Published using Google Docs
The Lost Symbol- Bab 66-133 Tamat
Updated automatically every 5 minutes

BAB 66

"Kita harus keluar dari sini," ujar Langdon kepada Katherine "Hanya masalah waktu sebelum mereka mengetahui di mana kita berada." Dia berharap Bellamy berhasil lolos.

Katherine tampak masih terpaku pada batu-puncak emas. Ia tampak tidak percaya bahwa inskripsi-nya sangat tidak membantu. Dia sudah mengeluarkan batu-puncak itu dari kotak, meneliti semua sisinya, dan kini dengan hati-hati memasukkannya kembali ke dalam kotak.

Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo, pikir Langdon. Sangat membantu.

Kini Langdon mendapati dirinya bertanya-tanya, Peter keliru mengenai isi kotak itu. Piramida dan batu-puncak diciptakan lama sebelum lelaki itu dilahirkan, dan dia hanya menjalankan perintah nenek moyangnya, menyimpan sebuah... yang mungkin sama misteriusnya baginya, seperti juga baginya dan Katherine.

Apa yang kuharapkan? pikir Langdon bertanya-tanya. Semakin banyak yang diketahuinya malam ini mengenai Legenda Pirami Mason, tampaknya semakin tidak masuk akal semuanya. Aku mecari tangga spiral tersembunyi yang ditutupi oleh batu besar? Sesuatu mengatakan kepada Langdon bahwa dia hanya mengejar bayang--bayang. Walaupun demikian, memecahkan kode piramida ini tampaknya merupakan

peluang terbesarnya untuk menyelamatkan Peter.

"Robert, apakah tahun 1514 ada artinya bagimu?"

Lima belas empat belas? Pertanyaan itu tampaknya tidak berhubungan dengan apa pun. Langdon mengangkat bahu. "Tidak ada. Mengapa?"

Katherine menyerahkan kotak batu itu. "Lihat. Kotaknya bertanggal. Lihatlah di bawah lampu."

Langdon duduk di meja dan mengamati kotak berbentuk kubus itu di bawah lampu. Dengan lembut, Katherine meletakkan tangannya dibahu Langdon, dan membungkuk untuk menunjukkan teks mungil yang ditemukannya terukir di bagian luar kotak, di dekat pojok bawah salah satu sisinya.

"Lima belas empat belas A.D. (Masehi)," ujar Katherine, seraya menunjuk ke dalam kotak.

Memang, ukiran itu menggambarkan angka 1514, diikuti huruf A dan D yang ditulis dengan gaya tidak biasa.  1514 AD

"Tanggal ini," kata Katherine, yang mendadak kedengaran penuh harap, "mungkin merupakan kaitan yang hilang? Kubus tertanggal ini tampak sangat menyerupai batu pertama Mason, Jadi mungkin tulisan ini menunjuk ke sebuah batu pertama asli? Mungkin ke sebuah gedung yang dibangun pada 1514 Masehi."

Langdon nyaris tidak mendengarnya.

Lima belas empat belas A.D. bukanlah tanggal.

Simbol AD, seperti yang akan dikenali oleh semua mahasiswa seni Abad Pertengahan, adalah simbatura - simbol yang digunakan sebagai pengganti tanda tangan - yang terkenal. Banyak di antara para filosof, seniman, dan pengarang kuno yang menandatangani karya mereka dengan simbol atau monogram unik mereka sendiri sebagai pengganti nama. Praktik ini menambahkan pesona misterius pada karya mereka, dan juga melindungi mereka dari hukuman seandainya tulisan atau karya seni mereka dianggap bertentangan dengan penguasa.

Dalam kasus simbatura ini, huruf A.D. bukanlah singkatan dari Anno Domini (Masehi)... melainkan merupakan bahasa Jerman untuk sesuatu yang benar-benar berbeda.

Langdon langsung melihat semua teka-tekinya terpecahkan. Dalam hitungan detik, dia yakin dirinya tahu pasti cara memecahkan kode piramida. "Katherine, kau berhasil," katanya, serta berkemas-kemas. "Hanya itu yang kita perlukan. Ayo pergi. Akan kujelaskan dalam perjalanan."

Katherine tampak takjub. "Tanggal 1514 A.D. benar-benar ada arti-nya buatmu?"

Langdon mengedipkan sebelah mata dan berjalan ke "A.D. bukan tanggal, Katherine. Itu nama orang."

BAB 67

Di sebelah barat Embassy Row semuanya kembali hening di dalam kebun berdinding dengan mawar-mawar abad ke-12 dan gazebo Rumah Bayangan. Di sisi lain jalan masuk, pemuda itu membantu atasannya yang bungkuk berjalan melintasi halaman luas.

Dia membiarkanku menuntunnya?

Biasanya, lelaki tua buta itu menolak bantuan, lebih suka menjelah berdasarkan ingatan saja pada saat berada di tanah tempat perlindungannya. Akan tetapi malam ini tampaknya dia ingin segera masuk dan membalas telepon Warren Bellamy.

"Terima kasih," ujar lelaki tua itu, ketika mereka memasuki gedung tempat ruang kerjanya berada. " Aku bisa menemukan jalanku dari sini."

"Pak, dengan senang hati saya bisa tetap tinggal dan membantu-"

"Sampai di sini saja," kata lelaki tua itu, seraya melepaskan tangan penolongnya dan bergegas menyeret langkah memasuki kegelapan. "Selamat malam."

Pemuda itu meninggalkan gedung dan berjalan kembali melintasi halaman luas menuju kediaman sederhananya di tanah itu. Saat memasuki tempat tinggalnya, dia diusik rasa penasaran- Lelaki tua itu jelas terganggu oleh pertanyaan yang diajukan Mr. Bellamy ... tetapi pertanyaan itu tampak aneh, nyaris tidak ada artinya.

Tidak adakah pertolongan untuk putra si janda?

Dalam imajinasi terliarnya, dia tidak bisa menebak apa kemungkinan artinya. Dengan bingung, dia menuju komputer dan mengetik untuk mencari frasa yang persis sama ini. Yang mengejutkannya, muncul berhalaman-halaman referensi dan semuanya mengutip pertanyaan yang sama ini. Dia membaca semua informasi itu dengan takjub. Tampaknya Warren Bellamy bukanlah orang pertama dalam sejarah yang mengajukan pertanyaan ini. Kata-kata yang sama ini diutarakan berabad-abad yang lalu oleh Raja Solomon, ketika berduka atas terbunuhnya seorang teman. Konon pertanyaan itu masih diutarakan sampai saat ini oleh kaum Mason, yang menggunakannya sebagai semacam permohonan tolong tersandi. Tampaknya Warren Bellamy mengirimkan panggilan darurat kepada sesama anggota Mason.

BAB 68

Albrecht Durer?

Katherine mencoba menyatukan semua potongan teka-teki ketika dia bergegas bersama Langdon melewati ruang bawah tanah Gedung Adams. A.D. singkatan dari Albrecht Durer? Pemahat dan pelukis Jerman abad ke-16 yang terkenal itu adalah salah seorang seniman favorit kakaknya, dan Katherine sedikit mengenal karyanya. Walaupun demikian, dia tidak bisa membayangkan bagaimana Durer bisa membantu mereka dalam kasus ini. Lagi pula, dia sudah mati selama lebih dari empat ratus tahun.

"Secara simbolis, Durer sempurna," ujar Langdon, ketika mereka mengikuti serangkaian tanda KELUAR yang terang. "Dia lelaki Renaisans paling cerdas - seniman, filosof, ahli kimia, dan selalu mempelajari Misteri Kuno. Sampai sekarang, tak seorang pun memahami sepenuhnya pesan-pesan yang tersembunyi dalam karya seni Durer."

"Itu mungkin benar," kata Katherine. "Tapi, bagaimana '1514 Albrecht Durer' bisa menjelaskan cara memecahkan kode piramida?"

Mereka tiba di sebuah pintu terkunci, dan Langdon menggunakan kartu-kunci Bellamy untuk masuk.

"Angka 1514," jelas Langdon, ketika mereka bergegas menaiki tangga, "menunjukkan kita ke sebuah karya Durer yang sangat spesifik." Mereka memasuki koridor besar. Langdon melihat ke sekeliling, lalu menunjuk ke kiri. "Ke sini." Mereka kembali bergerak cepat. " Albrecht Durer sesungguhnya menyembunyikan angka 1514 dalam karya seninya yang paling misterius � Melencolia I - yang diselesaikannya pada 1514. Itu dianggap karya Renaisans Eropa Utara yang sangat berpengaruh."

Peter pernah menunjukkan Melencolia I dalam sebuah buku tua mengenai mistisisme kuno, tapi Katherine tidak mengingat adanya angka 1514 yang tersembunyi.

"Seperti yang mungkin kau ketahui," ujar Langdon, kedengarannya bersemangat, "Melencolia I menggambar perjuangan umat manusia dalam memahami Misteri Kuno. Simbolisme dalam Melencolia I begitu rumit, sehingga membuat kekalahan Leonardo da Vinci tampak jelas."

Mendadak Katherine berhenti dan memandang Langdon, "Robert, Melencolia I ada di sini, di Washington- Tergantung di Galeri Nasional."

"Ya," kata Langdon seraya tersenyum, "dan kurasa itu kebetulan. Saat ini galerinya tutup, tapi aku mengenal kuratornya dan-"

"Lupakan, Robert. Aku tahu apa yang terjadi ketika kau pergi ke museum." Katherine berjalan menuju sebuah ceruk di dekatnya. Di sana dia melihat sebuah meja dengan komputer.

Langdon mengikuti, tampak tidak senang.

"Ayo kita lakukan dengan cara yang lebih mudah." Tampak Profesor Langdon, sang ahli seni, mengalami dilema etis: Mengapa menggunakan Internet, padahal karya aslinya begitu dekat. Katherine melangkah ke balik meja dan menyalakan komputer. Ketika mesin akhirnya menyala, dia menyadari adanya masalah lain. "Tidak ada ikon untuk peramban."

"Itu jaringan internal perpustakaan." Langdon menunjuk sebuah ikon pada desktop. "Coba yang itu."

Katherine mengeklik ikon bertuliskan KOLEKSI DIGITAL. Komputernya mengakses layar baru, dan Langdon kembali menunjuk. Katherine mengeklik ikon yang dipilih Langdon: KOLEKSI FINE PRINTS. Layar melakukan refresh. FINE PRIN CARI.

"Ketik 'Albrecht Durer'."

Katherine memasukkan nama itu, lalu mengeklik kunci pencarian. Dalam hitungan detik, layar mulai menyajikan serangkaian gambar kecil. Semua gambar itu tampaknya bergaya serupa � ukiran hitam putih rumit. Tampaknya Durer menciptakan lusinan ukiran yang sama.

Katherine meneliti daftar karya seni Durer berdasarkan Abjad.

  Adam and Eve (Adam dan Hawa)

  Betrayal of Christ (Pengkhianatan Kristus)

  Flour Horsemen of the Apocalypse (Empat Pengendara Kuda dari Kitab Wahyu)

  Great Passion (Penderitaan Kristus.)

  Last Supper (Perjamuan Terakhir)

Ketika melihat semua judul berbau Alkitab ini, Katherine ingat bahwa Durer mempraktikkan sesuatu yang disebut Kristen Mistis - peleburan antara Kristen awal, alkimia, astrologi, dan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan.

Gambaran lab yang terbakar melintas di benak Katherine. Dia nyaris tidak bisa mencerna akibat-akibat jangka-panjangnya, tapi saat ini pikirannya tertuju kepada asistennya, Trish. Semoga dia berhasil keluar.

Langdon sedang mengutarakan sesuatu mengenai The Last Supper versi Durer, tapi Katherine nyaris tidak mendengarkan. Katherine baru saja melihat tautan untuk Melencolia I.

Dia mengeklik mouse, dan halaman itu menyajikan informasi umum:

  Melencolia I, 1514

  Albrecht DUrer

  (ukiran pada lempeng-perunggu)

  Koleksi Rosenwald

  National Gallery of Art

  Washington, DC

Ketika Katherine menggulung layar ke bawah, sebuah gambar digital resolusi-tinggi yang menunjukkan mahakarya Durer muncul dengan segala kemegahannya.

Katherine menatap dengan takjub. Dia sudah lupa berapa usia karya itu.

Langdon tergelak memahami. "Seperti yang kubilang teks itu tersandi."

Melencolia I terdiri atas sosok muram dengan sepasang raksasa duduk di depan sebuah bangunan batu, dikelilingi kumpulan benda paling aneh dan berlainan yang bisa dibayangkan - timbangan, anjing kurus kering, peralatan tukang kayu, pasir, berbagai bentuk geometris tiga-dimensi, lonceng yang tergantung, malaikat gemuk kecil bersayap, pisau, tangga.

Samar-samar Katherine ingat cerita kakaknya bahwa malaikat bersayap itu merupakan representasi "manusia genius" - pria hebat yang bertopang dagu, tampak muram, masih belum menemukan pencerahan. Si genius itu dikelilingi semua simbol kecerdasan manusia - benda-benda ilmu pengetahuan, matematika, ilmu alam, geometri, bahkan pertukangan - tetapi dia masih belum menaiki tangga menuju pencerahan sejati. Bahkan, manusia genius pun mengalami kesulitan dalam memahami Misteri Kuno.

"Secara simbolis," jelas Langdon, "ini merepresentasikan kegagalan manusia untuk mengubah kecerdasan manusia menjadi kekuatan menyerupai-Tuhan. Dalam istilah alkimia, itu merepresentasikan ketidakmampuan kita untuk mengubah timah menjadi emas."

"Bukan pesan yang membangkitkan semangat," ujar Katherine mengiyakan. "Jadi, bagaimana gambar ini bisa membantu kita?" Dia tidak melihat angka 1514 tersembunyi yang dibicarakan Langdon.

"Keteraturan dari kekacauan," ujar Langdon, seraya tersenyum simpul. "Persis seperti yang dijanjikan oleh kakakmu." Dia merogoh saku dan mengeluarkan kisi huruf-huruf yang ditulisnya berdasarkan cipher Mason. "Saat ini, kisi ini tidak ada artinya." Ia membentangkan kertas itu di meja.

Katherine mengamati kisi itu. Jelas tidak ada artinya.

"Tapi Durer akan mengubahnya. "

"Dan bagaimana caranya melakukan hal itu?"

"Alkimia lingulistik-" Langdon menunjuk layar komputer. "Lihat dengan cermat. Ada sesuatu yang tersembunyi di dalam mahakarya ini, itu akan menjadikan enam belas huruf kita masuk akan." Dia menunggu. "Sudah kau lihat? Cari angka 1514."

Katherine sedang tidak ingin bermain sekolah-sekolahan.

"Robert, aku tidak melihat apa-apa - bola dunia, tangga, pisau, polihedron, timbangan? Aku menyerah!"

"Lihat! Di sana, di latar belakang. Diukirkan pada bangunan di belakang malaikat itu? Di bawah lonceng, Durer mengukirkan sebuah persegi empat penuh angka."

Kini Katherine melihat persegi empat berisikan angka-angka, di antaranya 1514.

"Katherine, persegi empat itu adalah kunci untuk memecahkan kode-kode piramida!"

Perempuan itu memandangnya dengan terkejut.

"Itu bukan sembarang persegi empat," ujar Langdon seraya menyeringai. "Itu, Miss Solomon, adalah persegi empat ajaib."

BAB 69

Kemana mereka membawaku?

Bellamy masih ditutupi matanya di kursi belakang mobil. Setelah perhentian singkat di suatu tempat di dekat Perpustakaan Kongres, kendaraan itu melaju kembali .. tapi hanya selama menit. Kini SUV itu berhenti lagi, setelah hanya melaju sebentar, kira-kira satu blok.

Bellamy mendengar pembicaraan dengan suara-suara terredam.

"Maaf... mustahil..." kata sebuah suara berwibawa, "tutup pada jam seperti ini"

Lelaki yang menyetir SUV menjawab dengan kewibawaan yang setara. "Penyelidikan CIA ... keamanan nasional..." Tampaknya pertukaran kata-kata dan ID-nya meyakinkan, karena nada suaranya langsung berubah.

"Ya, tentu saja ... pintu masuk petugas pelayanan ...." terdengar suara menggelinding keras yang kedengarannya seperti pintu garasi. Dan, ketika pintu terbuka, suara itu menambahkan, "Perlukah saya dampingi? Setelah berada di dalam, Anda tidak akan bisa memasuki -"

"Tidak usah. Kami sudah mendapat akses."

Seandainya pun penjaga itu terkejut, semuanya sudah terlambat. SUV kembali bergerak. Kendaraan itu maju sekitar lima puluh meter, lalu berhenti. Pintu tebal bergerumuh menutup kembali di belakang mereka.

Keheningan.

Bellamy menyadari bahwa tubuhnya gemetar.

Dengan suara berdebum, pintu belakang SUV terbuka. Rasa sakit menusuk bahu Bellamy ketika seseorang menyeretnya keluar dengan menarik kedua lengannya, lalu mengangkatnya agar berdiri. Tanpa kata, sebuah tenaga kuat menuntunnya melintasi bentangan luas jalanan. Tercium bau tanah aneh yang tidak bisa dikenalinya. Terdengar langkah kaki seseorang yang berjalan bersama mereka, tapi tak terdengar sepatah kata pun suara.

Mereka berhenti di sebuah pintu, dan Bellamy mendengar denting elektronik. Pintu terbuka. Bellamy diseret melewati beberapa koridor, dan mau tak mau dia memperhatikan udaranya yang lebih hangat dan lebih lembab. Mungkin kolam renang tertutup? Tidak. Bau udaranya bukan klorin ... tapi jauh lebih tajam dan menyerupai tanah.

Dimana gerangan kita?! Bellamy tahu, dia tidak mungkin lebih jauh dari satu atau dua blok dari Gedung Capitol. Sekali lagi mereka berhenti, dan sekali lagi dia mendengar denting elektronik pintu pengaman. Pintu yang ini membuka dengan suara berdesis. Ketika mereka mendorongnya melewati pintu, bau yang tercium tidak mungkin keliru.

Kini Bellamy menyadari di mana mereka berada. Astaga! Dia sering datang kemari, walaupun tidak pernah melalui pintu masuk petugas pelayanan. Gedung kaca yang menakjubkan ini hanya berjarak tiga ratus meter dari Gedung Capitol, dan secara teknis merupakan bagian dari Kompleks Capitol. Aku mengurus tempat ini! Kini Bellamy menyadari bahwa rangkaian kunci-kunci miliknya sendirilah yang memberi mereka akses.

Lengan-lengan kuat mendorongnya melewati ambang pintu, menuntunnya menyusuri lorong berliku-liku yang dikenalnya.

Kehangatan dan kelembapan tempat ini biasanya terasa nyaman baginya. Malam ini dia berkeringat.

Apa yang kita lakukan di sini?!

Mendadak Bellamy dihentikan dan didudukkan di atas sebuah bangku. Lelaki berotot tadi melepaskan borgol Bellamy sebentar, hanya untuk kembali mengaitkan-nya pada bangku di belakang punggungnya.

"Apa yang kau inginkan dariku?" desak Bellamy dengan jantung berdentam-dentam liar.

Satu-satunya jawaban yang dia terima hanyalah suara bot berjalan pergi dan pintu kaca bergeser menutup.

Lalu keheningan.

Keheningan total.

Mereka hendak meninggalkanku begitu saja di sini? Kini keringat Bellamy semakin membanjir ketika dia berjuang membebaskan tangannya. Aku bahkan tidak bisa melepaskan penutup mata?

"Tolong!" teriaknya. "Siapa saja!"

Meski berteriak dengan panik sekalipun, Bellamy tahu tak seorang pun akan mendengarnya. Ruangan kaca yang besar ini - sebagai "Hutan" - benar-benar kedap-udara ketika pintu-pintu tertutup.

Mereka meninggalkanku di dalam Hutan, pikirnya. Tak seorang pun akan menemukanku sampai pagi.

Lalu dia mendengarnya.

Suara itu nyaris tak terdengar, tapi membuat Bellamy ketakutan, mengalahkan suara apa pun yang pernah didengarnya sepanjang hidupnya. Sesuatu sedang bernapas.

Sangat dekat.

Dia tidak sendirian di bangku itu.

Mendadak desis pemantik sulfur terdengar begitu dekat di wajahnya, sehingga dia bisa merasakan panasnya. Bellamy terhenyak, secara insting menarik kuat-kuat borgolnya.

Lalu, tanpa disertai peringatan, sebuah tangan berada di wajahnya, melepaskan penutup matanya.

Api di hadapan Bellamy terpantul di mata hitam Inoue Sato ketika perempuan itu menyulut rokok yang tergantung di bibirnya yang hanya berjarak beberapa inci dari wajah Bellamy.

Perempuan itu menatapnya dalam cahaya bulan yang menembus langit-langit kaca. Dia tampak senang melihat Bellamy ketakutan.

"Jadi, Mr. Bellamy," ujar Sato, seraya mematikan api. "Dari mana kita akan memulai?"

BAB 70

Persegi empat ajaib. Katherine mengangguk ketika mengamati persegi empat berisi angka-angka di dalam ukiran Durer. Sebagian orang akan menganggap Langdon sudah gila, tapi dengan cepat Katherine menyadari kebenaran perkataannya.

Istilah persegi empat ajaib bukan mengacu pada sesuatu yang ajaib, tapi pada sesuatu yang matematis - nama itu diberikan untuk kisi yang terdiri atas urutan angka yang diatur dengan cara sedemikian rupa sehingga hasil penjumlahan angka-angka pada baris, kolom, dan diagonalnya sama.  Diciptakan kira-kira empat ribu tahun yang lalu oleh seorang ahli maternatika di Mesir dan di India, beberapa orang masih percaya bahwa persegi empat ajaib ini memiliki kekuatan ajaib. Katherine pemah membaca bahwa saat ini pun, orang- orang India saleh menggambarkan persegi empat ajaib tiga-kali-tiga yang disebut Kubera Kolam pada altar-altar pemujaan mereka. Tapi sebagian besar manusia modern memasukkan persegi empat ajaib ke dalam kategori "matematika rekreasional"; beberapa orang masih memperoleh kesenangan dari pencarian konfigurasi-konfigurasi "ajaib" baru. Sudoku untuk orang-orang genius.

Dengan cepat Katherine menganalisis persegi empat Durer, menjumlahkan angka-angka dalam beberapa baris dan kolomnya.

"Tiga puluh empat," katanya. "Semua arah berjumlah tiga puluh empat."

"Tepat sekali," ujar Langdon. "Tapi tahukah kau kalau segi empat ajaib ini terkenal karena Durer berhasil mencapai sesuatu yang tampaknya mustahil?" Dengan cepat dia menunjukkan pada Katherine bahwa, selain membuat semua baris, kolom, dan diagonalnya berjumlah tiga puluh empat, Durer juga menemukan cara untuk membuat keempat kuadran, keempat kotak di bagian tengah, dan bahkan keempat kotak di bagian pojoknya berjumlah tiga puluh empat juga. "Tapi yang paling menakjubkan adalah kemampuan Durer menempatkan angka 15 dan 14 bersama-sama di bagian paling bawah, sebagai petunjuk tahun ketika dia menyelesaikan pencapaian luar biasa ini!"

Katherine meneliti angka-angka itu, merasa takjub oleh semua kombinasinya.

Nada suara Langdon kini menjadi semakin bersemangat. "Yang luar biasa, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Melencolia I merepresentasikan kemunculan persegi empat ajaib dalam kalangan seni Eropa. Beberapa sejarahwan percaya, ini cara tersandi Durer untuk menunjukkan bahwa Misteri Kuno telah meninggalkan Alam Misteri Mesir dan kini disimpan oleh perkumpulan-perkumpulan rahasia Eropa." Langdon terdiam. "Dan ini membawa kita kembali kepada... ini."

Dia menunjuk secarik kertas bertuliskan kisi yang terdiri dari huruf-huruf dari piramida batu.

"Kurasa, tata letaknya kini tampak tidak asing lagi?" tanya Langdon.

"Persegi empat empat-kali-empat."

Langdon mengambil pensil dan dengan cermat menuliskan persegi empat ajaib Durer di kertas tadi, tepat di samping persegi empat yang terdiri atas huruf-huruf. Katherine kini melihat betapa mudahnya pemecahan kodenya. Langdon berdiri siaga dengan pensil di tangan, tetapi... anehnya, setelah semua rasa antusias ini, dia tampak ragu.

"Robert?"

Langdon menoleh kepada Katherine, raut wajahnya gelisah. "Kau yakin kita ingin melakukannya? Dengan jelas Peter -"

"Robert, jika kau tidak mau memecahkan kode, ukiran ini, maka aku akan melakukannya." Katherine menjulurkan tangan meminta pensil itu.

Langdon paham bahwa tidak ada yang bisa menghentikan Katherine, karena itu dia menyerah, mengalihkan perhatiannya kembali pada piramida. Dengan cermat dia menutupi kisi piramida dengan persegi empat ajaib, dan mengalokasikan angka untuk setiap huruf. Lalu dia menciptakan kisi baru, meletakkan huruf-huruf cipher Mason dalam urutan baru seperti yang didefinisikan oleh urutan dalam persegi empat

ajaib Durer.

etika Langdon selesai, mereka berdua meneliti hasilnya.

Katherine langsung kebingungan. "Masih tidak ada artinya."

Langdon tetap diam untuk waktu yang lama. "Sesungguhnya Katherine, ini bukan tidak ada artinya." Matanya kembali bersinar oleh kegembiraan penemuannya. "Itu ... bahasa Latin."

Dalam sebuah koridor panjang dan gelap, seorang lelaki buta menyeret langkah secepat mungkin menuju kantornya. Ketika akhirnya tiba, dia menjatuhkan diri ke atas kursi di meja kerjanya, dan tulang-tulang tuanya bersyukur mendapat istirahat itu. Mesin penjawab telepon berkedip-kedip. Lelaki tua itu menekan tombol dan mendengarkan.

"Ini Warren Bellamy," bisik pelan teman dan saudara Mason-nya itu. "Kurasa, aku punya berita mengkhawatirkan...."

Mata Katherine Solomon kembali tertuju pada kisi huruf-huruf itu. Dia meneliti kembali teksnya. Betul saja, sebuah kata Latin itu kini terbaca oleh matanya. Jeova.

Katherine belum pernah belajar bahasa Latin, tapi kata ini dikenalnya dari membaca teks-teks Ibrani kuno. Jeova, Jehova. Ketika matanya melanjutkan penelusuran ke bawah, membaca kisi itu seperti membaca buku, dia terkejut kefika menyadari bahwa dirinya bisa membaca seluruh teks piramida itu.

  Jeova Sanctus Unus.

Dia langsung mengetahui artinya. Frasa ini muncul di mana-mana dalam terjemahan-terjemahan kitab Ibrani. Dalam Kitab Taurat, Tuhan orang Ibrani dikenal dengan banyak nama � Jeova, Yehovah, Yahweh, Sang Sumber, Elohim - tapi banyak terjemahan Romawi yang mengonsolidasikan tata nama membingungkan ini menjadi satu frasa Latin tunggal: Jeova Sanctus Unus.

"Satu Tuhan Sejati?" bisik Katherine kepada diri sendiri. Frasa ini jelas tidak menyerupai sesuatu yang bisa membantu mereka menemukan kakaknya. "Inikah pesan rahasia piramida ini? Satu Tuhan Sejati? Kupikir ini peta."

Langdon tampak sama bingungnya. Kegairahan di matanya menguap. "Pemecahan kode ini jelas sudah benar, tapi �"

"Orang yang menculik kakakku ingin mengetahui sebuah lokasi." Katherine menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Tulisan ini tidak akan membuatnya kegirangan."

"Katherine," ujar Langdon, seraya menahan helaan napas. "Aku sudah mengkhawatirkan hal ini. Sepanjang malam aku punya perasaan bahwa kita memperlakukan sekumpulan mitos dan alegori seperti kenyataan. Mungkin inskripsi ini menunjuk pada sebuah lokasi metaforis � dan mengatakan kepada kita bahwa potensi sejati manusia hanya bisa diakses melalui satu Tuhan sejati."

"Tapi itu tidak masuk akal!" jawab Katherine. Rahangnya kini terkatup erat karena perasaan frustrasinya. "Keluargaku melindungi piramida ini selama bergenerasi-generasi! Satu Tuhan Sejati? Itukah rahasianya? Dan CIA menganggap ini sebagai masalah keamanan nasional? Entah mereka berbohong, atau kita melewatkan sesuatu!"

Langdon mengangkat bahu, mengiyakan.

Tepat pada saat itu, ponselnya mulai berdering.

Di dalam kantor berantakan yang didereti buku kuno, lelaki tua itu membungkuk di meja, menggenggam gagang telepon dengan tangan artritisnya.

Telepon berdering dan berdering.

Akhirnya, sebuah suara ragu menjawab. "Halo?" Suara rendah, tapi ragu.

Lelaki tua itu berbisik, "Aku diberi tahu kalau kau memerlukan tempat perlindungan."

Lelaki di ujung telepon tampak terkejut. "Siapa ini? Apakah Warren Bell-"

"Jangan sebut nama," ujar lelaki tua itu. "Katakan, apakah kau berhasil melindungi peta yang dipercayakan kepadamu?"

Muncul keheningan akibat keterkejutan. "Ya ... tapi kurasa itu tidak penting. Tidak banyak yang dikatakannya. Seandainya pun itu peta, maka tampaknya lebih metaforis daripada-"

"Tidak. Kujamin petanya cukup nyata. Dan menunjuk ke sebuah lokasi yang sangat nyata. Kau harus menjaga keamanannya. Tak bisa kutekankan lagi kepadamu betapa pentingnya hal ini. Kau sedang dikejar-kejar, tapi jika kau bisa pergi ke lokasiku tanpa terlihat, aku akan menyediakan tempat perlindungan dan jawaban." "

Lelaki itu bimbang, tampak tidak yakin.

"Sobat," kata lelaki tua itu memulai, dengan cermat memilih kata-katanya. "Ada sebuah tempat perlindungan di Roma, di utara Sungai Tiber, yang berisi sepuluh batu dari Gunung Sinai, satu dari surga itu sendiri, dan satu dengan wajah ayah gelap Lukas. Kau tahu lokasiku?"

Muncul keheningan panjang di telepon, lalu lelaki itu menjawab, "Ya, aku tahu."

Lelaki tua itu tersenyum. Sudah kuduga, Profesor. "Datanglah segera. Pastikan kau tidak diikuti."

BAB 71

Mal'akh berdiri dalam gelegak kehangatan pancuran air panas. Dia merasa murni kembali, setelah mencuci sisa-sisa terakhir bau ethanol. Ketika uap yang mengandung eukaliptus itu menembus kulit, ia bisa merasakan pori-porinya membuka akibat panas. Lalu dia memulai ritualnya.

Pertama-tama, dia menggosokkan zat kimia perontok rambut ke seluruh tubuh dan kulit kepala bertatonya untuk menghilangkan semua rambut. Dewa-dewa dari tujuh pulau Heliades tidak berambut. Lalu dia memijatkan minyak Abramelin ke kulitnya yang lembek dan siap menerima. Abramelin adalah minyak suci orang-orang Majus yang agung. Lalu dia memutar keras tuas pancuran ke kiri, dan airnya berubah sedingin es. Dia berdiri di bawah air membekukan itu selama satu menit penuh untuk menutup pori-pori dan memerangkap panas dan energi di dalam inti tubuhnya. Rasa dingin itu berfungsi sebagai pengingat akan sungai membekukan tempat perubahan ini dimulai.

Dia menggigil ketika melangkah keluar dari pancuran, tapi dalam hitungan detik, panas inti tubuhnya memancar lewat lapisan-lapisan daging dan menghangatkannya. Bagian dalam tubuh Mal'akh terasa seperti tungku. Dia berdiri telanjang di depan cermin dan mengagumi sosoknya... mungkin ini terakhir kalinya dia melihat dirinya sendiri sebagai manusia fana.

Kedua kaki bagian bawahnya berupa cakar rajawali. Sepasang kakinya - Boas dan Yakhin - adalah pilar-pilar kebijakan kuno.

Pinggul dan perutnya berupa lengkungan kekuatan mistis. Menggantung di bawah lengkungan, organ seksnya yang besar ditato dengan simbol-simbol takdirnya. Dalam kehidupannya yang lama, tonjolan daging berat ini telah menjadi sumber kenikmatan duniawinya. Tapi tidak lagi.

Aku sudah dimurnikan.

Seperti para biarawan mistis terkebiri dari Katharoi, Mal'akh telah menghilangkan kedua testikelnya. Dia telah mengorbankan kelebihan fisiknya untuk sesuatu yang lebih berarti. Tuhan tidak punya jenis kelamin. Setelah menanggalkan ketidaksempurnaan manusianya dari jenis kelamin, dan juga dorongan duniawi godaan seksual, Mal'akh berubah menyerupai Ouranos, Attis, Sper dan para penyihir agung terkebiri dari legenda Raja Arthur. Semua metamorfosis spiritual didahului oleh metamorfosis fisik. Begitulah ajaran dari semua dewa yang agung... mulai dari Osiris, Tam, Yesus, Shiva, sampai Buddha sendiri.

Aku harus menanggalkan manusia yang menyelubungiku.

Dengan cepat Mal'akh mengalihkan pandangan ke atas melewati phoenix berkepala-dua di dada, melewati kolase sigil-sigil kuno yang menghiasi wajahnya, dan langsung menuju puncak kepala. Dia memiringkan kepala ke arah cermin, dan nyaris bisa melihat lingkaran daging telanjang yang menunggu di sana. Lokasi di bagian tubuh ini dianggap suci. Dikenal sebagai fontane, itu satu-satunya area tengkorak manusia yang tetap terbuka sejak lahir. Sebuah jendela bulat menuju otak. Walaupun portal fisiologis ini menutup dalam hitungan bulan, area ini tetap menjadi simbolis hubungan yang hilang antara dunia luar dan dalam.

Mal'akh mengamati petak suci kulit perawan ini, yang dikelilingi lingkaran ouroboros - ular mistis yang melahap ekornya sendiri - menyerupai mahkota. Daging telanjang itu tampak seakan membalas tatapannya... cemerlang oleh janji.

Robert Langdon akan segera mengungkapkan harta karun luar biasa yang diperlukannya. Setelah Mal'akh memilikinya. kekosongan di puncak kepalanya akan terisi, dan pada akhirnya dia akan siap untuk perubahan terakhirnya.

Mal'akh berjalan melintasi kamar dan mengeluarkan secarik pita sutra putih panjang. Seperti yang sudah dilakukannya banyak kali, dia membelitkan kain itu mengelilingi selangkangan dan pantat. Lalu dia turun ke lantai bawah. Di kantornya, komputer menerima pesan e-mail. Dari kontaknya:

YANG KAU PERLUKAN KINI BERADA DALAM JANGKAUAN.

KAU AKAN KUHUBUNGI DALAM WAKTU SATU JAM.

SABAR.

Mal'akh tersenyum. Sudah saatnya melakukan persiapan terakhir.

BAB 72

Agen lapangan CIA itu merasa jengkel ketika turun dari ruang baca. Bellamy membohongi kita. Agen itu tidak melihat jejak-jejak panas apa pun di lantai atas di dekat patung Musa, juga di mana pun lainnya di lantai atas.

Jadi, ke mana gerangan Langdon pergi?

Agen itu kini menelusuri ulang semua langkahnya menuju satu-satunya lokasi tempat mereka melihat jejak-jejak panas � pusat distribusi perpustakaan. Kembali dia menuruni tangga, bergerak ke bawah lemari persegi delapan. Kebisingan ban-ban berjalan yang bergemuruh menjengkelkannya. Dia melangkah ke dalam ruangan, mengenakan kacamata termal besarnya, dan meneliti ruangan. Tidak ada apa-apa. Dia memandang ke arah rak-rak; pintu hancur itu masih tampak panas akibat ledakan tadi. Selain itu, dia tidak melihat-

Astaga!

Agen itu terlompat ke belakang ketika pendaran cahaya tak terduga melayang memasuki bidang penglihatannya. Bagaikan sepasang hantu, jejak-jejak berkilau suram itu memperlihatkan dua manusia yang baru saja muncul dari dinding di atas ban-ban berjalan. Jejak-jejak panas.

Dengan terpukau, agen itu mengamati ketika kedua penampakan itu mengitari ruangan di atas putaran ban-berjalan, lalu menghilang dengan kepala terlebih dahulu ke dalam lubang sempit di dinding. Mereka keluar mengendarai ban-berjalan? Itu gila.

Selain menyadari bahwa mereka baru saja kehilangan Robert Langdon lewat lubang di dinding, agen lapangan itu kini menyadari adanya masalah baru. Langdon tidak sendirian?

Dia hendak menyalakan alat komunikasinya dan memanggil pemimpin tim, tapi pemimpin tim mengalahkannya.

"Semuanya, kami menemukan Volvo yang ditinggalkan di plaza di depan perpustakaan. Terdaftar atas nama Katherine Solomon. Saksi mata mengatakan, perempuan itu belum lama memasuki perpustakaan. Kami curiga dia bersama Robert Langdon. Direktur Sato memerintahkan agar kita segera mencari mereka berdua."

"Aku mendapat jejak-panas keduanya!" teriak agen lapangan itu di dalam ruang distribusi. Dia menjelaskan situasinya.

"Demi Tuhan!" jawab pemimpin tim. "Ke mana ban-berjalannya pergi?"

Agen lapangan itu sudah meneliti skema referensi karyawan di papan buletin. "Gedung Adams," jawabnya. "Satu blok dari sini."

"Semuanya. Berangkat ke Gedung Adams! SEKARANG!"

BAB 73

Tempat perlindungan. Jawaban.

Kata-kata itu menggema dalam benak Langdon ketika dia dan Katherine keluar melalui pintu samping Gedung Adam's dan memasuki dinginnya malam musim dingin. Penelepon misterius itu mengungkapkan lokasinya secara tersamar, tapi Langdon mengerti. Secara mengejutkan, Katherine menunjukkan reaksi positif terhadap tujuan mereka. Mana lagi tempat yang lebih baik untuk menemukan Satu Tuhan Sejati?

Kini pertanyaannya adalah cara pergi ke sana.

Langdon berputar di tempat, mencoba mengetahui posisi mereka. Keadaan gelap, tapi untunglah cuaca cerah. Mereka sedang berada di sebuah pekarangan kecil. Di kejauhan, Kubah Capitol tampak mengejutkan jauhnya, dan Langdon menyadari bahwa ini pertama kalinya dia melangkah keluar semenjak tiba di Capitol beberapa jam yang lalu.

Sia-sialah ceramahku.

"Robert, lihat." Katherine menunjuk ke arah siluet Gedung Jefferson.

Reaksi pertama Langdon ketika melihat gedung itu adalah ketakjuban, karena mereka telah pergi begitu jauh di bawah tanah di atas ban-berjalan. Akan tetapi, reaksi keduanya adalah kekhawatiran. Gedung Jefferson kini dipenuhi aktivitas � truk-truk dan mobil-mobil berhenti di sana, para lelaki berteriak. Apakah itu lampu sorot?

Langdon meraih tangan Katherine. "Ayo."

Mereka berlari ke timur laut melintasi pekarangan, lalu cepat-cepat menghilang dari pandangan ke balik sebuah gedung elegan berbentuk U yang dikenal Langdon sebagai Perpustakaan Folger Shakesspeare. Gedung ini tampaknya merupakan kamuflase yang loyal bagi mereka malam ini, karena menampung manuskrip Latin, New Atlantis karya Francis Bacon, visi khayalan yang konon menjadi model bapak bangsa Amerika dalam membangun dunia baru berdasarkan pengetahuan kuno. Walaupun dernikian, Langdon tidak akan berhenti.

Kita perlu taksi.

Mereka tiba di pojok Third Street dan East Capitol. Lalu lintas sepi, dan Langdon merasakan harapannya memudar ketika mencari taksi. Dia dan Katherine bergegas ke utara di Third Street, menjauhkan diri dari Perpustakaan Kongres. Ketika mereka sudah berjalan satu blok penuh, barulah Langdon melihat sebuah taksi berbelok. Dia memanggilnya, dan taksi berhenti.

Musik Timur Tengah terdengar di radio, dan sopir Arab muda itu mengulaskan senyum ramah kepada mereka. " Ke mana?" tanyanya, ketika mereka masuk ke dalam taksi.

"Kami harus pergi ke -"

"Barat laut!"' sela Katherine, seraya menunjuk Third Street yang jauh dari Gedung Jefferson. "Menyetirlah ke Union Station, lalu ke kiri ke Massachusetts Avenue. Kami akan memberitahumu kapan harus berhenti."

Sopir itu mengangkat bahu, menutup penyekat Plexiglas, dan kembali menyalakan musik.

Katherine memberi Langdon pandangan memperingatkan, seakan menyatakan: "Jangan tinggalkan jejak." Dia menunjuk ke luar jendela, mengarahkan perhatian Langdon pada sebuah helikopter hitam yang terbang rendah mendekati area itu. Sialan. Sato tampaknya sangat serius ingin mendapatkan kembali piramida Solomon.

Ketika mereka menyaksikan helikopter itu mendarat di antara Gedung Jefferson dan Gedung Adams, Katherine memandang Langdon, tampak semakin khawatir. "'Bisa pinjam ponselmu sebentar?"

Langdon menyerahkan ponselnya.

"Kata Peter, kau punya ingatan fotografis?" tanyanya, menurunkan kaca jendela. "Dan kau ingat semua nomor telpon yang pernah kau hubungi?"

"Itu benar, tapi -"

Katherine melemparkan ponsel Langdon ke dalam malam. Langdon menoleh di kursinya, menyaksikan ponselnya berguling-guling dan hancur berkeping-keping di atas aspal di belakang mereka. "Untuk apa itu?"

"Menghilangkan jejak," ujar Katherine dengan pandangan serius. "Piramida ini satu-satunya harapan untuk menemukan kakakku, dan aku tidak ingin membiarkan CIA mencurinya dari kita."

Di kursi depan, Omar Amirana menggoyang-goyangkan kepala dan bersenandung mengikuti musik. Ini malam yang sepi, dan dia bersyukur akhirnya mendapat penumpang. Taksi baru saja melewati Stanton Park ketika suara petugas perusahaan taksi yang sudah dikenalnya bergemeresak di radio.

"Pengumuman. Untuk semua kendaraan di area National Mall. Kami baru saja menerima buletin dari pemerintah mengenai dua buronan di area Gedung Adams..."

Omar mendengarkan dengan takjub ketika petugas itu menggambarkan dengan tepat pasangan yang sedang berada di dalam taksinya. Dengan gelisah dia melirik kaca spion. Omar harus mengakui, lelaki jangkung itu, entah bagaimana, memang tampak tidak asing lagi. Pernahkah aku melihatnya di foto Buronan Amerika yang paling Dicari?

Dengan hati-hati Omar meraih handset radio. "Petugas?" katanya. Dia bicara pelan di mikrofon. "Ini taksi nomor satu-tiga-empat. Kedua orang yang kau tanyakan - mereka berada di dalam taksiku... saat ini."

Petugas itu langsung memberi tahu Omar apa yang harus dilakukan. Tangan Omar gemetar ketika menekan nomor telepon yang diberikan oleh petugas itu kepadanya. Suara yang menjawab terdengar tegang dan efisien, seperti suara tentara.

"Agen Turner Simkins, operasi-lapangan CIA. Siapa ini?"

"Ehm... sopir taksi," kata Omar. "Saya disuruh menelepon mengenai kedua-"

"Apakah kedua buronan itu masih berada di dalam kendaraanmu? Jawab ya atau tidak saja."

"Ya."

"Bisakah mereka mendengar percakapan ini? Ya atau tidak?"

"Tidak. Penyekatnya-"

"Ke mana kau membawa mereka?"

"Barat laut di Massachusetts."

"Tujuan spesifik?"

"Mereka tidak bilang."

Agen itu bimbang. "Apakah penumpang lelakinya membawa tas kulit?"'

Omar melirik kaca spion, dan matanya membelalak. "Ya! Tas itu tidak berisi peledak atau apa pun---!"

"Dengar baik-baik," ujar agen itu. "Kau tidak berada dalam bahaya, asalkan mengikuti petunjukku dengan tepat. Jelas?"

"Ya, Pak."

"Siapa namamu?"

"Omar," jawabnya. Keringat dinginnya keluar.

"Dengar, Omar," ujar lelaki itu. dengan tenang. "Tindakanmu bagus. Aku ingin kau menyetir sepelan mungkin sementara aku membawa timku ke posisi di depanmu. Paham?"

"Ya, Pak."

"Apakah taksimu dilengkapi sistem interkom agar kau bisa berkomunikasi dengan mereka yang berada di kursi belakang?"

"Ya, Pak."

"Bagus. Inilah yang harus kau lakukan."

BAB 74

Hutan, yang menjadi nama tenarnya, merupakan pusat dari U.S. Botanic Garden (USBG) - museum hidup Amerika � yang bersebelahan dengan Gedung Capitol AS. Secara teknis berupa hutan hujan, Hutan terletak di dalam sebuah rumah kaca yang menjulang, dilengkapi pohon-pohon karet tinggi, pohon ara, dan jalan setapak berkanopi bagi para turis yang lebih pemberani.

Biasanya, Warren Bellamy merasa terlindungi oleh aroma tanah Hutan dan kilau cahaya matahari yang menembus kabut yang masuk melalui lubang-lubang uap di langit-langit kaca. Akan tetapi, malam ini, dengan hanya diterangi cahaya bulan, Hutan menakutkannya. Dia banyak berkeringat, menggeliat-geliat melawan kram yang kini menusuk kedua lengannya yang masih terikat secara menyakitkan di belakang tubuh.

Direktur Sato berjalan mondar-mandir di hadapannya, mengisap rokok dengan tenang. Di dalam lingkungan yang terkalibrasi secara cermat ini, perbuatannya setara dengan terorisme-lingkungan. Wajahnya tampak nyaris kejam dalam cahaya bulan penuh-asap yang masuk lewat langit-langit kaca di atas kepala.

"Jadi," lanjut Sato, "ketika kau tiba di Capitol malam ini, dan mengetahui kehadiranku di sana... kau membuat keputusan. Bukannya memberitahukan kehadiranmu, diam-diam kau malah turun ke SBB, dan di sana kau menempuh risiko besar dengan menyerangku dan Chief Anderson, dan kau membantu Langdon lolos bersama piramida dan batu-puncak itu." Dia menggosok-gosok bahu. "Pilihan yang menarik."

Pilihan yang akan kuambil kembali, pikir Bellamy. " Mana Peter?" tanyanya marah.

"Bagaimana aku bisa tahu?" tanya Sato.

"Tampaknya kau mengetahui segala hal lainnya!" bentak Bellamy, tanpa berusaha menyembunyikan kecurigaan bahwa, entah bagaimana, Sato berada di balik semua ini. "Kau tahu harus pergi ke Gedung Capitol. Kau tahu harus mencari Robert Langdon. Dan kau bahkan tahu harus menjalankan sinar-X pada tas Langdon untuk menemukan batu-puncak itu. Jelas seseorang memberimu banyak informasi dari dalam."

Sato tertawa dingin dan melangkah lebih dekat. "Mr. Bellamy, itu-kah alasanmu menyerangku? Menurutmu, aku musuh? Menurutmu, aku mencoba mencuri piramida mungilmu?" Sato mengisap rokok dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya dari lubang hidung. "Dengar baik-

baik. Tak seorang pun lebih memahami gentingnya menjaga rahasia jika dibandingkan denganku. Aku yakin, sebagaimana halnya denganmu, ada informasi tertentu yang tidak boleh diketahui oleh orang banyak. Akan tetapi, malam ini, ada kekuatan-kekuatan yang sedang bekerja, dan aku khawatir kau belum memahaminya. Lelaki yang menculik Peter Solomon memegang kekuasaan besar... kekuasaan yang tampaknya belum kau sadari. Percayalah, dia adalah bom-waktu berjalan... mampu mengawali serangkaian kejadian yang akan sangat mengubah dunia yang kau kenal."

"Aku tidak mengerti." Bellamy beringsut di atas bangku, lengannya terasa sakit di dalam borgol.

"Kau tidak perlu mengerti. Kau hanya perlu mematuhiku. Saat ini, satu-satunya harapanku untuk menghindari bencana besar adalah dengan bekerja sama dengan lelaki ini... dan memberinya apa yang tepatnya dia inginkan. Yang berarti, kau akan menelepon Mr. Langdon dan menyuruhnya menyerahkan diri, bersama-sama dengan piramida dan batu-puncak itu. Setelah Langdon berada di tanganku, dia akan memecahkan inskripsi piramida itu, memperoleh informasi apa pun yang dituntut oleh lelaki ini, dan memberinya apa yang tepatnya dia inginkan."

Lokasi tangga sipiral menuju Misteri Kuno? "Aku tidak akan melakukannya. Aku sudah bersumpah merahasiakannya."

Sato meledak. "'Aku tak peduli sumpah apa yang kau ucapkan; aku akan menjebloskanmu ke dalam penjara begitu cepat �"

"Ancam aku semaumu," ujar Bellamy membangkang. "Aku tidak akan membantumu."

Sato menghela panjang, dan kini bicara dengan berbisik menakutkan. "Mr. Bellamy, kau sama sekali tidak tahu yang terjadi malam ini, bukan?"

Keheningan tegang, yang menggantung selama beberapa, akhirnya dipecahkan oleh suara ponsel Sato. Dia memasukkan tangan ke dalam saku, lalu mengeluarkan ponsel dengan bersemangat. "Bicaralah," katanya, seraya mendengarkan dengan saksama."Di mana taksi mereka sekarang? Berapa lama? Oke, bagus. Buru mereka ke U.S. Botanic Garden. Pintu masuk petugas pelayan. Dan pastikan kau memberiku piramida dan batu-puncak itu."

Sato menutup telepon, dan kembali memandang Bellamy dengan senyum bangga. "Wah... tampaknya kau sudah tidak berguna lagi."

BAB 75

Robert Langdon menatap dengan pandangan kosong, merasa terlalu lelah untuk mendesak sopir taksi lamban itu agar menyetir lebih cepat. Di sampingnya, Katherine juga terdiam, tampak frustasi karena tidak memahami apa yang membuat piramida itu begitu istimewa. Sekali lagi mereka telah membahas segala yang mereka ketahui mengenai piramida, batu-puncak, dan kejadian-kejadian aneh malam ini; mereka masih tidak tahu bagaimana piramida ini bisa dianggap sebagai peta menuju sesuatu.

Jeova Sanctus Unus? Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo?

Kontak misterius mereka menjanjikan jawaban, seandainya mereka bisa menemuinya di suatu tempat tertentu. Sebuah tempat perlindungan di Roma, di utara Sungai Tiber. Langdon tahu, "Roma baru" milik bapak bangsa AS telah diganti namanya menjadi Washington pada awal sejarahnya, tetapi sisa-sisa Romawi asli mereka masih ada: air Sungai Tiber masih mengalir ke dalam Sungai Potomac; para senator masih bersidang di bawah replika kubah St. Peter; dan Vulcan dan Minerva masih mengawasi api Rotunda yang telah lama padam.

Jawaban yang dicari Langdon dan Katherine tampaknya menunggu mereka hanya beberapa kilometer jauhnya. Barat laut di Massachusetts Avenue. Tujuan mereka benar-benar sebuah tempat perlindungan... di utara Sungai Tiber Washington. Langdon berharap sopir menyetir lebih cepat.

Mendadak Katherine duduk tegak di kursinya, seakan baru saja menyadari sesuatu. "Astaga, Robert!" Dia berpaling kepada Langdon, wajahnya berubah pucat. Dia bimbang sejenak, lalu bicara dengan tegas. "Kita salah jalan!"

"Tidak, ini benar," bantah Langdon. "Barat laut di Masachu....."

"Tidak! Maksudku, kita pergi ke tempat yang keliru!"

Langdon kebingungan. Dia sudah menjelaskan kepada Katherine bagaimana caranya mengetahui lokasi yang dijelaskan oleh penelepon misterius itu. Berisi sepuluh batu dari Gunung Sinai, 9 dari surga itu sendiri, dan satu dengan wajah ayah gelap Lukas. Hanya ada satu gedung di bumi yang bisa memenuhi pernyataan-pernyataan itu. Dan ke sanalah tepatnya taksi ini menuju.

"Katherine, aku yakin lokasinya benar."

"Tidak!" teriak Katherine. " Kita tidak perlu pergi ke sana lagi. Aku sudah memahami piramida dan batu-puncak itu! Aku sudah paham semuanya!"

Langdon takjub. "Kau memahaminya?"

"Ya! Kita harus pergi ke Freedom Plaza!"

Kini Langdon kebingungan. Freedom Plaza, walaupun berada di dekat situ, tampaknya benar-benar tidak berhubungan.

"Jeova Sanctus Unus!" ujar Katherine. "Satu Tuhan Sejati-nya orang Ibrani. Simbol suci orang Ibrani adalah bintang Yahudi - Stempel Solomon - simbol penting bagi Mason!" Dia mengeluarkan selembar uang kertas satu dolar dari saku. "Pinjam pena."

Dengan bingung Langdon mengeluarkan pena dari jaket.

"Lihat." Katherine membentangkan uang itu di atas pahanya, dan mengambil pena Langdon, lalu menunjuk the Great Seal di bagian belakang uang kertas. "Jika kau menumpukkan stempel Solomon pada the Great Seal Amerika Serikat," Dia menggambarkan simbol bintang Yahudi persis di atas piramida itu. "Lihat apa yang kau dapat!"

Langdon menunduk memandangi uang kertas itu, lalu memandang Katherine seakan dia sudah gila.

"Robert, lihat lebih cermat! Tidakkah kau melihat apa yang sedang ku-tunjuk?"

Langdon kembali memandang gambar itu.

Apa maksud Katherine? Langdon pernah melihat gambar ini. Itu gambar populer di antara para penganut teon konspirasi, sebagai "bukti" bahwa Persaudaraan Mason punya pengaruh rahasia terhadap nenek moyang bangsa Amerika. Ketika bintang bersudut-enam itu diletakkan dengan sempurna di atas the Great Seal Amerika Serikat, ujung atas bintang pas sekali dengan mata serba-melihat Mason... dan, yang cukup mengerikan, kelima ujung lainnya jelas menampilkan huruf M-A-S-O-N.

"Katherine, itu hanya kebetulan, dan aku masih tidak melihat hubungannya dengan Freedom Plaza."

"Lihat sekali lagi!" katanya. Suaranya kini kedengaran nyaris marah. "Kau tidak melihat apa yang ku-tunjuk! Tepat di sana! Tidakkah kau melihatnya?"

Sejenak kemudian, Langdon melihatnya.

Pemimpin operasi Lapangan CIA Turner Simkins berdiri di luar Gedung Adams dan menekankan ponsel kuat-kuat di telinga, berusaha mendengarkan percakapan yang kini sedang berlangsung di kursi belakang taksi. Baru saja terjadi sesuatu. Timnya hendak menaiki hetikopter Sikorsky UH-60 termodifikasi untuk menuju barat laut dan memasang penghalang jalan, tapi kini tampaknya situasinya mendadak berubah. Beberapa detik yang lalu, Katherine Solomon mulai bersikeras bahwa mereka pergi ke tujuan yang keliru. Penjelasannya - sesuatu mengenai uang dolar dan bintang Yahudi - tidak masuk bagi pemimpin tim itu, dan tampaknya begitu juga bagi Robert Langdon. Setidaknya pada awaInya. Akan tetapi, kini Langdon tampaknya memahami maksud Katherine.

"Astaga, kau benar!" ujar Langdon. "Aku tidak melihat tadi!"

Mendadak Simkins bisa mendengar seseorang menggedor-gedor penyekat, lalu kaca itu terbuka. "Perubahan rencana," kata Katherine kepada sopir. "Antar kami ke Freedom Plaza!"

"Freedom Plaza?" tanya sopir taksi itu, kedengaran gelisah. "Bukan barat laut di Massachusetts?"

"Lupakan itu!" teriak Katherine. "Freedom Plaza! Belok di sini! Di sini! DI SINI!"

Agen Simkins mendengar taksi berbelok dengan berdecit. Kembali Katherine bicara dengan bersemangat kepada Langdon, dan mengatakan sesuatu mengenai cetakan perunggu terkenal Great Seal yang ditanamkan di dalam plaza.

"Ma'am, sekadar mengonfirmasi," sela suara sopir taksi yang kedengaran tegang. "Kita menuju Freedom Plaza dipojok antara Pennsylvania dan Thirteenth?"

"Ya!" jawab Katherine. "Cepat!"

"Dekat sekali. Dua menit."

Simkins tersenyum. Bagus, Omar. Ketika bergegas menuju helikopter yang menunggu, dia berteriak kepada timnya. "Berhasil! Freedom Plaza! Cepat!"

BAB 76

Freedom Plaza adalah sebuah peta.

Terletak di pojok antara Pennsylvania Avenue dan Thirteenth Street, permukaan luas batu terpahat plaza menggambarkan jalan-jalan Washington seperti yang pertama kali dibayangkan oleh Pierre L'Enfant. Plaza itu merupakan tujuan poptuler turis, bukan hanya karena peta raksasanya menyenangkan untuk diinjak-injak, melainkan juga karena Martin Luther King Jr. yang menjadi inspirasi nama Freedom Plaza, menulis sebagian besar pidato "I have a Dream"-nya di Hotel Willard di dekat situ.

Sopir taksi DC Omar Amirana sering membawa turis ke Freedom Plaza, tapi malam ini kedua penumpangnya jelas bukan pelancong biasa. CIA mengejar mereka? Omar baru saja berhenti di pinggir jalan ketika lelaki dan perempuan itu melompat keluar. "Tetap di sana!" kata lelaki berjaket wol itu kepada Omar. Kami akan kembali!"

Omar menyaksikan kedua orang itu bergegas menuju tempat luas terbuka peta raksasa, menunjuk dan berteriak ketika meneliti geometri jalan-jalan yang bersimpangan. Omar meraih ponsel dari dasbor. "Pak, Anda masih di sana?"

"Ya, Omar!" teriak sebuah suara, nyaris tak terdengar di tengah suara gemuruh di ujung telepon sana. "Di mana mereka sekarang?"

"Di atas peta. Tampaknya mereka sedang mencari sesuatu."

"Jangan biarkan mereka lepas dari pandangan," teriak agen itu. "Aku hampir sampai!"

Omar menyaksikan ketika dengan cepat kedua buronan itu menemukan the Great Seal terkenal plaza - salah satu medali perunggu terbesar yang pernah dicetak. Mereka berdiri di atasnya sejenak, lalu segera menunjuk ke barat daya. Lelaki berjaket itu kemudian berlari kembali menuju taksi. Cepat-cepat Omar meletakkan telepon di dasbor ketika lelaki itu tiba dengan terengah-engah.

"Ke arah mana Alexandria, Virginia?" desaknya.

"Alexandria?" Omar menunjuk ke barat daya, arah yang persis sama yang baru saja ditunjuk oleh lelaki dan perempuan itu.

"Tepat sekali!" bisik lelaki itu pelan. Dia berbalik dan berkata kepada perempuan itu. "Kau benar! Alexandria!"

Kini perempuan itu menunjuk papan tanda "Metro" terang di dekat situ. "Jalur Biru langsung menuju ke sana. Kita harus ke Stasiun King Street!"

Omar dilanda kepanikan. Oh, tidak.

Lelaki itu menoleh kembali kepada Omar dan menyerahkan uang dalam jumlah yang sangat berlebihan untuk ongkos taksinya. "Terima kasih. Sampai di sini saja." Dia mengangkat tas kulitnya dan berlari pergi.

"Tunggu! Aku bisa mengantar kalian! Aku sering ke sana."

Tapi sudah terlambat. Lelaki dan perempuan itu sudah melesat melintasi plaza. Mereka menghilang ke bawah tangga, menuju stasiun bawah tanah Metro Center.

Omar meraih ponsel. "Pak! Mereka lari menuju bawah tanah. Saya tidak bisa menghentikan mereka! Mereka hendak naik kereta jalur Biru menuju Alexandria!"

"Tetaplah di sana!" teriak agen itu. "Aku tiba lima belas detik lagi!"

Omar menunduk memandangi gulungan uang kertas yang diberikan oleh lelaki itu kepadanya. Tampaknya uang kertas yang paling atas adalah uang yang tadi mereka tulisi. Ada bintang Yahudi, di atas the Great Seal Amerika Serikat. Dan memang, ujung-ujung: bintang jatuh pada huruf-huruf yang terbaca sebagai MASON.

Tanpa disertai peringatan, Omar merasakan getaran yang memekakkan telinga di sekelilingnya, seakan sebuah traktor hendak menabrak taksinya. Dia mendongak, tapi jalanan sepi. Suara itu terdengar semakin keram, dan mendadak sebuah helikopter hitam mengilap muncul dari kegelapan malam dan mendarat dengan keras di tengah peta plaza.

Sekelompok lelaki berpakaian hitam melompat keluar. Sebagian besarnya berlari menuju stasiun bawah tanah, tapi seorang diantaranya bergegas menghampiri taksi Omar. Dia membuka pintu penumpang. "Omar? Benarkah?"

Omar mengangguk, tak mampu bicara.

"Apakah mereka mengatakan ke mana tujuan mereka?" desak agen itu.

"Alexandria! Stasiun King Street," jawab Omar. "Saya menawarkan diri untuk mengantar, tapi -"

"Apakah mereka menyebut tujuan mereka di Alexandria?"

"Tidak! Mereka memandang medali the Great Seal di plaza, lalu mereka bertanya tentang Alexandria, dan mereka membayarku dengan ini." Dia menyerahkan uang dolar dengan diagram aneh itu. Ketika agen itu meneliti uang kertas, mendadak Omar bisa menyatukan semuanya. Mason! Alexandria! Salah satu bangunan Mason paling terkenal di Amerika berada di Alexandria. "Itu dia!" ujarnya. "The George Washington Masonic Memorial! Persis di seberang Stasiun King Street!"

"Itu dia," kata agen itu, yang tampaknya baru saja menyadari hal yang sama, ketika semua agen berlari keluar dari stasiun.

"Kami gagal!" teriak salah seorang dari mereka. "Jalur Biru baru saja berangkat! Mereka tidak ada di bawah sana!"

Agen Simkins menengok arloji dan kembali memandang Omar.

"Berapa lama kereta tiba di Alexandria?"

"Setidaknya sepuluh menit. Mungkin lebih."

"Omar, kerjamu baik sekali. Terima. kasih."

"Sama-sama. Soal apa ini?"

Tapi Agen Simkins sudah berlari kembali ke helikopter, seraya berteriak, "Stasiun King Street! Kita akan tiba di sana mendahului mereka!"

Dengan kebingungan, Omar menyaksikan burung besar itu terangkat, berbelok tajam ke selatan melintasi Penssylvania Avenue, lalu bergemuruh memasuki kegelapan malam.

Di bawah taksi, sebuah kereta bawah-tanah melaju semakin cepat ketika menjauhi Freedom Plaza. Di dalam-nya, Robert Langdon dan Katherine Solomon duduk terengah-engah, tak satu pun bicara keitka kereta mengantar mereka ke tujuan.

BAB 77

Ingatan itu selalu dimulai dengan cara yang sama.

Dia terjatuh... terjengkang menuju sungai tertutup-es di dasar jurang yang dalam. Di atasnya, mata kelabu kejam Peter Solomon menatap moncong pistol Andros. Ketika dia terjatub, dunia di atasi menyurut, semuanya menghilang ketika dia diselubungi awan kabut yang membubung dari air terjun di hulu.

Sejenak semuanya putih, bagaikan surga.

Lalu tubuhnya menghantam es.

Dingin. Hitam. Sakit.

Dia berguling-guling... diseret kekuatan dahsyat yang menghantam tubuhnya tanpa kenal ampun, melintasi batu-batu di dalam kekosongan yang mustahil dinginnya. Paru-parunya terasa sakit meminta udara, tetapi otot-otot dadanya telah berkontraksi begitu dahsyat di dalam udara dingin sehingga dia bahkan tak mampu menghirup udara.

Aku berada di bawah es.

Lapisan es di dekat air terjun tampaknya tipis akibat pusaran air, dan Andros langsung jatuh menembusnya. Kini dia tersapu ke hilir, terperangkap di bawah langit-langit transparan. Dia mencakar-cakar sisi bawah es, mencoba menembus keluar, tapi dia tidak punya pijakan. Rasa sakit yang menyayat dari lubang peluru di bahunya menguap pergi, demikian juga sengatan akibat peluru burung; kedua rasa itu kini diblokir oleh denyut lemah tubuhnya yang berubah mati-rasa.

Arusnya semakin cepat, melontarkan tubuhnya mengelilingi kelokan di sungai. Tubuhnya berteriak minta oksigen. Mendadak dia terbelit dahan-dahan, tersangkut sebatang pohon yang jatuh ke dalam air. Berpikirlah! Dia meraba-raba dahan dengan panik, mencari jalan menuju permukaan, dan menemukan tempat itu menonjol menembus es. Ujung-ujung jarinya menemukan lubang kecil permukaan air yang mengelilingi dahan, dan dia menarik pinggiran lubang itu, mencoba memperbesarnya dua kali, lubang itu bertambah besar, kini berdiameter beberapa inci.

Dia bersandar pada dahan, mendongakkan kepala, lalu desakkan mulutnya ke lubang kecil itu. Udara musim dingin mengalir masuk ke dalam paru-parunya terasa hangat.

Oksigen mendadak itu menyulut harapannya. Dia menjejalkan kaki pada batang pohon dan mendorong punggung dan bahunya kuat-kuat ke atas. Es di sekitar pohon tumbang itu, yang berlubang-lubang akibat dahan-dahan dan bebatuan, sudah rapuh, sehingga ketika dia mendesakkan kaki kuatnya ke batang pohon, kepala dan bahunya berhasil memecah es, memasuki udara musim dingin. Udara mengalir ke dalam paru-parunya. Dengan sebagian besar tubuh masih terendam, dia menggeliat-geliat hebat ke atas, mendorong dengan kedua kakinya, menarik dengan sepasang lengannya, sampai akhirnya dia keluar dari air, berbaring kehabisan napas di atas es telanjang.

Andros melepas topeng ski basahnya, mengantonginya, lalu memandang kembali ke hulu, mencari Peter Solomon. Kelokan sungai menghalangi pandangannya. Dadanya kembali serasa bakar. Diam-diam dia menyeret dahan kecil ke atas lubang pada untuk menutupinya. Lubang itu akan beku kembali pagi nanti.

Ketika Andros terhuyung-huyung memasuki hutan, salju mulai turun. Dia sama sekali tidak tahu sudah seberapa jauh dia berjalan ketika dengan limbung dia keluar dari hutan dan menemukan sebuah tanggul di samping jalan raya kecil. Dia mengigau dan mengalami hipotermia. Kini salju turun semakin lebat, lalu serangkaian lampu depan mobil mendekat di kejauhan. Andros melambai-lambaikan tangan dengan panik, dan truk pikup itu langsung berhenti. Kendaraan itu berpelat nomor Vermont. Seorang lelaki tua berkemeja kotak-kotak merah melompat keluar.

Andros berjalan terhuyung-huyung menghampirinya, seraya memegangi dadanya yang terluka. "Seorang pemburu ... menembakku! Aku perlu... rumah sakit!"

Tanpa ragu lelaki tua itu membantu Andros duduk di kursi penumpang dan menyalakan pemanas. "Di mana rumah sakit terdekat?!"

Andros sama sekali tidak tahu, tapi dia menunjuk ke selatan. "Jalan keluar berikutnya." Kita tidak akan pergi ke rumah sakit.

Lelaki tua dari Vermont itu dilaporkan hilang keesokan harinya, tapi tak seorang pun tahu di mana - dalam perjalanannya dari Vermont - dia kemungkinan menghilang dalam badai saIju hebat itu. Juga tidak ada orang yang menghubungkan hilangnya lelaki itu dengan berita lain yang mendominasi berita-berita utama keesokan harinya - pembunuhan mengejutkan Issabel Solomon. Ketika Andros terbangun, dia sedang berbaring di tempat tidur kosong sebuah motel murah yang tutup selama musim dingin itu. Dia ingat dirinya membobol masuk dan mengikat luka-lukanya dengan robekan-robekan seprai, lalu membenamkan diri ketempat tidur ringkuh, dibawah setumpuk selimut apak. Dia kelaparan.

Dia berjalan terpincang-pincang ke kamar mandi dan melihat setumpuk peluru burung penuh darah di wastafel. Samar-samar dia ingat dirinya mengeluarkan semua peluru itu dari dadanya. Ketika mengangkat pandangan ke cermin kotor, dengan enggan dia membuka perban-perban berdarahnya untuk meneliti kerusakan. Otot-otot keras dada dan perutnya telah menahan peluru-peluru burung itu sehingga tidak menembus terlalu dalam, tetapi tubuhnya yang dulu sempurna kini rusak oleh luka-luka. Peluru yang ditembakkan Peter Solomon tampaknya langsung melesat menembus bahunya, meninggalkan kawah berdarah.

Yang lebih buruk lagi, Andros gagal memperoleh benda yang menjadi tujuan kepergiannya sejauh ini. Piramida itu. Perutnya keroncongan, dan dia berjalan terpincang-pincang keluar, menuju truk lelaki itu, berharap bisa menemukan makanan. Pikup itu kini tertutup saIju tebal, dan Andros bertanya-tanya sudah berapa lama dia tertidur di motel tua ini. Untunglah aku terbangun. Andros tidak menemukan makanan di mana pun di kursi depan. Tapi dia menemukan tablet-tablet penghilang nyeri untuk artritis di dasbor. Dia mengambil segenggam, lalu menelannya dengan berapa genggam salju.

Aku perlu makanan.

Beberapa jam kemudian, pikup yang keluar dari belakang motel tua itu sama sekali tidak menyerupai truk yang masuk ke sana dua hari yang lalu. Atapnya tidak ada, begitu juga penutup-penutup roda, stiker-stiker bemper, dan semua hiasannya. Nomor Vermont-nya hilang, digantikan pelat nomor dari sebuah truk perawatan tua yang ditemukan Andros terparkir di sana. Tempat pembuangan sampah motel - yang juga menjadi tempat membuang semua seprai berdarah, peluru burung, dan bukti lain keberadaannya di motel itu.

Andros masih bertekad mendapatkan piramida itu, tapi untuk sementara waktu, dia harus menunggu. Dia harus bersembunyi, menyembuhkan diri, dan, yang terpenting, makan. Dia menemukan restoran di pinggir jalan, dan di sana dia memuaskan diri dengan menyantap telur, daging asap, kentang goreng, dan tiga gelas jus jeruk. Ketika sudah selesai, dia memesan makanan lagi untuk dibawa. Sekembalinya di jalanan, Andros mendengarkan radio tua truk itu. Dia belum menonton televisi atau membaca koran semenjak pencobaan yang dialaminya itu, dan ketika akhirnya mendengarkan stasiun berita lokal, beritanya membuatnya terpana.

"Para penyelidik FBI," ujar pembaca berita, "meneruskan pencarian mereka untuk mencari penyerang bersenjata yang membunuh Isabel Solomon di rumah Potomac-nya dua hari yang lalu. Pembunuh itu diyakini terjatuh ke dalam es dan tersapu ke laut."

Andros terpaku. Membunuh Isabel Solomon? Dia menyendiri dalam keheningan yang membingungkan, mendengarkan berita selengkapnya.

Sudah waktunya untuk pergi jauh, jauh dari tempat ini.

Apartemen Upper West Side menawarkan pemandangan menawan Central Park. Andros memilihnya karena lautan hijau di luar jendela mengingatkannya pada pemandangan Laut Adriatik yang hilang darinya. Walaupun tahu dirinya harus merasa gembira karena masih hidup, dia tidak bergembira. Kekosongan itu tidak pernah meninggalkannya, dan dia mendapati dirinya terpaku pada kegagalannya untuk mencuri piramida Peter Solomon.

Andros menghabiskan jam-jam yang panjang untuk meriset legenda Piramida Mason. Dan, walaupun tampaknya tak seorang pun tahu pasti apakah piramida itu nyata atau tidak, mereka semua mengiyakan janji kebijakan dan kekuasaan luar biasanya yang terkenal. Piramida Mason itu nyata, kata Andros pada diri sendiri. Informasi dari orang dalam itu tak terbantahkan.

Nasib telah meletakkan piramida itu di dalam jangkauan Andros. Dia tahu, mengabaikannya adalah seperti memegang tiket lotre kemenangan dan tak pernah menguangkannya. Aku satu-satunya non anggota Mason hidup yang tahu bahwa piramida itu nyata... dan aku juga tahu identitas lelaki yang menjaganya.

Bulan demi bulan berlalu. Dan, walaupun tubuhnya sudah memulihkan diri, Andros tidak lagi menjadi spesimen congkak seperti dirinya dulu di Yunani. Dia berhenti berolahraga dan berhenti mengagumi ketelanjangan tubuhnya sendiri di cermin. Dia merasa seakan tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan. Kulitnya yang dulu sempurna menjadi tambalan bekas luka, dan ini hanya semakin membuatnya tertekan. Dia masih mengandalkan tablet-tablet penghilang nyeri yang diminunmya di sepanjang masa pemulihannya, dan dia merasa dirinya telah menyelinap kembali ke dalam gaya hidup yang menjebloskannya ke dalam Penjara Soganlik. Dia tak peduli. Tubuh ini mendambakan apa yang didambakannya.

Suatu malam, dia sedang berada di Greenwich Village, membeli narkoba dari seorang lelaki yang lengan bawahnya bertato halilintar panjang bergerigi. Andros bertanya tentang tato itu, dan lelaki itu mengatakan bahwa tatonya menutupi bekas luka panjang yang didapatnya dalam kecelakaan mobil. "Melihat bekas luka itu setiap hari mengingatkanku pada kecelakaaan", ujar si bandar, "jadi aku membuat tato di atasnya, dengan kekuatan pribadi. Aku kembali memegang kendali."

Malam itu, ketika sedang teler akibat narkoba barunya, Andros berjalan terhuyung-huyung memasuki kios tato lokal dan melepas kemeja. "Aku ingin menyembunyikan bekas-bekas luka ini," Katanya. Aku ingin kembali memegang kendali.

"Menyembunyikan bekas-bekas luka?" Seniman tato itu mengamati dada Andros. "Dengan apa?"

"Tato."

"Ya ... maksudku tato apa?"

Andros mengangkat bahu, dia hanya ingin menutupi pengingat buruk masa lalunya. "Aku tidak tahu. Kau yang memilihkan."

Seniman itu menggeleng dan memberi Andros sebuah pamflet mengenai tradisi kuno dan suci menato tubuh. "Kembalilah kalau kau sudah siap."

Andros mendapati bahwa Perpustakaan Umum New York punya lima puluh tiga buku mengenai tato dalam koleksinya, dalam waktu beberapa minggu, dia sudah membaca semuanya, Setelah menemukan kembali kegairahan membacanya, dia membawa ransel penuh buku bolak-balik antara perpustakaan dan apartemen. Di sana dia menikmati buku-buku itu dengan rakus sambil memandang Central Park.

Buku-buku mengenai tato ini telah membukakan pintu menuju sebuah dunia aneh yang tidak pernah diketahui keberadaannya oleh Andros - dunia simbol-simbol, mistisisme, mitologi, dan ilmu sihir. Semakin banyak dia membaca, semakin dia menyadari betapa buta dirinya. Dia mulai menyimpan buku-buku catatan mengenai ide-ide, sketsa-sketsa, dan mimpi-mimpi anehnya. Ketika tidak lagi bisa menemukan apa yang diinginkannya di perpustakaan, dia membayar para penyalur buku langka untuk membelikannya beberapa teks yang paling esoteris di bumi.

De Praestigus Daemonum... Lemegeton... Ars Almadel... Grimorium Verum... Ars Notoria ... dan seterusnya dan seterusnya. Dia membaca kesemuanya, dan semakin lama semakin yakin bahwa dunia ini masih punya banyak harta karun yang bisa ditawarkan kepadanya. Ada rahasia-rahasia di luar sana yang melampaui pemahaman manusia.

Lalu dia menemukan tulisan-tulisan Aleister Crowley � ahli mistikuisioner dari awall 900-an - yang dianggap gereja sebagai lelaki terjahat yang pernah hidup". Orang pintar selalu ditakuti oleh orang yang kurang pintar. Andros mempelajari kekuatan ritual dan mantra. Dia mempelajari bahwa kata-kata suci, jika diucapkan dengan benar, akan berfungsi sebagai kunci yang membuka gerbang ke dunia lain. Ada alam semesta bayangan di balik alam semesta ini ... dunia yang bisa kutarik kekuatannya. Dan, walaupun Andros ingin menguasai kekuatan itu, dia memahami adanya peraturan-peraturan dan tugas-tugas yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Menjadi sesuatu yang suci, tulis Crowley. Menjadikan dirimu suci.

