BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah (akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.

Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.

Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, diantarannya adalah akad Al-Wadi’ah dan Al-Luqhatah. Al-Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan). Sedangkan Al-Luqhatah dengan al-Luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pengertian al-Wadiah menurut beberapa pendapat?
  2. Bagaimana dasar hukum al-Wadiah?
  3. Bagaimana syarat dan rukun al-Wadiah?
  4. Bagaimana permasalahannya?
  5.  Bagaimana pengertian al-Luqhatah menurut beberapa pendapat?
  6. Bagaimana dasar hukum al-Luqhatah?
  7. Bagaimana syarat dan rukun al-Luqhatah?
  8. Bagaimana permasalahannya?

BAB III

PEMBAHASAN

  1. Pengertian al-Wadi’ah (Barang Titipan)

Menurut bahasa al-Wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya (Ma Wud’a “Inda Ghair Malikihi Layahfadzshu), berarti al-wadi’ah ialah memberikan, makna yang kedua al-Wadi’ah dari segi bahasa ialah menerima, seperti seseorang berkata: “Awda’tubu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu Minhu Dzalika al-Mal Liyakuna Wadi’ah “Indi), secara bahasa al-Wadi’ah memiliki dua makna, yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya (I’tha’u al-mal Liyahfazhu wa fi Qabulihi).[1]

Menurut istilah bahwa al-Wadi’ah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:

  1. Menurut Malikiyah bahwa al-Wadi’ah memiliki dua arti:

عِبَا رَةٌعَنْ تَوْ كِيْلٍ عَلَى مُجَرَّدِحِفْظِ ا لْمَا ِل

“Ibarah perkawinan untuk pemelihara harta secara mujarad”

Arti yang kedua ialah:

عِبَا رَةُ عَنْ نَقْلِ مُخَرَّدِحِفْظِ الشَّيْئِ الْمَمْلُوْ كِ الَّذِ ى يَصِخُ نَقْلَهُ إِلَى الْمَوْدَعِ

“ibarah pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara mujarad yang sah dipindahkan kepada penerima titipan”

  1. Menurut Hanafiyah bahwa al-wadi’ah ialah al-Ida’ yaitu:

عِبَا رَةٌ عَنْ أَ نْ يَسْتَلِطَ شَخْصٌ غَيْرَهُ عَلَى حِفْظِ مَا لِهِ صَرِيْحًا اَ وْ دِلاَلَةً

“Ibarah seseorang menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga secara jelas atau dilalah”.

Makna yang kedua dari al-Wadi’ah ialah suatu yang dititipkan:

مَا تَتْرَ كَ عِنْدَ الأَ مِيْنِ لِيَحْفَظَهَا

“sesuatu yang ditinggalkan pada orang terpercaya supaya dijaganya”.

  1. Menurut Syafi’iyah yang dimaksud al-wadi’ah ialah:

اَلْعَقْدُالْمُفْتَضَ لِحِفْظِ الشَيْئِ الْمُوْدَعِ

“akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”.

  1. Menurut Hanabilah yang dimaksud dengan al-Wadi’ah ialah:

الإِيْدَاعُ تَوْ كِيْلَ فِى الْحِفْظِ تَبَزُ عًا

“Titipan, perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabaru)

  1. Menurut Hasbi Ash-Shidiqie bahwa al-Wadi’ah:

عِقْدُمَوْضُوْعَهُ اِسْتِعَا نَةُالْأِنْسَا نِ بِغَيْرِهِ فِى خِفْظِ مَا الِهِ

“Akad yang intinya minta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harta penitip”

  1. Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi wa Syaikh ‘umairah bahwa al-Wadi’ah:

اَلْعَيْنُ الَّتِى تُوْضَعُ عِنْدَ شَخْصٍ لِيَحُفَظَهَا

“Benda yang dititipkan pada orang lain untuk dipelihara”.

