Published using Google Docs
BUKU SISWA HADIS KEAGAMAAN X 23 DES
Updated automatically every 5 minutes

HADIS

Untuk kelas X Peminatan Ilmu-ilmu Agama Madrasah Aliyah http://3.bp.blogspot.com/_5mlF3PmMHoM/S-fdH8AmOJI/AAAAAAAAABg/XVcGbvFe6FQ/s1600/habib-hussein-dan-para-ulama-di-hadromaut-yaman2.jpg


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabbil ‘alamῑn, Puji syukur kehadirat Allah swt atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, Solawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, sahabat, beserta keluarganya.

Upaya untuk memahami hadis sudah dimulai sejak Muhammad diutus sebagai Nabi, kepiawaian pengikut Nabi dalam menangkap informasi yang  disampaikannya, menuntut adanya keseriusan yang luar biasa. Upaya memahami hadis nabi tidak pernah berhenti, bahkan sampai sekarangpun masih menjadi kajian yang menarik di berbagai level kajian, tidak ketinggalan di tingkat Madrasah Aliyah.

Sebagai upaya untuk mewujudkan hal itu, maka disusunlah buku  Hadis untuk Kelas X Peminatan Ilmu-ilmu Agama Madrasah Aliyah  untuk memudahkan peserta didik pemula memahmi hadis nabi.

Buku ini disusun berdasarkan pada Standar Isi Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 2013. Buku ini membahas tentang ilmu hadis, sejarah pemeliharaan hadis, sejarah para sahabat dan pentakhrij hadis, kedudukan dan fungsi hadis, kitab-kitab hadis, pengelompokkan kitab, takhrij hadis, serta penerimaan dan periwayatan hadis.

Buku ini disusun secara ringkas, padat, dan jelas, serta dilengkapi dengan peta konsep pembelajaran yang jauh dari kesan menggurui. Cara ini ditempuh untuk memberi kenyamanan kepada peserta didik. Dengan demikian buku ini diharapkan dapat menjadi mitra yang mengasikkan bagi peserta didik dalam belajar.

Akhirnya, kami menyadari bahwa dalam penyusunan buku ini masih ada kekurangan, baik dari sisi metodologi maupun substansi maka saran dan kritik yang konstruktif selalu kami harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga buku ini bermanfaat dan mendapatkan ridha dari Allah Swt. amin.

Bandung, Nopember 2013

Penulis

 


Pedoman Transliterasi Arab-Latin

Berikut ini adalah pedoman transliterasi yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543/b/u/1987.

1. Konsonan        

No

Arab

Latin

No

Arab

Latin

No

Arab

Latin

1

أ

Tidak dilambangkan

11

ز

z

21

ق

q

2

ب

B

12

س

s

22

ك

k

3

ت

T

13

ش

sy

23

ل

l

4

ث

 

14

ص

 

24

م

m

5

ج

J

15

ض

25

ن

n

6

ح

16

ط

26

و

w

7

خ

Kh

17

ظ

27

ه

h

8

د

D

18

ع

28

ء

̇

9

ذ

Ż

19

غ

g

29

ي

y

10

ر

R

20

ف

f

2. Vokal Pendek                        4. Diftong

ــــَــــ        =   a        كَتَبَ        kataba                ــــَيْ        =  ai     كَيْفَ        kaifa

ــــِــــ        =   i        سُئِلَ        su ̇ ila                ــــَوْ        =  au    حَوْلَ        aula

ــــُــــ        =   u        يَذْهَبُ        yażhabu         

3. Vokal Panjang

ــــَــــا        =   ā        قَالَ        qāla                 

ــــِــــي        =    ī        قِيْلَ        qīla                 

ــــُــــو        =   ū        يَقُوْلُ        yaqūlu         


PETUNJUK PENGGUNAAN BUKU



      merupakan sajian yang mengajak pembaca

      untuk kreatif dalam mengambil sebuah

     pelajaran yang bisa diamalkan dalam

     kehidupan sehari-hari.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Pedoman Translitarasi Arab-Latin

Petunjuk Penggunaan buku

Daftar Isi

Semester 1

Bab I. Ilmu Hadis

  1. Mari Renungkan
  2. Peta Konsep
  3. Mari Mengamati
  4. Kata Kunci
  5. Mari Memahami Hadis
  6. Mari Mendiskusikan Ilmu Hadis
  7. Mari Mendalami Karakter
  8. Rangkuman Materi
  9. Mari Berlatih
  10. Penilaian Sikap

Bab II. Sejarah Pemeliharaan dan Kodifikasi Hadis

  1. Mari Renungkan
  2. Peta Konsep
  3. Mari Mengamati
  4.  Kata Kunci
  5. Mari Memahami Sejarah Pemeliharaan dan Kodifikasi Hadis
  6. Mari Mendiskusikan Sejarah Pemeliharaan dan Kodifikasi Hadis
  7. Mari Mendalami Karakter
  8. Rangkuman Materi
  9. Mari Berlatih
  10. Penilaian Sikap

Bab III. Sejarah Tokoh  Hadis Masa Sahabat

  1. Mari Renungkan
  2. Peta Konsep
  3. Mari Mengamati
  4.  Kata Kunci
  5. Mari Memahami  Sejarah Tokoh Hadis masa Sahabat
  6. Mari Mendiskusikan  Sejarah Tokoh Hadis masa Sahabat
  7. Mari Mendalami Karakter
  8. Rangkuman Materi
  9. Mari Berlatih
  10. Penilaian Sikap

Bab IV. Sejarah Para Pentakhrij Hadis

  1. Mari Renungkan
  2. Peta Konsep
  3. Mari Mengamati
  4.  Kata Kunci
  5. Mari Memahami Sejarah Para Pentakhrij Hadis  
  6. Mari Mendiskusikan  Sejarah Para Pentakhrij Hadis
  7. Mari Mendalami Karakter
  8. Rangkuman Materi
  9. Mari Berlatih
  10. Penilaian Sikap

Semester 2

Bab V. Kedudukan dan Fungsi Hadis

  1. Mari Renungkan
  2. Peta Konsep
  3. Mari Mengamati
  4.  Kata Kunci
  5. Mari Memahami  Kedudukan dan Fungsi Hadis
  6. Mari Mendiskusikan   Kedudukan dan Fungsi Hadis
  7. Mari Mendalami Karakter
  8. Rangkuman Materi
  9. Mari Berlatih
  10. Penilaian Sikap

Bab VI. Kitab-kitab Hadis Mu’tabarah

  1. Mari Renungkan
  2. Peta Konsep
  3. Mari Mengamati
  4.  Kata Kunci
  5. Mari Memahami  Kitab-kitab Hadis  Mu’tabarah
  6. Mari Mendiskusikan  Kitab-kitab Hadis Mu’tabarah  
  7. Mari Mendalami Karakter
  8. Rangkuman Materi
  9. Mari Berlatih
  10. Penilaian Sikap

Bab VII. Pengelompokkan Kitab Hadis

  1. Mari Renungkan
  2. Peta Konsep
  3. Mari Mengamati
  4.  Kata Kunci
  5. Mari Memahami   Pengelompokkan Kitab Hadis
  6. Mari Mendiskusikan  Pengelompokkan Kitab Hadis  
  7. Mari Mendalami Karakter
  8. Rangkuman Materi
  9. Mari Berlatih
  10. Penilaian Sikap

Bab VIII. Pengenalan Takhrῑj al-Ḥadῑs

  1. Mari Renungkan
  2. Peta Konsep
  3. Mari Mengamati
  4.  Kata Kunci
  5. Mari Memahami  Takhrῑj al-Ḥadῑs 
  6. Mari Mendiskusikan  Takhrῑj al-Ḥadῑs 
  7. Mari Mendalami Karakter
  8. Rangkuman Materi
  9. Mari Berlatih
  10. Penilaian Sikap

Bab IX. Taḥammul wa Ada’ al-Ḥadῑs

  1. Mari Renungkan
  2. Peta Konsep
  3. Mari Mengamati
  4.  Kata Kunci
  5. Mari Memahami   Taḥammul wa Ada’ al-Ḥadῑs 
  6. Mari Mendiskusikan   Taḥammul wa Ada’ al-Ḥadῑs
  7. Mari Mendalami Karakter
  8. Rangkuman Materi
  9. Mari Berlatih
  10. Penilaian Sikap



http://3.bp.blogspot.com/-KHio-XReekw/T5DGA4d20OI/AAAAAAAAADM/TS7FkqX3z3E/s320/Hadits.jpg

Kompetensi Inti (KI)

  1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
  2. Menghayati dan mengamalkan  perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai) santun,  responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
  3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
  4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar (KD)

1.1. Meyakini kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam

2.3. Membiasakan berkarya sebagai perwujudan dari sifat para muhaddisin

3.1. Memahami pengertian dan macam-macam ilmu Hadis

4.1. Menunjukkan contoh kitab hadis dirāyah dan riwāyah

4.4. Menceriterakan kisah ulama hadis dan meneladaninya

Indikator Pembelajaran

Peserta didik mampu :

  1.  menjadikan hadis sebagai sumber hukum islam
  2.   menjelaskan pengertian hadis dengan benar
  3.    menyebutkan  macam-macam ilmu hadis dengan tepat
  4.    membedakan antara ilmu hadis dirayah dengan ilmu hadis  

 riwayah  

  1.   mengidentifkikasa  kitab hadis dirayah berikut penyusunnya
  2.   menyebutkan nama-nama kitab hadis riwayah berikut penyusunnya
  3. mendemonstrasikan semangat ulama hadis

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik dapat :

  1. memedomani hadis sebagai sumber hukum islam
  2.  menjelaskan pengertian ilmu hadis
  3.  menjelaskan macam-macam ilmu hadis
  4.  menyebutkan manfaat mempelajari ilmu hadis
  5.  menunjukkan contoh kitab-kitab hadis dirāyah  dan riwāyah 
  6. Meneladani para ulama hadis

Peta Konsep

http://1.bp.blogspot.com/-IgHJKoY2Ry8/TyuihypqPGI/AAAAAAAAAfs/PRLH3fZ_gZo/s320/Ma%27rifatu+Ulumil+Hadis+-+Alhakim+An-Nisabury.jpg

http://dc242.4shared.com/doc/IAvoRQuG/preview_html_m126ebe95.png

http://3.bp.blogspot.com/_5mlF3PmMHoM/S-fdH8AmOJI/AAAAAAAAABg/XVcGbvFe6FQ/s1600/habib-hussein-dan-para-ulama-di-hadromaut-yaman2.jpg

        Ilustrasi gambar diatas adalah silsilah tabaqah sanad dari waktu ke waktu, beberapa orang ulama’ berkumpul dan membicarakan sesuatu tentang nabi Muhammad saw, dan gambar sampul kitab ulumu al hadis.

 

Kata Kunci

MAKSUD

ISTILAH

MAKSUD

ISTILAH

 Ilmu yang mempelajari makna yang jauh dari biasa

 علم غريب الحديث

Pengetahuan tentang ilmu hadis

دِرَايَةٌ

 Hubungan/kesesuaian antara dua hal

 مناسبة

Cerita tentang nabi

رِوَايَةٌ

Setelah anda mengamati gambar diatas, maka perasaan, fikiran, konsentrasi, dan perhatian anda terhadap ilmu hadis sudah penuh, bahkan ada beberapa pertanyaan-pertanyaan dalam hati anda tentang apa itu ilmu hadis.? Marilah kita memahami materi tentang ilmu hadis dibawah ini!

1. Pengertian Ilmu Hadis

Ilmu hadis (ulūm al-ḥadῑs) terdiri dari dua kata, yaitu ilmu (ulūm) dan al-ḥadīṡ. Kata ‘ulūm dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, yang berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-ḥadῑs di kalangan ulama hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi saw dari perbuatan, perkataan, takrir, atau sifat.” dengan demikian, gabungan kata ulūm al-hadῑs mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadis nabi saw”.

Sedangkan menurut ulama mutaqaddimin adalah

عُلُوْمُ الْحَدِيْثِ هُوَ عِلْمٌ يُبْحَثُ عَنْ كَيْفِيَةِ اِتْصَال اْلاَحاَدِيْثِ بِالرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَيْثُ مَعْرِفَةُ اَحْوَالِ رُوَّا تِهَا ضَبْطًا وَعَدَالَة وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ السَّنَدِ اِتْصَالاً وَانْقِطَاعًا.

 “Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara menyambungkan hadis sampai kepada Rasul Saw baik dari segi keadaan keḍabitan atau keadilan, periwayatnya, maupun dari segi sambung atau putusnya rantai sanad.”

Ilmu hadis juga diartikan sebagai suatu ilmu yang dapat digunakan untuk mengetahui betul atau tidaknya ucapan, perbuatan, ketetapan dari Nabi Muhammad saw. Dapat juga diartikan sebagai:

عِلْمُ الْحَدِيْثِ هُوَمَعْرِفَةُاْلقَوَاعِدِالَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَااِلَى مَعْرِفَةِالرَّاوِي وَالْمَرْوِي

Ilmu hadis adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengetahui tentang periwayat atau yang diriwayatkan”

Ada juga pendapat lain yang mengatakan:

عِلْمُ الْحَدِيْثِ هُوَ عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَاأَحْوَالُ السَّنَدِ وَاْلمتَنِ

”Ilmu hadis adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan.”

Sanad atau isnad (jamak) secara etimologi artinya sandaran. Sedangkan secara terminologi adalah mata rantai atau jalan yang bersambung sampai kepada matan (isi hadis) yang terdiri dari para rawi yang meriwayatkan matan hadis dan menyampaikannya.

2. Macam-macam Ilmu Hadis

Pada perkembangannya, ulama mutaakhirin membagi ilmu hadis menjadi dua, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.

a. Ilmu Hadis Riwayah

   Ilmu hadis riwayah adalah ilmu hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah, yakni ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat Nabi saw, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya.  

عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى نَقْلِ مَاأُضِيْفَ إِلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا أَوْ فِعْلًا أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْصِفَةً  

 Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjāj al-Khathῑb, ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, takrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti atau terperinci.

 هُوَ عِلْمٌ الّذِي يَقُوْمُ عَلَى مَا أُضِفَ إِلَى النَّبِي مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ أَوْ خُلُقِيَّةٍ نَقْلًا دَقِيْقًا مُحَرَّرًا

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa ilmu hadis riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis nabi saw.

Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah hadis nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:

  1. cara periwayatan hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian  

         juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain.

  1. cara pemeliharaan hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.

Ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak nabi saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh hadis-hadis Nabi saw dengan cara mendatangi majelis rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau saw.

Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi saw berlangsung hingga usaha penghimpunan hadis secara resmi pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azῑz (memerintah 99 H/717 M- 124 H/ 742 M).  

  1. Manfaat mempelajari ilmu hadis riwayah :
  1. Dengan ilmu hadis kita dapat menjaga dan memelihara hadis nabi dan menghindari kesalahan periwayatan dan penyampaiannya.
  2. Ilmu hadis merupakan perantara dan media akan kesempurnaan kita dalam mematuhi dan mengikuti Rasulullah saw serta melestarikan ajaran-ajarannya.
  1. Penyusun Kitab Ilmu Hadis Riwayah

Al-Zuhri dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah; dan dalam sejarah perkembangan hadis, dia dicatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi saw atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘abd al-Azῑz.

Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Turmudzi, dan lain-lain. Dengan dibukukan hadis-hadis Nabi saw oleh para ulama di atas, dan buku mereka pada masa selanjutnya telah jadi rujukan para ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu hadis riwayah tidak banyak lagi berkembang.

b. Ilmu Hadis Dirāyah

Dalam mendefinisikan ilmu hadis dirayah, ada beberapa pendapat di kalangan ulama, di antaranya;

Pendapat Ibn Akfani yang memberikan pengertian bahwa ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, sifat-sifat para perawi dan syarat-syaratnya, serta macam-macam sesuatu yang diriwayatkan serta hal-hal yang terkait dengannya:

 عِلْمٌ يُعْرَفُ مِنْهُ حَقِيْقَةُ الرِّوَايَةِ وَشُرُوْطُهَا وَاَنْوَاعُهَا وَاَحْكَامُهَا وَحَالُ الرُّوَّاةِ وَشُرُوْاطِهِمْ وَاَصْنَافُ اْلمَرْوِيَاتِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا

Menurut pendapat Syaikhul Islam Ibnu Hajar, ilmu hadis dirayah adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi dan sesuatu yang diriwayatkan. Pengertian ini diikuti oleh sebagian besar ahli hadis.

Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadis dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah yang diketahui dengannya keadaan perawi dan sesuatu yang diriwayatkan dari sisi diterima dan tidaknya.

Objek kajian atau pokok bahasan ilmu hadis dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah penelitian terhadap para perawi hadis dan keadaan mereka yang meriwayatkan hadis, demikian juga halnya dengan sanad dan matannya.

Pembahasan tentang sanad meliputi;

  1. Segi persambungan sanad (ittiṣal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad hadis haruslah bersambung mulai dari sahabat sampai pada periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan hadis tersebut. Oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar.  
  2. Segi kepercayaan sanad (ṣiqat al-sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu hadis harus memiliki sifat adil dan Ẓabiṭ (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi hadisnya)
  3. Segi keselamatan dan kejanggalan (syādz).
  4. Keselamatan dan cacat (‘illat).
  5. Tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.

Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke-ẓaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam Al-Qur’an, atau selamatnya dari;

  1. kejanggalan redaksi (rakakat al-faẓ);
  2. cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasād al- ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah; dan
  3. kata-kata asing (gharῑb), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.

Setelah mengetahui pengertian ilmu hadis, kalau begitu apa saja yang termasuk ilmu yang berhubungan dengan ilmu hadis ini?

Dari dua pokok dasar ulum al-hadis di atas (ilmu hadis riwayah dan dirayah), kemudian muncullah bermacam-macam cabang ilmu hadis, seperti:

  1. Ilmu rijāl al-ḥadῑs, yakni ilmu yang mengkaji tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun angkatan setelahnya:

 عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ رُوَّاةُ اْلحَدِيْثِ مِنْ حَيْثُ اَنَّهَمْ رُوُّاةٌ لِلْحَدِيْثِ

"Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis.

Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadis, karena objek kajian hadis pada dasarnya ada dua hal yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijalul hadis ini lahir bersama-sama dengan periwayatan hadis dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.

Di antara kitab yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah para perawi thabaqat demi thabaqat adalah karya Muhammad ibn Sa'ad (w 230 H) yaitu Ṫabaqāt Al-Qubra dan karya Khalifah ibn 'Ashfari ( w. 240 H) yaitu Ṫabaqāt Al-Ruwwah dll

  1. Ilmu gharib al-hadis, yakni ilmu yang membahas redaksi hadis yang pelik-pelik yang tidak mudah dipahami, karena jarang dipakai. Ibnu Shalah mendefinisikan:

 عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَا بَعُدَ مَعْنَاهُ وَغَمُضَ بِحَيْثُ لَايَتَنَاوَلُهُ اْلفَهْمُ إِلَّا عَنْ بُعْدٍ

”Ilmu gharibil hadis adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui makna yang jauh dari pengertian biasa dan tersembunyi, tidak dapat dicapai dengan mudah tanpa mencurahkan akal  fikiran.  

Nabi adalah sefasih-fasihnya orang Arab yang diutus untuk menghadapi kaumya yang bermacam suku dan kabilah. Adakalanya beliau berhadapan dengan kaum tertentu dan beliau menggunakan bahasa dari kaum yang dihadapinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya setelah banyak bangsa nonArab memeluk Islam mendapati lafal-lafal yang digunakan itu terasa asing / gharib. Nah ilmu ini dimunculkan dengan tujuan untuk memudahkan dalam memahami hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal yang gharib tersebut.

Di antara para Ulama yang pertama-tama menyusun hadis-hadis yang gharib tersebut adalah Abu Ubaidah Ma'mar bin Matsna Al-Taymi Al-Bisri (w. 210 H) dan Abu Al-Hasan bin Ismail Al-Mizini Al Nahawi (w. 204 H).

Salah satu kitab terbaik yang ada sekarang ini adalah kitab Nihāyah Gharῑb Al-Ḥadῑs, karya Ibn Al Atsir.

  1. Ilmu al-nasῑkh wa al-mansūkh, yakni ilmu yang membahas hadis-hadis nasikh (yang menghapus hukum), dan hadis-hadis mansukh (yang hukumnya dihapuskan).

الْعِلْمَ الْذِي يُبْحَثُ عَنِ اْلأَحَادِيْثِ الْمُتَعَارِضَةِ اْلتِي لَا يُمْكِنُ التَوْفِيْقُ بَيْنَهَا

مِنْ حَيْثُ اْلحُكْمِ عَلَى بَعْضِهَا بِأَنَّهُ نَاسِخٌ وَعَلَى بَعْضِهَا الاَخَرِ بِأَنَّهُ مَنْسُوْجٌ

فِمَا ثَبَتَ تَقَدُمُهُ كَانَ مَنْسُوْخًا وَمَا ثَبَتَ تَأْخِرُهُ كَانَ نَاسِخًا

  

“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena (materi yang berlawanan) yang pada akhirnya terjadilah saling menghapus dengan ketetapan bahwa yang dating terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian disebut nasikh.”

Ilmu ini sangat penting berkaitan istinbat hukum dari nash yang samar-samar. Untuk mengetahui nasah dan mansukh ini bias melalui beberapa cara :

  1. Ilmu talfῑq al-ḥadῑs, yakni ilmu yang menjelaskan tentang cara-cara mendudukkan hadis yang dhahirnya kelihatan bertentangan antara yang satu dengan lainnya.

 الْعِلْمَ اْلذِى يُبْحَثُ فِي اْلاَحَادِيْثِ اْلتِي ظَاهِرُهَا مُتَعَارَضٌ

Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan

Ilmu ini juga disebut Ilmu Mukhtaliful Hadis dan yang telah berusaha menyusun ilmu ini adalah Imam Syafi'i (204 H), Ibn Qurtaibah (276 H), At Tahawi (321H) dan Ibn Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqῑq dan sudah diSyarhkan oleh Al-Ustadz Ahmad Muhammad Syakir.

  1. Ilmu ’ilal al-ḥadῑs, yakni ilmu yang membicarakan hadis-hadis yang secara dzahir kelihatan sah, kemudian terdapat beberapa kekeliruan/ kesalahan.

'Ilal jamak dari 'illah  yang artinya penyakit, yang menurut istilah ahli hadis adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status kesahihan hadis padahal dzahirnya tidak nampak ada cacat. Sedangkan definisi menurut muhadisin adalah :

 اْلعِلْمَ اْلذِى يُبْحَثث عَنِ اْلاَسْبَابِ اْلخَفِّيَّةِ اْلغَامِضَةِ مِنْ جِهَةِ قَدْحِهَا فِي اْلحَدِيْثِ

 “Ilmu yang membahasa sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadis .”

  1. Ilmu asbab wurud al-hadis, yakni ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi menurunkan sabdanya dan masa-masa nabi menurunkan sabda tersebut.

 عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ اَسْبَابُ وُرُوْدِاْلحَدِيْثِ وَمُنَاسَبَاتِهِ

Ilmu yang menerangkan sebab datangnya hadis dan korelasinya

Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana Asbāb an-Nuzūl menolong kita dalam memahami Al-Qur'an

  1. Ilmu al-jarh wa at-ta’dῑl, yakni ilmu yang menerangkan catatan-catatan tentang keterangan memandang adil periwayat atau mencacat (menerangkan keadaan yang tidak baik) periwayat.

 

Ilmu yang menerangkan kecacatan-kecacatan yang dihadapkan pada para perawi dan pentakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.”

3. Manfaat Mempelajari Ilmu Hadis Dirayah

Ketika umat Islam sepakat bahwa hadis nabi saw adalah merupakan sumber dan pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an, maka kajian tentang ilmu hadis akan menjadi sangat urgen. Bebepara manfaat mempelajari ilmu hadis antara lain:

  1. Dengan mengkaji ilmu hadis dapat membawa kita kepada keseksamaan dalam memilih hadis-hadis yang dapat dijadikan pedoman hidup.
  2. Dengan mempelajari ilmu hadis kita dapat membedakan mana hadis yang shahih, mana hadis yang dhaif, mana yang mauquf, mana yang marfu’, mana yang diterima dan mana yang ditolak.

4. Penyusun Kitab-kitab Ilmu Hadis Dirayah

Ilmu hadis sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah masih hidup, akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Rasul wafat, terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadis dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu secara langsung atau tidak, memerlukan kaidah-kaidah guna menseleksi periwayatan hdis. Di sinilah Ilmu Hadis Dirayah mulai terwujud dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana.

Kemudian dalam perkembangan selanjutnya kaidah-kaidah tersebut semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 hijriyah, baik mereka yang secara khusus menspesiallisasikan dirinya dalam mempelajari satu disiplin ilmu maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang berdiiri sendiri.

Sekalipun demikian, dalam perkembangannya tercatat bahwa ulama yang pertama kali menyusun ilmu hadis sebagai salah satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri secara lengkap adalah

  1. Al-Qadliy Abu Muhammad al-Ramahurmuziy ( w 360 H ) dengan kitabnya  المحديث الفاصل بين الراو والواعى ( Al-Muḥadiṡ al-Fāṣil baina al-Rāwi wa al-Wa'i) kemudian disusul oleh
  2. Al-Hakim Abu Abdillah al-Naesaburiy ( 321 – 405 ) dengan kitabnya berjudul معرفة علوم الحديث  (Ma'rifah ’Ulūm Al-Ḥaῑis)
  3. Abu Nu'man Ahmad bin Abdillah Al Asfahaniy (336-430) lalu al-Khatib Al-Baghdadiy (w. 463 H) dengan kitabnya berjudul   dan  
  4. Al-Qadly 'Iyadl bin Jusa (w. 544 H) dengan kitabnya yang berjudul    
  5. Abu Hafs 'Umar bin Abdul Majid al-Mayanzi ( W. 580 H. ) dengan kitabnya   ما لا يسع المحد ث جهله  Ma La Yasi'u Al-Muḥaddiṡ Jahluhu
  6. Abu 'Umar dan 'Utsman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri ( W. 643 H ) dengan kitabnya  علوم الحديث 'Ulūm al-Ḥadῑs yang kemudian dikenal dengan sebutan Muqoddimah Ibnu al-Ṣalah. Kitab yang terakhir ini oleh para ulama berikutnya disyarahkan dan dibuat 27  mukhtasyar-nya sehingga dapat dijadikan pegangan oleh generasi berikutnya.

Demikianlah kemudian muncullah berbagai macam bentuk kitab musthalah hadis dengan berbagai jenisnya baik nazham maupun natsar atau prosa dan syarah-syarahnya, misal Nazham al-Fiyyah karya Al-Suyuthi yang disyarahi oleh Syeh Mahfuz at-Tarmasyi ( pengasuh Pon Pes Termasyi Ponorogo Jawa Timur ) dengan judul Manḥāj Żaw al-Naẓar dan Al-Taqrῑb karya Imam Nawawi yang disyarahi oleh As-Suyuthi sendiri dengan judul Tadrῑb al-Rāwi.

Kitab karya ulama kontemporer misalnya Qawā'id At-Taḥdῑs karya Jamaluddin Al-Qasimi 9w. 1332 H) dan Taisῑr Musṭalah Al-Ḥadῑs karya DR. Mahmud At-Tahhan.

Setelah Anda mempelajari dan mendalami tentang ilmu hadis, macam-macam, manfaat mempelajari, dan pengarang-pengarangnya, selanjutnya lakukanlah diskusi  dengan teman sebangku Anda atau dengan kelompok Anda, kemudian persiapkan diri untuk mempresentasikan hasil diskusi tersebut di depan kelas.

Ilmu hadis adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menghantarkan kepada pengetahuan tentang rāwῑ (periwayat) dan marwῑ (yang diriwayatkan), atau dapat dikatan sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan dari suatu hadis Ilmu hadis dibagi menjadi dua yaitu; Pertama, ilmu hadis riwayah yakni ilmu yang membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan pengkodifikasian hadis Nabi saw.  Kedua, ilmu hadis dirayah yaitu kumpulan kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan rawi dan sesuatu yang diriwayatkan (keadaan sanad dan matan hadis). Dari kedua pokok ilmu hadis tersebut (ilmu hadis riwayah dan dirayah) muncullah berbagai macam cabang ilmu hadis, antara lain; ilmu rijāl al-ḥadῑs, gharῑb al-ḥadῑs , an-Nasikh wal-mansūkh, talfῑq al- ḥadῑs, ‘ilal al- ḥadῑs, asbāb al wurūd, dan ilmu jarh wa ta’dῑl. 

Apa lagi yang menurut anda perlu dimasukkan dalam rangkuman ini? Tulislah poin-poin penting dari bab tentang ilmu hadis.!

Jawblah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar!

  1. Jelaskan pengertian ilmu hadis!
  2. Jelaskan pengertian ilmu hadis riwāyah !
  3. Jelaskan pengertian ilmu hadis dirāyah!
  4. Sebutkan manfaat mempelajari ilmu hadis!
  5. Sebutkan kitab karya Syeh Mahfuz at-Tirmasyi yang terkait dengan ilmu hadis!

 

TUGAS

Setelah anda memahami tentang ilmu hadis, sekarang carilah contoh ilmu hadis yang anda kenal, kemudian isikan pada kolom dibawah ini!

NO

JUDUL KITAB

KATEGORI RIWAYAH / DIRAYAH

PENGARANG

SISTEMATIKA

KOMENTAR ANDA

1

2


         Umat Islam sepakat  pentingnya peranan hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, tauhid,  akhlak dan lain sebagainya. Hal ini juga banyak disampaikan dalam ayat Al-Qur’an tentang pentingnya merujuk kepada Nabi saw ketika umat Islam memiliki berbagai persoalan. Hadis disepakati sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an yang harus dipegang oleh kaum muslimin. Akan tetapi kenyataanya secara historis,  perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan Al-Qur’an. Jika Al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, Al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, namun tidak demikian  dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari Al-Qur’an. Bahkan dalam bergagai kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan hadis. Hal itu tentunya mempunyai impliksi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutama pada zaman Nabi, yang akhirnya berakibat juga pada zaman sekarang.https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSz_nhwCj1d97wRoq7fcQ7TLDWfYs_yggZvDkc_pLk4wXh-TfTWVw

Kompetensi inti

  1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
  2. Menghayati dan mengamalkan  perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai) santun,  responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
  3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
  4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

 Kompetensi Dasar (KD)

1.2. Meyakini keaslian hadis yang telah dibenarkan oleh ulama hadis dahulu dan menjadikannya sebagai hujjah

2.5. Menunjukkan sikap kritis terhadap orang yang membawa berita atau informasi

3.2. Memahami sejarah pemeliharaan dan kodifikasi hadis

4.2. Mengatuhi sejarah pemeliharaan dan pembukuan hadis.

4.4. Menceriterakan kisah ulama hadis dan meneladaninya

Indikator Pembelajaran

Peserta didik mampu :

  1.  mengaplikasikan hadis dalam kehidupan sehari-hari
  2.  berfikir kritis dan selektif
  3.   menjelaskan sejarah pemeliharaan hadis
  4.   menjelaskan sejarah kodifikasi hadis
  5.   menyebut tahapan kodifikasi hadis
  6. meneladani para muhaddisin

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik dapat :

  1. menjadikan hadis sebagai sumber hukum islam
  2. mendemonstrasikan berfikir kritis dan selektif
  3. menjelaskan sejarah pemeliharaan hadis
  4. menjelaskan sejaran kodifikasi hadis
  5.  menyebutkan  tahapan kodifikasi hadis

6.     mendemonstrasikan keteladanan para muhaddisin 

Peta konsep

Naskah kuno

kitab jadi

vaslkyie.blogspot.com  dan Ustadzaris.com

          

         Kata Kunci

MAKSUD

ISTILAH

MAKSUD

ISTILAH

 Para pendahulu dalam periwayatan hadis

 السابقون الاولون

 Perkataan Nabi

 اقوال

 Hadis palsu

  حديث موضوع

 Perbuatan Nabi

 افعال

 Pembukuaan hadis

 تدوين الحديث

 Penetapan Nabi

 تقرير

Setelah anda mengamati dan berkomentar tentang gambar diatas, sekarang mari mengikuti materi dibawah ini dan cocokkan antara apa yang ada dalam fikiran anda dengan materi dibawah ini!

A. Hadis pada Masa Rasul Saw.

Tidak kurang dari dua puluh tiga tahun Rasul menyampaikan risalany,  Dalam menyampaikan risalah-Nya yang suci.   Jangka waktu yang lama tersebut sekaligus merupakan periode pengajaran terhadap sendi-sendi dasar bagi pembangunan peradaban Islam. Dalam mengemban tugas sucinya Nabi saw menghadapi banyak cobaan dan rintangan serta penuh dengan resiko, yang tentunya hal itu hanya dapat dilalui oleh mereka yang memiliki keteguhan iman dan hati. Oleh karena itu, Allah Swt telah membekali Muhammad saw dengan berbagai bekal yang sangat agung, baik dari sisi keilmuan maupun etika.

Dalam Al-Qur’an disampaikan tentang keluhuran budi pekerti Rasul dengan dikatakan:

      

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam/68: 4).

   Bahkan dalam suatu hadis disebutkan bahwa akhlak beliau Saw diidentikkan dengan Al-Qur’an. Di samping itu, Allah telah mengajarkan kepada beliau segala sesuatu yang belum diketahuinya. Oleh karena itu, beliau Saw telah mencapai puncak keilmuan yang belum pernah dicapai oleh manusia lain sepanjang sejarah.

Metode Rasul Saw dalam menyampaikan risalah ketuhanan (Al-Qur’an) adakalanya melalui perkataan (aqwāl), perbuatan (af’āl), maupun ketetapan (taqrῑr). Oleh karenanya apa yang dilihat oleh ataupun disaksikan oleh sahabat baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi merupakan landasan bagi amaliyah sehari-hari mereka yang wajib untuk diikuti dan ditaati. Rasulullah Saw di mata para sahabatnya adalah merupakan idola yang paling sempurna. Menurut mereka, Rasul Saw merupakan sentral kehidupan keagamaan dan keduniawian.

