MALAIKAT DAN IBLIS
New York London Toronto Sydney Singapore
Novel ini adalah karya fiksi. Nama, karakter, tempat dan peristiwa adalah buah imajinasi pengarang semata atau bersifat fiksi. Kesamaan terhadap peristiwa, tempat dan orang, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal hanyalah kebetulan belaka.
Copyright � 2000 by Dan Brown
All rights reserved, including the right to reproduce this book or portions thereof in any form whatsoever. For information address Pocket Books, 1230 Avenue of the Americas, New York, NY 10020
Teruntuk Blythe . . .
FAKTA
Fasilitas riset ilmu pengetahuan terbesar di Dunia - Conseil Europ�en pour la Recherche Nucl�aire (CERN) di Swiss - baru baru ini berhasil membuat partikel antimateri pertama. Antimateri sama dengan materi yang kita kenal, tapi tersusun dari partikel partikel dengan muatan listrik berlawanan dengan yang terdapat di materi biasa.
Antimateri adalah sumber energi terkuat yang pernah dikenal orang. Dia bisa menhasilkan energi dengan effisiensi 100% (efesiensi pembelahan hanya 1,5 persen). Antimateri tidak menimbulkan polusi dan radiasi, dan setetes antimateri dapat menghasilkan listrik untuk New York sepanjang hari.
Tapi ada satu kekurangannya ...
Antimateri sangat tidak stabil. Dia akan langsung terbakar begitu bersentuhan dengan apa saja ... bahkan dengan udara sekalipun. Padahal satu gram saja mengandung kekuatan setara 20 kiloton bom nuklir atau seukuran dengan bom yang dulu dijatuhkan di Hirosima.
Hingga kini antimateri hanya diciptakan dalam jumlah yang sedikit (hanya beberapa atom saja). Tetapi CERN berhasil membuat terobosan dengan penemuan terbarunya yang bernama Antiproton Deselerator - fasilitas untuk memproduksi antimateri dengan teknologi yang lebih maju sehingga menjanjikan kemampuan untuk membuat anti materi dalam jumlah yang jauh lebih banyak.
Satu pertanyaan penting muncul: akankah zat yang sangat tidak stabil ini dapat untuk menyelamatkan dunia, ataukah malah digunakan untuk menciptakan senjata yang paling berbahaya yang pernah dibuat manusia?
Catatan Penulis
SEMUA REFERENSI mengenai benda-benda seni, beberapa makam, terowongan, dan arsitektur di Roma adalah betul-betul nyata (tepat sesuai dengan tempatnya) dan dapat disaksikan hingga kini.
Persaudaraan Illuminati juga nyata. []
Peta Vatican City
10
7
2
12
5
6 11 13
4
3
1
6
9 14
8
U
Keterangan Peta Vatican City
1. Basilika Santo Petrus
2. Lapangan Santo Petrus
3. Kapel Sistina
4. Borgia Courtyard
5. Kantor Paus
6. Museum Vatikan
7. Kantor Garda Swiss
8. Landasan helikopter
9. Taman-taman
10. Passeto
11. Courtyard of the Belvedere
12. Kantor Pos Pusat
13. Balairung Kepausan
14. Istana Pemerintahan
Prolog
LEONARDO VETRA, seorang ahli fisika, mencium aroma daging terbakar. Dia tahu yang terbakar itu adalah tubuhnya sendiri. Dengan penuh ketakutan dia menatap sosok hitam yang membungkuk kepadanya. "Apa maumu?"
"La chiave," jawabnya dengan suara parau. "Kata kuncinya."
"Tetapi ... aku tidak--"
Penyusup itu menekankan benda itu lebih kuat sehingga benda panas itu masuk lebih dalam lagi ke dada Vetra. Terdengar suara mendesis yang keluar dari daging yang terpanggang.
Vetra menjerit kesakitan. "Tidak ada kata kuncinya!" Dia merasa dirinya sebentar lagi hampir pingsan.
Mata orang itu melotot, "Ne avevo paum. Itu yang kutakutkan."
Vetra berusaha untuk tetap sadar, namun kegelapan telah menyelimutinya. Satu-satunya hal yang membuatnya senang adalah dia tahu orang yang menyerangnya itu tidak akan memperoleh apa yang dicarinya. Sesaat kemudian, sosok itu mengeluarkan sebilah pisau dan mendekatkannya ke wajah Vetra. Pisau itu terayun dengan cermat dan menyayat seperti pisau bedah.
"Demi kasih Tuhan!" jerit Vetra. Sayang, sudah terlambat.[]
1
TINGGI DI ATAS puncak anak tangga Great Pyramid Giza, seorang perempuan muda tertawa dan berseru ke bawah kepada seorang lelaki. "Robert, cepatlah! Aku tahu aku semestinya menikah dengan lelaki yang lebih muda!" Senyum perempuan itu begitu memesona.
Robert berjuang untuk mengimbanginya, tapi tungkai kakinya seperti terpaku. "Tunggu," pintanya. "Kumohon ...."
Ketika lelaki itu berusaha mendaki, pandangannya mulai mengabur. Dia seperti mendengar suara-suara di telinganya. Aku harus menangkap perempuan itu! Tapi ketika dia mendongak lagi, perempuan itu telah menghilang. Di tempat di mana perempuan itu sebelumnya berada, berdiri seorang lelaki tua dengan gigi yang berwarna kecokelatan. Lelaki tua itu menatap ke bawah, ke arahnya, dan tersenyum penuh kesedihan. Kemudian dia menjerit keras penuh penderitaan sehingga menggema ke seluruh padang pasir.
Robert Langdon tersentak bangun dari mimpi buruknya. Telepon di samping tempat tidurnya berdering. Dengan linglung dia mengangkatnya.
"Halo?"
"Aku mencari Robert Langdon," suara seorang lelaki berkata.
Langdon duduk tegak di atas tempat tidurnya dan mencoba menjernihkan pikirannya. "Ini Robert Langdon." Dia menyipitkan matanya ketika menatap jam digitalnya. Pukul 5.18 pagi.
"Aku harus bertemu denganmu segera."
"Siapa ini?"
"Namaku Maximilian Kohler. Aku seorang ahli fisika partikel."
"Apa?" Pikiran Langdon masih kacau. "Kamu yakin saya Langdon yang kamu cari?"
"Kamu dosen ikonologi religi di Harvard University. Kamu menulis tiga buku tentang simbologi dan--"
"Kamu tahu jam berapa sekarang?"
"Maafkan aku. Tapi aku mempunyai sesuatu yang harus kamu lihat. Aku tidak dapat membicarakannya lewat telepon."
Langdon mendesah maklum. Ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Salah satu risiko menjadi penulis buku-buku tentang simbologi religi adalah telepon dari para penganut sebuah agama yang fanatik yang ingin agar ia membenarkan keyakinan mereka kalau mereka baru saja menerima pertanda dari Tuhan. Bulan lalu, seorang penari telanjang dari Oklahoma menjanjikan pelayanan seks habis-habisan kalau Langdon mau terbang ke rumahnya untuk memeriksa keaslian dari bentuk salib yang secara ajaib muncul di atas sprei tempat tidurnya. Kain Kafan dari Tulsa, begitu Langdon menyebutnya.
"Bagaimana kamu mendapatkan nomor teleponku?" tanya Langdon mencoba bersikap sopan walau orang itu meneleponnya pada waktu yang sungguh tidak sopan.
"Dari internet. Dari situs bukumu."
Langdon mengerutkan keningnya. Dia sangat yakin situs bukunya tidak mencantumkan nomor teleponnya. Lelaki itu pasti berbohong.
"Aku harus bertemu denganmu," desak orang itu. "Aku akan membayarmu dengan harga yang pantas."
Sekarang Langdon mulai kesal. "Maafkan aku, tetapi aku betul-betul--"
"Jika kamu segera berangkat, kamu akan tiba di sini pada--"
"Aku tidak mau pergi ke mana -mana! Ini jam lima pagi!" Langdon menutup teleponnya dan menjatuhkan dirinya lagi di atas tempat tidur. Dia menutup matanya dan mencoba tidur kembali. Tidak ada gunanya. Mimpi itu masih membayanginya. Dengan enggan, dia mengenakan jubah kamarnya dan turun ke lantai bawah.
Robert Langdon berjalan mondar-mandir dengan bertelanjang kaki di rumah bergaya zaman Victoria miliknya yang lengang di Massachusetts dan menikmati ramuan "sulit tidur" kesukaannya--secangkir besar Nestles Quik panas. Sinar rembulan di bulan April tampak menembus masuk dari jendela rumahnya yang menjorok ke luar dan memberikan sentuhan tersendiri pada permadani oriental yang terhampar di lantai. Rekan-rekan Langdon sering mengoloknya dengan mengatakan rumahnya lebih mirip sebuah museum antropologi daripada sebuah rumah. Rak bukunya dipenuhi oleh berbagai artifak religius dari seluruh penjuru dunia, seperti ekuaba dari Ghana, salib emas dari Spanyol, patung berhala dari Aegean Selatan, dan bahkan tenunan langka bernama boccus dari Kalimantan yang merupakan simbol keabadian usia muda milik seorang ksatria.
Ketika Langdon duduk di atas peti kuningan Maharesi-nya dan menikmati minuman cokelat hangat kesukaannya, kaca jendela yang menjorok itu memantulkan bayangan dirinya. Bayangan itu tampak berubah dan pucat ... seperti hantu. Hantu tua renta, katanya seperti mengejek dirinya sendiri dengan berpikir jiwa mudanya telah berlalu meninggalkannya.
Walaupun tidak terlalu tampan menurut ukura n biasa, Langdon yang berusia empat puluh tahun ini memiliki apa yang disebut rekan kerja perempuannya sebagai daya tarik "seorang terpelajar"--rambut cokelat tebal yang mulai tampak beruban, mata biru yang tajam menyelidik, suara yang berat sekaligus menawan, dan senyuman menggoda milik seorang atlet kampus.
Sebagai mantan anggota regu selam di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, Langdon masih memiliki tubuh yang gagah setinggi 180 sentimeter dan tetap terjaga berkat latihan renang yang dilakukannya setiap hari sebanyak lima puluh putaran di kolam renang kampus.
Teman-teman Langdon selalu menganggapnya sebagai orang yang agak membingungkan--seseorang yang terperangkap di antara abad yang satu dengan abad yang lainnya. Pada akhir pekan, Langdon sering terlihat mengenakan jeans, duduk-duduk santai di alun-alun kampus sambil berdiskusi tentang grafik komputer atau sejarah agama dengan para mahasiswa; di lain waktu dia terlihat mengenakan jas wol rancangan Harris, dan rompi dari wol halus seperti yang terlihat dalam berbagai foto di halaman majalah seni ternama ketika hadir dalam pembukaan museum untuk memberikan pidato.
Walau dianggap sebagai dosen yang keras dan sangat disiplin, Langdon juga dipuji sebagai orang yang suka bergembira. Dia sangat menyukai kegiatan rekreasi sehingga diterima di lingkungan mahasiswanya dengan baik. Julukannya di kampus adalah "si Lumba-lumba" karena sifatnya yang ramah dan karena kemampuannya yang legendaris dalam menyelam dan berenang ketika bertanding dalam pertandingan polo air.
Ketika Langdon duduk sendirian dan menatap ke dalam kegelapan, kesenyapan rumahnya terusik lagi. Kali ini oleh suara dering mesin faksnya. Merasa terlalu lelah untuk diganggu, Langdon hanya berusaha untuk tertawa sendiri.
Umat Tuhan ini, katanya dalam hati. Sudah dua ribu tahun menunggu Mesiah untuk menyelamatkan mereka, masih saja keras kepala seperti batu.
Dengan letih dia mengembalikan cangkir besarnya ke dapur dan berjalan perlahan menuju ruang kerjanya yang memiliki dinding yang berlapis kayu ek. Lembaran faks yang baru tiba itu tergeletak di atas meja. Sambil mendesah, dia memungut kertas itu dan mengamatinya.
Tiba-tiba dia merasa mual.
Gambar yang tertera pada lembaran itu adalah gambar sesosok mayat manusia. Mayat itu ditelanjangi, dan kepalanya diputar hingga sepenuhnya mengarah ke belakang. Ada luka bakar yang parah di dada mayat itu. Lelaki itu diberi cap ... hanya satu kata yang tertera di sana. Langdon mengenalinya dengan baik. Sangat baik. Dia menatap huruf ornamen itu dengan rasa tidak percaya.
"Illuminati," dia tergagap, jantungnya berdebar keras. Tidak mungkin ....
Dengan gerak lambat, karena takut akan apa yang bakal dia lihat, Langdon memutar kertas itu sebesar 180 derajat. Lalu dia menatap huruf yang terbalik itu dan membacanya perlahan-lahan.
Dia langsung terkesiap seolah baru saja dihajar oleh truk. Dia hampir tidak dapat memercayai penglihatannya. Kemudian dia memutar kertas faks itu kembali, membaca huruf itu sekali lagi dalam posisi yang benar, lalu diputar balik lagi.
"Illuminati," bisiknya.
Merasa sangat terguncang, Langdon jatuh terduduk di atas kursinya. Sesaat dia merasa sangat kebingungan. Dengan perlahan matanya menatap ke arah lampu merah yang berkedip di mesin raksnya. Siapa pun orang yang mengiriminya faks masih berada di sana ... menunggunya untuk berbicara. Langdon menatap lampu di mesin raksnya yang masih terus berkedip-kedip.
Kemudian dengan gemetar, dia mengangkat gagang telepon.
2
"APAKAH KAMU MEMERHATIKANKU sekarang?" suara seorang lelaki berkata ketika akhirnya Langdon mengangkat teleponnya.
"Ya. Saya benar-benar memerhatikan Anda sekarang. Siapa diri Anda sesungguhnya?"
"Aku sudah berusaha untuk mengatakannya kepadamu tadi." Suara itu terdengar kaku seperti mesin. "Aku seorang ahli fisika. Aku mengelola sebuah fasilitas penelitian. Salah seorang staf kami dibunuh. Kamu sendiri sudah melihat gambar mayat itu."
"Bagaimana Anda dapat menemukan saya?" Langdon hampir tidak mampu memusatkan perhatiannya. Pikirannya masih tertuju pada gambar yang terpampang di kertas faks.
"Aku sudah mengatakannya padamu. Dari internet. Dari situs bukumu, The Art of The Illuminati."
Langdon mencoba mengingat-ingat. Bukunya itu sesungguhnya tidak begitu terkenal di lingkungan penerbitan konvensional, tetapi ternyata cukup ngetop juga di dunia maya. Walau demikian, pengakuan orang yang meneleponnya ini sungguh tidak masuk akal. "Situs itu tidak mencantumkan informasi tentang alamat saya," tan tang Langdon. "Saya yakin akan hal itu."
"Staf saya di lab sangat ahli dalam menemukan informasi pengguna internet dari sebuah situs."
Langdon menjadi ragu. "Sepertinya lab Anda tahu banyak tentang situs."
"Memang harus begitu," sahut lelaki itu ketus. "Kami yang menciptakannya."
Dari suaranya, Langdon tahu lelaki itu tidak bergurau. "Aku harus bertemu denganmu," desak lelaki yang meneleponnya itu. "Ini bukan masalah yang dapat dibicarakan lewat telepon. Labku hanya satu jam penerbangan dari Boston."
Langdon berdiri di dalam keremangan cahaya di ruang kerjanya dan memeriksa lembaran faks di tangannya. Gambar yang sangat memengaruhinya itu bisa menjadi penemuan terbesar abad ini. Penelitiannya selama berpuluh-puluh tahun kini ditegaskan hanya oleh satu simbol saja.
"Ini mendesak," suara itu berkata dengan nada memaksa.
Mata Langdon terpaku pada tanda itu. Illuminati, dia membacanya berulang kali. Pekerjaannya selama ini bisa dibilang berdasarkan pada fosil masa lalu seperti dokumen-dokumen kuno dan kisah-kisah sejarah. Tapi gambar yang berada di hadapannya itu diambil pada masa kini. Langdon merasa seperti seorang ahli paleontologi yang bertemu muka dengan seekor dinosaurus hidup.
"Aku sudah mengirimkan sebuah pesawat terbang," lelaki berkata lagi. "Pesawat itu akan tiba di Boston dalam waktu dua puluh menit."
Langdon merasa tegang. Satu jam penerbangan ....
"Aku harap Anda mau memaafkan kelancangan saya," lanjutnya.
"Aku memerlukanmu di sini."
Langdon kembali menatap kertas faks di tangannya dan merasa sebuah mitos kuno telah diperjelas dengan gambar hitam-putih itu. Dampaknya mungkin saja menakutkan.
Dia lalu menatap kosong ke luar jendela. Tanda-tanda fajar menyingsing mulai tampak dari pepohonan birch di halaman belakang rumahnya, tapi pemandangan itu tampak berbeda pagi ini. Dengan perasaan takut dan gembira yang campur aduk di dalam dirinya, Langdon tahu dia tidak punya pilihan.
"Kamu menang," katanya. "Katakan di mana aku dapat menemukan pesawatmu itu."
3
RIBUAN MIL JAUHNYA dari rumah Langdon, dua orang lelaki bertemu. Ruangan itu gelap. Bergaya abad pertengahan. Berdinding batu.
"Benvenuto," sambut lelaki yang berwenang itu. Dia duduk di dalam kegelapan, jauh dari cahaya. "Kamu berhasil?"
"Si," kata si lelaki berkulit gelap. "Perfettamente." Kata-katanya terdengar sekeras dinding batu ruangan itu.
"Dan dapat dipastikan tidak akan terlacak siapa yang bertanggung jawab?"
"Tidak seorang pun."
"Hebat. Kamu mendapatkan apa yang kuminta?"
Mata pembunuh itu berkilap, hitam seperti minyak. Dia kemudian mengeluarkan sebuah alat elektronik berat dan meletakkannya di atas meja.
Lelaki yang duduk dalam kegelapan tampak senang. "Kamu bekerja dengan baik."
"Melayani persaudaraan merupakan kehormatan bagiku," kata si pembunuh.
"Bagian kedua akan segera dimulai. Beristirahatlah. Malam ini kita akan mengubah dunia."
4
MOBIL SAAB 900S yang dikemudikan Langdon keluar dari Terowongan Callahan dan muncul di sisi timur Pelabuhan Boston, tak jauh dari pintu masuk Bandara Logan. Ketika memeriksa tujuannya, Langdon menemukan Aviation Road. Dia kemudian membelok ke kiri dan melewati gedung Eastern Airlines. Setelah 300 yard melewati jalan masuk, terlihat sebuah hanggar berdiri di balik kegelapan dengan nomor "4" berukuran besar dicat di atas atapnya. Dia memarkir mobilnya, lalu keluar.
Seorang lelaki berwajah bulat mengenakan setelan jas pilot berwarna biru muncul dari gedung itu. "Robert Langdon?" serunya. Suaranya terdengar ramah. Dari aksennya, Langdon tidak dapat menerka dari mana lelaki itu berasal.
"Benar," kata Langdon sambil mengunci pintunya.
"Sangat tepat waktu," ujar lelaki itu. "Saya baru saja mendarat. Mari ikuti saya."
Ketika mereka mengelilingi gedung itu, Langdon merasa tegang.
Dia tidak terbiasa dengan telepon yang tidak jelas tujuannya dan pertemuan rahasia dengan orang yang belum dikenalnya. Karena dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya, dia hanya mengenakan pakaian yang biasa dikenakan ketika mengajar; celana panjang khaki dari bahan katun, kaus turtleneck, dan jas wol rancangan Harris. Ketika mereka berjalan, Langdon memikirkan faks yang berada di dalam saku jasnya. Dia masih belum dapat memercayai gambar yang terpampang dalam kertas tersebut.
Pilot itu tampaknya merasakan kecemasan Langdon. "Terbang bukan masalah bagi Anda, 'kan, Pak?"
"Sama sekali tidak," sahut Langdon. Mayat yang diberi cap, itu baru masalah bagiku. Kalau hanya terbang aku masih bisa mengatasinya.
Lelaki itu membawa Langdon berjalan di sepanjang hanggar. Mereka membelok di sudut dan menuju ke landasan pacu pesawat terbang.
Langdon berhenti dan menjadi kaku di atas landasan pacu. Dia melongo ketika menatap pesawat yang diparkir di tempat parkir pesawat. "Kita akan naik itu?"
Lelaki itu tersenyum. "Suka?"
Langdon menatap benda itu, lama. "Suka? Benda apa itu?"
Pesawat di depan mereka besar sekali. Benda itu hampir menyempai pesawat ulang-alik, tetapi bagian atasnya dipangkas sehingga meninggalkan sisa yang sangat rata. Terpakir seperti itu, pesawat tersebut tampak seperti bongkahan kayu yang besar sekali. Kesan pertama Langdon adalah, dia pasti sedang bermimpi. Kendaraan itu tentunya masih bisa terbang seperti sebuah Buick. Kedua sayapnya hampir tidak tampak, hanya menyerupai sirip-sirip gemuk di bagian belakang tubuh pesawat tersebut. Sepasang sirip belakangnya mencuat ke luar di bagian buritan. Bagian lain dari pesawat itu adalah lambung yang panjangnya sekitar 200 kaki dari depan ke belakang. Tidak ada jendela, hanya lambung pesawat.
"Bobotnya 250 ribu kilogram dengan bahan bakar terisi penuh," jelas si pilot dengan gaya seorang ayah yang membanggakan bayinya yang baru lahir. "Bahan bakarnya berupa hidrogen cair. Rangkanya terbuat dari titanium matriks dengan serat silikon karbit. Pesawat ini memiliki rasio daya tolak/berat sebesar 20:1, tidak sebanding dengan kebanyakan rasio jet biasa yang hanya sebesar 7:1. Pak Direktur pasti sangat ingin bertemu dengan Anda. Tidak biasanya beliau mengirimkan bocah besar ini."
"Benda ini bisa terbang?" tanya Langdon.
Pilot itu tersenyum. "Oh, tentu." Kemudian dia membawa Langdon menyeberangi landasan pacu menuju pesawat tersebut.
"Saya tahu Anda terkejut, tapi sebaiknya Anda membiasakan diri. Lima tahun lagi Anda akan melihat pesawat-pesawat semacam ini yang disebut HSCT atau High Speed Civil Transport. Laboratorium kamilah yang pertama kali memilikinya."
Pasti sejenis laboratorium yang tergila-gila dengan kecepatan, pikir Langdon.
"Ini adalah prototipe Boeing X-33," pilot itu melanjutkan, "tetapi masih ada belasan jenis lainnya seperti National Aero Space Plane, Scramjet milik Rusia, dan HOTOL milik Inggris. Masa depan itu berada di sini. Tidak lama lagi pesawat-pesawat seperti ini akan menjadi kendaraan umum. Anda boleh mengucapkan selamat tinggal pada jet-jet kuno."
Langdon memandang pesawat itu dengan hati-hati. "Rasanya saya lebih menyukai jet kuno saja."
Pilot itu memberi isyarat ke arah tangga pesawat. "Ke arah sini, Pak Langdon. Hati-hati."
Beberapa menit kemudian, Langdon sudah duduk di dalam kabin pesawat yang kosong. Pilot itu memasangkan sabuk pengaman untuknya di barisan kursi depan, kemudian dia sendiri menghilang ke bagian depan pesawat.
Kabin itu sendiri tampak luas seperti kabin di pesawat komersial biasa. Perbedaannya hanyalah, pesawat itu tidak punya jendela, dan hal itu membuat Langdon merasa tidak nyaman. Dia sudah lama dihantui oleh perasaan takut kepada tempat tertutup atau claustrophobia; kenangan akan kejadian di masa kecil yang tak pernah berhasil disingkirkannya.
Ketidaksukaan Langdon pada ruang tertutup tidak membuatnya sakit, tetapi hal itu selalu membuatnya frustrasi. Perasaan itu muncul tanpa dia sadari. Karena itulah Langdon menghindari olah raga di dalam ruangan tertutup seperti racquetball atau squash. Dia juga rela mengeluarkan uang ekstra untuk membuat langit-langit tinggi yang sanggup memberikan udara lebih banyak di rumah bergaya Victoria miliknya, walaupun perumahan sederhana bagi para dosen sudah tersedia untuknya. Langdon sering menduga ketertarikannya di masa muda pada dunia seni muncul karena dia sangat menyukai ruangan luas dan terbuka yang terdapat di berbagai museum.
Mesin pesawat menyala dan menderu di bawahnya sehingga membuat lambung pesawat bergetar. Langdon merasa sesak. Dia menunggu. Langdon merasakan pesawat tersebut mulai berjalan. Musik country mulai terdengar lirih dari bagian atas kabin pesawat.
Pesawat telepon yang menempel di dinding di sisinya berbunyi dua kali. Langdon pun mengangkatnya.
"Halo?" sapanya. Anda merasa nyaman, Pak Langdon?" tanya sang pilot.
"Tidak juga," jawab Langdon. Santai saja. Kita akan tiba di sana satu jam lagi."
"Dan ke mana sebenarnya di sana itu?" tanya Langdon ketika sadar dia tidak tahu ke mana tujuan mereka.
"Jenewa," jawab sang pilot sambil menambah daya mesin pesawatnya. "Laboratoriumnya berada di Jenewa."
"Jenewa," ulang Langdon. Dia merasa agak lebih baik sekarang.
"Di utara New York? Saya sebenarnya memiliki saudara di dekat Danau Seneca. Saya tidak tahu kalau Jenewa memiliki laboratorium fisika."
Pilot itu tertawa. "Bukan Jenewa New York, Pak Langdon. Jenewa di Swiss."
Langdon membutuhkan waktu cukup lama untuk mencerna kalimat itu. "Swiss?" Langdon merasa denyut nadinya menjadi lebih cepat. "Saya kira tadi Anda mengatakan bahwa perjalanan ini hanya memakan waktu satu jam!"
"Memang, Pak Langdon." Pilot itu terkekeh. "Pesawat ini memiliki kecepatan 15 mach."
5
DI SEBUAH JALAN yang sibuk di Eropa, si pembunuh menyelinap di antara kerumunan orang. Dia lelaki yang kuat, berkulit gelap dan perkasa. Dia juga luar biasa tangkas. Otot-ototnya masih terasa keras karena ketegangan pertemuannya tadi.
Pekerjaanku sudah berlangsung dengan baik, katanya dalam hati. Walau bosnya tidak pernah memperlihatkan wajahnya, si pembunuh sudah merasa terhormat boleh berhadapan langsung dengannya. Bukankah baru 15 hari sejak bosnya pertama kali menghubunginya? Si pembunuh itu masih dapat mengingat dengan jelas tiap kata dalam pembicaraan telepon mereka ...
"Namaku Janus," kata orang yang meneleponnya waktu itu. "Kita masih sanak saudara atau semacam itu. Kita memiliki musuh yang sama. Aku dengar orang bisa menyewa keahlianmu."
"Tergantung kamu mewakili siapa," sahut si pembunuh.
Orang yang meneleponnya itu kemudian memberitahunya.
"Kamu sedang bercanda?"
"Tampaknya kamu pernah mendengar nama kami," jawab lelaki yang meneleponnya itu.
"Tentu saja. Persaudaraan itu adalah sebuah legenda."
"Tapi, kamu tidak percaya kalau aku mewakili organisasi yang asli."
"Semua orang tahu kalau persaudaraan itu sudah punah."
"Itu hanya akal-akalan kami saja. Musuh yang paling berbahaya adalah sesuatu yang tidak ditakuti oleh seorang pun." Pembunuh itu ragu-ragu. "Persaudaraan itu masih ada?"
"Semakin tersembunyi daripada sebelumnya. Akar kami menyusup ke semua tempat yang kamu lihat ... bahkan ke dalam benteng suci milik musuh bebuyutan kami."
"Tidak mungkin. Mereka tidak dapat dilukai."
"Jangkauan kami jauh."
"Tidak seorang pun dapat menjangkau sejauh itu."
"Kamu akan segera memercayainya. Sebuah demonstrasi kekuatan persaudaraan yang sulit untuk dibantah telah terjadi. Satu tindakan pengkhianatan dan pembuktian."
"Apa yang kamu lakukan?"
Orang yang meneleponnya itu mengatakannya.
Mata si pembunuh membelalak. "Itu tugas yang tidak masuk akal."
Keesokan harinya, koran-koran di seluruh dunia menampilkan berita utama yang sama. Si pembunuh pun akhirnya memercayai keberadaan persaudaraan itu.
Kini, hari kemudian, keyakinan pembunuh itu semakin kuat sehingga tidak ada keraguan lagi. Persaudaraan itu masih ada, pikirnya. Malam ini mereka akan menunjukkan kekuasaan mereka.
Ketika dia menyusuri jalan itu, mata hitamnya berkilauan oleh gambaran masa depannya. Salah satu dari persaudaraan yang paling tertutup dan paling ditakuti yang pernah ada telah meneleponnya untuk meminta bantuannya. Mereka sudah memilih dengan bijaksana, pikirnya. Reputasinya dalam menjaga kerahasiaan hanya bisa dikalahkan oleh reputasinya dalam memenuhi tenggat waktu.
Sejauh ini, dia sudah melayani mereka dengan rasa hormat. Dia telah melakukan pembunuhan dan menyampaikan barang seperti yang dikehendaki oleh Janus. Sekarang terserah Janus mau ditempatkan di mana benda tersebut.
Penempatan ...
Si pembunuh bertanya-tanya bagaimana Janus dapat menangani tugas yang begitu pelik seperti itu. Lelaki itu~ pasti memiliki koneksi orang dalam. Sepertinya dominasi persaudaraan itu tidak terbatas.
Janus, pikir sang pembunuh. Pasti itu hanya sebuah nama sandi. Dia bertanya-tanya apakah itu mengacu pada nama dewa Romawi yang memiliki dua wajah ... atau pada bulan Saturnus? Baginya tidak ada bedanya. Janus memiliki kekuasaan yang luar biasa. Dia telah membuktikannya.
Ketika pembunuh itu berjalan, dia membayangkan nenek moyangnya tersenyum padanya dari atas sana. Hari ini dia telah bertempur untuk memperjuangkan tujuan mereka. Dia memerangi musuh yang sama yang sudah mereka perangi selama berabad-abad sejak sebelas abad silam ... ketika tentara salib musuh mereka itu pertama kali menjarah tanah mereka, memerkosa dan membunuh rakyatnya, menuduh mereka sebagai orang-orang yang tidak suci, lalu menghancurkan kuil-kuil dan dewa-dewa mereka.
Nenek moyangnya telah membentuk pasukan kecil tetapi mematikan untuk melindungi diri mereka sendiri. Pasukan itu mulai terkenal di seluruh negeri sebagai pelindung--penghukum handal yang menjelajahi seluruh negeri untuk membunuhi setiap musuh yang mereka temukan. Mereka terkenal tidak hanya karena pembunuhan-pembunuhan brutal yang mereka lakukan, tetapi juga karena mereka merayakan pembantaian itu dengan cara mabuk-mabukan. Pilihan mereka adalah minuman keras yang sangat memabukkan yang mereka sebut hashish.
Ketika nama buruk mereka mulai tersebar, kelompok pembunuh itu menjadi terkenal dengan satu sebutan saja, hassassin, yang makna harfiahnya berarti "pengikut hassish". Nama hassassin sendiri memiliki makna yang sama dengan kematian dalam hampir tiap bahasa di muka bumi ini. Kata itu masih digunakan hingga karang, bahkan dalam bahasa Inggris modern ... namun seperti keahlian mereka untuk membunuh, kata itu lambat laun mengalami sedikit perubahan.
Sekarang kata itu diucapkan sebagai assassin.
6
ENAM PULUH EMPAT menit telah berlalu ketika Robert Langdon, yang masih tidak percaya dan mabuk udara, menuruni tangga pesawat dan berjalan di landasan yang disinari cahaya matahari. Angin dingin membuat kerah jas wolnya berkibar. Udara terbuka membuatnya senang. Dia menyipitkan matanya ketika menatap lembah hijau subur yang menjulang ke puncak berselimut salju di sekeliling mereka.
Aku sedang bermimpi, katanya dalam hati. Sebentar lagi aku akan terjaga.
"Selamat datang di Swiss," seru sang pilot keras untuk mengalahkan deru mesin pesawat X-33 yang bising dan berbahan bakar HEDM yang menimbulkan kabut di belakang mereka.
Langdon memeriksa jam tangannya. Pukul 7:07 pagi.
Anda baru saja melintasi enam zona waktu," jelas sang pilot tanpa diminta. "Di sini pukul satu siang lebih sedikit."
Langdon menyesuaikan jam tangannya.
"Bagaimana perasaan Anda?"
Langdon mengusap perutnya. "Seperti baru saja menelan styrofoam."
Pilot itu mengangguk. "Mabuk ketinggian. Kita tadi terbang di ketinggian 60 ribu kaki di atas permukaan laut. Berat tubuh Anda 30% lebih ringan. Untunglah kita hanya terguncang-guncang sedikit. Kalau kita pergi ke Tokyo, aku harus menerbangkan pesawat itu lebih tinggi lagi, beberapa ratus mil lagi. Pada saat itulah baru Anda akan merasa perut Anda jungkir balik."
Langdon mengangguk lesu dan menganggap dirinya beruntung. Semuanya terasa seperti penerbangan yang biasa-biasa saja. Kecuali percepatan yang mereka alami ketika mengudara, gerakan pesawat itu hampir sama dengan pesawat lainnya--kadang-kadang mengalami sedikit turbulensi, lalu mengalami beberapa perubahan tekanan udara ketika mereka mulai menanjak, tetapi tidak terasa kalau mereka sedang melesat di udara dengan kecepatan luar biasa sebesar 11.000 mil per jam.
Sejumlah teknisi bergegas menuju landasan untuk mengurus pesawat X-33 itu. Sang pilot kemudian menemani Langdon menuju ke sebuah sedan Peugeot hitam yang diparkir di samping menara pengawas. Beberapa saat kemudian mereka sudah meluncur cepat menyusuri jalan aspal yang terbentang di atas dataran lembah. Sekelompok gedung tampak samar menjulang di kejauhan. Di luar mobil mereka, Langdon melihat padang rumput tampak kabur karena kecepatan mobil mereka.
Langdon menatap pilot itu dengan tatapan tidak percaya ketika dia menaikkan kecepatan menjadi sekitar 170 kilometer per jam--lebih dari 100 mil per jam. Ada masalah apa antara orang ini dengan kecepatan? Langdon bertanya-tanya.
"Lima kilometer lagi kita akan tiba di laboratorium," kata si pilot.
"Saya akan mengantar Anda ke sana dalam waktu dua menit."
Langdon berusaha mencari sabuk pengaman dengan sia-sia. Mengapa tidak tiga menit saja dan tiba di sana dengan selamat?
Mobil itu terus melesat seperti berpacu.
"Anda suka Reba?" tanya si pilot sambil memasukkan sebuah kaset ke dalam mesin pemutar kaset.
Terdengar suara perempuan mulai menyanyi. "Itu hanya ketakutan akan kesendirian ..."
Tidak ada ketakutan di sini, pikir Langdon. Rekan kerjanya yang perempuan sering mengolok-olok dirinya dengan mengatakan, artifak yang setara dengan koleksi museum itu tak lebih dari usahanya untuk mengisi rumahnya yang kosong, rumah yang menurut mereka akan tampak lebih cantik dengan kehadiran seorang wanita. Langdon selalu menertawakan gurauan itu dan mengingatkan mereka bahwa dirinya sudah memiliki tiga cinta dalam hidupnya; simbologi, polo air, dan status lajang. Yang terakhir ini berarti kebebasan yang memungkinkan dirinya untuk bepergian keliling dunia, tidur selarut yang dia kehendaki, dan menikmati malam-malam tenang di rumah sambil meneguk brandy dan membaca sebuah buku bagus.
"Kompleks kami seperti sebuah kota kecil," kata si pilot seperti menyadarkan Langdon dari lamunannya. "Tidak hanya berisi laboratorium. Kami juga memiliki beberapa toko swalayan, sebuah rumah sakit, bahkan sebuah gedung bioskop."
Langdon mengangguk tanpa ekspresi dan melihat ke luar, ke arah gedung-gedung yang menjulang di hadapan mereka.
"Sebetulnya," tambah si pilot, "kami juga memiliki mesin terbesar di dunia."
"Sungguh?" tanya Langdon sambil menyusuri pedesaan itu dengan matanya.
"Anda tidak akan melihatnya dari situ, Pak." Pilot itu tersenyum.
"Mesin itu kami tanam enam tingkat di bawah tanah. "
Langdon tidak punya waktu lama untuk bertanya. Tiba-tiba, pilot itu menginjak pedal remnya. Mobil tersebut berhenti dengan suara berdecit di luar sebuah pos penjagaan dari beton.
Langdon membaca tulisan di depannya. SECURITE. ARRETEZ*. Tiba-tiba Langdon merasakan gelombang kepanikan karena sadar di mana dia berada sekarang. "Ya Tuhan! Aku tidak membawa paspor."
Paspor tidak diperlukan," kata sang pilot meyakinkannya. Kami memiliki hak istimewa dari pemerintah Swiss."
Pos Keamanan. Berhenti.
Langdon hanya terpaku ketika supirnya memberikan sebuah kartu identitas kepada sang penjaga. Penjaga itu kemudian menggesekkannya pada sebuah alat pemeriksa. Alat itu menyala hijau.
"Nama penumpang?"
"Robert Langdon."
"Tamu siapa?"
"Pak Direktur."
Penjaga itu menaikkan alisnya. Dia kemudian menoleh dan memeriksa kertas hasil cetakan komputer lalu membandingkannya dengan informasi yang ada di layar komputer. Dia kemudian kembali ke jendela mobil. "Nikmati kunjungan Anda, Pak Langdon."
Mobil itu melesat lagi, meluncur sepanjang 200 yard, lalu mengitari sebuah bundaran luas yang membawa mereka di depan pintu masuk utama gedung itu. Sebuah gedung persegi bergaya ultra modern, terdiri atas kaca dan baja, menjulang di depan mereka. Langdon kagum pada rancangan tembus pandang gedung itu. Dia selalu menyukai arsitektur.
"Katedral Kaca," jelas pengawalnya tanpa diminta.
"Sebuah gereja?"
"Ya ampun, bukan. Gereja adalah satu-satunya yang tidak kami miliki di sini. Fisika adalah agama di sekitar sini. Anda bisa menyebut nama Tuhan sebanyak yang Anda mau dengan sia-sia di sini," dia tertawa. "Asal Anda tidak menjelek-jelekkan quark dan meson 1 saja."
Langdon duduk dengan bingung ketika supirnya membelokkan mobil dan menghentikannya di depan gedung kaca tersebut. Quark dan meson? Tidak ada pemeriksaan di perbatasan? Jet berkecepatan 15 mach? Siapa orang-orang ini? Sebuah lempengan batu granit di depan gedung menunjukkan jawaban untuk pertanyaan Langdon:
(CERN)
Conseil Europeen pour la Recherche Nucleaire
"Penelitian nuklir?" tanya Langdon yang tidak terlalu yakin dengan keakuratan terjemahannya. Supirnya tidak menjawabnya. Dia hanya mencondongkan tubuhnya ke depan dan sibuk mengatur pemutar kaset di mobilnya. "Ini tujuan Anda. Pak Direktur akan menemui Anda di pintu masuk."
Langdon melihat seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda, keluar dari gedung. Tampaknya lelaki itu berusia awal 60an. Terlihat cekung, berkepala botak dan berahang keras, dia mengenakan jas lab putih dan sepatu dari kain yang tampak menyembul dari bantalan kaki kursi rodanya. Bahkan dari kejauhan, matanya tampak kosong seperti sepasang batu kelabu.
"Itu Pak Direktur?" tanya Langdon. quark: elemen dasar yang dianggap muncul secara berpasangan; meson: kelompok partikel dasar yang membentuk quark dan antiquark (istilah dalam ilmu fisika)--peny.
Supirnya mendongak. "Yah, aku akan seperti itu," dia menoleh kepada Langdon dan tersenyum menyebalkan. "Kalau bicara tentang setan."
Dengan perasaan tidak pasti dengan apa yang akan dihadapinya, Langdon keluar dari mobil.
Lelaki di atas kursi roda itu meluncur ke arah Langdon dan menjulurkan tangannya yang lembab.
"Pak Langdon? Kita sudah berbicara di telepon. Namaku Maximilian Kohler."
7
DI BELAKANGNYA, Maximilian Kohler, Direktur Jenderal CERN, sering disebut sebagai Konig atau Sang Raja. Julukan yang diberikan oleh para pegawainya itu lebih disebabkan oleh rasa takut dibandingkan dengan kenyataan bahwa "sang raja" memerintah dari singgasana yang berupa kursi roda. Walau hanya sedikit orang yang mengenal Kohler secara pribadi, kisah mengenai penyebab kelumpuhannya itu telah tersebar di CERN. Begitu pula dengan kisah tentang penyebab sifat dinginnya dan sumpah setianya pada ilmu-ilmu murni.
Meski Langdon baru beberapa saat berada di depan Kohler, dia sudah dapat merasa kalau sang direktur adalah orang yang menjaga jarak. Langdon harus berlari-lari kecil agar bisa tetap berada di samping kursi roda listrik yang membawa sang direktur meluncur tanpa suara ke arah pintu masuk utama. Langdon belum pernah melihat kursi roda seperti itu. Kursi roda itu dilengkapi dengan tempat penyimpanan peralatan elektronik termasuk telepon multi saluran, sistem penyeranta, layar komputer, bahkan sebuah kamera video yang dapat dilepas. Kursi roda listrik itu sepertinya menjadi pusat kendali berjalan Raja Kohler.
Langdon mengikutinya melewati pintu mekanis dan memasuki lobi utama CERN yang sangat luas.
Katedral Kaca, kata Langdon senang sambil melihat ke arah langit.
Di atasnya, langit-langit kaca berwarna kebiruan yang berkilauan di bawah sinar matahari sore memberikan pantulan sinar dengan pola-pola geometris di udara sehingga menimbulkan kesan agung pada ruangan di bawahnya. Bayangan siku-siku terlihat seperti urat nadi dan menghiasi dinding keramik putih dan lantai pualam.
Udara tercium bersih dan bebas hama. Sejumlah ilmuwan hilir mudik dengan cepat. Langdon mendengar bunyi langkah mereka menggema di ruangan kosong tersebut.
"Ke sebelah sini, Pak Langdon." Suara Kohler terdengar hampir seperti suara dari komputer. Aksennya kaku dan tepat seperti penampilannya. Kohler terbatuk dan menyeka mulutnya dengan sapu tangan putih sambil menatap Langdon dengan mata kelabunya. "Ayo cepat." Kursi rodanya terlihat seperti melompati lantai pualam itu.
Langdon mengikutinya dan melewati ribuan koridor yang ada ke atrium utama. Setiap koridor ramai dengan berbagai kegiatan. Para ilmuwan yang melihat Kohler tampak terkejut dan merhatikan Langdon seolah mereka bertanya-tanya siapa gerangan tamu yang menemani pimpinan mereka.
"Aku malu mengakui kalau saya belum pernah mendengar tentang CERN sebelumnya," Langdon berusaha untuk membangun percakapan dengan Sang Raja.
"Tidak heran," sahut Kohler cepat. Jawabannya terdengar sangat efisien. "Sebagian besar orang Amerika memang tidak menganggap Eropa sebagai pemimpin dunia di bidang penelitian ilmiah. Mereka hanya melihat Eropa tak lebih dari sekadar distrik pertokoan kuno. Sebuah pemikiran yang aneh kalau Anda ingat dari mana Einstein, Galileo dan Newton berasal."
Langdon tidak yakin bagaimana dia harus menjawab. Dia lalu menarik kertas faks itu dari dalam sakunya. "Orang dalam foto ini, dapatkah Anda--"
Kohler memotong kalimat Langdon dengan mengibaskan tangannya. "Jangan di sini. Aku sedang membawa Anda untuk melihatnya." Dia kemudian mengulurkan tangannya. "Mungkin sebaiknya saya saja yang menyimpannya," katanya sambil mengambil kertas faks dari tangan Langdon.
Langdon menyerahkan kertas faks itu dan melanjutkan melangkah tanpa berkata-kata.
Kohler membelok tajam ke kiri dan memasuki koridor lebar yang dihiasi oleh berbagai tanda penghargaan. Sebuah plakat yang sangat besar mendominasi koridor itu. Ketika mereka melewatinya, Langdon memperlambat langkahnya untuk membaca ukiran di atas sebuah logam perunggu.
PENGHARGAAN ARS ELECKTRONICA
Untuk Inovasi Budaya Di Era Digital
Diberikan kepada Tim Berners Lee dan CERN
Atas Penemuan WORLD WIDE WEB
Wah, kurang ajar, pikir Langdon ketika membaca tulisan tersebut. Orang ini tidak main-main. Selama ini Langdon selalu mengira kalau
internet diciptakan oleh orang Amerika. Terlebih lagi, pengetahuannya tentang situs hanya terbatas pada penjelajahan online mengenai Louvre atau El Prado dengan menggunakan komputer Macintosh tuanya.
"Internet," kata Kohler sambil terbatuk lagi lalu menyeka mulutnya, "dimulai dari sini sebagai sebuah jaringan situs komputer internal. Teknologi ini memungkinkan para ahli dari berbagai divisi untuk berbagi penemuan mereka dengan rekan kerja mereka setiap hari. Tapi tentu saja, semua orang mengira internet adalah teknologi dari Amerika."
Langdon berusaha mengikuti kecepatan kursi roda Kohler. "Mengapa tidak meluruskan pemahaman itu?"
Kohler mengangkat bahunya dan nampak tidak tertarik. "Kekeliruan sepele untuk sebuah teknologi yang sepele. CERN jauh lebih hebat dibandingkan dengan koneksi komputer global. Ilmuwan kami menghasilkan banyak keajaiban hampir setiap hari."
Langdon menatap Kohler dengan tatapan tidak mengerti. "Keajaiban?" Kata "keajaiban" jelas tidak ada dalam kamus di fakultas ilmu pasti di Harvard. Keajaiban hanya untuk mereka yang belajar teologi..
"Anda sepertinya ragu-ragu," kata Kohler. "Saya pikir Anda seorang ahli simbologi agama. Anda tidak percaya pada keajaiban?"
"Sikap saya netral dengan keajaiban," kata Langdon. Terutama dengan keajaiban yang terjadi di lab ilmu pasti.
"Mungkin keajaiban adalah kata yang salah. Saya hanya berusaha untuk menggunakan istilah dalam bahasa Anda."
"Bahasa saya?" Langdon tiba-tiba merasa tidak nyaman. "Saya tidak bermaksud untuk mengecewakan Anda, Pak, tetapi saya mempelajari simbologi agama--saya seorang akademisi bukan seorang pendeta."
Tiba-tiba Kohler memperlambat lajunya dan menoleh ke arah Langdon. Tatapannya agak melunak. "Tentu saja. Betapa bodohnya. Orang tidak perlu mengidap kanker untuk memahami gejala yang dimiliki oleh penyakit itu."
Langdon belum pernah mendengar ada orang memberikan garnbaran seperti yang dikatakan oleh Kohler.
Ketika mereka berjalan di sepanjang koridor itu, Kohler mengangguk. "Saya kira Anda dan saya bisa saling memahami dengan sangat baik, Pak Langdon."
Entah bagaimana, Langdon meragukannya.
Ketika mereka berjalan dengan terburu-buru, Langdon merasakan adanya getaran kuat yang berasal dari atas. Suara bising itu menjadi
semakin keras setiap kali dia melangkah, dan getaran tersebut seperti bergema di dinding. Sepertinya suara itu berasal dari ujung koridor di hadapan mereka.
"Apa itu?" akhirnya Langdon bertanya dengan suara keras. Dia merasa seakan sedang mendekati sebuah gunung api yang sedang aktif.
"Tabung Terjun Bebas," jawab Kohler. Suaranya yang tanpa ekspresi dapat menembus kebisingan itu dengan mudah. Setelah itu dia tidak menjelaskan lebih lanjut.
Langdon juga tidak bertanya lagi. Dia letih. Selain itu Maximilian Kohler juga sepertinya tidak tertarik untuk memenangkan penghargaan sebagai tuan rumah yang ramah. Langdon mengingatkan dirinya sendiri untuk apa dia berada di sini. Demi Illuminati. Dia menduga di fasilitas yang sangat besar ini ada sesosok mayat ... mayat yang dicap dengan sebuah simbol yang membuatnya terbang sejauh 3000 mil agar dapat melihatnya.
Ketika mereka mendekati ujung koridor tersebut, kebisingan itu menjadi hampir memekakkan dan menggetarkan telapak kaki langdon. Mereka berbelok, dan menemukan ruangan di sisi kanan mereka. Empat pintu berlapis kaca tebal terdapat di dinding yang melengkung sehingga terlihat seperti jendela di kapal selam. Langdon berhenti dan melongok ke dalam salah satu lubang itu.
Profesor Robert Langdon pernah melihat beberapa hal aneh dalam hidupnya, tapi ini adalah yang paling aneh. Dia mengejapkan matanya beberapa kali sambil bertanya-tanya apakah dia sedang berhalusinasi. Dia mengintip ke dalam sebuah ruangan bundar yang berukuran luar biasa besar. Di dalam ruangan itu dia melihat beberapa orang mengambang seolah tidak berbobot. Semuanya ada tiga orang. Salah satu dari mereka melambaikan tangannya dan berjungkir balik di udara.
Ya, Tuhan, seru Langdon. Aku berada di negeri para peri! Di lantai ruangan itu terdapat jalinan yang saling bertautan seperti Iembaran kawat ayam yang besar sekali. Di bawah jalinan itu samar-samar terlihat sebuah baling-baling besar dari metal.
"Tabung Terbang Bebas," kata Kohler sambil berhenti menunggu Langdon. "Skydiving di dalam ruangan. Bagus untuk menghilangkan stres. Ini adalah terowongan angin vertikal."
Langdon memandang dengan kagum. Salah satu dari orang-orang yang melayang-layang itu adalah seorang perempuan yang sangat gemuk dan dia sekarang bergerak mendekati jendela. Perempuan itu melayang dengan ditopang hanya oleh putaran arus udara. Dia tersenyum dan memberi isyarat kepada Langdon dengan mengangkat ibu jarinya. Langdon tersenyum samar dan membalas isyarat itu sambil bertanya-tanya dalam hatinya, apakah perempuan itu tahu bahwa dia baru saja memberi simbol phalus, simbol kejantanan pria, padanya.
Langdon melihat kalau perempuan gemuk itu adalah satu-satunya orang yang mengenakan parasut kecil. Secarik bahan yang menggelembung di atas perempuan itu tampak seperti mainan.
"Parasut kecil itu untuk apa?" tanya Langdon kepada Kohler.
"Saya yakin diameternya tidak lebih dari satu yard."
"Friksi," jawab Kohler. "Mengurangi aerodinamika tubuhnya sehingga baling-baling di bawah itu dapat mengangkatnya." Lalu dia mulai berjalan lagi. "Satu yard persegi parasut dapat memperlambat jatuhnya tubuh sebesar hampir dua puluh persen."
Langdon mengangguk walau masih agak bingung.
Dia tidak tahu kalau malam harinya, di sebuah negara yang ribuan mil jauhnya, informasi seperti itu bisa menyelamatkan hidupnya.
8
KETIKA KOHLER dan Langdon keluar dari bagian belakang kompleks utama CERN dan menyambut sinar matahari Swiss, Langdon merasa seperti dipulangkan ke rumah. Pemandangan yang baru saja dilihatnya ini seperti yang terdapat di sebuah kampus bergengsi di Amerika.
Langdon melihat lereng yang menurun ke arah dataran luas di mana sekelompok pohon sugar maples tumbuh di lapangan persegi yang dibatasi oleh gedung asrama dari batu bata dan jalan kecil untuk pejalan kaki. Beberapa orang dengan penampilan serius dan membawa tumpukan buku, bergegas keluar masuk dari gedung itu. Seperti ingin mempertajam kesan bahwa ini adalah lingkungan orang yang terpelajar, dua orang hippies sedang main lempar-lemparan Friesbee sambil menikmati Simfoni Keempat karya Mahler yang suaranya terdengar keras dari salah satu jendela asrama.
"Ini asrama tempat tinggal kami," jelas Kohler sambil mempercepat laju kursi rodanya di atas jalan kecil yang membawa mereka ke arah gedung-gedung tersebut. "Kami mempunyai lebih dari tiga ribu ahli fisika di sini. CERN sendiri mempekerjakan hampir separuh dari ahli fisika partikel di seluruh dunia. Mereka orang-orang terpandai di dunia. Mereka berasal dari Jerman, Jepang, Italia, Belanda, dan Iain-lain. Ahli-ahli fisika kami berasal dari lima ratus universitas dan enam puluh bangsa."
Langdon kagum. "Bagaimana caranya mereka berkomunikasi?"
"Dalam bahasa Inggris tentu saja. Bahasa ilmu pengetahuan universal."
Selama ini Langdon selalu mendengar bahwa matematikalah yang merupakan bahasa ilmu pengetahuan universal, tapi dia sudah terlalu letih untuk berdebat. Dengan patuh dia mengikuti Kohler menuruni jalan kecil itu.
Di tengah perjalanan menuruni lereng, seorang pemuda berlari-lari kecil melewati mereka. Kausnya bertuliskan pesan: NO GUT, NO GLORY! (Tiada kemasyhuran tanpa keberanian--peny.)
Langdon menatap punggung pemuda itu dengan bingung. "Gut?"
"General Unified Theory," jelas Kohler.
"Oh begitu," sahut Langdon tanpa memandang lawan bicaranya. Setahunya kata gut hanya berarti keberanian. "Anda tahu fisika partikel, Pak Langdon?" Langdon mengangkat bahunya. "Saya hanya tahu tentang fisika umum, seperti benda-benda yang jatuh karena gravitasi atau semacam itulah." Pengalaman Langdon dalam kegiatan loncat indah selama bertahun-tahun telah membuatnya terpesona dengan kekuatan percepatan gravitasi yang mengagumkan. "Fisika partikel adalah kajian tentang atom, bukan?"
Kohler menggelengkan kepalanya. "Atom terlihat seperti sebuah planet kalau dibandingkan dengan apa yang kami tangani ini. Minat kami adalah pada inti atom yang berukuran 1/10.000 dari ukuran atom secara keseluruhan." Kohler batuk lagi dan suaranya terdengar seperti sakit. "Para ilmuwan di CERN berusaha mencari jawaban dari berbagai pertanyaan yang sudah ditanyakan oleh manusia sejak awal peradaban. Dari mana kita berasal? Dari elemen apa kita dibuat?"
"Dan jawaban-jawaban itu ada di dalam lab fisika?"
"Anda sepertinya terkejut."
"Memang. Pertanyaan itu sepertinya lebih bersifat spritual."
"Pak Langdon, semua pertanyaan tadi memang spiritual pada awalnya. Sejak awal peradaban, spiritualitas dan agama digunakan untuk mengisi celah-celah yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Terbit dan tenggelamnya matahari dulu pernah dihubungkan dengan dewa Helios dan kereta kuda berapi. Gempa bumi dan gelombang pasang dianggap sebagai kemarahan dewa Poseidon. Ilmu pengetahuan kini membuktikan bahwa dewa-dewa itu adalah sembahan palsu. Tidak lama lagi Tuhan juga akan terbukti sebagai sembahan palsu. Kini ilmu pengetahuan telah menemukan jawaban untuk hampir semua pertanyaan yang bisa ditanyakan oleh manusia. Hanya ada beberapa pertanyaan yang masih belum terjawab, dan itu semua merupakan pertanyaan-pertanyaan yang luar biasa sulit. Dari mana kita berasal? Apa yang kita lakukan di sini? Apa arti kehidupan dan alam semesta?"
Langdon kagum. "Dan CERN berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?"
"Ralat. Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang kita semua berusaha untuk menjawabnya."
Langdon terdiam ketika mereka terus berjalan ke arah kompleks asrama. Saat itulah sebuah Frisbee melayang ke arah mereka dan mendarat tepat di depan mereka. Kohler tidak memedulikannya dan terus berjalan.
Terdengar suara berseru dari sisi lain lapangan, "S'il vous plait!" dalam bahasa Perancis. "Tolong ambilkan!"
Langdon mencari sumber suara itu. Seorang lelaki yang sudah tidak muda lagi, berambut putih, dan mengenakan sweatshirt bertuliskan
COLLEGE PARIS melambai ke arahnya. Langdon kemudian memungut Frisbee itu lalu dengan terampil melemparkannya kembali ke sana. Lelaki tua itu menangkapnya dengan satu jari dan melambung-lambungkannya beberapa kali sebelum dia melemparkannya kembali kepada teman bermainnya. "Merci!" serunya kepada Langdon. "Terima kasih!"
"Selamat," kata Kohler ketika Langdon kembali berjalan di sisinya lagi. "Anda baru saja main lempar-lemparan dengan seorang pemenang Nobel, Georges Charpak, sang penemu multiwire proportional chamber."
Langdon mengangguk. Mungkin ini hari keberuntunganku.
Setelah tiga menit berjalan, Langdon dan Kohler akhirnya sampai ke sebuah ruang duduk asrama yang terawat dengan baik di balik rerimbunan pohon aspen. Dibandingkan dengan asrama-asrama lainnya, gedung ini tampak mewah. Di plakat dari batu tertulis: GEDUNG C.. Nama yang imajinatif, ejek Langdon.
Walau nama itu terdengar dingin, arsitektur Gedung C yang konservatif dan kokoh itu menarik perhatian Langdon. Gedung tersebut memiliki bagian depan yang terbuat dari bata merah, kusen dengan hiasan yang menarik, dan dikelilingi oleh pagar berukir yang simetris. Ketika kedua lelaki itu menaiki tangga batu menuju ke pintu, mereka melewati gerbang yang terbentuk dari dua pilar pualam. Sepertinya seseorang memasang stiker di salah satu tiang. Di sana tertulis:
PILAR INI IONIS
Grafiti yang dibuat oleh ahli ilmu fisika? kata Langdon lucu sambil melihat pilar tersebut dan tertawa sendiri. "Ternyata seorang ahli fisika yang sangat pandai sekalipun bisa membuat kesalahan."
Kohler melihatnya. "Apa maksud Anda?"
"Siapa pun yang menuliskan catatan itu pasti tidak tahu kalau tulisannya salah. Pilar itu bukan pilar gaya Ionia. Pilar-pilar Ionia selalu sama lebarnya. Yang ini ujungnya meruncing. Itu pilar gaya Doria. Salah kaprah seperti memang ini sering terjadi."
Kohler tidak tersenyum. "Penulisnya tidak bermaksud untuk bergurau, Pak Langdon. Ionis artinya mengandung ion atau partikel-partikel yang dialiri listrik. Sebagian besar benda berisi ion.
Langdon menatap pilar itu lagi dan melongo.
Langdon masih merasa bodoh ketika dia melangkahkan kakinya dari lift yang membawa mereka ke lantai teratas Gedung. Dia mengikuti Kohler berjalan ke koridor yang mewah. Dekornya luar biasa: bergaya kolonial Perancis. Dia- bisa melihat sebuah sofa dari kayu cherry, jambangan bunga dari keramik, dan ukiran kayu bermotif melingkar-lingkar.
"Kami suka membuat para ilmuwan kami merasa nyaman," jelas Kohler.
Tidak diragukan lagi, sahut Langdon dalam hati. "Jadi, orang yang fotonya Anda kirimkan lewat faks ke saya pernah tinggal di sini? Dia salah satu dari pegawai eselon tinggi?"
"Tenang," kata Kohler. "Lelaki itu tidak hadir dalam rapat denganku pagi ini dan tidak menjawab penyerantanya. Aku datang ke sini dan menemukannya meninggal di ruang tamunya."
Langdon tiba-tiba merinding ketika dia sadar kalau sebentar lagi dia akan melihat mayat. Perutnya tidak cukup kuat untuk menghadapinya. Ini adalah kelemahan yang baru diketahuinya saat dia menjadi mahasiswa jurusan seni ketika dosennya berkata bahwa Leonardo Da Vinci mendapatkan keahliannya dalam memahami bentuk tubuh manusia dengan cara menggali kembali mayat dari kuburan dan mengiris tubuh mayat tersebut.
Kohler mengajak Langdon ke ujung koridor. Ada sebuah pintu saja di sana. "Griya tawang, seperti istilah Anda," ujar Kohler sambil menyeka keringat yang muncul di dahinya.
Langdon melihat pintu kayu ek di depan mereka. Plakat nama yang terdapat di sana bertuliskan: Leonardo Vetra
"Leonardo Vetra," kata Kohler, "akan genap berusia 58 tahun minggu depan. Dia adalah salah satu ilmuwan terpandai pada masa kini. Kematiannya merupakan kehilangan besar bagi dunia ilmu pengetahuan."
Saat itu Langdon melihat luapan perasaan Kohler dari wajahnya yang mengeras. Namun secepat itu terlihat, secepat itu juga perasaan itu menghilang. Kohler merogoh sakunya dan mulai memilah-milah seikat besar kunci.
Tiba-tiba Langdon merasa aneh. Gedung ini tampak sangat lengang. "Ke mana orang-orang yang lain?" tanyanya. Dia tidak melihat adanya kegiatan apa pun, padahal mereka akan memasuki tempat kejadian pembunuhan.
"Penghuni lainnya sedang bekerja di lab," jawab Kohler. Tangannya sudah berhasil menemukan kunci pintu tersebut.
"Maksud saya polisi," jelas Langdon. "Apakah mereka sudah pergi?"
Kohler berhenti. Sesaat, kuncinya berhenti di udara. "Polisi?"
Mata Langdon bertemu dengan mata sang direktur. "Polisi. Anda mengirimi saya selembar faks berisi sebuah gambar pembunuhan. Anda pasti sudah menelepon polisi."
"Aku belum memanggil mereka."
Apa?
Mata kelabu Kohler menajam. "Situasinya rumit, Pak Langdon."
Langdon mulai dilanda rasa cemas. "Tetapi ... tentunya ada orang lain yang tahu tentang hal ini!"
"Ya. Putri angkat Leonardo. Dia juga ahli fisika di CERN. Mereka berdua bekerja di lab yang sama. Mereka adalah rekan kerja. Nona Vetra sudah pergi selama satu minggu untuk melakukan penelitian lapangan. Saya sudah memberitahukan kematian ayahnya, dan dia sedang menuju ke sini saat kita sedang berbicara sekarang."
"Tetapi orang ini telah dibun--"
"Sebuah investigasi resmi," sela Kohler dengan tegas, "akan dilakukan. Walau bagaimana, penyelidikan itu akan membuat digeledahnya lab Vetra, sebuah ruangan yang sangat pribadi bagi mereka berdua. Karenanya, kami harus menunggu sampai Nona Vetra kembali. Aku merasa harus berusaha untuk sedikit merahasiakannya. Demi Nona Vetra."
Kohler akhirnya memutar kunci itu.
Ketika pintu terbuka, hembusan udara sedingin es mendesis dari ruangan dan menerpa wajah Langdon. Dia merasa sangat bingung. Langdon memandang ke dalam ruangan yang terasa sangat asing baginya. Ruangan di depannya seperti terbenam dalam kabut putih tebal. Kabut tidak tembus pandang itu berputar-putar di antara perabotan ruangan tersebut.
"Apa ini ...?" seru Langdon.
"Sistem pendingin freon," jawab Kohler. "Saya membekukan flat ini untuk mengawetkan mayat itu."
Langdon mengancingkan jasnya untuk menahan dingin. Aku benar-benar berada di negeri para peri, katanya lucu. Dan aku lupa membawa serta sandal ajaibku.
9
MAYAT YANG TERGELETAK di hadapan Langdon tampak mengerikan. Mendiang Leonardo Vetra terbaring terlentang, ditelanjangi, dan kulitnya berwarna kelabu kebiruan. Tulang lehernya mencuat ke luar di tempat yang patah, dan kepalanya di putar ke belakang dengan sempurna, dan mengarah ke arah yang salah. Wajahnya tidak terlihat karena terpelintir mencium lantai. Lelaki itu terbaring di atas genangan urin bekunya, rambut di sekitar kemaluannya yang membeku berserabut karena bunga es.
Untuk melawan perasaan mualnya, Langdon mengalihkan tatapannya ke arah dada korban. Walau Langdon telah melihat luka simetris itu lusinan kali di kertas faks yang diterimanya, luka bakar itu tampak sangat meyakinkan ketika melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Daging yang terkelupas dan terpanggang itu betul-betul menggambarkan ... simbol yang terbentuk dengan sempurna.
Langdon bertanya-tanya apakah rasa dingin yang menggigit ini hanya berasal dari pengatur udara atau karena keheranannya yang luar biasa pada apa yang dilihatnya sekarang.
Jantungnya berdebar ketika dia berjalan mengitari mayat itu sambil membaca tulisan yang tertera di dadanya dari arah atas untuk menegaskan kejeniusan simetris yang dilihatnya. Sekarang, simbol itu terlihat luar biasa ketika dia melihatnya secara langsung.
"Pak Langdon?"
Langdon tidak mendengarnya. Dia sedang berada di dunia lain ... dunianya, bagiannya. Ini adalah dunia tempat sejarah, mitos dan fakta saling bertabrakan, dan membanjiri benaknya.
"Pak Langdon?" Mata Kohler menyelidik penuh harap.
Langdon tidak mengalihkan pandangannya dari mayat itu. Perhatiannya sekarang semakin dalam dan sangat terfokus. "Apa saja yang Anda ketahui dari kata ini?" tanyanya kemudian.
"Hanya yang sudah kubaca dari situs Anda. Kata Illuminati berarti 'mereka yang tercerahkan'. Itu adalah nama sebuah persaudaraan kuno."
Langdon mengangguk. "Anda pernah mendengar nama itu sebelumnya?"
"Tidak sampai aku melihatnya tercap pada tubuh Pak Vetra."
"Jadi Anda membuka internet untuk mencari keterangan tentang itu?"
"Ya."
"Dan kata itu menghasilkan ratusan petunjuk tentunya."
"Ribuan," kata Kohler. "Namun situs Anda berisi informasi dari Harvard, Oxford, sebuah penerbit yang mempunyai reputasi unik dan sebuah daftar dari penerbit lain yang berhubungan. Sebagai seorang ilmuwan, saya tahu mutu informasi yang baik berasal dari sumber yang baik. Informasi Anda tampak meyakinkan."
Mata Langdon masih terpaku pada mayat itu.
Kohler tidak berkata apa -apa lagi. Dia hanya menatap dan menunggu Langdon untuk memberikan keterangan mengenai apa yang dilihatnya sekarang.
Langdon mendongak, dan melihat ke sekeliling ruangan yang membeku itu. "Mungkin kita dapat membicarakannya di tempat yang lebih hangat?"
"Kamar ini baik-baik saja." Tampaknya Kohler terbiasa dengan suhu rendah. "Kita berbicara di sini saja."
Langdon mengerutkan keningnya. Sejarah Illuminati tidak bisa dibilang sederhana. Aku akan mati beku saat mencoba menjelaskannya.
Langdon lalu menatap cap itu sekali lagi, dan merasa bertambah kagum.
Walaupun kisah tentang lambang Illuminati merupakan legenda dalam simbologi modern, belum ada ilmuwan yang betul-betul melihatnya. Berbagai dokumen kuno menjelaskan simbol itu sebagai sebuah ambigram--ambi berarti "bisa dua-duanya" dan itu maksudnya bisa dilihat dari dua sisi. Dan walaupun ambigram sering terlihat di berbagai simbol seperti pada swastika, yin yang, bintang Yahudi, dan salib sederhana, pemikiran bahwa sebuah kata dapat diukir menjadi sebuah ambigram tampaknya sangat tidak mungkin. Para ahli simbologi modern sudah bertahun-tahun mencoba untuk menulis kata Illuminati dengan gaya simetris, tetapi mereka selalu gagal. Umumnya para ilmuwan sekarang memutuskan bahwa simbol itu hanyalah sebuah mitos belaka.
Jadi, siapakah orang-orang Illuminati itu?" tanya Kohler mendesak.
Ya, pikir Langdon. Siapa mereka sebenarnya? Dia lalu memulai ceritanya.
"Sejak awal peradaban," jelas Langdon, "sebuah jurang dalam telah terbentuk di antara ilmu pengetahuan dan agama. Ilmuwan-ilmuwan yang berani bicara seperti Copernicus--"
"Dibunuh," sela Kohler. "Dibunuh oleh gereja karena mereka menguak kebenaran ilmiah. Agama selalu menganiaya ilmu pengetahuan."
"Ya. Tetapi pada tahun 1500-an, sebuah kelompok di Roma melawan gereja. Beberapa orang Italia yang sangat terpelajar, seperti para ahli fisika, matematika, dan ahli astronomi, diam-diam mulai mengadakan pertemuan untuk berbagi keprihatinan terhadap pengajaran gereja yang tidak benar. Mereka takut kalau monopoli gereja pada 'kebenaran' akan mengancam pencerahan ilmuwan di seluruh dunia. Mereka mendirikan sebuah think tank, lembaga pemikir pertama di dunia, dan menyebut diri mereka sendiri sebagai 'orang-orang yang tercerahkan.'"
"Kelompok Illuminati itu."
"Ya," sahut Langdon. "Orang-orang paling pandai di Eropa ... mengabdi untuk mencari kebenaran ilmiah."
Kohler terdiam.
"Tentu saja kelompok Illuminati itu diburu dengan kejam oleh Gereja Katolik. Hanya karena mereka dapat bersembunyi dengan baik, mereka bisa selamat. Pemikiran mereka pun tersebar ke seluruh ilmuwan bawah tanah, dan persaudaraan Illuminati berkembang serta melibatkan seluruh ilmuwan di seluruh Eropa. Para ilmuwan itu mengadakan pertemuan secara teratur di Roma di sebuah markas yang sangat dirahasiakan yang mereka sebut Gereja Illuminati."
Kohler terbatuk dan menggerakkan tubuhnya.
"Beberapa anggota kaum Illuminati," lanjut Langdon, "ingin melawan tirani gereja dengan kekerasan, tetapi anggota yang paling mereka hormati membujuk mereka untuk tidak melakukan itu. Dia adalah orang yang cinta damai dan seorang ilmuwan yang paling ternama dalam sejarah."
Langdon yakin Kohler tahu nama ilmuwan itu. Bahkan orang awam pun mengenali seorang ahli astronomi yang bernasib malang. Ilmuwan itu ditangkap dan hampir dihukum oleh gereja karena mengatakan bahwa matahari, dan bukan bumi, adalah pusat tata surya. Walau fakta yang dikemukakannya itu tidak dapat disangkal, ahli astronomi tersebut tetap di hukum berat karena secara tidak langsung mengatakan bahwa Tuhan menempatkan manusia di tempat lain selain di pusat semesta-Nya.
"Namanya Galileo Galilei," kata Langdon.
Kohler mendongak. "Galileo?"
"Ya. Galileo adalah seorang Illuminatus. Dan dia juga seorang Katolik yang taat. Dia berusaha untuk memperlunak pemikiran gereja terhadap ilmu pengetahuan dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak mengecilkan keberadaan Tuhan, tetapi malah memperkuatnya. Dia pernah menulis ketika dia memerhatikan planet-planet yang berputar melalui teleskopnya, dia dapat mendengar suara Tuhan dalam musik alam semesta. Dia meyakinkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama bukanlah musuh, tetapi rekanan--dua bahasa berbeda yang menceritakan sebuah kisah yang sama, kisah tentang simetri dan keseimbangan ... surga dan neraka, malam dan siang, panas dan dingin, Tuhan dan setan. Ilmu pengetahuan dan agama keduanya bergembira bersama dalam simetri Tuhan ... pertandingan tak pernah berakhir antara terang dan gelap." Langdon berhenti sejenak lalu menghentakkan kakinya supaya tetap hangat.
Kohler hanya duduk di atas kursi rodanya dan memerhatikan Langdon.
Celakanya," lanjut Langdon, "penggabungan ilmu pengetahuan dan agama tidak diinginkan gereja."
"Tentu saja tidak," sela Kohler. "Pengabungan itu akan menghancurkan apa yang sudah dikatakan gereja sebagai satu-satunya kendaraan yang dapat digunakan manusia untuk mengerti luhan. Jadi gereja mengadili Galileo sebagai orang yang sesat, diputus bersalah dan dijatuhi hukuman tahanan rumah seumur hidup. Saya paham benar sejarah ilmu pengetahuan, Pak Langdon. Tetapi itu sudah terjadi berabad-abad yang lalu. Apa hubungannya dengan Leonardo Vetra?"
Pertanyaan bagus. Langdon tidak menghiraukannya. "Penangkapan Galileo membuat kaum Illuminati bergejolak. Tapi mereka membuat kesalahan sehingga gereja dapat mengenali empat orang anggota Illuminati. Mereka kemudian ditangkap dan diinterogasi. Tetapi keempat ilmuwan itu tidak mengatakan apa-apa ... walaupun mereka disiksa."
"Disiksa?"
Langdon mengangguk. "Mereka dicap hidup-hidup di dada mereka dengan simbol salib."
Mata Kohler membelalak, dia menatap mayat Vetra dengan tatapan gelisah.
"Setelah itu para ilmuwan dibunuh dengan sadis, mayat mereka di buang di jalan-jalan di Roma sebagai peringatan bagi yang lainnya supaya tidak bergabung dengan kaum Illuminati. Karena serangan gereja yang begitu gencar, anggota Illuminati yang masih tersisa akhirnya melarikan diri dari Italia."
Langdon berhenti sesaat. Dia memandang mata Kohler yang menatap tanpa ekspresi. "Kaum Illuminati bergerak di bawah tanah dan mulai bergabung dengan para pelarian lainnya yang berusaha menyelamatkan diri dari aksi pembersihan yang dilakukan gereja. Mereka adalah para penganut aliran mistik, ahli kimia, pengikut ilmu gaib, dan orang-orang Muslim dan Yahudi. Selama bertahun-tahun, Illuminati menambah anggotanya. Sebuah Illuminati baru pun muncul. Kelompok Illuminati yang lebih gelap. Kelompok Illuminati yang sangat anti-Kristen. Mereka menjadi begitu kuat, mengadakan upacara -upacara misterius, kerahasiaan yang sangat tertutup, dan bersumpah untuk bangkit lagi pada suatu hari untuk membalas dendam pada Gereja Katolik. Kekuatan mereka berkembang sehingga gereja menganggap mereka sebagai suatu gerakan anti-Kristen yang paling berbahaya di bumi ini. Vatikan mengolok mereka sebagai persaudaraan Shaitan."
"Shaitan?'
"Itu istilah dalam Islam. Artinya 'musuh' ... musuh Tuhan. Gereja sengaja memilih nama dari istilah Islam karena itu adalah bahasa yang mereka anggap kotor." Langdon meneruskan dengan ragu-ragu. "Shaitan adalah asal kata untuk kata bahasa Inggris ...
Satan."
Kegelisahan terlintas di wajah Kohler.
Suara Langdon terdengar muram. "Pak Kohler, saya tidak tahu bagaimana atau kenapa tanda itu tercetak di dada Vetra ... tetapi Anda sedang melihat simbol dari sebuah perkumpulan setan terkuat di dunia yang sudah lama tak tentu rimbanya."
10
LORONG ITU SEMPIT dan lengang. Sekarang si Hassassin berjalan dengan cepat, mata hitamnya memandang dengan waspada. Sesaat sebelum sampai ke tempat yang ditujunya, kata-kata perpisahan Janus bergema di benaknya. Fase kedua akan segera mulai. Beristirahatlah.
Si Hassassin menyeringai. Dia sudah tidak tidur sepanjang malam, tetapi tidur adalah pilihan terakhirnya. Tidur adalah pekerjaan orang lemah. Dia seorang pejuang seperti nenek moyangnya dahulu, dan bangsanya tidak pernah tidur begitu perang dimulai. Genderang perang jelas sudah ditabuh, dan dia mendapat kehormatan untuk memulainya. Kini dia hanya memiliki waktu selama dua jam untuk merayakan kejayaannya sebelum kembali bekerja.
Tidur? Ada cara yang jauh lebih baik untuk bersantai ....
Seleranya pada kesenangan duniawi merupakan sesuatu yang diturunkan oleh nenek moyangnya. Generasi sebelumnya selalu menghibur diri dengan mengisap hashish, tetapi dia lebih meyukai jenis hiburan yang lain. Dia bangga pada tubuhnya--mesin pembunuh yang kuat dan dia tidak sudi untuk mengotorinya dengan narkotika. Dia memiliki ketergantungan pada sesuatu yang lebih baik daripada obat bius ... hadiah yang jauh lebih sehat dan memuaskan.
Merasakan gairah yang berkembang dalam tubuhnya, si Hassassin pun bergerak lebih cepat di jalan sempit itu. Dia sampai di depan sebuah pintu yang berbentuk tidak biasa lalu membunyikan belnya. Jendela intip di pintu itu terbuka dan dua mata berwarna cokelat lembut memandangnya untuk menaksir penampilannya. Pintu pun akhirnya terbuka
"Selamat datang," sapa seorang perempuan dengan pakaian yang apik. Dia mengantar si Hassassin ke ruang duduk yang dihiasi oleh perabotan mahal dengan lampu yang temaram. Tercium wangi parfum dan pengharum ruangan yang mahal. "Kapan pun kamu siap." Perempuan itu memberinya sebuah album foto. "Panggil aku jika kamu sudah menentukan pilihanmu." Perempuan itu pun menghilang.
Si Hassassin tersenyum.
Ketika dia duduk di atas sofa besar yang empuk dan meletakkan album foto itu dipangkuannya, dia merasa gairahnya berputar. Walau bangsanya tidak merayakan Natal, dia bisa membayangkan seperti inilah perasaan seorang anak Kristen ketika duduk di depan setumpukan hadiah Natal dan ingin menemukan keajaiban di dalam hadiah-hadiah itu. Dia membuka album itu dan memerhatikan foto-foto yang terdapat di sana dengan seksama. Fantasi seksual sepanjang hidupnya hidup kembali dalam benaknya.
Marisa. Seorang dewi Italia. Berapi-api. Sophia Loren muda.
Sachiko. Seorang geisha Jepang. Luwes. Keahliannya tidak diragukan.
Kanara. Gadis berkulit hitam yang luar biasa. Bertubuh kencang. Eksotis.
Dia meneliti seluruh foto dalam album itu sebanyak dua kali lalu memutuskan pilihannya. Setelah itu dia menekan sebuah tombol yang terletak di atas meja yang berada di sampingnya.
Beberapa saat kemudian perempuan yang tadi menyambutnya muncul kembali. Lelaki itu menunjukkan pilihannya. Perempuan itu tersenyum. "Ikuti aku."
Setelah menyelesaikan pembayaran, perempuan itu menelepon dengan suara lirih. Dia menunggu beberapa menit, lalu mengantar lelaki itu menaiki tangga putar dari pualam ke sebuah koridor mewah. "Pintu keemasan di ujung itu," katanya. "Seleramu mahal juga."
Memang begitu, jawab lelaki itu dalam hati. Aku 'kan pecinta keindahan sejati.
Si Hassassin melangkah di sepanjang koridor seperti seekor macan kumbang menghampiri santapan yang sudah lama dinantikannya. Ketika dia tiba di ambang pintu, dia tersenyum pada dirinya sendiri. Pintu itu sudah terbuka sedikit seperti menyambutnya. Dia mendorongnya dan pintu itu pun terbuka dengan mudahnya.
Ketika dia melihat pilihannya, dia tahu dia telah memilih dengan tepat. Perempuan itu tepat seperti yang dikehendakinya ... telanjang, terbaring terlentang, kedua lengannya terikat di kepala tempat tidur dengan pita beledu tebal.
Lelaki itu berjalan mendekat dan mengusapkan jarinya yang berwarna gelap di atas perut berkulit putih dan mulus itu. Aku sudah membunuh orang kemarin malam, katanya dalam hati. Kamu adalah hadiah untukku.
11
"SETAN?" TANYA KOHLER sambil mengusap mulutnya dan bergeser tidak tenang. "Ini simbol dari kelompok pemuja setan?"
Langdon mondar-mandir dalam ruangan itu untuk menjaga suhu tubuhnya agar tetap hangat. "Kelompok Illuminati memang memuja setan. Tetapi tidak dalam pengertian modern."