  1. Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa yang dimaksud al-wadi’ah:

اَلْعَقْدُ الْمُقْتَضَ لِلْاِ سْتِحُفَا ظِ

“Akad yang dilakukan untuk penjagaan”

  1. Menurut Idris Ahmad bahwa titipan artinya barang yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.

Maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan). Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka penerima titipan tidak wajib untuk menggantinya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya, maka wajib menggantinya.

  1. Dasar dan Hukum al-Wadi’ah
  1. Dasar al-Wadi’ah

Al-Wadiah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali, firman Allah SWT. :

فَاِ نْ أَ مِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُذٌ اَّلَّذِى اؤُتُمِنَ اَمَا نَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ (البقره:283 )

“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan bertaqwalah kepada Allah sebagai tuhannya (al-Baqarah: 283).

Orang yang menerima tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan, berdasarkan kepada sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Dar al-Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya Nabi SAW. Bersabda:

مَنْ آَوْدَعَ وَدِيْعَةً فَلَا ضَمَا نَ عَلَيْهِ (رواه الدارقطى)

“Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin” (riwayat Daruquthni)

لاَضَمَا نَ عَلَى مُؤْ تَمَنٍ (رواه البيهقى)

“Tidak ada kewajiban untuk orang yang diberi amanat” (Riwayat al-Baihaqi)

  1. Hukum Menerima Benda Titipan

Dijelaskan oleh Sulaiman Rasyid bahwa hukum menerima benda titipan ada empat macam, yaitu sunat, haram, wajib dan makruh.

  1. Sunat.

Disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup untuk menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya, al-Wadiah adalah salah dsatu tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah saw. Dalam al-quran, tolong-menolong hukumnya adalah sunat, hal ini dianggap sunat menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas pula untuk menerima titipan.

  1. Wajib.

Diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara tidak ada seorangpun oranglain yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.

  1. Haram.

Apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan, maka bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan, sebab dengan menerima benda-benda titipan, berarti memberikan kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan, sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.

  1. Makruh.

Bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya, maka bagi orang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan, sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau menghilangkannya.

  1. Rukun dan Syarat al-Wadi’ah

Menurut Hanafiyah bahwa rukun al-Wadi’ah adalah satu, yaitu ijab dan qabul, adapun yang lainnya adalah termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Adapun menurut Hanafiyah dalam shigat ijab dianggap sah, apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan samaran (kinayah), hal ini berlaku juga untuk qabul, disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan mukalaf, maka tidak sah apabila yang dititipkan dan yang menerima benda titipan adalah orang gila atau anak yang belum dewasa (shabiy).

Sedangkan menurut Syafi’iyah bahwa al-Wadi’ah memiliki tiga rukun, yaitu:

  1. Barang yang dititipkan.

Syarat pada barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu merupakan suatu yang dapat dimiliki menurut Syara’.

  1. Yang menitipkan dan yang menerima titipan.

Syarat pada penitip dan yang menerima titipan dengan baligh, berakal serta syarat-syarat lain yang sesuai dengn syarat-syarat berwali.

  1. Shigat ijab dab qabul al-wadi’ah.

Syarat pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.

  1. Permasalahannya

  1. Batasan dan Jenis Wadi`ah

Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi` (penitip).  Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :

1.    Wadi`ah yad al amanah 

Akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan penggunakan barang atau uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan dan faktor-faktor diluar batas kemampuannya.

2.    Wadi`ah yad adh-dhamanah

Akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang atau uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang atau uang titipan tersebut. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW: “Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta.   Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R Muslim)[2]

  1. Rusak dan Hilang Benda Titipan

Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan yang telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disrtai dengan sumpah, supaya perkataannya itu kuat kedudukannya menurut hukum, namun Ibnu al-Munzir berpendapat bahwa orang tersebut sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.

Menurut Ibnu Taimiyah apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri, maka orang yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib menggantinya. Pendapat Ibnu Taimiyah ini berdasarkan kepada atsar bahwa Umar RA pernah meminta pinjaman dari Anas bin Malik RA ketika barang titipannya yang ada pada Anas RA dinyatakan hilang, sedang harta Anas sendiri masih ada.

Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan milik orang lain, ternyata barang-barang titipan tersebut tidak dapat ditemukan, maka ini merupakan utang bagi yang menerima titipan dan wajib dibayar oleh para ahli warisnya. Jika terdapat surat dengan tulisnnya sendiri, yang berisi adanya pengakuan benda-benda titipan, maka surat tersebut dijadikan peganggan, karena tulisan dianggap sama dengan perkataan.

Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui di mana atau siapa pemilik benda-benda titipan tersebut dan sudah berusaha mencarinya dengan cara yang wajar, namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas, maka benda-benda titipan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan agama Islam, dengan mendahulukan hal-hal yang paling penting diantara masalah-masalah yang penting.

  1. Pengertian al-Luqathah (barang temuan)

Dalam bahasa arab barang temuan adalah al-Luqathah, menurut bahasa (etimologi) artinya ialah:

اَشَّيْئُ الْمُلْتَقِطُ

“sesuatu yang ditemukan atau didapat”.

Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa al-luqathah ialah:

اِسْمٌ لِلشَّيْئِ الْمُلْتَقِطِ

“Nama untuk sesuatu yang ditemukan”.

Sedangkan menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan al-Luqathah sebagaimana yang dita’rifkan oleh para ulama adalah sebagai berikut:

  1. Muhamad al-syarbini al-khatib berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-luqatah ialah

مَا وُجِدُمِنْ جَقِّ مُحْتَرِ مٍ غَيْرِ مَحْرُوْرٍ لاَ يَعْرِ فَ الْوَا جِدُ مُسْتَحِقَّهُ

“sesuatu yang ditemukan atas hak yang mulia, tiodak terjaga dan yang menemukan tidak mengetahui mustahiqnya”.

  1. Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan al-Luqathah ialah:

مَا وُجِدَمِنْ مَلٍ اَ وْ مُخْتَصٍ ضَا ئِعٍ لِغَيْرِ حُرْ بِيِّ لَيْسَ بِمَحْرُوْزٍوَ لاَ مُمْتَنِعٍ وَ لاَ يَعْرِفُ الْوَا جِدُمَا لِكَهُ

“sesuatu dari harta atau sesuatu yang secara khusus semerbak ditemukan bukan didaerah harby, tidak terpelihara dan tidak dilarang karena kekuatannya, yang menemukan tidak mengetahui pemilik barang tersebut”.

  1. Al-Imam Taqiy al-Din Abi Bakar Muhammad al-husaini bahwa al-Luqathah menurut syara’ ialah:

اَخْذُمَالٍ مُخْتَرَ مٍ من مُصِعَةٍ لِيَحْفَظَهُ اَ وْ لِيَتَمَلَّكَهُ بَعْدَ التَّعْرِ يْفُ

“pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk terpeliharanya atau dimilikinya setelah diumumkan”.

  1. Syaik ibrahim al-bajuri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-Luqathah ialah:

مَا ضَا عَ مِنْ  مَا لِكِهِ بِسُقُوْطٍ اَ وْ غَفْلَةٍ وَ نَحْوِ هَا

“Sesuatu yang disia-siakan pemiliknya, baik karena jatuh, lupa atau yang seumpamanya”.

  1. Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-Luqathah ialah sesuatu barang yang di temukan tidak mengetahui pemilik barang yang ditemukan.

Maka dari definisi-definisi tersebut, secara umum yang dimaksud dengan al-Luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.

