JILID KE LIMA
BAB XIV
Jago pedang dari Tiong-ciu.
Tapi bukan persoalan ini yang ingin diketahui jawabannya, sebab biarpun dia belum pernah bertemu wanita setengah umur itu, namun secara lamat-lamat telah dapat menebak siapa gerangan perempuan ini. Yang paling ingin diketahui jawabannya adalah.... Manusia berkerudung itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung batu, dia seakan sudah tertegun dibuatnya.
"Hey kau tuli? Kau bisu?" terdengar wanita cantik itu kembali membentak, "aku sedang bertanya, kau adalah tianglo yang mana dari Bu-tong-pay? Kenapa? Tidak berani menjawab?"
"Tianglo dari partai Bu-tong?" tidak terlukiskan rasa terperanjat yang dialami Bouw It-yu saat itu. Kalau memang tianglo dari Bu-tong-pay, lalu siapakah dia? Bu-tong-pay mempunyai dua orang tianglo, yakni Bu-liang Totiang dan Bu-si Tojin, keduanya sangat dikenal olehnya, sementara Put-ji, tianglo yang belum lama diangkat pun sudah cukup lama bergaul dengannya, malah selama ini dia memperhatikan orang ini secara khusus. Dia yakin tidak bakal tidak bisa mengenalinya kendatipun dia telah mengenakan kain kerudung muka.
Bouw It-yu mencoba untuk memperhatikan dengan lebih seksama, di pandang dari sudut manapun dia tidak bisa menemukan bayangan rubuh dari ke tiga orang tianglonya di tubuh manusia berkerudung ini. Hanya satu hal yang berhasil dia ketahui, orang berkerudung ini adalah seseorang yang telah lanjut usia, paling tidak berusia lima puluh atau enam puluh tahunan. Orang yang memiliki ilmu silat hebat memang agak sulit untuk diduga usianya. Namun bagaimanapun juga, biar seseorang yang telah lanjut usia berusaha memelihara tubuhnya sebagus apapun, bila dibandingkan dengan orang berusia pertengahan tetap terdapat perbedaan yang nyata.
Sewaktu bertarung melawannya tadi, Bouw It-yu tidak sempat memperhatikan akan hal itu, tapi kini, setelah diamati lebih seksama, dia segera dapat menemukan perbedaannya. Dia percaya dengan kemampuan matanya, oleh sebab itu meski dia kagum akan kehebatan perempuan cantik itu, yang bisa mengetahui kalau orang itu adalah seseorang yang lanjut usia dalam pandangan pertama, tapi diapun berani memastikan kalau manusia berkerudung ini tidak mungkin tianglo dari Bu-tong-pay.
Lalu siapakah dia? Siapakah dia? Manusia berkerudung itu tidak menjawab, dia hanya gelengkan kepalanya. Biasanya gelengkan kepala tertanda menyangkal. Tampaknya perempuan cantik itu tidak percaya, terdengar ia bergumam diri, "Tenaga dalammu masih setingkat lebih hebat dari Bu-liang Totiang, ilmu pedangmu juga tidak berada di bawah kemampuan Bu-si Tojin....”
Dia bukan saja mengetahui kelebihan yang dimiliki para tianglo dari Bu-tong-pay, mengetahui juga kalau manusia berkerudung itu bisa menggunakan ilmu pukulan sebagai pengganti ilmu pedang.
"Tidak benar, tidak benar! Ehmm, benarkah Bu-kek Totiang telah mati?" pertanyaan terakhir ini dia tujukan kepada Bouw It-yu.
Sebetulnya pertanyaan ini bisa dijawab Bouw It-yu secara tegas dan tanpa ragu, sebab dialah yang mengambil kerangka tubuh Bu-kek Totiang dan membawanya kembali keatas gunung Bu-tong. Tapi sayang dia sudah tidak bertenaga lagi untuk bicara, yang bisa dilakukan hanya manggutkan kepala.
Pada saat itulah manusia berkerudung itu menghela napas panjang, namun dia tetap belum berbicara.
Tiba-tiba perempuan cantik itu mematahkan setangkai ranting pohon, katanya dingin, "Kau sangka dengan berlagak bisu dan tuli lantas bisa mengelabuhi aku? Kau tidak usah beritahu akupun aku juga bisa mengetahui asal-usulmu.”
Sambil tertawa dingin dia getarkan ranting pohon itu, kemudian dengan menggunakan jurus pedang yang sangat hebat menusuk tubuh manusia berkerudung itu.
"Sreeet, sreeet, sreeet" diiringi tiga desingan tajam, tahu-tahu jubah yang dikenakan manusia berkerudung itu sudah bertambah dengan tiga buah lubang kecil, tubuhnya mundur ke belakang berulang kali.
"Kau berani tidak membalas?" kembali perempuan cantik itu membentak nyaring. Biarpun yang dia gunakan hanya sebatang ranting pohon, namun setiap tusukan yang dilancarkan selalu disertai desingan angin tajam, Giok-li-to-sou (gadis perawan memasukkan jarum), Ting-san-si-hau (Ting-san memanah harimau), Gin-han-hu-chat (bianglala mengam bang di angkasa), Kek-seng-huan-gwee (bintang tamu mengusik rembulan).
Jurus serangan yang keras dikombinasikan dengan jurus serangan yang lembek, semua ancaman boleh dikata terarah ke bagian tubuh yang mematikan ditubuh lawan. Selangkah demi selangkah manusia berkerudung itu terdesak mundur hingga ke tepi jurang, kini sudah tidak ada jalan mundur lagi baginya. Dalam pada itu ranting pohon ditangan perempuan cantik itu kembali telah menciptakan tiga lingkaran cahaya yang mengurung seluruh tubuhnya, ujung ranting yang terarah persis di hadapannya tampak segera akan berhasil mencongkel kain kerudung mukanya. Dalam keadaan seperti inilah terpaksa manusia berkerudung itu melakukan pembelaan, sepasang telapak tangannya dirangkap di depan dada, dia membalas dengan jurus Tong-cu-pay-kwan-im (bocah suci menyembah Kwan-im).
Maksud dari gerakan jurus ini adalah berniat menjepit ranting pohon yang mengancam tiba, siapa tahu perempuan cantik itu kembali mengubah jurus serangannya secepat kilat, dia tarik balik rantingnya lalu berganti mengancam tiga bagian tubuhnya.
Hanya saja, biarpun perubahan jurus dilakukan sangat cepat, namun hal ini justru memberi peluang kepada manusia berkerudung itu untuk menghindarkan diri. "Weesss....!" diiringi desingan angin tajam, manusia berkerudung itu sudah melambung ke udara, bagaikan seekor burung terbang lewat dari atas kepalanya, membopong Lan Giok-keng yang masih tergeletak di tanah dan melarikan diri. Berapa gerakan gesit dan cekatan yang diperlihatkan kedua orang itu membuat Bouw It-yu yang menyaksikan merasakan hatinya ngeri bercampur berdebar.
Tapi diapun berhasil melihat jelas sebuah kenyataan, kemungkinan besar manusia berkerudung itu kenal dengan wanita cantik itu, karenanya dia tidak pernah berani melancarkan jurus serangannya, bisa dipastikan hal ini dikarenakan dia kuatir wanita cantik itu berhasil mengetahui asal-usul ilmu silatnya.
Bouw It-yu tidak tahu apakah wanita cantik itu telah berhasil mengetahui asal-usul jurus serangan yang dimiliki manusia berkerudung itu, tapi dia telah mengenali sumber ilmu silat yang digunakan sang wanita cantik itu. Jurus serangan yang barusan dia gunakan tidak lain adalah jurus Sam-coan-hoat-lun (tiga putaran roda hukum), sebuah jurus ciptaan ayahnya yang diambil dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, malahan permainan jurus perempuan itu jauh lebih bagus ketimbang ayahnya sendiri.
Bouw It-yu merasa bimbang bercampur bingung, dia tidak tahu dengan cara apa manusia berkerudung itu berhasil melarikan diri. Pandangan matanya penuh diliputi teka-teki, perasaan hatinya pun dicekam kebingungan.
Dia seakan telah balik kembali ketepi ranjang ibunya yang sedang sakit, apa yang dilihat, apa yang didengar, hanya bayangan semu dari ibunya, yang bergaung diangkasa hanya helaan napas ibunya. Berada ditepi ranjang ibunya yang sedang sakit, dia mengumpat dan menyumpahi "perempuan liar" itu. Besok adalah tanggal satu hari raya Imlek, ibunya sakit begitu parah, tapi ayahnya.... dengan alasan demi "perempuan liar" itu, ternyata enggan pulang kembali ke rumah! Sambil menghela napas, saat itu ibunya berkata perlahan, "Dia bukan wanita liar! Bukan, dia adalah wanita anggun yang mempunyai status sosial tinggi, dia cantik, ilmu silatnya hebat, dalam segala bidang dia jauh mengungguli aku!"
Sekarang dia sudah tahu siapakah "wanita liar" itu, dia tidak lain adalah perempuan cantik yang berada dihadapannya sekarang. Apa yang dikatakan ibunya memang tidak keliru, "perempuan liar" ini memang anggun, ilmu silatnya tinggi, wajahnya cantik jelita! Biarpun demi ibunya, dalam hati kecilnya dia tetap memaki dia sebagai "perempuan liar", namun mau tidak mau diapun harus mengakui, "perempuan liar" ini memang jauh lebih cantik daripada ibunya, ilmu silat yang dimilikipun jauh lebih hebat. Tidak aneh bila ayah begitu tergila gila kepadanya.
Sebuah jawaban lain pun ikut tersingkap, tidak perlu diberitahu wanita cantik itu, diapun sudah tahu kalau wanita itu tidak lain adalah ibu kandung Seebun Yan. Semenjak pertemuan pertamanya dengan Seebun Yan, dia sudah menaruh curiga akan hal ini. Dan sekarang dia telah memperoleh sebuah bukti nyata yang amat jelas. Tiba-tiba saja dia merasa peristiwa ini kelewat lucu, kelewat menggelikan, dia dan Seebun Yan saling menyebut sebagai saudara, tidak disangka ternyata ibunya Seebun Yan adalah kekasih gelap ayahnya!
Dia ingin tertawa, namun tidak ada suara tertawa yang muncul, dia ingin menangis, tidak ada pula suara tangisan yang terdengar! Perasaan dan tenaga yang runtuh seketika membuatnya jatuh tidak sadarkan diri. Walaupun pikiran dan kesadaran mulai buram, namun dia masih dapat merasakan. Kini keadaannya ibarat orang yang terlelap dalam alam impian, seperti sedang bermimpi seperti bukan, seperti kejadian nyata tapi seperti juga tidak.
Sentuhan pertama yang terasa olehnya adalah sesuatu yang lunak, seakan menyiarkan bau harum semerbak. Dia seperti sedang berbaring diatas tumpukan bunga, begitu lembut dan empuk, jauh lebih lunak daripada kasur yang terbuat dari bulu angsa, dia pun merasa seakan sedang berbaring di pesisir pantai dengan cahaya matahari yang hangat, pasir yang putih dan lembut membuat setiap pori pori tubuhnya terasa hangat. Tapi perasaan yang lebih mendekati adalah dia seperti sedang berbaring dalam pelukan ibunya, merasakan belaian dan kasih sayang seorang ibu. Aaaai, mungkinkah waktu berjalan berbalik? Apakah dia sedang kembali ke alam mimpi, kembali ke masa kanak-kanaknya dulu? Suara apakah itu? Apakah suara hembusan angin bulan ke lima yang membangunkan berbagai bunga? Ataukah suara nyanyian ibunya yang sedang mendendangkan nina bobo?
Di balik perasaan yang hangat terasa pula hawa dingin, mungkinkah embun pagi yang menetes dari kelopak bunga membasahi wajahnya? Seperti bermimpi, tapi bukan mimpi, seperti khayalan seperti kejadian nyata! Aaai, terserah dia sedang bermimpi atau tidak, semoga alam impian ini dapat bertahan kekal. Manusia berkerudung itu telah membopong Lan Giok-keng dan berlalu dari sana. Sementara perempuan cantik itu balik kembali ke samping Bouw It-yu. Dia peluk tubuh Bouw It-yu, menempelkan telinga nya diatas dada pemuda itu, mendengarkan detak jantungnya. Dia gunakan sentuhan ujung jarinya untuk "mendengar" denyutan nadinya. Detak jantung berjalan normal, denyutan nadi meski agak lemah namun tidak menunjukkan kekalutan.
"Entah dikarenakan dia teringat dengan budi kebaikan teman lama atau karena takut bertindak kelewat keji terhadap murid Bu-tong-pay? Ehmm, asal nyawa anak Yu masih dapat dipertahankan, akupun tidak ingin membongkar kedok rahasianya....”
Wanita cantik itu mengalihkan matanya memandang ke tempat kejauhan, sewaktu tidak menemukan kembali manusia berkerudung itu, dia pun merasakan beban hatinya jauh lebih lega.
"Nak, tidak disangka aku masih bisa bertemu dirimu, aku memang patut dikasihani, tapi kau pun lebih patut dikasihani!" dia mencium lembut pipi Bouw It-yu, setetes air mata jatuh membasahi wajah pemuda itu. Bouw It-yu sama sekali tidak terluka dalam, tapi gencetan tenaga dalam manusia berkerudung itu telah membuat tenaganya jadi lemah bahkan seluruh semangat dan kekuatannya telah runtuh. Keadaan tersebut meski bukan merupakan luka yang bewujud, namun termasuk juga sebuah luka tanpa wujud. Bila tidak memperoleh perawatan yang setimpal, dia akan lemah seperti orang yang baru sembuh dari penyakit parah, paling tidak dibutuhkan waktu setahun lamanya untuk bisa pulih kembali seperti sedia kala. Perempuan cantik itu menempelkan telapak tangannya dipunggung Bouw It-yu, menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya.
"Bila dia sampai tahu siapakah aku, mungkin perasaan hatinya akan bertambah sedih. Aaai, lebih baik dia tidak usah tahu.” Kembali air mata jatuh berlinang. Mimpi indah memang tidak akan langgeng, biarpun Bouw It-yu enggan mendusin kembali, akhirnya toh dia telah mendusin juga.
Ketika membuka matanya kembali, dia menjumpai wanita cantik itu sedang duduk di sampingnya. Biarpun dia merasakan ke empat anggota tubuhnya lemah tidak bertenaga, namun semangatnya terasa segar kembali. Dia bukan orang bodoh, tentu saja tahu kalau wanita cantik itu telah menyalurkan tenaga dalamnya untuk menyembuhkan dia.
"Terima kasih kau telah selamatkan nyawaku,” ucap Bouw It-yu. Biarpun dia sedang menyampaikan rasa terima kasihnya, namun tidak dapat menutup perasaan benci terhadap dirinya.
"Kau tidak usah berterima kasih kepadaku, manusia berkerudung itu memang tidak berniat mencelakai nyawamu,” kata wanita cantik itu.
"Tapi kalau bukan kau menolongku tepat waktu, mungkin aku harus berbaring entah sampai kapan di tengah pegunungan sunyi ini!"
Apa yang dia katakan memang tidak salah, sebab itulah kendatipun masih terselip perasaan benci dan dendam, mau tidak mau diapun merasa berterima kasih kepadanya. Wanita cantik itu tersenyum. "Mungkin kau belum tahu siapakah aku,” katanya, "akulah ibu Seebun Yan. Aku dengar kau datang ke Liauw-tong bersamanya, karena itulah secara khusus aku datang kemari untuk mencari kalian.”
Maksud ucapan itu jelas, karena kau baik pada putriku, jadi sudah sepantasnya bila akupun membantumu.
"Padahal sedari tadi aku sudah tahu siapakah kau,” batin Bouw It-yu dalam hati kecilnya, tapi diluaran dia berlagak seolah terkejut bercampur girang, serunya, "Ooh, ternyata bibi, coba kau datang selangkah lebih awal, mungkin dapat bertemu dengan putrimu.”
"Dia pergi ke mana?" tanya Seebun-hujin.
"Mengejar Piaukonya.”
"Oooh, Tonghong Liang maksudmu?"
"Benar. Dia tiba duluan disini sebelum kehadiran kami, tapi entah mengapa, begitu bertemu kami, dia langsung melarikan diri.”
Dia tahu Seebun-hujin selalu menganggap Tonghong Liang seperti putra sendiri, dalam perkiraannya, setelah mendengar kabar itu, dia pasti akan segera pergi mencari putrinya dan keponakannya itu. Siapa tahu Seebun-hujin sama sekali tidak berniat meninggalkan tempat itu, dia malah duduk di sampingnya dan berkata sambil menghela napas panjang, "Budak itu memang selalu menuruti suara hati sendiri, apa yang dia inginkan selalu berusaha untuk mendapatkannya. Namun dalam persoalan dia, aku tidak bisa membantu apa-apa, biarkan saja mereka urusi sendiri. Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah sudah baikan? Sekarang cobalah berjalan dua langkah.”
Bouw It-yu merasa tidak leluasa untuk membantah, namun dihati kecilnya timbul perasaan heran, pikirnya, Aneh, kalau memang dia tidak bisa membantu putrinya, tapi setelah jauh-jauh datang kemari, kenapa tidak secepatnya ingin bertemu dengan putrinya? Malahan aku lihat dia lebih menaruh perhatian terhadap aku sebagai orang luar?'
Dia bangkit berdiri, mencoba berjalan dua langkah, lalu sahutnya, "Aku sudah jauh lebih baik. Kelihatannya besok aku sudah dapat bergerak seperti biasa.”
"Kau tidak usah terburu-buru,” kata Seebun-hujin sambil tersenyum, "beristirahatlah barang dua hari, setelah ilmu silatmu pulih tujuh, delapan bagian, belum terlambat untuk pergi.”
"Terima kasih atas perhatian bibi. Aah benar, aku masih belum memperkenalkan diri, aku dari marga Bouw bertanam It-yu.” Padahal tidak ada gunanya dia memperkenalkan nama sendiri. Perlu diketahui, Seebun-hujin justru khusus datang ke Liauw-tong mencari mereka karena dia telah mendapat kabar kalau putrinya melakukan perjalanan bersamanya. Dalam keadaan seperti ini, apa gunanya dia memperkenalkan nama sendiri? Namun, Bouw It-yu tentu saja tidak pernah akan berpikir sampai disitu, karena dia merasa situasi saat ini serba rikuh dan untuk sesaat tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengan Seebun-hujin, maka dia mencari bahan bicaraan untuk mengisi kekosongan ini.
Sejak bertemu dengan dirinya, Seebun-hujin belum pernah menanyakan namanya, sebagai seorang Boan-pwee, demi sopan santun dia memang sepatutnya memperkenalkan diri. Benar saja, Seebun-hujin tersenyum, katanya, "Aku tahu, biarpun aku hidup mengasingkan diri di pinggir perbatasan, pengetahuanku sangat cupat namun ayahmu adalah Tiong-ciu Thayhiap yang namanya telah menggetarkan sungai telaga, kinipun sudah menjadi Ciangbunjin Bu-tong-pay, secupat apapun pengetahuanku, rasanya tidak mungkin kalau tidak mengenali kalian ayah beranak. Apalagi sewaktu anak Yan pulang tempo hari, diapun pernah menyinggung tentang dirimu. Konon kalian berkenalan gara-gara saling bertarung? Terus terang saja, sejak mendengar pujiannya atas dirimu, akupun sudah sejak lama ingin bertemu denganmu.”
Tentang persoalan ini, Bouw It-yu sudah mendengar dari cerita Seebun Yan, hanya saja yang memuji dia adalah Seebun-hujin dan bukan putrinya. Malahan Seebun Yan sempat merasa tidak puas dan marah gara-gara ibunya memuji dia jauh lebih hebat dari Piauko nya. Dia tidak mengerti apa sebabnya Seebun-hujin begitu menyayangi dirinya, diapun tidak mengerti setelah memuji dirinya, mengapa dia harus meminjam nama putrinya, atau jangan-jangan.... Dia bersama Seebun Yan telah menempuh perjalanan sejauh ribuan li hanya berduaan, kendatipun bagi orang persilatan batasan antara lelaki dan perempuan tidak seketat pandangan orang sekolahan, namun bagaimana pun juga dia merasa wajib memberi penjelasan dihadapan ibunya.
"Terima kasih banyak atas pujian ini. Tempo hari, aku hanya bertemu putri anda secara kebetulan, oleh karena dia bilang sedang mencari Piauko nya, sementara secara kebetulan akupun hendak pergi ke Liauw-tong untuk mencari keponakan muridku, maka kami memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama-sama. Sepanjang jalan aku dan putri anda selalu mengaku sebagai kakak beradik....”
Tiba-tiba paras muka Seebun-hujin berubah sedikit agak aneh, setelah tertegun serunya, "Oooh, jadi kalian sudah mengaku sebagai kakak beradik?"
"Aku tahu, sebetulnya aku tidak pantas menjadi kakaknya, tapi untuk leluasanya terpaksa kami saling menyebut....” Seebun-hujin tersenyum, tukasnya, "Kau tidak usah jelaskan lebih jauh, bila anak Yan ku benar-benar mempunyai seorang kakak macam kau, oooh, betapa indahnya. Sejak kecil dia sudah kehilangan ayahnya, akupun tidak mendidiknya terlalu ketat hingga sejak kecil sudah terbiasa manja. Sepanjang jalan tentu banyak mendatangkan kesulitan bagimu bukan?"
Bouw It-yu menyangka perempuan itu berkata begitu karena tidak berputra, maka sahutnya, "Bibi, bila kau tidak keberatan, bagaimana kalau aku memanggilmu ibu angkat.”
Sementara dihati kecilnya dia berpikir, 'Kau adalah musuh besar ibuku, dengan mengakui mu sebagai ibu angkat, dikemudian hari semakin memudahkan aku bila ingin membalas dendam' Dengan wajah berseri karena kegirangan sahut Seebun-hujin cepat, "Bagus, bagus sekali. Kini kesehatan tubuhmu belum pulih kembali, kau tidak perlu melakukan penghormatan.” Setelah menerima penghormatan dari Bouw It-yu, kembali dia berkata lebih lanjut, "Sejak hari ini, aku akan menganggapmu sebagai putra kandungku sendiri, aku tahu ayahmu hanya mempunyai kau seorang putra, dia pasti telah mendidikmu secara baik.”
Berbicara sampai disini, tiba-tiba dia mengucapkan sepatah kata yang membuat Bouw It-yu tercengang, "Apakah ibumu baik terhadapmu?" Baru pertama kali bertemu "ibu angkat" nya, ternyata dia malah bertanya apakah ibu kandungnya bersikap baik terhadapnya, apakah pertanyaan ini tidak aneh dan di luar kebiasaan?
"Tabiat Seebun Yan sudah terhitung antik, siapa tahu ibunya lebih antik lagi, coba kalau aku tidak tahu siapakah dia, pasti kuanggap dia sudah gila.”
Membayangkan nasib buruk yang menimpa ibunya, tidak tahan Bouw It-yu menyahut dengan sedih, "Ayahku jarang berada dirumah, kecuali mengajarkan ilmu silat, hampir urusan yang lain semuanya dilakukan ibuku. Terus terang saja aku lebih banyak mendapat didikan ibu ketimbang ajaran bapak. Sayangnya dia orang tua mati terlalu awal.”
"Ibumu berasal dari keluarga kenamaan, akupun tahu, dia pasti akan bersikap baik sekali kepadamu. Maaf kalau aku telah mengungkit kembali kesedihan hatimu.”
Bouw It-yu kembali berpikir, 'Kalau hanya membuat aku sedih mah bukan masalah, tapi kau telah membuat ibuku mati merana, mati karena sedih. Betapa pun baiknya sikapmu kepadaku, aku tak bakalan akan memaafkan dirimu!'
Seebun-hujin memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian katanya, "Tenaga murnimu mengalami kerugian besar, tenagamu belum pulih seperti sedia kala, aku tidak seharusnya mengajakmu banyak bicara, tapi karena pertemuan ini baru terjadi untuk pertama kalinya, aku tidak tahan untuk bicara panjang lebar. Sekarang kau harus beristirahat dulu, aku tahu disana terdapat sebuah gua, malam ini mari kita ibu beranak menginap semalam disana. Aku dapat membantumu untuk menghimpun kembali hawa murnimu, asal bisa pulih lebih cepat, besok kau sudah dapat bergerak seperti biasa. Hanya saja, bila ingin ilmu silatmu pulih kembali seperti sedia kala, mungkin harus menunggu dua, tiga hari lagi.”
"Kau tidak perlu pergi mencari adik Yan dan keponakanmu?" tidak tahan Bouw It-yu bertanya. "Mereka tidak terluka, juga tidak sakit, aku tidak perlu mengurusi mereka berdua. Terlepas anak Yan berhasil atau tidak menyusul kakak misannya, aku rasa dia pasti akan kembali juga ke sisiku.”
Bicara sampai disini, diapun menarik bangun Bouw It-yu dan memapahnya untuk berjalan. Karena tidak bertenaga untuk melawan, terpaksa pemuda itu membiarkan dirinya dipapah. Ilmu silat yang dimiliki Seebun-hujin memang sangat luar biasa, ketika tangannya mencekal pinggang Bouw It-yu dan menariknya, tubuh pemuda itupun melayang di udara, tanpa mengeluarkan sedikit tenaga pun, kakinya tidak usah menempel ditanah pun, dia sudah digiring untuk melakukan perjalanan. Setelah membimbingnya masuk ke dalam gua, Seebun-hujin mengeluarkan ransum kering, katanya, "Makanlah dulu sedikit ransum yang kubawa, oyaa.... ini arak susu kuda, mungkin kau tidak biasa untuk meneguknya, tapi berfaedah untuk memulihkan tenagamu.”
Perawatan dan layanan yang begitu lemah lembut dari Seebun-hujin membuat rasa heran dan curiga Bouw It-yu makin bertambah, pikirnya, 'Tidak jelas rencana apa yang dia susun dengan perbuatannya ini, sudah jelas dia tahu kalau aku adalah putra musuh cintanya, kenapa sikap dia terhadapku justru seakan aku adalah putra kandungnya? Sementara dia masih berpikir, terdengar Seebun-hujin telah berkata lagi, "Baiklah, sekarang kau boleh duduk bersamadi, ulurkan tanganmu kemari, aku akan membantumu.”
Digenggamnya tangan Bouw It-yu, kemudian segulung hawa murni perlahan-lahan mengalir keluar dari telapak tangannya mengalir masuk ke tubuhnya. Selang beberapa saat kemudian, kembali Seebun-hujin berkata, "Selama mengatur pernapasan, kau harus menjaga konsentrasimu, sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak pikir apa apa. Hari sudah hampir gelap, kenapa adik Yan belum juga kembali!" Seebun-hujin tersenyum.
"Mungkin saja dia telah menemukan Piauko nya dan sedang bermanja-manja. Aku yang jadi ibunya saja tidak kuatir, kenapa kau musti khawatir? Yang perlu kau kuatirkan adalah dirimu sendiri. Jika ingin secepatnya hawa murnimu terhimpun kembali di Tan-tian, jangan cabangkan pikiran untuk berpikir yang bukan-bukan.”
"Baik!" sahut Bouw It-yu. Walaupun dia berusaha keras untuk membuang jauh-jauh pikiran yang kalut, namun masih tetap tidak berhasil menenangkan diri.
"Anak Yu,” kata Seebun-hujin kemudian, "ganjalan apa yang masih kau rahasiakan terhadapku? Lebih baik katakan saja berterus terang, siapa tahu aku dapat membantumu untuk memecahkan persoalan itu.” Diam diam Bouw It-yu terkesiap, pikirnya, Aaah.... jangan sampai rahasia hatiku diketahui olehnya.... '
Cepat-cepat dia berkata, "Ibu angkat, aku memang masih ada masalah yang membuatku tidak tenang.”
"Baiklah, apa masalahmu, katakan saja!"
"Keponakan muridku ditangkap manusia berkerudung itu, entah apa yang akan dia lakukan terhadapnya?"
"Ooh, rupanya persoalan itu yang kau kuatirkan, kalau begitu aku berani memberi jaminan, keponakan muridmu pasti dapat kembali dengan selamat.”
"Kenapa?"
"Kalau kau saja tidak dilukai, bagaimana mungkin manusia berkerudung itu akan mencelakainya? Masa kau tidak bisa melihat, betapa sayang dan cintanya dia terhadap keponakan muridmu itu. Sewaktu dia membanting tubuhnya tadi, yang digunakan adalah sebuah tehnik membanting tingkat tinggi, dia saja kuatir bantingannya membuat dia terluka, mana mungkin jiwanya akan terancam.”
Bouw It-yu mencoba untuk membayangkan kembali kejadian tadi, ternyata apa yang dikatakan Seebun-hujin memang tidak salah. Dengan hati tercengang ujarnya kemudian, "Keponakan muridku ini tumbuh dewasa diatas bukit Bu-tong, seharusnya dia tidak pernah berhubungan dengan orang luar. Kenapa manusia berkerudung itu bersikap luar biasa baiknya terhadap dia?"
"Darimana aku tahu. Aku rasa sudah cukup asal kau tahu kalau dia tidak berniat akan mencelakai keponakan muridmu.”
'Kau pasti tahu, hanya enggan mengatakannya kepadaku' batin Bouw It-yu dalam hati. Tidak bisa dibilang dia sama sekali tidak mengkhawatirkan keselamatan Lan Giok-keng, tapi persoalan yang benar-benar membelenggu dirinya bukanlah keselamatan bocah itu, dia memang masih mempunyai masalah lain yang lebih berat. Hanya saja persoalan itu enggan dia kemukakan di hadapan Seebun-hujin. Kuatir rahasia hatinya ketahuan, terpaksa dia berusaha keras mengendalikan pikirannya, di bawah bantuan Seebun-hujin perlahan-lahan dia himpun hawa murni dan mulai menggiringnya mengitari badan. Begitu pikiran terkonsentrasi, kesadarannya pun lambat laun mulai jernih kembali. Entah berapa lama sudah lewat, kini peredaran hawa murni di tubuh Bouw It-yu telah berhasil menembus semua sumbatan. Seebun-hujin pun menghembuskan napas panjang seraya berkata, "Biarpun taraf pemulihan yang kau capai tidak sesuai harapan, namun sudah cukup baik untukmu. Sekarang tidurlah sejenak.”
Bouw It-yu tidak tidur, malah Seebun-hujin yang tidur duluan. Setelah membantu Bouw It-yu menembus semua nadinya dengan sepenuh tenaga, dia benar-benar kepayahan, jauh lebih letih ketimbang sewaktu bertarung melawan manusia berkerudung itu, kini dia benar-benar sangat lelah. Bagian atap gua ini terdapat sebuah celah yang berbentuk setengah lingkaran, dari sana cahaya rembulan yang bersinar terang memancar masuk ke dalam gua, menyinari tubuh Seebun-hujin yang indah. Entah mimpi indah apa yang sedang diperolehnya, sekulum senyuman seolah tersungging diujung bibirnya. Aaah! Senyuman tersebut mengapa terasa begitu hapal, begitu dikenal olehnya?
Tiba-tiba Bouw It-yu mulai berpikir, memikirkan ibunya yang telah meninggal, mungkin saja wajah ibu tidak secantik Seebun-hujin, namun senyuman yang menghiasi bibirnya sama lembut, sama hangatnya seperti senyuman ibunya. Dia amat menyukai senyuman ibunya, senyuman sewaktu sadar, senyuman saat tertidur, dia menyukai semua. Tapi sayang senyuman ibu jarang sekali terlihat.
Bayangan semu yang muncul dihadapannya sudah berubah menjadi ibunya yang terkapar sakit diatas pembaringan. Yang terlihat hanya wajah yang sayu, wajah yang kusut, yang tersisa hanyalah senyuman getir yang memilukan hati, senyuman yang menghiasi wajah kurusnya.
Segulung angin dingin berhembus lewat, Bouw It-yu bergidik, tiba-tiba bayangan semu ibunya hilang lenyap. Begitu mendusin, hanya kenyataan yang terpampang dihadapannya, musuh besar ibunya sedang tidur di samping tubuhnya. Gaya Seebun-hujin sewaktu tidur begitu tenang, anggun dan indah, hal ini memperlihatkan perasaan hatinya yang bahagia dan penuh kedamaian.
Sinar mata Bouw It-yu mulai bergeser dari wajah Seebun-hujin, hatinya penuh diliputi rasa benci yang mendalam. Siapa yang telah mencelakai ibunya? Siapa yang telah membuat ibunya sengsara? Perempuan inilah! Siapa yang membuat ibunya merana sepanjang hidup? Perempuan ini juga! Tiba-tiba muncul dorongan emosi untuk membalaskan dendam bagi ibunya! Kini musuh besar ibunya telah berada di sampingnya, pedang pun berada disisinya, asal dia cabut pedang itu maka ulu hatinya segera akan tertembus. Tapi, apakah perbuatannya tidak kelewatan? Apalagi membalas dendam dengan cara begini? Atau mungkin tidak usah membunuhnya, cukup patahkan saja tulang Pi-pa-kut nya, agar dia jadi cacat seumur hidup, agar semua ilmu silatnya yang paling hebat pun tidak bisa dipergunakan lagi. Atau cukup merusak wajahnya yang cantik, agar selama hidup dia menjadi perempuan jelek, dia ingin tahu apakah ayahnya masih tetap mencintainya? Tentu sajak bila dia gunakan cara seperti itu untuk membalas dendam, dia sendiripun bakal mampus di tangan Seebun-hujin, tapi asalkan bisa membalaskan dendam ibunya, apalah artinya kehilangan nyawa?
"Seorang lelaki sejati, seorang lelaki jantan, masa membokong seorang wanita dengan cara begitu licik? Apakah tindakan semacam ini tidak kelewat hina? Benar, lebih baik aku tidak membunuhnya....” Tangan yang menggenggam pedang mulai gemetar keras. "Malaikat baik" dan "Malaikat jahat" seolah sedang bertarung didalam batinnya, apakah pada akhirnya dia akan terjerumus ke "jalan kesesatan"? ataukah segera tersadar dari kekeliruannya?
Ooo)*(ooO
Akhirnya Lan Giok-keng tersadar dari pingsannya. Di saat manusia berkerudung itu menurunkan tubuhnya, dia telah mendusin. Hanya saja manusia berkerudung itu tidak mengetahuinya. Sewaktu bertemu manusia berkerudung itu, Lan Giok-keng merasakan suatu perasaan yang aneh, dia merasa seolah pernah mengenalnya. Apalagi ketika mendengar suara pembicaraannya yang membawa logat suara yang berat. Perasaan tersebut lebih kentara lagi. Perasaan "aneh" itu sesungguhnya memang sangat tepat. Bukan saja manusia berkerudung itu mengenali dirinya, bahkan sangat memahami ilmu silatnya. Namun yang dia ketahui adalah ilmu silat yang dimiliki Lan Giok-keng sewaktu masih berada di gunung Bu-tong, bagaimana kemajuan yang berhasil dicapai bocah itu dalam setengah tahun terakhir, rupanya tidak diketahui secara jelas. Biarpun baru saja dia bertarung melawan Lan Giok-keng, namun yang menimbulkan perasaan heran dan curiganya baru terbatas pada ilmu pedangnya saja, tinggi rendahnya tenaga dalam yang dimiliki masih belum dapat dia lihat dalam waktu singkat. Dia tahu kalau ilmu silat yang dimiliki Lan Giok-keng seharusnya mengalami kemajuan pesat, namun dia tidak mengira kalau kemajuan yang berhasil dicapainya jauh diluar dugaan dan perkiraannya semula. Dia sengaja menotok jalan darah tidur Lan Giok-keng, karena kuatir akan melukai tubuhnya maka totokan itu tidak menggunakan ilmu totokan yang terlalu berat, dia hanya mengendalikan jalan darahnya pada taraf menguntungkan, dalam perhitungannya paling tidak dua jam kemudian Lan Giok-keng baru akan tersadar kembali. Siapa tahu belum sampai satu jam, Lan Giok-keng telah pulih kembali kesadarannya. Dia menurunkan tubuh Lan Giok-keng lalu menghela napas panjang, gumamnya, "Aku selalu memandang rendah ayah angkatnya, padahal semua perbuatan dan tindak tandukku tidak jauh berbeda dengan tingkah laku Put-ji, kami berdua ibarat lima puluh langkah mentertawakan seratus langkah!"
Lan Giok-keng yang mendengar suara gumanan itu jadi amat tergetar hatinya, manusia berkerudung itu bisa menyebut ayah angkatnya bahkan dapat pula menyebut gelar kependetaan ayah angkatnya, tidak bisa di sangkal lagi manusia berkerudung ini pastilah murid Bu-tong-pay, bahkan merupakan orang yang amat dikenal ayah angkatnya! Mungkinkah dia adalah Bu-liang tianglo? Tidak mirip, sama sekali tidak mirip! Mungkinkah Bu-si Tianglo? Rasanya semakin tidak mungkin. Manusia berkerudung itupun tidak mengenakan pakaian pendeta, biarpun seringkali ada tamu preman yang menginap diatas gunung Bu-tong, namun kalau bukan murid pendeta yang sering berhubungan, darimana dia bisa kenal begitu dekat dengan ayah angkatnya? Penyamaran memang bisa merubah tampilan seseorang, hanya kemampuan ilmu silat yang tidak mungkin bisa dipalsukan.
Ilmu silat yang dimiliki manusia berkerudung ini masih jauh diatas kemampuan ayah angkatnya, kalau bukan satu diantara ke dua orang Tianglo itu lantas siapakah dia? Padahal berbicara soal ilmu silat yang dimiliki ayah angkatnya, dia sudah terhitung jago yang cukup diandalkan pada angkatannya. Ada satu hal lagi yang membuat perasaan hatinya bergoncang keras, bila didengar dari nada pembicaraan manusia berkerudung itu, ternyata ayah angkatnya memang seseorang yang sangat jahat! Atau paling tidak dia adalah manusia yang tidak benar tingkah lakunya. Kalau bukan begitu, mengapa bisa menimbulkan pandangan hina dari orang ini. Saking goncangnya perasaan hati yang dialaminya saat itu, tanpa terasa tubuhnya bergetar keras. Tampaknya manusia berkerudung itu terperanjat, sambil menepuk tubuhnya dia menegur, "Kau sudah mendusin?" Lan Giok-keng tidak menjawab, cepat dia mengatur napasnya dan pura-pura masih tertidur nyenyak. Manusia berkerudung itu segera mentertawakan dirinya yang banyak curiga, gumamnya lagi, "Lebih baik biar kubangunkan dia lebih awal saja. Aaai, bocah yang patut dikasihani!"
Lan Giok-keng merasa telapak tangannya di tempelkan ke punggungnya lalu terasa ada aliran hawa panas menyusup masuk ke dalam tubuhnya, membuat sekujur tubuhnya terasa panas sekali. Perutnya jadi kembung bagai balon yang diisi hawa, begitu menggelembung seluruh pori-pori tubuhnya, membuat dia seolah mau meletup saja. Hawa panas yang menyusup ke dalam tubuhnya makin lama semakin bertambah kuat. Sambil menggertak gigi Lan Giok-keng mencoba untuk bertahan, tapi akhirnya dia tidak kuasa menahan diri dan mulai merintih. "Bocah yang tidak kenal tingginya langit tebalnya bumi!" bentak manusia berkerudung itu nyaring, "baru menerima sedikit siksaan saja sudah tidak tahan, begitu masih berani membela orang lain!"
"Cepat bunuhlah aku,” rintih Lan Giok-keng, "bila kau tidak membunuhku, pada akhirnya aku pun akan membalaskan dendam atas kematian Hwee-ko Thaysu!" Sebetulnya yang dimaksudkan manusia berkerudung sebagai orang lain adalah Bouw It-yu, siapa tahu Lan Giok-keng ternyata masih mendendam terus atas serangan gelapnya terhadap Hwee-ko Thaysu.
Diam-diam manusia berkerudung itu menghela napas panjang, dalam waktu sekejap pelbagai ingatan melintas dalam benaknya, "Bagaimana pun aku bersikap baik terhadapnya, belum tentu bocah ini mau menerima niat baikku. Kalau aku tidak membunuhnya, dikemudian hari bisa jadi dia akan mendatangkan bencana bagiku!"
"Aaah tidak, tidak! Aku membunuh Hwee-ko Thaysu karena terpaksa, aku tidak boleh menciptakan dosa besar lagi? Apalagi aku menyaksikan bocah ini sejak kecil hingga tumbuh jadi dewasa!"
"Kini sebelah kakiku sudah melangkah masuk ke dalam peti mati, sekalipun nanti bakal muncul bencana, kenapa musti kumasukkan ke dalam hati!"
"Sampai mimpi pun bocah ini tidak bakal menduga siapakah aku, buat apa aku musti takut? Dia adalah cucu murid yang paling disayang Bu-siang Cinjin, seluruh pengharapan Bu-siang Cinjin untuk kemajuan dan kejayaan Bu-tong-pay pun tertumpu pada dirinya, aaai.... budi kebaikan Bu-siang Cinjin tidak mungkin bisa kubalas, satu-satunya jalan yang bisa kulakukan hanyalah membantu dia untuk mewujudkan cita-cita dan pengharapannya. Asal bocah ini tidak menyia-nyiakan harapan Bu-siang Cinjin, biarpun di kemudian hari aku harus mati ditangannya pun, kematianku terhitung cukup berharga!"
Berpikir begitu, hawa pembunuhan yang semula muncul pun kini kian memudar, namun dia tetap berlagak berniat jahat, katanya sambil tertawa dingin, "Hmm, aku sengaja tidak akan membunuhmu, aku sengaja akan menyiksamu! Hehehe.... bukankah Sim-hoat tenaga dalam Bu-tong-pay paling mengutamakan cara menggiring hawa murni? Kenapa? Rupanya hanya bualan belaka? Hmmn, dasar bocah yang tidak punya rejeki, rasakan saja siksaan itu perlahan-lahan!"
Di tengah tawa dinginnya yang menyeramkan, manusia berkerudung itu pergi dari tempat itu. Namun dari suara tertawa dingin orang itulah, tiba-tiba Lan Giok-keng menyadari akan sesuatu. "Dia sengaja menyinggung soal Sim-hoat tenaga dalam perguruanku, jangan-jangan dia memang secara khusus menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh-ku dengan tujuan untuk membantu aku meningkatkan tenaga dalam yang kumiliki? Tapi dia telah membunuh Hwee-ko Thaysu, mengapa masih bersikap begitu baik kepadaku?"
Pelbagai kecurigaan dan teka-teki menyelimuti benak Lan Giok-keng, tapi rasa panas yang menusuk tubuh benar-benar membuatnya tidak kuasa menahan diri, dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mencoba untuk mengatur napas. Kali ini dia mencoba mengerahkan Sim-hoat tenaga dalam perguruannya, benar saja hawa panas yang menusuk tubuhnya lambat laun mulai beredar menurut garisnya, setetes demi setetes terhitumpun ke dalam Tandan, setiap kemajuan yang berhasil diraih membuat penderitaannya lebih ringan dan memudar. Di saat dia sedang berkonsentrasi mengatur penafasan, mendadak terdengar suara seseorang yang dikenalnya berkumandang memecahkan keheningan, "Piauko, Piauko!" Ternyata Seebun Yan yang sedang mencari kakak misannya telah melacak hingga ke puncak bukit itu. Lan Giok-keng pernah bertemunya satu kali ketika masih berada di Toan-hun-kok, waktu itu Seebun Yan pun sedang mengejar Piauko nya.
Diam diam Lan Giok-keng tertawa geli, pikirnya, 'Sungguh tidak nyana walaupun sudah dikejar hingga ke Liauw-tong pun, dia masih belum berhasil menyusulnya. Konon dia binal dan susah diatur, apa mau dikata justru benda yang paling ingin diperolehnya susah didapat, benar-benar mengenaskan'
Belum lagi ingatan itu melintas lewat, mendadak terdengar seseorang berkata, "Benar-benar gadis cilik yang patut dikasihani, apakah Piauko mu sudah tidak maui dirimu lagi?"
Nada ucapan itu penuh dengan nada ejekan dan sindirian, tapi nadanya manja dan amat merdu di dengar. Tidak perlu dilihatpun Lan Giok-keng sudah tahu, siapa gerangan yang telah muncul. Tidak salah lagi, yang muncul adalah si lebah hijau Siang Ngo-nio.
Wajah merah padam Seebun Yan, bentaknya, "Kau tidak usah ngaco belo, urusanku tidak perlu kau campuri!"
Sesungguhnya, ilmu silat yang dimiliki Siang Ngo-nio tidak terhitung tinggi, tapi dia kekasih gelap Tong Ji-sianseng, kepandaiannya menggunakan racun pun berhasil dipelajari dari rahasia ilmu silat keluarga Tong. Biarpun Seebun Yan terhitung gadis yang tidak takut langit dan bumi, namun terhadap perempuan ini sedikit banyak dia menaruh perasaan jeri juga. Sambil tertawa terkekeh kembali Siang Ngo-nio berkata, "Siapa yang ngaco belo? Aku sedang bicara serius dan sejujurnya. Dalam kepandaian lain, mungkin Lonio tidak berani bicara besar, tapi masalah ilmu menggaet lelaki, kau harus mengangkat ku sebagai gurumu. Atau bila kau mohon bantuanku, aku pun bersedia memberikan bantuannya!"
"Tidak tahu malu!" tidak tahan Seebun Yan mengumpat.
Siang Ngo-nio segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak. Seebun Yan jadi keheranan, tegurnya, "Apa yang kau tertawakan? Aku tidak punya waktu menemanimu gila, minggir, biar aku lewat!"
Siang Ngo-nio telah menghadang jalan perginya, setelah tertawa sesaat dia baru berhenti sambil berkata, "Tahukah kau, memaki aku sama halnya kau sedang memaki ibu kandungmu sendiri!"
Kontan Seebun Yan naik pitam, sesungguhnya dia menaruh berapa bagian perasaan jeri terhadap Siang Ngo-nio, tapi kini dengan wajah memerah umpatnya, "Dasar perempuan cabul yang tidak tahu malu, hmm, perempuan busuk macam kaupun berani membandingkan diri dengan ibuku.”
"Hahahaha.... kau jangan membuat aku sakit perut lantaran tertawa geli,” jengek Siang Ngo-nio sambil tertawa tergelak, "kau sangka ibumu benar-benar wanita suci yang setia pada suami? Terus terang, akupun merasa kalah jauh bila dibandingkan dengan kemampuannya menggaet suami orang. Hanya saja, bila dugaan-ku tidak salah, selama berada dihadapanmu, dia pasti berlagak sok suci, karena itu aku pun tidak bakal menyalahkan dirimu.”
Paras muka Seebun Yan berubah jadi hijau membesi saking marahnya, "sreeet!" dia mencabut keluar pedangnya kemudian bentaknya nyaring, "Kalau kau berani bicara sembarangan lagi, segera kubunuh dirimu!"
Siang Ngo-nio gelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas, katanya, "Kasihan, sungguh kasihan, ternyata kau telah dikelabuhi ibumu sendiri selama hampir dua puluh tahun lamanya! Apakah kau ingin mengetahui apa yang sedang dilakukan ibumu sekarang? Dia sedang mengada kan pertemuan gelap dengan anak jadahnya! Bila kau tidak percaya, ayoh kuajak kau untuk melihatnya. Bila perkataanku terbukti bohong, bunuh saja diriku!"
Paras muka Seebun Yan merah membara, amarahnya benar-benar memuncak, sambil melancarkan sebuah tusukan kilat, bentaknya, "Siluman perempuan, rupanya kau ingin masuk neraka dengan lidah terbetot. Hmmm, biar aku tidak mampu membunuhmu, ibuku pasti akan menjagal nyawamu!"
"Hahahaha.... terima kasih atas peringatanmu,” kembali Siang Ngo-nio tertawa terkekeh, "sejujurnya aku memang bukan tandingan ibumu.”
Seebun Yan bukan gadis bodoh, dari nada ucapan Siang Ngo-nio dia segera tahu kalau perempuan beracun ini berniat menangkapnya sebagai sandera.
Betul saja, dengan ilmu Liong-heng-cuan-ciang (pukulan terobosan naga) Siang Ngo-nio mencengkeram jalan darah Cian-keng-hiat diatas bahunya. Sadar kalau dirinya bukan tandingan lawan, sebetulnya Seebun Yan berniat meminjam nama besar ibunya untuk menggertak pergi perempuan itu, siapa sangka hasil yang diperoleh justru kebalikannya.
Dasar dia seorang gadis cerdas yang banyak akal, cepat dia berpikir, "Bila dia ingin menangkapku sebagai sandera, berarti nyawaku pasti tidak berani diusiknya!"
Jalan darah Cian-keng-hiat berada dilekukan tulang Pi-pa-kut, menurut keadaan pada umumnya, saat Siang Ngo-nio mencengkeram ke bagian tubuhnya yang mematikan, gadis itu seharusnya segera berkelit ke samping. Waktu itu pukulan Siang Ngo-nio telah memblokir semua jalan perginya, mau berkelit ke arah mana pun, Siang Ngo-nio dapat merampas pedangnya.
Begitu senjata terlepas, dapat dipastikan gadis itu akan terjatuh ke tangan Siang Ngo-nio. Seebun Yan yakin kalau perempuan itu tidak bakal berani menghancurkan tulang Pi-pa-kut nya, maka bukannya mundur dia malah merangsek maju ke depan, dengan jurus Hian-nio-hua-sah (burung hitam mendayung pasir) dia menghadang pergelangan tangan lawan.
Ternyata perkiraannya tidak salah, Siang Ngo-nio benar-benar tidak berani turun tangan telengas, perlu diketahui, bila tulang Pi-pa-kut seseorang sampai tercengkeram hancur, dia bakal menderita cacat seumur hidup, menghancurkan tulang Pi-pa-kut lawan hampir sama seperti telah mencelakai jiwanya. Padahal Siang Ngo-nio bermaksud menggunakan Seebun Yan sebagai sandera lalu mengompas Seebun-hujin, tentu saja dia tidak berani bertindak kelewat telengas.
Begitu dia ragu-ragu, cahaya pedang Seebun Yan segera menyambar lewat dan merobek sebagian dari pakaian yang dikenakan. Masih untung dia menarik tangannya dengan cepat, kalau tidak, ke lima jari tangannya mungkin sudah terpapas kutung.
Seebun Yan kuatir dia menggunakan senjata rahasia beracun, maka begitu berhasil dengan serangan pertamanya, kembali dia mencecar dengan serangkaian serangan yang cepat bagaikan sambaran kilat.
Tampaknya Siang Ngo-nio dapat membaca jalan pikirannya, sambil tertawa serunya, "Sebetulnya ilmu pedang Tui-hong-kiam-hoat dari keluarga Seebun sangat hebat, sayang kau baru belajar tentang kecepatan, hmmm! Kau kira dengan melancarkan serangkaian serangan kilat, lantas aku tidak bisa melepaskan senjata rahasiaku? Kalau kulukai dirimu dengan senjata rahasia, kau pasti kalah dengan perasaan tidak puas, biar kuimbangi pertarungan ini dengan menggunakan senjata saja.”
Sementara berkata, dia telah bergeser posisi ke samping, begitu tusukan pedang Seebun Yan mengenai sasaran kosong, tahu-tahu sepasang goloknya telah tergenggam ditangan. Sebagaimana diketahui, golok Wan-yo-to yang dia gunakan adalah sebilah golok panjang dan sebilah golok pendek, yang panjang dipakai untuk melindungi tubuh sementara yang pendek dipakai untuk menyerang musuh.
Berbicara soal kehebatan ilmu pedang, seharusnya ilmu yang dimiliki Seebun Yan tidak kalah dari musuhnya, namun masalah pengalaman menghadapi musuh serta ilmu meringankan tubuh dia masih kalah setingkat.
Begitu Siang Ngo-nio merangsek maju, jurus serangan yang dilancarkan Seebun Yan seketika terbendung semua oleh permainan golok panjangnya, menggunakan kesempatan itu golok pendeknya menerobos masuk menyerang.
Seebun Yan benar-benar keteter hebat, kini dia sudah tidak sanggup lagi membendung datangnya serangan dari pihak lawan.
Dalam pada itu serangan yang dilancarkan Siang Ngo-nio semakin lama semakin garang dan dahsyat, Seebun Yan hanya merasakan golok pendek itu selalu menyambar di depan mukanya. Tidak selang berapa saat kemudian, dia sudah semakin terdesak, permainan pedangnya makin kalut, posisinya semakin kacau dan terdesak di bawah angin.
Lan Giok-keng yang berada dibelakang batu cadas hanya bisa mendengar suara benda tajam yang saling beradu, suara bentrokan yang memekakkan telinga itu membuat bocah ini tanpa sadar mengucurkan keringat dingin.
Diam-diam pikirnya, 'Biarpun tabiat nona ini kasar, binal dan sukar diatur, bagaimana pun dia adalah sahabat ciciku, aku tidak boleh berpeluk tangan saja tanpa berusaha menolongnya.' Tapi gumpalan hawa panas yang mengeram dalam lambungnya baru separuh yang terserap masuk ke dalam tan-tian, keadaannya waktu itu tidak berbeda seperti orang yang sedang panas tinggi, biarpun punya niat namun sama sekali tidak bertenaga. Dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa dia hanya bisa duduk tenang sambil menanti.
Tiba-tiba terdengar lagi suara bentrokan senjata yang amat nyaring, namun suara deruan golok sama sekali tidak terdengar lagi. Begitu mendengar ini Lan Giok-keng segera tahu kalau Seebun Yan sedang menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat. Dalam hati diam-diam dia berpikir, "Sayang, sayang dia tidak tuntas mempelajarinya, bahkan setengah dari kemampuan piauko nya pun belum tercapai.”
Entah mengapa, Siang Ngo-nio justru kelihatan sangat terperanjat, jeritnya keras, "Kau.... ternyata kaupun bisa menggunakan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat!" Dibalik jeritan kaget, terselip pula perasaan jengkel dan mendongkol, malah terdengar pula rasa cemburu, sedih yang amat mendalam. Seebun Yan yang menyaksikan kejadian itu jadi keheranan, pikirnya, 'Aku belum mampu tarung berimbang melawannya, kenapa dia nampak sangat ketakutan? Masa dia dibikin keder oleh nama besar Thay-kek-kiam-hoat? Padahal aku hanya bisa menggunakan tapi belum berhasil menyelaminya.
Baiklah, kalau begitu biar aku takut-takuti dirinya.' Maka dengan berlagak bangga segera bentaknya lagi, "Siluman perempuan, sudah tahu kelihayanku bukan? Hmm, yang lebih hebat masih ada di belakang!"
"Baiklah, kalau begitu keluarkan juga jurus jurusmu yang lebih lihay!" kata Siang Ngo-nio dingin. Secara beruntun Seebun Yan melancarkan beberapa jurus serangan dengan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, walaupun hampir semua serangannya berhasil dipunahkan Siang Ngo-nio, namun kini keadaannya sudah jauh lebih mendingan, selain bertahan diapun dapat melancarkan serangan balasan.
"Apakah ilmu pedang ini kau pelajari dari ibumu?" tiba-tiba Siang Ngo-nio bertanya. "Kalau benar kenapa? Apa yang kupelajari belum lagi satu bagian dari kemampuan yang dimiliki ibuku!" Siang Ngo-nio menghela napas panjang.
"Aaaai.... aku percaya dengan perkataanmu itu.” katanya. Mendadak dia mengumpat, "Tidak tahu malu!"
"Siapa yang kau maki tidak tahu malu!" teriak Seebun Yan gusar.
Siang Ngo-nio melotot besar, lama kemudian dia baru menghela napas lagi. "Betul, aku memang tidak pantas memaki ibumu, aku seharusnya mengumpat manusia yang tidak punya perasaan itu!"
Ternyata dia jengkel kepada Bouw Ciong-long karena tidak pernah mengajarkan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat kepadanya, sementara Seebun-hujin diajari secara khusus.
Sebetulnya Seebun Yan kebingungan setengah mati, dia tidak habis mengerti melihat ulah lawannya yang aneh, tapi setelah melihat otot hijau di wajah Siang Ngo-nio pada menonjol keluar, sepasang matanya merah membara dan wajahnya diliputi hawa napsu membunuh, rasa takut tiba-tiba mencekam hatinya, begitu melancarkan sebuah serangan tipuan, cepat dia membalikkan tubuh siap melarikan diri.
"Mau kabur ke mana kau!" bentak Siang Ngo-nio keras, golok panjangnya segera diputar balik, lalu dengan memakai gagang goloknya dia sodok jalan darah tertawa dipinggang lawan.
Seebun Yan tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa terbahak-bahak, tertawa sampai tubuhnya jadi lemas dan kakinya mulai limbung.
"Roboh kau!" bentak Siang Ngo-nio lagi.
Siapa tahu bukan saja Seebun Yan tidak roboh, malah dia berdiri stabil dan suara tertawanya seketika terhenti. Menghadapi perubahan yang sama sekali diluar dugaan ini, Siang Ngo-nio merasa tercengang, padahal saat itu Seebun Yan pribadi jauh lebih terkejut dari pada dia.
Ternyata sewaktu bersiap kabur tadi, secara kebetulan Seebun Yan lari menuju ke batu karang dimana Lan Giok-keng sedang menyembunyikan diri. Maka secepat kilat bocah itu mengulurkan tangannya untuk menahan pinggang si nona. Saat itu delapan bagian tenaga murni yang disalur kan manusia berkerudung itu sudah meresap di dalam tubuhnya, sisanya yang dua bagian langsung tercecer keluar, satu bagian dipakai untuk menahan pinggang Seebun Yan sementara bagian yang lain menyusup ke dalam tubuh gadis itu dan menerjang jalan darah Ih-khi-hiat nya. Jalan darah Seebun Yan yang tertotok pun seketika terbebaskan! Hanya saja diapun tidak kuasa menahan rasa sesak yang mendadak menyumbat dadanya, ketika menjumpai Lan Giok-keng, dia seperti tidak mampu tertawa lagi, mau bicara pun tidak sanggup.
Ketika Lan Giok-keng membaringkan badannya, dia pun roboh terkapar diatas tanah dengan lemas. "Siapa yang bersembunyi disana, cepat menggelinding keluar!" bentak Siang Ngo-nio.
Dengan mata melotot besar Lan Giok-keng menampilkan diri, jengeknya sambil tertawa dingin, "Perempuan siluman, biar kau tidak mencari akupun aku sedang mencarimu. Pentang matamu lebar lebar, perhatikan siapakah aku!"
Begitu tahu orang yang munculkan diri adalah Lan Giok-keng, Siang Ngo-nio segera merasakan hatinya tenang kembali, dia segera tertawa terkekeh-kekeh. "Hahahaha.... rupanya anak kesayanganku, anak tersayang, cepat panggil ibu. Asal kau bersedia mengangkat aku sebagai ibu angkatmu, akan kuampuni budak cilik yang kau sukai itu.” "Dasar perempuan siluman yang tidak tahu malu!" umpat Lan Giok-keng penuh amarah. Cepat tubuhnya melambung, mencabut pedang, mengumpat dan melancarkan serangan, berapa tindakan itu dilakukan sekaligus nyaris bersamaan waktu.
Ketika baru turun dari bukit Bu-tong, Lan Giok-keng sudah pernah bersua Siang Ngo-nio di tengah jalan bahkan tertawan, peristiwa itu berlangsung baru pada berapa bulan berselang. Jadi Siang Ngo-nio tidak menyangka kalau baru berpisah berapa bulan, ternyata ilmu silat yang dimiliki bocah itu telah mengalami kemajuan yang amat pesat.
"Traaangg!" golok pendek Siang Ngo-nio terpental hingga jatuh ke tanah, sementara ujung pedang Lan Giok-keng secepat petir langsung menutul urat nadinya. Buru-buru Siang Ngo-nio membuang tubuhnya ke samping dengan gerakan VVan-yo-si-liu (membungkuk pinggang memetik pohon liu), sementara golok panjangnya melakukan tangkisan, perpaduan gerakan tubuh dengan ilmu golok yang sangat indah. Sebenarnya tangkisan itu sudah cukup untuk membendung serangan ganas pihak lawan, siapa tahu sebelum ujung pedang Lan Giok-keng menyentuh urat nadinya, hawa pedang yang kuat seketika membuat pergelangan tangannya lamat-lamat terasa linu dan kaku. "Traang....!" begitu golok dan pedang saling membentur, lagi-lagi golok panjang di tangan Siang Ngo-nio terlepas dari genggamannya. Menyaksikan sorot matanya yang berapi api dan sepak terjangnya yang garang, tanpa terasa Siang Ngo-nio jadi sedikit ketakutan, segera bentaknya, "Kalau enggan menjadi putraku yaa sudah, memang ada dendam sakit hati apa antara kau dengan aku?"
Dengan sepenuh tenaga dia melompat, melejit, menghindar, menyusup berusaha untuk meloloskan diri dari ancaman maut, sayang belum selesai dia berkata, lagi lagi....” Triiing! Tusuk konde yang menancap diatas rambutnya kembali sudah terpapas kutung. Siang Ngo-nio malah merasakan juga hawa dingin yang membabat persis diatas kulit kepalanya. Sambil menggigit bibir bentak Siang Ngo-nio, "Dasar tidak tahu kebaikan orang, akan kusuruh kau rasakan kelihayan lonio!" Sambil berkata dia mengayunkan tangannya, di hadapan Lan Giok-keng segera muncul selapis kabut asap tebal berwarna keabu-abuan. Ternyata di balik ujung bajunya tersimpan bubuk pembingung sukma yang dapat merobohkan orang. Sayang, walaupun Lan Giok-keng merasakan kepalanya agak pening, namun dia sama sekali tidak roboh ke tanah. Bocah itu hanya seperti lelaki mabok, langkah kakinya gontai dan agak sempoyongan, namun tetap menempel terus di belakang musuhnya dan tetap melakukan pengejaran.
Sebetulnya ilmu pedang yang dia kuasai pada mulanya lebih menitik beratkan pada kekuatan otot, namun sesudah mendapat petunjuk dari Hwee-ko Thaysu, kepandaiannya mengalami kemajuan lagi satu tingkat, kini dia sudah pandai mengalihkan kekuatan ototnya dengan lebih menitik beratkan pada tehnik dan akal. Kini dengan langkah delapan dewa mabok dia bergerak kian kemari sambil merangsek terus ke depan, begitu gencar tekanan yang dilakukan membuat Siang Ngo-nio benar-benar terdesak dan keteter hebat.
Diam-diam Siang Ngo-nio mengeluh, segera bentaknya, "Lan Giok-keng, kau jangan percaya akan perkataan orang, aku bukan musuh besarmu!" Perempuan ini sudah terbiasa memandang suatu masalah dari sudut untung rugi bagi diri sendiri, begitu Lan Giok-keng meneternya terus menerus, otomatis timbul perasaan curiga dihati kecilnya. Tergerak perasaan Lan Giok-keng setelah mendengar ucapan itu, sengaja dia mendengus, sahutnya dingin, "Perempuan siluman, tanganmu sudah penuh berpelepotan darah, tidak usah aku berbicarapun seharusnya kau sudah memahami sendiri!"
Keterlibatan Siang Ngo-nio di dalam berapa kasus pembunuhan yang menimpa beberapa orang jago Bu-tong-pay diketahui Lan Giok-keng dari pembicaraannya dengan Bu-si tianglo, sekarang dia sengaja mengungkapnya secara sekilas, tujuannya tidak lain karena ingin menyelidiki reaksinya. Bila berada dalam keadaan biasa, tentu saja Siang Ngo-nio tidak bakalan masuk perangkap, tapi saat ini dia sedang terdesak hebat, bukan saja kerepotan menghadapi serangan lawan, pikirannya pun ikut kalut, tanpa sadar segera teriaknya, "Bukan aku yang membunuh ayahmu, akupun tidak membunuh ibumu, buat apa kau merecoki aku terus seperti sukma penasaran?" Sekalipun Lan Giok-keng berniat melakukan penyelidikan, namun mimpi pun dia tidak menyangka akan memperoleh hasil seperti itu. Ketika berjumpa cicinya di lembah Toan-hun-kok, dari mulut kakaknya dia sudah tahu kalau si Lebah hijau Siang Ngo-nio pernah mendatangi rumah mereka dan memaksa orang tuanya untuk menyerahkan dia. Untung nya Put-hui suthay datang tepat waktu sehingga berhasil memaksa Siang Ngo-nio kabur dan orang tuanya tidak sampai menderita luka.