Pada masa Rasulullah Saw masih hidup, perhatian para sahabat lebih dikonsentrasikan pada Al-Qur’an. Di antara para sahabat yang telah pandai catat-mencatat ditugasi beliau Saw untuk menulis Al-Qur’an dan kemudian disimpan di bilik Aisyah ra. sebagai dokumentasi. Penulisan Al-Qur’an pada waktu itu masih sangat sederhana yakni ditulis di atas pelepah kurma, kulit binatang, dan batu-batuan dengan menggunakan tangan beberapa orang sahabat yang sangat minim jumlahnya yang bisa menulis. Kondisi hadis pada saat itu secara umum tidak tercatat bahkan secara umum dilarang oleh Rasulullah Saw. untuk menulisnya. Hadis hanya dihapal mayoritas sahabat kemudian disampaikan pada sesamanya yang belum mendengar atau belum mengetahuinya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi Saw dan tidak seluruhnya menemani beliau Saw. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadis dari beliau Saw berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan didengar dari Rasulullah Saw baik berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan atau hadis-hadis.

 

Umat Islam sepakat  pentingnya peranan hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, tauhid,  akhlak dan lain sebagainya. Hal ini juga banyak disampaikan dalam ayat Al-Qur’an tentang pentingnya merujuk kepada Nabi saw ketika umat Islam memiliki berbagai persoalan. Hadis disepakati sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an yang harus dipegang oleh kaum muslimin. Akan tetapi kenyataanya secara historis,  perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan Al-Qur’an. Jika Al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, Al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, namun tidak demikian  dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari Al-Qur’an. Bahkan dalam bergagai kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan hadis. Hal itu tentunya mempunyai impliksi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutama pada zaman Nabi, yang akhirnya berakibat juga pada zaman sekarang

 بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَة

 

“Dari 'Abdullah bin 'Amru bahwa Nabi Saw. bersabda: "Sampaikan dariku sekalipun satu ayat…” (al-Bukhari no. Hadis: 3202)

Maksud kata “ayat” pada hadis tersebut bukan saja ayat Al-Qur’an, tetapi kata “ayat” yang jatuh setelah  لو meskipun li al-ghāyah, menunjukkan makna sampai batas minimal, sekalipun sedikit sesuai dengan yang didapat atau sesuai dengan kemampuan. Sampaikanlah dari padaku baik Al-Qur’an dan sunnah sekalipun sedikit kepada orang lain. Penyampaian berita atau sunnah terutama bagi mereka yang melihat, mendengar, dan hadir di majelis Nabi Saw kepada sesama sahabat atau generasi berikutnya yang tidak hadir dan tidak mendengar hadis. Sabda Nabi:

و

  لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ مِنْكُمْ الْغَائِبَ

“Maka hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (al-Bukhari No. Hadis: 101)

Pada kesempatan yang sama Rasul Saw juga melarang untuk menuliskan sesuatu selain Al-Qur’an. Rasul Saw bersabda:

 لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ

Dari Abū Sa'ῑd al-Khudri Rasulullah Saw bersabda: "Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur'an hendaklah dihapus,..” (Muslim no. Hadis: 5326).

Meskipun demikian, para sahabat dengan berbagai alasan memiliki inisiatif untuk menuliskan hadis di samping Al-Qur’an. Larangan penulisan selain Al-Qur’an tersebut bukan semata karena adanya kekhawatiran terhadap tercampurnya hadis dengan Al-Qur’an, tetapi lebih kepada keinginan supaya perhatian umat Islam saat itu lebih khusus ditujukan kepada Al-Qur’an.

Ada beberapa sahabat yang memiliki catatan yang disebut dengan ṣaḥifah untuk mencatat sebagian hadis yang diterima dari Nabi saw. Di antara mereka adalah Abdullah bin Amr bin al-‘Ash ra, dengan catatannya yang diberi nama al-Ṣādiqah. Beberapa sahabat lain yang juga memiliki catatan-catatan hadis adalah Ali bin Abi Thalib kw., Sumrah ibn Jundab ra, Abdullah ibn Abbas ra, Jabir ibn Abdillah al-Anshari ra, dan Abdullah ibn Abi Awfa’ ra. Catatan-catatan hadis tersebut di samping sebagai dokumen bahwa pada masa Nabi telah terjadi aktivitas penulisan hadis juga dapat digunakan sebagai sarana periwayatan hadis secara tertulis. Meskipun jarang, periwayatan hadis secara tertulis pada masa ini juga pernah dilakukan.

  1. Cara Penyampaian Hadis pada Masa Rasul Saw

Perhatian shahabat rasul yang begitu besar terhadap al-Qur’an, tidak membuat mereka surut dalam memberhatikan keberadaan al-hadis. Karena kecintaan mereka sama besar antara kecintaan terhadap Allah dan terhadap Rasulullah. Sehingga tidak sedikit yang harus mengorbankan harta bendanya untuk melestaraikan hadis Nabi.

Berikut beberapa cara penyampaian hadis yang disampaikan oleh rasul kepada shahabatnya:

Pertama, melalui majelis ilmu

Seluruh majelis rasul merupakan ajang untuk menuntut ilmu, hanya saja rasul senantiasa mengkhususkan waktu untuk memberi pelajaran kepada sahabatnya. Perhatian besar terhadap majelis rasul ini sampai-sampai mereka banyak yang meninggalkan pekerjaan hariannya, untuk mencari nafkah.  Melalui cara ini, para sahabat mendapatkan peluang yang besar untuk menyerap sebanyak mungkin informasi dari Nabi Saw. Para sahabat memiliki semangat yang tinggi dan sangat haus akan fatwa-fatwa dari Nabi Saw. Mereka selalu meluangkan waktu untuk hadir ke majelis ilmu Rasulullah. Bahkan sebagian sahabat ada yang rela melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk meminta solusi atas permasalahan yang mereka hadapi kepada Nabi Saw.

Di antara sahabat ada yang secara sengaja membagi tugas untuk mendapatkan informasi yang berasal dari Nabi Saw. Umar bin al-Khattab misalnya, membagi tugas dengan tetangganya untuk mendapatkan hadis dari Nabi Saw. Apabila tetangganya pada suatu saat menemui Nabi, Umar ra. pada keesokan harinya demikian seterusnya. Pihak yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita dari Nabi, mereka segera menyampaikan berita tersebut kepada yang tidak bertugas. Pada saat demikian terjadi periwayatan hadis oleh sahabat dari sahabat yang lain. Hadis tidak semata-mata diriwayatkan dari Nabi, tetapi sebagian diriwayatkan oleh sahabat dari sahabat yang lain.

Kedua, peristiwa yang dialami rasul sendiri

Dalam hal ini rasul menyampaikan hadis berkatian dengan peristiwa yang dialaminya sendiri. Secara kebetulan shahabat yang menyertai rasul bisa menyampaikan kepada yang lain.  

Ketiga, peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin, atau pertanyaan yang diajukan kepada rasul. 

Dalam hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya. Cara ini mempermudah transformasi hadis kepada sahabat lain yang enggan bertanya langsung kepada Rasul karena menyangkut persoalan yang sensitif, sehingga mereka bertanya kepada para istri Nabi.

Keempat, ceramah atau pidato di tempat umum.

Melalui ceramah atau pidato di tempat yang terbuka sebagaimana ketika futuh Makkah dan haji wada’. Pada saat menunaikan haji pada tahun 10 H (631 M) Nabi menyampaikan khutbah yang sangat bersejarah di hadapan ribuan kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji. Isi khutbah beliau banyak terkait dengan bidang mu’amalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.

 

  1. Perbedaan Tingkat Penerimaan Hadis di Kalangan Sahabat

Sahabat adalah orang yang berdedikasi tinggi untuk bisa menyampaikan sebanyak mungkin apa yang telah diajarkan oleh Nabi. Situasi dan kondisi masing—masing menjadi kendala dalam memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Keberadaan mereka yang sebagian ada di kota, dan sebagian lain ada di kampung, ada yang dekat dan ada yang jauh, membuat keinginan mereka harus tertunda.

Pada periode ini, terjadi perbedaan tingkat penerimaan hadis di kalangan sahabat. Sahabat satu dengan yang lain tidak sama dalam hal perolehan dan penguasaan terhadap hadis Nabi saw. Di antara mereka ada yang memiliki banyak hadis sedang yang lain hanya sedikit. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

  1. Perbedaan frekuensi  kebersamaan dengan   Rasulullah Saw.
  2. Perbedaan tingkat kemampuan tulis-menulis dan kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing sahabat.
  3. Perbedaan para sahabat dalam hal waktu masuk Islam.

Para sahabat yang tergolong banyak menerima hadis dari Rasulullah terdapat beberapa kelompok, di antaranya: pertama, mereka yang pertama kali masuk Islam atau yang dikenal dengan al-sabiqun al-awwalūn, seperti al-khulafa’ al-Rāsyidūn, yaitu Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib serta Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhum; kedua, mereka yang senantiasa berada di samping Rasul dan bersungguh-sungguh menghafal hadis, seperti, Abu Hurairah ra, atau yang mencatatnya, seperti, Abdullah bin Amr bin al-‘Ash ra; ketiga, mereka yang berusia panjang, seperti Anas bin Malik ra dan Abdullah bin Abbas ra; dan keempat, mereka yang secara pribadi erat hubungannya dengan Nabi saw seperti, ‘Aisyah ra dan Ummu Salamah ra.    

B. Hadis pada Masa Sahabat

Sepeninggal Nabi Muhammad saw, para sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, melihat perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi saw secara langsung. Periwayatan hadis berkembang dari para sahabat kepada kaum muslimin. Para sahabat yang diibaratkan laksana meneguk air yang jernih yang langsung dari sumbernya, mereka berkomitmen untuk tidak mendustakan Nabi saw. Mereka adalah orang-orang pilihan yang rela mengorbankan segenap harta, jiwa dan raga untuk dakwah Islam.

Periode perkembangan hadis pada masa ini dikenal dengan zaman al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah, yakni periode membatasi hadis dan menyedikitkan riwayat. Hal ini dilakukan karena para sahabat pada periode ini lebih berkonsentrasi terhadap pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Hal ini sangat nampak dilakukan oleh para sahabat besar khususnya adalah khulafa al-rāsyidūn (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khatthab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhum). Sebagai akibatnya, periwayatan hadis kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk selalu bersikap hati-hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadis.

Kehati-hatian dan pembatasan dalam meriwayatkan hadis yang dilakukan oleh para sahabat ini lebih disebabkan adanya kekhawatiran akan terjadinya kekeliruan dalam meriwayatkan hadis. Karena hadis menduduki posisi kedua setelah Al-Qur’an dalam syari’at Islam, ia harus selalu dijaga keotentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh sebab itu, para sahabat khususnya khulafā al-rāsyidūn dan para sahabat lainnya berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadis. Para sahabat menyampaikan dan menjaga hadis dengan hati-hati supaya tidak terjadi kesalahan dengan cara tidak meriwayatkan kecuali pada saat dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.

Perhatikan perbedaan kondisi hadis pada masa Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dengan membaca materi dibawah ini!

  1. Masa Abu Bakar al-Shiddiq ra.

Sikap hati-hati terhadap periwayatan hadis ditunjukkan oleh khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq. Khalifah pertama ini menunjukkan perhatian yang serius dalam memelihara hadis. Abu Bakar mengambil kebijakan mempeketat periwayatan hadis agar tidak disalahgunakan oleh orang-orang munafik.

Sikap ketat dan kehati-hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konret, yakni dengan membakar catatan-catatan hadis yang beliau miliki. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh ‘Aisyah, putri Abu Bakar, bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh kekhawatiran beliau berbuat salah dalam meriwayatkan hadis. Di lain kesempatan, Abu Bakar juga tidak serta merta menerima menerima begitu saja riwayat suatu hadis, sebelum meneliti terlebih dahulu periwayatannya. Untuk membuktikan suatu hadis benar-benar berasal dari Rasulullah, beliau meminta kepada periwayat hadis untuk mendatangkan  saksi.

Sebagai konsekuensi sikap kehati-hatian Abu Bakar ini, hadis-hadis yang diriwayatkan beliau relatif sedikit jumlahnya meskipun beliau merupakan sahabat Nabi yang paling dekat dan akrab dengan Nabi saw. Selain itu, ada beberapa hal yang menyebabkan sedikitnya riwayat dari Abu Bakar antara lain; pertama, beliau selalu sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; kedua, kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya; dan ketiga,  jarak antara meninggalnya beliau dengan meninggalnya Nabi saw sangat singkat.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa aktivitas periwayatan hadis pada masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra masih sangat terbatas dan belum menonjol. Pada masa ini pula umat Islam dihadapkan pada peristiwa-peristiwa yang sangat menyita waktu, seperti adanya berbagai pemberontakan yang dapat merongrong kewibawaan pemerintahan sepeninggal Rasul saw. Namun akhirnya, kesemuanya itu dapat diatasi oleh Abu Bakar dengan baik.  

2. Masa Umar bin al-Khaththab ra.

Sikap dan tindakan hati-hati Abu Bakar al-Shiddiq menginspirasi tindakan yang dilakukan oleh khalifah kedua, Umar bin al-Khaththab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati dalam meriwayatkan suatu hadis. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lain. Sebagian ahli hadis mengemukakan bahwa Abu Bakar dan Umar menggariskan bahwa periwayatan hadis dapat diterima apabila disertai saksi atau setidak-tidaknya periwayat berani disumpah.

Sikap kehati-hatian Umar yang seolah-olah melarang sahabat lain untuk memperbanyak periwayatan hadis ini harus ditafsiri bahwa selain kaum muslimin harus berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, juga supaya perhatian mereka terhadap Al-Qur’an tidak terganggu. Hal ini tentunya dapat dipahami karena memang pada saat itu, naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya dan belum menyebar ke daerah-daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan hadis.

Meskipun demikian, pada masa khalifah Umar ini periwayatan hadis juga telah banyak dilakukan oleh kaum muslimin. Yang tentunya, dalam periwayatan tersebut tetap menggunakan prinsip kehati-hatian. Sikap hati-hati yang dilakukan Umar ini di samping untuk menghindarkan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis juga dapat menghalangi orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsauan pemalsuan hadis.

3. Masa Usman bin Affan ra.

Pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, periwayatan hadis tetap dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati dalam menyampaikan dan menerima periwayatan hadis selalu dipegang oleh Usman bin Affan. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Usman bin Affan tidak setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khaththab ra.

Sikap kehati-hatian Usman ini dapat dilihat, misalnya, pada saat beliau berkhutbah, di mana beliau meminta kepada para sahabat untuk tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis tersebut pada masa Abu Bakar al-shiddiq ra dan Umar bin al-Khaththab ra. Dengan pernyataan ini, Usman ingin menunjukkan bahwa dalam persoalan periwayatan hadis dirinya ingin juga bersikap hati-hati seperti yang dilakukan oleh khalifah pendahulunya.

Sikap kehati-hatian yang dilakukan Usman ini tentunya juga berpengaruh kepada banyak sedikitnya beliau meriwayatkan hadis. Ahmad bin Hambal misalnya, meriwayatkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Usman bin Affan ini tidak lebih dari empat puluh buah hadis. Itupun banyak matan hadis yang terulang karena perbedaan sanad. Atau dengan kata lain, jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Usman bin Affa ra tidak sebanyak jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin al-Khaththab ra.

Walaupun Usman dalam khutbahnya menyerukan umat Islam untuk berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, pada zaman ini kegiatan umat Islam dalam meriwayatkan hadis telah lebih banyak jika dibandingkan dengan kegiatan periwayatan hadis pada zaman dua khalifah sebelumnya. Hal ini disebabkan karena selain pribadi Usman yang tidak sekeras Umar, juga karena semakin luasnya wilayah Islam sehingga mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian periwayatan hadis secara ketat.

4. Masa Ali bin Abi Thalib kw.

Sikap kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis tetap menjadi prinsip utama yang dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Artinya, Ali tetap berhati-hati dalam meriwayatkan hadis bahkan beliau baru bersedia menerima suatu riwayat apabila periwayat hadis tersebut mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikan tersebut benar-benar berasal dari Nabi saw. Hanya saja, terhadap orang-orang yang benar-benar dipercayainya Ali tidak memintanya untuk bersumpah. Dengan kata lain, fungsi sumpah dalam periwayatan hadis bagi Ali tidaklah menjadi syarat mutlak keabsahan periwayatan suatu hadis.

Ali bin Abi Thalib termasuk sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadis nabi. Hadis yang beliau riwayatkan selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadis yang diriwayatkan Ali dalam bentuk tulisan berkisar tentang; hukuman denda (diyat); pembebasan orang Islam yang ditawan orang kafir; dan larangan melakukan hukuman qishas terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.

Ditinjau dari kebijakan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadis pada masa Ali bin Abi Thalib sama dengan periode sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada masa Ali bin Abi Thalib telah berbeda dengan situasi pada masa sebelumnya. Pertentangan politik umat Islam pada masa ini semakin menajam. Peperangan antara pendukung Ali dan Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini tentunya memberikan kontribusi negatif dalam periwayatan hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadis. Sehingga tidak semua periwayatan hadis dapat dipercaya.

Setelah anda membaca sejarah hadis pada masa Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, sekarang bandingkan!

C. Hadis pada Masa Tabi’in

Sama halnya seperti yang dilakukan oleh para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadis. Beban tabi’in tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan beban yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an telah berhasil dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi menghawatirkan bercampurnya periwayatan hadis. Selain itu, pada akhir periode masa al-khulafā al-Rāsyidūn, para ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini memudahkan para tabi’in untuk mempelajari hadis-hadis dari mereka. Kondisi ini juga berimplikasi terhadap penyebaran hadis ke berbagai wilayah Islam. Oleh karena itu, masa ini disebut dengan masa menyebarnya periwayatan hadis, ‘ashr intisyār al-riwāyah, yakni masa di mana hadis tidak hanya terpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan di berbagai daerah dengan tokoh para sahabat.

Kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat atau tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, di samping masih banyak pula yang tinggal di Mekah dan Madinah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa perbendaharaan hadis yang ada pada mereka sehingga hadis-hadis tersebut tersebar ke berbagai daerah. Kemudian bermunculan pusat-pusat hadis sebagaima yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahw yaitu:

  1. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Āisyah, Abū Hurairah, Ibn Umar, Abū Sa’ūd al-Khudri dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in: Sa’ῑd ibn Musayyab, ‘Urwah ibn Zubair, Nafi’ Maula ibn Umar, dan lain-lain.
  2. Mekah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Ibn Abbās, Abdullah ibn Sa’ῑd, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in: Mujahid ibn Jabr, ‘Ikrῑmah Maula ibn Abbās, ‘Atha ibn Abῑ Rabbah, dan lain-lain.
  3. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Abdullah ibn Mas’ūd, Sa’ad bin Abῑ Waqqas dan Salman al-Fārisi. Tokoh dari kalangan tabi’in: Masrūq bin al-Ajda’, Syuraikh bin Haris, dan lain-lain.
  4. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Utbah bin Ghazwan, Imran bin Husain dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in: al-Hasan al-Basri, Abū al-‘Aliyah, dan lain-lain.
  5. Syam, dengan tokoh dari kalanga sahabat: Mu’ādz bin Jabal, Abū al-Darda’, ‘Ubadah bin Ṣamit, dan lain-lain. Tokoh dari tabi’in: Abū Idrῑs, Qabiṣah ibn Zuaib, dan Makhul ibn Abῑ Muslim.
  6. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Abdullah bin Amr bin al-‘Aṣ, ‘Uqbah bin Amir, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in: Yazῑd bin Abῑ Hubaib, Abu Baṣrah al-Ghifari dan lain-lain.

Pergolakan politik pada masa sahabat, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib, berakibat cukup panjang dan berlarut-larut. Langsung atau tidak langsung, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis pada masa tabi’in ini. Pengaruh langsung dan negatif, ialah munculnya hadis-hadis palsu (mauḍu’) untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang berakibat positif, adalah rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwῑn hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat pergolakan politik yang terjadi tersebut.

Poin apa saja yang kamu perhatikan dengan membaca kondisi hadis pada masa tabiin? Sudahkah ada hadis palsu pada masa tabiin? Apa buktinya menurut anda?

D. Hadis pada Masa Kodifikasi (tadwin) Hadis

Kodifikasi (tadwin) hadis dalam periode ini dimaksudkan adalah kodifikasi (tadwῑn) atau pembukuan secara resmi yang didasarkan pada perintah kepala negara. Kodifikasi hadis secara resmi terjadi pada penghujung abad satu hijriah, ketika khalifah Umar bin Abdul Azis memerintah. Keinginan mengkodifikasikan hadis ini sebenarnya telah timbul ketika ia menjabat sebagai gubernur di Madinah (86 – 93 H) pada zaman al-Walid bin Abdul Malik berkuasa.

Setelah Umar bin Abdul Azis memerintah (99–101 H), beliau menginstruksikan kepada seluruh ulama pada saat itu untuk menghimpun hadis nabi yang tersebar di berbagai wilayah Islam. Mandat tentang kodifikasi hadis secara resmi ini diwujudkan dalam bentuk surat perintah, yang isinya memerintahkan agar seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah segera dihimpunkan. Instruksi secara khusus disampaikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amr ibn Hazm (gubernur Madinah, w. 117 H) agar mengumpulkan hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari (murid kepercayaan Siti ‘Aisyah) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar (w. 107 H). Instruksi yang sama juga disampaikan kepada Muhammad bin  Syihab al-Zuhri (w.124 H), yang dipandang sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang lain.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kodifikasi hadis pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Menurut Muhammad al-Zafzaf kodifikasi hadis tersebut dilakukan karena: Pertama, Para ulama telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Kedua, banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku bid’ah seperti khawarij, rafidhah, sy’iah dan lain-lain yang berupa hadis-hadis palsu.

Instruksi khalifah Umar bin Abdul Azis tersebut direspon poisitif oleh umat Islam pada waktu itu, sehingga berhasil terkumpul catatan-catatan hadis. Hasil catatan para ulama berbeda-beda, Abu Bakar bin Hazm berhasil menghimpun hadis dalam jumlah yang menurut para ulama kurang lengkap. Sedangkan ibn Syihab al-Zuhri berhasil menghimpunnya lebih lengkap. Meskipun demikian, kitab himpunan hadis-hadis mereka tidak sampai ke kita.  Ulama setelah al-Zuhri yang berhasil menghimpun kitab tadwin yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang adalah Malik ibn Anas (93 – 179 H) di Madinah. Imam Malik menyusun kitab yang berjudul al-Muwaṭṭa’, yang selesai disusun pada tahun 143 H dan merupakan kitab hasil kodifikasi yang pertama. Kitab ini selain berisi hadis-hadis yang marfu’ juga terdapat hadis-hadis mauqūf dan maqthu’.

Selain para ulama di atas, terdapat banyak ulama lain yang juga melakukan kodifikasi hadis. Di antara mereka adalah Muhammad ibn Ishāq (w. 151 H), Ma’mar bin Rasyῑd (w.13 H), Ab ū Amr Abdurrahman al-Auza’i (w. 156 H), Sa’ῑd bin Abū ‘Arubah (w. 151 H), Hammad ibn Salamah (w. 176H), Abū Abdullah, Syufyan al-Tsauri (w.161 H), Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H), Husyaim bin Busyair (w. 188 H), Juraij bin Abdul Humaid (w. 188 H), dan al-Laiṡ bin Sa’ad (w. 175 H). Kitab-kitab yang mereka susun kebanyakan tidak sampai kepada generasi sekarang. Datanya ditemukan dalam berbagai kitab karya ulama sesudah mereka.

Masa kodifikasi dilanjutkan dengan masa seleksi hadis. Yang dimaksudkan dengan masa seleksi atau penyaringan hadis adalah masa upaya para mudawwin hadis melakukan seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan kitab-kitab tadwin. Masa ini dimulai sekitar akhir abad ke-2 atau awal ke-3 hijrah atau pada saat pemerintahan dinasti Abbasiyah. Munculnya periode seleksi ini, karena pada periode tadwin belum berhasil dipisahkan antara hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfu), sahabat (mauqūf), dan tabi’in (maqthu). Begitu pula belum dapat dipisahkan antara hadis-hadis shahih, hasan, dan dla’if, bahkan masih terdapat hadis-hadis maudhu’. Masa ini disebut dengan ‘aṣr al-tajrῑd wa taṣhih wa al-tanqῑh (masa penerimaan, pentashihan, dan penyempurnaan).

Kitab-kitab hadis yang berhasil disusun oleh para ulama ahli hadis pada periode ini sangat banyak di antaranya adalah kitab enam standar atau yang disebut dengan al-kutub al-sittah. Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan yang lain-lain pada periode ini, telah memakai cara kodifikasi hadis secara sistematis, kritis dan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Setelah itu tidak ada karya-karya hadis lain yang memiliki kualitas menyamai atau bahkan melebihi kitab-kitab karya mereka. Sampai saat ini pula kita masih dapat menikmati buah karya mereka yang hebat.   

Tugas individu

No.

Nama Khalifah

Sikap terhadap hadis Nabi saw

1.

Abu Bakar al-Shiddiq

2.

Umar bin al-Khaṭṭab

3.

Usman bin Affan

4.

Ali bin Abi Thalib

Tugas Kelompok

Rasulullah Saw di mata para sahabatnya adalah merupakan idola yang paling sempurna. Menurut mereka, Rasul Saw merupakan sentral kehidupan keagamaan dan keduniawian. Apa yang dilihat oleh ataupun disaksikan oleh sahabat baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi merupakan landasan bagi amaliyah sehari-hari mereka yang wajib untuk diikuti dan ditaati. Terkait dengan perkembangan hadis, Nabi saw pernah melarang para sahabat untuk menuliskan sesuatu yang berasal darinya selain Al-Qur’an. Hal ini dilakukan semata untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an dan agar para sahabat  berkonsentrasi terhadap Al-Qur’an. Secara umum hadis hanya dihafal oleh para sahabat dan disampaikan kepada sesamanya, disamping itu juga ada sebagian sahabat yang berinisiatif untuk menulis hadis dengan berbagai alasan.

Sepeninggal Nabi Muhammad saw, para sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, melihat perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi saw secara langsung. Periwayatan hadis berkembang dari para sahabat kepada kaum muslimin. Mereka, para sahabat, sangat berhati-hati di dalam meriwayatkan hadis. Secara politikpun, pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidun tidak mengambil kebijakan untuk menginstruksikan penulisan hadis secara resmi. Masa ini disebuut dengan zaman al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwāyah, yakni periode membatasi hadis dan menyedikitkan riwayat. Hal ini dilakukan karena para sahabat pada periode ini lebih berkonsentrasi terhadap pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an.

Pada masa tabi’in, sama halnya seperti yang dilakukan oleh para sahabat, mereka juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadis. Beban tabi’in tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan beban yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an telah berhasil dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi menghawatirkan mereka. Selain itu, pada akhir periode masa al-khulafā’ al-Rūsyidūn, para ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini memudahkan para tabi’in untuk mempelajari hadis-hadis dari mereka. Kondisi ini juga berimplikasi terhadap penyebaran hadis ke berbagai wilayah Islam. Oleh karena itu, masa ini disebut dengan masa menyebarnya periwayatan hadis, ‘ashr intisyaar al-riwaayah, yakni masa di mana hadis tidak hanya terpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan di berbagai daerah dengan tokoh para sahabat.

Kodifikasi (tadwῑn) hadis dalam periode ini dimaksudkan adalah kodifikasi (tadwῑn) atau pembukuan secara resmi yang didasarkan pada perintah kepala negara. Kodifikasi hadis secara resmi terjadi pada penghujung abad satu hijriah, ketika khalifah Umar bin Abdul Azis memerintah. Beliau menginstruksikan kepada seluruh ulama pada saat itu untuk menghimpun hadis nabi yang tersebar di berbagai wilayah Islam. Kebijakan khalifah ini disambut baik oleh kaum muslimin sehingga sejak saat itu muncullah ulama-ulama hadis yang menyusun berbagai kitab hadis yang bahkan bisa kita kita temui pada saat ini.

A. Jawblah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar!

  1. Mengapa Abu Bakar al-Shiddiq tergolong sahabat yang sedikit meriwayatkan hadis nabi?
  2. Kebijakan apa yang diambil Umar bin al-Khathab terkait periwayatan hadis?
  3. Jelaskan perkembangan dan penyebaran hadis pada masa Ali bin Abi Thalib!
  4. Jelaskan perkembangan dan periwayatan hadis pada masa tabi’in!
  5. Kebijakan politik apa yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Azis terkait dengan pemeliharaan hadis Nabi saw?

Tugas:

Tulislah poin-poin perkembangan hadis yang membedakan dengan kondisi sebelumnya mulai dari:

  1. Masa Nabi,  
  2. Masa Abu Bakar,
  3. Masa Umar,
  4. Masa Usman,
  5. Masa Ali,
  6. Masa Tabiin,
  7. Masa Umar bin Abdul Aziz,
  8. Dan Masa Bukhari.

 


https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTJBq7uHquQdSPO1efWwZv3ErFFZUyuLm_SCaaz3LVNHO83YNDi

              Sahabat didefinisikan sebagai orang yang berkumpul dengan Nabi saw, atau melihatnya dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman pula. Tidak termasuk kategori sahabat orang yang hidup semasa dengan Rasul dan dalam keadaan beriman namun tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah saw. Juga tidak termasuk dalam kategori sahabat orang yang pernah berjumpa dengan Rasul saw tetapi tidak dalam keadaan beriman. Maka termasuk dalam kategori ini semua mukmin yang pernah berjumpa dengan Rasulullah saw. baik dalam waktu lama maupun singkat, meriwayatkan (hadis) dari beliau maupun tidak, turut berperang beserta beliau maupun tidak, dan orang yang tidak melihat beliau disebabkan sesuatu hal seperti buta.

 

Kompetensi Inti (KI)

  1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
  2. Menghayati dan mengamalkan  perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai) santun,  responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
  3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
  4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar (KD)

1.2. Meyakini keaslian hadis yang telah dibenarkan oleh para ulama hadis dahulu dan menjadikannya sebagai hujjah dalam menentukan hukum syar’i sehari-hari

1.4. berkomitmen untuk menggunakan hadis sebagai sumber hukum ajaran agama islam yang kedua

3.3.  Mengetahui sejarah singkat para sahabat yang banyak meriwayatkan hadis (Abū Hurairah, Anās bin Mālik, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amru bin Aṣ, Abdullah bin Abbās, dan ‘Āisyah).

4.3. Menghafalkan nama, masa hidup, dan peran ulama’ hadis dalam pemeliharaan hadis dari waktu ke waktu serta meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari.

4.4. Menceriterakan kisah ulama hadis dan meneladaninya

Indikator Pembelajaran

Peserta didik  mampu :

  1. meyakini keaslian hadis
  2. mejadikan hadis sebagai hujjah dalam hukum islam
  3.  menjelaskan biografi tokoh hadis masa sahabat
  4.  menghafalkan biografi masing-masing tokoh hadis masa sahabat
  5.  mampu mengidentifikasi tokoh hadis masa sahabat
  6.  mampu meneladani tokoh hadis dalam kehidupan sehari-hari

7.   meneladani ulama hadis         

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik  dapat :

  1.  meyakini keaslian hadis
  2. mendemonstrasikan penggunaan hadis dalam kehidupan sehari-hari
  3.  menjelaskan sejarah biografi bendaharawan hadis masa sahabat
  4.  menghafalkan biografi masing-masing bendaharawan hadis masa sahabat
  5.  meneladani  ulama hadis dalam kehidupan sehari-hari 

Peta Konsep

Abū Hurairah

Anās bin Mālik

Bendaharawan Hadis (Sahabat)

Abdullah bin Umar

‘Āisyah ra

Abdullah bin Abbās

Abdullah bin Amr

Rasulullah mengatakan ....

islamic-medicine

Ya aba Hirah…

 

Kata Kunci

MAKSUD

ISTILAH

MAKSUD

ISTILAH

 Dua telinga/julukan bagi Anas Ibn Malik

 ياذالاذنين

 Ulama yang banyak meriwayatkan hadis

 المكثرون في الحديث

 Penaklukkan kota Makkah

 فتح المكة

 Shuffah ( YANG tinggal di emper masjid)

 صفة

 Julukan/gelar

 كنية

 Pembantu Rasulullah

 خاديم الرسول

 

Untuk memahami dan mengenali siapa sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dan kenapa, maka perlu membaca dengan konsentrasi sejarah singkat dibawah ini dengan membayangkan apa yang terjadi pada masa itu.

 

Jumlah sahabat Nabi saw sangat banyak, dan tidak mungkin memastikan batasan jumlah mereka. Akan tetapi dapat dikatakan dengan perkiraan bahwasannya mereka mencapai jumlah 14000 orang. Di antara mereka ada sahabat-sahabat yang mendapat julukan “bendaharawan hadis” (al-mukṡirūn fi al-ḥadῑs). Julukan ini adalah untuk sahabat yang meriwayatkan lebih dari 1.000 hadis.

Berikut sejarah singkat sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. :

A. Abu Hurairah ra.

Nama aslinya adalah Abdurrahman bin Shakhr al-Dausi (lahir 598 - wafat 678 M). Ia lebih dikenal dengan panggilan Abu Hurairah. Nama Abu Hurairah adalah nama panggilan yang diberikan Rasulullah saw yang berarti bapaknya kucing. Nama tersebut  diberikan Nabi saw, sebagai pengganti nama masa Jahiliyah sebelumnya  yaitu `Abd Syams bin Shakhr.  Panggilan  Abu Hurairah (bapaknya kucing) diberikan  pada saat Rasul  melihatnya membawa kucing kecil yang keluar dari lengan baju  gamisnya di satu majelis Rasul saw. Sungguh mengejutkan pada saat itu pada saat tenang para sahabat duduk di hadapan Rasulillah tahu-tahu muncul dari lengan bajunya seekor kucing. Sejak saat itulah panggilan Abu Hurairah mencuat dan terkenal. Abu Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Ia  sejak kecil sudah menjadi yatim. Ketika mudanya ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan, yang kemudian setelah masuk Islam dinikahinya.

Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ke-7 Hijriah pada  tahun perang Khaibar. Pada masa hidupnya dia seorang pimpinan  penghuni Ṣuffah, yang mengkosongkan seluruhnya  waktunya hanya  untuk beribadah kepada Allah swt dan mencari hadis dari Rasulillah saw. Ṣuffah adalah  suatu tempat berlindungnya para sahabat di masjid Nabawi  yang zuhud.  Abu Hurairah salah seorang sahabat yang mendapat do’a dari Rasulillah saw sehingga hafal terhadap  apa yang didengar dan dilihat. Dalam salah satu Hadis yang diriwayatakan al-Bukhari dikatakan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا فَأَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُ فَغَرَفَ بِيَدِهِ فِيهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ حَدِيثًا بَعْدُ

“Dari Abu Hurairah berkata "Aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah mendengar dari tuan banyak hadis namun aku lupa. Beliau lalu bersabda: "Hamparkanlah selendangmu." Maka aku menghamparkannya, beliau lalu (seolah) menciduk sesuatu dengan tangannya, lalu bersabda: "Ambillah." Aku pun mengambilnya, maka sejak itu aku tidak pernah lupa lagi." (HR. al-Bukhari no. hadis: 116)

Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad saw. Di antara yang meriwayatkan hadis darinya adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, dan lain-lain. Imam Bukhari pernah berkata: "Tercatat lebih dari 800 orang perawi hadis dari kalangan sahabat dan tabi'in yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah". Abu Hurairah memiliki sifat-sifat yang terpuji di antaranya wara’,  taqwa, dan zuhud, ahli ibadah ahli  tahajjud sepanjang malam. Karir politiknya  pernah diangkat menjadi gubernur Bahrain pada masa Umar bin al-Khaththâb dan pada masa Ali juga pernah akan diangkat menjadi Gubernur tetapi ia keberatan, kemudian pada masa Mu`awiyah ia dingkat menjadi Gubernur Madinah.

Marwan bin Hakam pernah menguji tingkat hafalan Abu Hurairah terhadap hadis Nabi. Marwan memintanya untuk menyebutkan beberapa hadis, dan sekretaris Marwan mencatatnya. Setahun kemudian, Marwan memanggilnya lagi dan Abu Hurairah pun menyebutkan semua hadis yang pernah ia sampaikan tahun sebelumnya, tanpa tertinggal satu huruf.

Menurut Baqî` bin Mukhallad ia meriwayatkan sebanyak 5.374 buah Hadis.  Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya periwayatan yang diperoleh Abu Hurairah antara lain sebagai berikut :

  1. Selalu  menghadiri majelis Nabi saw.
  2. Penghuni Shuffah di Masjid Nabawi ia selalu  bersama Rasulillah saw.
  3. Sangat kuat ingatannya, karena ia salah seorang sahabat yang mendapat do’a dari Nabi sehingga hafal segala  apa yang ia dengar dari Rasulillah
  4. Banyak mengambil hadis dari para sahabat senior karena usianya cukup panjang dan  hidup selama 47 tahun setelah wafatnya Nabi saw.  

Salah satu kumpulan fatwa-fatwa Abu Hurairah pernah dihimpun oleh Syaikh As-Subki dengan judul Fatawa' Abi Hurairah. Pada tahun 678 M atau tahun 59 H, Abu Hurairah jatuh sakit, meninggal di Madinah, dan dimakamkan di Baqi'

B. Abdullah bin Umar ra.

   Abdullah bin Umar atau sering disebut Ibnu Umar lahir pada tahun ke-2 atau ke-3  dari kenabian. Dia  masuk Islam dalam usia 10 tahun bersama ayahnya, Umar bin al-Khaththab tetapi ia berhijrah ke Madinah lebih dahulu dari pada ayahnya. Dia tidak diijinkan ikut perang Uhud oleh Rasulullah saw karena usianya yang masih kecil kecuali pada perang-perang berikutnya.   Kemudian ia aktif ikut serta perang seperti Khandaq dan beberapa peperangan sesudahnya termasuk penaklukan   Mesir dan di negeri-negeri Afrika lainnya.

Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadis terbanyak kedua setelah Abu Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadis, karena ia selalu mengikuti ke mana Rasulullah pergi. Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata :"Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya ia tidak mau melakukan ijtihad. Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada kesempatan lainnya. Teman-teman Abdullah bin `Umar mengakui keunggulannya, Abdullah bin Mas’ud berkata :

 “Sungguh aku melihat kita (sahabat) orang-orang yang sempurna, tidak ada seorang pemuda di tengah-tengah kami yang lebih mampu menguasai dirinya dibandingkan dengan Abdullah bin Umar.”  

Ibnu Umar meriwayatkan hadis dari Nabi saw dan dari para sahabat, di antaranya dari ayahnya sendiri Umar, pamannya Zaid, saudara kandungnya Hafshah, Abu Bakar, Usman, Ali, Bilal, Ibn Mas`ūd, Abu Żar, dan Mu`aż.  Imam al-Bukhari meriwayatkan sekitar 81 buah hadis dari padanya,  Muslim meriwayatkan dari padanya sekitar 31 buah Hadis, dan yang disepakati antara keduanya sebanyak 1700 buah hadis. Banyaknya periwayatan Abdullah bin `Umar  karena disebabkan beberapa faktor, antara lain :

  1. Ia tergolong  sahabat pendahulu masuk Islam dan berusia panjang
  2. Selalu hadir di majelis-majelis Nabi saw dan mempunyai hubungan dekat dengan beliau, karena  menjadi ipar Nabi saw
  3. Tidak punya ambisi kedudukan dan tidak melibatkan diri dalam  berbagai konflik politik di kalangan sahabat.

Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak berderma. Ia hidup sampai 60 tahun setelah wafatnya Rasulullah saw. Ia kehilangan pengelihatannya di masa tuanya. Ia wafat pada tahun 73 H/ 693 M dalam usia lebih dari 80 tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota Makkah.

C. Anas bin Malik ra.

Namanya adalah Anas bin Malik bin Nadlr al-Khazraj lahir pada tahun 612 M –wafat pada 709/712 M. Anas adalah Khādim (pelayan) Rasulullah yang terpercaya, ketika ia berusia 10 tahun, ibunya Ummu Sulaim membawanya kepada Rasulullah Saw. untuk berkhidmat. Ia sering membawakan sandal dan ember Rasulillah untuk berwudhu. Ia mendapat do’a Rasulillah saw: 

   “Ya Allah perbanyaklah harta dan anaknya dan masukkanlah ke surga.” 

Anas berkata: Sungguh aku melihat dua orang wanita dan aku mengharapakan wanita yang ketiga. Demi Allah, hartaku melimpah ruah dan sungguh jumlah  anak-anakku dan anak cucuku pada hari ini mencapai 100 orang.

   Nabi sering mengajak canda dan humor dengan Anas dengan panggilan : “Yā Ża al-użunain” (Hai anak yang memiliki telinga dua) sehingga tidak terkesan sebagai pergaulan tuan dan budaknya. Anas sendiri pernah berkata:” Rasulullah saw tidak pernah menegur apa yang aku perbuat, beliau juga tidak pernah menanyakan tentang sesuatu yang aku tidak kerjakan, akan tetapi beliau selalu mengucapkan “Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendak-Nya tidak terjadi”. Anas bin Malik tidak berperang dalam perang Badar yang akbar, karena usianya masih sangat muda. Tetapi ia banyak mengikuti peperangan lainnya sesudah itu.

Pada waktu Abu Bakar meminta pendapat Umar mengenai pengangkatan Anas bin Malik menjadi pegawai di Bahrain, Umar memujinya :” Dia adalah anak muda yang cerdas dan bisa baca tulis, dan juga lama bergaul dengan Rasulullah”. Sedangkan komentar Abu Hurairah tentangnya:

Ä Cmü 4R}Å k~fA oæãoiÙêãdqA=æEüã9 #}ü<äi

“Aku belum pernah melihat orang lain yang shalatnya menyerupai Rasulullah kecuali Ibnu Sulaim (Anas bin Malik)”.

Ibn Sirin berkata:

=ZBp=N2eã òÕwI @än oB1ü

“Dia (Anas) paling bagus shalatnya baik di rumah maupun ketika sedang dalam perjalanan”.

Ia dibesarkan di tengah-tengah keluarga Nabi selama 9 tahun dan beberapa bulan sehingga ia banyak mengetahui hal ihwal Nabi baik berupa perkataan, perbuatan dan taqrir beliau. Ia dikaruniai cukup panjang umur  sehingga ia msih hidup selama 83 tahun setelah wafat beliau saw. Hal inilah di antaranya yang menyebabkan ia banyak meriwayatkan hadis dari beliau saw baik secara langsung maupun melalui  sesama para sahabat   kemudian disampaikan kepada umat. Jumlah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik  mencapai 2.286 buah hadis  Imam al-Bukhâri meriwayatkan dari padanya sebanyak 83 buah hadis dan Muslim sebanyak 71 buah hadis.

Pada hari hari terakhir masa kehidupannya, Anas pindah ke Basrah, Sebagian lain mengatakan kepindahannya karena terkena fitnah Ibn al-Asy’ats yang mendorong Hajjaj mengancamnya. Maka tidak ada jalan lain bagi Anas bin Malik untuk pindah ke Basrah yang menjadikan satu satunya sahabat Nabi di sana. Itulah sebabnya para Ulama mengatakan bahawa Anas bin Malik adalah sahabat terakhir yang meninggal di Basrah. Pada wafatnya Muwarriq berkata: “Telah hilang separuh ilmu. Jika ada orang suka memperturutkan kesenangannya saat berselisih dengan kami, kami berkata kepadanya, marilah menghadap kepada orang yang pernah mendengar dari Rasululah saw”. Ia mengikuti sejumlah pertempuran dalam membela Islam. Ia dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang berumur paling panjang.

D. Aisyah ra.

Aisyah adalah istri Nabi saw putri Abu Bakar ash-Shiddiq sahabat dan orang yang paling dikasihi Nabi, Aisyah masuk Islam ketika masih kecil sesudah 18 orang yang lain. Rasulullah memperistrinya pada tahun 2 H.

Beliau mempelajari bahasa, Syair, ilmu kedokteran, nasab-nasab (ansāb) dan hari-hari Arab. Berkata Az-Zuhri:

@än S~j-kfQpÙéçn,ãp>ü S~j- kfQ 1ãÖFyäQkfQSj-qe

  gNYüÖFyäQkfQ läbe

“Andaikata ilmu yang dikuasai Aisyah dibandingkan dengan yang dimiliki semua istri Nabi saw dan ilmu seluruh wanita niscaya ilmu Aisyah yang lebih utama”. 

Urwah juga mengatakan:

ÖFyäQoiu^vp=RvpèËæ kfQüã9#}ü<äi

 “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang mengerti ilmu kedokteran, syair dan fiqh melebihi ‘Āisyah”.

Abu Musa al-Asy’ari berkata:

#~Yq%äipäjfQu~Yäs9nQäm9-pvãunQÖFyäQäneýBY=iüän~fQgbEüäi

Ö~Q=F häb1öã<ülãg~].1ã=~*aäjfivãò$=Fm .1

ätnQdq^ni

“Tidak ada sesuatu yang sulit pada kami kemudian kami tanyakan kepada Aisyah kecuali kami dapatkan  ilmu padanya dan dia tidak wafat sehingga ilmu tersebar di tengah-tengah umat, sehingga dikatakan bahwa seperempat hukum syara’ diriwayatkan dari padanya.”  

  Jumlah Hadis yang diriwayatkan `Aisyah sebanyak 2.210 buah Hadis, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari padanya sebanyak 54 buah Hadis dan Muslim meriwayatkan sebanyak 68 buah Hadis. Ia meninggal pada tahun 57 H/668 M pada bulan Ramadhan sesudah melakukan shalat witir. dan Abu Hurairah ikut mensholatkannya.

E. Abdullah bin Abbas ra.

Sahabat Nabi saw kelima setelah ‘Aisyah ra. yang mendapat julukan “bendaharawan hadis” (al-mukṡirūn fi al-ḥadῑs) adalah Abdullah ibn Abbas ra. Nama beliau adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim lahir di Mekah tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah Abbas, paman Rasulullah saw, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl, saudari Ummul Mukminin Maimunah ra. istri Rasulullah saw. Abdullah bin Abbas dikenal dengan panggilan Ibnu Abbas, juga disebut Abul Abbas.

Ibnu Abbas adalah salah seorang dari empat pemuda yang dijuluki “Al-Abadillah” (empat orang pemuda yang bernama Abdullah). Tiga dari al-Abadillah yang lain adalah Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan Abdullah bin Amr radliyallahu ‘anhum. Mereka termasuk di antara tiga puluh orang yang menghafal dan menguasai Al-Qur’an pada saat fathul Makkah (penaklukkan kota Mekah), serta merupakan bagian dari ulama yang dipercaya kaum muslimin untuk memberi fatwa saat itu. Ibnu Abbas adalah sahabat yang mempunyai kedudukan yang sangat terpandang, ia dijuluki sebagai informan umat Islam. Dari beliaulah asal silsilah khalifah Daulat Abbasiah.

Ibnu Abbas senantiasa mengiringi Rasulullah saw. Beliau menyiapkan air wudlu Nabi, berjamaah bersama Nabi, dan sering menghadiri majelis-majelis ilmu Nabi saw. Oleh karena itulah, beliau banyak meriwayatkan hadis dari Nabi saw. Rasul saw. pernah secara khusus pernah mendoakan beliau:

 اللّهُمَّ فَقِّهْهَ فِي الدِّيْنِ وَ عَلِمْهُ التَّأْوِيْلَ

“Ya Allah fahamkanlah ia terhadap agama dan ajarilah ia ta`wil” (HR. Ahmad no. Hadis: 2274)

Berkat do’a ini pulalah Ibnu Abbas memiliki berbagai keutamaan. Selain dalam hal penafsiran Al-Qur’an beliau juga pandai dalam hal ilmu nasab, sya’ir, fikih dan ilmu-ilmu agama Islam yang lain. Beliau dijadikan referensi oleh banyak sahabat sepeninggal Rasul saw. Murid Ibnu Abbas, Atha` bin Abi Rabah mengatakan, “Banyak orang mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari syair dan nasab-nasab. Orang yang lain mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari sejarah hari-hari peperangan. Dan kelompok lainnya mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari ilmu agama dan fikih. Tidak ada satu golongan pun dari mereka kecuali mendapatkan apa yang mereka mau.”

Ibnu Abbas baru berusia menginjak 15 atau 16 tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu, pengejarannya terhadap ilmu tidaklah berhenti. Beliau berusaha menemui sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi saw demi mempelajari apa-apa yang telah Nabi ajarkan kepada mereka semua. Dengan kesungguhannya mencari ilmu, baik di masa hidup Nabi maupun setelah Nabi wafat, Ibnu Abbas memperolah kebijaksanaan yang melebihi usianya. Karena kedalaman pengetahuan dan kedewasaannya, Umar bin Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua (matang)’. Khalifah Umar sering melibatkannya ke dalam pemecahan permasalahan-permasalahan penting negara, malah sering mengedepankan pendapat Ibnu Abbas daripada pendapat sahabat-sahabat senior lain. Argumennya yang cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut, serta mengarah pada perdamaian membuatnya handal dalam menyelesaikan perselisihan dan perdebatan. Beliau menggunakan debat hanya untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk pamer kepintaran atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya suci, bebas dari dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, baik yang dikenal maupun tidak.

Umar pernah berkata, “Sebaik-baik tafsir Al-Qur’an ialah dari Ibnu Abbas. Apabila umurku masih lanjut, aku akan selalu bergaul dengan Abdullah bin Abbas.” Sa`ad bin Abi Waqqas menerangkan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memahami sesuatu, yang lebih berilmu dan lebih bijaksana daripada Ibnu Abbas.” Ibnu Abbas tidak hanya dikenal karena pemikiran yang tajam dan ingatan yang kuat, tapi juga dikenal murah hati. Teman-temannya mengatakan, “Kami tidak pernah melihat sebuah rumah penuh dengan makanan, minuman, dan ilmu yang melebihi rumah Ibnu Abbas.” Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih mengerti tentang hadis Nabi serta keputusan-keputusan yang dibuat Abu Bakar, Umar, dan Utsman, daripada Ibnu Abbas.”

Sebagaimana lazimnya pada saat itu, pejabat pemerintahan adalah orang-orang alim. Ibnu Abbas pun pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Penduduknya bertutur tentang sepak terjang beliau, “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara, ia mengambil hati pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil telinganya (memperhatikan orang tersebut); Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.”

Ibnu Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadis Beliau juga aktif menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji Wada`. Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama Ali bin Abi Thalib. Pada akhir masa hidupnya, Ibnu Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha`if hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun.

F. Abdullah bin Amru bin Ash ra.

Abdullah bin Amr adalah salah satu dari Abadillah yang faqih. Nama beliau adalah Abdullah bin Amr bin Ash bin Wail bin Hasyim, ada juga yang mengatakan nama aslinya adalah al-‘Ash. Ia memeluk Islam sebelum ayahnya, kemudian Nabi saw merubah namanya dengan “Abdullah”. Nama kunyah (panggilan kehormatan) beliau Abu Muhammad, ada yang mengatakan Abdurrahman. Ada yang mengatakan Abu Nushair Al-Quraisy as-Sahmi. Ibunya bernama Raithah binti Munabbah.

Abdullah bin Amr adalah seorang faqih, ahli ibadah yang zuhud, banyak berpuasa dan shalat.  Semenjak pertama kali masuk Islam yang menjadi pusat perhatian beliau adalah Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur. Setiap turun ayat maka dihafalkan dan diusahakan untuk memahaminya, sehingga setelah semuanya selesai dan sempurna beliaupun telah hafal keseluruhan Al-Qur’an. Beliau menghafal Al-Qur’an bukan sekadar untuk diingat tetapi dihafal dengan tujuan dapat dipergunakan untuk memupuk jiwanya, dan kemudian menjadi hamba Allah swt yang taat.

Abdullah bin Amr pernah berkata: "Saya telah mengumpulkan Al- Quran kemudian saya membaca keseluruhannnya dalam waktu semalam". Memang beliau dikaruniakan akal yang sempurna, cerdas, semangat dalam mencari ilmu dari Nabi, rajin dan tekun mencatat. Ia pun memiliki ilmu dan amal yang mapan. Abu hurairah pernah berkata, "Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah yang lebih banyak hadisnya dari padaku kecuali Abdullah bin Amr, Karena beliau menulis dan aku tidak menulis."

Jumlah hadis yang ia riwayatkan mencapai 700 hadis, sesudah minta ijin Nabi saw untuk menulis, ia mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi saw.  Beliau meriwayatkan hadis dari Umar, Abu Darda, Muadz bin Jabal, Abdurahman bin Auf, dan beberapa yang lain. Yang meriwayatkan darinya antara lain Abdullah bin Umar bin Al- Khaṭṭab, as-Sa’ib bin Yazῑd, Sa’ῑd bin Al-Musayyib, Ṭawūs, dan Ikrῑmah. Sanad paling sahih yang berpangkal darinya ialah yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari ayahnya dan kakeknya Abdullah.

Mengenai wafatnya banyak ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan di Thaif, ada yang mengatakan di Makkah dan ada lagi yang mengatakan di Syam. Wallaahu a’lam biṣ-ṣawāb. Beliau wafat pada malam hari dalam usia 72 tahun. Jenazah dimakamkan di rumahnya sendiri yang kecil, pada tahun 65 Hijriyah. Dan ada yang mengatakan pada 63 Hijriyah. Beliau dimakamkan di rumahnya sendiri, karena tidak bisa mengeluarkan jenazahnya ke kuburan di sebabkan kerusuhan tentara Marwan.

Diskusikan tentang tema:

 

Sahabat adalah orang yang betemu dengan Nabi Saw, atau melihatnya dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman. Masa sahabat merupakan masa “emas” karena mereka hidup bersama manusia paling utama, Nabi Muhammad saw. Mereka laksana meneguk air yang jernih langsung dari sumbernya, dan mereka adalah sebaik-baik generasi. Jumlah sahabat nabi saw sangat banyak kurang lebih 14.000 orang, di antara mereka ada yang mendapat julukan “bendaharawan hadis” (al-mukṡirūn fi al-ḥadiṡ) yaitu; Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, ‘Āisyah Ummul Mukminin, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Amru bin Ash radliyallahu ‘anhum.

 Abu Hurairah tercatat meriwayatkan hadis sebanyak 5.374 buah, Abdullah bin Umar sebanyak 2.630 buah, Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah, Aisyah sebanyak 2.210 buah, Ibnu Abbas sebanyak 1.660 hadis, dan Abdullah bin Amr sebanyak 700 hadis. Faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya di antara sahabat yang meriwayatkan hadis Nabipun bervariasi. Ada yang karena rajinnya mereka hadir di majelis-majelis ilmu Nabi, karena termasuk orang yang awal masuk Islam, karena dikaruniai umur panjang, karena tinggal bersama Rasulullah saw, dan lain sebagainya. Yang jelas, berapapun jumlah hadis yang mereka riwayatkan, jasa mereka terhadap penyebaran hadis Nabi sangat besar dan tidak mungkin tertandingi oleh siapapun.

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar!

  1.  Sebutkan  sahabat yang dijuluki dengan “al-mukṡirun fi al-ḥadῑṡ”!
  2. Jelaskan faktor penyebab Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadis dari Rasul saw!
  3. Sebutkan faktor penyebab Abdullah bin Umar  meriwayatkan banyak hadis dari Rasul saw!
  4. Sebutkan berbagai disiplin ilmu yang dimiliki oleh ‘Aisyah, Ummul Mu’minῑn, ra!
  5. Sebutkan faktor penyebab Anas bin Malik dapat meriwayatkan banyak hadis dari Rasul saw!

PENILAIAN SIKAP

Setelah kalian memahami uraian bendaharaan hadis pada masa sahabat ,   coba  amati perilaku berikut ini dan beri persetujuan

No.

Perilaku Yang Diamati

Sangat Setuju

Setuju

Tidak Setuju

1.

 Khulafaurrasyidin termasuk yang sediki dalam periwayatan hadis, karena sibuk dengan urusan kenegaraan

2.

Abu Hurairah salah satu sahabat nabi yang banyak meriwayatkan hadis.  

3.

Kartika sangat sibuk dengan urusan pekerjaannya sampai ia sering lupa salat

4.

   Umar Ibn Khaththab sangat hati-hati

   dalam meriwayatkan hadis, karena takut

   bercampur dengan al-qur’an

5.

Sarjono bersahatan dengan anak yang hitam kulitnya, ia sering memanggilnya ‘hai si hitam’

Tugas Individu:

No.

Nama

Jumlah hadis yang diriwayatkan

Faktor-faktor penyebab meriwayatkan banyak hadis

Tugas Kelompok

  https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSEfxbBrVNiERmQhZsG0ud87fSnRw3jhTGrnYhzZiGO8p_PXH7o

http://www.merdeka.com

 Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar utama ajaran Islam sesuatu yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain, sebab Al-Qur’an tidak akan bisa dipahami tanpa melalui perantaraan hadis. Demikian halnya hadis juga tidak memiliki dasar yang kuat tanpa adanya legitimasi dari Al-Qur’an. Mengingat pentingnya peranan hadis dalam ajaran agama Islam maka tak dapat disangkal lagi betapa pentingnya pula mengenal tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam dunia hadis yang telah mengeluarkan energi, tenaga dan pikiran yang luar biasa untuk dapat mengkodifikasikan nash-nash hadis sehingga bisa sampai kepada kita saat ini.

Imam Baqi Bin Mikhlad,  Ulama yang Gigih Dalam Mencari Ilmu

Pakaiannya compang-camping, lusuh, kusam. Ia berjalan dengan bantuan tongkat dan berpura-pura pincang. Rambut dan jenggotnya dibuat semrawut. Dengan tampang meyakinkan, tak akan ada seorang pun yang tahu bahwa ia adalah pengemis palsu. Benar, tak ada satu pun warga yang menguak identitas aslinya. Ia merupakan seorang ulama dari Andalusia (saat ini Spanyol dan negara sekitar), Imam Baqi bin Mikhlad. Saat itu ia ingin sekali belajar pada salah satu imam empat, Imam Ahmad. Ia pun berangkat dari Eropa, menyeberangi Laut Tengah menuju Afrika, kemudian melanjutkan perjalanan panjang ke Baghdad, Irak, tempat tinggal Imam Ahmad. Tanpa kendaraan, Baqi yang saat itu masih berstatus penuntut ilmu menempuh perjalanan panjang dengan berjala kaki. Hanya satu tujuannya, berguru pada sang imam.

Namun, Baqi mendengar kabar mengejutkan begitu tiba di Baghdad. Khalifah yang berkuasa saat itu jauh dari jalan Islam yang ḥanῑf. Imam Ahmad yang vokal pada kebenaran pun bereaksi menasihati khalifah. Namun, sang imam yang sangat mengagungkan Al-Quran dan sunah justru difitnah hingga dikucilkan. Ia juga dilarang mengajar ataupun mengumpulkan para penuntut ilmu. Imam Ahmad dianggap menentang paham yang dianut kekhalifahan. Sedihlah hati Baqi mendengar kondisi Imam Ahmad, guru yang diharapkannya memberikan ilmu barang satu ayat.

Kendati demikian, Baqi tetap mencari rumah Imam Ahmad. Tekadnya untuk berguru telah bulat. Ia pun melangkahkan kaki ke rumah sang imam. Saat mengetuk pintu, ternyata Imam Ahmadlah yang membukakannya. "Wahai Abu Abdullah, saya seorang yang datang dari jauh, pencari hadis dan penulis sunah. Saya datang ke sini pun untuk melakukan itu," ujar Baqi antusias. "Anda dari mana?" tanya Imam Ahmad. "Dari Maghrib al-Aqsa," jawab Baaqi. Imam Ahmad pun menebak, "Dari Afrika?" "Lebih jauh dari Afrika. Untuk menuju Afrika saya melewati laut dari negeri saya," jawab Baqi. Imam pun kaget mendengarnya, "Negeri asalmu begitu jauh. Aku sangat senang jika dapat memenuhi keinginanmu dan mengajar apa yang kamu inginkan. Akan tetapi, saat ini saya tengah difitnah dan dilarang mengajar," jawab Imam Ahmad.

Tak putus asa mendengarnya, Keinginan Baqi untuk berguru pada Imam Ahmad tak mampu dibendung. Ia pun menawarkan berpura-pura menjadi pengemis. "Saya tahu Anda tengah difitnah dan dilarang mengajar wahai Abu Abdillah, akan tetapi tak ada yang mengenal saya di sini, saya sangat asing di tempat ini. Jika Anda mengizinkan, saya akan mendatangi rumah Anda setiap hari dengan mengenakan pekaian pengemis. Saya akan berpura-pura meminta sedekah dan bantuan Anda setiap hari. Maka wahai Abu Abdillah, masukkanlah saya ke rumah dan berilah saya pengajaran meski hanya satu hadis," pinta Baqi berbinar.

Melihat tekadnya yang begitu bulat dan amat giat menuntut ilmu, Imam Ahmad pun menyanggupi. Namun, ia meminta syarat agar Baqi tak mendatangi tempat kajian hadis ulama selain Imam Ahmad. Hal tersebut dimaksudkan agar Baqi tak dikenal sebagai penuntut ilmu. Statusnya sebagai penuntut ilmu sementara dirahasiakan.  Mendengar kesanggupan sang Imam, Baqi pun begitu bahagia. Ia segera menyanggupi persyaratan itu. Hati Baqi saat itu benar-benar dipenuhi bunga-bunga mekar nan indah. Keesokan hari, Baqi pun mulai 'beraksi'. Ia mengambil sebuah tongkat, membalut kepala dengan kain, dan pernak-pernik pengemis lain. Sementara itu, sebuah buku dan alat tulis berada di balik baju samarannya itu.

Ketika berada di depan pintu Imam Ahmad, Baqi dengan nada melas akan berkata, "Bersedekahlah kepada orang miskin agar mendapat balasan pahala dari Allah," ujarnya. Jika mendengarnya, Imam Ahmad segera membukakan pintu dan memasukkan Baqi ke dalam rumahnya. Di dalam rumah, dimulailah proses pengajaran ilmu yang amat diberkahi Allah itu. Demikian aktivitas itu dilakukan setiap hari oleh Baqi dan sang guru. Dari proses belajar diam-diam itu, Baqi mampu mengumpulkan 300 hadis dari Imam Ahmad.

  pengemis demi mendengar satu hadis. Baqi pun kemudian menjadi murid dekat Imam Ahmad. Ia di kemudian hari menjadi ulama terkenal dari kawasan Andalusia.

                                              Sumber:http://www.republika.co.id/berita/dunia-slam/khazanah

 

Kompetensi Inti (KI)

  1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
  2. Menghayati dan mengamalkan  perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai) santun,  responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
  3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
  4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar (KD)

2.2. Merefleksikan perilaku semangat dan obyektif dalam neneladani kejujuran para muhaddisin

2.3. membiasakan berkarya sebagai perwujudan dari spirit para muhaddisin

3.3.  Mengetahui sejarah singkat para pentakhrῑj hadis yang dikenal sebagai penulis al-kutub at-tis’ah al-Mu’tabarah. (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Nasa’i, Ibnu Majah, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan Darimi).

4.3. Menghafalkan nama, masa hidup, dan peran ulama’ hadis dalam pemeliharaan hadis dari waktu ke waktu serta meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari.

Indikator Pembelajaran

Pesera didik mampu:

  1. meneladani semangat dan obyektif muhaddisin
  2.  menjelaskan sejarah biografi pentakhrij hadis
  3.  menghafal nama pentakhrij hadis
  4.  mengidentifikasi para pentakhrij hadis
  5.  meneladani dalam kehidupan sehari-hari

Tujuan Pembelajaran

Pesera didik dapat:

  1. mendemonstrasikan semangat dan obyektif ulama hadis
  2. menjelaskan sejarah biografi pentakhrij hadis masa  
  3. menghafalkan biografi masing-masing pentakhrij hadis  
  4. meneladani  mereka dalam kehidupan sehari-hari

 Peta Konsep

 

Kata Kunci

MAKSUD

ISTILAH

MAKSUD

ISTILAH

 Bukhari pempersyaratkan murid dan syekh harus bertemu

 اللقاء

 Dua kota suci (Makkah - Madinah)

 الحرمين

 Murid dan syekh harus hidup sezaman

 المعاصرة

 Julukan bagi khulafa ar-rayidin

 امير المؤمنين

 Lima pemilik kitab hadis induk

 اصحاب الخمسة

 Hadisnya diterima (Penilaian bagi rabi)

 مقبول

A. Imam Al-Bukhari

Imam al-Bukhari nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzibah al-Bukhari. Beliau lahir di Bukhara, Uzbekistan, pada tanggal 13 syawal tahun 194 H (21 Juli 810 M). beliau berasal dari keluarga ulama, ayahnya Ismail, seorang ulama hadis yang pernah berguru kepada Imam Malik bin Anas, salah satu pendiri madzhab fikih yang empat, dan juga kepada Hammad bin Zaid.

Imam al-Bukhari dikaruniai otak yang cerdas. Pemikirannya tajam dan hafalannya kuat. Kecerdasan dan ketajaman pemikirannya serta kekuatan hafalannya sudah terlihat semenjak usia kanak-kanak. Beliau mewarisi ketakwaan ayahnya. Minatnya terhadap ilmu sudah terbentuk sejak kecil, sebab ayahnya menjadi idola sekaligus guru pertamanya. Beliau ditinggal ayahnya menghadap Allah swt sejak berusia lima tahun.

Imam al-Bukhari kecil bertekad mengikuti jejak sang ayah. Ia sangat mencintai Nabi saw dengan kesungguhan hati. Dalam usia sepuluh tahun ia sudah banyak menghafal hadis. Ia banyak datang ke ulama ahli hadis di kotanya untuk mempelajari sabda Nabi tersebut sebanyak mungkin. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal di luar kepala hadis-hadis yang terdapat pada kitab Ibnu Mubarak, Al-Waqi’.

Pada tahun 210 H, ia menuanaikan ibadah haji ke tanah suci bersama ibu dan saudara-saudaranya. Selain untuk beribadah haji serta bermunajat kepada Allah, kesempatan tersebut ia gunakan untuk menimba ilmu dari berbagai ulama hadis di haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah). Ketika selesai melaksanakan ibadah haji, ia memutuskan untuk menetap di sana guna menimba hadis. Ia mukim di Mekah dan Madinah sekitar enam tahun.

Perburuan hadis yang dilakukan Imam al-Bukhari sudah dirintis sejak ia berada di kota kelahirannya Bukhara, Uzbekistan. Mekah dan Madinah menjadi tempat terlama dalam perjalan ilmiah bagi Amirul Mu’minin fi al-Ḥadῑṡ ini. Hal ini karena dua kota tersebut merupakan pusat hadis, di dua kota tersebut Nabi dan para sahabatnya hidup. Imam al-Bukhari juga melacak hadis ke berbagai dunia Islam, Siria, Mesir, Aljazair, Basrah, Kufah dan Baghdad. Di tempat-tempat yang dikunjungi tersebut ia menemui para ahli hadis dan berguru kepada mereka. Di antara para ahli hadis yang menjadi guru imam al-Bukhari adalah Ali bin al-Madani, Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, dan Muhammad bin Rahawaih. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadis.

