UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP DENGAN PENGGUNAAN METODE MAKE A MATCH PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN MATERI: “ALLAH PENYELAMAT MANUSIA” KELAS 5 SEMESTER GENAP SD NEGERI PUCANGAN 03 KECAMATAN KARTASURA KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN PELAJARAN 2014-2015
Endah SRI Lestari
SD Negeri Pucangan 03, Kartasura
ABSTRAK
Tujuan Penelitian Tindakan ini untuk membuktikan apakah penerapan metode Make A Match dalam kegiatan pembelajaran Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen Materi: “Allah penyelamat manusia” Kelas 5 mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep dari isi materi pelajaran yang berdampak terhadap peningkatan prestasi belajar siswa? Dan sejauh mana penerapan metode tersebut mampu meningkatkan nilai ketuntasan kelas? Dari analisis data penelitian disimpulkan bahwa: Penggunaan metode Make A Match berpengaruh positip terhadap peningkatan kemampuan siswa dalam memahami dari isi materi pelajaran hal tersebut berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa yang ditandai dengan peningkatan capaian nilai komulatip (kelas) dalam setiap kegiatan, yakni: kegiatan pada kondisi awal (pra siklus) capaian nilai belajar siswa 61,00% kegiatan siklus I meningkat menjadi 70,00%, dan pada siklus II meningkat lagi menjadi 86,00%. Peningkatan capaian nilai belajar pada tindakan akhir mencapai 86,00% melampaui indikator keberhasilan yang ditetapkan ≥ 76,00%. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa: Penggunaan metode Make A Match efektip meningkatkan hasil belajar siswa yang ditandai dengan peningkatan capaian nilai ketuntasan siswa dalam setiap siklus tindakan, yakni: kondisi awal atau pra siklus nilai ketuntasan kelas (00,00%), siklus I meningkat menjadi (40,00%), dan akhirnya pada siklus II menjadi (100%) melampaui indikator keberhasilan ≥ 85%.
Kata Kunci: Hasil Belajar Siswa, Metode Make A Match, Pendidikan Agama Kristen
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Proses pembelajaran yang berkembang di kelas umumnya ditentukan oleh peran guru dan siswa sebagai individu-individu yang terlibat langsung di dalam proses tersebut. Proses belajar siswa itu sendiri sedikit banyak tergantung pada cara guru menyampaikan pelajaran pada anak didiknya. Oleh karena itu kemampuan serta kesiapan guru dalam mengajar memegang peranan penting bagi keberhasilan proses pembelajaran pada siswa. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara hasil belajar siswa dengan metode mengajar yang digunakan oleh guru.
Khususnya proses pembelajaran dalam mata pelajaran pendidikan agama yang sejak semula dirancang untuk peningkatan potensi spritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, maka dalam tataran pelaksanaannya diperlukan guru yang benar memiliki kompetensi dalam memilih dan menentukan model dan metode pembelajaran agar tujuan tersebut dapat tercapai.
Penerapan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di bidang Pendidikan Agama Kristen (PAK), sangat tepat dalam rangka mewujudkan model PAK yang bertujuan mencapai transformasi nilai-nilai kristiani dalam kehidupan peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar memberikan ruang yang sama kepada setiap peserta didik dengan keunikan yang berbeda untuk mengembangkan pemahaman iman kristiani sesuai dengan pemahaman, tingkat kemampuan serta daya kreativitas masing-masing.
Standarisasi Kompetensi dan Kompetensi Dasar oleh pemerintah melalui standar isi dalam kurikulum, menuntut semua stekholder sekolah memiliki kemampuan mendesign materi dalam setiap mata pelajaran berdasarkan kekhasan sekolah dan lingkungannya.Kurikulum harus menggambarkan cakupan dan kedalaman materi yang harus dikuasai oleh siswa termasuk didalamnya seperangkat strategi pencapaian dan sarana-prasarana yang mendukungnya.
Dalam tataran implementasi kurikulum, guru dituntut mampu menjabarkan isi kurikulum dalam design pembelajaran secara komprehensip baik perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasinya. Hal tersebut penting untuk dilakukan guru karena sebaik apapun kurikulum yang disusun, akan tetapi kalau guru tidak mampu mengimplementasikan dalam proses pembelajaran hal itu akan menjadi sia-sia belaka. Kegiatan mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk design pembelajaran, salah satunya adalah ketrampilan guru memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan materi agar tujuan dapat tercapai.
Pembelajaran yang bertujuan agar siswa-siswanya memiliki kemampuan dalam memahami konsep dari materi pelajaran untuk selanjutnya berdasarkan pemahaman konsep tersebut siswa memiliki ketrampilan untuk menerapkan / mengimplementasikan dalam hidup sehari-hari, dalam pelaksanaan pembelajarannya memerlukan strategi dan metode pembelajaran yang memberikan ruang/kesempatan luas kepada setiap siswa untuk kreatip melakukan kegiatan eksplorasi dan elaborasi dari konsep materi yang dipelajarinya melalui berbagai sumber dan media belajar. Strategi, model, dan metode pembelajaran tersebut harus dikuasai oleh guru agar mampu mengkondisikan pelaksanaan pemebelajaran yang efektif, inovatif, dan menyenangkan bagi siswa.