"Jangan-jangan aku masih mempunyai orang tua lain?" dalam waktu seketika, pelbagai kecurigaan serta kesangsian yang mengendap di dasar hatinya selama ini mulai terapung di permukaan, hal mana membuat hatinya semakin kalut bahkan nyaris membuatnya tertegun. Menggunakan kesempatan itu Siang Ngo-nio melepaskan sebutir peluru asap, di bawah perlindungan kabut asap yang tebal, dia segera melarikan diri.
Dengan sepenuh tenaga Lan Giok-keng melepaskan pukulan demi pukulan untuk menyapu kabut asap yang menyelimuti sekeliling tempat itu, menanti kabut mulai buyar, dia baru seolah mendusin dari impian. Lamat-lamat dia mendengar di belakang tubuhnya bergema suara orang merintih, saat itulah dia baru teringat kalau Seebun Yan masih berada di bekas tempat persembunyiannya. Ternyata saat itu Seebun Yan benar-benar sudah letih dan kehabisan tenaga, karena dibalik kabut tebal itu mengandung bubuk pemabok dari Siang Ngo-nio, kendatipun tubuhnya bersembunyi dibelakang batu karang, tidak urung ada sedikit asap racun yang menyusup ke dalam tubuhnya. Padahal sisa tenaga dalam yang dimiliki saat itu sudah tidak cukup untuk melawan serangan itu. Dalam keadaan kritis, terpaksa dia hanya bisa menggigit ujung lidahnya, berusaha agar dirinya tidak sampai roboh tidak sadarkan diri.
Lan Giok-keng sendiri meski pandai ilmu pertabiban, namun dia sama sekali tidak tahu bagaimana cara untuk memunahkan racun. Yang bisa dilakukan sekarang hanya berjongkok di samping Seebun Yan dan membiarkan gadis itu bersandar ke tubuhnya sehingga tubuhnya tidak sampai berguling di tanah yang berakibat terluka. Untung saja kabut beracun yang terhisap oleh Seebun Yan tidak terlalu banyak sehingga dia tidak sampai roboh tidak sadarkan diri. Tatkala melihat gadis itu menggerakkan bibirnya, cepat Lan Giok-keng menempelkan telinganya dekat dengan bibir dan mencoba menangkap apa yang sedang dia katakan. Dengan suara yang lemah dan lirih, bagaikan suara angin yang menggoyangkan ranting liu, dia berbisik, "Bi-leng-wan, Bi-leng-wan....” Apa yang dimaksud Bi-leng-wan?
"Pil Bi-leng-wan yang terbuat dari Thian-san-soat-lian, pil itu.... pil itu berada di....” Seketika Lan Giok-keng menjadi paham, teratai salju dari gunung Thian-san memang berkhasiat memunahkan pelbagai racun, boleh dikata setiap umat persilatan mengetahui akan hal ini. "Aku tahu, pil itu adalah pil mestika yang dapat memunahkan racun,” kata Lan Giok-keng, "konon teratai salju dari gunung Thian-san adalah barang langka yang susah diperoleh, kau telah menggunakan bahan itu untuk membuat pil Bi-leng-wan?"
"Yaa.... pil itu berada.... berada di saku ku!" Seebun Yan berkata dengan terbata-bata, satu kalimat yang pendek dia harus membaginya jadi tiga bagian, bahkan selesai bicara, napasnya semakin tersengkal. Dalam keadaan begini, dia hanya bisa menempel semakin lekat di tubuh pemuda itu. Tapi pil Bi-leng-wan berada disakunya, inilah masalah yang membuatnya kesulitan. Sejak dilahirkan, baru pertama kali ini dia berdekatan begitu mesra dengan seorang lawan jenis, tubuh yang halus, lembut, hangat ternyata menempel di tubuhnya, kulit bertemu kulit, badan bersentuhan dengan badan, ke semuanya ini sudah cukup membuat wajahnya berseru merah dan jantungnya berdebar keras. Dan kini, pil Bi-leng-wan ternyata berada dalam sakunya. Seebun Yan menanti berapa saat, ketika tidak merasakan pemuda itu melakukan tindakan berikut, dia pun berseru gusar, "Hey setan cilik, ciut amat nyalimu.... tidak usah menghindar lagi....”
Merah padam selembar wajah Lan Giok-keng, terpaksa dia masukkan tangannya ke dalam pakaian gadis itu, dari balik saku yang berada di pakaian dalamnya dia berhasil menemukan sebuah botol perak kecil, di dalam botol itu terdapat berapa butir pil berwarna merah. "Apakah yang ini?"
"Benar, cepat lolohkan ke mulutku.” Pil semacam ini harus dimamah dulu sebelum ditelan, dengan begitu daya kerja obat baru bereaksi lebih cepat. Tapi keadaan si nona saat ini amat lemah, jangan lagi menghancurkan pil tersebut, membuka mulut pun sudah tidak mampu. Sambil membopong tubuhnya, Lan Giok-keng merasakan hatinya goyah, jari tangannya gemetar, nyaris botol itu terjatuh dari genggamannya.
"Ini masalah nyawa, aku harus segera menolongnya,” demikian dia berpikir, "baiklah, biar kuanggap dia seperti ciciku sendiri.” Maka dia pun menggigit hancur sebutir pil Bi-leng-wan, kemudian dilolohkan ke mulut gadis itu. "Butuh berapa butir?"
"Cukup sebutir.” Seebun Yan bersandar lemas dalam pelukannya, tapi air mukanya mulai nampak secercah cahaya kemerahan. Bi-leng-wan memang nyata sebagai pil pemunah racun yang amat tangguh, daya kerjanya sangat cepat. Tidak sampai setengah batang hio kemudian, Seebun Yan telah pulih kembali kekuatan tubuhnya, dia bangkit dari pelukan Lan Giok-keng, duduk bersila dan berbisik, "Terima kasih banyak!"
Mukanya yang semula pucat pasi, kini mulai nampak memerah dan segar kembali. "Tidak perlu berterima kasih. Kau adalah sahabat ciciku, jadi sudah sepantasnya bila aku membantumu,” sahut Lan Giok-keng.
"Ooh, kau adalah adik Sui-leng, kau bernama Lan Giok-keng?"
"Betul. Kita pernah berjumpa ketika masih di lembah Toan-hun-kok. Aku juga tahu kalau kau adalah Toa-siocia dari keluarga Seebun.”
Lang Giok-keng tidak habis mengerti, mengapa dia ajukan perkataan semacam itu padahal sebelumnya sudah tahu. Tiba-tiba Seebun Yan tertawa cekikikan.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Lan Giok-keng tak habis mengerti. "Kau tidak seharusnya memanggil aku Toa-siocia. Tahukah kau kalau aku sudah mengangkat saudara dengan cici mu?"
"Lantas kenapa?"
"Lantas kenapa, kalau cici mu memanggil cici kepadaku, coba jawab kau harus memanggil apa kepadaku? Kau musti menyebut aku Lo-toaci!"
"Aku lihat usiamu paling lebih tua sedikit ketimbang aku,” sahut Lan Giok-keng pura-pura serius, "lebih baik aku memanggil cici saja kepadamu. Kalau musti ditambah kata 'lo' tua.... aku mah tidak berani melakukannya.” Kontan Seebun Yan tertawa.
"Tidak nyana masih muda usia sudah pandai bicara manis,” serunya, "aku dua tahun lebih tua dari cicimu, tahun ini berapa usiamu?"
"Aku dilahirkan pada tahun, bulan dan tanggal yang sama dengan cici, sudah tujuh belas tahun.”
"Oooh, rupanya kalian saudara kembar? Eeei, rasanya aneh sekali.”
"Apanya yang aneh?"
"Orang bilang wajah saudara kembar pasti mirip satu dengan lainnya, aku lihat kau sedikitpun tidak mirip dengan wajah cicimu!" Lan Giok-keng jadi teringat kembali dengan ledekan dan ejekan para Suheng-te nya sewaktu masih berada di gunung Bu-tong, pikirnya, 'Kalau ditinjau dari apa yang dia katakan sekarang, berarti isu yang beredar selama ini bukannya muncul tanpa sebab. Sayang tadi aku tidak berhasil membekuk perempuan siluman itu.'
Maka sambil tertawa paksa katanya, "Segala macam persoalan tentu ada pengecualian, ayah bilang aku mirip dengan engku, cici mirip ibu. Apa anehnya akan hal ini?" Seebun Yan seperti ada yang sedang dipikirkan, selang berapa saat kemudian ia baru berkata, "Perlakuan cicimu terhadap dirimu sungguh baik sekali, selama tinggal di rumahku, hampir setiap hari dia selalu ribut merindukan dirimu. Aaai.... kau punya cici, kau jauh lebih hokki ketimbang diriku. Sementara Aku hanya hidup sebatang kara, tidak punya saudara laki-laki, tidak punya saudara perempuan!"
"Bukankah kau pun mempunyai seorang piauko?" entah mengapa tiba-tiba Lan Giok-keng nyelutuk. Tapi begitu ucapan tersebut diutarakan, dia baru tersadar, tidak seharusnya mengungkit kembali luka hatinya. Benar saja, paras muka Seebun Yan kontan berubah jadi gelap, serunya, "Tidak usah mengungkit dia lagi, kapan dia pernah menganggapku sebagai orang dekatnya? Hmm, dia tidak ambil perduli diriku, aku pun tidak butuh dirinya.”
Lan Giok-keng tidak berani memberi komentar, dia terbungkam dalam seribu bahasa. Baru saja Seebun Yan menyinggung soal "tidak usah mengungkit dia lagi", tapi malah dia pula yang segera mengungkitnya kembali, "Piauko seringkali jalan bersamamu, tahukah kau dia hendak ke mana?"
"Aku sendiripun baru bertemu dia di puncak bukit itu,” kata Lan Giok-keng, "kedatangannya hanya setengah jam lebih awal daripada kedatangan kalian. Tapi begitu melihat kemunculan kau berdua, dia langsung angkat kaki kabur dari sini, jadi aku sendiripun tidak tahu hendak kemana dirinya.”
Begitu menyinggung soal 'kalian', Seebun Yan seolah baru mendusin dari impian, dia mulai teringat dengan Bouw It-yu yang datang ke Liauw-tong bersama dia. "Kemana perginya Bouw-susiokmu? Apakah dia pun berada diatas bukit itu? Kenapa kau datang kemari seorang diri?"
"Aku tidak tahu.”
"Aku masih ingat,” ujar Seebun Yan keheranan, "ketika aku menyusul Piauko, dia sedang berada disini mengajakmu berbicara, mana mungkin kau tidak tahu?"
"Tidak lama setelah kepergian kalian, datang seorang manusia berkerudung. Ilmu silat yang dimiliki manusia berkerudung itu sangat lihay, biar aku bersama Bouw-susiok mengerubutinya tetap tidak berhasil mengalahkan dirinya. Kemudian aku dibanting sampai jatuh tidak sadarkan diri. Sewaktu mendusin kembali, tahu-tahu aku sudah berada disini.” Apa yang dia katakan memang semuanya merupakan kejadian nyata, tapi hanya separuh cerita yang dia sampaikan.
"Oooh, ternyata ada peristiwa seaneh ini, padahal jarak antara tempat kita berada sekarang dengan puncak bukit itu paling tidak mencapai tujuh, delapan li. Memangnya kau mimpi berjalan hingga tiba disini?"
"Aku sendiripun bingung dan tidak habis mengerti, mungkin saja ada orang yang memindahkan diriku kemari di saat aku sedang tidur terlelap.”
Padahal meski pada mulanya dia tidak sadarkan diri, namun diapun tahu kalau manusia berkerudung itulah yang telah memindahkan tubuhnya sampai disitu. Hanya saja dia tetap tidak habis mengerti, mengapa manusia berkerudung itu berbuat demikian.
Tampaknya Seebun Yan pun tidak berniat menyelidiki lebih jauh tentang kejadian aneh ini, apa yang dia pikirkan sekarang adalah "apa yang bisa diperbuat manusia berkerudung itu terhadap Bouw It-yu.”
Tiba tiba ia menjerit keras dengan nada terkesiap, "Pasti orang itu!"
"Kau pernah bertemu manusia berkerudung itu?" tanya Lan Giok-keng.
"Sehari sebelum aku dan Bouw It-yu tiba di kota Uh-sah-tin, di tepi jalan kami jumpai tulisan besar di atas baru cadas yang mencegah kami untuk melanjutkan perjalanan, tulisan itu berbunyi: bila tidak segera kembali, berarti mencari penyakit buat diri sendiri.
Kami tidak bertemu dengannya, tapi tahu kalau kungfu yang dimilikinya jauh diatas kemampuan kami berdua. Sebab selain meninggalkan tulisan peringatan itu, dia pun meninggalkan bekas telapak tangannya di atas batu cadas itu.”
"Aaai, kalau sampai Bouw It-yu bertemu dengan orang itu, aku kuatir.... aku kuatir bukan masalah saja yang dia jumpai. Kau saja sudah dibanting sampai pingsan, meski Bouw It-yu itu paman gurumu, dalam masalah ilmu silat, mungkin dia pun tidak lebih hampir sama dengan kemampuanmu!"
Ketika berbicara sampai disini, nada suaranya kedengaran mulai gemetar. Jelas dia sedang merasa takut bila Bouw It-yu bakal kehilangan nyawanya. Melihat itu, Lan Giok-keng pun berpikir, “Kusangka dalam hatinya hanya terdapat piauko nya seorang, ternyata rasa kuatir dan perhatiannya terhadap Siau-susiok pun sama sekali tidak berada di bawah perhatiannya terhadap sang piauko.”
Maka dengan nada menghibur segera katanya, “Orang baik selalu dilindungi Thian. Kau tidak perlu kelewat kuatir, Bouw-susiok pasti bisa lolos dari segala mara bahaya.” "Kau tidak merasa apa yang kau ucapkan hanya kata yang sama sekali tidak berguna?" bentak Seebun Yan gusar, "kecuali ada seseorang dengan ilmu silat jauh lebih hebat dari manusia berkerudung itu datang menyelamatkan jiwanya, kalau tidak, mana mungkin dia bisa lolos dari bahaya maut?" Lan Giok-keng tertawa.
"Aku tidak tahu apakah di tempat ini terdapat seseorang yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi daripada manusia berkerudung itu, tapi aku tahu sejak awal sudah ada orang yang datang membantunya.”
"Siapa dia?" buru-buru Seebun Yan bertanya.
"Rasanya seorang wanita.”
"Kalau benar katakan benar, kalau tidak katakan tidak, kenapa kau bilang sepertinya?"
"Waktu itu aku baru saja dibanting ke atas tanah oleh manusia berkerudung itu, aku hanya sempat mendengar suaranya tapi belum sempat melihat wajahnya, karena kesadaranku keburu hilang.”
"Perkataan apa yang diucapkan orang itu?"
"Suara itu datang dari tempat yang jauh, tapi begitu lembut dan halus sehingga enak didengar, kelihatannya dia sedang memanggil nama seseorang, tapi aku hanya sempat mendengar salah satu katanya saja.”
"Apa itu?"
"Kata Yan.” Seebun Yan seperti terperanjat, sesaat kemudian dia baru bertanya lagi, "Menurut dugaanmu dia adalah ibuku?"
"Aku harap dugaanku tidak salah, bagaimana menurutmu sendiri?" Seebun Yan tidak menjawab, wajahnya diliputi kebimbangan dan keraguan.
"Eeei, apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Lan Giok-keng. Seebun Yan memang sedang memikirkan sesuatu, tapi apa yang dipikirkan tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Karena dia teringat kembali dengan perkataan yang pernah diucapkan si Lebah hijau Siang Ngo-nio. Bukan saja perkataan tersebut tidak boleh diberitahukan kepada Lan Giok-keng, bahkan dia sendiripun merasa tidak pantas untuk membayangkan kembali ucapan tersebut.
"Mana boleh aku mempercayai perkataan perempuan siluman itu? Bouw It-yu adalah putra Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long, ibu pun perempuan keturunan keluarga kenamaan, hampir setiap umat persilatan mengetahui akan hal ini. Tidak pantas dia mengenakan topi hijau ini diatas kepalanya tanpa didasari bukti yang jelas.”
Biarpun jalan pikiran itu hanya 'ingatan sesaat' yang timbul dari hatinya, lagipula telah dipermak disana sini. Namun perumpamaannya tentang "asal usul yang tidak jelas" kedengaran amat tidak sedap dalam telinga. Waktu itu dia berkata secara terang terangan kalau Seebun-hujin sedang bertemu dengan anak jadahnya.
Menghadapi sinar mata penuh tanda tanya dari Lan Giok-keng, Seebun Yan segera tersadar kembali, sambil berlagak girang serunya kemudian, "Kecuali ibuku, Perempuan yang bisa membuat kabur manusia berkerudung dewasa ini rasanya tidak bakalan ada keduanya. Tapi apakah Bouw-susiok mu dalam keadaan sehat wal'afiat? Bagaimana kalau ku-temani kau balik ke sana?"
Seandainya bukan Seebun Yan yang memohon kepadanya, sejujurnya Lan Giok-keng tidak ingin balik lagi menengok Bouw It-yu. Entah mengapa, dia menaruh perasaan curiga bercampur takut yang aneh terhadap paman guru kecilnya ini. Lagipula dia sendiri masih ada tugas lain, harus berangkat ke kota Kim-leng untuk melacak dan menyelidiki teka teki seputar asal usulnya. Tapi dia tidak bisa memakai alasan itu untuk menampik permohonan dari Seebun Yan. Sementara dia masih sangsi, Seebun Yan telah berkata lagi sambil tertawa cekikikan, "Masa kau merasa malu berjalan bersama cici mu? Barusan saja kau malah sempat membopong dan memeluk ku.”
Gadis ini memang sudah terbiasa menuruti suara hati sendiri, di saat sedang bergembira, dia suka sekali bergurau, dan sekarang dia ingin sekali melihat wajah Lan Giok-keng yang malu tersipu-sipu. Dengan wajah merah padam terpaksa Lan Giok-keng menemani gadis itu balik kembali ke atas bukit.
Seebun-hujin tertidur sangat nyenyak, entah apakah dia sedang bermimpi indah, senyuman yang lembut dan ramah tersungging diujung bibirnya. Perasaan budi dan dendam bercampur aduk, walaupun hati kecil Bouw It-yu masih diselimuti perasaan benci, namun dia tidak berani menatap senyuman di wajahnya, cepat dia alihkan sorot matanya ke arah lain. Pedangnya telah dicabut keluar, namun tangan yang menggengamnya masih gemetar keras. Bila ingin membalaskan dendam bagi ibunya, inilah kesempatan terbaik baginya, tapi bolehkah dia berbuat begitu? Sementara pertarungan batin masih bergejolak, mendadak dia seperti mendengar suara helaan napas bergema dari luar sana. Cepat dia melangkah keluar dari gua, mencoba mendengarkan dengan seksama. Waktu itu fajar baru saja menyingsing, diantara lamat-lamatnya cuaca, dari puncak bukit berselimutkan salju di seberang sana terlihat ada berapa bayangan manusia sedang bergerak mendekat. Suara pembicaraan mereka pun telah terkirim datang oleh hembusan angin fajar dan terdengar ditempat itu. Terdengar suara seorang perempuan yang amat dikenalnya bergema tiba, "Tonghong Liang pernah membuat keonaran di gunung Bu-tong, tentu Thaysu telah mengetahuinya bukan? Tonghong Liang si bocah keparat itu masih tidak seberapa, aku justru kuatir bila ilmu pedang Seebun-hujin sudah jauh diatasnya.”
Bouw It-yu sangat terperanjat, ternyata perempuan itu tidak lain adalah si Lebah hijau Siang Ngo-nio. Menyusul kemudian terdengar suara seseorang yang bernada keras menyahut, "Aku hanya merasa sayang Seebun Mu telah mati.” Yang berbicara adalah seorang pendeta asing berbaju merah. Sebagaimana diketahui, Seebun Mu pernah menjadi Liok-lim Bengcu, dari nada pembicaraan pendeta asing itu bisa disimpulkan bahwa dia menganggap hanya Seebun Mu yang pantas menjadi musuhnya, sementara istri Seebun Mu sama sekali tak dipandang sebelah mata pun olehnya. Siang Ngo-nio segera tertawa paksa, ujarnya, "Aku merasa sangat kagum dengan ilmu silat yang dimiliki Thaysu, tentu saja perempuan itu bukan tandinganmu, hanya saja segala sesuatu lebih baik bertindak lebih hati-hati, yang aku kuatirkan hanyalah bila Thaysu kelewat pandang enteng musuh kita.”
Tiba-tiba orang ke tiga berkata, "Tonghong Liang kuserahkan kepada kalian, sementara Bouw It-yu kalian serahkan kepadaku.”
"Benar,” sambung orang ke empat, "bila kita berempat turun tangan bersama, betapapun lihaynya musuh kita, aku yakin masih dapat menghadapinya. Yang paling ingin kutangkap adalah Lan Giok-keng si bocah keparat itu.”
Ke empat orang itu berjalan cepat diatas permukaan salju, dalam waktu singkat mereka telah berjalan mendekat dari tebing bukit di seberang sana. Bouw It-yu segera mengenali dua orang lelaki lainnya, ternyata mereka adalah Ouyang Yong yang pernah ditotok jalan darahnya serta Eng Siong-leng yang pernah dikalahkan Tonghong Liang.
Dari ke empat orang itu, dia mengenali tiga orang diantaranya, hanya pendeta asing berbaju merah itu yang belum diketahui asal usulnya. Sungguh tajam pandangan mata Siang Ngo-nio, dia yang pertama kali mengetahui kehadirannya, sambil memperdengarkan suara tertawa dinginnya yang menggidikkan, ujarnya, "Hahahaha.... tidak nyana kau si keparat masih berada disini, dimana perempuan bangsat itu?"
Sambil tertawa dingin dia menyentilkan sebutir peluru kabut harum yang langsung meledak persis dihadapan Bouw It-yu. Bertemu musuh besarnya, sepasang mata Ouyang Yong langsung berubah jadi merah membara, bentaknya pula, "Bajingan keparat, aku memang sedang mencarimu untuk membuat perhitungan, kalau punya nyali ayoh bertarung habis habisan melawanku!"
Buru-buru Bouw It-yu melepaskan satu pukulan untuk membuyarkan asap beracun, namun tidak urung dia menghisapnya juga beberapa bagian. Sebagaimana diketahui, peluru kabut harum yang diracik Siang Ngo-nio merupakan sejenis bubuk pemabuk yang sangat lihay, namun khasiatnya hanya dapat membuat orang pingsan dan sama sekali tidak meracuni tubuh. Padahal saat itu tenaga dalam yang dimiliki Bouw It-yu belum sama sekali pulih, setelah menghisap kabut pemabok itu meski tidak sampai jatuh pingsan, sedikit banyak dia merasakan juga kepalanya jadi pening dan pandangan matanya berkunang.
Ketika telapak tangan Ouyang Yong membacok tiba, cepat Bouw It-yu menyentilkan jari tengahnya menghajar urat nadi di punggung tangannya, lengan kanan Ouyang Yong seketika terhajar telak hingga lunglai lemas. Dalam keadaan begini ternyata orang itu enggan menyerah dengan begitu saja, dia merangsek lebih ke depan, biar lengan kanannya sudah lemas tidak bertenaga namun dia masih memiliki tangan kiri, sebuah pukulan tinju langsung ditumbukkan ke depan. Bila berada dalam keadaan biasa, Bouw It-yu tidak bakalan merasa kuatir, tapi kini tenaga dalamnya belum pulih, gerak-geriknya sama sekali tidak lincah, pertarungan keras melawan keras ini menyebabkan kedua belah pihak sama-sama menderita kerugian besar. Tidak ampun tubuh Bouw It-yu mundur dengan sempoyongan, wajahnya bertambah pucat pias. Pada saat yang bersamaan Eng Siong-leng telah menerjang maju dan memapaki datangnya tubuh lawan. "Tinggalkan bocah itu untukku,” buru-buru Siang Ngo-nio berteriak keras, "kalau ingin balas dendam, silahkan kalian balas dendam, tapi jangan kalian usik nyawanya!"
"Tidak usah kuatir Ngo-nio,” sahut Eng Siong-leng sambil tertawa, "aku tidak bakal memusnahkan si pipi putih ini.”
Saat itu tenaga dalam Bouw It-yu semakin berkurang, ditambah lagi kungfunya memang kalah setingkat dari lawannya. Tidak sampai beberapa gebrakan dia sudah dibuat kalang kabut. "Ngo-nio, siapakah bocah muda itu?" tanya pendeta berbaju merah itu tiba-tiba.
"Dia bernama Bouw It-yu, ayahnya adalah Ciangbunjin Bu-tong-pay saat ini.” Pendeta berbaju merah itu tentu saja mengetahui nama besar Bu-tong-pay, namun dia sangat percaya dengan kemampuan sendiri, jangan lagi hanya putra dari sang ketua, kemampuan Ciangbunjin dari Bu-tong-pay pun sama sekali tidak dimasukkan ke dalam hati. Maka sambil memasukkan sepasang tangannya ke balik baju, dia gelengkan kepalanya berulang kali seraya berkata, "Lantas ke mana perginya jago-jago lihay yang kalian maksudkan? Merusak selera, merusak selera! Hanya menghadapi seorang bocah muda saja dibutuhkan kekuatan berapa orang untuk mengerubutinya?"
Merah padam selembar wajah Eng siong-leng, segera bentaknya, "Ouyang Yong, kau mundur!" Waktu itu Ouyang Yong sedang merasakan kesakitan yang luar biasa pada tangan kanannya, dia segera membangkang, sahutnya, "Bocah keparat ini pernah membokongku secara diam-diam, boleh saja kalau minta aku mundur, tapi harus menunggu sampai kuhadiahkan sebuah bacokan terlebih dulu.”
Waktu itu Eng Siong-leng telah berada diatas angin, pikirnya, 'Apa susahnya memberi kesempatan kepadamu untuk menghadiahkan sebuah bacokan?' Sambil berpikir dia melepaskan sebuah bacokan ke depan, serangannya mulai dilancarkan sangat gencar, begitu perhatian Bouw It-yu terpancing untuk memperhatikan gerak serangannya, tiba-tiba dia melancarkan sebuah sapuan, membuat tubuh anak muda itu seketika terpelanting jatuh ke tanah.
"Bocah keparat, jangan gugup!" jengek Ouyang Yong sambil tertawa seram, "aku hanya menginginkan sebuah lenganmu!" Tampaknya ayunan goloknya segera akan memisahkan lengan Bouw It-yu dengan tubuhnya.... Mendadak dari sisi arena meluncur datang seekor "ular emas" diikuti berkelebatnya segumpal bayangan putih, lalu terdengar Ouyang Yong menjerit keras, goloknya terlepas dari genggaman dan tubuhnya mencelat sejauh berapa tombak dari posisi semula.
Ternyata Seebun-hujin telah berjalan keluar dari dalam gua. Karena tidak membawa senjata, dia melepaskan seutas tali ikat pinggangnya dan digunakan untuk menggulung golok yang berada ditangan Ouyang Yong. Tali pinggang itu berwarna warni dan meluncur bagaikan seekor ular emas, namun kelihayannya jauh melebihi seekor ular berbisa, bukan saja berhasil merampas golok di tangan Ouyang Yong, bahkan sempat melilit pergelangan tangannya dan membuat tulang tangannya patah jadi dua.
Dengan jurus ikan lehi melentik buru-buru Bouw It-yu melompat bangun, sebuah tendangan langsung diarahkan ke tubuh Ouyang Yong yang sedang terguling. Sayang kekuatan tubuhnya sudah amat lemah, asap pemabok yang terhisap dalam tubuhnya sedang bekerja, begitu berhasil menendang tubuh Ouyang Yong, dia sendiripun berdiri sempoyongan bagaikan lidah api yang dipermainkan angin.
Cepat Seebun-hujin memeluk ke dalam rangkulannya, bisiknya, "Jangan gugup, ada ibu disini!"
Tapi dia lupa kalau masih ada Eng Siong-leng disisinya. Oleh karena perubahan ini terjadi sangat tiba tiba, tidak urung Eng Siong-leng tertegun juga dibuatnya. Namun bagaimana pun dia adalah seorang jago kawakan, begitu melihat peluang emas, langsung saja dia lancarkan sebuah cengkeraman maut ke tubuh Seebun-hujin.
Orang ini adalah seorang jagoan yang sangat menguasahi ilmu Toa-kin-na-jiu-hoat, cengkeraman yang dia lancarkan benar-benar sangat menakutkan, biar seorang jago lihay pun mungkin sulit untuk meloloskan diri, atau paling tidak tulang tubuhnya bakal tercengkeram hancur.
Menghadapi datangnya ancaman maut itu, ternyata Seebun-hujin masih tetap memeluk tubuh Bouw It-yu, malah tangan kirinya sedang mengambil sebutir pil yang disuapkan ke mulut pemuda itu sementara sepasang mata nya tertuju pula pada pemuda yang berada dalam pelukannya. Dia seakan sama sekali tidak melihat kalau Eng Siong-leng sudah berada disisi tu buhnya, tentu saja dia pun tidak berusaha untuk menghindarkan diri. Tampaknya cengkeraman itu segera akan menghancurkan tulang Pi-pa-kut nya.... Pada detik terakhir tiba-tiba dia mengayunkan tangan kanannya, lagi-lagi tali ikat pinggang itu berubah jadi ular emas dan meluncur ke depan, kali ini mengarah telapak tangan Eng Siong-leng. Bagaimanapun Eng Siong-leng adalah seorang jago silat kawakan, begitu merasakan angin serangan yang muncul membawa daya 'tusukan', dia segera sadar kalau gelagat tidak menguntungkan.
Tali ikat pinggang termasuk benda yang lunak, namun setelah memperoleh saluran tenaga dalam dari Seebun-hujin, kini tali yang lemas telah berubah jadi tombak yang sangat tajam. Bagi Eng siong-leng, dia lebih suka digigit ular berbisa daripada membiarkan jalan darah Lau-kiong-hiat pada telapak tangannya tertusuk ujung tali lawan. Bila jalan darah Lau-kiong-hiat sampai tertusuk tembus, mungkin tenaga dalam yang dimilikinya bakal punah separuh bagian. Sekalipun cukup cepat dia menarik kembali tangannya, tidak urung punggung telapaknya terhajar juga oleh tali ikat pinggang itu, seketika dia merasakan rasa panas dan sakit yang luar biasa. Dalam pada itu Seebun-hujin sama sekali tidak bergeser dari posisi asalnya, dia hanya memainkan tali pinggangnya kian kemari, memaksa lawan tidak sanggup menghampirinya.
Terdengar pendeta asing berbaju merah itu bertanya kepada Siang Ngo-nio, "Bukankah kau mengatakan kalau bocah she-Bouw itu adalah putra Bu-tong Ciangbunjin Bouw Ciong-long? Setahuku bini Bouw Ciong-long sudah lama mati, darimana bisa muncul seorang nenek yang mengaku sebagai ibu kandungnya?"
Saat itu Ouyang Yong telah menyambung sendiri sendi tulangnya yang terlepas, kontan dia nyeletuk sambil tertawa dingin, "Untuk bisa bermain dengan pipi putih, kalau tidak mengaku sebagai anaknya, lalu musti diakui sebagai apa?"
"Mulutmu benar benar kotor dan tidak bermoral,” umpat Siang Ngo-nio cepat, "mana boleh kau sembarangan menuduh orang?"
"Eeei.... bukankah kaupun mengumpatnya sebagai perempuan hina? Kenapa malah membantu bicara untuk dirinya?"
"Yang kukatakan adalah kenyataan, benar adalah benar, tidak benar adalah tidak benar.”
"Lantas menurutmu mengapa dia anggap si muka putih itu sebagai anak kesayangannya?"
"Aaaah, kau seperti tidak mengerti saja, ini namanya mencintai orangnya sekalian mencintai peliharaannya.”
Maksud lain dari perkataan itu adalah menuding orang yang benar-benar dicintai Seebun-hujin adalah ayah Bouw It-yu. Tampaknya pendeta asing berbaju merah itu kurang begitu paham dengan pepatah dari bangsa Han, padahal sejujurnya dia memang tidak tertarik untuk mengetahui hubungan antara Seebun-hujin dengan Bouw It-yu, pertanyaan yang dilontarkan tidak lebih hanya pertanyaan iseng. Yang benar-benar menarik perhatiannya saat ini hanyalah ilmu silat yang dimiliki Seebun-hujin. "Apakah perempuan ini adalah Seebun-hujin yang kau maksudkan itu?" kembali pendeta berbaju merah itu bertanya. Belum sempat Siang Ngo-nio menjawab, situasi kembali telah terjadi perubahan baru, perubahan yang membuat hatinya terkesiap.
Saat itu Seebun-hujin telah menurunkan Bouw It-yu ke tanah, dengan wajah penuh amarah dia bangkit berdiri dan....”plaaaak! sebuah tempelengan keras telah mendarat di wajah Eng Siong-leng, rupanya ikat pinggang Seebun-hujin telah mencambuk wajahnya secara telak, bagaikan terkena sabetan cambuk ruyung, kontan wajahnya sembab memerah dan mengucurkan darah. Masih untung dia berkelit cukup cepat, kalau tidak mungkin sepasang matanya telah buta dibuatnya.
Kembali tubuh Seebun-hujin melambung ke udara, kali ini dia bukannya mengejar ke arah Eng Siong-leng melainkan menerkam Siang Ngo-nio. Buru-buru Siang Ngo-nio melepaskan segenggam jarum emas, tapi mana mungkin serangannya itu dapat membendung terjangan Seebun-hujin?
"Triiiing, traaaang....” serangkaian dentingan nyaring bergema di udara, tahu tahu seluruh jarum emas itu sudah tersapu oleh tali ikat pinggangnya dan meluncur balik. "Kungfu yang hebat!" puji pendeta asing berbaju merah itu. Sebuah pukulan yang dibabat keluar menghancurkan segenggam jarum emas yang terpental balik itu menjadi bubuk halus, hancuran bubuk itu menyebar diseluruh tubuh Siang Ngo-nio, membuat perempuan itu termangu saking kagetnya. Dengan satu gerakan yang amat cepat pendeta asing berjubah merah itu menyongsong kehadiran Seebun-hujin, dengan sebuah pukulan Toa-jiu-eng dia lepaskan pukulan dahsyat. Tali ikat pinggang Seebun-hujin yang semula tegak lurus seperti seekor ular emas, kini telah berubah jadi berliuk-liuk karena tekanan pukulan lawan. Siang Ngo-nio ikut melejit ke samping untuk menghindari desakan hawa pukulan yang dahsyat. Toa-jiu-eng memang sebuah pukulan yang menakutkan, begitu meleset dari sasaran, angin pukulan yang maha dahsyat itu langsung menggulung ke muka dan menghantam sebatang pohon kecil yang tumbuh di sisi jalan.
"Blaaaam!" pohon sebesar paha itu langsung terhantam patah jadi dua dan roboh ke tanah. Ternyata pendeta asing berjubah merah itu adalah seorang jagoan sakti dari Mi-tiong Tibet, dia bergelar Ka-cok. Konon ilmu pukulan Toa-jiu-eng miliknya berada di urutan kedua di kolong langit.
Ketika Nurhaci Khan (kemudian menjadi kaisar Cheng Thay-cu) mendengar nama besarnya, secara khusus dia mengundang pendeta ini untuk datang ke Seng-keng (kini kota Shen-yang) dan memberinya gelar Sin-bu-hoat-su Pendeta dewa silat.
Kehadirannya kali ini pun sedang menjalankan perintah dari Nurhaci Khan untuk datang ke kota Uh-sah-tin dan menyampaikan perintah rahasia kepada Kim-lopan. Eng siong-leng pernah bekerja sebagai pengawal pribadi Nurhaci Khan, sejak sepuluh tahun berselang dia sudah berkenalan dengannya di kota Seng-keng.
Ketika pendeta itu tiba di kota Uh-sah-tin, waktu itu kebetulan Eng Siong-leng baru pulang dari pengejaran, maka begitu bertemu dengannya, dia pun mengundangnya untuk sekali lagi mengejar Tonghong Liang serta Lan Giok-keng sekalian. Di tengah jalan mereka bertemu Siang Ngo-nio, karena mengandalkan orang-orang itu sebagai jimat pelindung dirinya, maka diapun ikut balik lagi ke tempat itu. (semalam ketika Seebun-hujin sedang mengobati Bouw It-yu, diapun pernah bersembunyi di sekitar sana sambil mengintip, hanya saja tidak berani menampilkan diri).
Ka-cok Hoatsu tampak tercengang ketika melihat serangan toa-jiu-eng yang dilancarkan hanya mampu memaksa tali ikat pinggang Seebun-hujin jadi meliuk. Cepat dia mengejar ke depan, sambil tertawa tergelak serunya, "Ternyata kungfu mu hebat juga, kenapa baru satu gebrakan sudah ingin kabur. Jangan kuatir, walaupun Hudya tidak pantang membunuh, tapi belum pernah mencelakai perempuan cantik, ayoh kemari, temani Hudya bermain beberapa gebrakan lagi!"
Seebun-hujin membalikkan tubuhnya sambil melompat keluar, diantara kibaran ujung bajunya, bagaikan sekuntum awan putih tahu-tahu dia sudah melayang turun di hadapan Ouyang Yong. "Plaaak, plaaak, plaaak, plaaak!" dalam waktu sekejap Seebun-hujin telah melayangkan tamparannya berulang kali, menghadiahkan empat gamparan keras ke wajah Ouyang Yong, bukan saja membuat pipinya sembab merah, beberapa buah giginya ikut patah dan tertelan berikut darah.
Coba kalau bukan Ka-cok Hoatsu segera menyusul tiba, mungkin penderitaan yang dialami Ouyang Yong akan semakin parah.
Perlahan-lahan Seebun-hujin membalikkan tubuhnya, setelah tertawa dingin ujarnya, "Hweesio gede, lebih baik gunakan kesempatan ini untuk membaca mantera selamat!"
Setelah merasakan kelihayan Toa-jiu-eng dari hwesio itu, kali ini Seebun-hujin bertindak lebih hati-hati. Tali ikat pinggangnya berputar kencang di utara lalu menerobos masuk ke depan, kali ini sasaran yang diarah adalah sepasang mata, lubang hidung dan telinga dari Ka-cok Hoatsu. Di bawah gempuran musuh yang dahsyat, tampak tali ikat pinggang itu bergoyang tiada hentinya bagaikan ranting pohon liu yang dimainkan angin puyuh, tapi sayang tali termasuk benda lembek, Ka-cok Hoatsu tidak sanggup menggunakan angin pukulannya untuk mematahkan senjata tersebut.
Di tengah pertempuran, berapa kali tali di tangan Seebun-hujin menerobos masuk bagaikan seekor ular lincah, berapa kali nyaris menyusup masuk ke dalam lubang hidung Ka-cok Hoatsu, hal ini menyebabkan pendeta itu bersin berulang kali, terpaksa dia mundur berapa langkah dengan wajah merah padam.
Menerobos masuk ke lubang hidung memang masalah kecil, tapi urusan jadi besar jika sepasang matanya yang tertusuk. Ka-cok Hoatsu tidak berani pandang enteng lawannya, cepat dia memutar tubuh sambil melepaskan jubah merahnya, kemudian bagaikan selapis awan merah dia hadang sergapan tali musuh yang meliuk bagaikan ular emas.
Seebun-hujin tidak berani merangsek lebih ke depan, tidak lama kemudian permainan tali ikat pinggangnya malah terhambat sehingga terkurung sama sekali di bawah lapisan awan merah. Sebetulnya kepandaian yang dimiliki wanita ini tidak kalah dari Ka-cok Hoatsu, namun berhubung semalam dia telah mengorbankan banyak tenaga murni untuk membantu Bouw It-yu menembusi delapan nadi pentingnya, maka setelah pertarungan berlarut lebih lama, dia mulai merasakan kehabisan tenaga.
Begitu berhasil menduduki posisi di atas angin, kembali Ka-cok Hoatsu merasa bangga, katanya sambil tertawa, "Konon suamimu sudah lama meninggal, selama ini hidup sebatang kara, benar-benar kasihan, bagaimana kalau kau menjadi murid Hud-ya saja!"
Seebun-hujin tidak berani memecahkan perhatian untuk balas mengumpatnya, terpaksa dia harus menahan diri dan bertarung seraya menggertak gigi.
Di pihak lain Bouw It-yu sudah bertarung seru melawan Siang Ngo-nio. Setelah menelan pil Bi-leng-wan, semangat dan tenaga Bouw It-yu telah pulih kembali, tapi tenaga dalamnya baru pulih delapan bagian, karena Siang Ngo-nio tidak menggunakan senjata rahasia beracun, maka kekuatan mereka pun berimbang. Dengan berlagak seolah tidak terburu-buru, sambil tertawa seru Bouw It-yu, "Apakah Tong ji-sianseng baik-baik saja? Tidak nyana dia begitu tega membiarkan kau pergi seorang diri.”
Siang Ngo-nio balas tertawa. "Semestinya aku sudah terbaring di dalam liang kubur, apa mau dikata aku jadi orang lebih suka mampus daripada kesepian, karena itu terpaksa harus bangkit lagi dari liang kubur. Sekalipun begitu, aku tetap berterima kasih kepadamu karena telah merancangkan siasat ini. Karenanya kau tidak perlu gugup atau panik, asal mau mengakui aku sebagai ibu angkatmu, aku tidak bakalan mencelakaimu lagi.”
Yang dia maksudkan adalah peristiwa yang telah terjadi delapan bulan berselang, ketika Bouw It-yu merancangkan siasat baginya, membiarkan dia "tewas" ditangan Tong Ji-sianseng hingga terhindar dari penangkapan yang dilakukan orang-orang Bu-tong-pay. Dalam peristiwa ini, hanya tiga orang yang mengetahuinya, Eng Siong-leng serta Ouyang Yong yang berada di samping perempuan itu nampak tertegun dan tidak habis mengerti. Wajah Eng Siong-leng saat itu hanya dihajar terluka oleh Seebun-hujin, yang diderita hanya luka luar saja, beda dengan luka dari Ouyang Yong, baru saja dia menyambung tulangnya yang terlepas, hal ini membuat tangannya untuk sementara tidak bisa digunakan. Tapi dasar bandel, dia tidak tahan mendengar celoteh dari Siang Ngo-nio dan Bouw It-yu itu.
Terdengar Bouw It-yu berkata sambil tertawa tergelak, "Ngo-nio, kelihatannya kau sedang mengidap penyakit menular, bertemu siapa pun ingin menjadikan dia sebagai anak pungutmu, hanya saja, aku tidak ingin merusak tingkat kesenioranku dengan Lan Giok-keng.”
Ouyang Yong tidak mengetahui sebab musabab dibalik ucapan itu, dia sangka mereka sedang saling meledek, maka sambil menerjang maju ke depan dan tertawa dingin, serunya, "Kalau kau tidak mau menjadi anak angkatnya Ngo-nio, jadi anakku saja, panggil aku bapak, segera kuampuni nyawamu!"
Siang Ngo-nio tidak suka hati mendengar perkataan itu, sengaja dia kendorkan serangannya, menggunakan kesempatan itu Bouw It-yu langsung melepaskan sebuah tusukan sambil membentak, "Kau hanya pantas jadi cucu kura-kura!"
Sesungguhnya ilmu silat yang dimiliki Ouyang Yong kalah setingkat dibandingkan Bouw It-yu, apalagi saat ini harus bertarung dengan mengandalkan sebuah lengan, mana mungkin dia bisa menahan serangan jurus pedang Bouw It-yu yang dahsyat? Terdengar dia menjerit keras, tubuhnya yang baru menerjang ke depan segera mundur kembali. Biarpun kali ini luka yang dideritanya tidak terhitung parah, namun dua jari tangan kirinya telah terpapas kutung oleh sabetan pedang tajam Bouw It-yu. Saking mendongkolnya Ouyang Yong berteriak keras, "Siang Ngo-nio, kau benar-benar hanya membutuhkan si muka putih tidak tidak perdulikan sahabatmu?"
"Bagus,” jawab Siang Ngo-nio dingin, "kau maju saja, akan kubiarkan kau bertarung satu lawan satu dengannya.”
Eng Siong-leng segera goyangkan tangannya memberi tanda agar dia segera mundur. Sementara dia sendiri sambil maju ke depan katanya, "Ngo-nio, kaupun tahu kemungkinan besar pihak lawan masih mempunyai bala bantuan, hingga sekarang Tonghong Liang dan Lan Giok-keng belum muncul disini!"
"Lantas kenapa?"
"Kita harus selesaikan pertarungan ini secepatnya!" sahut Eng Siong-leng hambar, "Ngo-nio, bila kau sudah lelah, pergilah beristirahat sejenak, biar aku bertarung satu lawan satu melawan bocah muda ini!"
Eng Siong-leng tidak bisa dibandingkan dengan Ouyang Yong, sebab baik soal status maupun ilmu silat, dia masih jauh diatas kemampuan rekannya. Terhadap Ouyang Yong boleh saja Siang Ngo-nio mempermainkan dan pandang enteng dirinya, tidak demikian terhadap Eng Siong-leng, dia harus menaruh rasa hormat terhadapnya. Hanya saja karena antara dia dengan Bouw It-yu mempunyai hubungan yang khusus, tentu saja dia enggan membiarkan Bouw It-yu terjatuh ke tangan Eng Siong-leng. Sementara dia masih serba salah dibuatnya, mendadak terdengar suara teriakan seorang pria dan wanita berkumandang secara bersamaan. Yang lelaki memanggil, “Susiok!", sedang yang wanita memanggil, “Ibu!" Tidak salah lagi, mereka berdua adalah Lan Giok-keng dan Seebun Yan. Kedatangan mereka berdua sebenarnya sudah berada dalam dugaan Siang Ngo-nio, namun juga diluar dugaannya. Cepat atau lambat Seebun Yan pasti akan balik kesana untuk mencari Bouw It-yu, sementara kedatangan Lan Giok-keng mendampingi gadis itupun sangat masuk diakal, tentu saja Siang Ngo-nio tidak akan merasa keheranan.
Justru yang membuat Siang Ngo-nio tidak menyangka adalah kedatangan mereka yang begitu cepat. Seebun Yan sudah terkena bubuk pemaboknya, menurut perkiraan dia, sekalipun dapat pulih kembali paling tidak juga butuh waktu berapa jam lamanya. Tentu saja dia tak mengira kalau Seebun Yan mengandalkan khasiat dari pil Bi-leng-wan serta "tenaga bantuan" dari Lan Giok-keng hingga tidak sampai setengah jam kemudian, dia sudah dapat menggunakan lagi ilmu meringankan tubuhnya. Begitulah, dengan kecepatan luar biasa Lan Giok-keng telah menerjang tiba dan menggantikan posisi Bouw It-yu.
"Lagi-lagi bocah keparat ini!" umpat Eng Siong-leng gusar.
"Tua bangka yang tidak tahu malu, baru saja kau berhasil melarikan diri, sekarang berani mencari gara-gara lagi.” Umpatan ini mempunyai arti ganda, tadi wajah Eng Siong-leng terhasil dihajar Seebun-hujin hingga robek berdarah, dia memang benar-benar sudah kehilangan muka sedari tadi. Tidak heran kalau Eng Siong-leng jadi amat gusar, bentaknya, "Bocah keparat, akan kucabut nyawamu!"
Diiringi bentakan nyaring, dia segera melancarkan serangan mematikan! "Bagus, kalau memang punya kepandaian ayoh keluarkan semua!"
Sambil mencabut pedang dia melancarkan sebuah babatan. Cengkeraman maut yang dilancarkan Eng siong-leng diarahkan ke tulang Pi-pa-kut nya, bukan saja jurus serangannya matang bahkan sudah diperhitungkan ke mana pun pihak lawan akan berkelit, meski tulang Pi-pa-kut nya tidak sampai hancur, paling tidak akan menyebabkan luka yang cukup parah. Siapa tahu Lan Giok-keng bukannya berkelit malahan merangsek maju ke depan, pedangnya dengan membentuk garis melingkar langsung menyongsong datangnya cengkeraman itu. Dengan begitu cengkeraman ini sama artinya usaha yang sia-sia meski sudah dilakukan dengan resiko.
Tampak dimana cahaya putih berkelebat lewat, percikan darah segar berhamburan ke udara, tahu-tahu sebuah jari tangan Eng siong-leng sudah terpapas kutung. Masih untung dia cepat menarik kembali tangannya, kalau tidak mungkin ke lima jari tangannya bakal terpapas kutung semua.
Bouw It-yu sebagai seorang paman guru tidak tahan bersorak memuji juga setelah melihat kejadian ini, serunya, "Sebuah gerak tipuan yang hebat, jurus Hian-nio-hua-sah yang kau gunakan sangat bagus!"
Sementara itu Eng siong-leng justru merasa terkesiap, pikirnya, 'Heran, baru selisih saru hari, kenapa ilmu pedang yang dimiliki bocah ini bisa mengalami kemajuan secara tiba-tiba?'
Sewaktu bertarung melawan Lan Giok-keng kemarin, walaupun kekuatan mereka hanya seimbang namun dia masih bisa mengambil porsi enam bagian untuk melancarkan serangan. Dia yakin kalau bukan Tonghong Liang ikut menimbrung secara mendadak, dia seharusnya masih bisa mengungguli Lan Giok-keng. Itulah sebabnya tadi dia masih berani bicara sesumbar. Dia mana tahu kalau ilmu pedang dari Lan Giok-keng lebih menitik beratkan pada "pemahaman", ilmu Eng-jiau-kang yang diyakini Eng siong-leng merupakan sebuah ilmu manunggal yang jarang beredar dalam dunia persilatan, ketika bertarung pertama kali, oleh karena Lan Giok-keng belum pernah menjumpai ilmu tersebut sebelumnya, tidak urung dia sedikit dirugikan. Tapi setelah bentrok untuk kedua kalinya, keadaan sedikit berbeda, dari pengalaman sebelumnya dia berhasil menempa diri untuk menciptakan cara untuk mematahkan serangan lawan, itulah sebabnya tidak sulit baginya untuk merebut posisi diatas angin. Selain itu masih terdapat alasan lain, dalam hal tenaga dalam Eng siong-leng memang jauh diatas kemampuannya, tapi sebelum ini Eng Siong-leng sudah menghadapi dua pertarungan secara beruntun, hal ini menyebabkan tenaga dalamnya terkuras habis, keadaannya sekarang malah jauh berada di bawah kemampuan Lan Giok-keng. Sayangnya Eng siong-leng bukan saja tidak tahu kekuatan sendiri, diapun tidak mengetahui kekuatan lawan, begitu sadar kalau kemampuannya tidak sanggup mengatasi serangan pedang lawan, dia masih ingin mengandalkan tenaga dalamnya untuk meraih kemenangan, sebuah tendangan kilat dia lontarkan ke dada Lan Giok-keng. Terkesiap hati Bouw It-yu begitu melihat Eng siong-leng berniat adu nyawa. Tapi belum sempat dia maju untuk memberi bantuan, terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati, bergema memecahkan keheningan, tampak seseorang roboh terjungkal ke atas tanah. Tapi orang itu bukan Lan Giok-keng, juga bukan Eng Siong-leng melainkan Ouyang Yong.
Ternyata begitu Ouyang Yong melihat Seebun Yan hanya seorang gadis muda, dia anggap "gadis ingusan" itu gampang dipermainkan, waktu itu dia sedang duduk diatas batu sambil mengobati lukanya, begitu melihat Seebun Yan lewat dihadapannya, tanpa banyak bicara dia langsung menerkam ke depan. Biarpun sedang bertempur, namun perhatian dan pendengaran Seebun-hujin masih cukup tajam, begitu tahu anaknya terancam bahaya, cepat dia berteriak, "Heng-im-toan-hun! (awan melintang memotong puncak)!"
Sejak kecil Seebun Yan sudah belajar silat dari ibunya, begitu mendengar teriakan itu dia langsung lancarkan jurus serangan itu. Sekalipun dalam keadaan tidak terluka pun Ouyang Yong sudah sulit mengungguli gadis itu, apalagi sekarang setelah memperoleh petunjuk dari ibunya. Daya jangkauan dari jurus Heng-im-toan-hun ini sangat kecil, namun daya penghancurnya justru besar sekali, merupakan jurus paling tangguh untuk menghadapi sergapan dari musuh. Begitu jurus ini digunakan gadis tersebut, derita yang diterima Ouyang Yong bukan hanya sekedar lepas tulang saja, seluruh lengannya tertebas hingga kutung jadi dua. Ternyata Ouyang Yong terhitung jagoan yang bandel dan nekad, biar lengan sudah berpisah dengan tanah, biar badan sudah tergeletak ditanah namun dia sama sekali tidak pingsan.
Sambil menggertak gigi dia segera menggulingkan diri ke bawah tebing. Padahal di bawah tebing penuh dengan batu cadas tajam dan runcing, begitu menggelinding ke bawah, bukan saja mati hidup susah diketahui, yang pasti seluruh tubuhnya bakal luka dan robek karena gesekan batu-batu itu. Untuk sesaat Seebun Yan berdiri tertegun saking kagetnya. Saat itulah kebetulan Eng Siong-leng sedang melambung sambil melepaskan tendangan, ketika secara tiba-tiba mendengar jeritan ngeri dari Ouyang Yong, seketika pikirannya jadi kalut, tendangan yang dilancarkan pun otomatis bergeser arah. Tapi justru karena tendangannya miring dari sasaran, dia malah berhasil menyelamatkan kakinya dari babatan lawan. Waktu itu Lan Giok-keng dengan jurus Sam-coan-hoat-lun sebetulnya sedang menunggu sampai kaki lawan menendang keatas dadanya, maka tebasan pedangnya segera akan memotong tumit sebatas lutut musuhnya hingga kutung. Begitu tendangannya miring kesamping, cepat dia gunakan kesempatan itu menggelinding pula ke bawah tebing dengan gaya burung belibis membalikkan badan.
Gara-gara harus memberi petunjuk kepada putrinya, meski berhasil memukul mundur Ouyang Yong namun Seebun-hujin sendiri semakin tidak sanggup menghadapi gempuran gempuran dahsyat dari Ka-cok Hoatsu, kini seluruh badannya nyaring terkurung di bawah kepungan awan merah yang pekat. Begitu hilang rasa kagetnya, Seebun Yan segera berteriak keras, "Bajingan gundul, jangan lukai ibuku!" Rasa kasih sayang seorang anak terhadap ibunya membuat Seebun Yan untuk sesaat seolah lupa kalau kepandaian yang dimiliki ibunya masih sepuluh kali lipat diatas kemampuannya, kalau ibunya saja tidak sanggup melawan, apa pula gunanya dia maju memberi bantuan? Tampak jubah merah yang diputar Ka-cok Hoatsu menimbulkan deruan angin serangan yang sangat kuat, baru saja Seebun Yan berlari mendekati ruas tiga tombak dari arena pertarungan, tiba-tiba dia merasakan munculnya segulung tenaga yang sangat kuat menghantam dadanya, seketika itu juga bagaikan sebuah bola kain, tubuhnya mencelat sejauh tiga tombak lebih. Dalam terkejut bercampur panik, secara beruntun Seebun-hujin melancarkan berapa pukulan untuk memunahkan tenaga kekuatan lawan. Untung saja dia melepaskan pukulan tepat waktu, sehingga tenaga pukulan yang menyentuh tubuh Seebun Yan hanya tidak lebih dari tiga bagian dari kekuatan Ka-cok Hoatsu semula, dengan begitu si nona pun lolos dari luka yang parah. Namun, kendatipun tidak sampai terluka parah, namun bantingan dari tengah udara cukup membuatnya menderita. Cepat Bouw It-yu dan Lan Giok-keng memburu ke depan untuk menolong, Lan Giok-keng yang berada paling depan persis menyongsong jatuhnya tubuh Seebun Yan dari udara, tanpa berpaling lagi dia membalik tangan sambil melemparkan tubuh Seebun Yan ke arah Bouw It-yu. Dengan gugup Bouw It-yu menerima lemparan itu dan membopongnya erat-erat, untuk sesaat mereka berdua berdiri bodoh saking kagetnya.
Dalam pada itu Lan Giok-keng bagai segulung angin kencang telah menyerbu ke dalam arena pertarungan dan bertarung bersanding dengan Seebun-hujin, gejolak tenaga dalam yang dipancarkan kedua orang jago ini membuat anak muda itu merasakan napasnya sesak dan tidak leluasa. Cepat pemuda itu memusatkan konsentrasinya, dengan tehnik "biarkan gunung Thay-san datang menindih, aku tanggapi bagai hembusan angin berlalu" dia tusukkan pedangnya ke dalam gumpalan awan merah pendeta itu. Sebetulnya permainan jubah dari Ka-cok Hoatsu sangat ketat, sedemikian rapatnya ibarat angin dan hujan pun sukar tembus, tapi aneh sekali, ternyata tusukan pedang Lan Giok-keng yang sederhana dan tidak dikenal itu berhasil menembusinya. Padahal kalau berbicara soal ilmu silat, jelas kemampuan yang dimiliki Ka-cok Hoatsu jauh diatas kemampuannya, mengapa dia bisa memiliki kekuatan sedemikian 'sakti'? Tentu saja hal ini disebabkan Seebun-hujin telah memberikan bantuannya, kalau tidak ada Seebun-hujin yang mewakilinya menghadang serbuan dari Ka-cok Hoatsu, tentu saja anak muda itu tidak sanggup mengeluarkan kebolehannya. Tapi alasan lain yang lebih penting lagi adalah karena dia sudah memusatkan seluruh pikiran dan kekuatannya dalam jurus serangan ini, dia telah menyatukan jiwa serta tubuhnya menjadi satu dengan serangan pedangnya. Dalam waktu singkat, bukan saja dia seolah tidak melihat dan tidak mendengar suasana di sekelilingnya, bahkan terhadap diri sendiripun dia seolah sudah melupakannya.
Dalam detik yang singkat ini, dia seakan telah menjelma jadi si tukang jagal sapi. "Tusukan pisaumu ke dalam celah kosong antara tulang dengan otot, karena menurut anatomi tubuh sapi, bagian sambungan otot dengan tulang adalah bagian yang susah ditusuk dengan pisau, apalagi menusuk tulang keras. Oleh sebab itu walaupun pisau sudah digunakan selama sembilan belas tahun, ketajamannya masih seperti baru. Walau begitu, setiap kali bertemu bagian pertemuan antara otot dan tulang, aku selalu bertindak hati-hati dengan tingkatkan kewaspadaan, pusatkan pandangan ke satu titik, gerakan semakin melambat, ketika menggerakkan pisau pun sangat ringan. Lalu daging pun terurai dari tulang dan.... berserakan diatas tanah. Dengan bangga kupandang empat penjuru, dengan hati-hati kugosok pisauku dan menyimpannya kembali.”
Kini dia sudah menjadi si koki yang hendak menjagal sapi, dia berhasil menemukan "rongga kosong" di tubuh Ka-cok Hoatsu. Jaman kuno ada seorang pemanah sakti bernama Yang Yu-ki, dia pernah menggunakan cara semacam ini untuk melatih diri, dia ikat seekor kutu dengan benang dan digantungkan diatas kelambunya, setiap hari dipandangnya kutu itu, hingga suatu hari dari pandangan matanya dia dapat melihat kutu itu telah berubah sebesar roda kereta, maka anak panah yang dilepaskan pasti akan mengenai sasaran tanpa meleset. Cerita ini mempunyai banyak kesamaan dan kemiripan dengan cerita sang koki penjagal sapi.
Dan keadaan Lan Giok-keng saat ini tidak beda dengan Yang Yu-ki yang melihat seekor kutu sebesar roda kereta, dia telah menemukan setitik kelemahan yang muncul pada diri Ka-cok Hoatsu, betapa pun ketat dan rapatnya perputaran jubah Ihasanya, namun keadaan "angin dan hujan sukar tembus" hanya berlaku bagi pandangan orang lain, dalam pandangan Lan Giok-keng dia berhasil menemukan setitik 'ruang kosong' yang tidak terlihat orang lain. Maka seperti panah sakti dari Yang Yu-ki, pedang saktinya pun menusuk tembus jubah lhasa milik Ka-cok Hoatsu (Gb 13).
Biarpun hanya sebuah lubang yang kecil, namun jubah lhasa Ka-cok Hoatsu yang semula menggelembung bagaikan layar perahu samudra, tiba-tiba saja mengempis lalu rontok sama sekali. Ka-cok Hoatsu bagaikan seekor ayam jago yang kalah bertarung segera membuang jubah Ihasanya lalu membalikkan tubuh dan melarikan diri. Untuk sesaat keheningan mencekam seluruh jagad. Lama kemudian baru terdengar Bouw It-yu dan Seebun Yan berteriak serentak, "Ilmu pedang hebat!"
Hanya bedanya, teriakan Seebun Yan penuh dengan nada gembira sementara Bouw It-yu justru merasakan kekecutan yang sukar diurai dengan perkataan. Lama Seebun-hujin menatap wajahnya, kemudian tanyanya perlahan, "Siapa yang mengajarkan ilmu pedang itu kepadamu?"
"Ibu,” sela Seebun Yan, "rupanya kau belum tahu, dia adalah adik Lan Sui-leng, murid dari Bu-tong-pay, menurut Bouw-toako, dia adalah cucu murid yang paling disayang Bu-siang Cinjin."
Maksud dari perkataan itu sangat jelas, siapa yang telah mengajarkan ilmu pedang itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Tapi Seebun-hujin seolah tidak mendengar perkataan dari putrinya, dengan tatapan tanpa berkedip dia masih menanti jawaban dari Lan Giok-keng.
Dan jawaban dari Lan Giok-keng ternyata jauh diluar dugaan Seebun Yan. "Aku tidak tahu,” sahutnya. "Hey, apa maksud jawabanmu itu,” sela Seebun Yan lagi dengan nada tercengangm, "kenapa kau....” Sebetulnya dia ingin menegur Lan Giok-keng, tapi setelah menyaksikan pandangan mata ibunya maupun Bouw It-yu sama-sama tertuju ke wajah Lan Giok-keng, seakan mereka tidak menganggap aneh jawaban pemuda itu, terpaksa kata berikut tidak dia lanjutkan.
Lan Giok-keng berpikir sejenak, kemudian ujarnya lebih jauh, "Kiam-koat aku dapatkan dari warisan Sucouw, gerakan jurus aku belajar dari Gihu, tapi dengan pikiran yang kalut akupun menciptakan sejumlah jurus baru.”
"Oooh, dengan pikiran yang kalut? Pintar amat kau!" ujar Bouw It-yu hambar.
"Hwee-ko Thaysu pernah memberi petunjuk kepadaku, tapi yang dia bicarakan adalah makna dan inti sari dari ilmu silat, sama sekali bukan ilmu pedang.”
"Bila sebuah makna berhasil dipahami, berbagai pengertian lain dengan sendirinya akan lebih mudah dicerna, meskipun petunjuk yang dia berikan bukan ilmu pedang, namun banyak manfaat yang berhasil kau peroleh bukan?" kata Seebun-hujin.
"Tepat sekali seperti yang hujin katakan.” Diam-diam Seebun-hujin berpikir, "Tampaknya apa yang dia katakan bukan bohong, ilmu pedangnya memang jauh diatas kemampuan anak Yu, meski belum tentu bisa mengungguli ayahnya anak Yu, namun jelas dia telah membuka sebuah aliran baru.” Ternyata ketika dia menyaksikan kehebatan ilmu pedang yang dimiliki Lan Giok-keng, sempat muncul kecurigaan dihati kecilnya, curiga apakah ilmu pedang itu merupakan ajaran dari Bouw Ciong-long.
Sementara dia dapat menerima penjelasan dari Lan Giok-keng, berbeda dengan Bouw It-yu, dia masih menaruh sedikit kecurigaan. "Tentunya orang yang memberi petunjuk ilmu silat kepadamu bukan hanya Hwee-ko Thaysu seorang bukan?"
Belum sempat Lan Giok-keng menjawab, Seebun Yan sudah kehabisan sabar, segera selanya, "Masalah ini bukanlah sebuah masalah yang sangat penting, apa salahnya ditanyakan nanti saja. Aku baru bertemu dengan ibuku, bolehkah aku berbicara duluan?"
"Anak Yan, kenapa kau begitu tidak tahu adat, jangan memotong pembicaraan orang!" tegur Seebun-hujin.
Lan Giok-keng segera berpikir, "Mumpung Seebun-hujin masih berada disini, inilah kesempatan terbaik bagiku untuk melepaskan tali simpul mati ini!"
Maka sahutnya cepat, "Aku pernah bertanding ilmu pedang melawan Tonghong Liang, kalau dibilang bertanding, lebih cocok disebut menempa diri. Tapi saat itu aku sama sekali tidak tahu kalau antara Tonghong Liang dengan perguruan kami pernah terjadi perselisihan. Bouw-susiok, bila kau anggap perbuatanku salah, aku bersedia menerima hukumanmu!"
