Jilid 1
Sinar hijau berkelebat, sebatang pedang Jing-kong-kiam menusuk cepat ke pundak kiri seorang laki-laki setengah umur.
Belum lagi serangan itu mengenai sasaran, penyerang itu sudah menggeser ke samping dan menyerang pula ke leher kanan laki-laki itu.
Waktu laki-laki setengah umur itu menegakkan pedangnya, "trang", terbenturlah kedua pedang dan menerbitkan suara nyaring, menyusul sinar pedang gemerlapan pula, dalam sekejap kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa jurus lagi.
Mendadak pedang laki-laki setengah umur tadi menebas sekuatnya ke atas kepala pemuda yang memakai pedang Jing-kong-kiam, namun sedikit mengegos ke samping, pemuda itu balas menusuk paha lawan.
Serang-menyerang kedua orang itu berlangsung cepat lagi tepat, setiap jurus seakan-akan mengadu jiwa.
Di sudut Lian-bu-thia atau ruang berlatih silat itu berduduk seorang tua berumur antara setengah abad lebih, sambil mengelus jenggotnya yang panjang, dia kelihatan sangat senang. Pada kedua sampingnya berdiri lebih 20 orang anak murid laki-laki dan perempuan, semuanya asyik mengikuti pertarungan sengit kedua orang tadi dengan penuh perhatian.
Di samping sana berduduk belasan tamu undangan, mereka pun memusatkan perhatian mengikuti pertandingan di tengah kalangan dengan mata tak berkedip.
Sementara itu sudah lebih 70 jurus pertandingan laki-laki setengah umur melawan si pemuda tadi. Serang-menyerang makin lama makin sengit dan berbahaya, tapi tetap belum tampak siapa akan menang atau kalah.
Sekonyong-konyong pedang lelaki setengah umur itu menebas sekuatnya, agaknya terlalu keras menggunakan tenaga sehingga tubuhnya kehilangan imbangan dan sedikit terhuyung. Tampak itu, tiba-tiba seorang pemuda berbaju putih di antara tetamu tadi mengikik geli, segera ia sadar kelakuannya yang tak pada tempatnya itu, cepat ia dekap mulut sendiri.
Dan pada saat itulah mendadak si pemuda yang menggunakan Jing-kong-kiam tadi memukul dengan telapak tangan kiri ke punggung laki-laki setengah umur.
Karena lelaki itu lagi sempoyongan, ia terus miringkan tubuh ke depan, berbareng pedang berputar dengan cepat sambil membentak, "Kena!"
Kontan kaki kiri lawan kena ditusuknya.
Pemuda itu sempoyongan, untung pedangnya sempat dipakai menahan ke tanah, ia tegakkan tubuh dan bermaksud bertempur lagi. Namun lelaki setengah umur itu sudah mengembalikan pedang ke sarungnya, katanya dengan tertawa, "Maaf, Tu-sute, lukamu tidak parah, bukan?"
Dengan muka pucat pemuda she Tu itu menjawab sambil menggigit bibir, "Terima kasih atas kemurahan hati Kiong-suheng!"
Kesudahan pertandingan itu rupanya membuat si kakek berjenggot tadi bertambah senang, dengan tersenyum ia berkata, "Sampai babak ini, Tang-cong (sekte timur) kami sudah menang tiga kali, tampaknya 'Kiam-oh-kiong' (istana danau pedang) ini masih boleh dihuni lima tahun lagi oleh Tang-cong. Sin-sumoay, apakah kita perlu bertanding lagi?"
Seorang To-koh atau imam perempuan, yang duduk di pojok barat sana menjawab dengan penasaran, "Ya, Co-suheng ternyata pintar mendidik murid. Tapi selama lima tahun ini entah sampai di mana peyakinan Co-suheng sendiri terhadap 'Bu-liang-giok-bik'."
Tiba-tiba kakek berjenggot itu memelotot, "Apakah Sumoay sudah lupa pada peraturan golongan kita?"
Teguran itu membuat si To-koh menjadi bungkam, ia mendengus sekali dan tidak bicara lagi.
Kiranya kakek berjenggot itu bernama Co Cu-bok, dalam dunia Kangouw terkenal dengan julukan "It-kiam-tin-thian-lam" atau sebatang pedang menjagoi kolong langit selatan. Ia adalah Ciangbunjin atau ketua "Bu-liang-kiam" sekte timur. Sedang imam perempuan tadi bergelar Siang-jing dengan julukan "Hun-kong-ciok-eng" atau menembus sinar menangkap bayangan, ia adalah ketua Bu-liang-kiam sekte barat.
Bu-liang-kiam sebenarnya terbagi dalam Tang-cong, Lam-cong dan Se-cong, atau sekte timur, selatan dan barat. Tapi sudah lama sekte selatan terpencil lemah, sebaliknya sekte timur dan barat banyak timbul tunas baru.
Sejak Bu-liang-kiam berdiri pada akhir dinasti Tong, lalu terbagi menjadi tiga sekte pada permulaan dinasti Song, seterusnya setiap lima tahun sekali anak murid dari ketiga sekte itu harus berkumpul di "Kiam-oh-kiong" untuk mengukur kekuatan, sekte mana yang menang, berhak untuk mendiami istana itu selama lima tahun, lalu bertanding lagi pada tahun keenam yang akan datang. Sekte mana yang akan memenangkan tiga babak dalam pertandingan lima babak, dianggap menang.
Maka selama jangka waktu lima tahun itu, yang kalah semakin giat melatih diri agar bisa merebut kemenangan dalam pertandingan yang akan datang, sebaliknya yang menang juga tidak berani lengah. Tapi selama berpuluh tahun itu, sekte selatan tidak pernah menang, sedangkan sekte timur dan barat masing-masing saling bergantian keluar sebagai juara.
Sampai pada tangan Co Cu-bok dan Sin Siang-jin, Tang-cong sudah menang dua kali dalam pertandingan lima tahunan itu, sebaliknya sekte barat baru sekali menang. Pertandingan laki-laki setengah umur she Kiong melawan pemuda she Tu tadi adalah babak keempat dalam pertandingan kali ini. Dengan kemenangan laki-laki she Kiong itu, sekte timur sudah menang tiga babak dari empat babak, maka babak kelima tidak perlu lagi dilanjutkan.
Nama Bu-liang-kiam sudah lama termasyhur di dunia Kangouw, ditambah lagi patuh pada peraturan pertandingan lima tahunan di antara golongan sendiri, maka ilmu pedang mereka makin lama semakin bagus.
Karena sibuk "perang saudara" itulah maka jarang mereka bertengkar dengan orang luar, tokoh-tokoh mereka kebanyakan hidup aman tenteram dan adem ayem sampai hari tua, jarang terbinasa karena bunuh-membunuh dalam permusuhan dengan orang luar. Pula sekte timur dan barat itu memandang pertandingan lima tahunan itu besar sangkut-pautnya dengan kehormatan sekte masing-masing, maka pada waktu mengajar murid, sang guru mencurahkan perhatian sepenuhnya, sebaliknya si murid giat berlatih siang malam tanpa kenal lelah, sehingga banyak jurus ilmu pedang baru yang diciptakan oleh setiap angkatan.
Di antara orang-orang yang duduk di sudut barat itu, kecuali Siang-jing, masih banyak pula tamu tokoh Bu-lim (dunia persilatan) terkemuka yang diundang oleh kedua sekte itu untuk hadir sebagai saksi dan juri.
Di antara kedelapan orang saksi yang hadir itu, semuanya jago-jago persilatan terkemuka di daerah Hunlam. Hanya si pemuda baju putih tadi yang sama sekali tidak terkenal dan dikenal, tapi justru ia tertawa geli ketika melihat lelaki she Kiong rada sempoyongan.
Pemuda berbaju putih itu ikut hadir bersama jago silat tua dari Hunlam selatan, Be Ngo-tek. Sebagai saudagar teh yang kaya raya, Be Ngo-tek terkenal bertangan sangat terbuka, setiap orang persilatan yang sedang dirundung nasib malang dan datang minta bantuannya, pasti dia melayani dengan segala senang hati. Sebab itulah pergaulannya dengan orang Bu-lim sangat luas, sebaliknya tentang ilmu silatnya tiada sesuatu yang luar biasa.
Ketika hadir dan mendengar Be Ngo-tek memperkenalkan pemuda baju putih itu she Toan, Co Cu-bok tidak menaruh perhatian apa-apa, sebab Toan adalah nama keluarga kerajaan Tayli di daerah Hunlam yang sangat umum, ia menduga pemuda she Toan tentu adalah murid Be Ngo-tek, padahal ilmu silat kakek she Be itu hanya biasa saja, muridnya tentu juga tidak sulit untuk diukur. Maka ia hanya menyambut mereka ke tempat duduk yang sudah disediakan. Siapa duga pemuda itu berani menertawai anak murid Co Cu-bok ketika menggunakan jurus pancingan tadi.
Dalam pada itu karena sudah menang tiga kali di antara empat babak pertandingan, kemenangan sekte timur sudah pasti, maka beberapa tokoh yang menjadi juri, seperti murid tertua dari Tiam-jong-pay, Liu Ci-hi, Leng-siau-cu, imam dari kuil Giok-cin-koan di Ay-lo-san, Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si dan Be Ngo-tek, beramai-ramai sama mengucapkan selamat pada Co Cu-bok.
Dengan tertawa senang Co Cu-bok berkata, "Empat murid yang diajukan Sin-sumoay tahun ini, ilmu pedangnya ternyata boleh juga, lebih-lebih babak keempat ini, kemenangan kami boleh dikatakan sangat kebetulan. Sungguh Tu-sutit yang masih muda ini tidaklah terbatas hari depannya, bukan mustahil lima tahun yang akan datang sekte timur dan barat kita akan bertukar tempat, Hahaha!"
Begitulah habis terbahak-bahak, mendadak lirikan matanya mengarah pada pemuda she Toan, lalu berkata pula, "Tadi muridku yang tak becus itu menggunakan tipu pancingan untuk mengalahkan lawan, tapi saudara ini tampaknya merasa tidak sepaham. Kita adalah orang sendiri, jika Toan-heng ada minat, marilah silakan turun kalangan memberi petunjuk sejurus-dua? Nama Be-goko mengguncangkan Tin-lam (Hunlam selatan), di bawah panglima pandai tiada prajurit lemah, tentu anak muridnya tidak boleh dipandang enteng."
Muka Be Ngo-tek menjadi merah, cepat sahutnya, "Harap Co-hiante jangan salah mengerti. Toan-heng ini bukanlah muridku. Apalagi dengan sedikit kepandaian 'cakar-kucing' yang kumiliki ini mana ada harganya menjadi guru orang, harap Co-hante jangan bergurau. Kedatangan Toan-heng ini ke sini hanya secara kebetulan saja ingin ikut menyaksikan keramaian, karena mendengar akan diadakan pertandingan di antara kedua sekte golonganmu, maka tanpa pikir aku telah mengajaknya kemari."
Mendengar pemuda she Toan itu tiada hubungan apa-apa dengan Be Ngo-tek, Co Cu-bok pikir kebetulan malah, sebab kalau dia muridnya, betapa merasa sungkan.
"Orang macam apa aku Co Cu-bok ini sehingga ada orang berani terang-terangan menertawai Bu-liang-kiam di dalam Kiam-oh-kiong sini?" Karena berpikir demikian, dengan tertawa dingin Co Cu-bok berkata pula, "O, kiranya demikian. Mohon tanya siapakah nama Toan-heng yang terhormat, entah murid orang kosen dari mana?"
"Cayhe bernama Ki, satu huruf melulu, tidak pernah mengangkat guru juga tidak pernah belajar silat," sahut pemuda she Toan itu. "Karena geli melihat orang sempoyongan akan jatuh, entah dia pura-pura atau sungguhan, aku jadi tertawa."
Mendengar jawaban yang kurang sopan itu, sedikit pun tiada rasa hormat, Co Cu-bok bertambah mendongkol, katanya, "Apanya yang menggelikan?"
"Kalau seorang berdiri baik-baik, tentu tidak lucu. Tapi kalau seorang akan jatuh, tampaknya menjadi lucu dan menggelikan," sahut Toan Ki dengan acuh tak acuh sambil mengebas kipas lempitnya.
Dengan kedudukan Co Cu-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, tentu saja hati merasa panas oleh cara bicara si pemuda yang semakin kurang ajar itu. Tapi biarpun Co Cu-bok berwatak angkuh, namun orangnya sangat hati-hati, tidak gegabah bertindak, maka ia pun tidak lantas marah-marah, katanya pada Be Ngo-tek, "Be-goko, apakah Toan-heng ini adalah sahabat baikmu?"
Be Ngo-tek adalah seorang kawakan Kangouw, sudah tentu ia paham apa maksud pertanyaan itu, terang jago Bu-liang-kiam itu sudah ambil keputusan akan memberi hajaran pada Toan Ki. Padahal ia sendiri juga baru kenal pemuda itu.
Sebagai seorang yang bertangan terbuka, ketika Toan Ki mohon ikut serta, tanpa pikir ia membawanya. Kini melihat gelagatnya, sekali turun tangan, Co Cu-bok pasti tidak sungkan-sungkan lagi. Seorang pemuda baik-baik, sayang kalau mesti mengalami aniaya demikian itu.
Maka cepat katanya, "Aku dan Toan-heng meski bukan sobat kental, tapi kami datang bersama, tampaknya tertawa Toan-heng tadi pun tidak disengaja. Baiknya begini saja, memangnya perutku sudah keroncongan, harap Co-hiante lekas keluarkan hidangan, biar kami menyuguhkan padamu tiga cawan. Hari baik yang harus gembira ini, untuk apa Co-hiante mesti urusan dengan seorang muda?"
"Jika Toan-heng bukan sobat baik Be-goko, itulah lebih baik," ujar Co Cu-bok. "Betapa pun aku perlakukan dia, takkan dianggap membikin malu pada Be-goko. Nah, Jin-kiat, tadi kau ditertawai orang, majulah dan minta pelajaran padanya!"
Laki-laki setengah umur yang bernama Kiong Jin-kiat itu memang sangat mengharapkan perintah sang guru itu, segera saja ia lolos pedang dan maju ke tengah, ia memberi hormat pada Toan Ki sambil berkata, "Marilah, sobat Toan, silakan!"
"Hm, bagus! Bolehlah kau mulai, kau berlatih, aku melihat!" ucap Toan Ki.
"Hah, apa ... apa katamu?" teriak Kiong Jin-kiat dengan gusar sehingga wajahnya merah padam.
"Kau membawa pedang, tentunya akan main pedang, bukan?" sahut Toan Ki. "Maka bolehlah mulai, biar kami sama menonton."
"Tapi guruku suruh kau pun maju ke sini, mari kita coba-coba bertanding," teriak Jin-kiat.
Toan Ki goyang-goyang kepala sambil tiada berhenti mengebas kipasnya, sahutnya, "Gurumu adalah gurumu, gurumu bukan guruku. Gurumu boleh menyuruhmu, gurumu tak boleh menyuruh aku. Gurumu suruh kau bertanding pedang dengan orang dan sudah kau lakukan tadi. Gurumu suruh aku coba-coba bertanding dengan kau, pertama aku tidak bisa, kedua aku takut kalah, ketiga takut sakit, keempat takut mati, maka aku tidak mau bertanding. Sekali aku bilang tidak, tetap tidak."
Mendengar jawaban yang serba "gurumu" yang membingungkan itu, banyak di antara hadirin menjadi tertawa geli, termasuk pula beberapa murid perempuan Sin Siang-jing, maka suasana yang tadinya angker tegang seketika buyar sirna menjadi santai.
Keruan Kiong Jin-kiat tambah murka, dengan langkah lebar ia mendekati Toan Ki, ia tuding dada pemuda itu dengan ujung pedangnya dan membentak, "Apa kau benar-benar tidak bisa atau hanya pura-pura tolol dan berlagak pilon?"
Walaupun menghadapi ancaman pedang yang bila sedikit disorong ke depan pasti dadanya akan tembus, namun sedikit pun Toan Ki tidak gentar, sahutnya, "Aku pura-pura, tapi memang juga benar-benar tidak bisa."
"Kau berani main gila ke Kiam-oh-kiong sini, apa barangkali sudah bosan hidup?" semprot Kiong Jin-kiat.
"Kau sebenarnya anak murid siapa? Siapa yang menyuruhmu mengacau ke sini? Kalau tidak mengaku terus terang, jangan menyesal bila pedang tuanmu ini tidak kenal ampun."
Toan Ki tetap acuh tak acuh, ia menguap sambil mengulet kemalasan, lalu sahutnya, "Bu-liang-kiam sangat terkenal di Kangouw, asal aku tetap diam saja, rasanya tidak nanti kau bunuh aku di depan para Locianpwe sekian banyak ini."
Mendadak Kiong Jin-kiat simpan pedangnya, tapi tangan lain tiba-tiba menempeleng, "plok", dengan tepat pipi Toan Ki kena digampar sekali.
Toan Ki sedikit miringkan kepalanya, namun tak dapat menghindar, seketika mukanya yang putih bersih itu merah bengap dan timbul cap lima jari.
Kejadian ini membikin hadirin sangat terkejut. Semula melihat sikap Toan Ki yang acuh tak acuh tanpa gentar itu, mereka menyangka pemuda itu pasti memiliki ilmu silat mahatinggi, maka berani meremehkan lawan. Siapa duga tempelengan Kiong Jin-kiat yang sepele itu tak bisa dihindarnya, tampaknya pemuda ini memang betul sedikit pun tak bisa ilmu silat.
Ini sungguh luar biasa!
Umumnya orang hanya mendengar cerita tentang jago silat kosen sengaja pura-pura bodoh untuk menggoda lawan, tapi tidak mungkin seorang yang tidak mahir ilmu silat berani main gila.
Bagi Kiong Jin-kiat sendiri yang secara mudah berhasil menempeleng orang, seketika ia rada terkesima juga. Tapi segera ia jambret dada baju Toan Ki serta diangkat ke atas sambil membentak, "Tadinya kukira seorang tokoh yang tak dikenal, siapa tahu tak becus begini!"
Terus saja ia banting tubuh orang ke tanah.
"Bluk", Toan Ki terbanting keras ke lantai, kepala membentur kaki meja hingga benjut.
Be Ngo-tek merasa tidak tega, cepat ia membangunkan pemuda itu dan berkata, "Kiranya Laute (saudara) memang tak bisa ilmu silat, lantas untuk apa ikut ke sini?"
Toan Ki meraba-raba batok kepalanya yang benjut itu, sahutnya dengan tertawa, "Memangnya aku melulu datang untuk menonton keramaian. Kulihat ilmu pedang Bu-liang-kiam paling-paling juga cuma begini saja, sang guru dan si murid berjiwa kerdil pula, tampaknya juga takkan mampu lebih maju lagi daripada ini. Biarlah aku pergi saja."
Tiba-tiba seorang murid Co Cu-bok yang lain melompat maju mengadang di depan Toan Ki, katanya, "Jika engkau tidak mahir ilmu silat, lantas mau pergi mencawat ekor begini saja memang bolehlah. Tapi kenapa kau mengolok-olok ilmu pedang kami hanya biasa saja dan paling-paling hanya sekian? Sekarang kuberi dua jalan padamu dan boleh kau pilih. Pertama boleh coba-coba ilmu pedang kami yang hanya begini saja ini, atau kau menyembah delapan kali kepada guruku dan mengaku omonganmu sendiri cuma 'kentut' belaka!"
"O, kau kentut? Kenapa tidak bau?" sahut Toan Ki dengan tertawa.
Murid muda itu menjadi gusar, segera bogem mentahnya menjotos ke hidung Toan Ki. Pukulan ini sangat keras, tampaknya hidung Toan Ki pasti akan bocor dan keluar kecapnya. Tak terduga baru kepalan sampai setengah jalan, tiba-tiba dari udara menyambar tiba sesuatu dan melilit di pergelangan tangan murid muda itu.
Benda itu lemas-lemas dingin dan licin, begitu melilit, terus bergerak merambat.
Keruan pemuda itu terkejut dan cepat menarik tangannya, waktu diperiksa, ternyata yang melilit di tangannya itu adalah seekor ular Jik-lian-coa atau ular rantai merah yang berwarna belang-bonteng menyeramkan, panjangnya kira-kira 30 senti.
Dalam kagetnya, pemuda itu menjerit sambil mengipas-kipaskan tangannya dengan maksud melepaskan lilitan ular kecil itu, tapi binatang itu semakin erat melilit di tangannya tak mau lepas.
Mendadak Kiong Jin-kiat juga berteriak, "Ular, ular!"
Wajahnya tampak berubah hebat sambil tangan menggagap ke dalam baju sendiri, lalu meraba leher, punggung dan ketiak, tapi tiada sesuatu yang kena dipegangnya, saking gugupnya sampai Jin-kiat berjingkrak-jingkrak, buru-buru ia lepas baju sendiri.
Datangnya perubahan ini sungguh sangat mendadak, selagi semua orang terkesiap dan heran, tiba-tiba terdengar di atas kepala mereka ada suara orang mengikik sekali.
Waktu semua orang mendongak, buset, ternyata di atas belandar rumah duduk seorang anak dara jelita, kedua tangannya penuh memegang bermacam ular.
Dara jelita itu berusia antara 16-17 tahun, berbaju hijau, wajah cantik, tersenyum menggiurkan. Pada tangannya sedikitnya memegangi belasan ekor ular yang kecil dan macam-macam warnanya, hijau, merah, hitam, belang dan warna lain, jelas semuanya adalah ular berbisa. Tapi dara cilik itu memegangi ular-ular berbisa itu bagai barang mainan belaka, sedikit pun tidak jeri. Bahkan beberapa ular di antaranya merayap ke muka dan pipinya bagai seorang anak lagi dimanjakan sang ibu yang penuh kasih sayang.
Semua orang hanya sekilas menengok saja, segera terdengar Kiong Jin-kiat dan Sutenya menjerit-jerit, maka cepat mereka berpaling memandang kedua orang itu. Sebaliknya Toan Ki lantas mendongak dan memandang si dara cilik itu dengan terkesima.
Gadis itu duduk di atas belandar sambil kedua kakinya berayun-ayun bagai anak kecil. Melihat dia, entah dari mana datangnya lantas timbul rasa suka dalam hati Toan Ki, katanya segera, "Nona, apakah engkau yang menolong aku?"
"Ya," sahut dara cilik itu. "Orang jahat itu memukulmu, kenapa tidak kau balas hantam dia?"
"Aku tidak bisa membalas ...." baru sekian Toan Ki menjawab, mendadak terdengar teriakan tertahan orang banyak.
Waktu Toan Ki berpaling, terlihat Co Cu-bok sudah menghunus pedang, mata pedang tampak bernoda darah, sedang ular Jik-lian-coa tadi sudah terkutung menjadi dua di lantai, terang kena ditebas mati oleh pedang Co Cu-bok itu.
Sementara itu baju atas Kiong Jin-kiat sudah terlepas semua, dengan setengah telanjang ia masih berjingkrak-jingkrak kelabakan, seekor ular hijau kecil tampak merayap kian kemari di punggungnya, ia ulur tangan ke belakang hendak menangkap, tapi beberapa kali dilakukannya tetap tak berhasil.
"Jangan bergerak, Jin-kiat!" bentak Co Cu-bok.
Selagi Jin-kiat merandek, tiba-tiba sinar perak berkelebat, ular hijau itu sudah tertebas menjadi dua potong. Gerakan Co Cu-bok itu secepat kilat hingga semua orang tidak tahu jelas cara bagaimana ia turun tangan, tahu-tahu ular hijau itu terkutung jatuh ke lantai, sebaliknya punggung Kiong Jin-kiat sedikit pun tidak cedera. Betapa jitu dan cepat permainan pedang Co Cu-bok itu, seketika bersoraklah orang memuji.
"Hm, hanya membunuh seekor ular kecil, kenapa mesti heran?" jengek Toan Ki.
Sedang dara cilik di atas belandar lantas berteriak-teriak, "Hai, si kakek jenggot, kenapa kau binasakan dua ekor ularku? Aku tidak mau sungkan lagi padamu sekarang!"
"He, kau anak perempuan siapa, untuk apa datang ke sini?" tegur Co Cu-bok dengan gusar.
Diam-diam ia sangat heran, bilakah gadis cilik ini berada di atas belandar? Padahal di tengah ruangan besar ini terdapat sekian banyak tokoh terkemuka, masakah tiada seorang pun yang tahu, sekalipun semua orang tadi lagi asyik mengikuti pertandingan Tang-cong dan Se-cong, tapi mustahil tidak mengetahui kalau di atas kepala mereka lagi mengintip seseorang. Kalau kejadian ini tersiar di dunia Kangouw, lantas muka "Bu-liang-kiam" akan ditaruh ke mana?
Gadis cilik itu tidak menjawab pertanyaan Co Cu-bok, kedua kakinya masih bergerak-gerak ke muka dan ke belakang, tampak sepatunya bersulam bunga kuning kecil, ujung sepatu dihias sebuah bola merah terbuat dari benang wool, itulah dandanan anak perempuan kecil yang lazim.
Maka kembali Co Cu-bok berkata, "Lekas melompat turun kemari!"
"Jangan!" tiba-tiba Toan Ki berseru. "Begitu tinggi, kalau melompat turun, apa tidak terbanting? Lekas ambilkan tangga!"
Mendengar itu, banyak orang tertawa geli lagi.
Beberapa murid wanita dari Se-cong sama berpikir, "Orang ini tampak cakap dan ganteng, tapi ternyata seorang dogol. Kalau gadis cilik itu mampu naik ke atas belandar tanpa diketahui jago silat sebanyak ini, dengan sendirinya ilmu silatnya pasti sangat tinggi, masakan untuk turun diperlukan tangga, kan lelucon yang tidak lucu?"
Sementara itu terdengar si gadis kecil sedang menjawab, "Harus kau ganti dulu kedua ularku, baru aku mau turun bicara padamu."
"Hanya dua ekor ular saja, kenapa dibuat pikiran, di mana-mana dapat kutangkap dua ular seperti ini," ujar Co Cu-bok.
Nyata diam-diam ia sudah jeri terhadap gadis cilik itu. Gadis semuda itu telah berani bermain ular berbisa, tak pelak lagi di belakang si gadis tentu masih ada guru atau orang tua yang sangat lihai, maka nada bicaranya sedapat mungkin mengalah pada si gadis.
Dengan tertawa gadis itu mendebat, "Omong sih gampang, cobalah kau tangkap dulu ekor ular seperti itu."
"Lekas melompat turun!" kembali Co Cu-bok mendesak.
"Tidak mau!" sahut si gadis.
"Jika tetap bandel, segera kuseret turun," ujar Co Cu-bok.
Gadis itu terkikik-kikik, jawabnya, "Boleh kau coba menarik, kalau kena, anggap kau pintar!"
Sungguh serbarunyam Co Cu-bok menghadapi seorang gadis cilik nakal seperti itu, katanya pada Siang-jing, "Sumoay, harap kau suruh seorang murid perempuan naik ke atas untuk menyeretnya turun."