Realitas yang sering dijumpai di sekolah-sekolah, guru masih menggunakan metode-metode yang konvensional (ceramah, diskusi, tanya-jawab, dan yang sejenisnya) untuk melaksanakan pembelajaran dalam berbagai jenis dan karakteristik materi yang diajarkan kepada siswa. Khususnya materi ajar yang menekankan kemampuan memahami konsep, guru juga terbiasa menggunakan metode-metode tersebut dengan alasan mudah dilaksanakan. Akibatnya siswa kesulitan mencapai tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan.
Demikian halnya dengan realitas yang terjadi di SD Negeri Pucangan 03 Kecamatan kartasura Kabupaten Sukoharjo, rata-rata siswa kelas 5 awal semester mengalai kesulitan membuat konsep sederhana tentang “makna keselamatan” dalam Pendidikan Agama Kristen. Nilai rata-rata kelas di bawah standar ketuntasan. Siswa belum terbiasa membuat diskripsi sederhana dari materi pelajaran yang bersifat abstrak. Berangkat dari fakta tersebut maka guru (peneliti) menduga ada kesalahan fatal dalam memilih media dan metode pembelajaran khusus untuk menjelaskan materi dengan tema: “makna keselamatan”. Terdorong keinginan untuk menemukan pemecahan masalah yang dihadapi guru (peneliti) maka akan melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas pembelajaran.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian tindakan dengan judul: “Upaya Peningkatan Pemahaman Konsep Dengan Penggunaan Metode Make A Match Pendidikan Agama Kristen Materi: “Allah Penyelamat Manusia” Kelas 5 Semester Genap Sekolah SD Negeri Pucangan 03 Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2014-2015”
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan : 1) Bagaimana penerapan Metode Make A Match dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen materi: “Allah Penyelamat Manusia” Kelas 5 Semester Genap Sekolah SD Negeri Pucangan 03 Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2014-2015” mampu meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami konsep materi yang berdampak terhadap peningkatan hasil belajar? 2) Bagaimana penerapan Metode Make A Match dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen materi: “Allah Penyelamat Manusia” Kelas 5 Semester Genap Sekolah SD Negeri Pucangan 03 Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2014-2015” mampu meningkatkan pencapaian nilai ketuntasan kelas (KKM)?
KAJIAN TEORI
Metode Make A Match
Pengertian metode Make A Match
Dari sekian banyak metode pembelajaran yang telah ada, salah satunya adalah metode pembelajaran cooperative learning tipe make a match. Sebagaimana dikutip dalam Hasan Fauzi Maufur, Metode make a match (mencari pasangan) pertama kali dikembangkan oleh Lorna Curran (1995) dalam mencari variasi mode berpasangan. Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia.
Model pembelajaran make and match adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama kemampuan bekerja sama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab, 2007 : 59). Suyatno (2009 : 72) mengungkapkan bahwa model make and match adalah model pembelajaran dimana guru menyiapkan kartu yang berisi soal atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian siswa mencari pasangan kartunya. Model pembelajaran make and match merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial (Lie, 2003:27). Model make and match melatih siswa untuk memiliki sikap sosial yang baik dan melatih kemampuan siswa dalam bekerja sama disamping melatih kecepatan berfikir siswa.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa metode Make A Match merupakan metode pembelajaran dimana guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar menggunakan media kartu yang berisi soal dan kartu yang berisi jawaban kemudian melalui permainan dengan atauran yang sudah disepakati bersama, siswa secara aktip memahami isi kartu, menafsirkan maksud, manangkap makna dari kartu yang dipegangnya kemudian mencari pasangannya dengan kartu lain yang dipegang oleh teman sepermainan. Dalam proses siswa mencari pasangan kartunya, guru berperan sebagai fasilitator untuk membimbing siswa agar mampu memahami konsep dari tulisan/pesan dalam kartu yang dipegangnya dan konsep dari tulisan/pesan dalam kartu calon pasangan yang dipegang teman sepermainan.
Tujuan penggunaan metode Make A Match
Penggunaan metode Make A Match dalam proses belajar mengajar memiliki 3 tujuan utama, yakni: untuk mendalami materi, untuk mempelajari materi, dan untuk selingan ketika guru menyampaikan materi. Masing-masing tujuan memiliki tahapan-tahapan persiapan dan media kartu yang dipergunakan. Khusus tujuan penggunaan metode Make A Match yang dipakai untuk selingan (games) ketika proses belajar-mengajar sedang berlangsung akan tetapi siswa mengalami kejenuhan, atau konsentrasi siswa tidak fokus lagi pada materi yang sedang dipelajarinya sehingga membutuhkan suasana segar, dalam bagian ini tidak kami sertakan penjelasannya.
Pengembang metode make a match pada mulanya merancang metode ini untuk pendalaman materi. Siswa dilatih mendalami materi dengan cara memasangkan antara pertanyaan dan jawaban. Oleh karenanya sebelum metode ini digunakan siswa perlu mendapatkan penjelasan tentang isi materi pelajaran dari guru baru kemudian menggunakan metode ini untuk media pendalamannya. Lain halnya jika penggunaan metode ini untuk mempelajari / menggali materi pelajaran, guru tidak perlu membekali siswa dengan penjelasan isi materi pelajaran, karena siswa sendiri yang akan membekali dirinya sendiri.