Dengan cepat Langdon menjelaskan bagaimana umumnya orang menggambarkan para pemuja setan sebagai pemuja iblis. Tapi secara historis para pemuja setan adalah orang-orang yang terpelajar yang melawan gereja. Shaitan. Kabar angin tentang kekuatan gaib hitam, pengorbanan hewan dan ritual pentagram hanyalah kebohongan yang disebarkan oleh gereja sebagai kampanye kotor melawan musuh-musuh mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, para penentang gereja itu juga ingin menyamai kaum Illuminati. Kelompok itu mulai memercayai kebohongan yang disebarkan oleh gereja dan bertindak sesuai dengan apa yang mereka percayai. Maka, lahirlah kelompok pemuja setan modern.
Kohler berdehem. "Itu semua sejarah kuno. Aku ingin tahu bagaimana simbol itu bisa berada di sini."
Langdon menarik napas panjang. "Simbol itu sendiri diciptakan oleh seorang seniman Illuminati yang tidak diketahui namanya pada abad keenam belas sebagai penghormatan bagi kecintaan Galileo akan simetri--semacam logo sakral Illuminati. Persaudaraan itu menjaga kerahasiaan simbol tersebut. Konon mereka berencana untuk memperlihatkannya hanya ketika mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk muncul kembali dan mewujudkan tujuan utama mereka."
Kohler tampak tidak mengerti. "Jadi simbol ini berarti persaudaraan Illuminati muncul kembali?"
Langdon mengerutkan keningnya. "Itu tidak mungkin. Ada satu bab dari sejarah Illuminati yang belum kujelaskan."
Suara Kohler terdengar tegas, "Jelaskan padaku."
Langdon menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya sementara pikirannya mulai memilah-milah ratusan dokumen yang pernah dibacanya atau ditulisnya tentang Illuminati. "Kaum Illuminati adalah orang-orang yang tangguh," jelasnya. "Ketika mereka melarikan diri dari Roma, mereka melakukan perjalanan melintasi benua Eropa dan mencari tempat aman untuk berkumpul kembali. Mereka diterima oleh sebuah kelompok rahasia juga ... sebuah saudaraan yang anggotanya merupakan para ahli mengukir batu dari Bavaria yang kaya raya bernama Freemason."
Kohler tampak terkejut. "Kelompok Mason itu?"
Langdon mengangguk dan tidak terlalu terkejut karena Kohler pernah mendengar tentang kelompok tersebut. Kini persaudaraan Mason memiliki lebih dari lima juta anggota yang tersebar di seluruh dunia, separuhnya tinggal di Amerika Serikat dan lebih dari satu juta orang tinggal di Eropa.
"Tentu saja kelompok Mason itu bukan pemuja setan, bukan?" tanya Kohler dengan ragu-ragu.
"Tentu saja bukan. Kelompok Mason menerima para pelarian itu demi kebaikan mereka sendiri. Setelah mereka menerima para ilmuwan pelarian itu pada tahun 1700-an, tanpa mereka sadari, kelompok Mason menjadi benteng bagi kaum Illuminati. Kaum Illuminati berkembang di dalam tubuh kelompok Mason dan perlahan-lahan mulai mengambil alih kekuatan kelompok Mason. Diam-diam kaum Illuminati mulai memperkuat kembali persaudaraan ilmuwan mereka di dalam tubuh Mason--semacam perkumpulan rahasia di dalam perkumpulan rahasia lainnya. Kemudian kaum Illuminati menggunakan jaringan internasional yang dimiliki oleh kelompok Mason untuk menyebarkan pengaruh mereka."
Langdon menghirup udara dingin sebelum melanjutkan dengan cepat. "Penghapusan ajaran Katolik merupakan tujuan utama mereka. Persaudaraan itu yakin kalau dogma takhayul yang disebarkan oleh gereja merupakan musuh terbesar manusia. Mereka khawatir kalau agama terus menyebarkan mitos kesalehan sebagai kenyataan absolut, maka kemajuan ilmu pengetahuan akan terhenti, dan manusia akan musnah karena jihad bodoh di masa mendatang yang tidak beralasan itu."
"Seperti yang kita lihat saat kini."
Langdon mengerutkan keningnya. Kohler benar. Jihad masih menjadi berita utama sampai sekarang. Tuhanku lebih baik dibandingkan dengan Tuhanmu. Tampaknya selalu ada kemiripan antara umat yang taat dengan pasukan yang siap berperang.
"Lanjutkan," kata Kohler.
Langdon mengumpulkan pemikirannya lalu melanjutkan. "Kaum Illuminati berkembang menjadi semakin kuat di Eropa dan mulai memandang Amerika sebagai pemerintahan yang belum berpengalaman. Banyak dari pemimpin bangsa Amerika adalah anggota kelompok Mason, seperti George Washington dan Benjamin Franklin. Mereka adalah orang-orang yang jujur, taat kepada Tuhan tapi tidak menyadari cengkeraman kuat Illuminati dalam diri mereka. Kaum Illuminati mengambil keuntungan dari penyusupan itu dan berhasil mendirikan bank, berbagai perguruan tinggi, dan membangun industri untuk mendanai tujuan utama mereka." Langdon berhenti sejenak. "Tujuan mereka adalah dunia yang bersatu, semacam konsep New World Order atau Tata Dunia Baru yang sekuler."
Kohler tidak bergerak.
"Sebuah Tata Dunia Baru," Langdon mengulangi, "berdasarkan pencerahan ilmiah. Mereka menyebutnya Doktrin Luciferian. Gereja menegaskan bahwa Lucifer adalah sebuah kata yang mengacu pada setan. Tetapi persaudaraan itu menegaskan bahwa Lucifer berasal dari bahasa Latin yang berarti sang pembawa cahaya. Atau Illuminator.
Kohler mendesah, dan suaranya tiba-tiba menjadi tenang. "Pak Langdon, duduklah."
Langdon duduk di atas sebuah kursi yang membeku.
Kohler menggeser kursi rodanya agar dapat lebih mendekat. "Aku tidak yakin kalau aku memahami semua yang baru saja kamu katakan padaku, tetapi aku pasti mengerti yang satu ini. Leonardo Vetra adalah harta yang tak ternilai harganya bagi CERN. Dia juga teman saya. Saya membutuhkan Anda untuk mencari Illuminati."
Langdon tidak tahu bagaimana menjawabnya. "Mencari Illuminati?" Bercanda, ya? "Sepertinya, itu tidak mungkin."
Alis Kohler naik. "Apa maksud Anda? Anda tidak mau--"
"Pak Kohler," Langdon mencondongkan tubuhnya ke arah tuan rumah dan merasa tidak yakin bagaimana membuatnya mengerti tentang hal yang akan dikatakannya. "Saya memang belum menyelesaikan penjelasan saya. Tapi saya sangat yakin kalau pemberian cap di atas dada pegawai Anda itu tampaknya tidak dilakukan oleh Illuminati karena keberadaan mereka sudah tidak dapat dibuktikan sejak lebih dari setengah abad yang lalu, dan hampir semua ilmuwan sepakat kalau Illuminati sudah bubar sejak lama sekali."
Kata-kata itu tidak mendapatkan tanggapan. Kohler menatap
kabut dengan perasaan antara marah dan tak berdaya. "Bagaimana kamu bisa bilang kalau kelompok itu sudah tidak ada sementara nama mereka terukir di atas mayat orang ini!"
Langdon juga menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri sepanjang pagi tadi. Penampakan ambigram Illuminati ini memang sangat mencengangkan. Para ahli simbologi di seluruh dunia pasti akan pusing. Walau demikian, Langdon berpikir kalau pemunculan lambang itu tidak membuktikan apa-apa tentang Illuminati.
"Simbol," kata Langdon, "tidak dapat memastikan keberadaan si pencipta simbol yang asli."
"Apa maksud Anda?"
"Maksud saya adalah, ketika filosofi terorganisir seperti Illuminati itu punah, simbol mereka akan tetap ada dan dapat digunakan oleh kelompok lain. Itu disebut transfer simbol. Hal itu sangat biasa dalam dunia simbologi. Nazi mengambil lambang swastika dari agama Hindu, orang-orang Kristen mengambil bentuk salib dari bangsa Mesir, --"
Tadi pagi," kata Kohler dengan suara seperti menantang Langdon, "ketika aku mengetik kata Illuminati pada komputerku, aku menemukan banyak referensi baru. Sepertinya masih banyak orang yang berpikir kalau kelompok ini masih aktif."
Itu hanya para penggemar teori konspirasi," sahut Langdon. la selalu terganggu oleh teori konspirasi berlebihan yang beredar di dalam budaya pop modern. Media menampilkan berita utama yang mengejutkan, dan dengan sok tahu membuat berita kalau Illuminati masih ada dan mampu mengelola Tata Dunia Baru dengan baik. Baru-baru ini, New York Times melaporkan tentang hubungan antara kelompok Mason dengan beberapa orang terkenal, seperti Sir Arthur Conan Doyle, Duke of Kent, Peter Seller, Irving Berlin, Prince Phillip, Louis Armstrong dan beberapa pengusaha dan bankir terkenal lainnya.
Kohler menunjuk dengan marah ke arah mayat Vetra. "Dengan melihat bukti yang ada di hadapan Anda, para penggemar teori konspirasi itu mungkin saja benar."
"Saya bisa memahaminya," kata Langdon sediplomatis mungkin. "Tapi ada satu penjelasan yang jauh lebih masuk akal. Mungkin saja ada organisasi lainnya yang mengambil alih lambang Illuminati dan menggunakannya untuk tujuan mereka sendiri."
"Tujuan apa? Apa yang ingin dibuktikan oleh pembunuhan ini?" Pertanyaan bagus, pikir Langdon. Dia juga mendapat kesulitan membayangkan dari mana orang itu dapat menemukan lambang ini setelah menghilang selama lebih dari 400 tahun. "Yang dapat saya katakan pada Anda adalah, jika memang Illuminati masih aktif hingga kini, walau saya yakin itu tidak benar, mereka tidak mungkin terkait dengan pembunuhan Leonardo Vetra."
"Tidak?"
"Tidak. Kelompok Illuminati mungkin saja diyakini sebagai kelompok yang ingin menghilangkan agama Kristen, tetapi mereka menjalankan kekuatan mereka melalui sarana politis dan keuangan, bukan melalui tindakan terorisme. Terlebih lagi, Illuminati mempunyai peraturan ketat tentang moralitas dalam menentukan siapa yang mereka anggap sebagai musuh. Mereka sangat menghormati para ilmuwan. Jadi tidak mungkin mereka membunuh orang seperti Leonardo Vetra."
Mata Kohler menjadi sedingin es. "Mungkin saya lupa katakan bahwa Leonardo Vetra bukanlah seorang ilmuwan."
Langdon menarik napas dengan sabar. "Pak Kohler, saya yakin Leonardo Vetra sangat pandai dalam banyak hal, tetapi kenyataannya tetap--"
Tiba-tiba, Kohler memutar kursi rodanya dan berjalan cepat keluar ruang tamu sehingga meninggalkan pusaran kabut ketika menghilang ke sebuah koridor di dalam apartemen Vetra.
Demi kasih Tuhan, Langdon menggerutu. Dia pun mengikuti lelaki tua itu. Ternyata Kohler sedang menunggunya di dalam sebuah ruangan kecil di ujung koridor tersebut.
"Ini ruang kerja Leonardo," kata Kohler sambil menunjuk ke sebuah pintu geser. "Mungkin kalau Anda melihatnya, Anda akan memahami beberapa hal dengan lebih jelas." Dengan mengeluarkan geraman yang aneh, Kohler menggesernya, dan pintu itu pun bergerak terbuka.
Langdon melongok ke dalam ruang kerja tersebut dan langsung merinding. Bunda Jesus yang suci, katanya pada dirinya sendiri.
12
DI SEBUAH TEMPAT di negara lain, seorang petugas keamanan berusia muda duduk dengan sabar di depan sekumpulan layar monitor. Dia menatap layar monitor yang menayangkan tampilan yang berganti-ganti di depannya. Tampilan tersebut langsung disiarkan melalui ratusan kamera video nirkabel yang tersebar di seluruh kompleks ini. Tampilan tersebut berganti-ganti dalam sebuah urutan yang tidak ada akhirnya.
Sebuah koridor dengan hiasan yang indah.
Sebuah kantor pribadi.
Sebuah dapur dengan ukuran yang sangat besar.
Ketika gambar-gambar itu berganti-ganti, penjaga itu melamun. Sebentar lagi giliran jaganya akan berakhir, tapi dia masih waspada. Melayani merupakan sebuah kehormatan baginya. Suatu hari kelak dia akan menerima penghargaan besar.
Ketika pikirannya melantur, sebuah gambar di depannya membuatnya bersiaga. Tiba-tiba, secara refleks dia tersentak dengan kekuatan yang mengejutkan dirinya sendiri. Tangannya terulur dan menekan sebuah tombol di papan kendali sehingga gambar itu berhenti bergerak.
Rasa ingin tahunya timbul. Dia kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah layar monitor agar dapat melihat dengan lebih jelas. Tulisan di layar menunjukkan bahwa gambar itu ditangkap oleh kamera nomor 86--sebuah kamera yang diarahkan ke koridor.
Tetapi gambar di depannya sama sekali tidak menayangkan situasi di koridor.
13
LANGDON MENATAP RUANG kerja di hadapannya dengan heran. "Ruangan apa ini?" Walau udara hangat menerpa wajahnya, dia melangkahkan kakinya melewati pintu itu dengan gemetar. Kohler tidak mengatakan apa-apa ketika mengikuti Langdon memasuki ruangan tersebut.
Langdon mengamati seluruh ruangan itu, tanpa memahami ruang macam apa itu. Ruangan itu berisi berbagai artifak ganjil yang belum pernah dilihatnya. Dari kejauhan Langdon bisa melihat sebuah salib kayu yang besar sekali dan tergantung di dinding. Menurut perkiraan Langdon, salib tersebut berasal dari Spanyol dan dibuat pada abad keempat belas. Di atas salib tersebut, tergantung di atas langit-langit, terdapat tiruan planet-planet dari metal yang dapat bergerak seperti sedang mengorbit. Di sisi kiri Langdon, terdapat lukisan cat minyak Maria Perawan Suci, dan di sampingnya ada sebuah susunan berkala yang dilaminating. Di sisi lain, terdapat dua salib perunggu lagi dan mengapit sebuah poster Albert Einstein dengan kutipan terkenalnya, TUHAN TIDAK BERMAIN DADU DENGAN ALAM SEMESTA.
Langdon bergerak masuk ke dalam ruangan tersebut, dan melihat-lihat dengan penuh kagum. Sebuah Alkitab bersampul kulit tergeletak di atas meja kerja Vetra, sementara di sampingnya terdapat sebuah model sebuah atom karya Bohr (ahli fisika asal Denmark, pemenang Nobel 1922--peny.) yang terbuat dari plastik dan sebuah miniatur replika Nabi Musa karya Michael Angelo.
Gado-gado sekali! seru Langdon dalam hati. Kehangatan ruangan ini memang membuat Langdon merasa nyaman, tapi ada sesuatu dari penataan ruangan itu yang membuatnya merinding. Dia merasa seperti sedang menyaksikan pertempuran antara dua raksasa filosofi ... sebuah gambar buram dari dua kekuatan yang saling bertentangan. Dia mengamati berbagai judul buku yang terdapat di sebuah rak buku:
Partikel Tuhan.
Taoisme dalam Fisika
Tuhan: Sang Bukti
Pada sandaran buku terdapat kutipan:
ILMU SEJATI AKAN MENEMUKAN TUHAN YANG SEDANG MENANTI DI BALIK SETIAP PINTU.
--PAUS PIUS XII
"Leonardo adalah seorang pastor Katolik," kata Kohler.
Langdon menoleh. "Seorang pastor? Saya kira Anda tadi mengatakan kalau dia seorang ahli fisika."
"Leonardo adalah pastor Katolik dan ahli fisika. Ilmuwan sekaligus agamawan yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah. Leonardo adalah salah satu dari mereka. Dia menganggap fisika sebagai 'hukum alam Tuhan'. Dia bilang kita bisa membaca tulisan tangan Tuhan dengan memerhatikan hukum alam yang terjadi di sekitar kita. Melalui ilmu pengetahuan dia berharap dapat membuktikan keberadaan Tuhan bagi orang-orang yang meragukannya. Dia menganggap dirinya sendiri sebagai seorang theo-physicist. Ahli fisika teologis"
Fisika teologis? Langdon menganggap kata itu terdengar konyol dan tidak masuk akal.
"Bidang fisika partikel," kata Kohler lagi, "berhasil menemukan beberapa penemuan yang mengejutkan akhir-akhir ini. Penemuan tersebut memiliki dampak yang cukup spiritual. Leonardo ikut terlibat dalam beberapa penemuan tersebut."
Langdon mengamati direktur CERN itu sambil masih mencoba memahami keanehan di sekitarnya. "Spiritualitas dan fisika?"
Langdon sudah menghabiskan sebagian besar waktu dari karirnya untuk mempelajari sejarah agama, dan selalu ada masalah yang terus-menerus muncul. Masalah itu tak lain adalah pandangan bahwa ilmu pengetahuan dan agama adalah seperti minyak dan air sejak sejarah peradaban terbentuk. Mereka musuh bebuyutan dan tidak dapat dipadukan.
"Vetra adalah ahli fisika partikel kawakan," kata Kohler. "Dia mulai mencampur ilmu pengetahuan dan agama ... untuk menunjukkan bahwa kedua hal itu saling melengkapi dengan cara yang sangat tidak terduga. Dia menamakan bidang itu Fisika Baru."
Kohler menarik sebuah buku dari rak buku dan memberikannya kepada Langdon.
Langdon memerhatikan judul yang tertulis di sampul buku tersebut. Tuhan, Keajaiban dan Fisika Baru--oleh Leonardo Vetra.
"Bidang itu memang masih bayi," kata Kohler, "tetapi dapat berikan jawaban segar bagi beberapa pertanyaan klasik, seperti pertanyaan tentang asal muasal alam semesta dan kekuatan yang menyatukan kita semua. Leonardo percaya, penelitiannya berpotensi mengundang jutaan orang untuk menjadi lebih spiritual. Tahun lalu ia menemukan bukti keberadaan kekuatan energi yang mempersatukan kita semua. Dia menunjukkan bahwa secara lahiriah kita saling terhubung ... bahwa semua molekul dalam tubuh saya saling terjalin dengan molekul di tubuh Anda ... bahwa ada satu daya yang bergerak di diri semua umat manusia."
Langdon merasa bingung. Dan kekuatan Tuhan akan menyatukan kita semua. "Pak Vetra benar-benar menemukan cara untuk membuktikan kepada kita kalau partikel-partikel tersebut saling berhubungan?"
"Bukti yang meyakinkan. Baru-baru ini Scientific American menurunkan sebuah artikel yang menulis bahwa Fisika Baru adalah jalan menuju Tuhan yang lebih nyata daripada agama."
Komentar tadi masuk akal juga. Langdon kemudian tiba -tiba berpikir tentang Illuminati yang antiagama. Dengan enggan, dia memaksakan diri untuk membiarkan pemikiran tadi memengaruhi dirinya. Jika Illuminati memang masih aktif, apakah mereka membunuh Leonardo dengan tujuan untuk menghentikan ahli fisika itu agar tidak menyebarkan pesan agamanya kepada masyarakat? Langdon mengusir gagasan itu. Tidak masuk akal! Illuminati adalah sejarah kuno! Semua ilmuwan tahu tentang itu!
Vetra memiliki banyak musuh dari dunia ilmu pengetahuan," lanjut Kohler. "Banyak ilmuwan puritan membencinya. Bahkan dia juga dibenci di sini. Mereka menganggap usaha Vetra yang menggunakan analisis fisika untuk mendukung prinsip-prinsip agama merupakan pengkhianatan pada ilmu pengetahuan."
Tetapi bukankah sekarang para ilmuwan bersikap kurang defensif dengan gereja?"
Kohler mendengus kesal. "Kenapa harus seperti itu? Mungkin saja kini gereja tidak akan membakar kita di atas salib seperti dahulu kala, tetapi kalau Anda berpikir mereka sudah melepaskan kekuasaannya terhadap para ilmuwan, tanyakan pada diri Anda sendiri kenapa separuh dari sekolah-sekolah di negara Anda tidak membiarkan kita mengajarkan evolusi. Tanyakan pada diri Anda sendiri kenapa Koalisi Kristen di Amerika Serikat menjadi kekuatan lobi paling berpengaruh di dunia dalam melawan kemajuan ilmu pengetahuan. Pertempuran antara ilmu pengetahuan dan agama masih berlangsung, Pak Langdon. Ajangnya kini berpindah dari medan perang ke ruang-ruang sidang, tetapi hal itu terus berlangsung."
Langdon tahu kalau Kohler benar. Baru seminggu yang lalu, mahasiswa Harvard School of Divinity berdemonstrasi ke gedung Fakultas Biologi untuk memprotes diadakannya mata kuliah rekayasa genetik di program pasca sarjana. Ketua jurusan biologi, ahli ilmu tentang burung terkenal bernama Richard Aaronian, tetap mempertahankan kurikulum yang diajukannya dengan menggantungkan spanduk besar di jendela kantornya. Spanduk itu bergambarkan "ikan" Kristen yang memiliki empat kaki yang kecil. Menurut Aaronian, itu adalah penghormatan untuk evolusi ikan lungfish Afrika yang berhasil hidup di daratan. Di bawah gambar ikan tersebut, alih-alih tertulis kata "Jesus," terdapat satu kata dengan tanda seru: "DARWIN!"
Suara "bip" terdengar dan menggugah kesadaran mereka. Langdon mencari arah suara dan menemukan Kohler sedang meraih sederetan perlengkapan elektronik di kursi rodanya. Dia mengambil penyeranta itu dari penjepitnya kemudian membaca pesan yang tertera di sana.
"Bagus. Itu tadi putri Leonardo. Nona Vetra sebentar lagi tiba di landasan helikopter. Kita akan menyambutnya di sana. Menurutku sebaiknya dia tidak usah datang ke sini dan melihat ayahnya dalam keadaan seperti itu."
Langdon setuju. Gadis itu tidak pantas untuk mendapatkan guncangan sehebat itu.
"Aku akan meminta Nona Vetra untuk menjelaskan proyek yang sedang ditanganinya bersama-sama dengan ayahnya ... mungkin hal itu akan memberikan sedikit kejelasan kenapa ayahnya dibunuh."
"Anda mengira, karena penelitian yang dilakukannya yang membuat Vetra dibunuh?"
"Sangat mungkin begitu. Leonardo mengatakan padaku bahwa dia sedang mengerjakan sesuatu yang bisa mengundang kontroversi. Hanya itu yang dikatakannya. Dia sangat merahasiakan proyeknya itu. Dia bahkan memiliki lab pribadi agar mendapat ketenangan. Saya memberikan apa yang dia minta karena kepandaian yang dimilikinya. Pekerjaannya memakan listrik yang sangat besar akhir-akhir ini, tetapi saya tidak bertanya apa -apa padanya." Kohler berputar ke arah pintu ruang kerja di apartemen Vetra. "Ada satu lagi yang harus Anda ketahui sebelum kita meninggalkan ruangan ini. Langdon tidak yakin ingin mendengarnya.
"Sebuah benda telah dicuri oleh pelaku pembunuhan."
"Sebuah benda?"
"Ikuti saya."
Direktur itu berputar kembali ke arah ruangan berkabut itu. Langdon mengikutinya, tidak tahu apa yang akan dilihatnya. Kohler bergerak mendekati mayat Vetra dan beberapa inci kemudian dia berhenti. Dia memanggil Langdon untuk mendekat. Dengan enggan, Langdon mendekat. Dia merasa mual oleh bau urin beku yang terdapat di dekat mayat itu.
"Lihat wajahnya," kata Kohler.
Lihat wajahnya?. Langdon mengerutkan keningnya. Bukannya kamu tadi bilang kalau sesuatu telah dicuri?
Dengan ragu-ragu, Langdon berlutut. Dia mencoba melihat wajah Vetra, tetapi kepala Vetra sudah dipilin 180 derajat kebelakang sehingga wajahnya sekarang mencium permadani di bawahnya. Kohler berusaha melawan kecacatan tubuhnya, menundukkan badannya dan dengan berhati-hati memutar kepala Vetra yang membeku. Terdengar suara berderak keras, dan wajah mayat itu berputar ke depan. Air mukanya membayangkan kesakitan. Sejenak Kohler menahannya di posisi seperti itu.
"Ya, Tuhan!" seru Langdon. Dia pun terhuyung ke belakang dengan ketakutan. Wajah Vetra berlumuran darah. Satu mata cokelatnya menatap kosong ke arahnya. Mata yang satunya hilang sehingga meninggalkan luka bekas cungkilan yang mengerikan.
"Mereka mencuri matanya?"
14
LANGDON MELANGKAH KELUAR dari Gedung C dan menuju ke ruang terbuka. Dia merasa senang karena sudah berada di luar apartemen Vetra. Sinar matahari membantunya untuk menghilangkan bayangan rongga mata kosong yang tadi menguasai benaknya.
"Ke sebelah sini, Pak Langdon," kata Kohler sambil membelok ke arah jalan kecil yang curam. Kursi roda listrik itu tampak meluncur tanpa kesulitan. "Nona Vetra akan tiba sebentar lagi."
Langdon bergegas supaya tidak tertinggal.
"Jadi, kamu masih meragukan keterlibatan Illuminati?" tanya Kohler.
Langdon tidak tahu harus berpikir bagaimana lagi. Kedekatan Vetra dengan agama memang cukup berbahaya dan Langdon tidak dapat mengabaikan setiap bukti ilmiah yang pernah dia teliti. Terlebih lagi, ada masalah tentang mata yang hilang itu ...
"Aku masih beranggapan kalau Illuminati tidak bertanggung jawab atas pembunuhan ini. Mata yang hilang itulah buktinya." Kata Langdon dengan suara yang lebih keras daripada yang inginkannya.
"Apa?"
"Multilasi acak," jelas Langdon, " sama sekali bukan sifat Illuminati. Para peneliti berbagai kelompok pemujaan menganggap tindakan perusakan wajah seperti itu berasal dari sekte pinggiran yang tidak berpengalaman. Pengikut fanatik yang melakukan aksi terorisme. Operasi yang dilakukan Illuminati selalu merupakan tindakan yang penuh perhitungan."
"Penuh perhitungan? Mengambil bola mata seseorang dengan cara dibedah seperti itu bukan tindakan penuh perhitungan?"
"Tidak begitu jelas tujuannya. Sepertinya tidak ada maksud tertentu."
Kursi roda Kohler berhenti dengan tiba-tiba di puncak bukit. Dia kemudian berpaling untuk menatap Langdon. "Pak Langdon, percayalah pada saya. Bola mata yang hilang itu pasti memiliki maksud yang tidak sepele ... sebuah maksud yang luar biasa penting."
Ketika kedua lelaki itu menyeberangi halaman berumput, suara baling-baling helikopter mulai terdengar dari arah barat. Kemudian sebuah helikopter pun muncul dari balik bukit menuju ke arah mereka. Helikopter itu membelok tajam, lalu melambat di atas sebuah landasan helikopter yang dicat di atas rumput.
Langdon memerhatikan helikopter tersebut, dan pikirannya terasa berputar-putar seperti baling-baling pesawat itu. Dalam hati Langdon bertanya-tanya apakah tidur nyenyak sepanjang malam dapat menjernihkan pikirannya yang campur aduk. Tapi entah kenapa, dia meragukannya.
Ketika helikopter itu mendarat, seorang pilot meloncat keluar dan mulai menurunkan muatan yang dibawanya. Muatan yang dibawa pesawat itu ternyata cukup banyak, dan terdiri atas beberapa barang dalam jumlah besar seperti ransel, tas basah dari bahan vinyl, tabung skuba dan peti kayu yang tampaknya berisi peralatan selam berteknologi tinggi.
Langdon bingung. "Itu semua barang-barang milik Nona Vetra?" teriaknya pada Kohler untuk mengalahkan deru suara mesin helikopter.
Kohler mengangguk dan berteriak menyahut, "Dia melakukan penelitian biologi di Laut Balearic."
"Saya kira Anda tadi bilang dia ahli fisika!"
"Memang benar. Dia memang ahli fisika yang berhubungan dengan biologi. Dia mempelajari keterkaitan dalam sistem kehidupan. Pekerjaannya sangat terkait dengan perkerjaan ayahnya di bidang fisika partikel. Baru-baru ini Nona Vetra mematahkan teori fundamental Einstein dengan menggunakan kamera khusus yang sinkron dengan gerakan atom untuk meneliti sekelompok ikan tuna."
Langdon mengamati wajah tuan rumahnya itu untuk mencari tanda-tanda bahwa dia sedang bercanda. Einstein dan ikan tuna? Dia mulai bertanya-tanya apakah pesawat X-33 yang membawanya tadi pagi telah mengantarkannya ke planet yang salah.
Sesaat kemudian, Vittoria Vetra muncul dari dalam helikopter. Robert Langdon baru sadar kalau hari ini akan menjadi satu hari yang penuh dengan kejutan yang tiada habisnya. Vittoria Vetra turun dari helikopter mengenakan celana pendek dari bahan khaki dan blus putih tanpa lengan. Gadis itu sama sekali tidak terlihat seperti seorang kutu buku seperti yang sebelumnya Langdon bayangkan. Putri Leonardo Vetra itu adalah perempuan yang luwes dan anggun. Dia bertubuh jangkung dengan kulit berwarna kecokelatan. Vittoria memiliki rambut hitam panjang yang berterbangan karena angin yang dihasilkan oleh baling-baling helikopter yang berputar tak jauh dari tempatnya berdiri. Tak diragukan lagi kalau Vittoria Vetra memiliki wajah seorang wanita Italia--tidak terlalu cantik, tetapi tampak percaya diri. Sosok memesona yang walau dilihat dari jarak dua puluh yard pun masih tampak memancarkan cahaya sensual. Putaran udara menerpanya dan membuat pakaiannya melekat ketat pada tubuhnya memperjelas badannya yang ramping dengan payudaranya yang kecil.
"Nona Vetra adalah perempuan yang memiliki kepribadian sangat kuat," kata Kohler seolah dia melihat keterpikatan Langdon.
"Gadis itu melewatkan waktu selama berbulan-bulan untuk bekerja di dalam sistem ekologi yang berbahaya. Dia seorang vegetarian yang taat dan pelatih Hatha yoga di CERN."
Hatha yoga? Langdon merasa geli sendiri. Seni meditasi peregangan kuno ala Buddha bukanlah hobi yang lazim bagi putri seorang ahli fisika dan pastor Katolik.
Langdon melihat Vittoria berjalan ke arah mereka. Tampak jelas kalau dia baru saja menangis. Matanya yang berwarna cokelat dengan tatapan membara itu dipenuhi oleh emosi yang tidak dimengerti oleh Langdon. Walau terlihat terguncang, perempuan itu berjalan dengan tenang. Tubuhnya atletis dan tampak kecokelatan--menunjukkan kalau dia baru saja menikmati cahaya matahari di Laut Mediterania yang hangat.
"Vittoria," sambut Kohler ketika perempuan itu mendekat. "Aku turut berduka cita. Ini kehilangan yang menyedihkan bagi dunia ilmu pengetahuan dan bagi kita semua di CERN."
Vittoria mengangguk mengerti. Ketika dia berbicara suaranya lembut--beraksen Inggris dan serak. "Kamu sudah tahu siapa pelakunya?"
"Kami masih mencarinya."
Lalu dia berpaling pada Langdon, dan mengulurkan lengan yang ramping. "Namaku Vittoria Vetra. Anda dari interpol, bukan?"
Langdon menyambut tangannya, dan sesaat dia terpaku oleh pesona yang dipancarkan dari mata yang berkaca-kaca itu. "Robert Langdon." Dia tidak yakin apa lagi yang dapat dikatakannya.
"Pak Langdon bukan pejabat yang berwenang," jelas Kohler. "Ia seorang ahli dari Amerika Serikat. Dia berada di sini untuk menolong kita agar dapat menemukan siapa pelaku pembunuhan ini."
Vittoria tampak ragu-ragu. "Lalu bagaimana dengan polisi?"
Kohler menghela napas, dan tidak mengatakan apa -apa.
"Di mana jenazahnya?" tanya Vittoria.
"Sedang diurus."
Kebohongan kecil itu membuat Langdon heran.
"Aku ingin melihatnya," kata Vittoria.
"Vittoria," desah Kohler, "ayahmu dibunuh dengan sangat kejam. Sebaiknya kamu mengingatnya seperti dia masih hidup saja."
Vittoria akan berbicara lagi, tapi disela oleh seruan beberapa orang.
"Hei, Vittoria!" beberapa orang menyapa dari kejauhan. "Selamat datang!"
Perempuan itu berpaling. Sekelompok ilmuwan lewat di dekat helikopter sambil melambaikan tangan mereka dengan gembira.
"Kamu berhasil mematahkan teori Einstein lagi?" seseorang bertanya dengan suara keras.
Dan yang lainnya menambahkan, "Ayahmu pasti bangga padamu!"
Vittoria membalas lambaian mereka dengan kaku. Dia kemudian berpaling pada Kohler. Kini wajahnya terlihat bingung. "Belum ada yang mengetahuinya?"
"Menurutku ini sebaiknya dirahasiakan saja."
"Kamu belum mengatakan kepada rekan-rekan lainnya kalau ayahku dibunuh?" Nada kebingungannya sekarang berubah menjadi nada kemarahan.
Nada bicara Kohler menjadi lebih keras lagi. "Mungkin kamu lupa Nona Vetra. Begitu aku melaporkan pembunuhan ayahmu, akan ada penyelidikan di CERN. Termasuk penyelidikan dalam labnya. Aku selalu mencoba untuk menghormati hak pribadi ayahmu. Ayahmu hanya mengatakan dua hal tentang proyek yang sedang kalian kerjakan saat ini. Pertama, proyek itu akan menghasilkan jutaan frank bagi CERN dari berbagai kontrak perizinan selama sepuluh tahun mendatang. Kedua, proyek itu belum siap dipublikasikan karena masih menjadi teknologi yang penuh risiko. Dengan mempertimbangkan dua alasan tadi, aku tidak sudi membiarkan orang asing memeriksa barang-barang di ruang lab-nya baik untuk mencuri pekerjaannya atau mengalami kecelakaan ketika sedang melakukan pemeriksaan sehingga malah menyusahkan CERN. Jelas?"
Vittoria hanya menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Langdon dapat merasakan keengganan Vittoria untuk menghormati dan menerima pemikiran Kohler.
"Sebelum kita melaporkan apa pun kepada polisi," Kohler melanjutkan, "aku ingin tahu apa yang sedang kalian kerjakan. Aku ingin kamu membawa kami ke labmu."
"Lab itu tidak ada hubungannya," kata Vittoria. "Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang kami berdua sedang kerjakan. Percobaan itu tidak mungkin berhubungan dengan pembunuhan ayahku."
Kohler mendengus kesal. "Bukti yang ada memperlihatkan hal yang berbeda."
"Bukti? Bukti apa?"
Langdon juga mempertanyakan hal yang sama.
Kohler menyeka mulutnya lagi. "Kamu hanya harus memercayai aku."
Terlihat jelas dari tatapan mata Vittoria kalau dia tidak memercayai Kohler.
15
LANGDON BERJALAN TANPA bersuara di belakang Vittoria dan Kohler ketika mereka kembali menuju ke atrium utama; tempat dimana pertama kali Langdon menginjakkan kaki di tempat yang aneh ini. Kaki Vittoria terayun dengan luwes seperti langkah penyelam Olimpiade. Sebuah potensi tidak mengherankan kalau dikaitkan dengan latihan kelenturan dan pengendalian yang didapat dari latihan yoga. Langdon dapat mendengar tarikan napas Vittoria yang perlahan dan teratur seolah sedang menyaring kesedihan yang tengah dirasakannya.
Langdon ingin mengatakan sesuatu padanya untuk menunjukkan rasa simpati. Dia juga pernah merasakan kekosongan yang menyakitkan seperti itu karena kematian ayahnya juga terjadi secara mendadak. Langdon masih ingat pemakaman ayahnya yang berlangsung dua hari setelah ulang tahunnya yang ke dua belas.
Semua yang diingatnya hanyalah hujan dan warna kelabu. Rumahnya penuh dengan teman-teman kerja ayahnya yang mengenakan jas kelabu; orang-orang yang menyalami tangannya dengan genggaman yang terlalu kuat. Mereka semua menggumamkan kata-kata seperti serangan jantung dan ketegangan. Ibunya berusaha bergurau dengan mata basah kalau dia masih bisa merasakan denyut jantung suaminya yang kuat hanya dengan memegang tangannya.
Ketika ayahnya masih hidup, Langdon pernah mendengar ibunya memohon kepada ayahnya untuk "berhenti sebentar dan mencium wangi mawar." Tapi Langdon menerima kalimat itu terlalu harfiah. Tahun itu Langdon memberikan setangkai mawar kecil dari kaca untuk ayahnya sebagai hadiah natal. Itu merupakan benda terindah yang pernah dilihat oleh Langdon kecil ... ketika sinar matahari jatuh ke atas mawar kaca itu, warna-warni pelangi akan terpantul pada helai bunganya. "Cantik sekali," kata ayahnya ketika dia membuka hadiah yang diterimanya. Dia kemudian mencium dahi Langdon kecil. "Ayo kita carikan tempat yang aman baginya." Lalu ayahnya dengan hati-hati meletakkan mawar tersebut di atas sebuah rak tinggi yang berdebu di sudut gelap di ruang tamu.
Beberapa hari kemudian, Langdon mengambil sebuah bangku, memanjat rak buku itu, dan mengambil mawar tersebut untuk dikembalikan lagi ke toko. Ayahnya tidak pernah menyadari kalau mawar itu sudah menghilang.
Suara bel lift membangunkan Langdon dari lamunannya. Vittoria dan Kohler, yang berdiri di depannya, bergerak memasuki lift itu. Langdon ragu-ragu berdiri di luar pintu lift.
"Ada yang tidak beres?" tanya Kohler. Suaranya tedengar tidak sabar.
"Sama sekali tidak," kata Langdon sambil memaksakan diri melangkah masuk ke dalam ruang lift yang sempit itu. Dia hanya menegunakan lift jika benar-benar terpaksa. Dia lebih menyukai tangga yang memiliki ruang terbuka.
"Lab Dr. Vetra berada di bawah tanah," kata Kohler menjelaskan.
Undangan yang cocok untuk orang yang memiliki claustrophobia, ejek Langdon dalam hati ketika dia melangkah memasuki lift. Dia bisa merasakan angin dingin yang berputar dari kedalaman terowongan di bawahnya. Pintu lift tertutup, dan lift pun mulai bergerak turun.
"Enam lantai," kata Kohler kaku seperti sebuah suara mesin.
Langdon membayangkan kegelapan terowongan kosong di bawah mereka. Dia mencoba menghilangkan bayangan itu dengan cara menatap bagian atas pintu lift yang menampilkan jumlah lantai yang akan mereka lewati. Anehnya, lift itu hanya memiliki dua perhentian, LANTAI DASAR dan LHC.
"Singkatan apa LHC itu?" tanya Langdon sambil berusaha untuk tidak terdengar gugup.
"Large Hadron Collider. Alat berukuran besar yang dapat menumbukkan hadron (partikel sub-atomik yang terbuat dari quark dan tunduk pada gaya yang besar--peny.)" kata Kohler menjelaskan. "Sebuah akselerator partikel."
Akselerator partikel? Samar-samar Langdon ingat pernah mendengar kata itu. Pertama kali dia mendengar istilah itu pada acara makan malam dengan beberapa rekannya di Dunster House di Cambridge. Salah seorang teman dan ahli fisika bernama Bob Brownell pernah datang pada acara makan malam itu dengan marah.
"Bedebah itu sudah membatalkannya!" umpat Brownell.
"Membatalkan apa?" tanya teman-temannya.
"SSC itu."
"Apa?"
" Superconducting Super Collider!"
Seorang kenalan mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu Harvard sedang membangunnya."
"Bukan Harvard!" serunya. "Tapi pemerintah Amerika Serikat! Itu bisa menjadi akselerator partikel terkuat di seluruh dunia! Salah satu dari proyek terpenting di abad ini! Dua miliar dolar sudah dikeluarkan untuk riset itu dan Senat menghentikannya! Dasar pelobi gereja sialan!
Ketika Brownell berhasil menguasai dirinya, dia menjelaskan bahwa akselerator partikel adalah tabung bundar yang besar di mana partikel sub-atomik dipercepat di dalamnya. Magnet di dalam tabung itu dinyalakan dan dimatikan secara bergantian dengan cepat untuk "mendorong" partikel-pertikel itu agar berputar hingga mencapai kecepatan yang luar biasa. Partikel-partikel yang dipercepat secara penuh bisa berputar di dalam tabung tersebut dengan kecepatan 180.000 mil per detik.
"Tetapi itu hampir mendekati kecepatan cahaya," seru salah satu dosen yang berkumpul di situ.
"Tepat," sahut Brownell. Kemudian dia melanjutkan penjelasannya dan berkata bahwa dengan mempercepat partikel dan menumbukkan mereka dari dua arah yang berlawanan, para ilmuwan dapat menghancurkan partikel-partikel tersebut sampai mendapatkan unsur pokok yang membentuknya sehingga kita dapat mengetahui komponen alam yang paling dasar. "Akselerator partikel," kata Brownell, "adalah hal penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan di masa mendatang. Partikel yang bertabrakan merupakan kunci untuk memahami kumpulan balok yang membangun alam semesta."
Charles Pratt, seorang penulis buku Poet in Residence yang pendiam, tampak tidak terkesan. "Menurutku itu seperti orang purba yang sedang berusaha memahami ilmu pengetahuan. Itu sama saja dengan menghancurkan sebuah jam dindingnya untuk melihat bagaimana mesin di dalamnya bekerja."
Brownell menjatuhkan garpunya dan bergegas meninggalkan ruangan dengan marah.
Jadi CERN memiliki akselerator partikel? pikir Langdon, ketika lift yang membawa mereka bergerak turun. Sebuah tabung untuk menghancurkan partikel. Dia bertanya-tanya mengapa mereka harus menguburnya di bawah tanah.
Ketika lift itu akhirnya berhenti di lantai dasar, Langdon merasa lega ketika merasakan tanah yang padat di kakinya. Tetapi ketika pintu lift bergeser terbuka, rasa leganya menguap. Robert Langdon sekali lagi menyadari kalau dirinya tengah berdiri di dunia yang benar-benar asing.
Mereka menemukan gang yang terentang tanpa terlihat ujungnya di kedua sisi kiri dan kanan lift. Gang itu adalah terowongan berdinding semen halus, dan cukup lebar untuk dilalui truk beroda delapan belas. Tempat mereka berdiri terang benderang, tapi ujung gang itu gelap seperti melihat sumur tanpa dasar. Sebuah peringatan bagi Langdon bahwa mereka berada di dalam perut bumi sekarang. Dia seolah dapat merasakan beban tanah dan batu yang sekarang menumpuk di atas kepalanya. Sesaat dia merasa seperti seorang bocah berusia sembilan tahun ... kegelapan itu memaksanya kembali ... kembali merasakan kegelapan selama lima jam yang masih menghantuinya hingga kini. Sambil mengeraskan tinjunya, Langdon berusaha melawan perasaan itu.
Vittoria tetap berdiam diri ketika mereka keluar dari lift dan kemudian dia berjalan sendirian memasuki kegelapan tanpa ragu. Di atasnya terlihat lampu menyala untuk menerangi jalan bagi Vittoria. Efeknya sungguh luar biasa ... sepertinya terowongan ini menyambut tiap langkahnya. Langdon dan Kohler mengikutinya, dan berjalan beberapa langkah di belakang perempuan itu. Lampu di belakang mereka segera padam secara otomatis.
"Akselerator partikel itu berada di suatu tempat di terowongan ini?" tanya Langdon perlahan.
"Alat itu ada di sana." Kohler menggerakkan tangannya ke sebelah kirinya di mana tabung yang terbuat dari krom yang mulus dipasang di sepanjang dinding terowongan tersebut.
Langdon menatap tabung itu dengan bingung. "Itu akseleratornya?" Alat itu tidak tampak seperti yang dibayangkannya. Alat itu betul-betul lurus, dengan diameter kira-kira sebesar tiga kaki dan membentang secara horizontal di sepanjang terowongan sampai akhirnya menghilang dalam kegelapan. Lebih terlihat seperti sebuah saluran berteknobgi tinggi, pikir Langdon. "Kukira percepatan partikel itu berbentuk bundar."
"Akselerator ini memang bundar," sahut Kohler. "Memang terlihat lurus, tetapi itu hanyalah tipuan penglihatan. Keliling terowongan ini sangat besar sehingga lengkungannya tidak terlihat--seperti bumi."
Langdon terheran-heran. Terowongan ini berbentuk bundar?
"Tetapi ... lingkaran itu pasti luar biasa besar!"
"LHC merupakan mesin terbesar di dunia." Langdon masih melongo. Dia ingat pilot yang membawanya ke sini pernah menyebutkan sesuatu tentang sebuah mesin berukuran luar biasa besar yang ditanam di dalam tanah. Tetapi-- "Terowongan ini berdiameter lebih dari delapan kilometer ... dan panjangnya 27 kilometer."
Kepala Langdon terasa seperti berputar. "Dua puluh tujuh kilometer?" Dia menatap sang direktur, kemudian berpaling kembali untuk memandang kegelapan di hadapannya. "Terowongan ini panjangnya 27 kilometer? Itu ... itu berarti lebih dari enam belas mil!"
Kohler mengangguk. "Terowongan ini berbentuk bulat sempurna. Dia terentang sampai ke Perancis sebelum berbalik lagi ke sini, ke titik ini. Partikel-pertikel yang dipercepat sepenuhnya mengelilingi tabung ini lebih dan sepuluh ribu kali dalam satu detik sebelum mereka saling bertabrakan.
Kaki Langdon terasa seperti meleleh ketika dia memandang ke dalam terowongan yang menganga lebar itu. "Jadi maksudnya CERN menggali jutaan ton tanah hanya untuk menghancurkan partikel-partikel kecil?"
Kohler mengangkat bahunya seperti menganggapnya sebagai hal yang sepele. "Kadang kala, untuk menemukan kebenaran, orang harus memindahkan gunung.
16
RATUSAN MIL JAUHNYA dari CERN, sebuah suara berderak melalui sebuah walkie-talkie. "Baik, aku berada di koridor."
Teknisi yang memantau layar video di ruang kontrol menekan sebuah tombol pada transmiternya. "Kamera nomor 86 itu seharusnya berada di ujung."
Percakapan mereka di radio berhenti lama. Teknisi yang menunggu mulai berkeringat. Akhirnya radionya berbunyi klik.
"Kamera itu tidak ada di sini," kata suara itu. "Aku dapat melihat tempat kamera tersebut terpasang sebelumnya. Seseorang pasti sudah memindahkannya."
Teknisi itu menghela napas berat. "Terima kasih. Tunggu sebentar, ya?"
Dengan mendesah dia mengarahkan kembali perhatiannya pada sekumpulan layar video di hadapannya. Kompleks yang luas itu memang terbuka untuk umum, dan mereka pernah kehilangan berapa kamera nirkabel sebelumnya. Biasanya dicuri oleh perigunjung yang mencari kenang-kenangan. Tetapi biasanya kalau ada kamera yang hilang dan dibawa keluar dari jangkauan gelombang mereka, layar monitor akan terlihat kosong. Dengan bingung, sang teknisi memandang layar monitor di hadapannya. Dia masih bisa melihat gambar yang sangat jelas dari kamera nomor 86.
Jika kamera itu dicuri, kenapa kita masih mendapatkan sinyal? tanyanya dalam hati. Tentu saja dia tahu hanya ada satu jawaban untuk itu.
Kamera itu masih ada di kompleks ini, dan seseorang telah memindahkannya. Tetapi siapa? Dan mengapa?
Lama dia mengamati layar itu. Akhirnya dia mengangkat walkie-talkie-nya. "Apakah ada gudang di ruang tangga? Lemari atau ruangan kecil yang gelap?"
Suara itu menjawab dengan suara bingung. "Tidak. Kenapa?"
Teknisi itu mengerutkan keningnya. "Tidak apa-apa. Terima kasih atas pertolonganmu." Dia lalu mematikan walkie-talkie-nya. dan mengerutkan bibirnya.
Dengan memperhitungkan ukuran kamera itu yang kecil, teknisi itu tahu kalau kamera nomor 86 dapat saja menyiarkan gambar dari mana pun di dalam kompleks yang padat itu. Kelompok bangunan itu terdiri atas 32 gedung dan berdiri di atas tanah beradius setengah mil yang terjaga ketat. Satu-satunya kemungkinan adalah kamera itu telah diletakkan di sebuah tempat yang gelap. Tentu saja, hal itu tidak banyak membantu. Kompleks ini tentu memiliki banyak tempat gelap--lemari ruang pemeliharaan, saluran pemanas, tempat penyimpanan peralatan berkebun, lemari penyimpan perlengkapan kamar tidur, bahkan sebuah labirin terowongan bawah tanah. Untuk menemukan kamera nomor 86 bisa memakan waktu sampai berminggu-minggu.
Paling tidak itulah masalahnya, pikirnya.
Selain masalah yang disebabkan oleh sebuah kamera yang berpindah tempat secara misterius itu, masih ada masalah lain yang lebih menganggu. Sang teknisi menatap gambar yang ditayangkan oleh kamera di hadapannya. Benda yang terlihat di layar pemantau itu adalah benda yang tidak bergerak. Sebuah mesin modern yang belum pernah dilihatnya. Dia mengamati tampilan elektronik yang berkedip di dasar benda tersebut.
Walau penjaga itu pernah menjalani pelatihan keras untuk mempersiapkan dirinya dalam menghadapi keadaan yang penuh ketegangan, dia masih saja merasakan denyut jantungnya meningkat. Dia mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak panik.
Pasti ada penjelasan mengenai benda itu. Benda itu terlalu kecil untuk dikatakan berbahaya. Namun keberadaannya di dalam kompleks itu adalah masalah baginya. Sebuah masalah yang sangat mengganggu.
Benar-benar hari yang istimewa, pikirnya.
Keamanan selalu menjadi prioritas utama bagi atasannya, tetapi hari ini adalah hari yang tidak biasa dalam kurun waktu dua belas tahun dari karirnya. Teknisi itu memerhatikan benda itu dalam waktu yang lama dan mulai merasakan badai menggemuruh dari kejauhan.
Lalu, dengan dahi berkeringat, dia memutar nomor telepon atasannya.
17
TIDAK BANYAK ANAK yang ingat bagaimana mereka pertama kali bertemu dengan ayah mereka, tetapi Vittoria Vetra masih dapat mengingatnya dengan jelas. Waktu itu dia masih berusia delapan tahun dan tinggal di suatu asrama yatim piatu Katolik bernama Orfanotrofio di Siena yang terletak di dekat Florence. Vittoria ditinggalkan oleh orang tuanya yang tidak pernah dikenalnya. Saat itu hari sedang hujan. Para biarawati memanggilnya dua kali untuk makan malam, tetapi seperti biasanya, dia berpura-pura tidak mendengar. Dia berbaring di lapangan dan memandangi rintik hujan ... merasakan butirannya jatuh di atas tubuhnya ... mencoba menerka ke mana butiran berikutnya akan jatuh. Para biarawati itu memanggilnya lagi, kali ini sambil mengancam kalau penyakit pneumonia bisa membuat seorang anak yang keras kepala kehilangan rasa ingin tahunya terhadap alam.
Aku tidak dapat mendengarmu, kata Vittoria pada dirinya sendiri.
Gadis kecil itu basah kuyup ketika seorang pastor datang menjemputnya. Dia tidak mengenali lelaki itu. Lelaki itu orang baru di situ. Vittoria sudah bersiap-siap untuk menghadapi lelaki yang diduganya akan mencengkeramnya dan menariknya ke dalam. Tetapi pastor itu tidak melakukannya. Dia bahkan ikut berbaring dengannya sehingga membuat jubahnya terendam di dalam kubangan air. Vittoria menjadi sangat heran.
"Para biarawati cerita kalau kamu banyak bertanya," kata lelaki muda itu.
Vittoria menggerutu. "Apakah bertanya itu jelek?"
Lelaki itu tertawa. "Wah, sepertinya cerita para suster itu benar."
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Sama seperti yang kamu lakukan ... bertanya-tanya kenapa butiran hujan jatuh."
"Aku tidak bertanya-tanya mengapa butiran hujan itu jatuh! Aku sudah tahu!"
Pastor itu menatapnya heran. "Kamu tahu?"
"Kata Suster Francisca, butiran air hujan itu adalah air mata malaikat yang jatuh untuk mencuci dosa-dosa kita."
"Wow!" serunya kagum. "Jadi begitu penjelasannya."
"Tentu saja tidak!" sergah gadis kecil itu. "Tetesan hujan jatuh karena semua benda jatuh! Semua benda jatuh! Tidak hanya air hujan!"
Pastor muda itu menggaruk-garuk kepalanya, pura-pura bingung. "Nona muda, kamu benar. Semua benda memang jatuh. Itu pastilah karena gaya tarik bumi."
"Karena apa?"
Pastor muda itu mengangkat bahunya dengan lagak sedih. "Jadi kamu belum pernah mendengar tentang gravitasi?"
Vittoria duduk. "Apa itu gravitasi?" tanyanya. "Katakan padaku."
Pastor itu mengedipkan matanya. "Bagaimana kalau aku ceritakannya padamu sambil makan malam?"
Pastor muda itu adalah Leonardo Vetra. Walaupun dia pernah raih penghargaan sebagai mahasiswa fisika berbakat di universitas, tapi dia juga mendengar panggilan lainnya dan belajar di seminari. Leonardo dan Vittoria pun akhirnya bersahabat di dunia para biarawan yang dingin dan penuh dengan peraturan. Vittoria membuat Leonardo tertawa, dan pastor muda itu melindunginya, mengajarinya tentang berbagai hal indah seperti pelangi dan sungai yang memiliki kisahnya sendiri. Dia juga menceritakan kepada gadis kecil itu tentang cahaya, planet-planet, bintang-bintang dan alam, baik dari sisi Tuhan maupun dari sisi ilmu pengetahuan. Kecerdasan Vittoria dan rasa ingin tahunya yang besar membuat Leonardo senang mengajarinya. Leonardo pun menganggapnya sebagai putrinya sendiri.
Vittoria juga merasa bahagia. Sebelumnya gadis kecil itu tidak pernah tahu betapa senangnya mempunyai seorang ayah. Ketika semua orang dewasa menjawab pertanyaannya dengan memukul tangannya, Leonardo malah menunjukkan buku-bukunya selama berjam-jam kepadanya. Bahkan Leonardo juga menanyakan apa pendapat gadis kecil itu. Vittoria berdoa agar Leonardo tinggal bersamanya selama-lamanya. Kemudian suatu hari mimpi terburuknya menjadi kenyataan. Bapa Leonardo mengatakan padanya kalau dia harus pergi meninggalkan rumah yatim piatu itu.
"Aku pindah ke Swiss," kata Leonardo menjelaskan. "Aku mendapatkan bea siswa untuk belajar fisika di University of Jenewa."
"Fisika?" seru Vittoria. "Tapi kupikir kamu mencintai Tuhan!" Aku memang sangat mencintai-Nya. Karena itulah aku ingin mempelajari aturan-aturan-Nya. Hukum-hukum fisika adalah Canvas yang digunakan Tuhan untuk melukiskan adi karya-Nya."
Vittoria sangat bersedih. Tetapi Bapa Leonardo masih punya berita lain. Dia bercerita kalau dia telah berbicara dengan atasannya, dan mereka mengizinkan Bapa Leonardo mengadopsi Vittoria.
"Bolehkah aku mengadopsimu?" tanya Leonardo.
"Apa arti mengadopsi?" tanya gadis kecil itu.
Lalu Bapa Leonardo pun menjelaskannya.
Vittoria memeluknya selama lima menit dan menangis karena bahagia. "Ya! Oh ya aku mau!"'
Leonardo berkata dia harus pergi sementara waktu untuk mempersiapkan rumah mereka di Swiss. Tetapi dia berjanji akan menjemput Vittoria enam bulan mendatang. Itu merupakan penantian yang terpanjang baginya, tetapi Leonardo menepati janjinya. Tepat lima hari sebelum ulang tahun Vittoria kesembilan, gadis cilik yang cerdas itu pindah ke Jenewa. Dia bersekolah di Geneva International School pada siang hari dan belajar bersama ayahnya pada malam hari.
Tiga tahun kemudian Leonardo Vetra menjadi pegawai CERN. Vittoria dan Leonardo pindah ke sebuah tempat mengagumkan yang belum pernah dibayangkan oleh Vittoria kecil sebelumnya. Vittoria Vetra seperti mati rasa ketika dia berjalan di sepanjang terowongan LHC. Dia melihat pantulan bayangannya di dinding dan mulai merindukan ayahnya. Biasanya dia selalu mampu mengatasi situasi dengan sangat tenang dan menyesuaikan diri dengan baik. Tapi sekarang, dengan sangat tiba -tiba segalanya seperti tidak masuk akal. Tiga jam terakhir tadi seperti berjalan dengan samar-samar.
Saat itu baru pukul 10 pagi di Pulau Balearic ketika Kohler meneleponnya. Ayahmu telah dibunuh. Pulanglah segera. Walaupun saat itu Vittoria berada di atas dek perahu yang sangat panas, kata-kata itu berhasil membekukan tulang belulangnya ketika mendengar suara Kohler yang tanpa ekspresi itu mengabarkan berita duka tersebut.
Sekarang Vittoria sudah berada di rumah. Tetapi rumah siapa? CERN yang sudah menjadi dunianya sejak dia masih berusia dua belas tahun tiba -tiba tampak begitu asing baginya. Ayahnya, orang yang telah membuat tempat ini menjadi ajaib dan menyenangkan, sekarang sudah pergi.
Tarik napas dalam, katanya pada diri sendiri, tetapi dia tidak dapat menenangkan pikirannya. Pertanyaan itu berputar cepat dan semakin cepat. Siapa yang membunuh ayahnya? Dan kenapa? Siapa "ahli" dari Amerika ini? Kenapa Kohler mendesaknya untuk melihat lab mereka?
Kohler bilang ada bukti yang mungkin menghubungkan pembunuhan ayahnya itu dengan proyeknya yang terakhir. Bukti apa? Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang sedang kami lakukan! Dan bahkan jika seseorang mengetahuinya, mengapa dia membunuh ayahnya?
Ketika dia berjalan di sepanjang terowongan LHC untuk menuju ke labnya, Vittoria sadar dia akan membuka cita-cita terbesar ayahnya tanpa kehadiran ayahnya disampingnya. Vittoria membayangkan saat seperti ini dengan keadaan yang sangat berbeda. Dia membayangkan ayahnya mengundang ilmuwan ilmuwan terpenting di CERN untuk datang ke labnya, lalu menunjukkan penemuannya kepada mereka, dan melihat wajah mereka yang terperangah. Lalu ayahnya akan menjelaskan dengan binar-binar kebapakan kalau tidak karena gagasan Vittoria, dia tidak akan mampu mewujudkan proyek ini dengan berhasil ... dan anak perempuannya adalah bagian integral dari terobosannya itu.
Vittoria merasa tenggorokannya tercekat. Ayahku seharusnya berbagi saat-saat seperti ini bersama-sama. Tapi dia sekarang sendirian. Tidak ada rekan-rekannya. Tidak ada wajah-wajah gembira. Hanya ada orang Amerika yang tidak dikenalnya, dan Maximilian Kohler.
Maximilian Kohler. Sang Raja.
Bahkan sejak dia masih kecil pun, Vittoria sudah tidak menyukai lelaki itu. Walaupun Vittoria menghormati kemampuan intelektual Kohler, pembawaannya yang dingin tampak tidak munusiawi, dan sangat berlawanan dengan pembawaan ayahnya yang hangat. Kohler memburu ilmu pengetahuan karena logikanya yang tak tercela ... sedangkan ayahnya karena kekaguman spiritualnya. Dan anehnya, kedua orang itu tampaknya dapat saling menghormati. Jenius, terimalah si jenius apa adanya, seseorang pernah mengatakan hal itu kepadanya.
Jenius, pikir Vittoria, Ayahku ... Ayah. Ayahku sudah mati..
Mereka memasuki lab Leonardo Vetra yang berupa serambi panjang yang bebas hama dan berdinding keramik putih. Langdon merasa seolah dia sedang memasuki semacam rumah perawatan bagi penderita sakit jiwa di bawah tanah. Di dinding koridor tersebut terpasang belasan bingkai berisi gambar-gambar hitam putih. Walau Langdon memiliki karir dengan mempelajari berbagai jenis gambar, gambar-gambar yang berderet di dinding itu terlihat begitu asing baginya. Mereka tampak seperti klise film yang kacau yang terdiri atas corat-coret dan bentuk spiral. Seni modern? Langdon merasa geli sendiri. Mungkin ini adalah karya Jackson Pollok yang berusaha untuk melukis amphetamine.
"Plot acak," kata Vittoria ketika melihat ketertarikan Langdon pada gambar-gambar tersebut. "Itu adalah citra komputer yang menggambarkan benturan yang terjadi pada partikel-partikel. Ini adalah partikel Z," jelasnya, sambil menunjuk pada sebuah titik tersembunyi yang sulit terlihat oleh orang awam. "Ayahku menemukannya lima tahun yang lalu. Energi murni. Sama sekali tidak memiliki massa. Mungkin saja itu merupakan unsur terkecil yang membentuk alam ini. Materi tidak lain adalah energi yang terperangkap."
Materi adalah energi? Langdon memiringkan kepalanya. Terdengar sangat Zen. Langdon lalu memandang coretan kecil di foto itu dan bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh teman-temannya dari jurusan fisika di Harvard tentang hal ini kalau dia bercerita kepada mereka dia berjalan-jalan di dalam sebuah Large Hardon Collider dan mengagumi partikel Z pada suatu akhir pekan.
"Vittoria," kata Kohler ketika mereka mendekati sebuah pintu, "Aku harus mengatakan ini padamu kalau tadi pagi aku ke sini mencari ayahmu."
Vittoria agak terkejut. "Benarkah?"
"Ya. Dan bayangkan bagaimana terkejutnya aku ketika aku mengetahui kalau dia sudah mengganti kunci keamanan standar CERN dengan yang lainnya." Lalu Kohler menunjuk sebuah alat elektronik yang rumit di samping pintu itu.
"Aku minta maaf," kata Vittoria. "Kamu tahu bagaimana perangai ayahku jika menyangkut privasi. Ayah tidak mau ada seorang pun yang dapat memasuki ruangan ini kecuali dirinya dan aku."
"Baiklah. Sekarang buka pintunya," kata Kohler. Vittoria berdiri diam beberapa saat. Dia kemudian menarik napas dalam, dan berjalan menuju ke alat pengaman di dinding itu.
Langdon sama sekali tidak siap untuk menghadapi apa saja yang akan terjadi setelah itu.
Vittoria melangkah ke depan alat itu dan dengan berhati-hati menempelkan mata kanannya ke atas lensa menonjol yang mirip seperti sebuah teleskop. Kemudian dia menekan sebuah tombol. Tiba-tiba terdengar suara ceklikan. Tak lama kemudian, seberkas sinar berayun-ayun untuk memindai bola mata Vittoria seperti mesin foto kopi.
Ini sebuah alat pemindai retina," kata Vittoria menielaskan. Pengaman yang tidak pernah gagal. Alat ini hanya menerima dua pola retina. Retinaku dan retina ayahku."
Robert Langdon berdiri dengan rasa ngeri ketika menyadari sesuatu dalam pikirannya. Bayangan jelas Leonardo Vetra muncul kembali: wajah bermandikan darah, mata cokelatnya yang tinggal satu yang menatapnya nanar, dan rongga mata yang kosong. Langdon mencoba menolak kenyataan ini, tetapi dia kemudian melihatnya ... di lantai keramik putih yang terdapat di bawah alat pemindai itu ... samar-samar terlihat noda kemerahan. Darah kering.
Untunglah Vittoria tidak melihatnya.
Pintu baja itu bergeser terbuka dan Vittoria berjalan masuk.
Kohler menatap Langdon dengan tatapan tajam. Maksudnya jelas: Seperti yang aku bilang ... bola mata yang hilang itu berguna untuk tujuan yang lebih penting.
18
KEDUA TANGAN PEREMPUAN itu diikat, dan pergelangan tangannya sekarang memar dan agak membengkak. Si Hassassin yang berkulit gelap itu terbaring di sampingnya, kecapekan, dan mengagumi hadiahnya yang terbaring telanjang. Dia bertanya-tanya apakah perempuan itu hanya pura-pura tertidur karena sudah tidak mau melayaninya lagi.
Dia tidak peduli. Dia sudah mendapatkan hadiah yang pantas. Dengan puas, dia duduk di atas tempat tidur.
Di negerinya, perempuan adalah harta yang untuk dimiliki. Mereka adalah makhluk yang lemah. Alat untuk mendapatkan kepuasan. Benda bergerak yang diperlakukan seperti hewan ternak. Dan mereka mengerti tempat mereka seharusnya. Tetapi di sini, di Eropa, perempuan berpura-pura kuat dan mandiri yang ternyata malah membuat si Hassassin senang dan bergairah. Memaksa mereka untuk tunduk kepadanya adalah pemuasan yang selalu dinikmatinya.
Sekarang, walau birahinya telah terpuaskan, si Hassassin merasakan nafsu lain yang berkembang dalam dirinya. Dia membunuh kemarin malam, membunuh dan memotong-motong mayatnya. Baginya, membunuh adalah candu ... tiap kali melakukannya, dia merasakan kepuasaan yang hanya bertahan untuk sementara saja sehingga membuatnya ingin melakukannya lagi dan lagi. Kepuasaannya sudah menghilang. Sekarang dia ingin merasakannya lagi.
Dia mengamati perempuan yang tertidur di sampingnya. Si Hassassin meraba leher perempuan itu dan merasa terangsang oleh pemikiran kalau dia dapat dengan mudah mengakhiri hidup perempuan itu dengan cepat. Tapi apa gunanya? Perempuan hanyalah pelengkap, sebuah alat untuk mencapai kenikmatan dan makhluk yang bertugas untuk melayani. Jemarinya yang kuat mengitari leher perempuan itu dan merasakan denyut nadinya yang lembut. Kemudian, dia berusaha menahan nafsunya dan memindahkan tangannya dari leher perempuan tersebut. Ada pekerjaan yang lebih penting yang harus dilakukannya. Melayani sebuah tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar memuaskan
gairahnya.
Ketika dia bangkit dari tempat tidurnya, dia merasa bangga dengan pekerjaan yang akan dilakukannya. Dia masih tidak dapat membayangkan pengaruh lelaki bernama Janus itu dan persaudaraan kuno yang diperintahnya. Hebatnya lagi, persaudaraan tersebut sudah memilihnya. Mereka pasti sudah mengetahui kesadisannya ... dan keahliannya. Sayang, dia tidak tahu kalau akar mereka saling bertautan.
Sekarang mereka telah memberikan kehormatan besar kepadanya. Dia menjadi tangan dan suara mereka. Si pembunuh dan pembawa pesan mereka seperti malaikat yang dikenal oleh bangsanya: Malak al haq--Malaikat Kebenaran.
19
LABORATORIUM VETRA TERNYATA sangat futuristik.
Dengan dinding berwarna putih yang dikelilingi oleh berbagai komputer dan perlengkapan elektronik khusus, laboratorium itu tampak seperti semacam ruang pengoperasian. Langdon bertanya-tanya rahasia apa yang mungkin ada di dalam ruangan ini sehingga bisa membuat seseorang mencungkil bola mata orang lain untuk dipergunakan sebagai kunci masuk.
Kohler tampak gelisah ketika mereka masuk. Matanya seolah mencari-cari tanda -tanda kalau ruangan ini sudah disantroni orang lain. Tetapi laboratorium itu kosong. Vittoria juga bergerak lambat ... seolah lab itu menjadi asing baginya tanpa kehadiran ayahnya.
Tatapan mata Langdon segera tertuju pada bagian pusat ruangan, tempat beberapa pilar pendek mencuat dari lantai. Seperti miniatur Stonehenge, pilar tersebut terbuat dari baja berkilap dan berjumlah sekitar dua belas serta berdiri membentuk lingkaran di tengah ruangan. Pilar-pilar tersebut tingginya kira-kira tiga kaki, dan mengingatkan Langdon pada pameran batu mulia di museum.
Tapi, pilar-pilar yang ada di ruangan itu jelas bukan untuk menopang batu mulia. Setiap pilar menopang sebuah tabung tebal tembus pandang seukuran kaleng bola tenis. Tabung-tabung itu tampaknya kosong.
Kohler menatap tabung-tabung itu dan tampak bingung. Tampaknya dia kemudian memutuskan untuk mengabaikan tabung-tabung itu. Dia lalu berpaling pada Vittoria. "Ada yang dicuri?"
"Dicuri? Bagaimana mungkin?" sanggah Vittoria. "Alat pengenal retina itu hanya memperbolehkan aku dan ayahku untuk memasuki ruangan ini."
"Periksa saja laboratoriummu dengan cermat."
Vittoria mendesah dan memeriksa ruangan itu selama beberapa saat. Dia kemudian menggerakkan bahunya. "Semuanya masih seperti ketika ayahku meninggalkan ruangan ini. Masih tetap berantakan."
Langdon merasa bahwa Kohler sedang menimbang-nimbang. Seolah lelaki tua itu bertanya-tanya bagaimana caranya untuk mendesak Vittoria dan bagaimana dia dapat mengatakannya pada perempuan itu. Tapi kemudian, Kohler memutuskan untuk biarkannya sementara waktu. Dia lalu menggerakkan kursi Ava ke bagian tengah ruangan dan memeriksa sekelompok tabung-tabung misterius yang tampaknya kosong itu.
"Rahasia sepertinya sebuah kemewahan yang tidak lagi dapat kami pertahankan," akhirnya Kohler berkata.
Vittoria mengangguk setuju. Tiba-tiba dia tampak emosional, seolah berdiri di dalam ruangan ini kembali mengingatkan dirinya pada sejumlah kenangan dengan ayahnya.
Biarkan dia sendiran, kata Langdon dalam hati.
Seolah sedang mempersiapkan sesuatu yang akan dikatakannya, Vittoria menutup matanya dan bernapas. Dia kemudian menarik napas lagi. Dan lagi. Dan lagi ....
Langdon mengamati perempuan itu. Tiba -tiba dia merasa khawatir. Dia baik-baik saja, 'kan? Lalu dia menoleh ke arah Kohler yang tampak tenang seperti sudah pernah melihat ritual seperti ini sebelumnya. Sepuluh detik berlalu sebelum akhirnya Vittoria membuka matanya.
Langdon tidak dapat memercayai perubahan di hadapannya itu. Vittoria Vetra telah berubah. Bibirnya yang sensual berubah menjadi ciut, bahunya melorot, dan matanya memandang dengan sorot yang lemah; tidak lagi menunjukkan tatapan menantang. Seolah-olah Vittoria telah mengatur kembali setiap otot dalam tubuhnya untuk menerima keadaan. Api kebencian dan kecemasan pribadi telah padam seperti di siram air dingin.
Dari mana aku harus mulai ...," tanya Vittoria dengan aksen lembut.
"Dari awal," sahut Kohler. "Ceritakan kepada kami tentang percobaan ayahmu."
"Mendamaikan ilmu pengetahuan dengan agama adalah cita-cita ayahku," kata Vittoria. "Dia berharap dapat membuktikan ilmu pengetahuan dan agama betul-betul merupakan dua bidang yang saling melengkapi--dua pendekatan berbeda untuk mencari kebenaran yang sama." Dia berhenti sejenak seolah tidak dapat memercayai apa yang akan dikatakannya. "Dan baru-baru ini ... Ayah menyusun satu cara untuk melakukannya."
Kohler tidak mengatakan apa-apa.
"Ayah merencanakan sebuah percobaan yang dia harap akan dapat meredam konflik yang paling pahit dalam sejarah antara ilmu pengetahuan dan agama."
Langdon bertanya-tanya konflik yang mana yang dimaksud Nona Vetra tadi karena ada begitu banyak konflik di antara keduanya.
"Penciptaan," jelas Vittoria. "Perselisihan tentang bagaimana alam semesta ini diciptakan."
Oh Debat yang satu itu, pikir Langdon.
"Alkitab menyatakan kalau Tuhanlah yang menciptakan alam semesta ini," Vittoria menjelaskan. "Tuhan bersabda, 'Jadilah cahaya,' maka segala yang kita lihat muncul dari sebuah kekosongan yang luas. Celakanya, salah satu dari hukum dasar fisika menyatakan bahwa materi tidak dapat diciptakan dari sesuatu yang tidak ada."
Langdon pernah membaca tentang kebuntuan itu. Konon pemikiran bahwa Tuhan menciptakan "sesuatu dari ketiadaan," sangat berlawanan dengan hukum fisika modern sehingga karena itulah para ilmuwan menyatakan bahwa Kitab Kejadian tidak masuk akal secara ilmiah.
"Pak Langdon," kata Vittoria sambil berpaling padanya, "aku yakin Anda pasti mengenal Teori Ledakan Besar?"
Langdon menggerakkan bahunya, "Kurang lebih begitu." Ledakan Besar yang dia tahu adalah model penciptaan alam semesta yang diterima secara ilmiah. Dia sesungguhnya tidak benar-benar memahaminya, tetapi menurut teori itu, satu titik energi yang sangat kuat meledak dengan kekuatan yang luar biasa besar sehingga menyebar ke seluruh alam semesta. Kurang-lebihnya seperti itu.
Vittoria melanjutkan. "Ketika Gereja Katolik pertama kalinya menyatakan Teori Ledakan Besar itu pada tahun 1927--"
"Maaf?" Langdon tak dapat menahan dirinya untuk tidak bertanya.
"Anda tadi mengatakan bahwa Ledakan Besar itu adalah pemikirangereja Katolik?"
Vittoria tampak heran dengan pertanyaan Langdon. "Tentu saja. Pemikiran tersebut digagas oleh seorang biarawan Katolik bernama George Lemaitre pada tahun 1927."
"Tetapi, saya pikir ...," Langdon ragu-ragu. "Bukankah Ledakan Besar itu dikatakan oleh seorang ahli astronomi dari Harvard bernama Edwin Hubble?"
Kohler nampak kesal. "Sekali lagi kesombongan ilmiah dari Amerika. Hubble dipublikasikan pada tahun 1929, dua tahun setelah Lemaitre."
Langdon cemberut. Orang bilang Teleskop Hubble, Pak. Belum pernah ada orang bilang Teleskop Lemaitre!
"Pak Kohler benar," kata Vittoria, "gagasan itu milik Lemaitre. Hubble hanya menegaskannya dengan mengumpulkan bukti-bukti sahih yang membuktikan bahwa Ledakan Besar itu mungkin terjadi."
"Oh," cetus Langdon sambil bertanya-tanya apakah para fans fanatik Hubble di Jurusan Astronomi di Harvard pernah menyebut-nyebut nama Lemaitre dalam kuliah mereka.
"Ketika Lemaitre untuk pertama kalinya mengajukan Teori Ledakan Besar," Vittoria melanjutkan, "para ilmuwan mengatakan pemikirannya sangat menggelikan. Materi, menurut ilmu pengetahuan, tidak dapat diciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Jadi, ketika Hubble mengguncangkan dunia dengan pembuktian ilmiahnya bahwa Ledakan Besar itu memang benar terjadi, gereja merasa menang. Mereka kemudian mengatakan kalau ini adalah bukti bahwa Alkitab benar secara ilmiah. Itulah kebenaran Tuhan."
Langdon mengangguk, dan lebih memusatkan perhatiannya sekarang.
Tentu saja para ilmuwan tidak senang karena penemuan mereka digunakan oleh gereja untuk menaikkan pengaruh agama, jadi mereka segera merasionalkan Teori Ledakan Besar tersebut, menghilangkan segala kata yang berbau agama, dan kemudian mengakuinya sebagai gagasan milik mereka saja. Celakanya usaha mereka tersebut memiliki satu kekurangan serius yang sering diungkit-ungkit oleh gereja, bahkan hingga sekarang."
Kohler cemberut. "Singularitas," Dia mengucapkan kata itu seolah itu adalah kutukan bagi keberadaannya.
"Ya, singularitas," kata Vittoria. "Kapan tepatnya penciptaan alam semesta ini terjadi? Waktu nol." Dia menatap Langdon. "Bahkan sampai hari ini pun ilmu pengetahuan tidak dapat menemukan titik awal penciptaan alam semesta. Kami dapat menghitung bagaimana alam semesta dimulai, tetapi ketika kita mundur ke titik awal dan mendekati waktu nol, tiba-tiba matematika tidak mampu menjelaskannya dan semuanya menjadi tidak bermakna."
"Betul," kata Kohler dengan tajam. "Dan gereja mengisi kekurangan itu dengan mengatakan bahwa itu adalah bukti keterlibatan Tuhan yang ajaib. Begitu 'kan maksudmu?"
Air muka Vittoria menjadi berubah. "Maksudku adalah ayahku selalu percaya kepada keterlibatan Tuhan dalam peristiwa Ledakan Besar itu. Walau ilmu pengetahuan tidak dapat memahami keterlibatan Tuhan dalam penciptaan alam semesta, ayahku percaya suatu hari kelak ilmu pengetahuan akan mengerti." Dia kemudian menggerakkan tangannya dengan sedih ke arah ruang kerja ayahnya. "Ayahku selalu menunjukkan tulisan itu padaku setiap kali aku mulai ragu-ragu."
ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA TIDAK BERTENTANGAN.
ILMU PENGETAHUAN HANYA TERLALU MUDA UNTUK MENGERTI.
"Ayahku ingin menempatkan ilmu pengetahuan ke tempat yang lebih tinggi," kata Vittoria, "ke tempat yang membuat ilmu pengetahuan dapat mendukung konsep Tuhan." Dia membelai rambutnya yang panjang. Wajahnya tampak sendu. "Ayah berencana untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh para ilmuwan lainnya. Sesuatu yang tidak seorang pun memiliki teknologi untuk melakukannya." Dia berhenti sejenak, seolah tidak yakin bagaimana mengatakan kata berikutnya. "Ayah merancang sebuah percobaan untuk membuktikan bahwa Kitab Kejadian itu benar."
Membuktikan Kitab Kejadian? Langdon bertanya-tanya. Jadilah cahaya? Materi berasal dari ketiadaan?
Tatapan kosong Kohler tertuju pada ruangan itu. "Apa aku tidak salah dengar?"
"Ayahku menciptakan alam semesta ... dari ketiadaan."
Kohler menoleh dengan tajam. "Apa!"
"Jelasnya, Ayah menciptakan Ledakan Besar itu."
Kohler terlihat seperti ingin meloncat dari kursinya dan berdiri.
Langdon benar-benar bingung. Menciptakan alam semesta? Menciptakan kembali Ledakan Besar itu?
"Tentu saja dibuat dalam bentuk yang jauh lebih kecil," lanjut Vittoria. Dia berbicara dengan lebih cepat sekarang. "Prosesnya luar biasa sederhana. Ayah mempercepat dua jenis partikel sinar yang luar biasa kecil untuk mengitari tabung akselerator dari arah yang berlawanan. Kedua sinar itu langsung bertabrakan dalam kecepatan yang sangat tinggi, saling tarik menarik satu sama lain dan memadatkan semua energi mereka ke dalam satu titik. Akhirnya mereka mencapai tingkat kepadatan energi yang luar biasa tinggi." Vittoria kemudian mulai menjelaskan dengan menggunakan bahasa fisika dan membuat mata sang direktur melotot.
Langdon mencoba mengikutinya. Jadi Leonardo Vetra sedang membuat simulasi titik kepadatan energi yang menghasilkan alam semesta.
"Hasilnya adalah kegemparan. Jika dipublikasikan, penemuan tersebut akan mengguncangkan dasar fisika modern." Perempuan itu sekarang memperlambat bicaranya seolah ingin menikmati ketakjuban yang dihasilkan oleh apa yang dikatakannya. "Tanpa disangka-sangka, dalam tabung akselerasi, di titik dengan kepadatan energi yang luar biasa itu, partikel-partikel materi mulai muncul entah dari mana."
Kohler tidak bereaksi. Dia hanya memerhatikan Vittoria.