Bouw It-yu sama sekali tidak menyangka kalau pemuda itu bakal bicara tanpa tedeng aling-aling di hadapan Seebun-hujin, untuk sesaat dia jadi serba salah, rikuh dan tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.
"Anak Yu,” ujar Seebun-hujin kemudian, "aku mohon kau sudi mengabulkan sebuah permintaanku.” Bouw It-yu segera dapat menebak apa yang hendak disampaikan, namun diapun terpaksa harus menyahut, "Nyawa ku saja diperoleh kembali berkat bantuan ibu angkat, silahkan ibu memberikan perintah.”
"Tonghong Liang adalah keponakanku, walaupun dia pernah membuat keonaran di gunung Bu-tong, namun bukankah Bu-siang Cinjin pun telah memaafkan kesalahannya? Aku harap kau jangan lagi menganggapnya sebagai musuh besar.”
"Hahahaha.... mana mungkin aku mengingat terus perselisihanku dengan keponakanmu, bila aku menganggapnya sebagai musuh besar, tidak nanti akan kutemani adik Yan untuk mencarinya di Liauw-tong,” sahut Bouw It-yu sambil tertawa tergelak, "hanya saja aku harus bicara dulu dimuka, aku adalah murid Bu-tong-pay, bila suatu saat keponakanmu datang mencari keributan lagi dengan Bu-tong-pay kami, saat itu paling banter aku hanya bisa menghindar, tapi tidak bisa mencegah rekan sesama seperguruanku untuk bermusuhan dengannya.”
Seebun-hujin tahu kalau pemuda itu tidak bicara sejujurnya, tapi dia berkata pula, "Aku sudah merasa puas bila kau dapat berbuat begitu. Hanya saja akupun ada sepatah kata ingin minta tolong untuk disampaikan kepada sesama seperguruanmu, aku tahu kalian curiga dia telah mencuri belajar ilmu pedang perguruanmu, maka aku perlu bicara sejujurnya, sekalipun berniat mencuri belajar, dia tidak perlu harus mencuri belajar dari anggota perguruanmu. Ilmu pedang Bu-tong-pay bukanlah ilmu rahasia yang tidak pernah diwariskan kepada orang luar, sudah banyak orang pernah melihatnya, bukan anggota perguruan kalian pun bukan berarti tidak mengerti ilmu pedang perguruan kalian. Jika Tonghong Liang ingin belajar, akupun dapat mengajarinya.”
"Baik, aku tahu,” sahut Bouw It-yu. Padahal sewaktu menjawab pertanyaan ini, timbul sebuah kecurigaan lain dihati kecilnya.... kenapa Seebun-hujin pun mengerti ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat? Sambil tertawa Seebun Yan berkata pula, "Akupun jadi orang suka bicara blak-blakan. Bouw-toako, sekarang ibuku telah memberikan penjelasannya, aku harap di kemudian hari kau tidak usah mencurigai lagi kalau keponakan muridmu itu pernah mengajarkan ilmu pedangnya secara diam-diam kepada piauko ku!"
"Toako mu sudah mendengar dengan jelas,” sela Seebun-hujin sambil tertawa, "buat apa kau musti melukis kaki di gambar ular? Baiklah, sekarang katakan-lah apa yang ingin kau ucapkan kepadaku.”
Menggunakan kesempatan ibunya sedang senang, Seebun Yan segera berseru, "Sebelum si Lebah hijau Siang Ngo-nio muncul disini, aku pernah bertemu satu kali dengannya bahkan nyaris dicelakai olehnya, untung Lan Giok-keng berhasil menyelamatkan nyawaku. Ibu, bagaimana kalau kucarikan sebuah anak angkat lagi untukmu? Dia adalah adik Sui-leng, bukankah Sui-leng pun sudah memanggil kau ibu angkat.”
Seebun-hujin tidak berkata apa-apa, begitu pula dengan Lan Giok-keng. Cepat Seebun Yan mengerdipkan matanya berulang kali ke arah Lan Giok-keng sambil serunya, "Kenapa kau tidak segera memberi hormat kepada ibu angkatmu, bila kau sudah menjadi anak angkatnya maka kaupun bisa minta ibu mengajarkan ilmu pedang untukmu.”
"Ilmu pedangnya sudah jauh diatas kemampuanku, pelajaran apa lagi yang bisa kuajarkan kepadanya?" kata Seebun-hujin hambar.
"Maafkan aku tidak tahu diri, aku telah mempunyai seorang ayah angkat,” kata Lan Giok-keng pula. "Memangnya setelah punya ayah angkat lantas tidak boleh punya ibu angkat?" pikir Seebun Yan dalam hati.
Namun berhubung kedua belah pihak sama sama tidak berminat, terpaksa dia hanya bisa menggerutu dalam hati.
Sejenak kemudian kembali Lan Giok-keng berkata, "Bouw-susiok, maafkan aku karena tidak bisa pulang gunung untuk menghadiri pemakaman Sucouw, aku harus pergi duluan karena masih ada urusan lain.”
"Apakah urusanmu tidak bisa diwakilkan orang lain?" tanya Bouw It-yu. "Persoalan ini merupakan tugas yang diberikan Sucouw semasa masih hidup dulu, maaf kalau aku tidak bisa minta bantuan orang lain.”
Bouw It-yu merasa amat rikuh dan serba salah, terpaksa dia hanya bisa mengawasi bayangan punggung pemuda itu lenyap dari pandangan matanya.
Tiba tiba Seebun-hujin berbisik, "Daripada bertambah dengan satu masalah, lebih baik berkurang dengan satu masalah, biarkan saja dia pergi seorang diri!"
"Eeei.... ibu, kau seakan sudah mengetahui semuanya!" seru Seebun Yan tercengang.
"Masa kau lupa, ayahmu dulu pernah menjadi Liok-lim Bengcu, biarpun di wilayah Liauw-tong, banyak juga bekas anak buahnya yang bermukim disini, apa sulitnya bagiku untuk menyelidiki jejak kalian semua?"
"Bukan soal ini yang kumaksud. Yang kumaksud adalah tampaknya kau jauh lebih mengerti persoalan Bouw-toako ketimbang apa yang kuketahui.” Seebun-hujin terperanjat, dia sangka putrinya sudah timbul curiga, tanyanya cepat, "Mengapa kau punya pikiran begitu?"
"Atas dasar perkataanmu tadi.”
"Oooh, perkataanku tadi yang mana?"
"Kau membujuk Bouw-toako lebih baik kurangi satu masalah ketimbang bertambah satu masalah, bukankah hal ini mengartikan kau sedang beritahu kepada orang bahwa kau telah mengetahui apa tujuan kedatangan Bouw-toako ke Wilayah Liauw-tong kali ini? Aku tidak mengerti apa yang kau maksud dengan bertambah satu masalah.” "Dasar budak nakal, rupanya kau sedang menelaah kata per kata dan memaksa orang untuk memberi penjelasan....”
Meski begitu diam-diam dia merasa lega sekali. "Bouw-toako,” ujar Seebun Yan lagi, "bukankah kedatangamu dan aku ke Liauw-tong kali ini adalah untuk mencari Lan Giok-keng dan mengajaknya pulang gunung?"
Tergerak pikiran Bouw It-yu, serunya sambil tertawa tergelak, "Hahahaha.... sejak kapan kau berubah jadi begitu bawel dan suka mencampuri urusan orang?"
"Coba lihat, hal ini membuktikan kalau kau memang masih punya urusan lain. Baik, aku tidak akan ikut campiir urusanmu, aku hanya ingin membantumu.”
"Oooh, ingin membantuku?"
"Aku belum selesai bicara. Sekalipun aku tidak mampu membantumu, toh masih ada ibuku. Coba katakan, siapa tahu ibu dapat membantumu.”
"Jangan kau anggap ibumu hebat, serba bisa dan luar biasa,” tegur Seebun-hujin tertawa.
Diam-diam Bouw It-yu berpikir, "Bekas anak buah suaminya tersebar luas di kolong langit, jelas berita mereka amat tajam dan cepat, apa salahnya aku mencari tahu darinya....?"
Berpikir begitu diapun berkata, "Aku tahu, kedatangan Giok-keng dan Hwee-ko Thaysu ke Liauw-tong karena sedang mencari seseorang, tapi aku tidak tahu siapakah yang sedang mereka cari?"
"Aaah, keponakan muridmu memang kurang sopan dan tidak menghormatimu, masa dia enggan memberitahukan hal ini kepadamu?" seru Seebun Yan.
"Apakah masalah ini sangat penting untukmu?" tanya Seebun-hujin pula.
"Boleh dibilang begitu.”
"Ooh, jadi rupanya masalah ini adalah masalah yang ingin diketahui ayahmu?" Seebun-hujin menambahkan sambil tersenyum.
Bouw It-yu tidak menjawab tapi mimik mukanya sudah mengakuinya.
Tiba-tiba Seebun-hujin berkata lagi, "Menurut dugaan kalian, siapakah orang yang sedang dicari dia dan Hwee-ko Thaysu?"
"Menurut dugaan kami, kemungkinan besar orang itu adalah Jit-seng-kiam-kek.”
"Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay?" seru Seebun-hujin agak tertegun, "kalian yakin dia masih hidup di dunia ini?"
"Tahun berselang, Put-ji-suheng pernah datang ke Liauw-tong dan bertemu dengannya.”
"Berapa usia Put-ji dibandingkan usiamu?"
"Mungkin usianya seputar empat puluh tahunan.” Seebun-hujin termenung dengan kening berkerut, sesaat kemudian dia baru berkata lagi, "Sudah hampir dua puluh tahunan Jit-seng-kiam-kek lenyap dari peredaran dunia persilatan, kalau dilihat Suhengmu dulunya adalah seorang murid preman, aku rasa tidak mungkin bukan dia sudah berkelana sejak belasan tahun? Lantas darimana bisa tahu kalau orang yang dijumpainya adalah Jit-seng-kiam-kek?"
"Put-ji-suheng telah menderita kerugian fatal di tangannya, hanya menggunakan satu jurus, dada Put-ji-suheng telah bertambah dengan tujuh buah titik bekas tusukan pedang, tujuh titik yang berjajar membentuk barisan tujuh bintang gugus utara.”
Berubah paras muka Seebun-hujin, serunya, "Kalau begitu orang itu memang Jit-seng-kiam-kek, kurasa lebih baik kau tidak usah pergi mencarinya.”
"Ibu, kau takut terhadap Jit-seng-kiam-kek?" seru Seebun Yan penasaran.
"Ibu bukannya takut kepadanya....” jelas masih ada kelanjutan, tapi setelah berhenti sejenak, Seebun-hujin tidak melanjutkan perkataan itu.
Tiba-tiba dia mengalihkan pokok pembicaraan, "Yan-ji, kau telah datang ke Liauw-tong, keinginanmu juga telah kesampaian, mari ikut aku pulang.”
"Aku belum menemukan Piauko.”
"Tapi kalian telah bertemu muka.”
"Tidak sepatah kata pun dia bicara denganku, bertegur sapa pun tidak! Aku ingin pulang bersamanya!"
"Aaaai, dalam masalah apa pun tidak baik untuk kelewat dipaksakan,” kata Seebun-hujin sambil menghela napas, "mari kita pulang dulu, nanti akan kuutus orang untuk menyampaikan pesanmu kepadanya.”
"Ibu, aku bukannya menguatirkan Piauko, tapi apa salahnya kalau kita pulang setelah kau membantu Bouw-toako?" Kembali Seebun-hujin tertawa.
"Hahahaha.... aku sedang berpikir kenapa secara tiba-tiba kau bersikap begitu perhatian terhadap urusan orang lain, rupanya hanya untuk memenuhi harapanmu untuk menunggu kedatangan Piauko mu. Baiklah, agar hatimu lebih tenteram, kita tinggal sehari lagi disini.”
"Ibu angkat,” Bouw It-yu segera menyela, "aku tidak ingin kelewat memaksa dirimu, lagipula persoalan ini mengandung resiko yang kelewat besar''
"Kau salah paham,” sahut Seebun-hujin tertawa, "masih ada alasan lain mengapa aku tidak ingin kau pergi mencari Jit-seng-kiam-kek, hanya saja sekarang aku telah berubah pikiran, sebab saat ini hatiku terdorong juga oleh rasa ingin tahu yang besar, ingin kujumpai sahabat lamaku ini.”
"Aaah, ternyata ibu angkat sudah lama kenal dengan Jit-seng-kiam-kek?" seru Bouw It-yu sedikit diluar dugaan.
"Benar, aku sudah berkenalan dengannya sejak tiga puluh tahun berselang, waktu itu kau belum lahir,” jawab Seebun-hujin hambar. "Jadi ibu angkat tahu, dimanakah dia sekarang?"
"Aku tidak tahu.”
"Tapi katamu hanya butuh waktu sehari....”
“Aku tidak mengetahui kabar beritanya, tapi bukan berarti tidak bisa bertanya dimana dia berada, bukankah di kota Uh-sah-tin sudah siap seseorang yang bisa ditanyai.” "Maksudnya Kim-lopan?" hampir berbareng Bouw It-yu dan Seebun Yan berteriak. "Betul, mungkin saja orang lain tidak tahu kabar berita tentang Jit-seng-kiam-kek, tapi Kim Teng-hap pasti tahu.”
"Masa dia mau memberitahukan kepada kami?" tanya Seebun Yan. "Jadi kau sangka aku pergi untuk memohon kepadanya?"
"Berarti kita akan memaksanya untuk menjawab? Aku tidak seberapa tahu ilmu silat yang dimiliki Kim Teng-hap, tapi jumlah anak buahnya cukup banyak, jika manusia berkerudung ditambah pendeta asing berjubah merah itu berada disana juga, aku kuatir.... aku kuatir.... aaai, kenapa Lan Giok-keng buru-buru pergi.”
"Kedua orang itu bukan anak buah Kim Teng-hap, lagipula akupun bukan mencari mereka untuk berkelahi,” sela Seebun-hujin.
Agaknya Bouw It-yu sudah dapat menebak beberapa bagian, katanya kemudian, "Apakah ibu angkat ingin menggunakan peraturan dunia persilatan dengan mengundang seorang penengah untuk menyelesaikan perselisihan ini kemudian sekalian mencari berita tentang jejak Jit-seng-kiam-kek?"
"Bagaimana pun kau memang lebih berotak,” Seebun-hujin tertawa, "benar, Kim Teng-hap mempunyai anak buah, akupun mempunyai anak buah. Bila benar benar harus bertarung, belum tentu kekuatan yang kita miliki kalah dari mereka.”
"Lantas apakah sekarang juga kita akan pergi ke Uh-sah-tin?"
"Aku telah minta tolong seseorang yang kenal dengan Kim Teng-hap untuk menyampaikan kartu namaku, kartu nama itu memakai namanya tapi dari status kedudukannya, dia adalah utusanku. Kita menanti kabar beritanya terlebih dulu.” Berkata sampai disini, dia memeriksa sebentar keadaan cuaca kemudian melanjutkan, "Seharusnya sebentar lagi dia sudah tiba disini....”
Benar saja tidak lama kemudian terdengar suara desingan anak panah bergema di udara kemudian terlihat sebuah lidah api berwarna biru meledak di angkasa. Inilah tanda rahasia panah lidah ular yang seringkali dipergunakan kalangan hek-to untuk menyampaikan berita. Dengan mengerahkan ilmu Coan-im-jip-bit (ilmu menyampaikan suara) Seebun-hujin berseru kepada orang yang berada di bawah bukit, "Aku tidak ada masalah, kalian tidak perlu naik kemari.”
Walaupun sudah ada perintah, namun sewaktu Seebun-hujin, Seebun Yan dan Bouw It-yu tiba di punggung bukit, masih ada dua orang yang segera berlarian menyongsong kedatangannya. Kedua orang itu adalah orang-orang yang sama sekali diluar dugaan Seebun Yan. Ternyata kedua orang yang munculkan diri itu tidak lain adalah Peng-toaso serta Hong-sihu.
Tempo hari, Hong-sihu telah dihajar Suma Cau dari perkumpulan Liong-bun-pang hingga sekujur tubuhnya babak belur, kendatipun hanya luka luar dan kini telah sembuh, namun berapa bekas luka diwajahnya hingga kini masih belum hilang sama sekali. Di hari mereka terluka itulah Seebun Yan berjumpa dengan Bouw It-yu. Biarpun waktu itu dia hanya bersembunyi di tempat kegelapan tanpa menampilkan diri, namun setelah itu dia menempuh perjalanan bersama Bouw It-yu, bisa diduga kalau jejaknya tidak akan bisa mengelabuhi kedua orang ini. Begitu bertemu kedua orang itu, Seebun Yan seakan memahami akan sesuatu, segera serunya, "Ooh, ternyata kalianlah yang menyampaikan berita diriku kepada ibu.”
"Mana Kuai-be Han?" tiba-tiba Seebun-hujin bertanya.
"Liok-tuocu sendiri yang telah pergi mencarinya, kini Liok-tuocu sedang menunggu di bawah,” jawab Hong-sihu.
Yang mereka maksudkan sebagai 'Liok-tuocu' tidak lain adalah Liok Ki-seng yang bergelar Im-kian-siucay si pelajar dari alam baka. Seebun-hujin kelihatan sedikit tidak suka hati, dengusnya, "Hmm, tidak dinyana dia sudi menjual tenaga untukku dengan jauh-jauh dari Toan-hun-kok menyusul kemari. Sayang aku tidak punya imbal balik yang setimpal untuknya.”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, mereka sudah tiba di bawah bukit. Benar saja, terlihat Liok Ki-seng telah menunggu disana.
Cepat Liok Ki-seng maju memberi hormat sambil berkata, "Salam hormat untuk Bengcu-hujin.”
"Suamiku sudah mati hampir dua puluh tahun lamanya, mana ada Bengcu-hujin?" sahut Seebun-hujin dingin, "eei.... aku harus bicara dulu di muka, biarpun kali ini kau telah datang membantuku, bukan berarti aku akan memberi keuntungan apa pun kepadamu.”
"Sudah menjadi kewajiban hamba untuk menyusul kemari,” buru-buru Liok Ki-seng menyahut sambil tertawa dibuat-buat, "mana berani hamba mengharapkan imbalan?" "Waah, waah.... aku tidak tahan dengan perkataanmu itu, jangan-jangan setelah kau menjadi Bengcu nanti, gantian aku yang harus melayanimu.” "Bengcu-hujin, perkataanmu benar-benar seperti membunuh aku orang she-Liok. Bagaimana pun usaha-ku mengumpulkan kembali semua bekas anggota Bengcu yang lama tidak lebih hanya ingin memberi pelajaran setimbal atas ulah kurangajar Toan-hun kokcu Han Siang.”
"Aku dengar Tonghong Liang telah menasehati kalian berdua untuk berdamai dan menyelesaikan masalah lama dengan berunding, jadi kau masih tetap merasa tidak puas?"
"Tentu saja aku tidak berani menentang niat baik Piau-sauya. Aku justru kuatir kalau Piau-sauya telah terperangkap oleh tipu muslihat lawan. Hanya saja, urusan ini lebih baik nanti dibicarakan lagi saja.”
"Betul, kalau toh kau tidak mengharapkan balas jasa apa-apa dariku, sekarang kita boleh mulai membicarakan pokok persoalan, mana si Kuay-be Han?"
"Soal ini, soal ini....”
"Apakah lantaran aku sudah bukan Bengcu-hujin, maka dia tidak sudi datang menjumpaiku?"
"Harap hujin jangan salah paham, semestinya dia memang mau kemari, hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?"
"Sudah lama Kuai-be Han tidak melakukan usaha di kalangan Hek-to lagi, kini dia sudah menjadi pejabat negara.”
"Oooh, apa kedudukannya sekarang?" "Konon sudah menjadi seorang pejabat militer yang kedudukannya cukup lumayan dalam pasukan berkuda pengawal Nurhaci Khan. Sekalipun posisinya belum terhitung tinggi sekali, namun dia sudah menjadi orang kepercayaan Khan.”
"Lantas setelah dia jadi pejabat, apakah aku harus pergi menyambanginya lebih dulu?"
"Dia tidak berani kelewat pandang tinggi jabatannya, ketika aku minta dia untuk menjalin kontak dengan Kim Teng-hap, dia pun telah melakukannya. Tapi menurutnya, kemungkinan besar Kim Teng-hap ingin mengajukan berapa syarat pertukaran, oleh sebab itu dia minta aku melapor dulu kepada hujin sebelum kedatangannya, agaknya, maksud.... maksud hatinya adalah mohon pengertian dari hujin.”
"Kalau bicara buat apa putar kesana kemari, langsung saja katakan terus terang, bilang saja dia minta imbalan untuk jasanya karena telah bantu aku bertemu dengan Kim Teng-hap, bukankah urusan jadi jelas?"
Dengan suara rendah Liok Ki-seng segera berbisik, "Sepintas orang mengira Kim Teng-hap adalah seorang juragan di rumah lelang ikan, padahal jabatan pangkatnya masih jauh diatas kedudukan Kuai-be Han.”
"Tentang hal ini aku telah menduganya. Hmm! Baru pertama kali ini aku berhubungan dengan kaum pejabat. Lantas syarat apa yang mereka tuntut sebagai imbalannya?" Pada saat itulah dari tempat kejauhan terlihat debu beterbangan di udara, kemudian tampak satu pasukan berkuda bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi, pasukan berkuda itu baru menghentikan kudanya setelah berada seratus langkah dihadapan mereka. Ternyata orang yang berada paling depan adalah Kim Teng-hap, disusul kemudian dibelakangnya adalah Kuai-be Han.
"Maafkan aku agak terlambat menyambut kedatangan Seebun-hujin,” Kim Teng-hap segera menjura seraya berseru.
"Ternyata Tauke Kim adalah seorang pejabat tinggi, maaf, maaf. Han Cau, kionghi juga untukmu, tidak nyana kaupun sudah menjadi pejabat tinggi!" jengek Seebun-hujin. Han Cau atau Kuai-be Han (si kuda cepat Han) sebetulnya hanya seorang begal berkuda, dulu dia beroperasi di seputar perbatasan sebelum akhirnya diterima dan dibina ayah Seebun Yan.
"Saudara Liok, tentunya kau telah menyampaikan maksud Kim-lopan kepada hujin bukan?" kata Han Cau, "aku memang khusus datang untuk menyambut hujin dan siap mengawal hujin hingga tiba di kotaraja.”
"Kotaraja? Kotaraja yang mana?" seru Seebun-hujin. Han Cau tampak melengak, dia segera mengalihkan matanya ke wajah Liok Ki-seng. Sambil tertawa getir sahut Liok Ki-seng, "Tidak kusangka kalian tiba begitu cepat, baru saja ingin kusampaikan kepada hujin, kalian telah tiba.” Sambil tertawa paksa kata Kim Teng-hap, "Karena hujin sudah berada disini, aku rasa tidak perlu orang lain untuk menyampaikan lagi. Hujin, boleh saja aku beritahu kepadamu bila kau ingin mengetahui kabar berita tentang Jit-seng-kiam-kek, aku bukan hanya bisa memberitahu saja bahkan bisa mengaturkan pertemuan bagi kalian berdua. Hanya saja, akupun mempunyai satu permintaan, harap hujin mau berkunjung dulu ke kotaraja Seng-keng bersamaku.”
"Oooh, ternyata kotaraja yang kalian maksudkan adalah kotaraja kerajaan Kim. Aku hanya seorang wanita, lagipula tidak berniat mencari pangkat untuk berbakti kepada Khan kalian, buat apa musti pergi ke kotaraja?" "Hujin, kau kelewat merendah. Aku tahu, kau bukanlah seorang wanita sembarangan, apalagi pernah menjadi Liok-lim Bengcu-hujin yang dihormati dan disegani banyak orang. Terus terang saja, Khan kami sudah lama mendengar dan mengagumi nama besar hujin. Mungkin kau tidak ingin bertemu Khan, namun Khan kami ingin sekali bertemu dengan dirimu!"
Seebun-hujin segera tertawa dingin. "Aneh sekali. Jangankan suamiku sudah lama meninggal, aku pun sudah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan. Kalau toh hingga sekarang aku masih dipanggil Bengcu-hujin, panggilan itu tidak lebih hanya bermakna aku adalah bini bekas pentolan bandit. Masa seorang Khan yang tersohor ingin bertemu bini seorang pentolan bandit?"
"Harap hujin maklum. Khan sangat menghargai orang pintar, saat ini amat membutuhkan dukungan dari orang berbakat untuk bekerja sama dengan beliau, Khan tidak pernah mempersoalkan asal usul seseorang. Apalagi Khan berniat menyerang dan menguasai wilayah Kanglam, saat inilah beliau sedang mengumpulkan para orang gagah kalangan rimba hijau yang berada di dalam perbatasan untuk bersama-sama mendukung perjuangannya.
"Sekalipun hujin enggan bergabung dengan Khan, kami tetap akan menyambut kedatangan hujin dengan segala hormat, semoga hujin bisa memaklumi niat baik Khan.” "Oooh, ternyata kalian ingin menggunakan merek ku, dengan menggotong namaku maka bekas anak buah suamiku yang sudah mampus mau bergabung pula dengan kalian. Tapi sayang aku sudah tidak mencampuri urusan rimba hijau lagi, kalian telah salah mencari orang.”
Bicara sampai disini seperti sengaja tidak sengaja dia melirik Liok Ki-seng sekejap, maksud lain dari ucapan itu adalah, disini telah siap Liok Ki-seng, kalian seharusnya pergi menghubunginya. Kim Teng-hap tidak menanggapi, dia berkata lebih jauh, "Begitu pula dengan Bouw-siauhiap, walaupun dengan kami pernah terjadi sedikit perselisihan, namun kami tidak akan mempermasalahkan. Menurut apa yang kami ketahui, ayah Bouw-sauhiap adalah Ciangbunjin Bu-tong-pay saat ini. Khan sangat menghargai orang-orang saleh dan orang terpelajar, apalagi Bouw-siauhiap jauh-jauh sudah sampai kemari, kami akan berusaha menjadi tuan rumah yang baik, harap Bouw-siauhiap mau datang ke kotaraja kami bersama Seebun-hujin.”
Bouw It-yu tertawa dingin. "Sayang aku bukan orang terpelajar, juga bukan seorang pendekar,” katanya, "aku tidak lebih hanya seorang bangsa Han, bukan penghianat bangsa!"
Begitu perkataan itu diucapkan, paras muka Kim Teng-hap serta Han Cau seketika berubah hebat. "Sudah, tidak usah banyak bicara lagi,” Seebun-hujin segera menukas, "kini aku dengan mengikuti peraturan dunia persilatan ingin bertanya kepadamu, inikah syarat yang kalian ajukan?" "Benar,” Kim Teng-hap membenarkan, "harap hujin mau berpikir tiga kali!"
"Tidak perlu dipikirkan lagi, transaksi batal!"
"Bagaimana dengan Bouw-siauhiap?" tanya Kim Teng-hap, "kau jauh jauh datang ke luar perbatasan, bukankah tujuannya adalah ingin bertemu Jit-seng-kiam-kek?" Tercekat perasaan Bouw It-yu, pikirnya, 'Darimana dia bisa membaca jalan pikiranku?'
Namun dengan lantang sahutnya, "Aku memang ingin bertemu Jit-seng-kiam-kek, namun tidak ingin bertemu dengan Khan kalian!" "Anak Yu, tidak kusangka kau sehati dengan pemikiranku. Mari kita pergi dari sini!" seru Seebun-hujin girang.
"Tunggu sebentar!" bentak Kim Teng-hap tiba-tiba. Seebun-hujin tertawa dingin. "Hmm, aku toh tidak melanggar hukum negara kalian, atas dasar apa kalian melarang aku pergi?"
"Hujin, bukankah tadi kau mengatakan akan menyelesaikan persoalan ini menurut peraturan dunia persilatan.”
"Tepat sekali! Tolong tanya, bila transaksi gagal lantas kalian memaksa akan menahan kami, peraturan mana yang berkata begitu?"
"Tidak ada orang yang memaksa hujin untuk tetap tinggal disini, hanya saja, hujin boleh pergi, tidak demikian dengan Bouw-siauhiap.”
"Benar, Bouw-siauhiap memang pernah mempunyai perselisihan dengan kalian,” kata Seebun-hujin, "tapi bukankah kau pernah berkata tadi, sejak awal kalian sudah tidak mempermasalahkan lagi perselisihan kecil ini. Eei, kalau bicara masuk hitungan tidak?"
"Bouw-siauhiap, tolong tanya apakah kau adalah Siau-ciangbunjin dari Bu-tong-pay? Apakah Lan Giok-keng adalah keponakan muridmu?"
"Kalau benar kenapa?" dengus Bouw It-yu. "Bouw-siauhiap, perselisihan diantara kita boleh saja kusudahi sampai disini. Tapi Lan Giok-keng pernah membunuh dan melukai beberapa orang saudaraku, hutang piutang ini bagaimana pun harus dilunasi. Menurut peraturan yang berlaku dalam dunia persilatan, bila murid melanggar kesalahan maka kalian yang jadi angkatan tuanya harus ikut bertanggung jawab. Apalagi kau adalah putra Ciangbunjin! Kami sama sekali tidak berniat menyusahkan dirimu, tapi tolong bantulah kami untuk menemukan kembali keponakan muridmu itu dan serahkan kepada kami untuk dihukum. Kapan Lan Giok-keng balik kemari, saat itulah kau boleh pergi dengan merdeka!"
Di dalam dunia persilatan memang berlaku peraturan semacam ini, tapi bila Bouw It-yu sampai 'ditahan', mana mungkin Seebun-hujin dan Seebun Yan akan berpeluk tangan meninggalkan dirinya seorang?
"Menurut apa yang kuketahui, baru tiba di kota Uh-sah-tin, Lan Giok-keng sudah dikepung dan dikejar orang-orangmu. Karena terpaksalah dia baru melukai orang-orangmu,” seru Seebun Yan. Kim Teng-hap segera tertawa tergelak.
"Hahahaha.... menurut peraturan dalam dunia persilatan, untuk membicarakan masalah yang terjadi maka orang yang bersangkutan harus hadir. Lagipula menurut pengetahuanku, saat kejadian rasanya kau tidak hadir ditempat peristiwa. Malah semalam kau dan Bouw It-yu baru saja mencuri dalam rumahku!"
Berubah paras muka Seebun Yan. "Jadi kau pun akan menganggapku sebagai orang buronan?" teriaknya gusar.
"Sesungguhnya dengan senang hati setiap waktu setiap saat kami siap menerima nona sebagai tamu kami, walaupun kedatangan nona yang tidak diundang sedikit melanggar tata cara, tapi aku anggap itu mah urusan kecil.”
"Terima kasih kau tidak mempersoalkan....” baru saja dia akan menyinggung lagi urusan Bouw It-yu, mendadak terdengar Kim Teng-hap tertawa paksa sambil menukas, "Maaf, mungkin aku masih tidak bisa menerima rasa terima kasih nona.”
Seebun Yan berpaling mengikuti arah pandangan matanya, terlihat ada dua orang lelaki dengan wajah penuh keringat sedang berlarian mendekat sambil menggotong sebuah tandu. Kedua orang itu menurunkan tandu keatas tanah, sambil berkata mereka menyingkap selimut yang menutupi tandu itu. Ternyata orang yang digotong tandu tidak lain adalah Ouyang Yong yang belum lama berselang kehilangan sebuah lengannya karena tertebas kutung pedang Seebun Yan.
"Untung ditemukan lebih cepat, kami telah membubuhi lukanya dengan obat penghenti darah. Hanya saja karena darah yang mengalir kelewat banyak, biar bisa disembuhan pun paling dia akan menjadi seorang cacat,” ujar kedua orang itu. Mendadak Ouyang Yong bangkit terduduk, dengan suara yang parau teriaknya, "Budak bajingan itu yang memenggal lenganku. Tang-keh, kau harus balaskan dendamku!" Begitu habis berkata, kembali tubuhnya roboh terkapar.
"Nona,” ujar Kim Teng-hap kemudian dingin, "aku boleh saja tidak mempermasalahkan kejadian semalam, tapi dalam peristiwa hari ini, biar aku ingin menyudahi pun belum tentu saudara saudara ku bisa menerima dengan begitu saja.”
"Siapa suruh dia membokongku lebih duluan, toh aku belakangan baru memenggal lengannya,” sahut Seebun Yan.
"Terlepas bagaimana kejadian yang sebenarnya, nona, kau tidak merasa tindakan yang kaulakukan kelewat jahat dan telengas!" kata Kim Teng-hap hambar.
Perkataan itu kontan saja membangkitkan tabiat nona besarnya, sambil mendengus teriaknya, "Mau pantas atau tidak, buktinya sudah kutebas. Mau apa kalian?"
"Tidak mau apa-apa,” kepada salah seorang anak buahnya Kim Teng-hap berkata, "bunuh orang bayar nyawa, hutang duit bayar duit. Kau telah mengutungi sebuah lengannya, kami pun hanya minta ganti sebuah lenganmu.”
"Hmm, jangan lagi hanya sebuah lengan,” jengek Seebun Yan sambil tertawa dingin, "kalau memang punya kemampuan, silahkan ambil saja nyawa ku!"
Tampaknya watak orang itu jauh lebih temperamen dan berangasan, seketika itu juga dia membentak, "Kau sangka aku tidak berani mencabut nyawamu!"
Di tengah umpatan keras, tangannya langsung diayun ke depan, sebuah senjata rahasia berbentuk bola segera meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi.
"Hey, pembicaraan belum selesai, jangan bersikap kurang sopan kepada tamu kita!" bentak Kim Teng-hap.
Tapi belum habis perkataan itu diucapkan, senjata rahasia berbentuk bola itu sudah meledak di tengah udara, ternyata di balik bulatan itu tersimpan sembilan pisau terbang, ada yang terbang miring ke samping, ada yang terbang lurus, dari pelbagai sudut yang berbeda benda-benda itu melesat ke tubuh Seebun Yan.
Dalam waktu sekejap ada dua sosok bayangan tubuh melambung bersama ke tengah udara. Yang satu adalah Bouw It-yu, sementara yang lain adalah seorang perwira yang berada di samping Kim Teng-hap. Gerakan tubuh perwira itu benar-benar amat cepat hingga sulit dilukiskan dengan kata, melambung, mencabut pedang dan mengejar pisau-pisau terbang itu!
"Triiing.... triiing....” terdengar suara dentingan nyaring bergema berulang kali, entah sudah berapa banyak pisau terbang yang berhasil ia rontokkan.
Kedatangan Bouw It-yu hanya terlambat setengah detik, mula-mula dia belum tahu maksud perwira itu dengan gerakannya, maka begitu berada di tengah udara dia langsung mengeluarkan jurus kebanggaannya, Pek-hok-liang-ci.
Sungguh kuat tenaga serangan dari perwira itu, "Traaang....!" begitu dua bilah pedang saling membentur, terperciklah bunga-bunga api. Dengan gaya burung belibis membalikkan tubuh, perwira itu melayang turun lebih kurang tiga tombak dari posisi semula, namun begitu menyentuh tanah, tubuhnya nampak sempoyongan beberapa langkah.
Sebaliknya Bouw It-yu melayang turun di hadapan Seebun Yan, begitu kakinya menyentuh tanah, dia segera dapat berdiri tegak. Bila berada dalam kondisi biasa, tentu saja dalam gebrakan barusan Bouw It-yu telah meraih posisi diatas angin, namun perwira itu memapas pisau terbang terlebih dulu sebelum menyambut serangan pedang, sekalipun ilmu pedang yang dimiliki tidak berada diatas kemampuan Bouw It-yu, jelas kemampuannya tidak mungkin berada di bawahnya. Terdengar perwira itu berkata, "Aku datang hanya untuk meluruskan kesalahan yang dilakukan saudaraku, boleh tahu apa sebabnya Bouw-siauhiap malah berusaha menghalanginya? Jika Bouw-siauhiap masih tetap berkeinginan adu pedang melawanku, lebih baik berbuatlah setelah tahu keadaan yang sejelasnya. Jika kau ngotot ingin bertarung, aku pasti akan melayani tantanganmu itu!"
Kini Bouw It-yu dapat melihat dengan jelas, ternyata ada sembilan bilah pisau terbang yang disambit tapi tujuh bilah diantaranya telah dipapas kutung perwira itu. Sisanya yang dua bilah jatuh di sisi kaki Seebun Yan. Biarpun perkataan lawan kedengaran amat tidak sedap, namun andaikata bukan dia yang turun tangan tepat waktunya, niscaya tubuh Seebun Yan telah bertambah dengan berapa buah lubang luka tembus.
Merah padam selembar wajah Bouw It-yu karena jengah, dalam keadaan begini mau berang pun dia jadi sungkan sendiri.
Tiba-tiba terdengar Seebun-hujin berkata, "Kau adalah jago dari Tiang-pek-pay. Walaupun dalam jurus Oh-ka-cap-pwe-pai (delapan belas ketukan seruling) hanya mampu menggunakan empat belas ketukan, namun hal ini sudah lebih dari cukup. Masih tersisa dua bilah pisau terbang dalam keadaan utuh, sayang kalau dibuang begitu saja. Yan-ji, kembalikan kepada mereka.”
"Memangnya mereka tidak dapat memungut sendiri?" sahut Seebun Yan malu bercampur jengkel. Sekalipun sangat mendongkol, namun keder juga hatinya, cepat dia kabur balik ke samping ibunya. Sementara itu Bouw It-yu merasa kebingungan dengan perkataan dari Seebun-hujin, dia tak habis mengerti apa yang dimaksud perempuan itu. Dia tidak menyangka kalau diantara anak buah Kim Teng-hap ternyata terdapat seorang jago pedang yang demikian hebatnya.
Tentu saja dia tidak tahu kalau perwira yang bernama Che Tin-kun ini merupakan salah satu busu dari pasukan tenda emas yang khusus mengawal Nurhaci Khan, berbicara soal tenaga dalam, mungkin dia masih di bawah Ka-cok Hoatsu tapi dalam hal ilmu pedang, boleh dibilang kehebatannya tidak terkalahkan.
Bila Bouw It-yu tidak paham maksud dan tujuan Seebun-hujin, maka Che Tin-kun begitu mendengar perkataan tadi langsung menunjukkan sikap terkejut bercampur sangsi. Yang membuatnya terkejut bercampur sangsi bukan hanya lantaran dalam sekilas pandang Seebun-hujin dapat menebak asal perguruan serta jurus silatnya saja.
Rupanya Oh-ka-cap-pwe-pai merupakan ilmu dahsyat penusuk jalan darah dari aliran Khong-tong-pay, bila seseorang telah melatihnya hingga mencapai tingkatan paling tinggi maka dalam satu jurus saja, dia dapat menusuk delapan belas buah jalan darah di tubuh lawannya.
Tiga puluh tahun berselang, ketua Tiang-pek-pay dengan tiga jurus ilmu pukulan Hong-lui-ciang-hoat berhasil menukar dengan sebuah jurus pedang dari Khong-tong-pay ini dan meleburnya ke dalam ilmu silat perguruannya, sejak itulah jurus Oh-ka-cap-pwe-pai berubah menjadi salah satu ilmu andalan Tiang-pek-pay. Atau dengan perkataan lain, walaupun nama sebutannya sama namun keistimewaan dan cirinya berbeda. Tenaga dalam Tiang-pek-pay lebih menjurus ke sifat keras, kekuatannya jauh lebih hebat daripada Khong-tong-pay, karena keras otomatis kelincahan dan kecepatannya jauh agak berkurang. Oleh sebab itu jurus Oh-ka-cap-pwe-pai dari aliran Tiang-pek-pay walau sudah dilatih hingga mencapai tingkat tertinggi pun, hanya enam belas titik jalan darah yang bisa ditusuk dalam satu gebrakan. Tapi bila jago lihay dari Khong-tong-pay yang menggunakan kedua jurus itu, mereka tidak akan mampu menebas tujuh batang pisau terbang pada saat yang bersamaan seperti apa yang dilakukan Chi Tin-kun. Padahal kemampuan Chi Tin-kun menguasai "enam belas ketukan" sudah merupakan tingkatan tertinggi dalam perguruan Tiang-pek-oay, sebetulnya dia mampu menebas kutung sembilan batang pisau terbang, namun entah kenapa, pedangnya tidak mampu menyentuh ke dua bilah pisau terbang yang lain hingga pisau pisau terbang itu rontok ke tanah.
Begitu selesai mendengar perkataan Seebun-hujin, timbul kecurigaan dihati kecilnya, maka dia pun maju ke depan dan memungut ke dua bilah pisau terbang itu. Begitu diperiksa dia pun menjerit tertahan karena kaget. Ternyata pada gagang kedua pisau terbang itu masing-masing telah tertancap sebutir bunga mutiara yang kecil (bunga mutiara adalah butiran mutiara yang lembut seperti beras).
Kini Chi Tin-kun baru mengerti, rupanya kedua bilah pisau terbang itu telah dirontokkan lebih dulu oleh Seebun-hujin. Biarpun bunga mutiara itu sudah terbenam dalam gagang pisau namun masih tetap berada dalam keadaan utuh. Hal ini menunjukkan kalau kemampuannya menggunakan tenaga dalam jauh lebih tinggi dari kemampuan Chi Tin-kun sendiri. Apalagi Seebun-hujin sedang berdiri saling berhadapan dengan Kim Teng-hap, bahkan Kim Teng-hap yang sedang bertatap muka pun tidak mengetahui tindakan yang dilakukan perempuan tersebut, dalam hal kecepatan melancarkan serangan pun terbukti masih diatas kehebatan Chi Tin-kun. Andaikata gerak serangan itu dilakukan dengan menggunakan pedang, bisa diduga jurus Oh-ka-cap-pwee-pai yang dilancarkan Chi Tin-kun bisa kalah di tangannya. Kim Teng-hap menerima pisau terbang itu dari tangan Chi Tin-kun, lalu digetarnya perlahan, bunga mutiara itu pun segera mencelat keluar.
"Hujin cukup mengembalikan pisau terbangnya saja, buat apa musti buang harta pula? Silahkan hujin menerima kembali bunga mutiara milikmu itu!" sembari berkata dia sentilkan jari tengahnya, bunga mutiara itupun segera meluncur balik. Dengan sekali raup Seebun-hujin menerima kembali ke dua butir bunga mutiara itu. Kini kedua belah pihak sama sama telah menunjuk kan kebolehannya, tenaga dalam milik Kim Teng-hap terbukti memang tidak lemah, namun kemampuan Seebun-hujin pun sama sekali tidak kalah dari lawannya.
Dengan wajah dingin Seebun-hujin berkata, "Seharusnya kau mengendalikan ulah anak buahmu. Kini sudah saatnya kita kembali membicarakan urusan pokok bukan?" "Transaksi kita sudah batal, rasanya persoalan yang ada saat ini sudah tidak ada sangkut pautnya dengan hujin,” sengaja Kim Teng-hap menyahut.
"Kau tidak usah berlagak pilon, memangnya kau tidak tahu kalau dua orang yang hendak kau tahan, satu adalah putriku, satu lagi adalah anak angkatku?"
"Harap hujin maafkan kelancanganku,” sahut Kim Teng-hap tertawa paksa, "yang mula-mula mengusulkan penyelesaian masalah menurut aturan dunia persilatan pun rasanya hujin sendiri!" "Benar!" "Kalau begitu urusan jadi lebih mudah. Menurut peraturan yang berlaku dalam dunia persilatan, aku rasa hujin sendiripun pasti paham. Sikap menghormat kami terhadap hujin adalah satu masalah, sementara pertikaian yang terjadi antara putra putrimu dengan kami pun merupakan masalah yang lain!"
Sebetulnya Bouw It-yu hanya anak angkat Seebun-hujin, tapi kini sebutannya diubah menjadi 'putra' mu, tidak jelas apakah perubahan panggilan itu memang sengaja dia lakukan karena mengandung maksud tertentu ataukah karena situasi yang tegang sehingga dia sadar akan kekeliruan itu. Namun dalam situasi seperti ini, tidak seorang pun yang mempermasalahkan apalagi memperhatikannya.
"Tidak usah kau ingatkan aku, justru hari ini aku akan mengajakmu berbicara tentang peraturan dunia persilatan,” tukas Seebun-hujin. "Kalau begitu, silahkan hujin memberi petunjuk.”
"Aku bukan minta kau membebaskan mereka, tapi aku adalah Cianpwee mereka, perselisihan yang mereka lakukan sudah wajar bila penyelesaiannya pun dipikul oleh angkatan tuanya!"
Dalam dunia persilatan memang terdapat peraturan semacam ini, Kim Teng-hap sendiripun tadi telah menggunakan peraturan yang sama untuk menahan Bouw It-yu karena persoalan yang telah dilakukan Lan Giok-keng. Buru-buru Han Cau tampil ke depan, serunya, “Hujin, harap dengarkan dulu perkataan hamba.”
“Kau adalah pejabat sementara aku hanya rakyat jelata,” sela Seebun-hujin dingin, "aku tidak berani menerima sanjunganmu. Harap kau jangan marah karena aku tidak tahu diri, kalau memang ingin menyampaikan sesuatu, lebih baik sampaikan saja kepada atasanmu."
Dari malu Han Cau jadi gusar, teriaknya, “Hujin, biarpun kau tidak sudi menanggapi diriku, aku masih tetap memandang wajah Lo-tang-keh dan selalu menghormatimu. Hujin, maaf kalau aku akan bicara blak-blakan, jadi orang yang bijaksana haruslah tahu situasi dan keadaan. Kau musti ingat, tempat ini bukan wilayah Tionggoan. Hujin, kau pun tidak punya banyak anak buah yang bisa diperintahkan di tempat ini. Kim-thayjin menaruh niat baik kepadamu, itulah sebabnya ingin mengajak kau pergi ke kotaraja untuk menjumpai Khan. Jadi orang sedikitlah tahu diri, jangan arak kehormatan ditampik, arak hukuman justru dicari!"
"Bagus sekali, kalau begitu suruh Kim-thayjin mu segera suguhkan arak hukuman. Betul, kalian boleh saja mengandalkan jumlah banyak, tapi paling banter kalian hanya bisa merenggut nyawa kami bertiga, aku tidak percaya kalau dengan kemampuan kami, tidak mampu mencari modal balik!"
Berubah paras muka Kim Teng-hap. Barusan dia telah menyaksikan kehebatan dari Seebun-hujin, maka pikirnya, 'Kemampuan Chi tin-kun hanya setingkat lebih unggul ketimbang Bouw It-yu, andaikata perempuan bangsat ini benar-benar melakukan pembunuhan yang secara besar-besaran, mungkin tiada orang yang mampu membendungnya. Betul, mengandalkan jumlah banyak memang menguntungkan dan akhirnya kemenangan tetap berpihak padaku. Tapi seperti apa yang dia katakan, paling banter hanya mereka yang terbunuh, sementara berapa banyak nyawa pihak kami yang harus ikut menjadi tumbal?'
Dia sadar keselamatan jiwanya memang tidak perlu dikuatirkan, namun bukan berarti bisa lolos dari luka-luka. Sementara dia masih berdiri sangsi dan tidak bisa mengambil keputusan, mendadak terdengar suara pekikan panjang berkumandang, suara pekikan itu sebentar panjang sebentar pendek, suaranya keras seperti benda logam yang saling beradu, gemerincingan dan menggaung sangat menusuk telinga, anehnya sama sekali tidak terlihat orang yang mengeluarkan pekikan itu. Seolah terbetot sukmanya, Kim Teng-hap berdiri mematung setelah mendengar suara pekikan itu. Han Cau pun kelihatan kaget dan ketakutan setengah mati. Yang lebih aneh lagi, ternyata Seebun-hujin sendiri pun berdiri termangu, seolah dibalik suara pekikan itu tersimpan sesuatu rahasia dan rahasia itu sedang mengetuk perasaan hatinya. Mendadak Seebun Yan seperti tersentak bangun, serunya, "Ibu, suara pekikan ini mirip sekali dengan irama tambur yang biasa digunakan orang-orang Sikang serta Tibet!" Beberapa kelompok pribumi yang tinggal di wilayah Sikang serta Tibet sering menggunakan irama tambur untuk menyampaikan berita, dari komposisi irama tambur yang terkadang cepat atau melambat, mereka dapat menyampaikan ungkapan isi hatinya kepada pihak lain, tentu saja ungkapan yang kelewat rumit tidak mungkin bisa disampaikan, tapi percakapan sehari-hari biasanya dapat disampaikan lewat irama tambur.
Seebun-hujin manggut-manggut, lalu gelengkan kepalanya. Mengangguk pertanda ucapan putrinya benar; menggeleng artinya dia tidak bisa menangkap artinya. Mendadak Chi Tin-kun bertanya, "Han Cau, apa yang dikatakan orang itu?"
Dari mimik mukanya, dia seolah sudah tahu kalau Kim Teng-hap serta Han Cau pasti memahami arti irama tambur itu. Tapi karena kedudukan Kim Teng-hap hampir sejajar dengan statusnya, maka dia bertanya kepada Han Cau. Benar saja, Han Cau tidak berani berbohong, segera sahutnya, "Dia bilang, kau hanya mendengarkan putranya, apakah tidak menurut kepada yang tua?"
"Apa maksud perkataan itu?" tanya Kim Teng-hap keheranan. "Aku sendiripun tidak paham,” Han Cau menggeleng. Han Cau boleh tidak paham, tapi Kim Teng-hap memahami artinya. Surat yang kemarin dibawa pulang Ouyang Yong dari kota Kim-leng tidak lain adalah surat yang ditulis putra orang itu. Dalam surat itu dia diminta tidak menyusahkan Lan Giok-keng. Orang yang menulis surat itu mempunyai status dan kedudukan khusus, sehingga mau tidak mau dia harus mentaatinya. Dan kini dia ingin menahan Bouw It-yu, untuk melancarkan rencananya itu maka diapun menggunakan alasan Lan Giok-keng telah membuat perselisihan dengan dirinya untuk menahan paman gurunya.
Tapi sekarang, suara pekikan orang itu menyampaikan pesan lagi, mengingatkan dia, terlepas apa pun maksud dan tujuannya, dia tidak boleh menyusahkan semua orang yang ada hubungannya dengan Lan Giok-keng. Bahkan Kim Teng-hap tahu dengan jelas bahwa orang tua itu jauh lebih susah dihadapi daripada anaknya. Kim Teng-hap termangu beberapa saat lamanya, kemudian teriaknya lagi, "Kwik locianpwee, disini ada orang ingin bertemu denganmu!"
Kembali suara pekikan orang itu berkumandang, kali ini waktunya jauh lebih panjang. Begitu suara pekikan berhenti, paras muka Chi Tin-kun ikut berubah hebat. Ternyata "Kwik locianpwee" yang disebut Kim Teng-hap tidak lain adalah salah satu tokoh yang paling ditakuti sepanjang hidupnya. Tanpa terasa dia alihkan pandangan matanya ke arah Han Cau. Dengan setengah berbisik sahut Han Cau, "Dia bilang, sahabat yang ingin kujumpai tidak perlu kalian atur, teman yang tidak ingin kujumpai, biar kalian atur pun tidak ada gunanya.” Jawaban itu sama artinya telah menyangkal semua janji yang diberikan Kim Teng-hap kepada Seebun-hujin.
Sambil tertawa dingin Seebun-hujin menyindir, "Huuh, pertukaran syarat apa yang kau ajukan? Ternyata hanya menjual pepesan kosong!"
Kim Teng-hap benar-benar malu setengah mati, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia mengulapkan tangannya lalu beranjak pergi dari situ. Begitu dia berlalu, kawanan tentara itupun ikut berlalu dari sana. Siapa pun tidak menyangka kawanan manusia yang sewaktu datang nampak begitu garang dan menakutkan, kini harus menarik kembali pasukannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Bouw It-yu sendiri pun terkejut bercampur sangsi, begitu kawanan tentara itu angkat kaki, dia cepat bertanya kepada Seebun-hujin, "Apakah orang itu adalah Jit-seng-kiam-kek?" Entah Seebun-hujin tidak ingin menjawab pertanyaan itu atau memang tidak sempat menjawab, begitu kawanan tentara itu mundur, dia langsung lari menuju ke arah bukit dimana suara pekikan itu berasal. Tiba di tepi bukit, sejauh mata memandang hanya tanah lapang nan luas terbentang di depan mata. Nun jauh diatas permukaan samudra terlihat sebuah perahu kecil membuang sauh. Kecuali perahu kecil itu, tidak nampak perahu-perahu lainnya. Bouw It-yu yang mengikuti dari belakang, sama sama merasa terperanjat bercampur heran. Angin dan suara ombak di samudra sangat kencang, bila suara pekikan tadi berasal dari seseorang yang berada di atas perahu kecil itu, dapat diduga kalau kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki orang itu benar-benar jarang ditemui di kolong langit (Gb 14).
Seebun-hujin menarik napas panjang, teriaknya, "Kwik-toako, harap tunggu sebentar!"
Begitu mendengar sebutan 'Kwik-toako', Bouw It-yu segera tahu kalau dugaannya tidak keliru, ternyata orang itu memang Jit-seng-kiam-kek. Perahu kecil itu sama sekali tidak berbalik, hanya terdengar irama senandung bergema dari lautan, "Kehidupan berganti bintang beralih, berapa musim gugur telah berlalu. Simpatik dan rasa hormat untuk sahabat lama. Air hitam bukit putih memendam hawa pedang, sahabat lama hanya berkumpul di daratan Tiong-ciu.”
Baru suara senandung bergema di telinga, perahu sampan itu telah lenyap diujung lautan. "Ibu, apa maksud syair yang disenandungkan itu?" tanya Seebun Yan kemudian. "Dia bilang waktu sudah berganti situasi telah berubah, dia tidak ingin bertemu aku lagi. Julukan Jit-seng-kiam-kek yang sebenarnya adalah Tiong-ciu-kiam-kek, dia bilang sahabat lama hanya berkumpul di daratan Tiong-ciu, artinya sekarang dia sudah bukan dia yang dulu, hanya sewaktu dia masih berada di Tiong-ciu lah baru merupakan sahabat lamaku.”
"Yang dimaksud air hitam bukit putih tentulah luar perbatasan, air hitam bukit putih memendam hawa pedang, tampaknya kehidupan dia di luar perbatasan adalah karena keadaan terpaksa, kalau tidak kenapa dia begitu putus asa dan kehilangan semangat? Ibu, kenapa dia tidak kembali ke Tiong-ciu (daratan Tionggoan)? Bila dia mau kembali ke Tiong-ciu, bukankah kalian masih tetap sahabat karib.”
"Aku telah berpisah dengan dirinya hampir tiga puluh tahun lamanya, aku sama sekali tidak tahu bagaimana kehidupannya selama di luar perbatasan. Tapi aku rasa dia pasti mempunyai kesulitan yang memaksanya berbuat begitu, karena itulah dia lebih suka mati tua di tempat ini.”
Habis berkata dia berpaling dan ujarnya kepada Bouw It-yu, "Yu-ji, bukannya aku tidak ingin membantumu, kalau akupun tidak ingin dijumpainya, apalagi kau!"
"Biarpun tidak dapat bertemu dengannya, tapi untung sudah mengetahui sedikit kabar tentangnya, kalau kusampaikan kepada ayah, sudah pasti beliau akan gembira sekali. Ibu angkat, boleh aku bertanya satu hal kepadamu.”
"Tentang apa?"
"Ayah sangat mengkhawatirkan kabar berita tentang Jit-seng-kiam-kek, dulu apakah mereka adalah sahabat karib?"
"Aku hanya kenal dengan Jit-seng-kiam-kek, aku tidak tahu berapa banyak sahabat yang dia miliki, lebih baik kau pulang dan tanyakan sendiri kepada ayahmu.”
Bouw It-yu adalah pemuda yang cerdas, sekali pandang dia sudah tahu kalau wanita ini mempunyai masalah yang sulit untuk dijelaskan, segera pikirnya, 'Entah masih ada berapa banyak persoalan yang sengaja dia rahasiakan kepadaku?'
Dalam pada itu Liok Ki-seng telah maju ke depan sambil bertanya, "Hujin, apakah kita boleh segera pulang?"
"Kalau tidak pulang, memang mau apa disini?" jawab Seebun-hujin ketus.
"Aku telah menyiapkan kereta untuk hujin dan siocia, kereta menanti di tepi bukit sebelah sana. Harap hujin mengijinkan aku untuk mengiringi perjalananmu.”
"Buat apa musti merepotkan!"
"Bila kita empat orang wanita asing harus melakukan perjalanan bersama-sama, kemunculan kita pasti akan memancing perhatian orang,” kata Hong-sihu, "bagaimana kalau kita naik kereta saja?"
"Hujin,” ujar Peng-toaso pula, "bila kau merasa tidak terbiasa dilayani orang luar, biar aku saja yang akan menjadi kusir keretamu. Urusan lain mungkin aku tidak berani membanggakan diri, tapi kalau soal jadi kusir, akulah ahlinya.”
"Aku tahu,” sahut Seebun Yan sambil tertawa, "adik angkat ku pernah naik kereta yang kau kusiri.”
"Menyinggung kembali kejadian tersebut, aku belum minta maaf kepada siocia. Waktu itu siocia berpesan agar kami menghantar nona Lan balik ke lembah Pek-hoa-kok, siapa tahu kami menemui kejadian ditengah jalan. Hanya saja, kesalahan itu bukan disebabkan kemampuanku membawa kereta tidak canggih.”
"Aku tahu. Bila ada waktu dikemudian hari, pasti akan kubantu kalian mencari orang orang Liong-bun-pang dan melampiaskan semua kekesalanmu. Sudah cukup, tidak usah bercerita lagi, ibu. Biar kita terima saja niat baik Peng-toaso.”
Saat itulah Seebun-hujin baru berkata, "Liok Ki-seng, ternyata semua yang kau persiapkan untukku telah tersusun rapi, tampaknya bila aku menolak naik keretamu, keputusanku- itu sedikit tidak tahu aturan. Baiklah, kalau begitu mari kita buktikan kehebatan Peng-toaso.”
Setelah mengalami peristiwa kali ini, sikap maupun pandangannya terhadap Liok Ki-seng jadi telah banyak mengalami perubahan.
"Bouw-toako,” kata Seebun Yan, "kau pun sudah lelah karena menemani aku datang ke Liauw-tong, hal ini sungguh membuat perasaanku tidak enak. Apa rencanamu selanjutnya?" "Biarpun tugas yang kuemban gagal dilaksanakan dengan baik, sedikit banyak akupun berhasil meraih sedikit hasil. Tentu saja aku harus balik ke Bu-tong-san,” kata Bouw It-yu, "kegagalan yang kualami tidak mutlak, biarpun hasil yang diperoleh sedikit. Siapa tahu masih sempat ikut menghadiri upacara penguburan jenasah Bu-siang Cinjin "
"Yan-ji,” tiba-tiba Seebun-hujin bertanya, "kau merasa berat hati untuk berpisah dengan toakomu?"
"Kalau benar lantas kenapa?" tanya Seebun Yan.
"Kalau begitu sementara waktu kita tidak pulang ke rumah, ikut bersama toakomu naik ke Bu-tong.”
"Sama-sama pergi ke gunung Bu-tong?" tanya Seebun Yan agak melengak.
"Bu-siang Cinjin merupakan tokoh dalam dunia persilatan yang paling bagus reputasinya dan paling dihormati setiap umat persilatan, sayang aku tidak punya rejeki hingga semasa hidupnya belum sempat memperoleh petunjuk darinya, mumpung saat ini ada kesempatan, sewajarnya bila kita ikut hadir dalam upacara penguburannya sebagai wujud hormat kita. Apalagi ayah Bouw-toako mu adalah Ciangbunjin Butong-pay saat ini, kalau tidak hadir rasanya kurang sopan. Bagaimana, apakah kau....”
"Tentu saja aku seribu kali setuju,” jawab Seebun Yan cepat, "sejujurnya, akupun ingin sekali bertemu dengan adik angkatku.”
Padahal yang benar dia ingin bertemu Lan Giok-keng dan bertanya mengenai hal-hal yang menyangkut piauko nya.
Walaupun dalam hati Bouw It-yu agak curiga dengan niat dan tujuan Seebun-hujin, tentu saja tidak leluasa baginya untuk menampik, terpaksa katanya, "Bagus sekali kalau kita melanjutkan perjalanan bersama-sama!"
Setelah turun ke bawah bukit, benar saja disana telah menunggu dua buah kereta besar, selain kereta tersedia pula lima orang anak buah Liok Ki-seng serta belasan ekor kuda. Kereta diperoleh dari menyewa penduduk setempat, sedang anak buah dan kuda dibawa sendiri Liok Ki-seng dari daerah perbatasan. Kepada dua orang kusir kereta penduduk setempat, Liok Ki-seng pun berkata, "Kami sudah punya kusir sendiri, kalian tidak usah ikut. Kedua kereta milik kalian ini biar kubeli saja.”
Karena harga yang dibayar untuk kedua buah kereta itu adalah harga dua kali lipat, tentu saja kedua orang pemilik kereta itu menyetujuinya.
"Hong-hiocu,” ujar Seebun-hujin kemudian, "kau naik satu kereta dengan aku karena aku ingin mendengar ceritamu.”
"Terima kasih atas perhatian hujin,” jawab Hong-sihu, "aku telah menimbulkan banyak kesulitan dan masalah, sudah saatnya untuk mohon petunjuk dari hujin.”
“Bouw-toako, kalau begitu kau naik satu kereta dengan aku,” ajak Seebun Yan.
Bouw It-yu segera tertawa. "Aku adalah seorang lelaki, naik satu kereta denganmu bisa menimbulkan tertawaan orang. Buat aku lebih baik naik kuda sendiri saja.”
Kecuali mereka yang duduk dalam kereta dan menjadi kusir kereta, yang tersisa adalah enam orang penunggang kuda, berarti masih tiga ekor kuda yang kosong.
"Liok-tuocu, banyak amat kuda yang kau siapkan,” seru Bouw It-yu kemudian.
"Lebih banyak toh lebih baik,” jawab Liok Ki-seng sambil tertawa licik, "apalagi kusangka kau masih ada teman lainnya.”
Tergerak hati Bouw It-yu, pikirnya, 'Jangan-jangan diapun sudah tahu kalau Lan Giok-keng dan Hwee-ko Thaysu pun sudah datang ke Liauw-tong?'
Mula-mula Bouw It-yu masih sedikit khawatir, dia takut selama masih berada di wilayah Liauw-tong, setiap saat mereka bakal bertemu para pengejar, siapa tahu sepanjang jalan aman tenteram, karena itu perasaan hatinya pun mulai lega. Kalau pada hari pertama tidak ada masalah, lain halnya pada hari ke dua. Selesai bersantap siang, ketika kereta sedang bergerak ke depan, entah mengapa Peng-toaso yang bertugas menjadi kusir kereta tiba-tiba merasakan kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang kunang, sedikit teledor, kereta yang dibawanya nyaris terjerumus ke dalam sawah di tepi jalan. Cepat-cepat dia menarik tali les kudanya, dengan susah payah akhirnya kereta pun berhasil dihentikan, namun dia sudah kecapaian hingga napasnya tampak terengah-engah. Dengan wajah tersipu karena malu Peng-toaso berseru, "Selama hidup aku belum pernah mengalami kecelakaan, entah mengapa, tiba-tiba kepalaku terasa pening, kakiku lemas, seakan baru terserang penyakit parah.”
"Mungkin kau lelah,” kata Seebun-hujin, "coba ganti orang lain.” Siapa tahu baru selesai dia berkata, orang yang bertugas jadi kusir kereta yang membawa Seebun Yan "sakit" lebih parah lagi, bahkan jauh lebih parah daripada Peng-toaso, tiba-tiba saja tubuhnya jatuh terguling dari atas kereta. Begitu kusirnya terjatuh, kereta pun ikut terguling, sambil melompat keluar Seebun Yan segera berteriak, "Ibu, apa yang terjadi, kenapa kepala ku pun terasa berat sekali, semua tenaga seakan hilang lenyap dan tidak bisa digunakan lagi.” Menyusul kemudian, berapa orang anak buah Liok Ki-seng pun susul menyusul berteriak tidak enak badan, seakan-akan mereka semua telah terjangkit penyakit. Bouw It-yu sendiripun merasakan ada perubahan aneh dalam tubuhnya, namun dia tetap membungkam.
Liok Ki-seng yang berada di punggung kudapun nampak bergoncang keras, segera jeritnya, "Celaka, kemungkinan besar kita semua sudah terkena hawa kabut racun!" "Kabut beracun? Darimana datangnya kabut beracun?" seru Seebun Yan.
