Kang tidak menyangka selagi terhuyung musuh dapat mendupak, ia ketahui itu sesudah kasep, dadanya kena terhajar kaki musuhnya itu. Ia lantas merasakan dadanya itu sakit. Tapi ia tidak menyerah dengan begitu saja. Ia membalas dengan membareng menotok betis dengan lima jeriji kiri dan tangan kanannya dipakai menolak dengan keras seraya ia berseru: "Pergilah!"
Koan Eng berdiri dengan sebelah kaki, tidak heran kalau ia kena tertolak hingga mental ke arah pembaringan ayahnya, disaat tubuhnya bakal membentur pembaringan, mendadak Liok Chung-cu mengulur tangan kirinya menahan punggungnya, lalu dengan perlahan tubuhnya dikasih turun. tapi ayah itu terkejut melihat betis anaknya mengucurkan darah.
"Kurang ajar!" ia berseru. "Pernah apa kau dengan Hek Hong Siang Sat?!"
Tanggapan dan seruan itu membikin heran semua orang tidak terkecuali Koan Eng sendiri, anaknya. Sebab anak ini semenjak kecil ketahui ayahnya sudah bercacad kedua kakinya, setiap hari ayah itu berdiam di kamar tulis saja berteman dengan alat tetabuhan khim, gambar dan kitab. Ia juga heran merasakan tanggapan ayah itu kepada tubuhnya. Tapi masih ada juga orang yang tidak heran, mereka ini ialah Oey Yong dan Kwee Ceng. Si nona karena ia melihat besi patkwa di pintu dan si pemuda karena mendengar keterangan kekasihnya.
Wanyen Kang melengak ditanyakan halnya Hek Hong Siang Sat. "Makhluk apa Hek Hong Siang Sat itu?" ia balik menanya. Ia telah diajari silat oleh Bwee Tiauw Hong tetapi Tiauw Hong tidak pernah memberitahukan asal usul dan she serta namanya.
"Jangan berlagak pilon!" membentak pula Liok Chung-cu. "Siapa yang ajarkan kau itu ilmu Kiu Im Pek-ku Jiauw yang jahat?!"
Wanyen Kang bernyali besar. "Tuan kecilmu tak sempat ngobrol denganmu, maaf tak dapat aku menemani kau!" katanya seraya ia memutar tubuh, bertindak ke arah pintu.
Semua cecu gusar, mereka mengangkat golok merintangi.
"Bagaimana kata-katamu?!" Wanyen Kang menoleh kepada Koan Eng, romannya bengis." Kata-katamu berharga atau tidak?!"
Muka Koan Eng pucat. Ia mengangkat tangannya. "Kami kaum Thay Ouw bangsa terhormat!" katanya. "Saudara-saudara, lepaskan ia pergi! Thio Toako, tolong antar ia keluar!"
Semua cecu itu tidak puas tetapi mereka tidak berani membantah pemimpinnya itu.
Thio cecu pun sudah lantas membentak: "Mari turut aku! Sendiri saja tidak nanti kau menemani jalanan bocah!"
"Mana sekalian siwi dan pengiringku?" Wanyen Kang tanya.
"Mereka semua pun dimerdekakan!" menyahut Koan Eng.
Pangeran itu menunjuki jempolnya. "Bagus, benar kau satu kuncu! Nah, sekalian cecu, sampai bertemu pula di belakang hari!" Ia memutar tubuh untuk memberi hormatnya, romannya sangat puas.
"Tunggu dulu!" chung-cu tua membentak selagi orang hendak mengangkat kaki.
Wanyen kang segera menoleh, "Bagaimana?!" tanya ia.
"Aku si orang tua bodoh, ingin aku belajar kenal dengan Kiu Im Pek-ku Jiauwmu!" menyahut tuan rumah yang tua ini.
"Bagus! Bagus!" tertawa Wanyen Kang, sedang orang lainnya terperanjat.
Koan Eng sangat berbakti, ia terkejut tetapi ia lantas mencegah. "Ayah, jangan layani binatang ini!" katanya.
"Jangan khawatir!" berkata si ayah itu. "Aku lihat belum sempurnya kepandaiannya itu." Ia mengawasi dengan tajam kepada pangeran itu, lalu berkata pula: "Kakiku sakit, aku tidak dapat berjalan. Kau maju ke mari!"
Wanyen kang tertawa, tetapi ia tidak menghampirkan.
Koan Eng habis sabar, meskipun kakinya sakit, ia tidak mau membiarkan ayahnya bertempur, maka ia lompat maju sambil berkata; "Hendak aku mewakilkan ayahku meminta pengajaran beberapa jurus dari kau!"
"Bagus, mari kita berlatih pula!" tertawa Wanyen Kang.
"Anak Eng, mundur!" mendadak Liong Chungcu berseru, sambil berseru tangan kanannya menekan pinggiran pembaringan, hingga tubuhnya mencelat maju, berbareng dengan mana dengan tangan kiri ia menyerang ke arah embun-embun si pangeran.
Semua orang terkejut, mereka berseru.
Wanyen Kang tidak takut, ia menangkis. Tapi kesudahannya ia kaget bukan main. Ketika kedua tangan beradu, ia merasa tangan kanannya terpegang keras, menyusul mana, tangan kanan si orang tua menyambar bahunya. Ia lantas menangkis seraya berontak untuk melepaskan tangan kanannya itu dari cekalan lawan.
Tubuh Liok Chungcu tidak turun ke lantai, tubuh itu berdiam mengandal tenaga lengan si pangeran, yang ia terus mencekalnya dengan keras, tangan kanannya menyerang pula, beruntun hingga lima enam kali. Wanyen Kang repot menangkis, ia berontak tapi sia-sia saja. Ia mencoba menendang dengan kaki kirinya, juga tidak ada hasilnya.
Melihat itu, para cecu heran dan girang. Semua mengawasi pertempuran yang luar biasa itu, yang hebat sekali.
Lagi sekali tangan kanan Liok Chungcu menyerang.
Wanyen Kang menggunai lima jarinya, untuk membabat tangan lawan, atau mendadak lengan si orang tua ditekuk, sikutnya menggantikan menyerang, tepat mengenai jalan darah kinceng-hiat. Pangeran itu kaget, ia merasakan tubuhnya seperti mati separuh hingga gerakannya menjadi lambat, karenanya, tangan kirinya lantas kena ditangkap lawannya, bahkan dengan suara meretek, sambungan tangannya kena dibikin terlepas!
Liok Chungcu benar-benar sebat, ia mengandali kedua tangannya saja, dapat ia bergerak dengan lincah. Kembali tangan kirinya menyerang, menyambar ke pinggang orang, berbareng dengan mana, cekalan tangan kanannya dilepaskan, tangan itu dipakai menekan pundak si pangeran, maka pesat sekali ia mencelat balik ke pembaringannya di mana ia bercokol pula dengan tetap dan tenang.
Â
Bab 28. Ular-Ular Pada Menari
Koan Eng lompat ke depan pembaringan. "Ayah, kau tidak apa-apa?" ia menanya.
Ayahnya itu tertawa. "Binatang ini benar-benar lihay!" katanya.
Dua tauwnia sudah lantas maju, untuk membelenggu kaki dan tangan Wanyen Kang.
"Dalam kantongnya perwira she Toan yang ditawan itu ada beberapa borgolan tembaga, itu dapat dipakai untuk membelenggu binatang ini, coba kita lihat, dia dapat berontak lagi atau tidak!" berkata Thio Cecu.
"Bagus!" sahut beberapa orang, diantaranya ada yang lantas pergi lari, untuk mengambil borgolan itu, maka dilain detik, pangeran itu sudah diborgol tangan dan kakinya.
"Mereka sediakan ini untuk menyusahkan rakyat jelata, sekarang biarlah ia yang mencicipi sendiri!" kata Liok Chungcu dengan tertawa.
Wanyen Kang bermandikan peluh pada dahinya, ia menahan sakit, ia tidak mengeluh atau merintih.
"Bawa dia kemari!" kata Liok Chungcu, yang tahu orang kesakitan.
Dua tauwnia menggotong pangeran itu dekat kepada tuan rumah.
Liok Chungcu menotok tulang punggung serta dada kiri di beberapa tempat, setelah mana hilang rasa sakitnya Wanyen Kang, hingga pangeran itu mendongkol berbareng heran. Katanya dalam hatinya: "Gerakan tangannya orang ini sama dengan gerakan tangannya suhu, mungkinkah mereka ada hubungan satu sama lain?" Tapi belum sempat ia bicara, Koan Eng sudah suruh orang bawa ia ke tempat tahanan. Semua cecu pun pada lantas mengundurkan diri.
Baru setelah itu, Kwee Ceng dan Oey Yong memutar tubuhnya. Semenjak tadi mereka berdiam saja, melainkan secara diam-diam mereka melirik.
"Anak-anak gemar berkelahi, jiwi tentu menertawakan mereka," kata Liok Chungcu kepada tetamunya.
"Siapa dia itu?" tanya Oey Yong. Dia membawa sikap wajar, "Apakah dia telah mencuri disini, maka chungcu menjadi gusar sekali?"
Di dalam hatinya, nona ini semakin curiga. Gerakan tangan dan totokannya tuan rumah ini sama dengan pelajarannya sendiri.
Chungchu itu tertawa. "Benar, dia telah mencuri tidak sedikit barang kami!" sahutnya. "Mari, mari kita melihat gambar-gambar dan kitab, jangan kegembiraan kita diganggu pencuri itu."
Koan Eng sudah mengundurkan diri juga, maka dikamar tulis itu mereka tetap berada bertiga, tapi yang berbicara adalah tuan rumah dan Oey Yong berdua, Kwee Ceng tidak mengerti hal kitab dan gambar, pemuda itu tertarik sama huruf-huruf yang coret-coretannya tajam mirip dengan gerakan pedang. Meski begitu ia berdiam saja. Bukankah mereka toh sudah berpura-pura tidak mengerti silat?
Habis bersantap tengah hari, Liok Chungcu perintah kedua bujangnya mengantarkan kedua tetamunya pesiar kedua gua Thio Kong dan Sian Kong seperti ia telah menjanjikan. Kedua gua itu kesohor untuk pemandangan alamnya yang indah. Sampai sore baru mereka kembali dengan merasa senang.
"Bagaimana, Yong-jie, kita tolongi dia atau jangan?" tanya Kwee Ceng disaat mereka hendak masuk tidur.
"Kita baik tinggal dulu di sini beberapa hari," sahut si nona. "Kita masih belum ketahui jelas tentang tuan rumah kita ini."
"Ilmu silatnya sama dengan ilmu silatmu," Kwee Ceng memberitahukan.
Oey Yong berpikir, "Inilah anehnya," katanya. "Mungkinkah ia kenal Bwee Tiauw Hong?"
Keduanya tidak dapat menerka. Mereka pun khawatirkan tembok ada kupingnya, lantas mereka memadamkan api dan tidur. Pada tengah malam, keduanya mendusin karena kuping mereka mendengar suara perlahan di atas genting. Keduanya lantas lompat bangun, untuk menghampirkan jendela. Begitu mereka mementang daun jendela, mereka menampak berkelebatnya satu bayangan orang, yang terus bersembunyi di antara pohon-pohon bunga mawar. Setelah celingukan, orang itu bertindak ke timur, hati-hati itu sekali sikapnya, menandakan ia bukannya salah seorang penghuni rumah.
Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, keduanya lompat keluar dari jendela, untuk menguntit bayangan itu. Mereka bisa lantas bekerja karena tadi, diwaktu masuk tidur, mereka tidak membuka pakaian luar.
Belasan tindak kemudian, diantara cahya bintang-bintang, kelihatan nyata bayangan itu adalah seorang nona, yang ilmu silatnya lumayan juga. Kerana ini Oey Yong bertindak mendekati,. Tepat orang itu menoleh, ia lantas mengenali Bok Liam Cu. Ia lantas saja tersenyum. Di dalam hatinya ia berkata: "Bagus, kau hendak menolong kekasihmu! Hendak aku melihat, bagaimana caramu bertindak!"
Bok Liam Cu jalan pergi datang di taman itu, lalu dilain saat ia tersesat jalan.
Oey Yong sebaliknya kenal taman itu, yang diatur menurut patkwa. Inilah keistimewaannya Oey Yok Su, ayahnya. Tentang patkwa ini, ayahnya telah mengajari padanya. Jadi taman ini diatur menurut barisan rahasia Pat-kwa-tin.
"Dengan caramu ini berjalan, sampai seratus tahun pun tidak nanti kau dapat cari kekasihmu itu," kata Oey Yong dalam hatinya. Tapi ia hendak membantu. Maka ia memungut segumpal tanah, ia menimpuk, "Ambil jalan ke sana!" ia menunjuki, suaranya perlahan, ia sendiri bersembunyi di belakang pohon.
Nona Bom terperanjat. Ia menoleh, ia tidak melihat siapa juga. Ia pun bercuriga dan bersangsi. Lantas ia melompat ke arah darimana timpukan datang. Tentu sekali Oey Yong telah lenyap.
"Entah ia bermaksud baik atau jahat, tapi baiklah aku turuti pengunjukannya," kemudian nona Bok berpikir. Ia terus pergi ke kiri. Lalu habis itu, setiap ia bersangsi, ada timpukan tanah yang memberi petunjuk padanya. Ia telah berjalan berliku-liku, sampai mendadak ada timpukan yang jauh, yang bersuara di jendelanya sebuah kamar yang di depannya. Berbareng dengan itu, dua bayangan berkelebat dan lenyap.
Cerdas Liam Cu, segera ia lari menghampiri jendela itu, jendela dari sebuah rumah kecil. Setibanya di depan rumah itu, dua orang lelaki tergeletak di tanah, matanya mereka mengawasi dia. Mereka itu masih mencekal senjata, tapi tak dapat bergerak. Terang sudah mereka itu adalah korban-korban totokan di jalan darah.
"Pasti ada orang pandai yang membantu aku," berpikir Liam Cu. Ia masuk ke dalam rumah itu, kuping dan matanya dipasang. Segera ia mendapat dengar suara orang bernapas.
"Engko Kang!" ia memanggil perlahan. "Kau...!"
"Ya, aku!" ada jawaban untuk itu.
Itulah suara Wanyen Kang, yang sadar sebab barusan mendengar suara tubuh roboh di luar rumah. Dia memang lagi memasang kuping. Dia kenali suara si nona.
Dalam gelap gulita, Liam Cu segera menghampirkan.
"Ada dua orang pandai yang membantu aku, entah siapa mereka itu," kata nona ini. "Mari kita pergi!"
"Apakah kau membawa golok pedang mustika?" tanya pangeran itu.
"Kenapa?" balik tanya si nona.
Wanyen Kang tidak menjawab, ia hanya perdengarkan suara borgolan.
Liam Cu mengerti, ia menjadi sangat masgul.
"Menyesal pisau belati mustikaku itu telah aku berikan pada adik Oey," ia menyesalkan diri.
Oey Yong dan Kwee Ceng yang tetap bersembunyi, mereka dapat dengar suara si nona. Di dalam hatinya, nona Oey berkata: "Sebentar akan aku serahkan pisau mustika itu."
"Nanti aku pergi curi kunci borgolnya!" kata Liam Cu akhirnya. Ia bingung dan berkhawatir.
"Jangan pergi, adik!" Wanyen Kang mencegah. "Orang disini lihay, percuma kau pergi."
"Bagaimana kalau aku gendong kau?" tanya si nona.
"Tidak dapat, orang ikat aku pada tiang." jawab sang pangeran.
"Habis bagaimana?" tanya si nona lagi.
Lalu terdengar suara menangis perlahan dari nona itu.
"Mari kau dekati aku...." kata Wanyen Kang tertawa.
Liam Cu membanting kaki. "Orang tengah bergelisah, kau masih bisa bergurau!" tegurnya.
"Siapa bergurau?" Wanyen Kang masih tertawa. "Aku omong sebenarnya."
Liam Cu tidak memperdulikannya, ia mengasah otaknya.
"Kenapa kau ketahui aku berada disini?" Wanyen Kang tanya kemudian.
"Aku mengikuti kau terus-menerus..." jawab si nona perlahan.
"Oh, adik, kau baik sekali." Suara Wanyen Kang agak tergerak. "Mari kau dekati aku, kau menyender di tubuhku, hendak aku bicara."
Liam Cu menjatuhkan diri dan duduk, ia menurut.
"Aku adalah utusan negeri Kim, tidak nanti mereka berani lancang membunuh aku," berkata Wanyen Kang. "Hanya dengan tertahan di sini, pastilah gagal urusan tentara dari ayahku. Aku bingung....Adik, baiklah kau tolongi aku?"
"Bagaimana?" tanya si nona.
"Di leherku ada cap emas, kau loloskan itu."
Liam Cu menurut.
"Inilah cap perutusan," Wanyen Kang memberitahukan. "Sekarang kau lekas pergi ke Lim-an, di sana kau menemui Soe Mie Wan, itu perdana menteri kerajaan Song...."
Nona Bok terkejut.
"Aku seorang wanita biasa, cara bagaimana perdana menteri itu dapat menemui aku?" tanyanya.
"Kalau ia melihat cap ini, pasti ia repot sekali menyambut kau!" kata Wanyen Kang tertawa. "Kau beritahu padanya bahwa aku ditawan perampok di Thay Ouw ini, hingga karenanya tidak dapat aku datang padanya. Kau pesan apabila ada utusan Mongolia yang datang, suruh ia jangan menerimanya hanya segera bunuh saja si utusan itu!"
"Eh, kenapa begitu?" si nona menanya heran.
"Inilah urusan besar dari tentara dan negera, dijelaskan pun kau tidak bakal mengerti! Pergi kau sampaikan pesanku ini kepada perdana menteri itu, itu artinya kau sudah mewakilkan aku melakukan satu pekerjaan yang besar. Jikalau utusan Mongolia itu keburu sampai dan dapat bicara dengan raja Song, itu artinya kerugian besar bagi kami negara Kim."
"Apa itu negara Kim?" Liam Cu tanya. "Aku adalah rakyatnya kerajaan Song! Sebelum kau omong jelas, tidak bisa aku bekerja".
"Bukankah nanti kau bakal menjadi permaisuri di negara Kim?" Sembari berbicara, Wanyen Kang tersenyum.
"Ayah angkatku ialah ayahmu sejati, adalah orang Han. Apakah kau benar-benar sudi menjadi raja Kim?" tanya Liam Cu. "Aku cuma tahu, cuma...."
"Kenapa?" Wanyen Kang memotong.
"Sampai sebegitu jauh aku pandang kau sebagai orang pintar dan gagah," kata Liam Cu, "Dan aku menyangka kau berpura-pura saja menjadi pangeran, bahwa kau lagi menantikan ketikanya yang baik untuk berbuat sesuatu guna kerajaan Song! Kau benar-benarkah hendak mengakui musuh sebagai ayahmu!"
Wanyen Kang bediam. Ia dapat mendengar suara lagu orang berubah, kata-katanya seperti macet di tenggorokan. Itulah tandanya orang gusar dan menyesal. Maka ia berdiam.
"Negara yang indah dari kerajaan Song telah separuhnya dirampas orang asing!" berkata pula Liam Cu. "Dan rakyat kita bangsa Han telah ditangkap-tangkapi, dibunuh dan dianiaya! Mustahilkah kau sendiri juga tidak memikirkan itu? Kau....kau....."
Berhenti si nona berbicara, ia lemparkan cap ke tanah, sambil menutup muka, ia bertindak pergi.
Wanyen Kang terkejut, segera ia memanggil
"Adik, aku salah!" katanya, memanggil, "Mari kembali!"
Liam Cu berhenti bertindak, ia berpaling, "Mau apa kau?!" ia tanya.
"Tunggulah sampai aku sudah lolos dari sini, aku akan tak lagi menjadi utusan negeri Kim," berkata Wanyen Kang. "Aku juga tidak akan kembali ke negera Kim itu, hanya bersama kau, aku akan hidup menyepi sebagai orang tani, supaya kita bisa hidup bersama dengan tenang dan berbahagia...."
Nona Bok menghela napas, ia berdiri menjublak. Semenjak pibu, ia sudah pandang Wanyen Kang sebagai pemudanya yang paling gagah. Bahwa Wanyen Kang tidak hendak mengakui ayahnya sendiri, ia masih menyangka pada itu ada sebabnya. Ia pun menduga orang menjadi utusan negara Kim karena ada suatu maksud tersembunyi, guna nanti melakukan suatu usaha besar untuk kerajaan Song. Tapi siapa tahu, sekarang sia-sia saja pengharapannya itu. Ia dapatkan kenyataan orang hanya satu manusia sekakar, yang kemaruk sama harta dan kemuliaan....
"Adikku, kau kenapa?" Wanyen Kang tanya.
Liam Cu berdiam.
"Memang ibuku membilangi aku bahwa ayah angkatmu adalah ayahku yang sejati," Wanyen Kang berkata pula. "Sayang sebelum aku menanya dengan jelas, keduanya mereka sudah menutup mata, karenanya sampai sekarang aku jadi ragu-ragu....."
Pikiran Liam Cu tergerak juga.
"Kalau ia belum mengetahui jelas, ia dapat diberi maaf..." pikirnya. Lalu ia berkata: "Sekarang kau jangan sebut lagi hal aku harus pergi kepada perdana menteri Song untuk membawa capmu ini. Hendak aku mencari adik Oey untuk minta pisau mustika guna menolongi kau..."
Oey Yong mendengar itu semua, kalau tadinya ia hendak menyerahkan pisaunya, segera ia mengubah maksudnya. Ia benci mendengar Wanyen Kang hendak berbuat sesuatu untuk tentara Kim. Ia pikir: "Baiklah aku membiarkan dia tertutup lagi beberapa hari di sini...." Ayahnya memang membenci sekali negera Kim itu.
"Taman ini aneh jalannya, kenapa kau ketahui jalanannya itu?" kemudian Wanyen Kang menanya.
"Ada seorang pandai yang memberi petunjuk padaku," sahut Liam Cu. "Dia menyembunyikan diri, aku belum tahu siapa dia."
Wanyen Kang mengasih dengar suara tidak tegas.
"Adikku," katanya pula, "Kalau lain kali kau datang pula, mungkin kau kepergok penghuni rumah ini. Kalau benar kau hendak menolongi aku, pergi kau cari satu orang..."
"Aku tidak sudi mencari perdana menteri she Soe itu!" memotongi si nona.
"Bukannya Soe Sinsiang, hanya guruku," Wanyen Kang memberi tahu
"Oh..." si nona terhenti suaranya.
"Kau pergi membawa ikat pinggangku ini," Wanyen Kang berkata pula. "Di gelang emasnya ikat pinggang itu kau ukir kata-kata: 'Wanyen Kang dapat susah di kwie-in-chung di tepi telaga Thay Ouw' Tigapuluh lie di utara kota Souwciu ada sebuah bukit belukar, di sana kau cari sembilan buah tengkorak yang bertumpuk menjadi satu: Satu di atas, tiga di tengah dan lima di bawah. Ikat pinggangku ini, kau letakkan di bawah tenggorak itu.
Liam Cu heran, "Untuk apakah itu?" ia menanya.
"Guruku itu telah buta kedua matanya," Wanyen Kang memberi keterangan. "Kalau ia dapat memegang ikat pinggang itu serta gelang emasnya, lantas ia bakal dapat mencari aku. Setelah meletaki ikat pinggang itu, jangan kau berlambat, kau mesti lekas-lekas mengangkat kaki. Aneh tabiat guruku, apabila ia mendapatkan ada orang di dekat tumpukan tengkorak itu, mungkin ia akan membunuhmu. Guruku lihay, pasti dia bakal dapat menolongi aku. Kau tunggui saja aku di kuil Hian Biauw Koan di kota Souwciu."
"Kau bersumpah dulu, bahwa kau tidak akan akui pula bangsat menjadi ayah dan tidak menjual negara ini untuk mencelakai rakyat!" berkata si nona.
Mendengar itu, Wanyen Kang menjadi tidak senang. Ia kata: "Setelah urusanku beres, sudah tentu aku akan bertindak menurut kata hatiku yang benar. Sekarang kau memaksa aku mengangkat sumpah, apakah mau?!"
Liam Cu lemah hatinya. "Baik, aku akan pergi menyampaikan warta!" bilangnya. Ia meloloskan ikat pinggang si anak muda.
"Adikku, kau hendak pergi sekarang?" kata Wanyen Kang, "Mari, adik!"
"Tidak!" kata si nona yang bertindak ke pintu.
"Aku khawatir belum lagi guruku datang menolongi aku, mereka sudah keburu membunuh aku," kata pula Wanyen Kang, "Maka itu untuk selama-lamanya aku tidak bakal melihat pula padamu..."
Liam Cu menjadi lemah hatinya. Ia kembali, ia senderkan tubuhnya dalam rangkulan pangeran itu. Ia pasrah. Kemudian, mendadak ia berkata dengan keras: "Di belakang hari, jikalau kau tidak menjadi orang baik-baik, aku bakal mati di hadapanmu!"
Inilah Wanyen Kang tidak sangka, maka itu, ia menjadi melengak.
Liam Cu berlompat bangun, untuk berlalu.
Oey Yong sudah lantas menunjuki pula jalan secara diam-diam seperti tadi, maka setibanya di kaki tembok, Liam Cu bertekuk lutut, mengangguk tiga kali, katanya: "Oleh karena cianpwee tidak sudi memperlihatkan diri, biarlah aku memberi hormatku ke udara saja."
"Oh, itulah aku tidak berani terima!" terdengar satu suara halus dibarengi sama tertawa geli.
Liam Cu segera mengangkat kepalanya tetapi tetap ia tidak melihat siapa juga kecuali bintang-bintang di langit. Ia heran bukan main. Ia seperti mengenali suara Oey Yong, hanya ia heran, kenapa orang berada di sini dan ketahui jalan rahasia itu. Ia jalan belasan lie, lantas ia berhenti di bawah sebuah pohon besar untuk tidur, lalu besoknya, dengan menaik perahu, ia menyeberangi telaga Thay Ouw dan pergi ke kota Souwciu.
Souwciu adalah kota ramai di tenggara walaupun ia tidak dapat melawan Hangciu, di sini orang hidup secara mewah melupakan kekejaman bangsa Kim yang pernah menggilas-gilasnya. Tapi Liam tidak pikirkan kepelesiran. Habis bersantap di sebuah rumah makan, melihat matahari sudah doyong ke barat, ia lantas pergi keluar kota utara. Dengan menuruti petunjuk Wanyen Kang, ia hendak mencari gurunya pemuda itu. Makin lama jalanan makin sulit. Matahari pun segera melenyap di belakang bukit. Segera terdengar suara-suara aneh dari burung-burung hutan. Sampai langit sudah gelap ia mencari di lembah, belum juga ia menemui tumpukan tengkorak seperti katanya Wanyan Kang.
"Baiklah aku cari pondokan, besok pagi aku mencari pula," pikirnya.
Syukur di sebelah barat situ ada sebuah rumah, dengan kegirangan ia lari menghampirkan, hingga ia mendapatkan sebuah kuil tua dan rusak, namanya Yoh Ong Bio. Ketika ia menolak pintu, pintu itu roboh menjeblak, debunya beterbangan. Terang itulah sebuah kuil kosong. Di dalamnya penuh kabang-kabang, segala apa tidak teratur.
Senang juga Liam Cu akan mendapati meja masih utuh, ia lantas bersihkan itu, untuk menempatkan diri. Ia tutup pintu tadi, yang ia pasang pula, lantas ia mengeluarkan rangsum kering untuk menangsal perut. Ia pakai buntalannya sebagai bantal waktu ia merebahkan diri. Kapan ia ingat Wanyen Kang, ia menjadi berduka dan malu, tanpa merasa air matanya meleleh turun. Karena ini, sampai kentongan yang kedua barulah ia dapat tidur. Tiba-tiba saja ia mendusin. Ada suara apa-apa di luar kuil, bukan suara angin, bukan suara air. Ia berduduk untuk memasang kuping terlebih jauh. Ketika ia mendengar suara bertambah nyaring, ia lompat ke pintu untuk melihat keluar. Ia menjadi kaget sekali, hatinya memukul dengan keras.
Di bawah terangnya rembulan, terlihat ribuan, ya laksaan ular hijau, bergulat-legot menuju ke timur, bau amisnya masuk ke dalam kuil. Menggelesernya ular itu, itulah yang menerbitkan suara luar biasa itu. Di belakang pasukan ular itu nampak tiga orang pria dengan pakaian serba putih yang tangannya memegang galah panjang peranti menggiring ular itu.
Liam Cu tidak berani mengintai lebih lama, ia khawatir nanti kepergok. Sesudah mendengar suara orang pergi jauh, baru ia mengintai pula. Sekitarnya jadi sepi pula, hingga ia merasa tengah bermimpi.
Ia membuka pintu, ia pergi ke luar. Tidak lagi ia melihat ketiga orang dengan pakaian putih itu. Ia merasa hatinya lega. Ia jalan beberapa tindak ke jalan yang bekas diambil ular itu. Disaat ia hendak membalik tubuh, untuk kembali ke kuil, ia melihat suatu barang putih tidak jauh dari dekatnya itu. Warna putih itu bertojoh sinar rembulan, adanya di atas batu. Ia heran, ia menghampirkan. Ia segera melihat tumpukan tengkorak, malah bertumpuknya tepat seperti ditunjuk Wanyen Kang. Ia kaget berbareng girang. Dengan hati kebat-kebit, ia menghampirkan, untuk meletaki di bawah itu ikat pinggang Wanyen Kang. Tangannya bergetar ketika ia meraba tengkorak itu. Luar biasa sekali, lima jarinya tepat masuk ke dalam lima lubang di tulang tengkorak itu hingga ia menjerit seraya memutar tubuh untuk kabur. Atau mendadak ia ingat tak perlu ia takut. Ia ketakutan sendiri tanpa perlunya. Maka sekarang ia dapat tersenyum. Maka ia lantas merapikan menaruh ikat pinggangnya itu.
"Pasti benar gurunya luar biasa sekali, entah bagaimana romannya yang menakuti..." pikirnya. Ia memang belum pernah melihat Bwee Tiauw Hong, dan tempo Tiauw Hong bertempur hebat di istana, dia dan ayahnya sudah kabur lebih dulu. Habis itu ia memuji, mengharap gurunya Wanyan Kang itu menemui ikat pinggang ini nanti segera menolongi muridnya balik ke jalan yang lurus.
Tengah si nona memuji, ia merasai pundaknya ada yang pegang. Ia kaget sekali. Tanpa menoleh, ia berlompat ke depan, kemudian sambil meletaki kedua tangannya di depan dadanya, baru ia memutar tubuhnya. Di luar dugaannya, orang sudah berada di belakangnya, kembali pundaknya di pegang. Ia berlompat pula, kembali dia disusul, kembali pundaknya di pegang. Kejadian ini terulang empat lima kali. Ia bermandikan keringat dingin. Tak tahu ia, ia lagi menghadapi manusia lihay atau hantu.
"Kau siapa?!" akhirnya ia menanya, suaranya bergemetar.
Orang itu mencium ke lehernya. "Harum!" katanya.
Liam Cu berbalik dengan cepat sekali, maka sekarang ia dapatkan di depannya berdiri seorang pemuda dengan dandanan sebagai mahasiswa, tangannya menggoyang-goyangkan kipas, gerak-geriknya halus. Untuk kagetnya ia kenali Auwyang Kongcu, salah seorang yang memaksa kematian ayah dan ibu angkatnya. Ia gusar tetapi ia tidak berdaya, maka itu ia memutar tubuhnya untuk lari. Baru saja belasan tindak, atau Auwyang Kongcu sudah berada di hadapannya sembari tertawa haha-hihi, ia mementang kedua tangannya. Asal ia maju lagi, ia tentu telah masuk ke dalam rangkulannya pemuda itu! Maka ia menghentikan tindakannya, untuk lari ke kiri. Tapi baru beberapa tindak, kembali orang berada di hadapannya. Ketika ia mengulangi lari beberapa kaki lagi, tetap pemuda itu menyaksikan orang kaget dan takut, saban-saban dia mengulur tangannya untuk memeluk. Rupanya senang dia mempermainkan nona itu.
Liam Cu menjadi nekat, ia menghunus goloknya dan menyerang. Dua kali ia membacok, dua-dua kalinya gagal.
"Ah, jangan galak!" seru pemuda itu tertawa, habis ia membebaskan diri. Ia mengegos ke kiri, tangan kanannya dikebaskan, tangan kirinya di ulur. Maka si nona sudah lantas kena dipegang pinggangnya yang ceking ramping itu.
Liam Cu berontak tetapi cuma-cuma, ia merasakan tubuhnya sakit. Goloknya pun sudah kena dirampas si pemuda. Ia berontak pula tetapi hanya menyebabkan tubuhnya kena dipeluk. Ia merasakan nadinya ditekan, habis mana habislah semua tenaganya, tubuhnya menjadi lemas, tidak bisa ia meronta pula.
Auwyang Kongcu mengasih dengar tertawa ceriwisnya. "Kau angkat aku menjadi gurumu, segera aku merdekakan kau!" katanya.
Liam Cu merasakan mukanya diusap-usap, ia mengerti, orang bermaksud buruk terhadapnya, saking mendongkol dan takutnya, mendadak saja ia pingsan. Beberapa lama ia tak sadarkan diri, ia tidak tahu, kapan kemudian ia mendusin perlahan-lahan, ia merasakan tubuhnya masih dipeluk orang. Mulanya ia menyangka ia berada dalam rangkulan Wanyan Kang, ia girang, tetapi ia membuka matanya, ia dapatkan Auwyang Kongcu. Ia kaget, ia malu, ia lantas berontak. Hendak ia berteriak, mulutnya sudah disumpal dengan sapu tangan. Sekarang ia mendapatkan dirinya diapit kiri dan kanan oleh masing-masing delapan wanita yang canti-cantik, yang semuanya pun serba putih pakaiannya, setiap wanita memegang alat senjata, hanya mata mereka mengawasi ke tengkorak-tengkorak di atas batu.
Heran nona Bok, tak tahu orang lagi berbuat apa. Ia menyesal tak dapat menggerakkan tubuhnya, ia melainkan bisa menoleh. Ia kaget luar biasa waktu ia berpaling ke Auwyang Kongcu.
Di belakang pemuda itu berkumpul ular-ular hijaunya, tubuh semua ular itu tidak bergerak, mulutnya terbuka, di situ terlihat lidahnya semua, warnanya merah, merupakan sebagai lautan lidah. Di antara ribuan ular itu ada tiga pria dengan baju putih dan tangan mencekal galah.
Ketika ia menoleh ke arah sembilan tengkorak, yang ia awasi, di sana terlihat gelang emas pada ikat pinggang mengasih lihat warna bergemerlapan, tiba-tiba ia ingat suatu apa.
"Mungkin mereka ini lagi menanti tibanya guru engko Kang," ia berpikir. "Mestinya mereka lagi bersiap dengan sikap bermusuh..... Kalau gurunya Wanyen Kang datang seorang diri, mana ia sanggup melawan mereka ini? Di sini pun ada ribuan ular hijau...."
Cemas hatinya si nona. Ia lalu berharap-harap supaya gurunya Wanyen Kang jangan datang.
Selang tengah jam, rembulan tampak mulai naik, Auwyang Kongcu terlihat mendongak memandang si putri malam.
"Apakah mungkin guru Wanyen Kang baru akan datang sesudah rembulan naik?" nona Bok ini menduga-duga.
Rembulan terus naik perlahan-lahan, naik melintasi atas pepohonan. Langit menjadi terang sekali dan bersih sekali. Tidak ada suara lain, kecuali kutu-kutu dari empat penjuru atau suara burung malam. Malam sunyi sekali..........
Auwyang kongcu masih memandangi putri malam. Sekarang ia serahkan Liam Cu kepada satu nona, untuk nona itu yang memeluknya. Ia sendiri mengeluarkan kipasnya, dicekal di tangan kanannya. Matanya mengawasi ke sebuah pengkolan.
Liam Cu menduga bahwa orang yang dinanti-nanti bakal segera datang, dengan sendirinya hatinya tegang. Apakah bakal terjadi?
Tidak lama dalam kesunyian itu, dari jauh terdengar suara tajam, lalu suara itu datang mendekat. Maka sekarang terlihat seorang wanita dengan rambut riap-riapan muncul di pengkolan. Dia sudah lantas bertindak dengan perlahan. Mungkin ia sudah merasa ada orang di dekat-dekatnya.
Liam Cu menduga inilah gurunya Wanyen Kang. Ia menjadi heran. Ia telah menyangka kepada seorang luar biasa, tidak tahunya cuma wanita macam ini....
Bwee Tiauw Hong telah memperoleh kemajuan setelah di dalam istana ia mendapatkan beberapa petunjuk dari Kwee Ceng untuk melatih diri. Ia menyakinkannya dengan sungguh-sungguh. Hasilnya kedua kakinya dapat dipakai berjalan dengan cepat. Ia tahu Kanglam Liok Koay sudah pulang ke Kanglam, ia hendak menyusul untuk membalas dendam. Demikian ia menyusul selagi si pangeran muda menjadi utusan negara Kim, mengikuti ke Selatan. Ia masih berlatih diri terus, karena itu ia tidak dapat naik perahu, ia ambil jalan darat, supaya nanti dapat bertemu di Souwciu. Karena perpisahan ini, ia tidak tahu bahwa Wanyen Kang sudah terjatuh ke dalam tangan perampok. Ia pun tidak tahu bahwa Auwyang Kongcu untuk membalas sakit hati gundiknya, telah menantikan ia di tempat ini. Hanya saking lihaynya, ia segera mendengar suara orang bernapas. Sekarang ia mendengar satu suara lain yang ia anggap luar biasa.
"Sungguh lihay!" kata Auwyang Kongcu dalam hatinya. ia lihat berhenti bertindak. Ia lantas mengebaskan kipasnya, ia berbangkit, berniat untuk segera menyerang. Syukur sebelum ia melompat, tiba-tiba ia melihat satu orang muncul dari sebuah tikungan. Ia mengawasi, orang itu tinggi dan kurus, pakaiannya sebagai seorang sastrawan, hanya mukanya belum tampak jelas. Yang aneh, tindakan orang itu tidak bersuara. Sekalipun Bwee Tiauw Hong, ia masih mengasih dengar tindakan perlahan.
Segera orang itu telah datang dekat. Ia berdiri di belakang Bwee Tiauw Hong, matanya menyapu kepada pemuda she Auwyang itu.
Sekarang Auwyang Kongcu dapat melihat wajah orang, ia terkejut, tubuhnya menggigil. Itulah muka dengan sepasang mata seperti berputaran, dengan warna kulit dari mayat, romannya tidak jelek amat tetapi diam dan dingin. Karena ini, ia mesti mengatasi dirinya.
Ketika itu Bwee Tiauw Hong pun bertindak perlahan, setindak demi setindak.
Hatinya Auwyang Kongcu gentar. "Baiklah aku turun tangan lebih dulu!" pikirnya. Maka tangan kirinya dikibaskan sebagai tanda. Menyusul itu tiga penggembala ular lantas membunyikan suitan. Maka semua ular mulai bergerak-gerak.
Semua wanita berbaju putih itu duduk tidak bergeming. Mungkin mereka semua membekal obat pemunah racun, semua ular berlegot melewati mereka, tidak ada yang melanggarnya.
Bwee Tiauw Hong mendengar suara bergeraknya ular-ular itu. Ia berlompat mundur beberapa tombak.
Dengan petunjuk si penggembala, semua ular itu memisahkan diri memenuhi tegalan belukar. Siapa kena tergigit, celakalah dia. Semua binatang itu berbisa.
Liam Cu mengawasi dengan hati kebat-kebit. Ia lihat Bwee Tiauw Hong beroman jeri, maka ia cemas hatinya untuk gurunya Wanyen Kang ini. Hanya sedetik, Bwee Tiauw Hong telah lantas mengeluarkan cambuknya yang panjang, yang ia terus putar di sekitarnya. Dilain pihak, semua ular sudah datang mendekat, sikapnya mengurung. Beberapa ekor, menuruti titahnya siutan, berlompat menyerang, tetapi segera mereka terpental terbalik terkena angin cambuknya Tiauw Hong itu.
"Siluman wanita she Bwee!" berseru Auwyang Kongcu sesudah sekian lama ia membungkam saja. "Ketahui olehmu, aku tidak menghendaki nyawamu! Kau keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng, kongcumu akan segera membebaskanmu!"
Tiauw Hong tinggal mengambil mumat, ia terus putar cambuknya.
"Jikalau kau sanggup, kau putarlah cambukmu selama satu jam!" Auwyang Kongcu berkata pula. "Aku nanti menunggu kau sampai besok pagi. Aku mau lihat kau serahkan kitabmu itu atau tidak!"
Tiauw Hong tidak menyahuti, tetapi ia bergelisah, Ia memikir daya untuk meloloskan diri. Ia pasang kupingnya. Ia ketahui, disekitarnya ular belaka. Ia tidak berani bertindak, ia khawatir nanti kena menginjak ular. Hebat kalau ia kena dipagut walaupun cuma satu kali saja.....
Dari berdiri, Auwyang Kongcu lantas berduduk. Ia berdiam lagi sekian lama, lalu dengan suara puas, ia mengasih dengar suaranya: "Orang she Bwee, kitabmu itupun kau dapati dari mencuri, dan selama duapuluh tahun, kau pasti sudah menyakinkannya dengan seksama, maka itu, perlu apa kau peluki saja kitab itu hingga mampusmu? Kau pinjamkan itu kepadaku, untuk aku lihat, dengan begitu dari musuh kita menjadi sahabat, aku akan melupakan segala apa yang sudah lewat! Tidakkah itu bagus sekali?"
"Kalau begitu, bubarkan barisan ularmu ini!" menyahut Bwee Tiauw Hong.
Auwyang Kongcu tertawa, "Kau serahkan dulu kitabmu!" katanya.
Kita "Kiu Im Cin-keng" di tangan Bwee Tiauw Hong hanya separuh tetapi ia pandang itu bagaikan nyawanya, dari itu tidak sudi ia menyerahkannya. Ia sudah mengambil keputusan: "Kalau aku mati, aku akan merobek-robek ini!"
Liam Cu tegang hatinya, ia habis sabar.
"Lekas panjat pohon! Lekas panjat pohon!" ia berteriak menganjurkan. Tapi mulutnya disumbat, tak dapat ia mengasih dengar teriakannya itu.
Tiauw Hong buta, tidak tahu ia di dekatnya ada sebuah pohon kayu besar. Ia pun percaya betul kepandaiannya, tidak suka ia mengangkat kaki. Sebelah tangannya ia masuki ke dalam sakunya.
"Baiklah, hari ini nyonya besarmu menyerah!" katanya kemudian. "Kau ambillah ini!"
"Kau lemparkan!" kata Auwyang Kongcu yang licik.
"Kau sambutlah!" seru Bwee Tiauw Hong, yang tangannya terayun.
Menyusul itu Auwyang Kongcu roboh.
Liam Cu mendengar suara sar ser, lantas dua orang wanita disampingnya turut roboh juga. Hanya Auwyang Kongcu tetap bergulingan, di waktu mana ia dapat dengar robohnya lagi dua wanitanya. Ia berlompat bangun dengan hatinya gentar, tubuhnya mandi keringat dingin. Hebat senjata rahasia musuh, yang juga membikin ia menjadi sangat gusar.
"Perempuan siluman!" dia berteriak seraya mundur, "Hendak aku membikin kau hidup tidak, mati pun tidak!"
Bwee Tiauw Hong itu menyerang dengan "bue-heng-teng", yaitu paku rahasia yang seperti tidak tampak wujudnya. Ia kagum akan mendapatkan musuh dapat menolong diri. Tentu saja, hatinya pun cemas.
Auwyang Kongcu mengawasi tajam kedua tangan orang, ia mau menunggu asal cambuk wanita itu kendor, ia akan menitahkan ularnya menyerbu. Di sampingnya sudah ada bangkainya beberapa puluh ularnya itu. Tapi ia mempunyai ribuan, laksaan, mana orang bisa keluar dari kurungan? Cuma, karena jeri pada cambuk perak lawannya, si pemuda juga tidak berani datang dekat.
Satu jam orang seperti saling berdiam, rembulan mulai doyong ke barat.
Inilah hebat untuk Tiauw Hong. Mana ia mesti putar cambuknya, mana ia mesti memasang kuping. Dengan terpaksa, kalangan cambuknya itu menjadi menciut.
Senang Auwyang Kongcu menyaksikan itu. Ia perintahkan ularnya merangsak maju. Ia hanya khawatir orang menjadi nekat dan merusak kitabnya. Ia lantas bersiap sedia, asal Tiauw Hong mulai merobek, ia hendak merampasnya.
Tiauw Hong meraba ke dalam sakunya, kepada kitabnya, wajahnya berubah pucat.
Auwyang Kongcu tidak tahu bahwa musuhnya ini telah berkata di dalam hatinya: "Sungguh aku tidak sangka, selagi sakit hatiku belum terbalas, aku mesti terbinasa di sini...."
Tepat tengah wanita ini berpikir keras, kupingnya mendengar suara seperti bunyinya burung hong di tengah udara, atau suara seperti ditabuhnya batu kumala. Menyusul beberapa suara itu, terdengarlah suara seruling yang halus dan merdu.
Kedua pihak, yang "tengah" bertempur, menjadi terkejut. Auwyang Kongcu yang mengangkat kepalanya untuk melihat, mendapatkan orang yang tadi, yang mengenakan baju hijau, lagi bercokol di atas pohon. Dialah yang lagi meniup seruling itu.
Bukan main herannya pemuda ini. Ia ketahui baik lihaynya matanya tetapi toh kali ini ia gagal. Tak tahu ia kapannya si baju hijau itu berada di atasnya pohon itu. Pula aneh, orang itu duduk dengan tenang sekali selagi pohon itu bergoyang-goyang. Ia lihay ilmunya ringan tubuh tetapi tidak nanti ia dapat menyamai orang itu. Ia sampai mau menerka hantu.....
Seruling masih berbunyi terus. Hatinya Auwyang Kongcu goncang, tetapi wajahnya tersenyum. Ia lantas merasakan tubuhnya panas, dengan sendirinya ia seperti hendak menari-nari. Baru tangan dan kakinya bergerak, atau ia kaget sendirinya, lekas-lekas ia menetapkan hatinya. Ia sekarang mendapatkan ular-ularnya pada mendekati bawah pohon itu, kepalanya diangkat tinggi-tinggi, bergerak-gerak mengikuti irama seruling itu.
Hampir di itu waktu, si penggembala ular, tiga pria itu, bersama-sama belasan wanita serba putih itu, sudah berada di bawah pohon, dimana mereka itu menari-nari. Hebat caranya mereka menari, sebab selanjutnya mereka bukan cuma menari, mereka merobek-robek pakaian mereka dan mencakari kuka mereka, toh mereka pada tertawa. Mereka menari bagaikan kalap, tak lagi mereka merasakan sakit.
Auwyang Kongcu kaget bukan main. Tahulah ia bahwa ia telah bertemu musuh yang tangguh. Ia lantas mengeluarkan enam biji senjata rahasianya, torak perak yang beracun, dengan sekuat tenaganya ia menyerang orang itu di tiga juruan: kepala, dada dan perut. Dalam hal senjata rahasia, ia adalah satu ahli, belum pernah ia gagal. Tapi aneh kali ini, toraknya itu disampok ujung seruling dan jatuh, serulingnya tak pernah terpisah dari mulutnya orang itu.
Atau dilain pihak saat pemuda ini membeber kipasnya, ia pun menari-nari. Dia kaget bukan main, ia mencoba untuk menguasai dirinya. Dia menahan gerakan tangan dan kakinya. Katanya itu dalam hati: "Lekas robek baju, sumpal kupingmu, jangan dengari lagi serulingnya!"
Hanya luar biasa suara seruling itu, telinga telah disumbat tapi suaranya masih terdengar. Maka pemuda itu kaget dan berkhawatir sekali. Baru sekarang ia tahu takut. Ia bermandikan keringat dingin.
Bwee Tiauw Hong sendiri duduk bercokol di tanah, kepalanya dikasih tunduk. Terang ia tengah bersemadhi, untuk menguasi dirinya.
Beberapa perempuan dari Auwyang Kongcu itu telah roboh di tanah, tubuhnya bergulingan. Mereka itu telah merobek pakaian mereka. Liam Cu tengah tertotok jalan darahnya, tidak bisa ia menggeraki kaki tangannya, tetapi mendengari suara seruling itu, hatinya goncang. Ia sekarang rebah di tanah, hatinya tidak karuan rasa.
Auwyang Kongcu menderita hebat. Kedua belah pipinya menjadi merah, kepalanya dirasakan panas sekali, lidah dan tenggorokannya kering. Tapi ia masih ingat untuk membela diri. Maka ia gigit lidahnya, diwaktu ia merasakan sakit, gangguan seruling itu menjadi berkurang sendirinya. Lekas-lekas ia bergerak, ia lompat ke Liam Cu, tubuh siapa ia pondong, untuk dibawa lari. Sebentar saja ia sudah berada jauh beberapa lie, di mana suara seruling tadi tidak terdengar pula. Di sini ia merasa hatinya lega tetapi tenaganya habis, tubuhnya basah kuyup dengan keringatnya, ia seperti sakit berat. Tapi ia menguati hati, ia mencoba lari terus. Supaya tak usah berhenti di tengah jalan, ia bebaskan totokan pada tubuh Liam Cu, untuk menyuruh si nona turut lari masuk ke dalam kota Souwciu.
* * *
Oey Yong sendiri bersama Kwee Ceng, sehabisnya menunjukkan jalan pada Liam Cu, sudah lantas pulang ke kamarnya untuk terus tidur. Mereka tidak memikir untuk mencari tahu apa yang nona Bok itu perbuat. Besoknya siangnya, mereka jalan-jalan di tepi telaga Thay Ouw. Malamnya, mereka berkumpul dengan tuan rumah, melihat gambar-gambar dan berbicara tentang ilmu surat.
Biar bagaimana, hatinya Kwee Ceng tidak tenang. Dengan kepergiannya Liam Cu, berarti Bwee Tiauw Hong bakal datang. Ia tahu Tiauw Hong kejam, maka ada kemungkinan Kwie-in-chung nanti menampak bahaya. Siapa di rumah ini yang sanggup melawan si Mayat Besi? Karenanya, diwaktu ia berada berduaan dengan Oey Yong, ia utarakan kekhawatirannya itu.
"Apakah tidak lebih baik kita memberitahukan tuan rumah perihal Bwee Tiauw Hong, supaya Wanyen Kang dibebaskan, agar rumah ini lolos dari bahaya?" katanya kepada si nona.
"Jangan," Oey Yong menggoyangi tangan. "Mulanya aku percaya Wanyen Kang itu baik hatinya, setelah mendengar suaranya enci Bok, biarlah ia mengalami lebih banyak penderitaan. Kalau tetap dia tidak mengubah kelakuannya, kita bunuh saja padanya!"
"Bagaimana kalau Bwee Tiauw Hong sampai datang?" tanya si pemuda lagi.
"Kita justru boleh mencoba kepandaian ajaran Ang Cit Kong terhadap dirinya!" sahut si nona, yang tertawa.
Oey Yok Su terkenal sebagai Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka gadisnya ini, tak banyak tapi sedikit menerima warisan sifatnya yang kukuh dan keras itu dan luar biasa. Kwee Ceng ketahui baik sifat ini, ia tidak mau membantah, bahkan ia tertawa. Cuma di dalam hatinya ia sudah mengambil ketetapan, mengingat kebaikannya tuan rumah, layak saja apabila ia membantu melindungi tuan rumahnya itu.
Berselang dua hari, kedua tetamunya ini tidak mengutarakan bahwa mereka hendak pergi melanjuti perjalanan mereka. Tuan rumah tetap melayani mereka dengan manis, bahkan tuan rumah ini mengharap-harap mereka berdiam lebih lama.
Dihari ketiga, pagi, selagi tuan rumah duduk pasang omong bersama Oey Yong dan Kwee Ceng di kamar tulis, Koan Eng muncul dengan air mukanya tak biasa, bersamanya ada satu chungteng yang membawa sebuah penampan, di atasnya itu ada serupa barang yang ditutupi kain hijau. Anak itu memberitahukan baru saja ada yang mengantar barang itu, setelah mana ia menyingkap kain hijaunya, maka di situ terlihatlah sebuah tengkorak dengan lubang lima jari tangan.
Terang sudah, itulah tanda mata dari Bwee Tiauw Hong.
Oey Yong dan Kwee Ceng telah menduga bakal terjadi hal begini, paras mereka tidak berubah, sebaliknya tuan rumah, mukanya pucat dan suaranya tak lancar ketika ia menanya: "Siapa... siapakah yang membawa ini kemari?" Ia pun mencoba berbangkit dengan bantuan tangannya.
Â
Bab 29. Orang yang Berjalan di Atas Kali Sambil Menjunjung Jambangan Air...
Koan Eng dapat menduga tengkorak itu aneh tetapi percaya ada ketangguhannya sendiri, ia tidak begitu berkhawatir, maka itu heran ia mendapatkan perubahan sikap dari ayahnya itu.
"Barusan orang mengantarkan ini termuat dalam sebuah kotak," ia menerangkan. "Chunteng kita mengira pada bingkisan biasa saja, ia menerima dan memberi upah, tanpa meminta keterangan lagi, setelah dibawa ke dalam, baru ketahuan barang itu inilah adanya. Pembawa barang itu dicari tetapi ia sudah pergi entah kemana. Adapakah mengenai barang ini, ayah?"
Chungcu tidak menjawab, sebaliknya ia memasuki lima jari tangannya ke dalam lima lubang di tengkorak itu. Cocok lubang dan jari tangan itu.
Koan Eng mengawasi, ia heran bukan kepalang. "Adakah lubang ini dibikin dari tusukan jari tangan?" tanyanya.
Sang ayah mengangguk, ia mengasih dengar suara tak tegas. Sesaat kemudian barulah ia bilang: "Kau suruh orang menyiapkan semua barang berharga, lantas kau antarkan ibumu ke tempat sepi di dalam telaga, untuk menyembunyikan diri. Kau pun memerintahkan semua cecu supaya dalam tempo tiga hari janganlah mereka meninggalkan tempat mereka masing-masing walaupun satu tindak. Pesan mereka itu bahwa walaupun ada gerakan apapun di Kwie-in-chung ini, ada api atau kitar berkurang, jangan mereka datang menolongi....!"
"Ayah, apakah artinya ini?" Koan Eng tanya, kaget.
Liok Chungcu tertawa menyeringai. Bukan ia menjawab anaknya itu, hanya ia berpaling kepada kedua tetamunya untuk berkata: "Kita baru bertemu tetapi kita cocok sekali satu dengan lain, sebenarnya adalah maksudku akan meminta jiwi berdiam lagi beberapa hari di sini, sayang itu tak dapat dilakukan. Dengan sebenarnya aku ada mempunyai dua musuh besar yang lihay sekali, mereka itu sekarang hendak datang mencari balas, karena itu, bukan aku tidak ingin ketumpangan jiwi tetapi sesungguhnya Kwie-in-chung terancam bahaya hebat. Kalau nanti aku lolos dari bahaya maut, di belakang hari pastilah kita akan bertemu pula...."
Terus ia menoleh kepada kacungnya dan kata: "Pergi kau ambil uang emas empatpuluh tail."
Kacung itu sudah lantas mengundurkan diri, sedang Koan Eng tidak berani tanya-tanya lagi, ia pun mundur untuk melakukan titah ayahnya.
Sebentar kemudian kacung tadi muncul pula dengan uang emas di tangannya, Liok Chungcu menyambuti itu, untuk terus dihanturkan kepada Kwee Ceng. Ia kata: "Nona ini cantik luar biasa, dengan saudara Kwee ia berjodoh sekali, maka itu haraplah saudara sudi menerima bingkisan ini yang tidak berarti untuk saudara nanti gunai di hari pernikahanmu. Harap saja saudara tidak menertawainya."
Mendengar itu muka, Oey Yong merah sendirinya. "Tajam sekali mata orang ini," pikirnya. "Kiranya ia telah mengetaui penyamaranku. Anehnya kenapa ia pun ketahui aku belum menikah sama engko Ceng?"
Kwee Ceng tiadk bisa berpura-pura, ia menerima bingkisan itu seraya menghanturkan terima kasih.
Di meja sampingnya ada sebuah gendul, dari situ Liok Chungcu menuang beberapa butir obat pulung warna merah, terus ia bungkus itu, kemudian ia kata pula: "Aku tidak mempunyai kebisaan apa-apa, kecuali dulu pernah guruku mengajarkan ilmu obat-obatan. Inilah obat yang aku berhasil membuatnya. Khasiat obat ini ialah, setelah memakannya, orang akan dapat bertambah umur. Kita telah dapat berkenalan, inilah sedikit hormatku."
Obat itu menyiarkan bau harum, maka taulah Oey Yong bahwa itu ada obat yang dinamakan pil "Kiu-hoa Giok-louw-wan". Semasa kecil pernah ia mambantui ayahnya mengumpuli sembilan rupa bunga yang tangkainya masih ada embunnya, untuk dibuat obat. Memang tidak gampang untuk membikin obat itu. Maka itu ia kata: "Tidak gampang untuk membikin obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini," ia berkata, "Dari itu sudah cukup jikalau kami menerima dua butir saja."
Heran chungcu ini, hingga keheranan itu terkentara pada wajahnya. "Kenapa nona ketahui namanya obat ini?" tanyanya.
"Dimasa kecil tubuhku lemah sekali," Oey Yong mendusta, "Kebetulan pandai kita bertemu dengan seorang pandai yang menghadiahkan tiga butir. Begitu makan obat itu, kesehatanku pulih."
Tuan rumah tertawa menyeringai pula. "Jangan menampik, jiwi," ia berkata. "Sebenarnya sia-sia belaka untuk aku menyimpannya."
Oey Yong tahu orang sudah bersedia untuk binasa, percuma ia menampik lebih jauh, maka ia terima pemberian obat itu. Kembali ia menghanturkan terima kasih.
"Perahu telah disiapkan, maka itu silakan jiwi lekas berangkat meninggalkan telaga ini," berkata lagi tuan rumah. "Di tengah jalan, jikalau ada terjadi sesuatu, harap jiwi jangan mengambil peduli. Aku minta jiwi perhatikan pesanku ini."
Sebenarnya Kwee Ceng hendak memberitahukan bahwa mereka berdua hendak berdiam di telaga itu untuk memberikan bantuannya tetapi Oey Yong mengedipi mata padanya, terpaksa ia mengangguk.
"Aku lancang, ingin aku menanyakan suatu hal," kata Oey Yong.
"Apakah itu, nona?" tanya si tuan rumah.
"Chungcu sudah ketahui musuh lihay dan tidak dapat dilawan, kenapa chungcu tidak hendak menyingkir daripadanya? Menyingkir untuk sementara waktu. Peribahasa membilang, seorang budiman tak akan menerima malu di depan mata...."
Chungcu itu menghela napas.
"Tapi dua orang itu telah membuatnya aku menderita," katanya, masgul. "Cacad tubuhku ini pun adalah pemberian mereka itu. Selama duapuluh tahun, karena aku tidak dapat berjalan, tidak dapat aku mencari mereka untuk membuat perhitungan, sekarang mereka itu datang sendiri, inilah ketika yang baik yang dihadiahkan Thian!"
Oey heran mendengar orang menyebut dua orang. "Ah, ia tentunya masih menduga si Mayat Perunggu Tan Hian Hong masih hidup. Sebenarnya, apakah permusuhan mereka itu? Sayang aku tidak dapat menanyakannya...." Tapi ia tertawa. Ia lantas menanya: "Chungcu, kau mengenali penyamaranku, inilah tidak aneh. Kenapa kau pun ketahui kami belum menikah? Kita toh tinggal dalam sebuah kamar?"
Ditanya begitu tuan rumah melengak. "Kau toh satu gadis putih bersih, mana aku tidak dapat melihatnya? Cuma, sulit untuk aku menjelaskannya..." pikirnya. Selagi ia bersangsi, Koan Eng datang, berbisik di kupingnya, "Pesan ayah sudah disampaikan tetapi empat cecu Thio, Kouw, Ong dan Tam, tidak hendak pulang. Mereka kata biarnya mereka dipotong kepalanya disini, mereka tidak hendak meninggalkan Kwie-in-chung!"
Liok Chungcu menghela napas. "Sungguh mereka baik sekali," katanya. "Nah, kau antarlah kedua tetamuku kita yang terhormat ini keluar dari telaga ini."
Oey Yong bersama Kwee Ceng lantas memberi hormat. Di luar mereka dapatkan kuda dan keledai mereka.
"Naik perahu atau tidak?" Kwee Ceng berbisik.
"Kita pergi untuk kembali!" sahut Oey Yong, berbisik juga.
Koan Eng tengah bingung, ia cuma tahu harus lekas-lekas mengantar kedua tetamunya itu pergi, ia tidak memperhatikan sikapnya kedua tetamunya itu.
Disaat Oey Yong baru hendak naik di perahu yang sudah disediakan, mendadak saja ia menampak suatu pemandangan yang luar biasa, ialah dari satu orang yang berjalan cepat sekali di tepi telaga, di kepala itu ada dijunjung satu jambangan yang besar. Kwee Ceng dan Koan Eng pun lantas dapat melihatnya maka mereka turut mengawasi seperti si nona.
Sebentar kemudian orang telah datang dekat. Sekarang terlihat nyata, ia adalah seorang tua dengan kumis ubanan, bajunya kuning, tangan kanannya memegang sebuah kipas yang besar. Masih ia bertindak tetap dan cepat. Jambangannya pun rupanya terbuat dari besi, beratnya mungkin beberapa ratus kati. Ia lewat di samping Koan Eng semua tetapi ia seperti tidak melihatnya. Beberapa tindak kemudian, ia terhuyung, lalu dari jambangan itu itu air mengeplok. Air itu sendiri mungkin seratus kati atau lebih beratnya. Seorang tua dapat membawa jambangan seberat itu benar-benar hebat.
"Apakah bisa menjadi dialah musuh ayah?" Koan Eng menduga-duga. Ia lantas saja menyusul.
Oey Yong dan Kwee Ceng segera mengikuti.
Cepat jalannya si orang tua, sebentar saja sudah lewat beberapa lie.
Koan Eng dapat berjalan cepat, bisa ia menyusul. Hanya ia heran untuk si orang tua.
Juga Oey Yong dan Kwee Ceng turut heran. Kwee Ceng malah menyangsikan mungkin dia ini melebihkan lihaynya Khu Cie Kee. Ia ingat cerita gurunya tentang pertandingan mereka dengan Tian Cun Cu, yang kuat mempermainkan jambangan besar tetapi jambangan ini jauh lebih besar.
Si orang tua berjalan ke tempat belukar, berliku-liku. Koan Eng tinggal di tempat yang sunyi tetapi ia toh tidak kenal tempat ini. Ia jadi bersangsi. Ia pikir: "Ini orang tua saja aku tidak dapat melayaninya, bagaimana kalau di sana ia menyembunyikan kawan-kawannya? Baiklah aku balik..." Tapi di depannya ada kali, ia heran. Pikirnya pula: "Di depan tidak ada jembatan, hendak aku lihat bagaimana dia melewatinya.... Atau dia jalan di tepian timur atau di tepian barat..."
Selagi ia menduga-duga. Koan Eng lantas berdiri melengak.
Si orang tua itu jalan terus di kali itu, kakinya terpendam di air sebatas betisnya. Dia jalan terus hingga di seberang. Setibanya dia meletaki jambangan di rumput, dia sendiri kembali ke kali ke mana ia terjun, setelah mana, dia berjalan setindak demi setindak kembali ke darat.
Kwee Ceng dan Oey Yong, yang dapat menyusul, mengawasi dengan kekaguman.
Tiba-tiba si orang tua mengusut-usut kumisnya sambil tertawa lebar. "Tuan, adakah kau chungcu muda yang menjadi pemimpin jago-jago dari Thay Ouw?" dia bertanya.
"Maaf," kata Koan Eng merendahkan diri, lalu ia balik menanyakan she dan nama orang.
"Ah, masih ada dua engko kecil di sana!" kata si orang tua itu menunjuk Kwee Ceng dan Oey Yong. "Marilah kamu sama-sama datang ke mari!"
Koan Eng menoleh. Baru sekarang ia ketahui bahwa Kwee Ceng berdua telah mengikuti dia. Dia menjadi heran. Tidak dia sangka, orang dapat berlari keras seperti dia tanpa tindakannya bersuara.
Kwee Ceng dan Oey Yong memberi hormat sambil berjura. Mereka menyebutkan dirinya orang-orang dari tingkat muda dan memanggil orang dengan sebutan - thay-kong - orang tua yang dihormati.
Orang tua itu tertawa pula; "Sudah, Sudah!" ia mencegah orang menghormat. Kemudian ia mengawasi Koan Eng dan berkata: " Di sini bukan tempat yang tepat untuk memasang omong, mari kita mencari tempatnya untuk berduduk-duduk."
Koan Eng tetap bersangsi orang ini musuh ayahnya atau bukan. "Apakah thaykong kenal ayahku?" ia menanya.
"Kau maksudkan chungcu yang tua? Belum pernah aku bertemu dengannya." sahut si orang tua.
Agaknya orang tidak berdusta, maka Koan Eng berkata pula: "Hari ini ayah menerima serupa bingkisan luar biasa, adakah thaykong ketahui itu?"
"Bingkisan apakah itu yang aneh?" si orang tua balik menanya.
"Itulah sebuah tengkorak dengan lima lubang bekas jari tangan...." sahut Koan Eng.
"Benar-benar aneh! Apakah ada orang yang bergurau dengan ayahmu itu?" tanya si orang tua lagi.
Mendengar itu, Koan Eng mendapat kesan lain. Maka ia pikir, baik ia undang orang ini ke rumahnya, dia tentu gagah, mungkin dia dapat membantu ayahnya. Karena ini, ia lantas menunjuk wajah gembira.
"Jikalau thaykong tidak menampik, aku minta thaykong datang ke rumahku untuk minum teh," ia mengundang.
"Begitupun baik," sahut orang tua itu setelah berpikir sejenak.
Bukan main girangnya Koan Eng. Ia lantas minta si orang tua jalan di muka.
"Apakah kedua engko kecil itu pun dari rumahmu?" tanya si orang tua seraya ia menunjuk Kwee Ceng dan Oey Yong.
"Kedua tuan ini adalah sahabat-sahabatnya ayahku," menyahut Koan Eng.
Lantas orang tua itu tidak memperdulikan lagi, dia jalan cepat.
Kwee Ceng dan Oey Yong mengikuti di belakang Koan Yeng. Lekas juga mereka tiba di Kwie-in-chung. Tuan rumah yang muda minta tetamunya menanti di ruang tamu, ia sendiri lari ke dalam untuk mewartakan kepada ayahnya.
Tidak lama, tuan rumah telah muncul dengan digotong dua orangnya. Ia numprah di atas pembaringan bambu, yang merupakan bale-bale. Ia memberi hormat sambil menjura kepada tetamunya yang tua itu. Ia kata: "Maaf, tak tahu aku akan kedatangan tuan hingga tidak bisa aku menyambut dengan selayaknya."
Orang tua itu membalas hormat hanya dengan membungkuk sedikit. Suaranya pun tawar ketika ia berkata: "Tak usah menggunai banyak adat peradatan, Liok Chungcu."
Tuan rumah tidak memperdulikan sikap orang, ia menanyakan she dan nama tetamunya itu.
"Aku she Kiu, namaku Cian Jin," sahutnya.
Tuan rumah terkejut.
"Jadinya locianpwee adalah Tiat-ciang Sui-siang-piauw!" katanya. Ia ketahui baik nama orang berikut gelarannya itu, yang berarti si Tangan Besi Mengambang di Air.
"Bagus sekali ingatanmu, Liok Chungcu, kau masih ingat julukanku itu! Sudah duapuluh tahun semenjak aku tidak muncul pula dalam dunia kangouw, aku menyangka orang telah melupai aku."
Memang pada duapuluh tahun yang lampau itu, nama Tiat-ciang Siu-siang-piauw kesohor sekali, kemudian ia tinggal menyendiri, hingga orang seperti melupai dia. Liok Chungcu ingat nama orang, tidak heran kalau ia jadi terperanjat.
"Untuk apakah locianpwee datang ke sini?" ia menanya. "Bila aku sanggup, suka sekali aku berbuat sesuatu untukmu."
"Tidak ada urusan yang penting," sahut si orang tua tertawa. "Atau mungkin aku bakal ditertawakan sahabat-sahabat kalangan Rimba Persilatan. Sebenarnya aku ingat meminjam suatu tempat yang sunyi untuk aku melatih diri. Tentang ini baiklah sebentar malam saja kita bicarakan dengan perlahan-lahan."
Liok Chungcu tidak melihat niat orang yang tidak baik pada wajah orang tua ini akan tetapi ia tetap kurang tenang hatinya.
"Apakah locinpwee pernah bertemu sama Hek Hong Siang Sat?" ia menanya.
"Hek Hong Siang Sat? Apakah kedua iblis itu belum mampus?" si orang tua balik menanya.
Lega juga hatinya Liok Chungcu mendapat jawaban itu.
"Anak Eng, pergi kau minta locianpwee beristirahat di kamar tulis," katanya kemudian.
Kiu Cian Jin mengangguk, terus ia mengikuti Koan Eng.
Liok Chungcu belum tahu kepandaiannya Kiu Cian Jin itu, hanya ia ketahui ketika dulu hari Tong Shia bersama See Tok, Lam Kay, Pak Tee dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di atas gunung Hoa San, dia telah diundang ikut hadir, hanya karena ada urusan, ia tak dapat datang. Dia telah diundang, itu tandanya dia bukan sembarang orang. Sekarang ia berada di sini, kalau Hek Hong Siang Sat datang, bolehlah tak usah ia terlalu berkhawatir.
"Jiwi belum berangkat, inilah bagus," katanya kemudian kepada Kwee Ceng dan Oey Yong. "Kiu locianpwee lihay sekali, sekarang kebetulan dia datang kemari, selanjutnya aku tidak mengkhawatirkan lagi kedua musuh besarku itu. Sebentar silahkan jiwi beristirahat di dalam kamarmu, jangan jiwi keluar, selewatnya malam ini bahaya sudah tak ada lagi!"
Oey Yong tertawa. "Aku ingin menonton keramaian, bolehkah?" ia bertanya lucu.
Tuan rumah berpikir. "Aku cuma khawatir musuh datang dalam jumlah banyak, aku jadi tidak bakal dapat melayani jiwi," berkata dia. "Tapi baiklah, asal jiwi berdiam saja disampingku, jangan kamu berkisar, dengan adanya Kiu locianpwee di sini, segala tikus tentulah tidak ada artinya!"
Oey Yong bertepuk tangan saking girangnya.
"Aku memang paling gemar menonton orang berkelahi!" katanya. "Ketika kemarin ini kau menghajar pangeran cilik, sungguh senang untuk menyaksikannya!"
"Tapi yang bakal datang malam ini adalah gurunya pangeran cilik itu," Liok Chungcu memberitahu. "Dia lihay sekali, karenanya aku berkhawatir."
"Ah, chungcu, mengapa kau bisa ketahui itu?" Oey Yong tanya, ia heran.
"Nona tentang lihaynya ilmu silat kau belum mengerti," berkata tuan rumah. "Ketika si pangeran cilik melukai anakku dengan totokan jari tangannya, kepandaiannya itu sama denagn kepandaian totokan lima jari tangan pada tengkorak itu."
"Aku mengerti sekarang!" kata Oey Yong. "Memang juga tulisan Souw Tong Po beda dengan tulisannya Oey San Kok, sama sepetri bedanya lukisan Too Koen Hong dari lukisannya Cie Hie! Cuma ahli yang segera dapat menbedakannya!"
"Sungguh kau cerdas, nona!" tertawa tuan rumah.
Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng. "Mari kita lihat itu orang tua yang kumisnya ubanan!" katanya. "Sebenarnya ia tengah menyakinkan ilmu apa?"
"Eh, jangan nona!" mencegah tuan rumah, terkejut. "Jangan kau membuatnya gusar!"
"Oh, tidak ada!" kata Oey Yong, tertawa. Ia berbangkit, untuk berlalu.
Liok Chungcu bercokol saja, tak dapat ia bergerak dengan leluasa, ia menjadi bergelisah sendirinya.
"Nona ini sangat nakal!" katanya. "Mana orang dapat diintai?" Terpaksa ia suruh orangnya menggotongnya ke kamar tulis, untuk bisa mencegah Oey Yong itu. Dari masih jauh ia sudah lihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi mengintai di jendela.
Oey Yong mendengar orang datang, ia menoleh, tangannya digoyang-goyangi, untuk mencegah orang menerbitkan suara berisik, dilain pihak ia menggapai kepada tuan rumah supaya tuan rumah itu datang padanya.
Liok Chungcu bersangsi, tetapi ia toh datang mendekati juga. Ia berkhawatir, kalau ia menampik, nona itu nanti rewel. Dibantu kedua chungtengnya, ia turut mengintai. Oey Yong membikinkan ia sebuah lubang kecil di kertas jendela. Ia lantas menjadi heran sekali.
Kiu Cian Jin duduk bersila dengan kedua matanya ditutup rapat. Dari mulutnya menghembus keluar tak habisnya serupa hawa mirip asap atau kabut. Ia luas pengetahuannya tetapi ia tidak mengerti ilmu apa itu. Maka ia tarik ujung bajunya Kwee Ceng, untuk menyuruh orang jangan mengintai terlalu lama.
Kwee Ceng seorang terhormat, ia mengindahi tuan rumah, ia pun insyaf tak pantas ia mencuri melihat lain orang, dari itu ia terus tariknya Oey Yong. Bersama-sama tuan rumah mereka masuk ke perdalaman.
"Bagus sekali permainannya tua bangka itu!" kata Oey Yong tertawa. "Di dalam perutnya bisa api menyala!"
"Kau tidak tahu, nona," kata tuan rumah. "Itulah semacam ilmu yang lihay sekali!"
"Mustahilkah mulutnya nanti dapat menyemburkan api membuat orang terbakar mampus?" tanya Oey Yong. Ia menanya dengan sesungguhnya, sebab sebenarnya ia heran atas asap yang keluar dari mulutnya tetamu tua itu.
"Kalau itu benar api, itulah tidak mungkin," berkata tuan rumah. "Aku percaya, itulah semacam latihan tenaga dalam. Bukankah bunga dan daun pun dapat digunakan sebagai senjata rahasia untuk melukai orang?"
"Ya, dengan hancuran bunga menghajar orang!" seru Oey Yong.
"Benar-benar nona cerdas!" tuan rumah memuji pula. Kemudian ia mengasih perintah kepada Koan Eng untuk meronda dengan hati-hati di sekitar rumahnya itu dengan pesan, kalau ada orang atau orang-orang yang sikapnya luar biasa, mereka itu mesti disambut dengan hormat dan diundang masuk untuk bertemu dengannya.
Setelah mulai sore, Liok Chungcu memerintahkan menyulut beberapa puluh lilin besar untuk membikin ruang besar menjadi terang sekali, di tengah itu disiapkan meja perjamuan. Kiu Cian Jin lantas diundang dan dipersilahkan duduk di kursi kepala. Kwee Ceng dan Oey Yong yang menemani. Tuan rumah dan putranya duduk di paling bawah.
Liok Chungcu memberi hormat pada tetamunya dengan secawan arak, ia tidak berani menanyakan maksud kedatangan orang, ia hanya membicarakan lain urusan, yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali.
"Liok Laotee," kata Kiu Cian Jin kemudian. "Kau menjadi pemimpin di Kwie-in-chung ini, ilmu silatpun bukan sembarang, apakah kau sudi memperlihatkan barang satu atau dua jurus kepadaku? Dengan begini mataku jadi dapat dibuka."
"Kepandaianku tidak berarti, tidak berani aku mempertunjuki itu dihadapan locianpwee," kata tuan rumah menghormat. "Laginya sudah lama aku bercacad, sedikit pelajaran yang aku dapatkan dari guruku sudah lama aku mengalpakannya."
"Siapakah itu gurumu, laotee?" tanya tetamu itu. "Kalau kau menyebutkannya, mungkin aku si orang tua mengenalnya."
Liok Chungcu menghela napas panjang, lalu mukanya menjadi pias. "Kelakuanku tidak selayaknya, tak dapat aku diterima guruku, karena itu malu untuk aku menyebutnya," katanya selang sejenak.
Mendengar itu, Koan Eng berduka. Baru sekarang ia ketahui ayahnya itu telah diusir gurunya. Dengan sebenarnya ia tidak tahu yang ayahnya lihay ilmu silatnya. Ia percaya ayahnya itu ada punya lelakon yang menyedihkan.
"Liok Chungcu," berkata si orang tua, "Kau menjadi pemimpin di sini, kenapa kau tidak hendak menggunai ketika ini untuk membangun diri, untuk melampiaskan tak kepuasanmu itu? Dengan jalan ini kau nantinya membikin tetua dari partaimu menjadi insyaf dan menyesal karenanya."
"Aku bercacad, aku bodoh, meskipun kata-kata cianpwee ada nasehat berharga sekali, menyesal aku tidak dapat menerimanya," sahut Liok Chungcu. Ia selamanya bicara dengan merendah.
"Chungcu terlalu merendah. Di depan mataku ada satu jalan, hanya entahlah, chungcu memang tidak melihatnya atau memang tidak memikirkannya...."
"Tolong locianpwee memberi petunjuk"
Kiu Cian Jin tersenyum, ia santap lauk pauknya, ia tidak menyahuti.
Tuan rumah menduga pasti ada sebabnya kenapa orang tua ini muncul setelah ia mengundurkan diri duapuluh tahun lamanya, ia hanya tidak dapat menerka maksud orang itu. Orang pun ada dari kalangan terlebih atas, tidak dapat ia menanyakannya, maka itu ia membiarkan saja sampai orang suka bicara sendiri.
"Tidak apalah Chunngcu tidak sudi memberitahukan guru atau rumah perguruanmu," kata Kiu Cian Jin kemudian. "Kwie-in-chung begini kesohor, yang mengurusnya mesti murid dari guru yang kenamaan...."
"Segala apa disini diurus oleh Koan Eng, anakku," menerangkan tuan rumah. "Ia adalah muridnya Kouw Bok Taysu dari kuil Kong Hauw Sie di kota Lim-an."
"Ah, Kouw Bok Taysu itu adalah ahli waris yang menjadi ketua dari cabang Selatan dari partai Hoat Hoa," berkata Kiu Cian Jin. "Dialah ahli luar. Maukah siauw-chungcu mempertunjuki sesuatu untuk aku meluaskan pandangan mataku?"
"Locianpwee sudi memberi petunjuk, inilah untungnya anakku," kata Liok Chungcu.
Koan Eng memang ingin sekali diberi petunjuk, maka itu ia sudah lantas pergi ke tengah ruang. "Tolong thay-kong mengajari aku," katanya. Lalu ia mulai bersilat dengan tipu silatnya yang ia paling gemari, yaitu Loo-han Hok-houw-kun, kuntauw Arhat Menakluki Harimau. Setiap kepalannya memperdengarkan suara angin santar, tindakannya pun gesit dan tetap. Dekat penutupnya ia berseru keras, bagaikan harimau menderum, hingga api lilin pada bergoyang dan orang merasakan tersampar angin dingin. Itulah artinya arhat bertempur sama raja hantu. Diakhirnya ia menghajar batu sampai batu batanya hancur, lalu ia berdiri tegar, tangan kirinya diangkat tinggi menunjang langit, kaki kanannya ditendangkan ke depan. Dengan begitu ia memperlihatkan sikap dari arhat atau loohan.
"Bagus! Bagus!" Kwee Ceng dan Oey Yong berseru memuji.
Habis itu Koan Eng memberi hormat kepada Kiu Cian Jin. Ketika ia kembali ke kursinya, air mukanya tidak berubah, napasnya tidak memburu, ia duduk dengan tenang seperti bukan habis bersilat hebat sekali.
Kiu Cian Jin tidak membilang suatu apa, ia melainkan tersenyum.
"Apakah kebisaannya anakku ini masih dapat dilihat?" Liok Chungcu tanya.
"Begitulah," sahut si orang tua.
"Tolong locianpwee beri petunjuk di mana yang perlu," tuan rumah minta.
"Ilmu silat putramu ini, kalau dipakai untuk memperkuat tubuh, sunggu tak ada yang melebihkannya," menyahut tetamu itu, "Hanya kalau ia hendak dipakai untuk merebut kemenangan, dapat dikatakan itu tidak ada gunanya."
Selagi tuan rumah belum membilang suatu apa, Kwee Ceng merasa heran. Ia pikir: "Memang tidak terlalu lihay ilmu silatnya tuan rumah yang muda ini, akan tetapi tidaklah tepat untuk mengatakan tidak ada gunanya...."
Tuan rumah lantas berkata: "Tolong locianpwee memberikan petunjuk untuk sekalian membuka pandangan kami yang cupat."
Kiu Cian Jin berbangkit, ia bertindak keluar ruangan. Ketika ia kembali, di kedua tangannya masing-masing ada tercekal sepotong batu bata. Orang tidak lihat ia mengerahkan tenaga, tahu-tahu ada terdengar suara meretek, lalu tertampak dua potong batu bata itu sudah remuk, akan kemudian hancur menjadi seperti tepung.
Semua orang terkejut.
Duduk pula di kursinya, sembari tertawa ia berkata: "Chungcu muda dapat menghajar batu hancur itu pun bukan sembarang pelajaran, tidak gampang untuk mendapatkan itu, tetapi haruslah diingat, musuh bukan sepotong batu, musuh tidak mungkin mandah saja diserang. Maka dalam ilmu silat, yang penting ialah menggunai ketika terlebih dulu untuk menaklukkan musuh. Ini dia yang orang dahulu kala menyebutnya, diam bagaikan anak dara, gesit bagaikan kelinci."
Koan Eng terdiam, menginsyafi kata-kata itu.
Kiu Cian Jin menghela napas. Ia berkata pula: "Sekarang ini banyak orang yang menyakinkan ilmu silat tetapi kepandaiannya berarti tidak ada seberapa...."
"Siapakah beberapa orang itu, lojinkee?" Oey Yong tanya.
"Kaum Rimba Persilatan menyebutnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima," menyahut si orang tua. "Semua mereka itu pernah aku ketemukan sendiri, aku lihat diantaranya yang terlihay ialah Tiong Sin Thong, yang lainnya, ada keistimewaannya tetapi pun ada kekurangannya masing-masing. Harus diketahui, ada panjang mesti ada pendek, asal kita ketahui cacad orang, tak susah untuk merobohkannya."
Liok Chungchu bersama Kwee Ceng dan Oey Yong terperanjat. Koan Eng sendiri tidak, sebab ia tidak tahu siapa itu lima orang lihay yang disebutkan. Tapi Oey Yong terkejut berbareng mendongkol. Suara orang itu bernada menghina ayahnya. ia tidak memperdulikan lagi bahwa orang dapat berjalan di air sambil menjunjung jambangan, napasnya mengeluarkan asap dan remasan tangannya kuat sekali.
"Apakah tidak bagus jikalau locianpwee menghajar roboh kelima orang itu supaya namamu jadi sangat kesohor di kolong langit ini?" ia menanya seraya tertawa.
Kiu Cian Jin tidak menjawab, dia hanya melanjuti kata-katanya: "Sekarang ini Ong Tiong Yang itu telah menutup mata. Ketika terjadi perundingan ilmu silat pedang di gunung Hoa San itu, lantaran kebetulan ada urusan, aku tidak dapat turut hadir, dengan begitu gelaran jago silat nomor satu di kolong langit ini telah didapatkan imam tua yang telah meninggal dunia itu. Tatkala itu mereka berlima memperebuti kitab Kiu Im Cin Keng, katanya siapa yang paling tangguh, dialah yang mendapatkan kitab itu. Tujuh hari dan tujuh malam sudah mereka bertempur, Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay menyerahlah mereka semua. Kemudian, sesudah Ong Tiong Yang meninggal, timbul lagi gelombang. Katanya ketika si imam tua hendak menutup mata, kitabnya itu dia wariskan kepada Ciu Pek Thong, adik seperguruannya. Tong Shia Oey Yok Su sudah lantas pergi mencari Ciu Pek Thong itu, Ciu Pek Thong bukan tandingannya, kitabnya terampas sebagian, entahlah kemudian bagaimana urusan kitab itu."
Oey Yong dan Kwee Ceng mengangguk dengan diam-diam. Baru sekarang mereka ketahui lelakonnya kitab Kiu Im Cin Keng itu, yang sebagiannya lagi kena dicuri Hek Hong Siang Sat.
"Oleh karena lojinkee ialah orang yang nomor satu ilmu silatnya, sudah selayaknya kitab itu menjadi kepunyaanmu," berkata Oey Yong.
"Aku malas untuk berebutan sama orang," sahut Kiu Cian Jin. "Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, mereka adalah setengah kati delapan tail. Selama beberapa puluh tahun ini keras mereka berlatih, ingin mereka menjadi jago nomor satu. Maka itu kalau terjadi pertemuan yang kedua di Hoa San, pastilah ramainya bukan buatan."
"Oh, bakal terjadi pertempuran yang kedua di Hoa San?" si nona menegaskan.
"Duapuluh lima tahun ialah satu generasi!" berkata Kiu Cian Jin. "Mereka ynag tua bakal mati, yang muda bakal muncul, maka itu, lagi satu tahun akan tibalah saat perundingan yang kedua di Hoa San itu. Aku lihat, yang bakal bertarung itu kembali kami si orang-orang tua. Sayang sekarang tidak ada lagi anak-anak muda yang berarti, ilmu silat menjadi lemah satu generasi demi satu generasi....!"
"Apakah lain tahun lojinkee hendak mendaki gunung Hoa San itu?" Oey Yong menanya terus-menerus. "Kalau benar lojinkee hendak pergi, maukah kau mangajak aku untuk turut menyaksikan keramaian itu? Akulah orang yang paling gemar menonton orang berkelahi!"
"Ah, mana dapat itu dikatakan pertempuran? Sebenarnya aku tidak mengandung niat pergi. Bukankah kita si tua bakal masuk ke dalam tanah? untuk apa segala nama kosong? Hanya di hadapan kita sekarang ada satu urusan sangat besar, yang mengenai keselamatan seluruh umat manusia. Jikalau aku termahai hidup senang sendiri dan aku tidak manjat tinggi, celakalah semua umat dan makhluk!"
Inilah hebat, maka Liok Chungcu berempat lantas menanyakan bencana apa itu yang demikian hebat ancamannya.
"Inilah rahasia sangat besar. Kedua engko kecil Kwee dan Oey, kamu bukan orang kangouw, kamu lebih baik jangan ketahui urusan ini!"
Oey Yong tidak menjadi kurang senang, sebaliknya ia tertawa. "Liok Chungcu ini sahabatku yang baik sekali, asal kau menjelaskan kepadanya, tidak nanti ia menyembunyikan itu kepadaku!" katanya.
"Ah, anak nakal!" kata Liok Chungcu di dalam hatinya. Tapi ia berdiam.
"Kalau begitu, baiklah aku menjelaskan kepada kamu semua!" kata Kiu Cian Jin. "Cuma aku minta kemudian janganlah kau membocorkannya."
"Kami bukan sanak bukan kandung, urusan rahasia ini baiklah kami tidak mendengarnya," pikir Kwee Ceng, yang terus berbangkit dan berkata: "Maafkanlah aku serta saudara Oey ini, ingin aku mengundurkan diri."
"Jiwi adalah sahabat-sahabat kekal dari Liok Chungcu, kamu bukan orang luar, silakan duduk!" Kiu Cian Jin minta. Sembari berkata ia menekan pundaknya si anak muda.
Kwee Ceng tidak merasakan tekanan keras, akan tetapi karena ia mengaku tidak mengerti ilmu silat, ia tidak melawan, ia berduduk pula. Karena itu, Oey Yong pun batal mengundurkan diri.
Kiu Cian Jin berbangkit, ia mengangkat araknya untuk mengajak orang minum bersama.
"Tidak sampai setengah tahun, kerajaan Song bakal menghadapi bencana besar," katanya kemudian. "Apakah tuan-tuan ketahui itu?"
Mendengar ini, semua orang terkejut. Bahkan Koan Eng lantas menitahkan orang-orangnya mundur sampai ke pintu dan semua pelayan dilarang datang dekat.
"Aku telah mendapat keterangan pasti," Kiu Cian Jin melanjuti. "Dalam tempo enam bulan pastilah angkatan perang bangsa Kim bakal menyerbu ke Selatan. Kali ini angkatan perangnya itu besar dan kuat, maka juga kerajaan Song pastilah tidak dibelakan pula. Ya, inilah takdir, tidak dapat kita berbuat apa-apa...."
Kwee Ceng terkejut hingga ia lantas berkata: "Kalau begitu haruslah locianpwee lekas memberitahukan ancaman itu kepada pemerintah supaya pemerintah segera siap sedia untuk menyambut musuh!"
Orang tua itu mendelik kepada anak muda itu.
"Kau tau apa?!" tegurnya. "Satu kali angkatan perang Song bersiap sedia, bahayanya bakal terjadi terlebih hebat lagi!"
Kwee Ceng terdiam. Tidak mengerti ia maksud orang. Oey Yong pun bungkam.
"Lama aku telah memikirkan itu," Kiu Cian Jin melanjuti omongannya. "Aku lihat cuma ada satu jalan untuk membikin rakyat hiudp damai dan senang, supaya negera yang indah ini tidak sampai menjadi habis terbakar. Inilah tujuanku kenapa aku telah melakoni perjalanan ribuan lie jauhnya datang ke Kanglam ini. Kabarnya chungcu telah menawan pangeran muda negara Kim serta komandan tentara Toan Tayjin, tolongkan undang mereka hadir di sini untuk kita memasang omong. Maukah kau meluluskan, chungcu?"
Liok Chungcu terpengaruh kata-kata orang. Ia pun heran kenapa orang ini mendapat tahu hal tertawannya dua orang itu. Ia lantas meluluskan, ia membawa menghadap orang tawanannya itu, bahkan mereka dibebaskan dari belengguan dan disuruh duduk disebelah bawah.
Kwee Ceng dan Oey Yong mendapatkan, baru ditahan beberapa hari, roman Wanyen Kang sudah kucel dan perok, sedang Toan Tayjin itu, yang berumur limapuluh lebih dan berewokan ketakutan.
"Siauw-ongya, kaget?!" kata kiu Cian Jin pada Wanyen Kang.
Pangeran itu mengangguk, tetapi hatinya berkata: "Si Kwee dan si Oey ini berada di sini, entah mau apa mereka... Dan adik Liam Cu itu, entah dia bawa ikat pinggangku kepada guruku atau tidak...."
"Chungcu," berkata Kiu Cian Jin pada tuan rumah. "Di hadapanmu ada terbayang harta besar dan kemuliaan, aku melihat itu tetapi tidak hendak mengambilnya, kenapakah?"
Tuan rumah heran. "Kemuliaan apakah itu, locianpwee?" tanyanya.
"Kalau nanti angkatan orang Kim itu menyerbu ke Selatan ini dan peperangan itu terjadi, mesti banyak sekali orang yang terluka," berkata Kiu Cian Jin, "Oleh karena itu bukankah bagus jikalau chungcu menggabungi semua orang gagah untuk melenyapkan ancaman perang itu?"
"Memang itu urusan yang besar dan baik sekali," pikir Liok Chungcu. Maka ia menjawab: "Jikalau dapat aku mengeluarkan tenaga untuk negara dan juga dapat menolong rakyat dari marabahaya - yang mana adalah tugas kita sebagai rakyat jelata - tentu sekali sudi aku melakukannya. Sebenarnya aku setia kepada pemerintah, tetapi sayang pemerintah sendiri yang tidak mengerti itu, sekarang ini kawanan pengkhianatlah yang memegang tampuk pemimpin, maka itu sia-sialah belaka maksud hatiku. Locianpwee, tolong kau menunjuk aku satu jalan yang terang, untuk itu aku akan sangat bersyukur kepadamu."