"Anak murid Se-cong tiada yang memiliki Ginkang setinggi itu," sahut Siang-jing.
Co Cu-bok menjadi kurang senang, selagi hendak buka suara pula, tiba-tiba terdengar si dara cilik berseru, "He, tidak mau kau ganti ularku, ya? Nih, kuperlihatkan sesuatu yang lihai, biar kalian tahu rasa!"
Segera dari bajunya ia merogoh keluar sesuatu benda yang mirip seutas rantai emas dan disambitkan ke arah Kiong Jin-kiat.
Jin Kiat menyangka tentunya semacam Am-gi atau senjata rahasia yang aneh, maka tidak berani menangkapnya dengan tangan, melainkan melompat hendak menghindar. Tak terduga rantai emas itu adalah seekor ular emas yang kecil.
Ular kecil itu sangat gesit gerak-geriknya, sekali hinggap di punggung Kiong Jin-kiat, terus saja merayap ke dada, ke muka, ke leher dan ke perut dengan cepat luar biasa.
"Bagus, bagus! Ular emas ini sungguh sangat menarik!" seru Toan Ki sambil tertawa senang.
Ular emas kecil itu merayap makin cepat, hingga antero badan Kiong Jin-kiat seakan-akan kemilauan oleh cahaya emas dan membikin pandangan semua orang menjadi silau.
Mendadak Leng-siau-cu, itu imam dari Giok-cin-koan di Ay-lo-san, teringat sesuatu, dalam kejutnya ia berseru, "Bukankah ini Kim-leng-cu dari 'Uh-hiat-su-leng'?"
"Numpang tanya, To-heng, permainan apakah 'Uh-hiat-su-leng' itu?" tanya Be Ngo-tek.
Air muka Leng-siau-cu berubah, sahutnya, "Di sini bukan tempat bicara, kelak saja kita omong-omong lagi."
Lalu ia mendongak dan berkata pada gadis cilik di atas belandar sembari memberi hormat, "Terimalah hormat Leng-siau-cu, nona!"
Meski tangannya penuh memegang macam-macam ular, namun dara cilik itu masih sempat merogoh saku dan mengambil sebiji kuaci dan dimasukkan ke mulut, ia hanya tersenyum kepada Leng-siau-cu tanpa menjawab.
Leng-siau-cu berpaling kepada Co Cu-bok, katanya, "Kionghi atas kemenangan yang dicapai pihak Co-heng dalam pertandingan tadi, karena masih ada sesuatu urusan, maafkan kumohon diri dulu!"
Dan tanpa menunggu jawaban Co Cu-bok, buru-buru ia bertindak keluar, ketika lewat di samping Kiong Jin-kiat, ia menyingkir jauh-jauh dengan rasa ketakutan.
Co Cu-bok tidak urus sikap orang itu karena lagi mencurahkan perhatian pada ular emas tadi, sebaliknya Be Ngo-tek merasa sangat heran, pikirnya, "Ilmu golok dari Giok-cin-koan terhitung salah satu kepandaian khas dalam dunia persilatan di Hunlam, biasanya Leng-siau-cu pun angkuh terhadap orang, kenapa terhadap ular emas ini ia menjadi ketakutan? Terhadap nona cilik itu pun ia sangat menghormat, entah apa sebabnya?"
Tiba-tiba terdengar gadis cilik tadi bersuit beberapa kali, mendadak ular emas merayap ke muka Kiong Jin-kiat, cepat Jin-kiat menangkap dengan kedua tangannya, tapi ular emas itu teramat cepat, badan ular saja tak bisa disentuh tangan Kiong Jin-kiat. Keruan ia tambah kelabakan dan menangkap serabutan, namun tetap menangkap angin.
Segera Co Cu-bok melangkah maju, pedang menusuk cepat, tatkala itu ular emas lagi merayap ke atas mata kiri Kiong Jin-kiat, karena diserang, sekali badan ular berkeloget, dapatlah menghindar. Sebaliknya ujung pedang Co Cu-bok pun berhenti di depan kelopak mata sang murid.
Walaupun serangan itu tidak mengenai sasaran, tapi para penonton sama merasa kagum.
Bayangkan saja, asal ujung pedang setengah senti lebih maju, pasti biji mata Kiong Jin-kiat sudah dibutakan.
Diam-diam Sin Siang-jing membatin, "Ilmu pedang Co-suheng ternyata sudah sedemikian saktinya, aku harus mengaku bukan tandingannya, terutama jurus 'Kim-ciam-toh-kiap' (jarum emas menolak baju) barusan, terang aku tak bisa mengungguli dia."
Sementara itu Co Cu-bok telah menyerang pula empat kali beruntun, tapi ular emas itu seperti punya mata di punggungnya, setiap kali dapat menyelamatkan diri.
"Hai, kakek jenggot, ilmu pedangmu bagus juga!" seru si dara cilik. Tiba-tiba ia bersuit lagi, cepat ular emas itu merayap ke bawah terus menghilang.
Selagi Co Cu-bok tertegun kehilangan sasaran, tahu-tahu Kiong Jin-kiat sibuk meraba paha sambil berjingkrak-jingkrak, ternyata ular emas itu telah menerobos ke dalam celananya.
"Hahahaha!" Toan Ki tertawa geli. "Tontonan hari ini benar-benar sangat menyenangkan, hahaha!"
Dalam pada itu Kiong Jin-kiat telah melepaskan celana hingga tertampak kedua pahanya yang penuh berbulu lebat. Namun dara cilik itu memang masih kekanak-kanakan, sama sekali ia tidak kenal urusan lelaki dan perempuan, bahkan ia terus berseru, "Kau terlalu jahat, suka menganiaya orang, biarkan kau telanjang bulat. Coba malu atau tidak!"
Habis berkata, ia bersuit lagi.
Ular emas itu benar-benar sangat penurut, sekali mengegos terus menyusup pula, kali ini lebih lucu lagi, celana dalam Kiong Jin-kiat yang diterobos.
Keruan Kiong Jin-kiat semakin kelabakan. Sudah tentu, bagaimanapun ia tak dapat lepas celana dalam di hadapan orang banyak. Ia menjerit sekali terus berlari keluar.
Tapi celaka tiga belas, baru berlari sampai di ambang pintu, mendadak dari luar juga menyerobot masuk seseorang, karena tak sempat mengerem "bluk", kedua orang itu saling tumbuk dengan keras.
Tabrakan ini benar-benar sangat keras, tapi Kiong Jin-kiat hanya terpental mundur beberapa tindak, sebaliknya orang dari luar itu terus jatuh terjengkang ke lantai.
"He, Yong-sute!" seru Co Cu-bok kaget.
Melihat siapa yang telah ditabrak olehnya, cepat Kiong Jin-kiat maju membangunkannya, rupanya ia lupa bahwa si ular emas masih mengeram di dalam celana. Maka baru saja orang itu ditarik bangun, begitu merasa si ular merayap di dalam celana, kembali ia menjerit sambil berusaha hendak menangkap ular nakal itu, dan karena pegangan terlepas, orang yang sudah dibangunkan itu terbanting roboh pula.
Tentu saja kejadian lucu itu sangat menggelikan si dara cilik di atas belandar, setelah puas mengikik tawa, akhirnya ia berkata, "Rasanya sudah cukup kau dihajar!"
Segera ia bersuit lagi sekali, ular emas kecil itu lantas merayap keluar dari celana dalam Kiong Jin-kiat terus merayap ke atas dinding tembok dengan kecepatan luar biasa, lalu kembali ke pangkuan si gadis.
Untuk kedua kalinya dapatlah Kiong Jin-kiat membangunkan orang tadi sambil berseru kaget, "Yong-susiok, ken ... kenapa engkau?"
Waktu Co Cu-bok memburu maju, ia lihat kedua mata orang itu mendelik beringas, wajahnya penuh rasa gusar dan dendam, tapi napasnya sudah putus. Kejut Co Cu-bok tak terkatakan, lekas ia berusaha menolong, namun tak berdaya lagi.
Kiranya orang itu bernama Yong Goan-kui, Sute atau adik seperguruan Co Cu-bok. Meski ilmu silatnya lebih rendah daripada sang Suheng, namun jauh di atas Kiong Jin-kiat. Maka aneh sekali bahwa tabrakan tadi tak bisa dihindarkannya, bahkan sekali tabrak roboh binasa.
Co Cu-bok tahu sebelum tabrakan tentu sang Sute sudah terluka parah, maka cepat ia membuka baju Yong Goan-kui untuk diperiksa. Begitu baju terbuka, segera tertampak di dada Yong Goan-kui jelas tertulis sebaris huruf, "Tengah malam ini Sin-long-pang akan membasmi Bu-liang-kiam!"
Huruf-huruf hitam yang dekuk melekat di daging itu bukan ditulis dengan tinta, juga bukan ukiran benda tajam. Setelah ditegasi, Co Cu-bok menjadi gusar, ia angkat pedangnya hingga berbunyi mendenging, teriaknya dengan murka, "Hm, lihatlah apakah Sin-long-pang yang akan membasmi Bu-liang-kiam atau Bu-liang-kiam yang akan memusnahkan Sin-long-pang? Sakit hati ini tidak kubalas, kusumpah tak mau hidup lagi!"
Kiranya huruf-huruf yang terdapat di dada Yong Goan-kui itu ditulis dengan semacam obat racun, daging yang terkena racun lantas membusuk dan dekuk ke dalam.
Waktu Co Cu-bok periksa tubuh Yong Goan-kui pula, ternyata tiada tanda luka lain. Segera ia membentak, "Jin-ho, Jin-kiat, melihat keluar sana!"
Karena kejadian itu, seketika suasana dalam ruangan besar itu menjadi gempar, semua orang tidak urus lagi pada Toan Ki dan dara cilik di atas belandar itu, tapi beramai-ramai merubung jenazahnya Yong Goan-kui serta mempercakapkan peristiwa ini.
"Makin lama perbuatan Sin-long-pang makin tidak pantas," kata Be Ngo-tek setelah berpikir sejenak. "Co-hiante, entah sebab apa mereka bermusuhan dengan golonganmu?"
Karena berduka atas matinya sang Sute, Co Cu-bok menjawab dengan terguguk-guguk, "Itu ... itu disebabkan urusan mencari obat. Musim rontok tahun yang lalu, empat Hiangcu (hulubalang) dari Sin-long-pang datang ke Kiam-oh-kiong sini dan permisi akan mencari semacam obat di belakang gunung kami ini. Soal memetik obat sebenarnya urusan kecil, Sin-long-pang memang hidup dari memetik obat dan menjual jamu. Biasanya tiada banyak berhubungan dengan golongan kami, tapi juga tiada permusuhan apa-apa. Namun Be-goko tentu tahu, belakang gunung ini tidak sembarangan boleh didatangi orang luar, jangankan Sin-long-pang, sekalipun para sobat kental juga dilarang pesiar ke sana, ini adalah peraturan turun-temurun dari leluhur kami, dengan sendirinya kami tidak berani melanggarnya. Padahal urusan ini pun tidak jadi soal ...."
Sampai di sini, tiba-tiba dari luar melangkah masuk seorang dengan tindakan perlahan dan lesu.
Aneh, Leng-siau-cu dari Giok-cin-koan yang terburu-buru pergi karena takut pada ular emas tadi kini telah kembali.
Imam itu tunduk kepala dan lesu, mukanya terdapat sejalur luka, kopiah di atas kepalanya juga sudah lenyap, rambut terurai kusut, terang baru saja dia telah dihajar orang.
"Leng-siau Toheng, ken ... kenapa kau?" tanya Co Cu-bok kaget.
Dengan gemas Leng-siau-cu menjawab, "Sungguh belum pernah kulihat manusia sewenang-wenang seperti ini, katanya tidak boleh pergi dari sini dan ... dan aku sendirian tak ... tak mampu melawan mereka yang banyak, maka ...."
"Apakah engkau bergebrak dengan orang Sin-long-pang?" tanya Co Cu-bok.
"Ya, siapa lagi kalau bukan mereka?" sahut Leng-siau-cu penasaran. "Mereka telah menduduki jalan-jalan penting di sekitar gunung, katanya sebelum esok pagi, siapa pun dilarang turun gunung."
Dalam pada itu si dara cilik di atas belandar tadi masih asyik menyisil kuaci sambil mengayun kedua kakinya ke depan dan ke belakang. Tiba-tiba ia sambitkan kulit kuaci ke batok kepala Toan Ki dan berkata dengan tertawa, "He, kau kepingin makan kuaci tidak? Marilah naik ke sini!"
"Tidak ada tangga, aku tak sanggup naik ke situ," sahut Toan Ki.
"Itu gampang," ujar si gadis. Terus saja ia lepaskan seutas tali panjang warna hijau pupus dari pinggangnya, katanya pula, "Pegang erat tali ini, biar kukerek kau ke atas."
"Badanku cukup berat, mana mampu kau kerek diriku?" ujar Toan Ki.
"Boleh coba, paling-paling kau akan mati terbanting," sahut si gadis dengan tertawa.
Melihat tali itu tergantung di depan hidungnya, tanpa pikir Toan Ki terus memegangnya. Di luar dugaan, apa yang terpegang itu terasa basah-basah dingin, bahkan terasa kelogat-keloget bisa bergerak. Waktu ditegasi ... astaga!
Benda yang tadinya disangka tali pinggang itu ternyata adalah seutas tali hidup alias ular, cuma badan ular itu sangat panjang dan kecil, atas dan bawah sama besarnya, sepintas pandang orang pasti tak menyangka kalau itu adalah ular hidup. Keruan Toan Ki kaget dan cepat lepas tangan.
Dara cilik itu mengikik geli, katanya, "Ini adalah Jing-leng-cu, lebih lihai daripada Thi-soa-coa (ular kawat besi), biarpun ditebas dengan pedang juga takkan putus. Ayo, lekas pegang yang erat!"
Toan Ki tabahkan hati dan kerahkan seluruh keberanian buat pegang badan ular tadi, ia merasa badan ular itu rada kasap dan tidak terlalu licin.
"Pegang yang erat!" seru si gadis sambil mengangkat ke atas dengan perlahan hingga tubuh Toan Ki terapung di atas tanah. Hanya beberapa kali tarikan saja, gadis itu sudah mengerek Toan Ki ke atas belandar.
Toan Ki menjadi kagum dan takut-takut pula melihat gadis cilik itu mengikat Jing-leng-cu ke pinggangnya hingga mirip benar seutas tali pinggang, tanyanya, "Apakah ularmu tidak menggigit orang?"
"Kalau kusuruh dia menggigit, tentu dia menggigit, kalau tak kusuruh, dia takkan menggigit, jangan takut," sahut gadis itu.
"Apakah kau yang piara ular-ular ini, sudah jinak ya?" tanya Toan Ki lagi.
"Ya, coba memegangnya," kata si gadis sambil mengangsurkan seekor ular kecil padanya.
Tentu saja Toan Ki kelabakan, serunya gugup, "He, jangan, jangan! Aku tidak mau."
Ia menggoyang-goyang tangannya sembari menggeser tubuh ke belakang, dan karena duduknya kurang tepat, hampir saja ia terjungkal ke bawah belandar.
Untung si gadis keburu menjambret kuduknya dan menariknya ke samping lagi, katanya dengan tertawa, "Apakah engkau benar tak mahir ilmu silat? Sungguh aneh!"
"Kenapa aneh?" tanya Toan Ki.
"Engkau tak bisa ilmu silat, tapi berani datang ke sini seorang diri, tentu saja kau akan dianiaya oleh mereka yang jahat itu," ujar si gadis. "Sebenarnya untuk apa kau datang ke sini?"
Melihat sikap ramah si gadis, meski baru kenal, tapi menganggapnya seperti sobat lama, maka selagi Toan Ki hendak menceritakan maksud kedatangannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang, dari luar berlari masuk dua orang. Kiranya adalah Kam Jin-ho dan Kiong Jin-kiat berdua.
Waktu itu Kiong Jin-kiat sudah mengenakan kembali celananya, hanya bagian atas masih telanjang.
Sikap kedua murid Bu-liang-kiam itu tampak rada takut, mereka mendekati Co Cu-bok dan melapor, "Suhu, orang Sin-long-pang telah berkumpul di atas gunung depan, jalan-jalan penting telah dijaga, kita dilarang turun gunung. Karena jumlah musuh lebih banyak, sebelum mendapat perintah Suhu, kami tidak berani sembarang turun tangan."
"Ehm, ada berapa banyak mereka?" tanya Cu-bok.
"Kira-kira 70 sampai 80 orang," sahut Jin-ho.
"Hm, hanya sejumlah itu lantas ingin membasmi Bu-liang-kiam? Rasanya takkan semudah itu!" jengek Co Cu-bok.
Baru selesai ucapannya, tiba-tiba terdengar suara mendengung di udara, dari luar terbidik masuk sebatang panah bersuara. Tanpa pikir Kiong Jin-kiat tangkap tangkai panah itu sebelum jatuh ke tanah. Ternyata di atas panah terikat sepucuk surat. Jelas kelihatan pada sampul surat itu tertulis, "Ditujukan untuk Co Cu-bok."
Waktu Jin-kiat menyerahkan surat itu pada sang guru, Cu-bok menjadi gusar membaca tulisan pada sampul yang kurang hormat itu, katanya, "Coba membukanya!"
Jin-kiat mengiakan dan merobek sampul surat itu.
Saat itulah, si dara cilik membisiki Toan Ki, "Orang jahat yang menjotos engkau itu segera akan mampus!"
"Sebab apa?" tanya Toan Ki terheran-heran.
"Di atas panah dan surat itu beracun semua," sahut si gadis.
"Masakah begitu lihai?" ujar Toan Ki.
Sementara itu terdengar Jin-kiat membaca isi surat yang telah dibukanya itu, "Sin-long-pang memberitahukan pada Co ...." ia merandek karena tidak berani menyebut nama sang guru, lalu melanjutkan, "... kalian diberi tempo dalam satu jam, seluruhnya harus keluar dari Kiam-oh-kiong, masing-masing mengutungi tangan kanan sendiri. Kalau tidak, sebentar seantero isi istanamu, tua-muda, besar-kecil, ayam dan anjing pun tak terkecuali dari kematian."
"Hm, Sin-long-pang itu macam apa, begitu besar mulutnya!" jengek Liu Cu-hi, itu jago dari Tiam-jong-pay.
Sekonyong-konyong terdengar suara gedebukan, tahu-tahu Kiong Jin-kiat roboh terjungkal.
Saat itu Kam Jin-ho masih berdiri di samping sang Sute, ia berteriak kaget, "Sute!"
Segera ia bermaksud membangunkan saudara seperguruannya itu.
Namun Co Cu-bok keburu menyela maju, ia dorong Jin-ho ke samping sambil membentak, "Jangan sentuh tubuhnya! Mungkin beracun."
Benar juga, muka Kiong Jin-kiat tampak berkerut-kerut kejang, tangan yang memegang surat tadi dalam sekejap saja sudah berubah hitam hangus, sekali kedua kakinya berkelejet, putuslah napasnya.
Tiada satu jam lamanya, beruntun Bu-liang-kiam sekte timur sudah kematian dua jago pilihannya. Keruan para tokoh silat yang hadir di situ sama terkesiap.
"Apakah kau pun orang Sin-long-pang?" tiba-tiba Toan Ki tanya si dara cilik dengan perlahan.
"Hus, jangan kau sembarangan omong!" semprot si gadis.
"Habis, dari mana kau tahu panah dan surat itu beracun?" tanya Toan Ki.
Gadis itu tertawa, sahutnya, "Cara memberi racun itu terlalu kasar, lamat-lamat di atas panah dan surat itu kelihatan ada selapis sinar fosfor. Caranya ini hanya bisa mencelakai orang yang goblok saja."
Ucapan terakhir si gadis itu sengaja dibikin keras sehingga dapat didengar oleh semua orang di dalam ruangan.
Segera Co Cu-bok memeriksa panah dan surat tadi, tapi tak terlihat sesuatu. Waktu diawasi dari samping, benar juga lamat-lamat kelihatan gemerdepnya sinar fosfor.
"Siapakah she dan nama nona yang mulia?" segera Cu-bok tanya si gadis.
"She dan namaku yang mulia tak bisa kukatakan padamu, itu artinya rahasia tak boleh dibongkar," sahut si gadis.
Dalam keadaan tertimpa malang, mendengar pula ucapan si gadis yang menggoda itu, sedapatnya Co Cu-bok menahan perasaannya dan coba tanya pula, "Jika begitu, siapakah ayahmu dan siapa gurumu? Dapatkah memberi tahu."
"Haha, jangan kira aku bisa kau tipu," sahut si gadis dengan tertawa. "Kalau kukatakan siapa ayahku, tentu kau tahu aku she apa dan mudahlah menyelidiki namaku yang mulia. Tentang guruku ialah ibuku, nama ibuku lebih-lebih tak boleh kuberi tahukan pada orang luar."
Diam-diam Co Cu-bok mengingat-ingat siapakah gerangan tokoh persilatan di Hunlam yang suka piara ular. Tapi seketika ia pun tak ingat, sebab daerah Hunlam yang terkenal banyak pegunungan dan hutan belukar, di mana-mana banyak terdapat ular, begitu pula orang yang piara ular.
Segera Be Ngo-tek tanya Leng-siau-cu, "Leng-toheng, tadi kau sebut 'Uh-hiat-su-leng' segala, apakah itu artinya?"
"Apa? Ah, kapan aku berkata demikian? Entahlah aku tidak tahu," sahut Leng-siau-cu.
Sebagai seorang kawakan Kangouw, maka tahulah Be Ngo-tek pasti Leng-siau-cu sangat jeri terhadap 'Uh-hiat-su-leng' yang disebutnya itu, sudah terang tadi tercetus dari mulutnya istilah itu, tapi kini tidak mengaku, tentu ada udang dibalik batu. Maka ia pun tidak tanya lebih jauh.
Dalam pada itu Co Cu-bok berkata pula terhadap si gadis, "Jika nona tidak sudi memberi tahu, ya sudahlah. Silakan turun saja untuk berunding, Sin-long-pang melarang setiap orang turun gunung, tentu kau pun akan dibunuh mereka."
"Hah, tidak nanti mereka berani membunuhku," sahut si gadis tertawa, "mereka hanya membunuh orang Bu-liang-kiam. Justru ketika mendengar berita itu sengaja kudatang kemari untuk menonton pembunuhan. Hai, kakek jenggot, ilmu pedang kalian lumayan juga, tapi tidak bisa menggunakan racun, pasti bukan tandingan Sin-long-pang!"
Apa yang dikatakan si gadis itu tepat mengenai titik kelemahan golongan "Bu-liang-kiam." Kalau saling gebrak dengan kepandaian sejati, Kungfu Tang-cong dan Se-cong dari Bu-liang-kiam, serta delapan jago terkemuka yang diundang datang sebagai juri itu, betapa pun takkan gentar terhadap Sin-long-pang, tapi kalau bicara tentang menggunakan racun dan menawarkannya, semuanya memang tidak becus.
Diam-diam Co Cu-bok mendongkol mendengar ucapan si gadis bahwa kedatangannya itu ingin menonton pembunuhan, seakan-akan makin banyak orang Bu-liang-kiam yang mati terbunuh, akan membuat hatinya semakin senang.
Maka ia menjengek sekali, lalu bertanya pula, "Berita apakah yang didengar nona di tengah jalan?"
Sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, dia sudah biasa memerintah, maka ucapannya itu seakan-akan mengharuskan si gadis lekas menjawabnya.
Tak terduga, tiba-tiba dara cilik itu berkata, "Eh, kau suka makan kuaci tidak?"
Keruan Co Cu-bok semakin panas hatinya, coba kalau tidak lagi menghadapi musuh besar di luar sana, tentu sejak tadi ia sudah memberi hajaran pada anak dara itu, sedapatnya ia menahan gusar, sahutnya, "Tidak suka!"
"Kuaci apakah itu?" mendadak Toan Ki menimbrung. "Apakah digoreng dengan bawang? Atau gorengan Ngo-hiang? Atau bumbu vanili? Tampaknya enak juga."
"Aneh, masa begitu banyak juga cara menggoreng kuaci?" sahut si gadis. "Aku tidak tahu kuaci ini digoreng dengan bumbu apa. Yang terang, ibuku menggoreng kuaci ini dengan empedu ular. Kalau sering makan akan membikin mata terang dan otak tajam. Kau mau mencicipi?"
Habis berkata, terus saja ia meraup segenggam dan ditaruh di tangan Toan Ki.
Mendengar kuaci gorengan empedu ular, rasa hati Toan Ki menjadi mual.
"Kalau tidak biasa, memang rasanya sedikit pahit," ujar si gadis lagi. "Padahal enak dan gurih sekali."
Merasa tidak enak untuk menolak maksud baik si gadis, Toan Ki coba-coba menyisil sebiji kuaci itu, begitu menempel bibir, rasanya memang sedikit pahit, tapi sesudah disisil dan dikunyah, eh, rasanya benar gurih dan lezat, berbau harum pula. Terus saja ia menyisil kuaci itu tanpa berhenti.
Kulit kuaci satu per satu ia taruh di atas belandar, sebaliknya dara cilik itu tidak peduli, ia semburkan kulit kuaci sekenanya, keruan kulit kuaci itu beterbangan di atas kepala para jago silat itu hingga mereka sibuk menghindar sambil berkerut kening.
Maka Co Cu-bok bertanya lagi, "Berita apakah yang didengar nona di tengah jalan? Jika sudi memberi tahu, Cayhe pasti sangat berterima kasih."
"Kudengar orang Sin-long-pang bicara tentang 'Bu-liang-giok-bik' segala. Permainan macam apakah itu?" kata si gadis.
Co Cu-bok terkesiap mendengar itu, segera ia menjawab, "Bu-liang-giok-bik? Apakah maksudnya ada sesuatu Giok-bik (batu jade mestika) di Bu-liang-san sini? Hal ini tidak pernah kudengar. Apakah engkau pernah mendengarnya, Siang-jing Sumoay?"
Belum lagi Siang-jing menjawab, cepat si gadis memotong, "Sudah tentu ia pun tidak pernah mendengar! Hm, tak perlu kalian main sandiwara. Kalau tidak mau bicara, terus terang saja bilang tidak. Huh, siapa yang ingin tahu?"
Co Cu-bok serbarunyam, diam-diam ia mengakui kelihaian dara cilik itu. Segera ia berkata pula, "Ah, ingatlah aku sekarang! Apa yang dimaksudkan Sin-long-pang itu mungkin adalah Keng-bin-ciok (batu bermuka cermin) yang terdapat di puncak tertinggi dari Bu-liang-san ini. Batu itu halus dan licin bagai kaca, maka orang mengatakannya sebagai batu mestika. Padahal hanya sepotong batu biasa yang putih dan licin saja."
"Jika begitu, kenapa tadi tidak kau katakan terus terang?" ujar si gadis. "Lalu cara bagaimana kalian ikat permusuhan dengan Sin-long-pang? Sebab apa mereka hendak membasmi Bu-liang-kiam kalian hingga ayam dan anjing pun tak terkecuali?"