Ketika di kota Baghdad, imam al-Bukhari pernah diuji oleh sepuluh ulama setempat dengan menyodorkan seratus buah hadis kepadannya yang matan dan sanadnya diacak sedemikian rupa. Menghadapi ujian ini, imam al-Bukhari dengan mudah menertibkan sanad dan matan yang kacau balau tersebut. Imam al-Bukhari berhasil memadukan kekuatan hafalan, ketajaman analisis, dan kekuatan pena. Beliau juga seorang penulis yang produktif. Di antara karya-karyanya yang terkenal adalah al-Jami’ al-Ṣahῑh, al-Adab al-Mufrad, al-Tarῑkh al-Ṣagir, al-Tārikh al- Ausaṭ, al-Tārikh al-Kabῑr, al-Musnad al-Kabῑr, Kitab al-‘Ilal, Raf’al Yadain fi al-Ṣalat, Bir al-Walidain, Kitab al-Asyribah, al-Qira’ah Khalf al-Imam, Kitab al-Du’afa, Asami al-Ṣahabah, Kitab al-Kuna, dan lain-lain.

Kitab Shahih al-Bukhari diterima (qabūl) oleh para ulama secara aklamasi pada setiap masa dan banyak keistimewaan kitab al-Bukhari yang diungkapkan oleh para ulama, di    antaranya :

Al-Tirmizi berkata:

 لَمْ اَرَ فِي اْلعِلْمِ وَالرِّجَاِل أَعْلَمُ مِنَ اْلبُخَارِي

 “Aku tidak melihat dalam ilmu `ilal al-hadis dan para  tokoh hadis seorang yang lebih tahu dari pada al-Bukhari.”

Ibnu Khuzaimah berkata:

 مَا رَاَيْتُ تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ أَعْلَمُ بِحَدِيْثِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا أَحْفَظَ مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ اْلبُخَارِي

“Aku tidak melihat di bawah kolong langit seorang yang lebih tahu hadis Rasulillah  saw dan yang lebih hafal dari pada Muhammad bin Isma`il al-Bukhari.”

Al-Hafizh al-Dzahabi berkata:

 هُوَ أَجَلُّ كُتُبِ اْلإِسْلَامِ بَعْدَ كِتَابِ اللهِ تَعَا لَى

“Dia adalah kitab Islam yang paling  agung setelah kitab Allah.”

Imam al-Bukhari sangat beruntung mempunyai murid yang sedemikian banyak. Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ṣahῑh al-Bukhārῑ pernah didengar secara langsung oleh kurang lebih sembilan puluh orang ketika beliau membacakannya. Di antara murid Imam al-Bukhari yang terkenal adalah Muslim bin Hajjāj, Turmudzi, Ibnu Khuzaimah, Abū Dāwūd, Muhammad bin Yusuf al-Farabi, Ibrāhῑm bin Ma’qil al-Nasafi, Hammad bin Syakir al-Nasawi, dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Merekalah yang banyak meriwayatkan hadis dari imam al-Bukhari sepeninggal beliau. Beliau meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas salat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri di Samarkand.

B. Imam Muslim

Imam Muslim nama lengkapnya  adalah Abu Husein Muslim bin Hajjāj bin Muslim bin Kausiaz al-Qusairi al-Naisaburi. Dilahirkan di Naisabur, Iran pada tahun 204 H. Tidak ada informasi yang menjelaskan siapa dan bagaimana keluarganya. Menurut sebuah sumber, Imam Muslim berasal dari keluarga saudagar yang bernasib baik, memiliki reputasi dan sikap yang ramah. Al-Żahabi menyebut keluarga Imam Muslim dengan sebutan “Muhsin Naisabur” (dermawan Naisabur).

Seperti anak-anak pada zamannya, Imam Muslim memulai pendidikan pertamanya dengan belajar Al-Qur’an dan bahasa Arab. Pada usia 12 tahun ia memulai mempelajari hadis. Untuk keperluan ini, Imam Muslim harus meninggalkan kota kelahirannya, Naisabur. Ia mulai tekun mempelajari matan hadis dan melacak sanadnya dengan berguru kepada ulama-ulama ahli hadisdi berbagai kawasan dunia Islam. Imam Muslim mengunjungi berbagai ulama hadis ternama di Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan lain-lain. Di Khurasan ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Rai, Asia Tengah, ia belajar kepada Muhammad bin Marham dan Abu Ansar. Di Irak ia belajar kepada Imam Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz ia berguru kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’ab; dan di Mesir ia berguru kepada Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya. Ketika Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur, Imam Muslim sering menemuinya untuk berguru.

Selain aktif belajar dan mengajar ilmu hadis, Imam Muslim juga aktif menulis berbagai kitab. Di antara karya-karya Imam Muslim adalah Al-Jāmi’ al-Ṣahῑh, al-Musnad al-Kubra, Kitāb al-Asma wa al-Kuna, Kitāb al-‘Ilal, kitāb al-Aqran, kitāb Su’alatih Ahmad bin Hambal,  kitāb al-Intifa bi Uhub al-Siba’, Kitāb al-Muhaḍramain, Kitāb Man Laisa Lahu Ila Rawin Wahid, Kitāb Aulād al-Shahabah, Kitāb Auham, dan lain-lain.

Di antara buku hadis yang  beliau tulis tersebut,  al-Jami’ al-Shahih atau yang lebih dikenal dengan Ṣahῑh Muslim berisikan  4.000 hadis yang merupakan hasil penyeleksian dari 12.000 buah hadis yang dihitung secara berulang, atau pendapat lain sebanyak 7.275 buah hadis secara terulang-ulang. Menurut Fuad Abd al-Baqiy sebanyak 3.033 buah hadis tanpa diulang.  Buku itu disusun selama 12 tahun.  Para ulama secara aklamasi menilai baik Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, keduanya merupakan kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an, dan mayoritas mereka menilai Ṣahῑh al-Bukhāri lebih shahih, sedangkan Shahih Muslim lebih indah sistematika penulisannya.  Al-Khatib al-Baghdadi berkata:

 رَأَيْتُ أَبَا زَرْعَةَ وَأَبَا حَاتِمٍ يُقَدِّمَانِ مُسْلِمَ بْنَ اْلحَجَاجِ فِي مَعْرِفَةِ الصَّحِيْحِ عَلَى مَشَايِخِ عَصْرِهِمَا

“Saya melihat Abu Zar’ah dan Abu Khatῑm, keduanya mendahulukan Muslim bin Hajaj dalam hal mengetahui hadis shaih dari guru-guru  keduanya.

 Menurut penelitian para ulama, persyaratan yang ditetapkan Imam Muslim dalam kitabnya pada dasarnya sama dengan penetapan Shahih al-Bukhari. Ibn al-Shalah mengatakan bahwa persyaratan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya adalah :

Hanya saja yang membedakan antara Imam al-Bukhari dan Imam Muslim adalah pada pengertian    إتصال السند (bersambung sanad).  إتصال السند menurut al-Bukhari, seorang periwayat harus benar-benar bertemu (  اللقاء ) dengan penyampai hadis, sedang Imam Muslim mensyaratkan hidup semasa ( المعاصرة).

Imam Bukhari dan Muslim karena kercermatan, ketelitian, ketekunan, dan kejujurannya dalam mencari, mengumpulkan dan menuliskan hadis, maka peringkatnya di antara pemuka-pemuka hadis, masing-masing berada pada peringkat pertama dan kedua. Imam Bukhari dan Muslim disebut dengan panggilan kehormatan “al-Syaikhani” (“Dua Guru Besar”) dalam hadis. Sedangkan hadis yang disepakati oleh keduanya disebut “Muttafaqun ‘alaih”. Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H / 5 Mei 875 M. dalam usia 55 tahun.

  

C. Imam Abu Dawud

Imam Abu Dawud, nama lengkapnya adalah Sulaiman bin al-Asy’asy bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Umran al-Azdi al-Sijistani. Dari namanya, ulama ahli hadis ini terlihat bukan dari bangsa Arab, sebagaimana juga Imam Bukhari, Muslim dan al-Nasa’i, melainkan dari Sijistan, sebuah negeri Muslim di Asia Tengah yang kini termasuk dalam bekas wilayah Uni Soviet. Abu Dawud lahir pada tahun 202 H/ 817 M. Bapak beliau yaitu al-Asy'asy bin Ishaq adalah seorang perawi hadis yang meriwayatkan hadis dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin al-Asy'asy termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadis dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan Abu Dawud dalam menuntut hadis dari para ulama ahli hadis.

Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan bergaul dengan para ulama. Minat dan kepribadiannya terbentuk oleh lingkungan. Ia harus mengembara keluar dari Sijistan demi menuntut ilmu. Ia mengunjungi berbagai ulama hadis untuk belajar dari mereka. Sejak usia anak, Abu Dawud sudah mengembara ke Hijaz, Syiria, Khurasan dan kawasan lainnya yang menjadi pusat ilmu dan kebudayaan pada saat itu. Tradisi mengembara sudah menjadi keharusan bagi siapa saja yang hendak mencari ilmu. Terlebih di dalam ilmu hadis, ada keharusan mencari, melacak sanad, meneliti keotentikan matan dan kualifikasi rawi, apakah memenuhi syarat atau tidak.

Abu Dawud sering berkunjung ke Baghdad , dan menetap lama di sana. Atas permintaan Gubernur Basrah, al-Muwaffiq, ia diminta menetap di Basrah untuk mengajar dan menulis buku. Abu Dawudpun memenuhi permintaan gubernur tersebut. Hal ini sudah menjadi kewajaran, karena setiap penguasa muslim berlomba-lomba mengharumkan daerahnya dengan ilmu. Menjadikan daerahnya sebagai “kiblat” ilmu pengetahuan senantiasa menjadi program setiap penguasa pada saat itu.

Guru Imam Abu Dawud sangat banyak, di antaranya: Imam Ahmad bin Hambal, ahli hadis dan salah satu pendiri madzhab fikih yang empat, Al-Qanabi, Abū Amr al-Darῑr, Muslim bin Raja, dan al-Walid al-Ṭayalisi. Sedangkan murid Abū Dāwūd yang terkenal di antaranya Abu Isa al-Turmużi, Abū Abdirrahman al-Nasa’i, Abū Bakar bin Abi Dāwūd (putranya sendiri), Abu Awanah, Abu Sa’id al-Arabi, Abi Ali al-Lu’lu’, Abu Bakr bin Dassah dan Abu Salim Muhammad bin Sa’ῑd al-Jaldawi.

Imam Abu Dawud disebut-sebut sebagai penganut fikih madzhab Hambali, memang ia murid utama Imam Ahmad bin Hambal dalam bidang hadis, bukan dalam bidang fikih. Sebab itu ada yang menyebutkan bahwa ia penganut madzhab Syafi’i. perbedaan ini karena tidak ada informasi yang jelas tentang madzhab fikih Imam Abu Dawud. Ketidakjelasan itu menurut pendapat ketiga, karena Abu Dawud seorang mujtahid sehingga ia membangun madzhab sendiri. Abu Dawud bukan penganut madzhab yang ada. Sungguhpun demikian, informasi yang sampai kepada kita menegaskan bahwa Abu Dawud penganut madzhab Hambali. Abu Ishaq al-Syairazi dalam Ṭabaqat al-Fuqaha, dan Qāḍi Abū al-Husain bin Qāḍi Abu Ya’la dalam Ṭabaqat al-Hanābilah mencantumkan Abu Dawud sebagai penganut madzhab Hambali.

Imam Abu Dawud seorang hafiz, lautan ilmu, terpercaya, dan memiliki keilmuan yang tinggi terutama dalam bidang Hadis, waktunya dihabiskan di Tursus kurang lebih 20 tahun. Para ulama sangat menghormati kemampuan, kejujuran, dan ketakwaan beliau yan luar biasa. Abu Dawud tidak hanya sebagai seorang periwayat, penghimpun, dan penyusun  hadis, tetapi juga sebagai  seorang ahli hukum yang handal dan kritikus Hadis yang baik. Al-Hafidz Musa bin Harun  berkata :

 خلق ابوداود في الدنيا للحديث وفي الآخرة للجنة وما رأيت أفضل منه

“Abu Dawud diciptakan di dunia untuk hadis, di akhirat untuk surga, dan tidak ada orang yang lebih afdhal ketimbang Abu awud”

Abu Dawud meninggalkan banyak karya, khususnya dalam bidang hadis dan sebagian Ilmu Syariah. Karya-karya beliau tersebut antara lain: Sunan Abū Dāwūd, Al-Marosi, Masā’il al Imam Ahmad, An Nāsikh Wa Mansūkh, Risalah Fi Waṣfi Kitāb al Sunan, Al Zuhd, Ijabat An Sawalat al-Ajuri, Asilah An Ahmad Bin Hambal, Tasmiyat al-Akhwan, Kaul Qadr, Al-Ba’ṡwa Al Nusyūr, ‘Ilallati Halafa ‘Alaih Al Imam Ahmad, Dālail An Nubuwwat, dan Faḍa i’l Al Anshar.

Di antara karyanya سنن أبو داوود (Sunan Abu Dawud) yang beliau perlihatkan ke hadapan Imam ahmad. Dengan bangga Imam Ahmad memujinya. Teknik pembahasannya seperti fiqh, yaitu banyak bicara tentang hukum. Kitab ini berisikan 5.274 buah hadis secara berulang-ulang (mukarrar) yang disaring dan diteliti sebanyak  500.000 hadis kemudian diseleksi lagi menjadi 4.800 buah hadis. Di dalamnya terdapat shahih, hasan, dan dha`if. Beliau berkata : “Aku sebutkan yang shahih, yang serupa, dan yang mendekatinya. hadis yang  sangat lemah aku jelaskan.” Kedudukannya dalam Buku Induk Hadis  menempati rengking pertama dalam empat kitab Sunan dan mendekati  dua kitab Bukhari Muslim. Ia wafat di kota Bashrah tanggal 16 Syawal 275 H (dalam usia 70-71 tahun).      

D.Imam al-Tirmidzi

Imam al-Tirmidzi nama lengkapnya adalah Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dahhak al-Salam, al-Bughawi al-Tirmidzi. Dilahirkan di kota Tirmidz, Iran pada tahun 209 H/824 M. Sejak kecil, ia sudah memiliki hasrat yang besar untuk mempelajari hadis. Oleh karena itu, mencari ilmu sudah menjadi bagian hidupnya. Ia sebagaimana para ulama yang lain berguru tidak hanya kepada satu orang melainkan kepada banyak ulama di berbagai kawasan negara Islam. Merantau dari satu kota ke kota yang lain untuk mencari ilmu merupakan suatu kehormatan bagi yang ingin mendapatkan ilmu secara mendalam. Ia mengunjungi beberapa kota seperti Hijaz, Irak, dan Khurasan untuk berguru.

Imam al-Tirmidzi memiliki berbagai guru di antaranya; Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan para guru mereka. Adapun para murid imamal-Tirmidzi yang terkenal antara lain; Makhlul bin Fadhal Muhammad bin Muhammad al-Anbar Hammad bin Syakir, Abdurrahman bin Muhammad al-Nafsiyyun, al-Haisyam bin Kulaib al-Syasyi, Ahmad bin Yusuf al-Nasafi, dan Abu al-Abbas Muhammad bin Mahbub al-Mahbubi. Diapun terkenal sebagai seorang yang amanah, kuat dan cepat hafalannya.

Karyanya yanga terkenal adalah al-Jāmi atau Sunan al-Tirmidzi. Di dalam kitab ini ia mengklasifikasikan  kualitas Hadis menjadi shahih, hasan, dan dha`if.  Setelah selesai menulis kitab ini beliau perlihatkannya kepada para ulama Hijaz, Irak, dan Khurrasan. Mereka bersenang hati dan bangga melihatnya. Beliau berkata :

ãqM<pläAã=5p\ã=Reãp>ä.2eãxäjfQ2Qu&M=RYåä&beãã;s#ZnI

 Ákfb&}éçmu&~æòäjmýbYåä&beãã;su&~æòläaoip

“Aku tulis bukuku ini dan telah aku sodorkan  kepada para ulama Hijaz, Irak, dan Khurrasan dan mereka menyenanginya. Barang siapa di rumahnya  terdapat kitab Sunan  ini, maka seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi yang berbicara.”

Selain kitab Sunan al-Tirmizi, beliau juga menulis banyak kitab antara lain: Kitab Al-‘Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan  Kitab Al-Asma’ wal-Kuna. Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.

E. Imam al-Nasa’i

Imam al-Nasa’i nama lengkapnya adalah Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan  al-Khurrasani  al-Nasa’i. Ia mendapat gelar (kunyah) Abu Abdurrahman al-Nasa’i. Menurut al-Suyuthi, ulama ahli hadis ini dilahirkan pada tahun 215 H di Nasa, sebuah kota di Asia Tengah. Kota ini banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar. Sejak kecil al-Nasa’i sudah tertarik pada disiplin ilmu hadis. Pada usia 15 tahun al-Nasa’i sudah menjelajahi berbagai kota, pusat ilmu dan peradaban dunia Islam, untuk mempelajari hadis dari ulama-ulam besar pada zamannya. Ia mengunjungi kota-kota di Hijaz, al-Haramain (Mekah dan Madinah), Irak, Mesir dan Siria, bahkan pernah lama menetap di Mesir.

Di Mesir inilah Imam al-Nasa’i terkenal dalam ilmu hadis; ia terkenal keahliannya dalam bidang al-Jarh wa al-ta’dil. Karena keluasan ilmunya dan ketakwaannya yang dalam, banyak orang yang menghormatinya. Setiap kali orang menyebut namanya selalu diawali oleh gelar kehormatan, “Al-Imam al-Hafidz Syaikh al-Islam Abu Abdirrahman al-Nasa’i". Beliau juga seorang faqih  bermadzhab al-Syafi`i, ahli ibadah, berpegang teguh pada Sunah, dan memiliki wibawa kehormatan yang besar. 

Imam al-Daru Quthni memberi komentar tentang al-Nasa’i :

dä-=p+}9<äæ ktjfQüpr=JQ ò=Ji7~}äFiu^Yüläa

“al-Nasai  adalah orang yang paling alim Fikih di antara syaikh-syaikh Mesir pada masanya dan orang yang paling mengetahui hadis dan para perawinya.”

 Cukup banyak karangan beliau kurang lebih 15 buku, yang paling populer adalah al-Sunan yang disusun seperti bab Fiqh. Di dalamnya tidak ada seorang periwayat yang disepakati kritikus untuk ditinggalkannya. Dari segi kualitas hadisnya terdapat hadis shahih, hasan dan dha`if. Beliau memberi nama kitab itu ú=çbeã onBeã  (al-Sunan al-Kubra), kemudian diajukan kepada seorang amir di al-Ramalah, beliau ditanya : “Apakah semua hadis di dalamnya shahih? Beliau menjawab : “ Di dalamnya ada yang shahih, hasan, dan yang mendekatinya.”  Tuliskan yang shahih saja dari padanya! sahut Amir. Maka beliau menyaring dari kitab itu hadis-hadis shahih saja yang kemudian disebut    ú=VJ onBeã (al-Sunan al-Ṣugra) dan diberi nama onBoi*&.jeã  (al-Mujtaba min al-Sunan), yang kemudian sampai di tangan kita. Para ahli hadis  banyak yang berpedoman periwayatan dari al-Nasai, ia bagian dari kitab induk enam yang sedikit kedha`ifannya dan seimbang atau dekat dengan Sunan Abi Dawûd kitab kedua dari empat Sunan.

Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa`id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi). Sedangkan di antara murid-murid beliau adalah Imam Abu al-Qasim al-Thabrani, Abu Ali al-Husain bin Ali al-Hafidz al-Thabrani, Ahmad bin Umair bi Jausha,  dan lain-lain.

Beliau termasuk ulama yang produktif dalam menulis kitab. Beberapa kitab buah pena beliau selain al-Sunan antara lain; Al Kuna, khaṣa`is ‘Ali, ‘Amalu al -Yaum wa al- Lailah, at-Tafsir, ad- Ḍu’afa wa al Matrukin, al Jarhu wa ta’dil dll. Setelah melaksanakan ibadah haji beliau  menetap di Mekkah sampai menghadap ke hadirat Ilahi pada tahun 303 H /915 M. Beliau meningal di al-Ramalah dan dimakamkan di Bayt al-Maqdis.

F. Imam Ibnu Majah

Imam Ibnu Majah nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah al-Quzwini. Lahir di Quzwini, Irak tahun 207 H/ 824 M. Sejak berusia 15 tahun, Ibnu Majah sudah menekuni hadis dan belajar kepada tokoh-tokoh ulama pada zamannya. Iapun merantau ke berbagai kota di dunia Islam, sebagaimana tokoh-tokoh ulama besar lainnya.

Imam Ibnu Majah, selain terkenal sebagai ulama hadis, juga ahli dalam tafsir Al-Qur’an, dan sejarah kebudayaan Islam. Hal ini terlihat dari tiga karya besarnya, Sunan Ibnu Mājah, Tafsir Al-Qur’an al-Karim, dan Sejarah perawi hadis. Dalam buku yang terakhir ini, beliau mengambil para perawi hadis sejak masa Nabi sampai pada masanya. Dari tiga karya Ibnu Majah tersebut yang sampai ke tangan kita hanya yang pertama, yaitu Kitab Sunan Ibnu Majah.

kitab Ö-äi oæã onA  (Sunan Ibn Mājah) yang disusun seperti bab Fikih, jumlah hadisnya sebanyak 4.341 buah hadis. 3002 hadis di antaranya diriwayatkan oleh Aṣhāb al-Khamsah dan 1.339 buah hadis diriwayatkan oleh Ibn Majah. Di dalamnya terdapat hadis shahih, hasan, dha`if, dan wahi. Ibnu Katsir berkata :

ufjQ2QÖeãspÕ<qtFjeãonBåä&aè1äIu-äioæ9}?}oæ9j2i

 ÁPp=ZeãpdqIöãòÖnBfeuQäç%ãpuQwÊãpr=6ç%pujfQp

Muhammad bin Yazid bin Majah pemilik kitab al-Sunan yang terkenal. Kitab ini menunjukkan atas amal,  ilmu, kedalaman, ketajaman dan konsistensinya dalam mengikuti sunnah baik dalam masalah-masalah yang mendasar (ushul) maupun masalah cabang (furu’).”  

Para ulama  sebelum abad 6 H belum memasukkannya ke dalam Buku Induk Hadis Enam Ö&Beãè&beã$ätiü (Ummahat al-Kutub al-Sittah) kemudian dimasukkannya setingkat ýÊqUã (al-Muwaṭṭa’) karya Imam Malik. Para ulama mendahulukan Sunan Ibn Majah dari pada al-Muwaṭṭa’ dalam  gabungan Buku Induk Hadis Enam tersebut, karena di dalamnya terdapat beberapa Hadis yang tidak didapati dalam kitab lima, dan didapat  lebih banyak dari al-Muwaṭṭa’ bukan berarti ia lebih unggul  dari  al-Muwaṭṭa’. Beliau meninggal dunia pada tanggal 22 Ramadhan 273 H.

G. Imam Malik bin Anas

Imam Malik, pendiri madzhab Maliki, nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Harits al-Asbahi al-Madani. Lahir di kota Madinah pada tahun 93 H, yang bertepatan dengan tahun meninggalnya sahabat Anas bin Malik ra. Ia mendapat gelar (kunyah) Abu Abdillah.

Imam Malik tumbuh ditengah-tengah ilmu pengetahuan, hidup di lingkungan keluarga yang mencintai ilmu, di kota sumber mata air as-Sunah dan kota rujukan para alim ulama. Di usia yang masih sangat belia, beliau telah menghafal Al Qur`an, menghafal Sunah Rasulullah saw, menghadiri majelis para ulama dan berguru kepada salah seorang ulama besar pada masanya yaitu Abdurrahman Bin Hurmuz. Kakek dan ayahnya adalah ulama hadis terpandang di Madinah. Maka sejak kecil, Imam Malik tidak meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah dengan kehadiran ulama-ulama besar. Karena keluarganya ulama ahli hadis, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman-pamannya. Di samping itu beliau pernah juga berguru kepada para ulama terkenal lainnya.

Pada usia belasan tahun Imam Malik mulai menuntut ilmu. Ketika berumur 21 tahun beliau mulai mengajar dan berfatwa. Beliau berguru pada ulama terkenal di antaranya Nafi’, Sa’id al Maqburi, Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnu al-Mukandir, az-Zuhri, Abdullah bin Dinaar, dan sederet ulama-ulama besar lainnya. Murid-murid Imam Malik banyak sekali, di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abadullah bin Abu Thalhah, Ayyub bin Abu Tamimah as-Sakhtiyani, Ayyub bin Habiib al-Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, Ismail Ibnu Muhammad bin Sa’ad, dan Imam Asy Syafi’i.

Meskipun Imam Malik memiliki kelebihan dalam hafalan dan kekuatan pengetahuannya, akan tetapi beliau tidak mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadis, karena beliau beranggapan cukup dengan ilmu yang ada di sekitar Hijaz. Meski beliau tidak pernah mengadakan perjalanan ilmiyyah, tetapi beliau telah menyandang gelar seorang ulama, yang dapat memberikan fatwa dalam permasalahan ummat, dan beliau pun membentuk satu majelis di masjid Nabawi. Semua itu agar dapat mentransfer pengetahuannya kepada kaum muslimin serta kaum muslimin dapat mengambil manfaat dari pelajaran yang di sampaikannya.

Imam Malik merupakan seorang ulama yang produktif dalam menulis kitab. Salah satu karya monumental beliau adalah kitab al-Muwaṭṭa’, berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Dalam menyusunnya beliau menghabiskan waktu 40 tahun, dan selama waktu itu, beliau menunjukkan kepada 70 ahli fikih di Madinah.

Tentang Imam Malik, Imam asy-Syafi’I berkata:

  o~ä& 9Ræ u^f52QêãÖ.1ceäi

Imam Malik adalah hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para tabi’in.”

 Yahya bin Main berkata:

   +}9<ãò o~niÒjeã=~iüceäi

"Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) hadis"

Selain al-Muwatha’ Imam Malik juga menulis berbagai kitab antara lain; Risalah fῑ al-Qadar, Risalah fῑ an-Nujūm wa Manāzili al-Qamar, Risālah fῑ al-aqẓiyyah, Risālah ilā Abῑ Gassan Muhammad bin Muṭarrif, Risālah ilā al-Laiṡ bin Sa’d fῑ Ijma’i Ahli al Madῑnah, Juz’un fῑ at-tafsir, Kitabu as-Sir, dan Risālat ilā ar-Rasyid.

Beliau meninggal dunia pada malam hari tanggal 14 safar 179 H pada usia yang ke 85 tahun dan dimakamkan di Baqi`, Madinah al-Munawwarah.

H. Imam Ahmad bin Hambal

Nama beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan aż-Żuhli asy-Syaibani. Imam Ahmad dilahirkan di kota Baghdad. Ada yang  berpendapat bahwa di Marwa, kemudian di bawa ke Baghdad ketika beliau masih  dalam penyusuan. Hari lahir beliau pada tanggal 20 Rabi'ul awwal tahun  164 hijriah. Kunyah beliau adalah Abu Abdillah.

Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.

Al-Qur’an adalah lmu yang pertama kali dikuasainya sehingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia juga mahir baca-tulis dengan sempurna sehingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Setelah itu, ia mulai konsentrasi belajar ilmu hadis di awal umur 15 tahun. Ia telah mempelajari hadis sejak kecil dan untuk mempelajari hadis ini ia pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-negara lainnya sehingga ia akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta hadis.

Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadis) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.” Murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fikih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Aṡram, dan lain-lain.

Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qaḍi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.

Tentang Imam Ahmad, Imam Syafi‘i berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.” Yahya bin Ma'in menuturkan; 'Aku tidak pernah melihat seseorang  yang meriwayatkan hadits karena Allah kecuali tiga orang; Ya'la bin 'Ubaid, Al  Qa'nabi, Ahmad bin Hambal.”

Imam Ahmad bin Hambal termasuk salah seorang ulama yang produktif. Beberapa kitab buah pena beliau antara lain; Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadis, Al 'Ilal, An Nāsikh wa  al Mansūkh, Az Zuhd, Al Asyribah, Al Iman, Al Faḍa`il, Al Fara`iḍ, Al Manasik, ṭa'atu ar Rasūl, Al Muqaddam wa al mu`akhkhar, Jawwabāat al Qur`ān, Ḥadῑs  Syu'bah, Nafyu at Tasybῑh, Al Imamah, Kitāb al fitan, Kitāb  faḍa`ili  ahli al bait,  Musnad ahli al bait, Al asmā` wa al Kuna, Kitāb at tārikh, dan lain-lain.

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar  sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau berpulang. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai ratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau.

I.   Imam Ad-Darimi

Imam ad-Darimi memiliki nama lengkap Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin  Abdush Shamad ad-Darimi. Adapun julukan (kuniyah)-nya Abu Muhammad atau yang biasa di kenal dengan nama Imam ad-Darimi nama daerah yang dinisbahkan kepada beliau, yaitu Darim. Ia di lahirkan pada tahun 181 H, sebagaimana yang di terangkan oleh imam Ad Darimi sendiri, beliau menuturkan bahwa “aku dilahirkan pada tahun meninggalnya Abdullah bin al Mubarak”.

Ad-Darimi dianugerahi kecerdasan oleh Allah swt, pikiran yang tajam dan daya hafal yang sangat kuat, teristimewa lagi dalam menghafal hadis. Beliau berjumpa dengan para gurunya dan mendengar ilmu dari mereka. Beliau adalah sosok yang tawadlu’ dalam hal pengambilan ilmu, mendengar hadis dari kibarul ulama dan ṣigarul ‘ulamā, sampai-sampai dia mendengar dari sekelompok ahli hadis dari kalangan teman sejawatnya, akan tetapi  beliau juga seorang yang sangat selektif dan berhati-hati, beliau selalu mendengar hadis dari orang-orang yang terpercaya dan ṡiqah.

Pengembaraan keilmuan imam ad-Darimi dalam rangka pencarian ilmu khususnya hadis, sebagaimana para ulama hadis yang lain, dilakukan dengan mengunjungi berbagai kawasan dunia Islam antara lain; Khurasan, Iraq, Baghdad, Syam, Kufah, Mekah dan Madinah. Beliau berguru kepda para ulama besar di zamannya antara lain; Yazid bin Harun, Ya'la bin 'Ubaid, Ja'far bin 'Aun, Basyr bin 'Umar az Zahrani, 'Ubaidullah bin Abdul Hamid al Hanafi, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma'in dan lain-lain. Murid-murid Imam ad-Darimi antara lain; Imam Muslim bin Hajaj, Imam Abu Dawud,  Imam Abu 'Isa At Tirmidzi,  'Abd bin Humaid, Raja` bin Murji, Al Hasan bin Ash Shabbah al Bazzar, Muhammad bin Yahya, Abu Hatim dan masih banyak lagi yang lainya.

Imam ad-Darimi adalah ulama hadis yang sangat terkenal di bidang hadis, maka banyak dari kalangan ulama yang memberikan sanjungan kepada Imam ad-Darimi, di antaranya adalah: Imam Ahmad bin Hanbal memuji beliau dan menyebutnya dengan gelar “imam” dan berpesan agar menjadikannya rujukan (seraya ucapannya diulang-ulang). Muhammad bin Basyar berkata: “Penghafal kaliber dunia ada empat: Abu Zur’ah ar-Razi, Muslim an-Nasaiburi, Abdullah bin Abdurrahman dan Muhamad bin Ismail di Bukhari”

Ad-Darimi merupakan ulama yang lumayan produktif yang menghasilkan beberapa kitab yang jumlahnya cukup banyak. Di antaranya adalah: Sunan ad-Darimi, Ṡuluṡiyat (kitab hadis), Al Jami', dan Tafsir.

Imam ad-Darimi wafat pada hari Kamis bertepatan dengan hari tarwiyyah, 8 Dzulhijah,  setelah ashar tahun 255 H, dalam usia 75 tahun. Dan dimakamkan keesokan  harinya, Jumat (hari Arafah).


Diskusikan dengan teman-teman anda tentang tema:

Imam-imam mukharrij banyak sekali jumlahnya, namun kenapa yang terkenal hanya Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah? Kapan mereka mulai dikenal?

Tokoh-tokoh ulama yang berkecimpung dalam dunia hadis yang telah mengeluarkan energi, tenaga dan pikiran yang luar biasa untuk dapat mengkodifikasikan nash-nash hadis sehingga bisa sampai kepada kita saat ini ada banyak, di antara mereka yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin adalah Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’I, Ibnu Majah, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal dan al-Darimi.

Jasa ulama-ulama tersebut sangat besar terkait dengan pelestarian hadis Nabi saw. Karya-karya mereka bahkan sampai sekarang masih dapat dinikmati dan menjadi rujukan bagi para pelajar dan sarjana muslim serta kaum muslimin secara umum. Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Jami’ al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Sunan al-Darimi merupakan karya-karya monumental yang tidak ada bandingannya hingg sekarang. Mereka menyusun kitab-kitab hadisnya dengan berbagai bentuk, jenis dan metodologi penyusunan yang berbeda satu dengan lainnya, yang tentunya dapat saling melengkapi.  

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar!

  1. Terjemahkan perkataan Al-Hafiẓ al-Żahabi berikut: “êã åä&a9RæhwAöãè&ag-üqs”!
  2. Sebutkan persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Muslim dalam kitab “Shahih” nya!
  3. Jelaskan pengertian  9nBdäJ%ã  (bersambung sanad) menurut Imam al-Bukhari dan Muslim!
  4. Jelaskan yang dimaksud dengan “Muttafaqun ‘alaih”!
  5. Terjemahkan perkataan Imam asy-Syafi’i terhadap imam Malik berikut!

  o~ä& 9Ræ u^f52QêãÖ.1ceäi

Tugas individu

No.

Nama

Guru (syaikh)

Murid

Karya

Komentar ulama

1.

Imam al-Bukhari

2.

Imam Muslim

3.

Imam Abu Dawud

4.

Imam al-Tirmidzi

5.

Imam al-Nasa’i

6.

Ibnu Majah

7.

Imam Malik bin Anas

8.

Imam Ahmad bin Hanbal

9.