Ritual kuno "menjadikan suci" pernah menjadi hukum di dunia ini. Mulai dari orang-orang Ibrani kuno yang memberikan persembahan-persembahan bakaran di Kuil, orang-orang Maya yang memenggal kepala manusia di atas piramida-piramida Chichen Itza, sampai Yesus Kristus yang mempersembahkan tubuhnya di atas kayu salib, orang-orang kuno memahami persyaratan Tuhan untuk sacrifice (pengorbanan). Pengorbanan adalah ritual asli yang dilakukan manusia untuk meminta pertolongan dari dewa-dewa dan menjadikan diri mereka suci.

  Sacra-sacred (suci).

  Face-make (menjadikan).

Walaupun ritual pengorbanan telah lama sekali ditinggalkan, kekuatannya masih ada. Beberapa ahli mistik modern, termasuk Aleister Crowley, mempraktikkan ilmu itu, menyempurnakannya setelah beberapa waktu, dan perlahan-lahan mengubah diri mereka menjadi sesuatu yang lebih.

Andros ingin sekali mengubah dirinya seperti yang telah mereka lakukan. Akan tetapi, dia tahu, untuk melakukannya, dia harus melintasi jembatan berbahaya.

Yang memisahkan terang dari gelap hanyalah darah.

Suatu malam, seekor burung gagak melayang masuk ke jendela kamar mandi Andros yang terbuka, lalu terperangkap di dalam apartemen. Andros mengamati burung itu terus berkeliling sejenak, lalu akhirnya berhenti, tampak pasrah pada ketidakmampuannya untuk melarikan diri. Andros sudah banyak belajar, sehingga dia mengenali datangnya pertanda didesak untuk maju.

Dia menggenggam burung itu dengan sebelah tangan, berdiri di samping altar seada-nya di dapur, mengangkat sebilah pisau dan mengucapkan keras-keras mantra yang sudah dihafalkannya.

"Camiach, Eomiahe, Emial, Macbal, Emoii, Zazean ... berdasarkan nama malaikat-malaikat tersuci dalam Kitab Assamaian, kupanggil kalian agar membantuku dalam tindakan ini berdasarkan kekuatan Satu Tuhan Sejati."

Kini Andros merendahkan pisau dan dengan hati-hati, menusuk pembuluh darah besar di sayap kanan burung itu. Burung gagak itu mulai berdarah. Ketika Andros menyaksikan cairan merah mengalir ke dalam cangkir logam yang diletakkan sebagai penampung, dia merasakan rasa dingin yang tak terduga di udara. Walaupun demikian, dia tetap melanjutkan.

"Adonai, Arathron, Ashai, Elohim, Elohi, Elion, Asher Ell Shaddai yang Perkasa ... jadilah penolongku, sehingga darah ini bisa memiliki kekuatan dan kemampuan di mana pun yang kuinginkan, dalam apa pun yang kuminta."

Malam itu, dia memimpikan burung ... seekor phoenix raksasa yang naik dari kobaran api. Keesokan paginya, dia terbangun dengan energi yang belum pernah dirasakannya semenjak kanak-kanak. Dia pergi berlari di taman, lebih cepat dan lebih jauh daripada yang bisa dibayangkannya. Ketika tidak bisa lari lebih lama lagi, dia berhenti untuk melakukan push-up dan sit-up. Berulang-bulan tak terhitung banyaknya. Dan dia masih punya energi.

Malam itu, sekali lagi dia memimpikan phoenix.

Musim gugur telah datang kembali di Central Park, dan kehidupan liar bergegas mengumpulkan makanan untuk musim dingin. Andros membenci udara dingin, tetapi semua perangkapnya yang tersembunyi dengan cermat kini dipenuhi tikus dan tupai hidup. Dia membawa mereka pulang dalam ransel, lalu melakukan ritual yang semakin rumit.

"Emanuel, Massiach, Yod, He, Vaud ... harap katakan kalau aku layak."

Ritual-ritual darah itu membangkitkan vitalitasnya. Andros merasa lebih muda setiap hari. Dia terus membaca siang malam teks-teks mistis kuno, puisi-puisi epik Abad Pertengahan, filosof-filosof kuno - dan semakin dia mempelajari hakikat segala sesuatu, makin dia menyadari bahwa semua harapan bagi umat manusia sudah hilang. Mereka buta ... berkeliaran tanpa arah di dalam dunia yang tidak akan pernah mereka pahami.

Andros masih manusia, tapi dia merasa sedang berevolusi menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih hebat. Sesuatu yang suci. Tubuhnya yang besar sudah keluar dari keadaan dorman, kini lebih kuat daripada sebelum-nya. Akhirnya dia memahami tujuan sejatinya. Tubuhku hanyalah wadah bagi harta karunku yang terampuh ... pikiranku.

Andros tahu, potensi sejatinya belum terwujud, dan dia mencari lebih dalam. Apa takdirku? Semua teks kuno membicarakan kebaikan dan kejahatan... dan keharusan manusia untuk memilih salah satunya. Aku sudah membuat pilihanku dulu sekali, pikirnya menyadari, tetapi dia sama sekali tidak menyesal. Bukankah kejahatan adalah sebuah hukum alam? Kegelapan datang setelah terang. Kekacauan mengikuti keteraturan. Entropi adalah fundamental. Semua membusuk. Kristal yang tersusun sempurna pada akhirnya berubah menjadi partikel-partikel debu acak.

Ada yang menciptakan ... dan ada yang menghancurkan.

Setelah membaca Paradise Lost-nya John Milton, barulah Andros melihat takdir mewujud di hadapannya. Dia membaca mengenai malaikat agung yang jatuh... setan pejuang yang berperang melawan terang ... sang pemberani ... malaikat bernama Moloch.

Moloch hidup di dunia sebagai tuhan. Kemudian Andros tahu bahwa nama malaikat itu jika diterjemahkan ke dalam bahasa kuno, berubah menjadi Mal'akh.

Dan itulah aku.

Sama seperti semua perubahan besar lainnya, perubahan harus dimulai dengan pengorbanan ... tapi bukan tikus atau burung, Tidak. Perubahan ini memerlukan pengorbanan sejati.

Hanya ada satu pengorbanan yang layak.

Mendadak dia merasakan kejelasan yang tidak menyentuh apapun yang pernah dirasakannya dalam hidup. Seluruh takdirnya telah mewujud. Selama tiga hari berturut-turut, dia membuat sketsa pada selembar kertas besar. Ketika selesai, dia telah menciptakan cetak-biru bagi dirinya sendiri.

Dia menggantungkan sketsa seukuran manusia itu pada dinding, lalu memandanginya seakan memandang cermin.

Aku adalah mahakarya.

Keesokan harinya, dia membawa gambar itu ke kios tato.

Dia sudah siap.

BAB 78

Gedung George Washington Masonic Memorial bertengger di atas Shuter's Hill di Alexandria, Virginia. Dibangun bertingkat tiga dengan kerumitan arsitektur yang semakin tinggi dari bawah sampai atas - gaya Doric, Ionic, dan Corinthian - bangunan itu berdiri sebagai simbol fisik kebangkitan intelektual manusia. Diinspirasi oleh mercusuar Pharos kuno di Alexandria, Mesir, puncak menara yang menjulang tinggi ini berbentuk piramida Mesir dengan hiasan menyerupai lidah api.

Di dalam foyer marmer spektakulernya, terdapat patung perunggu besar George Washington dalam pakaian kebesaran Mason lengkap, disertai sekop asli yang digunakannya untuk meletakkan batu pertama Gedung Capitol. Di atas foyer, sembilan tingkat yang berbeda memiliki nama-nama seperti: the Grotto (Gua), the Crypt Room (Ruang Bawah Tanah), dan the Knights Templar Chapel (Kapel Kesatria Templar). Di antara harta karun yang ditampung di dalam ruangan-ruangan ini, terdapat lebih dari dua puluh ribu volume tulisan mengenai Mason, replika menakjubkan Tabut Perjanjian, dan bahkan model-berskala ruang singgasana di dalam Kuil Raja Solomon.

Agen CIA Simkins menengok arloji ketika helikopter UH-60 termodifikasi itu terbang rendah di atas Sungai Potomac. Enam menit lagi kereta mereka tiba. Dia mengembuskan napas dan memandang Masonic Memorial yang berkilau di cakrawala di luar jendela.

Dia harus mengakui, menara yang bersinar cemerlang itu sama mengesankannya seperti gedung mana pun di National Mall. Simkins belum pernah berada di dalam gedung memorial itu, dan malam ini tidak akan berbeda. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, Robert Langdon dan Katherine Solomon tidak akan lolos dari stasiun bawah tanah.

"Di sana!" teriak Simkins kepada pilot, seraya menunjuk stasiun bawah tanah King Street di seberang gedung memorial, membelokkan helikopter dan mendaratkannya di atas area rumput di kaki Shuter's Hill.

Para pejalan kaki mendongak dengan terkejut ketika Simkins dan timnya berhamburan keluar, melesat menyeberangi jalan dan berlari turun menuju Stasiun King Street. Di ruang tunggu beberapa calon penumpang kereta menyingkir, merapat ke dinding ketika sekelompok lelaki bersenjata dengan pakaian serba hitam bergemuruh melewati mereka.

Stasiun King Street lebih besar daripada yang diperkirakan Simkins, tampaknya melayani beberapa jalur yang berbeda � Jalur Kuning, dan Amtrak. Dia berpacu menuju peta Metro di dinding dan menemukan Freedom Plaza, dan jalur langsung menuju lokasi itu.

"Jalur Biru, peron selatan!" teriak Simkins. "Pergilah ke sana dan singkirkan semua orang!" Timnya melesat pergi.

Simkins bergegas menuju kios tiket, menunjukkan tanda pengenal, dan berteriak kepada perempuan di dalam kios. "Kereta berikutnya dari Metro Center - kapan tiba?"

Perempuan yang berada di dalamnya tampak ketakutan. "Saya tidak tahu pasti. Jalur Biru tiba setiap sebelas menit. Tidak ada jadwal tetap."

"Sudah berapa lama kereta terakhir berangkat?"

"Lima ... enam menit, mungkin? Tidak lebih dari itu."

Turner menghitung. Sempurna. Kereta berikutnya pasti kereta Langdon.

Di dalam gerbong bawah tanah yang bergerak cepat, Katherine Solomon beringsut tidak nyaman di atas kursi plastik keras. Lampu-lampu fluoresens terang di atas kepala menyakiti matanya, dia memerangi dorongan untuk membiarkan kelopak matanya menutup, bahkan untuk sedetik saja. Langdon duduk di sampingnya di dalam gerbong kosong itu, menatap hampa tas kulit di kakinya. Kelopak matanya juga tampak berat, seakan goyangan berirama gerbang yang bergerak membuainya ke dalam keadaan terhipnotis.

Katherine membayangkan isi aneh tas Langdon. Mengapa CIA menginginkan piramida ini? Menurut Bellamy, Sato mungkin mengejar piramida itu karena mengetahui potensi sejatinya. Tapi, seandainya pun piramida ini, entah bagaimana, memang mengungkapkan tempat persembunyian rahasia-rahasia kuno, sulit bagi Katherine untuk percaya bahwa janji kebijakan mistis purbanya menarik minat CIA.

Tapi sekali lagi, pikirnya mengingatkan diri sendiri, CIA sudah kepergok beberapa kali menjalankan program-program parapsikologis atau psi yang menyerempet-nyerempet sihir kuno dan mistisisme. Pada 1995, skandal "Stargate/Scannate" memaparkan teknologi rahasia CIA yang disebut penglihatan jarak jauh - semacam perjalanan pikiran secara telepatis - yang memungkinkan "penglihat" untuk mengirim mata-

pikirannya ke lokasi mana pun di bumi dan melakukan kegiatan mata-mata di sana, tanpa disertai kehadiran secara fisik. Tentu saja teknologi ini sama sekali tidak baru. Penganut mistik menyebutnya sebagai proyeksi astral, dan parayogi menyebutnya sebagai pengalaman di-luar-tubuh. Sayangnya, para pembayar pajak Amerika yang ketakutan menyebutnya sebagai absurd, dan program itu dihentikan. Setidaknya secara publik.

Ironisnya, Katherine melihat hubungan-hubungan luar biasa antara program-program CIA yang gagal itu dan terobosan-terobosannya sendiri dalam Ilmu Noetic.

Katherine ingin sekali menelepon polisi dan mencari tahu apakah mereka sudah menemukan sesuatu di Kalorama Heights, tapi dia dan Langdon kini tidak punya ponsel, lagi pula berhubungan dengan pihak berwenang mungkin suatu kesalahan; mustahil untuk mengetahui sejauh mana jangkauan Sato.

Sabar, Katherine. Dalam hitungan menit, mereka akan sampai di sebuah tempat persembunyian aman, sebagai tamu lelaki yang sudah meyakinkan mereka bahwa dia bisa memberikan jawaban. Katherine berharap, semua jawabannya, apa pun itu, membantunya menyelamatkan kakaknya.

"Robert?" bisiknya, seraya mendongak memandang peron bawah tanah. "'Kita turun di perhentian berikutnya."

Perlahan-lahan Langdon tersadar dari lamunan. "Terima kasih." Ketika kereta bergemuruh menuju stasiun, dia tas bahunya sambil melirik Katherine dengan ragu- "Marilah kita berharap kedatangan kita tidak menghebohkan."

Saat Turner Simkins melesat turun untuk bergabung dengan orang-orangnya, peron bawah tanah sudah benar-benar bersih, dan timnya sedang menyebar, mengambil posisi di balik pilar-pilar penyangga yang tegak di sepanjang peron. Suara bergemuruh di kejauhan menggema dalam terowongan di ujung lain peron. Ketika suara semakin kencang, Simkins merasakan terpaan udara apak di sekelilingnya.

Tidak mungkin lolos, Mr. Langdon.

Simkins berpaling kepada dua agen yang dimintanya bergabung bersamanya di peron. "Keluarkan tanda pengenal dan senjata. Kereta-kereta ini otomatis, tapi punya kondektur yang membukakan pintu. Temukan dia."

Kini lampu depan kereta muncul di terowongan, dan suara berdecit menembus udara. Ketika kereta memasuki stasiun mulai melambat, Simkins dan dua agennya mencondongkan tubuh di atas jalur rel dan melambai-lambaikan lencana CIA mereka. Mereka mencoba melakukan kontak mata dengan kondektur sebelum dia sempat membukakan pintu-pintu.

Kereta mendekat dengan cepat. Di gerbong ketiga, Simkins akhirnya melihat wajah terkejut kondektur yang tampak sedang mencari tahu mengapa tiga lelaki berpakaian hitam melambaikan lencana pengenal kepadanya. Simkins berlari kecil menuju kereta yang kini hampir berhenti.

"CIA!" teriak Simkins, seraya menunjukkan ID. "JANGAN membuka pintu!" Ketika kereta meluncur perlahan-lahan melewatinya, dia menuju gerbong kondektur dan berteriak kepadanya.

"Jangan membuka pintu! Kau mengerti?! JANGAN membuka pintu."

Kereta berhenti total dan kondekturnya yang terbelalak mengangguk berulang-ulang. "Ada apa?!" desak lelaki itu lewat jendela samping.

"Jangan biarkan kereta bergerak," kata Simkins. "Dan jangan membuka pintu."

"Oke."

"Bisa memasukkan kami ke dalam gerbong pertama?"

Kondektur itu mengangguk. Dia melangkah keluar dari kereta dengan wajah tampak ketakutan, lalu menutup pintu di belakangnya. Dia mendampingi Simkins dan orang-orangnya menuju gerbong pertama. Di sana dia membuka pintu secara manual.

"Kunci lagi pintunya di belakang kami," ujar Simkins, seraya mencabut senjata. Simkins dan orang-orangnya melangkah cepat ke dalam gerbong pertama yang terang benderang. Kondektur mengunci pintu di belakang mereka.

Gerbong pertama hanya berisi empat penumpang - tiga remaja laki-laki dan seorang perempuan tua - semuanya tentu saja tampak terkejut melihat tiga lelaki bersenjata masuk. Simkins menunjukkan ID. "Semuanya baik-baik saja. Harap tetap duduk."

Simkins dan orang-orangnya kini memulai penyapuan, bergerak menuju bagian belakang kereta tertutup itu dengan berpindah dari satu gerbong ke gerbong lain -"memencet pasta gigi" - begitulah sebutannya semasa Simkins menjalani pelatihan di Pusat Pelatihan Khusus CIA. Hanya ada sedikit sekali penumpang di kereta ini. Ketika sudah setengah perjalanan ke belakang kereta, agen-agen itu masih belum melihat seorang pun yang menyerupai ciri-ciri Robert Langdon dan Katherine Solomon. Walaupun demikian, Simkins tetap percaya diri. Benar-benar tidak ada tempat untuk bersembunyi di dalam sebuah gerbong kereta bawah tanah itu. Tidak ada kamar mandi, tidak ada tempat penyimpanan, dan tidak ada pintu keluar altematif. Seandainya pun kedua sasaran itu .... mereka naik kereta dan lari ke belakang, tidak ada jalan lain.

Hampir mustahil untuk membuka pintu dengan paksa, lagi pula Simkins sudah menyuruh orang-orangnya untuk mengepung peron dan kedua sisi kereta.

Sabar.

Akan tetapi, saat mencapai gerbong kedua dari terakhir, Simkins merasa gelisah. Gerbong kedua dari terakhir ini hanya satu penumpang - seorang lelaki Cina. Simkins dan agen-agen ... maju terus, meneliti tempat untuk bersembunyi. Tidak ada....

Apa?! Simkins berpacu ke bagian belakang kabin ....itu, mencari-cari di balik semua kursi. Dia berbalik kembali ... orang-orangnya dengan darah mendidih. "Ke mana mereka pergi?!"

BAB 79

Tiga belas kilometer di utara Alexandria, Virginia, Robert Langdon dan Katherine Solomon melenggang dengan tenang melintasi hamparan luas halaman yang masih tertutup salju.

"Seharusnya kau menjadi aktris," ujar Langdon, yang terkesan oleh pemikiran cepat dan keahlian berimprovisasi Katherine.

"Kau sendiri tidak terlalu buruk." Perempuan itu tersenyum kepadanya.

Pertama-tama Langdon bingung melihat aksi-aksi mendadak Kaherine di dalam taksi. Tanpa disertai peringatan, perempuan itu mendesak mereka untuk pergi ke Freedom Plaza karena dia menyadari hubungan bintang Yahudi dan the Great Seal Amerika Serikat. Dia menggambarkan teori-persekongkolan yang terkenal pada selembar uang kertas satu dolar, lalu bersikeras agar Langdon memandang dengan cermat ke mana dia menunjuk.

Akhirnya Langdon menyadari bahwa Katherine tidak sedang menunjuk uang kertas satu dolar itu, tapi menunjuk lampu indikator mungil di bagian belakang kursi sopir. Lampu itu begitu berdebu dan dekil sehingga dia bahkan tidak memperhatikan. Akan tetapi, ketika mencondongkan tubuh ke depan, dia bisa melihat lampunya menyala, memancarkan kilau merah suram. Dia bisa melihat dua kata samar-samar persis di bawah lampu yang menyala itu.

  -INTERKOM MENYALA-

Dengan terkejut, Langdon melirik Katherine, yang dengan mata panik mendesaknya untuk melihat ke kursi depan. Langdon mematuhinya, mencuri pandang melalui penyekat. Ponsel sopir itu berada di atas dasbor, terbuka lebar, bersinar, menghadap pengeras suara interkom. Sedetik kemudian, Langdon memahami semua tindakan Katherine.

Mereka tahu kita berada di dalam taksi ini... mereka sedang mendengarkan kita.

Langdon tidak tahu seberapa banyak waktu yang dimilikinya bersama Katherine sebelum taksi dihentikan dan dikepung. Tapi dia tahu mereka harus bertindak cepat. Dia langsung mulai bersandiwara, menyadari bahwa keinginan Katherine untuk ke Freedom Plaza sama sekali tidak berhubungan dengan piramida itu, tapi karena stasiun bawah tanahnya yang besar - Center - dan karena dari sana, mereka bisa mengambil jalur Merah, Biru, atau Oranye dengan enam arah yang berbeda.

Mereka melompat turun dari taksi di Freedom Plaza. Langdon mengambil alih, melakukan semacam improvisasi diri, meninggalkan jejak menuju Masonic Memorial di Alexandria sebelum dia dan Katherine berlari turun ke dalam stasiun tanah, melewati peron-peron Jalur Biru, dan terus menuju Jalur Merah. Di sana mereka naik kereta ke arah yang berlawanan.

Setelah melewati enam perhentian di utara menuju Ten.... town, mereka muncul sendirian di sebuah lingkungan baru yang sepi. Tujuan mereka, gedung tertinggi dalam radius berkilo-kilometer, langsung terlihat di cakrawala, persis di luar Masachusetts Avenue, di atas hamparan luas halaman terawat.

Kini setelah "menghilangkan jejak", seperti kata Katherine, keduanya berjalan melintasi rerumputan basah. Di sebelah mereka, terdapat kebun gaya Abad Pertengahan yang terkenal karena semak-semak mawar kuno dan gazebo Rumah Bayangannya. Mereka berjalan melewati kebun, langsung menuju gedung menakjubkan yang telah memanggil mereka. Sebuah tempat lindungan yang berisi sepuluh batu dari Gunung Sinai, satu dari surga itu sendiri, dan satu dengan wajah ayah gelap Lukas.

"Aku belum pernah berada di sini pada malam hari," ujar Katherine, seraya mendongak memandang menara-menara yang terang benderang itu. "Spektakuler."

Langdon setuju. Dia sudah lupa betapa mengesankan tempat ini sesungguhnya. Mahakarya neo-Gothik itu tegak di ujung utara Embassy Row. Sudah bertahun-tahun dia tidak kemari, semenjak menulis artikel mengenai tempat ini untuk majalah anak-anak, dengan harapan bisa membangkitkan semacam kegairahan di antara anak-anak muda Amerika untuk datang melihat landmark yang menakjubkan ini.

Artikelnya, "Musa, Bebatuan Bulan, dan Star Wars" - telah menjadi bagian dari bacaan turis selama bertahun-tahun.

Katedral Nasional Washington, pikir Langdon, yang merasakan pengharapan tak terduga karena bisa kembali kemari setelah bertahun-tahun. Di mana lagi tempat yang lebih baik untuk bertanya mengenai Satu Tuhan Sejati?

"Katedral ini benar-benar memiliki sepuluh batu dari Gunung Sinai ?" tanya Katherine, seraya mendongak memandangi menara lonceng kembar itu.

Langdon mengangguk. "Di dekat altar utama. Kesepuluh batu menyimbolkan Sepuluh Perintah Allah yang diberikan kepada Musa di atas Gunung Sinai."

"Dan ada batu bulan?"

Batu dari surga itu sendiri. "Ya. Salah satu jendela kaca-patrinya disebut Jendela Ruang Angkasa dan punya pecahan batu bulan yang ditanamkan di dalamnya."

"Oke, tapi kau tidak mungkin serius mengenai hal terakhir."

Katherine mendongak, mata cantiknya berkilau skeptis. "Patung... Darth Vader?"

Langdon tergelak. "Ayah gelap Luke (Lukas) Skywalker? Tepat sekali. Vader adalah salah satu patung aneh yang paling populer di Katedral Nasional." Dia menunjuk tinggi ke menara-menara barat.

"Sulit untuk melihatnya pada malam hari, tapi dia ada di sana."

"Apa gerangan yang dilakukan Darth Vader di Katedral Nasional Washington?"

"Kontes anak-anak untuk memahat patung batu yang menggambarkan wajah kejahatan. Darth menang."

Mereka mencapai tangga besar menuju pintu masuk yang berada di dalam lengkungan setinggi dua puluh meter di bawah jendela bulat kaca-patri yang menakjubkan. Ketika mereka mulai menaiki tangga, benak Langdon beralih pada suara asing misterius yang meneleponnya tadi. Jangan sebut nama. Katakan, apakah kau berhasil melindungi peta yang dipercayakan padamu? Bahu Langdon terasa sakit karena membawa piramida batu yang berat itu, dan dia ingin sekali meletakkannya. Memberikan perlindungan dan jawaban.

Ketika mendekati puncak tangga, mereka disambut sepasang pintu kayu yang mengesankan. "Kita ketuk saja?" tanya Katherine.

Langdon juga sedang memikirkan hal yang sama, tapi salah satu pintu membuka.

"Siapa di sana?" sapa sebuah suara ringkih. Wajah seorang lelaki tua keriput muncul di ambang pintu. Dia mengenakan jubah pendeta dan menatap kosong. Matanya keruh dan diburamkan katarak.

"Namaku Robert Langdon," jawab Langdon. "Aku dan Katherine Solomon mencari tempat perlindungan."

Lelaki buta itu mengembuskan napas lega. "Syukurlah, aku sudah menunggu kedatangan kalian."  

BAB 80

Mendadak Warren Bellamy merasakan munculnya secercah harapan.

Di dalam Hutan, Direktur Sato baru saja menerima telepon dari seorang agen lapangan, dan dia langsung mencak-mencak. "Wah, sebaiknya kalian menemukan mereka!" teriaknya di telepon.

"Kita kehabisan waktu!" Dia menutup telepon dan kini berjalan mondari-mandir di hadapan Bellamy, seakan sedang mencoba memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Akhirnya dia berhenti tepat di hadapan Bellamy, lalu berbalik.

"Mr. Bellamy, aku hendak bertanya sekali lagi, dan hanya sekali lagi." Dia menatap mata Bellamy lekat-lekat. "Ya atau tidak - apa kau punya perkiraan kemana Robert Langdon pergi?"

Bellamy punya lebih daripada sekadar perkiraan, tapi dia menggeleng. "Tidak."

Tatapan menusuk Sato tidak pernah meninggalkan mata Bellamy. "Sayangnya, sebagian dari pekerjaanku adalah mengetahui kapan seseorang berbohong."

Bellamy mengalihkan pandangan. "Maaf, aku tidak bisa membantumu."

 "Arsitek Bellamy," ujar Sato, "malam tadi, persis setelah pukul tujuh, kau sedang menyantap makan malam di sebuah restoran di luar kota ketika menerima telepon dari seorang lelaki yang menyatakan telah menculik Peter Solomon."

Bellamy langsung dijalari rasa dingin dan kembali menatap Sato. Bagaimana mungkin kau bisa tahu?!

"Lelaki itu," lanjut Sato, "mengatakan bahwa dia sudah mengirim Robert Langdon ke Gedung Capitol dan memberi Langdon tugas yang harus diselesaikannya... tugas yang memerlukan pertolongan-mu. Dia memperingatkan, jika Langdon gagal melaksanakan tugas ini, temanmu, Peter Solomon, akan mati. Dengan putus asa kau menelepon semua nomor telepon Peter, tapi gagal menghubunginya. Tentu saja kau kemudian berpacu menuju Capitol."

Bellamy tidak bisa membayangkan bagaimana Sato tahu mengenai telepon itu.

"Ketika kau kabur dari Capitol," ujar Sato di balik asap rokoknya, "kau mengirim SMS kepada penculik Solomon, dan meyakinkannya bahwa kau dan Langdon sudah berhasil memperoleh Piramida Mason."

Dari mana dia mendapat informasi itu? Pikir Bellamy. Bahkan, Langdon pun tidak tahu kalau aku mengirim SMS itu. Sebelum memasuki terowongan menuju Perpustakaan Kongres, Bellamy langsung melangkah ke dalam ruang listrik untuk menyalakan konstruksi. Dalam privasi saat itu, dia memutuskan untuk mengirim SMS kepada penculik Solomon, memberitahukan keterlibatannya, tapi meyakinkannya bahwa dirinya � Bellamy - dan Langdon sudah memperoleh Piramida Mason dan benar-benar akan memenuhi segala tuntutannya. Tentu saja itu kebohongan, tapi Bellamy berharap tindakannya bisa memberi mereka waktu, baik untuk Solomon maupun untuk menyembunyikan piramidanya.

"Siapa yang memberitahumu kalau aku mengirim SMS?" desak Bellamy.

Sato melemparkan ponsel Bellamy ke atas bangku sampingnya. "Gampang sekali."

Kini Bellamy ingat, ponsel dan kunci-kuncinya diambil oleh agen-agen yang menangkapnya.

"Sedangkan untuk informasi rahasia lainnya," ujar Sato, "Patriot Act memberiku hak untuk meletakkan penyadap pada telepon siapa pun yang kuanggap bisa mengancam keamanan nasional. Aku menganggap Peter Solomon adalah ancaman semacam itu, dan semalam aku bertindak."

Bellamy nyaris tidak bisa memahami apa yang dikatakan Sato kepadanya. "Kau menyadap telepon Peter Solomon?"

"Ya. Dengan cara inilah aku tahu penculiknya menelponmu di restoran. Kau menelepon ponsel Peter di Kantor dan meninggalkan pesan panik untuk menjelaskan apa yang baru saja terjadi."

Bellamy menyadari kebenaran perkataan Sato.

"Kami juga menyadap telepon dari Robert Langdon, yang sedang berada di Gedung Capitol dan sangat kebingungan ketika menyadari dirinya ditipu agar datang ke sana. Aku langsung pergi ke Capitol, dan tiba mendahuluimu karena aku lebih dekat. Sedangkan, bagaimana aku bisa tahu harus mengecek gambar sinar-X tas Langdon ... ketika kusadari bahwa Langdon terlibat dalam semua ini, aku menyuruh stafku meneliti ulang telepon yang nampaknya tidak membahayakan di awal pagi antara Langdon dan ponsel Peter Solomon. Dalam pembicaraan telepon itu, pemilik yang berpura-pura sebagai asisten Solomon membujuk Langdon untuk datang memberi ceramah, dan juga membawa bungkusan kecil yang dipercayakan oleh Peter kepadanya. Ketika Langdon tidak berterus terang kepadaku mengenai bungkusan yang dibawanya, aku meminta gambar sinar-X tasnya."

Bellamy nyaris tidak mampu berpikir. Semua yang dikatakan Sato memang tampaknya mungkin, tetapi ada sesuatu yang tidak pas. "Tapi... bagaimana mungkin kau bisa menganggap Peter Solomon sebagai ancaman bagi keamanan nasional?"

"Percayalah, Peter Solomon memang ancaman serius bagi keamanan nasional," bentaknya. "Dan sejujurnya, Mr. Bellamy, kau juga."

Bellamy menegakkan tubuh, dan borgolnya melukai pergelangan tangan. "Maaf?!"

Sato memaksakan senyuman. "'Kalian, kaum Mason, menjalankan permainan yang berisiko. Kalian menyimpan rahasia yang sangat, sangat berbahaya."

Apakah dia sedang membicarakan Misteri Kuno?

"Untunglah kalian selalu melakukan tugas dengan baik dalam menjaga rahasia-rahasia kalian agar tetap tersembunyi. Sayangnya, belakangan ini kalian ceroboh, dan malam ini rahasia kalian yang paling berbahaya akan diungkapkan kepada dunia. Dan, kecuali kita bisa menghentikan terjadinya hal itu, kuyakinkan kau bahwa hasilnya akan mendatangkan bencana."

Bellamy menatap dengan kebingungan.

"Seandainya kau tidak menyerangku," ujar Sato, "kau akan menyadari bahwa aku dan kau berada di tim yang sama."

Tim yang sama. Kata-kata itu menyulut ide yang tampaknya nyaris mustahil untuk dibayangkan. Apakah Sato anggota East Star (Bintang Timur)? Ordo Bintang Timur - yang sering dianggap sebagai anak organisasi Mason - meyakini filsafat mistis yang bicara mengenai kedermawanan, kebijakan rahasia, dan keterbukaan pikiran spiritual. Tim yang sama? Aku diborgol! Dia menyadap telepon Peter!

"Kau akan membantuku menghentikan lelaki ini," ujar Sato. "Dia berpotensi mendatangkan bencana yang mungkin tidak akan bisa dipulihkan oleh negeri ini." Wajahnya sekeras batu.

"Kalau begitu, mengapa kau tidak memburu-nya?"

Sato tampak tidak percaya. "Kau pikir, aku tidak berupaya? Penelusuranku pada ponsel Solomon mati sebelum kami menemukan lokasi. Nomornya yang lain tampaknya ponsel sekali pakai � yang nyaris tidak mungkin dilacak. Perusahaan jet privat mengatakan bahwa penerbangan Langdon dipesan oleh asisten Solomon dengan ponsel Solomon, dengan kartu Marquis Jet Solomon. Tidak ada jejak. Lagi pula, itu tidak penting. Seandainya pun kami menemukan dengan tepat di mana dia berada, mustahil bagi kami untuk menempuh risiko bergerak masuk dan mencoba menangkapnya."

"Mengapa tidak?!"

"Aku lebih suka tidak membagikan informasi itu, karena sifatnya rahasia," ujar Sato, dengan kesabaran yang jelas hampir habis. "Aku memintamu untuk memercayaiku dalam ini."

"Well, aku tidak percaya!"

Mata Sato sedingin es. Mendadak dia berbalik dan berteriak ke seberang Hutan. "Agen Hartmann! Kemarikan tasnya."

Bellammy mendengar desis pintu elektronik, dan seorang agen melenggang memasuki Hutan. Dia membawa tas kantor titanium ramping yang diletakkannya di tanah, di samping Direktur OS itu.

"Tinggalkan kami," perintah Sato.

Ketika agen itu pergi, pintu kembali mendesis, lalu semuanya hening.

Sato memungut tas logam itu, meletakkannya di atas pangkuan dan membuka penutupnya. Lalu perlahan-lahan dia memandang Bellamy. "Aku tidak ingin melakukannya, tapi waktu kita hampir habis, dan kau tidak memberiku pilihan."

Bellamy mengamati tas kantor aneh itu dan merasakan berkembangnya rasa takut. Apakah perempuan ini hendak menyiksaku? Dia menarik borgolnya sekali lagi. "Apa isinya?"

Sato tersenyum muram. "Sesuatu yang akan membujukmu untuk melihat situasi ini melalui sudut pandang-ku. Kujamin......

BAB 81

Ruang bawah tanah tempat Mal'akh melakukan Ilmu Sihir tersembunyi dengan sangat baik. Bagi mereka yang masuk, ruang bawah-tanah rumah Mal'akh tampak cukup normal, ruang bawah tanah tipikal dengan tangki uap, kotak sekring, tumpukan kayu, dan segala macam penyimpanan. Akan tetapi, gudang bawah tanah yang terlihat ini hanyalah sebagian dari ruang bawah tanah Mal'akh. Sebuah area yang cukup luas telah digali untuk praktik-praktik rahasianya.

Ruang kerja pribadi Mal'akh berupa serangkaian ruangan kecil, masing-masing dengan kegunaan khususnya. Pintu masuk satu-satunya ke area itu berupa sebuah rampa curam yang bisa diakses secara rahasia melalui ruang tamu, membuat area ini benar-benar mustahil untuk ditemukan.

Malam ini, ketika Mal'akh menuruni rampa, semua sigil dan tanda yang ditatokan pada kulitnya tampak hidup dalam kilau biru-langit lampu khusus ruang bawah tanah. Dia bergerak memasuki kabut kebiruan itu, berjalan melewati beberapa pintu tertutup, dan langsung menuju ruangan terbesar di ujung koridor.

"Sanctum sanctorum", begitu Mal'akh suka menyebutnya, adalah ruangan berbentuk persegi-empat sempurna dua belaskaki (tiga setengah meter). Zodiak berjumlah dua belas. Jam siang berjumlah dua belas. Gerbang surga berjumlah dua belas. Di tengah bilik terdapat meja batu, berbentuk persegi-empat tujuh kali tujuh kaki (dua kali dua meter). Meterai Wahyu berjumlah tujuh. Anak tangga Kuil berjumlah tujuh. Di tengah meja, sumber cahaya terkalibrasi tergantung dengan cermat dan berputar mengitari spektrum warna yang telah ditetapkan sebelumnya, mengakhiri siklusnya setiap enam jam sesuai dengan Tabel jam-jam Planet yang Suci. Jam Yanor berwarna biru. Jam Nasnia merah. Jam Salam putih.

Sekarang jamnya Caerra, yang berarti cahaya di dalam ruangan telah bermodulasi menjadi warna keunguan yg lembut. Dengan hanya mengenakan cawat sutra yang dibelitkan mengelilingi pantat dan organ seks terkebirinya, Mal'akh memulai persiapan-persiapannya.

Dengan cermat, dia menggabungkan zat-zat kimia suffumigasi yang nantinya akan dia nyalakan untuk menyucikan udara. Lalu ia melipat jubah sutra perawan yang pada akhirnya akan dikenakannya sebagai pengganti cawat. Dan akhirnya dia memurnikan sebotol air untuk menahbiskan persembahannya. Ketika sudah selesai, dia meletakkan semua bahan persiapan ini di atas meja-samping.

Selanjutnya, dia pergi ke sebuah rak dan mengambil kotak gading kecil yang dibawanya ke meja-samping dan diletakkannya bersama barang-barang lainnya. Walaupun belum siap menggunakannya, dia tidak tahan untuk tidak membuka tutup kotak dan mengagumi harta karun ini.

Pisau itu.

Di dalam kotak gading, di atas alas beledu hitam, bersinarlah pisau pengorbanan yang disimpan Mal'akh untuk malam ini. Dia membelinya seharga $1,6 juta di pasar gelap barang antik Timur Tengah tahun lalu.

Pisau paling terkenal dalam sejarah.

Pisau berharga yang tidak terbayangkan tuanya dan diyakini telah hilang itu terbuat dari besi dan dilekatkan pada pegangan dari tulang. Selama berabad-abad, pisau itu dimiliki individu berkuasa yang tak terhitung banyaknya. Akan tetapi, dalam dekade-dekade terakhir ini, pisau itu menghilang, berubah menjadi koleksi privat rahasia. Mal'akh telah bersusah payah mendapatkannya. Dia menduga pisau itu sudah tidak mengalirkan darah selama berdekade-dekade... mungkin selama berabad-abad. Malam ini, pisau ini akan kembali mencicipi kekuatan pengorbanan, sesuai tujuan pengasahannya.

Dengan lembut, Mal'akh mengangkat pisau dari kompartemen berbantalannya, lalu menggunakan kain sutra yang dibasahi air murni untuk mengelap bilahnya dengan penuh hormat. Ilmunya mengalami kemajuan pesat semenjak eksperimen-eksperimen dasar pertamanya di New York. Ilmu hitam yang dipraktikkan Mal'akh dikenal dengan banyak nama dalam berbagai. Tapi, tak peduli apa sebutannya, itu benar-

benar ilmu pengetahuan. Teknologi purba ini pernah memegang kunci pusaka portal kekuasaan, tapi telah lama sekali ditinggalkan, disingkirkan menjadi bayang-bayang okultisme dan sihir. Beberapa yang mempraktikkan Ilmu ini dianggap sebagai orang gila, tapi Mal'akh lebih tahu. Ini bukan pekerjaan bagi mereka yang tidak berbakat. Ilmu hitam kuno, seperti ilmu pengetahuan modern, adalah bidang ilmu yang melibatkan formula-formula yang tepat, bahan spesifik, dan pengaturan waktu yang teliti.

Ilmu ini bukanlah sihir hitam impoten masa kini, yang seringkali dipraktikkan setengah-hati oleh jiwa-jiwa penasaran. Ilmu seperti fisika nuklir, berpotensi melepaskan kekuatan yang sangat besar. Peringatannya mengerikan: Praktisi-praktisi yang tidak berbakat, berisiko terhantam arus balik dan hancur.

Setelah mengagumi pisau suci itu, Mal'akh mengalihkan perhatiannya pada lembaran tunggal kertas-kulit tebal yang tergeletak di atas meja di hadapannya. Dia membuat sendiri kertas kulit, dari kulit bayi domba. Sesuai protokol, dombanya murni, belum mencapai kematangan seksual. Di samping kertas kulit terdapat sebuah pena bulu yang dibuatnya dari bulu gagak, sebuah pisau perak, dan tiga lilin berkilau yang diatur mengelilingi sebuah mangkuk kuningan padat. Mangkuknya berisi satu inci cairan merah tua kental.

Cairan itu darah Peter Solomon.

Darah adalah tingtur keabadian.

Mal'akh memungut pena bulu, meletakkan tangan kirinya pada kertas kulit, dan mencelupkan ujung pena ke dalam darah. Lalu dengan cermat dia menelusuri garis luar telapak tangannya yang terbuka. Ketika sudah selesai, dia menambahkan kelima simbol Misteri Kuno, satu di masing-masing ujung jari dalam gambar.

Mahkota ... untuk merepresentasikan raja yang nantinya adalah diriku.

Bintang ... untuk merepresentasikan surga-surga yang telah menahbiskan takdirku.

Matahari ... untuk merepresentasikan penerangan jiwaku.

Lentera ... untuk merepresentasikan cahaya lemah pemahaman manusia dan kunci ... untuk merepresentasikan potongan yang hilang, yang malam ini akhirnya akan kumiliki.

Mal'akh menyelesaikan menggambar dengan darah dan mengangkat kertas kulit itu, mengagumi pekerjaannya dalam cahaya tiga lilin. Dia menunggu sampai darahnya kering, lalu melipat kertas kulit tebal itu tiga kali. Sementara merapalkan mantra kuno surgawi, Mal'akh menyentuhkan kertas kulit pada lilin ketiga, dan kertasnya menyala. Dia meletakkan kertas kulit menyala itu ke atas piring perak dan membiarkannya terbakar. Ketika terbakar, karbon dalam kulit hewannya larut menjadi arang hitam berbentuk bubuk. Ketika apinya sudah

padam, dengan hati-hati Mal'akh memasukkan abu itu ke dalam mangkuk kuningan berisi darah. Lalu dia mengaduk campuran itu dengan bulu gagak.

Cairannya berubah semakin merah tua, nyaris hitam.

Mal'akh memegang mangkuk itu dengan kedua telapak tangan, mengangkatnya ke atas kepala dan mengucap syukur, melafalkan eukharistos darah orang-orang kuno. Lalu perlahan-lahan dia menuangkan campuran hitam itu ke dalam botol kaca kecil dan menyumbatnya. Ini akan menjadi tinta yang nantinya digunakan Mal'akh untuk mengukir daging tidak bertato di puncak kepalanya dan melengkapi mahakaryanya.

BAB 82

Katedral Nasional Washington adalah katedral termegah keenam di dunia, dan menjulang lebih tinggi daripada gedung pencakar-langit tiga puluh tingkat. Dihiasi lebih dari dua puluh jendela berkaca-patri, lima puluh tiga rangkaian bel, dan ditambah dengan 10.647 pipa, mahakarya Gothik ini bisa menampung dari tiga ribu umat.

Akan tetapi, malam ini katedral agung itu sepi.

Pendeta Colin Galloway - kepala katedral � tampak seakan telah hidup selamanya. Bertubuh bungkuk dan keriput, dia mengenakan jubah hitam sederhana dan berjalan menyeret langkah secara membuta tanpa berkata-kata. Langdon dan Katherine mengikuti dalam keheningan melewati kegelapan lorong utama gereja sepanjang seratus dua puluh meter dan sedikit melengkung ke kiri, menciptakan ilusi optis melembutkan. Ketika mereka tiba di Persimpangan Besar, kepala katedral menuntun mereka melewati tabir salib-pemisah simbolis antara area publik dan suci di baliknya.

Aroma dupa menggelayuti udara di sekitar altar. Ruangan suci ini gelap, hanya diterangi pantulan tidak-langsung cahaya di dalam kubah-kubah berlapis di atas kepala. Bendera dari lima puluh negara-bagian tergantung di atas area altar yang dilengkapi beberapa dinding penyekat berukir yang menggambarkan kejadian-kejadian dalam Alkitab. Dean (kepala katedral) Galloway berjalan terus, tampaknya sudah hafal perjalanan ini. Sejenak Langdon mengira mereka langsung menuju altar tinggi tempat sepuluh batu dari Gunung Sinai ditanamkan, tapi kepala katedral tua itu akhirnya berbelok ke kiri dan meraba-raba jalannya melewati pintu yang cukup tersembunyi menuju ruang tambahan untuk administrasi.

Mereka menyusuri lorong kecil menuju pintu kantor yang ditempeli papan-nama kuningan:

  REV. DR. COLIN GALLOWAY

  KEPALA KATEDRAL

Galloway membuka pintu dan menyalakan lampu-lampu, tampaknya terbiasa mengingat tindakan kesopanan ini untuk tamu-tamunya. Dia menggiring mereka ke dalam dan menutup pintu.

Kantor kepala katedral kecil, tapi elegan, dengan rak-rak buku tinggi, meja kerja, lemari berukir, dan kamar mandi pribadi. Di dinding tergantung permadani-permadani abad ke-16 dan beberapa lukisan keagamaan. Kepala katedral tua itu menunjuk dua kursi kulit yang berada tepat di seberang mejanya. Langdon duduk bersama Katherine, bersyukur karena pada akhirnya bisa meletakkan tas bahu beratnya di lantai di dekat kaki.

Tempat perlindungan dan jawaban, pikir Langdon, seraya menyandarkan tubuh di kursi nyaman itu.

Lelaki tua itu menyeret langkah menuju meja kerjanya dan duduk di kursi berpunggung-tinggi. Lalu dia mendesah kelelahan, mengangkat kepala, menatap kosong Langdon dan Katherine dengan mata berkabut. Ketika dia bicara, suaranya mengejutkan jernih dan kuatnya.

"Saya sadari bahwa kita belum pernah berjumpa," ujar lelaki tua itu, "tetapi saya merasa sudah mengenal Anda berdua." Dia mengeluarkan saputangan dan menepuk-nepuk mulut. "Profesor Langdon, saya mengenal tulisan-tulisan Anda, termasuk tulisan cerdas Anda mengenai simbolisme katedral ini. Dan, Miss Solomon, saya dan kakak Anda, Peter, telah bertahun-tahun menjadi saudara Mason."

"Peter dalam masalah mengerikan," ujar Katherine.

"Begitulah yang saya dengar." Lelaki tua itu mendesah. "Dan saya akan melakukan apa saja semampu saya untuk menolong kalian."

Langdon tidak melihat cincin Mason di jari tangan kepala katedral, tetapi dia mengenal banyak kaum Mason, terutama mereka yang bekerja dalam bidang keagamaan, yang memilih untuk tidak mengumumkan keanggotaan mereka.

Ketika mereka mulai bicara, tampak jelas bahwa Dean Galloway sudah mengetahui beberapa kejadian malam ini dari SMS Warren Bellamy. Ketika Langdon dan Katherine melengkapi ceritanya, kepala katedral itu tampak semakin lama semakin khawatir.

"Dan lelaki yang membawa Peter tercinta kita," ujar kepala katedral itu, "dia bersikeras agar Anda memecahkan kode piramida untuk ditukar dengan nyawa Peter?"

"Ya," jawab Langdon. "Dia mengira piramida itu adalah peta yang akan menuntunnya menuju tempat persembunyi Kuno."

Kepala katedral mengarahkan mata buram mengerikannya pada Langdon. "Telinga saya mengatakan bahwa Anda tidak memercayai hal-hal semacam itu."

Langdon tidak ingin membuang waktu dengan menjelaskan kembali semuanya. "Apa yang saya percayai tidaklah penting. Kami harus menolong Peter. Sayangnya, ketika kami memecahkan kode piramida, pemecahan itu tidak menunjuk ke mana-mana."

Lelaki tua itu duduk lebih tegak. "Kalian sudah memecahkan kode piramida?"

Kini Katherine menyela, cepat-cepat menjelaskan bahwa, walaupun ada peringatan dari Bellamy dan permintaan dari kakaknya agar Langdon tidak mernbuka bungkusan itu, Katherine melanggarnya karena merasa prioritas pertamanya adalah menolong kakaknya dengan cara apa pun. Dia bercerita tentang batu-puncak emas, persegi empat ajaib Albrecht Durer, dan bagaimana persegi empat itu memecahkan cipher Mason enam belas huruf menjadi frasa Jeova Sanctus Unus.

"Hanya itu bunyinya?" tanya kepala katedral. "Satu Tuhan Sejati."

"Ya. Pak," jawab Langdon. "Tampaknya piramida itu lebih berupa peta metaforis daripada peta geografis."

Kepala katedral menjulurkan kedua tangannya. "Izinkan aku merabanya."

Langdon menarik ritsleting tas dan mengeluarkan piramida yang diletakkannya dengan hati-hati ke atas meja persis di depan pendeta.

Langdon dan Katherine mengamati ketika sepasang tangan ringkih lelaki tua itu meneliti setiap inci batu-sisinya yang berukir, bagian bawahnya yang halus, dan puncaknya yang terpangkas. Ketika sudah selesai, dia kembali menjulurkan tangan. "Dan batu puncaknya?"

Langdon mengeluarkan kotak batu kecil itu, meletakkannya di atas meja, dan membuka tutupnya. Lalu dia mengeluarkan batu-puncak itu dan meletakkannya di dalam tangan lelaki tua itu. Kepala katedral melakukan penelitian yang serupa, meraba setiap inci, berhenti pada ukiran batu-puncak, tampaknya mengalami kesulitan dalam membaca teks kecil yang terukir anggun itu.

"Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo", ujar Langdon membantunya. "Kata Ordo ditulis dengan huruf besar."

Wajah lelaki tua itu tanpa ekspresi ketika menempatkan batu-puncak di atas piramida dan meluruskannya berdasarkan indra peraba. Tampaknya dia terdiam sejenak, seakan berdoa, dan dengan penuh hormat menjalankan kedua telapak tangannya menelusuri seluruh piramida beberapa kali. Lalu dia menjulurkan tangan dan meraih kotak berbentuk kubus itu, menggengganmya dengan kedua tangan, meraba-rabanya dengan cermat, jari-jarinya memeriksa bagian dalam dan bagian luarnya.

Ketika sudah selesai, dia meletakkan kotak itu dan bersandar kembali di kursi. "Jadi, katakan," desaknya dengan suara yang mendadak tegas. "Mengapa Anda datang kepada saya?"

Pertanyaan itu mengejutkan Langdon. "Kami datang, Pak, karena Anda meminta kami untuk datang. Dan menurut Mr. Bellamy kami harus memercayai Anda."

"Akan tetapi, Anda tidak memercayai lelaki itu?"

"Maaf?"

Mata-putih kepala katedral menatap Langdon lekat-lekat. "Bungkusan yang berisi batu-puncak itu tersegel. Mr. Bellamy meminta Anda untuk tidak membukanya, tetapi Anda melakukannya. Selain itu, Peter Solomon sendiri meminta Anda untuk tidak membukanya, tetapi Anda melakukannya."

"Pak," sela Katherine, "kami berusaha menolong kakak saya. Lelaki yang menculiknya bersikeras agar kami memecahkannya."

"Bisa saya pahami itu," jelas kepala katedral, "tetapi, apa yang Anda dapat dengan membuka bungkusan itu? Tidak ada. Penculik Peter mencari sebuah lokasi, dan tidak akan puas dengan jawaban "Jeova Sanctus Unus."

"Saya setuju," ujar Langdon, "tapi sayangnya, hanya itu dikatakan oleh piramida. Seperti yang saya bilang, peta itu tampaknya lebih bersifat kiasan daripada -"

"Anda keliru, Profesor," kata kepala katedral. "Piramida Mason adalah peta yang nyata. Menunjukkan lokasi yang nyata. Anda tidak mengerti karena Anda belum memecahkan kode piramida itu sepenuhnya. Bahkan masih jauh dari itu."

Langdon dan Katherine saling bertukar pandang dengan terkejut.

Kepala katedral meletakkan kembali kedua tangannya ke atas piramida, nyaris membelainya. "Peta ini, seperti Misteri Kuno sendiri, punya banyak lapisan arti. Rahasia sejatinya tetap tersembunyi dari Anda."

"Dean Galloway," kata Langdon, "kami sudah meneliti setiap inci piramida dan batu-puncak, dan tidak ada lagi yang bisa dilihat."

"Tidak dalam keadaannya yang sekarang. Tidak. Tapi benda-benda berubah."

"Pak?"

"Profesor, seperti yang Anda ketahui, janji piramida ini adalah kekuatan perubahan yang ajaib. Legenda mengatakan bahwil piramida ini bisa berubah bentuk... mengubah bentuk fisiknya untuk mengungkapkan rahasia-rahasianya. Seperti batu terkenal yang melepaskan Pedang Excalibur untuk Raja Arthur, Piramida Mason bisa mengubah diri sesuai keinginan ... dan mengungkapkan rahasianya kepada mereka yang layak."

Kini Langdon merasa bahwa kerentaan lelaki tua ini mungkin telah merampok akal sehatnya. "Maaf, Pak. Apakah Anda mengatakan piramida ini bisa mengalami perubahan fisik secara harafiah?"

"Profesor, jika saya mengulurkan tangan dan mengubah piramida itu tepat di depan mata Anda, akankah Anda memercayai apa yang Anda saksikan?"

Langdon tidak tahu harus menjawab apa. "Saya rasa, saya tidak akan punya pilihan."

"Baiklah kalau begitu. Sebentar lagi itu akan saya lakukan."

Kepala katedral kembali menepuk-nepuk mulut. "Saya ingatkan bahwa ada masa ketika orang-orang terpintar sekalipun menganggap dunia ini datar. Karena, jika dunia ini bulat, lautan pasti akan tumpah. Bayangkan bagaimana mereka akan mengejek Anda jika Anda menyatakan, 'Bukan hanya dunia ini bulat, melainkan juga ada kekuatan mistis tak terlihat yang menahan segalanya agar tetap berada di permukaan dunia?"

"Ada perbedaan," ujar Langdon, "antara keberadaan gravitasi... dan kemampuan mengubah benda-benda dengan sentuhan tangan."

"Adakah? Tidak mungkinkah kita masih hidup di Abad Kegelapan, masih mengejek gagasan kekuatan-kekuatan mistis yang tidak bisa kita lihat atau pahami? Sejarah, seandainya pun mengajari kita sesuatu, telah mengajarkan kepada kita bahwa gagasan-gagasan aneh yang kita ejek saat ini akan menjadi kebenaran-kebenaran yang kita proklamasikan suatu hari nanti. Saya menyatakan bisa mengubah piramida ini dengan sentuhan jari, dan Anda mempertanyakan kewarasan saya. Saya berharap lebih banyak dari seorang sejarahwan. Sejarah dipenuhi orang pintar yang semuanya menyatakan hal yang sama... dipenuhi orang pintar yang semuanya bersikeras bahwa manusia memiliki kemampuan mistis yang belum disadari oleh mereka."

Langdon tahu, kepala katedral itu benar. Aforisme Herman yang terkenal - Tidak tahukah kalian bahwa kalian adalah tuhan? adalah salah satu pilar Misteri Kuno. Seperti yang di atas, demikian pula yang di bawah.... Manusia diciptakan menurut gambaran Allah. Apotheosis. Pesan terus-menerus mengenai ketuhanan manusia itu sendiri - mengenai potensi tersembunyi mereka - merupakan tema yang berulang dalam teks-teks kuno dari tradisi yang tak terhitung banyaknya. Bahkan, Alkitab menyatakan dalam Mazmur 82:6 : Kamu adalah Allah!

"Profesor," kata lelaki tua itu, "saya sadari bahwa Anda, seperti banyak orang berpendidikan lainnya, hidup terperangkap di antara dua dunia - satu kaki di dunia spiritual, satu kaki di dunia fisik. Hati Anda ingin sekali percaya... tapi kecerdasan Anda menolak untuk mengizinkan. Sebagai akademisi, akan bijak bila Anda untuk belajar dari orang-orang pintar dalam sejarah." Dia terdiam, lalu berdeham. "Jika ingatan saya benar, salah satu orang terpintar yang pernah ada menyatakan: "Sesuatu yang tidak mampu kita pahami benar-benar ada. Di balik rahasia-rahasia alam masih terdapat sesuatu yang subtil, tak teraba, dan tak terjelaskan. Penghormatan terhadap kekuatan melebihi segala yang bisa pahami ini adalah agamaku."

"Siapa yang berkata begitu?" tanya Langdon. "Gandhi?"'

"Bukan," sela Katherine. "Albert Einstein."

Katherine Solomon sudah membaca setiap kata yang ditulis Einstein, dan tercengang oleh penghormatan mendalam lelaki itu terhadap hal-hal mistis, juga prediksinya bahwa suatu hari nanti masyarakat luas akan merasakan hal yang sama. Agama masa depan, ramal Einstein, adalah agama kosmis. Agama itu akan melampaui Tuhan, pribadi dan menghindari dogma dan teologi.

Robert Langdon tampak berusaha keras menerima gagasan itu. Katherine bisa merasakan meningkatnya rasa frustrasi lelaki itu terhadap pendeta Episkopal tua ini, dan dia mengerti. Bagaimana mungkin, mereka datang kemari untuk memperoleh jawaban, tapi malah menemukan seorang lelaki buta yang menyatakan bisa mengubah benda-benda dengan sentuhan tangan. Walaupun demikian, gairah berlebihan lelaki tua itu terhadap kekuatan-kekuatan mistis mengingatkan Katherine kepada kakaknya.

"Bapa Galloway," ujar Katherine, " Peter dalam masalah. CIA mengejar kami. Dan Warren Bellamy mengirim kami kepada Anda untuk mendapatkan bantuan. Saya tidak tahu apa yang dikatakan piramida ini atau ke mana piramida ini menunjuk, tapi jika memecahkan kodenya berarti kita bisa menolong Peter, kita harus melakukannya. Mr. Bellamy mungkin lebih suka mengorbankan nyawa kakak saya untuk menyembunyikan piramida ini, tapi keluarga saya hanya mengalami penderitaan karenanya. Apa pun rahasia yang disimpannya, rahasia itu berakhir malam ini."

"Anda benar," jawab lelaki tua itu dengan nada sangat serius. Semuanya akan berakhir malam ini. Anda telah memastikan terjadinya hal itu." Dia mendesah. "Miss Solomon, ketika membuka segel pada kotak itu, Anda menggerakkan serangkaian kejadian yang tak bisa diputar balik. Ada kekuatan-kekuatan yang belum Anda pahami yang sedang bekerja malam ini. Tidak ada jalan untuk kembali."

Katherine menatap pendeta itu dengan terpana. Ada sesuatu yang bersifat ramalan dalam nada suaranya, seakan dia mengacu pada Tujuh Meterai Wahyu atau Kotak Pandora.

"Dengan segala hormat, Pak," sela Langdon, "saya tidak bisa membayangkan bagaimana sebuah piramida batu bisa menggerakkan sesuatu pun."

"Tentu saja Anda tidak bisa, Profesor." Lelaki tua itu menatapnya dengan mata buta. "Anda belum punya mata untuk melihat."

BAB 83

Dalam Udara lembap Hutan, Arsitek Capitol itu kini bisa merasakan keringatnya bergulir di punggung. Pergelangan terborgolnya terasa sakit, tapi semua perhatiannya tetap tertuju ke tas kerja titanium yang mengancam, yang baru saja dibuka atas bangku di antara mereka.

Isi tas ini, ujar Sato tadi, akan membujukmu untuk melihat semua ini melalui sudut pandangku. Kujamin itu.

Perempuan Asia mungil itu sudah membuka tas logam dalam jangkauan penglihatan Bellamy. Arsitek itu belum melihat isinya. tapi  imajinasinya sudah berkembang liar. Kedua tangan Sato melakukan sesuatu di dalam tas, dan Bellamy setengah membayangkan perempuan itu mengeluarkan serangkaian alat berkilau seperti pisau silet.

Mendadak sebuah sumber cahaya menyala di dalam tas, semakin terang, menerangi wajah Sato dai bawah. Tangan perempuan tetap bergerak-gerak di dalamnya, lalu cahayanya berubah warna. Setelah beberapa saat, Sato mengeluarkan tangan, meraih seluruhnya, lalu memutarnya ke arah Bellamy sehingga lelaki itu bisa melongok ke dalamnya.

Bellamy mendapati dirinya menyipitkan mata dalam kilau yang berasal dari benda yang tampaknya semacam lap-top futuristis dengan gagang telepon, dua antena, dan papan tik ganda. Gelombang kelegaan awalnya dengan cepat berubah menjadi kebingungan.

Layar menampilkan logo CIA tulisan,

  LOG-IN PENGAMAN

  PENGGUNA: INOUE SATO

  IZIN KEAMANAN: TINGKAT 5

Di bawah jendela log-in laptop, sebuah ikon yang menunjukkan kemajuan proses berputar-putar.

  HARAP TUNGGU SEBENTAR ...

  MENDEKRIPSI ARSIP ...

Pandangan Bellamy beralih kembali kepada Sato yang sedang menatapnya lekat-lekat. "Aku tidak ingin memperlihatkannya kepadamu," katanya. "Tapi, kau tidak memberiku pilihan."

Layar kembali berpendar-pendar, dan Bellamy menunduk memandanginya ketika arsip terbuka dan isinya memenuhi seluruh LCD.

Selama beberapa saat, Bellamy menatap layar, mencoba memahami apa yang sedang dilihatnya. Perlahan-lahan, ketika mulai mengerti, wajahnva memucat. Dia menatap ngeri, tidak mampu mengalihkan pandangan. "Tapi ini... mustahil!" teriaknya. "Bagaimana... mungkin!"

Wajah Sato serius. "Kau yang seharusnya menjelaskannya kepada-ku, Mr. Bellamy."'

Ketika Arsitek Capitol itu mulai memahami sepenuhnya segala konsekuensi dari apa yang dilihatnya, dia bisa merasakan seluruh dunia menuju ambang bencana.

Astaga .... Aku membuat kesalahan yang sangat, sangat mengerikan!

BAB 84

Dean Galloway merasa hidup.

Sama seperti semua manusia fana lainnya, dia tahu sudah tiba saatnya untuk melepaskan cangkang fananya. Tapi, bukan mengenai ini. Jantung jasmaniahnya berdetak kuat dan  cepat dan benaknya terasa tajam. Ada pekerjaan yang harus dilakukan.

Ketika menjalankan sepasang tangan artritisnya melintasi permukaan halus piramida, dia nyaris tidak bisa memercayai apa yang dirasakannya. Aku tidak pernah membayangkan bisa menyaksikan ini. Selama bergenerasi-generasi, kedua potongan peta symbolon disimpan saling berjauhan dengan aman. Kini, pada akhirnya mau disatukan. Galloway bertanya-tanya apakah ini momen yang sudah diramalkan.

Anehnya, takdir telah memilih dua non anggota Mason untuk menyusun piramida itu. Entah bagaimana, ini tampaknya pas. Misteri itu meninggalkan lingkaran-lingkaran dalam... meninggalkan kegelapan... memasuki cahaya.

"Profesor," katanya, seraya berpaling ke arah napas Langdon, "Apakah Peter mengatakan mengapa dia ingin Anda menjaga bungkusan kecil itu?"

"Katanya, orang-orang berkuasa ingin mencuri bungkusan itu darinya," jawab Langdon.

Kepala katedral mengangguk. "Ya, Peter mengatakan hal yang sama kepada saya."

"Benarkah?" ujar Katherine mendadak di sebelah kirinya, "Anda dan kakak saya membicarakan piramida ini?"

"Tentu saja," jawab Galloway. "Saya dan kakak Anda membicarakan banyak hal. Saya pernah menjadi Master Terhormat House of the Temple, dan terkadang kakak Anda datang kepada saya untuk meminta petunjuk. Kira-kira setahun yang lalu, dia datang kepada saya dengan sangat

kebingungan. Dia duduk persis di tempat Anda sekarang, dan bertanya apakah saya memercayai firasat-firasat supernatural."

"Firasat?" Katherine kedengaran khawatir. "Maksud Anda seperti... penglihatan gaib?"

"Tidak tepat begitu. Firasat lebih bersifat perasaan. Peter mengatakan, dia semakin merasakan keberadaan kekuatan gelap di dalam hidupnya. Dia merasakan adanya sesuatu yang mengawasinya, menunggu... ingin berbuat jahat terhadapnya."

"Jelas dia benar," ujar Katherine, "mengingat lelaki yang sama, yang telah membunuh ibu kami dan putra Peter, telah datang ke Washington dan menjadi salah seorang saudara Mason Peter sendiri."

"Benar," kata Langdon, "tapi itu tidak menjelaskan keterlibatan CIA."

Galloway tidak yakin. "Orang-orang yang berkuasa selalu tertarik dengan kekuasaan yang lebih besar."

"Tapi ... CIA?" tantang Langdon. "Dan rahasia-rahasia mistis?

Ada sesuatu yang tidak cocok."

"Jelas cocok," ujar Katherine. "CIA menyukai kemajuan teknologi dan selalu bereksperimen dengan ilmu-ilmu pengetahuan mistis-ESP, penglihatan jarak-jauh, sensory deprivation, kondisi-kondisi kesadaran supranormal yang dipicu secara farmakologis. Semuanya hal yang sama - menyadap potensi tak terlihat dari pikiran manusia. jika ada satu hal yang kupelajari dari Peter, inilah dia: Ilmu pengetahuan dan mistisisme berhubungan sangat erat, hanya bisa dibedakan melalui pendekatan mereka. Mereka punya tujuan yang sama... tapi metode yang berbeda."

"Peter mengatakan kepada saya," ujar Galloway, "bahwa bidang studi Anda adalah semacam ilmu pengetahuan mistis modern?"

"Noetic," jawab Katherine, seraya mengangguk. "Dan itu membuktikan bahwa manusia punya kekuatan yang tidak menyerupai segala yang bisa kita bayangkan." Dia menunjuk jendela kaca-patri yang melukiskan gambar "Yesus Bersinar" yang terkenal, yaitu Kristus dengan berkas cahaya mengalir dari kedua tangannya.

"Sesungguhnya, saya baru saja menggunakan sebuah alat yang dirangkaikan dengan muatan superdingin untuk memotret tangan seorang penyembuh ruhaniah yang sedang bekerja. Foto-fotonya sangat menyerupai gambaran Yesus di jendela kaca-patri itu... aliran energi mengalir dari ujung-ujung tangan penyembuh itu."

Benak yang terlatih dengan baik, pikir Galloway, serta mengulum senyuman. Bagaimana menurutmu cara Yesus menyembuhkan orang sakit?

"Saya sadari," ujar Katherine, "bahwa pengobatan mengolok-olok dukun dan penyembuh, tapi saya menyadari dengan mata kepala saya sendiri. Kamera-kamera CCD memotret lelaki ini sedang mentransmisikan medan besar dari ujung-ujung jari tangannya ... dan secara harfiah mengubah susunan sel pasiennya. Jika itu bukan kekuatan seperti Yesus, saya tidak tahu lagi."

Dean Galloway membiarkan senyumnya tersungging. Katherine punya kegairahan membara yang sama seperti kakaknya. "Peter pernah membandingkan Ilmu Noetic dengan para penjelajah awal yang diejek karena memercayai pendapat sesat mengenai bumi yang bulat. Dalam semalam saja, para penjelajah ini berubah dari orang tolol menjadi pahlawan, menemukan dunia-dunia yang belum dipetakan dan  memperluas cakrawala semua orang di planet ini. Menurut Peter, Anda akan melakukan hal ini juga. Dia punya yang sangat tinggi terhadap pekerjaan Anda. Bagaimanapun, pergeseran filosofis besar dalam sejarah dimulai dengan satu gagasan tunggal yang berani."

Tentu saja Galloway tahu, seseorang tidak perlu pergi Katedral untuk menyaksikan bukti gagasan baru yang berani ini, mengenai potensi manusia yang belum tergali ini. Katedral menyelenggakan lingkaran-lingkaran doa penyembuhan bagi mereka yang sakit dan telah berkali-kali menyaksikan hasil yang benar-benar ajaib, yaitu perubahan-perubahan fisik yang didokumentasikan secara medis. Pertanyaannya bukanlah apakah Tuhan memberikan kekuatan luar biasa kepada manusia... melainkan bagaimana kita membebaskan kekuatan itu.

Kepala katedral tua itu meletakkan kedua tangannya dengan hormat pada sisi-sisi Piramida Mason, lalu berkata dengan sangat tenang. "Sobat-sobatku, aku tidak tahu persis ke mana piramida ini menunjuk... tapi inilah yang kuketahui: Ada harta karun spiritual luar biasa yang terkubur di suatu tempat di luar sana... harta karun yang telah menunggu dengan sabar dalam kegelapan selama bergenerasi-generasi. Aku yakin, itulah katalisator yang punya kekuatan untuk mengubah dunia ini." Kini dia menyentuh ujung emas batu-puncak. "Dan karena piramida ini sudah disusun... waktunya hampir tiba. Dan, mengapa tidak? Janji pencerahan transformasional luar biasa telah lama diramalkan."

"Bapa," ujar Langdon dengan nada menantang, "kita semua sangat mengenal Wahyu Santo Yohanes dan arti harfiah Kiamat, tapi ramalan Alkitab tampaknya -"

"Oh, astaga, Kitab Wahyu adalah kekacauan!" ujar kepala Katedral itu. "Tak seorang pun tahu cara membacanya. Aku membicarakan benak-benak jernih yang menulis dengan bahasa yang jelas - ramalan Santo Augustinus, Sir Francis Bacon, Newton, Einstein, daftarnya tidak pernah berakhir, semuanya mengantisipasi momen pencerahan transformatif. Bahkan, Yesus sendiri berkata, 'Tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan.'"

"Itu prediksi yang aman untuk disebutkan," ujar Langdon. "Pengetahuan berkembang secara eksponensial. Semakin banyak yang kita ketahui, semakin besar kemampuan kita untuk belajar, dan semakin cepat kita mengembangkan dasar pengetahuan kita."

"Ya," imbuh Katherine. "Kita melihat hal ini dalam ilmu pengetahuan sepanjang waktu. Setiap teknologi baru yang kita ciptakan akan menjadi alat untuk menemukan teknologi-teknologi baru... dan itu semakin berkembang. Itulah sebabnya mengapa ilmu pengetahuan semakin maju dalam lima tahun terakhir ini jika dibandingkan dengan lima ribu tahun sebelumnya. Perkembangan eksponensial. Secara matematis, dengan berlalunya waktu, eksponensial kemajuan menjadi nyaris vertikal, dan pengembangan baru terjadi begitu cepat."

Keheningan muncul di kantor kepala katedral, dan Galloway merasa bahwa kedua tamunya masih tidak tahu bagaimana piramida ini bisa membantu mereka mengungkapkan sesuatu lebih lanjut. Itulah sebabnya mengapa takdir membawa kalian kepadaku, pikirnya. Aku punya peranan yang harus dimainkan.

Selama bertahun-tahun, Pendeta Colm GaRoway, bersama dengan saudara-saudara Masonnya, memainkan peranan penjaga gerbang. Kini, peranan itu berubah total.

Aku bukan lagi penjaga gerbang.... Aku pemandu.

"Profesor Langdon?" ujar Galloway, seraya menjulurkan tangan melintasi meja. "Silakan pegang tanganku."

Robert Langdon merasa ragu ketika menatap telapak tangan Galloway yang terentang.

Kita hendak berdoa?

Dengan sopan, Langdon menjulurkan tangan dan meletakkan tangan kanannya pada tangan keriput kepala katedral itu. Lelaki tua itu menggenggam tangan Langdon erat-erat, tetapi tidak segera mulai berdoa. Dia malah mencari jari telunjuk Langdon dan mengarahkannya ke dalam kotak-batu yang tadinya menampung batu puncak emas itu.

"Matamu telah membutakanmu," ujar kepala katedral. "Jika kau melihat dengan ujung-ujung jarimu seperti yang kulakukan, kau akan menyadari bahwa kotak ini masih punya sesuatu untuk diajarkan kepadamu."

Dengan patuh, Langdon menelusurkan ujung jari tangannya ke seluruh bagian dalam kotak, tapi dia tidak merasakan apa-apa. Bagian dalamnya benar-benar halus.

"Teruslah mencari," ujar Galloway.

Akhirnya, ujung jari lengan Langdon merasakan sesuatu - lingkaran mungil yang menonjol - titik sangat kecil di tengah dasar kotak. Dia mengeluarkan tangan dan mengintip ke dalam. Lingkaran kecil itu benar-benar tidak terlihat dengan mata telanjang. Apa itu?

"Kau mengenali simbol itu?" tanya Galloway.

"Simbol?" jawab Langdon. "Aku hampir tidak bisa melihat apa-apa."

"Tekan simbol itu."

Langdon melakukan seperti yang diminta, menekankan ujung jari tangannya pada titik itu. Apa menurutnya yang akan terjadi?

"Tekankan jari tanganmu," ujar kepala katedral. "Berikan tekanan."

Langdon melirik Katherine, yang tampak kebingungan ketika menyelipkan rambut ke belakang telinga.

Beberapa detik kemudian, kepala katedral itu akhirnya mengangguk. "Oke, lepaskan tanganmu. Alkimianya sudah selesai."

Alkimia? Robert Langdon mengeluarkan tangan dari kotak batu dan duduk dalam keheningan yang membingungkan. Sama sekali tidak ada yang berubah. Kotak itu tergeletak begitu saja di atas meja.

"Tidak ada apa-apa," ujar Langdon.

"Lihat ujung jarimu," jawab kepala katedral. "Seharusnya kau melihat adanya perubahan."

Langdon memandangi jarinya, tapi satu-satunya perubahan yang bisa dia lihat adalah lekukan di kulit akibat tonjolan melingkar itu - lingkaran mungil dengan sebuah titik di bagian tengahnya.

"Nah, apakah kau mengenali simbol ini?" tanya kepala katedral.

Walaupun Langdon mengenali simbolnya, dia lebih terkesan dengan kemampuan kepala katedral meraba detail itu. Tampaknya, melihat dengan ujung-ujung jari adalah suatu keahlian yang dipelajari.

"Itu berhubungan dengan alkimia," ujar Katherine, sambil menggeser kursi lebih dekat dan meneliti jari Langdon. "Itu simbol kuno untuk emas."

"Memang." Kepala katedral tersenyum dan menepuk kotak. "Profesor, selamat. Kau baru saja mencapai sesuatu diperjuangkan oleh semua alkemis dalam sejarah. Dari substansi tak berharga, kau telah menciptakan emas."

Langdon mengernyit, tidak terkesan. Tipuan amatir kecil ini tampaknya sama sekali tidak membantu. "Gagasan menarik. Tapi aku khawatir simbol ini - lingkaran dengan titik di tengahnya, punya lusinan arti. Simbol ini disebut circumpunct, dan merupakan salah satu simbol yang paling banyak digunakan dalam sejarah."

"Kau bicara apa?" tanya kepala katedral, kedengaran skeptis.

Langdon terpana karena anggota Mason itu tidak lebih mengenal pentingnya simbol ini secara spiritual. "Pak, circumpunct, punya arti yang tak terhitung banyaknya. Di Mesir kuno, itu simbol Ra-Dewa Matahari - dan astronomi modern masih menggunakannya sebagai simbol matahari. Dalam filsafat Timur, circumpunct merepresentasikan pemahaman spiritual Mata Ketiga, mawar suci dan tanda penerangan. Penganut Kabbalah menggunakannya untuk menyimbolkan Kether-Sephiroth tertinggi dan 'yang paling tersembunyi dari segala yang tersembunyi'. Penganut mistik menyebutnya sebagai Mata Tuhan, dan itulah asal Mata.... Melihat pada the Great Seal. Penganut Pythagoras menggunakan circumpunct sebagai simbol Monad-Kebenaran Suci, The Priset Sapienta, at-one-ment (penyatuan) benak dan jiwa, dan-"

"Cukup!" Kini Dean Galloway tergelak. "Profesor, terima kasih. Kau benar, tentu saja."

Kini Langdon menyadari bahwa dia baru saja dipermainkan. Dia mengetahui semua itu.

"Circumpunct," ujar Galloway, yang masih tersenyum sendiri, "pada dasarnya adalah simbol Misteri Kuno. Oleh karena itu menurutku, kehadirannya di dalam kotak ini bukanlah kebetulan. Legenda mengatakan bahwa rahasia-rahasia peta ini tersembunyi di dalam detail-detail terkecil."

"Baiklah," kata Katherine, "tapi, seandainya pun simbol ini diukirkan di sana secara sengaja, simbol ini tidak membawa kita semakin dekat dengan pemecahan peta, bukan?"

"Tadi kau mengatakan segel-lilin yang kau patahkan dicap timbul dengan cincin Peter?"

"Benar."

"Dan kau mengatakan membawa cincin itu bersamamu?"

"Ya." Langdon merogoh saku.. menemukan cincin itu, mengeluarkannya dari kantong plastik, dan meletakkannya di atas meja di hadapan kepala katedral.