Kiu Cian Jin mengusap kumisnya, ia tertawa lebar. Ia baru hendak berkata pula atau ia terhalang oleh datangnya satu chungteng yang memberi kabar: "Thio Cecu yang kebetulan berada di tengah telaga sudah menyambutnya enam tetamu luar biasa, yang sekarang sudah berada di depan."
Kaget tuan rumah itu. "Lekas mengundang!" titahnya.
Koan Eng sudah lantas berlari keluar untuk menyambut.
Diantara terangnya api terlihat enam tetamu yang tubuhnya tinggi dan kate tidak rata, antaranya ada seorang wanita. Ketika mereka itu bertindak masuk, Kwee Ceng berbareng girang, segera ia lari memapaki untuk berlutut di hadapan mereka itu.
"Suhu!" katanya. "Apakah suhu semua baik?"
Keenam tetamu itu memang Kanglam Liok Koay adanya. Mereka itu datang dari Utara, setibanya mereka di telaga Thay Ouw, lantas ada beberapa orang yang menyambutnya dengan manis. Sudah lama mereka meninggalkan Kanglam, mereka masih rada asing. Maka itu Cu Cong yang melayani beberapa itu bicara. Kemudian ternyata, pihak penyambut adalah Thio Cecu dari Kwie-in-chung. Sebenarnya tidak tahu cecu itu siapa enam orang ini, ia doyong menduga kepada musuhnya chungcu tua, maka itu selama menyambut, ia terbenam dalam kesangsian. Ia ditugaskan Koan Eng berjaga-jaga, sekalian menyambut orang pandai, maka itu ia bertindak secara hati-hati.
Liok Koay pun heran melihat muridnya itu ada di sini.
"Eh, bocah, mana silumanmu?!" Han Po Kie menanya. Ia menegur.
Han Siauw Eng bermata tajam, segera ia melihat Oey Yong hadir bersama, maka itu ia tarik ujung baju kakaknya seraya berbisik: "Sabar, urusan ini kita boleh bicarakan perlahan-lahan kemudian."
Nona lihay ini dapat mengenali walaupun Oey Yong dandan sebagai seoarng pemuda.
Tuan rumah tak kenal siapa enam orang itu tetapi karena Kwee Ceng memanggil guru kepada mereka, ia lantas memberi hormat. Ia minta dimaafkan yang ia tidak dapat berjalan. Ia pun segera memerintahkan menyiapkan sebuah meja untuk ini tetamu baru.
Kwee Ceng tidak berayal lagi menjelaskan perihal gurunya.
Liok Chungcu menjadi girang sekali.
"Sudah lama aku mendengar nama besar dari tuan-tuan, hari ini aku dapat meneminya, sungguh aku beruntung!" katanya.
Berbeda dari tuan rumah, Kiu Cian Jin duduk tetap di kursinya. Ia cuma tersenyum, terus ia dahar dan minum seorang diri.
"Siapa tuan ini?" menanya Han Po Kie. Ia sebal atas sikap orang acuh tak acuh itu, bahkan temberang.
"Baiklah Liok-hiap ketahui," tuan rumah berkata, "Tuan ini adalah gunung Tay San dan Bintang Pak Tauw dari Kaum Rimba Persilatan di ini jaman, yang kepandaian ilmu silatnya tidak ada orang di kolong langit ini yang dapat menandinginya...."
Mau tidak mau Liok Koay heran.
"Apakah dia Oey Yok Su dari Tho Hoa To?" tanya Han Siauw Eng.
"Apakah dia Kiu Cie Sin Kay?" tanya Han Po Kie.
"Meskipun tuan dari pulau Tho Hoa To serta Kiu Cie Sin Kay sangat lihay, tidak nanti mereka dapat menandingi Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Locianpwee!" Liok Koan Eng lantas memperkenalkan.
Kwa Tin Ok heran. "Oh, Locianpwee Kiu Cian Jin!" katanya.
Kiu Cian Jin tertawa keras, sampai rumahnya bagaikan tergetar.
Ketika itu beberapa chungteng telah selesai menyiapkan meja serta barang hidangan dan keenam tetamu itu sudah lantas mengambil tempat duduk mereka. Kwee Ceng pindah duduk di sebelah bawah gurunya itu. Ia telah menarik tangannya Oey Yong untuk diajak duduk bersama, si nona tapinya menggoyang kepala sambil tertawa, ia menampik untuk pindah duduk.
Liok Chungcu tertawa, ia kata: "Aku menyangka saudara Kwee tidak mengerti ilmu silat, kiranya kau adalah muridnya enam orang pandai. Benar-benar mataku lamur, tidak dapat aku melihat mustika yang disembunyikan...."
Kwee Ceng berbangkit, ia memberi hormat.
"Kepandaianku tidak seberapa," ia berkata, "Dengan menerima pengajaran guruku, tidak berani aku banyak bertingkah. Harap chungcu sudi memaafkannya."
Senang Tin Ok mendengar pembicaraan itu. Terang sudah Kwee Ceng pandai membawa diri.
"Tuan-tuan adalah orang-orang kenamaan kaum Rimba Persilatan di Kanglam ini," berkata Kiu Cian Jin. "Kebetulan sekali aku si orang tua ada punya urusan yang penting, jikalau di dalam hal itu aku bisa memperoleh bantuan kamu, sungguh bagus sekali!"
"Ketika tuan-tuan datang, baru saja Kiu Locianpwee hendak memberi penjelasan," berkata tuan rumah. "Sekarang silakan locianpwee memberi petunjuk kepadaku."
Kiu Cian Jin menurut, ia lantas berkata: "Kita yang memernahkan diri dalam dunia Rimba Persilatan, pokok penting dari tujuan kita adalah perbuatan-perbuatan mulia, menolong rakyat dari kesengsaraan. Sekarang ini tinggal ditunggu harinya saja yang angkatan perang negara Kim meluruk ke Selatan ini, jikalau kerajaan Song tidak dapat melihat selatan dan dia tidak sudi menyerah, asal saja peperangan terjadi, celakalah rakyat, entah berapa banyak jiwa yang bakal terbinasa! Bukankah ada kata-kata, siapa menurut Thian dia makmur, siapa menentang Thian dia musnah? Maka juga aku datang ke Selatan ini untuk menggabungi semua orang gagah di Kanglam, untuk bersama menyambut angkatan perang Kim itu, supaya Kerajaan Song digencet dari luar dan dalam, hingga habislah tenaganya, tidak dapat ia melawan perang dan karenanya menyerah. Kalau usaha ini berhasil, disebelahnya pangkat mulia dan kedudukan yang senang buat kita, rakyat pasti sangat bersyukur. Dengan begitupun tidaklah sia-sia kita telah mempunyai kepandaian silat yang lihay."
Mendengar itu, air muka Kanglam Liok Koay berubah, bahkan dua saudara Han sudah lantas hendak membuka suaranya, syukur Coan Kim Hoat dapat lantas menarik ujung baju mereka seraya matanya melirik kepada tuan rumah, menunjuki untuk melihat atau mendengar sikapnya tuan rumah itu.
Sebegitu jauh Liok Chungcu menghormati tetamunya yang tua itu, tetapi sekarang, mendengar suara orang ia heran bukan main. Ia mencoba tertawa ketika ia berkata: "Meskipun aku bodoh tetapi dengan menempatkan diri di dalam kalangan kaum kangouw, masih mengerti juga aku tentang tiong dan gie, kesetian dan kebajikan dan tidak dapat aku melupakannya. Angkatan perang Kim itu hendak menyerbu ke Selatan ini, itu artinya mereka bakal mencelakai rakyat negeri, kalau itu sampai terjadi, aku akan turut semua tindakannya orang gagah di Kanglam ini untuk menentangnya hingga aku terbinasa! Untuk ini aku akan mengangkat sumpah! "Locianpwee, kata-katamu ini rupanya hendak memancing aku, bukan?"
"Laotee, mengapa pandangan matamu begini pendek?" tanya tetamu itu. "Apakah kebaikannya membantu kerajaan Song melawan bangsa Kim? Paling banyak kau bakal mengalami nasib sebagai Gak Bu Bok yang terbinasa secara menyedihkan di paseban Hong Po Teng..."
Mendengar ini, tuan rumah kaget berbareng gusar. Ia mulanya mengharap mandapat bantuan melawan Hek Hong Siang Sat, siapa tahu ia justru dibujuk untuk mengkhianati negara sendiri! Maka sia-sia belaka orang tua ini pandai ilmu silatnya kalau jiwanya demikian rendah, dia demikian tidak tahu malu. Ia lantas mengebaskan tangan bajunya. Ia berkata: "Malam ini aku lagi menghadapi datangnya musuh, sebenarnya aku berniat memohon bantuan locianpwee, tetapi karena kita tidak sepaham, walaupun leherku bakal memuncratkan darah, tidak berani aku melayani locianpwee terlalu lama pula! Silahkan!" Ia memberi hormat pula, tandanya ia mengusir tetamunya itu.
Kanglam Liok Koay berikut Kwee ceng dan Oey Yong girang dalam hatinya.
Kiu Cian Jin tidak tertawa, ia pun tidak menyahuti, dengan tangan kiri mencekal cawan arak, tangan kanannya dibawa ke mulut cawan itu, terus diputar-putar, mendadak tangan kanannya itu dikebaskan, disambarkan terbalik. Maka untuk herannya semua orang, cawan arak itu terpapas separuhnya!
Liok Chungcu berdiam dengan hatinya bekerja keras memikirkan daya untuk melayani orang tua ini, yang sudah mengancam dengan kepandaiannya itu yang luar biasa.
Tapi Ma Ong Sin Han Po Kie tidak dapat bersabar lagi, dia lompat bangun dari kursinya menghadapi orang tua itu.
"Manusia tak tahu malu, mari kita mengadu kepandaian!" ia menantang.
Kiu Cian Jin tidak menjadi gentar.
"Sudah lama aku mendengar nama Kanglam Cit Koay, baiklah hari ini diuji tulen palsunya!" katanya, "Tuan-tuan, baiklah kau maju semua berbareng!"
Tuan rumah mau menduga Han Po Kie bukan tandingan orang, mendengar tantangan itu, ia girang sekali. Ia lantas berkata: "Memang biasanya Kanglam Liok Koay maju berbareng mundur berbareng, musuh seorang mereka berenam, musuh sepasukan tentara besar mereka berenam juga, tidak pernah ada salah satu di antaranya yang sudi ketinggalan!"
Inilah kata-kata yang disengaja. Mendengar ini Cu Cong ketahui maksud orang.
"Baiklah!" dia berkata, "Biak kita bersama-sama melayani ini jago Rimba Persilatan yang kenamaan!" Lalu dengan mengebaskan tangannya, lima saudaranya segera berbangkit bangun bersiap-sedia.
Kiu Cian Jin berdiri, ia angkat kursinya, lalu ia bertindak ke tengah ruangan, yang mau dijadikan gelanggang pertarungan itu. Di situ ia letaki kursi itu, terus ia berduduk pula, kaki kanannya disusun diatas kaki kirinya. Dengan duduk tenang, ia berkata: "Sambil berduduk begini aku si orang tua akan menemani tuan-tuan bermain-main!"
Tin Ok terkesiap hatinya. Jikalau orang bukan lihay luar biasa, tidak nanti ia membawa sikap demikian rupa.
Selagi guru-gurunya belum bergerak, Kwee Ceng majukan diri ke depan. Ia pun mau percaya semua gurunya bukan lawannya jago tua ini, yang kepandaiannya telah ia saksikan sendiri. Tentu saja ia bersedia binasa untuk membantu gurunya itu, maka ia menjadi nekat.
"Locianpwee, aku yang muda memohon pengajaran dari kau," ia berkata seraya menjura.
Kiu Cian Jin melengak, akhirnya ia tertawa.
"Tidak mudah ayah dan ibumu memelihara kau, kenapa jiwa kecilmu hendak cuma-cuma diantarkan di sini?" katanya.
"Anak Ceng, mundur!" berseru Tin Ok, yang kagum dengan keberanian muridnya itu tetapi ia menyayanginya.
Tapi Kwee Ceng sudah bulat tekadnya. Ia khawatir nanti gurunya mencegah terus, maka tanpa berkata lagi, ia tekuk kakinya yang kiri, tangan kanannya digeraki melingkar, lalu dengan keras tangannya itu ditolakkan maju!
 Â
Bab 30. Si baju hijau yang aneh.....
Inilah jurus "Hang Liong Yu Hui" dari Hang Liong Sip-pat Ciang, yang anak muda she Kwee ini telah menyakinkan sekira selama satu bulan, hingga bisalah dimengerti beda jauh dengan waktu permulaannya Ang Cit Kong mengajarinya.
Kiu Cian Jin memandang enteng kepada murid orang ini, sebab ia melihat dari gerak-gerik, mestinya Han Po Kie tidak seberapa lihay, maka kaget ia melihat serangan itu. Ia mencelatkan tubuhnya, melompat tinggi-tinggi, karena mana, hancurlah kursinya itu. Ia menjadi gusar sekali.
"Anak kurang ajar!" bentaknya setelah turun kembali di lantai.
"Locianpwee, tolong berikan pengajaran padaku!" kata Kwee Ceng dengan hormat. Ia berlaku hati-hati, tak mau ia segera menyerang pula.
Tetapi Oey Yong hendak mengacaukan pikirannya orang tua itu. "Engko Ceng, menghadapi tua bangka ini jangan kau sungkan-sungkan!"
Orang tua itu murka bukan kepalang. Dia kenamaan sekali, siapa pernah mencaci padanya, apapula di hadapannya sendiri? Sekarang ada ini bocah! Hampir ia melompat dengan tangannya diayun, untuk menghajar bocah itu, atau mendadak ia masih ingat akan kehormatannya dirinya sendiri. Dia tertawa dingin. Dia mengeluarkan tangannya yang kanan, tangan kirinya dibawa ke keningnya, kemudian ia menyerang, justru disaat itu Kwee Ceng lagi menyampingkan diri. Sebat sekali gerakannya ini.
Tapi Oey Yong sudah lantas berteriak.
"Itulah pukulan yang tidak ada keanehannya! Itulah jurus ke delapan yang dinamakan 'Burung belibis tunggal keluar dari rombongannya' dari tipu silat Thong-pek Liok-hap-ciang!"
Kiu Cian Jin heran orang mengenali pukulannya itu. Memang itu adalah tipu silat Thong-pek Ngo-heng-ciang. Jurus itu tidak aneh, tetapi ia telah melatihnya selama beberapa puluh tahun, maka di tangannya, pukulan itu lihay sekali, kedua tangannya dapat bergerak dengan sebat dan hebat.
Kwee Ceng tidak berani menangkis serangan itu, kesatu ia gentar juga untuk nama orang, kedua ia melihat gerak-gerik orang yang luar biasa. Ia main mundur.
Kiu Cian Jin menduga-duga terhadap si anak muda, ia mengambil kesimpulan; "Dia dapat menghajar kursi, itulah sebab tenaganya yang besar. Ilmu silatnya hanya biasa saja...." Karena itu ia lantas mendesak.
Oey Yong bingung melihat kawannya terdesak demikian rupa, ia mengkhawatirkan kekalahannya. Maka ia lantas bersiap untuk membantu.
Kwee Ceng kebetulan menoleh kepada si nona, kapan ia melihat roman berkhawatir dari nona itu, tanpa merasa hatinya terkesiap. Justru itu, tinjunya Kiu Cian Jin mampir di dadanya. Serangan itu membuatnya Oey Yong dan Kanglam Liok Koay kaget sekali, mereka mau menyangka akan habis sudah anak muda itu. Bukankah musuh itu sangat tangguh? Kalau tidak mati, Kwee Ceng akan terluka parah.
Kwee Ceng pun kaget bukan main, ia lantas mengerahkan tenaganya. Kedua tangannya dipentang dengan kaget. Habis itu, ia menjadi heran sendirinya. Ia terhajar dadanya tetapi ia tidak merasakan terlalu sakit, hingga ia jadi tercengang.
Oey Yong dapat melihat orang berdiam, ia menyangka pemuda itu mau pingsan, ia lantas lompat untuk mempepayang.
"Bagaimanam, engko Ceng?" tanyanya. Tanpa merasa, air matanya meleleh.
Tapi jawaban si pemuda luar biasa sekali. "Tidak apa-apa, akan aku mencoba pula!" demikian jawaban itu. Ia terus mengangkat dadanya dan bertindak menghampiri lawannya yang berdiri mengawasi padanya.
"Kaulah si jago tua Tangan Besi, marilah kau pukul pula aku satu kali lagi!" ia menantang.
Jago tua itu menjadi sangat gusar, ia sudah lantas meninju. Sebagai akibat serangan itu terdengar suara "Duk!" keras sekali.
Bukannya ia jatuh atau kesakitan, Kwee Ceng justru tertawa berkakakan.
"Suhu, Liok Chungcu, Yong-jie!" dia berteriak. "Tua bangka ini berkepandaian biasa saja! Dia tidak menghajar aku tidak apa, setelah ia menghajar, terbukalah rahasianya!"
Kata-kata ini disusul dengan gerakan tangan kiri mengebas akan mendesak orang itu sambil si anak muda berseru: "Kau pun rasakan tanganku!"
Melihat gerakan orang itu, Kiu Cian Jin memandang enteng. Ia lantas menggeraki kedua tangannya, guna membentur tangan kiri si pemuda. Ia tidak tahu Kwee Ceng justru menggunai jurus "enam naga naik ke langit" dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ialah salah satu pukulan yang paling luar biasa. Maka tidak ampun lagi ia kena trerhajar pundak kanannya yang menyambung sama dadanya, tubuhnya terus terlempar ke luar pintu bagaikan layangan putus!
Semua orang menjadi kaget hingga mereka memperdengarkan seruan. Jutsru itu, kejadian aneh lainnya menyusul itu. Dari luar terlihat masuknya seorang wanita yang mencekal Kiu Cian Jin pada leher bajunya, tindakan wanita itu lebar, sesampainya di dalam ruangan, ia meletakkan orang yang dibawanya itu separuh ditenteng. Dia berdiri tegar, pada wajahnya tak tampak senyuman, sebaliknya romannya sangat dingin. Dia panjang rambutnya riap-riapan ke pundaknya, kepalanya pun didongakkan. Sebab dialah Tiat Sie Bwee Tiauw Hong, salah satu dari Hek Hong Siang Sat.
Semua orang terperanjat.
Di belakang si Mayat Besi ini ada mengikuti seorang lain, tubuhnya jangkung kurus, bajunya hijau, wajahnya luar biasa sekali. Siapa mengawasi wajah itu, sendirinya ia akan menggigil. Siapa pernah melihat satu kali, lantas tak sudi dia melihatnya buat kedua kalinya....
Liok Chungcu heran bukan main, Kiu Cian Jin yang demikian kesohor itu, yang mulutnya terpentang sangat lebar, tidak sanggup mempertahankan diri untuk satu hajaran dari Kwee Ceng. Ia pun merasa lucu. Akan tetapi, menampak munculnya Bwee Tiauw Hong, ia melongo.
Wanyen Kang melihat gurunya, ia girang bukan main.
"Suhu!" ia memanggil seraya ia menghampirkan untuk memberi hormat. Berbareng dengan itu dia menjadi ingat Liam Cu, yang dia heran tidak datang bersama, entah di mana adanya si nona.
Liok Chungcu tidak berdiam lama, atau segera ia memberi hormat pada si Mayat Besi.
"Bwee Suci!" katanya, "Duapuluh tahun sudah kita berpisah, hari ini kita dapat bertemu pula, aku girang sekali. Tentunya Tan koko baik, bukan?"
Liok Koay saling mengawasi dengan Koan Eng. Kenapa tuan rumah memanggil Suci, kakak seperguruan kepada Bwee Tiauw Hong itu? Mereka heran berbareng gentar juga. Tin Ok pun berpikir, "Hari ini kita berada dalam kurungan. Sudah Bwee Tiauw Hong sendiri sukar dilawan, sekarang ada adik seperguruannya ini."
Oey Yong sebaliknya berpikir: "Liok Chungcu ini, ilmu silatnya, ilmu suratnya, kata-katanya, gerak-geriknya, semua mirip dengan ayah, aku sudah menyangka dia ada hubungannya sama ayah, siapa sangka dia justru murid ayah...!"
Segera terdengar suara dingin dari Bwee Tiauw Hong. "Yang bicara ini apakah sutee Liok Seng Hong?"
"Benar suteemu, suci," sahut Liok Chungcu. "Sejak perpisahan kita, apakah suci banyak baik?"
Atas itu, Bwee Tiauw Hong menjawab, "Kedua mataku telah menjadi buta dan kau punya kakak Hiang Hong telah orang bunuh mati pada duapuluh tahun yang lalu! Tidakkah itu memuaskan hatimu?!"
Mendengar itu, tuan rumah girang berbareng kaget. Kaget sebab Hek Hong Siang Sat yang begitu lihay, yang malang melintang di dunia ini, telah ada yang binasakan. Girang sebab itu berarti ia kekurangan seorang lawan tangguh dan ini musuh sisanya sudah bercacad matanya. Hanya ia berduka kapan ia ingat persaudaraan mereka selama di pulau Tho Hoa To.
"Siapakah musuh dari Tan koko itu?" ia tanya. "Sudahkah suci menuntut balas?"
"Aku justru hendak mencari mereka itu!" sahut Tiauw Hong.
"Nanti aku akan membantu kau menuntut balas itu suci," berkata Liok Chungcu. "Selesai pembalasan itu, barulah kita membereskan perhitungan kita!"
"Hm!" Bwee Tiauw Hong mengasih dengar ejekannya.
Mendadak itu Han Po Kie menepuk meja sambil berlompat bangun. "Bwee Tiauw Hong, musuhmu ada di sini!" dia berteriak.
Coan Kim Hoat terkejut, ia tarik saudaranya itu.
Tiauw Hong sebaliknya melengak.
Sampai disitu Kiu Cian Jin yang sejak tadi berdiam saja, sebab ia merasakan sakit bekas hajaran Kwee Ceng dan baru sekarang rasa sakitnya itu hilang sedikit, turut bicara.
"Apa itu yang disebut menuntut balas dan membereskan perhitungan!" katanya. "Sekalipun guru sendiri dibunuh orang tidak tahu, untuk apa menyebut diri sebagai orang gagah?!"
"Apa kau bilang?!" membentak Bwee Tiauw Hong seraya mencekal keras tangan orang.
"Lekas lepas!" berteriak Kiu Cian Jin kesakitan.
"Kau bilang apa?" tanya pula Tiauw Hong, tidak memperdulikannya.
"Oey Yok Su, pemilik dari pulau Tho Hoa To, telah orang bunuh mati!" sahut si orang tua.
Liok Seng Hong kaget sekali. "Benarkah kata-katamu ini?" ia menanya.
"Kenapa tidak benar?!" membaliki Kiu Cian Jin. "Oey Yok Su kena dikurung Coan Cin Cit Cu murid-muridnya Ong Tiong Yang dan terbinasa karenanya."
Mendengar itu, Bwee Tiauw Hong dan Liok Seng Hong menjerit menangis menggerung, sedang Oey Yong roboh pingsan berlutut di kursinya. Dan yang lainnya semua kaget sekali. Sebenarnya mereka tidak percaya Oey Yok Su yang begitu lihay terbinasakan orang, tetapi mengetahui musuh-musuhnya adalah Coan Cin Cit Cu, mau mereka mempercayainya. Mereka ketahui baik kelihayan Ma Giok bertujuh.
Kwee Ceng pun kaget tetapi ia segera tubruk Oey Yong, untuk dikasih bangun sambil dipeluki.
"Yong-jie, sadar!" ia memanggil-manggil. Ia melihat muka orang pias dan napasnya berjalan perlahan sekali, saking berkhawatir, ia berteriak: "Suhu! Suhu! tolongi dia!"
Cu Cong lompat menghampirkan, ia meraba hidung orang.
"Jangan khawatir," ia berkata. "Ia pingsan karena kaget mendadak, dia tidak mati." Ia lantas mengurut-urut jalan darah lauw-kong-hiat di telapakan tangan si nona.
Dengan perlahan-lahan Oey Yong mendusin, lantas ia menjerit: "Mana ayahku? Ayah! Aku menghendaki ayahku!"
Mendengar itu Seng Hong terperanjat.
"Oh!" serunya, "Kalau dia bukannya putri guruku, mana mungkin ia ketahui tentang Kiu-ho Giok-louw-wan?" Lalu ia menangis, air matanya meleleh. Ia kata: "Adik kecil, mari kita mengadu tenaga dengan itu imam-imam bangsat dari Coan Cin Kauw! Eh, Bwee Tiauw Hong, kau turut atau tidak? Kalau tidak, hendak aku mengadu jiwa lebih dulu denganmu!"
Koan Eng segera pepayang ayahnya, yang menjadi demikian berduka.
"Jangan terlalu berduka, ayah," ia membujuki, "Kita bertindak perlahan-lahan."
Seng Hong tidak memperdulikan anaknya itu, ia menangis menggerung-gerung pula.
"Bwee Tiauw Hong, kau perempuan bangsat!" dia mendamprat. "Sungguh hebat kau telah menganiaya aku! Kau tidak tahu malu, kau mencuri laki, itulah masih tidak apa! Tapi kenapa kau curi juga kitab Kiu Im Cin Keng kepunyaan guru? Kau tahu, saking gusarnya suhu, dia sudah putuskan urat kaki dari kami empat saudara, dia usir kami semua dari pulau Tho Hoa To! Aku masih mengharapkan suhu nanti sadar liangsimnya, nanti ia mengasihani kami yang tidak bersalah dosa, supaya kami diterima kembali sebagai muridnya, tetapi sekarang ia telah menutup mata! Dengan begini pastilah penyesalanku ini ada untuk seumur hidupku...!"
Bwee Tiauw Hong panas hatinya, dia membalas mencaci: "Dulu aku mencaci kau tidak punya semangat, sekarang tetap aku mencaci kau tidak mempunyai semangat! Berulangkali kau mengajak orang membikin susah kami suami-istri, kau membuatnya kami tidak punya tempat untuk menyembunyikan diri, karenanya kami menjadi menderita sangat di gurun di Mongolia! Sekarang, bukannya kau berdaya untuk membalas sakit hati suhu, kau repot hendak membuat perhitungan denganku, kau menangis saja tidak karuan! Mari kita mencari Coan Cin Cit Cu, untuk mencari balas! Jikalau kau tidak kuat jalan, nanti aku gendong padamu!"
Sampai di situ, Oey Yong campur bicara.
"Bwee Suci! Liok Suko! Pergi kau menuntut balas untuk ayah! Engko Ceng, mari kita menyusul ayahku!"
Habis ia berkata begitu, si nona menghunus senjatanya, Ngobie kongcie, untuk menikam tenggorokkannya.
Cu Cong awas matanya dan sebat gerakannya. Ia merampas senjata orang itu.
"Nona, tanyalah dulu biar terang!" ia memberi ingat. Ia terus menghampirkan Kiu Cian Jin, debu di tubuh siapa ia kepriki beberapa kali. Ia berkata: "Muridku belum tahu apa-apa, dia lancang, harap locianpwee memaafkannya."
Tapi Kiu Cian Jin murka sekali. "Aku sudah tua, mataku lamur!" serunya. "Mari kita bertempur pula!"
Cu Cong menepuk pundak orang dengan perlahan, menggenggam tangan orang yang kiri, sembari tertawa berkata: "Locianpwee lihay sekali, tak usahlah main-main pula!" Ia menarik orang duduk lalu tangan kirinya mengambil cawan arak, mulutnya ia tutup dengan tangan kanannya, yang ia putarkan, atau mendadak tangan kanan itu dipapaskan ke arah keluar. Maka heran sekali, cawan itu lantas terpapas kutung separuhnya, tepat seperti caranya Kiu Cian Jin tadi. Selagi lain orang terperanjat bahna heran, Cu Cong tertawa dan berkata kepada orang tua itu: "Hebat kepandaian locianpwee, barusan aku dapat mencurinya, maka itu harap locianpwee memaafkan aku! Terima kasih, locianpwee!"
Wajahnya Kiu Cian Jin berubah menjadi pucat. Orang heran tetapi orang tetap tidak mengerti.
"Anak Ceng, mari!" Cu Cong memanggil muridnya. "Kepandaian yang gurumu ajarkan padamu lain kali kau boleh gunai untuk membikin orang kaget, untuk memperdayakan orang!"
Kwee Ceng menghampirkan gurunya yang nomor dua itu, lalu dari tangan kiri si guru, dari jari tengah, ia meloloskan sebuah cincin. Ia kata: "Inilah kepunyaan locianpwee, tadi aku meminjamnya. Silahkan locianpwee memakai pula."
Kiu Cian Jin kaget dan heran. Ia sungguh tidak mengerti, cincin ditangannya dapat berpindah ke tangan lain orang.
Cu Cong berkata pula, "Cincin ini ditaburkan sepotong intan, yang sifatnya keras luar biasa, kau gunai itu menempelkan di cawan, lalu kau putarkan..."
Kwee Ceng menurut, ia melakukan titah gurunya itu. Baru sekarang semua orang mengerti duduk halnya, Koan Eng semua tertawa.
Oey Yong pun tertawa, tetapi sesaat kemudian ia menangis pula. Sebab ia segera ingat lagi ayahnya.
"Jangan menangis, Nona!" Cu Cong menghibur. "Ini Kiu locianpwee paling suka memperdayakan orang, kata-katanya belum tentu harum wangi!"
Oey Yong heran, ia mengawasi guru kawannya itu.
"Cu Cong tertawa, dia berkata pula: "Ayahmu sangat lihay, cara bagaimana dia dapat dibinasakan orang? Laginya Coan Cin Cit Cu adalah orang-orang terhormat, mereka juga tidak bermusuh dengan ayahmu, kenapa mereka jadi bisa bertempur?"
"Mungkin ini disebabkan urusan Ciu Pek Thong, pamannya Khu Totiang beramai...." Oey Yong mengutarakan dugaannya.
"Bagaimana itu?" tanya Cu Cong.
"Kau tentunya belum tahu...." si nona menangis lagi.
"Biar bagaimana, aku percaya kata-kata orang tua bangka ini berbau busuk!" Cu Cong mengasih kepastian.
"Apakah kau maksudkan dia melepas...melepas...."
Cu Cong menyahuti dengan sikapnya wajar.
"Tidak salah, dia melepaskan angin busuk! Di dalam tangan bajunya masih ada rupa-rupa barang yang muzijat, kau terka-lah apa perlunya itu..." Dan dia merogoh ke tangan baju orang, ia mengasih keluar barang-barang yang disebutkan itu, ialah dua potong batu bata, seikat rumput kering, sepotong wol peranti menyalakan api, sepotong baja peranti membangkitkan api, serta sepotong batu api.
Oey Yong jumput batu bata itu, ia pencet, lantas bau itu hancur luluh. Karena ini berkuranglah kesedihannya, dapat ia tersenyum. Ia kata: "Jie suhu, bata ini terbuat dari tepung! Tadi dia memencetnya dengan menggunai ilmu tenaga dalamnya yang lihay sekali!"
Kiu Cian Jin malu bukan main, mukanya menjadi merah dan pucat bergantian, karena tak ada tempat untuk menaruh muka lagi, ia kebaskan tangan bajunya, ia bertindak keluar untuk berlalu.
Bwee Tiauw Hong menggeraki tangannya, menyambar tubuh orang, terus dibantingkan.
"Kau bilang guruku meninggal dunia, bilang benar atau dusta?!" si Mayat Besi tanya dengan bengis.
Hebat bantingan itu, Kiu Cian Jin merintih kesakitan.
Oey Yong lihat seikat rumput itu ada bekas terbakar, maka sadarlah dia.
"Jie suhu," katanya pada Cu Cong. "Coba kau sulut rumput itu dan kau masuki ke dalam tangan bajumu, lalu kau menyedot dan meniupnya keluar."
Cu Cong menurut, ia berbuat itu, malah sambil menutup kedua matanya dan menggoyang-goyangkan kepalanya!
Oey Yong bertepuk tangan, dia tertawa gembira.
"Engko ceng, lihat, bukankah begini caranya si tua bangka ini memainkan tenaga dalamnya?" katanya. Ia bertindak menghampirkan orang tua itu, sembari tertawa geli ia memerintah, "Kau bangunlah!" Ia mencekal tubuh orang, untuk dikasih bangun, lalu memdadak dengan tangan kirinya ia menotok jalan darah sintong-hiat di punggung orang. Membarengi itu, ia membentak: "Kau bilang, sebenarnya ayahku mati atau tidak? Jikalau kau bilang benar mati, aku menghendaki jiwamu!" Dilain pihak Ngobie kongcie sudah mengancam dada orang.
Semua orang merasa lucu mendengar pertanyaan Oey Yong ini. Orang ditanya tetapi orang dilarang menyebutkan kematian dari ayahnya.
Kiu Cian Jin sendiri merasakan penderitaan hebat. Ia merasakan sakit dan gagal bergantian. "Aku khawatir mungkin juga ia belum mati..." sahutnya kemudian.
"Aneh pertanyaannya sumoyku ini," pikir Liok Seng hong. Maka ia turut menanya kepada orang tua itu: "Kau bilang guruku dibinasakan Coan Cin Cit Cu, kau melihat dengan mata sendiri atau hanya mendapat dengar cerita orang?"
"Aku hanya mendengar kata orang," menjawab Kiu Cian Jin.
"Siapa yang membilanginya?"
Kiu Cian Jin berdiam sebentar, ia seperti mendumal. "Ang Cit Kong," sahutnya kemudian.
"Kapannya Ang Cit Kong membilangi itu?" Oey Yong tanya.
"Satu bulan yang lalu," sahut Kiu Cian Jin pula.
"Dimana Ang Cit Kong bicara denganmu?" Oey Yong menanya lagi.
"Di atas puncak gunung Tay San," sahut si orang tua. "Di sana kita mengadu kepandaian, dia kalah, dengan tidak disengaja dia mengatakannya."
Bukannya kaget, Oey Yong sebaliknya girang luar biasa mendengar jawaban itu. Ia berjingkrak, tangan kirinya menyambar dada orang, tangan kanannya mencabut kumis. Ia lantas tertawa cekikikan.
"Ang Cit Kong kalah olehmu, tua bangka busuk!" katanya. "Bwee Suci, Liok Suko, jangan, jangan dengar, dia melepas.... melepas..." Sebagai wanita, tak dapat si nona meneruskan kata-katanya.
"Melepas...angin!" Cu Cong yang melanjuti tertawa, tetapi ia membekap mulutnya.
Oey Yong berkata pula, "Pada sebulan yang lalu itu terang-terangan Ang Cit Kong ada bersama-sama aku dan engko Ceng ini! Eh, engko Ceng, kau hajarlah dia dengan satu tanganmu lagi!"
"Baik!" jawab Kwee Ceng, lalu tubuhnya bergerak.
Kiu Cian Jin ketakutan, dia memutar tubuhnya untuk berlari, tetapi di muka pintu ada Bwee Tiauw Hong menghalang. Dia berputar pula, untuk lari ke dalam. Dia segera dirintangi Liok Koan Eng, tetapi ia mendorongnya hingga pemuda itu terhuyung. Biar bagaimana, dia pernah mendapat nama, meskipun benar nama itu didapat kebanyakan karena penipuan belaka, karena ilmu sulapnya. Dia hanya bernyali besar, dari itu berani dia menantang Liok Koay dan Kwee Ceng. Koan Eng pastilah bukan tandingannya.
Oey Yong lompat menghampirkan, untuk memegat.
"Kau menjunjung jambangan besi, kau jalan di air, ilmu apakah itu?" si nona tanya.
"Itulah kepandaianku yang istimewa," sahut si orang tua, yang tetap mengepul. "Itu dia yang dinamakan ilmu ringan tubuh menyeberangi air dengan menaiki kapu-kapu!"
"Ah, kau masih saja mengoceh!" kata si nona tertawa. "Sebenarnya kau mau bicara benar-benar atau tidak?"
"Usiaku sudah lanjut, ilmu silatku tidak seperti dulu lagi," Kui Cian Jin menjawab, "Meski begitu, ilmu ringan tubuhku masih aku belum mensia-siakannya."
"Baiklah!" kata Oey Yong. "Di luar sana ada sebuah jambangan besar ikan mas, coba kau jalan di atas jambangan itu, kasih kami menyaksikannya! Kau lihat tidak jambangan itu. Sekeluarnya dari ruang ini, di sebelah kiri, di bawah pohon, itulah dia!"
"Di dalam jambangan, mana bisa orang melatih diri...?" kata Kiu Cian Jin. Tapi belum berhenti suaranya itu, mendadak ia lihat suatu apa berkelebat, di depan matanya, akan dilain saat ia mendapatkan tubuhnya sudah berjumpalitan dan kakinya tergantung.
"Kematianmu sudah menantikan, kau masih omong jumawa!" membentak Bwee Tiauw Hong.
Si Mayat Besi telah mengangkat tubuh orang itu dengan Tok Liong Gin-pin, cambuk perak Naga Berbisa. Kapan cambuk itu dikebaskan, tubuhnya si orang tua terlempar ke arah jambangan, tepat jatuhnya ke dalam jambangan itu.
Oey Yong menyusul, ia mengancam dengan Ngo-bie kongcie!
"Jikalau kau tidak memberi keterangan, aku tidak ijinkan kau keluar dari sini!" bentaknya.
Kiu Cian Jin mencoba menjejak dasar jambangan, baru tubuhnya mencelat atau pundaknya sudah ditekan si nona, maka ia terjatuh pula. Maka basah kuyuplah ia berikut kepalanya. Ia meringis.
"Sebenarnya jambangan itu terbuat berlapis besi," ia mengaku akhirnya. "Di dalamnya jambangan pun ditutup sebatas tiga dim, di atas itulah cuma ada isinya air. Dan itu kali kecil, di dasar itu aku telah menancapkan banyak pelatok, yang dibikin tenggelam lima enam dim dari permukaan air hingga jadi tidak kelihatan..."
Oey Yong tertawa, terus ia bertindak ke dalam, tak sudi ia memperdulikan lagi, dari itu Kiu Cian Jin dapat keluar dari jambangan ikan itu, sambil tunduk ia ngiprit pergi.
Bwee Tiauw Hong dan Liok Seng Hong merasa tidak enak sendirinya. Tadi mereka menangis dengan cuma-cuma disebabkan lagak-lagunya si tua bangka itu. Setelah orang kabur, mereka masih likat. Tiauw Hong adalah yang dapat menenangkan diri lebih dulu. Maka berkatalah ia pada tuan rumah: "Seng Hong, kau merdekakan muridku! Dengan memandang kepada guru kita, urusan dahulu hari itu suka aku tidak menimbulkannya pula.
Liok Seng Hong menghela napas. Di dalam hatinya ia kata: "Dia telah kematian suaminya, matanya sendiri buta, sekarang dia hidup sebatang kara. Aku sendiri, walaupun kakiku bercacad, aku ada punya istri dan anak, aku ada punya rumah tangga, aku masih menang berlipat kali daripadanya... Kita pun sama-sama sudah berusia limapuluh lebih, untuk apa masih memikirkan sakit hati lama...?" Maka ia menjawab: "Pergi kau bawa muridmu, Bwee Suci. Besok pagi hendak aku pergi ke Tho Hoa To, untuk menjenguk suhu. Kau mau turut atau tidak?"
"Beranikah kau pergi ke sana?" Tiauw Hong tanya.
"Tanpa perkenaan suhu kita lancang mendatangi Tho Hoa To, itulah memang satu pelanggaran besar," menyahut Seng Hong. "Akan tetapi si tua bangka barusan sudah mengaco belo, hatiku tetap tidak tenang, ingin aku menjenguknya."
Belum lagi Bwee Tiauw Hong menyahuti, Oey Yong sudah berkata: "Marilah kita pergi beramai menjenguk ayahku, di sana aku nanti memohonkan keampunan bagi kamu."
Bwee Tiauw Hong berdiam diri, kedua matanya mengucurkan air mata.
"Mana aku punya muka akan menemui suhu lagi?" katanya. "Suhu mengasihi aku yang piatu, dia pelihara aku, dia mengajarkannya, tetapi hatiku buruk, aku mendurhaka..." Mendadak ia mengangkat kepalanya dan berseru, "Asal aku sudah berhasil membalas sakit hati suamiku, aku tahu bagaimana harus membereskan diriku sendiri! Kanglam Cit Koay, kalau kau benar laki-laki, marilah! Malam ini aku hendak mengadu nyawa denganmu. Liok Sutee, Oey Sumoy, kamu berdiam saja menonton, kamu jangan membantui siapa juga! Siapa mampus siapa hidup, kamu tetap jangan campur tangan! Kamu dengar?!"
Mendengar itu, Kwa Tin Ok bertindak ke tengah ruang. Sepotong besi jatuh di lantai, suaranya nyaring dan panjang. Lalu ia mengasih dengar suaranya yang serak: "Bwee Tiauw Hong! Kau tidak melihat aku, aku juga tidak melihat kau! Ketika itu malam di tempat belukar kita bertempur, suamimu binasa wajar, tetapi juga saudaraku yang kelima telah kehilangan jiwanya. Tahukah kau?!"
"Oh," bersuara si nyonya. "Jadi sekarang kamu tinggal berenam?"
"Ya!" sahut Tin Ok. "Kami sudah menerima baik permintaan Totiang Ma Giok, kami tidak hendak memusuhkan kau terlebih lama pula, tetapi hari ini kaulah yang mencari kami. Baiklah! Dunia ini luas, tetapi kita berjodoh, di mana saja kita dapat bertemu! Mungkinlah Thian tidak sudi membiarkan Kanglam Liok Koay dan kau hidup bersama di kolong langit ini! Nah, kau majulah!"
Bwee Tiauw Hong tertawa dingin. "Kau berenam, majulah semua!" dia menantang.
Belum Tin Ok menyahuti, Cu Cong sudah berdiri di sampingnya. Saudara ini hendak mencegah kalau-kalau musuh membokong. Bersama lain sudaranya, ia sudah menghunus senjata.
Justru itu Kwee Ceng mengajukan diri. "Biarlah murid yang maju lebih dulu!" kata murid ini.
Liok Seng Hong menjadi tidak enak hati mendengar Tiauw Hong menentang Liok Koay dan Liok Koay menyambutnya. Ingin ia mengajukan diri di sama tengah tetapi tidak dapat ia menghampirkan mereka, ia pun tidak mempunyai cukup pengaruh. Maka itu, mendengar suaranya Kwee Ceng, satu pikiran berkelebat di otaknya.
"Tuan-tuan, tahan dulu!" dia mencegah. "Aku minta sukalah kau dengar dulu padaku. Diantara kamu berdua sudah ada yang meninggal, bukankah? Maka itu menurut aku, pertempuran ini baiklah dibataskan menang dan kalahnya dengan saling towel saja, jangan ada yang main melukakannya. Liok Koay melawan satu, walau itu sudah seharusnya, aku anggap masihlah kurang adil. Maka itu, aku minta biarlah Bwee Suci main-main saja dengan ini Kwee Laotee. Setujukah kamu?"
Bwee Tiauw Hong tertawa dingin. "Mana dapat aku menempur segala bocah tak namanya?" katanya.
Tapi Kwee Ceng berani, ia kata nyaring, "Suamimu itu aku sendirilah yang membunuhnya, apakah sangkut pautnya dengan semua suhuku?"
Tiba-tiba saja Tiauw Hong menjadi gusar sekali.
"Betul!" serunya. "Mari aku bunuh dulu padamu, bangsat cilik!" Dengan mendengar suara orang, ia ketahui di mana beradanya orang itu, maka ia ulur tangan kirinya ke batok kepala si bocah.
Kwee Ceng lompat berkelit. Ia kata dengan nyaring: "Bwee Cianpwee, ketika dulu hari itu aku kesalahan membinasakan Tan Cianpwee, itulah disebabkan usiaku yang muda dan aku belum tahu apa-apa, tetapi untuk itu aku berani bertanggung jawab, maka kamu berurusanlah denganku, tidak nanti aku menyingkirkan diri! Bagaimana jikalau dibelakang hari kau masih mencari keenam guruku?"
"Benarkah kau demikian laki-laki, hingga kau tidak bakal kabur?" menegaskan Tiauw Hong.
"Pasti tidak!" jawab si anak muda mantap.
"Baiklah, ganjalanku dengan Kanglam Liok Koay aku bikin habis! Mari bocah, kau turut aku!"
"Bwee Suci!" Oey Yong berteriak. "Dia pun satu laki-laki sejati! Kau nanti ditertawakan orang-orang kangouw!"
"Apa?" tanya Tiauw Hong gusar.
"Dia ahli waris satu-satunya dari Kanglam Liok Koay!" kata si nona. "Sekarang ini kepandaiannya Kanglam Liok Koay tidak sama lagi seperti dulu, maka jikalau mereka hendak mengambil nyawamu, gampangnya sama seperti mereka membalikkan telapak tangan! Hari ini mereka memberi ampun padamu, itu artinya mereka telah memberi muka, tetapi kau tidak tahu selatan, kau masih membuka mulut besar!"
"Fui! Aku menghendaki diampunkan mereka? Eh, Liok Koay, benarkah kau telah memperoleh kemajuan besar? Mari, marilah kita coba-coba!"
"Perlu apa sampai mereka sendiri turun tangan?" berkata pula Oey Yong. "Sekalipun muridnya seorang diri, tidak nanti kau dapat memenangkannya!"
Tiauw Hong bergusar hingga ia berkoakan. "Jikalau dalam tiga jurus aku tidak dapat membikin dia mampus, di sini juga aku akan membenturkan diriku hingga binasa!" teriaknya.
Si Mayat Besi ingat pertempurannya sama Kwee Ceng di dalam istana, ia ketahui baik kepandaian orang, ia hanya tidak mendapat tahu, sesudah berselang beberapa bulan, pemuda ini telah mendapat didikannya Kiu Cie Sin Kay dan kepandaiannya telah maju pesat sekali.
"Baiklah!" tertawa Oey Yong. "Semua orang di sini menjadi saksinya! Tiga jurus terlalu sedikit, aku beri batas sampai sepuluh jurus!"
"Tidak," berkata Kwee Ceng. "Akan aku menemani cianpwee main-main limabelas jurus!"
"Sekarang mintalah Liok Suko serta tetamu dengan siapa suci datang bersama untuk tolong menghitungnya!" berkata Oey Yong pula.
Tiauw Hong heran. "Siapa yang menemani aku datang ke mari?" tanyanya. "Aku datang seorang diri. Perlu apa aku memakai kawan?"
"Habis itu siapa di belakang suci?" Oey Yong tanya.
Dengan tiba-tiba Tiauw Hong menyambar ke belakang, cepatnya bukan main.
Orang tidak melihat si baju hijau berkelit, tahu-tahu dia telah lolos dari sambaran itu. Sampai itu waktu, anehnya, ia masih terus membungkam.
Tiauw Hong tidak menyerang pula tetapi ia lantas merasakan sesuatu. Ketika itu malam ia melayani Auwyang Kongcu bertempur diwaktu mana ia mendengar suara seruling, yang membebaskan ia dari kurungan barisan ular, ia telah menghanturkan terima kasih ke tengah udara, sebab ia tak tahu siapa si peniup suling yang membantunya itu. Sejak itu ia merasakan ada suatu apa di belakangnya, sia-sia belaka segala pertanyaannya dan sambarannya, ia tidak mendapatkan hasil, sampai ia mau merasa mungkin ia kurang sehat, hingga mau ia menerka kepada hantu. Sekarang, mendengar perkataannya Oey Yong itu, ia tidak ragu-ragu lagi. Tentu saja ia menjadi kaget sekali.
"Kau siapa?!" ia tanya, suaranya menggetar. "Mau apa kau selalu mengikuti aku?!"
Orang itu tidak menjawab, ia seperti tidak mendengarnya.
Tiauw Hong lompat menubruk. Kembali ia gagal. Nampaknya orang itu tidak bergerak tetapi ia tidak kena diserang.
Semau orang menjadi kaget dan heran. Pastilah orang itu lihay luar biasa.
Liok Seng Hong sudah lantas menegur, katanya, "Tuan, dari tempat yang jauh kau datang kemari, aku belum sempat menyambutnya, silahkan duduk! Maukah Tuan minum arak?"
Kembali si baju hijau tidak menyahuti, bahkan ia membalik tubuhnya, untuk berlalu.
"Kaukah yang meniup seruling menolongi aku?" tanya Tiauw Hong.
Orang heran. Tiauw Hong ditolongi orang itu? Orang pun heran, lihay sebagai dianya, si Mayat Besi ini tidak ketahui orang sudah berlalu.
"Bwee Suci, orang itu sudah pergi?" Oey Yong memberitahu.
"Dia sudah pergi?" Tiauw Hong heran.
"Ya, dia sudah pergi," menerangkan Oey Yong. "Pergi kau susul dia, jangan kau main galak-galak di sini!"
Tiauw Hong menjublak sekian lama, wajahnya berubah-ubah. Nampaknya ia berduka. Lalu mendadak dia berseru: "Bocah she Kwee, kau sambutlah!" Lalu dua tangannya bergerak, sepuluh jari tangannya nampak seperti api yang marong. Toh ia tidak menyerang.
"Aku di sini," Kwee Ceng menjawab.
Baru saja ia mendengar "Aku" itu atau tangan kanan Tiauw Hong sudah berkelebat menyusul mana tangan kirinya, dengan lima jarinya, menyambar ke muka orang.
Kwee ceng lihat serangan itu, ia mengegos tubuhnya, sembari berkelit, ia menyerang dengan tangan kirinya.
Tiauw Hong dapat mendengar suara serangan, hendak ia menangkis tetapi sudah tidak keburu, dengan mendatangkan suara, pundaknya kena dihajar hingga ia mundur tiga tindak. Karena ia telah diserang dengan salah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang. Tapi ia lihay luar biasa, lekas sekali ia berbalik dan tangannya menyambar.
Inilah Kwee Ceng tidak sangka dan ia menjadi kaget sekali, hanya ia kaget untuk percuma-cuma, karena segera juga ia telah kena dicekal lengan kanannya pada tiga jalan darah Iwee-kwan, gwa-kwan dan hwee-cong. Sebenarnya ia senantiasa siap sedia dan berjaga-jaga, sudah ia mendengar keterangan guru-gurunya tentang lihaynya Kiu Im Pek-ku Jiauw, sekarang toh ia kena tercekal. Ia menjerit celaka, separuh tubuhnya menjadi lemas. Disaat berbahaya itu ia masih ingat untuk berdaya. Ia tekuk dua jeriji tangan kanannya, jeriji telunjuk dan tengah, dengan itu ia menyerang ke dada lawannya. Seharusnya serangan itu disusul dengan serangan tangan kiri tetapi tangan kirinya itu tercekal lawan, terpaksa ia menggunakan sebelah tangan saja. Ini pun ada suatu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang itu.
Bwee Tiauw Hong dapat mendengar serangan ini, yang anginnya luar biasa. Ia tidak menangkis, ia berkelit, tidak urung ia kena terhajar juga, hanya sebab ia berkelit itu, yang menjadi sasaran ialah pundaknya. Ia merasakan dorongan yang keras sekali, hingga terpaksa ia ayun tangannya melepaskan cekalan.
Kwee Ceng menyerang seraya berbareng mencoba menarik diri, untuk meloloskan tangannya yang dicekal itu, karena dilepaskan, tubuhnya terpental. Sebaliknya tubuh si Mayat Besi terdampar karena serangannya itu. Maka keduanya sama-sama terhuyung mundur, punggung mereka masing-masing mengenai pilar.
Besar dan tangguh pilar itu, benturan tidak menyebabkannya patah atau roboh, akan tetapi akibat benturan membuatnya genteng dan batu pecah dan meluruk jatuh.
Banyak chungteng menjadi kaget, sambil berteriakan mereka lari keluar.
Kanglam Liok Koay saling mengawasi, mereka heran dan berbareng girang.
"Darimana anak Ceng mendapatkan pelajaran ini?" mereka saling menanya di dalam hatinya. Han Po Kie sampai melirik kepada Oey Yong, karena ia menduga mestilah si nona yang mengajarinya.
Pertempuran sudah berjalan terus. Kedua pihak sama-sama mengeluarkan kepandaiannya. Tiauw Hong berkelahi dengan sengit, karena ia gusar dan penasaran. Kwee Ceng berlaku gesit dan waspada. Si Mayat Besi berlompatan ke delapan penjuru, anginnya menyambar-nyambar.
Kwee Ceng ingat pelajaran Ang Cit Kong tentang ilmu "Lok Eng Ciang", ia tetap bersilat dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, ia putar balik semua lima belas jurusnya. Ia berhasil dengan cara berkelahi ini. Bukan limabelas, bahkan sudah hampir limapuluh jurus. Tiauw Hong masih belum berhasil merobohkan atau menawan lawannya seperti bermula tadi. Bahkan untuk mendesak saja ia tak sanggup.
Oey Yong menonton dengan tertawa atau tersenyum-senyum, mukanya yang boto menjadi manis sekali. Sedang Kanglam Liok Koay berdiri terbengong-bengong. Liok Seng hong pun menjublak bersama putranya.
"Hebat kemajuan Bwee Suci ini," tuan rumah itu berpikir, "Kalau aku mesti melawan dia, dalam sepuluh jurus saja pastilah aku telah kehilangan jiwaku... Tapi ini Kwee laotee yang masih begini muda, kenapa dia begini lihay? Oh, sungguh mataku kabur! Syukur aku perlakukan dia dengan hormat, tidak sampai aku berlaku tak kurang hormat terhadapnya..."
Sampai di situ Oey Yong berseru, "Bwee Suci, sudah enam puluh jurus lebih! Masihkah kau tidak mau menyerah?"
Tiauw Hong mendongkol bukan kepalang. Dengan latihannya beberapa puluh tahun, ia tidak sanggup menjatuhkan satu bocah. Lantaran ini, ia tidak ambil mumat suaranya Oey Yong, bahkan sebaliknya, ia menyerang dengan terlebih hebat, sambarannya dilakukan saling susul dengan cepat luar biasa. Ia tidak merasa dengan begitu ia nyata kalah imbangan. Bukankah kedua matanya buta? Bukankah karena kemurkaannya, ia jadi tidak dapat memusatkan pikirannya? Di pihak lain, Kwee Ceng awas kedua matanya, lincah tubuhnya. Pemuda ini telah menghisap darah ular dan memperoleh Hang Liong Sip-pat Ciang.
Pertempuran berlanjut sampai seratus jurus lebih. Setelah ini, Bwee Tiauw Hong dapat juga berpikir. Ia mulai meraba-raba ilmu silat lawannya yang cilik ini. Ia merasa tidak dapat ia menyerang dari dekat. Maka ia menjauhkan diri dari Kwee ceng setombak lebih. Ingin ia membuatnya lawan itu letih.
Memang juga disebabkan usianya muda dan latihannya belum sempurna, lama-lama Kwee Ceng berkurang kelincahannya.
Oey Yong tahu kawannya bisa celaka, maka ia berteriak-teriak pula: "Bwee Suci, seratus jurus sudah lewat! Sudah hampir duaratus jurus! Apakah kau tetap tidak hendak menyerah?!"
Tiauw Hong berlagak tuli, ia menyerang tak hentinya.
Bingung juga Oey Yong, tetapi dasar licik, segera ia mendapat akal.
"Engko Ceng, lihat aku!" ia memanggil. Ia melompat ke depan pilar.
Dua kali Kwee Ceng berkelit, untuk menjauhkan diri, mendengar suaranya Oey Yong, ia menoleh. Bagitu ia melihat orang lari memutarkan pilar, ia sadar. Maka ia pun berlompat ke pilar itu.
Tiauw Hong mengetahui kemana orang menyingkir, ia lompat menyusul.
Tepat di dekat pilar, Kwee Ceng berkelit, lari ke belakang pilar itu. Ia baru berkelit atau sambarannya Tiauw Hong sudah tiba, tepat lima jarinya nancap di pilar itu, yang disangkanya adalah tubuh musuh. Bukankah ia cuma mengandalkan suara angin?
Kwee Ceng tidak cuma bersembunyi, ia pun membalas menyerang. Tapi hebat tenaga menolak dari Tiauw Hong, meski si Mayat Besi terpental, ia pun mesti mundur juga. Lima jarinya Tiauw Hong terlepas dari pilar.
Tiauw Hong bertambah-tambah gusar, saking sebatnya, ia sudah berlompat pula untuk menyerang lagi. Hebat untuk Kwee Ceng yang belum sempat memperbaiki diri, kendati dia dapat berkelit, tidak urung bajunya kena kesambar hingga robek dan lengannya kena terlanggar. Syukur untuknya, ia tidak terluka. Ia menjadi gentar hatinya. Tapi ia melawan terus, malah ia membalas menyerang. Habis itu baru ia melompat pula mundur ke belakang pilar itu. Sengaja ia mengasih dengar suara, hingga Tiauw Hong menyambar pula. Kali ini lima jari si Mayat Besi kembali nancap di pilar itu.
Barulah kali ini Kwee Ceng tidak menyerang.
"Bwee Cianpwee," ia berkata, "Kepandaianku tidak dapat melayani kau, sukalah kau menaruh belas kasihan padaku."
Dengan kata-katanya ini, bocah ini telah memberi muka. Ia tidak kalah, mungkin ia lebih unggul. Dengan mengandal sama pilar itu, ia toh tak bakalan kalah. Tapi ia suka mengalah.
Bwee Tiauw Hong menyahut dengan dingin: "Jikalau kita mengadu kepandaian, setelah tiga jurus aku tidak dapat mengalahkan kau, seharusnya aku mesti menyerah. Tapi sekarang kita bukan lagi mengadu kepandaian, aku hanya hendak menuntut balas, meski aku sudah kalah bertaruh, toh aku mau berkelahi terus! Tidak dapat tidak, mesti aku membunuh kau!"
Kata-kata ini disusul dengan serangan saling susul, dengan tangan kiri tiga kali, dengan tangan kanan tiga kali juga, semuanya mengenai pilar, sembari menyerang secara hebat itu, dia berseru. Serangannya yang terakhir adalah dua tangan berbareng, hebat kesudahannya, dengan menerbitkan suara nyaring, pilar itu patah bagian tengahnya!
Semua hadirin adalah orang-orang lihay, walaupun mereka kget, mereka toh dapat menolong diri. Semuanya lantas menlompat keluar. Koan Eng lompat setelah ia sambar ayahnya, yang ia terus pondong. Boleh dibilang sekejap saja, runtuhlah sebagian ruangan itu.
Celaka untuk Toan Tayjin, si komandan tentara, cuma ia yang tidak keburu lari, maka ia ketimpa dan ketindihan kedua kakinya. Ia menjerit-jerit meminta tolong.
Wanyen Kang lantas maju untuk menolongi, dalam kekacauan itu, hendaknya keduanya lantas melarikan diri, akan tetapi disaat mereka memutar tubuh, mendadak mereka merasakan punggung mereka kaku, tak tahu mereka siapa yang sudah menotoknya.
Bwee Tiauw Hong sendiri memperhatikan Kwee ceng seorang. Diwaktu si anak muda berlompat, ia pun lompat menyusul, maka itu setibanya mereka di depan, yaitu di luar ruangan, di mana cahaya rembulan guram, keduanya sudah bertempur pula. Anginnya gerak-gerik mereka berdesiran, dan tulang-tulangnya Bwee Tiauw Hong berbunyi berperetekan. Perempuan ini jauh terlebih hebat daripada di dalam tadi.
Kali ini Kwee Ceng terdesak betul-betul. Segera ia mengalami ancaman bahaya tendangan si Mayat Besi. Kaki kanan wanita lihay itu bergerak, menyambar ke arah kaki lawannya. Kalau tendangan ini mengenai tepat, pasti patahlah kaki si anak muda. Tapi Tiauw Hong tidak menendang terus, baru setengah jalan, ia sudah menarik pulang, untuk diganti dengan uluran tangan kiri ke arah kaki kiri lawannya itu.
Koan Eng kaget hingga ia menjerit, "Hati-hati!" Ia ingat, itulah serangan berbahaya yang ia peroleh dari Wanyen Kang, hingga ia kena dikalahkan pangeran itu.
Dalam bahaya seperti itu, Kwee Ceng menggeraki tangan kirinya untuk menangkis tangannya Tiauw Hong itu. Ia masih cukup gesit tetapi tenaganya sudah berkurang. Tiauw Hong lihay sekali, begitu kedua tangan bentrok, ia mengerti kurangnya tenaga si bocah. Ia lantas memutar tangannya, tiga jerijinya, kelingking, manis dan tengah sudah lantas menggurat ke belakang telapakan tangan lawan. Kwee Ceng menginsyafi ancaman itu, ia menyerang dengan tangan kanannya, hebat sekali. Kalau lawan tidak menyingkir, mereka akan bercelaka dua-duanya!
Tiauw Hong berkelit dengan lompat ke samping, terus ia tertawa panjang.
Kwee Ceng merasakan panas dan sakit sekali pada belakang tangannya itu, apabila ia melihatnya, ia mendapat tiga guratan yang tidak mengeluarkan darah. Itulah luka yang membikin ia merasa sakit itu, yang berwarna hitam. Mendadak ia ingat sembilan buah tengkorak yang Tiauw Hong meninggalkannya di puncak gunung Mongolia dan Ma Giok membilangnya, tangan itu ada racunnya. Ia menjadi kaget sekali.
"Yong-jie, aku terkena racun!" katanya pada kekasihnya. Tapi, tanpa menanti jawaban, ia berlompat menyerang Tiauw Hong, kedua tangannya dikasih bekerja. Ia cuma tahu perlu membekuk wanita lihay ini, untuk memaksa ia mengeluarkan obat pemunahnya, tanpa itu jiwanya tidak akan ketolongan lagi...
Tiauw Hong merasakan sambaran angin, ia melompat berkelit.
Oey Yong, begitupun yang lainnya, mendengar suaranya Kwee Ceng itu, menjadi kaget sekali. Boleh dibilang serempak, dimulai dari Kwa Tin Ok, mereka itu berlompat maju mengurung si Mayat Besi.
"Bwee, Suci!" Oey Yong berteriak. "Kau sudah kalah, kenapa kau masih bertempur terus? Lekas kau keluarkan obat pemunahnya untuk menolongi dia!"
Tiauw Hong tidak menjawab, ia lebih perhatikan serangan lawannya. Ia bergirang sekali, di dalam hatinya ia kata: "Semakin kau mengeluarkan tenaga, semakin hebat bekerjanya racun! Taruh kata hari ini aku terbinasa di sini, aku toh sudah berhasil membalaskan sakit hati suamiku!"
Kwee ceng mulai merasakan matanya kabur dan kepalanya pusing, seluruh tubuhnya terasa tidak enak, bahkan lengan kirinya lemas, hingga ia mulai berpikir untuk tidak berkelahi lebih jauh. Itulah tanda bekerjanya racun. Coba ia tidak minum darah ular, mungkin ia sudah lantas roboh terbinasa.
Oey Yong melihat wajah orang tidak wajar. "Engko Ceng, lekas mundur!" ia berteriak. Ia pun hendak menerjang.
Terbangun semangatnya Kwee Ceng mendengar suara si nona, ia menyerang dengan tangan kirinya. Ia menggunakan jurus ke sebelas dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang dinamakan "Menunggang enam naga". Lengannya bergerak lambat.
Oey Yong semua dapat melihat serangan itu. Disaat itu mereka jusru hendak menyerang. Perlahan serangan Kwee Ceng itu, atas itu Bwee Tiauw Hong tidak menangkis atau berkelit. Jitu serangan itu, pundak si Mayat Besi menjadi sasaran. Mendadak saja ia jatuh berguling.
Inilah diluar dugaan. Sebabnya ialah, karena serangan datangnya perlahan, Tiauw Hong tidak mendengarnya. Dia justru mengandal pada kupingnya saja sebab matanya tidak dapat melihat.
Oey Yong tercengang, tetapi Han Po Kie, Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat sudah lantas lompat menubruk, dengan niat membekuk si Mayat Besi.
Tiauw Hong lihay sekali. Dengan geraki kedua tangannya, ia berontak. Po Kie dan Kim Hoat kena dibikin mental. Lalu sebelah tangannya meneruskan menyambar Hie Jin. Atas ini, si orang she Lam membuat diri jatuh bergulingan.
Cepat sekali Tiauw Hong berlompat bangun. Justru ia hendak menaruh kakinya, tinjunya Kwee Ceng tiba dipunggungnya. Hebat serangan itu, sekali lagi ia roboh. Juga tinju itu datang tanpa suara. Hanya karena serangan tidak keras, ia tidak terluka.
Setelah dua kali menyerang itu, Kwee Ceng terhuyung, terus ia roboh sendirinya. ia roboh di sampingnya Tiauw Hong. Oey Yong lompat untuk mengasih bangun padanya.
Tiauw Hong mendengar suara orang di dekatnya, tanpa ayal lagi, tangannya menyambar, lima jari tangannya bekerja. Habis itu, ia mendi kaget. Lima jeriji tangannya itu dirasakan gatal sekali. Hampir itu waktu, ia sadar, ia telah kena menyerang tubuh Oey Yong, tangannya menancap di baju lapis joan-wie-kah dari si nona. Dalam kagetnya ia berlompat dalam gerakan "Ikan gabus meletik".
Justru itu terdengar seorang berseru: "Ini untukmu!"
Bab 31. Pemilik dari Pulau Tho Hoa To
Cu Cong mendengar suara itu, ia segera lantas menoleh, maka terlihatlah olehnya menyambarnya suatu barang ke arah Bwee Tiauw Hong, siapa sudah lantas menangkis. Tepat tangkisannya itu, barang itu mengeluarkan suara keras, rusak dan jatuh. Nyata itu adalah sebuah kursi.
Menyusul itu terdengar angin dari datangnya suatu barang lain, yang terlebih besar. Kali ini si Mayat Besi mengulur tangan kirinya, untuk menangkap. Dan ia kena pegang suatu barang lebar dan licin. Sebab itulah sebuah meja yang berada di samping Cu Cong, yang patah kakinya tertimpa pilar. Penyerangnya pun Cu Cong sendiri. Habis itu Tiauw Hong menendang meja itu. Berbareng dengan itu, Cu Cong, yang mengulur tangan kanannya, memasuki tiga benda bergerak ke leher bajunya si wanita lihay itu.
Tiauw Hong kaget hingga ia menggigil. Ia merasakan barang yang hawanya dingin nelusup ke dadanya. Ia menduga kepada senjata rahasia yang aneh atau permainan ilmu dukun. Ia lantas merogoh, untuk menangkapnya. Ia kena pegang beberapa ekor ikan emas. Tapi yang membuatnya kaget luar biasa ialah tangannya tidak dapat meraba botol obat di dalam sakunya, obat mana lenyap berbareng bersama pisau belatinya serta kitab Kiu Im Cin-keng. Ia sampai berdiri berjublak saja.
Si cerdik Cu Cong sudah menggunai tiga ekor ikan emas itu untuk menyimpangkan perhatiannya Bwee Tiauw Hong yang lihay itu. Itulah ikan-ikan emas, yang lolos dari jambangannya sebab jambangannya pecah ketimpa runtuhan. Diwaktu memasuki ikan itu ke leher baju, ia sekalian menyambar isinya saku orang. Setelah itu dengan cepat ia membuka tutup botol kecil itu, yang dibawanya ke hidungnya Tin Ok, "Bagaimana?" tanyanya.
"Untuk dimakan dan ditarohkan, inilah obatnya!" berkata saudara tua itu, yang ada ahli dalam pemakaian obat beracun.
Tiauw Hong dapat mendengar pembicaraan orang itu, ia sadar, dengan berlompat, ia menerjang. Tapi ia disambut tongkatnya Tin Ok, cambuknya Han Po Kie, dacinnya Coan Kim Hoat dan pikulannya Lam Hie Jin. Ia hendak mengeluarkan cambuknya sendiri atau ia batalkan itu dengan mendadak karena pedangnya Han Siauw Eng menikam ke arah dadanya.
"Kasih dia makan, torehkan padanya!" kata Cu Cong pada Oey Yong, kepada siapa ia serahkan obat pemunah racun itu. Dilain pihak, ia sesapkan pisau belatinya si Mayat Besi kepada muridnya seraya memberitahukan: "Inilah piasu asal kepunyaanmu." Setelah itu, dengan mainkan kipas besinya, ia mau membantu saudara-saudaranya mengepung musuh yang lihay itu.
Hebat pertempuran itu, karena berselang sepuluh tahun, Kanglam Liok Koay telah memperoleh kemajuan pesat.
Seng Hong dan anaknya heran menyaksikan pertempuran itu. Mereka beranggapan, "Tiauw Hong benar-benar lihay, tetapi pun jago-jago Kanglam itu tidak bernama kosong." Tapi Seng Hong sudah lantas berseru: "Tuan-tuan, berhenti dulu! Mari dengar aku!"
Orang lagi itu bertarung hebat, tidak ada yang pedulikan teriakan itu, mereka itu bertarung terus.
Tidak lama sehabisnya makan obat, Kwee Ceng mulai sadar. Racun itu menyerang cepat tetapi perginya cepat juga. Lukanya masih menimbulkan rasa sakit tapi itu tidak mengganggu gerakan lengan kirinya yang terluka itu. Maka itu setelah, memasukkan piasu belati ke dalam sakunya, ia berlompat bangun dari rangkulannya Oey Yong. Ia maju ke gelanggang pertempuran, untuk berkelahi pula. Seperti tadi, ia menyerang dengan gerakan perlahan, pada saatnya baru ia mengerahkan tenaganya.
Tiauw Hong repot melayani musuh-musuhnya, ia juga tidak mendengar sambaran angin dari serangannya si anak muda, tahu-tahu ia sudah kena terhajar. Kembali ia roboh. Justru itu senjatanya Po Kie dan Hie Jin turun ke arah tubuhnya.
"Suhu, ampunkan dia!" berseru Kwee Ceng, yang menangkis senjata kedua gurunya itu.
Liok Koay menurut, mereka lantas berlompat mundur.
Tiauw Hong masih hendak membela diri, ia bersiap sedia dengan cambuknya, cambuk Tok-liong-pian yang beracun.
Kwee Ceng tidak menyerang lebih jauh, ia hanya berkata pada wanita lihay itu: "Hari ini baiklah pertempuran diakhirkan secara baik! Kami tidak hendak membikin susah padamu, kau pergilah!"
Tiauw Hong suka menyimpan cambuknya.
"Kau kembalikan kitabku!" katanya.
Cu Cong melengak. "Aku tidak mengambil kitabmu!" katanya. "Kau tahu sendiri, tidak pernah Kanglam Liok Koay berdusta!"
Ia tidak tahu kertas kulit manusia di luar pisau belati adalah rahasianya Kiu Im Cin-keng.
Tiauw Hong tahu Kanglam Cit Koay jujur, karena ini ia mau percaya kitabnya pastilah telah terjatuh selagi ia bertempur, dari itu ia lantas berdongko dan meraba-raba ke tanah. Sekian lama ia bekerja, ia tidak berhasil mendapatkan barang yang dicari itu.
Menyaksikan orang rape-rape itu, semua orang merasa kasihan juga. Tidakkah ia buta walaupun ia sangat lihay?
Seng Hong lantas saja berkata: "Suci, di sini benar-benar tidak ada barangmu! Mungkin kau kena bikin hilang di tengah jalan..."
Tiauw Hong tidak menjawab, ia pun tidak berhenti bekerja.
Sekonyong-koyong mata orang banyak bagaikan berkelebat, lalu di hadapan mereka muncul pula si orang baju hijau, yang gerakan tubuhnya bagaikan kilat. Tahu-tahu saja dia sudah mencekal punggung Bwee Tiauw Hong, yang terus diangkat, untuk dibawa pergi. Perginya pun lenyapnya dalam sekejap, lenyap di antara pepohonan di luar Kwie-in-chung itu.
Begitu lihaynya si Mayat Besi, ia tidak berdaya.
Orang semua melongo, mereka saling memandang. Sunyi di sekitar mereka, kecuali suara gelombang, yang nanti terdengar, nanti tidak....
Masih selewat sekian lama, barulah Kwa Tin Ok memecahkan kesunyian. Ia berkata kepada tuan rumah: "Murid kami telah menempur wanita jahat itu, karena kami merusak rumahmu, tuan, kami sangat menyesal."
"Jangan berucap demikian, tayhiap," Seng Hong berkata, "Justru aku girang sekali yang tayhiap semua serta muridmu datang ke mari. Justru aku hendak menghanturkan terima kasihku, sebab kalau tidak, mungkin rumahku ini bakal ludas."
"Aku minta sukalah semua tuan duduk beristirahat," Koan Eng menimpali ayahnya dengan sikapnya yang ramah tamah. "Saudara Kwee, apakah lukamu tidak sakit?"
"Tidak," sahut Kwee Ceng. Tapi, baru ia menutup mulutnya, atau tiba-tiba sudah terlihat pula si baju hijau bersama Bwee Tiauw Hong, datangnya seperti tidak nampak.
Bwee Tiauw Hong berdiri dengan menolak pinggang, ia berkata dengan nyaring, "Eh, bocah she Kwee, kau sudah menghajar aku dengan Hang Liong Sip-pat Ciang ajarannya Ang Cit Kong, karena mataku buta, aku tidak dapat melihat segala gerakanmu! Aku tidak ambil mumat, tetapi jikalau hal ini tersiar di kalangan kangouw, apabila sampai ada yang membilang Bwee Tiauw Hong tidak sanggup melawan muridnya si pengemis, bukankah itu akan meruntuhkan namanya guruku dari pulau Tho Hoa To? Maka itu mari, mari kita mencoba lagi sekali!"
Kwee Ceng berlaku sabar dan jujur.
"Sebenarnya aku bukanlah tandinganmu," ia berkata, "Dengan mengandali matamu yang tidak dapat melihat, aku dapat melindungi jiwaku. Aku sudah menyerah sejak-sejak siang."
"Hang Liong Sip-pat Ciang terdiri dari delapanbelas jurus, kenapa kau tidak menggunai itu semuanya?" Tiauw Hong tanya.
"Oleh karena sifatku tolo....." sahut Kwee Ceng. Justru itu Oey Yong memberi tanda supaya ia jangan membuka rahasia, tetapi ia berkata terus, "Ang Locianpwee cuma ajarkan aku limabelas jurus."
"Bagus!" kata Tiauw Hong pula. "Kau cuma bisa limabelas jurus, Bwee Tiauw Hong telah jatuh di tanganmu! Apakah benar Ang Cit Kong, si pengemis tua bangkotan itu demikian lihay? Tidak, tidak bisa, kau mesti mencoba bertempur pula denganku!"
Orang menjadi heran dan cemas. Nyata Tiauw Hong bukan hendak membalas sakit hati saja. Di sini ada bibit bentrokan di antara Oey Yok Su dan Ang Cit Kong.
Kwee Ceng masih berlaku sabar. Ia kata, "Nona Oey yang begitu muda masih bukan tandinganku, apapula kau? Ilmu silat dari Tho Hoa To adalah ilmu silat yang aku paling kagumi..."
"Eh, Bwee Suci, kau masih hendak membilang apa lagi?" Oey Yong tanya. "Mustahilkah di kolong langit ini ada orang yang terlebih lihay daripada ayahku?"
"Tidak bisa, kita mesti bertempur satu kali lagi!" Tiauw Hong berkukuh. Ia tutup perkataannya itu dengan sambaran tangannya.
Kwee Ceng berkelit. Sampai di situ ia habis sabarnya.
"Kalau begitu, silahkan Bwee Cianpwee memberikan pengajaran padaku!" katanya. Ia lantas menyerang dengan hebat, suara anginnya mendesir.
Tiauw Hong mengancam dengan cengkeramannya.
"Kau gunai serangan yang tak ada suaranya!" kata wanita kosen ini. "Dengan pukulanmu yang bersuara itu, aku bukan tandinganku!"
Kwee Ceng berlompat beberapa tindak.
"Guruku she Kwa yang besar budinya tidak leluasa matanya," berkata Kwee Ceng, "Kalau lain orang menggunai tinju tak bersuara menghina dia, aku mestinya sangat membenci lawannya itu, karena itu, mana dapat aku berlaku demikian terhadapmu? Tadi aku telah tergores racunmu, untuk membela diri aku menggunai tinju tanpa bersuara itu. Kalau sekarang kita bertempur pula dengan aku menggunai caraku itu, aku tidak berlaku secara terhormat."
Mendengar suara orang bersungguh-sungguh, hati Tiauw Hong tergerak juga. "Ini anak muda baik hatinya," ia berpikir. Tapi ia membentak: "Aku menitahkan kau berkelahi dengan tinjumu tanpa bersuara, aku ada punya caraku untuk memecahkannya! Perlu apa kau banyak rewel seperti wanita tua?!"
Kwee Ceng melirik kepada si baju hijau, ia berpikir; "Mungkinkah dalam sekejap saja ia telah mengajarkan wanita ini ilmu memecahkan pukulanku tanpa bersuara itu?" Tapi karena orang sangat mendesak, ia menyahuti: "Baiklah, Bwee Cianpwee, akan aku mencoba melayani kau lagi limabelas jurus!"
Pemuda itu memikir untuk mengulangi limabelas jurusan itu, umpama kata ia tidak bisa menghajarnya, ia pun dapat membela diri. Ia lantas berlompat maju, ia mulai menyerang dengan perlahan. Justru itu segera ia mendengar suara "Ser" di sampingnya, ia dapatkan tangannya Tiauw Hong sudah menbangkol ke arah lengannya itu, orang seperti melihat gerakan tangannya - tangan kiri yang dipakai untuk menyerang itu, terus ia menggeser ke kiri juga, untuk dari sini mengulangi serangan, tetap dengan cara ayal-ayalan.
Kembali ia menjadi heran. Baru tangannya itu dikeluarkan, Tiauw Hong seperti sudah mengetahui serangannya itu, ia mendahului menyerang - cepat melawan lambat. Ia berkelit, ia kurang sebat, hampir ia kena dijambret. Segera ia lompat mundur.
"Sudah aneh yang ia tahu aku bakal menyerang, tetapi sekarang ia malah dapat mendahulukan aku, inilah terlebih aneh pula...." berpikir anak muda ini. Ia lantas menyerang untuk ketiga kalinya dan dengan "Hang Liong Ya Hui" atau "Naga Menyesal", pukulannya yang paling lihay.
Kembali terdengar suara "Ser" seperti tadi, kembali tangan berkuku dari Tiauw Hong sudah menyambar ke lengan penyerangnya.
Pengalaman membuat Kwee Ceng cerdik. Ia menduga kepada suara "Ser" itu. Ia lalu menyerang pula untuk keempat kalinya, sembari menyerang ia melirik kepada si orang berbaju hijau itu. Sekarang ia melihat nyata orang menyentil sebutir batu kecil, batu mana meleset ke udara, suara ser-nya terdengar pula.
"Ah, benar-benar dialah yang memberi petunjuk!" pikirnya. "Hanya kenapa ia kenal ilmu silatku ini? Kenapa ia ketahui ke mana tinjuku bakal menuju...?" Ia berpikir terus, hingga ia ingat: "Ya, aku ingat sekarang. Tempo hari Yong-jie bertempur sama Nio Cu Ong, Ang Cit Kong saban-saban memecahkan dulu rahasia pukulannya Cu Ong itu, sekarang orang itu menggunai cara itu.... Baiklah setelah limajurus, aku mengaku kalah...."
Pertempuran itu berlangsung terus, selalu Kwe Ceng menjadi pihak si penyerang. Kemudian terdengar tiga kali suara ser- ser, ialah sentilannya si baju hijau, atas itu, dari pihak diserang, Tiauw Hong berbalik menjadi pihak penyerang. Tiga kali beruntun ia menyerang, Kwee Ceng bisa membebaskan diri, lalu dua kali ia membalas.
Sekarang para penonton pun dapat melihat si baju hijau itu memberi petunjuk kepada Bwee Tiauw Hong, mereka heran. Pertempuran sendiri berjalan bertambah hebat, anginnya berdesir-desir, saban-saban dalam situ tercampur suara ser itu.
Oey Yong benar-benar cerdik, ia segera dapat memikir akal. Dia-diam ia memungut hancuran bata, lantas ia menelad orang. Ia berlaku licin, ialah ada kalanya ia menyerang ke udara, ke tempat kosong, di lain saat, ia serang langsung batunya si baju hijau. Dengan ini ia hendak membikin kacau Tiauw Hong. Tapi hebat si baju hijau, kapan batunya kena terpukul, batu itu justru mengasih dengar suara lebih nyaring, petunjuknya tidak terganggu.
Tuan rumah ayah dan anak dan Kanglam Liok Koay heran. Kenapa sentilan itu demikian lihay? Panah peluru pun tidak sehebat itu! Bukankah celaka kalau orang kena tersentil?
Oey Yong berhenti mengacau, ia menjublak mengawasi si baju hijau.
Di gelangang pertempuran, Kwee Ceng sudah lantas kena terdesak, serangannya si Mayat Besi menjadi terlebih berbahaya.
Tiba-tiba ada terdengar dua suara nyaring, lalu terlihat dua butir batu menyerang ke udara - yang di depan rada kendor, yang di belakangnya lebih cepat, lantas yang di depan itu kena disusul, kena diserang, maka terdengarlah suara beradunya kedua batu itu, yang memancerkan lelatu api hancurannya terbang berhamburan. Justru itu, Tiauw Hong lompat kepada lawannya untuk menubruk, sedang Kwee Ceng berlompat untuk menyingkir.
Sekonyong-konyong Oey Yong menjerit, "Ayah!" lalu ia lari ke arah si baju hijau itu, yang ia terus tubruk untuk memernahkan diri dalam rangkulan orang itu. Ia menangis terus ketika ia berkata-kata: "Ayah, kenapa, kenapa muka ayah berubah menjadi begini rupa...?"
Itulah kejadian diluar dugaan, karenanya si baju hijau itu berdiri menjublak
Kwee Ceng lekas berpaling, ia dapatkan Tiauw Hong berdiri di hadapannya, kupingnya lagi dipasang untuk mendengari suara ser seperti tadi. Inilah ketika baik, yang ia tak mau kasih lewat, maka ia ulur tangannya perlahan-lahan ke arah pundak wanita lihay itu. Hanya ketika ia menepuk, ia menggunai tenaganya seluruhnya. Ia menyerang dengan tangan kanan yang segera disusul dengan tangan kiri!
Tidak tempo lagi, Bwee Tiauw Hong roboh berjumpalitan, terus ia tebah, tak dapat ia berbangkit pula!
Seng Hong mendengar Oey Yong memanggil ayah, hanya sejenak ia berdiam, lalu ia menjadi kaget berbareng girang, sampai ia melupai kakinya yang sakit, ia mencelat dengan niat berlompat kepada si baju hijau itu. Tapi celaka untuknya, ia terguling di tempat kosong.
Si baju hijau lantas merangkul Oey Yong dengan sebelah tangannya, tangannya yang lain dibawa ke mukanya, di situ ia menarik kulit mukanya, maka di lain saat ia telah memperlihatkan muka yang lain. Nyatalah ia ada memakai topeng kulit yang tipis sekali.
Belum kering airmatanya Oey Yong atau ia berseru kegirangan, dia merampas topeng kulit itu untuk dipakai di mukanya, setelah mana ia merangkul pula ayahnya itu, sembari memeluki leher orang dia tertawa dan berjingkrakan. Sebab baju hijau yang aneh kelakuannya, yang luar biasa sebat gerakan tubuhnya, adalah Oey Yok Su, tocu pemilik dari Tho Hoa To, pulau bunga Tho.
"Ayah, kenapa kau datang ke mari?" kemudian si anak menanya. "Tadi si tua bangka she Kiu mencaci kau, kenapa kau tidak memberi hajaran padanya?"
"Kenapa aku datang ke mari?" balik menanya si ayah, romannya keren. "Aku justru mencari kau!"
Oey Yong girang bukan kepalang.
"Ayah, maksud hatimu telah kesampaian!" serunya. "Bagus! Bagus!" ia menepuk tangan.
"Maksud hati apakah?!" berkata si ayah. "Apakah untuk mencari kau si budak!"
Oey Yong terharu hatinya. Ia tahu ayahnya pernah mengangkat sumpah yang berat, ialah ayah itu telah mengambil ketetapan akan berdiam terus di Tho Hoa To untuk menyakinkan Kiu Im Cin-keng, supaya ia menjadi satu jago yang tak ada tandingannya di kolong langit ini, maka bukan main menyesalnya tempo ia mendapat kenyataan sebagian dari kitabnya itu dicuri Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua muridnya. Tentu sekali dengan lenyapnya kitab itu menggagalkan peryakinannya. Dalam murkanya ia bersumpah tidak akan meninggalkan pulaunya itu. Tapi anak daranya itu nakal, anak itu buron, untuk mencari si anak, dia telah melangggar sumpahnya sendiri, dia meninggalkan pulaunya itu.
"Ayah," berkata si anak kemudian, "Ayah, selanjutnya aku akan menjadi anak yang baik, yang sampai matipun nanti mendengar katamu."
Mendapatkan putrinya tidak kurang suatu apa, Oey Yok Su sudah girang, sekarang ia mendengar janji anaknya itu, hatinya menjadi lega sekali.
"Kau pimpin bangun sucimu," ia memerintahkan.
Oey Yong mengasih bangun pada Bwee Tiauw Hong.
Koan Eng pun segera mengangkat bangun pada ayahnya, untuk mereka berdua mengasih hormat kepada itu guru atau kakek guru.
Oey Yok Su menghela napas.
"Seng Hong, kau baik sekali, kau bangun," katanya. "Dulu hari itu aku sudah keburu nafsu, aku telah berbuat tidak pantas terhadapmu...."
Sang murid menangis sesegukan.
"Apakah guru baik?" tanyanya dengan susah.
"Syukur aku tidak mati karena orang membikin aku mendongkol," sahut gurunya itu.
Oey Yong memandang ayahnya, ia tertawa nakal.
"Toh ayah maksudnya bukan aku?" katanya.
"Kau pun termasuk sebagiannya!" kata ayah itu. "Hm!"
Anak itu mengulur panjang lidahnya.
"Ayah, mari aku ajar kau kenal dengan beberapa sahabat!" katanya kemudian. "Inilah Kanglam Liok Koay yang kesohor dalam dunia kangouw, merekalah gurunya engko Ceng."
Oey Yok membuka lebar matanya, ia tidak perdulikan Liok Koay. "Aku tidak mau ketemu orang luar!" katanya kaku.
Kanglam Liok Koay tidak puas untuk keangkuhan orang itu, tetapi karena orang terlalu besar namanya, mereka terpaksa berdiam.
Kemudian Oey Yok Su berkata kepada anaknya: "Kau ada barang apa hendak dibawa pulang! Pergilah lekas ambil, mari kita pulang bersama!"
"Tidak ada apa-apa," sahut si anak tertawa. "Ada juga hendak dipulangi kepada Liok Suko." Ia merogoh sakunya, mengeluarkan obat Kiu-hoa Giok-louw-wan, yang ia terus angsurkan kepada Seng Hong. Ia kata, "Suko, terimalah kembali obatmu ini. Tidak gampang untuk membikin ini, bersama engko Ceng aku telah menerima dua butir, itu pun sudah cukup, aku bersyukur sekali."
Seng Hong tidak menyambuti, ia hanya berkata pada gurunya: "Hari ini teecu bertemu guru, hatiku girang bukan main. Obat ini hendak aku menghanturkan kepada suhu. Umpama suhu sudi berdiam di rumahku ini untuk beberapa waktu, aku terlebih-lebih...."
Oey Yok Su tidak menjawab, hanya ia menunjuk kepada Koan Eng.
"Inikah anakmu?" tanyanya.
"Ya," sahut sang murid.
Tanpa dititah lagi, Koan Eng memberi hormat pula dengan paykui empat kali seraya berkata; "Cucu murid memberi hormat kepada sucouw!"
"Sudahlah!" kata kakek guru itu, ia bukannya memimpin orang bangun, ia justru menyambar ke punggung, mencekal bajunya, untuk mengangkat tubuhnya, lalu dengan tangannya yang lain ia memukul ke arah pundak.
Seng Hong kaget sekali.
"Suhu, inilah anakku satu-satunya...." ia kata.
Hajaran Oey Yok Su ini membuatnya Koan Eng jumpalitan, terpelanting tujuh atau delapan tindak, lalu terjungkal.
"Kau baik," ia terus berkata kepada muridnya. "Kau tidak mewariskan kepandaiamu kepadanya! Adakah ia murid dari Hoat Hoa Cong?"
Hatinya Seng Hong lega. Ia tahu guru itu lagi menguji anaknya.
"Tidak berani teecu melanggar aturan suhu," ia berkata cepat. "Tanpa ijin dari suhu, tidak berani teecu mengajari kepandaian suhu kepada lain orang. Memang anak ini adalah muridnya Kouw Bok Taysu dari Hoat Hoa Cong..."
"Hm!" kata guru yang bengis itu. "Kouw Bok dengan kepandaiannya semacam ini berani menyebutkan dirinya Taysu! Mulai besok kau sendiri yang mengajarkan anakmu ini!"
"Taysu" itu berarti guru besar.
Bukan main girangnya Seng Hong. "Lekas kau menghanturkan terima kasih kepada sucouw!" ia menyuruh kepada anaknya.
Koan Eng tahu diri, lekas-lekas ia memberi hormat pula, dengan berlutut empat kali lagi.
Oey Yok Su tidak melihat lagi kepada ini cucu murid, ia pun tidak memperdulikannya.
Melihat sikap gurunya ini, Seng Hong berdiam. Sebenarnya ia girang bukan main. Ia menyesal yang ia tidak dapat mengajari sendiri pada putranya ini, sampai ia kirim putranya itu pada lain guru. Dengan tidak mewariskan kepandaiannya kepada anaknya, ia kecewa sekali. Maka perkenanan suhunya ini membikin ia bersyukur.
"Siapa kesudian obatmu ini!" kata si guru, yang mendelik kepada muridnya. "Kau ambillah ini!"
Oey Yok Su menggerakkan tangannya, dua lembar kertas putih lantas terbang ke arah muridnya itu.
Jarak di antara guru dan murid itu ada setombak lebih tetapi kertas itu melayang bagaikan layangan ke arah si murid, yang menyambutnya.
Menyaksikan itu, Kanglam Liok Koay kagum sekali.
Pun Oey Yong sangat puas.
"Engko Ceng, bagaimana kau lihat kepandaian ayahku ini?" ia berbisik kepada Kwee Ceng.
"Ayahmu hebat sekali," sahut si engko Ceng itu. "Yong-jie, kalau kau sudah pulang nanti, jangan kau termaha memain saja, kau mesti belajar dengan sungguh-sungguh."
"Kau toh turut bersama!" kata si nona, cemas hatinya. "Mustahilkah kau tidak turut?"
"Aku hendak mengikuti suhuku," sahut Kwee Ceng. "Lewat sedikit waktu, aku akan pergi menjengukmu."
Oey Yong menjadi sangat gelisah. "Tidak! Tidak!" katanya. "Aku tidak mau berpisah denganmu!"
Kwee ceng menyeringai. Sebenarnya ia pun berat akan berpisahan dari si nona.
Seng Hong sendiri lantas sudah membeber kertas yang ia sambuti itu, ia melihat banyak huruf-hurufnya. Koan Eng lekas mengambilkan api, untuk menyuluhi, maka ayahnya segera dapat kenyataan, itulah pengajaran ilmu silat. Ayah ini pun masih mengenali tulisan tangan gurunya, yang sudah duapuluh tahun ia tak menampaknya. Huruf-huruf gurunya itu masih tetap bagus dan keren. Di lembar pertama, di sebelah kanan, yang paling atas, ada empat huruf "Sauw yap twie hoat". Jadi itulah ilmu menendang. Ia tahu, itulah ilmu yang bersama "Lok Eng Ciang" menjadi keistimewaan gurunya. Dari enam murid, tidak ada satupun yang diwariskan ilmu itu. Coba dulu ia dapatkan ilmu itu, alangkah girangnya, tetapi pun sekarang, ia pun sekarang masih bisa mengajari anaknya. Maka ia simpan baik-baik kertas itu, kepada gurunya ia memberi hormat sambil menghanturkan terima kasih.
"Ilmu tendangan ini tidak sama dengan pengajaranku dulu, Oey Yok Su memberitahu. "Jalannya mirip tetapi di mulai dengan latihan tenaga dalam. Kau menyakinkan ini sambil duduk bersemadhi, selang lima enam tahun, kau nanti dapat berjalan tanpa bantuannya tongkat!"