Kelebihan dan Kekurangan metode Make A Match
Berdasarkan survei yang dilakukan Lie (2002: 55) kelebihan dan kekurangan penggunaan metode Make A Match di sekolah-sekolah dapat disimpulkan sebagai berikut: Kelebihan: 1) Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them move).2) Kerjasama antara sesama murid terwujud secara dinamis.3) Munculnya dinamika gotong royong yang merata diseluruh murid.4) Murid mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topic dalam suasana menyenangkan. Kekurangan: 1) Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan.2) Waktu yang tersedia perlu dibatasi jagan sampai murid terlalu banyak bermain-main dalam proses pembelajaran.3) Guru perlu persiapan alat dan bahan yang memadai.4) Jika kelas anda termasuk gelas gemuk (lebih dari 30 orang/kelas) berhati-hatilah.5) Memakan waktu yang banyak karna sebelum masuk kelas terlebih dahulu kita mempersiapkan kartu-kartu.
Hakekat Pembelajaran dan Belajar
Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran berasal dari kata “ajar”, yang kemudian menjadi sebuah kata kerja berupa “pembelajaran”. Pembelajaran sebenarnya merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang hal tersebut tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan detail. Adapun maksud dari pembelajaran secara sederhana adalah produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. (Ulin Nuha, 2012: 153).
Dalam makna yang lebih kompleks, hakikat dari pembelajaran adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam bukunya Jamil Suprihatiningrum, Sanjaya (2013: 76) mengemukakan kata pembelajaran adalah terjemahan dari instruction, yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu melalui berbagai macam media, seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Media pembelajaran merupakan sarana pembelajaran untuk mempertinggi efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran merupakan salah satu Pembelajaran merupakan salah satu unsur penentu baik tidaknya lulusan yang dihasilkan oleh suatu sistem pendidikan. Pembelajaran ibarat jantung dari proses pendidikan. Pembelajaran yang baik, cenderung menghasilkan lulusan dengan hasil belajar yang baik pula, demikian pula sebaliknya. Namun, kenyataannya hasil belajar pendidikan di Indonesia masih dipandang kurang baik. Sebagian besar siswa belum mampu menggapai potensi ideal/optimal yang dimilikinya. Oleh karena itu, perlu ada perubahan proses pembelajaran yang sudah berlangsung selama ini. “Proses pembelajaran yang dimulai dengan fase persiapan mengajar ketika kompetensi dan metodologi telah diidentifikasi, akan membantu guru dalam mengorganisasikan materi serta mengantisipasi siswa dan masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam pembelajaran”.( Abdul Majid, 2009: 95).
Adapun makna dari pembelajaran adalah hampir sama dengan makna belajar-mengajar. Kesamaan tersebut terdapat dalam bidang kependidikannya. Kegiatan belajar dan mengajar merupakan kegiatan yang bernilai edukatif. Dan nilai edukatif inilah yang mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan siswa. Interaksi tersebut terjadi karena suatu arahan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai secara bersama-sama. Bahkan, ada beberapa pakar yang mengatakan bahwa kegiatan belajar dan mengajar tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pembelajaran. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa kegiatan belajar dan mengajar tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pembelajaran. Belajar mengacu pada kegiatan atau apa pun yang dilakukan oleh siswa. Sedangkan, mengajar adalah kegiatan yang mengacu pada segala sesuatu yang dilakukan oleh guru. (Ulin Nuha, 2012: 153). Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwasanya pembelajaran adalah interaksi bolak-balik antara dua pihak yang saling membutuhkan, yaitu guru dan siswa karena hasil dari pengalaman.
Hakekat Belajar
Secara umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka belajar dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik (Darsono, 2000: 24). Adapun yang dimaksud dengan proses belajar adalah sarana dan cara bagaimana suatu generasi belajar, atau dengan kata lain bagaimana sarana belajar itu secara efektif digunakan. Hal ini tentu berbeda dengan proses belajar yang diartikan sebagai cara bagaimana para pembelajar itu memiliki dan mengakses isi pelajaran itu sendiri (Tilaar, 2002: 128). Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa belajar membutuhkan hubungan dialogis yang sungguh-sungguh antara guru dan peserta didik, dimana penekanannya adalah pada proses belajar oleh peserta didik (student of learning), dan bukan pengajaran oleh guru (teacher of teaching) (Suryosubroto, 1997: 34). Konsep seperti ini membawa konsekuensi kepada fokus belajar yang lebih ditekankan pada keaktifan peserta didik sehingga proses yang terjadi dapat menjelaskan sejauh mana tujuan-tujuan belajar yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh peserta didik.
Keaktifan peserta didik ini tidak hanya dituntut secara fisik saja, tetapi juga dari segi kejiwaan. Apabila hanya fisik peserta didik saja yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan belajar tidak tercapai. Ini sama halnya dengan peserta didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya (Fathurrohman & Sutikno, 2007: 9). Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Dan tugas guru adalah mengkoordinasikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Belajar juga dapat diartikan sebagai usaha sadar pendidik untuk membantu peserta didik agar mereka dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Disini pendidik berperan sebagai fasilitator yang menyediakan fasilitas dan menciptakan situasi yang mendukung peningkatan kemampuan belajar peserta didik.
Pendidikan Agama Kristen
Pengertian
Pendidikan Agama Kristen merupakan usaha dalam menumbuhkembangkan kemampuan siswa lewat tuntunan Roh Kudus agar dapat memahami Kasih Allah dalam Roh Kudus. Pendidikan Agama Kristen berasal dari istilah “Christian Education” artinya Pendidikan Kristen, dan kemudian berkembang menjadi “Christian Religious Education” yaitu Pendidikan Agama Kristen. Pendidikan Agama Kristen diterima oleh semua pelajar, muda dan tua memasuki persekutuan iman yang hidup dengan Tuhan sendiri pada persekutuan Jemaat-Nya yang mengakui dan mempermuliakan-Nya di segala waktu dan tempat”. (Homrighausen dan Enklaar, 1987: 39).