  1. Rukun Al-Luqatah
  1. Ada yang mengambil : jika yang mengambil adalah orang yang tidak adil, hakim berhak mencabut barang itu dari orang tersebut dan memberikannya kepada orang yang adil dan ahli. Begitu juga kalau yang mengambilnya adalah anak kecil, hendaklah diurus oleh walinya.
  2. Bukti barang temuan : Sesuatu yang ditemukan ada 4 macam :
  1. Barang yang dapat disimpan lama (seperti emas dan perak) hendaklah disimpan di tempat yang sesuai dengan keadaan barang itu, kemudian diberitahukan kepada umum di tempat-tempat yang ramai selama setahun. Hendaklah pula dikenal beberapa sifat barang yang ditemukannya itu, umpamanya tempat, tutup, ikat, timbangan, atau bilangannya. Sewaktu memberitahukannya hendaklah sebagian dari sifat-sifat itu diterangkan, jangan semuanya, agar tidak terambil oleh orang-orang yang tidak berhak. Sabda Nabi Muhammad Saw : Dari Zaid bin Khalid, “Sesungguhnya Nabi SAW telah ditanya orang masalah keadaan emas atau perak yang ditemukan. Sabda beliau; ‘Hendaklah engkau ketahui tempat dan ikatnya, kemudian hendaklah engkau beritahukan selama satu tahun. Apabila datang yang punya, hendaklah engkau beritakan kepadanya. Kalau sudah setahun dia tidak datang, maka terserah kepadamu.”(Riwayat Bukhari dan Muslim)
  2. Barang yang tidak tahan disimpan lama, seperti makanan. Orang yang mengambil barang seperti ini boleh memilih antara mempergunakan barang tersebut, asal dia sanggup menggantinya apabila bertemu dengan yang punya barang; atau ia jual, uangnya hendaklah ia simpan agar kelak dapat diberikannya kepada pemiliknya apabila bertemu.
  3. Barang yang dapat tahan lama dengan usaha (memerlukan perawatan), seperti susu, dapat disimpan lama apabila dibuat keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah bagi pemiliknya (dijual atau dibuat keju).
  4. Suatu yang membutuhkan nafkah, yaitu binatang atau manusia (umpamanya anak kecil). Sedangkan binatang ada dua macam :
    Pertama, Binatang yang kuat : berarti dapat menjaga dirinya sendiri terhadap binatang yang buas, misalnya unta, kerbau, kuda; binatang seperti ini lebih baik dibiarkan saja, tidak usah diambil. Sabda rasulullah SAW: Dari Zaid bin Khalid, “seseorang telah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang keadaan unta yang sesat. Rasulullah SAW menjawab ‘biarkan sajalah, tak usah engkau pedulikan . (Riwayat Bukhari dan Muslim)
    Kedua, binatang yang lemah : berarti tak dapat menjaga dirinya sendiri terhadap bahaya binatang yang buas. Binatang seperti ini hendaklah diambil. Kemudian diharuskan melakukan 3 cara: a). Disembelih, lalu dimakan, dengan syarat sanggup membayar harganya apabila bertemu dengan pemiliknya. b). Dijual, dan uangnya disimpan agar dapat diberikan kepada pemiliknya. c). Dipelihara dan diberi makan dengan maksud menolong semata-mata. Rasulullah bersabda: Dari Zaid bin Khalid, ‘seseorang telah bertanya kepada Rasullulah SAW tentang keadaan kambing yang sesat. Beliau menjawab, ‘Ambillah olehmu kambing itu, karena sesungguhnya kambing itu untukmu, kepunyaan saudaramu, atau tersia-sia dimakan srigala.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Kalau barang yang didapat itu barang yang besar atau berharga, hendaklah diberitahuka dalam kurun waktu satu tahun. Tetapi kalau barang yang kecil-kecil (tidak begitu berharga), cukup diberitahukan dalam masa kira-kira yang kehilangan sudah tidak mengharapkannya lagi.

Apabila yang ditemukan itu adalah manusia, maka wajib kifayah atas muslim mengambil dan menjaganya, begitu juga mendidiknya, serta wajib dititipkan kepada orang yang dipercaya serta bersifat adil. Biaya hidupnya, kalau ia membawa harta benda atau diketahui bahwa ia mempunyai harta, diambilkan dari hartanya sendiri. Tetapi bila dia tidak memiliki harta, biaya hidupnya diambilkan dari baitul-mal atau atas tanggungan umat islam yang mampu. Firman Allah SWT:


....وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا.... (32)


“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (Al-Maidah : 32)
Peringatan :

Kalau seseorang yang mengambil sesuatu yang ditemukan itu sengaja berkhianat, yaitu tidak memberitahukannya, melainkan sengaja diambil untuk menjadi miliknya sendiri, kemudian barang itu hilang dari tangannya, maka ia wajib mengganti.