Seng Hong girang dan terharu, ia sangat bersyukur.
"Kakimu tidak dapat diobati lagi, bersilat di bawah pun kau tidak dapat," berkata si guru itu, "Tetapi jikalau kau bersungguh-sungguh mengikuti pelajaranku ini yang baru, kau nanti dapat berjalan tak sulit seperti orang yang kakinya tak bercacad. Ah...." Ia menyesal yang dulu hari, karena menuruti hawa amarahnya, ia sudah siksa keempat muridnya tanpa mereka itu bersalah dosa. Tapi dasar beradat keras, ia tidak sudi akui kekeliruannya itu. Hanya ia memesan: "Pergilah kau cari tiga adik seperguruanmu dan kau ajari mereka ilmu ini..."
Seng Hong menyahuti "ya", lalu ia menambahkan: "Tentang sutee Leng Hong Kiok, tak pernah teecu mendengarnya. Tetapi kedua sutee Boe dan Phang, sudah lama mereka itu menutup mata..."
Oey Yok Su bersedih, lalu sinar matanya yang tajam itu beralih kepada Bwee Tiauw Hong. Lain orang melihat sinar mata itu, mereka terkejut. Syukur Tiauw Hong sendiri tidak melihatnya.
"Tiauw Hong!" berkata guru itu dingin, "Kau sebenarnya terlalu jahat, tapi kau juga telah menderita hebat. Tapi si tua bangka she Kiu ngoceh menyumpahi aku mati, kau mengucurkan air mata, kau juga hendak menuntut balas untukku, maka itu, dengan memandang beberapa tetes air matamu itu, suka aku membiarkan kau hidup lebih beberapa tahun lagi."
Tiauw Hong tidak menyangka gurunya dengan begitu gampang saja suka memberi ampun padanya, saking girang, ia lantas menjatuhkan diri ke tanah, untuk memberi hormat, buat menghanturkan terima kasih.
"Baik,baik," kata guru itu yang dengan perlahan menepuk punggungnya tiga kali.
Tiauw Hong merasakan sakit tidak terkira, hampir ia pingsan, dengan suara menggetar ia memohon: "Suhu, teecu ketahui kedosaanku tak terampunkan, maka itu teecu mohon sekarang juga kau menghukum mati padaku, tetapi bebaskanlah teecu dari siksaan Hu-kut-ciam....."
Hu-kut-ciam itu adalah jarum rahasia yang ditusukkan ke tulang-tulang. Tentang ini Tiauw Hong pernah mendengar dari Bian Hian Hong. Katanya itulah senjata rahasia guru mereka, bahwa asal tubuh lawan kena ditepuk perlahan, jarum itu akan masuk ke dalam daging dan nacap di sambungan tulang-tulang, sakitnya bukan main, sebab jarumnya dipakaikan racun. Katanya pula, lambat jalannya racun itu, maka setiap hari enam kali orang akan tersiksa racun hebat, lalu selang lima bulan barulah sang kematian datang. Semakin lihay ilmu silat orang, semakin hebat penderitaannya.
Mengetahui ini, Tiauw Hong berputus asa, maka itu habis mengeluh, mendadak ia menggeraki cambuknya buat menghajar kepalanya sendiri, untuk menghabiskan jiwanya. Tapi Oey Yok Su sangat lihay, belum orang tahu apa-apa, cambuk itu sudah kena dia rampas. Dengan dingin guru ini berkata: "Kenapa tergesa-gesa? Untuk mati tidaklah gampang!"
Mendengar perkataan guru itu, Tiauw Hong menduga ia bakal disiksa, supaya ia menderita, karenanya ia menoleh kepada Kwee Ceng, sambil tertawa meringis ia kata: "Aku berterima kasih yang kau telah membunuh suamiku, dengan begitu lelaki busuk itu dapat kematiannya dengan enak sekali!"
Oey Yok Su tidak pedulikan apa yang muridnya itu bilang, ia hanya kata: "Jarum Huu-kut-ciam ini baru bekerja sesudah lewat satu tahun, selama tempo satu tahun ini, aku berikan tiga macam tugas yang kau mesti rampungkan, habis itu kau boleh datang ke pulau Tho Hoa To untuk menemui aku, aku ada mempunyai daya untuk mencabut jarum itu."
Girang Tiauw Hng mendengar gurunya ini.
"Biar mesti menerjang api berkobar, teecu nanti lalukan titah suhu itu!" ia berkata.
Tapi gurunya itu mengasih dengar suara dingin sekali ketika ia berkata; "Taukah kau apa yang hendak aku menitahkan kau melakukannya hingga kau dapat menerimanya begini cepat?"
Tiauw Hong tidak berani menyahuti, ia menunduk saja.
Oey Yok Su segera memberitahukan tiga syaratnya itu.
"Yang pertama," demikian katanya, "Kiu Im Cin-keng yang kau bikin lenyap itu kau mesti cari dan mendapatinya kembali untuk dikembalikan padaku! Jikalau kitab itu dapat dilihat orang lain, dia mesti dibinasakan! Seorang yang melihat, seorang yang dibunuh, seratus orang melihat, seratus orang juga yang mesti dibunuh itu! Umpama kau cuma membunuh sembilanpuluh sembilan orang, jangan kau kembali padaku!"
Bergidik orang yang mendengar syarat itu. Kanglam Liok Koay berpikir: "Orang menyebutnya Oey Yok Su sebagai Tong Shia, si Sesat dari Timur, kelakuannya ini benar-benar sesat sekali..."
"Sekarang yang kedua," Oey Yok Su berkata pula, "Tiga saudaramu Boe, Phang dan Kiok telah menderita karena perbuatanmu, sekarang kau pergi cari Leng Hong, setelah itu kau cari tahu dua saudara Boe dan Phang itu ada mempunyai turunan atau tidak, semua turunan mereka itu kau bawa ke Kwie-in-chung ini, serahkan kepada Seng Hong, supaya ia yang mengurusnya."
Tiauw Hong memberikan janjinya.
Seng Hong pun berpikir, dapat ia berbuat untuk syarat yang kedua itu tetapi sebab ia kenal baik adat gurunya itu, ia berdiam saja.
Oey Yok Su angkat kepalanya mendongak ke langit, mengawasi bintang-bintang.
"Kitab Kiu Im Cin-keng itu kamulah yang mengambilnya sendiri," ia berkata pula. "Ilmu dalam kitab itu aku tidak mengajarkan kamu, kamu sendiri yang mempelajarinya. Kamu tahu apa yang harus kau perbuat?" ia berdiam sejenak. "Nah, inilah yang ketiga."
Tiauw Hong tidak segera dapat menerka apa maksud gurunya, sekian lama ia berpikir keras. Akhirnya ia sadar juga. Maka dengar suara menggetar ia kata: "Sesudah teecu berhasil membereskan yang pertama dan yang kedua itu, teecu ketahui bagaimana harus menghabiskan sendiri kedua ilmu Kiu Im Pek-kut Ciauw serta Cwie-sim-ciang yang teecu berhasil menyakinkannya.
Kwee Ceng tidak mengerti, ia tarik tangan bajunya Oey Yong, dengan sinar matanya memain, ia tanya si nona.
Oey Yong agaknya merasa berat tetapi dengan tangan kanannya ia membacok ke tangan kirinya. Melihat ini, pemuda itu mengerti, di dalam hatinya ia berkata: "Oh, kiranya dia hendak mengutungi tangannya sendiri. Bwee Tiauw Hong ini memang jahat sekali, hanya setelah ia insyaf, kenapa ia mesti dihukum secara demikian hebat? Mesti aku minta Yong-jie memohonkan keampunannya..."
Tengah pemuda ini berpikir demikian, Oey Yok Su berpaling padanya seraya menggapaikan. "Kaukah yang bernama Kwee Ceng?" ia menanya.
Kwee Ceng segera maju untuk memberi hormatnya sambil menjura.
"Teecu Kwee Ceng menghadap Oey Locianpwee," katanya hormat.
"Tan Hian Hong yang menjadi murid kepalaku, kaulah yang membinasakan, kepandaianmu bukan main," kata Oey Yok Su.
Kwee Ceng terperanjat. Suara tak berkesan baik untuknya. Tapi ia lekas menjawab: "Ketika itu teecu masih muda sekali dan belum tahu apa-apa, teecu kena tertangkap oleh Tan Cianpwee, dalam ketakutan dan bingung, teecu kesalahan tangan telah membinasakan dia...."
"Hm!" Oey Yok Su memperdengarkan suara yang dingin. "Tan Hian Hong memang benar adalah murid murtad dari kalanganku, tetapi untuk membinasakannya, itulah hak kami. Apakah murid-murid dari Tho Hoa To boleh di bunuh orang luar?!"
Kwee Ceng tidak dapat menjawab, ia berdiam.
"Ayah," Oey Yong berkata, "Ketika itu dia baru berumur enam tahun, tahu apa dia?"
Oey Yok Su tidak melayani putrinya itu, ia seperti tidak mendengar perkataan orang.
"Si pengemis tua she Ang itu biasanya tidak suka menerima murid," katanya sejenak kemudian. "Tetapi sekarang ia telah mengajarkan kau Hang Ling Sip-pat Ciang sampai limabelas jurus, itulah tentu kau ada punya sifat-sifat baik yang melebihkan lain-lain orang. Tidak demikian, pastilah kau sudah bujuk dia dengan akal apa, yang membuat hatinya girang, hingga ia suka menurunkan kepandaiannya itu. Kau telah menggunai kepandaiannya si pengemis tua untuk merobohkan - hm,hm! Kalau nanti si pengemis itu bertemu dengan aku, bukankah ia bakal banyak bacot?"
Kembali Oey Yong memotong perkataan ayahnya.
"Ayah, memang benar ada digunai bujukan!" katanya sambil tertawa. "Tetapi bukannya dia yang mengakalinya, hanya aku! Dia seorang yang polos, jangan ayah berlaku galak dan membuatnya ketakutan."
Oey Yok Su tidak melayani gadisnya itu. Sebenarnya semenjak istrinya menutup mata, ia sangat menyayangi gadisnya ini, karena itu anaknya menjadi termanjakan. Demikian sudah terjadi, karena ditegur ayahnya, Oey Yong minggat. Tadinya Oey Yok Su menyangka, sebagai seorang wanita, setelah buron, anaknya bakal menderita sekali, siapa tahu, anak itu sehat dan tetap manja seperti biasa. Melihat anak itu agak rapat sekali pergaulannya sama Kwee Ceng, hingga seperti juga dia kurang rapat dengan ayahnya sendiri, ia tidak puas. Maka itu, ia kata pula pada si anak muda: "Dengan si pengemis tua mengajarkan kau ilmu silat, kau terang sudah dia menertawakan partaiku tidak ada orangnya, bahwa setiap muridku tidak punya guna..."
Oey Yong bisa menerka hati ayahnya itu, yang tidak senang Tiauw Hong kena dikalahkan dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, kembali ia menyela: "Ayah, siapakah bilang partai Tho Hoa To tidak ada orangnya? Dia ini beruntung sebab mata Bwee Suci buta! Nanti aku membikin ayah puas!" Ia lantas lompat ke depan seraya berseru, "Mari, mari! Nanti aku gunai kebisaan biasa saja yang ayah ajarkan aku melayani kepandaian istimewa Ang Cit Kong!" Ia menantang Kwee ceng, yang ia tahu kepandaiannya sudah maju jauh sekali hingga hampir seimbang dengannya, kalau dalam beberapa puluh jurus mereka berdua bertanding seri, itu saja sudah cukup untuk membikin puas ayahnya.
Kwee Ceng dapat mengerti maskudnya si nona, justru Oey Yong tidak membilang suatu apa, ia menerima tantangan. Tetapi ia kata: "Biasanya aku kalah dari kau, baik aku membiarkan kau menghajar aku dengan beberapa gebukan lagi!" Bahkan ia ayun tangan kanannya seraya berlompat maju.
"Lihat tanganku!" Oey Yong pun berseru seraya ia membacok dengan tangannya.
Itulah bacokan dari samping, dengan satu jurus dari ilmu silat Lok Eng Ciang.
Kwee Ceng melayani dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, tetapi ia menyayangi Oey Yong, maka itu ia tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, di lain pihak, Lok Eng Ciang memangnya lihay, maka itu setelah banyak jurus, beberapa kali ia kena dihajar, malah untuk memuaskan ayahnya, si nona menggunai tenaga keras. Oey Yong benari berbuat demikian karena ia tahu tubuh sahabatnya itu kuat.
"Kau masih tidak mau menyerah!" Oey Yong berseru sambil ia menerjang tidak hentinya.
Kwee Ceng tidak menyahuti, ia hanya berkelahi terus. Didesak, ia membela diri.
Disaat itu, mendadak Oey Yok Su mencelat ke arah mereka berdua. Hebat gerakkannya itu, orang sampai tidak melihatnya, hanya tahu-tahu, kedua tangannya sudah diulur, dipakai menyambar masing-masing leher bajunya kedua bocah itu, lalu ia menggentak, melemparkan mereka itu. Oey Yong disambar dengan tangan kiri, dia dilempar asal saja. Kwee Ceng dicekal dengan tangan kanan, tangan itu dikerahkan tenaganya, maksudnya supaya si bocah roboh terbanting.
Kwee Ceng tidak berdaya atas sambaran itu, tubuhnya terlempar dingin kebelakang, akan tetapi ketika ia jatuh, kakinya turun lebih dulu, begitu kakinya itu mengenai tanah, ia seperti menancap diri, ia tidak roboh terguling.
Sebenarnya kalau bocah ini roboh dan mukanya babak belur atau ia tidak dapat bangun pula, itulah untungnya, tetapi sekarang, melihat ketangguhan kuda-kudanya itu, Oey Yok Su menjadi panas hatinya.
"Hai, kamu bermain sandiwara untuk aku menontonnya?!" dia berseru. "Aku tidak mempunyai murid, mari, kau mencoba-coba menyambut kau beberapa jurus!"
Kwee Ceng terkejut, lekas-lekas ia menjura memberi hormat.
"Biarnya teecu bernyali sebesar langit, tidak nanti teecu berani melayani locianpwee," katanya hormat.
"Hm, melayani aku!" kata Oey Yok Su tertawa dingin. "Kau tidak tepat, bocah! Aku akan berdiri di sini tanpa bergerak, kau boleh menyerang aku dengan Hang Liong Sip-pat Ciang! Asal aku berkelit atau menangkis, hitunglah aku kalah!"
"Teecu tidak berani," Kwee Ceng berkata pula.
"Tidak berani kau juga mesti beranikan!" mendesak Oey Yok Su.
Kwee Ceng menjadi serba salah. "Kelihatannya tidak dapat aku tidak melayaninya," pikirnya. "Apa boleh buat. Dia tentu hendak meminjam tenagaku, untuk membikin aku roboh beberapa kali...?"
"Lekas kau menyerang!" Oey Yok Su mendesak. Ia dapat kenyataan, walaupun bersangsi, orang sudah mempunyai niat. "Jikalau tidak, aku akan menghajarmu!"
"Karena locianpwe menitahkannya, teecu tidak berani membantah," menyahut Kwee Ceng kemudian. Ia terus membungkuk seraya memutar tangannya melingkar. Ia cuma memakai tenaga enam bagian. Sebabnya ialah kesatu ia khawatir nanti melukai ayah kekasihnya itu dan kedua, umpama ia dibikin terjungkal, robohnya tidak hebat. Ia menyerang ke dada. Hanya aneh, ketika mengenai sasarannya, tangannya itu seperti licin, lewat dengan begitu saja.
"Apa? Kau tidak melihat mata padaku?!" menegur Oey Yok Su. "Apakah kau takut aku tidak sanggup bertahan untuk pukulanmu? Benarkah?"
"Teecu tidak berani," menyahut si anak muda. Ia lantas menyerang untuk kedua kalinya. Sekarang ia tidak menahan lagi tenaganya. Serangannya itu dibarengi sama dikeluarkannya napas. Dengan tangan kiri ia mengancam, dengan tangan kanan ia menyerang perut.
"Nah, inilah baru pukulan benar," berkata Oey Yok Su.
Kwee Ceng kaget bukan main. Serangannya hebat tetapi tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya tangannya itu seperti kena disedot, begitu keras hingga bagaikan tangannya itu copot. Ia merasakan sakit bukan kepalang.
"Teecu kurang ajar, harap locianpwee memaafkan," ia berkata. Tangannya itu sementara itu sudah tidak diangkat.
Kanglam Liok Koay heran, kaget dan berkhawatir. Sungguh hebat Tong Shia ini, tanpa berkelit tanpa menangkis, ia membikin lengan Kwee Ceng itu mati kutu.
"Kau pun rasai tanganku!" mendadak Oey Yok Su berseru. "Biarlah kau ketahui, yang mana yang lebih lihay, Hang Liong Sip-pat Ciang dari si pengemis tua atau kepandaian dari Tho Hoa To!"
Belum berhenti suara itu, angin sudah menyambar, Kwee Ceng menahan sakit, ia mencelat, maksudnya untuk berkelit. Di luar tahunya, belum tinju orang sampai, tinju itu telah didului gaetan kaki, maka sedetik itu juga, robohlah Kwee Ceng.
Oey Yong kaget.
"Jangan, ayah!" ia menjerit seraya berlompat menubruk Kwee Ceng, di atas tubuh siapa ia mendekam.
Oey Yok Su menyerang terus, tetapi melihat anaknya, tinjunya diubah menjadi cengkeraman dengan apa ia menjambak baju anak itu, untuk diangkat, kemudian tangan kirinya menggantikan menyerang terus.
Kanglam Liok Koay kaget sekali. Mereka tahu itulah pukulan dari kematian. Maka mereka maju dengan berbareng, untuk menolongi murid mereka. Coan Kim Hoat berada paling depan, dengan dacinnya ia menghajar lengan kiri Tong Shia.
Oey Yok Su meletaki gadisnya di sampingnya. Ia seperti tidak mengambil tahu serangannya Kim Hoat yang disusul pedangnya Han Siauw Eng. Ketika kedua serangan itu mengenai sasaran, mendadak saja dacin dan pedang patah menjadi empat potong!
Oey Yong lantas saja menangis.
"Ayah, kau bunuhlah dia!" dia berteriak. "Untuk selamanya aku tidak mau pula bertemu denganmu....!" Tanpa menoleh lagi, ia lari ke arah telaga ke mana ia terjun!
"Bur!" air itu berbunyi dan gusar berbareng. Ia tahu putrinya itu pandai berenang dan selulup, semenjak kecil putri itu biasa mandi di Tang Hay, dapat ia tidak mendarat selama satu hari dan satu malam, akan tetapi kali ini sang putri bakal pergi entah untuk berapa lama, mungkin untuk tidak bertemu pula seperti kata si anak, maka itu dalam kagetnya, ia memburu ke tepi telaga, akan berdiri bengong mengawasi telaga itu.
Sampai sekian lama barulah Tong Shia si Sesat dari Timur itu berpaling, ia lihat Cu Cong tengah tolongi Kwee Ceng dengan menyambungi pula tangannya itu. Mendadak ia menumpahkan hawa amarahnya terhadap mereka itu.
"Lekas kamu bertujuh membunuh diri!" ia membentak mereka itu, suaranya dingin. "Tak usah sampai aku turun tangan hingga kau menjadi menderita!"
Kwa Tin Ok mengangkat tongkatnya.
"Satu laki-laki tidak takut mampus!" dia kata dengan nyaring. "Apapula penderitaan!"
"Kanglam Liok Koay sudah pulang ke kampung asalnya," Cu Cong pun berkata. "Kalau sekarang kita mengubur tulang-tulang kita di telaga Thay Ouw ini, apakah lagi yang diberati?"
Lantas mereka berenam, dengan senjata di tangan atau tangan kosong, memernahkan diri untuk melawan jago dari Laut Timur itu.
Kwee Ceng jadi berpikir keras. Ia tahu keenam gurunya tidak bakalan sanggup melawan Oey Yok Su. Ia tidak ingin, karena urusannya sendiri, mereka itu mengantar jiwa percuma-cuma. Maka itu ia lantas melompat untuk menyelak.
"Tan Hian Hong terbinasa di tangan teecu sendiri!" ia berseru, "Kematiannya pun tidak ada sangkut pautnya dengan semua guruku ini! Aku sendiri yang akan mengganti jiwanya!" Ia tahu gurunya yang nomor satu serta yang nomor tiga dan yang nomor tujuh beradat keras, kalau ia mati, mereka itu tentu nekat, maka itu ia menambahkan, "Tapi sakit hati ayahku masih belum terbalas, maka itu apakah locianpwee suka memberi tempo satu bulan kepadaku? Selewatnya tigapuluh hari teecu bakal datang sendiri ke pulau Tho Hoa To untuk menerima binasa!"
Berat pikirannya Oey Yok Su, karena ia ingat anaknya, hawa amarahnya lantas turut menjadi kendor. Tanpa membilang suatu apa, ia mengebas tangannya, ia memutar tubuhnya, terus ia ngeloyor pergi.
Kanglam Liok Koay heran, kenapa kata-kata muridnya itu dapat membikin jago Tang Hay itu mengangkat kaki. Mereka bercuriga, maka itu mereka tetap memasang mata. Tapi benar-benar orang telah pergi.
Seng Hong pun menjublak sekian lama. Kemudian barulah ia mengundang semua tetamunya kembali ke dalam.
Bwee Tiauw Hong tertawa dengan mendadak, ia mengebasi tangan bajunya, lalu tubuhnya mencelat setombak lebih, ketika tubuhnya itu diputar, ia pun lenyap dalam gelap gulita.
"Bwee Suci, bawalah muridmu!" Seng Hong berteriak.
Tidak ada jawaban, sekitar mereka tetap sunyi, maka teranglah sudah, si Mayat Besi pun telah pergi jauh.
Sampai di situ Liok Koan Eng mengasih bangun pada Wanyen Kang. Tapi orang berdiam saja. Sebab ia telah terkena totokan, tinggal kedua matanya saja yang dapat bergerak-gerak.
"Aku telah terima baik permintaan gurumu, kau pergilah!" berkata Seng Hong. Tapi ia tak dapat membebaskan orang dari totokan, karena itu bukanlah totokan dari partainya, kalau ia berbuat demikian, ia jadi berlaku tidak manis terhadap si penotok. Ia mengawasi semua tetamunya, hendak ia berbicara.
Justru itu Cu Cong menghampirkan Wanyen Kang, tanpa membilang apa-apa, ia totok pangeran itu beberapa kali. Sebat totokannya itu, di pinggang beberapa kali disusul sama tepukan beberapa kali di punggung.
Melihat itu Seng ong kagum. "Dia lihay sekali," pikirnya mengenai Cu Cong. "Wanyen Kang bukan sembarang orang tetapi ia dapat ditotok tanpa berbuat apa-apa." Ia tidak tahu, Cu Cong dapat menotok dengan hasil bagus, karena keadaan lagi kacau sekali.
Wanyen Kang merasa sangat malu, tanpa memberi hormat, tanpa membilang suatu apa, ia hendak mengangkat kaki.
"Orang ini siapa" berkata Cu Cong. "Kau bawalah dia pergi!" Ia pun lantas membebaskan Toan Tayjin.
Komandan tentara itu menduga jiwanya bakal hilang, maka itu bukan main girangnya ia yang ia ditolongi dan dimerdekakan juga. Dengan tergesa-gesa ia memberi hormatnya.
"Enghiong, untuk budi pertolonganmu ini, aku Toan Thian Tek tidak akan melupakan sekali pun sampai akhir ajalku!" katanya.
Kapan Kwee Ceng mendapat dengar itu nama Toan Thian Tek, ia terkejut ia tercengang. Nama itu seperti mengaung di kupingnya.
"Kau...kau bernama Toan Thian Tek?" ia menanya.
"Benar," komandan itu menyahut. "Enghiong kecil, kau ada punya pengajaran apa untukku?"
"Bukankah delapanbelas tahun yang lampau selama di Lim-an, kau ada menjadi opsir tentara?" Kwee Ceng menanya pula.
"Benar, enghiong kecil. Bagaimana kau ketahui itu?" kembali Thian Tek menyahuti. Kemudian ia memandang pada Koan Eng, sebab barusan ia mendengar keterangannya Seng Hong bahwa pemuda itu muridnya Kouw Bok Taysu. Ia berkata: "Aku adalah keponakan yang tidak menyucikan diri dari Kouw Bok Taysu itu, karenanya kita menjadi orang sendiri, Haha!" Ia senang sekali, ia menjadi tertawa girang.
Kwee Ceng tidak menanya pula, ia hanya menoleh kepada tuan rumah.
"Liok Chungcu," katanya. "Aku yang rendah memohon pinjam ruangan belakang dari rumahmu ini."
"Tentu saja boleh," sahut Seng Hong.
Kwee Ceng mengucap terima kasih, lalu ia tuntun Toan Thian Tek, buat diajak ke belakang. Cepat tindakannya itu.
Kanglam Liok Koay saling memandang, di dalam hatinya masing-masing mereka berkata: "Thian sungguh adil, Siapa nyana justru di sini kita dapat menemui si manusia jahat! Coba bukan dia menyebut namanya sendiri, siapa yang tahu dialah yang dicari ubak-ubakan dan jauh laksaan lie selama tujuh tahun.....?"
Â
Bab 32. Musuh besar!!!
Liok Seng Hong dan putranya serta Wanyen Kang tidak mengerti, mereka mengikuti si anak muda. Tiba di ruang belakang, di sana api dipasang terang-terang.
"Aku pinjam pit dan kertas," Kwee Ceng memohon pula.
Seorang bujang sudah lantas menyerahkan perabot tulis yang di minta itu.
Kwee Ceng segera menulis di atas sehelai kertas, bunyinya:
"sincie dari ayah almarhum, Kwee Siauw Thian."
Semua huruf itu besar-besar, lantas itu di taruh di tengah-tengah ruangan.
Sampai sebegitu jauh Toan Thian Tek tidak tahu apa yang orang hendak perbuat, begitu lekas ia membaca nama Kwee Siauw Thian, barulah ia kaget hingga umpama kata semangatnya terbang. Ia segera melihat kelilingnya, lalu ia menjadi terlebih kaget lagi. Ia seperti terkurung Kanglam Liok Koay yang semuanya beroman keren. Tanpa merasa, celananya basah sendirinya. Lebih-lebih ia tidak dapat melupakan Han Po Kie, si kate gemuk, yang matanya tajam itu. Tadi karena kaget dan ketakutan, ia tidak memperhatikannya. Sekarang tubuhnya bergemetaran.
Tiba-tiba tangannya Kwee Ceng terangkat dan turun dengan cepat. Satu suara nyaring menyusul itu. Itulah pecahnya sebuah meja di depan mereka.
"Bilanglah, kau mau mampus cepat dan senang atau kau menghendaki tubuhmu dibikin berkeping-keping hingga kau merasakan penderitaan?!" berkata si anak muda, suaranya bengis. Ia berbicara seraya mengawasi tajam musuh besarnya itu.
Sampai di situ Toan Thian Tek merasa bahwa ia tidak bakal hidup pula.
"Memang benar ayahmu itu akulah yang membunuhnya," ia berkata. "Tetapi aku diperintah oleh atasanku, aku tak bisa berbuat lain."
Matanya Kwee Ceng bersinar, biji mata itu seperti mau melompat keluar.
"Siapakah itu yang memerintah kau?!" ia tanya. "Siapa mengirim kau untuk membinasakan ayahku itu! Lekas bilang, lekas!"
"Itulah Liok-ongya Wanyen Lieh, putra keenam dari negera Kim!" sahut Toan Thian Tek.
Mendengar itu Wanyen Kang terkejut. "Apa kau bilang?" dia menanya.
Toan Thian Tek memang mengharap-harap dapat menyeret orang, supaya dosanya menjadi terlebih ringan. Maka itu ia lantas membeber, membuka rahasia bagaimana itu hari Wanyen Lieh tertarik pada Pauw Sek Yok, istrinya Yo Tiat Sim, untuk mendapatkannya, orang bekerja sama tentara kerajaan Song, dusun Gu-kee-cung didatangi, diserbu, kedua keluarga Yo dan Kwee dibikin celaka. Tapi dengan berpura-pura baik hati, dia sendiri menolongi Pauw Sek Yok. Hanya kemudian ia berpisah dari ibunya Kwee Ceng itu dalam kekalutan tentara, ia kabur pulang ke Lim-an. Kemudian dengan perlahan-lahan ia mendapat kenaikan pangkat sampai pada pangkatnya yang sekarang ini. Ia menutur jelas perasaannya itu. Diakhirnya ia berlutut di depan Kwee Ceng.
"Kwee Enghiong, Kwee Tayjin," ia berkata, "Hamba yang rendah menerima titah orang, itulah bukan kedosaanku...." Ia pun mengangguk-angguk di meja sincie dari Kwee Siauw Thian. "Kwee Looya," ia berkata pula, "Arwahmu di langit mengerti, orang yang membikin celaka keluargamu itu, ialah musuhmu Wanyen Lieh adanya, si pangeran keenam, bukannya aku yang berjiwa semut. Kwee Looya, hari ini putramu sudah menjadi begini besar dan gagah, kau tentunya girang dan puas, maka itu aku mohon dengan perlindunganmu, supaya sukalah putramu ini memberi ampun pada jiwa anjingku ini...."
Selagi orang mengoceh itu, mendadak Wanyen Kang lompat padanya, menghajar batok kepalanya, yang lantas saja hancur pecah, tubuhnya roboh dan jiwanya melayang.
Kwee Ceng mendekam di tanah, ia menangis tersedu-sedu.
Baru sekarang Seng Hong mengerti jelas, maka bersama anaknya ia menjalankan kehormatan di depan sincie, perbuatannya ini dituruti oleh Kanglam Liok Koay. Juga Wanyen Kang turut memberi hormat, beberapa kali ia mengangguk-angguk, kemudian ia berkata: "Saudara Kwee, baru sekarang aku ketahui.... Wanyen Lieh adalah musuh besarmu. Tadinya aku tidak ketahui peristiwa ini, aku telah melakukan segala apa yang bertentangan, sungguh aku berdosa."
Ia pun lantas menangis karena ingat penderitaan ibunya.
Kwee Ceng mengangkat kepalanya.
"Kau hendak perbuat apa sekarang?" ia tanya pada pangeran muda itu.
"Hari ini barulah aku tahu, aku adalah orang she Yo, maka itu untuk selanjutnya aku akan memakai namaku, Yo Kang," menyahut Wanyen Kang.
"Bagus!" kata Kwee Ceng. "Dengan begini barulah kau menjadi satu laki-laki sejati! Besok aku hendak pergi ke Pak-hia, untuk membunuh Wanyen Lieh, kau hendak turut atau tidak?"
Yo Kang tidak lantas bisa memberikan jawabannya. Ia ingat budinya pangeran Kim itu yang telah merawat ia semenjak masih kecil. Kapan ia lihat sinar matanya pemuda she Kwee itu, yang agaknya kurang puas, ia menyahuti juga: "Siauwtee akan ikut toako menuntut balas!"
Yo Kang menyebut dirinya siauwtee (adik) dan memanggilnya toako (kakak), sedang tadi ia hampir memanggil ayah angkat diwaktu menyebutkan namanya Wanyen Lieh itu.
Kwee Ceng girang sekali.
"Bagus saudara!" berseru dia. "Almarhum ayahmu dan ibuku pun pernah membilangi aku bahwa dulu hari ayahmu dan ayahku telah membuat perjanjian untuk kita mengangkat saudara. Aku ingin mewujudkan pesan itu, bagaimana pikiranmu?"
"Itulah yang aku harap," menyahut Yo Kang.
Lantas keduanya menjalankan kehormatan di depan sincie, ini kali untuk mengangkat saudara.
Sampai di situ, bereslah segala apa, maka tuan rumah mempersilahkan semua tamunya beristirahat. Besoknya pagi, Kanglam Liok Koay pamitan dari tuan rumah dengan mengajak Kwee Ceng dan Yo Kang.
Seng Hong membekalkan sesuatu kepada tetamunya itu, yang ia antar sampai di luar rumahnya.
Kwee Ceng memberitahukan gurunya bahwa bersama Yo Kang ia hendak pergi ke Utara untuk membunuh Wanyen Lieh, ia minta petunjuk dari mereka itu.
"Janji di harian Tiong Ciu masih lama, karena kami tidak punya urusan apa-apa, mari kami antar kamu," kata Kwa Tin Ok.
"Begitupun baik," menyatakan Cu Cong dan yang lainnya.
Kwee Ceng bukannya menampik tetapi ia menegaskan sebenarnya tidak perlu gurunya turut dia. Ia kata ilmu silatnya Wanyen Lieh biasa saja, dengan adanya Yo Kang sebagai pembantu, ia sudah merasa cukup. Ia sebaliknya memperingatkan bahwa guru-gurunya itu baru saja kembali, sudah seharusnya mereka beristirahat di kampung halaman mereka. Ia pun tidak berani membikin pusing gurunya itu, yang budinya sangat besar sekali.
Kanglam Liok Koay memikir alasan muridnya ini pantas, mereka tidak memaksa untuk turut, mereka jadi memberikan pesan saja.
"Janji untuk pergi ke Thoa Hoa To tidak usah kau penuhkan," kata Han Siauw Eng kemudian. Ia memesan begini sebab ia tahu muridnya jujur dan berkhawatir muridnya pergi ke pulau Tho Hoa To sedang Tong Sia Oey Yok Su itu telengas dan tabiatnya sangat aneh.
"Jikalau teecu tidak pergi, apakah itu bukan berarti tidak menepati janji?" tanya si murid.
"Sama hantu itu mana dapat kita bicara perihal kepercayaan!" kata Yo Kang. "Toako, kau terlalu kukuh!"
Tapi Kwa Tin Ok berpikir lain. Atas suaranya Yo Kang itu ia memperdengarkan "Hm!" kemudian ia bilang: "Anak Ceng, kata-kata kami bangsa laki-laki tidak boleh dibuat permainan! Sekarang ini ada bulan enam tanggal lima, nanti pada bulan tujuh tanggal satu kita bertemu di Cui Sian Lauw di Kee-hin, dari sana kita boleh berangkat bersama-sama ke Tho Hoa To. Sekarang pergilah kau menaiki kuda merahmu menuju Pak-khia untuk mencari balas. Syukurlah jikalau kau berhasil, kalau tidak, kita boleh minta bantuannya semua totiang dari Coan Cin Pay. Mereka adalah orang-orang yang memuliakan perkebajikan, pastilah mereka tidak akan menapik permohonan kita."
Kwee Ceng bersyukur sangat akan semua gurunya begitu bersungguh-sungguh, ia menghanturkan terima kasih seraya menjatuhkan diri berlutut di tanah.
"Adik angkatmu adalah dari keluarga agung, kau mesti hati-hati," Lam Hie Jin memesan.
Kwee Ceng tidak mengerti, ia mengawasi.
Cu Cong tertawa, ia pun berkata: "Putrinya Oey Yok Su beda dari ayahnya, kami selanjutnya jangan membikin ia mendongkol pula. Benar bukan, shatee?"
Han Po Kie membuat main kumisnya.
"Anak busuk itu mengatai aku di labu, rupanya dialah yang paling cantik!" kata si kate terokmok ini, yang akhirnya tertawa sendirinya.
Hatinya Kwee Ceng menjadi lega sekali. Itu artinya gurunya tidak membenci pula Oey Yong. Hanya kapan ia ingat si nona, yang entah dimana adanya, ia jadi berduka.
"Nah, anak Ceng, kau lekas pergi lekas kembali!" berkata Coan Kim Hoat. "Kami menantikan kabar baik dari kau di Kee-hin!"
Sampai disitu, kanglam Liok Koay lantas berangkat.
Kwee Ceng berdiri di tepi jalanan sambil memegangi les kudanya, ia mengawasi sampai semua gurunya itu sudah tidak nampak lagi, baru ia menoleh kepada Yo Kang sambil berkata, "Yo hiantee, kudaku ini bisa lari keras, untuk ke Pak-khia pergi dan pulang, cukup dengan belasan hari, maka itu marilah aku temani kau jalan-jalan dulu untuk beberapa hari."
Yo Kang menurut, maka itu mereka melakukan perjalanan dengan perlahan-lahan.
Kalut pikirannya Yo Kang. Ia membayangai baru berselang sebulan yang ia hidup mewah dan mulia, datang ke Kanglam dengan diiringi secara besar. Bagaimana agung kedudukannya utusan dari negara Kim yang tangguh itu. Sekarang? Sekarang ia menuju ke kota raja seorang diri, dalam keadaan sangat sepi. Tidakkah ia tengah bermimpi dan impiannya itu buyar dengan tiba-tiba?
Kwee Ceng dapat melihat perubahan roman orang itu, ia hanya menyangka orang tengah berduka karena mengingat ayah dan ibunya. Ia lantas menghiburi.
Tengah hari itu mereka tiba di Lie-yang. Lantas mereka mencari tempat pemondokan. Justru itu satu pelayan penginapan menghampirkan mereka.
"Apakah tuan-tuan adalah tuan Kwee dan tuan Yo?" dia menanya sembari memberi hormat dan tertawa. "Barang santapan sudah siap sedia, silahkan tuan-tuan turut aku pergi bersantap dulu."
Dua-dua pemuda itu terkejut.
"Kenapa kau mengenali kami?" menanya Yo Kang.
"Aku menerima pesan, tuan-tuan," sahut pelayan itu, tetap sambil tertawa. "Tadi seorang tuan datang padaku mengasih tahu perihal bakal datangnya tuan-tuan. Aku pun diberi lukisan tentang roman dan potongan tubuh tuan-tuan." Sembari berkata, ia menuntun kuda orang untuk dirawat.
"Sungguh baik tuan dari Kwie-in-chung itu," Kwee Ceng memuji.
Mereka duduk di meja menghadapi barang masakan pilihan yang mahal harganya, begitu pun araknya. Kwee Ceng mendapati masakan ayam yang ia paling doyan.
Mereka bersantap dengan bernafsu, habis dahar mereka hendak membayar uangnya.
"Tidak usah tuan-tuan, semuanya sudah dibayar," si pelayan menerangkan.
Kwee Ceng tertawa, ia memberi upah kepada pelayan itu, yang mengucap terima kasih berulang-ulang dan dengan hormat mengantari keluar.
Di tengah jalan, Kwee Ceng memuji pula Liok Chungcu, tetapi Yo Kang, yang masih mendongkol bekas dikalahkan dan ditawan, mengatakan,: "Teranglah ia menggunai muslihat ini untuk membaiki semua orang gagah, pantas dia menjadi kepala di Thay Ouw!"
"Hiantee, bukankah chungcu itu paman gurumu?" tanya Kwee Ceng heran.
"Benar Bwee Tiauw Hong pernah mengajarkan ilmu silat pada saya tetapi dia bukanlah guruku," menjawab orang yang ditanya. "Coba aku mengetahui mereka itu ada dari golongan sesat, tidak nanti aku kesudian belajar, hingga tak usahlah hari ini aku mengalami kejadian ini....."
Kwee Ceng jadi semakin heran.
"Hiantee, bagaimana sebenarnya?" ia menanya.
Yo Kang merasa ia kelepasan omong, mukanya menjadi merah.
"Aku merasa Kiu Im Pek-kut Jiauw bukanlah pelajaran murni," ia menyahut.
"Kau benar, hiantee," Kwee Ceng mengangguk. "Tian Cun Cinjin ada lihay sekali, ia pun dari kalangan ilmu silat sejati, kalau kau menghanturkan maaf padanya, tentulah ia dapat memaafkan padamu."
Yo Kang berdiam.
Malam itu mereka tiba di Kim-tan, di sana pun ada pelayan penginapan yang menyambutnya, yang menyiapkan barang makanan dan penginapan tanpa bayaran, sebab sudah ada yang memesan dan membayarinya. Mereka menerima itu tanpa banyak bertanya-tanya.
Kemudian, beruntun tiga hari, mereka mendapat pengalaman serupa. Mereka menjadi heran sekali hingga mereka menyangsikan chungcu dari Kwie-in-chung. Tatkala mereka melewati Ko-yu dan masih ada serupa penyambutan, dengan menyindir Yo Kang berkata: "Hendak aku melihat sampai di mana Kwie-in-chung akan mengantar tetamunya...."
Kwee Ceng lebih curiga lagi, sebab pada setiap barang santapan tentu ada satu dua rupa santapan yang ia paling gemari, kalau itu adalah perbuatan Liok Koan Eng, sungguh luar biasa. Habis bersantap, ia kata: "Hiantee, nanti aku jalan lebih dulu, untuk mencari tahu."
Yo Kang menurut, ia membiarkan orang melarikan kudanya seorang diri.
Beruntun tiga perhentian telah dilewati, setibanya di Po-eng, tidak ada lagi penyambutan serupa itu. Sengaja Kwee Ceng memilih penginapan yang paling besar serta minta kamar yang paling mewah juga. Sore itu, selagi ia berada di dalam kamarnya, ia dengar suara kuda dilarikan, kelenengannya berbunyi nyaring. Penunggang kuda itu berhenti di depan penginapan, dia masuk ke dalam, dia lantas memesan makanan untuk besok, katanya untuk tuan Kwee dan tuan Yo.
Kwee Ceng telah menduga kepada Oey Yong, tetapi mendengar suara orang, ia heran juga. Ia girang sekali. Ia tak mau lantas menemui. Ia hendakmain-main. Maka ia menunggu sampai jam dua, diam-diam ia keluar dari kamarnya. Ia naik ke atas genting, terus ke kamarnya si nona. Tiba-tiba ia tampak bayangan orang berkelebat, malah ia kenali Oey Yong adanya.
"Heran, malam-malam begini ia hendak kemana?" pikirnya. Ia membungkam, terus ia menguntit.
Oey Yong lari ke luar kota. Ia rupanya tidak tahu ada orang yang membayanginya. Ia pergi ke tepinya sebuah kali kecil. Dibawah satu pohon yangliu ia duduk numprah. Dari sakunya ia keluarkan serupa barang, terus ia buat main di tangannya, tubuhnya dibungkukkan.
Malam itu terang bulan, angin berdesir, meniup daun-daun yangliu dan juga ikat pinggangnya si nona. Air kali mengalir terus. Di sana sini terdengar suara rupa-rupa serangga.
"Ini engko Ceng....ini Yong-jie..." terdengar nona itu mengoceh sendirian.
Heran Kwee Ceng. Ia berindap-indap, menghampirkan ke belakang orang. Di bawah terangnya sinar rembulan, ia melihat tegas dua buah boneka, satu laki-laki dan satu perempuan, keduanya gemuk dan mungil. Itulah boneka buatan Bu-sek yang kesohor, yang pun kesohor di Thay Ouw. Ia menjadi ketarik hatinya. Ia maju lagi beberapa tindak. Di depan boneka itu ada ditaruhkan beberapa mangkok dan cawan kecil, ynag berisi macam-macam bunga.
Kembali terdengar suara perlahan dan halus dari nona itu; "Mangkok ini engko Ceng yang dahar, cawan ini ialah Yong-jie. Semua ini Yong-jie yang masak sendiri. Enak tidak?"
"Enak! Enak sekali!" Kwee Ceng menyahuti.
Oey Yong terperanjat, ia menoleh dengan cepat. Lalu ia tertawa, memperlihatkan wajahnya yang manis. Dengan gesit ia berlompat menghanpiri kepada anak muda itu.
Mereka lalu berduduk di bawah pohon di tepian kali itu. Lantas mereka berbicara dengan asyik mengenai urusan mereka sejak perpisahan beberapa hari itu, tetapi yang mereka rasakan seperti sudah bulanan atau tahunan. Si nona saban-saban tertawa, hingga si pemuda menjadi berdiam saja. Katanya dalam hati: "Yong-jie begini mencintai aku, kalau di belakang hari kita tidak hidup bersama, bagaimana rasanya...?"
Ketika malam itu Oey Yong menceburkan diri, ia bersembunyi lama, sesudah menduga ayahnya telah pergi, barulah ia kembali ke Kwie-in-chung. Ia girang akan mendapatkan pemuda pujaannya itu tak kurang suatu apa. Ia menyesal juga yang ia telah berlaku keras terhadap ayahnya. Ia terus menyembunyikan diri. Ketika besoknya pagi, ia lihat Kwee Ceng berangkat berdua dengan Yo Kang, ia lantas mendahului, untuk seterusnya saban-saban ia memesan barang makanan dan rumah penginapan. Ia tahu barang santapan yang digemari Kwee Ceng, selalu ia menyelipkan satu atau dua rupa. Tentu saja ia tidak tahu yang Kwee Ceng curiga dan lantas mendahului, hingga ia kepergok. Tapi ini cuma membuatnya gembira sekali.
Asyik mereka pasang omong, sampai jauh malam, sampai si nona datang kantuknya, tanpa merasa ia kepulasan di pangkuannya anak muda itu. Kwee Ceng khawatir orang mendusin, ia tidak berani bergerak, ia diam menyanderkan diri di bongkol pohon yangliu. Tanpa merasa, ia pun ketiduran.
Ketika itu ada di bulan keenam, hawa malam sejuk, sedang rembulan bercahaya terus.
Kwee Ceng yang mendusin paling dulu tatkala kupingnya mendengar burung-burung berkicau, membuka matanya, ia mendapatkan sang fajar sudah mulai menyingsing. Ia pun dapat mencium semerbaknya bunga-bunga.
Oey Yong tidur nyenyak, napasnya berjalan perlahan. Ia mengerutkan alisnya, tapi mukanya dadu, mulutnya yang mungil tersenyum, maka itu ia nampaknya manis sekali. Rupanya ia tengah bermimpi.
"Biarlah ia tidur terus, aku tidak boleh menganggunya," Kwee Ceng berpikir.
Pemuda ini mengawasi muka orang, ia seperti mau menghitungi bulu alisnya yang bagus dari si nona itu tatkala mendadak ia mendengar suara orang lain, datangnya kira-kira dua tombak lebih di sebelah kirinya.
"Telah aku ketahui kamarnya nona Thia itu, ialah itu kamar di dalam taman yang letaknya di belakang rumah gadai Tong Jin," demikian suara itu.
"Baiklah, sebentar malam kita bekerja," kata suara lain, terang suaranya orang tua.
Mereka bicara dengan perlahan, tetapi di pagi yang sunyi itu nyata terdengarnya.
Kwee Ceng terperanjat. Ia lantas menyangka pada penjahat tukang petik bunga, yang gemar mengganggu kesucian kaum wanita. Ingin ia melihat mereka itu.
Tiba-tiba Oey Yong mencelat bangun.
"Engko Ceng, hayo tangkap aku!" katanya. Terus ia lari ke sebuah pohon besar.
Kwee Ceng dapat menerka maksudnya nona cerdik ini, ia lantas mengejar, malah sambil tertawa geli, bagaikan mereka itu tengah bermain petak. Hanya larinya mereka dibikin berat, seperti larinya orang yang tidak mengerti ilmu silat.
Dua orang itu terkejut, tidak mereka menyangka di pagi hari itu sudah ada orang lain di situ, bahkan dekat mereka, tetapi kapan mereka melihat dua muda-mudi, yang main lari-larian, mereka tidak bercuriga. Hanya karena itu, mereka lantas ngeloyor pergi.
Kwee Ceng dan Oey Yong melihat belakang orang, yang pakaiannya compang-camping, tanda dandanan pengemis. Mereka menanti sampai orang sudah cukup pergi jauh, si nona tanya si pemuda, apa maunya dua orang itu mencari nona Thia.
"Kebanyakan maksudnya tidak baik. Kita menolong orang, baik atau tidak?" kata Kwee Ceng.
"Memang baik sekali. Cuma kita tidak tahu dua pengemis itu orang-orangnya Ang Cit Kong atau bukan." kata si nona.
"Aku rasa bukan," jawab si pemuda.
Mereka lantas pulang ke penginapan untuk bersantap, habis itu mereka pergi pesiar, sampai ke kota barat. Di situ mereka mendapatkan rumah gadai Tong Jin, dengan huruf-hurufnya yang tinggi dan besar. Benar di belakang situ ada sebuah taman serta lauwtengnya yang tinggi, yang dialingi kere bambu bercat hijau. Memandang lauwteng itu mereka tersenyum, lantas mereka berjalan terus, akan pesiar ke lain bagian kota. Sorenya mereka pulang, untuk bersantap, akan kemudian beristirahat di kamar masing-masing.
Lewat sedikit satu jam, keduanya keluar dari kamar, untuk lari ke kota barat. Mereka melompati taman, hingga mereka dapat memandang lauwteng dimana ada sinar api. Mereka terus naik ke atas lauwteng, akan menyangkel di payon, untuk mengintip ke dalam. Hawa malam panas, jendela tidak ditutup. Apa yang mereka lihat membikin mereka terperanjat.
Di dalam kamar itu ada tujuh orang, semuanya wanita. Seorang nona umur delapan atau sembilanbelas tahun, yang cantik, lagi membaca buku di terangnya lampu. Mungkin dia si nona Thia, Thia Toa siocia yang dimaksudkan kedua pengemis itu. Enam lainnya dandan sebagai budak, tetapi mereka pada mencekal senjata, tiga memegang golok sebatang, tiga lainnya masing-masing pedang, sepasang roda serta sebatang tongkat besar yang panjang.
Melihat keadaan mereka itu, Kwee Ceng dan Oey Yong mendugai si nona lihay. Sekarang keduanya berpikir lain. Hendak mereka menonton dulu. Mestinya ada apa-apa yang aneh mengenai si nona dan si pengemis.
Tidak lama mereka mengintai, mereka mendengar satu suara di luar pekarangan.
Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak bersembunyi.
Segera mereka melihat dua bayangan, yang benar ada dari si pengemis tadi. Mereka ini langsung ke bawah lauwteng dimana mereka memperdengarkan siulannya perlahan.
"Orang-orang gagah dari Kay Pang di sana?" menanya satu budak seraya menyingkap kere. "Silahkan naik."
Dua pengemis itu menggenjot tubuh mereka untuk naik ke lauwteng.
Si nona sudah lantas menyambut. Ia memberi horamt sambil menanyakan she dan nama kedua tetamunya itu.
"Aku yang rendah she Lee," menyahuti si pengemis tua. "Ini keponakan muridku, Le Tiauw Hin."
Melihat muka orang yang penuh luka, Nona Thia mengingat sesuatu.
"Bukankah locianpwee ada Hang Liong Ciu Lee Seng?" ia menanya.
"Tajam matamu, nona!" tertawa si pengemis. "Aku yang rendah dan gurumu, Ceng Ceng Sanjin, pernah berjodoh bertemu satu kali, walaupun kita tidak bersahabat rapat, kita saling menghormati."
Mendengar nama Ceng Ceng Sanjin itu, Kwee Ceng ingat orang adalah yang disebut Sun Put Jie Sun Siang-kouw, salah satu dari Coan Cin Cit Cu. Karenanya, nona Thia ini bukanlah orang luar.
"Locianpwee baik sekali hendak menolongi, boanpwee sangat bersyukur," berkata pula si nona. "Di dalam segala hal, boanpwee akan mendengar kata locianpwee."
"Nona ada seorang terhormat, kalau kau dipandang lebih banyak oleh itu binatang, itu pun sudah hebat," berkata Hang Liong Ciu Lee Seng si Penakluk Naga.
Mendengar itu merah mukanya si nona.
"Sekarang, silahkan nona beristirahat di kamar ibumu, di sini jangan ditinggalkan beberapa pelayanmu ini," Lee Seng memberi petunjuk. "Aku yang rendah ada mempunyai daya untuk menghadapi binatang itu."
"Boanpwee tidak gagah, tetapi boanpwee tidak jeri terhadap binatang itu," berkata si nona. "Loacianpwee hendak bertanggungjawab sendiri, sungguh aku malu...."
"Jangan berkata demikian, nona," berkata pula Lee Seng. "Ang Pangcu kami ada bersahabat kental dengan Ong Tiong Yang Cinjin dari Coan Cin Pay kamu, kita dengan begitu menjadi seperti orang sendiri."
Sebenarnya nona Thia ingin sekali mencoba ilmu silatnya, tetapi menampak mata tajam dari Lee Seng, ia tidak berani membantah, maka ia lantas memberi hormat.
"Baiklah, aku menurut saja kepada locianpwee," bilangnya. Lantas ia turun dari lauwtengnya.
Lee Seng segera menghampirkan pembaringannya si nona, akan menyingkap kelambunya. Pembaringan itu indah segalanya, tetapi ia naik ke atas itu tanpa membuka sepatu lagi, tak peduli sepatu dan pakaiannya dekil, ia terus merebahkan diri.
"Pergi kau turun," ia menitahkan Le Tiauw Hin, "Ramai-ramai kamu menjaga di bawah. Tanpa titahku, aku larang kamu lancang turun tangan!"
Tiauw Hin menurut, ia lantas berlalu.
Lee Seng menutup diri dengan selimut indah, ia suruh budak-budak menurunkan kelambu dan memadam api juga. Kemudian barulah mereka itu mengundurkan diri pula.
Oey Yong tertawa di dalam hatinya menyaksikan kelakuan Lee Seng itu.
"Semua orang Kay Pang telah meneladan tingkah pola pemimpinnya," semua suka berbuat jenaka, tidak peduli di tempat apa."
Karena sudah ketahui ada penjagaan, nona ini bersama Kwee Ceng mendekam terus di bawah payon, berdiam menanti dengan mulut bungkam.
Lantas terdengar suara kentongan orang ronda tanda jam tiga. Menyusul itu terdengar suara membeletuknya batu masuk ke dalam taman. Itulah batu tanda menanya dari orang yang biasa keluar malam.
Oey Yong menarik ujung baju Kwe Ceng untuk memberitahu.
Hanya sebentar, di luar tembok terlihat melompat masuknya tujuh atau delapan orang, yang semuanya lompat lebih jauh naik ke atas lauwteng. Mereka itu menyalakan api sebentar, habis itu mereka menuju ke pembaringan.
Hanya sejenak itu, Oey Yong telah dapat melihat mukanya orang-orang itu. Dua yang menjadi kepala adalah orang-orangnya Auwyang Kongcu, yaitu dua pria yang biasa membawa-bawa galah panjang peranti menggiring ular. Enam yang lain adalah murid-murid wanita Auwyang Kongcu itu. Si dua pria berdiri di kiri kanan pembaringan, empat wanita menungkrup tubuh Lee Seng dengan sehelai selimut lebar. Lalu dua yang lain mementang sebuah kantung besar ke dalam tubuh Lee Seng dibelesaki, lalu karung itu di ikat kuat-kuat. Semua mereka bekerja sebat sekali, seperti sudah terlatih mahir, tanpa ada yang bersuara. Dua wanita menggendong kantung itu, lantas mereka lompat turun dari lauwteng.
Kwee Ceng hendak berbangkit, untuk menyusul, Oey Yong mencegah padanya.
"Biarkan orang-orang Kay Pang jalan lebih dulu," si nona membisiki.
Kwee Ceng menurut, ia mengawasi. Kantung berisi manusia itu digotong berdelapan. Di belakang mereka itu lalu mengiringi lebih dari sepuluh orang lainnya, mereka itu mencekal tongkat bambu, rupanya mereka adalah orang-orang Kay Pang.
Menanti sampai orang sudah berpisah beberapa tombak dari mereka, baru Oey Yong dan Kwee Ceng keluar dari tempat persembunyian mereka, untuk menguntit. Seorang pengemis berjalan di paling belakang.
Kedua rombongan itu menuju ke luar kota, pergi ke sebuah rumah besar. Rombongan Auwyang Kongcu terus masuk ke dalam rumah, rombongan pengemis lantas memencarkan diri mengurung.
Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, buat diajak ke belakang, dari mana mereka melompat tembok masuk ke pekarangan dalam.
Sekarang ketahuan rumah besar itu adalah rumah abu satu keluarga Lauw, di pendopo ada sejumlah sincie, dan ada pian-pian yang besar memutar nama-nama almarhum yang dihormati itu, semuanya pernah memangku pangkat. Pendopo diterangi lima batang lilin besar. Duduk di tengah ada satu orang, yang tangannya mengipas perlahan-lahan. Menduga ialah Auwyang Kongcu, Oey Yong dan Kwee Ceng berlaku hati-hati. Mereka bersembunyi dan mengintai di bawah jendela, hati mereka menduga-duga, apa Lee Seng sanggup melayani pemuda yang lihay itu.
Sebentar kemudian muncullah delapan penggotong kantung manusia itu.
"Kongcu, nona Thia sudah disambut!" kata satu di antaranya.
Auwyang Kongcu mengasih dengar suara tertawa dingin, bukannya ia menyambuti orangnya itu, hanya ia memandang ke luar pendopo seraya berkata: "Sahabat, setelah dengan baik hati kamu datang berkunjung kemari, kenapa kamu tidak masuk saja untuk minum teh?"
"Hebat orang ini," pikir Kwee Ceng.
Orang-orang Kay Pang tetap bersembunyi. Tanpa tanda dari Lee Seng, tidak berani mereka lancang bertindak.
Auwyang Kongcu tidak berkata pula, hanya ia memandang kepada kantung.
"Aku tidak sangka si nona Thia begini gampang diundangnya!" katanya. Ia bertindak menghampirkan, perlahan tindakannya. Ketika ia mengibaskan kipasnya, kipas itu tertutup rapat merupakan sepotong besi mirip dengan pit (alat tulis tionghoa)
Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut. Mereka menduga orang sudah ketahui musuhlah yang berada di dalam kantung itu. Diam-diam mereka menyiapkan kong-piauw, bersedia menolongi Lee Seng.
Mendadak ada terdengar suara sar-ser dari jendela, lalu dua batang panah tangan menyambar ke arah Auwyang Kongcu. Rupanya orang-orang Kay Pang sudah merasakan pemimpim mereka terancam bahaya.
Auwyang Kongcu membawa tangan kirinya ke samping lantas telunjuk dan jari tengahnya menjepit, sebatang panah tangan itu patah seketika.
Orang-orang Kay Pang terkejut, malah Le Tiauw Hin lantas berseru: "Paman Lee, keluarlah!"
Menyambut seruan itu, tiba-tiba terdengar suara memberebet pecahnya kantung, lantas dua batang golok menyambar, disusul mana bergelinding keluarnya tubuh Lee Seng, tangan siapa terus memegangi kantung sebagai daya pembelaan diri. Sesudah itu pengemis ini berlompat berdiri.
Lee Seng ketahui Auwyang Kongcu lihay, ia menggunai akalnya ini, untuk membokong, tapi ternyata ia gagal.
Auwyang Kongcu bebas dari sambaran golok, bukannya kaget, ia justru tertawa.
"Si nona cantik berubah menjadi pengemis tua, sungguh ilmu sulap kantong yang jempolan!" katanya tertawa.
Lee Seng tidak menggubris ejekan itu.
"Selama tiga hari ini, tempat ini beruntun kehilangan empat nona-nona, bukankah itu perbuatan bagus dari kau, tuan yang terhormat?" ia balas mengejek.
Kongcu itu tertawa pula.
"Kota Po-eng ini bukannya kota melarat miskin, kenapa sih orang-orang polisi dapat berubah menjadi segala tukang minta-minta?" ia berkata dengan ejekannya.
Lee Seng pun tidak menjadi gusar.
"Sebenarnya aku pun tidak mengemis nasi di sini," menyahut Lee Seng, "Tetapi kemarin ini aku mendengar pembilangnya beberapa pengemis cilik tentang lenyapnya tak berbekas dari beberapa nona cantik manis, dari itu timbullah kegembiraan aku si pengemis tua, maka aku jadi datang melongok!"
Dengan ogah-ogahan Auwyang Kongcu berkata: "Sebenarnya beberapa nona itu tidak cantik luar biasa, kalau kau menginginkannya, dengan memandang mukamu, sukalah aku membayarnya pulang!" Ia pun terus mengebasi tangannya, maka beberapa murid perempuannya lantas masuk ke dalam untuk mengajak keluar empat nona. Mereka ini kusut pakaiannya, kucal romannya, semuanya pada menangis.
Murka Lee Seng menyaksikan keadaannya keempat nona itu.
"Tuan yang terhormat, apakah shemu yang mulia dan namamu yang besar?" ia menanya. "Murid siapakah kau ini?"
Auwyang Kongcu tetap membawa sikapnya acuh tak acuh.
"Aku she Auwyang. Saudara, kau ada pengajaran apakah untukku?"
"Mari kita main-main!" Lee Seng berkata keras.
"Tidak ada yang terlebih baik dari itu!" kata si anak muda menyambut. "Silahkan kau mulai dulu!"
"Bagus!" seru Lee Seng, yang segera menggeraki tangan kanannya. Tapi belum sempat ia menyerang, di depan matanya berkelebat satu bayangan putih dan angin pun mendesir. Ia menjadi sangat kaget, ia mencelat. Tidak urung, lehernya terlanggar juga satu jari tangan. Syukur ia cukup sebat, kalau tidak, lehernya itu bisa tercekuk!
Lee Seng ini berkedudukan tinggi di dalam partainya, Kay Pang, Partai Pengemis, dia lihay. Semua pengemis di empat propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Ciat-kang dan Kangsouw tunduk dibawah perintahnya. Siapa tahu dalam satu gebrak saja, hampir ia celaka. Maka mukanya menjadi merah. Begitu ia hendak memutar tubuh, tangannya sudah mendahului melayang.
"Dia juga mengerti Hang Liong Sip-pat Ciang, "Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng. Dan si anak muda mengangguk.
Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, yang ia lihat hebat sekali. Selagi ia berkelit, Lee Seng memutar tubuhnya. Lantas ini pengemis maju satu tindak, kedua tangannya di angkat ke depan dada, untuk kembali menyerang, menyusul penyerangannya yang gagal itu.
"Itulah jurus dari ilmu silat Po-giok-kun," Kwee Ceng berbisik pada kekasihnya.
Si nona pun mengangguk.
Mendapat kenyataan orang lihay, Auwyang Kongcu tidak berani berlaku acuh tak acuh seperti semula lagi. Ia selipkan kipasnya dipinggang, setelah berkelit, ia membalas menyerang, menghajar pundak orang itu.
Lee Seng menangkis, habis mana ia menyerang pula, tetap dengan satu jurus dari Po-giok-kun.
Kali ini Auwyang Kongcu memperlihatkan kepandaiannya. Ia menangkis dengan tangan kiri, sembari menangkis tubuhnya mencelat ke samping lawan, terus ke belakang lawan itu. Luar biasa gesit gerakkannya itu. Maka juga segera ia dapat menyerang ke arah punggung lawan ini.
Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut.
"Inilah serangan yang sukar di tangkis...!" kata mereka dalam hati, kaget.
Ketika itu orang-orangnya Lee Seng, yang tadinya mengurung di luar, sudah pada masuk ke dalam. Mereka melihat pemimpin mereka terancam bahaya, di antaranya ada yang berniat berlompat membantu.
Lee Seng sendiri merasakan ancaman bahaya. Desiran angin sudah mengenai bajunya. Tapi ia pun gesit sekali. Ia memutar tubuhnya sambil menangkis. Kembali ia menggunai ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, jurus "Naga Sakti menggoyang ekor".
Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, ia melenggakkan tubuh, terus dia berlompat mundur.
"Sungguh berbahaya!" kata Lee Seng dalam hatinya. Sekarang dia sudah memutar tubuh, untuk menghadapi pula lawannya. Tapi segera ternyata, dalam ilmu silat ia kalah unggul, selama tigapuluh jurus lebih, saban-saban ia terancam bahaya. Syukur untuknya ia selalu ketolongan sama jurusnya "Sin liong pa bwee" - "Naga Sakti menggoyang ekor itu" itu.
"Rupanya Ang Cit Kong baru mengajari ia ini satu jurus pembela diri," Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng.
Anak muda ini mengangguk. Ia lantas ingat lelakonnya sendiri ketika melayani Nio Cu Ong dengan "Hang liong yu hui" atau "Naga menyesal". Mengingat ini, ia jadi sangat bersyukur kepada Ang Cit Kong. Lee Seng yang menjadi salah satu pemimpin baru diajari satu jurus yang lihay itu, ia sendiri dalam tempo satu bulan sudah dapat limabelas jurus.
Pertempuran itu berjalan terus. Auwyang Kongcu mendesak lawannya hingga dipojok.
Lee Seng sudah berpengalaman, ia dapat menerka maksud lawannya. Maka ia lantas berdaya akan menggelakkan diri, guna kembali ke tengah ruangan.
Sekonyong-konyong Auwyang Kongcu tertawa lama, selagi tertawa kepalannya menyambar, tepat menggenai janggut lawannya itu.
Lee Seng terkejut, ia mengulur tangannya, untuk membalas, tetapi ia telah kena didului. Tangan kiri Auwyang Kongcu sudah menemui pula sasarannya. Habis itu beruntun tiga empat kali lagi ia kena tertinju pula, kepalanya dan dadanya. Ia menjadi sakit, kepalanya pusing, ia begitu terhuyung, ia roboh.
Beberapa pengemis berlompat maju untuk menolongi pemimpinnya itu, tetapi Auwyang Kongcu menyambar dua orang, yang ia angkat dengan membentrokkan kepalanya satu dengan lainnya, menampak mana, yang lain-lainnya menjadi keder.
"Kau kira aku ini siapa yang dapat kena terjebak kaum bangsa pengemis busuk?!" berkata Auwyang Kongcu tertawa mengejek. Ia terus menepuk kedua tangannya, maka dari dalam lantas keluar dua murid wanitanya, mendorong tubuhnya seorang nona yang tertelikung kedua tangannya, yang romannya kucal sekali. Dialah si nona Thia yang hendak dilundungi oleh kawanan pengemis itu.
Semua orang terkejut, tak terkecuali Oey Yong dan Kwee Ceng.
Auwyang Kongcu mengebasi tangannya, atas itu nona Thia dibawa masuk pula. Dengan roman sangat bangga ia berkata pula: "Selagi si pengemis tua nelusup masuk ke dalam kantong, aku yang rendah menantikan di bawah lauwteng, lantas aku mengundang nona Thia, terus aku pulang terlebih dahulu untuk menunggui kamu di sini!"
Semua pengemis itu terbengong, mereka saling mengawasi. Pikir mereka, mereka benar-benar roboh.
Auwyang Kongcu mengipasi dirinya, ia tertawa ketika ia berkata pula: "Nama Partai Pengemis sangat kesohor sehingga nama itu membuatnya orang tertawa hingga giginya copot! Apa yang dinamakan ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing, apa yang disebut pukulan mengemis nasi dan menangkap ular, semua itu telah dikeluarkan! Dibelakang hari, masihkah kau berani usilan urusan kongcu kamu? Sekarang ini suka aku memberi ampun pada jiwanya ini pengemis bangkotan, asal aku dapat meminjam dia punya kedua cahaya terang sebagai tanda mata...!"
Sembari berkata begitu, pemuda ini mengulur tangannya, untuk dengan kedua jerijinya mencongkel mata orang yang ia menyebutnya "Cahaya terang"
Kalau mata Lee Seng kena dicongkel, butalah dia.
"Tahan!" mendadak terdengar satu seruan, disusul sama orangnya, yang berlompat masuk ke dalam ruangan, untuk terus menolak ke arah Auwyang Kongcu.
Pemuda ini terperanjat, ia telah merasakan sambaran angin hingga ia terhuyung. Inilah hebat sebab semenjak ia keluar dari wilayah Barat, sering ia menghadapi lawan yang berat tetapi belum pernah seberat ini. Ketika ia sudah melihat orangnya, ia menjadi heran sekali. Sebab orang itu ialah si anak muda bernama Kwee Ceng, dengan siapa ia pernah hadir bersama dalam pestanya Chao Wang. Ia tahu orang berkepandaian biasa saja. Kenapa ia sekarang menjadi begini lihay.
"Kau sesat dan buruk, bukannya kau mencoba mengubah kelakuan, kau justru mencelaki orang!" orang itu menegur. "Apakah kau benar-benar tidak melihat mata pada semua orang gagah di kolong langit ini?"
Dia memang Kwee Ceng, yang melihat saat untuk tak berdiam lebih lama pula.
Auwyang Kongcu melirik, ia tertawa.
"Jadi kaukah si orang gagah di kolong langit ini?" dia mengejek.
"Aku yang muda tidak berani menyebut diriku orang gagah," menyahut Kwee Ceng dengan merendah, "Aku hanya hendak membesarkan nyaliku untuk memberi nasehat kepada kau, kongcu. Aku minta sukalah kau memerdekakannya nona Thia, habis itu lekas-lekas kau pulang ke Wilayah Barat!"
Auwyang Kongcu tertawa pula.
"Jikalau aku tidak sudi dengar nasehatmu, sahabat cilik?" dia menanya.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong dari luar jendela telah mendahului. Katanya; "Engko Ceng, kau hajarlah ini telur busuk!"
Auwyang Ongcu terperanjat. Ia dengar suara orang dan mengenali.
"Nona Oey!" ia lantas berkata, "Kau menghendaki aku memerdekakan Nona Thia, inilah tidak susah, asal kau sendiri yang sudi ikut padaku! Jikalau kau sudi, bukan melainkan Nona Thia, juga wanita-wanita disampingku, akan aku merdekakan semuanya! Bahkan aku akan berjanji, selanjutnya di belakang hari aku tidak akan cari lain wanita lagi! Tidakkah ini bagus?"
"Itulah bagus!" menyahut Oey Yong, yang lompat masuk sambil tertawa, "Kita pergi ke Wilayah Barat untuk pesiar, sungguh menarik! engko Ceng, bukankah bagus begitu?"
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Auwyang Kongcu sudah mendahului.
"Aku hanya menghendaki kau sendiri yang turut aku pergi bersama," katanya. "Buat apa ini bocah busuk turut bersama?!"
Mendadak Oey Yong menjadi gusar, tangannya menyambar.
"Kau berani memaki dia?!" serunya. "Kaulah si bocah busuk!"
Auwyang Kongcu kesemsem melihat Oey Yong datang dengan senyumannya berseri-seri, orang nampaknya boto dan manis sekali, maka itu ia berlaku ceriwis, ia pun tidak menyangka si nona bisa gusar secara tiba-tiba itu. Ia pun tidak bersiaga, maka "Plok!" pipi kirinya kena ditampar. Sebab si nona menggunai jurus dari "Lok Eng Ciang" yang lihay itu. Beruntung untuknya, si nona tidak menggunai seluruh tenaganya, ia hanya merasa pipinya itu panas dan sakit.
"Fui!" berseru si kongcu yang menjadi penasaran, seraya tangannya menjambak ke dada si nona.
Oey Yong tidak mau menyingkir dari tangan si pemuda itu, sebaliknya dengan kedua tangannya ia menyerang ke arah kepala orang.
Auwyang Kongcu adalah satu pemuda ceriwis, melihat nona itu menangkis tanpa berkelit, ia girang bukan main. Begitulah tanpa pedulikan kepalanya, ia mengulur terus tangannya itu. Hanya ketika jari tangannya mengenakan dada orang, ia kaget sekali. Tangannya itu terasa tertusuk dan sakit.
"Oh!" ia menjerit. "Dia mengenakan baju lapis berduri"
Baru sekarang ia ingat. Maka syukur untuknya, karena berlaku ceriwis, ia tidak menjambak keras, ia cuma meraba. Karena ini ia lekas-lekas menangkis kedua tangan si nona.
"Tidak gampang untuk kau menghajar aku!" kata Oey Yong tertawa. "Cuma aku yang berhak menghajar kau, kau sebaliknya tidak!"
Auwyang Kongcu kewalahan, karena ini, ia tumplak kedongkolannya terhadap Kwee Ceng, yang berdiam saja mengawasi aksi mereka berdua.
"Biarlah aku mampuskan dulu bocah ini, supaya dia mati hatinya!" pikirnya. Dengan "dia" ia maksudkan si nona manis itu. Ia mengawasi Oey Yong tetapi kakinya bergerak menyentil ke belakang di mana Kwee Ceng berdiri, mengarah dada si anak muda. Itulah tendangannya yang lihay, ajarannya SeeTok Auwyang Hong, pamannya yang kesohor itu.
Kwee Ceng seperti terbokong, tidak dapat ia mengelakkan diri. Tapi ia tak sudi mandah saja dihajar, ia segera membalas menyerang. Jadi keras lawan keras. Maka berbareng dua-dua serangan mereka berhasil. Yang satu tertendang kempungannya, yang lainnya terhajar pahanya yang dipakai menendang itu. Dua-dua lantas merasakan sangat sakit. Akan tetapi dua-duanya penasaran, maka itu, bukannya mereka mundur, mereka malah maju pula. Karena itu keduanya jadi bertempur.
Semua orang Kay Pang heran, apapula mereka mengenali pukulannya Kwee Ceng.
"Itulah jurus istimewa dari Lee Seng yang biasa dipakai untuk menolong diri...." kata mereka. "Kenapa dia pun mengerti dan gerakannya cepat melebihkan Lee Seng?"
Kwee Ceng memang menyerang dengan "Sin liong bwee"
Dilain pihak sudah ada beberapa pengemis yang menolongi Lee Seng, yang mereka angkat bangun, maka itu, pemimpin pengemis itu pun jadi bisa menyaksikan pertempuran orang itu, hingga ia pun heran.
"Hang Liong Sip-pat Ciang itu adalah ilmu rahasia Ang Pangcu ynag tidak sembarangan diturunkan," memikir pemimpin pengemis ini, "Aku sudah berjasa untuk partai, aku cuma diajarkan satu jurus, tetapi anak muda ini lain, agaknya ia mengerti banyak. Mungkinkah ia telah dapat mewariskannya semua?"
Juga Auwyang Kongcu sendiri heran bukan main. Baru berselang dua bulan atau pemuda ini telah maju demikian pesat.
Cepat sekali mereka sudah bertempur empatpuluh jurus. Kwee Ceng telah gunai semua limabelas jurusnya Hang Liong Sip-pat Ciang, ia telah memutar balik itu. Dasar kalah jauh dari Auwyang Kongcu, ia tidak dapat merobohkannya, ia cuma dapat bertahan. Maka itu, lewat lagi belasan jurus, ia kewalahan. Auwyang Kongcu berlaku sangat gesit, ia berlompatan ke segala penjuru, tinjunya saban-saban menyambar. Satu kali Kwee Ceng kena didupak kempolannya hingga ia terhuyung. Syukur ia tangguh, ia tidak dapat celaka. Ia melawan terus, ia mengulangi jurus-jurusnya.
Untuk sementara ini Auwyang Kongcu tidak berani mendesak, berselang lagi sepuluh jurus lebih, setelah ia dapat memahami ilmu silat orang, baru ia merangsak pula. Karena ini ia mulai mencari lowongan untuk turun tangan.
Kwee Ceng sudah habis menjalankan limabelas jurus, ia lantas memulai lagi pula dari seperti semula. Inilah ketika yang justru ditunggu Auwyang Kongcu. Kongcu ini lantas mendahulukan menyambar ke pundak lawannya itu.
Kaget sekali Kwee Ceng. Tidak ada jalan untuk dia melindungi diri dengan limabelas jurusnya itu. Disaat sangat berbahaya itu, ia berlaku nekat. Ia menubruk seraya menepuk tangannya lawan. Itulah ilmu silat menurut caranya sendiri. Ini justru diluar terkaan Auwyang Kongcu yang menjadi kaget, karena ia tidak menyangka bakal disambut secara demikian. Tidak ampun lagi, lengannya kena dihajar. Bahna kaget, ia lompat mundur ke belakang beberapa tindak. Syukur untuknya, ia melainkan merasakan sakit, tulang lengannya tidak panah atau remuk.
Kwee Ceng girang melihat hasilnya itu, yang pun diluar dugaannya. Ia bahkan jadi insyaf akan dapat diputarbalikkannya ilmu silat itu tanpa menurut aturannya. Ia hanya menginsyafi, karena belum terlatih, tenaganya jadi berkurang banyak. Tidak demikian, celakalah tangannya pemuda dari Wilayah Barat itu. Karena ini, hendak ia mencoba terus.
Lagi sekali mereka mulai bergerak pula, selagi Kwee Ceng hendak mencoba, Auwyang Kongcu sebaliknya penasaran dan hendak menuntut balas. Kesudahannya, pemuda she Auwyang ini menjadi heran sekali. Ia mendapatkan kenyataan, disebelah jurus-jurus yang biasa, lawannya mempunyai tiga jurus tambahan lainnnya, hingga sulit untuk dia memberi hajaran tepat seperti tadi. Sekarang ini Kwee Ceng dapat menutup kempolan kirinya dan pinggangnya kanannya, dua lowongan yang diarah oleh lawannya.
Kwee Ceng berkelahi dengan bernapsu, ia mengulangi dan mengulangi tambahan tiga jurusnya itu hingga ia seperti telah membikin lengkap delapanbelas jurus Hang Liong Sip-pat Ciang. Ia pun menjadi semakin hapal, pertempuran itu seperti merupakan latihannya.
Segera Auwyang Kongcu melayani dengan sabar, gerakannya jadi rada kendor. Ia memikir hendak menanti musuhnya itu letih sendirinya. Dangan berkelahi secara begini, berbareng ia memahami pula cara berkelahinya musuhnya. Ia cerdik, belum lama ia sudah dapat melihat kekosongannya musuhnya itu. Atas ini, ia tidak mau mensia-siakan ketika lagi, mendadak ia mengirim serangannya. Dengan tangan kiri ia menggertak dengan menjambak, diam-diam kakinya melayang naik!
Kwee Ceng terkejut. Sulit untuk ia menangkis atau berkelit.
Oey Yong menonton dengan waspada, ia melihat pemudanya itu terancam bahaya, karena ia senantiasa siap sedia, segera ia mengayun sebelah tanganya, maka tujuh atau delapan jarum kongcian menyambar kepada Auwyang Kongcu.
Kaget itu pemuda dari Wailayah Barat, tetapi ia masih sampat menebas denagn kipasnya. Hanya selagi ia merasa berhasil menyingkirkan semua jarum, kakinya toh dirasai sakit dengan mendadak, seperti ada benda yang menancap di jalan darahnya. Karena ini, meskipun tendangannya mengenai sasarn, kenanya tidak hebat. Dengan kaget ia melompat mundur.
"Tikus mana membokong kongcumu!" ia membentak. "Kalau kau berani, mari berlaku terus terang...."
Belum lagi pemuda ini menutup mulutnya, satu benda berkelebat menyambar kepadanya, sia-sia belaka ia hendak berkelit, tahu-tahu mulutnya kemasukan serupa barang yang memberi rasa sari asin dan keras. Ia kaget dan gusar, lekak-lekas ia melepehkannya. Untuk kemendongkolannya, ia melihat sepotong tulang ayam. Karena ia tahu darimana datangnya sambaran, ia lantas angkat kepalanya, dongak melihat ke penglari.
Justru ia mengangkat kepalanya, justru ada debu yang meluruk jatuh. Ia berlompat ke samping, terus ia dongak pula, seraya membuka mulutnya untuk mendamprat. Kali ini belum sempat ia bersuara, mulutnya itu kembali kemasukan tulang - tulang kaki ayam, maka juga giginya kebentur hingga ia merasakan sakit pada giginya itu!
Bukan alang kepalang mendongkolnya pemuda ini, yang seumurnya belum pernah ada orang hinakan atau mempermainkan secara demikian. Lekas-lekas ia membuang tulang dari mulutnya itu. Diwaktu itu dia melihat berkelebatnya suatu bayangan, yang lompat turun dari penglari itu. Dalam murkanya, ia pun berlompat untuk memapakinya, guna menyerang bayangan itu. Tapi heran, bukannya ia dapat menyerang, ia justru kena memegang serupa barang. Tempo ia sudah melihat barang itu, mendongkolnya bukan kepalang. Itu adalah dua potong ceker ayam yang besar digeragoti, yang sudah tidak ada dagingnya!
Berbareng dengan itu, di atas penglari itu terdengar suara orang tertawa lebar yang disusul dengan pertanyaan, "Bagaimana? Bagaimana dengan ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing dari si pengemis tua?"
Kapan Kwee Ceng dan Oey Yong mendengar suara itu, keduanya girang bukan main.
"Cit Kong!" mereka berseru tanpa tertahan lagi.
Semua orang lantas mengangkat kepalanya, maka di atas penglari itu mereka lihat Ang Cit Kong tengah duduk dengan enteng sekali, mulutnya lagi mengegerogoti sepaha ayam berikut dadanya, ynag dipegangi sebelah tangannya.
Mengenali orang tua itu, hatinya Auwyang Kongcu menjadi dingin sekali.
"Ang Siepee di sana?" ia berkata, "Di sini titjie memberi hormat!"
Benar-benar ia lantas menekuk kedua lututnya dan mengangguk-angguk.
"Oh, kau mengenal si pengemis tua?" tanya Ang Cit Kong seraya terus menggayam ayamnya. Ia menanya acuh tak acuh.
"Memang pernah titjie bertemu sama Ang siepee," menyahut Auwyang Kongcu, yang menyebut dirinya titjie, keponakan. "Titjie ada punya mata tetapi titjie tidak mengenal gunung Tay San, seharusnya titjie mati saja. Dahulu hari itu titjie sudah lantas mengirim pesuruh burung ke Barat, akan memohon petunjuk dari pamanku, setelah itu barulah titjie mengetahui siepee. Pamanku itu memesan, apabila titjie bertemu pula sama siepee, mesti titjie menyampaikan hormatnya seraya mengharap kesehatan siepee."
"Si Racun Tua itu pandai sekali berpura-puar!" berkata Ang Cit Kong, yang menyebut si racun Tua kepada See Tok Auwyang Hong. "Dia pun banyak mulutnya! Aku si pengemis tua, dapat aku mencuri, dapat aku gegares, tetapi aku tidak merampas anak dara orang, maka kenapa aku bolehnya tidak sehat? Bukankah pamanmu tidak sakit dan tidak tumbuhan juga?"
Auwyang Kongcu malu dan jengah, ia menyahuti sembarangan saja.
"Barusan aku mendengar kata-katamu," berkata lagi Ang Cit Kong. "Bukankah kau menyebut-nyebut tentang ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing, tentang pukulan mengemis nasi dan menangkap ular? Bukankah kau sangat memandang enteng kepada semua ilmu silat itu?"
Di dalam hatinya Auwyang Kongcu kata, "Aku tidak menyangka bahwa dia telah bersembunyi di atas penglari..." Tapi toh ia menyahuti, "Siepee, aku mohon sukalah siepee memaafkan keponakanmu ini. Tadi aku telah mengoceh tidak karuan karena aku tidak mengetahui ketua Partai lo-enghiong ini justru siepee adanya..."
Ang Cit Kong tertawa terkakak, selagi tertawa, tubuhnya berlompat turun.
"Kau menyebut dia lo-enghiong, tetapi dia tidak sanggup melawan kau, maka itu kaulah si enghiong!" berkata ketua pengemis itu. "Apakah kau tidak malu? Haha-haha!"
Enghiong ialah pendekar dan lo-enghiopng adalah pendekar tua.
Auwyang Kongcu malu sekali dengan hatinya mendongkol bukan main, tetapi ia insyaf orang bukanlah tandingannya, tidak berani ia turun tangan, tidak berani ia lancang mulut, maka ia terpaksa merendahkan diri.
"Kau mengandalkan ilmu silatnya si Racun Tua, kau datang ke Tionggoan, ke tenggara ini untuk malang melintang! Hm! Hm! Tapi ketahui olehmu, selama si pengemis belum mampus, aku khawatir kau tidak akan mendapatkan tempatmu di sini!" berkata pula si pengemis tua itu.
Auwyang Kongcu terus mesti mengendalikan diri.
"Siepee bersama pamanku ada sama kesohornya, maka itu aku menurut saja segala perintah siepee," ia berkata, merendah.
"Bagus, ya!" berseru Cit Kong. "Kau maksudkan aku si besar menghina si kecil, si tua menghina kamu si anak muda?"
 Â
Bab 33. Kemaruk Kebesaran
Auwyang Kongcu tidak membuka suara, ia melawan diam.
"Dibawah perintahku si pengemis tua," berkata Cit Kong, "Meski benar ada si pengemis besar, si pengemis pertengahan dan si pengemis kecil, mereka itu bukanlah murid-muridku! sekalipun ini si orang she Lee, dia barulah belajar serupa ilmu silatku yang kasar, ia masih bukan muridku yang dapat menjadi ahli warisku! Bukankah kau memandang enteng ilmu silatku mencuri ayam dan meraba anjing? Bukankah aku si pengemis bangkotan omong besar, apabila aku hendak mengangkat satu murid langsung, belum tentu ia seperti kau!"
"Itulah sudah sewajarnya," menyahut Auwyang Kongcu.
"Di mulut kau mengatakan begini, di dalam hatimu kau mencaci aku," kata pula Ang Cit Kong.
"Itulah keponakanmu tidak berani," membilang Auwyang Kongcu.
"Cit Kong jangan percaya obrolannya!" Oey Yong menyelak. "Di dalam hatinya dia memang sedang mencaci kau, malah mencaci lebih hebat sekali!"
"Bagus ya, bocah ini berani mencaci aku!" seru Cit Kong dengan gusar.
Mendadak ia mengulur tangannya, bagaikan kilat, kipas di tangan si anak muda telah kena dirampas, hingga orang melengak. Dia membeber kipas itu, di situ terlihat lukisan beberapa tangkai bunga bouwtan serta tulisannya Cie Hie dari jaman Song Utara, di samping mana ada lagi sebaris tulisan, bunyinya "Pek To San Cu", artinya tuan dari Pek To San. Itulah tulisannya Auwyang Kongcu sendiri.
"Hm!" Cit Kong memperdengarkan suara dingin. Kemudian ia menanya Oey Yong: "Bagaimana kau lihat ini beberapa huruf?"
Sepasang alis matanya si nona terangkat. Ia menjawab: "Sungguh menyebalkan! Itulah mirip tulisannya kuasa dari toko penukar uang perak!"
Auwyang Kongcu biasa mengagulkan diri sebagai pemuda yang pandai ilmu silat dan ilmu surat, sekarang ia mendengar celaannya Oey Yong, ia mendongkol bukan main, dengan mata melotot ia memandang si nona. Tapi ia melihat wajah orang yang terang, yang seperti tertawa bukannya tertawa, ia menjadi tercengang.
Ang Cit Kong membeber kipas di telapakan tangannya yang satu, ia bawa itu ke mulutnya untuk dipakai menyusuti beberapa kali. Ia baru saja habis menggerogoti ayam, di bibirnya masih berbelepotan minyak, maka bisa di mengerti kalau kipas indah itu bukannya menjadi kipas lagi, setelah mana ia merangkap jari-jari tangannya, hingga kipas itu jadi teremas menjadi sehelai kertas rongsokkan, sesudah mana ia melemparkannya!
Untuk lain orang kejadian itu bukan berarti apa-apa, untuk Auwyang Kongcu, itulah hebat sekali. Itulah kipas yang menjadi alat senjatanya untuk bertempur, tulang-tulangnya terbuat dari baja pilihan, dengan diremas itu, baja itu turut menjadi tidak karuan. Hanya di sebelah itu, ia pun kagum untuk tenaga besar dari si pengemis tua, yang dengan gampang saja dapat meremas remuk itu!
"Jikalau aku sendiri yang melawan kau, sampai mampus juga kau tentu tidak puas," berkata Ang Cit Kong. "Maka sekarang juga hendak aku mengangkat seorang murid supaya segera dia melawan kau....."
Benar-benar Auwyang Kongcu penasaran, dengan berani ia pun berkata, "Saudara ini barusan telah bertempur beberapa puluh jurus denganku, jikalau siepe tidak turun tangan, sudah tentu keponakanmu yang beruntung memperoleh kedudukan di atas angin."
Sembar tertawa, ia menunjuk kepada Kwee Ceng.
Cit Kong mendongak ke langit, ia tertawa terbahak-bahak.
"Anak Ceng, adakah kau muridku?" ia menanya.
Kwee Ceng ingat itu hari ia berlutut kepada orang tua ini, untuk memberi hormat tetapi si orang tua dengan tersipu-sipu membalas berlutut dan mengangguk-angguk kepadanya, maka itu ia lekas-lekas menjawab: "Aku yang muda tidak mempunyai rejeki untuk menjadi muridmu."
"Nah, kau telah dengar, bukan?" berkata Cit Kong kepada pemuda she Auwyang itu.
Auwyang Kongcu menjadi heran sekali.
"Pengemis bangka ini pastilah tidak memperdaya orang," pikirnya. "Habis bocah ini, darimanakah dia mendapatkan kepandaiannya itu?"
Cit Kong tidak mengambil tahu apa yang orang pikir. Ia memandang Kwee Ceng.
"Sekarang hendak aku mengambil kau sebagai murid, kau senang atau tidak?" dia tanya. "Apakah kau tidak mencela aku si pengemis tua? Apakah enak mendengarnya kau kalau orang katakan gurumu adalah aku si pengemis tua?"
Tapi Kwee Ceng girang bukan kepalang, lantas saja ia menjatuhkan diri di depan si raja pengemis itu, untuk paykui delapan kali.
"Hai, anak tolol!" kata si guru, "Mengapa kau tidak memanggil suhu?"
"Sebenarnya teecu sudah mempunyai enam guru, maka itu teecu pikir...." Untuk sejenak bocah ini merandak, ia bersangsi. "Teecu memikir untuk menanyakan dulu pikirannya keenam guruku itu..."
"Benar-benar!" berkata Ang Cit Kong. "Seorang kuncu memang tidak melupakan asal usulnya! Baiklah, sekarang aku mengajarkan kau dulu dengan tiga jurus."
Lalu di depan Auwyang Kongcu sendiri, Cit Kong mengajarkan Kwee Ceng sisanya tiga jurus lagi Hang Liong Sip-pat Ciang. Sudah tentu ketiga jurus itu beda dengan tiga jurus ciptaan Kwee Ceng sendiri.
Cit Kong tunggu sampai Kwee Ceng sudah dapat menghapalkan tiga jurus itu, baru ia kata: "Baik, anak yang baik, cukup sudah! Sekarang kau tolongi aku mengajar adat pada ini bandit cabul!"
Kwee Ceng memang sangat sebal terhadap itu pemuda ceriwis dan jumawa, tanpa membilang apa-apa lagi, ia lansung meninju.
Auwyang Kong tidak takut, ia pun lagi mendongkol, maka habis berkelit, lantas ia balas menyerang, maka kembali di situ keduanya bertarung.
Rahasianya Hang Liong Sip-pat Ciang adalah tenaga yang dikerahkan di satu saat, tentang ilmu silatnya sendiri sangatlah sederhana, dipelajarinya pun gampang, yang sulit adalah melatihnya hingga mahir. Orang-orang seperti Nio Cu Ong, Bwee Tiauw Hong dan Auwyang Kongcu, itu bukanlah tandingannya Kwee ceng, tetapi kenapa ia sanggup melayani mereka bertiga? Itulah rahasianya. Pula kali ini. Auwyang Kongcu menghadapi sendiri si pengemis tua mengajari Kwee Ceng, kalau perlu ia dapat menyangkoknya, tetapi sekarang setelah bergebrak, ia merasakan kesulitannya.
Sekarang Kwee Ceng dapat menggunai delapanbelas jurus, ia dapat menyambung itu kepala dengan buntut dan buntut dengan kepala. Karena ia telah pandai menjalankan limabelas jurus, mendapat tambahan tiga jurus yang terakhir ini, tenaganya lantas saja bertambah.
Auwyang Kongcu melayani bekas tandingannya ini dengan bersungguh-sungguh, dia sudah menggunai empat macam ilmu silat, ia tapinya cuma dapat berimbang saja - mereka ini jadi sama tangguhnya, sedang tadinya ia terlebih unggul. Sesudah lewat lagi beberapa jurus tanpa hasil, ia menjadi bingung.
"Jikalau hari ini aku tidak memperlihatkan ilmu silat istimewa dari keluargaku, pasti sekali sukar untuk aku merebut kemenangan." ia berpikir. "Semenjak masih kecil aku telah dididik pamanku, kenapa aku tidak dapat merobohkan muridnya si pengemis tua ini - murid yang baru saja diberi pengajaran? Tidakkah dengan begitu aku akan meruntuhkan kesohoran dari pamanku di tangannya si pengemis bangkotan ini?"
Karena ini, mendadak ia mengirim tinjunya yang hebat.