Augustinus (345-430) yang dikutip Robert Boehlke berpendapat bahwa Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan yang bertujuan menghantar para pelajarnya untuk bertumbuh dalam kehidupan rohani, terbuka dengan Firman Tuhan dan memperoleh pengetahuan akan perbuatan-perbuatan Allah melalui Alkitab dan bacaan lain. Semuanya itu untuk memperoleh hikmat yang dari Allah sendiri (Robert Boehlke, 2011: 128).
Pendidikan Agama Kristen membawa semua siswa yang percaya kepada Tuhan untuk terlibat dalam persekutuan iman sebagai bentuk dari pengakuannya di mana pun ia berada tidak terbatas waktu dan tempat. Di dalam kehidupan siswa atau semua orang percaya mempermuliakan Nama Tuhan Yesus. Sehingga melalui persekutuan iman tersebut siswa mendalami pendewasaan di dalam Tuhan Yesus. Selanjutnya pendapat Campbell Wyckoff seperti dikutip oleh Enklaar (1987) menjelaskan bahwa: Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan yang menyadarkan setiap orang akan Allah dan kasih-Nya dalam Yesus Kristus, agar dapat mengetahui diri mereka yang sebenarnya, keadaannya, bertumbah sebagai anak Allah dalam persekutuan Kristen, memenuhi pariggilan bersama sebagai murid Yesus di dunia dan tetap percaya kepada pengharapan Kristen. (Homrighausen dan Enklaar, 1987: 35)
Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat simpulkan bahwa Pendidikan Agama Kristen adalah merupakan salah satu dari tugas gereja yang sangat penting di lapangan pendidikan (di lingkungan sekolah dan gereja) dan pengajaran yang bertujuan untuk membimbing, mengarahkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran iman Kristen kepada individu (siswa). Pendidikan Agama Kristen tidak dapat dipandang sebagai pekerjaan sambilan saja, tetapi pekerjaan ini sebagai Amanat dari Allah yang mesti dilaksanakan oleh seorang guru dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati sebagai pelayanan kepada Allah.
Dasar Alkitab
Tema sentral dari materi Pendidikan Agama Kristen adalah karya penyelamatan Allah yang sudah dilakukan sejak Perjanjian Lama dan disempurnakan melalui karya penyelamatan dalam Perjanjian Baru. Nilai-nilai karya penyelamatan tersebut harus selalu diajarkan dari generasi ke generasi agar manusia yang menjadi sentral karya penyelamatan Allah mengalami pertumbuhan iman. Oleh karena itu yang menjadi dasar dari Pendidikan Agama Kristen tidak lain adalah Alkitab.
“Berfirmanlah Tuhan kepada Abram : pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah Bapamu ini ke negeri yang akan kutunjukkan kepadamu. Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur, dan engkau akan menjadi berkat, Aku akan memberkati orang – orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang – orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat”.
Dalam tradisi orang Israel “Shema” atau perintah Tuhan yang wajib dijalankan, karena hanya dengan pedoman itu umat tidak keluar dari pemeliharaan dan perlindungan Tuhan. Yang seutuhnya tersimpul dalam sebutan “Taurat”. Ulangan 6:4-9 sering disebut sebagai syema, suatu panggilan bagi Israel untuk mendengar firman Tuhan,
Umat Kristen adalah umat Perjanjian Baru. Dengan latar belakang Perjanjian Lama mereka hidup dalam kemurnin perintah Tuhan Yesus. Pada saat Yesus mau meninggalkan murid-muridNya kembali ke sorga, Ia pesankan dengan jelas perintah ini:
“Dan ajarlah merela melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:20).
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”.
Tujuan Pendidikan Agama Kristen
Thomas M. Groome dalam bukunya yang berjudul ”Christian Religius Education” mengedepankan bahwa tujuan pendidikan Agama Kristen protestan adalah agar manusia mengalami hidupnya sebagai respon terhadap kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus. Dalam Kurikulum 2006 Pendidikan Agama Kristen tujuannya menumbuhkan dan mengembangkan iman serta kemampuan siswa untuk dapat memahami dan menghayati kasih Allah dalam Yesus Kristus yang dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara teknis operasionalnya dapat dijabarkan dalam tujuan dan fungsinya sebagai berikut: 1) Tujuan Umum; Memperkenalkan Tuhan, Bapa, Putera, dan Roh Kudus dan karya-karyaNya, dan Menghasilkan manusia yang mampu menghayati imannya secara bertanggungjawab di tengah masyarakat yang pluralistik.2) Tujuan Khusus, Menanamkan pemahaman tentang Tuhan dan karnyaNya kepada siswa, sehingga mampu memahami dan menghayati karya Tuhan dalam hidup manusia.
“John M. Nainggolan membagi empat tujuan pembelajaran PAK” dalam bukunya “Menjadi Guru Agama Kristen” yakni;
Guru PAK senantiasa mengajarkan firman Allah agar siswa memiliki patokan dalam realita kehidupannya yang akhirnya mengalami perubahan dari hari ke hari, karena firman Allah bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (II Timotius)
Perjumpaan pribadi dengan Kristus menyebabkan suatu hubungan berubah antara manusia dengan Allah, dan antar sesamanya serta menghasilkan cara hidup yang benar. Guru berperan dalam membantu peserta didik untuk mengalami perjumpaan pribadi dengan Kristus. Apabila siswa mengalami perjumpaan dengan Yesus akan memiliki sikap mengasihi Allah dan diwujudkan melalui tutur kata, perilaku, pola pikir, dan gaya hidup yang benar dan hidup dalam iman serta ketaatan-Nya kepada Tuhan
Seorang siswa yang memiliki spiritualitas yang bagus maka ia ampu memahami makna keberadaannya dan bagaimana ia berperan menjadi berkat bagi bagi orang lain serta memuliakan Allah.