Kalau barang sudah dimiliki oleh orang yang menemukannya, kemudian datang pemiliknya, hendaklah barang itu dikembalikan.

  1. Hukum Pengambilan Barang Temuan

Hukum mengambil barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya, hukum pengambilan barang temuan (luqathah) antara lain sebagai berikut :

  1. Sunat; bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa ia sanggup/mampu mengerjakan segala yang bersangkutan dengan pemeliharaan barang itu sebagaimana mestinya. Tetapi bila tidak diambilpun barang-barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
  2. Wajib; apabila berat sangkaannya bahwa barang itu akan hilang dengan sia-sia kalau tidak diambilnya. Dan ia percaya mampu untuk merawat barang temuan itu sebagaimana mestinya.
  3. Makruh; bagi orang yang tidak percaya kepada dirinya (ragu-ragu) bahwa ia akan dapat merawat barang temuan itu atau tidak.
  4. Haram; bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara barang tersebut sebagaimana mestinya.

  1. Permasalahannya

  1. Macam-macam Benda Temuan

Terdapat macam-macam benda temuan yaitu:

  1. Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, umpamanya mas, perak, pisau, gergaji dan yang lainnya.
  2. Benda-benda yang tidak tahan lama, umpanya makanan, tepung, buah-buahan dan sebagainya. Benda-benda seperti ini boleh dimakan atau dijual supaya tidak tersia-siakan, bila kemudian baru datang pemiliknya, maka wajib mengembalikannya atau uang seharga benda-benda yang dijual atau dimakan.
  3. Benda-benda yang memerlukan perawatan, seperti padi harus dikeringkan atau kulit hewan perlu disamak.
  4. Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak unta, sapi, kuda, kambing dan ayam. Pada hakikatnya binatang-binatang itu tidak dinamakan al-Luqathah tetapi disebut al-Dhalalah, yakni binatang-binatang yang tersesat atau kesasar.

Adapun binatang-binatang yang ditemukan oleh seseorang secara umum dapat dibagi dua, yaitu:

  1. Binatang yang kuat, yakni binatang-binatang yang mampu menjaga dirinya dari serangan binatang buas, umpamanya unta, kerbau dan kuda, baik menjaga dirinya dengan cara melawan ataupun lari, binatang yang mampu menjaga dirinya boleh diambil hanya untuk dijaga saja, kemudian diserahkan kepada penguasa, maka lepaslah tanggungan pengambil.
  2. Binatang-binatang yang tidak dapat menjaga dirinya dari serangan-serangan binatang buas, baik karena tidak mampu melawan maupun karena tidak dapat menghindari, seperti anak kambing dan anak sapi, binatang-binatang ini boleh diambil untuk dimiliki, baik untuk dipelihara, disembelih maupun untuk dijual, bila datang pemilik untuk memintanya, maka wajib dikembalikan hewannya atau harganya.

2. Menyikapi Barang Temuan (Luqathah)

Apabila kita secara tidak sengaja menemukan uang tergeletak di jalan, maka kewajiban kita adalah mengumumkan temuan itu agar pemiliknya yang merasa kehilangan bisa mendapatkan haknya kembali. Dalam bahasa fiqih, kasus yang terjadi pada anda itu disebut sebagai barang LUQATHAH, atau barang temuan. Dan untuk itu ada aturan hukum tersendiri yang telah ditetapkan dalam syariah. Luqathah atau barang temuan adalah harta yang hilang dari pemiliknya dan ditemukan oleh orang lain. Bila seseorang menemukan harta yang hilang dari pemiliknya, para ulama berbeda pendapat tentang tindakan/sikap yang harus dilakukan.