"Materi," ulang Vittoria. "Muncul dari ketiadaan. Sebuah pertunjukkan kembang api sub-atomik yang luar biasa. Sebuah miniatur alam semesta muncul menjadi kenyataan. Ayahku tidak saja membuktikan kalau materi dapat tercipta dari ketiadaan, tetapi juga Ledakan Besar dan Kitab Kejadian dapat dijelaskan hanya dengan menerima keberadaan sumber energi yang sangat besar."
"Maksudmu, Tuhan?" tanya Kohler.
"Tuhan, Buddha, Yang Mahakuasa, Yahweh, Yang Maha Esa, Yang Tunggal. Sebut saja seperti apa maumu--hasilnya sama saja. Ilmu pengetahuan dan agama mendukung kebenaran yang sama--energi murni adalah sumber penciptaan."
Ketika Kohler akhirnya berbicara, suaranya terdengar muram. "Vittoria, kamu membuatku bingung. Sepertinya kamu mengatakan bahwa ayahmu menciptakan materi ... dari sesuatu yang tidak ada?"
"Ya." Vittoria kemudian menunjuk pada tabung-tabung kosong itu. "Dan itulah buktinya. Di dalam tabung-tabung itu terdapat contoh materi yang diciptakan ayahku."
Kohler terbatuk dan bergerak ke arah tabung-tabung itu seperti seekor hewan yang mengelilingi sesuatu yang mencurigakan. "Aku benar-benar tidak mengerti," katanya. "Bagaimana kamu bisa berharap orang lain akan percaya kalau tabung-tabung ini berisi partikel-partikel materi yang diciptakan oleh ayahmu? Bukankah partikel-partikel itu bisa berasal dari mana saja."
"Sebenarnya," kata Vittoria, suaranya terdengar percaya diri, "partikel-partikel tersebut tidak berasal dari mana pun. Itu adalah partikel yang unik. Partikel-partikel tersebut adalah sejenis zat yang tidak ada di mana pun di muka bumi ini ... karena itulah mereka harus diciptakan."
Air muka Kohler berubah menjadi sangat serius. "Vittoria, maksudmu dengan materi jenis tertentu? Hanya ada satu ' untuk materi, dan itu--" Kohler tiba-tiba berhenti.
Wajah Vittoria bersinar penuh kemenangan. "Kamu sendiri pernah mengatakannya, Pak Direktur. Alam semesta ini hanya terdiri dari dua jenis materi. Itu adalah fakta ilmiah." Vittoria kemudian berpaling pada Langdon. "Pak Langdon, apa yang dikatakan Alkitab tentang penciptaan? Apa yang diciptakan Tuhan?"
Langdon merasa kikuk, dan merasa tidak yakin apa hubungan semua ini. "Mmm, Tuhan menciptakan ... terang dan gelap, surga dan neraka--"
"Tepat sekali," kata Vittoria. "Dia menciptakan segalanya berlawanan. Simetris. Keseimbangan yang sempurna." Lalu dia berpaling kembali pada Kohler. "Pak Direktur, ilmu pengetahuan mengakui hal yang sama seperti yang diakui agama, bahwa Ledakan Besar menciptakan segalanya di alam semesta ini berikut dengan lawannya."
"Termasuk materi itu sendiri," bisik Kohler, seolah dia berbicara kepada dirinya sendiri.
Vittoria mengangguk. "Dan ketika ayahku menjalankan percobaannya, tentu saja kedua jenis materi itu pun muncul."
Langdon bertanya-tanya apa maksud perkataan Vittoria tadi. Leonardo Vetra menciptakan lawan dari materi?
Kohler tampak marah. "Materi yang sedang kamu bicarakan itu hanya ada di suatu tempat di alam semesta. Pasti tidak ada di bumi. Dan bahkan mungkin juga tidak ada di galaksi ini!"
Tepat," sahut Vittoria. "Itu membuktikan bahwa partikel di dalam tabung ini harus diciptakan."
Wajah Kohler mengeras. "Vittoria, kamu tidak akan mengatakan bahwa tabung-tabung itu berisi contoh hasil percobaan yang sesungguhnya bukan?"
"Saya sedang mengatakannya begitu." Dia menatap dengan penuh bangga pada tabung tabung itu. "Pak Direktur, Anda sedang melihat hasil percobaan paling unik di dunia: antimateri ."
20
FASE KEDUA, pikir si Hassassin sambil berjalan memasuki kegelapan terowongan itu.
Obor dalam genggamannya itu memang berlebihan. Dia tahu itu. Tetapi itu hanya untuk menghasilkan efek tertentu. Efek adalah segalanya. Menurutnya, ketakutan adalah sekutunya. Ketakutan melumpuhkan lebih cepat dibandingkan dengan peralatan perang apa pun.
Tidak ada cermin di lorong itu untuk memperlihatkan penyamarannya yang luar biasa, tetapi dia tahu dari bayangan jubahnya yang berkibar-kibar itu kalau dirinya tampak sempurna. Berbaur agar tidak kentara adalah bagian dari rencana itu ... bagian dari rencana yang jahat itu. Dia tidak pernah membayangkan dirinya akan bergabung di dalamnya. Bahkan dalam impiannya yang paling liar sekalipun.
Dua minggu yang lalu, dia pasti menganggap tugas yang menunggunya di ujung terowongan itu sebagai tugas yang tidak mungkin. Sebuah misi bunuh diri. Seperti berjalan telanjang masuk ke dalam kandang singa. Tetapi Janus telah mengubah arti dari kata tidak mungkin.
Rahasia yang dikatakan Janus kepada si Hassassin dalam dua minggu terakhir ini cukup banyak ... terowongan itu merupakan salah satu dari rahasia tersebut. Sangat kuno, tapi masih dapat dilalui.
Ketika dia berjalan mendekat ke arah musuhnya, si Hassassin bertanya-tanya apakah yang dihadapinya di dalam nanti akan semudah yang dikatakan Janus padanya. Janus telah meyakinkan dirinya ada orang dalam yang akan membantunya. Seseorang di dalam. Hebat. Semakin dia memikirkannya, semakin dia sadar kalau ini seperti permainan anak-anak saja.
Wahid tintain ... thalatha ... arba, dia menghitung dengan , Arab ketika dia mulai mendekati ujung terowongan. Satu ... dua - tiga - empat.
21
"AKU KIRA KAMU pernah mendengar tentang antimateri, 'kan Pak Langdon?" kata Vittoria sambil mengamati Langdon. Kulit Vittoria yang kecokelatan sangat kontras dengan warna putih dinding laboratorium itu.
Langdon mendongak. Tiba-tiba dia merasa bodoh. "Ya. Kira kira begitulah."
Vittoria tersenyum tipis. "Anda pasti pernah nonton Star Trek."
Wajah Langdon memerah karena malu. "Yah, para mahasiswaku menikmatinya ...." Dia mengerutkan keningnya. "Bukankah antimateri adalah bahan bakar pesawat U.S.S. Enterprise?"
Vittoria mengangguk. "Kisah fiksi ilmiah yang bagus memiliki sumber ilmiah yang bagus pula."
"Jadi antimateri itu benar-benar ada?"
"Itu adalah fakta alam. Segalanya memiliki lawan. Proton mempunyai elektron. Up-quark mempunyai down-quark. Ada simetri kosmis bahkan di tingkat sub-atomik. Antimateri adalah lawan materi. Hal inilah yang menyeimbangkan perhitungan fisika.
Langdon ingat pada paham Galileo tentang dualitas. Para ilmuwan sudah mengetahuinya sejak 1918," kata Vittoria, bahwa dua jenis zat tercipta saat Ledakan Besar terjadi satu jenis zat adalah yang kita dapat lihat di sini, di bumi, batuan, pepohonan, orang-orang. Materi yang lainnya merupakan lawannya sama halnya dengan materi kecuali muatan partikel partikelnya adalah kebalikan dari yang lainnya."
Kohler berbicara seolah bergerak keluar dari kabut. Tiba-tiba ia terdengar begitu khawatir. "Tetapi ada hambatan teknologi yang besar untuk menyimpan antimateri dengan baik. Bagaimana dengan netralisasi?"
"Ayahku sudah membuat sebuah penyedot dengan polaritas yang berlawanan untuk menarik positron antimateri keluar dari akselerator sebelum mereka hancur."
Kohler cemberut. "Tetapi penyedot akan menarik keluar materi juga. Tidak mungkin ada yang bisa memisahkan partikel-pertikel itu."
"Ayah menambahkan medan magnetik. Materi itu berada di kanan, sedangkan antimateri berada di kiri. Kutub mereka saling berlawanan."
Dengan cepat keraguan di diri Kohler mulai runtuh. Dia menatap Vittoria dengan kekaguman yang tampak jelas, kemudian dia tiba-tiba terbatuk-batuk. "He .... bat ...," katanya sambil mengusap mulutnya, "tapi ...," sepertinya logikanya belum mau menyerah.
"Kalaupun penyedot itu bisa bekerja, tabung ini terbuat dari zat. Antimateri itu tidak dapat disimpan di dalam tabung yang terbuat dari materi. Antimateri itu akan langsung bereaksi dengan--"
"Spesimen ini tidak bersentuhan dengan tabung," Vittoria menjelaskan, tampaknya sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. "Antimateri itu ditahan. Tabung ini disebut 'jebakan antimateri' karena mereka memang benar-benar memerangkap antimateri di tengah-tengah tabung dan menopangnya pada jarak aman dari sisi dan dasar tabung."
"Ditopang? Tetapi ... bagaimana?"
"Spesimen ini berada di antara dua medan magnit yang saling bersinggungan. Lihatlah ke sini."
Vittoria berjalan melintasi ruangan dan menarik sebuah mesin elektronik yang besar. Alat yang aneh itu mengingatkan Langdon pada semacam senjata sinar dalam film-film kartun--sebuah laras senapan seperti kanon dengan sebuah teleskop di atasnya dan seutas kabel listrik kusut bergantungan di bawahnya. Vittoria mengintip melalui teleskop itu ke arah salah satu tabung, kemudian menyesuaikan beberapa tombol. Lalu dia melangkah mundur dan meminta Kohler untuk melihatnya.
Kohler tampak tercengang. "Kamu mengumpulkan jumlah yang signifikan?"
"Lima ribu nanogram," jawab Vittoria. "Sebuah plasma cair yang berisi jutaan positron."
"Jutaan? Tetapi orang lain hanya dapat mendeteksi beberapa partikel saja ... di mana pun."
"Xenon," kata Vittoria dengan datar. "Ayahku mempercepat pancaran partikel melalui sebuah jet xenon, dan merontokkan elektron-elektronnya. Dia bersikeras untuk merahasiakan prosedur ini, tetapi cara seperti ini membuat kami harus terus-menerus menyuntikkan elektron mentah ke dalam akselerator."
Langdon benar-benar kehilangan akal. Dia bertanya-tanya apakah percakapan mereka ini masih menggunakan bahasa Inggris atau sudah berganti ke dalam bahasa planet lain.
Kohler berhenti sejenak, kerutan pada keningnya semakin dalam. Tiba-tiba dia tercengang. Tubuhnya melemah seperti baru saja tertembus peluru. "Secara teknis, hal itu akan menghasilkan ..."
Vittoria mengangguk. "Ya. Dalam jumlah yang banyak."
Kohler kembali menatap tabung di hadapannya. Dengan tatapan tidak yakin, dia mengangkat tubuhnya sendiri agar dapat menempelkan matanya pada teropong itu, dan mengintai ke dalam. Dia menatapnya lama tanpa mengatakan apa-apa. Ketika akhimya dia duduk lagi, keningnya bersimbah peluh. Tapi kerutan Pada wajahnya menghilang. Suaranya terdengar seperti bisikan. Ya ampun, ... kamu benar-benar berhasil melakukannya."
Vittoria mengangguk. "Ayahku yang melakukannya."
"Aku - aku tidak tahu harus bilang apa."
Vittoria berpaling pada Langdon. "Anda juga mau lihat?" lalu dia menunjuk pada peralatan aneh itu.
Dengan perasaan tidak yakin, Langdon maju ke depan. Dari jarak dua kaki, tabung-tabung itu tampak kosong. Apa pun yang ada di dalamnya pastilah sangat kecil. Langdon menempatkan matanya pada alat pelihat itu. Langdon memerlukan beberapa saat sebelum dapat melihat sesuatu dengan jelas.
Kemudian dia melihatnya.
Obyek itu tidak berada di dasar tabung seperti yang diduganya semula, tetapi melayang di tengah, tertahan di udara. Langdon melihat sebuah butiran berkilau dari cairan yang mirip merkuri. Seperti terangkat oleh kekuatan sihir, cairan itu mengapung di udara. Gelombang kecil metalik beriak melintasi permukaan tetesan itu. Cairan yang ditopang itu mengingatkan Langdon pada sebuah video yang pernah ditontonnya, tentang setetes air yang berada pada nol G. Walau dia tahu tetesan itu kecil sekali, dia dapat melihat setiap perubahan lekuk dan riak ketika bola plasma itu bergulung perlahan ketika dia melayang di udara.
"Itu ... mengapung," katanya.
"Memang sebaiknya begitu," sahut Vittoria. "Antimateri sangat tidak stabil. Jika dilihat dari sisi energinya, antimateri adalah cermin dari materi, sehingga yang satu akan menghapus yang lainnya jika mereka bersentuhan. Menjaga antimateri agar tetap terpisah dari materi tentu saja merupakan sebuah tantangan, karena segala yang ada di bumi ini terbuat dari materi. Sampel ini harus disimpan tanpa bersentuhan dengan apa pun--bahkan dengan udara sekalipun."
Langdon kagum.
"Jebakan antimateri ini," Kohler menyela. Dia tampak terpesona ketika menyentuhkan jari pucatnya di sekitar salah satu dasar tabung. "Mereka ini rancangan ayahmu?"
"Sebenarnya," sahut Vittoria, "itu rancanganku." Kohler mendongak.
Suara Vittoria terdengar biasa-biasa saja. "Ayahku ingin menghasilkan partikel pertama dari antimateri, tetapi kemudian terhalang oleh bagaimana menyimpannya. Lalu aku mengusulkan ini. Sebuah pelindung nanokomposit kedap udara memiliki kutub elektromagnet yang berlawanan di masing masing ujungnya.
"Tampaknya kejeniusan ayahmu sudah ada yang mengalahkan."
"Tidak juga. Aku meminjam gagasan ini dari alam. Kapal penangkap ikan dari Portugis memerangkap ikan di antara tentakel mereka dengan menggunakan tegangan nematocystis. Prinsip yang sama juga digunakan di sini. Setiap tabung memiliki dua elektromagnet, masing-masing satu di ujungnya. Medan magnet yang saling berlawanan bersinggungan di tengah-tengah tabung dan menahan antimateri itu di sana, sehingga tertopang di tengah ruang hampa udara."
Langdon melihat tabung itu sekali lagi. Antimateri tersebut terapung di dalam tabung kedap udara, dan sama sekali tidak menyentuh apa pun. Kohler benar. Ini gagasan genius.
"Di mana sumber listrik untuk magnetnya?" tanya Kohler.
Vittoria menjelaskan. "Pada pilar di bawah perangkap itu. Tabung ini dipasang pada sebuah dok yang mengisi baterenya secara terus-
menerus sehingga medan magnetnya tidak pernah mati."
"Dan kalau medan magnetnya mati?"
"Akibatnya sudah pasti. Antimateri itu jatuh dari penopangnya, menghantam dasar perangkap, dan kita semua akan hancur."
Telinga Langdon tergelitik. "Hancur?" Dia tidak menyukai kata itu.
Vittoria tampak tidak peduli. "Ya. Jika antimateri dan materi bersentuhan, keduanya akan langsung hancur. Ahli fisika menyebutnya proses penghancuran."
Langdon mengangguk. "Oh."
Ini adalah reaksi alam yang sederhana. Sebuah partikel dari materi dan sebuah partikel dari antimateri bergabung dan menghasilkan dua partikel baru yang disebut foton. Foton tak lain adalah satu titik kecil cahaya."
Langdon pernah membaca tentang foton--partikel-partikel cahaya - yang merupakan bentuk termurni dari energi. Dia memutuskan untuk tidak jadi bertanya tentang torpedo foton yang digunakan oleh Kapten Kirk untuk melawan bangsa Klingon. "Jadi jika antimateri jatuh, kita akan melihat gelembung kecil cahaya?"
Vittoria mengangkat bahunya. "Tergantung apa yang kamu sebut kecil. Mari, aku akan peragakan." Dia meraih tabung tersebut dan mulai melepaskannya dari tempat pengisian listriknya.
Tiba-tiba Kohler menjerit ketakutan dan meloncat ke depan, berusaha mencegah tangan Vittoria. "Vittoria, kamu gila!"
22
DENGAN KETERKEJUTAN YANG amat sangat Kohler berdiri sejenak dengan tubuh gemetar di atas kakinya yang lemah. Wajahnya pucat karena ketakutan. "Vittoria! Kamu tidak boleh membuka perangkap itu!"
Langdon hanya bengong dan bingung oleh kepanikan sang direktur yang tiba-tiba itu.
"Lima ratus nanogram!" kata Kohler lagi. "Kalau kamu memecahkan medan magnet itu--"
"Pak Direktur," suara Vittoria meyakinkan, "ini benar-benar aman. Setiap perangkap memiliki sebuah pengaman--sebuah batere cadangan kalau-kalau tabung ini dipindahkan dari tempat pengisiannya. Spesimen ini masih tetap tertopang bahkan kalau aku memindahkan tabung ini."
Kohler tampak ragu. Kemudian dengan wajah yang masih terlihat khawatir, Kohler kembali duduk di kursi rodanya.
"Baterenya bekerja secara otomatis ketika perangkap ini dipindahkan dari tempatnya. Batere ini bekerja selama 24 jam. Seperti tangki gas cadangan," kata Vittoria menjelaskan. Dia lalu berpaling pada Langdon seolah dia merasakan kecemasan yang juga dirasakan oleh lelaki itu. "Antimateri memiliki karakter yang mengagumkan, Pak Langdon. Hal itulah yang membuatnya menjadi sangat berbahaya. Satu sampel dengan berat sepuluh miligram saja atau sebesar sebutir pasir, diperkirakan mengandung sebanyak dua ratus metrik ton bahan bakar roket konvensional."
Kepala Langdon terasa seperti berputar lagi.
"Ini adalah sumber energi masa depan. Seribu kali lebih bertenaga dibandingkan dengan energi nuklir. Seratus persen efisien. Dia juga tidak menghasilkan limbah. Tidak ada radiasi.
Tidak ada polusi. Hanya dengan beberapa gram saja kita dapat menghidupkan listrik untuk satu kota besar dalam satu minggu."
Tidak sampai satu gram? Dengan cemas Langdon melangkah menjauh dari podium.
"Jangan khawatir," kata Vittoria. "Sampel ini hanyalah pecahan yang sangat kecil dari satu gram antimateri; hanya seperjutanya. Jadi relatif tidak berbahaya." Lalu dia meraih tabung itu lagi dan memutar dasarnya.
Bibir Kohler bergerak-gerak, tetapi dia tidak berusaha menghalangi Vittoria. Ketika perangkap itu terlepas, tersengar suara "bip" yang terdengar keras, dan sebuah display LED ((Light Emitting Diode): Diode semikonduktor yang memancarkan cahaya jika mendapat aliran listrik. Digunakan oleh Peralatan elektronik seperti jam digital--peny.) berukuran kecil menyala di dekat dasar perangkap tersebut. Penunjuk angka berwarna merah itu berkedip dan menghitung mundur dari 24 jam.
24:00:00 ...
23:59:59 ...
23:59:58 ...
Langdon mengamati hitungan mundur itu dan berpikir kalau benda itu terlihat seperti bom waktu saja.
Batere itu," kata Vittoria menjelaskan, "akan berfungsi selama jam penuh sebelum mati. Batere itu dapat diisi ulang dengan cara meletakkan perangkap ini kembali ke atas podium. Benda ini dirancang sebagai sebuah langkah pengamanan. Selain itu, benda ini juga memungkinkan perangkap tersebut untuk dibawa keluar dari laboratorium ini."
"Dibawa?" Kohler tampak sangat terkejut. "Kamu membawa barang ini ke luar lab?"
"Tentu saja tidak," kata Vittoria. "Tetapi kemampuannya untuk dapat dipindah-pindahkan memungkinkan kita untuk mempelajarinya."
Vittoria kemudian membawa Langdon dan Kohler ke ujung ruangan. Dia membuka tirai sehingga terlihat sebuah jendela di mana mereka bisa sebuah ruangan yang sangat besar. Dinding, lantai dan langit-langitnya semuanya dilapisi oleh baja. Ruangan itu mengingatkan Langdon pada tangki pengangkut yang pernah ditumpanginya ke Papua Nugini untuk mempelajari Hanta atau tato tradisional masyarakat di sana.
"Ini adalah tangki penghancuran," jelas Vittoria.
Kohler menatapnya. "Kamu benar-benar meneliti penghancuran?"
"Ayahku sangat kagum dengan Ledakan Besar yang menghasilkan sejumlah besar energi dari satu titik materi." Vittoria kemudian membuka sebuah laci baja di bawah jendela tersebut. Dia meletakkan perangkap itu di dalam laci dan menutup laci itu lagi. Setelah itu dia menarik sebuah pengungkit di bawah laci tersebut. Sesaat kemudian, perangkap itu muncul di sisi lain kaca jendela itu, dan menggelinding lembut pada sebuah lengkungan lebar dan melintasi lantai baja hingga akhirnya berhenti hampir di tengah-tengah ruangan itu.
Vittoria tersenyum kecil. "Kalian akan menyaksikan pemusnahan antimateri-materi kalian yang pertama. Hanya seperjuta dari satu gram. Sebuah spesimen yang relatif kecil."
Langdon menatap perangkap antimateri yang tergeletak sendirian di lantai tangki yang sangat besar itu. Kohler juga melongok ke dalam jendela dan tampak tidak yakin.
"Biasanya," jelas Vittoria, "kami harus menunggu selama 24 jam penuh sampai baterenya habis, tetapi ruangan ini memiliki magnet di bawah lantainya sehingga menetralkan perangkap itu, menarik keluar antimateri dari penopangnya. Dan ketika antimateri dan materi bersentuhan ...."
"Pemusnahan terjadi," bisik Kohler.
"Satu hal lagi," kata Vittoria. "Antimateri mengeluarkan energi murni. Jadi, jangan melihatnya dengan mata telanjang. Lindungi mata kalian."
Langdon memang khawatir, tetapi kini dia merasa kalau Vittoria menjadi agak berlebihan. Jangan melihat tabung itu dengan mata telanjang? Benda itu berjarak tiga puluh yard, di batasi oleh dinding kaca plexi yang sangat tebal. Lagipula bintik di dalam tabung tabung itu tidak terlihat, sangat kecil. Lindungi mata kalian? pikir Langdon. Energi sebesar apa yang dapat dihasilkan oleh titik--
Vittoria menekan tombol.
Saat itu juga, Langdon merasa sangat silau. Sebuah titik cahaya yang sangat terang menyala di dalam tabung itu dan kemudian meledak serta menghasilkan gelombang cahaya yang menyebar ke segala penjuru, dan menghantam jendela di depannya dengan kekuatan yang sangat besar. Langdon terhuyung ke belakang ketika benda tersebut mengguncang ruang bawah tanah itu. Cahaya itu masih menyala sesaat kemudian, terbakar dan setelah beberapa saat kemudian, cahaya itu padam dengan sendirinya, berubah menjadi titik kecil, lalu menghilang sama sekali. Langdon mengejapkan matanya yang terasa seperti buta dan berusaha mengembalikan penglihatannya. Dia menyipitkan matanya ketika menatap ruangan yang membara di hadapannya. Tabung yang tadi berada di atas lantai telah menghilang. Menguap dan tidak meninggalkan bekas sama sekali.
Langdon menatap kagum. "Tuhanku!."
Vittoria mengangguk sedih. "Itulah kata yang diucapkan Ayahku."
23
KOHLER MENATAP KE DALAM ruang pemusnahan dengan kekaguman yang luar biasa pada pertunjukan yang tadi baru saja dilihatnya. Robert Langdon berdiri di sampingnya dan terlihat bertambah linglung.
"Aku ingin melihat ayahku," Vittoria menuntut. "Aku sudah memperlihatkan lab kami kepadamu. Sekarang aku ingin melihat ayahku."
Kohler barpaling padanya dengan pelan dan tampaknya tidak mendengar permintaan Vittoria. "Mengapa kamu harus menunggu begitu lama, Vittoria? Kamu dan ayahmu seharusnya segera mengatakan tentang penemuan ini kepadaku."
Vittoria menatapnya. Berapa banyak alasan lagi yang kamu inginkan?
"Pak Direktur, kita dapat memperdebatkan hal ini nanti. Sekarang aku ingin melihat ayahku."
"Kamu tahu apa artinya teknologi ini?"
"Tentu saja," sahut Vittoria. "Keuntungan besar bagi CERN. Sekarang aku ingin--"
"Karena itukah kamu merahasiakannya?" tanya Kohler. "Karena kamu takut dewan direksi dan saya akan memutuskan untuk mendaftarkan percobaan ini agar mendapatkan izin dari pihak yang berwenang?"
"Tentu saja penemuan ini harus mendapatkan izin," balas Vittoria dan merasa dirinya harus kembali beradu argumen dengan Kohler.
"Antimateri adalah teknologi penting, tetapi juga berbahaya. Ayahku dan aku memerlukan waktu untuk memperbaiki prosedurnya agar aman."
"Dengan kata lain kalian tidak memercayai dewan direksi dan takut mereka akan lebih memerhatikan sisi komersialnya ketimbang sisi ilmu pengetahuannya?"
Vittoria terkejut mendengar nada Kohler yang datar. "Ada hal lainnya juga," kata Vittoria. "Ayahku ingin mempublikasikan penemuan ini pada saat yang tepat."
"Maksudmu? Masak, sih tidak tahu? Materi dari energi? Sesuatu yang berasal dari ketiadaan? Penemuan ini membuktikan bahwa Kitab Kejadian berisi fakta ilmiah."
"Tadi, ayahmu tidak mau faktor religius dari penemuannya ini hilang ditelan oleh gencarnya komersialisme?"
"Begitulah kira -kira."
"Bagaimana dengan dirimu?"
Sayangnya pertimbangan Vittoria agak berbeda. Komersialisme adalah hal yang penting dalam menentukan keberhasilan sebuah sumber energi baru. Walau teknologi antimateri memiliki potensi sebagai sumber energi masa depan karena efisien dan bebas polusi, tapi kalau penemuan ini dibeberkan sebelum waktunya, teknologi ini akan menjadi bulan-bulanan para politisi dan memiliki nasib yang muram seperti bahan bakar nuklir dan tenaga surya. Nuklir mengalami sejarah yang panjang sebelum menjadi teknologi yang aman. Selain itu, ada beberapa kecelakaan yang disebabkan nuklir dan sulit untuk dilupakan oleh masyarakat. Tenaga matahari juga harus melewati jalan yang berliku agar bisa menjadi teknologi efisien. Tapi sebelum sampai ke sana, kita sudah keburu bangkrut. Kedua teknologi itu memiliki reputasi yang buruk, seakan layu sebelum berkembang.
"Minatku," kata Vittoria, "tidak semulia seperti ayahku yang ingin menggabungkan ilmu pengetahuan dan agama."
"Lingkungan?" Kohler bertanya dengan hati-hati. Ini energi yang tiada habisnya. Tidak memerlukan penggalian tambang. Tidak menimbulkan polusi. Tidak ada radiasi. Teknologi antimateri dapat menyelamatkan planet ini."
Atau malah menghancurkannya," kata Kohler tajam. "Tergantung pada siapa yang menggunakannya dan untuk apa." Vittoria merasa tubuh Kohler yang ringkih itu mulai gemetar. "Siapa saja yang mengetahui hal ini?" tanya Kohler.
"Tidak ada," jawab Vittoria. "Aku sudah mengatakannya padamu."
"Lalu kamu pikir mengapa ayahmu dibunuh?"
Tubuh Vittoria menegang. "Aku tidak tahu. Ayah memang punya musuh di sini, di CERN, kamu tahu itu. Tetapi ini tidak ada hubungannya dengan antimateri. Kami berdua sudah bersumpah untuk merahasiakan penemuan ini dari sepengetahuan orang lain sampai beberapa bulan lagi, hingga kami berdua benar-benar siap."
"Dan kamu yakin ayahmu menepati sumpahnya?"
Sekarang Vittoria menjadi sangat marah. "Sebagai pastor, ayahku menepati sumpah yang jauh lebih besar daripada itu!"
"Lalu bagaimana dengan kamu. Apakah kamu pernah mengatakannya kepada orang lain?"
"Tentu saja tidak!"
Kohler menarik napas. Dia kemudian berhenti sejenak, seolah olah dia sedang memilih kata-kata berikutnya dengan berhati-hati.
"Seandainya ada orang yang tahu. Dan seandainya ada orang lain yang dapat memasuki lab ini. Menurutmu apa yang mereka cari di sini? Apakah ayahmu menyimpan catatan di sini? Dokumentasi proses percobaannya?"
"Pak Direktur, aku sudah berusaha untuk bersabar. Aku membutuhkan beberapa jawaban sekarang. Sementara Anda terus berbicara kalau ada orang yang sudah menyantroni ruangan ini. Tetapi Anda sendiri sudah melihat kalau kami menggunakan alat pengenal retina. Ayahku selalu berhati-hati terhadap kerahasiaan dan keamanan."
"Oh, Vittoria. Cobalah untuk menghiburku," bentak Kohler sambil menatap perempuan di hadapannya itu dengan galak.
"Kira-kira apakah ada yang hilang?"
"Aku tidak tahu." Dengan marah Vittoria meneliti ruangan lab itu. Semua contoh antimateri tercatat. R uang kerja ayahnya tampak rapi. "Tidak ada orang yang datang ke sini," ungkapnya.
"Semuanya tampak baik-baik saja di atas sini."
Kohler tampak heran. "Di atas sini?"
Vittoria menjawab tanpa berpikir panjang. "Ya, di sini, di lab atas."
"Kalian juga menggunakan lab di lantai bawah?"
"Ya. Sebagai tempat penyimpanan."
Kohler menggelindingkan kursi rodanya untuk mendekati Vittoria. Dia terbatuk lagi. "Kalian menggunakan ruangan Haz Mat sebagai tempat penyimpanan? Untuk menyimpan apa?"
Material berbahaya itu, apa lagi! Vittoria mulai habis kesabarannya. "Antimateri."
Kohler mengangkat tubuhnya dengan tangannya bertumpu pada lengan kursinya. "Jadi ada spesimen lain? Mengapa kamu tidak mengatakannya padaku dari tadi?"
"Aku baru saja mengatakannya!" Vittoria balas membentak.
"Habis dari tadi kamu tidak memberikanku kesempatan!"
"Kita harus memeriksa spesimen itu," kata Kohler. "Sekarang."
"Spesimen itu hanya ada satu. Dan baik-baik saja. Tidak seorang pun dapat--"
"Hanya satu?" Kohler ragu-ragu. "Mengapa tidak disimpan di sini saja?"
"Ayahku ingin contoh tersebut disimpan di bawah lapisan tanah keras untuk berjaga-jaga. Contoh itu lebih besar dari yang lainnya."
Kekhawatiran yang muncul pada wajah Kohler dan Langdon sekarang juga pada muncul di wajah Vittoria. Kohler bergerak mendekatinya lagi. "Kalian menciptakan sebuah spesimen yang lebih besar daripada lima ratus nanogram?"
"Kami harus membuatnya," Vittoria membela diri. "Kami harus membuktikan bahwa ambang batas input/hasil dapat kami lalui dengan aman." Seperti yang diketahuinya, masalah yang dimiliki oleh sumber bahan bakar baru adalah selalu mengenai input dibandingkan dengan hasil. Misalnya seberapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan bahan bakar tertentu. Membangun sebuah anjungan minyak yang hanya mampu menghasilkan satu barel minyak adalah kesia-siaan belaka. Jika anjungan itu, dengan pengeluaran tambahan minimal, dapat menghasilkan jutaan barel minyak, maka Anda akan untung besar. Hal yang sama juga terjadi dengan antimeter. Menyiapkan elektromagnet yang besar hanya untuk menciptakan satu sampel kecil antimateri menghabiskan energi yang lebih besar daripada hasil yang
didapatkan. Untuk membuktikan kalau teknologi antimateri itu efisien dan dapat berguna, kita harus menciptakan sampel dengan dengan ukuran yang lebih besar.
Walau ketika itu ayah Vittoria ragu-ragu untuk menciptakan spesimen yang lebih besar, Vittoria tetap mendesaknya. Alasannya, agar antimateri tersebut bisa dianggap sebagai penemuan yang serius, dia dan ayahnya harus membuktikan dua hal. Pertama, mereka bisa mendapatkan jumlah biaya yang efektif. Dan kedua, spesimen itu dapat disimpan dengan aman. Akhirnya Vittoria menang dan ayahnya mengalah. Meskipun begitu, Leonardo tetap menjalankan peraturan yang ketat, seperti kerahasiaan dan akses.
Ayahnya bersikeras untuk menyimpan antimateri itu disimpan di ruang Haz-Mat--sebuah lubang dari batu granit yang besar yang merupakan sebuah ruangan tambahan di bawah lab sedalam tujuh puluh kaki di bawah tanah. Spesimen itu akan menjadi rahasia mereka. Dan hanya mereka berdua yang dapat memasuki ruangan itu.
"Vittoria?" tanya Kohler, suaranya terdengar tegang. "Seberapa besar spesimen yang kalian berdua ciptakan?"
Vittoria merasa getir. Dia tahu jumlah itu akan membuat semua orang takjub, bahkan bagi Maximilian Kohler yang berwibawa itu. Vittoria membayangkan antimateri yang mereka simpan di bawah. Baginya itu merupakan sebuah pemandangan yang hebat. Antimateri tersebut tertahan di dalam perangkapnya. Dan titik kecil yang menari-nari itu dapat dilihat oleh mata telanjang. Itu bukan lagi sebuah titik mikrokospis, tetapi sebuah tetesan kecil seukuran peluru senapan angin.
Vittoria menarik napas dalam. "Seperempat gram." Wajah Kohler memucat. "Apa!" Dia kemudian terbatuk sangat "Seperempat gram! Itu setara dengan ... hampir lima kiloton."
Kiloton. Vittoria membenci kata itu. Kata itu tidak pernah digunakan oleh ayahnya dan dirinya. Satu kiloton setara dengan 1.000 metrik ton dinamit. Kiloton adalah istilah senjata. Alat untuk membunuh. Tenaga yang dapat merusak. Sedangkan Vittoria dan ayahnya menyebutnya dalam volt dan joule--hasil energi konstruktif.
"Antimateri sebanyak itu dapat menghancurkan segalanya dalam radius setengah mil!" seru Kohler.
"Ya, jika diledakkan sekaligus," Vittoria balas membentak, "dan itu tidak dapat dilakukan oleh siapa pun!"
"Kecuali seseorang yang tidak memahaminya dengan baik. Atau kalau batere yang menghasilkan medan elektromagnetik mati!" Kohler bersiap menuju ke lift.
"Karena itulah ayahku menyimpannya di Haz-Mat, di bawah sebuah pembangkit listrik yang tidak akan mati dan sebuah sistem keamanan yang sangat hebat.
Kohler berpaling dan menatap Vittoria dengan penuh harap. "Kalian memiliki pengamanan tambahan di Haz-Mat?"
"Ya. Sebuah alat pengenal retina yang kedua."
Kohler hanya mengatakan dua kata. "Ke bawah. Sekarang."
Ruang lift itu meluncur dengan cepat seperti sebuah batu yang jatuh.
Tujuh puluh kaki lagi ke dalam bumi.
Vittoria yakin dirinya dapat merasakan ketakutan dalam diri kedua lelaki itu ketika lift bergerak semakin dalam. Wajah Kohler yang biasanya tanpa ekspresi sekarang tampak tegang. Aku tahu, pikir Vittoria. Spesimen itu sangat besar, tapi kami sangat berhati-hati--
Mereka tiba di dasar.
Pintu lift terbuka, dan Vittoria mendahului mereka berjalan ke koridor yang remang-remang. Di ujung gang itu ada sebuah pintu baja besar. HAZ-MAT. (Hazardous Material). Alat pengenal retina yang sama dengan yang terpasang di lantai atas, terdapat di dekat pintu tersebut. Vittoria mendekatinya. Dengan berhati-hati, dia ingin menempelkan matanya di atas lensa itu.
Vittoria mundur. Ada yang salah. Lensa yang biasanya bersih itu ternoda ... dikotori oleh sesuatu yang tampak seperti ... darah?
Dengan bingung dia berpaling pada kedua lelaki yang berdiri di belakangnya, tetapi tatapannya hanya bertemu dengan wajah-wajah yang pucat seperti lilin. Baik wajah Kohler maupun wajah Langdon sama-sama terlihat pucat. Mata mereka menatap lekat pada lantai di dekat kaki Vittoria.
Vittoria mengikuti arah tatapan mereka ... di bawah.
"Jangan!" seru Langdon sambil meraih Vittoria. Tetapi terlambat.
Tapi Vittoria sudah keburu melihat benda di atas lantai itu. Benda itu tampak sangat aneh, namun juga sangat akrab baginya.
Dan Vittoria hanya memerlukan waktu sedetik saja.
Kemudian, dengan ketakutan yang amat sangat, dia tahu benda apa itu. Benda yang seperti menatapnya dari bawah, tercampak seperti potongan sampah, adalah sebuah bola mata. Vittoria langsung bisa mengenali bola mata berwarna cokelat yang sudah begitu akrab dengannya selama ini.
24
TEKNISI KEAMANAN ITU menahan napasnya ketika komandannya melongok melalui bahunya untuk mengamati sekumpulan monitor keamanan di hadapan mereka. Satu menit berlalu.
Teknisi itu sudah mengira kalau komandannya itu tidak akan mengatakan apa -apa. Komandannya adalah seorang lelaki yang kaku mengikuti protokol. Dia tidak akan menjabat sebagai komandan pada sebuah kesatuan keamanan yang paling baik di dunia kalau sering bertindak dengan gegabah.
Tetapi apa yang dipikirkannya?
Benda yang mereka sedang amati dalam monitor itu tampak seperti semacam sebuah tabung--tabung tembus pandang. Mengenali tabung itu memang mudah, tapi sulit untuk menentukan tabung apa itu.
Di dalam tabung itu terlihat setetes cairan metal yang mengambang di udara, seolah-olah karena efek khusus. Tetesan itu hilang timbul bersamaan dengan kedipan layar LED yang menampilkan hitungan mundur berwarna merah yang membuat teknisi itu merinding.
"Bisa kamu tambah kontrasnya?" perintah komandannya tiba tiba sehingga mengejutkan teknisi itu.
Teknisi itu pun langsung melaksanakan perintah tersebut, dan membuat gambar itu menjadi agak lebih terang. Komandan itu kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan lagi, menatap dengan mata yang ditajamkan lebih dekat pada sesuatu yang baru saja terlihat pada dasar tabung itu.
Teknisi itu mengikuti tatapan mata komandannya. Samar samar mereka dapat melihat beberapa huruf tercetak di samping layar LED tersebut. Empat huruf besar itu berkilau dalam kedipan cahaya.
"Kamu tetap di sini saja," kata komandan itu. "Jangan katakan apa-apa. Aku akan mengatasi ini."
25
RUANG HAZ-MAT. Lima puluh meter di bawah tanah.
Vittoria Vetra terhuyung ke depan, hampir jatuh menimpa alat pengenal retina yang berlumuran darah itu. Dia merasa lelaki Amerika itu bergegas menolongnya, memeganginya, menopang tubuhnya. Di atas lantai, di dekat kakinya, bola mata ayahnya menatapnya. Dia merasa ada udara meledak di dalam paru-parunya. Mereka mencungkil mata Ayah! Dunianya terasa berputar Kohler mendekatinya, dan berbicara. Langdon menuntun Vittoria Seolah dalam mimpi, Vittoria menatap ke dalam alat pengenal retina itu. Alat itu mengeluarkan bunyi "bip".
Pintu baja pun bergeser terbuka.
Walaupun Vittoria sudah merasa ketakutan ketika melihat bola mata ayahnya, Vittoria merasa bahwa dia masih akan melihat hal yang lebih menakutkan lagi di dalam. Dan ketika dia menatap ke dalam ruangan, dia melihat bagian selanjutnya dari mimpi buruknya. Di depannya, satu-satunya podium yang berisi tabung perangkap antimateri itu kosong melompong.
Tabung itu hilang. Mereka mencungkil mata ayahnya untuk mencuri tabung tersebut. Kenyataan itu terlalu bertubi-tubi bagi Vittoria sehingga dia sulit untuk mencernanya. Semua rahasia telah bocor. Spesimen yang seharusnya ditujukan untuk membuktikan bahwa antimateri merupakan sumber energi yang aman dan dapat dibuat, telah dicuri. Tetapi seharusnya tidak ada orang yang mengetahui keberadaan spesimen itu di sini! Walaupun begitu, fakta tersebut tidak dapat disangkal. Seseorang telah mengetahuinya. Vittoria tidak dapat membayangkan siapa orang itu. Bahkan Kohler yang mereka sebut sebagai orang yang tahu segalanya di CERN, jelas juga tidak tahu apa -apa tentang proyek ini.
Ayahnya meninggal. Dibunuh karena kejeniusannya.
Ketika perasaan duka menyakiti hatinya, sebuah perasaan baru muncul dan menggugah kesadaran Vittoria. Yang ini malah jauh
lebih buruk. Melumatkan dan menusuk dirinya. Vittoria merasa bersalah. Perasaan bersalah yang luar biasa besar. Vittoria menyadari kalau dirinyalah yang meyakinkan ayahnya untuk membuat spesimen itu dan mengabaikan pertimbangan mulia ayahnya. Kini, ayahnya dibunuh karenanya.
Seperempat gram ....
Seperti teknologi lainnya--senjata, bubuk mesiu, mesin bakar -- jika berada di tangan yang salah, antimateri dapat menjadi benda yang berbahaya. Sangat berbahaya. Antimateri adalah senjata pembunuh yang kejam dan tidak dapat dihentikan. Sekali benda itu dipindahkan dari tempat pengisiannya di CERN, jam digital di tabung perangkapnya akan menghitung mundur tanpa dapat dicegah. Seperti serangkaian kereta api yang melaju tanpa kendali.
Dan ketika waktunya habis ....
Sebuah cahaya yang sangat menyilaukan akan tercipta. Kemudian gelegar guntur, lalu api akan melalap semuanya. Hanya satu kilatan cahaya ... lalu kawah kosong. Sebuah kawah besar yang kosong.
Bayangan akan hasil kejeniusan ayahnya yang luar biasa telah digunakan sebagai alat pemusnah membuat darah Vittoria mendidih. Antimateri adalah senjata teroris yang sangat ampuh. Dia tidak mengandung logam sehingga tidak dapat dideteksi oleh alat pengenal metal, tidak ada bahan kimia sehingga anjing pelacak tidak dapat mengendusnya, tidak ada sekering yang dapat dimatikan jika petugas menemukan tabung itu. Hitungan mundur sudah dimulai ....
Langdon tidak tahu apa lagi yang harus dilakukannya. Dia kemudian mengeluarkan saputangannya dan menebarkannya di atas lantai untuk menutupi bola mata Leonardo Vetra. Sekarang Vittoria berdiri di ambang pintu ruang Haz-Mat yang kosong, wajahnya tegang karena sedih dan panik. Langdon ingin mendekatinya, tetapi Kohler menghalangi.
"Pak Langdon?" wajah Kohler terlihat tanpa ekspresi. Dia mengajak Langdon menjauh sehingga kata-katanya tidak dapat didengar Vittoria. Dengan enggan Langdon mengikutinya dan meninggalkan Vittoria yang sedang berusaha mengembalikan kekuatannya. "Kamu seorang ahli," kata Kohler, bisikannya terdengar mendesak. "Aku ingin tahu, apa maksud para bedebah Illuminati dengan mencuri antimateri temuan Vetra?"
Langdon mencoba untuk memusatkan pikirannya. Walau dikelilingi oleh kegilaan, reaksi pertamanya masih masuk akal penolakan akademis. Kohler masih saja membuat perkiraan-perkiraan. Perkiraan yang tidak masuk akal. "Kelompok Illuminati sudah tidak aktif lagi, Pak Kohler. Saya yakin itu. Kejahatan ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Mungkin saja oleh pegawai CERN yang mengetahui terobosan Pak Vetra dan berpikir kalau proyek itu terlalu berbahaya jika dilanjutkan."
Kohler tampak terpaku. "Anda pikir ini kejahatan dengan alasan sepele, Pak Langdon? Tidak masuk akal. Siapa pun yang membunuh Leonardo pasti menginginkan satu hal; spesimen antimateri. Dan tidak diragukan lagi, mereka memiliki rencana tersendiri."
"Maksud Anda, terorisme?"
"Tentu saja."
"Tetapi Illuminati bukanlah kelompok teroris."
"Katakan itu kepada Leonardo Vetra."
Langdon merasakan adanya kebenaran yang pedih di dalam pernyataan itu. Leonardo Vetra memang telah dicap dengan simbol Illuminati. Darimana simbol itu berasal? Cap keramat itu tampaknya terlalu sulit untuk dipalsukan oleh seseorang yang mencoba menghapus jejaknya dengan mengalihkan kecurigaan ke tempat lain. Pasti ada penjelasan yang masuk akal.
Sekali lagi, Langdon memaksa dirinya untuk mempertimbangkan segala kemungkinan. Jika Illuminati masih aktif, dan jika mereka mencuri antimateri itu, apa niat mereka sesungguhnya? Apa sasaran mereka? Jawaban yang disediakan otaknya muncul dengan begitu cepat. Namun Langdon mengusirnya dengan cepat juga. Benar, Illuminati memang mempunyai musuh yang jelas, tetapi serangan teroris dengan skala besar untuk melawan musuh adalah hal tidak dapat dibayangkan. Itu sama sekali bukan sifat Illuminati. Memang, Illuminati telah membunuh banyak orang, tetapi targetnya adalah perorangan, target yang diserang dengan hati-hati.
Penghancuran besar-besaran adalah pekerjaan berat. Langdon berhenti sejenak. Pasti ada alasan yang luar biasa besar--antimateri adalah pencapaian tertinggi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan bisa digunakan untuk menghancurkan--
Langdon tidak mau menerima pikiran gila itu. "Ada penjelasan logis lainnya selain terorisme," katanya tiba-tiba.
Kohler menatapnya. Menunggu.
Langdon mencoba memilah-milah berbagai pemikiran yang ada di kepalanya. Illuminati memang memiliki kekuatan yang luar biasa melalui institusi keuangan yang dimilikinya. Mereka menguasai bank. Mereka memiliki simpanan emas dalam jumlah besar. Mereka dikabarkan memiliki batu mulia yang sangat bernilai di bumi ini--Berlian Illuminati, sebentuk berlian bermutu tinggi dengan ukuran yang sangat besar. "Uang," kata Langdon.
"Antimateri itu mungkin dicuri untuk dijual."
Kohler tampak ragu. "Untuk dijual? Kamu pikir di mana orang bisa menjual satu tetes antimateri?"
"Bukan spesimennya," bantah Langdon. "Tetapi teknologinya. Teknologi antimateri pasti memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Mungkin seseorang mencuri sampel ini untuk dianalisis bagi pengembangan litbang pihak lain."
"Spionase industri? Tetapi tabung itu hanya memiliki waktu selama 24 jam sebelum baterenya habis. Para peneliti itu akan meledak sebelum berhasil mempelajari apa pun."
Mereka dapat mengisi baterenya sebelum meledak. Mereka dapat membuat podium pengisian batere yang mirip dengan yang ada di CERN."
"Dalam waktu 24 jam?" tantang Kohler. "Kalaupun mereka juga mencuri skema pengisian batere, mereka masih membutuhkan berbulan-bulan untuk membuatnya. Itu bukan alat yang bisa dibuat dalam hitungan jam!"
"Ia benar." Suara Vittoria bergetar.
Kedua lelaki itu menoleh dan melihat Vittoria yang bergerak ke arah mereka. Dia berjalan dengan langkah yang gemetar seperti suaranya.
"Dia benar. Tidak seorang pun dapat membuat alat pengisi ulang yang mirip seperti yang kami miliki tepat pada waktunya. Membuat permukaannya saja memerlukan waktu beberapa minggu. Kemudian penyaring fluks, kumparan bantu, lapisan pendingin, semua disesuaikan ke tingkat energi tertentu agar bisa cocok."
Langdon mengerutkan keningnya. Dia sudah bisa menangkap maksudnya. Sebuah perangkap antimateri bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah disambungkan ke soket listrik di dinding. Begitu dipindahkan dari CERN, tabung itu sudah dipastikan akan meledak dalam waktu 24 jam.
Kini yang tersisa hanya satu kesimpulan yang sangat mengganggu.
"Kita harus rnemanggil Interpol," kata Vittoria. Suaranya terdengar lirih. "Kita harus menelepon pihak yang berwenang. Segera."
Kohler menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa."
Kata-kata itu membuat Vittoria terpaku. "Tidak? Apa maksudmu?"
"Kamu dan ayahmu telah menempatkan aku pada posisi yang sulit."
"Pak Direktur, kita memerlukan bantuan. Kita harus menemukan tabung itu dan mengembalikannya ke sini sebelum ada yang terluka. Kita bertanggung jawab!"
"Kita punya tanggung jawab untuk berpikir," kata Kohler, nadanya mengeras. "Situasi ini memiliki dampak yang luar biasa untuk CERN."
"Anda lebih memikirkan reputasi CERN? Anda tahu apa yang bisa diakibatkan oleh tabung itu di daerah berpenduduk? Tabung itu dapat meledakkan sebuah daerah beradius setengah mil! Sama dengan sembilan blok di dalam kota!"
"Mungkin kamu dan ayahmu seharusnya mempertimbangkan hal itu sebelum kalian menciptakan spesimen itu."
Vittoria merasa seperti baru saja ditikam. "Tetapi ... kami sudah sangat berhati-hati."
"Tampaknya itu tidak cukup."
"Tetapi tidak ada yang mengetahui antimateri yang kami buat."
Tiba-tiba Vittoria sadar, itu tentu alasan yang aneh. Kenyataannya sudah ada orang yang mengetahui keberadaannya. Seseorang sudah
menemukannya.
Vittoria tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun. Hanya ada dua penjelasan lagi. Apakah ayahnya telah memercayai seseorang tanpa memberi tahu dirinya. Hal itu tentu saja tidak mungkin, karena Leonardo Vetra adalah ayahnya dan mereka berdua sudah bersumpah untuk menjaga kerahasiaan ini. Kemungkinan kedua adalah, mereka berdua telah diamati. Ponsel mereka mungkin? Vittoria menyadari kalau mereka pernah beberapa kali berbincang-bincang ketika Vittoria sedang bepergian. Apakah mereka berbicara terlalu banyak? Itu mungkin saja. Lalu e-mail. Tetapi mereka sudah sangat berhati-hati, 'kan? Sistem keamanan CERN? Apakah ada orang yang memantau kegiatan mereka tanpa sepengetahuan mereka? Vittoria tahu semua itu tidak penting lagi. Kenyataannya semuanya sudah terjadi. Ayahku sudah meninggal. Pikiran itu membuatnya bereaksi. Dia lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana pendeknya.
Kohler bergegas mendekatinya. Sambil terbatuk-batuk keras, matanya bersinar marah. "Siapa ... yang kamu telepon?"
"Petugas operator telepon CERN. Mereka dapat menghubungkan kita dengan Interpol."
"Kuasai dirimu!" seru Kohler tersedak, menahan batuknya di depan Vittoria. "Apa kamu begitu naif? Tabung itu mungkin sudah berada entah di mana sekarang. Tidak ada agen rahasia mana pun yang dapat bergerak untuk menemukannya tepat pada waktunya."
"Jadi, kita tidak akan melakukan apa -apa?" Kemudian Vittoria merasa menyesal karena telah berkata kasar pada lelaki tua yang sakit-sakitan itu. Tetapi sang direktur sudah menyimpang terlalu jauh sehingga Vittoria tidak dapat mengenalinya lagi.
"Kita akan melakukan sesuatu yang cerdas," sahut Kohler "Aku tidak mau reputasi CERN dalam bahaya dengan melibatkan polisi yang belum tentu dapat membantu kita. Tidak. Tidak tanpa pertimbangan yang masak."
Vittoria tahu pemikiran Kohler masuk akal juga, tetapi dia juga tahu kalau logika berpikir Kohler tidak memiliki landasan moral. Ayahnya selama ini hidup dengan tanggung jawab moral. Dia adalah ilmuwan yang berhati-hati, bertanggung jawab, dan percaya pada kebaikan di hati tiap manusia. Vittoria juga percaya pada hal itu, tetapi dia memahaminya dalam pengertian karma. Vittoria berjalan menjauh dari Kohler dan menghidupkan ponselnya.
"Kamu tidak bisa melakukannya," kata Kohler.
"Coba saja hentikan aku."
Kohler tidak bergerak.
Sesaat kemudian, Vittoria baru menyadarinya. Mereka berada sangat jauh di bawah tanah, ponselnya tidak mendapatkan nada sambung.
Dengan marah, dia bergerak menuju lift.
26
SI HASSASSIN BERDIRI di ujung terowongan batu. Obornya masih menyala terang, asapnya berbaur dengan aroma lumut dan udara apak. Kesunyian menyelimutinya. Sebuah pintu besi yang menghalangi jalannya tampak setua terowongan itu sendiri; berkarat tapi masih tampak kuat. Dia menunggu dalam kegelapan, dan merasa yakin.
Hampir tiba waktunya.
Janus sudah berjanji, seseorang di dalam akan membukakan pintu untuk dirinya. Si Hassassin terheran-heran bagaimana orang dalam itu bisa berkhianat. Dia akan menunggu di depan sepanjang malam untuk melaksanakan tugasnya. Tetapi dia merasa tidak perlu menunggu begitu lama karena dia bekerja untuk seseorang yang berkuasa.
Beberapa menit kemudian, tepat seperti jam yang dijanjikan, terdengar suara berkelontang seperti beberapa kunci besar yang berat sedang beradu di balik pintu besi ini. Bunyi logam beradu dan terdengar berdentam-dentam ketika beberapa gembok dibuka. Satu per satu, tiga gerendel besar terbuka. Kunci-kunci itu berkeretak seolah sudah berabad-abad tidak digunakan. Akhirnya ketiga kunci itu pun terbuka.
Kemudian sunyi.
Si Hassassin menunggu dengan sabar. Lima menit, tepat seperti yang diperintahkan padanya. Kemudian dengan darah yang menggelegak, dia mendorong. Pintu besar itu pun terayun dan terbuka lebar.
27
"VITTORIA, AKU TIDAK akan membiarkanmu!" seru Kohler. Napasnya terlihat semakin berat dan menjadi lebih parah lagi ketika lift bergerak meninggalkan Haz-Mat.
Vittoria menghalanginya. Dia sangat membutuhkan tempat berlindung, sesuatu yang terasa akrab dari tempat ini sudah tidak lagi dirasakannya. Dia tahu, seharusnya semuanya tidak terjadi seperti ini. Sekarang, dia harus menelan kegetiran dan bertindak dengan cepat. Cari telepon.
Robert Langdon berdiri di sampingnya, diam seperti biasa. Vittoria sudah tidak bertanya-tanya lagi siapa lelaki itu sebenarnya.
Seorang ahli? Apa Kohler tidak bisa lebih spesifik lagi? Pak Langdon dapat membantu kita untuk menemukan pembunuh ayahmu. Tetapi ternyata Langdon sama sekali tidak menolong. Keramahan dan kebaikan hatinya memang tampak tidak dibuat-buat, tetapi dia jelas menyembunyikan sesuatu. Kedua-duanya menyembunyikan sesuatu.
Kohler menatap Vittoria lagi. "Sebagai Direktur CERN, aku punya tanggung jawab terhadap masa depan ilmu pengetahuan Jika kamu membesar-besarkan masalah ini sehingga membuat masyarakat internasional geger, maka CERN akan menderita--"
"Masa depan ilmu pengetahuan?" Vittoria berpaling padanya. "Apakah Anda ingin melarikan diri dari tanggung jawab dengan membantah kalau antimateri itu berasal dari CERN? Apakah kamu ingin mengabaikan hidup orang banyak yang sedang dalam bahaya karena ulah kita?"
"Bukan kita," kata Kohler keras. "Kalian. Kamu dan ayahmu."
Vittoria mengalihkan tatapannya.
"Dan sejauh membahayakan hidup orang banyak," kata Kohler lagi, "ini memang tentang kehidupan. Kamu tahu kalau teknologi antimateri memiliki dampak yang besar sekali bagi kehidupan di planet ini. Kalau CERN bangkrut, hancur oleh skandal, semua orang merugi. Masa depan manusia berada di tempat seperti CERN. Para ilmuwan seperti dirimu dan ayahmu, bekerja untuk mengatasi berbagai masalah di masa depan."
Vittoria pernah mendengar kuliah Kohler yang mengagung-agungkan ilmu pengetahuan, tapi dia tidak pernah memercayainya.
Ilmu pengetahuan itu sendiri menghasilkan separuh dan masalah yang ingin dia pecahkan. "Kemajuan" adalah keburukan paling parah yang pernah terjadi di bumi.
"Kemajuan ilmu pengetahuan memang memiliki risiko," kata Kohler. "Memang selalu begitu. Program luar angkasa, penelitian genetika dan obat-obatan--semuanya pernah mengalami kegagalan. Ilmu pengetahuan harus bertahan hidup dari kesalahan yang pernah diperbuatnya dengan segala cara. Demi semua orang. "
Vittoria niengagumi kemampuan Kohler dalam menimbang moral dari sudut pandang ilmu pengetahuan yang dingin dan berjarak. Kepandaian yang dimilikinya itu sepertinya berasal dari perpisahannya dengan jiwanya sehingga membuatnya menjadi pribadi yang dingin dan tanpa ekpresi. "Kamu pikir CERN begitu pentingnya bagi masa depan bumi sehingga kita bisa terbebas dari tanggung jawab moral?"
"Jangan berdebat tentang moral denganku. Kalian sudah melewati batas ketika kalian membuat spesimen itu. Kalian juga telah membuat seluruh fasilitas ini dalam bahaya. Aku tidak hanya sedang berusaha melindungi lapangan kerja bagi tiga ribu ilmuwan yang bekerja di sini, tapi juga reputasi ayahmu. Pikirkan tentang ayahmu. Seseorang seperti ayahmu tidak seharusnya dikenang sebagai pencipta senjata pemusnah masal.
Vittoria merasa kata-kata Kohler seperti meninjunya tepat di tengah sasaran. Akulah yang meyakinkan ayahku agar membuat spesimen itu. Ini kesalahanku!
Ketika pintu lift terbuka, Kohler masih berbicara. Vittoria melangkah keluar lift lalu mengeluarkan ponselnya, dan berusaha untuk menelepon kembali.
Masih tidak ada nada sambung. Sialan! Dia kemudian berjalan ke arah pintu.
"Vittoria, berhenti." Sepertinya asma yang diderita Kohler mulai kambuh ketika dia berusaha mengejar Vittoria. "Pelan-pelan, nak. Kita harus bicara."
"Basta di parlarel"
Pikirkan ayahmu," seru Kohler. "Apa yang kira-kira akan dia lakukan?"
Vittoria terus berjalan.
"Vittoria, aku belum mengatakan semuanya padamu."
Vittoria merasakan ayunan kakinya melambat.
"Aku tidak tahu apa yang kupikirkan," kata Kohler. "Aku hanya mencoba melindungimu. Katakan saja apa maumu. Kita perlu bekerja sama sekarang."
Vittoria benar-benar berhenti sekarang dan berdiri di tengah tengah ruangan lab. Tetapi dia tidak memutar tubuhnya. "Aku ingin menemukan antimateri itu. Dan aku ingin tahu siapa pembunuh ayahku." Dia menunggu.
Kohler mendesah. " Vittoria, kami sudah tahu siapa pembunuh ayahmu. Maafkan aku."
Sekarang Vittoria berpaling. "Apa katamu?"
"Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya padamu. Ini sulit--"
"Kamu tahu siapa pembunuh ayahku?"
"Kami punya petunjuk yang jelas. Pembunuh itu meninggalkan semacam kartu nama. Karena itulah aku mengundang Pak Langdon. Kelompok yang mengklaim untuk bertanggung jawab adalah bidang kajiannya."
"Kelompok? Kelompok teroris?"
"Vittoria, mereka mencuri seperempat gram antimateri."
Vittoria menatap Robert Langdon yang berdiri di seberang ruangan. Segalanya mulai tampak semakin jelas sekarang. Beberapa rahasia mulai terkuak. Vittoria bertanya dalam hati kenapa tidak menyadarinya dari tadi. Ternyata Kohler sudah memanggil pihak yang berwenang. Robert Langdon adalah orang Amerika yang bersih, konservatif, dan jelas sangat cerdas. Siapa lagi kalau bukan orang yang berwenang? Vittoria seharusnya dapat menerka sejak awal. Dia merasa menemukan harapan baru ketika dia berpaling pada Langdon.
"Pak Langdon, aku ingin tahu siapa yang membunuh ayahku. Dan aku ingin tahu apakah institusi Anda dapat membantu kami untuk menemukan antimateri itu."
Langdon tampak bingung. "Institusi saya?"
"Anda bekerja untuk dinas intelijen Amerika, bukan?"
"Sebenarnya ... tidak."
Kohler menyela. "Pak Langdon adalah seorang dosen sejarah seni di Harvard University."
Vittoria merasa seperti disiram air es. "Seorang guru seni?"
"Dia ahli simbologi." Kohler mendesah. "Vittoria, kami yakin ayahmu dibunuh oleh kelompok pemuja setan." Vittoria mendengar kata itu tapi otaknya tidak mampu mencernanya. Kelompok pemuja setan?
"Kelompok yang mengaku bertanggung jawab menyebut diri mereka Illuminati."
Vittoria menatap Kohler kemudian ke arah Langdon sambil bertanya-tanya apakah ini semacam lelucon saja. "Kelompok Illuminati?" dia bertanya. "Seperti kelompok Illuminati Bavaria?"
Kohler tampak heran. "Jadi kamu sudah pernah mendengar tentang mereka?"
Vittoria hampir menangis karena putus asa. "Illuminati Bavaria: Tata Dunia Baru. Itu adalah permainan komputer karya Steve Jackson. Separuh dari ilmuwan di sini memainkan permainan itu di internet." Suara Vittoria menjadi serak. "Tetapi aku tidak mengerti ...."
Kohler menatap Langdon dengan tatapan bingung.
Langdon mengangguk. "Itu memang game yang populer. Persaudaraan kuno yang ingin mengambil alih dunia. Game semi historis. Aku tidak tahu kalau game itu juga terkenal di Eropa."
Vittoria marah. "Apa yang kamu bicarakan? Kelompok Illuminati? Itu hanya permainan dalam komputer!"
"Vittoria," kata Kohler. "Illuminati adalah kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas kematian ayahmu."
Vittoria berusaha untuk tetap tabah agar tidak menangis. Dia memaksa dirinya untuk bertahan dan menanggapi keadaan dengan logis. Tetapi semakin dia berusaha untuk mengerti, semakin dia tidak mengerti. Ayahnya baru saja dibunuh. CERN menderita karena keamanan mereka yang ketat berhasil dibobol. Di suatu tempat, ada sebuah bom waktu yang akan meledak sebentar lagi dan dia merasa bertanggung jawab karenanya. Dan Direktur CERN ini malah memilih seorang guru seni untuk menolongnya agar bisa menemukan persaudaraan pemuja setan dari negeri dongeng.
Vittoria tiba-tiba merasa sendirian. Dia beranjak pergi, tetapi Kohler menghalanginya. Kohler merogoh sakunya untuk mengambil sesuatu. Dia kemudian mengeluarkan secarik kertas fax kumal dan menyerahkannya pada Vittoria.
Vittoria terhuyung karena merasa sangat ngeri ketika matanya menatap pada gambar itu.
"Mereka mencapnya," kata Kohler. "Mereka mencap dada ayahmu."
28
SYLVIE BEAUDELOQUE, sekretaris Maximilian Kohler, sedang panik. Dia berjalan hilir-mudik di dalam ruang kerja atasannya yang kosong. Di mana sih dia? Apa yang harus kulakukan?
Hari ini aneh sekali. Tentu saja, bekerja dengan seorang Maximilian Kohler, Sylvie selalu memiliki kemungkinan untuk mengalami hari yang aneh. Tetapi hari ini Kohler bersikap sangat aneh.
"Cari Leonardo Vetra!" perintahnya ketika Sylvie tiba pagi ini.
Dengan patuh, Sylvie menyentara, menelepon dan mengiriml e-mail ke alamat Leonardo Vetra.
Tidak ada jawaban.
Kohler kemudian meninggalkan kantornya dengan marah. Sepertinya dia ingin mencari Vetra sendiri. Ketika Kohler kembali ke kantornya beberapa jam kemudian, Kohler tampak tidak sehat... bukan berarti dia pernah kelihatan benar-benar sehat. Tetapi kali ini atasannya itu terlihat lebih buruk dari biasanya. Kohler mengunci diri di kantornya, tapi Sylvie masih dapat mendengar kegiatan Kohler dari luar ruangan. Sekretaris itu mendengar suara Modem Kohler bekerja, suara Kohler yang sedang menelepon, Kohler mengirimkan faks, dan berbicara lagi di telepon. Kemudian bosnya itu lalu pergi lagi. Dan sejak itulah sang direktur tidak kembali lagi ke kantornya.
Sylvie akhirnya memutuskan untuk mengabaikan atasannya yang unik serta melodramatis itu. Tapi Sylvie mulai prihatin ketika Kohler tidak juga kembali pada waktu dia harus disuntik. Kesehatan bosnya itu memerlukan perawatan yang teratur. Kohler pernah memutuskan untuk tidak mau disuntik lagi, tapi hasilnya terlalu buruk; dia mengalami kesulitan bernapas, batuk-batuk, dan dimarahi oleh perawatnya. Kadang-kadang Sylvie berpikir kalau Kohler sesungguhnya sudah ingin mati saja.
Sylvie berpikir untuk menyerantanya dan memperingatkan Kohler akan jadwal suntiknya. Tapi Sylvie tahu belas kasihan adalah hal yang paling dibenci oleh Kohler yang sombong itu. Minggu lalu, Kohler pernah sangat marah pada seorang ilmuwan yang datang mengunjunginya. Lelaki itu menunjukkan rasa kasihannya kepada Kohler sehingga membuat pimpinannya itu berang. Kohler berusaha untuk berdiri dari kursi rodanya dan melemparkan sebuah papan berpenjepit ke kepala orang itu. Ternyata Raja Kohler dapat juga bertindak cekatan jika dia sedang tersinggung.
Tapi kemudian perhatian Sylvie terhadap keadaan kesehatan atasannya teralihkan oleh sebuah masalah yang lebih pelik. Resepsionis CERN menghubunginya lima menit yang lalu dengan suara yang panik dan berkata kalau ada panggilan penting untuk sang direktur.
"Dia tidak ada di tempat," kata Sylvie.
Kemudian resepsionis mengatakan kepada Sylvie siapa yang menelepon.
Sambil tertawa keras, Sylivie berkata, "Kamu sedang bercanda, bukan? " Dia lalu mendengarkan lagi, wajahnya kemudian berubah muram karena tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kamu memeriksa identitas si penelepon dengan baik--" Sylvie mengerutkan keningnya. "Aku mengerti. Baiklah. Bisakah kamu menanyakan apa --" Dia mendesah. "Tidak. Tidak apa-apa. Katakan padanya untuk menunggu. Aku akan mencari Pak Direktur sekarang juga. Ya. Aku mengerti. Aku akan segera mencarinya."
Tetapi Sylvie tidak kunjung menemukan Pak Direktur. Dia sudah berusaha menghubungi ponselnya sebanyak tiga kali dan selalu mendapatkan pesan yang sama. "Pemilik ponsel yang Anda hubungi sedang berada di luar jangkauan." Di luar jangkauan? Memangnya seberapa jauh dia bisa bepergian? Sylvie pun akhirnya memutar nomor penyeranta Kohler sebanyak dua kali. Tidak ada jawaban. Betul-betul tidak seperti biasanya. Bahkan, dia juga mengirim e-mail ke komputer kecil yang selalu dibawa-bawa oleh Kohler. Tidak ada jawaban juga. Sepertinya orang itu menghilang ditelan bumi.
Jadi, apa yang harus kulakukan? Sekarang Sylvie bertanya tanya.
Sambil berjalan hilir mudik dan berusaha mencari bosnya, Sylvie tahu hanya tinggal satu cara untuk menarik perhatian Kohler. Pak Direktur pasti tidak akan menyukainya, tetapi orang yang meneleponnya itu bukanlah orang yang boleh dibiarkan menunggu. Terlebih lagi, orang yang menelepon tadi sepertinya juga tidak senang kalau Sylvie berkata Pak Direktur sedang tidak ada di tempat.
Sambil merasa terkejut dengan keberaniannya sendiri, Sylvie akhirnya membuat keputusan. Dia berjalan masuk ke kantor Kohler dan mencari kotak logam yang menempel di dinding yang berada di belakang meja kerjanya. Dia membuka tutupnya, memandang berbagai tombol yang terdapat di sana, lalu menemukan tombol yang tepat.
Setelah itu dia menarik napas dalam dan meraih gagang mikrofon.
29
VITTORlA TIDAK INGAT bagaimana mereka bisa sampai ke dalam lift utama. Lift itu bergerak naik. Kohler berada di belakangnya, napasnya terdengar berat. Tatapan mata Langdon yang penuh keprihatinan juga tidak berhasil menenangkannya. Langdon sudah mengambil kertas faks itu dari tangan Vittoria dan menyimpannya di dalam saku jasnya agar jauh dari pandangan Vittoria. Tetapi gambar itu masih terus membayanginya.
Ketika lift itu bergerak naik, dunia Vittoria seperti berputar ke dalam kegelapan. Papa! Dia berusaha menggapai-gapai ayahnya. Sepertinya Vittoria bisa melihat dirinya sendiri sedang bersama-sama dengan ayahnya. Saat itu dia berusia sembilan tahun. Dia sedang berguling-guling menuruni bukit yang dihiasi oleh bunga edelweiss, sementara langit Swiss berputar di atasnya.
Papa! Papa!
Leonardo Vetra tertawa di samping putrinya, wajahnya berseri-seri.
"Ada apa, Malaikat Kecilku?"
"Papa!" putri kecilnya terkekeh, sambil mendekatkan tubuhnya minta dipeluk. "Coba tanya, what's the matter?"
"Untuk apa aku menanyakan keadaanmu, Sayang. Kamu terlihat gembira."
"Ayo tanya saja."
Leonardo mengangkat bahunya. "What's the matter?"
Putrinya langsung tertawa. "What's the matter? Semuanya adalah materi! Bebatuan! Pepohonan! Atom-atom! Bahkan hewan pemakan semut itu! Semuanya itu materi!"
Leonardo tertawa. "Ini hanya akal-akalanmu saja, 'kan?"
"Aku pandai sekali, bukan?"
"Einstein kecilku."
Vittoria mengerutkan keningnya. "Rambut orang itu tampak tolol-Aku pernah melihat fotonya."
"Walau begitu, dia mempunyai otak yang pandai. Aku kan pernah menceritakan padamu tentang apa yang dibuktikan oleh Einstein, bukan?"
Mata Vittoria terbelalak karena ketakutan. "Papa! Jangan. Papa sudah berjanji!"
"E=MC2," kata Leonardo sambil bercanda dan menggelitik putrinya. "E=MC2!"
"Jangan ada matematika! Aku sudah bilang padamu. Aku benci matematika!"
"Aku senang kamu membencinya. Karena anak perempuan memang tidak boleh belajar matematika."
Vittoria tiba-tiba mematung. "Tidak boleh?"
"Tentu saja tidak boleh. Semua orang juga tahu. Anak perempuan hanya boleh main boneka. Anak laki-laki harus belajar matematika. Tidak ada matematika untuk anak perempuan. Aku bahkan tidak boleh berbicara tentang matematika dengan anak perempuan."
"Apa? Tetapi itu tidak adil!"
"Peraturan adalah peraturan. Tidak ada matematika untuk anak perempuan."
Vittoria tampak ketakutan. "Tetapi, main boneka itu membosankan!"
"Maafkan aku," kata ayahnya. "Aku bisa saja berbicara tentang matematika kepadamu, tetapi kalau aku ketahuan ...." Ayahnya pura-pura melihat sekeliling seperti ada orang yang sedang mengintai mereka dari perbukitan yang sunyi di sekitar mereka.
Vittoria mengikuti pandangan mata ayahnya. "Baiklah, katanya sambil berbisik. "Aku mau belajar matematika. Tapi diam diam saja, ya?"
Gerakan lift itu mengejutkan Vittoria. Dia membuka matanya. Gambaran ayahnya sudah menghilang.
Kenyataan kembali menyerbunya, menyelimutinya dengan tangannya yang dingin. Dia memandang Langdon. Tatapannya yang menyorotkan keprihatinan terlihat tulus dan terasa bagaikan malaikat pelindung, terutama di sekitar aura Kohler yang yang dingin.
Tapi satu kekhawatiran mulai mendera kesadaran Vittoria dengan bertubi-tubi.
Di mana antimateri itu?
Jawaban untuk pertanyaan yang mengerikan itu ternyata tidak berjarak terlalu jauh.
30
''MAXIMILIAN KOHLER. Mohon segera menghubungi kantor Anda."
Ketika pintu lift itu terbuka di atrium utama, sinar matahari yang benderang menyergap mata Langdon. Sebelum gema dari pengumuman itu menghilang, semua peralatan elektronik di kursi Kohler mulai berbunyi "bip" dan berdering sambung-menyambung. Penyerantanya. Teleponnya. E-mailnya. Kohler membaca pesan yang masuk dengan perasan bingung yang membayang jelas di wajahnya. Sang direktur sudah menjejak di permukaan sekarang dan sudah dapat dihubungi.
"Direktur Kohler, harap menghubungi kantor Anda." Mendengar namanya dipanggil dengan pengeras suara membuat Kohler terkejut.
Dia menatap ke atas dengan wajah marah, tapi dia kemudian sadar kalau ada hal yang penting di kantornya. Kohler menatap Langdon lalu beralih ke mata Vittoria. Mereka tidak bergerak untuk beberapa saat, seolah ketegangan di antara mereka telah terhapus dan digantikan oleh sebuah firasat yang menyatukan ketiganya.
Kohler mengambil ponselnya dari sandaran tangannya. Dia memutar sebuah nomor dan terbatuk keras lagi. Vittoria dan Langdon menunggu.
"Ini ... Direktur Kohler," katanya sambil mendesah serak "Ya? Aku tadi berada di bawah tanah, di luar jangkauan." Kohler lalu mendengarkan, mata kelabunya membelalak. "Siapa? Ya sambungkan." Kemudian sunyi. "Halo? Ini Maximilian Kohler Saya Direktur CERN. Dengan siapa saya berbicara?"
Vittoria dan Langdon menatapnya dalam diam ketika Kohler mendengarkan orang yang meneleponnya itu berbicara.
Akhirnya Kohler berkata, "Tidak baik rasanya kalau kita membicarakannya di telepon. Saya akan segera ke sana." Dia terbatuk lagi. "Temui saya ... di Bandara Leonardo da Vinci. Empat puluh menit lagi." Napas Kohler tampaknya sangat berat sekarang. Dia mulai batuk-batuk lagi dan hampir tidak dapat berbicara. "Temukan tabung itu segera ... aku akan datang." Lalu dia mematikan teleponnya.
Vittoria berlari ke sisi Kohler, tetapi Kohler sudah tidak dapat berbicara lagi. Langdon melihat Vittoria mengeluarkan ponselnya dan menyeranta perawat CERN. Langdon merasa seperti berada dalam kapal yang tengah diamuk badai ... terombang-ambing, tapi dia belum boleh pergi dari situ.
Temui saya di Bandara Leonardo da Vinci. Kata-kata Kohler menggema.
Bayangan-bayang ketidakpastian yang selama menyelimuti pikiran Langdon sepanjang pagi itu, dalam sekejap menemukan bentuknya
menjadi sebuah gambar yang jelas. Ketika dia berdiri di ruang utama CERN, Langdon seperti mendapatkan penjelasan ... seolah penghalang yang selama ini menutupi pemikirannya telah terbuka.
Ambigram. Pastor/ilmuwan yang terbunuh. Antimateri. Dan sekarang ... sasaran itu. Kata Bandara Leonardo da Vinci hanya memiliki satu
arti. Ketika dia menyadari kenyataan yang sebenarnya, Langdon tahu kalau dia baru saja mengubah keyakinannya. Sekarang dia percaya.
Lima kiloton. Jadilah cahaya.
Dua orang paramedis mengenakan pakaian putih muncul sambil berlari menyeberangi atrium. Mereka berlutut di sisi Kohler kemudian memasangkan topeng oksigen pada wajah Pak Kohler. Para ilmuwan yang berada di gang itu berhenti dan membantu.
Kohler menghirup napas panjang dua kali, lalu menyingkirkan topeng itu dari mulutnya. Kemudian dengan masih megap-megap, Kohler menatap Vittoria dan Langdon lalu berkata pendek, "Roma."
"Roma?" tanya Vittoria. "Antimateri itu ada di Roma? Siapa yang menelepon?"
Wajah Kohler berkerut, mata kelabunya berair. "... Swiss." Dia tersedak ketika mengucapkan kata-katanya. Paramedis lalu memasang kembali topeng oksigen itu di wajahnya. Ketika mereka bersiap untuk membawanya pergi, Kohler mengulurkan tangannya dan meraih lengan Langdon.
Langdon mengangguk. Dia mengerti.
"Pergilah ...." Kohler bersuara serak di balik topengnya. "Pergilah ... telepon aku ...." Lalu paramedis itu mendorongnya pergi.
Vittoria berdiri terpaku sambil memandang lantai, lalu menatap Kohler yang tengah dibawa pergi. Dia kemudian berpaling memandang Langdon. "Roma? Tetapi ... apa hubungannya dengan Swiss?"
Langdon meletakkan tangannya di atas bahu Vittoria dan berbisik lembut. "Garda Swiss. Mereka adalah pengawal tersumpah di Vatikan City."
31
MESIN PESAWAT TERBANG X-33 bergemuruh di angkasa dan menuju ke selatan, ke Roma. Di dalamnya, Langdon duduk dalam kebisuan. Lima belas menit terakhir terasa kabur baginya. Sekarang,dia selesai memberikan keterangan singkat pada Vittoria tentang Illuminati dan sumpah mereka untuk melawan Vatikan suasana di ruangan itu menjadi seperti tenggelam.
Apa yang sedang kulakukan? Langdon bertanya-tanya. Aku seharusnya pulang ke rumah begitu ada kesempatan! Tapi jauh di lubuk hatinya, dia tahu dirinya tidak akan mendapatkan kesempatan itu.
Seharusnya dia pulang ke Boston. Walau begitu, kekaguman akademisnya memintanya untuk bersikap bijaksana. Segala yang pernah dipercayainya tentang kematian kelompok Illuminati tiba-tiba seperti hendak runtuh. Sebagian dari dirinya rnenginginkan bukti. Penegasan. Tapi ada juga panggilan hati nurani. Dengan Kohler yang merana karena sakit dan Vittoria yang sendirian, Langdon tahu apa yang diketahuinya tentang Illuminati dapat membantu mereka. Langdon merasa memiliki kewajiban moral untuk tetap tinggal.
Tapi ternyata masih ada alasan yang lain lagi. Walau Langdon merasa malu untuk mengakuinya, ketakutannya yang terbesar ketika mendengar tentang tempat antimateri ditemukan bukan hanya menyangkut nasib orang-orang yang berada di Vatican City, tapi juga sesuatu hal yang lain.
Seni.