Penelitian Tindakan selalu berangkat dari permasalahan yang sudah dihadapi (kondisi awal) dan melahirkan perencanaan, kemudian berdasarkan perencanaan dilakukan tindakan. Tindakan yang dilakukan dievaluasi (refleksi) melahirkan permasalahan baru kemudian dilakukan perencanaan perbaikan, kemudian tindakan dan seterusnya sampai persoalan dianggap selesai. Berdasarkan pemahaman tersebut maka kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar : 1.1 Alur Penelitian Tindakan Kelas
Hipotesis Tindakan
Dari uraian tersebut di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Jika pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen dalam materi: “Allah Penyelamat Manusia” Kelas 5 Semester Genap Sekolah SD Negeri Pucangan 03 Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2014-2015” menggunakan Metode Make A Match maka kemampuan siswa dalam menguasai konsep dari materi pelajaran akan meningkat dan nilai belajar siswa di atas ketuntasan minimal (KKM).
METODE PENELITIAN
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dilakukan pada siswa kelas 5 peserta Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen SD Negeri Pucangan 03 Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2014-2015.
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas 5 yang mengikuti mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen SD Negeri Pucangan 03 Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2014-2015, dimana peneliti bertugas menjadi guru.
Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus dan masing-masing siklus terdiri dari empat tahapan, meliputi tahap : (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) pengamatan, (4) refleksi . Rencana ( Plan ) : adalah rencana tindakan apa yang dilakukan untuk memperbaiki, meningkatkan atau perubahan perilaku dan sikap sebagai solusi.Tindakan ( Action ) : adalah apa yang dilakukan oleh peneliti/Pengawas sebagai upaya perbaikan, peningkatan atau perubahan yang diinginkan.Observasi ( Observation ) : adalah mengamati atas hasil atau dampak dari tindakan yang dilaksanakan atau dikenakan terhadap guru. Refleksi ( reflection ) : adalah peneliti mengkaji, melihat, dan mempertimbangkan atas hasil atau dampak dari tindakan dari pelbagai keriteria.
Sumber Data: Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Sumber data primer yaitu guru dan siswa, sedangkan sumber data sekunder adalah dampak dari penggunaan metode Make A Match dalam pembelajaran.Teknik dan Alat Pengumpulan Data: Teknik dan alat pengumpulan data meliputi dokumentasi, observasi, dan test.
Informasi yang dijadikan data penelitian perlu diuji validitasnya sehingga bisa dipertanggungjawabkan dan dapat dijadikan sebagai patokan dalam menarik kesimpulan. Tehnik yang digunakan untuk menguji validitas data adalah dengan Triangulasi. Sumber data dan metode pengumpulan data mengenai kesulitan yang dihadapi siswa dalam mengikuti pembelajaran dan faktor-faktor penyebabnya, dipakai dasar dalam menyusun konsep perbaikan pembelajaran dalam tindakan berikutnya sehingga data yang diperoleh mampu menyokong kevalidan data.
Penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus dianggap sudah berhasil apabila terjadi:
Yang dimaksud dengan analisis data adalah cara mengelola data – data yang telah berhasil dikumpulkan. Analisis data merupakan usaha (proses) memilih, memilah, membuang dan menggolongkan data untuk mejawab dua permasalahan pokok, yaitu: (1) Tema apa yang dapat ditemukan pada data-data ini dan (2) seberapa jauh data-data ini dapat meyokong tema tersebut (Sukidin dkk., 2002:111). Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif dan kualitatif. Data-data yang diperoleh dari nilai tes formatif akan dianlisa dengan metode kuantitatif teknik persentase untuk bisa di diskripsikan. Sedangkan data hasil pengamatan, wawancara, dan dokumentasi akan dianalisis menggunakan metode kualitatif teknik deskriptip (deskriptif kualitatif).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Diskripsi Kondisi Awal
Kondisi Awal ( pra siklus ) adalah kondisi dimana guru belum menggunakan metode Make A Match dalam pembelajaran dengan materi: “ Allah penyelamat manusia” (RPP pertemuan I) yang dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 2015. Kondisi awal ini dijadikan bahan evaluasi guru untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas dengan melihat kekurangan-kekurangan yang ada pada saat proses pembelajaran baik dari faktor guru, siswa, maupun kondisi kelas. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan peneliti bersama pengamat teman sejawat terhadap pelaksanaan pembelajaran dan hasil belajarnya mendapat kesimpulan bahwa: proses pembelajaran pada pertemuan I (Kondisi Awal) kurang berjalan dengan baik. Rata-rata anak pasif dan mengalami kesulitan dalam memahami konsep dari isi materi, pembelajaran berjalan monoton, dan akirnya berdampak pada kualitas belajar anak yang kurang baik.