Melihat serangan itu, Kwee Ceng segera menangkis. Tapi mendadak ia seperti kehilangan tangan lawan, yang menjadi lemas dengan sekonyong-konyong, atau dilain saat "Plok!" batang lehernya telah kena ditinju tanpa ia dapat berdaya. Ia menjadi kaget sekali, sambil tunduk ia lompat, tangannya membalas menyambar.
Auwyang Kongcu berkelit sambil menggeser kaki, sambil berkelit, ia juga menyerang. Kali ini Kwee Ceng tidak berani menangkis, ia berkelit dengan cepat. Tapi aneh gerakan tangannya kongcu ini, entah bagaimana, tangannya seperti menuju ke kiri, tahunya ke kanan, maka "Plok!" lagi sekali tangannya ini mengenakan pundak.
Hebat untuk Kwee Ceng, lekas juga ia terhajar untuk ketiga kalinya.
"Anak Ceng, tahan!" berkata Ang Cit Kong. "Hitunglah kau yang kalah satu kali ini."
Kwee Ceng menurut, ia lompat keluar gelanggang. Ia merasakan sakit pada tempat-tempat yang terpukul, tapi ia pun memberi hormat pada lawannya seraya berkata: "Benar kau lihay, aku bukanlah tandinganmu."
Auwyang Kongcu puas sekali, ia lantas melirik Oey Yong.
Ang Cit Kong lantas berkata: "Si Racun tua setiap hari memelihara ular, ini ilmu silatnya Kulit Ular Emas tentulah ia ciptakan dari tubuhnya ular berbisa. Kau beruntung sekali, karena sekarang belum aku si pengemis tua dapat memikir daya untuk memecahkannya. Nah, kau pergilah baik-baik."
Auwyang Kongcu tercekat hatinya. Ia pikir: "Paman telah pesan wanta-wanti padaku, kalau bukan menghadapi bencana kematian, tidak boleh aku menggunai ini tipu silatnya yang diberi nama Kim Coa Kun, Kuntauw Ular Emas, sekarang si pengemis tua mengetahuinya, apabila pamanku mengetahui juga, aku bisa di hukum berat."
Karena ini lenyaplah kepuasan hatinya. Ia memberi hormat kepada Ang Cit Kong, lantas ia bertindak keluar dari rumah abu itu.
"Eh, tunggu dulu, hendak aku bicara denganmu!" Oey Yong mencegah.
Auwyang Kongcu menghentukan tindakannya, ia menoleh.
Oey Yong memberi hormat dan menjura kepada Ang Cit Kong.
"Cit Kong," katanya, "Baiklah hari ini kau menerima dua murid. Kau sekarang berat sebelah, aku tidak mau mengerti!"
Ang Cit Kong menggeleng kepala tetapi ia tertawa.
"Sebenarnya aku telah melanggar aturan dengan menerima murid," katanya. "Maka itu tidak dapat dalam satu hari aku melanggar pula aturan dengan menerima dua murid. Ayahmu sendiri sangat lihay, mana dapat ia membiarkan kau mengangkat aku si pengemis tua menjadi gurumu..."
Oey Yong menunjuki rupa kaget dan sadar.
"Oh, kau jeri terhadap ayahku!" katanya.
Cit Kong kena dibikin panas hatinya.
"Takut?" katanya, "Hm! Baiklah, aku terima kau sebagai murid! Mustahil Oey Lao Shia di Bangkotan Tersesat nanti gegares tubuhku!"
Oey Yong girang, ia tertawa.
"Baiklah, satu patah menjadi kepastian" ujarnya. "Jangan kau menyesali! Suhu, kamu kaum pengemis, bagaimana caranya kamu menangkap ular? Coba suhu mengajari aku."
Cit Kong berpikir. Ia tak tahu maksudnya nona ini tetapi ia tahu orang sangat cerdik, ia menduga tentulah putrinya Tong Shia Oey Yok Su ini mengandung sesuatu maksud.
"Menangkap ular menangkap di tempat tujuh dim," ia memberi keterangan. "Kedua jeriji tangan mesti merupakan sebagai sepit. Asal tepat kenanya, ular bagaimana beracun juga tidak bakalan bergeming lagi."
"Kalau ular yang kasar sekali?" tanya pula si nona. Ia maksudkan ular besar.
"Ajukan tangan kiri, untuk memancing ia menggigit jari tangan kiri kita," Cit Kong mengajari. "Lalu dengan tangan kanan menghajar dia di tempat tujuh dim juga."
"Apakah menghajarnya mesti cepat sekali?"
"Tentu saja. Tangan kiri itu mesti dipakaikan obat, supaya toh kalau kena digigit, akibatnya tidak membahayakan."
Oey Yong mengangguk, ia melirik kepada si pengemis tua itu, ia mengedipi matanya.
"Suhu, sekarang kau boleh torehkan obat padaku." ia minta. Ia memanggil suhu, guru.
Biasanya Ang Cit Kong ini, kalau ia menghadapi ular, biar yang sangat beracun, ia mengemplangnya dengan tongkatnya, dari itu ia tidak sedia obat, akan tetapi si nona melirik padanya, mengedipi mata, ia lantas mengasih turun cupu-cupu di bebekongnya, dari dalam itu, ia menuang sedikit arak, dengan itu ia menorehkan kedua tangan ini murid yang baru. Oey Yong membawa kedua tangannya ke hidungnya, untuk menciumnya, lantas ia memperlihatkan wajah yang luar biasa. Ia pun segera menghadapi Auwyang Kongcu.
"Hallo!" tegurnya. "Aku ini muridnya Ang Cit Kong, sekarang aku ingin belajar kenal dengan ilmu silatnya Kulit Ular Lemas! Paling dulu hendak aku menjelaskan padamu, tanganku ini sudah ditorehkan obat pemunah racun ularmu, dari itu kau haruslah waspada!"
Auwyang Kongcu tidak takut. Pikirnya: "Dengan menempur kau, bukannya dengan segebrakan saja dapat aku mencekukmu! Tidak peduli tanganmu ada apanya yang aneh, cukup untukku asal aku tidak membenturnya!" Maka ia tertawa dan menyahuti: "Jikalau aku sampai terbinasa di tanganmu, aku puas!"
"Semua ilmu silatmu yang lainnya biasa saja," berkata si nona, "Karena aku cuma mau belajar kenal sama kutauw ularmu yang bau busuk itu, maka jikalau kau menggunakan lainnya macam ilmu silat, kau terhitung kalah!"
"Apa yang kau bilang Nona, aku mengiringi saja," sahut Auwyang Kongcu
Oey Yong tertawa.
"Aku tidak sangka, kau telur busuk, pandai sekali kau bicara!" katanya. "Lihat tanganku!"
Kata-kata ini disusul serangannya, dengan jurus po-giok-kun ajarannya Ang Cit Kong.
Auwyang Kongcu sudah lantas berkelit ke samping.
Oey Yong menyerang terus, mulanya dengan tendangan kaki kiri, lalu itu disusul dengan bangkolan tangan kanan. Ini pun ada ajarannya karena namanya pukulan "Sutera Terbang".
Melihat orang gesit, Auwyang Kongcu tidak berani memandang enteng. Ia mengulur tangan kanannya, ia tekuk itu, lalu mendadak ia menghajar ke pundak si nona. Inilah jurus dari Kim Coa Kun, Kuntauw Ular Emas itu.
Sungguh sebat serangannya itu. Hampir tangannya mengenakan sasarannya, mendadak ia sadar, cepat-cepat ia menarik pulang. Sejenak itu ia ingat si nona mengenakan baju lapis berduri, kalau serangannya mengenai, tangannya pasti berdarah.
Justru orang membatalkan serangannya itu, justru Oey Yong menyerang. Dua-dua tangannya melayang ke arah muka.
Auwyang Kongcu mengebaskan tangan bajunya, dengan itu ia menangkis serangan si nona.
Oey Yong mengenakan baju lapis dan kedua tangannya dipakaikan obat, maka itu kecuali mukanya, tidak ada lain anggota tubuhnya yang dapat dijadikan sasaran. Karena itu Auwyang Kongcu menjadi mendapat rintangan. Untuk menyerang ke bawah, ia tidak mempunyai harapannya, karena ini, ia jadi kena terdesak, ia mesti main berkelit atau lompat sana lompat sini saja.
"Kalau aku serang mukanya dan berhasil, aku berlaku lancang," pikirnya ini anak muda. "Kalau aku jambak rambutnya, itulah terlebih hebat lagi, aku jadi berlaku kasar. Habis, kemana aku mesti menyerang...?" Tetapi ia cerdik, ia lantas mendapat akal. Selagi berkelit, ia merobek ujung bajunya, ia pakai itu untuk membalut kedua tangannya, maka sebentar kemudian, ia mulai berkelahi dengan mencoba untuk menangkap tangan lawannya.
Tiba-tiba Oey Yong lompat keluar gelanggang.
"Kau kalah!" serunya. "Itulah bukan ilmu silatmu yang baru!"
"Oh, aku lupa..!" berkata si anak muda, jengah.
"Sekarang teranglah ilmu silat ularmu yang baru itu tak dapat berbuat apa-apa terhadap muridnya Ang Cit Kong," kata si nona yang licin itu, "Itu artinya ilmu silat itu tak ada keanehannya. Selama di istana Chao Wang, kita pun pernah bertempur, itu waktu aku malas mengeluarkan tenaga, aku kalah. Karena itu, kita sekarang seri. Mari kita bertempur lagi, untuk memastikan menang atau kalah!"
Mendengar itu Lee Seng semua heran. Mereka berpikir, "Ini nona memang lihay tetapi dia tak dapat melawan musuhnya, barusan ia menang karena menggunai akal, tidakkah itu bagus? Kenapa dia mau bertempur lagi, seperti orang melukiskan ular di tambah kaki?"
Ang Cit Kong sebaliknya tertawa haha-hihi. Ia tahu nona ini sangat pintar dan nakal, dia rupanya hendak menggunai hadirnya ia disitu untuk mempermainkan keponakannya Auwyang Hong itu. Maka ia membiarkan saja, ia lebih perlu menggerogoti sisa ayamnya....
"Ah, kenapa kita mesti main sungguh-sungguhan?" tertawa Auwyang Kongcu. "Kau yang kalah atau aku yang menang toh sama saja, bukan? Tapi, kalau ada mempunyai kegembiraan, baiklah aku yang rendah suka menemani kau main-main."
Oey Yong berkata pula; "Selama di istana pangeran Chao Wang itu, di kiri kananmu semua ialah sahabat-sahabatmu, andaikata aku menang, terang sudah mereka bakal menolongi kau. Itulah sebabnya kenapa aku malas melayani kau. Tapi disini ada sahabat-sahabatmu..." ia menunjuk kepada semua gundik orang yang mengenakan pakaian serba putih itu. "Dan aku pun ada kawan-kawanku. Memang benar sahabatmu berjumlah lebih banyak, tetapi tidak apa, aku dapat melayani kerugian di pihakku itu. Sekarang begini saja, mari kita menggurat satu lingkaran bulat. Siapa yang lebih dulu keluar dari lingkaran, dia yang kalah!"
Mendengar suara orang yang agaknya mendesak itu, tetapi toh ada pantasnya, Auwyang Kongcu mendongkol berbareng geli di hatinya. Ia suka menerima baik usul itu, bahkan ialah yang segera membikin lingkaran itu. Ia menggurat dengan kakinya. Ialah kaki kiri ditancap di tengah-tengah, kaki kanannya berputar mengikuti tubuhnya. Ia membuat lingkaran lebar bundar enam kaki.
Rombongan Kay Pang benci ini anak muda, tetapi melihat kepandaian orang itu, mereka kagum dan memuji dalam hati.
Oey Yong lantas bertindak masuk ke dalam lingkaran itu.
"Kita bertempur secara bun atau secara bu?" dia tanya.
Bun itu berarti lunak dan Bu itu berarti keras.
"Hebat kau, banyak keanehanmu..." pikir Auwyang Kongcu. Ia menanya: "Bagaimana caranya bun dan bagaimana caranya bu?"
"Cara bun itu ialah aku menyerang kau tiga kali, kau tidak boleh membalas," menerangkan si nona. "Kau juga menyerang kepadaku dan aku pun tidak boleh membalasi. Kalau cara bu ialah kita bertarung sesuka kita, kau boleh pakai ilmu silat ular mampus atau kuntauw tikus hidup, sesukamu, asal siapa yang keluar terlebih dahlulu dari lingkaran, dialah yang kalah!"
"Aku pikir baiklah kita ambil cara bun," berkata si anak muda. "Dengan begitu kita tidak menggangu persahabatan kita..."
"Kalau cara bu, sudah pasti kau bakal kalah!" berkata si nona. "Kau pilih cara bun, kau masih mempunyai harapan. Baiklah, aku memberi keleluasan padamu, kita pakai cara bun. Siapa yang menyerang lebih dulu, kau atau aku?"
Auwyang Kongcu malu menyerang lebih dulu.
"Tentu saja kau yang mulai lebih dulu," ia memberikan penyahutannya.
"Kau licin sekali!" tertawa Oey Yong. "Kau memilih belakangan, karena kau tahu, jikalau kau lebih dulu, kau bakal tampak kerugian, kau jadi berpura ngalah terhadap aku! Baiklah, hari ini aku yang akan terus bersikap seorang kesatria, aku akan mengalah sampai di akhirnya!"
Auwyang Kongcu pun berpikir, "Sebenarnya tidak apa yang aku menyerang terlebih dulu." Tapi ketika ia hendak mengucapkan itu, si nona sudah mendahului padanya. "Lihat serangan!" Nona ini benar-benar menyerang, dihadapannya terlihat sinar berkeredepan menyambar lawannya. Ia ternyata memegang senjata rahasia di dalam tangannya.
Auwyang Kongcu terkejut. Untuk menangkis sama kipasnya, kipasnya itu sudah dirusak Ang Cit Kong. Ia dapat menggunai ujung bajunya, untuk mengebas, tangan ujung bajunya baru disobek. Ia tidak menangkis, ia pun tidak bisa mundur. Sebab mundur berarti keluar dari lingkaran. Tidak ada pilihan lain, terpaksa ia menjejak kedua kakinya, untuk mencelat mengapungi diri, tingginya setombak lebih, dengan begitu semua senjata rahasia itu lewat di bawahan kakinya.
Si nona telah menimpuk dengan beberapa puluh jarumnya.
"Serangan yang kedua!" si nona berseru. Ia menyerang pula disaat orang terapung habis dan tinggal turunnya saja. Serangannya kali ini ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Itulah ilmu melepaskan jarum ajaran Ang Cit Kong yang bernama "Boan-thian hoa ie teng kim ciam" atau melempar jarum membuhi langit bagaikan hujan bunga.
"Habislah aku!" mengeluh Auwyang Kongcu saking kagetnya. "Perempuan ini sungguh kejam..."
Justru itu ia merasakan ada orang mencekal leher bajunya di bagian dan belakang dan terus kakinya terangkat lebih tinggi, berbareng dengan mana, ia mendengar suara sar-ser dari lewatnya semua jarum rahasia, yang terus jatuh ke tanah. Ia mengerti bahwa ada orang yang sudah menolongi padanya, hanya belum sempat ia melihat penolong itu, ia merasa tubuhnya sudah dilemparkan. Sebenarnya ia tidak dilempar keras, akan tetapi lihaynya orang yang melemparkannya itu, ketika tubuhnya tiba di tanah, yang mendahului jatuh adalah lengan kirinya, maka sebelum dapat berlompat bangun, ia terbanting keras juga. Ia menduga kepada Ang Cit Kong, sebab di situ tidak ada orang lain yang terlebih pandai. Ia mendongkol sekali, tanpa menoleh lagi, ia ngeloyor keluar dari rumah abu itu, semua gundiknya melerot mengikuti padanya.
"Suhu, kenapa kau menolongi mahkluk busuk itu?!" Oey Yong tanya gurunya.
Ang Cit Kong tertawa.
"Dengan pamannya itu aku bersahabat kekal!" sahutnya. "Dia memang jahat, dia bagiannya mampus, tetapi kalau dia mampus di tangan muridku, jelek di muka pamannya itu."Ia terus menepuk-nepuk pundak muridnya yang cerdik itu. "Anak manis, hari ini kau telah membikin terang muka gurumu. Dengan apa aku harus memberi upah kepadamu?"
Oey Yong mengulur lidahnya.
"Aku tidak menghendaki tongkatmu, suhu!" katanya.
"Walaupun kau menghendaki, tidak dapat aku memberikannya itu!" kata sang guru. "Aku memikir untuk mengajari kau satu atau dua tipu silat, tetapi dalam beberapa hari ini aku sangat malas bergerak, aku tidak mempunyakan kegembiraanku!"
"Aku nanti memasaki kau beberapa macam sayur untuk membangkitkan semangatmu," berkata Oey Yong.
"Sekarang aku tak sempat berdahar." Ia menunjuk Lee Seng serta rombongannya. "Kami kaum Kay Pang ada mempunyai banyak urusan untuk dibicarakan."
Lee Seng dan kawan-kawannya menghampirkan Kwee Ceng dan Oey Yong, untuk menghanturkan terima kasih.
Nona Thia pun meloloskan diri dari belenggunya, ia dekati Oey Yong, tangan siapa ia tarik, ia mengutarakan rasa syukurnya.
Oey Yong menunjuk kepada Kwee Ceng, ia berkata kepada si nona: "Ma Totiang, yang menjadi paman gurumu yang nomor satu, pernah mengajarkan ilmu silat, dan lain-lain paman gurumu, seperti Khu Supee dan Ong Supee, semua memandang tinggi kepadanya. Sebenarnya kita adalah orang sendiri."
Setelah Lee Seng mengasih selamat kepada Ang Cit Kong, Kwee Ceng dan Oey Yong. Mereka memang tahu, ketua itu tidak pernah menerima murid tetapi entah bagaimana, kali ini kebiasaan itu tidak dapat dipertahankan. Tentu saja ia, yang diajar, hanya beberapa jurus, menjadi kagum sekali. Ia pun berkata, besok hendak ia mengadakan perjamuan guna pemberian selamat itu.
"Aku khawatir mereka jijik dengan kedekilan kita, mereka tidak akan sudi dahar makanan kita kaum pengemis!" berkata Cit Kong sambil tertawa.
"Besok pasti kita akan hadir," berkata Kwee Ceng lekas. "Lee Toako ada cianpwee kami, aku justru ingin sekali mempererat persahabatan kita!"
Senang Lee Seng mendapat perkataan anak muda ini. Ia memang suka ini anak muda yang lihay dan sifatnya sangat merendah.
"Kamu bersahabat erat, inilah bagus," kata Cit Kong. "Tapi ingat, jangan kau membujuk murid kepalaku ini menjadi pengemis. Kau, muridku yang kecil, pergi kau mengantarkan Nona Thia pulang. Kami bangsa pengemis, sekarang kami hendak pergi mencuri ayam dan mengemis nasi...!"
Habis berkata begitu, pangcu dari Kay Pang itu, Partai Pengemis, sudah lantas ngeloyor pergi. Lee Seng beramai mengikuti, tetapi sebelum, pergi Lee Seng memberitahukan, pesta besok bakal dibikin di rumah abu itu.
Oey Yong mengantarkan Nona Thia pulang, Kwee Ceng juga turut mengantar karena ia khawatir mereka itu nanti bertemu Auwyang Kongcu di tengah jalan, itulah berabe.
Di tengah jalan itu, Nona Thia perkenalkan dirinya pada Oey Yong. Ia ternyata bernama Yauw Kee. Ia memang pernah belajar silat pada Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie tetapi dasar dari keluarga hartawan, ia tidak bisa membuang semua sifatnya si orang hartawan, maka itu ia beda dari Oey Yong yang polos dan sederhana, meskipun sebenarnya Oey Yong termanjakan oleh ayahnya.
Sekembalinya dari rumah Thia Yauw Kee, Kwee Ceng dan Oey Yong hendak pulang ke penginapannya untuk beristirahat, mereka merasa letih, akan tetapi mendadak mereka mendengar tindakan kaki kuda mendatangi dari arah selatan ke utara, setelah datang hampir dekat, penunggang kuda itu menghentikan binatang tunggangannya. Oey Yong ingin ketahui siapa pengunggang kuda itu, ia lari menghampirkan, Kwee Ceng mengikuti dia.
Untuk herannya muda-muda ini, mereka mengenali Yo Kang, yang tangannya menuntun seekor kuda. Dan, berdiri di tepi jalan, orang she Yo itu asyik pasang omong dengan Auwyang Kongcu. Sebenarnya mereka ini ingin mendengar pembicaraan orang tetapi mereka tidak berani datang terlalu dekat, khawatir nanti kepergok. Maka itu apa yang terdengar adalah Auwyang Kongcu menyebut-nyebut "Gak Hui" dan kota "Lim-an" dan Yo Kang mengatakan "ayahku". Setelah itu, Auwyang Kongcu memberi hormat, bersama murid-muridnya, dan gundik-gundiknya, ia berlalu.
Yo Kang berdiri menjublak, lalu ia menghela napas, kemudain ia berlompat naik ke atas kudanya.
"Yo Hiantee, aku ada di sini!" Kwee Ceng memanggil.
Yo Kang terkejut, tetapi segera ia lari menghampirkan
"Toako, kau ada di sini?" tanya heran.
"Di sini aku bertemu bersama Nona Oey, kita pun bentrok sama Auwyang Kongcu, kerananya perjalananku terlambat," Kwee Ceng menyahut.
Mukanya Yo Kang merah dan dirasakan panas, tetapi Kwee Ceng tidak dapat melihatnya.
"Toako, kita jalan terus sekarang atau singgah dulu?" Yo Kang tanya. "Apakah Nona Oey akan turut bersama pergi ke Pak-khia?"
"Bukannya aku mengikut kamu, tetapi kaulah yang mengikuti kami," kata Oey Yong.
"Toh, tidak ada perbedaannya!" Kwee Ceng tertawa. "Mari kita pergi ke rumah abu untuk beristirahat, setelah terang tanah kita melanjutkan perjalanan kita."
Yo Kang menurut, maka mereka balik ke rumah abu keluarga Lauw itu. Kwee Ceng menyalakan sisa lilinnya Auwyang Kongcu.
Oey Yong membawa sebuah ciaktay, dengan menyuluh, ia punguti semua jarumnya.
Hawa malam itu panas mengkedus, maka ketiganya merebahkan diri di depan ruang dimana mereka meletakkan daun pintu. Hampir mereka kepulasan, kuping mereka mendengar tindakan kaki kuda. Lantas mereka bangun untuk berduduk, untuk memasang kuping. Terang itu bukannya seekor kuda, dan suaranya pun makin nyata.
"Yang di depan tiga orang, yang di belakang, yang mengejar belasan," berkata Oey Yong.
Kwee Ceng seperti hidup di punggung kuda, ia lebih berpengalaman daripada si nona. Ia kata: "Inilah aneh! Pengejar itu terdiri dari enambelas orang!"
"Apa katamu!"
"Yang di depan itu semua kuda Mongolia, yang di belakangnya bukan. Heran, kenapa kuda Mongolia dari gurun pasir lari-larian di sini?"
Oey Yong berbangkit, ia menarik tangan Kwee Ceng buat diajak ke pintu. Mendadak saja sebatang anak panah lewat di atasan kepala mereka. Ketiga penunggang kuda sudah lantas sampai di depan rumah abu, hanya celaka penunggang kuda yang paling belakang, ketika sebatang panah menyambar pula, kudanya terpanah kempolannya, binatang itu meringkik, lalu roboh. Syukur untuknya, dia kaget, dia dapat berlompat turun dari kudanya itu, hanya ia tidak mengerti ilmu ringan tubuh, turunnya dengan tubuh yang berat. Dua kawannya berdiri bengong dan saling mengawasi.
"Aku tidak kurang suatu apa!" berkata yang kudanya roboh itu. "Kau lekas berangkat terus, nanti aku merintangi mereka itu!"
"Nanti aku membantui kau merintangi mereka," kata yang satunya. "Su-ongya boleh lekas menyingkir!"
"Mana bisa?!" berkata orang yang dipanggil su-ongya itu, pangeran keempat.
Mereka itu bicara dalam bahasa Mongolia dan Kwee Ceng merasa mengenali mereka, ialah Tuli, Jebe dan Boroul. Tentu saja ia menjadi bertambah heran, hingga ia menduga-duga, kenapa mereka itu berada di tempat ini. Tadinya ia berniat pergi menemui mereka atau kaum pengejarnya keburu sampai dan sudah lantas mulai mengurung.
Ketiga orang Mongolia itu membuat perlawanan dengan panah mereka. Nyata mereka pandai sekali menggunai senjatanya itu. Pihak pengurung tidak berani datang mendekat, mereka menyerang dengan anak panah dari kejauhan.
"Naik!" berseru seorang Mongolia, tangannya menunjuk ke tiang bendera.
Bagaikan kera, mereka itu berlompat naik, maka itu, sebentar kemudia mereka dapat memernahkan diri di tempat tinggi.
Pihak pengurung mendesak lebih jauh, semua mereka turun dari kudanya masing-masing.
"Engko Ceng, kau keliru," kata Oey Yong. "Mereka berlimabelas."
"Tidak bisa salah. Salah satunya telah kena terpanah!"
Benar saja, seekor kuda yang lain mendatangi dengan perlahan, di pelananya ada penunggangnya yang tergantung kaki kirinya dan terseret, di dadanya ada panah panjang yang menancap.
Diam-diam Kwee Ceng merayap menghampiri penunggang kuda itu, yang sudah mati. Ia mencabut anak panahnya. Ia mendapat kenyataan, gagang panah tersalut besi matang. Bahkan di situ ada ukiran seekor macan tutul, ialah tanda dari panahnya Jebe. Anak panah itu lebih berat dari anak panah biasa. Sekarang ia tidak bersangsi pula. Maka ia berteriak menanya; "Yang di atas itu suhu Jebe dan adik Tuli?"
Tiga orang itu terdengar berseru kegirangan.
Berbareng dengan itu dua bayangan putih melayang turun ke arah pemuda she Kwee itu.
Kwee Ceng mendengar suara sayap burung atau ia segera mengenali kedua ekor burung rajawali piarannya putri Gochin Baki.
Kedua ekor burung itu sangat tajam matanya, walaupun dalam gelap, mereka mengenali majikan mereka, maka ini mereka lantas terbang turun. Sambil berpekik mereka hingga di pundak majikannya itu.
Oey Yong kagum sekali. Memang pernah ia mendengar Kwee Ceng bercerita halnya memanah burung rajawali dan mendapatkan anaknya yang terus dipiara, hingga ia pun memikir, kalau ia dapat pergi ke gurun pasir, hendak ia memelihara burung itu.
"Mari kasih aku bermain-main dengannya!" ia kata tanpa menghiraukan musuh semakin mendekati. Ia mengulur tangannya, untuk memegang burung itu, guna mengusap-usap bulunya. Tapi burung itu lihay, ia tidak kenal si nona, ia mematok. Syukur si nona keburu tarik pulang tangannya itu.
"Jangan!" Kwee Ceng mencegah.
"Burung ini busuk!" kata si nona, yang tertawa. Biar bagaimana ia suka burung itu, yang ia terus awasi.
"Yong-jie, awas!" mendadak Kwee Ceng berseru.
Itu waktu dua batang anak panah menyambar ke arah dadanya si nona.
Oey Yong acuh tak acuh atas datangnya anak panah itu, akan tetapi dengan sebat ia menyembat tubuhnya si penunggang kuda yang sudah mati itu, maka kedua anak panah lantas mengenakan tubuh orang itu, yang ternyata adalah serdadu Kim, cuma sebab ia mengenakan baju lapis, anak panah itu jatuh ke tanah. Lantas si nona merogoh kantungnya si serdadu, ia keluarkan rangsum keringnya, yang mana ia pakai untuk memberi makan kepada kedua ekor rajawali itu.
"Yong-jie, kau memainlah dengan burung ini, nanti aku menghajar tentara Kim itu!" berkata Kwee Ceng, yang segera lompat maju, tepat menghadapi satu musuh, yang memanah kepadanya. Ia sampok anak panah itu dengan tangan kiri lalu dengan tangan kanan ia cekal tangan orang, yang ia terus tekuk patah.
"Hai, bangsat anjing dari mana berani banyak tingkah di sini?!" berteriak seseorang dari tempat yang gelap. Ia bicara dalam bahasa Tionghoa, malah suaranya dikenali Kwee Ceng, sehingga pemuda ini heran. Tengah ia tercengang, sepasang kampak sudah menyambar kepadanya, cahaya senjata itu bergemerlapan.
Melihat serangan bukan sembarang serangan, Kwee Ceng mendak, sembari mendak ia membalas menyerang, segera dengan jurus "Naga sakti menggoyang ekor" dari Hap Liong Sip-pat Ciang!
Tidak tempo lagi musuh itu terhajar pundaknya, tulang-tulangnya pada patah dan remuk, tubuhnya terpental jatuh sambil ia mengeluarkan jeritan yang menyayatkan. Maka sekarang Kwee Ceng ingat salah sau dari Hong HO Su Koay, yaitu Song-bun-hu Cian Ceng Kian.
Menyesal juga pemuda itu yang ia telah berlaku secepat itu, ia khawatir Ceng Kian terbinasa. Ia hanya tidak menyangka, baru beberapa bulan atau ia sekarang dapat mengalahkan Siluman dari Sungai Hong Hoo itu demikian gampang. Tengah ia menyesal, mendadak datang lagi serangan - sebuah golok dan sebatang tombak.
Ia segera menduga kepada Toan-hun-to Sim Ceng Kong dan Twie-beng-chio Gouw Ceng Liat. Ia membangkol tombak orang dan menarik, maka tubuh si penyerang menjadi terjerunuk maju, tempat menjadi sasarannya golok kawannya, tetapi dengan satu tendangan, Kwee Ceng menghalau golok yang terbang melayang. Habis itu, dengan kesebatannya, pemuda ini mengangkat tubuh orang, untuk dilemparkan, maka itu Ceng Kong dan Ceng Liat saling bentur dengan keras, hingga keduanya pingsan.
Hong Ho Su Koay ini tinggal bertiga sebab Siluman yang satu lagi, yaitu Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong telah terbinasa di tanganya Liok Koan Eng ketika ia nelusup masuk ke dalam rombongan perampok Thay Ouw itu. Mereka bertigalah orang-orang lihay dari rombongan serdadu-serdadu Kim yang mengejar Tuli bertiga itu. Mereka roboh tanpa diketahui rombongannya, maka serdadu-serdadu Kim itu masih tetap menyerang Tuli, Jebe dan Boroul.
"Masih kamu tidak mau menyingkir! Apakah kamu ingin mampus semua di sini?!" membentak Kwee Ceng, yang segera maju menyerbu, menyerang kalang-kabutan kepada serdadu-serdadu itu, hingga sebentar kemudian mereka itu menjadi kacau dan kabur.
Sim Ceng Kong dan Gouw Ceng Liat sadar saling susul, melihat ancaman bahaya, mereka kabur tanpa berayal lagi.
Jebe bersama Boroul lihay ilmu panahnya, mereka dapat membinasakan tiga serdadu.
Tuli mengawasi ke bawah, ia menyaksikan Kwee Ceng menghajar musuh, ia girang bukan main.
"Anda, kau baik?" ia menanya. Terus dengan memeluk tiang bendera, ia merosot turun, setibanya di tanah, si sambar tangan Kwee Ceng, untuk mereka saling jabat dengan keras, mata mereka saling tatap.
Menyusul itu, Jebe dan Boroul pun merosot tutun.
"Tiga orang itu melawan kami dengan tamengnya, tidak dapat kami memanah mereka," berkata Jebe. "Coba tidak Ceng-jie datang menolong, pastilah kami tak bakal dapat minum pula airnya sungai Onom yang jernih!"
Jago panah ini berbicara separuh bergurau hingga orang tertawa.
Kwee Ceng lantas menghampirkan Oey Yong, untuk ditarik menghampirkan Tuli bertiga.
"Inilah adik angkatku," ia perkenalkan nona itu.
Oey Yong yang lucu dan berani, sembari tertawa ia lantas berkata: "Sepasang burung ini dapatkah diberikan kepadaku?"
Tuli berdiam mengawasi si nona, ia tidak mengerti bahasa Tionghoa dan peterjemahnya telah mati terbinasa si tangan musuh. Ia cuma mendengar suara orang halus dan merdu dan wajahnya manis.
"Eh, anda, mengapa kau membawa-bawa burung ini?" Kwee Ceng tanya. Ia pun tidak mengambil peduli perkataannya si nona.
"Ayahanda menitahkan kaisar Song," menyahut Tuli. "Kami berjanji bersama-sama mengerahkan angkatan perang kita guna menggenjet pasukan perang Kim. Adikku bilang, mungkin nanti aku ketemu kau, maka ia menyuruh aku membawa burung ini."
Kwee Ceng berdiam mendengar orang menyebut putri Gochin. Ia berpikir: "Dalam satu bulan aku mesti memenuhi janji pergi ke pulau Tho Hoa To, mungkin sekali ayahnya Yong-jie bakal membunuh aku, maka itu tiba-tiba dapat aku perdulikan lagi dia itu..." Maka itu ia berpaling kepada Oey Yong dan berkata: "Sepasang burung ini menjadi kepunyaanku, kau boleh ambil buat main!"
Oey Yong girang bukan main, ia lantas pula mengambil daging kering untuk mengasih makan pada burung itu.
Tuli lantas bercerita bagaimana ayahnya, Jenghiz Khan menang berperang melawan bangsa Kim, bagaimana ia diutus kepada raja Song untuk membuat perserikatan, akan tetapi di tengah jalan ia berpapasan sama tentara Kim, yang merintanginya, hingga mereka bertempur, hingga habislah barisan pengiringnya, hingga mereka tinggal bertiga saja. Maka syukur di sini ia bertemu ini saudara angkat, yang dapat menolongi mereka.
Mendengar keterangan Tuli ini, Kwee Ceng menjadi ingat apa yang ia dengar di Kwie-in-chung tempo Yo Kang menyuruh Bok Liam Cu pergi ke Lim-an untuk menemui Perdana Menteri Su Bie Wan, untuk memesan agar perdana menteri itu membinasakan utusan Mongolia itu. Ketika itu ia belum tahu apa-apa, tidak tahunya, negera Kim sudah mengetahui rahasia itu, dari itu dengan Yo Kang diutus raja Kim ke Selatan, maksudnya pun tak lain tak bukan guna merintangi perserikatan Song dan Mongolia itu.
"Pihak Kim itu rupanya berkeputusan tetap untuk menawan aku," Tuli berkata pula, "Maka juga adik rajanya sendiri, yaitu pangeran yang nomor enam, yang memimpin pasukannya memegat kami."
"Adakah ia Wanyen Lieh?" tanya Kwee Ceng.
"Benar! Dia memakai kopiah emas, inilah aku lihat jelas. Sayang sekali, tiga kali aku panah dia, saban-saban panahku dirintangi tameng pengiring-pengiringnya."
Kwee Ceng girang sekali hingga ia berseru: "Yong-jie, adik Kang! Wanyen Lieh ada di sini, mari kita lekas cari dia!"
Oey Yong menyahuti tetapi Yo Kang tidak, malah orangnya pun tidak nampak.
Kwee Ceng heran.
"Yong-jie pergi ke timur, aku ke barat!" katanya cepat.
Lantas keduanya lari pesat sekali.
Setelah berlari-lari beberapa lie, Kwee Ceng dapat menyandak beberapa serdadu Kim yang lagi kabur, ia menawan satu diantaranya, maka ia mendapat kepastian, benarlah pemimpin tentara pengepung Tuli adalah Wanyen Lieh sendiri, hanya disaat itu, ini serdadu tidak ketahui di mana beradanya pangerannya itu.
"Kita sudah meninggalkan pangeran dan kabur, kalau kita pulang, kita ada bagian dipotong kepala kami," kata si serdadu, "Karena itu kami hendak meloloskan seragam kami untuk kabur dan menyembunyikan diri."
Kwee Ceng penasaran, ia masih mencari, tetapi sia-sia saja. Ketika itu fajar mulai menyingsing. Ia bergelisah sendirinya. Maka ia terus lari, akan mencari. Ketika ia tiba di sebuah hutan kecil di depannya, di sana berkelebat seseorang dengan pakaian putih. Itulah Oey Yong yang pun tidak memperoleh hasil. Maka dengan masgul, mereka kembali ke rumah abu di mana mereka menemui Tuli bertiga.
"Mungkin Wanyen Lieh itu pulang untuk mengambil bala bantuan!" Tuli berkata. "Anda, aku lagi bertugas, tidak dapat aku ayal-ayalan, maka di sini saja kita berpisahan."
Kwee Ceng berduka, khawatir nanti ia tak dapat bertemu pula dengan tiga orang itu. Berempat mereka saling rangkul, lalu mereka berpisahan. Ia mengawasi kepergian mereka itu, sampai orang lenyap dan tindakan kaki kudanya pun tak terdengar.
"Engko Ceng, mari kita menyembunyikan diri," Oey Yong mengajaki. "Kita menanti sampai Wanyen Lieh datang bersama pasukannya, itu waktu tentu kita bakal menemui dia. Kalau jumlahnya besar sekali, kita menguntit saja, malamnya baru kita menyatroni, untuk membunuh padanya. Tidakkah itu bagus?"
Kwee Ceng girang, ia puji si nona.
Oey Yong pun sangat girang.
"Sebenarnya ini tipu daya lumrah saja, namanya berpindah dari gili-gili menaik perahu," katanya tertawa.
"Nanti aku pergi ke dalam rimba untuk menyembunyikan kuda kita," kata Kwee Ceng, yang terus menuntun kudanya. Ketika ia tiba di belakang rumah abu, ia lihat satu benda bersinar keemas-emasan yang bertojoh matahari. Ia lantas menghampirkan dan memungutnya. Nyata itu ada sebuah kopiah bersalut emas dan di situ pun tertabur dua butir batu permata sebesar buah kelengkeng. Ia lantas lari kepada Oey Yong.
"Yong-jie, lihat apa ini?" ia berkata separuh berbisik.
Oey Yong terkejut.
"Inilah kopiahnya Wanyen Lieh," sahutnya.
"Benar! Kebanyakan dia masih bersembunyi di dekat-dekat sini, mari kita cari pula!" mengajak Kwee Ceng.
Oey Yong memutar tubuhnya, tangannya menekan tembok, maka sekejap saja ia sudah berada di atas tembok itu.
"Aku mencari dari atas, kau di bawah!" katanya.
Kwee Ceng menyahuti, lantas ia masuk ke dalam pekarangan rumah.
"Engko Ceng, barusan ilmu ringan tubuhku bagus atau tidak?" si nona menanya.
Kwee Ceng menghentikan tindakannya, ia melongo.
"Bagus!" sahutnya, "Kenapa?"
Nona itu tertawa.
"Kalau bagus, kenapa kau tidak memuji aku?" tanyanya.
Kwee Ceng membanting kakinya.
"Anak, anak nakal!" katanya. "Diwaktu begini kau masih bergurau!"
Oey Yong tertawa, terus ia lari ke belakang.
Selagi Kwee Ceng membantu Tuli melawan seradau-serdadu Kim, Yo Kang yang matanya jeli sekali telah lantas dapat melihat Wanyen Lieh yang mengepalai tentara Kim itu. Biar ia bukannya anak pangeran itu, ia tetapi ingat budi orang yang sudah merawat ia belasan tahun. Ia memandangnya sebagai ayahnya sendiri, dari itu ia mengerti. lambat sedikit saja, pangeran itu bisa dapat susah. Tanpa pikir lagi, ia berlompat untuk menolongi, justru itu Kwee Ceng telah melontarkan seorang serdadu, Wanyen Lieh berkelit tetapi sia-sia, ia kena ditubruk serdadu itu, ia roboh dari kudanya. Yo Kang lompat, untuk merangkul seraya ia berbisik di kupingnya pangeran itu: "Hu-ong, inilah anak Kang, jangan bersuara!"
Kwee Ceng lagi bertempur dan Oey Yong lagi membuat main burung, maka itu tidak ada yang melihat Yo Kang mengajak ayah angkatnya itu menyingkir ke belakang rumah abu. Keduanya masuk ke dalam rumah dan sembunyi di sebuah kamar barat. Mereka mendengar pertempuran menjadi reda, serdadu-serdadu Kim lari serabutan, begitupun pembicaraan Kwee Ceng dengan tiga orang Mongolia itu.
Wanyen Lieh merasa ia tengah bermimpi.
"Anak Kang kenapa kau berada di sini?" ia menanya perlahan. "Siapa orang kosen itu?"
"Dia Kwee Ceng, anaknya Kwee Siauw Thian dari dusun Gu-kee-cun di Lim-an," Yo Kang memberitahu.
Dingin Wanyen Lieh merasakan bebokongnya. Di otaknya berkelebat kejadian pada sembilanbelas tahun yang lampau itu. Ia membungkam. Segera setelah itu, ia mendengar suara Kwee Ceng dan Oey Yong mencari padanya. Ia bergidik. Ia telah menyaksikan kegagahan orang tadi diwaktu ketiga Siluman dari Hong Hoo dihajar dan tentaranya dilabrak.
"Hu-ong, mari sembunyi terus di sini," berkata Yo Kang. "Kalau kita keluar sekarang, ada kemungkinan kita terlihat mereka. Tidak nanti mereka menyangka kita berada di sini. Sebentar setelah mereka pergi jauh barulah kita mengangkat kaki."
Wanyen Lieh mengangguk.
"Benar anak Kang," ia menyahuti. "Kenapa kau memanggil aku hu-ong dan bukannya ayah?"
Yo Kang tidak menjawab. Ia ingat almarhum ibunya, pikirannya bekerja keras.
"Apakah kau lagi memikirkan ibumu?" Wanyen Lieh tanya. "Benarkah?" Ia memegang tangan orang dan tangan itu dingin bagaikan es.
Dengan perlahan-lahan Yo Kang meloloskan tangannya.
"Pemuda she Kwee itu bernama Kwee Ceng, ia gagah sekali," ia memberitahu. "Untuk membalas sakit hati ayahnya, ia bakal mencelakai hu-ong. Untuk itu, dia dapat menggunai segala daya upaya. Dia pun mempunyai banyak sahabat. Maka itu dalam setengah tahun ini baiklah hu-ong jangan pulang ke Pak-khia..."
"Benar, baiklah kalau aku menyingkir daripadanya," menyahut pangeran itu. "Apakah kau pernah pergi ke Lim-an? Apakah katanya Perdana Menteri Su itu?"
"Aku belum pergi ke sana," menjawab Yo Kang lagu suaranya tawar.
Mendengar suara orang itu, Wanyen Lieh menduga anak ini telah mengetahui asal-usul dirinya, hanya heran ia, mengapa ia telah ditolongi.
Untuk delapanbelas tahun, keduanya ini menjadi ayah dan anak yang saling menyinta dan menyayangi, akan tetapi pada detik ini, berada dalam sebuah kamar, Yo Kang merasakan di antara mereka ada permusuhan hebat sekali. Yo Kang bersangsi, terombang-ambing di antara kecintaan dan kebencian.
"Asal aku menggeraki tanganku, pasti sudah dapat aku membalas sakit hati ibuku," berkata si anak dalam hati. "Tetapi, bagaimana dapat aku turun tangan? Laginya, apakah benar aku selamanya tidak sudi menjadi putra raja? Apakah aku mesti hidup seperti Kwee Ceng, yang mesti merantau saja?"
Wanyen Lieh seperti dapat menerka hati orang.
"Anak Kang, kita pernah menjadi ayah dan anak, maka itu untuk selamanya, kau tetap anakku yang aku cintai," ia berkata, "Negara Kim kita, tak usah sampai sepuluh tahun, bakal dapat merampas kerajaan Song, maka itu waktu dengan kekuasaan besar berada di tanganku, kebahagiaan kita tidak ada batasnya. Negara ini yang luas dan indah adalah kepunyaanmu!"
Yo Kang dapat menangkap maksud ayah itu, yang hendak mengangkangi kerajaan. Ia goncang hatinya akan mendengar kata-kata "Kebahagiaan yang tak ada batasnya". Ia pikir: "Dengan ketangguhan kerajaan Kim sekarang, memang gampang untuk menakluki kerajaan Song. Hu-ong pun sangat cerdas dan pandai bekerja, sekalipun raja sekarang, tidak dapat melawannya. Kalau usaha hu-ong ini berhasil, bukankah aku akan menjadi raja di kolong langit ini?"
Maka dengan begini, ia merasakan darahnya mendidih. Dengan keras ia mencekal tangan Wanyen Lieh.
"Ayah, anakmu akan membantu kau membangun usahamu yang besar!" ia memberikan kata-katanya.
Wanyen Lieh merasakan tangan bocah itu panas, ia girang bukan buatan.
"Aku menjadi Lie Yan, kau menjadi Lie Sie Bin!" katanya. Lie Yan dan Lie Sie Bin adalah ayah dan anak dalam pembangun kerajaan Tong.
Selagi Yo Kang hendak menjawab, tiba-tiba ia mendengar suara berkeresek di belakangnya. Dua-duanya terkejut, dua-duanya segera berpaling.
Nyata cahaya terang sudah mulai menembusi jendela, maka terlihatlah di belakang mereka tujuh atau delapan peti mati, yang sudah terisi mayat, yang lagi menanti tanggal penguburannya. Jadi bagian belakang rumah abu ini dipakai sebagai kamar penyimpan jenazah.
"Suara apakah itu?" tanya Wanyen Lieh, hatinya berdebar.
"Rupanya tikus," menyahut anaknya.
Tapi segera terdengar suara bicara dan tertawanya Oey Yong dan Kwee Ceng, yang lewat di luar kamar itu. Mereka mencari Wanyen Lieh sambil membicarakan kopiah emas yang mereka ketemukan.
"Celaka!" pikir Yo Kang. "Kenapa aku tidak ketahui kopiahnya hu-ong terjatuh?" Ia lantas membisiki ayahnya itu: "Hendak aku memancing mereka pergi." Lantas ia menolak daun pintu dan berlompat keluar, untuk berlompat terus naik ke genting.
Oey Yong dapat melihat bayangan orang berkelebat.
"Bagus! Dia di sini!" serunya, lantas ia berlompat menyusul. Tetapi tiba di ujung rumah, bayangan itu lenyap.
Kwee Ceng mendengar suara si nona, ia lari menghampirkan.
"Dia tidak bakal lolos, tentu dia sembunyi di dalam sana," kata si nona.
Selagi keduanya hendak menerobos masuk ke dalam pepohonan lebat, justru itu terdengar pepohonan kecil bergerak dan tersingkap, di situ muncul Yo Kang.
Kwee ceng jaget dan heran.
"Eh, adik, kau pergi ke mana?" dia menanya. "Apakah kau dapat melihat Wanyen Lieh?"
"Kenapa Wanyen Lieh ada di sini?" Yo Kang balik menanya, agaknya ia heran.
"Dia datang ke mari memimpin pasukan serdadunya," sahut Kwee Ceng. "ini kopiahnya."
"Oh, begitu!" Yo Kang berpura-pura.
Oey Yong mengawasi wajah orang, ia curiga.
"Kita mencari kau, ke mana kau pergi?" ia tanya.
"Kemaren aku salah makan barang, perutku mulas," menyahut Yo Kang. "aku buang air di sana." Ia menunjuk ke dalam gombolan.
Oey Yong tidak menanya pula, tetapi ia tetap bercuriga.
"Adik Kang, mari kita lekas mencari!" Kwee Ceng mengajak.
Hati Yo Kang berdebar-debar. Ia menduga-duga apakah Wanyen Lieh sudah kabur atau belum. Ia menenangkan dirinya, untuk tidak mengetarakan kecemasan pada parasnya.
"Dia datang mengantarkan jiwa, itulah bagus!" katanya. "Pergilah Toako bersama nona Oey mencarinya ke timur, aku akan mencari ke barat."
"Baik," sahut Kwee Ceng yang terus pergi ke jurusan timur. Di sana ia menolak daun pintu kamar Ciat-hauw-tong, ruang kebaktian dan kesucian diri.
Tapi Oey Yong berkata: "Yo Toako, mungkin ia sembunyi di barat, mari aku turut kau memeriksa ke sana."
Yo Kang berkhawatir bukan main, tapi ia menjawab: "Mari lekas, jangan memberinya waktu ketika untuk kabur!" Ia lantas mendahului, untuk menggeledah setiap kamar. Tentu saja ia menyingkir dari kamar untuk menyimpan jenazah itu.
Keluarga Lauw di Po-eng adalah keluarga besar di jaman Song, maka rumah abunya pun besar luar biasa. Hanya karena peperangan, gedung itu telah mengalamai kerusakan. Adem hati Oey Yong memandangi rumah abu itu. Ia melihat Yo Kang memasuki kamar-kamar yang berdebu atau banyak kabang-kabangnya, dia memeriksa dengan teliti, ia mulai mengerti ketika sampai di kamar barat, yang debunya tebal, di mana ada banyak tapak kaki dan tapak tangan di pintu, mendadak ia berseru: "Di sini!"
Kwee Ceng dan Yo Kang mendengar suaranya, yang satu menjadi girang, yang lain kaget. Mereka lari memburu. Oey Yong membuka pintu dengan satu jejakan, tetapi ketika pintu kamar itu terpentang, ia berdiri melongo. Ia bukannya melihat orang yang dicarinya, hanya ia nampak beberapa peti mati tampak di situ.
Yo Kang lega hatinya. Ia percaya Wanyen Lieh sudah lolos. Tetapi ia beraksi, ia maju ke depan sambil berseru: "Wanyen Lieh, manusia licin, di mana kau bersembunyi? Lekas keluar!"
"Yo Toako, siang-siang dia sudah mendengar suara kita!" kata Oey Yong dengan tertawa. "Tak usah kau begitu baik hati memberitahukan kedatangan kita kepadanya!"
Yo Kang gusar, bahwa rahasia hatinya dibongkar.
"Nona Oey, kenapa kau bergurau begini padaku?" katanya, mukanya merah.
Kwee Ceng tertawa.
"Jangan dibuat pikiran, adikku," katanya. "Yong-jie main-main saja...." Ia lantas menuju ke lantai. "Lihat, itulah bekasnya orang duduk! Benar-benar ia pernah datang kemari!"
"Lekas kejar!" Oey Yong berseru. Ia lantas memutar tubuhnya, atau mendadak terdengar bunyi nyaring di belakang mereka. Ketiganya terkejut, semua berbalik lantas. Mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak.
Oey Yong nyali besarnya tetapi terhadap peti mati, hatinya gentar, maka itu ia sudah lantas memegangi tangan Kwee Ceng. Pemuda ini tercengang sebentar, lantas ia berkata: "Jangan takut, Yong-jie, si jahanam berada di dalam peti mati!"
"Lihat, ia lari ke sana!" berseru Yo Kang sambil tangannya menunjuk keluar. Dia pintar sekali, ia lantas lompat untuk mengubar.
Oey Yong tetap mencurigai orang, ia menyambar tangan Yo Kang, akan mencekal nadinya.
"Jangan kau main gila!" katanya, tertawa dingin.
Nona Oey ini jauh terlebih lihay, dicekal tangannya, Yo Kang merasakan tubuhnya lemas, hingga tidak dapat ia bergerak. Tapi ia tetap tenang.
"Eh, kau bikin apa?" ia menanya, berpura-pura.
"Engko Ceng, apakah itu di dalam peti mati?" Oey Yong tanya kawannya tanpa memperdulikan orang yang dicurigainya itu.
"Aku rasa dialah si jahanam!" menyahut Kwee Ceng.
"Kau menakuti-nakuti aku?" kata Oey Yong pada Yo Kang tangan siapa ia sampar. Ia masih penasaran. Tapi mengenai peti mati, ia tetap bersangsi, ia khawatir orang adalah mayat hidup.... Maka ia memberi ingat: "Hati-hati engko Ceng....."
Kwee Ceng sudah bertindak menghampirkan ketika ia menghentikan tindakannya itu.
"Apa katamu?" ia tanya.
"Kau tutup saja peti itu, supaya mahkluk di dalamnya tak dapat keluar," Oey Yong memberi pikiran.
"Mana ada mayat hidup?" kata Kwee Ceng tertawa. Ia tahu kekasihnya itu jeri. Ia pun berkata sambil lompat ke peti mati itu. "Dia tidak bisa merapa keluar!"
Di jaman Song umumnya orang sangat percaya pada hantu atau setan.
"Engko Ceng," berkata si nona, masih dalam kesangsian, "Nanti aku coba menyerang dengan pukulan Memukul Udara, tidak peduli dia mayat hidup atau Wanyen Lieh, mari kita dengar jeritan atau tangisannya...."
Sembari berkata si nona maju dua tindak, tenaganya di kerahkan. Di dalam halnya ilmu pukulan Pek-hong-ciang, ia belum semahir Liok Seng Hong, kerana itu, ia perlu memernahkan diri lebih dekat. Belum lagi serangannya dikeluarkan, mendadak ia mendengar tangisan bayi dari dalam peti itu. Ia kaget hingga ia berlompat mundur, tubuhnya menggigil, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan: "Setan perempuan....!"
Kwee Ceng tapinya berani.
"Adik Yo, mari kita buka tutupnya peti!" ia mengajak.
Yo Kang tengah mandi keringat dingin, saking khawatirnya, sedang untuk membantui Wanyen Lieh, ia jeri terhadap ini muda-mudi yang lihay, maka itu, bukan main lega hatinya akan mendengar tangisan itu. Tanpa ayal ia berlompat maju. Maka sesaat kemudian, berdua mereka sudah dapat mengangkat tutup peti yang belum dipantek paku itu.
Kwee Ceng mengangkat tutup petinya sambil siap sedia akan menyerang kapan ia dapatkan mayat hidup, kemudian untuk herannya, ia melihat Bok Liam Cu yang rebah di dalam peti mati itu.
Yo Kang pun heran, lekas-lekas ia mengulur tangannya untuk membantui orang berbangkit.
"Yong-jie, mari!" kata Kwee Ceng. "Kau lihat siapa ini...."
"Tidak, aku tidak mau melihat-lihat!" sahut si nona.
"Tapi ialah enci Bok!" Kwee Ceng mendesak.
Baru sekarang Oey Yong mau berpaling. Ia melihat Yo Kang mengempo seorang bayi, yang romannya mirip Liam Cu, maka ia maju ke arah peti, akan melihat Liam Cu sendiri rebah dengan muka kucal dan air matanya meleleh, tubuhnya tidak bergeming.
Sebagai ahli menotok jalan, Oey Yong lekas menolongi Nona Bok itu. Ia menotok sana-sini.
"Enci Bok, kenapa kau berada di sini?" tanya Oey Yong kemudian.
Rupanya sudah lama Liam Cu tertotok, hingga jalan darahnya tertahan, sudah tubuhnya kaku, napasnya pun tidak lurus, maka itu Oey Yong mambantui ia dengan mengurat-urat juga. Selang sedikit lama, baru nona itu bisa membuka mulutnya.
"Aku kena ditawan orang," katanya.
Oey Yong mendapat tahu Liam Cu ditotok jalan darahnya di telapakan kaki, yaitu jalan darah yong-coan-hiat. Ahli silat Tionghoa jarang yang menggunai ilmu totok semacam ini, maka itu ia dapat menduga siapa si penyerang itu.
"Bukankah telur busuk itu Auwyang Kongcu dari Wilayah Barat itu?" ia menanya.
Liam Cu tidak menyahuti, ia cuma mengangguk.
Ketika itu hari Liam Cu menolongi Yo Kang pergi mengasih kabar pada Bwee Tiauw Hong, dia ditawan Auwyang Kongcu dan dibawa pergi pemuda itu, yang kena diusir oleh Oey Yok Su. Beberapa kali ia dipaksa kongcu itu, ia melawan, hanya kemudian, setelah si kongcu menggunai ilmu lunak dan ia telah dibujuk pergi datang, ia kalah hati juga, ia menyerah. Kemudian datang saatnya Auwyang Kongcu menggilai Nona Thia, sampai ia kena diusir. Diwaktu kabur, tak sempat ia membawa Bok Liam Cu. Maka itu syukur Kwee Ceng bertiga, yang mencari Wanyen Lieh, dengan begitu ia jadi ketolongan, kalau tidak, pasti ia terbinasa di dalam peti mati itu.
 Â
Bab 34. Orang aneh di dalam kurungan
Yo Kang senang melihat kekasihnya itu.
"Adikku, kau beistirahatlah," katanya kemudian. "Nanti aku masak air untuk kau mencuci muka!"
"Mana kau bisa memasak air!" Oey Yong menyelak. "Aku yang nanti pergi masak. Engko Ceng, mari!"
Nona ini ingin berduaan dengan kekasihnya itu. Tapi, belum lagi ia berlalu, Liam Cu sudah berkata kepada si orang she Yo itu. Ia tidak tersenyum seperti Yo Kang, romannya pun dingin.
"Tunggu dulu!" demikian katanya. "Orang she Yo, aku beri selamat padamu! Di belakang hari tak terbatas kebahagiaan dan keagunganmu!"
Muka Yo Kang menjadi panas. Sebaliknya punggungnya dirasakan dingin. Ia menjublak, tetapi di dalam hatinya ia berkata: "Rupanya dia telah mendapat dengar apa yang tadi aku bicarakan dengan hu-ong..."
Liam Cu melihat muka orang agak berduka, hatinya lemah, tidak tega ia membuka rahasia bahwa orang she Yo inilah yang melepaskan Wanyen Lieh. Ia tahu, dalam gusarnya Oey Yong bisa membinasakan tunangannya itu.
"Kau memanggil ia ayah, bukankah itu bagus sekali?" ia berkata, dingin. "Tidakkah itu terdengarnya lebih erat? Kenapa justru kau memanggil hu-ong?"
Yo Kang tunduk, ia malu sekali, hatinya berdebaran.
Oey Yong tidak bercuriga, ia menyangka sepasang kekasih itu lagi berselisih, maka itu ia tarik ujung baju Kwee Ceng.
"Mari kita pergi, aku tanggung sebentar lagi mereka akan akur pula..." bisiknya.
Kwee Ceng tertawa, ia mengikut keluar.
Sampai di depan Oey Yong berkata dengan perlahan: "Engko Ceng, mari kita curi dengar pembicaraan mereka."
"Jangan bergurau, aku tidak mau pergi!" kata si pemuda.
"Kau tidak mau pergi, jangan kau menyesal, kalau ada kejenakaan, sebentar aku tidak akan membilangimu!" Ia lantas lompat naik ke atas genting, untuk dengan berhati-hati belok ke kamar barat peranti menimbun jenazah itu.
Justru itu terdengar suara Lim Cu: "Kau mengakui bangsat menjadi ayahmu, itulah masih bisa dimengerti, sebab di antara kamu ada rasa cinta lama dan kau pun belum dapat berbalik hati, tetapi sekarang niatmu tidak benar, itulah yang bukan-bukan! Kau hendak membikin musnah negara sendiri...! Ini, ini....!"
Saking murka dan pepat hati, Liam Cu tidak dapat berbicara lebih jauh.
"Adikku, aku..." berkata Yo Kang sambil tertawa.
Tapi ia dibentak nona Bok: "Siapa adikmu?! Jangan pegang aku!"
Lalu terdengar suara "Plak!" maka muka Yo Kang kena ditampar.
Oey Yong tertawa, dia berlompat turun, terus masuk di jendela.
"Kalau ada bicara, bicaralah baik-baik!" ia berkata, tertawa. Ia tidak menduga jelek. Ia melihat muka Liam Cu merah gusar dan paras Yo Kang pucat berkhawatir, ia menjadi terkejut, ia menduga perselisihan menjadi hebat. Ia memikir untuk mengakuri.
Baru ia hendak membuka mulutnya, atau Yo Kang sudah berkata terlebih dahulu: "Bagus!" kata orang she Yo itu. "Kau menyambut yang baru dan membuang yang lama! Di dalam hatimu sudah ada orang lain, maka begitulah kau berlaku terhadap aku!"
"Kau, kau bilang apa?!" kata nona Bok.
"Kau telah ikut Auwyang Kongcu itu! Dia pintar surat dan pandai silat, dia menangi aku sepuluh kali lipat! Mana kau melihat mata lagi padaku!"
Liam Cu mendongkol hingga kaki tangannya dingin, hampir ia pingsan.
"Yo Toako, jangan kau omong sembarangan," berkata Oey Yong. "Kalau enci Bok menyukai telur busuk itu, mustahil dia menaruh enci di dalam peti mati ini?"
"Palsu atau bukan, sama saja!" berkata Yo Kang. "Dia kena ditawan, dia kehilangan kesucian dirinya, mana bisa aku hidup bersama pula dengannya?!"
"Aku kehilangan kesucian apa?!" tanya Liam Cu sengit.
"Kau telah terjatuh di tangan orang untuk banyak hari, kau dipeluk dan dirangkul pulang pergi! Bisakah kau masih suci bersih?!"jawab pemuda itu.
Liam Cu begitu mendongkol hingga ia memuntahkan darah hidup, tubuhnya roboh ke belakang.
Hampir Yo Kang berlompat untuk menubruk atau dia ingat, Liam Cu sudah ketahui rahasianya, kalau mereka berselisih terus, mungkin rahasianya itu pecah di hadapan Oey Yong, dari itu ia terus bertindak keluar, pergi ke belakang di mana ia melompat tembok untuk menyingkir terus.
Oey Yong menguruti Liam Cu sekian lama, baru nona itu sadar. Ia berdiam sebentar, lantas ia tidak menangis pula, sikapnya pun tenang.
"Adik, hendak aku meminjam pisau belati yang baru-baru ini aku serahkan padamu!" katanya kemudian.
"Engko Ceng, mari!" Oey Yong memanggil sebelum ia sahuti si nona.
Kwee Ceng dengar panggilan itu, ia lantas muncul.
"Coba kasihkan enci Bok pisau belatinya Yo Toako," kata nona Oey.
Kwee Ceng menurut, ia keluarkan pisau belati yang Cu Cong ambil dari tubuhnya Bwee Tiauw Hong, pisau mana dibungkus dengan kulit, yang ada ukiran huruf-hurufnya, yang terukir dengan jarum. Ia tidak tahu, itulah rahasianya Kiu Im Cin Keng. Ia simpan kulit itu di dalam sakunya, dan pisaunya ia serahkan kepada Liam Cu.
Oey Yong pun mengeluarkan pisau belatinya, ia berkata perlahan: "Pisaunya engko Ceng ada padaku, mana itu kepunyaannya Yo Toako yang aku berikan pada kau. Enci, inilah jodoh yang sudah ditulis. Tadi kamu telah berselisih, itulah tidak ada artinya, jangan kau berbuat duka. Aku pun sering bercedera dengan ayahku. Sekarang ini bersama engko Ceng, aku mau pergi ke Pak-hia untuk mencari Wanyen Lieh, maka itu enci, jikalau kau senang, mari kau turut bersama kami pesiar. Aku percaya, Yo Toako pun bakal turut bersama."
"Ya, mana saudara Yo?" Kwee Ceng tanya.
Oey Yong mengulur lidahnya, lekas ia berkata: "Barusan ia berselisih dengan enci, dalam gusarnya enci telah menabok dia, lantas ia ngeloyor pergi..."
"Aku tidak mau pergi ke Pak-khia, kamu juga tidak usah pergi ke sana," berkata Liam Cu. "Dalam tempo setengah tahun ini, jahanam Wanyen Liah itu tidak nanti berada di Pak-khia. Dia takut nanti kamu pergi mencarinya untuk menuntut balas! Engko Kwee, adik Oey, kamu berdua orang-orang baik, beruntungan kamu pun bagus...."
Ia berhenti tiba-tiba, mulutnya seperti tersumbat, lantas ia lari keluar, dimana ia mengenjot tubuhnya, ia berlompat naik ke atas genting.
Melihat orang muntah darah, hati Oey Yong tidak tenang. Lantas ia menyusul. Ia masih sempat melihat nona Bok berada di bawah sebuah pohon besar, tangan kirinya diangkat tinggi, tangan kanannya diangkat ke atas kepalanya dan sinar pisau belati berkelebat di cahaya matahari. Ia terkejut.
"Enci, jangan!" ia berteriak.
Tentu ia tak dapat mencegah orang membunuh diri karena jarak di antara mereka jauh sekali, ia cuma bisa berlari-lari untuk menghampirkan.
Liam Cu tidak menikam lehernya atau dadanya, hanya dengan piasu belati itu ia membabat kutung rambutnya, lalu ia membuangnya, terus kakinya berlari-lari.
"Enci! Enci!" Oey Yong berteriak-teriak memanggil.
Liam Cu tidak memperdulikannya, ia lari terus sampai ia lenyap dari pandangan mata, sedang Oey Yong cuma bisa melihat rambut berterbangan berhamburan ke selokan, ke sawah dan pepohonan di dekat-dekat situ.
Semenjak kecil Oey Yong selalu dimanjakan, tak pernah ia menginsyafi apa yang dinamakan kedukaan. Senang ia tertawa lebar, jengkel ia menangis menggerung-gerung, sejenak kejengkelan itu hilang. Tetapi sekarang ia menyaksikan peristiwa hebat itu di depan matanya, ia dapat merasainya untuk pertama kalinya. Ia jadi berduka dan terharu. Dengan perlahan-lahan ia kembali ke rumah abu. Kepada Kwee Ceng ia beritahukan perbuatannya Liam Cu itu, yang terus menghilang.
"Entah kenapa enci Bok berlaku demikian," berkata Kwee Ceng, yang tidak mengerti duduknya hal. "Dia beradat keras sekali."
Oey Yong heran hingga ia berpikir: "Mustahilkah seorang perempuan yang dirangkul-rangkul dan dipeluk-peluk hilang kesucian dirinya? Hingga sekalipun orang yang mencintainya dan menghormatinya pun menjadi tidak memandang mata kepadanya, sampai ia tidak diambil peduli lagi?"
Terus si nona ini tidak mengerti, ketika ia sampai di dalam ruang, dia duduk menyender di tiang dengan mata dimeramkan, hingga akhirnya ia tertidur pulas.
Ketika sang malam tiba, Lee Seng dan rombongannya mempersiapkan meja perjamuan seperti yang dijanjikan, untuk menghormati Ang Cit Kong, pemimpin besarnya itu, serta Kwee Ceng dan Oey Yong, hanya ditunggu hingga tengah malam, Cit Kong masih tetap tidak muncul. Lee Seng ketahui tabiat aneh dari pangcu itu, ia tidak mengambil peduli, ia terus jamu sepasang muda-mudi itu. Semua orang sangat menyukai anak-anak muda itu. Bahkan nona Thia turut mematangi beberapa rupa barang santapan dan memerintahkan budaknya mengantarinya tempat pesta itu.
Habis berjamu, yang ditutup dengan kegembiraan, Kwee Ceng dan Oey Yong berdamai. Wanyen Lieh tidak pulang ke Pak-khia, sukar untuk mencari padanya, dari itu perlu mereka memenuhkan janji pergi ke Tho Hoa To. Untuk itu, tentu saja mereka mesti pergi dulu ke Kee-hin, guna mencari Kanglam Liok Koay, untuk berembuk terlebih jauh.
Oey Yong akur, maka itu besoknya pagi mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka ke Selatan.
Itu waktu, di permulaan tanggal sepuluhan bulan enam, hawa udara panas terik. Maka cocok pepatah orang Kanglam yang membilang; "Bulan enam tanggal enam, telur bebek terjemur hingga matang!" Walaupun orang mempunyai payung, panas tetap menyiksa.
Pada suatu hari tibalah Kwee Ceng di Kee-hin. Gurunya masih belum datang. Maka itu ia menulis surat kepada keenam gurunya itu serta suratnya dititipkan kepada kuasa rumah makan Ciu Sian Lauw dengan pesan, kalau Kanglam Liok Koay tiba, supaya suratnya itu diserahkan. Ia menulis halnya bersama Oey Yong ia mau pergi ke Tho Hoa To. Ia membilang terima kasih seraya memberi hormat.
Oey Yong girang bukan main tiba di kampung halamannya sendiri.
"Ayah, ayah!" dia berteriak-teriak, "Yong-jie pulang!" Ia berlari-lari sambil terus menggapai-gapai kepada Kwee Ceng.
Kwee Ceng melihat orang lari ke timur dan ke barat tak ketentuan, atau dilain saat nona itu lenyap dari pandangan matanya. Ia heran, ia lekas lari menyusul. Baru lari belasan tembok, ia sudah kesasar. Ia melihat jalan kecil diempat penjuru, tak tahu ia jalan mana yang ia mesti ambil. Tempo ia memaksa maju terus, sebentar kemudian ia kembali ditempat asal. Ia lantas ingat sama keadaan di Kwie-in-chung, yang menurut Oey Yong diatur luar biasa, dari itu, pulau ini mestinya sama mempunyai jalanan rahasia, yang merupakan tin atau barisan istimewa.
Untuk tidak usah berlari-lari tidak ada tuasnya, akhirnya Kwee Ceng duduk di bawah sebuah pohon tho, untuk menanti Oey Yong kembali untuk menyambut padanya. Tapi ia menanti sekian lama, si nona belum muncul juga. Ia jadi tidak sabaran. Ia memanjat sebuah pohon tinggi, akan memandang ke seputarnya. Di Selatan ada laut, di barat ada batu gundul. Di timur dan utara, semuanya pohon bunga dengan bunganya warna merah atau kuning, atau hijau atau ungu. Tak nampak tembok, tak terlihat asap mengepul. Sunyi disekeliling situ. Tanpa merasa, hati Kwee Ceng menjadi tidak tenang. Lantas ia lari ke depan, masuk antara pepohonan lebat. Atau mendadak ia merandak, separuh berseru, ia kata dalam hatinya: "Celaka! Aku pergi tanpa tujuan! Kalau Yong-jie mencari aku, mungkin dia tidak dapat menemuinya!" Maka ia lari balik. Apa mau, ia tidak menemui jalanan tadi, ia kesasar ke tempat lain.
Pemuda ini pun lantas kehilangan kuda merahnya, yang sejak tadi mengikuti padanya. Inilah sebabnya ia mencoba naik ke atas pohon, hingga kudanya menjadi ketinggalan. Ketika sang sore mendatangi, ia putus asa, ia duduk mendeprok di tanah. Hendak ia menantikan si nona....
Senang ia duduk di tanah yang berumput tebal, tinggal rasa berdahaga dan laparnya, yang mengganggu. Gangguan lapar jadi semakin hebat kapan ia ingat masakan yang lezat-lezat yang Oey Yong bikin untuk Ang Cit Kong...
Tiba-tiba pemuda ini kaget dan bergelisah hatinya.
"Kalau Oey Yong dikurung ayahnya dan dia tidak dapat menolongi aku, bukankah aku bakal mati kelaparan di sini?" pikirnya. Ia menyesal kapan ia ingat yang sakit hati ayahnya belum terbalas. Ia pun ingat ibunya, yang berada sendirian di gurun pasir. Kalau ia mati, sama siapa ibunya itu akan mengandal? Letih ia berpikir, lama-lama ia kepulasan sendirinya.
Sampai tengah malam, Kwee Ceng bermimpi bersama Oey Yong pesiar ke kota raja Pak-khia, sama-sama dahar barang hidangan yang lezat dan si nona bernyanyi merdu untuknya. Tiba-tiba ia berdusin mendengar suara seruling. Ia memasang kuping, matanya pun melihat sinar rembulan indah. Ia tahu yang ia tidak tidur lagi. Ia hanya dengar, seruling datang dari tempat jauh. Ia menjadi mendapat hati, maka ia berbangkit, terus ia bertindak ke arah darimana suara itu datang. Ketika ia mendapatkan jalanan buntu, suara seruling tetap ada di depan.
Kemudian pemuda ini ingat jalanan rahasia di Kwie-in-chung, lantas ia berjalan terus, kalau jalanan buntu, ia naik ke atas pohon. Kali ini ia mendengar suara semakin nyata, maka ia jalan semakin cepat. Akhirnya, ketika ia menikung, ia melihat satu tempat di mana bunga-bunga berwarna putih, pohon bunga bergumpal mirip sebuah telaga kecil. Di sini suara seruling sebentar tinggi dan sebentar rendah. Anehnya, kalau ia dengar suara di timur dan pergi ke sana, suara itu pindah ke barat, kalau ia pergi ke selatan, suara berada di utara. Demikian berulangkali. Atau mendadak seperti ada belasan orang yang meniup seruling berbareng dan berada di sekitarnya. Ia bagaikan dipermainkan.
Kwee Ceng merasakan kepalanya pusing setelah ia lari mondar-mandir sekian lama. Sekarang ia tidak pedulikan suara lagi, ia lari ke tengah gumpalan bunga di mana ada tanah munjul. Kiranya itu adalah sebuah kuburan dengan batu nisannya bertuliskan catatan: "Kuburan dari Phang-sie, nyonya pemilik dari Tho Hoa To"
"Inilah tentu kuburan ibunya Oey Yong;" Kwee Ceng berpikir. "Yong-jie kehilangan ibu sejak ia kecil, kasihan dia..." Ia lantas berlutut di depan kuburan itu, untuk memberi hormat berlutut empat kali. Tengah ia paykui itu, seruling berhenti secara tiba-tiba, hingga suasana menjadi sunyi. Tempo ia berbangkit, seruling berbunyi pula, terdengarnya di sebelah depan.
"Biarpun ada ancaman bencana, akan aku mengikutinya," Kwee Ceng pikir. Ia bertindak ke arah suara itu, ia tidak pedulikan pepohonan lebat. Ia baru berdiri menjublak kapan suara seruling bersalin rupa, sekarang semangatnya seperti tertarik, hatinya berdebaran.
"Hebat, lagu apakah itu?" ia tanya dirinya sendiri.
Mulainya kendor, suara seruling itu jadi cepat, seperti memaksa orang menari-nari, iramanya seperti mengandung kecabulan, menyebabkan kuping orang merah dan urat-urat tegang. Ia lantas menjatuhkan diri, untuk duduk bersemadhi seperti ajaran Ma Giok. Mulanya ia masih terpengaruh, hampir ia berlompat bangun, untuk menari, baru belakangan, hatinya jadi tetap dan mantap. Setelah mendapat ketenangan, hatinya menjadi lega dan kosong, tidak lagi ia terpengaruh suara seruling itu, ia sekarang seperti mendengar suara gelombang, suara angin di pohon, bahkan dahaga dan laparnyapun lenyap. Ia merasa bahwa ia tidak bakal terpengaruh lagi gangguan, maka ia berani membuka matanya. Maka ia melihat di depannya, sejarak dua tombak, sepasang sinar tajam berkilauan.
"Entah binatang apakah itu?" ia menduga. Ia lompat mundur beberapa tindak.
Sekonyong-koyong sinar itu lenyap.
"Benar aneh pulau Tho Hoa To ini," pikirnya. "Macan tutul atau rase yang bagaimana gesit pun tidak dapat bergerak sepesat ini."
Ia tengah berpikir, lantas ia mendengar suara napas memburu.
"Ah, itulah orang, tadi itu ialah matanya! Rupanya ia belum pergi jauh..."
Ia tertawa sendirinya. Hanya sekarang ia tidak tahu, orang itu musuh atau bukan.
Suara seruling masih saja terdengar, sekarang iramanya berubah menjadi seperti suara penasaran atau kenang-kenangan, atau sebagai hati muda dan panas dari seorang wanita muda, yang seperti menanti-nanti saja di sebuah kamar...
Kwee Ceng tidak kena dipengaruhi lagu itu. Ia masih muda sekali dan semenjak kecil ia giat belajar silat, mengenai soal kewanitaan, ia belum mengerti. Ia hanya heran mendengar suara napas yang memburu itu yang tercampur rintihan, seperti orang tengah mempertahankan diri melawan gangguan seruling itu.
Merasa kasihan terhadap orang itu, Kwee Ceng bertindak menghampirkan. Sinar bulan terang tetapi tempat kealingan cabang-cabang dan daun-daunnya. Ketika sudah datang mendekat beberapa kaki, baru ia dapat melihat orang itu, yang lagi duduk di bersila, rambutnya panjang terurai ke tanah, alis dan kumisnya pun panjang, hingga lubang hidung dan mulutnya ketutupan. Satu tangannya ia letaki di depan dadanya, yang lainnya di belakangnya. Ia tercekat hati. Ia ingat dulu diajarkan semadhi dengan sikap begitu oleh Tan Yang Cu Ma Giok ketika ia berada di gurun pasir, di puncak bukit. Itulah ilmu untuk menutup hati sendiri, siapa sudah mahir peryakinannya, ia dapat tak memperdulikan suara guntur atau air bah. Ia hanya heran, kenapa orang takut pada suara seruling itu.
Suara seruling semakin hebat, tubuh orang itu bergerak-gerak, hendak melompat, beberapa kali ia sudah mencelat sekaki lebih, kelihatannya ia masih dapat mempertahankan diri. Tapi Kwee Ceng mengerti, orang tak akan bertahan lama. Ia cemas sendirinya.
Irama seruling terdengar terus, ada kalanya perlahan dan bertukar dua kali.
"Sudah, sudah!" bersuara orang itu, agaknya hendak ia berlompat bangun.
Kwee Ceng kaget, tanpa berpikir lagi, ia lompat maju, tangan kirinya dilonjorkan, untuk mencelat bahu orang itu, sedang tangan kanannya dipakai menepuk pundak, di jalan darah tay-cui-hiat. Ia ingat dulu, setiap kali semadhinya kalut, Ma Giok tentu meraba jalan darahnya itu, untuk mengasi hawa panas dari tangan. Ia masih rendah pelajarannya, ia tidak dapat hanya meraba, ia perlu menepuk. Tapi ini menolong. Orang itu tampaknya tenang, dapat ia berdiam dan memeramkan mata.
Tengah Kwee Ceng bergirang sendirinya, mendadak dari belakangnya, ada yang membentak padanya: "Binatang cilik, kau merusak usahaku!"
Suara seruling itu pun berhenti.
Si anak muda terkejut, cepat ia berpaling. Ia tidak melihat orang, ia hanya seperti mengenali suaranya Oey Yok Su. Ia menjadi masgul. Sejenak itu ia menyesal.
"Entah orang tua ini manusia baik atau jahat," demikian pikirnya. "Kenapa aku lancang menolongi dia... Pantas saja ayahnya Yong-jie gusar... Kalau nanti dia ini satu iblis, bukankah aku jadi melakukan kesalahan besar?"
Ia menjadi bergelisah sendirinya.
Orang tua itu bernapas reda, ia mulai meluruskannya.
Kwee Ceng tidak menanya apa-apa, ia duduk di depan orang tua itu, ia pun bersemadhi. Ia baru membuka matanya ketika fajar sudah menyingsing dan embun telah turun.
Di antara sinar matahari, yang molos dari sela-sela pohon bunga, terlihat wajah orang tua itu dimana bunga-bunga terbayang. Nyata kumisnya belum putih semua, cuma entah sudah berapa tahun tak pernah dicukur, hingga ia mirip orang hutan.
Tiba-tiba kedua matanya orang itu dibuka, lalu terlihat sinarnya yang tajam sekali. Ia lantas saja tersenyum dan bertanya: "Kau muridnya salah satu dari Coan Cin Cit Cu yang mana?"
Mendengar suara orang itu sabar, hati Kwee Ceng lega. Ia berbangkit untuk menjura. Ia memperkenalkan diri dan menyebut Kanglam Cit Koay sebagai gurunya.
Orang tua itu heran, ia tidak percaya.
"Kenapa Kanglam Cit Koay mengerti ilmunya Coan Cin Pay?" tanyanya.
"Sebenarnya Tan Yang Cinjin Ma Totiang pernah ajarkan ilmu selama dua tahun tetapi ia belum menerima teecu sebagai murid," Kwee Ceng menjelaskan.
Orang tua itu tertawa, lalu mukanya nampak lucu. Ia mirip bocah yang lagi bergurau.
"Aku mengerti sekarang! Kenapa kau dapat datang ke Tho Hoa To ini?" dia tanya.
"Oey Tocu dari Tho Hoa To yang menitahkan teecu datang kemari."
"Untuk apakah?" Orang tua itu agaknya terkejut, air mukanya sampai berubah.
"Teecu berbuat salah dan teecu hendak menerima binasa..."
"Apakah kau tidak mendusta?" menegaskan orang tua itu.
"Tidak berani teecu mendusta," sahut Kwee Ceng hormat sekali. Terus ia membahasakan diri teecu (murid).
Orang tua itu mengangguk-angguk.
"Bagus, kau duduklah."
Kwee Ceng menurut, ia duduk di sebuah batu besar. Sekarang ia melihat tegas si orang tua bercokol di dalam sebuah gua dan di depannya terhalang beberapa lembar kawat. Entah apa perlunya kawat itu.
"Siapakah yang lainnya yang pernah mengajarkan kau ilmu lagi?" tanya si orang tua.
"Ialah guruku yang baik budi Ang Kiu Cie Sin Kay," menyahut Kwee Ceng sejujurnya.
Orang tua itu agaknya merasa heran, ia juga mengasih lihat roman tertawa bukannya tertawa. "Apakah Ang Cit Kong telah ajarkan kau ilmu?" tanyanya cepat.
"Ya," menyahut Kwee Ceng, yang omong terus terang. "Ia pernah mengajarkan Hang Liong Sip-pat Ciang."
"Apakah dia tidak mengajarkan juga ilmu dalam?"
"Tidak."
Orang tua itu dongak mengawasi langit langit, lalu ia berkata seorang diri: "Dia masih begini muda, umpama kata dia belajar semenjak dalam kandungan, dia toh baru belajar delapan atau sembilanbelas tahun, maka heran, kenapa aku tidak sanggup melawan suara seruling tapi dia sanggup?" Dia benar-benar heran, maka ia mengawasi pemuda di hadapannya itu, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Lantas ia mengulur keluar tangan kanannya di antara kawat kurungan. Ia kata: "Coba kau mendorong telapakan tanganku, hendak aku mencoba tenagamu."
Kwee Ceng menurut, ia mengulur tangannya, menempel tangan si orang tua.
"Kerahkanlah tenagamu," kata orang tua itu.
Kwee Ceng menurut, ia mengerahkan tenaganya.
"Hati-hati," si orang tua memperingatkan: Selagi orang bersiap, ia pun mengerahkan tenaganya.
Kwee Ceng merasakan penolakan keras, tak sanggup ia menahannya, maka hendak ia membantu dengan tangan kirinya, atau mendadak si orang tua membalik tangannya, telunjuknya mengenakan lengannya. Cuma sekali ia tertekan, tubuhnya lantas mencelat ke belakang tujuh atau delapan kaki, punggungnya membentur sebuah pohon. Di situ barulah ia bisa berdiri tetap.
Lantas orang tua itu berkata lagi seorang diri: "Ia tak ada celaannya, kecuali belum mahir betul. Heran kenapa ia dapat bertahan dari lagu Thian-mo-bu?"
"Thian-mo-bu" itu adalah lagu seruling tadi, artinya Tarian Hantu Langit.
Kwee Ceng mengeluarkan napas lega. Ia juga mengawasi orang tua itu, sangking heran, ia berpikir: "Orang tua ini berimbang kepandaiannya dengan Ang Cit Kong dan Oey Yok Su. Kenapa di Thoa Hoa To ini orang semacam ini? Adakah ia See Tok atau Lam Tee?"
Mengingat nama See Tok, si Racun dari Barat, ia terkejut: "Jangan-jangan aku terpedaya," pikirnya. Maka ia angkat tangannya untuk diperiksa. Tangan itu tidak bengkak atau merah, hatinya menjadi lega pula.
Orang tua itu tertawa.
"Kau badelah, siapa aku ini?" ia bertanya.
Kwee Ceng menyahuti: "Menurut apa yang teecu dengar, orang yang paling gagah sekarang ini cuma ada lima orang. Coan Cin Kauwcu Ong Totiang telah menutup mata, Kiu Cie Sin Kay yang menjadi guruku dan Oey Tocu teecu kenal, maka itu mungkinkah cianpwee ada Auwyang Cianpwee atau Toan Hongya?"
Orang tua itu tertawa.
"Bukankah kau merasakan ilmu kepandaianku berimbang sama Tong Shia dan Pak Kay?" ia tanya.
"Pelajaranku masih sangat rendah, tidak berani teecu bicara sembarangan," sahut Kwee Ceng berhati-hati. "Barusan cianpwee menolak padaku, dari itu teecu merasa, kalau bukan Ang Ingsu dan Oey Tocu, belum pernah ada orang ketiganya."
Itulah pujian, senang si orang tua. Ia mengasih lihat roman jenaka yang kebocah-bocahan.
"Aku bukannya See Tok Auwyang Hong dan bukan juga entah apa Hongya, maka itu cobalah kau menerka lagi sekali." katanya.
Kwee Ceng berpikir, baru ia menyahut: "Pernah teecu bertemu dengan seorang yang namanya berimbang sama pemimpin dari Coan Cin Pay yaitu Kiu Cian Jin, tetapi ia cuma menang nama, kepandaiannya biasa saja," sahutnya. "Sebenarnya pengetahuan teecu masih sangat cetek, teecu tidak ingat nama cianpwee."
Orang tua itu tertawa.
"Aku she Ciu! Kau ingatkah sekarang?" dia tanya.
"Cianpwee ialah Ciu Pek Thong?" tanya Kwee Ceng cepat. Tetapi ia terkejut. ia sudah menyebut langsung nama orang tua itu. Maka lekas-lekas ia memberi hormat seraya berkata: "Teecu sudah berlaku tidak hormat, harap cianpwee suka memberi maaf."
Orang tua itu tertawa pula.
"Tidak salah, tidak salah, akulah Ciu Pek Thong!" katanya. "Kau menyebut namaku, apakah yang tidak hormat? Kauwcu dari Coan Cin Pay, Ong Tiong Yang, ialah kakak seperguruanku, dan Ma Giok serta Khu Cie Kee lainnya, mereka semuanya keponakan muridku. Kau bukannya orang Coan Cin Pay, tidak usah kau menyebut-nyebut cianpwee, kau panggil saja aku Pek Thong!"
"Itulah aku tidak berani," kata Kwee Ceng heran tetapi tetap hormat.
Tinggi usianya, tetap Ciu Pek Thong mirip bocah. Untuk apa yang ia kehendaki, ia tak kenal kebiasaan atau adat istiadat, pasti ia langgar. Begitulah ketika ia ingat suatu apa, ia lantas kata: "Saudara Kwee, bagaimana kalau kita mengangkat saudara?"
Kwee Ceng heran hingga ia menjublak.
"Teecu adalah sebawahan Ma Totiang dan Khu Totiang, seharusnya teecu menghormati cianpwee sebagai sucouw-ya!" katanya. Sucouw-ya adalah kakek guru.
Ciu Pek Thong menggoyangi tangannya berulang-ulang.
"Kepandaianku adalah kakak seperguruanku yang mengajarinya," ia bilang. "Ma Giok dan Khu Cie Kee semua tidak memandang aku sebagai yang terlebih tua, mereka pun tidak menghormati aku sebagai yang terlebih tua itu..."
Berkata sampai disitu, suaranya Pek Thong tertunda. Ke situ ada datang satu bujang tua, yang tindakan kakinya terdengar terlebih dahulu. Dia membawa barang makanan.
"Ada makanan untuk didahar!" kata Ciu Pek Thong. Ia tertawa.
Bujang itu menyajikan barang bawaannya, yang terdiri dari empat rupa sayur, dua poci arak serta sepanci nasi. Dia pun menuangi dua cawan arak. kemudian ia berdiri menantikan di pinggiran.
"Mana nona Oey?" Kwee Ceng tanya. "Kenapa dia tidak datang kemari?"
Bujang itu menggeleng kepala, ia menunjuki pada kuping dan mulutnya, suatu tanda ia tuli dan gagu.
Ciu Pek Thong tertawa, dia kata: "Kuping orang ini ditusuk hingga tuli oleh Oey Yok Su. Coba kau suruh dia membuka mulutnya."
Kwee Ceng menurut, dengan gerakan tangannya, ia minta bujang itu membuka mulutnya. Kesudahannya dia terkejut. Lidah orang buntung.
"Semua bujang di pulau ini sama saja." Pek Thong memberitahukan. "Kau telah datang ke mari, jikalau kau tidak mati, di belakang hari kau bakal jadi seperti dia ini."
Kwee Ceng berdiam, hatinya mengatakan: "Kenapa ayahnya Yong-jie begitu kejam?"
Pek Thong berkata pula: "Setiap malam Oey Lao Shia menyiksa aku, tetapi aku tidak sudi menyerah kalah! Tadi hampir aku roboh di tangannya, jikalau tidak kau datang membantu aku, saudara kecil, dan mungkin tabiatku suka menang sendiri selama belasan tahun akan runtuh dalam satu malaman! Mari, mari disini ada arak dan barang santapan, mari kita mengangkat saudara, di belakang hari, ada untung kita cicipi bersama, ada kesusahan kita tanggung bersama juga! Ketika dulu hari aku mengangkat saudara sama Ong Tiong Yang, ia pun mula-mula main tolak-tolak. Bagaimana, eh apakah benar-benar kau tidak sudi?"
Kwee Ceng melihat muka orang berubah, lekas-lekas ia menyahuti; "Bukannya begitu, cianpwee. Sebenarnya tingkatku beda hingga dua tingkat, jikalau teecu menerima kehendak cianpwee, pasti orang akan tertawa dan mencaci teecu tidak tahu diri! Dan kalau nanti teecu bertemu sama Ma Totiang dan Khu Totiang, apakah teecu tak malu juga?"
"Ah, kenapa kau memikir begitu jauh?" kata Pek Thong masgul. "Kau tidak sudi mengangkat saudara, apakah kau mencela usiaku yang sudah lanjut? Oh...."
Mendadak orang tua itu menangis sesegukan, mukanya ditutupi, kumisnya dikacau pergi datang.
Kwee Ceng heran dan kaget. Ia bingung.
"Baik, baik, cianpwee teecu menurut..." katanya gugup.
Pek Thong masih menangis ketika ia berkata: "Kau menuruti karena aku paksa, kalau lain hari ada orang menanyakan kau, kau bakal timpakan kesalahan padaku! Aku tahu kau tidak sudi angkat saudara denganku!"
Kwee Ceng merasa lucu berbareng heran. Kenapa ada orang tua yang begini tidak mengindahkan ketuaannya sendiri? Ia tidak ketahui bahwa Ciu Pek Thong itu, dalam kalangan Rimba Persilatan, bergelar Loo Boan Tong, Bocah Tua Nakal, tabiatnya memang sangat ku-koay bin ajaib, walaupun berusia lanjut dan tingkat derajatnya tinggi, tapi sepak terjangnya mirip dengan bocah alias anak-anak. Begitu ia jumput sepiring sayur, dia lemparkan itu keluar kurungan, tak mau ia dahar.
Si bujang tua bingung, lekas-lekas ia memunguti.
Meyaksikan itu Kwee Ceng tertawa, lantas ia berkata: "Kakak begini baik hati, bagaimana teecu bisa menampik itu? Mari, kakak, marilah kita mengangkat saudara! Mari kita gunai tanah sebagai gantinya hio!"
Mendengar itu, tiba-tiba saja Ciu Pek Thong tertawa.
"Aku berada di dalam gua, tercegah kawat ini," ia berkata. "Karena aku tidak bisa keluar, aku akan paykui di dalam kurungan ini dan kau di sebelah luar!"
Kwee Ceng mengawasi kawat kurungan itu sekian lama, ia tidak mengerti kenapa Pek thong bisa terkurung di situ. Tetapi ia menurut, ia menjalankan kehormatan dari luar kurungan itu.
Pek Thong benar-benar berlutut, hingga mereka paykui sambil berendeng di antara kawat kurungan itu. Berkatalah si orang tua: "Teecu Ciu Pek Thong, hari ini teecu mengangkat saudara dengan saudara Kwee Ceng, di belakang hari, senang atau susah, kita sama-sama mencicipinya, siapa yang kemudian menyalahkan janji, biar Thian kutuk padanya!"
Kwee Ceng mengikuti mengangkat sumpah itu.
Setelah itu keduanya menyiram arak ke tanah dan Kwee Ceng lalu paykui kepada kakak angkatnya itu.
Pek Thong puas hingga ia tertawa terkakak.