Koleksi benda-benda seni terbesar di dunia sekarang sedang berada di atas sebuah bom waktu. Di dalam 1.407 ruangan yang terdapat di Museum Vatikan, tersimpan 60.000 benda seni berharga seperti karya-karya Michaelangelo, da Vinci, Bernini, dan Botticelli. Langdon bertanya-tanya apakah semua benda seni itu bisa diselamatkan untuk menghadapi situasi terburuk. Dia tahu itu tidak mungkin. Banyak dari benda-benda seni tersebut adalah patung-patung yang beratnya berton-ton. Belum lagi harta terbesar yang merupakan arsitektur bangunan dengan sejarah yang panjang, seperti Kapel Sistina, Basilika Santo Petrus, tangga spiral terkenal karya Michaelangelo menuju Mus�o Vaticano yang merupakan pernyataan kejeniusan seorang anak manusia. Langdon bertanya berapa lama lagi waktu yang mereka miliki sebelum tabung itu meledak.
"Terima kasih kamu mau ikut," kata Vittoria, suaranya terdengar tenang.
Langdon terjaga dari lamunannya. Dia lalu mendongak dan melihat Vittoria yang duduk di depannya. Walau kabin itu terang menderang tapi Langdon seperti bisa melihat aura ketenangan memancar dari perempuan itu. Napasnya tampak lebih panjang sekarang, seolah cahaya penjagaan dirinya telah dinyalakan kembali di dalam tubuhnya. Kini wajah itu memancarkan sebuah keinginan untuk mencari keadilan dan membalas budi yang didorong oleh cinta seorang anak kepada ayahnya.
Vittoria tidak punya waktu untuk berganti pakaian dari celana pendek dan blus tanpa lengannya itu. Dan sekarang kakinya yang berwarna kecokelatan tampak merinding kedinginan karena udara di dalam pesawat. Secara naluriah Langdon melepas jasnya dan menawarkannya pada Vittoria.
"Kesopanan ala Amerika?" tanya Vittoria ketika menerima jas tersebut. Matanya menyiratkan rasa terima kasih.
Pesawat itu berguncang ketika melewati beberapa turbulensi sehingga membuat Langdon merasa cemas. Kabin tanpa jendela itu kembali terasa menekan, dan Langdon mencoba untuk membayangkan dirinya sedang berada di lapangan terbuka. Tapi pemikiran tentang lapangan terbuka itu ternyata terasa ironisbaginya. Dia sedang berada di sebuah lapangan terbuka ketika kecelakaan traumatis itu terjadi. Kegelapan yang pekat itu. Langdon mengusir kenangan itu dari benaknya. Itu hanyalah kisah di masa lalu.
Vittoria sedang menatapnya. "Kamu percaya Tuhan, Pak Langdon?"
Pertanyaan itu mengejutkan Langdon. Kejujuran yang terpancar dari suara Vittoria bahkan lebih memesona daripada pertanyaan itu sendiri. Apakah aku percaya pada Tuhan? Dia berharap mereka berbincang dengan topik yang lebih ringan dalam perjalanan ini.
Orang yang suka pada teka-teki permainan kata spiritual, pikir Langdon. Begitulah teman-temanku menyebutku. Walaupun dia mempelajari
agama selama bertahun-tahun, Langdon bukanlah orang yang religius. Dia memang menghormati kekuatan yang didapat dari keyakinan, kebajikan gereja, kekuatan yang diberikan agama bagi banyak orang ... tapi ada yang menghalanginya; kesangsian intelektualnya yang kuat saat dia mulai ingin benar-benar percaya.
"Saya ingin memercayai Tuhan," Langdon mendengar kata-katanya sendiri.
Tanggapan Vittoria tidak mengandung penilaian ataupun tantangan. "Jadi, mengapa kamu tidak percaya?"
Langdon tertawa. "Yah, tidak semudah itu. Untuk percaya, kita membutuhkan lompatan kepercayaan, penerimaan terhadap keajaiban--gambaran besar dan campur tangan Tuhan. Lalu ada peraturan yang harus kita taati. Alkitab, Alquran, kitab Buddha ... semuanya itu memiliki persyaratan dan hukuman yang sama. Menurut mereka, kalau aku tidak menaati aturan tertentu, maka aku akan masuk neraka. Aku tidak dapat membayangkan Tuhan yang berkuasa dengan cara seperti itu."
"Kuharap kamu tidak membiarkan mahasiswamu memberikan jawaban kosong untuk mengelak dari pertanyaan seperti tadi."
Komentar itu mengejutkan Langdon. "Apa?"
"Pak Langdon, aku tidak menanyakan apakah kamu percaya pada apa yang dikatakan orang tentang Tuhan. Aku bertanya apakah kamu percaya pada Tuhan. Ada perbedaannya. Kitab-kitab suci itu adalah kumpulan cerita ... legenda dan sejarah dari pencarian manusia untuk memahami kebutuhan diri mereka sendiri akan arti. Aku tidak memintamu untuk menilai literatur. Aku hanya bertanya padamu apakah kamu percaya pada Tuhan. Ketika kamu berbaring sambil memandang langit yang ditaburi bintang, apakah kamu merasakan keagungan Tuhan? Apakah kamu merasa di dalam hatimu kalau kamu sedang menatap karya Tuhan?
Untuk sesaat Langdon memikirkan perkataan Vittoria tadi. "Maaf, kalau aku terlalu ingin tahu," kata Vittoria menyesal.
"Tidak, aku hanya ...."
"Pasti kamu sering memperdebatkan isu mengenai kepercayaan dengan mahasiswamu."
"Selalu."
"Kamu pasti sering berpura-pura menjadi provokator yang selalu memanaskan perdebatan."
Langdon tersenyum. "Kamu pasti seorang guru juga."
"Bukan, tetapi aku belajar dari ahlinya. Ayahku dapat memperdebatkan dua sisi dari M�bius Strip."
Langdon tertawa, sambil membayangkan karya seni Mobius Strip yang berupa pelintiran dari secarik kertas berbentuk pita yang sesungguhnya hanya memiliki satu sisi. Langdon pertama kali melihat bentuk bersisi tunggal itu dalam sebuah karya M.C. Escher.
"Boleh aku menanyakan sesuatu padamu, Nona Vetra?"
"Panggil aku Vittoria. Sebutan Nona Vetra membuatku merasa tua.
Langdon mendesah diam-diam, tiba-tiba menyadari usianya sendiri. "Vittoria, namaku Robert."
"Apa pertanyaanmu?"
"Sebagai seorang ilmuwan dan putri dari seorang pastor Katolik, apa pendapatmu tentang agama?"
Vittoria berhenti sejenak, lalu menyingkirkan sekumpulan rambut dari matanya. "Agama seperti bahasa atau pakaian. Kita terpengaruh oleh praktik keagamaan tertentu yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Tapi pada akhirnya, kita menyatakan hal yang sama; hidup memiliki artinya tersendiri dan kita merasa berterima kasih kepada kekuatan yang sudah menciptakan kita."
Langdon merasa tertarik. "Jadi kamu ingin mengatakan bahwa apa pun agamamu, Kristen atau Islam, itu hanya ditentukan oleh tempat kelahiranmu?"
Bukankah memang demikian? Lihat saja penyebaran agama di seluruh dunia ini."
"Jadi, iman itu tidak disengaja?"
"Bukan begitu. Keimanan itu universal. Tapi cara kita memahaminya tidak seragam. Ada yang berdoa kepada Yesus, ada yang pergi ke Mekah, beberapa orang mempelajari partikel subatomik. Pada akhirnya kita semua hanya mencari kebenaran sesuatu yang lebih besar dari kita sendiri."
Langdon berharap mahasiswanya dapat mengungkapkan pendapat mereka sejelas ini. Bukan. Sesungguhnya dia yang berharap dirinya bisa mengungkapkan pendapatnya sejelas ini. "Dan Tuhan?" tanyanya lagi. "Kamu percaya pada Tuhan?"
Vittoria lama terdiam. "Ilmu pengetahuan mengatakan padaku bahwa Tuhan itu pasti ada. Pikiranku mengatakan kalau aku tidak akan pernah mengerti Tuhan. Dan hatiku mengatakan kalau aku tidak ditakdirkan."
Jadi singkatnya apa? pikir Langdon. "Jadi, kamu percaya Tuhan itu ada, tetapi kita tidak akan pernah memahami-Nya (Him)."
"Her," kata Vittoria sambil tersenyum. "Suku Indian Amerika itu benar."
Langdon tertawa. "Ibu Bumi."
"Gaea. Planet ini adalah sebuah organisme. Kita semua adalah sel-sel dengan tujuan yang berbeda. Tapi kita saling berkaitan. Saling melayani. Melayani keseluruhan."
Langdon menatap Vittoria dan dia merasakan desiran yang belum pernah dirasakannya sejak lama. Ada kejernihan yang memikat dalam sorot matanya ... ada kemurnian dalam suaranya. Langdon semakin tertarik dengan putri Leonardo Vetra ini. "Pak Langdon, saya ingin menanyakan sesuatu." "Robert," kata Langdon. Sebutan Pak Langdon membuatku merasa tua. Aku memang sudah tua!
"Jika kamu tidak keberatan dengan pertanyaanku, Robert. Bagaimana kamu bisa terlibat dengan Illuminati?"
Langdon jadi ingat akan sesuatu di masa lalu. "Sebenarnya itu karena uang."
Vittoria tampak kecewa. "Uang? Maksudmu karena kamu memberikan konsultasi, begitu?"
Langdon tertawa ketika menyadari bagaimana kesan jawabannya terlihat. "Bukan begitu. Maksudnya adalah uang dalam desain yang tertera di uang." Dia lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Dia kemudian menemukan lembaran satu dolar. "Aku menjadi kagum dengan kelompok itu ketika aku pertama kali mengetahui bahwa mata uang Amerika Serikat memuat simbologi Illuminati."
Mata Vittoria menyipit, sepertinya dia tidak tahu apakah dia harus menganggap Langdon serius atau tidak.
Langdon memberikan uang itu padanya. "Lihatlah bagian belakangnya. Kamu lihat Great Seal di sebelah kiri?"
Vittoria membalik lembaran satu dolar itu. "Maksudmu, piramida itu?"
"Piramida itu. Kamu tahu apa hubungan piramida dengan sejarah Amerika Serikat?"
Vittoria mengangkat bahunya.
"Tepat," kata Langdon. "Sama sekali tidak ada."
Vittoria mengerutkan keningnya. "Jadi, kenapa simbol itu berada di tengah-tengah Great Seal uang dolar Amerika?"
"Sejarahnya agak menakutkan," jawab Langdon. "Piramida itu adalah simbol gaib yang menggambarkan pemusatan pandangan ke atas, ke arah sumber utama pencerahan. Illumination. Lihat benda apa yang ada di puncaknya?"
Vittoria mengamati uang kertas itu. "Sebuah mata di dalam sebuah segitiga.
Itu disebut trinacria. Pernah melihat mata di dalam segitiga seperti itu di tempat lain?"
Vittoria terdiam sejenak. "Sebenarnya pernah juga, tetapi aku tidak yakin ...."
itu merupakan hiasan yang terdapat di pondok-pondok kelompok Mason di seluruh dunia."
"Jadi itu simbol kelompok Mason?"
"Sebenarnya, bukan. Itu simbol milik Illuminati. Mereka menyebutnya 'delta berkilau', sebutan bagi perubahan yang mendapat pencerahan. Mata itu melambangkan kemampuan Illuminati untuk menyusup dan mengamati segala hal. Segitiga berkilauan itu menggambarkan pencerahan. Dan segitiga juga merupakan huruf Yunani, delta, yang merupakan simbol matematika untuk--"
"Perubahan. Perpindahan."
Langdon tersenyum. "Aku lupa kalau aku sedang berbicara dengan seorang ilmuwan."
"Jadi, maksudmu Great Seal dolar Amerika Serikat adalah seruan bagi perubahan yang mendapat pencerahan, perubahan yang melihat semuanya?"
"Beberapa orang menyebutnya Tata Dunia Baru."
Vittoria tampak terkejut. Dia menatap ke bagian bawah uang kertas itu sekali lagi. "Tulisan di bawah piramida itu mengatakan Novous Ordo ..."
"Novous Ordo Seclorum" tambah Langdon. "Artinya Orde Sekuler Baru."
"Sekuler itu berarti tidak religius?"
"Sangat tidak religius. Kalimat itu tidak saja mengatakan tujuan Illuminati dengan jelas, tetapi juga secara langsung bertentangan dengan kalimat di sampingnya. Kepada Tuhan, Kita Percaya."
Vittoria tampak bingung. "Tetapi bagaimana simbologi ini bisa tercetak di salah satu mata uang kuat dunia?"
"Sebagian besar akademisi percaya hal itu terjadi karena campur tangan Wakil Presiden Henry Wallace. Dia adalah anggota tingkat atas kelompok Mason dan pasti mempunyai hubungan dengan Illuminati. Entah dia memang seorang anggota atau secara tidak sengaja berada di bawah pengaruh mereka, tidak seorangpun yang tahu. Tetapi Wallace-lah yang mengajukan rancangan Great Seal itu kepada Presiden."
"Tapi bagaimana bisa? Kenapa Presiden menyetujui untuk--
"Presiden yang berkuasa ketika itu adalah Franklin D. Roosevelt. Wallace cuma mengatakan kepadanya kalau Novous Ordo Riorum itu berarti New Deal."
Vittoria tampak ragu. "Dan Roosevelt tidak memperlihatkan kepada orang lain sebelum memerintahkan bendahara negara untuk mencetaknya?"
"Tidak perlu. Roosevelt dan Wallace seperti bersaudara."
"Saudara?"
"Periksa lagi buku-buku sejarahmu," kata Langdon sambil tersenyum. "Franklin D. Roosevelt adalah anggota Mason yang ternama.'
32
LANGDON MENAHAN NAPASNYA ketika pesawat X-33 terbang berputar-putar menuju ke arah Bandara Internasional Leonardo da Vinci di Roma. Vittoria duduk di seberang Langdon, matanya tertutup seolah mencoba mengendalikan keadaan. Pesawat itu menyentuh daratan dan berjalan perlahan memasuki hanggar pribadi.
"Maaf, tadi kita terbang begitu lambat," kata si pilot ketika keluar dari kokpit. "Aku harus merampingkan bagian belakangnya. Tahu sendirilah. Peraturan kebisingan untuk daerah berpenduduk."
Langdon melihat jam tangannya. Mereka terbang selama 37 menit.
Pilot itu membuka pintu. "Ada yang mau memberitahuku apa yang sedang terjadi?"
Baik Vittoria maupun Langdon tidak menjawabnya. "Baiklah," kata pilot itu sambil menggeliat. "Aku akan menunggu kalian di kokpit sambil menyalakan AC dan musik kesukaanku. Hanya aku dan Garth."
Matahari sore hari bersinar di luar hanggar. Langdon menyandang jas wolnya di atas bahunya. Vittoria menengadahkan wajahnya ke langit dan menarik napas dalam, seolah sinar matahari mampu mengirimkan energi mistis tambahan untuknya.
Dasar orang Mediterania, kata Langdon geli. Dia sendiri sudah mulai berkeringat.
"Agak terlalu tua untuk menyukai tokoh kartun, bukan?" tanya Vittoria tanpa membuka matanya.
"Maaf?"
"Jam tanganmu. Aku melihatnya ketika kita di pesawat."
Langdon agak malu. Dia sudah terbiasa untuk membela jam tangannya itu. Ini adalah jam tangan Mickey Mouse edisi kolektor yang dihadiahkan orang tuanya ketika dia masih kecil. Walau gambar Mickey yang merentangkan lengannya sebagai penunjuk waktu itu terlihat culun, tapi itu adalah satu-satunya jam tangan yang dimilikinya. Jam tangan itu tahan air dan menyala dalam gelap. Jadi, cocok untuk dibawa berenang atau ketika melintasi jalanan kampus yang gelap. Ketika mahasiswa Langdon mempertanyakan selera fesyennya, dia hanya mengatakan kepada mereka bahwa jam tangan Mickey Mouse-nya itu mengingatkannya untuk tetap berjiwa muda.
"Pukul enam," kata Langdon.
Vittoria mengangguk, matanya masih tertutup. "Kukira jemputan kita sudah tiba."
Langdon mendengar suara menderu dari kejauhan. Dia lalu mendongak dan merasa kalau kesialan kembali menghampirinya. Dari sebelah utara, sebuah helikopter mendekat dan berayun rendah di atas landasan. Langdon sudah pernah naik helikopter satu kali ketika berada di Lembah Andean Palpa untuk melihat gambar pasir di Nazca. Seingatnya, dia tidak menikmatinya sama sekali. Baginya helikopter adalah kardus sepatu yang bisa terbang. Setelah sepagian terbang dengan pesawat, dia berharap kali ini Vatikan akan mengirim mobil untuk mereka.
Tapi tampaknya tidak.
Helikopter itu melambatkan kecepatannya, berputar-putar sesaat, lalu mendarat di atas landasan di depan mereka. Pesawat itu berwarna putih dan bagian sisinya dihiasi lambang yang terdiri atas dua kunci menyilang di depan sebuah tameng mahkota kepausan. Langdon mengenali simbol itu dengan baik. Simbol itu adalah stempel tradisional Vatikan, simbol keramat Holy See atau tahta suci. Tahta itu secara harfiah menggambarkan tahta kuno milik Santo Petrus.
Helikopter Suci, erang Langdon sambil menatap pesawat tersebut mendarat. Dia lupa kalau Vatikan memiliki salah satu helikopter seperti ini yang digunakan oleh Paus untuk pergi ke bandara, menghadiri rapat atau mengunjungi istana musim panas di Gandolfo. Tapi, Langdon tentu saja lebih suka naik mobil.
Pilot itu melompat dari kokpit dan berjalan melintasi landasan.
Sekarang Vittoria yang tampak tidak tenang. "Itukah pilot kita? "
Langdon merasakan kecemasannya. "Terbang atau tidak terbang. Itulah pertanyaannya."
Pilot itu tampak seperti mengenakan kostum untuk pementasan karya Shakespeare. Tuniknya yang menggelembung bergaris garis vertikal berwarna biru terang dan emas. Dia mengenakan celana panjang dan kaus kaki yang khas. Kakinya beralaskan sepatu tanpa tumit berwarna hitam yang terlihat seperti sandal kamar. Dia juga mengenakan baret hitam.
Seragam tradisional Garda Swiss," kata Langdon menjelaskan. 'Dirancang sendiri oleh Michaelangelo." Ketika pilot itu berjalan mendekati mereka, Langdon mengedipkan matanya. "Kuakui, ini bukanlah karya terbaiknya."
Walaupun pakaian lelaki itu terlihat dramatis, Langdon tahu kalau pilot ini serius. Dia berjalan mendekati mereka dengan langkah kaku dan gagah seperti anggota Marinir. Langdon pernah beberapa kali membaca tentang persyaratan ketat untuk menjadi anggota Garda Swiss yang elit itu.
Direkrut dari salah satu dari empat wilayah Katolik di Swiss, para pelamar harus memiliki persyaratan seperti: lelaki Swiss berusia antara sembilan belas hingga tiga puluh tahun dengan tinggi antara 150 sampai 180 sentimeter bersedia menjalani pelatihan oleh Angkatan Bersenjata Swiss, dan tidak menikah. Dunia mengakui kalau pasukan kerajaan ini adalah kesatuan pengamanan yang paling setia dan berbahaya di dunia.
"Kalian dari CERN?" tanya pengawal itu ketika dia tiba di depan Langdon dan Vittoria. Suaranya kaku.
"Ya, Pak," jawab Langdon.
"Kalian tiba luar biasa cepat," katanya lagi sambil menatap X-33 dengan tatapan takjub. Kemudian dia berpaling pada Vittoria. "Bu, Anda punya baju yang lain?"
"Maaf?"
Dia lalu menunjuk kaki Vittoria. "Celana pendek tidak diperbolehkan di Vatikan City."
Langdon melihat kaki Vittoria sekilas dan mengerutkan keningnya. Dia lupa. Vatikan City melarang pengunjung yang mengenakan pakaian yang memperlihatkan paha--baik lelaki maupun perempuan. Peraturan itu merupakan cara untuk memperlihatkan rasa hormat pada kesucian Kota Tuhan ini.
"Hanya ini yang kupunya," jawab Vittoria. "Kami terburu-buru."
Pengawal itu mengangguk, jelas dia tidak senang. Kemudian dia berpaling pada Langdon. "Apakah kamu membawa senjata?"
Senjata? pikir Langdon. Aku bahkan tidak membawa baju dalam untuk ganti. Dia menggelengkan kepalanya.
Petugas itu lalu berjongkok di depan kaki Langdon dan mulai memeriksanya. Petugas itu mulai dari kaus kaki Langdon. Orang yang tak mudah percaya, pikirnya. Tangan pengawal yang kuat itu bergerak ke atas, mendekati selangkangan dan membuat Langdon merasa tidak nyaman. Akhirnya tangan itu bergerak ke atas, ke dada dan bahu Langdon. Petugas itu tampak puas ketika mengetahui kalau Langdon bukan orang yang berbahaya. Dia lalu berpaling pada Vittoria. Dia mengamati kaki Vittoria kemudian matanya bergerak ke bagian dada Vittoria.
Vittoria melotot. "Jangan coba-coba."
Petugas itu menatapnya dengan tajam dan berusaha mengintimidasi Vittoria. Namun perempuan itu tidak gentar.
"Apa itu?" tanya si pengawal sambil menunjuk ke arah benjolan berbentuk kotak kecil di balik saku celana pendek Vittoria. Vittoria mengeluarkan ponselnya yang sangat tipis. Pengawal itu mengambilnya, lalu menyalakannya dan menunggu nada sambung. Kemudian dia tampak puas ketika mengetahui kalau itu hanya ponsel biasa. Dia lalu mengembalikannya pada Vittoria. Vittoria menerimanya dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya.
"Tolong berputar," kata pengawal itu.
Vittoria mematuhinya. Sambil mengangkat tangannya Vittoria berputar 360 derajat.
Kemudian pengawal itu mengamatinya dengan tajam. Menurut Langdon celana pendek dan kemeja Vittoria tidak menonjol pada tempat-tempat yang tidak semestinya.
Tampaknya pengawal itu pun memiliki kesimpulan yang sama.
"Terima kasih. Ayo berjalan ke arah sini."
Helikopter Garda Swiss itu terparkir dengan mesin menyala ketika Langdon dan Vittoria mendekat. Vittoria naik ke dalamnya seperti seorang profesional. Dia bahkan nyaris tidak menundukkan kepalanya ketika berjalan di bawah baling-baling yang sedang berputar. Langdon tidak langsung bergerak.
"Apa tidak ada kemungkinan untuk naik mobil saja?" serunya setengah bergurau kepada petugas Garda Swiss yang sedang memanjat ke tempat duduk pilot.
Lelaki itu tidak menjawab.
Langdon tahu, dengan para pengendara mobil yang seperti orang gila di Roma, terbang mungkin menjadi jalan yang lebih aman. Dia lalu menarik napas panjang dan bergerak naik. Langdon menunduk dengan hati-hati ketika berjalan di bawah baling-baling besar itu.
Ketika pengawal itu mulai bersiap untuk terbang, Vittoria berseru kepada pilot itu. "Kalian sudah menemukan tabung itu?"
Pengawal itu menoleh dan tampak bingung. "Tabung apa?"
"Tabung itu. Tabung yang membuat kalian menelepon CERN?"
Lelaki itu mengangkat bahunya. "Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Kami sangat sibuk hari ini. Komandanku memerintahkan aku untuk menjemput kalian. Itu saja yang kutahu."
Vittoria menatap Langdon dengan tatapan tidak tenang. "Harap pakai sabuk pengaman," kata si pilot ketika mesin helikopter berputar.
Langdon meraih sabuk pengamannya dan mengikat dirinya. Pesawat kecil itu tampak tenggelam di sekitarnya. Kemudian dengan suara mesin menderu, pesawat itu melesat, dan mengarah dengan pasti ke utara, menuju Roma.
Roma ... caput mundi, tempat Caesar pernah berkuasa, tempat di mana Santo Petrus disalib. Tempat di mana masyarakat modern berasal. Dan di pusatnya ... sebuah bom waktu sedang berdetak.
33
ROMA DARI UDARA terlihat menyerupai labirin. Kota itu seperti sebuah jalinan jalan-jalan kuno yang berliku-liku yang dihiasi oleh gedung-gedung, air mancur dan juga reruntuhan bangunan kuno.
Helikopter Vatikan itu tetap terbang rendah ketika memotong ke arah barat daya melalui lapisan kabut asap tebal yang dihasilkan oleh kemacetan lalu lintas di bawahnya. Langdon melihat ke bawah ke arah motor-motor vespa, bis-bis wisata, dan sederetan sedan Fiat kecil yang menderu di sekitar bundaran dari segala jurusan. Koyaanisqatsi, pikirnya ketika dia ingat istilah Hopi untuk "kehidupan tanpa keseimbangan".
Vittoria duduk tenang di sebelah Langdon.
Helikopter itu membelok tajam.
Langdon merasa perutnya tertarik turun. Dia lalu menatap jauh keluar. Matanya bertemu dengan reruntuhan Koliseum Roma, Langdon selalu berpendapat Koliseum adalah salah satu ironi sejarah yang paling besar. Sekarang, Koliseum menjadi simbol budaya dan peradaban manusia. Padahal stadium itu dibangun untuk menjadi tempat berlangsungnya kejadian-kejadian barbar dan tidak beradab, seperti singa lapar yang dilepas untuk mencabiki para tawanan, barisan budak berkelahi hingga mati, tempat pemerkosaan perempuan-perempuan cantik yang ditangkap dari negeri yang jauh, juga tempat di mana orang-orang dipenggal atau dikebiri. Ironis sekali, pikir Langdon, atau mungkin juga tepat karena arsitektur Koliseum itu ditiru oleh Harvard's Soldier Field--sebuah lapangan futbal di mana tradisi kuno yang brutal terjadi tiap musim gugur. Di sana penonton menjadi gila dan berteriak-teriak ketika Harvard bertanding melawan Yale dalam pertandingan futbal yang kasar.
Ketika helikopter mengarah ke utara, Langdon melihat Roman Forum--jantung kota Roma sebelum Kristen masuk. Pilar-pilar yang rusak tampak seperti nisan-nisan yang bertumpukan di taman pemakaman, seolah menolak untuk ditelan oleh keramaian kota metropolitan di sekelilingnya.
Ke arah barat, sungai Tiber berkelok -kelok membelah kota. Walau melihat dari udara, Langdon dapat mengetahui kalau sungai itu dalam. Arusnya berputar berwarna cokelat penuh dengan lumpur akibat hujan deras.
"Lihat ke depan," kata pilot itu ketika membawa pesawatnya menanjak lebih tinggi.
Langdon dan Vittoria menatap ke luar dan melihatnya. Seperti gunung membelah kabut pagi, sebuah kubah besar mencuat dari keburaman di depan mereka. Kubah besar itu adalah Basilika Santo Petrus.
"Itu baru karya Michaelangelo yang berhasil," kata Langdon kepada Vittoria dengan muka lucu.
Langdon belum pernah melihat Basilika Santo Petrus dari udara.
Bagian depannya yang terbuat dari batu pualam memantulkan sinar matahari sore. Dihiasi oleh 140 patung yang menegambarkan para santo, martir, dan malaikat, bangunan besar itu terbentang selebar dua buah lapangan sepak bola dengan panjang sebesar enam kalinya Bagian dalam gedung raksasa itu memiliki ruangan yang sanggup menampung 60.000 jemaat ... lebih dari seratus kali populasi Vatican City yang juga merupakan negeri terkecil di dunia.
Yang lebih luar biasa lagi, benteng yang menjaga gedung besar itu tidak mampu membuat piazza (lapangan terbuka) di depannya terlihat kecil. Piazza bernama Lapangan Santo Petrus itu adalah lapangan granit luas yang terhampar dan menjadi tempat terbuka di tengah-tengah kemacetan kota Roma seperti versi klasik dari Central Park di New York. Di depan Basilika Santo Petrus, membatasi sebuah ruang berbentuk oval, terdapat 284 pilar yang mencuat untuk menopang empat lengkungan konsentris ... sebuah arsitektur tipuan mata untuk memperkuat kesan agung piazza itu.
Ketika Langdon menatap pada bangunan suci yang mengagumkan di depannya itu, dia bertanya-tanya apa pendapat Santo Petrus jika dirinya berada di sini sekarang. Orang suci itu mati dengan cara yang menyedihkan; disalib dalam posisi terbalik di tempat ini. Sekarang dia beristirahat di makam suci, dikubur lima lantai di bawah tanah, tepat di bawah kubah utama Basilika Santo Petrus.
"Vatican City," ujar pilot itu ramah.
Langdon melihat ke luar ke arah benteng batu yang menjulang tinggi di depan mereka. Benteng itu seperti kubu pertahanan yang kuat dan dibangun mengelilingi kompleks ... bentuk pertahanan yang sangat aneh untuk melindungi dunia spiritual yang penuh oleh berbagai rahasia, kekuasaan dan misteri.
"Lihat!" tiba -tiba Vittoria berseru sambil meraih lengan Langdon. Dengan panik Vittoria menunjuk ke bawah ke arah Lapangan Santo Petrus yang berada tepat di bawah mereka.
Langdon merapatkan wajahnya ke jendela pesawat dan melihat ke arah yang ditunjuk Vittoria.
"Di sana itu," kata Vittoria sambil menunjuk.
Di bagian belakang piazza menjadi seperti lapangan parkir yang penuh dengan belasan truk trailer. Piringan satelit raksasa diarahkan ke angkasa dari atap truk-truk yang berada di sana. Satelit-satelit itu bertuliskan nama-nama yang akrab di telinga Langdon:
TELEVISOR
EUROPEA
VIDEO ITALIA
BBC
UNITED
PRESS INTERNATIONAL
Tiba-tiba Langdon merasa bingung dan bertanya-tanya apakah berita tentang antimateri itu sudah bocor ke pers.
Vittoria tampaknya juga menjadi panik. "Kenapa para wartawan berkumpul di sini? Apa yang terjadi?"
Pilot itu menoleh ke belakang dan menatap Vittoria dengan tatapan aneh. "Apa yang terjadi? Memangnya kamu tidak tahu?"
"Tidak," sergahnya. Aksennya terdengar serak dan kuat.
"Il Conclavo," kata pilot itu menjelaskan. "Tempat ini akan ditutup selama satu jam. Seluruh dunia menyaksikannya."
Il Concalvo.
Kata itu terus berdering-dering di telinga Langdon sebelum meninju perutnya. Il Conclavo. Pertemuan seluruh kardinal dari seluruh dunia untuk memilih paus baru. Bagaimana dia bisa lupa? Hal itu sudah diberitakan oleh seluruh media massa baru-baru ini.
Lima belas hari yang lalu, Paus, setelah memerintah dengan baik selama dua belas tahun, meninggal dunia. Setiap koran di dunia memuat berita tentang serangan stroke fatal yang dialami Paus ketika sedang tidur. Kematian yang tiba-tiba dan tak terduga itu banyak diisukan sebagai kematian yang mencurigakan. Tetapi sekarang, sesuai tradisi yang sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun, lima belas hari setelah kematian seorang paus, Vatikan mengadakan Il Conclavo; sebuah upacara suci yang dihadiri oleh 165 kardinal dari seluruh dunia yang merupakan orang-orang yang paling berpengaruh di dunia Kristen, untuk berkumpul di Vatican City dan mengangkat paus baru.
Semua kardinal dari seluruh dunia berkumpul di sini hari ini, pikir Langdon ketika helikopter mereka terbang di atas Basilika Santo Petrus. Vatican City kini membentang di bawah mereka. Seluruh struktur kekuatan Gereja Katolik Roma sekarang sedang duduk di atas bom waktu.
34
KARDINAL MORTATI menatap ke arah langit-langit yang mewah di Kapel Sistina dan mencoba untuk menemukan keheningan. Dinding kapel yang dihiasi oleh lukisan yang indah itu memantulkan suara para kardinal dari berbagai bangsa di seluruh dunia. Mereka berdesakan dalam kapel yang diterangi oleh temaram sinar lilin sambil berbisik dengan gembira dan berbicara kepada satu sama lainnya dalam berbagai bahasa. Bahasa universal dalam pertemuan itu adalah bahasa Inggris, Italia, dan Spanyol.
Biasanya penerangan di dalam kapel itu terang benderang yang berasal dari sorotan sinar matahari yang beraneka warna dan mengusir kegelapan seperti sinar dari surga. Tetapi tidak pada hari ini. Sesuai dengan tradisi, semua jendela kapel ditutup kain beledu hitam demi menjaga kerahasiaan. Ini menjamin tidak seorangpun di dalam ruangan itu dapat mengirimkan tanda-tanda atau berkomunikasi dengan cara apa pun dengan dunia luar. Hasilnya adalah, ruangan itu benar-benar gelap dan hanya diterangi oleh sinar lilin ... cahaya yang berkelap-kelip dari lilin menyala di sana membuat semua orang yang tersentuh oleh cahaya itu menjadi tampak pucat ... seperti wajah para santo.
Istimewa sekali, pikir Mortati, akulah yang harus memimpin peristiwa yang suci ini. Para kardinal yang berusia lebih dari delapan puluh tahun terlalu tua untuk terpilih dalam pemilihan ini sehingga mereka tidak hadir. Tetapi Mortati yang berusia 79 tahun adalah kardinal yang paling senior di sini dan telah ditunjuk untuk memimpin pertemuan tersebut.
Sesuai tradisi, para kardinal berkumpul di sini selama dua jam sebelum acara itu dimulai agar mereka dapat saling bertukar kabar dengan rekan-rekannya dan terlibat dalam diskusi. Pada pukul 7 malam, Kepala Urusan Rumah Tangga Kepausan akan tiba untuk memberikan doa pembukaan lalu meninggalkan ruangan. Kemudian Garda Swiss akan mengunci pintu dan membiarkan para kardinal berada di dalam ruangan yang terkunci itu. Pada saat itulah ritual politik tertua dan paling rahasia dimulai. Para kardinal tidak akan dibebaskan dari ruangan tersebut sampai mereka memutuskan siapa di antara mereka yang akan menjadi paus berikutnya.
Conclave. Bahkan sebutan itu pun mengandung makna rahasia. "Con clave" arti harfiahnya adalah "terkunci." Para kardinal di sana tidak boleh menghubungi siapa pun. Tidak boleh menelepon. Tidak ada pesan keluar dan masuk. Tidak boleh membisikkan apa pun melalui pintu. Conclave adalah keadaan yang kosong, tidak dipengaruhi oleh apa pun dari dunia luar. Ritual ini memastikan para kardinal agar tetap Solum Dum prae oculis ... hanya Tuhan yang berada di depan mata mereka.
Tapi tentu saja di luar dinding kapel, media massa mengamati dan menunggu sambil berspekulasi siapa di antara para kardinal itu yang akan menjadi pemimpin dari satu milyar pemeluk agama Katolik di seluruh dunia. Rapat pemilihan paus memang menciptakan atmosfer yang tegang dan dipenuhi oleh beban politik. Selama lebih dari berabad-abad, peristiwa ini pernah menjadi acara yang mematikan; diwarnai oleh racun dan pekelahian, bahkan pembunuhan pernah terjadi di balik dinding suci itu. Itu hanyalah kejadian di masa lalu, pikir Mortati. Malam ini pertemuan akan berlangsung damai, penuh kebahagiaan dan yang terutama adalah ... dalam waktu singkat.
Paling tidak, itulah perkiraan Kardinal Mortati. Sekarang, ada perkembangan yang tidak terduga. Secara aneh, empat orang kardinal tidak hadir di kapel itu. Mortati tahu semua pintu keluar Vatican City dijaga ketat dan para kardinal yang menghilang itu tidak mungkin pergi terlalu jauh. Tapi sekarang, kurang dari satu jam sebelum doa pembukaan, dia mulai merasa bingung. Keempat kardinal yang menghilang itu bukanlah kardinal biasa. Mereka adalah kardinal penting. Empat kardinal yang terpilih.
Sebagai pemimpin acara pertemuan ini, Mortati mengirimkan pesan melalui saluran yang semestinya ke Garda Swiss untuk memberitahu mereka tentang menghilangnya keempat kardinal tersebut. Tapi mereka belum memberikan kabar apa-apa kepadanya. Para kardinal yang lain pun mulai merasakan ketidak-hadiran keempat orang penting yang terasa aneh bagi mereka. Di antara semua kardinal yang hadir, keempat kardinal ini seharusnya tiba tepat waktu! Kardinal Mortati mulai takut kalau acara ini akan berjalan sangat lama. Dia tidak tahu.
35
DEMI KEAMANAN dan menghindari kebisingan, landasan helikopter Vatikan berada di ujung barat laut Vatican City, sejauh mungkin dari Basilika Santo Petrus.
"Terra firma," kata pilot itu mengumumkan ketika mereka menyentuh landasan. Pilot lalu itu keluar dan membuka pintu geser untuk Langdon dan Vittoria.
Langdon turun dari helikopter dan membalikkan tubuhnya untuk menolong Vittoria. Tetapi ternyata Vittoria sudah meloncat turun dengan mudahnya. Setiap otot di tubuh Vittoria tampaknya sudah memiliki satu tujuan--menemukan antimateri itu sebelum meledak atau sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
Setelah memasang penutup sinar matahari pada jendela helikopternya, pilot itu mengantar mereka ke sebuah mobil golf bertenaga listrik dengan ukuran besar. Mobil itu telah menunggu mereka di dekat landasan helikopter. Kendaraan itu membawa mereka tanpa suara di sepanjang sisi barat negara mini itu di mana terdapat pagar semen setinggi lima puluh kaki yang cukup tebal untuk menangkis serangan, bahkan serangan tank sekalipun. Berbaris di sisi dalam tembok tebal itu, pasukan Garda Swiss berdiri waspada tiap jarak lima puluh meter untuk menjaga keamanan. Mobil bertenaga listrik itu membelok tajam ke kanan ke arah Via della Osservatorio. Langdon melihat papan penunjuk arah: PALAZZO GOVERNATORATO COLLEGIO ETHIOPIANA BASILICA SAN PIETRO CAPELLA SISTINA
Mobil yang membawa mereka melaju lebih cepat di jalan yang terawat dengan baik. Mereka kemudian melewati sebuah gedung yang tidak terlalu tinggi bertuliskan RADIO VATIKANA. Langdon menyadari kalau gedung itu menyiarkan itu siaran radio yang paling banyak didengarkan di seluruh dunia: Radio Vatikana, yang menyebarkan firman Tuhan ke telinga jutaan pendengar di seluruh dunia.
Attenzione," kata pilot itu sambil membelok tajam di sebuah putaran.
Ketika mobil itu berjalan memutar, Langdon hampir tidak bisa memercayai penglihatannya ketika bayangan gedung di depannya muncul. Giardini Vaticani, katanya dalam hati. Jantung Vatican City. Tepat di belakang Basilika Santo Petrus, membentang pemandangan yang jarang dilihat oleh banyak orang. Di sebelah kanannya terlihat Palace of Tribunal, tempat tinggal Paus yang megah yang hanya sanggup disaingi oleh istana Versailles dalam hal hiasan-hiasan gaya baroknya. Gedung Governatorato yang tampak seram itu sekarang telah mereka lalui. Gedung itu adalah kantor bagi seluruh kegiatan administrasi Vatican City. Dan sekarang, di sebelah kiri mereka, berdiri Museum Vatikan yang besar. Langdon sadar kalau dirinya tidak akan sempat untuk mengunjungi museum itu sekarang.
"Kenapa sepi sekali?" tanya Vittoria sambil mengamati lapangan rumput dan jalan-jalan yang lengang.
Pengawal itu memeriksa jam tangan chronograph berwarna hitam bergaya militer yang dikenakannya--sebuah perpaduan aneh di balik lengan bajunya yang menggelembung. "Para kardinal itu berkumpul di Kapel Sistina. Rapat pemilihan paus biasanya dimulai kurang dari satu jam setelah itu.
Langdon mengangguk. Samar-samar dia ingat sebelum mengadakan rapat untuk memilih paus yang baru, para kardinal menghabiskan waktu dua jam di dalam Kapel Sistina untuk tafakur dan saling berbincang dengan rekan sesama kardinal dari seluruh dunia. Waktu itu memang ditujukan untuk menyegarkan keakraban di antara para kardinal sehingga proses pemilihan itu berjalan dengan suasana santai. "Dan penghuni dan pegawai lainnya?"
"Dipindahkan dari kota ini dengan alasan kerahasiaan dan keamanan sampai rapat pemilihan paus berakhir."
"Dan kapan acara itu berakhir?"
Pengawal itu menggerakkan bahunya. "Hanya Tuhan yang tahu." Entah kenapa kata-kata itu terdengar aneh sekali.
Setelah memarkir mobil di lapangan rumput yang luas, tepat di ujung Basilika Santo Petrus, pengawal itu mengantar Langdon dan Vittoria menaiki lereng berlantai batu ke sebuah plaza pualam dibelakang gereja agung itu. Setelah melintasi plaza, mereka berjalan di tembok belakang gereja dan terus menyusurinya sampai bertemu dengan lapangan berbentuk segi tiga di seberang Via Belvedere. Mereka kemudian bertemu dengan sekumpulan bangunan yang berdiri rapat. Pengetahuan Langdon akan sejarah seni membuatnya memahami tulisan yang tertera di sana--Kantor Percetakan Vatikan, Laboratorium Restorasi Permadani, Kantor Pos dan Gereja Santa Anna. Mereka kemudian menyeberangi lapangan kecil lagi dan sampai ke tujuan mereka.
Kantor Garda Swiss berdekatan dengan Il Corpo di Vigilanza, dan berdiri tepat di sebelah timur laut Basilika Santo Petrus. Kantor itu terletak di sebuah gedung yang tidak tinggi dan terbuat dari batu. Di kedua sisi pintu masuknya, berdiri dua orang pengawal yang kaku seperti sepasang patung batu.
Langdon harus mengakui kalau kedua pengawal itu tidak tampak lucu. Walau mereka juga mengenakan seragam berwarna biru dan emas seperti pilot yang mengantarnya ini, keduanya memegang senjata tradisional "pedang panjang Vatikan" yang merupakan sebilah tombak sepanjang delapan kaki dengan sebuah sabit besar yang tajam. Konon, pedang itu pernah memenggal kepala banyak orang Muslim dan melindungi prajurit Kristen dalam Perang Salib pada abad kelima belas.
Ketika Langdon dan Vittoria mendekat, kedua penjaga itu melangkah ke depan sambil menyilangkan pedang panjang mereka untuk menghalangi pintu masuk. Salah satu dari mereka menatap sang pilot dengan bingung. "I pantaloni," katanya sambil menunjuk celana pendek Vittoria.
Pilot itu mengibaskan tangannya kepada mereka. "Il comandante vuole vederli subito."
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Lalu dengan enggan mereka menepi.
Di dalam, udara terasa dingin. Gedung itu sama sekali tidak tampak seperti kantor administrasi sebuah pasukan keamanan yang selama ini dibayangkan oleh Langdon. Ruangan ini dihiasi oleh perabotan mewah, koridornya berisi lukisan-lukisan yang pasti sangat diinginkan oleh banyak museum di seluruh dunia untuk menghiasi balairung utama mereka.
Pilot itu menunjuk ke arah anak tangga yang curam. "Silakan turun ke bawah."
Langdon dan Vittoria mengikuti anak tangga yang terbuat dari pualam putih itu. Saat itu mereka berjalan turun dan melewati sederetan patung lelaki yang berdiri telanjang. Setiap patung hanya mengenakan selembar daun fig yang berwarna lebih terang daripada warna keseluruhan tubuh patung-patung itu.
Pengebirian besar-besaran, pikir Langdon.
Peristiwa itu adalah tragedi yang paling mengerikan di era Renaisans. Pada tahun 1857, Paus Pius IX berpendapat patung lelaki yang dibuat dengan sangat akurat itu dapat menimbulkan pikiran kotor bagi para penghuni Vatikan. Dia kemudian mengambil pahat dan palu, dan menghilangkan bagian kemaluan dari setiap patung lelaki di dalam Vatican City. Dia merusak karya Michaelangelo, Bramante dan Bernini. Plaster berbentuk daun fig dari semen kemudian dipasang untuk menutupi kerusakan itu. Ratusan patung telah dikebiri. Langdon sering bertanya-tanya apakah ada peti kayu besar yang berisi ratusan penis batu yang disimpan di suatu tempat.
"Di sini," kata pengawal itu.
Mereka tiba di dasar anak tangga dan menghadap ke sebuah pintu baja yang berat. Pengawal itu mengetik kode masuk, lalu pintu itu bergeser terbuka. Langdon dan Vittoria masuk.
Setelah melewati ambang pintu baja itu, mereka memasuki ruangan yang sangat aneh.
36
KANTOR GARDA SWISS.
Langdon berdiri di pintu dan mengamati tabrakan antar abad di hadapannya. Ruangan itu adalah perpustakaan bergaya Renaisans mewah, lengkap dengan rak-rak buku berukir, karpet oriental, dan permadani dinding yang beraneka warna ... tapi ruangan itu juga dilengkapi dengan perlengkapan berteknologi tinggi, seperti komputer, mesin faks, peta elektronik yang memperlihatkan kompleks Vatikan, dan televisi yang menayangkan berita dari CNN. Beberapa lelaki dengan celana panjang berwarna-warni sedang sibuk mengetik di komputer mereka sambil mendengarkan headphone yang futuristik di telinga mereka dengan tekun. "Tunggu di sini," kata pengawal itu.
Langdon dan Vittoria menunggu ketika pengawal itu melintasi ruangan untuk menuju ke seorang lelaki yang sangat jangkung, kurus, dan berseragam militer berwarna biru tua. Lelaki itu sedang berbicara dengan menggunakan ponselnya dan berdiri sangat tegak sehingga tampak hampir melengkung ke belakang. Pengawal itu mengatakan sesuatu kepadanya, lalu lelaki itu menatap tajam ke arah Langdon dan Vittoria. Dia mengangguk kemudian memunggungi mereka lagi dan melanjutkan pembicaraannya melalui ponselnya itu.
Pengawal itu kembali. "Komandan Olivetti akan menemui Anda sebentar lagi."
"Terima kasih."
Pengawal itu berlalu dan menuju ke ruang atas.
Langdon mengamati Komandan Olivetti yang sedang berdiri di seberang ruangan. Dia lalu menyadari kalau lelaki itu adalah Panglima Tertinggi angkatan bersenjata negara mini ini. Vittoria dan Langdon menunggu sambil mengamati kegiatan di depan mereka.
Pengawal-pengawal berseragam berwarna cerah berlalu-lalang dan menyerukan perintah dalam bahasa Italia.
"Continua cercandol" seseorang berseru di telepon.
"Probasti il museoi" yang lainnya bertanya.
Langdon tidak harus bisa berbahasa Italia dengan lancar untuk memahami maksud petugas tersebut. Dia tahu kalau saat itu para petugas keamanan di ruang kendali sedang mencari-cari sesuatu dengan tegang. Ini adalah berita baik. Kabar buruknya adalah kemungkinan mereka belum menemukan antimateri itu.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Langdon pada Vittoria.
Vittoria mengangkat bahunya dan tersenyum letih.
Ketika akhirnya komandan itu mematikan teleponnya dan bergerak ke arah mereka, Langdon melihat lelaki itu menjadi bertambah jangkung setiap kali melangkah mendekati mereka. Tubuh Langdon sudah cukup jangkung, dan dia tidak biasa mendongak ketika berbicara kepada seseorang, tetapi Komandan Olivetti berhasil memaksanya mendongak. Dilihat dari wajahnya yang tampak keras, Langdon segera merasakan bahwa sang komandan adalah laki-laki yang berpengalaman. Rambut sang komandan berwarna hitam dan dipotong sangat pendek bergaya tentara. Matanya sangat tajam yang hanya dapat diperoleh dari latihan keras selama bertahun-tahun. Dia bergerak dengan sangat tegap. Sebuah alat komunikasi tersembunyi di telinganya sehingga membuatnya lebih terlihat seperti Pengawal Rahasia Amerika Serikat daripada Komandan Garda Swiss.
Komandan itu berbicara dalam Bahasa Inggris dengan aksen yang kental. Suaranya dapat dibilang lembut bagi seseorang yang begitu jangkung. Nada suaranya kaku dan mencerminkan ketegasan anggota militer. "Selamat siang," sapanya. "Saya Komandan Olivetti--Comandante Principale Garda Swiss. Akulah yang menelepon direktur Anda."
Vittoria mendongak. "Terima kasih atas kesediaan Anda untuk bertemu dengan kami."
Komandan itu tidak menjawab. Dia memberi isyarat kepada mereka untuk mengikutinya dan membawa mereka melalui berbagai peralatan elektronik untuk menuju sebuah pintu di sisi ruangan itu.
"Masuklah," katanya sambil membukakan pintu" Langdon dan Vittoria berjalan melewatinya dan masuk ke sebuah ruang kendali yang gelap di mana terdapat begitu banyak monitor video menempel di dinding yang menayangkan gambar hitam-putih dari kompleks itu dengan gerakan lambat. Seorang biara muda mengamati gambar-gambar itu dengan serius.
"Fuori" kata Olivetti.
Penjaga itu berkemas dan pergi.
Olivetti berjalan menuju salah satu layar monitor dan menunjuknya. Dia lalu berpaling pada tamunya. "Gambar ini berasal dari sebuah kamera yang disembunyikan di suatu tempat di dalam Vatican City. Aku menginginkan penjelasan."
Langdon dan Vittoria melihat layar itu dan sama-sama terkesiap. Gambar itu sangat jelas. Tidak diragukan lagi. Itulah tabung antimateri CERN. Di dalamnya, setetes cairan metalik mengambang di udara diterangi oleh sinar jam digital LED yang berkedip-kedip. Yang membuatnya menjadi semakin menakutkan adalah ruangan di sekeliling tabung itu sangat gelap, seolah antimateri itu berada di dalam sebuah lemari atau ruangan gelap. Pada bagian paling atas monitor itu menyala tulisan yang sangat mencolok: TAYANGAN LANGSUNG--KAMERA NOMOR 86.
Vittoria melihat waktu yang masih tersisa pada penunjuk waktu yang menyala di tabung tersebut. "Kurang dari enam jam," Vittoria berbisik kepada Langdon, wajahnya tegang.
Langdon memeriksa jam tangannya. "Berarti waktu kita hingga...." Dia berhenti, perutnya terasa seperti terpilin.
"Tengah malam," sahut Vittoria dengan wajah pucat.
Tengah malam, pikir Langdon. Pilihan tepat untuk mendapatan suasana yang dramatis. Sepertinya, siapa pun yang telah mencuri tabung itu kemarin malam, sudah mengukur waktunya dengan sempurna. Sebuah firasat buruk muncul ketika Langdon menyadari dirinya sedang berada di atas sebuah bom waktu yang dahsyat.
Suara Olivetti lebih mirip dengan desisan. "Apakah benda itu milik institusi Anda?"
Vittoria mengangguk. "Ya, Pak. Tabung itu dicuri dari kami Tabung itu berisi zat yang mudah terbakar disebut antimateri."
Olivetti tampak tidak tergerak. "Aku cukup akrab dengan berbagai jenis bom, Nona Vetra. Tetapi aku belum pernah mendengar tentang antimateri."
"Itu teknologi baru. Kita harus menemukannya segera atau mengevakuasi Vatican City."
Perlahan Olivetti memejamkan matanya dan membukanya kembali seolah dengan memfokuskan kembali tatapannya ke wajah Vittoria dapat mengubah apa yang baru saja didengarnya. "Mengevakuasi? Apakah kamu tahu apa yang sedang terjadi di sini malam ini? "
"Ya Pak. Dan nyawa para kardinal sedang dalam bahaya. Kita hanya punya waktu kira-kira enam jam. Apakah pencarian tabung itu mengalami kemajuan?"
Olivetti menggelengkan kepalanya. "Kami bahkan belum mulai mencarinya."
Vittoria seperti tercekik. "Apa? Tetapi kami mendengar bahwa penjaga Anda berbicara tentang pencarian--"
"Kami memang sedang mencari," kata Olivetti, "tetapi bukan mencari tabung kalian. Orang-orangku sedang mencari sesuatu yang lain dan itu bukan urusan kalian."
Suara Vittoria serak. "Kalian bahkan belum mulai mencari tabung itu?"
Bola mata Olivetti seperti mengecil. Wajahnya terlihat waspada seperti seekor serangga yang sedang menunggu mangsanya. "Namamu Vetra, 'kan? Biar aku jelaskan sesuatu padamu. Direktur perusahaanmu menolak memberikan keterangan apa pun tentang benda itu kepadaku melalui telepon. Dia hanya mengatakan bahwa aku harus menemukannya segera. Kami sangat sibuk dan aku tidak punya waktu luang untuk menyuruh anak buahku untuk mencarinya hingga aku mendapatkan informasi yang jelas."
"Hanya ada satu fakta relevan saat ini" sahut Vittoria. "Dalam enam jam alat itu akan menghancurkan seluruh kompleks ini"
Olivetti tetap tak tergerak. "Nona Vetra, ada yang perlu kamu ketahui " Nada bicaranya menunjukkan kalau dirinyalah bos di sini. "Walau Vatican City terlihat kuno, tapi setiap jalan masuk, baik yang jalan khusus maupun jalan umum, dilengkapi dengan peralatan pengindraan paling mutakhir yang pernah dikenal orang. Jika seseorang berusaha masuk ke sini dengan membawa benda yang mudah terbakar itu, hal itu langsung bisa kami deteksi. Kami memiliki pemindai isotop radioaktif, penyaring bau yang dirancang oleh DEA untuk mengendus kehadiran unsur kimia beracun ataupun yang mudah terbakar, bahkan dalam jumlah terkecil sekalipun. Kami juga memiliki detektor metal yang paling mutakhir dan pemindai dengan teknologi sinar X."
"Sangat mengesankan," kata Vittoria dingin, sedingin nada suara Olivetti. "Celakanya, antimateri bukan unsur radioaktif. Elemen kimia yang dimilikinya adalah hidrogen murni dan tabung itu terbuat dari plastik. Tidak ada alat pendeteksi yang dapat melacaknya."
"Tetapi tabung itu mempunyai sumber energi," kata Olivetti, sambil menunjuk pada layar LED yang berkedip-kedip. "Bahkan jejak terkecil dari nikel-kadmium sekalipun dapat terlacak sebagai--"
"Baterenya juga terbuat dari plastik."
Kesabaran Olivetti mulai tampak menipis. "Batere plastik?"
"Gel elektrolit dari polimer dan teflon."
Olivetti mencondongkan tubuhnya ke arah Vittoria seolah ingin menegaskan ukuran tubuhnya yang besar. "Signorina, Vatikan sudah menjadi sasaran ancaman bom setiap bulannya. Aku sendiri yang melatih setiap Garda Swiss untuk memahami teknologi bom modern. Aku sangat mengetahui kalau tidak ada zat di dunia ini yang cukup kuat untuk melakukan apa yang baru saja kamu jelaskan tadi, kecuali kamu berbicara tentang bom nuklir dengan hulu ledak sebesar bola basket."
Vittoria menatapnya dengan tatapan yang sangat tajam. "Alam mempunyai banyak misteri yang belum terungkap."
Olivetti lebih mendekatkan dirinya. "Boleh aku bertanya siapa kamu ini? Apa kedudukanmu di CERN?"
"Aku staf peneliti senior dan ditunjuk menjadi penghubung ke Vatikan dalam keadaan gawat ini."
"Maafkan aku kalau aku tidak sopan. Kalau ini memang keadaan gawat mengapa aku harus berurusan denganmu dan bukan dengan direkturmu? Dan kenapa kamu dengan tidak sopannya datang ke Vatikan dengan mengenakan celana pendek?"
Langdon mengerang dalam hati. Bagaimana mungkin dalam situasi seperti ini, sang komandan malah mempermasalahkan aturan berpakaian? Tapi kemudian dia baru sadar. Kalau penis dari batu saja bisa menimbulkan pemikiran kotor di otak penghuni Vatikan, Vittoria Vetra yang datang dengan celana pendek pasti menjadi ancaman bagi keamanan nasional negara mini ini.
"Komandan Olivetti," sela Langdon, berusaha untuk meredam bom kedua yang nampaknya akan segera meledak. "Namaku Robert Langdon. Aku dosen kajian religius dari Amerika Serikat dan tidak ada hubungannya dengan CERN. Aku sudah pernah melihat percobaan antimateri dan berani menjamin kebenaran pernyataan Nona Vetra tadi. Antimateri itu memang sangat berbahaya. Kami punya alasan untuk meyakini benda itu diletakkan di kompleks Anda oleh sebuah kelompok antireligius yang bertujuan untuk mengacaukan acara pemilihan paus."
Olivetti berpaling, menatap orang yang tingginya tidak lebih dari tubuhnya itu. "Di depanku ada seorang perempuan mengenakan celana pendek mengatakan kepadaku kalau setetes cairan bisa meledakkan Vatican City, lalu ada seorang dosen dari Amerika berkata kalau kami sedang menjadi sasaran sebuah kelompok antireligius. Apa yang kalian inginkan dariku?"
"Temukan tabung itu," kata Vittoria. "Sekarang juga."
"Tidak mungkin. Benda itu bisa berada di mana saja. Vatican City itu luas sekali. "
"Kamera Anda tidak dipasangi pelacak GPS?"
"Kamera itu tidak biasanya dicuri. Kami membutuhkan waktu berhari-hari untuk menemukan kamera yang hilang itu."
"Kita tidak punya beberapa hari," kata Vittoria tegas. "Kita hanya punya waktu enam jam."
"Enam jam sampai apa, Nona Vetra?" suara Olivetti tiba-tiba menjadi lebih keras. Dia lalu menunjuk gambar di dalam layar monitor di hadapan mereka. "Sampai layar itu selesai menghitung mundur? Sampai Vatican City menghilang? Percayalah padaku, aku tidak suka ada orang yang mengganggu sistem keamananku. Aku juga tidak suka ada peralatan aneh yang muncul secara misterius di sini. Aku peduli. Itu pekerjaanku. Tetapi apa yang baru saja kalian katakan padaku itu tidak dapat diterima."
Langdon berbicara tanpa berpikir lagi. "Anda pernah mendengar tentang Illuminati?"
Air muka sang komandan yang dingin itu berubah. Matanya menjadi putih seperti seekor hiu yang siap menyerang. "Kuperingatkan. Aku tidak punya waktu untuk ini semua."
"Jadi, Anda pernah mendengar tentang Illuminati."
Mata Olivetti menghujam seperti bayonet. "Aku orang yang bersumpah untuk membela Gereja Katolik. Tentu saja aku pernah mendengar tentang Illuminati. Mereka telah mati beberapa dasawarsa yang lalu."
Langdon merogoh sakunya dan mengeluarkan kertas faks yang menunjukkan mayat Leonardo Vetra yang dicap. Dia menyerahkannya kepada Olivetti.
"Aku peneliti Illumniati," kata Langdon ketika Olivetti mempelajari gambar itu. "Sulit juga bagiku untuk menerima kenyataan bahwa Illuminati masih aktif, tapi munculnya cap ini digabungkan dengan fakta bahwa Illuminati terkenal memiliki sumpah untuk melawan Vatican City telah mengubah pendapatku."
"Ini hanyalah tipuan komputer." Olivetti lalu menyerahkan kertas itu kepada Langdon.
Langdon menatap ragu. "Tipuan? Lihatlah pada kesimetrisannya! Kalian harus menyadari bahwa keaslian--"
"Keaslian itulah yang tidak kamu punyai. Mungkin Nona Vetra tidak memberimu penjelasan. Para ilmuwan dari CERN sudah banyak mengkritik kebijakan Vatikan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Mereka secara teratur mengajukan permintaan untuk menarik kembali teori penciptaan alam semesta, meminta maaf secara resmi kepada Galileo dan Copernicus, dan mencabut kritik kami terhadap penelitian yang berbahaya dan tidak bermoral. Skenario seperti apa yang rasanya cocok bagi kalian? Hmm biar aku pikir dulu ... ada kelompok setan berusia empat ratus tahun telah muncul kembali dengan senjata yang dapat memusnahkan massa atau orang-orang konyol dari CERN sedang berusaha untuk mengganggu peristiwa suci di Vatikan dengan omong kosong seperti ini?"
"Foto itu," kata Vittoria, suaranya terdengar seperti lava mendidih, "adalah ayahku. Dia dibunuh. Kamu pikir ini akal-akalan kami saja?"
"Aku tidak tahu, Nona Vetra. Tetapi sampai aku mendapatkan jawaban yang masuk akal, aku tidak akan memberikan peringatan apa-apa kepada anak buahku. Kewaspadaan dan kehati-hatian adalah tugasku ... seperti peristiwa suci ini yang dapat berlangsung karena kejernihan pikiran. Hari ini sama seperti hari-hari lainnya.
"Paling tidak, tunda acara itu."
"Tunda?" Mulut Olivetti mengaga. "Sombong sekali! Rapat untuk memilih paus tidak seperti pertandingan baseball di Amerika yang dapat kamu batalkan karena hujan. Ini adalah perisitiwa suci dengan peraturan dan proses yang ketat. Tidak jadi masalan apakah satu milyar umat Katolik di dunia ini menunggu seorang pemimpin. Tidak peduli apakah ada media massa dari seluruh dunia menunggu di luar. Protokol untuk peristiwa suci ini bukan hal yang dapat dipermainkan. Sejak 1179, pertemuan untuk memilih seorang paus tetap berlangsung walau ada gempa bumi, kelaparan, dan bahkan bencana pes sekalipun. Percayalah, pertemuan ini tidak akan pernah ditunda hanya karena ilmuwan dibunuh atau satu tetes zat yang hanya Tuhan yang tahu."
"Antarkan aku pada seorang yang bertanggung jawab, pinta Vittoria.
Olivetti melotot."Aku adalah orang bertanggung jawab di sini."
"Tidak," sergah Vittoria. "Seseorang dari kepastoran."
Olivetti mulai habis kesabarannya. "Mereka sudah pergi. Kecuali Garda Swiss, satu-satunya yang masih ada di Vatican City hanyalah Dewan Kardinal yang berkumpul untuk mengadakan rapat. Dan mereka berada di dalam Kapel Sistina."
"Bagaimana dengan Kepala Urusan Rumah Tangga Kepausan?" desak Langdon datar.
"Siapa?"
"Kepala Urusan Rumah Tangga Mendiang Paus." Langdon mengulangi kata itu dengan nada yakin sambil berdoa mudah mudahan ingatannya tidak salah. Dia ingat pernah membaca tentang pengaturan otoritas Vatikan yang unik setelah kematian seorang paus. Kalau Langdon benar, sebelum paus yang baru terpilih, kekuasan beralih sementara ke asisten pribadi mendiang Paus; Kepala Urusan Rumah Tangga Kepausan, sebuah badan sekretariat yang mengawasi jalannya rapat pemilihan Paus sampai para kardinal memilih Bapa Suci yang baru. "Saya yakin Kepala rusan Rumah Tangga Kepausan adalah orang yang berwenang pada saat ini."
"Il camerlegno" Olivetti mendengus. "Dia hanyalah seorang pastor di sini. Dia adalah pelayan kepercayaan mendiang Paus."
"Tetapi dia masih berada di sini. Dan Anda melapor kepadanya. "
"Olivetti melipat lengannya di dadanya. "Pak Langdon, memang benar kalau peraturan Vatikan memerintahkan sang camerlengo untuk berperan sebagai kepala pemerintahan selama rapat pemilihan paus berlangsung. Karena dia masih belum matang untuk diangkat sebagai paus, maka dia dapat memastikan pemilihan yang berjalan dengan jujur dan adil. Ini seperti kalau presiden Anda meninggal dan salah satu ajudannya memerintah untuk sementara waktu di Ruang Oval. Sang camerlengo masih muda dan pemahamannya tentang keamanan, atau apa pun itu, masih terbatas. Jadi sayalah yang bertanggung jawab di sini."
"Bawa kami padanya," kata Vittoria.
"Tidak mungkin. Rapat untuk memilih paus akan dimulai empat puluh menit lagi. Sang camerlengo sedang berada di dalam kantornya untuk bersiap-siap. Aku tidak akan mengganggunya karena ada masalah keamanan."
Vittoria membuka mulutnya untuk mendesaknya, tapi terpotong oleh suara ketukan pintu. Olivetti membukanya.
Seorang penjaga mengenakan tanda-tanda kebesaran lengkap berdiri di luar dan menunjuk jam tanganya. "E I'ora, comandante."
Olivetti memeriksa jam tangannya sendiri dan mengangguk. Dia berpaling pada Langdon dan Vittoria seperti seorang hakim yang sedang mempertimbangkan nasib mereka. "Ikuti aku," katanya kemudian. Lalu dia membawa mereka keluar dari ruang pemantau dan melewati ruang kendali keamanan untuk menuju ke sebuah ruangan kecil yang terang di bagian belakang. "Kantorku." Olivetti meminta mereka masuk. Ruangan itu tidak istimewa, hanya terdiri atas sebuah meja yang berantakan, lemari arsip, kursi lipat dan pendingin udara. "Aku akan kembali sepuluh menit lagi. Kusarankan agar kalian menggunakan waktu itu untuk memutuskan bagaimana kalian akan melanjutkan kunjungan kalian."
Vittoria berputar. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja! Tabung itu-"
"Aku tidak punya waktu untuk itu," Olivetti menjadi sangat marah.
"Mungkin aku akan menahan kalian hingga rapat pemilihan paus selesai, kalau aku masih punya waktu."
"Sienore" desak penjaga itu, sambil menunjuk jam tangannya lagi "Spazzare di cappella."
Olivetti mengangguk dan beranjak akan pergi. "Spazzare di cappella " tanya Vittoria. "Kamu pergi untuk menyisir kapel itu?"
Olivetti berputar kembali, matanya menatap tajam ke arahnya.
"Kami menyisir untuk mencari alat penyadap elektronik, nona Vetra. Ini prosedur keamanan." Dia kemudian menunjuk kaki Vittoria seperti menyindir. "Sesuatu yang tentu tidak akan kamu mengerti."
Setelah itu lelaki besar itu membanting pintu sehingga kaca tebalnya bergetar. Dengan cepat Olivetti mengeluarkan sebuah kunci, memasukkannya ke lubangnya dan memutarnya. Sebuah gerendel yang berat bergeser masuk ke penguncinya.
"Idiotal" teriak Vittoria. "Kamu tidak bisa mengurung kami di sini!"
Melalui kaca itu Langdon dapat melihat Olivetti mengatakan sesuatu kepada seorang penjaga. Penjaga itu mengangguk. Ketika Olivetti berjalan pergi ke luar ruangan, penjaga itu berpaling menghadap mereka dari balik kaca pintu, lengannya disilangkan, sebuah pistol besar tampak terselip di pinggangnya.
Sempurna, pikir Langdon. Sangat sempurna.
37
VITTORIA MELOTOT KE ARAH seorang tentara Garda Swiss yang in di luar pintu ruang kerja Olivetti. Pengawal itu balas melotot, seragam aneka warnanya sangat kontras dengan air mukanya yang tegas.
"Che fiasco" pikir Vittoria. Ditahan oleh seorang lelaki bersenjata dan mengenakan piyama.
Langdon hanya terdiam sementara Vittoria berharap Langdon akan menggunakan otak Harvard-nya untuk berpikir bagaimana mengeluarkan mereka dari sini. Namun Vittoria bisa melihat dari wajah Langdon kalau lelaki itu lebih merasa terkejut daripada sedang berpikir. Dia mulai menyesal karena sudah melibatkan dosen itu hingga sejauh ini.
Insting pertama Vittoria adalah mengeluarkan ponselnya dan menelepon Kohler, tetapi dia tahu itu bodoh. Pertama, penjaga itu akan masuk dan merampas ponselnya. Kedua, kalau Kohler sedang menjalani perawatan rutinnya, dia mungkin masih dalam keadaan tidak berdaya. Bukannya tidak penting ... tetapi sepertinya Olivetti tidak akan memercayai kata-kata orang lain pada saat ini.
Ingat! Kata Vittoria pada diri sendiri. Ingat jawaban dari ujian ini!
Ingatan adalah kiat para filsuf penganut Buddha. Vittoria tidak menuntut pikirannya untuk mencari pemecahan untuk masalah ini, dia meminta pikirannya agar mengingatnya. Pemikiran kalau seseorang pernah mengetahui jawaban dari sebuah masalah, menciptakan pola berpikir yang memastikan bahwa jawaban itu ada ... dan mengurangi ketidakberdayaan akibat rasa putus asa. Vittoria sering menggunakan proses itu untuk mengatasi kebingungan ilmiah ... seperti ketika berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut orang kebanyakan, tidak ada jawabannya.
Pada saat itu, kiat ingatannya mengarah ke kekosongan yang besar. Jadi dia mempertimbangkan berbagai pilihan yang ada di depannya, seperti berbagai hal yang harus dilakukannya. Dia harus memperingatkan seseorang. Seseorang di Vatikan ini yang akan mendengarkannya dengan serius. Tetapi siapa? Sang camerlengo. Bagaimana caranya? Vittoria sedang terkunci di dalam sebuah kotak kaca yang hanya memiliki satu pintu.
Alat, katanya pada dirinya sendiri. Pasti ada peralatan yang bisa membantu. Amati lagi sekelilingmu.
Secara naluriah, dia melemaskan bahunya dan mengendurkan matanya, lalu menarik napas panjang sebanyak tiga kali ke dalam paru-parunya. Dia merasakan jantungnya berdetak lambat dan ototnya melunak. Kekacauan karena panik dalam benaknya menghilang. Baik, pikirnya, bebaskan pikiranmu. Apa yang membuat situasi ini menjadi keadaan yang positif? Apa saja yang kumiliki-Pikiran analitis Vittoria Vetra, begitu sudah tenang, menjadi buah kekuatan yang tidak bisa dianggap enteng. Dalam beberapa detik saja dia menyadari bahwa pengurungan mereka ini sebenarnya adalah kunci bagi kebebasannya.
"Aku akan menelepon," katanya tiba-tiba.
Langdon mendongak. "Aku baru saja ingin memintamu untuk menelepon Kohler, tetapi--"
"Bukan Kohler. Orang lain."
"Siapa?"
"Sang camerlengo."
Langdon betul-betul tampak bingung. "Kamu akan menelepon Kepala Rumah Tangga Kepausan? Bagaimana caranya?"
"Olivetti tadi mengatakan bahwa sang camerlengo sedang berada di Kantor Paus."
"Memangnya kamu tahu nomor telepon pribadi Paus?"
"Tidak. Aku tidak akan meneleponnya dari ponselku." Dia menggerakkan kepalanya ke arah pesawat telepon berteknologi tinggi di atas meja kerja Olivetti. Pesawat itu dilengkapi dengan tombol panggilan cepat. "Kepala Keamanan pasti mempunyai nomor langsung ke Kantor Paus."
"Dia juga punya seorang atlet angkat berat yang memegang senjata dan berdiri enam kaki dari sini."
"Dan kita terkunci di dalam."
"Aku sudah mengetahuinya dengan baik, terima kasih."
"Maksudku, penjaga itu terkunci di luar. Ini adalah kantor pribadi Olivetti. Aku yakin tidak ada orang lain yang mempunyai kuncinya."
Langdon melihat ke arah penjaga yang berdiri di luar. "Kaca ini sangat tipis, dan senjatanya besar sekali."
"Apa yang akan dilakukannya? Menembakku karena aku menggunakan telepon?"
"Siapa yang tahu! Ini adalah negeri yang sangat aneh, dan segala yang terjadi--"
"Apa pun yang terjadi," kata Vittoria, "entah dia menembak kita atau kita menghabiskan 5 jam 48 menit berikutnya di Penjara Vatikan, paling tidak kita duduk di baris terdepan ketika antimateri itu meledak."
Langdon menjadi pucat. "Tetapi penjaga itu akan segera menghubungi Olivetti begitu kamu mengangkat telepon. Lagi pula di situ ada dua puluh tombol. Dan aku tidak melihat adanya petunjuk. Kamu akan mencobanya semua dan mengharapkan keberuntungan?"
"Tidak juga," sahut Vittoria sambil berjalan menuju pesawat telepon itu. "Hanya satu." Vittoria lalu mengangkat gagang telepon itu dan menekan tombol paling atas. "Nomor satu, aku bertaruh denganmu untuk satu dolar Illuminati dalam sakumu itu kalau ini adalah nomor Kantor Paus. Apa yang terpenting bagi seorang Komandan Garda Swiss?"
Langdon tidak punya waktu untuk menjawab. Penjaga di luar pintu itu mulai menggedor pintu dengan bagian belakang pistolnya. Dia juga memberikan isyarat kepada Vittoria untuk meletakkan telepon itu.
Vittoria mengedipkan matanya pada sang penjaga. Penjaga itu tampaknya semakin marah.
Langdon bergerak menjauh dari pintu dan berpaling pada Vittoria. "Kamu harus benar karena lelaki itu tampak marah sekali!"
"Sialan!" seru Vittoria, ketika mendengarkan suara dari gagang telepon itu. "Sebuah rekaman."
"Rekaman?" tanya Langdon. "Paus punya mesin penjawab?
"Itu bukan kantor paus," kata Vittoria sambil meletakkan kembali gagang telepon itu. "Itu hanya daftar menu mingguan dari toko
kelontong Vatikan."
Langdon tersenyum lemah pada penjaga di luar yang sekarang dengan marah dari luar dinding kaca sambil memanggil Olivetti dengan walkie-talkie-nya.
38
OPERATOR TELEPON VATIKAN berpusat di Ufficio di Comunicazione yang terletak di belakang Kantor Pos Vatikan. Ruangan itu bisa dikatakan kecil dan berisi sebuah papan panel Corelco 141 dengan delapan jalur. Kantor itu menerima 2.000 panggilan setiap harinya dan biasanya dialihkan secara otomatis ke sistem informasi yang sudah terekam.
Malam ini, satu-satunya operator yang bertugas sedang duduk dengan tenang sambil menghirup secangkir besar teh berkafein. Dia merasa bangga menjadi salah satu pegawai yang diperbolehkan berada di Vatikan City malam ini. Tentu saja kehormatan itu berkurang dengan kehadiran beberapa Garda Swiss yang berjaga di luar pintunya. Ke toilet pun harus dikawal, pikir sang operator. Ah, sebuah penghinaan yang harus diterima atas nama rapat pemilihan paus yang suci.
Untunglah, tidak banyak sambungan telepon malam ini. Atau mungkin itu bukanlah hal yang menguntungkan, pikirnya. Minat dunia akan kejadian-kejadian di Vatikan tampaknya mulai berkurang sejak beberapa tahun silam. Panggilan telepon dari pers sudah menipis dan orang-orang gila itu sudah tidak sering menelepon lagi sekarang. Pers berharap peristiwa malam ini akan lebih bernuansa perayaan. Sayangnya, Lapangan Santo Petrus walau penuh oleh mobil trailer pers, mobil-mobil tersebut kebanyakan berasal dari pers Italia dan Eropa biasa. Hanya beberapa jaringan global yang berada di sana ... pasti mereka hanya mengirim gumahsti secundari, wartawan kelas dua mereka.
Operator itu menggenggam cangkir besarnya dan bertanya tanya berapa lama peristiwa malam ini akan berakhir. Mungki pada tengah malam, dia menerka. Akhir-akhir ini, sebagian besa orang dalam sudah mengetahui siapa yang dijagokan untuk menggantikan Paus sebelum rapat diadakan sehingga proses iru hanya memakan waktu lebih singkat, sekitar tiga atau empat jam ritual daripada waktu pemilihan yang sebelumnya. Tentu saja perselisihan tingkat tinggi pada menit-menit terakhir dapat memperpanjang acara itu hingga subuh ... atau bahkan lebih lama lagi. Rapat pemilihan paus pada tahun 1831 berlangsung selama 54 hari. Malam ini tidak akan seperti itu, katanya pada dirinya sendiri; kabar angin yang terdengar mengatakan kalau rapat ini hanya akan menjadi sebuah "tontonan santai."
Lamunan operator itu tergugah oleh suara dering dari saluran internal di papan panel yang berada di hadapannya. Dia melihat lampu merah yang berkedip-kedip dan menggaruk kepalanya. Ini aneh, pikirnya. Saluran nol. Siapa dari kalangan internal yang menelepon operator informasi malam ini? Siapa yang masih berada di dalam?
"Citta del Vatikano, prego?" katanya ketika menjawab telepon itu.
Suara di dalam saluran itu berbicara dalam bahasa Italia dengan cepat. Samar-samar operator itu mengenali aksen yang biasa terdengar dari kalangan Garda Swiss. Mereka berbicara bahasa Italia dengan lancar dan dipengaruhi oleh aksen Franco-Swiss. Tapi, orang yang meneleponnya ini bukan seorang Garda Swiss.
Ketika mendengarkan suara perempuan di telepon, operator itu tiba-tiba berdiri dan hampir menumpahkan tehnya. Dia menatap ke saluran itu lagi. Dia tidak salah. Sambungan internal. Pangilan itu berasal dari dalam. Pasti sebuah kesalahan! pikirnya. Seorang perempuan di dalam Vatikan City? Malam ini?
Perempuan itu berbicara dengan cepat dan marah. Operator itu sudah cukup lama bekerja menjadi operator sehingga dia tahu apa yang harus dilakukannya ketika berurusan dengan seorang. Tapi perempuan ini tidak terdengar gila. Dia memang mendesak tetapi kalimatnya tetap masuk akal. Tenang. Lelaki itu mendengarkan permintaan perempuan itu dan menjadi bingung.
"Il camerlengo?' operator itu bertanya sambil masih mencoba membayangkan dari mana panggilan itu berasal. "Aku tidak dapat hubungkan ... ya, aku tahu beliau berada di Kantor Paus, tetapi... siapa Anda, ulangi? ... dan Anda ingin memperingatkan beliau akan ...." Dia mendengarkan dan merasa semakin ngeri. Semua orang dalam bahaya? Bagaimana bisa begitu? Dan dari mana Anda menelepon? "Mungkin aku harus menghubungi Garda Swiss." Tiba-tiba operator itu berhenti. "Anda bilang Anda di mana? Di mana?"
Lelaki itu mendengarkan dan terkejut sekali. Dia lalu membuat keputusan. "Harap tunggu sebentar," dia berkata sambil menekan tombol lain sebelum perempuan itu dapat menjawab. Kemudian dia menelepon ke nomor langsung Komandan Olivetti. Tidak mungkin perempuan itu benar-benar--
Saluran itu langsung diangkat.
"Per I'amore di Diol" suara seorang perempuan yang sudah dikenalnya itu berteriak di telinganya. "Sambungkan aku segera!"
Pintu pusat keamanan Garda Swiss terbuka. Pengawal itu menepi ketika Komandan Olivetti memasuki ruangan seperti sebuah roket. Sambil membelok ke arah kantornya, Olivetti menemukan kejadian seperti yang tadi dikatakan pengawalnya melalui walkie-talkie-nya.. Vittoria Vetra sedang berdiri di sisi meja kerjanya dan berbicara dengan menggunakan telepon pribadi sang komandan.
Che coglioni che ha questa! pikirnya. Yang satu ini berani sekali!
Dengan wajah pucat, dia berjalan ke arah pintu kantornya dan memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Dia kemudian menarik pintu itu hingga terbuka dan bertanya, "Apa yang kamu lakukan?"
Vittoria mengabaikannya. "Ya," kata Vittoria dengan seseorang di telepon. "Dan aku harus memperingatkan--"
Olivetti merampas gagang telepon itu dari tangan Vittoria dan menempelkannya ke telinganya sendiri. "Siapa ini!?"
Saat itu juga, ketegapan tubuh Olivetti menyurut. "Ya, sang camerlengo ...," katanya. "Betul, Pak ... tetapi masalah keamanan menuntut ... tentu saja ... saya menahan mereka di sini tentunya, tetapi ...." Olivetti mendengarkan. "Ya, Pak," katanya akhirnya. "Saya akan membawa mereka ke kantor Anda."
39
ISTANA APOSTOLIK ADALAH sekelompok gedung yang terletak di dekat Kapel Sistina di sudut timur laut Vatikan City. Dihiasi oleh Lapangan Santo Petrus yang tampak menonjol di depannya, istana itu terdiri atas Rumah Dinas Kepausan dan Kantor Paus.
Vittoria dan Langdon mengikuti sang komandan tanpa bersuara ketika Olivetti membawa mereka ke sebuah koridor panjang bergaya rococo Perancis. Olivetti masih terlihat berang. Setelah menaiki tiga set anak tangga, mereka akhirnya memasuki sebuah koridor yang remang-remang.