Sungguh konyol, pikir Co Cu-bok. Sebagai tuan rumah, masakah dia yang ditanyai seorang gadis cilik bagai terdakwa di pengadilan saja. Tapi karena ingin tahu berita apa yang didengar orang di tengah jalan, mau tak mau ia harus menjawab lebih dulu. Maka katanya, "Harap nona turun dahulu, nanti kuterangkan dengan jelas."
"Menerangkan dengan jelas kukira tidak perlu," sahut si gadis sambil kedua kakinya membuai ke depan dan ke belakang, "toh apa yang kau katakan meski ada yang benar, tapi juga banyak yang dusta, paling-paling aku hanya percaya tiga bagian saja. Maka bolehlah kau bicara sesukamu."
"Begini," tutur Co Cu-bok kewalahan, "tahun yang lalu, Sin-long-pang kutolak cari bahan obat di belakang gunung kami ini, tapi diam-diam mereka datang mencuri dan dipergoki oleh Suteku Yong Goan-kui bersama beberapa anak muridku. Ketika ditegur, mereka menjawab, 'Di sini toh bukan istana raja atau taman kaisar, kenapa orang luar dilarang kemari, memangnya Bu-liang-san sudah dikontrak oleh Bu-liang-kiam kalian?' Karena percekcokan mulut itu, akhirnya saling gebrak, tanpa ampun Yong-sute telah membunuh dua orang mereka. Waktu itu tiada seorang pun yang tahu bahwa satu di antara korban itu adalah putra tunggal Sikong-
pangcu dari Sin-long-pang. Maka permusuhan itu tak dapat dihindarkan lagi. Belakangan terjadi saling tempur pula di tepi sungai Lanjong dan kedua pihak jatuh korban beberapa jiwa."
"O, kiranya begitu," ujar si gadis. "Daun obat apakah yang mereka petik?"
"Itulah kurang terang," sahut Cu-bok.
"Hm, apa benar kurang terang?" jengek si gadis.
"Bukankah bahan obat yang hendak mereka petik itu adalah rumput Tulah. Maka mereka mengatakan akan membabat habis rumput Tulah di Bu-liang-san ini sampai akar-akarnya, sebatang pun takkan ditinggalkan."
"Kiranya nona lebih jelas daripadaku," kata Cu-bok.
Tiba-tiba gadis itu memegang lengan kanan Toan Ki sambil berkata, "Marilah kita turun!"
Berbareng ia melompat ke bawah.
Keruan Toan Ki menjerit kaget, namun tubuhnya sudah terapung di udara. Syukurlah gadis itu dapat membawanya ke tanah dengan enteng tanpa kurang apa pun sembari tetap memegangi lengan kanannya. Kata gadis itu pula, "Marilah kita keluar sana, coba lihat berapa banyak orang Sin-long-pang yang datang."
"Nanti dulu," cepat Co Cu-bok melangkah maju, "apa yang kutanya tadi, nona kan belum menjawab?"
"Buat apa kuberi tahukan padamu? Pula aku kan tidak berjanji akan menjelaskan?" sahut si gadis.
Cu-bok pikir memang benar orang tidak pernah berjanji akan menjawab pertanyaannya tadi. Tapi mana boleh orang keluar-masuk sesukanya di rumahnya ini? Walaupun saat itu Bu-liang-kiam sedang menghadapi musuh di depan rumah, namun dengan watak Co Cu-bok yang tinggi hati itu, tidak rela rasanya dipermainkan seorang nona cilik tanpa bisa berbuat apa-apa. Maka begitu mengadang di depan si gadis dan Toan Ki, katanya pula, "Kalian keluar begini saja, kalau terjadi apa-apa, Bu-liang-kiam kami tentu merasa tidak enak."
"Kenapa kau khawatir?" sahut si gadis dengan tersenyum. "Aku toh bukan tamu undanganmu, kau pun tidak kenal she dan namaku yang mulia. Jika aku terbunuh oleh orang Sin-long-pang, ayah-bundaku juga takkan menyalahkan kalian."
Habis berkata, ia tarik Toan Ki terus melangkah keluar.
"Berhenti dulu, nona!" cepat Cu-bok merintangi, tahu-tahu tangannya sudah menghunus pedang.
"Eh, apa kau ingin berkelahi?" tanya si gadis.
"Cayhe ingin berkenalan dengan ilmu silat nona agar kelak dapat dipertanggungjawabkan kalau berjumpa dengan ayah-ibumu," kata Cu-bok sambil melintangkan pedang.
"Wah, kakek jenggot ini akan membunuh aku, bagaimana baiknya menurut pendapatmu?" tanya si gadis pada Toan Ki.
"Terserah padamu," sahut Toan Ki sembari mengipas.
"Apabila aku terbunuh, lantas bagaimana baiknya?"
"Ada rezeki kita rasakan bersama, ada malang kita tanggung berbareng. Kuaci kita makan bersama, pedang kita terima serentak!"
"Bagus, ucapanmu ini sangat tegas," ujar si gadis. "Engkau sangat baik, tidak percuma perkenalan kita ini. Marilah pergi!"
Segera ia tarik Toan Ki keluar, terhadap senjata Co Cu-bok yang kemilauan itu seakan-akan tak dihiraukannya.
Tanpa bicara lagi Cu-bok geraki pedang terus menusuk bahu kiri si gadis. Ia tidak bermaksud melukai orang, tujuannya cuma untuk merintangi kepergian kedua muda-mudi itu.
Mendadak tangan si gadis menarik pinggang, tahu-tahu seutas tali hijau menyambar ke pergelangan Co Cu-bok.
Dalam kagetnya cepat Cu-bok menarik kembali tangannya, tak terduga tali hijau itu adalah benda hidup, datangnya juga cepat luar biasa, tangan Cu-bok terasa sakit kena digigit sekali oleh Jing-leng-cu. "Trang", pedang jatuh ke lantai.
Habis menggigit musuh, cepat Jing-leng-cu merayap ke tanah, beberapa kali mengesot, pedang yang jatuh itu telah dililitnya, terdengarlah suara "pletak" beberapa kali, pedang panjang itu patah menjadi beberapa bagian.
Ternyata Jing-leng-cu itu adalah semacam ular aneh yang sangat lihai, kulitnya keras melebihi baja, ditambah lagi dalam asuhan ayah-bunda si gadis dalam waktu panjang, maka berubahlah semacam senjata hidup yang sangat hebat.
Kalau bicara tentang ilmu silat sejati, terang si gadis yang berusia kira-kira 16-17 tahun itu bukan tandingan Co Cu-bok. Tapi "senjata hidup" si gadis terlalu aneh dan gesit, Co Cu-bok diserang dalam keadaan tidak berjaga-jaga hingga pedangnya jatuh dan terlilit patah.
Biasanya Bu-liang-kiam memandang pedang mereka sebagai jiwa sendiri, kalau senjata itu kena dipatahkan atau direbut musuh, itu berarti ludeslah seluruh modal mereka. Meski gebrakan tadi sangat di luar dugaan dan tak bisa dianggap kalah bertanding, tapi dengan kedudukan Co Cu-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan, ia tidak boleh ngotot merintangi orang lagi. Ia memegang pergelangan tangan sendiri dengan erat, khawatir racun ular menjalar ke dalam tubuh.
"Kalau ingin jiwa selamat, lekas kau menggodok tiga mangkuk besar air rumput Tulah dan diminum sekaligus, dalam waktu dua jam, harus merebah di ranjang, sedikit pun tidak boleh bergerak," demikian kata si gadis. Dan sesudah keluar, dengan tertawa ia berkata pada Toan Ki dengan perlahan, "Jing-leng-cu ini sebenarnya tak berbisa, tapi kakek jenggot itu pasti ketakutan setengah mati. Ilmu silat si tua itu sangat tinggi, kalau dia mengejar, aku tak mampu melawannya."
Sungguh kagum sekali Toan Ki, katanya, "Aku tidak bisa ilmu silat, makanya dianiaya orang!"
Sembari berkata, ia raba-raba pipi sendiri yang masih sakit pedas. Lalu menyambung pula, "Apabila aku pun mempunyai Jing-leng-cu seperti ini, tentu aku tidak takut lagi pada segala macam manusia jahat. Nona baik, bilakah kau mau menangkapkan seekor juga untukku?"
"Untuk menangkap seekor lagi cukup sulit," sahut si gadis. "Sayang ular ini bukan milikku, kalau punyaku, tentu akan kuhadiahkan padamu. Ini adalah milik Encekku (paman), kubawanya buat main-main, setelah pulang nanti harus kukembalikan padanya."
"Eh, she dan namamu yang mulia tak mau kau katakan kepada kakek jenggot, tentunya tidak keberatan diperkenalkan padaku, bukan?" tanya Toan Ki.
"She dan nama yang mulia apa segala?" sahut si gadis dengan tertawa. "Aku she Ciong, ayah-ibuku memanggil aku 'Ling-ji' (anak Ling). Marilah kita duduk di lereng bukit situ, katakan, untuk apa kau datang ke Bu-liang-san sini?"
Kedua muda-mudi itu lalu menuju ke lereng bukit di sebelah barat-laut sana, sembari berjalan Toan Ki sambil berkata, "Aku mengeluyur sendiri dari rumah dan terluntang-lantung ke mana-mana. Ketika tiba di kota Bohni, aku kehabisan sangu, aku datang ke rumah orang yang bernama Be Ngo-tek itu untuk makan gratis. Belakangan kudengar dia hendak ke Bu-liang-san sini, karena iseng, aku lantas minta ikut kemari."
Ciong Ling manggut-manggut, tanyanya pula, "Sebab apa kau larikan diri dari rumah?"
"Ayah-ibu suruh aku belajar silat, aku tidak mau. Mereka mendesak terus, aku lantas minggat."
Dengan mata terbelalak heran, Ciong Ling mengamat-amati Toan Ki, katanya kemudian, "Sebab apa engkau tidak mau belajar silat? Takut menderita?"
"Masa aku takut menderita?" sahut Toan Ki. "Telah kupikir pergi-datang dan tetap tidak paham. Kemudian bertengkar pula dengan Empekku. Aku dipersalahkan oleh ayah dan disuruh minta maaf pada Empek, tapi aku enggan karena merasa tak salah, lantaran itu ibu bertengkar juga dengan ayah ...."
"Ibumu tentu simpati pada pihakmu, bukan?" tanya Ciong Ling.
"Ya," sahut Toan Ki.
Ciong Ling menghela napas, katanya, "Ibuku juga begitu terhadapku."
Ia termenung sejenak memandang ke arah barat, lalu tanya lagi, "Soal apa yang kau pikirkan dan merasa tidak paham?"
"Sejak kecil aku sudah ditahbiskan ke dalam agama Buddha," tutur Toan Ki. "Ayah telah mengundang seorang guru memberi pelajaran membaca Su-si-ngo-keng (empat buku dan lima kitab) dan menggubah syair. Mengundang pula seorang paderi saleh mengajar agama padaku. Selama belasan tahun yang kupelajari melulu hal larangan membunuh, pantang gusar, harus welas asih dan macam-macam lagi. Ketika tiba-tiba ayah suruh aku belajar silat, belajar cara memukul dan membunuh orang, tentu saja aku merasa enggan. Ayah menuduh aku membangkang perintah orang tua, Empek berdebat sehari semalam denganku, dan aku tetap tidak tunduk."
"Lantas Empekmu marah-marah dan tinggal pergi, bukan?"
"Empekku tidak marah-marah dan tinggal pergi, tapi jarinya menutuk dua kali di badanku, seketika badanku terasa seakan-akan digigit beratus ribu semut serta serupa beribu lintah lagi mengisap darahku. Kata Empek, 'Enak tidak perasaan begini? Aku adalah pamanmu, sebentar tentu akan lepaskan Hiat-to yang kututuk, tapi kalau musuh yang menutukmu, tentu kau akan dibikin mati tidak hidup pun tidak. Dan kau boleh coba membunuh diri.' Sudah tentu aku tak dapat bunuh diri, pula aku takkan bunuh diri, cukup hidup senang, buat apa bunuh diri?"
Semula Ciong Ling termangu-mangu mendengarkan, tiba-tiba ia berseru keras, "Hah, Empekmu mahir ilmu Tiam-hiat? Bukankah ia menggunakan sebuah jari dan menutuk sesuatu tempat di tubuhmu, dan engkau lantas tak bisa berkutik?"
"Benar, kenapa mesti heran?" ujar Toan Ki.
Kejut dan heran meliputi perasaan Ciong Ling, sahutnya, "Kau bilang kepandaian itu tidak mengherankan? Padahal setiap orang Bu-lim, asal mendapatkan ajaran sedikit ilmu Tiam-hiat, biarkan kau suruh dia menjura seribu kali juga dia mau. Tapi kau sendiri justru tidak mau belajar, ini sungguh aneh luar biasa."
"Kulihat ilmu Tiam-hiat itu pun tiada sesuatu yang hebat," sahut Toan Ki.
Ciong Ling menghela napas, katanya, "Kata-katamu ini jangan lagi kau ucapkan, lebih-lebih jangan sampai diketahui oleh orang lain."
"Sebab apa?" tanya Toan Ki terheran-heran.
"Kalau kau tidak mahir ilmu silat, tentu banyak urusan Kangouw yang belum kau ketahui," sahut si gadis. "Ilmu Tiam-hiat keluarga Toan kalian tiada bandingannya di kolong langit ini, yaitu disebut 'It-yang-ci'. Setiap orang persilatan pasti mengiler bila mendengar nama ilmu itu, mungkin tak bisa tidur sebulan-dua bulan mengaguminya. Apabila ada yang tahu ayah dan pamanmu mahir ilmu itu, boleh jadi ada orang jahat akan menculik kau dan minta ayahmu atau pamanmu menukar dirimu dengan kitab pelajaran It-yang-ci itu. Jika terjadi demikian, lantas bagaimana?"
"Jika benar terjadi, menurut watak pamanku yang keras itu, pasti dia akan melabrak si penculik itu."
"Makanya," kata Ciong Ling, "berkelahi tanpa tujuan dengan keluarga Toan kalian tentu orang tidak berani. Tetapi untuk kitab pelajaran It-yang-ci, segala apa mungkin terjadi. Apalagi kalau kau jatuh di tangan orang, urusan tentu akan sulit diselesaikan. Maka begini saja baiknya, selanjutnya kau jangan mengaku she Toan."
"Aku tidak she Toan, lalu she apa?" ujar Toan Ki. "Padahal orang she Toan beratus ribu banyaknya di daerah Hunlam ini, belum tentu setiap orangnya mahir ilmu Tiam-hiat."
"Sementara ini boleh kau pakai she sama dengan aku," ujar si gadis.
"Baik juga," sahut Toan Ki tertawa. "Dan engkau harus panggil aku Toako. Berapa umurmu?"
"Enam belas," sahut Ciong Ling. "Dan kau?"
"Aku lebih tua tiga tahun daripadamu," sahut Toan Ki.
Ciong Ling memungut sehelai daun kering, sambil merobek daun itu sedikit demi sedikit, tiba-tiba ia goyang kepala.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya si pemuda.
"Aku tetap tak percaya bahwa engkau tidak mau belajar It-yang-ci," sahut Ciong Ling. "Kau sengaja dusta, bukan?"
Toan Ki tertawa, katanya, "Kau pandang It-yang-ci sedemikian hebatnya, memangnya ilmu itu bisa bikin perut menjadi kenyang? Aku justru anggap Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu milikmu ini jauh lebih berguna."
"Kuharap mudah-mudahan aku bisa menukar beberapa ular ini dengan ilmu kepandaian keluargamu itu." ujar si gadis. "Cuma sayang, engkau tak bisa It-yang-ci, sebaliknya ular-ular ini pun bukan punyaku."
"Gadis sekecil dirimu ini, kenapa yang kau pikir melulu urusan berkelahi dan membunuh orang saja?"
"Kau benar-benar tidak tahu atau sengaja berlagak dungu?"
"Apa maksudmu?" tanya Toan Ki bingung.
"Lihatlah itu!" kata si gadis sambil menunjuk ke arah timur.
Menurut arah yang ditunjuk, Toan Ki melihat di pinggang gunung arah timur itu mengepul belasan gumpal asap hijau, ia tidak paham apa maksud si gadis.
"Coba, meski kau tidak ingin memukul atau membunuh orang, tapi orang lain justru akan menghajar dan membunuhmu," kata Ciong Ling pula, "lalu apa kau rela dibinasakan orang? Asap hijau itu adalah tanda orang Sin-long-pang lagi menggodok racun untuk melayani Bu-liang-kiam nanti. Kuharap semoga diam-diam kita dapat mengeluyur pergi dari sini agar tidak ikut tersangkut."
Toan Ki kebas-kebas kipasnya dan merasa kurang tepat ucapan si gadis, katanya, "Cara perkelahian orang Kangouw seperti ini makin lama makin tidak pantas. Orang Bu-liang-kiam telah membunuh putra Sikong-pangcu dari Sin-long-pang, tapi kini itu Yong Goan-kui juga sudah dibinasakan mereka. Bahkan ditambah dengan Kiong Jin-kiat yang menempeleng aku itu. Balas-membalas, seharusnya sudah selesai. Seumpama masih ada sesuatu yang tidak adil, seharusnya melapor pada pembesar negeri dan minta diberi keputusan secara bijaksana, mana boleh bertindak dan menjadi hakim sendiri sesukanya? Memangnya negeri Tayli kita ini dianggap sudah tidak punya undang-undang lagi?"
"Ck, ck, ck!" mulut Ciong Ling berkecek-kecek, "mendengar ucapanmu ini seakan-akan kau ini tuan besar atau bangsawan yang berkuasa. Bagi rakyat jelata kita justru tidak urus segala tetek bengek itu."
Ia menengadah, lalu tuding ke arah barat-daya dan berkata pula, "Sebentar kalau hari sudah gelap diam-diam kita mengeluyur pergi dari situ, tentu orang Sin-long-pang takkan pergoki kita."
"Tidak!" seru Toan Ki mendadak. "Aku harus menemui Pangcu mereka untuk memberi petuah dan ceramah padanya, tidak boleh mereka sembarangan membunuh orang."
Ciong Ling merasa kasihan pada pemuda yang polos ketolol-tololan itu, katanya, "Toan-heng, engkau ini benar-benar tidak kenal tebalnya bumi dan tingginya langit. Pangcu dari Sin-long-pang itu, Sikong Hian, orangnya kejam dan ganas, suka main racun, berbeda daripada orang Bu-liang-kiam. Maka lebih baik kita jangan cari perkara, lekas pergi dari sini saja."
"Tidak, urusan ini aku harus ikut campur, jika kau takut, bolehlah kau tunggu aku di sini," sembari berkata, terus saja Toan Ki melangkah ke arah timur.
Ciong Ling memandangi kepergian pemuda itu, setelah beberapa tombak jauhnya, mendadak ia memelesat maju mengejar, ia jambret pundak Toan Ki, menyusul kaki menjegal, pemuda itu disengkelit ke depan.
Waktu tiba-tiba mendengar suara tindakan orang dari belakang, selagi Toan Ki hendak menoleh, tahu-tahu pundak dicengkeram orang, bahkan kaki keserimpet dan tubuh terus terjerungup terbanting ke depan. Keruan hidungnya mencium tanah dan bocor, keluar kecapnya.
Dengan meringis Toan Ki merangkak bangun, dan demi mengetahui orang yang menghajarnya itu adalah Ciong Ling, ia menjadi gusar, katanya, "Kenapa kau begini nakal, apa tidak sakit orang kau banting?"
"Aku hanya ingin mencoba lagi apakah engkau hanya pura-pura atau sungguh-sungguh tak mahir ilmu silat," sahut Ciong Ling. "Maksudku adalah demi kebaikanmu."
Ketika Toan Ki mengusap hidungnya, tangannya lantas berlepotan darah, bahkan darah terus menetes hingga dadanya merah dan kuyup. Sebenarnya lukanya sangat enteng, tapi melihat sekian banyak darah mengalir, terus saja ia berkaok-kaok, "Aduh, aduuuh!"
Ciong Ling menjadi rada khawatir, cepat ia keluarkan saputangan hendak mengelap darah orang. Tapi Toan Ki kadung mendongkol, tanpa pikir ia mendorong dan berkata, "Tidak perlu kau ambil hatiku, aku tak mau gubris padamu lagi."
Karena tak mahir ilmu silat, maka cara mendorong Toan Ki hanya sekenanya saja, siapa tahu justru menyentuh dada si gadis. Keruan Ciong Ling kaget, tanpa pikir dan dengan sendirinya ia pegang tangan si pemuda, sekali ditarik terus disengkelit dengan gaya judo, kembali Toan Ki terbanting pula, batok kepala belakang terbentur batu, seketika jatuh semaput.
Melihat pemuda itu menggeletak tak berkutik, Ciong Ling membentaknya, "Ayo lekas bangun, aku ingin bicara padamu!"
Tapi ia lantas gugup ketika melihat Toan Ki tetap tak bergerak, ia berjongkok dan memeriksa, ia lihat kedua mata anak muda itu mendelik, napasnya lemah, orangnya sudah kelengar. Lekas-lekas ia memijat Jin-tiong-hiat bagian atas bibir serta mengurut dada si pemuda.
Selang agak lama, perlahan barulah Toan Ki siuman. Ia merasa dirinya bersandar di tempat yang empuk, hidungnya mengendus bau wangi pula, ia membuka mata dan melihat sepasang mata-bola Ciong Ling yang jeli bening itu lagi memandangnya dengan rasa khawatir.
Melihat Toan Ki sudah siuman, Ciong Ling menghela napas lega, "Ah, syukurlah engkau tidak mati."
Melihat dirinya bersandar di pangkuan si gadis, tanpa merasa hati Toan Ki terguncang, tapi segera terasa batok kepala belakang masih kesakitan, kembali ia berkaok-kaok sakit.
Ciong Ling terkejut oleh kelakuan Toan Ki itu, "Kenapa?" tanyanya.
"Aku ... aku kesakitan!" sahut Toan Ki.
"Hanya sakit, kan tidak mati, kenapa berkaok-kaok?"
"Jika mati, masakah bisa berkaok-kaok?"
Ciong Ling mengikik tawa, ia merasa salah tanya. Ia coba angkat kepala Toan Ki, ternyata di bagian belakang benjol sebesar telur ayam, cuma tidak mengeluarkan darah, namun sakitnya tentu tidak kepalang. Maka katanya setengah mengomel, "Habis, siapa suruh kau berlaku rendah. Apabila orang lain, mungkin kontan sudah kubunuh, tapi kau hanya terbanting saja, masih murah bagimu."
Toan Ki bangun duduk, tanyanya dengan heran, "Aku berbuat ren ... rendah bagaimana? Kapan terjadi? Inilah fitnah belaka!"
Dasar perasaan gadis remaja seperti Ciong Ling yang baru mulai bersemi, terhadap urusan laki-perempuan baru taraf paham tak-paham, ia menjadi jengah oleh sangkalan Toan Ki itu, katanya dengan wajah merah, "Tak dapat kukatakan, pendek kata kau yang salah, siapa suruh kau mendorong ... mendorong sini."
Baru sekarang Toan Ki paham duduknya perkara, ia merasa kikuk, ingin dia jelaskan, tapi sukar mengucapkannya.
Maka Ciong Ling berkata lagi, "Syukur akhirnya kau siuman, bikin aku khawatir saja."
"Tadi di Kiam-oh-kiong, kalau kau tidak menolong aku, pasti aku akan dipersen dua kali tempelengan lebih banyak. Kini kau membanting dua kali diriku, biarlah kuanggap kelop, siapa pun tidak utang. Agaknya memang sudah suratan nasibku, tak bisa terhindar dari malapetaka ini."
"Demikian ucapanmu, jadi kau gusar padaku?" tanya si gadis.
"Memangnya orang sudah dipukul harus memuji dan berterima kasih pula padamu?" sahut Toan Ki.
"Ya, sudahlah, selanjutnya aku takkan pukul kau lagi," kata Ciong Ling dengan menyesal sambil memegang tangan si pemuda. "Sekarang kau tidak marah lagi, bukan?"
"Tidak, kecuali kalau aku pun balas memukulmu dua kali," ujar Toan Ki.
Ciong Ling tidak lantas menjawab, ia merasa enggan dipukul orang. Tapi demi tampak pemuda itu hendak tinggal pergi lagi dengan marah, cepat ia tegakkan leher dan berkata, "Baiklah, boleh kau pukul aku dua kali. Tapi ... tapi jangan keras-keras, ya!"
"Tidak bisa," kata Toan Ki. "Kalau tidak keras, mana bisa dianggap membalas dendam. Maka pukulanku sudah pasti sangat keras. Jika kau tidak tahan, lebih baik jangan."
Ciong Ling menghela napas, ia pejamkan mata dan berkata lirih, "Baiklah! Tapi ... tapi sesudah memukul, engkau jangan marah lagi!"
Namun sesudah ditunggu dan tunggu lagi, tangan Toan Ki masih belum juga terasa memukulnya. Waktu membuka mata, ia lihat pemuda itu lagi memandang kesima padanya dengan wajah tertawa bukan-tertawa padanya. Ia menjadi heran, tanyanya, "He, kenapa kau tidak memukul?"
Tiba-tiba Toan Ki menyelentik perlahan dua kali di pipi Ciong Ling, katanya, "Hanya dua kali selentikan saja dan impas."
Ciong Ling tertawa manis, serunya, "Memang aku sudah tahu engkau orang baik"
Untuk sekian lamanya Toan Ki kesengsem menghadapi gadis jelita yang hanya belasan senti di depannya itu, makin dipandang makin cantik, bau harum gadis sayup-sayup menyusup hidungnya, berat nian untuk meninggalkannya pergi. Akhirnya ia berkata, "Sudahlah, sekarang sakit hatiku sudah terbalas, kini aku hendak pergi mencari Sikong Hian dari Sin-long-pang itu."
Bab 2
"Jangan bodoh!" cepat Ciong Ling mencegah. "Urusan orang Kangouw sedikit pun engkau tidak paham, kalau sampai bikin sirik orang, aku takkan mampu menolongmu."
"Jangan khawatir bagiku" sahut Toan Ki. "Kau tunggu saja di sini, sebentar aku akan kembali."
Habis berkata, dengan langkah lebar ia terus bertindak ke arah asap tebal sana.
Ciong Ling berteriak mencegahnya lagi, dan Toan Ki tetap tidak menurut.
Setelah tertegun sejenak, mendadak gadis itu berseru, "Baiklah, engkau pernah menyatakan 'kuaci kita makan bersama, pedang kita terima serentak', biar kuikut bersamamu!"
Segera ia berlari menyusul Toan Ki dan berjalan berjajar dengan dia.
Tidak lama, dari depan tertampak memapak dua orang lelaki berbaju kuning. Seorang di antaranya yang lebih tua lantas membentak, "Siapa kalian? Mau apa datang ke sini?"