Imam Al-Darimi

Tugas Kelompok

Ilustrasi gambar

Setiap agama memiliki pedoman hukum berupa kitab suci, begitu juga halnya dengan Islam. Agama Islam memiliki Al-Qur’an sebagai kitab suci yang notabene sebagai dasar rujukan pertama hukum Islam. Selain Al-Qur’an, hadis Nabi menjadi sumber kedua hukum dalam ajaran Islam. Banyak ayat dan hadis yang menjelaskan tentang hadis yang dinyatakan sebagai sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti sebagaimana mengikuti Al-Qur’an, baik dalam bentuk perintah dan larangan (awamir nawahi)-nya.

Kompetensi Inti (KI)

  1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
  2. Menghayati dan mengamalkan  perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai) santun,  responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
  3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
  4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar (KD)

  1.  Meyakini hadis sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-qur’an

1.4. berkomintmen untuk menggunakan hadis sebagai sumber ajaran agama islam yang kedua

  1. Memahami kedudukan hadis dan fungsinya dalam menentukan hukum syar’i.
  1. Menceritakan fungsi dan kedudukan hadis dalam kehidupan sehari-hari.

Indikator Pembelajaran

Peserta didik mampu:

  1. mejadikan hadis sebagai sumber hukum islam
  2.  menjelaskan kedudukan hadis dalam hukum syar’i
  3.  menjelaskan fungsi hadis dalam hukum syar’i
  4.  menyebutkan dalil-dalil kedudukan dan fungsi hadis dalam hukum syar’i
  5.  mendemonstrasikan kedudukan dan fungsi hadis

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik dapat :

  1. mendemonstrasikan kedudukan hadis dalam hukum islam
  2.  menjelaskan kedudukan hadis dalam Islam  
  3.  menjelaskan fungsi hadis dalam Islam  
  4.  menyebutkan dalil-dalil kedudukan dan fungsi hadis dalam islam
  5. meneladani para ulama hadis.

Al-Qur’an al-Karim

 

Beberapa Kitab Hadis

Kata Kunci

MAKSUD

ISTILAH

MAKSUD

ISTILAH

Hadis yang berfunggsi merinci ketentuan al-Qur’an

 بيان التفصيل

 Ulama zaman dahulu

  السلف

Hadis yang membatasi ketentuan al-Qur’an

 بيان التقييد

 Ulama zaman sekarang

 الخلف

Hadis yang berfungsi mengkhususkan ketentuan al-Qur’an

بيان التخصيص

 Contoh yang baik

 اسوة حسنة

Hadis yang berfungsi mejelaskan ketentuan al-Qur’an

 بيان التشريع

Praktek ibadah yang dilakukan oleh emapt khalifah

  سنة الخلفاء المهديين

Hadis yang berfungsi menghapus ketentuan al-Qur’an

بيان النسخ

Hadis yang menguatkan dalil al-Qur’an

بيان التقرير

A. Kedudukan Hadis dalam Islam

Hadis bukanlah teks suci sebagaimana Al-Qur’an. Akan tetapi, hadis selalu menjadi rujukan  kedua setelah Al-Qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian keislaman. Mengingat penulisan hadis yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad saw wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan suatu hadis. Hal tersebut kemudian memunculkan sebagian kelompok meragukan dan mengingkari  akan kebenaran hadit sebagai sumber hukum.

Mayoritas ulama, baik yang tergolong ulama dahulu (salaf) maupun ulama modern (khalaf), dari masa sahabat sampai sekarang telah sepakat bahwa sunnah (hadis) merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena keduanya sama-sama merupakan wahyu dari Allah swt. Allah berfirman:

Ø#û1q}é1pvãqslãê& úqteãoQ_Ën}äip

“dan tidaklah yang diucapkan itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. Al-Najm/53: 3-4).

Oleh karena itu, umat Islam diwajibkan untuk taat kepada sunnah sebagaimana ketaatan mereka terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadis merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap.  Orang Islam tidak mungkin dapat memahami syari’at Islam secara mendalam tanpa merujuk kepada kedua sumber hukum Islam tersebut.

Banyak Al-Qur’an dan hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupkan sumber hukum islam selain Al-Qur’an yang wajib di ikuti, baik dalam bentuk perintah, maupun larangan. Untuk membuktikan hadis sebagai sumber ajaran Islam, para ulama hadis mengemukakan beberapa dalil atau argumentasi baik dilihat dari segi rasional dan teologis, Al-Qur’an, sunah, maupun ijma’.

1.  Dalil Rasional dan Teologis

Kehujjahan hadis dapat diketahui melalui argumentasi rasional dan  teologis secara bersama. Beriman kepada Rasulullah saw merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh setiap umat Islam. Keimanan ini diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar manusia beriman dan menaati Nabi Saw. Apabila seseorang mengaku beriman kepada Rasulullah, konsekuensi logisnya adalah menerima segala sesuatu yang datang darinya yang berkaitan dengan urusan agama, karena Allah telah memilihnya untuk menyampaikan syari’at-Nya kepada umat manusia. Mengenai hal ini M. ‘Ajjaj al-Khatib (dalam M. Nor Ichwan, 2013: 60)  mengatakan:

ktZ}lã kfBjeobj}vläi>w&ilä~R}=F%lã<9JiÖnBplü=^eäY

äjs9 oQ keäQpã9t&.jfe &UvpäRiät~eãPq-=ævãÖR}=F 

Al-Qur’an dan sunah merupakan dua sumber hukum syari’at Islam yang saling terkait. Seorang muslim tidak mungkin  dapat memahami syari’at kecuali dengan kembali kepada keduanya. Seorang mujtahid dan orang alim tidak mungkin mengabaikan dan mencukupkan diri hanya kepada salah satu dari keduanya.

  Allah swt juga memerintahkan untuk beriman dan mentaati nabi saw. Dengan demikian, menerima hadis sebagai hujjah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keimanan seseorang. Apabila ia tidak menerima hadis sebagai hujjah, sama halnya ia tidak beriman kepada Rasulullah saw. Jika ia tidak beriman kepada Rasulullah saw, ia kafir karena tidak memenuhi salah satu dari enam rukun iman yang harus diyakini oleh setiap muslim.

2.  Dalil Al-Qur’an

Dalam berbagai ayat di Al-Qur’an menjelaskan bahwa Nabi saw memiliki tugas dan peran yang sangat penting terkait dengan agama.

Pertama, Nabi Muhammad saw diberi tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl/16 ayat 44:

êOlp=bZ&}ktfRepkt~eãd?mäi@änfeo~ç&e=a;c~eãäne?mãp

“Dan Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan” (QS. An-Nahl/16: 44).

Kedua, Nabi Muhammad saw sebagai suri teladan (uswah hasanah) yang wajib diikuti oleh setiap umat Islam. Firman Allah dalam surat al-Ahzab/33 ayat 21:

hq~eãããq-=}läaojeÖnB1ÕqAãêãdqA<òkbeläa9^e

Ú8ã=~*ã=a:p=5vã

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab/33: 21)

Ketiga, Nabi wajib ditaati oleh segenap umat Islam sebagaimana dijelaskan pada surat al-Anfal/8 ayat 20:

7lqRjB% k&mãpunQãqeq%vpueqA<pêããqR~Êããqnião};eãät}ä}

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya, padahal kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal/8 : 20)

Selain itu, masih banyak lagi dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk taat kepada Nabi saw. Antara lain sebagai berikut:

k&Q>än%läYÙkbni=ivã1pãpdqA=eããqR~ÊãpêããqR~Êããqnião};eãät}ä}

 =~5ce:Ú=5vãhq~eãpêäælqniÒ%k&nalãdqA=pêã1ãrp8=Y{~Eò

  á^w}pý%oB1ãp

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Nisa’/4: 59)

Demikian juga pada surat al-Hasyr/59 ayat 7:

Úêããq^%ãpÙãqt&mäYunQkbtmäiprp;6YdqA=kbäipÁÁÁ

 ×*åä^Reã9}9ãlã

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr/59: 7)

Ayat-ayat lain yang sejenis yang memaparkan tentang perintah untuk menaati Allah dan Rasul-Nya juga masih ada seperti surat al-Maidah: 92 dan an-Nur: 54. Ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa ketaatan kepada Rasulullah saw bersifat mutlak, sebagaimana ketaatan kepada Allah swt. Demikian juga dengan ancaman atau peringatan bagi yang mendurhakai Allah sering disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada rasul-Nya. Wujud dari bentuk ketaatan kepada Rasul adalah ketaatan terhadap segala yang dibawanya, yakni ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Seseorang tidak cukup hanya berpedoman pada Al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman kepada hadis Rasulullah Saw. Oleh karena itu, taat terhadap ketentuan-ketentuan hadis adalah sebuah keniscayaan.

3.  Dalil Sunnah

Kehujjahan tentang hadis juga dapat diketahui melalui pernyataan-pernyataan Rasul sendiri melalaui beberapa hadisnya. Antara lain pesan mengenai keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup di samping Al-Qur’an agar manusia tidak tersesat. Sabda Nabi saw:

Áu~çmÖnApêãåä&aäjk&bBWäiãqfN%oeo}=iükb~Y#a=%

"Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya." (HR. Imam Malik no. hadis: 1395)

Hadis ini secara tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw/ hadis adalah merupakan pedoman hidup manusia yang menuntun ke arah yang benar dan lurus, bukan ke arah yang sesat. Keduanya merupakan warisan dari Rasulullah yang paling berharga bagi umat Islam. Selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi, sunnah al-Khulafa al-Rasyidunpun dapat dijadikan panutan sebagaimana disabdakan Nabi saw:

ãqNQpätæãqbBj%o}9Eã=o~}9tjeãxäZf6eãÖnApé&nBækb~fRY

Á;-ãqnæät~fQ

“Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku dan sunah al-khulafa al-Rasyidun yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya…”  (HR. Abu Dawud, no. hadis: 3991)

Demikian juga hadis-hadis yang senada yang menjelaskan tentang keharusan umat Islam mengikuti hadis Nabi dalam urusan ibadah kepada Allah atau dalam persoalan hukum dan kemasyarakatan, sebagaimana argumentasi Mu’aż bin Jabal ketika hendak diutus Rasul ke Yaman. Beliau akan melandaskan antara lain pada sunnah Nabi saat menetapkan hukum suatu perkara yang dihadapinya dan Nabi menyetujui dan membenarkan pendapat Mu’aż.

4.  Dalil Ijma’

Para sahabat Nabi tidak ada satupun yang menolak tentang wajibnya taat kepada Nabi saw. Dalam perkembangannya, umat Islampun telah sepakat mengenai kewajiban mengikuti sunnah Nabi saw. Hal ini berarti, ijma’ umat Islam untuk menerima dan mengamalkan sunnah sudah ada sejak zaman  Nabi, para khulafā al-rāsyidūn, dan para pengikutnya. Banyak contoh yang menggambarkan betapa para sahabat sangat mengagumi Rasulullah dan melakukan apa yang dilakukannya. Di antaranya Abu Bakar pernah berkata,”Aku tidak akan meninggalkan sesuatupun yang dilakukan Rasulullah, maka pasti aku melakukannya..”

Secara fakta memang di antara umat Islam ada yang mengingkari Sunnah. Mereka disebut kelompok inkar al-sunnah yang embrionya muncul sejak zaman Imam Syafi’i, tetapi jumlah mereka sedikit dan argumentasi mereka sudah dipatahkan oleh para ulama hadis.  

B. Fungsi Hadis Nabi Dalam Menentukan Hukum Syar’i

Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah. Al-Qur’an adalah sebagai penyempurna dari kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan sebelumnya. Dalam Al-Qur’an terkandung petunjuk dan aturan berbagai aspek kehidupan manusia. Ayat-ayat Makkiyyah misalnya banyak berbicara tentang persoalan tauhid, keimanan, kisah para nabi dan rasul terdahulu, dan lain sebagainya. Sementara ayat-ayat Madaniyyah banyak menjelaskan tentang ibadah, muamalah, hudud, jihad, dan lain sebagainya. Secara umum kandungan Al-Qur’an dapat dibagi kepada tiga hal pokok, yaitu prinsip-prinsip akidah, ibadah, dan mu’amalah. Namun meskipun demikian Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dengan hadis.

Al-Qur’an memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang memerulkan penjelasan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah hadis berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Menngenai fungsi hadis terhadap Al-Qur’an, kalangan ulama menyebutkan secara beragam. Imam Malik bin Anas (dalam Zarkasih, 2012: 16), menyebutkan lima macam fungsi hadis, yaitu; bayān al-taqrῑr, bayān al-tafsῑr, bayān al-taṣhῑl, bayān al-basth, dan bayan al-tasyri’. Imam al-Syafi’I menyebutkan lima fungsi yaitu; bayān al-taṣhῑl, bayān al-takhsῑṣ, bayān al-ta’yῑn, bayῑn al-tasyri’, dan bayān al-nasakh. Dalam kitabnya al-Risalah, al-Syafi’i menambahkan bayan al-isyarah. Imam Ahmad bin Hambal menyebutkan empat fungsi yaitu; bayān al-taqyῑd, bayῑn al-tafsῑr, bayān al-tasyri’, dan bayān al-takhsish.

1.  Bayān al-Taqrῑr

Bayān al-taqrῑr disebut juga bayān al-ta’qῑd atau bayān al-iṡbat, adalah apabila sunnah/hadis sesuai dengan dan atau menetapkan serta memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkuat isi atau kandungan Al-Qur’an. Misalnya hadis Nabi saw:

ýMq&}.1(91ãoiÕwIgç^%vÙêãdqA<dä]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudlu." (HR. al-Bukhari no. hadis: 132)

Hadis tersebut sejalan dengan ketentuan Al-Qur’an bahwa orang yang hendak mendirikan shalat harus berwudlu terlebih dahulu. Firman Allah:

kbsq-p ãqfBUäY ÕqfJ 1ã k&j] ã:ã  ãqniã o};eã ät}äî}

 ÁÁÁÁ GçRbeã 1ã kbf-<ãp kbApx=æ ãq2Biãp _Yã=Uã 1ã kb}9}ãp

Ý áÜÂÕ9yäUã

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah/5: 6)

Ayat tersebut menjelaskan tentang keharusan berwudlu sebelum seseorang melakukan shalat. Seseorang yang melakukan shalat tanpa wudlu dinilai tidak sah karena wudlu merupakan salah satu syarat sah shalat. Hadis yang disabdakan Nabi saw tersebut di atas memperkuat pernyataan yang terkandung dalam ayat bahwa sebelum shalat seseorang harus wudlu terlebih dahulu.

Istilah bayān al-taqrῑr atau bayān al-ta’qῑd atau bayān al-iṡbat ini disebut pula dengan bayān al-muwafiq li nash al-kitāb. Karena munculnya hadis-hadis itu sealur atau sesuai dengan nash Al-Qur’an.

2.  Bayān Tafṣῑl

Bayān al-Tafṣῑl berarti penjelasan dengan memerinci kandungan ayat-ayat yang mujmal, ayat yang masih bersifat global yang memerlukan mubayyin (penjelasan). Ayat-ayat yang maknanya kurang dipahami atau bahkan tidak jelas kecuali ada penjelasan atau perincian, maka diperlukan hadis untuk menjelaskan dengan memerinci kandungannya. Penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang mujmāl ini dapat dijumpai pada masalah-masalah yang terkait dengan kewajjiban shalat, zakat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lain yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam bentuknya yang mujmāl dan memerlukan sunnah atau hadis untuk menjelaskannya secara rinci,

Kewajiban shalat misalnya, dalam Al-Qur’an dinyatakan dalam bentuk yang masih mujmal, karena Allah swt tidak menjelaskan tentang waktunya, bilangan reka’atnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang membatalkannya, serta cara-cara pelaksanaannya.  Kemudian Rasul saw menjelaskan kepada kaum muslimin mengenai prosesi shalat sebagaimana sabdanya:

ÁÁÁ éfIüémqj&}ü<äjaãqfIpÁÁÁ

“ … shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat…” (HR. al-Bukhari no. hadis: 595)

Pada hadis yang lain Nabi saw juga menjelaskan secara rinci mengenai bilangan shalat, dan waktu-waktunya juga. Demikian juga mengenai kewajiban zakat yang disebutkan dalam Al-Qur’an, juga masih dalam bentuk mujmāl. Misalnya firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah/2 : 43, 83, 110, dan ayat-ayat lain yang senada, seperti; “Dan berikanlah zakat.” Perintah yang demikian ini masih belum jelas pengertiannya, bagaimana zakat yang dimaksud, harta apa saja yang dizakati, berapa nishabnya, dan pertanyaan-pertanyaan lain  yang mungkin akan sulit untuk menjawabnya. Di sinilah fungsi hadis sebagai penjelas dan perinci ayat-ayat tersebut. Kemudian Rasul saw menjelaskan kemujmalan perintah zakat ini.

Seandainya tidak ada sunnah/hadis Rasul saw, kewajiban shalat dan zakat sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an, tidak terlaksana dengan baik, karena tidak mendapat petunjuk untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, sunnah/hadis menjadi sangat penting untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang sifatnya masih mujmal tersebut.

3.  Bayān Taqyῑd

Bayān al-taqyῑd adalah penjelasan hadis dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu. Kata mutlak artinya kata yang merujuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang jumlah atau sifatnya. Penjelasan Nabi berupa taqyῑd terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mutlak. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Maidah/5 ayat 38:

ÚêãoiväbmäçBaäjæxã?-äjt}9}ããùRË]äYÖ]<äBp\<äBp

Úßá ÜÃ  Õ9yäUãêIk~b1<qZUêãp

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Maidah/5: 38).

Kata yadd (tangan) pada ayat di atas belum jelas maknanya atau batasan tangan yang dimaksud. Demikian juga kata al-qath’u (memotong) juga belum jelas pengertiannya, sebab bisa berarti memutuskan (memotong) dan bisa juga berarti melukai. Dalam ayat tersebut juga tidak dijelaskan tentang ukuran dan batas materi yang dicurinya. Terkait dengan hal itu, terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang hal tersebut.

Dijelaskan dalam sebuah hadis bahwa yang dimaksud dengan yadd (tangan) pada ayat tersebut adalah tangan kanan dengan batasan  potong tangan tersebut hanya sampai pergelangan tangan, tidak sampai pada sikut atau bahkan bahunya. Rasul bersabda:

[beãgJZioir9}SË^Y\<äBæ-ü

“Rasulullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.”

Dalam riwayat lain juga dijelaskan tentang ukuran barang yang dicuri sehingga seorang pencuri harus dijatuhi hukuman potong tangan. Hal ini sebagaimana hadis Nabi:

Á<än}8Sæ<ð\<äB9}SË^%dä] ÙéçnoQÖFyäQoQ

 Ä|<ä6çeãÅ

“Dari ‘Aisyah dari Nabi saw bersabda, “"tangan pencuri dipotong jika curian senilai seperempat dinar." (HR. al-Bukhari no. hadis: 6292).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa yang wajib dikenai hukuman potong tangan adalah pencuri yang mencuri barang senilai seperempat dinar atau lebih.

 

4.  Bayān Takhshῑṣ

Bayān takhṣῑṣ adalah penjelasan Nabi saw dengan cara membatasi atau mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (‘ām), sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu yang mendapat perkecualian. Sebagai misal, hadis Nabi tentang masalah waris di kalangan para nabi:

ÄkfBiÅ ÁÖ]9Iräna=%äi(<qmäiÙêãdqA<dä]

“Rasulullah saw. pernah bersabda: "Kami (para nabi) tidak mewarisi sesuatu pun, dan yang kami tinggalkan hanya berupa sedekah."” (HR. Muslim no. hadis: 3302).

Hadis tersebut merupakan pengecualian dari keumuman ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang disyariatkannya waris bagi umat Islam. Firman Allah swt:

Ù G~*mvã Ð1 g*i  =a;fe ka8vpã ð  êã kb~Iq}

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’/4: 11)

Allah swt mensyariatkan kepada umat Islam agar membagi warisan kepada ahli waris, di mana anak laki-laki mendapatkan satu bagian dan anak perempuan separuhnya. Syariat waris itu tidak berlaku khusus pada para nabi, sehingga keumuman ayat tersebut dikhususkan (di-takhṣiṣ) oleh hadis di atas. Dengan kata lain, secara umum, mewariskan harta peninggalan wajib kecuali bagi para nabi.

5.  Bayān Tasyri’

Bayān al-tasyri’ adalah penjelasan hadis yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan syar’i yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an. Menurut Abbas Muthawali Hamadah bayān al-tasyri’ disebut dengan bayān zāid ‘alā al-Kitāb al-Karῑm,  yaitu penjelasan sunnah/hadis yang merupakan tambahan terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis yang berfungsi sebagai bayān al-tasyri’ ini sangat banyak jumlahnya. Di antaranya adalah hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut, sabda Nabi saw:

äQäI@än2QläNi<oi=ËZeãÕäa>L=YÙêãdqA<lü=jQoæãoQ

 o~jfBjeãoiû*müpü=a:9çQpü=1ga2Q=~REoiäQäIpü=j%oi

ÄkfBiÅ

“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mewajibkan zakat Fithrah di bulan Ramadlan atas setiap orang muslim, baik dia itu merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan, yaitu satu sha' kurma atau satu sha' gandum.” (HR. Muslim no. hadis: 1635)

Menurut sebagian ulama bahwa zakat fitrah itu ditetapkan oleh sunnah/hadis sebagai tambahan atas Al-Qur’an. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa zakat itu penjabaran dari Al-Qur’an. Mereka mengambil dari hadis tersebut dalil yang menjadi rincian dari Al-Qur’an, karena Rasulullah tidak mewajibkan zakat kecuali kepada orang Islam. Dengan demikian sesuai dengan Al-Qur’an, karena zakat itu sebagai pembersih (mensucikan), sementara kesucian hanya untuk orang Islam. Allah swt berfirman:

  ÄØ×Ú áàÃÖæq&eãÅ ÁÁÁ  ätæ kt~a?% p ks=tË% Ö]9I kteãqiã oi ;5

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. At-Taubah/9: 103)

Sunnah/hadis Rasul saw sebagai bayan al-tasyri’ ini wajib untuk ditaati dan diamalkan berdasarkan perintah Allah swt dalam Al-Qur’an sebagaimana wajibnya mentaati dan mengamalkan hadis-hadis yang lainnya.

6.  Bayan Nasakh

Secara etimologi, nasakh memiliki beberapa arti, di antaranya; menghapus dan menghilangkan, mengganti dan menukar, memalingkan dan merubah, menukilkan dan memindahkan sesuatu. Sedangkan dalam terminologi studi hadis, bayān nasakh adalah penjelasan hadis yang menghapus ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis yang datang setelah Al-Qur’an menghapus ketentuan-ketentuan Al-Qur’an.

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya hadis menasakh Al-Qur’an. Ulama yang membolehkanpun juga berbeda pendapat tentang kategori hadis yang boleh menasakh Al-Qur’an. Para ulama mengemukakan contoh hadis:

(<ãqeÖ~IpwY

“maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud no. hadis: 2486)

Hadis tersebut me-nasakh ketentuan dalam QS. Al-Baqarah/2 ayat 180:

o}9eãqfeÖ~IqeøÛã=~5!=%lã$qjeãka91ã=N1ã:ãkb~fQè&a

 ÚAo~^&jeã2Qä^1ÙXp=Rjeäæo~æ=]vãp

“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah/2: 180)

Menurut para ulama yang menerima adanya nasakh hadis terhadap Al-Qur’an, hadis di atas menasakh kewajiban berwasiat kepada ahli waris, yang dalam ayat di atas dinyatakan wajib. Dengan demikian, seseorang yang akan meninggal dunia tidak wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli warisnya, karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut.

Siswa-siswi di kelas dibagi menjadi beberalompok! Setiap kelompok membuat makalah mengenai   salah satu fungsi hadis, kemudian dipresentasikan di depan kelas. Pembagian judul  ditentukan oleh guru mata pelajaran.

Seluruh imam mazhab sepakat menggunakan hadis sebagai dasar hukum dalam memutuskan persoalan yang terjadi dikalangan umat islam. Bahkan mereka mengiqrarkan diri, jika pendapatnya berlawanan dengan hadis, maka yang harus menjadi pegangan adalah hadis.

Hadis sebagai sumber hukum kedua, setelah al-Qur’an, juga berfungsi sebagai pengakuan (penegasan kembali) hokum yang ditegaskan al-Qur’an, sebagai penjelas, pembatasan, pengkhususan, tambahan penjelasan dan sebagai penghapus, walaupun yang disebutkan terakhir ini masing kontroversi.

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar!

  1. Jelaskan alasan  teologis akan kehujjahan sunnah !
  2. Sebutkan fungsi hadis terhadap al-Qur’an
  3. Apa perbedaan antara Bayān at-Taqyῑd dengan Bayān at-Takhṣῑṣ
  4. Jelaskan alasan sekelompok orang yang tidak percaya kepada hasis
  5. Tulis ayat al-Qur’an yang menjelaskan kedudukan hadis.

Tugas Pribadi

Fungsi Hadis  

Contoh

Bayan Taqrir

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTMEQmuiaSJkTMzMOvgbqXHSYkHB2yWUQtoEOsLEAztYYX870spBQ

http://www.merdeka.com

 

Mengenal kitab-kitab hadis bagi umat Islam khususnya para calon sarjana muslim adalah suatu keharusan.  Karena dengan diketahuinya kitab hadis tersebut, baik mulai dari pengarangnya, sistematika penulisannya atau yang lain yang berhubungan  dengan masalah studi hadis akan memudahkan proses pencarian hadis langsung dari sumbernya dengan melakukan penelitian ulang tentang kualitas hadis sehingga tidak ragu-ragu untuk berhujjah menggunakan hadis. Hadis atau sunnah, baik secara struktural ataupun fungsinya telah disepakati oleh para muslimin dari berbagai aliran Islam sebagai sumber ajaran agama setelah Al-Quran karena dengan adanya hadis itulah ajaran Islam semakin menjadi jelas.

Kompetensi Inti (KI)

  1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
  2. Menghayati dan mengamalkan  perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai) santun,  responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
  3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
  4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar (KD)

  1. Meyakini kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an
  1. Mengenal macam-macam kitab hadis mu’tabarah.
  2. Menganalisis kelompok  kitab hadis.
  1. Menunjukkan karakteristik jenis-jenis kitab hadis yang muktabarah.
  2. Mendemonstrasikan kegunaan kitab hadis dalam kehidupan sehari-hari.

Indikator Pembelajaran

Peserta didik mampu :

  1. Menggunakan hadis sebagai sumber hukum islam
  2.   menjelaskan pengertian mu’tabarah
  3.   mengidentifikasi kitab hadis mu’tabarah
  4.   menunjukkan karakteristik jenis-jenis kitab hadis yang muktabarak.
  5.   mendemonstrasi kan kegunaan kitab hadis dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik dapat :

  1. mendemonstrasikan kitab-kitab hadis dalam kehidupan sehari-hari
  2.  menjelaskan pengertian kitab  hadis mu’tabar
  3.  menyebutkan kitab-kitab hadis mu’tabar  
  4.  menyebutkan karakteristik masing-masing kitab hadis mu’tabar

5.   meneladani ulama hadis dalam kehidupan sehari-hari

Peta Konsep

Kitab Shahih al-Bukhari

Shahih Muslim

Kitab Hadis Mu’tabar

Sunan Abu Dawud

Sunan an-Nasa’i

Jami at-Tirmizi

Sunan ibn Majah

Kutub at-Tis’ah

 

Kata Kunci

MAKSUD

ISTILAH

MAKSUD

ISTILAH

  Rawi yang melakukan kebohongan atau mengada-ada

 مدلس

Kitab-kitab hadis yang dianggap bisa dipakai pedoman

 المعتبرة

  Rawi yang tercela dan lemah

 مجروح

  Mencampur adukkan antara yang hak dan yang batil

 مختلط

 Ringkasan dari kitab induk

 مختصر

 Tingkatan penilaian para rawi

 طبقات الرواة

 Pernjelasan dari kitab induk (kebalikan مختصر)

 الشرح

 Cacat baik dalam matau atau sanad

 علة

A. Kitab Ṣahῑh al-Bukhāri

Kitab “Ṣahῑh al-Bukhāri” judul lengkapnya adalah Al-Jāmi al-Musnad al-Mukhtaṣar min Umūr Rasulillāh wa Sunanih wa Ayyamih.” Kitab ini disusun selama enam belas tahun, dimulai saat Imam al-Bukhari berada di Masjid al-Haram, Mekah, dan diselesaikan di Masjid Nabawi Madinah. Menurut Ibnu Shalah dan al-Nawawi kitab ini berisi 7.275 hadis, dikarenakan banyak yang diulang dan jika tidak diulang, jumlah hadis yang ada di dalamnya sebanyak 4.000 buah hadis. Jumlah hadis sebanyak itu disusun oleh Imam al-Bukhari dan gurunya Syaikh Ishaq yang merupakan hasil saringan dari satu juta hadis yang diriwayatkan oleh 80.000 orang rawi.

Imam al-Bukhari terkenal memiliki daya hafal yang sangat tinggi. Semua hadis yang beliau koleksi dari berbagai kota dan dari puluhan ribu rawi tersebut mampu beliau hafal. Namun tidak semua hadis yang beliau hafal kemudian diriwayatkan dan dituangkan dalam kitabnya, melainkan diseleksi terlebih dahulu secara ketat dengan menetapkan syarat-syarat. Beliau sangat cermat dan teliti. Selain itu, setiap kali hendak menulis hadis dalam kitabnya, beliau mandi dan shalat istikharah dua rekaat terlebih dahulu untuk meyakinkan bahwa hadis yang akan ditulis benar-benar shahih.

Kitab shahih al-Bukhari ditulis secara sistematis. Hadis-hadis di dalamnya dikelompokkan berdasarkan topik-topik yang lazim dipergunakan dalam sistematika penulisan kitab fikih. Hanya saja kitab hadis itu diawali dengan pembahasan tentang wahyu dan diakhiri dengan pembahasan tentang tauhid. Kitab ini dibagi dalam seratus bagian dan setiap bagiannya terdiri atas beberapa bab. Dalam setiap bab terhimpun hadis-hadis yang berbicara tentang topik yang sama. Hadis-hadis tersebut ditulis lengkap beserta sanadnya.

Imam al-Bukhari menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah hadis untuk dapat disebut sebagai hadis shahih. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut;

  1. Perawinya harus seorang muslim, ṣadiq (jujur), berakal sehat, tidak mudallis (berbohong), menipu dan mengada-ada, tidak mukhtaliṭ (mencampuradukkan hak dan batil), nilai-nilai utama dan nilai-nilai yang rendah, serta bergaul dengan orang-orang jahat pada satu kesempatan, dan orang-orang baik pada kesempatan lain, ‘adil, ẓabiṭ atau kuat daya ingatnya, sehat pancaindera, tidak suka ragu-ragu, dan memiliki i’tikad baik dalam meriwayatkan hadis.    
  2. Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi saw.
  3. Matannya tidak syaż (menyimpang dari ajaran agama yang benar) dan tidak ber’illat (cacat secara akli maupun hati nurani).
  4. Perawi hadis harus mu’aṣirah (satu masa), liqa (bertemu langsung/bertatap muka), dan ṡubut sima’ihi (mendengar langsung secara pasti dari gurunya).

Selain itu, Imam al-Bukhari hanya berpegang kepada perawi-perawi hadis yang memiliki integritas kepribadian dan kualifikasi persyaratan yang tertinggi. Murid-murid Imam Ibnu Syihab al-Zuhri misalnya, oleh Imam al-Bukhari dibagi ke dalam lima tingkatan (ṭabaqat). Tingkatan pertama, mereka yang memiliki sifat adil, kuat hafalan, teliti, jujur, dan lama menyertai al-Zuhri, seperti Malik dan Sufyan bin Uyainah.

Tingkatan kedua, memiliki sifat yang sama dengan tingkatan pertama hanya saja tidak lama menyertai al-Zuhri, seperti al-Auza’i, dan al-Laits bin Sa’ad. Tingkatan ketiga, mereka yang memiliki kualifikasi di bawah tingkatan kedua, seperti Ja’far bin Barqan dan Zam’ah bin Shalih. Tingkatan yang keempat dan kelima adalah mereka yang tercela atau majruh dan lemah. Dalam meriwayatkan hadis Imam al-Bukhari hanya memilih perawi tingkatan pertama dan hanya sedikit dari tingkatan kedua. Beliau sama sekali tidak meriwayatkan hadis dari para perawi yang berada pada tingkatan ketiga, keempat, dan kelima.

Kitab Shahih al-Bukhari ini laksana cahaya yang terang benderang, melebihi terangnya sinar matahari. Kaum muslimin, bahkan para ulama menilai kitab ini sebagai kitab yang luar biasa. Imam Muslim misalnya, beliau banyak mengambil faedah dari karya agung ini. Beliau mengatakan bahwa karya ini tidak ada tandingannya dalam ilmu hadis. Imam al-Nawawi mengatakan dalam muqaddimah Syarah Shahih Muslim, “Para ulama sepakat bahwa buku yang paling shahih setelah Al Qur’an adalah dua kitab shahih, Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim.”

Cukuplah pengakuan para imam ahli hadis ini menunjukkan keagungan kitab ini. Abu Ja’far Mahmud bin Amr al-Uqaili rahimahullah mengisahkan ketika al-Bukhari menulis kitab shahih ini, beliau membacakannya kepada Imam Ahmad, Imam Yahya bin Main, Imam Ali bin Al Madini, juga selain mereka. Maka mereka mempersaksikan tentang keshahihan hadis-hadis yang ada.