"Di Bawah bukit yang kita lalui pagi tadi terdapat sebuah hutan bunga Tho yang amat luas, bunga Tho yang berguguran dan menumpuk selama banyak tahun menimbulkan bau busuk yang lama-kelamaan membentuk kabut beracun yang sangat jahat, bisa jadi hawa beracun itu tersebar ketika terhembus angin. Hutan bunga Tho itu tak akan terlihat dari bawah bukit,” Liok Ki-seng menerangkan.
Seebun Yan merasakan rubuhnya makin lama semakin lemas tidak bertenaga, pikirnya, 'Biarpun tenaga dalam yang kumiliki tidak termasuk bagus, namun tidak banyak kabut racun yang terhisap olehku, apalagi kalau kabut racun itu berasal dari atas bukit. Aneh, kenapa 'sakit' ku bertambah parah?'
Namun gadis inipun sadar kalau pengetahuannya sangat terbatas, dia tidak berani menyampaikan rasa curiganya terhadap Liok Ki-seng, hanya tanyanya, "Ibu, bagaimana perasaanmu?"
"Tidak apa-apa,” jawab Seebun-hujin, "aku hanya merasa sedikit tidak enak badan.” Sambil tertawa getir Liok Ki-seng segera berkata, "Tenaga dalam yang dimiliki hujin serta Bouw-siauhiap sangat hebat, sekalipun terkena kabut racun, rasanya tidak akan terlalu mengganggu. Hanya saja, kalau dilihat kondisi sekarang, mungkin sulit bagi kita untuk melanjutkan perjalanan.”
"Lantas bagaimana baiknya?" tanya Seebun Yan.
"Aku rasa mungkin kita harus mendirikan tenda disini. Untung aku menyiapkan pula sedikit peralatan untuk berkemah serta obat obatan, walaupun bukan obat untuk memunahkan racun kabut, siapa tahu setelah diminum, kondisi tubuh kita akan lebih mendingan. Bila selewat malam nanti kondiri kita sedikit lebih baikkan, aku akan pergi mencari tabib. Hujin, bagaimana menurut pendapatmu?"
Seebun-hujin seperti kehabisan akal, sahutnya kemudian, "Aku belum pernah datang ke Liauw-tong, segala sesuatunya baiklah kau putuskan sendiri.”
Selesai mendirikan tenda, Liok Ki-seng mengeluarkan bubuk obat yang dibawanya dan dibagikan kepada semua orang. "Aku tidak perlu,” tampik Seebun-hujin, "bagikan saja lebih banyak obat yang kau bawa kepada mereka.”
Begitu Bouw It-yu melihat Seebun-hujin menampik pemberian itu, tergerak hatinya, cepat katanya pula, "Aku dengar kabut beracun yang berasal dari hutan bunga Tho merupakan jenis kabut paling beracun, betul bubuk obatmu bisa memunahkan pelbagai racun, tapi bila dipakai dalam kadar sedikit sama sekali tidak ada gunanya. Lagian aku hanya merasa sedikit pening dan tidak masalah, berikan saja lebih banyak kepada mereka yang kondisi sakitnya parah. Adik Yan, bagaimana keadaanmu?" "Kondisiku pun tidak terlalu parah,” sahut Seebun Yan, "kalau kau tidak mau, akupun tidak mau.”
Oleh karena gadis ini bersikeras menampik, terpaksa Liok Ki-seng mengulang kembali pembagian jatahnya, termasuk satu bagian buat diri sendiri. Padahal keadaan Seebun Yan saat itu bagaikan orang yang baru terserang penyakit parah, seluruh tubuhnya terasa bagaikan dilolosi, bukan saja matanya berkunang telinganya mendengung, ke empat anggota tubuhnya lemah tidak bertenaga. Namun setelah menyaksikan Liok Ki-seng maupun semua anak buahnya menelan bubuk obat yang dibagikan, perasaan curiga terhadap dirinya ikut pula hilang separuh bagian. Tapi sayang khasiat bubuk obat itu tidak terlalu besar, lewat setengah jam kemudian kecuali Seebun-hujin dan Bouw It-yu, seluruh anggota rombongan nyaris dalam kondisi 'sakit parah'. Berhubung begitu banyak orang jatuh sakit, persoalan mendesak pun segera muncul di depan mata. Dengan tubuh lemas dan tidak bertenaga bisik Peng-toaso, "Tampaknya aku sudah tidak sanggup bertahan lagi, tapi.... Liok-tuocu, malam ini harus ada orang yang menanakkan nasi untuk hujin.”
"Kalian tidak perlu menguatirkan diriku,” sela Seebun-hujin cepat, "aku bisa saja mengisi perut dengan rangsum kering. Kalian sedang sakit dan tidak sehat, tidak cocok rangsum kering untuk kalian semua.”
"Benar, nasi boleh saja tidak di makan tapi toh harus ada air yang bisa diminum, Liok-tuocu.... persediaan air kita....” Sambil tertawa getir sahut Liok Ki-seng, "Beras mah masih tersedia dua karung, tapi air yang tersisa tinggal sepoci. Untuk membuatkan bubur satu orang pun mungkin tidak cukup.”
Saat itu Seebun Yan merasakan pula sangat haus, segera serunya, "Apa jadinya bila orang yang sedang sakit tidak punya air? Toako, di tempat ini selain ibu, mungkin hanya kau seorang yang masih dapat bergerak, kau....”
"Baik, aku segera akan pergi mencari air,” jawab Bouw It-yu cepat. "Jangan,” cegah Liok Ki-seng, "kami tidak berani merepotkan Bouw kongcu, lagian soal ini.... soal ini....” "Apa itu soal ini soal itu, jadi kau tetap menganggap aku sebagai orang luar?" tukas Bouw It-yu cepat.
Terpaksa Liok Ki-seng menyahut, "Aku tidak bermaksud begitu, hanya saja.... kemampuanku memang terbatas, aku merasa kurang enak....”
Keluar dari tenda, Bouw It-yu menghirup napas segar, walaupun langkah kakinya agak limbung namun otak dan pikirannya tetap segar. "Aneh, tanpa sebab yang jelas kenapa ada begitu banyak orang yang jatuh sakit?"
Dia tidak percaya dengan perkataan Liok Ki-seng, apalagi menggambarkan pengaruh racun kabut hutan bunga Tho yang konon begitu lihay. Tapi demikianlah kenyataan yang terpampang di depan mata, bahkan saat ini tenaga dalamnya sudah tidak dapat digunakan lagi, yang bisa dia lakukan sekarang hanya bergerak dengan paksakan diri. "Moga-moga saja tenaga dalam yang dimiliki Seebun-hujin tidak lenyap seperti apa yang kualami.”
Biarpun sikap permusuhannya terhadap Seebun-hujin belum lenyap sama sekali, diapun bukan bersungguh hati menganggapnya sebagai ibu angkat, namun satu-satunya harapan yang dimilikinya saat ini hanyalah dia. Mendadak satu ingatan melintas lewat, “Aduh celaka! Bila tenaga dalam yang dimiliki Seebun-hujin belum lenyap, dia seharusnya mulai interogasi Liok Ki-seng, datangnya kejadian ini sangat aneh, bahkan aku pun merasa kalau Liok Ki-seng sangat mencurigakan, dia sebagai jago kawakan masa tidak dapat berpikir ke situ?"
Tapi, sekalipun dapat membuktikan kalau semuanya ini merupakan ulah yang dilakukan Liok Ki-seng, apa pula yang bisa dia lakukan? Dengan kondisi tubuhnya sekarang, jangan lagi memikirkan keselamatan orang lain, keselamatan diri sendiripun masih menjadi tanda tanya besar.
Sementara dia masih bingung dan tidak tahu apa yang mesti diperbuat, mendadak terdengar suara pekikan nyaring muncul dari balik hutan. Suara pekikan itu disertai irama yang istimewa, sekali mendengar Bouw It-yu segera tahu kalau suara itu berasal dari Jit-seng-kiam-kek. Biarpun dia tidak bisa menangkap arti dari suara pekikan itu, tidak urung muncul juga secercah harapan dihati kecilnya. Maka dengan langkah cepat dia menghampiri sumber munculnya suara tersebut.
Sementara dia masih berlarian dengan napas ngos-ngosan, mendadak terdengar suara yang sangat menusuk pendengaran bergema, "Hey bocah muda, kau anggap setelah mempunyai ibu angkat maka aku tidak bisa berbuat apa-apa kepadamu?" Suara itu membawa nada hidung yang kental, seperti orang yang sedang sakit pilek. Begitu mendengar suara orang itu, dia segera tahu siapa yang datang, tahu-tahu di depan mata telah muncul manusia berkerudung itu.
Dalam pada itu Bouw It-yu telah mencabut keluar pedangnya, Sreeet! Dia langsung melepaskan sebuah bacokan. Dalam kondisi tenaga dalam masih utuhpun dia tidak sanggup menghadapi sepuluh jurus serangan dari manusia berkerudung itu, apalagi sekarang tenaga dalamnya telah punah sama sekali, hanya saja dia tidak rela untuk menyerah kalah dengan begitu saja.
"Traaang....!" baru saja ujung pedang Bouw It-yu menyentuh pakaian lawan, serangan itu seketika tersampok runtuh oleh kebasan manusia berkerudung itu. Agaknya manusia berkerudung itupun tidak menduga akan hal ini, sambil mendengus segera tegurnya, "Kau sedang berlagak bodoh atau benar-benar telah kehilangan ilmu silat?" Perlu diketahui mereka baru berpisah selama dua hari, biarpun saat itu Bouw It-yu telah menderita kerugian besar ditangannya, namun manusia berkerudung itupun tidak berhasil melukai lawannya.
"Aku telah kehilangan ilmu silatku,” jawab Bouw It-yu dingin, "bila ingin membunuhku, bukankah bisa kau lakukan dengan lebih gampang lagi?" Tampaknya manusia berkerudung itu sudah tahu kalau lawannya benar-benar telah kehilangan ilmu silat, sebagai seorang jagoan kelas satu dalam dunia persilatan, mana mungkin dia mau membunuh seseorang yang telah kehilangan kemampuannya untuk melawan? Tangan manusia berkerudung yang telah diangkat ke atas perlahan-lahan diturunkan kembali, kemudian setelah berpikir berapa saat akhirnya dengan nada dingin ujarnya, "Baiklah, aku tidak akan membunuhmu, tapi akan kumusnahkan ilmu silatmu!"
Kondisi Bouw It-yu saat ini tidak lebih hanya 'kehilangan' ilmu silat, 'kehilangan' dan 'dimusnahkan' jelas dua hal yang berbeda sekali, bila kehilangan ilmu silat karena keracunan hebat atau sakit parah, suatu saat kemampuannya dapat pulih kembali, sebaliknya bila dimusnahkan seorang jago silat maka selama hidup ilmu silatnya tidakbakalan pulih kembali seperti sedia kala.
Biarpun terancam bahaya maut, Bouw It-yu tidak sudi minta ampun, dalam keadaan begini dia hanya menggertak giginya kuat-kuat. Tampaknya manusia berkerudung itupun tidak sanggup mengambil keputusan, tapi saat ini telapak tangannya telah menempel diatas tulang Pi-pa-kut di tubuh Bouw It-yu. Pada saat dia sambil menggigit bibir siap melancarkan serangan yang mematikan itulah, tiba tiba suara pekikan aneh itu kembali berkumandang. Manusia berkerudung itu tampak agak tertegun, kemudian serunya, "Bukannya aku lupa dengan hubungan persahabatan di masa lampau, aku toh sudah berulang kali memperingatkan bocah muda ini!"
Kembali suara pekikan berkumandang tapi kini telah berubah iramanya. Bouw It-yu tahu suara pekikan itu merupakan irama tambur untuk menyampaikan berita, hanya sayang dia tidak paham apa maksud dari pekikan itu. Dia memang tidak mengerti namun manusia berkerudung itu sangat memahami artinya, begitu suara pekikan berhenti, kembali dia berseru, "Baiklah, kau adalah lotoa kami, bila kau bersedia mewakili bocah ini memberikan janjinya, tentu saja aku akan mempercayai jaminanmu itu. Memandang diatas wajahmu sebagai penanggung, kulepaskan dirinya kali ini'
Begitu manusia berkerudung itu berlalu, terdengarlah seseorang berkata lagi, "Sebetulnya aku tidak ingin bertemu dengan mu, tapi sekarang mau tidak mau harus bertemu juga!" Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, dalam sekejap mata seorang kakek berwajah merah yang tinggi besar telah muncul dihadapannya. Banyak pertanyaan berkecamuk dalam benak Bouw It-yu selama ini, cepat dia berseru, "Kwik-locianpwee, terus terang, kedatangan tecu kali ini ke wilayah Liauw-tong adalah karena ingin menanyakan berapa masalah yang pelik kepada diri cianpwee....”
Belum sempat dia menyelesaikan perkataannya, secara tegas Jit-seng-kiam-kek telah menukas, "Hanya aku yang boleh bicara, kau tidak boleh bertanya!"
Bouw It-yu melengak dan berdiri melongo. Sebagaimana diketahui dia adalah putra seorang pendekar kenamaan, sedikit banyak dia masih memiliki sedikit pamor dan nama, siapa tahu bukan saja orang tua itu sama sekali tidak sungkan, bahkan begitu bertemu muka telah membuatnya ketanggor batunya. Maka sesudah termangu berapa saat, ujarnya, "Urusan orang lain boleh saja tak kutanyakan, tapi kalau masalahnya menyangkut pribadiku dan aku ingin mengetahuinya, hal ini tidak kelewat batas bukan? Kalau didengar dari perkataan manusia berkerudung itu, kelihatannya locianpwee telah mewakili aku menyanggupi sesuatu, apakah hal seperti inipun aku tak pantas bertanya?"
"Kau menyalahkan aku karena berani mewakilimu mengambil keputusan?"
"Tidak berani, aku tahu cianpwee berbuat begini demi kebaikanku. Hanya saja aku masih tetap ingin tahu.”
"Betul, persoalan ini memang harus kau ketahui. Sederhana sekali, aku hanya mewakilimu berjanji setelah balik ke gunung nanti tidak pernah akan bercerita kepada siapa pun kalau di wilayah Liauw-tong pernah bertemu dengannya.... termasuk kepada ayahmu.”
"Tapi bukan hanya tecu seorang yang pernah bertemu dengannya.”
"Aku tahu,” jawab Jit-seng-kiam-kek, "selain kau, Seebun-hujin dan putrinya pernah bertemu juga. Tapi mereka tidak bakalan akan bercerita kepada orang-orang Bu-tong-pay, lagipula yang mereka ketahui tidak sebanyak apa yang kau peroleh. Seperti misalnya kejadian barusan, mereka toh tidak tahu. Cuma kau tidak usah kuatir, siapa yang akan membocorkan rahasia nya dikemudian hari, dia pasti punya cara untuk menyelidikinya, tidak mungkin dia akan menagih hutang orang lain kepadamu.” Bouw It-yu bukan orang bodoh, begitu berpikir sejenak diapun segera menjadi paham, yang di maksud manusia berkerudung itu sebagai "kepada siapa" sesungguhnya hanya kata kiasan, sebab orang yang benar-benar paling ditakuti olehnya hanya ayahnya seorang.
"Mengapa dia tidak berani membiarkan ayah tahu kalau dia pernah muncul di Liauw-tong bahkan berulang kali berusaha menyusahkan diriku? Mungkin masalahnya bukan hanya takut ayah bakal menuntut balas kepadanya, dulu dia pasti pernah saling mengenal dengan ayahku dan sekarang ada sesuatu rahasia yang tidak ingin diketahui ayahku. Semisal secara diam-diam kuberitahukan hal ini kepada ayah, darimana dia bisa mengetahuinya?"
Agaknya Jit-seng-kiam-kek dapat membaca suara hatinya, cepat katanya, "Bila kau mengira dapat mengelabuhinya, maka dugaanmu itu keliru besar. Bila ingin orang lain tidak tahu, kecuali kau tidak pernah melakukannya. Bila kau beritahukan persoalan ini kepada ayahmu, bukan saja bakal tidak menguntungkan bagimu, terhadap ayahmu sendiripun lebih banyak ruginya daripada untung. Jangan kau sangka aku sedang menakut-nakutimu!"
"Boanpwee akan mentaati pesan cianpwee.”
"Bagus, apa yang ingin kau tanyakan telah kujawab, sekarang kaulah yang harus mendengarkan perkataanku.”
"Boanpwee siap mendengarkan.”
"Tadi kau mengatakan kalau aku mau mewakilimu menyanggupi permintaan manusia berkerudung itu karena demi kebaikan, salah!"
Tanpa terasa kembali Bouw It-yu tertegun, namun berhubung dia tidak boleh bertanya terpaksa ditunggunya sampai Jit-seng-kiam-kek sendiri yang memberi penjelasan. "Aku berbuat demikian demi Seebun-hujin,” Jit-seng-kiam-kek menerangkan, "bagaimanapun juga, dia masih terhitung sahabat lamaku. Sekarang dia sedang ketimpa masalah, aku tidak bisa berpeluk tangan tanpa menolong. Oleh karena itulah terpaksa aku harus meminjam tanganmu untuk menolongnya! Bila ilmu silatmu sampai dipunahkan manusia berkerudung itu, berarti tidak bisa selamatkan dirinya!" Bouw It-yu merasa terkejut bercampur kaget, tanpa sadar serunya tertahan, "Apakah Liok....” Baru mengucapkan dua kata, Jit-seng-kiam-kek telah mengerling sekejap ke arahnya sambil menukas, "Bagaimana aku berpesan kepadamu tadi, secepat itu sudah kau lupakan?"
"Tecu hanya sembarangan menebak, tidak berani banyak bertanya.”
"Kau ingin menduga seperti apapun, itu urusanmu, kau ingin menggunakan cara apa untuk menghadapi orang yang kau curigai, itupun urusanmu sendiri, aku tidak mau ikut campur. Yang ingin kukatakan kepadamu adalah racun yang bersarang di tubuh kalian bukan racun yang berasal dari kabut melainkan racun yang dicampur orang di dalam makanan kalian, racun ini dibuat dari bunga setan yang banyak tumbuh di Tibet, tiada warna tiada bau, siapapun yang terkena racun itu maka tenaga dalamnya segera akan punah, kendatipun ilmumu sangat hebat. Racun ini jauh lebih lihay dari bubuk pelemas tulang.”
Berbicara sampai disini dia mengeluarkan sebuah botol porselen, di dalam botol itu berisi lima butir obat, katanya, "Untung aku mempunyai obat penawarnya, kau telanlah sebutir lebih dulu, sisanya yang empat butir bawa pulang dan berikan kepada orang orang yang kau anggap butuh pertolongan.” Tergerak hati Bouw It-yu, pikirnya, 'Ucapan ini terdapat titik kelemahan. Tujuannya yang paling utama adalah selamatkan Seebun-hujin, tapi sekarang minta akulah yang melakukan tugas pembagian ini. Mungkin dia sangka jalan pikiranku sama seperti jalan pikirannya, pasti akan selamatkan Seebun-hujin terlebih dulu.'
Berbagai ingatan segera melintas dalam benaknya, namun mimik mukanya tidak menunjukkan perubahan apa pun. Terdengar Jit-seng-kiam-kek berkata lebih jauh, “Obat penawar ini baru menunjukkan khasiatnya setelah waktu berjalan berapa saat, bagi orang yang memiliki tenaga dalam seperti Seebun-hujin, setelah menelan pil pemunah itu maka dalam setengah jam kekuatannya dapat pulih kembali, namun bagi kau paling tidak butuh waktu satu jam. Aku rasa dia tidak bisa menunggu kedatanganmu satu jam lagi, mari biar kubantu dirimu.” Habis berkata diapun menepuk punggung Bouw It-yu, segulung hawa panas segera memancar keluar dari telapak tangannya dan langsung menembusi ke dalam tan-tian Bouw It-yu. "Nah sudah,” ujar Jit-seng-kiam-kek kemudian, "di saat kau sudah tiba kembali di tempat semula, aku rasa tenaga dalammu telah pulih kembali enam, tujuh bagian.”
"Terima kasih banyak atas pemberian obat dari Cianpwee, tecu mohon diri,” kata Bouw It-yu kemudian sambil menyimpan botol obat itu ke dalam sakunya.
"Tunggu sebentar,” tiba-tiba Jit-seng-kiam-kek berseru, "melihat kau sudah jauh-jauh datang ke Liauw-tong, tampaknya paling tidak aku harus memberi-tahukan sedikit tentang persoalan yang paling ingin kau ketahui.”
"Terima kasih atas petunjuk Cianpwee!" seru Bouw It-yu kegirangan, "perguruan kami pasti akan sangat berterima kasih atas budi kebaikan ini.”
Dia tidak tahu apakah apa yang akan dikatakan Jit-seng-kiam-kek merupakan persoalan yang benar-benar ingin dia ketahui, karena itulah dia ingin menggunakan ucapan tersebut untuk "mengunci" janjinya didalam lingkungan yang dia maksud, agar Jit-seng-kiam-kek tidak salah paham dengan maksud hatinya.
"Kau tidak usah berterima kasih kelewat awal,” kata Jit-seng-kiam-kek lagi, "aku tidak mungkin memberitahukan kepadamu siapa pembunuh yang kau curigai. Yang bisa kuberitahukan kepadamu hanyalah.... ehmm, jangan salahkan kalau aku bicara tanpa sungkan sungkan. Walaupun ayahmu bukanlah terhitung seorang lelaki sejati, namun dia tidak bakalan mau menjadi pembantu dalam kasus pembunuhan terhadap orang lain.” Sedikitpun tidak salah, apa yang dia katakan memang merupakan persoalan yang paling ingin diketahui Bouw It-yu. Walaupun dia tidak memberitahukan siapa pembunuh sebenarnya dalam berapa kasus pembunuhan yang menimpa tokoh-tokoh Bu-tong-pay, namun jawaban ini telah menghilangkan satu keraguan yang paling ditakuti Bouw It-yu, dia pernah mencurigai ayahnya tersangkut langsung dengan beberapa kasus pembunuhan itu.
"Terima kasih Kwik-locianpwee telah membebaskan simpul mati yang mengganjal pikiranku selama ini!" Walaupun perkataan Jit-seng-kiam-kek sama sekali tidak sungkan, namun rasa terima kasihnya ini tetap muncul dari hati sanubarinya yang paling tulus.
"Cukup, sekarang kau boleh segera kembali. Kalau terlambat kuatirnya tidak sempat lagi!" Ketika mengucapkan perkataan yang terakhir, tubuh Jit-seng-kiam-kek telah lenyap di balik hutan belukar. Setelah mendapat bantuan dari Jit-seng-kiam-kek, di saat Bouw It-yu balik kembali ke tempat dimana tenda itu didirikan, tenaga dalamnya telah pulih kembali tujuh bagian. Pertama-tama yang dia dengar adalah suara tertawa dingin dari Liok Ki-seng.
Di saat semua orang sedang berharap harap cemas akan munculnya kembali Bouw It-yu, tiba-tiba Liok Ki-seng berkata, "Nona Seebun, jangan salahkan kalau aku bicara terus terang, aku kuatir kau sedang bermimpi bila ingin melihat Bouw It-yu balik kembali kemari!"
"Kenapa?" tanya Seebun Yan terperanjat.
"Sebab bocah keparat itu sudah kehabisan tenaga, dimulut saja dia masih berbicara sok gagah, mau pergi mencari air, hmmm.... mungkin saja saat ini tubuhnya sudah terpelanting masuk ke dalam jurang dan tidak mampu bangkit kembali. Bila nasibnya sedang baik, mungkin saja jiwanya akan ditolong pemburu yang kebetulan lewat, tapi paling tidak dia bakal sakit parah setengah sampai setahun lamanya, jika nasib sedang buruk, apalagi sampai bertemu tanah longsor atau air bah, mungkin bukan cuma nyawanya saja yang lenyap, tulang belulangnya pun tidak bakal bisa ditemukan lagi!"
Meledak hawa amarah Seebun Yan setelah mendengar ucapan itu, umpatnya, "Liok Ki-seng, kau berani menyumpahi saudara angkatku! Ibu, coba lihat, kurangajar benar bajingan ini, kita harus memberi pelajaran yang setimpal kepadanya!"
Namun Seebun-hujin berlagak seolah tidak ada masalah, katanya sambil tersenyum, "Mungkin Liok-tuocu sengaja menggodamu setelah melihat kau panik tidak karuan, jangan ditanggapi serius."
Melihat Seebun-hujin tidak berani menegur atau memakinya, Liok Ki-seng segera tahu kalau apa yang diduga tidak meleset, sikapnya semakin bertambah kurangajar. "Seebun-hujin,” jengek Liok Ki-seng kemudian sambil tertawa dingin, "aku dengar ilmu pedangmu sudah termasuk jagoan nomor wahid, ternyata yang kau miliki hanya ilmu sandiwara yang hebat!"
Meledak hawa amarah Peng-toaso mendengar ucapan itu, bentaknya, "Liok-tuocu, aku adalah anak buahmu, tapi kau pun anak buah hujin, berani amat kau bersikap kurang ajar terhadap hujin! Hmm, kalau kamipun bersikap seperti itu kepadamu, apa kau sanggup untuk menerima nya?"
"Itu mah tergantung berada dalam situasi macam apa,” jawab Liok Ki-seng kembali tertawa dingin, "terkadang tidak tahan pun terpaksa harus ditahan!"
Hong-sihu jauh lebih cerdas, tampaknya dia sudah menemukan gejala yang tidak beres, cepat katanya, "Liok-tuocu, apa sih yang kau andalkan, berani amat kurangajar terhadap hujin?" "Ucapan enci Hong kelewat serius. Aku hanya membuka jendela lebar-lebar sambil bicara blak-blakan. Meski apa yang kukatakan memang tidak enak didengar, tapi seharusnya hujin pun mengerti, semua yang kukatakan adalah ucapan sejujurnya.”
Bicara sampai disini, dia sengaja berlagak minta maaf, katanya lagi kepada Seebun-hujin, "Hujin, aku tidak pandai bicara, bila ucapanku menyinggung perasaanmu, harap kau sudi memaafkan dan memberi hukuman yang seringan-ringannya.”
Hampir meledak dada Seebun Yan saking gusarnya, kembali dia berteriak, "Ibu, kenapa kau masih belum turun tangan untuk memberi pelajaran kepadanya!"
Seebun-hujin menghela napas panjang. "Aaaai, kau memang bocah yang tidak tahu urusan, hari ini kita semua sudah terjatuh ke cengkeraman orang lain!"
"Ibu, apa yang kau katakan?" jerit Seebun Yan terperanjat. Saat itulah Seebun-hujin baru menatap Liok Ki-seng sambil perlahan-lahan berkata, "Liok Ki-seng, ilmu meracunmu sungguh luar biasa, sampai akupun berhasil kau kelabuhi!"
Begitu perkataan itu diucapkan, bukan hanya Seebun Yan saja yang terperanjat, Hong-sihu serta Peng-toaso pun ikut melompat bangun saking kagetnya, teriak mereka berbareng, "Liok Ki-seng, ternyata kau telah meracuni kami!"
Liok Ki-seng tertawa terbahak-bahak, ejeknya, "Hujin kelewat memujiku, padahal bukan caraku melepaskan racun yang hebat, bahan racun itu sendiri yang memang luar biasa. Hujin, kau ingin tahu bahan apa yang telah digunakan? Hahahaha.... obat itu adalah bubuk Siu-lo-san yang dibawa Ka-cok Hoatsu dari Tibet, bubuk Siu-lo-san terbuat dari bunga iblis (opium), daya pengaruhnya berlipat ganda bila dibandingkan bubuk pelemas tulang.”
"Liok Ki-seng! Kau memang bangsat, bajingan yang sudah sinting!" umpat Peng-toaso sambil menuding ke arah wajahnya, "hujin begitu baik kepadamu, beginikah balasan yang kau berikan?" Kembali Liok Ki-seng tertawa keras.
"Peng-toaso, masa kau lupa kalau julukanku adalah sang pelajar dari alam baka?"
"Kalian tidak perlu mengumpatnya lagi,” tukas Seebun-hujin hambar, "manusia semacam dia lebih pantas disebut: manusia egois yang takut dikutuk langit bila tidak mencelakai orang. Buat apa kalian mengajaknya bicara soal perasaan dan kesetiakawanan? Jangan sampai dia mentertawakan kalian hingga pecah kulit perutnya.”
"Tepat sekali!" seru Liok Ki-seng sambil bertepuk tangan, "ternyata hujin memang lebih tahu perasaanku....”
"Baiklah, sekarang aku ingin bertanya kepadamu, karena apa kau meracuni diriku?"
"Sebenarnya aku ingin mengandalkan hujin sebagai tulang punggungku, tapi kau enggan menolongku, karena itulah agar bisa menjadi seorang Liok-lim Bengcu, terpaksa aku mencari orang lain untuk dijadikan sandaran.”
"Kim Teng-hap maksudmu?"
"Tepat sekali, tapi yang benar-benar cocok menjadi sandaranku adalah majikan Kim Teng-hap.”
“Khan dari bangsa Boan?"
"Tepat sekali. Kim Teng-hap telah menyanggupi permintaanku, asal aku berhasil membekuk kalian ibu dan anak dan menyerahkan kepadanya, dia berjanji akan membantu aku membicarakan masalah ini dihadapan Khan, agar keinginanku bisa kesampaikan!"
"Liok Ki-seng, anjing gelandangan!" umpat Peng-toaso teramat gusar, "sungguh tak kusangka kau adalah manusia berhati serigala berparu paru anjing! Kau ingin menangkap hujin? Lebih baik bunuhlah aku terlebih dulu!"
"Peng-toaso, siapa yang telah mempromosikan dirimu? Kau lupa pernah bersumpah setia sampai mati kepadaku?" seru Liok Ki-seng.
"Hmm, siapa pula yang telah menampungmu ketika kau melarikan diri ke luar perbatasan seperti seekor anjing yang habis digebuki? Terhadap hujin pun tidak setia, kau masih punya muka untuk berbicara denganku!"
Bukannya gusar Liok Ki-seng malah tertawa tergelak. "Hahahaha.... ternyata baru dicoba sudah ketahuan, sejak awal aku sudah tahu kalau kau tidak dapat melupakan majikan lamamu, kesetiaanmu terhadapku hanya palsu, kesetiaan terhadap majikan lamalah baru beneran.”
"Liok-toako....” tiba tiba Hong-sihu memanggil dengan suara lembut.
"Hong-hiocu,” tukas Liok Ki-seng cepat, "kaupun jangan salahkan aku karena harus meracuni pula dirimu, meski kita adalah rekan kerja selama banyak tahun, namun selama beberapa hari belakangan tampaknya hujin sedang berusaha merangkulmu, aku musti bertindak hati-hati dalam setiap langkahku.”
"Aku baik terhadap hujin, baik pula terhadapmu, bahkan aku bisa bersikap lebih baik lagi kepadamu,” ucap Hong-sihu.
"Oooh, kebaikan apa lagi yang bisa kau berikan untukku?"
"Asal kau bebaskan hujin, apa pun yang kau inginkan pasti akan kukabulkan.”
Rupanya selama ini Liok Ki-seng selalu kesemsem dengan kecantikan wajah Hong-sihu, bahkan berapa kali sempat mengemukakan keinginannya, namun selama ini Hong-sihu selalu berlagak tidak paham dan menolak keinginannya. Liok Ki-seng tampak sangat puas setelah mendengar ucapan itu, katanya, "Kalau begitu kau bersedia menikah denganku?" Berlagak seolah tersipu malu Hong-sihu menundukkan kepalanya, sesaat kemudian dia baru menyahut, "Hal ini tergantung dirimu.”
"Baiklah, bagaimana kalau kita masing-masing mengalah satu langkah,” usul Liok Ki-seng sambil tertawa, "aku tidak keberatan untuk membebaskan nona Seebun.”
"Tidak bisa, kalau ingin dibebaskan harus ter-masuk juga hujin. Bagaimana pun ilmu silat yang hujin miliki telah punah, kau tidak usah menguatirkan lagi tindakannya untuk mencegahmu menjadi Liok-lim Bengcu.”
Liok Ki-seng menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya, "Aku pun tidak segan untuk bicara sejujurnya kepadamu, meski aku menyukaimu tapi kalau gara-gara mendapatkan dirimu lantas aku harus kehilangan posisi ku sebagai Liok-lim Bengcu, jelas kerugian dipihakku kelewat besar. Selama mereka belum berhasil mendapatkan hujin, tidak nanti orang orang itu akan mendukungku. Bila aku gagal memperoleh kekuatan untuk mendukungku, sekalipun hujin tidak menghalangi pun, rasanya sulit bagiku untuk menduduki bangku kehormatan itu.”
"Kalau ada harga tentu ada penawaran, begini saja,” kata Hong-sihu kemudian, "berikan obat penawar untuk nona kami, aku akan mengabulkan permintaanmu setelah menyaksikan ilmu silatnya pulih kembali seperti sedia kala.”
Tampaknya tergerak hati Liok Ki-seng setelah mendengar tawaran itu, dia mulai termenung sambil mempertimbangkan. Kembali Hong-sihu berkata, "Biarpun ilmu silat yang nona miliki telah pulih kembali, diapun bukan tandinganmu, apa yang harus kau takuti?"
Menurut perhitungannya, asal dia bersedia kawin dengan Liok Ki-seng maka sedikit banyak orang itu akan membagikan juga obat penawar baginya. Asal dia bekerja sama dengan Seebun Yan, paling tidak dia masih bisa beradu nyawa dengan Liok Ki-seng. Peng-toaso tidak berpikir sampai kesitu, ucapan mana membuat sepasang matanya langsung melotot gusar, dia ingin memaki namun tidak mampu bersuara, akhirnya yang bisa dilakukan hanyalah menghela napas panjang. Seebun Yan tidak kuasa menahan amarahnya, dengan nada kasar kembali teriaknya, "Lebih baik kawin dengan babi atau anjing daripada kawin dengan bangsat macam dia. Enci Hong, biar kuterima dalam hati niat baikmu. Tapi aku tidak boleh membiarkan tubuhmu jadi kotor dan terhina gara gara ingin menolongku.”
Liok Ki-seng mendengus dingin. "Budak busuk!" umpatnya, "jangan lupa, nyawamu sudah berada dalam genggamanku, berani amat bicara kotor.”
Buru-buru Hong-sihu melerai, katanya, "Liok-tuocu, kau telah berjanji kepadaku untuk tidak bertindak sembarangan. Nona, lebih baik kurangi perkataanmu, pepatah kuno mengatakan: selama gunung nan hijau....” Tidak menanti dia menyelesaikan perkataannya, kembali Seebun Yan telah mengejek sambil tertawa dingin, "Memangnya aku salah memaki? Aku ingin bertanya kepadamu, bukankah menjadi kuku garudanya kaum Tartar sama hinanya dengan seekor anjing busuk?"
Paras muka Hong-sihu berubah jadi hijau kemerah merahan, dia sadar setelah kejadian berubah jadi begini maka perkataan apa pun tidak mungkin bisa pulihkan kembali keadaan.
Sambil tertawa dingin kembali Liok Ki-seng berseru, "Toa-siocia, kau benar-benar tidak tahu diri, hmm! Jangan salahkan kalau aku orang she-Liok tidak punya perasaan.” "Kalau kau ingin membunuh, bunuhlah, buat apa banyak bicara. Setelah kau membunuhku, pasti ada orang yang akan membalaskan dendam bagiku.”
Liok Ki-seng tertawa mengejek. "Kau mengharapkan siapa yang akan membalaskan dendammu? Tonghong Liang atau Bouw It-yu?
Sayang Tonghong Liang menganggap wajahmu kelewat jelek, begitu bertemu denganmu, sedari jauh sudah berusaha menghindarkan diri, sedang Bouw It-yu si bocah keparat itu.... hehehe....”
Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar lagi seseorang sedang tertawa dingin.
"Siapa?" hardik Liok Ki-seng. Sambil tertawa dingin sahut orang itu, "Aku tidak mati terpelanting, tidak pula roboh karena sakit, maaf, telah membuat kau kecewa berat!" Ternyata Bouw It-yu muncul tepat waktu.
Begitu turun tangan dia langsung mengeluarkan jurus pamungkas dari ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat, niatnya ingin menggunakan serangan yang tercepat untuk segera menyelesaikan pertarungan ini. Ujung pedangnya langsung menusuk ke arah tenggorokan lalu mata pedang mengikuti gerakan tadi menebas turun ke bahu, sementara dengan gagang senjata dia sodok perut lawan. Tiga jurus berantai dilancarkan bersamaan waktu, kedahsyatannya benar benar luar biasa. Tapi sayang tenaga dalamnya baru pulih tujuh bagian, Liok Ki-seng berani mengincar kursi kebesaran Liok-lim Bengcu tentu saja ilmu silat yang dia milikipun bukan sembarangan.
Cepat telapak kirinya menabok ke muka, dia tangkis gagang pedang lawan terlebih dulu, otomatis tusukan ke arah tenggorokan dan babatan ke arah bahu pun terurai dengan sendirinya. Menyusul kemudian telapak tangan kanannya menyodok ke depan, sepasang tangan bersatu membentuk satu lingkaran busur, dalam waktu singkat gerakan pedang dari Bouw It-yu pun terkunci sama sekali. Kini bukan saja gerakan pedang Bouw It-yu terkunci, bahkan seluruh tubuhnya berada dalam kurungan angin pukulannya, hal ini memaksa tubuhnya gontai berapa kali.
Sambil tertawa dingin Liok Ki-seng segera mengejek, "Bocah dungu, kusangka kepandaianmu benar-benar luar biasa, hmmm, tidak tahunya hanya ujung tombak yang terbuat dari lilin. Hmm! Tadi kau berhasil kabur satu kali, jangan harap bisa kabur untuk kedua kalinya, inilah yang dinamakan jalan ke sorga kau tidak lewati, jalan menuju ke neraka justru kau datangi!"
Walaupun mulutnya tetap berkobar mengejek ketidak becusan musuhnya, sementara dalam hatinya dia merasa terperanjat bercampur keheranan, pikirnya, 'Sim-hoat tenaga dalam dari Bu-tong-pay ternyata memang luar biasa saktinya, Seebun-hujin saja tidak tahan menghadapi racun dari bunga iblis, ternyata bocah keparat ini masih mampu bertarung seimbang melawanku!'
Dalam terkejut bercampur ragunya, karena kuatir situasi bakal berubah tidak menguntungkan pihaknya maka napsu membunuh pun seketika menyelimuti hatinya. Waktu itu Seebun-hujin sedang duduk bersila sambil setengah pejamkan matanya, mendadak dia berseru, "Jalan ke Jian (barat-laut) berputar ke Sun (tenggara), Kim-ku-lui-ming (tambur emas guntur menggelegar)"
Jian (Langit/barat-laut), Kun (Bumi/barat-daya), Ken (Gunung/timur-laut), Sun (Angin/tenggara), Kan (Air/utara), Li (Api/Selatan), Ceng (Guntur/timur), Tui (Jeram/barat) merupakan delapan unsur yang menunjuk kan arah yang berbeda dalam Pat-kwa, namun bila digunakan dalam ilmu silat maka bukan saja hanya menunjukkan arah mata angin bahkan memiliki pula makna mana yang saling menghidupkan dan mana yang saling bertentangan.
Bu-tong-pay merupakan pusat agama To, semua ilmu silatnya mengandung makna Ngo-heng dan Pat-kwa, jelas merupakan suatu keistimewaan dari ilmu silat aliran Bu-tong.
Begitu mendengar petunjuk itu, tanpa berpikir panjang lagi Bouw It-yu bergerak menuju arah yang ditunjuk Seebun-hujin, pedang dan pukulan digunakan bersama, dia segera mengeluarkan jurus Kim-ku-lui-ming (tambur emas guntur menggelegar) yang maha dahsyat. Jurus pembunuh yang dilancarkan Liok Ki-seng memang tertuju ke bagian tubuhnya yang kosong, dengan perputaran itu maka secara persis dia malah menyumbat bagian yang kosong itu bahkan melancarkan serangan setengah langkah cepat, dari posisi yang diserang kini dia malah menjadi pihak yang menyerang.
Begitu Bouw It-yu mendapat petunjuk dari Seebun-hujin, walaupun tenaga dalamnya masih kalah dari musuhnya, namun setiap jurus serangan yang dilancarkan selalu berhasil mengendalikan situasi lebih dulu, hal ini menyebabkan Liok Ki-seng jadi keteter hebat dan kalang kabut dibuatnya.
Cepat Liok Ki-seng merangkap tangannya di depan dada dan berdiri tegap tanpa melancarkan serangan lagi. Karena dia tidak bergerak, petunjuk dari Seebun-hujin pun segera berhenti.
Tiba tiba Liok Ki-seng membentak nyaring, "Kalian tidak usah berlagak mampus, ayoh cepat bangun dan turun tangan!" Ke lima orang anak buah yang dibawa dari daratan Tionggoan itu semula masih tergeletak 'sakit' dalam kondisi yang parah, kini tiba-tiba saja melompat bangun dalam keadaan segar bugar.
Sasaran pertama yang mereka serang tentu saja Seebun-hujin. Paras muka Seebun-hujin sama sekali tidak berubah, mendadak terdengar suara orang menjerit kesakitan, orang pertama yang menubruk ke arahnya tahu-tahu sudah tergelepar lagi diatas tanah.
Rupanya orang itu hendak menggunakan Seebun-hujin sebagai sandera, siapa tahu meski tenaga dalam yang dimiliki perempuan ini telah punah namun ilmu silatnya sama sekali tidak lenyap, sejak awal secara diam diam dia sudah menyembunyikan sebatang tusuk konde di balik telapak tangannya. Begitu orang itu menyerang, diapun langsung menotok urat nadinya, kemudian dengan tehnik empat tahil membelokkan seribu kati dia lempar tubuh orang itu ke belakang.
Dengan ilmu silat tenaga luar yang dimiliki orang itu, bagaimana mungkin dia dapat menghadapi ilmu silat tingkat tinggi, tidak ampun lagi tubuhnya roboh tertelentang ke tanah. Tusuk konde perak itu memang sengaja disembunyikan di balik telapak tangan, rekan orang itu yang ikut menerjang ke muka sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi dengan temannya, dia hanya melihat begitu orang itu menerjang maju tahu-tahu sudah roboh terjengkang, disangkanya Seebun-hujin masih memiliki ilmu simpanan yang maha dahsyat, hal mana membuatnya terkesiap dan langsung berdiri mematung.
Dengan tatapan tajam Seebun-hujin mengawasi wajahnya, kemudian berkata hambar, "Lay Po-ji, kau pun sudah berpindah keluarga? Bagus, kalau begitu majulah, akan kusempurnakan keinginanmu itu!"
Ternyata orang yang bernama Lay Po-ji ini adalah pelayan mendiang suaminya dulu, meski sudah lewat dua puluhan tahun namun sikapnya terhadap perempuan itu masih takut bercampur hormat. Dalam terperanjatnya buru-buru dia berseru, "Hamba tidak berani!" Kakinya seolah menginjak minyak pelumas saja, begitu membalikkan tubuh langsung melarikan diri terbirit-birit. Mana dia tahu kalau saat itu kondisi Seebun-hujin sudah amat parah, bukan saja amat lelah bahkan sudah kehabisan tenaga. Untuk melakukan tehnik empat tahil membelokkan seribu kati, paling tidak dia harus memiliki modal tenaga sebesar empat tahil, padahal jangan lagi empat tahil, kekuatan setahil pun saat ini sudah tidak dimilikinya. Andaikata dia berani maju menyerang, niscaya Seebun-hujin akan berhasil dibekuknya.
Orang ke tiga jauh lebih licik, dia tidak berani maju menyerang Seebun-hujin namun diapun tidak melarikan diri, hanya berganti sasaran saja, kini dia berbalik menerjang ke arah Seebun Yan. Saat ini untuk berdiri pun sudah tidak sanggup, bagaimana mungkin Seebun-hujin dapat menolong putrinya?
"Sudah kalian lihat sendiri bukan!" bentak Liok Ki-seng, "perempuan bangsat itu sudah ibarat patung lumpur menyeberangi sungai, untuk menyelamatkan diri sendiripun sudah tidak mampu, apa lagi yang kalian takuti?"
Baru selesai dia berteriak, kembali terlihat ada dua orang jatuh bersama keatas tanah. Ternyata Peng-toaso telah memeluk kencang orang itu, maka mereka berdua pun menggelinding bersama diatas tanah. Peng-toaso memang pada dasarnya memiliki tenaga alam yang sangat kuat, biarpun sudah keracunan hebat, biarpun kekuatan tenaganya sudah hilang tujuh, delapan bagian, namun serangan yang dilancarkan dalam keadaan kritis dan berbahaya ini benar-benar menakutkan. Mana mungkin dalam keadaan panik dan cemas orang itu dapat melepaskan diri dari rangkulannya?
Seebun Yan segera mencabut pedangnya dan langsung ditusukkan ke punggung orang itu. Tenaga yang dimilikinya saat itu hanya cukup untuk memegang kencang gagang pedangnya, sewaktu ditusukkan ke depan, ujung pedangnya bergetar tiada hentinya, Peng-toaso harus menggunakan seluruh tenaga yang dimilikinya untuk membenturkan punggung orang itu dengan ujung pedang. Pada tusukan ke tigalah ujung pedang itu baru tembus ke dalam punggungnya. Seketika orang itu tidak bergerak lagi sedang Peng-toaso pun jatuh tidak sadarkan diri....
"Traaang....” pedang Seebun Yan terjatuh ke tanah, sama seperti ibunya, diapun kehabisan tenaga dan tidak sanggup bergerak lagi. Masih untung dua orang jagoan yang lain sedang membantu Liok Ki-seng menyerang Bouw It-yu, agaknya mereka tidak menyangka kalau orang itu ternyata tidak mampu mengatasi Peng-toaso.
Setelah berhasil menenangkan diri, buru-buru Seebun-hujin berteriak lagi, "Berputar ke arah Li, menyeberang ke Sun, balik tangan menusuk ke belakang!"
Waktu itu Bouw It-yu sedang diserang habis-habisan hingga tidak sanggup berganti napas, dia segera mengikuti petunjuk dengan melakukan tusukan membalik. Benar saja, tusukan itu langsung menembusi jalan darah seorang diantaranya, menyusul kemudian tusukan berikut membuat seorang jago yang tersisa menderita luka pula. Tampaknya orang itu keder dan tidak berani bertarung lebih jauh, tergopoh-gopoh dia melarikan diri. Dari lima orang anak buah yang dibawa Liok Ki-seng, dua orang telah melarikan diri, tiga orang terkapar dalam keadaan terluka parah dan kehilangan kesadaran, kini yang tersisa tinggal dia seorang diri. Menyadari akan posisinya yang berbahaya, Liok Ki-seng jadi gugup bercampur panik, serangannya pun mulai kalut. Dalam pada itu tenaga dalam yang dimiliki Bouw It-yu makin pulih kembali, dalam keadaan begini, sekalipun tidak ada petunjuk dari orang lain pun dia sudah memiliki kemampuan untuk meraih kemenangan.
"Blaaaam....!" sebuah pukulan keras bersarang telak di atas dada Liok Ki-seng, membuat tubuhnya mencelat ke belakang.
"Perempuan bangsat, aku akan beradu jiwa denganmu!" teriaknya kalap.
Bouw It-yu khawatir dia akan melukai Seebun-hujin, dengan satu gerakan cepat dia menghadang di depan perempuan itu sambil melepaskan sebuah bacokan kilat. Ternyata bentakan itu hanya gertak sambal, menggunakan kesempatan itu Liok Ki-seng berjumpalitan di udara dan berusaha melarikan diri. Tampaknya pukulan yang bersarang di dadanya menimbulkan luka yang cukup parah, semburan darah yang muntah keluar dari tenggorokannya dipaksa untuk ditelan kembali, bentaknya, "Bajingan muda, dua lawan satu terhitung jagoan macam apa kau, kalau bernyali ayoh bertarung satu lawan saru!"
Bouw It-yu tertawa dingin. "Yang berlagak sok jagoan bukan aku, kalau memang bernyali jangan melarikan diri!"
Padahal Liok Ki-seng memang sengaja bicara sesumbar untuk menutupi rasa takutnya, begitu selesai berteriak, dia langsung membalikkan tubuh dan melarikan diri terbirit-birit. Sampai musuhnya lenyap dari pandangan, Seebun-hujin baru menghembuskan napas lega, membayangkan kembali ancaman bahaya yang baru lewat, tanpa terasa peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya.
"Anak Yu, untung ada kau!" bisiknya lirih.
"Bukankah semuanya ini berkat petunjukmu,” sahut Bouw It-yu hambar.
Ternyata dia tidak menyebut 'ibu angkat' sebaliknya langsung menggunakan sebutan 'kau' 'aku'.
Seebun Yan masih tidak seberapa memperhatikan, sebaliknya Seebun-hujin nampak tertegun, apalagi setelah melihat perubahan aneh di wajah pemuda itu.
Sementara itu Seebun Yan berhasil menenangkan hatinya, dengan perasaan girang serunya, "Bouw-toako, tenaga dalam dari Bu-tong-pay kalian memang bukan nama kosong, ibu saja berhasil dipecundangi bajingan itu, ternyata kau sendiri malah tidak apa apa!"
"Anak Yu, apakah sewaktu keluar tadi kau telah memperoleh penemuan luar biasa?" tanya Seebun-hujin.
"Akupun tidak tahu apakah kejadian ini termasuk satu penemuan luar biasa, tapi persoalan ini bisa kujelaskan di kemudian hari saja.”
"Benar, yang penting sekarang adalah menyelamat kan orang lebih dulu,” seru Seebun Yan, "toako, cepat kau periksa Peng-toaso, coba lihat apakah dia masih dapat ditolong?"
"Tidak usah diperiksa lagi, dia hanya menggunakan tenaga kelewat batas hingga jatuh tidak sadarkan diri. Asal dicekoki obat penawar racun dan biarkan dia tidur sejenak, kondisi tubuhnya segera akan pulih kembali.”
"Aaah, jadi kau mempunyai obat penawar racun?" seru Seebun Yan kegirangan.
"Benar, hanya saja obat penawar ini mempunyai sedikit keistimewaan.”
"Keistimewaan apa?" Bouw It-yu segera menjejalkan obat penawar racun ke mulut Peng-toaso kemudian membaginya pula untuk Seebun Yan dan Hong-sihu masing-masing sebutir, setelah itu baru ujarnya, "Bukan sesuatu yang amat istimewa, hanya saja obat itu baru berkhasiat jika kalian telah tidur sejenak.”
Bicara sampai disitu dengan kecepatan tinggi dia langsung menotok jalan darah tidur di tubuh Seebun Yan serta Hong-sihu. Ilmu menotok jalan darah yang digunakan Bouw It-yu bukanlah ilmu totokan berat yang bisa merugikan badan, namun tidak urung menimbulkan kecurigaan juga dalam hati Seebun-hujin.
"Darimana kau dapatkam obat pemunah racun itu? Kenapa baru berkhasiat bila jalan darah tidur mereka ditotok? Rasanya aku belum pernah mendengar tentang hal ini,” kata Seebun-hujin.
Sementara dalam hati diapun merasa keheranan, mengapa Bouw It-yu tidak membagikan obat penawar racun itu untuknya.
"Sebenarnya mah tidak perlu,” sahut Bouw It-yu kemudian, "hanya saja aku tidak ingin ada orang ke tiga yang ikut mendengarkan pembicaraan kita berdua.”
"Masalah apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Seebun-hujin terperanjat.
Dengan sorot mata yang bening, dingin dan tajam bagai mata pedang Bouw It-yu menatap perempuan itu tanpa berkedip, berapa saat kemudian dia baru berkata, "Hingga kini aku tidak habis mengerti, mengapa kau bersikap begitu baik kepadaku?"
"Dan sekarang kau sudah mengerti?" tanya Seebun-hujin.
Bouw It-yu manggut-manggut. "Apa yang telah kau pahami?" desak Seebun-hujin lebih jauh.
"Kau sedang menebus dosa!" jawaban Bouw It-yu dingin bagaikan es.
"Menebus dosa?" paras muka Seebun-hujin tiba tiba berubah jadi pucat pias bagaikan kertas, "aku sedang menebus dosa siapa?"
"Kau tidak perlu berlagak pilon, dalam hati kecil-mu kau sudah tahu dengan jelas.”
"Anak Yu, apakah kau telah mendengar desak desus dari seseorang?" tanya Seebun-hujin lembut.
"Tidak perlu diberitahu orang lain, aku pernah melihat lukisan wajahmu di kamar baca ayahku!"
"Haaah?" Seebun-hujin ternganga lebar saking kagetnya, untuk sesaat dia tidak mampu berkata.
"Ayah menyembunyikan lukisan wajahmu dengan sangat rapi,” ujar Bouw It-yu lebih lanjut, "aku menemukannya tanpa sengaja.”
"Terus? Apa saja yang kau ketahui?"
"Aku tahu, sikap ayah kepadamu jauh lebih baik ketimbang sikapnya terhadap ibuku! Benar bukan perkataanku ini?"
Seebun-hujin tidak menyangkal, namun dihati kecilnya dia berpekik, "Kau keliru besar, justru ayahmu bersikap paling baik terhadap ibumu.”
Sambil menggigit bibir kembali Bouw It-yu berkata, “Tahukah kau bagaimana ibuku meninggal? Dia mati karena dibuat jengkel olehmu! Selama hidup aku tidak akan melupakannya, malam itu adalah malam menjelang tahun baru Imlek, ibu sangat berharap ayah pulang ke rumah, hari sudah terang tanah, bunyi mercon telah bergelegar di udara, tapi ayah belum juga kembali. Di tengah bunyi petasan yang ramai itulah ibu menghembuskan napasnya yang penghabisan. Tapi sesaat sebelum ajalnya tiba, dia sempat meninggalkan pesan kepadaku, dia bilang, "Nak, jangan salahkah ayahmu, jangan salahkan perempuan itu, dia bukan perempuan liar.”
"Ibumu sungguh orang baik, aku merasa bersalah kepadanya,” gumam Seebun-hujin.
"Oleh karena itu kau harus menebus dosa, benar bukan? Tapi aku minta kau dengar baik-baik, bagaimana pun juga aku tidak bakal memaafkan diri-mu!"
Tiba-tiba Seebun-hujin menghela napas panjang, katanya, "Aku menghormati ibumu, akupun iri kepada ibumu.”
Bouw It-yu tertawa dingin, tukasnya, "Seharusnya ibuku yang mengucapkan perkataan itu. Kau telah merebut suaminya, tapi dia tidak iri kepadamu, justru sekarang kau yang iri kepadanya!"
"Dalam kejadian ini bukan aku yang salah, juga bukan kesalahan ayahmu.”
"Memangnya kesalahan ibuku?"
"Tidak, tidak ada yang salah, kami semua hanya dipermainkan oleh takdir!"
"Takdir? Enak amat kau cuci tangan. Hmmm! Coba katakan, apa yang kau irikan darinya?" Seebun-hujin tertawa getir.
"Dia mempunyai seorang anak yang berbakti macam kau, sementara aku tidak punya!"
Bicara sampai disini, tanpa terasa dia sedikit emosi, jeritnya dengan suara parau, "Thian memang tidak adil kepadanya, tapi lebih tidak adil lagi terhadap diriku!"
Bouw It-yu tidak habis mengerti mengapa dia nampak begitu emosi, terasa sorot matanya tampak aneh sekali dan entah mengapa ternyata dia merasa sedikit takut saling bersentuhan dengan sorot matanya itu. Tangannya mulai meraba gagang pedang, dia ingin secepatnya menyelesaikan persoalan ini, tapi jantungnya terasa berdebar keras, jari tangannya ikut gemetaran, dia tidak tahu haruskah membunuh perempuan ini atau jangan dibunuh.
"Anak Yu, kau tidak boleh....” teriak Seebun-hujin. Teriakan itu bukan jerit ketakutan atau ngeri, panggilan "anak Yu" justru seolah muncul dari hati sanubarinya, penuh diliputi cinta kasih seorang ibu. Bouw It-yu merasakan hatinya bergetar keras, ujarnya agak bimbang, "Kau telah mencelakai ibuku hingga mati, kenapa aku tidak boleh membunuhmu?"
Secara lamat-lamat dia sudah mulai merasakan sesuatu yang 'tidak beres', pertanyaan yang dia ajukan hanya mempertegas niatnya untuk membalas dendam, tapi sebelum melakukannya dia mohon kepada Seebun-hujin untuk memberikan sebuah penjelasan yang nyata. Dalam waktu singkat pelbagai ingatan berkecamuk dalam hati Seebun-hujin, pikirnya, 'Justru disaat kau mengetahui kejadian yang sesungguhnya, selama hidup kau bakal menyesal!'
Namun pada akhirnya dia berkata begini, “Aku bukannya takut mati, tapi paling tidak aku pernah hidup bersama ayahmu. Aku tidak ingin membiarkan kau memikul dosa karena membunuhku.... kau.... lemparkan pedangmu kepadaku, aku masih mempunyai kekuatan untuk bunuh diri! Ehmm, kenapa kau masih termangu? Aaai.... baiklah, biar kau pandang aku berapa kejap lebih lama!"
Dari balik sorot matanya Bouw It-yu dapat merasakan luapan perasaan cinta kasihnya yang tebal, tapi dia tidak kuasa menahan diri, akhirnya pemuda itu melakukan satu tindakan yang sama sekali diluar dugaan Seebun-hujin. Yang dia melemparkan ke hadapan Seebun-hujin bukan senjata, melainkan obat penawar racun.
"Kau pernah selamatkan jiwaku, kuberikan obat pemunah ini untukmu, mulai sekarang kita sama-sama tidak ada yang berhutang. Kau tidak perlu bersikap baik kepadaku, kau pun jangan berharap aku bisa melupakan dirimu sebagai orang yang telah mencelakai ibuku hingga mati!"
Air mata mulai membasahi kelopak mata Seebun-hujin, mengawasi bayangan punggung Bouw It-yu yang semakin menjauh, gumamnya, "Anak Yu, maafkan, semua ini merupakan rahasia, selamanya aku tidak akan membiarkan kau tahu.”
Bouw It-yu mengambil jalan semula, sepanjang jalan dia menjumpai bekas-bekas kaki kuda yang baru, terlihat pula dua gumpal bekas cairan darah, tidak usah ditanya pun dapat diketahui kalau kesemuanya itu ditinggalkan oleh Liok Ki-seng. Pada mulanya Bouw It-yu masih agak kuatir bila dia balik ke kota Uh-sah-tin dan memberi laporan, tapi kini dia merasa lega sekali, pikirnya, 'Bajingan penghianat ini bukan saja gagal mencelakai orang, dia pun tidak bisa mempertanggung jawabkan tugasnya, dalam keadaan begini, balik ke tempat Kim Teng-hap sama artinya mencari penghinaan dan cemoohan buat diri sendiri, tidak heran kalau dia langsung kabur balik ke daratan Tionggoan' Jalanan yang dilalui adalah jalan bukit yang sepi dari lalu lalang manusia. Tidak lama kemudian dari bawah bukit dia menyaksikan ada satu rombongan manusia sedang bergerak lewat. Dua orang yang berjalan dipaling depan tidak lain adalah Han Cau dan Eng Siong-leng.
Bouw It-yu tidak ingin jejaknya ketahuan, cepat dia menyembunyikan diri dibalik semak belukar. Waktu itu Han Cau dan Eng Siong-ling sedang bercakap-cakap, cepat Bouw It-yu menempelkan telinganya diatas permukaan tanah untuk ikut mendengarkan. Terdengar Han Cau sedang berkata, "Hingga kini kita belum memperoleh kabar berita tentang Lan Giok-keng, tapi menurut dugaan Tauke, kemungkinan besar dia telah berangkat ke Kim-leng.”
"Kenapa?" tanya Eng Siong-leng. "Sebab surat dari Kwik Bu telah terjatuh ke tangannya.”
Siapakah Kwik Bu? Bouw It-yu tidak tahu, apa sebabnya Lan Giok-keng berangkat ke Kim-leng setelah memperoleh surat itu? Bouw It-yu pun tidak paham. Tapi Eng Siong-leng sangat paham, segera sahutnya, "Kalau begitu urusan disini boleh dibilang telah selesai, mungkin kitapun harus berangkat ke Kim-leng.”
"Kim-lopan memang punya niatan begitu, tapi masalah yang didepan mata saat ini belum diketahui apakah bisa berjalan lancar sesuai dengan dugaan, terus terang aku merasa sedikit....”
"Kau tidak perlu kuatir,” tukas Eng Siong-leng sambil tertawa, "kau anggap bubuk siu-lo-san dari Ka-cok Hoatsu adalah obat pemabuk yang biasa dan umum? Aku rasa biar perempuan busuk itu memiliki kepandaian yang lebih hebat pun pasti akan terkena juga. Apalagi sekarang terdapat Liok Ki-seng yang menjadi musuh dalam selimut, kau jangan anggap saudaramu itu adalah orang yang tidak berguna.”
Ketika berbicara sampai disini, rombongan itu sudah pergi sangat jauh sehingga kata berikut tidak kedengaran lagi.
Kini Bouw It-yu baru tahu, ternyata Han Cau sekalian sudah mempunyai janji dengan Liok Ki-seng, itulah sebabnya walaupun Liok Ki-seng tidak memberikan laporannya namun mereka tetap datang meminta orang sesuai dengan pernjanjian.
Pada detik itu juga Bouw It-yu nyaris tidak kuasa menahan diri untuk tampil ke depan dan berteriak keras, dia berniat memancing perhatian orang orang itu agar datang mengejarnya. Tapi sayang pertama karena rombongan itu sudah pergi jauh, kedua menurut perhitungannya, di saat Han Cau sekalian tiba di tempat mereka mendirikan tenda tadi, Seebun-hujin sudah hampir setengah jam lamanya minum obat pemunah.
"Antara aku dengan dia sudah putus hubungan dan tidak saling berhutang, urusannya biar dia selesaikan sendiri, mau selamat atau berbahaya, kenapa aku musti menguatirkannya?"
Dia sendiripun merasa sedikit agak heran, mengapa dia bersikap begitu perhatian terhadap Seebun-hujin. Dengan pikiran bimbang dia meneruskan perjalanannya, namun suara teriakan Seebun-hujin yang penuh dengan emosi seolah masih terdengar disisi telinganya.
"Dia punya seorang anak yang berbakti macam kau, sementara aku tidak punya! Thian memang tidak adil kepadanya, tapi lebih tidak adil terhadap diriku!"
Sorot matanya yang menggetarkan sukma seakan masih mengawasinya, sinar mata penuh amarah namun terselip juga sorot mata penuh kasih sayang. Mendadak seakan tersadar akan sesuatu, pikirnya, Aaah, dia baik kepadaku bukan karena ingin menebus dosa, dia memang menaruh perasaan kasih yang sangat mendalam kepadaku, kasih seorang sanak' Segulung angin berhembus lewat, menggoyangkan daun dan ranting pohon Siong, suara deruan itu bercampur dengan suara deburan ombak samudra.... persis sama seperti perasaan hatinya yang sedang diombang ambingkan oleh ombak perasaan. Ketika Han Cau sekalian tiba ditempat yang telah dijanjikan Liok Ki-seng, mereka jumpai ada dua buah kereta kuda parkir di tepi jalan, menemukan pula tenda-tenda yang dibangun di sana. Tapi suasana di seputar sana sangat hening, tidak terdengar pula sesuatu suara dibalik tenda. Dengan kening berkerut Han Cau segera berbisik, "Tampak gelagatnya tidak beres.”
Eng Siong-leng pun seorang jago kawakan, katanya pula, "Benar, jangan buru-buru masuk.”
Kemudian setelah menarik napas, serunya lantang, “Seebun-hujin, Khan mengundangmu berkunjung ke kotaraja, aku orang she-Eng sengaja datang untuk menyambutmu.” Tiada jawaban.
"Liok-toako!" teriak Han Cau pula. Masih tidak ada jawaban.