Galloway memungut cincin itu dan mulai meraba-raba permukaannya. "Cincin unik ini diciptakan pada saat yang sama dengan Piramida Mason, dan secara tradisional dikenakan oleh kaum Mason yang bertugas melindungi piramida. Malam ini, ketika meraba Circumpunct mungil di dasar kotak batu, kusadari bahwa cincin ini sesungguhnya merupakan bagian dari symbolon."

"Benarkah?"

"Aku yakin itu. Peter sahabat terdekatku, dan dia mengenakan cincin ini selama bertahun-tahun. Aku cukup mengenal benda ini." Dia menyerahkan cincin itu kepada Langdon. "Lihat sajalah sendiri."

Langdon mengambil cincin itu dan menelitinya, menelusurkan jari-jari tangannya di atas phoenix berkepala-dua, angka 33, kata-kata ORDO AB CHAQ, dan juga kata-kata Semuanya terungkap pada derajat ketiga puluh tiga. Dia tidak merasakan sesuatu yang bisa membantu. Lalu.. ketika jari-jari tangannya menelusuri bagian luar lingkaran cincin, dia langsung berhenti. Dengan terkejut, dia membalikkan cincin dan meneliti bagian dasar lingkaran cincinnya.

"Kau menemukannya?" tanya Galloway.

"Ya, kurasa begitu," jawab Langdon.

Katherine menggeser kursi lebih dekat. "Apa?"

"Tanda derajat pada lingkaran cincin," ujar Langdon sambil menunjukkan. "Begitu kecil sehingga tidak terlalu bisa dilihat dengan mata. Tapi jika merabanya, kau bisa mengetahui suatu lekukan seperti goresan melingkar mungil." Tanda derajat berada di tengah dasar lingkaran cincin ... dan tampaknya ukurannya memang sama dengan lingkaran menonjol di dasar kubus."

"Ukurannya sama?", Katherine bergerak semakin dekat lagi, kini kedengarannya bersemangat.

"Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya." Langdon mengambil cincin itu, memasukkannya ke dalam kotak, lalu menyibakkan kedua lingkaran mungil itu. Ketika dia menekan cincin, lingkaran menonjol di kotak masuk ke dalam lekukan cincin, dan suara klik samar, tapi mantap.

Mereka semua terlompat.

Langdon menunggu, tapi tidak terjadi apa-apa.

"Apa itu?!" tanya pendeta.

"Tidak ada apa-apa," jawab Katherine. "Cincin itu terkunci ditempatnya... tapi tidak terjadi apa-apa lagi."

"Tidak ada perubahan besar?" Galloway tampak bingung.

Kita belum selesai, pikir Langdon menyadari seraya menunduk memandangi lambang-timbul cincin-phoenix berkepala di angka 33. Semuanya terungkap pada derajat ketiga puluh tiga. Benaknya dipenuhi pikiran mengenai Pythagoras, geometri suci, dan sudut. Ia bertanya-tanya, mungkinkah kata derajat punya arti matematis.

Perlahan-jahan, kini dengan jantung berdetak lebih cepat, Langdon menjulurkan tangan dan meraih cincin yang melekat di dasar kotak-kubus. Lalu, perlahan-lahan, dia mulai memutar cincin ke kanan.

Semuanya terungkap pada derajat ketiga puluh tiga.

Langdon memutar cincin sepuluh derajat... dua puluh derajat... tiga puluh derajat.

Kejadian selanjutnya benar-benar di luar dugaan Langdon.

BAB 85

Perubahan.

Dean Galloway mendengar apa yang terjadi, jadi dia tidak perlu melihatnya.

Di seberang meja, Langdon dan Katherine terdiam terpaku, tak diragukan lagi merasa takjub dan membisu, menatap kubus batu yang baru saja mengubah diri dengan suara keras dihadapan mata mereka itu.

Mau tak mau Galloway tersenyum. Dia sudah mengantisipasi hasilnya. Walaupun masih belum tahu bagaimana perkembangan baru ini pada akhirnya akan membantu mereka memecahkan teka-teki piramida, dia menikmati peluang langka mengajari seorang simbolog Harvard sesuatu mengenai simbol.

"Profesor," kata kepala katedral itu, "hanya sedikit orang yang menyadari bahwa kaum Mason menghormati bentuk kubus - atau kami menyebutnya ashlar - karena merupakan representasi tiga dimensi dari simbol lain... simbol dua dimensi yang lebih kuno." Galloway tidak perlu bertanya apakah profesor itu mengenali simbol kuno yang kini terhampar di hadapan mereka di atas meja. Itu salah satu simbol paling

terkenal di dunia.

Pikiran Robert Langdon teraduk-aduk ketika dia menatap kotak yang berubah di atas meja di hadapannya. Aku sama sekali tidak tahu....

Beberapa saat yang lalu, dia menjangkau ke dalam kotak batu, meraih cincin Mason, dan perlahan-lahan memutarnya. Ketika dia memutar cincin sampai tiga puluh tiga derajat, kubus itu mendadak berubah di hadapan matanya. Panel-panel yang menyusun semua sisi kotak berjatuhan ketika engsel-engsel tersembunyi terlepas. Kotak itu langsung roboh, panel-panel samping tutupnya jatuh ke depan, menampar

keras meja.

Kubus itu berubah menjadi salib, pikir Langdon. Alkimia, simbolis.

Katherine tampak bingung melihat kubus yang roboh. "Piramida Mason berhubungan dengan... ajaran Kristen."

Sejenak Langdon menanyakan hal yang sama. Bagaimanapun salib Kristen merupakan simbol yang dihormati dalam Persaudaraan Mason, dan jelas ada banyak kaum Mason yang Kristen. Akan tetapi, kaum Mason juga banyak yang Yahudi, Muslim, Buddhis, Hindu, juga mereka yang tidak punya nama bagi Tuhan mereka. Kemunculan simbol Kristen secara eksklusif tampaknya membatasi. Lalu, arti sejati simbol

ini terpikirkan oleh Langdon.

"Itu bukan salib," ujar Langdon, yang kini berdiri. "Salib dengan circumpunct di bagian tengahnya merupakan simbol peleburan dua simbol untuk menciptakan satu simbol."

"Kau bilang apa?" Mata Katherine mengikuti Langdon yang mondar-mandir di dalam ruangan.

"Sampai abad ke-4," jelas Langdon, "salib bukan simbol Kristen. Jauh sebelum itu, salib digunakan oleh orang-orang Mesir untuk merepresentasikan persimpangan antara dua dimensi - manusia dan surga. Seperti yang di atas, demikian juga yang bawah. Itu representasi visual persimpangan tempat manusia dan Tuhan menjadi satu."

"Oke."

"Circumpunct," jelas Langdon, "sudah kita ketahui memiliki banyak arti - salah satunya yang paling esoteris adalah mawar, simbol alkimia untuk kesempurnaan.Tapi jika kau meletakkan mawar di tengah salib, kau akan menciptakan simbol lain yang benar-benar berbeda - Salib Mawar."

Galloway bersandar di kursinya, tersenyum. "Wah, wah. Hebat sekali."

Kini Katherine juga berdiri. "Apa yang kulewatkan?"

"Salib Mawar," jelas Langdon, "adalah simbol umum dalam Persaudaraan Mason Bebas. Sesungguhnya, salah satu derajat dalam Scottish Rite disebut 'Kesatria Salib Mawar', untuk menghormati para penganut Rosicrucian awal, yang memberikan sumbangan pada filsafat mistis Mason. Peter mungkin sudah menyebutkan penganut-penganut Rosicrucian kepadamu. Lusinan ilmuwan besar menjadi anggotanya - John

Dee, Elias Ashmole, Robert Fludd..."

"Benar sekali," ujar Katherine. "Aku sudah membaca semua Manifesto Rosicrucian di dalam risetku."

Semua ilmuwan harus melakukannya, pikir Langdon. Ordo Salib Mawar - atau lebih resminya disebut Ordo Rosae Crucis Kuno dan Mistis - punya sejarah misterius yang sangat mempengaruhi ilmu pengetahuan dan sangat paralel dengan legenda Misteri Kuno... saga-saga kuno dengan kebijakan rahasia yang diturunkan selama berabad-abad dan hanya dipelajari oleh orang-orang terpintar. Daftar penganut Rosicrucian yang terkenal dalam sejarah memang terdiri atas deretan orang terkenal Renaisans Eropa: Paracelsus, Bacon, Fludd, Descartes, Pascal, Spinoza, Newton, Leibniz.

Menurut doktrin Rosicrucian, ordo itu didirikan berdasarkan kebenaran esoteris masa lampau kuno, yaitu kebenaran-kebenaran yang harus "disembunyikan dari manusia biasa" dan menjanjikan pemahaman luar biasa dalam "ranah spiritual". Simbol kelompok persaudaraan ini telah berkembang selama bertahun-tahun menjadi bunga mawar pada salib berhias, tapi simbol itu dimulai sebagai lingkaran berbintik yang lebih sederhana pada salib tanpa hiasan - manifestasi mawar yang paling sederhana pada manifestasi salib yang paling sederhana.

"Aku dan Peter sering mendiskusikan filsafat Rosicrucian", kata Galloway kepada Katherine.

Ketika kepala katedral mulai menjelaskan hubungan balik antara Persaudaraan Mason dan Rosicrucianisme, Langdon merasakan perhatiannya teralihkan kembali pada pikiran yang telah mengganggunya sepanjang malam. Jeova Sanctus Unum. Entah bagaimana frasa ini berhubungan dengan alkimia. Dia masih bisa mengingat secara pasti apa yang dikatakan Peter mengenai frasa itu. Tapi, untuk alasan tertentu, penyebutan Rosicrucian tampaknya menyalakan kembali pikiran itu. Berpikirlah, Robert.

"Pendiri Rosicrucian," ujar Galloway, "konon ada seorang mistik Jerman yang bernama Christian Rosenkreuz - jelas samaran - mungkin untuk Francis Bacon, yang diyakini beberapa sejarahwan mendirikan sendiri kelompok itu, walaupun, ada bukti -"

"Nama samaran!" teriak Langdon mendadak, mengejutkan semua orang, bahkan dirinya sendiri. "Itu dia! Jeova Sanctus Unum itu nama samaran!"

"Kau bicara apa?" desak Katherine.

Denyut nadi Langdon kini semakin cepat. "Sepanjang aku mencoba mengingat apa yang dikatakan Peter mengenai Jeova Sanctus Unum dan hubungannya dengan alkimia. Akhirnya, aku ingat! Itu bukan mengenai alkimia, melainkan mengenai seorang alkemis! Alkemis yang sangat terkenal!"

Galloway tergelak. "Sudah saatnya, Profesor. Aku menyebut namanya dua kali, dan juga kata nama samaran."

Langdon menatap kepala katedral tua itu. "Kau tahu?"

"Wah, aku sudah curiga ketika kau mengatakan bahwa itu bunyinya Jeova Sanctus Unus dan kodenya dipecahkan dengan menggunakan persegi empat ajaib Durer. Tapi ketika kau menemukan Salib Mawar, aku merasa yakin. Seperti yang mungkin kau ketahui makalah-makalah pribadi ilmuwan yang sedang kita bahas ini menyertakan salinan manifesto-manifesto Rosicrucian dengan banyak sekali catatan."

"Siapa?" tanya Katherine.

"Salah satu ilmuwan terbesar di dunia!" jawab Langdon.

Dia seorang alkemis, anggota Royal Society of London, pengikut Rosicrucian, dan menandatangani beberapa makalah ilmu pengetahuannya yang paling rahasia dengan nama samaran - 'Jeova Sanctus Unus'"

"Satu Tuhan Sejati?" tanya Katherine. "Lelaki rendah hati."

"Sesungguhnya lelaki cerdas," ujar Galloway membetulkan. "Dia menandatangani namanya dengan cara seperti itu karena, seperti ahli-ahli kuno, dia menganggap dirinya sendiri suci. Juga karena keenam belas huruf dalam Jeova Sanctus Unus bisa diatur kembali untuk menyebut namanya dalam bahasa Latin, menciptakan nama samaran yang sempurna."

Kini Katherine tampak kebingungan. "Jeova Sanctus Unus adalah anagram nama seorang alkemis terkenal dalam bahasa Latin?"'

Langdon meraih secarik kertas dan pensil dari meja kepala katedral, lalu menulis sembari bicara. "Bahasa Latin saling mempertukarkan huruf J dengan I dan huruf V dengan U, yang berarti Jeova Sanctus Unus bisa diatur kembali dengan sempurna untuk menyebut nama lelaki ini."

Langdon menuliskan keenam belas huruf itu: Isaacus Neutonuus.

Dia menyerahkan kertas itu kepada Katherine dan berkata, "Kurasa, kau pernah mendengar tentang dia."

"Isaac Newton?" desak Katherine, seraya memandang kertas itu. "Itukah yang hendak dikatakan oleh ukiran pada piramida itu kepada kita?"

Sejenak Langdon serasa kembali berada di Westminster Abbey, berdiri di makam Newton yang berbentuk piramida - tempat dia mengalami kesadaran yang serupa. Dan malam ini, ilmuwan besar itu kembali muncul ke permukaan. Bukan kebetulan, tentu saja... piramida-piramida, misteri-misteri, ilmu pengetahuan, pengetahuan yang tersembunyi... semuanya saling berkaitan. Nama Newton selalu menjadi tonggak petunjuk yang berulang-ulang muncul bagi mereka yang mencari pengetahuan rahasia."

"Isaac Newton," ujar Galloway, "agaknya berhubungan dengan cara memecahkan arti piramida. Tak bisa kubayangkan seperti apa, tapi...-"

"Genius!" teriak Katherine dengan mata terbelalak. "Begitulah cara mengubah piramida itu!"

"Kau mengerti?" tanya Langdon.

"Ya!" jawab Katherine. "Aku tidak percaya kita tidak melihatnya! Sudah berada tepat di hadapan kita. Proses alkimia sederhana. Aku bisa mengubah piramida ini dengan menggunakan ilmu pengetahuan dasar! Ilmu pengetahuan Newton!"

Langdon berusaha keras untuk mengerti.

"Dean Galloway," ujar Katherine. "Jika kau membaca cincin itu, bunyinya-"

"Berhenti!" Mendadak kepala katedral tua itu mengangkat jari tangan ke udara dan mengisyaratkan mereka untuk diam.

Perlahan-lahan dia memiringkan kepala, seakan mendengarkan sesuatu. Setelah beberapa saat, mendadak dia berdiri. "Sobat-sobatku, piramida ini jelas meninggalkan rahasia-rahasia untuk diungkapkan. Aku tidak tahu apa yang diketahui Miss Solomon, tapi jika dia mengetahui langkah selanjutnya, aku harus memainkan perananku. Kemasi barang-barang kalian dan jangan berkata apa-apa lagi kepadaku. Tinggalkan aku dalam kegelapan untuk saat ini. Aku lebih suka tidak punya informasi yang bisa dibagikan, seandainya para pengunjung kita mencoba memaksaku."

"Pengunjung?" ujar Katherine, seraya mendengarkan. "Aku tidak mendengar seorang pun."

"Akan kau dengar," jawab Galloway, seraya berjalan ke pintu, "Cepat."

Di seberang kota, sebuah menara telepon berusaha menghubungi telepon yang tergeletak hancur di Massachusetts Avenue.

Ketika tidak menemukan sinyal, menara itu mengarahkan kembali panggilan telepon itu ke pesan suara.

"Kau di mana?"

"Robert," teriak suara panik Warren Bellamy, "Kau dimana? Telepon aku! Terjadi sesuatu yang mengerikan."

BAB 86

Dalam kilau biru-langit lampu-lampu ruang bawah tanah, Mal'akh berdiri di depan meja batu dan melanjutkan persiapan-persiapannya. Selama dia bekerja, perut kosongnya berkeroncongan. Dia tidak mengacuhkannya. Hari-hari pelayanannya terhadap keinginan ragawi sudah

ditinggalkannya.

Perubahan memerlukan pengorbanan.

Seperti banyak lelaki lain yang paling berkembang secara spiritual dalam sejarah, Mal'akh telah mengikatkan diri pada jalannya dengan melakukan pengorbanan daging yang termulia. Pengebirian tidak terlalu menyakitkan seperti yang dibayangkannya. Dan belakangan dia tahu, tindakan itu jauh lebih umum dilakukan daripada yang dia kira. Setiap tahun, ribuan lelaki menjalani pengebirian melalui operasi - prosesnya dikenal sebagai orkietomi - motivasi mereka berkisar antara masalah-masalah lintas-gender, mengendalikan kecanduan seksual, sampai keyakinan spiritual yang tertanam kuat. Motivasi Mal'akh adalah jenis yang paling mulia. Seperti Attis yang mengebiri diri sendiri dalam mitos, Mal'akh tahu bahwa untuk mencapai keabadian, diperlukan pemutusan total dari dunia material laki-laki dan perempuan.

Androgin adalah satu.

Saat ini, lelaki-lelaki terkebiri dijauhi, walaupun orang kurang memahami kekuatan yang menjadi sifat pengorbanan transmutasional ini. Orang-orang Kristen kuno bahkan mendengar Yesus sendiri menyanjung kebajikan-kebajikannya dalam Matius 19:12, "dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauan sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti ia mengerti."

Peter Solomon telah melakukan pengorbanan daging, walaupun sebelah tangan adalah harga kecil dalam rencana besar. Akan tetapi ketika malam berakhir, Solomon akan melakukan pengorbanan yang jauh, jauh lebih besar.

Untuk menciptakan, aku harus menghancurkan.

Begitulah sifat alami polaritas.

Tentu saja Peter Solomon patut menerima takdir yang menantinya malam ini. Akan menjadi akhir yang pas. Dulu sekali, dia memainkan peranan penting dalam jalur kehidupan fana Mal'akh. Oleh karena itu, Peter telah dipilih untuk memainkan peranan penting dalam perubahan besar Mal'akh. Lelaki ini pantas mengalami semua kengerian dan kesakitan yang bakal diterimanya. Peter Solomon bukanlah manusia seperti yang dipercayai oleh dunia.

Dia mengorbankan putranya sendiri.

Peter Solomon pernah memberikan pilihan yang mustahil - kekayaan atau kebijakan -kepada putranya, Zachary. Zachary memilih dengan buruk. Keputusan anak laki-laki itu mengawali serangkaian kejadian yang pada akhirnya menyeret pemuda itu ke dalam neraka. Penjara Soganlik. Zachary Solomon mati dalam penjara Turki itu. Seluruh dunia mengetahui ceritanya... tapi mereka tidak tahu kalau Peter Solomon seharusnya bisa menyelamatkan putranya.

Aku ada di sana, pikir Mal'akh. Aku mendengar semuanya.

Mal' akh tidak pernah melupakan malam itu. Keputusan brutal Solomon berarti kematian bagi putranya, Zach, tapi menjadi kelahiran Mal'akh.

Seseorang harus mati sehingga yang lain bisa hidup.

Ketika lampu di atas kepala Mal'akh mulai kembali berubah warna, dia menyadari larutnya malam. Dia menyelesaikan persiapan-persiapannya dan kembali menaiki rampa. Sudah saatnya mengurus masalah-masalah dunia fana.

BAB 87

Semuanya terungkap pada derajat ketiga puluh tiga, pikir Katherine seraya berlari. Aku tahu cara mengubah piramida itu. Jawabannya sudah berada di depan mata mereka sepanjang malam.

Katherine dan Langdon kini sendirian, bergegas menyusuri ruang tambahan katedral, mengikuti papan-papan tanda "kebun". Kini, persis seperti yang dijanjikan oleh kepala katedral, mereka keluar dari katedral dan memasuki pekarangan kebun berdinding.

Kebun katedral terpencil, berbentuk persegi lima dan dilengkapi air mancur perunggu postmodern. Katherine tak mendengar betapa keras aliran air mancur itu menggema di pekarangan. Lalu dia menyadari bahwa bukan suara air mancur yang didengarnya.

"Helikopter! " teriaknya, ketika sorot cahaya menembus langit malam di atas mereka. "Berlindunglah di bawah tiang-tiang penyangga itu!"

Kilau terang lampu sorot membanjiri kebun persis ketika Langdon dan Katherine mencapai sisi seberang dan menyelinap di balik sebuah lengkungan Gothik menuju terowongan ke halaman luar. Mereka menunggu, meringkuk di dalam terowongan, sementara helikopter melintas di atas kepala dan mulai mengitari katedral dalam lengkungan-lengkungan lebar.

"Kurasa, Galloway benar ketika mendengar kedatangan pengunjung," ujar Katherine terkesan. Mata yang buruk menjadikan telinga tajam. Kini telinganya sendiri berdentam-dentam seirama denyut nadinya yang berpacu.

"Ke sini," ujar Langdon, seraya mencengkeram tas bahu dan bergerak melintasi lorong.

Dean Galloway telah memberi mereka sebuah kunci dan serangkaian petunjuk yang jelas. Sayangnya, ketika mencapai ujung terowongan pendek itu, ternyata mereka dipisahkan dari tujuan oleh bentangan luas halaman terbuka yang saat ini dibanjiri cahaya dari helikopter di atas kepala.

"Kita tidak bisa menyeberang", ujar Katherine.

"Tunggu... lihat." Langdon menunjuk bayangan hitam yang mewujud di halaman, di sebelah kiri mereka. Bayangan itu berawal dari sebuah titik tak berbentuk, tapi berkembang dengan cepat, bergerak ke arah mereka, menjadi semakin jelas, bergegas menghampiri mereka semakin cepat dan semakin cepat, memanjang, dan akhirnya mereka semakin persegi panjang hitam besar yang dimahkotai dua menara yang sangat tinggi.

"Bagian depan katedral menghalangi lampu sorot", jelas Langdon.

"Mereka mendarat di depan"

Langdon meraih tangan Katherine. "Lari! Sekarang!"

Di dalam katedral, Dean Galloway merasakan ringannya langkah yang tidak pernah dirasakannya selama bertahun-tahun. Dia bergerak melewati Persimpangan Besar, menyusuri bagian tengah gereja, menuju pintu-pintu depan.

Kini dia bisa mendengar helikopter itu melayang di depan katedral, dan dia membayangkan lampu-lampunya menembus jendela mawar di hadapannya, memancarkan warna-warna spektakuler ke seluruh tempat suci itu.

Dia ingat semasa masih bisa melihat warna. Ironisnya, kekosongan tanpa cahaya yang menjadi dunianya telah menerangi banyak hal untuknya. Kini aku bisa melihat lebih jelas daripada sebelumnya.

Galloway terpanggil melayani Tuhan semasa muda, dan sepanjang hidupnya , dia teramat sangat menyukai gereja. Seperti banyak koleganya yang menyerahkan hidup mereka sepenuhnya kepada Tuhan, Galloway merasa lelah. Dia menghabiskan hidupnya dengan berjuang agar bisa didengar di tengah hiruk-pikuk ketidaktahuan.

Apa yang kuharapkan?

Mulai dari Perang Salib, sampai Inkuisisi, sampai penemuan benua Amerika - nama Yesus dibajak sebagai sekutu dalam segala perjuangan untuk meraih kekuasaan. Semenjak permulaan, mereka yang tidak berpengetahuan selalu berteriak paling keras untuk menggiring massa yang tidak menaruh curiga dan memaksa mereka berbuat sesuai perintah. Mereka mempertahankan keinginan-keinginan duniawi dengan mengutip Alkitab yang tidak mereka pahami. Mereka mengumumkan intoleransi mereka sebagai keyakinan mereka. Kini, setelah bertahun-tahun, umat beriman, akhirnya berhasil menghapuskan segala yang begitu indah mengenai Yesus.

Malam ini, menjumpai simbol Salib Mawar membangkitkan harapan besar Galloway, mengingatkannya akan ramalan yang tertulis dalam manifesto-manifesto Rosicrucian, yang sudah dibaca Galloway berulang-ulang pada masa lampau dan masih bisa diingatnya.

  Bab Satu: Jehova akan menebus dosa umat manusia dengan mengungkapkan rahasia-rahasia yang sebelumnya hanya diperuntukkan mereka yang terpilih.

  Bab Empat: Seluruh dunia akan menjadi satu buku dan semua kontradiksi dalam ilmu pengetahuan dan teologi akan diakurkan.

  Bab Tujuh: Sebelum akhir dunia, Tuhan akan menciptakan banjir besar cahaya spiritual untuk meredakan penderitaan umat manusia.

  Bab Delapan: Sebelum penyingkapan ini dimungkinkan, dunia harus menghilangkan keracunannya akibat cawan beracun yang di penuhi kehidupan palsu anggur teologis.

Galloway tahu, gereja sudah lama tersesat, dan dia membaktikan hidupnya untuk meluruskan jalan gereja. Kini dia menyadari bahwa momen itu sudah mendekat dengan cepatnya.

Malam selalu paling gelap sebelum fajar.

Agen lapangan CIA Turner Simkins duduk di atas kaki helikopter hikorsky ketika benda itu menyentuh rerumputan bersaIju. Dia melompat turun, diikuti orang-orangnya, dan segera melambaikan tangan agar helikopter itu kembali naik ke udara untuk mengawasi semua pintu keluar. Tak seorang pun boleh meninggalkan gedung ini.

Ketika helikopter naik kembali ke dalam langit malam, Simkins dan timnya lari menaiki tangga menuju pintu masuk utama katedral. Sebelum dia bisa memutuskan harus mengetuk pintu yang mana dari keenam pintu itu, salah satu pintu mengayun terbuka.

"Ya?" kata suara tenang dari dalam bayang-bayang.

Simkins nyaris tidak bisa melihat sosok bungkuk berjubah pendeta itu. "Anda Dean Colin Galloway?"

"Ya," jawab lelaki tua itu.

"Saya mencari Robert Langdon. Apakah Anda melihatnya?"

Lelaki tua itu kini melangkah maju, menatap Simkins dengan mata kosong mengerikan. "Nah, bukankah itu akan merupakan suatu keajaiban?"

BAB 88

Waktunya hampir habis.

Analis keamanan Nola Kaye sudah kehilangan kesabaran dan isi cangkir kopi ketiga yang kini diminumnya sudah mulai menjalari tubuhnya seperti arus listrik.

Belum ada berita dari Sato.

Akhinya telepon berdering dan Nola terlompat. "OS," jawabnya. "Nola di sini."

"Nola, ini Rick Parrish dari keamanan sistem."

Nola memelorotkan tubuhnya. Bukan Sato. "Hai, Rick. Ada yang bisa kubantu?

"Aku ingin mengingatkanmu - departemen kami mungkin punya informasi yang berhubungan dengan apa yang sedang kau kerjakan malam ini.

Nola meletakkan kopinya. Bagaimana kau bisa tahu apa sedang kukerjakan malam ini?

"Maaf?"

"Maaf, ini program CI baru, kami sedang melakukan beta-test," Ujar Parrish. "Program ini terus-menerus menunjukkan nomor stasiun-kerjamu.

Kini Nola menyadari apa yang dibicarakan oleh lelaki itu. Saat ini, Agensi menjalankan Perangkat-lunak - collaborrative integration (integrasi kolaboratif) baru yang dirancang untuk memberi peringatan-peringatan real-time ke departemen-departemen yang berlainan ketika mereka kebetulan memproses medan-medan data yang berhubungan. Di dalam era ancaman teroris yang sensitif-waktu, kunci untuk menggagalkan bencana sering sesederhana peringatan yang memberitahumu bahwa lelaki di ujung lorong sedang menganalisis data yang sama yang kau perlukan. Sejauh sepengetahuan Nola, perangkat-lunak CIA ini terbukti lebih merupakan gangguan daripada bantuan nyata apa pun - perangkat-lunak constant interruption (gangguan terus-menerus), begitulah dia menyebutnya.

"Benar, aku lupa," ujar Nola.

"Apa yang kau dapat?" Dia yakin tidak ada orang lain di dalam gedung yang mengetahui adanya krisis ini, apalagi bisa menanganinya. Satu-satunya pekerjaan komputer yang dilakukan Nola malam ini adalah riset historis untuk Sato mengenai topik-topik Mason esoteris. Walaupun demikian, dia harus berpura-pura.

"Wah, mungkin bukan apa-apa," jawab Parrish, "tapi kami menghentikan seorang peretas malam ini, dan program CI terus-menerus menyarankanku agar membagikan informasi ini kepadamu."

Seorang peretas? Nola meneguk kopi. "Aku mendengarkan."

"Kira-kira satu jam yang lalu," jelas Parrish, "kami mencegah seorang lelaki bernama Zoubianis yang sedang mencoba mengakses sebuah arsip di salah satu pangkalan-data internal kami. Lelaki ini menyatakan dirinya disewa untuk melakukan pekerjaan itu dan dia sama sekali tidak tahu mengapa dia dibayar untuk mengakses arsip tertentu ini, dan dia bahkan tidak tahu kalau arsip itu berada di sebuah server CIA."

"Oke."

"Kami sudah selesai menanyainya, dan dia bersih. Tapi ada yang aneh. Arsip yang sama yang menjadi sasarannya telah dimunculkan sebelumnya malam ini oleh sebuah mesin-pencari internal. Tampaknya seseorang mendompleng sistem kami, menjalankan pencarian kata-kunci spesifik, dan menghasilkan dokumen teredaksi. Masalahnya, kata-kata kunci yang mereka gunakan sangat aneh. Dan terutama ada satu yang dimunculkan oleh CI sebagai kecocokan prioritas-tinggi - kata-kunci yang unik bagi kedua rangkaian data kami." Dia terdiam.

"Kau tahu kata ... symbolon?"

Nola langsung terlonjak, menumpahkan kopi di meja.

"Kata-kata kunci lainnya juga sama tidak biasanya," lanjut Parrish. "Piramida, portal �"

"Kemarilah," perintah Nola, seraya mengelap meja. "Dan bawa semua yang kau dapat!"

"Kata-kata ini benar-benar ada artinya bagimu?"

"SEKARANG!"

BAB 89

Kolese Katedral adalah sebuah gedung elegan menyerupai kastil yang bersebelahan dengan Katedral Nasional. Kolese Penginjil, seperti yang pada mulanya dibayangkan oleh uskup Episkopal pertama Washington, didirikan untuk memberikan pendidikan berkelanjutan kepada para pendeta setelah penahbisan mereka. Saat ini, kolese itu menawarkan berbagai program mengenai teologi, keadilan global, penyembuhan,

dan spiritualitas.

Langdon dan Katherine berhasil melintasi halaman dan menggunakan kunci Galloway untuk menyelinap ke dalam, persis ketika helikopter itu naik kembali ke atas katedral dengan lampu-lampu sorot yang mengubah malam menjadi siang. Kini, ketika berdiri kehabisan napas di dalam foyer, mereka meneliti keadaan di sekeliling. Jendela-jendela memberikan penerangan yang memadai, dan Langdon tidak melihat adanya alasan untuk menyalakan lampu-lampu dan menempuh risiko mengumumkan keberadaan mereka kepada helikopter di atas kepala. Ketika bergerak menyusuri lorong tengah, mereka melewati serangkaian gedung konferensi, ruang kelas, dan area duduk. Interiornya mengingatkan Langdon pada bangunan-bangunan neo-Gothik Universitas Yale - menakjubkan dari luar, tetapi sangat sederhana di bagian dalam. Keanggunan dari periode mereka telah diubah agar bisa menahan lalu lintas pejalan kaki yang sibuk.

"Ke sini," ujar Katherine, seraya menunjuk ke ujung jauh lorong.

Katherine belum menceritakan kepada Langdon apa yang baru disadarinya mengenai piramida itu, tapi tampaknya penyebutan Isaacus Neutonuus-lah yang menyulutnya. Yang dikatakan Katherine ketika mereka melintasi halaman hanyalah: piramida itu bisa diubah dengan menggunakan ilmu pengetahuan sederhana. Perempuan itu yakin, segala yang diperlukan kemungkinan ditemukan di dalam gedung ini.

Langdon sama sekali tidak tahu apa yang diperlukan Katherine atau bagaimana caranya mengubah sepotong granit atau emas padat, tapi mengingat dia baru saja menyaksikan sebuah kubus bermetamorfosis menjadi salib Rosicrucian, dia bersedia untuk percaya.

Mereka mencapai ujung lorong dan Katherine mengernyit, tampaknya tidak melihat apa yang diinginkannya. "Katanya gedung ini punya fasilitas asrama?"

"Ya, untuk konferensi-konferensi yang memerlukan penginapan."

"Jadi mereka pasti punya dapur di suatu tempat di sinikan?"

"Kau lapar?"

Katherine mengernyit memandangnya. "Tidak. Aku mencari suatu benda."

Tentu saja. Langdon melihat tangga menurun dengan simbol yang menjanjikan. Piktogram favorit Amerika.

Dapur ruang bawah-tanah tampak seperti ruang industri � banyak perlengkapan dari baja nirkarat dan mangkuk-mangkuk besar dirancang untuk memasak untuk kelompok-kelompok besar. Dapurnya tidak berjendela. Katherine menutup pintu dan menyalakan lampu-lampu. Kipas ventilasi menyala secara otomatis.

Katherine mulai membuka lemari-lemari untuk mencari benda yang diperlukannya. "Robert," pintanya, "tolong letakkan piramida itu di meja dapur."

Langdon, yang merasa seperti asisten koki yang sedang menerima perintah-perintah dari koki terkenal Daniel Boulud, melakukan seperti yang diperintahkan, mengeluarkan piramida dari tas dan meletakkan batu-puncak emas itu di atasnya. Ketika sudah selesai, Kathertne sibuk mengisi sebuah panci besar dengan air keran panas.

"Tolong angkatkan ini ke atas kompor."

Langdon mengangkat panci penuh air itu ke atas kompor, dan Katherine memutar tombol gas untuk menyalakan api.

"Kita masak lobster?" tanya Langdon penuh harap.

"Lucu sekali. Tidak, kita melakukan alkimia. Dan, sekadar catatan, ini panci pasta, bukan panci lobster." Dia menunjuk saringan berlubang-lubang yang dikeluarkannya dari panci dan diletakkannya di atas meja di samping piramida.

Tolol sekali. "Dan merebus pasta akan membantu kita memecahkan kode piramida?"

Katherine mengabaikan komentar itu, nada suaranya berubah serius. "Seperti yang aku yakin kau ketahui, ada alasan historis dan simbolis mengapa kaum Mason memilih tiga puluh tiga sebagai derajat tertinggi mereka."

"Tentu saja," ujar Langdon. Pada masa Pythagoras, enam abad sebelum Kristus, tradisi numerologi menganggap 33 sebagai angka tertinggi dari semua Angka Utama. Itu angka tersuci, menyimbolkan Kebenaran Suci. Tradisi itu terus bertahan di dalam Persaudaraan Mason... dan di tempat-tempat lain. Bukan kebetulan jika orang Kristen diberi tahu bahwa Yesus disalibkan di usia tiga puluh tiga, walaupun tidak ada bukti historis nyata untuk itu. Juga bukan kebetulan jika Yusuf dikatakan berusia tiga puluh tiga saat menikahi Perawan Maria, atau Yesus melakukan tiga puluh tiga mukjizat, atau nama Allah disebut tiga puluh tiga kali dalam Kitab Kejadian, atau, dalam Islam, semua penghuni surga secara permanen berusia tiga puluh tiga tahun.

"Tiga puluh tiga," ujar Katherine, "adalah angka suci dalam banyak tradisi mistis."

"Benar." Langdon masih tidak tahu apa hubungan ini dengan panci pasta.

"Jadi, seharusnya tidak mengejutkan bagimu jika alkimia kuno, penganut Rosicrucian, dan ahli mistik seperti Isaac Newton juga menganggap angka tiga puluh tiga istimewa."

"Aku yakin begitu," jawab Langdon. "Newton sangat mempelajari numerologi, ramalan, dan astrologi, tapi apa-"

"Semuanya terungkap pada deraiat ketiga puluh tiga," Langdon mengeluarkan cincin Peter dari saku dan menulis inskripsinya. Lalu dia melirik kembali panci air itu. "Maaf, aku tidak mengerti."

"Robert, tadi kita semua berasumsi bahwa derajat ketiga puluh tiga mengacu pada derajat Mason. Akan tetapi, ketika memutar cincin tiga puluh tiga derajat, kubusnya berubah mengungkapkan sebuah salib. Saat itu kita menyadari bahwa derajat digunakan dalam pengertian lain."

"Ya. Derajat kelengkungan."

"Tepat sekali. Tapi, derajat juga punya arti ketiga."

Langdon mengamati panci air di atas kompor. "Suhu."

"Tepat sekali!" ujar Katherine. "Sudah ada di depan mata sepanjang malam. 'Semuanya terungkap pada derajat ketiga puluh tiga'. Jika kita membawa suhu piramida ini sampai tiga tiga derajat... mungkin saja benda ini akan mengungkap suatu."

Langdon tahu, Katherine Solomon luar biasa pintar. Tetapi, tampaknya perempuan ini melewatkan sesuatu yang jelas terlihat. "Jika aku tidak keliru, suhu tiga puluh tiga derajat nyaris membekukan. Tidakkah kita seharusnya meletakkan piramida itu dalam lemari pembeku?"

Katherine tersenyum. "Tidak, jika kita ingin mengikuti yang ditulis oleh alkemis hebat dan ahli mistik Rosicrucian menandatangani makalah-makalahnya dengan Jeova Sanctus Unus."

Saacus Neutonuus menulis resep?

"Robert, suhu adalah katalisator alkimia mendasar, dan tidak selalu diukur dalam Fahrenheit dan Celsius. Ada skala suhu yang jauh lebih tua, salah satunya ditemukan oleh Isaac-"

"Skala Newton," ujar Langdon, menyadari bahwa Katherine benar.

"Ya! Isaac Newton menemukan seluruh sistem pengukur suhu yang benar-benar berdasarkan pada fenomena alam. Suhu es meleleh merupakan titik dasar Newton, dan dia menyebutnya sebagai 'derajat zeroth (nol)'." Katherine terdiam. "Kurasa, kau bisa menebak derajat apa yang diberikannya untuk suhu air mendidih - raja dari semua proses alkimia?"

"Tiga puluh tiga."

"Ya, tiga puluh tiga! Derajat ketiga puluh tiga. Pada Skala Newton, suhu air mendidih adalah tiga puluh tiga derajat. Aku ingat pernah bertanya kepada kakakku mengapa Newton memilih angka itu. Maksudku, tampaknya begitu acak. Air mendidih adalah proses alkimia yang paling mendasar, dan dia memilih tiga puluh tiga? Mengapa bukan seratus? Mengapa bukan sesuatu yang lebih elegan? Peter menjelaskan bahwa bagi ahli mistik seperti Isaac Newton, tidak ada angka yang lebih elegan daripada tiga puluh tiga."

Semuanya terungkap pada derajat ketiga puluh tiga. Langdon melirik panci air, lalu piramida. "Katherine, piramida itu terbuat dari granit padat dan emas padat. Kau sungguh-sungguh mengira air mendidih cukup panas untuk mengubahnya?"

Senyum di wajah Katherine mengatakan kepada Langdon bahwa dia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui Langdon. Dengan yakin, dia berjalan ke meja, mengangkat piramida granit berbatupuncak emas itu, dan meletakkannya ke dalam saringan. Lalu dengan hati-hati diturunkannya saringan itu ke dalam air mendidih. "Ayo kita cari tahu."

Tinggi di atas Katedral Nasional, pilot CIA menyetel helikopter pada mode melayang-otomatis dan meneliti perimeter bangunan dan tanah. Tidak ada gerakan. Pencitraan-panasnya tidak bisa menembus batu katedral, jadi dia tidak bisa tahu apa yang sedang dilakukan tinmya di dalam. Tapi, seandainya seseorang mencoba menyelinap keluar, pencitraan-panas akan mengenalinya.

Sensor panas itu baru berdenting enam puluh detik. Detektor yang prinsip kerjanya sama dengan sistem keamanan itu telah mengidentifikasi perbedaan suhu yang kuat, ini berarti sesosok manusia sedang bergerak melewati ruangan dingin, tapi yang tampak di monitor lebih menyerupai panas, sepetak udara panas yang melayang melintasi halaman. Pilot itu menemukan sumbernya, sebuah lubang ventilasi di bagian samping Kolese Katedral.

Mungkin bukan apa-apa, pikirnya. Dia melihat jenis-jenis ini sepanjang  waktu. Seseorang sedang memasak atau menyetrika pakaian. Tetapi, ketika hendak mengalihkan pandangan, dia menyadari sesuatu yang aneh. Tidak ada mobil di tempat parkir, tidak ada lampu di mana pun di dalam bangunan.

Dia mempelajari sistem pencitraan UH-60 untuk waktu lama. Lalu dia menghubungi pemimpin tim. "Simkins, mungkin bukan apa-apa, tapi...."

"Indikator-suhu yang berpijar!" Langdon harus mengakui tindakan cerdik.

"Itu ilmu pengetahuan sederhana," ujar Katherine. "Substansi yang berbeda berpijar pada suhu yang berbeda. Kami menyebutnya sebagai penanda-panas. Ilmu pengetahuan menggunakan penanda-penanda ini sepanjang waktu."

Langdon menunduk memandangi piramida dan batu-puncak yang terendam itu. Walaupun dia tidak merasa berharap, gumpalan-gumpalan uap mulai bergelung di atas air mendidih. Dia menengok arloji, dan detak jantungnya semakin cepat: 11.45. "Kau percaya sesuatu di sini akan bersinar ketika semakin panas?"

"Bukan bersinar, Robert. Berpijar. Ada perbedaan besar, Pijaran disebabkan oleh panas dan terjadi pada suhu yang spesifik. Misalnya, ketika para pembuat baja menempa balok-balok baja, mereka menyemprotkan pelapis-transparan yang berpilar pada suhu sasaran spesifik, sehingga mereka tahu kapan balok-balok-nya selesai dikerjakan. Ingat mood ring". Kenakan saja di jari tanganmu, dan cincin itu akan berubah warna akibat panas tubuh."

"Katherine, piramida ini dibuat pada 1800-an! Aku bisa mengerti jika seorang seniman membuat engsel-engsel pelepas tersembunyi di dalam kotak batu, tapi mengaplikasikan semacam pelapis-panas transparan?"

"Benar-benar memungkinkan," jawab Katherine, seraya melirik piramida terendam itu dengan penuh harap. "Para alkemis kuno menggunakan fosfor organik sepanjang waktu sebagai penanda panas. Orang Cina membuat kembang-api berwarna, dan bahkan orang Mesir-" Katherine berhenti di tengah kalimat, menatap serius ke dalam air mendidih.

"Apa?" Langdon mengikuti pandangan Katherine ke dalam air yang bergolak, tapi tidak melihat apa-apa.

Katherine membungkuk, menatap lebih serius ke dalam air.

Mendadak dia berbalik dan lari melintasi dapur menuju pintu.

"Mau ke mana?" teriak Langdon.

Katherine berhenti di dekat tombol lampu dapur, lalu mematikannya. Lampu-lampu dan kipas ventilasi mati menjadikan ruangan itu gelap dan hening total. Langdon kembali memandang piramida itu dan mengintip batu-puncak yang berada di bawah air di balik uap.

Saat Katherine kembali ke sisinya, mulut Langdon sudah ternganga tidak percaya.

Persis seperti yang diprediksi Katherine, sebagian kecil dari batu-puncak itu mulai berkilau di bawah air. Huruf-huruf mulai bermunculan, dan semakin terang ketika airnya memanas.

"Teks!" bisik Katherine.

Langdon mengangguk, tak mampu bicara. Kata-kata berkilau itu mewujud persis di bawah inskripsi yang terukir di batu-puncak. Tampaknya seperti tiga kata saja. Dan, walaupun belum bisa membaca kata-kata itu, Langdon bertanya-tanya apakah kata-kata itu akan mengungkapkan semua yang mereka cari malam ini. Piramida itu adalah peta yang nyata, kata Galloway kepada mereka, dan menunjukkan lokasi yang nyata.

Ketika huruf-huruf itu bersinar lebih terang, Katherine matikan gas, dan airnya perlahan-lahan berhenti bergolak. Batu puncak itu kini tampak jelas di bawah permukaan air tenang.

Tiga kata yang bersinar terbaca dengan jelas.

BAB 90

Dalam cahaya suram dapur Kolese Katedral, Langdon dan Katherine berdiri di depan panci dan menatap batu-puncak yang berubah di bawah permukaan air. Di sisi batu-puncak emas itu, sebuah pesan berpijar berkilauan.

Langdon membaca teks bersinar itu, dan nyaris tidak mampu memercayai matanya. Dia tahu, piramida itu didesas-desuskan mengungkapkan lokasi yang spesifik ... tapi dia tak pernah membayangkan lokasinya akan sespesifik ini.

              Eight Franklin Square

           (Franklin Square Delapan)

"Sebuah alamat," bisiknya, terpukau.

Katherine tampak sama takjubnya. "Aku tidak tahu apa yang ada di sana. Kau?"

Langdon menggeleng, Dia tahu, Franklin Square adalah salah satu bagian lama Washington, tapi dia tidak mengenal alamat itu. Dia memandang ujung atas batu-puncak itu, membaca ke bawah, mengamati seluruh teks.

                                 The

                           secret hides

                        within The Order

                     Eight Franklin Square

                  (Rahasianya tersembunyi

                          di dalam Ordo

                  Franklin Square Delapan)

Adakah semacam Ordo di Franklin Square?

Adakah bangunan yang menyembunyikan lubang menuju spiral ke bawah?

Langdon sama sekali tidak tahu apakah benar-benar ada sesuatu yang terkubur di alamat itu. Yang penting, saat ini dia dan Katherine sudah memecahkan kode piramida, dan kini informasi yang diperlukan untuk menegosiasikan pembebasan Peter.

Dan memang sudah saatnya.

Jarum-jarum jam yang berkilau pada arloji Mickey Mouse menunjukkan bahwa mereka hanya punya waktu kurang dari sepuluh menit.

"Cepat telepon," ujar Katherine, seraya menunjuk telepon dinding dapur. "Sekarang!"

Kedatangan momen yang mendadak ini mengejutkan Langdon, dan dia bimbang.

"Apakah kita yakin soal ini?"

"Aku yakin sekali."

"Aku tidak akan memberinya informasi apa pun sampai tahu Peter aman."

"Tentu saja. Kau ingat nomornya, bukan?"

Langdon mengangguk dan berjalan menuju telepon dapur. Dia mengangkat gagang telepon dan memutar nomor ponsel laki itu. Katherine mendekat dan meletakkan kepala di samping kepala Langdon sehingga dia bisa ikut mendengarkan. Ketika dengung di ujung yang satunya mulai terdengar, Langdon menyiapkan diri untuk mendengar bisikan mengerikan lelaki yang telah meneleponnya malam ini.

Akhirnya telepon tersambung.

Tapi tidak ada sapaan. Tidak ada kata-kata. Hanya suara napas di ujung yang satunya.

Langdon menunggu, lalu akhirnya bicara. "Aku punya informasi yang kau inginkan, tapi jika kau menginginkannya, kau harus menyerahkan Peter kepada kami-"

"Siapa ini?" jawab suara perempuan.

Langdon terlompat, "Robert Longdon," katanya secara refleks. "Siapa kau?" Sejenak dia berpikir telah salah memutar nomor.

"Namamu Langdon?" Perempuan itu kedengaran terkejut. Ada seseorang di sini yang menanyakanmu."

"Apa? Maaf, siapa ini?"

"Officer Paige Montgornery dari Preferred Security." Suaranya tampak gemetar. "Mungkin kau bisa membantu kami tentang situasi ini. Sekitar satu jam yang lalu, partnerku merespons telepon 911 di Kalorama. Heights... kemungkinan situasi penyanderaan. Aku kehilangan kontak dengannya, jadi aku menelepon bantuan dan kembali untuk mengecek tempat itu. Kami menemukan partnerku meninggal di pekarangan

belakang. Pemilik rumah tidak ada, jadi kami membobol masuk. Sebuah ponsel berdering di meja lorong, dan aku-"

"Kau ada di dalam?" desak Langdon.

"Ya, dan telepon 911 itu... benar-benar serius." Perempuan itu tergagap. "Maaf jika aku kedengaran gugup, tapi partnerku meninggal, dan kami menemukan seorang lelaki yang ditahan di sini dengan paksa. Kondisinya buruk, dan kami sedang mengurusnya. Dia menanyakan dua orang - yang satu bernama Langdon dan yang satunya Katherine."

"Itu kakakku!" teriak Katherine di gagang telepon, seraya menekankan kepala semakin dekat dengan kepala Langdon. "Aku yang tadi menelepon 911! Dia baik-baik saja?!"

"Sesungguhnya, Ma'am, dia...." Suara perempuan itu pecah. Kondisinya buruk. Tangan kanannya hilang-"

"Kumohon," desak Katherine. "Aku ingin bicara dengannya!"

"Saat ini mereka sedang mengurusnya. Dia bolak-balik pingsan. Jika sedang berada di dekat sini, kau harus kemari. Jelas dia ingin bertemu denganmu."

"Jarak kita sekitar enam menit!" ujar Katherine.

"Kalau begitu, kusarankan agar kalian cepat-cepat kemari."

Terdengar suara teredam di latar belakang, lalu perempuan itu kembali bicara. "Maaf, tampaknya aku diperlukan. Kita akan bicara saat kalian tiba."

Sambungan telepon terputus.

BAB 91

Di dalam Kolese Katedral, Langdon dan Katherine menaiki tangga ruang bawah tanah dan bergegas menyusuri lorong gelap untuk mencari pintu keluar depan. Mereka tidak lagi mendengar suara baling-baling helikopter di atas kepala. Langdon berharap, mereka bisa menyelinap keluar tanpa terlihat dan menemukan jalan mereka ke Kalorama Heights untuk menengok Peter.

Mereka menemukannya. Dia masih hidup.

Tiga puluh detik yang lalu, ketika mereka mengakhiri pembicaraan telepon dengan penjaga keamanan perempuan itu, Katherine bergegas mengangkat piramida dan batu-puncak mengepul itu dari air. Piramida itu masih meneteskan air ketika dia. memasukkannya ke dalam tas kulit Langdon. Kini lelaki itu bisa merasakan panas yang memancar menembus kulit tas.

Untuk sementara waktu, kegembiraan ditemukannya Peter mengalahkan perenungan lebih lanjut mengenai pesan berkilau batu-puncak - Franklin Square Delapan - tapi akan ada waktu untuk itu setelah mereka menjumpai Peter.

Ketika mereka berbelok di puncak tangga, mendadak Katherine berhenti dan menunjuk ruang duduk di seberang lorong. Melalui jendela yang menonjol, Langdon bisa melihat sebuah helikopter hitam mengilap bertengger tanpa suara di pekarangan. Seorang pilot berdiri di sampingnya, menghadap ke arah yang berlawanan dari mereka dan bicara di radio. Juga ada Escalade hitam dengan jendela-jendela gelap yang diparkir di dekat situ. Langdon dan Katherine tetap berada di dalam bayang-bayang, bergerak memasuki ruang duduk, dan mengintip dari jendela untuk mengetahui apakah mereka bisa melihat seluruh tim lapangan. Syukurlah, halaman besar di luar Katedral itu kosong.

"Agaknya mereka berada di dalam katedral," ujar Langdon.

"Tidak," kata sebuah suara rendah di belakang mereka.

Langdon dan Katherine berputar untuk melihat siapa yang berbicara. Di ambang pintu ruang duduk, dua sosok berpakaian serba hitam mengarahkan senapan berpembidik laser kepada mereka. Langdon bisa melihat titik merah berkilau menari-nari di dadanya.

"Senang berjumpa kembali denganmu, Profesor," kata suara parau yang tak asing lagi. Agen-agen itu memisahkan diri dan sosok mungil Direktur Sato menyeruak dengan mudah, menuju ruang duduk dan berhenti persis di depan Langdon. "Kau membuat beberapa pilihan yang sangat buruk malam ini."

"Polisi menemukan Peter Solomon," jelas Langdon bersemangat. "Kondisinya buruk, tapi dia akan hidup. Sudah berakhir."

Seandainya Sato terkejut, karena Peter telah ditemukan, ia tidak memperlihatkannya. Matanya tetap tenang ketika dia jalan menghampiri Langdon dan berhenti hanya beberapa jauhnya. "Profesor, bisa kuyakinkan dirimu bahwa ini sama sekali belum mendekati akhir. Dan jika sekarang polisi terlibat, ini semua akan menjadi semakin serius. Seperti yang kubilang malam tadi, situasinya teramat sangat sensitif. Seharusnya kau tidak melarikan diri dengan piramida itu."

"Ma'am," sela Katherine, "aku harus menemui kakakku. Kau boleh mendapatkan piramida itu, tapi kau harus mengizinkanku-"

"Aku harus?" desak Sato, seraya berputar menghadap Katherine. "Miss Solomon, bukan?" Dia menatap Katherine dengan berang, lalu beralih kembali kepada Langdon. "Letakkan tas kulit itu di meja."

Langdon menunduk memandang titik laser di dadanya. Dia meletakkan tas kulit itu di meja kopi. Seorang agen mendekat dengan hati-hati, menarik risleting tas, lalu membuka lebar-lebar tas itu. Sedikit gumpalan uap yang terperangkap membubung dari dalam tas. Agen itu mengarahkan senter ke dalam tas, menarik nafas kebingungan untuk waktu yang lama, lalu mengangguk kepada Sato.

Sato berjalan menghampiri dan mengintip ke dalam tas. Piramida itu basah dan batu-puncak itu berkilau dalam cahaya senter. Sato berjongkok, memandang batu-puncak emas itu dengan sangat cermat. Langdon tersadar bahwa perempuan itu hanya pernah melihat benda itu dalam gambar sinar-X.

"Inskripsinya," desak Sato. "Adakah artinya untukmu? 'Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo?'"

"Kami tidak yakin, Ma'am."

"Mengapa piramida itu panas mengepul?"

"Kami merendamnya dalam air mendidih," ujar Katherine tanpa ragu. "Itu bagian dari proses pemecahan kode. Kami akan menceritakan semuanya kepadamu, tapi harap izinkan kami pergi menjumpai kakakku. Dia telah mengalami-"

"Kau merebus piramida itu?*" desak Sato.

"Matikan senter," ujar Katherine. "Lihat batu-puncaknya. Mungkin kau masih bisa melihatnya."

Agen itu mematikan senter, dan Sato berlutut di depan batu puncak. Dari tempat Langdon berdiri sekalipun, dia bisa melihat bahwa teks di batu-puncak itu masih sedikit bersinar.

"Franklin Square Delapan?" tanya Sato, kedengarannya takjub.

"Ya, Ma'am. Teks itu ditulis dengan vernis-berpijar atau semacanmya. Derajat ketiga puluh tiga sesungguhnya-"

"Dan alamat itu?" desak Sato. "Ini-kah yang diinginkan lelaki itu?"

"Ya," jawab Langdon. "Dia yakin piramida itu adalah peta yang akan menunjukkan lokasi harta karun besar - kunci untuk mengungkapkan Misteri Kuno."

Sato kembali memandang batu-puncak, raut wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. "Katakan," ujarnya. Rasa takut menjalari suaranya. "Sudahkah kau menghubungi lelaki ini? Sudahkah kau memberi-nya alamat ini?"

"Kami sudah mencoba." Langdon menjelaskan apa yang terjadi ketika mereka menghubungi ponsel lelaki itu.

Sato mendengarkan, lidahnya menelusuri gigi kuningnya ketika Langdon bicara. Walaupun kemarahannya tampak meledak menghadapi situasi itu, dia berbalik kepada salah satu agennya dan berbisik pelan. "Bawa dia kemari. Dia ada di sana."

Agen itu mengangguk dan bicara di transivernya.

"Bawa siapa kemari?" tanya Langdon.

"Satu-satunya orang yang berharap bisa memperbaiki kekacauan yang kau buat!"

"Kekacauan apa?" sergah Langdon. " Kini setelah Peter ditemukan, semuanya-"

"Demi Tuhan!" bentak Sato. "Ini bukan soal Peter! Aku mencoba memberitahumu di Gedung Capitol, Profesor, tapi kau memilih untuk bertindak melawan-ku ketimbang bekerja sama dengan-ku! Kini kau telah membuat kekacauan yang menjengkelkan ketika kau menghancurkan ponselmu, yang memang sedang disadap, kau memutuskan hubunganmu dengan lelaki ini � dan alamat yang kau ungkapkan ini - di mana pun gerangan itu, alamat inilah satu-satunya peluang kami untuk menangkap orang gila ini. Aku memerlukanmu untuk mengikuti permainannya, memberinya alamat ini sehingga kami tahu di mana kami menangkapnya!"

Sebelum Langdon bisa menjawab, Sato mengarahkan sisa kemarahannya kepada Katherine.

"Dan kau, Miss Solomon! Kau tahu di mana orang gila ini tinggal. Mengapa tidak kau katakan kepadaku? Kau mengirim petugas keamanan sewaan ke rumah lelaki ini? Tidakkah kau mengetahui bahwa kau telah merusak segala peluang yang kami miliki untuk menangkapnya di sana? Aku senang kakakmu selamat, tapi bisa kusampaikan ini kepadamu: malam ini kami sedang menghadapi sebuah krisis yang konsekuensi-konsekuensinya jauh melampaui keluargamu. Konsekuensi-konsekuensi ini akan dirasakan seluruh dunia. Lelaki yang menculik kakakmu punya kekuasaan yang sangat besar, dan kami harus segera menangkapnya."

Ketika Sato menyelesaikan kecamannya, siluet jangkung elegan Warren Bellamy muncul dari bayang-bayang dan melangkah ke dalam ruang duduk. Dia tampak kusut, memar, dan terguncang... seakan baru saja melewati neraka.

"Warren!" Langdon berdiri. "Kau baik-baik saja?"

"Tidak," jawabnya. "Tidak begitu baik."

"Kau sudah dengar? Peter aman!"

Bellamy mengangguk, tampak bingung, seakan tidak ada lagi yang berarti. "Ya, aku baru saja mendengar percakapan kalian. Aku senang."

"Warren, apa yang terjadi?"

Sato menyela. "Kalian bisa berbincang-bincang sebentar lagi. Saat ini Mr. Bellamy akan menghubungi orang gila ini dan berkomunikasi dengannya. Persis seperti yang telah dilakukannya sepanjang malam."

Langdon tidak mengerti. "Bellamy berkomunikasi dengan lelaki itu malam ini? Lelaki ini bahkan tidak tahu Bellamy terlibat!"

Sato berpaling kepada Bellamy dan mengangkat sepasang alisnya.

Bellamy mendesah. "Robert, aku tidak bersikap jujur sepenuhnya terhadapmu malam ini."

Langdon hanya bisa menatap.

"Kupikir, aku melakukan hal yang benar," ujar Bellamy yang tampak ketakutan.

"Nah," ujar Sato, "sekarang kau akan melakukan hal yang benar... dan sebaiknya kita semua berdoa kepada Tuhan agar perbuatanmu berhasil." Seakan untuk memperkuat nada suara Sato yang mengancam, jam di atas perapian mulai berdentang. Sato mengeluarkan kantong Ziploc berisi barang-barang dan melemparkannya kepada Bellamy. "Ini barang-barangmu. Ponselmu berkamera?"

"Ya, Ma'am."

"Bagus. Pegang batu-puncaknya."

Pesan yang baru saja diterima Mal'akh berasal dari kontak Warren Bellamy - anggota Mason yang dikirimnya ke Capitol malam tadi untuk membantu Robert Langdon. Seperti Langdon, Bellamy menginginkan kembalinya Peter dalam keadaan hidup, dan dia meyakinkan Mal'akh bahwa dia bisa membantu Langdon mendapatkan dan memecahkan kode itu. Sepanjang malam, Mal'akh menerima kabar-kabar terbaru melalui e-mail yang secara otomatis dilanjutkan ke ponselnya.

Ini seharusnya menarik, pikir Mal'akh, seraya membuka pesan itu.

                     Dari: Warren Bellamy

                     terpisah dari Langdon

                   tapi akhirnya punya info

               yang kau minta, bukti terlampir.

              harap telepon untuk mendapatkan

                   bagian yang hilang.-wb

                    -satu lampiran (jpeg)-

Harap telepon untuk mendapatkan bagian yang hilang?

Mal'akh bertanya-tanya, seraya membuka lampiran.

Lampirannya berupa foto.

Ketika melihatnya, Mal'akh menghela napas keras dan bisa merasakan jantungnya mulai berdentam-dentam gembira. Dia sedang memandang sebuah piramida emas mungil jarak dekat. Batu-puncak yang melegenda! Ukiran di permukaan membawa pesan yang menjanjikan: Rahasianya tersembunyi dalam Ordo.

Di bawah inskripsi itu, Mal'akh kini melihat sesuatu yang memukau. Batu-puncak itu tampak bersinar. Dengan tidak percaya dia menatap teks yang berkilau samar, dan menyadari bahwa legenda itu secara harfiah benar: Piramida Mason mengubah di sendiri untuk mengungkapkan rahasianya kepada mereka yang layak.

Mal'akh sama sukali tidak tahu bagaimanan perubahan ajaib ini terjadi, dan dia tidak peduli. Teks berkilau itu jelas menunjuk ke sebuah lokasi spesifik di DC, persis seperti yang diramalkan. Franklin Square. Sayangnya, foto batu-puncak itu juga menyertakan jari telunjuk Warren Bellamy yang diletakkan secara strategis di atas batu-puncak itu untuk menutupi bagian penting informasinya.

                                The

                          secret hides

                       within The Order

                   -------- Franklin Square

Harap telepon untuk mendapatkan bagian yang hilang. Kini Mal'akh mengerti maksud Bellamy. Arsitek Capitol itu telah bersikap kooperatif sepanjang malam, tapi kini dia memilih untuk menjalankan permainan yang sangat berbahaya.

BAB 92

Di bawah pengawasan beberapa agen CIA bersenjata, Langdon, Katherine, dan Bellamy menunggu bersama Sato di ruang Kolese Katedral. Di atas meja kopi di hadapan mereka, tas Langdon masih terbuka, dan batu-puncak emas mengintip dari bagian atasnya. Kata-kata Franklin Square Delapan kini semakin memudar; tidak meninggalkan bukti keberadaannya.

Katherine sudah memohon kepada Sato agar diizinkan pergi menjumpai kakaknya, tapi Sato hanya menggelengkan kepala dengan mata terpaku pada ponsel Bellamy. Benda itu tergeletak di atas meja kopi dan belum berdering.

Mengapa Bellamy tidak bersikap jujur saja terhadapku? pikir Langdon bertanya-tanya. Tampaknya, arsitek itu sudah berhubungan dengan penculik Peter sepanjang malam, meyakinkannya bahwa Langdon mendapat kemajuan dalam memecahkan kode piramida. Itu hanya bualan, upaya untuk mengulur waktu demi Peter. Jadi sungguhnya, Bellamy telah berbuat semampunya untuk menghalangi siapa saja yang mengancam hendak mengungkapkan rahasia piramida itu. Akan tetapi, kini tampaknya Bellamy sudah berubah pikiran. Dia dan Sato kini siap mempertaruhkan rahasia piramida itu dengan harapan bisa menangkap lelaki itu.

"Lepaskan tanganmu dariku!" teriak sebuah suara renta dalam lorong. "Aku buta, bukan ceroboh! Aku mengenal jalan melalui kolese!" Dean Galloway masih memprotes keras kepada seorang agen CIA menuntunnya ke ruang duduk dan memaksanya menduduki salah satu kursi.

"Siapa di sini?" desak Galloway. Mata butanya menatap kosong ke depan. "Kedengarannya seakan ada banyak orang. Berapa banyak yang kalian perlukan untuk menangkap seorang lelaki tua? Yang benar saja!"

"Kami bertujuh," jelas Sato. "Termasuk Robert Langdon, Katherine Solomon, dan saudara Masonmu, Warren Bellamy."

Galloway memelorotkan tubuh, semua perkataan mengancamnya menghilang.

"Kami baik-baik saja," ujar Langdon. "Dan kami baru saja mendengar bahwa Peter aman. Kondisinya buruk, tapi polisi bersamanya."

"Syukurlah," ujar Galloway. "Dan-"

Sebuah getaran keras mengakibatkan semua orang di ruangan itu terlompat. Ponsel Bellamy bergetar di atas meja kopi. Semua orang terdiam.

"Oke, Mr. Bellamy," ujar Sato. "Jangan sampai gagal. Kau tahu taruhannya."

Bellamy menghela napas panjang, lalu mengembuskannya. Lalu dia menjulurkan tangan dan menekan tombol pengeras-suara untuk menerima telepon itu.

"Ini Bellamy," katanya, bicara keras ke arah telepon di atas meja kopi.

Suara yang bergemeresak lewat pengeras-suara itu tidak asing lagi, sebuah bisikan ringan. Kedengarannya seakan dia menelepon dari ponsel hands-free berpengeras-suara di dalam mobil. "Sudah lewat tengah malam, Mr. Bellamy. Aku hendak mengakhiri penderitaan Peter."

Muncul keheningan yang canggung di dalam ruangan. "Biarkan aku bicara dengannya."

"Mustahil,"jawab lelaki itu. "Aku sedang menyetir. Dia terikat di dalam bagasi."

Langdon dan Katherine saling bertukar pandang, lalu mulai menggelengkan kepala kepada semua orang. Dia membual! Dia tidak lagi membawa Peter!

Sato mengisyaratkan Bellamy agar terus mendesaknya.

"Aku ingin bukti bahwa Peter masih hidup," ujar Bellamy. "Aku tidak akan memberimu-"

"Master Terhormatmu perlu dokter. Jangan membuang waktu dengan bernegosiasi. Sebutkan nomor jalanan di Franklin itu, dan aku akan membawa Peter kepadamu di sana."

"Sudah kubilang, aku ingin-"

"Sekarang!" bentak lelaki itu. "Atau aku akan berhenti dan Peter Solomon mati saat ini juga!"

"Dengarkan aku," ujar Bellamy tegas. "Jika kau menginginkan alamat lengkapnya, kau harus mengikuti peraturan-ku. Temui aku di Franklin Square. Setelah kau mengantarkan Peter dalam keadaan hidup, akan kusebutkan nomor gedungnya."

"Bagaimana aku tahu kau tidak akan membawa pihak-pihak yang berwenang?"

"Karena aku tidak bisa mengambil risiko mengkhianatimu. Nyawa Peter bukan satu-satunya kartu yang kau pegang. Aku tahu apa yang sesungguhnya dipertaruhkan malam ini."

"Sadarkah kau," ujar lelaki di telepon, "bahwa aku akan terus menyetir pergi jika merasakan sedikit saja kehadiran orang lain selain dirimu di Franklin Square, dan kau tidak akan pernah menemukan jejak Peter Solomon. Dan tentu saja... itu akan menjadi akhir dari semua kekhawatiranmu."

"Aku akan datang sendirian," jawab Bellamy tenang, "ketika kau menyerahkan Peter, akan kuserahkan segala yang kauperlukan."

"Di tengah lapangan," ujar lelaki itu. "Perlu waktu setidaknya dua puluh menit bagiku untuk tiba di sana. Kusarankan agar menungguku selama yang diperlukan."

Sambungan telepon terputus.

Ruangan itu langsung riuh. Sato mulai meneriakkan perintah-perintah. Beberapa agen lapangan meraih radio dan menuju pintu. "Jalan! Jalan!"

Dalam kekacauan itu, Langdon memandang Bellamy untuk meminta semacam penjelasan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi malam ini, tapi lelaki tua itu sudah digiring keluar pintu.

"Aku harus menemui kakakku!" teriak Katherine. "Kau harus mengizinkan kami pergi!"

Sato berjalan menghampiri Katherine. "Aku tidak harus melakukan apa-apa, Miss Solomon. Jelas?"

Katherine bersikukuh, memandang putus asa ke dalam mata sipit Sato.

"Miss Solomon, prioritas utamaku adalah menangkap lelaki itu di Franklin Square, dan kau akan duduk di sini dengan salah satu orangku sampai aku menyelesaikan tugas itu. Setelah itu, dan hanya setelah itu, kami akan mengurusi kakakmu!"

"Kau tidak mengerti," ujar Katherine. "Aku tahu persis di mana lelaki ini tinggal! Secara harfiah hanya lima menit menyusuri jalanan di Kalorama Heights, dan di sana akan ada bukti yang bisa membantumu! Lagi pula, kau bilang kau ingin merahasiakan ini. Siapa yang tahu, apa yang akan diceritakan Peter kepada pihak berwenang setelah keadaannya stabil."

Sato mengerutkan bibir, tampaknya mencerna perkataan Katherine. Di luar, baling-baling helikopter mulai berputar. Sato mengernyit, lalu berpaling kepada salah satu orangnya. "Hartmann, bawa Escalade-nya. Antar Miss Solomon dan Mr. Langdon ke Kalorama Heights. Peter Solomon tidak boleh bicara kepada siapa pun. Mengerti?"

"Ya, Ma'am," jawab agen itu.

"Telepon aku ketika sudah tiba di sana. Ceritakan apa yang kau temukan. Dan jangan biarkan kedua orang ini lepas dari pandangan."

Agen Hartmann mengangguk cepat, mengeluarkan kunci Escalade, dan menuju pintu.

Katherine mengikuti tepat di belakangnya.

Sato berpaling kepada Langdon. "Sampai jumpa sebentar lagi, Profesor. Aku tahu, kau mengira aku musuh, tapi bisa kuyakinkan dirimu bahwa kasusnya bukan begitu. Segera temui Peter. Ini belum berakhir."

Di samping Langdon, Dean Galloway duduk tenang di depan meja kopi. Kedua tangannya sudah menemukan piramida batu itu, yang masih tegak di dalam tas kulit terbuka Langdon di atas meja di hadapannya. Lelaki tua itu menelusurkan kedua tangannya atas permukaan hangat batu.

"Bapa, kau ikut menjumpai Peter?" tanya Langdon.

"Aku hanya akan memperlambat kalian." Galloway melepaskan tangan dari tas dan menutup ritsleting di sekitar piramida. "Aku akan tetap berada di sini dan mendoakan kesembuhan Peter. Kita semua bisa bicara nanti. Tapi, ketika menunjukkan piramida kepada Peter, maukah kau menyampaikan pesanku kepadanya?"

"Tentu saja." Langdon menyampirkan tas itu ke bahunya.

"Katakan," Galloway berdeham, "Piramida Mason selalu menyimpan rahasianya dengan jujur."

"Aku tidak mengerti."

Lelaki tua itu mengedipkan sebelah mata. "Bilang saja kepada Peter. Dia akan mengerti."

Seiring perkataan itu, Dean Galloway menundukkan kepala dan mulai berdoa.

Dengan bingung, Langdon meninggalkannya di sana dan bergegas keluar. Katherine sudah berada di kursi depan SUV, memberi agen itu pengarahan-pengarahan. Langdon duduk di belakang dan baru saja menutup pintu ketika kendaraan raksasa itu melesat melintasi lapangan, berpacu ke utara menuju Kalorama Heights.

BAB 93

Franklin Square terletak di kuadran barat laut pusat kota Washington, dibatasi K Street dan Thirteenth Street. Itu lokasi banyak bangunan bersejarah, yang terutama Sekolah Franklin, tempat Alexander Graham Bell mengirimkan berita-radio pertama di dunia pada 1880.

Tinggi di atas lapangan, sebuah helikopter UH-60 yang bergerak cepat mendekat dari barat, setelah menyelesaikan perjalanannya dari Katedral Nasional dalam hitungan menit. Masih banyak waktu, pikir Sato, seraya mengintip lapangan di bawah. Dia tahu, orang-orangnya harus sudah menempati posisi mereka masing-masing tanpa terdeteksi sebelum sasaran mereka tiba. Katanya, dia perlu waktu setidaknya dua puluh menit untuk tiba di sini.

Atas perintah Sato, pilot melakukan gerakan "melayang sambil menyentuh" di atas atap bangunan tertinggi di sekitar situ - Franklin Square Satu yang terkenal - gedung perkantoran prestisius yang menjulang dengan dua menara emas di atasnya. Tentu saja manuver itu ilegal, tapi helikopter hanya berada di sana selama beberapa detik, dan kaki-kakinya hanya sedikit menyentuh atap gravel gedung itu. Setelah semua orang melompat turun, pilot langsung menaikkan helikopter, berbelok ke timur, dan di sana helikopter itu naik sampai ketinggian-aman untuk memberikan dukungan tak terlihat dari atas.

Sato menunggu ketika tim lapangan mengumpulkan barang-barang dan menyiapkan Bellamy untuk tugasnya. Arsitek itu masih tampak bingung setelah melihat arsip di laptop berpengaman milik Sato. Seperti yang kubilang... masalah keamanan nasional. Bellamy segera memahami maksud Sato, dan kini bersikap kooperatif sepenuhnya.

"Semuanya siap, Ma'am," ujar Agen Simkins.

Atas perintah Sato, agen-agen itu menggiring Bellamy melalui atap dan menghilang ke ruang tangga, menuju tingkat dasar untuk menempati posisi mereka.

Sato berjalan ke pinggir gedung dan memandang ke bawah. Taman persegi panjang berpepohonan di bawah sana memanjang ke seluruh blok. Banyak tempat persembunyian. Tim Sato benar-benar memahami pentingnya melakukan penangkapan tanpa terdeteksi. Seandainya sasaran mereka merasakan kehadiran mereka di sana dan memutuskan untuk menyelinap pergi begitu saja... direktur itu bahkan tidak mau memikirkan kemungkinan itu.

Angin di atas sini kencang dan dingin. Sato membelitkan dua lengannya di tubuh, menjejakkan kaki dengan mantap agar tubuhnya tidak melayang tertiup angin. Dari sudut pandang tinggi yang menguntungkan ini, Franklin Square tampak lebih rendah daripada yang diingatnya dan dengan lebih sedikit bangunan. Dia bertanya-tanya, yang mana Franklin Square Delapan. Dia sudah meminta informasi ini dari Nola, dan dia mengharapkan jawaban setiap saat.

Bellamy dan agen-agen itu kini muncul di bawah sana, tampak seperti semut yang menyebar ke dalam kegelapan area pepohonan. Simkins menempatkan Bellamy di lapangan di dalam bagian tengah taman sepi itu. Lalu Simkins dan timnya melebur dalam persembunyian alami, menghilang dari pandangan. Dalam hitungan detik, Bellamy ditinggal sendirian, berjalan mondar-mandir dan menggigil di dalam cahaya lampu jalanan di depan bagian tengah taman.

Sato sama sekali tidak merasa iba.

Dia menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam, menikmati kehangatan asap yang menembus paru-paru. Setelah merasa puas karena semuanya di bawah sana sudah beres, dia melangkah mundur dari pinggir gedung, menunggu dua telepon masuk - satu dari analisnya, Nola, dan satu lagi dari Agen Hartmann yang dikirimnya ke Kalorama Heights.

BAB 94

Pelan-pelan Langdon mencengkeram kursi belakang Escalade yang berbelok cepat seakan hendak berjalan miring dengan dua roda. Entah agen CIA Hartmann bersemangat memamerkan keahlian menyetirnya kepada Katherine, atau dia mendapat perintah untuk menjumpai Peter Solomon sebelum lelaki itu cukup pulih dan mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakannya kepada pihak berwenang setempat.

Permainan kecepatan-tinggi melanggar-lampu-merah di Embassy Row itu sudah cukup mengkhawatirkan, tapi kini mereka berpacu melewati lingkungan perumahan yang berkelok-kelok di Kalorama Heights. Katherine meneriakkan pengarahan-pengarahan selama mereka melaju. Dia sudah mengunjungi rumah lelaki ini siang tadi. Di setiap belokan, tas kulit di dekat kaki Langdon bergulir ke depan dan ke belakang. Langdon bisa mendengar kelontang batu-puncak yang jelas sudah terlepas dari bagian atas piramida dan kini berguncang-guncang di dasar tas. Khawatir batu-puncak itu rusak, dia merogoh-rogoh tas sampai menemukannya. Benda itu masih hangat, tapi teks berkilaunya kini sudah memudar dan menghilang, kembali pada ukiran aslinya.

Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo.

Ketika Langdon hendak memasukkan batu-puncak ke dalam saku, dia memperhatikan bahwa permukaan elegan benda itu tertutup semacam gumpalan-gumpalan putih mungil. Dengan bingung dia mencoba membersihkannya, tapi gumpalan-gumpalan itu tetap melekat dan terasa keras ketika disentuh... seperti plastik. Apa ini? Kini dia bisa melihat bahwa permukaan piramida batu itu sendiri juga tertutup bintik-bintik putih kecil. Langdon menggunakan kuku jari tangannya dan mencungkil sebutir, menggulirkannya di antara jari-jari tangan.

"Lilin?" ujarnya.

Katherine menoleh ke belakang. "Apa?"

"Ada bintik-bintik lilin di seluruh permukaan piramida batu-puncak. Aku tidak mengerti. Dari mana kemungkinannya?"