Dari jauh Toan Ki dapat melihat kedua orang itu sama memanggul sebuah kantong obat dan embawa golok lebar-pendek, segera sahutnya, "Cayhe bernama Toan Ki, ada urusan penting mohon bertemu dengan Sikong-pangcu kalian."
"Urusan apa?" tanya lelaki tua tadi.
"Setelah bertemu dengan Pangcu kalian, dengan sendirinya akan kututurkan," kata Toan Ki.
"Saudara tergolong aliran mana, siapa gerangan gurumu?" tanya pula lelaki tua itu.
"Aku tidak termasuk sesuatu golongan dan aliran." sahut Toan Ki. "Guruku bernama Bing Sut-seng, beliau khusus mempelajari Koh-bun-siang-si, dalam hal ilmu Kong-yang, dia juga mahir."
Kiranya guru yang dia maksudkan adalah guru yang mengajarkan dia membaca dan menulis. Tapi bagi pendengaran lelaki tua itu, istilah "Koh-bun-siang-si" (sastra kuno dan kitab baru) dan "Kong Yang" (cerita tentang kambing jantan) disangkanya dua macam ilmu silat yang sakti. Apalagi melihat Toan Ki mengipas-kipas dengan sikap dingin, seakan-akan seorang yang memiliki ilmu kosen. Maka ia tidak berani sembrono lagi, walaupun tidak pernah mendengar ada seorang jago silat bernama Bing Sut-seng, tapi orang menegaskan mahir dalam macam-macam ilmu, tentunya bukan membual belaka. Cepat ia berkata, "Jika demikian, harap Toan-
siauhiap tunggu sebentar, akan kulaporkan Pangcu."
Habis itu, buru-buru ia tinggal pergi ke balik lereng gunung sana.
"Kau bohongi dia tentang Kong-yang dan Bo-yang (kambing jantan dan kambing betina) segala, ilmu macam apakah itu?" tanya Ciong Ling. "Sebentar jika Sikong Hian hendak mengujimu, mungkin sukar bagimu menjawabnya."
"Seluruh isi Kong-yang-toan (kitab cerita tentang kambing jantan) sudah kubaca hingga hafal, kalau Sikong Hian mengujiku, tidak nanti aku kewalahan," sahut Toan Ki.
Ciong Ling terbelalak bingung oleh jawaban yang tak keruan juntrungannya. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Kong-yang-toan itu adalah nama kitab sastra karya Kong-yang Ko di zaman Chun-chiu.
Sementara itu tertampak lelaki tua tadi telah kembali dengan muka masam, katanya pada Toan Ki, "Tadi kau sembarangan mengoceh apa, sekarang Pangcu memanggilmu."
Melihat gelagatnya, agaknya dia telah didamprat oleh sang Pangcu, Sikong Hian.
Toan Ki mengangguk dan ikut di belakang orang.
"Mari kutunjukkan jalan," kata lelaki tua itu sembari menarik tangan Toan Ki. Setelah berjalan beberapa tindak, perlahan ia kerahkan tenaga di tangan.
Keruan Toan Ki kesakitan, sambil merintih tertahan ia berkaok, "Aduh! Perlahan sedikit!"
Akan tetapi genggaman lelaki tua itu semakin kencang hingga mirip tanggam kuatnya. Saking tak tahan, akhirnya Toan Ki menjerit kesakitan.
Kiranya ketika lelaki itu menyampaikan tentang "Koh-bun-siang-si" dan "Kong-yang-toan" yang dikatakan Toan Ki tadi, ia telah didamprat sang Pangcu. Karena mendongkol, ia sengaja hendak mengukur ilmu silat Toan Ki. Di luar dugaan, baru sedikit meremas, pemuda itu sudah gembar-gembor kesakitan.
Segera ia bermaksud meremas patah beberapa tulang jari orang, tapi mendadak pergelangan tangan sendiri terasa "nyes" dingin seperti dibelit oleh sesuatu. "Krek", tahu-tahu tulang pergelangan tangannya patah.
Saking sakitnya, lelaki tua itu cepat memeriksa tangan sendiri, tapi tidak tampak sesuatu benda apa pun. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa diam-diam Ciong Ling yang telah membantu Toan Ki dengan melepaskan Jing-leng-cu untuk mematahkan tulang tangannya, sebaliknya ia menyangka dari tangan Toan Ki yang telah timbul semacam tenaga getaran lihai. Dalam dongkolnya, timbul juga rasa jerinya, ia pikir Lwekang orang ini sedemikian hebatnya, kalau dirinya tidak kenal gelagat, boleh jadi akan lebih celaka lagi nanti.
Meski menanggung rasa sakit luar biasa hingga keringat dingin menetes dari jidatnya sebesar kedelai, namun lelaki itu masih berlagak kuat, sedikit pun tidak merintih sakit, tetap bertindak dengan langkah lebar seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
"Engkau ini sungguh orang kasar," Toan Ki mengomel, "orang berjabatan tangan kan tidak perlu menggunakan tenaga sebesar itu, kukira engkau tidak bermaksud baik."
Lelaki itu tidak menggubrisnya, ia percepat langkahnya dan membelok ke balik lereng sana.
Waktu Ciong Ling memandang, ia lihat di tengah gundukan batu padas sana berduduk lebih 20 orang. Ia sadar telah masuk ke sarang harimau, maka ia pun cepat menyusul rapat di belakang Toan Ki.
Setelah dekat, Toan Ki melihat di tengah gerombolan orang itu berduduk seorang kakek kurus kecil di atas batu padas yang paling tinggi, berjenggot macam kambing tua, sikapnya sangat angkuh. Pantas lelaki tadi didamprat ketika melaporkan ucapan Toan Ki tentang "cerita si kambing jantan" segala, sebab ternyata kakek kurus kecil itu berjenggot ala kambing.
Toan Ki tahu pasti kakek inilah Pangcu Sin-long-pang, Sikong Hian. Segera ia memberi hormat dan berkata, "Sikong-pangcu, terimalah hormatku, Toan Ki."
Sikong Hian hanya sedikit membungkukkan badan, tapi tidak berbangkit, tanyanya, "Ada urusan apa saudara datang ke sini?"
"Kabarnya kalian ada permusuhan dengan Bu-liang-kiam," tutur Toan Ki. "Cayhe sendiri hari ini telah menyaksikan kematian dua orang Bu-liang-kiam secara mengenaskan, karena tidak tega, maka sengaja datang kemari untuk memberi jasa baik. Hendaklah diketahui bahwa permusuhan lebih baik dilenyapkan daripada diperpanjang. Apalagi bunuh-membunuh dan berkelahi juga melanggar undang-undang negara, kalau diketahui pembesar setempat, pasti sama-sama tidak enak. Maka sudilah Sikong-pangcu membatalkan maksud kurang baik ini sebelum terlambat dan lekas-lekas pergi dari sini, jangan mencari perkara lagi kepada Bu-liang-kiam."
Dengan sikap dingin dan tak acuh Sikong Hian mendengarkan cerita Toan Ki itu tanpa komentar, ia hanya meliriknya.
Maka Toan Ki berkata lagi, "Apa yang kukatakan ini timbul dari maksud baikku, harap Pangcu suka pikirkan dengan baik."
Masih dengan sikap aneh Sikong Hian memandangi pemuda itu, mendadak ia terbahak-bahak, katanya, "Siapakah kau bocah ini berani bergurau dengan tuanmu? Siapa yang suruh kau ke sini?"
"Siapa yang suruh aku ke sini?" Toan Ki menegas. "Sudah tentu aku sendiri!"
"Hm," jengek Sikong Hian mendongkol. "Selama berpuluh tahun aku berkelana di Kangouw dan belum pernah kulihat seorang bocah bernyali sebesar kau ini hingga berani main gila padaku. A Toh, tangkap kedua bocah ini."
Segera seorang laki-laki tegap mengiakan dan melompat maju hendak mencengkeram lengan Toan Ki.
"Eeh, jangan!" seru Ciong Ling cepat. "Sikong-pangcu. Toan-siangkong ini menasihati engkau dengan maksud baik, jika tidak mau menurut boleh terserah, kenapa main kekerasan?"
Lalu ia berpaling pada Toan Ki dan berkata, "Toan-heng, jika Sin-long-pang tidak mau mendengar nasihatmu, kita juga tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Marilah pergi!"
Akan tetapi lelaki tegap tadi sudah memegangi kedua tangan Toan Ki terus ditelikung ke belakang sambil menunggu perintah sang Pangcu lebih jauh. Keruan Toan Ki meringis kesakitan.
Maka Sikong Hian berkata pula dengan dingin, "Hm, Sin-long-pang justru tidak suka orang lain ikut campur urusannya, kalian berdua bocah ini anak siapa, masa boleh pergi datang sesukamu, ha? Pasti di balik layar ada sesuatu yang mencurigakan. A Hong, tawan sekalian anak perempuan itu!"
Kembali seorang laki-laki kekar lain mengiakan terus hendak menangkap Ciong Ling. Namun sedikit mengegos mundur, Ciong Ling berkata pula, "Sikong-pangcu, jangan kira aku takut padamu. Soalnya ayahku melarang aku bikin onar di luaran, maka aku tidak suka cari perkara. Lekas suruh orangmu melepaskan Toan-heng itu, jangan kau paksa aku turun tangan, akibatnya pasti tidak enak."
"Hahaha, anak perempuan omong besar," Sikong Hian terbahak-bahak. "A Hong, lekas kerjakan!" Kembali lelaki bernama A Hong mengiakan terus mencengkeram lengan Ciong Ling. Di luar dugaan, sekonyong-konyong telapak tangan kiri si gadis memotong ke kuduk A Hong. Cepat A Hong menunduk, namun celakalah dia, tahu-tahu kepalan kanan Ciong Ling secepat kilat menggenjot dari bawah ke atas, "plok", janggutnya tepat kena dipukul, tanpa ampun lagi tubuh A Hong segede kerbau itu mencelat dan jatuh terjengkang serta tak bisa berkutik.
"Ehm, tampaknya anak perempuan ini boleh juga," ujar Sikong Hian tawar, "tapi kalau hendak main gila dengan Sin-long-pang, rasanya belum cukup memadai."
Segera ia mengedipi seorang tua kurus tinggi di sampingnya.
Orang tua itu tinggi lencir mirip galah bambu, tanpa suara tahu-tahu ia sudah berada di depan Ciong Ling.
Lucu juga tampaknya kedua seteru itu, yang satu teramat tinggi, yang lain pendek, selisih kedua orang hampir setengah badan.
Segera kakek itu ulur kesepuluh jarinya yang mirip cakar burung terus mencengkeram pundak Ciong Ling.
Melihat serangan lawan cukup lihai, cepat Ciong Ling berkelit ke samping, jari kakek itu menyambar lewat di samping pipinya hingga terasa angin serangan itu sangat keras, diam-diam gadis itu terperanjat, serunya cepat, "Sikong-pangcu, lekas kau perintahkan orangmu berhenti. Bila tidak, jangan salahkan aku turun tangan keji, kelak kalau aku diomeli ayah-ibu, kau pun tidak terlepas dari tanggung jawab."
Sedang Ciong Ling berkata, sementara itu si kakek jangkung beruntun sudah menyerang tiga kali lagi, tapi selalu dapat dihindarkan si gadis pada saat berbahaya.
"Tangkap dia!" bentak Sikong Hian tanpa peduli teriakan Ciong Ling.
Segera si kakek jangkung menyerang pula, tangan kanan pura-pura menghantam, tahu-tahu tangan kiri mencengkeram lengan Ciong Ling.
Gadis itu menjerit kaget, saking kesakitan hingga wajahnya pucat. Namun mendadak si gadis ayun tangan kiri ke depan, tiba-tiba selarik sinar emas menyambar, kakek jangkung itu hanya mendengus tertahan sekali terus melepaskan lengan Ciong Ling dan jatuh duduk di tanah. Kiranya Kim-leng-cu secepat kilat telah menggigit sekali punggung tangan lawan, lalu melompat kembali ke tangan Ciong Ling.
Lekas seorang laki-laki setengah umur berjubah panjang di samping Sikong Hian membangunkan si kakek jangkung, ia merasa sekujur badan sang kawan itu menggigil hebat, punggung tangan tampak bersemu hitam dan menjalar ke bagian tubuh yang lain dengan cepat.
Kembali Ciong Ling bersuit, Kim-leng-cu melejit ke muka lelaki yang menawan Toan Ki. Cepat orang itu hendak menangkis dengan tangan, tapi kebetulan bagi Kim-leng-cu, terus saja dipagutnya tangan itu.
Ilmu silat lelaki itu jauh di bawah si kakek jangkung, keruan ia lebih-lebih tak tahan, seketika ia meringkal di lantai bagai cacing sambil merintih-rintih.
Segera Ciong Ling menarik Toan Ki dan diajak pergi, bisiknya, "Kita sudah bikin onar, lekas lari!"
Orang-orang yang berada di sekitar Sikong Hian itu adalah gembong-gembong Sin-long-pang semua, selama hidup mereka berusaha mencari obat dan menjual jamu, maka segala macam ular atau lebah berbisa pernah dilihatnya, tapi Kim-leng-cu yang bisa melayang pergi datang secepat kilat dan berbisa jahat itu, tiada seorang pun di antara mereka yang kenal jenis ular apakah itu.
Dalam kagetnya, tanpa merasa Sikong Hian berseru, "He, apakah 'Uh-hiat-su-leng'? Lekas tangkap bocah perempuan itu, jangan sampai lolos!"
Segera empat lelaki di sampingnya melompat maju dan mengepung dari beberapa penjuru. Namun sekali bersuit, Ciong Ling sudah lolos Jing-leng-cu yang melilit di pinggangnya itu, sekali sabet, ia tahan dua musuh yang menubruk maju. Berbareng Kim-leng-cu telah dilepaskan hingga berturut-turut keempat lelaki itu kena dipagutnya. Cukup sekali gigit saja, setiap orang itu lantas terkapar, ada yang berkelejetan, ada pula yang meringkal bagai cacing.
Melihat ular kecil itu terlalu lihai, namun jago-jago Sin-long-pang itu tiada yang berani mundur di hadapan sang Pangcu, kembali 7-8 orang memburu maju pula sambil membentak-bentak.
"Jika ingin selamat, hendaklah jangan maju," seru Ciong Ling. "Siapa pun yang kena tergigit Kim-leng-cu ini, tiada obat penolongnya."
Jago-jago Sin-long-pang itu bersenjata semua, ada yang membawa golok, ada yang memakai cangkul pendek dan lain-lain, mereka berharap dengan senjata itu dapat menahan serangan ular emas lawan.
Namun ular kecil itu teramat gesit, lebih cepat daripada segala macam senjata rahasia, setiap kali asal senjata lawan menyerang, cukup sekali tolak ekornya di atas senjata lawan, tahu-tahu ia sudah melejit ke depan dan dapat menggigit musuh. Maka dalam sekejap saja, kembali beberapa orang roboh terjungkal pula.
Sikong Hian tak dapat tinggal diam lagi, ia gulung lengan baju dan cepat mengeluarkan sebotol obat air, ia tuang obat itu dan gosok-gosok telapak tangan dan lengannya, lalu melompat ke depan Ciong Ling dan Toan Ki sambil membentak, "Berhenti!"
Sekonyong-konyong Kim-leng-cu melejit lagi dari tangan Ciong Ling hendak menggigit batang hidung Sikong Hian. Cepat Pangcu Sin-long-pang itu angkat tangannya ke atas dengan rada mengirik sendiri, sebab ia tidak tahu apakah obat ular ciptaan sendiri itu manjur tidak untuk menghadapi ular emas yang gesit dan lihai luar biasa itu, jika tidak manjur, bukan saja nama baiknya selama ini akan hanyut, bahkan Sin-long-pang sejak itu pun akan ludes.
Untung baginya, baru saja Kim-leng-cu pentang mulut hendak pagut tangannya, mendadak binatang itu menikung di atas udara, ekornya menutul telapak tangan Sikong Hian, terus melompat kembali ke tangan Ciong Ling.
Girang Sikong Hian tak terkira, terus saja tangan kirinya memukul, saking hebat angin pukulannya itu, pula tak sempat berkelit, Ciong Ling tergetar sempoyongan, hampir saja terjungkal. Bahkan angin pukulan itu masih terus menyambar ke belakang hingga Toan Ki ikut tergetar dan roboh terjengkang.
Ciong Ling terkejut, berulang-ulang ia bersuit mendesak Kim-leng-cu menyerang musuh.
Kembali ular emas itu memelesat ke depan, namun obat yang terpoles di tangan Sikong Hian itu justru adalah obat jitu anti Kim-leng-cu, binatang itu tidak berani sembarangan memagut lagi, jika hendak menggigit muka atau bagian bawah badan, segera Sikong Hian mainkan kedua telapak tangannya sedemikian cepatnya hingga air pun tak bisa tembus.
Segera Ciong Ling putar Jing-leng-cu mengeroyoknya dari samping. Karena tidak tahu Jing-leng-cu itu tak berbisa, Sikong Hian menjadi waswas, ia menjaga diri dengan rapat sambil membentak-bentak memberi perintah kepada begundalnya.
Maka tertampaklah berpuluh orang anggota Sin-long-pang mengepung maju, setiap orang membawa segebung rumput obat yang dinyalakan, asap rumput itu mengepul tebal sekali.
Baru saja Toan Ki merangkak bangun dari jatuhnya tadi, begitu mencium bau asap rumput itu, seketika ia roboh dan pingsan pula. Lamat-lamat ia lihat Ciong Ling juga mulai sempoyongan menyusul gadis itu pun terjungkal.
Segera dua anggota Sin-long-pang menubruk maju hendak meringkus Ciong Ling, tapi Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu teramat setia membela sang majikan, segera dipagutnya pula kedua orang itu. Kontan yang satu meringkal keracunan bagai ebi dan yang lain tulang kaki patah kena dibelit oleh Jing-leng-cu yang keras bagai kawat baja itu.
Seketika itu jago-jago Sin-long-pang menjadi jeri, beramai-ramai mereka merubung kedua muda-mudi yang menggeletak di tanah itu dan tidak berani sembarangan turun tangan.
Cepat Sikong Hian berseru, "Bakar kunyit di sebelah timur, di sebelah selatan dibakar Sia-hio (semacam bibit wangi dari musang), semua orang menyingkir dari barat-laut!"
Segera anak buahnya mengikuti perintah itu, biasanya segala macam bekal obat-obatan selalu tersedia dalam Sin-long-pang, obat yang dibakar itu baunya sangat keras, begitu dibakar, seketika menyiarkan asap tebal yang berbau menusuk hidung dan tertiup ke arah Ciong Ling.
Tak terduga, meski di bawah embusan asap yang merupakan obat anti mereka, namun Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu masih tetap lincah dan gesit, dalam sekejap saja lagi-lagi beberapa orang Sin-long-pang digigit roboh lagi.
Sikong Hian berkerut kening, cepat ia mendapat akal, serunya, "Lekas gali tanah dan uruk anak perempuan ini hidup-hidup bersama ular-ularnya."
Gegaman sebangsa cangkul dan sebagainya selalu tersedia di tangan anak buah Sin-long-pang, cepat saja mereka menggali tanah dan diuruk ke atas tubuh Ciong Ling.
Waktu itu pikiran sehat Toan Ki masih belum lenyap sama sekali, ia pikir sebab musabab dari segala peristiwa itu berpangkal atas dirinya, kalau Ciong Ling mengalami nasib mati dikubur hidup-hidup, rasanya dirinya juga tak bisa hidup sendiri. Maka sekuatnya ia melompat ke atas tubuh si gadis dan merangkulnya sambil berseru, "Bagaimanapun biarlah kita gugur bersama!"
Menyusul ia merasa batu pasir beterbangan menjatuhi badannya.
Mendengar kata-kata "bagaimanapun biarlah kita gugur bersama" itu, hati Sikong Hian ikut tergerak, ia lihat di sekitarnya menggeletak lebih 20 anak buahnya, beberapa di antaranya bahkan adalah tokoh penting, termasuk pula dua orang Sutenya, jika anak perempuan ini dibunuh untuk melampiaskan rasa gusar sendiri, namun racun ular emas itu terlalu lihai, tanpa obat penawar si gadis, tentu sukar menolong jiwa orang-orangnya itu. Maka cepat katanya, "Biarkan jiwa kedua bocah itu tetap hidup, jangan uruk bagian kepala mereka!"
Ciong Ling sendiri lemas tak bertenaga, ia merasa badan tertindih Toan Ki dan makin lama makin berat, keduanya sama-sama tak bisa berkutik. Maka dalam sekejap saja, badan kedua muda-mudi itu bersama Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu sudah terpendam di bawah tanah, hanya kepala mereka yang menongol keluar.
"Anak perempuan, coba katakan sekarang, ingin mati atau hidup?" tanya Sikong Hian dengan nada dingin.
"Sudah tentu ingin hidup," sahut Ciong Ling. "Jika aku dan Toan-heng tewas, kalian rasanya juga takkan bisa hidup."
"Baik," ujar Sikong Hian, "lekas serahkan obat penawar racun ular, lantas kuampuni jiwamu."
"Tidak, hanya jiwaku saja tidak cukup, harus jiwa kami berdua," kata Ciong Ling.
"Baiklah boleh kuampuni jiwa kalian berdua," sahut Sikong Hian. "Nah, mana obat penawarnya?"
"Aku tidak membawa obat penawar," kata si gadis. "Racun Kim-leng-cu ini hanya ayahku saja yang bisa mengobatinya. Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan kau paksakan aku turun tangan, sebab ayah pasti akan marah padaku dan bagimu juga tiada gunanya."
"Bocah cilik, dalam keadaan begini masih berani membual!" sahut Sikong Hian bengis, "kalau kakek kadung murka, bisa kutinggalkan kau di sini hingga mati kelaparan."
"Eh, apa yang kukatakan adalah sesungguhnya, kenapa engkau tidak percaya," kata Ciong Ling. "Ai, pendek kata, urusan sudah kadung runyam, mungkin ayah tak dapat dibohongi, lantas bagaimana baiknya?"
"Siapa nama ayahmu?" tanya Sikong Hian.
"Usiamu sudah tua, kenapa engkau tidak kenal aturan?" sahut si gadis. "Nama ayahku mana boleh sembarangan kukatakan padamu?"
Sungguh kewalahan Sikong Hian, meski berpuluh tahun dia malang melintang di dunia Kangouw, tapi menghadapi dua bocah seperti Ciong Ling dan Toan Ki, ia benar-benar tak berdaya. Dengan gemas ia berkata pula, "Ambilkan api, biar kubakar dulu rambut anak perempuan ini, coba lihat dia mau mengaku atau tidak."
Segera anak buahnya mengangsurkan sebuah obor, Sikong Hian terus mendekati Ciong Ling dengan memegang obor itu.
Keruan Ciong Ling ketakutan melihat wajah orang yang bengis itu, ia berteriak-teriak, "Hei, jangan! Memangnya tidak sakit rambut dibakar? Kenapa tidak coba kau bakar jenggotmu sendiri saja?"
"Sudah tentu kutahu sakit, buat apa kubakar jenggot sendiri?" sahut Sikong Hian dengan tertawa ejek. Terus saja ia angkat obor dan diabat-abitkan di depan hidung Ciong Ling, keruan gadis itu menjerit takut.
Cepat Toan Ki memeluk tubuh si gadis lebih kencang sambil berseru, "He, jenggot kambing, urusan ini berpangkal kesalahanku, biar rambutku saja boleh kau bakar!"
"Jangan, kau pun akan merasa sakit!" ujar Ciong Ling.
"Jika kau takut sakit, lekas keluarkan obat penawarnya untuk menolong saudara kami itu," desak Sikong Hian.
"Engkau ini orang tua, tapi bodoh melebihi kerbau," sahut Ciong Ling. "Sejak tadi sudah kukatakan bahwa hanya ayahku yang bisa menyembuhkan keracunan Kim-leng-cu, bahkan ibuku pun tidak bisa. Memangnya kau sangka mudah mengobatinya?"
Mendengar sekitarnya berisik dengan suara merintih orang yang digigit Kim-leng-cu tadi, Sikong Hian menduga pasti racun ular ini sangat menyakitkan, bila tidak, anak buahnya yang tergolong laki-laki gagah itu, biasanya biarpun sebelah kaki atau tangan dikutungi orang juga tidak sudi merengek sedikit pun. Tapi kini meski sudah minum obat penawar racun ular buatan sendiri, namun toh masih merintih tidak tahan, terang obat ular yang biasanya sangat mujarab itu pun tidak berguna, dalam putus asanya, Sikong Hian terus memelototi Ciong Ling sambil membentak, "Siapa bapakmu, lekas katakan namanya!"
"Apa benar engkau ingin tahu, kau tidak takut mendengarnya?" tanya si gadis.
Mendadak hati Sikong Hian tergerak, ia jajarkan istilah "Uh-hiat-su-leng" dengan nama seorang, pikirnya, "Apa mungkin 'Uh-hiat-su-leng' ini adalah piaraan orang ini? Jika orang ini belum mati, dan selama ini dia hanya mengasingkan diri, hanya pura-pura mati saja, lalu aku mengungkat namanya, kelak dia pasti akan bikin repot padaku."
Sekilas Ciong Ling melihat wajah Sikong Hian menampilkan rasa jeri, ia sangat senang, segera katanya pula, "Makanya lekas kau lepaskan kami, supaya ayahku tidak bikin susah padamu."
Secepat kilat benak Sikong Hian timbul beberapa pikiran, "Bila kulepaskan dia, dan ayahnya benar adalah orang yang kuduga, setelah nona ini ditanya, pasti dia akan tahu aku telah dapat meraba rahasianya, lalu jiwaku pasti takkan dibiarkan hidup oleh orang itu? Tentu dia akan membunuh diriku untuk menutupi rahasianya. Tapi kalau kini kubunuh anak perempuan ini, para saudara yang menderita ini pun susah dipertahankan jiwanya. Hm, sekali sudah berbuat, kepalang bila tidak kuteruskan sampai titik terakhir!"
Setelah ambil keputusan, diam-diam tangan kirinya terus mengerahkan tenaga dan menghantam kepala Ciong Ling.
Melihat sikap orang mendadak berubah, segera Ciong Ling tahu gelagat jelek, ketika melihat pula tangan orang memukul, cepat ia berteriak, "Hai, tahan, jangan pukul dulu!"
Namun Sikong Hian tidak ambil peduli lagi, pukulan tetap diteruskan, tapi baru saja hampir menyentuh kepala si gadis, sekonyong-konyong bagian kuduk terasa sakit seperti digigit sesuatu, karena itu, walaupun pukulannya itu tetap mengenai kepala Ciong Ling, namun tenaga sudah lenyap di tengah jalan hingga mirip mengusap rambut si gadis saja.
Kejut Sikong Hian tak terkira, cepat ia tarik napas panjang untuk melindungi jantungnya, tangan lain melepaskan obor terus berputar ke belakang leher untuk menangkap tapi celaka, lagi-lagi punggung tangan terasa digigit.