Berikut ini adalah data hasil test kegiatan pra siklus (kondisi awal):
Tabel 2.1
Distribusi Nilai Hasil Test Formatif I
Pada Kondisi Awal (pra siklus)
No | NAMA SISWA | NILAI | KETUNTASAN | ||
HASIL | KKM | TUNTAS | BELUM | ||
1 | Pieter Calvin | 6,0 | 7,5 | V | |
2 | Hilda Krisnandi | 7,0 | V | ||
3 | Yemima Novitasari | 5,0 | V | ||
4 | Kristin Putri Natalia | 6,5 | V | ||
5 | Elisabrth Talikasari | 6,0 | |||
Jumlah Nilai Keseluruhan | 30,5 | ||||
Nilai rata-rata | 6,10 | ||||
Skor Maksimum Individu | 10,0 | ||||
Skor Maksimum Keseluruhan | 50,0 |
Berdasarkan Tabel 2.1 dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel. 2.2
Kategorial Nilai Test Formatif I
(Kondisi Awal)
∑ subyek | N rata2 | Tuntas | Belum | % ketunta- san | ∑ N kelas | % capaian N kelas |
5 | 6,10 | - | 5 | 0,00% | 30,5 | 61,00% |
Hasil analisis tersebut masih jauh dari harapan guru, sebab nilai belajar siswa rata-rata 6,10 dengan ketuntasan kelas 0,00%., capaian nilai kelas 61,00%. Hasil pengamatan pada kondisi awal atau pra siklus dengan menggunakan instrumen observasi / pengamatan di ketahui bahwa hasil belajar siswa masih kurang. Rendahnya hasil belajar ini disebabkan siswa kesulitan memahami konsep terhadap isi materi yang diajarkan guru, dan siswa pasip dalam proses pembelajaran sehingga intensitas perhatian anak terhadap materi yang dipelajari sangat rendah. Berdasarkan temuan tersebut dapat di refleksikan, untuk tindakan perbaikan berikutnya dibutuhkan penggunaan metode pembelajaran yang mampu membantu siswa dalam memahami konsep terhadap isi materi pembelajaran dan mengembangkan konsep sederhana dari nilai-nilai Alkitab yang dipelajarinya berdasarkan pengalaman sehari-hari.
Diskripsi Tindakan Siklus I
Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksaaan belajar mengajar. Pada akhir proses pembelajaran, siswa diberi test formatif II dengan tujuan untuk mengetahui hasil belajar dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Adapun data hasil penelitian pada siklus I adalah seperti pada tabel berikut :
Tabel 2.3 :
Distribusi Nilai Test Formatif II
( Siklus I )
No | Nama Siswa | Nilai | Keterangan | |
Tuntas | Tidak Tuntas | |||
1 | Pieter Calvin | 6,0 | V | |
2 | Hilda Krisnandi | 8,5 | V | |
3 | Yemima Novitasari | 6,0 | V | |
4 | Kristin Putri Natalia | 7,5 | V | |
5 | Elisabrth Talikasari | 7,0 | V | |
Jumlah Nilai Keseluruhan | 35,0 | - | - | |
Nilai rata-rata | 7,00 | |||
Skor Maksimum Individu | 10,0 | - | - | |
Skor Maksimum Keseluruhan | 50,0 | - | - |
Keterangan :
Jumlah siswa yang tuntas : 2 orang
Jumlah siswa yang belum tuntas : 3 orang
Keseluruhan siswa (kelas) : belum tuntas
Berdasarkan Tabel.2.3. dapat dijelaskan bahwa bila dibandingkan antar nilai formatif II (siklus I) dengan nilai formatif I (pra siklus) sudah ada peningkatan nilai belajar siswa dengan dibuktikan terdapat 3 siswa nilainya mengalami kenaikan dan hanya ada 1 siswa yang nilainya belum naik. Untuk mengetahui pengkategorian nilai tes, berikut disajikan tabel Kategori Nilai Test.
Tabel. 2.4
Kategori Nilai Test Formatif II
(Siklus I)
∑ subyek | N rata2 | Tuntas | Belum | % ketunta- san | ∑ N kelas | % capaian N kelas |
5 | 7,00 | 2 | 3 | 40,00% | 35,0 | 70,00% |
Berdasarkan tabel 2.4. diperoleh data bahwa: nilai rata-rata tes formatif II sebesar 7,00. Rata-rata siswa sudah meningkat nilai belajaranya. Jumlah siswa yang nilainya mencapai batas nilai KKM 2 siswa dan nalai siswa yang belum mencapai batas nilai KKM sebanyak 3 siswa. Meskipun nilai capaian belajar kelas dalam siklus I sudah mengalami peningkatan 70,00% bila dibandingkan dengan nilai capaian belajar kelas pada kondisi awal (pra siklus) 61,00% namun peningkatan nilai tersebut belum mencerminkan peningkatan capaian N kelas yang diharapkan.
Hal ini disebabkan karena guru belum memahami betul essensi penggunaan metode Make A Match. Guru belum menjelaskan konsep isi materi pada bagian awal pembelajaran. Siswa masih kebingungan harus mendalami konsep yang mana dari materi yang sedang dipelajarinya. Disamping itu kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengulang-ulang permainan sampai anak memiliki “bangunan sketsa konsep” dalam alam berfikirnya terhadap isi materi yang harus mereka kuasai.
Diskripsi Tindakan Siklus II
Pada akhir proses pembelajaran siswa diberi tes formatif III dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan guru dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep dari isi materi pembelajaran yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes formatif III.