"Kalau tidak ada orang yang keluar, segera akan kulepaskan api!" Eng Siong-leng sengaja mengancam. Ancaman hendak membakar tentu saja bohong, tapi Seebun-hujin yang berada dalam tenda justru cemas bercampur panik. Ternyata walaupun Seebun-hujin telah menelan pil pemunah itu, namun karena pukulan batin yang diterimanya kelewat besar, untuk sesaat dia tidak mampu menenangkan kembali pikirannya. Dengan dasar tenaga dalam yang dimilikinya, sebetulnya seperti yang di duga Bouw It-yu, dalam setengah jam kemudian kekuatan tubuhnya dapat pulih kembali, tapi berhubung pikirannya tidak tenang, dengan sendirinya tahap penyembuhan yang diperoleh pun jadi sangat lamban. Saat ini tenaga dalamnya baru pulih tiga bagian, untuk menghadapi Han Cau seorang memang masih bisa, tapi bila ditambah Eng Siong-leng, dia tidak yakin bisa menghadapinya. Di samping itu masih ada satu hal lagi yang membuatnya kuatir, hingga kini putrinya belum mendusin kembali. Andaikata rombongan orang itu benar-benar menyerbu masuk ke dalam tenda, dapatkah dia jamin keselamatan putrinya? Untung saja Han Cau sekalian banyak curiga dan ragu sehingga mereka tidak berani menyerbu masuk ke tenda.
Dengan setengah berbisik Han Cau segera berkata, "Aku rasa mungkin sudah terjadi perubahan yang sama sekali tidak terduga, hingga sekarang kita belum tahu apakah Liok-toako masih ada di dalam atau tidak, kita tidak boleh sembarangan bertindak hingga berakibat sama-sama rugi.”
Eng Siong-leng segera mengedipkan mata, memberi isyarat kalau rencananya membakar hanya gertak sambal, kemudian dengan suara keras serunya, "Lebih baik kita hancur bersama, apa pun yang terjadi kita harus paksa mereka untuk keluar! Aku akan mulai menghitung sampai angka tiga, bila tidak ada yang keluar lagi, akan kulepaskan panah berapi!"
Kemudian dia pun mulai menghitung, "Satu.... dua.... tiga!" Pada saat itulah terdengar Seebun-hujin berseru sambil tertawa dingin, "Bukankah kalian menginginkan orang-orangmu? Baik, kukembalikan orangmu!"
Di tengah suara tertawa dingin tampak dua orang manusia "terbang" keluar dari balik tenda. Pada saat yang bersamaan Eng Siong-leng telah melepaskan panahnya, tentu bukan panah berapi. Han Cau segera mengenali siapakah kedua orang itu, dengan terperanjat buru-buru teriaknya, "Mereka adalah orang sendiri!" Sayang keadaan sudah terlambat. Begitu anak buah Eng Siong-leng melihat ada orang melompat keluar dari balik tenda, mereka segera melepaskan hujan panah. Tidak ampun kedua orang itu segera terkena bidikan panah, hanya saja dibalik ketidak beruntungan masih ada keuntungan juga. Orang pertama yang jalan darahnya sudah ditotok Seebun-hujin dengan tusuk kondenya, karena totokan belum dibebaskan maka tubuhnya tidak mampu bergerak, seketika itu diapun terhujan panah dan mati seketika. Orang kedua hanya pingsan karena dihajar Peng-toaso, begitu termakan bidikan panah, dia segera tersadar dari pingsannya karena kesakitan. Untung nasibnya tidak terlalu jelek, panah itu tidak bersarang di bagian tubuhnya yang mematikan. Di saat tubuhnya sedang bergulingan di atas tanah, hujan panah pun berhenti seketika.
Buru-buru Eng Siong-leng dan Han Cau membangunkan orang itu dan bertanya cemas, "Apa yang telah terjadi?"
"Apakah perempuan busuk itu tidak keracunan?"
"Mana Liok-toako?"
"Mana rekan-rekan lainnya?" Orang ini adalah anak buah andalan Liok Ki-seng, sekalipun reaksinya cukup cepat, namun berhubung dia baru sadar dari kesakitan, lagipula sekaligus menghadapi serentetan pertanyaan yang bertubi-tubi, untuk sesaat dia jadi bingung dan tidak tahu pertanyaan penting mana yang harus di jawab dulu. Akhirnya sambil menahan sakit teriaknya, "Hujin hanya pura-pura kehilangan ilmu silat, kalian harus berhati-hati!"
Perlu diketahui, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang rekannya roboh terjungkal persis di hadapan Seebun-hujin, menyusul kemudian diapun tidak sadarkan diri hingga kejadian selanjutnya tidak diketahui olehnya. Dalam anggapannya, Liok Ki-seng serta ke tiga orang rekan lainnya telah tewas di tangan Seebun-hujin.
Sementara Eng Siong-leng yang berada diluar tenda merasa terperanjat bercampur sangsi, Seebun-hujin yang berada dalam tenda justru merasa terkejut bercampur gembira. Ternyata Seebun Yan hanya ditotok jalan darah tidurnya oleh Bouw It-yu dengan ilmu tunggalnya, tujuan Bouw It-yu hanya tidak ingin gadis itu ikut mendengarkan pembicaraannya dengan Seebun-hujin. Karena itulah totokan yang digunakan tidak terlalu berat, bahkan sudah memperhitungkan dengan tepat bahwa dia dapat mendusin sendiri satu jam kemudian. Dan saat itulah kebetulan dia baru mendusin dari tidurnya. Begitu mendengar suara hiruk pikuk di luar tenda, dia sangka Liok Ki-seng belum sempat melarikan diri, tanpa berpikir panjang lagi dia segera mencabut pedangnya sambil menerjang keluar.
Semula Seebun-hujin merasa gembira, menyusul kemudian dengan perasaan terkejut buru-buru dia ikut menerjang keluar. Begitu panah dari Eng Siong-leng meluncur datang, Seebun Yan segera menangkis dengan pedangnya, anak panah itupun melenceng dan terbang ke samping. Pada saat yang bersamaan itulah Seebun-hujin telah muncul di belakang putrinya dan menangkap anak panah itu. Dengan perasaan takut buru-buru Han Cau membalikkan tubuh sambil kabur.
"Kau bukan dalang dari semuanya ini, hukuman mati boleh dihindari, hukuman hidup tidak bisa dielakkan!" bentak Seebun-hujin nyaring. Sepasang jarinya menyentil ke depan dan mementalkan balik anak panah tadi. Panah itu melesat dengan kecepatan tinggi dan secara kebetulan menembusi tulang Pi-pa-kut di tubuh Han Cau, seketika itu juga ilmu silatnya punah.
Sebetulnya Eng Siong-leng masih sangsi dengan perkataan orang itu, setelah melihat kejadian ini, mana dia berani menjajal lagi ilmu silat Seebun-hujin, dengan cepat dia melompat naik ke punggung kudanya dan kabur lebih cepat ketimbang Han Cau.
"Dasar sekawanan gentong nasi!" umpat Seebun Yan sambil tertawa, "dengan kemampuan macam beginipun ingin mencari gara- gara. Ibu, obat penawar racun dari Bouw-toako sungguh mustajab, ilmu silatku telah pulih kembali. Bajingan tua itu sangat memuakkan, mari kita mengejarnya balik!"
Diam-diam Seebun-hujin bersyukur, cegahnya, "Tidak usah banyak urusan.” Ternyata tenaga dalamnya baru pulih tiga bagian, untuk mementalkan balik panah dari Han Cau, dia telah menggunakan seluruh sisa kekuatan yang dimilikinya. Melihat paras muka ibunya pucat pasi, dengan rasa kaget Seebun Yan segera menegur, “Ibu, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa,” sahut Seebun-hujin sambil tersenyum, "hanya saja bila panah tadi kusambitkan ke arah Eng Siong-leng, mungkin rahasiaku segera akan terbongkar.” Kini Seebun Yan baru sadar akan apa yang terjadi, serunya tertahan, "Oooh, rupanya mereka kabur lantaran termakan gertakanmu.”
Mendadak dia teringat kembali akan Bouw It-yu, setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, Seebun Yan pun berseru tertahan, "Aaaah, kenapa tidak nampak Bouw-toako?"
"Dia telah pergi.”
"Bukankah dia akan menemani kita naik ke Bu-tong?" seru Seebun Yan agak heran, "kenapa sebelum aku tersadar kembali, dia sudah pergi seorang diri?"
"Aku sendiripun tidak tahu mengapa dia pergi secara tiba-tiba, tapi setiap orang memang memiliki masalah pribadi yang tidak ingin diketahui orang lain, lagian diapun bukan anak kandungku, mana boleh aku menanyainya secara detil?"
Walaupun dia gunakan perkataan itu untuk menyumbat agar putrinya tidak banyak bertanya, tapi dihati kecilnya dia merasa kecut bercampur sedih.
Sementara itu Hong-sihu dan Peng-toaso telah sadar kembali dari pingsannya. Maka Seebun Yan pun bertanya lagi, "Bagaimana rencana kita sekarang? Apakah masih akan naik ke gunung Bu-tong untuk menghadiri upacara penguburan Bu-siang Cinjin?"
"Lebih baik kita masuk dulu ke daratan sebelum bicara lagi,” sahut Seebun-hujin murung.
Ooo)*(ooO
BAB XV Mengenang kekasih dalam kompleks kuburan. Mencuri dengar rahasia besar.
Gunung Bu-tong, bawah puncak Ci-siau-hong, terlihat seorang tosu setengah umur sedang berlatih pedang. Puncak Ci-siau-hong merupakan tempat dimana Thio Sam-hong, Couwsu pendiri Bu-tong-pay berlatih diri tempo dulu. Kini dibekas rumah gubuk yang pernah ditinggali Thio Sam-hong telah dibangun istana Ci-siau-kiong yang besar dan megah dan menjadi markas besar dari perguruan Bu-tong-pay.
Dari bawah memandang ke atas, pada puncak Ci-siau-hong seolah terdapat berpuluh bangunan gedung dan loteng yang sedang timbul tenggelam di tengah lautan awan. Istana Ci-siau-kiong dibangun dengan menempel di atas bukit, bangunan dalam istana terdiri dari pintu gerbang Toa-kiong-bun, dua buah prasasti, dua pintu pintu istana, pelataran penyembahan, gedung Ci-siau-tian serta beratus buah undak-undakan batu yang lebar dan tersusun rapi ke arah atas.
Waktu itu fajar baru menyingsing, tiada awan di angkasa, sejauh mata memandang lamat-lamat masih terlihat bayangan manusia di bawah prasasti, di atas undakan batu dan di depan pintu gedung. Mereka seakan para dewata yang sedang naik gunung untuk berpesiar. Tentu saja orang-orang itu bukan para dewata yang sudah tidak suka dengan hidangan ke duniawian, mereka adalah para tamu undangan yang berbondong bondong naik ke gunung Bu-tong untuk ikut hadir dalam upacara penguburan jenasah Bu-siang Cinjin.
Di samping para tosu yang mendampingi para tetamunya. Hari penguburan jenasah Bu-siang Cinjin masih ada dua hari, tapi sudah tidak sedikit tamu yang berdatangan. Itulah sebabnya suasana di seputar istana Ci-siau-kiong tampak jauh lebih ramai daripada keadaan biasa. Namun suasana di bawah puncak Ci-siau-kiong, di sisi jembatan Yu-ci-kiau terasa begitu hening dan sepi, di sana hanya ada toosu setengah umur seorang diri.
Luas jembatan Yu-ci-kiau tidak terlalu lebar, bangunan itu didirikan diatas sebuah jeram yang sempit, jembatan yang sempit lagi tinggi tergantung memberikan pemandangan yang indah di sekitar tepat itu. Bila melewati jembatan tadi maka tibalah di sebuah kompleks pekuburan yang baru saja selesai dibangun, kompleks pekuburan ini disiapkan untuk mengubur jenasah Bu-siang Cinjin.
Tosu setengah umur itu adalah orang yang diberi tugas membangun kompleks pekuburan itu, dia adalah satu-satunya murid Bu-siang Cinjin yang masih tersisa, semasa masih preman bernama Ko Ceng-kim dan kini bernama Put-ji Tojin.
Biarpun sedang berlatih pedang, disaat berlatih pedang pikiran harus jernih dan tenang, namun dia nampak gelisah dan tidak tenang. Di atas kepalanya terdapat sebuah pohon yang tumbuh menjulang dari tebing karang, ranting yang besar malang melintang kemana-mana, tampak dia melambung ke udara sambil mengeluarkan jurus Pek-hok-liang-ci, dimana cahaya pedang berkilat, tujuh lembar daun berguguran ke tanah. Bahkan setiap daun itu telah terpapas kutung sama besar sama rata. Bisa melatih ilmu pedangnya hingga mencapai taraf sehebat itu sesungguhnya merupakan satu peristiwa yang luar biasa, namun dia nampak murung dan masgul sehabis melihat dedaunan yang berguguran itu, gumamnya, "Apa yang sedang terjadi dengan diriku, mengapa latihanku pada hari ini bukan saja tiada kemajuan, bahkan jauh lebih mundur daripada hasil latihanku kemarin.”
Ketika berlatih kemarin, dia berhasil memapas rontok sembilan lembar daun, tapi hari ini bukan hanya berkurang dua lembar, bahkan salah satu diantaranya gagal ditebas sama sisi dan sama besarnya. Di atas tebing batu yang curam terdapat sebuah tebing kecil yang disebut Thay-cu-po, di bawah tebing curam terdapat sebuah sumur kuno yang disebut Mo-ciam-cing sumur penggosok jarum, sementara kompleks tanah pekuburan yang baru selesai dibangun berada di samping tebing Thay-cu-po dan tidak jauh dari sumur Mo-ciam-cing.
Dengan sedih dia menarik kembali pedangnya dan mengalihkan pandangan matanya ke arah sumur penggosok jarum, kemudian gumamnya sambil menghela napas, "Sudah tujuh belas tahun lamanya aku berlatih ilmu pedang, tapi belum mampu mencapai setengahnya kemampuan suhu. Aaai.... hingga kini aku masih belum sanggup mengendalikan pikiran dan perasaanku yang bergejolak, benar-benar membuat malu suhu yang sudah banyak tahun mendidikku....”
Ternyata tebing pangeran atau Thay-cu-po dan sumur penggosok jarum Mo-ciam-cing mendapat nama dari cerita yang terdapat dalam kitab agama To. Dalam To-keng yang bernama Sam-po-toa-yu-kim-su disebutkan, ada seorang pangeran dari negeri Cing-lok-kok pada usia lima belas tahun berpamitan kepada orang tuanya untuk bertapa di atas gunung, di atas tebing inilah sang pangeran mendapat ajaran dari Giok-ceng-seng-cou Ci-hian-kun. Suatu hari dia ingin meninggalkan gunung dan tidak melanjutkan semedinya lagi, dia berjalan menuju ke tepi sebuah sumur, di sana tampak seorang nyonya tua sedang mengasah tongkat besinya diatas batu. Diapun bertanya kepada perempuan tua itu, mengapa mengasah tongkat besinya diatas batu, jawab perempuan tua itu, dia ingin menggosok tongkat besi itu menjadi sebatang jarum. Diapun bertanya, bukankah sangat sulit untuk berbuat begitu? Perempuan tua itupun menjawab: bila kau punya tekad, akhirnya pasti akan berhasil. Petunjuk ini seketika membuat sang pangeran tersadar kembali akan kesalahannya, maka diapun balik ke atas gunung untuk melanjutkan pertapaannya dan terakhir berhasil mencapai kesempurnaan. Ketika di kemudian hari dia naik ke atas langit, jadilah pangeran itu sebagai Tin-bu Thay-tee. Tin-bu Thay-tee merupakan dewa pelindung dari bukit Bu-tong. Karena itulah sewaktu pertama kali Bu-siang Cinjin mengajarkan ilmu pedang kepada muridnya, Put-ji, dia tidak memilih tempat lain tapi secara khusus mengajaknya naik ke tebing Thay-cu-po di samping sumur Mo-ciam-cing. Tentu saja tujuan gurunya adalah agar dia menirukan pengalaman dari pangeran negeri Cing-lok-kok dan melatih ilmu dengan tekun. Waktu itu gurunya sempat berkata begini, "Bakatmu sebetulnya tidak terlalu jelek, tapi belum terhitung bakat alam yang hebat, karena itu "dengan rajin menambal kekurangan" merupakan kata kunci yang paling cocok untukmu.”
Pelbagai kenangan lama pun satu per satu melintas kembali dalam benaknya, dia tertawa getir, tiba tiba bayangan seseorang muncul dalam benaknya. "Tidak heran kalau sumoay menyukai Keng-sute, diluar masalah tampang yang dia memang lebih ganteng ketimbang aku, bakat ilmu silatnya memang jauh lebih bagus daripada diriku. Aku telah mendapat bimbingan langsung dari Ciangbunjin, tujuh belas tahun sudah aku melatih diri namun belum pernah mencapai kesempurnaan dalam permainan Thay-kek-kiam-hoat, coba kalau diganti dia, mungkin tidak sampai tujuh tahun keberhasilannya sudah jauh melebihi kemampuanku hari ini!" demikian Put-ji berpikir dalam hati.
Selama banyak tahun dia berusaha keras untuk menekan perasaan hatinya itu, tidak ingin memikirkan Keng King-si lagi. Tapi sekarang tanpa disadari secara tiba-tiba dia teringat akan dirinya. Tentu saja bukannya tanpa sebab dia bersikap begitu, dia bisa secara tiba-tiba teringat akan Keng Kingsi tidak lain karena terpengaruh oleh pemandangan alam yang terpampang di depan mata. Dalam kompleks pemakaman yang berada di hadapannya sekarang, kecuali bagian tengah yang disediakan secara khusus untuk mengubur jenasah Bu-siang Cinjin, di sampingnya terdapat pula sebuah kuburan yang agak kecil, biarpun kuburan itu hanya satu namun dibawahnya terkubur tiga sosok kerangka manusia, salah satu diantaranya adalah adik seperguruannya, Keng King-si. Padahal Keng King-si tidak lebih hanya seorang murid dari kalangan preman yang rendah kedudukannya, mengapa kerangka tubuhnya bisa dikuburkan dalam satu kompleks pemakaman yang sama dengan Ciangbunjinnya? Dalam hal ini memang ada penyebabnya dan penyebab itu timbul karena sekilas pikiran egois dari Put-ji Tojin. Keng King-si, Ho Giok-yan, Ho Liang serta Bu-kek Totiang ketua Tianglo dari Bu-tong-pay tewas pada hari dan tempat yang sama, Keng King-si mati karena 'salah bunuh', Ho Liang mati karena dibokong Siang Ngo-nio sedang Ho Giok-yan bunuh diri setelah melahirkan putranya. Setelah peristiwa itu, lebih kurang satu jam kemudian dia menghantar bayi yang baru lahir itu ke rumah keluarga Lan, menyusul kemudian Bu-kek Totiang yang terluka parah pun muncul disana. Ketika Bu-kek Totiang selesai menyampaikan pesannya, dia pun ikut tewas secara mengenaskan. Terdorong rasa egonya pula, dia enggan menguburkan jenasah Keng King-si dan Ho Giok-yan dalam satu liang, tapi membuang dua liang yang beda, satu untuk mengubur jenasah Ho Giok-yan dan satu lagi untuk mengubur jenasah Bu-kek tianglo, Keng King-si serta Ho Liang. Tahun berselang Bu-siang Cinjin menitahkan murid pertamanya, Put-coat pergi ke bukit Boan-liong-san untuk membawa kerangka Bu-kek tianglo agar bisa dikubur di atas bukit, setelah lewat enam belas tahun, jenasah yang dikubur tanpa peti mati pasti sudah lapuk dan hancur, yang tersisa hanya tulang belulang belaka. Terpaksa Put-coat mengumpulkan ke tiga sosok kerangka itu menjadi satu karung dan dibawa pulang ke gunung, kerangka yang tercampur sudah pasti tidak bisa dibedakan lagi kerangka orang per orang. Ditambah lagi Put-coat sendiri diserang musuh tangguh di bukit Boan-liong-san hingga terluka parah, beruntung muncul Bouw It-yu yang menyelamatkan jiwanya, tapi begitu tiba di gunung Bu-tong, pada hari yang sama dia ikut meninggal dunia. Kedudukan Bu-kek Tianglo dalam partai Bu-tong menempati posisi di bawah Bu-siang Cinjin, sudah sepantasnya bila jenasahnya dikuburkan dalam kompleks pemakaman ini. Oleh karena tulang belulang ke tiga orang itu sudah membaur jadi satu dan tidak mungkin dipisahkan lagi, maka bukan hanya Keng King-si saja yang mendapat upacara penguburan istimewa, Ho Liang si pelayan tua keluarga Ho pun mendapatkan perlakuan yang sama. Tapi kini, Put-ji yang berhadapan dengan kompleks pemakaman itu benar-benar dibuat menangis tidak bisa, tertawapun tidak dapat. "Kau sudah mati tapi keadaanmu jauh lebih enak ketimbang aku yang masih hidup, setiap hari setiap saat aku harus merasakan kemurungan, kekhawatiran dan kesedihan yang luar biasa,” pikir Put-ji sambil tertawa getir. Peristiwa lama satu demi satu melintas kembali dalam benaknya. Tentu saja yang paling membuatnya tidak dapat melupakan adalah Siau-sumoaynya Ho Giok-yan. "Siau-sumoay, kau jangan marah kepadaku karena setelah matipun aku tidak membiarkan jenasahmu terkubur dalam satu liang dengan Keng-sute, biarpun aku sudah banyak melakukan kesalahan kepadamu, paling tidak ada satu hal aku dapat mempertanggung jawabkan kepadamu, anak Keng mu, sesuai dengan permintaanmu terakhir, telah kupelihara hingga dewasa.”
Memandang awan putih yang bergerak di angkasa, kembali dia berguman sambil menghela napas, "Sejak anak Keng turun gunung, hingga kini belum terdengar kabar beritanya lagi, entah ke manakah dia telah pergi? Aaaai, aku telah memeliharanya hingga tumbuh dewasa, tapi setiap hari aku harus merasakan ketegangan dan rasa takut yang luar biasa, aku selalu kuatir suatu saat nanti dia tahu kejadian yang sebenarnya dan datang mencari balas kepadaku!"
Perasaan hatinya pada Lan Giok-keng memang serba salah dan saling bertentangan, disatu sisi dia merindukan bocah itu, berharap dia segera kembali, tapi disisi lain diapun kuatir bila bocah itu tahu teka-teki tentang asal usulnya, kemudian menganggapnya sebagai musuh besar pembunuh orang tuanya. Kalau sampai terjadi begini, apa yang harus dia lakukan? Sementara pikirannya sedang kusut dan kalut, tiba tiba terlihat ada seorang tosu kecil berjalan turun dari tebing Thay-cu-po sambil memanggilnya lirih, "Susiok-tianglo!" Tosu kecil itu adalah murid Suhengnya Put-po Tojin bergelar Go-seng. Put-po Tojin adalah murid tertua dari Bu-kek Totiang, dalam deretan angkatan "put" dia mempunyai posisi yang paling tinggi, sejak Bu-siang Cinjin meninggal dunia, ketua penggantinya Bu-beng cinjin (yaitu Bouw Ciong-long, ayah Bouw It-yu) mengusulkan agar mengangkat dua orang murid dari angkatan "put" menjadi tianglo baru. Maka diangkatlah dua orang tianglo baru untuk mengisi kekosongan dalam jabatan tersebut, mereka adalah Put-ji Tojin serta Put-po Tojin. Sejak naik ke gunung Bu-tong dan menjadi Tosu, Put-ji selalu tampil murung, tidak banyak bicara dan berwajah serius, begitu seriusnya hingga tosu kecil yang berdiri dihadapannya pun seolah merasa ngeri dan ketakutan.
"Ada urusan apa?" tanya Put-ji.
"Ti.... tidak ada apa apa, hanya saja....” jawaban Go-seng kedengaran tergagap.
"Hanya saja kenapa, cepat katakan!"
"Bouw-susiok telah kembali, suhu minta aku menyampaikan kabar ini. Sekarang Bouw-susiok berada di ruang Ci-siau-kiong, apakah tianglo berniat....”
Rupanya berhubung selama berapa bulan ini Put-ji harus bertugas mengawasi pembangunan kompleks pemakaman itu, maka untuk sementara waktu dia mendirikan sebuah rumah gubuk di dekat kompleks itu dan tinggal disana. Kini, walaupun pembangunan di kompleks pemakaman telah usai, namun dia belum pindah ke tempat tinggalnya semula, itulah sebabnya Go-seng khusus datang kesana untuk mencarinya. Dalam hati Put-ji merasa terkejut, namun paras mukanya sama sekali tidak berubah, tukasnya hambar, "Aku sudah tahu, kau boleh pergi dari sini.”
Karena dia tidak memberi pernyataan apakah akan menjumpai Bouw It-yu atau tidak, terpaksa Go-seng berlalu lebih dulu.
Mendapat tahu kalau Bouw It-yu telah kembali, perasaan hati Put-ji bertambah kusut dan tidak tenang. Bouw It-yu lah yang telah menerima karung yang berisikan tulang belulang Bu-kek tianglo, Keng King-si serta Ho Liang dari tangan Put-coat, bahkan dia sendiri yang menyerahkan karung itu ke tangan Bu-siang Cinjin.
Angin berhembus lembut menggoyangkan ranting dan dedaunan, seharusnya suara itu halus dan lembut, namun dalam pendengaran Put-ji justru seolah suara gemerutuknya tulang belulang yang diletakkan diatas meja.
"Baiklah, sekarang keluarkan tulang itu satu per satu dan letakkan di atas meja, akan kuperiksa dengan seksama!" Ucapan gurunya kepada Bouw It-yu pada saat itupun sepatah demi sepatah seakan mengiang kembali disisi telinganya. Waktu itu dia bersembunyi diluar ruang tidur gurunya sambil mencuri dengar. Sebuah teka teki besar yang selama ini tersimpan dalam hatinya, hingga kini belum pernah terungkap. "Apakah suhu telah mengetahui rahasiaku?"
Tapi "untung" gurunya telah meninggal dunia, sekarang hanya satu yang dia kuatirkan. "Entah berapa banyak rahasiaku yang telah diketahui Bouw It-yu si bocah keparat itu?" Setelah peristiwa itu, secara tidak langsung Bouw It-yu pernah memberi kisikan kepadanya bahwa dia telah membantunya, merahasiakan sejumlah persoalan, termasuk 'lenyap' nya sekerat tulang tengkorak di tengah jalan (apakah dalam tulang tengkorak itu tertinggal sebatang jarum Lebah hijau?) Justru karena dia pernah memperoleh "ancaman" dari Bouw It-yu (sekalipun Bouw It-yu tidak pernah menerangkan secara jelas), maka mau tidak mau, meski dengan perasaan tidak puas dan terpaksa, dia harus menunjukkan sikap loyal dan dukungannya terhadap Ciangbunjin baru.
Biarpun dia banyak membungkam dan jarang berbincang dengan rekan seperguruannya, namun berita tentang Bouw It-yu yang turun gunung dengan cepat telah masuk ke dalam telinganya. Dia bahkan tahu kalau Bouw It-yu pernah keluar perbatasan dan dalam perjalanan kembalinya sempat mampir di kota Kim-leng.
"Apakah ketika berada di luar perbatasan, dia pernah melewati kota Uh-sah-tin?"
Put-ji pernah mendapat perintah dari gurunya untuk berkunjung ke kota Uh-sah-tin dan menyelidiki Keng King-si saat hidup ditempat itu, dan di saat berada di kota Uh-sah-tin itulah dia bertemu dengan Jit-seng-kiam-kek dan kabur pulang dengan membawa luka di tubuh.
Terbayang kalau Bouw It-yu besar kemungkinan telah datang pula ke Uh-sah-tin, pikiran dan perasaan hatinya makin kalut dan tidak tenang.
"Aaai, terlepas seberapa banyak yang berhasil dia ketahui, yang penting aku harus berhasil melatih ilmu pedangku.”
Dia paksakan diri untuk berkonsentrasi dan mulai berlatih pedang kembali. Perangainya memang sekokoh batu karang, ketika sekali mengalami kegagalan dia segera melatih satu kali lagi, tanpa terasa semua kemurungan dan kemasgulan pun terbuang jauh-jauh dari benaknya. Di saat seluruh konsentrasinya terpusat untuk berlatih pedang inilah, mendadak terdengar seseorang memuji, "Ilmu pedang yang hebat!"
Desingan angin tajam membelah angkasa disusul bergugurannya dedaunan. Kali ini dia berhasil menebas sembilan lembar daun dan setiap lembar berhasil ter-belah persis di bagian tengahnya. Begitu menarik kembali pedangnya, dia melihat seorang lelaki berwajah sangat umum, tidak tampan pun tidak jelek, kesan yang ditinggalkan orang itu hanyalah orang umum yang setiap saat dapat kau jumpai dimana pun dan setelah lewat sama sekali tidak meninggakan kesan apa pun. Tapi lelaki yang berwajah amat umum itu sedang mengawasinya dengan sorot mata yang sangat aneh.
"Siapa kau?" sambil menarik kembali pedangnya Put-ji menegur.
Tiba-tiba orang itu tertawa cekikikan, "Masa aku pun sudah tidak kau kenali?" sapanya.
Suaranya merdu bercampur genit, coba kalau orang itu bukan berbicara persis dari hadapannya, dia tidak bakalan percaya kalau suara yang merdu merayu itu berasal dari mulut seorang lelaki yang begitu bersahaja. Namun yang membuatnya terperanjat bukan hanya begitu saja, tapi suara panggilan yang merdu itu telah membangkitkan kembali kenangannya di masa silam.
Kalau berbicara soal waktu, kenangan ini sudah teramat lama sekali, namun tidak pernah terlupakan olehnya. Suara itu pernah membuatnya terbuai, pernah membuatnya tergila-gila dan kehilangan sukma, pernah membuat hatinya berdetak keras, takut, ngeri dan merasa seram.
Lama setelah berdiri mematung, akhirnya agak tergagap dia berbisik, "Kau.... kau.... kau adalah Ngo....” Siang Ngo-nio tertawa terkekeh.
"Terima kasih banyak kau masih ingat namaku,” katanya, "tapi aku hanyalah Ngo-nio mu, bila berada dihadapan orang lain, kau jangan memanggil namaku.”
"Ngo-nio,” ujar Put-ji Tojin setelah berhasil menenangkan hatinya, "ilmu merubah wajahmu sungguh luar biasa. Tapi, kendatipun tidak ada yang mengenalimu, tidak seharusnya kau mengambil resiko sebesar ini untuk datang kemari. Mau apa kau kemari?"
"Mau apa? Tentu saja datang mencarimu!"
"Mencari aku?" berubah paras muka Put-ji, "tahukah kau apa posisiku saat ini?"
"Aku tahu, sekarang kau sudah menjadi tianglo di Bu-tong-pay! Hmm, kenapa? Setelah jadi tianglo, kau tidak mau memperdulikan aku lagi?"
"Ngo-nio, tolong jangan berteriak-teriak disini" bisik Put-ji dengan suara lirih, "coba dengarkan dulu perkataanku....” Siang Ngo-nio sama sekali tidak ambil perduli, setelah tertawa dingin kembali ujarnya, "Dasar bocah yang tidak punya perasaaan, masih ingat tidak ketika dulu kau tidur seranjang denganku, berapa banyak kata mesra dan hangat yang pernah kau bisikkan disisi telingaku? Dan sekarang, kau memandangku dengan wajah dingin membeku! Pepatah mengatakan: semalam jadi suami istri....”
Buru-buru Put-ji Tojin mendekap mulutnya sambil berbisik, "Ngo-nio, aku mohon.... jangan sembarangan bicara, sebenarnya apa yang ingin kau katakan?"
"Aku ingin kau melaksanakan janjimu dulu, mengambil aku sebagai istrimu!"
"Tolong, janganlah bergurau terus!" seru Put-ji sambil tertawa getir, "aku sudah lama jadi pendeta, bahkan sekarang telah menjadi tianglo dalam perguruan ku.”
"Kalau jadi tianglo lantas kenapa? Orang yang sudah jadi pendeta pun dapat kembali jadi preman! Eeei Ceng-kim, aku lihat kehidupanmu sebagai seorang tosu pun tidak terlalu nyaman dan gembira, aku rasa lebih banyak kesulitan yang bakal kau jumpai daripada kesenangan! Mumpung disini tidak ada orang, bagaimana kalau kita kabur saja ke ujung dunia!"
Tiba-tiba saja nada suaranya berubah, berubah jadi sangat halus dan lembut, membuat Put-ji Tojin semakin kelabakan dan tidak tahu apa yang musti dilakukan. Sadar kalau dia tidak bakal lolos dari cengkeraman perempuan itu, satu ingatan segera melintas dalam benaknya. Katanya kemudian, "Lusa adalah saat jenasah guruku dikebumikan, semisal harus pergi pun, aku tidak mungkin bisa pergi pada hari ini. Ngo-nio, berilah waktu kepadaku untuk berpikir, tapi sebelum itu aku ingin menanyakan satu hal lebih dulu kepadamu.”
"Baik, tanyalah!"
"Kenapa kau bisa sampai disini?" Berlagak tidak mengerti sahut Siang Ngo-nio, "Aku toh bukan pincang, tentu saja dengan mengandalkan kedua kakiku aku sampai disini!" Put-ji mendengus. "Hmm, tidak usah berlagak bodoh, kau harus mengerti apa maksud pertanyaanku ini! Tidak salah, kau telah berganti rupa, mungkin tiada orang di sepanjang gunung Bu-tong yang bisa mengenali raut wajah aslimu, tapi masa tidak ada yang bertanya siapa dirimu?"
"Sebenarnya aku memang sudah siap bila ada yang bertanya kepadaku, sayang tidak ada kesempatan bagiku untuk mempraktekkan kemampuanku berbohong. Sejak melangkah masuk dari pintu Hian-gak-bun, entah mengapa, para murid perguruanmu yang bertugas menerima tamu tidak ada yang menaruh curiga kepadaku, bahkan bertanya setengah kecap pun tidak.”
"Hmm, kalau begitu kemampuanmu memang benar-benar luar biasa!" dengus Put-ji sambil melototkan matanya.
Dari balik sorot matanya Siang Ngo-nio dapat menangkap cahaya yang sangat aneh, saat itulah dia baru tidak memperolok dirinya lagi, sambil tersenyum ujarnya, "Bukan kemampuanku yang hebat dan luar biasa, aku hanya naik gunung mengikuti seseorang, kalau dibilang ada yang memiliki kemampuan hebat, orang itu pasti bukan aku melainkan orang tersebut.”
"Siapa?"
"Bouw It-yu!"
"Untung aku tidak bertindak gegabah,” pikir Put-ji dengan perasaan terperanjat. Tampaknya Siang Ngo-nio dapat menebak jalan pikirannya, dengan senyum tidak senyum katanya lagi, "Ceng-kim, bukankah kau menganggap aku telah membawa kesulitan bagimu, bukankah kau ingin membunuhku? Hehehehe.... ilmu pedangmu telah kau latih hingga mencapai taraf begitu sempurna, bila ingin membunuhku, sebetulnya hal ini bisa kau lakukan dengan gampang sekali, justru yang sulit adalah bisa membunuh aku tanpa diketahui siapa pun!"
Put-ji tertawa paksa, ujarnya, "Ngo-nio, kau terlalu banyak curiga, mana mungkin aku ingin membunuhmu? Lagipula kau telah berlatih ilmu senjata rahasia aliran keluarga Tong, aku merasa tidak punya kemampuan untuk membunuhmu!"
"Baiklah, anggap saja aku memang menggunakan pikiran seorang siaujin untuk mencurigai seorang kuncu. Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?"
"Apakah kau bertemu Bouw It-yu di luar perbatasan?"
"Benar, bertemu di sebuah kota yang bernama Uh-sah-tin, bukan hanya bertemu Bouw It-yu, disana pun aku telah berjumpa pula dengan anak angkatmu!"
"Lan Giok-keng? Kau.... kau pun telah bertemu dengannya?"
"Aku rasa sudah waktunya kau mengubah panggilannya sebagai Keng Giok-keng bukan?" Put-ji merasakan hatinya sangat tergoncang, serunya tanpa sadar, "Jadi dia sudah mengetahui orang tua aslinya?"
"Aku tidak tahu seberapa banyak yang teLah dia ketahui, tapi aku rasa dia sudah bukan seperti dulu lagi, yang sama sekali tidak tahu apa-apa.”
Paras muka Put-ji berubah hebat, mulutnya melongo tapi tidak sanggup berbicara. Sambil tersenyum kembali Siang Ngo-nio berkata, "Aku bahkan mengetahui pula akan satu hal, bila sekarang kau ingin membunuhnya, mungkin tidak gampang kau lakukan, karena ilmu pedangnya sekarang sudah jauh lebih hebat daripada kepandaian yang kau miliki!"
"Omong kosong!" seru Put-ji dengan wajah serius, "akulah yang telah mendidik ilmu silatnya, bukan saja hubungan kami adalah guru dan murid bahkan keakraban kami melebihi seorang ayah dan anak. Untuk menyayangi dirinya saja aku masih tidak sanggup, mana mungkin akan mencelakainya?"
Siang Ngo-nio segera tertawa terkekeh. "Benarkah begitu?" ejeknya, "menurut apa yang kuketahui, ilmu pedang yang kau ajarkan kepadanya sepertinya aspal, asli tapi palsu, bukan begitu? Untung saja dia dapat melatih diri sendiri hingga menguasai ilmu pedang tingkat tinggi, kalau tidak, kasih sayangmu kepadanya mungkin akan mencelakainya hingga mati.”
Put-ji berlagak sedih, ujarnya sambil menghela napas, "Ngo-nio, apakah sampai kau pun tidak bisa menyelami perasaan hatiku? Padahal aku berbuat begitu pun demi kebaikannya, aku hanya ingin dia hidup tenang tenteram sepanjang masa di atas gunung Bu-tong. Kau pun seharusnya tahu, orang persilatan yang bisa hidup bahagia hingga tua biasanya malah mereka yang ilmu silatnya biasa-biasa saja. Orang kuno mengatakan: orang bersahaja banyak rejeki nya ternyata memang tidak keliru.”
"Tapi sayang Keng Giok-keng bukan termasuk manusia biasa!"
"Perkataanmu benar sekali. Tapi maksud utamaku adalah baik, aku tidak menyangka kalau Sucouww-nya bakal menyuruh dia turun gunung, bahkan mewariskan pula kiam-boh perguruan kepadanya.”
"Sekarang dia sudah tahu kalau ilmu pedang asli tapi palsu yang kau ajarkan kepadanya tidak berguna sama sekali, apakah kau sangka dia tetap menganggapmu berniat baik? Itupun baru sebatas masalah ilmu pedang, bila diapun tahu kalau ayah kandungnya ternyata tewas diujung pedangmu, kau sangka....”
"Jangan dilanjutkan!" jerit Put-ji, "bagaimanapun juga dia tumbuh dewasa di bawah didikanku, aku telah membuang banyak tenaga maupun pikiran untuk merawatnya dan dia seharusnya tahu akan hal ini! Kalau dia tahu maka dia seharusnya percaya kepadaku!"
"Gurumu saja sepertinya tidak percaya lagi kepadamu, kalau tidak, masa tanpa memberitahukan kepadamu, dia sudah menyuruh Giok-keng turun gunung. Kau sangka Giok-keng si bocah itu masih mau percaya kepadamu setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya? Hehehe.... mungkin itu hanya keinginanmu sepihak?"
Ucapan ini mengena langsung pada penyakit hati Put-ji, kontan saja seperti ayam jago yang kalah bertarung dia tundukkan kepalanya dengan wajah murung.
"Ceng-kim, lebih baik kau bersama aku kabur ke ujung dunia saja. Aku punya cara untuk membantumu, sekalipun Keng Giok-keng telah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, aku pun bisa mengalihkan dendam kesumatnya dari dirimu kepada diriku,” bujuk Siang Ngo-nio.
Tergerak hati Put-ji sesudah mendengar ucapan itu, tapi ingatan lain segera melintas, "Setelah melakukan satu kesalahan, aku tidak boleh mengulang lagi kesalahan yang sama, apalagi sepanjang hidup berada bersama siluman perempuan ini!"
Dari perubahan mimik mukanya, agaknya Siang Ngo-nio sudah dapat menebak perubahan yang terjadi dalam hatinya, sambil menghela napas kembali ujarnya, "Ceng-kim, ternyata kau begitu muak terhadapku? Aaai, kusangka kita berasal dari jenis manusia yang sama.”
"Terima kasih banyak atas niat baikmu, tapi aku lebih rela mampus di ujung pedang anak Keng, seandainya dia benar-benar tidak mau memaafkan diriku.”
"Kau tidak bakal menyesal?" "Paling banter juga mati, aku seharusnya sudah mati sejak delapan belas tahun berselang, tapi karena sumoay telah menyerahkan bayi yang baru dilahirkan kepadaku, bagaimana pun aku tidak boleh menyia-nyiakan harapannya, itulah sebabnya aku bertahan hidup hingga sekarang. Kini anak Keng telah tumbuh dewasa, biar harus mati secara mengenaskan pun aku tidak bakalan menyesal!"
Siang Ngo-nio pura-pura ikut menghela napas, katanya, "Ternyata dalam hati kecilmu selama ini hanya terdapat sumoaymu seorang, bagimu, Siang Ngo-nio yang masih hidup segar bugar tidak bisa menandingi Ho Giok-yan yang telah lama meninggal. Hmmm, anggap saja aku telah salah mengenalimu, tapi masa kau sama sekali tidak ada pertanggungan jawab sedikit pun terhadapku?"
"Ko Ceng-kim yang pernah kenal denganmu pada delapan belas tahun berselang telah lama mati, yang ada sekarang adalah tianglo dari Bu-tong-pay, Put-ji!"
"Aku tidak perduli siapa dirimu, aku hanya ingin tanya, apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"
"Katakan saja sendiri, kecuali aku tidak bisa mengabulkan ajakan mu untuk pergi bersama, apa pun yang kau inginkan, selama aku dapat melakukannya pasti akan kukabulkan.”
"Baik, kalau begitu aku akan memohon satu hal kepadamu, bawalah aku menjumpai bunjin baru perguruanmu. Tapi dalam hal ini aku tidak ingin ada pihak ke tiga yang ikut mengetahui.”
"Mana boleh begitu?" seru Put-ji setelah tertegun beberapa saat saking terkejutnya.
"Kalau tidak kau kabulkan, maka selamanya aku akan hidup bersamamu selama kau masih hidup dan mati bersamamu bila kau mati!"
Berdiri semua bulu kuduk Put-ji saking seramnya, cepat-cepat dia berseru, "Jadi kau tetap bersikeras ingin melihat namaku hancur posisiku musnah? Baik, kalau begitu hadiahkan saja sebatang jarum Lebah hijau ke tubuhku!"
"Bila kau tidak punya perasaan, kenapa musti marah bila aku tidak setia kawan!" ucap Siang Ngo-nio, "terus terang saja aku beritahu, bila persoalan apa pun tidak mau kau lakukan untukku, aku pasti akan membuat kau hidup tidak bisa, matipun tidak dapat! Percaya-kah kau kalau aku mempunyai kemampuan seperti ini? Tapi bila kau bersedia mengaturkan pertemuanku dengan Bouw Ciong-long, kujamin kau pasti akan aman tenteram tidak kekurangan sesuatu apa pun.”
Tergerak hati Put-ji setelah mendengar ucapan itu, katanya, "Kau.... kau.... jadi Bouw Ciong-long pun merupakan bekas.... bekas....”
"Hey, lari ke mana jalan pikiranmu?" tukas Siang Ngo-nio dengan wajah memerah, "memangnya setiap orang yang ingin kujumpai pasti merupakan bekas kekasihku?"
"Lalu apa sebabnya kau ingin bertemu dengannya? Kenapa berani memberikan jaminan kepadaku?"
"Inilah rahasiaku, bila kau bersedia menjadi suami ku, rahasia ini pasti akan kuberitahukan kepadamu.”
"Kalau begitu kau tidak perlu beritahu kepadaku, tapi mengapa kau tidak minta bantuan kepada Bouw Ityu? Bukankah dia bersedia mengajakmu naik ke gunung Bu-tong?" Siang Ngo-nio segera tertawa. "Aku adalah perempuan jahat yang sudah tersohor di kolong langit, mana ada seorang anak mengaturkan pertemuan rahasia bagi bapaknya dengan seorang wanita jahat!"
Put-ji ikut tertawa geli, pikirnya, 'Hahahaha.... kenapa aku tidak pernah berpikir sampai ke situ? Jika Bouw Ciong-long benar-benar adalah bekas kekasihnya, tentu saja dia tidak ingin Bouw It-yu mengetahui rahasianya, apalagi minta bantuan kepadanya untuk mengaturkan sebuah pertemuan' Terdengar Siang Ngo-nio berkata lebih lanjut, "Aku hanya mengikuti Bouw It-yu naik gunung, bukan Bouw It-yu yang mengajakku naik gunung. Pada hakekatnya dia malah tak tahu siapakah diriku. Lagipula dia tidak berhutang apa-apa kepadaku, aku toh tidak bakalan sembarangan minta tolong kepada orang lain.”
Perkataan itu setengahnya jujur tapi setengahnya lagi bohong, namun dalam pendengaran Put-ji, dia hanya bisa tertawa getir.
"Betul, Ngo-nio, aku memang pernah berhutang cinta kepadamu, tapi dalam kejadian itu....”
"Kalau kau tidak bersedia, lebih baik tidak usah banyak bicara. Kita lihat saja nanti!" tukas Siang Ngo-nio sambil tertawa dingin. Paras mukanya tiba-tiba berubah jadi dingin bagaikan lapisan salju. Buru-buru Put-ji berseru, "Bukankah menampik permintaanmu, bagaimana pun kau harus memberi waktu kepadaku untuk berpikir.”
Selang berapa saat kemudian kembali Siang Ngo-nio bertanya, "Sudah kau pikirkan baik-baik?"
"Ssttt!" mendadak Put-ji mendesis lirih, "ada orang datang, kau cepat pergi dulu!" Siang Ngo-nio jadi gusar.
"Sebenarnya kau....” Baru berbicara berapa patah kata, Put-ji telah mendekap mulutnya sambil berbisik, "Aku berjanji, malam nanti datanglah ke kompleks pemakaman. Cepat pergi, cepat pergi, jangan sampai terlihat orang lain!" Siang Ngo-nio adalah seorang jago senjata rahasia, pendengarannya jauh lebih tajam daripada orang lain, saat itu secara lamat-lamat dia telah mendengar ada orang sedang bergerak mendekat. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang lihay, cepat dia membalikkan tubuh, melompat naik ke atas tebing curam dan menyembunyikan diri dibalik pohon-pohonan. Baru saja Put-ji menghembuskan napas lega, terlihat Put-hui Tokouw dengan menggandeng seorang gadis muda telah berjalan menghampirinya.
Put-ji tertegun, tapi cepat serunya sambil berlagak sangat gembira, "Sui-leng, ternyata kau telah kembali!"
"Sejak kemarin Leng-ji sudah kembali,” sahut Put-hui suthay, "sebenarnya dia ingin segera melapor kepadamu, tapi berhubung hari sudah malam, aku menyuruhnya datang hari ini.”
Adik Lan Sui-leng adalah putra angkat Put-ji, selama banyak tahun berbagai masalah yang ada di rumahnya selalu mendapat perhatian dan bantuan darinya, menurut keadaan pada umumnya, begitu gadis ini sampai di gunung, dia seharusnya langsung datang menghadap. Oleh karena itu Put-ji sama sekali tidak merasa keheranan. Yang membuatnya heran adalah kenapa Put-hui Suthay punya waktu menemani muridnya datang mencari dia. Padahal pada saat seperti ini seharusnya Put-hui Suthay berada di istana Ci-siau-kiong. Mimik muka Put-hui Suthay kelihatan sedikit aneh, baru saja Put-ji hendak mengajukan pertanyaan kepada Lan Sui-leng, dia sudah berkata duluan, "Aku seperti mendengar ada seseorang sedang berbicara denganmu, mana dia sekarang?"
Perasaan hati Put-ji tergoncang, tapi rasa kagetnya sama sekali tidak ditampilkan di wajahnya, buru-buru sahutnya, "Benar, tadi memang ada tamu, baru saja pergi.” "Tamu itu adalah....” Put-hui suthay tampak masih curiga. Put-ji berusaha menenangkan hatinya, lalu menjawab dengan hambar, "Aku tidak bertanya siapa namanya.” "Kenapa dia bisa datang kemari?" desak Put-hui suthay lagi dengan kening berkerut.
"Tamu ini sedikit agak ceroboh, bukan saja telah berpesiar di seluruh bukit bahkan katanya ingin masuk kompleks pemakaman untuk berpesiar, sudah kukatakan kalau kompleks ini tertutup bagi orang awam sebelum upacara penguburan diselenggarakan, tapi dia ngotot terus, akhirnya setelah kutampik secara tegas, dia baru pergi dengan wajah bersungut-sungut.”
Pihak Bu-tong-pay memang tak pernah melarang tamunya untuk berpesiar di atas gunung, misalnya muncul orang tidak tahu aturan yang bersikeras ingin berkunjung ke kompleks pemakaman lantaran rasa hormatnya kepada Bu-siang Cinjin, hal semacam inipun lumrah dan tak aneh. Karena itulah perasaan curiga Put-hui suthay seketika berkurang banyak setelah mendengar alasan tersebut.
"Oooh, rupanya begitu,” dia berkata.
Diam-diam Put-ji menghembuskan napas lega, ujarnya kemudian, "Suci, kenapa kau tidak berada di istana Ci-siau-kiong untuk membantu melayani tamu?"
"Mungkin Ciangbunjin tahu kalau aku tidak terbiasa melayani kunjungan orang, mungkin juga khawatir aku tidak tahan lelah, maka kecuali memerintahkan aku untuk ikut hadir dalam upacara pemakaman lusa, aku telah dibebaskan dari tugas apa pun. Padahal luka ku telah sembuh, sekalipun dalam seharian harus beberapa kali naik turun puncak Ci-siau-hong pun tidak menjadi masalah bagiku.”
"Suhu,” timbrung Lan Sui-leng, "sekembali ke atas gunung, aku baru tahu kalau kau telah terkena jarum Lebah hijau milik Siang Ngo-nio, perempuan siluman itu hingga nyaris harus berbaring hampir setengah tahun lamanya. Konon jarum Lebah hijau miliki siluman wanita itu merupakan senjata rahasia yang sangat beracun, biarpun kini telah sembuh, lebih baik jaga dirimu dengan seksama.”
"Benar,” sahut Put-hui Suthay sambil tersenyum getir, "biarpun lukaku telah sembuh, namun ilmu meringankan tubuhku sedikit terkendala, mungkin butuh berapa waktu lagi sebelum dapat pulih kembali seperti sedia kala.”
Diam-diam Put-ji sendiripun tertawa getir, pikirnya: 'Untung dia tidak tahu kalau orang yang baru saja disini adalah si Lebah hijau Siang Ngo-nio. Mungkin seandainya kungfu yang dia miliki tidak menyusut mundur gara-gara lukanya, perkembangan cerita bisa jadi lain.' Khawatir Put-hui Suthay bertanya lebih jauh, buru-buru dia mengalihkan pokok pembicaraan, katanya, "A-Leng, kau turun gunung sudah setengah tahunan, apakah mendengar sesuatu berita tentang adikmu?"
"Aku malah pernah bertemu dengannya sewaktu ada di Toan-hun-kok, hanya karena dia bersama Hwee-ko Thaysu dari biara Siau-lim-si akan pergi ke luar perbatasan, lagian dia melarangku ikut serta. Terpaksa aku pulang seorang diri.”
Dalam hati kecilnya Put-ji merasa gugup bercampur panik, namun dia berusaha tidak menampilkan kecemasan itu di wajahnya. "Oooh, jadi dia telah pergi ke luar perbatasan bersama Hwee-ko Thaysu,” katanya, "aku benar-benar tidak menyangka akan hal ini. Tahukah kau karena urusan apa mereka keluar perbatasan?"
"Tidak tahu. Justru karena itulah aku ingin bertanya kepada tianglo, apakah sudah mendapat kabar tentang dirinya. Semasa hidup dulu Sucouww paling menyayanginya, seharusnya dia akan mengejar waktu untuk balik ke gunung.” "Aaai, akupun sedang berharap bocah ini segera pulang ke gunung, tapi hingga hari ini masih belum mendapat kabar berita tentang dirinya.” Biarpun dia sedang berbohong (belum lama berselang dia telah mendapat kabar tentang Lan Giok-keng dari cerita Siang Ngo-nio), namun perasaan kasih sayangnya antara ayah angkat dengan putranya terlihat kentara sekali. Sebenarnya tujuan kedatangan Lan Sui-leng kali ini hanyalah untuk melakukan sebuah kunjungan penghormatan saja, terhadap Put-ji dia sama sekali tidak menyimpan pengharapan apa pun. Oleh sebab itu walau tidak mendapat berita tentang adiknya, dia sama sekali tidak merasa kecewa. Tapi di saat dia hendak mohon diri itulah mendadak terdengar Put-ji berkata lagi, "Hanya saja....” Buru-buru Lan Sui-leng menelan kembali ucapan 'pamitan' nya dan segera bertanya, “Hanya saja kenapa?"
"Walaupun Giok-keng si bocah ini belum kembali, tapi salah seorang murid perguruan kita yang ikut melakukan perjalanan jauh bersamanya telah kembali.”
"Siapa?" buru-buru Lan Sui-leng bertanya dengan perasaan hati berdebar.
"Bouw It-yu. Menurut apa yang kuketahui, tujuannya turun gunung kali inipun sepertinya pergi juga ke luar perbatasan.”
Perlu diketahui, berita kembalinya Bouw It-yu ke atas gunung biar tidak dia katakan pun, orang lain pasti akan mengatakannya juga, oleh sebab itu dia mengatakannya segera. Dia butuh ketenangan, berharap Put-hui Suthay dan Lan Sui-leng dapat segera meninggalkan tempat itu secepatnya. Tiba-tiba saja paras muka Lan Sui-leng berubah jadi pucat pias seperti mayat. Melihat itu dengan perasaan kaget Put-hui Suthay menegur, "Anak Leng, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit takut. Siau-susiok telah kembali, kenapa adik tidak ikut kembali.”
"Walaupun mereka menuju ke sebuah tempat yang sama, belum tentu secara begitu kebetulan bisa saling bersua muka, kalau bertemu saja belum tentu, mana mungkin bisa pulang bersama-sama? Kau tidak usah sembarangan berpikir, kalau memang Bouw It-yu sudah kembali, lebih baik kita mencari kabar darinya.”
Darimana dia tahu kalau yang ditakutkan Lan Sui-leng bukan kemungkinan adiknya tertimpa bencana atau musibah diluar dugaan, tapi dia takut bertemu dengan Bouw It-yu, namun mau tidak mau diapun harus pergi menjumpainya. Dengan mulut membungkam dia berjalan mengikuti di belakang gurunya, dari jembatan Yu-ci-kiau menuju ke jembatan Kim-soh-kiau, dari kejauhan bangunan istana Ci-siau-kiong sudah kelihatan. Di bawah undak undakan batu yang lebar terdapat sebuah tanah berumput yang luas, di tempat itulah tempo hari Tonghong Liang menantang duel jago jago dari Bu-tong-pay. Sambil menghela napas ujar Put-hui Suthay, “Waktu berlalu begitu cepat, peristiwa Tonghong Liang menantang berduel hari itu seolah masih berada di depan mata, tanpa terasa mendiang Ciangbunjin sudah hampir setahun meninggalkan kita semua. Aku masih ingat, dia sempat mengeluh tentang minimnya orang-orang berbakat dalam partai Bu-tong gara-gara harus menghadapi tantangan duel itu, beruntung Ciangbunjin yang sekarang tiba tepat pada saatnya hingga nama baik perguruan terselamatkan.
"Dikemudian hari kami baru tahu, rupanya sejak awal dia telah berjanji untuk melepaskan status sipilnya untuk menjadi Ciangbunjin saat ini, tapi berhubung Ciangbunjin belum datang juga seperti waktu yang telah dijanjikan, akibatnya mendiang Ciangbunjin sempat ikut dibuat panik dan gelisah. Aaai.... setiap kali teringat kejadian ini, aku ikut merasa malu sendiri, dasar bakat-ku memang terbatas, kemajuan yang bakal diperoleh di kemudian haripun sudah pasti terbatas pula. Tampaknya semua pengharapan hanya bisa kutumpukan pada kalian generasi berikut!"
Tokoh ini jadi heran ketika tidak mendengar tanggapan dari muridnya meski dia telah berbicara panjang lebar, sewaktu berpaling, dilihatnya Lan Sui-leng seperti kehilangan konsentrasi dan berdiri melamun, dengan perasaan tercengang segera tegurnya, "Anak Leng, apakah kau mempunyai masalah dalam hati kecil mu?"
"Tii.... tidak ada, benar tidak ada!" sahut Lan Sui-leng gugup, ketika dilihatnya sorot mata gurunya masih mengawasi wajahnya tanpa berkedip, cepat ia menambahkan lagi, "kecuali merasa kuatir akan keselamatan adikku, masalah apa lagi yang bakal mengganjal pikiran ku?"
Padahal didalam kenyataan, bukan saja dia mempunyai ganjalan hati, bahkan masalah yang dia hadapi bukan hanya satu! Sewaktu gurunya menyinggung tentang Tonghong Liang, persoalan yang sedang dia pikirkan pun tak lain adalah masalahnya dengan pemuda itu. Dia seperti terbayang kembali pengalamannya ketika selama berapa hari melakukan perjalanan bersama Tonghong Liang, teringat bagaimana ketika turun hujan deras pada malam itu, Tonghong Liang telah memberikan satu satunya gua yang bisa dipakai untuk berteduh dari air hujan kepadanya, bahkan menjaga keamanannya sepanjang malam ditengah hujan badai. Setiap kali terbayang kejadian itu, ia merasakan hatinya diliputi kehangatan yang luar biasa, tapi sayang perasaan yang kemudian muncul adalah teror perasaan takut yang luar biasa. Sebab setiap kali teringat akan diri Tonghong Liang, otomatis dia teringat pula akan Bouw It-yu. Bayangan wajah Bouw It-yu selalu menyingkirkan bayangan Tonghong Liang dan perasaan teror, horor dan takut menggantikan kehangatan perasaan hatinya. Sikap Bouw It-yu terhadapnya bukannya jelek atau tidak baik, tapi Bouw It-yu telah memaksanya untuk menganggap Tonghong Liang sebagai musuh, bahkan mengintruksikan dirinya untuk membunuh Tonghong Liang dengan menghalalkan segala cara, tentu saja bila terbukti Tonghong Liang benar-benar telah mencuri belajar ilmu pedang dari Bu-tong-pay. Dia menaruh curiga kalau adiknya secara sembunyi telah mengajarkan ilmu pedang perguruannya kepada Tonghong Liang, walaupun dengan pelbagai cara dia sudah berusaha membelai adiknya, namun paman gurunya itu tidak pernah mau percaya. Dia tidak berani melaporkan kejadian ini kepada gurunya, karena dia tidak ingin gurunya mengetahui rahasia hatinya. Apalagi dari nada pembicaraan gurunya ketika menyinggung kembali peristiwa di kala Tonghong Liang datang ke Bu-tong untuk menantang berduel, dapat diketahui kalau pandangannya terhadap Tonghong Liang mungkin sama persis seperti pandangan dari Bouw It-yu.
Dengan tatapan tajam Put-hui Suthay mengawasi gadis itu berapa saat, kemudian serunya, "Aaaah, tidak benar, kau seperti sedang takut akan sesuatu?"
Lan Sui-leng mencoba tertawa paksa. "Ketika baru balik ke atas gunung, perasaan hatiku memang sedikit merasa takut,” katanya, "tapi setelah berada disisi suhu, aku sudah tidak merasa ketakutan lagi.”
Put-hui Suthay manggut-manggut, katanya, "Aku bisa memaklumi bila dihati kecilmu, kau merasa ngeri bercampur takut terhadap Put-ji tianglo. Terus terang, sewaktu kutemukan kalau dia mengajarkan adikmu dengan ilmu pedang aspal, asli tapi palsu, timbul juga perasaan curiga, ragu dan tidak tenang di hati kecilku. Tapi bila dilihat dari sikap rindu dan sayangnya terhadap Giok-keng, rasanya luapan emosinya itu bukan pura-pura saja, lagipula dalam setahun belakangan dia hidup di tengah kesedihan dan kepedihan yang mendalam, aku rasa perasaan semacam ini tidak mungkin bisa dilakukan dengan pura-pura. Adikmu adalah cucu murid yang paling disayang mendiang Ciangbunjin, sedang diapun sedih karena kehilangan gurunya. Menurut nalar yang sehat, tidak sepantasnya dia menaruh maksud jahat atau rencana busuk terhadap adikmu.”
"Sejak dia mengangkat adikku sebagai anak angkatnya, dia memang selalu bersikap sangat baik dan sayang kepadanya, aku sendiripun tidak percaya kalau dia berniat mencelakai adikku, tapi dalam peristiwa ini.... aku sendiripun jadi bingung.”
Tiba-tiba Put-hui Suthay menyela, "Akupun menghadapi satu masalah yang membingungkan, ingin kudengar penjelasan darimu.”
"Suhu, apa yang ingin kau ketahui?" tanya Lan Sui-leng terperanjat.
"Sejak sekembalimu dari merantau, meski aku belum punya waktu untuk menjajal kungfu mu, tapi dapat kulihat kalau ilmu silatmu telah mengalami kemajuan yang pesat. Terutama dalam ilmu meringankan tubuh, aku lihat kehebatanmu sudah jauh melebihi kemampuanmu dulu, tapi akupun merasa tidak mirip dengan kungfu yang kuajarkan. Kenapa bisa demikian?"
Diam-diam Lan Sui-leng merasa terperanjat juga akan ketajaman mata gurunya, segera sahutnya, "Tecu tidak berani berbohong, apalagi merahasiakan kejadian ini. Benar, dalam perantauanku kali ini, tecu memang telah menjumpai pengalaman aneh. Telah berkenalan dengan seorang sahabat dari aliran perguruan lain....”
"Oooh.... sahabat seperti apakah itu?"
"Seorang gadis yang usianya hampir sebaya denganku, dia dari marga Seebun bernama Yan.”
Begitu tahu kalau sahabatnya adalah seorang gadis, tanpa terasa Put-hui Suthay menghembuskan napas lega, tapi begitu mendengar nama marga tersebut, dia seolah tersentuh akan sesuatu, setelah tertegun, ulangnya, "Dia dari marga Seebun?" "Benar, ayahnya adalah Seebun Mu, Liok-lim Bengcu wilayah utara pada tiga puluh tahun berselang, tapi masalah ini baru kuketahui belakangan.”
"Seebun Mu sudah lama meninggal, tentunya putri dia bukan bandit wanita bukan?"
"Tatkala ayahnya meninggal, dia baru berusia dua-tiga tahunan. Sejak ayahnya meninggal, ibunya segera mengundurkan diri dari dunia persilatan dan membawanya hidup mengasingkan diri di tengah gunung. Aku pernah bertemu ibunya, ibunya pun bersikap sangat baik kepadaku, malah menerima aku sebagai putri angkatnya.” "Kalau begitu pastilah Seebun-hujin yang pernah mengajarkan ilmu silat kepadamu?" desak Put-hui Suthay. "Harap suhu mau memaafkan kelancangan tecu. Benar, tecu merasa tidak leluasa untuk menampik niat baiknya. Tapi aku hanya tinggal sebulan lamanya di rumah mereka, jadi sesungguhnya tidak banyak yang sempat kupelajari.”
Padahal dalam kenyataan, ilmu meringankan tubuh yang dia miliki berasal dari ajaran Tonghong Liang, hanya saja hal mana tidak berani dia ungkap kepada gurunya. "Aku memandang hambar soal pandangan fanatik perguruan. Apalagi diapun ibu angkatmu, sedang hingga kini kau baru menjadi murid tidak resmi diriku. Sekalipun mengikuti peraturan persilatan yang paling ketat pun aku masih belum berhak untuk melarangmu mempelajari ilmu silat dari aliran lain.”
"Terima kasih banyak atas pengertian suhu, tecu ingin sekali memohon sesuatu hal kepada suhu.”
"Katakan.”
"Harap suhu mau secara resmi menerimaku sebagai muridmu.”
Ternyata dia teringat kembali dengan janji Bouw It-yu ketika waktu itu minta tolong kepadanya untuk 'menghadapi' Tonghong Liang, saat itu dia berjanji akan memohon kepada ayahnya untuk menerima dia sebagai muridnya.
Namun Lan Sui-leng tidak ingin memperoleh 'kemuliaan' tersebut dengan melanggar 'kebiasaan' yang berlaku. "Aku pun mempunyai niat begitu,” jawab Put-hui Suthay kemudian, "tapi untuk penerimaan murid wanita yang berasal dari kalangan preman, menurut aturan Sam-ceng-kau, aku harus melaporkan dulu hal ini kepada Ciangbunjin. Nanti bila bertemu Ciangbunjin dan ada kesempatan untuk berbicara, akan kusinggung hal ini dengannya. Kalau segala prosedur berjalan menurut aturan, aku rasa dia tidak mungkin akan keberatan.”