Kiranya sesudah Kim-leng-cu terpendam dalam tanah, diam-diam ia telah menyusup keluar, dan pada saat Sikong Hian tidak menduga-duga mendadak binatang itu menyerang. Keruan Sikong Hian sangat cemas dan khawatir, cepat ia duduk bersila di tanah dan mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir racun.
Segera anak buahnya menyekop tanah dan menguruk lagi ke atas Kim-leng-cu, namun binatang itu sempat melejit dan menggigit roboh seorang lagi, dalam kegelapan tampak sinar emas gemerlap beberapa kali, tahu-tahu dia sudah lari ke dalam semak-semak rumput.
Lekas anak buah Sikong Hian mengambilkan obat ular untuk sang Pangcu, setelah luar-dalam memakai obat, mulut sang Pangcu dijejal pula sebatang Jin-som untuk memperkuat tenaganya. Berbareng Sikong Hian pun mengerahkan Lwekang untuk melawan racun ular, tapi tiada seberapa lama, ia lemas tak tahan, terpaksa ia ambil keputusan kilat, ia lolos sebatang golok pendek terus menebas lengan kanan sendiri hingga kutung. Namun tengkuknya yang juga digigit ular itu kan tak mungkin kepala mesti ikut dipenggal juga.
Melihat keadaan sang Pangcu yang luar biasa itu, anak buah Sin-long-pang sama ngeri, lekas mereka membubuhi lengan Sikong Hian dengan obat luka, namun darah mengucur bagai sumber air, begitu obat dibubuhkan, segera diterjang buyar oleh air darah. Cepat seorang anak buah sobek lengan baju sendiri untuk membalut lengan kutung sang Pangcu, dengan demikian lambat laun darah dapat dihentikan.
Melihat itu, muka Ciong Ling pun pucat ngeri, ia tidak berani bersuara lagi.
"Apakah ular emas tadi adalah Kim-leng-cu dari Uh-hiat-su-leng?" tiba-tiba Sikong Hian tanya dengan suara geram.
"Ya," sahut Ciong Ling.
"Kalau kena digigit, setelah linu pegal tujuh hari baru korban akan mati, betul tidak?" tanya Sikong Hian pula.
Kembali si gadis mengiakan.
"Seret anak muda itu," perintah Sikong Hian pada anak buahnya.
Beramai-ramai anggota Sin-long-pang terus menyeret Toan Ki dari bawah gundukan tanah.
"He, he, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan dia, jangan bikin susah padanya!" cepat Ciong Ling berteriak sambil meronta-ronta hendak melompat bangun.
Namun anak buah Sin-long-pang itu cepat menguruk pasir batu pula ke tempat yang luang bekas Toan Ki tadi hingga Ciong Ling tak bisa berkutik. Saking khawatir mengira Toan Ki akan dibunuh, gadis itu menangis tergerung-gerung.
Sebenarnya Toan Ki pun ketakutan, tapi sedapatnya ia tenangkan diri, katanya dengan tersenyum, "Nona Ciong, seorang jantan sejati pandang kematian bagai pulang ke rumah, kita tidak boleh takut di hadapan kawanan orang jahat ini."
"Aku bukan jantan sejati, maka aku tidak mau pandang kematian seperti pulang ke rumah," sahut Ciong Ling.
Mendadak Sikong Hian memberi perintah, "Beri minum bocah ini dengan Toan-jiong-san, pakai takaran untuk tujuh hari lamanya."
Segera anak buahnya mengeluarkan sebotol obat bubuk merah dan mencekoki Toan Ki dengan paksa.
Keruan Ciong Ling khawatir setengah mati, ia berteriak-teriak, "He, he, itu racun, jangan mau minum!"
Ketika mendengar nama "Toan-jiong-san" atau obat bubuk perantas usus, segera Toan Ki tahu racun itu sangat lihai, tapi dirinya sudah jatuh di bawah cengkeraman orang, tidak minum terang tidak mungkin, maka dengan ikhlas ia telan obat bubuk itu, malahan mulutnya sengaja berkecek-kecek, lalu katanya dengan tertawa, "Ehm, manis juga rasanya. Eh, Sikong-pangcu,
apakah kau pun akan minum barang setengah botol?"
Sikong Hian menjengek gusar tanpa menjawab, sebaliknya Ciong Ling yang sedang menangis itu mendadak tertawa geli, tapi lantas menangis lagi.
"Toan-jiong-san ini baru akan bekerja sesudah tujuh hari nanti hingga usus dan perutnya akan hancur," kata Sikong Hian kemudian. "Maka selama tujuh hari ini hendaknya lekas kau pergi mengambilkan obat penawar racun ular itu, bila tugas ini kau lakukan dengan baik, nanti aku pun memberi obat penawar racun padamu."
"Sulit," sahut Ciong Ling. "Racun Kim-leng-cu itu hanya bisa dipunahkan dengan Lwekang khas ayahku sendiri, selamanya tidak ada obat penawar."
"Jika begitu, suruh ayahmu datang ke sini untuk menolongmu," kata Sikong Hian.
"Enak saja kau bicara," sahut si gadis, "tak mungkin ayahku sembarangan keluar rumah. Sudah pasti dia takkan keluar selangkah pun dari lembah gunung kami."
Sikong Hian dapat memercayai apa yang dikatakan Ciong Ling itu, seketika ia menjadi ragu-ragu.
"Paling baik begini saja," tiba-tiba Toan Ki mengusul, "kita beramai-ramai pergi ke rumah nona Ciong dan mohon orang tuanya menyembuhkan racun ular, cara demikian bukankah lebih cepat dan tepat."
"Tidak, tidak boleh jadi!" kata Ciong Ling. "Ayahku pernah menyatakan, tak peduli siapa pun juga, asal menginjak setindak ke dalam lembah kami, orang itu harus dibinasakan."
Sementara itu luka gigitan ular di belakang leher Sikong Hian terasa makin pegal dan gatal, dengan gusar ia berteriak, "Aku tak peduli tetek bengek itu, kalau kau tidak mengundang ayahmu kemari, biarlah kita gugur bersama."
Ciong Ling pikir sejenak, lalu katanya, "Kau lepaskan aku dulu, biar kutulis sepucuk surat kepada ayah untuk memohon kedatangannya. Tapi harus kau suruh seorang yang tidak takut mati untuk menyampaikan surat pada beliau."
"Bukankah bocah she Toan ini bisa kusuruh ke sana, buat apa suruh orang lain?" kata Sikong Hian gemas.
"Ai, engkau benar-benar pelupa." ujar si gadis. "Bukankah sudah kukatakan, barang siapa berani menginjak selangkah saja ke lembah kami dia akan binasa. Dan aku tidak ingin Toan-heng ini mati, tahu tidak?"
"Jika dia takut mati, apa anak buahku tidak takut mati?" sahut Sikong Hian. "Sudah, sudah, tak perlu pergi, biarlah kita lihat saja, aku mati kemudian atau dia mampus duluan."
Kembali Ciong Ling menangis tergerung-gerung lagi, serunya, "Kau kakek jenggot kambing ini sungguh tidak tahu malu, hanya pandai menghina seorang nona cilik! Perbuatanmu ini apakah terhitung seorang kesatria sejati kalau diketahui orang Kangouw?"
Namun Sikong Hian tidak menggubrisnya, ia mengerahkan Lwekang sendiri untuk melawan bisa ular.
"Biarlah aku berangkat saja", kata Toan Ki tiba-tiba. "Nona Ciong, jika ayahmu tahu kedatanganku ke sana adalah untuk memohon dia datang ke sini menolongmu, kuyakin beliau pasti takkan mengapa-apakan diriku."
Tiba-tiba Ciong Ling mengunjuk girang, katanya, "Ah, aku mendapat akal. Begini, jangan kau katakan pada ayahku di mana aku berada. Tapi setelah kau bawa beliau ke sini, segera kau melarikan diri, kalau tidak, tentu celaka!"
"Ehm, bagus juga akalmu ini," ujar Toan Ki sambil manggut-manggut.
Lalu Ciong Ling berkata pula pada Sikong Hian, "He, jenggot kambing, begitu kembali nanti Toan-heng harus segera melarikan diri, lalu cara bagaimana engkau akan memberi obat penawar racun padanya?"
Sikong Hian menunjuk sepotong batu besar jauh di barat-laut sana dan berkata, "Aku akan suruh orang menunggu di sana dengan obat penawar, begitu Toan-kongcu ini lari sampai di sana bisa segera mendapatkan obatnya."
Ia berharap Toan Ki berhasil mengundang ayah Ciong Ling untuk menolong jiwanya, maka panggilannya kepada Toan Ki sekarang berubah menjadi terhormat.
Segera Sikong Hian memberi perintah agar anak buahnya menggali keluar Ciong Ling, tapi sebagai gantinya kedua tangan si gadis dibelenggu. Dalam pada itu tampak Jing-leng-cu masih kelogat-keloget di dalam tanah, sedang ular kecil lainnya sudah mati terpendam.
"Kau belenggu kedua tanganku, cara bagaimana aku bisa menulis surat?" kata Ciong Ling kemudian.
"Kau dara cilik ini terlalu licin, kau bilang hendak menulis surat, jangan-jangan akan main gila lagi," ujar Sikong Hian. "Tak perlu pakai surat segala, berikan sepotong barang milikmu kepada Toan-kongcu sebagai tanda pengenal untuk ayahmu."
"Kebetulan," sahut Ciong Ling tertawa. "Aku memang tidak suka tulis-menulis. Lalu benda apakah yang berada padaku? Ah, biarlah Jing-leng-cu saja kau bawa kepada ayahku, Toan-heng."
"He, jang ... jangan," seru Toan Ki cepat. "Dia takkan turut perintahku, kalau di tengah jalan aku digigitnya, kan celaka!"
"Jangan khawatir." ujar Ciong Ling tersenyum. "Dalam saku bajuku ada sebuah kotak kemala kecil, harap kau keluarkannya."
Segera Toan Ki masukkan tangan ke saku si nona, tapi baru tangan menyentuh baju, cepat ia tarik kembali tangannya. Ia merasa perbuatannya kurang sopan, masa tangan seorang pemuda gerayangan di dalam baju seorang gadis.
Namun Ciong Ling tidak pikir sampai di situ, desaknya malah, "Ayo, kenapa tidak lekas mengambil? Di saku sebelah kiri!"
Toan Ki pikir urusan sudah telanjur runyam, keadaan sangat mendesak, nona cilik ini pun masih kekanak-kanakan, sedikit pun tiada rasa perbedaan antara lelaki perempuan, maka aku pun tidak perlu pikir yang tidak-tidak.
Segera ia merogoh saku si gadis dan mengeluarkan sepotong benda bundar yang keras dan hangat-hangat.
"Di dalam kotak kemala itu terdapat benda anti Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu," kata Ciong Ling. "Jika Jing-leng-cu tidak menurut perintah, boleh kau ayun-ayun kotak kemala itu di atas kepalanya, dengan sendirinya dia tak berani main gila lagi."
Toan Ki menurut, ia angkat kotak kemala di depan kepala Jing-leng-cu, maka terdengarlah suara mendesis aneh beberapa kali di dalam kotak itu, seketika Jing-leng-cu sangat ketakutan hingga mengkeret badannya.
Senang sekali Toan Ki melihat itu, "Benda apakah di dalam kotak ini? Biar kumelihatnya!"
Segera ia hendak membuka tutup kotak itu.
Namun Ciong Ling keburu mencegah, "He, jangan! Tutup kotak sekali-kali tak boleh dibuka!"
"Sebab apa?" tanya Toan Ki.
Ciong Ling melirik sekejap ke arah Sikong Hian, lalu berkata, "Ini rahasia, tidak boleh didengar orang luar. Nanti kalau sudah kembali akan kuberi tahukan padamu."
"Baiklah," kata Toan Ki, sebelah tangan memegang kotak kemala, tangan lain melepaskan Jing-leng-cu dari pinggang Ciong Ling dan diikat di pinggang sendiri.
Ternyata Jing-leng-cu membiarkan dirinya diperbuat sesukanya oleh Toan Ki, sedikit pun tidak berani membangkang. Keruan pemuda itu sangat senang, katanya, "Hah, ular ini menarik juga!"
"Bila dia lapar, dia akan mencari makan sendiri, tak perlu khawatir baginya," kata Ciong Ling pula, "dan bila kau bersuit begini, dia akan menggigit orang, kalau kau mendesis begini, dia lantas kembali ke tanganmu."
Sembari berkata, ia bersuit memberi contoh.
Dengan rasa tertarik, Toan Ki menirukan ajaran si gadis.
Sebaliknya Sikong Hian tidak sabar, ia pikir anak muda ini benar-benar kurang ajar, sudah dekat ajal, masih main ular segala, segera ia membentak, "Lekas pergi dan cepat kembali! Jiwa semua orang tinggal beberapa hari saja, jika ada alangan dalam perjalanan tentu jiwa masing-masing akan melayang. Nona Ciong, dari sini ke tempat tinggalmu makan waktu berapa lama?"
"Kalau cepat, dua hari bisa sampai, pergi-pulang empat hari pun sudah cukup," sahut Ciong Ling.
Sikong Hian rada lega oleh jawaban itu, ia mendesak pula, "Baiklah, lekas berangkat, lekas!"
"Tapi belum kuberi tahu jalannya kepada Toan-heng, harap kalian menyingkir dari sini, siapa pun dilarang mendengarkan," kata si gadis.
Segera Sikong Hian memberi tanda hingga anak buahnya sama menyingkir pergi.
"Kau pun menyingkir," kata Ciong Ling pada Sikong Hian.
Diam-diam Sikong Hian geregetan, katanya dalam hati, "Kurang ajar! Kelak bila lukaku sudah sembuh, kalau tidak kubalas permainkan kau, percumalah aku menjadi manusia."
Segera ia berbangkit dan menyingkir pergi juga.
"Toan-heng," kata Ciong Ling kemudian sambil menghela napas lega, "baru saja kita berkenalan, kini sudah harus berpisah."
"Tidak apa, paling lama pergi-pulang cuma empat hari," sahut Toan Ki tertawa.
Sepasang mata bola Ciong Ling termangu memandangi anak muda itu, katanya, "Setiba di sana, harap menemui ibuku lebih dulu untuk menceritakan duduk perkaranya dan biar ibuku yang bicara kepada ayahku. Dengan demikian urusan akan lebih mudah diselesaikan."
Lalu ia gunakan ujung kaki untuk menggores-gores tanah, untuk menjelaskan jalan ke rumah tinggalnya itu.
Kiranya tempat tinggal Ciong Ling itu terletak di sebuah lembah di tepi barat sungai Lanjong. Meski jaraknya tidak jauh, tapi tempatnya tersembunyi dan sukar ditempuh, kalau tidak diberi petunjuk, orang luar tak nanti menemukannya.
Namun daya ingat Toan Ki sangat baik, apa yang ditunjukkan Ciong Ling biarpun menikung ke sana dan membelok ke sini secara membingungkan, tapi sekali dengar ia lantas ingat.
Setelah Ciong Ling selesai menguraikan, segera katanya, "Baiklah, sekarang aku akan berangkat!"
Terus saja ia putar tubuh dan bertindak pergi.
Tapi baru pemuda itu berjalan belasan tindak, tiba-tiba Ciong Ling teringat sesuatu, serunya, "Hei, kembali!"
"Ada apa?" tanya Toan Ki sambil memutar balik.
"Paling baik engkau jangan mengaku she Toan, lebih-lebih jangan bilang ayahmu mahir menggunakan It-yang-ci," pesan si gadis. "Sebab ... sebab mungkin sekali akan menimbulkan prasangka ayahku."
"Baiklah," sahut Toan Ki tertawa. Ia pikir nona ini meski masih sangat muda, tapi pikirannya ternyata amat teliti. Segera ia bertindak pergi sembari bernyanyi-nyanyi kecil.
Tatkala itu hari sudah gelap, sang dewi malam sudah menongol di tengah cakrawala, di bawah cahaya bulan Toan Ki terus menuju ke barat. Meski dia tak bisa ilmu silat, tapi usianya muda, tenaganya kuat, jalannya cukup cepat.
Setelah belasan li jauhnya, ia sudah melintas sampai di belakang gunung Bu-liang-san. Ia dengar suara gemerciknya air, di depan ada sebuah sungai kecil, karena merasa haus, Toan Ki menuju ke tepi sungai itu, ia lihat air sungai sangat bening, segera ia gunakan tangan untuk meraup air. Tapi belum lagi mulutnya mengecup air, tiba-tiba ia dengar suara orang tertawa dingin di belakang.
Dalam kejutnya cepat Toan Ki berpaling, maka tertampaklah gemerdepnya senjata tajam, ujung pedang sudah mengancam di dadanya. Waktu mendongak, ia lihat seorang tersenyum mengejek, kiranya Kam Jin-ho dari Bu-liang-kiam.
"Eh, kiranya kau, bikin kaget aku saja," kata Toan Ki berlagak tertawa. "Sudah malam begini, ada apa Kam-heng berada di sini?"
"Atas perintah guruku, aku justru lagi menunggumu di sini," sahut Kam Jin-ho. "Maka silakan Toan-heng ikut ke Kiam-oh-kiong untuk bicara sebentar."
"Urusan apakah? Harap tunda sampai lain hari saja," ujar Toan Ki. "Hari ini aku ada urusan penting dan perlu lekas berangkat."
"Tidak, betapa pun harap Toan-heng ke sana," kata Jin-ho. "Bila tidak, aku pasti akan didamprat oleh guruku."
Melihat wajah orang mengunjuk tanda kurang beres, hati Toan Ki tergerak, lamat-lamat ia dapat menebak apa maksud orang, pikirnya, "Celaka, mungkin dia sengaja hendak menahan aku agar penolong yang diundang tidak bisa datang, dengan demikian orang Sin-long-pang akan terbinasa dan Bu-liang-kiam mereka tidak khawatir lagi terhadap musuh utama itu."
Segera ia tanya pula, "Dari mana Kam-heng mengetahui aku akan datang ke sini?"
"Hm," jengek Jin-ho. "Perembukanmu dengan nona Ciong terhadap Sin-long-pang sudah kudengar dan lihat semuanya. Bu-liang-kiam tiada dendam permusuhan apa-apa denganmu, engkau pasti takkan dibikin susah. Yang diharap sukalah kau mampir barang beberapa hari ke tempat kami, kemudian engkau akan dibebaskan."
"Mampir beberapa hari?" Toan Ki menegas. "Kan bisa celaka, padahal aku telah minum Toan-jiong-san pihak Sin-long-pang, kalau racunnya bekerja lantas bagaimana?"
"Boleh jadi setelah minum sedikit obat urus-urus, perutmu takkan sakit lagi," kata Kam Jin-ho tertawa.
Diam-diam Toan Ki khawatir, seketika ia pun tiada akal untuk meloloskan diri. Kalau ikut pergi ke Kiam-oh-kiong, mungkin dirinya akan menjadi korban, bahkan Ciong Ling, Sikong Hian dan lain-lain juga akan binasa.
Dalam pada itu ujung pedang Kam Jin-ho sudah mengancam di dada Toan Ki hingga terasa sakit.
"Ayo, ikut! Mau atau tidak mau harus ikut ke sana!" kata murid Bu-liang-kiam itu.
"Dengan demikian, bukankah kalian sengaja hendak membunuh aku?" kata Toan Ki.
"Jika sudah berani berkelana di Kangouw, jiwa harus berani dibuat taruhan," ujar Jin-ho tertawa. "Orang penakut macammu ini sungguh terlalu."
Habis berkata, "sret", mendadak pedang terus mengiris ke bawah hingga baju Toan Ki terobek sepanjang puluhan senti.
Kam Jin-ho ini tidak malu sebagai murid pilihan Bu-liang-kiam, biarpun baju Toan Ki terobek disayat, namun badan sedikit pun tidak terluka. Maka tertampaklah perut Toan Ki yang putih itu, cepat pemuda itu memegangi bajunya yang kedodoran.
"Eh, putih juga, seperti perempuan," goda Jin-ho dengan tertawa. Mendadak ia berubah bengis, bentaknya, "Ayo, lekas jalan, jangan bikin tuanmu kehilangan sabar, sekaligus bisa kusayat mukamu hingga berpuluh jalur merah!"
Terpaksa, Toan Ki menurut, ia pikir nanti di tengah jalan harus mencari akal untuk meloloskan diri.
Segera ia betulkan bajunya, lalu katanya, "Jika sebelumnya kutahu Bu-liang-kiam kalian begini jahat, tentu aku tidak sudi ikut campur urusan kalian ini, biar kalian sekaligus diracun mampus oleh Sin-long-pang."
"Kau mengomel apa?" bentak Jin-ho. "Bu-liang-kiam kami adalah Eng-hiong-hohan (kesatria dan gagah) semua, masakan jeri terhadap kawanan Sin-long-pang yang tak kenal malu itu."
"Sret", kembali pedangnya menggores baju di punggung Toan Ki, ketika sampai pinggang, terdengar suara "krek", goresan pedang itu teralang sesuatu.
Mendadak barulah Toan Ki ingat bahwa di pinggangnya terlilit Jing-leng-cu, ia merasa dirinya terlalu goblok, kenapa sejak tadi tidak minta bantuan binatang itu? Segera ia bersuit menirukan Ciong Ling.
Begitu kepala Jing-leng-cu menegak, terus saja ia memagut ke muka Kam Jin-ho. Keruan jago Bu-liang-kiam itu kaget, cepat ia menyurut mundur. Sekali pagut tidak kena, Jing-leng-cu membalik ke bawah hendak melilit lengan Jin-ho.
Betapa lihainya ular hijau ini sudah dikenal Jin-ho, bahkan pedang gurunya pernah dililit patah. Maka cepat ia melompat berkelit pula.
Untung baginya, sebab Toan Ki belum pandai mengendalikan Jing-leng-cu, ia tidak melepaskan binatang itu dari pinggangnya, tapi terus bersuit memerintah untuk menyerang musuh, maka sebagian besar badan Jing-leng-cu masih melilit di pinggang, sebab itulah serangannya terbatas hingga dua kali memagut dapat dihindarkan Kam Jin-ho.
Melihat Kam Jin-ho melompat mundur, Toan Ki pikir inilah kesempatan baik, cepat ia angkat langkah seribu, ia berlari-lari ke arah barat.
"Hai, berhenti!" bentak Jin-ho sambil menguber. "Aku membawa obat anti ular, ular hijau itu tidak berani menggigit aku, tak mungkin kau bisa lolos!"
Walaupun begitu katanya, namun ia pun tidak berani mendesak terlalu dekat.
Dasar Toan Ki, belum sampai satu li jauhnya, napasnya sudah megap-megap.
Sebaliknya Kam Jin-ho sangat cekatan larinya, ia mendapatkan sepotong tangkai kayu pula dan digunakan memukul punggung Toan Ki.
Dalam gugupnya tiba-tiba timbul juga kecerdasan Toan Ki, cepat ia lepaskan Jing-leng-cu dari pinggang sambil bersuit, sekuatnya ia ayun ular itu ke belakang. Dengan demikian Kam Jin-ho menjadi jeri dan tertinggal lebih jauh.
Pikir jago Bu-liang-kiam itu, "Kau anak sekolahan ini sedikit pun tak bisa ilmu silat, asal aku terus mengintil di belakangmu, tiada sejam, tentu kau akan mati lelah."
Maka uber-menguber itu terus berlangsung menuju ke arah barat.
Tiada lama kemudian, napas Toan Ki benar-benar terasa hampir putus, jantung memukul keras seakan-akan meledak. Pikirnya, "Jika aku tertawan dia, jiwa nona Ciong pasti akan ikut menjadi korban."
Karena gugupnya ia tak bisa pilih jalan lagi, yang ia tuju selalu rimba lebat hutan belukar, ke sanalah dia menyusup terus.
Setelah menguber sebentar pula, mendadak Jin-ho dengar suara gemerujuknya air yang gemuruh. Tergerak pikirannya, waktu mendongak, ia lihat diarah barat-laut sana terdapat sebuah air terjun raksasa dengan airnya yang dituang ke bawah bagai sungai gantung.
Cepat Jin-ho berhenti sambil berteriak, "Hei, di depan adalah tempat larangan golongan kami, jika kau berani maju lagi hingga melanggar larangan, pasti kau akan mati tak terkubur!"
Bukannya Toan Ki berhenti, sebaliknya ia sangat girang dan berlari ke depan malah, pikirnya, Jika di sana adalah tempat larangan Bu-liang-kiam, tentu dia sendiri tidak berani mengejar pula. Jiwaku memang lagi terancam, takut apa?"
"Hai, lekas berhenti!" kembali Jin-ho berteriak. "Apa kau tidak pikirkan nyawamu lagi?"
"Aku justru ingin nyawaku, maka aku lari ...." baru sekian jawaban Toan Ki, sekonyong-konyong kakinya terasa menginjak tempat kosong. Ia tidak mahir ilmu silat, pula sedang berlari, tentu saja ia tidak bisa menahan diri, langsung tubuhnya anjlok ke bawah.
"Haya!" teriak Toan Ki kaget, namun badannya sudah terjerumus ke bawah jurang yang berpuluh tombak dalamnya.
Waktu Jin-ho memburu sampai di tepi jurang, yang terlihat hanya kabut tebal, apa yang terjadi di bawah jurang sedikit pun tidak terlihat. Ia menduga Toan Ki pasti akan terbanting hancur lebur, sedangkan tempat di mana dia berdiri adalah tempat terlarang golongan sendiri, maka ia tidak berani lama-lama di situ, cepat ia putar balik melaporkan kepada sang guru.
Sementara itu tubuh Toan Ki yang terapung di udara itu, kedua tangannya meraup ke sana-sini dengan harapan bisa menangkap sesuatu untuk menahan daya turunnya.
Kebetulan juga mendadak Jing-leng-cu yang masih dipegang olehnya itu dapat melilit pada suatu dahan pohon Siong yang tumbuh di dinding tebing. Beberapa kali badan ular itu membelit dengan kencang dan kuat di atas dahan itu.
Ketika mendadak Toan Ki merasa daya turunnya berhenti, hampir saja ia tidak kuat memegang Jing-leng-cu dan hampir pula terberosot ke bawah. Untung Jing-leng-cu cukup cerdik, cepat ekornya melilit beberapa kali di pergelangan tangan Toan Ki. Maka menjeritlah mendadak anak muda itu kesakitan.
Kiranya daya turunnya tadi sangat keras, sekali ditahan oleh ekor Jing-leng-cu secara mendadak, seketika lengan kanannya keseleo alias terkilir.
Badan Jing-leng-cu ternyata sangat keras dan kuat luar biasa, meski dibuat gantungan Toan Ki yang bobotnya ratusan kati itu sambil membuai-buai, namun masih bisa bertahan dengan baik.
Waktu Toan Ki memandang ke bawah, ia lihat awan terapung mengambang di udara jurang, betapa dalamnya jurang itu tidak terlihat. Untuk mendaki ke atas, terang tidak mungkin, apalagi tangannya keseleo, tenaga habis.