Kitab Shahih al-Bukhari selain sangat berguna bagi umat Islam, ia mampu menginspirasi para ulama yang lain untuk berkarya. Sebagai bukti, banyak ulama-ulama ahli hadis yang juga menyusun kitab sejenis dengannya. Selain itu, ada pula ulama yang menyusun kitab-kitab syarah, sebagai pemapar dan penjelas, dari kitab Shahih al-Bukhari. Adapun kitab-kitab yang men-syarah (memaparkan dan menjelaskan) Shahih al-Bukhari ada 82 buah, antara lain:

Yang merupakan induk dari kitab syarah dari Shahih al-Bukhari adalah Fathul Bari karangan al-Asqalani. Sedangkan sebaik-baiknya ringkasan (mukhtaṣar) dari Shahih al-Bukhari adalah At-Tajrῑdu al-Ṣahῑh yang disusun oleh Husain ibn al-Mubarak.

B. Kitab Ṣahῑh Muslim

Kitab ini judul lengkapnya adalah “al-Musnad al-Ṣahῑh al-Mukhtaṣar min al-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ‘an Rasulillah”. Secara singkat terjemahan dari judul kitab ini adalah “Kitab Hadis Bersanad Shahih yang Ringkas Diriwayatkan oleh Orang-orang Adil dari Orang-orang Adil dari Rasulullah.” Imam Muslim menghabiskan waktu kurang lebih 15 tahun untuk menyusun kitab ini. Sebelum memutuskan untuk menuliskan sebuah hadis dalam kitab ini, Imam Muslim terlebih dahulu meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadis yang akan diriwayatkan, dan membandingkan riwayat yang satu dengan riwayat yang lain.

Tentang ketelitian Imam Muslim, dapat diketahui dari ungkapan beliau sendiri, “Tidaklah aku mencantumkan sebuah hadis dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan. Tidak pula aku menggugurkan suatu hadis, melainkan dengan alasan pula.” Demikianlah. Sebuah kitab yang agung, luas dan dalam kandungan maknanya. Seolah laut lepas tak bertepi. Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan kebahagiaan beliau, “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad (shahih) ini.”

Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, “Shahih Muslim” menghimpun hadis shahih sebanyak 3.030 buah hadis tanpa pengulangan, dan menjadi 10.000 buah hadis dengan pengulangan. Sementara menurut Ahmad bin Salamah dan Ibnu Shalah “Shahih Muslim” berisi 4.000 buah hadis tanpa pengulangan, dan 12.000 buah hadis dengan pengulangan. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai penghitungan mengenai jumlah hadis pada kitab tersebut, namun yang jelas, hadis yang ditulis oleh Imam Muslim dalam Shahihnya merupakan hasil seleksi yang ketat dari 300.000 hadis yang berhasil dikumpulkannya.

Kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, yang berbeda dengan metode Imam al-Bukhari. Imam Muslim tidak mencantumkan judul-judul dalam setiap pokok bahasan untuk menegaskan pelajaran yang terdapat dalam hadis yang beliau sebutkan. tetapi, beliau lebih memilih untuk menyebutkan tambahan-tambahan lafaz pada hadis pendukungnya. Sehingga, dalam menuliskan satu hadis pokok, beliau tambahkan hadis-hadis penguat lain untuk menjelaskan kandungan ilmu dari hadis tersebut. Sederhananya, beliau ingin menjelaskan hadis dengam hadis yang lain.

Sedangkan Imam al-Bukhari, beliau menyebutkan judul bab untuk mengungkap kandungan hadis, tanpa menyebutkan hadis penguatnya. Imam al-Bukhari memotong hadis sesuai dengan tema bab. Sementara Imam Muslim menuliskan satu hadis secara utuh. Sehingga, kita akan sering menemui pengulangan satu hadis dalam Shahih al-Bukhari. Walaupun dua kitab ini berbeda dalam sistematika penyusunannya, namun Imam Muslim banyak terpengaruhi oleh metode penulisan gurunya, Imam Al Bukhari.

Para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih al-Bukhari. Kebanyakan ahli hadis berpendapat bahwa Shahih al-Bukhari lebih unggul. Sedangkan sejumlah ulama lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan perbedaan tipis antara dua kitab shahih ini. Dalam sistematika penulisan, Imam Muslim lebih unggul. Namun dari segi ketatnya syarat keshahihan, Shahih al-Bukhari lebih utama. Yang jelas disepakati, bahwa kedua kitab hadis shahih ini sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah, fikih, dan semua bidang ilmu dalam Islam.

Kitab yang memberikan syarah terhadap Shahih Muslim ada 15 buah, antara lain:

C. Kitab Sunan Abū Dūwūd

Kitab “Sunan Abi Dawud”, disusun oleh Imam Abu Dawud ketika beliau di Tarsus, sebuah kota kecil di Irak, selama dua puluh tahun. Dari 500.000 buah hadis yang berhasil dikumpulkan, Imam Abu Dawud  hanya mencantumkan 4.800 buah hadis dalam kitab sunan-nya. Kitab “sunan”, berbeda dengan kitab jami’, musnad, atau yang lainnya. Kalau Jami mencakup semua tema keagamaan, sedangkan sunan hanya memuat hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah fikih saja. Sistematika penulisan hadis di dalamnya pun biasa mengikuti tema-tema yang lazim dalam susunan kitab fikih. Adapun Musnad, adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan sanad hadis mata rantai periwayatan hadis dari para sahabat Nabi saw. Biasanya kitab musnad mendahulukan hadis-hadis yang berasal dari sahabat-sahabat utama. Model kitab musnad seperti ini dapat kita jumpai semisal pada kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.

Seleksi yang dilakukan Imam Abu Dawud terhadap hadis demikian ketat sebelum dituliskan dalam kitab Sunan-nya. Hadis hasil seleksi itu oleh Imam Abu Dawud dikelompokkan ke dalam 35 “kitab” dan sekian ratus “bab”. Masing-masing “kitab” membicarakan satu tema pokok tertentu, sedangkan setiap “bab” berisi beberapa buah hadis yang menjelaskan tema pokok tersebut. 35 “kitab” yang dimaksud sebagai berikut:

1. Kitab at-Ṫaharah

2. Kitab as-Ṣalat

3. Kitab az-Zakat

4. Kitab al-Manasik Wa al-Haj

5. Kitab an-Nikah

6. Kitab at-Talaq

7. Kitab as-Ṣiyam

8. Kitab al-Jihad

9. Kitab al-Ḍahaya

10. Kiab al-Said

11. Kitab al-Waṣaya

12. Kitab al-Fara’id

13. Kitab al-Kharaj wa al-Fai Wa al-Imarah

14. Kitab al-Janaiz

15. Kitab al-Aiman Wa an-Nuzur

16. Kitab al-Buyu’

17. Kitab al-Ijārah

18. Kitab al-Aqdiyah

19. Kitab al-‘Ilm

20. Kitab al-Asyribah

21. Kitab al-At’imah

22. Kitab at-Tibb

23. Kitab al-Kahanah Wa at-Tatayyur

24. Kitab al-Huruf Wa al-Qirāt

25. Kitab al-Hammam

26. Kitab al-Libās

27. Kitab at-Tarajjul

28. Kitab al-Khatam

29. Kitab al-Fitan Wa al-Malahim

30. Kitab al-Mahdi

31. Kitab al-Malahim

32. Kitab al-Hudud

33. Kitab dl-Diyar

34. Kitab as-Sunnah

35. Kitab al-Adab

Di dalam “Kitab Sunan”, Imam Abu Dawud tidak hanya memuat hadis shahih, tetapi juga hadis-hadis hasan, dan hadis-hadis dha’if yang tidak terlalu lemah. Abu Dawudpun mencantumkan hadis-hadis yang tidak disepakati oleh para ulama hadis untuk ditinggalkan. Adapun hadis-hadis yang sangat lemah, tetapi dengan penjelasan sebab-sebab kelemahannya. Hadis-hadis jenis ini, menurut beliau lebih baik dari pada pendapat orang semata-mata. Kitab Sunan Abi Dawud ini diakui oleh mayoritas dunia muslim sebagai salah satu kitab hadis yang paling autentik. Beberapa kitab Syarah  dari Sunan Abi Dawud antara lain:

D. Kitab Sunan an-Nasa’i 

Kitab Sunan al-Nasa’i termasuk salah satu di antara “al-Kutub al-Shihah al-Sittah”. Sunan al-Nasa’i terbagi dua, Sunan al-Kubra dan Sunan al-Ṣugra. Sunan al-Ṣugra disebut Sunan al-Mujtaba` (Sunan Pilihan), karena kualitas hadis-hadis yang dimuat dalam sunan ini hanya hadis-hadis pilihan. Penulisan kitab Sunan al-Sughra ini dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika Imam al-Nasa’i memperkenalkan sebuah kitab hadis kepada seorang penguasa di kota Ramalah, Palestina, penguasa itu bertanya kepada al-Nasa’i apakah di dalamnya hanya memuat hadis-hadis shahih. Imam al-Nasa’i menjawab bahwa di dalam kitabnya tersebut dimuat hadis shahih, hasan dan yang mendekati keduanya. Kemudian penguasa itu menyuruh untuk menuliskan hadis-hadis yang shahih saja dalam kitabnya. Kemudian Imam al-Nasa’i meneliti kembali hadis-hadis yang ada pada Kitab Sunan al-Kubra, hasilnya, kitab tersebut menjadi ramping dan dinamakan Sunan al-Sughra. Karena isinya pilihan kemudian dinamai pula “Sunan al-Mujtaba.”

Kitab Sunan yang kini beredar di kalangan umat Islam adalah kitab Sunan al-Sughra yang diriwayatkan oleh Imam Abdul Karim al-Nasa’i, putra Imam al-Nasa’i, seorang ahli hadis yang meninggal pada tahun 344 H. Jumlah hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Sughra menurut Abu Zahrah sebanyak 5761 buah hadis. Sedangkan sistematika susunannya mengikuti lazimnya sistematika kitab fikih. Pada jilid satu Sunan al-Sughra ini dimulai dengan “Kitāb al-Ṭaharah”, yang membahas tentang tata cara bersuci dan ditutup dengan “Kitāb al-Mawāqῑt” yang menguraikan tentang waktu shalat.

Kitab ini meskipun menurut pengakuan penulisnya berisi hadis-hadis pilihan dan shahih semuanya, namun menurut para ahli merupakan kitab sunan setelah Ṣahihain, yang paling sedikit memuat hadis dhaif dan para rawi yang “majrūh.” Hal ini menurut Muhammad Abu Syuhbah, merupakan bukti ketelitian dan kecermatan Imam al-Nasa’i dalam menyusun kitab hadis tersebut. Oleh karenanya para ulama menempatkan “Al-Mujtaba” berada satu tingkat setelah Kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Subhi al-Shalih mengemukakan bahwa kitab hadis yang termasuk Ṭabaqāt al-Tasniyah, berada pada peringkat kedua, adalah Jāmi’ al-Tirmiżi, Sunan Abῑ Dāwūd, Sunan Ahmad bin Hanbal, dan Mujtaba` al-Nasā’i. Semua kitab tersebut tidak sampai pada tingkat “Shahihain’ atau Muwaṭṭa’ Imam Malik. Namun satu hal yang pasti, pengarangnya tidak bersikap “tasahul” (bersikap longgar dalam meriwayatkan hadis).

Kitab Sunan al-Nasa’i adalah kitab yang kurang mendapat syarah dibandingkan kitab sunan yang lain. Di antara yang menulis syarah kitab Sunan al-Nasa’i adalah Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab Zahrur Rabbi ‘ala al-Mujtaba`.

 

E. Kitab Jāmi’/Sunan at-Tirmizi

Salah satu karya besar Imam al-Tirmidzi adalah Sunan al-Tirmidzi. Kitab hadis karya beliau ini termasuk unik, ada yang menyebutnya al-Jami’ lengkapnya al-Jami’ al-Tirmidzi. Kedua sebutan ini sah karena masing-masing memiliki argumen yang kuat. Disebut “al-Jami” karena temanya tidak hanya persoalan fikih, melainkan mencakup persoalan-persoalan yang memenuhi kriteria kitab al-Jami’. Ada delapan tema yang minimal harus tercantum dalam sebuah kitab “al-Jami’. Delapan tema itu adalah; akidah; huku-hukum fikih; pemerdekaan budak; etika makan dan minum; tafsir Al-Qur’an, sejarah dan biografi tokoh; bepergian (safar); kejadian-kejadian penting dan; pujian terhadap perjalanan hidup seseorang (manāqῑb). Selain itu, sebuah kitab hadis bisa saja dinamkan al-Jami’, secara harfiah berarti menghimpun, apabila mencantumkan hadis-hadis yang telah termuat di dalam kitab-kitab yang sudah ada. Kitab al-Jami karya al-Tirmidzi di dalamnya membicarakab delapan tema yang ada pada sebuah kitab jami’.

Sedangkan yang menamai kitab karya al-Tirmidzi ini dengan Sunan, karena kitab tersebut menghimpun hadis-hadis Nabi berdasarkan bab-bab fikih. Kualitas hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam kitabnya bervariasi  dari yang shahih, hasan, hingga dhaif, gharib dan mu’allal. Sungguhpun demikian, Sunan al-Tirmidzi memiliki keistimewaan yang mengagumkan ketekunan penyusunannya di dalam menjelaskan letak cacat atau kekurangan hadis-hadis hasil penelitiannya yang masuk ke dalam kategori dha’if. Hadis-hadis dhaif yang terdapat dalam kitab ini pada umumnya hanya menyangkut fadail al-amal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan), hadis semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadis-hadis tentang halal dan haram.

Secara keseluruhan kitab Sunan at-Tirmizi terdiri dari 5 juz, 2.376 bab dan 3.956 hadis. Adapun kandungan isi Sunan at-Tirmizi adalah:

  1. Kitab at-Taharah
  2. Kitab as-Salat
  3. Kitab az-Zakat
  4. Kitab as-Saum
  5. Kitab al-Manasik
  6. Kitab al-‘Adahi
  7. Kitab as-Saidi
  8. Kitab al-At’amah
  9. Kitab al-Asyrabah
  10. Kitab ar-Ru’ya
  11. Kitab an-Nikah
  12. Kitab at-Talaq
  13. Kitab al-Hudud
  14. Kitab an-Nuzur wa al-aiman
  15. Kitab ad-Diyat
  16. Kitab al-Jihad
  17. Kitab as-Sair
  18. Kitab al-Buyu’
  19. Kitab al-Isti’zan
  20. Kitab ar-Raqaq
  21. Kitab al-Faraid
  22. Kitab al-Wasaya
  23. Kitab al-Fadail al-Qur’an.

Kitab Sunan al-Tirmidzi juga menginspirasi para ulama setelahnya untuk berkarya. Ada beberapa kitab “syarah” dari Sunan al-Tirmidzi di antaranya:

1. Abu Bakar Muhammad bin Abdillah al-Isybili al-‘Arabi (w. 543 H), yang mengarang kitab ‘Aridat al Ahwazi ‘alā’ at-Tirmiżi.

2. Ibn Rajah al-Hambali (w. 795 H) kitab syarahnya berhubungan dengan pembahasan ‘ilal yang ada dalam Sunan at Tirmizi.

3. Imam as-Suyuti Asy-Syafi’i(w. 911 H) yang menulis kitab Qut āl Mugtazi ‘ala Jami’ at-Tirmizi.

F. Kitab Sunan Ibnu Mājah

Salah satu dari karya terbesar Imam Ibnu Majah adalah Sunan Ibnu Mājah. Nama asal Sunan Ibnu Majah ialah al-Sunan. Nama ini telah digunakan sendiri oleh Ibnu Majah, tetapi kemudian beliau  memandang bahwa  al-Sunan itu terlalu umum kerana terdapat juga kitab-kitab hadis lain yang dinamakan al-Sunan. Maka dengan itu, dihubungkan nama kitab kepada penyusunnya dan dinamakan Sunan Ibnu Majah. Kitab yang terdiri dari empat jilid ini adalah salah satu karya Ibnu Majah yang masih beredar sampai sekarang. Beliau menyusun sunan menjadi beberapa kitab dan bab. Kitab ini disusun secara baik dan indah menurut sistematika fiqih. Beliau memulai sunan ini dengan bab mengikuti sunnah Rasulullah saw. Dalam bab ini dia membahas hadis yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban untuk mengikuti dan mengamalkannya.

Sebagian ulama sudah sepakat bahwa kitab hadis yang pokok ada lima (Kutub al-Khamsah), yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan at-Tirmidzi. Mereka tidak memasukkan Sunan Ibnu Majah mengingat derajat kitab ini lebih rendah dari lima kitab tersebut. Tetapi sebagian ulama yang lain menetapkan enam kitab hadis pokok, dengan menambah Sunan Ibnu Majah sehingga terkenal dengan sebutan Kutub al-Sittah (enam kitab hadis). Ulama pertama yang menjadikan kitab Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafidz Abdul Fadli Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) dalam kitabnya Aṭraf al-Kutub al-Sittah dan dalam risalahnya Syurūt al- A’immat as Sittah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh al-Hafiz Abdul Ghani bin al-Wahid al-Maqdisi (w. 600 H) dalam kitabnya al-Ikmāl fῑ Asma’ ar-Rijāl. Pendapat mereka inilah yang diikuti oleh sebagian besar ulama. 

Mereka memasukkan Sunan Ibnu Mājah sebagai kitab keenam tetapi tidak memasukkan al-Muwaṭṭa’ Imam Malik. Padahal kitab ini lebih shahih daripada kitab milik Ibnu Majah. Hal ini dikarenakan di dalam Sunan Ibnu Majah banyak terdapat hadis yang tidak tercantum dalam Kutub al-Khamsah, sedangkan hadis yang terdapat di dalam al-Muwatta’ seluruhnya sudah termaktub dalam Kutub al-Khamsah. Sebenarnya derajat al-Muwatta’ lebih tinggi dari Sunan Ibnu Majah.

Sunan Ibnu Majah merupakan karya terbesar beliau. Dalam kitabnya itu, Ibnu Majah telah meriwayatkan sebanyak 4000 buah hadis seperti yang diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras lῑ Alfaz Al-Qur’ān (Indeks Al-Qur’an), jumlah hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah sebanyak 4.241 buah hadis. Sebanyak 3002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan hadis yang lain. Ia bukan hanya melingkungi hukum Islam, malah turut membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Sunan Ibnu Majah berisi hadis shahih, hasan dan dhaif bahkan hadis munkar dan maudlu, meskipun jumlahnya kecil.

Seperti sunan yang lain, Sunan Ibnu Majah juga disyarahkan oleh beberapa orang ulama’ yang terkenal, di antaranya:

  1. Jalaluddin al-Suyuty (w. 911H), syarahnya dinamakan Miṣbah Al-Zujajah `Alā Sunan Ibnu Mājah.
  2. Al-Syaikh Sirajuddin Umar bin Ali al-Mulqan al-Syafii (w. 804H), syarahnya dinamakan Ma Tamasa Ilaihi al-Hajat `Ala Sunan Ibnu Majah.
  3. Abi al-Hassan bin Abdul Hadi al-Sindi (w.  1136 H), syarahnya Kifayat al-hajat Fῑ Syarh Ibnu Mājah.
  4.  Kamaluddin Muhammad bin Musa (w. 808 H), kitabnya dinamakan al-Dibājah. 
  5. Abdul Gani al-Dihlawi (w. 128 H), syarahnya dinamakan Injāh al-Hajat. 

Siswa-siswi di kelas dibagi menjadi enam (sesuai dengan jumlah kitab yang dibahas) kelompok! Setiap kelompok membuat makalah tentang satu kitab yang mu’tabar, kemudian dipresentasikan di depan kelas. Pembagian nama kitab dengan cara diundi.

  1. Macam-macam jenis kitab hadis diantaranya: al-Jami’u, as-Sunan, al-Mustadrak, al-mustakhraj, dan al-mu’jam.
  2. Kitab al-Jami’u adalah: kitab hadis yang memuat bab dari berbagai dimensi keagamaan, seperti aqidah, hukum, akhlak, sejarah, manaqib, bahkan juga gambaran tentang akhir zaman.
  3. Al-Sunan yaitu kitab yang hanya menyebutkan hadis-hadis dari Nabi saja yang terdiri dari bab-bab fiqhiyah, dan tidak menyebutkan khabar, dan athar.
  4. Mustadrak, yaitu kitab hadis yang ditulis dimana kriteria penerimaan hadisnya berdasarkan kriteria imam hadis lainnya namun Imam hadis lainnya tersebut tidak menuliskan matan hadisnya dalam kitabnya.
  5. Al-Mustakhraj adalah kitab yang berisi hadis-hadis yang urutannya disusun sesuai dengan urutan rowi yang paling atas (thabaqat sah abat).
  6. Kitab al-mu’jam adalah Yaitu “kitab yang didalamnya menyebutkan hadis-hadis yang urutannya dususun sesuai urutan nama sahabat atau shaikh atau kota”.

 Kisah Keteladanan

Biogrsafi Singkat Imam Muslim

Nama Lengkapnya adalah Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi (Bani Qusyair adalah sebuah kabilah Arab yang cukup dikenal) an-Naisaburi. Seorang imam besar dan penghapal hadits yang ternama. Ia lahir di Naisabur pada tahun 204 H. Para ulama sepakat atas keimamannya dalam hadits dan kedalaman pengetahuan nya tentang periwayatan hadits

Ia mempelajari hadits sejak kecil dan bepergian untuk mencarinya keberbagai kota besar. Di Khurasan ia mendenganr hadits dari Yahya bin Yahya, Ishaq bin Rahawaih dan lain lain. Di Ray ia mendengar dari Muhammad bin Mahran, Abu Ghassan dan lainnya, Di Hijaz ia mendengar hadits dari Sa’id bin Manshur, Abu Mash’ab dan lainnya, Di Iraq ia mendengar dari Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Muslimah dan lainnya, Di Mesir ia mendengar hadits dari Amr bin Sawad, Harmalah bin Yahyah dan beberapa lainnya.

Lantaran hubungan mempelajari hadits al-Bukhary, ia meninggalkan guru gurunya seperti: Muhammad ibn Yahya adz Dzuhaly.

Adapun yang meriwayatkan darinya diantaranya: At Tirmidzi, Abu Hatim, ar Razi, Ahmad bin Salamah, Musa bin Harun, Yahya bin Sha’id, Muhammad bin Mukhallad, Abu Awanah Ya’kub bin Ishaq al Isfira’ini, Muhammad bin Abdul Wahab al-Farra’, Ali bin Husain bin Muhammad bin Sufyan, yang terakhir ini adalah perawi Shahih Muslim.

Banyak sekali ulama hadits memujinya, Ahmad bin Salama berkata:” Abu Zur’ah dan Abu Hatim mendahulukan Muslim atas orang lain dalam bidang mengetahui hadits shahih.”.

Imam Muslim banyak menulis kitab diantaranya:kitab Shahihnya, kitab Al-Ilal, kitab Auham al-Muhadditsin, kitab Man Laisa lahu illa Rawin Wahid, kitab Thabaqat at-Tabi’in, kitab Al Mukhadlramin, kitab Al-Musnad al-Kabir ‘ala Asma’ ar-Rijal dan kitab Al-Jami’ al-Kabir ‘alal abwab.

Bersama Shahih Bukhari, Shahih Muslim merupakan kitab paling shahih sesudah Al-Quran. Umat menyebut kedua kitab shahih tersebut dengan baik. Namun kebanyakan berpendapat bahwa diantara kedua kitabnya, kitab Al-Bukhari lebih Shahih.

Imam Muslim sangat bangga dengan kitab shahihnya, mengingat jerih payah yang ia curahkan ketika mengumpulkannya. Ia meyusunnya dari 300.000 hadits yang ia dengar, oleh karena itu ia berkata:” Andaikata para ahli hadits selama 200 tahun menulis hadits, maka porosnya adalah al-Musnad ini (yakni kitab shahihnya)”. Ia wafat di Naisabur pada tahun 271 H dalam usia 55 tahun.

Disalin dari Biografi Imam Muslim dalam Tadzkirat al-Huffadh 2/150, Tahdzib al-Asma’ An-Nawawi 10/126.

 

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar!

  1. Sebutkan secara berurutan kutub as-Sittah!
  2. Jelaskan alasan mengapa kitab Sahih Bukhari lebih unggul daripada Sahih Muslim
  3. Sebutkan syarat-syarat hadis sahaih menurut al-Bukhari
  4. Sebutkan tiga kitab yang menjadi syarh sahih muslim
  5. Sebutkan tiga kitab yang menjadi syarh sahih Bukhari

Tugas Perorangan

Naman Kitab

Jumlah Hadis

Syarah  

 Shahih al-Bukhari

Shahih Muslim

Sunan Abu Dawud

Sunan an-Nasa’i

Jami’ at-Tirmizi

Sunan Ibn Majah

PERLU DIINGAT

Sejaran mempunya nilai makna yang tinggi

Karena manusia itu adalah bagia dari sejarah

Maka kita wajib untul mempelajari dan menyakininya

Agar kita selalu menjadi bagian dari sejarah itu.

 

Wikipedia.org

Pengkodifikasian hadis dalam sejarahnya mengalami perkembangan. Setelah kebijakan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz secara resmi menginstruksikan pengkodifikasian hadis, penyusunan kitab-kitab hadis oleh para ulama hadis berkembang secara pesat. Para ulama hadis mulai mengumpulkan kemudian menyeleksi dan akhirnya berhasil menyusun berbagai jenis kitab hadis. Bahkan mereka tidak hanya berhenti di sini, masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis.  

 

Kompetensi Inti (KI)

  1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
  2. Menghayati dan mengamalkan  perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai) santun,  responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
  3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
  4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar (KD)

  1. Meyakini keaslian hadis yang telah dibenarkan oleh para ulama hadis dahulu dan menjadikannya sebagai hujjan dalan menentukan hukum syar’i sehari-hari
  1. Menganalisis pengelompokkan jenis kitab hadis.
  1. Mendemonstrasikan kegunaan kitab hadis dalam kehidupan sehari-hari.

Indikator Pembelajaran

Peserta didik mampu :

  1. berfikir kritis dan menerima pendapat orang lain yang berbeda
  2.  menjelaskan pengelompokkan kitab hadis
  3.  mengidentifikasi  kelompok kitab hadis
  4.  menyebutkan karakteristik kelompok kitab hadis  
  5. Mendemonstrasikan kitab-kitab mu’tabarah dalam kehidupan sehari-hari

 

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik dapat :

  1.  menjelaskan pengelompokkan kitab hadis
  2.  mengidentifikasi kelompok kitab hadis
  3.  menyebutkan karakteristik kelompok kitab hadis  
  4. merefleksikan kitab-kitab hadis mu’tabarah dalam kehidupan sehari-hari

Al-Jami’

Kata Kunci

MAKSUD

ISTILAH

MAKSUD

ISTILAH

Kitab himpunan   hadis- hadis yang sesuai dengan persyaratan penyusun kitab yang di takhrij

 المستدرك

 Kitab yang Menghimpun seluruh permasalahan

 الجامع

 penghimpun hadis   mengeluarkan beberapa buah hadis  dari sebuah buku hadis  

 المستخرج

 Tata cara/ metode

 الطريقة

 Kitab hadis yang menyebutkan hadis-hadis nya  didasarkan pada nama sahabat atau nama syaikhnya atau didasarkan pada nama negeri gurunya pada umumnya secara abjadi atau hija’i

 المعجم

 Kitab hadis yang menghimpunan hadis tanpa menyebutkan bab-babnya

 المصنفات

Ah, ini riwayat Abu Hurairah

 

Nah ini dia bab Thaharah

Berbagai ragam metode penulisan kitab hadis menjadi bukti betapa besar perhatian dan dedikasi para ulama saat itu. Sejak abad ke 2 sampai abad ke 4 hijriyah penulisan hadis tidak mengenal kata berhenti, bahkan abad 5 adalah masa koreksi susunan kitab-kitab hadis, sehingga pencarian hadis lebih mudah lagi.

Dibawah ini diuraikan beberapa kitab menurut ragam penulisannya dan isi kandungannya:

A.  Kitab al-Jāmi’

Kata al-Jāmi’ secara etimolgi berarti  menghimpun, mengumpulkan, dan mencakup. Boleh jadi kata al-Jāmi’ dimaksudkan kitab yang  mencakup, menghimpun atau mengumpulkan segala permasalahan. Secara terminologi diartikan:

Ö~mäj)ätmã2Qãq2Iãé&eã+}92eãåãqæüS~j-2Qgj&Eãäiqs

 7}<ä&p=~BZ&påã=FphäRËåã8ãp\ä]=phäb1öãp9yä^Reãésp

  èeä*jeãpè]änjeãpo&Zp gyäjFp=~Bp

"Pembukuan hadis  yang  mengakomodasi semua bab hadis  yang mereka sebutkan 8 masalah yaitu masalah akidah (aqā’id), hukum (Fikih), perbudakan (riqaq),  adab makan minum, tafsir,  sejarah dan riwayat hidup, sifat-sifat akhlak (syama’il), berbagai fitnah ( fitan), dan kisah-kisah (manāqῑb) .

Buku Hadis al-Jami’ adalah ragam pembukuan hadis  yang paling lengkap, karena ia mencakup segala permasalahan sebagaimana di atas, tidak hanya terfokus satu masalah saja. Segala aspek agama dan segala aspek kehidupan manusia  dimuat dalam kitab tersebut. Kelebihan kitab ini adalah sangat jelas, karena memiliki daya tampung yang sangat luas terhadap berbagai topik. Hadis dapat dicari berdasarkan tema yang melingkupinya. Misalnya jika ingin mencari hadis tentang shalat, tinggal membuka bab shalat. Contoh kitab al-Jami’ sebagai berikut :

  1. al-Jāmi` lῑ al-Imām `Abd al-Razzaq bin Hammam al-Ṣan`anῑ  karya al-Ṣan’anῑ (w. 211 H.)

ÁémäRnJhäjsoæ\ã>=9çQhäi÷eSiä.eãÅ

ÄÕ=.teã oi  ÙØØá$

  1. al-Jāmi` al-Ṣahῑh li al-Bukhārῑ  karya Imam al-Bukhari (w. 206 H.)

ÄÕ=.teãoi Ù×Ýá $ Á|<ä6çfe3~2JSiä.eãÅ

  1.   al-Jāmi` al-Ṣahῑh li Muslim karya Imam Muslim (w. 261)

ÄÕ=.teãoi ÙÝØá $ Á kfBje3~2JSiä.eãÅ

  1. Jāmi` al-Turmużi  karya al-Turmudzi (w. 279 H)

ÄÕ=.teãoi ÙÞàá $ Á  |;i=&Siä.eãÅ

Kualitas Kitab al-Jāmi’ karya  Imam al-Bukhari dan Muslim disepakati oleh para ulama shahih seluruhnya sebagaimana disebutkan pada nama kitab tersebut yang menyebutkan kata al-Ṣahῑh di dalamnya; al-Jāmi` al-Ṣahῑh li al-Bukhārῑ  dan al-Jāmi` al-Ṣahῑh li al-Bukhāri.   Menurut penulisnya seluruh hadis yang terkandung di dalamnya berkualitas  shahih seluruhnya.   Sedang kitab al-Jāmi` li al-Imām `Abd al-Razzaq bin Hammam al-Ṣan`anῑ (w. 211 H), dan  Jāmi`al-Turmużi  sekalipun disebut kitab al-Jami’, namun kualitasnya sama dengan kitab Sunan yakni ada yang shahih, hasan, dan dha`if. Dengan demikian nama  al-Jami’ tidak menunjukkan kualitas hadis yang dikandung. Ia hanya menunjukkan bahwa kitab tersebut memuat segala hadis yang  mencakup segala permasalahan sebanyak 8 masalah.

B. Kitab as-Sunan

Secara etimologi kata sunan merupakan bentuk jama’ dari kata sunnah yang diartikan al-thariqah berarti jalan atau al-sirah berarti perjalanan hidup atau sejarah. Secara terminologi sunah  adalah  segala sesuatu yang datang dari Nabi saw. baik perkataan, perbuatan dan persetujuan (taqrῑr), sama dengan hadis. Dalam sunan tidak menyebutkan hadis  mauqūf (berita  disandarkan kepada sahabat) dan maqthu’ (berita disandarkan kepada tabi’in). Dalam kitab al-Risalah al-Mustaṭrafah disebutkan bahwa kitab  sunan adalah sebagai berikut :

ÕwJp Õ<ätËpläj}öãoi Ö~t^Zeãåãqæöã2Q Öç%=jeãè&beã

ûjB} vXq]qUãlöXq]qUãoi{~E ät~YC~epäs=5ã ûeã Õäa?p

  ä*}91ûjB}p ÖnAkt1wËIãò

Adalah beberapa kitab berisikan  bab-bab seperti  fikih, misalnya bab iman, thaharah, shalat, zakat dan seterusnya dan di dalamnya tidak ada hadis  mauquf, karena hadis mawquf  tidak dinamakan sunah dalam  istilah mereka tetapi dinamakan hadis .  

Sementara yang dimaksud kitab sunan di sini adalah himpunan beberapa hadis yang didapat dari para syaikhnya dengan menggunakan teknik penghimpunan seperti sistematika kitab fikih pada umumnya. Yakni memuat bab thaharah (kesucian), shalat, zakat, puasa dan haji. Bab mu’amalat mengandung jual beli (buyu’), sewa menyewa (ijarah), gadai (rahn) dan lain-lain. Bab munakahāt dan faraiḍ (pernikahan dan harta warisan) dan jinayat dan hudud (pidana dan hukumannya) dan lain-lain. Di dalam kitab Sunan ini dijelaskan kualitasnya,  ada yang shahih, hasan dan dha’if.