"Sudah, sudah!" katanya. Ia menuang araknya, ia menenggak sendiri. Ia menambahkan: "Oey Lao Shia itu cupat sekali pandangannya. Dia memberikan arak yang begini tawar! Hanya pernah ada satu hari, si nona kecil menyuguhkan aku arak, araknya jempol, cuma sayang semenjak itu dia tidak pernah datang pula..."
Kwee Ceng tahu, si nona yang disebutkan itu ialah Oey Yong. Bukankah si nona pernah memberitahukan dia, sebab ia mengantar arak kepada Ciu Pek Thong, dia ditegur dan dimarahi oleh ayahnya, maka ia kabur. Tentulah Pek Thong tidak ketahui sebabnya si nona tidak pernah datang pula.
Kwee Ceng sudah lapar, ia tidak pikirkan arak, ia hanya menyendok nasi dan memakannya, sampai ia menghabiskan lima mangkok.
Si bujang tua menanti sampai orang dahar cukup, ia benahkan segala apa dan berlalu.
"Eh, adik kenapa kau bersalah terhadap Oey Lao Shia?" kemudain Pek Thong tanya. "Coba kau tuturkan itu pada kakakmu."
Kwee Ceng tuturkan halnya ia sudah membinasakan Tan Hian Hong dan di Kwie-in-chung bertempur sama Bwee Tiauw Hong, bagaimana Oey Yok Su hendak mencelakai Kanglam Liok Koay, maka itu ia berjanji untuk dalam tempo satu bulan datang ke pulau ini untuk terima binasa.
Loo Boan Tong paling gemar mendengar orang bercerita, demikian kali ini, ia memasang kuping sambil merem melek, asal si adik angkat berlambat, lantas ia memotong dengan pertanyaannya.
"Kemudian bagaimana?" tanya dia akhirnya.
"Kemudian ialah sekarang ini, adikmu berada disini," Kwee Ceng menjawab.
Pek Thong lantas berdiam, agaknya ia berpikir.
"Kiranya budak cantik itu baik denganmu," katanya. "Kenapa sepulangnya ini dia menghilang? Mesti ada sebabnya, mungkin dia kena dikurung oleh Oey Lao Shia..."
"Teecu pun menduga demikian," kata Kwee Ceng masgul.
"Apa kau bilang?" tanya Pek Thong, mukanya merah.
Kwee Ceng tahu, ia salah menggunakan bahasa "teecu" itu, ia lekas menyahuti: "Adikmu kesalahan, harap toako jangan berkecil hati."
Pek Thong tertawa. Ia berkata: "Perkara panggilan jangan kau bikin susah! Umpama kata kau lagi main sandiwara, kau memanggil ibu padaku boleh saja, nona juga boleh!"
"Baik, baik, toako," sahut adik angkat itu.
Pek Thong mengangguk.
"Coba kau terka, kenapa aku berada di sini?" tanyanya kemudian.
"Justru inilah adikmu hendak menanyakannya," sahut Kwee Ceng.
"Ceritanya panjang, nanti aku menutur perlahan-lahan," menyahuti si kakak jenaka ini. "Kau toh ketahui hal ikhwalnya dulu hari itu Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di puncah gunung Hoa San?"
Kwee Ceng mengangguk. "Pernah adikmu mendengar itu," sahutnya.
"Ketika itu akhirnya musim dingin, di gunung Hoa San itu salju seperti membungkus puncak," sang kakak bercerita. "Mereka berlima itu mulut berunding, tangan mengadu pedang, lamanya tujuh hari tujuh malam. Di akhirnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay berempat mengakui kakak seperguruanku itu, Ong Tiong Yang sebagai orang gagah nomor satu di kolong langit ini. Taukah kamu mengapa mereka membuat pertemuan di Hoa San itu?"
"Tentang itu adikmu belum pernah mendengarnya."
"Itulah buat gunanya sebuah kitab...."
"Kitab Kiu Im Cin-keng!" Kwee Ceng memotong.
"Benar! Adikku, kau muda tetapi sudah banyak pendengaranmu! Untuk kaum persilatan, Kiu Im Cin-keng adalah kitab luar biasa yang nomor satu. Menurut penuturan, kitab itu dikumpul dan ditulis oleh Tat Mo Couwsu setelah ia datang ke negeri kita ini dan sesudah ia bertanding mengadu kepandaian sama ahli-ahli silat kita, diwaktu mana, mereka menang dan kalah bergantian, lantas ia duduk bersemadhi menghadapi tembok selama sembilan tahun. Setahu mana, suatu tahun, kitab itu muncul di luaran, maka itu, timbulah perebutan di antara ahli-ahli silat. Tidak seorang pun yang tidak menghendakinya. Kakak seperguruanku bilang, karena perebutan itu, tidak sedikit ahli silat yang roboh sebagai korban, lebih daripada seratus orang. Umpama kata seorang mendapati itu, lantas ia menyakinkannya, belum satu tahun, lain orang mengetahuinya, lain orang itu merampasnya. Perampasan itu terjadi berulangkali. Maka siapa yang mendapatkan kitab itu, dia terpaksa menyembunyikan diri. Karena itu juga, orang pun menggunai banyak akal muslihat..."
Kwee Ceng menghela napas.
"Kalau begitu, kitab itu adalah kitab celaka dalam dunia kita ini," katanya. "Kalau Tan Hian Hong tidak mendapatkan itu, tentulah ia bisa hidup berbahagia dengan Bwee Tiauw Hong di dalam desa di mana mereka mengumpatkan diri dan Oey Tocu tidak nanti menghendakinya...."
"Tetapi ilmu silat tidak boleh tidak dipelajari!" sambung si kakak angkat.
Kwee Ceng menyahutinya, hanya di dalam hatinya ia mengatakan: "Kalau begitu ini kakak tua sudah kegilaan ilmu silat. Sebenarnya belum pernah aku mendengar lain orang yang seperti dia gilanya...."
"Eh, tadi aku bercerita sampai di mana?" Pek Thong tanya, rupanya ia lupa.
"Sampai di bagian orang-orang kosen di kolong langit ini hendak merampas kitab Kiu Im Cin-keng itu."
"Benar, urusan lantas jadi makin hebat. Bahkan kauwcu dari Coan Cin Kauw, tuan dari Tho Hoa To, Ang Pangcu dari Kay Pang dan lainnya, ikut campur tangan. Berlima mereka itu merundingkan ilmu silat dengan perjanjian, siapa yang paling lihay, ialah yang mendapatkan kitab itu.
"Akhirnya kitab itu terjatuh dalam tangan kakak seperguruanmu," kata Kwee Ceng.
"Memang!" jawab Ciu Pek Thong dengan sangat gembira. "Persahabatanku dengan Ong Suko memang erat sekali, sebelum ia menjadi imam, kita memang sudah bergaul rapat. Belakangan ia ajarkan aku ilmu silat. Dia mengatakan aku berlajar ilmu silat. Berlebihan dan kukuh sekali, hingga jadi seperti tolol, katanya itulah bukan syaratnya kaum imam. Karena itu, aku tidak menjadi murid Coan Cin Kauw. Di antara dia, katanya sebab terlalu mengutamakan ilmu silat, ia jadi mengabaikan agama. Kalau belajar silat orang mesti sungguh-sungguh, belajar ilmu To Kauw mestilah hati orang tawar. Jadi kedua ilmu itu bertentangan satu dengan lainnya. Ma Giok yang mewariskan pelajaran agamanya suheng dan Khu Cie Kee yang ilmu silatnya sempurna."
"Jikalau demikian adanya, kenapa Ong Cinjin dapat menjadi orang suci sejati berbareng lihay juga ilmu silatnya?" tanya Kwee Ceng tidak mengerti.
"Itulah disebabkan pada dasarnya suko memang berbakat baik dan ia gampang mempelajari segala macam ilmu. Dia bukanlah seperti kita yang memerlukan latihan mendalam. Eh ya, tadi ceritaku sampai dimana? Kenapa kau memegatnya?"
"Sampai di bagian sukomu mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng."
"Benar! Setelah mendapatkan kitab itu suka tidak memahamkan apa bunyinya, dia hanya menyimpan buku itu di dalam kotak yang kotaknya ia tindihkan batu di belakang kuil. Aku heran sekali, aku telah menanyakan sebab dari perbuatannya itu. Suko tidak mau memberikan keterangannya, ia jawab aku dengan tersenyum saja. Ketika aku mendesak, dia menyuruhku menerka sendiri. Sekarang cobalah kau yang menerka, apakah sebabnya itu?"
"Tentulah itu disebabkan ia khawatir kitab itu ada yang curi?" menerka Kwee Ceng.
"Bukan, bukan," Pek Thong menggelengkan kepalanya berulang-ulang. "Siapakah yang berani mencuri barangnya kaucu dari Coan Cin Kauw? Siapa berani berbuat begitu, itulah tandanya dia sudah bosan hidup!"
Kwee Ceng perpikir pula, lalu ia lompat berjingkrak.
"Benar memang pantaslah kitab itu disimpan di bawah batu!" katanya. "Sebetulnya. lebih baik lagi kalau dibakar habis saja..."
Pek Thong heran, ia menatap adik angkatnya itu.
"Memang dulu hari suko pun pernah mengatakan demikian," katanya. "Hanya tidak dapat ia melakukan itu, beberapa kali sudah ia mencoba, saban-saban gagal karena kesangsiannya. Ah, adikku, kau nampaknya tolol, mengapa kau dapat membadenya?"
Merah mukanya Kwee Ceng.
"Aku pikir, sukomu itu sudah lihay, walaupun ia belajar lebih jauh, dia tetap nomor satu," menyahut Kwee Ceng. "Aku pikir pula, dia tentunya pergi ke Hoa San bukan untuk mendapatkan nama jago nomor satu, hanya semata-mata untuk mendapatkan kitab itu, dan dia mendapatkan bukan untuk belajar lebih jauh, hanya untuk menolong orang-orang gagah di kolong langit supaya mereka tak usah terus-menerus saling membunuh."
Â
Bab 35. Main gundu.......
Pek Thong dongak mengawasi langit, ia berdiam. Menampak demikian, tak tenang hatinya Kwee Ceng, ia khawatir ia nanti salah bicara dan menyinggung kakak yang aneh tabiatnya itu.
Pek Thong menghela napas.
"Mengapa kau dapat memikir demikian?" tanyanya kemudian.
Adik angkat itu menggeleng kepala.
"Aku sendiri tidak tahu," jawabnya. "Aku hanya memikir, setelah kitab itu mencelakai banyak orang, walaupun benar-benar mustika adanya sudah seharusnya dimusnahkan saja."
"Kau benar, alasanmu pun sederhana sekali," bilang Pek Thong, "Cumalah aku itu waktu tidak dapat memikirkannya. Dulu hari suko pernah membilangi aku bahwa aku berbakat baik dan ulet, tetapi aku pun terlalu kukuh. Disebelah itu katanya aku kekurangan sifat wales asih, kurang kedermawaan, maka itu, bagaimana pun aku rajin, aku tidak bakal menyampaikan puncak kemahiran. Ketika itu aku tidak percaya suko, aku pikir apa sangkutannya pelajaran silat sama sifat prikemanusiaan? Hanya sekarang, adikku, setelah berselang belasan tahun, barulah aku mempercayainya. Adikku, dalam ilmu silat kau kalah dengan aku, tetapi dalam hal kejujuran, hati lapang, kau menang daripada aku, maka itu dibelakang hari, kau akan memperoleh hasil sepuluh lipat lebih banyak! Sayang suko sudah menutup mata, kalau tidak, pelajaran suko semua bisa diwariskan kepadamu. Suko, oh, suko, kau benar...."
Mengingat kebaikan kakak seperguruannya itu, tiba-tiba Pek Thong menangis sedih sekali. Ia mendekam di batu.
Kwee Ceng menjadi terharu.
Setelah menangis serintasan, Pek Thong angkat kepalanya.
"Ah, ceritaku belum berakhir," katanya. "Nanti habis bercerita, aku boleh menangis pula. Ya, kita sudah bercerita sampai di mana? Kenapa kau tidak membujuki aku supaya aku jangan menangis?"
Aneh benar kakak angkat ini, Kwee Ceng tertawa.
"Koko bercerita sampai Ong Cinjin menyembunyikan kitab di bawah batu," katanya. Pek Thong menepuk pahanya.
"Benar!" ia berseru. "Setelah ia menaruh kitab di bawah batu itu, aku minta suko memperlihatkan kitab itu padaku. Kau tahu, suko marah terhadap aku! Maka semenjak itu, aku tidak menyebut-nyebutnya pula. Benar saja, setelah itu dunia Rimba Persilatan menjadi tenang tentram. Adalah kemudian, setelah suko menutup mata, atau lebih benar disaat ia hendak meninggal dunia, telah timbul pula gelombang.
Keras suaranya Pek Thong ketika ia mengucapkan kata-katanya itu, Kwee Ceng menjadi ketarik hatinya, karena ia percaya gelombang itu pastilah bukan gelombang kecil. Ia lantas memasang kuping.
"Suko tahu saatnya sudah tiba, sesudah lantas mengurus segala apa mengenai partainya dan meninggalkan pesannya, ia suruh aku mengambil kitab Kiu Im Cin-keng itu," Pek thong melanjuti ceritanya. "Ia pun menitahkan menyalakan api di perapian, ia niat membakar itu. Selagi menantikan api marong, ia pegangi kitab itu, ia mengusap-usapnya, sembari menghela napas panjang, ia berkata, 'Inilah hasil cape hatinya cianpwee, mana dapat kitab ini termusnah di tanganku? Air itu dapat menampung perahu tetapi dapat juga mengaramkannya, maka itu haruslah dilihat, bagaimana orang-orang di jaman belakangan dapat mempergunakan kitab ini. Cuma orang-orang partai kita, siapa pun tidak dapat menyakinkan ilmu ini, supaya jangan sampai orang luar mengatakan aku merampas kitab ini sebab aku sekaker'. Habis berkata begitu, suko menutup mata. Malam itu jenazahnya ditunda di dalam kuil. Belum sampai jam tiga, terjadilah onar...."
Kwee Ceng terkejut hingga ia berseru: "Oh...!"
"Malam itu aku berada bersama-sama tujuh murid Coan Cin Pay menemani jenazah," Pek Thong melanjuti pula. "Tepat tengah malam, musuh datang menyerbu. Semua mereka orang-orang lihay. Ketujuh murid itu memecah diri untuk menyambut serangan. Untuk mencegah musuh bisa merusaki jenazah gurunya, semua muridnya itu memancing musuh keluar kuil. Aku sendiri yang menjaga jenazah suko, tiba-tiba aku mendengar bentakan dari luar kuil, menyuruh kita menyerahkan kitab. Musuh itu mengancam hendak membakar kuil. Aku melongok keluar, aku mengeluarkan peluh dingin. Aku melihat seorang berdiri di atas pohon. Teranglah ia lihay daripada aku dalam hal enteng tubuh. Walaupun demikian, terpaksa aku melawan dia. Aku berlompat keluar. Di atas pohon itu kita bertempur sampai kira-kira empatpuluh jurus. Musuh itu lebih muda beberapa tahun daripada aku tetapi ia lihay dan telangas. Aku melawan keras dengan keras. Akhirnya pundakku kena dihajar dia, aku terjatuh dari atas pohon...."
Kwee Ceng heran.
"Suko sudah begini lihay, aku masih tetap tidak sanggup melawan dia. Siapakah dia itu?"
"Cobalah kau terka, dia itu siapa?" Pek Thong membaliki.
Kwee Ceng berpikir sejenak.
"See Tok!" sahutnya.
"Eh, mengapa kau mengetahuinya?" tanya sang kakak heran.
"Sebab adikmu berpikir, orang yang terlebih lihay daripada toako adalah cuma mereka berlima yang mengadu pedang di Hoa San," menerangkan Kwee Ceng. "Guruku Ang Cit Kong orang terhormat, Toan Hongya adalah hongya, satu raja, mesti ia menghormati dirinya sendiri. Pemilik dari Tho Hoa To itu adikmu tidak kenal baik tetapi melihat romannya, dialah bukan satu manusia rendah yang suka menyerang orang yang lagi dirundung malang!"
Baru Kwee Ceng menutup mulutnya, dari dalam pepohonan yang lebat terdengar suara bentakan: "Binatang cilik, kau masih mempunyai matamu!"
Hanya dengan sekali mencelat, Kwee Ceng sudah tiba di tempat darimana suara itu datang, akan tetapi orang itu lenyap dalam sekejap. Ia menjadi heran sekali.
"Adik, mari kembali!" Pek Thong memanggil. "Itulah Oey Lao Shia, dia sudah pergi jauh!"
Kwee Ceng kembali kepada kakak angkatnya itu.
"Oey Lao Shia itu pandai ilmu gaib, maka itu tamannya ini diatur menurut barisan rahasia Pat Tin Touw dari Cu-kat Bu Houw," Pek Thong mengulangi.
"Cu-kat Bu Houw?"
"Benar," menyahut Pek Thong yang terus menghela napas. "Oey Lao Shia itu sangat cerdas, dia pandai main tetabuan, main catur dan menulis surat indah dan menggambar, dia juga mengerti obat-obatan dan ilmu alam, tak terkecuali ilmu pertanian serta ilmu memeriksa keletakan tempat yang indah. Juga ia paham ilmu perusahaan dan ilmu perang. Pendeknya, tidak ada ilmu yang ia tidak paham, maka sayang sekali jalannya sesat. Kalau dia mondar-mandir di tamannya ini, lain orang tidak akan dapat menyusul atau mencari padanya."
Kwee Ceng berdiam, ia kagum memikirkan kepandaian Oey Lao Shia itu.
"Toako, bagaimana sehabisnya kau dirobohkan oleh See Tok?" ia tanya kemudian.
"Bagus!" Pek Thong berseru seraya menepuk pahanya. "Kali ini kau tidak lupa menyadarkan aku kepada ceritaku! Kena diserang See Tok, aku merasakan sakit hingga ke ulu hati, aku pun tak dapat bergerak, tetapi melihat ia menerbos ke dalam, aku paksakan mengejar. Di depan meja jenazah suko, dia sambar kitab Kiu Im Cin-keng. Aku bingung bukan main, sudah aku kalah, di situ pun tak ada lain orang. Justru itu mendadak aku mendengar satu suara keras, lantas terlihat tutup peti mati berlubang, hancuran kayunya berhamburan..."
Kwee Ceng kaget.
"Apakah dia menghajar rusak peti mati Ong Cinjin?" dia menanya.
"Oh, tidak, tidak!" menyahuti Pek Thong lekas. "Adalah suko sendiri yang menghajar tutup petinya itu."
Kwee Ceng heran bukan main. Ia seperti mendengar dongeng dari kitab San Hay Keng. Ia mengawasi kakak angkatnya itu dengan mulut celengap.
"Apakah kau pikir?" sang kakak angkat tanya. "Apakah suko terbangun arwahnya? Apakah dia hidup pula? Bukan, semuanya itu bukan! Suko hanya pura-pura mati!"
Kwee Ceng berseru pula, "Pura-pura mati?" ia mengulangi.
"Benar! Beberapa hari sebelumnya suko menutup mata, ia sudah ketahui See Tok senantiasa berkeliaran di luar kuilnya, untuk menanti begitu lekas ia meninggal dunia, hendak ia merampas kitab Kiu Im Cin-keng itu. Maka itu, malam itu, suko berpura-pura mati. Dengan ilmu kepandaiannya, suko dapat menahan jalan napasnya. Kalau ia membuka rahasia pada semua muridnya, pasti mereka tidak akan sangat berduka. Bukankah See Tok sangat licin? Dari itu ia menutup rahasia. Habis menggempur tutup peti mati, suko meloncat keluar untuk terus menotok See Tok dengan totokannya It-yang-cie. See Tok kaget tidak terkira. Ia melihat tegas dari jendela suko telah menutup mata, sekarang suko bisa berlompat keluar dari peti mati. Dia memangnya jeri terhadap suko, sekarang ia kaget, tidak sempat ia membela diri. Maka ia terkena totokan It-yang-cie pada alisnya, dengan begitu pecahnya ilmu yang dinamakan 'Kap Moa Kang', atau Ilmu Kodok. Dia lari pulang ke Wilayah Barat, kabarnya tidak pernah dia datang pula ke Tionggoan. Suko tertawa panjang, terus ia duduk bersemadhi di atas meja. Aku tahu, dengan menggunai It-yang-cie, Telunjuk Matahari, suko telah menggunai tenaga terlalu banyak, maka aku tidak ganggu padanya, aku hanya lari keluar untuk menyambut ketujuh muridnya, untuk memukul mundur semua musuh. Ketika semua keponakanku itu mendapat tahu gurunya belum menutup mata, girangnya bukan kepalang, semua lantas lari pulang. Hanya ketika mereka jadi kaget sekali, semua mengeluh kecele...."
"Apakah yang sudah terjadi?" memotong Kwee Ceng heran.
"Tubuh suko rebah miring, wajahnya beda daripada biasanya," menyahut Pek Thong. "Aku lantas menghampirkan dan meraba tubuhnya. Nyata tubuh itu dingin bagaikan es. Sekarang barulah suko berpulang ke alam baka. Kita lantas melaksanakan pesan suko, ialah kitab dipecah menjadi dua, bagian atas dan bagian bawah. Suko ingin, kalau kitab sampai lenyap tercuri orang, tidaklah tercuri semuanya. Aku yang menyimpan bagian atas, lalu bagian bawah aku bawa ke sebuah gunung kesohor di selatan. Aku hendak menyembunyikan itu ketika di tengah jalan aku bertemu dengan Oey Lao Shia...."
"Oh!" berseru Kwee Ceng kaget.
"Oey Lao Shia itu aneh tabiatnya tetapi dengan aku dia berjodoh bertemu beberapa kali, dia tidak nanti kemaruk kitab seperti See Tok. Celakanya itu waktu dia tengah bersama pengantin barunya..."
"Tentulah dia itu ibunya Yong-jie," berpikir si anak muda. "Apa sangkutannya dia dengan kitab itu....?"
"Aku mendapatkan terang sekali cahaya mukanya Oey Lao Shia itu, maka untuk memberi selamat kepadanya sebagai mempelai, aku undang dia untuk berjamu. Aku pun menuturkan halnya suko pura-pura mati dan sudah menghajar Auwyang Hong. Mendengar ceritaku itu, istrinya Oey Lao Shia minta pinjam lihat kitab itu. Dia mengaku bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, dia mau melihat saking ingin tahu saja. Dia ingin melihat kitab yang sudah menyebabkan kebinasaan begitu banyak ahli silat kenamaan. Oey Lao Shia sangat menyintai istrinya itu, tak ingin ia menolak keinginan orang, ketika ia mendapatkan aku agaknya keberatan. Dia kata padaku, 'Pek Thong, istriku benar-benar tidak mengerti silat. Dia masih muda sekali, dia gemar melihat apa yang baru, maka itu kau kasihlah ia melihat-lihat. Ada apakah halangannya? Jikalau aku sendiri, melirik saja kitabmu itu, aku nanti korek biji mataku untuk diserahkan padamu!' Oey Lao Shia ada satu jago, pasti aku percaya padanya, tetapi kitab itu sangat penting, terpaksa aku menggoyangi kepala terhadapnya. Dia menjadi tidak senang, dia kata, 'Mustahil aku tidak menginsyafi kesulitanmu? Kalau kau memberi lihat pada istriku ini, satu kali saja, nanti akan datang harinya aku membalas budi kamu pihak Coan Cin Pay! Jikalau kau tetap menampik, terserah padamu! Siapa suruh kita bersahabat! Dengan pihak Coan Cin Pay, semua anggotanya tidak aku kenal! ' Aku mengerti maksudnya itu. Dia biasa lakukan apa yang dia katakan. Dia tidak enak mengganggu aku tetapi dia dapat mencari alasan untuk mengganggu Ma Giok dan Khu Cie Kee semua. Dia lihay sekali, sungguh berbahaya kalau-kalau ia sampai bergusar. Maka itu aku kata padanya; 'Oey Lao Shia, jikalau kau hendak melampiaskan penasaranmu, kamu carilah aku Loo Boan Tong Ciu Pek Thong. Perlu apa pula kau cari segala keponakan itu?' Istrinya itu tertawa waktu dia mendengar aku menyebutkan julukanku Loo Boan Tong itu, ia lantas berkata, 'Ciu Toako, kau gemar sekali berkelakar! Baiklah kita jangan ngotot saja, lebih baik kita pelesiran. Tentang kitab mustikamu itu tak apalah aku tidak melihatnya!' Ia menoleh kepada Oey Lao Shia untuk berkata terus; 'Rupanya kitab Kiu Im Cin-keng itu sudah kena dirampas si orang she Auwyang, maka itu Ciu Toako tidak sanggup melihat padaku. Maka juga, apa perlunya kita memaksa dia, juga boleh-boleh dia menjadi hilang muka?' Oey Lao Shia tertawa, dia kata; 'Kau benar! Eh, Pek Thong, marilah, mari aku membantu kau mencari si tua bangka berbisa itu untuk membuat perhitungan!"
"Kalau begitu, ibunya Yong-jie sama cerdiknya seperti putrinya," Kwee Ceng berpikir. Ia lantas memotong: "Mereka itu tengah memancing kemendongkolan kau, toako!"
"Itulah aku ketahui," kata Pek Thong. "Hanya aku pun tidak mau mengalah. Maka itu aku kata padanya, 'Kitab itu ada padaku sekarang! Pula tidak ada halangannya untuk memberi lihat itu pada engso! Tapi kau tidak memandang muka padaku, kau membilangnya aku tidak sanggup melindungi kitab itu, itulah aku tidak mengerti. Coba kau jelaskan, apakah syaratmu?' Oey Lao Shia tertawa, dia kata; 'Kalau kita bertempur, kita jadi renggang. Kaulah si tua bangka nakal seperti bocah, aku pikir baiklah kita mengadu sesuatu seperti bocah-bocah tengah bermain-main...!' Belum lagi aku memberikan jawabanku, istrinya sudah bertepuk-tepuk tangan dan mengatakan: 'Bagus, bagus! Baiklah berdua kau mengadu gundu!'"
Mendengar itu Kwee Ceng tertawa.
"Main gundu adalah kepandaianku," kata Pek Thong. "Maka itu aku menjawab; 'Mengadu gundu ya mengadu gundu! Mustahil aku takut!' Nyonya Oey itu tertawa, ia kata: 'Ciu Toako, jikalau kau kalah, kau kasih lihat kitab itu padaku? Jikalau kau yang menang, kau menghendaki apa?'. Atas kata-kata istrinya, Oey Lao Shia membilang, 'Coan Cin Kauw ada mempunyai mustika, mustahil Tho Hoa To tidak?'. Ia terus membuka buntalannya dan mengeluarkan serupa barang hitam, semacam baju yang ada durinya. Coba bade, barang apakah itu?"
"Itulah Joan-wie-kah, baju lapis duri," sahut Kwee Ceng.
"Oh, kiranya kau tahu itu?" kata kakak angkat ini. "Oey Lao Shia kata padaku. 'Pek Thong, kau bilang, kau tidak membutuhkan ini untuk melindungi dirimu, hanya kalau dibelakang hari kau menikah sama si bocah wanita nakal dan dia melahirkan bocah yang nakal, kalau bocah nakal itu mengenakan baju lapis ini, faedahnya bukan kepalang! Jikalau kau menang, pusaka Tho Hoa To ini menjadi kepunyaanmu!' Aku menjawab, 'Si bocah nakal tidak bakal terlahir, tetapi baju lapismu ini sangat kesohor di dalam kalangan Rimba Persilatan, kalau aku mengenakannya, pastilah aku aksi sekali! Dengan begitupun biarlah diketahui, tocu dari Tho Hoa To telah roboh di tangannya Loo Boan Tong di Bocah Tua Nakal!' Lantas Nyonya Oey memotong aku, katanya: 'Kau jangan omong saja! Sekarang mulailah kamu berdua!' Sampai disitu cocoklah sudah. Lantas kita mulai. Kita memegang masing-masing sembilan biji gundu, kita membuat delapan belas lubang. Dialah yang menang siapa yang gundunya masuk paling dulu."
Mendengar itu Kwee Ceng menjadi ingat kepada halnya tempo sendiri bersama Tuli, saudara angkatnya, main gundu di gurun pasir. Maka itu ia bersenyum.
"Gundu itu aku selalu sediakan di sakuku," Pek Thong berkata pula. "Bertiga kita pergi ke luar, ke latar. Selagi keluar aku perhatikan gerak-gerik istrinya Oey lao Shia, aku dapat kenyataan dia benar tidak mengerti ilmu silat. Akulah yang membuat lubang di tanah, lalu aku menyuruh Oey Lao Shia yang mulai. Dalam hal menggunai senjata rahasia. Oey Lao Shia lihay istimewa, dia mestinya menang daripada aku, tetapi dalam hal main gundu, ada lain tipunya. Aku membuat lubang yang istimewa. Kalau gundu masuk ke dalam situ, gundu itu bisa keluar pula. Untuk itu aku mesti pandai mengimbangi menyentil gundu itu, dengan begitu gundu jadi dapat berdiam terus di dalam lubang. Tiga kali Oey lao Shia menyentil, tiga-tiga gundunya masuk tepat, hanya begitu masuk, ketiganya lompat pula keluar. Aku telah memasuki lima biji, semuanya tidak keluar lagi. Oey Lao Shia lihay, ia mencoba menyusul tetapi gagal. Kembali satu gunduku masuk. Aku girang bukan main, aku percaya aku bakal menang, dia bakal kalah, dewa pun tidak bakal berhasil membantui dia. Ah, siapa tahu Oey Lao Shia main curang, dia menggunai akal! Coba bade, apakah akal liciknya itu?"
"Adakah dia melukai tanganmu, toako?"
"Bukan, bukan! Oey Lao Shia busuk sekali, tidak nanti dia pakai akal sekasar semacam itu. Dia tahu dia bakal kalah, mendadak dia mengerahkan tenaganya dan menghajar tiga gunduku hingga habislah sisa semua gunduku, gundunya sendiri lantas masuk ke dalam lubang...."
"Jadi toako kehabisan gundumu?"
"Ya, aku cuma bisa melihat dia main sendiri. Demikianlah aku kalah...!"
"Toh itu tidak masuk dalam hitungan!" kata Kwee Ceng.
"Mestinya begitu tetapi Oey Lao Shia berkeras. Memang, umpama kata aku memukkul gundunya, dua-dua gundu mesti pecah. Aku tidak dapat memukul seperti dia itu, yang hancur melainkan gunduku. Terpaksa aku menyerah. Aku kata pada istrinya: 'Enso Oey, sekarang aku berikan kitabku padamu, tapi sebentar, sebelum malam, kau mesti mengasih pulang padaku.' Kemudian dengan main-main aku menambahkan; 'Bukankah kita tidak menetapkan waktu lamanya kau meminjam? Maka itu, kau sudah melihat semua atau belum, kau mesti kembalikan.' Aku khawatir mereka tidak sudi membayar pulang, bisa-bisa dia meminjamnya sampai sepuluh tahun atau seratus tahun. Atas itu sambil tertawa, Nyonya Oey kata padaku, 'Ciu Toako, kau dijuluki Loo Boan Tong si Bocah Tua Nakal, tapi kau tidak tolol! Bukankah kau khawatirkan aku nanti jadi seperti Lauw Pie yang meminjam kota Kengciu, yang meminjam untuk selamanya? Baiklah, aku duduk di sini, segera aku membaca, segera aku membayar pulang, tidak usah juga sampai malam! kau jangan khawatir, kau boleh duduk nantikan!'
"Mendengar perkataannya itu, aku keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng itu dan aku serahkan padanya. Dia menyambuti, dia bawa itu ke bawah satunya pohon. Di situ ia duduk di atas sebuah batu, lalu ia mulai membalik-baliki lembarannya. Oey Lao Shia mengawasi aku, ia dapat kenyataan hatiku tidak tentram, ia kata padaku; 'Eh, Lao Boan Tong, di jaman sekarang ini ada berapa orangkah yang dapat mengalahkan kita berdua?' Aku menjawab, 'Yang dapat mengalahkan kau, belum tentu ada, tetapi yang dapat mengalahkan aku, terhitung kau sendiri, ada empat atau lima orang!' kataku. 'Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, berempat mereka mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, mereka tidak dapat saling mengalahkan. Auwyang Hong telah dirusak ilmunya Kap-mao-kang, dalam waktu sepuluh tahun, ia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kita. Di dalam dunia kangouw terkabar ada Tiat-ciang Sui-siang piauw Kiu Cian Jin, tempo pertemuan di Hoa San, dia tidak hadir, biarnya dia lihay, aku tidak percaya dia lihay luar biasa. Loo Boan Tong, bagaimana adanya ilmu silatmu, aku tahu baik sekali, selain beberapa orang yang sudah disebutkan barusan, kaulah yang nomor satu. Maka itu kalau kita berserikat, siapapun tidak bisa melawan kita!' Atas pendapat itu aku menjawab, 'Memang!' Oey lao Shia berkata pula: 'Maka itu, kenapa hatimu tidak tentram? Dengan adanya kita berdua di sini, siapakah di kolong langit ini sanggup merampas kitab itu?"
"Aku pikir, dia benar juga, dari itu hatiku menjadi sedikit lega. Ketika aku mengawasi Nyonya Oey, ia tetap masih membalik-balik lembaran kitab. Terang ia membaca dari bermula. Mulutnya berkelemik tak hentinya. Melihat lagaknya itu, aku merasa lucu. Isinya Kiu Im Cin-keng rahasia semuanya, meski ia pandai surat, dengan kita tidak mengerti ilmu silat, tidak nanti ia dapat menangkap artinya. Ia membaca dengan perlahan, aku menjadi tidak sabaran. Ketika ia sudah membaca habis halaman terakhir, aku anggap, habis sudah ia membacanya. Siapa tahu, ia lantas mengulanginya dari mula pula. Hanya kali ini ia membacanya dengan cepat sekali, boleh dikata selama semakaman teh saja, habislah sudah. Ia pulangi buku padaku, sembari tertawa ia berkata: 'Ciu Toako, kau kena diperdayakan See Tok. Kitab ini bukannya Kiu Im Cin-keng!' Aku kaget juga. 'Kenapa bukan?' aku menanya. 'Inilah kitab warisan kakak seperguruanku. Bukupun serupa macamnya.' Nyonya Oey itu kata: 'Apa gunanya kalau romannya saja yang sama? Kitab mu ini ada kitab tenungannya si tukang meramalkan!'"
Kwee Ceng terkejut.
"Mungkinkah Auwyang Hong telah dapat menukarnya selama Ong Cinjin belum keluar dari peti mati?" ia menanya.
"Mulanya aku pun menerka demikian," sahut Pek Thong. "Tapi Oey Lao Shia sangat licin, sedang perkataannya Nyonya oey itu aku tidak dapat percaya semuanya. Nyonya itu mengawasi aku, yang menjublak saja. Ia rupanya menduga aku bersangsi, maka ia berkata pula: 'Ciu Toako, bagimana bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng yang tulen? Tahukah kau?' Aku menjawab bahwa semenjak kitab itu berada di tangan kakak seperguruanku, tidak pernah ada orang yang membacanya. Kakak pun membilangi, selama tujuh hari tujuh malam ia bergulat mendapatkan kitab itu, maksudnya untuk menyingkirkan suatu akar bencana besar untuk kaum Rimba Persilatan, sama sekali ia tidak pernah memikir untuk memilikinya sendiri. Maka itu ia telah memesan semua murid Coan Cin Pay, siapa pun tidak boleh menyakinkan ilmu dalam kitab itu."
"Ong Cinjin demikian jujur, ia mendatangkan hormatnya siapa juga,' berkata lagi Nyonya Oey, 'Hanya karena itu, kena diperdayakan orang. Ciu Toako, coba kau periksa kitab ini' Aku bersangsi, tetapi mengingat pesan kakak seperguruanku, aku tidak berani memeriksa kitab itu. 'Inilah kitab ramalan yang terdapat di mana-mana di wilayah Kanglam,' berkata pula Nyonya Oey, harganya tak setengah peser juga. Lagi pula, taruh kata inilah Kiu Im Cin-keng yang tulen dan kau tidak ingin mempelajarinya, apabila kau hanya melihat saja, apakah halangannya?' Aku terdesak, aku pun penasaran, maka akhirnya aku periksa kitab itu. Aku mendapatkan pelbagai pelajaran silat serta rahasianya, sama sekali itulah bukannya buku petang-petangan. Selagi aku memeriksa, Nyonya Oey berkata: 'Kitab semacam ini aku telah membacanya habis semenjak aku berumur lima tahun, aku dapat membacanya di luar kepala dari permulaannya sampai akhirnya. Kami anak-anak di Kanglam, dalam sepuluh, sembilan pernah bersekolah. Jikalau kau tidak percaya. Ciu Toako, mari aku membacanya untuk kau dengar.' Benar-benar ia membaca, dari kepala sampai dibuntut, membacanya dengan lancar. Aku merasakan tubuhku dingin. Lalu nyonya itu berkata pula: 'Halaman mana saja kau cabut dan tanyakan aku, asal kau menyebut kalimatnya, dapat aku membaca diluar kepala. Buku ini yang telah dibaca sejak masih kecil, sampai tua juga aku tidak dapat melupakannya. Aku ingin mencoba, aku uji ia beberapa kali. Benar-benar ia bisa membaca dengan hapal, tidak pernah ada yang salah. Maka itu, Oey Lao Shia tertawa terbahak-bahak. Aku menjadi sangat mendongkol, aku ambil kitab itu, aku merobek-robek, terus aku sulut dan bakar hingga hangus habis!"
"Setelah itu mendadak Oey Lao Shia kata padaku: 'Loo Boan Tong, tidak usah kau ngambul dengan tabiat bocahmu itu! Nah ini bajuku yang berduri aku, aku hadiahkan padamu!' Aku tidak tahu bahwa aku telah dipermainkan. Aku hanya menduga, karena merasa tidak enak hati, hendak ia menghadiahkan kepadaku untuk membikin reda kemendongkolanku. Disamping mendongkol, aku pun mengerti tidak dapat aku memiliki pusaka Tho Hoa To, maka itu, aku tolak hadiah itu. Aku membilang terima kasih padanya, lantas aku pulang. Seterusnya aku mengunci pintu, menyekap diri di kampung halamanku, untuk menyakinkan ilmu silatku. Ketika itu belum sanggup aku menandingi Auwyang Hong, dari itu aku berlatih keras selama lima tahun. Aku memikir, setelah mendapatkan pelbagai macam ilmu, hendak aku pergi ke Wilayah Barat untuk mencari See Tok untuk meminta pulang kitab yang tulen itu."
"Kalau toako pergi bersama Ma Totiang dan Khu Totiang, bukankah itu terlebih baik lagi?" tanya Kwee Ceng.
"Aku menyesal, karena tabiatku suka menang sendiri, aku kena dipermainkan orang," menyahut Pek Thong. "Aku tidak mengerti bahwa aku sudah jadi bulan-bulanan. Memang, asal aku bicara dulu sama Ma Giok beramai, rahasia akan terbuka. Beberapa tahun selewatnya itu, lalu di kalangan kangouw tersiar berita bahwa muridnya Oey Lao Shia dari Tho Hoa To, yaitu Hek Hong Siang Sat, telah mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng, bahwa mereka sudah menyakinkan beberapa macam ilmu silat yang luar biasa, bahkan dengan ilmunya itu mereka pergi ke segala tempat untuk melakukan kejahatan. Mulanya aku tidak percaya, tetapi belakangan cerita itu semakin santer. Lagi lewat satu tahun, Khu Cie Kee datang padaku, dia memberitahukan bahwa ia telah mendapat kepastian benar Kiu Im Cin-keng sudah didapatkan murid-murid dari Tho Hoa To. Gusar aku mendengar warta itu. Aku kata dengan sengit, 'Oey Yok Su tidak pantas menjadi sahabat!' Khu Cie Kee heran, ia menanya apa sebabnya aku membilang begitu. Aku menjawab, 'Sebab dia pergi ke See Tok meminta pulang kitab itu, dia pergi diluar tahuku, dan setelah mendapatkan itu, dia tidak segera membayar pulang padaku. Sedikitnya ia harus memberitahukan dulu.'"
"Setelah Oey Tocu mendapat kitab itu, mungkin mulanya ia memikir untuk memberitahukan toako," berkata Kwee Ceng. "Hanya diluar dugaannya, kitabnya itu kena dicuri muridnya yang jahat. Aku tahu betul, mengenai kejadian itu dia murka bukan main, hingga empat muridnya yang lainnya, yang tidak tahu apa-apa, sudah dipotong kakinya dan diusir."
Ciu Pek Thong menggeleng kepala.
"Kau sama jujurnya dengan aku," dia berkata. "Umpama kata kau yang mengalami kejadian seperti itu, kau pasti tidak menginsyafi bahwa orang telah tipu padamu. Ketika itu Khu Cie Kee, selainnya membicarakan urusan itu, juga meminta pengajaran beberapa rupa ilmu silat padaku. Setelah beberapa hari, ia berangkat pergi. Sesudah lewat dua bulan, ia datang padaku. Kali ini ia membawa kabar kepastian bahwa Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong benar dapat ilmu kepandaian dari buku yang dicuri dari gurunya. Dengan menempuh bahaya, Khu Cie Kee mengintai Hek Hong Siang Sat dan mendengari pembicaraan mereka itu. Nyatanya Oey Lao Shia mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng itu bukan boleh merampas kitab dari tangan See Tok hanya boleh mencurinya dari tanganku sendiri...."
Kwee Ceng heran.
"Toh terang-terangan toako telah bakar habis itu?" katanya.
"Mungkinkah nyonya Oey telah menukarnya dan toako diberikan kitab yang palsu?"
"Tidak!" sahut Pek Thong. "Di dalam hal itu aku telah berjaga-jaga. Selagi istrinya Oey Lao Shia membaca, tidak pernah aku memisahkan diri darinya. Dia tidak mengerti ilmu silat, umpama kata dia sangat gesit, dia tidak bakal lolos dari mataku. Bukankah kita yang pandai menggunai senjata rahasia mempunyai mata yang sangat awas? Dia bukannya menukar kitab hanya dia menggunai kecerdasan dan kekuatan otaknya untuk menghapalkan bunyinya kitab di luar kepalanya!"
Kwee Ceng heran hingga ia menanya menegaskan.
"Adikku, jikalau kau membaca sesuatu, berapa kali kau membacanya untuk kau dapat membaca pula di luar kepala?" Pek Thong tanya, sabar.
"Yang gampang cukup dengan dua atau tigapuluh ulangan bacaan," menjawab si adik angkat. "Yang sukar membutuhkan pembacaan dari enam sampai tujuhpuluh kali, mungkin delapan atau sembilanpuluh kali."
"Kau benar, karena kau memang tidak terlalu berotak terang," berkata kakak angkat itu.
"Memang adikmu bebal sekali, toako. Baik dalam hal membaca buku baik pun dalam hal belajar ilmu silat, kemajuanku sangat lambat."
Pek Thong menghela napas.
"Tentang membaca buku kau tidak mengerti banyak," katanya. "Mari kita bicara hal ilmu silat. Kalau gurumu mengajarkan kau suatu rupa ilmu silat, bukankah itu memerlukan pengajaran berulang-ulang beberapa puluh kali baru kau mengerti?"
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah.
"Benar," sahutnya.
"Akan tetapi di dalam dunia ini ada orang yang asal melihat orang berlatih dalam sesaat saja dapat ia menintainya."
"Itulah benar. Umpama putrinya Oey Tocu, Ang Insu mengajari dia cukup dua kali, tidak pernah sampai tiga kali."
"Nona itu demikian cerdas otaknya, mungkin dia akan berumur pendek seperti ibunya," kata Pek Thong perlahan. "Ketika itu hari Nyonya Oey meminjam lihat kitab, ia cuma membacanya dua kali, toh ia tidak melupakan satu huruf jua. Rupanya setelah berpisah dari aku, segera ia mengambil pit dan kertas untuk mencatatnya, setelah mana ia memberikan itu kepada suaminya...."
Kwee Ceng heran hingga ia terperanjat.
"Nyonya Oey tidak mengerti tentang kitab itu, cara bagaimana dia sanggup menghapalkannya?" katanya. "Kenapa di kolong langit ini ada orang yang demikian terang otaknya?"
"Aku rasa sahabatmu yang cilik itu, yaitu Nona Oey pun dapat berbuat demikian," mengatakan Ciu Pek Thong. "Setelah mendapat keterangannya Khu Cie Kee itu, aku lantas memanggil berkumpul tujuh murid Coan Cin Pay, untuk mendamaikan urusan itu, guna bisa memaksa Hek Hong Siang Sat membayar pulang kitab itu. Khu Cie Kee mengusulkan untuk aku jangan turut turun tangan. Dia kata biarnya Hek Hong Siang Sat lihay, tidak nanti mereka itu dapat mereka melawan mereka bertujuh. Katanya kalau aku turun tangan sendiri, aku ditertawankan kaum kangouw. Bukankah aku dari tingkat terlebih tinggi dan mereka itu lebih rendah? Aku setuju. Lantas aku menyuruh Cie Kee berdua Cie It yang mencari Hek Hong Siang Sat dan lima lainnya mengawasi saja, supaya mereka itu tidak dapat meloloskan diri. Ketika Khu Cie Kee sampai di Hoolam, Hek Hong Siang Sat telah lenyap. Kemudian didapat keterangan Hek Hong Siang Sat sudah kabur sebab mereka dikepung Liok Seng Hong, satu murid lainnya dari Oey Lao Shia. Untuk itu Seng Hong mengumpulkan banyak kawan jago-jago dari Tionggoan. Tidak urung, mereka itu bisa lolos dan lenyap.
Kwee Ceng mengangguk. Ia berkata: "Pantas kalau Liok Chungcu membenci Hek Hong Siang Sat. Dia diusir gurunya tanpa bersalah, cuma disebabkan Hek Hong Siang Sat yang bersalah, yang sudah mencuri kitab."
"Aku tidak dapat mencari Hek Hong Siang Sat itu, sudah tentu aku mencari Oey Lao Shia. Oleh karena aku khawatir nanti terhilang pula, aku bawa-bawa Kiu Im Cie-keng bagian atas itu. Setibanya di Tho Hoa To, aku tegur Oey Lao Shia. Dia kata padaku, 'Pek Thong, aku Oey Yok Su, jikalau aku kata satu, tentu satu. Aku telah bilang tidak nanti aku melihat kitabmu itu, aku pegang perkataanku! Kapannya aku melihat kitabmu itu? Kiu Im Cie-keng yang aku baca ialah yang dicatat oleh istriku, hal itu tidak ada sangkutannya dengan kau!' Aku tidak mau mengerti, maka itu kita jadi berselisih. Lantas aku minta dia kasih aku bertemu sama istrinya. Atas itu aku melihat ia meringis, romannya berduka, lantas ia ajak aku ke ruang dalam. Di sana aku terkejut untuk apa yang aku lihat, Istrinya sudah meninggal dunia, di situ terlihat cuma meja abunya beserta sincienya. Aku ingin memberi hormat pada arwah Nyonya Oey itu, tetapi Oey Lao Shia kata padaku dengan dingin: 'Loo Boan Tong, tidak usah kau berpura-pura! Coba kau tidak mengoceh tentang kitab tulen dan yang palsu, tidak nanti istriku meninggalkan aku!' Aku jadi heran. 'Apa katamu?' aku tanya. Dia tidak menjawab, dia mengawasi aku dengan murka. Kemudian mendadak saja air matanya mengalir. Lewat sesaat baru ia suka menerangkan tentang meninggalnya istrinya itu."
"Apakah sebabnya itu, toako?"
"Istrinya Oey Lao Shia itu ada seorang yang otaknya terang luar biasa, untuk suaminya itu ia sudah mengingat baik-baik bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng yang ia pinjam lihat dari aku hanya dua kali membaca. Oey Yok Su baru mendapatkan bagian bawah, ingin juga ia mendapatkan bagian atasnya, sesudah berhasil mendapatkan itu baru ia hendak menyakinkannya sekalian. Apa mau kitabnya itu kena dicuri oleh Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua muridnya itu. Untuk menghibur suaminya, Nyonya Oey hendak membuat catatan yang baru. Ia sebenarnya tidak mengerti maksudnya kitab, sukar untuk ia mengingat-ingat pula karena waktunya telah berselang lama. Kebetulan itu waktu, istrinya itu lagi mengandung sudah delapan bulan. Keras Nyonya Oey ini berpikir, mengingat-ingat, selama beberapa malam ia dapat mencatat pula tujuh sampai delapan ribu huruf tetapi semua itu tidak tepat hubungannya satu dengan lain. Oleh karena ia terlalu memeras otak, ia menjadi lelah, akhirnya melahirkan belum waktunya. Bayinya itu satu anak perempuan. Oey Yok Su pandai sekali tetapi tidak dapat ia merebut jiwa istrinya, yang ia sangat cintai. Memangnya ia bertabiat aneh dan suka menimpakan kesalahan kepada orang lain. Demikian kali ini, saking bersedih, pikirannya seperti terganggu. Terhadap aku, ia mengoceh tidak karuan. Aku tahu tabiatnya itu, aku mengerti kedukaannya, aku tidak sudi melayani dia. Aku pun berkasihan padanya. Sambil tertawa aku berkata padanya, 'Kau gemar silat, bagimana kau dapat menyintai istrimu sampai begini, apakah kau tidak khawatir, orang nanti ketawakan kau?' Atas itu, dia menjawab,' Kau tidak tahu, istriku ini lain daripada istri orang kebanyakan.' Aku kata pula, 'Kau telah kehilangan istrimu, inilah waktunya untuk kau menyakinkan ilmu silatmu. Coba kau jadi aku, aku jadi kau, inilah ketika baik yang aku harap sekali.'"
Kwee Ceng terperanjat. "Ah, mengapa kau mengatakan demikian?" katanya.
Matanya Pek Thong membelalak.
"Apa yang aku pikir, apa yang aku kata!" ia kata dengan keras. "Kenapa aku tidak boleh mengatakan sesuatu? Karena itu, Oey Lao Shia menjadi sangat gusar. Dengan mendadak ia menyerang aku. Kita lantas jadi berkelahi. Karena perkelahian itu, kesudahannya aku mesti duduk bercokol di sini selama limabelas tahun..."
"Jadinya toako kalah?" Kwee Ceng menegaskan.
Ciu Pek Thong tertawa.
"Jikalau aku menang, tidak nanti aku berada di sini," sahutnya. "Dia telah menghajar patah kedua kakiku, dia memaksa aku mengeluarkan Kiu Im Cin-keng bagian atasnya, katanya untuk dibakar buat menyembahyangi arwah istrinya. Aku tidak serahkan kitab itu, yang aku simpan di dalam gua ini, aku sendiri menjaga di depan. Aku telah berkeputusan, asal ia memaksa, hendak aku meludaskan kitab itu. Atas sikapku itu, Oey Yok Su bilang bahwa akhirnya mesti ada jalan untuk dia mendapatkannya, ialah dengan membikin aku meninggalkan gua ini. 'Marilah kita coba!' aku menantang. Demikian sudah terjadi, aku berdiam saja di dalam gua ini, aku mensia-siakan tempo limabelas tahun. Dia tidak berani membikin aku kelaparan, dia telah mempergunakan pelbagai macam tipu daya, akan tetapi tetap dia tidak berhasil. Aku tidak kena dipaksa atau dibujuk. Hanya tadi malam hampir aku runtuh juga, syukur kau datang mebolongi. Baiknya ada hantu atau malaikat yang bawa kau padaku, jikalau tidak tentulah kitab itu sudah terjatuh ke dalam tangannya Oey Lao Shia."
Kwee Ceng berpikir banyak mendengar keterangannya Pek Thong itu.
"Toako, habis bagaimana selanjutnya?" ia menanya.
Pek Thong tertawa.
"Hendak aku melewatkan waktu bersama-sama Oey Lao Shia, untuk membuktikan, dia yang terlebih panjang umur atau aku yang hidup terlebih lama!" sahutnya.
Kwee Ceng merasa itu bukanlah daya sempurna, hanya ia sendiri masih belum bisa memikir sesuatu.
"Kenapa Ma Totiang dan lainnya tidak datang menolongi toako?" tanyanya kemudian.
"Kebanyakan mereka tidak ketahui aku berada di sini," menyahut Pek Thong. "Umpama kata mereka mendapat tahu, tidak nanti mereka dapat masuk ke mari, kecuali Oey Lao Shia sengaja memberikan ketikanya."
Kwee Ceng berdiam, ia berpikir pula. Tentang Ciu Pek Thong ia telah memperoleh kepastian, usia dia tinggi tetapi sifatnya gembira, seperti anak-anak yang doyan bergurau, omongannya pun polos dan langsung, tidak licik. Ia merasa suka terhadap ini orang tua, yang sebaliknya pun menyukai lainnya.
Tidak lama, matahari merah sudah naik tinggi, si bujang tua datang pula dengan barang makanan.
Habis bersantap, mereka berada berduaan saja, Pek Thong kata kepada Kwee Ceng: "Limabelas tahun lamanya aku melewatkan waktuku di Tho Hoa To ini, selama itu aku tidak mensia-siakannya. Di sini aku tidak pernah mengangkat kaki setengah tindak sekalipun, hatiku pun tidak terganggu, dengan begitu aku berhasil dengan peryakinkanku. Cobalah di tempat lain, sedikitnya aku membutuhkan tempo duapuluh lima tahun. Aku merasa bahwa aku telah memperoleh kemajuan, sayangnya aku tidak punya kawan untuk berlatih bersama-sama, karenanya terpaksa aku memakai kedua tanganku saja."
Kwee Ceng heran.
"Bagaimana bisa menjadi, tangan kanan bertempur dengan tangan kiri?" dia menanya.
"Untuk itu aku main perumpamaan," menerangkan Pek Thong. "Tangan kananku aku umpamakan Oey Lao Shia, tangan kiriku adalah aku sendiri. Kapan tangan kanan memukul, tangan kiri menangkis, tangan kiri itu terus membalas menyerang. Demikian kedua tangan itu bertarung."
Sembari berbicara, Pek Thong menggeraki kedua tangannya itu, seperti dua orang lagi berkelahi. Ia memberikan contoh.
Kwee Ceng heran, hingga ia merasa lucu. Tapi berselang beberapa jurus, ia menjadi kagum. Ia mendapat kenyataan, benarlah kedua tangan itu luar biasa gerak-geriknya. Kalau lain orang menggunai kedua tangan, untuk menyerang dengan membela diri, Pek Thong ini menggunai satu tangan saja. Inilah langka.
Anak muda itu terus mengawasi, sampai ia menanya; "Toako, barusan kau menggunai jurus Di Bawah Pohon Membereskan Pakaian, kau menggerakkan tangan kananmu, kenapa tidak kaki?"
Pek Thong berhenti, ia tertawa.
"Benar matamu tajam," katanya. "Mari, mari kau coba!"
Ia melonjorkan tangan kanannya.
Kwee Ceng mengulur tangannya, untuk menandingi.
"Hati-hati!" pesan si orang tua. "Aku hendak menolak kau ke kiri..."
Selagi ia berkata, Pek Thong sudah mengerahkan tenaganya. Ia benar menggunai jurusnya itu. Kwee Ceng sudah siap sedia, ia melawan dengan Hang Liong Sip-pat Ciang. Kesudahannya ia terpukul mundur tujuh atau delapan tindak, tangannya lemas dan sakit.
"Barusan aku meminjam tenaga di kakiku, kau cuma terdorong," kata Pek Thong pula. "Sekarang mari kita coba pula, aku tidak akan pinjam tenaga di kaki itu."
Kwee Ceng menurut, ia keluarkan pula tangannya. Ia lantas merasa seperti tertolak dan ketarik, akan akhirnya, runtuh kuda-kudanya, lantas ia jatuh ngusruk ke depan, kepalanya membentur tanah. Ketika ia merayap bangun, ia berdiri bengong saking herannya.
"Mengerti kau sekarang?" Pek Thong tanya tertawa.
"Tidak," menyahut si anak muda, menggeleng kepala.
"Ilmu ini aku dapatkan selama sepuluh tahun aku berdiam di dalam gua ini," Pek Thong menerangkan. "Aku pun mendapatkannya secara tiba-tiba. Semasa hidupnya suko, ia pernah omong halnya menyerang menggertak menjadi benar-benaran. Dulu hari itu aku tidak menginsyafinya, aku tidak perhatikan, hanya kemudian baru aku memahamkan itu. Tadinya aku belum mempercayai penuh, sebab aku cuma dapat berlatih, belum pernah mencobanya. Sekarang barulah aku menguji terhadapmu. Adik, mari kita mencoba pula. Kau jangan takut, lagi beberapa kali aku akan membuatmu roboh!"
Kwee Ceng bersangsi.
Orang tua ini melihat adik angkat ini ragu-ragu, ia lalu meminta. Katanya: "Adikku, aku menggemari ilmu silat melebihkan jiwaku, selama limabelas tahun, aku mengharap-harapkan ada orang yang bisa main-main dengan aku, buat beberapa jurus saja. Beberapa bulan yang lain putrinya Oey Lao Shia telah ke mari, ia omong banyak, bisa menghibur aku, hanya selagi aku ingin memancing ia untuk diuji, dilain harinya ia tidak datang pula. Adikku yang baik, tidak nanti aku merobohkan keras-keras padamu...."
Kwee Ceng mengawasi, ia melihat kedua tangan orang digerak-gerakkan, seperti sudah sangat gatal.
"Baik," sahutnya kemudian. "Roboh beberapa kali tidak berarti apa-apa." Ia pun lantas melonjorkan tangannya.
Mereka lantas bentrok. Selang beberapa jurus, terasa tangannya Pek Thong dikerahkan. Tidak ampun lagi, Kwee Ceng terguling tapi belum ia roboh, ia disampok dengan tangan kiri, hingga ia berjumpalitan. Karena ini, ketika ia jatuh, ia merasakan sakit.
Kelihatannya Pek Thong menyesal tetapi ia lantas berkata: "Adikku yang baik, tidak percuma aku membuatnya kau roboh. Nanti aku memberi penjelasan kepadamu tentang jurus ini."
Kwee Ceng menahan sakit, ia merayap bangun. Ia dekati kakak angkatnya itu.
Pek Thong mengangkat mangkok nasinya. "Mangkok ini asalnya terbuat dari lumpur, karena tengahnya dikosongi, dapatlah dipakai mengisi nasi. Coba semuanya terisi, ada apakah gunanya?"
Kwee Ceng mengangguk, hatinya berpikir; "Inilah sangat sederhana, tapi sebenarnya tadi-tadinya belum pernah aku memikirkannya."
"Demikian juga rumah," kata Pek Thong. "Karena di dalamnya kosong dan ada pintu dan jendelanya, rumah itu dapat ditinggali. Kalau rumah itu terisi dan tanpa pintu atau jendela, apa jadinya?"
Kwee Ceng mengangguk.
"Demikian pula ilmu silat Coan Cin Pay. Ilmu ini berpokok pada kosong dan lemas. Kosong dapat diisi dan lemas dapat dibikin keras."
Kwee Ceng berpikir, ia masih belum mengerti jelas.
"Ang Cit Kong itu ahli Gwa-kee, ilmu luar, dia sudah sampai di puncaknya kemahiran, maka itu, meski aku mengerti ilmu silat Coan Cin Pay, mungkin aku bukan tandingan dia. Tapi ilmu luar itu ada batasnya, tidak demikian dengan Coan Cin Pay. Buktinya ketika kakak seperguruanku memperoleh gelar orang gagah nomor satu, ia bukannya mendapatkannya itu karena beruntung, tidak, itulah karena kepandaiannya. Coba ia masih hidup sekarang, setelah peryakinan lebih jauh belasan tahun, apabila dia diadu pula, tidak nanti dia memakai tempo sampai tujuh hari tujuh malam. Aku percaya, dalam tempo satu hari saja, dapat ia merobohkan semua lawannya."
"Sayang adikmu tidak mempunyai rejeki untuk menemui Ong Cinjin," berkata Kwee Ceng, "Ang Insu dengan Hang Liong Sip-pat Ciang menjadi jagonya golongan ilmu luar, dan toako barusan, dengan ilmu silatmu yang manjatuhkan aku itu, menjadi jago golongan lemas...."
Pek Thong tertawa.
"Benar, benar!" katanya. "Memang lemas bisa mengalahkan keras, hanya kalau Hang Liong Sip-pat Ciang kau adalah semahir Ang Cit Kong, tidak dapat aku merobohkan kau. Semua itu tergantung sama dalam dan ceteknya peryakinan. Sekarang kau perhatikanlah."
Pek Thong lantas memberikan penjelasannya, berikut gerak-gerik tangannya. Karena ia tahu orang lambat mengerti, ia berlaku sabar dan perlahan. Kwee Ceng mesti belajar sambil mencoba, selang beberapa puluh kali, barulah ia mulai mengerti.
"Kalau kau sudah tidak sakit lagi, mari aku mencoba merobohkan pula padamu!" kata Pek Thong kemudian.
Kwee Ceng tertawa, "Sakitnya sih tidak, malah pengajaran barusan belum aku mengerti semua," sahutnya. Ia lantas mengingat-ingat.
Pek Thong benar seperti bocah, ia mendesak.
"Mari, marilah!" bilangnya. Tapi ini justru menyebabkan Kwee Ceng mesti berpikir terlebih keras lagi.
Sampai sekian lama, baru si anak muda mengerti. Maka ia lantas melayani pula kakak angkatnya itu. Lacur untuknya, walaupun ia sudah bersedia, kembali ia kena dirobohkan!
Demikian seterusnya, siang dan malam, mereka berlatih. Kwee Ceng menderita, tubuhnya jadi bengkak di sana-sini dan matang biru. Ia bukannya roboh terbanting puluhan, bahkan ratusan kali. Tapi tubuhnya kuat, ia pun bisa menahan sakit. Untungnya, kepadanya telah diwariskan kepandaiannya itu kakak angkat. Itulah ilmu silat "Kong-beng-kun" atau "Kepalan Kosong", yang terdiri daripada tujuhpuluh dua jurus, yang diciptakan sesudah limabelas tahun dalam kurungan.........................
Bab 36. Ilmu silat dari kitab yang diperebuti
Entah sudah lewat berapa banyak hari, maka pada suatu tengah hari bersantap, Ciu Pek Thong berkata pada adik angkatnya: "Adik, kau telah berhasil mewariskan ilmu silat Kong-beng-kun, selanjutnya aku tidak bakal mampu merobohkan kau pula. Karena itu kita harus menukar caranya bermain-main."
Kwee Ceng gembira, dia tertawa. "Bagus, toako. Apakah caramu itu?"
"Sekarang kita bermain seperti empat orang lagi berkelahi..."
"Apa, empat orang?"
"Benar, empat orang," sang kakak memberi kepastian. "Diumpamakan tangan kiriku satu orang dan tangan kananku satu orang. Demikian juga sepasang tanganmu, diandaikan dua orang. Kita empat orang masing-masing tidak saling membantu, kita berkelahi dalam empat rombongan. Pasti akan menarik hati!"
Kwee Ceng gembira, ia tertawa pula. "Cuma sayang tidak dapat aku membagi tanganku," katanya.
"Nanti aku ajari. Sekarang kita umpamakan bertiga dulu."
Pek Thong mulai menyerang. Ia dapat memecah diri menjadi seperti dua orang. Kwee Ceng melayani seorang diri. Di saat si adik angkat terdesak. Pek Thong menggunai tangan lainnya membantu. Ia dapat memisah tangan kiri dari tangan kanan.
Setelah merasa cukup lama, keduanya berhenti. Kwee Ceng senang dengan permainan ini. Mendadak ia ingat Oey Yong. Coba Yong-jie ada bersama, bukankah mereka bertiga bisa berkelahi seperti enam orang? Ia pun percaya Oey Yong senang dengan permainan ini.
Pek Thong bersemangat sekali, setelah Kwee Ceng sudah beristirahat cukup, ia mengajak untuk mulai lagi. Ia pun senang si anak muda dapat melayani. Ia kata: "Kalau kau belum menyakinkan ilmu Coan Cin Pay, tidak nanti kau dapat mengendalikan diri seperti ini. Sekarang dapat kau menggunai tangan kiri dengan Lam-san-ciang dan tangan kanan Wat-lie-kiam."
Dengan Lam-san-ciang itu dimaksudkan pelajaran yang didapat dari Lam Hie Jin, dan Wat-lie-kiam dari Han Siauw Eng.
Pek Thong saban-saban memberi keterangannya, maka selang beberapa hari lagi, benar-benar Kwee Ceng sudah dapat memisahkan kedua tangannya masing-masing, maka selanjutnya bisalah mereka berdua bertempur seperti berempat.
"Sekarang mari kita coba," kataPek Thong kemudian. "Tangan kananmu dan tangan kiriku menjadi satu kawan, dan tangan kananku dan tangan kirimu menjadi kawan yang lain, kita saling melawan."
Kwee Ceng terus bergembira. Ia mematahkan secabang pohon, buat dicekal tangan kanan bagaikan pedang. Dengan begitu mereka mulai bertempur, mulanya perlahan-lahan. Terus Pek Thong memberikan keterangan, sampai adik angkatnya itu mengerti betul-betul. Dengan begitu, adik angkat itu dapat lagi semacam ilmu yang luar biasa itu.
Hari terus berjalan, setelah lewat beberapa hari pula, Pek Thong ajak adik angkatnya itu bergerbrak pula. Mereka berkelahi seperti empat orang. Dalam kegembiraannya, Pek Thong berkelahi sambil tertawa. Kwee Ceng sebaliknya repot, ia kena terdesak, maka kalau tangan kanannya kewalahan, tangan kirinya membantu, begitu sebaliknya. Kalau ia terdesak, mereka jadi seperti berkelahi bertiga. Tapi biar bagaimana, Kwee Ceng toh mengerti juga.
"Ah, kau tidak pakai aturan!" Pek Thong tertawakan adiknya, yang berkelahi seperti sendiri itu.
Kwee Ceng tidak membilang suatu apa, hanya selang beberapa jurus, tiba-tiba ia lompat mundur, terus ia berdiam.
"Toako!" katanya, habis berpikir, "Aku ingat suatu apa..."
Pek Thong heran. "apakah itu?" dia menegasi.
"Kedua tangan toako menjadi seperti dua orang, kalau kedua tangan itu dipakai melawan satu orang, bukankah itu berarti dua lawan satu? Kita sekarang hanya main-main tetapi aku pikir itu dapat dipakai buat berkelahi benar-benar..."
Pek Thong tak usah berpikir lama untuk menyadari itu. Mendadak ia lompat keluar dari gua, dia menjambret cabang pohon, untuk mematahkan dua batang. Habis itu ia jalan mondar-mandir di mulut gua, sambil tertawa terus.
"Toako, kau kenapa?" menegur Kwee Ceng heran. Kakak itu seperti edan. "Kau kenapakah?"
Pek Thong tidak menjawab, ia tertawa terus. Selang sekian lama, baru ia kata: "Adik, aku keluar dari gua!"
"Ya," Kwee Ceng menyahut, dia lompat ke mulut gua. "Nanti aku gantikan kau menjaga di sini. Asal jangan toako pergi jauh...."
Pek Thong tertawa, dia menyahuti: "Sekarang ini kepandaianku ialah yang nomor satu di kolong langit, perlu apa aku takut pula Oey Yok Su? Sekarang ini aku tinggal menantikan dia, untuk aku menghajarnya kalang-kabutan!"
Kwee Ceng heran.
"Toako, pastikah kau bakal dapat menang?"
"Sebenarnya aku masih kalah seurat," sahut Pek Thong, "Tetapi sekarang aku dapat memecah diri, dengan dua lawan satu, di kolong langit ini tidak bakal ada lain orang yang dapat menangi aku! Oey Yok Su, Ang Cit Kong dan Auwyang Hong, boleh mereka lihay sekali, akan tetapi dapatkah mereka melayani dua Loo Boan Tong?"
Kwee Ceng girang. Beralasan perkataanya ini kakak angkat.
"Adikku," kata pula Pek Thong, "Kau sudah mengerti ini ilmu memecah diri, untukmu tinggal latihan terlebih jauh untuk memahirkannya. Beberapa tahun kemudian, sesudah kau bisa menyakinkan seperti kakakmu ini, kau pasti akan tambah hebat!"
Girang dua saudara angkat ini. Bahkan Ciu Pek Thong mengharap-harap munculnya Oey Yok Su, yang baru beberapa saat di muka ia takuti. Coba tidak Oey Yok Su mempunyai jalan rahasianya itu, yang menyesatkan orang, ia sudah pergi mencari.
Sore itu ketika si bujang tua datang membawa makanan, Pek Thong cekal tangan orang. "Pergi lekas panggil Oey Yok Su kemari, bilang di sini aku menantikan dia, suruh dia mencobai tanganku!"
Selama orang berbicara, bujang tua itu terus menggoyangi kepala, ketika Pek Thong sudah habis bicara, baru ia sadar sendirinya, "Aah, aku lupa dia tuli dan gagu!" katanya, berludah. Maka ia menoleh kepada Kwee Ceng dan kata: "Sore ini kita mesti dahar sampai kenyang!" Ia lantas membuka tutup makanan.
Kwee Ceng dapat mencium bau makanan yang sedap. Ketika ia sudah memeriksa, ia dapat kenyataan, di antara sayuran ada ayam tim yang ia doyan sekali. Ia jadi berpikir. Kemudian ia mencobai. Ia merasa itu seperti masakannya Oey Yong. Lantas hatinya berdebaran. Tahulah ia, itulah masakannya si nona untuknya. Ia lantas memperhatikan yang lainnya. Dari belasan bakpauw, ada satu yang ukirannya seperti buli-buli, rupanya itu sengaja dibikin dengan kuku tangan, ukirannya cetek, tidak gampang untuk melihat itu. Ia heran, maka ia jumput bakpauw itu, untuk dibelah dua. Di dalam situ ada sepotong lilin. Lekas-lekas ia masuki ke sakunya selagi Pek Thong dan si bujang tidak memperhatikannya.
Kali ini dua orang itu dahar dengan masing-masing pikirannya. Pek Thong gembira karena berhasil menciptakan ilmu silat baru, sembari mencaplok, ia seperti bersilat. Kwee Ceng mengharapkan lekas dahar cukup supaya ia bisa lekas baca suratnya Oey Yong. Ia percaya si nona ada punya kabar untuknya.
Akhirnya Pek Thong telah dahar habis bakpauwnya, lalu ia tengak kuah supnya, habis itu si bujang berbenah dan berlalu.
Sampai di situ Kwee Ceng keluarkan lilinnya, untuk dipecahkan. Benar di dalamnya ada suratnya, ialah surat dari Oey Yong. Si nona menulis:
"Engko Ceng, jangan khawatir. Ayah sudah baik lagi denganku. Kau tunggulah, perlahan-lahan aku nanti minta supaya ayah melepaskan kau."
Habis membaca, surat itu dikasih lihat pada Pek Thong. Kakak itu tertawa.
"Di sini ada aku, dia tidak melepaskanmu pun tidak bisa!" katanya.
Ketika itu cuaca mulai jadi gelap.
Kwee Ceng duduk bersemadhi, tetapi ia senantiasa memikirkan Oey Yong, tidak bisa ia berdiam tenang. Selang sekian lama, baru ia merasa tentram. Tapi justru ia tenang, justru ia dapat berpkir bahwa untuk dapat memisah diri, ia mesti berlatih. Dengan kedua tangannya bergantian ia tutup kedua lubang hidungnya, untuk bikin napasnya pun menjadi dua....
Kira-kira satu jam dia melatih diri, Kwee Ceng merasakan dia mendapat kemajuan. Tiba-tiba ia mendengar suara mendesir keras, lekas-lekas ia membuka matanya. Cuaca sudah gelap tetapi di situ terlihat rambut dan kumis putih bergerak-gerak, maka ia mengawasi. Terlihatlah olehnya Ciu Pek Thong lagi melatih diri dengan ilmu silat Kong-beng-kun yang terdiri dari tujuhpuluh dua jurus itu. Kelihatannya setiap tangan dikeluarkan perlahan tetapi kesudahannya anginnya keras. Jadi itulah lemas memelihara kekerasan. Girang ia melihat kakaknya begitu hebat.
Selagi Kwee Ceng menonton lebih lanjut dengan gembira, tengah Ciu Pek Thong bersilat dengan asyik, mendadak orang tua itu menjerit, disusul sama satu suara bentrokan keras, sebab suatu benda panjang dan hitam terlempar dari tubuhnya si orang tua, membentur kepada pohon. Nampaknya benda itu seperti kena disambar.
Kwee Ceng terkejut. Ia lihat tubuh kakaknya terhuyung. Ia lompat menghampirkan. "Toako, ada apa?" dia menanya.
"Aku digigit ular berbisa!" sahut Pek thong.
Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Ia tampak air muka kakaknya pias. Ia lantas mempepayang orang masuk ke gua. Ia merobek ujung bajunya, untuk membalut keras paha kakaknya itu, ialah bagian yang dipagut ular, guna mencegah bisa ular mengalir masuk ke dalam tubuh. Tempo ia menyalakan api, ia menjadi terlebih kaget. Ia melihat betis yang lantas menjadi bengkak.
"Di pulau ini tidak biasanya ada ular berbisa, entah darimana datangnya binatang ini," kata Pek Thong. Ia kenali itulah ular hijau.
Kwee Ceng mendengar nyata suara kakaknya, ia jadi terlebih kaget lagi. Itulah tanda hebatnya racun ular. Bagus, si kakak dapat mengendalikan napasnya, dia jadi masih dapat mempertahankan diri tanpa pingsan. Tanpa bersangsi ia membungkuk segera ia bawa mulutnya ke paha, ke tempat yang luka, untuk menyedot darah yang telah kecampur racun ular itu.
Pek Thong terkejut melihat kelakuan adik angkatnya ini.
"Jangan!" ia mencegah. "Ular orang, ia menyedot terus. Pek Thong bisa mati!"
Kwee Ceng hendak menolongi jiwa orang, ia lupa kepada dirinya sendiri. Ia mencekal keras kaki orang, ia menyedot terus. Pek Thong hendak berontak buat melepaskan diri tetapi segeralah dia lelah, tubuhnya lemas, tak dapat bergeming lagi. Bahkan habis itu ia pingsan.
Kwee Ceng menyedot lamanya semakanan nasi, lantas ia lepehkan racun ular itu. Ia dapat menyedot pulang sebagian besar racun itu. Pek Thong pun kuat tubuhnya berkat ilmu dalamnya, selang sejam, ia mendusin.
"Adik," dia berkata, "Hari ini kakakmu bakal pulang ke negeri baka, sebelum mati aku dapat mengangkat saudara sama seorang berbudi sebagai kau, aku sangat bergirang..."
Kwee Ceng lantas saja mengucurkan air mata. Pendek pergaulan mereka tetapi ia sangat ketarik sama orang tua ini, yang baik hatinya. Mereka sudah jadi seperti saudara kandung.
Pek Thong tertawa dalam kedukaan.
"Bagian dari Kiu Im Cin-keng berada di dalam peti kecil, yang aku pendam di dalam tanah di atas mana aku duduk numprah," Pek Thong berkata pula. "Sebenarnya aku hendak mewariskan itu kepada kau tetapi kau sudah mengisap racun ular, kau juga bakal tidak panjang umur.... Adikku, kita pulang ke dunia baka bersama-sama, dengan bergandeng tangan, kita tak usah berkhawatir kita tak punya kawan...."
Kwee Ceng terkejut mendengar kata-kata orang bahwa ia bakal mati. Ia justru merasakan tubuhnya sehat, tidak ada tanda-tanda yang luar biasa. Ia lantas pula nyalakan api, untuk periksa luka kakaknya itu. Bahan apinya itu tinggal separuh, maka ia berlaku sebat. Ia keluarkan dari sakunya surat dari Oey Yong, dia sulut itu, lantas ia memikirkan untuk mencari cabang dan daun kering diluar gua, untuk ia sekalian, kesudahannya ia terkejut. Tidak ada cabang atau daun kering di situ, rumput semuanya hijau dan segar. Dalam bingung, ia merogoh pula sakunya, untuk mencari apa saja yang dapat dijadikan bahan api. Ia tidak dapatkan apa-apa kecuali itu sehelai benda kertas bukan kulit bukan, yang Bwee Tiauw Hong pakai membungkus pisau belati. Tanpa pikir lagi, ia keluarkan itu, untuk dibakar. Ia menyuluhi muka Pek Thong. Ia melihat tampang yang hitam gelap, tidak lagi roman segar sebagai bocah dari kakak angkatnya itu.
Melihat api, Pek Thong mengawasi Kwee Ceng. Ia tersenyum. Tapi melihat wajah orang, yang sehat seperti biasa ia heran. Tengah ia berpikir, ia lihat benda yang menyala di tangan si anak muda, ia menampak huruf-huruf. Baru ia melihat belasan huruf, lantas ia sampok api itu hingga padam, sesudah mana, ia menghela napas lega.
"Eh, adikku, kau pernah makan obat apa yang mujarab?" ia tanya. "Kau sudah menyedot racun ular tetapi racun ular itu tidak dapat mencelakai kau!"
Ditanya begitu, Kwee Ceng ingat halnya dulu hari ia bersama Ang Cit Kong dan Oey Yong bertemu banyak ular dalam rimba pohon cemara, bagaimana tidak ada ular yang berani menggigit padanya, ketika kemudian Cit Kong minta keterangan padanya ia ingat yang pernah menghirup darah ularnya Nio Cu Ong. Maka ia lantas memberi keterangannya.
Pek Thong mau mengerti, lantas ia menunjuk itu barang seperti kertas atau kulit.
"Jangan kau bakar itu!" katanya. "Itulah mustika...!"
Tidak sempat ia bicara lebih jauh, kembali Pek Thong pingsan. Sebenarnya ia hendak menjelaskan, benda itu memuat huruf-huruf yang merupakan Kiu Im Cin-keng bagian bawah.
Dalam keget dan bingungnya Kwee ceng menguruti kakaknya itu. hendak ia menolong tetapi tidak ada hasilnya. Ia meraba paha orang, ia merasakan paha panas seperti api dan bengkaknya pun bertambah. Saking berkhawatir, ia lari ke luar gua, ia lompat naik ke pohon terus ia berkoak-koak: "Yong-jie" Yong-jie! Oey Tocu! Tolong! Tolong!"
Luas Tho Hoa To itu, Oey Yok Su entah ada di bagian mana, suaranya Kwee Ceng sia-sia belaka. Cuma datang sambutan kumandang koakannya itu dari antara lembah.
Habis daya Kwee Ceng, ia lompat turun. Tetapi ia tidak putus asa. Mendadak ia ingat suatu hal. Ia pikir: "Ular beracun tidak berani menggigit aku, mungkin darahku bisa memunahkan racun ular." Begitu mengingat ini, begitu ia bekerja. Ia ambil mangkok hijaunya Pek Thong, yang diperantikan menaruh teh, ia pun menghunus pisau belatinya. Tanpa sangsi lagi, ia potong lengannya, darahnya yang mengalir itu ia tadahkan dengan mangkok itu. Ia tunggu sampai darah habis mengucur keluar, terus ia letaki tubuh Pek Thong di kakinya. Ia membuka mulut saudaranya itu, ia menggunai tangan kirinya lalu dengan tangan kanan ia menuang darahnya ke dalam mulut orang.
Anak muda ini telah mengeluarkan banyak darah, walaupun tubuhnya kuat, ia lelah juga, ia menjadi lemas. Menyender pada lamping gua, sendirinya ia meram dan menjadi pulas. Ia baru sadar ketika merasa ada orang meraba lengannya untuk membalut lukanya, apabila ia membuka matanya, ia melihat Loo Boan Tong yang rambutnya melorot turun. Ia menjadi girang dengan tiba-tiba.
"Kau... kau... baik?" serunya.
"Aku baik, adikku," sahut Pek thong. "Kau telah menolong aku, kau sampai mengorbankan dirimu."
Kwee Ceng mengawasi paha kakak itu, warna hitamnya sudah lenyap, tinggal warna merah dan bengkaknya.
Keduanya tidak banyak omong, bersama-sama mereka bersemadhi. Adalah setelah bersantap tengah hari, Ciu Pek Thong baru menanyakan halnya benda yang berupa kulit atau kertas itu yang ada huruf-hurufnya.
Kwee Ceng mesti mengingat-ingat dulu sebelumnya ia menjawab. Ia ingat itulah benda yang ia dapatkan dari gurunya yang nomor dua, Biauw-ciu Sie-seng Cu Cong, yang sebaliknya mendapatkan itu dari sakunya Bwee Tiauw Hong, ketika guru itu mencuri pisau belati orang, pisau belati mana dibungkus dengan kulit itu. Maka ia lantas menuturkan peristiwa di Kwie-in chung baru-baru ini.
Ciu pek Thong berpikir. Ia tidak mengerti kenapa Bwee Tiauw Hong mencatat Kiu Im Cin-keng di kulit itu.
"Toako, kau menyebutkannya itu barang berharga, apakah artinya?" tanya Kwee Ceng yang masih belum mengetahui itu adalah Kiu Im Cin-keng bagian bawah itu.
"Hendak aku memeriksa dulu baru aku bisa menjawab kau," menyahut Pek Thong. "Aku ingin membuktikan ini yang tulen atau yang palsu."
Pek Thong masih terbenam kesangsian. Bukankah orang Coan Cin Pay dilarang mempelajari Kiu Im Cin-keng? Bukankah maksudnya Ong Tiong Yang mendapatkan itu, itu guna menyingkirkan bencana di kemudian hari? Ia tidak berani melanggar pesan itu. Akan tetapi ia berpikir: "Bukankah aku tidak berniat mempelajarinya dan aku cuma hendak melihat saja?" Ini pula sebabnya kenapa selama numprah di dalam gua itu, ia telah periksa Kiu Im Cin-keng bagian atas itu dan membacanya berulang-ulang hingga ia hapal di luar kepala. Bagian atas itu memuat ilmu silat tangan kosong dan pedang, tidak ada tipu atau rahasianya untuk mengalahkan lain orang, jadi sia-sia semua pelajaran itu apabila orang tidak mendapatkan bagian bawahnya.
Selama sepuluh tahun lebih, Pek Thong senantiasa memikirkan dan menduga-duga bagaimana isinya Kiu Im Cin-keng bagian bawah itu. Dasar kepandaiannya telah mencapai puncaknya dan ia pun sangat hapal Kiu Im Cin-keng bagian atas, maka itu begitu melihat bagian bawahnya itu, ia lantas mengerti hubungan keduanya itu. Sekarang ia berpikir keras, ia menyakinkan itu atau jangan? Ia tidak menghendaki menjadi jago nomor satu tetapi ia ingin mengetahui dasarnya ilmu silat, bagaimana lihaynya. Karena kesangsiannya, sebab masih terpengaruh pesan kakak seperguruannya, akhirnya ia masuki kitab itu ke dalam sakunya dan tidur.
Tidak lama setelah mendusin, pek Thong ajak Kwee Ceng membantui ia menggali tanah di bagian tempat duduknya, akan mengeluarkan kitab simpanannya, untuk dihubungi dengan bagian bawahnya. Baru ia menggorek beberapa kali, dengan sebatang pohon yang dipakai sebagai alat penggali, mendadak ia berseru: "Benar! Benar! Inilah cara yang paling baik!" Ia lantas tertawa, agaknya ia girang luar biasa.
"Toako, kau bilang apa?" tanya Kwee Ceng mengangkat kepalanya.
Pek Thong tertawa pula, ia tidak menjawab. Ia sebenarnya mendapat ingat sesuatu. Katanya dalam hati: "Dia bukan orang Coan Cin Pay, aku ajari dia menurut bunyinya kitab, supaya ia mengerti semuanya, habis ia melatih itu, untuk aku melihat, tidakkah aku jadi dapat mencapai maksudku untuk melihatnya?"
Tapi sejenak kemudian, ia memikir lainnya. "Di dengar dari suaranya, ia jemu terhadap Kiu Im Cin-keng, yang ia namakan ilmu sesat, cumalah ia keliru mengerti sebab ia melainkan menyaksikan Hek Hong Siang Sat, yang mengerti hanya bagian bawahnya. Ia tidak tahu bahwa bagian atasnya memuat cara-cara yang sehat. Karena Hek Hong Siang Sat tidak mengetahui bagian atasnya itu, mereka menjadi sesat. Baiklah aku mengatur begini, aku tidak mengasih keterangan padanya, nanti sesudah ia paham, baru aku mengasih tahu, biar ia kaget. Karena ia sudah mengerti ilmu itu, tidak dapat ia membuangnya pula! Tidakkah ini lucu?"
Setelah berpikir demikian, ia awasi Kwee Ceng. Ia berkata: "Adikku, selama aku berdiam di dalam gua ini, kecuali ilmu silat Kong-beng-kun serta cara berkelahi bermain-main itu, sebenarnya aku telah mendapatkan beberapa ilmu lain. Sekarang ini kita nganggur, bagaimana jikalau aku mengajari pula padamu?" Ia bicara tanpa mengasih kentara apa-apa.
Kwee Ceng polos, ia girang.
"Memang itu bagus!" jawabnya.
"Jangan kau kegirangan, kau telah kena terpedaya!" kata Pek Thong dalam hatinya. Ia segera mulai membacakan isinya Kiu Im Cin-keng bagian atas.
Kwee Ceng tidak cerdas, ada bagian-bagian yang ia tidak mengerti, ia menanyakan itu.
Pek Thong berlaku sabar luar biasa untuk memberikan penjelasannya, sesudah mana, dari bagian atas ia menyambung ke bagian bawah. Cuma, untuk tidak membikin orang curiga, ia suka mengambil jalan menyimpang.
Luar biasa caranya mengajarnya Ciu Pek Thong ini. Beda dari semua guru lainnya, ia tidak memberi penjelasan dengan gerakan tangan atau kakinya, tetapi meski pun demikian, berkat bahan baik dari Kwee Ceng, yang pun bersungguh-sungguh, dan berkat kesabarannya sendiri, ia memperoleh hasil. Setelah Kwee Ceng mengerti, ia mencoba membandingkan itu dengan ilmu silat Coan Cin Pay.
Kwee Ceng tetap tidak mendusin bahwa ia sudah mendapatkan pelajaran-pelajaran dari Kiu Im Cin-keng. Hal ini membuat Pek Thong sangat girang, walaupun tengah bermimpi, ia suka tertawa sendirinya.
Selama beberapa hari ini, Oey Yong pun terus membikinkan Kwee Ceng beberapa rupa barang hidangan yang digemari si anak muda. Cuma ia tidak muncul menemui anak muda itu.
Kwee Ceng berlega hati, ia mantap belajar silat, ia mendapat kemajuan hebat.
Pada suatu hari Pek Thong mengajari ilmu mencengkram atau menjambak Kiu Im Pek-ku Jiauw. Sebagai sasarannya adalah tembok gua.
"Pusatkan perhatianmu! Gunakan sepuluh jarimu!" berkata si guru.
Kwee Ceng menurut. Selang beberapa kali, dia heran.
"Toako," katanya, "Aku lihat Bwee Tiauw Hong pernah mempelajari ilmu semacam ini, melainkan sasarannya ialah manusia hidup, dengan jarinya ia mencengkram batok kepala orang, dia kejam sekali!"
Di dalam hatinya Pek Thong terkejut juga. Pikirnya: "Memang, Bwee Tiauw Hong itu mengambil jalan yang sesat, sebab ia tidak tahu bagian atasnya. Ia cuma turuti kitab bawah yang bunyinya: 'Diwaktu bertempur, dengan jari-jari tangan mencengkram batok kepala lawan.' Ia tentunya pikir, melatihnya pun mesti memakai manusia hidup. Dia mulai curiga, baiklah aku mengubahnya..." Maka sembari tertawa ia berkata: "Dia mempelajari ilmu sesat, dia beda dari kita kaum sejati. Baiklah, kita menunda mempelajarinya ini ilmu Kiu Im Sin-jiauw, aku nanti mengajari kau lain ilmu dalam." Sembari berkata begitu, ia berpikir: "Baik aku mengajari dulu bagian atas sampai dia hapal benar, kemudian baru bagian bawah. Kalau keduanya menemui runtunannya, tentulah ia tidak bercuriga lagi."
Kwee Ceng menurut, maka ia mulai dari bagian atas.
Seperti biasa dengan pelajaran baru, Kwee Ceng selalu menemui kesulitan, ialah tidak gampang ia mendapat ingat atau mengerti, karena ini, berulangkali ia meminta keterangan, dan saban-saban Ciu Pek Thong mesti menjelaskannya. Penjelasan ini sering sampai beberapa puluh kali, meski Kwee Ceng tidak dapat mengerti maksudnya, ia toh dapat membaca di luar kepala. Karena ini, mereka meminta tempo lagi beberapa hari lagi, baru setelah itu, Kwee Ceng mulai melatih dengan tangan dan kakinya.
Sering Kwee ceng melihat kakaknya itu tersenyum atau tertawa sendirinya, ia tidak curiga, sebab ia tahu kakak angkatnya ini memangnya nakal dan suka bergurau.
Kemudian pada suatu pagi, habis Kwee Ceng berlatih, bujang tua membawakan mereka barang makanan. Kali ini Kwee Ceng lantas dapat melihat sebuah bakpauw yang ada tandanya. Tidak menanti habis dahar, ia bawa bakpauw itu ke pepohonan yang lebat, untuk dibuka dan diperiksa isinya. Oey Yong menulis surat yang bunyinya membuatnya kaget. Nona itu menulis:
"Engko Ceng, See Tok datang melamar untuk keponakannya, yang ia hendak rangkap jodohnya dengan jodohku. Ayah sudah memberikan jawabannya....
Sampai di situ surat itu. Rupanya belum selesai lagi ditulis, surat itu telah dimasuki ke dalam bakpauw. Itulah tandanya si nona sangat tergesa-gesa. Tidak salah lagi, jawabannya Oey Yok Su tentulah menerima lamaran itu, kalau tidak si nona tidak nanti menjadi bingung. Karena ini, ia pun menjadi bingung sekali.
Kwee Ceng tunggu sampai si bujang tua sudah berbenah dan berlalu, ia perlihatkan suratnya Oey Yong itu kepada Pek Thong.
"Ayahnya sudah menerima baik, itulah bagus. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan kita!" kata sang kakak.
"Tidak, toako!" kata Kwee Ceng, tetap bingung. "Dia sudah berjanji menyerahkan dirinya kepadaku. Dia bisa menjadi gila!"
"Sesudah seseorang menikah, ada beberapa macam ilmu kepandaian yang tidak dapat dipelajari lagi lebih jauh," Pek Thong memperingatkan. "Umpama dua ilmu It-yang-cie dan Sun-yang-cie, keduanya mesti dipelajari oleh anak-anak yang bertubuh jenaka. Adik, kau dengar aku, lebih baik kau jangan menginginkan istri..."
Kwee Ceng tidak menghiraukan nasehat itu. Karena kakak ini tidak sependapat dengannya, ia jadi semakin bergelisah. Ia bergelisah seorang diri.
"Coba dulu hari itu aku tidak kehilangan tubuh perjakaku," kata pula Ciu Pek Thong, "Hingga karena itu aku tidak bisa mempelajari ilmu It-yang-cie, mana bisa sekarang Oey Lao Shia mengurung aku di pulau iblis ini? Kau lihat sekarang, karena kau memikirkan istri, pemusatan pikiranmu jadi terpecah, pelajaranmu hari ini pastilah tidak dapat kau selesaikan. Kalau benar kau hendak menikahi putrinya Oey Lao Shia, putri yang cantik bagaikan bunga itu, ah, sayang, sungguh sayang...."
Tidak puas Kwee Ceng mendengar orang ngoceh tentang jeleknya mempunyai istri.
"Aku nikahi dia atau tidak, itulah urusan belakangan, toako!" katanya. "Sekarang kau tolongi dulu padanya!"
"See Tok itu ada orang yang sangat buruk, keponakannya juga pasti bukan orang baik," berkata Ciu Pek Thong. "Biarlah ia menikah sama putri yang licin dan buruk dari Oey Lao Shia, supaya dia tahu rasa! Bukankah itu bagus?"
Kwee Ceng menghela napas. Ia pergi ke rimba, di situ ia duduk menjublak.