"Terima kasih banyak suhu!"
"Apakah Seebun-hujin berwajah sangat cantik?" tiba-tiba Put-hui Suthay bertanya.
"Bila berdiri bersanding dengan putrinya, mereka mirip seperti kakak beradik. Putrinya sudah cantik bagaikan sekuntum bunga segar, tapi ketika berdiri disisi ibunya, kecantikan wajahnya justru nampak suram karena kalah dengan kecantikan ibunya.”
Put-hui Suthay menghela napas panjang, katanya, “Tidak heran bila dimasa lampau dia disebut orang sebagai Bu-lim Tee-it-bi-jin (wanita paling cantik dari dunia persilatan), sayang aku tidak bersempatan bertemu dengannya.”
Put-hui Suthay sebenarnya adalah seorang tokoh berwajah dingin berperasaan hangat, dia jarang bergurau apalagi bicara tidak berguna. Maka tidak heran bila Lan Sui-leng tercengang dibuatnya setelah mendengar perkataan itu, dia heran, mengapa gurunya bisa mempunyai pandangan dan ingatan semacam itu terhadap Seebun-hujin. Tampaknya Put-hui Suthay dapat menebak jalan pikirannya, dia segera menjelaskan, "Aku menjadi pendeta setelah usiaku melampaui dua puluh tahun. Pada dua puluhan tahun berselang, aku tinggal di kota Siok-ciu, waktu itu In Beng-cu pernah tinggal di rumah Cihu nya dikota Hangciu, In Beng-cu adalah perempuan yang kemudian bernama Seebun-hujin. Waktu itu aku masih muda dan rasa ingin tahuku besar, pernah terlintas ingatan untuk datang ke kota Hangciu untuk melihat, sampai dimanakah kecantikan wajah perempuan yang disebut Bulim Te-it-bi-jin ini. Sayang belum sempat terpenuhi keinginanku itu, In Beng-cu sudah keburu meninggalkan kota Hangciu.” "Suhu, di saat masih muda dulu, kau pasti seorang wanita cantik juga. Aku duga kau pasti ingin membandingkan kecantikanmu dengan kecantikan In Beng-cu bukan?" kata Lan Sui-leng sambil tertawa.
"Dasar budak edan, bicara sembarangan saja, masa berani menggoda gurumu sendiri!" seru Put-hui Suthay berlagak marah, "sudah, kita kembali ke pokok persoalan, rasanya cerita tentang 'pengalaman aneh'mu belum selesai bukan.”
"Panjang kalau ingin membicarakan pengalamanku selama setengah tahun ini. Gedung Ci-siau-kiong sudah hampir tiba, lebih baik nanti malam saja aku baru bercerita lagi.”
Sebagaimana diketahui, dia tidak ingin menceritakan kisahnya yang menyangkut Tonghong Liang kepada gurunya, kalau bisa "memangkas" ceritanya, tentu saja dia ingin berbuat begitu. Menyinggung tentang Seebun Yan, bagaimana mungkin dia bisa menghindari pemikirannya tentang Tonghong Liang serta Bouw It-yu.
"Entah enci Yan berhasil menemukan Tonghong-toako atau tidak, ehmm.... dia begitu tergila-gila terhadap Tonghong-toako, tapi tampaknya Tonghong-toako justru berniat menghindarinya. Semoga saja mereka tidak selalu memainkan permainan petak umpat seperti ini. Kalau permainan berlanjut terus, bisa saja rasa cemburu dan iri enci Yan bakal dilimpahkan kepadaku.” Tanpa terasa dia jadi teringat kembali dengan usaha Seebun Yan yang ingin menangkapnya, tujuannya waktu itu adalah agar dia tidak bisa berkeliaran di luaran hingga muncul kesempatan berdekatan dengan Tonghong Liang, setiap kali teringat akan hal ini, dia benar-benar merasa konyol. Waktu itu, Bouw It-yu lah yang telah membantu dia menghadapi Seebun Yan, meskipun selama ini dia tidak menaruh kesan baik terhadap Bouw It-yu, namun dalam peristiwa tersebut mau tidak mau gadis ini tetap merasa berterima kasih sekali kepadanya.
"Peristiwa yang terjadi di dunia ini memang sukar diduga, ketika aku pergi meninggalkan mereka saat itu, dari perkataan terakhir yang sempat kudengar, tampaknya enci Yan sudah tergerak hatinya oleh bujukan Bouw It-yu, semoga saja dia memang pergi bersama ke luar perbatasan untuk mencari Tonghong toako. Aneh, darimana pula Bouw-susiok bisa tahu kalau Tonghong toako sedang ke luar perbatasan? Kini Bouw-susiok telah kembali, apakah dia telah berhasil membantu enci Yan menemukan kembali Tonghong toako?" Walaupun dalam hati kecilnya dia ingin sekali mengetahui jawaban dari teka-teki ini, namun dia tetap merasa takut sekali untuk berjumpa dengan Bouw It-yu. Karena ada pikiran yang mengganjal hatinya, Lan Sui-leng pun mempercepat langkahnya sambil memanggil lirih, "Suhu, suhu!" Put-hui Suthay berpaling, melihat paras muka gadis itu pucat pias segera tegurnya, "Ada apa? Merasa kelelahan? Kita segera akan sampai di tempat tujuan!"
"Aku tidak ingin masuk.” "Kenapa?"
"Sebagian besar tamu yang pantas diundang masuk ke istana Ci-siau-kiong adalah tokoh-tokoh luar biasa, sementara para petugas penerima tamu pun kebanyakan adalah para Cianpwee dari perguruan kita, aku tidak lebih hanya seorang murid tidak resmi, rasanya....”
"Kenapa musti takut, toh ada aku,” tukas Put-hui Suthay cepat, "tenangkan pikiranmu, jangan membuat lelucon hingga aku sebagai gurumu ikut jadi malu.”
"Suhu, aku bukannya takut bertemu para tamu, hanya.... hanya saja aku.... aku tidak ingin.... lebih baik tidak usah ikut ke sana.”
"Bukankah kau ingin mencari berita tentang adikmu dari mulut Bouw It-yu?"
"Suhu, alangkah baiknya bila kau saja yang sekalian mencarikan berita. Semisal ada aku, mungkin pembicaraan kalian malah kurang leluasa.”
"Aaah, benar juga,” batin Put-hui Suthay, "kenapa aku tidak berpikir sampai ke situ.”
Perlu diketahui, dalam suasana pertemuan akbar semacam ini, dapat dipastikan Bouw It-yu sangat sibuk melayani para tamunya, bila dia mengajak muridnya datang ke sana, lalu mengajak Bouw It-yu ke pojokan untuk berbicara, tindakan semacam ini sudah pasti akan menimbulkan perhatian orang lain. Akan tetapi dia sendiripun bukan termasuk seseorang yang kaku memegang peraturan, maka setelah berpikir sejenak katanya, "Toh kita sudah sampai disini, lihat saja perkembangannya nanti. Selama ikut masuk ke sana nanti, lebih baik kau tidak usah banyak bicara, ikuti aku saja nonton keramaian!"
Lan Sui-leng tidak berani mengemukakan alasan sebenarnya dari perasaan takutnya itu kepada gurunya, terpaksa dia mengikutinya dari belakang. Tapi gurunya bukannya melanjutkan perjalanan, dia malah menghentikan langkahnya.
Waktu itu mereka telah melewati prasasti dan sedang berjalan memasuki sebuah hutan pohon siong, lapangan luas di depan istana Ci-siau-kiong telah muncul di depan mata. Waktu itu banyak orang sedang berkumpul di tanah lapang tadi. Bahkan terlihat ada dua orang sedang cekcok ramai.
"Bocah keparat, perkataanmu tajam dan tidak enak didengar, memangnya berniat menantang aku beradu kekuatan?" yang berbicara adalah seorang lelaki kurus ceking. "Menantang mah tidak berani, tapi tidak keberatan untuk memberi petunjuk bukan?" orang yang diumpat sebagai bocah keparat itu adalah seorang pemuda berdandan sastrawan, dia menanggapi ucapan lawan sambil tertawa ringan. "Hmmm, manusia macam kau belum pantas untuk minta petunjuk!" kembali lelaki ceking itu mendengus. Para penonton yang menyaksikan keramaian itu semuanya berharap mereka bisa segera bertarung, maka ucapan pun bergema simpang siur, ada yang berkata begini, "Pantas atau tidak baru bakal ketahuan kalau sudah bertarung!" Ada pula yang berseru begini, "Benar, saling menjajal ilmu silat adalah kejadian lumrah. Apalagi disini hadir begini banyak orang, masa kalian takut kehilangan nyawa?" Bahkan ada pula yang bicara lebih kasar, "Kau bilang perkataannya menyindir tidak enak didengar, memangnya kau anggap ungkapanmu sendiri enak didengar.”
"Aku bukannya takut menghadapi dia,” sahut lelaki ceking itu segera, "tapi asal usul bocah keparat ini tidak jelas....”
"Hahahaha.... aku lihat asal-usulmu sendiripun rada kurang jelas!" jawab 'bocah keparat' itu sambil tertawa.
"Kurangajar, kau belum pantas untuk mengetahui asal usulku!" teriak lelaki ceking itu makin gusar.
'Bocah keparat' itu manggut-manggut, sahutnya, "Ucapanmu tepat sekali, justru karena itu maka aku ingin minta petunjukmu!"
Untuk sesaat lelaki itu seperti belum memahami maksud di balik ucapan lawannya, tapi sebelum dia mengucapkan sesuatu, dari sisi arena sudah ada yang menanggapi, "Tepat sekali, kami semua memang belum tahu asal usul perguruan kalian berdua. Kau menuduh asal-usulnya tidak jelas, diapun menuduh asal-usulmu tidak jelas. Kalau memang kedua belah pihak sama sama tidak mau berterus terang, cara yang terbaik adalah diselesaikan dengan pertarungan! Disini hadir jago-jago berpengalaman, asal pertarungan dimulai, bukankah segala sesuatunya akan jadi jelas!"
Beberapa orang jago lainnya serentak berseru pula, "Benar, percuma kalau cekcok mulut melulu, terhitung enghiong macam apa kalau hanya beraninya pentang bacot, hmmm! Jadi anjing atau beruang saja!"
Hasutan dan provokasi dari para penonton kontan saja membuat emosi lelaki ceking itu meluap, dengan wajah merah padam bentaknya, "Baiklah, bocah keparat, ayoh menyeranglah!"
Oleh karena di tengah lapangan ada perkelahian, terpaksa Put-hui Suthay menunda perjalanannya dan berhenti di sisi arena. Ketika melihat Lan Sui-leng sedang menonton dengan kesemsem, sambil tertawa segera tegurnya, "Apa bagusnya menonton perkelahian orang-orang persilatan semacam mereka?"
Darimana dia tahu kalau terperangahnya Lan Sui-leng karena ada penyebab lain. "Bocah keparat" itu berdandan sebagai seorang sastrawan, wajahnya bersih dan tampan, suaranya halus lagi merdu, tapi entah mengapa, justru mendatangkan perasaan aneh dalam pendengarannya.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Lan Sui-leng, pikirnya, Aneh sekali, padahal aku belum pernah bertemu dengan orang itu, mengapa rasanya seperti pernah kukenal?' Belum habis ingatan itu melintas, terdengar bocah keparat itu sudah berkata, "Akulah yang ingin minta petunjuk darimu, tidak usah sungkan-sungkan, ayoh mulailah melancarkan serangan!"
Lelaki ceking itu mendengus, tanpa banyak bicara lagi kepalannya langsung dijotoskan ke muka. Siapa pun tidak ada yang tahu jurus serangan apa yang dia gunakan, tampak tangan kirinya mengepal kencang, tulang jari yang mengepal justru menonjol keluar bagaikan tanduk, sementara jari tangan kanannya lurus bagaikan tombak, di bawah perlindungan pukulan kepalan yang gencar, dia sodok sepasang mata lawannya. Sebagaimana diketahui, semua yang hadir di tempat itu merupakan tamu-tamu undangan dari Bu-tong-pay, kendatipun terjadi perselisihan paham, pertarungan pun seharusnya hanya terbatas saling menutul, tidak pantas bila serangan dilancarkan begitu ganas dan telengas. Tidak heran kalau suasana menjadi gempar setelah jurus serangan itu dilancarkan, malahan ada diantara mereka yang mulai mengumpat dan mencaci maki lelaki ceking itu. Gerakan tubuh yang dilakukan kedua belah pihak sangat cepat, belum sempat orang itu mengumpat lelaki ceking itu, tampak bocah muda itu sudah melambung sambil berkelebat, bagaikan capung yang menutul di permukaan air, seperti juga burung walet terbang di bawah wuwungan rumah, dengan satu gerakan yang cepat dia sudah terhindar dari semua ancaman itu. Tempik sorak pun berkumandang memecahkan keheningan.
Semula, Put-hui Suthay memandang rendah kemampuan dua orang jagoan itu, tapi kini mau tidak mau dia ikut berseru tertahan. Ternyata gerakan tubuh bocah itu selain lincah dan cekatan, tampak indah menawan, sudah jelas yang digunakan adalah ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Sebaliknya di balik pukulan lelaki ceking itu terselip serangan jari tangan yang mengancam jalan darah musuh, sudah jelas dia pun bukan tokoh silat sembarangan. Lan Sui-leng benar-benar terpana hingga untuk sesaat hanya bisa berdiri melongo. Baginya, gerakan tubuh anak muda itu sangat dikenal dan hapal diluar kepala, sekalipun belum sempat melihat jelas raut wajah aslinya, tapi selain Seebun Yan, siapa pula orang itu? Dia masih ingat sangat jelas, ketika pertama kali bertemu Seebun Yan dan tertawan oleh gadis itu, gerakan tubuh burung walet melintas di bawah wuwungan inilah yang telah digunakan Seebun Yan. Dalam pada itu lelaki ceking tadi telah membuntuti lawannya bagaikan bayangan tubuh, dia ikut melambung ke udara, kali ini kepalan tinjunya diarahkan ke punggung lawan. Dengan saru gerakan menggeser tubuh beralih posisi, bocah muda itu balas membacokkan dua pukulan. Biar berada di bawah serangan gencar musuh, bukan saja orang itu bisa melancarkan serangan balasan, bahkan gerakan tubuhnya tetap nampak indah dan menawan.
Sekali lagi tempik sorak bergema gegap gempita. Melihat Lan Sui-leng berdiri kesemsem, Put-hui Suthay kembali berkata, "Meski ilmu pukulan bocah itu hebat, sayang tenaga dalamnya belum cukup sempurna, aku rasa serangan itu hanya indah dipandang, kurang mantap hasilnya.”
Baru selesai ia berbicara, situasi dalam arena pertarungan kembali telah berubah, kini pertarungan berlangsung dalam jarak dekat. Jari tangan lelaki ceking itu menjojoh berulang kali melepaskan serangan yang ganas dan gencar, khususnya ke dua jari tangan kanannya, setiap serangan yang dilancarkan selalu tertuju ke jalan darah mematikan di tubuh lawan. Hal ini membuat anak muda tersebut mulai keteter dan kewalahan. Kembali terdengar Put-hui Suthay berseru tertahan, kepada Lan Sui-leng ujarnya, "Ilmu menotok jalan darah yang digunakan lelaki itu hebat sekali, tampaknya merupakan perubahan dari ilmu pena dari keluarga Lian.”
Ilmu menotok jalan darah dengan Poan-koan-pit dari keluarga Lian diwilayah Sam-say merupakan salah satu ilmu langka dalam dunia persilatan, dengan sepasang pit nya empat nadi penting bisa terancam dalam waktu bersamaan. Apalagi bila dua orang bekerja sama menggunakan ilmu poan-koan-pit tersebut, dengan empat pit mereka bisa menotok delapan nadi penting sekaligs. Atau dengan perkataan lain, dalam satu gebrakan mereka dapat mengancam delapan nadi lawan secara bersamaan dan mengurungnya di bawah lingkaran pengaruhnya, dalam keadaan begini, salah satu di antara delapan nadi itu pasti akan menjadi sasaran.
Terdengar Put-hui Suthay kembali berkata, “Tampaknya lelaki itu masih agak sangsi dan takut, apakah kau dapat melihatnya? Walaupun ilmu pukulannya tampak garang, padahal dia gunakan untuk melindungi diri. Coba dia berani menggunakan kedua tangannya berbarengan, sudah pasti ilmu sepasang pit menotok empat nadi nya bisa dikembangkan lebih sempurna. Dalam keadaan begitu, biar gerakan tubuh bocah itu lebih cepat pun pasti tidak akan sanggup menahan serangannya!"
Waktu itu Put-hui Suthay berbicara di dalam hutan Siong, orang yang berada di lapangan sudah pasti tidak akan mendengarnya. Namun tampaknya lelaki ceking itupun punya pikiran yang sama, benar saja, dia segera menarik kembali ilmu pukulannya dan menggunakan ke dua belah tangannya untuk melancarkan totokan. Tampak ke empat jari tangannya sebentar menyodok sebentar ditarik, bagaikan lidah empat ekor ular berbisa mengancam kian kemari. Rupanya dia sudah menjajal kalau tenaga dalam yang dimiliki lawannya masih cetek, meski tubuhnya kena pukulan pun, serangan tersebut tidak akan berakibat fatal baginya. Dalam waktu singkat bocah muda itu mulai keteter hebat dan dipaksa berada di bawah angin, tiba tiba dengan satu gerakan cepat dia berjumpalitan mundur ke belakang.
"Bocah busuk, mau mencoba melarikan diri?" bentak lelaki ceking itu nyaring. Baru selesai dia membentak, tiba-tiba bocah itu sudah membalikkan tubuh sambil melepaskan sebuah pukulan, gerak serangannya jauh berbeda dari serangannya semula, setiap serangan diiikuti dengan gerakan melingkar, walaupun gerakannya jauh lebih lamban namun selalu berhasil memunahkan datangnya ancaman lawan yang garang. Begitu bocah itu membalikkan tubuh menyongsong kedatangan lawannya, dengan tangan kiri dia menciptakan gerakan melingkar, tangan kanannya membabat melintang pergelangan tangan lawan, atau terkadang tangan kanan yang menciptakan gerakan melingkar, tangan kiri menusuk bagaikan ujung tombak. Begitu ilmu pukulan itu dikembangkan, tidak sampai puluhan gebrakan kemudian, dari posisi terdesak kini dia memegang peranan di atas angin.
Sekali lagi Put-hui Suthay berseru tertahan, dia seolah merasa sangsi dan tidak habis mengerti. Namun bagi Lan Sui-leng, dia mengetahui dengan sangat jelas, karena ilmu pukulan yang digunakan pemuda itu merupakan perubahan yang diciptakan dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat. Bukan saja Lan Sui-leng tahu kalau ilmu pukulannya merupakan perubahan dari ilmu pedang, bahkan tahu dengan jelas sumbernya. Ketika dia masih tinggal di rumah Seebun Yan tempo hari, Seebun-hujin pernah mengajarkan ilmu pedang kepadanya. Waktu itu ibunya memberi pelajaran sementara putrinya menjadi patner berlatih. Jurus serangan itu bernama Liong-bun-tiap-long (ombak berlapis menerjang pintu naga), merupakan jurus serangan yang paling banyak dipraktekkan bersama Seebun Yan. Kini dia sudah tidak ragu lagi, dia yakin bocah muda dihadapannya sekarang tidak lain adalah penyamaran dari Seebun Yan.
Pada dasarnya watak Seebun Yan adalah gadis yang suka akan keindahan, biarpun sedang menyamar sebagai pria, diapun tetap menyaru sebagai seorang sastrawan yang tampan. Kini Lan Sui-leng sudah amat yakin kalau dugaannya tidak salah, ketika diamati lagi dengan lebih seksama, benar saja, dia segera menjumpai raut muka aslinya. Maka sambil tertawa geli, diam-diam ia memaki kebodohan sendiri, "Masa aku pun mau dikelabuhi dia dengan menyamar jadi seorang pemuda tampan....”
Begitulah, sementara guru dan murid masing-masing tercekam dalam jalan pemikiran sendiri, menang kalah di tengah arena segera telah ketahuan hasilnya. Tampaknya lelaki ceking itu sudah merasa kalau gelagat tidak menguntungkan, dalam cemas bercampur gelisah, dia buru-buru ingin meraih kemenangan. Tiba-tiba badannya merangsek maju ke depan, ke lima jari tangannya digenggam kemudian disentilkan ke depan, dalam sekali gebrakan dia mengurung jalan darah Thian-sian, Tee-kue, Giok-bun, Sian-ki, Yang-tiong lima buah jalan darah. Ke lima buah jalan darah yang menjadi incarannya ini termasuk dalam rangkaian empat nadi utama, jalan darah mana pun yang tertotok pasti akan menyebab kematian atau paling tidak menyebabkan luka yang cukup parah. Tidak sedikit jago totokan yang hadir di seputar arena saat itu, meski mereka tidak mengenali ilmu tadi merupakan gubahan dari ilmu pena dari keluarga Lian, namun semua orang tahu kalau serangan tersebut sangat lihay seketika itu juga jeritan kaget bergema di udara. Semua orang mengira Seebun Yan bakal sulit lolos dari serangan maut itu, diluar dugaan apa yang kemudian terjadi segera membuat semua orang terperangah. Terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema memecahkan keheningan, tahu-tahu tubuh lelaki ceking itu sudah mencelat sejauh beberapa depa (satu depa = 1,33 meter), lengan kanannya terlihat lunglai lemas dan tidak bisa diangkat kembali.
Ada begitu banyak orang yang hadir di seputar arena, ternyata tidak ada yang melihat dengan jelas, ilmu apa yang telah digunakan bocah keparat itu, tahu-tahu saja lengan kanan lelaki ceking itu sudah dipatahkan tulangnya. Belum lewat rasa kaget yang mencekam perasaan semua orang, satu peristiwa aneh kembali berlangsung di tengah arena. Tiba-tiba dari balik kerumunan orang banyak muncul seseorang, orang itu langsung mencengkeram lelaki ceking itu sambil membentak, "Siapa kau? cepat mengaku!"
Ternyata orang itu tidak lain adalah putra ketua Bu-tong-pay saat itu, Bouw It-yu. Seharusnya, bila ada tamu bertarung dan terluka, sebagai tuan rumah apalagi putra ketua Bu-tong-pay, dia harus turun tangan mencegah, kendatipun kedatangannya agar terlambat sehingga tidak sempat mencegah, paling tidak dia harus membantu sang korban untuk merawat lukanya. Tapi tindakan yang dilakukan Bouw It-yu saat ini jauh diluar kebiasaan, bukan saja tidak menolong malah menginterogasi orang itu dengan nada yang keras. Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa lelaki ceking itu protes, "Kenapa kau tidak menginterogasi juga bangsat cilik itu?" Peluh sebesar kacang kedela bercucuran membasahi seluruh jidat dan wajahnya. Ada diantara penonton yang tidak tega, mereka mulai berbisik bisik, "Benar juga, kalau mau di interogasi, seharusnya mereka harus dipandang sama! Lagipula menurut peraturan....”
.... Menurut peraturan yang berlaku, bila asal-usul kedua belah pihak sama-sama tidak jelas namun ada salah satu pihak yang terluka, maka orang yang tidak terbukalah yang harus diinterogasi lebih dulu. Entah apakah Bouw It-yu ikut mendengar perkataan itu atau tidak, baru selesai orang itu berkata, Bouw It-yu telah menyindir dengan nada dingin, "Dia adalah tamu kami, sedang kau adalah mata-mata yang khusus menyelinap ke gunung kami, memangnya aku harus pandang kalian sama rata?"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, semua orang yang berbisik-bisik pun membungkam seketika. Dengan keringat bercucuran membasahi wajahnya, lelaki ceking itu kembali berteriak parau, "Aku.... aku pun diundang oleh Bu-tong-pay kalian!" "Siapa yang mengundangmu?" Entah karena sudah kehabisan tenaga hingga tidak mampu menjawab atau karena alasan lain, lelaki ceking itu nampak hanya bisa membuka lebar mulutnya namun sama sekali tidak terdengar suara apapun. Di tengah arena hadir seorang busu tua yang mempunyai sedikit hubungan dengan ayah Bouw It-yu, dengan lagaknya dia menimbrung, "Hiantit, coba kau bubuhi obat luka dulu kemudian baru ditanyai.”
"Hmm, dia hanya berlagak mampus!" seru Bouw It-yu. Sambil berkata dia cengkeram tulang Pi-pa-kut di tubuh lelaki ceking itu, kontan orang itu menjerit keras seperti babi yang mau disembelih. Tapi orang itu benar-benar keras kepala, untuk menarik simpatik orang lain kepadanya, kembali protesnya, 'Manusia she-Bouw, kau telah menghina aku habis-habisan, sampai mati pun aku tidakbakal mengaku!"
"Hmm, tidak kau katakan pun aku juga tahu siapa dirimu,” dengus Bouw It-yu dingin, "aku hanya ada satu hal yang belum jelas, ingin minta petunjukmu lebih dulu.” Mendadak nada suaranya berubah jadi amat sungkan. Lelaki ceking itu agak tertegun, kemudian tanyanya, "Petunjuk apa yang kau inginkan?" "Sewaktu berada di tebing Yan-cu-ki, siapa yang memerintahkan dirimu untuk menyergap aku?"
Lelaki ceking itu nampak sangat ketakutan, jeritnya tertahan, "Kau.... kau.... apa kau bilang? Mana.... mana ada kejadian seperti ini!"
"Bouw-kongcu, mungkin kau salah orang," kembali busu tua itu menimbrung, "coba lihat, dia benar-benar mempunyai tanda bukti sebagai tamu yang kalian undang.” Ternyata dari sakunya dia telah berhasil menggeledah keluar selembar berita duka, tentu saja tanda itu merupakan ciri khusus dari Bu-tong-pay. Sebagai tanda undangan untuk ikut menghadiri upacara pemakaman dari Bu-siang Cinjin. Bouw It-yu mengambil lembaran undangan itu, lalu katanya, "Bagus, asal kau mengaku, segera akan kubebaskan dirimu. Siapa yang memberi surat undangan ini? Jika tidak kau jawab, jangan salahkan kalau aku akan bertindak telengas!"
Lelaki ceking itu membuka mulutnya lebar-lebar seperti ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba biji matanya membalik, tubuhnya mengejang keras lalu tidak bergerak lagi. Dengan perasaan terkejut buru-buru busu tua itu menariknya bangun sambil memeriksa dengus napasnya. Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak keras, “Tidak boleh, tidak boleh!"
"Tidak boleh apa?" tanya busu tua itu tertegun, tapi baru selesai bicara mendadak seperti terkena serangan jantung, badannya mengejang keras dan ikut roboh ke tanah. Pada saat yang bersamaan tampak seseorang berlari mendekat, sambil berlari kembali dia berteriak, "Jangan sentuh tubuhnya, dia terserang racun yang sangat ganas!" Tapi sayang peringatan itu sudah menjadi peringatan yang terlambat datangnya. Dengan cepat orang itu menjejalkan sebutir pil ke dalam mulut busu tua itu, ujarnya setelah mengamati berapa saat, "Untung kedatanganku belum termasuk terlambat, meski sudah terkena racun namun jiwanya masih tertolong. Hanya saja lelaki itu....”
Dia tidak meneruskan ucapannya dan hanya gelengkan kepala berulang kali. Orang lain tidak butuh penjelasannya lebih jauh, kalau si busu tua yang baru menyentuh badan lelaki ceking itupun sudah jatuh pingsan karena keracunan, bisa diduga lelaki itu pasti sudah menemui ajalnya. Dalam waktu singkat suasana jadi heboh, terdengar berapa orang diantara mereka berteriak, "Swan-sianseng, kau sangat ahli dalam bidang ini, racun apa yang telah bersarang ditubuh lelaki itu? Kenapa begitu lihay?" Ternyata orang itu bernama Swan Ji-cing, dia adalah seorang tokoh ternama yang sangat mendalami ilmu obat-obatan. Menyinggung soal ilmu menggunakan racun, keluarga Tong dari Suchuan terhitung jagoan nomor satu, keluarga Bok dari Soatsay terhitung nomor dua dan keluarga Swan dari Kamsiok terhitung jago nomor tiga. Swan Ji-cing adalah jagoan dari keluarga Swan di Kamsiok. Walaupun ilmu racunnya belum bisa memadahi keluarga Tong dari Suchuan atau keluarga Bok dari Soatsay, namun kemampuannya memunahkan racun konon masih jauh diatas kehebatan keluarga Bok.
Dengan seksama Swan Ji-cing memeriksa seluruh tubuh lelaki ceking itu, biarpun dia berusaha mengendalikan ketenangannya, namun tidak urung mimik mukanya tetap menampilkan perasaan ngeri dan horor yang menggelayut perasaan hatinya. "Racun.... racun ini adalah racun jahat dari Suchuan....”
Bicara sampai disitu dia berhenti sejenak dan tidak berani melanjutkan kembali kata-katanya, jelas dia tidak cukup nyali untuk menyebut nama keluarga Tong dari Suchuan. Dalam pada itu sudah ada orang menebak pohon untuk membuat sebuah tandu. Swan Ji-cing pun mengenakan sarung tangan kulit menjangannya kemudian mengangkat tubuh busu tua itu dan diletakkan di atas tandu. Tampak busu tua itu membuka sedikit mulutnya, seperti akan mengucapkan sesuatu, namun tidak kedengaran ada suara. "Apa yang dia katakan?" tanya Bouw It-yu kemudian.
"Tampaknya dia seperti bilang, diatas alis mata lelaki itu terdapat sebuah lubang jarum,” Swan Ji-cing menerangkan. Untuk mengucapkan beberapa patah kata itu, kelihatannya si busu tua tadi telah menggunakan seluruh tenaga yang dimilikinya, begitu selesai mengucapkan kata-kata tadi, kembali dia jatuh tidak sadarkan diri.
Ke empat orang rekannya segera menggotong tubuh busu tua itu ke arah istana Ci-siau-kiong. Bouw It-yu betul-betul merasakan hatinya bergoncang keras, dengan pandangan tajam dia mencoba memeriksa sekeliling tempat itu, namun tidak menemukan Siang Ngo-nio yang menyamar berada diantara kerumunan orang orang itu, setelah yakin, dia baru merasa sedikit agak lega. Di hati kecilnya dia tahu perbuatan itu pasti hasil karya Siang Ngo-nio, walaupun dia tidak habis mengerti mengapa Siang Ngo-nio harus membinasakan saksi hidup itu, namun dia tahu dengan kecerdasan perempuan itu, dia pasti sudah kabur secara diam-diam begitu berhasil dengan serangan bokongannya.
Peristiwa ini terjadi kelewat mendadak, suasana di seputar arena pun jadi gaduh dan ramai. Semua orang datang mengerubung, pelbagai pembicaraan pun bergema simpang siur. Tentu saja ada diantara mereka yang segera menegur, "Bouw-kongcu, darimana kau bisa tahu kalau orang ini adalah mata-mata?"
Bouw It-yu tidak berbicara, tiba-tiba dia merobek pakaian sendiri dan dipakai untuk membalut tangan kanannya, lalu dengan sekali bacokan dia babat wajah lelaki itu. Kalau tadinya raut muka orang itu nampak sedikit sembab membengkak, maka begitu babatan tangan Bouw It-yu berlalu, tahu-tahu paras muka orang tadi sudah berubah jadi rata kembali. Anehnya ternyata tidak ada darah yang mengalir keluar, yang dibabat keluar ternyata hanya segumpal benda yang segera hancur lebur dan berserakan ditanah. Rupanya lelaki itu telah menggunakan sebangsa pupur yang dipekatkan untuk membuat pelbagai benjolan diwajahnya, meskipun belum termasuk ilmu menyaru muka tingkat tinggi, namun boleh dibilang sangat canggih dan hebat.
Tadi, sebetulnya ada banyak orang sudah merasa kalau raut wajah orang ini sedikit agak 'istimewa', keistimewaan itu terletak pada bentuk badannya yang kurus ceking namun memiliki bentuk wajah yang gemuk dan sedikit melebar, sama sekali tidak serasi dengan potongan tubuhnya. Tapi kini, sesudah Bouw It-yu dengan andalkan sabetan tangannya berhasil menampilkan raut muka aslinya, semua orang baru sadar apa yang sesungguhnya telah terjadi.
Mi Jian-cong, seorang busu dari soat-pak segera berseru, "Jika dilihat dari ilmu jari yang digunakan orang ini, rasanya mirip sekali dengan ilmu pena keluarga Lian yang digubah menjadi ilmu jari, tapi menurut apa yang kuketahui, ilmu pena dari keluarga Lian tidak pernah diwariskan orang luar, sedang anak murid keluarga Lian pun hampir semuanya kukenal, tapi belum pernah kujumpai orang ini.”
Dia dapat melihat asal-usul ilmu jari yang digunakan lelaki ceking itu, terhitung pengetahuan orang ini cukup luas. "Kalau hanya soal ini mah buat apa kau katakan kepadaku,” batin Bouw It-yu. Namun untuk sopan santunya tentu saja dia harus berterima kasih untuk petunjuk yang diberikan, katanya cepat, "Kalau begitu terpaksa dikemudian hari aku harus minta petunjuk lagi dari orang keluarga Lian."
Mendadak terdengar ada orang berseru, “Hey, ke mana perginya pemuda tadi? Kenapa secara tiba-tiba lenyap tidak berbekas? Bouw-kongcu, lebih baik kau cari kembali orang itu dan menanyainya. Dia bisa bertarung melawan lelaki ini, siapa tahu dia sudah tahu asal usulnya.”
Ternyata menggunakan kesempatan di saat semua orang sedang heboh, secara diam-diam Seebun Yan telah melarikan diri dari situ. Ilmu menyaru muka yang dilakukan Seebun Yan jauh lebih hebat daripada ilmu menyamar dari lelaki ceking itu, namun ilmu pedang yang ia gunakan tak bisa mengelabuhi ketajaman mata Bouw It-yu. Karena dia sudah tahu kalau bocah keparat itu adalah Seebun Yan, maka Bouw It-yu tidak segan di hadapan orang banyak lebih membelai dirinya daripada lelaki ceking itu. Sejujurnya dia pun sebenarnya sedang khawatir bila Seebun Yan di bawah tekanan orang banyak melakukan keonaran lain lagi, dia jadi merasa sangat lega setelah mengetahui gadis itu sudah tidak berada di sana lagi.
Hanya saja, biarpun Seebun Yan telah pergi namun peristiwa ini belum bisa disudahi sampai disitu saja. Terdengar busu dari soatpak Mi Jian-cong kembali berkata, "Menurut pandanganku, persoalan paling penting yang harus segera kita lakukan sekarang adalah menemukan sang pembokong. Memang benar yang dia bunuh adalah seorang mata-mata, tapi apa maksudnya menghabisi nyawa orang itu untuk menghilangkan saksi? Benar bukan perkataanku?"
Diantara para tamu yang hadir, status dia terhitung paling tua dan dihormati, tentu saja serentak semua orang menyatakan "benar".
Mi Jian-cong nampak semakin bangga, ujarnya lebih jauh, "Bila dugaanku tidak meleset, karena dia ingin menghilangkan saksi, berarti sang pembunuh pasti punya hubungan dengan penghianat ini. Swan-sianseng, coba kau periksa, apa benar diantara alis mata bajingan itu terdapat bekas lubang jarum kecil?"
Lubang kecil itu ditemukan busu tua tadi sewaktu menyentuh tubuh lelaki ceking itu, gara-gara menyentuh tubuhnya dia ikut keracunan, tapi sebelum jatuh tidak sadarkan diri dia sempat memberitahukan penemuannya itu kepada semua orang. Kini Mi Jian-cong kembali menyinggung soal ini, jelas maksudnya adalah menegur Swan Ji-cing kenapa begitu ceroboh mengesampingkan jejak penemuan penting itu. Buat orang lain mungkin bukti itu tidak berguna, tapi Swan Ji-cing adalah keluarga jago racun nomor tiga di kolong langit. Darimana dia tahu kalau Swan Ji-cing memang enggan membongkar rahasia tersebut karena masalah ini ada keterkaitannya dengan keluarga Tong. Waktu itu Swan Ji-cing sedang mempertimbangkan masalah itu dalam hati, "Bila yang kuhisap keluar adalah jarum beracun dari keluarga Tong, apakah aku harus berlagak bodoh? Atau bicara terus terang?" Perlu diketahui, dengan posisinya dalam dunia persilatan, bila berlagak tak tahu, jelas tindakan tersebut sangat membuatnya kehilangan muka, belum tentu orang lain mau percaya kepadanya. Sebaliknya bila bicara terus terang, jelas perbuatan nya ini sama halnya membuat masalah dengan keluarga Tong. Padahal senjata rahasia beracun dari keluarga Tong terhitung nomor wahid dikolong langit, sementara dia sendiri hanya menempati urutan ke tiga, itupun dalam hal menyelidiki obat penawar racun, tentu saja dengan posisinya ini, dia tidak akan berani mencari gara gara dengan keluarga Tong. Sekalipun timbul keraguan di hati kecilnya, besi semberani yang telah dia tempelkan diatas mulut luka tetap harus diangkat juga. Di bawah pengawasan orang banyak, dia mengangkat perlahan besi semberani itu dari atas alis mata lelaki ceking itu. Dalam waktu sekejap, perasaan hatinya benar benar terasa berat sekali, jantungnya berdebar keras. Tapi begitu diangkat, diapun segera menghembuskan napas lega. Ternyata di atas besi semberani itu sama sekali tidak terhisap benda apa pun, meski sebatang jarum sangat halus dan lembut, namun setiap orang masih dapat melihatnya dengan jelas. "Aneh,” seru Swan Ji-cing sambil menghembuskan napas lega, "kenapa tidak ada yang terhisap keluar?"
"Jangan-jangan luka itu bukan karena tertembus jarum melainkan terluka kena kuku bocah tadi sewaktu bertarung,” terdengar seseorang berseru. Seebun Yan memang memelihara kuku panjang, dan melukai orang dengan kuku mesti merupakan kejadian langka namun bukan berarti tidak mungkin terjadi. Gagal menghisap keluar sesuatu, Swan Ji-cing sendiripun merasa keheranan, pikirnya, Aneh, permainan busuk dari siapa lagi?'
Dia mencoba memperhatikan keadaan disekeliling nya, tampak semua yang hadir sedang ramai membicarakan kejadian itu, hanya Bouw It-yu seorang yang berdiri sambil menyunggingkan sekulum senyuman dingin.
Dalam waktu singkat dia segera memahami keadaan yang sebenarnya, hanya saja dia menyangka Bouw It-yu pun berdiam diri karena takut menghadapi keluarga Tong dari Suchuan, tentu saja dia tidak menyangka kalau Bouw It-yu sedang berusaha melindungi si Lebah hijau Siang Ngo-nio. Lalu dengan cara apa dia menghisap keluar jarum beracun itu? Ternyata ketika Bouw It-yu menggunakan golok tangannya merobek penyamaran wajah lelaki ceking itu, secara diam-diam dia telah mengerahkan tenaga dalamnya dan menghisap keluar jarum Lebah hijau yang menancap di alis mata lelaki itu bahkan segera memusnahkannya. Walau begitu bukan berarti tidak ada orang yang menaruh curiga. Sejak awal Put-hui Suthay sudah curiga akan jarum Lebah hijau milik Siang Ngo-nio.
Dia adalah salah satu korban yang pernah merasakan hebatnya racun jahat dari jarum lebah hijau, begitu mendengar kalau kening penghianat itu ditemukan lubang jarum, perasaan curiganya langsung saja muncul. Put-hui Suthay adalah seorang wanita yang dengan tegas membedakan mana budi dan mana dendam, selain sifat kerasnya dia pun tinggi hati. Begitu timbul rasa curiganya maka tanpa berpikir panjang lagi dia melompat keluar dari tempatnya berdiri.
"Aku akan memeriksanya sendiri, kau tunggu aku disini.”
"Suhu, bagaimana kalau aku pulang dulu?" Ternyata baru kemarin Lan Sui-leng tiba dirumah, karena saat tiba hari sudah gelap maka dia tinggal di tokoan tempat tinggal gurunya dan hingga kini belum pulang ke rumah. Saat itu konsentrasi Put-hui Suthay hanya ingin melakukan pelacakan yang jelas, bahkan setelah memeriksanya diapun tahu kalau persoalan tidak akan beres dalam waktu singkat (andaikata terbukti memang Siang Ngo-nio yang melakukannya). Maka begitu muridnya minta ijin untuk pulang ke rumah menjumpai orang tuanya lebih dulu, maka diapun segera mengiyakan. "Baiklah, tapi kalau pulang sendirian harus berhati-hati.” Untuk menghindar agar tidak sampai bertemu dengan ayah angkat adiknya, Put-ji Tojin, Lan Sui-leng sengaja memilih jalan di bawah bukit. Puncak Ci-siau-hong saling berhubungan dengan puncak Tian-ki-hong, kedua puncak bukit itu berdiri berjajar, kalau istana Ci-siau-kiong dibangun di atas puncak Ci-siau-hong maka puncak Tian-ki-hong ibarat sebuah penahan angin bagi istana Ci-siau-kiong. Bukit ini berbatu hitam bagai baja, bentuknya seperti sebuah panji besar yang berkibar terhembus angin, karena bentuknya inilah nama puncak Tian-ki-hong diperoleh. Bila ditinjau dari bentuk medannya maka tebing ini jauh lebih curam dan berbahaya ketimbang puncak Ci-siau-hong, itulah sebabnya jarang sekali ada orang yang melalui tempat itu. Lan Sui-leng sengaja memilih jalan perbukitan ini, dia berputar dari sisi selatan istana Ci-siau-kiong lalu turun dari puncak sebelah utama puncak Tian-ki-hong. Sepanjang perjalanan tampak air jeram mengalir diantara bebatuan yang curam, pemandangan alam sangat indah dan tenang. Namun perasaan hati Lan Sui-leng justru naik turun bagai terombang ambing di tengah samudra luas, sulit rasanya untuk menjadi tenang kembali. Sementara dia masih menelusuri jalan bukit yang berliku-liku itulah, mendadak terdengar suara seseorang menegurnya dengan merdu, "Adik Leng, kau tidak menyangka bakal bertemu aku disini bukan? Aku sudah cukup lama menanti kedatanganmu.”
Orang yang muncul dihadapannya tidak lain adalah 'bocah keparat' tadi. Walaupun 'bocah keparat' ini belum muncul dengan wajah aslinya, namun nada ucapannya sudah pulih kembali sebagai suara wanita. Dia memang tidak salah melihat, ternyata orang ini memang Seebun Yan. Bahkan seperti apa yang dikatakan Seebun Yan, dia pun seakan sudah menduga kalau dia bakal melalui jalan bukit ini. Setelah berhasil mengendalikan diri, Lan Sui-leng segera menegur, "Mau apa kau datang ke gunung Bu-tong?"
"Datang mencarimu!"
"Kau jangan mengajakku bergurau. Kalau ingin bergurau dengan diriku saja tidak mengapa, tapi aku harus memberitahu kepadamu, berada di gunung Bu-tong, kau tidak boleh membuat keonaran sekehendak hatimu sendiri, kalau sampai terjadi sesuatu, keadaan bisa berabe....”
Seebun Yan segera tertawa terkekeh, tukasnya, "Aku telah membuat keonaran, toh paling juga begitu. Namun denganmu.... aku tidak ingin bergurau, siapa suruh kau menolak pulang ke rumahku, jadi terpaksa aku datang mencarimu.”
"Aaaai.... aku benar-benar kehabisan akal menghadapi orang macam kau, sebenarnya apa mau mu?"
"Masa baru saja bertemu, kau sudah ingin mengusirku? Bicaralah barang satu dua patah kata.”
"Baik, kalau ingin mengucapkan sesuatu, katakan!"
"Apakah adikmu telah kembali?"
"Aku pun sedang mengharapkan dia kembali. Eei.... apakah kaupun sedang mencarinya?"
"Ooh, jadi dia belum pulang kemari? Bila tidak terjadi sesuatu yang diluar dugaan, paling lambat sebelum tengah hari lusa, dia seharusnya sudah tiba disini.”
"Darimana kau tahu?"
"Nanti saja baru kubicarakan soal ini. Percaya tidak, aku benar-benar sedang mencari dia.”
Selama ini Seebun Yan sangat gemar bicara sambil bergurau, tapi sewaktu mengucapkan perkataan barusan, dia justru nampak serius dan bersungguh sungguh. Tidak perlu diselidiki lebih jauh pun, Lan Sui-leng yang polos dapat melihatnya juga. Seakan memahami akan sesuatu Lan Sui-leng segera berseru sambil tertawa, “Aaah.... mengerti aku.”
“Mengerti apa?" "Kalau dibilang mencari aku, jelas bohong. Dibilang mau mencari adikku pun bohong. Orang yang sebetulnya sedang kau cari adalah Piauko mu!"
Seebun Yan tidak mengaku, pun tidak menyangkal, hanya ujarnya sambil tertawa, "Sejak kapan kau belajar menebak jalan pikiran orang?"
"Aku bukan sedang menbak, tapi mendengar dengan telingaku sendiri.”
"Mendengar?" tanya Seebun Yan tertegun.
"Bukan hanya mendengar, malah telah melihatnya. Waktu itu kau memaksa aku untuk pulang bersamamu, kemudian Bouw It-yu muncul membelai aku. Saat itu meski aku sudah menyingkir tapi semua pembicaraanmu masih sempat kudengar dari sisi bukit. Waktu itu Bouw It-yu berkata begini kepadamu, bila kau sedang mencari Tonghong Liang, sudah seharusnya ikut bersamanya pergi Liauw-tong. Waktu itu kau bertanya kepadanya, darimana bisa tahu kalau Tonghong Liang sedang menuju Liauw-tong, dia bilang, diapun tidak mengetahui berita tentang Tonghong Liang, tapi tahu kalau adikku sedang menuju Liauw-tong. Dia bilang, dimana adikku muncul, kemungkinan besar Tonghong Liang akan segera menyusulnya. Aku tidak salah mendengar bukan?" "Memang tidak salah mendengar.”
"Pada mulanya kau ribut dengan Bouw It-yu, tapi kemudian setelah mendengar ucapannya, kau pun mengikutinya pergi tanpa membantah. Aku tidak salah melihat bukan?"
Kontan saja Seebun Yan berteriak gusar, "Bagus sekali, dasar setan cilik, kusangka kau adalah seorang nona yang jujur, ternyata pintar sekali mencuri dengar pembicaraan orang secara diam-diam.”
"Aku bukannya berniat mencuri dengar semua pembicaraan kalian, tapi enci Yan, kau jangan percaya dengan permainan lain dari Bouw It-yu.”
"Perkataan lain apa?"
"Aku memang tidak mendengar apa yang dia katakan kepadamu, tapi aku dapat menduganya, apakah perkataan lain yang telah dia sampaikan kepadamu.”
Seebun Yan memang cerdas dan berotak encer, sekali dengar dia segera mengerti, tanpa terasa ujarnya sambil menghela napas panjang, "Rasa curiga Siau-susiok mu memang sedikit agak besar, tapi aku sama seperti pandanganmu, tidak percaya kalau Tonghong Liang bersahabat dengan adikmu hanya gara-gara ingin mencuri belajar ilmu pedang dari Bu-tong-pay.”
"Terima kasih banyak.”
"Eeei, aku percaya Piauko ku bukan orang jahat, kenapa kau malah berterima kasih kepadaku,” seru Seebun Yan sambil senyum tidak senyum.
Merah jengah selembar wajah Lan Sui-leng. "Kemana kau bawa perkataanmu itu, aku kan demi adikku....” serunya.
"Jangan tegang!" seru Seebun Yan kemudian sambil tertawa, "aku hanya menggodamu. Terus terang, pada mulanya aku memang sedikit agak cemburu ketika melihat Piauko bersikap baik sekali kepadamu, tapi kini aku baru tahu, ternyata Piauko ku mencintai rumah berikut seisinya, karena adikmu adalah sahabat karibnya, tentu saja diapun harus melindungimu, bahkan bukan cuma begitu, aku malah tahu juga kalau kau sudah mempunyai kekasih hati, kalau sudah jadi begini, masih ada alasan apa lagi bagiku untuk minum cuka mu?"
Perkataan itu disampaikan dengan begitu terus terang dan blak-blakan, membuat paras muka Lan Sui-leng berubah jadi merah padam bagai kepiting rebus, serunya jengkel, "Kau lagi-lagi ngaco belo, darimana datangnya kekasih hati?" Seebun Yan tertawa tergelak. "Ooh, mungkin aku harus memutar balik kata-kataku, betul, dia memang bukan kekasih hatimu, kaulah kekasih hatinya. Hey, apakah lantaran terhalang oleh perbedaan status, maka kau jadi sangsi dan ragu? Padahal....”
"Sudah, jangan banyak bicara lagi, kau cepat pergi!" tukas Lan Sui-leng dengan perasaan tidak tenang.
"Baik, tolong kau menghantarku.”
"Apa? Kau minta aku menghantarmu turun gunung?"
"Siapa bilang aku minta kau menghantarku turun gunung? Aku mau bertanya, kau hendak ke mana?"
"Ke mana lagi aku akan pergi, tentu saja pulang ke rumahku.”
"Tepat sekali, aku pun akan ikut pulang ke rumahmu!"
"Kau ini serius atau sedang bergurau?" tanya Lan Sui-leng terkesiap.
"Tentu saja serius.”
"Mana boleh begitu?" teriak Lan Sui-leng semakin terperanjat.
"Kenapa tidak boleh? Takut ada orang melihat kau mengajak pulang seorang laki-laki hingga timbul isu dan gosip tidak sedap di belakangmu? Padahal bukan masalah, asal setiba dirumahmu aku tampil kembali dengan wajah asliku, bukankah semua jadi beres? Asal orang tuamu mengerti, perduli amat dengan segala gosip dan isu. Lagipula jalanan ini sepi dan terpencil, belum tentu dalam perjalanan nanti kita kepergok orang lain.”
Lan Sui-leng benar-benar dibuat tertawa tidak bisa menangis pun tidak dapat, sambil menghentakkan kakinya berulang kali dia berseru, "Seharusnya kau memahami maksudku, bukan begitu yang kuartikan!"
"Kau takut ayah ibuku tidak suka hati?"
"Aku takut kau akan membuat bencana bila tetap berada diatas gunung!"
"Kau takut aku membuat bencana? Berarti semakin wajib menerimaku dirumahmu, kalau tidak, kau suruh aku mencari tempat di mana?"
Akhirnya Lan Sui-leng menghela napas panjang, keluhnya, "Kau benar-benar seorang nona yang susah dilayani, jadi kau tetap bersikukuh baru akan pergi setelah bertemu Piaukomu? Percayalah, perkataan Bouw It-yu tidak bisa dipegang, jangan lagi adikku belum kembali, sekalipun dia sudah kembali, belum tentu Tonghong toako akan mengikutinya datang kemari, "Kalau begitu, paling tidak aku baru akan pergi setelah bertemu adikmu bukan. Begini saja, dua hari, masa kau tega membiarkan aku hidup bergelandangan? Masa kau tidak sudi menerimaku tinggal di rumahmu? Adikku, kaupun sudah hampir sebulan berdiam di rumahku, sekarang aku mohon hanya tinggal selama dua hari saja di rumahmu!" Lan Sui-leng dibuat kelabakan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, pikirnya, 'Waktu itu aku bisa tinggal dirumahmu karena kau yang paksa aku, menculik diriku, toh bukan keinginanku secara sukarela.' Sekalipun dia dipaksa dan diculik, namun selama tinggal dirumah Seebun Yan sebulan lamanya, banyak menfaat yang berhasil diraihnya, sebab itulah dia merasa kurang leluasa untuk bicara secara terus terang.
"Enci Yan, bukan aku tidak menyambut kedatanganmu dengan suka cita, bila dihari hari biasa, aku pasti akan menerima mu dengan penuh kegembiraan.”
"Oooh, jadi kau takut kehadiranku menyulitkan kau? Keliru besar, walaupun aku telah membuat keonaran tadi, tapi hal itu merupakan bagianku membantu Bouw It-yu untuk membongkar kasus penyusup, dalam kejadian itu, biar ayahnya, Ciangbunjin perguruanmu sekarang tahu siapa diriku, aku yakin dia tidak bakalan menyalahkan dirimu. Aku berjanji tidak akan melakukan keonaran lagi, masa kau masih takut terseret karena ulahku?"
Lan Sui-leng tahu kalau dia tidak bakal bisa memenangkan debat melawan gadis itu, lagipula dasar jiwanya baik dan mulia, terpaksa katanya setelah menghela napas, "Aku bukannya takut terseret oleh perbuatanmu, aku hanya memikirkan keselamatanmu.”
"Aku hanya ingin bertanya, kau setuju tidak?" tukas Seebun Yan cepat.
"Aaaai.... kau benar-benar musuh bebuyutanku, baiklah, sekalipun aku tidak berani menaikkan derajatku dengan menganggap kau sebagai saudara angkatku, dalam kesopanan aku memang wajib....”
"Bagus sekali,” kembali Seebun Yan menukas kegirangan, "asal tahu soal tata kesopanan, kau tidak perlu melanjutkan lagi perkataanmu. Adikku sayang, padahal aku masih ada banyak persoalan yang ingin dibicarakan denganmu, selama aku tinggal dirumahmu, kujamin ayah ibumu pasti ikut gembira. Inginkah kau tahu....”
"Bila kau senang untuk membicarakan, katakan saja!"
"Dan kau?"
"Biar aku tidak suka mendengar pun terpaksa harus kudengarkan!" Mendengar itu Seebun Yan tertawa terbahak-bahak.
"Hey, apa yang lucu?" tegur Lan Sui-leng.
"Tepat sekali, sesuai dengan watakku, biar kau tak ingin mendengarpuri aku tetap akan mengucapkannya. Kita baru berkumpul satu bulanan tapi begitu cepat kau bisa menyelami watakku, sungguh sebuah prestasi yang luar biasa. Tapi apa yang ingin kukatakan kali ini, tanggung kau pasti ingin mendengarnya!"
"Sudah, tidak usah jual mahal lagi. Kalau ingin bicara cepatlah bicara, kalau ingin.... ingin....”
Tiba-tiba dia ingat, ucapan "kalau ingin kentut cepat dilepaskan" tidak patut diucapkan seorang gadis remaja, kontan saja dengan wajah merah padam dia mengulang kembali kata pertama. Ternyata Seebun Yan tidak menanggapi serius, katanya sambil tertawa, "Kau tidak usah memujiku, yang ingin kubicarakan adalah masalah serius, bukankah kau ingin tahu kabar berita tentang adikmu? Nah, aku beritahu, bukan saja sewaktu di Liauw-tong aku telah bersua dengannya, bahkan dia pernah menyelamatkan nyawaku?"
"Sungguh?"
"Tapi kisah ini memang panjang untuk diceritakan, entar malam kalau kita sedang tidur bersama saja, akan kuceritakan semuanya.”
Biarpun jalan perbukitan itu sangat sunyi, namun Lan Sui-leng masih tetap merasa tidak lega hati, katanya kemudian, "Baiklah, aku justru takut kau tidak bisa membungkam mulutmu dan berbicara tidak hentinya, kalau sampai kedengaran orang maka identitasmu segera akan ketahuan orang. Kalau masih ingin membicarakan sesuatu, memang lebih baik dilanjutkan di rumah saja.”
Namun biarpun Seebun Yan tidak berbicara lagi, setelah berjalan beberapa saat tidak tahan dia mulai tertawa, rupanya dia terbayang kembali keadaan ketika Lan Giok-keng menolongnya setelah dia terkena asap beracun dari Siang Ngo-nio ketika berada ditanah perbukitan dekat kota Uh-sah-tin. Sesudah berhasil memukul mundur Siang Ngo-nio, Lan Giok-keng membopongnya masuk ke dalam gua, kemudian menggunakan pil Bi-leng-wan yang terbuat dari teratai salju asal gunung Thian-san untuk menyelamatkan jiwanya. "Aku pura-pura tidak sadarkan diri, mendadak dia membuka suara dan mengajaknya bicara, dia tersipu sipu malu hingga muka dan telinganya jadi merah. Hehehehe.... entah hingga sekarang dia masih tersipu malu atau tidak? Tapi aku tidak tahan ingin sekali menggodanya lagi.”
Kemudian dia berpikir lagi, "Bila waktu itu Piauko yang membopongku, entah bagaimana pula reaksiku?" Berpikir sampai disitu, tidak tahan senyumannya kembali hilang, dia mulai murung dan termenung. "Kau sinting atau edan?" tegur Lan Sui-leng cepat, "sebentar tertawa, sebentar murung.... otaknya mulai tidak beres!"
Sekalipun dia sangat memahami watak Seebun Yan namun tidak menyadari kalau gadis itu sedang dilanda asmara.
Ooo)*(ooO
"Coba bawa kemari, apa benar jarum Lebah hijau?" begitu tiba di tengah pelataran, Put-hui Suthay langsung menegur Bouw It-yu. "Darimana datangnya jarum Lebah hijau?" jawab Bouw It-yu, "jarum bwee-hoa-ciam yang biasa pun tidak terlihat. Bisa jadi luka kecil dialis matanya disebabkan luka terkena kuku tangan.”
"Sungguh?" "Benar,” Swan Ji-cing berkata pula, "aku telah mencoba untuk menghisapnya dengan batu semberani, namun tidak ada benda yang berhasil kuhisap.”
Put-hui Suthay segera menghampiri jenasah itu dan memeriksanya sekejap dengan seksama, kemudian serunya, "Aaah, tidak benar! Aku pernah terluka oleh jarum Lebah hijau dan tahu bagaimana bentuk keadaannya. Lubang jarum itu sudah pasti bukan akibat luka karena kuku tangan!"
Sementara berbicara, matanya dialihkan ke wajah Bouw It-yu. "Tapi Swan-sianseng telah mencobanya,” kata Bouw It-yu, "andaikata memang ada jarum beracunnya, jarum itu pasti sudah terhisap keluar oleh batu semberani. Apakah kau ingin mencobanya sekali lagi?"
Dengan perasaan setengah percaya setengah tidak kata Put-hui Suthay, "Mungkin saja jarum beracun itu telah menyusup lebih dalam sampai di tulang, jadi susah dihisap keluar. Tapi bagaimana pun juga, duduknya persoalan harus diselidiki sampai tuntas!" Sewaktu mengucapkan perkataan itu, kata "duduk nya persoalan" sengaja dipertegas.
"Soal ini....”
"Apakah kau masih sangsi akan sesuatu?" tanya Put-hui Suthay sambil menatap tajam wajahnya.
"Tidak ada yang perlu disangsikan, tapi seandainya benar seperti yang kau katakan, bila ingin menyelidiki hingga tuntas, mungkin terpaksa kita harus membelah batok kepalanya, soal ini....”
Mendadak terdengar seseorang berkata, "Perbuatan kejam semacam ini tidak pantas dilakukan orang beribadah macam kita.”
Ternyata yang berbicara adalah seorang tosu, dia tidak lain adalah murid pertama Bu-kek Totiang yang bergelar Put-po. Sejak Bu-siang Cinjin meninggal dunia, sudah ada dua orang dari angkatan "Put" yang diangkat menjadi tianglo, yang seorang adalah Put-ji sementara yang lain adalah dia. Ketika terjadi kegaduhan di pelataran tadi, kebetulan dia sedang berjalan keluar dari istana Ci-siau-kiong.
"Perkataan Toa-suheng tepat sekali,” Bouw It-yu segera berkata, "walaupun orang ini adalah bajingan tengik yang pernah ingin mencelakaiku, namun aku tetap merasa tidak pantas merusak jenasahnya dengan cara yang begitu keji. Lagipula setelah kita belah tengkorak kepalanya pun belum tentu bisa menemukan sebatang jarum beracun. Masa kita harus membelah setiap tulang tengkoraknya satu per satu....”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba terdengar ada tiga orang hampir pada saat yang bersamaan berteriak, "Tidakbenar!"
"Rasanya tidak benar!"
"Eeei, kelihatannya memang tidak benar.”
Yang mengatakan "tidak benar" adalah Swan Ji-cing, yang mengatakan "rasanya tidak benar" adalah Put-po tianglo, sedang yang menjerit terakhir adalah Put-hui Suthay. Ternyata paras muka mayat itu lambat laun mulai diselimuti selapis warna hitam pekat, menanti semua orang datang mengerubung, seluruh wajah mayat itu telah berubah jadi hitam pekat bagaikan tinta bak.
"Seandainya terkena jarum Lebah hijau, seharusnya wajah mayat ini dilapiri warna hijau,” ujar Swan Ji-cing.
Put-hui Suthay termasuk korban yang pernah merasakan kelihayan jarum beracun itu, ketika tubuhnya terkena jarum Lebah hijau, lapisan hawa hijau yang menyelimuti wajahnya bertengger hampir belasan hari lamanya sebelum hilang lenyap. Karena itu dia tidak bisa berkata-kata lagi setelah melihat keadaan tersebut. "Sungguh tidak kusangka dalam situasi seperti ini orang she-Swan itu telah membantuku,” pikir Bouw It-yu.
Dia sangka Swan Ji-cing telah melakukan sesuatu untuk membantu dirinya, tidak terlukis rasa terima kasihnya terhadap orang ini. Padahal darimana dia tahu kalau perasaan sangsi dan curiga yang dialami Swan Ji-cing waktu itu jauh melebihi dirinya. Sudah jelas penyebab terjadinya perubahan warna pada wajah jenasah itu dikarenakan terkena racun, bahkan sifat racunnya jauh lebih hebat daripada racun jarum Lebah hijau, oleh karena kadar racunnya yang kuat maka dari warna hijaunya berubah jadi hitam. Yang membuat Swan Ji-cing curiga bercampur kaget adalah bukan saja bukan dia yang meracuni jenasah itu, bahkan jenis racun apa yang digunakan pun tidak terdeteksi olehnya. Ada satu hal lagi yang membuat hatinya tercekat, di bawah penglihatan begitu banyak orang, ternyata orang itu dapat meracuni mayat itu tanpa diketahui siapa pun, termasuk dia sendiri. Jelas kecepatan orang itu melancarkan serangan jauh melebihi kemampuan siapa pun. Swan Ji-cing sendiri adalah seorang tokoh yang jago dalam melepaskan racun, justru karena dia termasuk seorang jagoan maka rasa kaget dan ngeri yang dialaminya jauh melebihi siapa pun. "Perbuatan siapakah ini? Jangan-jangan....” Belum habis ingatan itu melintas, mendadak terdengar Put-po membentak nyaring, "Siapa kau?" Di tengah bentakan nyaring, tubuhnya langsung menerjang ke arah seorang tamu berwajah kurus tapi tampan.
Bersamaan waktu Put-hui Suthay ikut pula menyergap ke depan sambil membentak, "Bajingan laknat, tunjukkan wujud aslimu!"
Gerakan tubuh ke tiga orang itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa, dalam waktu singkat tamu asing itu sudah berada diatas batuan di samping puncak Tian-ki-hong, jaraknya dari pelataran itu sudah mencapai ratusan langkah. Put-hui Suthay yang pertama-tama berhasil menyusulnya, ujung senjata hudtimnya segera digetarkan, bulu lembut berawarna putih itu langsung mengurung wajah orang itu. Di susul kemudian tusukan pedang dari Put-po mengancam punggungnya. Selisih mereka berdua hanya setengah langkah, tapi berhubung pedang Put-po jauh lebih panjang daripada senjata hudtim Put-hui Suthay, karena itu meski menyerang belakangan namun senjatanya tiba duluan, tampaknya ujung pedang itu segera akan menusuk ke tubuh orang tadi. Berhubung gerakan tubuh tamu asing itu kelewat cepat, banyak orang tidak sempat melihat jelas raut wajahnya. Namun Bouw It-yu dapat melihat dengan jelas sekali, dengan ketajaman matanya, dalam sekilas pandang dia sudah tahu kalau orang itu mengenakan topeng kulit manusia, tubuh serta wajahnya pun telah melalui penyamaran yang teliti dan seksama.
Siang Ngo-nio yang kemarin naik gunung bersamanya menyamar sebagai seorang lelaki, dan kini meski tamu ini bukan tampil dengan wajah seperti penyaruan Siang Ngo-nio kemarin, namun perawakan tubuhnya boleh dibilang tidak jauh berbeda. Bouw It-yu sendiri meski tidak sempat melihat jelas raut muka orang itu, namun dalam waktu sekejap, jantungnya terasa berdebar sangat keras. Dia kuatir sekali kalau tamu ini tidak lain adalah 'jelmaan' dari Siang Ngo-nio.