  Contoh kitab Sunan antara lain:

  1. Sunan Abῑ Dāwūd karya Abu Dawud (w. 275 H)

ÄÕ=.teãoi ÙÞÜ á$ Á8pã8éæüonAÅ

  1. Sunan al-Nasā’î,  karya al-Nasa’i (w. 303 H)

ÄÕ=.teãoi Ú×Ú á$ Á éyäBnonAÅ

  1. Sunan Ibn Mājah, karya Ibn Majah (w. 273 H)

ÄÕ=.teãoi ÙÞÚ á$ Á Ö-äioæãonAÅ

Kitab-kitab Sunan ini adalah perkembangan pembukuan hadis pada abad ke-3 H, yakni masa kejayaan  pengkodifikasian, sehingga buku Sunan ini termasuk sebagian buku hadis yang dijadikan  buku induk hadis. Kitab hadis yang dijadikan buku induk  sebanyak 6 kitab, yaitu 3 al-Jami’ dan 3 Sunan, yaitu:

  1. |<ä6çfe3~2JSiä:ã (al-Jāmi` al-Ṣahῑhl ῑ al-Bukhārῑ) 
  2. kfBje3~2JSiä:ã (al-Jāmi` al-Ṣahῑh lῑ Muslim)
  3. |;i=&Siä-   (Jāmi` al-Turmużi)
  4. 8pã8éæüonA (Sunan Abῑ Dāwūd)
  5. éyäBnonA (Sunan al-Nasā’i)
  6. Ö-äioæãonA   (Sunan Ibn Mājah)

C. Kitab al-Muṣannaf

Kitab Muṣannaf  secara etimologi diartikan sesuatu yang tersusun. Mushannaf adalah  perkembangan pembukuan Hadis  abad ke-2 H tentunya  lebih maju dari pada Ṣuhuf atau Ṣahifah pada abad sebelumnya yang hanya penghimpunan hadis  saja tanpa menyebutkan bab perbab. Tetapi ia tidak lebih maju dari Sunan, karena di dalam Sunan sudah terpisahkan  antara hadis dari Nabi dan perkataan sahabat. Dalam mushannaf penghimpunannya sudah menyebutkan bab perbab secara  sistematis, tetapi masih campur antara hadis  Nabi dan perkataan sahabat. Al-Zahrani  menyebutkan pengertian Muṣannaf adalah:

åãqæöãoiÖfj-Sj.}k) 91ãpåäæò ÖçAän&Uã+}8ä1öãSj-

91ãp[nJiòè&beãpü

Adalah penghimpunan hadis -hadis  yang relevan dalam satu bab kemudian dihimpun sejumlah dari beberapa bab atau beberapa kitab  itu ke dalam sebuah Mushannaf.

Mushannaf adalah teknik pembukuan hadis  secara perbab pada masa abad kedua ini pada umumnya penyusunanya didasarkan pada klasifikasi hukum fikih dan di dalamnya tercampur antar hadis  marfu`, mauquf, dan maqthu` atau masih campur antara hadis Nabi dan fatwa sahabat dan tabi’in. Contoh-contoh kitab Mushannaf antara lain: 

  1. Muṣannaf Hammad bin Salamah (w. 167 H)
  1. Al-Muṣannaf  karya Syu’bah bin Hajjaj (160 H)    
  2. Al-Muṣannaf karya Sufyan bin Uyaynah ( 198 H)
  3. Al-Muṣannaf   karya al-Layts bin Sa’ad (175 H)
  4. Al-Muṣanaf, karya Abu Bakar Abdur Razaq bin Hammam Ash Shan'ani (w. 211 H).
  5. Al-Muṣanaf, karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi (w. 235).
  6. Al-Muṣanaf, karya  Baqiy bin Makhlad al-Qurthubi(w. 276H).

D.  Kitab al-Mustadrak

Kata Mustadrak (bentuk jamaknya Mustadrakāt) secara etimologi adalah susulan dari yang ketinggalan atau  menambah  yang kurang. Secara terminologi  yang digunakan oleh ulama hadis,  kitab  Mustadrak adalah: 

GZnJUã9É=E 2Qlqb%é&eã +}8ä1öãSj-

ä& ät-=6}kep

Adalah menghimpun beberapa hadis yang sesuai dengan persyaratan salah seorang penyusun tetapi belum ditakhrij di dalam kitabnya.

Kitab mustadrak menghimpun hadis-hadis yang telah memenuhi persayaratan sebuah kitab, tetapi belum dimasukkannya.  Seakan-akan kitab Mustadrak sebagai susulan atau penambahan terhadap kandungan kitab lain yang telah memenuhi persyaratannya.   Sebagaimana Mustadraknya Imam al-Hakim telah menghimpun beberapa hadis shahih yang belum disebutkan dalam kitab al-Bukhari dan Muslim dan menurutnya telah memenuhi persyaratan keduanya.

Kitab jenis ini berjasa paling tidak dalam tiga hal, yaitu:

  1. Menampilkan ragam hadis yang – secara sengaja maupun tidak – diabaikan oleh para penulis kitab sebelumnya;
  2. menampakkan adanya penuturan yang berbeda terhadap matan hadis tertentu; dan
  3. menunjukkan transmisi hadis tertentu yang secara subjektif dinilai sahih oleh penulis mustadrak.

Kitab jenis mustadrak yang paling populer – meskipun banyak mendapat kritik dari para pembelajar hadis – adalah al-Mustadrak `ala al-Shahihain Ä o~2~2J2Q!<9&BjeãÅ yang ditulis oleh Abi Abdillah al-Hakim al-Naisaburi  (w. 405 H). 

E.  Kitab al-Mustakhraj

Mustakhraj (jamaknya mustakhrajāt)  secara etimologi dari kata  ,=5 (kharaja) yang berarti keluar, ,=6&Aã  (istakhraja)  berarti mengeluarkan. Teknik pembukuan Mustakhraj secara terminologi diartikan:

+}9<ãè&aoiåä&a1ã ÍäZ2eãoiÐYä1 9jR}lã qs

u*}8ä,=6~Y äjsRU pükfBi3~2Ipü|<ä6çeã3~2Ja

òuRiSj&.~Yåä&beãè1äI_}=Ê RUoiuBZne9~mäæ

\=Ê pumq&ip~%=% Ö}äQ<Siéæä2Jò qepu]qYoi püu6~E

r9~mä

Yaitu seorang hafiẓ  bermaksud mengeluarkan hadis-hadis  dari sebuah kitab hadis  seperti Shahîh li al-Bukhari atau Shahîh Muslim dan atau yang lain dengan menggunakan sanad sendiri yang bukan sanad kitab tersebut, maka bisa bertemu pada sanad itu pada syaikhnya atau orang di atasnya walaupun pada sahabat serta memelihara urutan, matan dan jalan sanadnya.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa mustakhraj ialah  seorang penghimpun hadis   mengeluarkan beberapa buah hadis  dari sebuah buku hadis  seperti yang  diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, maka akan terjadi pertemuan pada syaikhnya atau orang di atasnya. Seperti yang dilakukan oleh Abi Bakar al-Isma’ili mengeluarkan beberapa hadis  dari kitab Shahih  al-Bukhari dengan menggunakan sanad sendiri yang diterima dari guru-gurunya. Berikut ini adalah kitab-kitab berjenis “mustakhrajat”, antara lain:

  1. Al-Mustakhraj `alā al-Ṣahihain:
  1. karya Abu Nu`aim al-Ashbahani (w. 430 H).
  2. karya Ibn al-Akhram (w. 344 H).
  3. karya Abu Bakr al-Barqani (w. 425).
  1. Al-Mustakhraj `alā al-Jāmi` li al-Bukhāri:
  1. karya al-Isma`ili (w. 371 H).
  2. karya al-Ghathrifi (w. 377 H).
  3. karya Ibn Abi Dzuhl (w. 378 H).
  1. Al-Mustakhraj `alā al-Ṣahῑh lῑ Muslim:
  1. karya Abu `Awanah al-Asfarayaini (w. 310 H).
  2. karya al-Hayiri (w. 311 H).
  3. karya Abu Hamid al-Harawi (w. 425 H).
  1. Al-Mustakhraj `alā Sunan Abῑ Dāwūd, karya Qasim Ibn Ashbagh.
  2. Al-Mustakhraj `ala Kitāb al-Tauhid li Ibn Khuzaimah, hasil kerja

Abu Nu`aim al-Ashbahani.

F. Kitab al-Musnad

Kata Musnad secara etimologi diartikan sandaran atau yang disandari. Dalam periwayatan hadis  harus disertai sandaran (sanad), dari siapa seorang rawi menerima sebuah hadis. Dalam sejarah penghimpunan dan pengkodifiksian, hadis  didasarkan pada hafalan dan ingatan para ulama. Sandaran ini sebagai pedoman dan pegangan dalam periwayatan, sehingga penetapan sah atau tidaknya suatu hadis  sangat bergantung pada sanad ini. Dalam pembukuan hadis,  musnad ini dijadikan nama teknik pembukuan yang secara terminologi studi hadis diartikan sebagai berikut:

kM p Öæä2JxäjAü2Q+}8ä1öã,=6%é&eãésp 9~mäBUãè&a

ORæ1ãätNRæ Öæä2Joi91ãpga+}8ä

Kitab Musnad adalah kitab yang mentakhrij (mengeluarkan ) hadis -hadis nya didasarkan pada nama-nama sahabat dan penghimpunan beberapa hadis  pada  masing-masing sahabat  sebagian  kepada sebagian.

Pembukuan hadis  yang didasarkan pada nama para sahabat  yang meriwayatakannya adalah musnad. Sistematika penghimpunan Hadis  didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkannya tanpa memperhatikan permasalahan atau topik hadis  serta  kualitasnya. Misalnya semua hadis Nabi yang diperoleh seorang periwayat melalui `Aisyah dikelompokkan pada bab hadis-hadis  Aisyah, hadis-hadis  yang didapatkan seorang periwayat dari seorang sahabat `Abdullah bin `Abbas dikelompokkan pada bab hadis-hadis  `Abdulah bin `Abbas, dan seterusnya tanpa melihat topiknya.

Penulis kitab musnad memiliki pendekatan dan warna yang berbeda dalam menulis kitabnya, yaitu:

 Kitab hadis yang disusun secara musnad ini misalnya ;

  1. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
  2. Musnad Abu Bakar Abdullah bin Az Zubair Al Humaidi(w. 219 H).
  3. Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud Ath Thayalisi (w. 204 H).
  4. Musnad Asad bin Musa Al Umawi(w. 212H).
  5. Musnad Musaddad bin Musarhad al-Asadi al-Bashri (w.228 H). Dll.

G.  Kitab al-Mu’jam

Kata Mu`jam, secara etimologi pada awalnya diartikan sesuatu yang tidak jelas atau sesuatu yang terkunci, kemudian diartikan semacam  kamus  yang berfungsi memperjelas arti kalimat yang tidak jelas tersebut. Kitab Mu’jam dalam terminologi studi hadis adalah:

4q~Fpü Öæä2Jè~%=%2Q+}8ä1öãoiu~Y =a;%äik.RUã

k.RUãXp=1 2Qäç%=ilqb%lü èeäVeãplã9fçeãpü

 Mu’jam adalah buku yang menyebutkan hadis-hadis nya  didasarkan pada nama sahabat atau nama syaikhnya atau didasarkan pada nama negeri gurunya pada umumnya secara abjadi atau hija’i (sesuai dengan urutan huruf hija’iyah) .

Berikut ini adalah di antaranya contoh kitab mu’jam:

  1. Al-Mu`jam al-Kabῑr, karya Abu al-Qasim Sulaiman Ibn Ahmad al-Thabrani (w. 360 H). Kitab ini ditulis dalam bentuk musnad mu`jami (alfabetis), dengan tidak menyertakan hadis-hadis Abu Hurairah yang ditulisnya secara terpisah. Kitab ini memuat sekitar enam puluh ribu hadis, dan merupakan kitab mu`jam terbesar di dunia. Ketika dalam sebuah karya tulis disebut “mu`jam”, maka yang dimaksud adalah kitab “Mu`jam al-Kabῑr” ini.
  2. Al-Mu`jam al-Aushaṭ, karya al-Thabrani juga. Kitab ini ditulis secara alfabetis berdasarkan nama-nama guru dari para penutur hadis. Di dalamnya dimuat lebih kurang dua ribu nama guru hadis, bahkan ada yang menghitungnya sampai tiga ribu nama.
  3. Al-Mu`jam alṢagῑr, masih kerja pena al-Thabrani. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab al-Mu`jam al-Awshath, di mana sekitar seribu nama guru hadis saja yang dimuat. Tidak berhenti sampai pada pengurangan pencantuman nama-nama guru, dalam buku ini, secara umum dari tiapa-tiap guru hadis hanya ditulis satu hadis saja.
  4. Al-Mu`jam al-Ṣahabah, karya Ahmad Ibn Ali Ibn Lal al-Hamdani (w. 398 H).
  5. Mu`jam al-Ṣahabah, buah kerja ilmiah Abu Ya`la Ahmad Ibn Ali al-Maushuli (w. 307 H).

Kesungguhan  ulama hadis, bukan saja  dalam proses pencarian dan pengumpulannya, akan tetapi mereka juga berusaha keras agar hadis itu mudah ditemukan oleh para pengkaji berikutnya.  Usaha mereka telah membuahkan hasil, dengan adanya nama-nama kitab hadis yang telah dikelompokkan menurut tema tertentu, rawi tertentu dan lain sebagainya.

Keterbatasan teknologi tulis menulis tidak menyurutkan mereka untuk tetap menulis, dan mengklasifikasi hadis dengan cara manual. Butuh waktu panjang dan kesabaran yang tinggi untuk bisa menghasilkan karya monumental, yang kelak dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya.

 

Siswa-siswi di kelas dibagi menjadi tujuh kelompok (sesuai dengan jumlah kitab yang dibahas)! Setiap kelompok membuat makalah tentang satu kitab, kemudian dipresentasikan di depan kelas. Pembagian nama kitab dengan cara diundi.

 

Usaha yang dilakukan para ulama dalam membukukan hadis menjadi beberapa kelompok akhir betul-betul membuahkan  hasil. Kelompok itu antara lain;

  1. Kitab hadis al-Jami’ yang merupakan pembukuan hadis  yang paling lengkap, karena ia mencakup segala permasalahan sebagaimana di atas, tidak hanya terfokus satu masalah saja. Segala aspek agama dan segala aspek kehidupan manusia  dimuat dalam kitab tersebut.
  2. Kitab hadis sunan di sini adalah himpunan beberapa hadis yang didapat dari para syaikhnya dengan menggunakan teknik penghimpunan seperti sistematika kitab fikih pada umumnya.
  3. Mushannaf   teknik pembukuan hadis  secara perbab pada masa abad kedua ini pada umumnya penyusunanya didasarkan pada klasifikasi hukum fikih dan di dalamnya tercampur antar hadis  marfu`, mauqūf, dan maqthu` atau masih campur antara hadis Nabi dan fatwa sahabat dan tabi’in.
  4. Semacam  kamus  yang berfungsi memperjelas arti kalimat yang tidak jelas tersebut.

Kisah Keteladanan


Karakter Fisik Imam Muslim

Terdapat beberapa riwayat yang menceritakan karakter fisik Imam Muslim. Dalam Siyar ‘Alamin Nubala (566/12) terdapat riwayat dari Abu Abdirrahman As Salami, ia berkata: “Aku melihat seorang syaikh yang tampan wajahnya. Ia memakai rida[2] yang bagus. Ia memakai imamah yang dijulurkan di kedua pundaknya. Lalu ada orang yang mengatakan: ‘Ini Muslim’ ”. Juga diceritakan dari Siyar ‘Alamin Nubala (570/12), bahwa Al Hakim mendengar ayahnya berkata: “Aku pernah melihat Muslim Ibnul Hajjaj sedang bercakap-cakap di Khan Mahmasy. Ia memiliki perawakan yang sempurna dan kepalanya putih. Janggutnya memanjang ke bawah di sisi imamah-nya yang terjulur di kedua pundaknya”.

a. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar!

  1. Jelaskan cakupan bab yang terdapat pada kitab jami’
  2. Sebutkan kitab-kitab sunan yang saudara ketahui
  3. Jelaskan perbedaan kitab al-Mustadrak dan al-Mustakhraj
  4. Sebutkan contoh kitab al-Mu’jam
  5. Jelaskan perbedaan antara kitab sunan dan al-Musannaf

b. Tugas Perorangan

Setelah saudara  mempelajari  pengelompokkn  ragam  kitab , maka lengkapilah tabel berikut untuk lebih mempermudah pemahaman saudara!

No

Kelompok Kitab

Contoh

1

Al-Jami’

Shahih Bukhari

2

….

Sunan Abu Dawus

3

Al-Musannf

….

4

Al-Mustakhraj

….

5

….

Musnad Ahmad ibn Hanbal

6

Al Mustadrak

….

7

Al-Mu’jam

….

PERLU DIINGAT

Banyak para pemimpin dimasa lampau yang sengaja memanipulasi sejarah dan diarahkan pada pencitraan pribadi seseorang. Dalam Islam ada sanad yang bisa digunakan untuk meneliti sejarah yang benar. Itulah salah satu faedah mempelajari sanad.


 

 

Pada saat sekarang ini, banyak tersebar hadis-hadis yang tidak dituliskan secara lengkap dengan sanad juga sumber atau rujukan asal hadis tersebut. Hal ini tentu dapat mempersulit pemahaman, periwayatan juga pengamalan hadis tersebut secara menyeluruh. Dahulu, para ulama memiliki daya ingat dan pemahaman yang mendalam terhadap hadis juga kitab-kitab hadis yang tersebar. Namun seiring berjalannya waktu, daya ingat para ulama tidaklah sekuat dahulu , pemahaman mereka terhadap setiap kitab yang tersebar juga tidak seperti dahulu. Merujuk pada fenomena tersebut  para ulama kemudian merumuskan sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu takhrij hadis.  Suatu ilmu yang penting bagi umat Islam agar dapat mengetahui sumber atau rujukan asli dari suatu hadis sehingga dapat memahami hadis tersebut secara utuh.

Kompetensi Inti (KI)

  1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
  2. Menghayati dan mengamalkan  perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai) santun,  responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
  3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
  4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar (KD)

2.1. membiasakan diri berfikir kritis sebagai implikasi dari materi hadis

2.2. merefleksikan perilaku semangat dan obyektif dalam meneladani kejujuran muhaddisin

  1. Memahami cara-cara sederhana mentakhrῑj hadis.
  1. Mempraktikkan cara mencari hadis dari kitab induk hadis (takhrῑj).

 

Indikator Pembelajaran  

Peserta didik mampu :

  1. merefleksikan berfikir kritis
  2. meneladani semangat ulama hadis
  3.  menjelaskan cara-cara sederhana mentakhrij hadis  
  4.  mendemonstrasikan cara mencari hadis dalam kitab induk hadis (takhrij)
  5.  menyebut manfaat takhrij hadis

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik dapat :

  1. mendemonstrasikan semangat ulama hadis dalam kehidupan sehari-hari
  2. berfikir kritis dan selektif dalam menerima informasi
  3. menjelaskan cara-cara sederhan mentakhrij hadis  
  4. mencari hadis dalam kitab induk hadis (takhrῑj)
  5. menyebut manfaat takhrij hadis

Peta Konsep

 

Kata Kunci

MAKSUD

ISTILAH

MAKSUD

ISTILAH

  Hadis yang berbeda, dan  tidak bersumber dari satu sahabat

 المتبع

Menunjukkan materi hadis di dalam sumber-sumber pokok yang dikemukakan berikut transmisinya, dan menjelaskan kualifikasinya

 التخريج

  Kitab-kitab hadis yang menjadi rujukkkan  utama

 كتب التسعة

 Hadis yang berbeda, tetapi sumbernya bertemu di satu sahabat

 الشاهد

A.  Pengertian Takhrij al-Hadis

Kata takhrῑj berasal dari kata kharraja Ä,=5Å, yukharriju Ä,=6}Å yang secara etimologi mempunyai arti berhimpun dua hal yang saling bertentangan dalam satu persoalan. Para ahli hadis memaknai takhrῑj dengan:

  1. Sinonim kata ikhraj Ä,ã=5üÅ, yakni mengemukakan hadis kepada orang lain dengan menyebutkan sumbernya, yakni orang-orang yang menjadi mata rantai hadis tersebut. Sebagai contoh: |<ä6çeã u-=5ü, artinya: al-Bukhari meriwayatkan hadis itu dengan menyebutkan sumbernya.
  2. Takhrῑj terkadang digunakan untuk arti mengeluarkan hadis dan meriwayatkannya dari beberapa kitab.
  3. Takhrij terkadang juga disebut al-dalalah, yaitu menunjukkan dan menisbatkan hadis ke dalam (kitab) sumber-sumber hadis, dengan menyebutkan nama penulisnya.

Sedangkan secara terminologi, takhrῑj berarti :

Õp?RivpÕ9nBi=~UÖ^fRi$äZnJjeãò=a;%û&eã+}8ä1öãp?Q

ã8<päZ~RN%pä2~2J%ät~fQ hwbeãSiäiãÕ9nBiè&apãåä&a1ã

dqIvã1ãp?Reã2Q<äJ&]väæäiãpgfReãoiät~Yäilä~æpvqç]p

Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad,  baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekadar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumbernya)nya.

Mahmud al-Thahhan memaknai takhrij dengan: “Menunjukkan materi hadis di dalam sumber-sumber pokok yang dikemukakan berikut transmisinya, dan menjelaskan kualifikasinya bila diperlukan.”

Syuhudi Ismail mendefinisikan dengan “Penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.”

Bila merujuk pada pemaknaan yang disampaikan oleh para ahli hadis, bolehlah didefinisikan secara sederhana bahwa takhrij adalah kegiatan atau usaha mempertemukan matan hadis dengan sanadnya. Adapun terkait dengan penjelasan kualifikasi hadis bukanlah tugas pokok kerja takhrῑj.

B.  Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadis

Pengetahuan tentang ilmu takhrῑj merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya membicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Di samping itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad suatu hadis. Penguasaan tentang ilmu takhrῑj merupakan suatu keharusan bagi setiap ilmuwan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kasyariahan, khususnya yang menekuni bidang hadis dan ilmu hadis. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis di dalam sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali disusun oleh para ulama pengkodifikasi hadis.

Dengan mengetahui hadis dari sumber aslinya, maka akan dapat diketahui sanad-sanadnya. Dan hal ini akan memudahkan untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan kualitasnya. Dalam kegiatan penelitian hadis, takhrij merupakan kegiatan penting yang tidak dapat diabaikan. Tanpa melakukan kegiatan takhrij, seorang peneliti hadis akan kehilangan wawasan untuk mengetahui eksistensi hadis dari berbagai sisi. Sisi-sisi penting yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti hadis dalam hubungannya dengan takhrij ini meliputi kajian asal-usul riwayat suatu hadis, berbagai riwayat yang meriwayatkan hadis tersebut, ada atau tidaknya syahid dan muttabi’ dalam sanad hadis yang diteliti.  

Dengan demikian Takhrῑj ḥadῑṡ bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di-takhrῑj. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ’ulūm al-ḥadῑṡ yang berlaku. Sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya. Sedangkan manfaat takhrij hadis antara lain sebagai berikut:

  1. Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang sedang menjadi topik kajian.
  2. Dapat diketahui status hadis Ṣahῑh li żatihi atau ṡahῑh lῑ gairihi, hasan li żatihi, atau hasan lῑ gairihi. Demikian pula akan dapat diketahui istilah hadis mutawatir, masyhur, aziz, dan gharibnya.
  3. Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadis dha`if melalui satu riwayat. Maka dengan takhrῑj kemungkinan akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat status hadis tersebut kepada derajat yang lebih tinggi.
  4. Memperjelas perawi yang samar, karena dengan adanya takhrῑj, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
  5. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
  6. Memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan di antara sanad-sanadnya.
  7. Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain, maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
  8. Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.
  9. Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada.
  10. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah maqbūl (dapat diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadis tersebut mardūd (ditolak).
  11. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.

C. Sejarah Takhrij Hadis

Dalam kegiatan men-takhrῑj hadis muncul dan diperlukan pada masa ulama mutaakhirin. Sedang sebelumnya, hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan ulama mutaqaddimin menurut al-Iraqi, dalam mengutip hadis-hadisnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan dari mana hadis itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadis-hadis tersebut, sampai kemudian datang An-nawawi yang melakukan hal itu.

Penguasaan para ulama terdahulu (mutaqaddimin) terhadap sumber-sumber as-Sunnah begitu luas, sehingga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan suatu hadis untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab al-Sunnah. Ketika semangat belajar mereka melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadis yang dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu syara’. Maka sebagian dari ulama bangkit dan memperlihatkan hadis-hadis yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab sunnah yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dla’if. Kemudian muncullah apa yang disebut dengan ”Kutub al-Takhrῑj” (kitab-kitab takhrij) yang masyhur di antaranya:

  1. Takhrῑj Ahādῑṡ al-Muhażżab, karya Muhammad bin Musa al-Hazimi asy-Syafi’i (w. 548 H). Dan kitab al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fikih madzhab al-Syafi’i karya Abu Ishaq asy- Syairazi.  Ahmad Abdul Hadi al-Maqdisi (w. 744 H).
  2. Naṣb al-Rayah lῑ Ahādῑṡ al-Hidayah lῑ Al-Marginani, karya Abdullah bin Yusuf az-Zaila’i (w. 762 H).
  3. Takhrῑj Ahādῑṡ al-Kasyāf lῑ az-Zamakhsyari, karya al-Hafidz az-Zaila’i juga. (Ibnu Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi Asy-Syāfi fῑ Takhrῑj Ahādῑṡ Asy-Syāfi).
  4. Al-Badr al -Munῑr fii Takhrῑj al-Ahādῑṡ wa al-ṡar al-Waqi’ah fῑ asy-Syarhil-Kabir lῑ ar-Rafi’i, karya Umar bin Ali bin Mulaqqin (w. 804 H).
  5. Al-Mugni ’an Ham li al-Asfār fil-Asfaar fῑ Takhrῑj  mā fῑ- Ihyā’ min al-Akhbar, karya Abdurrahman bin al-Husain al-Iraqi (w. 806 H).
  6. Takhrῑj al-Ahādῑṡ allati Yusyῑru ilaihat-Tirmidzi fῑ Kulli Bāb, karya al-Hafidz al-Iraqi juga.
  7. At-Talkhῑṣ al-Habῑr fῑ Takhrῑj  Ahādῑṡ  Syarh al-Wajiz al-Kabῑr li ar-Rafi’i, karya Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H).
  8. Ad-Dirāyah fῑ Takhrῑj Ahādῑṡ al-Hidāyah, karya al-Hafidz Ibnu Hajar juga.
  9. Tuhfat ar-Rāwi fῑ Takhrῑj Ahādῑṡ al-Baḍlawi, karya Abdurrauf Ali al-Manawi (w. 1031 H.)  

D. Metode Takhrij Hadis

 Dalam takhrij hadis ada beberapa macam metode yang digunakan yang diringkas dengan mengambil poko-pokoknya sebagai berikut:

  1. Takhrij berdasarkan perawi hadis dari sahabat

Metode ini digunakan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis yang akan ditakhrij. Jika tidak diketahui nama shahabat yang meriwayatkannya tentu tidak dapat dilakukan takhrij dengan metode ini. Untuk mengaplikasikan metode ini diperlukan tiga kitab yang dapat membantu. Kitab-kitab berikut disusun berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan hadis yaitu:

  1. Al-Masānid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini sehingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
  2. Al-Ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyūkh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya.
  3. Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadis secara lengkap.

Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat dipersingkat. Akan tetapi, kelemahannya adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila nama perawi yang hendak diteliti itu tidak diketahui.

  1. Takhrij berdasarkan permulaan lafadz hadis

Metode ini sangat tergantung pada lafaz pertama matan hadis. Hadis-hadis dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafaz pertamanya menurut urutan huruf hijaiyah. Misalnya, apabila akan men-takhrij hadis yang berbunyi:

ÖQ=Jæ9}9FC~e

Untuk mengetahui lafaz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, penggalan hadis tersebut terdapat di halaman 2014. Berarti, lafaz yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV.Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah;

ÖQ=Jæ9}9FC~edä]ÙêãdqA<lüunQêãéM<Õ=}=séæüoQ

ÁèNVeã9nQuBZmcfj}|;eã9}9Feãäjmü

“Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”.

Cara takhrij hadis dengan menggunakan metode ini dapat dibantu dengan:

  1. Kitab-kitab yang berisi hadis-hadis yang dikenal oleh orang banyak, misalnya; ad-Durar al Muntatsirah fῑ al-Ahādῑṡ al-Musytaharah, karya as-Suyuthi; al-Laali al-Manṡrah fῑ al-Ahādῑṡ al-Masyhurah, karya Ibnu Hajar; al-Maqāṣid al-Hasanah fῑ Bayāni Kaṡirῑn min al-Ahādῑṡ al-Musytahirah ‘ala’ al-Alsinah, karya as-Sakhawi.
  2. Kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan huruf kamus, misalnya; al-Jami’ as-Saghir min al-Ahdῑṡ al-Basyir an-Naẓir, karya as-Suyuthi.
  3. Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya; Miftah as-Ṡahihain, karya at-Tauqadi; Miftah  at-Tartῑb lῑ Ahaaditsi Tarikh al-Khatib, karya Sayyid Ahmad al-Ghumari; al-Bughiyyah fῑ Tartῑb al-Ahādῑṡ Ṣahῑh Muslim, karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, Miftah Muwatha’ Mālik, karya Muhammad Fuad Abdul Bagi juga.

Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafaz pertamanya sedikit saja, mak akan sulit unruk menemukan hadis yang dimaksud.

  1. Takhrij berdasarkan  kata-kata dalam matan hadis

Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitikberatkan pencarian hadis berdasarkan lafaz-lafaznya yang asing dan jarang penggunaanya.

Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras lῑ Al-faẓ Al-Hadῑs An-Nabawi, karya Dr. Arinjan Vensink, seorang orientalis berkebangsaan Belanda (meninggal 1939 M). Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadis sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad.

Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadis dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alat untuk mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin bertambah asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadis. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebut dicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jam menurut urutannya secara abjad (huruf hijaiyah).

Kedua, mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam hadis yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan ditemukan hadis yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadis (tidak lengkap). Mengiringi hadis tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadis itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu mempercepat pencarian hadis dan memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis. Sedangkan kelemahan metode ini adalah terkadang suatu hadis tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.

  1. Takhrij berdasarkan tema hadis

Metode ini berdasarkan pada tema dari suatu hadis. Oleh karena itu untuk melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadis yang akan ditakhrij dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian seorang mukharrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin dikandung oleh hadis tersebut. Contoh hadis Nabi saw:

êãdqA<ã9j2ilüpêãvãueüvlüÕ8ätECj52QhwAöãénæ

ÁläNi<hqJp/2eãpÕäa? xä&}üpÕwJhä]üp

"Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan".

Hadis di atas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadis di atas harus dicari di dalam kitab-kitab hadis di bawah tema-tema tersebut. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah, karya Dr. AJ. Vensink, yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.

Dalam kitab Miftah Kunuz As-Sunnah, Vensink mencantumkan 14 kitab hadis yang terkenal yakni; Ṣahῑh Bukhāri, Ṣahih Muslim, Sunan Abῑ Dāwūd, Jāmi’ al-Tirmiżi, Sunan an-Nasa’ῑ, Sunan Ibnu Mājah, Muwaṭṭa’ Malik, Musnad Ahmad, Musnad Abi Dawud ath-Thayalisi, Sunan ad-Darimi, Musnad Zaid bin Ali, Sῑrah Ibnu Hisyām, Magazi al-Waqidi, dan Ṭabaqat Ibnu Sa’ad. Dalam menyusun kitab ini Vensink menghabiskan waktu selama 10 tahun, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan diedarkan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi yang menghabiskan waktu untuk itu selama 4 tahun.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa takhrῑj dengan metode ini sangat tergantung kepada pengetahuan terhadap tema hadis. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fikih secara khusus.

Kelebihan metode ini adalah hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafaz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama apabila kandungan hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan.

  1. Takhrij berdasarkan status hadis

Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis qudsi, hadis masyhur, hadis mursal dan lainnya. Dengan mengetahui statusnya kegiatan takhrij melalui metode ini dapat ditempuh, yakni dengan merujuk pada kitab-kitab yang disusun secara khusus berdasarkan status atau keadaan hadis tersebut. Seperti apabila hadisnya hadis qudsi, kita dapat mencarinya dalam kitab himpunan hadis-hadis qudsi, dan seterusnya. Di antara kitab-kitab yang disusun atas dasar metode ini adalah:

  1. Al-Azhar al-Muatanāṡirah fῑ al-Akhbar al-Mutaāatirah, yang memuat hadis-hadis mutawatir, karya Suyuthi.
  2. Al-Ittihafaṭ al-Saniah fῑ al-Ahādῑṡ al-Qudsiyah, yang memuat hadis-hadis qudsi, karya al-Madani.
  3. Al-Maqāṣid al-Hasanah, yang memuat hadis-hadis populer, karya Sakhawi.
  4. Al-Marāsil, yang memuat hadis-hadis mursal, karya Abu Dawud.
  5. Tanzῑh al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar al-Syani’ah al-Mauḍu’ah, yang memuat hadis-hadis maudlu’, karya Ibn Iraq.

Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena sebagian besar hadis-hadis yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadis sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat terbatas, dengan sedikitnya hadis-hadis yang dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini.

  1. Takhrij berbasis software hadis

Perkembangan teknologi informasi dan multimedia dapat membantu para pembelajar hadis dalam studi hadis khususnya kegiatan takhrij. Munculnya beberapa software yang dapat  digunakan untuk studi hadis atau kegiatan takhrij hadis, merupakan cara efektif yang dapat digunakan. Berikut pendeskripsian singkat mengenai beberapa sofware di antaranya yang dapat digunakan dalam belajar hadis atau takhrij hadis secara mandiri tersebut:

  1. Hadith Encyclopedia v2.1 (al-Kutub al-Tis’ah) merupakan aplikasi penelusuran hadis yang dikembangkan oleh Harf, sebuah instansi yang bergerak dalam bidang pengembangan program yang berkedudukan di Kairo, Mesir. Program ini mencakup sembilan kitab hadis (al-kutub al-tis’ah) dengan total lebih dari 62.000 hadis yang sebanding dengan 25.000 halaman cetak lengkap dengan penjelasannya.
  2. Maktabah Syamilah, merupakan program populer yang banyak digunakan di berbagai lembaga pendidikan Islam. Sofware ini memiliki library berisi ribuan kitab dan referensi berbentuk buku atau kitab dalam bahasa Arab dalam kapasitas belasan gigabyte bahkan ada yang mencapai puluhan giga. Kitab kuning digital terdiri dari 6.644 kitab yang dikelompokkan dalam berbagai bidang. Software ini diterbitkan oleh jaringan Da’wah Islamiyah al-Misykat.
  3. Hadits Web 4.1, merupakan sofware hadis lengkap berbahasa Indonesia yang dikembangkan oleh Sofyan Efendi. Isi dari program ini adalah Al-Qur’an dan terjemahnya, ringkasan Shahih Bukhari, kumpulan hadis Shahih Muslim, Ringkasan syarah Arbain an-Nawawi, kitab hadis Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, 1100 hadis pilihan, sejarah singkat beberapa ahli hadis, dan sejumlah artikel tentang hadis.

