BAB I
PENDAHULUAN
Filariasis adalah penyakit menular (Penyakit Kaki Gajah) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacatmenetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupunlaki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnyatergantung kepada orang lain sehingga memnjadi beban keluarga, masyarakat dannegara.
Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di seluruh propinsi.Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasiyang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survei laboratorium,melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berartisekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orangmempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena vektornya tersebar luas.
WHO sudah menetapkan kesepakatan global (The Global Goal of Elimination of lympatic filariasis as a public Health Problem by the year 2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan misal dengan DEC dan albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit gajah secara berthap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun.Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular : di Indonesia hingga saatini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia,Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penular penyakit kaki gajah.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan penyakit filariasis adalah penyakit endemis yang apa tidak ditangani secara cepat akan memperluas penyebaran dan penularannya kepada manusia. Oleh karena itu kita perlu mengetahui apa itu filariasis, serta hal-hal yang terkait dengannya. Berdasarkan paparan dari fakta inilah maka kami selaku penulis tertarik untuk membahas kasus mengenai penyakit filariasis ini dan sebagai pemenuhan tugas pada blok sistem imun dan hematologi. (riyanto, harun.2005).
Berdasarkan dari latar belakang masalah secara garis besar maka dapat didefinisikan permasalahan pada makalah sebagai berikut :
Mahasiswa mampu memahami konsep dan melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit filariasis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik (Depkes RI, 2005).
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai. Limfedema tungkai ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
Tingkat 1. Edema pitting pada tungkai yang  dapat kembali normal (reversibel) bila tungkai diangkat.
Tingkat 2. Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila tungkai diangkat.
Tingkat 3. Edema non pitting, tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila tungkai diangkat, kulit menjadi tebal.
Tingkat 4. Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit (elephantiasis)
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, keadaan geologis, dan sebagainya. Faktor lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor sehingga berpengaruh terhadap munculnya penularan filariasis. Lingkungan yang cocok untuk vektor akan menjadi faktor yang sangat potensial dalam transmisi filariasis. Lingkungan fisik menciptakan tempat perindukan dan tempat peristirahatan nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan nyamuk (Oemijati dan Kurniawan, 2000).
Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Lingkungan bio9logi merupakan lingkungan hayati yang mempengaruhi transmisi filariasis. Misalnya ada tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah endemis Burgia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, daerah sepanjang sungai, atau daerah badan air yang ditumbuhi tanaman air (Oemijati dan Kurniawan, 2000).
Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi manusia. Di dalam lingkungan ini termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat yang berhubungan dengan insiden filariasis adalah kebiasaan nerkebun pada malam hari, kebiasaan keluar rumah pada malam hari dan kebiasaan tidur pada malam hari. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor pada saat bekerja (Depkes RI, 2005).
Penyakit ini disebabkan oleh 3 species cacing filaria yaitu Wuchereria Bancrofti, Burgia Malayi dan Burgia Timori. Cacing ini mempunyai benang dan hidup dala tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. Infeksi cacing ini menyerang jaringan viscera, parasit ini termasuk kedalam superfamili Filaroidea, famili onchorcercidae. Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4-6 tahun dan dalam tubuh manusia cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah terutama malam hari.
Gambar 2 cacing filaria
Penyebarannya di seluruh Indonesia baik di pedesaan maupun di perkotaan. Nyamuk merupakan vektor filariasis, di Indonesia ada 23 spesies nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor dari genus mansonia, culex, anopheles, aedes dan armigeres.
Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu tergantung dari spesies dan tipenya. Di Indonesia semuanya nokturna kecuali tipe non periodik. Secara umum daur hidup ketiga spesies sama, tersebar luas di seluruh Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan habitatnya (got, sawah, rawa dan hutan).
Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga oleh reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis. Dalam proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan limfadenitis akut berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya, tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi:Â
Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia yang memerlukan waktu kira-kira 3¬7 bulan. Hanya sebagian tdari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala klinis yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan.