Pada saat itulah, badannya yang terayun terasa menempel dinding tebing, cepat ia ulur tangan kiri untuk meraih pangkal dahan, segera kakinya mendapatkan tempat berpijak pula, baru sekarang ia merasa lega dan tenang.
Ketika jurang itu diamat-amati, ia lihat di tengah jurang merekah sebuah celah panjang, di tengah celah itu banyak terdapat sebangsa batu pasir, kalau mau, mungkin juga bisa dibuat jalan merambat turun ke bawah dengan perlahan.
Setelah mengaso sebentar, Toan Ki merasa serbarunyam kalau tinggal di situ, kalau tidak bisa naik ke atas, terpaksa turun ke bawah jurang untuk mencari jalan keluar lain.
Meski dia hanya seorang sekolahan, namun mempunyai semangat banteng. Ia pikir jiwanya toh sisa temuan, kalau akhirnya mesti melayang lagi, biarlah. Mati ya mati, seorang laki-laki kenapa takut mati?
Segera ia bersuit pula, lalu mendesis-desis sebagai tanda kembalinya Jing-leng-cu.
Mendengar suara suitan, Jing-leng-cu lantas melepas belitannya di atas dahan dan kembali ke tangan Toan Ki. Maka badan binatang itu diikat pula pada dahan tempat berpijak, kemudian sambil memegangi badan ular, ia merosot ke bawah.
Setelah dekat ujung ekor ular, kakinya memperoleh tempat berpijak lagi, lalu menarik kembali Jing-leng-cu untuk dipakai tali memberosot ke bawah pula dan begitu seterusnya. Untung bagian bawah jurang itu tidak terlalu curam, akhirnya ia tidak perlu bantuan Jing-leng-cu sudah dapat turun ke bawah.
Ia dengar suara gemuruh air makin lama makin keras, ia menjadi khawatir lagi, "Jika di bawah sana ada arus air yang dahsyat, celakalah aku."
Ia merasa butiran air sudah berhamburan dan menciprat mukanya, begitu besar butiran air itu hingga menimbulkan rasa sakit pedas.
Akhirnya sampailah dia di dasar jurang. Waktu memandang ke depan, tanpa tertahan Toan Ki bersorak memuji. Ternyata di tebing kiri sana ada sebuah air terjun raksasa yang menuangkan airnya yang jernih ke sebuah danau besar, begitu luas danau itu hingga tidak kelihatan tepi sebelah sana.
Walaupun dituangi air terjun sekeras itu, namun air danau itu tidak menjadi penuh, tentu ada saluran yang membuang air itu ke tempat lain.
Tempat air terjun menggerujuk itu airnya bergulung-gulung, tapi belasan tombak di luar air terjun itu, air danau tenang bening bagai kaca.
Toan Ki terkesima oleh pemandangan alam yang menakjubkan itu. Karena itu ia sampai lupa pada sakit lengannya yang keseleo itu.
Ketika kemudian ia sadar akan rasa sakit itu, segera ia gulung lengan baju dan berkata pada ruas tulang yang keseleo itu, "Wahai, ruas tulang, jika kudapat membetulkanmu, tentu takkan sakit lagi. Tapi kalau salah sambung biarlah terserah nasib, lebih kesakitan juga masa bodoh."
Ia kertak gigi dan menarik sekuatnya lengan yang terkilir itu. "Krek", eh, tulang yang keseleo itu dapat diluruskan kembali, walaupun rasa sakitnya tidak kepalang, tapi lengan itu kini dapat bergerak dengan bebas lagi.
Toan Ki sangat girang, walaupun sudah menderita setengah harian, namun dasar semangat banteng, ia penuh gairah. Ia meraba Jing-leng-cu dan berkata, "Wahai, Jing-leng-cu, hari ini kalau kau tidak menyelamatkan jiwaku, tentu sejak tadi tuanmu ini sudah naik ke surga. Maka kelak pasti akan kusuruh tuan putrimu memiaramu terlebih baik."
Ia mendekati tepi danau dan meraup air untuk diminum, terasa airnya segar dan rada-rada manis pula.
Setelah tenangkan diri, Toan Ki pikir, "Urusan hari ini sudah sangat mendesak, aku harus lekas mencari jalan keluar, jangan-jangan Kam Jin-ho itu sebentar akan menyusul ke sini, kan bisa celaka."
Segera ia menyusur tepi danau untuk mencari jalan.
Danau itu ternyata berbentuk lonjong, sebagian besar teraling-aling oleh semak-semak tetumbuhan. Toan Ki mengitar kira-kira tiga li jauhnya, ia lihat tebing curam di sekeliling sana terlebih terjal, hanya tebing yang dia turun tadi lebih mendingan, suasana sunyi senyap, jangankan jejak manusia, jejak binatang pun tidak tampak, hanya kicau burung terkadang terdengar.
Karena itu, Toan Ki sedih lagi, ia pikir tak jadi soal dirinya mati kelaparan di situ, tapi jiwa nona Ciong bagaimana jadinya? Ia duduk di tepi danau dengan rasa cemas dan gelisah, sedikit pun tak berdaya.
Kemudian ia pikir, "Boleh jadi jalanku terlalu buru-buru hingga tidak memerhatikan kalau ada sesuatu jalan kecil yang teraling semak-semak atau tertutup batu-batu gunung?"
Karena itu ia bangkit pula, dengan riang sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia menyusuri tepi danau lagi untuk mencari jalan keluar.
Kali ini ia telah periksa setiap semak pohon di tepi danau, namun di balik semak-semak itu adalah batu karang melulu yang menempel di dinding jurang yang menjulang tinggi ke langit. Jangankan jalan keluar, bahkan liang ular atau lubang jangkrik pun tidak tampak sesuatu.
Makin lama makin perlahan nyanyi Toan Ki, perasaannya semakin lama semakin tertekan. Ketika berputar kembali sampai di depan air terjun tadi, kakinya sudah lemas, ia mendomprok ke tanah.
Dalam putus asa, timbul khayalannya, "Bila aku bisa menjadi seekor ikan, aku akan menyusur air terjun itu dan berenang ke atas jurang sana."
Sambil berpikir sinar matanya terus mengikuti jalannya air terjun itu dari bawah ke atas. Ia lihat di sebelah kanan air terjun itu mencuat sepotong batu putih gilap bagai kemala. Melihat gelagatnya, boleh jadi air terjun itu pada masa dahulu jauh lebih besar lagi daripada sekarang ini, Entah sudah mengalami gerujukan berapa lama hingga dinding batu itu tergosok rata licin bagai kaca. Kemudian air terjun berubah kecil dan dinding batu sehalus kaca itu pun kelihatan.
Tiba-tiba Toan Ki ingat kata-kata Sin Siang-jing sehabis bertanding di Kiam-oh-kiong, ia telah menyindir ketua sekte timur Bu-liang-kiam, Co Cu-bok, menanyakan selama lima tahun itu apakah sudah banyak meyakinkan pelajaran dinding kemala. Karena itu, Co Cu-bok rada gusar dan menegur sang Sumoay apakah sudah lupa pada pantangan perguruan sendiri, akhirnya Siang-jing bungkam.
Teringat pula olehnya sebabnya Bu-liang-kiam bermusuhan dengan Sin-long-pang adalah karena Sin-long-pang minta mencari obat ke belakang gunung ini. Lereng gunung Bu-liang-san ini penuh dengan hutan belukar, kalau cuma mencari sedikit bahan obat saja apa alangannya?
Dasar otak Toan Ki sangat cerdas, mendadak timbul rasa curiganya. Segera ia menyelami setiap pembicaraan yang pernah didengarnya setelah datang di Kiam-oh-kiong itu, maka teringatlah ketika Ciong Ling bertanya tentang "Bu-liang-giok-bik" apa segala pada Co Cu-bok, seketika ketua Bu-liang-kiam itu tercengang dan pura-pura tidak tahu, sebaliknya Ciong Ling terus menyindir atas sikap orang itu.
Tampaknya apa yang dimaksudkan "Giok-bik" itu adalah dinding gunung kemala dan bukan "Giok-bik" dari batu kemala. Sekarang di hadapannya terdapat suatu dinding gunung yang putih gilap bagai kemala, pula terletak di belakang gunung Bu-liang-san, terang dinding tebing gunung ini banyak hubungannya dengan apa yang terjadi hari ini.
Menyusul teringat pula ketika dirinya terjerumus ke dalam jurang tadi, berulang-ulang Kam Jin-ho membentaknya agar berhenti, katanya tempat itu adalah tempat Bu-liang-kiam yang terlarang didatangi siapa pun juga.
Maka pikirnya pula, "Ketika aku ikut Be Ngo-tek ke Kiam-oh-kiong, pernah kutanya sebab apa ketiga sekte Bu-liang-kiam itu setiap lima tahun harus saling bertanding sekali dan yang menang berhak menghuni Kiam-oh-kiong selama lima tahun? Namun jago tua she Be itu hanya garuk-garuk kepala dan menyatakan itu adalah rahasia golongan Bu-liang-kiam, orang luar tidak mengetahuinya."
Ia coba menganalisis apa yang telah dilihat dan didengarnya itu, ia menduga di atas Giok-bik itu tentu terukir semacam rahasia pelajaran ilmu pedang yang ditetapkan oleh leluhur Bu-liang-kiam, bahwa sekte mana yang menang dalam pertandingan boleh tinggal di situ untuk mempelajari ilmu pedang itu selama lima tahun.
Berpikir sampai di sini, ia bertambah yakin akan rekaannya itu.
Sejak kecil Toan Ki sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Buddha, ia benci terhadap ilmu silat. Ia minggat dari rumah juga disebabkan tidak mau belajar silat. Tapi setelah beruntun-runtun dianiaya, dihina dan diracun orang, yang berbuat itu semuanya adalah orang persilatan pula, maka bencinya terhadap ilmu silat makin mendalam.
Maka demi ingat dinding kemala itu ada sangkut-pautnya dengan ilmu silat, segera ia melengos tidak sudi memandangnya lagi. Pikirnya, "Sebabnya orang suka berkelahi dan bunuh-membunuh di dunia ini, semuanya gara-gara ilmu silat masing-masing. Apabila di atas dinding kemala itu terukir ilmu silat yang tiada tandingannya di seluruh kolong langit, itu berarti akan membawa bencana lebih hebat bagi manusia, akibatnya tentu jauh lebih celaka daripada Kim-leng-cu, Toan-jiong-san dan sebagainya."
Ia pikir sambil berjalan terus, namun akhirnya rasa ingin tahunya lebih kuat daripada segala pikiran lain, ia pikir pula, "Rahasia ilmu silat yang tertera di atas dinding kemala itu pasti sangat susah diyakinkan, bila tidak, rasanya Co Cu-bok dan saudara-saudara seperguruannya tidak perlu bersusah payah mempelajarinya selama lima tahun dan ternyata tidak banyak hasilnya. Aku justru ingin tahu macam apakah ilmu silat yang aneh itu?"
Segera ia menengadah pula, ia lihat dinding itu halus gilap seperti kaca, dari mana bisa terukir sesuatu rahasia ilmu pedang atau ilmu silat lain? Ia coba mengincar dari samping dan mengamati dari depan pula, namun tetap tiada sesuatu yang menarik, pikirnya pula, "Apa yang dikatakan orang kuno belum tentu sungguh-sungguh. Boleh jadi leluhur Bu-liang-kiam sengaja membohongi anak murid mereka agar bisa lebih giat berlatih. Atau mungkin juga dugaanku yang salah?"
Setelah memandang sekian lama pula, ia merasa letih dan lapar. Tanpa pikir lagi ia rebahkan diri dan tertidur. Ketika mendusin esok paginya, perutnya semakin keroncongan, tapi di tengah lembah itu tiada sesuatu makanan, buah-buahan pun tidak tampak.
Sampai tengah hari, saking lapar Toan Ki terus petik beberapa bunga hutan sekadar tangsel perut. Walaupun pahit getir rasanya bunga itu, terpaksa ia telan mentah-mentah.
Setelah beberapa jam lagi, sang surya sudah doyong ke barat, ia lihat di angkasa danau timbul selarik bianglala yang indah permai. Ia tahu di mana ada air terjun, pantulan sinar matahari sering menimbulkan bayangan bianglala yang berwarna-warni. Menghadapi pemandangan permai itu, ia merasa tidak penasaran biarpun harus terkubur di lembah gunung itu. Setelah termenung-menung agak lama, akhirnya ia rebah dan terpulas lagi.
Tidurnya itu nyenyak benar, ketika mendusin, waktunya sudah tengah malam. Ia lihat sang dewi malam sedang memancarkan cahaya yang tenang lembut. Ketika mendongak memandang ke dinding batu sana, ia lihat di dinding itu jelas terlukis dua benda.
Toan Ki terkesiap, ia kucek-kucek mata dan memandangnya lebih jelas, kiranya kedua benda itu hanya bayangan saja. Yang satu berbentuk melengkung mirip pelangi yang dilihatnya siang tadi, yang lain adalah bayangan sebatang pedang.
Bayangan pedang itu sangat terang, baik batang pedang, tangkainya, ujungnya, semuanya mirip benar.
Setelah pikir sejenak, Toan Ki menarik kesimpulan di depan dinding batu itu pasti ada sebatang pedang, karena sinar bulan yang menyorot miring itu, maka bayangan pedang tercetak di atas dinding itu.
Ia lihat ujung bayangan pedang itu menunjuk ke pucuk bayangan benda melengkung itu. Waktu ditegasi, Toan Ki merasa bayangan itu makin mirip pelangi. Tidak lama, awan tipis yang menutupi sang dewi malam itu tertiup buyar oleh angin hingga bayangan hitam itu tampak lebih jelas lagi. Dari bayangan hitam benda melengkung itu ternyata timbul jalur aneka warna persis seperti warna-warni bianglala.
Toan Ki semakin heran, pikirnya, "Kenapa di tengah bayangan bisa timbul warna-warni?"
Ketika pandangannya beralih ke arah yang berlawanan dengan dinding batu itu, ia lihat di dinding tebing curam sana lamat-lamat ada sinar berwarna yang bergoyang-goyang.
Seketika ia menjadi sadar, kiranya di dinding situ ada terjepit sebatang pedang, di samping itu ada sepotong batu mestika yang mengeluarkan cahaya pelangi.
Batu permata memangnya mempunyai tujuh warna, maka sinar bulan telah memindahkan pantulan warna-warni itu ke dinding batu sana. Pantas begitu indah menarik. Cuma sayang, tempat di mana terdapat benda-benda mestika itu berpuluh tombak tingginya, betapa pun sukar dicapai untuk dilihat dari dekat.
Belum lama ia menikmati pemandangan indah itu, sang bulan sudah berpindah hingga bayangan itu mulai menipis dan akhirnya lenyap tinggal dinding batu yang tetap halus licin itu.
Tanpa sengaja Toan Ki dapat menemukan rahasia itu, ia pikir, "Kiranya rahasia di atas dinding kemala Bu-liang-san ini beginilah adanya. Kalau tidak kebetulan tergelincir ke sini, belum tentu aku bisa melihat bayangan tadi, sedangkan sinar bulan yang menyorot ke atas dinding itu, dalam setahun hanya ada kesempatan beberapa hari saja. Sebaliknya orang-orang Bu-liang-kiam yang sengaja hendak mencari rahasia itu, kebanyakan pasti datang pada waktu siang hari untuk mengamati dinding batu itu secara bodoh, bisa jadi mereka malah menggali dan membongkar batu pegunungan di atas sana untuk mencari rahasia yang tidak pernah diketemukan itu. Sudah tentu hasilnya tetap nihil."
Berpikir sampai di sini, ia tertawa geli sendiri, "Hihi, seumpama aku memperoleh pedang serta benda mestika yang mengeluarkan cahaya warna-warni itu, bagiku paling-paling hanya mendapatkan dua macam mainan yang menarik saja, perlu apa mesti banyak pikiran untuk itu? Bukankah aku terlalu goblok?"
Setelah termangu-mangu sejenak, kemudian ia tertidur lagi.
Dalam tidurnya itu, sekonyong-konyong ia melonjak bangun, katanya dalam hati, "He, ujung pedang itu menunjuk ke puncak pelangi bagian bawah, jangan-jangan di balik itu ada rahasianya lagi? Padahal untuk menjepit pedang dan batu mestika itu ke dinding tebing tidaklah mudah dilakukan, bukan saja diperlukan ilmu silat yang tinggi, bahkan harus ada orang mengereknya dengan tali yang panjang. Dan kalau secara susah payah berbuat begitu, di dalamnya pasti mengandung maksud tertentu, apakah artinya rahasianya terletak di ujung pelangi! Kalau dilihat dari kedua bayangan itu, kecuali kesimpulan ini, terang tiada arti lain lagi. Tapi ujung pelangi itu yang satu mengarah ke langit, ujung yang lain
sebaliknya menunjuk ke tengah danau, biarpun di dalamnya terkandung rahasia mahabesar juga susah untuk memperolehnya."
Begitulah Toan Ki termangu-mangu sampai lama, akhirnya ia berpendapat, "Cahaya pelangi setiap waktu berubah-ubah, mungkin tempat yang ditunjuk bayangan pedang itu besok akan berlainan."
Esok paginya, karena memikirkan munculnya pelangi, ia menjadi lupa lapar. Akhirnya tiba juga sang malam. Selarik pelangi panjang tampak menghias langit pula. Tapi begitu melihat, Toan Ki menjadi kecewa. Ternyata kedua ujung pelangi itu sedikit pun tiada ubahnya seperti kemarin, yang sebelah mengarah ke langit, ujung lain menurun ke tengah danau.
Toan Ki coba mendekati tepi danau, suara gemuruh air terjun itu membuat telinga seakan-akan pekak, hanya sekejap saja baju sudah basah kuyup oleh cipratan air terjun. Ia lihat di tengah danau terdapat suatu pusaran air yang sedang berputar dengan keras sekali. Karena didekati, pelangi tadi lantas tidak kelihatan lagi.
Waktu Toan Ki hitung-hitung, sudah hari ketiga sejak ia jatuh ke dalam jurang. Lewat empat hari lagi, seumpama tidak mati kelaparan, kalau racun Toan-jiong-san di dalam perut mulai bekerja, sekalipun dia tidak sampai mati, tentu kawanan Sin-long-pang akan membunuh Ciong Ling.
Ke sana ke sini juga mati, tidakkah lebih baik terjun ke tengah pusaran air saja untuk melihat apakah ada sesuatu di dasar danau itu. Karena menghadapi jalan buntu, terpaksa mati-matian mencari selamat, kedua, dia memang bersemangat banteng, sekali ingin berbuat, segera dilaksanakannya.
Karena itu, tanpa pikir lagi terus saja ia terjun ke tengah pusaran air itu. Seketika tubuhnya digulung oleh suatu tenaga mahadahsyat terus berputar ke bawah. Lekas ia tutup pernapasannya, sebaliknya pasang mata lebar-lebar, ia lihat sekitarnya hanya air buram belaka, ia terhanyut ke dasar danau oleh arus air yang keras berasal dari air terjun di atas itu.
Toan Ki hanya sekadar bisa berenang saja, terhanyut di tengah arus air yang keras itu, ia tak bisa menguasai diri lagi, tubuhnya berputar-putar dan sebentar saja ia sudah megap-megap kemasukan air, seketika pikirannya samar-samar, hanya merasa terhanyut terus oleh arus air dan entah berapa jauhnya.
Sekonyong-konyong tubuh terasa dilemparkan oleh tenaga pusaran ke atas permukaan air. Ketika Toan Ki menggeraki tangannya serabutan, untung dapat menangkap seutas akar rotan, cepat saja ia pegang kencang-kencang.
Setelah tenangkan diri sejenak, ia membuka mata dan melihat sekitarnya gelap gulita. Ia coba ulur kaki kanan ke depan dan terasa masih menginjak tanah, segera kaki yang lain ikut melangkah maju, tapi kedua tangan masih tidak berani melepaskan pegangannya pada akar rotan tadi.
Setelah belasan tindak jauhnya, ia merasa air hanya sebatas betis kaki, arus air pun tidak terlalu keras lagi, segera ia lepaskan rotan tadi dan berdiri tegak.
Tapi mendadak "blang", batok kepalanya kebentur sesuatu yang menonjol, saking kesakitan hampir saja ia jatuh kelengar. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang kurang hati-hati. Waktu meraba ke atas, benda itu terasa dingin keras, kiranya batu padas.
Setelah berpikir sejenak, Toan Ki tahu dirinya tadi telah terbawa ke dasar danau oleh pusaran air yang dahsyat, tapi arus air itu ada jalan buangannya, maka dirinya ikut terbawa pula sampai di tempat buangan air itu.
Meski keadaannya sekarang banyak celaka daripada selamatnya, namun selama masih ada harapan, ia pantang menyerah, segera ia merangkak maju mengikuti lorong buangan air itu. Ia dengar suara gemerujuknya air terkadang cepat dan terkadang lambat mengalir di kanan kirinya.
Setelah merangkak sebentar, lorong itu makin melebar hingga akhirnya dapatlah ia berdiri sambil membungkuk. Ia berjalan terus, akhirnya dapatlah ia berjalan dengan tegak. Cuma sering ia menginjak lubang di bawah air hingga mendadak badan terendam air sebatas pinggang. Lain saat di atas kepala tiba-tiba menonjol batu padas hingga hampir kepalanya benjut lagi kebentur. Untung kedua tangannya terjulur ke depan sebagai pembuka jalan, kalau tidak entah berapa kali kepalanya akan bertambah telur ayam.
Setelah berjalan lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat pada Jing-leng-cu, ia coba meraba pinggang, syukurlah binatang itu masih melilit di situ tanpa kurang apa-apa. Ia merasa pengalamannya hari ini benar-benar merupakan pengalaman aneh selama hidup yang susah diperoleh orang lain.
Sudah turun-temurun ahli waris Bu-liang-kiam suka termangu-mangu memandangi dinding batu itu, tapi sekali-kali tidak mereka sangka bahwa orang harus terjun ke dalam jurang, di situlah mereka akan menemukan apa yang diharapkan itu pada malam hari di bawah sinar bulan purnama.
Namun seumpama sudah melihat bayangan pedang dan batu mestika di dinding itu, kalau tiada punya semangat berani mati, rasanya juga takkan berani melompat ke tengah pusaran air yang berarus dahsyat itu.
Semakin dipikir, semakin senang hati Toan Ki. Tanpa tertahan lagi ia terbahak-bahak, lalu ia bergumam sendiri, "Wahai, Toan Ki! Jika hari ini jiwamu jadi melayang, itu berarti tamatlah riwayatmu. Tapi kalau beruntung bisa keluar dengan selamat, bolehlah kau mengejek Co Cu-bok dan murid-muridnya yang sombong tapi tak becus itu."
Habis berkata, ia terbahak-bahak pula dengan keras.
Tak tersangka, mendadak di sebelah kanan sana juga ada orang menirukan tertawanya yang terbahak-bahak itu. Keruan Toan Ki kaget, ia berhenti tertawa, segera suara tawa itu pun lenyap.
"Siapa itu?" seru Toan Ki.
"Siapa itu?" terdengar pula suara serupa di sana.
"Kau setan atau manusia?" teriak Toan Ki lagi.
"Kau setan atau manusia?" suara itu tetap menirukannya.
Setelah tertegun sejenak, akhirnya Toan Ki sadar dan tertawa geli sendiri, gerutunya, "Kurang ajar, kiranya adalah kumandang suaraku sendiri."
Tapi segera timbul curiganya lagi, "Hanya lembah gunung atau sebuah ruangan besar yang dapat menimbulkan kumandang suara. Jika begitu, di sebelah kanan sana tentu ada suatu tempat yang luas. Haha, jika bukannya aku kegirangan hingga terbahak-bahak tawa, tentu aku takkan tahu di sini masih ada suatu tempat lain lagi."
Bab 3
Begitulah ia terus berteriak-teriak sambil menuju ke tempat datangnya suara itu. Tiada lama ia merasa berada di suatu tempat yang luang, tangannya tidak meraba sesuatu lagi.
Tiba-tiba kehilangan sentuhan, Toan Ki merasa takut malah. Setindak demi setindak ia maju terus, kaki merasa tidak mendapat rintangan apa-apa lagi. Sekonyong-konyong tangan menyentuh sesuatu yang dingin. Begitu tersenggol, benda itu terus menerbitkan suara nyaring "cring", ketika diraba lagi lebih teliti, kiranya sebuah gembok besar.
Kalau ada gembok dengan sendirinya ada pintu.
Maka cepat Toan Ki meraba-raba pula, benar juga dari atas ke bawah ada belasan paku pintu yang besar-besar. Dalam kejut dan girangnya ia heran pula kenapa di tempat seperti ini ada penghuninya?
Segera ia angkat gembok tadi mengetuk pintu beberapa kali. Tapi sampai lama tiada jawaban apa-apa dari dalam. Kembali ia ketuk-ketuk dan tetap tiada suara sahutan. Maka ia coba dorong pintu itu.
Pintu itu sangat antap seperti terbuat dari baja. Tapi tidak dipalang dari dalam, maka perlahan Toan Ki mendorong dan segera pintu itu terbuka. Dengan suara lantang Toan Ki lantas berseru, "Cayhe Toan Ki secara sembrono telah masuk ke sini, mohon tuan rumah suka memaafkan."
Ia berhenti sejenak dan tidak mendengar sesuatu suara di dalam, lalu ia melangkah masuk.
Meski waktu itu ia sudah berada di dalam pintu, tapi biarpun matanya melotot hingga biji mata seakan-akan melompat keluar tetap tidak melihat sesuatu benda, hanya hidungnya merasakan bau di sini tidak selembap seperti di lorong air tadi. Ia berjalan terus ke depan, mendadak "blang", sungguh sial, kembali batok kepalanya kebentur sesuatu.
Syukur ia berjalan perlahan, maka benturan itu tidak terlalu sakit. Waktu diraba, kiranya di situ ada sebuah pintu pula. Perlahan Toan Ki mendorongnya hingga terbuka, tapi di dalam tetap gelap gulita.
Dan begitulah seterusnya, beruntun-runtun Toan Ki telah melalui enam buah pintu. Ketika memasuki pintu keenam itu, mendadak pandangannya terbeliak terang, kontan jantung Toan Ki ikut memukul, serunya di dalam hati, "Ah, akhirnya dapatlah kukeluar dengan selamat!"
Waktu ia perhatikan, kiranya tempat itu adalah sebuah kamar batu berbentuk bulat, sinar terang itu tembus dari sudut kiri sana, cuma agak remang-remang, seperti bukan cahaya matahari. Ia coba mendekati lubang yang tembus sinar itu, tiba-tiba dilihatnya ada seekor udang besar berenang lewat. Ia sangat heran, ia maju lebih dekat, terlihat pula beberapa ekor ikan berwarna-warni sedang berenang di luar sana dengan bebasnya. Ketika diawasi lagi, kiranya lubang jendela itu terbuat dari sepotong batu kristal yang dipasang di dinding itu, besarnya kira-kira sama dengan baskom dan sinar tembus dari kaca yang berjumlah tiga buah itu.