"Sesuatu di dalam tasmu, mungkin?"

"Kurasa tidak."

Ketika mereka berbelok, Katherine menunjuk lewat kaca depan dan menoleh kepada Agen Hartmann. "Itu dia! Kita sampai."

Langdon mendongak dan melihat lampu sirene berputar- putar di atas kendaraan petugas keamanan yang di jalan masuk mobil di depan sana. Gerbang jalan masuk terbuka dan agen itu melajukan SUV ke dalam kompleks.

Rumah itu berupa gedung yang spektakuler. Semua lampu di dalamnya menyala dan pintu depannya terbuka lebar. Setengah lusin kendaraan diparkir serampangan di jalan masuk mobil di halaman, tampaknya tiba dalam keadaan terburu-buru. Mesin dan lampu depan beberapa mobil masih menyala, sebagian menyoroti rumah, tapi ada satu mobil yang diparkir miring, lampu-lampu depannya praktis membutakan mata ketika mereka masuk.

Agen Hartmann menghentikan mobil di halaman, di samping sedan putih dengan stiker berwarna-mencolok: PREFERR SECURITY. Semua lampu yang berputar-putar dan cahaya yang menyorot tinggi di wajah itu membuat mereka sulit melihat.

Katherine langsung melompat keluar dan berpacu menuju rumah, Langdon menyampirkan tas ke bahu tanpa sempat nutup ritsletingnya. Dia mengikuti Katherine dengan berlari-kecil melintasi halaman menuju pintu depan yang terbuka. Suara-suara percakapan menggema di dalam. Di belakang Langdon, SUV mendecit ketika Agen Hartmann mengunci kendaraan dan bergegas mengejar mereka.

Katherine menaiki tangga beranda, melewati pintu utama, lalu menghilang ke dalam. Langdon mengikuti di belakangnya, melintasi ambang pintu, dan bisa melihat Katherine sudah bergerak melintasi foyer, menyusuri lorong utama menuju suara-suara percakapan. Jauh di depan Katherine terdapat meja makan, dan seorang perempuan berseragam petugas keamanan sedang duduk memunggungi mereka.

"Petugas!" teriak Katherine sambil berlari. "Mana Peter Solomon?"

Langdon bergegas mengejarnya, tapi sebuah gerakan yang tak terduga menarik perhatiannya. Di sebelah kiri, melalui jendela ruang tamu, dia bisa melihat gerbang jalan masuk mobil kini terayun menutup. Aneh. Sesuatu yang lain menarik perhatiannya... sesuatu yang lolos dari penglihatannya akibat semua lampu yang berputar-putar dan cahaya yang menyorot tinggi serta membutakan ketika mereka masuk. Setengah lusin mobil yang diparkir serampangan di jalan masuk itu sama sekali tidak menyerupai mobil polisi dan kendaraan darurat yang dibayangkan Langdon.

Mercedes ? ... Hummer? ... Tesla Roadster?

Seketika Langdon juga menyadari bahwa suara-suara yang didengarnya di dalam rumah hanya berasal dari televisi yang menyala menghadap ruang makan.

Langdon berputar dalam gerak-lambat, berteriak ke lorong.

"Katherine, tunggu!"

Tapi, saat dia berputar, dia melihat Katherine Solomon tidak lagi sedang berlari.

Perempuan itu melayang di udara.

BAB 95

Katherine Solomon tahu dirinya sedang terjatuh... tapi tidak tahu mengapa.

Dia sedang berlari menyusuri lorong menuju petugas keamanan di ruang makan, ketika mendadak kakinya terbelit penghalang yang tak terlihat dan seluruh tubuhnya terdorong ke depan dan melayang di udara.

Kini dia kembali ke bumi... dalam hal ini, lantai kayu keras.

Katherine jatuh berdebum tertelungkup, dan langsung tak bisa bernapas. Di atas tubuhnya, sebuah gantungan mantel mulai miring secara membahayakan, lalu jatuh terguling, nyaris menimpanya di lantai. Dia mengangkat kepala, dengan masih tersengal-sengal, dan bingung ketika melihat petugas keamanan perempuan di kursi belum bergerak sedikit pun. Yang lebih aneh lagi, tampaknya ada kawat tipis yang

diikatkan pada bagian gantungan mantel yang terguling, dan kawat itu memanjang melintasi lorong.

Mengapa seseorang ... ?

"Katherine!" teriak Langdon kepadanya. Ketika Katherine menggulingkan tubuh ke samping dan menoleh ke belakang memandang Langdon, dia merasakan darahnya membeku. Robert, di belakangmu! Dia mencoba berteriak, tapi masih tersengal-sengal. Yang bisa dilakukannya hanyalah menyaksikan dalam gerak-lambat mengerikan ketika Langdon bergegas menyusuri lorong untuk membantunya, tanpa menyadari sedikit pun bahwa di belakangnya, Agen Hartmann sedang terhuyung-huyung melintasi ambang pintu sambil mencengkeram leher. Darah mengaliri kedua tangan lelaki itu ketika dia meraba-raba pegangan obeng panjang yang menonjol dari lehernya.

Ketika agen itu jatuh tersungkur, penyerangnya terlihat jelas.

Ya Tuhan ... tidak!

Lelaki bertubuh besar itu telanjang, hanya mengenakan pakaian dalam aneh yang tampak seperti cawat. Tampaknya dia bersembunyi di dalam foyer. Tubuh berototnya tertutup tato aneh dari kepala sampai ujung kaki. Pintu depan terayun menutup, dan dia bergegas menyusuri lorong untuk mengejar Langdon.

Agen Hartmann menumbuk lantai persis ketika pintu depan terbanting menutup. Langdon tampak terkejut dan berputar, tapi lelaki bertato itu sudah berada di dekatnya, menusukkan semacam alat ke punggungnya. Muncul kilau cahaya dan desis elektris tajam, dan Katherine melihat Langdon mengejang. Dengan mata terbelalak beku, Langdon jatuh tersungkur, roboh dengan tubuh kaku. Dia jatuh dengan keras menimpa tas kulitnya, dan piramida itu bergulir ke lantai.

Tanpa melirik korbannya sedikit pun, lelaki bertato itu melangkahi tubuh Langdon dan langsung menuju Katherine. Perempuan itu sudah merangkak kembali ke ruang makan, dan di sana dia menumbuk sebuah kursi. Petugas keamanan perempuan yang duduk di kursi itu kini bergoyang dan jatuh ke lantai di sampingnya. Raut wajah tak bernyawa perempuan itu mengerikan. Mulutnya tersumpal kain.

Sebelum Katherine sempat bereaksi, lelaki bertubuh besar itu sudah meraihnya. Lelaki itu mencengkeram bahunya dengan kekuatan yang mustahil besarnya. Wajahnya, yang tidak lagi tertutup make-up, benar-benar merupakan pemandangan mengerikan. Lalu otot-otot lelaki itu mengendur, dan Katherine merasakan dirinya ditelungkupkan seperti boneka kain. Lutut berat menghunjam punggungnya, dan sejenak dia merasa tubuhnya akan patah menjadi dua. Lelaki itu meraih lengan Katherine dan menariknya ke belakang.

Dengan kepala yang kini menoleh ke satu sisi dan pipi menekan karpet, Katherine bisa melihat tubuh Langdon yang masih tersentak-sentak dengan wajah membelakanginya. Di belakangnya, Agen Hartmann terbaring tak bergerak di dalam foyer.

Logam dingin menjepit pergelangan tangan Katherine. Dia menyadari bahwa dirinya sedang diikat dengan kawat. Dengan ketakutan dia mencoba menarik tangannya, tapi perbuatan itu menimbulkan rasa sakit yang mengiris tangannya.

"Kawat ini akan mengirismu jika kau bergerak," ujar lelaki yang sudah selesai dengan pergelangan tangan Katherine, dan berpindah ke pergelangan kakinya dengan keefisienan yang mengerikan.

Katherine menendangnya, dan lelaki itu menghunjamkan pukulan kuat ke bagian belakang paha kanan Katherine, melumpuhkan kakinya. Dalam hitungan detik, pergelangan kakinya telah terikat.

"Robert!" Kini dia berhasil berteriak.

Langdon mengerang di lantai lorong. Dia terbaring tak berdaya di atas tas kulit, dengan piramida batu tergeletak di situ, di dekat kepala. Katherine menyadari bahwa piramida itu adalah harapan terakhirnya.

"Kami sudah memecahkan kode piramida itu!" katanya kepada penyerangnya. "Akan kukatakan semuanya.

"Ya, memang." Lalu lelaki itu menarik kain dari mulut perempuan tak bernyawa tadi dan menyumpalkannya kuat-kuat ke mulut Katherine.

Rasanya seperti kematian.

Tubuh Robert Langdon seolah bukan miliknya. Dia terbaring mati rasa dan tak bergerak, pipinya menekan lantai kayu-keras. Dia sudah cukup banyak mendengar tentang stun gun, sehingga tahu kalau senjata itu melumpuhkan korbannya dengan membebaskan sistem saraf secara berlebihan untuk sementara waktu. Aksi senjata itu - yang disebut gangguan elektromuskular - bisa disamakan dengan sambaran halilintar. Sengatan rasa sakit yang tidak terhingga seakan menembus setiap molekul tubuh Langdon. Kini, walaupun pikirannya terfokus dengan baik, otot-ototnya menolak mematuhi perintah yang dikirimkannya

Bangun.

Dengan wajah menghadap ke bawah dan tubuh lumpuh di lantai, Langdon tersengal-sengal, nyaris tidak mampu bernapas. Dia belum melihat lelaki yang menyerangnya tadi, tapi dia melihat Agen Hartmann terbaring dalam genangan darah yang semakin meluas. Langdon sudah mendengar Katherine meronta-ronta dan berdebat, tapi beberapa saat yang lalu suara perempuan itu berubah teredam, seakan lelaki itu menyumpalkan sesuatu ke dalam mulutnya.

Bangun, Robert! Kau harus menolongnya!

Kaki Langdon kini bergelenyar, pemulihan-rasa yang ganas dan menyakitkan tapi kaki itu masih menolak untuk bekerja sama. Bergeraklah! Lengan Langdon berkedut-kedut ketika sensasinya mulai kembali, bersama-sama dengan kembalinya rasa di wajah dan lehernya. Dengan upaya keras, dia berhasil memutar kepala, menyeret pipi dengan kasar di atas lantai kayu-keras ketika dia menoleh untuk melihat ke dalam ruang makan.

Penglihatan Langdon terhalang oleh piramida batu yang bergulir keluar dari tas dan tergeletak miring di lantai, dengan bagian dasar hanya berjarak beberapa inci dari wajah Langdon.

Sejenak Langdon tidak mengerti apa yang sedang dilihatnya.

Persegi empat batu di hadapannya jelas merupakan bagian dasar piramida itu, tetapi entah mengapa tampak berbeda. Sangat berbeda. Masih berbentuk persegi empat, dan masih batu... tapi tidak lagi datar dan halus. Dasar piramida itu ditutupi tanda-tanda yang diukirkan. Bagaimana mungkin? Dia menatap selama beberapa detik bertanya-tanya apakah dirinya berhalusinasi. Aku sudah memandang dasar piramida ini selusin kali ... dan tidak ada tanda-tanda!

Kini Langdon menyadari penyebabnya.

Refleks bernapasnya mulai berjalan, dan dia menghela napas dengan terkejut, menyadari bahwa Piramida Mason itu masih punya rahasia-rahasia untuk diungkapkan. Aku telah menyaksikan perubahan lain.

Dalam sekejap, Langdon memahami arti permintaan terakhir Galloway. Katakan kepada Peter, Piramida Mason selalu menyimpan rahasianya dengan jujur. Saat itu, kata-kata itu terasa aneh, tapi kini Langdon memahami bahwa Dean Galloway mengirimkan kode kepada Peter. Ironisnya, kode yang sama merupakan pemutarbalikan plot cerita novel thriller biasa-biasa saja yang dibaca Langdon bertahun-tahun lalu.

Sin-cere (Jujur).

Semenjak zaman Michelangelo, para pemahat menyembunyikan cacat-cacat pada karya mereka dengan mengoleskan panas ke dalam celah-celahnya, lalu melapisi lilin itu dengan bubuk batu. Metode ini dianggap penipuan. Oleh karena itu pahatan "tanpa lilin"-- secara harfiah sine cera - dianggap karya yang "sincere (jujur)". Frasa itu terus bertahan. Sampai sekarang kita masih menandatangani surat-surat dengan kata "sincerely, (dengan tulus)", sebagai janji bahwa kita menulis "tanpa lilin", kata-kata kita benar.

Ukiran-ukiran di dasar piramida ini ditutupi dengan cara yang sama. Ketika Katherine mengikuti petunjuk-petunjuk batu puncak dan merebus piramida, lilinnya meleleh, mengungkap tulisan di bagian dasarnya. Galloway telah menelusurkan jarinya pada piramida itu di ruang duduk, tampaknya meraba tanda-tanda yang terpapar di bagian dasarnya.

Kini, walaupun hanya sejenak, Langdon melupakan semua bahaya yang sedang dihadapinya bersama Katherine. Dia menatap susunan simbol menakjubkan di dasar piramida itu. Dia sama sekali tidak tahu apa artinya... atau apa yang pada akhirnya akan diungkapkan oleh simbol-simbol itu, tapi ada satu hal yang pasti. Piramida Mason masih punya rahasia-rahasia untuk diungkapkan. Franklin Square Delapan bukanlah

jawaban akhir.

Langdon tidak tahu penyebabnya, apakah kesadarannya yang dipenuhi adrenalin atau hanya karena beberapa detik berbaring di sana, tapi mendadak dia merasa bisa mengendalikan tubuhnya kembali.

Dengan penuh rasa sakit dia menyapukan tangan ke samping, menyingkirkan tas kulit agar pandangannya ke ruang makan tidak terhalang.

Yang menakutkannya, ia melihat Kathorine terikat, dan kain besar disumpalkan ke dalam mulutnya. Langdon mengendurkan otot-ototnya, mencoba berlutut, tapi sejenak kemudian dia terpaku dalam ketidakpercayaan total. Ambang pintu ruang makan baru saja dipenuhi pemandangan mengerikan - sesosok manusia yang tidak menyerupai apa pun yang pernah dilihat Langdon.

Apa... ?!

Langdon berguling, menendang-nendang, mencoba mundur, tapi lelaki bertato bertubuh besar itu meraih  tubuhnya, menelentangkannya, dan menduduki dadanya. Lelaki itu meletakkan lutut di masing-masing lengan atas Langdon, menjepit Langdon secara menyakitkan ke lantai. Dada lelaki itu bergambar phoenix berkepala-dua yang beriak-riak. Leher, wajah, dan kepala plontosnya ditutupi susunan simbol rumit yang tidak biasa dan menakjubkan - Langdon tahu itu sigil - yang digunakan dalam ritual-ritual upacara sihir hitam.

Sebelum Langdon bisa mencerna lebih jauh lagi, lelaki bertubuh besar itu menangkupkan kedua telapak tangannya pada masing-masing telinga Langdon, mengangkat kepalanya dari lantai, dan dengan kekuatanyang luar biasa membenturkannya kembali ke kayu-keras.

Segalanya berubah hitam.

BAB 96

Mal'akh berdiri di lorong dan meneliti pembantaian di sekelilingnya. Rumahnya tampak seperti medan peperangan. Robert Langdon terbaring tak sadarkan diri di dekatnya.

Katherine Solomon terikat dan tersumpal di lantai ruang makan.

Mayat petugas keamanan perempuan terbaring meringkuk di dekat situ, setelah terguling dari kursi tempatnya didudukkan. Petugas keamanan ini, yang ingin sekali menyelamatkan hidupnya sendiri, telah melakukan persis seperti yang diperintahkan Mal'akh. Dengan pisau di leher, dia menjawab ponsel Mal'akh dan mengutarakan kebohongan untuk membujuk Langdon dan Katherine agar segera datang kemari. Dia tidak punya partner, dan Peter Solomon jelas tidak baik-baik saja. Segera setelah perempuan itu memainkan peranannya, dengan tenang Mal'akh mencekiknya. Untuk melengkapi ilusi bahwa dirinya sedang tidak berada di rumah, Mal'akh menelepon Bellamy dengan menggunakan pengeras-suara hands-free di salah satu mobil miliknya. Aku sedang menyetir, katanya kepada Bellamy dan siapa pun lainnya yang sedang mendengarkan. Peter berada di dalam bagasi. Sesungguhnya Mal'akh hanya menempuh jarak antara garasi dan pekarangan depan. Di sana dia meninggalkan beberapa mobilnya terparkir miring dengan lampu depan dan mesin menyala.

Penipuan itu berjalan dengan sempurna.

Nyaris.

Satu-satunya penghalang adalah onggokan berdarah berpakaian hitam difoyer, dengan obeng menonjol dari leher. Mal'akh menggeledah mayat itu dan tergelak ketika menemukan alat komunikasi berteknologi tinggi dan ponsel dengan logo CIA. Tampaknya mereka juga menyadari kekuatanku. Dia mengeluarkan semua baterai dan menghancurkan kedua alat itu dengan pengganjal pintu perunggu berat.

Mal'akh tahu, dia kini harus bergerak cepat, terutama jika CIA terlibat. Dia kembali melenggang menghampiri Langdon. Profesor itu akan tidak sadarkan diri selama beberapa saat. Mata Mal'akh kini bergerak gelisah menuju piramida batu yang tergeletak di lantai di samping tas terbuka profesor itu. Dia menghela napas, dan jantungnya berdentam-dentam.

Aku sudah menunggu selama bertahun-tahun ....

Tangan Mal'akh sedikit gemetar ketika dijulurkan untuk memungut Piramida Mason itu. Ketika menelusurkan jari-jari tangannya perlahan-lahan di atas ukiran-ukiran itu, dia merasa takjub oleh janji yang tertulis. Sebelum menjadi terlalu terpesona, dia memasukkan kembali piramida itu ke dalam tas Langdon bersama dengan batu-puncaknya, lalu menutup ritsleting tas.

Aku akan segera menyusun piramida itu ... di lokasi yang jauh lebih aman.

Dia menyampirkan tas Langdon di bahu, lalu mencoba mengangkat Langdon, tapi tubuh berotot profesor itu jauh lebih berat daripada perkiraannya. Mal'akh memutuskan untuk mencengkeram kedua lengan bawah Langdon dan menyeretnya melintasi lantai. Dia tidak akan menyukai tempat di mana dia berakhir, pikir Mal'akh.

Ketika dia menyeret Langdon, televisi di dapur masih menyala. Suara-suara percakapan di TV telah menjadi bagian dari penipuan itu, dan Mal'akh belum mematikannya. Stasiun itu kini menayangkan seorang penginjil yang sedang membimbing umatnya untuk berdoa Bapa Kami. Mal'akh bertanya-tanya, apakah ada di antara para pemirsa terhipnotis itu yang menyadari dari mana sesungguhnya asal doa itu.

"... Di atas bumi seperti di dalam surga ..." ujar kelompok itu.

Ya, pikir Mal'akh. Seperti yang di atas, demikian juga yang di bawah.

Dan jangan masukkan kami ke dalam pencobaan.

Bantu kami mengatasi kelemahan daging.

Lepaskanlah kami dari yang jahat pinta mereka semua.

Mal'akh tersenyum. Itu mungkin sulit. Kegelapan semakin berkembang. Walaupun demikian, dia harus memuji upaya mereka. Manusia yang bicara kepada kekuatan-kekuatan tak terlihat dan memohon pertolongan adalah keturunan sekarat di dalan dunia modern ini.

Mal'akh sedang menyeret Langdon melintasi ruangan ketika umat itu mengucapkan, "Amin!"

Amon, pikir Mal'akh membetulkan. Mesir adalah asal kalian. Dewa Amon adalah prototipe untuk Zeus ... untuk Jupiter ... dan untuk setiap wajah modem Tuhan. Sampai saat ini semua agama di dunia meneriakkan berbagai variasi nama itu, Amen! Amin! Aum!

Pendeta itu mulai mengutip ayat-ayat dari Alkitab menjelaskan hierarki malaikat, iblis, dan roh yang memenuhi surga dan neraka. "Lindungilah jiwa kalian dari kekuatan-kekuatan jahat!" katanya memperingatkan. "Angkat hatimu dalam doa, Tuhan dan para malaikat-Nya akan mendengar kalian!"

Dia benar, pikir Mal'akh. Tapi, iblis-iblis juga akan mendengarnya.

Mal'akh sudah lama sekali tahu bahwa, melalui penerapan Ilmu Sihir secara tepat, seorang praktisi bisa membuka portal menuju ranah spiritual. Kekuatan-kekuatan tak terlihat yang ada di sana, yang sangat menyerupai manusia itu sendiri, muncul dalam berbagai bentuk, yang jahat maupun yang baik. Yang Terang menyembuhkan, melindungi, dan ingin membawa keteraturan pada alam semesta. Yang Gelap berfungsi sebaliknya... membawa kehancuran dan kekacauan.

Jika dipanggil secara tepat, kekuatan-kekuatan tak terhingga itu bisa dibujuk untuk mewujudkan permintaan seorang praktisi di dunia... sehingga memberikan kekuatan yang tampaknya supernatural. Sebagai penukar atas pertolongan yang berikan kepada si pemanggil, kekuatan-kekuatan ini meminta persembahan - doa-doa dan pujian bagi Yang Terang... dan penumpahan darah bagi Yang Gelap.

Semakin besar pengorbanannya, semakin besar kekuatan yang ditransfer. Mal'akh memulai praktiknya dengan darah hewan-hewan biasa. Akan tetapi, setelah beberapa waktu, pilihan-pilihan untuk pengorbanannya menjadi lebih berani. Malam ini, aku akan mengambil langkah terakhir.

"Waspadalah!" teriak pendeta di TV, memperingatkan kedatangan Hari Kiamat. "Pertempuran terakhir bagi jiwa manusia akan segera berlangsung!"

Memang, pikir Mal'akh. Dan aku akan menjadi pejuang terbesarnya.

Pertempuran ini tentu saja telah dimulai lama, lama sekali. Di Mesir kuno, mereka yang menyempurnakan Ilmu telah menjadi Ahli-Ahli besar dalam sejarah, berevolusi melebihi orang banyak untuk menjadi praktisi sejati Terang. Mereka bertindak sebagai tuhan di bumi. Mereka mendirikan kuil-kuil inisiasi besar, dan ke sanalah para penganut baru berdatangan dari seluruh dunia untuk mengambil bagian dalam kebijakan itu. Di sana, ras manusia unggul muncul. Untuk masa yang singkat, umat manusia tampaknya siap mengangkat diri mereka sendiri dan melampaui ikatan-ikatan duniawi mereka.

Era keemasan Misteri Kuno.

Akan tetapi, manusia - yang terdiri dari daging - rentan terhadap dosa-dosa kecongkakan, kebencian, ketidaksabaran, dan keserakahan. Setelah beberapa waktu, muncul mereka yang merusak Ilmu, mencemari dan menyalahgunakan kekuatannya demi keuntungan pribadi. Mereka mulai menggunakan versi tercemar ini untuk memanggil kekuatan-kekuatan gelap. Ilmu yang berbeda berkembang... dengan pengaruh yang lebih dahsyat, seketika, dan memabukkan.

Seperti itulah Ilmuku.

Seperti itulah Karya Besarku.

Para Ahli yang memperoleh penerangan dan kelompok-kelompok persaudaraan esoteris mereka menyaksikan munculnya kejahatan, dan melihat bahwa manusia tidak menggunakan pengetahuan baru itu untuk kebaikan spesies mereka. Oleh karena mereka menyembunyikan kebijakan mereka untuk menjauhkan diri dari mata-mata yang tidak layak. Pada akhirnya, kebijakan hilang dalam sejarah.

Seiring dengan itu, muncullah Kejatuhan Besar Manusia.

Dan kegelapan kekal.

Sampai saat ini, keturunan-keturunan mulia para Ahli masih berjuang, meraih Terang secara meraba-raba, mencoba kembali kekuatan masa lalu mereka yang hilang, menyingkirkan kegelapan. Mereka adalah para pendeta laki-laki dan perempuan dari gereja, kuil dan tempat pemujaan dari agama di dunia. Waktu telah menghapuskan segala ingatan dan memisahkan mereka dari masa lalu. Mereka tidak lagi mengetahui Sumber asal kebijakan luar biasa mereka pernah mengalir. Jika ditanya mengenai misteri-misteri suci nenek moyang mereka, penjaga-keyakinan yang baru ini menyangkal mati-matian, dan mengatakan misteri-misteri itu sebagai ajaran sesat.

Apakah mereka sudah benar-benar lupa? pikir Mal'akh.

Gema-gema Ilmu kuno masih bergaung di setiap pojok dunia, mulai dari para penganut Kabbalah mistis Yudaisme sampai Sufi Islam esoteris. Sisa-sisanya masih terdapat dalam ritual misterius Kristen: ritual-ritual menyantap-Tuhan dalam Komuni mereka; hierarki orang suci, malaikat, dan iblis mereka; pedupaan dan mantra mereka; landasan-landasan astrologis kalender mereka; jubah-jubah suci mereka; dan janji kehidupan kekal mereka. Bahkan saat ini, pendeta-pendeta mereka mengusir jahat dengan mengayunkan pedupaan, membunyikan lonceng-lonceng suci, dan mencipratkan air suci. Orang Kristen masih mempraktikkan keahlian supernatural mengusir setan - praktek kuno dalam keyakinan mereka yang memerlukan kemampuan tidak hanya untuk mengusir setan-setan, tapi juga untuk memanggil mereka.

Akan tetapi, mereka tidak bisa melihat masa lalu ajaran mereka?

Tidak ada satu tempat pun di mana masa lalu mistis Gereja paling jelas terlihat daripada di epissentrumnya. Di Vatican City, di jantung Lapangan St. Peter, berdirilah obelisk Mesir besar. Dipahat seribu tiga ratus tahun sebelum Yesus menghela napas pertama-Nya, monolit besar ini tidak ada relevansinya di sana, tidak ada kaitannya dengan Kristen modern. Akan tetapi, disanalah obelisk itu berdiri. Di pusat

gereja Kristus. Mercusuar batu yang berteriak agar didengar. Pengingat bagi beberapa orang bijak yang masih ingat dari mana semua itu dimulai. Gereja ini, yang lahir dari rahim Misteri Kuno, masih menggunakan ritual-ritual dan simbol-simbolnya.

Satu simbol di atas segalanya.

Yang menghiasi altar, jubah, menara, dan Alkitab mereka adalah gambaran tunggal ajaran Kristen - yaitu, manusia berharga yang dikorbankan. Ajaran Kristen, melebihi keyakinan lainnya mana pun, memahami kekuatan transformatif pengorbanan. Bahkan sekarang pun, untuk menghormati pengorbanan yang dilakukan Yesus, para pengikutnya menawarkan isyarat lemah pengorbanan pribadi mereka sendiri... puasa, tirakat Lenten, persepuluhan.

Tentu saja semua persembahan ini tidak berarti. Tanpa darah... tidak ada pengorbanan sejati.

Kekuatan-kekuatan gelap sudah lama menjalankan pengorbanan darah. Dengan pengorbanan darah, mereka menjadi begitu kuat sehingga kekuatan-kekuatan kebaikan kini berjuang untuk mengendalikan mereka. Dengan segera, Terang akan habis seluruhnya, dan para praktisi kegelapan akan bergerak bebas dalam benak manusia.

BAB 97

"Franklin Square Delapan pasti ada," desak Sato. "Cari terus!"

Nola Kaye duduk di kursinya dan menyesuaikan punggungnya. "Ma'am, saya sudah mengeceknya ke mana-mana... alamat ini tidak ada di DC."

"Tapi aku berada di atas atap Franklin Square Satu," ujarnya. "Pasti ada nomor Delapan!"

Direktur Sato berada di atas atap? "Tunggu." Nola mulai menjalankan pencarian baru. Dia berpikir untuk menceritakan peretas itu kepada Direktur OS, tapi saat ini tampaknya Sato terpaku pada Franklin Square Delapan. Selain itu, Nola masih belum mendapat semua informasinya. Lagi pula, mana petugas keamanan sistem sialan itu?

"Oke," ujar Nola, seraya mengamati layar, "saya memahami masalahnya. One Franklin Square (Franklin Square Satu) adalah gedung... bukan alamat. Sesungguhnya, alamatnya adalah 131 Street."

Berita itu tampaknya mengejutkan Sato. "Nola, aku tidak punya waktu untuk menjelaskan - piramida itu jelas menunjukkan alamat Franklin Square Delapan."

Nola langsung duduk tegak. Piramida itu menunjuk ke sebuah lokasi spesifik?

"Inskripsinya," lanjut Sato, "berbunyi: 'Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo - Franklin Square Delapan."

Nola nyaris tidak bisa membayangkan. "Ordo seperti... ordo Mason atau kelompok persaudaraan?"

"Kurasa begitu," jawab Sato.

Nola berpikir sejenak, lalu mulai mengetik lagi. "Ma'am, mungkin nomor jalanannya berubah setelah bertahun-tahun. Maksud saya, jika piramida ini setua yang dinyatakan oleh legendanya, mungkin nomor-nomor di Franklin Square berbeda ketika piramida itu diciptakan? Saya sedang menjalankan pencarian tanpa angka delapan... untuk... 'ordo'... 'Franklin Square'... dan 'Washington, DC'... dan dengan cara ini, kita mungkin akan tahu seandainya ada-" Dia terdiam di tengah kalimat ketika hasil-hasil pencariannya muncul.

"Apa yang kau dapat?" desak Sato.

Nola menatap hasil pertama dalam daftar - gambar spektakuler Piramida Besar Mesir - yang berfungsi sebagai latar belakang untuk home page yang dirancang bagi sebuah gedung di Franklin Square. Gedung itu tidak menyerupai gedung lainnya mana pun di sana.

Atau juga di seluruh kota.

Yang mengejutkan Nola bukanlah arsitektur aneh gedung itu, melainkan penjelasan mengenai tujuan-nya. Menurut situs Web, gedung yang tidak biasa ini didirikan sebagai kuil mistis suci, dirancang oleh... dan dirancang untuk... sebuah ordo rahasia kuno.

BAB 98

Robert Langdon tersadar kembali dengan sakit kepalanya.

Aku di mana?

Di mana pun dia berada, keadaannya gelap. Segelap gua yang dalam, dan hening total.

Dia berbaring telentang dengan kedua lengan di samping tubuh. Dengan bingung, dia mencoba menggerakkan jari-jari tangan dan kaki, dan merasa lega ketika mengetahui bahwa semua bisa bergerak bebas tanpa disertai rasa sakit. Apa yang terjadi? Dengan perkecualian sakit kepala dan kegelapan mendalam, semuanya tampaknya kurang lebih normal.

Hampir semuanya.

Langdon menyadari bahwa dia sedang berbaring di lantai keras yang kehalusannya tidak biasa, seperti selembar kaca, dan lebih aneh lagi, dia bisa merasakan permukaan licin itu bersentuhan langsung dengan kulit telanjangnya... bahu, punggung, pantat, paha, betis. Aku telanjang? Dengan bingung, ia menelusurkan tangan pada tubuhnya.

Astaga! Di mana gerangan pakaianku?

Dalam kegelapan, kebingungan itu mulai menghilang.

Langdon melihat kilas-kilas ingatan... gambar-gambar mengerikan... agen CIA mati ... wajah makhluk buas bertato... kepala Langdon menghantam lantai. Gambar-gambar itu bermunculan semakin cepat dan kini dia mengingat gambar memualkan Katherine Solomon terikat dan tersumpal di lantai ruang makan.

Ya Tuhanku!

Langdon mengangkat tubuh dan, ketika dia melakukannya, keningnya menghantam sesuatu yang melayang hanya beberapa inci di atasnya. Rasa sakit menyebar di dalam tengkorak kepalanya dan dia teriatuh kembali, nyaris pingsan. Dengan lemah, dia menjangkau ke atas dengan kedua tangannya, meraba-raba dalam kegelapan untuk mencari penghalang itu. Yang ditemukannya tidak masuk akal baginya. Tampaknya, ketinggian langit-langit ruangan ini kurang dari tiga puluh sentimeter di atasnya. Apa gerangan? Ketika dia membentangkan kedua lengan ke samping dalam upayanya untuk berbalik, kedua tangannya membentur dinding samping.

Kenyataan itu kini terpikirkan olehnya. Robert Langdon sama sekali tidak berada di dalam sebuah ruangan.

Aku berada di dalam sebuah kotak!

Dalam kegelapan wadah kecil yang menyerupai peti mati ini, Langdon mulai menggedor-gedor panik dengan kepalan tangannya. Berulang-ulang dia berteriak minta tolong. Kengerian yang mencengkeranmya menjadi semakin mendalam dengan berlalunya setiap detik, sampai tak tertahankan lagi.

Aku terkubur hidup-hidup.

Tutup peti mati aneh Langdon tidak bergerak sedikit pun, bahkan dengan kekuatan penuh kedua lengan dan kakinya yang mendorong ke atas dengan kepanikan luar biasa. Kotak itu, dari yang bisa diketahuinya, terbuat dari kaca-serat tebal. Kedap-udara. Kedap-suara. Kedap-cahaya. Kedap-jalan-keluar.

Aku akan kehabisan napas sendirian di dalam kotak ini.

Dia mengingat sumur dalam tempatnya terjatuh semasa kecil, dan malam mengerikan yang dihabiskannya dengan mengapung di air sendirian dalam kegelapan jurang tanpa dasar. Trauma itu menodai kejiwaan Langdon, membebaninya dengan fobia luar biasa terhadap ruang-ruang tertutup.

Malam ini, ketika terkubur hidup-hidup, Robert Langdon menjalani mimpi buruk terakhirnya.

Katherine Solomon gemetar dalam keheningan lantai ruang makan Mal'akh. Kawat tajam di sekeliling pergelangan tangan dan kakinya sudah mengiris kulit, dan gerakan terkecil pun tampaknya hanya akan mengencangkan ikatan-ikatannya.

Lelaki bertato itu telah membuat Langdon pingsan dengan brutalnya, lalu menyeret tubuh lunglai Langdon melintasi ruangan bersama-sama dengan tas kulit dan piramida batu itu. Katherine sama sekali tidak tahu ke mana mereka pergi. Agen yang mendampingi mereka sudah mati. Katherine belum mendengar satu suara pun selama bermenit-menit, dan dia bertanya-tanya apakah lelaki bertato itu dan Langdon masih berada di dalam rumah. Dia mencoba untuk berteriak minta tolong, tapi setiap upayanya hanya membuat kain di mulutnya merayap secara membahayakan mendekati saluran udaranya. .

Kini dia merasakan langkah kaki mendekat di lantai, dan dia menoleh, berharap setengah mati bahwa seseorang datang untuk menolongnya. Siluet besar penangkapnya muncul di lorong. Katherine terenyak ketika membayangkan lelaki itu berdiri di ruang keluarganya sepuluh tahun lalu.

Dia membunuh keluargaku.

Kini lelaki itu melenggang ke arahnya. Langdon tidak tampak di mana pun. Lelaki itu berjongkok dan mencengkeram pergelangan tangan Katherine, lalu mengangkat tubuhnya dengan kasar ke atas bahu. Kawat mengiris pergelangan tangan Katherine. Tapi kain itu meredam teriakan kesakitannya. Lelaki itu membopongnya menyusuri lorong menuju ruang tamu, tempat keduanya minum teh dengan tenang bersama-sama siang tadi.

Ke mana dia membawaku?!

Lelaki itu membawa Katherine melintasi ruang tamu dan langsung berhenti di depan lukisan cat minyak The Three Graces yang dikagumi Katherine siang tadi.

"Kau bilang, kau menyukai lukisan ini," bisik lelaki itu dengan bibir nyaris menyentuh telinga Katherine. "Aku senang. Mungkin itu benda terindah terakhir yang kau lihat."

Dengan perkataan itu, dia menjulurkan tangan dan menekankan telapak tangannya ke sisi kanan bingkai besar itu. Yang mengejutkan Katherine, lukisan itu berputar ke dalam dinding, dan berputar pada sumbu tengah seperti pintu-putar. Ambang pintu tersembunyi.

Katherine mencoba menggeliat-geliat membebaskan diri, tapi lelaki itu menahannya dengan kuat, membopongnya melewati lubang di balik kanvas. Ketika The Three Graces berputar menutup di belakang mereka, Katherine bisa melihat insulasi tebal di bagian belakang kanvas. Suara apa pun yang mereka ciptakan di belakang sini, tampaknya itu tidak dimaksudkan untuk didengar oleh dunia luar.

Ruang di balik lukisan itu sempit, lebih menyerupai lorong daripada ruangan. Lelaki itu membopongnya ke ujung jauh dan membuka pintu tebal, membopongnya melewati pintu menuju tempat berpijak kecil. Katherine mendapati dirinya memandang rampa sempit menuju ruang bawah tanah yang dalam. Dia mengheIa napas untuk berteriak, tapi kain itu mencekiknya.

Rampa itu curam dan sempit. Dinding di kedua sisinya terbuat dari semen, bermandikan cahaya kebiruan yang tampaknya memancar dari bawah. Udara yang melayang ke atas terasa hangat dan apak, penuh campuran bau yang mengerikan... bau tajam zat-zat kimia, bau lembut menenangkan dupa, bau tanah, keringat manusia, dan yang paling tajam, aura samar perasaan takut hewani.

"Ilmu pengetahuanmu mengesankanku," bisik lelaki itu ketika mereka mencapai bagian bawah rampa. "Kuharap, ilmu pengetahuan-ku mengesankan-mu."

BAB 99

Agen lapangan CIA Turner Simkins berjongkok dalam kegelapan Taman Franklin dan tetap memandang Warren Bellamy. Tak seorang pun terbujuk oleh umpan itu, tapi memang terlalu dini.

Alat komunikasi Simskins berbunyi, dan dia mengaktifkannya, berharap salah satu orangnya sudah melihat sesuatu. Dengan Sato. Dia punya informasi baru.

Simkins mendengarkan dan mengiyakan kekhawatirannya.

"Tunggu," katanya. "Akan saya periksa apakah saya bisa menemukannya." Dia merangkak melewati semak-semak tempatinya bersembunyi dan mengintip ke belakang ke arah kedatangannya di lapangan. Setelah beberapa gerakan, akhirnya dia bisa menemukan jalur penglihatan.

Astaga.

Dia sedang menatap sebuah gedung yang menyerupai markas Dunia Lama. Diapit dua gedung yang jauh lebih besar, bagian depan bangunan bergaya Moor itu terbuat dari ubin terakota. Ubin kilau yang dipasang membentuk desain multiwarna rumit. Di dekat ketiga pintu besarnya, dua tingkat jendela-meruncing tampaknya seakan dijaga oleh para pemanah Arab yang siap muncul dan mulai menyerang seandainya seseorang mendekat tanpa diundang.....

"Saya melihatnya," kata Simkins.

"Ada aktivitas?"

"Tidak ada."

"Bagus. Kau harus menempatkan kembali dirimu dan mengawasi gedung itu dengan saksama. Namanya Ahnas Shrine Tempple, dan itu markas sebuah ordo mistis."

Simkins sudah lama bekerja di area DC, tapi tidak mengenal kuil ini atau ordo mistis kuno apa pun yang bermarkas di Franklin Square.

"Gedung ini," ujar Sato, "milik sebuah kelompok bernama Ancient Arabic Order of Nobles of the Mystic Shrine."

"Belum pernah mendengarnya."

"Kurasa sudah," ujar Sato. "Mereka organisasi di bawah Mason yang lebih dikenal sebagai para Shriner."

Simkins melirik gedung berhias itu dengan ragu. Shriner? Orang-orang yang mendirikan rumah sakit untuk anak-anak? Dia tidak bisa membayangkan adanya "ordo" yang kedengarannya lebih tidak mengancam daripada kelompok persaudaraan para filantrop berkopiah merah kecil yang berbaris dalam parade.

Walaupun demikian, kekhawatiran Sato beralasan. "Ma'am, jika sasaran kita menyadari bahwa gedung ini sesungguhnya adalah 'Ordo' di Franklin Square, dia tidak perlu alamat. Dia akan melewati saja tempat pertemuan itu dan langsung menuju lokasi yang tepat."

"Tepat sekali dengan pemikiranku. Awasi pintu masuknya."

"Ya, Ma'am."

"Ada kabar dari Agen Hartmann di Kalorama Heights?"

"Tidak, Ma'am. Anda memintanya untuk menelepon Anda langsung."

"Well, dia belum melakukannya."

Aneh, pikir Simkins seraya menengok arloji. Dia terlambat.

BAB 100

Robert Langdon berbaring menggigil, telanjang, dan sendiri dalam kegelapan total. Lumpuh oleh ketakutan, dia tidak menggedor-gedor atau berteriak. Dia malah memejamkan mata, dan berbuat sebisa mungkin untuk mengendalikan jantungnya yang berdentam-dentam dan napas paniknya.

Kau berbaring di bawah langit malam yang luas, pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. Tidak ada apa-apa di atasmu, kecuali berkilo-kilometer ruang yang terbuka-lebar.

Visualisasi menenangkan ini adalah satu-satunya cara yang digunakan Langdon untuk mengatasi sebuah tugas di dalam MRI tertutup baru-baru ni .... Cara itu, dan dosis Valium tiga kali lipat. Akan tetapi, malam ini, visualisasinya sama sekali tidak berpengaruh.

Kain di mulut Katherine Solomon telah bergeser ke belakang dan mencekiknya. Penangkapnya membawanya menuruni rampa sempit dan memasuki koridor bawah-tanah yang gelap. Di ujung lorong, Katherine melihat sebuah ruangan yang diterangi lampu ungu kemerahan mengerikan, tapi mereka tidak pergi sejauh itu. Lelaki itu malah berhenti di sebuah ruang-samping kecil, membopong Katherine ke dalam, dan meletakkannya atas kursi kayu. Dia meletakkan Katherine dengan pergelangan tangan terikat di belakang punggung kursi, sehingga perempuan itu tidak bisa bergerak.

Kini Katherine bisa merasakan kawat di pergelangan tangannya mengiris daging lebih dalam. Rasa sakit itu nyaris tak disadarinya, dikalahkan oleh meningkatnya kepanikan yang dirasakannya karena tidak bisa bernapas. Kain di mulutnya meluncur lebih dalam ke tenggorokan, dan dia merasakan dirinya muntah secara refleks. Penglihatannya mulai menyempit.

Di belakangnya, lelaki bertato itu menutup satu-satunya pintu di ruangan dan menyalakan lampu. Katherine kini berurai air mata, dan dia tidak bisa lagi membedakan benda-benda yang berada di sekelilingnya. Segalanya mengabur.

Visi terdistorsi daging berwarna-warni muncul di hadapan Katherine, dan dia merasakan matanya mulai berkedip-kedip ketika hampir tidak sadarkan diri. Sebuah lengan yang tertutup sisik terjulur dan menarik kain itu dari mulutnya.

Katherine terkesiap, menghela napas dalam-dalam, terbatuk-batuk dan tersedak ketika paru-parunya dibanjiri udara yang berharga. Perlahan-lahan penglihatannya mulai jelas, dan dia mendapati dirinya memandang wajah iblis. Itu nyaris bukan wajah manusia. Pola menakjubkan simbol-simbol aneh yang ditatokan menyelimuti leher, wajah, dan kepala plontos lelaki itu. Dengan perkecualian lingkaran kecil di puncak kepala, setiap inci tubuhnya tampak dihiasi tato. Phoenix besar berkepala-dua di dadanya menatap Katherine lewat mata puting, menyerupai semacam burung bangkai rakus yang dengan sabar menunggu kematiannya.

"Buka mulutmu," bisik lelaki itu.

Katherine menatap monster itu dengan sangat jijik. Apa?

"Buka mulutmu," ulang lelaki itu. "Atau kain itu kembali disumpalkan."

Dengan gemetar, Katherine membuka mulut. Lelaki itu menjulurkan jari telunjuk tebal bertatonya, memasukkannya di antara bibir Katherine. Ketika lelaki itu menyentuh lidahnya, Katherine mengira dirinya akan muntah. Lelaki itu mengeluarkan jari basahnya dan mengangkatnya ke puncak kepala plontosnya. Seraya memejamkan mata, dia memijatkan air liur Katherine pada petak melingkar kecil berupa daging tidak bertato itu.

Dengan jijik, Katherine memalingkan wajah.

Ruangan tempat dia duduk tampaknya semacam ruang uap - pipa-pipa di dinding, suara berdeguk, lampu-lampu resens. Akan tetapi, sebelum Katherine bisa mengamati keadaan di sekelilingnya, pandangannya langsung terpaku pada sesuatu di sampingnya di lantai. Setumpuk pakaian - kaus turtleneck, sport wol, sepatu kulit santai, arloji Mickey Mouse.

"Astaga!" Dia menoleh kembali, memandang hewan besar di hadapannya. "Apa yang kau lakukan terhadap Robert?"

"Shh," bisik lelaki itu. "Nanti dia mendengarmu." Dia melangkah minggir dan menunjuk ke belakang.

Langdon tidak ada di sana. Katherine hanya melihat sebuah kotak kaca-serat hitam besar. Bentuknya menggelisahkan, menyerupai peti berat tempat mayat dikirim pulang dari perang. Dua penjepit besar mengunci kotak rapat-rapat.

"Dia di dalam?!" teriak Katherine. "Tapi ... dia akan kehabisan napas!"

"Tidak," ujar lelaki itu, seraya menunjuk serangkaian pipa transparan yang memanjang di dinding dan masuk ke bagian bawah peti. "Dia hanya bisa berharap dirinya kehabisan napas."

Dalam kegelapan total, Langdon mendengarkan dengan saksama getaran-getaran teredam yang kini didengarnya dari dunia luar. Suara-suara? Dia mulai menggedor-gedor kotak dan berteriak sekeras mungkin. "Tolong! Ada yang bisa mendengarku?!"

Dari kejauhan, sebuah suara teredam menjawab. "Robert! Tuhan, tidak! TIDAK!"

Langdon mengenal suara itu. Itu Katherine, dan dia kedengarannya ketakutan. Walaupun demikian, Langdon menyambut suara itu dengan gembira. Dia menghela napas untuk berteriak kepadanya.-" tapi langsung terdiam, merasakan sensasi yang tak terduga di bagian belakang leher. Angin lembut tampaknya memancar dari dasar kotak. Bagaimana mungkin? Dia berbaring tak bergerak, berpikir cermat. Ya, pasti. Dia bisa merasakan rambut-rambut halus di bagian belakang lehernya mulai digelitiki gerakan udara.

Secara insting, Langdon mulai meraba-raba di sepanjang lantai kotak, mencari sumber udara. Hanya perlu sejenak untuk menemukannya. Ada saluran udara mungil! Lubang-lubang kecil itu terasa seperti saringan wastafel atau bak mandi, tapi angin lembut yang terus-menerus kini masuk melaluinya.

Dia memompakan udara ke dalam untukku. Dia tidak ingin aku kehabisan napas.

Kelegaan Langdon hanya sebentar. Sebuah suara mengerikan kini memancar lewat lubang-lubang saluran udara. Tak salah lagi, itu deguk cairan yang mengalir ... masuk ke dalam.

Dengan tidak percaya, Katherine menatap aliran jernih cairan yang melewati salah satu pipa menuju peti Langdon. Pemandangan itu menyerupai semacam pertunjukan aneh tukang sulap.

Dia memompakan air ke dalam peti?!

Katherine menarik ikatan tangannya, mengabaikan irisan mendalam kawat-kawat di sekeliling pergelangan tangannya. Yang bisa dilakukannya hanyalah memandang dengan panik. Dia bisa mendengar Langdon menggedor-gedor dengan putus asa. Tapi, ketika air mencapai sisi bawah wadah, gedoran itu berhenti. Sejenak muncul keheningan yang mengerikan. Lalu gedoran-gedoran itu dimulai kembali dengan keputusasaan baru.

"Keluarkan dia!" pinta Katherine. "Kumohon! Kau tidak bisa berbuat seperti ini!"

"Kau tahu, tenggelam adalah kematian yang mengerikan."

Lelaki itu bicara dengan tenang ketika berjalan berputar-putar mengelilingi Katherine. "Asisten-mu, Trish, bisa menceritakannya kepadamu."

Katherine mendengar kata-kata lelaki itu, tapi nyaris tidak mampu mencernanya.

"Kau mungkin ingat bahwa aku pernah nyaris tenggelam," bisik lelaki itu. "Di tempat kediaman keluargamu di Potomac. Kakakmu menembakku, dan aku jatuh menembus es, dari jembatan Zach."

Katherine memelototinya dengan penuh kebencian. Di malam itu kau membunuh ibuku.

"Dewa-dewa melindungiku malam itu," katanya. "Dan mereka menunjukkan cara... untuk menjadi salah satu dari mereka."

Air yang berdeguk ke dalam kotak di belakang kepala Langdon terasa hangat... suhu tubuh. Cairan itu sudah beberapa lama di dalamnya dan sudah menelan seluruh bagian belakang tubuh telanjangnya. Ketika cairan itu mulai merambat naik ke tulang rusuk, Langdon merasakan kenyataan pahit yang menghampirinya dengan cepat.

Aku akan mati.

Dengan kepanikan baru, dia mengangkat kedua lengannya dan mulai menggedor-gedor panik kembali.

BAB 101

"Kau harus mengeluarkannya!" pinta Katherine, yang kini menangis. "Kami akan melakukan apa pun yang kau inginkan!" Dia bisa mendengar Langdon menggedor-gedor semakin panik ketika air mengalir ke dalam peti.

Lelaki bertato itu hanya tersenyum. "Kau lebih gampang daripada kakakmu. Hal-hal yang harus kulakukan untuk membuat Peter menceritakan semua rahasianya."

"Mana dia?!" desak Katherine. "Mana Peter?! Katakan! Kami telah berbuat persis seperti yang kau inginkan! Kami memecahkan kode piramida itu dan-"

"Tidak, kalian tidak memecahkan kode piramida itu. Kalian bermain-main. Kalian menahan informasi dan membawa seorang agen pemerintah ke rumahku. Bukan perilaku yang bisa kuhargai."

"Kami tidak punya pilihan," jawab Katherine, seraya menahan air mata. " CIA mencarimu. Mereka menyuruh kami pergi dengan seorang agen. Akan kukatakan semuanya. Keluarkan saja Robert!" Katherine bisa mendengar Langdon berteriak dan menggedor-gedor peti, dan dia bisa melihat air mengalir melalui pipa. Dia tahu, Langdon tidak punya banyak waktu.

Di hadapannya, lelaki bertato itu bicara dengan tenang sambil mengelus-elus dagu.

"Kurasa, ada agen-agen yang menungguku di Franklin Square?"

Katherine diam saja, dan lelaki itu meletakkan kedua telapak tangan besarnya di masing-masing bahu Katherine, perlahan-lahan menariknya ke depan. Dengan kedua lengan masih terikat kawat di belakang kursi, bahu Katherine menegang, terbakar rasa sakit, mengancam hendak terlepas.

"Ya!" teriak Katherine. "Ada agen-agen di Franklin Square!"

Lelaki itu menarik lebih keras. "Apa alamat di batu-puncak itu?"

Rasa sakit di pergelangan tangan dan bahu Katherine makin tak tertahankan, tapi dia diam saja.

"Kau bisa mengatakannya sekarang, Katherine, atau aku akan mematahkan kedua lenganmu dan kembali bertanya."

"Delapan!" Katherine menghela napas kesakitan. Angka yang hilang adalah delapan! Batu-puncak itu mengatakan, rahasianya tersembunyi di dalam Ordo - Franklin Square Delapan. Aku bersumpah. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan kepadamu! Franklin Square Delapan!"

Lelaki itu masih tidak melepaskan bahu Katherine.

"Hanya itu yang kuketahui!" ujar Katherine. "Itu alamatnya. Lepaskan aku! Keluarkan Robert dari tangki!"

"Aku mau" kata lelaki itu, "tapi ada satu masalah. Aku tidak bisa pergi ke Franklin Square Delapan tanpa tertangkap. Katakan, ada apa di alamat itu?"

"Aku tidak tahu!"

"Dan simbol-simbol di dasar piramida? Di sisi bawah ini. Kau tahu arti semua itu?"

"Simbol-simbol apa di dasarnya?" Katherine sama sekali tidak tahu lelaki itu bicara apa. "Tidak ada simbol-simbol di bagian bawahnya. Hanya batu kosong halus!"

Lelaki bertato itu - yang tampaknya kebal terhadap teriakan-teriakan minta tolong teredam yang berasal dari kotak mirip mati itu - dengan tenang berjalan menghampiri tas Langdon dan mengeluarkan piramida batu. Lalu dia kembali kepada memegangi benda itu di depan matanya, sehingga perempuan itu bisa melihat bagian dasarnya.

Ketika melihat simbol-simbol terukir itu, Katherine terkesiap.

Tapi ... itu mustahil!

Bagian dasar piramida itu tertutup seluruhnya oleh ukiran rumit. Tidak ada apa-apa di sana sebelumnya! Aku yakin itu! Dia sama sekali tidak tahu apa kemungkinan artinya. Simbol-simbol itu tampaknya meliputi semua tradisi mistis, termasuk banyak tradisi yang bahkan tidak diketahuinya.

Kekacauan total.

"Aku ... tidak tahu apa artinya", kata Katherine.

"Begitu juga aku," ujar penangkapnya. "Untungnya, kita punya seorang spesialis yang siap melayani." Dia melirik peti.

"Ayo kita tanyakan kepadanya." Dia membawa piramida itu ke peti.

Sejenak Katherine berharap penangkapnya itu akan membuka tutup peti. Tapi lelaki itu malah duduk tenang di atas kotak, menjulurkan tangan ke bawah, dan menggeser sebuah panel kecil, mengungkapkan jendela Plexiglas di atas tangki.

Cahaya!

Langdon menutupi mata, memicing dalam berkas cahaya yang kini mengalir masuk dari atas. Ketika matanya sudah menyesuaikan diri, harapannya berubah menjadi kebingungan. Dia sedang memandang melalui sesuatu yang tampaknya adalah jendela di atas peti. Melalui jendela itu, dia melihat langit-langit putih dan lampu fluoresens.

Tanpa disertai peringatan, wajah bertato muncul di atasnya, mengintip ke bawah.

"Mana Katherine?!" teriak Langdon. "Keluarkan aku!"

Lelaki itu tersenyum. "Temanmu Katherine ada di sini bersamaku," jawabnya. "Aku punya kekuasaan untuk menyelamatkan hidupnya. Dan hidupmu juga. Tapi waktumu singkat, jadi kusarankan agar kau mendengarkan dengan cermat."

Langdon nyaris tidak bisa mendengar lelaki itu melalui kaca dan air sudah naik semakin tinggi, merayapi dadanya.

"Sadarkah kau," tanya lelaki itu, "bahwa di dasar piramida itu ada simbol-simbol?"

"Ya!" teriak Langdon, setelah melihat susunan banyak simbol ketika piramida itu tergeletak di lantai ruang atas. "Tapi aku sama sekali tidak tahu artinya! Kau harus pergi ke Franklin Square Delapan! Jawabannya ada di sana! Itulah yang dikatakan oleh puncak-"

"Profesor, kau dan aku sama-sama tahu kalau CIA menungguku di sana. Aku tidak ingin berjalan memasuki perangkap. Lagi aku tidak perlu nomor jalanannya. Hanya ada satu gedung di lapangan itu yang kemungkinan relevan - Almas Shrine." Dia terdiam, menunduk menatap Langdon. "The Ancient Arabic Order of Nobles of the Mystic Shrine."

Langdon bingung. Dia mengenal Almas Temple, tapi sudah lupa kalau letaknya di Franklin Square. Shriner adalah "Ordo"? Kuil mereka terletak di atas tangga rahasia? Secara historis sama sekali tidak masuk akal, tapi saat ini Langdon tidak bisa memperdebatkan sejarah. "Ya!" teriaknya. "Mestinya itu! Rahasianya tersembunyi dalam Ordo!"

"Kau mengenal gedung itu?"

"Pasti!" Langdon mengangkat kepalanya yang berdenyut-denyut agar telinganya tetap berada di atas cairan yang naik dengan cepatnya itu. "Aku bisa membantumu! Keluarkan aku!"

"Jadi, kau yakin bisa mengatakan kepadaku apa hubungan kuil ini dengan simbol-simbol di dasar piramida?"

"Ya! Biarkan aku melihat simbol-simbolnya!"

"Baiklah kalau begitu. Ayo kita lihat apa yang bisa kau temukan."

Cepat. Dengan cairan hangat yang semakin tinggi di sekelilingnya, Langdon mendorong tutup peti, berharap lelaki itu membukanya. Kumohon! Cepat! Tapi tutupnya tidak pernah terbuka. Bagian dasar piramida itu malah mendadak muncul, melayang di atas jendela Plexiglas.

Langdon menatap dengan panik.

"Aku yakin pemandangan ini cukup dekat untukmu." Lelaki itu memegangi piramida dengan kedua tangan bertatonya. "Berfikirlah cepat, Profesor. Kurasa, waktumu kurang dari enam puluh detik."

BAB 102

Robert Langdon sering mendengar perkataan bahwa hewan jika dipojokkan, mampu mengerahkan kekuatan yang ajaib. Walaupun demikian, ketika dia mengerahkan seluruh kekuatannya ke sisi bawah peti, sama sekali tidak ada yang bergerak. Di sana cairan terus naik dengan mantap. Tanpa lebih dari enam inci ruang bernapas yang tersisa, Langdon mengangkat kepala ke dalam kantong udara yang masih ada. Dia kini berhadapan dengan jendela Plexiglass, dan matanya hanya berjarak beberapa inci dari sisi bawah piramida berukiran membingungkan yang melayang di atasnya.

Aku sama sekali tidak tahu apa artinya.

Tersembunyi selama lebih dari satu abad di bawah campuran lilin dan serbuk batu keras, inskripsi terakhir Piramida Mason itu kini terekspos. Ukirannya berupa kisi persegi empat sempurna yang berisi simbol-simbol dari semua tradisi yang bisa dibayangkan alkimia, astrologis, heraldik, angelik, sihir, numerik, sigifilk , Yunani, Latin. Secara keseluruhan, ini merupakan anarki simbolis - semangkuk sup alfabet yang huruf-hurufnya berasal dari lusin bahasa, kebudayaan, dan periode waktu yang berbeda.

Kekacauan total.

Simbolog Robert Langdon, dalam interpretasi-interpretasi akademik terliarnya tidak bisa memahami bagaimana kisi simbol-simbol ini bisa dipecahkan agar memiliki arti. Keteraturan dari kekacauan ini? Mustahil.

Cairan itu kini merayap ke jakun, dan Langdon bisa merasakan kengeriannya meningkat seiring dengan peningkatan cairan. Dia terus menggedor-gedor tangki. Piramida itu menatap balik, dan mengejeknya.

Dalam keputusasaan dan kepanikan, Langdon memusatkan semua energi pikirannya pada papan-catur berisi simbol-simbol itu. Apa kemungkinan artinya? Sayangnya, kumpulan itu tampak begitu berlainan, sehingga dia bahkan tidak bisa membayangkan harus memulai dari mana. Simbol-simbol itu bahkan tidak berasal dari era yang sama dalam sejarah!

Di luar tangki, dengan suara teredam tapi masih bisa didengar, Katherine kedengarannya memohon sambil menangis agar Langdon dilepaskan. Walaupun gagal menemukan pemecahan, prospek kematian tampaknya memotivasi setiap sel dalam tubuh Langdon untuk mencari pemecahan itu. Dia merasakan kejelasan pikiran yang aneh, tidak menyerupai segala yang pernah dialaminya. Berpikirlah! Dia meneliti kisi dengan serius, mencari semacam petunjuk-pola, kata tersembunyi, ikon khusus, apa pun - tapi dia hanya melihat kisi berisi simbol-simbol yang tidak berhubungan. Kekacauan.

Dengan setiap detik yang berlalu, Langdon mulai merasa tubuhnya dikuasai perasaan mati-rasa yang mengerikan. Seakan dagingnya sendiri siap melindungi pikiran dari sakitnya kematian. Air kini mengancam hendak mengalir ke dalam telinga, dan Langdon mengangkat kepala setinggi mungkin, mendesakkannya ke atas peti. Gambar-gambar mengerikan mulai melintas di depan matanya. Seorang anak laki-laki di New England mengapung di air di dasar sumur gelap. Seorang lelaki di Roma terperangkap di bawah kerangka di dalam peti mati terbalik. Teriakan-teriakan Katherine terdengar semakin panik. Dari yang bisa didengar Langdon, Katherine sedang mencoba meyakinkan orang gila itu - bersikeras bahwa Langdon tidak bisa diharapkan untuk memecahkan kode piramida tanpa mengunjungi Ancient Temple. "Gedung itu jelas menyimpan bagian yang hilang teka-teki ini! Bagaimana Robert bisa memecahkan kode piramida tanpa semua informasi itu?!"

Langdon menghargai semua upaya Katherine, tetapi dia menjadi yakin bahwa "Franklin Square Delapan" tidak menunjuk ke alamat ... Temple. Zamannya benar-benar berbeda! Menurut legenda, Piramida Mason diciptakan pada pertengahan 1800-an, bahkan berdekatan dekade sebelumke beradaan para Shriner. Sesungguhnya, Langdon menyadari bahwa piramida itu dibuat mungkin bahkan sebelum lapangan itu disebut Franklin Square. Batu-puncak itu tidak mungkin menunjuk ke sebuah gedung yang belum dibangun di alamat yang tidak ada. Apa pun yang ditunjukkan oleh "Franklin Square Delapan" ... gedung itu harus ada pada 1850.

Sayangnya, pikiran Langdon benar-benar kosong.

Dia menggali bank ingatannya untuk mencari apa pun yang kemungkinan cocok dengan urutan waktunya. Franklin Square Delapan? Sesuatu yang sudah ada pada 1850? Langdon tidak menemukan apa-apa. Kini cairan itu menetes ke dalam telinga-nya. Ia memerangi ketakutan, menatap kisi simbol-simbol pada kaca. Aku tidak memahami hubungannya! Dalam luapan ketakutan yang luar biasa, benaknya mulai memikirkan semua perbandingan sejauh apun pun yang bisa ditemukan.

Franklin Square Delapan ... squares (persegi empat) ... kisi simbols-imbol ini berbentuk persegi empat... persegi empat dan kompas adalah simbol Mason... altar Mason berbentuk persegi empat... persegi empat punya sudut-sudut sembilan puluh derajat. Air naik terus, tapi Langdon memblokirnya. Franklin Delapan ... delapan ... kisi ini delapan, kali-delapan ... Franklin terdiri dari delapan huruf... "The Order (Ordo)" terdiri dari delapan huruf... 8 adalah simbol tegak oo untuk tak terhingga... delapan adalah angka penghancuran dalam numerologi...

Langdon sama sekali tidak tahu.

Di luar tangki, Katherine masih memohon, tapi pendengaran Langdon kini terputus-putus ketika air berkecipak di sekeliling kepalanya.

"...mustahil tanpa mengetahui... pesan batu-puncak itu dengan jelas... rahasianya tersembunyi di dalam-"

Lalu suara Katherine menghilang.

Air mengalir ke dalam telinga Langdon, memblokir perkataan terakhir perempuan itu. Keheningan mendadak yang terasa seperti di dalam rahim menelan Langdon, dan dia menyadari dirinya benar-benar akan mati.

Rahasianya tersembunyi di dalam

Kata-kata terakhir Katherine menggema melalui keheningan kuburannya.

Rahasianya tersembunyi di dalam ....

Anehnya, Langdon menyadari bahwa dia pernah mendengar kata-kata yang persis sama ini banyak kali sebelumnya.

Rahasianya tersembunyi ... di dalam.

Bahkan sekarang pun, tampaknya Misteri Kuno sedang mengejeknya. "Rahasianya tersembunyi di dalam" adalah ajaran inti misteri itu, mendesak umat manusia untuk tidak mencari Tuhan di dalam surga di atas sana... tapi di dalam diri mereka sendiri. Rahasianya tersembunyi di dalam. Itu pesan dari semua guru mistik besar.

Kerajaan Allah ada di dalammu, kata Yesus Kristus.

Kenali dirimu sendiri, kata Pythagoras.

Tidak tahukah kau bahwa kau adalah tuhan, kata Hermes Trismegistus.

Daftarnya terus berlanjut.

Semua ajaran mistis berabad-abad telah berupaya mengungkapkan gagasan yang satu ini. Rahasianya tersembunyi di dalam.

Walaupun demikian, umat manusia terus memandang ke atas untuk mencari wajah Tuhan.

Bagi Langdon, kesadaran ini kini menjadi ironi tertinggi. Saat ini, dengan mata menghadap langit seperti semua manusia sebelum dirinya, Robert Langdon mendadak melihat cahaya.

Cahaya itu menghantamnya bagaikan halilintar dari atas.

                                  The

                             secret hides

                          within The Order

                        Eight Franklin Square

Dalam sekejap dia mengerti.

Pesan di batu-puncak itu mendadak sangat jelas. Maknanya sudah berada di depannya sepanjang malam. Teks di batu-puncak, seperti Piramida Mason itu sendiri, adalah symbolon - kode terpecah-pecah - pesan yang ditulis dalam beberapa bagian batu-puncak itu dikamuflase dengan cara begitu sederhana, sehingga Langdon nyaris tidak percaya dia dan Katherine tidak melihatnya.

Yang lebih menakjubkan, kini Langdon menyadari bahwa pesan di batu-puncak itu memang mengungkapkan dengan tepat cara memecahkan kode kisi simbol-simbol di dasar piramida. Teramat sangat sederhana. Persis seperti yang dijanjikan Peter Solomon, batu-puncak emas itu adalah jimat ampuh dengan kekuatan untuk mendatangkan keteraturan dari kekacauan.

Langdon mulai menggedor-gedor tutup peti dan berteriak, "Aku tahu! Aku tahu!"

Di atasnya, piramida batu terangkat dan melayang pergi, dan sebagai gantinya, wajah bertato itu muncul kembali, raut wajah mencekamnya menatap melalui jendela kecil.

"Aku berhasil memecahkannya!" teriak Langdon. "Keluarkan aku!"

Ketika lelaki bertato itu bicara, telinga Langdon yang terendam tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi, matanya melihat bibir itu mengucapkan sepatah kata. "Katakan."

"Ya!" teriak Langdon, Air hampir mencapai matanya, "Keluarkan akul Akan kujelaskan semuanya. Begitu sederhana."

Bibir lelaki itu kemball bergerak-gerak. "Katakan sekarang ... atau mati."

Dengan air naik sampai ke inci terakhir ruang udara, Langdon mondongakkan kepala agar mulutnya tetap berada di atas batas itu. Ketika dia melakukannya, cairan hangat mengaliri matanya, mengaburkan penglihatannya. Dengan melengkungkan punggung, dia menekankan mulut pada jendela Plexiglas.

Lalu, dengan beberapa detik terakhir udara, Robert Langdon mengungkapkan rahasia pemecahan kode Piramida Mason.

Ketika dia selesai bicara, cairan naik ke sekeliling bibirnya. Secara insting, Langdon menghela napas terakhir dan menutup mulut rapat-rapat. Sejenak kemudian, cairan itu menutupi seluruh tubuhnya, menjangkau bagian atas kuburannya dan menyebar di seluruh Plexiglas.

Dia berhasil, pikir Mal'akh menyadari. Langdon menemukan cara memecahkan kode piramida.

Jawabannya begitu sederhana. Begitu jelas terlihat.

Di bawah jendela, wajah terendam Robert Langdon menatapnya dengan mata memohon dan putus asa.

Mal'akh menggeleng-gelengkan kepala kepadanya dan mulutnya berkomat-kamit mengucapkan: "Terima kasih, Profesor. Selamat menikmati kehidupan di alam baka."

BAB 103

Sebagai perenang serius, Robert Langdon sering bertanya-tanya bagaimana rasanya tenggelam. Kini dia tahu, dirinya akan mengalaminya sendiri. Walaupun bisa menahan napas lebih lama daripada sebagian besar orang, dia sudah bisa merasakan paru-parunya bereaksi terhadap tidak adanya udara. Karbon dioksida berakumulasi di dalam darahnya, menimbulkan desakan untuk menarik napas secara insting. Jangan bernapas! Refleks untuk mulai bernapas semakin meningkat intensitasnya seiring berlalunya waktu. Langdon tahu, sebentar lagi dia akan mencapai apa yang disebut sebagai titik puncak penahanan napas - momen penting ketika seseorang tidak mampu lagi menahan napas secara sengaja.

Buka tutupnya! Insting Langdon adalah menggedor-gedor dan melawan. Tapi dia tahu, sebaiknya tidak menyia-nyiakan oksigen yang berharga. Yang bisa dilakukannya hanyalah menata melalui kekaburan air di atasnya dan berharap. Dunia luar kini hanya berupa petak buram cahaya di atas jendela Plexiglas. Otot-otot pusatnya sudah mulai terbakar, dan dia tahu hipoksia sedang berlangsung.

Mendadak sebuah wajah pucat cantik muncul, menunduk memandangnya. Itu Katherine. Melalui selubung cairan, raut wajah lembutnya nyaris menyerupai malaikat. Mata mereka bertemu lewat jendela Plexiglas, dan sejenak Langdon mengira dirinya selamat. Katherine! Lalu dia mendengar teriakan ketakutan dan menyadari bahwa Katherine dibawa ke sana oleh penangkapnya. Monster bertato itu memaksa perempuan itu untuk menyaksikan apa yang akan terjadi.

Katherine, maaf....

Di dalam tempat gelap aneh ini, terperangkap di bawah air, Langdon berjuang untuk memahami bahwa ini akan menjadi detik-detik terakhir kehidupannya. Dengan segera dirinya tidak akan ada lagi... semua yang adalah dirinya... atau pernah menjadi dirinya... atau akan menjadi dirinya ... berakhir. Ketika otaknya mati, semua kenangan yang tersimpan di dalam materi kelabu itu, bersama-sama dengan semua pengetahuan yang didapatnya, akan menguap begitu saja dalam banjir reaksi-reaksi kimia.

Saat inilah Robert Langdon menyadari betapa tidak berarti dirinya di alam semesta. Sebuah perasaan sepi dan hina yang belum pernah dialaminya. Dia nyaris bersyukur ketika merasakan tibanya titik puncak penahanan-napas.

Saat itu kini dialaminya.

Paru-paru Langdon mendesakkan isinya yang sudah habis, mendut dan dengan bersemangat bersiap-siap menghela napas. Langdon masih menahan napas sedetik lebih lama lagi.

Detik terakhirnya. Lalu, seperti manusia yang tidak lagi mampu mempertahankan tangan di atas kompor menyala, dia menyerahkan diri kepada takdir.

Refleks mengalahkan akal sehat.

Bibirnya terbuka.

Paru-parunya mengembang.

Dan cairan mengalir masuk.

Rasa sakit yang memenuhi dadanya lebih dahsyat daripada yang dibayangkan Langdon. Cairan itu membakar ketika mengalir ke dalam paru-paru. Rasa sakitnya langsung melesat naik ke dalam tengkorak kepalanya, dan dia merasa seakan kepalanya dihancurkan dengan penjepit. Terdengar gemuruh kencang di telinganya dan, di sepanjang semua peristiwa itu, Katherine Solomon berteriak.

Muncul kilau cahaya yang membutakan.

Lalu kegelapan.

Robert Langdon sudah tiada.

BAB 104

Sudah berakhir.

Katherine Solomon sudah berhenti berteriak. Peristiwa tenggelam yang baru saja disaksikannya telah mengejangkan ototnya, dan dia benar-benar lumpuh oleh keterkejutan dan keputusasaan.

Di balik jendela Plexiglas, mata tak bernyawa Langdon menatap ruang kosong di belakang Katherine. Raut wajahnya membeku menunjukkan kesakitan dan penyesalan. Gelembung-gelembung udara mungil terakhir keluar dari mulut tak bernyawanya. Lalu, seakan setuju untuk meninggalkan dunia ini, perlahan profesor Harvard itu mulai tenggelam ke dasar tangki di sana dia menghilang ke dalam bayang-bayang.

Dia sudah tiada. Katherine mengalami mati-rasa.

Lelaki bertato itu menjulurkan tangan ke bawah, dengan tegas dan kejam menutup jendela-intip kecil itu, menutup rapat mayat Langdon di dalamnya.

Lalu dia tersenyum kepada Katherine. "Ayo."

Sebelum Katherine bisa menjawab, lelaki itu mengangkat tubuh yang sedang berduka itu ke atas bahunya, mematikan lampu dan membopongnya keluar ruangan. Dengan beberapa langkah bertenaga, dia mengangkut Katherine ke ujung lorong, memasuki ruang besar yang tampaknya bermandikan cahaya ungu kemerahan. Ruangan itu beraroma seperti dupa. Dia membopong Katherine ke sebuah meja persegi empat di tengah ruangan. Ia menjatuhkannya tertelentang keras-keras, membuatnya kehabisan napas. Permukaan meja terasa kasar dan dingin. Apakah ini, batu?

Katherine baru saja menyadari posisinya ketika lelaki Itu melepaskan kawat dari pergelangan tangan dan kakinya. Secara insting, dia mencoba melawan lelaki itu, tapi lengan dan kakinya yang kram nyaris tidak memberikan respons. Kini lelaki itu mulai mengikat tubuh Katherine pada meja dengan menggunakan pita-pita kulit tebal. Dia mengencangkan sebuah pengikat melintasi kedua lutut Katherine, lalu mengencangkan pengikat kedua melintasi pinggul, menjepit kedua lengan perempuan itu di samping tubuh. Lalu dia memasang pengikat terakhir di atas tulang dada Katherine, persis di atas payudara.

Semua itu hanya perlu waktu sejenak, dan sekali lagi Katherine tidak bisa bergerak. Pergelangan tangan dan kakinya kini berdenyut-denyut ketika darah kembali mengaliri tungkai-tungkainya.

"Buka mulutmu," bisik lelaki itu, seraya menjilati bibirnya sendiri yang bertato. Katherine menggertakkan gigi dengan jijik.

Sekali lagi lelaki itu menjulurkan jari telunjuk dan menjalankannya perlahan-lahan di sekeliling bibir Katherine, membuat kulit perempuan itu merinding. Katherine menggertakkan gigi semakin kuat. Lelaki bertato itu tergelak dan, dengan menggunakan tangan yang satunya, dia menemukan titik-tekan di leher Katherine dan menekannya. Rahang Katherine langsung terbuka. Dia bisa merasakan jari lelaki itu memasuki mulutnya dan menelusuri lidahnya. Dia tersedak dan mencoba menggigit, tapi jari itu sudah pergi. Dengan masih menyeringai, lelaki itu mengangkat ujung jarinya yang basah ke depan mata Katherine. Lalu dia memejamkan mata dan, sekali lagi, menggosokkan air liur Katherine pada lingkaran daging telanjang di atas kepalanya.

Lelaki itu mendesah dan perlahan-lahan membuka mata. Lalu, dengan ketenangan yang mengerikan, dia berbalik dan meninggalkan ruangan.

Dalam keheningan mendadak itu, Katherine bisa merasakan jantungnya berdentam-dentam. Persis di atasnya, rangkaian-rangkaian lampu aneh tampak bermodulasi dari merah ungu menjadi merah tua gelap, menerangi langit-langit rendah ruangan. Ketika melihat langit-langit itu, Katherine hanya bisa menatap terpana. Setiap incinya ditutupi lukisan. Kolase membingungkan di atas Katherine itu tampaknya menggambarkan langit surga. Bintang-bintang, planet-planet, dan konstelasi-konstelasi dengan simbol-simbol astrologis, bagan-bagan, dan formula-formula. Ada panah-panah yang memprediksi orbit-orbit berbentuk simbol-simbol geometris yang menunjukkan sudut-sudut dan makhluk-makhluk dalam zodiak yang mengintip Katherine dari atas. Tampak seakan ada ilmuwan gila yang berkeliaran di Sistine.

Katherine menoleh, mengalihkan pandangan, tapi dinding di sebelah kirinya tidak lebih baik. Serangkaian lilin di atas langit Abad Pertengahan berdiri tegak, memancarkan kilau berpendar-pendar pada dinding yang benar-benar tersembunyi di balik berhalaman-halaman teks, foto, dan gambar. Beberapa halaman tampak seperti papirus atau kertas kulit yang dirobek dari buku-buku kuno; yang lainnya jelas berasal dari teks-teks yang lebih baru; bercampur dengan foto-foto, gambar-gambar, peta-peta, skema-skema; kesemuanya tampaknya direkatkan di dinding dengan sangat cermat. Tali-tali yang menyerupai sarang laba-laba itu dipakukan melintasi semua itu, saling menghubungkan mereka dalam kemungkinan-kemungkinan kacau yang tak terbatas.

