BAB I
PENDAHULUAN
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah (akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, diantarannya adalah akad Al-Wadi’ah dan Al-Luqhatah. Al-Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan). Sedangkan Al-Luqhatah dengan al-Luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut bahasa al-Wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya (Ma Wud’a “Inda Ghair Malikihi Layahfadzshu), berarti al-wadi’ah ialah memberikan, makna yang kedua al-Wadi’ah dari segi bahasa ialah menerima, seperti seseorang berkata: “Awda’tubu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu Minhu Dzalika al-Mal Liyakuna Wadi’ah “Indi), secara bahasa al-Wadi’ah memiliki dua makna, yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya (I’tha’u al-mal Liyahfazhu wa fi Qabulihi).[1]
Menurut istilah bahwa al-Wadi’ah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
عِبَا رَةٌعَنْ تَوْ كِيْلٍ عَلَى مُجَرَّدِحِفْظِ ا لْمَا ِل
“Ibarah perkawinan untuk pemelihara harta secara mujarad”
Arti yang kedua ialah:
عِبَا رَةُ عَنْ نَقْلِ مُخَرَّدِحِفْظِ الشَّيْئِ الْمَمْلُوْ كِ الَّذِ ى يَصِخُ نَقْلَهُ إِلَى الْمَوْدَعِ
“ibarah pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara mujarad yang sah dipindahkan kepada penerima titipan”
عِبَا رَةٌ عَنْ أَ نْ يَسْتَلِطَ شَخْصٌ غَيْرَهُ عَلَى حِفْظِ مَا لِهِ صَرِيْحًا اَ وْ دِلاَلَةً
“Ibarah seseorang menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga secara jelas atau dilalah”.
Makna yang kedua dari al-Wadi’ah ialah suatu yang dititipkan:
مَا تَتْرَ كَ عِنْدَ الأَ مِيْنِ لِيَحْفَظَهَا
“sesuatu yang ditinggalkan pada orang terpercaya supaya dijaganya”.
اَلْعَقْدُالْمُفْتَضَ لِحِفْظِ الشَيْئِ الْمُوْدَعِ
“akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”.
الإِيْدَاعُ تَوْ كِيْلَ فِى الْحِفْظِ تَبَزُ عًا
“Titipan, perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabaru)
عِقْدُمَوْضُوْعَهُ اِسْتِعَا نَةُالْأِنْسَا نِ بِغَيْرِهِ فِى خِفْظِ مَا الِهِ
“Akad yang intinya minta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harta penitip”
اَلْعَيْنُ الَّتِى تُوْضَعُ عِنْدَ شَخْصٍ لِيَحُفَظَهَا
“Benda yang dititipkan pada orang lain untuk dipelihara”.
اَلْعَقْدُ الْمُقْتَضَ لِلْاِ سْتِحُفَا ظِ
“Akad yang dilakukan untuk penjagaan”
Maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan). Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka penerima titipan tidak wajib untuk menggantinya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya, maka wajib menggantinya.
Al-Wadiah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali, firman Allah SWT. :
فَاِ نْ أَ مِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُذٌ اَّلَّذِى اؤُتُمِنَ اَمَا نَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ (البقره:283 )
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan bertaqwalah kepada Allah sebagai tuhannya (al-Baqarah: 283).
Orang yang menerima tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan, berdasarkan kepada sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Dar al-Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya Nabi SAW. Bersabda:
مَنْ آَوْدَعَ وَدِيْعَةً فَلَا ضَمَا نَ عَلَيْهِ (رواه الدارقطى)
“Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin” (riwayat Daruquthni)
لاَضَمَا نَ عَلَى مُؤْ تَمَنٍ (رواه البيهقى)
“Tidak ada kewajiban untuk orang yang diberi amanat” (Riwayat al-Baihaqi)
Dijelaskan oleh Sulaiman Rasyid bahwa hukum menerima benda titipan ada empat macam, yaitu sunat, haram, wajib dan makruh.
Disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup untuk menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya, al-Wadiah adalah salah dsatu tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah saw. Dalam al-quran, tolong-menolong hukumnya adalah sunat, hal ini dianggap sunat menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas pula untuk menerima titipan.
Diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara tidak ada seorangpun oranglain yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
Apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan, maka bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan, sebab dengan menerima benda-benda titipan, berarti memberikan kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan, sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
Bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya, maka bagi orang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan, sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau menghilangkannya.
Menurut Hanafiyah bahwa rukun al-Wadi’ah adalah satu, yaitu ijab dan qabul, adapun yang lainnya adalah termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Adapun menurut Hanafiyah dalam shigat ijab dianggap sah, apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan samaran (kinayah), hal ini berlaku juga untuk qabul, disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan mukalaf, maka tidak sah apabila yang dititipkan dan yang menerima benda titipan adalah orang gila atau anak yang belum dewasa (shabiy).