Toan Ki coba mengintip keluar melalui kaca itu, ia lihat di luar sana warna air hijau kebiruan bergerak-gerak tak pernah berhenti, banyak jenis ikan dan udang berenang kian kemari dengan bebasnya.
Maka pahamlah Toan Ki bahwa tempat dirinya berada ini pasti berada di dasar air, kalau bukan di dasar danau, tentu di dasar sungai.
Rupanya pembangun rumah ini dahulu telah banyak mengorbankan jerih payah tenaga dan pikiran baru dapat menarik cahaya air itu ke dalam ruangan, dan ketiga potong batu kaca itu jelas adalah batu mestika yang tiada tara nilainya.
Ketika berpaling, Toan Ki melihat di tengah kamar batu itu terdapat sebuah meja batu, di depan meja ada bangku, di atas meja tertaruh sebuah cermin perunggu. Di samping cermin terdapat sebangsa sisir, tusuk kundai dan sebagainya. Agaknya bekas kamar kaum wanita.
Cermin perunggu itu tepinya sudah berlumut, di atas meja juga banyak debunya, entah sudah berapa lama tiada orang menginjak kamar ini.
Melihat keadaan itu, seketika Toan Ki terkesima malah, pikirnya, "Lama berselang, tentu ada seorang wanita tinggal kesepian di sini. Entah sebab apa hingga dia begitu sedih hingga meninggalkan pergaulan ramai untuk mengasingkan diri di sini."
Setelah termangu-mangu sejenak, ia periksa pula kamar itu, ia lihat di sekitar dinding kamar penuh terpasang cermin perunggu, sekadar dihitung saja sudah lebih dari 30 buah. Toan Ki makin heran, pikirnya, "Tampaknya wanita yang tinggal di sini ini pasti cantik tiada bandingannya, maka setiap hari senantiasa bercermin, suasana begini sungguh memesona."
Ia mondar-mandir di dalam kamar itu, sebentar berkecek-kecek kagum, lain saat menghela napas gegetun, ia kasihan pada wanita cantik yang belum pernah dikenalnya itu.
Selang agak lama, mendadak ia teringat, "Haya, celaka! Aku hanya memikirkan urusan orang lain tapi lupa pada kepentingan sendiri. Kalau di sini pun tiada jalan keluar, lalu bagaimana nasibku?"
Waktu ia periksa sekitar kamar, terang sekali tiada jalan tembus lain lagi, dalam keadaan putus asa, ia duduk di atas bangku batu sambil mengomel diri sendiri, "Aku Toan Ki sungguh seorang lelaki dungu, kalau mati di sini hanya bikin kotor tempat si cantik saja. Kalau mau mati, sepantasnya mati di lorong sana. Eh, sebelum ajal, biarlah kulihat wajahku sendiri ini macam apa?"
Segera ia gunakan lengan baju untuk menggosok cermin perunggu di atas meja itu hingga gilap, lalu ia duduk di bangku untuk mengaca, tapi letak cermin agak jauh hingga mukanya kurang jelas, maka ia bermaksud menggeser cermin itu lebih dekat.
Tak tersangka cermin itu ternyata menempel erat di atas meja batu, sekali cermin itu ditarik, seketika bangku yang diduduki itu terasa bergoyang.
Dalam kagetnya Toan Ki sangat girang, cepat ia berbangkit dan menarik cermin itu lebih kuat, maka terdengarlah suara keriang-keriut, bangku batu mulai bergeser hingga tertampak sebuah lubang di bawahnya. Ketika dipandang, di bawah lubang itu terdapat undak-undakan batu yang menurun ke bawah.
"Terima kasih kepada langit dan bumi, akhirnya aku Toan Ki mendapatkan jalan keluar," seru Toan Ki kegirangan. Terus saja ia turun ke bawah mengikuti undak-undakan batu itu.
Kira-kira belasan undakan, kemudian membelok ke atas, berlingkar-lingkar, makin jauh makin tinggi, setelah menikung beberapa kali lagi, akhirnya pandangan Toan Ki terbeliak terang, tapi mendadak ia menjerit kaget pula ketika tahu-tahu di depannya berdiri seorang wanita cantik berpakaian putri istana dengan pedang terhunus lagi mengancam dadanya.
Sekilas Toan Ki merasa wanita ini cantik luar biasa dan sukar dilukiskan, selama hidupnya belum pernah melihat wanita ayu seperti ini. Saking kejutnya sampai mulut Toan Ki ternganga.
Selang agak lama, ia lihat wanita ini tetap tidak bergerak sedikit pun, ketika diawasi ia lihat wanita itu meski cantik dan agung, tapi bukan manusia hidup.
Waktu diperhatikan lagi barulah ia tahu orang hanya sebuah patung yade putih saja. Cuma patung ini besarnya seperti manusia biasa, baju sutera putih yang dipakai juga bisa bergerak-gerak, yang lebih aneh adalah biji matanya seakan-akan bersinar hidup.
Saking terpesona Toan Ki sendiri tidak menyadari sudah berapa lama ia memandang patung itu, akhirnya ia pun tahu biji mata patung itu adalah buatan dari batu permata hitam. Dan sebabnya patung itu mirip benar dengan manusia hidup adalah karena biji matanya yang bersinar yang terbuat dari batu permata itu. Bahkan muka patung jelita yang terukir dari batu kemala putih ini pun bersemu merah hingga tiada ubahnya seperti manusia hidup.
Ketika Toan Ki miringkan kepala memandang patung itu, ia lihat sorot mata patung itu pun ikut mengerling ke sana seakan-akan hidup, keruan Toan Ki terkejut, ia coba memandangnya dari arah lain lagi, dan sorot mata patung itu pun mengerling mengikuti arahnya, dari sudut mana dia memandang, sorot mata patung juga selalu memandang kepadanya, perasaan yang terkandung dalam sinar mata patung itu pun sukar diraba, seperti girang, seakan-akan sedih, entah suka, entah marah, seperti kemalu-maluan, tapi juga seperti lagi murung.
Toan Ki terkesima sejenak, ia kemudian membungkuk tubuh memberi hormat, katanya, "Enci Dewi, hari ini Toan Ki beruntung dapat bertemu dengan engkau, sungguh mati pun aku tidak menyesal. Enci Dewi tinggal seorang diri di sini, apakah tidak merasa kesepian?"
Aneh bin ajaib, sorot mata patung itu seakan-akan berubah lain, agaknya dapat menerima apa yang diucapkan Toan Ki itu. Sebaliknya pemuda itu sendiri seakan-akan kesurupan setan saja, pandangannya tidak pernah lagi meninggalkan patung kemala itu. Katanya pula, "Enci Dewi, entah siapakah namamu?"
Segera ia pikir barangkali di sekitar sini dapat ditemukan sesuatu catatan. Ia coba memandang seputarnya, tapi baru beberapa kejap, tak tahan lagi ia memandang patung itu lagi.
Kini barulah ia tahu bahwa rambut patung itu adalah rambut manusia tulen, gelung yang agak mengendur ke bawah seakan-akan tersampir di pundak, di atas gelungan terdapat sebuah tusuk kundai kemala berhiaskan dua butir mutiara mestika sebesar jari yang bersinar mengilat.
Ia lihat di sekitar dinding ruangan penuh terhias macam-macam batu permata hingga menyilaukan mata. Di dinding sebelah barat sana jelas tertampak ada delapan huruf yang dibentuk dari batu intan kecil. Arti dari kedelapan huruf itu adalah, "Rahasia Bu-liang dapat ditemukan dengan membuka baju."
Toan Ki terperanjat, gumamnya sendiri, "Membuka baju Enci Dewi? Mana boleh jadi!"
Walaupun patung itu bukan manusia hidup, tapi sekali pandang Toan Ki sudah kesengsem, sedikit pun ia tidak berani berlaku kurang ajar. Pikirnya, "Memangnya aku tidak ingin tahu segala rahasia apa, umpama ingin juga tidak berani berbuat sembrono terhadap Enci Dewi. Untung sebelum ini tiada orang lain mendatangi tempat ini lebih dulu, kalau tidak, wanita cantik tiada bandingannya ini bukankah akan dibikin kotor oleh segala manusia rendah? Ehm, paling baik aku harus hilangkan huruf-huruf itu agar kelak bila ada orang lain datang ke sini tidak akan bikin kotor patung cantik ini."
Ia lihat di pojok kamar sana banyak tertumpuk cermin perunggu, sedikitnya ada ratusan buah. Segera ia mengambilnya sebuah dan dipakai menggempur batu permata yang membentuk kedelapan huruf tadi. Khawatir masih ada bekasnya, Toan Ki gosok-gosok pula lubang-lubang kecil bekas gigitan batu permata itu hingga rata benar.
Selesai itu, Toan Ki merasa sudah berjasa bagi "patung dewi" itu, betapa senangnya sukar dikatakan.
Kembali di depan patung itu, ia termangu-mangu lagi seperti orang linglung, bahkan hidungnya seakan-akan mencium bau wangi. Dari suka timbul rasa hormatnya, dari hormat ia menjadi kesengsem. Mendadak ia berteriak, "Enci Dewi, jika engkau bisa hidup dan bicara sepatah saja padaku, biarpun aku harus mati seratus kali, bahkan seribu kali bagimu, aku rela dan senang tak terhingga."
Tiba-tiba ia berlutut dan menyembah pada patung dewi. Dan karena berlututnya inilah baru ia tahu bahwa di depan patung itu memang terdapat dua buah kasuran tikar seperti disediakan untuk orang bersembahyang. Tikar yang dipakai berlutut Toan Ki itu agak besar, di dekat kaki patung masih ada sebuah kasur tikar yang lebih kecil, agaknya disediakan bila yang sembahyang menjura dengan manggutkan kepala ke lantai.
Ketika Toan Ki mulai menyembah, ia lihat di tepi kedua sepatu patung itu seperti tersulam tulisan.
Ketika diperhatikan, ia dapat membaca tulisan di tepi sepatu kiri berbunyi, "Menjura seribu kali, turut segala perintahku."
Dan di tepi sepatu kanan bertulis, "Pasti mengalami malapetaka, badan celaka nama musnah."
Tulisan-tulisan yang masing-masing terdiri dari delapan huruf itu kecil bagai lalat, sepatu patung itu berwarna hijau tua, kalau tidak menyembah pasti tak mengetahui di bawah situ ada tulisannya. Sekalipun dapat melihatnya, orang biasa bila membaca kata-kata, "Menjura seribu kali, turut segala perintahku", tentu akan merasa enggan, bagi yang berwatak keras dan tinggi hati, boleh jadi patung itu akan didepak. Apalagi tulisan yang berbunyi, "Pasti mengalami malapetaka, badan celaka nama musnah", lebih-lebih membikin siapa pun marah bila membacanya.
Tapi kini Toan Ki sudah kesengsem benar-benar terhadap patung dewi itu, ia merasa menjura seribu kali juga pantas, malahan kalau bisa menjadi pesuruh sang dewi, itulah melebihi harapannya. Sedang mengenai bakal mengalami malapetaka, badan celaka dan nama musnah demi sang dewi, betapa pun ia rela.
Sebenarnya kalau orang biasa, bila melihat tulisan itu, andaikan tidak marah, paling-paling juga tertawa dan anggap sepele saja. Tapi dasar Toan Ki sudah kesengsem bagai orang linglung, ia benar-benar terus menjura, sekali, dua kali, tiga kali ... empat belas, lima belas ... dua puluh ... tiga puluh .... Sambil mulutnya menghitung, dengan sangat khidmat ia menjura tiada hentinya.
Kira-kira menjura lebih 500 kali, Toan Ki merasa kaki sakit, boyok pegal, leher cengeng. Tapi demi sang dewi, betapa pun harus bertahan sampai titik penghabisan, ia sudah bertekad menjura sampai selesai 1.000 kali.
Sampai lebih 800 kali, tiba-tiba kasur kecil yang dibuat ganjal anggukan kepala itu perlahan ambles ke bawah. Setiap kali kepalanya mengangguk, kasur kecil itu lantas ambles lagi sedikit.
Setelah berpuluh kali menjura pula, tiba-tiba dilihatnya tempat yang ambles itu menongol tiga buah ujung panah yang mengarah miring ke atas dan tepat mengincar batok kepalanya. Lamat-lamat tertampak ujung panah itu gemerlapan, batang panah terpasang pegas.
Setelah berpikir sejenak, segera Toan Ki paham persoalannya. Katanya di dalam hati, "Wah, hampir celaka! Kiranya di bawah situ ada perangkapnya berupa panah beracun. Untung aku menjura dengan menghormat sungguh-sungguh sehingga kasur itu ambles perlahan dan panah berbisa itu tidak menjeplak keluar. Jika aku berlaku kasar dan mendepak-depak kasuran itu, sekali alat perangkap terguncang, panah berbisa itu mungkin sudah menancap di perutku. Biarlah kuhabiskan menjura seribu kali, ingin kulihat ada perubahan apa lagi."
Segera ia menjura pula dan selesaikan jumlah 1.000 kali itu. Ketika mendongak, ia lihat tempat yang ambles tadi terdapat sepotong pelat baja, di atasnya ada ukiran tulisan, segera Toan Ki ambil pelat baja itu dan membacanya, "Karena kau sudah menjura seribu kali, kini kau telah menjadi muridku. Nasibmu selanjutnya akan sangat mengenaskan. Ilmu silat golongan kita yang tiada bandingannya di kolong langit ini berada di dalam kamar batu, harap dipelajari dengan tenang."
Sungguh kecewa Toan Ki. Justru karena tak mau belajar silat, maka ia minggat dari rumah. Dengan sendirinya sekarang ia pun tidak ingin belajar ilmu silat tiada bandingan di kolong langit apa segala.
Dengan hati-hati ia kembalikan pelat baja tadi ke tempatnya. Ketika berdiri lagi, ia merasa kaki kemeng kaku seluruhnya, hampir saja ia jatuh terguling.
Setelah termangu-mangu sejenak, kemudian ia memberi hormat pula dan berkata, "Enci Dewi, aku tidak mau menjadi muridmu, ilmu silatmu yang tiada bandingan di kolong langit pun aku tidak mau belajar. Hari ini aku masih ada urusan penting, sementara ini kumohon diri. Nanti kalau nona Ciong sudah kuselamatkan, tentu aku akan datang kemari untuk berkumpul lagi dengan Enci Dewi."
Dengan perasaan berat ia melangkah keluar kamar batu itu. Ia lihat undak-undakan batu di luar kamar miring ke atas, ia melangkah naik dengan ragu-ragu, beberapa kali ia ingin menoleh ke belakang untuk memandang patung cantik itu, syukur imannya cukup teguh, akhirnya ia bisa mengekang diri.
Kira-kira ratusan undakan ke atas, ia sudah membelok tiga kali, lamat-lamat terdengar suara gemuruh air. Setelah beratus undakan lagi, suara air semakin keras seakan-akan memekak telinga, lalu tertampak ada cahaya menembus masuk dari depan sana.
Toan Ki percepat langkahnya hingga tibalah di ujung terakhir undak-undakan batu itu. Ternyata di situ ada sebuah lubang yang cukup untuk dilalui tubuh manusia. Ia coba melongok keluar dengan kepala menongol lebih dulu, tapi ia menjadi kaget.
Di luar sana arus mendebur-debur, gulung-gemulung dengan hebatnya, ternyata sebuah sungai besar. Kedua tepi sungai penuh tebing curam, batu padas sungsang timbul di sana-sini, Toan Ki yakin tempat ini pasti lembah sungai Lanjong.
Kejut dan girang rasa hati Toan Ki. Cepat ia merangkak keluar dari lubang gua itu. Ternyata tempat dirinya berada ini kira-kira belasan tombak tingginya di atas permukaan sungai, biarpun air sungai naik pasang melanda juga takkan mencapai mulut gua ini.
Tapi untuk bisa mencapai daratan, ia perlu juga merayap melalui tebing-tebing curam. Namun berkat bantuan Jing-leng-cu, walaupun dengan susah payah, akhirnya dapatlah Toan Ki sampai di tempat yang aman. Ia ingat baik-baik keadaan sekitar tempat ini agar kelak bila urusannya beres, ia ingin datang lagi ke tempat yang maharahasia ini.
Ia melanjutkan perjalanan dengan menyusur tepi sungai yang penuh batu karang, setelah beberapa li jauhnya, Toan Ki melihat sebuah pohon Tho yang lagi berbuah, memangnya sudah sangat lapar, segera Toan Ki panjat ke atas pohon dan petik buah Tho itu untuk tangsel perut. Habis makan, semangatnya dapat dipulihkan.
Setelah belasan li lagi, akhirnya sampailah di suatu jalan kecil. Ia maju terus mengikuti jalan kecil itu. Ketika hampir magrib baru ia menemukan, "jembatan rantai besi" yang melintang terapung di antara kedua tepi sungai. Ia lihat di atas batu ujung jembatan gantung itu terukir tiga huruf "Sian-jin-toh" atau jembatan orang bajik.
Melihat nama jembatan itu, kembali Toan Ki bergirang, memang itulah jembatan yang dicari sesuai dengan petunjuk Ciong Ling. Terus saja ia menyeberangi jembatan.
Jembatan itu terdiri dari empat utas rantai besi yang sambung-menyambung, dua utas bagian bawah diberi papan kayu untuk jalan, dua utas yang lain dipakai pegangan orang menyeberang.
Begitu Toan Ki menginjak jembatan gantung itu, segera rantai jembatan bergontai-gontai. Sampai di tengah sungai, guncangan jembatan itu semakin hebat. Sekilas pandang ke bawah, air sungai tampak mengombak dan berdebur dengan hebatnya, bila terpeleset jatuh ke bawah, betapa pun pandai berenang rasanya juga takkan mampu melawan ombak yang luar biasa itu.
Toan Ki tak berani menengok lagi ke bawah, ia pandang lurus ke depan, dengan berdebar-debar setindak demi setindak ia merambat ke ujung sana.
Ia duduk mengaso sejenak di tepi jembatan, kemudian baru melanjutkan perjalanan menurut petunjuk yang pemberian Ciong Ling itu.
Menurut Ciong Ling, lembah pegunungan kediamannya itu bernama "Ban-jiat-kok" atau lembah berlaksa maut. Jalan masuknya adalah sebuah kuburan.
Setelah berliku-liku melintasi bukit dan menyusur rimba, ketika sampai di tempat kuburan yang dicari itu, hari sudah remang-remang gelap.
Ia hitung dari kiri ke kanan dan mendapatkan kuburan nomor tujuh, ia lihat di depan kuburan itu terdapat sepotong batu nisan yang bertuliskan "Kuburan Ban Siu Toan."
Toan Ki tercengang, pikirnya: "Aneh benar nama ini? Kenapa bernama 'Siu Toan' (dendam pada Toan)?"
Waktu Ciong Ling memberitahukan tempat tinggalnya, gadis itu menjelaskan kalau mesti mencari kuburan ketujuh dihitung dari kiri, tapi tidak menerangkan apa yang tertulis pada batu nisan.
Kini melihat nama "Ban Siu Toan" yang aneh itu, Toan Ki menjadi ragu. Ia lihat sekitarnya sunyi senyap penuh kuburan, hanya terkadang terdengar suara keresek daun pohon yang bergerak terembus angin senja.
Toan Ki tak berani ayal, segera ia menurut petunjuk Ciong Ling dan menarik batu nisan tadi ke kiri, menyusul menarik lagi dua kali ke kanan dan kembali sekali pula ke kiri. Habis itu ia mendepak tiga kali ke tengah-tengah tulisan pada batu nisan itu. Tulisan yang tepat didepaknya itu adalah huruf "Toan", yaitu nama keluarga Toan Ki sendiri. Diam-diam ia geli sendiri, bila orang lain, tidak sudi mendepak huruf yang menjadi nama keluarga sendiri itu.
Dalam pada itu tiba-tiba dua potong batu di samping kuburan itu mendadak bergerak hingga tertampak sebuah lubang masuk.
Toan Ki coba melongok ke dalam, tapi keadaan gelap gulita, ia tabahkan diri dan melangkah masuk lubang itu, sambil tangan meraba-raba dan membelok suatu tikungan, akhirnya ia melihat di depan sana ada setitik sinar pelita. Segera ia mendekatinya, tapi ia menjadi kaget, ternyata di samping pelita itu terdapat sebuah peti mati.
Sesuai petunjuk Ciong Ling, Toan Ki lantas tiup padam pelita itu hingga keadaan menjadi gelap pekat. Selang tak lama terdengar suara keriang-keriut beberapa kali, tutup peti mati tadi terbuka sendiri, lalu terdengar suara seorang wanita sedang menegur, "Apakah Siocia yang datang?"
"Cayhe bernama Toan Ki," cepat Toan Ki menyahut, "atas permintaan nona Ciong, kuingin bertemu dengan Kokcu (pemilik lembah)."
Terdengar wanita itu bersuara heran, rupanya agak terkejut atas kedatangan Toan Ki, katanya, "Ja ... jadi kau orang luar? Dan di manakah Siocia kami?"
"Nona Ciong terancam bahaya, Cayhe membawa berita kemari," sahut Toan Ki.
"Tunggu sebentar, biar kulaporkan pada Hujin (nyonya)," kata wanita itu.
Toan Ki menyatakan baik, ia pikir kebetulan, memangnya nona Ciong suruh aku menemui ibunya lebih dulu, tampaknya urusan ini memberi harapan bagus.
Setelah agak lama berdiri menunggu dalam kegelapan, akhirnya Toan Ki mendengar suara tindakan orang mendatangi, terdengar suara wanita itu berkata padanya, "Hujin menyilakan tuan tamu masuk!"
"Aku tidak bisa melihat," kata Toan Ki, "terlalu gelap!"
Tiba-tiba terasa sebuah tangan terjulur menarik tangan kanannya dan melangkah masuk ke dalam peti mati, lalu menurun melalui undak-undakan batu.
Setelah beberapa ratus tindak, mendadak pandangannya menjadi terang. Rupanya Toan Ki telah dibawa ke suatu tempat yang penuh tumbuh-tumbuhan bunga. Wanita itu lepaskan tangan Toan Ki yang digandengnya dan berkata, "Tuan tamu silakan ikut padaku."
Di bawah sinar bulan, Toan Ki melihat wanita itu berusia antara 14-15 tahun, berdandan pelayan, mungkin adalah dayang yang melayani Ciong Ling.
Maka Toan Ki coba bertanya, "Siapakah nama Cici?"
"Sssstt!" pelayan itu mendesis sambil menoleh dan menggoyang-goyang tangan tanda jangan bersuara.
Melihat wajah pelayan itu menampilkan rasa takut, maka Toan Ki tidak tanya lebih lanjut.
Dayang itu membawa Toan Ki menyusur rimba dan menuju ke kiri melalui suatu jalan kecil. Sampai di depan sebuah rumah genting, perlahan pelayan itu mengetok pintu tiga kali, dengan perlahan daun pintu lantas terpentang.
Pelayan itu memberi tanda, Toan Ki disilakan masuk dahulu, ia sendiri berdiri ke samping pintu.
Waktu Toan Ki melangkah ke dalam, ia lihat di situ adalah sebuah ruangan tamu, di atas meja tersulut sebatang lilin besar hingga jelas kelihatan perabotan dalam ruangan itu sangat indah, di atas dinding tergantung beberapa lukisan, dekorasi dalam ruangan tamu yang tidak terlalu luas itu ternyata sangat serasi.
Sesudah Toan Ki ambil tempat duduk, pelayan tadi menyuguhkan teh, katanya, "Silakan Kongcu minum, sebentar Hujin akan keluar!"
Sehabis Toan Ki minum, terdengarlah suara tindakan orang perlahan, dari dalam muncul seorang nyonya berbaju sutera hijau muda, usianya sekitar 40-an tahun, wajahnya putih ayu dan rada mirip dengan Ciong Ling.
Menduga tentu inilah ibu Ciong Ling, cepat Toan Ki berbangkit dan memberi hormat, katanya, "Wansing (saya yang muda) Toan Ki menyampaikan salam pada Pekbo (bibi)."
Mendengar itu, nyonya Ciong rada tercengang, dengan sikap yang anggun ia membalas hormat orang. Ketika Toan Ki mendongak hingga mukanya kelihatan jelas, mendadak air muka Ciong-hujin berubah hebat sambil terhuyung-huyung mundur dua tindak, katanya dengan tergegap, "Kau ... kau ...."
"Ada apa Pekbo?" tanya Toan Ki heran.
"Kau ... kau juga she Toan?" Ciong-hujin menegas.
Barulah sekarang Toan Ki ingat pada pesan Ciong Ling yang pernah minta agar dia jangan mengaku she Toan. Tapi ia pikir orang she Toan di dunia ini sangat banyak, melulu daerah Hunlam saja tidak kurang beratus ribu lelaki she Toan, belum tentu setiap orang she Toan mahir ilmu It-yang-ci, sebab itulah ia tidak perhatikan pesan gadis itu.
Kini demi tampak wajah Ciong-hujin yang terkejut itu, baru Toan Ki paham apa yang dikatakan Ciong Ling itu sebenarnya mengandung maksud mendalam. Tapi urusan sudah terlambat, terpaksa ia menjawab, "Ya, Wansing she Toan."
"Kongcu berasal dari mana? Dan siapakah nama orang tua Kongcu?" tanya nyonya Ciong lagi.
Toan Ki pikir sekarang harus berdusta agar asal usulku tak diketahui, maka jawabnya, "Wansing berasal dari Li-an-hu di daerah Kanglam, ayah bernama Toan Liong."
Ciong-hujin menghela napas lega oleh jawaban itu, setelah tenangkan diri, katanya pula, "Silakan Kongcu duduk."
Setelah kedua orang sama-sama ambil tempat duduk, nyonya Ciong tidak membuka suara lagi, tapi terus mengamat-amati Toan Ki dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan. Keruan Toan Ki menjadi kikuk, akhirnya ia bicara lebih dulu, "Putri nyonya sedang terancam bahaya, Wansing sengaja datang memberi kabar.
"Ah! Kenapa dengan putriku?" seru Ciong-hujin tersadar dari lamunannya.
Segera Toan Ki melepaskan Jing-leng-cu dari pinggangnya dan diserahkan pada nyonya rumah, katanya, "Harap Pekbo periksa, ini adalah benda pengenal putrimu yang dibawakan pada Wansing."
Melihat ular hijau itu, Ciong-hujin berkerut kening dan mengunjuk rasa jemu, ia sedikit menghindar ke belakang sambil berkata, "Kiranya Kongcu juga tidak takut pada binatang berbisa ini. Harap letakkan di pojok rumah sana saja."
Diam-diam Toan Ki heran melihat nyonya rumah itu jeri pada ular. Ia taruh Jing-leng-cu di sudut ruangan yang ditunjuk itu. Lalu menceritakan pertemuannya dengan Ciong Ling di Kiam-oh-kiong di atas Bu-liang-san dan cara bagaimana dirinya menerbitkan gara-gara hingga bikin marah kawanan Sin-long-pang, di mana terpaksa Ciong Ling melepaskan Kim-leng-cu, tapi akhirnya gadis itu tertawan serta dirinya dipaksa datang kemari minta pertolongan. Semuanya Toan Ki ceritakan, hanya pengalamannya melihat patung kemala di dasar danau itu tak disebut-sebut.