"Biar aku kesasar dan mati, mesti aku cari dia!" pikirnya mengambil keputusan. Karena ini, ia berlompat bangun. Justru itu ia dapat mendengar dua kali pekiknya burung di tengah udara, lalu berkelebat dua bayangan putih, yang menyambar ke bawah. Bahkan segera ia mengenali dua burung rajawali, yang dibawa Tuli dari gurun pasir. Ia menjadi girang sekali. Ia lantas mengangkat melintang tangannya untuk burungnya itu mencelok.
Di kakinya burung yang lelaki ada terikat sebuah selubung bambu. Kwee ceng meloloskan ikatannya untuk diperiksa isinya, sehelai surat. Itulah surat dari oey Yong. Si nona menulis bahwa ia terancam sangat, lantaran lagi beberapa hari See Tok bakal datang mengantarkan panjar, bahwa ia dijaga keras oleh ayahnya, sudah dilarang keluar dari rumah, tak boleh setengah tindak juga, ia pun dilarang memasaki makanan lagi untuk si pemuda. Maka itu, tulisnya lebih jauh, kalau sampai saatnya dan dia tidak bisa lolos lagi, ia hendak menghabiskan nyawanya. Dia larang si pemuda mencari dia disebabkan semua jalanan di Tho Hoa To penuh rahasia dan berbahaya.
Kwee Ceng terbengong sekian lama, lantas ia menghunus pisau belatinya. Ia mengurat berulangkali di selebung bambu itu, akan mengukir delapan huruf, bunyinya: "Hidup bersama dalam sebuah rumah, mati bersama dalam sebuah liang." Ia ikat pula selubung pada kaki burungnya, lantas ia kibaskan tangannya.
Sepasang burung itu sudah lantas pergi terbang, di udara mereka terbang berputaran, lalu terus menuju ke arah Utara.
Sekarang Kwee Ceng dapat melegakan hati, maka ia bersila pula untuk bersemadhi, guna menyakinkan ilmunya, akan sebentar kemudian ia menghampirkan Ciu Pek Thong, guna mendengari pengajaran kakak angkatnya itu.
Lewat sepuluh hari, dari Oey Yong tidak terdapat kabar apa juga. Selama itu, Kwee Ceng telah berhasil menghapalkan kitab bagian atas. Karena ini, dalam girangnya, Pek Thong mulai mengajari kitab bagian bawah. Ia cuma mengajari serupa demi serupa, ia tidak menyuruhnya orang berlatih dulu menuruti itu. Inilah untuk mencegah timbulnya kecurigaan si anak muda.
Kwee Ceng belajar dengan sungguh-sungguh. Setelah puluhan kali, ia berhasil mengingat di luar kepala isinya kitab bagian bawah itu, maka itu, berhasillah ia menguasai kedua bagian kitab itu.
Pada suatu malam, tengah rembulan terang menderang, Pek Thong ajak Kwee Ceng berlatih dengannya. Kesudahannya itu membuat ia girang sekali. Ia merasa bahwa ia telah maju pesat. Ia percaya, kalau nanti ia sudah dapat memahamkan isinya kitab, ia bakal terlebih lihay daripada Oey Yok Su dan Ang Cit Kong.
Habis berlatih, keduanya beristirahat memasang omong. Lalu tiba-tiba mereka mendapat dengar suara menggelesernya sesuatu apa di atas rumput. Kwee Ceng kenali suara itu.
"Ular!"
Pek Thong kaget hingga mukanya menjadi pucat, ia berlompat untuk lari masuk ke dalam gua. Ia gagah tetapi menghadapi ular, ia merasa kepalanya sakit.
Kwee ceng pun tidak berdiam saja. Ia menggeser beberapa potong batu besar, untuk dilintangkan di mulut gua. Kemudian dia kata, "Toako, jangan bergerak, hendak aku melihat."
"Hati-hati," Pek Thong memesan. "Lekas kau kembali!"
Kwee Ceng berjalan ke arah dari mana suara ular datang. Setelah puluhan tindak, ia dapat melihat ularnya. Ia heran sekali. Di bawahnya cahaya rembulan, nampak ular dalam jumlah ribuan atau puluhan ribu, berbaris bagai satu pasukan tentara, menuju ke Utara. Penggembalanya ada beberapa pria dengan seragam putih, yang tangannya memegang galah panjang. Barisan ular ini lebih hebat daripada barisan ularnya Auwyang Kongcu.
"Mungkinkah See Tok sendiri yang datang ke mari?" si anak muda menanya diri sendiri. Ia kaget. Ia menyembunyikan tubuhnya di belakang pohon, lalu ia menguntit barisan ular itu. Syukkur untuknya, semua penggembala ular itu biasa saja kepandaiannya, mereka tidak ketahui dirinya ada yang mengikuti.
Di paling depan ada berjalan satu bujang gagu. Dialah yang memimpin. Di dalam rimba itu orang berjalan berliku-liku jauhnya kira-kira duapuluh lie, setelah melintasi sebuah bukit, tibalah mereka di sebuah tegalan luas dengan rumput hijaunya. Di Utara tegalan rumput itu ada rimba pohon bambu.
Setibanya di situ, semua ular itu tidak berjalan lebih jauh, bahkan dengan menuruti petunjuk galah penggembalanya, semua pada berdiam melingkar dengan rapi, kepala mereka diangkat tinggi.
Kwee Ceng berlaku waspada, tidak mau ia memperlihatkan dirinya. Ia nelusup ke Timur, yang merupakan rimba, dari situ ia ke Utara, ke hutan bambu itu. Di situ ia sembunyi sambil memasang kuping dan mata. Rimba itu sunyi. Ia bertindak secara enteng sekali.
Di dalam rimba itu ada sebuah paseban yang terbuat dari bambu, menurut mereknya yang tergantung, namanya Cek Cui Teng. Di samping kedua mereka itu ada sepasang lian. Di dalam pesaben ada meja dan kursi terbuat dari bambu, semua barang bikinan dari banyak tahun, bambunya sudah mengkilap, warnanya kuning muda. Sangat sunyi suasa di sekitar paseban itu.
Mengintai keluar, Kwee ceng melihat rombongan ular itu masih mendatangi. Semua ular itu bukan ular hijau hanya ular yang kepalanya besar dan ekornya panjang, cahayanya kekuning-kuningan seperti emas. Habis ular kuning, baru ular hitam. Semua lidah mereka bergerak pergi datang.
Semua ular itu terpecah ke Timur dan Barat, di tengahnya terbuka satu jalanan. Di situ terlihat beberapa puluh wanita dengan seragam putih dan tangan masing-masing mencekal tengloleng merah, bertindak dengan perlahan. Di belakang mereka berjalan satu orang dengan jubah terikat di pinggang, yang tangannya mengebas-ebas kipas. Dialah Auwyang Kongcu. Dia jalan di muka, sikapnya menghormat. Segera terdengar suaranya yang terang dan nyata; "Auwyang Sianseng dari Wilayah Barat datang menjenguk Oey Tocu dari Tho Hoa To!"
"Ah, benar-benar See Tok yang datang!" kata Kwee Ceng dalam hatinya. "Pantaslah rombongan ini begini besar dan agung-agungan sikapnya."
Memang, di belakangnya Auwyang Kongcu ada berjalan seorang lain, tubuhnya tinggi dan besar, yang pun berpakaian putih mulus. Kwee Ceng cuma dapat melihat belakang orang, tidak mukanya. Dia berhenti bertindak, begitupun Auwyang Kongcu selagi pemuda itu mengasih dengar suaranya.
Dari dalam hutan bambu lantas muncul dua orang. Melihat mereka itu, hampir Kwee Ceng menjerit. Itulah Oey Yok Su sendiri yang menuntun tangan putrinya, Oey Yong.
Auwyang Hong bertindak maju, ia menjura kepada Oey Yok Su, yang membalasinya.
Auwyang Kongcu sendiri sudah lantas berlutut di depan pemilik dari Tho Hoa To itu, untuk memberi hormat sambil mengangguk empat kali. Ia kata: "Mantu yang tidak berharga menghadap gakhu tayjin, semoga gakhu tayjin sehat-sehat saja!"
"Gakhu tayjin" itu berarti "Ayah mertua yang dihormati".
"Sudah, kau bangunlah!" kata Oey Yok Su, yang mengulurkan tangannya akan mengasih bangun pemuda itu, yang menyebut dirinya baba mantu dan memanggil orang sebagai mertuanya.
Auwyang Kongcu ketahui bahwa ia tentulah bakal diuji, maka itu ia sudah bersiap sedia. Ia mempertahankan diri begitu lekas tangan kirinya dipegang untuk untuk diangkat tetapi ketika ia berbangkit, tubuhnya terhuyung juga hingga ia mengeluarkan seruan perlahan. Tubuhnya itu lantas berjumpalitan, kepala di atas, kakinya di bawah, jatuh ke tanah. Tapi Auwyang Hong sudah lantas menggeraki tongkat di tangannya, ditempel pada punggung keponakannya itu, disontek dengan perlahan, maka kesudahannya sang keponakan dapat berjumpalitan pula, untuk berdiri tegar.
"Ha, bagus sekali, saudara Yok!" Auwyang Hong tertawa. "Kau membuatnya baba mantumu berjumpalitan sebagai tanda menghormat menghadapnya yang pertama kali?"
Tidak sedap suaranya See Tok masuk ke dalam telinganya Kwee Ceng.
"Dia telah menghina muridku yang buta matanya, aku ingin melihat sampai di mana sudah kepandaiannya," menyahut Oey Yok Su.
Auwyang Hong tertawa lebar.
"Bagaimana sekarang, apakah dia cocok untuk dipasangi dengan putrimu?" dia menanya, sedangkan matanya melirik kepada Nona Oey, setelah mana ia mengasih dengar pujiannya: "Saudara, sungguh hebat! Beruntunglah kau yang telah mendapatkan putri yang begini cantik molek!" Ia lantas merogoh ke dalam sakunya, untuk menarik keluar sebuah kotak, yang mana pun ia terus buka tutupnya, maka dari dalam itu memancarlah keluar cahaya terang indah. Di dalam kotak itu terletak empat mutiara sebesar buah lengkeng. Ia lantas menghadap Oey Yong, untuk berkata pula: "Ayahmu pernah malang melintang di kolong langit ini untuk banyak tahun, ada permata apakah yang aneh-aneh yang dia tidak pernah melihatnya? Maka itu ini bingkisanku berasal dari desa, sebagai hadiah pertemuan kita yang pertama ini, pastilah akan dibuat tertawaannya...!"
Sembari berkata begitu, See Tok mengangsurkan permata mulianya itu.
Menampak itu, hatinya Kwee Ceng berdenyut keras. Katanya dalam hatinya itu: "Dia menerimanya atau tidak...?"
Segera juga terdengar suara tertawanya Oey Yong.
"Terima kasih!" berkata si nona, yang mengulur tangannya untuk menyambuti hadiah itu.
Melihat saja kulit orang yang putih dan cantik itu, semangatnya Auwyang Kongcu seperti sebuah meninggalkan tubuh raganya, sekarang ia mendengar tertawa orang yang manis merdu, goncangan hatinya bertambah hebat. Di dalam hatinya ia berpikir: "Ayahnya telah sudi menyerahkan dia kepadaku, maka sekarang sikapnya terhadapku beda banyak daripada dulu-dulu...."
Tengah pemuda ini tersengsam dan bagaikan bermimpi, mendadak ia melihat menyambarnya suatu cahaya kuning emas ke arahnya, saking kagetnya, ia menjerit, "Celaka!" Walaupun demikian, ia masih sempat melenggakkan tubuh, akan menjalankan tipu silat Tiat-poan-kio atau Jembatan Besi, hingga tubuhnya jadi terlentang lempang, untuk menyelamatkan diri.
"He, kau bikin apa?!" Oey Yok Su pun membentak seraya tangan kirinya mengibas, untuk membikin terdamparnya jarum emas dari putrinya, ialah orang yang menyerang Auwyang Kongcu dengan senjata rahasia itu, sedang tangan kanannya, ia menekan bahu putrinya itu.
Oey Yong lantas saja menjerit menangis.
"Ayah. lebih baik kau bunuh saja padaku!" demikian suaranya. "Tidak nanti aku menikah dengannya!"
Auwyang Hong tidak menjadi kaget menyaksikan itu semua. Sambil dengan satu tangan ia menjejalkan mutiara ke dalam telapakan tangannya Oey Yong, dengan tangan lain ia sampok tangannya Oey Yok Su yang ditekankan ke bahu putrinya.
"Putrimu tengah menguji keponakanku, kenapa kau memandangnya bersungguh-sungguh?" dia berkata sambil tertawa kepada tuan rumah.
Auwyang Kongcu sudah berdiri tegak pula akan tetapi ia merasakan sakit pada dadanya, maka tahulah dia yang ia telah terkena jarum rahasia itu. Dasar ia seorang yang berkepala besar, yang suka menang sendiri, ia menahan sakit, ia berpura-pura seperti tidak terjadi sesuatu, melainkan wajahnya tak dapat ia menenangkannya. Ia nampak jengah.
Auwyang Hong berkata pula sambil tertawa: "Saudara Yok, semenjak kita berpisah di gunung Hoa San sudah duapuluh tahun kita tidak pernah saling bertemu maka itu pertemuan ini sungguh membikin aku girang sekali. Saudara, setelah hari ini kau memandang mata kepadaku dengan menerima baik perangkap jodoh keponakanku dengan jodoh putrimu, maka selanjutnya apa juga titahmu, tidak nanti aku menolaknya!"
"Siapakah yang berani main gila terhadapmu, racun tua bangka?" menyahut Oey Yok Su. "Untuk duapuluh tahun kau berdiam diri di Wilayah Barat, kepandaian apa saja yang kau telah pahamkan, coba sekarang kau petunjuki untuk aku lihat."
Dasar sifatnya yang kekanak-kanakan, mendengar ayahnya hendak menyuruh orang mempertunjuki kepandaiannya, Oey Yong menjadi ketarik, ia lantas saja berhenti menangis, ia menyender pada tubuh ayahnya itu, matanya diarahkan kepada Auwyang Hong, kepandaian siapa yang ia ingin saksikan.
See Tok si Racun Barat itu memegang sebatang tongkat berwarna putih, tongkat ini banyak tekukannya mirip dengan rotan. Unjungnya tongkat diukirkan sebuah kepala orang, yang mulutnya tertawa. Di dalam mulut itu terlihat barisan gigi yang tajam dan putih bersih. Yang aneh adalah kepala tongkat itu ada menangkel melingkar dua ekor ular panjang, yang kulitnya berkilau putih seperti perak. Kedua ular itu merayap turun dan naik.
Auwyang Hong tertawa ketika ia menyahuti: "Dulu hari itu kepandaianku tidak dapat menyamakan kepandaian kau, sekarang setelah mensia-siakan selama duapuluh tahun, pasti sekali aku kalah jauh terlebih banyak. Sekarang ini kita menjadi sanak, aku memikir untuk menumpang tinggal beberapa hari di pulau Tho Hoa To kau ini, untuk aku memperoleh kesempatan akan meminta pengajaran dari kau."
Ketika pertama kali Auwyang Hong mengirim utusan kepada Oey Yok Su untuk melamar Oey Yong, Oey Yok Su berpikir, dijamannya itu, orang yang dapat menandingi ia sudah tidak seberapa lagi dan Auwyang Hong adalah salah satu diantaranya. Ia ketahui baik putrinya sangat nakal, jikalau dia mendapat suami sembarangan, anak itu bakal menghina suaminya, dari itu senang ia melihat kepandaiannya Auwyang Kongcu yang berani melayani Bwee Tiauw Hong. Ia anggap, Auwyang Kongcu adalah melebihkan Kwee Ceng yang menjadi pilihan putrinya sendiri, sedang di samping itu, ia sebal terhadap pemuda she Kwee itu. Inilah sebabnya dengan gampang ia sudah menerima baik lamarannya Auwyang Hong. Tapi sekarang, mendengar suaranya See Tok, yang putar balik, merendah dan berjumawa, ia menjadi curiga. Ia menduga-duga apa mungkin Auwyang Hong telah pulih kesehatannya dan kepandaiannya setelah dulu hari ilmu kepandaiannya itu dipecahkan Ong Tiong Yang. Ia ketahui baik See Tok ini mulutnya tajam dan hatinya berbisa, licin dan licik. Tentu saja, ia tidak sudi mengalah, karena ia pun seorang yang berbesar kepala. Maka itu ia sudah lantas menarik keluar serulingnya sambil ia berkata: "Tetamu yang terhormat telah datang dari tempat yang jauh, baiklah aku membunyikan sebuah lagu untuk menyenangkan hatinya. Silakan duduk, sahabatku supaya kau dapat mendengarnya perlahan-lahan."
Auwyang Hong tersenyum. Ia bisa menerka tuan rumah ini hendak memperdengarkan lagu "Thian Mo Bu Kiok" atau "Lagu tarian hantu langit" untuk mempengaruhkan padanya. Ia lantas mengibas dengan tangannya yang kiri, atas mana tigapuluh wanita berseragam putih itu, yang memegang tengloleng, bertindak maju sambil menekuk lutut, mereka memberi hormat pada tuan rumah. Ia lantas berkata: "Tigapuluh dua nona-nona ini adalah nona-nona yang aku menitahkan murid-muridku mencarinya di pelbagai tempat, sebagai bingkisan yang tidak berharga, aku menghadiahkan mereka kepada kau, saudara Yok. Mereka ini pernah mendapat pengajarannya guru-guru yang pandai, mereka dapat menari, bernyanyi dan menabuh khim secara lumayan. Hanya sayangnya mereka adalah nona-nona asal Wilayah Barat, kecantikan mereka kalah jauh dibandingkan dengan nona-nona dari Kanglam!"
Bab 37. Jago lawan jago
Oey Yong memandang nona-nona itu. Mereka mempunyai kulit yang putih bersih, tubuh mereka tinggi dan besar. Wajah mereka berlainan, ada yang hidungnya mancung dan matanya dalam, sedang rambutnya kuning dan matanya biru. Mereka beda sekali dari nona-nona Tionggoan.
Auwyang Hong menepuk tangan tiga kali, lantas delapan nona-nona itu mengasih keluar alat-alat tetabuhan mereka, untuk sesaat kemudian mereka mulai memainkan lagu, diikut dengan tariannya sisanya duapuluh empat nona lainnya. Mereka itu berdiri lempang, lalu mendak, lalu berputar ke kiri dan kanan, gerak-gerik mereka halus dan lembut. Ada kalanya mereka berdiri berbaris seperti tubuhnya seekor ular panjang, lalu jari tangan mereka dikutik-kutik.
Oey Yong lantas ingat kepada ilmu silat "Kim Coa Kun" atau "Ular emas" dari Auwyang Kongcu, ia lantas melirik kepada pemuda itu. Justru itu ia mendapatkan orang tengah mengawasi dirinya. Ia menjadi sebal, maka ia lantas memikir jalan untuk menghajarnya pula. Ia menyesal sekali yang usahanya tadi sudah digagalkan ayahnya. Ia anggap lagak orang itu sangat menjemukan.
"Kalau aku berhasil membunuh dia, biar ayah maksa aku menikah, toh sudah tidak ada orangnya dengan siapa aku dapat menikah," demikian ia pikir pula. Karena ini puas hatinya, sendirinya ia bersenyum.
Senang Auwyang Kongcu menampak senyuman si nona itu. Ia menduga hatinya si nona sudah berubah. Saking girangnya, sejenak itu ia melupakan rasa nyeri pada dadanya.
Nona-nona yang tengah menari itu, menarinya menjadi semakin cepat, tetapi tetap lembut gerak-geriknya. Dilain pihak orang-orang lelaki yang memegangi galah, ialah si penggembala-penggembala ular, semua sudah menutup rapat-rapat mata mereka. Mereka takut, dengan menyaksikan tarian itu, hati mereka tidak cukup kuat untuk bertahan dan nanti runtuh.....
Oey Yok Su sendirinya menonton dengan bersenyum berseri-seri, selang sekian lama barulah ia bawa serulingnya ke bibirnya, untuk meniup, untuk mengasih dengar lagunya. Baru beberapa kali ia meniup, tariannya si nona-nona tampaknya kacau. Dan tempo tuan rumah meniup terus, lantas mereka itu menari menuruti iramanya seruling.
Auwyang Kongcu kaget bukan main. Ia pernah merasakan hebatnya lagu seruling orang itu. Kalau seruling berlangsung terus, bukannya saja si nona-noa bakal menari terus-menerus hingga mati, dia sendiri juga tidak akan luput turut menjadi korban juga. Mau tidak mau, ia berseru: "Paman....!"
Justru itu Auwyang Hong menepuk tangan, atau mana seorang nona, dengan memegang tiat-ceng, atau alat tetabuhan yang bertali duabelas, maju menghampirkan.
Ketika itu hatinya Auwayang Kongcu sudah goncang keras, sedang pria si tukang angon ular sudah mulai berlari-lari atau berlompatan di antara barisan ularnya.
Auwyang Hong lantas mementil alat tetabuhannya itu, ia mengasih dengar suara umpama kata: "Tombak-tombak emas saling beradu dan besi kaki kuda berketoprakan" Hanya beberapa kali saja suara itu terulang, lantas nada halus dari seruling kena dibikin buyar bebarapa bagian.
Oey Yok Su tertawa.
"Mari, mari!" katanya. "Mari kita berdua bersama-sama memainkan lagu!"
Hebat kesudahan sambutannya Tong Shia si Sesat dari Timur. Mereka itu yang menari itu menjadi sangat kacau, gerak-geriknya seperti orang-orang edan.
"Semua menutup kuping!" berteriak Auwyang Hong menyaksikan kehebatan itu. "Nanti aku mainkan lagu bersama-sama Oey Tocu!"
Semua orang itu seperti kalap tetapi mereka mendengar suara majikan mereka, mereka mengerti ancaman bahaya yang bakal datang itu, maka dalam ketakutannya, mereka pada merobek ujung baju mereka untuk menggunai robekan itu menyumbat kuping mereka.
Auwyang Kongcu yang sudah cukup lihay turut juga menyumpal kupingnya.
Menyaksikan kelakuan mereka itu, Oey Yong tertawa. Ia sendiri tidak terpengaruh suara kedua seruling dan tiat-ceng itu. Ia berkata: "Lain orang memainkan lagu-lagu, justru dikhawatir orang tidak dapat mendengarnya, tetapi kamu sebaliknya, kamu semua justru menutupi kuping! Tidak, aku sendiri tidak sudi menyumbat kupingku!"
Oey Yok Su dapat mendengar perkataan putrinya itu, ia menegur: "Ilmu kepandaian mementil tiat-ceng dari pamanmu ini sangat kesohor di kolong langit ini, kau ada mempunyai kepandaian apa maka kau berani mendengarnya? Apakah kau kira kau dapat mencoba-coba?!"
Dari sakunya, ayah ini mengeluarkan sehelai sapu tangan, ia robek itu menjadi dua potong, terus ia pakai menyumpal kedua kuping anaknya itu.
Kwee Ceng menjadi heran sekali, hingga ia menjadi tertarik hatinya, ingin ia mendengar lagu tetabuhannya Auwyang Hong itu. Tanpa mengenal bahaya, ia justru maju beberapa tindak, supaya ia dapat mendengar dengan terlebih nyata.....
Oey Yok Su perpaling kepada tetamunya.
"Semua ularmu tentunya tidak dapat menutup kupingnya," katanya. Ia menoleh kepada bujangnya yang gagu, ia mainkan kedua belah tangannya.
Bujang gagu itu mengerti, ia mengibas-ngibaskan tangannya kepada kawanan gembala ular itu, memberi tanda untuk mereka menyingkirkan diri. Mereka ini memang menghendaki itu. Tapi mereka mengawasi dulu majikan mereka, sampai Auwyang Hong memberi tanda sambil mengangguk, baru lekas-lekas mereka mengiring ular mereka menyingkir dari situ, mengikuti petunjuk si bujang gagu.
"Jikalau aku tidak sanggup, sukalah saudara Yok mengalah sedikit," kata Auwyang Hong kemudian. Terus dengan kelima jari tangan kanannya, ia mulai mementil alat tetabuhannya.
Nyaring suaranya tiat-ceng itu. Kwee Ceng merasakan, setiap pentilan membuat hatinya goncang, dan selagi lagu bertambah cepat, goncangan hatinya itu bertambah cepat juga, dadanya bergerak-gerak, ia merasa tak enak sendirinya. Ia terkejut, segera ia menginsyafinya. Katanya dalam hati: "Kalau suara jadi hebat, tidakkah hatiku pun akan goncang hingga aku mati?" Karena ini lekas-lekas ia menjatuhkan dirinya untuk duduk bersila, akan memusatkan pikirannya, akan mengempos tenaga dalamnya. Cuma sesaat saja, suara tiat-ceng itu tidak dapat lagi menggoncangkan hatinya.
Suara tiat-ceng itu benar-benar makin lama jadi makin keras, bagaikan tambur dan gembreng berbunyi berbareng, seperti laksaan ekor kuda bercongklang bersama. Atau dilain saat terdengar suaranya yang perlahan-lahan dan halus, ialah suara dari seruling yang seperti menembusi suara tiat-ceng itu.
Mendadak Kwee Ceng merasa hatinya goncang dan mukanya panas. Ia lekas-lekas memusatkan pula perhatiannya, hingga hatinya menjadi tenang pula. Ia sekarang mendapat kenyataan, walaupun hebat suaranya tiat-ceng, suara itu tidak dapat menindih melenyapkan seruling, yang perlahan tetapi tegas. Maka juga heran, dua suara terdengar berbareng. Kalau suara tiat-ceng ada bagaikan pekiknya kera diatas gunung atau mengalunnya hantu iblis di tengah malam buta rata, suara seruling ada laksana bunyinya burung hong atau kasak-kusuknya si nona manis di dalam kamarnya. Kedua suara itu tinggi dan rendah, keras dan perlahan, maju dan mundur, sama-sama tidak mau mengalah.....
Oey Yong ketarik hatinya, ia menonton sambil tertawa geli. Ia mengawasi orang memintil tiat-ceng dan meniup seruling. Lama-lama, ia pun merasa aneh. Lama-lama, wajahnya kedua orang yang tengah mengadu tetabuhan itu berubah menjadi bersungguh-sungguh, menjadi tegang. Ia lantas melihat ayahnya dari duduk menjadi bangun berdiri, meniup serulingnya sambil bertindak, bertindak ke delapan penjuru menuruti kedudukan pat-kwa, segi delapan. Ia tahu itulah dasar kedudukan ayahnya setiap waktu ayahnya melatih diri dalam ilmu dalam. Teranglah musuh itu lihay sekali maka ayahnya mengambil tindakan itu.
Kemudian si nona memandang ke arah Auwyang Hong. Juga jago dari Barat ini menunjuki wajah dan sikap bersungguh-sungguh. Dari kepalanya terlihat hawa mengepul naik seperti uap, itulah hawa panas mengkedus yang keluar naik. Dengan kedua tangannya dia menerus mementil alat tetabuhannya, sampai ujung bajunya menerbitkan suara angin. Nyata sekali dia tidak berani berlaku alpa.
Kwee Ceng di tempat persembunyiannya memasang kuping, ia tidak mengerti ada apa hubungannya di antara seruling dan tiat-ceng itu. Ia heran kenapa masing-masing suara alat tetabuhan itu dapat mempengaruhkan orang menjadi tidak tenang. Di dalam ketenangan, perlahan-lahan ia dapat membedakan juga. Kedua suara itu seperti lagi serang, keras lawan lemah, lemah melawan keras. Sebentar kemudian, lantas ia mengerti seluruhnya.
"Tidak salah lagi, Oey Tocu dan Auwyang Hong tengah mengadu ilmu dalam mereka," pikirnya. Karena ini, ia lantas menutup rapat kedua matanya, ia mendengari terus dengan penuh perhatian.
Tadinya Kwee Ceng mesti mengeluarkan banyak tenaga melawan desakan tiat-ceng dan seruling, sekarang tidak demikian. Sekarang dengan tenang ia bisa mendengari kedua suara itu. Ia merasa bagaimana seruling seperti berkelit sana dan berkelit sini dari rangsakan tiat-ceng yang hebat, atau setiap kali ada lowongan, seruling lantas membalas menyerang. Satu kali ia mendengar, suara tiat-ceng menjadi lemah, sebaliknya seruling menjadi kuat.
Tiba-tiba Kwee Ceng ingat ajarannya Ciu Pek Thong "Keras tak dapat bertahan lama, lemah tak dapat menjaga terus." Ia lantas menduga, tiat-ceng bakal membalas menyerang.
Benar-benar, berselang sesaat suara tiat-ceng menjadi keras pula.
Ketika Kwee Ceng menghapali ajarannya Ciu Pek Thong itu, ia tidak tahu bahwa itulah rahasia dari Kiu Im Cin-keng, dan ia pun tidak mengerti jelas maksudnya.
Baru sekarang ia merasakan ada hubungannya ajaran itu dengan pertarungannya Oey Yok Su dan Auwyang Hong ini. Karena insyaf ini, ia menjadi girang sekali. Hanya ia masih belum mengerti akan jalannya terus pertempuran itu. Ada kalanya seruling dapat menghajar, ketika baik itu dilewatkan dengan begitu saja, demikian juga sebaliknya. Toh itu tidak mirip-miripnya dengan orang yang bersikap saling mengalah.
Mendengari terlebih jauh, Kwee Ceng jadi menanya dirinya sendiri; "Mungkinkah pengajarannya Ciu Toako ada terlebih lihay daripada kepandaiannya Oey Tocu dan Auwyang Hong ini? Mungkinkah mereka ini tidak dapat melihat cacad masing-masing maka juga kelemahan itu mereka sama-sama tidak dapat menggunainya? Tapi heran! Kalau benar Ciu Toako terlebih lihay, mestinya pada limabelas tahun yang lalu dia sudah dapat mencari Oey Tocu di sini untuk menghajarnya, tidak peduli pulau ini banyak terjaga dengan barisan sesat patkwa itu, tidak nanti ia membiarkan dirinya terkurung di dalam gua...."
Masih Kwee Ceng mendengari. Lagi-lagi ia mendapat kenyataan telah tiba saat yang sangat genting, hingga ada kemungkinan kali ini bakal datang keputusan siapa menang dan siapa kalah. Ia berkhawatir untuk Oey Tocu...
Justru itu waktu dari arah laut, dari tempat yang jauh, terdengar siulan panjang dan lama. Suara itu samar-samar tetapi toh dua-dua Oey Yok Su dan Auwyang Hong terkejut hingga sendirinya suara seruling dan tiat-ceng mereka berubah menjadi kendor. Siulan pun terdengar semakin nyata. Itu tandanya orang mendatangi dan orang itu berada semakin dekat.
Auwyang Hong mementil dua kali, keras sekali, suara tiat-ceng sampai terdengar seperti suara cita terobek. Habis itu, suara siulan terdengar bernada tinggi. Rupanya siulan dan tiat-ceng tengah kebentrok.
Tidak antara lama, suara seruling dari Oey Yok Su pun nyebur dalam bentrokan siulan dan tiat-ceng itu. Maka selanjutnya, sering terdengar, siualan bentrok tiat-ceng, siulan bentrok seruling, atau seruling bentrok tiat-ceng. Atau lagi, ketiganya bentrok berbareng.
Sekarang Kwee Ceng menduga pasti ada seseorang yang lihay yang telah datang ke pulau Tho Hoa To ini. Ia biasa main-main bertarung sempat tangan dengan Ciu Pek Thong, karena itu ia dapat menbedakan suara bentrokannya ketiga lawan ini: seruling, tiat-ceng dan siulan....
Setelah memperhatikan terlebih jauh. Kwee Ceng merasa orang yang bersiul itu sudah tiba di dalam rimba di dekat itu. Ia mendengar lebih nyata siulan orang itu, yang tinggi dan rendah bergantian, yang selalu berlainan. Ketika ia merasa, bentrokan menjadi demikian hebat, saking kagumnya, tanpa ia merasa ia berseru: "Bagus!". Kemudian ia terkejut sendirinya. Bukankah ia lagi bersembunyi? Ia lantas memikir untuk menyingkir. Tapi sudah kasep. Satu bayangan lantas berkelebat di depannya. Di situ berdiri Oey Yok Su.
"Anak yang baik, mari!" berkata Tocu dari Tho Hoa To itu.
Ketika itu semua tetabuhan sudah berhenti.
Dengan membesarkan hati, Kwee Ceng ikut Tong Shia pergi ke paseban.
Oey Yong tersumpal kupingnya, ia tidak mendengar seruannya si anak muda, maka heran ia menampak munculnya pemuda itu. Ia pun menjadi sangat girang, maka ia lari memapaki, untuk menyambar kedua tangan orang.
"Engko Ceng, akhirnya kau datang juga...!" serunya. Tapi ia girang bercampur sedih, tanpa merasa air matanya meleleh turun.
Melihat pemuda ini, panas hatinya Auwyang Kongcu. Maka itu, menyaksikan kelakuannya si nona, ia panas berbareng gusar sekali. Tidak dapat ia mengendalikan diri, sambil berlompat ia menghajar kepalanya si anak muda itu.
"He, bocah busuk, kau pun datang ke mari!" ia mendamprat.
Kwee Ceng melihat datangnya serangannya, dengan sebat ia berkelit. Sekarang ini ilmu silatnya sudah maju jauh, ia beda dengan waktu ia masih di rumah abu Keluarga Lauw di Poo-eng, dimana ia menempur pemuda she Auwyang itu. Ia tidak cuma berkelit, terus ia membalas menyerang. Dengan tangan kiri memainkan "Naga sakti menggoyang ekor", dengan tangan kanan ia menggunai "Naga Menyesal", dua-duanya merupakan jurus-jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang lihay. Sejurus saja sudah hebat, apapula dua jurus itu hampir berbareng.
Auwyang Kongcu terkejut merasakan tangan kiri orang tahu-tahu menekan iga kanannya. Ia mengerti lihaynya Hang Liong Sip-pang Ciang, yang cuma dapat diegos, tidak ditangkis, dari itu lekas-lekas ia menyingkir ke kiri. Celaka untuknya, justru ia berkelit, justru tangan yang lain dari lawannya tiba. Tidak ampun lagi, dada kirinya kena terpukul, bahkan sebuah tulangnya patah sekali.
Sebenarnya Auwyang Kongcu sudah cukup lihay dan ia mengerti lihaynya lawan, ketika serangan sampai, ia mencoba berkelit pula. Kali ini ia berkelit dengan mengapungi diri, untuk berlompat tinggi naik ke atas pohon bambu, habis itu baru ia lompat turun. Tapi ia tidak bisa membebaskan diri. Ia turun dengan muka merah bahna malu, dadanya juga dirasakan sakit. Ia bertindak dengan perlahan.
Menyaksikan perlawannya Kwee Ceng itu, dua-duanya Oey Yok Su dan Auwyang Hong heran berbareng murka. Oey Yong sebaliknya, nona ini bertepuk-tepuk tangan saking girangnya.
Sebenarnya, Kwee Ceng sendiri kurang mengerti. Inilah kemenangan di luar dugaannya. Ia bukan menginsyafi bahwa ia sudah maju jauh, ia mau menyangka si anak muda lawannya itu sudah beralpa atau kurang sebat bergeraknya hingga kena terhajar. Ia khawatir pemuda ini nanti menyerang pula secara kejam, ia mundur setindak sambil memasang mata, untuk bersiap-siap.
Auwyang Hong melirik pemuda itu dengan mata merah saking mendongkolnya. Kemudian ia dia berkata dengan nyaring: "Pengemis she Ang, aku beri selamat padamu yang sudah mendapatkan murid yang jempol!"
Oey Yong sudah membuka sumpalannya ketika ia mendengar suaranya Auwyang Hong itu, ia lantas mengetahui Ang Cit Kong telah tiba, maka itu, lupa segala apa ia lari ke arah rimba sambil memanggil-manggil: "Suhu! Suhu!" Ia kegirangan karena ia tahu bintang penolong sudah datang.
Mendengar suara putrinya itu, Oey Yok Su melengak.
"Eh, mengapa anakku memanggil guru kepada si pengemis tua?" pikirnya.
Itu waktu sudah lantas terlihat munculnya Ang Cit Kong si ketua pengemis. Di punggungnya ia menggondol cupu-cupunya merah, tangan kanannya memegang tongkatnya, tangan kirinya menuntuk Oey Yong. Ia berjalan sambil tertawa haha-hihi.
"Eh, Yong-jie, kau memanggil apa padanya?!" tanya Oey Yok Su gusar.
Bukannya ia lantas menjawab ayahnya itu, Oey Yong justu menuding Auwyang Kongcu dan berkata dengan sengit, "Ini manusia busuk sudah menghina aku, jikalau tidak ada lojinkee Ang Cit Kong yang menolongi aku, sudah tentu sudah semenjak lama kau tidak melihat Yong-jie, Ayah!"
"Jangan ngaco belo!" membentak Oey Yok Su, walaupun sebenarnya ia heran. "Dia toh anak baik-baik, cara bagaimana dia menghina padamu!"
"Jikalau Ayah tidak percaya, nanti kau tanyakan dia!" berkata si nona. Ia lantas mengawasi pemuda she Auwyang itu. Ia kata dengan keras; "Kau mesti lebih dulu mengangkat sumpah! Jikalau dalam jawabanmu kepada ayahku berdusta, kau nanti digigit mampus ular-ular di ujung tombaknya pamanmu itu!"
Mendengar itu Auwyang Kongcu kaget hingga mukanya pucat. Auwyang Hong tidak kurang kaget dan herannya. Jago dari Wilayah Barat ini kaget sebab ia ketahui dengan baik, dua ekor ular pada tongkatnya itu adalah ular-ular piarannya selama sepuluh tahun, yang ia piara sedari baru diteteskan hasil dari kawinan beberapa macam ular yang paling berbisa. Kalau dia menghukum bawahannya yang berkhianat atau orang yang paling ia benci, ia bisa menghukum dengan menggunai kedua ularnya ini. Asal seorang digigit ularnya, lantas ia kegatalan luar biasa, dalam waktu yang pendek ia bakal mati, tidak ada pertolongan lagi sekalipun seandainya Auwyang Hong sendiri berbalik berkasihan dan hendak mengampunkannya. Oey Yong menyebut ular itu karena ia menduga saja, sebab kedua binatang itu lain daripada yang lain, tidak tahunya, ia menyebut tepat pantangannya See Tok si Racun dari Barat itu.
"Terhadap pertanyaanya gakhu tayjin, mana aku berani mendusta," Auwyang Kongcu menjawab. Ia telah terdesak si nona, ia pun tidak berani menyangkal.
"Cis!" berseru Oey Yong. "Jikalau kau berani mengacu belo, lebih dahulu aku akan gaplok kupingmu beberapa kali! Sekarang dengar pertanyaanku! Kita pernah bertemu di istananya Chao Wang di Pak-khia, benar atau tidak?"
Auwyang Kongcu mengangguk. Tidak berani ia membuka suara. Hajarannya Kwee Ceng membikin ia merasakan sangat nyeri. Kalau ia membuka mulutnya untuk berbicara, rasa sakitnya itu menghebat. Ia pun memangnya berkepala besar. Kalau ia merasa sakit, kepalanya pusing dan mengeluarkan peluh. Dengan tidak bersuara, ia dapat menahan napas, ia bisa menguatkan diri.
Oey Yong menanya pula; "Ketika itu kau ada bersama See Thong Thian, Pheng Lian Hauw, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin, bersama-sama kau mengepung aku satu orang. Benar atau tidak?"
Auwyang Kongcu berniat menyangkal ia bekerja sama dengan rombongannya See Thong Thian itu, bahwa bukan sengaja ia mengepung si nona, tetapi ketika ia paksa menyahut, lantas ia merasakan dadanya sakit, maka ia cuma bisa bilang; "Aku...aku tidak bekerja sama dengan mereka itu..."
"Baiklah, aku pun tidak memerlukan jawabanmu dengan mulutmu!" berkata Oey Yong. "Jikalau aku menanya kau, cukup asal kau mengangguk atau menggeleng kepala. Sekarang kau dengar pertanyaanku: 'See Thong Thian bersama-sama Pheng Lian Houw, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin toh memusuhkan aku. Benar tidak?'"
Auwyang Kongcu mengangguk. Ia menuruti kata-kata orang dan tidak berani membuka mulutnya.
"Mereka itu hendak membekuk aku tetapi mereka itu tidak berhasil," berkata Oey Yong pula. "Kemudian kau muncul. Benar tidak?"
Itulah hal yang sebenarnya, Auwyang Kongcu mengangguk.
"Ketika itu aku berada di ruang besar dari istana Chao Wang. Di situ aku bersendirian saja, tidak ada siapa juga yang membantu aku, keadaanku sungguh menyedihkan. Ayahku pun tidak ketahui bahaya yang mengancam aku, ayah tidak dapat menolong aku. Benar tidak?"
Auwyang Kongcu mengangguk dengan terpaksa. Ia ketahui, pertanyaan kali ini dari si nona, yang membawa-bawa nama ayahnya, cuma untuk memancing kemurkaannya si ayahnya dia itu.
Setelah mendapat jawaban itu, Oey Yong tarik tangan ayahnya. Timbullah kemanjaannya.
"Ayah, kau lihat," katanya. "Kau sedikit juga tidak menyayangi anakmu.... Kalau ibu masih hidup, tidak nanti ia perlakukan aku begini rupa..."
Mendengar orang menyebut istrinya, yang ia cintai itu, pilu hatinya Oey Yok Su. Ia ulur tangan kirinya untuk merangkul putrinya itu.
Auwyang Hong sangat cerdas dan licin, ia melihat suasana buruk untuk pihaknya, maka belum lagi Oey Yong menanya pula, ia sudah mendahului.
"Nona Oey," ia berkata, "Begitu banyak orang Rimba Persilatan yang kenamaan hendak membekuk kau, karena lihay ilmu silat keluargamu, mereka tidak dapat berbuat sesuatu terhadapmu, bukankah?"
Oey Yong tertawa, dia mengangguk.
Oey Yok Su pun tersenyum. Ia senang orang puji ilmu silatnya.
Auwyang Hong berpaling kepada tuan rumah, ia berkata: "Saudara Yok, keponakanku telah melihat putrimu demikian lihay, ia jadi sangat jatuh hati, inilah sebabnya kenapa sekarang kami datang kemari dengan tidak memperdulikan jalan jauh ribuan lie untuk meminangnya.
Oey Yok Su tertawa.
"Ya, sudahlah!" katanya.
Auwyang Hong menoleh kepada Ang Cit Kong, ia berkata: "Saudara Cit, kami paman dan keponakan mengagumi orang-orang Tho Hoa To, kenapa kau sebaliknya lain pandanganmu? Kenapa kau berlaku sungguh-sungguh sama segala bocah? Coba bukannya keponakanku itu panjang umurnya, pastilah siang-siang dia telah mati di bawah hujan jarum emas yang menjadi kepandaianmu yang istimewa...."
Dengan kata-katanya ini Auwyang Hong hendak menimbulkan urusan ketika dulu hari Ang Cit Kong menolong Auwyang Kongcu dari serbuan jarum rahasia dari Oey Yong, hanya See Tok telah membalik duduk perkaranya mungkin itu disebabkan Auwyang Kongcu telah membaliknya waktu melaporkan hal ini kepada pamannya. Tapi Cit Kong adalah seorang polos dan sabar sekali, ia tidak mengambil mumat perkataan orang, bahkan tertawa lebar, malah dengan membuka tutup cupa-cupanya, ia menengak isinya.
Tidak demikian adanya Kwee Ceng yang jujur, yang benci kedustaan. Anak muda ini lantas menyampur bicara.
"Sebenarnya Cit Kong yang menolongi keponakanmu itu, kenapa sekarang kau bicara begini rupa?!" ia menegur.
Tapi Oey Yok Su membentak; "Kita lagi bicara, bagaimana kau bocah berani campur mulut?!"
Kwee Ceng penasaran, dengan nyaring ia kata kepada Oey Yong: "Yong-jie, kau beberlah urusannya Auwyang Kongcu merampas Nona Thia supaya ayahmu mendapat tahu!"
Oey Yong tidak meluluskan permintaan anak muda itu. Ia kenal baik sifat ayahnya. Ayahnya itu dijuluki Tong Shia si Sesat dari Timur, justru karena tabiatnya yang aneh itu. Ada kalanya Tong Shia membenarkan apa yang tidak benar dan sebaliknya. Maka ada kemungkinan, perbuatan ceriwis dan busuk dari Auwyang Kongcu dipandang sebagai perbuatan umum pemuda-pemuda doyan pelesiran. Ia pun ketahui baik ayahnya tak sukai pemuda pujiannya itu. Maka ia menggunai siasat. Ia lantas berpaling pula kepada Auwyang Kongcu.
"Bicaraku masih belum habis!" katanya. "Dulu hari itu di dalam istana Chao Wang, kau mengadu kepandaian dengan aku. Dengan sengaja kau menelikung kebelakang kedua tanganmu, kau bilang bahwa tanpa menggunai tangan, kau bisa mengalahkan. Benar bukan?"
Auwyang Kongcu mengangguk membenarkan pertanyaan itu.
"Kemudian aku telah mengangkat lojinkee Ang Cit Kong menjadi guruku," berkata Oey Yong. "Lalu di Poo-eng kita mengadu silat untuk kedua kalinya. Itu waktu kau menyebutnya aku boleh menggunakan kepandaian yang diwariskan ayahku atau Ang Cit Kong, kau bilang aku boleh keluarkan berapa banyak juga, sebaliknya kau sendiri, kau cuma akan menggunakan semacam ilmu kepandaian warisan pamanmu dengan apa kau sanggup mengalahkan aku. Benar tidak?"
Mendengar itu Auwyang Kongcu berkata di dalam hatinya; "Semuanya itu ditetapkan olehmu sendiri, bukan ditetapkan olehku..."
Menampak orang bersangsi, Oey Yong mendesak. Ia kata: "Bukankah itu hari kita telah menetapkannya demikian baru kita bertempur?"
Mau tidak mau, Auwyang Kongcu mengangguk.
"Ayah, lihatlah!" berkata Oey Yong kepada ayahnya. "Dia tidak memandang mata kepada Cit Kong, dia juga tidak menghormati padamu! Dia mau bilang, Cit Kong dan ayah berdua kalah jauh dengan pamannya itu! Bukankah itu berarti, meski Cit Kong dan ayah berdua mengepung pamannya, pamannya itu masih tak dapat dikalahkan. Tapi ini aku tidak percaya!"
"Ah, budak cilik, jangan kau mainkan lidahmu!" berkata Oey Yok Su si ayah. "Diantara kaum persilatan di kolong langit ini, siapakah yang tidak kenal baik ilmu silatnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay?"
Di mulutnya Oey Yok Su berkata demikian, di dalam hatinya ia mulai tidak puas terhadap Auwyang Kongcu, karena itu ia ingin hal pemuda itu jangan dibicarakan pula. Ia lantas menoleh kepada Ang Cit Kong.
"Saudara Cit, kau datang berkunjung ke Tho Hoa To, ada urusan apakah?" ia menanya.
"Aku datang untuk memohon sesuatu dari kau," sahut Cit Kong singkat.
Cit Kong jenaka tetapi jujur dan polos dan benci sekali kejahatan, inilah Tong Shia ketahui baik. Karena ini, ia menghormati si raja pengemis ini. Ia pun ketahui, biasanya, kalau ada urusan, Cit Kong tentu mengerjakannya itu sendiri bersama-sama pengikut-pengikutnya dari Kay Pang, belum pernah ia memohon bantuan dari orang. Sekarang orang datang untuk memohon sesuatu, ia menjadi girang sekali. Lekas-lekas ia menjawab: "Persahabatan kita adalah persahabatan dari beberapa puluh tahun, saudara Cit, maka itu kalau ada titah dari kau, mana aku berani tidak menurutinya?"
"Ah, janganlah kau begitu menerima baik permohonanku itu," berkata Cit Kong. "Aku khawatir permohonanku ini sulit untuk dilakukannya...."
Oey Yok Su tertawa, ia kata: "Kalau urusan gampang tidak nanti saudara Cit sampai memikir untuk meminta bantuanku!"
Cit Kong tertawa seraya menepuk-nepuk tangannya.
"Benar-benar!" katanya. "Kau barulah saudara yang sejati! Jadi kau pasti menerima baik?"
"Sepatah kata-kataku menjadi kepastian!" sahut Oey Yok Su, kembali cepat dan singkat. "Lompat ke api, terjun ke air, sama saja!"
Mendengar itu Auwyang Hong melintangi tongkat ularnya.
"Saudara Yok, tunggu dulu!" ia menyelak, "Perlu kita menanya dulu saudara Cit, urusan itu sebenarnya urusan apa?"
Ang Cit Kong tertawa. Ia berkata; "Racun tua bangka, inilah urusan tidak ada sangkut pautnya dengan kau, jangan kau ikut campur! Lebih baik kau sedia-sedia dengan ususmu yang kosong untuk nanti kau menenggak arak kegirangan!"
Auwyang Hong heran.
"Eh, minum arak kegirangan?" ia menanya.
"Tidak salah! Minum arak kegirangan!" memastikan Cit Kong. Dengan tangan kanannya ia menunjuk kepada Kwee Ceng dan Oey Yong bergantian. "Mereka berdua adalah murid-muridku, aku telah berikan janji kepada mereka untuk memohon kepada saudara Yok agar mereka dibiarkan menikah satu pada lain! Dan sekarang saudara Yok sudah menerima baik permohonanku itu!"
Kwee Ceng dan Oey Yong terperanjat bahna girang, keduanya lantas saling memandang. Sebaliknya Auwyang Hong dan keponakan serta Oey Yok Su menjadi terkejut sekali.
"Saudara Cit, kau keliru!" Auwyang Hong cepat berkata. "Putrinya saudara Yok sudah dijodohkan dengan keponakanku dan hari ini aku datang ke Tho Hoa TO ini untuk mengambil ketetapannya."
"Saudara Yok, benarkah itu?" tanya Cit Kong.
"Benar," menjawab Oey Yok Su. "Aku minta, saudara Cit jangan kau berkelakar denganku!"
Cit Kong memperlihatkan roman bersungguh-sungguh.
"Siapa yang main-main dengan kamu?" dia berkata. "Kau menjodohkan seorang putrimu kepada dua keluarga. Apakah artinya ini?" Ia lantas menoleh kepada Auwyang Hong. Ia kata: "Akulah orang perantaraan dari Keluarga Kwee! Kau sendiri, mana orang perantaanmu?"
Auwyang Hong tidak menyangka bakal ditanya begitu rupa, dia tidak dapat menjawab, ia tercengang. Baru kemudian ia berkata; "Suadara Yok sudah menerima baik, aku pun sudah akur, maka itu, perlu apa lagi orang perantaraan?"
"Apakah kau ketahui masih ada satu orang yang tidak menerima baik?" Cit Kong tanya.
"Siapakah dia?!" Auwyang Hong menegaskan.
Ang Cit Kong menyahuti: "Maafkan aku, itulah aku si pengemis tua!"
Auwyang Hong berdiam. Ia mengerti, tidak dapat ia tidak menempur pengemis ini, maka itu ia lantas memikirkan daya perlawanan.
Ang Cit Kong tertawa, ia berkata pula: "Keponakanmu itu tidak bagus kelakuannya, mana dia cocok untuk dijodohkan dengan putri yang cantik manis dari saudara Yok ini? Umpama kata benar kamu berdua memaksa mereka menikah, habis bagaimana kalau mereka sendiri tidak akur, setiap hari mereka berkelahi saja? Apakah artinya itu?"
Tertarik hati Oey Yok Su mendengar perkataan pengemis itu, ia lantas melirik kepada putrinya. Ia mendapatkan Oey Yong, dengan sinar mata penuh kecintaan, lagi mengawasi Kwee Ceng. Sebaliknya melihat Kwee Ceng, timbul pula rasa jemunya.
Oey Yok Su ini ada seorang yang terang otaknya, pandai ilmu silat dan surat, pandai juga memainkan khim, menulis huruf-huruf dan melukis gambar. Sedari masih muda, semua sahabatnya ada orang-orang cerdik pandai. Pun istrinya serta putrinya ini, orang-orang pintar juga. Maka, mengingat anaknya yang cantik dan pintar itu mesti dipasangi dengan Kwee Ceng yang tolol-tololan itu, sungguh ia tidak mufakat. Dipadu dengan Auwyang Kongcu, Kwee Ceng kalah berlipat ganda. Maka itu, ia lebih penuju keponakannya See Tok itu. Tapi di situ ada Ang Cit Kong. Maka akhirnya, ia memikir satu jalan.
"Saudara Hong," katanya kemudian, "Keponakanmu terluka, baik kau obati dulu padanya, urusan nanti kita damaikan pula."
Inilah apa yang Auwyang Hong harap-harapkan, maka lantas ia menggapai pada keponakannya, lalu bersama-sama mereka masuk ke dalam hutan bambu. Lewat sesaat, mereka sudah kembali ke paseban. Auwyang Hong telah berhasil mengeluarkan jarum emas dan menyambung pula tangan keponakannya itu.
Oey Yok Su sudah lantas berbicara, katanya: "Anakku bertubuh lemah dan nakal, sebenarnya sulit untuk dia merawati seorang budiman, maka adalah diluar dugaanku, saudara Cit dan saudara Hong telah memandang mukaku dan sama-sama melamarnya. Hal ini adalah suatu kehormatan untukku. Sebenarnya anakku ini sudah dijodohkan dengan pihak Auwyang tetapi sekarang ada titahnya saudara Cit, sukar aku tolak. Kejadian ini menyulitkan aku. Sekarang, aku pikir, baik diatur begini saja. Coba kedua saudara lihat, pemecahan ini dapat dilakukan atau tidak?"
"Lekas bilang, lekas bilang!" berkata Ang Cit Kong. "Aku, si pengemis tua paling tidak suka omong pakai segala aturan!"
Oey Yok Su tersenyum, ia berkata pula: "Sebenarnya anakku tidak mengerti segala apa, akan tetapi meskipun demikian, aku masih mengharap dia nanti menikah dengan seorang suami yang baik-baik. Auwyang Sieheng ada keponakannya saudara Hong dan Kwee Sieheng ada murid pandai dari saudara Cit, kedua-duanya baik, sukar untuk aku memilihnya, tidak dapat aku membuang salah satunya, karena itu, aku pikir baiklah mereka diuji saja. Di sini aku ada mempunyai tiga macam syarat. Pendeknya siapa yang lulus, anakku akan dijodohkan dengannya, tidak nanti aku berlaku berat sebelah. Bagaimana, sahabat-sahabatku?"
Auwyang Hong sudah lantas bertepuk tangan.
"Bagus, bagus!" serunya. "Cuma sekarang keponakanku sedang terluka, kalau buat adu silat, aku minta supaya itu ditunda sampai ia sudah sembuh."
Mendengar itu, Ang Cit Kong berpikir: "Kau, si Oey tersesat, kau banyak akalnya, jikalau kau majukan ilmu surat, syair atau nyanyi, tentulah muridku yang tolol gagal. Kau bilang kau tidak mau berat sebelah, sebenarnya pikiranmu sudah lain. Maka tidak ada lain jalan, baiklah aku ambil caraku!" Ia lantas tertawa sambil berlenggak, terus ia berkata: "Kita semua tukang silat, kalau kita tidak adu silat, apa kita mesti adu main gembul-gembulan? Keponakanmu terluka, kau sendiri tidak, marilah, mari kita berdua yang main-main lebih dulu!"
Begitu ia selesai bicara, tanpa menantikan jawaban, Ang Cit Kong sudah lantas menyerang ke bahu orang.
Auwyang Hong berkelit, ia mundur.
Ang Cit Kong meletaki tongkat bambunya di meja kecil di sampingnya.
"Kau membalaslah!" ia menantang. Ia menantang tetapi kembali ia menyerang, beruntun hingga tujuh jurus.
Auwyang Hong berkelit berulang-ulang, ke kiri dan ke kanan, habis tujuh serangan itu, dengan tangan kanannya ia menancap tongkatnya, sedang dengan tangan kirinya ia pun membalas tujuh kali.
Oey Yok Su menyaksikan itu, ia bersorak memuji. Ia tidak mau datang memisahkan, karena ingin ia melihat kemajuan orang sesudah berselang duapuluh tahun semejak mereka mengadu kepandaian.
Dua-dua Ang Cit Kong dan Auwyang Hong adalah ketua-ketua partai, pada duapuluh tahun dulu mereka sudah lihay, habis menguji kepandaian di Hoa San, mereka masing-masing menyakinkan lebih jauh kepandaian mereka, bisa di mengerti yang mereka telah maju banyak. Maka sekarang, bertarung di Tho Hoa To ini, mereka beda jauh daripada waktu di Hoa San. Mereka saling serang dengan cepat sekali tetapi semua itu adalah permulaan saja, untuk saling menggertak.
Kwee Ceng menonton dengan perhatian sepenuhnya. Ia melihat gerakan kedua pihak sangat lincah. Untuk kegirangannya, ia mengerti semua jurus itu. Ia telah hapal kitab Kiu Im Cin-keng, sekarang ia mendapat kenyataan, semua gerak-gerik mirip sama kitab itu. Untuk menyaksikan ini, ia mimpi pun tidak. Semua yang ia lihat ini termuat dalam kitab bagian atas. Semua itu ilmu silat yang lihay. Tanpa disadari, ia menjadi gatal sendirinya.
Dengan cepat kedua jago itu sudah bertempur hingga tigaratus jurus lebih.
Dua-dua Ang Cit Kong dan Auwyang Hong kagum sendirinya, mereka saling memuji secara diam-diam.
Oey Yok Su yang menonton pun kagum, ia menghela napas. Di dalam hatinya ia berkata: "Aku berdiam di Tho Hoa To ini dengan melatih diri sungguh-sungguh, aku percaya setelah Ong Tiong Yang meninggal dunia, aku bakal jadi orang gagah nomor satu di kolong langit ini, siapa tahu sekarang si pengemis tua bangka ini dan si biang racun tua telah mengambil jalannya masing-masing yang hebat sekali!"
Auwyang Kongcu dan Oey Yong sama-sama tegang hatinya, mereka mengharapi kemenangan pihaknya masing-masing. Mereka mengerti silat tetapi mereka tidak mengerti ilmu silatnya dua jago yang lagi bertarung itu. Sama-sama mereka terus mengawasi dengan perhatian penuh.
Satu kali Oey Yong melirik ke samping, lantas ia menjadi heran sendirinya. Ia melihat bayangan orang di sampingnya itu, bayangan yang lagi bergerak-gerak, terutama kaki tangannya, seperti orang menari. Ia lantas menoleh, maka itu ia kenali, itulah bayangannya Kwee Ceng. Wajah si pemuda tegang dan seperti menjadi korban kegirangan luar biasa.
"Engko Ceng!" ia memanggil perlahan. Ia heran dan menjadi berkhawatir karenanya, apapula panggilannya itu tidak disahuti si anak muda, yang terus masih bergerak tak hentinya. Nyata sekali lagi bersilat seorang diri.
Mau tidak mau, Oey Yong mengawasi. Lama juga ia meminta tempo, baru ia mengerti. Terang sekarang, Kwee Ceng berlatih silat menuruti gerak-geriknya kedua jago tua itu.
Perubahan terjadi dalam cara bertempurnya kedua jago itu. Kalau tadinya mereka berperang sebat sekali, sekarang mereka manjadi lambat, ada kalanya mereka menyerang dulu dengan dipikirkan lebih dahulu. Bahkan anehnya, ada kalanya, habis bergebrak, mereka sama-sama duduk bersila, untuk beristirahat, kemudian berbangkit pula, akan mulai bertempur lagi. Mereka bukan seperti mengadu silat, bahkan juga bukan juga kedua saudara seperguruan lagi berlatih. Toh wajah mereka menunjukkan ketegangan yang bertambah-tambah.
Oey Yong berpaling kepada ayahnya, ia mendapatkan ayahnya itu bengong mengawasi kedua jago itu. Ayah ini nampaknya tegang hatinya.
Ketika nona ini menoleh kepada Auwyang Kongcu, ia mendapat kenyataan pemuda itu tenang seperti biasa, kipasnya dipakai mengipas perlahan-lahan.
Kwee Ceng berhenti bersilat, ia mengawasi kedua orang itu, lalu seperti lupa pada dirinya sendiri, ia bersorak dengan pujiannya.
"He, bocah tolol, kau mengerti apa?!" Auwyang Kongcu menegur, murka. "Apa perlunya kau membikin banyak berisik?!"
"Apa perlunya kau banyak rewel?!" Oey Yong balas menegur. "Kau pun mengerti apa?!"
Ditegur begitu, pemuda ini tertawa.
"Bocah ini bergerak secara tolol!" dia berkata. "Dia masih sangat muda, mana dia ketahui kepandaian istimewa dari pamanku ini?"
"Kau toh bukannya dia, mana kau ketahui dia mengerti atau tidak?!" Oey Yong menegur pula.
Selagi muda-mudi ini berselisih mulut, Oey Yok Su tidak mengambil mumat, dia tetap mengawasi sepak terjangnya dua sahabatnya itu. Kwee Ceng pun memperhatikan dengan diam-diam saja.
Gerakkannya Ang Cit Kong dan Auwyang Hong menjadi terlebih lambat pula. Yang mengangkat tangan kirinya, dengan jari tengahnya dia menyentil perlahan batok kepalanya. Yang lainnya lagi, dengan kedua tangan di kuping, berjongkok di tanah dengan romannya lagi berpikir keras. Hanya sejenak kemudian, keduanya sama-sama berseru, terus mereka berlompat bangun untuk saling serang pula.
"Bagus! Bagus!" Kwee Ceng berseru-seru melihat serangan itu.
Habis itu, kedua lawan itu berpisah pula. Kembali mereka berpikir. Terang sudah, masing-masing seperti sudah mengetahui ilmu silat lawan, maka itu, perlu mereka memikirkan cara penyerangannya.
Duapuluh tahun sejak dua lawan ini berpisah sehabis bertempur di Hoa San, mereka masing-masing satu tinggal di Tionggan, satu yang lain di See Hek, Wilayah Barat. Sebegitu jauh tidak pernah mereka berhubungan satu dengan lain, sama-sama mereka menyakinkan lebih jauh ilmu silat mereka. Mereka pun tidak ketahui kemajuannya masing-masing. Sekarang ternyata, mereka sama gelapnya seperti duapuluh tahun dulu itu. Mereka mempunyai kepandaiannya, mereka pun sama-sama jeri. Dengan begitu, mereka membuang-buang tempo, sampai matahari sudah mulai menyingsing di arah Timur.
Yang beruntung adalah Kwee Ceng, yang dapat memberi perhatian seluruhnya. Adakalanya ia memikir, pihak sana tentu bakal menyerang begini, tetapi buktinya, dugaannya penyerangan pihak lain dan ada terlebih sempurna dari apa yang ia pikir. Karena ini, ia menjadi mendapat tambahan kepandaian. Kejadian ini terulang banyak kali. Ia dapat menyangkok ilmu silatnya dua-dua jago tua itu.
Oey Yong mengawasi pemudanya itu, ia bertambah heran.
"Baru belasan hari aku tidak lihat dia, mungkinkah dia telah dapat pelajaran silat dari malaikat?" berpikir nona ini. "Benarkah dia memperoleh kemajuan begini pesat? Kenapa ia agaknya girang sekali?" Ia baru berpikir begitu, atau ia menjadi berkhawatir. Katanya di dalam hatinya: "Apa mungkin engko Ceng ini mendadak pikirannya terganggu?"
Karena ini, ingin ia mendekati si anak muda, untuk menarik tangannya. Begitu berpikir, begitu ia bekerja.
Itu waktu, Kwee Ceng tengah meniru gerakkannya Auwyang Hong, yang menyerang sambil memutar tubuhnya. Kelihatannya serangan itu sangat umum akan tetapi tenaga yang dikerahkan tak terkira-kirakan. Maka itu tatkala tangannya si nona dapat memegang tangan si pemuda, mendadak ia merasa kena tertolak keras, dengan tiba-tiba saja ia mental tinggi seperti terbang. Melihat itu, Kwee Ceng terkejut hingga ia menjerit tetapi pun tubuhnya terus berlompat menyusul. Pinggang langsing dari Oey Yong dapat kena disambarnya, karena mana dapatlah ia menaruh kaki di atas wuwungan paseban dengan tidak kurang suatu apa, di situ terus ia berduduk.
Kwee Ceng sendiri, sebelum turut naik, telah menaruh tangannya di payon di mana ia menekan keras, hingga dilainnya saat dia jadi dapat duduk berendeng sama nona itu. Hingga dari situ, dengan memandang ke bawah, mereka dapat menonton pertaruhan.
Telah terjadi perubahan pula dalam caranya kedua jago itu bertempur. Sekarang terlihat Auwyang Hong bejongkok dengan kedua tangannya dikasih turun, hingga ia memperlihatkan sikapnya seekor kodok, sedang dari mulutnya kadang-kadang terdengar suara seperti suaranya kerbau. Lucu sikap itu hingga Oey Yong tertawa.
"Engko Ceng, dia bikin apakah itu?" dia menanya berbisik. Tertawanya pun perlahan sekali.
"Aku tidak tahu," Kwee Ceng menyahuti. Ia baru menjadi demikian atau tiba-tiba ia ingat kata-katanya Ciu Pek Thong tengan Ong Tiong Yang dengan pukulan jeriji IT-yang-cie sudah memecahkan Kap-mo-kang atau Ilmu Kodok dari Auwyang Hong. Maka ia lekas menambahkan; "Inilah semacam ilmu silat yang lihay sekali, namanya Ilmu Kodok!"
Oey Yong merasa lucu hingga ia bertepuk tangan.
"Ya, sungguh mirip kodok buduk!" serunya.
Sementara itu Auwyang Kongcu telah melihat orang duduk berendeng dan bicara-bicara sambil tertawa dengan asyik, bukan main ia mendongkolnya. Ia menjadi sangat bercemburu. Menuruti hatinya, hendak ia melompat naik ke atas, untuk menggusur Kwee Ceng. Celaka untuknya, ia merasakan dadanya masih sakit, hingga tidak dapat ia mengeluarkan tenaga. Ia mendengar Oey Yong menyebut-nyebut kodok buduk, hatinya bertambah panas, ia menyangka ialah yang dikatakan si kodok buduk yang mengharap mencaplok daging angsa kayangan. Sekarang ia tidak dapat menguasai lagi dirinya, dengan tangan kanan menggenggam tiga biji torak Hui-yang Gin-so, ia bertindak perlahan-lahan mutar ke belakang paseban itu, lalu dengan diam-diam juga ia menyerang ke atas pesaben, kepada sepasang muda-mudi itu. Ia dapat berbuat demikian dengan leluasa karena lain-lain orang tengah menonton pertempuran yang nampaknya lucu itu. Ia mengarah punggungnya Kwee Ceng.
Pemuda she Kwee ini tidak curiga suatu apa. Ia lagi asyiknya mengawasi pertempuran yang justru tiba disaatnya Ang Cit Kong, gurunya hendak menggunakan Hang Liong Sip-pat Ciang akan melayani terus kepada Auwyang Hong.
Oey Yong tidak ketahui Pak Kay dan See Tok ini, dua orang paling kosen di jaman itu, tengah menghadapi pertempuran yang memutuskan, yang membahayakan salah satu diantaranya, karena itu ia masih dapat tertawa haha-hihi dan dengan tangannya tunjuk sana-sini. Secara kebetulan saja, ia melihat satu tubuh di luar paseban bambu. Dasar cerdik sekali, ia menyangka kalau-kalau Auwyang Kongcu main gila. Maka hendak ia memasang matanya. Justru itu waktu ia mendengar desiran angin dari senjata rahasia, yang melesat ke arah punggungnya Kwee Ceng, sedang Kwee Ceng sendiri tidak mengetahui itu. Tidak sempat lagi ia menangkis, segera ia bergerak menubruk diri ke punggungnya si anak muda, dengan begitu tubuhnya mewakilkan anak muda itu menyambuti serangan tiga biji Hui-ya Gin-so yang tepat mengenai punggungnya sendiri.
Nona ini mengenakan baju lapis joan-wie-kah, ia tidak terluka, cuma saking kerasnya serangan, ia merasakan nyeri juga. Dengan sebat ia memutar balik tangannya, akan menyambar ketiga biji torak, kemudian sembari tertawa ia berkata; "Kau menggaruki gatal dipunggungku, bukankah? Banyak-banyak terima kasih! Nah, ini aku kembalikan garukanmu!"
Auwyang Kongcu terperanjat, ia memasang matanya. Ia khawatir si nona benar-benar nanti menyerang padanya. Ia tidak mau mempercayai si nona itu sudi dengan baik hati memulangi toraknya itu. Hanya ia menanti dengan sia-sia. Si nona masih memegangi senjata rahasianya itu, dia tidak mengayunkan tangannya.
Menampak demikian, kongcu ini segera menjejak tanah dengan kakinya yang kiri, untuk mengapungkan diri berlompat ke atas pesaben bambu itu. Ia hendak membanggakan ringannya tubuhnya. Disitu ia berdiri di satu pojok, bajunya yang putih berkibaran di antara sampokannya angin, hingga nampak sikapnya yang bagus, baguskan seorang suci.
"Sungguh bagus ilmu ringan tubuhmu!" Oey Yong berseru dengan pujiannya. Lalu dia maju setindak untuk berlompat naik ke atas pesaben, untuk menghampirkan, untuk membayar pulang torak orang.
Butek pikirannya Auwyang Kongcu menyaksikan tangan si nona yang putih halus dan montok itu, putih bagaikan salju. Ia lantas mengulurkan tangannya, guna menyambuti senjata rahasianya, sekalian ingin ia meraba tangan yang halus itu, tatkala tiba-tiba saja ia mendapat lihat sinar kuning keemas-emasan berkelebat di depan matanya. Dua kali sudah ia merasakan tangannya si nona, maka tanpa bersangsi pula, ia lompat berjumpalitan turun dari atas pesaben itu. Sambil berkelit secara demikian, ia juga mengibas-ngibaskan tangan bajunya, maka juga berhasil ia meruntuhkan jarum emasnya si nona.
Oey Yong tertawa terkekeh walaupun serangannya itu gagal. Ia tidak berhenti sampai di situ. Dengan sekonyong-konyong saja, ia menyerang pula dengan tiga biji toraknya si anak muda, untuk menghajar embun-embunnya pemuda itu.
"Jangan!" berseru Kwee Ceng kaget, menampak perbuatannya si nona itu, untuk dibawa lompat turun.
Belum lagi anak muda ini dapat menginjak tanah, kupingnya dapat mendengar satu suara nyaring, yang mana dengan suara cegahannya Oey Yok Su, "Saudara Hong, berlakulah murah hati!"
Kwee Ceng segera merasakan dorongannya angin yang keras, bagaikan gunung roboh menguruk lautan, mengenakan dadanya. Berbareng dengan itu, ia khawatir, Oey Yong nanti terluka, dari itu lekas-lekas ia mengerahkan tenaganya, ia menggunai jurus "Melihat naga di sawah" dari Hang Liong Sip-pat Ciang. Dengan jurusnya itu ia menolak dorongan keras itu.
Dimana dua-dua pihak menggunai tenaga besar, kedua tenaga itu bentrok keras sekali. Sebagai kesudahannya, Kwee Ceng tertolak mundur tujuh atau delapan tindak, karena pertahanannya tidak dapat mengalahkan Ilmu Silat Kodok dari Auwyang Hong yang lihay itu.
Lekas-lekas Kwee Ceng melepaskan tubuh Oey Yong, lekas-lekas juga ia memasang kuda-kudanya, guna melayani terlebih jauh See Tok si Bisa dari Barat itu, yang sudah hendak menyerang pula padanya. Hanya belum lagi mereka bentrok pula, Ang Cit Kong berdua Oey Yok Su sudah berlompat maju menghalang di antara mereka.
"Sungguh malu," berkata Auwyang Hong. "Tak keburu aku menahan diri! Apakah si nona terluka?"
Sebenarnya Oey Yong kaget bukan main, tetapi mendengar pertanyaan orang itu, ia memaksakan diri tertawa.
"Ayahku berada disini, mana dapat kau melukakan aku?" katanya.
Oey Yok Su pun berkhawatir. Ia lantas cekal tangan anaknya itu. Ia menarik.
"Apakah kau merasakan sesuatu yang beda pada tubuhmu?" tanyanya. "Lekas kau mainkan napasmu!"
Oey Yong menurut, ia lantas menarik dan mengeluarkan napas dengan beraturan. Ia tidak merasakan apa juga yang mengganggu pernapasannya itu. Maka ia lantas tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Melihat itu, barulah hati Oey Yok Su lega.
"Kedua pamanmu lagi berlatih silat di sini, kenapa kau main gila, budak?!" ayah ini menegur putrinya itu. "Kee-mo-kang dari Auwyang pepe hebat luar biasa, jikalau bukannya dia menaruh belas kasihan kepadamu, apakah kau kira sekarang kau masih mempunyai jiwamu? Coba kau lihat paseban itu!"
Oey Yong berpaling, akan melihat paseban seperti kata ayahnya itu. Diam-diam ia terperanjat. Paseban itu telah runtuh sebagiannya, tiang bambunya, yang mendam ke dalam tanah, telah terbongkar tercabut dan remuk bekas kena hajaran Silat Kodok. Tanpa merasa, ia mengulur lidahnya.
Ilmu silat Kee-mo-kang dari Auwyang Hong itu dimulai dari mendiamkan diri disusul sama gerakan tubuhnya, ketika itu seluruh tenaganya telah dikerahkan, kalau ia diserang, segera ia dapat menolak balik serangan itu. Untuk menyerang pun ia mesti berdiam dulu, memasang kuda-kudanya yang aneh bagaikan kodok nongkrong. Barusan ia melayani Ang Cit Kong, ia bersiap dengan kuda-kudanya yang aneh itu, disaat ia hendak menyerang, mendadak Oey Yong pun berlompat turun sebab dipondong Kwee Ceng, jadi tepat si nona melintang di tengah.
Auwyang Hong pun kaget melihat arah serangannya adalah si nona, yang ia hendak ambil sebagai istri dari keponakannya. Ia menginsyafi bahwa si nona terancam bahaya maut, jiwanya tak bakal tertolong lagi. Ia juga dapat mendengar cegahannya Oey Yok Su. Begitulah ia mencoba menarik pulang pukulannya tetapi gagal, paseban kena terhajar runtuh, doronganya tenaga itu berlangsung terus. Lalu mendadak ia merasakan ada satu tenaga lain yang menahannya. Ketika ia sudah berhenti menyerang, ia memasang mata tajam ke depannya. Terlihat olehnya, penolong dari si nona adalah si pemuda Kwee Ceng. Diam-diam ia mengagumi Ang Cit Kong, katanya dalam hatinya: "Benar-benar lihay ini pengemis bangkotan, dia berhasil mengajari muridnya ilmu yang begini sempura!"
Oey Yok Su pun berpikir melihat sepak terjangnya Kwee Ceng itu, yang selama di Kwie-in-chung pernah ia saksikan ilmu kepandaiannya. Katanya dalam hatinya: "Ini bocah tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi, dia berani melayani Auwyang Hong, tidak memandang aku, tidakkah urat-urat dan tulang-tulangnya bakal putus dan remuk?" Ia mengatakan demikian karena tidak tahu, Kwee Ceng yang sekarang bukan lagi Kwee Ceng yang sama di Kwie-in-chung itu. Ia ketahui, barusan adalah Kwee Ceng yang sudah menolong putrinya, maka tanpa merasa kesannya yang kurang baik untuk pemuda itu menjadi berkurang tujuh atau delapan bagian. Bukankah bocah itu sudah berani berkorban untuk Oey Yong? Diakhirnya ia berpikir: "Bocah ini jujur dan baik hatinya, walaupun tidak dapat aku nikahkan anakku kepadanya, mesti menghadiahkan sesuatu kepadanya."
Selagi Tong Shia berpikir demikian, ia mendapat dengar suaranya Ang Cit Kong.
"Makhluk beracun bangkotan, sungguh kau hebat!" demikian Pak Kay, si Pengemis dari Utara. "Kita berdua belum ada yang kalah dan menang, mari kita bertempur pula!"
"Baik, bersedia aku melayani seorang budiman!" menjawab See Tok, si racun dari Barat.
Ang Cit Kong tertawa.
"Aku bukannya seorang budiman, aku hanyalah pengemis!"
Dengan hanya sekali berlompot, raja pengemis ini sudah berada dalam gelanggang.
Auwyang Hong juga hendak masuk ke dalam gelanggang itu tatkala Oey Yok Su mencegahnya seraya Tong Shia melonjorkan tangannya yang kiri.
"Tunggu dulu, saudara Cit dan saudara Hong!" katanya. "Kamu berdua sudah bertarung lebih daripada seribu jurus, kamu tetap belum memutuskan menang atau kalah, karena hari ini kamu berdua adalah tetamu-tetamu terhormat dari Tho Hoa To, lebih baik kamu berdua duduk minum beberapa cawan arak pilihan yang aku nanti menyediakannya. Saatnya merundingkan pedang di Hoa San akan tiba di depan mata, maka itu waktu bukan cuma kamu berdua yang bakal mengadu kepandaian pula, juga aku dan Toan Hong Ya akan bersama turun tangan! Bagaimana jikalau pertempuran ini hari disudahi sampai disini?"
"Baiklah!" menyahut Auwyang Hong tertawa, "Kalau kita bertempur pula, pastilah aku bakal kalah!"
Ang Cit Kong menarik pulang dirinya. Ia pun tertawa.
"Si makhluk berbisa bangkotan dari Wilayah Barat lain mulutnya lain hatinya!" berkata dia. "Kau memang sudah sangat tersohor! Kau membilang bakal kalah, itu artinya kau bakal menang! Tidak, aku si pengemis tua tidak dapat mempercayainya!"
"Jikalau begitu, hendak aku mencoba pula kepandaianmu, saudara Cit!" Auwyang Hong menantang.
"Tidak ada yang terlebih baik daripada itu!" Ang Cit Kong menyambut. Dan ia pun bersiap pula.
"Sudahlah!" berkata Oey Yok Su tertawa, melihat orang hendak bertempur lagi. "Nyatalah kamu berdua hari ini datang ke Thoa Hoa To untuk mempertunjukkan kepandaian kamu!"
Ang Cit Kong tertawa lebar.
"Pantas kau menegur aku, saudara Yok!" katanya. "Sebenarnya kami datang kemari untuk mengajukan lamaranku, bukannya untuk mengadu kepandaian."
"Bukankah aku telah mengatakan hendak aku mengajukan tiga syarat untuk menguji kedua sieheng?" berkata pula Oey Yok Su. "Siapa yang lulus, dialah yang aku akan ambil sebagai menantuku, dan siapa yang jatuh, dia pun tidak bakal aku membuatnya pulang kecewa."
Cit Kong agaknya heran.
"Apa?! Apakah kau masih mempunyai lain putri lagi?" tanyanya.
"Sekarang ini belum!" sahut Oey Yok Su tertawa. "Umpama kata aku lekas-lekas menikah pula dan mendapatkan satu anak perempuan, sekarang ini sudah tidak keburu lagi! Aku ini mengerti juga kasar-kasar tentang ilmu pengobatan dan meramalkan, maka itu sieheng yang mana yang tidak lulus, jikalau ia tidak mencelanya dan sudi mempelajari dia boleh memilih pelajaran yang mana ia penuju, nanti aku mengajarinya dengan sungguh-sungguh."
Ang Cit Kong memang tahu Oey Yok Su banyak pengetahuannya, ia anggap lumayan juga andaikata orang tak dapat menjadi menantunya tetapi dapat semacam kepandaian daripadanya untuk kepentingan seumur hidupnya.
Bab 38. Memilih Baba Mantu.
Auwyang Hong melihat Cit Kong tidak segera menjawab, ia mendahului: "Baiklah begini keputusan kita! Sebenarnya saudara Yok sudah menerima naik keponakanku tetapi karena memandang mukanya saudara Cit, biarlah kedua bocah itu diuji pula! Aku lihat cara ini tidak sampai merenggangkan kerukunan." Ia lantas berpaling kepada keponakannya, akan membilang: "Sebentar, apabila kau tidak sanggup melawan Kwee Sieheng, itu tandanya kau sendiri yang tidak punya guna, kau tidak dapat menyesalkan lain orang, kita semua mesti dengan gembira meminum arak kegirangannya Kwee Sieheng itu! Jikalau kau memikir lainnya, hingga timbul lain kesulitan, bukan saja kedua locianpwee bakal tidak menerima kau, aku sendiri pun tidak gampang-gampang memberi ampun padamu!"
Ang Cit Kong tertawa berlenggak.
"Makhluk berbisa bangkotan, teranglah sudah kau merasa sangat pasti untuk kemenangan pihakmu ini!" ia berkata. "Kata-katamu ini sengaja kau perdengarkan untuk kami mendengarnya, supaya kami tidak usah mengadu kepandaian lagi dan lantas saja menyerah kalah!"
Auwyang Hong tertawa pula.
"Jikalau kau ketahui itu, bagus! Saudara Yok, silahkan kau menyebutkan syarat atau cara ujianmu itu!"
Oey Yok Su sudah berkeputusan akan menyerahkan gadisnya kepada Auwyang Kongcu, ia telah mengambil putusan akan mengajukan tiga soal yang mesti dapat dimenangkan calon baba mantunya. Tetapi, sedang ia memikir untuk membuka mulutnya, Ang Cit Kong dului ia.
"Main ujian? Itu pun baik!" kata Pak Kay. "Kita ada bangsa memainkan pukulan dan tendangan, maka itu saudara Yok, jikalau kau mengajukan syarat, mestilah itu mengenai ilmu silat. Umpama kata kau mengajukan urusan syair dan nyanyian, atau soal mantera dan melukis gambar dan lainnya, maka kami berdua terang-terang akan mengaku kalah saja, kami akan menepuk-nepuk kempolan kami dan mengangkat kaki, tak usah lagi mempertontonkan keburukan kami di depan kamu!"
"Itulah pasti!" Oey Yok Su memberikan kepastiannya. "Yang pertama-tama ialah mengadu silat..."
"Itulah tak dapat!" Auwyang Hong menyelak. "Sekarang ini keponakanku tengah terluka."
"Inilah aku ketahui," kata Oey Yok Su tertawa. "Aku juga tidak nanti membiarkan kedua sieheng mengadu kepandaian di Tho Hoa To ini, sebab itu dapat merenggangkan kerukunan kedua pihak."
"Jadi bukannya mereka berdua mengadu silat?" Auwyang Hong menegaskan.
"Tidak salah!" sahut Oey Yok Su.
Auwyang Hong girang, ia tertawa.
"Benar!" katanya. "Apakah kepala penguji hendak memperlihatkan beberapa jurus untuk setiap orang mencoba-coba jurus itu?"
"Itu juga bukan," Oey Yok Su menggeleng kepalanya. "Dengan cara itu sudah dipertanggungjawabkan yang aku nanti tidak berlaku berat sebelah. Bukankah diwaktu menggeraki tangan dapat orang membikin enteng atau berat sesuka hati? Saudara Hong, kepandaianmu dan sudara Cit sudah sampai dipuncaknya kemahiran dan barusan pun, sampai seribu jurus lebih, kamu masih sama tangguhnya. Sekarang baiklah kau mencoba Kwee Sieheng dan saudara Cit mencoba Auwyang Sieheng."
Mendengar itu Ang Cit Kong tertawa.
"Cara ini tidak jelek!" bilangnya. "Mari, mari kita coba-coba!" sembari berkata, ia terus menggapaikan Auwyang Kongcu.
"Tunggu dulu!" berkata Oey Yok Su cepat. "Kita harus mengadakan aturannya. Pertama-tama; Auwyang Sieheng lagi terluka, tidak dapat ia mengempos semangatnya dan berkeras menggunakan tenaganya, dari itu kita harus menguji kepandaiannya tetapi bukan tenaganya. Kedua; kamu berempat harus bertempur di atas bambu, siapa yang terlebih dulu jatuh ke tanah, dialah yang kalah. Dan yang ketiga; Siapa yang melukai pihak anak muda, dialah yang kalah."
Ang Cit Kong heran.
"Melukai anak muda dihitung kalah?" dia bertanya.
"Demikian selayaknya!" menjawab Oey Yok Su. "Kamu berdua sangat lihay, jikalau tidak diadakan aturan semacam ini, sekali kamu turun tangan, apakah kedua sieheng masih ada nyawanya? Saudara Cit, asal kau membikin lecet saja kulitnya Auwyang Sieheng, kau teranggap kalah! Demikian juga dengan saudara Hong!"
Pak Kay menggaruk-garuk kepalanya. Tapi ia tertawa.
"Oey Lao Shia si Sesat bangkotan benar-benar sangat ajaib bin aneh, bukan percuma namanya disohorkan!" katanya. "Pikir saja, siapa yang melukai musuh dia justru yang kalah! Aturan ini adalah aturan paling aneh sejak jaman purbakala! Tapi baiklah, mari kita bertindak menurut aturan ini!"
Oey Yok Su memberi tanda dengan kipasan tangannya, keempat orang itu sudah lantas berlompat naik ke atas pohon, merupakan dua rombongan; Ang Cit Kong bersama Auwyang Kongcu di kanan, dan Auwyang Hong bersama Kwee Ceng di kiri.
Oey Yok Su masgul. Ia ketahui baik, Auwyang Kongcu terlebih llihay daripada Kwee Ceng, benar pemuda itu terluka tetapi dengan mengadu ringan tubuh, dia masih terlebih unggul.
Oey Yok Su sudah lantas berseru; "Asal aku menghitung habis satu, dua dan tiga, kamu semua boleh mulai bertempur! Auwyang Sieheng dan Kwee Sieheng, siapa saja di antara kamu yang jatuh lebih dulu, dialah yang kalah!"
Mendengar begitu, Oey Yong berpikir keras, memikirkan daya untuk membantu Kwee Ceng. Ia bingung, Auwyang Hong sangat lihay, bagaimanaia dapat menyelak di antara mereka itu?
Segera Oey Yok Su menghitung: "Satu! Dua...! Tiga!"
Maka bergeraklah keempat orang di atas tiang bambu itu, bergerak-gerak bagaikan bayangan.
Oey Yong mengkhawatirkan Kwee Ceng, ia memasang mata. Ia melihat, cepat sekali sudah lewat belasan jurus. Ia menjadi heran, tidak kecuali Oey Yok Su, yang tidak menyangka pemuda itu demikian pesat kemajuannya.
"Aneh, mengapa dia masih belum kalah?" pikir Tong Sia si Sesat dari Timur.
Auwyang Hong sendiri berduka sangat, ia menjadi bergelisah sendirinya, dengan sendirinya ia mulai gunai tenaganya, untuk mendesak. Ia heran untuk lihaynya si bocah. Dipihak lain, tidak dapat ia melukakan si bocah itu. Tapi ia berpikir keras, maka lekas juga ia mendapat jalan. Dengan tiba-tiba saja ia menyapu dengan kedua kakinya untuk membikin lawannya roboh, begitu lekas serangan pertama gagal, ia mengulanginya saling susul, bertubi-tubi.
Diserang secara hebat berantai begitu, Kwee Ceng membuat perlawanan dengan Hang Liong Sip-pat Ciang jurus "Naga Terbang di Langit", tubuhnya berulang-ulang berlompat, membal ke atas, sedang kedua tangannya, yang dibuka dan nampaknya tajam seperti golok atau gunting, senantiasa dipakai membabat ke arah kaki lawannya yang lihay itu. Ia jadi selalu berkelit sambil menyerang.
Hatinya Oey Yong berdebaran menyaksikan pertempuran dahsyat itu. Ketika ia melirik kepada Ang Cit Kong dan Auwyang Kongcu, ia mendapatkan cara mereka bertempur pun beda.
Auwyang Kongcu memperlihatkan kepandaian enteng tubuhnya, ia berlari-lari ke Timur dan Barat, sama sekali ia tidak sudi berhadapan sama Ang Cit Kong untuk bertempur sekalipun satu jurus. Kalau Ang Cit Kong merangsak, ia lekas-lekas menyingkir.
"Binatang ini main menyingkir saja, ia memperlambat tempo," pikir Cit Kong. "Kwee Ceng sebaliknya tolol, dia melayani Auwyang Hong mengadu tenaga dan kepandaian, pasti dia bakal jatuh lebih dulu..."
Pengemis dari Utara ini segera berpikir. "Hm!" ia perdengarkan suara di hitungnya, lalu tiba-tiba saja ia lompat mencela tinggi, menubruk kepada si anak muda, kedua tangannya diulur dengan sembilan jarinya dibuka merupakan cengkeraman ceker baja.
Menampak demikian, Auwyang Kongcu terkejut. Segera ia menjejak dengan kaki kirinya, berkelit berlompat ke kanan.
Ang Cit Kong menubruk tempat kosong tetapi ia sudah dapat menduga orang bakal menyingkir ke kanan itu, maka juga dengan menjumpalitkan tubuhnya, ia mendahului lompat ke kanan, di sana segera ia bersiap dengan kedua tangan sambil ia berseru: "Biarlah aku kalah asal kau mampus lebih dulu!"
Auwyang Kongcu kaget bukan main, kaget karena gerakan orang yang sebat, yang seperti memegat jalannya, dan kaget untuk ancaman. Tidak berani ia menangkis serangan itu untuk membela dirinya. Di luar keinginannya, belum sempat ia memikirkan daya, kakinya sudah menginjak tempat kosong, maka terus saja ia jatuh. Ia telah memikir, kalahkah ia dalam pertandingan ini? Hanya ketika itu, Kwee Ceng pun jatuh di sampingnya!
Auwyang Hong telah berpikir keras karena sudah sekian lama ia tidak dapat merobohkan bocah lawannya. Kejadian ini membuatnya bergelisah. ia telah berpikir: "Jikalau aku mesti melayani dia sampai lebih daripada limapuluh jurus, ke mana perginya pamornya See Tok?" Karena ini ia mendesak, bagaikan kilat tangan kirinya menyambar ke belakang lehernya Kwee Ceng. Ia pun berseru: "Kau turunlah!"
Pemuda itu berkelit sambil mendak, tangan kirinya diulur, niatnya untuk menangkis, disaat mana, mendadak Auwyang Hong mengerahkan tenaganya. Ia menjadi kaget hingga ia menegur; "Kau...kau...." Ia hendak menanya: "Kenapa kau tidak menaati peraturan?" dan ia mengerahkan tenaganya. Atau mendadak Auwyang Hong tertawa dan menanya: "Aku kenapa?" Dengan mendadak juga ia membatalkan pengerahan tenaganya itu.
Kwee Ceng mengatur tenaganya, untuk melawan. Ia berkhawatir jago tua itu nanti menggunai kuntauw kodoknya, ia takut nanti terluka di dalam. Siapa sangka tengah ia berkuat-kuat, tiba-tiba saja penyerangnya itu lenyap dari hadapannya. Di dalam latihan dan pengalaman, sudah tentu ia kalah jauh dibandingkan dengan See Tok, maka syukur untuknya, dari Ciu Pek Thong ia telah memperoleh ilmu silat "Kong Beng Kun" yang terdiri dari tujuhpuluh dua jurus itu, yang sifatnya dalam "keras ada kelembekannya", kalau tidak pastilah akan terjadi seperti di Kwie-in-chung tempo melayani Oey Yok Su, tangannya salah urat. Meski demikian, ia toh terjerumuk, kakinya limbung, tidak ampun lagi ia jatuh kepala di bawah, kaki di atas!
Kalau Auwyang Kongcu jatuh lurus, berdiri, Kwee Ceng menjadi terbalik. Keduanya jatuh berbareng. Tubuh mereka pun berada berdekatan. Auwyang Kongcu melihat tegas saingannya itu, mendadak saja timbul pikirannya yang sesat. Mendadak ia majukan kedua tangannya, untuk menekan kedua kakinya Kwee Ceng itu, berbareng dengan mana, meminjam kaki orang, ia apungi tubuhnya naik. Dengan demikian, selagi ia mumbul, Kwee Ceng sendiri turun semakin cepat.
Oey Yong kaget tidak terkira. Itulah artinya Kwee Ceng pemuda pujaannya bakal kalah. Tanpa merasa, ia menjerit; "Ayo!"