  1. Al-Hanafiyah mengatakan disunnahkan untuk menyimpannya barang itu bila barang itu diyakini akan aman bila ditangan anda untuk nantinya diserahkan kepada pemiliknya. Tapi bila tidak akan aman, maka sebaiknya tidak diambil. Sedangkan bila mengambilnya dengan niat untuk dimiliki sendiri, maka hukumnya haram.
  2. Al-Malikiyahmengatakan bila seseorang tahu bahwa dirinya suka berkhianat atas hata oang yang ada padanya, maka haram baginya untuk menyimpannya.
  3. Asy-Syafi`iyyah berkata bahwa bila dirinya adalah orang yang amanah, maka disunnahkan untuk menyimpannya untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Karena dengan menyimpannya berarti ikut menjaganya dari kehilangan.
  4. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ra. mengatakan bahwa yang utama adalah meninggalkan harta itu dan tidak menyimpannya.

Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang / Harta Yang Hilang. Islam mewajibkan bagi orang yang menemukan barang hilang untuk mengumumkannya kepada khalayak ramai. Dan masa penngumuman itu berlaku selama satu tahun. Hal itu berdasarkan perintah Rasulullah SAW ”Umumkanlah selama masa waktu setahun.” Pengumuman itu di masa Rasulullah SAW dilakukan di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang seperti pasar, tempat resepsi dan sebagainya.

Bila telah lewat masa waktu setahun tapi tidak ada yang datang mengakuinya, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bolehlah bagi penemu untuk memiliki harta itu bila memang telah berusaha mengumumkan barang temuan itu selama setahun lamanya dan tidak ada seorangpun yang mengakuinya. Hal ini berlaku umum, baik penemu itu miskin ataupun kaya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik ra. Imam Asy-Syafi`i ra. dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Sedangkan Imam Abu Hanifah ra. mengatakan hanya boleh dilakukan bila penemunya orang miskin dan sangat membutuhkan saja. Tapi bila suatu saat pemiliknya datang dan telah cocok bukti-bukti kepemilikannya, maka barang itu harus dikembalikan kepada pemilik aslinya. Bila harta temuan itu telah habis, maka dia wajib menggantinya.

BAB III

PENUTUP

  1. Simpulan

Al-Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan). Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka penerima titipan tidak wajib untuk menggantinya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya, maka wajib menggantinya.

Menurut Hanafiyah bahwa rukun al-Wadi’ah adalah satu, yaitu ijab dan qabul, adapun yang lainnya adalah termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Adapun menurut Hanafiyah dalam shigat ijab dianggap sah, apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan samaran (kinayah), hal ini berlaku juga untuk qabul, disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan mukalaf,

Luqathah ialah sesuatu yang ditemukan atau diperoleh karena disia-siakan pemiliknya dan tidak diketahui pemiliknya. Dan bagi yang menemukan ada 3 hal yang harus dilakukan : Menjaga barang yang ditemukan, Mengumumkan ditempat umum atau menginformasikan kepada pihak berwenang, Setelah waktu berlalu satu tahun, tapi tidak ada pemiliknya yang datang, maka boleh baginya tetap menyimpan atau menginfaqkan pada jalan Allah atau boleh juga dimanfaatkannya dengan tujuan kebaikan.

Hukum mengambil barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya.

DAFTAR PUSTAKA

Rasyid Sulaiman.1998.Fiqh Islam.Bandung: Sinar Baru Algensindo

Suhendi Hendi.2002.Fikih Muamalah.Jakarta: PT Raja Grafindo

http://ekonomiislamindonesia.blogspot.com/2012/08/wadiah.html at 8:15 am, 5 oct 2012

http://xinacute.wordpress.com/2010/03/14/luqathah-barang-temuan/

http://jimmyromarten.blogspot.com/2011/03/luqathah-barang-temuan.html


[1] Abdurrahman al-jaziri,Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-‘Arabah,tahun 1969,hlm.248.

[2] Admin Pengertian Wadiah”,online,http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/08/27/wadi80%E2%80%99ah/,27 Agustus 2008, diakses tanggal 1 November 2011