Selain itu, dalam manifestasi klinik dibagi menjadi dua :
Gejala klinik akut menunjukkan limfadenitis dan limfangitis yang disertai panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis masih dapat terjadi. Gejala kronis ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya.
Berdasarkan penyebabnya manifestasi klinik pada penyakit elephantiasis diantaranya:
Pada filariasis yang disebabkan Wuchereria bancrofti pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis dan orchitis. Limfadenitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari. Serangan biasanya terjadi beberapa kali dalam setahun.
Pada filariasis yang disebabkan Brugia malayi dan Brugia timori limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri, dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 kali dalam satu tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu hingga 3 bulan.
Keadaan yang sering dijumpai adalah hidrokel. Di dalam cairan hidrokel dapat ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dengan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria dapat terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan. Elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan bawah. Ukuran pembesaran ektremitas umumnya tidak melebihi 2 kali ukuran asalnya
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya kemudian menembus didinding lambung nyamuk bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250μm x 10-17μm dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300μm x 15-30μm dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium III larva menujukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium III (L3) yang berukuran 1400μm x 20μm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan 10-14 hari pada spesies Wucherer ia. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva infektif.
Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).
Menurut Depkes RI (2005), tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis yang dapat dilakukan adalah:
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Cacing filariasis menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk infektif yang mengandung larva stadium III. Gejala yang timbul berupa demam berulang-ulang 3 5 hari, demam ini dapat hilang pada saat istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat.
Gejala: Mudah lelah, intoleransi aktivitas, perubahan pola tidur.
Tanda: Kelemahan otot umumnya massa otot, respon fisiologi aktivitas (perubahan TD, frekuensi jantung).
Gejala: stress berhubungan dengan perubahan fisik, mengkhawatirkan penampilan, putus asa
Tanda: cemas, depresi, menarik diri, marah.
Tanda: Kering, gatal, lesi, bernanah, bengkak, trugor jelek
Gejala: anoreksia, permeabilitas cairan
Tanda: trugur kulit buruk, edema.
Gejala: tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda: penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri
Gejala: pusing, perubahan status mental, kerusakan status indera peraba, kelemahan otot.
Tanda: ansietas, reflek tidak normal.
Gejala: rasa terbakar, sakit kepala, nyeri pada bagian tubuh yang bengkak
Tanda: bengkak, penurunan rentang gerak.
Gejala: riwayat jatuh, panas dan perih, penyakit defisiensi imun, demam berulang, berkeringat malam
Tanda: perubahan integritas kulit, perubahan kelenjar limfe.
Gejala: menurunnya libido
Tanda: pembengkakan daerah skrotalis
Gejala: masalah yang di timbulkan oleh diagnosis, isolasi dan kesepian
Tanda: perubahan interaksi, harga diri rendah dan menarik diri.
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic Disease Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan tanda limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun.
Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria pada pemeriksaan darah kapiler jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan siang hari, 30 menit setelah diberi DEC 100 mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.
Pemeriksaan dengan ultrasanografi (USG) pada skrotum dan kelenjar limfe inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance sign).
Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang dilabel dengan radioaktif akan menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik, sekalipun pada penderita yang mikrofilaremia asimtomatik.
KESIMPULAN
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.
Penyakit ini disebabkan oleh 3 species cacing filaria yaitu Wuchereria Bancrofti, Burgia Malayi dan Burgia Timori. Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Cacing filariasis menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk infektif yang mengandung larva stadium III. Gejala yang timbul berupa demam berulang-ulang 3-5 hari, demam ini dapat hilang pada saat istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat.
Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, keadaan geologis, dan sebagainya. Faktor lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor sehingga berpengaruh terhadap munculnya penularan filariasis.
Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Lingkungan bio9logi merupakan lingkungan hayati yang mempengaruhi transmisi filariasis.
Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi manusia.