Katherine kembali berpaling, menoleh ke arah lain.

Sayangnya, perbuatan ini memberikan pemandangan yang paling mengerikan dibandingkan dengan semuanya tadi.

Bersebelahan dengan lempeng batu tempat Katherine ikatkan, berdiri tegak sebuah meja-samping kecil yang langsung mengingatkannya pada meja instrumen di ruang operasi rumah sakit. Di atas meja itu diatur serangkaian benda - di antaranya alat suntik, wadah kecil berisi cairan warna gelap ... dan pisa besar dengan pegangan dari tulang dan sebilah pisau terbuat dari besi yang digosok sampai kekilapan tinggi yang tidak biasa.

Ya Tuhan ... apa yang hendak dilakukannya terhadapku?

BAB 105

Ketika spesialis keamanan sistem CIA Rick Parrish akhirnya melangkah ke dalam kantor Nola Kaye, dia membawa selembar kertas.

"Kenapa begitu lama?!" desak Nola. Kubilang datang sekarang!

"Maaf," kata lelaki itu, seraya mendorong kacamata tebal ke atas hidung panjangnya. "Aku mencoba mengumpulkan lebih banyak informasi untukmu, tapi-"

"Tunjukkan saja yang kau dapat."

Parrish menyerahkan hasil cetakan itu. "Teredaksi, tapi kau memahami intinya."

Nola meneliti halaman itu dengan takjub.

"Aku masih berusaha mencari tahu bagaimana seorang peretas bisa memperoleh akses," ujar Parrish, "tapi tampaknya sebuah delegator spider membajak salah satu mesin pencari-"

"Lupakan itu!" sergah Nola, seraya mendongak dari halaman itu. "Apa gerangan yang dilakukan CIA dengan arsip rahasia mengenai segala piramida, portal kuno, dan simbolon terukir?"

"Itulah yang membuatku begitu lama. Aku mencoba melihat dokumen apa yang menjadi sasaran, jadi aku menelusuri jalur arsipnya." Parrish terdiam, berdeham. "Dokumen ini ternyata berada di sebuah partisi yang ditujukan secara pribadi untuk... direktur CIA itu sendiri."

Nola berputar, menatap dengan terkejut. Atasan Sato punya arsip mengenai Piramida Mason? Dia tahu bahwa direktur yang sekarang, bersama-sama dengan banyak eksekutif puncak CIA lainnya, adalah anggota Mason tingkat tinggi. Tapi dia tidak bisa membayangkan salah seorang dari mereka menyimpan rahasia-rahasia Mason dalam sebuah komputer CIA.

Tapi sekali lagi, mengingat apa yang disaksikannya dalam dua puluh jam terakhir ini, segalanya memungkinkan.

Agen Simkins berbaring menelungkup, tersembunyi di balik semak-semak Franklin Square. Matanya tertuju ke pintu masuk bertiang Almas Temple. Tidak ada apa-apa. Tidak ada lampu yang menyala di dalam, dan tak seorang pun mendekati pintu. Ia berpaling dan mengecek Bellamy. Lelaki itu sedang mondar-mandir sendirian di tengah taman, tampak kedinginan. Benar-benar kedinginan. Simkins bisa melihatnya menggigil dan gemetaran.

Telepon bergetar. Dari Sato.

"Seberapa telat target kita?" tanya Sato.

Simkins menengok kronograf. "Sasaran mengatakan dua puluh menit. Sudah hampir empat puluh menit. Ada sesuatu yang keliru!"

"Dia tidak datang," ujar Sato. "Sudah berakhir."

Simkins tahu, Sato benar. "Ada kabar dari Hartmann?"

"Tidak, dia tidak pernah menelepon dari Kalorama Height. Aku tidak bisa menghubunginya."

Simkins mengejang. Jika ini benar, ada sesuatu yang benar-benar keliru.

"Aku baru saja menelepon tim pendukung lapangan," ujar Sato, "dan mereka juga tidak bisa menemukan Hartmann."

Sialan. "Mereka punya lokasi GPS Escalade itu?"

"Ya. Alamat rumah di Kalorama Heights,"jawab Sato. "Kumpulkan orang-orangmu. Kita pergi."

Sato mengakhiri hubungan telepon dan memandang garis-langkah megah ibu kota negaranya. Angin sedingin es melecut menembus jaket tipisnya, dan dia membelitkan kedua lengan pada tubuh agar tetap hangat. Direktur Inoue Sato bukan perempuan yang sering kedinginan... atau ketakutan. Akan tetapi, saat ini dia merasakan. dua-duanya.

BAB 106

Mal'akh hanya mengenakan cawat sutra ketika bergegas menaiki rampa, melewati pintu baja, dan keluar melalui lukisan ke dalam ruang tamu. Aku harus bersiap-siap dengan cepat. Dia melirik mayat agen CIA difoyer. Rumah ini tidak lagi aman.

Dengan membawa piramida batu di sebelah tangan, Mal'akh langsung melenggang menuju ruang kerja di lantai pertama dan duduk di depan laptop. Ketika melakukan log in, dia membayangkan Langdon di lantai bawah dan bertanya-tanya berapa hari, atau bahkan minggu, akan berlalu sebelum mayat tenggelam itu ditemukan di ruang bawah tanah rahasia. Tak ada bedanya. Saat itu, Mal'akh akan sudah lama pergi.

Langdon telah menjalankan peranannya... dengan brilian.

Dia bukan hanya menyatukan kembali bagian-bagian Piramida Mason, melainkan telah menemukan cara untuk memecahkan kode kisi simbol-simbol misterius di dasarnya. Sekilas pandang, simbol-simbol. itu tampak tak terpecahkan... akan tetapi jawabannya sederhana... tepat di depan mata.

Laptop Mal'akh menyala, layarnya menyajikan e-mail yang sama yang diterimanya tadi - foto batu-puncak berkilau,  sebagian terhalang oleh jari Warren Bellamy.

  The

  secret hides

  within The Order.

  Franklin Square.

Franklin Square... Delapan, ujar Katherine kepada Mal'akh. Perempuan itu juga mengakui adanya agen-agen CIA yang mengawasi Franklin Square, berharap bisa menangkap Mal'akh. Dia juga mengetahui ordo apa yang dirujuk oleh batu-puncak Mason? Shriner? Rosicrucian?

Mal'akh kini tahu, tak satu pun dari kesemua itu. Langdon melihat kebenarannya.

Sepuluh menit yang lalu, dengan cairan naik ke sekeliling wajahnya, profesor Harvard itu menemukan kunci untuk memecahkan piramida. "The Order Eight Franklin Square (Persegi-Empat Formasi-Delapan)!" teriaknya dengan mata ketakutan." Rahasia tersembunyi di dalam Persegi-Empat Franklin Formasi-Delapan.

Pertama-tama Mal'akh tidak bisa memahami artinya.

"Itu bukan alamat!" teriak Langdon dengan mulut ditekankan pada jendela Plexiglas. "Persegi-Empat Franklin Formasi-Delapan itu persegi empat ajaib!" Lalu dia mengatakan sesuatu mengenai Albrecht Durer... dan betapa kode pertama piramida merupakan petunjuk untuk memecahkan kode yang terakhir ini.

Mal'akh mengenal persegi empat ajaib - penganut mistik menyebutnya sebagai kamea. Teks kuno De Occulta Philosophia menjelaskan secara mendetail kekuatan mistis persegi empat ajaib dan metode-metode untuk merancang sigil yang luar biasa berdasarkan kisi ajaib angka-angka. Kini Langdon mengatakan kepadanya sebuah persegi empat ajaib menyimpan kunci untuk memecahkan kode di dasar piramida?

"Kau perlu persegi empat ajaib delapan-kali-delapan!" teriak profesor itu. Satu-satunya bagian tubuh Langdon yang berada di atas cairan hanyalah bibir. "Persegi empat ajaib dikategorikan berdasarkan formasi! Persegi empat tiga-kali-tiga disebut 'formasi-tiga'. Persegi empat empat-kali-empat disebut 'formasi-empat'! Kau perhatikan 'formasi delapan'!'

Cairan itu hampir menelan Langdon seluruhnya, dan profesor itu menghela napas terakhir dengan putus asa, lalu meneriakkan sesuatu mengenai seorang anggota Mason terkenal... bapak bangsa Amerika... ilmuwan, ahli mistik, ahli matematika, penemu... dan juga pencipta kamea yang membawa namanya sampai hari ini.

Franklin.

Seketika Mal'akh tahu bahwa Langdon benar.

Kini, dengan harapan meluap-luap, Mal'akh duduk di lantai alas bersama laptopnya. Dia menjalankan pencarian Web cepat, dan menerima lusinan hasil, memilih satu, dan mulai membaca.

PERSEGI-EMPAT FRANKLIN FORMASI-DELAPAN

Salah satu persegi empat ajaib yang paling terkenal dalam sejarah adalah persegi empat formasi-delapan yang dipublikasikan pada 1769 oleh ilmuwan Amerika Benjamin Franklin, dan yang menjadi terkenal karena menyertakan penjumlahan diagonal membengkok yang belum pernah ada sebelumnya. Obsesi Franklin terhadap bentuk seni mistis ini kemungkinan besar berasal dari hubungan-hubungan pribadinya dengan para alkemis dan mistik terkemuka seat itu, dan juga keyakinannya sendiri dalam astrologi, yang merupakan landasan bagi prediksi-prediksi yang dibuatnya dalam Poor Richard's Almanack.

Mal'akh mempelajari kreasi terkenal Franklin - susunan unik angka 1 sampai 64 - dengan penjumlahan setiap baris, kolom, dan diagonal menghasilkan konstanta ajaib yang sama. Rahasia tersembunyi dalam Persegi-Empat Franklin Formasi-Delapan.

Mal'akh tersenyum. Gemetar oleh kegembiraannya, ia meraih piramida batu dan membaliknya, meneliti dasarnya.

Keenam puluh empat simbol ini perlu disusun-ulang dan disusun dengan formasi yang berbeda, urutannya ditentukan oleh angka-angka dalam persegi empat ajaib Franklin. Walaupun Mal'akh tidak bisa membayangkan bagaimana kisi simbol-simbol yang kacau ini mendadak akan masuk akal dalam formasi yang berbeda, ia memiliki keyakinan terhadap janji kuno.

Ordo ab chao.

Dengan jantung berpacu, dia mengeluarkan selembar kertas dan dengan cepat menggambar kisi kosong delapan-kali-delapan. Lalu dia mulai memasukkan simbol-simbol, satu per satu, dalam posisi yang ditentukan ulang itu. Yang menakjubkannya, hampir seketika kisi itu mulai masuk akal.

Keteraturan dari kekacauan!

Dia menyelesaikan seluruh pemecahan kode dan menatap hasil di hadapannya dengan tidak percaya. Gambaran yang nyaris terbentuk. Kisi kacau-balau itu berubah... tersusun kembali... dan, walaupun Mal'akh tidak bisa memahami seluruh pesan, ia cukup paham... cukup paham untuk mengetahui dengan tepat kemana dia kini menuju.

Piramida itu menunjukkan jalan.

Kisi itu menunjuk ke salah satu lokasi mistis besar di dunia.

Yang mengagumkan, itu lokasi yang sama yang selalu dibayangkan Mal'akh sebagai tempat untuk melengkapi perjalanannya.

Takdir.

BAB 107

Meja batu itu terasa dingin di bawah punggung Katherine Solomon.

Bayangan mengerikan kematian Robert terus berputar di dalam benaknya, bersama-sama dengan semua pikiran mengenai kakaknya. Apakah Peter juga mati? Pisau aneh di meja di dekatnya terus membawa kilasan-kilasan gambar mengenai apa yang dialaminya juga.

Apakah ini benar-benar akhir dari segalanya?

Anehnya, semua pikiran Katherine langsung beralih pada riset-risetnya... pada ilmu Noetic... dan pada terobosan-terobosan baru terkininya. Semuanya hilang... berubah menjadi asap. Dia tidak akan pernah bisa menceritakan kepada dunia segala dipelajarinya. Temuannya yang paling mengejutkan baru saja terjadi beberapa bulan lalu, dan hasil-hasilnya berpotensi mendefinisikan kembali cara manusia memandang kematian. Agaknya, kini memikirkan eksperimen itu... memberinya penghiburan yang tak terduga.

Ketika masih muda, Katherine Solomon sering bertanya-tanya, adakah kehidupan setelah kematian. Adakah surga? Apa yang terjadi ketika kita mati? Ketika dia semakin dewasa, studi-studinya dalam ilmu pengetahuan segera menghapuskan segala gagasan tidak masuk akal mengenai surga, neraka, atau kehidupan di alam baka. Dia mulai menganggap konsep "kehidupan setelah kematian" sebagai gagasan manusia ... dongeng yang dirancang untuk memperlunak kebenaran mengerikan berupa kefanaan kita.

Atau begitulah yang kupercayai.

Setahun yang lalu, Katherine dan kakaknya mendiskusikan salah satu pertanyaan yang terus bertahan dalam filsafat, yakni keberadaan jiwa manusia, khususnya pertanyaan mengenai apakah manusia memiliki semacam kesadaran yang mampu bertahan di luar tubuh.

Mereka berdua merasa bahwa jiwa manusia yang semacam itu mungkin memang ada. Sebagian besar filsafat kuno mengiyakan. Kebijakan Buddha dan Brahmana mendukung metempsikosis � perpindahan jiwa ke dalam tubuh-baru setelah kematian; pengikut Plato mendefinisikan tubuh sebagai "penjara", dan dari sana, jiwa meloloskan diri; Stoa, sebuah kelompok filosof Yunani kuno, menyebut jiwa sebagai apospasma tou theu-"partikel Tuhan" dan percaya bahwa jiwa dipanggil kembali oleh Tuhan di saat kematian.

Dengan sedikit frustrasi, Katherine memperhatikan bahwa keberadaan jiwa manusia mungkin suatu konsep yang tidak akan pernah bisa dibuktikan secara ilmiah. Mengonfirmasi bahwa kesadaran bisa bertahan di luar tubuh manusia setelah kematian sama saja dengan mengembuskan segumpal asap dan berharap bisa menemukannya kembali bertahun-tahun kemudian.

Seusai diskusi mereka, Katherine mendapat gagasan aneh. Kakaknya menyebut Kitab Kejadian dan penjelasannya mengenai jiwa sebagai Neshemah - semacam "kecerdasan" spiritual yang terpisah dari tubuh. Terpikir oleh Katherine bahwa kata kecerdasan menunjukkan adanya pikiran. Ilmu Noetic jelas menyatakan bahwa pikiran punya massa, dan karenanya beralasan jika jiwa manusia kemungkinan juga punya massa.

Bisakah aku menimbang jiwa manusia?

Gagasan itu tentu saja mustahil ... bahkan konyol untuk di pikirkan.

Tiga hari kemudian, mendadak Katherine terbangun dari tidur nyenyak dan duduk tegak di tempat tidur. Dia melompat turun, pergi ke lab, dan langsung mulai bekerja, merancang sebuah eksperimen yang mengejutkan sederhananya ... tapi juga mengerikan beraninya.

Dia sama sekali tidak tahu apakah eksperimennya akan berhasil, dan dia memutuskan untuk tidak menceritakan gagasannya kepada Peter sampai pekerjaannya selesai. Perlu empat bulan, tapi akhirnya Katherine membawa kakaknya ke dalam lab, sambil mendorong sebuah peralatan besar yang disembunyikann ruang penyimpanan belakang.

"Aku merancang dan membangunnya sendiri," katanya, memperlihatkan penemuannya kepada Peter. "Bisa menebak?"

Kakaknya menatap mesin aneh itu. "Inkubator?"

Katherine tertawa dan menggeleng, walaupun itu tebakan yang masuk akal. Mesin itu memang sedikit menyerupai inkubator transparan untuk bayi prematur, seperti yang dilihat orang di rumah sakit. Akan tetapi, mesin ini berukuran dewasa - kapsul plastik bening panjang, kedap-udara, seperti semacam kapsul tidur futuristis. Mesin itu bertengger di atas sebuah peralatan elektronik besar.

"Aku ingin tahu apakah ini bisa membantumu menebak," kata Katherine, seraya mencolokkan peralatan itu ke sumber listrik.

Layar digital pada mesin menyala, semua angkanya berubah-ubah ketika dia mengalibrasi dengan cermat beberapa tombol.

Ketika Katherine sudah selesai, layarnya menunjukkan:

                       0,0000000000 kg

"Timbangan?" tanya Peter yang tampak kebingungan.

"Bukan sembarang timbangan." Katherine mengambil secarik kertas kecil dari meja di dekat situ dan meletakkannya dengan lembut di atas kapsul. Semua angka pada layar kembali berubah-ubah, lalu menunjukkan serangkaian angka baru.

                       0,0008194325 kg

"Timbangan-mikkro presisi-tinggi," jelas Katherine. "Resolusinya sampai beberapa mikrogram."

Peter masih tampak bingung. "Kau membuat timbangan yang tepat untuk... seseorang?"

"Tepat sekali," Katherine mengangkat tutup transparan pada mesin. Jika aku meletakkan seseorang ke dalam kapsul ini dan merapatkan tutupnya, individu itu akan berada di dalam sebuah sistem yang tertutup rapat seluruhnya. Tak ada yang masuk atau keluar.

Tak ada gas, cairan, partikel-partikel debu. Tak ada yang bisa lolos - bahkan embusan-embusan napas, keringat yang menguap, cairan-cairan tubuh. Tidak ada."

Peter menyisir rambut perak tebalnya dengan tangan, tindakan gugup aneh yang juga dilakukan oleh Katherine. "Hmm... jelas seseorang akan mati dengan cepat di dalam sana."

Katherine mengangguk. "Kira-kira enam menit, tergantung kecepatan bernapasnya."

Peter menoleh kepadanya. "Aku tidak mengerti."

Katherine tersenyum. "Kau akan mengerti."

Dia meninggalkan mesin itu dan menuntun Peter ke dalam ruang kontrol Kubus, lalu mendudukkan kakaknya di hadapan layar plasma. Dia mulai mengetik dan mengakses serangkaian arsip video yang disimpan pada drive-drive holografis. Ketika layar plasma itu berpendar menyala, gambar di hadapan mereka tampak seperti rekaman video amatir.

Kamera bergerak, menunjukkan kamar tidur sederhana dengan tempat tidur berantakan, botol-botol obat, respirator, dan monitor jantung. Peter tampak bingung ketika kamera terus bergerak dan akhirnya mengungkapkan, hampir di tengah kamar, peralatan timbangan Katherine.

Mata Peter membelalak. "Apa ...?"

Tutup transparan kapsul terbuka, dan seorang lelaki sangat renta yang mengenakan masker oksigen berbaring di dalamnya.

Istrinya yang sudah tua dan seorang pekerja rumah sakit berdiri di samping kapsul. Napas lelaki itu tersengal-sengal dan matanya terpejam.

"Lelaki di dalam kapsul adalah guru sainsku di Yale," jelas Katherine. "Aku dan dia tetap berhubungan selama bertahun-tahun. Dia sakit parah. Dia selalu berkata ingin menyumbangkan tubuhnya untuk ilmu pengetahuan. Jadi, ketika aku menjelaskan gagasanku untuk eksperimen ini, dia langsung ingin ikut ambil bagian di dalanmya."

Peter tampak membisu oleh keterkejutan ketika menatap adegan yang terpampang di hadapan mereka.

Pekerja rumah sakit itu kini menoleh kepada istri lelaki itu. "Sudah saatnya. Dia sudah siap."

Perempuan tua itu menepuk-nepuk mata basahnya dan mengangguk dengan tenang dan tabah. "Oke."

Perlahan-lahan pekerja rumah sakit menjulurkan tangan ke dalam kapsul dan melepas masker oksigen lelaki itu. Lelaki itu bergerak sedikit, tapi matanya tetap terpejam. Kini pekerja itu menyingkirkan respirator dan peralatan lainnya, meninggalkan lelaki tua di dalam kapsul terisolasi penuh di tengah ruangan.

Istri lelaki sekarat itu kini mendekati kapsul, membungkuk dan dengan lembut mencium kening suaminya. Lelaki tua tidak membuka mata, tapi bibirnya bergerak, sedikit sekali, membentuk senyuman lemah penuh cinta.

Tanpa masker oksigennya, napas lelaki tua itu dengan cepat menjadi semakin tersengal-sengal. Ajalnya jelas sudah dekat.

Dengan kekuatan dan ketenangan yang mengagumkan, istri laki-laki itu perlahan-lahan meletakkan tutup transparan kapsul dan menutupnya rapat-rapat, persis seperti yang diajarkan Katherine.

Peter terenyak ketakutan. "Katherine, demi Tuhan?!"

"Tidak apa-apa," bisik Katherine. "Ada banyak udara di dalam kapsul." Dia sudah melihat video ini lusinan kali, tapi video itu masih membuat denyut nadinya berpacu. Dia menunjuk timbangan di bawah kapsul tertutup lelaki sekarat itu. Angka-angka digitalnya menunjukkan:

                          51,4534644 kg

"Itu bobot tubuhnya," ujar Katherine.

Napas lelaki itu menjadi semakin tersengal-sengal, dan Peter beringsut maju, terpesona.

"Inilah yang diinginkannya," bisik Katherine. "Perhatikan apa yang terjadi."

Istri lelaki itu sudah melangkah mundur dan kini duduk di tempat tidur, menyaksikan diam-diam bersama pekerja rumah sakit.

Selama enam puluh detik selanjutnya, napas pendek lelaki itu semakin memburu, sampai mendadak, seakan lelaki itu sendiri yang menentukan saatnya, dia menghela napas terakhir. Semuanya berhenti.

Sudah berakhir.

Istri dan pekerja rumah sakit itu saling menghibur tanpa bersuara.

Tidak terjadi apa-apa lagi.

Setelah beberapa detik, Peter melirik Katherine dengan pandangan yang jelas menunjukkan kebingungan.

Tunggu, pikir Katherine, seraya mengarahkan kembali pandangan Peter ke layar digital kapsul yang masih berkilau tenang, memperlihatkan bobot lelaki tak bernyawa itu.

Lalu, terjadilah hal itu.

Ketika melihatnya, Peter tersentak ke belakang, nyaris terkatuh dari kursi. "Tapi ... itu..." Dia menutupi mulutnya dengan terkejut. "Aku tidak bisa..."

Peter Solomon yang agung jarang kehabisan kata-kata. Katherine bereaksi serupa ketika melihat apa yang terjadi untuk pertama kalinya.

Beberapa saat setelah kematian lelaki itu, angka-angka pada timbangan mendadak berkurang. Lelaki itu langsung menjadi lebih ringan setelah kematiannya. Perubahan bobotnya kecil sekali, tapi bisa diukur... dan implikasi-implikasinya benar-benar membingungkan.

Katherine ingat dirinya menulis dalam buku catatan lab dengan tangan gemetar: "Tampaknya ada 'materi' tak terlihat yang keluar dari tubuh manusia pada saat kematiannya. Materi itu punya bobot yang bisa dikuantifikasi, dan tak terhalang oleh penghang-penghalang fisik. Harus kuasumsikan bahwa materi itu bergerak dalam suatu dimensi yang belum bisa kuketahui."

Dari ekspresi keterkejutan di wajah Peter, Katherine tahu kakaknya itu memahami implikasi-implikasinya. "Katherine..." ujar Peter terbata-bata, seraya mengerjap-ngerjapkan mata kelabunya, seakan untuk memastikan dia tidak sedang bermimpi. "Kurasa, kau baru saja menimbang jiwa manusia."

Muncul keheningan panjang di antara mereka.

Katherine merasa bahwa kakaknya berupaya mencerna segala konsekuensi-konsekuensinya yang nyata dan mengagumkan. Akan perlu waktu. Seandainya apa yang baru saja mereka saksikan memang seperti apa yang tampak - yaitu, bukti bahwa jiwa - kesadaran atau daya-hidup bisa bergerak di luar ranah tubuh - maka pemahaman baru yang mengejutkan baru saja diperoleh. Ini menyangkut berbagai pertanyaan mistis: perpindahan, kesadaran kosmis, pengalaman hampir-mati, proyeksi astral, remote view, lucid dreaming, dan seterusnya dan seterusnya. Jurnal-jurnal medis dipenuhi cerita mengenai pasien-pasien yang mati di meja operasi, melihat tubuh mereka dari atas, lalu dibawa kembali pada kehidupan.

Peter terdiam, dan kini Katherine melihat air menggenangi matanya. Dia mengerti. Waktu itu, dia juga menangis. Peter dan Katherine telah kehilangan orang-orang tercinta. Dan, bagi siapa pun yang pernah mengalaminya, petunjuk terkecil mengenai roh manusia yang terus bertahan setelah kematian akan membawa secercah harapan.

Dia memikirkan Zachary, pikir Katherine, yang memahami kesedihan mendalam di mata kakaknya. Selama bertahun-tahun Peter membawa beban tanggung jawab atas kernatian putranya. Peter berkali-kali menyatakan kepada Katherine bahwa meninggalkan Zachary di penjara adalah kesalahan terburuk dalam hidupnya, dan dia tidak akan pernah menemukan cara untak memaafkan dirinya sendiri.

Pintu yang terbanting menarik perhatian Katherine, dan mendadak dia kembali ke ruang bawah tanah, berbaring di atas meja batu dingin. Pintu logam di atas rampa menutup dengan keras, dan lelaki bertato itu kembali turun. Katherine bisa mendengarkannya memasuki salah satu ruangan di lorong, melakukan sesuatu di dalam, lalu menyusuri lorong menuju ruangan tempat Katherine berada. Ketika lelaki itu masuk, Katherine bisa melihat bahwa dia sedang mendorong sesuatu yang berada di depannya. Sesuatu yang berat... di atas roda-roda. Ketika lelaki itu melangkah ke dalam cahaya, Katherine menatap dengan tidak percaya. Lelaki bertato itu sedang mendorong seseorang yang berada di kursi roda. Secara intelektual, otak Katherine mengenali lelaki di kursi.

Secara emosional, benaknya nyaris tidak bisa menerima apa yang sedang dilihatnya.

Peter?

Dia tidak tahu apakah harus kegirangan karena kakaknya masih hidup... atau benar-benar ketakutan. Tubuh Peter tercukur halus. Rambut perak tebalnya lenyap, begitu juga sepasang alisnya, dan kulit halusnya berkilau seakan diminyaki. Dia mengenakan gaun sutra hitam. Di tempat tangan kanannya seharusnya berada, dia hanya punya bonggol yang dibalut perban bersih baru. Mata sarat-kesakitan kakaknya memandangnya, penuh penyesalan dan penderitaan.

"Peter!" Suara Katherine pecah.

Kakaknya mencoba bicara, tapi hanya mengeluarkan suara-suara tenggorokan yang teredam. Kini Katherine menyadari bahwa Peter terikat di kursi roda dan mulutnya disumpal.

Lelaki bertato itu menjulurkan tangan ke bawah dan dengan lembut mengelus-elus kulit kepala plontos Peter. "Aku sudah menyiapkan kakakmu untuk kehormatan besar. Dia punya peranan yang harus dimainkan-nya malam ini."

Seluruh tubuh Katherine mengejang. Tidak.....

"Sebentar lagi aku dan Peter akan pergi, tapi kurasa kau ingin mengucapkan selamat tinggal."

"Ke mana kau membawanya?" tanya Katherine lemah.

Lelaki itu tersenyurn. "Aku dan Peter harus melakukan perjalanan ke gunung suci. Di situlah tempat harta karun itu berada. Piramida Mason telah mengungkapkan lokasinya. Temanmu Robert Langdonlah yang paling membantu."

Katherine memandang ke dalam mata kakaknya. "Dia membunuh ... Robert."

Raut wajah kakaknya mengernyit dalam penderitaan, dan menggeleng keras-keras, seakan tidak mampu mendengar banyak hal yang menyakitkan lagi.

"Nah, nah, Peter," ujar lelaki itu, seraya kembali mengelus kulit kepala Peter. "Jangan biarkan ini merusak momentnya. Ucapkan selamat tinggal kepada adik perempuanmu. Ini reuni keluarga terakhirmu."

Katherine merasakan benaknya dipenuhi keputusasaan. "Mengapa kau berbuat seperti ini?!" teriaknya kepada lelaki itu. Apa yang pernah kami lakukan terhadapmu?! Mengapa kau begitu membenci keluargaku?!"

Lelaki bertato itu mendekat dan meletakkan mulutnya persis di samping telinga Katherine. "Aku punya alasan-alasanku, Katherine." Lalu dia berjalan menuju meja-samping dan memungut pisau aneh itu. Dia membawanya mendekat Katherine, dan menyentuhkan bilah yang terasah tajam itu ke pipinya "Tak diragukan lagi, ini pisau paling terkenal dalam sejarah."

Katherine tidak mengenal pisau terkenal apa pun, tapi pisau itu tampak kuno dan mengancam. Bilahnya terasa setajam silet.

"Jangan khawatir," ujar lelaki itu. " Aku tidak bermaksud menyia-nyiakan kekuatannya untukmu. Aku menyimpannya untuk pengorbanan yang lebih berharga... di tempat yang lebih suci." Dia berpaling kepada kakak Katherine. "Peter, kau mengenali pisau ini, bukan?"

Mata kakak Katherine membelalak ketakutan sekaligus tidak percaya.

"Ya, Peter, artefak kuno ini masih ada. Aku memperolehnya dengan susah payah... dan aku menyimpannya untukmu. Akhirnya, aku dan kau bisa mengakhiri perjalanan menyakitkan kita bersama-sama."

Diiringi perkataan itu, dia membungkus pisau dengan hati-hati, dengan kain bersama -sama semua barang lainnya - dupa, botol-botol kecil berisi cairan, kain-kain satin putih, dan benda-benda seremonfal lainnya. Lalu dia memasukkan barang-barang terbungkus itu ke dalam tas kulit Robert Langdon bersama-sama dengan Piramida Mason dan batu-puncak. Katherine menyaksikan dengan tidak berdaya ketika lelaki itu menutup tas bahu Langdon dan berpaling kepada kakaknya.

"Maukah kau membawakannya, Peter?" Lelaki itu meletakkan tas berat itu di atas pangkuan Peter.

Selanjutnya, lelaki itu berjalan ke sebuah laci dan mulai menggeledah isinya. Katherine bisa mendengar denting benda-benda logam kecil. Ketika kembali, lelaki itu meraih lengan kanan Katherine, lalu menenangkannya. Katherine tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukan oleh lelaki itu, tapi tampaknya Peter bisa, dan sekali lagi dia mulai bergerak-gerak panik.

Katherine merasakan cubitan tajam mendadak di lengkung siku kanannya, lalu kehangatan yang mengerikan terasa di sekelilingnya. Peter menciptakan suara-suara tercekik putus asa dan mencoba dengan sia-sia untuk meninggalkan kursi berat itu. Katherine merasakan dinginnya perasaan mati-rasa yang menyebar ke seluruh lengan bawah dan ujung-ujung jari tangannya.

Ketika lelaki itu melangkah minggir, Katherine bisa melihat mengapa kakaknya begitu ketakutan. Lelaki bertato itu telah menyisipkan jarum medis ke dalam nadinya, seakan Katherine sedang menyumbang darah, Akan tetapi, jarum itu tidak melekat pada sebuah tabung. Darah Katherine kini mengalir keluar dengan bebas ... mengaliri siku, lengan bawah, dan meja batu.

"Jam-pasir manusia," ujar lelaki itu, seraya berpaling kepada Peter. "Sebentar lagi, ketika aku memintamu untuk memainkan perananmu, aku ingin kau membayangkan Katherine ... mati sendirian di sini dalam kegelapan."

Raut wajah Peter benar-benar penuh penderitaan.

"Dia akan tetap hidup," ujar lelaki itu, "selama kira-kira satu jam. Jika kau cepat-cepat bekerja sama denganku, aku akan punya cukup waktu untuk menyelamatkannya. Tentunya, jika kau sedikit saja menentangku... adikmu akan mati di sini sendirian dalam kegelapan."

Peter meraung melalui sumpalnya tanpa bisa dipahami.

"Aku tahu, aku tahu," ujar lelaki bertato itu, seraya meletakan tangan di bahu Peter, "Ini sulit buatmu. Tapi, seharusnya tidak. Bagaimanapun, ini bukan pertama kalinya kau meninggalkan seorang anggota keluarga." Dia terdiam, membungkuk, dan berbicara di telinga Peter. "Tentu saja maksudku adalah putramu, Zachary, di Penjara Soganlik."

Peter menarik tali-tali pengikatnya dan mengeluarkan teriakan teredam lain melalui kain di mulutnya.

"Hentikan!" teriak Katherine.

"Aku mengingat malam itu dengan baik," ejek lelaki itu, ketika selesai berbenah. "Aku mendengar seluruhnya. Kepala penjara menawarkan pembebasan putramu, tapi kau memilih untuk memberi Zachary pelajaran... dengan meninggalkannya. Anak laki-lakimu memang telah belajar, bukan?" Lelaki itu tersenyum, "Kepergiannya... adalah keuntunganku."

Kini lelaki itu mengeluarkan kain linen dan memasukkannya dalam-dalam ke mulut Katherine. "Kematian," bisiknya, "seharusnya berlangsung dengan tenang."

Peter meronta-ronta hebat. Tanpa sepatah kata pun lagi, lelaki bertato itu perlahan-lahan mengeluarkan kursi roda Peter dari ruangan, memberi Peter kesempatan untuk berlama-lama memandang adiknya untuk terakhir kalinya.

Katherine dan kakaknya saling bertatapan untuk terakhir kalinya.

Lalu Peter menghilang.

Katherine bisa mendengar mereka menaiki rampa dan melewatu pintu logam. Ketika mereka keluar, Katherine mendengar lelaki bertato itu mengunci pinta logam di belakangnya dan melanjutkan perjalanan melalui lukisan The Three Graces. Beberapa menit kemudian, Katherine mendengar mesin mobil dinyalakan.

Lalu gedung itu sunyi.

Sendirian dalam kegelapan, Katherine tergeletak berdarah.

BAB 108

Pikiran Robert Langdon melayang di dalam lubang tak berdasar.

Tak ada cahaya. Tak ada suara. Tak ada perasaan.

Hanya kekosongan sunyi yang tak terhingga.

Kelembutan.

Tanpa bobot.

Tubuhnya telah melepaskan dirinya. Dia bebas.

Dunia fisik sudah tidak ada lagi. Waktu sudah tidak ada lagi.

Kini dia adalah kesadaran murni kesadaran tanpa-tubuh yang melayang dalam kekosongan alam semesta luas.

BAB 109

Helikopter UH-60 termodifikasi melayang rendah di atas puncak-puncak atap luas Kalorama Heights, bergemuruh melintasi koordinat-koordinat yang diberikan kepada mereka oleh tim pendukung. Agen Simkins adalah yang pertama melihat Escalate hitam itu terparkir serampangan di halaman depan salah satu mansion. Gerbang jalan masuknya tertutup, rumahnya gelap sepi.

Sato memberi isyarat untuk mendarat.

Helikopter itu mendarat keras di halaman depan, di antara beberapa kendaraan lainnya ... salah satunya kendaraan petugas keamanan dengan lampu bulat di atasnya.

Simkins dan timnya melompat keluar, mengeluarkan senjata dan bergegas menuju beranda. Ketika menemukan pintu depan dalam keadaan terkunci, Simkins menangkupkan kedua tangannya di jendela dan mengintip ke dalam. Foyer gelap, tapi Simkins bisa melihat bayang-bayang samar sesosok tubuh di lantai.

"Sialan," bisiknya. "Itu Hartmann."

Salah satu agennya meraih kursi dari beranda dan melemparkannya ke jendela menonjol itu. Suara kaca pecah nyaris tak terdengar di tengah raungan helikopter di belakang mereka.

Beberapa detik kemudian, mereka semua sudah berada di dalam. Simkins bergegas menuju foyer dan berlutut di samping Hartmann untuk mengecek denyut nadinya. Tidak ada. Darah tampak di mana-mana. Lalu dia melihat obeng di leher Hartmann.

Yesus. Dia berdiri dan mengisyaratkan orang-orangnya untuk memulai penggeledahan menyeluruh.

Agen-agen itu menyebar melintasi lantai pertama, pembidik-laser mereka meneliti kegelapan rumah mewah itu. Mereka tidak menemukan apa-apa di ruang tamu atau ruang kerja. Tapi, yang mengejutkan, di ruang makan, mereka menemukan seorang petugas keamanan perempuan yang mati tercekik. Simkins langsung kehilangan harapan bisa menemukan Robert Langdon dan Katherine dalam keadaan hidup. Pembunuh brutal ini jelas telah memasang perangkap. Dan, jika dia berhasil membunuh seorang agen CIA dan seorang petugas keamanan bersenjata, tampaknya seorang profesor dan seorang ilmuwan tidak punya peluang.

Setelah lantai pertama aman, Simkins mengirim dua agen untuk meneliti lantai atas. Sementara itu, dia menemukan serangkaian tangga ruang bawah tanah di luar dapur dan menuruninya. Di bawah tangga, dia menyorotkan senter. Ruang bawah tanah itu luas dan bersih, seakan hampir tak pernah digunakan. Tangki uap, dinding-dinding semen, beberapa kotak. Sama sekali tidak ada apa-apa di sini. Simkins kembali naik menuju dapur persis ketika orang-orangnya turun dari lantai dua. Semuanya menggeleng-gelengkan kepala.

Rumah itu sepi.

Tak seorang pun di rumah. Dan tidak ada lagi mayat.

Simkins menghubungi Sato dengan radio, melaporkan bahwa semuanya aman dan memberitahukan perkembangan menyedihkan itu.

Ketika dia tiba di foyer, Sato sudah menaiki tangga menuju beranda. Warren Bellamy terlihat di belakangnya, duduk bingung sendirian di dalam helikopter bersama tas kerja titanium Sato di kakinya. Laptop berpengaman milik Direktur OS itu memberi Sato akses ke seluruh-dunia, ke dalam sistem-sistem komputer CIA melalui uplink-uplink tersandi dengan satelit. Sebelumnya tadi, dia menggunakan komputer ini untuk memberi Bellamy semacam informasi yang begitu mengejutkan, hingga lelaki itu bersedia bekerja sama sepenuhnya. Simkins sama sekali tidak tahu apa yang dilihat Bellamy. Tapi, apa pun itu, sang Arsitek tampak terguncang hebat setelahnya.

Ketika memasuki foyer, Sato berhenti sejenak, menunduk memandangi mayat Hartmann. Sejenak kemudian, dia mendongak menatap Simkins. "Tidak ada tanda-tanda Langdon Katherine? Atau Peter Solomon?"

Simkins menggeleng. "Jika masih hidup, lelaki itu membawa mereka bersamanya."

"Kau menemukan komputer di rumah itu?"

"Ya, Ma'am. Di kantor."

"Tunjukkan."

Simkins menuntun Sato keluar dari foyer dan memasuki ruang tamu. Karpet mewah ruangan dipenuhi oleh pecahan kaca dari jendela menonjol yang pecah. Mereka berjalan melewati perapian, sebuah lukisan besar, dan beberapa rak buku menuju pusat kantor. Kantornya berpanel kayu, dengan meja antik dan mozaik komputer besar. Sato berjalan memutar ke belakang meja dan meneliti layar, lalu langsung memberengut.

"Keparat," ujarnya berbisik.

Simkins mengitari meja dan memandang layar. Kosong. "Ada apa?"

Sato menunjuk tempat penyimpanan komputer yang kosong di meja. "Dia memakai laptop. Dia membawa benda itu bersamanya."

Simkins tidak mengerti. "Anda ingin melihat informasi yang dimilikinya?"

"Tidak," jawab Sato dengan nada serius. "Aku tidak ingin seorang pun melihat informasi yang dimilikinya."

Di lantai bawah, di dalam ruang bawah tanah tersembunyi, Katherine Solomon mendengar suara baling-baling helikopter diikuti oleh kaca pecah dan langkah-langkah kaki bersepatu bot berat di lantai di atasnya. Dia mencoba berteriak minta tolong, tapi sumpal di mulutnya membuat hal itu mustahil. Dia nyaris tidak bisa mengeluarkan suara. Semakin keras dia berusaha, semakin cepat darah mengalir dari sikunya.

Dia merasa kehabisan napas dan sedikit pusing.

Katherine-tahu, dia harus menenangkan diri. Gunakan pikiranmu, Katherine. Dengan segenap tekad, dia membujuk dirinya sendri untuk memasuki keadaan meditatif.

Benak Robert Langdon melayang melewati kekosongan ruang. Dia mengintip ke dalam kekosongan tak terhingga itu, mencari titik referensi apa pun. Dia tidak menemukan apa-apa.

Kegelapan total. Keheningan total. Kedamaian total.

Bahkan, tidak ada tarikan gravitasi yang memberitahunya mana atas dan mana bawah.

Tubuhnya lenyap.

Ini pasti kematian.

Waktu tampaknya berubah singkat, memanjang dan memampat, seakan tidak punya pijakan di tempat ini. Langdon tidak tahu lagi seberapa lama waktu telah berlalu.

Sepuluh detik? Sepuluh menit? Sepuluh hari?

Akan tetapi, mendadak, bagaikan ledakan dahsyat di galaksi-galaksi yang jauh, ingatan-ingatan mulai mewujud, bergulung-gulung menghampiri Langdon seperti gelombang-kejut yang melintasi kehampaan luas.

Seketika Robert Langdon mulai ingat. Gambar-gambar menyergapnya... jelas dan mengganggu. Dia menatap sebuah wajah tertutup tato. Sepasang tangan kuat mengangkat kepalanya dan menumbukkannya ke lantai.

Rasa sakit menyeruak ... lalu kegelapan.

Cahaya kelabu.

Berdenyut-denyut.

Gumpalan-gumpalan ingatan. Langdon diseret, setengah sadar, turun, turun, turun. Penangkapnya merapalkan sesuatu.

Verbum significatium ... Verbum omnificum ... Verbum perdo ....

BAB 110

Direktur Sato berdiri sendirian di ruang kerja, menunggu divisi pencitraan-satelit CIA memproses permintaannya. Salah satu kemewahan bekerja di area DC adalah pengawasan satelit. Jika beruntung, salah satu satelit mungkin berada di posisi yang tepat malam ini untuk mendapatkan foto-foto rumah ini... mungkin memotret sebuah kendaraan yang meninggalkan tempat ini dalam setengah jam terakhir.

"Maaf, Ma'am," kata teknisi satelit. "Tidak ada hasil pengawaan di koordinat-koordinat itu malam ini. Anda ingin mengajukan permintaan reposisi?"

"Tidak, terima kasih. Sudah terlambat." Sato menutup telepon.

Perempuan itu mengembuskan napas, kini dia sama sekali tidak tahu bagaimana cara menemukan ke mana sasaran mereka pergi. Dia berjalan menuju foyer. Di sana, orang-orangnya sudah memasukkan mayat Agen Hartmann ke dalam kantong dan sedang membawanya menuju helikopter. Sato sudah memerintahkan Agen Simkins untuk mengumpulkan orang-orangnya dan bersiap-siap kembali ke Langley, tapi Simkins sedang berada di ruang tamu, dalam posisi merangkak. Dia tampak seakan sedang sakit.

"Kau baik-baik saja?"

Simkins mendongak dengan ekspresi wajah aneh. "Anda melihatnya?" Dia menunjuk lantai ruang tamu.

Sato mendekat dan menunduk memandangi karpet mewah itu. Dia menggeleng, tidak melihat apa-apa.

"Bongkoklah," ujar Simkins. "Lihat bulu-bulu karpetnya."

Sato melakukannya. Setelah beberapa saat, dia melihatnya. Serat-serat karpet tampak seakan telah tergilas... melesak di sepanjang dua garis lurus, seakan roda-roda dari suatu benda  berat telah digelindingkan melintasi ruangan.

"Yang aneh," ujar Simkins, "adalah ke mana jejak-jejak itu pergi." Dia menunjuk.

Pandangan Sato mengikuti garis-garis paralel tersamar di sepanjang karpet ruang tamu. Jejak-jejak itu tampaknya menghilang di bawah sebuah lukisan besar - dari lantai sampai langit-langit - yang tergantung di samping perapian. Apa ini?

Simkins berjalan menuju lukisan itu dan mencoba menurunkannya dari dinding. Benda itu tidak bergerak. "Melekat," katanya, seraya menelusurkan jari-jari tangannya mengelilingi pinggiran lukisan. "Tunggu, ada sesuatu di bawahnya...." jarinya menumbuk tuas kecil di pinggiran bawah, dan sesuatu berbunyi klik.

Sato melangkah maju ketika Simkins mendorong bingkai lukisan itu, dan seluruh lukisan berputar pelan pada porosnya bagaikan pintu-putar.

Simkins mengangkat senter dan menyorotkannya ke dalam ruang gelap di baliknya.

Mata Sato menyipit. Ini dia.

Di ujung koridor pendek, berdirilah sebuah pintu logam tebal.

Semua ingatan yang bergulung-gulung melewati kegelapan benak Langdon datang dan pergi. Dalam kepergian mereka, jejak kilau merah darah berpusar-pusar, bersama-sama dengan bisikan mengerikan yang sama di kejauhan.

Verbum significatium ... Verbum Omnificum ... Verbum perdo.

Perapalan itu berlanjut seperti dengung suara-suara yang menyanyikan kidung Alkitab Abad Pertengahan.

Verbum significatium ... Verbum omnificum. Kata-kata itu kini berjatuhan melewati kekosongan hampa. Di sekeliling Langdon, suara-suara baru menggema.

Apocalypsis ... Franklin ... Apocalypsis ... Verbum ... Apocalypsis

Tanpa disertai peringatan, sebuah lonceng kedukaan berdentang di suatu tempat di kejauhan. Lonceng itu berdentang dan berdentang semakin keras. Kini lonceng itu berdentang makin mendesak, seakan berharap Langdon akan mengerti, akan mendesak pikiran Langdon untuk mengikuti.

BAB 111

Lonceng yang berdentang di menara lonceng berbunyi selama tiga menit penuh, menggetarkan lampu kristal yang tergantung di atas kepala Langdon. Berdekade-dekade lalu, dia sering menghadiri ceramah di gedung pertemuan terkenal ini di Phillips Exeter Academy. Akan tetapi, hari ini dia berada di sana untuk mendengarkan ceramah seorang sahabat kepada badan mahasiswa. Ketika lampu-lampu diredupkan, Langdon duduk di dekat dinding belakang, di bawah sekumpulan foto pemimpin akademi.

Keheningan menyebar di antara kerumunan itu.

Di dalam kegelapan total, sesosok bayangan tinggi melintasi panggung dan berdiri di podium. "Selamat pagi," bisik suara tak berwajah itu ke dalam mikrofon.

Semua orang berdiri, berusaha melihat siapa yang menyapa mereka.

Sebuah proyektor slide menyala, menunjukkan foto hitam putih pudar - kastil dramatis dengan facade dari batu pasir merah, menara-menara persegi empat tinggi, dan hiasan-hiasan Gothik.

Bayangan itu kembali bicara. "Siapa yang tahu di mana ini?"

"Inggris!" ujar seorang gadis dalam kegelapan. "Facade ini merupakan campuran antara Gothik awal dan Romanesque akhir, berarti ini kastil Norman asli di Inggris sekitar abad ke-12."

"Wow," jawab suara tak berwajah itu. "Rupanya, ada yang benar-benar menguasai kuliah arsitektur."

Erangan pelan terdengar di mana-mana.

"Sayangnya," imbuh bayangan itu, "kau keliru sejauh empat ribu delapan ratus kilometer dan setengah milenium."

Ruangan riuh.

Kini proyektor menyajikan foto berwarna modern kastil yang sama itu dari sudut yang berbeda. Menara-menara batu pasir Seneca Creek kastil mendominasi bagian depan, tapi di latarbelakang yang mengejutkan dekatnya itu, berdirilah kubah megah, putih berpilar, Gedung Capitol AS.

"Tunggu!" teriak gadis itu. "Ada kastil Norman di DC?"

"Semenjak 1855," jawab suara itu. "Dan saat itulah foto ikutnya ini diambil."

Muncul slide baru-foto hitam-putih interior, menunjuk ruang utama besar berbentuk kubah, dihiasi kerangka-kerangka hewan, lemari-lemari pajang ilmiah, wadah-wadah kaca berisi sampel biologis, artefak-artefak arkeologis, dan cetakan-cetakan plastik reptil prasejarah.

"Kastil menakjubkan ini," ujar suara itu, "adalah museum pengetahuan pertama Amerika yang sesungguhnya. Itu untuk Amerika dari seorang ilmuwan Inggris kaya, yaitu bapak bangsa kita - percaya bahwa negara kita yang saat itu bayi bisa menjadi tanah pencerahan. Dia menganugerahkan kekayaan besar kepada bapak bangsa kita, dan meminta mereka mendirikan sebuah institusi untuk peningkatan dan penyebaran ilmu pengetahuan di poros bangsa kita." Dia terdiam untuk waktu lama. "Siapa yang bisa menyebut nama ilmuwan murah hati ini?'

Sebuah suara pelan di bagian depan berkata, "James Smithson?"

Bisikan yang mengungkapkan pemahaman riuh terdengar antara kerumunan.

"Memang Smithson," jawab lelaki di atas panggung. Peter Solomon kini melangkah ke dalam cahaya, mata kelabunya berkilau jenaka. "Selamat pagi. Namaku Peter Solomon, dan aku sekretaris Smithsonian Institute."

Para mahasiswa bertepuk tangan meriah.

Di dalam bayang-bayang, Langdon menyaksikan dengan kagum ketika Peter memukau benak-benak muda itu dengan fotografis sejarah awal Smithsonian Institute. Pertunjukkan dimulai dengan Kastil Smithsonian, lab-lab ilmu pengetahuan bawah tanah, koridor-koridor yang didereti barang koleksi, ruangan penuh moluska, para ilmuwan yang menyebut diri mereka sebagai "kurator crustacean (hewan berkulit keras)", dan bahkan foto kuno dua penghuni kastil yang paling populer - sepasang burung hantu bernama Diffusion (Penyebaran) dan Increase (Peningkatan) yang kini sudah mati. Pertunjukan slide setengah-jam itu berakhir dengan foto satelit mengesankan National Mall yang kini didereti museum-museum Smithsonian besar.

"Seperti yang kukatakan pada saat permulaan," ujar Solomon menyimpulkan, "James Smithson dan bapak bangsa kita membayangkan negara besar kita sebagai tanah pencerahan. Aku yakin, mereka kini akan merasa bangga. Smithsonian Institute agung mereka berdiri sebagai simbol ilmu pengetahuan dan pemahaman, persis di poros Amerika. Itu penghormatan yang hidup, bernapas, dan bekerja mewujudkan mimpi bapak bangsa kita untuk Amerika-negara yang didirikan berdasarkan prinsip pemahaman, kebijakan, dan ilmu pengetahuan."

Solomon mematikan proyektor diiringi tepuk tangan riuh bersemangat. Lampu-lampu ruangan menyala, bersama-sama dengan lusinan tangan yang teracung bertanya.

Solomon menyilakan seorang anak laki-laki berambut merah di bagian tengah.

"Mr. Solomon?" sapa anak laki-laki itu, yang kedengaran bingung. "Anda mengatakan bapak bangsa kita melepaskan diri dari tekanan keagamaan Eropa untuk mendirikan negara berdasarkan prinsip-prinsip, kemajuan ilmu pengetahuan."

"Itu benar."

"Tapi ... saya mendapat kesan bapak bangsa kita adalah orang orang yang sangat religius, yang mendirikan Amerika sebagai negara Kristen."

Solomon tersenyum. "Sobat, jangan salah mengerti, bapak bangsa kita sangat religius, tapi mereka Deist - orang-orang yang percaya kepada Tuhan, tapi dengan cara universal dan dengan pikiran terbuka. Satu-satunya ideal keagamaan yang mereka kemukakan adalah kebebasan beragama." Dia menarik mikrofon dari podium dan melenggang ke pinggir panggung. "Bapak bangsa Amerika punya visi utopia yang tercerahkan secara spiritual, di mana kebebasan berpikir,  pendidikan massa, dan kemajuan ilmiah akan menggantikan kegelapan takhayul keagamaan kuno."

Seorang gadis berambut pirang mengangkat tangan. "Ya?"

"Pak," kata gadis itu, seraya mengangkat ponsel. "Saya membaca riset Anda secara online, dan menurut Wikipedia, anda anggota terkemuka Persaudaraan Mason Bebas."

Solomon menunjukkan cincin Masonnya. "Aku bisa menghemat tagihan datamu."

Para mahasiswa tertawa.

"Ya, wah," lanjut gadis itu dengan ragu, "Anda baru saja menyebut 'takhayul keagamaan kuno' dan, tampaknya, jika seseorang bertanggung jawab mempropagandakan takhayul-takhayul ... orang itu adalah kaum Mason."

Solomon tidak tampak terkejut. "Oh? Kok, bisa?"

"Wah, saya banyak membaca tentang Mason, sehingga tahu kalau mereka punya banyak ritual dan kepercayaan kuno aneh. Artikel online ini bahkan mengatakan bahwa kaum Mason memercayai kekuatan semacam kebijakan ajaib kuno ... yang bisa mengangkat manusia ke ranah dewa-dewa?" Semua orang menoleh dan menatap gadis itu seakan dia gila.

"Sesungguhnya," jawab Solomon, "dia benar."

Semua mahasiswa berputar menghadap ke depan dengan membelalak.

Solomon menahan senyum dan bertanya kepada gadis itu, "Apakah artikel itu menawarkan kebijakan-Wiki lainnya mengenai pengetahuan ajaib ini?"

Kini gadis itu tampak tidak nyaman, tapi mulai membaca dari situs Web. "Untuk memastikan kebijakan luar biasa ini tidak bisa digunakan oleh mereka yang tidak layak, para ahli kuno menuliskan pengetahuan mereka dalam kode... menyelubungi kebenaran luar biasa ini dalam bahasa metaforis simbol, mitos, dan alegoris. Sampai saat ini, kebijakan tersandi ini berada di sekeliliiig kita... disandikan dalam mitologi, seni, dan teks-teks gaib selama berabad-abad. Sayangnya, manusia modern telah kehilangan kemampuan untuk memecahkan jaringan rumit simbolisme ini... dan kebenaran luar biasa itu telah hilang."

Solomon menunggu. "Hanya itu?"

Gadis itu beringsut di kursinya. "Sesungguhnya, masih ada sedikit lagi."

"Kuharap begitu. Harap... katakan."

Gadis itu tampak ragu, tapi berdeham dan melanjutkan. "Menurut legenda, orang-orang bijalk yang menyandikan Misteri Kuno pada zaman dahulu telah meninggalkan semacam kunci... kata-sandi yang bisa digunakan untuk memecahkan rahasia-rahasia tersandi. Kata-sandi ajaib ini - yang dikenal sebagai verbum significatium - dikatakan memiliki kekuatan untuk mengangkat kegelapan dan memecahkan Misteri Kuno, menyingkapkan misteri-misteri itu untuk pemahaman semua manusia."

Solomon tersenyum sedih. "Ah, ya ... verbum significatium."

Sejenak dia menatap kekosongan, lalu mengarahkan kembali pandangannya kepada gadis berambut pirang itu. "Dan di mana kata menakjubkan ini sekarang?"

Gadis itu tampak cemas, jelas berharap dirinya tidak menantang pembicara tamu mereka. Dia menyelesaikan pembacaannya. "Menurut legenda, verbum significatium  terkubur jauh di bawah tanah. Di sana, kata itu menunggu dengan sabar kedatangan momen penting dalam sejarah... momen ketika umat manusia tidak bisa lagi bertahan tanpa kebenaran, pengetahuan, dan kebijakan selama berabad-abad. Di persimpangan gelap ini, umat manusia pada akhirnya akan menggali Kata itu dan memasuki abad baru pencerahan yang menakjubkan."

Gadis itu mematikan ponsel dan duduk melorot di kursinya.

Setelah keheningan panjang, mahasiswa lain mengangkat tangan. "Mr. Solomon, Anda tidak sungguh-sungguh memercayai hal itu, bukan?"

Solomon tersenyum. "Mengapa tidak? Mitologi-mitologi kita punya tradisi panjang kata-kata ajaib yang memberi pemahaman dan kekuatan menyerupai tuhan. Sampal anak-anak masih meneriakkan 'abrakadabra' dengan harapan bisa menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Tentu saja, kita sudah lupa kalau kata ini bukan barang mainan; kata ini punya akar dalam mistisisme Aramaik - Avrah KaDabra - yang berbicara, 'Ketika bicara, aku menciptakan'."

Hening.

"Tapi, Pak," desak mahasiswa itu kini, "pasti Anda tidak percaya bahwa satu kata tanggal... verbum significatium ini... apapun itu... punya kekuatan untuk mengungkapkan kebijakan kuno dan mendatangkan pencerahan ke seluruh dunia?"

Wajah Peter Solomon tidak mengungkapkan apa-apa. "Sebenarnya kepercayaanku bukanlah urusanmu. Yang seharusnya menjadi urusanmu adalah, ramalan mengenai datangnya pencerahan yang digaungkan di dalam hampir semua tradisi keyakinan dan filsafat di dunia. Orang Hindu menyebutnya sebagai Abad Krita, para astrolog menyebutnya sebagai Abad Aquarius, orang Yahudi menjelaskan kedatangan Mesias, teosofis menyebutnya New Age, kosmolog menyebutnya sebagai Konvergensi Harmonik dan meramalkan tanggal terjadinya."

"Dua puluh satu Desember 2012!" teriak seseorang.

"Ya, menggelisahkan cepat-nya... jika kau memercayai matematika bangsa Maya."

Langdon tergelak, mengingat bagaimana Solomon, sepuluh tahun yang lalu, telah meramalkan dengan benar keriuhan proram-khusus televisi saat ini yang meramalkan 2012 sebagai Akhir Dunia.

"Dengan mengesampingkan waktunya," ujar Solomo, "bagiku menakjubkan ketika mengamati bahwa di sepanjang sejarah, semua filsafat umat manusia yang berbeda menyetujui satu hal - datangnya pencerahan yang luar biasa.  Di dalam semua kebudayaan, di dalam semua era, di semua penjuru dunia, mimpi manusia terpusat pada konsep yang persis sama � kedatangan apoteosis manusia... datangnya perubahan pikiran manusia menjadi kemampuan potensial sejatinya." Dia tersenyum. "Apa yang kemungkinan bisa menjelaskan sinkronitas kepercayaan semacam ini?"'

"Kebenaran," ujar sebuah suara pelan di dalam kerumunan.

Solomon berputar. "Siapa yang berkata begitu?"

Tangan yang teracung adalah milik seorang anak laki-laki Asia mungil, yang raut wajah lembutnya menyatakan bahwa dia mungkin orang Nepal atau Tibet. "Mungkin ada kebenaran universal yang tertanam di dalam jiwa semua orang. Mungkin kita semua punya cerita yang sama yang tersembunyi di dalam diri kita, bagaikan konstanta yang sama dalam DNA kita. Mungkin kebenaran kolektif ini bertanggung jawab atas kesamaan dalam semua cerita kita."

Wajah Solomon berseri-seri ketika dia menyatukan kedua tangannya dan membungkuk hormat kepada anak laki-laki itu. "Terima kasih."

Semuanya terdiam.

"Kebenaran," kata Solomon kepada seluruh ruangan. "Kebenaran punya kekuatan. Dan, jika kita semua tertarik pada gagasan-gagasan yang serupa, mungkin kita melakukannya karena gagasan-gagasan itu benar... tertulis jauh di dalam diri kita. Dan ketika mendengar kebenarannya, seandainya pun kita tidak memahaminya, kita merasa bahwa kebenaran itu bergaung di dalam diri kita ... bergetar bersama-sama dengan kebijakan yang tidak kita sadari. Mungkin kebenaran itu tidak dipelajari oleh kita, tapi di-panggil... di-ingat... di-kenali... sebagai sesuatu yang sudah ada di dalam kita."

Ruangan benar-benar hening.

Solomon membiarkan perkataannya mengendap untuk waktu yang lama, lalu berkata pelan, "Sebagai penutup, harus kuperingatkan bahwa mengungkapkan kebenaran itu tidak pernah mudah. Di sepanjang sejarah, semua periode pencerahan dibarengi oleh kegelapan, oleh munculnya perlawanan. Begitulah hukum alam dan keseimbangan. Dan jika saat ini kita melihat semakin berkembangnya kegelapan di dunia, harus kita sadari bahwa ini berarti terang yang setara sedang berkembang dan berada di tubir periode penerangan yang benar-benar luar dan kita semua - kalian semua - teramat sangat diberkahi karena akan menyaksikan momen penting dalam sejarah ini. Dari semua yang pernah hidup, di dalam semua era dalam sejarah sebentar lagi kita akan menyaksikan renaisans tertinggi kita. Setelah kegelapan, kita akan melihat semua ilmu pengetahuan, pikiran, dan bahkan agama kita, mengungkapkan kebenaran."

Solomon hendak mendapat tepuk tangan meriah ketika dia mengangkat kedua tangan, mengisyaratkan ketenangan. Dia menunjuk langsung gadis pendebat berambut pirang yang membawa ponsel. "Aku tahu, kau dan aku tidak menyetujui banyak hal, tapi aku ingin berterima kasih. Kegairahamnu merupakan katalisator penting dalam perubahan-perubahan yang akan datang. Kegelapan memangsa keapatisan... dan keyakinan adalah andalam terampuh kita. Tetaplah mempelajari keyakinan-mu. Pelajari Alkitab." Dia tersenyum. "Terutama halaman-halaman terakhir."

"Apocalypse (Hari Kiamat)?" tanya gadis itu.

"Tepat sekali. Kitab Wahyu adalah contoh nyata kebenaran bersama kita. Kitab terakhir dalam Alkitab itu mengisahkan cerita yang identik dengan cerita di dalam tradisi-tradisi lain yang terhitung jumlahnya. Semuanya meramalkan pengungkapan kebijakan luar biasa yang akan segera terjadi."

Seseorang berkata, "Tapi, bukankah Apocalypse menyangkal akhir dunia? Anda tahu, Antikristus, Armageddon, pertempuran terakhir antara kebaikan dan kejahatan?"

Solomon tergelak. "Siapa di sini yang mempelajari bahasa Yunani?"

Beberapa tangan teracung.

"Apa arti kata apocalypse secara harfiah?"

"Artinya," ujar seorang mahasiswa memulai, lalu terdiam seakan terkejut. "Apocalypse berarti 'membuka-selubung' atau 'mengungkapkan'."

Solomon mengangguk setuju. "Tepat sekali. Secara harfiah, Apocalypse berarti revealation (pengungkapan). The Book of Revealation (Kitab Wahyu) dalam Alkitab meramalkan pengungkapan kebenaran luar biasa dan kebijakan yang tak terbayangkan. Apocalypse bukan akhir dunia, tapi akhir dari dunia seperti yang selama ini kita kenal. Ramalan Apocalypse hanyalah salah satu pesan indah Alkitab yang terdistorsi." Solomon melangkah ke depan panggung. "Percayalah, Apocalypse akan datang... dan sama sekali tidak menyerupai apa yang diajarkan kepada kita."

Tinggi di atas kepala, lonceng mulai berdentang.

Para mahasiswa bertepuk tangan dengan riuh dan bingung.

BAB 112

Katherine Solomon berada di ambang kesadaran ketika dikagetkan oleh gelombang-kejut ledakan yang memekakkan telinga.

Beberapa saat kemudian, dia mencium bau asap.

Telinganya berdenging.

Terdengar suara-suara teredam. Di kejauhan. Teriakan. Langkah kaki. Mendadak dia bisa bernapas lebih lega. Kain itu telah ditarik dari mulutnya.

"Kau aman," bisik sebuah suara lelaki. "Bertahanlah."

Katherine mengharapkan lelaki itu menarik keluar jarum dilengan-nya, tapi dia malah meneriakkan perintah-perintah. "Bawa peralatan medis... lekatkan infus pada jarum itu... masukkan rutan laktat Ringer's lewat infus... bawakan aku pengukur tekanan darah." Ketika mulai mengecek tanda-tanda vital Katherine, lelaki itu berkata, "Miss Solomon, orang yang melakukan hal ini kepadamu... ke mana dia pergi?"

Katherine mencoba bicara, tapi tidak bisa.

"Miss Solomon?" ulang suara itu. "Ke mana dia pergi?"

Katherine mencoba membuka mata, tapi merasakan dirinya memudar.

"Kami harus tahu ke mana dia pergi," desak lelaki itu.

Katherine membisikkan dua kata sebagai jawaban, walaupun dia tahu kata-katanya tidak masuk akal. "Gunung ... suci."

Direktur Sato melangkah melintasi pintu baja hancur itu dan menuruni rampa kayu menuju ruang bawah tanah tersembunyi. Salah seorang agen menjumpainya di dasar rampa.

"Direktur, kurasa Anda ingin melihat ini."

Sato mengikuti agen itu ke dalam ruangan kecil di luar lorong sempit. Ruangan itu terang benderang dan kosong, hanya ada setumpuk pakaian di lantai. Sato mengenali jaket wol dan sepatu kulit santai Robert Langdon.

Agennya menunjuk dinding yang jauh, menunjuk sebuah wadah besar menyerupai peti mati.

Apa-apaan ini?

Sato berjalan menghampiri wadah itu, dan kini bisa melihat pipa plastik bening yang memanjang di dinding dan tersambung dengan wadah itu. Dengan waspada, dia mendekati tangki. Kini dia bisa melihat adanya jendela-geser kecil di bagian atasnya. Dia menjulurkan tangan dan menggeser penutup itu ke satu sisi, mengungkapkan jendela kecil seperti portal.

Sato terenyak.

Di balik Plexiglas... wajah kosong Profesor Langdon mengapung di bawah air.

Cahaya!

Kekosongan abadi tempat Langdon melayang-layang mendadak diisi oleh matahari yang membutakan. Berkas-berkas cahaya putih panas mengalir melintasi kegelapan ruang, membakar benaknya.

Cahaya itu ada di mana-mana.

Mendadak, di dalam awan bercahaya di hadapannya, sebuah siluet cantik muncul. Sebuah wajah... kabur dan tidak jelas... dua mata menatapnya melintasi kekosongan. Aliran cahaya mengelilingi wajah itu, dan Langdon bertanya-tanya apakah dia sedang memandang wajah Tuhan.

Sato memandang ke dalam tangki, bertanya-tanya apakah Profesor Langdon tahu apa yang terjadi. Dia meragukannya. Bagaimanapun, disorientasi adalah seluruh tujuan dari teknologi ini.

Tangki deprivasi-indra telah ada semenjak tahun lima puluhan dan masih merupakan pelarian populer bagi para pelaku eksperimen New Age kaya. "Mengapung", seperti sebutannya, menawarkan pengalaman kembali ke-dalam rahim yang transendental, semacam alat bantu-meditatif untuk meredakan akfivitas otak dengan melepaskan semua input indra - cahaya, suara, sentuhan, dan bahkan tarikan gravitasi. Di dalam tangki tradisional, seseorang mengapung telentang di dalam larutan garam berdaya-apung tinggi dengan wajah tetap berada di atas air sehingga bisa bernapas.

Akan tetapi, pada tahun-tahun belakangan ini, tangki itu telah melakukan lompatan kuantum.

Perfluorokarbon teroksigenasi.

Teknologi baru ini - yang dikenal sebagai Total Liquid Ventilation (TLV) - begitu bertentangan dengan intuisi sehingga hanya beberapa orang yang meyakini keberadaannya.

Cairan untuk bernapas.

Pernapasan-cairan telah menjadi kenyataan semenjak 1989 ketika Leland C. Clark sukses mempertahankan nyawa seekor tikus yang direndam selama beberapa jam dalam Perfluorokarbon teroksigenasi. Pada 1989, teknologi TLV melakukan kemunculan yang dramatis dalam film The Abyss, walaupun hanya beberapa penonton yang menyadari bahwa mereka sedang menyaksikan ilmu pengetahuan nyata.

TLV lahir dari upaya-upaya pengobatan modern untuk membantu bayi prematur bernapas dengan mengembalikan mereka ke dalam keadaan penuh-cairan di dalam rahim. Paru-paru manusia - setelah menghabiskan waktu sembilan bulan di dalam rahim, tidak asing dengan keadaan penuh-cairan. Dulu, perfluorokarbon terlalu kental sehingga tidak bisa digunakan sepenuhnya untuk bernapas. Tapi, terobosan-terobosan modern telah membuat cairan untuk bernapas itu memiliki konsistensi nyaris seperti air.

Direktorat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi CIA - "para Penyihir Langley", sebutan mereka di dalam komunitas intelijen - bekerja secara ekstensif dengan perfluorokarbon teroksigenasi untuk mengembangkan teknologi-teknologi bagi militer AS!

Tim-tim elite penyelam lautan-dalam angkatan laut membuktikan bahwa menghirup cairan teroksigenasi, dan bukannya helioks atau trimiks seperti biasa, memberi mereka kemampuan menyelam sampai jauh lebih dalam tanpa berisiko menderita sakit akibat tekanan. Dengan cara yang sama, NASA dan angkatan udara mempelajari bahwa pilot-pilot yang dilengkapi dengan perangkat bernapas cair, dan bukannya tangki oksigen tradisional, jauh lebih mampu menahan gaya gravitasi daripada biasanya, karena cairan akan menyebarkan gaya-gravitasi secara lebih merata di seluruh organ-dalam jika dibandingkan dengan gas.

Sato sudah mendengar bahwa kini ada "lab-lab pengalaman ekstrem". Di sana, seseorang bisa mencoba tangki TLV ini. "Mesin Meditasi", begitulah sebutannya. Tangki yang satu ini mungkin dipasang untuk eksperimentasi privat pemiliknya, walaupun penambahan gerendel-gerendel tebal yang bisa dikunci hanya meninggalkan sedikit keraguan di dalam benak Sato bahwa tangki ini juga digunakan untuk sesuatu yang lebih kelam... teknik interogasi yang juga dikenal oleh CIA.

Teknik interogasi terkenal water boarding sangat efektif karena korbannya benar-benar percaya dia tenggelam. Sato mengetahui beberapa operasi rahasia yang menggunakan tangki deprivasi-indra seperti ini untuk meningkatkan ilusi tenggelam sampai tingkat-tingkat baru yang mengerikan. Seorang korban yang direndam dalam cairan untuk bernapas bisa secara harfiah "ditenggelamkan". Kepanikan yang berhubungan dengan pengalaman tenggelam biasanya membuat korban tidak menyadari bahwa cairan yang dihirupnya sedikit lebih kental daripada air. Ketika cairan itu mengalir ke dalam paru-paru, korban sering pingsan ketakutan, lalu terbangun dalam "penjara soliter" terekstrem.

Berbagai agen pemati-rasa topikal, obat pelumpuh, dan halusinogen dicampur dengan cairan teroksigenasi hangat agar tahanan merasa dirinya terpisah seluruhnya dari tubuh. Ketika benak tahanan itu mengirimkan perintah untuk menggerakkan tungkai-tungkai, tak ada yang terjadi. Keadaan "mati" itu sendiri sudah menakutkan, tapi disorientasi yang sejati muncul akibat proses "kelahiran-kembali" yang, dengan bantuan cahaya terang, udara dingin, dan suara memekakkan, bisa sangat menyakitkan dan traumatis. Setelah beberapa kali kelahiran dan penenggelaman, tahanan akan menjadi begitu kehilangan orientasi sehingga sama sekali tidak tahu apakah dirinya hidup atau sudah mati... dan dia benar-benar akan menceritakan segalanya kepada penginterogasi.

Sato bertanya-tanya apakah dia harus menunggu tim medis untuk mengeluarkan Langdon, tapi dia tahu dia tidak punya waktu. Aku harus tahu apa yang diketahui Langdon.

"Matikan lampu-lampu," perintahnya. "Dan carikan beberapa selimut untukku."

Matahari yang membutakan sudah menghilang.

Wajah itu juga sudah menghilang.

Kegelapan sudah kembali, tapi Langdon kini bisa mendengar bisik-bisik di kejauhan, menggema melintasi tahun-tahun cahaya kekosongan. Suara-suara teredam ... kata-kata yang tidak bisa dimengerti. Kini muncul getaran-getaran... seakan dunia hendak hancur berantakan.

Lalu, terjadilah hal itu.

Tanpa disertai peringatan, alam semesta robek menjadi dua. Sebuah jurang besar terbuka dalam kekosongan... seakan ruang itu sendiri telah robek jahitan-jahitannya. Kabut keabu-abuan mengalir melalui lubang itu, dan Langdon melihat pemandangan mengerikan. Tangan-tangan buntung mendadak meraihnya, mencengkeram tubuhnya, mencoba menariknya keluar dari dunianya.

Tidak! Dia mencoba melawan tangan-tangan itu, tapi dia tidak punya lengan... tidak punya kepalan. Atau, punyakah dia? Mendadak dia merasakan tubuhnya mewujud di sekeliling benaknya. Dagingnya telah kembali dan sedang direbut oleh tangan-tangan kuat yang menariknya ke atas. Jangan! Kumohon!

Tapi, sudah terlambat.

Rasa sakit menyerang dada Langdon ketika tangan-tangan itu mengangkatnya melalui lubang. Paru-parunya terasa seperti terisi pasir. Aku tidak bisa bernapas! Mendadak dia tertelentang di permukaan terdingin dan terkeras yang bisa dibayangkannya. Sesuatu menekan dadanya, berulang-ulang, keras dan menyakitkan. Dia memuntahkan kehangatan itu.

Aku ingin kembali.

Langdon merasa seakan dirinya seorang anak yang dilahirkan dari sebuah rahim.

Dia terguncang-guncang, terbatuk-batuk mengeluarkan cairan. Dia merasakan sakit di dalam dada dan lehernya. Rasa sakit yang sangat menyiksa. Tenggorokannya terbakar. Orang-orang bicara, mencoba berbisik, tapi suara mereka memekakkan. Penglihatan Langdon kabur, dan yang bisa dilihatnya hanyalah bentuk-bentuk bisu. Kulitnya seakan mati rasa, seperti kulit mati.

Dadanya kini terasa lebih erat ... tekanan. Aku tidak bisa bernapas!

Langdon terbatuk-batuk mengeluarkan lebih banyak cairan. Refleks muntah hebat melandanya, dan dia menghela napas. Udara dingin mengalir ke dalam paru-paru, dan dia merasa seakan dirinya adalah bayi baru lahir yang sedang menghela napas pertamanya di dunia. Dunia ini menyiksanya. Yang diinginkan Langdon hanyalah kembali ke rahim itu.

Robert Langdon sama sekali tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu. Dia kini bisa merasakan tubuhnya berbaring miring, terbungkus handuk-handuk dan selimut-selimut di atas lantai keras. Sebuah wajah yang dikenalnya menunduk memandangriya... tapi semua aliran cahaya gemilang itu sudah tiada. Gema-gema perapalan di kejauhan masih menggelayuti benaknya.

Verbum significatium ... Verbum omnificum ....

"Profesor Langdon," bisik seseorang. "Anda tahu di mana Anda berada?"

Langdon mengangguk lemah, masih terbatuk-batuk.

Yang lebih penting, dia sudah mulai menyadari apa yang terjadi malam ini.

BAB 113

Terbungkus selimut-selimut wol, Langdon berdiri dengan kaki goyah dan menunduk menatap tangki cairan yang terbuka. Tubuhnya telah kembali kepadanya, walaupun dia berharap yang sebaliknya. Tenggorokan dan paru-parunya terbakar. Dunia ini terasa keras dan kejam.

Sato baru saja menjelaskan mengenai tangki deprivasi-indra... mengimbuhkan bahwa seandainya dia tidak menarik Langdon keluar, Langdon akan mati kelaparan, atau bahkan lebih buruk lagi. Langdon hampir yakin bahwa Peter telah menjalani pengalaman yang serupa. Peter berada di dunia-antara, ujar lelaki bertato itu kepadanya malam tadi. Dia berada dalam purgatory... Hamistagan. Jika Peter menjalani proses kelahiran itu lebih dari satu kali, Langdon tidak akan terkejut jika Peter mengatakan kepada penangkapnya apa pun yang ingin diketahui oleh lelaki itu.

Sato mengisyaratkan Langdon untuk mengikutinya, dan dia patuh, berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong sempit, masuk lebih jauh ke dalam sarang aneh yang kini dilihatnya untuk pertama kalinya. Mereka memasuki sebuah ruang berbentuk persegi empat dengan meja batu dan lampu berwarna mengerikan. Katherine berada di sini, dan Langdon menghela napas lega. Walaupun demikian, pemandangan itu mengkhawatirkan.

Katherine berbaring telentang di atas meja batu. Handuk-handuk bermandikan darah tergeletak di lantai. Seorang agen CIA memegangi kantong infus dengan selang tersambung ke lengan perempuan itu.