Langdon tidak dapat memercayai benda-benda seni yang terpampang di sekitarnya. Dia dapat melihat patung dada, permadani dinding, dekorasi ukiran huruf, dan semua karya seni itu berharga ratusan ribu dolar. Setelah melewati dua pertiga dan perjalanan mereka, mereka melewati sebuah air mancur dari batu pualam. Olivetti membelok ke kiri, menuju ke sebuah ruangan, lalu memasuki sebuah pintu terbesar yang pernah dilihat Langdon.
"Ufficio di Papa," kata sang komandan sambil menatap Vittoria dengan kesal. Tapi Vittoria tidak takut. Dia melewati Olivetti dan mengetuk pintunya dengan keras.
Kantor Paus, kata Langdon dalam hati sambil masih belum percaya kalau dirinya sedang berdiri di depan sebuah ruangan yang paling suci di dunia Kristen.
"Avantt!" seseorang berseru dari dalam.
Ketika pintu terbuka, Langdon harus melindungi matanya. Sinar matahari bersinar menyilaukan di ruangan itu. Perlahan, sosok di depannya mulai menjadi semakin jelas.
Ruang Kantor Paus itu lebih mirip dengan ruang dansa daripada sebuah kantor. Lantai dari pualam berwarna merah membentang ke dinding yang dihiasi lukisan dinding yang mewah. Sebuah tempat lilin yang sangat besar tergantung di atas, sementara itu sekumpulan jendela berbentuk melengkung menawarkan panorama yang mengagumkan dari Lapangan Santo Petrus yang sedang bermandikan cahaya matahari.
Ya ampun, seru Langdon. Ini benar-benar sebuah ruangan dengan pemandangan indah.
Di ujung balairung itu, di atas sebuah meja berukir, seorang lelaki duduk sambil menulis dengan tekun. "Avanti," serunya lagi. Dia lalu meletakkan penanya dan mengayunkan tangannya kepada mereka.
Olivetti mendahului mereka dengan sikap militernya. "Signore," katanya bernada minta maaf. "No ho potuto--"
Lelaki itu memotong kalimatnya. Dia lalu berdiri dan mengamati kedua tamunya itu.
Sang camerlengo sama sekali tidak seperti orang tua lemah dengan sinar kesucian yang sedang berjalan-jalan di Vatikan seperti yang selama ini dibayangkan oleh Langdon. Lelaki itu tidak mengenakan rosario ataupun medali. Dia juga tidak mengenakan jubah berat. Dia hanya mengenakan jubah ringan yang tampak menonjolkan bentuk tubuhnya yang kekar. Tampaknya dia berusia akhir tiga puluhan, masih sangat muda bagi ukuran Vatikan. Yang lebih mengejutkan lagi, wajahnya tampan, rambutnya cokelat dengan mata berwarna hijau cerah yang bercahaya, seolah kedua matanya itu diterangi oleh misteri dari alam semesta. Ketika lelaki itu semakin dekat, Langdon melihat kalau lelaki itu sangat lelah seperti telah melewati lima belas hari terberat dalam hidupnya.
"Aku Carlo Ventresca," katanya. Bahasa Inggrisnya sempurna "Camerlengo mendiang Paus." Suaranya terdengar jujur dan ramah dengan sebersit aksen Italia.
"Vittoria Vetra," kata Vittoria sambil melangkah ke depan dan mengulurkan tangannya. "Terima kasih sudah bersedia menemui kami."
Olivetti cemberut ketika sang camerlengo menjabat tangan Vittoria.
"Ini Robert Langdon," lanjut Vittoria. "Seorang ahli sejarah agama dari Harvard University."
"Padre? kata Langdon dengan aksen Italianya yang diusahakan sebaik mungkin. Dia menundukkan kepalanya sambil mengulurkan tangannya.
"Jangan, jangan," desak sang camerlengo sambil meminta Langdon untuk mengangkat kepalanya lagi. "Kantor Yang Mulia Paus tidak membuatku suci. Aku hanyalah seorang pastor, seorang Kepala Rumah Tangga Kepausan yang melayani jika diperlukan."
Langdon kemudian menegakkan tubuhnya.
"Silakan," kata sang camerlengo, "mari duduk." Dia kemudian mengatur beberapa kursi di sekeliling mejanya. Langdon dan Vittoria kemudian duduk. Tampaknya Olivetti lebih senang berdiri.
Sang camerlengo duduk di mejanya. Sambil menyilangkan tangannya, dia mendesah dan menatap tamunya.
"Signore," kata Olivetti. "Pakaian perempuan ini adalah kesalahanku. Aku--"
"Pakaiannya bukanlah hal yang aku khawatirkan," sahut sang camerlengo, suaranya terdengar terlalu letih untuk diganggu. "Ketika operator Vatikan meneleponku setengan jam sebelum aku membuka rapat pemilihan paus, dia mengatakan padaku bahwa seorang perempuan menelepon dari kantor pribadimu, Pak Olivetti, untuk memperingatkanku akan adanya ancaman keamanan serius yang belum Anda kabarkan kepada saya. Itulah yang aku khawatirkan.
Olivetti berdiri kaku, punggungnya melengkung seperti seorang serdadu sedang diperiksa dengan teliti.
Langdon merasa seperti dihipnotis oleh penampilan sang Camerlengo. Lelaki itu masih muda dan letih seperti juga dirinya, pastor itu memiliki aura ksatria mistis yang memancarkan kharisma dan kewenangan.
"Signore," kata Olivetti, nada suaranya penuh sesal tetapi masih keras hati. "Anda seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan urusan keamanan. Anda memiliki tanggung jawab lainnya."
"Aku sangat tahu apa kewajibanku yang lainnya. Aku juga tahu sebagai direttore intermediario, aku mempunyai kewajiban atas keamanan dan kesejahteraan semua orang pada saat rapat pemilihan paus berlangsung. Apa yang terjadi di sini?"
"Saya sudah mengatasinya."
"Tampaknya belum."
"Bapa," kata Langdon menyela sambil mengeluarkan kertas faks yang sudah lusuh dan menyerahkannya kepada sang camerlengo, "silakan."
Komandan Olivetti melangkah ke depan, mencoba ikut campur. "Bapa, kumohon, jangan risaukan pikiran Anda dengan--"
Sang camerlengo mengambil kertas faks itu dan mengabaikan Olivetti. Dia menatap gambar Leonardo Vetra yang terbunuh lalu menarik napas karena terkejut. "Apa ini?"
"Itu ayahku," kata Vittoria, suaranya bergetar. "Ayahku seorang pastor dan ilmuwan. Ayah dibunuh tadi malam."
Tiba-tiba wajah sang camerlengo menjadi lembut. Dia menatap Vittoria. "Anakku sayang. Aku turut berduka." Dia membuat tanda salib di depan dadanya sendiri dan melihat kertas faks itu sekali lagi, matanya tampak dipenuhi oleh rasa jijik. "Siapa yang ... dan luka bakar pada ...," sang camerlengo berhenti sejenak, matanya menyipit dan mendekatkan gambar itu ke wajahnya.
Tulisan itu berbunyi Illuminati," kata Langdon. "Saya yakin Anda mengenali nama itu."
Air muka sang camerlengo mendadak berubah. "Saya pernah mendengar nama itu, tetapi ...."
"Kelompok Illuminati membunuh Leonardo Vetra sehingga mereka dapat mencuri sebuah teknologi baru yang ...."
"Signore," Olivetti berseru. "Ini aneh sekali. Kelompok Illuminati? Ini jelas merupakan penipuan."
Sang camerlengo tampak memikirkan kata-kata Olivetti. Lalu dia berpaling dan menatap Langdon dengan tajam sehingga Langdon merasa paru-parunya kehabisan udara. "Pak Langdon saya sudah melewatkan hidupku di dalam Gereja Katolik. Saya tahu banyak tentang Illuminati ... dan legenda cap tersebut. Walau demikian saya harus memperingatkan Anda, saya seorang lelaki yang hidup di masa kini. Kristen sudah mempunyai banyak musuh jadi tidak usah membangkitkan hantu-hantu itu kembali."
"Simbol itu asli," kata Langdon terdengar agak terlalu membela diri. Dia mengulurkan tangannya dan memutar kertas faks itu di hadapan sang camerlengo.
Sang camerlengo terdiam ketika melihat kesimetrisan yang dimiliki cap itu.
"Bahkan komputer modern sekalipun," katanya menambahkan, "tidak dapat meniru ambigram yang simetris dari kata itu."
Sang camerlengo melipat tangannya dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun selama beberapa saat. "Kelompok Illuminati sudah mati,"
akhirnya dia berkata. "Sudah lama sekali. Itu merupakan kenyataan sejarah."
Langdon mengangguk. "Kemarin, saya juga akan sepakat dengan Anda."
"Kemarin?"
"Sebelum rangkaian peristiwa ini. Saya percaya Illuminati telah muncul kembali untuk mewujudkan sumpah lama mereka."
"Maafkan saya. Pengetahuan sejarah saya sudah berkarat. Sumpah kuno apa itu?"
Langdon menarik napas panjang. "Untuk menghancurkan Vatican City."
"Menghancurkan Vatican City?" Sang camerlengo terlihat lebih bingung daripada takut. "Tetapi itu tidak mungkin."
Vittoria menggelengkan kepalanya. "Aku khawatir kami masih mempunyai berita buruk yang lainnya."
"APAKAH INI BENAR?" tanya sang camerlengo yang tampak terheran-heran sambil menatap Olivetti dan Vittoria.
"Signore," kata Olivetti meyakinkan, "saya mengakui ada semacam peralatan asing di sini. Benda itu tampak pada layar monitor keamanan kami, tetapi ketika Nona Vetra menceritakan kemampuan benda tersebut, aku tidak--"
"Tunggu sebentar," kata sang camerlengo. "Kamu dapat melihat benda itu?"
"Ya, signore. Pada kamera nirkabel nomor 86."
"Dan kenapa kamu tidak menemukannya?" Sekarang suara sang camerlengo menggema karena marah.
"Sangat sulit, signore." Olivetti berdiri tegak ketika dia menjelaskan keadaannya.
Sang camerlengo mendengarkan dan Vittoria dapat merasakan keprihatinan lelaki itu meningkat. "Kamu yakin benda itu berada di dalam Vatican City?" sang camerlengo bertanya. "Mungkin seseorang telah membawa keluar kamera itu dan menyiarkan gambar itu dari tempat lain."
"Itu tidak mungkin," kata Olivetti. "Dinding luar kami dilindungi secara elektronik untuk menjaga komunikasi internal kami. Tayangan ini hanya berasal dari dalam, kami tidak akan dapat menangkap gambar tersebut dari luar."
Jadi, kata sang camerlengo, "kamu punya tugas untuk mencari kamera yang hilang itu dengan segala peralatan yang ada, begitu?"
Olivetti menggelengkan kepalanya. "Tidak, signore. Untuk menemukan kamera itu kami membutuhkan ratusan orang. Kami mempunyai masalah keamanan lainnya yang harus kami hadapi saat ini, dan dengan segala hormat kepada Nona Vetra, tetesan yang dibicarakannya hanyalah benda yang kecil sekali. Itu tidak mungkin dapat meledak sehebat yang dikatakannya."
Kesabaran Vittoria menguap habis. "Tetesan itu cukup untuk meratakan Vatican City dengan tanah! Kamu tidak mendengarkan kata-kata yang kuucapkan padamu?"
"Bu," kata Olivetti, suaranya terdengar keras seperti biasa, "pengalamanku pada bahan-bahan peledak sangat luas."
"Pengalamanmu sudah kuno," sergah Vittoria tak kalah kerasnya. "Walau pakaianku begini, cara berpakaian yang kutahu sangat mengganggumu, aku adalah seorang ahli fisika senior di sebuah fasilitas penelitian atomik yang paling maju di dunia. Aku sendiri yang merancang tabung antimateri itu sehingga spesimen tersebut tidak meledak sekarang. Dan aku peringatkan, kalau kamu tidak menemukan tabung itu dalam waktu enam jam, anak buahmu tidak akan bisa melindungi Vatikan lagi hingga abad berikutnya. Karena setelah ledakan itu Vatikan hanyalah sebuah lubang besar di tanah."
Olivetti berjalan mendekati sang camerlengo, matanya yang awas seperti serangga menyala karena marah. "Signore, saya tidak dapat membiarkan hal ini terus berlangsung. Waktu Anda terbuang sia-sia karena dua pelawak ini. Kelompok Illuminati? Tetesan yang akan memusnahkan kita semua?"
"Basta," sergah sang camerlengo. Dia mengucapkan kata itu dengan perlahan namun seperti menggema di seluruh ruangan. Kemudian sunyi. Dia kemudian berbisik kepada Olivetti. "Berbahaya atau tidak, Illuminati atau bukan, benda apa pun itu, yang pasti adalah benda yang tidak seharusnya ada di Vatican City ... apalagi dalam acara akbar seperti ini. Aku ingin benda itu ditemukan dan dipindahkan. Atur pencariannya sekarang juga. "
Olivetti mendesak. "Signore, walaupun kita mengerahkan semua untuk menyisir setiap sudut kompleks dan mencari kamera kami membutuhkan waktu berhari-hari untuk menemukannya. "
Terlebih lagi, setelah berbicara dengan Nona Vetra, aku telah memerintahkan anak buahku untuk mencari nama zat yang bernama antimateri tersebut di buku panduan balistik kami yang paling mutakhir. Dan saya tidak menemukan kata itu di mana pun. Tidak ada apa-apa."
Dasar bodoh! pikir Vittoria. Sebuah buku panduan balistik? Apakah mereka tidak bisa mencarinya di kamus? Di bawah huruf A!
Olivetti masih terus berbicara. "Signore, kalau Anda menyuruh kami mencari benda tersebut di seluruh kompleks ini tanpa dilengkapi peralatan apa pun, saya harus menolak."
"Komandan." Suara sang camerlengo itu bergetar karena marah. "Aku peringatkan kepadamu. Ketika kamu berbicara padaku, kamu sedang berbicara kepada institusi ini. Aku tahu kamu tidak menghormati posisiku di sini, tapi menurut hukum akulah yang bertanggung jawab untuk saat ini. Kalau aku tidak salah, para kardinal sekarang sedang berada di tempat yang aman, di dalam Kapel Sistina, dan regu keamananmu tidak perlu terlalu bekerja keras hingga acara suci ini selesai. Aku tidak mengerti kenapa kamu ragu-ragu untuk mencari benda tersebut. Sepertinya kamu sengaja ingin membahayakan rapat pemilihan paus."
Olivetti terlihat kesal. "Berani-beraninya! Aku sudah melayani mendiang Paus selama dua belas tahun! Dan paus sebelumnya selama empat belas tahun! Sejak tahun 1438 Garda Swiss telah--"
Walkie-talkie yang tergantung di ikat pinggang Olivetti berbunyi keras, memotong kalimatnya. " Commandanter?"
Olivetti melepaskannya dan menekan tombol bicara. "Sono occupato! Cosa vuot! "
"Scusi," kata seorang Garda Swiss melalui radio. "Di sini akan komunikasi. Saya kira Anda ingin tahu kalau kita baru saja menerima ancaman bom."
Olivetti menjawab dengan tegas. "Atasi! Lakukan prosedur seperti biasanya, dan tulis laporannya."
"Sudah kami lakukan, Pak, tetapi penelepon itu ...." Pengawal itu berhenti sejenak. "Saya tidak ingin mengganggu Anda, Pak tetapi orang itu mengatakan nama zat yang baru saja Anda perintahkan untuk diselidiki. Antimateri."
Semua orang di dalam ruangan itu saling memandang dengan tatapan tegang.
"Dia mengatakan apa?" bentak Olivetti.
"Antimateri, Pak. Ketika kami mencoba melacak, saya juga melakukan beberapa penelitian tambahan atas permintaan si penelepon. Informasi tentang antimateri adalah ... yah, terus terang saja, sangat berbahaya."
"Kukira kamu tadi mengatakan kalau di buku panduan balisitik tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu."
"Saya menemukannya di internet, Pak."
Haleluya, seru Vittoria dalam hati.
"Zat kimia itu tampaknya sangat mudah meledak," kata pengawal itu lagi. "Sulit dibayangkan apakah informasi ini akurat tetapi tertulis di sini bahwa setiap pon antimateri mengandung sekitar seratus kali muatan hulu ledak senjata nuklir."
Olivetti menjadi lesu. Seperti sedang menonton gunung yang runtuh. Perasaan kemenangan dalam diri Vittoria terhapus oleh kesan ketakutan pada wajah sang camerlengo.
"Kamu berhasil melacak telepon itu?" tanya Olivetti dengan membentak.
"Tidak, Pak. Pasti dia menelepon dengan menggunakan ponsel dan disandi dengan sangat canggih. Jalur SAT terganggu sehingga triangulasinya terputus. Tanda IF mengesankan bahwa penelepon itu berada di Roma, tetapi sulit untuk melacaknya"
"Apakah dia menuntut sesuatu?" tanya Olivetti, suaranya tenang.
"Tidak, Pak. Hanya memperingatkan kita bahwa ada antimateri tersembunyi di dalam kompleks ini. Dia tampak terkejut aku tidak tahu. Dia kemudian bertanya padaku apakah, sudah melihatnya. Anda menanyakan tentang antimateri, jadi saya memutuskan untuk menghubungi Anda, Pak."
"Kamu bertindak benar," kata Olivetti. "Aku akan ke sana sebentar lagi. Beri tahu aku kalau dia menelepon lagi."
Sunyi sejenak dari walkie-talkie itu. "Si penelepon masih terhubung, Pak."
Olivetti terlihat seperti baru saja disetrum listrik. "Dia masih di sana? "
"Ya, Pak. Kami sudah mencoba untuk melacaknya selama sepuluh menit ini, tapi tidak berhasil. Dia pasti tahu kalau kita tidak dapat menemukannya karena dia menolak untuk memutuskan sambungan sampai dia berbicara dengan sang camerlengo."
"Sambungkan dia," perintah sang camerlengo. "Sekarang!"
Olivetti berpaling. "Bapa, jangan. Negosiator Garda Swiss yang terlatih lebih cocok untuk mengatasi ini."
"Sekarang"
Olivetti memerintahkan pengawal itu.
Sesaat kemudian, telepon di atas meja Camerlengo Ventresca mulai berdering. Jemari sang camerlengo meraih tombol speaker phone di
pesawat teleponnya. "Demi Tuhan, kamu pikir kamu ini siapa?"
41
SUARA YANG DIPERKERAS dari speaker phone sang camerlengo terdengar seperti kaku dan dingin dengan kesan angkuh. Semua orang di ruangan itu mendengarkan. Langdon mencoba mengenali aksennya. Timur Tengah, mungkin?
Aku pembawa pesan dari sebuah persaudaraan kuno," suara itu mengumumkan dirinya dengan logat yang asing. "Sebuah persaudaraan yang telah kamu perlakukan dengan tidak adil. Aku adalah pembawa pesan dari kelompok Illuminati."
Langdon merasa otot-ototnya menegang, keraguannya telah pupus sekarang. Saat itu juga dia merasakan berbagai macam perasaan yang campur aduk antara rasa tegang, bangga dan takut seperti yang dirasakannya ketika dia pertama kalinya melihat ambigram itu tadi pagi.
"Apa yang kamu kehendaki?" tanya sang camerlengo.
"Aku mewakili para ilmuwan yang seperti juga dirimu, sedang berusaha untuk mencari jawaban. Jawaban bagi nasib manusia, tujuannya, penciptanya."
"Siapa pun kamu," kata sang camerlengo, "aku--"
"Silenzio. Kamu lebih baik mendengarkan. Selama dua milenium gerejamu telah mendominasi pencarian akan kebenaran. Kalian telah menghancurkan lawanmu dengan kebohongan dan ramalan tentang hari kiamat. Kalian telah memanipulasi kebenaran demi kepentingan kalian, membunuh orang-orang yang penemuannya tidak sesuai dengan pemikiran kalian. Kenapa kalian heran ketika menjadi sasaran orang-orang yang diberi pencerahan dari seluruh dunia?"
"Orang-orang yang diberi pencerahan tidak akan memeras untuk mencapai tujuannya."
"Memeras?" Penelepon itu tertawa. "Ini bukan pemerasan. Kami tidak mempunyai tuntutan. Penghancuran Vatikan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kami sudah menanti selama empat ratus tahun untuk hari ini. Pada tengah malam nanti, kotamu akan dihancurkan. Tidak ada yang dapat kamu lakukan."
Olivetti bergerak cepat menuju speaker phone "Jalan masuk ke kota ini tidak mungkin ditembus! Kamu tidak mungkin bisa menanam bom di sini!"
"Kamu berbicara dengan keteledoran seorang Garda Swiss. Mungkin keteledoran seorang petugas? Pasti kamu tahu kalau selama berabad-abad Illuminati sudah menyusup ke dalam berbagai organisasi kalangan atas di seluruh dunia. Kamu betul-betul yakin Vatikan itu bebas dari penyusupan kami?"
Yesus, kata Langdon dalam hati, jadi mereka mempunyai orang dalam. Bukan rahasia lagi kalau penyusupan merupakan ciri khas kekuatan Illuminati. Mereka menyusup ke dalam Kelompok Mason, jaringan perbankan besar, juga tubuh pemerintahan. Kenyataannya, Churchill pernah mengatakan kepada para wartawan kalau mata-mata Inggris bisa menyusup ke dalam Nazi seperti Illuminati menyusup ke dalam Parlemen Inggris, Perang Dunia II dapat selesai dalam waktu satu bulan saja.
"Betul-betul omong kosong," bentak Olivetti. "Pengaruhmu tidak mungkin meluas sejauh itu."
"Mengapa tidak? Karena Garda Swiss kalian begitu tangkasnya? Karena mereka menjaga setiap sudut dunia kecilmu itu? Bagaimana dengan Garda Swiss sendiri? Apakah mereka bukan manusia? Apakah kamu benar-benar yakin kalau mereka mau mempertaruhkan hidup mereka hanya untuk sebuah dongeng tentang seorang lelaki yang dapat berjalan di atas air? Tanyakan pada diri kalian sendiri bagaimana tabung itu bisa memasuki kota kalian. Atau bagaimana empat dari harta kalian yang paling berharga dapat menghilang siang ini?"
"Harta kami?" bentak Olivetti. "Apa maksudmu?"
"Satu, dua, tiga, empat. Kalian belum kehilangan mereka sekarang?"
"Apa maksud kalian--" Tiba-tiba Olivetti berhenti. Matanya terbelalak seolah perutnya baru saja ditinju.
"Pada saat matahari menyingsing," kata penelepon itu. "Bolehkah aku membacakan nama-nama mereka?"
"Ada apa ini?" tanya sang camerlengo yang tampak bingung.
Penelepon itu tertawa. "Jadi satuan pengamananmu itu belum memberimu penjelasan tentang hal ini? Memalukan sekali. Tidak mengherankan. Kesombongan yang hebat. Aku membayangkan betapa malunya untuk mengatakan kebenaran ... dia sudah bersumpah untuk menjaga keempat kardinal yang tampaknya telah menghilang ...."
Olivetti meledak. "Darimana kamu mendapatkan informasi itu?"
"Sang camerlengo" penelepon itu berkata dengan riang, "coba tanyakan komandanmu itu, apakah semua kardinal kalian sudah lengkap berkumpul di Kapel Sistina."
Sang camerlengo berpaling pada Olivetti, mata hijaunya meminta penjelasan.
"Signore," bisik Olivetti di telinga sang camerlengo. "Memang benar ada empat kardinal kita yang belum melaporkan diri mereka di Kapel Sistina, tetapi tidak perlu khawatir. Mereka semua sudah mendaftarkan diri mereka di tempat penginapan pagi ini, jadi kami tahu kalau mereka semua berada di dalam Vatican City dengan aman. Anda sendiri sudah minum teh bersama mereka beberapa jam yang lalu. Keempat orang itu hanya terlambat menghadiri acara ramah-tamah sebelum rapat pemilih paus dimulai. Kami sudah mencari mereka, tapi kami yakin mereka hanya lupa waktu dan masih menikmati suasana kota ini."
"Menikmati suasana kota ini?" ketenangan sudah tidak terdengar lagi dalam suara sang camerlengo. "Mereka harus berada di kapel itu satu jam yang lalu!"
Langdon menatap Vittoria dengan tatapan keheranan. Kardinal-kardinal yang menghilang? Jadi para pengawal itu tadi sedang mencari mereka di bawah?
"Kalian akan memercayaiku kalau aku membacakan nama nama mereka," kata penelepon itu lagi. "Kardinal Lamasse dari Paris, Kardinal Guidera dari Barcelona, Kardinal Ebner dan Frankfurt ...."
Olivetti tampak semakin menciut tiap kali nama-nama itu dibacakan.
Penelepon itu berhenti sebentar, seolah dia sedang menikmati kesenangan tersendiri saat menyebutkan nama terakhir. "Dan dari Italia ... Kardinal Baggia."
Tubuh sang camerlengo langsung lesu seperti sebuah kapal layar besar yang mati angin. Pakaiannya menggelembung ketika dia terduduk di atas kursinya. "I prefereti," bisiknya. "Keempat kardinal yang diunggulkan ... termasuk Baggia ... yang paling tepat untuk diangkat sebagai Supreme Pontiff, Paus yang Agung ... bagaimana ini bisa terjadi?"
Langdon pernah membaca tentang pemilihan paus modern sehingga dia mengerti ketika menatap wajah sang camerlengo yang putus asa. Walau secara teknis setiap kardinal yang berusia di bawah delapan puluh tahun dapat menjadi paus, tapi hanya sedikit saja di antara mereka yang bisa mendapat dukungan dua pertiga dari mayoritas suara dalam pemilihan itu. Orang-orang yang dijagokan dikenal sebagai para preferiti. Dan mereka semua kini telah menghilang.
Keringat menetes di dahi sang camerlengo. "Apa yang akan kamu lakukan pada mereka?"
"Menurutmu apa yang akan kulakukan? Aku adalah keturunan Hassassin."
Langdon merasa menggigil. Dia mengenal nama itu dengan baik. Gereja berhasil menciptakan beberapa musuh berbahaya selama bertahun-tahun, seperti kelompok Hassassin, Knight Templar, sekelompok serdadu yang diburu atau dikhianati oleh gereja.
"Biarkan kardinal-kardinal itu bebas," kata sang camerlengo. Apakah mengancam ingin menghancurkan Kota Tuhan saja tidak cukup?"
"Lupakan keempat kardinalmu itu. Kamu, toh masih punya banyak. Pastikan bahwa kematian mereka akan diingat oleh jutaan orang. Itu adalah impian setiap martir, bukan? Aku akan membuat mereka menjadi pencerah media. Satu per satu. Pada tengah malam, Illuminati akan mendapatkan perhatian semua orang. Mengapa harus mengubah dunia kalau dunia tidak memerhatimu. Pembunuhan di depan umum akan membuat masyarakat sangat ketakutan, bukan? Kalian telah membuktikannya sejak lama pengadilan itu, penyiksaan yang dilakukan terhadap kelompok Knight Templar dan tentara salib." Dia berhenti sejenak, la]u "Dan tentu saja la purga."
Sang camerlengo terdiam.
"Jadi kalian tidak ingat la purga?' tanya penelepon itu. "Tentu saja tidak, kalian masih anak-anak. Para pastor adalah ahli sejarah yang payah. Mungkin karena sejarah itu mempermalukan mereka?'"
"La purga" Langdon mendengar dirinya berbicara. "Tahun 1668. Gereja mencap empat orang ilmuwan Illuminati dengan simbol salib untuk membersihkan dosa mereka."
"Suara siapa itu?" tanya si penelepon. Dia lebih terdengar seperti tertarik daripada prihatin. "Ada siapa lagi di sana?"
Langdon merasa gemetar. "Namaku tidak penting," katanya sambil mencoba untuk menenangkan suaranya. Berbicara dengan anggota Illuminati yang masih hidup seperti berbicara dengan George Washington. "Aku seorang akademisi yang mempelajari sejarah persaudaraanmu."
"Bagus," sahut suara itu. "Aku senang masih ada orang yang ingat berbagai peristiwa kejahatan yang dilakukan kepada kami."
"Kami, para ilmuwan, mengira kalian telah mati."
"Sebuah pemikiran yang salah. Persaudaraan kami sudah bekerja keras untuk bertahan hidup. Apa lagi yang kamu ketahui tentang la purga?
Langdon ragu-ragu. Apa lagi yang kutahu? Semuanya ini adalah kegilaan, itu yang kutahu! "Setelah dicap, para ilmuwan itu dibunuh, dan mayat mereka di lempar ke tempat-tempat umum di sekitar Roma sebagai peringatan bagi para ilmuwan lainnya agar tidak bergabung dengan Illuminati."
"Ya. Maka kami akan melakukan hal yang sama. Quid pro quo. Anggap saja sebagai retribusi simbolis bagi saudara -saudara kami yang kalian penggal. Keempat kardinal kalian akan mati, satu orang setiap jam, dan akan dimulai pada pukul delapan. Pada tengah malam seluruh dunia akan terpesona."
Langdon bergerak mendekati telepon itu. "Kamu benar-benar bermaksud untuk mencap dan membunuh mereka?"
"Sejarah berulang sendiri, bukan? Tentu saja, cara kami lebih elegan dan lebih terus terang daripada gereja. Mereka membunuh ilmuwan itu satu per satu dan membuang mayat mereka ketika tidak ada orang yang melihat. Pengecut sekali."
"Apa maksudmu?" tanya Langdon. "Kamu akan mencap tubuh mereka dan membunuh mereka di depan umum?"
"Tepat. Walau itu tergantung pada pengertianmu terhadap kata umum itu sendiri. Aku tahu kalau sekarang sudah tidak banyak orang pergi ke gereja."
Langdon merasa heran. "Kamu akan membunuh mereka di dalam gereja?"
"Satu tindakan kebaikan. Memudahkan Tuhan untuk mengirim arwah mereka ke surga dengan lebih cepat. Sepertinya itu yang terbaik buat mereka. Tentu saja, dapat kubayangkan kalau pers juga akan menyukainya."
"Kamu membual," kata Olivetti, suaranya kembali terdengar dingin. "Kamu tidak bisa membunuh seseorang di gereja dan berharap bisa lolos begitu saja."
"Membual? Kami bergerak di antara Garda Swiss-mu seperti hantu, memindahkan empat kardinalmu dari dalam dinding dindingmu tanpa sepengetahuanmu, menanam peledak mematikan di jantung tempat tersuci kalian, dan kamu sekarang mengatakan kalau aku membual? Begitu pembunuhan itu terjadi dan para korban ditemukan, media akan berkerumun. Pada tengah malam, dunia akan tahu alasan Illuminati melakukan itu."
"Dan kalau aku menempatkan penjaga pada setiap gereja?" tanya Olivetti.
Penelepon itu tertawa. "Kupikir agamamu yang sudah menyebar dengan luas itu akan membuat usahamu menjadi sebuah tugas yang berat, Komandan. Apakah kamu tidak bisa menghitung? Roma ada lebih dari empat ratus gereja Katolik. Katedral, Kapel, tabernakel, biara, asrama pendeta, sekolah paroki ...."
Wajah Olivetti tetap keras.
"Akan dimulai sembilan puluh menit lagi," kata penelepon itu dengan nada seperti akan mengakhiri pembicaraannya. "Satu orang kardinal dalam setiap jamnya. Deret matematika tentang kematian. Sekarang aku harus pergi."
"Tunggu!" pinta Langdon. "Katakan padaku tentang cap yang akan kamu berikan kepada orang-orang itu."
Pembunuh itu terdengar senang. "Kukira kamu sudah tahu cap yang mana. Atau kamu ragu? Kamu akan segera melihatnya. Bukti bahwa legenda kuno itu benar."
Langdon merasa pusing. Dia tahu pasti apa yang dimaksud lelaki itu. Langdon membayangkan cap di atas dada Leonardo Vetra. Dongeng rakyat tentang Illuminati menyebutkan jumlah cap itu ada lima. Mereka masih mempunyai empat cap lagi, pikir Langdon, dan empat orang kardinal yang hilang.
"Aku disumpah," kata sang camerlengo, "untuk mengangkat paus yang baru malam ini. Disumpah oleh Tuhan."
"Sang camerlengo" kata penelepon itu, "dunia tidak memerlukan paus baru. Setelah tengah malam nanti, dia tidak akan memiliki apa pun untuk dipimpin kecuali reruntuhan. Gereja Katolik sudah berakhir. Kekuasaanmu di bumi ini sudah selesai."
Lalu dia terdiam.
Sang camerlengo tampak benar-benar sedih. "Kalian keliru. Gereja lebih dari sekadar adukan semen dan batu. Kalian tidak dapat menghapuskan kepercayaan yang sudah berusia dua ribu tahun ... kepercayaan apa pun itu. Kalian tidak bisa meremukkan kepercayaan hanya dengan menghancurkan rumah peribadatan begitu saja. Gereja Katolik akan berlanjut dengan atau tanpa Vatican City."
"Sebuah kebohongan besar. Tetapi tetap saja sebuah kebohongan. Kita berdua tahu yang sebenarnya. Katakan padaku, mengapa Vatican City dipagari seperti benteng?"
"Hamba Tuhan hidup dalam dunia yang berbahaya," jawab sang camerlengo.
"Berapa usiamu, camerlengo? Vatikan seperti sebuah benteng. Gereja Katolik menyimpan separuh dari hartanya di balik benteng itu. lukisan-lukisan langka, patung-patung, perhiasan tak ternilai, buku-buku berharga ... lalu masih ada emas yang sangat banyak dan surat-surat tanah di dalam bank Vatican City. Orang dalam memperkirakan nilai dari Vatican City adalah 48,5 milyar. Kalian benar-benar duduk di atas tambang emas. Besok semua itu akan menjadi debu. Kalian akan bangkrut. Orang tidak akan mau bekerja tanpa mendapatkan upah."
Kebenaran dari pernyataan itu tercermin pada wajah Olivetti. Sementara itu sang camerlengo tampak sangat terguncang. Langdon tidak yakin yang mana yang lebih hebat, bahwa Gereja Katolik memiliki uang seperti itu atau pengetahuan si Illuminati tentang hal itu.
Sang camerlengo mendesah berat. "Keyakinan, bukan uang, yang menjadi tulang punggung gereja ini."
"Kebohongan lagi," kata penelepon itu. "Tahun lalu kalian mengeluarkan 183 milyar dolar untuk mendukung keuskupan yang sedang sekarat di seluruh dunia. Jumlah jemaat yang menghadiri misa turun 46 persen dalam sepuluh tahun terakhir ini. Donasi hanya didapatkan separuh dari yang kalian dapatkan tujuh tahun yang lalu. Semakin sedikit orang yang memasuki seminari. Walau kamu tidak mau mengakuinya, semua orang tahu kalau gerejamu itu sedang sekarat sekarang. Anggap ini sebagai kesempatan untuk menghilang oleh satu ledakan saja."
Olivetti melangkah ke depan. Dia tampak sudah tidak terlalu brangasan sekarang, seolah sudah merasakan kenyataan di depannya. Dia tampak seperti seseorang yang sedang mencari jalan keluar. Jalan keluar apa saja. "Bagaimana kalau sebagian dari emas kami berikan sebagai dana untuk mencapai tujuanmu?"
"Jangan menghina kita berdua."
"Kami punya uang."
"Kami juga. Lebih dari yang dapat kalian bayangkan."
Langdon ingat pada kekayaan Illuminati, kekayaan yang didapat dari ahli pemahat batu Bavaria, keluarga Rothschild keluarga Bilderbergens, dan Berlian Illuminati yang legendaris itu.
"I perferiti" kata sang camerlengo, berusaha merubah topik Suaranya terdengar memohon. "Bebaskan mereka. Mereka sudah tua. Mereka--"
"Mereka hanyalah korban yang masih perjaka." Penelepon lalu itu tertawa. "Katakan padaku, apakah mereka benar-benar masih perjaka? Apakah domba-domba kecil itu akan mengembik saat meregang nyawa? Sacrifici vergini nell' altare di scienza."
Sang camerlengo terdiam, lama. "Mereka orang-orang yang beriman," akhirnya dia berkata. "Mereka tidak takut mati."
Penelepon itu mendengus. "Leonardo Vetra juga orang yang beriman, tapi aku melihat ketakutan di dalam matanya tadi malam. Sebuah ketakutan yang sudah berhasil aku hapuskan."
Vittoria yang sejak tadi diam, kini tiba-tiba berbicara. Tubuhnya tegang karena kebencian. "Asino! Dia ayahku!"
Tawa terbahak menggema dari speaker itu. "Ayahmu? Apa ini? Vetra punya anak perempuan? Kamu harus tahu kalau ayahmu merengek seperti anak kecil saat akan mati. Kasihan sekali. Lelaki malang."
Vittoria limbung seolah baru saja dipukul ke belakang oleh kata-kata itu. Langdon berusaha meraihnya, tapi Vittoria sudah dapat menguasai diri dan menatap tajam ke arah telepon. "Aku bersumpah, sebelum malam ini berakhir, aku akan menemukanmu." Suara Vittoria tajam seperti sinar laser. "Dan ketika aku menemukanmu ...."
Penelepon itu tertawa serak. "Seorang perempuan yang penuh semangat. Aku suka itu. Mungkin sebelum malam ini berakhir, aku yang akan menemukanmu. Dan ketika aku menemukanmu..."
Kata-kata itu dibiarkan menggantung. Sang penelepon kemudian berlalu.
42
ARDINAL MORTATI SEKARANG berkeringat dalam jubah hitamya. Tidak saja karena Kapel Sistina mulai terasa seperti sauna, tetapi juga karena rapat pemilihan paus akan dimulai dua puluh menit lagi. Sementara itu, masih belum ada berita mengenai keberadaan keempat kardinal yang hilang. Ketidak hadiran mereka membuat bisik-bisik kebingungan yang pada awalnya terjadi, kini berubah menjadi kecemasan yang terucapkan.
Mortati tidak dapat membayangkan ke mana keempat orang itu berada. Bersama sang camerlengo, mungkin? Dia tahu sang camerlengo telah mengadakan acara minum teh pribadi untuk menyambut keempat preferiti itu sore ini, tetapi acara tersebut sudah berlangsung beberapa jam yang lalu. Apakah mereka sakit? Karena makanan yang mereka makan? Mortati meragukannya. Walau sedang sekarat sekalipun sang preferiti akan tetap berusaha untuk datang ke sini. Ini adalah peristiwa sekali seumur hidup, sehingga tidak pernah ada seorang kardinal yang memiliki kesempatan untuk dipilih sebagai paus, mangkir dari rapat ini. Selain itu, Hukum Vatikan mengharuskan para kardinal untuk berada di dalam Kapel Sistina selama pemilihan itu berlangsung. Kalau tidak, calon itu akan dianggap gugur.
Walau ada empat preferiti, beberapa kardinal lainnya menerka-nerka apakah ada calon lain yang akan menjadi paus selanjutnya. Lima belas hari terakhir terjadi aliran faks dan sambungan telepon yang luar biasa banyak yang mendiskusikan beberapa calon erpotensi. Seperti biasanya, empat nama telah terpilih sebagai preferiti, dan mereka masing-masing memenuhi persyaratan tidak resmi untuk menjadi calon paus.
Menguasai berbagai bahasa, Italia, Spanyol, dan Inggris. Tidak pernah punya skandal. Berusia antara 65 hingga 80 tahun.
Seperti biasanya, salah satu dari empat preferiti itu ada yang lebih difavoritkan dari ketiga calon lainnya untuk meraih suara terbanyak dari Dewan Kardinal. Malam ini, orang itu adalah Kardinal Aldo Baggia dari Milan. Catatan pelayanan Baggia yang tak ternoda, digabungkan dengan kemampuan berbahasa yang tidak ada bandingannya, serta kemampuannya untuk mengkomunikasikan inti dari spiritualitas, telah membuatnya menjadi unggulan yang dijagokan.
Jadi, di mana Kardinal Baggia berada? Mortati bertanya-tanya.
Karena tugas mengawasi jalannya rapat pemilihan paus jatuh pada dirinya, Mortati betul-betul bingung dengan menghilangnya empat orang kardinal itu. Seminggu yang lalu, Dewan Kardinal telah memilih Mortati untuk menjadi The Great Elector--master of ceremony pertemuan ini dengan suara bulat. Walaupun sang camerlengo adalah pegawai tinggi gereja, dia hanyalah seorang pastor dan memiliki pengetahuan yang terbatas tentang proses pemilihan yang rumit. Karena itulah satu orang kardinal diseleksi untuk mengawasi pemilihan itu dari dalam Kapel Sistina.
Para kardinal sering bergurau, terpilih menjadi The Great Elector adalah kehormatan yang kejam di dalam dunia Kristen Katolik. Penunjukan itu membuat orang tersebut tidak dapat dipilih menjadi calon paus selama pemilihan itu berlangsung. Jabatan itu juga membuat orang tersebut harus menghabiskan waktu berhari-hari sebelum acara itu diadakan untuk membaca berlembar-lembar Universi Dominici Gregis agar memahami seluk beluk misteri ritual yang diadakan dalam rapat pemilihan paus sehingga dapat memastikan acara itu terlaksana dengan semestinya.
Walau demikian, Mortati tidak mengeluh. Dia tahu dia terpilih karena alasan yang masuk akal. Bukan hanya karena dia adalah kardinal senior, tetapi dia juga orang kepercayaan mendiang Paus. Itu merupakan satu fakta yang mengangkat harga dirinya. Walau secara teknis usia Mortati memungkinkannya untuk dipilih dia agak terlalu tua untuk menjadi calon serius. Pada usianya yang ke-79 tahun, dia sudah bekerja begitu keras sehingga Dewan Kardinal meragukan kesehatannya untuk mampu menjalankan tugas kepausan yang berat. Seorang paus biasanya bekerja empat belas jam sehari, tujuh hari seminggu, dan meninggal karena terlalu letih setelah rata-rata bertugas selama 6,3 tahun. Lelucon kalangan dalam mengatakan, menjadi paus adalah "jalan tercepat menuju surga bagi seorang kardinal."
Banyak orang percaya, Mortati dapat saja menjadi paus ketika dia masih muda kalau saja dia tidak terlalu berpandangan terbuka. Kalau seseorang berniat ingin menjadi paus, ada sebuah Trinitas Suci yang harus dimiliki calon tersebut, yaitu Konservatif, Konservatif, dan Konservatif.
Anehnya Mortati merasa senang ketika melihat mendiang Paus ternyata membuka dirinya sendiri sebagai orang yang liberal ketika menjabat. Mungkin mendiang Paus merasa dunia modern berjalan menjauhi gereja sehingga dirinya memperlunak posisi gereja pada ilmu pengetahuan, bahkan mendermakan uang untuk tujuan ilmu pengetahuan tertentu. Celakanya, gagasan itu adalah bunuh diri politik. Kalangan Katolik konservatif menganggap Paus sudah 'pikun', sementara kalangan ilmuwan puritan menuduhnya mencoba menyebarkan pengaruh gereja di tempat yang tidak semestinya.
"Jadi, di mana mereka?"
Mortati berpaling.
Salah seorang kardinal menepuk bahunya dengan gugup. "Kamu tahu di mana mereka, bukan?"
Mortati mencoba untuk tidak terlalu memperlihatkan kekhawatirannya. "Mungkin masih bersama sang camerlengo.''
Pada jam seperti ini? Aneh sekali!" Kardinal itu mengerutkan keningnya tidak percaya. "Mungkin sang camerlengo lupa waktu?"
Mortati sungguh merasakan haI itu, tetapi dia tidak mengatakan apa apa. Dia sangat tahu kalau Para Cardinal tidak terlalu suka pada sang camerlengo. Hal itu disebabkan karena usia sang camerlengo terlalu muda untuk melayani Paus dengan begitu dekatnya. Mortati menduga kebencian kebanyakan kardinal itu hanyalah wujud kecemburuan mereka. Sesungguhnya Mortati mengagumi anak muda itu dan diam-diam mendukung pilihan mendiang Paus yang menjadikannya sebagai Kepala Rumah Tangga Kepausan. Mortati hanya melihat kepastian ketika dia melihat mata sang camerlengo. Tidak seperti sebagian besar para kardinal sang camerlengo mendahulukan gereja dan keyakinan di atas politik sepele seperti itu. Sang camerlengo betul-betul seorang hamba Tuhan yang baik.
Dari keseluruhan masa jabatannya, pengabdian sang camerlengo yang setia itu sudah legendaris. Banyak orang menghubungkan hal itu dengan kejadian-kejadian ajaib ketika dia masih kecil kejadian yang telah meninggalkan kesan abadi di hati setiap orang. Kemukjizatan dan keajaiban, kata Mortati dalam hati. Dia sering berharap masa kanak-kanaknya memiliki perisitiwa yang dapat membantu mengembangkan keyakinannya yang teguh.
Sayangnya, sang camerlengo tidak akan pernah mau menjadi paus di hari tuanya. Mortati tahu itu. Mencapai posisi kepausan memerlukan sejumlah ambisi politik tertentu, sesuatu yang tampaknya tidak dimiliki oleh sang camerlengo muda itu. Dia bahkan beberapa kali menolak tawaran Paus yang ingin mengangkatnya sebagai pegawai yang lebih tinggi. Dia selalu berkata dirinya lebih suka melayani gereja sebagai orang biasa.
"Lalu bagaimana ini?" Kardinal yang tadi menepuk bahu Mortati menunggu jawaban.
Mortati mendongak, "Maaf?"
"Mereka terlambat! Apa yang harus kita lakukan?"
"Apa yang dapat kita lakukan?" jawab Mortati dengan pertanyaan lagi. "Kita tunggu saja. Dan percayalah."
Karena tidak puas dengan jawaban Mortati, kardinal itu kembali lagi ke bagian ruangan yang gelap.
Mortati berdiri sesaat, mengusap pelipisnya dan mencoba untuk menjernihkan pikirannya. Memangnya, apa yang dapat kita lakukan? Dia kemudian menatap altar, lalu memandang ke atas, ke arah lukisan dinding Michelangelo berjudul "Pengadilan Terakhir" yang terkenal itu. Lukisan itu sama sekali tidak menekan kecemasannya. Lukisan setinggi lima puluh kaki terlihat menakutkan; gambaran Yesus Kristus yang sedang memisahkan orang-orang yang baik dan yang berdosa, lalu memasukkan para pendosa itu ke dalam neraka. Ada daging yang dikuliti dan tubuh yang terbakar. Bahkan salah seorang saingan Michelangelo dilukis duduk di neraka dengan telinga keledai.
Guv de Maupassant pernah menulis kalau lukisan tersebut terlihat seperti gambar yang bisa ditemukan di stan gulat yang terdapat di karnaval dan dibuat oleh seorang pengangkut arang yang bodoh.
Entah kenapa Kardinal Mortati merasa harus menyetujui pendapat Maupassant tersebut.
43
LANGDON BERDIRI MEMATUNG di depan jendela antipeluru dan melihat ke bawah, ke arah truk-truk pers di Lapangan Santo Petrus. Percakapan telepon yang menakutkan itu telah membuatnya merasa tidak nyaman. Ternyata dia tidak sendirian.
Kelompok Illuminati, seperti hantu dari kedalaman sejarah yang terlupakan, kini telah muncul dan menampakkan dirinya di hadapan musuh bebuyutan mereka. Tidak ada tuntutan. Tidak ada negosiasi. Hanya balas dendam. Sangat sederhana. Sebuah aksi balas dendam yang sudah ditunggu-tunggu selama 400 tahun. Tampaknya setelah berabad-abad teraniaya, akhirnya keiompok itu ingin unjuk gigi.
Sang camerlengo berdiri di samping mejanya, memandang telepon itu dengan tatapan kosong. Olivetti-lah yang pertama memecah keheningan. "Carlo," panggilnya dengan menggunakan nama kecil sang camerlengo sehingga terdengar lebih seperti kawan lama daripada seorang petugas. "Selama 26 tahun, aku bersumpah untuk melindungi lembaga ini. Tapi sepertinya malam ini aku sudah dipermalukan."
Sang camerlengo menggelengkan kepalanya. "Kamu dan aku melayani Tuhan dengan kapasitas yang berbeda. Pelayanan selalu membawa kehormatan."
"Peristiwa ini ... aku tidak dapat membayangkan bagaimana ... situasi ini ..." Olivetti tampak sudah kehilangan kata-kata.
"Kamu tahu kalau kita hanya memiliki satu jalan keluar. Aku mempunyai tanggung jawab atas keamanan Dewan Kardinal."
"Sepertinya, tanggung jawab itu ada padaku, signore."
"Kalau begitu, anak buahmu harus mengawasi jalannya evakuasi."
"Signore?"
"Pilihan lainnya bisa dipikirkan nanti--pencarian benda itu, pencarian kardinal-kardinal yang hilang dan penculiknya. Tetapi pertama-tama para kardinal di Kapel Sistina harus dibawa ke tempat yang aman. Keselamatan manusia berada di atas segalanya. Orang-orang ini adalah dasar kekuatan gereja ini."
"Maksud Anda kita harus menunda rapat pemilihan paus?"
"Apa aku punya pilihan lain?"
"Bagaimana dengan kewajibanmu untuk mengangkat paus yang baru?"
Kepala Urusan Rumah Tangga Kepausan yang berusia muda itu mendesah dan berpaling ke jendela. Matanya memandang ke arah kota Roma yang membentang di bawannya. "Yang Muha Mendiang Paus pernah mengatakan kepadaku kalau paus adalah manusia yang terbagi di antara dua dunia ... dunia nyata dan ketuhanan. Dia memperingatkan, gereja yang mengabaikan dunia nyata tidak akan bisa menikmati dunia ketuhanan." Tiba -tiba suaranya terdengar bijaksana walau dia masih muda. "Dunia nyata berada di hadapan kita malam ini. Kita akan kalah kalau mengabaikannya. Kebanggaan dan teladan tidak boleh menghalangi nalar dan logika."
Olivetti mengangguk, wajahnya tampak terkesan. "Maaf kalau aku pernah memandang remeh dirimu, signore."
Sane camerlengo tampaknya tidak mendengar. Tatapannya jauh ke depan jendela.
"Aku akan berbicara secara terbuka, signore. Dunia nyata adalah duniaku. Aku membenamkan diriku ke dalam keburukan setiap hari agar orang lain bisa mencari sesuatu yang lebih murni. Biarkan aku menasihatimu dalam situasi sekarang ini. Aku terlatih untuk mengatasi ini. Instingmu yang sangat berharga itu ... malah dapat mendatangkan petaka."
Sang camerlengo menoleh.
Olivetti mendesah. "Evakuasi Dewan Kardinal dari Kapel Sistina adalah kemungkinan terburuk yang dapat kamu lakukan sekarang."
Sang camerlengo tidak tampak marah, dia hanya bingung. "Apa usulmu?"
"Jangan katakan apa-apa kepada para kardinal. Kunci ruang pertemuan. Hal itu akan memberi kita waktu untuk mencoba pilihan lainnya."
Sang camerlengo tampak bingung. "Kamu mengusulkan agar aku mengurung seluruh anggota Dewan Kardinal di atas sebuah bom waktu?"
"Ya, signore. Mulai sekarang. Nanti, kalau diperlukan, kita dapat mengatur evakuasi itu."
Sang camerlengo menggelengkan kepalanya. "Menunda upacara itu sebelum dimulai akan menimbulkan banyak pertanyaan, tetapi setelah pintu dikunci tidak ada yang boleh mengganggu. Prosedur rapat mengharuskan--"
"Dunia nyata, signore. Kamu berada di dalam dunia nyata malam ini. Dengarkan baik-baik." Olivetti sekarang berbicara dengan kecepatan khas seorang petugas lapangan. "Menggiring kardinal dalam keadaan tidak siap dan tidak terlindung ke Roma adalah tindakan yang gegabah. Akan menimbulkan kebingungan dan kepanikan bagi beberapa orang tua itu. Dan terus terang saja, satu serangan stroke fatal sudah cukup untuk bulan ini.
Satu serangan stroke fatal. Kata-kata komandan itu mengingatkan Langdon pada berita utama yang dibacanya ketika makan malam dengan beberapa mahasiswanya di Harvard Commons: PAUS MENGALAMI STROKE. MENINGGAL DALAM TIDUR-NYA.
"Terlebih lagi," kata Olivetti, "Kapel Sistina adalah sebuah benteng. Walau kita tidak mengungkapkan kenyataan tersebut struktur bangunan itu sangat kuat dan dapat menangkal segala serangan seperti serangan bom. Sebagai persiapan, kami sudah memeriksa setiap inci kapel itu siang ini, mencari alat penyadap dan perlengkapan pengintaian lainnya. Kapel itu bersih, seperti surga yang aman, dan aku percaya antimateri itu tidak berada di dalam. Tidak ada tempat yang lebih aman dari tempat itu bagi para kardinal. Kita selalu dapat membicarakan evakuasi darurat nanti, kalau sudah waktunya."
Langdon terkesan. Logika Olivetti yang dingin dan pandai mengingatkannya pada Kohler.
"Komandan," kata Vittoria, suaranya terdengar tegang, "ada yang harus diperhatikan lagi. Tidak seorang pun pernah menciptakan antimateri sebesar ini. Tentang radius ledakannya, aku hanya dapat memperkirakannya. Beberapa tempat di sekitar Roma mungkin juga berada dalam bahaya. Jika tabung itu berada di salah satu gedung utama atau di bawah tanah, efek ledakan di luar dinding Vatican City mungkin saja minimal, tetapi kalau tabung itu berada di dekat pagar perbatasan ... di dalam gedung ini misalnya ...." Vittoria mengerling waspada ke luar jendela ke arah kerumunan di Lapangan Santo Petrus.
"Aku sangat tahu akan kewajibanku pada dunia luar," sahut Olivetti, "dan hal itu membuat situasi ini menjadi tidak terlalu parah. Keamanan tempat suci ini adalah satu-satunya tujuan saya selama lebih dari dua dekade. Aku tidak berniat membiarkan bom itu meledak."
Camerlengo Ventresca menatapnya. "Kamu pikir, kamu dapat menemukannya?"
"Biarkan aku membicarakannya beberapa pilihan yang kita miliki dengan beberapa ahli pengintaian. Ada satu kemungkinan, kalau kita mematikan listrik di Vatican City, kita dapat mengurangi latar belakang frekuensi radio sehingga menciptakan lingkungan cukup bersih agar kita dapat melacak medan magnet tabung tersebut.
Vittoria tampak terkejut, lalu wajahnya terlihat terkesan.
"Kamu akan memadamkan listrik di Vatican City?"
"Mungkin saja. Aku belum tahu apakah itu mungkin, tetapi itu adalah satu pilihan yang ingin aku jelajahi."
"Para kardinal tentu akan bertanya-tanya apa yang terjadi," kata Vittoria.
Olivetti menggelengkan kepalanya. "Rapat pemilihan paus dilaksanakan dalam penerangan lilin. Para kardinal tidak akan tahu. Setelah ruang rapat di kunci, aku dapat menarik semua anak buahku, kecuali beberapa orang yang tetap tinggal di sana dan kita bisa mulai mencari. Seratus orang dapat menyisir tempat yang cukup luas dalam lima jam."
"Empat jam," Vittoria meralat. "Aku harus menerbangkan tabung itu kembali ke CERN. Ledakan tidak dapat dihindari kecuali kalau kita mengisi kembali baterenya."
"Tidak bisa diisi ulang di sini?"
Vittoria menggelengkan kepalanya. "Bagian dalamnya rumit. Aku harus membawanya kembali kalau bisa."
Empat jam, kalau begitu," kata Olivetti, sambil mengerutkan keningnya. "Masih ada waktu. Panik tidak ada gunanya. Signore, kamu punya waktu sepuluh menit. Pergilah ke kapel dan kunci ruang rapatnya. Berikan waktu kepada anak buahku untuk melakukan pekerjaannya. Begitu kita mendekati jam kritis, kita akan membuat keputusan yang kritis juga."
Langdon bertanya-tanya, seberapa dekat mereka dengan "jam kritis" yang dimaksud oleh Olivetti.
Sang camerlengo tampak risau. "Tetapi para kardinal akan menanyakan keberadaan para preferiti ... terutama Baggia ... di mana mereka."
"Kalau begitu kamu harus memikirkan alasan, signore. Katakan saja kepada mereka kalau tadi kamu menyuguhkan sesuatu saat minum teh, sesuatu yang tidak cocok dengan perut mereka."
Sang camerlengo tampak gusar. "Berdiri di altar Kapel Sistina dan berbohong di hadapan Dewan Kardinal?"
"Demi keamanan mereka sendiri Una bugia veniale. Kebohongan dengan maksud baik. Tugasmu hanyalah menjaga kedamaian." Lalu Olivetti beranjak ke pintu. "Sekarang, izinkan aku pergi. Aku akan mulai bekerja."
"Komandan," sang camerlengo mendesak. "Kita tidak boleh mengabaikan para kardinal yang hilang."
Olivetti berhenti di depan pintu. "Baggia dan yang lainnya sekarang berada di luar jangkauan kita. Kita harus merelakan mereka pergi ... demi kebaikan semuanya. Militer menyebut keadaan ini sebagai prioritas."
"Maksudmu pengabaian?"
Suara Olivetti mengeras. "Kalau saja ada jalan lain, signore ... cara lain untuk menemukan keempat kardinal itu, aku akan serahkan hidupku untuk melakukannya. Tapi ...." Dia menunjuk ke luar jendela, ke arah matahari sore yang mulai condong sehingga memberikan warna tersendiri di atap gedung-gedung di Roma. "Mencari seseorang di sebuah kota yang berpenduduk lima juta jiwa sudah di luar kemampuanku. Aku tidak ingin memboroskan waktu dengan melakukan pekerjaan yang sia-sia. Maafkan aku."
Tiba-tiba Vittoria berkata. "Tetapi kalau kita menangkap si pembunuh, dapatkah kamu membuatnya bicara?"
Olivetti mengerutkan keningnya sambil menatap Vittoria. "Serdadu tidak akan mampu menjadi seorang santo, Nona Vetra. Percayalah padaku. Aku bersimpati dengan keinginanmu untuk menangkap orang itu."
"Itu bukan saja masalah pribadi," sahut Vittoria. "Pembunuh itu tahu di mana antimateri itu berada ... dan juga para kardinal yang hilang. Kalau kita dapat menemukannya ...."
"Dan bermain dengan aturan mereka?" tanya Olivetti. "Percayalah padaku, memindahkan semua pengamanan dari Vatikan City untuk mengintai ratusan gereja adalah hal yang memang diharapkan oleh Illuminati ... membuang waktu berharga dan tenaga ketika seharusnya kita mencari hal yang lebih penting ... atau lebih buruk lagi, meninggalkan Bank Vatikan tidak terjaga sama sekali. Belum lagi kardinal yang masih berada di sini."
Alasan itu sangat tepat.
"Bagaimana dengan polisi Roma?" tanya sang camerlengo. "Kita dapat memperingatkan keadaan krisis ini pada kekuatan polisi di seluruh kota. Dan mendapatkan bantuan mereka untuk mencari penculik kardinal-kardinal itu."
"Kesalahan lagi," kata Olivetti. "Kamu tahu bagaimana pendapat Carabineri Roma tentang kami. Kita hanya akan mendapatkan pertolongan setengah hati dari beberapa orang polisi dan mereka akan menyebarkan berita ini kepada media. Tepat seperti yang dikehendaki musuh kita itu. Kita harus berhubungan dengan media pada waktu yang tepat."
Aku akan membuat para kardinalmu menjadi pencerah media, Langdon ingat apa yang dikatakan oleh si penelepon tadi.. Mayat kardinal pertama akan terlihat pada pukul delapan tepat. Kemudian satu orang dalam setiap jamnya. Media akan menyukainya.
Sang camerlengo berbicara lagi, ada nada kemarahan dalam suaranya. "Komandan, kita tidak bisa dengan sengaja membiarkan keempat kardinal itu dalam bahaya."
Olivetti menatap sangat tajam ke arah mata sang camerlengo. Doa Santo Franciscus, signore. Kamu ingat?"
Pastor muda itu mengucapkan satu baris doa dengan perasaan luka yang terdengar jelas dari suaranya. "Tuhan, beri aku kekuatan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah."
"Percayalah padaku," kata Olivetti. "Ini adalah salah satu dari hal-hal tersebut." Lalu dia pergi.
44
KANTOR PUSAT DARI BRITISH Broadcast Corporation (BBC) di London terletak tepat di sebelah barat Piccadilly Circus. Papan panel sambungan telepon berdering dan seorang redaktur junior mengangkatnya.
"BBC," perempuan itu berkata sambil mematikan rokok Dunhillnya.
Suara orang yang meneleponnya itu terdengar serak dan beraksen Timur Tengah. "Aku punya cerita hebat yang mungkin akan menarik bagi jaringanmu."
Sang redaktur mengeluarkan sebuah pena dan kertas. "Tentang? "
"Pemilihan paus."
Perempuan itu mengerutkan keningnya. BBC sudah menayangkan berita pendahuluan kemarin dan mendapatkan respon yang tidak terlalu besar. Masyarakat tampaknya sudah tidak terlalu berminat pada Vatikan City. "Sudut pandangnya apa?"
"Kamu memiliki reporter TV di Roma untuk meliput pemilihan itu?"
"Saya kira demikian."
"Aku harus berbicara dengannya langsung."
"Maaf, tetapi aku tidak dapat memberikan nomor teleponnya kecuali kamu memberikan beberapa informasi--"
"Ada ancaman bagi rapat pemilihan paus. Hanya itu yang dapat kukatakan padamu."
Sang redaktur mengambil catatan. "Namamu?"
"Namaku tidak penting."
Sang redaktur tidak heran. "Dan kamu punya bukti untuk pernyataanmu ini?"
"Ya."
"Biar aku catat informasi tersebut. Tetapi kamu harus tahu, kami memiliki kebijakan untuk tidak memberikankan nomor telepon wartawan kami, kecuali--"
"Aku mengerti. Aku akan menelepon jaringan lainnya. Terima kasih atas waktumu. Selamat--"
"Sebentar," kata sang redaktur. "Bisa tunggu sebentar?"
Sang redaktur menekan tombol tunggu dan menjulurkan lehernya. Seni memilah panggilan telepon yang tidak jelas adalah keahliannya. Tetapi penelepon ini telah berhasil melewati dua tes diam-diam yang dilakukan BBC untuk mengetahui keaslian sumber informasi tersebut. Penelepon itu menolak untuk memberikan namanya dan dia sangat ingin menutup teleponnya. Para penipu biasanya merengek dan memohon untuk didengarkan.
Untung bagi sang redaktur, para wartawan hidup dalam ketakutan abadi akan kehilangan berita besar sehingga mereka jarang menghukumnya karena sudah mendengarkan kata-kata orang gila. Membuang waktu seorang wartawan selama lima menit masih dapat dimaafkan. Kehilangan sebuah berita utama, itu baru dosa besar.
Sambil menguap, sang redaktur menatap layar komputernya dan mengetik kata kunci "Vatican City". Ketika dia melihat nama wartawan lapangan yang meliput pemilihan paus, dia tertawa sendiri. Wartawan itu adalah seseorang yang baru saja direkrut dari sebuah tabloid murahan di London untuk meliput berita biasa untuk BBC. Dewan redaksi jelas menempatkan lelaki itu di posisi pemula.
Mungkin lelaki itu sudah bosan menunggu sepanjang malam untuk melaporkan berita yang hanya berdurasi sepuluh menit. Ia sepertinya akan senang kalau boleh beristirahat dari keadaan yang membosankan itu.
Redaktur BBC tersebut mencatat nomor telepon wartawan yang bertugas di Vatican City. Kemudian, sambil menyalakan sebatang rokok lagi, dia memberikan nomor wartawan itu kepada si penepon gelap.
45
"INI TIDAK AKAN BERHASIL," kata Vittoria sambil berjalan hilir mudik di dalam Kantor Paus. Dia menatap sang camerlengo. "Walaupun satu regu Garda Swiss dapat menyaring gangguan elektronik yang ada, mereka harus betul-betul berada di atas tabung itu agar mereka dapat menangkap sinyal apa pun. Dan itu juga kalau tabung itu berada di tempat terbuka ... tidak ditutupi oleh penghalang apa pun. Bagaimana kalau tabung tersebut ditanam di dalam sebuah kotak metal di suatu tempat di bawah tanah? Atau di atas saluran ventilasi yang terbuat dari logam? Mereka tidak akan menemukannya. Dan bagaimana kalau Garda Swiss juga sudah disusupi? Siapa yang dapat memastikan kalau pencarian ini akan bersih?"
Sang camerlengo tampak letih. "Apa yang kamu usulkan, Nona Vetra?"
Vittoria merasa putus asa. Masih belum jelas juga?. "Saya mengusulkan agar Anda melakukan pencegahan lainnya dengan segera. Kita memang berharap pencarian yang dilakukan oleh Komandan Olivetti dan anak buahnya akan berhasil. Tapi selain itu, lihatlah ke luar jendela. Kamu lihat orang-orang itu? Gedung gedung di seberang piazza? Mobil-mobil media itu? Turis-turis. Mereka bisa saja terkena ledakan. Anda harus bertindak sekarang.
Sang camerlengo mengangguk tanpa ekspresi.
Vittoria merasa putus asa. Olivetti meyakinkan semua orang kalau mereka masih punya banyak waktu. Tetapi Vittoria tahu kalau keadaan genting yang sedang dihadapi Vatikan bocor ke masyarakat, seluruh kawasan itu dapat dipenuhi oleh orang-orang ingin rnenonton dalam waktu beberapa menit saja. Dia pernah melihat hal seperti itu di luar gedung Parlemen Swiss. Ketika ada penyanderaan dan melibatkan bom, ribuan orang berkumpul di luar gedung untuk menyaksikan akhir dari peristiwa itu. Walaupun polisi sudah memperingatkan mereka kalau itu berbahaya, kerumunan orang itu malah semakin mendekat. Tidak ada yang dapat menghalangi minat manusia terhadap tragedi manusia yang lainnya.
"Signore," desak Vittoria, "lelaki yang membunuh ayahku berada di luar sana, di suatu tempat. Saya ingin berlari keluar dari sini dan memburunya. Tetapi aku sekarang berdiri di dalam kantormu ... karena aku bertanggung jawab padamu. Padamu dan yang lainnya. Jiwa banyak orang dalam bahaya, signore. Kamu dengar aku?"
Sang camerlengo tidak menjawab.
Vittoria dapat mendengar suara jantungnya berdetak keras. Mengapa Garda Swiss tidak melacak penelepon sialan itu? Pembunuh Illuminati itu adalah kuncinya. Dia tahu di mana antimateri itu berada ... keparat, dia juga tahu di mana para kardinal itu berada. Tangkap pembunuh itu dan segalanya akan teratasi.
Vittoria merasa dirinya mulai menjadi tak terkendali. Sebuah perasaan tertekan yang aneh, yang samar-samar diingatnya ketika dia masih kecil, masa ketika berada di rumah yatim-piatu, mulai muncul; rasa frustrasi yang sulit diatasinya. Kamu punya cara untuk mengatasinya, kata Vittoria kepada dirinya sendiri, kamu selalu punya cara. Tetapi itu tidak ada gunanya. Pikirannya mulai mencekiknya. Dia adalah peneliti dan pemecah masalah. Tetapi ini adalah masalah tanpa pemecahan. Data apa yang kamu perlukan? Apa maumu? Dia menyuruh dirinya dirinya sambil menarik napas dalam. Tetapi untuk pertama kali dalam hidupnya, dia tidak dapat melakukannya. Dia seperti merasa tercekik.
Kepala Langdon sakit, dia merasa seperti sedang menyusuri tepian rasionalitas. Dia melihat Vittoria dan sang camerlengo, tetapi pandangannya kabur karena gambaran mengerikan: ledakan, kerumunan pers, kamera berputar, empat orang dicap.
Shaitan ... Lucifer ... Pembawa cahaya ... Setan ...
Dia mengusir bayangan-bayangan kejam itu dari benaknya Terorisme yang penuh perhitungan, dia mengingatkan dirinya sambil mengingat sebuah realitas. Kerusuhan terencana. Dia ingat seminar Radcliffe yang pernah dihadirinya ketika meneliti simbolisme praetor, tukang pukul pada zaman Romawi Kuno. Sejak saat itu, dia tidak lagi memandang teroris dengan cara yang sama.
"Terorisme," kata dosen yang memberikan ceramah, "memiliki satu tujuan. Apa itu?"
"Membunuh orang yang tidak berdosa?" seorang mahasiswa mencoba menjawab.
"Tidak benar. Kematian hanyalah hasil sampingan dari terorisme."
"Pameran kekuatan?"
"Bukan."
"Menghasilkan teror?"
"Tepat sekali. Tujuan terorisme sangat sederhana; menciptakan teror dan ketakutan. Ketakutan merusak keyakinan diri seseorang. Teroris memperlemah musuh dari dalam ... menyebabkan ketidaktenteraman dalam masyarakat. Catat ini. Terorisme bukanlah ungkapan kemarahan. Terorisme adalah senjata politik menunjukkan ketidakmampuan pemerintah, dan keyakinan masyarakat pun sirna.
Hilangnya keyakinan.
Apakah itu yang terjadi sekarang ini? Langdon bertanya-tanya bagaimana umat Kristen di seluruh dunia akan bereaksi kalau kardinal-kardinal mereka dibunuh dengan kejam. Kalau keyakinan seorang pastor tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan pengaruh setan, apa lagi yang bisa diharapkan? Kepala Langdon terasa semakin pusing ... seperti mendengar suara-suara genderang perang.
Keyakinan tidak melindungimu. Obat-obatan dan kantung udara itulah yang melindungimu. Tuhan tidak melindungimu. Kepandaian yang melindungimu. Pencerahan. Letakan keyakinanmu pada sesuatu yang memberikan hasil yang nyata. Berita tentang seseorang dapat berjalan di atas air itu sudah kuno. Mukjizat modern berada pada Ilmu pengetahuan ... komputer, vaksin, stasiun angkasa luar ... bahkan mukjizat Tuhan mengenai penciptaan pun dapat ditiru. Zat yang berasal dari ketiadaan ... dapat dibuat di laboratorium. Siapa yang membutuhkan Tuhan? Tidak! Ilmu pengetahuan itu Tuhan.
Suara pembunuh itu bergaung di dalam pikiran Langdon. Tengah malam ini ... deret matematika tentang kematian ... sacrifici vergini nell'altare di scienza.
Kemudian tiba-tiba, seperti kerumunan yang dibubarkan oleh satu letusan senjata saja, suara -suara itu menghilang.
Robert Langdon mengepalkan tinjunya. Kursinya jatuh ke belakang dan menghantam lantai pualam.
Vittoria dan sang camerlengo terloncat karena kaget.
"Aku melewatkan sesuatu," bisik Langdon seperti kehilangan kata-kata. "Hal itu tepat di depan mataku ...."
"Melewatkan apa?" tanya Vittoria.
Langdon berpaling pada pastor itu. "Bapa, selama tiga tahun saya telah mengajukan permohonan untuk memasuki Ruang Arsip Vatikan. Dan saya telah ditolak sebanyak tujuh kali."
"Pak Langdon, maafkan aku, tetapi sekarang ini sepertinya bukanlah waktu yang tepat untuk mengajukan keberatan itu."
"Saya memerlukan izin untuk masuk sekarang. Tentang keempat kardinal yang hilang itu, mungkin saya dapat memperkirakan di mana mereka akan dibunuh."
Vittoria menatapnya, seolah berpikir kalau Langdon sudah gila.
Sang camerlengo tampak bingung seperti baru saja mendengarkan sebuah lelucon yang tidak lucu. "Menurutmu informasi tersebut berada di dalam arsip kami?"
"Saya tidak janji bisa menemukannya tepat pada waktunya, tapi kalau Anda membiarkan saya masuk ...."
"Pak Langdon, aku harus pergi ke Kapel Sistina dalam waktu empat menit lagi. Gedung arsip itu berada di seberang Vatican City."
"Ini bukan leluconmu saja, bukan?" sela Vittoria sambil menatap mata Langdon dengan tajam, seolah ingin mencari kebenaran pada diri Langdon.
"Ini bukan waktunya untuk bergurau," kata Langdon.
"Bapa," kata Vittoria sambil berpaling pada sang camerlengo. "Kalau ada kesempatan ... kesempatan apa saja untuk menemukan di mana keempat kardinal itu akan dibunuh, kami dapat mengintai lokasi tersebut dan--"
"Tetapi arsip itu?" desak sang camerlengo. "Bagaimana arsip dapat berisi petunjuk?"
"Menjelaskan tentang hal itu," kata Langdon, "hanya akan memakan waktu yang Anda punya. Tetapi kalau saya benar, kita dapat menggunakan informasi tersebut untuk menangkap si pembunuh."
Sang camerlengo tampak seperti ingin memercayai mereka tetapi terasa sulit sekali. "Naskah-naskah dunia Kristen yang paling kuno ada di dalam gedung itu. Harta yang aku sendiri tidak cukup pantas untuk melihatnya."
"Saya tahu itu."
"Izin masuk hanya diberikan secara tertulis dari Kurator dan Majelis Perpustakaan Vatikan."
"Atau," ujar Langdon, "dengan mandat kepausan. Hal itu tertulis di dalam surat-surat penolakan yang dikirimkan kurator Anda kepada saya."
Sang camerlengo mengangguk.
"Saya tidak bermaksud tidak sopan," desak Langdon, "tetapi kalau saya tidak salah, surat mandat kepausan dikeluarkan olen Kantor Paus. Sejauh yang saya tahu, malam ini Anda memegang kewenangan lembaga ini. Dengan mempertimbangkan keadaan ..."
Sang camerlengo mengeluarkan jam sakunya dari jubahnya, melihatnya. "Pak Langdon, aku bersiap untuk memberikan hdupku malam ini, untuk menyelamatkan gereja ini. Kalau perlu dalam makna yang sesungguhnya."
Langdon tidak merasakan apa-apa selain kejujuran di dalam mata lelaki itu.
"Dokumen itu," sang camerlengo berkata, "apakah kamu benar benar yakin kalau dokumen itu ada di sini? Dan apakah dokumen tersebut dapat membantu kita menemukan keempat gereja yang akan dijadikan tempat untuk membunuh para kardinal itu?"
"Saya tidak akan membuat permohonan yang tak terhitung banyaknya kalau saya tidak yakin. Italia terlalu jauh untuk dikunjungi kalau Anda hanya memiliki gaji seorang dosen. Dokumen yang Anda miliki itu merupakan dokumen kuno--"
"Kumohon, Pak Langdon" sela sang camerlengo. "Maafkan aku. Otakku tidak dapat memproses rincian apa pun lagi saat ini. Kamu tahu di mana dokumen rahasia terletak?"
Langdon merasakan semangatnya berkembang. "Tepat di belakang Gerbang Santa Ana."
"Mengesankan. Sebagian besar akademisi percaya tempat itu berada di balik pintu rahasia di belakang Singgasana Santo Petrus."
"Bukan. Yang di situ adalah Archivio della Reverenda di Fabbrica di S. Pietro. Kesalahpahaman yang sering terjadi."
"Seharusnya seorang pemandu perpustakaan menemani setiap orang yang masuk ke sana. Tetapi malam ini semua pemandu sudah pergi. Apa yang Anda minta adalah akses tanpa batas. Bahkan para kardinal pun tidak boleh masuk ke sana sendirian."
"Saya akan memperlakukan naskah-naskah berharga Anda dengan rasa hormat dan kehati-hatian yang tinggi. Pustakawan Anda tidak akan pernah tahu kalau saya pernah ke situ."
Lonceng di Santo Petrus mulai berdentang. Sang camerlengo melihat ke arah jam sakunya lagi. "Aku harus pergi." Dia berhenti sebentar dengan kaku, lalu menatap Langdon. "Aku akan menyuruh seorang Garda Swiss untuk menemuimu di ruang arsip. Aku mempercayaimu, Pak Langdon. Pergilah sekarang."
Langdon tidak dapat mengatakan sepatah kata pun.
Pastor muda itu sekarang tampak bersikap sangat tenang. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Langdon dan menggenggamnya dengan kekuatan yang mengejutkan. "Aku ingin kamu menemukan apa yang kamu cari. Dan temukanlah dengan cepat."
46
RUANG ARSIP RAHASIA Vatikan terletak jauh di ujung Borgia Courtyard, tepat di atas bukit dari Gerbang Santa Ana. Ruang arsip itu berisi lebih dari 20.000 jilid buku dan dikabarkan menyimpan berbagai tulisan yang tak ternilai, seperti buku harian Leonardo da Vinci yang hilang dan bahkan buku-buku Alkitab yang tidak diterbitkan.
Ketika Langdon berjalan dengan penuh semangat menuju Via della Fondamenta yang lengang ke arah ruang arsip, dia masih tidak percaya kalau mendapatkan izin untuk masuk ke gedung itu. Vittoria berjalan di sampingnya dan mengikuti langkahnya dengan mudah. Rambutnya yang beraroma almond berkibar-kibar ditiup angin sehingga Langdon dapat menghirup wanginya. Langdon merasa pikirannya berkelana sebentar, tapi dia kemudian berusaha untuk menjaga kesadarannya.
Vittoria berkata, " Kamu mau memberitahuku apa yang kita cari?"
"Sebuah buku kecil yang ditulis oleh seorang lelaki bernama Galileo."
Vittoria terkejut. "Kamu tidak main-main, bukan? Apa lsinya. "Seharusnya buku itu berisi sesuatu yang disebut il segno."
"Tanda-tanda?"
"Tanda, petunjuk, sinyal ... tergantung bagaimana kamu menerjemahkannya."
"Tanda apa?"
Langdon mengikuti kecepatan langkah Vittoria. "Sebuah tempat rahasia. Illuminati yang dibentuk Galileo harus melindungi mereka dari Vatikan sehingga mereka membangun sebuah tempat berkumpul rahasia di sini, di Roma. Mereka menyebutnya Gereja Illuminati."
"Lebih jelas kalau disebut sebagai gereja sarang setan."
Langdon menggelengkan kepalanya. Illuminati Galileo sama sekali tidak seperti itu. Mereka adalah sekelompok ilmuwan yang menghormati pencerahan. Tempat pertemuan mereka adalah tempat di mana mereka dapat berkumpul dengan aman dan membicarakan topik-topik yang dilarang oleh Vatikan. Walaupun kita tahu memang ada tempat pertemuan rahasia para anggota Illuminati, tapi hingga kini tidak ada yang dapat menemukannya."
"Tampaknya Illuminati itu pandai menyimpan rahasia."
"Benar sekali. Kenyataannya, mereka tidak pernah mengatakan tempat mereka bersembunyi kepada siapa pun di luar persaudaraan mereka. Kerahasiaan itu melindungi mereka, tetapi juga menimbulkan masalah ketika mereka ingin menerima anggota baru."
"Mereka tidak dapat berkembang kalau mereka tidak membuka diri," kata Vittoria, kaki dan pikiran perempuan itu bergerak sama cepatnya.
"Tepat. Berita tentang persaudaraan Galileo mulai tersebar pada tahun 1630, dan ilmuwan dari seluruh dunia diam-diam datang ke Roma dengan harapan dapat bergabung dengan Illummati ... mereka sangat ingin mendapatkan kesempatan untuk menggunakan teleskop Galileo dan mendengar gagasan-gagasan ilmuwan besar itu. Celakanya, karena kerahasiaan Illuminati, para ilmuwan yang berdatangan ke Roma itu tidak tahu harus pergi kemana untuk menghadiri rapat-rapat yang diadakan oleh Illuminati atau kepada siapa mereka dapat berbicara dengan aman. Kelompok Illuminati membutuhkan anggota baru, tetapi mereka tidak mau membahayakan kerahasiaan mereka dengan memberitahukan keberadaan mereka."
Vittoria mengerutkan keningnya. "Sepertinya mirip dengan sebuah situazione senza soluzione."
"Tepat. Sebuah dilema."
"Jadi, apa yang mereka lakukan?"
"Mereka ilmuwan. Mereka membicarakan masalah itu dan menemukan pemecahannya. Sebuah pemecahan yang sangat baik, sebenarnya. Kelompok Illumninati menciptakan semacam peta sederhana untuk mengarahkan para ilmuwan ke tempat persembunyian mereka."
Tiba-tiba Vittoria merasa ragu dan memperlambat langkahnya. "Sebuah peta? Bukankah itu agak ceroboh. Jika salinannya jatuh ke tangan yang salah ...."