Hampir berbareng dengan jeritan itu, terlebihlah tubuh Kwee Ceng berbalik mencelat ke atas, di lain pihak, tubuhnya Auwyang Kongcu turun pula, bahkan terus jatuh ke tanah. Di lain pihak lagi, Kwee Ceng telah tiba di atas pohon, berdiri di sebatang cabang, lalu dengan meminjam tenaga cabang itu ia mendekam!
Menyaksikan kejadian itu dari kaget bukan main, Oey Yong menjadi girang bukan kepalang. Sungguh-sungguh ia tidak mengerti kenapa bisa terjadi demikian rupa sedang pada Kwee Ceng ia tidak nampak sesuatu aksi. Bukankah pemuda itu terpisah hanya lagi beberapa kaki dari tanah?
Auwyang Hong dan Ang Cit Kong pun sudah sama-sama berlompat turun, Ang Cit Kong tertawa terbahak-bahak, berulang-ulang ia berseru: "Sungguh indah! Bagus!"
Parasnya See Tok, sebaliknya muram.
"Saudara Cit, muridmu yang lihay ini campur aduk sekali ilmu kepandaiannya!" ia berkata, "Dia pun sampai dapat mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongolia!"
Ang Cit Kong tertawa.
"Tetapi aku sendiri tidak becus ilmu gulat itu!" katanya, mengaku terus-terang. "Bukanlah aku yang mengajarkan dia, maka itu janganlah kau main gila denganku!"
Sebenarnya Kwee Ceng kaget sekali yang Auwyang Kongcu sudah menekan kakinya itu berbareng si kongcu sendiri mengapungkan diri. Dia mengerti, hebat kalau dia jatuh, sedang si kongcu itu bakal berada di atasannya. Itulah artinya ia kalah dan bercelaka. Disaat segenting itu, ia tidak menjadi gugup. Ia melihat kaki orang di depan mukanya, hebat luar biasa, ia menyambar dengan kedua tangannya, menarik dengan keras seraya tubuhnya pun diapungkan ke atas. Memang itulah ilmu gulat orang Mongolia, supaya sesudah roboh dapat berlompat. Itulah ilmu gulat yang tak ada bandingannya turun temurun. Kwee Ceng menjadi besar di gurun pasir, sebelum ia berguru dengan Kanglam Cit Koay, ia sudah bergaul erat dengan Tuli dan lainnya bocah bangsa Mongolia itu, dengan sendirinya sering mereka adu gulat. Sekarang ia menghadapi bahaya, hampir tanpa berpikir, ia menggunai ilmu kepandaiannya itu. Ia pun meminjam tenaga lawan sama seperti Auwyang Kongcu meminjam tenaganya. Dan ia memperoleh kemenangan!
"Kali ini Kwee Sieheng yang menang!" Oey Yok Su sudah lantas mengasih dengar putusannya. "Kau jangan bersusah hati, saudara Hong, jangan panas. Auwyang Sieheng lebih lihay, siapa tahu pertandingan kedua dan ketiga dia nanti yang menang?"
"Kalau begitu, silahkan saudara Yok menyebutkan acara pertandingan yang kedua itu," meminta Auwyang Hong.
"Pertandingan yang nomor dua dan nomor tiga ini adalah pertandingan secara bun," berkata Oey Yok Su. Cara "bun" ialah cara halus, tanpa kekerasan.
Mendengar ayahnya itu, Oey Yong menjerit.
"Ayah, terang-terangan kau berat sebelah!" katanya. "Kenapa kau menggunai cara bun? Ah, engko Ceng, sudahlah kau jangan mau bertanding pula!"
"Kau tahu apa?!" berkata sang ayah. "Dalam ilmu silat, kalau telah dicapai puncaknya kemahiran, apa orang akan terus main keras-kerasan saja? Acaraku yang kedua ini, kau tahu, adalah untuk meminta kedua sieheng mengenal sebuah lagu serulingku...."
Girang Auwyang Kongcu mendengar halnya acara itu. Katanya dalam hatinya: "Si tolol ini, apakah tahunya tentang ilmu tetabuhan? Kali ini pastilah aku yang bakal menang..."
Auwyang Hong tapinya berkata; "Anak-anak muda masih lemah sekali latihannya bersemedhi menenangkan hati, aku khawatir tidak dapat mereka bertahan dari lagumu, saudara Yok."
"Laguku lagu biasa saja, saudara Hong, jangan kau khawatir," Oey Yok Su menghibur. Lalu ia menghadapai Auwyang Kongcu dan Kwee Ceng, untuk berkata: "Kedua sieheng, silahkan kau masing-masing mematahkan secabang pohon, kapan nanti kamu mendengar suara laguku, lantas kamu menimpali dengan mengetok-ngetok batang pohon itu. Siapa yang dapat menimpali paling tepat, paling bagus, dialah yang menang."
Kwee Ceng maju menghampirkan tuan rumah, ia menjura.
"Oey tocu," katanya hormat. "Teecu ini sangat tolol, tentang ilmu tetabuhan teecu tidak tahu satu nol puntul, maka itu dalam pertandingan yang kedua ini teecu menyerah kalah saja...."
"Jangan kesusu, jangan kesusu!" Ang Cit Kong mencegah. "Biar bakal kalah, apakah halangannya untuk mencoba dulu? Apakah kau khawatir nanti ditertawakan orang? Jangan takut!"
Mendengar perkataan gutu itu, pikiran Kwee Ceng berubah. Ia pun melihat Auwyang Kongcu sudah lantas mematahkan sebatang cabang, maka ia lantas mencari secabang yang lain.
Oey Yok Su tertawa, ia berkata, "Saudara Cit berada disini, sungguh siauwtee membuatnya kau nanti menertawainya!"
Pemilik Tho Hoa To ini sudah lantas membawa seruling ke bibirnya, maka sedetiknya kemudian, ia sudah mulai meniup.
Auwyang Kongcu memasang kuping mendengar irama, cuma sebentar, ia lantas menabuh cabang pohonnya itu, memperdengarkan suara seperti timpalan kecrek. Ia mengerti lagu, dapat ia menimpali dengan baik.
Sebaliknya Kwee Ceng agaknya bingung, ia angkat bambunya tetapi ia tidak mengetok itu, maka juga ketika serulingnya Oey Yok Su sudah berbunyi lamanya sehirupan teh, ia masih belum menimpali sekali juga....
Melihat itu Auwyang Hong dan keponakannya menjadi girang sekali. Mereka merasa pasti, kali ini mereka bakal menang. Bukankah acara yang ketiga pun acara bun? Mereka percaya, mereka pun bakal menangi acara yang ketiga itu....
Oey Yong adalah sebaliknya dari itu paman dan keponakan. Ia bergelisah sangat. Ia berkhawatir sekali Kwee Ceng kalah. Maka dengan jari tangannya yang kanan, ia menepuk-nepuk lengannya yang kiri. Ia mengharap-harapi si anak muda melihatnya dan nanti menelad caranya itu. Untuk kecelenya, ia mendapat Kwee Ceng dongak mengawasi langit, berdiam saja, tak ia melihat pertandaannya itu....
Oey Yok Su masih meniup terus lagunya.
Sejenak kemudian, mendadak Kwee Ceng menepuk batang bambunya itu. Ia menepuk di tengah-tengah antara bagian dua tepukan.
Auwyang Kongcu tertawa terkekeh.
"Baru mengetok, dia sudah kalah!" pikirnya pemuda ini.
Kwee Ceng kembali menepuk pula, kembali di bagian tengah seperti tadi. Ketika ia mengulangi sampai empat kali, semuanya itu tidak tepat.
Oey Yong menggeleng-geleng kepala.
"Aku punya engko tolol ini tidak mengerti ilmu tetabuhan, tidak selayaknya ayah justru menguji ia dengan lagu!" katanya dalam hatinya. Sembari berpikir begitu, ia menoleh kepada ayahnya. Untuk herannya, ia menampak air muka ayahnya yang berubah. Ayah itu agaknya merasa aneh.
Kwee Ceng masih memperdengarkan pula kecrek bambunya itu, atas mana lalu terdengar irama seruling seperti rancu, hanya sebentar kemudian, irama itu balik kembali dengan rapi menuruti lagunya.
Masih saja Kwee Ceng menepuk, tetap ia sama caranya itu, di tengah-tengah di antara dua bagian kecrekan, hanya caranya sebentar cepat sebentar perlahan, sebentar mendahului, sebentar ketinggalan. Cara ini hampir-hampir mengacaukan lagunya Oey Yok Su.
Kejadian ini bukan cuma mengherankan pemilik pulau Tho Hoa To itu, yang perhatiannya menjadi tertarik sekali, juga Auwyang Hong dan Ang Cit Kong tidak mengerti. Mereka turut menjadi heran.
Tadi Kwee Ceng telah mendengarnya suara pertempuran di antara seruling, ceng dan siulan, tanpa merasa ia menginsyafinya irama pertempuran istimewa itu, sekarang mendengar lagunya Oey Yok Su, mulanya ia memasang kuping dengan melongo, lalu akhirnya ia mengasih dengar suara bambunya untuk mengacau itu. Ia mengetok dengan keras, suaranya "Bung! Bung! Bung!"
Tidak peduli telah mahir ilmu menetapkan atau menenangkan hati dari Oey Yok Su, ia pun tergempur suara bambu orang itu, beberapa kali hampir ia membuatnya lagunya berbalik mengikuti ini suara kecrek istimewa dari Kwee Ceng: "Bung! Bung!"
Lantas Oey Yok Su mengasih bangun semangatnya.
"Hebat kau, bocah!" pikirnya. Ia meniup pula serulingnya, sekarang dengan irama perlahan tetapi banyak perubahannya, selalu berganti tekukannya.
Auwyang Kongcu memasang kupingnya, untuk menangkap lagu itu, baru sesaat, tanpa merasa ia mengangkat bambunya, sendirinya terus ia bergerak-gerak menari!
Auwyang Hong terkejut, ia menghela napas. Segera ia maju, untuk mencekal lengan keponakannya itu, menekan nadinya. Menyusuli itu, ia mengelarkan sapu tangan sutera, untuk menyumbat kuping orang, supaya Auwyang Kongcu tidak dapat mendengar lagu itu. Ketika kemudian si keponakan mulai tetap hatinya, baru ia lepaskan cekalan dan tekanannya itu.
Oey Yong sendiri tidak terganggu seruling ayahnya itu. Seperti sang ayah, ia sudah biasa mendengar itu lagu "Thia Mo Bu" atau "Tarian Hantu Langit". Ia hanya berkhawatir untuk Kwee Ceng, takut si anak muda tak dapat menenangi diri, menetapi hati, untuk mempertahankan diri..............
Kwee Ceng sudah lantas duduk bersila di tanah, ia menenangkan diri dengan latihan tenaga dalam Coan Cin Kauw, dengan begitu ia menentang rayuan atau bujukannya irama seruling yang menggoncangkan hati itu. Berbareng dengan itu, tak hentinya ia memperdengarkan kecrek bambunya, untuk mengacau lagu itu.
Tadi Oey Yok Su bertiga Ang Cit Kong dan Auwyang Hong, dengan lagu-lagu mereka telah mengadu irama, mereka dapat saling menyerang, saling membela diri, mereka tidak saja tak kena terbujuk atau terserang, sebaliknya mereka dapat menyerang. Sekarang Kwee Ceng kalah latihan tenaga dalam, ia tidak dapat menyerang, ia cuma bisa membela diri, malah rapat penjagaannya itu. Benar ia tidak bisa melakukan penyerangan membalas tetapi juga benar oey Yok Su tidak dapat menaklukinya.
Selang sesaat kemudian, suara seruling semakin lama jadi makin perlahan dan halus, sampai sukar terdengarnya. mendengar itu, Kwee Ceng berhenti dengan ketokan bambunya, ia memasang kupingnya.
Justru inilah lihaynya Oek Yok Su. Makin perlahan suara serulingnya, makin besar tenaga menariknya. Begitu Kwee Ceng diam mendengari, bekerjalah pengaruh menarik itu. Irama seruling dan irama bambu bergabung menjadi satu, mestinya pemusatan pikiran si anak muda kena terbetot.
Tetapi Kwee Ceng bukannya lain orang. Coba lain orang, mestinya ia sudah runtuh, tak dapat ia meloloskan diri. Ia pernah menyakinkan ilmu saling serang dengan tangan sendiri, sebagimana ia telah lama berlatih dengan Ciu Pek Thong, maka itu, hatinya satu tetapi ia dapat memecahnya menjadi dua. Maka begitu ia mendengar suara aneh itu, yang membetot keras hatinya, ia memecah hatinya menjadi dua. Ia insyaf akan bahaya yang mengancam. Dengan demikian, sambil menetapi hati, menenangi diri, ia memperdengarkan pula suara sebatang bambunya yang ia pegang dengan tangan kirinya, maka mendengung pulalah suara bung-bung.
Oey Yok Su menjadi terperanjat saking herannya.
"Bocah ini mempunyai kepandaian luar biasa, tidak dapat ia dipandang enteng," pikirnya. Tapi ia penasaran, ia mencoba pula. Tidak lagi ia berdiri diam, dengan mengangkat kakinya, ia bertindak dalam penjuru patkwa, delapan persegi, sembari jalan ia meniup terus serulingnya.
Kwee Ceng masih menepuk terus, kedua tangannya mengasih dengar tepukan yang berbeda, dengan begitu ia bagaikan dua orang yang menentang Oey Yok Su satu orang. Tenaganya pun bertambah sendirinya.
Oey Yocu bukan sembarang orang, makin ditentang ia jadi makin gagah, lalu nada serulingnya menjadi tinggi dan rendah, makin luar biasa terdengarnya iramanya itu.
Kwee Ceng terus melawan, tetap ia mempertahankan diri, sampai mendadak ia dapat merasakan dari suara seruling itu seperti ada hawa dingin yang menyambar kepadanya, bagaikan hawa dingin dari es membungkus dirinya. Tanpa merasa, ia mengigil.
Biasanya suara seruling halus dan lemah mengalun, panjang kali ini perubahannya ialah menjadi keras, bagaikan penyerangan dahsyat, maka itu Kwee Ceng merasakan hawa dingin meresap ke tulang-tulangnya. lekas-lekas ia memusatkan pikirannya lagi, ia memecah dua pula. Ia mengingat kepada matahari panas terik tergantung di udara, di waktu musim panas memukul besi, atau dengan tangan memegang obor besar memasuki dapur ynag apinya marong dan panas sekali. Pemusatan perumpamaan ini berhasil mengurangi serangannya hawa dingin itu.
Kembali Oey Yok Su menjadi heran. Ia melihatnya ditubuh sebelah kiri Kwee Ceng ada sifat dingin, sebaliknya di tubuh sebelah kanan tertampak keringat keluar tanda dari hawa panas. Ia lantas merubah pula irama lagunya. Ia melenyapkan hawa dinginnya, ia mengganti itu dengan hawa panas dari musim panas.
Kwee Ceng terkejut karena perubahan itu, disaat ia hendak menentang lagi, suara batang bambunya sudah menjadi kacau sendirinya.
Oey Yok Su menyaksikan itu, katanya dalam hatinya: "Kalau ia memaksa melawan, ia masih dapat bertahan sekian lama, hanya kalau ia tetap terserang terus hawa panas dan dingin bergantian, kesudahannya ia bakal dapat sakit berat." Karena memikir demikian, ia berhenti meniup serulingnya, maka sedetik saja, iramanya seperti lenyap di rimba. Maka berhentilah lagu seruling itu.
Kwee Ceng segera mengerti orang telah mengalah terhadapnya, ia lantas berlompat bangun, untuk memberi hormat kepada Oey Yok Su seraya menghanturkan terima kasih untuk kebaikan hati orang, yang ia bahasakan "Oey Tocu."
Oey Yok Su heran hingga ia mau menduga; "Bocah ini masih sangat muda usianya, siapa tahu ilmu dalamnya begini bagus. Mustahilkah sengaja ia memperlihatkan sikap ketolol-tololan sedang sebenarnya ia cerdas luar biasa? Jikalau tepat dugaanku ini, anakku mesti dijodohkan dengannya. Baiklah aku mencoba pula!"
Begitulah ia tersenyum.
"Kau baik sekali!" katanya manis. "Kau masih memanggil Oey Tocu kepadaku?"
Dengan pertanyaannya itu Oey Yok Su hendak memberi tanda, "Dari tiga ujian, kau sudah lulus yang dua, karenanya sudah boleh kau mengubah panggilan menjadi gakhu tayjin."
Arti "gakhu tayjin" ialah ayah mertua yang terhormat.
Kwee Ceng ada seorang yang jujur dan polos, ia tidak mengerti yang kata-kata orang mengandung dua maksud, maka ia menjadi gugup.
"Aku... aku..." katanya, lalu ia tak dapat meneruskannya. Lalu matanya mengawasi kepada Oey Yong, untuk memohon bantuan dari si nona.....
Oey Yong girang bukan main. Ia lantas menekuk-nekuk jempol kanannya. Itu berarti anjuran untuk Kwee Ceng bertekuk lutut kepada Oey Yok Su.
Kebetulan Kwee Ceng mengerti tanda itu, tanpa bersangsi lagi ia menjatuhkan diri di depan tuan rumah sambil mengangguk sampai empat kali. Meski ia memberi hormat secara begitu, tetapi mulutnya tetap bungkam.
"Kau memberi hormat kepadaku, kenapa?" tanya Oey Yok Su tertawa.
"Yong-jie yang menyuruh aku," sahut si tolol.
"Ah, dasar tolol, tetap tolol!" pikir Oey Yok Su. Ia lantas mengulur tangannya kepada Auwyang Kongcu, guna menyingkirkan sumbatan di kuping anak muda itu sembari ia berkata; "Bicara dari hal tenaga dalam, Kwee Sieheng yang terlebih mahir, akan tetapi ketika aku menguji dengan lagu, kaulah, Auwyang Sieheng, ynag lebih mengerti.... Begini saja, acara nomor dua ini aku anggap seri. Sekarang hendak aku memulai dengan acara yang ketiga, supaya dengan ini didapat keputusan siapa di antara kedua sieheng, siapa yang menang dan siapa yang kalah."
"Aku, akur!" Auwyang Hong cepat-cepat memberi persetujuannya. Ia tahu keponakannya sudah kalah, ia tidak menyangka yang Oey Yok Su si juru pemisah sudah berbuat berat sebelah.
Ang Cit Kong menyaksikan itu semua, ia cuma tersenyum, tidak ia memperdengarkan suaranya. Melainkan di dalam hatinya ia bilang: "Si Sesat bangkotan, anak ialah anakmu, jikalau kau suka menikahkan dia sama pemuda doyan berfoya-foya, lain orang tidak dapat mencampur tahu! Tetapi aku si pengemis tua, aku ingin sekali menempur padamu. Sekarang aku berada bersendirian saja, dua tanganku tidak nanti sanggup melayani empat buah tangan, biarlah, nanti aku mencari dulu Toan Hongya, untuk ia membantu aku. Sampai itu waktu nanti jelaslah segala apa!"
Itu waktu Oey Yok Su sudah merogoh sakunya untuk mengeluarkan sejilid buku yang bagian mukanya dilapisi cita merah, sembari berbuat begitu, ia berkata: "Bersama istriku aku mempunyai cuma ini seorang anak perempuan, tidak beruntung istriku itu, ia menutup mata habis melahirkan anaknya ini, sekarang aku merasa beruntung yang saudara Cit dan saudara Hong memandang mata kepadaku, bersama-sama kamu melamar gadisku ini. Jikalau istriku masih hidup, tentu ia girang sekali..........."
Merah matanya Oey Yong mendengar ayahnya menyebut-nyebut almarhum ibunya.
"Buku ini ialah buku yang ditulis sendiri oleh istriku semasa hidupnya istriku itu," Oey Yok Su berkata pula. "Jadi inilah warisan dari hati dan darahnya... Sekarang aku minta kedua sieheng membaca buku ini, setelah selesai kau mesti membaca pula di luar kepala, siapa yang dapat menghapalnya lebih banyak kali dan tidak bersalah, akan aku serahkan anakku ini kepadanya..."
Ia berhenti sebentar. Ia menoleh kepada Ang Cit Kong, ia mendapatkan Pak Kay tersenyum. Lalu ia meneruskan; "Menurut aturan, Kwee Sieheng sudah menang satu pertandingan, tetapi kitab ini ada sangkut pautnya dengan kehidupanku, dan istriku pun meninggal dunia karena kitab ini, maka itu sekarang hendak aku memuji di dalam hatiku supaya ialah sendiri yang nanti memilih baba mantunya, biar ia memayungi salah satu sieheng ini."
Sampai di situ habis sudah sabarnya Ang Cit Kong. Tadi ia masih dapat menguasai diri, dia hanya bersenyum. Sekarang tidak.
"Oey si bangkotan sesat!" ia berkata nyaring. "Siapa kesudian mendengari obrolan setanmu panjang-panjang? Terang kau mengetahui muridku tolol, dia tidak mengerti ilmu surat dan syair, sekarang kau suruh ia membaca dan menghapalnya di luar kepala, lalu kau menggertak dengan istrimu yang sudah mati! Sungguh kau tidak tahu malu!"
Habis berkata, si pengemis mengibas tangannya, terus ia memutar tubuhnya untuk bertindak pergi.
Oey Yok Su tertawa dingin.
"Saudara Cit!" ia berkata, "Jikalau kau datang ke Tho hoa To ini untuk banyak tingkah, mestinya kau belajar pula ilmu silatmu untuk lagi beberapa tahun!"
Ang Cit Kong membalik pula tubuhnya, sepasang alisnya berbangkit.
"Apa?!" tanyanya bengis.
"Kau tidak mengerti ilmu Kie-bun Ngo-heng, jikalau kau tidak dapat perkenan dari aku, jangan kau harap nanti dapat keluar dari pulau ini!" menjawab si tuan rumah.
"Akan aku melepaskan api membakar ludas semua bunga dan pohonmu yang bau!" Cit Kong berkata keras.
"Jikalau kau ada mempunyai kepandaianmu, cobalah kau bakar!" Oey Yok Su menentang.
Melihat kedua orang tua itu hendak berkelahi, Kwee Ceng maju sama tengah.
"Oey Tocu! Ang Locianpwee!" ia berkata. "Biarlah nanti teecu mencoba bersama Auwyang toako membaca buku itu dan menghapalnya di luar kepala. Teecu memang bebal, umpama teecu kalah, itulah sudah selayaknya..."
Oey Yok Su mendelik kepada si anak muda.
"Kau memanggil apa kepada gurumu?!" ia menegur.
"Teecu baru saja mengangkat guru, oleh karena teecu masih belum memberitahukan itu kepada enam guruku, sekarang ini belum berani teecu merubah panggilan," Kwee Ceng memberi keterangan.
"Hah! Di mana sih ada sekian banyak kerewelan!" katanya Tong Shia sebal.
Luas pengetahuannya Oey Yok Su tetapi sepak terjangnya biasa menyalahi aturan atau kebiasaan, maka itu tidaklah ia puas mendapatkan pemuda itu demikian menjunjung ada peradatan.
"Bagus!" berseru Ang Cit Kong. "Aku masih belum terhitung gurumu! Kau sudi mendapat malu, terserah padamu! Silahkan, silahkan!"
Oey Yok Su tidak membilang suatu apa, hanya berpaling kepada anaknya.
"Kau duduklah baik-baik, jangan kau main gila!" katanya. Ia memesan demikian, karena ia khawatir anak itu membantu pula Kwee Ceng.
Oey Yong tersenyum, ia tidak menyahuti. Tapi ia berdiam dengan hatinya bekerja. Ia tahu kali ini pastilah Kwee Ceng bakal kalah, maka ia mengasah otaknya mencari jalan keluar untuk nanti buron bersama-sama pemuda itu....
Oey Yok Su lantas menitahkan Kwee Ceng dan Auwyang Kongcu duduk berendeng di sebuah batu besar, ia berdiri di depan mereka, ia memegangi kitabnya, yang ia ansurkan untuk mereka itu melihatnya, sebab mereka mesti membaca dengan berbareng.
Judul kitab ada "Kiu Im Cin-keng" Bagian Bawah, model hurufnya model Toan-jie. Begitu melihat itu, Auwyang Kongcu girang luar biasa. Ia berkata dalam hatinya: "Dengan segala macam akal aku memaksa Bwee Tiauw Hong menyerahkan kitab ini, siapa tahu sekarang mertuaku ini hendak berbuat baik kepadaku, ia membiarkan aku membaca kitab luar biasa ini!"
Kwee Ceng melihat enam huruf itu, tak sehuruf juga yang ia kenal. Ia berpikir: "Dia sengaja hendak membikin susah padaku! Surat yang berlugat-legot bagaikan cacing ini mana aku kenal? Biarlah, aku menyerah kalah..."
Ketika itu Oey Yok Su sudah mulai membalik kulitnya buku itu. Nyata huruf-huruf di dalamnya mermodel huruf Kay-jie, ialah huruf biasa dan huruf-hurufnya tertulis bagus sekali. Teranglah itu tulisannya seorang wanita. Ketika ia sudah membaca baris pertama, hatinya goncang. Baris itu berbunyi: "Aturan dari langit, rusak itu berlebihan, tambalan tak kecukupan, maka itu kosong lebih menang daripada luber, tak cukup menang menang.... Semuanya itu sudah pernah ia mendengarnya dari Ciu Pek Thong, yang pernah ia sudah menghapalnya. Maka ia lantas melihat lebih jauh. Untuk kegirangannya, semua itu adalah huruf-huruf yang ia sudah hapal benar.
Oey Yok Su menunggu sampai ia merasa orang sudah membaca habis, ia membalik pula halaman lainnya. Hal ini dilakukan terus selang sesaat. Hanya huruf-huruf itu makin lama makin tak lengkap susunannya, di bagian belakang menjadi kacau, sedang tulisannya sendiri makin lemah, seperti ditulis dengan kehabisan tenaga.
Terkesiap hati Kwee Ceng, karena sekarang ia ingat keterangannya Ciu Pek Thong halnya Oey Hujin, yaitu istrinya Oey Yok Su, yang sudah menuliskan isi kitab secara dipaksakan, kerana tubuhnya menjadi lemah, hingga diwaktu melahirkan Oey Yong, tenaganya habis dan menjadi meninggal dunia. Inilah kitab yang ditulis disaat-saat kematiannya nyonya itu.
"Mungkinkah yang Ciu Toako menitahkan aku menghapalkannya adalah isi kitab ini?" Kwee Ceng berpikir pula. "Adakah ini Kiu Im Cin-keng? Tidak, tidak bisa jadi! Kitab itu bagian bawahnya sudah dibikin lenyap oleh Bwee Tiauw Hong, bagaimana sekarang bisa berada di tangannya Oey Yok Su ini?"
Oey Yok Su melihat orang bengong, ia menduga mestinya kepala pemuda ini sudah pusing. Ia tidak mengambil mumat, ia terus membalik-balik pelbagai halaman setelah temponya, ia merasa, orang sudah membaca habis.
Mulanya Auwyang Kongcu dapat membaca dengan baik, kemudian tiba kepada penjelasan cara melatihnya ilmu silat itu, ia bingung karena kata-katanya seperti terputar balik. Kemudian lagi, hatinya mencelos akan mendapatkan ada huruf-huruf yang berlompatan, hingga karangan tak lagi lancar. Di dalam hatinya ia menghela napas dan berkata: "Kiranya dia masih tidak hendak memperlihatkan kitab yang tulen..." Tapi ia dapat memikir sebaliknya; "Benar aku tidak dapat melihat isi kitab yang lengkap, tetapi toh aku jauh lebih banyak dapat mengingatnya daripada si tolol ini, maka dalam ujian ini pastilah aku yang bakal menang. Oh, si nona yang sangat cantik manis yang bagaikan putri kayangan ini, akhirnya toh bakal menjadi orangku juga...!"
Kwee Ceng juga melihat dan membaca setiap halaman yang dibalik terus oleh Oey Yok Su itu, ia mendapat kenyataan semua isinya itu sama seperti yang ia diajarkan Ciu Pek Thong, cuma bagian-bagian yang lompat saja yang tak terbaca tetapi ia ketahui itu, sebab ia masih hapal semua ajaran kakak angkatnya si orang tua yang jenaka dan berandalan itu. Ia mengangkat kepalanya, memandang ke arah pohon, ia tidak dapat menduga apa hubungannya ajaran Ciu Pek Thong itu dengan kitab ini.
Tidak lama, setelah membalik halaman terakhir, Oey Yok Su mengawasi kedua pemuda itu.
"Nah, siapa yang hendak membaca terlebih dulu di luar kepala?" dia menanya.
Sebelum menjawab, Auwyang Kongcu sudah berpikir untuk jawaban itu. Pikirnya: "Isi kitab kacau sekali, sangat sukar untuk dihapalkannya, maka baiklah aku menggunakan ketika aku baru saja habis membaca akan menghapalnya, dengan begitu pastilah aku akan dapat membaca lebih banyak..." Ia mau mengartikan, kesalahannya pastilah lebih sedikit. Karenanya, segera ia menyahuti: "Aku yang menghapal lebih dulu!"
Oey Yok Su mengangguk.
"Kau pergi ke ujung rimba ini, jangan kau mendengari dia lagi menghapal," ia menitahkan Kwee Ceng kepada siapa ia berpaling.
Kwee Ceng menurut, ia pergi jauhnya beberapa puluh tindak.
Oey Yong menjadi girang sekali. Ia pikir inilah ketikanya yang paling baik. Bukankah dengan begitu ia bisa mengajak si anak muda kabur bersama? Maka ia lantas angkat kakinya, hendak ia bertindak perlahan-lahan menghampirkan pemuda itu. Atau mendadak: "Yong-jie, mari!" memanggil Oey Yok Su. "Kau juga mendengarinya mereka membaca diluar kepala, supaya kau jangan nanti mengatakannya aku berat sebelah!"
Mencelos hatinya si nona. Katanya ayah itu adil, tetapi kenyataannya sangat berat sebelah untuknya. Bukankah ia jadinya dicegah mendekati Kwee Ceng? maka itu ia berkata: "Ayah yang berat sebelah, tak usah ayah menyebutkannya orang lain!"
Oey Yok Su tidak gusar, bahkan ia tertawa.
"Tidak tahu aturan! Mari!" dia memanggil pula.
"Aku tidak mau datang!" sahut si anak, membelar. Di mulut ia mengucap demikian, tapi kakinya bertindak menghampirkan. Ia cerdik sekali, ia pun tahu tabiat ayahnya itu, kalau si ayah berjaga-jaga, sulit untuk ia kabur pula. Maka juga ia hendak memikir perlahan-lahan, untuk mencari akal. Ketika ia sudah datang dekat, ia memandang Auwyang Kongcu sambil tertawa manis.
"Auwyang Toako, ada apakah sih bagusnya aku?" ia bertanya. "Kenapa kau begini sangat menyukai aku?"
Bukan main girangnya Auwyang Kongcu. Manis sekali si nona. Hingga hatinya berdenyutan. Inilah ia tidak sangka.
"Adik, kau...." katanya kegirangan sangat, hingga ia seperti lupa ingatan, hingga tak dapat ia meneruskan kata-katanya.
"Toako, janganlah kau terburu-buru hendak pulang ke See Hek," berkata pula Oey Yong, tetap dengan manis budi. "Kau diamlah di Tho Hoa To ini untuk beberapa hari lagi. Di See Hek itu sangat dingin, bukankah?"
"See Hek itu luas sekali wilayahnya," menyahut Auwyang Kongcu. "Memang di sana ada banyak daerahnya yang dingin tetapi pun ada yang hangat dan nyaman seperti Kanglam."
"Ah, aku tidak percaya!" berkata lagi si nona, yang membawa aksinya yang menggiurkan. Ia tertawa. "Kau memang paling suka memperdayakan orang!"
Auwyang Kongcu masih hendak melayani bicara, untuk membantah si nona itu, atau segera ia dihalangi oleh Auwyang Hong. See Tok sudah lantas dapat membade maksud Oey Yong si cerdik ini, bahwa sikap manisnya itu adalah daya belaka untuk mengacau otaknya Auwyang Kongcu, supaya pikirannya disesatkan ke lain soal, si keponakan jadi lupa kepada isinya kitab Kiu Im Cin-keng.
"Eh, anak!" demikian menegurnya. "Omongan yang tak perlunya baiklah kau bicarakan perlahan-lahan nanti, mari belum kasep. Sekarang lekas kau membaca di luar kepala!"
Auwyang Kongcu terkejut. Memang, karena perhatiannya ditarik Oey Yong, ia dapat melupakan apa yang barusan dihapalnya. Dan benar-benar ada yang ia lupa. Maka lekas-lekas ia memusatkan pikirannya. Sesudah itu, barulah dengan perlahan-lahan ia mulai membaca. Ia berhasil membaca permulaannya, ia lantas melanjuti. Tentu saja ia lupa di bagian-bagian yang penjelasan ilmu silatnya sulit, seperti Oey Hujin sendiri tidak ingat seanteronya.
Oey Yok Su tertawa kapan pemuda yang dipenujunya itu selesai membaca.
"Kau telah mendapat membaca banyak, bagus!" katanya. "Kwee sieheng, mari, sekarang giliranmu!"
Kwee Ceng bertindak menghampirkan. Ia melihat Auwyang Kongcu kegirangan, ia kagum, di dalam hatinya ia kata:" Anak ini benar-benar lihay, sekali membaca saja ia sudah dapat menghapal di luar kepala sedang tulisan itu kacau balau. Benar-benar aku tidak sanggup, maka sekarang baiklah aku mengahapal seperti yang Ciu Toako ajari aku."
Ang Cit Kong melihat sikap muridnya itu, ia tertawa.
"Anak tolol, mereka itu sengaja hendak membikin kita bagus ditonton!" Ia berkata. "Baiklah kita mengaku kalah saja!"
"Memang aku pun sebenarnya tak dapat melawan Auwyang Toako," Kwee Ceng membilang.
Mendadak Oey Yong berlompat ke ke atas payon paseban, yang telah roboh sebagian, di sana ia berdiri seraya menghunus pisau belati, yang ia letaki di depan dadanya. Ia berseru; "Ayah! Jikalau kau memaksa aku ikut si manusia busuk itu pergi ke See Hek, hari ini anakmu akan binasa untuk kau lihat!"
Oey Yok Su kenal baik tabiat anaknya itu.
"Letaki senjatamu!" ia berkata, "Kita dapat berbicara dengan perlahan-lahan."
Sementara Auwyang Hong telah bekerja. Mendadak ia menekan tongkatnya ke tanah, segera terdengar satu suara aneh, terus dari tongkat itu melesat serupa senjata gelap yang luar biasa, menyambar ke arah Oey Yong.
Hebat melesatnya senjata rahasia ini, belum Oey Yong menginsyafinya, pisau belati di tangannya sudah kena terhajar hingga terlepas dan jatuh ke tanah. Dilain pihak tubuh Oey Yok Su pun berkelebat, sedetik saja ia sudah sampai di atas pesaben, dimana ia mengulur tangan merangkul pinggang putrinya.
"Benar-benarkah kau tidak sudi menikah?" katanya, perlahan. "Baiklah! Mari kau berdiam di Tho Hoa To menemani ayahmu seumur hidupmu!"
Oey Yong meronta-ronta, ia menangis.
"Ayah, kau tidak sayang Yong-jie, kau tidak sayang Yong-jie...!" katanya.
Menyaksikan itu, Ang Cit Kong tertawa berkakak. Ia tidak nyana Oey Yok Su, yang hatinya keras dan telangas, kewalahan melayani putrinya itu.
Selagi Ang Cit Kong berpikir begitu, Auwyang Hong berpikir lain. Ia ini kata di dalam hatinya; "Baik aku menanti hingga sudah ada keputusan ujian ini, setelah itu hendak aku membikin habis pengemis tua serta si bocah she Kwee ini. Urusan lainnya pasti gampang diurus belakangan. Anak itu manja sekali, apa aku peduli?"
Karena ini, ia berkata: "Kwee Sieheng lihay sekali, kau sungguh satu pemuda gagah, maka itu di dalam ilmu surat kau tentu pandai juga. Saudara Yok, silahkan minta Kwee Sieheng mulai menghapal!"
Itulah kata-kata baik tetapi itu sebenarnya adalah desakan.
"Baiklah," menyahut Oey Yok Su. "Yong-jie, kalau kau mengacau lagi, nanti kacau juga pikirannya Kwee Sieheng."
Mendengar itu, benar-benar Oey Yong lantas menutup mulutnya.
Auwyang Hong ingin sekali si anak muda mendapat malu, ia mendesak; "Kwee Sieheng, silahkan mulai! Kami ramai-ramai akan mendengar dengan perhatian pembacaanmu di luar kepala."
Mukanya Kwee Ceng merah seluruhnya.
"Mana dapat aku menghapal?" pikirnya pula. "Baik aku membaca ajarannya Ciu Toako..." Dan lantas ia membaca. Sebenarnya sudah beratus kali ia menghapal "Kiu Im Cin-keng", karena Ciu Pek Tong tak bosannya mengajari ia, dari itu, ia masih ingat dengan baik itu semua. Demikian kali ini, mulai dengan perlahan, ia menghapal terus, makin lama makin lancar, selama itu tak sepatah kata yang salah atau berlompatan.
Orang semua tercengang. Bukankah bocah ini baru melihat hanya satu kali kitab yang dijadikan ujian itu? Maka kesannya ialah: "Bocah ini cerdas sekali tetapi ia nampaknya tolol. Kiranya dia sebenarnya berotak sangat terang!"
Oey Yok Su heran, apa pula setelah Kwee ceng sudah habis menghapal halaman keempat. Ia dapat kenyataan, kata-katanya si anak muda lebih rapi daripada kitabnya, seperti ditambahkan sepuluh lipat. Dan itulah memang bunyinya atau isi aslinya "Kiu Im Cin-keng" itu. Karena ini, tanpa merasa ia mengeluarkan peluh dingin.
"Mustahilkah istriku yang telah menutup mata itu demikian cerdas hingga di alam baka dia dapat mengingat kitab yang asli dan dia telah mengajarinya semuanya kepada pemuda ini?" ia bertanya dalam hatinya. Selagi ia berpikir, kupingnya mendengar terus suara yang lancar dan terang dari Kwee Ceng, yang menghapal terus-terusan. Maka ia mau percaya benar-benar istrinya sudah mewariskannya kepada si anak muda. Ia lantas mengangkat kepalanya, mendongak ke langit, dari mulutnya terdengar suara tak tedas: "A Heng, A Heng, sungguh kau sangat mencinta kepadaku, hingga kau pinjam mulutnya pemuda ini untuk mengajari aku Kiu Im Cin-keng...... Kenapa kau membiarkan aku tak dapat melihat pula wajahmu barang satu kali lagi? Setiap malam aku meniup serulingku, kau dengarkah itu?"
"A Heng" itu ialah nama kecil dari Oey Hujin, istri yang Oey Yok Su sangat mencintainya. Nama itu, sekalipun Oey Yong gadisnya, tidak mendapat tahu.
Orang banyak heran melihat sikapnya tocu dari Tho Hoa To ini, air mukanya berubah, air matanya mengembang, dan entah apa yang diucapkannya itu.
Cuma sebentar Oey Yok Su berada dalam keadaan yang luar biasa itu, mendadak ia kembali pada dirinya sendiri. Sekarang ia seperti bermuram durja. Ia mengibaskan tangannya, terus ia menanya Kwee Ceng dengan suara keras, sikapnya bengis: "Apakah kitab Kiu Im Cin-keng yang lenyap di tangannya Bwee Taiuw Hong terjatuh ke dalam tanganmu?!"
Kwee Ceng terkejut, hatinya pun ciut.
"Tee... teecu tidak mengetahui kitabnya Bwee Cianpwee itu terlenyap di mana...." sahutnya guup, suaranya tak lancar. "Jikalau aku mendapat tahu, pasti sekali aku suka membantu mencarinya, untuk dibayar pulang kepada tocu..."
Oey Yok Su mengawasi wajah orang dengan tajam, pada itu ia tidak nampak kepalsuan, maka itu maulah ia percaya orang tidak berdusta. Karenanya ia jadi mau percaya juga yang istrinya, dari dalam alam baka, sudah mewariskannya kepada pemuda ini.
"Baiklah, saudara Cit dan saudara Hong!" katanya kemudian, suaranya terang, "Inilah baba mantu pilihannya istriku almarhum, maka itu sekarang aku tidak dapat membilang apa-apa lagi. Anak, aku menjodohkan Yong-jie kepadamu, kau haruslah memperlakukan dia baik-baik. Yong-jie telah termanjakan olehku, dari itu haruslah kau suka mengalah tiga bagian...."
Oey Yong girang bukan kepalang. Ia lantas saja tertawa. Sama sekali ia tidak menjadi likat karena keputusan itu.
"Ayah, bukankah aku satu anak baik?" ia berkata. "Siapa yang bilang aku telah termanjakan olehmu?"
Kwee Ceng benar tolol tetapi kali ini, tanpa menanti tanda pengajaran dari Oey Yong, sudah lantas ia menekuk lutut di hadapannya Oey Yok Su, untuk paykui empat kali seraya ia memanggil: "Gakhu Tayjin!" Tapi, belum sempat ia berbangkit, tiba-tiba Auwyang Kongcu membentak: "Tahan dulu!"
Ang Cit Kong girang bukan main, ia sampai ternganga, tetapi ketika ia mendengar suaranya Auwyang Kongcu, ia dapat berbicara.
"Apa?!" dia tanya. "Apakah kau belum juga menyerah?"
"Apa yang dibacakan saudara Kwee barusan jauh terlebih banyak daripada isinya kitab ini," berkata Auwyang Kongcu. Ia pun rupanya menginsyafi itu. "Mestinya ia telah mendapatkan Kiu Im Cin-keng yang asli! Aku yang muda hendak membesarkan nyali, hendak aku menggeledah tubuhnya!"
"Oey Tocu sudah selesai menjodohkan putrinya, perlu apa kau menimbulkan kerewelan baru?!" Ang Cit Kong menegur. "Kau dengar apa kata pamanmu barusan?"
Matanya Auwyang Hong terbalik.
"Aku Auwyang Hong, mana dapat aku diakali orang?" dia berkata dengan nyaring. Ia mau percaya tuduhan keponakannya dan merasa pasti di tubuhnya Kwee Ceng ada kitab "Kiu Im Cin-keng" yang asli, bahkan sekejap itu ingin ia merampas kitab itu, hingga ia melupakan yang Oey Yok Su sudah memutuskan pilihan baba mantunya itu.
Kwee Ceng tidak takut digeledah, mana dia lantas meloloskan ikat pinggangnya.
"Auwyang Cianpwee, silahkan kau periksa!" ia menantang, ia berserah diri. Ia pun terus mengasih keluar segala isi sakunya, yang mana ia letaki di atas batu.
Auwyang Hong mellihat semua barang itu adalah uang perak, sapu tangan, batu api dan lainnya, tidak ada kitab, maka ia mengulurkan tangannya ke tubuh si anak muda.
Oey Yok Su kenal baik si See Tok yang sangat licik dan telangas, yang di dalam murkanya yang sangat dapat menurunkan tangan jahat. Kalau si Bisa dari Barat ini keburu menurunkan tangan, walaupun ia lihay, tidak nanti ia dapat mengobati menantunya itu. Maka hendak ia mencegah. Sambil batuk-batuk ia lonjorkan tangannya yang kiri, diletaki di tulang punggung Auwyang Kongcu. Itulah tulang paling penting pada tubuh manusia, asal Tong Shia menurunkan tangannya yang lihay, habis sudah tulang itu, terbinasalah Auwyang Kongcu di situ juga.
Ang Cit Kong dapat melihat sepak terjangnya Oey Yok Su, ia dapat menduga maksud orang, ia tertawa di dalam hatinya. Pikirnya: "Oey Lao Shia benar-benar sangat memihak! Sekarang ia menyayangi baba mantunya, dia lantas melindungi muridku yang tolol ini...."
Sebenarnya juga Auwyang Hong berniat menggunai pukulan kodoknya akan menghajar dengan meraba perutnya Kwee Ceng. Asal ia dapat menekan perut itu, selang tiga tahun, Kwee Ceng bakal dapat sakit dan akan mati karenanya. Tapi ia bermata awas, ia dapat melihat penjagaannya Oey Yok Su itu, lantas ia membatalkan niatnya itu. Ia menggeledah tubuh Kwee Ceng, ia tidak mendapatkan lainnya barang. Ia berdiam sesaat. Ia tidak mempercayai almarhum Oey Hujin benar-benar mewariskan kitab itu dari alam baka, untuk memilih menantunya. Setelah itu, ia dapat memikir lainnya lagi.
"Anak ini tolol, memang tak mungkin ia mendusta. Kalau aku menanya padanya, mungkin sekali ia akan memberikan keterangannya yang sebenarnya..."
Maka ia gerakilah tongkat ularnya, hingga gelang emasnya berbunyi berkontrang, hingga dua ekor ularnya melilit-lilit.
Menampak itu, Kwee Ceng dan Oey Yong mundur bersama.
"Kwee Sieheng," Auwyang Hong menanya, suaranya tajam, "Dari manakah kau mempelajarinya isi kitab Kiu Im Cin-keng ini?"
"Aku ketahui tentang sejilid kitab Kiu Im Cin-keng akan tetapi belum pernah aku melihatnya," menyahut Kwee Ceng, jujur. "Kitab bagian atas ada pada Toako Ciu Pek Thong..."
Ang Cit Kong heran hingga ia menyelak.
"Eh, eh, mengapa kau panggil toako kepada Pek Thong?" ia menanya.
"Ciu Toako telah mengangkat saudara dengan teecu," Kwee Ceng menyahut, kembali dengan sejujurnya.
"Yang satu tua bangka, yang lain muda belia, sungguh edan!" tertawa Ang Cit Kong. "Kacaulah aturan peradatan!"
"Kitab bagian bawah?" Auwyang Hong tanya pula.
"Kitab itu telah dibikin lenyap di telaga Thay Ouw, oleh Suci Bwee Tiauw Hong," Kwee Ceng menyahut pula. "Sekarang Bwee Suci sedang dititahkan gakhu untuk mencari kitab itu. Aku telah memikir, setelah memberitahukan kepada gakhu, ingin aku pergi untuk membantu mencari."
Dengan keponakannya, Auwyang Hong saling memandang.
"Kau belum pernah melihat Kiu Im Cin-keng, cara bagaimana kau dapat membacanya di luar kepala?" tanya pula Auwyang Hong, kali ini dengan bengis.
"Apakah yang aku baca barusan itu Kiu Im Cin-keng?" Kwee Ceng balik menanya. "Tidak, tidak bisa jadi! Itulah Ciu Toako yang mengajari aku menghapalnya!"
Diam-diam Oey Yok Su menghela napas, kelihatannya ia putus asa.
"Inilah seperti bicaranya hantu atau malaikat, sungguh sangat samar," pikirnya. "Rupanya benar anakku berjodoh dengan bocah ini, maka segala-galanya terjadi secara kebetulan sekali."
Selagi Tong Shia heran, Auwyang Hong melanjuti pertanyaannya.
"Sekarang ini di mana adanya Ciu Pek Thong?" demikian tanyanya.
Kwee Ceng hendak memberikan penyahutannya, ketika mertuanya memotong: "Anak Ceng, tidak usah kau banyak omong." Kemudian si Sesat dari Timur ini berpaling kepada Auwyang Hong untuk mengatakan "Inilah urusan tidak berarti, buat apa dibicarakan panjang-panjang? Saudara Hong, saudara Cit, kita sudah duapuluh tahun tidak bertemu, marilah di pulauku ini kita minum puas-puas selama tiga hari!"
Oey Yong pun segera berkata: "Cit Kong-kong, nanti aku memasaki kau beberapa rupa sayuran! Bunga teratai di sini bagus sekali, jikalau lembaran bunga itu dimasak ayam tim campur lengkak segar dan daun teratai, pastilah rasanya lezat sekali! Dan kau tentulah akan sangat menyukainya!"
Ang Cit Kong tertawa lebar.
"Sekarang telah tercapailah maksud hatimu!" katanya. "Lihat, bagaimana girangmu!"
Digoda begitu, Oey Yong tertawa.
"Cit Kong-kong, Auwyang Pepe, dan kau Auwyang Sieheng, silahkan!" ia lantas mengundang. Ia membawa sikap manis terhadap mereka semua, tak terkecuali Auwyang Kongcu.
Auwyang Hong menjura terhadap Oey Yok Su.
"Saudara Yok, aku menerima baik kebaikan hati kau ini," ia berkata. "Saudara, di sini saja kita berpisahan...."
"Saudara Hong," menyahut si tuan rumah, "Kau datang dari tempat yang jauh dan aku belum lagi melakukan kewajibanku sebagai sahabat, mana bisa enak hatiku?"
Sama sekali tidak ada niatnya Auwyang Hong, berdiam lebih lama lagi, karena ia telah putus asa. Sebenarnya ia datang bukan melulu untuk jodoh keponakannya itu, lebih daripada itu, hendak ia sesudah pernikahannya sang keponakan, bekerja sama Oey Yok Su mencari Kiu Im Cin-keng, kitab ajaib itu. Tidak demikian, sebagai ketua suatu partai, mana sudi ia sembarang menaruh kaki di Tionggoan? Pernikahan sudah gagal, ia pun lenyap harapannya, ia menjadi sangat tawar hatinya. Tetapi Auwyang Kongcu, si keponakan berpikir lain.
"Paman," katanya Auwyang Kongcu, "Keponakanmu tidak punya guna, ia membikin kau malu, tetapi Oey Peehu telah menjanjikannya hendak mengajari keponakanmu semacam ilmu kepandaian...."
Auwyang Hong mengasih dengar suara "Hm!" Ia ketahui dengan baik belumlah padam cintanya si keponakan ini terhadap Oey Yong, maka juga si keponakan masih hendak mencari ketika untuk bisa terus berdekatan dengan nona itu. Alasan belajar ini adalah alasan yang paling baik. Si keponakan menjadi mungkin mendapat ketika akan merayu-rayu hati Oey Yong hingga si nona akhirnya terjatuh juga ke dalam pelukannya...."
Oey Yok Su dilain pihak juga tidak puas hatinya. Ia telah memberikan janjinya itu karena ia percaya pasti Auwyang Kongcu bakal lulus, maka hendak ia menurunkan semacam pelajaran kepada Kwee Ceng, siapa tahu kesudahannya adalah kebalikannya dugaannya itu, ialah Auwyang Kongcu yang jatuh.
"Auwyang Sieheng," ia lantas berkata, "Kepandaian pamanmu adalah yang terlihay di kolong langit ini, tidak ada lain orang yang dapat menandanginya, karena ini adalah warisan keluargamu sebenarnya tak usah kau mencari dari lain kaum. Hanya apa yang dinamakan Co-to Pang-bun, yaitu ilmu golongan kiri atau sampingan, aku si tua masih juga mempunyakannya sedikit, maka jikalau sieheng tidak mencelanya, yang mana saja yang aku mengerti, suka aku mengajarkannya padamu."
Auwyang Kongcu sudah lantas berpikir; "Hendak aku memilih yang paling lama dipelajarinya, yang paling meminta waktu. Tocu ini kabarnya mengerti ilmu Ngo-heng Ki-bun, baiklah aku minta ilmu itu yang tak keduanya dikolong langit ini, yang tentunya tak habis dipelajari dalam sehari semalam...." Maka ia lantas menjura dan berkata: "Keponakanmu mengagumi ilmu Ngo-heng Ki-bun dari peehu, maka itu aku mohon kebaikan budi peehu untuk mengajari saja aku ilmu itu."
Oey Yok Su berdiam, tidak lantas ia menjawab. Ia merasa sulit. Ngo-heng Ki-bun itulah kepandaiannya yang paling utama, sekalipun kepada putrinya belum ia mewariskannya, maka itu cara bagaimana dapat ia menurunkannya kepada orang luar? Tetapi ia sudah mengeluarkan kata-katanya, tak dapat ia menyesal atau menarik pulang. Maka kemudian menyahutlah ia: "Ilmu Ki-bun itu menggenggam banyak sekali, kau hendak mempelajari yang mana satu?"
Auwyang Kongcu cuma mengutamakan dapat tinggal selama mungkin di pulau Tho Hoa To ini, maka itu ia menjawab; "Keponakanmu melihat jalanan di Tho Hoa To ini sangat berliku-liku, pepohonannya pun lebat sekali, aku menjadi sangat mengaguminya, maka itu aku mohon peehu sukalah memperkenankan aku tinggal di sini untuk beberapa bulan. Dengan begitu maka keponakanmu jadi dapat ketika untuk belajar dengan sabar."
Mendengar itu, air mukanya Oey Yok Su berubah. Ia segera melirik kepada Auwyang Hong. Di dalam hatinya, ia berpikir; "Jadinya kau hendak menyelidiki rahasianya pulauku ini! Sebenarnya, apakah maksud kamu?"
Auwyang Hong sangat cerdik, mengertilah ia sudah akan keragu-raguannya tuan rumah itu. Maka lantas ia menegur keponakannya: "Kau sungguh tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi! Tho Hoa To ini tercipta setelah peehumu menghabiskan hati dan darahnya, pulau ini teratur begini sempurna, bahwa orang luar tidak berani menyerbunya semua mengandal kepada lihaynya ini, dari itu mana dapat peehumu membebernya kepada kau?"
Oey Yok Su tahu orang menyindir, dengan dingin ia berkata: "Walaupun Tho Hoa To ada hanya sebuah bukit yang gundul, orang di kolong langit ini belum tentu ada yang sanggup mendatanginya untuk membikin celaka pada aku Oey Yok Su!"
Auwyang Hong tertawa.
"Aku kesalahan omong, saudara Yok, maaf!" ia memohon.
"Hai, saudara Racun, saudara Racun!" Ang Cit Kong tertawa dan turut berbicara. "Akalmu ini akal memancing kemarahan orang, kau menggunainya dengan caramu yang kurang jujur!"
Oey Yok Su seperti habis akal, ia selipkan seruling kumalanya di leher bajunya.
"Tuan-tuan, silahkan turut aku!" ia mengundang.
Maka itu berhentilah pembicaraan mereka.
Auwyang Kongcu ketahui tuan rumah murka, ia melirik kepada pamannya.
Auwyang Hong mengangguk, lalu ia bertindak mengikuti tuan rumah. Yang lain-lainnya pun turut mengikutinya.
Jalanan berliku-liku, sekeluarnya dari rimba bambu itu, di depannya mereka terlihat sebuah pengempang teratai yang besar, yang bunga teratainya sedang mekar banyak, hingga di situ tersebarlah bau harum semerbak yang halus dari bunga yang indah dan bersih itu. Daun-daun teratai pun terampas luas dan lebar. Di tengah-tengah pengempang ada sebuah jalanan yang memotong untuk tiba di lain tepi, hingga dengan begitu pengempang itu menjadi terbelah dua.
Oey Yok Su berjalan di jalanan di tengah pengempang itu, ia memimpinnya orang banyak ke sebuah rumah yang nampak terawat rapi sekali, yang tiang-tiangnya terbuat dari batang-batang atau bongkol pohon cemara yang tak dibuangi babakannya hingga nampak jadi wajar. Di luar itu pun merambat pohon-pohon rotan yang beroyot. ketika itu ada di musim panas tetapi berada di dalam rumah itu, semua orang merasakan adem.
Oey Yok Su mempersilahkan lebih jauh keempat tetamunya masuk ke dalam kamar tulis dimana bujangnya yang gagu segera menyuguhkan teh, yang airnya berwarna hijau, tetapi setelah dihirup, teh itu dingin bagaikan salju, meresap hingga ke ulu hati.
Ang Cit Kong tertawa, ia berkata: "Orang bilang, sesudah tiga tahun menjadi pengemis, berpangkat pun dia tak sudi, tetapi, saudara Yok, jikalau aku dapat tinggal tiga tahun di dalam duniamu yang begini adem nyaman, menjadi pengemis pun tak sudilah aku!"
"Saudara Cit," menyahut Oey Yok Su, "Jikalau benar kau sudi tinggal untuk suatu waktu denganku di sini, supaya kita kakak beradik dapat minum arak dan mengobrol, itulah sungguh hal yang aku memintanya pun tidak dapat."
Ketarik hatinya Ang Cit Kong mendengar suara orang yang sungguh-sungguh itu.
Tetapi Auwyang Hong segera berkata; "Kamu kedua tuan, jikalau kau sampai tidak berkelahi, tak usah sampai dua bulan lamanya, pastilah kau berhasil menciptakan semacam ilmu pedang yang luar biasa gaib!"
"Ha, kau mengiri?" tanya Ang Cit Kong tertawa.
"Tapi aku bicara dari hal yang benar!" menyahut Auwyang Hong.
Kembali Ang Cit Kong tertawa.
"Ini pun kata-katamu yang di hati lain di mulut lain!" bilangnya.
Dua orang ini tidak bermusuh besar tetapi mereka saling mendendam, di antaranya Auwyang Hong yang memikir dalam dan licik serta licik. Ang Cit Kong yang polos dan mulutnya terbuka, kalau Cit Kong tidak memikir sesuatu, See Tok sebaliknya menyimpan maksud, sebelum Ang Cit Kong mampus di tangannya, tak mau ia sudah. Hanya ia, karena liciknya, wajahnya ia tidak kentarakan sesuatu. Demikian kali ini, apapun yang Cit Kong bilang, ia mengganda tertawa.
Oey Yok Su sudah menekan pada suatu bagian dari mejanya itu, lalu terlihat di tembok sebelah barat ada sebuah gambar san-sui atau panorama gunung dan air yang bergerak naik sendirinya, setelah mana di situ lalu tertampak sebuah pintu rahasia. Ia mengulurkan tangannya ke dalam pintu itu, untuk menarik keluar segulung kertas. Ia mengusap-usap itu beberapa kali, kemudian ia memandang Auwyang Kongcu seraya berkata: "Inilah peta lengkap dari Tho Hoa To. Di pulau ini ada jalanan rahasia, jalan keder menuruti jurus patkwa, dan semua itu tercatat di dalam peta ini, sekarang kau ambillah ini, untuk kau mempelajarinya dengan seksama."
Mendengar itu, pemuda itu hilang harapannya. Yang ia harap adalah dapat tinggal lebih lama di Tho Hoa To, siapa tahu ia hanya diberikan sehelai peta pular. Ia merasa bahwa ia gagal, tetapi meski demikian, ia menjura untuk menyambuti peta itu.
Oey Yok Su tidak segera menyerahkan petanya itu.
"Tunggu dulu!" katanya.
Auwyang Kongcu melengak, ia menarik pulang tangannya yang sudah diulur itu.
"Setelah kau mendapatkan peta ini," berkata Oey Yok Su, "Kau mesti pergi ke Lim-an, dimana kau mesti cari sebuah rumah penginapan atau kelenteng dimana kau dapat tinggal menumpang. Selang tiga bulan, aku nanti perintah orang untuk mengambil pulang. Peta ini cuma diingat dalam hati, aku larang kau membuat salinannya!"
Mendengar itu, di dalam hatinya, si pemuda berkata: "Kau tidak mengijinkan aku tinggal di pulaumu ini, siapa sudi memperdulikan segala ilmu sesatmu itu? Bagaimana dalam tempo tiga bulan aku dapat menolongi kau menjagai kitabmu itu? Jikalau ada kerusakan atau kehilangan, siapa yang dapat bertanggungjawab. Lebih baik aku tidak mengerjakannya!" Hampir ia menampik, ketika mendadak sebuah pikiran lain masuk ke dalam otaknya: "Dia kata hendak memerintah orang datang mengambilnya nanti, tentulah ia bakal mengutus gadisnya ini. Ini pun ada suatu ketika baik untuk berada dekat si nona...." Maka ia lantas mengubah pula pikirannya, terus ia mengulur pula tangannya, menyambuti peta itu, yang ia masuki ke dalam sakunya.
Auwyang Hong segera mengangkat kedua tangannya, untuk pamitan.
Oey Yok Su tidak menahan lagi, malah ia segera mengantarkannya hingga di muka pintu.
"Saudara Berbisa," berkata Ang Cit Kong. "Lain tahun di akhir tahun kembali tiba saatnya perundingan ilmu pedang di gunung Hoa San, maka itu baik-baik saja kau memelihara dirimu, supaya nanti kita dapat bertempur secara hebat!"
Auwyang Hong menyahuti dengan tawar. Katanya: "Menurut aku baiklah kita tidak usah saling berebut lagi! Sekarang ini pun sudah ada ketentuannya siapa yang bakal menjadi orang yang ilmu silatnya paling lihay di kolong langit ini!"
Bab 39. Perahu yang indah
"Eh, sudah ada orangnya?" menanya Ang Cit Kong heran. "Mungkinkah kau, saudara Beracun, sudah berhasil menciptakan semacam ilmu silat baru yang tak ada bandingannya lagi?"
Auwyang Hong tersenyum.
"Apa sih kebisaan dan kebijakasaannya Auwyang Hong hingga dapat memperoleh gelaran orang yang ilmu silatnya nomor satu di kolong langit ini?" ia berkata, "Yang aku maksudkan ialah orang yang telah memberi pelajaran kepada Kwee Sieheng ini."
Mendengar itu, Ang Cit Kong tertawa.
"Adakah kau maksudkan aku si pengemis bangkotan? Kalau benar, aku mesti memikir-mikirnya dulu! Kepandaian saudara Yok bertambah sekian hari, kau sendiri, saudara Berbisa, kau juga makin gagah dan panjang umur, sedang Toan Hongya itu aku percaya dia juga tidak akan mensia-siakan kepandaiannya, maka aku rasa, tinggallah aku si pengemis yang terbelakang."
"Tetapi, saudara Cit," berkata Auwyang Hong pula, "Di antara orang-orang yang pernah memberi pelajaran kepada Kwee Sieheng belum pasti kaulah yang terlihay....."
"Apa?!" menegaskan Ang Cit Kong. Ia baru mengucap sepatah itu, atau Oey Yok Su sudah memotong; "Ah, apakah kau maksudkan Loo Boan Tong Ciu Pek Thong si Bocah Bangkotan yang nakal?"
Pertanyaan ini diajukan kepada Auwyang Hong.
"Benar!" menyahut See Tok cepat. "Karena Loo Boan Tong sudah pandai ilmu Kiu Im Cin-keng, maka kita si Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, kita semua bukan lagi tandingan dia!"
"Hal itu belumlah pasti," berkata Tong Shia, "Kitab itu mati, ilmu silat itu hidup!"
Senang See Tok mendengar perkataan tuan rumah. Mulanya ia tidak puas, ialah ketika Tong Shia mencoba menyimpangi pertanyaannya kepada Kwee Ceng tentang di mana adanya Ciu Pek Thong. Sekarang muncullah pula soalnya Ciu Pek Thong itu. Karena ia pandai bersandiwara, ia tidak menyatakan sesuatu pada wajahnya, bahkan sengaja dengan tawar ia kata; "Ilmu silat Coan Cin Pay lihay sekali, kita semua pernah belajar kenal dengannya, maka kalau Loo Boan Tong ditambah dengan Kiu Im Cin-keng, umpama kata Ong Tiong Yang hidup pula, belum tentu ia sanggup menandingi adik seperguruannya ini, jangan kata pula kita si segala tua bangka!"
"Mungkin Loo Boan Tong lihay melebihkan aku tetapi tidak nanti melebihkan kau, saudara Hong," berkata Oey Yok Su. Ia tidak mau menyebutnya "Saudara Beracun" seperti Ang Cit Kong. "Inilah aku tahu pasti."
"Jangan kau merendah, saudara Yok," berkata See Tok. "Kita berdua adalah setengah kati sama dengan delapan tail. Kalau kau membilang seperti katamu barusan, maka teranglah ilmu silatnya Ciu Pek Thong tak dapat melampaui kau! Ini, aku khawatir....."
Ia lantas berhenti, kepalanya digelengkan berulang-ulang.
Oey Yok Su bersenyum.
"Lihat saja di Hoa San lain tahun!" katanya. "Di sana saudara Hong akan mengetahuinya sendiri!"
Auwyang Hong mengawasi, ia mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
"Saudara Yok, ilmu silatmu telah lama aku mengaguminya," katanya, "Akan tetapi jikalau kau bilang kau dapat mengalahkan Ciu Pek Thong, sungguh aku sangsi. Jangan kau memandang enteng kepada si tua bangka berandalan itu..."
Biar bagaimana, Oey Yok Su kena dipancing panas hatinya oleh See Tok.
"Kau tahu, Loo Boan Tong berada di pulau Tho Hoa To ini!" katanya nyaring. "Sudah lima belas tahun lamanya aku mengurung dia!"
Mendengar itu, dua-dua Auwyang Hong dan Ang Cit Kong terperanjat. Hanya si Bisa dari Barat sudah lantas tertawa bergelak.
"Saudara Yok gemar sekali bergurau," katanya.
"Mari!" berkata Oey Yok Su yang tidak sudi berbicara lebih banyak lagi, tangannya pun menunjuk, bahkan dia berjalan di depan, dengan tindakan yang cepat, hingga bagaikan terbang dia jalan molos di rimba bambu.
Ang Cit Kong mengikuti, sebelah tangannya menuntun Kwee ceng, sebelah yang lain Oey Yong.
Auwyang Hong pun menarik tangan keponakannya.
Semua mereka menggunai ilmu mereka meringankan tubuh.
Hanya sebentar, mereka sudah sampai di muka gua di mana Ciu Pek Thong dikurung, hanya setibanya disitu, Oey Yok Su memperdengarkan suara kaget. ia telah mendapat lihat rusaknya kawat-kawat kurungan di muka gua. Dengan satu enjotannya ia lompat, ke muka gua sekali, yang segalanya sunyi dan tak nampak sekalipun bayangannya si bocah bangkotan yang lucu itu.
Dengan kaki kirinya, Tong Shia menginjak tanah, atau tiba-tiba ia terperanjat. Ia merasakan kakinya itu seperti menginjak barang lembek dan tanah kosong. Tapi ia telah sempurna ilmunya enteng tubuh, maka lekas menyusullah kaki kanannya, hingga ia dapat berlompat, masuk ke dalam gua.
Sekarang ia melihat dengan tegas kosongnya gua itu. Tapi yang hebat adalah kakinya kembali menginjak tanah lembek dan kosong seperti tadi. Tentu sekali, tidak dapat ia menaruh kakinya. Maka ia lantas mengasih keluar serulingnya, menggunai itu untuk menekan dan menolak tembok gua, dengan begitu tubuhnya pun melesat keluar.
Ang Cit Kong dan Auwyang Hong bersorak memuji menyaksikan indahnya tubuh yang ringan dari si Sesat dari Timur ini. Tapi ketika Oey Yok Su menaruh kakinya di luar gua, kakinya itu memperdengarkan satu suara, sebab kaki itu melesak masuk ke dalam sebuah liang.
Kaget Tong Shia. Ia merasakan kakinya basah atau demak. Kembali ia mencelat naik. Diwaktu itu ia melihat Cit Kong dan Auwyang Hong beramai telah tiba di muka mulut gua di mana mereka itu menginjak tanah tanpa kurang suatu apa, karena itu ia lantas turun di samping putrinya. Hampir di itu waktu, ia mendapat cium bau busuk. Ia menunduk untuk melihat. Untuk mendongkolnya, ia mendapatkan kedua kakinya penuh dengan kotoran manusia.
Semua orang menjadi heran, kenapa Oey Yok Su kena orang akali.
Dalam murkanya Oey Yok Su menyambar sebatang cabang pohon, dengan itu ia menyerang tanah ke barat dan ke timur, akan mencari tahu tanah kosong semua atau tidak. Habisnya kecuali tiga tempat yang ia injak tadi, lainnya tanah berisi dan keras. Maka tahulah ia sekarang, ketika Ciu pek Thong meloloskan diri, dia sudah menginjak tanah dengan hebat, membuat tiga liang itu, habis mana, semua ketiga liang dipakai jongkok untuk membuang kotoran dari dalam perutnya....
Dengan penasaran, Oey Yok Su bertindak masuk pula ke dalam gua. Tidak ada barang lainnya di situ kecuali beberapa botol dan mangkok. Hanya di tembok terlihat huruf-huruf yang samar-samar.
Auwyang Hong tertawa di dalam hati menyaksikan Tong Shia "terjebak" itu, tetapi sekarang, melihat orang memperhatikan tembok, ia heran, maka ia bertindak mendekati hingga dekat sekali. Di tembok gua itu tertampak ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
"Oey Lao Shia! Kau telah menghajar patah kedua kakiku, kau sudah mengurung aku limabelas tahun di dalam gua ini, sebenarnya aku pun mesti menghajar patah juga kedua kakimu, baru aku puas, tetapi kemudian, setelah aku memikir masak-masak, sukalah aku memberi ampun padamu, dan urusan kita boleh disudahi saja. Hanya dengan ini aku menyuguhkan kau tumpukan-tumpukan besar dari kotoran serta beberapa botol air kencing. Silahkan kau memakainya. Silahkan....!"
Di bawah itu ada diletaki daun, hingga empat huruf ukiran itu menjadi ketutupan.
Oey Yok Su ingin tahu, ia pegang daun itu, untuk diangkat. Dibawah daun itu ada sehelai benang, karena daun diangkat, benang itu kena terpegang dan ketarik. Mendadak saja terdengar suara di atasan kepala mereka. Oey Yok Su sadar, segera ia berlompat menyingkir ke kiri.
Auwyang Hong, si licik sudah lantas turut melompat, ke kanan. Hanya berbareng dengan itu, terdengarlah suara nyaring di atasan kepala mereka, dari sana jatuh beberapa botol yang mengeluarkan air, maka juga mereka lantas kena tersiram, hingga kepala mereka basah dan bau air kencing.
Menyaksikan itu Ang Cit Kong tertawa berkakakan.
"Sungguh harum! Sungguh harum!" katanya.
Oey Yok Su murka dan mendongkol sekali sehingga ia tidak dapat tidak mementang mulutnya untuk mencaci.
See Tok juga sangat mendongkol tetapi ia pandai bersandiwara, ia tidak mengutarakan kemurkaannya pada parasnya, sebaliknya ia tertawa, seperti juga ia pandang itulah lelucon.
Oey Yong sudah lantas lari pulang, untuk mengambil pakaian untuk ayahnya menukar pakaiannya yang basah dan bau itu. Ia pun membawa sepotong baju lain, baju ayahnya juga, yang mana ia serahkan pada Auwyang Hong.
Selesai dandan, kembali Oey Yok Su masuk ke dalam gua. Ia memeriksa dengan teliti. Sekarang tidak ada lagi lain jebakan. Ia periksa pula huruf-huruf tadi, di bagian yang ditutupi daun, di situ ia melihat dua baris huruf-huruf yang halus, bunyinya: Daun ini jangan sekali-kali diangkat atau ditarik, sebab di atas ini ada air kencing yang bau yang dapat mengalir turun. Hati-hatilah, hati-hati, jangan menganggap bahwa kau telah tidak diberi ingat terlebih dulu!"
Oey Yok Su mendongkol berbareng geli di hati. Sebab ia telah menjadi korban dari keteledorannya sendiri. Tapi sekarang ini ia ingat suatu apa, ia seperti baru sadar. Ia ingat, diwaktu ia kena kesiram, ia merasakan air kencing itu masih rada hangat. Itu artinya orang pergi belum lama. Maka ia lantas lari keluar seraya berkata: "Loo Boan Tong pergi belum jauh, mari kita susul padanya!"
Kwee Ceng terkejut. Ia ketahui dengan baik, apabila mereka bertemu, pasti mereka bertempur. Hendak ia mencegah mertuanya. Tapi sudah kasep, Oey Yok Su sudah kabur ke timur.
Orang semua tahu jalanan di pulau ini luar biasa, mereka menyusul dengan lari sekeras-kerasnya. Kalau mereka ketinggalan jauh, mereka bisa mendapat susah.
Mereka berlari-lari tidak lama atau mereka tampak Ciu Pek Thong di sebelah depan mereka, jalannya perlahan-lahan.
Oey Yok Su menjejak tanah, tubuhnya lantas mencelat pesat dan jauh. Maka di lain saat ia sudah tiba di belakangnya orang kurungannya itu, sebelah tangannya dipakai untuk menyambar ke arah leher.
Ciu Pek Thong rupanya ketahui datangnya serangan, ia berkelit ke kiri seraya membalik tubuhnya, sembari memandang penyerangnya itu dan berkata: "Oh Oey Lao Shia yang harum semerbak!"
Sambarannya Oey Yok Su ini adalah sambaran yang ia telah latih selama beberapa puluh tahun, sebatnya luar biasa, akan tetapi Ciu Pek Thong dapat mengegosnya secara demikian sederhana, hatinya menjadi terkesiap. Ia tidak menyerang terlebih jauh, hanya ia mengawasi orang. Ia lantas menjadi heran. Ternyata kedua tangannya Ciu pek Thong terikat di depan dadanya, akan tetapi muka orang tersungging senyuman, sikapnya menyatakan orang bergembira sekali, saking puasnya hati.
Kwee Ceng sudah lantas maju setindak.
"Toako!" ia memanggil. "Sekarang ini tocu telah menjadi mertuaku, maka kita pun menjadi orang sendiri!"
Pek Thong menghela napas.
"Ah, mengapakah kau tidak dengar kataku?" katanya menyesal. "Oey Loa Shia ini sangat licik dan aneh, maka itu bisakah anak perempuannya satu anak yang boleh dibuat sahabat olehmu? Nanti, seumur hidupmu, akan kau merasakan kepahitan...."
Oey Yong maju mendekati, ia tertawa.
"Ciu Toako, lihat itu di belakangmu, siapa yang datang?" ia berkata.
Pek Thong segera menoleh, ia tidak melihat siapa juga.
Justru itu tangannya si nona melayang, menimpuk dengan baju bau dari ayahnya yang ia telah gumpal, mengarah punggung orang.
Loo Boan Tong benar-benar lihay. Ia mendengar suara angin, segera ia berkelit. Maka bungkusan itu jatuh ke tanah.
Melihat itu Pek Thong tertawa berlenggak-lenggak.
"Oey Lao Shia," ia berkata, "Sudah kau kurung aku lamanya limabelas tahun, sudah kau siksa aku limabelas tahun juga, tetapi aku cuma membikin kau menginjak kotoran dua kali dan membajur kepalamu satu kali, kalau sekarang kita menyudahinya, apakah itu tidak pantas?"
Oey Yok Su tidak menjawab, ia hanya menanya; "Kau telah merusak kawat-kawat kurunganmu, kenapa sekarang kau mengikat kedua tanganmu?"
Inilah hal yang membikin ia tidak mengerti.
Pek Thong tertawa pula.
"Dalam hal ini aku mempunyai alasanku sendiri," sahutnya singkat.
Ketika Ciu pek Thong baru-baru dikurung di dalam gua, beberapa kali hendak ia menerjang keluar untuk mengadu jiwa dengan Oey Yok Su, ia seperti sudah tidak dapat menahan sabar, hanya kemudian, ia mendapat satu pikiran baru. Ia pun sangsi akan dapat mengalahkan tocu dari Tho Hoa To itu. Lantas ia mencari kawat dengan apa ia membuat pagar di depan guanya, untuk dengan itu mengurung dirinya sendiri, kawat itu rapat seperti sarang laba-laba. Ia pun mengendalikan dirinya supaya ia jangan menuruti saja hatinya yang panas. Ia anggap beradat berangasan dapat merugikan diri sendiri. Sampai itu hari ia bertemu dengan Kwee Ceng dan mendengar perkataannya ini anak muda, yang ia angkat jadi saudaranya, ia mendapat ilham. Maka ia lantas menciptkan ilmu silatnya itu berkelahi seorang diri, kemudian bersama Kwee Ceng, ia bertempur dengan menggunai empat tangan mereka tetapi mereka memecah hati, hingga mereka jadi seperti empat orang... Maka juga sekarang, walaupun Oey Yok Su sangat lihay, tidak dapat ia melawan Pek Thong, yang bertubuh satu tetapi seperti terdiri dari dua Pek Thong. Setelah itu, Pek Thong memikirkan daya untuk membalas sakit hati pada Oey Lao Shia, yang sudah menyiksa padanya. Seperginya Kwee Ceng, ia duduk bersila di dalam guanya itu, dengan berdiam diri secara begitu, ia lantas teringat pada pengalamannya puluhan tahun, pengalaman senang dan susah, budi dan permusuhan, cinta dan benci. Ia tengah melayangkan pikirannya itu tatkala mendengar suara seruling serta suara ceng dicampur sama siulan panjang. Mendadak semangatnya menjadi terbangun hampir tak dapat ia menguasai diri. Ia menjadi murang-maring. Tapi pun ia lantas ingat pula sesuatu.
"Adik angkatku itu kalah ilmunya dengan aku tetapi kenapa ia tidak dapat tergoda bujukannya seruling Oey Lao Shia?" demikian ia berpikir. Tadinya ia belum mengetahuinya sifatnya Kwee Ceng, setelah pergaulannya sekian lama, ia bagaikan sadar.
"Ya,ya!" mengertilah ia. "Dia sangat jujur dan polos, dia tidak punya pikiran sesat, tetapi aku, yang sudah berusia tinggi, masih aku berkutat memikir daya upaya untuk membalas dendaman! Kenapa aku menjadi begini cupat pikiran? Sungguh lucu!"
Pek Thong bukan penganut Coan Cin Kauw tetapi ia toh mengenal baik tujuan partai itu, yang bersikap tenang dan "tak berbuat sesuatu" (bu-wi), maka itu ia gampang sadar, pikirannya gampang terbuka. Begitulah sambil tertawa lama, ia berbangkit bangun. Ia melihat cuaca terang, mega putih memain di atas langit, dengan begitu hatinya pun menjadi terang. Hanya sekejap itu, hilang ingatannya yang Oey Lao Shia sudah menyiksa ia selama limabelas tahun, ia pandang itu urusan tetek bengek. Tetapi dasar ia berandalan dan jenaka, ia toh berpikir: "Kali ini aku pergi, tidak nanti aku datang pula ke pulau Tho Hoa To ini, jikalau aku tidak meninggalkan sesuatu untuk Oey Lao Shia, si tua bangka sesat itu, cara bagaimana nanti dia dapat mengingat hari kemudiannya?"
Segera setelah itu ia mendapat pikiran untuk mempermainkan pemilik Tho Hoa To itu. Dengan gembira ia membuat liang, ia menyetor kotoran perutnya di situ. Ia pun mengisikan beberapa botol dengan air kencingnya, yang ia gantung dengan sehelai benang, ia membuat pesawat rahasianya. Dengan mengungkit batu, ia meninggalkan surat peringatan itu. Habis itu baru ia pergi keluar dari gua. Baru jalan beberapa tindak, kembali ia ingat apa-apa.
"Jalanan di Tho Hoa To ini sangat aneh," demikian pikirannya, "Kalau nanti Oey Lao Shia ketahui siang-siang buronku, dia dapat menyusul aku. Haha, Oey Lao Shia, jikalau kau hendak berkelahi, tidak nanti kau sanggup melawan aku....
Gembira orang tua ini, mendadak ia mengibas tangannya ke arah sebuah pohon kecil di sampingnya, lalu terdengar suara ambruk keras, ialah suara robohnya pohon itu yang terpapas kutung. Ia menjadi kaget sendirinya.
"Ah, bagaimana aku maju begini pesat?" ia tanya dirinya sendiri. Ia menjadi berdiam. Tidak lama, ia menyerang pula pohon di sampingnya, sampai beberapa pohon dan semua itu tertebas kutung, tanpa ia menggunai senjata tajam. Ia heran bukan main, hingga ia berseru: "Bukankah ini ilmu Kiu Im Cin-keng? Kapankah aku melatihnya?"
Pek Thong menaati pesan Ong Tiong Yang, kakak seperguruannya itu, ia tidak berani mempelajari bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng, akan tetapi untuk mengajari Kwee Ceng, tanpa merasa ia seperti berlatih sendirinya. Diluar dugaannya ia telah berhasil. Saking kaget, ia berteriak-teriak seorang diri: "Celaka! Celaka! Ini dia yang dibilang setan masuk ke dalam tubuh, yang tak dapat di usir lagi!"
Maka ia lantas mengambil beberapa lembar babakan pohon yang ulet, ia membuatnya itu menjadi tambang, lalu dengan bantuan mulutnya, ia mengikat sendiri kedua tangannya. Di dalam hatinya ia berjanji: "Semenjak ini hari, jikalau aku tidak dapat melupakan bunyinya kitab itu, seumurku tidak akan aku berkelahi sama siapa juga! Biarnya Oey Lao Shia dapat menyandak aku, aku tidak bakal membalas, supaya aku tidak melanggar pesan suheng...!"
Sudah tentu Oey Yok Su tidak ketahui janjinya Pek Thong kepada dirinya sendiri itu, ia menyangka si tua bangka jenaka ini lagi bergurau. Maka itu ia berkata, memperkenalkan: "Loo Boan Tong! Inilah saudara Auwyang, yang kau telah kenal.... dan ini...."
Belum lagi habis Oey Lao Shia berbicara, Ciu Pek Thong sudah jalan mengitari mereka, ia mencium pada tubuh setiap orang, kemudian ia berkata sambil tertawa: "Inilah tentunya si pengemis tua Ang Cit Kong, inilah aku dapat menerkanya! Sungguh Thian maha adil, maka juga air kencing cuma membajur Tong Shia serta See Tok berdua saja! Saudara Auwyang, tahun dulu itu pernah kau menghajar aku dengan tanganmu, sekarang aku membalasnya dengan banjuran air kencingku, dengan begitu impaslah kita, tidak ada salah satu yang rugi!"
Auwyang Hong tersenyum, ia tidak menjawab, hanya ia berbisik kepada Oey Yok Su: "Saudara Yok, orang ini sangat lincah, terang sudah kepandaiannya berada di atasan kita, maka itu lebih baik kita jangan ganggu dia."
Oey Yok Su tapinya berpikir; "Kita sudah tidak bertemu lamanya duapuluh tahun, mana kau ketahui kemajuanku tidak dapat melayani dia?" Maka terus ia berkata kepada Ciu Pek Thong: "Pek Thong, telah aku bilang padamu, asal kau mengajari aku Kiu Im Cin-keng, habis aku menyembahyangi istriku almarhum, akan aku merdekakan kau. Sekarang kau hendak pergi ke mana?"
"Sudah bosan aku berdiam di pulau ini, hendak aku pergi pesiar," menyahut Pek Thong.
Oey Yok Su mengulurkan tangannya.
"Mana kitab itu?" dia minta.
"Toh sudah dari siang-siang aku memberikannya pada kau," sahut Pek Thong.
"Kau ngaco belo! Kapan kau memberikannya?"
Pek Thong tertawa.
"Kwee Ceng khan baba mantumu, bukan?" dia balik menanya. "Apa yang menjadi kepunyaannya, bukankah menjadi kepunyaanmu juga? Aku telah ajari dia Kiu Im Cin-keng dari kepala sampai buntut, apa itu bukan sama saja seperti aku mengajari sendiri?"
Kwee Ceng terkejut.
"Toako!" tanyanya. "Benarkah itu Kiu Im Cin-keng?"
Ciu Pek Thong tertawa berkakakan.
"Mustahilkah yang palsu?" ia membaliki.
Oey Yok Su tetap heran.
"Kitab bagian atas memang ada pada kau," ia berkata, "Habis darimana kau dapatinya yang bagian bawah?"
Lagi-lagi Pek Thong tertawa.
"Bukankah itu telah diberikan kepadaku oleh tangannya baba mantumu sendiri?" ia menanya pula.
Panas hatinya Tong Shia, ia lantas berpaling kepada Kwee Ceng, matanya tajam. Ia telah kata dalam hatinya: "Kwee Ceng bocah cilik, kau telah mempermainkan aku! Bukankah Bwee Tiauw Hong, si buta sampai sekarang masih berkutat mencari kitab itu?" Tapi lekas ia menoleh pula pada Pek Thong seraya berkata: "Aku menghendaki kitab yang tulen!"
Pek Thong tidak menyahuti, ia hanya menghadapi Kwee Ceng.
"Saudara, coba kau keluarkan kitab di dalam sakuku ini," ia berkata kepada adik angkatnya itu.
Kwee Ceng menuruti, ia merogoh ke sakunya kakak angkat itu. Ia mengeluarkan sejilid buku tebal kira-kira setengah dim.
Pek Thong mengulur tangannya menyambuti kitab itu. Sekarang ia berpaling kepada Oey Yok Su.
"Inilah kitab Kiu Im Cin-keng yang tulen bagian atas," ia berkata. "Kitab bagian bawahnya pun terselip di dalam ini. Jikalau kau ada mempunyai kepandaian, nah kau ambillah!"
"Kepandaian apa aku harus gunai?" tanya Oey Yok Su.
Pek Thong menjepit buku dengan kedua tangannya, lalu ia memiringkan kepalanya.
"Nanti aku pikir dulu!" sahutnya. Ia terus berdiam sekian lama. Kemudian ia tertawa dan berkata: "Kepandaiannya si tukang tempel!"
"Apa?!" Oey Yok Su menegaskan, heran.
Pek Thong tidak menyahuti, ia hanya angkat kedua tangannya ke atas kepalanya, atas mana maka berterbanganlah banyak hancuran kertas, bagaikan kupu-kupu berselibaran, mengikuti tiupan angin, berhamburan ke empat penjuru, maka hanya sekejap habis semuanya buyar, entah kemana parannya....
Oey Yok Su murka berbareng kaget. Ia tidak menyangka begini hebat tenaga dalam dari Pek Thong, yang sanggup menjepit hancur kitab itu secara demikian hebat.
"Hai, bocah bangkotan yang nakal, kau mempermainkan aku!" dia membentak. "Hari ini jangan kau harap dapat berlalu dari pulauku ini!" Dan ia berlompat maju dengan serangannya.
Tubuhnya Pek Thong berkelit, lalu terhuyung ke kiri dan kanan, dengan begitu lewatlah serangannya Oey Yok Su di samping tubuhnya itu.
Tong Shia heran yang orang tidak melakukan pembalasan. Ia pun heran untuk caranya orang mengegos tubuh itu. Dilain pihak, ia pun sadar. Maka bertanyalah ia kepada dirinya sendiri. "Aku Oey Yok Su, apakah dapat aku melayani seorang yang kedua tangannya diikat?" Maka segera ia berlompat mundur tiga tindak.
"Loo Boan Tong, kakimu sudah sembuh atau belum?" ia menanya nyaring. "Aku terpaksa mesti berbuat tak pantas terhadapmu! Lekas kau putuskan ikatan pada kedua tanganmu itu, hendak aku belajar kenal dengan kau punya Kiu Im Cin-keng!"
Pek Thong berlaku sabar ketika ia menyahuti: "Tidak hendak aku mendustai kau. Aku ada mempunyai kesulitanku sendiri yang sukar untuk aku memberitahukannya. Ikatan pada tanganku ini, biar bagaimana juga, tidak dapat aku meloloskannya."
"Biarlah aku yang memutuskannya!" kata Oey Yok Su. Dia maju, dia ulur tangannya.
Mendadak saja Pek Thong menjerit-jerit: "Tolong! Tolong!" Tapi di mulut ia berkoakan, tubuhnya sendiri lompat berjumpalitan, jatuh ke tanah, terus menggelinding beberapa gulingan.
Kwee Ceng kaget.
"Gakhu!" ia memanggil mertuanya. Ia pun maju, niatnya untuk mencegah.
Ang Cit Kong menarik tangan pemuda itu.
"Jangan berlaku tolol!" katanya perlahan.
Kwee Ceng berdiam, matanya mengawasi Ciu Pek Thong.
Si tua bangka jenaka dan berandalan itu bergulingan terus, bukan main lincahnya gerakannya itu. Oey Yok Su maju terus, dia memukul, dia menendang, tetapi tidak pernah dia mengenai sasarannya.
"Perhatikan gerak-geriknya!" Ang Cit Kong berbisik pula kepada muridnya.
Kwee Ceng terus memandang pula, segera ia menginsyafi kepandaian bergulingan dari Ciu Pek Thong itu. Itulah dia tipu silat yang di dalam kitab disebutnya "Coa heng lie hoan" atau "Ular menggeleser, rase jumpalitan". Maka ia memasang matanya terus, ia memperhatikannya. Kapan ia menyaksikan di bagian yang indah, tanpa merasa ia berseru: "Bagus!"
Oey Yok Su menjadi penasaran sekali yang pelbagai serangannya itu menemui kegagalan, hatinya semakin panas, maka itu ia menyerang makin hebat. Dan hebatlah kesudahannya.
Tubuh Ciu Pek Thong tidak terkena pukulan tetapi bajunya saban-saban robek sepotong dengan sepotong, bahkan rambut dan kumisnya juga ada yang terputuskan serangan dahsyat tocu dari Tho Hoa To. Lama-lama ia pun menginsyafi bahaya yang mengancamnya. Salah sedikit saja, ia bisa celaka, tidak mati tentu terluka parah. Maka diakhirnya ia mengerahkan tenaganya, ia membuat ikatannya puus, habis mana dengan tangan kiri ia menangkis serangan, dengan tangan kanan ia meraba ke punggungnya, akan menangkap seekor tuma, yang ia terus memasuki ke dalam mulutnya untuk digigit, menyusul mana ia berteriak-teriak: "Aduh! Aduh! Gatal sekali!"
Oey Yok Su terkejut juga disaat sangat terancam itu Pek Thong masih sanggup menangkap tuma dan terus bergurau, tetapi karena ia sangat penasaran, ia tidak menghentikan penyerangan, bahkan tiga kali beruntun ia menggunai pukulan-pukulan lawan.
Segera terdengarlah suara Ciu Pek Thong: "Dengan sebelah tanganku tidak dapat aku menangkis, mesti aku pakai dua-dua tanganku berbareng!" kata-kata ini disusuli sama gerakan dari kedua tangannya; Tangan kanan dipakai menangkis, tangan kiri menyambar kopiah lawan!
Didalam halnya tenaga dalam, sebenarnya Ciu Pek Thong kalah dari Oey Yok Su, maka juga tempo Tong Shia menangkis tangan kanan itu, dia lantas saja terhuyung, dia roboh setelah beberapa tindak. Tapi ia pun sebat, tangan kirinya sudah berhasil menyambar kopiahnya pemilik dari Tho Hoa To itu!
Oey Yok Su berlompat maju, dalam murkanya ia menyerang dengan kedua tangannya.
"Gunai dua-dua tanganmu!" dia berseru. "Sebelah tangan saja tak cukup!"
"Tidak bisa!" Pek Thong pun berseru. "Cukup dengan satu tangan!"
Oey Yok Su bertambah gusar.
"Baiklah!" serunya sengit. "Kau coba saja!" Ia melanjuti menyerang dengan dua tangannya itu, menghajar sebelah tangan lawan, yang dipakai menangkis.
Begitu kedua tangan bentrok, begitu terdengar suara keras. Begitu lekas juga Ciu Pek Thong jatuh terduduk, kedua matanya ditutup rapat.
Melihat begitu, Oey Yok Su tidak menyerang pula.
Cuma lewat sedetik, Ciu Pek Thong mengasih dengar satu suara, dari mulutnya muncrat darah hidup, mukanya pun menjadi pucat paci.
Semua orang heran dan tercengang. Mungkin Pek Thong tidak menang, tetapi belum tentu dia kalah. Maka, kenapa dia tidak hendak menggunai dua-dua tangannya?
Habis muntah darah, Pek Thong berbangkit dengan perlahan-lahan.
"Aku mempelajari Kiu Im Cin-keng diluar tahuku, tetapi meskipun demikian aku telah melanggar juga pesan kakak seperguruanku. Jikalau aku menggunai kedua-dua tanganku, Oey Lao Shia, pasti tidak nanti kau sanggup melawan aku."
Oey Yok Su percaya kata-kata itu, ia membungkam. Ia pun merasa tidak enak sendirinya. Bukankah tanpa sebab ia sudah mengurung orang limabelas tahun dipulaunya itu dan sekarang ia melukakannya? Maka itu ia merogoh sakunya mengeluarkan satu kotak kumala, dari dalam situ ia mengambil tiga butir obat pulung warna merah, yang mana terus ia angsurkan kepada lawannya itu. Ia berkata: "Pek Thong, obat luka di kolong langit ini tidak ada yang melebihkan ini pil Siauw-hun-tan dari Tho Hoa To. Kau makan ini setiap tujuh hari sekali, lukamu bakal tidak mendatangkan bahaya. Sekarang, mari aku antar kau keluar dari pulauku ini."