Adapun data hasil penelitian pada siklus II adalah sebagai berikut:
Tabel 2.5
Distribusi Nilai Test Formatif III
( Siklus II )
No | Nama Siswa | Nilai | Keterangan | |
Tuntas | Tidak Tuntas | |||
1 | Pieter Calvin | 8,5 | V | - |
2 | Hilda Krisnandi | 9,5 | V | - |
3 | Yemima Novitasari | 7,5 | V | - |
4 | Kristin Putri Natalia | 9,0 | V | - |
5 | Elisabrth Talikasari | 8,5 | V | - |
Jumlah Total | 43,0 | - | - | |
Nilai Rata-rata | 8,60 | |||
Skor Maksimum Individu | 10,0 | - | - | |
Skor Maksimum Keseluruhan | 50,0 | - | - |
Keterangan :
Jumlah siswa yang tuntas : 5 orang
Jumlah siswa yang belum tuntas : - orang
Keseluruhan siswa (kelas) : Sudah Tuntas
Berdasarkan tabel 2.5. diperoleh data bahwa: nilai rata-rata tes formatif mengalami kenaikan signifikan sebesar 8,60. Jumlah siswa yang nilainya tuntas sebanyak 5 siswa, jumlah siswa yang nilainya belum tuntas tidak ada. Untuk mengetahui pengkategorian nilai tes, berikut disajikan tabel Kategori Nilai Test.
Tabel. 2.6
Kategori Nilai Test Formatif III
(Siklus II)
∑ subyek | N rata2 | Tuntas | Belum | % ketunta- san | ∑ N kelas | % capaian N kelas |
5 | 8,60 | 5 | - | 100% | 43,0 | 86,00% |
Berdasarkan Tabel. 2.6. diperoleh data bahwa nilai rata-rata naik menjadi 8,60, dan capaian nilai kelas menjadi 86,00%. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai prestasi belajar siswa yang berdampak pada peningkatan nilai capai kelas. Dengan kata lain nilai hasil belajar siswa pada siklus II ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil pembelajaran pada siklus II ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan ketrampilan guru dalam menggunakan metode pembelajaran sehingga siswa menjadi lebih mudah memahami tujuan pembelajaran.
Analisis Hasil Penelitian
Data Nilai Hasil Test yang dilakukan mulai dari kegiatan pra siklus, siklus 1 dan siklus 2 menunjukkan hasil sebagai berikut:
Tabel 3.1.
Analisis Perbandingan Hasil Test Formatif
Sebelum dan Sesudah Diberi Tindakan
No | Nama Siswa | Nilai Hasil Test | ||
Pra Siklus (sebelum tindakan) | Tindakan Siklus I | Setelah Tindakan 1 Siklus II | ||
1 | Pieter Calvin | 6,0 | 6,0 | 8,5 |
2 | Hilda Krisnandi | 7,0 | 8,5 | 9,5 |
3 | Yemima Novitasari | 5,0 | 6,0 | 7,5 |
4 | Kristin Putri Natalia | 6,5 | 7,5 | 9,0 |
5 | Elisabrth Talikasari | 6,0 | 7,0 | 8,5 |
Jumlah Nilai | 30,5 | 35,0 | 43,0 | |
Nilai Rata-rata | 6,10 | 7,00 | 8,60 | |
Skor Maksimum Individu | 10,0 | 10,0 | 10,0 | |
Skor Maksimum Keseluruhan | 50,0 | 50,0 | 50,0 |
Analisis Data Deskriptif Kuantitatif:
= X 100 = 61,00%
= X 100 = 70,00%
= X 100 = 86,00%
Tabel 3.2.
Perbandingan Peningkatan Nilai Ketuntasan Kelas
Sebelum dan Sesudah dilakukan Tindakan
No | Nama Siswa | Nilai Hasil Test | ||
Pra Siklus (sebelum tindakan) | Tindakan Siklus I | Setelah Tindakan 1 Siklus II | ||
1 | Pieter Calvin | 6,0 | 6,0 | 8,5 |
2 | Hilda Krisnandi | 7,0 | 8,5 | 9,5 |
3 | Yemima Novitasari | 5,0 | 6,0 | 7,5 |
4 | Kristin Putri Natalia | 6,5 | 7,5 | 9,0 |
5 | Elisabrth Talikasari | 6,0 | 7,0 | 8,5 |
Jumlah Nilai | 30,5 | 35,0 | 43,0 | |
Nilai Rata-rata | 6,10 | 7,00 | 8,60 | |
Jumlah Siswa Nilai Belum Tuntas | 5 | 3 | - | |
Jumlah Siswa Nilai Tuntas | - | 2 | 5 |
1. Jumlah siswa yang mencapai nilai ketuntasan (KKM) sebelum diberi tindakan (Pra Siklus)
X 100 = 0,00 %
2. Jumlah siswa yang mencapai nilai ketuntasan (KKM) setelah diberi tindakan pada siklus I
X 100 = 40,00 %
X 100 = 100 %
Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa :
Analisis Data Diskriptif Kualitatif
Berdasarkan data yang diperoleh dari observasi pelaksanaan tindakan dan dokumen lembar kerja siswa dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pembahasan Hasil Penelitian
Pergerakan capaian nilai ketuntasan kelas (KKM) berawal dari pembelajaran pada kondisi awal (pra siklus), tindakan siklus I, dan revisi tindakan pada siklus II, disajikan dalam tabel berikut:
Tabel. 3.3
Analisis Capaian Nilai Tingkat Ketuntasan Kelas
No | Periode Tindakan | Nilai rata-rata | Tingkat Ketuntasan | Peningkatan |
1 | Pra Siklus | 6,10 | 00,00 % | - |
2 | Siklus I | 7,00 | 40,00 % | 40,00 % |
3 | Siklus II | 8,60 | 100 % | 60,00 % |
Prosentase Kenaikan Tingkat Ketuntasan | - | 100 % |
Berdasarkan Tabel 3.3. dapat dijelaskan bahwa penggunaan metode Make A Match dalam materi:. “ Allah penyelamat manusia” mampu meningkatkan Nilai Ketuntasan Kelas Minimal (KKM) dari kondisi awal prosentase ketuntasan nilai 00,00% meningkat menjadi 40,00% setelah melalui tindakan siklus I, dan akhirnya dalam tindakan siklus II tingkat ketuntasan meningkat mencapai 100%.