Siswa-siswi di kelas dibagi menjadi lima kelompok, setiap kelompok membuat makalah tentang satu hadis, tema tertentu, kemudian dipresentasikan di depan kelas. Pembagian tema hadis ditentukan oleh guru mata pelajaran

  1. Takhrῑj al-Ḥādῑṡ adalah kegiatan atau usaha mempertemukan matan hadis dengan sanadnya. Ada beberapa metode dalam mentantakhrij hadis; antara lain, melalui penelusuran nama rawi sahabat, permulaan matan hadis dan kata-kata dalam matan hadis.
  2. Disamping metode, takhrij juga mempunyai beberapa manfaat, setidaknya ada sebelas manfaat yang bisa diambil dari takhrij al-hadis.

a. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar!

  1. Jelaskan sejarah takhrij al-hadis
  2. Sebutkan tujuan takhrij al-hadis
  3. Sebutkan manfaat takhrij al-hadis
  4. Sebutkan metode pentakhrijan
  5. Sebutkan keunggulan dan kelemahan takhrij melalui softwere

  1. Tugas

Setelah saudara  mempelajari  tata cara mentakhrij hadis , maka lengkapilah tabel berikut untuk lebih mempermudah pemahaman saudara! (sofware yang digunakan adalah Hadith Encyclopedia v2.1 (al-Kutub al-Tis’ah) atau al-kubro hadis 9.

   Matan hadis : انماالاعمال بالنيات

Terdapat dalam kitab

Nomor hadis

انماالاعمال بالنيات

PERLU DIINGAT

Kuatkanlah ilmu dengan tulisan

Jika tulisannya salah, maka hasilnya salah

Kuatkanlah pendapat anda dengan merujuk pada kitab-kitab rujukan

Bukan pada kitab-kitab yang asal anda suka

Dalam hal hadis merujuklah pada kitab al-kutub at-tis’ah

Terutama adalah al-kutub at-tis’ah yang sudah ditakhri>j

Selain kitab-kitab yang sudah ditakhri>j itu

ragu-ragulah tentang kebenarannya.

 

ان

عن

عن

 

حد ثنا

حد ثتا

Salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis adalah tahammul wa ada’ al hadis. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadis, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadis.

Kompetensi Inti (KI)

  1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
  2. Menghayati dan mengamalkan  perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai) santun,  responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
  3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
  4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar (KD)

  1. Meyakini keaslian hadis yang telah dibenarkan oleh para ulama dahulu dan menjadikannya sebagai hujjah dalam menentukan hukum syar’i sehari-hari
  1. Memahami taḥammul wa ada’ al-ḥādῑṡ.
  1. Menceriterakan kisah ulama dan meneladaninya
  1. Mensimulasikan sanad berdasarkan teori  taḥammul wa ada’ al-ḥādῑṡ

Indikator Pembelajaran

 Peserta didik mampu :

  1. menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan dirinya
  2. meneladani semangat dan selektif para ulama hadis
  3.  menjelaskan pengertian tahammul dan ada’
  4.  menjelaskan cara-cara penerimaan dan penyampaian hadis  
  5.  mendemontrasikan tahammul dan ada’
  6.  mengidentifikasicara-cara tahammul dan ada’
  7.  membedakan masing-masing lafad tahammul dan ada’

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik dapat :

  1. mendemonstrasikan semangat muhaddisin dalam kehidupan sehari-hari
  2. membiasakan berkarya sebagai perwujujadan dari sifat muhaddisin
  3. menjelaskan pengertian tahammul dan ada’
  4. menjelaskan cara-cara penerimaan dan penyampaian hadis  
  5. membedakan masing-masing lafad  taḥammul wa ada’ al-ḥādῑṡ

Peta Konsep

 

Kata Kunci

 MAKSUD

ISTILAH

MAKSUD

ISTILAH

 Guru menulis hadis untuk murid yang hadis dan yang tidak

 المكتبة

Menerima hadis dari gurunya

 التحمل

Guru memberitahu kitab hadis kepada muridnya untuk diriwayatkan

 الاعلام

Menyampaikan hadis kepada muridnya

 الاداء

Guru memberi pesan agar kitabnya kelak setelah meninggal di berikan kepada si fulan

 الوصية

Rawi (hadis) mendengar langsung dari gurunya

 السمع

 Murid menemukan tulisan gurunya

 الوجادة

Murid membaca hadis dihadapan gurunya

 العرض

Kuat hafalan

الضبط

 Murid diizinkan meriwayatan hadis

الاجازة

terpercaya

الثقة

 Guru memberikan kitab (hadis) kepada muridnya

المنولة

 

A.  Pengertian Tahammul Hadis

Secara etimologi taḥammul merupakan masdar dari fi’il madli tahammala تَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.  Berarti tahammul al-hadis menurut bahasa adalah menerima hadis atau menanggung hadis. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah: 

التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ

“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.

Menurut pendapat para ulama bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al Karmani pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.

Syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadis dari orang lain adalah:

a. Penerima harus dlabith (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).

b. Berakal sempurna.

c. Tamyiz.

Ulama’ hadis memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadispun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.

Beberapa ulama’ hadis masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadis, mayoritas ulama’ hadis menganggap mereka boleh menerima riwayat hadis, sementara yang lain berpendapat bahwa hadis yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadis yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll, tanpa membedakan mana hadis yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtiṣar Ulumūl Ḥādῑṡ, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadis orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadis yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah faktor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baligh.

B.  Cara-cara Tahammul Hadis

Cara atau metode  Tahammul Hadis tidak dapat dipisah-pisahkan dari  Ada’, karena ibarat transaksi  dua orang, keduanya harus ada. Metode tahammul berarti juga metode ada’ dalam Hadis Cara-cara seseorang menerima atau mengambil hadis dari seorang rawi sehingga tercatat dalam kitab-kitab hadis sebagaimana yang kita dapati sekarang ini dengan delapan cara sebagai berikut:

  1. Al-Sama’ (  السّماع )

Sama’ artinya mendengarkan. Maksudnya adalah seorang rawi mendengarkan lafal syaikh (guru)-nya saat syaikh membaca atau menyebut hadis atau hadis bersama sanadnya. Seorang murid yang hadir mendengar bacaan syaikh, baik dari hapalannya maupun dari catatannya, baik dalam majlis imla’ (dekte) atau yang lain. Dalam pengajaran metode ini sebagaimana metode ceramah, seorang syaikh  menyampaikan periwayatan hadis dengan cara  membaca dan seorang murid aktif mendengar.  Menurut mayoritas ulama metode tahammul al-Sama`  ini tingkatan yang paling tinggi di antara sekian metode, karena metode al-Sama` ini berarti  syaikh dan murid bertemu langsung (liqa’) dan berhadapan langsung (ber-musyafahah).

  1. Al-‘Arḍu (العرض)

Al-Arḍu secara etimologi adalah membaca dengan hafalan. Maksud metode ini seorang murid membaca hadis sedang  syaikh mendengarkan bacaannya, baik  murid itu membaca sendiri atau mendengar murid lain yang membaca di hadapannya, baik bacaan  dari  hafalannya atau dari tulisan (kitab)  yang telah dikoreksi oleh syaikh, baik langsung  didengarkan syaikh atau orang yang dipercaya untuk mendengarkannya. Mayoritas muḥaddisῑn menyebut metode ini dengan Õxã=^eãL=Qpü L=Reã atau dalam  metode pengajaran disebut sorogan. Hukum periwayatan, jumhur ulama memperbolehkan metode al-‘Arḍu atau al-Qirā’ah ini, bahkan meletakkan nomor dua tingkatannya di bawah metode al-Sama’.  

  1. Al-Ijāzah ÄÕ>ä-öãÅ

Ijazah secara etimologi berarti membolehkan atau  mengizinkan. Misalnya  seorang murid diizinkan meriwayatkan suatu ilmu  dari guru. Seorang murid yang telah menamatkan studinya diberi ijazah artinya diizinkan keluar dari sekolah. Ijāzah secara terminologi adalah:

u%ä}p=iORæÖ}ãp=*aãpüK6Feu1äjAp keäReãl:ü

Izin seorang alim kepada seorang murid atau lebih untuk meriwayatkan sebagaian periwayatannya baik secara ucapan atau tertulis.

Misalnya, ucapan seorang syaikh kepada muridnya: “Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dari padaku Shahih al-Bukhari.” Dalam metode ijazah biasanya tidak dibacakan atau dibacakan sebagian saja dari isi kitab tersebut. Metode Ijazah ini memiliki  beberapa syarat, di antaranya seorang murid ahli atau layak menerima Ijazah, adanya  kemampuan memahami apa yang  diijazahkannya, dan naskah murid hendaknya dipaparkan sesuai dengan aslinya.

  1. Al-Munāwalah ÄÖepänjeãÅ

Munawalah secara etimologi berarti memberi, menyerahkan. Maksudnya adalah syaikh (guru) memberikan kitabnya kepada murid, ia suruh menyalin kitab tersebut, atau ia pinjamkan kitab itu. Atau dapat juga dalam bentuk seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada syaikh (guru)-nya, yang kemudian dikembalikan kepadanya lagi setelah diperiksa benar-benar oleh gurunya.

Misalnya seorang Syaikh mengatakan:

Hukum periwayatan metode  munawalah yang disertai dengan ijazah boleh-boleh saja, bahkan bentuk ijazah yang paling tinggi dan tingkatannnya di bawah setelah metode al-Sama` dan al-Qirā’ah `alā al-Syaikh. Sedangkan periwayatan munāwalah yang tidak disertai ijazah menurut pendapat yang shahih tidak diperbolehkan.

  1. Al-Mukatabah ÄÖç%äbjeãÅ

Mukatabah secara etimologi berarti bertulis-tulisan surat atau berkorespondensi. Dalam terminologi studi hadis maksud metode ini ialah seorang syaikh  menulis apa yang ia dengar untuk murid yang hadir atau yang tidak hadir di majelis  dengan tulisan syaikh sendiri atau dengan perintahnya, untuk dikirim kepadanya melalui orang yang terpercaya.  Hukum metode mukatabah yang disertai ijazah  dapat diterima dan sama dengan tingkatan metode munawalah berijazah dalam kualitas dan keabsahannya. Adapun mukatabah yang tanpa ijazah terjadi pro dan kontra di kalangan para ulama, di antara mereka melarang dan yang lain memperbolehkannya. Menurut pendapat yang shahih diperbolehkan, yaitu pendapat mayoritas ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin, karena tulisan seorang syaikh dengan sesamanya atau kepada muridnya  memberikan isyarat makna  ijazah.

  1. Al-I’lām ÄhwQöãÅ

Al-I’lām secara etimologi berarti memberitahu atau memberi informasi. Maksudnya, seorang syaikh memberi informasi  kepada muridnya bahwa Hadis ini atau kitab ini yang ia dengar atau yang ia  riwayatakan, tanpa memberikan ijazah secara  eksplisit. (jelas tegas tidak berbelit-belit).

Hukum periwayatan metode ini diperselisihkan para ulama, di antara mereka  ada memperbolehkan, dengan alasan informasi seorang syaikh secara inplisit mengandung ijazah dalam periwayatan. Seorang syaikh yang tsiqah dan amanah tidak mungkin mengaku menerima hadis yang ia tidak mendengar, informasi syaikh kepada muridnya  tentang periwayatan menunjukkan adanya  indikasi rida dari syaikh terhadap taḥammul dan ada’ al-Ḥādῑṡ. Di antara mereka ada yang melarang, yaitu pendapat yang shahih, karena terkadang syaikh menginformasikan bahwa hadis ini periwayatannya, tetapi tidak boleh diriwayatkan karena adanya cacat, kecuali jika disertai ijazah.

  1. Al-Waṣiyyah ÄÖ~IqeãÅ

Wasṣyyah secara etimologi berarti memesan, memberi pesan, atau mewasiati. Yang dimaksud metode  al-waṣiyah ialah seorang syaikh ketika akan pergi jauh atau sebelum matinya berpesan agar kitab yang ia riwayatkan atau yang ia susun diberikan  kepada seseorang yang wajar dipercaya baik dekat atau jauh.

Sebagian ulama mutaakhkhirin berpendapat bahwa metode wasiat mengandung makna izin periwayatan seperti halnya metode munawalah di atas. Sebagian ulama salaf juga melakukan metode tahammul ini, seperti yang dilakukan  Abu Qilabah Abdullah bin Zaid al-Jurumi ( w. 104 H)   sebelum wafatnya berpesan  agar kitab-kitabnya buat al-Sukhtiyani ( w. 131 H), kitab-kitab itu diserahkan kepadanya dan sebagai pengganti transportasinya ia menyerahkan uang lebih 10 dirham.

  1. Al-Wijādah ÄÕ8ä-qeãÅ

Wijādah secara etimologi berarti mendapat. Maksud metode ini seseorang mendapatkan sebuah atau beberapa tulisan hadis yang diriwayatkan seorang syaikh yang ia kenal, tetapi ia tidak mendengar dan tidak ada ijazah dari padanya. Atau  seorang murid mendapatkan sebuah kitab  tulisan seorang yang hidup semasa dan dikenal tulisannya, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau tulisan orang yang tidak semasa tetapi diyakini benar bahwa kitab tersebut  tulisannya dengan bukti-bukti kuat, seperti persaksian ahli ilmu, popularitas kitab bagi pemiliknya,  adanya sanad yang kuat, dan lain-lain maka ia boleh meriwayatkannya secara bercerita (hikayah). Misalnya : “Aku temukan  dalam kitab si Fulan begini…., atau si Fulan berkata begini dalam kitabnya”  tidak dengan cara mendengar secara langsung.

C.  Pengertian Ada’ al-Ḥadῑṡ

Kata Ada’ ÄxãÅ berasal dari kata  xã8üpÀÖ}8ý%À ú8Ò}Àú8ü=  melaksanakan suatu pekerjaan pada waktunya,  membayar pada waktunya, atau menyampaikan kepadanya. Misalnya melaksanakan salat atau  zakat dan atau puasa pada waktunya di sebut ada’ sedangkan melaksanakannya di luar waktunya disebut  qaḍa’. Secara terminologi  ada’  diartikan  :

ÁÖIqJ6iW~Jær=~VeuV~fç%p+}92eãÖ}ãp<

“Meriwayatkan Hadis dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menggunakan  bentuk kata tertentu.”

        Definisi lain dikemukakan dalam Ilmu Mushthalah al-Hadits:

|8Ò}p=~Veã1üuUwæüá+}92eãxãÀuyã8üp+}92eãW~fç%qsxã8öã

püém5ýæén)91ád9ç}wYÀxã8öãW~.1uRjAäja+}92eã

9j1ühäiöãoQg^mÀ0wËIöãòäsänRiXw&5ãäsq2mpü#RjA

äm=ç5üpÀ#RjApÀän)91Àén)91 áueq]ò 7~F ÐZeSç%ãádä]umã

 Ár9R%vp

 “Ada’ adalah menyampaikan hadis dan meriwayatkannya, Sedangkan Ada’ al-hadis adalah menyampaikan hadis kepada orang lain dan meriwayatkannya  sebagaimana ia mendengar  sehingga dalam bentuk-bentuk lafal yang digunakan dalam periwayatan. Tidak boleh  lafal   én)91  diganti dengan  ém5ü atau  #RjA  atau persamaannya  karena berbeda  makna dalam istilah. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, ia  berkata: Ikutilah lafalnya syaikh yang digunakan dalam periwayatan  pada perkataan    én)91,  än)91 ,  #RjA, dan  äm=ç5ü jangan engkau  lewatkan.”

Dalam ada’ harus disebutkan ungkapan atau bentuk kata yang digunakan dalam penyampaian hadis, karena ungkapan ini mempunyai makna tersendiri bagi para peneliti hadis yang menunjukkan  validitasnya. Tidak boleh menggantikan lambang-lambang periwayatan yang telah dipakai oleh guru-gurunya, tidak boleh kata ḥaddaṡana diganti dengan akhbarani dan seterusnya.

Mayoritas ulama hadis, ulama ushul, dan ulama fikih sepakat bahwa  syarat-syarat penyampaian hadis (Ada’ al-ḥadῑṡ) sebagai berikut:

  1. Muslim (beragama Islam).

Orang kafir tidak diterima dalam menyampaikan hadis sekalipun diterima dalam tahammul. Dalam menerima hadis bagi orang kafir syah saja karena hanya menerima tidak ada kekhawatiran kecurangan dan pendustaan, berbeda dengan penyampaian.

  1. Baligh (dewasa).

Pengertian dewasa maksudnya dewasa dalam berpikir bukan dalam usia  umumnya. Dewasa di sini diperkiraan berusia belasan tahun yang disebut  remaja dalam perkembangan anak. Usia remaja adalah usia kritis dalam berpikir dan lebih konsisten dalam memelihara hadis. Berbeda usia anak kecil yang ditakutkan bohong. Anak kecil terkadang  suka bohong, karena tidak ada  hukuman bagi anak kecil yang menyimpang. Kecuali jika milieu sosial dan keluarganya terbina  baik dengan pembiasaan kejujuran. Setelah anak dewasa baharu ada penerapan hukum perintah dan larangan.

  1. Aqil (berakal)

Syarat berakal sangat penting dalam penyampaian hadis, karena hanya orang berakallah yang mampu membawa amanah hadis dengan baik. Periwayatan seorang yang tak berakal, kurang akal, dan  orang gila tidak dapat diterima.

  1. `Adalah (adil)

Adil adalah suatu sifat  pribadi   taqwa, menghindari perbuatan dosa (fasik) dan menjaga kehormatan dirinya (muru’ah). Sebagai indikatornya seorang yang adil dapat dilihat dari kejujurannya, menjauhi dosa-dosa besar dan kecil, seperti mencuri minum dan lain-lain. Tidak melakukan perbuatan mubah yang merendahkan kehormatan dirinya, seperti makan di jalanan, kencing berdiri dan bercanda yang berlebihan.

  1. Ẓabiṭ (kuat daya ingat)

Arti dhabith adalah kemampuan seseorang dalam memahami dan mengingat apa yang ia dengar. Seorang perawi mampu mengingat atau hapal apa yang ia dengar dari seorang guru pada saat menyampaikan hadis (ẓabiṭ al-ṣadr). Atau jika dhabith dalam tulisan (Ẓabiṭ al-kitabah), tulisannya terpelihara  dari kesalahan, pergantian, dan kekurangan.

D. Lafal-lafal dalam Ada’ al-Hadis

Lafal-lafal yang digunakan dalam periwayatan hadis disebut dengan siyāg al-isnād (sigat-sigat isnad). Sighat isnad memiliki beberapa martabat (tingkatan), beragam, dan berbeda  bergantung kepada metode yang digunakan.

  1. Dalam metode al-Samâ’

Bentuk lafal ada`  yang digunakan dalam metode al-Sama`  menurut al-Qadliy  `Iyadh  adalah seperti kata-kata berikut  :

        a. #RjA   = Aku mendengar, 

        b.  &)91 Â än)91 = Si Fulan memberitakan kepada kami/ kepadaku,

c.  äm=ç5üÂ%5ü   = Si Fulan memberitakan kepadaku/ kepada kami

        d.  ämýçmü Â%ýçmü= Si Fulan memeberitakan kepadaku/kepada kami .

        e.    1 dä]  =   Si Fulan  berkata kepadaku

        f.    1 =a:  = Si Fulan  menyebutkan kepadaku.

         Lafal &)91Â%5ü digunakan ada’ ketika tahammul  sendirian, sedang kata än)91 äm=ç5ü digunakan adâ’ ketika taḥammul bersama orang lain atau berjama’ah. Al-Khathîb berpendapat, bahwa lafal  al-Samâ` yang paling tinggi adalah #RjA,&)91  än)91, kemudian  äm=ç5üÂ%5ü   sebelum dikhususkan untuk metode al-Qirā’ah dan  ämýçmü Â%ýçmü digunakan sedikit berlaku. Ulama mutaakhkhirin memberlakukan lafal ada’  a dan b di atas untuk metode al-sama’, lambang c untuk metode al-qira’ah dan lambang d. untuk metode ijazah. Sedikit sekali di antara periwayat dalam metode  al-sama` menggunakan kata      1 =a: atau 1 dä] , karena ungkapan ini kebanyakan digunakan dalam metode sama` al-mużakarah (mendengar dalam mudzakarah) bukan sama` al-tahdiṡ (mendengar dalam rangka menerima hadis).

2.  Pada metode al-‘arḍu/ al-qirā’ah

Bentuk lafal  ungkapan  ada’ dalam metode ini  :

a.    lwY 2Q#y=] = Aku membaca di hadapan si Fulan, 

b. =]ýYÂSjAüämãpu~fQx=] = dibaca di hadapannya dan aku mendengarnya/ diakui bacaannya.

c. u~fQÕxã=]än)91 = Ia memberitkan kepada kami dengan membaca di hadapannya.

d. äm=ç5üÂ%5ü   = memberitakan kepadaku/kepada kami, karena pengakuan syaikh terhadap bacaan muridnya sama dengan pemberitaan kepadanya.

3.  Metode al-Ijāzah

Ungkapan tahammul dalam metode ijazah ini yang diperbolehkan hanya ijazah kepada orang tertentu yang jelas identitasnya untuk meriwayatkan hadis tertentu, misalnya:

ú<ä6çeã3~2Ic%? = “ Aku ijazahkan kepadamu kitab Shahih al-Bukhari”.

Jika ijazah ditujukan kepada orang yang tidak jelas identitasnya sekalipun kitab hadisnya jelas atau orang yang akan diijazahi jelas tetapi hadisnya tidak jelas, tidak dapat diterima. Pada umumnya majelis metode al-sama` dan al-qira’ah hadisnya dibaca di majelis oleh Syaikh, sedang dalam metode ijazah tidak dibacakan hadisnya.

Beberapa  ungkapan ada’ al-ḥaῑṡ dalam metode ini sebagai berikut;

a.  lwY1>ä = Si Fulan memberikan ijazah kepadaku.

b.  Õ>ä-ü än)91  = Si Fulan memberitakan kepada kami  dengan cara ijazah, ( metode ijazah bercampur dengan metode al-sama’)

c.  Õ>ä-ü äm=ç5ü = Si Fulan memberitakan kepada kami dengan ijazah (metode ijazah bercampur dengan metode  al-qira’ah)

d.  ämýçmü = Si Fulan memberitakan kepada kami (berlaku bagi mutaakhkhirin)

4.   Metode al-Munawalah

    Bentuk ungkapan Ada’ al-Hadis dalam metode Munawalah berijazah  yang paling baik adalah dengan mengatakan  :

a.   1>ä-üp&epäm  = Si Fulan  memberikan Hadis kepadaku dan memberi ijazah untuk meriwayatkan.

b.  Öepäni än)91 = Memberitakan kepada kami  dengan metode munâwalah, (munawalah bercampur dengan al-Samâ’)

c.   Õ>ä-üp Öepäni äm=ç5ü = Memberitakan kepada kami  dengan metode munawalah dan Ijazah (munawalah bercampur dengan al-Qira’ah)

5.  Metode al-Mukatabah

Ungkapan ada’ al-hadis dalam metode ini,  adakalanya dengan ungkapan yang tegas, misalnya :

a. lwY#ãè&a  = Si Fulan menulis surat kepadaku,

b. Öæä&aûm =ç5ü pülwY &)91= Si Fulan memberitakan kepadaku atau memberitakan kepadaku melalui surat (metode munawalah bercampur dengan metode al-sama’ dan al-qira’ah)

6.  Metode al-I’lām

Lambang ungkapan ada’ al-Hadits dengan menggunakan :

ã;bæû6~E ûnjfQü = Syaikhku memberikan informasi kepadaku begini ..

7.  Metode al-Waṣiyah

Bentuk ungkapan ada’ al-hadis dalam metode ini adalah:

a.  ã;bælwYûeãûIpü = Si Fulan berwasiat kepadaku begini,

b. Ö~IplwY &)91 = Si Fulan memberitakan kepadaku  dengan wasiat. (metode al-washiyah bercampur dengan metode al-samâ)

 

8.  Metode al-Wijādah

Hukum periwayatan dengan wijādah termasuk bab munqaṭi` (terputus sanad), tetapi juga ada unsur muttashil. Bentuk ungkapannya :

a.  ã;al wYÌ6æ$9-p = Aku dapatkan pada tulisan si Fulan begini.....,

b. ã;al wYÌ6æ$ü=]   = Aku membaca pada  tulisan si Fulan begini…...

Pengamalan wijadah tidak diperbolehkan menurut mayoritas muhaddisin pengikut Imam Malik sedangkan menurut al-Syafi`i dan pandangan para sahabatnya diperbolehkan, bahkan menurut sebagian peneliti al-Syafi`i wajib diamalkan jika penukilnya memiliki kredibelitas (ṡiqah) dalam periwayatan. Tidak ada bedanya dengan perkembangan ilmu pengetahun teoretis secara ilmiah dikutip dan diriwayatkan  secara wijādah. Demikian juga hadis Nabi yang dikutip dari berbagai kitab shahih pada era modern  bagian dari wijādah.

  1. Mengusahakan agar tetap bisa memperoleh hadis dari seorang guru yang tsiqah, lebih-lebih dapat bertemu langsung dan empat mata, merupakan karakter ulama pada masa penerimaan dan penyampaian hadis. Hal ini dilakukan karena kuallitas hadis sangat ditentukan oleh oleh bagaimana hadis itu diperoleh dari gurunya dan disampaikan kepada murid-muridnya. Sehingga mereka senantiasa berusaha sekuat mungkin untuk dapat mempertahankan keaslian hadis nabi.
  2. Munculnya berbagai macam cara penerimaan dan penyampaian hadis, mengindikasikan bahwa sampai pada batas yang rendah dalam nilai sebuah penerimaan dan penyampaian, menunjukkan bahwa betapa penting sebuah proses harus dilakukan walau pada akhirnya harus mendapatkan yang sesuatu yang kurang diharapkan.

Siswa-siswi di kelas dibagi menjadi lima kelompok, setiap kelompok membuat makalah tentang satu hadis, tema tertentu, kemudian dipresentasikan di depan kelas. Pembagian tema hadis ditentukan oleh guru mata pelajaran

Pencarian hadis sampai mendapatkannya dari seorang guru atau syekh, yang kemudian dikenal dengan istilah tahammul, merupakan upaya penyelamatan hadis nabi. Dari usaha yang sungguh-sungguh ini, akhirnya dapat dibukukkan dan menghasilkan beberapa istilah, antara lain as-Sama’, al-‘Ardhu, al-Ijazah, al-Munawwalah, al-Mukatabah, al-‘Ilam, dan al-Wijadah. Sementara dalam penyampaian hadis kepada murid-muridnya dinamakan al-‘ada. Adapun lafad yang digunakan al-‘ada menyesuaikan dengan tahammulnya.

Kisah Keteladanan

Imam Bukhari

Amirul Mukminin fil Hadits, gelar itu didaulatkan para ulama kepada ahli hadis dari Kota Bukhara, Uzbekistan. Tak salah bila ulama besar di abad ke-9 M ini ditabalkan sebagai ‘Pemimpin Kaum Mukmin dalam Ilmu Hadis’. Betapa tidak, hampir seluruh ulama merujuk kitab kumpulan hadis sahih yang disusunnya.Para ulama juga bersepakat, Al Jami’ as Sahih atau Sahih Al Bukhari kumpulan hadis sahih sebagai kitab paling otentik setelah Alquran. Sahih Al Bukhari yang disusun ulama legendaris asal ‘kota lautan pengetahuan’ Bukhara itu juga diyakini kalangan ulama Sunni sebagai literatur hadis yang paling afdol. Sang ulama fenomenal itu mendedikasikan hidupnya untuk menyeleksi secara ketat ratusan ribu hadis yang telah dihafalnya sejak kecil. Karyanya yang sangat monumental itu bak cahaya yang telah menerangi perjalanan hidup umat Islam. Ribuan hadis sahih telah dipilihnya menjadi pedoman hidup umat Islam, sesudah Alquran. 

Ulama besar dan ahli hadis nomor wahid ini memiliki nama lengkap Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Al Mughirah Ibnu Bardizbah Al Bukhari . Ia lebih dikenal dengan nama tanah kelahirannya, Bukhara. Dan, masyarakat Muslim pun biasa memanggilnya Imam Bukhari. Pemimpin kaum Mukminin dalam ilmu hadis itu terlahir pada hari Jumat, 13 Syawal 194 H, bertepatan dengan 20 Juli 810 M. Sejak kecil, Imam Bukhari hidup dalam keprihatinan. Alkisah, ketika terlahir ke dunia, Bukhari cilik tak bisa melihat alias buta. Sang bunda tak putus dan tak tak pernah berhenti berdoa dan memohon kepada Allah SWT untuk kesembuhan penglihatan putranya.

Pada usia 18 tahun, secara khusus, Imam Bukhari mencurahkan pikiran dan waktunya untuk mengumpulkan, mempelajari, menyeleksi, dan mengatur ratusan ribu hadis yang dikuasai dan dihafalnya. Demi memurnikan dan mencapai hadis-hadis yang paling otentik dan sahih, ia berkelana ke hampir seluruh dunia Islam, seperti Mesir, Suriah, Arab Saudi, serta Irak. Dengan penuh kesabaran, ia mencari dan menemui para periwayat atau perawi hadis dan mendengar langsung dari mereka. Tak kurang dari 1.000 perawi hadis ditemuinya. Hingga akhirnya, Imam Bukahri menguasai hampir lebih dari 600 ribu hadis, baik yang sahih maupun dhaif. Perjalanan mencari dan menemukan serta membuktikan kesahihan hadis-hadis itu dilakukannya selama 16 tahun.

Setelah sekian lama mengembara, ia lalu kembali ke Bukhara dan merampungkan penysunan kitab yang berisi kumpulan hadis sahih berjudul Al Jami’ Al Sahih. Kitab hadis yang menjadi rujukan para ulama itu berisi 7.275 hadis sahih. Pada usia 54 tahun, dia berkunjung ke Nishapur, sebuah kota di Asia Tengah. Di kota itu, Imam Bukhari diminta untuk mengajar hadis. Salah seorang muridnya adalah Imam Muslim yang juga terkenal dengan kitabnya Sahih Muslim. Imam Bukhari lalu hijrah ke Khartank, sebuah kampung di dekat Bukhara. Para penduduk desa memintanya untuk tinggal di tempat itu. Imam Bukhari pun tinggal di Desa Khartank hingga tutup usia pada usia 62 tahun. Ia meninggal dunia pada tahun 256 H/ 870 M. Meski telah meninggal 13 belas abad yang lalu, namun cahaya dari Bukhara itu tak pernah padam dan terus menerangi kehidupan umat Muslim.

Disadur dari Imam Bukhari: Cahaya Kemilau dari Bukhara.

 

  1. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar!
  1. Jelaskan pengertian tahammul hadis
  2. Sebutkan syarat-syarat periwayatan hadis
  3. Jelaskan periwayatan hadis oleh anak-anak
  4. Jelaskan perbedaaan antara سمعت  dengan سمعنا ؟
  5. Sebutkan syarat-syarat diperbolehkannya periwayatan hadis dengan makna!

  1. Tugas

Setelah saudara  mempelajari  taḥammul wa al-ada’ , maka lengkapilah tabel berikut untuk lebih mempermudah pemahaman saudara!

 

Lafad ‘ada al-Hadis

As-Sama

Al-‘Ardlu

Al_ijazah

Al-Munawwalah

Al-Mukatabad

سمعت

....

....

....

....

....

....

....

....


DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul. Pelajaran Hadis Ilmu Hadis. Semarang: Wicaksana, 1988.

CD Mausu’ah al-Ḥadῑṡ al-Syarῑf al-Kutub al-Tis’ah.

Fatchurrahman. Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT Ma’arif, 1974.

Hassan, A. Qadir. Ilmu Musthalah Hadis. Bandung: Diponegoro, 2007.

http://wikipedia.org.

Abu Syuhbah, Muhammad Muhammad, Fῑ  Rihᾱb al-Sunnah, Mesir, Majma’ al Buhūṡ al-Isamiyyah, 1979

Abu Zahwu, Muhammad Muhammad, al-Hadῑs wa al-Muhaddisūn,  Beirut; Dar al-Kutub al-’Arabai, 1984

Al-Khatib, M. Ajjaj. Uṣul al Ḥadῑṡ Ulumūhu wa Muṣṭalahuhu. Beirut: Dār al Fikr, 1989.

--------- al-Sunnah Qabla al-Tadwῑn. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Ash-Shidiqi, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1954.

As-Shalih, Subhi. Ulūm al-Ḥadῑṡ wa Muṣṭalahuhu. Beirut: Dār al’Ilmi lil Malayin, 1997.

At-Thahan, Mahmud. Taisῑr al-Muṣṭalahil Ḥsdῑṡ. Beirut: Dār al-Fikr, t.th.

--------- Uṣul al-Takhrῑj wa Dirasat al-Asānῑd. Riyadh, Arab Saudi: Maktabah al-Rasyid, 1983.

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Rosidin, Mukarom Faisal dkk, Hadis, Kartasura, PT Wangsa Jatra Lestari, 2012

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.