Sedangkan menurut Syafi’iyah bahwa al-Wadi’ah memiliki tiga rukun, yaitu:
Syarat pada barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu merupakan suatu yang dapat dimiliki menurut Syara’.
Syarat pada penitip dan yang menerima titipan dengan baligh, berakal serta syarat-syarat lain yang sesuai dengn syarat-syarat berwali.
Syarat pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.
Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi` (penitip). Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :
1. Wadi`ah yad al amanah
Akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan penggunakan barang atau uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan dan faktor-faktor diluar batas kemampuannya.
2. Wadi`ah yad adh-dhamanah
Akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang atau uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang atau uang titipan tersebut. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW: “Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R Muslim)[2]
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan yang telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disrtai dengan sumpah, supaya perkataannya itu kuat kedudukannya menurut hukum, namun Ibnu al-Munzir berpendapat bahwa orang tersebut sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut Ibnu Taimiyah apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri, maka orang yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib menggantinya. Pendapat Ibnu Taimiyah ini berdasarkan kepada atsar bahwa Umar RA pernah meminta pinjaman dari Anas bin Malik RA ketika barang titipannya yang ada pada Anas RA dinyatakan hilang, sedang harta Anas sendiri masih ada.
Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan milik orang lain, ternyata barang-barang titipan tersebut tidak dapat ditemukan, maka ini merupakan utang bagi yang menerima titipan dan wajib dibayar oleh para ahli warisnya. Jika terdapat surat dengan tulisnnya sendiri, yang berisi adanya pengakuan benda-benda titipan, maka surat tersebut dijadikan peganggan, karena tulisan dianggap sama dengan perkataan.
Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui di mana atau siapa pemilik benda-benda titipan tersebut dan sudah berusaha mencarinya dengan cara yang wajar, namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas, maka benda-benda titipan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan agama Islam, dengan mendahulukan hal-hal yang paling penting diantara masalah-masalah yang penting.
Dalam bahasa arab barang temuan adalah al-Luqathah, menurut bahasa (etimologi) artinya ialah:
اَشَّيْئُ الْمُلْتَقِطُ
“sesuatu yang ditemukan atau didapat”.
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa al-luqathah ialah:
اِسْمٌ لِلشَّيْئِ الْمُلْتَقِطِ
“Nama untuk sesuatu yang ditemukan”.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan al-Luqathah sebagaimana yang dita’rifkan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
مَا وُجِدُمِنْ جَقِّ مُحْتَرِ مٍ غَيْرِ مَحْرُوْرٍ لاَ يَعْرِ فَ الْوَا جِدُ مُسْتَحِقَّهُ
“sesuatu yang ditemukan atas hak yang mulia, tiodak terjaga dan yang menemukan tidak mengetahui mustahiqnya”.
مَا وُجِدَمِنْ مَلٍ اَ وْ مُخْتَصٍ ضَا ئِعٍ لِغَيْرِ حُرْ بِيِّ لَيْسَ بِمَحْرُوْزٍوَ لاَ مُمْتَنِعٍ وَ لاَ يَعْرِفُ الْوَا جِدُمَا لِكَهُ
“sesuatu dari harta atau sesuatu yang secara khusus semerbak ditemukan bukan didaerah harby, tidak terpelihara dan tidak dilarang karena kekuatannya, yang menemukan tidak mengetahui pemilik barang tersebut”.
اَخْذُمَالٍ مُخْتَرَ مٍ من مُصِعَةٍ لِيَحْفَظَهُ اَ وْ لِيَتَمَلَّكَهُ بَعْدَ التَّعْرِ يْفُ
“pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk terpeliharanya atau dimilikinya setelah diumumkan”.
مَا ضَا عَ مِنْ مَا لِكِهِ بِسُقُوْطٍ اَ وْ غَفْلَةٍ وَ نَحْوِ هَا
“Sesuatu yang disia-siakan pemiliknya, baik karena jatuh, lupa atau yang seumpamanya”.
Maka dari definisi-definisi tersebut, secara umum yang dimaksud dengan al-Luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.
Kalau barang yang didapat itu barang yang besar atau berharga, hendaklah diberitahuka dalam kurun waktu satu tahun. Tetapi kalau barang yang kecil-kecil (tidak begitu berharga), cukup diberitahukan dalam masa kira-kira yang kehilangan sudah tidak mengharapkannya lagi.