Put-po serta Put-hui Suthay sama halnya seperti Bouw It-yu, mereka pun sudah tahu kalau tamu itu mengenakan topeng kulit manusia dan muncul dengan penyamaran, karena itu meski timbul kecurigaan dihati kecilnya, namun mereka tidak berani terlalu yakin.
Kalau Put-po curiga orang itu adalah Tonghong Liang maka Put-hui Suthay mencurigai orang itu sebagai si lebah hijau Siang Ngo-nio. Sebagaimana diketahui, Put-hui Suthay sangat mahir dalam ilmu meringankan tubuh, terdorong oleh rasa curiganya, maka dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya dia melakukan pengejaran, dalam jarak yang sangat pendek ini, dia justru tiba setengah langkah lebih cepat daripada Put-po. Diantara murid wanita Bu-tong-pay, ilmu silatnya memang menempati posisi paling atas. Jurus Jian-si-ban-lu (seribu bulu selaksa serat) yang dia gunakan ini merupakan sebuah jurus yang digubah dari gerakan Luan-po-hong (angin puyuh liar) dalam ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat, bila orang itu sampai terkurung oleh senjata hudtimnya, niscaya seluruh kulit mukanya yang tercabik-cabik hingga hancur. Put-po sendiri adalah salah satu diantara tiga jago pedang dari Bu-tong-pay, tusukan pedangnya benar benar sangat lihay, asal tenaga dalamnya dipancarkan lewat ujung pedang itu, niscaya punggung orang tersebut akan tertembusi oleh tusukan pedang mautnya.
Jantung Bouw It-yu nyaris melompat keluar dari mulutnya karena kaget, tapi dalam waktu yang relatif singkat itulah kembali terjadi perubahan yang sama sekali diluar dugaan siapa pun. Tiba-tiba orang itu membalikkan tubuh sambil meniup kencang, tiupan itu begitu kuatnya hingga bulu senjata hudtim yang hampir mengenai wajahnya segera buyar ke empat penjuru. Di saat menghembuskan tiupannya tadi, orang itu menyentilkan juga tangannya....
”Criiiing!" terdengar suara dentingan nyaring, pedang yang hampir menembusi punggungnya itu ikut terpental ke samping. Sentilan ini sangat cepat dan tepat waktu, boleh dibilang benar-benar luar biasa.
Put-hui maupun Put-po adalah jagoan tangguh dari murid angkatan kedua dalam Bu-tong-pay, khususnya Put-po, bukan saja ilmu pedangnya hebat, tenaga dalam yang dimiliki pun cukup tangguh. Namun dalam kenyataan kedua orang jago Bu-tong ini tidak sanggup menghadapi tiupan serta sentilan tangan orang itu.
Yang lebih hebat lagi, ternyata langkah kaki Put-hui Suthay jadi gontai dan tidak sanggup berdiri tegak, dengan sempoyongan dia mundur sampai sejauh tujuh-delapan langkah lebih sebelum berdiri tegak. Put-po sendiri walaupun tidak sampai tergetar mundur, namun tubuhnya terlihat gontai, disusul kemudian....
” Traaang!" pedangnya sudah terlepas dari genggaman. Dalam terperanjatnya semua orang berlarian maju untuk memberi pertolongan.
Tapi entah mengapa, beberapa orang yang lari paling depan mendadak merasakan tubuhnya linu dan kaku, sepasang kaki seolah tidak mau menuruti perintah lagi dan....
”Bluuuk.”
"Blukkk!" secara beruntun mereka jatuh terjerembab ke tanah. Orang-orang yang berada di belakang serentak menjerit kaget dan tanpa sadar sama-sama menghentikan larinya, dalam waktu singkat tamu asing itupun lenyap entah ke mana.
Swan Ji-cing tahu bahwa musuhnya adalah seorang jago tangguh, maka ujarnya, "Kali ini kita tidak bakal salah lihat lagi, racun yang barusan disebar orang itu adalah bubuk pelunak tulang, bila bubuk itu dicampurkan ke dalam air teh, paling tidak sang korban baru akan pulih kembali tenaganya setelah tiga hari kemudian, tapi kalau asap itu hanya terhisap karena terbawa angin, kondisi tubuhnya tidak akan terganggu, asal istirahat setengah jam saja keadaannya akan pulih kembali.”
Dalam pada itu Put-hui Suthay pun ikut berjalan mendekat, hampir bersamaan waktu dengan Put-po, serunya, "Bukan!"
"Apanya yang bukan?"
"Bukan perempuan siluman itu. Meski cara menyebar racun yang dilakukan orang ini masih diatas kemampuan wanita siluman itu, namun sepak terjangnya tidak seganas perempuan siluman itu.”
"Dia bukan Tonghong Liang, Tonghong Liang tidak memiliki tenaga dalam sehebat ini,” ucapan Put-po jauh lebih singkat. Lalu siapakah orang itu? Bouw It-yu serta beberapa orang itu segera dapat menebak, hanya saja tidak seorang pun berani menyinggung nama orang itu.
"Baguslah kalau bukan perempuan siluman itu,” ujar Bouw It-yu kemudian sambil menghembuskan napas lega.
"Hmm, tapi orang ini jauh lebih susah dihadapi ketimbang wanita siluman itu,” dengus Put-hui Suthay.
Put-po tertawa getir, katanya, "Perduli siapa pun orang ini, yang pasti dia telah mengampuni jiwa kita semua, coba dia sedikit lebih telengas, mungkin badan kita pun sudah ikut hancur berantakan.”
Apa yang dia katakan memang tidak salah, tenaga dalam yang dimiliki orang itu benar-benar sangat hebat, saat itu mereka sedang bertarung di atas tebing batu, seandainya menggunakan kesempatan disaat dia sedang menghisap asap bubuk pelemas tulang itu dia mendorongkan tangannya dengan tenaga dalam, berada dalam kondisi lemas, mana mungkin dia mampu melawannya?
"Menurut pendapatku, lebih baik kita tidak usah mencari tahu siapakah orang itu!" usul Bouw It-yu.
"Kenapa begitu?" tanya Put-hui Suthay.
"Suci, bila apa yang kau curigai merupakan kenyataan, kemunculan orang ini justru telah membantu Bu-tong-pay kita melenyapkan seorang penyelinap.”
Walaupun dia tidak menerangkan secara jelas, namun Put-hui Suthay maupun Put-po memahami maksudnya. Orang itu tidak sampai turun tangan jahat tentu saja karena dia tidak ingin mengikat tali permusuhan dengan Bu-tong-pay. Oleh sebab itu bila Siang Ngo-nio benar-benar seperti apa yang dicurigai Put-hui Suthay, telah datang ke gunung Bu-tong, maka kehadiran orang itu besar kemungkinan adalah bermaksud mencari Siang Ngo-nio untuk diajak pulang.
"Aku dengar murid tidak resmi mu telah kembali?" kembali Bouw It-yu bertanya.
"Sebetulnya Sui-leng sudah mengikuti aku sampai disini, tapi berhubung telah terjadi peristiwa disini, maka kusuruh dia pulang dulu. Eei.... beritamu sungguh cepat, sampai urusan sekecil inipun mendapat perhatianmu.”
Bouw It-yu hanya tertawa tanpa menanggapi perkataan itu, ucapnya, "Baiklah, sekarang kita harus segera kembali ke ruang Ci-siau-kiong.”
Ooo)*(ooO
Lan Sui-leng merasa kehabisan daya, terpaksa dia mengajak Seebun Yan pulang ke rumah. Orang tuanya jadi terperangah bila melihat dia pulang dengan mengajak seorang 'pria' asing. Namun perasaan kaget itu segera berubah jadi gembira setelah dia memberikan penjelasan.
"Nona,” ujar Lan Kau-san, "tinggallah disini dengan perasaan lega. Di tempat ku ini, kecuali Put-ji Totiang yang terkadang datang mampir, para tosu lainnya tidak bakalan akan datang kemari. Hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?" tanya Seebun Yan.
"Aku berharap kau berganti dengan dandanan wanita saja, sebab aku masih mempunyai banyak teman menanam sayur yang sering mampir kemari, aku khawatir....”
"Aku mengerti,” tukas Seebun Yan sambil tertawa, "mana ada seorang pria asing tidur sekamar dengan putrimu?"
"Sudah, jangan bergurau lagi,” tukas Lan Sui-leng, "mari kita bicara secara serius. Rumah kami dibangun menyendiri di sudut bukit, di sekitar sini tidak ada rumah penduduk lain. Tapi bukan berarti tidak ada petani yang bakal mampir kemari, meski jarang-jarang. Aku hanya berharap kau tinggallah disini tenang alim, jangan sembarangan pergi.”
"Aku tahu. Begitu bertemu adikmu, aku segera akan pergi.”
Orang tua Lan Sui-leng yang mendengar perkataan itu segera saling berpandangan sambil tersenyum, mereka seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tidak berani. Seebun Yan tahu kalau mereka pasti salah paham, namun diapun tidak banyak membantah. Malam itu mereka tidur seranjang dan bercerita sepanjang malam, secara ringkas Seebun Yan mengisahkan bagaimana dia bertemu Lan Giok-keng di Liauw-tong. Mendengar cerita itu Lan Sui-leng merasa gembira bercampur terkejut.
"Aaah, betulkah ilmu pedangnya berhasil dilatih hingga selihay itu?"
"Bukan saja ilmu pedangnya hebat, kesempurnaan tenaga dalamnya pun sudah jauh lebih maju daripada kemampuanku. Ketika aku terserang bubuk pemabok dari Siang Ngo-nio, dialah yang berhasil mengusir siluman wanita itu dan menyelamatkan aku. Padahal waktu itu dia tidak menghisap pil Bi-leng-wan, namun bubuk pemabok seolah sama sekali tidak berpengaruh di tubuhnya.”
Lan Sui-leng benar-benar merasa tercengang, katanya, "Berapa hari sebelum turun gunung, aku pernah berlatih pedang dengannya di bawah tebing Tian-ki-hong, sewaktu aku melolohnya dengan satu jurus tipuan, dia kalah ditanganku. Heran, baru berpisah selama tujuh, delapan bulan, kenapa ilmu silatnya bisa meraih kemajuan sedemikian pesatnya?"
"Aku dengar dia telah mewarisi ilmu pedang peninggalan Bu-siang Cinjin, bisa jadi setelah turun gunung dia kembali memperoleh pengalaman aneh.”
"Kalau soal ini, aku masih bisa menerimanya, tapi ada kejadian lain yang membuat pikiranku tidak habis mengerti,” ujar Lan Sui-leng, "antara siluman wanita Siang Ngo-nio dengan adikku boleh dibilang sama sekali tidak punya hubungan apa-apa, kenal pun tidak, mengapa berulang kali dia mencari masalah dengannya?"
"Sebetulnya bukan terhitung masalah besar, tampaknya siluman wanita itu hanya ingin mengangkat adikmu menjadi anak angkatnya.”
"Betul. Justru persoalan inilah yang membuat aku tidak habis mengerti. Pertama kali datang ke rumahku, dia berusaha menculik dan melarikan adikku, padahal waktu itu adikku belum pernah turun dari bukit Bu-tong. Anehnya, darimana dia bisa tahu tentang adikku, lalu mengapa pula dia gunakan segala cara untuk memaksanya menjadi anak angkatnya?" Seebun Yan segera tertawa.
"Siang Ngo-nio paling suka dengan pemuda berwajah tampan, siapa tahu dia sudah tertarik dengan adikmu,” katanya.
"Cisss, ngaco belo,” Lan Sui-leng menyumpah, "adikku baru berusia enam, tujuh belas tahunan....”
"Apakah kau tidak merasa sepak terjang adikmu agak aneh?" Pertanyaan ini dengan tepat mengenai rahasia hati Lan Sui-leng, kontan saja gadis itu berdebar keras, serunya, "Aku justru ingin bertanya kepadamu, apa alasannya dia pergi ke Liauw-tong?"
"Aku tidak tahu, aku hanya tahu kalau dia sempat mencari tahu tentang jejak seseorang sewaktu berada di kota Uh-sah-tin.”
"Siapa?"
"Konon seorang murid preman dari Bu-tong-pay yang bernama Keng King-si, kurang lebih dua puluh tahun berselang, orang itu pernah pula tinggal di kota Uh-sah-tin.” "Keng King-si? Aku sepertinya pernah mendengar orang menyinggung tentang nama ini,” kata Lan Sui-leng.
"Aku dengar Keng King-si adalah murid dari mendiang Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu.”
"Bukankah Ho Ki-bu adalah guru Put-ji Totiang ketika masih preman dulu? Kalau begitu orang she-Keng itu pastilah saudara seperguruan ayah angkat adikku. Tidak heran kalau dia bersikap begitu baik kepada adikku. Tapi dalam hal mengajarkan ilmu pedang, mengapa pula dia harus membohongi adikku?"
Berpikir sampai disini, tiba-tiba timbul satu ingatan aneh dalam benaknya, "Mungkinkah adikku benar-benar adalah anak hubungan gelap orang lain? Tidak heran kalau wajahnya sama sekali tidak mirip dengan wajahku!"
Tapi dia segera merasa kalau ingatan semacam ini 'tidak sepatutnya' muncul dalam benaknya, dia segera menegur diri sendiri, "Aku pernah memaki adik agar tidak percaya atas perkataan ngawur orang lain, kenapa sekarang aku malah punya pikiran begini!"
"Hey, apa yang sedang kau pikirkan?" tiba-tiba Seebun Yan menegur, "aku ingin mendengar pula kisahmu.”
"Aku hanya ingin mendengar kisah pengalamanku selama berada di wilayah Liauw-tong, semua kejadian di sana terasa baru, aneh dan menarik. Mengenai pengalamanku sendiri, aaai, tidak ada yang bisa diceritakan, sejak berpisah denganmu, aku langsung pulang ke gunung dan sepanjang perjalanan tidak pernah terjadi apa-apa.” "Bagus. Kalau begitu aku akan mengisahkan lagi sebuah cerita yang sangat menegangkan hati, ada seorang manusia berkerudung....”
Belum habis dia berkata, mendadak terlihat Lan Sui-leng menguap karena mengantuk. Dalam hati Seebun Yan merasa tidak suka hati, tapi entah mengapa, tiba-tiba diapun ikut menguap. Gadis ini pernah punya pengalaman terkena bubuk pemabuk, dia segera sadar akan ketidak beresan itu, namun tanpa terasa dia kembali menghirup bubuk pemabuk. "Cepat kerahkan tenaga dalam untuk melawan racun!" dia hanya bisa berbisik lirih di sisi telinga Lan Sui-leng, karena kepalanya terasa makin berat dan mulai terkurai, rasanya mengantuk sekali dan ingin tidur. Untung saja tenaga dalamnya cukup lumayan, begitu konsentrasi dipusatkan ke Tan-tian, hawa murni pun kembali berputar satu lingkaran di seluruh tubuh, lambat laun keadaannya menjadi sedikit mendingan. Yang dimaksud 'mendingan' adalah dia hanya bisa memaksakan diri untuk membuka lebar matanya dan mengusir momok rasa kantuk hingga tidak sampai roboh tidak sadarkan diri.
Namun seluruh tenaga yang dimilikinya telah lenyap, jangan lagi berbicara, untuk menggerakkan jari tangan sendiri pun sudah tidak sanggup. Keadaan Lan Sui-leng tidak jauh berbeda, dia hanya bisa membuka matanya dan sama sekali tidak mampu bergerak.
Diam-diam Seebun Yan merasa kagum, pikirnya, 'Padahal dia hanya seorang murid yang belum lama bergabung dengan Bu-tong-pay, tapi kenyataannya dia sanggup mempertahankan diri!'
Tentu saja dia tidak tahu kalau majunya tenaga dalam yang dimiliki Lan Sui-leng bukan hasil ajaran Put-hui Suthay melainkan ilmu yang dipelajarinya dari Tonghong Liang. Oleh karena pikirannya tidak banyak berusik oleh pelbagai masalah, berbeda jauh dengan Seebun Yan yang sering terganggu banyak urusan, karena itu meski baru berlatih setengah tahun, namun keberhasilannya nyaris menyamai kemampuan Seebun Yan. Biarpun mereka berdua tidak sampai jatuh semaput, namun justru karena mereka masih memiliki kesadaran maka kedua orang itu merasakan teror dan rasa takut yang selama hidup belum pernah dialaminya. Perlu diketahui, pada saat dan detik ini, mereka berdua sudah tidak memiliki sedikit tenaga pun, semisal orang itu masuk ke dalam kamar, maka mereka berdua hanya bisa menyerah dan menuruti semua keinginannya, kalau hanya mati bukan masalah, justru yang dikuatirkan adalah kejadian yang jauh lebih tersiksa daripada kematian. Bagaimana pun juga, yang akan muncul akhirnya muncul juga. Mereka mulai mendengar suara pembicaraan di luar sana. Orang pertama yang berbicara alah Lan Kau-san, ayah Lan Sui-leng. "Ada urusan apa tengah malam begini tootiang datang kemari, apakah.... apakah....” suara Lan Kau-san kedengaran penuh dicekam rasa heran. Begitu mendengar suara ayahnya, Lan Sui-leng merasa sedikit lega. Karena ayahnya tidak keracunan maka pikirnya, 'Hanya seorang tootiang yang kenal akrab dengan ayah, mungkinkah orang itu adalah.... '
Belum lenyap pikiran itu, orang tersebut sudah mulai menjawab, betul seperti yang dia duga, orang itu adalah Put-ji tootiang, ayah angkat adiknya.
"Aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan, kau harus menjawab sejujurnya. Apakah kau telah memberitahukan asal usul anak Keng yang sebenarnya?" Suara Put-ji Totiang kedengaran sedikit sumbang, seakan dia sedang menderita sakit flu berat hingga hidungnya dipenuhi ingus. Tapi Lan Sui-leng masih dapat mengenali suaranya. "Ti.... tidak!" jawab Lan Kau-san dengan suara gemetar.
"Tidak? Kenapa dia bisa pergi ke Liauw-tong untuk mencari orang tua kandungnya?" Mendengar sampai disini, Lan Sui-leng merasakan hatinya bergoncang keras. Ternyata dugaannya tidak salah, adiknya memang punya asal-usul sendiri, dia bukan saudara kandungnya!
"Aku.... aku tidak tahu! Aku benar-benar tidak tahu!"
"Apa yang tidak kau ketahui? Tidak tahu akan persoalan ini, atau tidak tahu dia anak siapa?"
"Dia sama sekali tidak beritahu kepadaku apa sebabnya turun gunung, akupun tidak tahu ke mana dia telah pergi!" Put-ji Tojin segera tertawa dingin.
"Kalau begitu kau sudah tahu anak siapakah dia?" dengusnya.
"Too.... tootiang mungkin lupa? Sewaktu kau serahkan anak itu kepadaku, aku pernah dipesan untuk tidak bertanya asal-usul bocah itu. Kau hanya mengatakan kalau dia adalah putra sahabat karibmu.”
"Kalau aku tidak mengatakan, memangnya kau sendiri tidak tahu? Aku ingin tanya. Berani kau mengatakan kalau kau sama sekali tidak tahu siapa orang tua bocah itu?" "Soal ini, soal ini....” Lan Kau-san adalah seseorang yang jujur, dia tidak berani berbohong, akan tetapi dia pun tidak berani berbicara terus terang. Nada suara Put-ji Tojin makin lama semakin ketus dan dingin, katanya lagi, "Tahukah kau siapa ayahnya? Tentunya kaupun tahu bukan kalau akulah yang telah membunuh ayahnya!" Andaikata Lan Sui-leng masih memiliki sedikit tenaga, dia pasti akan melompat bangun saking kagetnya. Kini, biarpun tubuhnya sama sekali tidak mampu bergerak, namun jantungnya seolah mau melompat keluar dari rongga dadanya, dia merasa sangat ketakutan.
"Aku tidak tahu, waktu itu sepanjang hari aku tidak berada di rumah, aku tidak.... tidak....”
Kembali Put-ji Tojin menukas sambil tertawa dingin, “Tapi siapa pun tahu kalau saat itu Keng King-si dan Ho Giok-yan pernah muncul di bukit Boan-liong-san, kemudian jejak mereka berdua hilang tidak berbekas. Hampir semua orang melihat kalau Ho Giokyan melakukan perjalanan dengan perut buncit. Aku tidak percaya kalau kau sedemikian gobloknya sampai menduga akan hal inipun tidak bisa!"
"Aku.... aku memang.... memang tahu akan kejadian ini, tapi.... tapi.... aku sama sekali tidak menyangka kalau pembunuhnya adalah dirimu!"
Apa yang diucapkan Lan Kau-san memang kata yang sejujurnya. "Baiklah, aku percaya kalau ucapanmu jujur. Tapi sekarang aku telah memberitahukan rahasia ini kepadamu!" Wajahnya seakan dilapisi oleh bunga salju yang tebal, bukan saja perkataannya dingin bagaikan es, mimik muka serta sikapnya juga dingin dan kaku, membuat siapa pun bergidik. Lan Kau-san bukan terhitung orang yang kelewat bodoh, buru-buru dia berkata, "Tootiang, apa yang barusan kau katakan? Aku sepertinya tidak mendengar apa-apa....” Ketika dilihatnya Put-ji Tojin tidak memberi tanggapan, cepat dia menambahkan lagi, "Totiang, jangan kuatir, aku tidak bakal membocorkan semua yang kau katakan malam ini kepada siapa pun.” Put-ji Tojin tertawa dingin, "Baru sekarang kau mengatakan hal ini, hmmm! Tapi sayang aku tidak bisa mempercayaimu dengan begitu saja!"
"Lantas apa yang hendak kau lakukan agar percaya?"
"Kecuali....” Lan Sui-leng yang berbaring dalam kamarnya sambil mencuri dengar pembicaraan itu dapat menangkap semua tanya jawab itu dengan jelas, tapi dia tidak bisa melihat apa yang terjadi diluaran sana. Put-ji Tojin mengatakan 'kecuali", lalu "kecuali" apa yang dimaksud? Namun dia tidak perlu menebak terlalu jauh, karena jawabannya segera ketahuan. Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri yang menyayat hati berkumandang memecahkan keheningan, menyusul kemudian terdengar suara langkah kaki ibunya dan menyusul keluar dari belakang. Agaknya waktu itu ibunya tertegun sesaat, sesudah hening berapa waktu, tiba-tiba terdengar dia menjerit lengking, "Tootiang, kau.... kau apakah suamiku....” Mendadak jeritan lengking itu terputus di tengah jalan, diikuti terdengar lagi jeritan ngeri yang memilukan hati. Kemudian terdengar Put-ji Tojin berkata, “Enso, maafkan aku. Hanya perbuatan semacam inilah yang bisa kulakukan. Karena hanya orang mati yang tidak bisa membocorkan rahasia ini lagi!"
Tanpa menyaksikan dengan mata kepala sendiri pun Lan Sui-leng sudah tahu apa yang telah terjadi, seketika itu juga dia tertegun saking kagetnya. Sukmanya serasa meninggalkan raganya, melayang keluar dari kamar tidur dan menyaksikan tubuh ayah ibunya terkapar di tengah genangan darah. Dia ingin menjerit namun tidak ada suara yang keluar, ingin menangis namun tidak dapat mengeluarkan isak tangisnya. Apakah dia sedang bermimpi? Aaai, moga-moga saja kesemuanya ini hanya sebuah impian buruk. Kembali terdengar suara langkah kaki manusia, Put-ji Tojin tidak memasuki kamarnya tapi pergi meninggalkan rumah itu. Sungguh aneh sekali, ternyata di saat seseorang merasakan ketakutan yang telah mencapai puncaknya, dia malah seolah tidak tahu lagi arti dari takut. Kini benaknya seolah berubah jadi putih dan kosong, bahkan jalan pikiran serta semua aktifitasnya ikut terhenti. Semuanya tenang, semuanya terhenti. Seandainya ada sebatang jarum yang terjatuh ke lantai pada saat ini, mungkin dia dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Saat itulah dia mendengar suara perempuan yang dikenalnya berkumandang dari luar rumah, “Semua telah dibereskan?" Bukankah suara itu berasal dari Siang Ngo-nio? Walaupun suaranya agak serak, namun dia masih dapat mengenalinya.
"Kenapa musti ditanyakan lagi, semua ini gara-gara kau hingga terpaksa aku harus melakukan kekejaman ini. Aaai, sejujurnya, Lan Kau-san pernah membantuku, coba kalau bukan demi kau, tidak nanti aku tega untuk menghabisi nyawanya!"
"Hmm, gara-gara demi aku?" Kelihatannya Put-ji Tojin berbicara sambil berjalan, "Betul, aku takut anak Keng mengetahui kejadian yang sebenarnya. Tapi coba kalau bukan aku telah mengambil keputusan, akan selamanya bersama mu....”
Kata selanjutnya sudah tidak terdengar lagi. Berapa saat kemudian Seebun Yan baru berbisik, "Adik Leng, sekarang bukan saatnya untuk bersedih hati, cepat tenangkan pikiran dan cobalah mengatur pernapasan lagi. Hingga kini kita belum terlepas dari kurungan!" Rupanya tenaga dalam yang dimiliki Seebun Yan telah pulih satu, dua bagian hingga dia memiliki kekuatan untuk berbisik. Pikiran Lan Sui-leng kembali dibuat kacau oleh terjadinya peristiwa yang sama sekali tidak terduga itu, kondisi tubuhnya mundur kembali ke posisi semula, sama sekali tidak punya tenaga hingga kekuatan untuk menggerakkan jari tangan pun tidak punya. Entah berapa saat kembali lewat, tiba-tiba terdengar lagi suara manusia. Ternyata Lan Giok-keng telah kembali, (seharusnya sudah bukan she-Lan lagi, tapi bermarga Keng, jadi selanjutnya dia bernama Keng Giok-keng). Oleh karena dalam benaknya dipenuhi pelbagai kecurigaan dan tanda tanya, maka dia sengaja pulang ke rumah di malam hari.
Sewaktu lewat di kota Kim-leng, dia berhasil menjumpai Kwik Bu bahkan menyingkap teka-teki yang menyelimuti asal-usulnya. Setiap perkataan yang diucapkan Kwik Bu masih teringat dengan sangat jelas. Dan kini, di saat dia sudah mendekati pintu rumah, pemandangan saat itu satu per satu kembali melintas dalam benaknya. Dia mengunjungi rumah keluarga Kwik di tengah malam, oleh karena status dan kedudukan Kwik Bu yang istimewa, begitu melihat munculnya orang asing, tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara sudah berusaha untuk membekuknya. Tapi pertarungan pun tidak sampai lewat tiga puluh gebrakan, serta merta mereka berdua sama-sama menghentikan pertarungan. Ujar Kwin Bu kemudian sambil menghela napas, "Aku dengar ilmu pedang Bu-si Tojin merupakan yang paling hebat dalam Bu-tong-pay, sayang belum sempat kujumpainya. Kalau dilihat dari usiamu, seharusnya kau hanya seorang Boanpwee. Tapi ilmu pedangmu sudah berada jauh diatas kemampuanku. Aaaai, kalau hanya seorang murid muda dari Bu-tong-pay pun tidak sanggup kuhadapi, mana mungkin bisa bertarung melawan jagoannya. Aaai, aku tahu siapakah dirimu.”
"Kau mengetahui siapakah aku, akupun mengetahui siapa dirimu, meski aku belum pernah bertemu denganmu!" ujar Keng Giok-keng.
"Kau tahu siapakah aku?"
"Aku tahu kau adalah putra Jit-seng-kiam-kek, mempunyai nama manchu sebagai Huo Bu-tuo dan nama Han sebagai Kwik Bu.”
Seharusnya orang itu terperanjat karena identitasnya berhasil tertebak, akan tetapi dia tidak kaget, seolah hal tersebut sudah berada dalam dugaannya. Dia hanya bertanya, "Ada apa kau mencari aku?" Untuk sesaat Keng Giok-keng tidak tahu harus mulai ceritanya dari mana. Sambil tersenyum kembali Kwik Bu berkata, "Aku mempunyai seorang sahabat she-Keng, sama seperti kau, murid Bu-tong-pay. Hanya saja peristiwa itu sudah berlangsung pada delapan belas tahun berselang. Tahun ini usiamu belum genap delapan belas tahun bukan?" Keng Giok-keng merasakan hatinya berdebar keras, dia balik bertanya, "Benarkah begitu?"
"Sahabatku itu bernama Keng King-si, dia adalah murid kedua dari Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu. "Dua puluh tahun terselang, dia bersama Bouw Ciong-long merupakan murid preman dari Bu-tong-pay. Hanya sayang nasibnya tidak sebagus Bouw Ciong-long. Kini Bouw Ciong-long telah menjadi Ciangbunjin baru perguruanmu, sementara Ho Ki-bu sudah mati sejak delapan belas tahun berselang, bahkan kudengar dia mati tidak jelas. Apakah kaupun mengetahui kejadian ini?"
"Tentu saja aku pernah mendengar orang membicarakan tentang nama Ho Thayhiap dari perguruanku, tapi belum pernah ada yang beritahu apa penyebab kematiannya. Dengan ucapanmu ini, berarti kau sudah tahu....”
"Aku sendiripun tidak tahu. Aku hanya ingin membicarakan masalah yang berkaitan dengan orang she-Keng itu.”
Dia memandang Keng Giok-keng sekejap, ketika dilihatnya bocah itu memandang dengan mata mendelong, seperti orang kebingungan, tanpa terasa kembali dia menghela napas, lanjutnya, "Ho Ki-bu mempunyai dua orang murid dan seorang putri, anak putrinya bernama Ho Giok-yan, Keng King-si berada diurutan kedua, diatas dia masih ada seorang Suheng lagi dari marga Ko, sedang dibawahnya adalah Giok-yan, Siau-sumoaynya. Pernah-kah kau mendengar nama ke tiga orang ini?"
"Pernah,” jawab Keng Giok-keng setelah ragu sejenak, "tapi itupun hanya terbatas pernah mendengar nama mereka.”
"Sejak kapan kau mulai mendengar tentang mereka?"
"Setelah aku turun gunung, baru setengah tahun berselang.”
"Kau bukan hanya tahu nama mereka saja bukan? Karena apa kau mengajak Hwee-ko Thaysu berkunjung ke kota Uh-sah-tin?"
"Betul, aku mengetahui juga kalau Keng-kisu dan Ho Giok-yan pernah berdiam hampir setahun lamanya di kota Uh-sah-tin. Tapi hal ini kuketahui sesudah tiba di kota Uh-sah-tin. Sebelum itu aku hanya tahu kalau mereka pernah datang ke luar perbatasan, tapi tidak tahu pasti tempat yang dituju. Ada orang memberi petunjuk kepadaku, suruh aku menemukan Jit-seng-kiam-kek, karena bila dapat bertemu dengannya maka ada harapan bagiku untuk mencari tahu kejadian tentang mereka di masa lalu. Tapi sayang aku tidak punya kesempatan untuk bertemu dengan Jit-seng-kiam-kek, oleh sebab itu....”
"Kemudian kau tahu kalau Jit-seng-kiam-kek adalah ayahku, maka kaupun terpaksa datang mencari aku,” sambung Kwik Bu. Bicara sampai disini dia berhenti sebentar, tertawa terbahak-bahak, kemudian baru melanjutkan, "Betul, kau telah menemukan aku, telah menemukan orang yang benar. Aku mengetahui masalah tentang Keng King-si, bahkan apa yang kuketahui jauh lebih banyak daripada apa yang diketahui ayah angkatmu.
"Dia bersama sumoaynya tinggal di kota Uh-sah-tin dan berganti nama, sehari-hari mereka hidup sebagai nelayan. Tidak seorangpun yang mengetahui asal usulnya, kecuali aku. Mereka tidak punya teman yang lain.”
"Tunggu sebentar,” dengan napas tersengkal Keng Giok-keng bertanya, "kalau benar mereka adalah murid dari perguruan kaum lurus, mengapa harus kabur ke luar perbatasan dan bersembunyi di sebuah bandar nelayan yang terpencil?"
"Mereka kabur dari rumah, kawin lari. Oleh karena nona Ho adalah putri tunggal Ji-ou Thayhiap, maka hampir semua orang di daratan Tionggoan mengenalinya, karena itu mereka hanya bisa kabur ke luar perbatasan dan menyembunyikan diri disana.”
Tampaknya Keng Giok-keng tidak menyangka akan menerima jawaban seperti itu, setelah agak tertegun, dia menegaskannya, "Kabur dari rumah?"
"Kau tidak mengerti apa yang dinamakan kabur dari rumah?" ujar Kwik Bu sambil tersenyum, "biasanya perkawinan itu harus mendapat restu dari orang tua, paling tidak ada mak comblangnya. Yang dinamakan kabur dari rumah adalah kawin lari, mereka jadi suami istri tapi tidak mendapat restu dari orang tua, karena itu mereka kabur dari rumah, kawin lari dan menyembunyikan diri.”
"Aku bukannya tidak mengerti apa yang dinamakan kabur dari rumah, aku hanya tidak mengerti kenapa mereka harus kabur dari rumah? Kenapa harus kawin lari?" "Karena sejak kecil ayahnya telah menjodohkan nona Ho kepada Toa-suhengnya. Tapi gadis itu justru mencintai Ji-suhengnya.”
Diam-diam Keng Giok-keng menghembuskan napas lega, bisiknya lirih, "Ooh, ternyata begitu!" Rupanya di dasar hati kecilnya tersembunyi suatu perasaan takut yang luar biasa. Dia takut Keng King-si kabur ke luar perbatasan karena berkhianat dan sudah menjadi mata-mata bangsa Boan. Tadi dia tidak berani menanyakan soal ini kepada Kwik Bu, kendatipun dia tahu dengan jelas bahwa Kwik Bu adalah satu-satunya orang yang bisa mengungkap teka-teki asal-usulnya, dia tidak berani bertanya karena khawatir hal tersebut menyangkut suatu penghianatan bangsa. Tapi kini, walaupun dia sudah merasa lega namun beban lain kembali mengganjal hatinya.
"Bukankah Toa-suheng dari Keng King-si adalah ayah angkatku sekarang?" Terdengar Kwik Bu berkata lebih lanjut, "Waktu itu kedudukanku adalah juragan yang membeli ikan disana, posisi yang ditempati Kim Teng-hap sekarang. Di kota Uh-sah-tin hanya aku seorang yang mengetahui asal-usul Keng King-si, dan hanya Keng King-si seorang yang mengetahui identitasku yang sebenarnya, bahkan Ho Giok-yan sendiripun tidak tahu. Oleh sebab itu meski aku berkenalan dengan mereka berdua, namun sahabatku yang sesungguhnya hanya Keng King-si seorang.”
"Sepasang suami istri itu tinggal di kota Uh-sah-tin hampir setahun lamanya kemudian mudik. Tahukah kau mengapa mereka berbuat begitu?" tiba tiba Kwik Bu bertanya. Keng Giok-keng merasa sedikit keheranan, serunya, "Darimana aku bisa tahu? Lebih baik kau saja yang memberitahukan masalah ini kepadaku!"
"Karena Keng-hujin telah hamil dan tidak ada yang merawatnya, dia ingin mudik dan melahirkan di desa kelahirannya. Selain itu, nasi telah menjadi bubur, dia berharap perbuatannya di masa lalu dapat dimaafkan oleh ayahnya. Aaai.... siapa tahu perpisahan itu merupakan perpisahan untuk selamanya, aku tidak pernah bertemu lagi dengan mereka.”
Keng Giok-keng merasakan jantungnya berdebar sangat keras, buru-buru tanyanya, "Setelah dilahirkan, anak mereka itu seorang pria atau seorang wanita?"
"Konon anak mereka lelaki!"
"Lelaki?" suara Keng Giok-keng kedengaran mulai gemetar.
"Cukup lama kunantikan kedatangannya di kotaraja, namun dia tidak pernah muncul, karena itu aku mengutus orang untuk mencari kabar tentang mereka berdua.
"Berita yang kudapat, pernah ada orang melihat sepasang muda-mudi menempuh perjalanan di tanah perbukitan Boan-liong-san, kalau dilihat keadaannya, mereka adalah sepasang suami istri. Sang wanita konon perutnya buncit, seperti orang hamil yang sudah cukup bulan untuk melahirkan. Berdasarkan berita ini dapat disimpulkan kalau sepasang suami istri muda itu tidak lain adalah Keng King-si serta Ho Giok-yan.”
"Bagaimana selanjutnya?" buru-buru Keng Giok-keng bertanya, tanpa terasa nada suaranya ikut berubah.
"Ho Giok-yan dan suaminya tidak pernah sampai ke rumah, semenjak hari itu jejak mereka berdua hilang lenyap tidak berbekas. Tapi untung juga dia tidak pulang ke rumah....”
"Kenapa?"
"Sebab di rumah orang tuanya sedang berlangsung satu kasus pembunuhan yang amat tragis, ayahnya, Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu ditemukan mati terbunuh secara mengenaskan!"
"Aaah....!" Keng Giok-keng menjerit tertahan, seluruh perasaan hatinya serasa mengejang, untuk sesaat dia tidak mampu berkata-kata.
Kwin Bu berkata lebih lanjut, "Peristiwa ini terjadi sehari sebelum kedua orang itu hilang, dan setelah lenyapnya kedua orang itu, tersiar lagi sebuah berita kecil, walaupun tidak ada orang yang menaruh perhatian atas berita kecil itu, namun rasanya kau perlu mengetahui juga akan hal ini.”
Keng Giok-keng merasakan hatinya berdebar keras, dia dapat menduga apakah isi berita tersebut. Betul saja, terdengar Kwik Bu berkata lebih jauh, "Di atas bukit Boan-liong-san tinggal seorang pemburu dari marga Lan, tiba-tiba saja keluarga mereka kedapatan memperoleh tambahan seorang bayi lelaki. Bininya baru saja melahirkan seorang anak gadis pada setengah bulan berselang, itu berarti bayi lelaki itu sudah pasti bukan anak yang dia lahirkan, tapi tidak ada yang tahu darimana datangnya bocah itu. Beberapa hari kemudian, keluarga pemburu she-Lan itu sudah pindah rumah, tidak ada yang tahu mereka telah pindah ke mana. Ehmm, yang diketahui hanyalah kalau bocah itu masih hidup hingga sekarang, seharusnya dia telah genap berusia enam belas tahun.”
"Bocah itu.... bocah itu....” teriak Keng Giok-keng dengan suara parau. Saking sedih dan terharunya, dia tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya, air mata jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
"Apakah kau masih belum paham?" sepatah demi sepatah kata Kwik Bu melanjutkan, "bocah itu tidak lain adalah kau! Ayah kandungmu adalah Keng King-si, ibu kandungmu adalah Ho Giok-yan!"
Biarpun jawaban ini sudah diduga Keng Giok-keng jauh sebelumnya, namun setelah memperoleh bukti dari mulut Kwik Bu, tidak urung air matanya berlinang semakin deras.
"Sekarang kau seharusnya sudah paham bukan, mengapa aku harus melindungimu secara diam-diam?" ujar Kwin Bu lagi, "sejak kau melangkahkan kakimu ke luar perbatasan, aku telah mendapat laporan rahasia dari mata-mataku, menurut laporan yang kuperoleh, katanya Hwee-ko Thaysu dari biara Siau-lim melakukan perjalanan bersama seorang pemuda dan pemuda itu berwajah mirip sekali dengan Keng King-si masa itu. Aku segera tahu siapakah dirimu. Kau adalah putra temanku almarhum, tentu saja aku harus melindungi keselamatan jiwamu dengan sepenuh tenaga.”
"Karena itulah kau menulis surat itu!" seru Keng Giok-keng seolah baru mengerti.
"Surat yang mana?"
"Surat yang kau tujukan untuk Kim Teng-hap.”
“Oooh, rupanya kau pun mengetahui persoalan ini. Kalau begitu kau pasti tahu bukan kalau surat yang kutulis itu sama sekali tidak menaruh niat jahat terhadap mu?"
Isi surat itu memerintahkan Kim Teng-hap agar tidak mempersulit Keng Giok-keng.
"Terima kasih banyak kau telah melindungiku secara diam-diam,” kata anak muda itu kemudian. "Aku tahu Kim Teng-hap tidak melakukan seperti apa yang kuperintahkan,” kata Kwik Bu lagi, "bahkan secara diam-diam dia berusaha mencelakaimu.” "Sekalipun begitu, aku tetap menerima maksud baikmu. Tapi ada satu hal yang tidak kupahami, sebetulnya apa kedudukanmu?"
"Menurut kau?" Keng Giok-keng ragu-ragu, untuk sesaat dia tidak mampu menjawab. Sambil tertawa tergelak Kwik Bu berseru, "Kalau begitu biar aku yang mewakilimu untuk menjawab. Kau tidak berani berbicara karena selama ini kau menganggap aku adalah mata-mata bangsa Boan.”
"Tidak!" Keng Giok-keng menggeleng, "jika kau adalah mata-mata bangsa Boan, tidak mungkin kau akan melindungiku secara diam-diam.
Dalam pertarungan tadi, setelah lewat tiga puluh gebrakan, tenagaku sudah tidak sanggup ditambah lagi, jika kau curiga aku sudah tahu kalau kau adalah mata-mata bangsa Boan dan dalam kenyataan kau memang pengkhianat bangsa, pada jurus yang ke tiga puluh satu kau sudah dapat menusuk tujuh buah jalan darahku. Tapi dalam kenyataan, kau menarik pedang jauh lebih awal ketimbang aku. Oleh sebab itu aku benar-benar tidak habis mengerti....”
"Aku tidak pernah membocorkan statusku kepada siapa pun, tapi terkecuali untuk dirimu,” kata Kwik Bu, "sesungguhnya kedudukanku bukan hanya satu saja tapi ada tiga kedudukan yang berbeda, kedudukan pertama adalah orang kepercayaan Nurhaci Khan dari negeri Kim; kedudukanku yang ke dua adalah pejabat tinggi Kerajaan Beng yang sedang mendapat tugas dari Nurhaci Khan untuk menyusup ke kota Kim-leng.”
Keng Giok-keng yakin dan percaya kalau dia pasti bukan mata-mata bangsa Boan, namun perasaan hatinya tidak urung tercekat juga setelah mendengar jawaban itu, karena yang dimaksud "menyusup" sudah jelas adalah perbuatan seorang mata-mata.
Buru-buru dia bertanya, "Lantas apa kedudukanmu yang ke tiga?"
"Aku sendiripun tidak tahu harus berkata apa tentang kedudukanku sekarang. Aku justru rela menjadi mata-matanya bangsa Boan untuk menyusup ke kota Kim-leng karena hanya dengan berbuat beginilah aku baru bisa memperoleh laporan yang paling rahasia, aku jadi tahu orang-orang dari kerajaan Beng mana yang secara diam-diam melakukan persekongkolan dengan bangsa Boan.” Kalau meminjam istilah jaman sekarang, posisinya saat ini adalah 'spion ganda".
"Tapi semua yang kulakukan ini bukan karena mendapat perintah dari siapa pun,” kembali Kwik Bu melanjutkan, "dulu ayahku pernah bertemu dan berbicara panjang lebar dengan Hin Teng-pi, menurut Him Teng-pi untuk menanggulangi serangan yang datang dari luar, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah membasmi kaum penghianat, khususnya musuh dalam selimut. Atau lebih tegasnya lagi, inilah tugas utama yang harus dilakukan oleh aku si mata-mata gadungan dari bangsa Boan. Karena dengan berbuat beginilah kita baru tahu siapa mata-mata bangsa Boan yang sesungguhnya. Aaai.... alhasil....”
"Bagaimana hasilnya?" "Bahkan aku sendiripun tidak menyangka kalau ada begitu banyak orang kenamaan yang ternyata telah dibeli olehbangsa Boan untuk menjadi pengkhianat bangsa!" Tergerak pikiran Keng Giok-keng setelah mendengar perkataan itu, tanpa terasa dia bertanya, "Jadi mereka yang telah menjadi mata mata bangsa Boan kebanyakan adalah para pejabat tinggi kerajaan?"
"Belum tentu begitu. Misalkan saja, menurut apa yang kuketahui dari pihak militer selain ada panglima perang dari pasukan Yu-lim-kun yang terlibat, ternyata ada juga orang persilatan yang menjadi pengkhianat bangsa.... bahkan....”
Bicara sampai disini, tiba-tiba dia berhenti berbicara. "Bahkan dalam Bu-tong-pay kami pun terdapat mata-mata bukan?" sambung Keng Giok-keng cepat. Bocah ini memang sangat cerdas, dari cara Kwik-bu berbicara, dia sudah dapat menebak kalau ada masalah tertentu yang sama sekali tidak disinggung olehnya. Tapi bagaimana pun juga dia masih muda dan belum banyak pengalaman, masalah semacam ini memang tidak sepatutnya dia tanyakan.
"Aku tidak berani memastikan,” ujar Kwik Bu kemudian, "kami hanya mencurigai tapi belum bisa membuktikan.”
"Bagaimana dengan para mata-mata yang berhasil kau buktikan secara nyata? Apakah rahasia mereka sempat kau bongkar....”
"Membongkarnya kepada siapa?" tanya Kwik Bu sambil tertawa getir, "Him Teng-pi sudah tewas dibunuh pengkhianat bangsa. Mau lapor ke pihak kerajaan? Padahal mereka yang telah berkhianat rata-rata adalah pejabat tinggi yang memegang kekuasaan besar, dengan posisi dan pangkatku yang begini kecil, bagaimana mungkin bisa menggeser mereka? Lagipula begitu aku membocorkan rahasia ini, dapat dipastikan peranku sebagai mata-mata ganda segera akan terbongkar.”
"Lantas apa artinya kau melanjutkan peran ganda mu itu?"
"Tidak bisa dikatakan tidak ada artinya. Semisal aku bisa mendapat tahu tokoh persilatan manakah yang telah menjadi mata-mata bangsa Boan dan mengkhianati bangsa, kita bisa menggerakkan para pendekar untuk membunuhnya.”
Keng Giok-keng merasakan darah panas menggelora dalam rongga dadanya, setelah menanyakan masalah yang tidak sepantasnya dia tanyakan, kini dia baru mulai berpikir masalah tentang diri sendiri. Ujarnya, "Tadi kau mengatakan, selama ini belum pernah membocorkan rahasiamu kepada siapa pun, terkecuali kepadaku. Kenapa terkecuali kepadaku?"
"Sebab kemungkinan besar ayah ibumu mengalami nasib tragis karena terseret oleh masalahku!"
"Siapa yang telah mencelakai mereka?" buru-buru Keng Giok-keng mendesak. "Aku hanya mendengar kabar tentang hilangnya mereka berdua, kemudian selama banyak tahun tidak pernah bertemu lagi dengan mereka, oleh karena itu.... oleh karena itu kuduga mereka lebih banyak celakanya daripada selamat.” Timbul secercah harapan di hati kecil Keng Giok-keng, katanya, "Terlepas apakah orang tuaku sudah tertimpa bencana atau tidak, aku harus melakukan penyelidikan hingga semuanya jelas, aku harap.... aku harap....”
"Kunasehatkan padamu, lebih baik tidak usah diselidiki lebih jauh. Sebab, sekalipun kau berhasil melacak kejadian yang sebenarnya, mungkin.... mungkin mereka telah tertimpa nasib tragis, dan semisalnya mereka memang menemui celaka, tidak usah menyalahkan siapa pun, kalau ingin menyalahkan, salahkan diriku saja!"
"Kenapa?"
"Masa kau masih tidak paham? Belum tentu pengkhianat yang ingin mencelakainya. Bukankah pada awalnya kau pun mencurigai aku sebagai mata-mata bangsa Boan? Keng King-si adalah sahabat karibku, sementara para pendekar selain tidak mengetahui kejadian ini, setelah tahu, apa tidak mungkin mereka pun mencurigai dirinya sebagai mata-mata bangsa Boan juga?"
Keng Giok-keng merasakan hatinya bergolak keras, katanya, "Kalau begitu aku semakin harus melakukan penyelidikan hingga jelas, aku tidak boleh membiarkan nama ayahku tercemar! Empek Kwik, kau pasti sudah mengetahui sesuatu, tolong beri tahukan kepadaku!"
"Kau bersikeras ingin tahu?”
“Benar!" jawaban Keng Giok-keng tegas. Kwik Bu menghela napas panjang, ujarnya kemudian, "Padahal aku sendiripun tidak tahu apa-apa, bila kau bersikeras ingin tahu, mungkin harus bertanya kepada seseorang....”
"Siapa?" "Murid pertama dari Ho Ki-bu, Ko Ceng-kim! Pada malam ketika Ho Ki-bu terbunuh, dia tidak berada di rumah keluarga Ho, baru hari ke dua ada orang melihat dia pulang dari gunung Boan-liong-san!"
"Maksud.... maksudmu....” "Aku tidak mengatakan kalau Ko Ceng-kim lah yang telah membunuh Keng King-si serta Ho Giok-yan, tapi bila diperhitungkan waktunya sejak sepasang suami istri itu lenyap setelah naik ke gunung Boan-liong-san, seharusnya mereka telah saling bertemu muka dengan Toa-suhengnya!"
"Apakah dia tahu kalau ayahku berkenalan denganmu di luar perbatasan?"
"Aku tidak tahu apakah dia mengetahui akan hal ini, tapi ada sepucuk surat dariku yang disembunyikan disakunya, menurut apa yang kemudian kuketahui, surat itu sudah terjatuh ke tangan orang lain.” Siapakah "orang lain" itu? Walaupun tidak bisa dikatakan tidak tersangkut secara langsung dalam peristiwa ini, namun bukan berarti orang itu tidak ada hubungannya dengan kejadian ini. Sebab kalau orang itu bukan Ko Ceng-kim, menurut apa yang dilukiskan Kwik Bu, kemungkinan besar surat itu diperoleh setelah menggeledah saku Keng King-si kemudian diserahkan kepada "orang lain".
Aaai.... bukankah Ko Ceng-kim adalah ayah angkatnya, yang kini sudah menjadi Put-ji Tojin, salah satu Tianglo dari Bu-tong-pay? Keng Giok-keng sangat berharap kematian orang tuanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ayah angkatnya itu. Oleh karena pelbagai kecurigaan dan tanda tanya menyelimuti benaknya, maka dia sengaja pulang di saat malam telah tiba. Walaupun dia pergi belum sampai satu tahun, sebuah jangka waktu yang tidak terlalu lama, akan tetapi kepergiannya kali ini merupakan kali pertama meninggalkan rumah, tidak heran kalau perasaan gembira segera menyelimuti hatinya setelah kini tiba kembali di rumah. Aneh, kenapa tidak ada yang menyahut meski pintu telah diketuk berulang kali?
"Ayah, ibu, aku telah kembali!" Sewaktu memanggil "ayah" dan "Ibu" timbul perasaan aneh dihati kecilnya, namun luapan perasaannya masih sama seperti dulu. Pepatah kuno mengatakan: budi dari ibu kandung tidak bisa mengalahkan budi terhadap ibu yang memeliharanya, selama ini dia dipelihara dan dibesarkan oleh Lan Kau-san suami istri, meskipun sekarang dia sudah tahu kalau mereka bukan orang tua kandungnya, namun dalam hati kecilnya dia tetap menaruh perasaan terima kasih dan sayangnya kepada mereka. Masih belum kedengaran suara jawaban.
"Jangan-jangan mereka tidak berada dirumah, atau terlelap tidur sangat nyenyak, aaah....! atau jangan-jangan mereka sakit?"
Dicekam rasa ragu, sangsi bercampur curiga, terpaksa dia mendorong sendiri pintu rumah. Ternyata pintu hanya dirapatkan, begitu didorong segera terbuka. Begitu melangkah masuk ke dalam rumah, segera terenduslah bau anyirnya darah! Buru-buru Keng Giok-keng menyulut lentera yang ada dimeja, tampak Lan Kau-san dan istrinya telah terkapar ditanah bersimbah darah, dari mulut mereka terlihat darah masih meleleh keluar. Untuk sesaat dia jadi tertegun, terperangah. Kemudian sambil menghantam meja makan kuat-kuat, teriaknya kalap, "Ayah! Ibu! Kalian tidak boleh mati! Siapa pembunuhnya, katakan kepadaku, katakan kepadaku.... siapa yang telah membunuh kalian!"
Tentu saja tidak ada orang yang beritahu kepadanya, rasa sakit karena kepalan yang menghantam meja, membuatnya tersadar dari luapan emosi, tiba-tiba dia mendengar ada suara lirih sedang memanggil namanya.
"Adik.... adik....!"
"Siau-Keng-cu, Siau-Keng-cu!"
Dengan langkah sigap dia masuk ke kamar tidur cicinya, disitu dia temukan Lan Sui-leng sedang berbaring bersama Seebun Yan. Dalam sekilas pandang Keng Giok-keng sudah tahu kalau mereka berdua telah terkena racun bubuk pemabuk, tapi suara panggilan "Siau-Keng-cu" dari Seebun Yan terdengar jauh lebih nyaring, ini membuktikan kalau racun yang menyerang dirinya jauh lebih ringan. Tapi dalam keadaan begini dia tidak sempat lagi bertanya mengapa Seebun Yan bisa tidur dirumahnya, dengan suara keras segera tanyanya, "Siapa pembunuhnya?"
Mulut Seebun Yan terkatup rapat, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tidak mampu mengutarakannya keluar.
"Dia.... dia adalah....” seru Lan Sui-leng. Suaranya sangat lirih bagai suara nyamuk, tapi sayang hanya kata itu yang mampu diucapkan, karena dia sudah kehabisan tenaga. Akan tetapi Keng Giok-keng telah memperhatikan wajahnya, wajah dengan rasa takut, ngeri dan horor yang telah mencapai pada puncaknya. Keng Giok-keng semakin gelisah, cepat dia menarik tubuh encinya, menempelkan tangan di punggungnya dan menyalurkan tenaga dalam ke tubuhnya.
"Apakah perbuatan siluman wanita Siang Ngo-nio?" tanyanya. Dengan mengerahkan segenap sisa kekuatan yang dimiliki, akhirnya Lan Sui-leng berseru, "Dia.... dia adalah.... adalah ayah angkatmu!"
Keng Giok-keng bersuara nyaring tidak berani percaya dengan pendengaran sendiri, bentaknya, "Kau.... apa kau bilang?"
"Walaupun aku tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, namun tidak bakalan salah mendengar, pembunuhnya memang tosu bajingan Put-ji!" kata Lan Sui-leng lagi. Keng Giok-keng ingin menangis namun tidak ada air mata yang jatuh berlinang, sepasang matanya merah membara seperti sembuaran api di mulut kawah. Setelah tertegun cukup lama, tiba-tiba dia mengeluarkan dua butir pil dan dijejalkan ke mulut mereka, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia membalikkan tubuh dan lari keluar rumah.
"Adik, kau....” jerit Lan Sui-leng. "Aku tidak punya waktu untuk menunggu kalian, pembunuhan atas orang tuaku lebih dalam dari samudra, aku harus bertanya kepadanya hingga jelas, aku harus bertanya hingga jelas!"
Apa yang akan ditanyakan? Walaupun tidak dia jelaskan namun Lan Sui-leng telah memahami maksud hatinya. Dia ingin bertanya, mengapa Put-ji begitu sayang terhadap dirinya hingga melebihi hubungan seorang ayah dan anak, tapi mencelakai orang tuanya? Namun kata depan dan kata belakang yang diucapan Keng Giok-keng justru bukan merupakan satu rangkaian kata, hal ini tidak pernah terbayangkan Lan Sui-leng sebelumnya. Pil yang diberikan Keng Giok-keng untuk mereka tidak lain adalah dua butir Siau-huan-wan yang ditinggalkan Hwee-ko Thaysu kepadanya, Siau-huan-wan merupakan obat mujarab dari biara Siau-lim, khasiatnya adalah untuk memperkuat daya tahan tubuh, sekalipun bukan obat pemunah bubuk mabuk dari keluarga Tong, namun sangat bermanfaat untuk mengembalikan kondiri tubuh mereka. Tidak sampai seperminum teh kemudian mereka berdua telah dapat duduk kembali, berbicara dan duduk seperti orang biasa. "Adikmu benar-benar patut dikasihani,” tiba-tiba Seebun Yan berkata sambil menghela napas, "coba kalau berganti aku, mungkin perasaan hatiku pun amat kalut dan terjadi pertentangan batin!"
Lan Sui-leng baru saja kehilangan sepasang orang tuanya, perasaan benci dan dendam menyelimuti hatinya, dalam keadaan begini tentu saja jalan pikirannya berbeda dengan jalan pikiran Seebun Yan.
Dengan mata mendelik tanyanya, "Pertentangan batin apa? Masa kau tidak mendengar, diapun mengatakan dendam orang tua sedalam lautan? Sekalipun dia mempunyai orang tua lain, tapi dia dibesarkan dirumahku, orang tuaku adalah orang tuanya juga!"
"Tapi diapun mengatakan kalau akan pergi bertanya hingga jelas!" kata Seebun Yan.
"Maksudmu, dia menaruh curiga atas perkataanku?"
"Bukan hanya itu saja maksudnya.”
"Kalau begitu kau kuatir dia masih teringat hubungannya sebagai guru dan murid, hubungan antara ayah angkat dengan anak, sekalipun sudah tahu kalau ayah angkatnya adalah pembunuh yang telah menghabisi nyawa orang tuanya, namun tetap tidak tega untuk membalas dendam?"
"Dia bukannya tidak percaya, tapi tidak ingin percaya. Jelas dalam hal ini terdapat perbedaan yang besar.”
"Lantas kenapa?"
"Oleh sebab itulah dia ingin menanyakan masalah ini hingga jelas, moga-moga saja kesimpulan yang kau peroleh tidak akan menjadi kenyataan.”
"Orang yang membunuh ayah ibuku adalah ayah angkatnya, hal ini merupakan "kenyataan" yang kita dengar sendiri, memangnya masih mungkin terdapat "kenyataan" lain?"
"Kau jangan lupa,” kata Seebun Yan cepat, "kita hanya "mendengar", bukan "menyaksikan" dengan mata kepala sendiri!"
"Semua pembicaraan antara ayahku dengan tosu bajingan itu kita ikuti dengan sangat jelas, apakah dalam hal ini kita perlu melihat dengan mata kepala sendiri?"
"Benar, aku memang masih sedikit agak sangsi.”
"Apa lagi yang kau sangsikan?" Seebun Yan tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia seakan terjerumus dalam pemikiran yang sangat mendalam, setelah lewat beberapa saat kemudian dia baru berkata lagi, "Tadi kau bertanya kepadaku, apakah aku khawatir adikmu tidak tega untuk turun tangan? Sekarang aku dapat menjawab pertanyaanmu itu, aku bukan hanya khawatir, bahkan merasa sangsi. Sebab setelah kubayangkan kembali semua peristiwa yang baru saja terjadi, memang nyata sekali terdapat banyak bagian yang sukar dimengerti!"
"Baik, coba kau sebutkan!" Begitu mendengar perkataan dari Seebun Yan ini, seketika dia pun dibuat tertegun.
Pada saat Seebun Yan sedang menunjukkan beberapa hal yang membuatnya "sangsi" dan "curiga", waktu itu sang pembunuh Put-ji Tojin sedang merasa amat masgul di dalam kamarnya. Siang tadi, demi menghindari keributan dengan Siang Ngo-nio dan dipaksa oleh keadaan, terpaksa dia berjanji akan bertemu dengan perempuan itu pada malam nanti di kompleks pemakaman. Kini bayangan rembulan telah condong ke langit barat, waktu sudah menunjukkan kentongan ke tiga.
"Malam sudah begini larut, mengapa dia belum juga munculkan diri? Mungkin kah dia tidak jadi datang?"
Sejujurnya dia sangat tidak ingin bertemu dengan Siang Ngo-nio, tapi bila malam ini dia tidak datang, besar kemungkinan besok malam akan datang juga, sekalipun besok malam, atau malam lusa dia tidak datang juga, bibit musibah masih tetap ada!
"Aaaai, yang harus datang biarlah segera datang! Dengan begitu urusan pun segera dapat terselesaikan!"
Pada saat pikirannya sedang kalut itulah, tiba-tiba terdengar seseorang tertawa merdu sambil berseru, "Maaf, aku harus membuatmu menunggu cukup lama!" Tidak salah, yang akan datang akhirnya datang juga, Siang Ngo-nio telah muncul dihadapannya!
"Ngo-nio, dengarkan aku....” seru Put-ji. Dia ingin berusaha untuk terakhir kalinya untuk membujuk perempuan itu agar pergi meninggalkan dirinya. Tapi bila dia tetap bersikeras ingin merecokinya, maka satu-satunya jalan adalah menggunakan segala cara untuk menyelesaikan masalah ini secepatnya. Tapi Siang Ngo-nio bukan saja tidak mau menuruti bujukannya, bahkan dengan gelisah berseru, "Tidak bisa menunggu lagi, cepat pergi, cepat pergi!"
"Kau pergilah sendiri!" Tiba-tiba Siang Ngo-nio menunjukkan mimik muka yang sangat aneh, seakan sangat mengkhawatirkan keselamatannya, tapi seperti juga membawa nada ejekan dan sindiran, seolah mara bahaya sedang mengancam jiwanya.
"Kau keliru besar, kali ini kau harus pergi dari sini!" Put-ji Tojin ingin sekali mendorong perempuan itu, tapi ingatan lain segera melintas, dia merasa belum waktunya untuk ribut dengan perempuan ini, terpaksa sambil menahan sabar dia bertanya, "Kenapa?"
"Kau benar benar amat tolol,” sengaja Siang Ngo-nio menunjukkan senyum tidak senyum, "kita telah melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya kita lakukan, masa tidak mau kabur?"
Put-ji Tojin salah mengartikan ucapan itu, sambil menarik muka tegurnya, "Bicaralah yang benar!"
"Aku sedang bicara benar dan serius, tahukah kau, bocah muda itu sudah kembali!"
"Bocah muda mana yang kau maksud?"
"Tentu saja bocah muda yang kau cintai, tapi juga paling kau takuti. Bocah itu mempunyai dendam kesumat sedalam lautan denganmu, coba bayangkan saja, kecuali dia tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya, kalau tidak apakah tidak mungkin dia menyusul kemari untuk mencari balas terhadapmu?"
Ucapan itu dengan telak menyinggung penyakit hati Put-ji, persoalan inilah yang selama beberapa hari terakhir menghantui pikiran dan perasaan hatinya. Dia pernah berniat akan menyatakan penyesalannya di hadapan anak angkatnya itu, mengaku semua perbuatannya secara terus terang; dia pun pernah berpikir untuk memanfaatkan hubungan perasaan anak angkat terhadapnya untuk mengarang sebuah cerita bohong dan melanjutkan usahanya untuk mengelabuhi bocah itu. Bahkan diapun pernah berpikir, bilamana keadaan terpaksa, dia lebih suka mengorbankan orang lain dari pada dirinya terjerumus dalam rasa malu karena namanya ternoda dan tercemar. Untuk beberapa saat pikiran itu berada diatas angin, tapi beberapa saat kemudian pikiran lain yang berada diatas angin, hingga detik ini dia masih tetap ragu dan tidak berani mengambil keputusan. "Sebagai seorang lelaki, kau harus segera mengambil keputusan,” ujar Siang Ngo-nio, "mumpung bocah itu belum tiba, kalau sekarang tidak pergi, kau hendak menunggu sampai kapan lagi?"
Put-ji Tojin masih tetap sangsi, tapi Siang Ngo-nio sempat menariknya untuk kabur beberapa langkah meninggalkan tempat itu. Pada saat itulah mendadak terdengar suara seseorang menghardik dengan nada gemetar, "Put-ji, kau masih ingin melarikan diri?" Biarpun suaranya agak gemetar, namun nadanya dingin dan kaku sekali. Satu lagi, yang harus datang akhirnya datang juga. Put-ji Tojin merasakan hatinya tergoncang keras, tanpa sadar dia menghentikan langkahnya. Orang yang muncul persis dihadapannya saat ini tidak lain adalah anak angkatnya, Keng Giok-keng!
"Keng-ji, kau....” Dialah yang menyaksikan Keng Giok-keng lahir ke dunia ini, aaai.... dari situlah panggilan "Keng-ji" berasal.
"Kau masih memanggil aku Keng-ji? Aku telah mengetahui segala sesuatunya!" kata Keng Giok-keng sambil menggigit bibir.
Put-ji Tojin menghela napas panjang. "Aku pun tahu, hari seperti ini akhirnya pasti akan tiba juga, tapi tidak mengira datang dengan begitu cepat! Anak.... anak Keng.... apa yang ingin kau lakukan?"