Katherine tersedu-sedu pelan.

"Katherine?" panggil Langdon parau, nyaris tak mampu bicara.

Katherine menoleh, tampak kehilangan orientasi dan bingungan. "Robert?!" Matanya membelalak tidak percaya, kegirangan. "Tapi aku... melihatmu tenggelam!"

Langdon berjalan menuju meja batu.

Katherine menegakkan tubuh ke posisi duduk, mengabaikan selang infus dan segala keberatan medis dari agen itu. Langdon tiba di meja, dan Katherine menjulurkan tangan, melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Langdon yang berbalut selimut, memeluk erat-erat "Syukurlah," bisiknya, seraya mencium pipi Langdon. Lalu dia mencium Langdon kembali, mendekapnya erat seakan tidak percaya lelaki itu nyata. "Aku tidak mengerti... bagaimana...."

Sato mulai mengucapkan sesuatu mengenai tangki deprivasi-indra dan perfluorokarbon teroksigenasi, tapi Katherine jelas tidak mendengarkan. Perempuan itu hanya memeluk Langdon erat-erat.

"Robert," ujar Katherine, "Peter masih hidup." Suaranya bergetar ketika menceritakan kembali pertemuan mengerikannya dengan Peter. Dia menjelaskan kondisi fisik Peter-kursi roda, pisau aneh, sindiran-sindiran mengenai semacam "pengorbanan" dan bagaimana dirinya ditinggalkan dalam keadaan berdarah sebagai jam-pasir manusia untuk membujuk Peter agar segera bekerja sama.

Langdon nyaris tidak mampu bicara. "Kau... tahu ke... mereka pergi?"

"Katanya, dia akan membawa Peter ke gunung suci."

Langdon melepaskan diri dan menatap Katherine.

Air mata menggenangi mata perempuan itu. "Katanya, dia sudah memecahkan kode kisi di dasar piramida, dan piramida itu mengatakan kepadanya untuk pergi ke gunung suci."

"Profesor," desak Sato, "apakah itu ada artinya bagimu?"

Langdon menggeleng. "Sama sekali tidak." Tapi dia masih merasakan adanya harapan. "Tapi jika dia memperoleh informasi itu dari dasar piramida, kita juga bisa memperolehnya." Aku mengatakan kepadanya cara memecahkannya.

Sato menggeleng, "Piramida itu tidak ada. Kami sudah mencarinya. Dia membawanya serta."

Sejenak Langdon tetap diam, memejamkan mata dan mencoba mengingat apa yang dilihatnya di dasar piramida. Kisi simbol-simbol itu adalah salah satu gambar terakhir yang dilihatnya sebelum tenggelam, dan trauma punya cara untuk membakar ingatan lebih jauh ke dalam pikiran. Dia bisa mengingat sebagian kisinya, jelas tidak semuanya, tapi mungkin sudah cukup?

Dia berpaling kepada Sato dan cepat-cepat berkata, "Aku mungkin bisa mengingat cukup banyak, tapi kau harus mencarikan sesuatu di Internet untukku."

Sato mengeluarkan BlackBerry.

"Jalankan pencarian untuk 'Persegi-Empat Franklin Formasi Delapan'."

Sato memandangnya dengan terkejut, tapi mulai mengetik tanpa bertanya-tanya.

Penglihatan Langdon masih kabur, dan baru sekarang dia mulai mencerna keadaan aneh di sekelilingnya. Dia menyadari bahwa meja batu yang sedang mereka sandari tertutup noda-noda darah lama, dan dinding di sebelah kanannya tertutup seluruhnya oleh halaman-halaman teks, foto-foto, gambar-gambar, peta-peta, dan jaringan tali raksasa yang saling menghubungkan kesemuanya itu.

Ya Tuhan.

Langdon berjalan menuju kolase aneh itu, dengan masih mencengkeram selimut-selimut yang membelit tubuhnya. Koleksi informasi yang benar-benar aneh melekat di dinding-halaman-halaman teks kuno, mulai dari sihir hitam sampai Alkitab Kristen, gambar-gambar berbagai simbol dan sigil, halaman-halaman situs Web mengenai teori konspirasi, dan foto-foto Washington, DC, yang diberi catatan dan tanda tanya. Salah satu lembaran berisi daftar panjang kata-kata dalam banyak bahasa. Langdon mengenali beberapa di antaranya sebagai kata-kata Mason suci, yang lain adalah kata-kata sihir kuno, dan yang lain berasal dari mantra seremonial.

Itukah yang dicarinya?

Sebuah kata?

Sesederhana itukah?

Skeptisisme lama Langdon mengenai Piramida Mason sebagian besarnya didasarkan pada apa yang konon diungkapkan oleh benda itu - lokasi Misteri Kuno. Temuan ini pasti melibatkan sebuah lemari besi raksasa yang dipenuhi beribu-ribu volume buku yang, entah bagaimana, bertahan dari perpustakaan kuno yang telah lama hilang, tempat kesemuanya itu dulu disimpan. Semuanya tampak mustahil.

Lemari besi sebesar itu? Di bawah DC? Akan tetapi, kini, ingatannya mengenai ceramah Peter di Phillipus Exeter, digabungkan dengan daftar kata-kata sihir ini, telah membukakan kemungkinan lain yang mengejutkan.

Langdon yakin sekali dirinya tidak memercayai kekuatan kata-kata sihir... tetapi tampaknya cukup jelas bahwa lelaki bertato ini memercayainya. Denyut nadi Langdon semakin cepat ke sekali lagi dia meneliti catatan-catatan yang dituliskan, peta-peta, teks-teks, cetakan-cetakan komputer, dan semua tali dan catatan tempel yang saling berhubungan.

Dan memang, ada satu tema yang berulang.

Ya Tuhan, dia mencari verbum significatium... Kata yang Hilang. Langdon membiarkan pikiran itu terbentuk, mengingat bagi bagian dari ceramah Peter. Dia mencari Kata yang Hilang! Itulah yang diyakininya tersembunyi di Washington sini.

Sato tiba di sampingnya. "Inikah yang kau minta?" Dia menyerahkan BlackBerry-nya.

Langdon memandang kisi angka-angka delapan-kali-delapan di layar. "Tepat sekali." Dia meraih secarik kertas. "Aku perlu pena."

Sato memberinya sebuah pena dari saku. "Cepatlah."

Di kantor bawah-tanah Direktorat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Nola Kaye sekali lagi mempelajari dokumen teredaksi yang dibawakan oleh petugas keamanan sistem Rick Parrish untuknya.

Apa yang dilakukan direktur CIA dengan arsip mengenai piramida kuno dan lokasi bawah tanah rahasia?

Dia meraih telepon dan memutarnya.

Sato langsung menjawab, kedengaran tegang. "Nola, aku baru saja akan meneleponmu."

"Saya punya informasi baru," ujar Nola. "Saya tidak yakin apakah cocok, tapi saya menemukan adanya dokumen teredaksi-"'

"Lupakan, apa pun itu," sela Sato. "Kami kehabisan waktu. Kami gagal menangkap sasaran, dan aku punya semua alasan untuk percaya bahwa dia hendak melaksanakan ancamannya."

Nola merasakan tubuhnya menggigil.

"Berita baiknya adalah, kami tahu persis ke mana dia pergi."

Sato menghela napas panjang. "Berita buruknya adalah, dia membawa laptop bersamanya."

BAB 114

Kurang dari enam belas kilometer jauhnya dari sana, Mal'akh menyelubungkan selimut pada tubuh Peter Solomon dan mendorongnya melintasi tempat parkir yang diterangi cahaya bulan menuju bayang-bayang sebuah gedung besar. Struktur gedung itu punya tepat tiga puluh tiga kolom luar ... masing-masingnya tepat tiga puluh tiga kaki (sepuluh meter) tingginya. Struktur menyerupai gunung itu sepi pada jam seperti ini, dan tak seorang pun melihat mereka di belakang sini. Bukannya itu penting. Dari kejauhan, tak seorang pun akan berpikir dua kali ketika melihat seorang lelaki tinggi yang tampak baik, dengan mantel hitam panjang, membawa seorang cacat botak berjalan-jalan malam.

Ketika mereka mencapai pintu masuk belakang, Mal'akh mendorong Peter ke dekat papan-kunci pengaman. Peter menatap benda itu dengan penuh penolakan, jelas tidak ingin memasukkan kodenya.

Mal'akh tertawa. "Kau pikir, kau berada di sini agar aku bisa masuk? Begitu cepatkah kau lupa kalau aku salah seorang saudaramu?" Dia menjulurkan tangan dan mengetikkan kode akses yang diberikan kepadanya setelah inisiasinya ke dalam derajat ketiga puluh tiga.

Pintu tebal itu berbunyi klik dan membuka.

Peter mengerang dan mulai menggeliat di kursi roda.

"Peter, Peter," bisik Mal'akh. "Ingatlah Katherine. Bersikaplah kooperatif, dan dia akan hidup. Kau bisa menyelamatkannya. Aku berjanji..."

Mal'akh mendorong tawanannya ke dalam dan mengunci kembali pintu di belakang mereka. Kini denyut nadinya berpacu penuh pengharapan. Dia mendorong Peter melewati beberapa lorong menuju lift, lalu menekan tombolnya. Pintu-pintu terbuka, dan Mal'akh berjalan mundur memasukinya, seraya menarik kursi roda bersamanya. Lalu, untuk memastikan Peter bisa melihat apa yang dilakukannya, dia menjulurkan tangan dan menekan tombol paling atas.

Pandangan ketakutan yang mendalam melintasi wajah tersiksa Peter.

"Shh..., " bisik Mal'akh, seraya mengelus-elus lembut kepala plontos Peter ketika pintu-pintu lift menutup. "Seperti yang kau ketahui dengan baik... rahasianya adalah cara untuk mati."

Aku tidak bisa mengingat semua simbolnya!

Langdon memejamkan mata, berupaya sekeras mungkin untuk mengingat lokasi tepat simbol-simbol di bagian bawah piramida batu, tapi ingatan fotografisnya pun tidak punya derajat ingatan seperti itu. Dia menuliskan beberapa simbol yang bisa diingatnya, lalu meletakkan masing-masingnya pada lokasi yang ditunjukkan oleh persegi empat ajaib Franklin.

Akan tetapi, sejauh ini, dia tidak melihat sesuatu pun yang masuk akal.

"Lihat!" desak Katherine. "Kau pasti berada di jalur yang benar. Baris pertama semuanya huruf Yunani - jenis simbol yang sama diatur bersama-sama!"

Langdon juga sudah memperhatikan hal ini, tapi dia tidak bisa memikirkan kata Yunani apa pun yang cocok dengan konfigurasi huruf dan ruang itu. Aku perlu huruf pertama. Sekali lagi dia melihat persegi empat ajaib itu, mencoba mengingat huruf yang berada di tempat nomor satu di dekat pojok kiri bawah. Berpikirlah! Dia memejamkan mata, mencoba membayangkan dasar piramida. Barisan bawah... di sebelah pojok kiri... huruf apa yang ada di sana?

Sejenak Langdon kembali berada di dalam tangki, tersiksa oleh ketakutan, menatap bagian bawah piramida melalui Plexiglass.

Kini mendadak dia melihatnya. Dia membuka mata, menghirup napas dalam-dalam. "Huruf pertama adalah H!"

Langdon berpaling kembali kepada kisi itu dan menuliskan huruf pertama. Kata itu masih belum lengkap, tapi sudah cukup banyak yang dilihatnya. Mendadak dia menyadari apa kemungkinan kata itu.

                             Heredom

Dengan nadi berdenyut-denyut, Langdon mengetikkan pencarian baru pada BlackBerry. Dia memasukkan ekuivaleri bahasa Inggris untuk kata Yunani terkenal ini. Hasil pertama yang muncul adalah entri ensiklopedia. Dia membacanya, dan tahu kalau kata itu pasti benar.

HEREDOM n. kata penting dalam Persaudaraan Mason Bebas "derajat tinggi", dari ritual-ritual Rose Croix Prancis. Kata itu mengacu pada sebuah gunung khayalan di Skotlandia, tempat legendaris Cabang pertama semacam itu. Dari kata Yunani Heredom yang berasal dari Hieros-domos, kata Yunani untuk Rumah Suci.

"Itu dia!" teriak Langdon tidak percaya. "Ke sanalah mereka pergi!"

Sato membaca lewat bahu Langdon dan tampak kebingungan. "Ke sebuah gunung khayalan di Skotlandia?!"

Langdon menggeleng. "Tidak, ke sebuah gedung di Washington yang nama kodenya Heredom."

BAB 115

The House of the Temple - dikenal di antara saudara Mason sebagai Heredom - selalu menjadi bagian paling berharga dari Scottish Rite Mason di Amerika. Dengan atap berbentuk piramida berlereng curam, nama gedung itu berasal dari gunung khayalan di Skotlandia. Akan tetapi, Mal'akh tahu, tidak ada yang bersifat khayalan mengenai harta karun yang tersembunyi di sana.

Dia tahu, inilah tempatnya. Piramida Mason telah menunjukkan jalan.

Ketika lift tua itu perlahan-lahan naik ke lantai tiga, Mal'akh mengeluarkan kertas yang tadi ditulisinya dengan penyusunan kembali kisi simbol-simbol menggunakan Persegi Empat Franklim. Semua huruf Yunani kini telah bergeser ke baris pertama... bersama-sama dengan satu simbol sederhana.

                             Heredom

Pesan itu tidak mungkin lebih jelas lagi.

Di bawah House of the Temple.

Heredom

Kata yang Hilang ada di sini ... di suatu tempat.

Walaupun Mal'akh tidak tahu secara tepat cara menemukannya, dia yakin jawabannya ada dalam simbol-simbol yang tersisa pada kisi. Yang menyenangkan, jika menyangkut pengungkapan rahasia-rahasia Piramida Mason dan gedung ini, tak seorang pun lebih berkualifikasi untuk membantu daripada Peter Solomon. Master Terhormat itu sendiri.

Peter terus menggeliat di kursi roda, menciptakan suara-suara teredam melalui sumpalnya.

"Aku tahu, kau mengkhawatirkan Katherine," kata Mal'akh. "Tapi, ini sudah hampir berakhir."

Bagi Mal'akh, bagian akhir ini terasa begitu mendadak kedatangannya. Setelah bertahun-tahun menderita dan merencanakan, menunggu dan mencari... momen itu kini tiba.

Lift mulai melambat, dan dia merasakan gelombang kegembiraan.

Lift berguncang, lalu berhenti.

Pintu-pintu tembaganya menggeser terbuka, dan Mal'akh memandang bilik megah di hadapan mereka. Ruangan persegi empat besar itu dihiasi simbol-simbol dan bermandikan cahaya bulan, yang bersinar melalui jendela di puncak langit-langit tinggi di atas.

Aku sudah menjalani satu lingkaran penuh, pikir Mal'akh.

Di Temple Room yang sama ini, Peter Solomon dan saudara seimannya telah begitu tololnya menginisiasi Mal'akh sebagai salah satu dari mereka. Kini, rahasia teragung kaum Mason - sesuatu yang bahkan tidak diyakini keberadaannya oleh sebagian besar saudara Mason - akan terungkap.

"Dia tidak akan menemukan apa-apa," ujar Langdon, yang masih merasa pening dan hilang orientasi ketika mengikuti Sato dan yang lain menaiki rampa kayu, meninggalkan ruang bawah tanah. "Tidak ada Kata yang nyata. Semuanya metafora - simbol Misteri Kuno."

Katherine mengikuti bersama dua agen yang menuntun tubuh lemahnya menaiki rampa. Ketika kelompok itu bergerak dengan hati-hati melewati reruntuhan pintu baja, melewati lukisan berputar, dan memasuki ruang tamu, Langdon menjelaskan kepada Sato bahwa Kata yang Hilang merupakan salah satu simbol Persaudaraan Mason Bebas yang paling bertahan - satu kata tunggal, ditulis dalam bahasa kuno yang tidak bisa lagi dipahami oleh manusia. Kata itu, seperti Misteri itu sendiri, menjanjikan pengungkapan kekuatan tersembunyinya hanya kepada mereka yang cukup tercerahkan untuk memecahkan sandinya. "Konon," ujar Langdon menyimpulkan, "jika kau bisa memiliki dan memahami Kata yang Hilang... maka Misteri Kuno akan menjadi jelas bagimu."

Sato meliriknya. "Jadi, kau percaya lelaki ini sedang mencari sebuah kata?"

Langdon harus mengakui kalau itu kedengarannya memang sangat absurd, tetapi itu menjawab banyak pertanyaan. "Dengar, aku bukan spesialis dalam sihir seremonial," katanya, "tapi semua dokumen pada dinding-dinding ruang bawah tanah... dan dari penjelasan Katherine mengenai kulit tidak bertato di kepalanya... menurutku dia berharap bisa menemukan yang Hilang dan menuliskannya pada tubuhnya."

Sato menggerakkan kelompok itu menuju ruang makan. Di luar, helikopter memanaskan mesin, baling-balingnya bergerak semakin keras dan bergemuruh semakin keras.

Langdon terus bicara, berpikir dengan suara keras. "Jika lelaki ini benar-benar percaya dirinya akan mengungkapkan kekuatan Misteri Kuno, tidak ada simbol yang lebih ampuh di dalam benaknya daripada Kata yang Hilang. Jika lelaki ini bisa menemukan dan menuliskannya di puncak kepala - di lokasi yang memang suci - tak diragukan lagi bahwa dia menganggap dirinya sendiri berhias sempurna dan siap secara ritualistis untuk...." Dia terdiam, melihat wajah Katherine memucat ketika memikirkan takdir yang menanti Peter.

"Tapi, Robert," ujar Katherine lemah, suaranya nyaris tak terdengar di antara gemuruh baling-baling helikopter. "Ini berita bagus, bukan? Jika dia ingin menuliskan Kata yang Hilang di puncak kepalanya sebelum mengorbankan Peter, kita punya waktu. Dia tidak akan membunuh Peter sampai dia menemukan Kata itu. Dan, jika tidak ada Kata..."

Langdon berusaha tampak penuh harap ketika agen-agen itu membantu Katherine duduk di sebuah kursi. "Sayangnya, Peter masih mengira kau akan mati kehabisan sarah. Dia mengira, satu-satunya cara untuk menyelamatkanmu adalah dengan bekerja sama dengan orang gila ini... mungkin dengan membantunya menemukan Kata yang Hilang."

"Lalu kenapa?" desak Katherine. "Jika Kata itu tidak ada-"

"Katherine," ujar Langdon, seraya menatap dalam-dalam matanya. "Jika aku percaya kau sekarat, dan jika seseorang berjanji aku bisa menyelamatkanrnu dengan menemukan Kata yang Hilang, maka untuk lelaki ini, aku akan mencarikan satu kata - sembarang kata - lalu aku akan berdoa kepada Tuhan agar lelaki itu menepati janji."

"Direktur Sato!" teriak seorang agen dari ruang sebelah. "Sebaiknya Anda melihat ini!"

Sato bergegas meninggalkan ruang makan dan melihat salah seorang agennya sedang menuruni tangga dari kamar. Dia membawa rambut palsu berwarna pirang. Apa itu?

"Wig laki-laki," katanya, seraya menyerahkan benda itu kepada Sato. "Saya temukan di ruang berpakaian. Lihatlah lebih teliti."

Wig pirang itu jauh lebih berat daripada yang diperkirakan. Sato. Tampaknya, bagian dalamnya dicetak dari gel tebal. Anehnya, ada kawat yang menonjol dari sisi bawah wig.

"Baterai berbentuk gel yang menyesuaikan diri dengan bentuk kepala," ujar agen itu. "Memberi tenaga pada kamera mungil optik serat yang tersembunyi di dalam rambut."

"Apa?" Sato meraba-raba dengan jari-jari tangannya sampai menemukan lensa kamera mungil yang tak terlihat di dalam poni pirang wig itu. "Benda ini kamera tersembunyi?"

"Kamera video," jawab agen itu. "Menyimpan rekaman dalam kartu padat mungil ini." Dia menunjuk persegi empat silikon seukuran prangko yang tertanam di dasar wig. "Mungkin diaktifkan oleh gerakan."

Yesus, pikir Sato. Jadi, begitulah cara lelaki itu melakukannya. Versi ramping kamera. rahasia "bunga yang disematkan pada kerah" ini telah memainkan peranan kunci dalam krisis yang sdang dihadapi oleh Direktur OS malam ini. Sato memelototi benda itu sedikit lebih lama, lalu menyerahkannya kembali kepada agen tadi.

"Teruslah menggeledah rumah," perintahnya. "Aku menginginkan kan semua informasi yang bisa kau temukan mengenai lelaki ini. Kita tahu laptopnya tidak ada, dan aku ingin tahu persis bagaimana rencananya untak menghubungkan laptop itu dengan dunia luar ketika dia sedang dalam perjalanan. Geledah ruang kerjanya untuk mencari segala manual, kabel, apa saja yang mungkin bisa memberi kita petunjuk mengenai perangkat-kerasnya."

"Ya, Maam." Agen itu bergegas pergi.

Saatnya pergi. Sato bisa mendengar baling-baling helikopter berdengung dengan kecepatan penuh. Dia bergegas kembali ke ruang makan. Di sana, Simkins sedang menggiring Warren Bellamy masuk dari helikopter, dan sedang mengumpulkan informasi darinya mengenai gedung yang mereka yakini menjadi tujuan sasaran mereka.

House of the Temple.

"Pintu-pintu depannya ditutup rapat dari dalam," ujar Bellamy yang masih berbalut selimut darurat dan terlihat menggigil akibat berada di luar Franklin Square tadi. "Pintu masuk belakang gedung adalah satu-satunya jalan masuk. Pintu itu dilengkapi papan-kunci dengan PIN akses yang hanya diketahui oleh anggota-anggota persaudaraan."

"Berapa PIN-nya?" desak Simkins, seraya mencatat.

Bellamy duduk, tampak terlalu lemah untuk berdiri. Dengan, gigi bergemeletuk, dia menyebut kode aksesnya, lalu menambahkan, "Alamatnya di 1733 Sixteenth, tapi kau perlu jalan akses dan area parkir di belakang gedung. Agak sulit menemukannya, tapi-"

"Aku tahu persis di mana," ujar Langdon. "Akan kutunjukkan setibanya di sana."

Simkins menggeleng. "Kau tidak ikut, Profesor. Ini operasi militer-"

"Aku harus ikutl" bentak Langdon. "Peter ada di sana! Dan gedung itu seperti labirin! Tanpa seseorang yang membimbing masuk, kalian akan perlu waktu sepuluh menit untuk menemukan jalan ke Temple Room!"

"Dia benar," kata Bellamy. "Itu labirin. Memang ada lift, tapi sudah tua, berisik, dan membuka sepenuhnya di Temple Room. Jika ingin masuk secara diam-diam, kau perlu menaiki tangga."

"Kau tidak akan pernah bisa menemukan jalanmu," ujar Langdon memperingatkan. "Dari pintu masuk belakang itu kau bergerak melewati Hall of Regalia, Hall of Honor, tangga tengah, Atrium, Tangga. Utama-"

"Cukup," sela Sato. "Langdon ikut."

BAB 116

Energi itu semakin berkembang.

Mal'akh bisa merasakan energi itu berdenyut-denyut di dalam dirinya, bergerak naik turun menjalari tubuhnya ketika dia mendorong Peter Solomon menuju altar. Aku akan keluar dari gedung ini dengan kekuatan yang tak terkirakan besarnya jika dibandingkan dengan ketika aku memasukinya. Kini yang harus dilakukannya hanyalah menemukan bahan terakhir.

Verbum significatium," bisiknya kepada diri sendiri. " Verbum significatium ."

Mal'akh memarkir kursi roda Peter di samping altar, lalu berjalan memutar dan membuka ritsleting tas bahu berat yang berada di atas pangkuan Peter. Dia merogoh ke dalam, mengeluarkan piramida batu, dan mengangkatnya ke dalam cahaya bulan persis di depan mata Peter, menunjukkan kisi simbol-simbol yang terukir di dasarnya. "Sudah bertahun-tahun lamanya," ejeknya, "dan kau tidak pemah tahu cara piramida ini menyimpan rahasia-rahasianya." Mal'akh meletakkan piramida itu dengan hati-hati di pojok altar dan kembali menuju tas. "Dan jimat ini," lanjutnya, seraya mengeluarkan batu-puncak emas, "memang mendatangkan keteraturan dari kekacauan, persis seperti yang dijanjikan." Dia meletakkan batu-puncak logam itu dengan hati-hati di atas piramida batu, lalu melangkah mundur agar Peter bisa melihat dengan jelas. "Lihatlah, symbolon-mu sudah lengkap."

Peter mengernyit, dengan sia-sia berusaha bicara.

"Bagus. Aku bisa melihat kalau kau ingin mengatakan sesuatu kepadaku." Dengan kasar, Mal'akh merenggut sumpal itu.

Peter Solomon terbatuk-batuk dan tersengal-sengal selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia bisa bicara. "Katherine...."

"Waktu Katherine pendek, jika kau ingin menyelamatkannya, kusarankan agar kau melakukan persis seperti yang kukatakan."

Mal'akh curiga Katherine mungkin sudah mati atau, jika tidak, sedang sekarat.Tidak ada bedanya. Perempuan itu beruntung, hidup cukup lama untuk mengucapkan selamat tinggal kepada kakaknya.

"Kumohon," pinta Peter dengan suara parau. "Panggilkan ambulans untuknya...."

"Akan kulakukan persis seperti itu. Tapi, pertama-tama kau harus mengatakan cara mengakses tangga rahasia."

Raut wajah Peter menunjukkan ketidakpercayaan. "Apa?"

"Tangga. Legenda Mason membicarakan tangga yang turun puluhan meter ke lokasi rahasia tempat Kata yang Hilang dikuburkan."

Kini Peter tampak panik.

"Kau tahu legendanya," pancing Mal'akh. "Sebuah tangga rahasia yang tersembunyi di balik sebuah batu." Dia menunjuk altar tengah-balok granit besar dengan inskripsi bersepuh emas dalam bahasa Ibrani: BERFIRMANLAH ALLAH: "JADILAH TERANG." LALU, TERANG ITU JADI." Jelas, ini tempat yang benar. Pintu masuk menuju tangga itu pasti tersembunyi di salah satu lantai di bawah kita."

"Tidak ada tangga rahasia di dalam gedung ini!" teriak Peter.

Mal'akh tersenyum sabar dan menunjuk ke atas. "Gedung ini berbentuk seperti piramida." Dia menunjuk langit-langit berbentuk kubah bersudut-empat yang meruncing dengan jendela persegi empat di puncaknya.

"Ya, House of the Temple memang piramida, tapi apa-"

"Peter, aku punya waktu semalaman." Mal'akh merapikan jubah sutra putih yang menutupi tubuh sempurnanya. "Akan tetapi, Katherine tidak. Jika kau ingin dia tetap hidup, kau harus mengatakan cara mengakses tangga itu."

"Sudah kukatakan kepadamu," ujar Peter, "tidak ada tangga rahasia di dalam gedung ini!"

"Tidak?" Dengan tenang Mal'akh mengeluarkan kertas yang ditulisinya dengan penyusunan-kembali kisi simbol-simbol dari dasar piramida. "Ini pesan terakhir Piramida Mason. Temanmu, Robert Langdon, membantuku memecahkannya."

Mal'akh mengangkat kertas itu dan memeganginya di depan mata Peter. Master Terhormat itu menghela napas tajam ketika melihatnya. Bukan hanya keenam puluh empat simbol itu telah disusun menjadi kelompok-kelompok yang jelas memiliki arti... melainkan gambar yang nyata telah mewujud dari kekacauan itu.

Gambar sebuah tangga ... di bawah sebuah piramida.

Peter Solomon menatap kisi simbol-simbol di hadapannya dengan tidak percaya. Piramida Mason telah menyimpan rahasianya selama bergenerasi-generasi. Kini, mendadak rahasia itu terungkap dan dia merasakan perasaan dingin yang mengancam di dasar perutnya.

Kode terakhir piramida.

Sekilas pandang, arti sebenarnya simbol-simbol ini masih misterius bagi Peter. Akan tetapi, dia langsung bisa memahami mengapa lelaki bertato itu memercayai apa yang dipercayainya.

Dia mengira ada tangga tersembunyi di bawah piramida yang disebut Heredom.

Dia salah memahami simbol-simbol ini.

"Dimana?" desak lelaki bertato itu. "Katakan cara menemukan tangga itu, dan aku akan menyelamatkan Katherine."

Seandainya saja aku bisa, pikir Peter. Tapi, tangga itu tidak nyata. Mitos mengenai tangga itu benar-benar simbolis... bagian dari alegori besar Persaudaraan Mason. Tangga yang dikenal sebagai Tangga Berkelok-kelok itu muncul dalam tracing board derajat kedua. Tangga itu merepresentasikan pendakian intelektual manusia menuju Kebenaran Suci. Seperti tangga Yakub dalam Kitab Kejadian, Tangga Berkelok-kelok itu merupakan simbol jalan-setapak menuju surga... perjalanan manusia menuju Tuhan... hubungan antara ranah duniawi dan spiritual. Anak-anak tangganya merepresentasikan banyak kebajikan pikiran.

Dia seharusnya tahu itu, pikir Peter. Dia telah menjalani semua inisiasinya.

Semua kandidat Mason mempelajari tangga simbolis yang bisa mereka daki, memungkinkan mereka "untuk berpartisipasi dalam misteri-misteri ilmu pengetahuan manusia". Persaudaraan Mason Bebas, seperti Ilmu Noetic dan Misteri Kuno, menghormati potensi pikiran manusia yang belum dimanfaatkan, dan banyak simbol Persaudaraan Mason yang berhubungan dengan fisiologi manusia.

Pikiran manusia bertengger seperti batu-puncak emas di atas tubuh fisik. Batu Bertuah. Melalui tangga tulang belakang, energi naik dan turun, beredar, menghubungkan benak suci dengan tubuh fisik.

Peter tahu, bukan kebetulan jika tulang belakang tersusun tepat dari tiga puluh tiga tulang. Tiga puluh tiga adalah derajat Persaudaraan Mason. Dasar tulang belakang, atau sacrum, secara harfiah berarti "tulang suci". Tubuh manusia memang sebuah kuil. Ilmu pengetahuan manusia yang dihormati oleh kaum Mason adalah pemahaman kuno mengenai cara menggunakan kuil itu untuk tujuan tertinggi dan termulianya.

Sayangnya, menjelaskan kebenaran kepada lelaki ini sama sekali tidak akan membantu Katherine. Peter memandang kisi simbol-simbol itu dan menghela napas, menyerah.

"Kau benar," katanya berbohong. "Memang ada tangga rahasia di bawah gedung ini. Dan, segera setelah kau memanggil bantuan untuk Katherine, aku akan membawamu ke sana."

Lelaki bertato itu hanya menatapnya.

Solomon membalas tatapannya dengan mata menantang. "Selamatkan adikku dan ketahuilah kebenarannya... atau bunuh kami berdua dan tetaplah tidak tahu selamanya!"

Pelan-pelan lelaki itu menurunkan kertas dan menggeleng. "Aku tidak senang denganmu, Peter. Kau gagal dalam tesmu. Kau masih menganggapku tolol. Kau benar-benar percaya aku tidak memahami apa yang kucari? Menurutmu, aku belum memahami potensi sejatiku?"

Dengan perkataan itu, lelaki itu berbalik dan melepas jubahnya. Ketika sutra putih itu melayang ke lantai, Peter melihat untuk pertama  kalinya tato panjang yang menjalari tulang punggung lelaki itu!

Ya Tuhan....

Berkelok-kelok dari cawat putih lelaki itu, sebuah tangga spiral elegan menjalari bagian tengah punggung berototnya. Setiap tangga diposisikan pada tulang yang berbeda. Peter, yang tak mampu berkata-kata, membiarkan matanya menaiki tangga itu, terus sampai ke dasar tengkorak kepala lelaki itu.

Peter hanya bisa menatap.

Lelaki bertato itu kini mendongakkan kepala plontosnya, mengungkapkan lingkaran daging telanjang di puncak kepalanya. Kulit perawan itu dibatasi oleh seekor ular yang melingkar menyantap tubuhnya sendiri.

At-one-ment (penyatuan).

Perlahan-lahan, lelaki itu kini menundukkan kepala dan berpaling menghadap Peter. Phoenix besar berkepala-dua di dadanya menatap melalui mata tak bernyawa.

"Aku mencari Kata yang Hilang," ujar lelaki itu. "Kau hendak membantuku... atau kau dan adikmu hendak mati?"

Kau tahu cara menemukannya, pikir Mal'akh. "Kau mengetahui sesuatu yang tidak kau katakan kepadaku".

Peter Solomon sudah mengungkapkan banyak hal di bawah interogasi yang kini mungkin bahkan tidak diingatnya. Berkali-kali keluar masuk tangki deprivasi-indra telah membuatnya menceracau dan patuh. Yang menakjubkan, ketika dia mencurahkan isi hatinya, segala yang diceritakannya kepada Mal'akh konsisten dengan legenda Kata yang Hilang.

Kata yang Hilang bukanlah metafora ... kata itu nyata. Kata itu ditulis dalam bahasa kuno ... dan telah tersembunyi selama berabad-abad. Kata itu mampu mendatangkan kekuatan yang tak terbayangkan kepada siapa pun yang memahami arti sejatinya. Kata itu tetap tersembunyi sampai sekarang... dan Piramida Mason punya kekuatan untuk mengungkapkannya.

"Peter," ujar Mal'akh kini, seraya menatap ke dalam mata tawanannya, "ketika memandang kisi simbol-simbol itu... kau melihat sesuatu. Kau mendapat pencerahan. Kisi ini berarti sesuatu untukmu. Katakan."

"Aku tidak akan berkata apa-apa sampai kau memanggil bantuan untuk Katherine!"

Mal'akh tersenyurn kepadanya. "Percayalah, kini prospek kehilangan adik adalah kekhawatiranmu terkecil saat ini." Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, dia beralih pada tas bahu Langdon dan mulai mengeluarkan benda-benda yang tadi dimasukkannya di ruang bawah tanahnya. Lalu, dia mulai mengatur benda-benda itu dengan cermat di atas altar pengorbanan.

  Kain sutra terlipat. Putih murni.

  Wadah dupa perak. Wewangian Mesir.

  Botol kecil berisi darah Peter. Dicampur abu.

  Bulu gagak hitam. Pena sucinya.

  Pisau pengorbanan. Ditempa dari besi meteorit di padang pasir Kanaan.

"Kau pikir, aku takut mati?" teriak Peter. Suaranya penuh penderitaan. "Jika Katherine tiada, tak ada lagi yang tersisa bagiku!

Kau telah membunuh seluruh keluargaku! Kau telah merengut semuanya dariku!"

"Tidak semuanya," jawab Mal'akh, "Belum." Dia merogoh tas bahu dan mengeluarkan laptop yang berasal dari ruang kerjanya. Dia menyalakannya dan memandang tawanannya. "Aku kuatir kau belum memahami kegentingan situasimu yang sesungguhnya."

BAB 117

Langdon merasakan perutnya mual ketika helikopter CIA itu melayang dari halaman, miring hebat, dan bergerak lebih cepat daripada yang dibayangkannya mengenai kecepatan helikopter. Katherine tetap tinggal untuk memulihkan diri bersama Bellamy, sementara salah seorang agen CIA menggeledah mansion itu dan menunggu tim pendukung.

Sebelum Langdon pergi, Katherine mencium pipinya dan berbisik, "Berhati-hatilah, Robert."

Kini Langdon berupaya keras untuk tetap tenang ketika helikopter militer itu akhimya terbang mendatar dan berpacu menuju House of the Temple.

Sato duduk di sampingnya, meneriakkan perintah-perintah kepada pilot. "Menuju Dupont Circle!" teriaknya, mengalahkan kebisingan yang memekakkan. "Kita mendarat di sana!"

Dengan terkejut, Langdon berpaling kepadanya. "Dupont? Itu berblok-blok jauhnya dari House of the Temple! Kita bisa mendarat di tempat parkir Temple!"

Sato menggeleng. "Kita harus memasuki gedung dengan diam-diam. Jika sasaran mendengar kedatangan kita-"

"Kita tidak punya waktu!" bantah Langdon. "Orang gila ini hendak membunuh Peter! Mungkin suara helikopter akan menakutkan dan menghentikannya!"

Sato menatapnya dengan mata sedingin es. "Seperti yang kubilang, keamanan Peter Solomon bukanlah tujuan utamaku. Aku yakin, aku sudah menjelaskan."

Langdon sedang tidak ingin diceramahi lagi mengenai keamanan nasional. "Dengar, aku satu-satunya di sini yang mengenal jalan-jalan di dalam gedung itu-"

"Hati-hati, Profesor," ujar Direktur itu memperingatkan. "Kau berada di sini sebagai anggota timku, dan aku mengharapkan kerja sama sepenuhnya darimu." Dia terdiam sejenak, lalu mengimbuhkan, "Sesungguhnya, mungkin bijak jika kini aku memberitahumu selengkapnya mengenai kegentingan krisis kita malam ini."

Sato menjulurkan tangan ke bawah kursi dan mengeluarkan tas kerja titanium ramping, yang dibukanya untuk mengungkapkan komputer yang kerumitannya tampak tidak biasa. Ketika dia mennyalakannya, logo CIA mewujud bersama-sama dengan tanda log-in.

Ketika melakukan log-in, Sato bertanya,"Profesor kau ingat wig pirang yang kita temukan di rumah lelaki itu?"

"Ya."

"Nah, sebuah kamera optik-serat mungil tersembunyi di dalam wig itu... tidak terlihat di dalam poninya."

"Kamera tersembunyi? Aku tidak mengerti."

Sato tampak serius. "Kau akan mengerti." Dia membuka sebuah arsip pada laptop.

  HARAP TUNGGU SEBENTAR ...

  MENDEKRIPSI ARSIP ...

Sebuah jendela video muncul, memenuhi seluruh layar. Sato lalu mengangkat tas kerja itu dan meletakkannya di atas paha Langdon, dan memberinya keleluasaan pandangan.

Sebuah gambar yang tidak biasa mewujud di layar.

Langdon terenyak dalam keterkejutan. Apa?!

Video tersamar dan gelap itu menunjukkan seorang lelaki dengan mata ditutupi. Dia berpakaian seperti penganut ajaran sesat Abad Pertengahan yang sedang digiring ke tiang gantungan - tali gantungan mengalungi lehernya, pipa kiri celana panjangnya tergulung sampai ke lutut, lengan kanan bajunya tergulung sampai; ke siku, dan kemejanya terbuka menampilkan dada telanjang.

Langdon menatap dengan tidak percaya. Dia sudah membaca cukup banyak mengenai ritual Mason sehingga tahu persis apa yang sedang dilihatnya.

Seorang kandidat Mason... siap memasuki derajat pertama.

Lelaki itu bertubuh tinggi dan sangat kekar, dengan wig pirang yang tak asing lagi dan kulit sangat kecokelatan. Langdon langsung mengenali raut wajahnya. Semua tato lelaki itu jelas sudah disembunyikan di balik make-up warna perunggu. Dia sedang berdiri di depan cermin setinggi badan, merekam pantulan dirinya sendiri melalui kamera yang tersembunyi di dalam wig.

Tapi ... mengapa?

Layar memudar menjadi hitam.

Rekaman baru muncul. Sebuah bilik persegi panjang kecil berpenerangan suram. Lantai papan-catur dramatis dari ubin hitam-putih. Sebuah altar kayu rendah, diapit di ketiga sisinya oleh pilar-pilar, dan di atasnya terdapat lilin-lilin yang berpendar menyala.

Mendadak Langdon merasa khawatir.

Ya Tuhan.

Direkam dengan gaya serampangan video rumahan arnatir, kamera itu kini menyoroti pinggir ruangan untuk menunjukkan sekelompok laki-laki yang sedang mengamati kandidat itu. Para lelaki itu mengenakan pakaian kebesaran Mason untuk ritual. Di dalam kegelapan, Langdon tidak bisa mengenali wajah mereka, tapi dia yakin sekali di mana ritual ini berlangsung.

Mungkin tata-letak tradisional Lodge Room ini ada di mana-mana di dunia, tapi hiasan segitiga biru pucat di atas kursi master itu menyatakan ruangan itu terletak di dalam rumah perkurnpulan Mason tertua di DC-Lodge Potomac No. 5 - rumah George Washington dan para bapak bangsa penganut Mason yang meletakkan batu pertama untuk White House dan Gedung Capitol.

Rumah perkumpulan itu masih aktif hingga saat ini.

Peter Solomon, selain mengawasi House of the Temple, juga master dari rumah perkumpulan lokalnya. Dan di tempat-tempat seperti inilah, perjalanan kandidat Mason selalu dimulai... disana dia menjalani tiga derajat pertama Persaudaraan Mason Bebas.

"Saudara-saudaraku," terdengar suara Peter yang tak asing lagi, "atas nama Arsitek Besar Alam Semesta, aku membuka rumah ini untuk praktik Persaudaraan Mason derajat pertama!"

Terdengar tepuk tangan riuh.

Langdon menyaksikan dengan tidak percaya ketika video berlanjut dengan serangkaian cepat gambar kabur yang menunjukkan Peter Solomon melakukan beberapa momen nyata ritual itu.

Menekankan pisau berkilau ke dada telanjang kandidat itu... mengancamkan penusukan seandainya kandidat itu "secara tidak pantas mengungkapkan Misteri-Misteri Persaudaraan Mason"... menjelaskan lantai hitam-putih sebagai merepresentasikan "yang hidup dan yang mati"... menjabarkan hukuman-hukuman yang termasuk "leher digorok dari telinga ke telinga,' lidah dicerabut sampai ke akar-akarnya, dan mayat dikubur di dalam pasir-pasir kasar lautan ......

Langdon terperangah. Apakah aku benar-benar menyaksikan ini. Ritual-ritual inisiasi Mason tetap diselubungi oleh rahasia selama berabad-abad. Satu-satunya penjelasan yang pernah dibocorkan adalah hasil tulisan sekelompok saudara yang dikucilkan. Tentu saja Langdon sudah membaca semua cerita itu, tetapi melihat inisiasi dengan mata kepala sendiri... ini cerita yang jauh berbeda.

Khususnya yang disunting seperti ini. Langdon bisa tahu kalau video ini merupakan propaganda yang tidak adil, menghilangkan semua aspek termulia inisiasi dan hanya menekankan aspek yang paling membingungkan. Seandainya video ini beredar, Langdon tahu itu akan menjadi sensasi Internet dalam waktu semalam. Para penganut teori konspirasi anti-Mason akan memangsanya seperti ikan hiu. Organisasi Mason, dan terutama Peter Solomon, akan mendapati diri mereka terlibat dalam kobaran kontroversi dan berupaya mati-matian untuk mengendalikan kerusakan... walaupun ritual itu sebenarnya tidak membahayakan dan benar-benar simbolis.

Yang mengerikan, video itu menyertakan referensi Alkitab  mengenai pengorbanan manusia... "kepatuhan Abraham terhadap Yang Mahatinggi dengan mengorbankan Ishak, putra pertamanya." Langdon memikirkan Peter dan berharap helikopter itu terbang lebih cepat.

Rekaman video kini beralih.

Ruangan yang sama. Malam yang berbeda. Kolompok Mason yang lebih besar menyaksikan. Peter Solomon mengamati dari kursi master. Ini derajat kedua. Kini lebih intens. Berlutut di altar... bersumpah untuk "selamanya menyembunyikan misteri-misteri yang ada di dalam Persaudaraan Mason Bebas" ... menyetujui hukuman "rongga dada dirobek hingga terbuka dan jantung berdenyut-denyut dibuang ke permukaan tanah sebagai sampah bagi makhluk-makhluk rakus" ....

Kini jantung Langdon sendiri berdenyut-denyut panik ketika video beralih kembali. Malam yang lain. Kerumunan yang jauh lebih besar. "Tracing board" berbentuk peti mati di lantai.

Derajat ketiga.

Ini ritual kematian - yang paling dahsyat dari semua derajat - momen ketika kandidat itu dipaksa "menghadapi tantangan terakhir kepunahan pribadi". Interogasi melelahkan ini sesungguhnya merupakan sumber frasa umum memberi seseorang derajat ketiga (menginterogasi seseorang dengan saksama, disertai ancaman dan kekerasan, untuk memperoleh informasi). Dan, walaupun Langdon sangat mengetahui penjelasan-penjelasan akademisnya, dia benar-benar tidak siap dengan apa yang kini dilihatnya.

Pembunuhan itu.

Dalam potongan-potongan gambar cepat dan kejam, video itu menyajikan penjelasan menggiriskan dari sudut pandang korban mengenai pembunuhan brutal kandidat itu. Ada pukulan-pukulan pura-pura ke kepala, termasuk penganiayaan dengan batu Mason. Sementara itu, seorang pembantu pendeta menceritakan dengan muram kisah "putra sang janda" - Hiram Abiff - Arsitek utama kuil Raja Solomon, yang memilih untuk mati ketimbang mengungkapkan kebijakan rahasia yang dimilikinya.

Serangan itu tentu saja pura-pura, tetapi efeknya mengerikan di kamera. Setelah pukulan mematikan, kandidat itu - "dirinya yang dulu kini sudah mati" - dimasukkan ke dalam peti mati simbolis. Di sana, matanya dipejamkan dan lengannya disilangkan seperti mayat. Para saudara Mason bangkit dan dengan sedih mengelilingi mayat itu, sementara organ pipa memainkan lagu kematian.

Adegan mengerikan itu sangat mengganggu.

Dan hanya semakin buruk.

Ketika para lelaki itu berkumpul mengelilingi saudara mereka yang terbunuh, kamera tersembunyi jelas menunjukkan wajah mereka. Kini Langdon menyadari bahwa Solomon bukanlah satu-satunya lelaki terkenal di ruangan itu. Salah seorang laki-laki yang menunduk memandangi kandidat di dalam peti mati muncul di televisi hampir setiap hari.

Seorang senator AS terkemuka.

Astaga....

Adegan itu kembali beralih. Kini di luar... malam hari... rekaman video terpotong-potong yang sama... lelaki itu berjalan menyusuri jalanan kota... helaian-helaian rambut pirang tertiup di depan kamera... ... sudut kamera direndahkan untuk menyoroti sesuatu di tangan lelaki itu... uang kertas satu dolar... gambar dari dekat yang terpusat  pada the Great Seal... mata serba-melihat... piramida yang belum selesai... lalu mendadak, beralih untuk mengungkapkan bentuk yang serupa di kejauhan... sebuah gedung besar berbentuk piramida... dengan lereng-lereng melandai yang menjulang membentuk puncak terpangkas.

House of the Temple.

Kengerian yang teramat sangat berkembang di dalam diri Langdon.

Video terus bergerak... kini lelaki itu bergegas menuju gedung tadi... menaiki tangga bertingkat-tingkatnya... menuju pintu-pintu perunggu raksasa... di antara dua penjaga berbentuk patung sphinx, seberat tujuh belas ton.

Seorang anggota baru sedang memasuki piramida inisiasi.

Kini kegelapan.

Sebuah organ pipa yang penuh kekuatan dimainkan di kejauhan... dan gambar baru mewujud.

Temple Room.

Langdon menelan ludah dengan susah payah.

Di layar, ruangan seperti gua itu menjadi hidup dengan penerangan listrik. Di bawah jendela langit-langit, altar marmer hitam bersinar dalam cahaya bulan. Dewan Mason derajat ketiga puluh tiga yang terkenal berkumpul di sekelilingnya dengan serius, duduk di kursi-kursi kulit-babi buatan-tangan untuk menjadi saksi. Kini video menyoroti wajah-wajah mereka dengan lambat dan sengaja.

Langdon menatap ngeri.

Walaupun benar-benar di luar dugaan, apa yang dilihatnya benar-benar masuk akal. Berkumpulnya kaum Mason paling berpangkat dan ahli di kota yang paling berkuasa di dunia akan secara logis menyertakan banyak individu yang berpengaruh dan terkenal. Dan memang, yang duduk di sekeliling altar, mengenakan sarung tangan sutra panjang, apron Mason, dan perhiasan berkilau, adalah beberapa lelaki yang paling berkuasa di negeri ini.

  Dua hakim Mahkamah Agung ...

  Menteri pertahanan...

  Juru bicara House of Representatives ...

Langdon merasa mual ketika video itu terus menyoroti wajah-wajah mereka yang hadir.

Tiga senator terkemuka... termasuk pemimpin partai mayoritas...

Menteri keamanan dalam negeri ...

Dan ...

Direktur CIA ...

Langdon hanya ingin berpaling, tapi dia tidak bisa. Adegan itu benar-benar menghipnotis, dan bahkan mengkhawatirkannya. Dalam sekejap, dia memahami sumber kegelisahan dan kekhawatiran Sato.

Kini, di layar, rekaman itu melebur menjadi gambar tunggal yang mengejutkan.

Tengkorak manusia... berisikan cairan merah tua. Caput mortuum yang terkenal sedang ditawarkan kepada kandidat itu oleh tangan-tangan ramping Peter Solomon - yang cincin Mason emasnya berkilau dalam cahaya lilin. Cairan merah itu anggur... tetapi berkilau seperti darah. Efek visualnya mengerikan.

Libation Kelima, (persembahan anggur kepada dewa-penerj.) pikir Langdon, yang sudah membaca penjelasan tangan-pertama mengenai sakramen ini dalam Letters on the Masonic Institution karya John Quincy Adams. Walaupun demikian, melihat berlangsungnya peristiwa itu... melihat peristiwa itu disaksikan dengan tenang oleh lelaki-lelaki paling berkuasa Amerika... adalah gambar paling menakjubkan yang pernah dilihat Langdon.

Kandidat itu mengambil tengkorak dengan kedua tangannya... wajahnya terpantul di permukaan tenang anggur. "Biarlah anggur yang sedang kuminum ini menjadi racun mematikan bagiku," ujarnya, "seandainya dengan sadar atau sengaja aku melanggar sumpahku."

Jelas, kandidat ini bermaksud melanggar sumpahnya melebihi segala yang bisa dibayangkan.

Langdon nyaris tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi seandainya video ini dipublikasikan. Tak seorang pun akan mengerti. Pemerintah akan terjerumus ke dalam pergolakan. Gelombang-gelombang udara akan dipenuhi suara kelompok-kelompok Mason, para fundamentalis, dan penganut-penganut teori konspirasi yang memuntahkan kebencian dan ketakutan, meluncurkan perseruan penyihir Puritan sekali lagi.

Langdon tahu, kebenaran akan dibelokkan. Seperti yang selama terjadi dengan kaum Mason.

Kebenaran bahwa kelompok persaudaraan itu memusatkan perhatian pada kematian sesungguhnya merupakan perayaan tegas kehidupan. Ritual Mason dirancang untuk membangkitkan manusia yang tertidur di dalam, mengangkatnya dari peti mati gelap ketidaktahuan, mengangkatnya ke dalam cahaya, dan memberinya mata untuk melihat. Hanya melalui pengalaman kematian, seorang manusia bisa memahami sepenuhnya pengalaman hidup-nya. Hanya melalui kesadaran bahwa hari-harinya di dunia terbatas.

Seorang manusia bisa memahami pentingnya menjalani hari-hari itu dengan kehormatan, integritas, dan pelayanan terhadap sesama manusia.

Inisiasi Mason mengejutkan, karena dimaksudkan untuk mengubah. Sumpah-sumpah Mason tidak kenal ampun, karena dimaksudkan sebagai pengingat bahwa hanya kehormatan manusia dan "perkataan"-nya yang bisa dibawanya dari dunia ini.

Karena dimaksudkan agar universal, ajaran-ajaran Mason kuno diajarkan melalui bahasa umum simbol dan metifora yang melampaui agama, kebudayaan, dan suku bangsa ... menciptakan kesadaran seluruh-dunia" tentang kasih persaudaraan.

Sejenak Langdon merasakan secercah harapan. Dia mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa, seandainya video ini bocor keluar, publik akan berpikiran terbuka dan toleran, menyadari bahwa semua ritual spiritual memang menyertakan aspek-aspek yang nampaknya menakutkan jika dikeluarkan dari konteks-pengulangan-pengulangan kembali peristiwa penyaliban, ritual-ritual penyunatan Yahudi, pembaptisan Mormon bagi mereka yang sudah meninggal, pengusiran setan dalam Katolik, niqab Islam, penyembuhan dengan hipnotis ala dukun, upacara Kaparot Yahudi, bahkan penyantapan tubuh dan darah Kristus secara figuratif.

Aku berkhayal, pikir Langdon. Video ini akan menciptakan kekacauan. Dia bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika para pemimpin terkemuka Rusia atau Dunia Islam terlihat dalam sebuah video, sedang menekankan pisau ke dada telanjang, mengucapkan sumpah-sumpah mengerikan, melakukan pembunuhan pura-pura, berbaring dalam peti mati simbolis, dan minum anggur dari tengkorak manusia. Protes global akan langsung terjadi dan sangat bergejolak.

Tuhan, tolong kami ....

Kini, di layar, kandidat itu mengangkat tengkorak ke bibir. Dia memiringkannya... menghabiskan anggur semerah darah... menyegel sumpahnya. Lalu, dia menurunkan tengkorak dan memandang kumpulan orang di sekelilingnya. Lelaki-lelaki yang paling berkuasa dan terpercaya di Amerika mengangguk puas tanda menerima.

"Selamat datang, Saudara," ujar Peter Solomon.

Ketika gambar itu memudar menjadi hitam, Langdon tersadar dirinya telah berhenti bernapas.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Sato menjulurkan tangan, menutup tas kerja itu, lalu mengangkatnya dari pangkuan Langdon. Langdon menoleh kepadanya, mencoba bicara, tapi dia tidak bisa menemukan kata-kata. Tak masalah. Pemahaman tampak di seluruh wajahnya. Sato benar. Malam ini terjadi krisis keamanan nasional... dengan proporsi yang tak terbayangkan.

BAB 118

Dengan hanya mengenakan cawat, Mal'akh berjalan mondar-mandir di depan kursi roda Peter Solomon. "Peter," bisiknya, menikmati setiap detik ketakutan tawanannya, "kau lupa kalau kau punya keluarga kedua... saudara-saudara Masonmu. Dan aku akan menghancurkan mereka juga...  kecuali jika kau membantuku."

Solomon tampak nyaris lumpuh dalam kilau laptop yang bertengger di atas pahanya. "Kumohon," katanya terbata-bata pada akhirnya, seraya mendongak. "Jika video ini beredar..."

"Jika?" Mal'akh tertawa. "Jika video ini beredar?" Dia menunjuk modem seluler kecil yang tersambung dengan sisi laptopnya. "Aku terhubung dengan dunia."

"Kau tidak akan...."

Aku akan melakukannya, pikir Mal'akh, menikmati kengerian Solomon. "Kau punya kekuatan untuk menghentikanku," katanya. "Dan menyelamatkan adikmu. Tapi, kau harus mengatakan apa yang ingin kuketahui. Kata yang Hilang tersembunyi di suatu tempat, Peter, dan aku tahu kisi ini mengungkapkan dengan tepat di mana lokasinya."

Peter kembali memandang kisi simbol-simbol itu, matanya tidak mengungkapkan sesuatu pun.

"Mungkin ini akan membantu menginspirasimu." Mal'akh menjulurkan tangan melewati bahu Peter dan menekan beberapa tombol pada laptop. Sebuah program e-mail terpampang di layar, dan Peter tampak menegang. Layar kini menyajikan e-mail yang dibuat Mal'akh malam tadi - arsip video yang ditujukan kepada sederetan panjang jaringan media utama.

Mal'akh tersenyum. "Kurasa, sudah saatnya kita membagikan informasi, bukan?"

"Jangan!"

Mal'akh menjulurkan tangan ke bawah dan menekan tombol kirim pada program itu. Peter menyentakkan tubuh dalam ikatan-ikatannya, berupaya menjatuhkan laptop ke lantai tanpa memproleh kesuksesan.

"Tenang, Peter," bisik Mal'akh. "Itu arsip besar. Perlu berapa menit untak dikirimkan." Dia menunjuk progress bar

MENGIRIM PESAN: 2% SELESAI

"Jika kau mengatakan apa yang ingin kuketahui, aku akan menghentikan e-mail itu, dan tak seorang pun akan melihatnya."

Wajah Peter memucat ketika pita kemajuan itu beringsut maju.

MENGIRIM PESAN: 4% SELESAI

Kini Mal'akh mengangkat komputer itu dari pangkuan Peter dan meletakkannya di atas salah satu kursi kulit-babi di dekat situ, lalu memutar layar sehingga Peter bisa menyaksikan kemajuannya. Lalu dia kembali ke samping Peter dan meletakkan halaman berisi simbol-simbol itu di pangkuannya. "Menurut legenda-legenda, Piramida Mason akan mengungkapkan Kata yang Hilang. Ini adalah kode terakhir piramida. Aku yakin, kau tahu cara membacanya."

Mal'akh melirik laptop.

MENGIRIM PESAN: 8% SELESAI

Mal'akh mengalihkan matanya kembali kepada Peter. Peter sedang menatapnya, mata kelabunya kini menyala oleh kebencian.

Harap membenciku, pikir Mal'akh. Semakin besar emosinya, semakin ampuh energi yang akan dilepaskan ketika ritual berakhir.

Di Langley, Nola Kaye menekankan telepon ke telinga, nyaris tidak mampu mendengar Sato di tengah kebisingan helikopter.

"Mereka bilang, mustahil untuk menghentikan pentransferan arsipnya!" teriak Nola. "Menutup ISP-ISP lokal perlu waktu setidaknya satu jam. Dan, jika dia punya akses untuk penyedia-layanan nirkabel, mematikan Internet melalui-kabel tidak akan menghentikan lelaki itu untuk mengirimkannya."

Menghentikan aliran informasi digital telah menjadi nyaris mustahil saat ini. Ada terlalu banyak rute akses menuju Internet. Dengan adanya jalur kabel, hot spot Wi-Fi, modem seluler, telepon SAT, telepon-super, dan PDA yang dilengkapi e-mail, satu-satunya cara untuk mengisolasi kebocoran data potensial adalah dengan menghancurkan mesin sumbernya.

"Aku melihat lembar spesifikasi helikopter UH-60 yang kau tumpangi," ujar Nola, "dan tampaknya Anda dilengkapi EMP."

Senapan electromagnetic-pulse atau EMP kini sudah umum di antara para agen penegak hukum. Mereka terutama menggunakannya untuk menghentikan mobil yang kabur dari jarak aman. Dengan menembakkan denyut terkonsentrasi-tinggi radiasi elektromagnetik, sebuah senapan EMP bisa secara efektif membakar elektronik alat apa pun yang menjadi sasaran - mobil, ponsel, komputer. Menurut lembar spesifikasi Nola, UH-60 punya magnetron enam-gigahertz dan pembidik-laser yang dipasang pada kerangka helikopter, dengan gain horn lima puluh dB yang menghasilkan denyut sepuluh gigawatt. Jika ditembakkan langsung pada sebuah laptop, denyut itu akan membakar motherboard komputer dan langsung menghapus hard drive-nya.

"EMP tidak akan berguna," teriak Sato menjawab. "Sasaran berada di dalam gedung batu. Tidak ada celah untuk melihat dan ada pelindung elektromagnetik tebal. Kau sudah mendapat petunjuk apakah videonya sudah menyebar?"

Nola melirik monitor kedua yang terus-menerus menjalankan pencarian berita-berita terkini mengenai kaum Mason. "Belum Ma'am. Tapi, seandainya sudah beredar luas, kita akan tahu dalam hitungan detik."

"Laporkan terus perkembangannya." Sato menutup telepon.

Langdon menahan napas ketika helikopter turun dari langit menuju Dupont Circle. Sekelompok pejalan kaki menyebar ketika helikopter itu turun melalui celah di antara pepohonan dan mendarat keras di halaman, persis di selatan air mancur dua-tingkat yang dirancang oleh dua lelaki yang juga menciptakan Lincoln Memorial.

Tiga puluh detik kemudian, Langdon ngebut di dalam SUV Lexus sitaan, membelah New Hampshire Avenue menuju House of the Temple.

Peter Solomon berupaya mati-matian memikirkan apa yang harus dilakukan. Yang terbayang di dalam pikirannya hanyalah Katherine berdarah di ruang bawah tanah... dan video yang baru saja disaksikannya. Dia menoleh perlahan-lahan ke arah laptop di atas kursi kulit-babi yang berjarak beberapa meter.  Progress bar-nya nyaris terisi sepertiganya.

MENGIRIM PESAN: 29 % SELESAI

Lelaki bertato itu kini berjalan pelan mengelilingi altar persegi empat, seraya mengayun-ayunkan wadah dupa dan merapal sendiri. Gumpalan-gumpalan tebal asap putih berpusar-pusar naik menuju jendela langit-langit. Mata lelaki itu kini melebar, dan tampaknya dia kerasukan roh jahat. Peter mengalihkan pandangan ke pisau kuno yang tergeletak menunggu di atas kain sutra putih yang dibentangkan di atas altar.

Peter Solomon yakin dirinya akan mati di kuil ini malam ini. Pertanyaannya adalah cara matinya. Akankah dia menemukan jalan untuk menyelamatkan adiknya dan kelompok persaudaraannya... atau akankah kematiannya benar-benar sia-sia?

Dia menunduk memandangi kisi simbol-simbol itu. Ketika pertama kali melihat kisi itu, keterkejutannya saat itu telah membutakannya... mencegahnya untuk menembus selubung kekacauan... untuk sekilas melihat kebenaran yang mengejutkan. Akan tetapi, pentingnya simbol-simbol itu kini menjadi sangat jelas baginya. Dia melihat kisi itu dengan pandangan yang sama sekali baru.

Peter Solomon tahu pasti apa yang harus dilakukannya.

Dia menghela napas panjang, mendongak memandang bulan melalui jendela langit-langit di atas sana, lalu mulai bicara.

Semua kebenaran agung adalah sederhana.

Mal'akh sudah tahu itu lama sekali.

Solusi yang kini dijelaskan Peter Solomon begitu elegan dan murni, sehingga Mal'akh meyakini kebenarannya. Yang menakjubkan, solusi untuk kode terakhir piramida itu ternyata jauh lebih sederhana daripada segala yang dibayangkannya.

Kata yang Hilang berada tepat di depan mataku.

Dalam sekejap, cahaya terang menembus keburaman sejarah dan mitos yang mengelilingi Kata yang Hilang. Seperti yang dijanjikan, Kata yang Hilang itu memang ditulis dalam bahasa kuno, dan memiliki kekuatan mistis di dalam semua filsafat, agama, dan ilmu pengetahuan yang dikenal oleh manusia. Alkimia, astrologi, Kabbalah, Kristen, Buddhisme, Rosicrucianisme, Persaudaraan Mason Bebas, astronomi, fisika, Noetic....

Mal'akh, yang kini berdiri di dalam bilik inisiasi ini di atas piramida besar Heredom, memandang harta karun yang dicarinya selama bertahun-tahun ini. Dan dia tahu, dia tidak mungkin bisa menyiapkan dirinya sendiri dengan lebih sempurna.

Sebentar lagi aku akan lengkap.

Kata yang Hilang sudah ditemukan.

Di Kalorama Heights, seorang agen CIA berdiri di antara lautan sampah yang dikeluarkannya dari tempat-tempat sampah yang ditemukan di garasi.

"Miss Kaye?" katanya, bicara dengan analis Sato lewat telepon "Menggeledah sampahnya adalah ide yang bagus. Kurasa, aku baru saja menemukan sesuatu."

Di dalam rumah, Katherine Solomon merasa semakin kuat dengan berlalunya waktu. Infus larutan laktat Ringer's telah sukses menaikkan tekanan darahnya dan melenyapkan sakit kepalanya yang berdenyut-denyut. Dia kini beristirahat, duduk di ruang makan dan mendapat instruksi eksplisit agar tetap tak bergerak. Saraf-sarafnya terasa tegang, dan dia semakin cemas menantikan berita mengenai kakaknya.

Di mana semua orang? Tim forensik CIA belum datang, dan agen yang tetap tinggal masih pergi menggeledah tempat itu. Tadinya Bellamy duduk bersama Katherine di ruang makan, dengan masih berbalut selimut darurat, tapi kini lelaki itu juga pergi mencari informasi apa pun yang mungkin bisa membantu CIA menyelamatkan Peter.

Katherine, yang tidak bisa duduk diam, bangkit berdiri,  terhuyung-huyung, lalu beringsut perlahan-lahan menuju ruang tamu. Dia menemukan Bellamy di ruang kerja. Arsitek itu sedang berdiri di depan sebuah laci terbuka, memunggungi Katherine, tampaknya terlalu asyik dengan isi laci sehingga tidak mendengar perempuan itu masuk.

Katherine berjalan ke belakangnya. "Warren?"

Lelaki tua itu terperanjat dan berbalik, cepat-cepat menutup laci dengan pinggulnya. Wajahnya digurati keterkejutan dan kedukaan, pipinya dialiri air mata.

"Ada apa?!" Katherine menunduk memandang laci itu. "Apa isinya?"

Bellamy tampak seperti tak mampu berkata-kata. Dia terlihat seperti seseorang yang menyesal melihat sesuatu yang dia harap tak pernah dilihatnya.

"Apa isi laci itu?" desak Katherine.

Mata Bellamy yang penuh air mata memandangnya penuh kedukaan untuk waktu yang lama. Akhirnya dia bicara, "Kau dan aku bertanya-tanya mengapa... mengapa lelaki ini tampaknya membenci keluargamu."

Alis Katherine berkerut. "Ya?"

"Nah...." Suara Bellamy tercekat. "Aku baru saja menemukan jawabannya."

BAB 119

Di dalam bilik di puncak House of the Temple, lelaki yang menamakan dirinya sendiri Mal'akh itu berdiri di depan altar besar dan perlahan-lahan memijat kulit perawan di puncak kepalanya.

Verbum significatium, rapalnya sebagai persiapan. Verbum significatium. Bahan terakhir telah ditemukan pada akhirnya.

Sering kali harta karun yang paling berharga adalah yang paling sederhana.

Di atas altar, gumpalan-gumpalan asap wangi kini berpusar-pusar, membubung dari wadah dupa. Asap itu naik melewati bekas cahaya bulan, membersihkan saluran menuju langit yang bisa ditempuh dengan lancar oleh jiwa yang terbebaskan.

Saatnya sudah tiba.

Mal'akh mengeluarkan botol kecil berisi darah Peter yang berwarna gelap dan membuka tutupnya. Diiringi pandangan tawanannya, dia mencelupkan ujung pena bulu gagak ke dalam tintamerah tua itu, lalu mengangkatnya ke lingkaran daging suci di puncak kepalanya. Dia terdiam sejenak... merenungkan berapa lama dia telah menunggu untuk malam ini. Perubahan besarnya akhirnya sudah dekat. Ketika Kata yang Hilang tertulis di benak manusia, manusia itu siap menerima kekuatan yang tak terbayangkan. Begitulah janji kuno apotheosis. Sejauh ini, umat manusia tidak mampu mewujudkan janji itu, dan Mal'akh berbuat sebisa mungkin untuk menjaganya agar tetap seperti itu.

Dengan tangan mantap, Mal'akh menyentuhkan ujung pena bulu ke kulitnya. Dia tidak memerlukan cermin, tidak memerlukan bantuan, hanya menggunakan indra sentuhan dan mata pikirannya. Perlahan-lahan, dengan cermat, dia mulai menuliskan Kata yang Hilang di dalam ouroboros melingkar di kulit kepalanya.

Peter Solomon menyaksikan dengan raut walah ngeri.

Ketika sudah selesai, Mal'akh memejamkan mata, meletakkan bulu itu, dan membiarkan udara keluar seluruhnya dari paru-paru. Untuk pertama kalinya dalam hidup, dia merasakan sensasi yang belum pernah dikenalnya.

Aku sudah lengkap.

Aku menyatu.

Sudah bertahun-tahun Mal'akh mengerjakan artefak yang adalah tubuhnya. Dan kini, ketika mendekati momen perubahan terakhimya, dia bisa merasakan setiap garis yang pernah ditorehkan di kulitnya. Aku adalah mahakarya sejati. Sempurna dan lengkap.

"Sudah kuberikan apa yang kau minta," sela suara Peter. "Panggilkan bantuan untuk Katherine. Dan hentikan arsip itu."

Mal'akh membuka mata dan tersenyum. "Kau dan aku belum benar-benar selesai." Dia berbalik ke altar dan memungut pisau pengorbanan itu, lalu menelusurkan jari tangan melintasi bilah besi rampingnya. "Pisau kuno ini dibuat atas Perintah Tuhan," katanya, "untuk digunakan dalam pengorbanan manusia. Kau tadi mengenalinya, bukan?"

Mata kelabu Solomon seperti batu. "Pisau itu unik, dan aku sudah mendengar legendanya."

"Legenda? Penjelasannya muncul di dalam Kitab Sud. Kau tidak memercayai kebenarannya?"

Peter hanya menatap.

Mal'akh telah menghabiskan banyak uang untuk mencari dan memperoleh artefak ini. Dikenal sebagai Pisau Akedah, benda ini diciptakan lebih dari tiga ribu tahun lalu dari meteorit besi yang jatuh ke bumi. Besi dari surga, begitulah para penganut mistik kuno menyebutnya. Benda ini diyakini  merupakan pisau yang sama yang digunakan oleh Abraham saat Akedah - pengorbanan putranya, Ishak, yang nyaris terjadi di Gunung Moria-seperti yang dijelaskan dalam Kitab Kejadian. Sejarah menakjubkan pisau itu menyertakan kepemilikan oleh paus-paus, penganut-penganut mistik Nazi, alkemis-alkemis Eropa, dan kolektor-kolektor pribadi.

Mereka melindungi dan mengaguminya, pikir Mal'akh, tapi tak seorang pun berani melepaskan kekuatan sejati pisau itu dengan menggunakannya untuk tujuannya yang sesungguhnya. Malam ini, pisau Akedah itu akan memenuhi takdirnya.

Akedah selalu dianggap suci dalam ritual Mason. Di dalam derajat yang paling awal, kaum Mason memperingati "hadiah termulia yang pernah dipersembahkan kepada Tuhan... kepatuhan Abraham terhadap kehendak Yang Mahatinggi dengan mempersembahkan Ishak, putra pertamanya."

Bobot pisau itu terasa menyenangkan di tangan Mal'akh ketika dia berjongkok dan menggunakan pisau yang baru saja diasah itu untuk memutuskan tali-tali yang mengikat Peter di kursi rodanya. Ikatan-ikatan itu jatuh ke lantai .

Peter Solomon mengernyit kesakitan ketika berupaya menggeser tungkai-tungkainya yang mengejang. "Mengapa kau melakukan hal ini kepadaku? Menurutmu, apa yang bisa kau capai dengan semua ini?"

"Dibandingkan dengan semua orang lainnya, kau seharusnya mengerti," jawab Mal'akh. "Kau mempelajari tradisi kuno. Kau, tahu bahwa kekuatan misteri-misteri itu bergantung pada pengorbanan... pada pelepasan jiwa manusia dari tubuhnya. Sudah seperti ini semenjak permulaan."

"Kau tidak tahu apa-apa mengenai pengorbanan," ujar Peter. Suaranya dipenuhi rasa sakit dan kebencian.

Bagus sekali, pikir Mal'akh. Kobarkan kebencianmu. Itu hanya akan membuat pengorbanan ini lebih mudah.

Perut kosong Mal'akh keroncongan ketika dia mondar-mandir di hadapan tawanannya. "Ada kekuatan yang sangat besar dalam tindakan mengeluarkan darah manusia. Semuanya memahami hal itu, mulai dari orang Mesir kuno sampai pendeta Celtic, orang Cina, suku Aztec. Ada keajaiban dalam pengorbanan manusia, tapi manusia modern telah menjadi lemah, terlalu takut untuk memberikan persembahan sejati, terlalu rapuh untuk menyerahkan kehidupan yang diperlukan untak perubahan spiritual. Tapi, teks-teks kuno dengan amat jelas menerangkannya. Seseorang hanya bisa mengakses kekuatan tertinggi dengan mempersembahkan sesuatu yang tersuci."

"Kau menganggap-ku sebagai persembahan suci?"

Kini Mal'akh tertawa keras. "Kau benar-benar belum mengerti, bukan?"

Peter memandangnya dengan aneh.

"Tahukah kau mengapa aku punya tangki deprivasi-indra di rumahku?" Mal'akh berkacak pinggang dan melenturkan tubuhnya yang dihias rumit, yang hanya ditutupi dengan cawat. "Aku sudah mempraktikkan... menyiapkan... mengantisipasi momen ketika diriku hanya berupa pikiran... ketika aku terlepas dari cangkang fana ini... ketika aku mempersembahkan tubuh indah ini kepada dewa-dewa dalam pengorbanan. Aku-lah yang berharga! Aku domba putih murni!"

Mulut Peter ternganga, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.

"Ya, Peter, seseorang harus mempersembahkan kepada dewa-dewa sesuatu yang paling dicintainya. Merpati putih termurninya... persembahan yang paling berharga dan layak. Kau tidak berharga bagiku. Kau bukan persembahan yang layak." Mal'akh memelototinya. "Tidakkah kau mengerti? Bukan kau yang dikorbankan, Peter.... Aku-lah korbannya. Daging persembahan itu milikku. Aku-lah hadiah itu. Pandanglah aku. Aku sudah siap, membuat diriku layak untuk perjalanan terakhirku. Akulah hadiah itu!"

Peter tetap tidak mampu berkata-kata.

"Rahasianya adalah cara untuk mati," ujar Mal'akh kini. "Kaum Mason memahaminya." Dia menunjuk altar. "Kau menghormati kebenaran-kebenaran kuno, tetapi kau pengecut. Kau memahami kekuatan pengorbanan, tetapi kau tetap mengambil jarak yang aman dari kematian, melakukan segala pembunuhan pura-pura dan ritual kematian tanpa-darah. Malam ini, altar simbolismu akan menyaksikan kekuatan sejatinya... dan tujuannya yang sesungguhnya."

Mal'akh menjulurkan tangan ke bawah dan mencengkeram tangan kiri Peter Solomon, menekankan pegangan Pisau Akedah itu ke telapak tangannya. Tangan kiri melayani kegelapan. Ini juga telah direncanakan. Peter tidak akan punya pilihan dalam hal ini. Mal'akh tidak bisa membayangkan pengorbanan yang lebih ampuh dan simbolis daripada pengorbanan yang dilakukan di atas altar ini, oleh lelaki ini, dengan pisau ini, dihunjamkan ke dalam jantung persembahan yang daging fananya terbungkus seperti hadiah dalam selubung simbol-simbol mistis.

Dengan persembahan diri ini, Mal'akh akan menetapkan tingkatannya dalam hierarki iblis. Kekuatan sejati terletak di dalam kegelapan dan darah. Orang-orang kuno tahu itu, dan  para Ahli memilih sisi yang konsisten dengan sifat alami individual mereka. Mal'akh telah memilih keberpihakannya dengan bijak. Kekacauan adalah hukum alami alam semesta. Ketidakacuhan adalah mesin entropi. Keapatisan manusia adalah lahan subur tempat roh-roh gelap merawat benih mereka.

Aku telah melayani mereka, dan mereka akan menerimaku sebagai dewa.

Peter tidak bergerak. Dia hanya menunduk menatap pisau kuno yang tergenggam di tangannya.

"Aku memaksamu," ejek Mal'akh. "Aku mengorbankan diri dengan sukarela. Peranan terakhirmu telah digariskan. Kau akan mengubahku. Kau akan membebaskanku dari tubuhku. Lakukan ini, atau kau akan kehilangan adik dan kelompok persaudaraanmu. Kau akan benar-benar sendirian." Dia terdiam, tersenyum kepada tawanannya. "Anggaplah ini sebagai hukuman terakhirmu."

Mata Peter perlahan-lahan terangkat dan bertemu dengan mata Mal'akh. "Membunuh-mu? Hukuman? Menurutmu, aku akan merasa ragu? Kau membunuh putraku. Ibuku. Seluruh keluargaku."

"Tidak!" teriak Mal'akh dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. "Kau keliru! Aku tidak membunuh keluargamu! Kau-lah yang melakukannya! Kau-lah yang membuat pilihan untuk meninggalkan Zachary di dalam penjara! Dan dari sana, roda-roda menggelinding! Kau yang membunuh keluargamu, Peter, bukan aku!"

Buku-buku jari tangan Peter berubah putih, jari-jarinya mencengkeram pisau dalam kemarahan. "Kau sama sekali tidak tahu mengapa aku meninggalkan Zachary di dalam penjara."