"Tidak akan begitu," kata Langdon. "Karena mereka tidak memiliki salinannya. Peta itu tidak seperti peta biasa yang tertulis di atas kertas. Peta itu luar biasa. Semacam jejak-jejak yang dibuat melintasi kota."
Vittoria semakin memperlambat langkahnya. "Seperti, tanda anak panah yang dicat di jalanan?"
"Semacam itulah, tetapi ini jauh lebih samar. Peta itu terdiri atas tanda-tanda simbolis tersamar yang ditempatkan di tempat-tempat umum di sekitar kota. Satu tanda membawa ke tanda yang berikutnya ... dan berikutnya lagi ... sebuah jejak ... dan akhirnya membawa ke markas Illuminati."
Vittoria menatap Langdon dengan tatapan ragu. "Seperti mencari harta karun saja."
Langdon tertawa. "Bisa juga dianggap begitu. Illuminati menyebut rangkaian tanda yang mereka buat itu sebagai "Jalan Pencerahan," dan setiap orang yang ingin bergabung dengan persaudaraan itu harus mengikuti jalan tersebut hingga akhir. Semacam ujian juga."
"Tetapi kalau Vatikan ingin menemukan kelompok Illuminati, mereka juga dapat dengan mudah mengikuti tanda -tanda itu juga, bukan?"
"Tidak. Jalan setapak itu tersembunyi. Seperti sebuah teka teki yang dibuat dengan cara tertentu sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengikuti jejaknya dan dapat menemukan di mana gereja Illuminati tersebut tersembunyi. Kelompok Illuminati bertujuan membuat peta itu sebagai semacam inisiasi yang berguna tidak hanya sebagai ukuran keamanan tapi juga sebagai proses penyaringan sehingga hanya ilmuwan terpandailah yang dapat berhasil tiba di depan pintu mereka."
"Aku tidak percaya. Pada tahun 1600-an, para pendeta adalah orang-orang yang paling terdidik. Jadi, kalau petunjuk itu diletakkan di tempat-tempat umum, pasti ada pendeta Vatikan yang dapat menemukannya."
"Tentu saja," kata Langdon. "Kalau mereka tahu tentang keberadaan tanda rahasia itu. Tetapi mereka tidak tahu. Dan mereka tidak pernah melihatnya karena kaum Illuminati merancangnya sedemikian rupa sehingga para pastor tidak akan mengira kalau apa yang dilihatnya itu adalah sebuah tanda. Mereka menggunakan sebuah metode yang dikenal dalam simbologi sebagai dissimulation."
"Penyamaran."
Langdon terkesan. "Kamu tahu istilah itu." 'Itu sama dengan dissimulazione," kata Vittoria menjelaskan. Pertahanan diri yang terbaik. Seperti ikan terompet yang mengambang secara vertikal di atas rumput laut."
OK," kata Langdon. "Kelompok Illuminati juga menggunakan konsep yang sama. Mereka menciptakan tanda-tanda tersamar yang dipasang di kota Roma kuno. Mereka tidak dapat menggunakan ambigram atau simbologi yang bersifat ilmiah karena akan terlalu mencurigakan. Jadi mereka meminta seorang seniman "luminati-- seniman yang juga menciptakan simbol ambigram untuk nama kelompok mereka--untuk membuat empat patung."
"Patung-patung Illuminati?"
"Ya, patung-patung yang dibuat dengan ketentuan yang ketat. Pertama, patung-patung itu harus tampak seperti patung-patung seni lainnya yang ada di Roma ... karya seni yang Vatikan tidak akan menduga kalau patung-patung itu milik kelompok Illuminati."
"Seni yang religius."
Langdon mengangguk. Dia merasa bersemangat sehingga mulai berbicara lebih cepat sekarang. "Dan ketentuan kedua adalah keempat patung itu harus mempunyai tema tertentu. Setiap patungnya harus merupakan penghormatan yang tersamar terhadan keempat elemen ilmu pengetahuan."
"Empat elemen?" tanya Vittoria. "Seharusnya ada ratusan, bukan?"
"Pada tahun 1600-an tidak begitu," jawab Langdon mengingatkan. "Para ahli kimia kuno percaya kalau keseluruhan alam semesta ini dibuat hanya dari empat unsur, yaitu tanah, udara, api, dan air."
Langdon tahu kalau tanda salib kuno merupakan simbol umum dari keempat zat tersebut--empat lengan yang mewakili Tanah, Udara, Api, dan Air. Tapi, selain keempat elemen itu, sebenarnya ada belasan simbol lainnya yang menggambarkan keempat unsur tersebut, seperti daur hidup Pitagoras, Hong-Fan dari Cina, dasar maskulin dan feminin menurut pemikiran Jung, kuadran Zodiak, bahkan kaum Muslim menghormati keempat zat tersebut ... walau di dalam Islam keempat zat tersebut dikenal sebagai "segi empat, awan, cahaya, dan ombak." Tapi bagi Langdon, kelompok terakhir yang menggunakan keempat unsur tersebut yang membuatnya tertarik--empat tingkat mistis yang digunakan dalam penerimaan anggota baru kelompok Mason: tanah, udara, api, dan air.
Vittoria tampak takjub. "Jadi, seniman Illuminati tersebut menciptakan empat karya seni yang tampak bersifat religius, tetapi sesungguhnya merupakan penghormatan bagi Tanah, Udara, Api dan Air?"
"Tepat," jawab Langdon sambil membelok dengan cepat ke arah Via Sentinel yang membawa mereka ke arah Gedung Arsip. "Patung yang berisi petunjuk itu berbaur dengan berbagai benda seni keagamaan lainnya di seluruh Roma. Dengan menyumbangkan karya seni tersebut tanpa menyebutkan nama penciptanya kepada gereia-gereja tertentu dan kemudian menggunakan pengaruh politik yang dimilikinya, persaudaraan itu berhasil menempatkan keempat karya seni tersebut di gereja-gereja di Roma yang mereka pilih dengan teliti. Setiap benda tersebut merupakan petunjuk ... yang dengan samar-samar mengarah ke gereja berikutnya ... tempat di mana petunjuk berikutnya menanti.
Petunjuk-petunjuk tersebut berfungsi sebagai tanda jalan yang tersamar sebagai benda seni. Kalau seorang calon anggota Illuminati dapat menemukan gereja pertama dan tanda tanah, dia dapat melanjutkan mencari tanda udara ... kemudian tanda api ... dan setelah itu tanda air .... Akhirnya dia akan menemukan Gereja Illuminati."
Vittoria tampak semakin bingung. "Apakah ini ada hubungannya dengan usaha kita untuk menangkap si pembunuh?"
Langdon tersenyum. "Oh, tentu saja. Kaum Illuminati menamakan keempat gereja itu dengan nama khusus: Altar Ilmu Pengetahuan."
Vittoria mengerutkan keningnya. "Maaf, tetapi itu tidak berarti apa-apa--" tiba-tiba dia berhenti. "L'altare di scienza?" serunya.
Pembunuh itu. Dia berkata keempat kardinal itu akan menjadi korban perjaka di altar ilmu pengetahuan!"
Langdon tersenyum padanya. "Empat kardinal. Empat gereja. Empat altar ilmu pengetahuan."
Vittoria tampak terpaku. "Jadi, maksudmu kardinal-kardinal itu akan dibunuh di empat gereja yang sama dengan empat gereja yang mereka beri pertanda kuno Jalan Pencerahan?"
"Aku yakin begitu."
"Tetapi kenapa pembunuh itu memberi petunjuk kepada kita?"
"Kenapa tidak?" sahut Langdon. "Sedikit sekali ahli sejarah yang tahu tentang patung-patung tersebut. Bahkan hanya beberapa orang saja yang percaya kalau patung-patung itu ada. Dan letak gereja itu tetap menjadi rahasia selama empat ratus tahun. Tidak diragukan lagi, si pembunuh percaya kalau rahasia itu belum terungkap dalam lima jam ke depan. Selain itu, kelompok Illuminati tidak membutuhkan Jalan Pencerahan lagi. Tempat persembunyian mereka mungkin saja sudah lama hilang. Mereka sekarang hidup di dunia modern. Mereka bertemu di ruang dewan direksi di berbagai bank, di restoran, di lapangan golf pribadi. Malam ini mereka akan membuka rahasia mereka. Inilah saat itu. Saat penyingkapan rahasia besar mereka."
Langdon khawatir kalau penyingkapan rahasia Illuminati sekaligus akan menunjukkan sesuatu yang simetris yang belum diceritakannya kepada Vittoria. Keempat cap itu. Pembunuh itu bersumpah setiap kardinal akan dicap dengan simbol yang berbeda. Untuk membuktikan bahwa legenda kuno itu benar-benar ada, begitu kata pembunuh itu. Legenda empat cap ambigram itu sama tuanya dengan usia Illuminati itu sendiri: tanah, udara, api dan air--empat kata yang diukir dalam kesimetrisan sempurna. Sama seperti kata Illuminati. Setiap kardinal akan dicap dengan satu cap elemen kuno. Kabar bahwa keempat cap tersebut terukir dalam bahasa Inggris dan bukan bahasa Italia, tetap menjadi topik perdebatan yang seru di antara para ahli sejarah. Bahasa Inggris tampak seperti penyimpangan acak dari bahasa asli mereka ... padahal Illuminati tidak pernah melakukan apa pun secara acak.
Langdon muncul di depan jalan kecil yang terbuat dari batu bata yang berada di hadapan gedung arsip itu. Bayangan menakutkan melintasi benaknya. Illuminati mulai menampakkan kesabaran luar biasa yang sudah menjadi ciri khas mereka. Persaudaraan itu telah bersumpah untuk tetap diam selama mungkin, menumpuk pengaruh dan kekuatan yang cukup sehingga mereka muncul tanpa rasa takut, memperlihatkan sikap dan memperjuangkan tujuan mereka di tempat terbuka. Kelompok Illuminati kini tidak lagi bersembunyi. Mereka akan memamerkan kekuatan mereka, mempertegas mitos dengan tindakan nyata.
Malam ini adalah aksi mereka untuk menarik perhatian global.
Vittoria berkata, "Nah, itu dia pengawal kita datang." Langdon mendongak dan melihat seorang Garda Swiss menyeberangi halaman rumput yang terletak di bagian depan gedung.
Ketika penjaga itu melihat mereka, dia berhenti melangkah. Dia menatap mereka seolah sedang berhalusinasi. Tanpa berkata kata, penjaga itu berpaling dan mengeluarkan walkie-talkie-nya.. Dia tampak ragu dengan tugasnya. Penjaga itu berbicara dengan suara mendesak dengan seseorang di ujung sana Walau Langdon tidak bisa mendengar teriakan marah yang ditujukan kepada Garda Swiss yang berdiri di hadapannya ini, tapi dampaknya terlihat jelas. Penjaga itu langsung terlihat loyo. Dia kemudian menyimpan walkie-talkie-nya lagi, lalu berpaling pada mereka dengan tatapan tidak senang.
Penjaga itu mengantarkan mereka memasuki gedung tanpa berkata apa-apa. Mereka melewati empat pintu baja dan dua pintu dengan kunci utama. Kemudian mereka melalui tangga yang panjang, menuju sebuah ruang depan yang dilindungi oleh kunci elektronik. Setelah melewati serangkaian pintu yang dijaga secara elektronik, mereka sampai di ujung sebuah koridor panjang dan menuju ke pintu ganda yang terbuat dari kayu ek. Penjaga itu berhenti, menatap mereka lagi dan, sambil menggumam perlahan, berjalan mendekati sebuah kotak dari logam yang menempel di dinding. Dia membuka kuncinya, dan menekan sebuah kode. Pintu di depan mereka berdengung, dan kunci pun terbuka.
Penjaga itu berpaling, lalu untuk pertama kalinya dia berbicara kepada mereka. "Arsip-arsip itu berada di balik pintu ini. Aku diperintahkan untuk mengawal kalian hingga sampai sini saja, setelah itu aku harus kembali untuk mendapatkan pengarahan tentang hal lainnya."
"Kamu akan meninggalkan kami" tanya Vittoria. Garda Swiss tidak diizinkan memasuki daerah Arsip Rahasia. Kalian boleh ke sini karena komandanku menerima perintah langsung dari sang camerlengo."
"Tetapi bagaimana kita dapat keluar setelah ini?"
"Keamanan satu arah. Kalian tidak akan mendapat kesulitan apa pun." Itulah keseluruhan dari percakapan mereka. Setelah itu pengawal tersebut berputar dan berjalan meninggalkan ruangan itu.
Vittoria berkomentar, tetapi Langdon tidak mendengarnya Pikirannya terpusat pada pintu ganda di depannya, sambil bertanya-tanya misteri apa yang tersimpan di dalamnya.
47
WALAU DIA TAHU waktunya sangat singkat, Camerlengo Carlo Ventresca berjalan dengan lambat. Dia membutuhkan waktu sendirian untuk mengumpulkan pikirannya sebelum menghadapi pelaksanaan doa pembukaan. Begitu banyak peristiwa telah terjadi. Ketika berjalan di dalam keheningan yang remang-remang menuju Sayap Utara, sang camerlengo merasa bahwa tantangan selama lima belas hari terakhir ini semakin memberati tulang-tulangnya.
Dia sudah menjalankan tugas-tugas sucinya dengan patuh sekali.
Sesuai dengan tradisi, setelah kematian Paus, sang camerlengo melaksanakan kebiasaan Vatikan untuk meyakinkan kematian Paus secara pribadi, yaitu dengan cara menempelkan jarinya pada urat nadi di leher Paus, mendengarkan napasnya, dan memanggil nama Paus sebanyak tiga kali. Menurut hukum Vatikan, tidak ada otopsi untuk memastikan kematian Paus. Kemudian dia mengunci kamar tidur Paus, menghancurkan cincin kepausan, menghancurkan stempel yang pernah digunakan oleh mendiang Paus, dan mengatur upacara pemakaman. Setelah semua dilaksanakan, dia mulai mempersiapkan rapat pemilihan paus.
Rapat pemilihan paus, pikirnya. Tugas terakhir yang paling sulit. Upacara itu merupakan tradisi kuno di dalam dunia Kristen. Akhir-akhir ini hasil dari rapat pemilihan paus biasanya sudah diketahui sebelum upacara tersebut dimulai, proses tersebut dikritik sebagai cara pemilihan yang usang atau lebih seperti sandiwara daripada sebuah pemilihan. Walau begitu, sang camerlengo maklum, mereka hanya tidak memahami ritual ini. Rapat pemilihan paus bukanlah sebuah pemilihan umum. Ini adalah pemindahan kekuasaan yang mistis dan kuno. Tradisi itu abadi... kerahasiaan, kertas-kertas terlipat, pembakaran surat suara, ramuan kimia kuno, tanda -tanda asap.
Ketika sang camerlengo mendekati ruangan tempat para kardinal berkumpul melalui Loggias of Gregory XIII, dia bertanya-tanya apakah Kardinal Mortati sudah mulai panik. Mortati pasti sudah menyadari kalau empat perferiti menghilang dari Kapel Sistina. Tanpa mereka, pengambilan suara akan berlangsung hingga sepanjang malam. Penunjukan Mortati sebagai The Great Elector adalah pilihan yang tepat dan itu diyakini sendiri oleh sang camerlengo. Mortati adalah seorang kardinal yang berpikiran terbuka dan mampu mengungkapkan pikirannya dengan baik. Rapat pemilihan paus malam ini sangat membutuhkan seorang pemimpin.
Ketika sang camerlengo tiba di anak tangga paling atas dari Royal Staircase, dia merasa seolah sedang berdiri di atas tebing kehidupannya. Walau dari ketinggian, dia masih dapat mendengarkan suara riuh rendah dari 165 kardinal di dalam Kapel Sistina yang berada di bawahnya.
Seratus enam puluh satu kardinal, dia mengoreksi dirinya sendiri.
Sesaat sang camerlengo seperti jatuh terjerembab ke neraka, tempat di mana orang-orang menjerit. Lalu api menelannya, dan bebatuan serta darah tercurah dari langit.
Kemudian senyap.
Ketika anak kecil itu terbangun, dia berada di surga. Semua yang tampak begitu putih. Sinar berwarna putih itu sangat menyilaukan. Walau beberapa orang mengatakan tidak mungkin anak berumur sepuluh tahun dapat mengerti surga, tapi Carlo Ventresca cilik memahami surga dengan baik. Dia berada di surga saat ini Di mana lagi kalau tidak di surga? Walau hidupnya baru berlansung selama sepuluh tahun, Carlo pernah merasakan keagungan Tuhan--pipa-pipa organ yang berbunyi menggelegar, kubah-kubah yang menjulang tinggi, suara nyanyian, kaca-kaca berwarna, serta perunggu dan emas yang cemerlang. Ibu Carlo, Maria, membawanya pergi untuk menghadiri misa setiap hari. Gereja adalah rumah bagi Carlo.
"Mengapa kita menghadiri misa setiap hari?" tanya Carlo tanpa benar-benar ingin tahu.
"Karena aku berjanji pada Tuhan, aku akan menghadiri misa setiap hari," jawab ibunya. "Dan janji kepada Tuhan adalah janji yang paling penting. Jangan pernah mengingkari janjimu kepada Tuhan."'
Carlo berjanji kepada ibunya untuk tidak pernah mengingkari janjinya kepada Tuhan. Dia mencintai ibunya lebih dari segalanya di dunia ini. Ibunya adalah malaikat suci baginya. Kadang dia memanggil ibunya Maria benedetta--Maria yang diberkati--meski ibunya sama sekali tidak suka dipanggil seperti itu. Carlo berlutut bersama ibunya ketika ibunya berdoa, mencium wangi tubuh ibunya dan mendengarkan bisikan suara ibunya saat dia berdoa dengan rosario. Maria, Bunda Tuhan ... ampunilah kami para pendosa ... sekarang dan pada saat kematian kami.
"Di mana ayahku?" tanya Carlo, walau dia tahu ayahnya sudah meninggal sebelum dia dilahirkan.
"Tuhan adalah ayahmu, sekarang," begitulah selalu ibunya menjawab. "Kamu adalah anak gereja."
Carlo menyukai pernyataan itu.
"Kapan pun kamu merasa takut," kata ibunya, "ingat bahwa Tuhan adalah ayahmu sekarang. Dia akan menjagamu dan melindungimu selamanya. Tuhan mempunyai rencana besar untukmu, Carlo." Anak itu tahu, ibunya benar. Dia dapat merasakan kehadiran Tuhan di dalam darahnya. Darah .... Darah turun seperti hujan dari langit!
Hening. Lalu surga.
Surganya, akhirnya Carlo tahu ketika cahaya menyilaukan itu padam. Ternyata itu hanyalah lampu di ruang Unit Rawat Intensif di Rumah Sakit Santa Clara di luar Palermo. Carlo menjadi satu satunya orang yang selamat dari pengeboman yang dilakukan oleh kelompok teroris yang telah meruntuhkan sebuah kapel tempat dia dan ibunya menghadiri misa ketika mereka sedang berlibur. Sebanyak 37 orang tewas, termasuk ibu Carlo. Koran-koran menyebut Carlo sebagai orang yang selamat karena mukjizat Santo Franciscus. Beberapa saat sebelum terjadi ledakan, Carlo, tanpa alasan yang jelas, meninggalkan ibunya yang sedang berdoa, dan pergi ke sebuah ruangan kecil di dalam gereja untuk mengamati sebuah permadani dinding yang menggambarkan kisah Santo Franciscus.
Tuhan memanggilku untuk pergi ke sana, pikirnya. Tuhan ingin menyelamatkan aku.
Carlo mengigau karena luka-lukanya. Ketika itu dia masih dapat melihat ibunya berlutut di bangku gereja, menciumnya dari jauh, dan kemudian bersama dengan bunyi gelegar yang sangat keras, tubuh ibunya yang wangi itu tercabik-cabik. Dia masih dapat merasakan kejahatan manusia. Darah turun seperti hujan. Darah ibunya! Maria yang diberkati!
Tuhan akan menjagamu dan melindungimu selamanya, kata ibunya kepada Carlo.
Tetapi di mana Tuhan sekarang!
Kemudian, seperti perwujudan dari kebenaran yang dikatakan ibunya, seorang pastor datang ke rumah sakit. Dia bukan pastor biasa. Dia seorang uskup. Dia berdoa untuk Carlo yang mengalami mukjizat Santo Franciscus. Ketika Carlo sembuh, uskup itu mengaturnya agar dapat tinggal di sebuah biara kecil yang dekat dengan katedral yang dipimpin olehnya. Carlo hidup dan belajar bersama para biarawan lainnya. Dia bahkan menjadi seorang petugas altar bagi pelindung barunya itu. Uskup itu mengusulkan supaya Carlo memasuki sekolah umum, tetapi Carlo menolak. Dia sudah sangat bahagia dengan rumah barunya itu. Sekarang dia benar-benar tinggal di rumah Tuhan.
Setiap malam Carlo berdoa bagi ibunya.
Tuhan, sudah menyelamatkan aku karena alasan tertentu pikirnya. Apa alasan itu?
Ketika Carlo berumur enam belas tahun, sesuai dengan hukum Italia, dia mengikuti wajib milker selama dua tahun. Uskup itu mengatakan kepada Carlo kalau dia masuk seminari, maka dia akan dibebaskan dari kewajiban itu. Carlo mengatakan kepada sang uskup bahwa dia memang berencana untuk memasuki seminari, tetapi setelah dia mempelajari kejahatan.
Uskup itu tidak mengerti.
Carlo mengatakan kepadanya bahwa kalau dia ingin menghabiskan hidupnya di dalam gereja untuk memerangi kejahatan, dia harus mengerti kejahatan itu sendiri. Dia tidak dapat memikirkan tempat lain yang lebih untuk mengerti arti kejahatan selain di dalam ketentaraan. Tentara menggunakan senjata dan bom, bom yang membunuh ibuku yang terberkati!
Sang uskup mencoba membujuknya untuk tidak melakukan itu, tetapi tekad Carlo sudah bulat.
"Berhati-hatilah, Anakku," kata sang uskup. "Dan ingatlah, gereja menunggumu saat kamu kembali."
Pengabdian Carlo selama dua tahun dalam kemiliteran ternyata sangat mengerikan. Masa kecil Carlo sebelumnya selalu dipenuhi dengan keheningan dan refleksi diri. Tetapi di dalam ketentaraan tidak ada keheningan untuk merenung. Keributan tidak pernah berakhir. Mesin-mesin besar berada di mana-mana. Tidak ada waktu tenang sedetik pun. Walau para serdadu mengikuti misa sekali seminggu di barak, Carlo tidak dapat merasakan kehadiran Tuhan di dalam hati semua teman-temannya. Pikiran mereka terlalu dipenuhi oleh keriuhan daripada niat untuk dapat merasakan Tuhan.
Carlo membenci kehidupan barunya dan ingin pulang. Tetapi dia berkeras untuk tetap berada di sana. Dia masih harus mengerti apa itu kejahatan. Dia menolak untuk menembakkan senjatanya, sehingga ketentaraan mengajarinya untuk menerbangkan helikopter medis. Carlo membenci suara bisingnya dan baunya, tetapi setidaknya pesawat itu membawanya terbang dan mendekati ibunya di surga. Ketika dia diberi tahu kalau pelatihannya itu termasuk latihan terjun payung, Carlo sangat ketakutan. Tapi dia tidak punya pilihan lain.
Tuhan akan melindungi aku, katanya pada dirinya sendiri.
Terjun payung Carlo yang pertama ternyata menjadi pengalaman fisik yang paling menggembirakan sepanjang hidupnya. Itu seperti terbang bersama Tuhan. Carlo tidak pernah puas ... keheningan itu ... saat melayang ... melihat wajah ibunya di antara awan putih saat dia melayang turun ke bumi. Tuhan mempunyai rencana untukmu, Carlo. Ketika dia kembali dari tugas kemiliterannya, Carlo memasuki seminari.
Itu terjadi 23 tahun yang lalu.
Sekarang, ketika camerlengo Carlo Ventresca menuruni tangga, dia berusaha memahami rangkaian kejadian yang telah membawanya ke persimpangan jalan yang luar biasa ini.
Tinggalkan segala ketakutan, katanya pada diri sendiri, dan serahkan malam ini kepada Tuhan.
Sekarang dia dapat melihat pintu besar Kapel Sistina yang terbuat dari perunggu yang dijaga dengan setia oleh empat orang Garda Swiss. Pengawal itu membuka pintu dan mendorongnya hingga terbuka. Di dalam, semua kepala menoleh padanya. Sang camerlengo menatap orang-orang berjubah hitam dan bersetagen merah di hadapannya itu. Dia tahu apa rencana Tuhan untuknya. Nasib gereja ini diletakkan di tangannya.
Sang camerlengo membuat tanda salib dan melangkah melewati ambang pintu.
48
GUNTHER GLICK, SEORANG wartawan BBC, duduk berkeringat di mobil van jaringan BBC yang diparkir di sisi sebelah timur Lapangan Santo Petrus sambil mengutuki redaktur yang memberinya tugas. Walau penilaian bulanan pertama Glick berisi berbagai komentar terbaik--banyak akal, cerdas, dapat diandalkan tapi dia tetap ditempatkan di Vatikan City untuk "mengamati Paus". Dia mengingatkan dirinya bahwa meliput untuk BBC memiliki kredibilitas yang jauh lebih tinggi daripada menulis berita kacangan untuk British Tattler. Tapi meliput seperti ini menurutnya bukanlah liputan yang sesungguhnya.
Tugas Glick seharusnya mudah saja. Dia hanya harus duduk di situ sambil menunggu sekumpulan kakek-kakek memilih pemimpin tua mereka yang baru. Kemudian dia keluar dan merekam gambar 'langsung' selama lima belas detik dengan Vatikan sebagai latar belakang.
Cemerlang.
Glick tidak percaya kalau BBC masih saja mengirim wartawan ke lapangan hanya untuk meliput sesuatu yang tidak ada gunanya ini. Kamu tidak melihat wartawan dari jaringan Amerika di sini malam ini. Tentu saja tidak! Itu karena wartawan mereka bekerja dengan benar. Mereka menonton CNN, merangkumnya dan kemudian menayangkan 'liputan langsung' mereka di depan sebuah layar biru dan meletakkan rekaman video sebagai latar belakang sehingga terlihat nyata. MSNBC bahkan menggunakan mesin pembuat angin dan hujan di studio mereka supaya berita mereka terlihat asli. Penonton tidak lagi menghendaki kebenaran, mereka hanya ingin hiburan.
Glick menatap ke luar melalui kaca mobil dan merasa semakin sedih seiring dengan berjalannya menit demi menit. Pegunungan yang megah di Vatican City menjulang di depannya, seolah mengingatkan kesedihan akan apa yang seharusnya dapat diselesaikan oleh manusia ketika mereka memusatkan perhatian pada hal itu.
"Apa yang sudah aku capai dalam hidupku?" dia bertanya tanya.
"Tidak ada."
"Karena itu, menyerahlah," kata seorang perempuan dari belakang.
Glick terloncat. Dia hampir lupa kalau dia tidak sendirian. Dia berpaling ke kursi belakang, ke tempat juru kameranya, Chinita Macri yang duduk diam sambil mengelap kaca matanya. Dia selalu mengelap kaca matanya seperti itu. Chinita adalah perempuan berkulit hitam, walau dia lebih suka disebut orang Afrika Amerika, agak gemuk, dan sangat pandai. Dia juga tidak akan membiarkan orang lain lupa akan hal itu. Menurut Glick, dia adalah orang yang aneh. Walaupun demikian, dia menyukai juru kameranya itu. Dan Glick senang ditemani Macri malam ini.
"Ada masalah apa, Gunth?" tanya Chinita. "Apa yang kita lakukan di sini?"
Chinita terus mengelap. "Menyaksikan kejadian menegangkan."
"Orang-orang tua dikunci di kamar gelap, itu menurutmu menegangkan?"
"Kamu sudah tahu, kamu akan masuk neraka, bukan?"
"Aku sudah berada di sana."
"Katakan padaku, apa masalahmu." Suara Chinita terdengar seperti ibunya.
Aku hanya merasa ingin menghasilkan sebuah karya yang dikenang banyak orang."
"Kamu dulu menulis untuk British Tattler"
"Ya, tetapi tidak ada gemanya."
"Oh, ayolah. Kudengar kamu menulis artikel hebat tentang rahasia kehidupan seks ratu dengan orang asing."
"Terima kasih. "
"Hey, segalanya akan berubah. Malam ini kamu membuat liputan lima belas detikmu yang pertama dalam sejarah TV."
Glick menggeram dalam hati. Dia seolah sudah dapat mendengar suara pembaca berita. "Terima kasih Gunther, liputan hebat," sindir si pembaca berita, lalu dia beralih ke berita cuaca "Seharusnya aku mencoba menjadi pembaca berita saja."
Macri tertawa. "Tanpa pengalaman? Dan janggutmu itu? Lupakan saja."
Glick mengusap sejumput rambut kemerahan di dagunya "Kupikir janggutku ini membuatku tampak pandai."
Ponsel di dalam van itu berdering seperti ingin menyela cerita kegagalan Glick yang lainnya. "Mungkin itu dari redaksi," katanya penuh harap. "Kamu pikir mereka ingin kita melaporkan perkembangan terkini?"
"Untuk berita ini?" Macri tertawa. "Teruslah bermimpi."
Glick mengangkat telepon itu dengan suara pembaca berita terbaiknya. "Gunther Glick, BBC, liputan langsung dari Vatikan City."
Logat suara lelaki di ujung sana terdengar kental dan beraksen Arab. "Dengarkan baik-baik," katanya. "Aku akan mengubah hidupmu."
49
KINI, LANGDON DAN VITTORIA berdiri berdua saja di luar pintu ganda yang membatasi mereka dengan tempat penyimpanan Arsip Rahasia. Dekorasi di antara pilar-pilarnya adalah kombinasi yang tidak lazim; antara permadani di atas lantai pualam dan kamera keamanan nirkabel yang mengarah ke bawah yang terpasang ox patung-patung malaikat kecil bersayap di langit-langit. Langdon ingin menjulukinya Renaisans Steril. Di samping jalan masuknya melengkung itu, tergantung sebuah plakat kecil dari perunggu bertuliskan: ARCHIVIO VATICANO Curatore, Padre Jaqui Tomaso.
Bapa Jaqui Tomaso. Langdon mengenal nama kurator itu dari surat-surat penolakan yang diterimanya. Yth. Pak Langdon. Dengan sangat
menyesal saya menulis surat untuk menolak permintaan Anda untuk ... Sangat menyesal. Omong kosong. Sejak Jaqui Tomaso mulai menjabat sebagai kurator di sini, Langdon belum pernah melihat ada akademisi Amerika non-Katolik yang diizinkan masuk ke ruang Arsip Rahasia Vatikan. Il guardiano, demikian para sejarawan menyebut kurator tersebut. Jaqui Tomaso adalah pustakawan yang paling keras kepala di dunia.
Ketika Langdon mendorong pintu hingga terbuka dan melangkah ke dalam portal besi di bagian dalam, dia berharap akan bertemu dengan Bapa Jaqui Tomaso yang mengenakan seragam militer lengkap beserta helm dan sepucuk basoka. Tapi, ruangan itu ternyata sepi. Hening. Remang-remang.
Ketika mata Langdon melihat ruangan rahasia itu, reaksi pertamanya adalah malu. Dia sadar betapa bodoh dirinya selama ini. Gambaran-gambaran yang selama ini ada di kepalanya selama bertahun-tahun tentang ruangan ini ternyata sama sekali tidak tepat. Dia membayangkan ruangan arsip itu hanya berisi rak-rak buku berdebu dengan setumpukan tinggi buku-buku yang cornpang-camping, lalu pastor-pastor membuat katalog di bawah sinar lilin dan kaca berwarna, serta para biarawan membaca gulungan gulungan kertas dengan rajin .... Mirip pun tidak.
Pada pandangan pertama, ruangan ini tampak seperti hanggar pesawat terbang yang gelap dan seseorang telah membangun selusin lapangan squash tanpa tempat duduk di sana. Tentu saja Langdon tahu apa fungsi dinding yang terbuat dari kaca berwarna itu. Dia tidak heran melihatnya. Kelembaban dan udara panas dapat merusak berbagai naskah yang ditulis di atas kulit binatang dan perkamen. Selain itu, pemeliharaan yang baik memang membutuhkan ruang tertutup yang kedap udara seperti ini -- ruang yang dapat mencegah timbulnya kelembaban dan asam alami yang terdapat di udara. Langdon pernah berada di dalam ruangan kedap udara beberapa kali, dan itu selalu menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan baginya ... dan sekarang dia akan memasuki sebuah tempat kedap udara yang pada situasi yang normal, asupan oksigennya diatur oleh seorang pustakawan terpilih.
Ruangan tertutup itu gelap, seperti berhantu, dan samar samar diterangi oleh lampu-lampu berkubah kecil di ujung setiap rak buku. Dalam kegelapan yang terlihat dari setiap sel, Langdon dapat merasakan bayangan raksasa yang berasal dari rak-rak buku berisi sejarah yang menjulang tinggi. Ini adalah koleksi yang luar biasa.
Vittoria juga tampak pusing. Dia berdiri di samping Langdon sambil memandang ruangan raksasa yang tembus pandang itu.
Waktu mereka singkat, dan Langdon tidak ingin membuang-buangnya dengan melihat-lihat ruangan remang-remang itu sehingga dia segera mencari sebuah buku katalog--satu jilid ensiklopedia yang memuat katalog koleksi perpustakaan itu. Tetapi yang dilihatnya adalah terminal komputer yang tampak mencolok di ruangan itu. "Wah, hebat! Indeks buku-buku mereka sudah tersimpan di komputer."
Vittoria tampak mempunyai harapan. "Itu akan mempercepat pekerjaan kita."
Langdon berharap dapat merasa antusias juga seperti Vittoria, tetapi dia merasa sistem komputerisasi seperti ini adalah kabar buruk. Dia lalu berjalan mendekati sebuah komputer dan mulai mengetik. Ketakutannya segera menjadi nyata. "Cara pencatatan kuno akan lebih baik."
"Kenapa?"
Dia melangkah mundur dari layar komputer itu. "Karena buku katalog konvensional tidak dilindungi kata kunci. Aku tidak mengharap seorang ahli fisika berbakat sepertimu bisa menjadi seorang hacker."
Vittoria menggelengkan kepalanya. "Aku hanya dapat membuka kerang, itu saja."
Langdon menarik napas panjang dan berpaling untuk melihat sekumpulan sekat-sekat yang mengerikan itu. Dia berjalan ke satu ruangan bersekat kaca terdekat dan dengan menyipitkan matanya, dia menatap ke bagian dalam yang remang-remang di dalam sana. Di dalam ruang kaca itu terdapat beberapa benda yang dikenali Langdon sebagai rak buku biasa, tempat penyimpanan perkamen, dan meja pemeriksaan. Dia melihat puncak label yang bersinar di ujung setiap rak buku. Seperti juga di setiap perpustakaan, label label itu menunjukkan isi dari setiap baris. Dia membaca judulnya lalu bergerak ke arah sekat-sekat transparan itu.
PlETRO IL ERIMITO ... LE CROCIATE ... URBANO II ... LEVANT
"Mereka diberi label," kata Langdon, sambil terus berjalan. Tetapi tidak berdasarkan sistem berdasarkan nama pengarang dari A sampai Z." Dia tidak heran. Arsip-arsip kuno hampir selalu disusun tidak menurut urutan abjad karena begitu banyak penulisnya yang tidak dikenal. Disusun berdasarkan judul juga tidak berguna karena banyak dokumen sejarah yang tidak memiliki judul atau merupakan bagian dari perkamen. Pada umumnya, katalog disusun secara kronologis. Walau cara kronologis sudah cukup membingungkan, sistem pengaturan yang digunakan di sini sepertinya tidak kronologis juga.
Langdon merasa mulai membuang-buang waktu lagi dengan mencari-cari seperti ini. "Sepertinya Vatikan mempunyai sistemnya sendiri."
"Mengejutkan sekali," kata Vittoria seperti menyindir.
Langdon memeriksa beberapa label lagi. Dokumen-dokumen itu sudah berumur ratusan tahun, tetapi kemudian Langdon menyadari semua kata kuncinya saling berhubungan. "Kupikir mereka menyusunnya berdasarkan tema."
"Tematis?" tanya Vittoria, nadanya terdengar tidak setuju "Sepertinya tidak efisien."
Sebenarnya ... kata Langdon sambil memikirkannya dengan lebih seksama. Ini mungkin adalah kategorisasi yang paling cerdas yang pernah kulihat. Dia selalu menyuruh mahasiswanya untuk mengerti warna dan motif dari sebuah periode daripada membuang-buang waktu dengan menghapalkan data-data remeh seperti tanggal-tanggal dan karya-karya tertentu. Arsip Vatikan ini tampaknya disusun menurut filsofi yang sama.
"Segala yang ada di ruangan ini," kata Langdon sambil merasa lebih yakin sekarang, "adalah materi yang berusia berabad-abad dan berhubungan dengan Perang Salib. Itulah tema ruangan ini." Semuanya ada di sini. Catatan-catatan bersejarah, surat-surat, benda seni, data-data sosial politik, analisis moderen. Semua dalam satu tempat ... menarik sekali. Cemerlang.
Vittoria mengerutkan keningnya. "Tetapi data dapat berhubungan dengan banyak tema secara berkesinambungan."
"Itulah sebabnya mereka melakukan pengecekan silang dengan penanda yang mewakili." Langdon menunjuk ke luar kaca ke arah label penunjuk dari plastik yang berwarna-warni di antara dokumen-dokumen itu. "Itu semua menunjukkan dokumen kelas dua yang ditempatkan di tempat yang berbeda dengan tema utamanya."
"Tentu saja," sahut Vittoria, tampaknya tidak mau berdebat lagi. Dia hanya berkacak pinggang dan meneliti ruang besar itu. Dia kemudian melihat Langdon. "Jadi Profesor, apa nama catatan Galileo yang kita cari?"
Langdon tidak dapat menahan senyumannya. Dia masin belum percaya dirinya sedang berdiri di dalam ruangan ini. Catatan ada di sini, pikirnya. Di suatu tempat yang gelap, menunggu untuk ditemukan.
"Ikuti aku," kata Langdon. Dengan cepat dia melewati gang pertama dan memeriksa label penunjuk yang terdapat pada setiap sekat "Ingat apa yang aku ceritakan tentang Jalan Pencerahan? Bagaimana cara kelompok Iluminati memilih anggota baru dengan menggunakan ujian tertentu?"
"Ya. Cara yang menurutku seperti mencari harta karun," kata Vittoria sambil mengikuti Langdon dari dekat.
"Tantangan yang diajukan oleh Iluminati adalah, setelah mereka meletakkan penanda tersebut, mereka harus mengatakan kepada komunitas ilmiah bahwa jalan itu ada."
"Masuk akal," kata Vittoria. "Kalau tidak, tidak ada yang tahu dan mencarinya."
"Ya, dan walau mereka sudah tahu kalau jalan itu ada, para ilmuwan tidak akan tahu dari mana jalan itu berawal. Roma adalah kota yang besar sekali."
"Baik, aku mengerti."
Langdon melanjutkan ke gang berikutnya sambil meneliti berbagai label penunjuk dan berkata, "Sekitar lima belas tahun yang lalu, beberapa sejarawan di Sorbonne bersama-sama denganku menemukan serangkaian surat-surat Iluminati yang berisi petunjuk tentang segno!'
"Tanda. Pemberitahuan tentang jalan dan dari mana jalan tersebut dimulai."
"Ya. Dan sejak itu, banyak akademisi Iluminati, termasuk aku, menemukan petunjuk-petunjuk lainnya menuju segno itu. Teori ini sudah diterima bahwa petunjuk jalan itu memang benar-benar ada dan Galileo telah menyebarluaskannya kepada komunitas ilmuwan tanpa diketahui Vatikan."
"Bagaimana caranya?"
"Kami tidak yakin, tetapi yang paling mungkin adalah berupa Publikasi cetakan. Galileo mencetak banyak buku dan buletin selama bertahun-tahun."
"Yang bisa terlihat oleh Vatikan. Berbahaya sekali."
"Betul. Walau begitu segno itu tetap disebarkan."
"Tetapi tidak seorang pun yang betul-betul menemukannya?"
"Tidak. Anehnya, di mana pun segno itu muncul, baik pada catatan harian kelompok Mason, jurnal ilmu pengetahuan kuno surat-surat Illuminati, dia selalu mengacu pada nomor."
"666?"
Langdon tersenyum. "Sebenarnya 503."
"Artinya?"
"Tidak seorang sejarawan pun yang dapat menduganya. Aku terpesona dengan nomor 503 itu, dan sudah mencoba berbagai cara untuk menemukan arti nomor tersebut; dari numerolgi, peta acuan, garis lintang." Langdon tiba di ujung gang, lalu membelok di sudut dan dengan cepat memeriksa barisan label penunjuk berikutnya sambil terus berbicara. "Selama bertahun-tahun, satu-satunya petunjuk yang pasti adalah 503 diawali oleh angka 5 yang merupakan angka suci bagi Illuminati." Langdon berhenti.
"Saya merasa kamu sudah mengetahuinya dan karena itulah kita ada di sini."
"Betul," kata Langdon dan membiarkan dirinya merasa bangga sejenak akan pekerjaannya. "Kamu akrab dengan sebuah buku karya Galileo yang berjudul Dialogo?"
"Tentu saja. Buku terkenal di antara para ilmuwan sebagai buku ilmiah yang laris."
Laris bukanlah kata yang tepat bagi Langdon, tetapi dia mengerti apa yang dimaksud Vittoria. Pada awal tahun 1630-an, Galileo ingin menerbitkan sebuah buku yang mendukung konsep heliosentris Copernicus tentang tata surya, tetapi Vatikan tidak akan mengizinkan buku itu terbit kecuali Galileo memasukkan juga bukti mengenai konsep geosentris milik gereja. Sementara itu, Galileo tahu dengan pasti kalau konsep tersebut sama sekali salah. Galileo tidak mempunyai pilihan selain menyetujui permintaan gereja dan menerbitkan sebuah buku dengan memuat dua konsep yang akurat dan yang tidak akurat.
"Seperti yang mungkin sudah kamu ketahui," kata Langdon, "Walau Galileo mau berkompromi, buku Dialogo masih dianggap sebagai penyimpangan. Dan Vatikan kemudian menahan Galileo di rumahnya."
"Tidak ada perbuatan baik yang tidak dihukum."
Lanedon tersenyum. "Benar sekali. Walau begitu, Galileo sangat keras kepala. Saat ditahan di rumah, diam-diam dia menulis naskah yang tidak terlalu terkenal yang membuat para ilmuwan bingung membedakannya dengan Dialogo. Buku itu bernama Discorsi."
Vittoria mengangguk, "Aku pernah mendengar tentang dokumen itu. Discourses on the Tides, Dikursus Tentang Gelombang Pasang-
Surut."
Langdon tiba-tiba berhenti, dia merasa kagum karena ternyata Vittoria pernah mendengar buku yang tidak terkenal yang menulis tentang pergerakan planet-planet dan pengaruhnya pada gelombang pasang di laut.
"Hey," seru Vittoria. "Kamu sedang berbicara dengan seorang ahli fisika kelautan yang memiliki ayah yang begitu ngefans dengan Galileo."
Langdon tertawa. Tapi Discorsi bukanlah buku yang mereka cari saat itu. Langdon kemudian menjelaskan kalau Discorsi bukanlah satu-satunya buku yang ditulis Galileo ketika berada dalam tahanan rumah. Para sejarawan percaya bahwa Galileo juga menulis sebuah buklet yang tidak dikenal bernama Diagramma.
"Diagramma della Verita," kata Langdon. "Diagram kebenaran."
Aku tidak pernah dengar tentang itu."
Aku tidak heran. Diagramma adalah karya Galileo yang paling rahasia--mungkin semacam risalah mengenai berbagai fakta ilmu Pengetahuan yang dipercayanya sebagai kebenaran tetapi tidak izinkan untuk dibagi kepada orang lain. Seperti juga pada naskah Galileo terdahulu, Diagramma diselundupkan ke Roma oleh seorang teman dan diam-diam diterbitkan di Belanda. Buklet itu menjadi sangat populer di kalangan ilmu pengetahuan bawah tanah di Eropa. Lalu Vatikan mendengar tentang hal itu dan segera merazia dan membakar buku tersebut"
Sekarang Vittoria tampak tertarik. "Dan kamu pikir Diagramma berisi petunjuk yang kita perlukan? Segno. Buku yang berisi tentang informasi mengenai Jalan Pencerahan?"
"Diagramma adalah cara Galileo untuk mengungkapkan tentang Jalan Pencerahan. Aku yakin itu." Langdon memasuki baris ketiga dari ruangan-ruangan itu dan terus meneliti label penunjuk. "Para ahli arsip sudah mencari salinan Diagramma selama bertahun-tahun. Buklet itu menghilang dari muka bumi pada saat Vatikan membakar buku-buku atau karena tingkat keawetan yang rendah dari buku tersebut."
"Tingkat keawetan?"
"Daya keawetan buku. Ahli arsip membagi peringkat dokumen dari tingkat satu ke tingkat sepuluh untuk mengukur tingkat keawetan sebuah dokumen. Diagramma dicetak di atas kertas papirus. Kertas itu seperti kertas tisu. Dia hanya mampu bertahan tidak lebih dari satu abad."
"Mengapa tidak dicetak di atas bahan yang lebih kuat?"
"Sesuai dengan petunjuk Galileo. Dibuat dengan tujuan untuk melindungi pengikutnya. Dengan cara ini setiap ilmuwan yang tertangkap ketika sedang membaca buku itu dapat segera menjatuhkannya ke dalam air dan buklet itu akan hancur begitu saja. Cara seperti itu memang bagus untuk menghilangkan bukti.
Tetapi malah menyusahkan para ahli arsip. Konon hanya ada satu salinan Diagramma yang bertahan melampaui abad ke-18."
"Satu?" sesaat Vittoria tampak ketakutan ketika dia melihat ke sekeliling ruangan itu. "Dan sekarang ada di sini?"
"Disita dari Belanda oleh Vatikan, tidak lama setelah Galileo meninggal dunia. Aku sudah mengajukan permintaan untuk melihatnya sejak beberapa tahun yang lalu. Sejak aku tahu apa isinya."
Seolah dia dapat membaca pikiran Langdon, Vittoria bergerak ke salah satu gang dan mulai meneliti bagian yang menonjol dari bagian tambahan yang terdapat di sana. Vittoria mulai mempercepat langkahnya.
"Terima kasih," kata Langdon. "Carilah label penunjuk yang berhubungan dengan Galileo, ilmu pengetahuan, ilmuwan. Kamu akan tahu saat kamu melihatnya."
"Baik, tetapi kamu masih belum mengatakan kepadaku bagaimana kamu bisa tahu kalau Diagramma berisi petunjuk yang kita cari sekarang. Apakah itu ada hubungannya dengan nomor yang selalu kamu lihat pada surat-surat Illuminati? 503?"
Langdon tersenyum. "Ya. Memerlukan waktu juga, tetapi akhirnya aku mengetahui kalau 503 hanya sebuah kode. Jelas mengacu pada Diagramma."
Untuk sesaat Langdon ingat sebuah peristiwa yang tidak terduga yang terjadi pada tanggal 16 Agustus, dua tahun yang lalu. Dia sedang berdiri di tepi danau pada sebuah pesta pernikahan putra salah satu rekan di universitasnya. Peniup bagpipes itu mengapung di atas permukaan danau. Bersama dengan kedua mempelai, mereka memasuki tempat pesta dengan cara yang unik ... mereka menyeberangi danau dengan sebuah perahu. Kendaraan itu dihiasi dengan bunga-bungaan berwama-warni. Bunga-bunga itu membentuk sebuah deretan nomor dari huruf Romawi yang terpasang di lambung perahu--DCII.
Karena merasa bingung pada tanda itu, Langdon bertanya kepada ayah pengantin perempuan itu. "Apa arti nomor 602?"
"602?"
Langdon menunjuk lambung perahu itu. "DCII adalah huruf Romawi untuk 602."
Lelaki itu tertawa, "Itu bukan nomor Romawi. Itu nama Perahu tersebut."
"DCII?"
Ayah yang bahagia itu mengangguk. "Dick and Connie II"
Langdon merasa malu. Dick dan Connie adalah nama pasangan yang berbahagia hari itu. Perahu tersebut tentu saja dinamai begitu untuk menghormati mereka. "Apa yang terjadi dengan DCI?"
Lelaki itu tertawa kecil. "Perahu itu tenggelam kemarin pada saat latihan."
Langdon tertawa. "Aku sedih mendengarnya." Dia melihat perahu itu lagi. DCII, pikirnya. Seperti sebuah miniatur QEII. Sedetik kemudian dia mengerti.
Sekarang Langdon berpaling pada Vittoria, "503, seperti yang tadi kukatakan, adalah sebuah kode. Itu tipuan Illuminati untuk menyembunyikan apa yang sesungguhnya mereka maksudkan dan menyamarkannya dengan angka Romawi. Nomor 503 dalam angka Romawi adalah--"
"DIII."
Langdon menatap Vittoria. "Kamu cepat sekali. Jangan bilang kalau kamu juga anggota Illuminati."
Vittoria tertawa. "Aku menggunakan angka Romawi untuk menyusun tingkatan organisme laut."
Tentu saja, pikir Langdon. Kita semua juga menggunakannya, bukan?
Vittoria melihat ke depan. "Jadi apa arti dari DIII?"
"DI dan DII dan DIII adalah singkatan yang sangat kuno. Mereka digunakan oleh ilmuwan kuno untuk mengacu pada tiga dokumen Galileo yang biasanya membingungkan."
Vittoria menghembuskan napas dengan cepat. "Dialogo ... Discorsi ... Diagramma."
D-satu. D-dua. D-tiga. Semuanya tulisan ilmiah. Semuanya kontroversial. 503 adalah DIII. Diagramma. Buku ketiga Galileo."
Vittoria terlihat bingung. "Tetapi ada satu hal yang masih tidak masuk akal. Jika segno ini, petunjuk ini, memberitahukan kalau Jalan Pencerahan itu benar-benar ada di dalam Diagramma Galileo, kenapa Vatikan tidak melihatnya ketika mereka menyita semua salinannya?"
"Mungkin mereka melihatnya, tetapi tidak mengetahuinya. Ingat penanda Illuminati? Penanda tersembunyi yang diletakkan di tempat terbuka? Penyamaran? Segno itu agaknya juga terembunyi dengan cara yang sama--di tempat terbuka. Tidak terlihat oleh orang yang tidak mencarinya. Dan juga tidak terlihat oleh mereka yang tidak memahaminya."
"Artinya?"
"Artinya, Galileo berhasil menyembunyikannya dengan baik. Menurut catatan sejarah, segno itu terungkap dengan cara yang disebut oleh kaum Illuminati sebagai lingua pura"
"Bahasa murni?"
"Ya."
"Matematika?"
"Itu terkaanku saja. Kelihatannya cukup jelas. Galileo memang seorang ilmuwan, dan dia menulis untuk ilmuwan. Matematika bisa menjadi bahasa yang digunakan untuk meletakkan petunjuk itu. Buklet itu disebut Diagramma, jadi diagram matematika bisa menjadi bagian dari kode tersebut."
Vittoria terdengar ragu, tidak lagi penuh harap. "Sepertinya Galileo berhasil menciptakan kode matematika yang luput dari perhatian para pendeta."
"Kamu seperti tidak yakin," kata Langdon sambil terus berjalan di sepanjang gang.
"Aku memang tidak yakin. Itu karena kamu juga tidak yakin. Kalau kamu begitu yakin tentang DIII, kenapa kamu tidak mempublikasikannya? Kalau kamu menulisnya dalam sebuah jurnal ilmiah, seseorang yang mempunyai akses ke Arsip Vatikan pasti sudah datang ke sini dan memeriksa Diagramma sejak dahulu kala."
Aku tidak mau mengumumkannya," kata Langdon. "Aku sudah bekerja dengan susah payah untuk menemukan informasi itu dan--" Dia berhenti dan merasa malu.
Kamu menginginkan kejayaan."
Langdon tersipu. "Dengan kata lain. Itu hanya--"
Jangan malu-malu begitu. Kamu sedang berbicara kepada seorang ilmuwan."
"Bukannya aku ingin jadi yang pertama. Aku juga mempertimbangkan kalau informasi tentang Diagramma itu jatuh ke tangan orang yang salah, informasi itu akan hilang."
"Orang yang salah itu mungkin orang Vatikan?"
"Bukan hanya itu, tetapi gereja selalu menganggap remeh ancaman Illuminati. Pada awal 1900-an Vatikan berkata kalau Illuminati hanyalah sebuah isapan jempol dari imajinasi yang berlebihan. Pada saat itu, para pastor berkata hal yang paling tidak perlu diketahui orang Kristen adalah ada kelompok anti Kristen yang sangat kuat dan mampu menyusup ke dalam bank, politik dan berbagai universitas." Gunakan kala waktu kini, Robert, dia mengingatkan dirinya sendiri. Sampai saat ini masih ada kelompok anti-Kristen yang sangat kuat dan mampu menyusup ke dalam bank, politik dan berbagai universitas.
"Jadi kamu pikir Vatikan akan mengubur setiap bukti yang membenarkan ancaman Illuminati?"
"Sangat mungkin. Setiap ancaman, yang nyata ataupun yang khayalan dapat melemahkan keyakinan akan kekuatan gereja."
"Satu pertanyaan lagi," tiba-tiba Vittoria berhenti dan menatap Langdon seolah dia adalah makhluk asing. "Apakah kamu bersungguh-sungguh?"
Langdon berhenti. "Apa maksudmu?"
"Maksudku, apakah ini rencanamu untuk menyelamatkan dunia?"
Langdon tidak yakin apa maksud pertanyaan Vittoria itu. "Maksudmu menemukan Diagramma?"
"Bukan hanya itu. Maksudku, menemukan Diagramma, menemukan segno berumur empat ratus tahun, memecahkan beberapa kode matematika dan mengikuti jejak kuno dari benda-benda seni yang hanya dapat diikuti oleh ilmuwan yang paling pandai dalam sejarah ... dalam waku empat jam."
Langdon mengangkat bahunya. "Aku dapat menerima usulan lainnya."
50
ROBERT LANGDON BERDIRI di luar Ruang Arsip nomor 9 dan membaca label yang tertera di sana.
Brahe ... Clavius ... Copernicus ... Kepler ... Newton ...
Ketika dia membaca nama -nama itu sekali lagi, tiba -tiba dia merasa tidak tenang. Di sini tertulis nama-nama ilmuwan, tetapi di mana nama Galileo?
Dia berpaling pada Vittoria yang sedang memeriksa isi ruangan di sebelahnya. "Aku sudah menemukan tema yang kita cari, tetapi nama Galileo tidak ada."
"Tidak mungkin," sahut Vittoria sambil mengerutkan keningnya ketika dia bergerak ke ruangan berikutnya. "Dia ada di sini. Tetapi aku harap kamu membawa kacamata bacamu karena seluruh ruangan ini berisi naskah Galileo."
Langdon berlari ke sana. Vittoria benar. Setiap tabel penunjuk di ruang 10 bertuliskan kata kunci yang sama.
IL PROCESSO GALILEANO
Langdon bersiul perlahan. Sekarang dia sadar kenapa Galileo mendapatkan satu ruangan tersendiri. "Semuanya tentang Galileo," katanya dengan kagum sambil memandang beberapa baris rak yang gelap di hadapannya. "Kasus hukum paling panjang dan paling mahal dalam sejarah Vatikan. Empat belas tahun dan menghabiskan biaya sebesar 600 juta lira. Semuanya ada di sini."
"Tapi dokumen hukum yang ada hanya sedikit." sepertinya pengacara belum memiliki peran yang terlalu besar pada abad itu."
"Tidak seperti sekarang."
Langdon berjalan ke sebuah tombol kuning besar yang terdapat di sisi ruangan kedap udara itu. Setelah dia menekannya, sekumpulan lampu di atas mereka menyinari ruangan tersebut. Sinarnya berwarna merah tua sehingga membuat ruangan itu menjadi sel berwarna merah tua dan memperlihatkan rak-rak menjulang tinggi yang mengagumkan.
"Ya ampun," seru Vittoria dengan nada takut. "Orang seperti apa yang tahan berlama-lama di sini?"
"Perkamen dan kulit hewan dapat memudar warnanya, jadi penerangan di ruangan ini harus dengan lampu seperti ini."
"Kita bisa jadi gila di sini."
Atau lebih buruk lagi, pikir Langdon sambil bergerak ke arah satu-satunya jalan masuk ke ruangan itu. "Satu peringatan singkat.
Karena oksigen adalah zat oksidan, maka oksigen di dalam ruang kedap udara ini sangat sedikit. Bisa dikatakan tidak ada udara di dalamnya. Kamu akan merasa sulit bernapas di sana."
"Hey, kardinal-kardinal tua itu saja mampu bertahan ...," Vittoria protes.
Benar, pikir Langdon. Mudah-mudahan saja kita seberuntung mereka.
Pintu masuk ke ruangan kedap udara itu adalah sebuah pintu putar elektronik yang dilengkapi dengan tombol pembuka pintu. Ketika tombol ditekan, pintu elektronik akan berputar membuka setengah putaran--sebuah prosedur standar untuk memelihara kemurnian atmosfer di dalam ruangan tersebut.
"Setelah aku berada di dalam," kata Langdon, "tekan saja tombol itu dan masuk juga. Kelembaban dalam ruangan itu hanya delapan persen, jadi jangan kaget kalau mulutmu terasa kering.
Langdon melangkah masuk ke dalam pintu putar itu dan menekan tombol. Pintu itu berdengung keras dan mulai berputar. Ketika dia mengikuti gerakan pintu itu, Langdon menyiapkan tubuhnya untuk menghadapi kejutan fisik yang selalu terjadi pada beberapa detik awal di dalam ruangan kedap udara. Memasuki ruang penyimpanan arsip yang tertutup seperti menyelam ke laut sedalam 20.000 kaki dengan tiba-tiba. Perasaan mual dan pusing adalah hal biasa timbul. Langdon merasakan tekanan udara di telinganya. Ia bisa mendengarkan suara mendesis, dan pintu putar itu pun lalu berhenti.
Langdon sudah berada di dalam ruangan itu sekarang.
Kesan pertama Langdon adalah udara di dalam ruangan itu ternyata lebih tipis daripada yang dibayangkannya. Sepertinya Vatikan memperlakukan arsip mereka dengan sangat serius daripada yang seharusnya. Langdon berusaha meredakan perasaan tercekik yang dirasakannya dan mengendurkan pernapasannya ketika pembuluh kapiler di paru-parunya berusaha untuk mendapatkan udara tambahan. Perasaan seperti itu ternyata berlalu dengan cepat. Inilah si lumba-lumba, pikirnya riang dan merasa bersyukur karena kebiasaan latihan berenang sebanyak lima puluh putaran setiap hari ternyata ada gunanya juga. Sekarang setelah bernapas dengan lebih normal, dia lalu melihat ke sekeliling ruangan itu. Walau dinding itu tembus pandang, Langdon merasakan kecemasan yang biasa dirasakannya. Aku berada di dalam sebuah kotak, pikirnya. Sebuah kotak berwarna merah tua.
Pintu itu berdesing di belakangnya. Langdon berpaling dan melihat Vittoria masuk. Ketika Vittoria tiba di dalam, matanya segera berair, dan dia mulai bernapas dengan berat.
"Pelan-pelan," kata Langdon. "Kalau kamu merasa pusing, membungkuklah."
"Aku ... merasa ...," kata Vittoria seperti tercekik, "seperti ... menyelam ... dengan komposisi udara yang salah di dalam tabung oksigenku ...."
Langdon menunggu hingga Vittoria dapat beradaptasi. Langdon tahu Vittoria akan baik-baik saja. Vittoria Vetra jelas dalam Keadaan yang sangat sehat, sama sekali tidak seperti seorang alumnus Radcliffe yang gemetar ketika memasuki ruang arsip yang kedap udara di Perpustakaan Widener. Tur tersebut berakhir ketika Langdon harus memberikan bantuan pernapasan dari mulut kemulut untuk menolong rekannya itu; seorang perempuan tua yang hampir tercekik oleh gigi palsunya gara-gara masuk ke ruang penyimpanan arsip kuno yang kedap udara.
"Merasa lebih baik?" tanya Langdon.
Vittoria mengangguk.
"Aku harus naik pesawat sialanmu itu, jadi kupikir aku boleh membalasmu dengan ini."
Vittoria tersenyum. " Touch�. Aku menyerah sekarang."
Langdon meraih kotak di samping pintu dan menarik keluar beberapa sarung tangan dari katun berwarna putih.
"Prosedur formal, eh?" tanya Vittoria.
"Ini untuk melindungi dokumen dari asam yang terdapat di jari kita. Kita tidak boleh memegang dokumen tanpa mengenakan ini. Kamu harus memakainya."
Vittoria mengenakan sepasang sarung tangan. "Berapa lama lagi waktu kita?"
Langdon melihat jam tangan Mickey Mouse-nya. "Baru berlalu tujuh menit."
"Kita harus menemukannya dalam satu jam."
"Sebenarnya," kata Langdon, "kita tidak memiliki waktu sebanyak itu." Dia menunjuk ke langit-langit dengan saringan udara di atas mereka. "Biasanya kurator akan menyalakan sistem reoksigenasi ketika seseorang berada di dalam ruangan ini. Tetapi tidak hari ini. Kita hanya punya waktu dua puluh menit, setelah itu kita tidak akan menghirup apa -apa."
Wajah Vittoria menjadi sangat pucat dalam sinar lampu kemerahan.
Langdon tersenyum dan merapikan sarung tangannya. "Cepat ketemu atau tercekik, Nona Vetra. Si Mickey berdetik."
51
WARTAWAN BBC GUNTHER Glick memandang ponsel di tangannya selama sepuluh detik sebelum akhirnya meletakkannya.
Chinita Macri mengamatinya dari belakang van. "Ada apa? Siapa itu tadi?"
Glick berpaling, dan merasa seperti seorang anak kecil yang baru saja menerima hadiah Natal yang dikhawatirkan salah alamat. "Aku baru saja mendapat sebuah petunjuk. Ada yang terjadi di dalam Vatikan."
"Dan kejadian itu namanya rapat pemilihan paus," kata Chinita.
"Petunjuk hebat."
"Bukan itu. Ada yang lainnya." Sesuatu yang besar. Dia bertanya-tanya apakah yang dikatakan si penelepon tadi itu benar. Glick merasa malu ketika diam-diam berdoa mudah-mudahan cerita itu adalah kenyataan. "Bagaimana kalau aku bilang ada empat orang kardinal diculik dan akan dibunuh di empat gereja yang berbeda malam ini."
"Aku akan mengatakan bahwa kamu baru saja ditipu oleh seseorang dari kantor dengan lelucon yang tidak lucu."
"Bagaimana kalau aku bilang kita akan diberi tahu tempat pembunuhan pertamanya?"
"Aku ingin tahu siapa orang yang baru meneleponmu itu."
"Lelaki itu tidak mengatakannya."
"Karena mungkin saja dia berbohong?"
Glick sudah menduga Macri akan bersikap sinis seperti ini, tetapi temannya itu lupa kalau penipu dan orang gila sudah menjadi urusan Glick selama hampir satu dasawarsa ketika bekerja di British Tattler. Tapi penelepon itu bukanlah penipu ataupun orang gila. Dia berbicara dengan logis dan perkataannya masuk akal. Aku akan meneleponmu lagi sebelum pukul delapan, kata lelaki itu, dan mengatakan kepadamu tempat terjadinya pembunuhan pertama. Gambar-gambar yang kamu rekam akan membuatmu terkenal. Ketika Glick bertanya kenapa si penelepon mau memberinya informasi itu, jawabannya terdengar sedingin aksen Timur Tengah-nya. Media adalah senjata yang tepat untuk sebuah anarki.
"Dia juga mengatakan satu hal lagi," kata Glick.
"Apa? Elvis Presley baru saja terpilih menjadi paus?"
"Teleponlah database BBC. Tolong." Adrenalin Glick seperti terpompa sekarang. "Aku ingin tahu cerita apa lagi yang dapat kita tulis tentang mereka."
"Mereka apa?"
"Turuti saja apa kataku."
Macri mendesah dan mulai menghubungi database BBC. "Ini tidak akan lama."
Glick seperti merenung. "Orang yang meneleponku tadi sangat ingin tahu apakah ada juru kamera yang bekerja bersama denganku."
"Videografer," kata Macri meralat.
"Dan dia juga ingin tahu apakah kita dapat menayangkan langsung."
"Satu koma lima tiga tujuh megahertz. Apa maksud dari semua ini?" Database itu berbunyi "bip". "Baik, kita sudah masuk. Siapa yang kamu cari?"
Glick memberinya kata kunci.
Macri berpaling dan menatapnya. "Aku harap kamu sedang bercanda sekarang."
52
PENGATURAN BAGIAN DALAM Ruang Arsip nomor 10 tidak seperti yang Langdon duga sebelumnya, dan naskah Diagramma ternyata tidak berada bersama karya terbitan Galileo lainnya. Tanpa akses ke indeks yang terdapat di komputer dan petunjuk pencarian, Langdon dan Vittoria menghadapi jalan buntu.
"Kamu yakin Diagramma ada di sini?" tanya Vittoria.
"Ya. Ada daftar yang meyakinkan di Ufficio della Propaganda delle Fede--"
"Baiklah. Selama kamu yakin." Vittoria kemudian bergerak ke kiri sementara Langdon ke kanan.
Langdon mulai pencarian secara manual. Berkali-kali dia berusaha mengendalikan dirinya supaya tidak berhenti dan membaca setiap naskah penting di situ. Koleksi itu mengejutkannya. The Assayer ... The Starry Messenger ... The Sunspot Letters Letter to the Grand Duchess Christina ... Apologia pro Galileo ... dan seterusnya.
Ternyata Vittorialah yang pertama kali menemukan naskah itu di bagian belakang ruangan 10. Suara seraknya berseru, "Diagramma della Verit�"
Langdon bergegas menembus sinar berwarna merah tua itu untuk menemuinya. "Di mana?"
Vittoria menunjuk, dan Langdon segera sadar mengapa mereka tidak melihatnya tadi. Naskah itu berada di dalam kotak penyimpanan folio, bukan di rak. Kotak penyimpanan folio biasanya digunakan untuk menyimpan lembaran-lembaran yang tidak dijilid. Label yang tercetak di depan kotak itu menghapus keraguan tentang isinya.
DIAGRAMMA DELLA VERITA Galileo Galilei, 1639
Tubuh Langdon langsung lemas, jantungnya berdebar keras. "Diagramma." Dia tersenyum pada Vittoria untuk berterima kasih. "Bagus sekali, Vittoria. Tolong aku untuk menariknya keluar dari kotak penyimpannya."
Vittoria berlutut di sampingnya, lalu mereka berdua menarik naskah itu. Langdon menarik nampan yang berisi kotak penyimpanan yang terbuat dari logam ke arah mereka sehingga minyak kastroli yang ada di dalamnya tumpah dan memperlihatkan tutup kotak tersebut.
"Tidak terkunci?" tanya Vittoria dengan heran karena penyimpanan yang sederhana itu.
"Tidak pernah. Dokumen-dokumen ini kadang harus dipindahkan dengan cepat. Jika ada banjir atau kebakaran, misalnya."
"Jadi, bukalah," Vittoria mendesak.
Langdon tidak membutuhkan desakan lagi. Dengan impian akademis yang sudah ada di depan mata dan udara yang mulai menipis di dalam ruangan ini, dia tidak mau bermain-main lagi. Dia membuka kancing dan mengangkat tutupnya. Di dalamnya tergeletak sebuah kantung hitam dari kain linen. Kain itu tidak rapat tenunannya sehingga tidak terlalu melindungi isinya. Langdon mengambilnya dengan kedua tangannya agar kantung itu tetap dalam posisi horisontal. Kemudian dia mengangkatnya keluar dari tempat penyimpanannya.
"Aku tadi menduga dokumen ini disimpan di dalam sebuah kotak harta karun," kata Vittoria. "Ini tampak seperti sarung bantal saja."
"Ikuti aku," kata Langdon. Dia membawa kantung itu di depan tubuhnya seperti membawa persembahan. Langdon berjalan ke tengah-tengah ruangan, tempat meja dengan dasar kaca yang biasa digunakan untuk memeriksa arsip berada. Meskipun penempatan meja di tengah-tengah itu dimaksudkan untuk mengurangi perjalanan arsip, tapi selain itu para peneliti juga menginginkan privasi yang didapat dari rak-rak buku yang mengelilinginya. Penemuan yang akan mengubah karir mereka terjadi di sebuah ruang arsip paling top di muka bumi ini, jadi sebagian besar peneliti tidak ingin saingannya mengintip ketika mereka sedang bekerja.
Langdon meletakkan kantung itu di atas meja dan membuka kancingnya. Sementara itu, Vittoria berdiri di dekatnya. Langdon mencari-cari sesuatu di atas nampan peralatan, lalu menemukan penjepit arsip yang disebut finger cymbals--penjepit besar dengan cakram kecil pada ujung kedua penjepitnya. Ketika kegembiraannya memuncak, Langdon takut kalau sewaktu-waktu dia terbangun dan berada di Cambridge dengan setumpuk kertas ujian kenaikan kelas yang harus diperiksanya. Sambil menarik napas dalam, Langdon membuka kantung itu. Jemarinya gemetar di balik sarung tangan katunnya. Dia merogoh ke dalam dengan penjepitnya.
"Tenang," kata Vittoria. "Itu hanya kertas, bukan plutonium."
Langdon menyelipkan penjepit itu di sekeliling tumpukan dokumen di dalam kantung. Dia sangat berhati-hati ketika menekan dokumen itu dengan penjepitnya. Langdon tidak menariknya keluar, tapi tetap menjepitnya di dalam. Dia kemudian menarik kantungnya--sebuah prosedur yang dilakukan para ahli arsip untuk meminimalisir gerakan artifak. Ketika kantungnya terlepas dari dokumen itu, dan Langdon sudah meletakkan dokumen tersebut di atas meja pemeriksaan yang bersinar gelap di bawahnya, barulah Langdon dapat bernapas dengan lega.
Vittoria tampak seperti hantu karena wajahnya terkena sinar dari bawah meja. "Lembaran-lembaran kecil," katanya, suaranya terdengar takzim.
Langdon mengangguk. Tumpukan folio di depan mereka tampak seperti lembaran-lembaran lepas dari sebuah novel edisi kertas koran. Langdon dapat melihat lembaran teratasnya ditulisi judul, tanggal dan nama Galileo dengan menggunakan pena dan tinta ornamen oleh Galileo sendiri.
Saat itu juga, Langdon lupa akan ruangan sempit dan keletihannya sendiri. Dia juga sudah melupakan keadaan yang menegangkan yang membawanya ke sini. Dia hanya menatap dengan kekaguman. Berdekatan dengan sejarah selalu membuat Langdon terpaku oleh rasa hormat ... seperti melihat sapuan kuas pada lukisan Mona Lisa.
Papirus kuning yang bisu itu membuat Langdon yakin akan usia dan keasliannya. Kecuali tulisannya yang sudah mulai memudar, kondisi dokumen itu masih sangat baik. Warnanya agak memudar. Ada sedikit pemisahan dan kohesi dari papirus itu. Tetapi secara keseluruhan ... kondisinya sangat baik. Dia mengamati hiasan yang dibuat dengan tangan di sampul muka dokumen tersebut. Langdon mulai merasakan tatapannya mengabur karena tingkat kelembaban yang rendah. Vittoria tidak berkata sepatah katapun. "Tolong berikan spatula itu padaku," Langdon menunjuk ke sisi Vittoria, ke arah sebuah nampan berisi peralatan arsip yang terbuat dari stainless-steel. Vittoria memberikannya kepada Langdon. Langdon mengambilnya. Alat itu bagus. Dia mengusap permukaannya dengan jarinya untuk menyingkirkan daya statis yang dikandungnya, kemudian, dengan sangat berhati-hati, Langdon menyelipkan alat itu ke bawah lembaran sampul.
Halaman pertama ditulis dengan huruf sambung, kaligrafi kecil yang hampir tidak dapat dibaca. Langdon segera melihat di situ tidak terdapat diagram atau angka-angka. Dokumen itu hanyalah sebuah esai.
"Heliosentrisitas," kata Vittoria, menerjemahkan judul di atas folio pertama. Dia mengamati teks itu. "Tampaknya Galileo meruntuhkan model geosentris dengan sangat pasti. Dokumen ini ditulis dalam bahasa Italia kuno. Aku tidak janji untuk menerjemahkan ini untukmu."
"Lupakan," sahut Langdon. "Kita sedang mencari matematika. Bahasa murni." Langdon menggunakan spatula itu untuk menjepit halaman berikutnya. Esai lagi. Tidak ada matematika atau diagram. Tangan Langdon mulai berkeringat di balik sarung tangannya.
"Pergerakan Planet-Planet," kata Vittoria, menerjemahkan judul itu.
Langdon mengerutkan keningnya. Pada lain hari, dia pasti akan sangat senang membacanya; model modern buatan NASA untuk menggambarkan orbit planet-planet yang didapat dari hasil penelitian dengan menggunakan teleskop super canggih, mungkin saja hampir sama dengan perkiraan awal yang dibuat oleh Galileo.
"Tidak ada matematika," kata Vittoria. "Dia berbicara tentang pergerakan mundur dan orbit berbentuk elips atau sejenisnya."
Orbit berbentuk elips. Langdon ingat sebagian besar dari masalah hukum yang menimpa Galileo dimulai ketika dia berkata bahwa pergerakan planet-planet berputar dalam orbit yang berbentuk elips. Sementara itu, Vatikan mengagungkan kesempurnaan gerakan melingkar dan bersikeras bahwa pergerakan yang dibuat Tuhan hanya berbentuk lingkaran. Bagaimanapun, Illuminati Galileo melihat kesempurnaan itu ada dalam pergerakan elips, mengacu pada dualitas matematika seperti yang terlihat dari dua titik fokus yang dimilikinya. Elips Illuminati tampak jelas bahkan pada masa kini dalam bentuk meja dan tatakan pijakan kelompok Mason modern.
"Berikutnya," kata Vittoria.
Langdon membuka halaman berikutnya.
"Fase-fase bulan dan pergerakan pasang laut," katanya. "Tidak ada nomor-nomor. Tidak ada diagram."
Langdon membalik halaman lagi. Tidak ada apa-apa. Dia terus membalik-balik halaman sampai belasan halaman atau lebih. Tidak ada apa -apa. Sama sekali tidak ada perhitungan matematika.
"Kukira lelaki ini adalah seorang ahli matematika," kata Vittoria. "Tetapi, semuanya hanya berupa tulisan saja."
Langdon merasa udara di dalam paru-parunya mulai menipis. Demikian juga harapannya. Tumpukan kertas di hadapannya mulai menyusut.
"Tidak ada apa pun di sini," kata Vittoria. "Tidak ada matematika. Hanya beberapa tanggal dan bentuk standar, tetapi tidak ada yang tampak seperti petunjuk."
Langdon membalik folio terakhir dan mendesah. Halaman itu juga hanya berisi sebuah esai.
"Buku pendek," kata Vittoria sambil mengerutkan keningnya.
Langdon mengangguk.
"Merda, begitu orang Roma menyumpah," kata Vittoria.
Sialan, juga boleh, pikir Langdon. Bayangannya di dinding kaca tampak mengejeknya, sama seperti bayangan yang balas menatapnya dari kaca jendela rumahnya tadi pagi. Sesosok hantu tua. Pasti ada sesuatu," katanya dengan suara serak karena merasa putus asa. "Segno itu di sini, di suatu bagian. Aku tahu itu!"
"Mungkin kamu salah tentang DIII?"
Langdon berpaling dan menatap Vittoria.
"Baiklah," Vittoria berkata, "DIII masuk akal sekali. Tetapi mungkin petunjuknya tidak berupa perhitungan matematika."
"Lingua pura. Apa lagi kalau bukan matematika?"
"Seni?"
"Bahkan di dalam buku ini tidak terdapat diagram atau gambar."
"Yang kutahu, lingua pura itu mengacu pada sesuatu selain bahasa Italia. Matematika tampak terlalu logis."
"Aku setuju."
Langdon menolak untuk menerima kekalahan terlalu cepat. "Angka itu pasti ditulis dengan huruf sambung. Perhitungan matematika pasti ditulis dengan kata-kata, bukan dengan persamaan."
"Akan makan waktu untuk membaca semua halaman itu."
"Kita tidak punya waktu. Kita harus membagi tugas." Langdon membalik tumpukan kertas itu dari halaman awal. "Aku cukup mengerti bahasa Italia untuk mengenali angka-angka." Kemudian, dengan menggunakan spatulanya, dia membagi tumpukan kertas itu seperti tumpukan kartu dan meletakkan tumpukan pertama di depan Vittoria. "Aku yakin kita dapat menemukannya di sini."
Vittoria mengulurkan tangannya dan membalik halaman pertama dengan tangannya.
"Spatula!" kata Langdon sambil mengambil alat itu lagi dari nampan. "Gunakan spatula."
"Aku mengenakan sarung tangan," gerutunya. "Aku tidak akan merusak apa-apa, bukan?"
"Gunakan sajalah."
Vittoria memungut spatula itu. "Kamu merasakan apa yang kurasakan?"
"Ketegangan?"
"Bukan. Napas terasa lebih pendek."
Langdon memang mulai merasakannya juga. Udara mulai menipis lebih cepat dari yang dibayangkannya semula. Dia tahu mereka harus bergegas. Permainan kata yang biasa terdapat di dalam sebuah arsip sudah tidak asing lagi baginya, tetapi biasanya dia mempunyai waktu lebih dari beberapa menit untuk menyelesaikannya. Tanpa berkata-kata lagi, Langdon menundukkan kepalanya dan mulai menerjemahkan halaman pertama dari tumpukannya.
Tunjukkan dirimu, sialan! Tunjukkan dirimu!
53
PADA SUATU TEMPAT di bawah tanah di kota Roma, sesosok gelap menuruni anak tangga batu menuju ke terowongan bawah tanah. Gang tua itu hanya diterangi oleh obor sehingga udara terasa panas dan pengap. Di atasnya terdengar suara-suara ketakutan dari beberapa orang lelaki dewasa yang berteriak memanggil manggil dengan sia-sia karena suara mereka hanya memantul pada ruangan kosong di sekitar mereka.
Ketika lelaki itu membelok ke sudut, dia melihat orang-orang itu masih dalam keadaan yang sama ketika dia meninggalkan mereka beberapa saat yang lalu--empat orang lelaki tua, ketakutan, terkurung di balik jeruji besi berkarat dalam ruangan berdinding batu.
"Qui �tes-vous?" tanya salah satu dari keempat lelaki itu dalam bahasa Perancis. "Siapa kamu?" Apa yang kamu inginkan dari kami?"
"Hilfel" seorang lainnya berkata dalam bahasa Jerman. "Biarkan kami pergi!"
"Kamu tahu siapa kami?" tanya seorang lagi dalam bahasa Inggris yang beraksen Spanyol.
"Diam," suara serak itu memerintah. Ada ketegasan dalam nada suaranya.
Satu-satunya orang dari keempat tawanan itu, seorang Italia yang tenang dan penuh kehati-hatian, menatap mata penculiknya yang sehitam tinta. Kardinal Italia itu yakin, dia sedang melihat neraka di sana. Tuhan, tolong kami, dia memohon dalam hati.
Pembunuh itu melihat jam tangannya dan kemudian berpaling pada para tawanannya. "Nah," katanya. "Siapa yang mau jadi nomor satu?"
54
DI DALAM RUANG ARSIP nomor 10, Robert Langdon mengucapkan nomor dalam bahasa Italia sambil memeriksa kaligrafi di depannya. Mille ... centi ... uno ... duo, tre ... cinquanta. Aku membutuhkan petunjuk nomor! Apa saja, sialan!
Ketika tiba sampai ke lembaran folio terakhirnya, Langdon mengangkat spatulanya untuk menjepit lembaran itu. Ketika dia mendekatkan paruh spatulanya ke halaman folio tersebut, dia gemetar karena sulit untuk memegang alat itu dengan tetap. Beberapa menit setelah itu, dia melihat ke bawah dan sadar kalau dia sudah tidak lagi menggunakan spatulanya dan membalik-balik halaman di depannya dengan tangannya. Aduh, pikirnya, sedikit merasa seperti penjahat. Kekurangan oksigen telah memengaruhi kemampuannya untuk menahan diri. Tampaknya aku akan dibakar di neraka arsip.