"Jadi kaupun tahu kalau telah melakukan perbuatan yang sangat memalukan?"
"Betul! Setelah kejadian ini, aku sempat merasa menyesal, akan tetapi....”
"Jangan tapi-tapian!" bentak Keng Giok-keng, "aku hanya ingin bertanya kepadamu, mengapa kau bunuh ayah ibuku?" Pucat pias wajah Put-ji bagaikan mayat, katanya gemetar, "Peristiwa itu terjadi pada delapan belas tahun berselang, aku tidak tahu harus mulai bicara dari mana....” Dia menyangka "ayah ibu" yang dimaksud Keng Giok-keng adalah orang tua kandungnya, oleh sebab itu begitu buka suara dia langsung menyinggung soal peristiwa pada "delapan belas tahun berselang.”
Mana dia tahu kalau perkataan itu sama halnya telah mengakui semua perbuatannya. Setelah melakukan perjalanan ke Liauw-tong kali ini, Keng Giok-keng berhasil mengumpulkan banyak data dan keterangan dari pelbagai pihak tentang kejadian di masa lampau, dari semua keterangan tersebut sudah timbul perasaan curiga di hati kecilnya. Tapi sekarang, setelah mendengar sendiri pengakuan yang langsung muncul dari mulut Put-ji, yang mana semakin membuktikan kalau Put-ji lah sang pembunuh yang telah mencelakai ayah ibu kandungnya, dia merasakan hatinya bergoncang keras, begitu terpukul batinnya yang membuat dia jadi sedih bercampur gusar.
"Hmm, kau tidak tahu harus berbicara dari mana? Apakah ingin mengarang cerita bohong lagi untuk menipuku? Ingat, aku sudah bukan bocah berusia tiga tahun, mau mengaku mau tidak, aku tetap akan menuntut keadilan darimu!" Sinar berapi-api serasa memancar keluar dari sepasang mata Keng Giok-keng, nada ucapannya dingin, tajam dan tanpa perasaan. Tiba-tiba Siang Ngo-nio menimbrung, "Ceng-kim, kalau kau tidak tahu bagaimana harus berbicara, biar aku mewakilimu untuk menjawab. Sederhana sekali, bila kau tidak bisa mengendalikan diri, langit dan bumi akan memusnahkan dirimu!" Put-ji Tojin menghela napas panjang. "Benar,” sahutnya, "dalam peristiwa ini, aku memang terdorong oleh perasaan egois, tapi dibalik ke semuanya ini terselip pula banyak kesalahpahaman!"
Keng Giok-keng tidak kuasa menahan diri lagi, tiba-tiba bentaknya nyaring, "Kau telah membunuh ayah dan ibu yang telah memeliharaku selama ini, apakah kejadian inipun sebuah kesalah-pahaman?" Put-ji Tojin kelihatan sangat terkejut, jeritnya, "Apa.... apa kau bilang?"
"Kau masih ingin menyangkal?" kembali Keng Giok-keng membentak, "mengingat kau pernah memelihara dan membesarkan aku, bunuhlah dirimu sendiri! Kalau tidak, jangan salahkan aku....” Tangannya sudah mulai menggenggam gagang pedang. Tiba-tiba Siang Ngo-nio mengayunkan tangannya, segenggam jarum beracun segera dilontarkan ke depan, bentaknya, "Ceng-kim, kejadian telah berkembang jadi begini, bila kau tidak membunuhnya, dialah yang akan membunuhmu! Cepat turun tangan membunuhnya!"
Sejak awal Keng Giok-keng sudah membuat persiapan, begitu jarum Lebah hijau dari Siang Ngo-nio meluncur ke arahnya, dia segera mengibaskan pedangnya menciptakan selapis cahaya yang segera menghancur lumatkan jarum-jarum itu. Sejak mencabut pedang, melambung sampai melancarkan serangan semua dilakukan bersamaan waktu, jurus serangan yang digunakan tidak lain adalah Pek-hok-liang-ci, jurus yang diajarkan Put-ji. Maksud tujuannya adalah ingin menunjukkan kepada ayah angkatnya bahwa jurus Thay-kek-kiam-hoat yang dia ajarkan itu sama sekali tidak berguna. Dia ingin melihat bagaimana reaksi dari ayah angkatnya itu. Dalam situasi yang amat kritis itu, Put-ji Tojin merasa kegirangan setengah mati setelah menyaksikan bocah itu mengeluarkan jurus serangan ajarannya.
"Untung aku telah menyiapkan hal ini untuk mengantisipasi hal hal yang tidak diinginkan!" demikian dia berpikir (GB15).
Tanpa berpikir panjang lagi dia segera membalas dengan menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci yang asli. Begitu dilancarkan, gerak pedangnya melambung di udara bagaikan burung bangau sedang mementang sayap. Tapi sayang gerakan yang dilakukan Keng Giok-keng terlampau melebar, meskipun sangat indah dipandang namun bila digunakan dalam pertarungan nyata, jelas terbuka sebuah titik kelemahan yang sangat besar. Dengan gerakan sangat cepat ujung pedang Put-ji menusuk masuk ke dalam titik kelemahan dari Keng Giok-keng, asal dia menusukkan pedangnya dengan sepenuh tenaga, maka ujung pedang akan segera menghujam di atas dadanya. Pada detik itulah Put-ji merasakan jantungnya berdebar keras, pikirnya, 'Mana boleh kulukai bocah ini?' Buru-buru dia menarik kembali berapa bagian tenaganya, ujung pedangnya segera dicongkel perlahan, maksudnya ingin menotok beberapa buah jalan darahnya agar bocah itu tidak mampu berkutik. Siapa tahu biarpun jalan pikirannya bergerak cepat, gerakan Keng Giok-keng jauh lebih cepat lagi. Bocah itu berani menggunakan jurus palsu untuk menjebak ayah angkatnya, tentu saja karena dia punya keyakinan untuk menghadapi perubahan tersebut, begitu menyaksikan pedang Put-ji telah menusuk masuk ke bagian tubuhnya yang terbuka, tentu saja dia tidak berani ambil resiko, cepat jurus sesungguhnya dia gunakan. Saat itu kemampuan ilmu pedang Put-ji belum sempat mencapai taraf pengendalian sesuai dengan jalan pikiran, terdengar....”Traaaang!" tahu-tahu pedangnya sudah terpapas kutung jadi dua bagian.
Tapi bersamaan waktu perasaan hati Keng Giok-keng pun sedikit tergerak, timbul setitik keraguan di hatinya. Sampai dimana kemampuan tenaga dalam yang dimiliki ayah angkatnya, tentu saja dia tahu dengan pasti, sekalipun ilmu pedangnya masih belum mampu melampaui kemampuannya, namun mustahil senjatanya bisa dikutungi dengan begitu gampang. "Jangan-jangan diapun berniat mengampuni jiwaku?" Sayang di samping mereka masih hadir si Lebah hijau Siang Ngo-nio, tentu saja perempuan itu tidak akan membiarkan dia bertindak lebih jauh. Bersamaan dengan dilepasnya tiga batang paku penembus tulang, sepasang golok Wan-yo-to di tangan Siang Ngo-nio segera membacok ke arahnya bertubi-tubi. Sepasang golok yang digunakan Siang Ngo-nio itu satu panjang satu pendek, biasanya sewaktu bertarung melawan orang, golok panjangnya digunakan untuk melindungi tubuh sementara golok pendeknya dipakai untuk menyerang musuh. Tapi kini, tanpa menunggu teriakan dari Put-ji lagi, sepasang goloknya langsung diayunkan ke depan melancarkan serangan. Saat itu Keng Giok-keng telah berhasil memukul rontok dua batang jarum penembus tulang, jarum ke tiga menyambar lewat persis di atas bahunya, senjata rahasia itu berhasil dipunahkan tenaganya oleh pancaran hawa murninya, karena itu meluncur dan rontok di sisi tubuhnya. Oleh karena, pertama, perasaan hatinya tidak tenang, ke dua harus menghadapi pula senjata rahasia beracun dari Siang Ngo-nio, hampir saja tubuhnya terbacok oleh golok pendek Siang Ngo-nio. "Breeet!" terdengar suara kain yang tersambar robek, ujung bajunya telah terbabat hingga robek sebagian. Dengan cekatan Siang Ngo-nio menyelinap ke samping lalu mundur ke sisi Put-ji Tojin, tiba-tiba dia menjejalkan sebuah benda ke tangan toosu itu, kemudian teriaknya, "Kau tidak usah takut, asal kita bekerja sama, bocah itu pasti dapat teratasi, namun kau tidak boleh punya perasaan tidak tega!" Ternyata benda yang dijejalkan ke tangan Put-ji Tojin itu tidak lain adalah sebilah pedang lemas yang tergulung, rupanya jauh sebelumnya perempuan ini telah menduga sampai disitu, karenanya dia telah menyiapkan sebilah pedang pengganti untuk Put-ji Tojin.
Begitu mendengar teriakan dari Siang Ngo-nio itu, Keng Giok-keng segera berpikir lagi, "Tidak benar, sekalipun dalam jurus serangan tadi dia berniat mengampuni jiwaku, tapi bagaimana pun juga dia telah mencelakai orang tuaku, telah membunuh mati ayah dan ibu yang telah memelihara aku selama ini!"
Berpikir sampai di situ, permainan pedangnya segera dilancarkan secepat petir, dalam waktu singkat dia telah melancarkan delapan belas jurus serangan, pada mulanya tiga jurus pertama diarahkan ke tubuh Put-ji Tojin, disusul kemudian tiga jurus berikut dia menyerang ke arah Siang Ngo-nio, delapan belas jurus serangan dirangkai menjadi tiga buah lingkaran berantai. Dalam waktu yang teramat singkat, Put-ji Tojin maupun Siang Ngo-nio masing-masing telah mendapat tiga kali serangan kalap. Berhubung permainan pedangnya telah mencapai tingkat kecepatan yang luar biasa, waktu jedah baginya seolah sama sekali tidak ada, Put-ji Tojin maupun Siang Ngo-nio harus menghadapi serangan demi serangan secara bertubi-tubi tanpa berhenti. Di tengah pertempuran sengit, Keng Giok-keng dengan jurus Tay-mo-ku-yan (asap tunggal di tengah gurun) pedangnya lurus bagaikan tombak, ujung pedangnya langsung menusuk ke arah tenggorokan Put-ji Tojin.
Sadar kalau serangan itu sulit dihindari lagi, Put-ji Tojin menghela napas sambil bergumam, “Karma, karma!" Dia pun memejamkan mata sambil menunggu saat datangnya kemarian. Tapi entah mengapa, dia hanya merasakan mata pedang yang dingin bagaikan es itu seolah menyambar lewat persis dari atas kulit lebernya, tiada rasa sakit, tiada darah yang mengalir, namun Put-ji Tojin dengan bermandikan keringat dingin telah roboh terjungkal ke belakang. Dalam pada itu Keng Giok-keng sendiripun sedang menghela napas sambil berpikir, "Dia adalah musuh besar pembunuh ayahku, mengapa aku masih teringat akan budi kebaikannya? Yaa sudahlah, lebih baik kubantai dulu perempuan siluman ini!" Taktik pertarungan Keng Giok-keng segera berubah, dengan tenaga sebesar tujuh bagian dia mulai melancarkan serangan ke arah Siang Ngo-nio. Tidak selang beberapa gebrakan kemudian perempuan itu sudah dibuat keteter hebat dan kalang kabut dibuatnya.
Baru saja dia akan melancarkan serangan mematikan, tiba-tiba jalan darah Huan-tiau-hiat pada lututnya terasa linu, ujung pedangnya pun segera meleset ke samping. Perubahan yang terjadi ini sangat mendadak dan sama sekali tidak terduga oleh Keng Giok-keng sebelumnya. Berdasarkan perasaan hatinya, benda yang menyentuh lututnya adalah sejenis batu pasir yang amat lembut, tapi dia tidak tahu apakah benda tersebut benar adalah batu pasir ataukah merupakan sejenis senjata rahasia berbentuk pasir. Disangkanya senjata rahasia ini dilepas Siang Ngo-nio di saat jiwanya sedang terancam, segera pikirnya dengan terkesiap, 'Tidak kusangka kemampuan siluman perempuan ini dalam melepaskan senjata rahasia jauh diluar dugaan ku, tidak jelas dengan cara apa dia melepaskan senjata rahasianya, ternyata bukan saja aku tidak melihatnya, merasakan pun tidak.' Siang Ngo-nio sendiri yang baru lolos dari kematian merasakan hatinya tergerak, walaupun dia tidak merasa ada senjata rahasia yang datang dari luar jendela, namun dari perubahan mimik muka Keng Giokkeng, dia tahu pasti sudah terjadi sesuatu.
Tiba-tiba bentaknya, "Aku tahu kau sedang bersembunyi diluar! Hmm, kalau memang tidak ingin berjumpa denganku, tidak usah pinjam golok membunuh orang! Kau sangka dengan meminjam tangan bocah ini membunuhku, maka semua rahasiamu bakal tersimpan rapi. Hmm, terus terang saja kukatakan, sejak awal aku sudah....” Dengan teriakan tersebut, baik Keng Giok-keng maupun Put-ji Tojin segera menyangka "dia" yang dimaksud adalah Tong Ji-sianseng. Keng Giok-keng segera berpikir, "Jangan-jangan si tua bangka dari marga Tong benar-benar bersembunyi diluar? Tidak heran kalau senjata rahasia yang dia lancarkan begitu lihay dan luar biasa!" Sebaliknya Put-ji Tojin setelah merasakan terkejut bercampur girang, dia pun merasa curiga. Kalau didengar dari nada pembicaraan Siang Ngo-nio, tidak seharusnya dia bersikap sekasar itu terhadap Tong Ji-sianseng, apalagi ucapannya tentang "pinjam golok membunuh orang", hal ini semakin membuatnya tidak habis mengerti. Apalagi rahasia yang dimaksud Siang Ngo-nio, bila ditujukan untuk hubungan khususnya dengan Tong Ji-sianseng, maka seharusnya "rahasia" yang dimaksud sudah bukan merupakan sebuah rahasia lagi. Jagoan mana dalam dunia persilatan yang tidak tahu kalau Siang Ngo-nio adalah kekasih simpanannya? Lalu selain "rahasia" tersebut, mungkinkah Tong Ji-sianseng masih mempunyai "rahasia" lain yang bisa dibuat bahan ancaman? Tentu saja kecurigaan itu hanya terbatas pada pemikiran Put-ji Tojin, bagi Keng Giok-keng sendiri, pikirannya tidak secermat dan sedetil itu. Karena kuatir Siang Ngo-nio memperoleh bala bantuan yang tangguh, kuatir juga kemampuan Siang Ngo-nio dalam melepaskan senjata rahasia benar-benar di luar dugaannya, begitu lewat rasa kagetnya, dia semakin memperketat serangan yang dilancarkan, jurus pedang yang digunakan pun semakin luar biasa. Dia ingin memaksa Siang Ngo-nio keteter hebat sehingga tidak berkesempatan melepaskan senjata rahasia, andaikata senjata rahasia itu berasal dari luar pun, dia akan melakukan penjagaan yang ketat hingga serangan itu tidak tembus dari lingkaran pedangnya. Di bawah serangan yang gencar dan dahsyat, posisi Siang Ngo-nio semakin gawat, jangankan untuk meloloskan diri, kesempatan untuk berbicara pun sudah tidak punya. Suasana di luar sana masih tetap hening, sama sekali tidak nampak sesuatu gerakan. Kembali Put-ji Tojin berpikir, "Andaikata Tong Ji-sianseng berada diluar, dia seharusnya sudah masuk kemari. Berarti ucapan Ngo-nio yang ngawur dan ngaco belo itu tidak lebih hanya ingin menakut-nakuti anak Keng. Tapi gertak sambal semacam ini hanya bisa dilakukan sekali dan tidak mungkin berulang. Aaai.... andaikata Tong Tiong-san benar-benar telah datang, aku pun bisa luput dari kematian.”
Perasaan putus asa seketika mencekam perasaan hatinya, timbul sudah niatnya untuk pasrah. Jalan pikiran Keng Giok-keng sama seperti apa yang dia pikirkan, dia menduga Siang Ngo-nio hanya gertak sambal belaka, maka sambil tertawa dingin sindirnya, "Siluman perempuan, kau sudah banyak melakukan kejahatan, tidak ada orang yang bisa menolongmu lagi!"
Tenaga dalamnya segera dihimpun ke ujung pedang, jurus serangan dilancarkan secepat petir, kali ini dia lancarkan serangan mematikan!
"Traaang....!" golok panjang pelindung tubuh Siang Ngo-nio telah terpapas kutung jadi dua bagian. Ujung pedang Keng Giok-keng yang tajam tahu-tahu sudah berada di depan dadanya. Put-ji Tojin berseru kaget, tanpa memperdulikan keselamatan sendiri dia getar pedang lemasnya hingga tegak lurus lalu secara tiba-tiba menggulung ujung pedang Keng Giok-keng. Keng Giok-keng mendengus dingin, dengan jurus Hun-hui-sam-uh (barisan awan menari-nari) yang disertai tenaga dalam dia babat pedang lemas di tangan Put-ji Tojin hingga patah jadi dua bagian. Dimana pedang itu menyambar lewat, bahu kanan tosu itu segera terbacok hingga muncul luka yang sangat dalam. "Anak Keng,” dengan wajah pucat pias Put-ji menghardik, "bila kau menginginkan nyawaku, segera akan kuserahkan, tapi dengarkan dulu sepatah dua patah perkataanku!" Keng Giok-keng membungkam tanpa bicara, walaupun pedang itu masih terarah ke tubuhnya, namun ujung pedangnya telah ditarik mundur dua inci dari tenggorokannya. Kelihatannya Siang Ngo-nio tidak setakut tosu itu, bahkan secara tiba-tiba dia tertawa terkekeh, ujarnya, "Ceng-kim, ternyata kau memang baik kepadaku. Cukup berharga bagiku untuk mati bersamamu. Baik, mari kita beradu nyawa dengan bocah keparat ini!"
Begitu selesai bicara, tiba-tiba dia membusungkan dadanya, pakaian luar yang dikenakan tiba-tiba terbuka lebar, kemudian dengan gerakan yang paling cepat dia melepaskan tiga buah kancing dari pakaian itu. Ke tiga kancing itu berwarna tembaga, sekilas pandang dapat dilihat kalau terbuat dari bahan logam. Namun Put-ji Tojin tahu kalau kancing itu merupakan senjata rahasia yang amat dahsyat, disebut Lui-hwee-tan (peluru api guntur). Di dalam kancing itu tersimpan bahan peledak berkekuatan tinggi, andaikata ke tiga biji kancing Lui-hwee-tan itu sampai meledak berbarengan, biarpun memiliki ilmu silat yang lebih hebat pun tubuh bakal terpisah hingga hancur berkeping keping. Tapi saat ini Keng Giok-keng berdiri saling berhadapan dengan mereka, andaikata peluru Lui-hwee-tan itu meledak, tentu saja bukan Keng Giok-keng seorang yang tewas, tapi seperti yang dikatakan Siang Ngo-nio tadi: mereka akan mati bersama! Keng Giok-keng tidak mengetahui kalau senjata rahasia itu merupakan senjata rahasia paling dahsyat dari keluarga Tong, dia jadi bingung dan tidak habis mengerti ketika melihat perempuan itu melepaskan pakaian luarnya, dengan gusar segera umpatnya, "Perempuan siluman yang tidak tahu malu, kematian sudah didepan mata pun masih ingin bermain busuk?"
Siang Ngo-nio tertawa dingin, baru saja dia akan melemparkan peluru lui-hwee-tan itu, mendadak pergelangan tangannya terasa mengencang, suatu perubahan yang sama sekali tidak terduga telah terjadi. Rupanya diluar dugaan Put-ji Tojin telah turun tangan, dengan satu gerakan kilat tiba-tiba dia merebut ke tiga butir Lui-hwee-tan itu dari genggamannya. Saat itu seluruh konsentrasi Siang Ngo-nio hanya tertuju untuk menghadapi lawan, mimpi pun dia tidak menyangka kalau kekasihnya bakal menyergap dirinya.
Agak tertegun dia pun berteriak, "Hey, mau apa kau?" Disangkanya karena terdesak oleh anak angkatnya, timbul rasa benci dihati tosu itu hingga ingin meledakkan sendiri Keng Giok-keng. Karena dianggapnya dengan cara apapun toh hasilnya mati juga, maka perempuan itupun tidak melakukan tindakan lebih jauh. Lagi-lagi satu kejadian di luar dugaan berlangsung di depan mata, ternyata Put-ji Tojin tidak melemparkan peluru Lui-hwee-tan itu, melainkan menyimpannya ke dalam saku. Bahan peledak dari Lui-hwee-tan tersimpan dalam sebuah kerangka yang terbuat dari logam, dibutuhkan tenaga benturan yang kuat untuk membuat benda itu meledak, andaikata tidak dilempar dengan kekuatan besar, maka benda tersebut baru akan meledak jika ditekan dengan jari tangan. Kini semua benda tadi sudah disimpan ke dalam saku, dengan sendirinya tidak mudah bagi orang lain untuk meledakkannya. Dengan perasaan heran bercampur sangsi kata Siang Ngo-nio, "Kejadian telah berkembang jadi begini rupa, apakah kau masih berat hati untuk mati?"
"Biar harus mati pun aku harus menanyakan persoalan ini hingga jelas!" sahut Put-ji Tojin.
Hingga detik itu Keng Giok-keng masih belum sadar kalau baru saja dia berjalan keluar dari pintu gerbang kematian. Dengan pandangan bingung, tidak habis mengerti dia awasi kedua orang itu. Terdengar Put-ji Tojin berkata lagi, "Benarkah ayah ibumu telah meninggal? Mati keracunan atau mati terbunuh?"
Sekali lagi api amarah membara di hati Keng Giok-keng, bentaknya gusar, "Kalian telah bersekongkol untuk melakukannya, apakah masih menyangkal?"
"Oooh, kalau begitu mereka keracunan lebih dulu kemudian baru dibunuh?" Jari tangan Keng Giok-keng yang menggenggam pedang mulai tampak gemetar, jelas terjadi pergolakan emosi dihatinya, bentaknya gusar, "Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan ini kepada kalian!"
Sebagaimana diketahui, dia baru tiba di rumah setelah ayah dan ibunya mati terbunuh, menyusul kemudian dia menjumpai encinya serta Seebun Yan terkena bubuk pemabok, maka setelah Put-ji Tojin mengajukan pertanyaan itu, dia mengira ayah ibunya keracunan lebih dahulu kemudian baru mati terbunuh. Put-ji Tojin sudah berhubungan dengan Lan Kau-san hampir dua puluh tahun lamanya, tidak heran bila dia merasa tidak tega untuk turun tangan sendiri, jadi sangat masuk diakal bila dia meracuni dulu korbannya kemudian baru turun tangan menghabisi nyawanya. Sebaliknya Put-ji Tojin yang mendengar perkataan itu, disangkanya kejadian yang sebetulnya memang demikian. Dalam waktu singkat paras mukanya yang semula putih keabu-abuan kini dilapisi pula dengan warna hijau menyeramkan.
Kepada Siang Ngo-nio tiba-tiba bentaknya gusar, "Kau yang membunuh Lan Kau-san suami istri!"
"Bukan aku,” Siang Ngo-nio segera menyangkal, "tapi akupun tahu juga bukan perbuatanmu!"
"Lantas perbuatan siapa?"
"Aku tidak tahu!" sahut Siang Ngo-nio, padahal dalam hatinya dia telah menduga seseorang, namun dia masih menyimpan secerca harapan, karena itu tidak berani menyebutkan nama orang itu secara terus terang.
"Tentu saja bukan aku,” seru Put-ji Tojin sambil tertawa dingin, "tapi kau pun jangan harap bisa berkelit!" Siang Ngo-nio melototkan sepasang matanya bulat bulat, mendadak perasaan gusar menyelimuti wajahnya.
Tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya tertawa terbahak-bahak, teriaknya, "Ko Ceng-kim, kau ingin aku memikul tanggung jawab ini seorang diri! Ha-ha-haha.... Keng Giok-keng, dengarkan baik-baik, aku akan mengakui semua kesalahanku. Apa yang kau katakan benar, memang aku bekerja sama dengan gurumu yang telah membunuh ayah dan ibumu!"
Perempuan ini menyangka Put-ji Tojin akan mengkhianatinya agar bisa bertahan hidup, dalam gusar dan emosinya, dia pun langsung menggigit Put-ji Tojin dan menyeretnya ke dalam kasus pembunuhan ini.
"Perempuan racun, kau benar-benar keji!" umpat Put-ji Tojin gusar, dia segera mengangkat kurungan pedangnya dan langsung dihujamkan ke dada Siang Ngo-nio. Perubahan yang terjadi sama sekali di luar dugaan Keng Giok-keng, tapi perubahan yang kemudian menyusul semakin membuatnya melengak. Di saat yang kritis itulah tiba-tiba terdengar suara dentingan nyaring bergema memecahkan keheningan, "Triiiing!" sebiji baru tahu-tahu melesat masuk dari luar jendela dan merontokkan kutungan pedang di tangan Put-ji Tojin. Bersamaan dengan rontokkan kutungan pedang itu, sebutir batu lain memadamkan api lentera dalam ruangan, seketika ruang kamar itu berubah jadi gelap gulita, sedemikian gelap hingga sukar melihat ke lima jari tangan sendiri.
Saat itu Keng Giok-keng telah membuat persiapan, buru-buru dia tempelkan tubuhnya ke sudut dinding, pedangnya diputar untuk melindungi tubuh. Asal senjata rahasia tidak ditujukan ke tubuhnya, dia pun enggan ambil peduli atas keselamatan Put-ji Tojin serta Siang Ngo-nio. Di balik kegelapan malam, terdengar lagi suara desingan tajam membelah bumi, terlihat seutas tali menyambar masuk dari luar jendela, tiba-tiba tali itu menggulung tubuh Siang Ngo-nio kemudian membetotnya keluar dari ruangan. Semua perubahan yang terjadi diluar dugaan ini berlangsung dalam waktu singkat, menanti mereka sadar akan apa yang telah terjadi, suasana di luar sana sudah pulih dalam keheningan dan tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Keng Giok-keng dapat menduga kalau orang yang telah selamatkan nyawa Siang Ngo-nio adalah Tong Tiong-san, dia pernah merasakan kelihayan senjata rahasia dari Tong Ji-sianseng ini, apalagi saat ini mereka berada dalam kegelapan, menimbang untung rugi yang harus dihadapi, maka sementara waktu dia memilih untuk berdiam diri dan membiarkan perempuan siluman itu kabur. Perlu diketahui, dalam pandangan bocah ini, sekeji-kejinya Siang Ngo-nio, perempuan itu tidak lebih hanya pembunuh pembantu, sebagai dalang dari semua pembunuhan ini tetap adalah Put-ji Tojin. Dia mencoba untuk mengatur pernapasan, selang berapa saat kemudian dari balik kegelapan baru terdengar suara Put-ji, "Anak Keng, percayalah padaku, bukan aku yang membunuh ayah dan ibu angkatmu!"
"Bagaimana dengan orang tua kandungku?" Keng Giok-keng balik bertanya. Put-ji Tojin menghela napas panjang. "Benar, akulah yang membunuh ayah kandung-mu, meski ibu kandungmu bukan mati ditanganku, namun diapun mati lantaran aku. Selama banyak tahun belakang, hampir setiap hari setiap malam aku merasa menyesal, menyesali perbuatanku yang telah salah membunuh mereka berdua!"
"Salah membunuh?" jengek Keng Giok-keng sambil tertawa dingin, "telah banyak tahun kau membohongi aku, sekarang tidak perlu berbohong lagi dengan mengarang pelbagai cerita!"
"Aku tahu kau tidak bakal percaya lagi dengan diriku,” sahut Put-ji Tojin pilu, "kesemuanya ini memang gara-gara rasa egoisku yang menyebabkan aku melakukan kesalahan besar, oleh karena itu aku tidak ingin memberi penjelasan apa pun, bukankah kau menginginkan aku menghabisi diriku sendiri? Tadi aku memang berpikir akan bunuh diri begitu berhasil menghabisi perempuan jahat itu, sayang keinginanku tidak terkabulkan.”
"Aku pasti akan mencari perempuan siluman itu untuk membuat perhitungan dengannya,” kata Keng Giok-keng dingin, "kini meski dia telah pergi, bukankah masih ada kau!"
"Keng-ji, aku pasti akan mengabulkan permintaanmu,” janji Put-ji Tojin pedih, "tapi sebelum mati, aku masih ada sebuah permintaan lagi.”
"Katakan, asal dapat kulakukan.”
"Silahkan sulut lampu lentera, biar aku dapat mengamati wajahmu sekali lagi!" Keng Giok-keng menyangka dia masih ada tugas lain yang belum sempat diselesaikan, sama sekali tidak disangka ternyata "permintaan" nya hanya ingin melihatnya sekejap lagi.
Perasaan budi dan dendam seketika berkecamuk dalam dadanya, membuat perasaan hatinya bergejolak keras, begitu emosinya bocah ini hingga jari tangan pun ikut gemetar keras, sudah tiga kali dia menggesekkan batu api sebelum lampu lentera itu dapat tersulut kembali. Dengan pandangan kosong Put-ji Tojin mengamati wajah bocah itu, katanya kemudian dengan sedih, "Bagus, kini kau telah tumbuh dewasa, ilmu silatmu sudah jauh diatas kemampuanku, kau tidak butuh perawatan aku lagi. Anak Keng, terima kasih kau telah mengabulkan permintaanku, ketika ibumu menyerahkan kau ke tanganku, aku telah berjanji akan merawatmu baik-baik, dan kini aku telah memenuhi pengharapannya, inilah saatku untuk melepaskan beban ini.”
Setiap patah kata yang dia ucapkan nyaris disampaikan dengan lelehan air mata, ketika menyelesaikan perkataan itu dia segera mengangkat kutungan pedangnya dan perlahan-lahan dihujamkan ke ulu hatinya. Keng Giok-keng hanya berdiri di samping bagaikan patung kayu, perasaan hatinya saat itu menggelora kencang. Mati hidup Put-ji Tojin boleh dibilang tergantung keputusannya saat itu, terhadap musuh besar pembunuh ayah kandungnya, tapi sekaligus merupakan ayah angkat yang telah mendidik dan memeliharanya selama ini, dia merasa bingung dan ragu untuk mengambil keputusan, apakah dibiarkan tetap hidup? Ataukah membiarkan dia bunuh diri di depan matanya?
Ooo)*(ooO
Siang Ngo-nio dililit dengan seutas tali panjang dan ditarik keluar, sungguh besar kekuatan yang dimiliki orang itu, sambil memegang ujung tali yang lain, dia menggantung perempuan itu dan membawanya lari kencang. Akhirnya Siang Ngo-nio tidak kuasa menahan diri lagi, teriaknya keras keras, "Bouw Ciong-long, aku tahu pasti kau. Apakah belum cukup kau menyiksa diriku? Cepat lepaskan aku!"
Sepanjang perjalanan dia belum sempat melihat raut wajah orang itu, lalu atas dasar apa dia begitu yakin kalau orang itu adalah Bouw Ciong-long? Tentu saja ada alasannya! Bouw It-yu pernah berjanji akan berusaha mengajaknya menemui ayahnya, Bouw Ciong-long yang kini telah menjadi Bu-beng Cinjin, ketua Bu-tong-pay yang baru. Bouw Ciong-long adalah bekas kekasihnya di masa lampau.
Tempat yang dijanjikan Bouw It-yu adalah hutan pohon Siong di belakang rumah kediaman Lan Kau-san. Waktu yang dijanjikan adalah pada kentongan ke tiga, sejak kentongan ke dua dia sudah menanti kedatangannya di sana. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam pertemuan ini, pertama, Bouw It-yu muncul seorang diri sambil membawa berita untuknya, atau kemungkinan kedua Bouw Ciong-long akan datang sendiri untuk bertemu dengannya. Siapa tahu yang dia jumpai justru satu peristiwa yang sama sekali di luar dugaannya. Dia telah mendengar suara dari Put-ji Tojin, meski hal ini bukan sesuatu kejadian yang aneh, tapi yang lebih aneh lagi adalah dia telah mendengar suara "diri sendiri".
Saat itu dia mendengar suara "sendiri" sedang bertanya kepada Put-ji Tojin, "Apakah semua persoalan telah dibereskan?" Terdengar suara Put-ji Tojin menyahut sambil menghela napas, "Sebenarnya aku tidak ingin melakukan perbuatan ini, aaai, semuanya gara-gara kau.” Menyusul kemudian dia mendengar suara "sendiri" kembali menyindir, "Hmm, gara-gara aku? Enak benar kau bicara sembarangan. Memangnya kau tidak takut bocah itu kembali dan mengetahui kejadian yang sebenarnya?" Yang dia dengar saat itu adalah suara dua orang, tapi yang terlihat keluar dari rumah Lan Kau-san hanya sesosok bayangan hitam, orang itu berlari masuk ke dalam hutan pohon Siong.
Saking takutnya Siang Ngo-nio menahan napas sambil bertiarap di tengah semak belukar, dia tidak berani berkutik walau sedikitpun. Untung orang itu tidak menemukan tempat persembunyiannya, dia hanya lewat dari jarak tidak jauh dari tempatnya bersembunyi dan berlalu dari situ. Orang itu sebentar menirukan logat Put-ji Tojin, sebentar lagi menirukan logat dirinya, bahkan gaya bahasa serta nada suaranya ditiru sangat persis, seakan kuatir kalau orang lain tidak tahu bahwa "mereka" adalah Put-ji Tojin serta Siang Ngo-nio. Orang itu berlagak seolah ada dua orang sedang bertanya jawab, tidak lama kemudian suara itu tidak kedengaran lagi. Tentu saja bayangan tubuhnya juga ikut lenyap.
Siang Ngo-nio bertiarap dibalik semak belukar tanpa berani berkutik, tentu saja diapun tidak berani mengintip siapa gerangan orang itu. Namun meski tidak bisa dilihat dengan mata, dia dapat berpikir dengan hati, dan begitu berpikir diapun segera tahu siapakah orang itu. Biarpun hanya beberapa kecap kata orang itu yang dia dengar, namun segala sesuatunya dia sudah paham. Orang yang punya janji dengannya adalah Bouw It-yu, berarti orang itu kalau bukan Bouw It-yu pastilah ayahnya, Bouw Ciong-long. Tapi Bouw It-yu tidak memiliki ilmu meringankan tubuh sebagus itu, diapun tidak bisa menirukan logat suara orang sebagus ini, jadi perempuan ini yakin kalau orang tersebut pastilah Bouw Ciong-long.
"Sungguh tidak kusangka sepak terjang Bouw Ciong-long jauh lebih keji daripada aku, dia beraninya menyamar sebagai Put-ji untuk membunuh Lan Kau-san suami istri!" Tapi mengapa Bouw Ciong-long harus berbuat begitu? Dia adalah seorang jago kawakan dari dunia persilatan, bahkan sudah terbiasa melakukan perbuatan jahat dan keji, dengan kebiasaan sendiri dia berusaha menelusuri jalan pemikiran Bouw Ciong-long dan mencari tahu apa yang menjadi dasar pemikirannya.
"Demi melepaskan diri dariku, demi menjaga nama baiknya, ternyata dia tidak segan meminjam golok untuk membunuh orang!"
"Mungkin dia pun sudah tahu kalau antara aku dengan Put-ji pernah terjalin hubungan gelap, siasatnya meminjam golok membunuh orang boleh dibilang merupakan siasat sekali timpuk mendapat dua ekor burung!"
'Setelah Lan Kau-san suami istri ditemukan tewas di tangan Put-ji yang bersekongkol denganku, dia secara resmi dapat menghukum mati kami berdua! Bukan hanya dia, bahkan setiap anggota Bu-tong-pay punya kewajiban untuk menghabisi nyawa kami!"
Kini tinggal satu persoalan yang belum dipahami olehnya, mengapa Bouw Ciong-long harus menyamar jadi mereka berdua? Hal itu dia lakukan untuk didengarkan siapa? Dia tidak tahu kalau Lan Sui-leng dan Seebun Yan sedang tidur di rumahnya, dengan berlagak sok pintar kembali pikirnya, 'Jangan-jangan masih ada murid Bu-tong-pay yang sedang ronda malam di seputar sana?'
Tapi anehnya, sampai bayangan itu lenyap tidak berbekas, dia masih belum melihat ada orang lain memasuki rumah keluarga Lan. Tentu saja dia tidak bisa menunggu lebih jauh. Sebab terpikir olehnya, bila Bouw Ciong-long telah melaksanakan siasat pinjam golok untuk membunuh orang, sementara diapun tahu kalau dirinya bakal datang kesitu pada kentongan ke tiga. Maka saat ini dia pasti telah balik ke istana Ci-siau-kiong untuk membuat persilatan kemudian balik lagi ke sana. Bila saat itu mereka bertemu, sudah pasti Bouw Ciong-long tidak akan memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara lagi, dia pasti akan menggunakan cara tercepat untuk menghabisi nyawanya. Kemudian baru pergi membunuh Put-ji Tojin. Analisanya memang terhitung cukup cermat, Bouw Ciong-long harus berlagak seolah tidak mengetahui kejadian ini, maka dia harus kembali dulu ke istrana Ci-siau-kiong kemudian menitahkan murid Bu-tong-pay yang telah dipersiapkan (kemungkinan besar adalah Bouw It-yu) untuk melaporkan penemuan kasus berdarah di rumah keluarga Lan kepadanya. Setelah mendapat laporan itu, dia baru segera menyusul ke tempat kejadian. Sudah barang tentu waktu pun telah di perhitungkan dengan matang. Kini kentongan ke dua sudah lewat, kentongan ke tiga segera akan menjelang tiba, dia tidak bisa berdiam diri saja menunggu dirinya ditangkap dan dibunuh, oleh sebab itu dengan mengambil resiko dia segera berangkat mencari Put-ji Tojin. Dia sadar, setelah terjadi peristiwa berdarah diatas gunung Bu-tong, kendatipun Tong Tiong-san masih bersedia menerimanya, belum tentu dia sanggup menghadapi tekanan dari pihak Bu-tong-pay, lagipula dia pun merasa tidak punya muka lagi untuk kembali ke dalam pelukannya. Maka setelah berpikir pulang pergi, akhirnya dia memutuskan daripada tidak memperoleh siapa pun, apa salahnya kalau mencoba untuk merebut hati Ko Ceng-kim. Satu hal yang sama sekali tidak terduga olehnya adalah baru saja dia melangkah pergi, Keng Giok-keng telah melangkah masuk ke rumahnya. Kemudian ketika dia baru tiba di kompleks pemakaman dan baru saja akan mengajak Put-ji melarikan diri, lagi-lagi Keng Giok-keng telah tiba disana.
Masih untung di saat jiwanya terancam bahaya maut, ternyata Bouw Ciong-long telah turun tangan menyelamatkan jiwanya. Selama ini dia selalu berpikir ke arah yang terjelek, ketika secara tiba-tiba memperoleh kesempatan hidup, perempuan inipun tanpa terasa mulai berpikiran positip, pikirnya, 'Ternyata perasaan cinta Bouw Ciong-long terhadap diriku belum punah, sasarannya meminjam golok membunuh orang ternyata hanya terbatas untuk membunuh Put-ji seorang.'
Sambil menahan rasa pedih dan sakit karena kulit tubuhnya terluka oleh onak disemak, tidak tahan teriaknya, "Bouw Ciong-long, aku tahu pasti kau. Belum cukupkah kau menyiksa diriku? Cepat lepaskan aku!"
Bouw Ciong-long sama sekali tidak menuruti perkataannya, dia malah semakin diseret dengan kasarnya. Batu cadas diatas permukaan tanah langsung saja mencabik-cabik kulit tubuhnya, membuat perempuan itu semakin tersiksa dan kesakitan. "Bouw Ciong-long, kau sungguh kejam! Lebih baik bunuhlah aku!"
Bouw Ciong-long tetap tidak menjawab. Karena mengumpatpun tidak manjur, akhirnya terpaksa dia mulai merengek minta ampun, "Ciong-long, kau seharusnya tahu, yang kucintai selama ini hanya kau seorang. Karena kau tidak mau lagi denganku, maka aku berpura-pura baik dengan Ko Ceng-kim. Sekarang kau telah meminjam tangan Keng Giok-keng untuk membunuhnya, perasaan bencimu seharusnya telah mereda. Kenapa musti menyiksa aku terus-menerus? Ampunilah diriku!"
Sementara pembicaraan berlangsung, orang itu telah menyeret tubuhnya tiba di sebuah tanah datar dalam hutan pohon Siong. Mendadak orang itu menghentikan langkahnya, berpaling dan membebaskan tali yang membelenggu tubuh Siang Ngo-nio, tegurnya dingin, "Perempuan rendah, coba lihat siapa aku?"
Ternyata orang yang sedang mengawasinya dengan mata melotot itu bukan Bouw Ciong-long, melainkan Tong Tiong-san!
Dengan begitu semua analisa yang dilakukan olehnya selama ini adalah salah besar! Tapi hal inipun bukan kesalahannya, sebab dia tahu Tong Tiong-san adalah seseorang yang tinggi gengsinya, bagaimanapun dia tidak akan menyangka kalau Tong Tiong-san bisa menebalkan muka untuk menguntitnya sampai di gunung Bu-tong. "Bagus sekali, yang kucintai selama ini hanya kau seorang! Tapi sayang aku bukanlah Bouw Ciong-long yang kau dambakan selama ini, tentunya kau merasa amat kecewa bukan?" ujar Tong Tiong-san dengan suara dingin.
"Yang kucintai selama ini hanya kau seorang", perkataan ini bukan saja diutarakan dengan lagak Siang Ngo-nio, bahkan suara, dialek serta gayanya tidak jauh berbeda. "Perempuan hina, apa lagi yang hendak kau katakan?" sambil melepaskan tali yang membelenggu tubuhnya, Tong Tiong-san membanting tubuh perempuan itu keras-keras. Dalam keadaan begini, Siang Ngo-nio benar-benar mati kutunya, bukan saja tidak dapat menjawab, berkutik pun tidak bisa. Akhirnya diapun mengeluarkan senjata ampuhnya yang terakhir: air mata dan teriakan manja. Tiba-tiba dia menangis menjerit, sambil berguling ke samping Tong Tiong-san, merangkul sepasang kakinya kuat-kuat, rengeknya, "Loya, aku telah berbuat salah kepadamu, bunuhlah aku!"
Tong Tiong-san telah mengangkat tinggi telapak tangannya, dia sudah siap menghajar ubun-ubunnya, namun di bawah sinar rembulan, dia menyaksikan perempuan itu menangis dengan begitu sedihnya, wajahnya yang cantik penuh berderai air mata, membuat hatinya tiba-tiba terenyuh, mana tega dia melanjutkan pukulannya?
"Hmm, membunuhmu? Bukankah kalau mati malah keenakan untuk kau perempuan sundal!" Biarpun nada suaranya tetap keras dan penuh amarah, namun Siang Ngo-nio telah mendengar kalau kesempatan hidupnya kembali muncul.
"Loya, aku memang membuatmu gusar, biar mati seribu kalipun tidak bisa menebus kesalahan ini. Loya, aku tahu salah, aku rela kau jatuhi hukuman, mau membunuhku terserah, mau menyiksaku setiap hari aku pun rela....” Sambil memeluk sepasang kakinya, dia tempelkan wajahnya di atas kaki orang itu. Diam-diam Tong Tiong-san menghela napas panjang, dia segera menarik bangun Siang Ngo-nio, dengan wajah tetap dingin ujarnya, "Kau perempuan hina selalu bikin hatiku marah, tapi Bouw Ciong-long lebih memuakkan lagi! Hmm, sudah tahu kau adalah orangku, masih beraninya mengajak kau berselingkuh. Kurangajar, aku tidak akan melepaskan dia dengan begitu saja!"
"Loya....” seru Siang Ngo-nio sambil menangis tersedu, "aku memang dirayu olehnya, tapi akupun punya kesalahan. Bila ingin membunuh, bunuhlah aku saja, kau jangan menantang duel Bouw Ciong-long!"
"Oooh, jadi kau sedang mintakan ampun?"
"Loya-cu, aku berbuat demikian demi dirimu! Aku tahu ilmu silatmu jauh lebih hebat daripada Bouw Ciong-long, tapi saat ini kita sedang berada di gunung Bu-tong! Bila aku telah membuatmu gusar, biar matipun aku tidak akan menyesal, tapi bila gara-gara urusanku hingga menyusahkan loya, aku.... biar aku mati seribu kali lagi pun tidak akan bisa menebus dosa ini!"
Perhitungan sipoa perempuan ini memang sangat hebat, bila Tong Tiong-san termakan oleh perkataannya hingga menantang Bouw Ciong-long untuk berduel, inilah kejadian yang sangat dia harapkan. Sebaliknya bila Tong Tiong-san tidak berani pergi, sudah pasti dia akan berterima kasih atas "perhatian" nya.
Padahal Tong Tiong-san sendiripun sadar, dia tahu kalau ilmu silat yang dimiliki Bouw Ciong-long masih jauh di atas kemampuannya. Oleh sebab itu kendatipun dia marah dan benar-benar ingin membalas dendam, hal tersebut tidak akan dilakukannya dengan gegabah. Perlahan-lahan dia mendongakkan kepalanya melihat posisi rembulan, lalu tanyanya, "Jam berapa pertemuan mu dengan Bouw It-yu?"
"Pada kentongan ke tiga,” sahut Siang Ngo-nio setelah tertegun sejenak.
Kini rembulan persis diatas awang-awang, berarti kentongan ke tiga telah menjelang. Tong Tiong-san tertawa dingin, dia membalikkan tubuh dan sekali lagi berjalan menuju hutan pohon Siong di belakang rumah Lan Kau-san. Senyuman yang tersungging diujung bibirnya amat dingin, sepasang alis matanya berkenyit, sorot matanya dingin bagai es. Begitu seram wajahnya membuat si Lebah hijau Siang Ngo-nio yang sudah tersohor karena kekejamannya pun bergidik dibuatnya. Mau apa dia berjalan balik ke rumah keluarga Lan? Bagaimana keadaan rumah keluarga Lan saat itu? Lan Sui-leng dan Seebun Yan sudah dapat bergerak, tenaga dalam mereka perlahan-lahan pulih kembali. Peristiwa yang barusan terjadi merupakan peristiwa yang paling menggoncangkan hati Lan Sui-leng selama hidupnya, tapi setelah mengalami goncangan tersebut, dia pun tahu, saat ini dia butuh ketenangan untuk memulihkan kembali kondisinya. "Aaah, salah!" tiba-tiba Seebun Yan berbisik. "Apa yang salah?"
"Kedua orang itu sama-sama tidak beres!”
“Bagaimana tidak beresnya?"
"Suara pertama tidak benar, suara dari Siang Ngo-nio kabur dan tidak jelas, sementara suara dari Put-ji berat dan sengau, seperti orang yang sedang sakit flu berat dan tersumbat hidungnya.”
"Suara Siang Ngo-nio berasal dari tempat kejauhan, tidak aneh bila suaranya tidak jelas.”
"Lalu bagaimana dengan penjelasanmu tentang suara Put-ji yang berubah?"
"Atau mungkin dia benar-benar sedang terserang flu?" "Bagaimana keadaan cuaca hari ini?"
"Apa maksudmu menanyakan hal ini?" tanya Lan Sui-leng setelah agak tertegun, "sejak pagi tadi langit sangat cerah, tentu saja tidak bisa dikatakan cuaca jelek.”
"Tepat sekali, bukankah pagi tadi kau sempat berbincang dengan Put-ji? Apakah waktu itu dia sudah terserang flu? Cuaca sama sekali tidak berubah jadi buruk, lagipula dia adalah seorang yang berlatih silat, mana mungkin secara tiba-tiba bisa terserang masuk angin? Lan Sui-leng mulai curiga, tapi katanya kemudian, "Tidak mungkin ayahku salah mengenali orang, apalagi semua pembicaraan yang mereka lakukan cukup membuktikan identitas dirinya!"
"Tidak bisa dijadikan bukti, ada satu titik kelemahan besar yang mungkin tidak kau pikirkan?"
"Titik kelemahan? Titik kelemahan apa?"
"Coba bayangkan, seandainya mereka memang benar Put-ji dan Siang Ngo-nio, mengapa kedua orang itu tidak sekalian menghabisi nyawa kita berdua?"
"Benar, siluman wanita itu tersohor karena kekejaman dan ketelengasannya, sedangkan Put-ji adalah tianglo dari Bu-tong-pay, atau mungkin mereka menyangka kita berdua sudah jatuh tidak sadarkan diri?"
"Bila orang itu benar-benar Put-ji, tujuannya melakukan pembunuhan adalah untuk menghilangkan saksi, dia pasti akan berusaha mencabut rumput hingga keakar-akarnya, buat apa mesti tinggalkan bibit bencana untuk di kemudian hari? Hmm, orang yang tampilannya sok lurus, biasanya kalau melakukan kejahatan, sepak terjang mereka biasanya jauh lebih buas dan telengas! Kalau terhadap ayah ibumu saja dia tega melakukan kekejian, mana mungkin dia akan mengampuni jiwa mu?"
Api kegusaran kembali membara di hati Lan Sui-leng, hatinya dipenuhi rasa duka dan marah, selain itu diapun merasa bimbang dan diliputi tanda tanya.
"Mengapa dia berbuat begitu?" dengan perasaan ragu bisiknya.
"Justru karena dia ingin kita berdua mendengarkan pembicaraan tersebut, agar kita tahu siapakah mereka!" Seebun Yan menerangkan. "Aku tetap tidak mengerti, kenapa....”
"Apa lagi yang tidak kau pahami? Setelah ada kau sebagai saksi, siapa lagi yang berani curiga kalau Put-ji bukan sang pembunuh!"
"Oooh, jadi dia ingin melimpahkan kejahatan ini kepada orang lain dengan menfitnah Put-ji Totiang!" seru Lan Sui-leng seakan baru menyadari akan hal itu.
"Tepat sekali, akhirnya kau paham juga.” Sekali lagi Lan Sui-leng menghela napas panjang.
"Aaaai.... kalau begitu aku telah salah menuduh Put-ji Totiang,” katanya.
"Put-ji sendiripun bukan manusia baik, hanya saja dia tidak sejahat seperti apa yang dilukiskan orang itu. Kau tidak salah menuduh dirinya.”
"Sekalipun dia jahat, tapi tidak sepantasnya menerima fitnahan yang demikian kejinya?"
"Jadi kau berniat mencegah adikmu pergi membunuhnya?"
"Orang tuaku sudah mati terbunuh, tentu saja aku tidak ingin menyusahkan mereka yang tidak bersalah. Bila aku tidak berusaha menghalanginya, mungkin sepanjang hidup adikku akan menyesal!"
"Apakah kau masih kuat untuk lari?" tanya Seebun Yan, "sekalipun kuat, aku rasa saat ini sudah terlambat. Lagipula orang itu masih mengawasi gerak-gerik kita secara diam-diam, memangnya dia akan mengijinkan kau pergi memberi kabar?"
Tenaga dalam yang dimiliki Lan Sui-leng jauh lebih cetek ketimbang Seebun Yan, kondisi tubuhnya saat ini masih lemah, sekalipun dipaksakan, paling dia hanya sanggup berjalan perlahan. Mendengar perkataan itu dia jadi putus asa bercampur duka, serunya dengan penuh kebencian, "Siapakah orang itu? Dia benar-benar amat keji.” Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar didorong orang, kemudian terlihat seseorang menerjang masuk ke dalam sambil berteriak, "Aku tahu siapakah dia!"
Begitu orang itu menerjang masuk ke ruang tidur Lan Sui-leng dan menyelesaikan perkataannya, dia sudah roboh terjungkal ke lantai. Begitu Lan Sui-leng tahu siapa orang itu, kontan saja dia menjerit kaget. ....
Tong Tiong-san menyeret tubuh Siang Ngo-nio menuju ke dalam hutan di belakang rumah keluarga Lan, tiba-tiba dia menotok jalan darah bisunya. Kemudian jagoan dari keluarga Tong ini berjongkok sambil bersandar di belakang sebatang pohon besar, dia menarik tubuh Siang Ngo-nio dan didudukkan persis dihadapannya, seolah tubuh perempuan itu dipakainya sebagai sebuah tameng. Siang Ngo-nio ketakutan setengah mati, dengan jantung berdebar keras pikirnya, 'Sialan benar tua bangka ini, entah apa yang hendak dia lakukan terhadap diriku?'
Baru berpikir sampai kesitu, dia menyaksikan rembulan telah berada di tengah angkasa, pertanda kentongan ke tiga telah tiba. Saat itulah terlihat sesosok bayangan hitam mulai muncul di tengah hutan. Yang muncul adalah Bouw It-yu, dia memang datang tepat waktu, tidak terlalu awal, tidak pula terlalu lambat. Biarpun dia datang tepat waktu, namun perasaan hatinya sangat kalut. Ada perasaan ngeri yang sama sekali tidak terduga, juga terdapat rasa terkejut dan gembira yang tidak disangka. Walau apa pun perasaan hatinya saat itu, paling tidak sebuah beban berat berhasil disingkirkan.
Biarpun ayahnya pernah melakukan kesalahan, ternyata dia tidak sejahat bayangannya semula. Walaupun dia baru berusia dua puluhan tahun, namun perasaan hati terhadap ayahnya sudah berapa kali terjadi perubahan. Sewaktu masih kecil dulu, dia menganggap ayahnya merupakan jelmaan dari seorang laki-laki sempurna, merupakan idola yang selalu dipuja dan disanjung. Kemudian dia tahu kalau ayahnya di tempat luar mempunyai seorang "Perempuan liar", ibunya mulai tersiksa, mulai terabaikan, kesepian, hidup menyendiri, sepanjang tahun selalu menyembunyikan perasaan sedihnya di dalam hati, tidak pernah dia menyalahkan ulah ayahnya dan terakhir dia mati karena sakit hati, mati dalam keadaan mengenaskan. Lambat laun dia pun mulai menemukan kalau moral dan watak ayahnya tidak sesempurna apa yang semula dia bayangkan, bahkan boleh dibilang tidak ubahnya seperti seorang kuncu gadungan, maka dia pun semakin menganggap ayahnya sebagai orang jahat. Oleh karena Siang Ngo-nio pernah mempunyai hubungan yang tidak terlalu jelas dengan ayahnya, sementara Siang Ngo-nio nyaris boleh dibilang tersangkut dalam berapa kasus berdarah yang menimpa anggota perguruannya, dia bahkan pernah menaruh curiga kalau ayahnyalah yang menjadi dalang di belakang layar yang selama ini mendukung dan melindungi semua sepak terjang Siang Ngo-nio. Sekalipun bukan dalang utama, paling tidak tersangkut erat dengan kasus tersebut.
Ketika kali ini Siang Ngo-nio memohon agar bisa dipertemukan dengan ayahnya, diapun pernah berusaha untuk berdiri diluar garis sambil memikirkan kepentingan ayahnya, dia berpendapat, bila ingin mempertahankan nama baik ayahnya sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pay, cara yang terbaik adalah berusaha merancang sebuah jebakan, kemudian menghabisi nyawa Siang Ngo-nio. Tapi hasil yang diperoleh sama sekali diluar dugaannya. Betul, saat ayahnya mengetahui persoalan ini, pada mulanya reaksi yang diberikan sangat aneh, paras mukanya berubah jadi mendung dan cerah bergantian, ini menunjukkan perasaan gusar dan tidak tenang yang mencekam hatinya. Sambil menghancurkan cawan teh yang berada dalam genggamannya, Bouw Ciong-long bertanya, "Percayakah kau dengan perkataan siluman wanita itu?" Serta merta dia pun menjawab, meski dalam hati berpendapat lain, "Tentu saja aku tidak percaya, tapi ucapan siluman wanita itu begitu tegas, dia bahkan mengatakan telah mempunyai bahan yang kuat untuk menjerumuskan ayah, justru karena punya bukti, maka dia tidak khawatir diancam. Aku tidak percaya dengannya, tapi aku kuatir orang lain....”
Baru saja dia berbicara sampai disitu, "Kraaak!" lagi-lagi ayahnya menghajar ujung cawan dengan "tangan golok"nya hingga gumpil sebagian, teriaknya, "Kau tidak percaya, orang lain pun tidak akan percaya!"
Dengan nada menyelidik diapun berkata lagi, "Bila ayah punya keyakinan, lebih baik kita....” Dia membuat gaya membacok dengan telapak tangannya. Namun ketika melihat gerakan tangannya itu, sang ayah segera gelengkan kepalanya berulang kali. Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba ayahnya menghela napas sambil berkata, "Aku ingin tahu, dalam pandanganmu, ayah adalah seorang manusia macam apa?"
Dia tidak berani segera menjawab, maka ayahnya berkata lebih lanjut, "Kau tidak perlu membohongi aku, aku telah bersalah kepada ibumu, aku cukup tahu bagaimana pandanganmu. Tapi akupun mempunyai kesulitan yang sukar diutarakan, selewat malam ini, semua masalah pasti akan kuberitahukan kepadamu.”
Saat itu dia merasa jenuh, amat muak, tampiknya, "Aku tidak ingin tahu.”
"Tapi masalah ini besar sekali pengaruhnya padamu, sekalipun kau tidak ingin tahu, aku tetap harus memberitahukan kepadamu. Hanya saja, malam ini kau harus bantu aku melakukan satu pekerjaan.”
"Jadi ayah, telah mengambil keputusan akan....”
"Tidak,” ayahnya menukas, "aku sama sekali tidak berniat untuk membunuhnya. Sekalipun dia pantas mati, namun bukan aku yang berhak membunuhnya. Dalam persoalan ini, aku.... aku pun ikut bersalah. Coba bantu aku dan lakukan.... asal begini.... dia pasti dapat enyah dari sini.”
Secara panjang lebar ayahnya merincikan tugas serta rencananya, bahkan menyerahkan sebuah benda kepadanya. Sebetulnya setiap kali teringat akan hubungan cinta ayahnya dengan Siang Ngo-nio, dia merasa muak dan ingin muntah, tapi kali ini dia dipaksa oleh keadaan sehingga terpaksa harus mengajak pulang perempuan itu ke atas gunung, untuk perbuatannya itu dia selalu merasa tidak tenang. Tapi sekarang, setelah dia harus mewakili ayahnya untuk pergi menjumpai perempuan kekasih ayahnya itu, bukan saja dia tidak merasa rikuh atau kikuk, sebaliknya dia justru merasakan hatinya ringan dan lega. Sebab sekarang boleh dikata dia benar-benar telah mengenali ayahnya, ternyata sang ayah bukanlah "nabi" yang mengenakan lingkaran cahaya diatas kepalanya, melainkan seorang manusia yang mempunyai darah daging, seseorang yang bisa menyadari kenyataan. Dalam hal ayahnya bersedia membantu Siang Ngo-nio untuk melakukan persoalan inipun dia berpendapat bahwa tindakan itu sangat cengli dan masuk diakal.
Begitu melangkah masuk ke dalam hutan dan bertemu dengan Siang Ngo-nio, dengan perasaan tidak sabar diapun berseru, "Ngo-nio, aku sampaikan sebuah berita gembira....” Waktu itu jalan darah bisu Siang Ngo-nio telah tertotok hingga tidak sanggup bicara, dengan hati berdebar pikirnya, 'Kabar gembira apa? Apakah Bouw Ciong-long telah bersedia menerima aku? Tapi mengapa ucapan semacam inipun harus diwakilkan putranya?'
Mengapa Siang Ngo-nio tidak bicara? Bouw It-yu mulai merasakan gelagat yang sedikit tak beres. Setelah agak tertegun diapun menghentikan ucapannya yang baru mencapai separuh jalan. Tapi baru saja dia berhenti bicara, terdengar Siang Ngo-nio telah berseru dengan nada marah, "Monyet cilik, kenapa bapakmu tidak ikut datang? Berita gembira apa yang hendak kau sampaikan?"
Suaranya kedengaran agak parau, tapi logat serta gaya bicaranya persis sama seperti gaya bicara Siang Ngo-nio dihari-hari biasa.
Bouw It-yu segera tertawa terbahak, katanya, "Hahahaha.... Ngo-nio, sepintar begini kau pun masa tidak bisa menebak sendiri? Baiklah, kalau begitu aku beritahu, ayah bilang, dia bersedia memenuhi keinginanmu, dia.... dia....”
Belum selesai dia berkata, tiba-tiba terdengar "Siang Ngo-nio" mendengus dingin, kemudian Bouw It-yu merasakan lututnya menjadi kaku dan kesemutan, ternyata seutas tali telah menyambar datang dan melilit pinggangnya. Dalam keadaan seperti ini, betapapun hebatnya ilmu silat yang dimiliki, sulit bagi Bouw It-yu untuk menghindarkan diri.
Tong Tiong-san benar-benar terbakar oleh api cemburu, begitu berhasil melilit tubuh Bouw It-yu dan membetotnya, tanpa memberi kesempatan lagi baginya untuk berbicara, cepat dia cekik dagu pemuda itu, membuat dia harus membuka mulutnya lebar-lebar, kemudian menjejalkan sebutir pil ke dalam mulutnya. Bouw It-yu tidak dapat melihat wajahnya, dia diseret secara kasar hingga tiba di depan rumah keluarga Lan, kemudian dilemparkan masuk ke dalam.
"Aku tahu siapakah dia,” itulah ucapan Bouw It-yu begitu tubuhnya terbanting ke atas lantai.
Tentu saja dia tak tahu kalau Lan Sui-leng dan Seebun Yan sedang membicarakan siapa pembunuhnya, Lan Sui-leng sendiripun tidak tahu apa yang diucapkan pemuda itu.
"Siapakah dia?" tanya Lan Sui-leng tanpa terasa.
"Aaah, Bouw toako, kenapa kau?" pada saat yang bersamaan Seebun Yan berteriak pula. Bouw It-yu segera merasakan kegembiraan yang sama sekali tidak terduga, pikirnya, 'Ternyata adik Yan memang khawatirkan diriku'
Meski begitu, dia menjawab pertanyaan Lan Sui-leng, "Dia adalah Tong Tiong-san!"
Seebun Yan menjerit kaget, buru-buru dia peluk tubuh pemuda itu dan bertanya dengan gemetar, "Toako, kau.... apakah kau sudah terkena racun dari keluarga Tong?" Tiba-tiba terdengar gelak tertawa yang amat menusuk telinga, menyusul kemudian terdengar Tong Ji-sianseng, jago nomor wahid dalam hal racun berkata, "Hey nona cilik dari keluarga Seebun, jangan khawatir, Toakomu tidak bakalan mampus. Yang kucekokkan ke mulutnya bukan obat racun, tapi pil dewa. Obat dewa yang dapat membuat dia merasa senang dan bahagia bagaikan para dewa! Hehehehe.... kau tidak percaya bukan? Baik, aku pun dapat membuatmu merasakan juga bagaimana nikmatnya jadi dewa!"
"Tong Ji-sianseng!" teriak Bouw It-yu, "bila kau marah kepada ayahku, cukup aku saja yang kau celakai, jangan kau ganggu lagi nona Seebun!"
Mana mungkin Tong Tiong-san mau menuruti bujukannya?
"Braaak!" terdengar suara benturan keras, tahu tahu jendela ruang tidur itu sudah terhajar oleh pukulannya hingga muncul sebuah lubang besar.
Yang pertama-tama muncul adalah seutas tali panjang, dengan kecepatan bagai sambaran petir, tali itu langsung melilit tubuh Lan Sui-leng! Waktu itu Seebun Yan masih memeluk tubuh Bouw It-yu, belum sempat dia berteriak, menyusul, lagi-lagi terjadi ledakan keras bergema dalam ruangan, kali ini suara itu berasal dari ledakan sebuah bulatan peluru, dalam waktu singkat seluruh ruangan itu telah dipenuhi asap tebal.
Sambil tertawa dingin dengan nada yang menyeramkan ujar Tong Tiong-san, "Bouw It-yu, ternyata kau cukup cekatan dan pintar, selama ini akupun amat suka denganmu. Sayang siapa suruh kau menjadi putra tunggal dari Bouw Ciong-long? Hehehe.... ayah berhutang anak musti membayar, itu baru adil namanya. Begitu juga anak perempuannya, sama-sama harus bertanggung jawab!" Perkataan yang pertama mudah sekali dipahami, tapi perkataan yang terakhir sangat membingungkan, jangankan Bouw It-yu, Siang Ngo-nio sendiripun membutuhkan waktu cukup lama sebelum dapat mengartikannya.
Ooo)*(ooO
(Bersambung ke Jilid VI)