"Aku mengetahui semuanya!" bentak Mal'akh. "Aku ada di sana. Kau menyatakan sedang mencoba membantu Zachary. Apakah kau sedang mencoba membantu-nya ketika menawarinya pilihan antara kekayaan atau kebijakan? Apakah kau sedang mencoba membantu-nya ketika kau memberinya ultimaturn untuk bergabung dengan Persaudaraan Mason? Ayah macam apa yang memberi anaknya pilihan antara 'kekayaan atau kebijakan' dan mengharapkannya tahu cara memilih yang benar! Ayah macam apa yang meninggalkan putranya sendiri di dalam penjara, dan bukannya menerbangkannya pulang ke tempat aman!" Kini Mal'akh berjalan ke depan Peter dan berjongkok, meletakkan wajah bertatonya hanya beberapa inci dari wajah Peter. "Tapi yang terpenting... ayah macam apa yang bisa memandang mata putranya sendiri... bahkan setelah bertahun-tahun ini... dan bahkan tidak bisa mengenali-nya?"

Kata-kata Mal'akh menggema selama beberapa detik di dalam bilik batu itu.

Lalu hening.

Dalam keheningan mendadak itu, Peter Solomon tampak terguncang dari keadaan terhipnotisnya. Wajahnya kini diliputi ketidakpercayaan total.

Ya, Ayah. Ini aku. Mal'akh sudah menunggu bertahun-tahun untuk saat ini... membalas dendam kepada lelaki yang telah meninggalkannya... menatap ke dalam mata kelabu itu dan mengucapkan kebenaran yang terkubur selama bertahun-tahun ini. Kini saat itu sudah tiba, dan dia bicara dengan lambat, ingin menyaksikan beban kata-katanya perlahan-lahan menghancurkan jiwa Peter Solomon. "Kau seharusnya senang, Ayah. Anak durhakamu sudah kembali."

Wajah Peter kini sepucat mayat.

Mal'akh menikmati setiap detiknya. "Ayahku sendiri yang membuat keputusan untuk meninggalkanku di penjara... dan saat itu juga, aku bersumpah, itu akan menjadi penolakan terakhirnya. Aku bukan lagi putranya. Zachary Solomon sudah tidak ada lagi."

Dua air mata berkilauan mendadak menggenangi mata ayahnya, dan Mal'akh menganggapnya sebagai benda terindah yang pernah dilihatnya.

Peter menahan air matanya, menatap wajah Mal'akh seakan melihatnya untuk pertama kali.

"Yang diinginkan sipir itu hanyalah uang," ujar Mal'akh, "tapi kau menolak. Akan tetapi, tak pernah terpikirkan olehmu bahwa uang-ku sama berharganya dengan uangmu. Sipir itu tak peduli siapa yang membayarnya, asalkan dia dibayar. Ketika aku menawarkan diri untuk membayarnya dengan banyak uang, dia memilih seorang narapidana sakit-sakitan yang kira-kira seukuran denganku, memakaikan pakaianku padanya, dan memukulinya sampai benar-benar tidak bisa dikenali lagi. Foto-foto yang kau lihat... dan peti mati tertutup rapat yang kau kuburkan... bukanlah milikku. Tapi milik seorang asing."

Wajah Peter yang dipenuhi air mata kini mengernyit dalam kesedihan dan ketidakpercayaan. "Ya Tuhan... Zachary."

"Bukan lagi. Ketika Zachary berjalan meninggalkan penjara, dia berubah."

Perawakan remaja dan wajah kekanak-kanakannya berubah drastis ketika dia membanjiri tubuh mudanya dengan hormon pertumbuhan eksperimental dan steroid. Bahkan, pita suaranya telah rusak, mengubah suara kekanak-kanakannya menjadi bisikan permanen.

Zachary menjadi Andros.

Andros menjadi Mal'akh.

Dan malam ini...  Mal'akh akan menjadi inkarnasi terbesarnya. Tepat pada saat itu, di Kalorama Heights, Katherine Solomon berdiri di depan laci meja terbuka dan menunduk memandangi sesuatu yang hanya bisa dijelaskan sebagai koleksi artikel dan foto koran tua milik seorang pemuja.

"Aku tidak mengerti," katanya, seraya berpaling kepada Bellamy, "Orang gila ini jelas terobsesi dengan keluargaku, tapi-"

"Teruslah mencari..." desak Bellamy, seraya duduk dan masih tampak sangat terguncang.

Katherine menggeledah lebih jauh artikel-artikel koran itu, yang kesemuanya berhubungan dengan keluarga Solomon... semua kesuksesan Peter, riset Katherine, pembunuhan mengerikan Isabel ibu mereka, penggunaan narkoba dan pemenjaraan Zachary Solomon, serta pembunuhan brutalnya di sebuah penjara Turki yang dipublikasikan secara luas.

Keterpikatan lelaki ini terhadap keluarga Solomon melebihi kefanatikan, tetapi Katherine belum melihat sesuatu pun yang menjelaskan mengapa.

Lalu dia melihat foto-foto itu. Yang pertama menunjukkan Zachary sedang berdiri di dalam air biru langit setinggi lutut di sebuah pantai yang dipenuhi rumah berlabur putih. Yunani? Katherine menganggap foto itu diambil selama hari-hari merdeka Zach yang penuh narkoba di Eropa. Akan tetapi, anehnya, Zach tampak lebih sehat jika dibandingkan dengan yang tampak dalam foto-foto paparazi yang menunjukkan seorang anak ceking berpesta dengan kelompok pecandu narkoba. Dia tampak lebih bugar, entah bagaimana lebih kuat, lebih dewasa. Katherine tidak ingat pernah melihat Zach tampak sesehat itu.

Dengan bingung, dia mengecek tanggal dalam foto.

Tapi itu... mustahil.

Tanggalnya hampir setahun penuh setelah Zach meninggal di penjara.

Mendadak Katherine membolak-balik tumpukan foto itu dengan bersemangat. Semuanya foto Zachary Solomon... perlahan-lahan menjadi semakin dewasa. Koleksi itu tampaknya semacam autobiografi gambar, mengurutkan sebuah perubahan lambat. Ketika foto-foto itu berlanjut, Katherine melihat perubahan yang mendadak dan dramatis. Dia memandang ngeri ketika tubuh Zachary mulai bermutasi, otot-ototnya menonjol, dan raut wajahnya berubah - jelas akibat pemakaian terlalu banyak steroid. Massa tubuhnya tampak berkembang dua kali lipat, dan kekejaman mengerikan merayapi matanya.

Aku bahkan tidak mengenali lelaki ini!

Dia sama sekali tidak tampak seperti keponakan kecil dalam ingatan-ingatan Katherine. Ketika tiba pada foto Zach dengan kepala plontos, Katherine merasakan lututnya mulai lemas. Lalu dia melihat foto tubuh telanjang Zach... dihiasi sketsa-sketsa tato pertama.

Jantungnya hampir berhenti berdetak. "Ya Tuhanku."

BAB 120

"Belok kanan! " teriak Langdon dari kursi belakang SUV Lexus sitaan. Simkins berbelok ke S Street dan mengarahkan kendaraan melewati lingkungan perumahan yang didereti pepohonan. Ketika mereka mendekati pojok Sixteenth Street, House of the Temple menjulang seperti gunung di sebelah kanan.

Simkins mendongak menatap bangunan besar itu. Seakan seseorang telah membangun piramida di puncak Pantheon Roma. Dia bersiap untuk belok ke kanan di Sixteenth, bagian depan gedung.

"Lihat!," ujar Langdon, seraya menunjuk satu-satunya kendaraan yang terparkir di dekat pintu masuk belakang. Van besar. "Mereka di sini!"

Simkins memarkir SUV dan mematikan mesin. Diam-diam semua orang keluar dan bersiap masuk. Simkins mendongak memandang bangunan monolitik itu. "Kau bilang Tempel Room ada di puncak-nya?"

Langdon mengangguk, menunjuk jauh ke puncak bangunan. "Area datar di puncak piramida itu sesungguhnya jendela langit-langit."

Simkins berputar kembali menghadap Langdon. "Temple Room itu punya jendela di langit-langitnya?"

Langdon memandangnya dengan aneh. "Tentu saja. Jendela langit-langit menuju surga... persis di atas altar."

UH-60 itu bertengger tenang di Dupont Circle.

Di kursi penumpang, Sato menggigiti kuku-kuku jari tangannya, menunggu berita dari timnya.

Akhirnya, suara Simkins bergemeresak di radio. "Direktur?"

"Sato di sini," bentaknya.

"Kami memasuki gedung, tapi aku punya informasi tambahan untukmu."

"Katakan."

"Mr. Langdon baru saja memberi tahu bahwa ruangan yang kemungkinan besar ditempati sasaran punya jendela langit-langit yang sangat besar."

Sato merenungkan informasi itu selama beberapa detik. "Paham. Terima kasih.'

Simkins mengakhiri pembicaraan.

Sato meludahkan kuku jari tangan dan berpaling kepada pilot.

"Terbangkan helikopternya."

BAB 121

Seperti orangtua mana pun yang pernah kehilangan anak, Peter Solomon sering membayangkan berapa usia putranya kini... bagaimana tampangnya... dan sudah menjadi apa dia.

Kini, Peter Solomon mendapatkan semua jawabannya.

Makhluk besar bertato di hadapannya memulai kehidupan sebagai bayi mungil yang berharga... bayi Zach yang meringkuk di dalam keranjang bayi... melangkah gamang untuk pertama kalinya melintasi ruang kerja Peter... belajar mengucapkan kata-kata pertamanya. Kenyataan bahwa kejahatan bisa muncul dari anak tak berdosa di dalam keluarga penuh cinta tetap menjadi salah satu paradoks jiwa manusia. Peter dipaksa untuk menerima sejak awal bahwa, walaupun darahnya sendiri mengalir dalam pembuluh-pembuluh darah putranya, jantung yang memompakan darah itu adalah jantung putranya sendiri. Unik dan tunggal... seakan dipilih secara acak dari alam semesta.

Putraku ... dia membunuh ibuku, temanku Robert Langdon, dan mungkin adikku.

Jantung Peter dibanjiri perasaan mati-rasa yang membekukan ketika dia meneliti mata putranya untuk mencari adanya hubungan... apa pun yang dikenalnya. Tetapi, mata lelaki itu, walaupun kelabu seperti mata Peter, adalah milik orang yang benar-benar asing, penuh kebencian dan dendam yang nyaris berasal dari dunia lain.

"Cukup kuatkah kau?" ejek putranya, seraya melirik Pisau Akedah yang tergenggam di tangan Peter. "Bisakah kau menyelesaikan apa yang kau mulai bertahun-tahun lalu itu?"

"Nak...." Solomon nyaris tidak mengenali suaranya sendiri. "Aku... aku mencintai... mu."

"Dua kali kau mencoba membunuhku. Kau meninggalkan di dalam penjara. Kau menembakku di jembatan Zach. Sekarang selesaikan-lah!"

Sekejap, Solomon merasa seakan dirinya sedang melayang keluar dari tubuhnya. Dia tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Dia kehilangan sebelah tangan, benar-benar botak, mengenakan jubah hitam, duduk di kursi roda, dan mencengkeram pisau kuno.

"Selesaikan!" teriak lelaki itu lagi. Tato-tato di dadanya beriak-riak. "Membunuhku adalah satu-satunya caramu untuk nyelamatkan Katherine...  satu-satunya cara untuk menyelamatkan kelompok persaudaraanmu!"

Solomon merasakan pandangannya beralih menuju laptop dan modern seluler di atas kursi kulit-babi.

MENGIRIM PESAN: 92% SELESAI

Benaknya tidak mampu menyingkirkan gambaran Katherine berdarah sampai mati... atau saudara-saudara Masonnya.

"Masih ada waktu," bisik lelaki itu. "Kau tahu, itu satu-satunya pilihan. Bebaskan aku dari cangkang fanaku."

"Kumohon," ujar Solomon. "Jangan lakukan ini..."

"Kau yang melakukannya!" desis lelaki itu. "Kau memaksa anakmu untuk membuat pilihan yang mustahil! Kau ingat malam itu? Kekayaan atau kebijakan? Malam itu, kau menyingkirkanku untuk selamanya. Tapi aku kembali, Ayah... dan malam ini giliranmu untuk memilih. Zachary atau Katherine? Yang mana? Akankah kau membunuh putramu untuk menyelamatkan adikmu? Akankah kau membunuh putramu untuk menyelamatkan saudara-saudaramu? Negaramu? Atau akankah kau menunggu sampai terlambat? Sampai Katherine mati... sampai video itu tersebar... sampai kau harus menjalani sisa hidupmu dengan kesadaran bahwa kau bisa menghentikan tragedi-tragedi ini. Waktunya hampir habis. Kau tahu apa yang harus dilakukan."

Jantung Peter terasa nyeri. Kau bukan Zachary, katanya kepada diri sendiri. Zachary sudah mati lama, lama sekali. Apa pun dirimu... dan dari mana pun kau beraasal... kau bukan bagian dariku. Dan walaupun Peter Solomon tidak meyakini kata-katanya sendiri, dia tahu dirinya harus memilih.

Dia kehabisan waktu.

Temukan Tangga Utama!

Robert Langdon melesat melewati lorong-lorong gelap, meliuk-liuk menuju bagian tengah gedung. Turner Simkins tetap mengikuti di belakangnya. Seperti yang diharapkan Langdon, dia memasuki atrium utama gedung.

Atrium yang didominasi delapan kolom Doric dari granit hijau itu tampak seperti makam hibrida � Yunani � Romawi � Mesir - dengan patung-patung marmer hitam, mangkuk-mangkuk lampu, salib-salib Teutonic, medali-medali phoenix berkepala-dua, dan tempat-tempat lilin berhias kepala Hermes.

Langdon berbelok dan lari menuju tangga marmer megah di ujung jauh atrium. "Ini langsung menuju Temple Room," bisiknya, ketika kedua lelaki itu naik secepat dan sehening mungkin.

Di puncak tangga pertama, Langdon berhadapan dengan patung-dada perunggu anggota Mason terkenal Albert Pike, bersama-sama dengan ukiran ucapannya yang paling terkenal: SESUATU YANG KITA LAKUKAN HANYA UNTUK DIRI KITA SENDIRI AKAN MATI BERSAMA KITA; SESUATU YANG KITA LAKUKAN UNTUK ORANG LAIN DAN DUNIA AKAN BERTAHAN DAN ABADI.

Mal'akh merasakan pergeseran nyata dalam atmosfer Temple Room, seakan semua rasa sakit dan frustrasi yang pernah dirasakan oleh Peter Solomon kini bergolak ke permukaan... memusatkan diri, seperti laser, pada Mal'akh.

Ya ... sudah saatnya.

Peter Solomon sudah bangkit dari kursi roda, dan kini sedang berdiri menghadap altar dengan menggenggam pisau.

"Selamatkan Katherine," bujuk Mal'akh, yang memancingnya menuju altar. Mal'akh mundur dan akhirnya membaringkan buhnya sendiri di atas selubung putih yang sudah disiapkan. "Lakukan apa yang harus kau lakukan."

Seakan bergerak melewati mimpi buruk, Peter bergerak maju.

Mal'akh kini berbaring telentang sepenuhnya, memandang bulan musim dingin lewat jendela langit-langit. Rahasianya adalah cara untuk mati. Momen ini tidak bisa lebih sempurna lagi. Dihiasi Kata yang Hilang selama berabad-abad, aku mempersembahkan diriku sendiri melalui tangan kiri ayahku.

Mal'akh menghela napas panjang.

Terimalah aku, para iblis, karena inilah tubuhku, yang kupersembahkan untuk kalian.

Berdiri menghadap Mal'akh, Peter Solomon gemetar. Matanya yang dibasahi air mata berkilau oleh keputusasaan, keraguan dan kepedihan. Dia memandang modem dan laptop di seberang ruangan untuk terakhir kalinya.

"Tentukan pilihanmu," bisik Mal'akh. "Lepaskan aku dari dagingku. Tuhan menginginkannya. Kau menginginkannya." Dia, meletakkan lengannya pada masing-masing sisi tubuh dan melengkungkan dadanya ke atas, mempersembahkan phoenix berkepala-duanya yang menakjubkan. Bantu aku melepaskan tubuh yang menyelubungi jiwaku.

Kini mata Peter yang penuh air mata tampak menatap menembus Mal'akh, dan bahkan tidak memandangnya.

"Aku membunuh ibumu!" bisik Mal'akh. "Aku membunuh Robert Langdon! Aku sedang membunuh adikmu! Aku sedang menghancurkan kelompok persaudaraan-mu! Lakukan apa yang harus kau lakukan!"

Kini raut wajah Peter Solomon mengernyit membentuk kedok kesedihan dan penyesalan absolut. Dia mendongak dan berteriak penuh kepedihan ketika mengangkat pisau.

Robert Langdon dan Agen Simkins tiba dengan tersengal-sengal di luar pintu-pintu Temple Room ketika sebuah teriakan yang membekukan darah membahana dari dalam. Suara Peter. Langdon yakin itu.

Teriakan Peter mengungkapkan penderitaan absolut.

Aku terlambat!

Dengan mengabaikan Simkins, Langdon meraih pegangan pintu dan menariknya untuk membuka pintu-pintu itu. Adegan mengerikan di hadapannya menegaskan ketakutan terburuknya. Di sana, di tengah bilik berpenerangan suram, siluet seorang lelaki berkepala plontos tampak berdiri di depan altar besar. Dia mengenakan jubah hitam, dan tangannya mencengkeram pisau besar.

Sebelum Langdon bisa bergerak, lelaki itu menghunjamkan pisaunya ke arah tubuh yang berbaring telentang di atas altar.

Mal'akh memejamkan mata.

Begitu indah. Begitu sempurna.

Bilah Pisau Akedah kuno berkilau dalam cahaya bulan ketika berada di atas tubuhnya. Gumpalan-gumpalan asap wangi bergulung-gulung naik di atas tubuhnya, menyiapkan jalan bagi jiwanya yang akan segera terbebas. Teriakan penuh penderitaan dan keputusasaan pembunuhnya masih menggema di seluruh ruang suci itu ketika pisau menghunjam.

Aku dilumuri darah pengorbanan manusia dan air mata orangtua.

Mal'akh menguatkan diri untuk menerima dampaknya yang gemilang.

Momen perubahannya sudah tiba.

Anehnya, dia tidak merasa kesakitan.

Getaran bergemuruh memenuhi tubuhnya, memekakkan dan mendalam. Ruangan mulai bergetar, dan cahaya putih cemerlang membutakannya dari atas. Langit meraung.

Dan Mal'akh tahu, hal itu sudah terjadi.

Persis seperti yang direncanakannya.

Langdon tidak ingat berlari menuju altar ketika helikopter muncul di atas kepala. Dia juga tidak ingat melompat dengan kedua lengan terjulur... melayang menuju lelaki berjubah hitam dan berupaya mati-matian untuk mencegah lelaki itu agar tidak menghunjamkan pisau untuk kedua kalinya.

Tubuh mereka saling bertabrakan, lalu Langdon melihat cahaya terang menyapu ke bawah lewat jendela langit-langit dan menerangi altar. Dia berharap melihat tubuh berdarah Peter Solomon di atas altar, tapi dada telanjang yang bersinar dalam cahaya sama sekali tidak berdarah... hanya berupa permadani tato. Pisau tergeletak patah di sampingnya, tampaknya telah dihunjamkan ke dalam altar batu, dan bukannya ke dalam daging.

Ketika dia dan lelaki berjubah hitam itu sama-sama terjatuh ke atas lantai batu keras, Langdon melihat bonggol yang diperban di ujung lengan kanan lelaki itu, dan dengan bingung dia menyadari bahwa dirinya baru saja merobohkan Peter Solomon.

Ketika mereka meluncur bersama-sama melintasi lantai batu, lampu-lampu sorot helikopter memancar dari atas. Helikopter itu bergemuruh turun, kaki-kakinya nyaris menyentuh dinding luar kaca.

Di bagian depan helikopter, sebuah senapan yang tampak aneh berputar, mengarah ke bawah melalui kaca. Sinar merah teropong lasernya menembus jendela langit-langit dan menari-narl melintasi lantai, langsung terarah pada Langdon dan Solomon.

Tidak!

Tapi, tidak terdengar tembakan senapan dari atas... hanya suara baling-baling helikopter.

Langdon tidak merasakan sesuatu pun, kecuali riak mengerikan energi yang berkilau melewati sel-selnya. Di belakang kepalanya, di atas kursi kulit-babi, laptop itu mendesis aneh. Langdon berbalik tepat pada waktunya untuk melihat layar laptop mendadak berkilau, lalu berubah hitam. Sayangnya, pesan terakhir yang tampak cukup jelas.

MENGIRIM PESAN: 100% SELESAI

Naik! Sialan! Naik!

Pilot UH-60 itu meningkatkan kecepatan, berupaya menjaga kaki-kaki helikopter agar tidak menyentuh bagian mana pun dari jendela langit-langit dari kaca yang besar itu. Dia tahu, tiga ribu kilogram daya-angkat yang mengalir keluar dari rotor-rotor helikopter sudah menekan kaca sampai titik puncak daya tahannya. Sayangnya, kemiringan piramida di bawah helikopter secara efektif mengalihkan daya-angkat itu ke samping, membuat helikopter tidak bisa terangkat.

Ke atas! Sekarang!

Pilot itu memiringkan hidung helikopter, mencoba melayang pergi, tapi kaki kiri helikopter menghantam bagian tengah kaca. Sekejap saja. Tapi memang hanya itu yang diperlukan.

Jendela langit-langit besar di Temple Roorn meledak dalam pusaran kaca dan angin... mengirimkan hujan pecahan kaca bergerigi ke dalam ruangan di bawahnya.

Bintang-bintang jatuh dari surga.

Mal'akh menatap cahaya putih indah itu dan melihat selubung perhiasan berkilau melayang ke arahnya... semakin cepat... seakan berpacu untuk menyelubunginya dalam kejayaan mereka.

Mendadak ada rasa sakit.

Di mana-mana.

Menusuk. Merobek. Mengiris. Pisau-pisau setajam silet menembus daging lunak. Dada, leher, paha, wajah. Tubuhnya langsung mengejang, terenyak. Mulutnya yang penuh darah berteriak ketika rasa sakit itu mengeluarkannya dari keadaan terhipnotis. Cahaya putih di atas berubah sendiri. Dan mendadak, seakan oleh sihir, helikopter berwarna gelap melayang di atas, baling-balingnya yang bergemuruh menggerakkan angin yang membekukan ke dalam Temple Room, menggigilkan Mal'akh sampai ke inti tubuhnya dan menyebarkan gumpalan-gumpalan asap dupa ke pojok-pojok jauh ruangan.

Mal'akh menoleh dan melihat Pisau Akedah itu tergelak patah di sampingnya, setelah dihunjamkan ke altar granit kini berselimutkan kaca pecah. Bahkan setelah semua perbuatanku terhadapnya... Peter Solomon memelencengkan pisau itu. Dia menolak menumpahkan darahku.

Dengan kengerian yang meluap-luap, Mal'akh mengangkat kepala dan menunduk memandangi sekujur tubuhnya sendiri. Artefak hidup ini seharusnya menjadi persembahan besarnya. Tapi kini artefak itu terkoyak-koyak. Tubuhnya bermandikan darah. Dan pecahan-pecahan kaca besar menonjol dari dagingnya ke segala arah.

Dengan lemah, Mal'akh kembali menurunkan kepala ke granit dan menatap ke atas melalui ruang terbuka di atap. Helikopternya, kini sudah pergi, digantikan oleh bulan musim dingin yang hening.

Dengan mata terbelalak, Mal'akh berbaring tersengal-sengal... sendirian di atas altar besar.

BAB 122

Rahasianya adalah cara untuk mati.

Mal'akh tahu, semuanya berjalan dengan keliru. Tidak ada cahaya cemerlang. Tidak ada penerimaan yang mengagumkan. Hanya kegelapan dan rasa sakit hebat. Bahkan di matanya. Dia tidak bisa melihat apa-apa, tetapi dia merasakan adanya gerakan di sekelilingnya. Terdengar suara-suara ... suara manusia ... anehnya, salah satunya adalah milik Robert Langdon. Bagaimana mungkin?

"Dia baik-baik saja," ujar Langdon berulang-ulang. "Katherine baik-baik saja, Peter. Adikmu oke."

Tidak, pikir Mal'akh. Katherine sudah mati. Seharusnya begitu.

Mal'akh tidak bisa lagi melihat, bahkan tidak bisa tahu lagi apakah matanya terbuka, tapi dia mendengar helikopter berbelok pergi. Keheningan mendadak muncul di Temple Room. Mal'akh bisa merasakan irama-irama lembut dunia berubah tidak teratur... seakan gelombang-gelombang pasang alami lautan terganggu oleh kedatangan badai.

Chao ab ordo.

Suara-suara tak dikenal kini berteriak, bicara mendesak dengan Langdon mengenai laptop dan arsip video. Sudah terlambat, Mal'akh tahu itu. Kerusakan sudah terjadi. Saat ini, video, itu menyebar seperti kebakaran liar ke setiap pojok dunia yang terguncang, menghancurkan masa depan kelompok persaudaraan. Mereka yang paling mampu menyebarkan kebijakan harus dihancurkan. Ketidaktahuan umat manusialah yang membantu meningkatkan kekacauan. Tidak adanya Terang di dunia akan mengembangkan Kegelapan yang menanti Mal'akh.

Aku sudah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dan akan segera diterima sebagai raja.

Mal'akh merasakan adanya sesosok yang mendekat diam-diam. Dia tahu siapa itu. Dia bisa mencium aroma minyak-minyak suci yang tadi dioleskannya ke tubuh licin ayahnya.

"Aku tidak tahu apakah kau bisa mendengarku," bisik Peter Solomon di telinganya. "Tapi aku ingin kau mengetahui sesuatu. Dia menyentuhkanjari tangannya ke tempat suci di puncak kepala Mal'akh. "Yang kau tuliskan di sini..." Dia terdiam. "Bukanlah Kata yang Hilang."

Tentu saja itu Kata yang Hilang, pikir Mal'akh. Kau telah meyakinkanku, menepis segala keraguan.

Menurut legenda, Kata yang Hilang ditulis dalam bahasa yang begitu kuno dan misterius sehingga umat manusia sudah benar-benar melupakan cara membacanya. Bahasa misterius ini, ungkap Peter, sesungguhnya adalah bahasa tertua di bumi.

Bahasa simbol.

Dalam idiom simbologi, ada satu simbol tertinggi yang mengalahkan semua simbol lainnya. Simbol tertua dan paling universal ini menggabungkan semua tradisi kuno dalam satu gambar soliter tunggal yang merepresentasikan penerangan dewa matahari Mesir, kejayaan emas alkimia, kebijakan Batu Bertuah, kemurnian Mawar Rosicrucian, momen Penciptaan, Sang Maha, kekuasaan, matahari astrologis, dan bahkan mata serba-melihat dan mahatahu yang melayang di atas piramida yang belum selesai.

Circumpunct. Simbol Sang Sumber. Asal muasal segalanya.

Inilah yang dikatakan Peter kepada Mal'akh beberapa saat lalu. Pertama-tama Mal'akh merasa skeptis, tapi kernudian dia memandang kisi itu sekali lagi, dan menyadari bahwa gambar piramida itu menunjuk langsung ke simbol tunggal circumpunct - lingkaran dengan titik di tengahnya. Piramida Mason adalah sebuah peta, pikirnya, mengingat-ingat legenda itu, yang menunjuk pada Kata yang Hilang. Bagaimanapun, tampaknya ayahnya berkata jujur.

Semua kebenaran agung adalah sederhana.

Kata yang Hilang bukanlah kata... melainkan simbol.

Dengan bersemangat, Mal'akh mengukirkan simbol circumpunct di kulit kepalanya. Ketika melakukannya, dia merasakan luapan kekuatan dan kepuasan yang mengalir ke atas. Mahakarya dan pengorbananku sudah lengkap. Kekuatan-kekuatan kegelapan kini menunggunya. Dia akan mendapat ganjaran atas pekerjaannya.

Ini akan menjadi momen kejayaannya ....

Akan tetapi, di saat terakhir, semuanya benar-benar keliru.

Peter kini masih berada di belakangnya, mengucapkan kata-kata yang nyaris tidak bisa dipahami oleh Mal'akh. "Aku berbohong kepadamu," ujar Peter. "Kau tidak memberiku pilihan. Seandainya aku mengungkapkan Kata yang Hilang yang sejati kepadamu, kau tidak akan percaya, juga tidak akan mengerti."

Kata yang Hilang... bukan circumpunct?

"Sesungguhnya," ujar Peter, "Kata yang Hilang diketahui oleh semua orang... tapi hanya sedikit yang mengenalinya."

Kata-kata itu menggema di dalam benak Mal'akh.

"Kau masih belum lengkap," ujar Peter, seraya meletakkan telapak tangannya dengan lembut di puncak kepala Mal'akh. "Pekerjaanmu belum, selesai. Tapi, ke mana pun kau pergi, harap ketahui bahwa... kau dicintai."

Untuk alasan tertentu, sentuhan lembut tangan ayahnya terasa seakan membakarnya - seperti katalisator ampuh yang memulai suatu reaksi kimia di dalam tubuh Mal'akh. Tanpa disertai peringatan, dia merasakan aliran energi yang membengkakkan menjalari cangkang fisiknya, seakan semua sel di dalam tubuhnya kini melarut.

Dalam sekejap, semua kesakitan duniawinya menguap.

Perubahan. Sedang terjadi.

Aku menunduk memandangi diriku sendiri, rongsokan daging berdarah di atas lempeng granit suci. Ayahku berlutut di belakangku, memegangi kepala tak bernyawaku dengan sebelah tangan yang tersisa.

Aku merasakan adanya luapan kemarahan... dan kebingungan.

Ini bukanlah momen kasih sayang... ini momen untuk pembalasan dendam, untuk perubahan... tetapi ayahku masih menolak untuk patuh, menolak untuk memenuhi peranannya, menolak untuk menyalurkan sakit dan kemarahannya melalui  bilah pisau dan ke dalam jantungku.

Aku terperangkap di sini, melayang-layang... terikat pada cangka duniawiku.

Perlahan-lahan, ayahku menelusurkan telapak tangan lembutnya melintasi wajahku untuk menutup mata layuku.

Aku merasakan lepasnya ikatan.

Selubung yang berkibar-kibar mewujud di sekelilingku, menebalkan dan menyuramkan cahaya, menyembunyikan dunia dari pandangan. Mendadak waktu bejalan semakin cepat, dan aku tejun ke dalam jurang yang jauh lebih gelap daripada apa pun yang pernah kubayangkan. Di sini, di dalam kekosongan tandus, aku mendengar bisikan... aku merasakan berkumpulnya kekuatan. Kekuatan itu semakin hebat, naik dengan kecepatan yang mengejutkan, mengelilingiku. Mengancam dan luar biasa, Gelap dan berkuasa.

Aku tidak sendirian di sini.

Ini adalah kejayaanku, penerimaan besarku. Akan tetapi, untuk alasan tertentu, aku tidak dipenuhi kegembiraan, melainkan ketakutan yang tak terhingga.

Sama sekali tidak seperti yang kuharapkan.

Kekuatan itu kini bergolak, berputar-putar mengelilingiku dengan tenaga luar biasa, mengancam hendak mencabik-cabikku. Mendadak, tanpa disertai peringatan, kegelapan itu berkumpul sendiri seperti makhluk besar prasejarah dan menjulang di hadapanku.

Aku menghadapi semua jiwa gelap yang telah pergi sebelum diriku.

Aku berteriak dalam kengerian tak terhingga... ketika kegelapan menelanku seluruhnya.

BAB 123

Di dalam Katedral Nasional, Dean Galloway merasakan perubahan aneh di udara. Dia tidak yakin mengapa, tapi merasa seakan sebuah bayang-bayang pucat menguap... seakan sebuah beban terangkat... di tempat yang jauh, tapi tepat di sini.

Sendirian di mejanya, dia berpikir serius. Ketika telepon berdering, dia tidak yakin berapa menit sudah berlalu. Dari Warren Bellamy.

"Peter masih hidup," ujar saudara Masonnya. "Aku baru saja mendapat kabar. Aku tahu, kau pasti ingin segera tahu. Dia akan baik-baik saja."

"Syukurlah." Galloway mengembuskan napas. "Di mana dia?"

Galloway mendengarkan ketika Bellamy menceritakan kembali kisah menakjubkan mengenai apa yang terjadi setelah mereka meninggalkan Kolese Katedral.

"Tapi, kalian semua baik-baik saja?"

"Pulih, ya," ujar Bellamy. "Tapi, ada satu hal." Dia terdiam.

"Ya?"

"Piramida Mason... kurasa Langdon sudah memecahkan kodenya."'

Mau tak mau Galloway tersenyum. Entah bagaimana, dia tidak terkejut. "Dan katakan, apakah menurut Langdon piramida itu memenuhi janjinya? Apakah piramida itu mengungkapkan apa yang selalu dinyatakan oleh legenda akan diungkapkannya?"

"Aku belum tahu."

Kau akan tahu, pikir Galloway. "Kau perlu istirahat."

"Kau juga."

Tidak, aku perlu berdoa.

BAB 124

Ketika pintu lift terbuka, lampu-lampu di Temple Room terang benderang.

Kaki Katherine Solomon masih terasa lemas ketika dia bergegas masuk untuk mencari kakaknya. Udara di dalam bilik besar ini terasa dingin dan beraroma dupa. Adegan yang menyambutnya menghentikan langkahnya.

Di tengah ruangan yang luar biasa indahnya ini, di atas altar batu rendah, berbaringlah sesosok mayat bertato dan berdarah, dengan tubuh dilubangi tombak-tombak kaca pecah. Tinggi di atas, sebuah lubang menganga di langit-langit, membuka menuju surga.

Ya Tuhanku. Katherine langsung memalingkan wajah, matanya mencari-cari Peter. Dia menemukan kakaknya sedang duduk di sisi lain ruangan, dirawat oleh seorang tenaga medis sambil bicara dengan Langdon dan Direktur Sato.

"Peter!" panggil Katherine, seraya berlari menghampiri. "Peter!"

Kakaknya mendongak, raut wajahnya penuh kelegaan. Dia langsung berdiri, berjalan ke arah Katherine. Dia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang warna gelap-yang mungkin diambilkan oleh seseorang dari kantomya di lantai bawah. Lengan kanannya berada dalam kain gendongan, dan pelukan lembut mereka terasa canggung, tapi Katherine nyaris tidak memperhatikan. Kenyamanan yang dikenalnya menyelubungi dirinya seperti kepompong, sebagaimana yang selalu terjadi - bahkan ketika mereka masih kecil - ketika kakak sekaligus pelindungnya memeluknya.

Mereka berpelukan dalam keheningan.

Akhirnya Katherine berbisik, "Kau balk-baik saja? Maksudku... benarkah?" Dia melepas Peter, menunduk memandangi kain gendongan dan perban yang berada di bekas tempat tangan kanan kakaknya itu. Air mata kembali menggenangi matanya. "Aku sangat... sangat menyesal."

Peter mengangkat bahu seakan itu tidak penting. "Daging fana. Tubuh tidak akan bertahan selamanya. Yang penting, kau baik-baik saja."

Jawaban enteng Peter mencabik-cabik emosi Katherine, mengingatkannya pada semua alasan mengapa dia mencintai kakaknya itu. Dia membelai kepala Peter, merasakan ikatan keluarga yang tak terpatahkan... darah yang sama yang mengaliri pembuluh-pembuluh darah mereka.

Tragisnya, Katherine menyadari adanya Solomon ketiga di dalam ruangan itu malam ini. Mayat di atas altar menarik perhatiannya, dan Katherine menggigil hebat, mencoba memblokir foto-foto yang tadi dilihatnya.

Dia memalingkan wajah, matanya kini menemukan mata Robert Langdon. Ada kasih sayang di sana, mendalam dan memahami, seakan, entah bagaimana, Langdon tahu persis apa yang sedang dipikirkan Katherine. Peter tahu. Emosi yang alami mencengkeram Katherine - kelegaan, simpati,  keputusasaan. Dia merasakan tubuh kakaknya mulai bergetar seperti tubuh anak kecil. Itu sesuatu yang tidak pernah disaksikannya di sepanjang hidupnya.

"Jangan ditahan," bisiknya. "Tidak apa-apa. Lepaskan saja."

Tubuh Peter semakin gemetar.

Katherine memeluknya kembali, membelai bagian belakang kepalanya. "Peter, kau selalu menjadi yang kuat... kau selalu ada untukku. Tapi kini aku ada untuk-mu. Tidak apa-apa. Aku ada di sini."

Katherine meletakkan kepala Peter dengan lembut di bahunya... dan Peter Solomon yang agung tersedu-sedu di lengannya.

Direktur Sato melangkah pergi untuk menerima telepon.

Dari Nola Kaye. Kali ini berita baik.

"Masih tidak ada tanda-tanda penyebaran, Ma'am." Dia tampak penuh harap. "Jika ya, saya yakin kita pasti sudah melihatnya sekarang. Tampaknya Anda berhasil membendungnya."

Berkat kau, Nola, pikir Sato, seraya melirik laptop yang tadi dilihat Langdon telah menyelesaikan pengiriman. Nyaris sekali.

Atas saran Nola, agen yang menggeledah mansion itu memeriksa tempat-tempat sampah, dan menemukan kemasan modem seluler yang baru saja dibeli. Dengan nomor model yang pasti, Nola bisa melakukan pengecekan-silang menyangkut carrier-carrier yang kompatibel, bandwidth, dan service grid, lalu mengisolasi node akses yang paling memungkinkan bagi laptop itu - sebuah pentransmisi kecil di pojok antara Sixteenth dan Corcoran - tiga blok dari Temple.

Dengan cepat Nola meneruskan informasi itu kepada Sato di helikopter. Ketika mendekati House of the Temple, pilot melakukan penerbangan rendah dan menembak node perelai itu dengan hantaman radiasi elektromagnetik, memutuskan hubungannya hanya beberapa detik sebelum laptop menyelesaikan pengiriman.

"Kerja yang baik malam ini," ujar Sato. "Sekarang tidurlah! Kau layak mendapatkannya."

"Terima kasih, Ma'am," jawab Nola ragu.

"Ada yang lain?"

Nola terdiam untuk waktu yang lama, tampaknya menimbang-nimbang apakah hendak bicara atau tidak. "Semuanya bisa menunggu sampai besok pagi, Ma'am. Selamat malam."

BAB 125

Dalam keheningan kamar mandi elegan di lantai bawah House of the Temple, Robert Langdon menghangatkan air dalam wastafel keramik dan mengamati dirinya sendiri di dalam cermin. Dalam cahaya suram sekalipun, dia tampak persis seperti vang dirasakannya... benar-benar kelelahan.

Tas bahunya kembali tersandang di bahu, kini jauh lebih ringan... kosong, hanya berisi barang-barang pribadi dan beberapa catatan ceramah kusut. Mau tak mau dia tergelak. Kunjungannya ke DC malam ini untuk memberi ceramah ternyata sedikit lebih melelahkan daripada yang diharapkannya.

Walaupun demikian, Langdon harus bersyukur untuk banyak hal.

Peter masih hidup.

Dan videonya berhasil diblokir.

Ketika Langdon beberapa kali menciduk air hangat dengan kedua tangan dan membasuhkannya ke wajah, perlahan-lahan dia merasakan dirinya kembali hidup. Segalanya masih kabur, tapi adrenalin di tubuhnya akhirnya menghilang... dan dia merasa kembali menjadi dirinya sendiri. Setelah mengeringkan tangan, dia menengok arloji Mickey Mouse-nya.

Astaga, sudah larut.

Langdon keluar dari kamar mandi dan berjalan di sepanjang dinding melengkung Hall of Honor - lorong melengkung indah yang didereti potret kaum Mason penting... presiden-presiden AS, para filantrop, orang-orang terkenal, dan orang-orang Amerika berpengaruh lainnya. Dia berhenti di depan lukisan minyak Harry S. Truman dan mencoba membayangkan lelaki itu menjalani semua upacara, ritual, dan studi yang disyaratkan untuk menjadi anggota Mason.

Ada dunia tersembunyi di belakang dunia yang bisa kita lihat. Bagi kita semua.

"Kau menghilang," ujar sebuah suara di lorong.

Langdon menoleh.

Itu Katherine. Begitu berat cobaan yang dialaminya malam ini, tapi mendadak perempuan itu tampak bercahaya... entah bagaimana, menjadi muda kembali.

Langdon tersenyum lelah. "Bagaimana Peter?"

Katherine berjalan menghampiri dan memeluknya dengan hangat. "Rasa terima kasihku kepadamu tak terhingga."

Langdon tertawa. "Kau tahu aku tidak berbuat apa-apa, bukan?"

Katherine memeluknya untuk waktu yang lama. "Peter akan baik-baik saja...." Dia melepas Langdon dan memandang matanya dalam-dalam. "Dan dia baru saja menyampaikan kepadaku sesuatu yang luar biasa... sesuatu yang menakjubkan." Suaranya bergetar penuh harap. "Aku harus melihatnya sendiri. Aku akan kembali sebentar lagi."

"Apa? Kau mau ke mana?"

"Aku tidak akan lama. Saat ini Peter ingin bicara denganmu... sendirian. Dia menunggu di perpustakaan."

"Dia bilang mengapa?"

Katherine tergelak dan menggeleng. "Kau tahulah, Peter dan rahasia-rahasianya."

"Tapi-"

"Sampai jumpa sebentar lagi."

Lalu, Katherine pergi.

Langdon mendesah panjang. Dia merasa seakan sudah punya cukup banyak rahasia untuk satu malam. Tentu saja masih ada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab-antara lain, Piramida Mason dan Kata yang Hilang - tapi dia merasa bahwa semua jawabannya, seandainya pun ada, bukanlah untuknya. Dia bukan anggota Mason.

Dengan mengerahkan energi terakhirnya, Langdon berjalan ke perpustakaan Mason. Ketika tiba di sana, dia melihat Peter duduk sendirian dengan piramida batu di atas meja di hadapannya.

"Robert?" Peter tersenyum dan melambaikan tangan menyuruhnya masuk. "Aku ingin berbicara denganmu beberapa patah kata."

Langdon menyeringai. "Ya, kudengar kau kehilangan satu kata."

BAB 126

Perpustakaan House of the Temple merupakan ruang baca umum tertua di DC. Rak-rak elegannya dipenuhi lebih dari seperempat juta buku, termasuk buku langka Ahiman Rezon, The Secrets of a Prepared Brother. Selain itu, perpustakaan itu memamerkan perhiasan-perhiasan Mason yang berharga, artefak-artefak ritual, dan bahkan buku langka yang dicetak-tangan oleh Benjamin Franklin.

Akan tetapi, harta karun perpustakaan yang menjadi favorit Langdon adalah sesuatu yang jarang diperhatikan orang.

Ilusinya.

Solomon pernah menunjukkan kepadanya dulu sekali bahwa, dari sudut pandang yang tepat, meja baca perpustakaan dan lampu meja keemasannya menciptakan ilusi optik yang tak mungkin keliru... piramida dan batu-puncak emas berkilau. Menurut Solomon, dia selalu menganggap ilusi itu sebagai pengingat-bisu bahwa misteri-misteri Persaudaraan Mason Bebas terlihat jelas bagi siapa pun, seandainya dilihat dari perspektif yang tepat.

Akan tetapi, malam ini, misteri-misteri Persaudaraan Mason Bebas mewujud persis di hadapannya. Kini Langdon duduk menghadap Master Terhormat Peter Solomon dan Piramida Mason.

Peter tersenyum. "Kata yang kau maksudkan, Robert, bukanlah legenda. Itu kenyataan."

Langdon menatap ke seberang meja dan akhirnya bicara. "Tapi... aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin?"

"Apa yang begitu sulit untuk diterima?"

Semuanya! Itulah yang ingin dikatakan Langdon, ketika meneliti mata teman lamanya itu untuk menemukan adanya petunjuk akal sehat." Kau bilang, kau percaya Kata yang Hilang itu nyata... dan benar-benar punya kekuatan?"

"Kekuatan yang luar biasa," jawab Peter. "Kata itu punya kekuatan untuk mengubah umat manusia dengan mengungkapkan Misteri Kuno."

"Kata?" tantang Langdon. "Peter, aku tidak mungkin percaya bahwa sebuah kata-"

"Kau akan percaya," ujar Peter tenang.

Langdon menatap dalam keheningan.

"Seperti yang kau ketahui," lanjut Solomon, yang kini berdiri dan berjalan mengitari meja, "sudah lama diramalkan datangnya hari ketika Kata yang Hilang ditemukan kembali... hari ketika kata itu digali... dan sekali lagi umat manusia bisa mengakses kekuatannya yang terlupakan."

Langdon mengingat ceramah Peter mengenai Apocalypse (Hari Kiamat). Walaupun banyak orang salah menginterpretasikan apocalypse sebagai akhir dunia, kata itu secara harfiah berarti "pengungkapan", dan diramalkan oleh orang-orang kuno sebagai pengungkapan kebijakan yang luar biasa. Kedatangan abad pencerahan. Walaupun demikian, Langdon tidak bisa membayangkan perubahan sebesar itu bisa didatangkan oleh... sebuah kata.

Peter menunjuk piramida batu yang berdiri tegak di atas meja di samping batu-puncak emasnya. "Piramida Mason," katanya. "Symbolon legendaris. Malam ini benda ini disatukan... dan lengkap." Dengan hormat, dia mengangkat batu-puncak emas itu dan meletakkannya di atas piramida. Benda emas berat itu berbunyi klik pelan dan menduduki tempatnya.

"Malam ini, Sobat, kau telah melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kau telah menyusun Piramida Mason, memecahkan semua kodenya, dan pada akhirnya, mengungkapkan... ini."

Solomon mengeluarkan sehelai kertas dan meletakkannya di atas meja. Langdon mengenali kisi simbol-simbol yang telah disusun-kembali dengan menggunakan Persegi-Empat Franklin Formasi-Delapan itu. Dia telah mempelajarinya sekilas di Temple Room. Kata Peter, "Aku penasaran, ingin tahu apakah kau bisa membaca susunan simbol-simbol ini. Bagaimanapun, kau ahlinya."

Langdon mengamati kisi itu.

Heredom, circumpunct, piramida, tangga....

Langdon mendesah. "Wah, Peter, seperti yang mungkin bisa kau lihat, ini adalah piktogram alegoris. Jelas bahasanya metaforis dan simbolis, dan bukan harfiah."

Solomon tergelak. "Inilah akibatnya jika mengajukan pertanyaan sederhana kepada seorang simbolog.... Oke, katakan apa yang kau lihat."

Peter benar-benar ingin mendengarnya? Langdon menarik kertas itu ke arahnya. "Wah, aku sudah melihatnya tadi dan, secara sederhana, aku melihat kisi ini sebagai gambar... yang menunjukkan surga dan dunia."

Peter mengangkat sepasang alisnya, tampak terkejut. "Oh?"

"Pasti. Di atas gambar, kita mendapat kata Heredom � Rumah Suci - yang kuinterpretasikan subagai Rumah Tuhan... atau surga."

"Oke."

"Tanda panah yang menghadap ke bawah setelah kata Heredom, menunjukkan bahwa keseluruhan piktogram jelas terletak di dalam ranah di bawah surga... yaitu... dunia." Mata Langdon kini meluncur ke bagian bawah kisi. "Dua baris terendah, yang berada di bawah piramida, merepresentasikan dunia itu sendiri - terra firma - yang terendah dari semua ranah. Secara sesuai, ranah-ranah rendah ini berisikan dua belas tanda astrologis yang merepresentasikan agama primordial jiwa-jiwa manusia pertama yang memandang ke surga dan melihat tangan Tuhan dalam pergerakan bintang-bintang dan planet-planet."

Solomon menggeser kursi lebih dekat dan mempelajari kisi itu.

"Oke, apa lagi?"

"Di atas dasar astrologi," lanjut Langdon, "piramida besar menjulang dari dunia... menjangkau ke arah surga... simbol kebijakan yang hilang yang terus bertahan. Piramida itu berisikan semua filsafat dan agama besar dalam sejarah... Mesir, Pythagoras, Buddha, Hindu, Islam, Yudeo-Kristiani, dan seterusnya dan seterusnya... semuanya mengalir ke atas, melebur menjadi satu, mengalirkan diri melalui gerbang transformatif piramida... dan di sana, mereka akhirnya melebur menjadi satu filsafat manusia yang menyatu dan tunggal." Dia terdiam. "Kesadaran universal tunggal... visi global bersama mengenai Tuhan... direpresentasikan oleh simbol kuno yang melayang di atas batu-puncak."

"Circumpunct," ujar Peter. "Simbol universal untuk Tuhan."

"Benar. Di sepanjang sejarah, circumpunct telah menjadi segalanya bagi semua orang-Dewa Matahari Ra, emas alkimia, mata serba-melihat, titik aneh sebelum Ledakan Besar,-"

"Arsitek Besar Alam Semesta."

Langdon mengangguk, merasa bahwa ini mungkin argumen yang sama yang digunakan Peter di Temple Room ketika mengemukakan gagasan circumpunct sebagai Kata yang Hilang.

"Dan akhirnya?" tanya Peter." Bagaimana dengan tangga?"

Langdon menunduk memandangi gambar tangga di bawah piramida. "Peter, aku yakin kau tahu, seperti juga orang lain, bahwa ini menyimbolkan Tangga Berkelok-kelok Persaudaraan Mason Bebas... menuju ke atas, keluar dari kegelapan duniawi menuju terang... seperti tangga Yakub yang naik ke surga... atau tulang punggung manusia yang bertingkat-tingkat, yang  menghubungkan tubuh fana manusia dengan pikiran abadinya." Dia terdiam, "Sedangkan untuk simbol-simbol lainnya, mereka tampaknya merupakan campuran antara simbol surgawi, Mason, dan ilmiah, yang kesemuanya mendukung Misteri Kuno."

Solomon mengelus-elus dagu. "Interpretasi yang elegan, Profesor. Tentu saja, aku setuju bahwa kisi ini bisa dibaca sebagai alegori, tetapi matanya berkilau semakin misterius. "Kumpulan simbol ini juga menceritakan kisah yang lain. Kisah yang jauh lebih mengungkapkan."

"Oh?"

Solomon mulai mondar-mandir lagi, mengitari meja. "Tadi malam, di Temple Room, ketika aku yakin hendak mati, aku memandang kisi ini dan, entah bagaimana, aku melihat melampaui metaforanya, melampaui alegorinya, ke dalam inti yang dikatakan oleh simbol-simbol ini kepada kita." Dia terdiam, mendadak menoleh kepada Langdon. "Kisi ini mengungkapkan secara tepat lokasi di mana Kata yang Hilang dikuburkan."

"Apa?" Langdon beringsut tidak nyaman di kursinya, mendadak merasa khawatir bahwa trauma malam ini telah membuat Peter kebingungan dan kehilangan orientasi.

"Robert, legenda selalu menjelaskan Piramida Mason sebagal peta-peta yang sangat spesifik - peta yang bisa menuntun mereka yang layak menuju lokasi rahasia Kata yang Hilang." Solomon mengetuk kisi simbol-simbol di hadapan Langdon. "Kujamin, simbol-simbol ini persis seperti yang dikatakan oleh legenda... sebuah peta. Diagram spesifik yang mengungkapkan secara tepat di mana kita akan menemukan tangga yang turun menuju Kata yang Hilang."

Langdon tertawa tidak nyaman, kini bersikap berhati-hati, "Seandainya pun aku memercayai Legenda Piramida Mason, kisi simbol-simbol ini tidak mungkin sebuah peta. Lihatlah. Sama sekali tidak menyerupai peta."

Solomon tersenyum. "Terkadang yang diperlukan hanyalah sedikit pergeseran perspektif, agar bisa melihat sesuatu yang dikenal dengan pandangan yang sama sekali baru."

Langdon kembali memandang piramida, tapi tidak melihat sesuatu yang baru.

"Aku ingin bertanya kepadamu," ujar Peter. "Ketika kaum Mason meletakkan batu pertama, tahukah kau mengapa kami selalu meletakkannya di pojok timur laut gedung?"

"Pasti. Itu karena pojok timur laut menerima cahaya terang pagi pertama. Itu menyimbolkan kekuatan arsitektur untuk naik meninggalkan dunia ke dalam terang."

"Benar," ujar Peter. "Jadi, mungkin kau harus mencari cahaya terang pertama di sana." Dia menunjuk kisi. "Di pojok timur laut."

Langdon mengarahkan kembali matanya ke atas kertas, menggerakkan pandangannya ke pojok kanan atas atau timur laut. Simbol di pojok itu adalah "Tanda panah yang menunjuk ke bawah," ujar Langdon, berusaha memahami maksud Solomon. "Yang berarti... di bawah Heredom."

"Bukan, Robert, bukan di bawah," jawab Solomon. "Berpikirlah. Kisi ini bukan labirin metaforis. Ini peta. Dan di peta, tanda panah yang menunjuk ke bawah berarti-"

"Selatan," teriak Langdon dengan terkejut.

"Tepat sekali", jawab Solomon, yang kini tersenyum gembira.

"Arah selatan! Di peta, bawah berarti selatan. Lagi pula, di peta, kata Heredom bukanlah metafora untuk surga. Itu nama sebuah lokasi geografis."

"House of the Temple? Menurutmu, peta ini menunjuk... arah selatan gedung ini?"

"Terpujilah Tuhan!" ujar Solomon seraya tertawa. "Akhirnya fajar merekah."

Langdon mempelajari kisi itu. "Tapi, Peter... seandainya pun kau benar, arah selatan gedung ini bisa berada di mana pun di garis bujur yang panjangnya lebih dari empat puluh ribu kilometer."

"Tidak, Robert. Kau mengabaikan legendanya, yang menyatakan bahwa Kata yang Hilang terkubur di DC. Itu sangat memperpendek jaraknya. Selain itu, legenda juga menyatakan bahwa sebuah batu besar berdiri di atas lubang tangga... dan batu ini diukir dengan pesan dalam bahasa kuno... sebagai semacam penanda sehingga mereka yang layak bisa menemukannya."

Langdon mengalami kesulitan untuk menanggapi semua Ini dengan serius. Dan, walaupun dia tidak cukup mengenal DC untuk membayangkan apa yang ada di arah selatan lokasi mereka sekarang ini, dia yakin sekali tidak ada batu berukir besar di atal tangga yang terkubur.

"Pesan yang dituliskan di batu," ujar Peter, "berada tepat di hadapan mata kita." Dia mengetuk baris ketiga kisi di hadapan Langdon. "Ini inskripsinya, Robert! Kau telah memecahkan teka-tekinya!"

Dengan takjub, Langdon meneliti ketujuh simbol itu.

Terpecahkan? Langdon sama sekali tidak tahu apa kemungkinan arti tujuh simbol yang berlainan ini, dan dia yakin sekali kalau simbol-simbol ini tidak diukirkan di mana pun di ibu kota negaranya... terutama pada sebuah batu raksasa di atas sebuah tangga.

"Peter," katanya, "aku tidak melihat bagaimana ini bisa menjelaskan sesuatu. Aku tidak mengetahui adanya batu di DC yang diukir dengan... pesan ini."

Solomon menepuk-nepuk bahu Langdon. "Kau pernah berjalan melewatinya, tapi tidak pernah melihatnya. Kita semua pernah berjalan melewatinya. Batu itu tampak jelas, sama seperti misteri-misteri itu sendiri. Dan malam ini, ketika melihat ketujuh simbol ini, langsung kusadari bahwa legenda itu benar. Kata yang Hilang memang terkubur di DC.... dan memang terletak di bawah sebuah tangga panjang di balik sebuah batu besar berukir."

Langdon, yang merasa takjub, diam saja.

"Robert, malam ini, aku yakin kau berhak mengetahui kebenarannya."

Langdon menatap Peter, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Kau hendak mengatakan kepadaku di mana Kata yang Hilang dikuburkan?"

"Tidak," ujar Solomon, seraya berdiri dengan tersenyum. "Aku hendak memperlihatkannya kepadamu."

Lima menit kemudian, Langdon duduk di kursi belakang Escalade, di samping Peter Solomon. Simkins duduk di belakang kemudi ketika Sato melintasi tempat parkir dan menghampiri mereka.

"Mr. Solomon?" ujar Direktur itu, seraya menyalakan sebatang rokok setibanya di sana. "Aku baru saja menelepon, sesuai permintaanmu."

"Dan?" tanya Peter melalui jendela terbuka.

"Aku memerintahkan mereka untuk memberimu akses. Sebentar saja."

"Terima kasih."

Sato mengamatinya, tampak penasaran. "Harus kukatakan, itu permintaan vang paling aneh."

Solomon mengangkat bahu dengan misterius.

Sato membiarkannya saja, berjalan mengitari mobil ke jendela Langdon, lalu mengetuk jendela dengan buku-buku jarinya.

Langdon menurunkan kaca jendela.

"Profesor," ujar perempuan itu, tanpa sedikit pun nada kehangatan. "Bantuanmu malam ini, walaupun diberikan dengan enggan, menunjang kesuksesan kami... dan untuk itu, aku mengucapkan terima kasih." Dia mengisap rokok dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya ke samping. "Akan tetapi, sedikit saran terakhir dariku. Lain kali, jika seorang petagas senior CIA memberitahumu bahwa dia sedang menghadapi krisis keamanan-nasional..." matanya berkilau hitam, "Tinggalkan omong kosongmu di Cambridge." Langdon membuka mulut untuk bicara, tapi Direktur Inoue Sato sudah berbalik dan berjalan melintasi tempat parkir menuju helikopter yang menunggu.

Simkins menoleh ke belakang dengan wajah tanpa ekspresi. "Kalian sudah siap?"

"Sesungguhnya," jawab Solomon, "'tunggu sebentar." Dia mengeluarkan secarik kecil kain terlipat warna gelap dan dan memberikannya kepada Langdon. "Robert, aku ingin kau mengenakan ini sebelum kita pergi ke suatu tempat."

Dengan bingung, Langdon meneliti kain itu. Beledu hitam. Ketika membuka lipatannya, dia menyadari bahwa dirinya sedang memegang sebuah penutup mata Mason - penutup mata tradisional untuk kandidat derajat pertama. Apa-apaan ini?

"Aku lebih suka kau tidak melihat ke mana kita pergi," ujar Peter.

Langdon menoleh kepada Peter. "Kau ingin menutup mataku sepanjang perjalanan?"

Solomon menyeringai. "Rahasiaku. Peraturanku."

BAB 127

Angin sepoi-sepoi terasa dingin di luar markas CIA di Langley. Nola Kaye menggigil ketika mengikuti spesialis keamanan sistem Rick Parrish melintasi pekarangan tengah markas yang disinari cahaya bulan.

Ke mana Rick membawaku?

Walaupun krisis video Mason sudah terhindarkan, Nola masih merasa tidak nyaman. Arsip teredaksi di partisi direktur CIA masih merupakan misteri, dan itu mengganggunya. Dia dan Sato akan bertanya-jawab keesokan paginya, dan Nola menginginkan semua fakta. Akhirnya, dia menelepon Rick Parrish dan meminta bantuannya.

Kini, ketika mengikuti Rick ke suatu lokasi yang tidak dikenalnya di luar, Nola tidak bisa menyingkirkan frasa-frasa aneh itu dari ingatan.

     ... lokasi rahasia DI BAWAH TANAH tempat info ...

... suatu tempat di WASHINGTON, DC, koordinat-koordinat

   ... menemukan sebuah PORTAL KUNO yang menuntun ...

     memperingatkan bahwa PIRAMIDA itu menyimpan...

                               berbahaya

        ... mengartikan SYMBOLON TERUKIR ini untuk

                        mengungkapkan ...

"Kau dan aku setuju," ujar Parrish ketika mereka berjalan, "bahwa peretas yang meluncurkan spider untuk mencari kata-kata kunci itu jelas sedang mencari informasi mengenai Piramida Mason."

Tentu saja, pikir Nola.

"Akan tetapi, ternyata peretas itu menemukan aspek misteri Mason yang menurutku tidak disangka-sangka."

"Apa maksudmu?"

"Nola, kau tahu bahwa direktur CIA mensponsori forum diskusi internal bagi para karyawan Agensi untuk saling memperbincangkan gagasan mereka mengenai segala macam hal?"

"Tentu saja." Forum-forum itu menyediakan tempat aman bagi para personel Agensi untuk berbincang-bincang online mengenai berbagai topik, dan memberikan semacam gerbang virtual bagi direktur untuk menjumpai stafnya.

"Forum-forum itu diselenggarakan di partisi pribadi direktur, Akan tetapi, untuk memberikan akses kepada para karyawan di semua tingkat kerahasiaan, forum-forum itu ditempatkan di luar firewall rahasia direktur."

"Apa maksudmu?" desak Nola, ketika mereka berbelok dekat kafetaria Agensi.

"Dengan kata lain...." Parrish menunjuk ke dalam kegelapan.

"Itu."

Nola mendongak. Di seberang plaza di hadapan mereka, terdapat sebuah patung logam besar yang berkilau dalam cahaya bulan.

Di dalam sebuah agensi yang memamerkan lebih dari lima ratus karya seni asli, patung inilah - yang berjudul Kryptos - yang paling terkenal. Dari kata Yunani yang berarti "tersembunyi", Kryptos merupakan karya seniman Amerika James Sanborn dan telah menjadi semacam legenda di CIA.

Karya itu terdiri atas sebuah panel tembaga berbentuk S besar yang ditegakkan pada ujungnya seperti dinding logam melengkung. Pada permukaan luas dindingnya, terukir hampir dua ribu huruf... yang disusun menjadi semacam kode membingungkan. Seakan ini belum cukup misterius, berbagai eleman pahatan lainnya ditempatkan dengan cermat di area sekeliling dinding S tersandi itu - lempeng-lempeng granit dengan sudut aneh, lingkaran kompas, batu magnetis, dan bahkan pesan dalam kode Morse yang mengacu pada "ingatan tajam", dan "kekuatan-kekuatan bayangan", Sebagian besar peminat patung itu percaya bahwa benda-benda ini merupakan petunjuk yang bisa mengungkapkan cara memecahkan kode patung.

Kryptos adalah seni... tapi juga misteri.

Berusaha memecahkan rahasia tersandinya telah menjadi obsesi banyak kriptolog di dalam maupun di luar CIA. Akhirnya, beberapa tahun lalu, sebagian kodenya terpecahkan dan menjadi berita nasional. Walaupun sebagian besar kode Kryptos tetap tidak terpecahkan sampai sekarang, bagian-bagian yang sudah terpecahkan begitu aneh sehingga hanya membuat patung itu semakin misterius. Kode itu mengacu pada lokasi-lokasi rahasia di bawah tanah, portal-portal yang menuntun ke dalam kuburan-kuburan kuno, garis-garis lintang dan garis-garis bujur ....

Nola masih bisa mengingat potongan-potongan dan bagian-bagian dari kode yang terpecahkan itu: Informasinya dikumpulkan dan dikirimkan di bawah tanah ke sebuah lokasi rahasia... Benar-benar tak terlihat... bagaimana mungkin... mereka menggunakan medan magnetis bumi....

Nola tidak pernah terlalu memperhatikan patung itu atau memedulikan apakah kodenya terpecahkan seluruhnya. Akan tetapi, saat ini dia menginginkan jawaban. "Mengapa kau menunjukkan Kryptos kepadaku?"

Parrish tersenyum penuh rahasia dan secara dramatis mengeluarkan selembar kertas terlipat dari saku. "Voila, dokumen teredaksi misterius yang sangat kau cemaskan. Aku mengakses keseluruhan teksnya."

Nola terlompat. "Kau mengintip partisi rahasia direktur?"

"Tidak. Teks itulah yang kudapat tadi. Coba lihat." Parrish menyerahkan arsip itu kepadanya.

Nola merebut halaman itu dan membuka lipatannya. Ketika melihat kop surat standar Agensi di bagian atas halaman, dia memiringkan kepala dengan terkejut.

Dokumen ini bukan rahasia. Bahkan jauh dari itu.

       DISCUSSION BOARD KARYAWAN: KRYPTOS

          PENYIMPANAN TERKOMPRESI: THREAD

                   #2456282.5

Nola mendapati dirinya memandang serangkaian posting yang telah dikompresi menjadi satu halaman tunggal untuk penyimpanan yang lebih efisien.

"Dokumen kata-kuncimu," jelas Rick, "adalah semacam ocehan penggemar cipher mengenai Kryptos."

Nola meneliti dokumen itu sampai menemukan kalimat yang berisikan serangkaian kata-kunci yang dikenalnya.

Jim, patung itu mengatakan dikirim ke sebuah lokasi rahasia DI BAWAH TANAH tempat info itu disembunyikan.

"Teks ini berasal dari forum Kryptos online direktur," jelas Rick. "Forum itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Secara harfiah, ada ribuan posting. Aku tidak heran jika salah satunya ternyata berisikan semua kata-kunci."

Nola terus meneliti sampai menemukan posting lain yang berisikan kata-kata kunci.

Walaupun menurut Mark topik garis lintang / bujur kodenya  menunjuk ke suatu tempat di WASHINGTON, DC, koordinat- koordinat yang digunakannya meleset satu derajat - Kryptos pada dasarnya menunjuk kembali dirinya sendiri.

Parrish berjalan menuju patung itu dan menelusurkan telapak tangannya pada lautan huruf tersandi. "Banyak di antara kode ini yang masih harus dipecahkan, dan ada banyak orang yang mengira pesannya benar-benar berhubungan dengan rahasia-rahasia Mason kuno."

Kini Nola ingat tentang bisik-bisik mengenai hubungan Mason/Kryptos, tapi dia cenderung mengabaikan ocehan gila itu.

Tapi sekali lagi, ketika memandang berbagai benda pahatan yang diatur di sekeliling plaza, dia menyadari bahwa itu adalah kode yang terpecah � sebuah symbolon - seperti Piramida Mason.

Aneh.

Sejenak, Nola nyaris bisa melihat Kryptos sebagai Piramida Mason modern - kode yang terdiri atas banyak bagian, dibuat dari materi-materi yang berlainan, dan masing-masingnya memainkan peranan. "Menurutmu, ada kemungkinan Kryptos dan Piramida Mason menyembunyikan rahasia yang sama?"

"Siapa yang tahu?" Parrish memandang Kryptos dengan frustrasi. " Aku ragu apakah kita akan pernah mengetahui keseluruhan pesannya. Kecuali jika seseorang bisa meyakinkan direktur untuk membuka lemari besinya dan mengintip solusinya."

Nola mengangguk. Semuanya kini teringat kembali olehnya.

Ketika Kryptos dipasang, patung itu tiba disertai amplop tersegel yang berisikan pemecahan lengkap kode-kodenya. Solusi tersegel itu dipercayakan kepada William Webster, Direktur CIA saat itu, yang menguncinya di dalam lemari besi kantornya. Konon, dokumen itu masih ada di sana, setelah ditransfer dari satu direktur ke direktur lain selama bertahun-tahun.

Anehnya, pikiran Nola mengenai William Webster menyulut ingatannya, membawanya kembali ke bagian lain teks Kryptos yang terpecahkan kodenya:

        TERKUBUR DI SUATU TEMPAT DI LUAR SANA.

              SIAPA YANG TAHU LOKASI TEPATNYA?

                            HANYA WW.

Walaupun tak seorang pun tahu secara tepat apa yang terkubur di luar sana, sebagian besar orang percaya WW mengacu kepada William Webster. Nola pernah mendengar bisik-bisik bahwa WW sesungguhnya mengacu kepada seseorang yang bemama William Whiston - seorang teolog Royal Society - walaupun Nola tak pernah terlalu serius memikirkannya.

Rick kembali bicara. "Harus kuakui, aku tidak begitu tertarik dengan seniman, tapi kurasa Sanborn ini benar - benar genius. Aku baru saja melihat proyek Cyrillic Projector-nya secara online. Itu menampilkan huruf-huruf Rusia dari sebuah dokumen mengenai pengontrolan pikiran. Aneh sekali." Nola tidak lagi mendengarkan. Dia sedang meneliti kertas itu dan menemukan frasa kunci ketiga di dalam posting lain.

Benar, seluruh bagian itu adalah verbatim dari semacam buku harian arkeolog terkenal, menceritakan momen ketika dia menggali dan menemukan sebuah PORTAL KUNO yang menuntun ke kuburan Tutankhamen.

Nola tahu, arkeolog yang disebutkan dalam Kryptos sesungguhnnya adalah arkeolog ahli Mesir yang terkenal, Howard Carter. Posting berikutnya mengacu kepadanya dengan menyebut namanya.

Aku baru saja membaca sepintas seluruh catatan lapangan Carter online, dan kedengarannya seakan dia menemukan loh batu yang memperingatkan bahwa PIRAMIDA itu menyimpan konsekuensi-konsekuensi berbahaya bagi siapa pun yang mengganggu kedamaian pharaoh. Kutukan! Haruskah kita khawatir?

Nola memberengut. "Rick, demi Tuhan, pengacuan piramida oleh idiot ini bahkan tidak benar. Tutankhamen tidak dikuburkan di dalam sebuah piramida. Dia dikuburkan di dalam Lembah Raja-Raja. Tidakkah kriptolog menyaksikan Discovery Channel?" Parrish mengangkat bahu. "Orang-orang teknik." Kini Nola melihat frasa kunci terakhir.

Rekan-rekan, kau tahu aku bukan penganut teori konspirasi, tapi Jim dan Dave sebaiknya mengartikan SYMBOLON TERUKIR ini untuk mengungkapkan rahasia terakhirnya, sebelum dunia berakhir pada 2012 ... Ciao.

"Bagaimanapun," ujar Parrish, "kurasa, kau ingin tahu soal Kryptos, sebelum menuduh direktur CIA menampung dokumen rahasia mengenai legenda Mason kuno. Entah bagaimana, aku ragu apakah seseorang yang begitu berkuasa seperti direktur CIA punya waktu untuk hal semacam itu."

Nola membayangkan video Mason dan gambar-gambar semua lelaki yang berpengaruh berpartisipasi dalam sebuah ritual kuno. Seandainya saja Rick tahu ....

Pada akhirnya, dia tahu, apa pun yang nantinya diungkapkan oleh Kryptos, pesan itu pasti memiliki arti mistis tersamar. Dia mendongak memandang karya seni berkilau itu - kode tiga - dimensi yang berdiri membisu di jantung salah satu badan intelijen utama bangsa - dan dia bertanya-tanya apakah patung itu bersedia menyerahkan rahasia terakhirnya.

Ketika Nola berjalan kembali ke dalam bersama Rick, mau tak mau dia tersenyum.

Terkubur di suatu tempat di luar sana.

BAB 128

Ini gila.

Dengan mata ditutup, Robert Langdon tidak bisa melihat apa-apa ketika Escalade itu mengebut ke arah selatan di sepanjang jalan-jalan sepi. Di kursi di sampingnya, Peter Solomon tetap diam.

Ke mana dia membawaku?

Rasa penasaran Langdon merupakan campuran antara keterpesonaan dan kekhawatiran, imajinasinya berkeliaran ketika berupaya mati-matian menyatukan teka-teki itu. Peter belum tergoyahkan dari pernyataannya. Kata yang Hilang? Terkubur di dasar tangga yang ditutupi oleh batu berukir besar? Semuanya tampak mustahil.

Ukiran yang dikatakan ada pada batu masih terpatri dalam ingatan Langdon... tetapi ketujuh simbol itu, sejauh sepengetahuannya, sama sekali tidak masuk akal.

Mistar Siku Tukang Batu: simbol kejujuran dan sikap "setia".

Au: singkatan ilmiah untuk elemen emas.

Sigma: Huruf Yunani S, simbol matematis untuk penjumlahan semua bagian.

Piramida: simbol Mesir manusia yang menjangkau ke arah surga.

Delta: huruf Yunani D, simbol matematis untuk perubahan.

Merkuri: seperti yang digambarkan oleh simbol alkimia terkunonya.

Ouroboros: simbol keutuhan dan penyatuan.

Solomon masih bersikeras ketujuh simbol ini adalah sebuah "pesan". Tapi, jika ini benar, maka itu pesan yang cara membacanya sama sekali tidak diketahui Langdon.

Escalade mendadak melambat dan berbelok tajam ke kanan, ke permukaan yang berbeda, seakan memasuki jalanan untuk mobil atau jalan akses. Langdon menegakkan tubuh, mendengarkan dengan saksama untuk mencari petunjuk di mana mereka berada. Mereka telah berkendara selama kurang dari sepuluh menit dan walaupun Langdon sudah berupaya mengikuti di dalam benaknya, dengan cepat dia kehilangan jejak. Dia hanya bisa menebak bahwa mereka kini kembali lagi ke dalam House of the Temple. Escalade berhenti, dan Langdon mendengar kaca jendela diturunkan.

"Agen Simkins, CIA," ujar sopir mereka. "Aku yakin kau mengharapkan kedatangan kami."

"Ya, Pak," jawab sebuah suara tegas tentara. "Direktur Sato sudah menelepon. Tunggu sebentar, saya singkirkan barikade pengamannya."

Langdon mendengarkan dengan semakin kebingungan, kini merasa bahwa mereka sedang memasuki sebuah pangkalan militer. Ketika mobil mulai bergerak kembali, di sepanjang bentangan jalan aspal yang halusnya tidak biasa, Langdon menolehkan kepalanya yang berpenutup mata ke arah Solomon. "Di mana kita, Peter?" desaknya.

"Jangan lepaskan penutup matamu." Suara Peter terdengar tegas.

Kendaraan itu berjalan sebentar lagi, dan sekali lagi melambat, lalu berhenti. Simkins mematikan mesin mobil. Terdengar lebih banyak suara. Militer. Seseorang meminta tanda pengenal Simkins. Agen itu keluar dan bicara kepada para lelaki ita dengan nada berbisik.

Pintu Langdon mendadak dibuka, dan tangan-tangan kuat membimbingnya keluar dari mobil. Udara terasa dingin. Berangin.

Solomon berada di sampingnya. "Robert, biarkan saja Agen Simkins menuntunmu ke dalam."

Langdon mendengar kunci-kunci logam diputar ... lalu daun pintu besi tebal yang terbuka. Kedengarannya seperti pintu menuju ruang bawah tanah. Ke mana mereka membawaku?

Sepasang tangan Simkins menuntun Langdon menuju pintu logam. Mereka melangkah melewati ambang pintu. "Lurus, Profesor."

Mendadak hening. Total. Sepi. Udara di dalam beraroma steril dan tidak alami.

Simkins dan Solomon kini mengapit Langdon, menuntunnya menyusuri koridor yang menggema. Lantainya terasa seperti batu di bawah sepatu kulit santai Langdon.

Di belakang mereka, pintu logam menutup keras dan Langdon terlompat. Kunci-kunci diputar. Kini Langdon berkeringat di balik penutup matanya. Dia hanya ingin melepas benda itu.

Kini mereka berhenti berjalan.

Simkins melepas lengan Langdon, dan terdengar serangkai bunyi bip elektronik diikuti suara gemuruh tak terduga di hadapan mereka. Langdon membayangkan pintu pengaman yang bergeser terbuka secara otomatis.

"Mr. Solomon, silakan meneruskan bersama Mr. Langdon. Saya akan menunggu kalian di sini," ujar Simkins. "Bawalah senter saya."

"Terima kasih," jawab Solomon. "Kami tidak akan lama."

Senter?! Jantung Langdon kini berdentam-dentam panik.

Peter menggamit lengan Langdon dan beringsut maju. "Berjalanlah bersamaku, Robert."

Mereka bergerak perlahan-lahan, bersama-sama melintasi ambang pintu lain, dan pintu pengaman bergemuruh menutup di belakang mereka.

Peter berhenti berjalan. "Ada apa?"

Mendadak Langdon merasa mual dan kehilangan keseimbangan. "Kurasa, aku harus melepas penutup mata ini."

"Jangan dulu, kita hampir sampai."

"Hampir sampai ke mana?" Langdon merasakan perutnya semakin mual.

"Sudah kubilang aku membawamu untuk melihat tangga yang turun menuju Kata yang Hilang."

"Peter, ini tidak lucu!"

"Memang tidak dimaksudkan untuk lucu. Dimaksudkan untuk membuka benakmu, Robert. Dimaksudkan untuk mengingatkanmu bahwa di dunia ini terdapat misteri-misteri yang masih harus dilihat, bahkan oleh-mu sekalipun. Dan, sebelum mengambil satu langkah lagi bersamamu, aku ingin kau berbuat sesuatu untukku. Aku ingin kau percaya... hanya untuk sekejap... percaya kepada legenda. Percaya bahwa kau hendak mengintip tangga berkelok-kelok yang turun ratusan meter ke salah satu rahasia terbesar umat manusia yang hilang."