Pek Thong mengangguk. Ia sambuti pil itu, satu di antaranya ia lantas telan. Habis itu ia meluruskan napasnya.
Kwee Ceng sudah lantas berjongkok di samping toako ini, untuk menggendongnya, setelah mana ia berjalan mengikuti mertuanya hingga di tepi laut. Di muara tertampak enam atau tujuh buah perahu, besar dan kecil.
Auwyang Hong, yang mengikuti berkata kepada Oey Yok Su: "Saudara Yok, tidak usah kau menggunai lain perahu untuk mengantarkan Ciu Toako keluar dari pulau ini, aku minta dia suka naik perahuku saja."
"Dengan begitu aku membikin kau berabe, saudara Hong", menyahut Oey Yok Su menerima tawaran. Ia lantas memberi tanda kepada bujang gagu, maka bujang itu pergi masuk ke dalam sebuah perahu besar darimana dia membawa keluar sebuah penampan yang berisikan uang goanpo emas.
"Pek Thong, sedikit emas ini pergilah kau bawa untuk kau pakai," berkata Oey Yok Su pada Loo Boan Tong. "Kau benar terlebih lihay dari Oey Lao Shia, aku takluk padamu!"
Pek Thong meram sejak tadi, perlahan-lahan ia membuka matanya. Kembali ia perlihatkan kenakalannya. Ia melihat ke perahunya Auwyang Hong, di kepala perahu itu dipancar bendera putih di mana ada di sulam dua ekor ular-ularan. Menyaksikan itu ia tidak senang.
Auwyang Hong menepuk tangannya, terus ia mengeluarkan seruling kayu yang ia tiup beberapa kali. Tidak lama dari situ, dari dalam rimba terdengar suara berisik sekali. Lalu terlihat dua bujang gagu memimpin beberapa pria berpakaian putih keluar dari rimba, mereka itu menggiring rombangan ularnya. Dengan menggeleser di beberapa lembar papan, yang dipasang di antara perahu dan pinggiran, semua binatang berlegot itu naik ke dalam perahu, berkumpul di dasarnya.
"Aku tidak mau duduk di perahunya See Tok!" berkata Pek Thong. "Aku takut ular!"
Oey Yok Su tersenyum.
"Kalau begitu, kau naiklah perahu itu!" ia kata, menunjuk ke sebuah perahu kecil di samping.
Ciu Pek Thong menggeleng kepala.
"Aku tidak sudi duduk di perahu kecil, aku menghendaki yang besar!" katanya sambil tangannya menunjuk.
Oey Yok Su agaknya terkejut.
"Pek Thong, perahu itu sudah rusak, belum dibetulin!" ia memberitahu. "Tidak dapat perahu itu dipakai."
Orang semua lihat perahu itu besar dan indah, buntutya tinggi, catnya yang kuning emas berkilauan. Terang itu ada sebuah perahu baru, tidak ada tanda-tandanya rusak.
Pek Thong sudah lantas membawa tingkahnya si bocah cilik.
"Tidak, tidak dapat aku tidak menaiki perahu itu!" katanya bersikeras. "Oey Lao Shia, mengapa kau begini pelit?"
"Perahu itu perahu sialan," Oey Yok Su berkata, "Siapa menduduki itu, dia mesti celaka, kalau tidak sakit tentu dapat halangah, maka itu sudah lama dibiarkan saja tidak dipakai. Siapa bilang aku pelit? Jikalau kau tidak percaya, sekarang aku nanti bakar untuk kau lihat!"
Ia benar-benar memberi tanda kepada orang-orangnya, maka keempat bujang gagu lantas menyalakan api bersiap membakar perahu yang indah itu.
Mendadak Ciu Pek Thong menjatuhkan diri duduk di tanah, sambil mencabuti kumisnya ia menangis menggerung-gerung.
Melihat itu, orang semua terbengong. Cuma Kwee Ceng yang kenal tabiat orang, di dalam hatinya ia tertawa.
Habis menarik-narik kumisnya, Pek Thong terus bergulingan. Masih ia menangis.
"Aku hendak duduk perahu baru itu! Aku hendak duduk perahu baru itu!" teriaknya berulang-ulang.
Oey Yong lantas lari ke tepi laut, untuk mencegah si gagu membakar perahu.
Ang Cit Kong tertawa, dia berkata: "Saudara Yok, aku si pengemis tua seumurnya sial dangkalan, biarlah aku temani Loo Boan Tong menaik itu perahu yang angker. Biarlah kita lawan jahat dengan jahat, biarlah kita coba bergulat, lihat saja, aku si pengemis tua yang apes atau perahumu yang angker itu yang benar-benar keramat!"
"Saudara Cit," berkata Oey Yok Su. "Baiklah kau berdiam lagi beberapa hari di sini. Kenapa mesti buru-buru pergi?"
"Pengemis-pengemis besar, yang sedang, yang cilik, semuanya yang ada di kolong langit ini," menyahuti Ang Cit Kong, "Tak berapa hari lagi bakal berapat di Gakyang di Ouwlam, untuk mendengari putusanku si pengemis tua yang hendak memilih ahli waris dari Kay Pang. Coba pikir kalau ada aral melintang terhadap aku si pengemis tua dan karenanya aku pulang ke langit, apabila tidak siang-siang aku memilih gantiku, bukankah semua pengemis menjadi tidak ada pemimpinnya? Maka itu si pengemis tua perlu lekas-lekas berangkat."
Oey Yok Su menghela napas.
"Saudara Cit, kau sungguh baik!" ia berkata. "Seumur hidupmu, kau senantiasa bekerja untuk lain orang, kau bekerja tidak hentinya seperti kuda berlari-lari."
Ang Cit Kong tertawa.
"Aku si pengemis tua tidak menunggang kuda, kakiku ini tidak terpisah dari tindakannya," katanya. "Kau keliru! Nyata kau berputar-putar mendamprat orang! Kalau kakiku adalah kaki kuda, bukankah aku menjadi binatang?"
Oey Yong tertawa, dia campur bicara.
"Suhu, itulah kau sendiri yang mengatakannya, bukan ayahku!" bilangnya.
"Benar, guru tak sebagai ayah!" berkata Ang Cit Kong. "Biarlah besok aku menikah dengan seorang pengemis perempuan, agar lain tahun aku mendapat anak perempuan untuk kau lihat!"
Oey Yong bertepuk tangan, bersorak.
"Tak ada yang terlebih baik daripada itu!" serunya.
Auwyang Kongcu melirik kepada nona itu, di antara sinar matahari ia tampak satu paras yang cantik sekali, kulit yang putih dadu bagaikan bunga dimusim semi, atau sebagai sinar matahari indah diwaktu fajar. Mau atau tidak ia menjadi berdiri menjublak.
Ang Cit Kong sudah lantas mempepayang pada Ciu Pek Thong.
"Pek Thong," katanya. "Mari aku menemani kau menaiki itu perahu baru! Oey Lao Shia ada sangat aneh, maka itu kita berdua jangan kita kasih diri kita diperdayakan!"
Ciu Pek Thong menjadi sangat girang.
"Pengemis tua, kau seorang baik!" katanya gembira. "Baiklah kita mengangkat saudara!"
Belum lagi Cit Kong menjawab, Kwee Ceng sudah datang sama tengah.
"Ciu Toako!" katanya. "Kau sudah angkat saudara denganku, bagaimana sekarang kau juga hendak mengangkat saudara dengan guruku?"
"Ada apakah halangannya?" Pek Thong tertawa. "Jikalau mertuamu mengijinkan aku naik perahunya yang baru, hatiku akan menjadi girang sekali, dengan dia pun suka aku mengangkat saudara!"
Sementara itu Cit Kong telah mencurigai Oey Yok Su. Ia berlaku jenaka tetapi hatinya berpikir. Kenapa Tong Shia menghalangi orang memakai perahunya yang besar dan indah itu? Bukankah di situ mesti ada terselip rahasia? Sebaliknya Ciu Pek Thong berkeras hendak menaiki perahu itu, apabila ada bahaya, seorang diri tidak nanti Pek Thong dapat membela dirinya. Bukankah Pek Thong tengah terluka di dalam badan? Maka itu ia anggap perlulah ia menemani untuk membantu apabila perlu.
"Hm!" Oey Yok Su memperdengarkan suara di hidung. "Kamu berdua lihay, aku pikir umpama kamu menghadapi bahaya, kamu bisa menyelamatkan diri, maka itu aku Oey Yok Su berkhawatir berlebih-lebihan. Kwee Sieheng, kau pun boleh ikut pergi bersama!"
Kwee Ceng terkejut saking herannya. Bukankah aneh mertua itu? Ia suka diakui sebagai mantu, ia sudah panggil "Ceng-jie" anak Ceng, tetapi sekarang panggilan itu diubah pula menjadi "sieheng" yang asing. Ia memandang mertuanya itu.
"Gakhu..." katanya.
"Bocah cilik yang termaha!" membentak Oey Yok Su. "Siapakah gakhumu?! Sejak hari ini, jikalau kau menginjak pula Tho Hoa To setindak, jangan kau sesalkan aku Oey Yok Su keterlaluan!"
Mendadak ia menyambar punggungnya satu bujang gagu di sampingnya seraya ia menambahkan: "Inilah contohnya!"
Bujang gagu itu sudah dipotong lidahnya, maka itu waktu ia menjerit, suaranya tidak keruan. Sampokan itu membuat tubuhnya terpelanting seperti terbang, terlempar ke laut di dalam mana ia lantas hilang tenggelam. Lebih dulu daripada itu semua anggota di dalam tubuhnya itu sudah hancur luluh.
Semua bujang lainnya menjadi akget dan ketakutan, mereka lantas pada berlutut.
Semua bujang yang ada di Tho Hoa To ini ada bangsa jahat dan tidak mengenal budi, tentang mereka itu, Oey Yok Su sudah mencari tahu jelas sekali, maka ia tawan mereka dan dibawa ke pulau, lidah mereka semua dikutungi dan kupingnya ditusuk hingga menjadi tuli, setelah itu ia wajibkan mereka melayani padanya. Ia sendiri pernah berkata: "Aku Oey Yok Su, aku bukannya seorang kuncu. Kaum kangouw menyebut aku Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka dengan sendirinya tak dapat aku bergaul sama bangsa budiman. Bujang-bujang, semakin ia jahat, semakin tepat untukku."
Orang menghela napas menyaksikan ketelengasan tocu dari Tho Hoa To ini.
Kwee Ceng kaget dan heran, ia lantas menekuk lutut.
"Apakah dari dia yang tak mempuaskanmu?" Ang Cit Kong tanya Tong Shia.
Oey Yok Su tidak menjawab, hanya ia memandang Kwee Ceng dan menanya dengan bengis: "Bagian bawah dari Kiu Im Cin-keng itu, bukankah kau yang memberikannya kepada Ciu Pek Thong?!"
"Ada sehelai barang yang aku berikan pada Ciu Toako, aku tidak tahu barang apa itu," menyahut Kwee Ceng. "Jikalau aku tahu...."
Bagaikan orang yang tak tahu selatan, yang tak mengenal berat dan entengnya urusan , Ciu Pek Thong memotong kata-kata adik angkatnya itu. Hebat kegemarannya bergurau.
"Kenapa kau membilangnya tak tahu?" demikian selaknya. "Bukankah kau telah merampasnya itu dari Bwee Tiauw Hong dengan tanganmu sendiri? Syukur Oey Yok Su si tua bangka itu tidak mendapat tahu! Mestinya kau pun telah membilangnya kau telah paham kitab itu, bahwa selanjutnya di kolong langit ini tidak ada tandinganmu!"
Kwee Ceng kaget bukan main.
"Toako!" serunya. "Aku... aku kapannya pernah mengatakannya demikian?"
Ciu Pek Thong mendelik.
"Memangnya kau telah mengatakan demikian!" ia memastikan.
Kwee Ceng membaca Kiu Im Cin-keng tanpa mengetahui kitab itulah kitab ajaib itu, hal itu memang membuatnya orang tak percaya, maka sekarang dengan Ciu Pek Thong membebernya, Oey Yok Su menjadi seperti kalap, hingga ia tak ingat lagi si tua bangka berandalan itu lagi bergurau atau bukan, ia sebaliknya menganggap orang telah lenyap sikap kekanak-kanakannya dan tengah berbicara dengan sebenar-benarnya. Ia lantas saja memberi hormat kepada Pek Thong, Ang Cit Kong dan Auwyang Hong: "Persilahkan!" katanya. Habis itu dengan menarik tangan Oey Yong, ia memutar tubuh untuk mengeloyor pergi.
Oey Yong hendak berbicara dengan Kwee Ceng, baru ia memanggil: "Engko Ceng!" ia sudah ditarik ayahnya beberapa tombak jauhnya, terus dengan cepat masuk dibawa ke dalam rimba.
Ciu Pek Thong tertawa bergelak, tapi mendadak ia merasakan dadanya sakit, ia berhenti dengan tiba-tiba. Ia cuma berhenti sebentar, lantas ia tertawa pula. Ia kata: "Oey Lao Shia telah kena aku jual! Aku bergurau, dia kira itulah benar-benar!"
Cit Kong menjadi heran.
"Jadi benar tadinya Ceng-jie tidak ketahui halnya kitab itu?" ia tegaskan.
"Memang ia tidak tahu!" Pek Thong tertawa. "Dia hanya mengira itu latihan napas saja. Jikalau dia mengetahuinya lebih dulu, mana dia sudi belajar padaku? Adikku, kau sekarang telah ingat baik-baik isi kitab, bukan? Bukankah kau bakal tidak akan melupakannya pula?"
Setelah berkata demikian, Pek Thong tertawa pula, tetapi segera ia berjengkit kesakitan, wajahnya menyeringai. Lucunya sembari jalan ia tertawa dengan saban-saban manahan sakitnya...!
"Ah, Loo Boan Tong!" Ang Cit Kong membanting kakinya. "Bagaimana kau masih berguyon saja! Nanti aku bicara sama saudara Yok!"
Ia lari ke dalam rimba ke arah tadi Oey Yok Su berlalu dengan putrinya. Begitu ia memasuki, ia kehilangan itu ayah dan anak daranya. ia pun melihat jalan melintang tidak karuan, hingga tak tahu ia mesti mengambil jurusan yang mana. Semua bujang gagu pun bubar setelah berlalunya majikan mereka. Maka dengan terpaksa Ang Cit Kong kembali. Mendadak ia ingat Auwyang Kongcu ada mempunyakan peta Tho Hoa To.
"Auwyang Sieheng," katanya lantas. "Aku minta sukalah kau memberi pinjam petamu sebentar."
Pemuda itu menggeleng kepala.
"Tanpa perkenan dari Oey Peehu, siauwtit tidak berani meminjamkannya kepada lain orang," Auwyang Kongcu menolak. "Harap Ang Peehu memaafkan aku."
"Hm!" Cit Kong perdengarkan suara dinginnya. Lalu ia kata di dalam hatinya, "Benar-benar aku tolol! Mengapa aku hendak meminjam peta dari bocah ini? Dia justru menghendaki sangat supaya Oey Lao Shia membenci muridku!"
Ketika itu dari dalam rimba terlihat munculnya serombongan orang dengan seragam putih, yang diantar oleh seorang bujang gagu. Itulah tigapuluh dua nona-nona tukang menari dari Auwyang Hong dan mereka segera memberi hormat seraya menekuk lutut kepada Auwyang Hong itu sambil berkata: "Oey Laoya menitahkan kami turut looya pulang."
Tanpa memandang lagi kepada mereka itu, Auwyang Hong menggeraki tangannya memberi tanda supaya mereka naik perahu, kemudian ia menoleh kepada Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong seraya berkata: "Perahunya saudara Yok itu mungkin benar ada rahasianya, maka itu baiklah kamu legakan hatimu, nanti perahuku mengikutinya dari belakang, jikalau ada perlunya, akan aku memberikan bantuanku."
"Siapa kesudian kau berbuat baik kepadaku?" bentak Ciu Pek Thong gusar. "Aku justru hendak mencoba-coba ada apakah yang aneh pada perahunya Oey Lao Shia ini! Jikalau kau mengikuti kita, habisnya tidak ada bahaya, tidak ada bencana, bukankah itu tidak ada artinya?"
Auwyang Hong tidak menjadi gusar, ia bahkan tertawa.
"Baiklah!" sahutnya gembira. "Sampai kita bertemu pula!"
Ia memberi hormat, terus ia naik ke perahunya.
Kwee Ceng sendiri mengawasi dengan mendelong jalanan yang diambil Oey Yong tadi.
"Adikku, mari kita naik perahu!" Ciu Pek Thong mengajak sambil tertawa. "Hendak aku melihatnya, apakah bisa perahu ini membikin mampus kita bertiga?"
Lalu dengan sebelah tangan menarik Ang Cit Kong dan sebelah tangan yang lain menarik adik angkatnya itu, ia bertindak turun ke perahu yang besar dan indah itu. Di situ ada delapan bujang gagu yang menanti untuk melayani mereka. Semua mereka itu membungkam.
Melihat mereka itu, Ciu Pek Thong tertawa pula.
"Mungkin kalau satu hari Oey Lao Shia kumat tabiatnya, dia juga bakal mengutungi lidah putrinya! Kalau itu sampai terjadi maka barulah aku percaya benar dia mempunyai kepandaian lihay....?"
Kwee Ceng mendengar itu, ia menggigil sendirinya. Memang hebat kalau benar-benar Oey Yok Su karena gusarnya memotong lidah anaknya.
"Apakah kau takut?" menanya Pek Thong tertawa bergelak-gelak. Tanpa menanti jawaban, ia memberi tanda kepada si orang-orang gagu itu untuk mulai memberangkatkan perahu itu. Mereka berlayar mengikuti angin Selatan.
"Sekarang mari kita periksa ke dasar perahu ada apanya yang aneh!" Cit Kong mengajak.
Pek Thong dan Kwee Ceng menurut, maka itu mereka lantas mulai bekerja. Mereka mulai dari depan, lalu ke tengah, terus ke belakang. Semuanya dicat mengkilap. Barang makanan pun lengkap: ada beras, ada daging, dan sayuran. Sama sekali tidak ada bagian yang mana juga yang mencurigakan.
Ciu Pek Thong menjadi sangat mendongkol.
"Oey Lao Shia menipu!" teriaknya, sengit. "Dia bilang perahunya ini berbahaya, toh bahayanya tidak ada! Sungguh menyebalkan!"
Cit Kong tapinya tetap curiga. Ia lompat naik ke atas tiang layar, ia tidak dapatkan apa-apa yang luar biasa. Maka lantas ia memandang jauh ke laut. Ia menampak hanya burung-burung laut beterbangan, angin meniup-niup keras, membuatnya gelombang mendampar-dampar tanpa pangkalnya, seperti nempel langit. Berdiam di atas kapal, ia justru merasa segar.
Ditiup angin, tiga batang layarnya membuatnya perahu menuju ke Utara.
Ketika Ang Cit Kong berpaling ke belakang, ia mendapatkan kenderaan airnya Auwyang Hong mengikuti sejarak dua lie, terlihat nyata layarnya yang putih sulaman dari ular-ularan yang berkepala dua sedang mengulur lidahnya.
Cit Kong lompat turun, kepada anak-anak buah ia memberi tanda agar perahu diarahkan ke barat laut, ketika jurusan telah diubah, ia lantas melihat pula ke belakang.
Juga perahunya Auwyang Hong turut berubah, tetap mengikuti.
"Apa perlunya ia mengikuti terus?" Pek Kay menanya dirinya sendiri. "Benar-benarkah ia bermaksud baik? Si tua bangka beracun itu tidak biasanya bertabiat demikian baik budi...!"
Apa yang dia pikirkan itu, Cit Kong tidak beritahukan Pek Thong. Ia tahu tabiat aneh dan aseran dari kawan ini, ia khawatir orang nanti kumat amarahnya atau tabiat anehnya itu. Ia cuma menitahkan anak buah kapal kembali mengubah tujuan ke timur lurus.
Karena tujuan diubah, perahu berputar, bersama layar-layarnya kenderaan ini miring dan menjadi kendor jalannya.
Belum lama, lalu tertampak perahunya Auwyang Hong pun menuju ke timur....
"Bagus juga jikalau kita mengadu ilmu di tengah laut," pikir Cit Kong kemudian. Ia masuk ke dalam gubuk perahu. Ia tampak Kwee Ceng duduk menjublak saja, suatu tanda pemuda itu kalut pikirannya.
"Muridku," menegur sang guru, "Mari aku ajarkan kau semacam ilmu mengemis nasi, jikalau tuan rumah tetap tidak sudi mengamal, kau libat dia selama tiga hari tiga malam, supaya kau buktikan nanti, dia suka mengamal atau tidak!"
Pek Thong tertawa mendengar perkataan orang itu.
"Jikalau tuan rumah memelihara anjing galak?" tanyanya. "Jikalau kau tidak pergi, anjing jahat itu bakal menggigitnya! Habis bagaimana?"
"Tuan rumah yang demikian tidak berperasaan prikemanusiaan, kalau malamnya kau santroni dan mencuri sepuasnya hartanya, itulah tidak melanggar hukum Thian..." kata Cit Kong.
"Adikku," Pek Thong terus menanya Kwee Ceng, "Mengertikah kau maksud gurumu? Itu berarti dia menganjurkan kau menggerembengi mertuamu itu! Umpama kata dia tetap tidak hendak menyerahkan putrinya dan bahkan hendak menghajar kau, maka pergilah kau diwaktu malam membawa lari gadisnya itu!"
Mendengar demikian, mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa. Kemudian ia mengawasi orang jalan mondar-mandar, sikapnya tak tenang. Ia mendadak ingat suatu apa.
"Toako," ia menanya, "Sekarang kau hendak pergi ke mana?"
"Tidak ada tujuannya, adikku," Pek Thong menyahut. "Ke mana saja asal pesiar..."
"Aku hendak meminta sesuatu, toako...."
Pek Thong segera menggoyangi tangannya.
"Jikalau kau mau minta aku kembali ke Tho Hoa To untuk membantui kau mencuri istri, itulah tidak nanti aku lakukan!"! sahutnya.
Merah mukanya Kwee Ceng.
"Bukannya itu, toako!" ia menjelaskan. "Aku ingin toako pergi ke Kwie-in Chung di telaga Thay Ouw."
Matanya si orang tua mencelik.
"Untuk apakah?" dia menanya.
"Chuncu dari Kwie-in-chung yaitu Liok Seng Hong ada seorang kesatria," Kwee Ceng menerangkan. "Dia sebenarnya murid dari mertuaku, karena kerembet-rembet urusannya Hek Hong Siang Sat, dia dihajar mertuaku itu hingga kedua kakinya gempor, susah untuk baik kembali. Aku lihat kaki toako dapat sembuh, maka ingin aku agar toako mengajarkan ia ilmunya supaya kakinya itu sembuh seperti sediakala!"
"Oh, itulah gampang!" sahut Pek Thong.
Kwee Ceng girang, hendak ia menghanturkan terima kasih, tatkala muncul suara menjeblaknya pintu, lalu muncul seorang anak buah dengan romannya pucat saking ketakutan, tapi karena ia tidak dapat bicara, dia cuma bisa menggerak-geraki tangannya.
Menduga mesti terjadi sesuatu, Cit Kong bertiga berlompat keluar untuk melihat......
*
* *
Oey Yong telah diajak pulang, dia terus ditarik hingga ke dalam rumah. Tentu saja, karena dipaksa ayahnya itu, tidak dapat ia berbicara dengan Kwee Ceng. Ia menjadi masgul dan dongkol sekali. Terus ia masuk ke dalam kamarnya, ia menguncikan pintu. Ia menangis dengan perlahan.
Oey Yok Su menyesal juga telah mengusir Kwee Ceng karena ia menuruti hawa amarahnya, terutama karena ia anggap si anak muda lagi menghadapi bahaya maut. Hendak ia menghibur gadisnya tetapi Oey Yong tidak memperdulikannya. Anak ini terus tidak membuka pintu kamarnya, diwaktu santap malam, ia tidak muncul untuk berdahar. Ketika sang ayah menyuruh bujangnya perempuan membawa makanan naik dan lauknya, ia lemparkan itu ke lantai hingga tumpah beserakan dan piring mangkoknya pecah hancur.
Keras Oey Yong berpikir.
"Ayah akan lakukan apa yang dia ucapkan. Kalau engko Ceng datang pula ke mari, dia bakal di hajar mati. Kalau aku buron, dilain hari aah pun tentu tidak bakal mengasih ampun.... Pula, dengan membiarkan dia tinggal seorang diri saja, tidakkah ia menjadi kesepian?" Bukan main berdukanya nona ini. Ia tidak dapat pikiran yang baik.
Ketika beberapa bulan yang lalu ia dimaki ayahnya, itu waktu ia buron tanpa berpikir lagi, setelah bertemu pula dengan ayahnya itu, ia mendapatkan rambut ayahnya itu mulai ubanan, hingga baru selang beberapa bulan, si ayah seperti bertambah puluhan tahun. Melihat itu, ia masgul sekali, hingga ia bersumpah tidak akan membikin ayah itu berduka pula. Sekarang? Di luar sangkaannya, ia menghadapi ini kesulitan. Tidak buron, ia pikirkan Kwee Ceng. Kalau ia buron, ia berati ayahnya.... Maka ia menangis sambil mendekam di pembaringan.
"Coba ibu masih hidup, tentulah ibu dapat mengambil putusan untukku.... Tidak nanti ibu membiarkan aku bersusah hati begini..." Begitu ia berpikir, mengingat ibunya yang sudah lama meninggalkan dunia fana ini. Ingat ibunya itu, ia menjadi terlebih sedih. Ia berbangkit, ia membuka pintu, terus ia pergi ke thia, ruang depan.
Pintu rumahnya Oey Yok Su di pulau Tho Hoa To ini ada dipasang seperti untuk main-main saja. Pintu besarnya siang atau malam dipentang lebar-lebar, maka itu dengan tindakan perlahan, Oey Yong bisa keluar terus. Di luar pintu ia melihat bintang-bintang di langit. Kembali ia berpikir keras.
"Tentulah sekarang engko Ceng sudah terpisah beberapa puluh lie dari sini," pikirnya. "Entah sampai di kapan aku bakal dapat bertemu pula dengannya...."
Ia menghela napas, ia menepas air mata dengan ujung bajunya. Lalu ia bertindak ke dalam pohon-pohon bunga. Ia menyingkap cabang-cabang, ia mengebut-ngebut daun-daun, sampai ia berada di depan kuburan ibunya.
Di depan kuburan itu tumbuh pelbagai macam pohon bunga, yang di empat musim berbunga bergantian. Semua itu ada bunga-bunga pilihan dan ditanam Oey Yok Su sendiri. Kecuali harum bunga, dipandang diantara sinar rembulan, bunganya sendiri pun permai indah.
Oey Yong menolak batu nisan, ke kiri tiga kali, ke kanan tiga kali juga. Lalu ia menarik ke depan. Dengan perlahan-lahan batu itu berkisar, memperlihatkan sebuah liang atau lorong di dalam tanah. Ia bertindak ke dalam lorong itu. Ia membelok tiga kali. Kembali ia membuka pintu rahasia, yang terbuat dari batu. Maka tibalah ia di dalam, di kuburan dari ibunya yang pekarangannya lebar. Ia menyalakan api, untuk memasang pelita di muka kuburan sekali.
Pintu kuburan semuanya telah tertutup sendirinya. Maka Oey Yong berada seorang diri. Ia memandang gambar ibunya, yang dilukis oleh ayahnya sendiri. Ia berpikir keras.
"Seumurku belum pernah aku melihat ibuku," pikirnya. "Kalau nanti aku sudah mati, bisakah aku bertemu dengannya? Bisakah ibu masih begini muda seperti gambar ini, begini cantik? Di mana sekarang adanya ibu? Di atas langit atau di bawah langit? Apakah ibu masih di dalam pekarangan yang luas ini? Baiklah aku berdiam di sini untuk selama-lamanya, untuk menemani ibu...."
Di tembok di dalam liang kubur ini ada sebuah meja, di atas mana diletaki pelbagai macam batu permata yang luar biasa, tidak ada satu juga yang tidak indah. Semua itu dikumpulkan oleh Oey Yok Su dari pelbagai tempat, ketika dulu hari ia malang melintang di kolong langit ini. Baik istana atau keraton, baik gedung orang-orang berpangkat besar atau orang-orang hartawan, atau pun sarang-sarang berandal, hampir tak ada tempat yang ia tidak pergikan, dan asal ada barang permata yang ia sukai, lantas ia ambil atau ia rampas. Sebelum mendapatkannya, belum ia puas. Ia gagah luar biasa, matanya sangat tajam, maka ia bisa mendapatkan demikian banyak permata itu. Semua itu sekarang dikumpulkannya di dalam kuburan istrinya itu, untuk dipakai menemani arwah istrinya.
Semua permata itu bergemerlapan tertimpa cahaya api.
Oey Yong berpikir pula: "Semua permata ini tidak mempunyai perasaan tetapi mereka benda yang hitung ribuan tahun tak akan rusak termusnah. Malam ini aku melihatnya. Bagaimana kala nanti tubuhku sudah berubah menjadi tanah? Bukankah permata ini tetap berada di dalam dunia? Benarkah makhluk yang berjiwa, makin dia cerdik makin pendek umurnya? Oleh karena ibu cerdas luar biasa, dia cuma hidup duapuluh tahun, lalu menutup mata..."
Ia menjublak mengawasi gambar ibunya itu. Kemudian ia padamkan api. Ia pergi ke tepi peti kumala dari ibunya. Ia mengusap-usap sekian lama, lalu ia berduduk di tanah, tubuhnya disenderkan kepada peti. Ia berduka sekali. Ia merasakan seperti menyender pada tubuh ibunya. Lewat sekian lama, ia ketiduran dan pulas.
Mimpi Oey Yong. Ia merasa ia telah berada di kota raja, di dalam istana Chao Wang dimana seorang diri ia melawan pelbagai jago. Lalu di tengah jalan di perbatasan ia bertemu Kwee Ceng. Baru mereka bicara beberapa patah kata, mendadak ia mendapat lihat ibunya, tak dapat, tak terlihat tegas. Ibunya itu terbang ke langit, ia memburunya di bumi. Ibu itu tertampak terbang makin lama makin tinggi. Ia menjadi sangat khawatir. Sekonyong-konyong ia mendengar suara ayahnya, memanggil-manggil ibunya. Suara itu makin lama terdengar makin nyata.
Sampai di situ, mendusinlah si nona. Ia masih mendengar suara ayahnya. Ia lantas menetapi hatinya. Sekarang ia mendapat kenyataan, ia bukan bermimpi lagi. Ayahnya benar-benar telah berada di dalam kuburan ibunya itu, berada bersama dia. Ia ingat, ketika ia masih kecil, sering ayahnya bawa ia ke dalam kuburan ini, berdiam sambil memasang omong. Baru selama yang belakangan ini, jarang ia bersama ayahnya memasukinya. Ia tidak menjadi heran yang ayahnya datang. Ia berdiam. Diantara ia dan ayahnya itu ada menghalang sehelai kain. Karena ia lagi mendongkol, tidak sudi ia menemui ayahnya itu. Ia mau keluar kalau nanti ayahnya sudah pergi.
Lalu ia mendengar suara ayahnya:
"Telah aku berjanji padamu hendak aku mencari Kiu Im Cin-keng sampai dapat, hendak aku membakarnya supaya kau melihatnya, supaya arwahmu di langit mendapat ketahui. Kitab yang sangat kau pikirkan itu, yang kau ingin ketahui apa bunyinya, aku telah mencarinya sia-sia selama limabelas tahun. Barulah ini hari dapat aku memenuhi keinginanmu itu...."
Oey Yong heran bukan main.
"Darimana ayah mendapatkan kitab itu?" ia menanya dalam hatinya.
Ia mendengar ayahnya bicara terus: "Bukan maksudku sengaja hendak membinasakan mantumu itu. Siapa suruh mereka sendiri ingin menaiki perahu itu..?"
Oey Yong terkejut sendiri.
"Mantu ibuku?" pikirnya. "Apakah ayah maksudkan engko Ceng? Kalau engko Ceng duduk di dalam perahu itu, kenapakah?"
Maka ia lantas memasang kupingnya pula.
Kali ini ayah itu bicara dari hal kesusahan hatinya dan kesepiannya sendiri semenjak ia ditinggal pergi istrinya itu, yang cantik dan baik hatinya, yang mencintainya.
Tergetar hati Oey Yong mendengari keluh kesah ayahnya itu.
"Aku dan engko Ceng ada anak-anak baru belasan tahun, maka mustahil di belakang hari kita tidak bakal bertemu pula," pikirnya. "Sekarang ini tidak dapat aku meninggalkan ayah..."
Belum sempat Oey Yong berpikir lebih jauh, ia sudah dengar ayahnya berkata lebih jauh: "Loo Boan Tong telah memusnahkan kitab bagian atas dan bagian bawah dengan gencetan tangannya, ketika itu aku mengira tidak dapat aku mewujudkan keinginanmu itu, siapa tahu seperti disuruh hantu atau malaikat, dia bersikeras hendak menaiki itu perahu terpajang yang indah yang aku sengaja bikin untuk pertemuan kita nanti..."
Kembali Oey Yong menjadi heran.
"Sering aku minta naik perahu itu, ayah selalu melarang dengan keras. Kenapa ayah membuatnya itu untuk ia bertemu sama ibu?"
Anak ini ketahui tabiat ayahnya aneh tetapi ia masih belum tahu keinginan terakhir dari ayahnya itu. Oey Yok Su aneh tetapi terhadap istrinya ia sangat mencinta, sedang istri itu menutup mata karena dia. Maka ia telah memikir untuk mengorbankan diri untuk istrinya itu. Ia tahu lihaynya kepandaiannya sendiri, tidak nanti ia terbinasa dengan jalan menggantung diri atau meminum racun, maka ia memikir satu cara lain. Ia pergi dari pulaunya, ia menculik pembikin perahu yang pandai, yang ia suruh membuatnya perahu terpajang itu. Segala-galanya perahu itu sama dengan perahu yang biasa, hanya papan dasarnya ia bukan memasangnya kuat-kuat dengan paku, hanya ia ikat dengan tali yang dipakaikan getah. Memang, berlabuh di muara, perahu itu terpandang indah, akan tetapi satu kali dia berlayar di laut dan terdampar-dampar gelombang dahsyat, tidak sampai setengah harian, dia bakal karam sendirinya. Sebab musnahlah itu "paku-pakun istimewa". Oey Yok Su telah memikir untuk membawa jenazah istrinya ke dalam perahu itu, untuk berlayar dan nanti mati bersama di dalam gelombang, hanya setiap kali ia mau berangkat, lalu hatinya tidak tega membawa pula anak daranya yang manis itu. Ia juga tidak tega meninggalkan anak itu sebatang kara. Maka diakhirnya, ia membuatnya pekuburan ini. Karena itu, perahu berhias itu dibiarkan saja tak terpakai, setiap tahun dicat baru, hingga nampaknya terus baru dan bagus.
Oey Yong tidak ketahui pikiran ayahnya itu, maka heranlah ia. Ia terus berdiam hingga ia mendengar pula perkataan ayahnya: "Loo Boan Tong dapat membaca kitab Kiu Im Cin-keng di luar kepalanya, dia hapal sekali. Begitu pun dengan si bocah she Kwee itu, yang menghapalnya tak salah. Sekarang aku mengirimkan jiwa mereka berdua, itu sama artinya dengan membakar habis kitab tersebut. Maka arwah kau di langit, aku percaya puas dan tenanglah kau. Hanya sayang si pengemis tua she Ang itu, tidak karu-karuan turut mengantarkan nyawanya..... Di dalam satu hari aku membinasakan tiga ahli silat kelas satu, dengan begitu aku telah memenuhi janjiku kepadamu, maka jikalau di belakang hari kita bertemu pula, pasti kau akan membilangnya suamimu telah membuktikan perkataannya!"
Oey Yong kaget hingga ia bergidik. Ia belum mengetahui pasti tetapi ia dapat menduga perahu berhias itu mestinya terpasangkan pesawat rahasia yang luar biasa. Ia ketahui baik lihaynya ayahnya ini. Maka itu mungkin Kwee Ceng bertiga sudah menjadi korban. Ia jadi sangat berkhawatir dan berduka, hampir ia berlompat kepada ayahnya itu untuk memohon pertolongan untuk tiga orang itu. Tapi ia terpengaruh kekhawatiran yang sangat, sampai kakinya menjadi lemas, hingga tak kuat ia mengangkat kakinya untuk bertindak, dan mulutnya pun tak dapat mengeluarkan perkataan. Ia cuma mendengar suara tertawa ayahnya, yang terus pergi berlalu.
Sekian lama Oey Yong berdiam diri, ia mencoba menenangkan diri. Ia cuma berpikir satu: "Aku mesti pergi menolongi engko Ceng! Jikalau aku tidak berhasil, aku akan menemani dia mati...!"
Anak ini mengerti, percuma ia meminta bantuan ayahnya. Ayah itu terlalu mencintai istrinya tidak akan bisa mengubah keputusannya. Maka ia lari keluar dari perkuburan, terus ia ke pinggir laut, terus juga ia melompat naik ke sebuah perahu kecil. Ia mengasih bangun seorang bujang gagu yang menjaga perahu itu, menitahkan dia memasang layar dan mengayuh, untuk berlayar ke tengah laut.
Sementara itu terdengar tindakan kaki kuda yang lari keras dan berbareng pun terdengar juga suara seruling dari Oey Yok Su, Oey Yong berpaling ke darat, maka ia melihat kuda merah dari Kwee Ceng lagi lari mendatangi. Rupanya binatang itu tak betah berdiam di pulau, malam itu ia keluar berlari-lari...
Oey Yong lantas berpkir; "Di laut begini luas, ke mana aku mesti cari engko Ceng? Kuda kecil itu memang luar biasa tetapi begitu ia meninggalkan tanah, ia pun tak dapat berbuat apa-apa lagi...."
Bab 40. Habis cucut, datang ular....
Begitu lekas Ang Cit Kong, Ciu Pek Thong dan Kwee Ceng tiba di luar gubuk perahu, mereka merasakan kaki mereka basah. Nyata mereka telah menginjak air, atau kaki mereka kena kerendam air. Tentu sekali mereka menjadi sangat kaget. Tapi mereka sadar, maka itu dengan menjejak tanah, dengan mengenjot tubuh, mereka berlompat naik ke tiang layar. Cit Kong bahkan sambil menenteng dua bujang gagu. Ketika ia memandang ke sekitarnya, yang nampak ialah laut yang luas, perahunya sudah tergenang air.
"Pengemis tua, Oey Lao Shia benar hebat!" berteriak Pek Thong. "Bagaimana perahu ini dibuatnya?"
"Aku juga tidak tahu!" menjawab Ang Cit Kong. "Eh, anak Ceng, kau peluki tiang, jangan kau lepaskan....!"
Kwee Ceng belum menjawab ketika mendadak, di antara suara keras, badan perahu terbelah menjadi dua. Kedua anak buah kaget sekali, sampai pelukannya kepada tiang layar terlepas dan tubuhnya kecebur ke air.
"Loo Boan Tong, kau bisa berenang atau tidak?" Cit Kong tanya.
"Coba-coba saja!" sahut Pek Thong tertawa. Suaranya tersampok angin hingga tak terdengar nyata. Mereka terpisah.
Perlahan perahu tenggelam, sebagaimana tiang layar melesak perlahan ke dalam air. Hanya pasti, tidak lama lagi, tiang itu bakal tenggelam juga.
Ang Cit Kong mendapat pikiran.
"Anak Ceng!" ia berkata, "Tiang ini menjadi satu dengan tubuh perahu, mari kita patahkan! Mari!"
Kwee Ceng menurut, maka keduanya lantas mengerahkan tenaga mereka. Dengan berbareng mereka menebas dengan tangan mereka kepada batang tiang.
Tidak peduli tangguhnya tiang, serangannya dua orang itu toh membuatnya patah. Maka dengan keduanya memeluki terus hingga mereka jatuh ke air. Dengan terus memegang tiang itu, mereka tidak kelelap. Mereka pun bisa berenang.
Cit Kong mengeluh di dalam hati. Mereka sudah terpisah jauh dari tepian, di sekitarnya tak nampak daratan. Tanpa pertolongan, biar bagaimana kosen, mereka toh akan mati haus dan kelaparan.
Di sebelah selatan, di tengah laut, terdengar suara tertawa berkakakan. Itulah suaranya Ciu Pek Thong.
"Anak Ceng, marilah kita hampirkan dia!" Cit Kong mengajak.
Kwee Ceng menurut, maka dengan berpegangan tiang, sambil mengayuh, mereka berenang ke arah si tua berandalan itu. Beberapa kali mereka terdampar balik ombak yang keras. Angin keras, gelombang berisik, suaranya Pek Thong toh masih terdengar lapat-lapat. Maka mereka mencoba berenang terus.
Tidak lama, terdengar pula suaranya Pek Thong itu: "Loo Boan Tong telah berubah menjadi anjing kecemplung ke air! Inilah sup asin yang dipakai untuk menggodok si anjing tua...!"
Mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa. Masih saja kakak itu bergurau, berguyon. Tidakkah mereka lagi menghadapi bahaya maut? Sekarang terbukti benar-benar artinya "Loo Boan Tong", si bocah bangkotan yang nakal.
Mereka mencoba terus, akhirnya tidaklah sia-sia percobaan mereka itu. Tidak lama berselang, mereka toh datang dekat satu pada lain. Sekarang terlihat nyata, Pek Thong itu menolong diri dengan mengikat kakinya kepada papan perahu, dengan begitu ia menjadi bisa berdiri di atas air dan berjalan dengan bantuan ilmunya ringan tubuh, sang gelombang tidak menjadi rintangan. Pantas ia bisa berkelakar seperti tidak menghiraukan bahaya kehausan dan kelaparan.
Kwee Ceng menoleh ke belakang. Perahunya sudah lenyap dari muka laut. Dengan begitu pasti hilang sudah semua anak buah perahu itu terkubur di dasar laut.
Disaat itu, sekonyong-konyong terdengar teriakan Ciu Pek Thhong: "Ayo! Hebat!"
Cit Kong dan Kwee Ceng menoleh dengan cepat, mereka pun menanya ada apa. Pek Thong menuju ke arah jauh: "Lihat di sana! Cucut! Sebarisan ikan cucut!"
Kwee Ceng menjadi besar di gurun pasir, tak tahu ia hebatnya ikan cucut atau hiu, maka heran ia menampak gurunya berubah air mukanya. Kenapa guru itu nampak jeri begitu pun Pek Thong, sedang keduanya sangat lihay?
Cit Kong menghajar tiang layar, ia membikin patah, lalu potongan yang satu ia pegangi sendiri, yang lain mau ia menyerahkannya pada Kwee Ceng.
Hampir itu waktu, air laut di depan mereka menjublar, lalu tertampak munculnya seekor ikan cucut yang mulutnya dipentang, hingga nampak dua baris giginya yang putih yang mirip gergaji, berkilau di bawah sinar matahari. Hanya sebentar saja, dia sudah selam pula.
"Hajar kepalanya!" kata Cit Kong pada Kwee Ceng sambil menyerahkan potongan tiang layar itu, untuk dijadikan pentungan.
Kwee Ceng tapinya merogoh ke sakunya.
"Teecu ada punya pisau belati!" sahutnya. Dan ia lemparkan pentungan itu kepada Ciu Pek Thong, yang menyambutinya.
Lalu datang empat atau lima ekor ikan, yang mengurung mereka. Mungkin belum jelas, binatang laut itu tidak segera menyerang.
Pek Thong membungkuk, tangannya terayun. Hanya sekali kemplang, pecahlah kepalanya seekor ikan.
Begitu membaui darah, ikan-ikan itu menyambar tubuh kawannya, kemudian mereka disusul sama yang lainnya, mungkin puluhan atau ratusan ekor. Mereka itu tak kenal kawan, mereka cuma tahu daging harus dicaplok.
Kwee Ceng terkejut melihat keganasan binatang-binatang itu! Selagi ia mengawasi, ia merasakan kakinya ada yang bentur. Lekas-lekas ia tarik kakinya itu. Dengan bergeraknya air, seekor cucut menyambar kepadanya. Ia mendorong tiang layar dengan tangan kirinya, untuk berkelit ke kanan, sebaliknya tangan kanannya menyerang. Tepat serangan itu, pisau belatinya pun pisau belati mustika, maka sekali tikam saja, berlobanglah tubuh ikan, darahnya mengucur keluar. Maka ia pun lantas diserbu kawan-kawannya...!
Demikian tiga orang itu bertempur dengan kawanan ikan galak itu, mereka main berkelit, saban hajarannya terus meminta korban. Bagusnya untuk mereka, asal ada korban, korban itu dikepung ramai-ramai oleh ikan yang lainnya. Hanya menyaksikan keganasan ikan-ikan itu, hati mereka terkesiap juga.
Yang hebat, ikan itu banyak sekali, tak dapat semuanya dibunuh habis. Mungkin mereka sudah membinasakan duaratus ikan ketika mereka mendapatkan matahari mulai doyong ke barat....
"Pengemis tua bangka! Adik Kwee!" berseru Ciu Pek Tong. "Kalau sebentar langit gelap, tubuh kita bertiga, sepotong demi sepotong bakal masuk ke dalam perut ikan! Sekarang mari kita bertaruh, siapakah yang bakal paling dulu di gegares cucut...?"
Cit Kong nyata tak kurang jenakanya.
"Yang digegares cucut itu yang menang atau yang kalah?" tanyanya.
"Tentu saja dia yang menang!" ia mendapat jawaban.
"Oh!" berteriak Cit Kong. "Kalau begitu, lebih suka aku kalah!"
Kata-kata ini disusuli sebatan tangan dengan jurus "Naga sakti menggoyang ekor", maka seekkor cucut, yang mendadak menyambar kepadanya, kena terhajar mampus, setelah dua kali meletik, ikan itu berdiam, tubuhnya mengambang, kelihatan perutnya yang putih. Besar sekali ikan itu.
"Tangan yang lihay!" Pek Thong memuji. "Hayo, kau sebenarnya mau bertaruh atau tidak?!"
"Maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau!" Cit Kong menolak, tetapi ia tertawa lebar.
Pek Thong pun tertawa terbahak-bahak.
"Eh, adik, kau takut atau tidak?" ia tanya adik angkatnya.
"Mulanya takut, tapi sekarang tidak lagi," sahut Kwee Ceng. Sebenarnya ia jeri tetapi menyaksikan keberanian guru dan kakak angkatnya itu, yang demikian gembira, ia pun jadi ketarik hatinya. Ia tengah berkata begitu ketika seekor ikan menyambar ke arahnya. Ia lantas berkelit, tangan kirinya diangsurkan. Itulah pancingan. Ikan itu kena dijebak. Dia berlompat ke muka air dan menuburuk!
Kwee Ceng menyingkirkan tangan kirinya, yang hendak disambar itu, berbareng dengan itu, dengan tangan kanannya ia menikam. Pada tangan kanan ini ia mencekal pisau belatinya. Tepat pisau ini menancap di tenggorokannya ikan. Tapi ikan lagi berlompat, pisau itu nyempret ke bawah sampai di perutnya, hingga dia seperti terbelek. Segera ia mati, perutnya udal-udalan, darahnya mengalir ke luar.
Itu waktu Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong juga telah dapat membinasakan masing-masing seekor lagi, hanya kali ini, Pek Thong merasakan dadanya sakit. Inilah sebab sakitnya belum pulih bekas dihajar Oey Yok Su. Tapi ia tertawa ketika ia berkata: "Pengemis tua, adik Kwee, maaf, tidak dapat aku menemani kau lebih lama pula. Hendak aku berangkat lebih dulu ke dalam perutnya si cucut!"
Habis berkata, Pek Thong berpaling, justru ia melihat sebuah layar putih dan besar lagi mendatangi.
Cit Kong juga sudah lantas mendapat lihat layar itu, bahkan segera ia mengenali kayar perahunya Auwyang Hong.
Tiga orang ini mendapat harapan, maka semangat mereka seperti terbangun. Kwee Ceng mendekati Pek Thong, untuk membantu kakak angkatanya itu.
Lekas sekali, perahu besar telah tiba, dari situ lantas dikasih turun dua perahu kecil, untk menolongi tiga orang itu.
Pek Thong memuntahkan darah tetapi ia masih bicara sambil tertawa, suatu tanda nyalinya sangat besar, kematian dipandang sebagai berpulang.... Ia menunjuk kepada kawanan hiu itu dan mencaci kalang kabutan.
Auwyang Hong dan keponakannya menyambut di kepala perahunya. Hati mereka gentar akan menyaksikan di laut situ berkumpul demikian banyak ikan hiu itu....
Tapi Auwyang Hong menjadi ketarik hatinya. Ia suruh beberapa orangnya memancing, umpamnya daging, maka lekas sekali mereka dapat mengail delapan ekor ikan ganas itu.
"Bagus!" tertawa Ang Cit Kong sambil menuding ikan itu. "Kau tidak dapat gegares kami, sekarang kamilah yang bakal gegares dagingmu!"
Auwyang Kongcu tertawa.
"Keponakanmu ada mempunyai daya untuk peehu membalas sakit hati!" katanya. Ia perintah orangnya mengambil bambu, yang terus diraut lancip dan tajam, kemudian sesudah dengan tombak mulut ikan dipentang, tonggak bambu itu dikasih masuk ke dalam mulut ikan itu, yang akhirnya dilepas pulang ke laut.
"Inilah cara untuk membikin mereka untuk selamanya tidak dapat makan!" berkata si anak muda sambil tertawa. "Berselang delapan atau sepuluh hari, mereka bakal mampus sendirinya!"
"Inilah kekejaman!" pikir Kwee Ceng. "Cuma kau yang dapat memikir akal ini. Ikan yang doyan gegares ini bakal mati kelaparan, sungguh hebat!"
Ciu Pek Thong melihat sikap tak puas dari Kwee Ceng, ia tertawa dan berkata: "Anak, kau tidak puas dengan ini cara, kejam sekali, bukankah? Ini dia yang dibilang, kalau pamannya yang jahat mesti ada keponakan yang jahat juga."
Adalah biasa bagi See Tok Auwyang Hong, jikalau orang mengatakan dia jahat, dia tidak menjadi kurang senang, bahkan sebaliknya, dia girang sekali. Maka itu mendengar perkataannya Ciu Pek Thong, dia tersenyum.
"Loo Boan Tong," dia berkata, "Permainan kecil sebagai ini apabila dipadu sama kepandaiannya si mahkluk berbisa bangkotan bedanya masih sangat jauh. Kamu bertiga telah dikeroyok sekawanan cucut cilik, tetapi kamu sudah lelah hingga tak dapat bernapas. Untukku, itulah keroyokan tidak berarti."
"Oh, si mahluk berbisa bangkotan sedang mengepul!" berkata Ciu Pek Thong. "Jikalau kau dapat mengeluarkan ilmu kepandaianmu dan sanggup membuatnya semua cucut ini terbasmi habis, maka aku si bocah bangkotan yang bakal berlutut dan mengangguk-angguk di hadapanmu dan tigaratus kali dan aku akan memanggil engkong padamu!"
"Sampai begitu, itulah aku tidak berani terima," berkata Auwyang Hong. "Jikalau kau tidak percaya, bolehlah kita berdua bertaruh!"
"Bagus, bagus!" berseru Pek Thong. "Bertaruh kepala pun aku berani!"
Ang Cit Kong sebaliknya bersangsi.
"Biarnya ia pandai mengukir langit, tidak nanti dia dapat membunuh ikan ratusan itu semua," pikirnya. "Aku khawatir dia mengandung maksud jahat lainnya..."
Auwyang Hong tertawa.
"Bertaruh kepala orang, itulah tak usah!" katanya. "Jikalau aku menang, cukup aku minta kau melakukan satu apa yang kau tidak dapat tampik, dan jikalau aku yang kalah, terserah kepadamu kau hendak menitahkan apa padaku. Kau lihat, tidakkah ini bagus?"
"Taruhan apa juga yang kau kehendaki, aku terima!" menjawab Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong segera berpaling kepada Ang Cit Kong.
"Aku minta saudara Cit menjadi saksi!" katanya.
"Baik!" Cit Kong menerima. "Hanya hendak aku menanya, kalau seorang menang dan apa yang dia kehendaki, orang yang kalah tidak dapat melakukannya atau dia menolak untuk melakukannya, bagaimana?"
"Dia harus terjun ke laut supaya dia digegares cucut!" berkata Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong tersenyum, ia tidak membilang suatu apa, dia hanya menitah satu orangnya membawakan dia sebuah cangkir kecil terisi arak, lalu dengan dua jari kanannya ia menjepit lehernya ular di kepala tongkatnya, untuk mementang mulutnya, maka dari mulut itu terus mengalir keluar racunnya, masuk ke dalam cawan itu, habis mana itu cawan ia sambuti. Di situ terlihat bisa ular memenuhi separuh cangkir, warnanya hitam. Kemudian ia meletaki ularnya, ia ambil yang seekor pula, untuk dikeluarkan juga racunnya seperti pertama tadi.
Habis dikuras bisanya, kedua ular itu melilit di ujung tongkat, tubuhnya tak berkutik, rupanya keduanya sangat letih dan tenaganya habis.
Auwyang Hong memerintah mengambil seekor cucut, diletaki di lantai perahu. Dengan tangan kiri ia pegang mulutnya ikan itu bagian atas, mulutnya bagian bawah ia injak dengan kakinya, begitu ia mengerahkan tenaganya, mulut ikan itu terus terpentang lebar. Tidak tempo lagi, bisa ular di dalam cawan itu dituang ke dalam mulut ikan. Setelah itu, mulut ikan itu dilepaskan hingga menjadi tertutup pula. Akhirnya, See Tok memperlihatkan kepandaiannya yang lihay. Ia geraki tangan kirinya, ia menyolok menampak ke perut ikan itu, lalu ia mengangkat dengan kaget, menyusul mana tubuh ikan yang besar itu terlempar ke laut, suaranya menjublar hebat, air lautnya muncrat tinggi.
"Ah, aku mengerti sekarang!" Pek Thong berseru tertawa. "Inilah caranya si pendeta tua bangka mematikan kutu busuk!"
"Toako, apakah artinya si pendeta tua bangka mematikan kutu busuk?" Kwee Ceng tanya.
"Kau belum tahu?" menyahut sang toako. "Di waktu dulu di kota Pianliang ada seorang pendeta yang jalan mengitar di jalan-jalan besar sambil berteriak-teriak menjual obat peranti membinasakan kutu busuk, katanya obatnya sangat manjur, umpama kata obatnya itu tidak dapat membinasakan kutu busuk hingga habis bersih, ia suka mengganti kerugian pada si pembeli dengan harganya obat sepuluh kali lipat. Dengan caranya ini ia menjadi dapat banyak pembeli, obatnya sangat laku. Tinggal si pembeli obat. Satu pembeli pulang untuk menyebar obatnya di pembaringannya. Malamnya? Haha! Kawanan kutu busuk tetap datang bergumul-gumul, dia digigiti hingga setengah mampus! Besoknya dia cari si pendeta, dia minta ganti kerugian. 'Tidak bisa jadi obatku tidak mujarab!' kata si pendeta. 'Kalau benar gagal, tentulah kau salah memakainya....' Si pembeli tanya, 'Habis bagaimana cara memakainya?' Si pendeta menyahuti: 'Kau tangkap si kutu busuk, kau pentang bacotnya, kau cekuki dia obat ini. Jikalau kutu busuk itu tidak mampus, besok baru kau datang pula padaku...' Pembeli itu jadi mendongkol. Katanya, 'Kalau aku dapat tangkap kutu busuk itu, asal aku pencet, masa dia tidak mampus? Kalau begitu, untuk apa aku beli obatmu?' Lalu si pendeta menyahuti secara enak saja, 'Memangnya aku pun tidak larang kau memencetnya!'"
Mendengar itu Kwee Ceng, Ang Cit Kong dan Auwyang Kongcu juga tertawa berkakak. Hanya See Tok si Bisa dari Barat meneruskan berkata: "Obatku tidak sama dengan obat peranti mematikan kutu busuk dari pendeta itu."
"Coba kau menjelaskannya," minta Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong menunjuk ke laut.
"Nah, kau lihat di sana!" sahutnya.
Cucut tadi, setelah jatuh di air, dia timbul pula, perutnya lebih dulu. Dia mati dengan lantas. Segera setelah itu, tujuh atau delapan ekor cucut lainnya datang, untuk menyambar menggigit, menggerogoti dagingnya, disusul oleh yang lainnya lagi. Sebentar saja, cucut itu habis tinggal tulang-tulangnya yang tenggelam ke dasar laut. Hanya aneh semua cucut yang menggerogoti itu, hanya berselang beberapa menit, pada timbul pula dengan perut di atas, tubuhnya mengambang. Sebab semuanya telah mati. Lalu mereka dikeroyok pula oleh yang lain-lainnya, yang masih hidup. Kejadian ini terulang lagi. Setaip cucut yang memakan daging kawannya lantas mati, dia digegaresi kawan lainnya, kawan ini pun mati dan menjadi makanan kawannya lagi. Demikian seterusnya, matilah setiap cucut yang makan daging kawannya sendiri. Maka juga selang sekian lama, bukan puluhan melainkan ratusan mayat cucut pada mati ngambang. Mungkin itu akan menjadi ribuan korban....
Menyaksikan itu, Ang Cit Kong menghela napas.
"Tua bangka beracun, tua bangka beracun!" katanya. "Dayamu sungguh-sungguh sangat jahat! Cuma bisanya dua ekor ular, korbannya begini banyak...."
Auwyang Hong tidak menjawab hanya ia mengawasi Ciu Pek Thong, dia tertawa girang sekali, tandanya hatinya sangat puas.
Pek Thong membanting-banting kakinya, tangannya mencabuti kumisnya.
Di muka air, di sana sini, terlihat hanya mengambangnya bangkai-bangkai cucut.
"Saudara Hong," kata Cit Kong kemudian, "Ada satu hal yang aku tidak mengerti, ingin aku kau menerangkannya."
"Apa itu saudara Cit?" tanya Auwyang Hong.
"Racunmu secangkir, kenapa lihaynya begitu rupa dapat membinasakan cucut begini banyak?"
"Itulah sederhana saja!" Auwyang Hong tertawa. "Inilah disebabkan bisa ularku berbisa luar biasa. Kalau bisa ini dimakan seekor ikan, ikan itu keracunan, lantas semua dagingnya menjadi beracun juga, kalau dia dimakan oleh cucut yang lain, cucut itu pun mati keracunan. Keracunan ini terjadi terus-menerus, racunnya bahkan jadi semakin hebat, bukannya menjadi berkurang. Dan bekerjanya racun tak habis-habisnya."
Kata-katanya See Tok ini dibuktikan dengan cepat. Kecuali bangkai cucut, di situ tidak ada cucut lainnya lagi yang masih hidup. Mungkin ada yang telah kabur. Ikan-ikan kecil pun menjadi korban cucut atau kabur juga....
Laut lantas menjadi tenang seperti biasa.
"Lekas, lekas menyingkir!" berkata Cit Kong. "Hawa racun di sini sangat hebat!"
Auwyang Hong memberikan titahnya maka tiga buah layar perahunya dikerek naik, hingga di lain saat perahunya itu sudah menggeleser menuruti sampokan angin Selatan menuju ke barat laut.
"Tua bangka berbisa, benar-benar bisamu hebat," berkata Pek Thong kemudian. "Sekarang kau menghendaki aku berbuat apa? Kau bilanglah!"
Auwyang Hong tertawa.
"Silahkan tuan-tuan masuk ke dalam dulu untuk menyalin pakaian," ia berkata. "Kita pun perlu dahar dan beristirahat. Tentang pertaruhan, kita boleh bicarakan perlahan-lahan."
"Tidak, tidak bisa!" berkata Pek Thong, yang tidak sabaran. "Kau mesti menyebutkannya sekarang juga!"
Auwyang Hong tertawa.
"Kalau begitu, saudara Pek Thong, silahkan ikut aku!" katanya.
Kwee Ceng dan Ang Cit Kong melihat Pek Thong diajak Auwyang Hong dan keponakannya ke perahu bagian belakang, mereka sendiri di minta datang ke gubuk depan dimana empat nona berseragam putih muncul untuk melayani.
Cit Kong tertawa, dia berkata; "Seumurku, aku si pengemis tua, belum pernah begini beruntung....!"
Ia lantas dibukai pakaiannya, tubuhnya digosoki dengan sabun.
Mukanya Kwee Ceng merah, ia tidak berani meloloskan pakaiannya.
"Takut apa?" kata Ang Cit Kong tertawa. "Masa kau nanti digegares?"
Dua nona menghampirkan, akan membukai sepatu dan ikat pinggangnya. Pemuda ini lantas mendahului membuka sepatunya, ia menutupi diri dengan seprai, dengan cara itu ia menukar baju dalam.
Cit Kong tertawa lebar, begitu pun keempat nona pelayan itu....
Baru habis mereka berdandan, dua nona datang membawa masing-masing penampan berisikan arak, sayur dan nasi putih. Katanya mereka, majikan mereka mempersilahkan keduanya dahar seadanya saja.
Kwee Ceng sudah lapar, ia lantas menyeret kursi.
"Mari, suhu!" ia mengajak.
"Kamu pergi dulu," kata Cit Kong kepada kedua nona itu, tangannya diangkat, "Aku si pengemis tua tidak dapat dahar, apabila aku melihat nona-nona cantik manis!"
Kedua nona itu tertawa, mereka berlalu seraya menutup pintu perahu perlahan-lahan.
"Lebih baik jangan makan ini," ia bilang. "Si tua bangka berbisa sangat licin dan licik. Kita makan nasi putih saja."
Habis berkata, Cit Kong menurunkan cupu-cupu araknya, ia membuka tutupnya dan menggelogoki dua ceglukan, setelah itu, ia mulai dahar, nasi saja. Kwee Ceng turut dahar. Mereka makan tiga mangkok. Sayurannya mereka tuang ke bawah lantai perahu.
"Entah dia minta apa dari Ciu Toako," kata Kwee Ceng kemudian.
"Entahlah, tetapi pasti sudah bukan urusan benar!" sahut Cit Kong.
Ketika itu pintu dibuka perlahan-lahan, satu nona berdiri di depan pintu.
"Ciu Loo-ya-cu mengundang tuan Kwee ke belakang," kata dia.
Kwee Ceng mengawasi gurunya, terus ia ikut budak itu. Mereka jalan dari samping pergi ke belakang. Angin mulai meniup keras, perahu terombang-ambing. Si nona bertindak perlahan, tetapi terang ia mengerti ilmu silat. Di belakang, ia mengetok pintu tiga kali, perlahan-lahan, lalu ia menanti sebentar, untuk kemudian membukanya pintu dengan perlahan juga. Ia pun kata dengan perlahan: "Tuan Kwee sudah datang!"
Kwee Ceng masuk ke dalam, lantas pintu di belakang ditutup rapat. Ia lihat sebuah ruang kosong, tidak ada orangnya. Ia heran. Tengah ia berpikir, pintu di samping kiri ditolak, di situ muncul Auwyang Hong serta keponakannya.
"Mana Ciu Toako?" tanya Kwee Ceng.
Auwyang Hong tidak lantas menyahuti, ia hanya menutup dulu daun pintu, lalu ia maju satu tindak. Mandadak saja ia mengulur sebelah tangannya menyambar tangan kiri Kwee Ceng. Pemuda ini tidak menyangka jelek, orang pun sangat sebat, tak dapat ia menghindarkan diri. Bahkan ia terus dipencet nadinya hingga ia tak dapat berkutik lagi. Di lain pihak Auwyang Kongcu dengan sangat gesit menyambar pedang di dinding perahu, menghunus itu, ujungnya terus diancamkan ke tenggorokan orang!
Kwee Ceng berdiri menjublak. Ia bingung hingga ia merasakan kepalanya pusing. Ia tidak mengerti, apa maksudnya itu paman dan keponakan.
Lalu terdengar Auwyang Hong tertawa tawar.
"Loo Boan Tong telah kalah bertaruh denganku," katanya, "Tetapi ketika aku titahkan ia melakukan sesuatu, ia menolak!"
"Oh...!" Kwee Ceng berseru tertahan. Ia mulai mengerti.
"Aku menyuruh ia menulis Kiu Im Cin-keng untuk aku lihat," Auwyang Hong memberikan keterangan terus. "Lalu ia membilangnya bahwa itulah tidak masuk hitungan!"
Kwee Ceng pun berpikir, "Tentu sekali mana toako sudi mengajarimu...?" Ia lalu menanya: "Mana Ciu Toako?"
Auwyang Hong tertawa pula dengan dingin.
"Dia telah membilang, jikalau dia tidak bicara, ia nanti terjun ke laut untuk tubuhnya dipakai memelihara ikan cucut," ia menyahuti. "Kali ini dia tidak menyangkal."
Kwee Ceng kaget tidak terkira.
"Dia... dia..." serunya. Ia mengangkat kakinya, berniat lari keluar. Tapi keras cekalannya See Tok, ia terus ditarik kembali.
Auwyang Kongcu pun menggeraki tangannya maka ujung pedangnya membuat baju orang pecah dan dan membentur tubuh.
Auwyang Hong menuding ke meja di mana ada alat-alat tulis.
"Di jaman ini cuma kau satu orang yang mengetahui seluruh isi kitab," ia berkata bengis, "Maka lekaslah kau tulis semua ittu!"
Anak muda itu menggeleng kepala.
Auwyang Kongcu tertawa.
"Kau tahu," katanya, "Sayur dan arak yang tadi kau gegares bersama si pengemis tua telah dicampuri racun, jikalau kamu tidak makan obat pemunah istimewa buatan kami, dalam tempo duabelas jam diwaktu mana racunnya bekerja, kamu akan mampus seperti itu ikan-ikan hiu di dalam laut! Asal kau sudah menulis, jiwa kamu berdua bakal diberi ampun...."
Kwee Ceng kaget. "Baiknya suhu cerdik, kalau tidak, tentulah kita celaka!" pikirnya.
Menampak orang berdiam saja, kembali Auwyang Hong tertawa dingin.
"Kau telah mengingat baik bunyinya kitab, kau tulislah, untukmu tidak ada ruginya sedikit juga," ia membujuk. "Apa lagi yang kau sangsikan?"
Mendadak kwee Ceng memberikan penyahutannya yang berani: "Kau sudah membikin celaka kakak angkatku, denganmu aku mendendam sakit hati dalamnya seperti lautan! Jikalau kau hendak bunuh, kau bunuhlah! Untuk memikir aku sudi menyerah, itulah pikiran yang tidak-tidak!"
"Hm, bocah yang baik!" kata Auwyang Hong dingin. "Kau benar bersemangat! kau tidak takut, baik, tetapi apakah kau juga tidak hendak menolongi jiwa gurumu?"
Belum lagi Kwee Ceng memberikan jawabannya, pintu perahu bagian belakang itu bersuara sangat nyaring, lalu daun pintunya ambruk dan pecah berantakan, yang mana disusul sama sambarannya air yang mengarah ke mukanya Auwyang Hong.
See Tok terkejut tetapi ia telah dapat menduga, itulah mestinya perbuatannya Ang Cit Kong, kapan ia sudah mengangkat kepalanya, ia nampak Pak Kay muncul di ambang pintu dengan masing-masing tangannya menentang setahang air. Ia menginsyafi lihaynya si Pengemis dari Utara itu, bahwa tenaga banjuran air itu hebat, bahwa kalau ia kena dibanjur, meski ia tidak terluka parah, luka sedikit itulah mesti. Maka itu sebat luar biasa ia menjejak dengan kedua kakinya, berlompat ke kiri. Sambil berlompat, ia pun menenteng tubuhnya si anak muda. Ia tidak mau melepaskan cekalannya yang kuat itu.
Hebat banjuran itu, air muncrat ke segala penjuru.
Auwyang Konngcu tak sesebat pamannya, sedangnya ia kaget, ia sudah kena dicekuk leher bajunya oleh Ang Cit Kong, yang sambil memanjur sambil lompat maju, hingga ia pun kena ditenteng tanpa berdaya.
Segera si pengemis tua mengasih dengar tertawanya yang panjang.
"Makhluk beracun bangkotan!" katanya, "Dengan segala daya kau hendak mencelakai aku, syukur Thian tidak mengijinkannya!"
Benar-benar licik si Bisa dari Barat ini. Begitu ia melihat keponakannya tertawan, ia lantas tertawa.
"Saudara Cit," katanya, "Apakah kau hendak menguji juga kepandaianku? Kalau benar, nanti saja di darat kita mengukur tenaga, temponya masih belum kasep."
Ang Cit Kong juga tertawa, sedikit pun ia tidak menunjuki kegusarannya.
"Kau demikian baik sekali dengan muridku, hingga kau mencekal erat-erat padanya dan tidak hendak melepaskan tanganmu!" katanya.
Auwyang Hong tidak sudi mengadu bicara, ia merasa keteter.
"Aku telah bertaruh dengan Loo Boan Tong, aku telah menang, bukan?" ia menanya, menyingkir dari saling ejek. "Bukankah kau saksiknya? Loo Boan Tong menyalahi janji, maka sekarang terpaksa aku mesti menanyakan kepadamu, bukankah?"
Cit Kong mengangguk berulang-ulang.
"Tidak salah," sahutnya. "Mana Loo Boan Tong?"
Kwee Ceng tidak dapat menahan diri.
"Ciu Toako dipaksa dia hingga terjun mati ke laut!" ia memotong.
Cit Kong kaget, dengan menenteng Auwyang Kongcu ia pergi ke luar. Ia melihat ke laut di sekitarnya. Ia tidak lihat Pek Thong, di sana hanya tampak sang ombak.
Sambil menuntun Kwee Ceng, Auwyang Hong pun turut keluar, sampai di luar, ia kendorkan cekalannya.
"Kwee Sieheng," katanya, "Kepandaianmu belum terlatih mahir! Kau lihat, secara begini kau dituntun orang, kau mengikuti saja. Pergi kau ikuti pula gurumu, akan belajar lagi sepuluh tahun, sesudah itu baru kau merantau."
Kwee Ceng sangat memikirkan Pek Thong, tidak sudi ia melayani bicara. Ia terus merayap naik ke tiang layar, untuk dari sana memandang ke sekelilingnya.
Cit Kong mencekuk belakang lehernya Auwyang Kongcu, lalu ia melemparkan keponakan orang itu kepada sang paman, sembari berbuat begitu, ia berkata dengan membentak: "Makhluk beracun bangkotan, kau memaksakan kematiannya Loo Boan Tong, buat itu nanti ada orang-orang Coan Cin Kauw yang membuat perhitungan denganmu! Kau harus ketahui, biarnya kau sangat lihay, kau berdua dengan keponakanmu tidak nanti sanggup melayani pengurungannya Coan Cin Cit Cu!"
Auwyang Kongcu tidak menanti tubuhnya terlempar jatuh atau membentur pamannya, ia mengulur tangannya untuk menekan lantai, maka dilain saat ia sudah bangun berdiri. Di dalam hatinya ia mencaci: "Pengemis bau, tak usah sampai duabelas jam, kau bakal bertekuk lutut di hadapanku untuk memohon ampun....!"
Auwyang Hong pun tersenyum. Katanya, "Sampai itu waktu, sebagai saksi kau bakal tidak dapat meloloskan diri!"
Kembali Ang Cit Kong tertawa.
"Baiklah!" jawabnya. "Sampai itu waktu aku nanti mencoba-coba lagi denganmu!"
Itu waktu Kwee Ceng sudah lompat turun. Sekian lama ia memandangi laut tanpa ada hasilnya. Sekarang ia tuturkan kepada gurunya bagaimana barusan Auwyang Hong menawan dia dengan memencet nadinya memaksa ia menulis bunyinya Kiu Im Cin-keng.
Ang Cit Kong mengangguk-angguk, ia tidak membilang suatu apa. Ia malah masgul di dalam hati, karena pikirnya: "Mahkluk berbisa bangkotan ini biasa tak melepaskan kehendaknya sebelum itu terpenuhi, maka juga sebelum ia memperoleh kitab, tidak nanti ia mau sudah. Ini artinya muridku bakal dilibat terus olehnya..."
"Mari," ia mengajak muridnya, untuk masuk ke dalam perahu. Ia tahu kenderaan itu lagi menuju ke barat, tak usah sampai dua hari, mereka bakal tiba di darat, dari itu tak sudi ia memperdulikan Auwyang Hong. Ia pergi ke belakang untuk mengambil nasi tanpa meminta lagi, ia ajak Kwee Ceng berdahar dengan kenyang. Ia tidak meminta sayur atau lauk pauk lainnya, yang ia khawatir dicampuri racun. Habis menangsal perut, ia ajak muridnya merebahkan diri untuk beristirahat.
Auwyang Hong dan keponakannya menanti sampai besoknya lohor, itu artinya sudah lewat empat - atau limabelas jam semenjak mereka meracuni Ang Cit Kong dan Kwee Ceng, sampai itu waktu, si pengemis dan muridnya masih tidak kurang suatu apa. Mereka menjadi heran dan bercuriga. See Tok sendiri berkhawatir, kalau mereka itu nanti mati keracunan, ia jadi tidak dapat meminta atau memaksa Kwee Ceng menulis kitab yang ia kehendaki itu....
Kemudian si Racun dari Barat itu pergi mengintai di sela-sela bilik perahunya. Ia mendapat lihat Cit Kong dan Kwee Ceng lagi duduk memasang omong. Ia menjadi lebih heran lagi.
"Jikalau bukannya si pengemis licik hingga mereka tidak kena makan racun, tentulah mereka mempunyai obat pemunah racun," pikirnya. Karena ini ia jadi memikir lain cara yang terlebih kejam pula....
Ang Cit Kong berbicara dengan muridnya dengan menuturkan aturan Kay Pang, partainya dalam hal memilih ahli waris atau pangcu yang baru andaikata Pangcu yang lama sudah waktunya mengundurkan diri.
"Sayang kau tidak suka menjadi pengemis," berkata guru ini, "Kalau tidak, kau sungguh tepat. Di dalam partai kita tidak ada orang yang berbakat lebih baik daripadamu. Asal aku menyerahkan tongkatku ini peranti mementung anjing, maka kecuali aku si pengemis tua, cuma kamulah yang paling besar kekuasaannya!"
Ang Cit Kong menyebutkan tongkatnya sebagai Pa-kauw-pang, yaitu tongkat peranti pengemplang anjing.
Tepat mereka bicara sampai di situ, kuping mereka mendadak mendengar suara dakdak-dukduk sebagai orang tengah mengampak kayu.
Cit Kong kaget hingga ia lompat berjingkrak.
"Celaka!" serunya. "Si bangsat tua hendak menenggelamkan perahu ini!" Ia berseru kepada Kwee Ceng: "Lekas kau rampas perahu kecil di belakang!"
Belum berhenti suaranya pengemis ini, papan perahu telah kena dibikin bobol dengan gempuran martil, maka berbareng dengan itu, segera terdengar suara sasss-sussssus, lalu tertampak, bukannya air yang menerobos masuk hanya puluhan ekor ular.
Cit Kong tertawa tetapi dia berseru: " Si makhluk tua yang berbisa menyerang dengan ularnya!" Sambil berseru, tangannya pun bekerja, menimpuk dengan puluhan batang jarumnya, hingga binatang-binatang merayap itu pada tertancap perutnya dan mengasih dengar suara kesakitan.
Menyaksikan ilmu menimpuk jarum gurunya itu, Kwee Ceng kagum bukan main.
"Yong-jie sudah lihay tetapi ia masih kalah dengan guruku ini," pikirnya.
Selagi anak muda ini berpikir, terlihat pula masuknya puluhan ular lainnya, dan Ang Cit Kong segera menyambutnya dengan jarumnya lagi, hingga semua ular itu menjadi korban seperti rombongan yang pertama, berisik suara kesakitannya. Hanya celakanya, habis itu, muncul pula yang lainnya.
"Bagus betul!" berseru Ang Cit Kong. "Si tua bangka beracun memberikan aku sasaran untuk melatih diri!" Ia lantas merogoh sakunya. Tempo tanganya mengenai isi sakunya itu, ia kaget sendirinya. Ia mendapat kenyataan jarumnya itu tinggal hanya tujuh atau delapan puluh batang. Inilah berbahaya sedang ular itu seperti tidak ada habisnya. Tengah ia berdiam, tiba-tiba terdengar suara menjeblak ke dalam disusul sama sambaran angin yang keras ke punggung.
Kwee Ceng berada di belakang gurunya, ia merasakan sambaran yang hebat itu, lekas-lekas ia bergerak untuk menangkis. Ia merangkap kedua tangannya. Masih ia merasakan tolakan yang hebat karena mana ia mesti kerahkan semua tenaganya. Dengan begitu baru ia dapat mempertahankan diri, mencegah gurunya dibebokong.
Penyerang gelap itu Auwyang Hong adanya. Ia heran hingga ia menyerukan suara "Ih!" perlahan, sebab pemuda itu sanggup menahan serangannya yang dahsyat itu. Dengan lantas ia maju satu tindak dengan diputar balik, tangannya dipakai menyerang pula.
Kwee Ceng melihat cara jago tua itu menyerang, ia mengerti bahwa ia tak bakal sanggup menangkis secara langsung, dari itu sambil menangkis dengan tangan kirinya, dengan tangan kanan ia membalas menyerang. Ia mengarah rusuk kanan dari See Tok. Di dalam keadaan seperti itu, tak gentar ia menghadapi musuh lihay ini.
Auwyang Hong tidak berani meneruskan serangannya itu. Ia menarik pulang tangannya itu dengan cepat, lalu dengan cepat juga ia pakai menyerang pula, dari atas turun ke bawah, merupakan bacokan.
Kwee Ceng mengerti ancaman bahaya bagi dia dan gurunya. Kalau Auwyang Hong dapat menguasai pintu itu, tentulah sang ular tak dapat dibendung lagi. Maka itu dengan terpaksa ia membuat perlawanan terus. Dengan tangan kiri ia menangkis serangan, dengan tangan kanan ia menyerang, membalas. Terus menerus ia menggunai siasatnya ini. Karena ia sangat lincah, sedang ilmu silat semacam itu belum pernah Auwyang Hong melihatnya, See Tok menjadi heran, hingga ketika ia tercengang, ia berbalik kena terdesak.
Dalam keadaan wajar, biarnya ia bergerak dengan dua tangan yang berlainan gerak-geriknya, hingga ia menjadi dua melawan satu, Kwee Ceng bukannya tandingan dari Auwyang Hong, hanya karena anehnya ilmu silatnya ini, See Tok terdesak tanpa dia menginsyafinya.
Walau bagaimana, si Bisa dari Barat adalah satu jago kawakan. Cuma sebentar ia terdesak, segera ia bisa memperbaiki diri. Ia lantas menyerang dengan dua tangan berbareng. Tentu saja satu penyerangan yang hebat. Tidak dapat Kwee Ceng menangkis serangan itu dengan hanya sebelah tangan kirinya itu. Sudah begitu, disaat ia bakal terdesak, rombongan ular itu menggeleser di arah belakangnya.
"Bagus, bagus sekali, mahkluk berbisa bangkotan!" berseru Ang Cit Kong dengan ejekannya. "Sekalipun muridku, kau tidak sanggup melayaninya, maka mana dapat kau menyebut dirimu enghiong, seorang gagah perkasa?"
Pak Kay bukan melainkan mengejek, berbareng ia menggeraki tubuhnya. Ia mengenjot tubuhnya dengan kedua kaki, lantas tubuh itu meleset tinggi, melewati Kwee Ceng dan Auwyang Hong, akan tiba di lain bagian di mana dengan satu tendangan ia terus merobohkan Auwyang Kongcu, hingga orang jungkir balik, setelah mana ia menyusuli dengan sikutnya, hingga tubuh pemuda itu terpental terlebih jauh ke arah pamannya.
Mau atau tidak mau, Auwyang Hong mesti berkelit, supaya ia terhindar dari benturan dengan tubuh keponakannya itu. Karena berkelit ini, dengan sendirinya ia seperti menarik pulang serangannya, dengan begitu Kwee Ceng jadi diperingan ancaman bahaya untuknya itu.
Pemuda ini berkelahi dengan berbesar hati. Ia telah memikirnya: "Dia ini seimbang dengan guruku, sekarang keponakannya bukan lagi tandinganku, bahkan si keponakan sedang terluka, dari itu dua lawan dua, mestinya pihakku yang menang." Maka dengan itu ia menyerang Auwyang Hong secara hebat sekali. Tadi ia dibokong, dengan gampang ia tercekuk, sekarang ia waspada.
Ang Cit Kong berkelahi dengan mata dipentang ke empat penjuru, dari itu ia melihat belasan ular lagi mendekati muridnya. Celakan kalau muridnya itu diterjang binatang berbisa itu dan kena dipagut.
"Anak Ceng, lekas keluar!" ia berteriak dan sambil berteriak ia merangsak Auwyang Hong, guna memberi kebebasan kepada muridnya.
Auwyang Hong merasakan sulitnya diserang dari depan dan belakang, atas rangsakannya itu Pak Kay, terpaksa ia berkelit, dengan begitu, Kwee Ceng jadi terlepas dan bisa lompat ke luar gubuk perahu. Ia sekarang melayani Cit Kong seorang.
Sementara itu sang ular, jumlahnya ratusan lebih, mulai mendekati.
"Sungguh tak punya muka!" mengejek Cit Kong. "Satu laki-laki berkelahi mesti dibantui segala binatang!"
Di mulut pengemis ini menegur, di hati ia berkhawatir juga. Ia mainkan tongkatnya hebat sekali, dengan begitu selain melayani Auwyang Hong, dapat juga ia mengemplang mampus belasan ular, setelah mana ia berlompat untuk terus mengajak Kwee Ceng lari ke tiang layar.
Auwyang Hong terkejut. Ia mengerti, kalau musuh sampai dapat memanjat layar, untuk sementara tak dapat ia berbuat sesuatu terhadap mereka itu. Maka itu ia berlompat pesat sekali, dengan maksud untuk menghalangi.
Ang Cit Kong dapat menerka maksud orang, ia menyerang dengan kedua tangannya. Hebat serangannya itu, hingga Auwyang Hong mesti menyambuti.
Kwee Ceng hendak membantu gurunya ketika si guru teriaki padanya: "Lekas naik ke atas tiang layar!"
"Hendak aku membikin mampus keponakannya untuk membalaskan sakit hatinya Ciu Toako!" berkata Kwee Ceng.
Tapi Cit Kong tidak memperdulikannya. "Ular! Ular!" teriaknya memperingatkan.
Kwee Ceng pun melihat mendekatinya binatang-binatang merayap yang berbisa itu, maka itu setelah ia menanggapi sebatang Hui-yan ginso yang ditimpuki Auwyang Kongcu kepadanya, ia berlompat ke tiang layar yang terpisah darinya setombak lebih.
Ia menyambar tiang dengan tangan kirinya. Justru itu ada sambaran angin dan senjata rahasia, ia menimpuk dengan torak musuh yang berada di dalam cekalannya, maka sebagai kesudahan dari itu kedua torak bentrok keras mental ke kiri dan kanan menyemplung ke laut.
Dengan kedua tangannya merdeka, Kwee Ceng terus memanjat. Dengan cepat sekali ia telah sampai di tengah-tengah tiang.
Ang Cit Kong sebaliknya tidak berhasil menyampaikan tiang layar itu. Ia dirintangi sangat oleh Auwyang Hong yang merangsak dengan serangan-serangan bertubi-tubi.
Kwee Ceng melihat tegas kesulitan gurunya, sedang ular datang semakin dekat. Tiba-tiba saja ia berseru, tubuhnya merosot turun, tangannya tetap memeluki tiang. Berbareng dengan itu, Cit Kong menjejak dengan kaki kirinya, untuk mengapungi tubuhnya, sementara kaki kanannya sekalian dipakai menedang musuhnya. Sambil berlompat menyerang itu, tongkatnya diulur ke depan.
Inilah yang Kwee Ceng harap. Pemuda ini mengulur sebelah tangannya, menyambar tongkat gurunya, setelah dapat mencekal, ia menarik dengan keras. Justri Ang Cit Kong tengah mengapungkan tubuhnya, tubuhnya itu terus tertarik terangkat naik oleh muridnya itu.
Pak Kay lantas saja tertawa panjang. Tengah tubuhnya terangkat, tangan kirinya menyambar layar, maka dilain saat, ia seperti sudah tergantung di tengah udara, berada di sebelah atas dari muridnya.
Sampai itu waktu, guru dan murid itu telah berada di atas tiang layar, di atasan dari kedua lawan mereka. Dengan begitu mereka jadi menang di atas angin.
Auwyang Hong tidak berani lompat naik ke tiang layar, guna menyusul. Ia tahu kedudukannya yang lebih tak menguntungkan.
"Baiklah!" ia berseru, bersiasat. "Mari kita bersiap! Putar haluan ke timur!"
Benar saja, hanya dalam tempo sedetik, arah perahu telah berputar. Sementara itu di kaki tiang layar, kawanan ular sudah berkumpul.
Ang Cit Kong duduk bercokol, agaknya ia gembira sekali, karena ia sudah lantas menyanyikan lagu "Lian Hoa Lok", atau "Bunga teratai rontok", nyanyian istimewa untuk bangsa pengemis. Sebenarnya di dalam hati, ia sangat masgul. Ia menginsyafi bahwa mereka terus terancam bahaya.
"Berapa lama aku dapat berdiam di sini? Bagaimana kalau si mahluk beracun menebang tiang ini?" Demikian pikirnya. "Kalau ular itu tak mau bubar, mana bisa aku turun dari sini? Mereka itu boleh dahar dan tidur enak, kita berdua mesti makan angin....."
Mendadak ia ingat suatu apa.
"Anak Ceng, kasih mereka minum air kencing!" tiba-tiba ia serukan muridnya seraya ia sendiri lantas mengendorkan ikat celananya.
Dasar masih kekanak-kanakan, Kwee Ceng turut itu anjuran
"Nah, silahkan minum! Silahkan minum!" serunya.
Maka berdua mereka menyiram ke bawah!
"Lekas singkirkan ular!" teriak Auwyang Hong kaget. Ia sendiri segera berlompat mundur beberapa tindak, hingga ia tak usah kena tersiram air harum itu.
Auwyang Kongcu heran atas seruan pamannya, ia tercengang. Justru itu, air kencing mengenai mukanya!
Ia menjadi sangat mendongkol dan gusar sekali. Ia memangnya satu pemuda yang resik. Berbareng dengan itu, ia pun ingat bahwa ularnya takut air kencing.
Segera terdengar suaranya seruling kayu, atas mana rombongan ular di kaki tiang lantas bergerak, untuk merayap pergi, meski begitu, beberapa puluh ekor ular itu basah kuyup basah, terus mereka bergulingan dan mulut mereka dipentang, untuk menggigit satu pada lain, hingga mereka jadi kacau sekali.
Ular itu semua ada ular yang Auwyang Hong kumpul dari lembah ular di gunung Pek To San, gunung Unta Putih, di See Hek, Wilayah Barat. Semua ular beracun, tetapi ada pula kelemahannya yaitu jeri terhadap kotoran atau kencingnya orang atau binatang kaki empat. Inilah sebabnya mereka menjadi korban dan kacau itu.
Ang Cit Kong dan Kwee Ceng menyaksikan sepak terjang kawanan ular itu, mereka tertawa lebar.
"Jikalau Ciu Toako ada di sini, dia tentu sangat bergembira," berpikir Kwee Ceng, yang ingat kakak angkatnya. "Ah, sayang ia terjun ke laut yang luas ini, ia tentulah menghadapi lebih banyak bencana daripada keselamatan...."
Auwyang Hong pun pandai menguasai diri. Ia tidak mengambil mumat lawannya kegirangan. Ia membiarkan tempo lewat kira dua jam, selagi cuaca mulai gelap, ia menitah orangnya menyiapkan barang hidangan serta araknya, sengaja ia berdahar di tempat terbuka, bukan di dalam gubuk perahu, dengan begitu, ia menyebabkan harumnya arak dan wangi lezat dari barang hidangan itu terbawa angin, melulahan hingga ke atas tiang layar, menyampok hidungnya kedua orang di atas tiang itu.
Cit Kong seorang yang gemar minum dan dahar, napsu makannya segera kena juga dipancing, maka itu ia sudah lantas mengambil cupu-cupunya, untuk menenggak araknya hingga cupu-cupu menjadi kering seketika.
Untuk menjaga diri, Pak Kay bergilir dengan Kwee Ceng, akan tidur atau beristirahat bergantian. Akan tetapi di bawah, beberapa orang memasang obor terang-terang dan rombongan ular diatur mengurung kaki tiang, hingga tak ada jalan untuk turun dari tiang layar itu.
Auwyang Hong menempatkan diri di dalam gubuknya, ia tidak mengambil peduli Ang Cit Kong mencoba membangkitkan hawa marahnya dengan mencaci ia kalang kabutan, dengan mengangkat juga leluhurnya beberapa turunan!
Ang Cit Kong mengoceh sampai ia letih sendirinya dan mulutnya kering, lalu ia tertidur sendirinya.
Kapan sang malam telah lewat, Auwyang Hong menitahkan orangnya berteriak-teriak di bawah tiang layar: "Ang Pangcu! Kwee Siauwya! Auwyang Looya sudah menyajikan hidangan yang terpilih serta arak yang wangi, silahkan pangcu dan siauwya turun untuk bersantap!"
"Kau suruh Auwyang Hong keluar, kami mengundang ia minum air kencing!" Kwee Ceng menyahuti.
Jawaban ini tidak dipedulikan, hanya sebentar kemudian di kaki tiang itu orang mengatur meja serta barang-barang hidangannya, sayurnya masih mengepul-ngepul asapnya, hingga wangi lezat sayur, serta harumnya arak, menghembus naik tinggi. Kursi disediakan hanya dua, diperuntukan khusus buat Ang Cit Kong dan Kwee Ceng berdua saja.....
Dalam panasnya hati, Cit Kong mencaci pula dengan menyebut-nyebut "biang bangsat" dan anjing.
Dihari ketiga Cit Kong dan murid merasakan kepala mereka pusing saking mereka menahan lapar dan dahaga.
"Coba murid wanitaku ada di sini," berkata Ang Cit Kong, "Dia sangat cerdik, pasti dia dapat mencari akal untuk menghadapi si racun tua ini. Kita berdua cuma bisa membuka mata dan mengeluarkan ilar...."
Kwee Ceng menghela napas, ia memandang ke sekitarnya. Di tiga penjuru ia tak nampak apa juga kecuali laut tetapi di barat, di sana terlihat dua titik putih yang bergerak, mulanya samar seperti gumpalan mega kecil, ketika ia mendapatkan dua titik itu makin tegas, ia menjadi girang sekali. Itulah dua ekor rajawali putih, yang lekas juga datang dekat hingga suaranya terdengar.
Tanpa ayal sedetik jua, Kwee Ceng masuki jari tangan kirinya ke dalam mulutnya, untuk memperdengarkan satu suara nyaring dan panjang. Atas itu kedua burung itu terbang berputaran, lalu menukik, menceklok di pundak si anak muda.
Merekalah dua ekor rajawali, yang Kwee Ceng pelihara dari kecil di gurun pasir.
"Suhu!" berseru Kwee Ceng girang. "Mungkin Yong-jie mendatangi dengan naik perahu!".
"Itulah bagus!" seru Ang Cit Kong. "Kita terkurung dan tidak berdaya, biar dia datang menolongi kita!"
Kwee Ceng mencabut pisau belatinya, ia memotong dua helai kain layar, di atas itu ia mencoret dua huruf "dalam bahaya", serta gambar cupu-cupu, terus ia ikat itu di kakinya kedua burung itu, setelah mana ia berkata: "Lekas kamu terbang pula, kamu ajak Nona Yong ke mari!"
Dua ekor burung itu mengerti, keduanya berbunyi nyaring, terus mereka terbang pergi, sesudah berputaran di atasan kepala, mereka menuju ke barat, dari arah mana mereka datang.
 Â