"Akhirnya kamu pakai juga tanganmu," kata Vittoria kaget ketika melihat Langdon membalik-balik halaman dengan tangannya. Dia kemudian menjatuhkan spatulanya dan meniru Langdon.
"Menemukan sesuatu yang menarik?"
Vittoria menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang benar-benar tampak seperti matematika. Aku membacanya dengan cepat, tetapi tidak ada yang tampak seperti sebuah petunjuk."
Langdon kembali menerjemahkan halaman folio di hadapannya dengan kesulitan yang semakin bertambah. Penguasaan bahasa Italianya tidak bagus, dan tulisan tangan serta bahasa kuno itu membuatnya semakin lambat. Vittoria berhasil menyelesaikan halaman terakhirnya sebelum Langdon dan tampak berkecil hati ketika dia merapikan kembali tumpukan folio itu. Vittoria terdiam sambil mengamati lagi dengan lebih seksama.
Ketika Langdon selesai dengan halaman terakhirnya, dia mengumpat perlahan dan menatap Vittoria. Perempuan di hadapannya cemberut, dia kemudian menyipitkan matanya ketika melihat sesuatu di lembaran folionya. "Apa itu?" tanya Langdon.
Vittoria tidak menatapnya. "Apakah kamu menemukan catatan kaki di halaman-halaman yang kamu periksa?"
"Aku tidak melihatnya. Kenapa?"
"Halaman ini mempunyai catatan kaki. Tidak jelas karena berada dalam lipatan."
Langdon mencoba melihat apa yang sedang dilihat Vittoria, tetapi apa yang dapat dilihatnya hanyalah nomor halaman di sudut atas sebelah kanan di kertas itu. Folio halaman 5. Perlu waktu sesaat saja untuk mencerna sesuatu yang terjadi secara kebetulan itu. Bahkan ketika memerhatikan nomor halaman itu, Langdon tidak langsung menemukan hubungannya. Folio lima, Phytagoras, pentagrams, Illuminati. Langdon bertanya-tanya apakah Illuminati memilih halaman lima untuk menyembunyikan petunjuk mereka. Melalui kabut kemerahan di sekitar mereka, Langdon merasakan adanya sinar harapan yang tipis. "Apakah catatan kaki itu berupa perhitungan matematika?"
Vittoria menggelengkan kepalanya. "Teks. Satu baris. Tercetak sangat kecil. Hampir tidak dapat dibaca."
Harapan Langdon menguap. "Seharusnya berupa perhitungan matematika. Lingua pura."
"Ya, aku tahu." Vittoria ragu. "Tapi mungkin kamu mau mendengarkan ini." Langdon mendengar kesan gembira dalam suara Vittoria.
"Bacalah."
Sambil menyipitkan matanya, Vittoria menatap folio di hadapannya. "The path of light is laid, the sacred test." (Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci itu.)
Kata-kata itu sama sekali tidak seperti yang dibayangkan Langdon.
"Maaf?"
Vittoria mengulanginya. " The path of light is laid, the sacred test."
"Jalan cahaya?" Langdon merasa tubuhnya menjadi tegak.
"Begitulah katanya. Jalan cahaya."
Ketika kata-kata itu masuk ke dalam otaknya, Langdon menyadari kebingungan yang dirasakannya selama ini dengan cepat berubah menjadi kejelasan. Jalan cahaya sudah terbentang ujian suci itu. Langdon tidak tahu bagaimana kalimat itu bisa berguna bagi mereka, tetapi itu jelas merupakan petunjuk langsung ke arah Jalan Pencerahan seperti yang dibayangkannya. Jalan cahaya. Ujian suci. Kepalanya terasa seperti mesin yang sudah berkarat. "Kamu yakin dengan terjemahannya?"
Vittoria ragu. "Sebenarnya ...," dia menatap Langdon dengan tatapan aneh. "Itu bukanlah terjemahan. Baris itu tertulis dalam bahasa Inggris."
Sekilas Langdon mengira tata suara di ruangan ini sudah memengaruhi pendengarannya. "Bahasa Inggris?"
Vittoria menyorongkan dokumen itu ke hadapan Langdon, dan Langdon membaca teks yang tertulis dalam ukuran kecil di dasar halaman itu. "The path of light is laid, the sacred test. Bahasa Inggris? Kenapa ada bahasa Inggris di dalam buku Italia?"
Vittoria menggerakkan bahunya. Dia juga tampak bingung. "Mungkin Bahasa Inggris yang mereka maksud dengan lingua pura. Bahasa Inggris dianggap bahasa internasional dalam ilmu pengetahuan. Kami berbicara dengan Bahasa Inggris di CERN.
"Tetapi ini tahun 1603," kata Langdon. "Tidak seorang pun berbicara bahasa Inggris di Italia, bahkan tidak--" Tiba-tiba Langdon berhenti, sadar pada apa yang akan dikatakanya, "Tidak ada satu ... pastor pun yang berbahasa Inggris." Otak akademis Langdon bergerak dengan cepat. "Pada tahun 1600-an," lanjutnya dengan lebih cepat sekarang. "Bahasa Inggris adalah bahasa yang tidak digunakan di Vatikan. Mereka melakukan perjanjian dalam bahasa Italia, Latin, Jerman dan bahkan Spanyol atau Perancis. Bahasa Inggris adalah bahasa yang betul-betul asing di Vatikan. Mereka menganggap bahasa Inggris adalah bahasa kotor yang digunakan orang-orang yang berpikiran bebas, orang-orang yang memuja kehidupan duniawi seperti Chaucer dan Shakespeare. " Tiba-tiba Langdon teringat pada cap-cap Illuminati seperti Bumi, Udara, Api, dan Air. Legenda yang mengatakan bahwa cap-cap tersebut diukir dalam Bahasa Inggris sekarang mulai masuk akal walau tetap terdengar aneh.
"Jadi maksudmu, mungkin Galileo menganggap Bahasa Inggris sebagai la lingua pura karena itu adalah bahasa yang tidak dikendalikan oleh Vatikan?"
"Ya. Atau mungkin dengan meletakkan petunjuk dalam Bahasa Inggris, Galileo secara tidak langsung menyingkirkan pembaca yang berasal dari Vatikan."
"Tetapi itu sama sekali bukan petunjuk," desak Vittoria. "Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci itu? Apa artinya itu?"
Dia benar, pikir Langdon. Baris itu tidak ada gunanya. Tetapi ketika dia menyebutkan lagi kalimat itu di dalam hati, sebuah kenyataan yang aneh tiba -tiba menyadarkannya. Nah, itu aneh, pikirnya. Apa maksudnya ini semua?
"Kita harus keluar dari sini," kata Vittoria dengan suara serak.
Langdon tidak mendengarnya. The path of light is laid, the sacred test. "Itu adalah baris iambic pentameter" kata Langdon tiba-tiba sambil
menghitung suku katanya lagi. "Lima couplet dengan suku kata yang ditekan dan tidak ditekan secara bergantian."
Vittoria tampak bingung. "Iambic itu siapa?"
Saat itu juga ingatan Langdon kembali ke Phillips Exeter Academy. Ketika itu dia sedang duduk di kelas bahasa Inggris pada hari Sabtu pagi. Hari yang sial. Bintang baseball sekolah, Peter Greer, mendapat kesulitan dalam mengingat jumlah bait yang dibutuhkan untuk sebuah iambic pentameter dalam karya Shakespeare. Guru mereka, orang yang dicalonkan menjadi kepala sekolah bernama Bissell, berjalan ke arah mejanya dan berteriak. "Penta-meter, Greer! Ingat jumlah home dalam permainan baseball. Pentagon! Lima sisi! Penta! Penta! Penta! Ya ampun!"
Lima couplet, pikir Langdon. Menurut definisinya, setiap couplet memiliki dua suku kata. Dia tidak percaya kalau selama ini dia tidak pernah menghubungkan pemikiran itu. Iambic pentameter adalah ukuran simetris yang berdasarkan pada nomor suci Illuminati, 5 dan 2!
Kamu mulai berhasil! kata Langdon pada dirinya sambil mencoba mengusir gagasan itu dari benaknya. Ketidaksengajaan yang tidak ada artinya! Tetapi pikirannya tetap terpaku di situ. Lima ... untuk Pythagoras dan pentagram. Dua ... untuk dualitas pada semua hal.
Sesaat kemudian, sebuah kenyataan yang lainnya mengirimkan sensasi yang membuat lututnya seperti mati rasa. Iambic pentameter, karena kesederhanaannya, sering disebut "sajak murni" atau "ukuran murni". La lingua pura?. Mungkinkah ini bahasa murni yang dimaksudkan oleh Illuminati? The path of light is laid, the sacred test ...
"Uh oh," kata Vittoria.
Langdon berpaling dan melihat Vittoria memutar folio itu hingga terbalik. Langdon merasa perutnya tegang. Jangan lagi. "Tidak mungkin baris itu merupakan ambigram!"
"Bukan. Bukan ambigram ... tetapi ...," Vittoria terus memutar dokumen itu sebesar 90 derajat searah jarum jam.
"Tetapi apa?"
Vittoria mendongak. "Ini bukan satu-satunya baris yang ada.'
"Ada yang lain?"
"Ada sebuah baris yang berbeda di setiap pinggirannya. Di atas, di bawah, di kiri dan kanan. Kukira ini adalah puisi."
"Empat baris?" Langdon merinding karena gembira. Galileo adalah seorang penyair! "Coba kulihat!"
Vittoria tidak memberikan halaman itu. Dia terus memutarnya sebesar 90 derajat. "Tadi aku tidak melihat baris itu karena tulisan itu berada di pinggiran." Dia memiringkan kepalanya pada baris terakhir. "Hah. Kamu tahu? Galileo bukan orang yang menulis ini. Bukan dia penulisnya."
"Apa?"
"Puisi itu ditandatangani oleh John Milton."
"John Milton?" Seorang penyair Inggris berpengaruh yang menulis Paradise Lost adalah seorang penyair yang hidup semasa dengan Galileo. Milton adalah seorang akademisi yang ditempatkan di posisi teratas dalam daftar tersangka Illuminati oleh kelompok penggemar konspirasi. Pernyataan kalau Milton terkait dengan Illuminati Galileo merupakan satu legenda yang diduga Langdon benar. Tidak saja karena Milton pernah pergi ke Roma yang didokumentasikan dengan baik pada tahun 1638 untuk "bergabung dengan orang-orang yang mendapat pencerahan," tetapi dia juga telah bertemu dengan Galileo selama ilmuwan itu ditahan di rumah. Pertemuan-pertemuan itu diabadikan pada banyak lukisan Renaisans, termasuk dalam lukisan karya Annibale Gatti yang terkenal itu, Galileo and Milton, yang sekarang tergantung pada Museum IMSS di Florence.
"Milton mengenal Galileo, bukan?" tanya Vittoria ketika akhirnya dia menyodorkan halaman folio itu pada Langdon. "Mungkin dia menulis puisi untuk penghormatan?"
Langdon mengeraskan rahangnya ketika dia mengambil lembaran dokumen itu. Dia tetap membiarkannya terletak di atas meja, lalu membaca baris yang ada di bagian atas halaman itu. Kemudian dia memutar halaman itu 90 derajat, lalu membaca baris di sisi kanan. Satu putaran lagi, dan dia membaca di bagian bawah. Satu putaran berikutnya, yang sebelah kiri. Langdon lalu memutar 90 derajat lagi untuk menyelesaikan satu putaran. Semua ada empat baris. Baris pertama yang ditemukan Vittoria itu seharusnya merupakan baris ketiga. Sambil terperangah, Langdon membaca keempat baris itu sekali lagi searah jarum jam, dari atas, lalu kanan, kemudian bawah, dan akhirnya kiri. Ketika dia sudah selesai, dia menarik napas panjang. Tidak ada lagi keraguan dalam benaknya. "Kamu telah menemukannya, Nona Vetra."
Vittoria tersenyum tegang. "Bagus, sekarang kita bisa keluar dari sini?"
"Aku harus mencatat baris-baris itu. Aku perlu pensil dan kertas."
Vittoria menggelengkan kepalanya. "Lupakan, profesor. Tidak ada waktu untuk menulis. Si Mickey berdetik." Vittoria kemudian mengambil halaman itu dari tangan Langdon dan menuju pintu.
Langdon berdiri. "Kamu tidak boleh membawanya keluar! Itu sebuah--"
Tetapi Vittoria sudah menghilang.
55
LANGDON DAN VITTORIA meloncat ke halaman di luar ruang Arsip Rahasia. Udara segar terasa seperti candu ketika mengalir ke dalam paru-paru Langdon. Titik ungu dalam penglihatannya segera menghilang. Tapi tidak dengan rasa berdosa yang kini dirasakannya. Dia baru saja menjadi antek pencurian sebuah peninggalan sejarah yang sangat berharga yang terdapat di ruang penyimpanan arsip yang paling tertutup di dunia. Langdon seperti mendengar suara sang camerlengo berkata, Aku memberikan kepercayaanku kepadamu.
"Cepat," kata Vittoria sambil masih memegang lembaran folio itu di tangannya dan berjalan dengan setengah berlari menyeberangi Via Borgia menuju ke arah kantor Olivetti.
"Kalau ada air mengenai papirus itu--"
"Tenang saja. Begitu kita bisa memecahkan kode ini, kita dapat mengembalikan folio halaman 5 mereka yang suci itu."
Langdon mempercepat jalannya untuk mengejar Vittoria. Selain merasa seperti seorang penjahat, dia juga masih takjub dengan pesona dokumen itu. John Milton adalah seorang anggota Illuminati. Dia menciptakan puisi untuk Galileo dan dipublikasikan dalam folio halaman 5
... jauh dari pengetahuan Vatikan.
Ketika mereka meninggalkan halaman depan gedung arsip, Vittoria mengeluarkan lembaran folio itu dan memberikannya kepada Langdon. "Kamu pikir kamu dapat memecahkan sandi yang tertulis di sini? Atau kita tadi hanya memeras otak untuk sesuatu yang sia-sia saja?"
Langdon menerima lembaran itu dengan hati-hati. Tanpa ragu dia menyelipkannya ke dalam salah satu saku di balik jas wolnya agar terhindar dari sinar matahari dan bahaya kelembaban. "Aku sudah memecahkan sandinya."
Vittoria berhenti mendadak. "Apa?"
Langdon terus berjalan.
Vittoria mengejarnya. "Kamu baru membacanya sekali! Kupikir sandi itu akan sulit untuk dipecahkan!"
Langdon tahu Vittoria benar, tapi dia telah berhasil memecahkan segno itu dengan satu kali baca saja. Sebuah stanza yang sempurna yang memiliki iambic pentameter, dan altar ilmu pengetahuan yang pertama terlihat dengan sangat jelas. Diakuinya, penemuan yang terlalu mudah itu membuatnya merasa gelisah. Dia dibesarkan oleh etika kerja kaum puritan. Dia masih dapat mendengar ayahnya mengucapkan sebuah pepatah Inggris kuno: Kalau tidak sulit, berarti kamu salah mengerjakannya. Langdon berharap pepatah itu salah. "Aku telah memecahkannya," katanya sambil berjalan lebih cepat sekarang. "Aku tahu di mana pembunuhan pertama akan dilakukan. Kita harus memperingatkan Olivetti."
Vittoria mengejar langkahnya. "Bagaimana kamu bisa tahu? Coba kulihat kertas itu lagi." Dengan ketangkasan seorang petinju, Vittoria merogoh saku jas Langdon dan menarik keluar lembaran folio itu lagi.
"Hati-hati!" seru Langdon. "Kamu tidak dapat--" Vittoria mengabaikannya. Sambil memegang lembaran itu di tangannya, Vittoria berjalan di samping Langdon, dan membaca dokumen tersebut di bawah lampu malam serta memeriksa pinggirannya. Ketika Vittoria mulai membacanya dengan keras Langdon berniat untuk mengambil kembali folio itu, tetapi dia terpesona pada suara alto dan aksen perempuan itu ketika membaca suku kata puisi itu dalam irama yang sempurna dengan gayanya sendiri.
Untuk sesaat, ketika mendengarkan bait-bait yang dibaca dengan suara keras oleh Vittoria, Langdon merasa seperti dipindahkan ke masa yang lain ... seolah dia berada di masa ketika Galileo masih hidup dan sedang mendengarkan pembacaan puisi untuk pertama kalinya ... Langdon tahu puisi itu adalah ujian, sebuah peta, sebuah petunjuk untuk menemukan keempat altar ilmu pengetahuan ... sekaligus keempat petunjuk yang mengungkap sebuah jalan rahasia di Roma. Bait-bait itu mengalir dari bibir Vittoria seperti sebuah lagu.
From Santi's earthly tomb with demons hole, 'Cross Rome the mystic elements unfold. The path of light is laid, the sacred test, Let angels guide you on your lofty quest.
(Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis, Seberangi Roma untuk membuka elemen-elemen mistis. jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci itu, Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian muliamu.)
Vittoria membacanya dua kali kemudian terdiam, seolah membiarkan kata-kata kuno itu bergema sendiri.
Dari makam duniawi Santi, ulang Langdon dalam benaknya. Puisi itu sangat jelas tentang hal itu. Jalan Pencerahan dimulai dari makam Santi. Dari situ, seberangi Roma untuk menemukan berbagai petunjuk yang menerangi jejak itu.
Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis, Seberangi Roma untuk membuka elemen-elemen mistis.
Elemen-elemen mistis. Ini juga jelas. Tanah, Udara, Api, Air. Elemen-elemen ilmu pengetahuan, keempat petunjuk Illuminati tersebut disamarkan sebagai patung yang terlihat religius.
"Petunjuk pertama," kata Vittoria, "sepertinya berada di makam Santi."
Langdon tersenyum. "'Kan aku sudah bilang. Ini tidak terlalu sulit."
"Jadi, siapa Santi itu?" tanyanya, nada suaranya tiba-tiba terdengar gembira. "Dan di mana makamnya?"
Langdon tertawa sendiri. Dia kagum karena hanya segelintir orang saja yang tahu siapa Santi itu, padahal nama itu adalah nama belakang seorang seniman zaman Renaisans ternama. Nama depannya sangat dikenal dunia ... seorang anak berbakat yang pada usia 25 tahun mendapatkan jabatan penting pada masa Paus Julius II. Dan ketika dia meninggal pada usia 38 tahun, dia meninggalkan koleksi lukisan dinding yang paling hebat di dunia. Santi adalah raksasa seni dunia, dan hanya dikenal dengan nama depannya saja. Itu adalah pencapaian kesuksesan yang hanya diperoleh oleh segelintir orang saja ... orang-orang seperti Napoleon, Galileo, Yesus ... dan, tentu saja, orang-orang setengah dewa yang sekarang dikenal Langdon. Mereka itu sering terdengar berteriak-teriak dari kamar mahasiswa di asrama kampus Harvard-- Sting, Madonna, Jewel, dan seniman yang dulu dikenal sebagai Prince, yang sekarang telah mengganti namanya dengan simbol dan membuat Langdon menjulukinya sebagai "The Tau Cross With Intersecting Hermaphroditic Ankh." (Salib Tau yang bersinggungan dengan tanda Ankh hermaprodit).
"Santi," kata Langdon," adalah nama belakang seorang seniman hebat zaman Renaisans, Raphael."
"Vittoria tampak terkejut. "Raphael? Maksudmu Raphael yang itu?"
"Satu-satunya Raphael." Langdon terus berjalan dengan cepat untuk segera sampai ke kantor Olivetti.
"Jadi jalan itu bermula dari makam Raphael?"
"Sebenarnya itu sangat masuk akal," kata Langdon sambil bergegas. "Illuminati sering menganggap seniman dan pematung besar sebagai saudara kehormatan kelompok mereka. Kelompok Illuminati mungkin memilih makam Raphael sebagai tanda penghormatan mereka." Langdon juga tahu bahwa Raphael, seperti juga banyak seniman religius lainnya, diduga diam-diam adalah seorang ateis.
Vittoria menyelipkan lembaran folio itu kembali ke dalam saku jas Langdon dengan hati-hati. "Jadi, di mana dia dimakamkan?"
Langdon menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Vittoria. "Percaya atau tidak. Raphael dimakamkan di Pantheon."
Vittoria tampak ragu. "Pantheon yang itu?"
"Sang Raphael di Pantheon yang itu." Langdon harus mengakui, dia tidak pernah menduga Pantheon sebagai petunjuk pertama. Selama ini dia mengira altar ilmu pengetahuan pertama berada di tempat yang tenang, jauh dari gereja, suatu tempat yang tidak menyolok. Walau pada tahun 1600-an, Pantheon, dengan kubah besarnya yang berlubang, adalah salah satu situs Roma yang terkenal.
"Apakah Pantheon itu sebuah gereja?" tanya Vittoria.
"Gereja Katolik tertua di Roma."
Vittoria menggelengkan kepalanya. "Tetapi apakah kamu benar-benar yakin kardinal pertama akan dibunuh di Pantheon? Tempat itu pasti menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi turis di Roma."
Langdon mengangkat bahunya. "Si pembunuh yang menelepon sang camerlengo tadi berkata dia ingin seluruh dunia melihatnya. Membunuh seorang kardinal di Pantheon tentu akan membuka banyak mata."
"Tetapi bagaimana orang itu bisa berharap dapat membunuh seseorang di Pantheon dan kabur begitu saja tanpa diketahui? Itu tidak mungkin."
"Sama tidak mungkinnya dengan menculik empat orang kardinal dari Vatican City? Puisi itu tepat sekali."
"Kamu yakin bahwa Raphael dimakamkan di dalam Pantheon?"
"Aku sudah pernah melihat makam itu beberapa kali." Vittoria mengangguk walau masih terlihat cemas. "Jam berapa sekarang?"
Langdon melihat jam tangannya. "Tujuh tiga puluh."
"Apakah Pantheon itu jauh letaknya?"
"Satu mil mungkin. Kita masih punya waktu."
"Puisi itu mengatakan makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Apakah itu punya arti tertentu bagimu?"
Langdon bergegas melintasi Halaman Sentinel secara diagonal. "Duniawi? Sebenarnya mungkin tidak ada tempat paling duniawi di Roma selain Pantheon. Nama itu berasal dari agama asli yang dipraktikkan di sana ketika itu-- Pantheisme, keyakinan yang memuja semua dewa, terutama dewa yang bernama Ibu Bumi."
Sebagai mahasiswa arsitektur, Langdon merasa kagum ketika mempelajari bahwa dimensi ruang utama Pantheon merupakan penghormatan bagi Gaea--dewi Bumi. Proporsinya begitu tepat sehingga sebuah bola dunia raksasa dapat masuk dengan sempurna ke dalam bangunan itu.
"Oke," kata Vittoria, sekarang terdengar lebih yakin. "Dan lubang iblis? Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis?"
Langdon tidak terlalu yakin tentang hal itu. "Lubang iblis pasti maksudnya lubang di puncak kubah," sahut Langdon sambil menerka-nerka. "Bagian terbuka berbentuk bulat yang terkenal yang berada di atap Pantheon."
Tetapi itu sebuah gereja," sanggah Vittoria sambil bergerak sesuai langkah kaki Langdon yang cepat tanpa harus bersusah payah. "Kenapa mereka menamakan bagian terbuka itu lubang iblis?"
Langdon sebenarnya juga heran. Dia belum pernah mendengar istilah "lubang iblis" sebelumnya, tetapi dia ingat sebuah kritik tentang Pantheon yang terkenal dari abad ke enam yang kata-katanya terdengar sangat masuk akal sekarang. Venerable Bede seorang akademisi, sejarawan dan ahli teologi asal Inggris, pernah menulis lubang di langit-langit Pantheon dibuat oleh setan yang mencoba melarikan diri dari gedung itu ketika tempat itu disucikan oleh Boniface IV.
Vittoria menambahkan ketika mereka memasuki halaman yang lebih kecil, "Tapi kenapa Illuminati menggunakan nama Santi kalau dia seharusnya terkenal dengan nama Raphael?"
"Kamu banyak bertanya."
"Ayahku pernah mengatakan itu padaku."
"Ada dua alasan yang masuk akal. Satu, kata Raphael memiliki terlalu banyak suku kata sehingga akan merusak iambic pentameter yang terdapat dalam puisi itu."
"Terlalu panjang dibanding kata Santi."
Langdon setuju. "Selain itu, dengan menggunakan nama 'Santi' petunjuk itu jadi tersamar, sehingga hanya orang yang sangat tercerahkan yang dapat mengenali petunjuk ke makam Raphael itu."
Tampaknya Vittoria tidak percaya dengan alasan itu. "Aku yakin nama belakang Raphael sangat terkenal ketika dia masih hidup."
"Anehnya, ternyata tidak begitu. Pengakuan dengan nama tunggal adalah simbol status. Raphael menghindari penggunaan nama belakang seperti juga banyak bintang terkenal masa kini. Misalnya Madonna. Dia tidak pernah menggunakan nama keluarganya, Ciccone."
Vittoria tampak tertarik. "Kamu tahu nama belakang Madonna? "
Langdon menyesali pilihan contohnya itu. Tapi itu tidak aneh kalau mengingat dia terlalu banyak bergaul dengan anak-anak muda di kampus.
Ketika dia dan Vittoria melintasi gerbang terakhir menuju ke Kantor Garda Swiss, langkah mereka tiba-tiba dihentikan.
"Paral" sebuah suara berteriak di belakang mereka.
Langdon dan Vittoria berputar dan melihat sepucuk laras senjata mengarah kepada mereka.
"Attentol" Vittoria berteriak sambil terloncat mundur. "Hati-hati dengan--"
"Non sportarti! " bentak penjaga itu sambil mengokang senjatanya.
"Soldato!" sebuah suara dengan nada memerintah terdengar dari seberang halaman. Olivetti keluar dari Markas Garda Swiss.
"Biarkan mereka pergi!"
Penjaga itu tampak bingung. " Ma, signore, � una donna --"
"Masuk!" Olivetti berteriak lagi pada penjaga itu.
"Signore, non posso--"
"Sekarang! Kamu punya perintah baru. Kapten Rocher akan memberikan pengarahan dalam waktu dua menit lagi. Kita akan mengatur pencarian."
Dengan wajah bingung, penjaga itu bergegas memasuki Markas Garda Swiss. Olivetti berjalan ke arah Langdon dan Vittoria dengan kaku dan terlihat kesal. "Arsip kami yang paling rahasia? Aku minta sebuah penjelasan."
"Kami mempunyai berita bagus," kata Langdon.
Mata Olivetti menyipit. "Harus sangat-sangat bagus."
56
EMPAT BUAH MOBIL Alfa Romeo 155 T-Spark tanpa nomor menderu di jalan Via del Coronari seperti jet tempur meluncur di landasan pacu. Kendaraan itu membawa dua belas orang Garda Swiss dengan baju preman dan bersenjata semi otomatis Cherchi-Pardini, sejenis senjata yang dilengkapi tabung gas syaraf jarak pendek dan pistol pelumpuh jarak jauh. Tiga penembak jitu membawa senapan dengan pembidik yang dilengkapi oleh sinar laser.
Olivetti berada di mobil terdepan dan duduk di samping supir. Ketika dia menoleh ke belakang ke arah Langdon dan Vittoria, matanya bersinar marah. "Jadi ini yang kamu maksud dengan penjelasan yang masuk akal?"
Langdon merasa kaku setiap kali duduk di dalam mobil yang sempit. "Aku bisa mengerti kalau kamu--"
"Tidak. Aku tidak mengerti!" Olivetti tidak pernah meninggikan suaranya, tapi ketegangannya meningkat tiga kali lipat saat ini. "Aku baru saja memindahkan dua belas penjaga terbaikku dari Vatican City di tengah-tengah acara pemilihan paus yang sedang berlangsung. Dan aku melakukannya untuk mengintai Pantheon berdasarkan keterangan orang Amerika yang tidak aku kenal yang baru saja menerjemahkan puisi berusia empat ratus tahun. Sementara itu, aku malah menyerahkan pencarian senjata antimateri itu kepada petugas kelas dua."
Langdon menahan diri untuk tidak mengeluarkan folio halaman 5 dari saku jasnya dan melambai-lambaikannya di depan wajah Olivetti. Dia hanya berkata, "Setahuku, informasi yang kami temukan menunjuk ke makam Raphael, dan makan Raphael itu berada di dalam Pantheon."
Penjaga di belakang kemudi mengangguk. "Dia benar, Komandan. Istriku dan aku--"
"Kamu mengemudi saja," bentak Olivetti. Lalu dia berpaling lagi pada Langdon. "Bagaimana seseorang bisa melakukan pembunuhan di tempat yang dipenuhi oleh pengunjung dan melarikan diri tanpa dilihat orang?"
"Aku tidak tahu," jawab Langdon. "Tetapi jelas Illuminati itu adalah kelompok yang sangat cerdik. Mereka berhasil memasuki CERN dan Vatican City tanpa ketahuan. Kita cukup beruntung dapat mengetahui di mana tempat pembunuhan pertama akan dilakukan. Pantheon adalah satu kesempatan bagimu untuk menangkap orang itu."
"Apa?" tanya Olivetti. "Satu kesempatan? Kukira kamu tadi mengatakan ada semacam jejak. Serangkaian petunjuk. Kalau Pantheon adalah tempat yang tepat, kita dapat mengikuti jalur itu ke petunjuk berikutnya. Kita memiliki empat kesempatan untuk menangkap orang itu."
"Kuharap juga begitu," kata Langdon. "Seharusnya kita melakukan ini ... seabad yang lalu."
Penemuan bahwa Pantheon adalah altar ilmu pengetahuan yang pertama ternyata menjadi momen yang menyenangkan sekaligus menyedihkan bagi Langdon. Sejarah diwarnai oleh kekejaman terhadap siapa pun yang berusaha untuk mengetahui jejak Illuminati. Kemungkinan bahwa Jalan Pencerahan masih utuh dengan keempat patungnya sangatlah kecil. Walaupun selama ini Langdon sering berangan-angan untuk menelusuri jejak tersebut sampai bertemu dengan markas Illuminati, dia menyadari hal itu tidak mungkin terwujud. "Vatikan telah memindahkan dan menghancurkan semua patung di Pantheon pada akhir tahun 1800-an."
Vittoria tampak terkejut. "Kenapa demikian?"
"Patung-patung itu dianggap sebagai patung dewa-dewa Pagan Olympia. Jadi itu artinya petunjuk pertama sudah hilang ... bersama-sama dengan--"
"harapan untuk menemukan Jalan Pencerahan dan petunjuk petunjuk lainnya?" tanya Vittoria memotong kalimat Langdon.
Langdon menggelengkan kepalanya. "Kita hanya punya satu kesempatan. Pantheon. Setelah itu, tidak ada petunjuk lainnya."
Olivetti menatap Langdon dan Vittoria. Setelah beberapa saat kemudian dia berpaling menghadap, ke depan. "Menepi," katanya tegas pada si pengemudi.
Pengemudi itu menepikan mobilnya ke arah pinggiran jalan dan menghentikan mobilnya. Tiga mobil Alfa Romeo di belakang mereka mengerem kendaraannya hingga mengeluarkan suara berdecit. Konvoy Garda Swiss berhenti.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Vittoria sambil berseru.
"Pekerjaanku," sahut Olivetti sambil menoleh ke belakang, suaranya terdengar keras seperti batu. "Pak Langdon, ketika kamu mengatakan akan menjelaskan semuanya dalam perjalanan, aku mengira akan mendekati Pantheon dengan alasan yang jelas kenapa anak buahku harus berada di sini. Kami tidak punya alasan di sini. Kita tidak bisa meneruskan pengejaran ini karena saya mengabaikan tugas yang lebih penting dengan pergi ke sini, dan karena teori Anda tentang pengorbanan perjaka dan puisi kuno itu tidak masuk akal. Saya membatalkan misi ini sekarang juga." Dia lalu mengeluarkan walkie-talkie-nya. dan menyalakannya.
Vittoria mengulurkan tangannya ke depan dan mencengkeram tangan Olivetti. "Kamu tidak bisa begitu!"
Olivetti membanting walkie-talkie-nya dan melotot kepada Vittoria dengan matanya yang merah. "Kamu pernah ke Pantheon, Nona Vetra?"
"Belum, tetapi aku--"
"Biarkan aku menjelaskannya padamu. Pantheon adalah sebuah ruangan. Sebuah ruangan bulat terbuat dari batu dan semen. Gedung itu hanya mempunyai satu jalan masuk. Tidak ada jendela. Hanya satu jalan masuk yang sempit. Jalan masuk itu selalu dijaga oleh tidak kurang dari empat polisi Roma bersenjata yang melindungi tempat suci itu dari perusak seni, teroris anti-Kristen, dan turis-turis gipsi yang ceroboh,"
"Maksudmu?" tanya Vittoria dingin.
"Maksudku?" tangan Olivetti mencengkeram tempat duduknya dengan kesal. "Maksudku adalah, apa yang baru saja kalian katakan kepadaku tentang apa yang akan terjadi, bagiku itu sangat tidak mungkin! Dapatkah kalian memberiku skenario yang masuk akal bagaimana orang dapat membunuh seorang kardinal di dalam Pantheon? Pertama-tama, bagaimana seseorang dapat membawa seorang sandera melewati para penjaga untuk memasuki Pantheon? Apalagi benar-benar membunuhnya dan melarikan diri dari situ? Olivetti mencondongkan tubuhnya dan Langdon dapat mencium napasnya yang beraroma kopi. "Bagaimana, Pak Langdon? Beri aku satu skenario yang masuk akal."
Langdon merasa mobil kecil itu menyusut di sekitarnya. Aku tidak tahu! Aku bukan seorang pembunuh! Aku tidak tahu bagaimana dia akan melakukannya! Aku hanya tahu--
"Satu skenario?" sahut Vittoria dengan suara yang mantap. "Coba dengar ini, pembunuh itu terbang dengan helikopter dan menjatuhkan seorang kardinal yang sudah dicap tubuhnya melalui lubang di atap Pantheon. Tubuh kardinal itu menghantam lantai pualam dan mati."
Semua orang yang berada di dalam mobil itu berpaling dan menatap Vittoria. Langdon tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Kamu mempunyai khayalan yang mengerikan, nona, tetapi kamu sangat cepat.
Olivetti mengerutkan keningnya. "Aku akui itu mungkin saja ... tetapi--"
"Atau si pembunuh membius kardinal yang malang itu," kata Vittoria lagi, "lalu membawanya dengan kursi roda memasuki Pantheon seperti seorang turis tua lainnya. Dia mendorongnya ke dalam, diam-diam memotong lehernya, kemudian berjalan keluar."
Yang ini tampak sedikit membawa pengaruh bagi Olivetti.
Tidak buruk! pikir Langdon.
"Atau," Vittoria masih melanjutkan, "pembunuh itu dapat--"
"Aku sudah mendengarkanmu," kata Olivetti. "Cukup." Dia menghela napas panjang dan menghembuskannya. Seseorang mengetuk jendela mobil dengan keras sehingga semua orang di dalam mobil itu terlonjak. Dia seorang serdadu dari mobil yang lain. Olivetti menurunkan kaca jendelanya.
"Semua beres, Komandan?" Serdadu itu juga berpakaian preman. Dia kemudian menarik lengan bajunya ke atas dan menampakkan sebuah jam tangan chronograph tentara berwarna hitam. "Jam tujuh lewat empat puluh, Komandan. Kita harus segera berada di tempat."
Olivetti mengangguk kecil tetapi tidak mengatakan apa -apa untuk beberapa saat. Dia menggosok-gosokkan jarinya di atas dasbor sambil berpikir. Dia mengamati Langdon yang duduk di bangku belakang dari kaca spion. Langdon merasa dirinya sedang diukur dan ditimbang. Akhirnya Olivetti berpaling lagi pada penjaga itu. Ada nada enggan dalam suaranya. "Kita akan mendekati sasaran dengan berpencar. Masing-masing ke Piazza della Rotunda, Via degli Orfani, Piazza Sant'Ignacio, dan Sant'Eustachio. Jangan lebih dekat dari dua blok. Begitu kalian memarkir mobil, tetap siagakan mobil dan tunggu perintahku. Tiga menit."
"Baik, Pak." Lalu serdadu itu kembali ke mobilnya.
Komandan itu berpaling ke belakang dari tempat duduknya dan menatap tajam pada Langdon. "Pak Langdon, ini sebaiknya tidak membuat kita malu."
Langdon tersenyum dengan perasaan tidak tenang. Bagaimana bisa memalukan?
57
DIREKTUR CERN, Maximilian Kohler, membuka matanya dan merasakan aliran deras cromolyn dan leukotriene yang dingin di dalam tubuhnya untuk memperbesar saluran tenggorokan dan kapiler paru-parunya. Dia sekarang sudah bisa bernapas dengan normal lagi. Kohler sadar, dirinya terbaring di dalam ruang pribadi di bagian perawatan CERN. Kursi rodanya berada di samping tempat tidur.
Dia memerhatikan sekelilingnya, lalu ditelitinya pakaian kertas yang dipakaikan suster untuknya. Pakaiannya sendiri terlipat dan diletakkan di atas kursi di samping tempat tidur. Dari luar, dia dapat mendengar seorang perawat berjalan untuk melakukan pemeriksaan rutin. Kohler terbaring di sana dan mendengarkan suara-suara di sekelilingnya untuk beberapa saat. Kemudian, diam-diam dia bangkit dan duduk di tepi tempat tidur lalu meraih pakaiannya. Kedua kakinya yang lumpuh membuatnya harus berjuang ketika mengenakan pakaiannya sendiri. Setelah itu dia menyeret tubuhnya hingga duduk di atas kursi rodanya.
Sambil menutup mulutnya ketika terbatuk, Kohler menggelinding di atas kursi rodanya ke arah pintu. Dia menggerakkan kursi rodanya secara manual dan dengan berhati-hati supaya motor kursi rodanya tidak menyala. Ketika dia tiba di pintu, dia mengintai ke luar. Gang itu kosong.
Tanpa suara, Maximilian Kohler menyelinap keluar dari ruang perawatan.
"JAM 7 LEWAT 46 ... bersiaplah." Bahkan ketika berbicara pada walkie-talkie-nya., suara Olivetti sepertinya tidak pernah lebih keras daripada sebuah bisikan.
Langdon merasa tubuhnya mulai berkeringat di balik jas wol Harris-nya ketika duduk di bangku belakang Alfa Romeo yang diparkir di Piazza de la Concorde yang berjarak hanya tiga blok dari Pantheon. Vittoria duduk di sampingnya dan tampak terpesona dengan Olivetti yang sedang memberikan perintah terakhirnya.
"Pasukan akan ditempatkan di delapan titik," kata sang komandan. "Kepung Pantheon d engan kemiringan di pintu masuk. Target mungkin bisa mengenali kita, jadi usahakan untuk tidak terlihat. Ini operasi untuk melumpuhkan sasaran. Kita membutuhkan orang yang bisa mengamati atap. Target yang utama. Tawanannya nomor dua."
Ya ampun, pikir Langdon dan merasa merinding karena keefisienan Olivetti ketika mengatur operasinya. Sang komandan baru saja mengatakan bahwa kardinal yang menjadi tawanan adalah sesuatu yang dapat diurus nanti. Tawanannya nomor dua.
"Kuulangi. Operasi ini hanya untuk melumpuhkan. Tangkap target hidup-hidup. Ayo." Olivetti kemudian mematikan walkietalkie-nya.
Vittoria tampak hampir meledak kemarahannya. "Komandan apa ada orang yang akan masuk?"
Olivetti memutar tubuhnya. "Masuk?"
"Masuk ke Pantheon! Tempat di mana kejadian ini diperkirakan terjadi."
"Attento," kata Olivetti, matanya menatap tajam. "Kalau anak buahku sudah disusupi oleh Illuminati, si pembunuh pasti dapat mengenali mereka. Temanmu itu baru saja mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menangkap sasaran kita. Aku tidak berniat untuk menakut-nakuti siapa pun dengan menyuruh orang-orangku menyerbu ke dalam."
"Tetapi bagaimana kalau si pembunuh sudah berada di dalam?"
Olivetti melihat jam tangannya. "Sasaran kita itu bukan sejenis orang yang suka main-main. Pukul delapan tepat. Kita masih punya waktu lima belas menit."
"Dia bilang dia akan membunuh sang kardinal jam delapan tepat. Tapi mungkin dia sudah membawa korban ke dalam Pantheon. Bagaimana kalau anak buahmu melihat si pembunuh berjalan keluar tetapi tidak dapat mengenalinya? Harus ada orang yang memastikan bahwa di dalam memang bersih."
"Terlalu berisiko untuk saat ini."
"Tidak berisiko kalau orang yang masuk ke dalam adalah orang yang tidak dikenalinya."
"Operasi penyamaran memakan banyak waktu dan--"
"Maksudku, aku yang masuk," kata Vittoria.
Langdon berpaling dan menatap Vittoria.
Olivetti menggelengkan kepalanya. "Aku sama sekali tidak setuju."
"Dia membunuh ayahku."
"Betul sekali, jadi mungkin saja dia tahu siapa dirimu."
"Kamu mendengarnya ketika berkata di telepon tadi. Dia tidak tahu Leonardo Vetra mempunyai anak perempuan. Aku sangat yakin, dia tidak akan mengenali wajahku. Aku dapat berjalan masuk seperti turis. Kalau aku melihat apa saja yang mencurigakan, aku dapat berjalan ke lapangan dan memberi tanda, lalu orang-orangmu masuk."
"Maaf, tetapi aku tidak dapat mengizinkan itu."
"Comandante?" alat penerima Olivetti berbunyi. "Kami menemukan situasi sulit di titik utara. Ada air mancur yang menghalangi pandangan kami. Kami tidak dapat melihat ke dalam kecuali kalau kami bergerak ke tempat terbuka di piazza. Apa pilihan Anda? Anda mau kami tidak bisa melihat sasaran atau berada di tempat terbuka sehingga mudah tertembak?"
Tampaknya Vittoria telah menahan diri cukup lama, "Cukup. Aku masuk." Dia lalu membuka pintu dan keluar.
Olivetti menjatuhkan walkie-talkie-nyz dan meloncat keluar mobil, dan berdiri di depan Vittoria.
Langdon juga keluar. Dia pikir apa yang bisa dilakukannya?
Olivetti menghalangi jalan Vittoria. "Nona Vetra, nalurimu memang bagus, tetapi aku tidak boleh melibatkan orang sipil."
"Melibatkan? Pandangan anak buahmu terhalang. Biarkan aku membantu."
"Aku semestinya senang kalau memiliki seorang pengintai di dalam, tetapi ...."
"Tetapi apa?" tanya Vittoria. "Tetapi aku seorang perempuan?"
Olivetti tidak mengatakan apa-apa.
"Sebaiknya kamu tidak mengucapkan itu, Komandan. Kita tahu pasti ini adalah gagasan yang sangat bagus. Dan kalau kamu membiarkan omong kosong tentang sifat macho yang kuno itu--"
"Kita kerjakan saja pekerjaan kita." Biarkan aku membantu."
"Terlalu berbahaya. Kami tidak mempunyai jalur komunikasi denganmu. Aku tidak akan membiarkanmu membawa walkie-talkie. Itu akan menarik perhatian."
Vittoria merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan ponselnya.
"Banyak turis membawa telepon."
Olivetti mengerutkan keningnya.
Vittoria membuka ponselnya dan berpura-pura menelepon "Hai, sayang, aku sedang berdiri di Pantheon. Kamu harus melihat tempat ini!" Setelah itu dia menutup ponselnya lagi dan melotot ke arah Olivetti. "Siapa yang akan tahu? Ini bukan keadaan yang berbahaya. Biarkan aku menjadi matamu!" Dia menunjuk ponsel di ikat pinggang Olivetti. "Berapa nomormu?"
Olivetti tidak menjawab.
Petugas yang bertugas sebagai supir mobil yang membawa mereka memerhatikan situasi ini sejak tadi dan sekarang tampaknya dia memiliki gagasan sendiri. Dia lalu keluar dari mobilnya dan menggandeng sang komandan agar menyingkir sedikit. Mereka kemudian berbisik-bisik selama sepuluh detik. Akhirnya Olivetti mengangguk dan kembali. "Catat nomor ini." Lalu dia mulai mendiktekan beberapa angka.
Vittoria memasukkan nomor tersebut ke dalam ponselnya.
"Sekarang telepon nomor itu."
Vittoria menekan tombol sambungan otomatis. Ponsel di ikat pinggang Olivetti berdering. Dia mengambilnya dan berbicara dengan ponselnya. "Masuklah ke gedung itu, Nona Vetra, lihat ke sekelilingmu. Keluar dari gedung, lalu telepon dan katakan padaku apa yang kamu lihat."
Vittoria menutup teleponnya. "Terima kasih, Pak."
Tiba-tiba Langdon merasa terdorong untuk melindungi Vittoria. "Tunggu sebentar," katanya pada Olivetti. "Kamu mengirimnya ke dalam sana sendirian?"
Vittoria memandang Langdon dengan cemberut. "Robert, aku akan baik-baik saja."
Si pengemudi kemudian berbicara lagi dengan Olivetti.
"Itu berbahaya," kata Langdon kepada Vittoria.
"Dia benar, Nona Vetra," kata Olivetti. "Bahkan orang terbaikku pun tidak akan bekerja sendirian. Letnanku baru saja rnengatakan, penyamaran itu akan lebih bagus jika kalian berdua masuk."
Kami berdua? Langdon ragu-ragu. Sesungguhnya, maksudku adalah--
"Kalian berdua masuk ke sana bersama-sama," kata Olivetti,
"Kalian akan terlihat seperti pasangan yang sedang berlibur. Kalian juga dapat saling menjaga. Dengan begitu aku akan merasa lebih senang."
Vittoria mengangkat bahunya. "Baiklah, tetapi kami harus segera pergi."
Langdon menggerutu pada dirinya sendiri. Rasakan ulahmu, koboi.
Olivetti menunjuk ke arah jalan di depan mereka. "Jalan pertama yang akan kamu temui adalah Via degli Orfani. Belok kiri. Kamu akan langsung tiba di Pantheon. Ini hanya akan memakan waktu dua menit. Aku akan di sini, mengatur orang-orangku dan menunggu teleponmu. Aku ingin kalian membawa pelindung." Dia lalu mengeluarkan pistolnya. "Kalian tahu bagaimana menggunakan senjata?"
Jantung Langdon berdebar keras. Kami tidak memerlukan senjata!
Vittoria mengangkat tangannya. "Aku dapat menembakkan label ke arah seekor lumba-lumba dari jarak empat puluh meter dari haluan kapal yang bergoyang-goyang."
"Bagus." Kemudian Olivetti memberikan pistolnya kepada Vittoria. "Kamu harus menyembunyikannya."
Vittoria melihat ke bawah ke arah celana pendeknya. Kemudian dia melihat Langdon.
Oh, kamu tidak boleh! pikir Langdon, tetapi Vittoria bergerak terlalu cepat. Dia membuka jas Langdon, dan memasukkan senjata itu ke dalam salah satu saku dadanya. Rasanya seperti ada sebongkah batu dijatuhkan ke dalam jasnya, tapi Langdon merasa lega karena lembaran Diagramma berada di saku yang lainnya.
Kita tampak tidak berbahaya," kata Vittoria. "Kami berangkat." Dia menarik tangan Langdon dan berjalan menuju jalan yang ditunjukkan Olivetti.
Pengemudi itu berseru, "Saling berpegangan tangan itu bagus juga. Ingat, kalian adalah wisatawan. Pengantin baru. Jadi, kalian harus bergandengan tangan."
Ketika mereka membelok, Langdon yakin dia melihat ada senyum tersembunyi di wajah Vittoria.
59
"RUANG PERSIAPAN" Garda Swiss berdampingan dengan barak Corpo di Vigilanza. Ruangan itu biasanya digunakan untuk merencanakan keamanan sekitar pemunculan Paus di depan umum dan kegiatan umum Vatikan lainnya. Tapi hari ini, ruangan itu digunakan untuk hal yang berbeda.
Lelaki yang sedang berbicara dengan satuan gugus tugas gabungan itu adalah wakil komandan Garda Swiss, Kapten Elias Rocher.
Rocher adalah seorang lelaki berdada lebar dan berwajah lembut. Dia mengenakan seragam tradisional kapten berwarna biru dengan ciri khasnya tersendiri--sebuah baret merah yang dikenakan agak miring di kepalanya. Anehnya, suaranya terdengar sangat bening untuk ukuran seorang lelaki sebesar itu. Ketika dia berbicara, nadanya memiliki kejernihan sebuah alat musik. Walau penampilannya begitu sempurna, mata Rocher tampak berselaput seperti mata binatang malam. Anak buahnya menyebutnya "orso atau beruang grizly. Mereka kadang-kadang bergurau Rocher adalah seekor beruang yang bergerak di balik bayangan seekor ular berbisa. Komandan Olivetti-lah ular berbisanya. Walau demikian, Rocher sama berbahayanya dengan si ular berbisa. Tetapi paling tidak, kedatangannya dapat terdengar.
Anak buah Rocher berdiri tegak dan penuh perhatian. Mereka tidak ada yang berani bergerak, meskipun informasi yang sedang mereka dengarkan itu menaikkan tekanan darah mereka beberapa puluh kali lipat.
Chartrand, seorang letnan yang masih muda, berdiri di bagian belakang ruangan itu sambil berharap dia termasuk 99 persen pelamar yang tidak terpilih untuk bertugas di sini. Pada usia dua puluh tahun, Chartrand adalah serdadu termuda dalam kesatuan itu. Dia baru tiga bulan bertugas di Vatican City. Seperti juga orang-orang di dalam ruangan ini, Chartrand adalah anggota Tentara Swiss yang terlatih. Dia juga telah menjalani latihan tambahan Ausbildung selama dua tahun di Bern sebelum memenuhi syarat untuk mengikuti prbva Vatican yang melelahkan yang berlangsung di sebuah barak rahasia di luar Roma. Dalam pelatihan yang dijalaninya itu, dia sama sekali tidak dipersiapkan untuk menghadapi keadaan krisis seperti ini.
Pada awalnya Chartrand mengira pengarahan ini hanyalah semacam latihan yang aneh. Senjata masa depan? Kelompok persaudaraan kuno? Para kardinal diculik? Tapi kemudian Rocher memperlihatkan tayangan langsung dari video yang menayangkan gambar senjata yang mereka cari. Tampaknya ini bukan latihan main-main.
"Kita akan memadamkan listrik di beberapa daerah tertentu," kata Rocher, "untuk menghilangkan pengaruh magnetis. Kita akan bergerak dalam regu yang terdiri atas empat orang. Kita akan mengenakan kacamata infra merah untuk melihat. Pelacakan ini sama dengan operasi penyapuan penyadap biasa tetapi disesuaikan dengan medan fluks di bawah tiga ohm. Ada pertanyaan?"
Tidak ada.
Benak Chartrand terasa terlalu penuh. "Bagaimana kalau kita tidak dapat menemukannya tepat waktu?" tanyanya, tapi tiba tiba dia menyesali kelancangannya itu.
Beruang grizly itu hanya menatapnya dari balik baret merahnya. Kemudian dia membubarkan kelompok itu dengan kalimat penutup yang buram.
"Semoga Tuhan melindungi kita."
60
DUA BLOK DARI PANTHEON, Langdon dan Vittoria mendekati gedung itu dengan berjalan kaki, dan melewati sederetan taksi dengan supir-supir yang sedang tertidur di bangku supir. Kebiasaan istirahat siang singkat memang tidak pernah hilang di kota ini. Pemandangan orang yang tertidur di mana-mana adalah kebiasaan yang berasal dari Spanyol kuno.
Langdon berusaha keras untuk memusatkan pikirannya, tapi situasinya terlalu sulit untuk ditanggapi dengan akal sehat. Enam jam yang lalu, dia masih tertidur nyenyak di Cambridge. Sekarang dia berada di Eropa, terperangkap dalam pertempuran surealistis antara dua raksasa kuno, mengantongi pistol semi otomatis di dalam saku jas wol Harrisnya, dan bergandengan tangan dengan seorang perempuan yang baru saja dikenalnya.
Dia menatap Vittoria. Perempuan itu memusatkan pandangannya lurus ke depan. Genggamannya kuat, ciri khas seorang perempuan yang mandiri dan berkemauan keras. Jemari Vittoria menggenggam tangannya dengan kenyamanan dan penerimaan yang lembut. Tidak bisa disanggah lagi kalau Langdon merasa semakin tertarik dengan perempuan ini.
Tampaknya Vittoria merasakan ketidaknyamanan Langdon. "Tenang saja," katanya tanpa memalingkan wajahnya. "Kita harus tampak seperti sepasang pengantin baru."
"Aku tenang."
"Kamu meremas tanganku terlalu keras."
Langdon merasa malu dan segera melonggarkan genggamannya.
"Bernapaslah dengan matamu," kata Vittoria.
"Maaf?"
"Itu artinya mengendurkan otot-ototmu. Teknik itu disebut pranayama."
"Piranha?"
"Bukan ikan itu. Pranayama. Ah, sudahlah."
Ketika mereka membelok di sudut dan memasuki Piazza della Rotunda, Pantheon tampak menjulang di depan mereka. Seperti biasa, Langdon mengaguminya dengan perasaan terpesona. Pantheon. Kuil segala dewa. Dewa-dewa Pagan. Dewa-dewa Alam dan Bumi. Struktur gedung ini terlihat lebih kotak dari luar. Pilar-pilar vertikalnya dan pronaus-nya yang berbentuk segitiga menyamarkan kubah bulat di belakangnya. Walau demikian, prasastinya yang angkuh yang terdapat di pintu masuk seperti menegaskan Langdon kalau mereka tidak salah alamat. M AGRIPA L F COS TERTIUM FECIT. Seperti biasanya, Langdon menerjemahkannya dengan gembira. Marcus Agripa yang menjabat sebagai konsul untuk ketiga kalinya, membangun bangunan ini.
Terlalu besar untuk disebut kerendahan hati, pikir Langdon sambil mengedarkan matanya ke sekeliling kawasan itu. Para wisatawan yang bertebaran membawa kamera video sambil berjalan-jalan di sekitar situs sejarah ini. Sementara itu, yang lainnya duduk-duduk menikmati kopi es terenak di Roma di sebuah kafe terbuka bernama La Tazza di Oro. Di luar pintu masuk Pantheon, terdapat empat orang polisi Roma yang dilengkapi dengan senjata, berdiri dengan waspada, persis seperti yang diduga Olivetti. Kelihatannya cukup tenang," kata Vittoria.
Langdon mengangguk, tetapi dia merasa bingung. Sekarang, setelah dia berdiri di sini, keseluruhan skenario yang ada di otaknya terlihat tidak nyata. Walau Vittoria sangat percaya kalau Langdon benar, Langdon sadar kalau dia sudah membuat sepasukan Garda Swiss mengepung tempat ini. Puisi Illuminati terbayang di benaknya. Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. YA, serunya di dalam hati. Ini memang tempat itu. Makam Santi. Dia sudah beberapa kali berada di sini, di bawah lubang besar Pantheon dan berdiri di depan makam Raphael yang agung.
"Pukul berapa sekarang?" tanya Vittoria.
Langdon memeriksa jam tangannya. "Jam tujuh lewat lima puluh. Sepuluh menit lagi pertunjukan akan dimulai."
"Kuharap anak buah Olivetti dapat diandalkan," kata Vittoria sambil melihat para wisatawan yang sedang memasuki Pantheon. "Kalau ada sesuatu terjadi di dalam kubah itu, kita akan berada di tengah-tengah baku tembak."
Langdon hanya menghela napas. Senjata itu juga terasa berat di dalam sakunya. Dia bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau para polisi menggeledahnya dan menemukan senjata itu. Tetapi ternyata polisi itu sama sekali tidak mencurigainya. Tampaknya penyamaran mereka cukup meyakinkan.
Langdon berbisik pada Vittoria," Pernah menembakkan sesuatu selain senjata obat bius?"
"Kamu tidak mempercayaiku?"
"Mempercayaimu? Aku baru saja mengenalmu."
Vittoria mengerutkan keningnya. "Kukira di sini kita adalah sepasang pengantin baru."
61
UDARA DI DALAM PANTHEON terasa dingin dan pengap karena terbebani oleh sejarah. Langit-langit yang melintang tinggi di atas seolah tidak berbobot. Kubah berdiameter 141 kaki ini memiliki ukuran yang lebih besar daripada kubah Basilika Santo Petrus. Langdon merinding ketika memasuki ruangan besar itu.
Bangunan ini adalah percampuran yang mengagumkan antara seni dan teknik. Di atas mereka, lubang bundar yang terkenal itu memancarkan seberkas sinar matahari sore. Oculus, pikir Langdon.
Lubang Iblis.
Mereka sampai ke sana.
Mata Langdon menelusuri lengkungan langit-langit, lalu memandang ke pilar-pilar dan akhirnya turun ke lantai dari pualam yang mengkilat di bawah kaki mereka. Gema samar dari langkah kaki dan gumam wisatawan bergaung di sekitar kubah. Langdon melihat belasan wisatawan berjalan-jalan tanpa tujuan dalam keremangan. Kamu benar-benar berada di sini?
"Sepi sekali," kata Vittoria, tangannya masih menggandeng tangan Langdon.
Langdon mengangguk.
"Di mana makam Raphael?'"
Langdon berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat. Dia memeriksa sekeliling ruangan itu. Makam-makam. Altar-altar. Pilar-pilar. Ceruk-ceruk. Dia lalu menunjuk sebuah makam berhias di seberang kubah yang terletak di sebelah kiri. "Sepertinya di sanalah makam Raphael."
Vittoria mengamati seluruh ruangan. "Aku tidak melihat seorang pun yang mirip dengan seorang pembunuh yang akan membunuh seorang kardinal. Ayo kita melihat ke sekeliling."
Langdon mengangguk. "Hanya ada satu titik di sini yang dapat dijadikan tempat bersembunyi. Kita sebaiknya memeriksa rientranza."
"Ceruk-ceruk?"
"Ya," kata Langdon. "Ceruk di dinding."
Di sekitar pinggir ruangan, diselingi makam-makam yang terdapat di sana, terdapat serangkaian ceruk-ceruk berbentuk setengah lingkaran yang menempel di dinding. Ceruk-ceruk itu, walau tidak besar sekali, cukup besar untuk bersembunyi di dalam keremangan. Langdon merasa sedih karena dia tahu ceruk-ceruk itu pernah menjadi tempat berdiri patung dewa-dewa Pagan yang dihancurkan ketika Vatikan mengubah Pantheon itu menjadi gereja Kristen. Dia merasa kecewa ketika tahu dirinya sedang berdiri di altar pertama tapi petunjuk yang akan membawa ke tempat selanjutnya telah hilang. Dia bertanya-tanya patung yang mana yang pernah menjadi penunjuk yang akan membawa mereka ke gereja selanjutnya. Langdon bisa membayangkan dirinya pasti akan sangat tergetar kalau dapat menemukan petunjuk Illuminati.
Sebuah patung yang secara tersamar menunjuk ke arah Jalan Pencerahan. Kemudian dia bertanya-tanya, siapakah pematung Illuminati yang tidak pernah dikenal namanya itu.
"Aku akan melihat ke lengkungan sebelah kiri," kata Vittoria sambil menunjuk bagian kiri ruangan itu. "Kamu ke sebelah kanan. Kita bertemu lagi setelah berjalan setengah lingkaran."
Langdon tersenyum muram.
Ketika Vittoria berjalan, Langdon meresa ngeri karena situasi ini mulai merasuki benaknya. Saat dia membelok dan berjalan ke sebelah kanan, suara pembunuh itu seperti berbisik di ruangan sepi di sekitarnya. Pukul delapan tepat. Pengorbanan di atas altar ilmu pengetahuan. Deret matematika tentang kematian. Delapan, sembilan, sepuluh, sebelas ... dan tepat pada tengah malam. Langdon melihat jam tangannya, jam menunjukkan pukul 7 lewat 52 menit. Delapan menit lagi.
Ketika Langdon bergerak ke ceruk pertama, dia melewati makam salah satu dari raja Katolik. Sarkofagusnya, seperti yang biasa ditemukan di Roma, diletakkan miring dari dinding, sebuah posisi yang aneh. Sekelompok wisatawan tampak bingung karenanya. Langdon tidak berhenti untuk menjelaskan kepada mereka. Makam-makam Kristen yang resmi memang sering tidak sejajar dengan arsitektur gedung karena makam-makam itu ingin menghadap ke timur. Itu merupakan takhayul kuno yang pernah didiskusikan Langdon di dalam kuliah Simbologi 212 sebulan yang lalu.
"Itu betul-betul tidak pantas!" seorang mahasiswi yang duduk di deretan depan berseru ketika Langdon menjelaskan alasan mengapa makam-makam itu menghadap ke timur. "Mengapa orang Kristen ingin makam mereka menghadap ke arah matahari terbit? Kita sedang berbicara tentang Kristen ... bukan pemuja matahari!"
Langdon tersenyum. Dia berjalan hilir-mudik di depan papan tulis sambil mengunyah apel. "Pak Hitzrot!" dia berseru.
Seorang pemuda yang mengantuk di deretan belakang, segera menegakkan duduknya karena terkejut. "Apa! Aku?"
Langdon menunjuk poster Renaisans yang menempel di dinding. "Siapa lelaki yang berlutut di depan Tuhan?"
"Mmm ... seorang santo?"
"Pandai. Dan bagaimana kamu tahu dia adalah santo?"
"Dia mempunyai lingkaran keemasan di atas kepalanya?"
"Bagus sekali, dan apakah lingkaran keemasan itu mengingat-kanmu pada sesuatu?"
Hitzrot tersenyum. "Ya! Benda Mesir yang kita pelajari semester lalu itu. Itu ... mm ... cakram matahari!"
"Terima kasih, Hitzrot. Tidurlah kembali." Langdon kemudian memerhatikan mahasiswa lainnya. "Lingkaran keemasan, seperti juga simbol Kristen lainnya, dipinjam dari agama Mesir kuno yang menyembah matahari. Agama Kristen dipenuhi dengan contoh pemujaan matahari."
"Maaf?" gadis yang duduk di deretan depan itu berkata lagi. Aku selalu pergi ke gereja, tapi aku tidak pernah memuja matahari!"
"Betulkah? Apa yang kamu rayakan pada 25 Desember?"
"Natal. Hari lahir Yesus Kristus."
"Tapi, menurut Alkitab, Kristus lahir pada bulan Maret. Jadi kenapa kita merayakannya pada akhir Desember?"
Diam.
Langdon tersenyum. "Tanggal 25 Desember adalah hari libur kaum Pagan kuno, hari sol invictus--hari Matahari yang tak terkalahkan dan bertepatan dengan titik balik matahari pada musim salju. Itu merupakan saat yang luar biasa ketika matahari kembali bersinar, dan hari mulai bertambah panjang."
Langdon menggigit apelnya lagi.
"Penyebaran agama Kristen," dia melanjutkan, "sering mengadopsi hari-hari suci yang ada supaya penyebaran itu tidak terlalu mengejutkan. Hal itu disebut transmutasi. Itu membantu orang untuk menyesuaikan diri dengan agama baru mereka. Para mualaf itu masih terus mempertahankan tanggal-tanggal suci mereka berdoa di tempat-tempat suci yang sama, menggunakan simbologi yang sama ... dan mereka dengan mudah mengganti Tuhan yang lain."
Sekarang gadis di depan itu tampak marah. "Kamu menyindir kalau agama Kristen hanyalah ... pemujaan matahari dengan selubung yang lain?"
"Sama sekali tidak. Agama Kristen tidak hanya meminjam dari para pemuja matahari. Ritual dalam agama Kristen untuk menyucikan seseorang diambil dari ritual 'pengangkatan dewa milik Euhemerus. Sementara ritual "Tuhan makan" atau Perjamuan Suci adalah ritual yang diadopsi dari dari Aztec. Bahkan konsep Kristus mati untuk menebus dosa diperdebatkan sebagai sesuatu yang bukan hanya milik Kristen; pengorbanan diri seorang pemuda untuk menebus dosa-dosa rakyatnya tampaknya merupakan tradisi Quetzalcoatl."
Gadis itu melotot. "Jadi, apa yang asli dari agama Kristen?"
"Dalam setiap agama yang terorganisir hanya sedikit ritual yang asli. Agama-agama tidak terlahir begitu saja. Agama itu berkembang dari agama lainnya. Agama modern merupakan sebuah susunan ... sebuah percampuran catatan sejarah mengenai pencarian manusia untuk mengerti Tuhan."
"Mmm ... tunggu dulu," Hitzrot mencoba-coba, tampaknya dia sudah terbangun sekarang. "Aku tahu sesuatu yang asli dari Kristen. Bagaimana dengan gambaran kita akan Tuhan? Kristen tidak pernah menggambarkan Tuhan sebagai dewa matahari, elang, atau seperti orang Aztec, atau apa saja yang aneh. Gambaran itu selalu merupakan seorang lelaki tua dengan janggut putih. Jadi gambaran kita tentang Tuhan adalah hal yang asli, bukan demikian?"
Langdon tersenyum. "Ketika orang-orang Kristen pertama beralih meninggalkan tuhan mereka yang terdahulu--dewa-dewa Pagan, dewa-dewa Romawi, Yunani, matahari, Mithraic, apa pun itu mereka bertanya kepada gereja, bagaimana rupa Tuhan Kristen mereka yang baru. Dengan bijaksana, gereja memilih wajah yang paling kuat, paling ditakuti ... dan paling terkenal dari seluruh catatan sejarah yang ada."
Hitzrot tampak ragu, "Seorang lelaki tua dengan janggut putih yang melambai-lambai?"
Langdon menunjuk poster yang berisi hirarki dewa-dewa kuno yang tergantung di dinding. Di puncaknya duduk seorang lelaki tua dengan janggut putih yang melambai-lambai. "Apakah Zeus terlihat sebagai tokoh yang cukup kalian kenal?"
Kuliah itu berakhir tepat pada petunjuk itu.
"Selamat malam," kata seorang lelaki.
Langdon terlompat. Dia menemukan dirinya kembali berada di dalam Pantheon dan tergugah dari lamunannya. Dia berpaling dan melihat seorang lelaki tua mengenakan topi biru dengan sebuah palang merah di dadanya. Lelaki itu tersenyum dan memperlihatkan giginya yang berwarna kelabu.
"Anda orang Inggris, bukan?" Aksen lelaki itu terdengar kental dari Tuscan.
Langdon berkedip bingung. "Sebenarnya, bukan. Saya orang Amerika."
Lelaki itu tampak malu, "Ya ampun, maafkan saya. Anda berpakaian sangat rapi, saya mengira ... maafkan saya."
Bisa saya bantu?" tanya Langdon. Sementara itu jantungnya terasa berdebar-debar.
Sebenarnya, saya kira saya dapat menolong Anda. Saya adalah Ctcerone di sini." Lelaki itu menunjuk dengan bangga ke arah emblem yang dikenakannya. "Pekerjaan saya adalah membuat kunjungan Anda ke Roma menjadi lebih menarik."
Lebih menarik? Langdon yakin kunjungannya ke Roma kali ini sangat menarik.
"Anda tampak seperti seseorang yang terpelajar," puji si pemandu wisata. "Pasti Anda lebih tertarik dengan kebudayaan dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan. Mungkin saya dapat memberi informasi sejarah dari gedung mengagumkan ini kepada Anda."
Langdon tersenyum sopan. "Anda baik sekali, tetapi saya sebenarnya adalah seorang ahli sejarah seni, dan--"
"Hebat!" mata lelaki itu langsung berbinar-binar seperti dia baru saja memenangkan jackpot. "Kalau begitu Anda pasti sangat senang di sini!"
"Saya kira, saya lebih senang untuk--"
"Pantheon," seru orang itu, lalu segera mengatakan semua yang sudah dihapalnya, "didirikan oleh Marcus Agrippa pada tahun 27 SM."
"Ya," Langdon menyela, "dan dibangun kembali oleh Hadrian pada tahun 119 masehi."
"Gedung in memiliki kubah terbesar di dunia sampai tahun 1960 dan hanya bisa disaingi oleh Superdome di New Orleans!"
Langdon menggerutu. Lelaki itu tidak dapat dihentikan.
"Dan pada abad kelima para ahli teologi pernah menyebut Pantheon sebagai Rumah Setan dan mengatakan bahwa lubang di langit-langit itu merupakan jalan masuk iblis!"
Langdon memunggungi lelaki itu. Matanya mengarah ke atas, ke arah lubang besar di langit-langit gedung. Kisah yang diceritakan Vittoria melintas dalam benaknya sehingga dia merasa kaku ... seorang kardinal dengan cap di tubuhnya, jatuh dari lubang itu dan menghempas lantai pualam. Sekarang hal itu akan menjadi kejadian yang menarik perhatian media. Langdon melihat ke sekitarnya untuk mencari wartawan. Tidak ada. Dia menarik napas dalam. Itu sebuah gagasan yang aneh. Aksi ala pemeran pengganti itu sekarang mulai terlihat konyol.
Ketika Langdon berjalan lagi dan melanjutkan pemeriksaannya, pemandu cerewet itu terus mengikutinya seperti seekor anak anjing yang minta disayang. Ingatkan aku, pikir Langdon pada dirinya sendiri, tidak ada yang lebih buruk dari seorang ahli sejarah seni yang terlalu fanatik.
Di seberangnya, Vittoria merasa asyik sendiri. Ketika berdiri sendirian untuk pertama kalinya sejak dia mendengar berita tentang kematian ayahnya, dia mulai menerima kenyataan kejam yang menyelimutinya selama delapan jam terakhir ini. Ayahnya telah dibunuh dengan brutal dan tiba-tiba. Yang paling menyakitkan adalah penemuan terhebat ayahnya dicuri dan digunakan sebagai senjata kelompok teroris. Vittoria merasa sangat bersalah karena idenyalah antimateri itu dapat dipindahkan ... tabung hasil ciptaannya itulah yang kini berdetak mundur di dalam Vatikan. Karena ingin membantu keinginan ayahnya untuk memahami kesederhanaan dari kebenaran ... dia sekarang menjadi penyebab kekacauan ini.
Anehnya, satu-satunya yang terasa benar bagi Vittoria saat ini adalah kehadiran seseorang yang benar-benar asing baginya, Robert Langdon. Dia dapat merasakan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa aman yang ditemukannya di dalam mata lelaki itu ... seperti harmoni lautan yang ditinggalkannya pagi hari ini. Dia senang Langdon bersamanya. Tidak saja Langdon menjadi sumber kekuatan dan harapan baginya, tapi Langdon juga membantunya dengan menggunakan kecerdasannya untuk membantunya menangkap pembunuh ayahnya.
Vittoria menarik napas dalam ketika dia melanjutkan pencanannya. Dia terus menyusuri pinggiran ruangan itu. Pikirannya diliputi oleh berbagai gambaran tentang keinginan untuk balas dendam yang sudah menguasainya sepanjang hari ini. Dengan perasaan sayang seorang anak kepada orang tuanya ... dia ingin agar pembunuh ayahnya itu mati. Tidak ada karma baik yang bisa mengubah pendiriannya saat ini. Dengan perasaan gerarn Vittoria merasakan sesuatu yang mengalir di dalam darah Italianya ... sesuatu yang belum pernah dirasakannya sebelumnya ... suara-suara yang dibisikkan oleh nenek moyang Sisilianya yang mempertahankan kehormatan keluarga dengan keadilan yang brutal. Vendetta, pikir Vittoria dan untuk pertama kalinya dia memahami maknanya.
Bayangan akan pembalasan itu terus melingkupinya. Vittoria kemudian mendekati makam Raphael Santi. Walau dari kejauhan, dia dapat merasakan kalau lelaki ini adalah orang yang istimewa. Peti matinya, tidak seperti peti mati lainnya, dilindungi dengan kaca plexi. Dari sisi pembatas, dia dapat melihat bagian depan dari peti mati batu itu.
RAPHAEL SANTI, 1483--1520
Vittoria mengamati makam itu dan membaca satu kalimat yang tertempel di samping makam Raphael.
Kemudian dia membacanya lagi.
Kemudian ... dia membacanya lagi.
Sesaat kemudian, dia berlari ketakutan menuju Langdon. "Robert! Robert!"
62
USAHA LANGDON UNTUK menyusuri pinggiran Pantheon terhalang oleh seorang pemandu wisata yang terus mengikutinya. Sekarang lelaki itu melanjutkan ceritanya tanpa lelah ketika Langdon bersiap untuk memeriksa ceruk terakhir.
"Anda tampak sangat menyukai ceruk-ceruk itu!" kata si pemandu wisata dengan wajah senang. "Tahukah Anda, ketebalan dinding yang berbentuk lonjong itulah yang membuat kubah itu terlihat ringan."
Langdon mengangguk, dia sesungguhnya tidak mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh si pemandu karena dia sudah bersiap untuk memeriksa ceruk lainnya. Tiba-tiba seseorang mencengkeramnya dari belakang. Vittoria. Dia terengah-engah dan menguncang-guncang lengannya. Dari kesan ketakutan pada wajahnya, Langdon hanya dapat membayangkan satu hal. Vittoria telah menemukan mayat. Langdon merasa ketakutan juga.
"Ah, istri Anda!" seru si pemandu wisata. Jelas dia sangat senang karena mendapatkan satu tamu lagi. Dia menunjuk celana pendek Vittoria dan sepatu mendaki yang dipakainya. "Sekarang, dengan melihat Anda berdua, saya tahu kalau Anda orang Amerika."
Mata Vittoria menyipit. "Saya orang Italia." Senyum pemandu wisata itu meredup. "Ya ampun."
"Robert," bisik Vittoria sambil mencoba membelakangi pemandu wisata itu. "Diagramma Galileo itu. Aku ingin melihatnya."
"Diagramma?" tanya si pemandu wisata sambil ikut-ikutan bergabung dengan mereka. "Ya ampun! Kalian berdua benar-benar mengerti sejarah yang kalian pelajari! Sayangnya, dokumen itu tidak dapat diperlihatkan. Dokumen itu disimpan di Arsip Vatikan--"
"Tolong, biarkan kami sendirian dulu," kata Langdon. Dia bingung karena kepanikan Vittoria. Dia lalu mengajaknya menepi dan merogoh sakunya, kemudian dengan berhati-hati dikeluarkannya folio Diagramma itu. "Ada apa?"
"Tanggal berapa yang tertulis pada dokumen itu?" tanya Vittoria sambil mengamati lembaran di tangan Langdon.
Si pemandu wisata mendekati mereka lagi, dan ketika melihat lembaran folio di hadapannya, mulutnya ternganga. "Itu bukan - yang sesungguhnya ...."
Reproduksi untuk wisatawan," sahut Langdon sambil memotong kalimat si pemandu wisata. "Terima kasih atas pertolongan Anda. Tetapi tolong, istri saya dan saya ingin sendirian."
Si pemandu wisata mundur, namun matanya tidak lepas dari lembaran itu.
"Tanggal," Vittoria mengulanginya lagi. "Kapan Galileo menerbitkan ...."
Langdon menunjuk angka-angka Romawi terdapat di bagian bawah folio itu. "Itu tanggal terbitnya. Ada apa?"
Vittoria membaca angka-angka itu. "1639?"
"Ya. Ada yang salah?"
Mata Vittoria penuh dengan kecemasan. "Kita dalam masalah, Robert. Masalah besar. Tanggalnya tidak sesuai"
"Apanya yang tidak sesuai?"
"Makam Raphael. Dia baru dimakamkan di sini pada tahun 1759. Satu abad setelah Diagramma diterbitkan."
Langdon menatapnya sambil mencoba mencerna kata-katanya itu. "Tidak," sahut Langdon. "Raphael meninggal pada tahun 1520, lama sebelum Diagramma."
"Ya, tetapi dia tidak segera dimakamkan di sini, tetapi lama setelah dia meninggal."
Langdon bingung. "Apa maksudmu?"
"Aku baru saja membacanya. Jenazah Raphael dipindahkan ke Pantheon pada tahun 1758. Itu merupakan peristiwa penghormatan bersejarah bagi seorang besar Italia."
Ketika akhirnya Langdon memahami perkataan Vittoria, dia merasa seperti berdiri di atas sebuah permadani yang tiba-tiba ditarik sehingga dia jatuh terjengkang.
"Ketika puisi itu ditulis," jelas Vittoria, "makam Raphael berada di suatu tempat lain. Sebelum itu, Pantheon sama sekali tidak ada hubungannya dengan Raphael!"
Langdon tidak dapat bernapas. "Tetapi itu ... artinya ...."
"Ya! Itu artinya kita berada di tempat yang salah!"
Langdon merasa terhuyung-huyung. Tidak mungkin ... Aku tadi begitu yakin ....
Vittoria berlari dan menangkap lengan si pemandu wisata, lalu menariknya kembali. "Signore, maafkan kami. Di mana jenazah Raphael pada tahun 1600-an?"
"Urb ... Urbino," dia tergagap. Sekarang dia tampak bingung. "Tempat kelahirannya."
"Tidak mungkin!" seru Langdon. "Altar ilmu pengetahuan Illuminati semua ada di sini, di Roma. Aku yakin itu!"
"Illuminati?" Si pemandu wisata terkesiap. Dia melihat lagi ke arah dokumen di tangan Langdon. "Siapa kalian sebenarnya?"
Vittoria mengambil alih. "Kami sedang mencari sesuatu yang disebut makam duniawi Santi di Roma. Kira-kira apa itu?"
Pemandu wisata itu tampak ragu. "Ini adalah satu-satunya makam Raphael di Roma."
Langdon berusaha berpikir, tetapi pikirannya sulit untuk terfokus. Kalau makam Raphael tidak ada di Roma pada tahun 1655, lalu puisi itu menunjuk pada apa? Makan duniawi Santi yang memiliki lubang iblis? Apa itu maksudnya? Berpikirlah Robert!.
"Apakah ada seniman lainnya yang bernama Santi?" tanya Vittoria.
Si pemandu wisata itu mengangkat bahunya. "Setahuku hanya ini.
"Bagaimana dengan seniman terkenal lainnya? Mungkin seorang ilmuwan atau pujangga atau ahli astronomi yang bernama Santi?"
Si pemandu wisata itu sekarang tampak ingin beranjak pergi. tidak ada, Bu. Satu-satunya Santi yang pernah kudengar adalah Raphael, sang arsitek."
"Arsitek?" tanya Vittoria. "Saya kira dia pelukis!" Tentu saja dua-duanya. Mereka semuanya begitu. Michelangelo, da Vinci, Raphael."
Langdon tidak tahu apakah kata-kata si pemandu wisata atau makam-makam berhias yang mengingatkan dirinya, tetapi itu tidak penting. Sebuah pemikiran muncul. Santi memang seorang arsitek. Dari situlah pengembangan pikirannya bergerak seperti kartu domino yang berjatuhan. Para arsitek pada zaman Renaisans hidup hanya karena dua alasan--memuliakan Tuhan dengan membangun gereja-gereja besar, dan mengagungkan harga dirinya dengan makam-makam yang mewah. Makam Santi. Mungkinkah itu? Gambaran itu muncul dengan cepat sekarang ....
Mona Lisa karya da Vinci.
Bunga-bunga Lili Air karya Monet.
David, karya Michelangelo
Makan duniawi, karya Santi ...
"Santi merancang makam," kata Langdon.
Vittoria berpaling. "Apa?"
"Puisi itu tidak mengacu pada tempat di mana Raphael dimakamkan, tetapi makam yang dirancangnya."
"Apa maksudmu?"
"Aku salah memahami petunjuk itu. Seharusnya kita tidak mencari makamnya, tetapi makam yang dirancang Raphael untuk orang lain. Aku tidak percaya, aku bisa salah seperti itu. Separuh dari patung yang dibuat pada zaman Renaisans dan Barok di Roma adalah untuk makam." Langdon tersenyum lega. "Raphael pasti pernah merancang ratusan makam!"
Vittoria tampak tidak senang. "Ratusan?"
Senyuman Langdon memudar. "Oh."
"Apakah di antaranya ada yang berkaitan dengan keduniawian, profesor?"