Langdon merasa pening. Walaupun ingin sekali memercayai sahabatnya, dia tidak bisa. " Masih jauhkah?" Penutup mata beledunya bermandikan keringat.

"Tidak. Sesungguhnya hanya beberapa langkah lagi. Melewati satu pintu terakhir. Kini aku akan membuka pintu itu."

Solomon melepas Langdon sejenak, dan ketika dia melakukannya, Langdon terhuyung-huyung, merasa pening. Dengan goyah, dia mencari pegangan, dan Peter cepat-cepat kembali ke sisinya. Suara pintu tebal otomatis bergemuruh di hadapan mereka. Peter meraih lengan Langdon dan mereka kembali bergerak maju.

"Ke sini."

Mereka beringsut melewati ambang pintu lain, dan pintunya bergeser menutup di belakang mereka.

Hening. Dingin.

Langdon langsung merasa bahwa tempat ini, apa pun itu, sama sekali tidak berhubungan dengan dunia di balik pintu-pintu pengaman. Udaranya lembap dan dingin, seperti kuburan. Akustiknya terasa tumpul dan sesak. Dia merasakan serangan klaustrofobia yang tidak masuk akal.

"Beberapa langkah lagi." Solomon menuntunnya berbelok dan menempatkannya secara tepat. Akhirnya, dia berkata, "Lepaskan penutup matamu."

Langdon meraih penutup mata beledu itu dan menariknya dari wajah. Dia memandang ke sekeliling untuk mengetahui di mana dia berada, tapi dia masih buta. Dia menggosok-gosok mata.

Tidak terjadi apa-apa. "Peter, ini gelap gulita!"

"Ya, aku tahu. Julurkan lenganmu ke depan. Ada pagar, Raihlah."

Langdon meraba-raba dalam kegelapan dan menemukan pagar besi.

"Kini lihatlah." Dia bisa mendengar Peter berkutat dengan sesuatu, lalu mendadak cahaya cemerlang senter menembus kegelapan. Cahayanya menyoroti lantai, dan sebelum Langdon bisa memahami keadaan di sekelilingnya, Solomon mengarahkan senter melewati pagar dan mengarahkan cahayanya lurus ke bawah.

Mendadak Langdon menatap ke dalam terowongan tak berdasar... tangga berkelok-kelok tanpa akhir yang turun jauh ke dalam bumi. Ya Tuhanku! Lututnya nyaris goyah, dan dia mencengkeram pagar sebagai penyokong. Tangga itu berbentuk spiral persegi-empat tradisional, dan dia bisa melihat setidaknya tiga puluh anak tangga yang turun ke dalam bumi, sebelum cahaya senter memudar ke dalam kegelapan. Aku bahkan tidak bisa melihat dasarnya!

"Peter..." dia tergagap. "Tempat apa ini?"

"Sebentar lagi aku akan membawamu ke dasar tangga. Tapi, sebelum melakukannya, aku ingin kau melihat sesuatu yang lain."

Langdon, yang terlalu bingung untuk memprotes, membiarkan Peter menuntunnya menjauhi ruang tangga dan melintasi bilik kecil aneh itu. Peter terus mengarahkan senter ke lantai batu usang di bawah kaki mereka, dan Langdon tidak bisa mengamati ruangan di sekeliling mereka... kecuali bahwa ruangan itu kecil.

Sebuah bilik batu mungil.

Mereka tiba dengan cepat di dinding seberang ruangan. Sebuah kaca persegi-panjang ditanamkan di sana. Langdon mengira itu jendela yang tembus ke ruangan di baliknya. Akan tetapi, dari tempatnya berdiri, dia hanya melihat kegelapan di sisi sebaliknya.

"Ayo," ujar Peter. "Lihatlah."

"Ada apa di dalam sana?" Sekilas Langdon mengingat Bilik Perenungan di bawah Gedung Capitol, dan betapa untuk sekejap, dia percaya bilik itu mungkin berisikan portal menuju semacam gua bawah-tanah raksasa.

"Lihat sajalah, Robert." Solomon menuntunnya maju. "Dan kuatkan dirimu, karena pemandangannya akan mengejutkanmu."

Tanpa mengetahui apa yang diharapkannya, Langdon bergerak menuju kaca. Ketika dia mendekati portal itu, Peter mematikan senter, menjadikan bilik mungil itu gelap gulita.

Ketika matanya sudah menyesuaikan diri, Langdon meraba raba di depannya, sepasang tangannya menemukan dinding, wajahnya bergerak lebih mendekati portal transparan itu.

Hanya kegelapan yang ada di baliknya.

Dia mencondongkan tubuh lebih dekat ... menekankan wajah ke kaca.

Lalu, dia melihatnya.

Gelombang keterkejutan dan kehilangan-orientasi yang melanda tubuh Langdon menjangkau ke dalam dan membalikkan kompas di dalam tubuhnya. Dia nyaris jatuh ke belakang ketika benaknya berupaya menerima pemandangan yang benar-benar tak terduga di hadapannya. Dalam mimpi-mimpi terliarnya, Robert Langdon tidak akan pernah bisa menebak apa yang ada di balik kaca ini.

Penglihatannya berupa pemandangan yang menakjubkan.

Di dalam kegelapan, cahaya putih cemerlang bersinar seperti perhiasan berkilau.

Kini Langdon memahami semuanya - barikade di jalan akses... penjaga-penjaga di pintu masuk utama... pintu logam tebal di luar... pintu-pintu otomatis yang bergemuruh membuka dan menutup... rasa mual di perut... kepeningan kepala... dan kini bilik batu mungil ini.

"Robert," bisik Peter di belakangnya, "terkadang hanya perubahan perspektif yang diperlukan untuk melihat terang."

Tanpa bisa berkata-kata, Langdon menatap keluar melalui jendela itu. Pandangannya berkelana ke dalam kegelapan malam, melintasi lebih dari satu kilometer ruang kosong, jatuh ke bawah... ke bawah... menembus kegelapan... sampai tiba di puncak kubah putih bersih terang benderang Gedung Capitol.

Langdon belum pernah melihat Capitol dari perspektif ini - melayang 555 kaki (170 meter) di atas obelisk Mesir besar Amerika. Malam ini, untuk pertama kalinya dalam hidup, dia telah. mengendarai lift ke atas, menuju bilik mungil untuk melihat pemandangan... di puncak Monumen Washington.

BAB 129

Robert Langdon berdiri terpaku di portal kaca, menyerap kekuatan pemandangan di bawahnya. Setelah naik ratusan meter ke udara tanpa sepengetahuannya, kini dia mengagumi salah satu pemandangan paling spektakuler yang pernah dilihatnya.

Kubah berkilau Gedung Capitol AS menjulang seperti gunung di ujung timur National Mall. Mengapit gedung itu, dua garis paralel cahaya memanjang ke arah Langdon... itu bagian depan museum-museum Smithsonian yang terang... mercusuar seni, sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan.

Kini Langdon menyadari, dengan takjub, bahwa hampir semua yang dinyatakan benar oleh Peter... sesungguhnya memang benar. Memang ada tangga berkelok-kelok... yang turun ratusan meter di balik batu besar. Batu-puncak besar obelisk ini berdiri tegak persis di atas kepala Langdon. Dan kini Langdon mengingat sepotong fakta terlupakan yang tampaknya punya kaitan aneh: batu-puncak Monumen Washington beratnya tepat 3.300 pon (1.500 kilogram).

Sekali lagi, angka 33.

Akan tetapi, yang lebih mengejutkan adalah puncak tertinggi batu-puncak ini, zenit obelisk ini, dimahkotai dengan ujung aluminium mungil mengilap-logam yang sama berharganya dengan emas pada zaman itu. Tinggi puncak berkilau Monumen Washington itu hanya sekitar tiga puluh sentimeter, sama ukurannya dengan Piramida Mason. Yang luar biasa, piramida logam kecil itu memiliki ukiran terkenal �

Laus Deo -dan Langdon mendadak mengerti. Inilah pesan sejati di dasar piramida batu.

Tujuh simbol itu adalah alih-aksara!

Cipher paling sederhana.

Semua simbol itu berupa huruf.

Mistar siku tukang batu - L

Emas elemen - AU

Sigma Yunani - S

Delta Yunani - D

Merkuri alkimia - E

Ouroboros - 0

"Laus Deo,"' bisik Langdon. Frasa Latin terkenal yang berarti "Terpujilah Tuhan"- terukir di ujung Monumen Washington dengan huruf-huruf sambung yang tingginya hanya satu inci. Tampak seluruhnya... akan tetapi tidak tampak bagi semuanya.

Laus Deo

"Terpujilah Tuhan," ujar Peter di belakangnya, seraya menyalakan penerangan lembut bilik. "Kode terakhir Piramida Mason."

Langdon berbalik. Temannya sedang menyeringai lebar, dan Langdon ingat bahwa Peter sesungguhnya telah mengucapkan kata-kata "terpujilah Tuhan" di dalam perpustakaan Mason tadi, Dan aku masih melewatkannya.

Langdon merinding ketika menyadari betapa tepatnya Piramida Mason legendaris itu menuntunnya ke sini... ke obelisk besar. Amerika-simbol kebijakan mistis kuno - yang menjulang menuju surga di jantung bangsa.

Dalam ketakjuban, Langdon mulai bergerak berlawanan dengan jarum jam mengitari perbatasan ruang persegi empat mungil itu, dan kini tiba di jendela lain untuk melihat.

Utara.

Melalui jendela yang menghadap ke utara Ini, Langdon menunduk memandangi siluet Gedung Putih yang tidak asing lagi, tepat di hadapannya. Dia mengangkat pandangan ke cakrawala, dan di sana garis lurus Sixteenth Street memanjang ke utara menuju House of the Temple.

Aku berada di selatan Heredom.

Dia melanjutkan perjalanan mengitari perbatasan sampai ke jendela berikutnya. Ketika memandang ke barat, mata Langdon menelusuri persegi-panjang kolam yang memantulkan Lincoln Memorial, yang arsitektur Yunani klasiknya diilhami oleh Parthenon di Athena, Kuil untuk Athena - dewi upaya kepahlawanan.

Annuit coeptis, pikir Langdon. Tuhan menyukai upaya kita.

Ketika melanjutkan ke jendela terakhir, Langdon memandang ke selatan melintasi perairan gelap Tidal Basin, tempat Jefferson Memorial berkilau terang di dalam malam. Langdon tahu, kubahnya yang melandai meniru Pantheon, rumah dewa-dewa besar dalam mitologi Romawi.

Setelah memandang ke empat penjuru, Langdon kini mengingat foto-foto National Mall dari angkasa yang pernah dilihatnya - keempat lengan National Mall terjulur dari Monumen Washington ke arah titik-titik utama kompas. Aku sedang berdiri di persimpangan Amerika.

Langdon berjalan kembali ke tempat Peter berdiri. Wajah mentornya itu berseri-seri. "Nah, Robert, inilah dia. Kata yang Hilang. Di sinilah tempatnya terkubur. Piramida Mason menuntun kita kemari."

Langdon terpana. Dia sudah melupakan Kata yang Hilang itu.

"Robert, aku tahu tak seorang pun bisa dipercaya melebihi dirimu. Dan, setelah malam seperti malam ini, aku yakin kau patut mengetahui arti semua ini. Seperti yang dijanjikan dalam legenda, Kata yang Hilang memang terkubur di dasar tangga berkelok-kelok." Dia menunjuk mulut ruang tangga panjang monumen itu.

Langdon akhirnya mulai paham, tapi kini dia kebingungan.

Cepat-cepat Peter merogoh saku dan mengeluarkan sebuah benda kecil. "Kau ingat ini?"

Langdon meraih kotak berbentuk-kubus yang dipercaya Peter kepadanya dulu sekali itu. "Ya... tapi aku khawatir aku tidak melakukan pekerjaanku dengan baik untuk melindunginya.

Solomon tergelak. "Mungkin sudah tiba saatnya bagi kotak ini untuk ditemukan."

Langdon meneliti kubus batu itu, bertanya-tanya mengapa Peter menyerahkannya kepadanya.

"Seperti apa kelihatannya kotak ini bagimu?" tanya Peter.

Langdon meneliti tulisan 1514AD dan mengingat kesan pertamanya ketika Katherine membuka bungkusan itu. "Batu pertama."

"Tepat sekali," jawab Peter. "Nah, ada beberapa hal yang mungkin tidak kau ketahui mengenai batu pertama. Yang pertama, konsep peletakan batu pertama berasal dari Kitab Perjanjian Lama."

Langdon mengangguk. "Kitab Mazmur."

"Benar. Dan batu pertama yang sejati selalu dikuburkan di bawah tanah - menyimbolkan langkah awal gedung yang menyeruak dari dunia menuju cahaya surgawi."

Langdon melirik Capitol di luar sana, mengingat bahwa batu pertamanya dikuburkan begitu dalam pada fondasinya, sehingga sampai saat ini, penggalian-penggalian belum bisa menemukannya.

"Dan akhirnya," ujar Solomon, "seperti kotak batu di tanganmu, banyak batu pertama yang berupa gua kecil... punya lubang berongga sehingga bisa menguburkan harta karun... juga jimat-simbol harapan untuk masa depan gedung yang hendak dibangun."

Langdon juga sangat mengenal tradisi ini. Bahkan saat ini, kaum Mason meletakkan batu pertama yang mereka isi dengan benda-benda berarti-kapsul waktu, foto, pernyataan, bahkan abu orang penting.

"Tujuanku menceritakan ini," ujar Solomon, seraya melirik ruang tangga, "seharusnya sudah jelas."

"Kau mengira Kata yang Hilang terkubur di dalam batu pertama Monumen Washington?"

"Aku tidak mengira, Robert, aku tahu, Kata yang hilang terkubur dalam batu pertama monumen ini pada 4 Juli 1848 dalam ritual lengkap Mason."

Langdon menatapnya. "Bapak-bapak bangsa penganut Mason kita menguburkan sebuah kata?!"

Peter mengangguk. "Mereka memang melakukannya. Mereka memahami kekuatan sejati dari apa yang mereka kuburkan."

Sepanjang malam, Langdon mencoba membungkus benaknya dengan konsep-konsep surgawi yang bertebaran... Misteri Kuno, Kata yang Hilang, Rahasia-Rahasia Berabad-abad. Dia menginginkan bukti yang solid. Dan, walaupun Peter menyatakan bahwa kunci menuju semua itu terkubur di dalam batu pertama yang berada 555 kaki di bawahnya, Langdon mengalami kesulitan untuk menerimanya. Orang-orang mempelajari misteri-misteri itu sepanjang hidup mereka, dan masih tidak mampu mengakses kekuatan yang konon tersembunyi di sana. Sekilas Langdon mengingat Melencolia I-nya Durer - gambar seorang Ahli yang kecewa, dikelilingi alat-alat dari upaya gagalnya mengungkapkan rahasia-rahasia mistis alkimia. Jika benar-benar bisa diungkapkan, rahasia-rahasia itu tidak akan ditemukan di sebuah tempat!

Langdon selalu percaya bahwa apa pun jawabannya, jawaban itu pasti tersebar di seluruh dunia di dalam ribuan buku... disandikan ke dalam tulisan-tulisan karya Pythagoras, Hermes, Heraclitus, Paracelsus, dan ratusan orang lainnya. Jawabannya ditemukan dalam buku-buku tebal berdebu yang terlupakan mengenai alkimia, mistisisme, sihir, dan filsafat. Jawabannya tersembunyi di dalam perpustakaan kuno Alexandria, pada loh-loh batu Sumer, dan di dalam hieroglif Mesir.

"Peter, maaf," ujar Langdon pelan, seraya menggelengkan kepala. "Memahami Misteri Kuno adalah proses seumur hidup. Aku tidak bisa membayangkan bahwa kuncinya mungkin terletak di dalam sebuah kata tunggal."

Peter meletakkan sebelah tangan di bahu Langdon. "Robert, Kata yang Hilang bukanlah sebuah 'kata'." Dia tersenyum bijak.

"Kami menyebutnya sebagai 'Kata' karena begitulah orang-orang kuno menyebutnya... pada saat permulaan."

BAB 130

Pada mulanya adalah Kata.

Dean Galloway berlutut di Persimpangan Besar Katedral Nasional dan berdoa untuk Amerika. Dia berdoa agar negara tercintanya bisa segera memahami kekuatan sejati Kata-kumpulan kebijakan tertulis dari semua master kuno-kebenaran-kebenaran spiritual yang diajarkan oleh orang-orang bijak besar.

Sejarah telah memberkahi umat manusia dengan guru-guru terbijak, jiwa-jiwa sangat tercerahkan yang memahami misteri-misteri spiritual dan mental melebihi segala pemahaman. Kata-kata berharga para Ahli ini - Buddha, Yesus, Muhammad, Zoroaster, dan lainnya yang tak terhitung banyaknya - telah diteruskan di sepanjang sejarah di dalam wadah-wadah tertua dan paling berharga.

Buku.

Setiap kebudayaan di bumi memiliki buku sucinya sendiri. Kata-nya sendiri - yang kesemuanya berbeda, tetapi masing-masingnya sama. Bagi orang Kristen, Kata itu adalah Alkitab, bagi orang Muslim AI-Quran, bagi orang Yahudi Kitab Taurat, bagi orang Hindu Kitab Weda, dan seterusnya dan seterusnya.

Kata itu akan menerangi jalan.

Bagi bapak-bapak bangsa penganut Mason Amerika, kata itu adalah Alkitab. Akan tetapi, hanya sedikit orang dalam sejarah yang memahami pesan sejatinya.

Malam ini, ketika Galloway berlutut sendirian di dalam katedral besar itu, dia meletakkan kedua tangannya di atas Kata buku usang Alkitab Masonnya sendiri. Buku berharga ini, seperti semua Alkitab Mason, berisikan Kitab Perjanjian Lama, Kitab Perjanjian Baru, dan harta karun tulisan filosofis Mason.

Walaupun mata Galloway tidak lagi bisa membaca teks dia hafal dengan kata pengantarnya. Pesan agung itu telah dibaca oleh jutaan saudara Mason dalam bahasa yang tak terhitung banyaknya di seluruh dunia.

Teksnya berbunyi:

WAKTU ADALAH SUNGAI ... DAN BUKU ADALAH PERAHU. BANYAK DILUNCURKAN DI SUNGAI ITU, HANYA UNTUK HANCUR DAN HILANG MELAMPAUI INGATAN DI DALAM PASIR-PASIRNYA. HANYA SEDIKIT, SEDIKIT SEKALI, YANG TAHAN TERHADAP UJIAN-UJIAN WAKTU DAN TETAP HIDUP UNTUK MEMBERIKAN ABAD-ABAD BERIKUTNYA.

Ada alasan mengapa buku-buku ini bertahan, sementara yang lain lenyap. Sebagai orang yang mempelajari keyakinan, Dean Galloway merasa takjub karena teks-teks spiritual kuno - buku-buku yang paling banyak dipelajari di bumi - sesungguhnya adalah yang paling sedikit dipahami.

Sebuah rahasia menakjubkan tersembunyi di dalam halaman-halaman itu.

Suatu hari kelak, cahaya akan merekah, dan umat manusia pada akhirnya akan mulai memahami kebenaran sederhana dan transformatif ajaran-ajaran kuno... dan melakukan lompatan kuantum ke depan dalam memahami hakikat diri mereka sendiri yang luar biasa.

BAB 131

Tangga berkelok-kelok yang menuruni tulang punggung Monumen Washington terdiri atas 896 anak tangga yang berputar-putar mengelilingi sebuah terowongan lift terbuka. Langdon dan Solomon sedang menuruninya, dan Langdon masih bergumul dengan kenyataan mengejutkan yang diungkapkan Peter kepadanya beberapa saat lalu: Robert, di dalam batu-pertama berongga monumen ini, bapak-bapak bangsa kita menguburkan sebuah buku Kata-Alkitab-yang menunggu di dalam kegelapan di kaki tangga ini.

Ketika mereka turun, mendadak Peter berhenti di sebuah anak tangga dan mengayunkan cahaya senternya untuk menyinari sebuah medali batu besar yang tertanam di dinding.

Apa gerangan?! Langdon terlompat ketika melihat ukiran itu.

Medali itu menggambarkan sosok berjubah yang menakutkan sedang memegang sabit dan berlutut di samping sebuah jam pasir. Lengan sosok itu terangkat dan jari telunjuknya terjulur, menunjuk langsung ke sebuah Alkitab besar yang terbuka, seakan mengatakan: "Jawabannya ada di sana!"

Langdon menatap ukiran itu, lalu berpaling kepada Peter.

Mata mentornya berkilau misterius. "Aku ingin kau merenungkan sesuatu, Robert." Suaranya menggema ke bawah di ruang tangga kosong itu. "Mengapa menurutmu Alkitab bertahan ribuan tahun di dalam pergolakan sejarah? Mengapa Alkitab masih ada di sini? Apakah karena kisah-kisahnya begitu memikat untuk dibaca? Tentu saja tidak ...  tapi ada alasannya. Ada alasan mengapa para pendeta Kristen menghabiskan waktu seumur hidup dengan berupaya memahami Alkitab. Ada alasan mengapa para ahli mistik Yahudi dan penganut Kabbalah mempelajari Kitab Perjanjian Lama. Dan alasan itu, Robert, adalah karena rahasia-rahasia luar biasa tersembunyi di dalam halaman-halaman buku kuno... sebuah koleksi besar kebijakan yang menunggu untuk di ungkapkan."

Langdon tidak asing dengan teori bahwa Alkitab mengandung lapisan arti tersembunyi, pesan tersamar yang diselubungi alegori simbolisme, dan perumpamaan.

"Para nabi memperingatkan kita," lanjut Peter, "bahwa bahasa yang digunakan untuk menceritakan misteri-misteri rahasia mereka adalah bahasa tersandi. Injil Markus mengatakan, 'Kepadamu telah diberikan rahasia... tetapi kepada orang-orang luar, segala sesuatu disampaikan dalam perumpamaan.' Kitab Amsal memperingatkan bahwa perkataan orang bijak adalah 'teka-teki', sedangkan Surat Paulus yang Pertama kepada jemaat di Korintus membicarakan 'hikmat tersembunyi'. Injil Yohanes memperingatkan sebelumnya: 'Semuanya ini kukatakan kepadamu dengan kiasan... berkata-kata kepadamu dengan kiasan (dark sayings).'"

Dark sayings, pikir Langdon, yang tahu bahwa frasa aneh ini acap kali muncul secara ganjil dalam Kitab Amsal, juga dalam Mazmur 78. Aku mau membuka mulut mengatakan amsal, aku mau mengucapkan teka-teki (dark sayings) dari zaman purbakala. Langdon tahu, konsep "perkataan-perkataan gelap" bukan berarti bahwa perkataan itu "jahat", melainkan arti sejatinya disembunyikan atau dikaburkan dari terang.

"Dan jika kau merasa ragu," imbuh Peter, " Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus mengatakan kepada kita bahwa perumpamaan punya dua lapisan arti: 'susu untuk bayi dan daging untuk manusia dewasa' - susu adalah bacaan yang diencerkan untuk benak kekanak-kanakan, dan daging adalah pesan sejati yang hanya bisa diakses oleh benak matang."

Peter mengangkat senter, sekali lagi menerangi ukiran sosok berjubah yang menunjuk Alkitab dengan sungguh-sungguh. "Aku tahu kau orang yang skeptis, Robert, tapi renungkanlah ini: Seandainya Alkitab tidak mengandung pesan tersembunyi, mengapa banyak orang terpandai dalam sejarah-termasuk ilmuwan-ilmuwan hebat di Royal Society - menjadi begitu terobsesi mempelajarinya? Sir Issac Newton menulis lebih dari sejuta kata, berupaya memahami arti sesungguhnya Alkitab, termasuk manuskrip tahun 1704 yang menyatakan bahwa dia telah mengambil informasi ilmiah tersembunyi dari Alkitab!"

Langdon tahu, ini benar.

"Dan Sir Francis Bacon," lanjut Peter, "orang terkenal ini disewa oleh Raja James untuk secara harfiah menyusun Alkitab resmi versi Raja James, menjadi begitu yakin bahwa Alkitab mengandung pesan tersandi yang ditulisnya dalam kode-kodenya sendiri, yang masih dipelajari hingga saat ini! Tentu saja, seperti yang kau ketahui, Bacon adalah pengikut Rosicrucian dan menulis The Wisdom of the Ancients." Peter tersenyum. "Bahkan, penyair ikonoklastis William Blake menyatakan bahwa kita harus membaca arti yang tersirat."

Langdon mengenal baitnya:

            SAMA-SAMA MEMBACA ALKITAB SIANG

           DAN MALAM, TAPI KAU MEMBACA HITAM,

                SEDANG AKU MEMBACA PUTIH.

Dan bukan hanya orang-orang terkenal Eropa," lanjut Peter, yang kini menuruni tangga lebih cepat. "Di sini, Robert, di poros bangsa Amerika muda ini, para bapak bangsa terpandai kita - John Adams, Ben Franklin, Thomas Paine - semuanya memperingatkan bahaya besar jika menginterpretasikan Alkitab secara harfiah. Sesungguhnya, Thomas Jefferson sangat meyakini tersembunyi-nya pesan sejati Alkitab, sehingga secara harfiah dia memotong-motong halaman-halamannya dan menyunting-ulang buku itu, berupaya, sebagaimana kata-katanya sendiri, 'untuk menyingkirkan serangkaian penopang palsu dan mengembalikan doktrin-doktrin aslinya'."

Langdon sangat menyadari adanya fakta aneh ini. Saat ini, Alkitab versi Jefferson masih dicetak dan menyertakan banyak revisi kontroversialnya, di antaranya penghilangan kisah kelahiran dari perawan dan kebangkitan. Yang menakjubkan, Alkitab versi Jefferson diberikan kepada semua anggota baru Kongres selama pertengahan pertama abad ke-19.

"Peter, kau tahu aku menganggap topik ini mencengangkan dan aku bisa mengerti kalau orang-orang pintar mungkin tergoda, untuk membayangkan bahwa Alkitab mengandung arti tersembunyi, tapi bagiku, itu tidak masuk akal. Profesor ahli mana pun akan mengatakan kepadamu bahwa pengajaran tidak pernah dilakukan dalam kode."

"Maaf?"

"Guru mengajar, Peter. Kami bicara secara terbuka. Mengapa para nabi-guru-guru terbesar dalam sejarah menyamarkan bahasa mereka? Jika berharap bisa mengubah dunia, mengapa mereka bicara dalam kode? Mengapa tidak bicara dengan jelas sehingga dunia bisa mengerti?"

Peter menoleh ke belakang ketika menuruni tangga, tampak terkejut mendengar pertanyaan itu. "Robert, Alkitab tidak bicara secara terbuka karena alasan yang sama mengapa Aliran Misteri Kuno tetap tersembunyi... karena alasan yang sama mengapa para kandidat harus diinisiasi sebelum mempelajari ajaran-ajaran rahasia berabad-abad ... karena alasan yang sama mengapa para ilmuwan dalam Invisible College menolak membagikan pengetahuan mereka kepada yang lain. Informasi ini dahsyat, Robert. Misteri Kuno tidak bisa diteriakkan dari puncak-puncak atap. Misteri itu merupakan obor menyala yang, di tangan seorang master, bisa menerangi jalan, tapi di tangan seorang gila, bisa membakar dunia."

Langdon langsung berhenti. Apa yang dikatakannya? "Peter, aku membicarakan Alkitab. Mengapa kau membicarakan Misteri Kuno?"

Peter berbalik. "Robert, tidakkah kau mengerti? Misteri Kuno dan Alkitab adalah hal yang sama."

Langdon menatap dengan kebingungan.

Peter terdiam selama beberapa detik, menunggu konsep itu dicerna. "Alkitab adalah salah satu buku untuk meneruskan misteri itu di sepanjang sejarah. Halaman-halamannya berupaya mati-matian untuk menceritakan rahasia itu kepada kita. Tidakkah kau mengerti? 'Dark saying' dalam Alkitab bisikan-bisikan orang kuno, yang diam-diam membagikan kebijakan rahamin mereka kepada kita."

Langdon diam saja. Misteri Kuno, seperti yang dipahaminya, adalah sejenis manual instruksi untuk memanen kekuatan laten benak manusia... resep untuk apotheosis pribadi. Dia tidak pernah bisa menerima kekuatan misteri itu dan menganggap mustahil gagasan bahwa Alkitab, entah bagaimana, menyembunyikan kunci bagi misteri itu.

"Peter, Alkitab dan Misteri Kuno benar-benar berlawanan. Misteri itu menyangkut tuhan di dalam dirimu... manusia sebagai tuhan. Alkitab menyangkut Tuhan di atas-mu... dan manusia sebagai pendosa yang tak berdaya."

"Ya! Tepat sekali! Kau telah menunjukkan masalahnya dengan tepat! Pada saat umat manusia memisahkan diri dari Tuhan, arti sejati Kata itu hilang. Suara para master kuno kini tenggelam, hilang dalam hiruk-pikuk kekacauan para praktisi yang meneriakkan bahwa hanya mereka yang memahami Kata itu... bahwa Kata itu ditulis dalam bahasa mereka, dan bukan yang lain."

Peter terus menuruni tangga.

"Robert, kau dan aku sama-sama tahu bahwa orang-orang kuno akan ketakutan jika mengetahui betapa pengajaran-pengajaran mereka telah disesatkan... betapa agama telah memosisikan diri sebagai pintu tol menuju surga... betapa para pejuang berbaris memasuki pertempuran dengan keyakinan bahwa Tuhan merestui tujuan mereka. Kita telah kehilangan Kata itu, tetapi arti sejatinya masih berada di dalam jangkauan, tepat di hadapan mata kita. Arti itu terdapat di dalam semua teks yang terus bertahan, mulai dari Alkitab sampai Bhagawad Gita, AI-Quran, dan lain-lain. Kesemua teks ini dihormati di atas altar-altar Persaudaraan Mason Bebas, karena kaum Mason memahami apa yang tampaknya telah dilupakan oleh dunia.... bahwa masing-masing teks itu, dengan caranya sendiri, diam-diam membisikkan pesan yang persis sama." Suara Peter dipenuhi emosi. "Tidak tahukah kalian bahwa kalian adalah tuhan?"

Langdon heran, betapa perkataan kuno terkenal ini terus-menerus muncul malam ini. Dia sudah merenungkannya ketika bicara dengan Galloway, dan juga di Gedung Capitol, ketika mencoba menjelaskan The Apotheosis of Washington.

Peter merendahkan suaranya hingga berbisik. "Buddha mengatakan, 'Kau sendiri adalah Tuhan.' Yesus mengajarkan bahwa, 'Kerajaan Allah ada di antara kamu' dan bahkan berjanji kepada kita, 'ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan... dan lebih besar daripada itu.' Bahkan, anti-Paus pertama - Hippolytus dari Roma - mengutip pesan yang sama, yang pertama kali diucapkan oleh guru gnostik Monoimus: 'Tinggalkan pencarian akan Tuhan... dan jadikan dirimu sebagai tempat awalnya.'"

Sekilas Langdon teringat akan House of the Temple. Di sana terdapat kursi Tyler Mason bertuliskan dua kata penuntun yang diukirkan melintasi punggungnya: KENALI DIRIMU.

"Seorang bijak pernah berkata kepadaku," ujar Peter, kini dengan suara pelan, "satu-satunya perbedaan antara dirimu dan Tuhan adalah, kau telah lupa bahwa kau suci."

"Peter, aku mendengar semua perkataanmu. Sungguh. Dan aku ingin percaya bahwa kita adalah tuhan, tapi aku tidak melihat tuhan berjalan di dunia kita. Aku tidak melihat manusia-super. Kau bisa menunjukkan keajaiban-keajaiban Alkitab, atau teks keagamaan apa pun lainnya, tapi semua itu hanyalah kisah-kisah lama karangan manusia, yang kemudian dilebih-lebihkan setelah beberapa waktu."

"Mungkin," ujar Peter. "Atau mungkin kita hanya memerlukan ilmu pengetahuan untuk mengejar kebijakan orang-orang kuno itu." Dia terdiam. "Lucunya... aku percaya riset Katherine mungkin siap melakukan hal seperti itu."

Mendadak Langdon ingat bahwa Katherine tadi bergegas meninggalkan House of the Temple. "Hei, omong-omong, ke mana dia pergi?"

"Dia akan berada di sini sebentar lagi." ujar Peter, seraya menyeringai. "Dia pergi untuk memastikan sedikit keberuntungan yang menakjubkan."

Di luar, di dasar monumen, Peter Solomon merasa segar ketika menghirup udara malam yang dingin. Dia menyaksikan dengan geli ketika Langdon menatap tanah dengan serius, menggaruk-garuk kepala, dan menengok ke sekeliling di kaki obelisk.

"Profesor," gurau Peter, "batu pertama yang berisikan Alkitab berada di bawah tanah. Kau tidak benar-benar bisa mengakses buku itu, tapi kujamin buku itu ada di sana."

"Aku percaya." ujar Langdon, yang tampak hanyut dalam pikiran. "Hanya... aku memperhatikan sesuatu."

Kini Langdon melangkah mundur dan meneliti plaza raksasa tempat Monumen Washington berdiri. Jalanan lebar melingkarnya seluruhnya terbuat dari batu putih... kecuali dua jalur dekoratif batu hitam, yang membentuk dua lingkaran konsentris mengelilingi monumen.

"Lingkaran di dalam lingkaran," kata Langdon. "Tak pernah kusadari bahwa Monumen Washington berdiri di tengah lingkaran di dalam lingkaran."

Mau tak mau Peter tertawa. Dia tidak melewatkan sesuatu pun.

"Ya, circumpunct raksasa... simbol universal untuk Tuhan... di persimpangan Amerika." Dia mengangkat bahu, seolah tidak tahu. "Aku yakin, itu hanya kebetulan."

Langdon tampak melamun, kini memandang ke langit, matanya naik merayapi menara benderang itu, yang bersinar putih cemerlang dilatari langit hitam musim dingin.

Peter merasa bahwa Langdon mulai melihat tujuan sesungguhnya ciptaan ini... pengingat bisu akan kebijakan kuno... ikon manusia tercerahkan di jantung sebuah bangsa besar. Walaupun tidak bisa melihat ujung aluminium mungil di puncaknya, Peter mengetahui keberadaan benda itu di sana, benak tercerahkan manusia yang menggapai ke arah surga.

Laus Deo.

"Peter?" Langdon mendekat, tampak seperti seorang lelaki yang baru saja mengalami semacam inisiasi mistis. "Aku hampir lupa," katanya, seraya merogoh saku dan mengeluarkan cincin Mason emas Peter. "Sepanjang malam, aku ingin mengembalikan benda ini kepadamu."

"Terima kasih, Robert." Peter menjulurkan tangan kirinya dan meraih cincin itu, mengaguminya. "'Kau tahu, semua kerahasiaan dan misteri yang menyelubungi cincin ini dan Piramida Mason... telah mendatangkan efek yang besar dalam hidupku. Ketika aku masih muda, piramida itu diserahkan kepadaku dengan janji bahwa benda itu menyembunyikan rahasia-rahasia mistis. Keberadaannya saja membuatku percaya adanya misteri-misteri besar di dunia. Benda itu membangkitkan rasa penasaranku, menyulut kekagumanku, dan menginspirasiku untuk membuka benakku bagi Misteri Kuno." Dia tersenyum tenang dan menyelipkan cincin itu ke dalam saku. "Kini kusadari bahwa tujuan sesungguhnya Piramida Mason bukanlah mengungkapkan jawaban-jawaban, tapi menginspirasi kekaguman terhadap jawaban-jawaban itu."

Kedua lelaki itu berdiri dalam keheningan untuk waktu yang lama di kaki monumen.

Ketika akhirnya Langdon bicara, nadanya serius. "Aku harus meminta tolong kepadamu, Peter ... sebagai teman."

"Tentu saja. Apa pun itu."

Langdon mengucapkan permintaannya... dengan tegas.

Solomon mengangguk, tahu bahwa Langdon benar. "Aku bersedia."

"Sekarang juga," imbuh Langdon, seraya menunjuk Escalade yang menunggu.

"Oke ... tapi dengan satu syarat."

Langdon memutar bola mata, tergelak. "Entah bagaimana, kaulah yang selalu mengucapkan kata terakhir."

"Ya, ada satu hal terakhir yang kuinginkan untuk kau lihat bersama Katherine."

"Selarut ini?" Langdon menengok arloji.

Solomon tersenyum hangat kepada teman lamanya. "Itu harta karun Washington yang paling spektakuler... dan hanya sedikit, sedikit sekali orang yang pernah melihatnya."

BAB 132

Hati Katherine Solomon terasa ringan ketika dia bergegas mendaki bukit menuju dasar Monumen Washington. Dia telah mengalami guncangan dan tragedi besar malam ini, tetapi kini segenap pikirannya terfokus kembali, walaupun hanya sementara, pada berita menakjubkan yang disampaikan oleh Peter kepadanya tadi... berita yang baru saja dikonfirmasinya dengan mata kepala sendiri.

Risetku aman. Semuanya.

Drive-drive data holografis labnya telah hancur malam ini, tapi tadi di House of the Temple, Peter menginformasikan bahwa diam-diam dia menyimpan salinan semua riset Noetic Katherine di kantor-kantor eksekutif SMSC. Kau tahu, aku benar-benar terpesona dengan hasil kerjamu, jelas Peter, dan aku ingin mengikuti kemajuannya tanpa mengganggumu.

"Katherine?" sebuah suara rendah memanggil.

Dia mendongak.

Seseorang berdiri sendirian di dalam bayang-bayang di dasar monumen terang.

"Robert!" Katherine bergegas menghampiri dan memeluknya.

"Aku mendengar berita baik itu," bisik Langdon. "Kau pasti lega."

Suara Katherine parau oleh emosi. "Teramat sangat." Riset yang diamankan Peter merupakan pencapaian ilmiah besar - koleksi banyak eksperimen yang membuktikan bahwa pikiran manusia merupakan kekuatan yang nyata dan bisa diukur di dunia. Eksperimen-eksperimen Katherine memperlihatkan efek pikiran manusia terhadap segalanya, mulai dari kristal-kristal es sampai random-event generator dan gerakan partikel-partikel subatomis. Semua hasilnya konklusif dan tak terbantahkan, dengan potensi mengubah orang-orang skeptis menjadi orang-orang yang percaya dan memengaruhi kesadaran global pada skala besar. "Segalanya akan berubah, Robert. Segalanya."

"Peter jelas beranggapan begitu."

Katherine memandang ke sekeliling, mencari kakaknya.

"Rumah sakit," ujar Langdon. "Aku bersikeras memintanya pergi ke sana."

Katherine mengembuskan napas dengan lega. "Terima kasih."

"Dia bilang, aku harus menunggumu di sini."

Katherine mengangguk, pandangannya naik merayapi obelisk putih berkilau itu. "Peter bilang, dia akan membawamu ke sini. Sesuatu mengenai Laus Deo? Dia tidak menjelaskan."

Langdon tergelak lesu. "Aku juga tidak yakin memahami seluruhnya." Dia mendongak memandang puncak monumen. "Malam ini kakakmu menjelaskan beberapa hal yang tidak mampu kupikirkan."

"Biar kutebak," ujar Katherine. "Misteri Kuno, ilmu pengetahuan, dan Kitab Suci?"

"Betul sekali."

"Selamat datang ke dunia-ku." Katherine mengedipkan sebelah mata. "Sudah lama sekali Peter menginisiasiku untuk ini. Itu menyulut banyak risetku."

"Secara intuitif, sebagian perkataannya masuk akal." Langdon menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi secara intelektual..."

Katherine tersenyum dan merangkulkan lengannya pada Langdon. "Kau tahu, Robert, aku mungkin bisa menolongmu dalam hal itu."

Jauh di dalam Gedung Capitol, Arsitek Warren Bellamy berjalan menyusuri lorong sepi.

Hanya satu hal lagi yang harus dilakukan malam ini, pikirnya.

Ketika tiba di kantornya, dia mengeluarkan sebuah kunci yang sangat tua dari laci meja. Kunci itu terbuat dari besi hitam, panjang dan ramping, dengan tanda-tanda yang memudar. Dia menyelipkannya ke dalam saku, lalu menyiapkan diri untuk menyambut tamu-tamunya.

Robert Langdon dan Katherine Solomon sedang dalam perjalanan menuju Capitol. Berdasarkan permintaan Peter, Bellamy harus memberi mereka kesempatan yang sangat langka - peluang untuk memandang rahasia paling menakjubkan gedung ini... sesuatu yang hanya bisa diungkapkan oleh Sang Arsitek.

BAB 133

Tinggi di atas lantai Rotunda Capitol, Robert Langdon beringsut dengan gugup di sekitar panggung melingkar yang menonjol persis di bawah langit-langit kubah. Dia mengintip dengan ragu dari pagar, dipusingkan oleh ketinggian, masih belum bisa percaya bahwa belum ada sepuluh jam semenjak tangan Peter muncul di tengah lantai di bawah sana.

Di lantai yang sama itu, kini Arsitek Capitol hanya berupa bintik mungil sejauh lima puluh lima meter di bawah sana, bergerak mantap melintasi Rotunda, lalu menghilang. Bellamy telah mendampingi Langdon dan Katherine ke atas balkon ini, lalu meninggalkan mereka di sana dengan instruksi yang sangat spesifik.

Instruksi-instruksi Peter.

Langdon mengamati kunci besi tua yang diserahkan Bellamy kepadanya. Lalu dia melirik ruang tangga sempit yang naik dari tingkat ini... mendaki semakin tinggi. Tuhan, tolonglah. Tangga sempit ini, menurut Arsitek, menuju pintu logam kecil yang bisa dibuka dengan kunci besi di tangan Langdon.

Di balik pintu itu, terdapat sesuatu yang menurut Peter harus dilihat oleh Langdon dan Katherine. Peter tidak menjelaskan, tapi meninggalkan instruksi-instruksi tegas mengenai jam yang tepat untuk membuka pintu itu. Kita harus menunggu untuk membuka pintu? Mengapa?

Langdon menengok arloji sekali lagi dan mengerang.

Dia memasukkan kunci ke dalam saku, memandang melintasi kekosongan di hadapannya ke sisi jauh balkon. Katherine sudah berjalan dengan berani di depan, tampaknya tidak mengkhawatirkan ketinggian. Dia kini sudah menempuh setengah lingkaran, mengagumi setiap inci The Apotheosis of Washington-nya.

Brumidi yang menjulang persis di atas kepala mereka. Dari sudut pandang langka ini, sosok-sosok setinggi empat setengah meter yang menghiasi hampir lima ratus meter persegi Kubah Capitol terlihat sangat mendetail.

Langdon memunggungi Katherine, menghadap dinding luar, dan berbisik sangat pelan, "Katherine, aku sekadar ingin mengingatkan. Mengapa kau meninggalkan Robert?"

Katherine tampaknya mengenal sifat-sifat akustik mengejutkan kubah itu... karena dindingnya berbisik menjawab. "Karena Robert penakut. Seharusnya, dia datang ke sini bersamaku. Kita punya banyak waktu sebelum diperbolehkan membuka pintu itu."

Langdon tahu, Katherine benar. Dengan enggan, dia berjalan mengelilingi balkon seraya memeluk dinding.

"Langit-langit ini benar-benar menakjubkan," ujar Katherine kagum. Dia memanjangkan leher untuk menikmati keindahan luar biasa Apotheosis di atas kepala. "Dewa-dewa khayalan bercampur semuanya dengan para penemu ilmiah dan ciptaan mereka? Dan inilah gambar yang berada di tengah Capitol kita."

Langdon mengarahkan mata ke atas, memandang bentuk bentuk Franklin, Fulton, dan Morse yang tersebar bersama temuan-temuan teknologi mereka. Sebuah pelangi berkilau melengkung menjauhi sosok-sosok ini, menuntun mata Langdon menuju George Washington yang naik ke surga di atas awan. Janji besar manusia menjadi Tuhan.

"Seakan seluruh esensi Misteri Kuno melayang di atas Rotunda," ujar Katherine.

Langdon harus mengakui, tidak banyak lukisan dinding di dunia yang menggabungkan temuan-temuan ilmiah dengan dewa-dewa khayalan dan apotheosis manusia. Koleksi spektakuler gambar di langit-langit ini benar-benar merupakan pesan dari Misteri Kuno, dan berada di sini untuk alasan tertentu. Para bapak bangsa membayangkan Amerika sebagai kanvas hitam, ladang subur untuk menaburkan benih misteri-misteri itu. Saat ini, ikon yang menjulang ini - bapak bangsa yang naik ke surga - melayang bisu di atas para pembuat undang-undang, pemimpin, dan presiden sebagai peringatan tegas, peta menuju masa depan, janji akan suatu masa ketika manusia berevolusi untuk melengkapi kematangan spiritual.

"Robert," bisik Katherine. Pandangannya masih terpaku pada sosok-sosok penemu besar Amerika yang ditemani oleh Minerva, "Ramalannya tepat. Sungguh. Saat ini, temuan-temuan manusia yang paling maju digunakan untuk mempelajari gagasan-gagasan manusia yang paling kuno. Ilmu Noetic mungkin baru, tapi itu sesungguhnya ilmu pengetahuan tertua di dunia - studi mengenai pikiran manusia." Kini dia berpaling kepada Langdon, matanya dipenuhi ketakjuban. "Dan kita belajar bahwa orang-orang kuno sesungguhnya memahami pikiran secara lebih mendalam daripada kita saat ini."

"Masuk akal," jawab Langdon. "Pikiran manusia adalah satu-satunya teknologi yang dimiliki oleh orang-orang kuno. Filosof-filosof kuno mempelajarinya tanpa kenal lelah."

"Ya! Teks-teks kuno terobsesi dengan kekuatan benak manusia. Kitab Weda menjelaskan aliran energi pikiran. Pistis Sophia menjelaskan kesadaran universal. Zohar mengeksplorasi sifat alami roh pikiran. Teks-teks Shaman meramalkan 'pengaruh jauh' Einstein sehubungan dengan penyembuhan jarak-jauh. Semuanya ada di sana! Dan jangan membuatku mulai membahas Alkitab."

"Kau juga?" ujar Langdon, seraya tergelak. "Kakakmu berusaha meyakinkanku bahwa Alkitab mengandung informasi ilmiah tersandi."

"Pasti," kata Katherine. "Dan jika kau tidak memercayai Peter, bacalah beberapa teks esoteris Newton mengenai Alkitab. Ketika kau mulai memahami perumpamaan-perumpamaan tersamar dalam Alkitab, Robert, kau akan menyadari bahwa itu adalah studi mengenai pikiran manusia."

Langdon mengangkat bahu. "Kurasa, sebaiknya aku kembali dan membacanya lagi."

"Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu," ujar Katherine, yang jelas tidak menghargai skeptisisme Langdon. "Ketika Alkitab memerintahkan kita untuk pergi membangun temple (kuil), kuil yang harus kita bangun tanpa peralatan dan tanpa suara, kuil apa yang menurutmu dibicarakannya?"

"Wah, teksnya memang mengatakan bahwa tubuhmu adalah kuil."

"Ya, 1 Korintus 3:16. Kamu adalah bait Allah." Dia tersenyum kepada Langdon. "Dan Injil Yohanes mengatakan hal yang persis sama. Robert, Alkitab sangat menyadari kekuatan laten di dalam diri kita, dan mendesak kita untuk menggunakan kekuatan itu... mendesak kita untuk membangun kuil pikiran kita."

"Sayangnya, kurasa, sebagian besar dunia keagamaan menunggu pembangunan-kembali kuil yang sebenarnya. Itu bagian dari Ramalan Mesias."

"Ya, tapi ada satu bagian penting yang terlewatkan. Kedatangan Kedua adalah kedatangan manusia. Itu saat ketika umat manusia akhirnya membangun kuil pikiran mereka."

"Aku tidak tahu," ujar Langdon, seraya menggosok-gosok dagu. "Aku tidak mempelajari Alkitab, tapi aku yakin sekali Kitab Suci itu menjelaskan secara terperinci kuil fisik yang harus dibangun. Strukturnya dijelaskan terdiri atas dua bagian-kuil luar yang disebut Tempat Kudus dan tempat suci di bagian dalam yang disebut Tempat Mahakudus. Kedua bagian itu dipisahkan satu sama lain oleh sehelai tabir tipis."

Katherine menyeringai. "Ingatan yang cukup bagus untuk seseorang yang skeptis terhadap Alkitab. Omong-omong, pernahkah kau melihat otak manusia yang sesungguhnya? Otak terdiri atas dua bagian - bagian luar yang disebut dura mater dan bagian dalam yang disebut pia mater. Kedua bagian ini dipisahkan oleh araknoid - tabir dari jaringan yang menyerupai sarang laba-laba."

Langdon memiringkan kepala dengan terkejut.

Perlahan-lahan, Katherine menjulurkan tangan dan menyentuh pelipis Langdon. "Ada alasan mengapa mereka menyebut ini sebagai temple (pelipis), Robert."

Ketika Langdon mencoba mencerna apa yang dikatakan Katherine, secara tak terduga dia mengingat Injil Maria gnostik: Di mana ada pikiran, di situ ada harta karun.

"Mungkin kau sudah mendengar," ujar Katherine, kini dengan suara lembut, "mengenai pemindaian otak para yogi yang sedang bermeditasi? Otak manusia, dalam keadaan amat terfokus, akan secara fisik menciptakan substansi menyerupai-lilin dari kelenjar pineal. Sekresi otak ini tidak menyerupai apa pun lainnya di dalam tubuh manusia. Substansi ini mempunyai efek menyembuhkan yang luar biasa, bisa secara harfiah meregenerasi sel-sel, dan mungkin menjadi salah satu alasan mengapa para yogi begitu panjang umur. Ini ilmu pengetahuan nyata, Robert. Substansi ini memiliki sifat-sifat yang mustahil untuk dibayangkan, dan hanya bisa diciptakan oleh benak yang sangat terpusat pada keadaan terfokus mendalam."

"Aku ingat membaca mengenai hal itu beberapa tahun lalu."

"Ya, dan menyangkut topik itu, apakah kau mengenal cerita Alkitab mengenai 'manna dari surga'?"

Langdon tidak melihat adanya hubungan. "Maksudmu, substansi ajaib yang turun dari surga untuk memberi makan orang-orang kelaparan?"

"Tepat sekali. Substansi itu dikatakan menyembuhkan yang sakit, memberikan kehidupan abadi, dan, anehnya, tidak menghasilkan kotoran bagi mereka yang menyantapnya." Katherine terdiam, seakan menunggu Langdon untuk mengerti. "Robert?" desaknya. "Semacam makanan bergizi yang turun dari surga?" Dia mengetuk pelipisnya. "Menyembuhkan tubuh secara ajaib? Tidak menghasilkan kotoran? Tidakkah kau mengerti? Semuanya ini kata-kata kode, Robert! Kuil adalah kode untuk 'tubuh'. Surga adalah kode untuk 'pikiran'. Tangga Yakub adalah tulang punggungmu. Dan manna adalah sekresi otak yang langka ini. Ketika kau melihat kata-kata kode ini dalam Kitab Suci, perhatikanlah. Mereka sering merupakan penanda untuk arti lebih mendalam yang tersembunyi di bawah permukaan."

Kata-kata Katherine kini bermunculan semakin cepat, menjelaskan betapa substansi ajaib yang sama ini muncul di seluruh Misteri-Misteri Kuno: Madu Dewa-Dewa, Eliksir Kehidupan, Mata Air Kemudaan, Batu Bertuah, ambrosia, embun, ojas, soma. Lalu dia menjelaskan bahwa kelenjar pineal otak merepresentasikan mata serba-melihat Tuhan. "Menurut Matius 6: 22," katanya dengan bersemangat, "'jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu'. Konsep ini juga direpresentasikan oleh Ajna chakra dan titik di kening Hindu, yang-"

Mendadak Katherine terdiam, tampak malu. "Maaf... aku tahu aku melantur. Aku hanya mendapati semua ini begitu memikat. Selama bertahun-tahun, aku mempelajari pernyataan orang-orang kuno mengenai kekuatan mental manusia yang menakjubkan, dan kini ilmu pengetahuan menunjukkan kepada kita bahwa mengakses kekuatan itu merupakan sebuah proses fisik yang sesungguhnya. Otak kita, jika digunakan dengan benar, bisa menghimpun kekuatan yang secara harfiah bisa disebut manusia-super. Alkitab, seperti banyak teks kuno lainnya, merupakan paparan mendetail mengenai mesin tercanggih yang pernah diciptakan... benak manusia." Dia mendesah. "Yang menakjubkan, sains modern baru mampu menguak lapisan terluar potensi penuh pikiran manusia."

"Kedengarannya seakan pekerjaanmu dalam Noetic akan menjadi lompatan kuantum ke depan."

"Atau ke belakang," ujar Katherine. "Orang-orang kuno sudah mengetahui banyak kebenaran ilmiah yang kini kita temukan kembali. Dalam hitungan tahun, manusia modern akan terpaksa menerima sesuatu yang kini tidak terpikirkan: pikiran kita bisa menghasilkan energi yang mampu mengubah materi fisik." Dia terdiam. "Partikel-partikel bereaksi terhadap pikiran kita... yang berarti pikiran kita punya kekuatan untuk mengubah dunia."

Langdon tersenyum lembut.

"Riset telah membuatku memercayai ini," ujar Katherine. "Tuhan sangat nyata - sebuah energi mental yang menyebarkan segalanya. Dan kita, sebagai manusia, telah diciptakan menurut gambaran itu-"

"Maaf?" sela Langdon. "Diciptakan menurut gambaran... energi mental?"

"Tepat sekali. Tubuh fisik kita telah berevolusi selama berabad-abad, tapi benak kitalah yang diciptakan menurut gambaran Tuhan. Kita terlalu harfiah dalam membaca Alkitab. Kita tahu bahwa Tuhan menciptakan kita menurut gambarannya, tapi bukan tubuh fisik kita yang menyerupai Tuhan, melainkan pikiran kita."

Langdon kini terdiam, benar-benar terpesona.

"Ini anugerah besar, Robert, dan Tuhan menunggu kita untuk memahaminya. Di seluruh dunia, kita memandang ke arah langit, menunggu Tuhan... tidak pernah menyadari bahwa Tuhan sedang menunggu kita." Katherine terdiam, membiarkan kata-katanya diresapi. "Kita adalah pencipta, tetapi dengan naif kita memainkan peranan sebagai 'ciptaan'. Kita memandang diri kita sendiri sebagai domba tak berdaya yang selalu dilindungi oleh Tuhan yang menciptakan kita. Kita berlutut seperti anak-anak yang ketakutan, memohon pertolongan, pengampunan, keberuntungan. Tapi, setelah kita menyadari bahwa kita benar-benar diciptakan menurut gambaran Sang Pencipta, kita akan mulai memahami bahwa kita juga harus menjadi Pencipta. Ketika kita memahami fakta ini, pintu-pintu akan terbuka bagi potensi manusia."

Langdon mengingat kutipan yang selalu melekat di dalam benaknya, dari karya filosof Manly P. Hall: Jika tuhan tidak menghendaki manusia untuk menjadi bijaksana, dia tidak akan menganugerahkan kemampuan untuk tahu. Langdon kembali mendongak memandangi gambar The Apotheosis of Washington - kenaikan simbolis manusia menjadi dewa. Ciptaan... menjadi Pencipta.

"Bagian yang paling menakjubkan adalah," ujar Katherine, "segera setelah kita, manusia, mulai menggunakan kekuatan sejati kita, kita akan memiliki pengendalian yang luar biasa terhadap dunia. Kita akan bisa merancang kenyataan, dan bukan hanya bereaksi terhadap kenyataan."

Langdon menurunkan pandangan-nya. "Itu kedengarannya ... berbahaya."

Katherine tampak terkejut dan terkesan. "Ya, tepat sekali! Jika pikiran mempengaruhi dunia, kita harus sangat berhati-hati dalam cara berpikir kita. Pikiran-pikiran yang menghancurkan juga berpengaruh. Dan, kita semua tahu, jauh lebih mudah untuk menghancurkan daripada menciptakan."

Langdon merenungkan semua hikayat mengenai perlunya melindungi kebijakan kuno dari mereka yang tidak layak dan hanya membagikannya kepada mereka yang tercerahkan. Dia merenungkan Invisible College, dan permintaan ilmuwan besar Isaac Newton kepada Robert Boyle untuk tetap "membisu" mengenai riset rahasia mereka. Pengetahuan itu tidak bisa disampaikan, tulis Newton Pada 1676, tanpa menimbulkan kerusakan dahsyat pada dunia.

"Ada hal menarik di sini," ujar Katherine. "Ironi besarnya adalah, selama berabad-abad, semua agama di dunia mendesak para pengikut mereka untuk memeluk konsep keyakinan dan kepercayaan. Kini ilmu pengetahuan, yang selama berabad-abad mengejek agama sebagai takhayul, harus mengakui bahwa tantangan besar mereka berikutnya,  secara harfiah, adalah ilmu pengetahuan keyakinan dan kepercayaan... kekuatan keyakinan dan kehendak yang terfokus. Ilmu pengetahuan yang sama, yang telah menggerogoti keyakinan kita akan keajaiban, kini membangun jembatan untuk kembali melintasi jurang yang diciptakannya."

Langdon merenungkan kata-kata Katherine untuk waktu yang lama. Perlahan-lahan dia kembali mengangkat mata memandang Apotheosis. "Aku punya pertanyaan," ujarnya, seraya kembali memandang Katherine. "Seandainya pun aku bisa menerima, hanya sejenak saja, bahwa aku punya kekuatan untuk mengubah materi fisik dengan benakku, dan secara harfiah mewujudkan segala yang kuinginkan... kurasa aku tidak melihat apa pun di dalam hidupku yang bisa membuatku percaya bahwa aku punya kekuatan semacam itu."

Katherine mengangkat bahu. "Kalau begitu, kau belum cukup gigih mencari."

"Ayolah, aku ingin jawaban nyata. Itu jawaban seorang pendeta. Aku ingin jawaban seorang ilmuwan."

"Kau ingin jawaban nyata? Baiklah. Jika aku menyerahkan sebuah biola kepadamu dan mengatakan bahwa kau punya kemampuan untuk menggunakannya untuk menciptakan musik yang luar biasa, aku tidak berbohong. Kau memang punya kemampuan itu, tapi kau perlu banyak sekali latihan untuk mewujudkannya. Ini tidak berbeda dengan belajar menggunakan benakmu, Robert. Pikiran yang terarah-baik adalah keahlian yang dipelajari. Untuk mewujudkan suatu kehendak, diperlukan fokus seperti-laser, visualisasi pengindraan penuh, dan keyakinan yang sangat besar. Kami telah membuktikannya di lab. Dan, persis seperti bermain biola, ada orang-orang yang memperlihatkan kemampuan alami yang lebih besar daripada yang lain. Tengoklah sejarah. Tengoklah cerita mengenai orang-orang tercerahkan yang melakukan perbuatan-perbuatan ajaib."

"Katherine, harap jangan katakan bahwa kau benar-benar memercayai keajaiban. Maksudku, yang benar saja... mengubah air menjadi anggur, menyembuhkan orang sakit dengan sentuhan tangan?"

Katherine menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan-lahan. "Aku telah menyaksikan orang mengubah sel-sel kanker menjadi sel-sel sehat dengan hanya memikirkan-nya. Aku telah menyaksikan pikiran manusia memengaruhi dunia fisik dengan banyak sekali cara. Dan, setelah kau melihatnya terjadi, Robert, setelah hal ini menjadi bagian dari kenyataanmu, beberapa keajaiban yang kau baca hanya akan menjadi persoalan derajat saja."

Langdon merenungkannya. "Itu cara yang menginspirasi dalam memandang dunia, Katherine. Tapi, bagiku, rasanya hanya seperti lompatan keyakinan yang mustahil. Dan, seperti yang kau ketahui, keyakinan tidak pernah datang dengan mudah bagiku."

"Kalau begitu, jangan menganggapnya sebagai keyakinan. Anggap sajalah sebagai perubahan perspektif, menerima bahwa dunia tidaklah persis seperti yang kau bayangkan. Secara historis, setiap terobosan yang besar dimulai dengan gagasan sederhana yang mengancam hendak menggulingkan semua keyakinan kita. Pernyataan sederhana 'dunia itu bulat' diejek sebagai sesuatu yang benar-benar mustahil, karena sebagian besar orang percaya lautan akan mengalir keluar dari planet. Pendapat bahwa matahari adalah pusat peredaran benda-benda angkasa disebut sebagai ajaran sesat. Orang-orang yang berpikiran picik selalu mengecam sesuatu yang tidak mereka pahami. Ada yang menciptakan... dan ada yang menghancurkan. Dinamika itu telah ada sepanjang waktu. Tapi, pada akhirnya, para pencipta menemukan orang-orang yang percaya, dan jumlah mereka yang percaya menjadi sangat besar, dan mendadak dunia berubah bulat, atau tata surya menjadi berpusat pada matahari. Persepsi diubah, dan kenyataan baru dilahirkan."

Langdon mengangguk. Kini pikirannya berkelana.

"Wajahmu tampak lucu," ujar Katherine.

"Oh, aku tidak tahu. Untuk alasan tertentu, aku baru saja ingat betapa aku dulu suka mengayuh kano ke tengah danau di larut malam, berbaring di bawah bintang-bintang, dan merenungkan hal-hal seperti ini."

Katherine mengangguk paham. "Kurasa, kita semua punya ingatan yang serupa, berbaring telentang menatap langit... membuka pikiran." Dia mendongak memandang langit-langit, lalu berkata, "Berikan jaketmu kepadaku."

"Apa?" Langdon melepas jaket dan memberikannya kepada Katherine.

Perempuan itu melipatnya dua kali, lalu meletakkannya di panggung seperti bantal panjang. "Berbaringlah."

Langdon berbaring telentang. Katherine menempatkan kepala Langdon di atas setengah bagian jaket terlipat itu. Lalu dia berbaring di sisi-nya - dua anak-anak, berdampingan di atas panggung sempit, menatap lukisan dinding besar Brumidi.

"Oke," bisik Katherine. "Letakkan dirimu dalam mind-set yang sama itu... seorang anak berbaring di dalam kano... menatap bintang-bintang... benaknya terbuka dan penuh ketakjuban."

Langdon mencoba patuh, walaupun saat itu, ketika berbaring dengan nyaman, mendadak dirinya dilanda kelelahan. Ketika penglihatannya mengabur, dia melihat bentuk tersamar di atas kepala yang langsung membangunkannya. Mungkinkah itu? Dia tidak percaya kalau dirinya tidak memperhatikan sebelumnya. Tapi, sosok-sosok dalam The Apotheosis of Washington jelas diatur dalam dua cincin konsentris - lingkaran di dalam sebuah lingkaran. Apotheosis itu juga berupa circumpunct? Langdon bertanya-tanya, apa lagi yang dilewatkannya malam itu.

"Ada hal penting yang ingin kusampaikan kepadamu, Robert. Ada bagian lain dari semua ini... bagian yang kurasa merupakan satu-satunya aspek paling mengejutkan dari risetku."

Masih ada lagi?

Katherine bertumpu pada sikunya. "Dan aku berjanji... jika kita sebagai manusia bisa secara jujur memahami satu kebenaran sederhana ini... dunia akan berubah dalam semalam."

Kini dia mendapat perhatian Langdon sepenuhnya.

"Ini harus kumulai," katanya, "dengan mengingatkanmu pada mantra-mantra Mason 'mengumpulkan apa yang tersebar'... mendatangkan 'keteraturan dari kekacauan... untuk menemukan 'penyatuan'."

"Lanjutkan." Langdon penasaran.

Katherine tersenyum. "Kami telah membuktikan secara ilmiah bahwa kekuatan pikiran manusia berkembang secara eksponensial dengan jumlah benak yang memikirkan pikiran itu."

Langdon tetap diam, bertanya-tanya ke mana Katherine akan membawa gagasan ini.

"Yang kukatakan adalah... dua kepala lebih baik daripada satu kepala... tetapi dua kepala tidaklah dua kali lebih baik, melainkan jauh, jauh lebih baik. Benak ganda yang bekerja secara serempak akan memperbesar efek pikiran... secara eksponensial. Inilah kekuatan yang terdapat di dalam kelompok-kelompok doa, lingkaran-lingkaran penyembuhan, menyanyi bersama-sama, dan beribadah bersama-sama. Gagasan kesadaran universal bukanlah konsep New Age di awang-awang. Itu kenyataan ilmiah mendasar yang sesungguhnya... dan penggunaannya berpotensi mengubah dunia kita. Inilah temuan yang mendasari Ilmu Noetic, Apalagi, ini memang sedang terjadi saat ini. Kau bisa merasakannya di sekelilingmu. Teknologi menghubungkan kita dengan cara-cara yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya: Twitter, Google, Wikipedia, dan lain-lain-semuanya bergabung untuk menciptakan jaringan pikiran yang saling-berhubungan." Dia tertawa. "Dan kujamin, segera setelah aku menerbitkan karyaku, para Twitterati akan mengirim tweet yang berbunyi, 'belajar tentang Noetics', dan minat dalam ilmu pengetahuan ini akan meledak secara eksponensial."

Kelopak mata Langdon terasa mustahil beratnya. "Kau tahu, aku masih belum mempelajari cara mengirim twitter."

"Tweet," ujar Katherine membetulkan, seraya tertawa.

"Maaf?"

"Tidak apa-apa. Pejamkan matamu. Aku akan membangunkan mu jika sudah saatnya."

Langdon menyadari bahwa dirinya telah sama sekali melupakan kunci tua yang diberikan Arsitek kepada mereka... dan mengapa mereka naik ke atas sini - Ketika gelombang kelelahan baru menguasainya, dia memejamkan mata. Dalam kegelapan benaknya, Langdon mendapati dirinya merenungkan kesadaran universal... tulisan-tulisan Plato mengenai "pikiran dunia" dan "mengumpulkan Tuhan"... "ketidaksadaran kolektif" Jung. Gagasan itu begitu sederhana sehingga mengejutkan.

Tuhan ditemukan di dalam kumpulan Banyak ... dan bukannya di dalam Satu.

"Elohim," ujar Langdon tiba-tiba. Matanya kembali terbuka ketika dia membuat sebuah hubungan yang tak terduga.

"Maaf?" Katherine masih. memandangnya.

"Elohim," ulang Langdon. "Kata lbrani untuk Allah dalam Kitab Perjanjian Lama! Aku selalu bertanya-tanya soal itu."

Katherine tersenyum paham. "Ya. Kata itu berbentuk jamak."

Tepat sekali! Langdon tidak pernah memahami mengapa kutipan-kutipan pertama Alkitab menyebut Tuhan dalam bentuk jamak. Elohim. Tuhan Yang Mahakuasa dalam Kitab Kejadian tidak dijelaskan sebagai Satu... tetapi sebagai Banyak.

"Tuhan itu jamak," bisik Katherine, "karena benak manusia jamak."

Segenap pikiran Langdon kini berpusar... mimpi-mimpi, ingatan-ingatan, harapan-harapan, ketakutan-ketakutan, pengungkapan-pengungkapan... semuanya berputar-putar di atasnya di dalam kubah Rotunda. Ketika matanya mulai kembali terpejam, dia mendapati dirinya menatap tiga kata dalam bahasa Latin yang dilukis di dalam Apotheosis. E PLURIBUS UNUM.

"Satu yang muncul dari banyak," pikirnya, seiring dia menyelinap ke dalam alam tidur.

EPILOG

Robert Langdon terbangun perlahan-lahan.

Wajah-wajah menatapnya dari atas. Di mana aku?

Sejenak kemudian, dia ingat di mana dia berada. Dia duduk perlahan-lahan di bawah Apotheosis. Punggungnya terasa kaku akibat berbaring di panggung keras.

Mana Katherine?

Langdon menengok arloji Mickey Mouse-nya. Saatnya hampir tiba. Dia bangkit berdiri, mengintip dengan hati-hati melalui pegangan tangga ke dalam ruang yang menganga di bawah sana.

"Katherine?" panggilnya.

Kata itu menggema kembali dalam keheningan Rotunda yang sepi.

Langdon mengambil jaket wolnya dari lantai, membersihkannya, lalu mengenakannya kembali. Dia memeriksa saku-saku. Kunci besi yang diberikan oleh Arsitek kepadanya tidak ada.

Langdon berjalan kembali mengelilingi panggung, menuju lubang yang ditunjukkan Arsitek kepada mereka... tangga logam curam yang naik ke dalam kegelapan sempit. Dia mulai naik. Semakin tinggi dan semakin tinggi dia mendaki. Perlahan-lahan tangga itu menjadi semakin sempit dan semakin curam. Tapi, Langdon maju terus. Sedikit lebih jauh lagi.

Anak-anak tangga itu kini menjadi semakin curam, lorongnya menjadi semakin sempit menakutkan. Akhirnya, tangga berakhir, dan Langdon melangkah ke puncak tangga kecil. Di hadapannya terdapat sebuah pintu logam tebal. Kunci besi itu berada di dalam lubang kunci, dan pintunya sedikit terbuka. Dia mendorongnya, dan pintu berderit terbuka. Udara di baliknya terasa dingin. Ketika Langdon melangkah melintasi ambang pintu ke dalam kegelapan pekat, dia menyadari bahwa dirinya kini berada di luar.

"Aku baru saja hendak menjemputmu," ujar Katherine, seraya tersenyum kepadanya. "Saatnya hampir tiba."

Ketika Langdon mengenali keadaan di sekelilingnya, dia menghela napas dengan terkejut. Dia sedang berdiri di sebuah jalan setapak mungil yang mengelilingi puncak Kubah Capitol. Persis di atasnya, Statue of Freedom perunggu memandang ke arah ibu kota yang sedang tidur. Patung itu menghadap ke timur, dan di sana cipratan-cipratan merah tua pertama fajar sudah mulai melukisi cakrawala.

Katherine menuntun Langdon mengelilingi balkon sampai menghadap ke barat, persis segaris dengan National Mall. Di kejauhan, siluet Monumen Washington tegak di dalam cahaya awal pagi. Dan sudut pandang menguntungkan ini, obelisk yang menjulang itu bahkan tampak semakin mengesankan daripada sebelumnya.

"Ketika dibangun," bisik Katherine, "monumen itu merupakan bangunan tertinggi di seluruh planet."

Langdon membayangkan foto-foto hitam-putih kuno para tukang batu di atas serangkaian penopang, melayang lebih dari seratus lima puluh meter di udara, meletakkan setiap balok dengan tangan, satu per satu.

Kita adalah pembangun, pikirnya. Kita adalah pencipta.

Semenjak permulaan waktu, manusia merasakan adanya sesuatu yang istimewa mengenai diri mereka sendiri... sesuatu yang lebih. Mereka merindukan kekuatan yang tidak mereka miliki. Mereka bermimpi terbang, menyembuhkan, dan mengubah dunia dengan setiap cara yang bisa dibayangkan.

Dan mereka telah berbuat persis seperti itu.

Saat ini, tempat-tempat pemujaan bagi pencapaian manusia menghiasi National Mall. Museum-museum Smithsonian semakin dipenuhi temuan-temuan kita, karya-karya seni kita, ilmu pengetahuan kita, dan gagasan-gagasan para pemikir besar kita. Museum-museum itu mengisahkan sejarah manusia sebagai pencipta-mulai dari peralatan batu di dalam Native American History Museum (Museum Sejarah Pribumi Amerika) sampai jet-jet dan roket-roket di dalam National Air and Space Museum (Museum Udara dan Angkasa .....).

Seandainya para leluhur bisa melihat kita hari ini, pasti mereka menganggap kita dewa.

Ketika Langdon mengintip, menembus kabut menjelang fajar, memandang geometri museum-museum dan monumen-monumen yang tersebar di hadapannya, matanya kembali ke Monumen Washington. Dia membayangkan sebuah Alkitab di dalam batu pertama yang terkubur, dan merenungkan betapa Kata Tuhan sesungguhnya adalah kata manusia.

Dia merenungkan circumpunct besar, dan betapa simbol itu telah ditanamkan di dalam plaza melingkar di bawah monumen, di persimpangan Amerika. Mendadak Langdon mengingat kotak batu kecil yang dipercayakan Peter kepadanya. Kini dia menyadari bahwa kubus itu melepaskan engsel dan membuka untuk menciptakan bentuk geometris yang persis sama - salib dengan circumpunct di tengahnya. Mau tak mau Langdon tertawa. Bahkan, kotak kecil itu pun mengungkapkan persimpangan ini.

"Robert, lihat!" Katherine menunjuk puncak monumen.

Langdon mengangkat pandangannya, tapi tidak melihat apa-apa.

Lalu, ketika menatap dengan lebih saksama, dia melihatnya.

Di seberang Mall, bintik mungil cahaya matahari keemasan menyinari ujung tertinggi obelisk menjulang itu. Dengan cepat sasaran berkilau itu menjadi semakin terang, menyinari puncak aluminium batu-puncaknya. Langdon menyaksikan dengan takjub ketika cahaya itu berubah menjadi mersusuar yang melayang di atas kota yang dinaungi bayang-bayang. Dia membayangkan ukiran mungil di sisi ujung aluminium yang menghadap ke timur, dan menyadari dengan takjub bahwa cahaya matahari pertama yang menimpa ibu kota bangsa itu, setiap hari, menerangi dua kata: Laus Deo.

"Robert," bisik Katherine. "Tak seorang pun pernah naik ke sini saat matahari terbit. Inilah yang diinginkan Peter untuk kita saksikan."

Langdon bisa merasakan denyut nadinya semakin cepat ketika kilau di atas monumen semakin cemerlang.

"Menurut Peter, dia percaya inilah sebabnya para bapak bangsa mendirikan monumen yang begitu tinggi. Aku tidak tahu apakah itu benar, tapi aku tahu ini - ada undang-undang kuno sekali yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi yang boleh dibangun di ibu kota kita. Untuk selamanya."

Cahaya beringsut lebih jauh ke bawah batu-puncak ketika matahari merayap naik dari cakrawala di belakang mereka. Ketika menyaksikan, Langdon nyaris bisa merasakan, di sekelilingnya, bulatan-bulatan benda angkasa menelusuri orbit abadi mereka melintasi kekosongan ruang. Dia merenungkan Arsitek Besar Alam Semesta dan betapa Peter menyebut secara spesifik bahwa harta karun yang ingin ditunjukkannya kepada Langdon hanya bisa diungkapkan oleh Arsitek. Tadinya Langdon mengasumsikan bahwa ini berarti Warren Bellamy.

Arsitek yang keliru.

Ketika cahaya matahari semakin kuat, kilau keemasan menelan seluruh batu-puncak seberat 3.300 pon (1.500 kilogram) itu. Pikiran manusia... menerima pencerahan. Kemudian, cahayanya mulai beringsut ke bawah monumen, melakukan penurunan yang sama yang dilakukannya setiap pagi. Surga bergerak menuju dunia... Tuhan berhubungan dengan manusia. Langdon menyadari bahwa proses ini akan berbalik ketika malam tiba. Matahari akan tenggelam di barat, dan cahaya akan kembali naik dari dunia ke langit ... bersiap-siap untuk hari yang baru.

Di sampingnya, Katherine menggigil dan beringsut lebih dekat. Langdon merangkulkan lengan pada bahunya. Ketika keduanya duduk berdampingan dalam keheningan, Langdon merenungkan semua yang dipelajarinya malam ini. Dia merenungkan kepercayaan Katherine bahwa segalanya akan berubah. Dia merenungkan keyakinan Peter bahwa era pencerahan akan datang. Dan dia merenungkan kata-kata nabi besar yang dengan berani menyatakan, Sebab, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatupun yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan.

Ketika matahari naik di atas Washington, Langdon mendongak memandang surga. Di sana, bintang-bintang malam hari terakhir memudar. Dia merenungkan ilmu pengetahuan, keyakinan, manusia. Dia merenungkan betapa setiap kebudayaan, di setiap negara, di setiap saat, selalu memiliki satu hal. yang sama. Kita semua memiliki Pencipta. Kita menggunakan nama yang berbeda, wajah yang berbeda, dan doa yang berbeda, tapi Tuhan adalah konstanta universal bagi manusia. Tuhan adalah simbol yang dimiliki oleh kita semua... simbol dari semua misteri kehidupan yang tidak bisa kita pahami. Orang-orang kuno memuji Tuhan sebagai simbol potensi manusia kita yang tidak terbatas, tapi simbol kuno itu telah hilang setelah beberapa waktu. Sampai sekarang.

Saat itulah, berdiri di atas Capitol, dengan kehangatan mata hari menyinari semua di sekelilingnya, Robert Langdon merasakan perasaan meluap-luap jauh di dalam tubuhnya. Itu emosi yang tak pernah dirasakannya sekuat ini di sepanjang hidupnya.

Harapan.

                             -oo0dw0oo-