Kesimpulannya:
penggunaan metode Make A Match pada materi: 2.1.2. “ Allah penyelamat manusia” terbukti mampu meningkatkan Nilai Ketuntasan Kelas sebesar 100%. Jadi indikator keberhasilan yang sudah ditentukan sebesar 85,00% terpenuhi.
Prestasi belajar siswa diperoleh dari nilai hasil test formatif yang dilakukan setiap akhir pembelajaran. Nilai test formatif siswa pada kondisi awal (pra siklus), kegiatan tindakan siklus I, dan kegiatan revisi tindakan siklus II, disajikan dalam tabel berikut:
Tabel. 3.4
Analisis Capaian Peningkatan Nilai Belajar Siswa
No | Periode Tindakan | Jumlah Nilai Kelas | Peningkatan Hasil Belajar | Peningkatan |
1 | Pra Siklus | 30,5 | 61,00% | - |
2 | Siklus I | 35,0 | 70,00% | 9,00% |
3 | Siklus II | 43,0 | 86,00% | 16,00% |
Peningkatan terakhir | 86,00% | - |
Berdasarkan tabel 3.4. Terjadi peningkatan hasil belajar siswa secara komulatif (kelas) dari kondisi awal sebesar 61,00% meningkat menjadi 70,00% dalam tindakan siklus I ; dan selanjutnya peningkatan hasil belajar mencapai 86,00% dalam tindakan siklus II.
Kesimpulan:
penerapan metode Make A Match dalam pembelajaran materi: “ Allah penyelamat manusia” mampu meningkatkan kemampuan memahami konsep dari isi materi pelajaran sehingga berdampak terhadap peningkatan prestasi belajar siswa. Capaian peningkatan prestasi belajar siswa setelah guru menggunakan metode Make A Match mencapai 86,00%. Jadi indikator ketercapaian peningkatan prestasi belajar siswa yang sudah ditetapkan ≥ 76% terpenuhi.
Berdasarkan kesimpulan hasil analisa data penelitian di atas, maka penerapan metode Make A Match materi:. “ Allah penyelamat manusia” hasilnya sangat baik. Hal itu tampak pada kegiatan awal (pra siklus) dari 5 siswa tidak ada yang nilainya tuntas. Setelah melalui tindakan pada siklus I jumlah siswa yang nilainya tuntas mencapai 2 siswa dan berikutnya pada tindakan siklus II dari 5 siswa nilainya semua melebihi batas KKM. Jadi jumlah siswa yang nilainya tuntas mencapai 100% melebihi Indikator Keberhasilan yang ditetapkan ≥ 85,00%. Peningkatan nilai belajar siswa secara komulatip (kelas) dari kegiatan awal (pra siklus) sampai dengan kegiatan tindakan siklus II mengalami kenaikan mencapai 86,00% melebihi Indikator Keberhasilan yang sudah ditetapkan ≥ 76,00%. Dengan demikian maka hipotesis yang diajukan dapat diterima.
P E N U T U P
Simpulan
Dari hasil analisis data penelitian dengan judul: “Upaya Peningkatan Pemahaman Konsep Dengan Penggunaan Metode Make A Match Pendidikan Agama Kristen Materi: “Allah Penyelamat Manusia” Kelas 5 Semester Genap Sekolah SD Negeri Pucangan 03 Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2014-2015” dapat disimpulkan sebagai berikut:
Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini disampaikan saran-saran sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid, 2009. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Agus Suprijono, 2009. Cooperatif Learning Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arikunto, S., Suhardjono, dan Supardi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Baharuddin, Wahyuni, 2010. Teori belajar dan Belajar, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Darsono, Max, dkk., 2000. Belajar dan Belajar, Semarang: IKIP Semarang Press.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan, 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
E.G. Homrighausen & I.H. Enklaar, 2011. Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Henry Guntur Tarigan, 2008. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa
Huda, Miftahul. 2011. Cooperative Learning Metode, Teknik, Struktur dan Metode Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Iris Cully, 2012. Dinamika Pendidikan Kristen, terjemahan P. Siahaan dan Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Isjoni, 2009. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi antar Peserta Didik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jamil Suprihatiningrum, 2013. Strategi Pembelajaran Teori & Aplikasi, Yogyakarta: AR RUZZ MEDIA
Kelvin Seifert, 2012. Pedoman Pembelajaran & Instruksi Pendidikan, Yogyakarta: Diva Press.
Kemmis,S & Taggart,R, 1998. The Action Research Planner, Third Eddition, Victorlia: Deakin University
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. Memperaktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: PT. Grasindo.
Maufur, Fauzi, Hasan, 2009. Sejuta Jurus Mengajar Mengasyikkan, Semarang: Sindur Press.
Nana Sudjana, 1989. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru
Purwanto, 2010. Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Roestiyah, 2001. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rinneka Cipta