Tiba-tiba Langdon merasa tidak cukup mengerti. Dengan rasa malu dia mengakui kalau pengetahuannya tentang karya-karya Raphael sangat terbatas. Kalau tentang karya Michelangelo, dia tahu cukup banyak, tetapi karya Raphael tidak pernah menarik perhatiannya. Langdon hanya dapat menyebutkan beberapa makam Raphael yang terkenal saja, tetapi dia tidak yakin seperti apa bentuknya.
Vittoria tampaknya dapat merasakan masalah Langdon, dia lalu berpaling pada si pemandu wisata yang sekarang sudah beranjak pergi. Vittoria meraih lengannya dan menariknya lagi. "Saya ingin tahu sebuah makam. Dirancang oleh Raphael. Sebuah makam yang dapat digolongkan bersifat duniawi."
Si pemandu wisata itu sekarang tampak kesal. "Sebuah makam karya Raphael? Saya tidak tahu. Dia merancang banyak sekali. Dan mungkin yang Anda maksudkan adalah sebuah kapel karya Raphael, bukan sebuah makam. Arsitek selalu merancang kapel yang berhubungan dengan makam."
Langdon sadar, lelaki itu benar.
"Apakah ada makam atau kapel karya Raphael yang bersifat duniawi?"
Lelaki itu menggerakkan bahunya. "Maafkan saya. Saya tidak mengerti apa maksud Anda. Saya sungguh-sungguh tidak tahu makam duniawi. Saya harus pergi."
Vittoria memegangi tangannya dan membaca tulisan di bagian atas folio itu. "Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Apa itu berarti sesuatu bagi Anda?"
"Sama sekali tidak."
Tiba-tiba Langdon mendongak. Sesaat yang lalu dia lupa pada bagian kedua dari baris itu. Lalu dia ingat, lubang iblis? "Ya!" Dia berkata kepada si pemandu wisata. "Itu dia! Apakah setiap kapel karya Raphael memiliki lubang di langit-langitnya?"
Si pemandu wisata itu menggelengkan kepalanya. "Setahuku, hanya Pantheon." Dia berhenti sesaat. "Tetapi ...."
"Tetapi apa!" Vittoria dan Langdon berseru bersama-sama.
Sekarang pemandu wisata itu menegakkan kepalanya dan melangkah ke dekat mereka lagi. "Sebuah lubang iblis?" Dia Dergumam pada dirinya sendiri dan berdecak. "Lubang iblis ... itu adalah ... buco diavolo?"
Vittoria mengangguk. "Secara harfiah, ya."
Pemandu wisata itu tersenyum samar. "Ada istilah yang sudah lama tidak aku dengar. Kalau saya tidak salah, sebuah buco dihvolo mengacu ke sebuah ruang bawah tanah di dalam gereja."
"Sebuah ruang bawah tanah di dalam gereja?" tanya Langdon "Seperti pemakaman di bawah tanah?"
"Ya. Tetapi ini yang istimewa. Aku yakin lubang iblis adalah istilah kuno untuk tempat pemakaman besar yang terletak di sebuah kapel ... di bawah makam lainnya."
"Sebuah ossuary annex, ruang tambahan untuk penyimpanan tulang belulang jenazah?"
Pemandu wisata itu tampak terkesan. "Ya! Itu istilah yang saya maksudkan tadi!"
Langdon memikirkannya sekali lagi. Ossuary annex adalah penyelesajan sederhana untuk masalah pelik yang dihadapi gereja pada zaman itu. Ketika gereja menghormati anggota mereka yang paling terpandang dengan membuat makam mewah di dalam gereja, para anggota keluarga lainnya yang masih hidup sering meminta untuk dimakamkan bersama dengan mereka kelak ... mereka juga ingin mendapatkan makam seperti salah satu anggota keluarga yang terhormat itu. Tapi, kalau gereja tidak mempunyai tempat lagi atau tidak memiliki dana untuk membuat makam lagi untuk seluruh keluarga, mereka kadang-kadang membuat ossuary annex--sebuah lubang di lantai di dekat makam di mana mereka memakamkan anggota keluarga yang tidak terlalu penting kedudukannya. Lubang itu kemudian ditutup dengan tutup got di zaman Renaisans. Tetapi, ossuary annex dengan cepat tidak populer lagi karena bau busuk dari jenazah yang dimakamkan di situ sering tercium hingga ke katedral. Lubang iblis, pikir Langdon. Dia tidak pernah mendengar istilah itu, tapi terdengar mengerikan.
Sekarang jantung Langdon berdebar dengan cepat. Dan makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Tampaknya hanya ada satu pertanyaan lagi untuk ditanyakan. "Apakah Raphael merancang makam yang mempunyai lubang iblis?"
Pemandu wisata itu menggaruk kepalanya. "Sebenarnya. Maafkan saya ... Saya hanya dapat ingat satu saja."
Hanya satu? Langdon berharap jawaban sang pemandu wisata bisa lebih baik dari itu.
"Di mana itu?" tanya Vittoria hampir berteriak.
Pemandu wisata itu menatap mereka dengan aneh. "Disebut Kapel Chigi. Makam Agostino Chigi dan saudara lelakinya, mereka adalah pemuka seni dan ilmu pengetahuan yang kaya."
"Ilmu pengetahuan?" tanya Langdon sambil bertukar pandang dengan Vittoria.
"Di mana itu?" tanya Vittoria lagi.
Si pemandu wisata mengabaikan pertanyaan itu, tapi tampaknya dia menjadi bersemangat lagi karena dapat berguna. "Tapi apakah makam itu bersifat keduniawian atau tidak, itu saya tidak tahu, tetapi ... yang pasti adalah ... kita sebut saja differente."
"Berbeda?" kata Langdon. "Berbeda seperti apa?"
"Tidak selaras dengan arsitekturnya. Raphael adalah arsitek satu-satunya. Sementara itu, pematung lainnya yang membuat hiasan di bagian dalamnya. Saya tidak ingat siapa namanya."
Langdon sekarang mendengarkan dengan lebih seksama. Master seni Illuminati tanpa nama, mungkin?
"Siapa pun yang mengerjakan bagian dalamnya memiliki selera yang tidak bagus," lanjut pemandu wisata itu. "Dio miol Atrocita! Siapa yang mau dimakamkan di bawah piramida?"
Langdon hampir tidak dapat memercayai telinganya. "Piramida? Kapel itu ada piramidanya?"
"Begitulah," si pemandu wisata itu terlihat mengejek. "Mengerikan, bukan?"
Vittoria mencengkeram lengan pemandu wisata itu. "Signore, di mana kapel Chigi itu?"
'Kira-kira satu mil ke utara. Di dalam gereja Santa Maria del Popolo."
Vittoria menghembuskan napas. "Terima kasih. Ayo--"
"Hey," seru pemandu wisata itu lagi. "Saya baru saja ingat sesuatu. Betapa bodohnya saya!"
Vittoria segera berhenti. "Tolong jangan bilang kalau Anda salah."
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tetapi seharusnya saya ingat tadi. Kapel itu tidak saja dikenal sebagai Kapel Chigi. Kapel itu juga pernah disebut Capella della Terra."
"Kapel Dunia?" tanya Langdon.
"Bukan," kata Vittoria sambil berjalan menuju pintu. "Kapel Tanah."
Vittoria Vetra mengeluarkan ponselnya ketika dia berlari keluar ke arah Piazza della Rotunda. "Komandan Olivetti," katanya. "Ini kapel yang salah."
Suara Olivetti terdengar bingung. "Salah? Apa maksudmu?"
"Altar Ilmu pengetahuan yang pertama berada di Kapel Chigi!"
"Di mana?" Sekarang Olivetti terdengar marah. "Tetapi Pak Langdon bilang--"
"Santa Maria del Popolo! Satu mil ke utara. Perintahkan orang-orangmu ke sana sekarang! Kita hanya punya empat menit!"
"Tetapi mereka sudah berada di posisinya masing-masing. Aku tidak mungkin--"
"Cepatlah!" seru Vittoria sambil menutup ponselnya.
Di belakangnya, Langdon berlari keluar dari Pantheon.
Vittoria meraih tangan Langdon dan menyeretnya ke arah deretan taksi yang terparkir di pinggir jalan. Dia menggedor atap taksi paling depan. Pengemudi yang sedang tidur itu terlonjak dari mimpinya. Vittoria segera membuka pintu dan mendorong Langdon masuk. Kemudian dia melompat masuk juga.
"Santa Maria del Popolo," perintahnya. "Presto"
Terlihat masih setengah terbangun dan setengah ketakutan, supir taksi itu menekan pedal gas dalam-dalam dan melesat di jalan.
63
GUNTHER GLICK MENGAMBIL komputer dari tangan Chinita Macri yang sekarang berdiri membungkuk di bagian belakang van BBC yang sempit sambil menatap dengan bingung melalui bahu Glick.
"Kan aku sudah bilang," kata Glick sambil mengetik beberapa huruf. "British Tattler bukanlah satu-satunya media yang meliput tentang orang-orang ini."
Macri mendekat. Glick benar. Database BBC memperlihatkan hasil yang istimewa kepada mereka. Jaringan itu masih menyimpan enam berita tentang persaudaraan yang disebut Illuminati, walau sudah berusia sepuluh tahun. Oke, aku mungkin salah, pikir Macri. "Siapa wartawan yang menulis berita itu?" tanya Macri, "wartawan gosip?"
"BBC tidak pernah mempekerjakan wartawan gosip."
"Mereka mempekerjakanmu."
Glick menggerutu. "Aku heran kenapa kamu begitu tidak percaya. Kisah tentang kelompok Illuminati terdokumentasi dengan baik sepanjang sejarah."
"Seperti juga UFO dan Monster Loch Ness." Glick membaca daftar berita itu. "Kamu pernah mendengar seorang lelaki yang bernama Winston Churchill?"
"Ingat sedikit."
"Beberapa waktu yang lalu, BBC pernah menulis tulisan tentang kehidupan Churchill. Dia penganut Katolik yang taat. Tahukah kamu bahwa Churchill pada tahun 1920, pernah memberikan pernyataan yang mengutuk Illuminati dan memperingatkan orang-orang Inggris tentang adanya konspirasi global untuk menentang moralitas?"
Macri ragu-ragu. "Di mana diterbitkannya? Di British Tattler!"
Glick tersenyum. "London Herald, tanggal 8 Februari 1920."
"Tidak mungkin."
"Lihat saja sendiri."
Macri melihat lebih dekat pada potongan berita yang terlihat di layar komputer. London Herald, 8 Februari 1920. Aneh sekali. "Yah, mungkin saja Chuchill ketakutan tanpa alasan."
"Dia tidak sendirian," kata Glick sambil terus membaca. "Sepertinya Woodrow Wilson juga memberikan pidato sebanyak tiga kali yang disiarkan melalui radio pada tahun 1921 untuk memperingatkan tentang perkembangan pengaruh Illuminati pada sistem perbankan di Amerika Serikat. Kamu mau mendengar kutipan tertulis dari radio itu?"
"Tidak."
Walau begitu, Glick tetap membacakannya juga. "Dia berkata, ada suatu kekuatan yang sangat terorganisir, begitu samar-samar, tapi begitu lengkap, dan begitu merasuk, sehingga tidak seorang pun yang berani mengutuk kelompok itu secara terang-terangan."
"Aku tidak pernah mendengar tentang itu."
"Mungkin pada tahun 1921 kamu masih kecil."
"Hebat sekali." Macri tidak menghiraukan sindiran itu. Dia tahu usianya sudah terlihat. Pada usia 43 tahun, rambut keriting hitam lebatnya sudah mulai beruban. Tapi dia terlalu sombong untuk mengecatnya. Ibunya, seorang penganut Southern Baptist, mengajari Chinita untuk menerima dirinya apa adanya. Kamu adalah seorang perempuan kulit hitam, kata ibunya, jangan sembunyikan siapa dirimu. Begitu kamu mencobanya, hari itu juga kamu sudah tidak berarti. Berdirilah dengan tegap, tersenyumlah dengan lebar, dan biarkan mereka bertanya-tanya rahasia apa yang membuatmu tertawa.
"Pernah mendengar tentang Cecil Rhodes?" tanya Gick.
Macri mendongak. "Ahli keuangan asal Inggris?"
"Ya. Dia mendirikan Rhodes Scholarship."
"Jangan katakan padaku--"
"Dia anggota Illuminati."
"Omong kosong."
"Sebenarnya BBC yang menyiarkannya, pada tanggal 16 November 1984."
"Kita pernah menulis kalau Cecil Rhodes adalah seorang Illuminati?"
"Betul sekali. Dan menurut jaringan kita, Rhodes Scholarships adalah dana yang dibentuk beberapa abad lalu untuk merekrut orang-orang muda paling berbakat agar bergabung dengan Illuminati.
"Itu keterlaluan! Pamanku lulusan Rhodes!"
Glick mengedipkan matanya. "Bill Clinton juga."
Macri menjadi marah sekarang. Dia tidak pernah memaafkan tulisan berita yang kasar dan menggelisahkan. Tapi dia tahu kalau BBC selalu melakukan penelitian dan memastikan setiap berita yang mereka tulis dengan hati-hati sekali.
"Yang ini kamu pasti ingat," kata Glick. "BBC, tanggal 5 Maret 1998. Ketua Komisi Parlemen, Chris Mullin, meminta semua anggota Parlemen Inggris yang menjadi anggota kelompok Mason, agar melaporkan keanggotaan mereka."
Macri ingat itu. Perintah itu akhirnya melibatkan anggota kepolisian dan juga para hakim. "Kenapa begitu?"
Glick membaca, "... memperhatikan bahwa faksi-faksi rahasia di dalam kelompok Mason memiliki kontrol yang luar biasa terhadap sistem politik dan keuangan."
"Itu betul,"
"Hasilnya adalah kehebohan. Kaum Mason yang duduk di parlemen menjadi marah. Mereka punya hak untuk marah. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang tidak bersalah yang bergabung dengan kelompok Mason karena terkait dengan jaringan dan kegiatan amal yang dilakukannya. Mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang keanggotaan persaudaraan itu di masa lalu."
Keanggotaan yang diduga ada."
'Terserah kamu saja." Glick mengamati artikel-artikel lainnya. Lihat yang ini. Illuminati ternyata terkait dengan tentang Galileo, Guerenets dari Perancis, Alumbrado dari Spanyol. Bahkan Karl Marx dan Revolusi Rusia."
"Sejarah memiliki kemampuan untuk menuliskan dirinya sendiri."
"Baiklah, kamu mau sesuatu yang baru? Lihat ini. Ini referensi tentang Illuminati dari Wall Street Journal yang baru."
Yang ini menarik perhatian Macri. "Wall Street Journal?."
"Coba tebak, apa permainan komputer online terbaru yang paling digemari di Amerika sekarang?"
"Memasang ekor di bokong Pamela Anderson."
"Hampir benar. Tetapi yang kumaksud adalah, Illuminati: Tata Dunia Baru."
Macri melihat uraian singkat itu melalui bahu Glick. "Permainan karya Steve Jackson mencetak sukses besar ... sebuah petualangan semi historis yang menceritakan tentang persaudaraan setan kuno dari Bavaria yang sedang bersiap-siap untuk menguasai dunia. Anda dapat menemukannya di internet di alamat ..."
Macri mendongak dan merasa mual. "Apa yang dimiliki orang-orang Illuminati itu untuk melawan Kristen?"
"Bukan hanya Kristen," kata Glick. "Agama pada umumnya." Glick memiringkan kepalanya dan tersenyum. "Dari telepon yang baru saja kita terima, tampaknya mereka punya sentimen tertentu pada Vatikan."
"Oh, ayolah. Kamu tidak benar-benar percaya kalau orang itu memang kaki tangan Illuminati, bukan?"
"Seorang utusan dari Illuminati? Bersiap-siap untuk membunuh empat orang kardinal?" Glick tersenyum. "Kuharap begitu."
64
TAKSI YANG DITUMPANGI Langdon dan Vittoria melesat sejauh satu mil dengan kecepatan tinggi dan tiba di Via della Scrofa dalam waktu satu menit saja. Taksi tersebut mengeluarkan suara berdecit ketika direm dan berhenti di sebelah selatan Piazza del Popolo sebelum pukul delapan. Karena tidak memiliki uang lira, Langdon membayarnya dengan dolar Amerika yang tentu saja terlalu banyak. Kemudian mereka berdua meloncat keluar. Piazza itu sunyi walau masih terdengar suara tawa dari sejumlah penduduk setempat yang duduk-duduk di luar sebuah kafe terkenal bernama Rosati Cafe yang merupakan tempat favorit bagi orang-orang terpelajar di Italia untuk berkumpul. Udara di sana beraroma espreso dan kue-kue.
Langdon masih merasa terguncang karena kesalahan tafsir yang dilakukannya di Pantheon. Tapi ketika dia memandang sekilas lapangan yang berada di hadapannya, firasatnya seperti tergelitik. Piazza itu samar-samar dihiasi dengan simbol-simbol Illuminati. Tidak saja piazza itu berbentuk elips, tetapi tepat di tengah tengahnya berdiri sebuah obelisk Mesir--sebuah pilar persegi dari batu dengan ujung yang berbentuk sangat mirip dengan piramida. Berbagai sisa peninggalan kekaisaran Romawi seperti beberapa obelisk, tersebar di Roma dan para ahli simbologi menyebutnya "Piramida yang agung"--perpanjangan bentuk piramida suci yang menjulang ke angkasa.
Ketika mata Langdon bergerak ke atas menara batu itu, tiba tiba matanya tertarik pada sesuatu yang berada di belakang menara itu. Sesuatu yang lebih menarik.
"Kita berada di tempat yang benar," katanya perlahan, tapi tiba-tiba kewaspadaannya muncul. "Lihat itu," kata Langdon sambil menunjuk Porta del Popolo yang mencolok--sebuah pintu tinggi dari batu berbentuk melengkung yang terletak di ujung piazza. Bangunan kubah itu menjulang tinggi di depan piazza selama berabad-abad. Di tengah-tengah bagian tertinggi dari pintu masuk yang melengkung itu ada ukiran simbol. "Ingat gambar itu?"
Vittoria melihat ke atas, ke arah ukiran besar itu. "Bintang yang bersinar di atas tumpukan batu berbentuk segitiga?"
Langdon menggelengkan kepalanya. "Sebuah sumber pencerahan di atas sebuah piramida."
Vittoria berpaling, tiba -tiba matanya membelalak. "Seperti Great Seal yang terdapat di uang dolar Amerika?"
"Tepat. Simbol dari kelompok Mason di atas uang kertas satu dolar."
Vittoria menarik napas dan mengamati piazza itu. "Jadi, di mana gereja itu?"
Gereja Santa Maria del Popolo berdiri di sana seperti sebuah kapal perang yang diparkir tidak pada tempatnya. Gedung itu menyerong di kaki bukit dan terletak di sisi tenggara piazza. Bangunan dari batu berusia sebelas abad itu semakin terlihat eksentrik karena menara perancah yang menutupi bagian depannya.
Pikiran Langdon menjadi kabur ketika mereka berlari ke arah bangunan besar itu. Langdon memandang gereja itu sambil bertanya-tanya. Apakah si pembunuh akan membunuh seorang kardinal di tempat ini? Dia berharap Olivetti segera sampai ke sini. Senjata itu terasa aneh di dalam sakunya.
Tangga yang terletak di depan gereja itu berbentuk ventaglio atau seperti kipas yang terbuka. Keramah-tamahan seperti ini menjadi ironis karena mereka terhalang oleh menara perancah, peralatan konstruksi dan papan peringatan yang berbunyi: CONSTRUZIONE, NON ENTRARE -- sedang dalam perbaikan, dilarang masuk.
Langdon baru menyadari kalau gereja itu ditutup karena sedang direnovasi. Jadi itu artinya si pembunuh dapat menikmati waktunya tanpa ada gangguan. Tidak seperti di Pantheon, dia tidak membutuhkan taktik canggih di sini. Dia hanya membutuhkan cara untuk masuk ke dalam gereja.
Vittoria menyelinap tanpa ragu di antara kuda-kuda dari kayu lalu berjalan menuju ke tangga.
"Vittoria," seru Langdon dengan khawatir. "Kalau dia masih di dalam sana ...."
Tampaknya Vittoria tidak mendengarnya. Dia sudah menaiki serambi utama dan menuju ke satu-satunya pintu depan gereja yang terbuat dari kayu. Langdon bergegas menyusulnya. Sebelum dia dapat mengatakan apa pun, Vittoria sudah meraih pegangan pintu dan membukanya. Langdon menahan napasnya. Pintu itu tidak bisa dibuka.
"Pasti ada pintu masuk yang lainnya," kata Vittoria.
"Mungkin," sahut Langdon sambil menghembuskan napasnya, "tetapi Olivetti akan segera tiba di sini. Terlalu berbahaya untuk masuk. Kita harus mengamati gereja ini dari luar sini sampai--"
Vittoria berpaling, matanya berkilat-kilat. "Kalau memang ada jalan masuk yang lain, pasti ada jalan keluar yang lain juga. Kalau orang ini berhasil kabur ... fungito. Kita berada dalam masalah besar."
Langdon cukup mengerti beberapa kata dalam Bahasa Italia dan dia tahu kalau Vittoria benar.
Gang di sebelah kanan gereja itu sangat gelap dan sempit, dan memiliki dinding yang tinggi di kedua sisinya. Tercium aroma air seni--aroma yang biasa tercium di kota yang jumlah barnya jauh lebih banyak daripada jumlah toilet umum dengan perbandingan dua puluh banding satu.
Langdon dan Vittoria bergegas memasuki gang remang-remang dengan bau menyengat tersebut. Mereka telah berjalan kira-kira lima belas yard ketika Vittoria menarik lengan Langdon dan menunjuk ke suatu arah.
Langdon juga melihatnya. Mereka melihat sebuah pintu kayu sederhana dengan engsel yang berat. Langdon tahu kalau itu adalah porta sacre biasa--pintu masuk pribadi bagi para pastor. Sebagian besar pi/ntu jenis ini sudah tidak digunakan lagi sejak lama ketika dianggap menganggu bangunan di sekitarnya dan terbatasnya lahan membuat pintu masuk di samping gang menjadi hal yang tidak nyaman.
Vittoria bergegas menuju ke pintu itu. Ketika sampai, dia memandang ke arah kenop pintu dan tampak terpaku. Langdon tiba di belakangnya dan menatap lingkaran berbentuk donat yang berada di tempat di mana kenop pintu terpasang.
"Sebuah cincin pembuka," Langdon berbisik. Dia lalu meraihnya dan dengan perlahan diangkatnya cincin pembuka itu lalu dia menariknya. Alat itu berbunyi klik. Vittoria bergeser tiba-tiba merasa tidak tenang. Langdon memutarnya searah jarum jam. Cincin itu berputar 360 derajat dengan mudah, tapi pintu tidak bisa dibuka. Langdon mengerutkan keningnya dan mencoba ke arah sebaliknya dan menemukan hasil yang sama.
Vittoria melihat ke gang di depannya. "Kamu pikir ada jalan masuk lainnya?"
Langdon meragukannya. Umumnya katedral-katedral di zaman Renaisans dirancang sebagai pengganti benteng ketika kota itu diserbu. Kalau bisa jumlah pintu dikurangi sesedikit mungkin. "Kalaupun ada jalan masuk lain," kata Langdon, "pintu itu mungkin terletak di belakang gedung--lebih merupakan jalan untuk melarikan diri daripada sebuah pintu masuk."
Vittoria sudah bergerak.
Langdon mengikutinya dan berjalan lebih dalam memasuki gang itu. Kedua dindingnya menjulang tinggi di sampingnya. Dari suatu tempat terdengar suara lonceng berdentang delapan kali ....
Robert Langdon tidak mendengar ketika Vittoria memanggilnya pertama kali. Langdon bergerak lambat di sekitar jendela kaca berwarna yang tertutup oleh jeruji. Dia mencoba mengintip ke dalam gereja.
"Robert!" Suara Vittoria terdengar seperti bisikan yang keras.
Langdon mendongak. Vittoria sudah berada di ujung gang. Dia menunjuk ke bagian belakang gereja dan melambai padanya. Dengan enggan Langdon berlari kecil ke arahnya. Di lantai di dekat dinding belakang, terlihat sebuah batu yang menjorok ke luar untuk menyembunyikan sebuah gua sempit--semacam jalan sempit yang langsung mengarah ke pondasi gereja.
"Sebuah jalan masuk?" tanya Vittoria.
Langdon mengangguk. Sebenarnya sebuah jalan keluar, tetapi kita tidak usah terlalu teknis sekarang.
Vittoria berlutut dan mengintai ke dalam terowongan itu. "Ayo kita periksa pintu itu dan lihat kalau pintunya tidak dikunci."
Langdon baru ingin mengungkapkan ketidaksetujuannya, tetapi Vittoria menggandeng tangannya dan menariknya ke arah pintu gua.
"Tunggu," kata Langdon.
Dengan tidak sabar Vittoria berpaling ke arahnya.
Langdon mendesah. "Aku akan berjalan di depanmu."
Vittoria tertawa kecil. "Lagi-lagi kesopanan ala lelaki Amerika."
"Yang tua mendahului yang cantik."
"Apakah itu sebuah pujian?"
Langdon hanya tersenyum. Dia kemudian bergerak melewatinya dan masuk ke kegelapan. "Hati-hati ada tangga."
Dia bergerak perlahan-lahan di dalam kegelapan sambil meraba dinding di sebelah-nya. Dinding batu itu terasa tajam di ujung jarinya. Tiba -tiba Langdon ingat tentang kisah Daedalus dan bagaimana anak lelaki itu terus meletakkan tangannya di dinding ketika berjalan menelusuri labirin Minotaur dengan keyakinan dia akan menemukan ujung labirin kalau dia tidak pernah melepaskan tangannya dari dinding. Langdon terus maju tanpa sepenuhnya yakin ingin menemukan ujung gua di hadapannya itu.
Terowongan itu semakin menyempit sedikit demi sedikit, dan Langdon memperlambat langkahnya. Dia merasa Vittoria berada dekat di belakangnya. Ketika dinding itu membelok ke kiri, terowongan itu membawa mereka ke sebuah ruangan kecil berbentuk setengah lingkaran. Anehnya, ada sedikit cahaya di sini. Dalam keremangan Langdon melihat pintu kayu yang berat.
"Uh oh," katanya.
"Terkunci?"
"Tadinya."
"Tadinya?" Vittoria kemudian berdiri di sampingnya.
Langdon menunjuk. Diterangi oleh cahaya yang menyorot dari dalam, mereka melihat pintu tersebut sedikit terbuka engselnya dirusak oleh sebuah jeruji yang masih menyangkut di papan pintu.
Mereka berdiri diam tanpa bicara. Kemudian, berdiri dalam kegelapan seperti itu, Langdon merasa tangan Vittoria berada di dadanya, meraba -raba, dan bergerak ke balik jasnya.
"Santai saja, Profesor," kata Vittoria. "Aku hanya ingin mengambil pistol."
Pada saat itu, di dalam Museum Vatikan, satu gugus tugas Garda Swiss menyebar ke segala penjuru. Museum itu gelap dan para serdadu itu mengenakan kacamata infra merah yang biasa digunakan oleh Marinir Amerika Serikat. Kacamata itu membuat sekelilingnya terlihat berwarna kehijauan. Semua serdadu mengenakan headphone yang terhubung dengan detektor seperti antena yang melambai-lambai berirama di depan mereka--alat yang sama yang mereka gunakan setiap dua kali seminggu untuk menyapu alat penyadap elektronik di dalam Vatikan. Mereka bergerak teratur, memeriksa di belakang patung-patung, di dalam ceruk-ceruk, tempat penyimpanan, dan perabotan. Antena itu akan berbunyi kalau mereka mendeteksi apa saja yang memiliki medan magnet sekecil apa pun.
Tapi entah bagaimana, malam itu mereka tidak akan mendeteksi apa-apa.
65
BAGIAN DALAM GEREJA Santa Maria Popolo tampak seperti sebuah gua suram di balik sinar remang-remang. Ruangan itu lebih mirip sebuah stasiun kereta api bawah tanah yang belum jadi daripada sebuah katedral. Ruang suci utama tampak seperti lapangan rusak karena dipenuhi oleh pecahan lantai yang berserakan, batu bata, setumpukan tanah, beberapa gerobak sorong, dan bahkan cangkul yang berkarat. Pilar-pilar berukuran raksasa menjulang ke langit-langit untuk menyangga kubah. Di udara, terlihat debu bertebaran di antara kaca berwarna yang berkilauan. Langdon berdiri bersama Vittoria di bawah lukisan dinding Pinturicchio dan mengamati tempat suci yang berantakan itu.
Tidak ada yang bergerak. Benar-benar sunyi.
Vittoria memegang senjata itu dengan kedua tangannya dan diarahkan ke depan. Langdon melihat jam tangannya: jam 8:04 malam. Kita gila berada di sini, pikirnya. Ini terlalu berbahaya. Kalau pembunuh itu masih berada di dalam, orang itu dapat pergi melalui pintu mana saja yang diinginkannya. Jadi, satu orang dengan senjata teracung seperti ini tidak akan ada gunanya. Menangkapnya di dalam adalah satu-satunya jalan ... itu juga kalau pembunuh itu masih berada di dalam. Langdon masih merasa bersalah. Karena keliru menafsirkan baris puisi itu, dia sudah membuat repot anak buah Olivetti dan melepaskan kesempatan untuk menangkap sang pembunuh tepat pada waktunya. Sekarang dia tidak bisa memaksa mereka untuk mengikuti kemauannya.
Vittoria tampak ngeri ketika dia mengamati gereja itu. "Jadi," dia berbisik. "Di mana Kapel Chigi itu?"
Langdon menatap ke arah bagian bekakang katedral yang diliputi keremangan yang mengerikan dan mengamati dinding di sekelilingnya. Tidak seperti persepsi umum, katedral-katedral zaman Renaisans memiliki banyak kapel. Bahkan katedral besar seperti Notre Dame pun memiliki belasan kapel. Kapel-kapel itu tidak seperti ruangan, mereka hanyalah berbentuk lubang--ceruk berbentuk setengah lingkaran yang digunakan sebagai makam di sekitar dinding pinggir gereja.
Kabar buruk, pikir Langdon sambil melihat empat ruangan kecil yang terdapat di setiap dinding samping. Jadi semuanya ada delapan kapel. Walau delapan bukanlah jumlah yang terlalu banyak, tapi semua kapel itu terhalang oleh lembaran plastik tembus pandang karena gedung itu masih dalam pembangunan Tirai tembus pandang itu tampaknya dimaksudkan untuk menjaga makam-makam di dalam ceruk itu dari debu.
"Dia bisa saja berada di dalam salah satu ceruk bertirai itu " kata Langdon. "Kita tidak mungkin mengetahui di mana makam Chigi tanpa melongok ke dalam setiap ceruk. Sebaiknya kita menunggu Oli--"
"Yang mana apse kedua di sisi kiri itu?"
Langdon menatap Vittoria, terkejut karena dia baru saja menyebutkan istilah arsitektur. "Apse kedua di sisi kiri?"
Vittoria menunjuk dinding di belakang Langdon. Sebuah hiasan keramik terpasang di dinding batu. Hiasan itu terukir dengan simbol yang sama dengan yang mereka lihat di luar-- sebuah piramida di bawah bintang bersinar. Plakat suram itu bertuliskan:
LAMBANG DARI ALEXANDER CHIGI
YANG MAKAMNYA TERLETAK DI
APSE KEDUA DI SISI KIRI KATEDRAL INI
Langdon mengangguk. Lambang Chigi adalah sebuah piramida dan bintang? Tiba-tiba dia bertanya-tanya apakah Chigi, seorang tuan tanah yang kaya itu, juga anggota Illuminati. Dia mengangguk ke arah Vittoria. "Kerja bagus, Nancy Drew."
"Apa?"
"Lupakan, aku--"
Terdengar seperti ada logam yang jatuh beberapa yard dari tempat mereka berdiri. Suaranya bergema ke seluruh gereja. Langdon menarik Vittoria ke belakang sebuah pilar dan perempuan itu mengarahkan senjatanya ke arah suara berisik tersebut. Sunyi. Mereka menunggu. Lalu ada suara lagi, kali ini bergemerisik. Langdon menahan napasnya. Seharusnya aku tidak boleh membiarkan Vittoria masuk ke sini! Suara itu bergerak mendekat.
Sebentar-sebentar terdengar suara seretan, seperti suara orang lumpuh yang sedang menyeret kakinya. Tiba-tiba di sekitar dasar pilar, sebuah benda muncul.
"Figlio di puttanal" Vittoria menyumpah perlahan sambil terloncat ke belakang. Langdon juga terdorong ke belakang bersamanya.
Di samping pilar itu, terlihat seekor tikus besar sedang menyeret roti lapis yang telah dimakan separuh. Makhluk itu berhenti ketika melihat mereka, menatap lama ke arah laras senjata yang dipegang Vittoria. Ketika tikus itu merasa aman, hewan itu melanjutkan usahanya dengan menyeret makanannya ke ceruk gereja.
"Sialan ...." Langdon terkesiap, jantungnya masih berdebar dengan kencang.
Vittoria menurunkan senjatanya dan dengan cepat dia memperoleh ketenangan kembali. Langdon mengintai dari sisi pilar dan melihat sebuah kotak makan siang seorang pekerja yang terbuka di atas lantai. -Tampaknya kotak itu dijatuhkan dari atas kuda -kuda kayu oleh tikus besar yang cerdik itu.
Langdon mengamati ruangan gereja itu untuk mencari adanya gerakan lainnya dan berbisik, "Kalau orang itu masih ada di sini, dia pasti juga mendengar kegaduhan itu. Kamu yakin tidak mau menunggu Olivetti?"
"Apse kedua di sisi kiri," Vittoria mengulangi. "Di mana itu?"
Dengan enggan Langdon berpaling dan berusaha untuk mengingat-ingat. Istilah dalam katedral seperti papan petunjuk di panggung--sangat mudah untuk ditebak. Langdon menghadap ke altar utama. Anggap itu sebagai panggung utama. Lalu dia menunjuk dengan ibu jarinya ke belakang melalui bahunya.
Mereka berdua berputar dan melihat ke arah yang ditunjuk Langdon tadi.
Tampaknya Kapel Chigi terletak di ceruk ketiga dari empat ceruk di sebelah kanan mereka. Kabar baiknya adalah Langdon dan Vittoria berada di sisi yang tepat dari gereja itu. Kabar buruknya, mereka berada di ujung yang salah. Mereka harus menyeberangi gereja itu dan melewati tiga kapel lainnya. Sedan kapel, seperti juga Kapel Chigi, tertutup dengan plastik tembus pandang.
"Tunggu," kata Langdon. "Aku jalan di depan."
"Lupakan."
"Akulah yang mengacaukan keadaan dengan menyuruh orang untuk mengepung Pantheon."
Vittoria berpaling, "Tetapi akulah yang membawa pistol."
Di mata Vittoria, Langdon dapat melihat apa yang sesungguhnya dipikirkan oleh perempuan itu .... Akulah yang kehilangan ayahku.
Akulah yang membantunya membuat senjata pemusnah masal itu. Nasib orang ini milikku ....
Langdon merasa usahanya akan sia-sia saja, jadi dia mengikuti keinginan perempuan itu. Dia berjalan di samping Vittoria dengan berhati-hati ke arah timur serambi itu. Ketika mereka melewati ceruk bertirai plastik yang pertama, Langdon merasa tegang, seperti seorang peserta dalam sebuah permainan khayalan. Aku akan membuka tirai nomor tiga, pikirnya.
Gereja itu sunyi karena dinding batu yang tebal itu menghalangi suara-suara dan pemandangan dari dunia luar. Ketika mereka bergegas melewati satu kapel dan yang lainnya, sebentuk benda pucat seperti manusia bergoyang-goyang seperti hantu di balik gemerisik tirai plastik. Pualam yang diukir, kata Langdon pada dirinya sendiri sambil berharap dia benar. Saat itu pukul 8:06 malam. Apakah pembunuh itu tepat waktu saat melakukan rencananya sehingga sekarang dia sudah menyelinap keluar sebelum Langdon dan Vittoria masuk? Atau apakah dia masih di dalam? Langdon tidak yakin skenario mana yang dia sukai.
Mereka melewati apse kedua, Langdon merasa tidak nyaman berjalan seperti itu di dalam katedral yang gelap. Malam bergulir dengan cepat sekarang dan suasananya diperjelas oleh warna suram dari jendela-jendela kaca berwarna di sekitar mereka. Ketika mereka bergegas, tirai plastik di samping mereka tiba-tiba bergerak seolah tertiup angin. Langdon bertanya-tanya, apakah ada seseorang telah membuka pintu.
Vittoria memperlambat langkahnya ketika mereka tiba di depan ceruk ketiga. Dia mengacungkan senjatanya sambil menunjuk dengan kepalanya ke sebuah pilar dengan tulisan di samping apse. Terukir dua kata pada batu granit: CAPELLA CHIGI
Langdon mengangguk. Tanpa menimbulkan suara, mereka bergerak ke sudut pintu, lalu menempatkan diri mereka di belakang pilar. Vittoria mengarahkan senjatanya ke arah sebuah sudut yang ditutupi oleh tirai plastik. Kemudian dia memberi isyarat pada Langdon untuk menyingkap tirai itu.
Waktu yang tepat untuk mulai berdoa, pikir Langdon. Dengan enggan diamengulurkan tangannya melalui bahu Vittoria. Dengan sehati-hati mungkin, dia mulai menyingkap tirai plastik itu ke samping. Plastik itu terkuak satu inci kemudian berderik keras. Mereka berdua membeku. Sunyi. Setelah sesaat, mereka bergerak lagi dengan sangat lambat. Vittoria mencondongkan tubuh-nya ke depan dan mengintai melalui celah sempit. Langdon melihat dari belakang bahu Vittoria.
Untuk sesaat napas mereka seperti tercekat.
"Kosong," akhirnya Vittoria berkata sambil menurunkan senjatanya. "Kita terlambat."
Langdon tidak mendengarnya. Dia sedang terpaku dan dengan sekejap beralih ke dunia lain. Seumur hidupnya dia tidak pernah membayangkan sebuah kapel akan tampak seperti ini. Dengan semua bagian dilapisi oleh pualam berwarna kecokelatan, Kapel Chigi terlihat sangat mengagumkan. Langdon langsung menyusuri kapel itu dengan matanya. Warna kecokelatan dari kapel itu mengingatkannya akan warna tanah. Seolah ini memang sebuah kapel yang telah dirancang oleh Galileo dan Illuminati sendiri.
Di atas, kubahnya bersinar karena dipasangi bintang dengan sinarnya yang terang dan tujuh planet astronomi. Di bawahnya terdapat lambang dua belas zodiak--simbol Pagan yang bersifat duniawi dan berasal dari astronomi. Zodiak itu terikat langsung pada Bumi, Udara, Api, dan Air ... kuadran yang mewakili kekuatan, kecerdasan, semangat dan perasaan. Bumi mewakili kekuatan, kata Langdon dalam hati.
Sementara itu di dinding, Langdon melihat penghormatan kepada empat musim--primavera, estate, autunno, inverno. Tetapi yang jauh lebih hebat dari itu adalah dua struktur besar yang mendominasi ruangan tersebut. Langdon menatap mereka dalam diam karena kagum. Tidak mungkin, pikirnya. Betul-betul tidak mungkin! Tetapi itu mungkin saja. Di sisi lain dari kapel itu, terlihat dua buah piramida pualam setinggi sepuluh kaki yang berdiri dengan sangat simetris.
"Aku tidak melihat seorang kardinal pun," bisik Vittoria. "Atau seorang pembunuh." Lalu dia menyibakkan plastik itu dan masuk.
Mata Langdon seperti terpaku pada kedua piramida itu. Untuk apa ada dua buah piramida di dalam kapel Kristen? Tapi ternyata masih ada lagi yang lebih hebat. Tepat di tengah-tengah kedua piramida, di sisi depannya, terdapat medali emas ... medali yang jarang sekali dilihat Langdon ... berbentuk elips sempurna. Cakram yang dipelitur berkilauan di bawah matahari sore yang memancar dari kubah kapel. Elips Galileo? Piramida-piramida? Kubah berbintang? Ruangan itu memiliki simbol-simbol Illuminati lebih banyak daripada yang dapat dibayangkan Langdon dalam benaknya.
"Robert," seru Vittoria, suaranya serak. "Lihat!"
Langdon terkejut, dunia nyata menariknya kembali ketika matanya melihat ke arah apa yang ditunjuk Vittoria. "Sialan! seru Langdon sambil terlonjak ke belakang.
Sebuah mosaik dari pualam bergambar kerangka manusia seolah tersenyum pada mereka. Gambar itu menceritakan perjalanan arwah ke alam baka. Kerangka manusia itu membawa sebuah Iempengan berisi piramida dan bintang seperti yang sudah mereka lihat sebelumnya. Tapi bukan gambar itu yang membuat Langdon merinding, tapi kenyataan bahwa mosaik yang terletak di atas Iempengan batu yang berbentuk bundar--sebuah cupermento--sudah diangkat dari lantai seperti tutup got. Kini Iempengan itu meninggalkan sebuah lubang menganga di lantai.
"Lubang iblis," kata Langdon terkesiap. Dia tadi begitu terpesona pada langit-langit ruangan ini sehingga tidak melihat ke bawah. Langdon lalu bergerak ke arah lubang itu. Aroma yang keluar tidak tertahankan.
Vittoria meletakkan tangannya di mulutnya. "Che puzza."
"Effluvium," kata Langdon, "aroma dari tulang-belulang yang membusuk." Langdon bernapas dengan lengan menutupi hidungnya ketika dia melongok ke lubang hitam di bawah sana.
"Aku tidak dapat melihat apa pun."
"Kamu pikir ada orang di bawah?"
"Bagaimana aku tahu?"
Vittoria menunjuk ke sisi lain dari lubang itu di mana terdapat sebuah tangga kayu yang sudah lapuk yang akan membawa mereka ke dalam.
Langdon memandang Vittoria dengan lekat. "Jangan bercanda."
"Mungkin ada senter di dalam kotak peralatan para tukang yang ditinggalkan di sini." Nada suara Vittoria terdengar seperti alasan untuk melarikan diri dari bau busuk yang menyengat itu.
"Aku akan melihatnya."
"Hati-hati!" Langdon memperingatkan. "Kita tidak tahu pasti apakah si Hassassin itu--"
Tetapi Vittoria sudah menghilang. Perempuan yang keras kepala, pikir Langdon. Ketika dia menoleh kembali ke arah sumur itu, dan merasa pusing karena bau menyengat yang keluar dari sana. Sambil menahan napasnya, Langdon meletakkan kepalanya ke dekat tepian lubang dan melongok ke dalam kegelapan di bawahnya. Perlahan, matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan. Lalu dia mulai dapat melihat ada bentuk samar-samar di bawah. Lubang itu ternyata memiliki ruang kecil. Lubang iblis. Dia bertanya-tanya,
Beberapa generasi keluarga Chigi yang telah dimakamkan tanpa upacara pemakaman di sini. Langdon memejamkan matanya, menunggu, sambil memaksa bola matanya untuk membesar sehingga dia dapat melihat dengan lebih baik ke dalam kegelapan Ketika dia membuka matanya lagi, dia melihat sesosok pucat tanpa bersuara melayang-layang dalam kegelapan. Langdon bergidik, tapi dia melawan instingnya untuk mengeluarkan kepalanya dari lubang itu. Apakah aku sedang melihat sesuatu? Apakah itu mayat? Sosok itu memudar. Langdon memejamkan matanya lagi dan menunggu, kali ini lebih lama sehingga matanya dapat menangkap sinar yang paling samar sekali pun.
Dia mulai merasa pusing, dan pikirannya melayang-layang dalam kegelapan. Beberapa detik lagi saja. Langdon tidak yakin apakah karena dia mencium bau yang menyengat dari dalam lubang itu atau karena posisi kepalanya yang terjulur ke bawah yang membuatnya pusing. Tetapi yang pasti, dia mulai merasa mual. Ketika akhirnya dia membuka matanya lagi, sosok di depannya menjadi sulit untuk dilihat.
Sekarang dia menatap ke ruang bawah tanah yang tiba -tiba bermandikan cahaya kebiruan. Samar-samar terdengar suara mendesis yang menggema di dalam telinganya. Sinar itu memantul di dinding terowongan di bawahnya. Tiba-tiba sebuah bayangan panjang muncul membayanginya. Dengan sangat terkejut Langdon berdiri.
"Awas!" seseorang berteriak di belakangnya.
Sebelum Langdon dapat memutar tubuhnya, leher belakangnya terasa sakit. Dia berputar dan melihat Vittoria membawa sebuah obor las. Sinar kebiruan yang mengeluarkan suara mendesis itu, menyinari seluruh kapel.
Langdon memegang lehernya. "Apa yang kamu lakukan?"
"Aku tadi menerangimu," katanya, "tapi langsung kamu berdiri tanpa melihat ke belakang."
Langdon melihat obor las di tangan Vittoria sambil melotot.
"Hanya ini yang dapat kutemukan," kata Vittoria. "Tidak ada senter."
Langdon menggosok lehernya yang masih terasa sakit. "Aku tidak mendengarmu datang."
Vittoria memberikan obor itu kepadanya sambil meringis ke arah lubang yang bau itu. "Kamu pikir aroma itu dapat terbakar?"
"Mudah-mudahan tidak."
Langdon mengambil obor dari tangan Vittoria dan bergerak perlahan ke arah lubang itu lagi. Dengan berhati-hati dia maju ke bibir lubang dan mengarahkan api yang dipegangnya ke dalam lubang untuk menerangi dinding di dalamnya. Ketika dia mengarahkan sinar itu, matanya menyusuri dinding ruang bawah tanah itu. Ruangan itu berbentuk bundar dan berdiameter kira-kira dua puluh kaki dengan kedalaman tiga puluh kaki. Sinar obornya menerangi lantai ruangan tersebut. Dasarnya gelap dan berantakan. Tanah. Kemudian Langdon melihat tubuh itu.
Instingnya mengatakan untuk pergi dari situ tapi nalarnya yang menahannya. "Dia di sini," kata Langdon sambil memaksa dirinya untuk tidak lari dari situ. Sosok itu terlihat pucat di atas lantai tanah di bawahnya. "Sepertinya dia ditelanjangi." Tiba-tiba teringat dengan mayat Leonardo Vetra yang ditelanjangi.
"Apakah itu salah satu dari kardinal itu?"
Langdon tidak tahu, tetapi dia tidak dapat membayangkan siapa lagi yang mungkin terbaring di tempat seperti ini. Dia menatap ke bawah ke arah sesosok tubuh yang pucat itu. Dia terlihat tidak bergerak. Tidak ada tanda -tanda kehidupan. Tapi ... Langdon ragu-ragu. Ada yang sangat aneh pada posisi sosok itu. Dia tampak ....
Langdon berseru. "Halo?"
"Kamu pikir dia masih hidup?"
Tidak ada jawaban dari bawah.
Dia tidak bergerak," kata Langdon. "Tetapi dia tampak ...." Tidak, tidak mungkin.
"Dia tampak apa?" sekarang Vittoria juga ikut melongok ke bawah.
Langdon menyipitkan matanya untuk melihat ke dalam kegelapan. "Dia seperti berdiri."
Vittoria menahan napasnya dan menurunkan wajahnya ke arah bibir lubang agar dapat melihat dengan lebih jelas. Setelah sesaat, dia menarik diri. "Kamu benar. Dia berdiri. Mungkin dia masih hidup dan memerlukan pertolongan!" Dia berseru ke dalam lubang. "Halo? Mi Pud sentire?"
Tidak ada gema dari bagian dalam ruangan yang berlumut itu. Hanya kesunyian.
Vittoria menuju ke tangga yang sudah reyot itu. "Aku mau turun."
Langdon menangkap lengannya. "Tidak. Itu berbahaya. Aku saja.
Kali ini Vittoria tidak membantah.
66
CHINITA MACRI MARAH sekali. Dia duduk di bangku penumpang di van BBC ketika mobil itu berhenti di sudut jalan Via Tomacelli. Gunther Glick sedang memeriksa peta Roma ditangannya. Nampaknya mereka tersesat. Seperti yang ditakutkan oleh Macri, beberapa saat yang lalu penelepon misterius itu menelepon Glick kembali. Kali ini dia memberikan informasi baru.
"Piazza del Popolo," Glick berkeras. "Tempat itulah yang kita cari. Ada gereja di sana. Dan di dalamnya ada bukti."
"Bukti." Chinita berhenti menggosok lensa kameranya yang berada di tangannya dan berpaling ke arahnya. "Bukti bahwa seorang kardinal telah dibunuh?"
"Itu yang dikatakannya."
"Kamu percaya semua yang kamu dengar?" Chinita selalu berharap kalau dirinyalah yang memimpin tugas ini. Bagaimanapun bisa seorang videografer harus mengikuti tingkah gila para reporter ketika mereka mengejar berita. Kalau Gunther Glick ingin mengikuti petunjuk meragukan yang diberikan oleh penelepon misterius itu, Macri harus mengikutinya seperti anjing yang dibawa berjalan-jalan oleh majikannya.
Kini, Macri menatap Glick yang duduk di bangku pengemudi sambil mengeraskan rahangnya. Macri menyimpulkan orang tua lelaki itu pasti pelawak yang putus asa. Tidak ada orang tua normal yang memberi nama anak mereka Gunther Glick. Tidak heran kalau lelaki itu selalu merasa harus membuktikan sesuatu. Walau keberuntungannya biasa-biasa saja dan semangatnya untuk mendapat pengakuan kadang mengganggu orang lain, Glick sebetulnya lelaki yang manis ... memesona walau sedikit lembek.
"Kita kembali saja ke Basilika Santo Petrus, ya?" kata Macri sesabar mungkin. "Kita bisa memeriksa gereja misterius itu lain waktu. Rapat pemilihan paus sudah dimulai satu jam yang lalu. Bagaimana kalau para kardinal itu sudah menetapkan paus yang baru sementara kita tidak berada di sana?"
Tampaknya Glick tidak mendengarnya. "Kukira kita harus belok ke kanan dari sini." Dia mengangkat peta itu dan mempelajarinya lagi. "Ya, kalau aku membelok ke kanan ... dan kemudian langsung ke kiri." Dia mulai menjalankan mobil menuju ke jalan sempit di depan mereka.
"Awas!" teriak Macri. Dia adalah juru kamera dan tidak heran kalau matanya tajam. Untunglah, Glick juga tak kalah sigap. Dia menginjak pedal rem dan tidak jadi berbelok di perempatan itu tepat ketika empat buah mobil Alfa Romeo muncul dari kegelapan dan membelah jalanan dengan cepat. Begitu mobil-mobil itu berlalu, terdengar bunyi rem yang mendecit, mereka terlihat mengurangi kecepatan lalu berhenti satu blok di depannya. Mereka mengambil jalan yang sama dengan yang akan dilalui oleh Glick. Dasar orang gila!" teriak Macri.
Glick tampak gemetar. "Kamu lihat itu tadi?"
"Ya, aku melihatnya! Mereka hampir membunuh kita!"
"Bukan itu. Maksudku, mobil-mobil itu," kata Glick. Suaranya tiba-tiba terdengar sangat bersemangat. "Mereka semua sama."
"Mereka adalah orang-orang gila yang tidak punya imajinasi."
"Mobil-mobil itu juga penuh."
"Lalu memangnya kenapa?"
"Empat mobil yang sama dan semuanya berisi empat penumpang."
"Kamu pernah mendengar arak-arakan mobil?"
"Di Italia?" kata Glick sambil memeriksa perempatan di hadapan mereka. "Mereka bahkan belum pernah mendengar ada bensin tanpa timbal." Dia lalu menginjak pedal gas dan melesat mengikuti mobil-mobil itu.
Macri tersentak ke belakang di atas bangkunya. "Apa yang kamu lakukan?"
Glick memacu mobilnya dan membuntuti keempat Alfa Romeo itu. "Aku punya perasaan kalau kita berdua bukan satu-satunya orang yang pergi ke gereja sekarang."
67
LANGDON TURUN PERLAHAN-LAHAN.
Dia menjejakkan kakinya satu per satu di atas anak tangga yang reyot ... ke dalam dan lebih dalam lagi ke ruang bawah tanah di Kapel Chigi. Masuk ke lubang iblis, pikirnya. Badannya menghadap ke dinding sementara punggungnya menghadap ke ruangan itu. Langdon bertanya-tanya berapa banyak ruangan gelap dan sempit yang bisa muncul dalam satu hari untuk penderita claustophobia seperti dirinya. Tangga itu berderit setiap kali kaki Langdon menginjaknya. Sementara itu aroma menyengat dari bau daging yang membusuk dan udara pengap hampir membuat Langdon sesak. Lelaki itu bertanya-tanya di mana gerangan Olivetti.
Tubuh Vittoria masih terlihat di atas, memegangi obor gas, menerangi jalan Langdon. Ketika Langdon turun semakin dalam di ruang gelap itu, sinar kebiruan di atas menjadi semakin samar. Satu-satunya yang bertambah tajam adalah bau menusuk itu.
Dua belas anak tangga ke bawah sudah terlalui. Sekarang kaki Langdon menyentuh bagian yang licin karena lapuk sehingga membuatnya limbung. Secara refleks, Langdon menangkap tangga dengan lengan bawahnya agar tidak tersungkur ke dasar ruangan. Sambil menyumpahi lengannya yang terasa sakit, Langdon berusaha menyeret tubuhnya ke tangga dan mulai bergerak turun kembali.
Tiga anak tangga membawanya lebih dalam dan Langdon hampir terjatuh lagi. Kali ini bukan karena anak tangganya, tetapi karena ledakan ketakutannya. Dia turun melewati sebuah ceruk yang terdapat di dinding di depannya dan tiba-tiba dia berhadapan dengan sekumpulan tengkorak. Ketika dia dapat bernapas lagi, dia sadar kalau pada kedalaman ini terdapat ceruk berlubang-lubang seperti rak--rak-rak pemakaman, dan semuanya berisi kerangka manusia. Dalam sinar kebiruan yang menyinarinya dari atas, kumpulan tulang-tulang iga yang menakutkan dan membusuk itu tampak berkelip-kelip di sekitarnya.
Kerangka yang bersinar dalam gelap, dia tersenyum masam ketika menyadari kalau dia pernah mengalami hal yang sama bulan lalu. Ketika itu dia hadir dalam acara Semalam Bersama Tulang Belulang dan Pendar Api. Acara tersebut adalah sebuah acara makan malam yang diterangi nyala lilin, yang diselenggarakan oleh Museum Arkeologi New York, dan diadakan untuk pengumpulan dana. Hidangan malam itu adalah ikan salmon flambe yang disajikan dalam bayangan kerangka brontosaurus. Langdon menghadirinya karena undangan dari Rebecca Strauss, seorang model resyen yang sekarang menjadi kritikus seni di majalah Times. Malam itu Nona Strauss mengenakan gaun beledu hitam yang memesona, ketat, dan memamerkan buah dadanya dengan agak berani. Setelah malam itu, Nona Strauss meneleponnya dua kali Tapi Langdon tidak membalasnya. Sangat tidak sopan bagi seorang lelaki!, caci Langdon pada dirinya sendiri sambil bertanya-tanya berapa lama Rebecca Strauss dapat bertahan di dalam sumur berbau busuk seperti ini.
Langdon merasa lega ketika anak tangga terakhir membawanya ke tanah yang lunak. Tanah di bawah sepatunya terasa lembab. Setelah meyakinkan diri kalau dinding di sekitarnya tidak akan menguburnya, dia memutar tubuhnya ke arah ruangan bawah tanah itu. Ruangan tersebut berbentuk bundar, dan memiliki garis tengah sebesar dua puluh kaki. Sambil menutupi hidungnya dengan lengannya, Langdon mengarahkan matanya pada sosok itu. Dalam keremangan, sosok itu tampak kabur. Kulitnya yang berwarna putih terlihat jelas. Sosok itu menghadap ke arah yang lain. Tidak bergerak. Tidak bersuara.
Langdon melangkah maju di dalam ruang bawah tanah yang suram itu, dan mencoba untuk mengerti apa yang sedang dilihatnya sekarang. Punggung orang itu menghadap ke arahnya sehingga Langdon tidak dapat melihat wajahnya. Tetapi jelas, lelaki itu berdiri.
"Halo?" kata Langdon dengan suara seperti tercekik dari balik lengan yang menutupi hidungnya. Tidak ada jawaban. Ketika dia melangkah mendekat, dia sadar kalau lelaki itu sangat pendek. Terlalu pendek ....
"Apa yang terjadi?" tanya Vittoria sambil berseru dari atas dan menggerak-gerakkan obor gasnya.
Langdon tidak menjawabnya. Dia sekarang sudah cukup dekat untuk dapat melihat semuanya. Dengan gemetar karena jijik, dia sekarang mengerti apa yang dilihatnya. Ruangan itu terasa menciut di sekitarnya. Lalu Langdon melihat tubuh seorang lelaki tua tersembul dari tanah seperti iblis, ... atau setidaknya setengah dari tubuhnya. Lelaki itu ditanam hingga sebatas pinggangnya. Orang tua itu berdiri tegak dengan separuh badannya terkubur di dalam tanah. Dia ditelanjangi. Tangannya terikat di belakang punggungnya dengan ikat pinggang kardinal yang terbuat dari kain merah. Tubuh lelaki tua itu tersembul ke atas dengan lunglai. Punggungnya melengkung ke belakang seperti karung tinju yang mengerikan. Kepalanya terkulai ke belakang, matanya mengarah ke langit seolah memohon pertolongan dari Tuhan.
"Apakah dia sudah mati?" seru Vittoria bertanya.
Langdon bergerak ke arah tubuh itu. Kuharap begitu, demi kebaikan orang itu sendiri. Ketika dia mendekat lagi, Langdon melihat mata orang itu menengadah ke atas. Kedua bola matanya membelalak. Mata orang itu berwarna biru dan agak kemerahan. Langdon membungkuk untuk memastikan kemungkinan orang itu masih bernapas, tetapi tiba-tiba dia menarik dirinya. "Ya, Tuhan!"
"Apa?"
Langdon hampir saja muntah. "Dia memang sudah meninggal. Aku baru saja melihat penyebab kematiannya." Pemandangan itu sangat mengerikan. Mulut lelaki itu dibuka paksa dan tersumbat dengan lumpur padat. "Seseorang telah mengisi mulutnya dengan segenggam penuh lumpur dan menjejalkannya ke dalam tenggorokannya. Dia pasti mati tercekik."
"Lumpur?" tanya Vittoria. "Maksudnya ... tanah?"
Langdon heran sekali. Tanah? Dia hampir lupa. Cap-cap itu. Tanah, Udara, Api, Air. Pembunuh itu mengancam akan memberikan cap yang berbeda pada setiap korbannya. Cap yang menggambarkan berbagai elemen ilmu pengetahuan. Elemen pertama adalah tanah. Dari makam duniawi Santi. Duniawi ... bumi ... tanah ... Langdon merasa pusing karena aroma dalam ruangan itu, tapi dia memaksakan diri untuk melihat bagian depan si korban. Dia melakukannya karena dorongan simbologi di dalam Jiwanya berteriak dan menuntut untuk melihat perwujudan ambigram yang mistis itu. Tanah? Bagaimana mungkin mereka bisa membuat cap seperti itu? Lalu dengan sekejap, simbol itu sudah ada di depan matanya. Legenda Illuminati yang sudah berabad-abad itu berputar-putar di dalam otaknya. Cap di dada kardinal itu gosong dan memperlihatkan ambigram yang simetris. Dagingnya terlihat kehitaman. La lingua pura ... Langdon sedang menatap cap tersebut dan merasa ruangan itu seperti mulai berputar.
"Earth, tanah" Langdon berbisik, sambil memiringkan kepalanya untuk melihat simbol itu secara terbalik. "Earth."
Kemudian, dengan ketakutan luar biasa yang tiba-tiba muncul, Langdon sadar. Masih ada tiga cap lainnya lagi.
68
WALAU LILIN MEMANCARKAN sinar lembut di dalam Kapel Sistina, Kardinal Mortati tetap saja merasa tegang. Rapat pemilihan paus sudah dimulai satu jam yang lalu. Dan acara itu dimulai dengan cara yang paling tidak lazim.
Setengah jam yang lalu, pada jam yang sudah ditentukan, Camerlengo Carlo Ventresca memasuki kapel. Dia berjalan menuju altar dan memimpin doa pembukaan. Kemudian dia membuka tangannya dan berbicara kepada para kardinal lainnya dengan ketegasan yang belum pernah didengar Mortati dari altar Kapel Sistina itu.
"Anda sekalian pasti menyadari," kata sang camerlengo, "bahwa empat preferiti kita tidak hadir dalam rapat pemilihan paus saat ini. Saya memohon, atas nama mendiang Paus, kepada Anda sekalian untuk melanjutkan acara ini ... dengan keyakinan dan tujuan. Semoga hanya Tuhan yang ada di depan mata Anda sekalian." Lalu dia berpaling untuk beranjak pergi.
"Tetapi," salah satu kardinal berseru, "di mana mereka?"
Sang Camerlengo berhenti. "Itu tidak dapat saya katakan dengan terus terang."
"Kapan mereka akan kembali?"
"Saya tidak dapat mengatakannya dengan terus terang."
"Apakah mereka baik-baik saja?"
"Saya tidak dapat mengatakannya dengan terus terang."
"Apakah mereka akan kembali?"
Ada sunyi yang panjang.
"Doakan agar mereka kembali," kata sang camerlengo. Kemudian dia berjalan keluar ruangan.
Seperti tradisi yang sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun, pintu-pintu yang menuju Kapel Sistina sudah dikunci dengan dua rantai berat dari luar. Empat orang Garda Swiss berjaga-jaga di koridor. Mortati tahu satu-satunya yang dapat membuat pintu itu terbuka sebelum paus yang baru terpilih adalah ada kardinal yang jatuh sakit, atau ketika sang preferiti tiba. Mortati berdoa agar yang terakhirlah yang akan terjadi, walau ketegangan yang dirasakannya membuatnya menjadi tidak yakin kalau harapannya akan terkabul.
Lanjutkan seperti seharusnya, Mortati memutuskan kemudian mengambil alih acara tanpa mampu menghilangkan nada tegas dan sang camerlengo tadi dari benaknya. Sang camerlengo sudah meminta kami untuk melakukan pemilihan itu sekarang. Apa lagi yang dapat kami lakukan?
Membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan ritual persiapan sebelum pemungutan suara dilakukan. Mortati menunggu dengan sabar di altar utama ketika setiap kardinal, sesuai dengan urutan kesenioran mereka, datang mendekat dan melakukan prosedur pemilihan khusus.
Sekarang, akhirnya kardinal terakhir telah tiba di depan altar dan berlutut di depan Mortati.
"Saksiku adalah," kata kardinal itu, persis sama dengan para kardinal sebelumnya, "Yesus Kristus yang akan menjadi hakimku sehingga suara yang kuberikan adalah bagi seorang yang pantas di hadapan Tuhan."
Kardinal itu berdiri. Kemudian dia memegang surat suaranya tinggi di atas kepalanya agar semua orang dapat melihatnya. Setelah itu dia menurunkan surat suaranya ke altar di mana sebuah piring diletakkan di atas sebuah piala yang biasa digunakan dalam misa suci. Dia meletakkan surat suaranya itu di atas piring tersebut. Lalu dia mengambil piring tersebut dan menggunakannya untuk menjatuhkan surat suaranya ke dalam piala. Penggunaan piring itu adalah untuk memastikan agar tidak ada seorang pun yang meletakkan lebih dari satu surat suara.
Setelah kardinal tadi memasukkan surat suaranya, dia kemudian meletakkan piring itu kembali di atas piala, lalu membungkuk di depan salib dan kembali ke tempat duduknya. Surat suara terakhir telah diberikan.
Sekarang waktunya bagi Mortati untuk melakukan kewajibannya.
Dengan membiarkan piring itu tetap berada di atas piala, Mortati mengocok surat suara itu sehingga teraduk. Kemudian dia membuka piring itu dan mengeluarkan satu surat suara yang diambilnya secara acak. Dia membuka lipatannya. Surat suara itu lebarnya dua inci. Dia membaca dengan keras sehingga semua kardinal dalam ruangan itu dapat mendengarnya.
"Eligo in summum pontificem ..." dia berkata, lalu membaca teks yang tertulis pada bagian atas setiap surat suara. Paus pilihanku adalah ...
Kemudian dia mengumumkan nama calon yang tertulis di bawahnya. Setelah Mortati menyebutkan nama calon tersebut, dia meraih sebuah jarum jahit dan menusuk surat suara itu menembus kata Eligo, lalu dengan berhati-hati dia meluncurkan surat suara itu pada benang. Setelah itu dia mencatat suara di sebuah buku catatan.
Kemudian dia mengulangi seluruh prosedur itu. Dia memilih satu surat suara dari piala, membacanya dengan keras, lalu menjahitnya seperti tadi dan mencatatnya dalam buku catatan. Mortati segera dapat merasakan bahwa pemilihan ini akan gagal. Tidak ada konsensus. Dia baru membuka tujuh surat suara, dan ketujuh surat suara tersebut menyatakan nama kardinal yang berbeda. Seperti yang biasa terjadi, tulisan tangan di setiap surat suara disamarkan dengan huruf cetak atau tulisan indah. Dalam hal ini, penyamaran itu ironis karena para kardinal menuliskan namanya sendiri. Mortati tahu, keangkuhan ini tidak ada hubungannya dengan ambisi pribadi. Ini hanyalah pola untuk mengulur waktu. Sebuah manuver pertahanan. Sebuah taktik untuk meyakinkan bahwa tidak ada seorang kardinal pun yang bisa mendapatkan suara yang cukup banyak untuk menang ... sehingga terpaksa diadakan pemilihan lagi.
Kardinal-kardinal itu sedang menanti preferiti mereka . . .
Ketika surat suara terakhir dihitung, Mortati menyatakan kalau pemilihan ini gagal menentukan paus yang baru.
Dia kemudian mengambil benang yang merangkai semua surat suara itu dan mengikat kedua ujungnya sehingga menjadi sebuah kalung. Kemudian dia meletakkan kalung tersebut di atas sebuah nampan perak. Dia menambahkan zat kimia khusus lalu membawa nampan itu ke cerobong asap kecil di belakangnya. Di situ dia membakar surat-surat suara tersebut. Ketika surat-surat suara itu terbakar, zat kimia yang tadi ditambahkannya membuat asap nitam. Asap itu naik melalui sebuah pipa lalu masuk ke cerobong asap yang terletak di atap kapel. Dari situ asapnya akan keluar dan semua orang dapat melihatnya. Kardinal Mortati baru saja mengirimkan komunikasi pertamanya ke dunia luar.
Satu kali pemungutan suara. Tidak ada paus yang terpilih.
69
LANGDON HAMPIR SESAK napas karena aroma menyengat di sekitarnya sementara dia berjuang untuk menaiki tangga menuju ke arah cahaya di atas sumur. Di atas, dia mendengar suara-suara, tetapi tidak ada yang terdengar masuk akal. Kepalanya dipenuhi dengan gambaran kardinal yang dicap.
Tanah ... Tanah ...
Ketika dia terus memanjat, pandangan matanya mengabur dan dia takut akan pingsan dan jatuh. Dua anak tangga lagi dari atas dan keseimbangannya pun goyah. Dia menggapai ke atas, mencoba untuk meraih bibir sumur, tetapi masih terlalu jauh. Dia kehilangan pegangannya di tangga dan hampir terjatuh lagi ke dalam kegelapan. Langdon merasa sakit di lengan bawahnya, dan tiba -tiba dia melayang, kakinya terayun bebas di atas lubang.
Ternyata tangan dua orang Garda Swiss yang kuat meraih lengan bawahnya dan menariknya ke luar. Sesaat kemudian kepala Langdon muncul dari Lubang Iblis. Dirinya tersedak dan megap-megap. Kedua Garda Swiss itu menariknya menjauh dari bibir lubang, kemudian embaringkannya di atas lantai pualam yang dingin.
Untuk sesaat, Langdon tidak yakin dia berada di mana. Di atasnya dia melihat bintang-bintang ... planet-planet yang mengorbit. Sosok-sosok samar yang berkejaran. Orang-orang berteriak. Dia terbaring di dasar sebuah piramida batu dan mencoba untuk duduk. Suara galak yang sudah akrab di telinganya menggema di dalam kapel itu dan kemudian Langdon ingat dia sedang berada di mana.
Olivetti berteriak pada Vittoria. "Kenapa kalian tidak mengetahuinya dari awal?"
Vittoria mencoba menjelaskan situasinya.
Olivetti menyelanya di tengah kalimat dan kemudian meneriakkan perintah kepada anak buahnya. "Keluarkan mayat itu! Geledah seluruh gedung ini!"
Langdon berusaha lagi untuk duduk. Kapel Chigi yang dipenuhi oleh Garda Swiss. Tirai plastik di depan kapel telah disobek dan udara segar mulai mengisi paru-parunya. Ketika akal sehatnya kembali muncul, Langdon melihat Vittoria berjalan mendekatinya. Vittoria berlutut, wajahnya terlihat seperti malaikat.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Vittoria sambil memegang tangan Langdon dan meraba denyut nadinya. Tangan Vittoria terasa lembut di kulitnya.
"Terima kasih," kata Langdon setelah benar-benar duduk. "Olivetti marah."
Vittoria mengangguk. "Sudah sepantasnya dia marah. Kita menggagalkannya."
"Maksudmu, aku menggagalkannya."
"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita akan menangkapnya lain waktu."
Lain waktu? Langdon berpendapat itu adalah komentar yang jahat. Tidak ada lain waktu! Kita sudah gagal menembak sasaran kita!
Vittoria memeriksa jam tangan Langdon. "Mickey mengatakan kita masih punya waktu empat puluh menit lagi. Kumpulkan tenagamu dan bantu aku untuk menemukan petunjuk berikutnya."
"Sudah kukatakan padamu, Vittoria, patung-patung itu sudah hilang. Jalan Pencerahan sudah--" Suara Langdon tertahan.
Vittoria tersenyum lembut.
Tiba-tiba dengan susah payah Langdon berdiri. Dia berjalan mengelilingi ruangan itu dan mengamati karya seni di sekelilingnya. Piramida-piramida, planet-planet, elips-elips. Tiba-tiba semuanya menjadi jelas. Inilah altar ilmu pengetahuan yang pertama itu! Bukan Pantheon! Langdon sekarang menyadari betapa sempurnanya kapel ini sebagai kapel Illuminati. Jauh lebih tersamar dan daripada Pantheon yang terkenal di dunia itu. Kapel Chigi adalah ceruk yang berbeda, benar-benar sebuah lubang di dalam dinding sebuah tanda penghormatan bagi seorang pemuka ilmu pengetahuan, dan didekor dengan simbologi duniawi yang menggambarkan unsur tanah. Sempurna.
Langdon bersandar di dinding supaya tidak limbung dan menatap patung piramida besar itu. Vittoria sangat benar. Kalau kapel ini adalah altar ilmu pengetahuan yang pertama, berarti ada patung yang menjadi petunjuk berikutnya. Langdon merasakan hadirnya aliran harapan. Kalau petunjuk itu ada di sini, dan mereka dapat mengikutinya ke altar ilmu pengetahuan yang berikutnya, mereka mungkin memiliki kesempatan sekali lagi untuk menangkap pembunuh itu.
Vittoria bergerak mendekatinya. "Aku tahu siapa pematung Illuminati misterius itu."
Kepala Langdon berputar. "Apa?"
"Sekarang kita hanya harus mengetahui patung yang mana yang merupakan--"
"Tunggu sebentar! Kamu tahu siapa pematung Illuminati itu?" Langdon sudah bertahun-tahun mencari informasi itu.
Vittoria tersenyum. "Pematung itu adalah Bernini." Dia berhenti. "Bernini yang itu."
Langdon langsung tahu kalau Vittoria salah. Tidak mungkin Bernini. Gianlorenzo Bernini adalah pematung paling terkenal sepanjang masa. Ketenarannya hanya dapat dikalahkan oleh Michelangelo sendiri. Selama tahun 1600-an, Bernini menciptakan patung lebih banyak daripada pematung lainnya. Sayangnya, pematung yang mereka cari adalah seorang pematung yang tidak terkenal, bukan siapa-siapa.
Vittoria mengerutkan dahinya. "Kamu tidak tampak bersemangat."
"Tidak mungkin Bernini."
"Kenapa tidak? Bernini adalah pematung yang sezaman dengan Galileo. Dia pematung yang brilyan."
"Dia adalah pematung yang sangat terkenal dan seorang Katolik yang taat."
"Ya," sahut Vittoria. "Betul-betul seperti Galileo."
"Tidak," bantah Langdon. "Sama sekali tidak seperti Galileo. Galileo adalah duri dalam daging bagi Vatikan. Sementara Bernini adalah anak kesayangan mereka. Gereja mencintai Bernini. Dia terpilih sebagai pemegang otoritas artistik di Vatikan. Dia bahkan tinggal di dalam Vatican City sepanjang hidupnya!"
"Sebuah penyamaran yang sempurna. Penyusupan Illuminati."
Langdon merasa putus asa. "Vittoria, anggota Illuminati menyebut seniman rahasia mereka itu sebagai il maestro ignoto -- maestro tak dikenal."
"Ya, tidak dikenal oleh mereka. Ingat kerahasiaan kelompok Mason--hanya anggota tingkat atas saja yang tahu semua rahasia. Bisa saja Galileo menyembunyikan jati diri Bernini yang sesungguhnya dari anggota-anggota lainnya ... untuk keamanan Bernini sendiri. Dengan begitu Vatikan tidak pernah tahu."
Langdon tidak yakin, tetapi dia mengakui jalan pikiran Vittoria masuk akal juga walau terdengar aneh. Kelompok Illuminati terkenal dengan kemampuan mereka dalam menyimpan informasi rahasia secara tertutup, dan hanya membuka rahasia kepada para anggota tingkat atas. Karena itulah kerahasiaan mereka terjaga ... hanya sedikit orang yang tahu keseluruhan cerita tentang kelompok mereka itu.
"Dan keterlibatan Bernini dengan Illuminati," tambah Vittoria sambil tersenyum, "menjelaskan kenapa dia merancang kedua piramida itu."
Langdon berpaling pada kedua patung piramida besar itu dan menggelengkan kepalanya. "Bernini adalah seorang pematung religius. Tidak mungkin dia membuat piramida-piramida itu."
Vittoria mengangkat bahunya. "Katakan itu kepada tanda di belakangmu."
Langdon berputar dan melihat sebuah plakat.
SENI KAPEL CHIGI
Raphael adalah arsitek bangunan ini sementara seluruh dekorasi interior dibuat oleh Gianlorenzo Bernini
Langdon membaca plakat itu dua kali, dan masih tetap tidak percaya. Gianlorenzo Bernini terkenal karena kerumitan karyanya, seperti patung-patung suci Bunda Maria, malaikat-malaikat, nabi-nabi, paus-paus. Kenapa dia harus membuat piramida?
Langdon menatap monumen yang menjulang tinggi dan merasa sangat bingung. Dua buah piramida, masing-masing dengan dua medali berbentuk elips. Keduanya adalah patung yang sama sekali tidak bersifat Kristen. Piramida -piramida itu memiliki bintang di atasnya yang merupakan lambang zodiak. Seluruh dekorasi interior dibuat oleh Gianlorenzo Bernini. Langdon baru sadar, kalau itu benar berarti Vittoria pasti tidak keliru. Jadi, Bernini adalah maestro Illuminati yang tak dikenal; tidak ada seniman lain yang menyumbangkan karya seni di kapel ini. Pemikiran itu datang terlalu cepat untuk dicerna oleh Langdon.
Bernini adalah anggota Illuminati.
Bernini merancang ambigram Illuminati.
Bernini yang meletakkan Jalan Pencerahan.
Langdon hampir tidak dapat berbicara. Mungkinkah di sini, di dalam Kapel Chigi yang kecil ini, Bernini yang terkenal itu menempatkan sebuah patung yang mengarahkan kita ke arah altar ilmu pengetahuan yang berikutnya?
"Bernini," kata Langdon. "Aku tidak pernah mengira."
"Siapa lagi selain seorang seniman Vatikan terkenal yang mempunyai kekuasaan untuk meletakkan karya seninya di kapel Katolik tertentu di sekitar Roma dan menciptakan Jalan Pencerahan. Pasti bukan seniman kacangan."
Langdon mempertimbangkan perkataan Vittoria tadi. Dia menatap kedua piramida itu sambil bertanya-tanya apakah salah satu dari mereka menjadi petunjuk ke altar ilmu pengetahuan selanjutnya. Mungkin juga keduanya? "Kedua piramida itu menghadap ke sisi yang berlawanan," kata Langdon, tidak yakin apa artinya itu. "Mereka juga sama persis, jadi aku tidak tahu yang mana ...."
"Kukira kedua piramida itu bukan petunjuk yang kita cari."
"Tetapi mereka adalah satu-satunya patung di sini."
Vittoria menyelanya dengan menunjuk Olivetti dan beberapa penjaga yang masih berkerumun di dekat Lubang Iblis itu.
Langdon mengikuti arah yang ditunjuk oleh Vittoria. Pada awalnya dia tidak melihat apa -apa. Lalu seseorang bergerak, dan Langdon melihat sesuatu. Pualam putih. Sebuah lengan. Sebuah patung dada. Dan pahatan wajah. Sebagian tersembunyi di dalam ceruknya. Dua buah patung manusia dengan ukuran yang sesungguhnya, saling terjalin. Denyut nadi Langdon menjadi cepat. Dia tadi begitu tercengang oleh dua piramida dan lubang iblis sehingga dia tidak melihat patung itu. Dia menyeberangi ruangan tersebut dan melewati kerumunan Garda Swiss. Ketika dia semakin dekat, Langdon mengenali karya itu sebagai karya Bernini yang asli --komposisi artistik yang kuat, kerumitan wajah dan
pakaian yang melambai, semuanya terbuat dari pulam putih murni yang hanya bisa dibeli oleh uang Vatikan. Baru ketika Langdon berada hampir di depan patung itu, dia mampu mengenali patung tersebut. Dia memandang wajah kedua patung itu dan terkesiap.
"Siapa mereka?" tanya Vittoria ketika dia tiba di belakang Langdon.
Langdon berdiri dan memandangnya dengan tatapan terpesona. "Habakkuk dan malaikat" sahut Langdon dengan suara yang hampir tidak terdengar. Karya seni itu dikenal sebagai karya Bernini walau tidak terlalu banyak dibicarakan dalam buku-buku sejarah seni. Langdon lupa kalau karya itu ditempatkan di sini.
"Habakkuk?"
"Ya. Nabi yang meramalkan penghancuran bumi."
Vittoria tampak tidak tenang. "Kamu kira ini juga sebuah petunjuk?"
Langdon mengangguk dengan kagum. Selama hidupnya dia belum pernah merasa seyakin ini. Ini adalah petunjuk pertama Illuminati. Tidak diragukan lagi. Langdon memang berharap patung itu akan menunjukkan altar ilmu pengetahuan selanjutnya, tapi dia tidak mengira kalau patung tersebut akan menunjukkannya sejelas ini. Tangan malaikat dan tangan Habakkuk terulur dan menunjuk ke suatu arah yang jauh.
Langdon tiba-tiba tersenyum. "Tidak terlalu tersamar, bukan?"
Vittoria tampak gembira sekaligus bingung. "Aku memang melihat mereka menunjuk, tetapi mereka menunjukkan arah yang berlawanan. Sang malaikat menunjuk ke satu arah, dan sang nabi ke arah yang lain."
Langdon tertawa. Apa yang dikatakan Vittoria memang benar. Walau kedua sosok itu menunjuk ke arah yang jauh, mereka menunjuk ke arah yang berlawanan. Tapi tampaknya Langdon sudah mendapatkan jawabannya. Dengan bersemangat Langdon berjalan menuju ke pintu.
"Mau ke mana kamu?" tanya Vittoria sambil beseru.
"Keluar gedung ini!" Kaki Langdon terasa ringan ketika dia berlari ke arah pintu. "Aku harus melihat ke arah mana patung itu menunjuk!"
"Tunggu! Bagaimana kamu tahu jari siapa yang harus kamu ikuti?"
"Puisi itu," seru Langdon tanpa berhenti bergerak. "Baris terakhir!"
"Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian muliamu." Vittoria melihat ke jari sang malaikat. Tiba-tiba tatapannya kabur. "Kita sial kalau membuat kesalahan lagi.'
Bersambung...