Apabila yang ditemukan itu adalah manusia, maka wajib kifayah atas muslim mengambil dan menjaganya, begitu juga mendidiknya, serta wajib dititipkan kepada orang yang dipercaya serta bersifat adil. Biaya hidupnya, kalau ia membawa harta benda atau diketahui bahwa ia mempunyai harta, diambilkan dari hartanya sendiri. Tetapi bila dia tidak memiliki harta, biaya hidupnya diambilkan dari baitul-mal atau atas tanggungan umat islam yang mampu. Firman Allah SWT:
....وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا.... (32)
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (Al-Maidah : 32)
Peringatan :
Kalau seseorang yang mengambil sesuatu yang ditemukan itu sengaja berkhianat, yaitu tidak memberitahukannya, melainkan sengaja diambil untuk menjadi miliknya sendiri, kemudian barang itu hilang dari tangannya, maka ia wajib mengganti.
Kalau barang sudah dimiliki oleh orang yang menemukannya, kemudian datang pemiliknya, hendaklah barang itu dikembalikan.
Hukum mengambil barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya, hukum pengambilan barang temuan (luqathah) antara lain sebagai berikut :
Terdapat macam-macam benda temuan yaitu:
Adapun binatang-binatang yang ditemukan oleh seseorang secara umum dapat dibagi dua, yaitu:
2. Menyikapi Barang Temuan (Luqathah)
Apabila kita secara tidak sengaja menemukan uang tergeletak di jalan, maka kewajiban kita adalah mengumumkan temuan itu agar pemiliknya yang merasa kehilangan bisa mendapatkan haknya kembali. Dalam bahasa fiqih, kasus yang terjadi pada anda itu disebut sebagai barang LUQATHAH, atau barang temuan. Dan untuk itu ada aturan hukum tersendiri yang telah ditetapkan dalam syariah. Luqathah atau barang temuan adalah harta yang hilang dari pemiliknya dan ditemukan oleh orang lain. Bila seseorang menemukan harta yang hilang dari pemiliknya, para ulama berbeda pendapat tentang tindakan/sikap yang harus dilakukan.
Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang / Harta Yang Hilang. Islam mewajibkan bagi orang yang menemukan barang hilang untuk mengumumkannya kepada khalayak ramai. Dan masa penngumuman itu berlaku selama satu tahun. Hal itu berdasarkan perintah Rasulullah SAW ”Umumkanlah selama masa waktu setahun.” Pengumuman itu di masa Rasulullah SAW dilakukan di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang seperti pasar, tempat resepsi dan sebagainya.
Bila telah lewat masa waktu setahun tapi tidak ada yang datang mengakuinya, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bolehlah bagi penemu untuk memiliki harta itu bila memang telah berusaha mengumumkan barang temuan itu selama setahun lamanya dan tidak ada seorangpun yang mengakuinya. Hal ini berlaku umum, baik penemu itu miskin ataupun kaya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik ra. Imam Asy-Syafi`i ra. dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Sedangkan Imam Abu Hanifah ra. mengatakan hanya boleh dilakukan bila penemunya orang miskin dan sangat membutuhkan saja. Tapi bila suatu saat pemiliknya datang dan telah cocok bukti-bukti kepemilikannya, maka barang itu harus dikembalikan kepada pemilik aslinya. Bila harta temuan itu telah habis, maka dia wajib menggantinya.
BAB III
PENUTUP
Al-Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan). Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka penerima titipan tidak wajib untuk menggantinya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya, maka wajib menggantinya.
Menurut Hanafiyah bahwa rukun al-Wadi’ah adalah satu, yaitu ijab dan qabul, adapun yang lainnya adalah termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Adapun menurut Hanafiyah dalam shigat ijab dianggap sah, apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan samaran (kinayah), hal ini berlaku juga untuk qabul, disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan mukalaf,
Luqathah ialah sesuatu yang ditemukan atau diperoleh karena disia-siakan pemiliknya dan tidak diketahui pemiliknya. Dan bagi yang menemukan ada 3 hal yang harus dilakukan : Menjaga barang yang ditemukan, Mengumumkan ditempat umum atau menginformasikan kepada pihak berwenang, Setelah waktu berlalu satu tahun, tapi tidak ada pemiliknya yang datang, maka boleh baginya tetap menyimpan atau menginfaqkan pada jalan Allah atau boleh juga dimanfaatkannya dengan tujuan kebaikan.
Hukum mengambil barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid Sulaiman.1998.Fiqh Islam.Bandung: Sinar Baru Algensindo
Suhendi Hendi.2002.Fikih Muamalah.Jakarta: PT Raja Grafindo
http://ekonomiislamindonesia.blogspot.com/2012/08/wadiah.html at 8:15 am, 5 oct 2012
http://xinacute.wordpress.com/2010/03/14/luqathah-barang-temuan/
http://jimmyromarten.blogspot.com/2011/03/luqathah-barang-temuan.html
[1] Abdurrahman al-jaziri,Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-‘Arabah,tahun 1969,hlm.248.
[2] Admin Pengertian Wadiah”,online,http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/08/27/wadi80%E2%80%99ah/,27 Agustus 2008, diakses tanggal 1 November 2011