Sambil mendengarkan, Ciong-hujin diam saja, air mukanya makin lama makin menampilkan rasa sedih. Setelah Toan Ki menutur, dengan menghela napas barulah ia berkata, "Anak perempuan ini memang terlalu nakal, begitu keluar rumah lantas bikin onar."
"Peristiwa ini adalah gara-gara perbuatanku, tak boleh menyalahkan nona Ciong," ujar Toan Ki.
Dengan termangu-mangu Ciong-hujin memandangi anak muda itu, sahutnya dengan lirih, "Ya, memang tak dapat menyalahkan dia. Dahulu aku pun demikian ...."
"Apa itu?" Toan Ki menegas.
Ciong-hujin terkesiap hingga wajah bersemu merah, meski usianya sudah setengah umur, tapi sikap malu-malu kucingnya itu ternyata tiada ubahnya seperti gadis remaja. Dengan likat ia menjawab, "O, aku ... aku hanya teringat pada sesuatu kejadian."
Dan karena berkata "sesuatu kejadian" itu, wajahnya tampak semakin merah jengah, cepat ia membelokkan pokok pembicaraan, "Kukira urusan ... urusan ini agak sulit diselesaikan."
Melihat sikap nyonya rumah yang kemalu-maluan itu, diam-diam Toan Ki pikir sang ibu ternyata lebih pemalu daripada putrinya yang lincah dan binal itu.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara seorang berkata di luar sana dengan nada dingin, "Hm, apakah tidak pernah kau dengar peraturan di Ban-jiat-kok kami ini?"
Cong-hujin terkejut mendengar suara itu, dengan perlahan katanya pada Toan Ki, "Suamiku datang, dia ... dia suka mencurigai orang, sementara harap Toan- kongcu bersembunyi dahulu."
"Tapi akhirnya Wansing toh harus menjumpai Ciong-cianpwe, lebih baik ...." belum selesai ucapan Toan Ki, cepat tangan Ciong-hujin sudah mendekap mulutnya, lalu menyeretnya ke suatu kamar di sebelah timur sana.
"Sembunyi saja di sini, sekali-kali jangan bersuara," pesan nyonya rumah. "Watak suamiku sangat keras dan pemarah, bila ketahuan jiwamu akan terancam dan aku pun tak bisa menolongmu."
Jangan sangka nyonya rumah itu tampaknya lemah lembut, ilmu silatnya ternyata sangat lihai, sedikit pun Toan Ki tak bisa berkutik kena dipegang dan diseret tadi, terpaksa ia menurut saja. Hanya dalam hati pemuda itu rada mendongkol, "Jauh-jauh kudatang memberi kabar, jelek-jelek aku adalah tamu, kenapa mesti disuruh main sembunyi seperti pencuri saja?"
Dalam pada itu terdengar pula suara seorang wanita di balik dinding papan sana sedang berkata, "Suciku ini dipagut ular berbisa, jiwanya terancam bahaya, maka mohon Locianpwe suka memberi pertolongan ...."
Sembari berkata, terdengar suara tindakan tiga orang memasuki ruangan sebelah.
Waktu Toan Ki mengintip melalui celah-celah dinding, ia lihat seorang wanita berbaju hijau, menggembol pedang di punggung, tangan memondong seorang wanita lain dan tiada hentinya minta ditolong.
Di samping sana ada seorang laki-laki berbaju hitam bertubuh tinggi kurus, muka menghadap ke luar, maka wajahnya tidak kelihatan, cuma dari kedua tangannya yang lebar terjulur ke bawah itu, jelas bentuknya sangat aneh luar biasa.
Kemudian terdengar suara Ciong-hujin lagi tanya, "Siapakah kedua tamu ini? Ada keperluan apakah datang ke lembah sini?"
Wanita baju hijau tadi menaruh kawan yang dipondongnya itu ke lantai, lalu bertanya, "Nyonya tentulah Ciong-hujin?"
Ciong-hujin mengangguk.
"Siaulicu (aku perempuan yang muda) bernama Hoan He, anak murid Hoa-san-pay dari Siamsay, terimalah hormatku ini," kata wanita baju hijau sambil memberi hormat.
"Ah, nona Hoan tak perlu banyak adat," cepat Ciong-hujin membalas hormat sembari membangunkan orang.
Toan Ki melihat Hoan He itu kira-kira berusia 27-28 tahun, beralis tebal dan bermata besar, gagah mirip kaum pria.
Terdengar ia berkata lagi, "Siaulicu bersama Suci, Si Hun, oleh karena ada keperluan berkunjung ke daerah Hunlam sini, ketika lewat Bu-liang-san, Suci yang kurang hati-hati mendadak dipagut oleh seekor ular emas kecil ...."
Mendengar kata-kata "ular emas kecil", hati Toan Ki tergerak, pikirnya, "Jangan-jangan yang dimaksudkan itu adalah Kim-leng-cu piaraan nona Ciong?"
"Sebab apakah sampai dipagut oleh ular emas itu?" tanya nyonya Ciong.
"Waktu itu kami merasa lelah dan duduk mengaso di tepi jalan," demikian tutur Hoan He. "Tiba-tiba tertampak seekor ular emas kecil merayap keluar dari semak-semak rumput, karena tertarik oleh warna emas gemerlap ular itu. Suci telah mencukitnya dengan pedang. Tak tersangka ular kecil itu terus melejit ke atas dan menggigit sekali pada pergelangan tangan Suci. Seketika itu juga Suci jatuh pingsan ...."
Tiba-tiba laki-laki berbaju hitam tadi menyela, "Asal kau bunuh ular emas itu dan telan empedunya, jiwa lantas dapat tertolong."
Jawab Hoan He, "Pergi-datang ular emas itu teramat cepat, sekali melejit lagi lantas menghilang di tengah-tengah semak-semak rumput, pula Siaulicu sibuk menolong Suci, tidak terpikir bahwa ular itu harus dibunuh."
"Bagus bila kau tahu bahwa pergi-datang Kim-leng-cu itu secepat kilat," kata laki-laki baju hitam itu dengan terbahak-bahak. "Orang yang berilmu silat sepuluh kali lebih tinggi daripadamu juga takkan mampu mengatasi binatang itu. Dasar cari penyakit, tanpa sebab kenapa mesti mengutik-utik ular itu dengan pedang? Ha, mampus juga pantas."
"Sudahlah, orang sudah terluka dan jauh-jauh datang ke sini minta tolong padamu, buat apa menyakiti perasaan orang malah?" ujar sang istri.
Mendengar nada ucapan Ciong-hujin itu, barulah Toan Ki tahu bahwa laki-laki berbaju hitam itu tak-lain tak-bukan adalah ayah Ciong Ling, pemilik Ban-jiat-kok ini.
Dalam pada itu lelaki baju hitam itu sedang terbahak-bahak pula sambil berpaling. Melihat mukanya, Toan Ki menjadi kaget. Ternyata muka orang ini berbentuk lonjong mirip muka kuda, kedua mata tumbuh terlalu tinggi, hidungnya yang besar sebaliknya hampir berdesakan dengan mulutnya yang lebar, hingga di tengah muka terluang suatu bagian yang kosong.
Wajah Ciong Ling cantik molek, sungguh tak nyana bahwa ayah kandungnya bisa begini jelek mukanya.
Tadinya wajah Ciong-kokcu itu penuh senyum ejekan, tapi demi berpaling ke arah sang istri, wajahnya yang jelek itu tampak berubah lemah lembut, katanya dengan tertawa, "Baiklah, apa yang Niocu (istriku) katakan, aku hanya menurut saja."
Diam-diam Toan Ki heran pula, pikirnya, "Aneh! Tadi ketika mendengar sang suami datang, Ciong-hujin tampak sangat takut, tapi kalau melihat sikap Ciong-kokcu sekarang, ia justru sangat cinta dan menghormat kepada sang istri."
Rupanya Hoan He juga sudah dapat melihat gelagat itu, segera ia berlutut dan berkata pula, "Mohon Ciong-kokcu dan Ciong-hujin sudi menolong jiwa Suciku, bukan saja kami berdua akan sangat berterima kasih, pun guruku akan merasa utang budi."
"Gurumu tentunya si bopeng Pho Pek-ki, bukan?" tanya Ciong-kokcu. "Hm, dia adalah angkatan muda, perlu apa kuharapkan dia utang budi padaku. Dahulu ketika aku meninggal, kenapa dia tidak datang melawat? Apa dia kira aku tidak tahu? Aku justru tahu jelas biarpun berada di dalam peti mati ini."
Ucapannya itu tidak hanya membikin Toan Ki tercengang, sekalipun Hoan He juga dibuatnya bingung. Pikirnya, "Engkau masih hidup segar bugar seperti ini, kenapa bilang sudah meninggal dan bicara tentang melawat serta peti mati segala?"
Tiba-tiba Ciong-kokcu tanya lagi dengan suara keras, "Sudah sekian tahun aku meninggal dunia, orang luar tiada yang tahu bahwa aku masih hidup. Lalu siapakah yang memberi petunjuk padamu untuk mencariku ke sini dan dari mana kau kenal jalan masuk Ban-jiat-kok?"
Pertanyaan ini dilakukan dengan nada bengis, alisnya menekuk ke bawah dan mulut merot, sikapnya sangat menakutkan.
Maka jawablah Hoan He, "Waktu Siaulicu merasa bingung ingin menolong jiwa Suci dan lekas-lekas berlari ke kota untuk mencari tabib, tiba-tiba kulihat di tepi jalan ada seorang nona berbaju hitam sedang mengulur tangan hendak menangkap seekor ular kecil. Ular itu berwarna emas mengilat, terang itu ular berbisa yang baru saja memagut Suci. Maka cepat Siaulicu berseru memperingatkan nona baju hitam itu agar jangan main-main dengan ular berbisa jahat itu. Tak tersangka nona itu sama sekali tidak gubris pada peringatanku, ia malah menangkap ular emas itu terus dimasukkan ke dalam bajunya. Melihat itu, Siaulicu menjadi girang, sebab kupikir orang yang dapat mengatasi ular itu tentu dapat pula mengobati pagutan sang ular. Segera Siaulicu memohon dengan sangat, namun nona itu menjawab tak bisa mengobati bisa ular itu, ia bilang di seluruh jagat hanya ada seorang yang mampu menyembuhkan pagutan ular emas itu, maka aku diberi petunjuk untuk datang kemari mohon pertolongan Ciong-kokcu. Ketika Siaulicu minta tanya nama nona baju hitam itu, namun dia tak mau memberi tahu."
Mendengar uraian itu, Ciong-kokcu dan sang istri saling pandang sekejap, lalu berkata dengan menjengek, "Huh, kiranya dia. Orang ini tidak bermaksud baik, selalu ingin memaksa aku keluar dari lembah ini. Ya, semuanya gara-gara Ling-ji, dia sembarangan membawa Kim-leng-cu keluar lembah hingga menimbulkan onar saja."
Lalu ia berpaling dan tanya Hoan He, "Lalu, apa yang dikatakan lagi oleh perempuan itu?"
"Tidak ada lagi," sahut Hoan He.
"Betul tidak ada lagi?" Ciong-kokcu menegas dengan dingin.
Hoan He menyahut dengan gelagapan, "Nona ... nona itu seperti berkata bahwa Jalan hidup melulu satu ini, cuma, sekali sudah masuk ke sana, belum tentu dapat keluar lagi dengan selamat. Maka kau pikir masak-masak sebelumnya."
"Benar!" ujar Ciong-kokcu. "Dan kau sudah pikirkan tidak?"
Cepat Hoan He berlutut menjura pula sambil memohon, "Mohon belas kasihan Ciong-kokcu dan Hujin."
"Bangunlah," sahut Ciong-kokcu. "Aku mempunyai dua jalan bagimu dan boleh kau pilih mana suka.
Pertama, kau dan Sucimu selama hidup tinggal di lembah ini melayani istriku. Jalan kedua, tangan kalian berdua harus dipotong, lidah diiris, agar sesudah keluar dari sini tidak membocorkan rahasiaku."
"Tapi ... tapi Siaulicu ditugaskan Suhu untuk menyelesaikan suatu urusan penting di Hunlam sini," sahut Hoan He setengah meratap, "sebelum tugas itu terlaksana, bukankah berarti melanggar perintah guru bila harus tinggal di sini ...."
"Jadi kau pilih jalan kedua saja?" kata Ciong-kokcu.
Tiba-tiba Hoan He merangkak maju dan merangkul kedua kaki Ciong-hujin sambil meratap, "Mohon belas kasihan Hujin, Siaulicu berjanji sesudah keluar lembah ini pasti akan tutup mulut serapatnya, kalau berani bicara satu patah kata saja, biarlah aku mati tercencang tak terkubur."
"Hm, aku Ciong Ban-siu bila bukan lantaran terlalu percaya pada sumpah orang, rasanya hari ini takkan mengumpet di lembah maut ini sebagai orang mati, mengkeret serupa kura-kura," tiba-tiba Ciong-kokcu tertawa menjengek, dan tangan kiri terulur, tahu-tahu leher baju Hoan He kena dicengkeramnya terus diangkat ke atas.
Perawakan tubuh Hoan He di kalangan wanita sudah tergolong tinggi, tapi kena diangkat oleh Ciong Ban-siu, kakinya lantas kontal-kantil setinggi hampir satu meter. Saking kaget dan takutnya Hoan He menjerit, berbareng kaki kanan terus menendang ke dada Ciong Ban-siu.
Namun sama sekali Ciong Ban-siu tak menghindar, ia membiarkan dada ditendang orang. Maka terdengarlah suara "krek" sekali, tahu-tahu tulang kaki Hoan He sendiri yang patah malah.
Menyusul tangan kanan Ciong Ban-siu bergerak, sinar tajam berkelebat, agaknya tangannya itu telah menyiapkan semacam senjata pendek sebangsa belati, maka terdengarlah suara "crat-cret" dua kali, kedua tangan Hoan He terkutung sebatas pergelangan.
Ciong-hujin hanya mendengus saja menyaksikan itu.
Segera Ciong Ban-siu memasukkan jarinya pula ke mulut Hoan He, terdengar nona itu berseru tertahan sekali, darah lantas mengucur dari mulutnya, lidah telah diiris putus juga.
Berdebar hati Toan Ki menyaksikan adegan mengerikan itu, ia dekap mulut sendiri, sedikit pun tak berani bersuara, pikirnya, "Meski kau kutungi kedua tangan dan iris lidahnya, dia kan masih punya kaki yang dapat dipakai menggores tulisan di atas tanah, akhirnya dia bisa juga membocorkan rahasia Ban-jiat-kok ini."
Ia lihat Ciong Ban-siu melemparkan tubuh Hoan He yang sudah pingsan saking kesakitan itu, lalu Si Hun yang menggeletak di tanah tak sadarkan diri itu diseretnya dan diperlakukan seperti Hoan He, kedua tangannya dikutungi dan lidahnya dipotong.
Melihat kekejaman orang, Toan Ki naik darah, tak terpikir lagi olehnya akibat apa yang bakal menimpa dirinya, mendadak ia membentak, "Pengecut yang rendah tak kenal malu, kau benar-benar terlalu keji!"
Bentakan Toan Ki membuat Ciong Ban-siu kaget, lebih-lebih Ciong-hujin, ia ketakutan hingga pucat bagai kertas.
Dengan langkah lebar terus saja Toan Ki keluar dari balik dinding papan itu, ia tuding Ciong Ban-siu dan mendamprat, "Ciong siansing, nyalimu terlalu kecil, caramu ini bukanlah perbuatan seorang laki-laki sejati!"
Melihat wajah Toan Ki, air muka Ciong Ban-siu berubah hebat dan terkesiap, katanya, "Apakah kau ...
kau ... ah, tak mungkin ...."
"Cayhe bernama Toan Ki," segera pemuda itu perkenalkan diri, "sedikit pun aku tidak paham ilmu silat, maka hendak kau korek atau kau bunuh, boleh kau lakukan sesukamu. Tapi kalau kau lepaskan aku dari sini, perbuatanmu yang kejam tak berperikemanusiaan ini pasti akan kusiarkan di dunia Kangouw, biar setiap orang kenal manusia macam apakah Ciong Ban-siu itu?"
"Hahaha!" tidak gusar Ciong Ban-siu, malah tertawa. "Manusia macam apa Ciong Ban-siu, masakah orang Kangouw tidak tahu? Kau bocah ini apa tidak kenal julukanku dahulu di dunia Kangouw?"
"Tidak tahu," sahut Toan Ki.
"Aku Ciong Ban-siu, berjuluk 'Kian-jin-ciu-sat' (melihat orang lantas membunuh)!" kata Ciong Ban-siu dengan sikap sangat bangga.
Toan Ki tercengang oleh julukan itu, tapi dalam dadanya segera bergolak pula oleh semangat banteng, dengan lantang katanya, "Jadi membunuh secara kejam orang tak berdosa memang dasar watakmu. Cuma umumnya kalau orang suka membunuh, biasanya pasti tidak takut pada langit dan gentar pada bumi, masakan bisa pengecut seperti kau, takut kepala sembunyi buntut, jeri di muka khawatir di belakang."
Rupanya ucapan Toan Ki itu tepat menusuk perasaan Ciong Ban-siu hingga seketika ia malah tidak gusar.
Toan Ki memang tidak pikirkan mati hidupnya sendiri lagi, segera ia berkata pula, "Kulihat ilmu silatmu sangat tinggi, kusangka engkau tentu seorang laki-laki berjiwa baja, bila tak bisa mengalahkan orang, seharusnya kau labrak dia mati-matian, sekalipun akhirnya harus gugur bersama. Tapi engkau justru main sembunyi, khawatir orang membocorkan tempat mengumpetmu, lantas kau siksa dan menganiaya seorang wanita yang tak mampu melawan kau, apakah ... apakah perbuatanmu ini adalah kelakuan seorang jantan tulen?"
Wajah Ciong Ban-siu tampak sebentar pucat sebentar merah padam, seakan-akan apa yang dikatakan Toan Ki itu setiap kalimatnya kena benar menusuk lubuk hatinya, tiba-tiba sinar matanya yang bengis mencorong tajam, tampaknya segera akan membunuh orang.
Tapi setelah tertegun sejenak, mendadak ia menggebrak meja, "blang", meja di sebelahnya sempal separuh, menyusul sebelah kakinya melayang, dinding papan jebol berlubang, sambil tutup mukanya dengan kedua tangan sendiri segera berseru, "Ya, aku pengecut, aku pengecut!"
Mendadak ia lari keluar.
Dalam keadaan demikian, saking ketakutan Ciong-hujin sampai gemetar dan bersandar di dinding, sama sekali tak tersangka olehnya sekali ini sang suami tidak membunuh Toan Ki.
Ia menoleh dan tanya, "Toan-kongcu, apa be ... benar kau tak bisa ilmu silat?"
Sembari berkata, dengan perlahan tangan menabok punggung pemuda itu.
Tempat yang ditabok itu adalah tempat mematikan di tubuh manusia, asal sedikit ia gunakan Lwekang, tidak mati pun Toan Ki akan terluka parah. Namun pemuda itu memang benar-benar tak bisa ilmu silat, maka sedikit pun ia tak kenal bahaya, dengan jujur ia menjawab, "Wansing memang tak pernah belajar silat, kepandaian yang melulu dipakai mencelakai orang ini tiada harganya untuk kupelajari."
"Be ... besar amat nyalimu, ternyata se ... serupa benar dengan dia," kata Ciong-hujin.
"Serupa dengan siapa?" Toan Ki menegas.
Kembali wajah Ciong-hujin bersemu merah, ia tidak menjawab pertanyaan orang, sebaliknya ia tepuk tangan dua kali, maka keluarlah pelayan tadi.
"Bubuhi obat luka pada kedua nona itu untuk mencegah darah mengucur terlampau banyak," pesan nyonya rumah itu.
Pelayan itu mengiakan dan memondong Si Hun dan Hoan He ke dalam kamar, dari sikapnya yang sedikit pun tidak heran atau kaget, agaknya soal sang suami membunuh dan menganiaya orang sudah biasa dilihatnya.
Sambil bertopang dagu Ciong-hujin terombang-ambing dalam lamunannya, seperti ada sesuatu kesulitan mahabesar yang sukar diputuskan.
Tadi Toan Ki hanya terdorong oleh darah panas yang timbul seketika, maka berani mendamprat Ciong Ban-siu, tatkala itu ia sudah nekat. Tapi kini demi melihat darah berlumuran di lantai, hatinya menjadi takut lagi. Pikirnya, "Aku harus lekas-lekas berusaha melarikan diri, kalau tidak, bukan saja jiwa akan melayang, bahkan akan mati dengan mengenaskan."
Segera ia menghampiri ambang pintu sambil memberi hormat pada nyonya rumah dan berkata, "Wansing sudah menunaikan tugas menyampaikan berita, kini mohon Hujin lekas berdaya untuk menolong putrimu."
"Nanti dulu, Kongcu," sahut Ciong-hujin.
Karena itu Toan Ki tidak jadi tinggal pergi.
"Mungkin Kongcu tidak tahu bahwa suamiku pernah bersumpah selama hidup takkan keluar dari lembah ini," kata nyonya rumah itu kemudian. "Sebab itulah, meski putriku itu tertawan musuh, rasanya suamiku takkan pergi menolongnya .... Ah, urusan sudah telanjur begini, terpaksa aku saja yang ikut pergi bersama Kongcu."
Kejut dan girang Toan Ki, sahutnya, "Bila Ciong-hujin sudi pergi bersamaku, itulah paling baik."
Tiba-tiba ia teringat pada apa yang dikatakan Ciong Ling bahwa satu-satunya orang yang sanggup menyembuhkan racun Kim-leng-cu hanya ayahnya saja, maka cepat ia tanya pula nyonya rumah apakah juga bisa mengobati racun Kim-leng-cu?
Ciong-hujin geleng-geleng kepala, sahutnya, "Aku tak bisa mengobati."
"Jika ... jika begitu ...." namun belum selesai Toan Ki berkata, nyonya rumah itu sudah tinggal masuk ke kamarnya.
Setelah tinggalkan secarik surat singkat dan berbenah seperlunya, segera Ciong-hujin keluar lagi dan berkata, "Marilah kita berangkat!"
Segera ia mendahului jalan di depan.
Tersipu-sipu Toan Ki mengikut di belakang nyonya rumah itu, namun dia masih sempat menjemput pula Jing-leng-cu dan diubet di pinggang.
Jangan sangka Ciong-hujin tampaknya lemah gemulai, jalannya ternyata jauh lebih cepat daripada
Toan Ki.
Karena tahu nyonya rumah itu tak bisa mengobati racun Kim-leng-cu, betapa pun Toan Ki masih merasa khawatir. Maka ia coba tanya lagi, "Jika Hujin tak bisa menyembuhkan racun ular, mungkin Sin-long-pang tak mau membebaskan putrimu itu."
"Siapa yang ingin minta mereka bebaskan Ling-ji?" sahut Ciong-hujin tak acuh. "Kalau Sin-long-pang berani menahan putriku untuk memeras aku, itu berarti mereka sudah bosan hidup. Kalau tak bisa menolong orang, masakan membunuh tak mampu?"
Toan Ki bergidik, ia merasa kata-kata Ciong-hujin yang sederhana itu, maksudnya membunuh orang yang terkandung di dalamnya tidak di bawah perbuatan Ciong Ban-siu yang bengis dan kejam itu. Namun lahirnya Ciong-hujin lemah lembut, kalau dibandingkan, rasanya lebih menakutkan orang.
Sambil bicara, kedua orang sudah berlari beberapa li jauhnya. Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang di belakang, "Hujin, engkau ... engkau hendak ke mana?"
Waktu Toan Ki menoleh, siapa lagi dia kalau bukan Ciong Ban-siu yang sedang mengejar datang secepat terbang.
Sekonyong-konyong Ciong-hujin ulur tangan ke ketiak Toan Ki sambil membentak, "Lekas!"
Segera ia angkat tubuh pemuda itu dan dibawa melesat ke depan.
Seketika Toan Ki merasa kedua kaki terapung di atas tanah, ia dikempit oleh Ciong-hujin dan tak bisa berkutik. Maka kejar-mengejar itu segera berlangsung dengan cepat, dalam sekejap saja mereka sudah berlari sepuluh tombak jauhnya.
Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh Ciong-hujin ternyata lebih tinggi setingkat daripada sang suami, cuma betapa pun ia membawa beban seorang, yaitu Toan Ki, maka lambat laun dapatlah disusul oleh Ciong Ban-siu.
Diam-diam Toan Ki ikut khawatir, ia tahu asal bisa keluar mulut lembah, Ciong Ban-siu sudah bersumpah itu tentu takkan mengudak lebih jauh.
Dalam saat demikian, terkilas suatu pikiran dalam benaknya, "Meski ilmu silat adalah kepandaian yang suka bikin celaka orang, tapi kalau aku mahir Ginkang, rasanya ada faedahnya juga."
Nyata, dalam keadaan kepepet begini, ia jadi ingin bisa berlari lebih cepat.
Sementara itu tinggal belasan tombak lagi sudah bisa keluar dari lembah itu. Toan Ki merasa suara napas Ciong Ban-siu sudah terdengar di belakangnya. Mendadak, "bret", Toan Ki merasa punggungnya silir dingin, bajunya kena dijambret sobek sebagian oleh Ciong Ban-siu.
Tiba-tiba Ciong-hujin angkat tubuh Toan Ki dan dilemparkan sekuatnya ke depan sambil membentak, "Lekas lari!"
Menyusul tangan yang lain sudah lantas lolos pedang terus menusuk ke belakang dengan maksud merintangi kejaran sang suami.
Hakikatnya Ciong-hujin tiada maksud mencelakai suami sendiri. Tak terduga tusukannya itu benar-benar mengenai dada sang suami. Ternyata sama sekali Ciong Ban-siu tidak menghindar atau berkelit, tapi rela ditusuk oleh sang istri.
Keruan Ciong-hujin terkejut, cepat ia menoleh, seketika ia tidak berani tarik pedangnya, ia lihat wajah sang suami penuh rasa sesal dan cemas, kelopak matanya mengembeng air, dadanya berlumuran darah, katanya, "Wan-jing, jadi akhir ... akhirnya akan kau tinggalkan daku?"
Melihat tusukannya itu tepat mengenai dada sang suami, meski tidak mengenai ulu hati, tapi ujung pedang juga ambles beberapa senti ke dalam, karena khawatir akan jiwa sang suami, cepat Ciong-hujin mencabut pedang terus menubruk maju untuk menutupi luka tusukan itu, ia lihat darah menyembur keluar melalui celah-celah jarinya.
"Kenapa engkau tidak menghindar?" tegur Ciong-hujin dengan gusar.
"Jika engkau toh akan tinggalkan diriku, lebih baik aku mati saja," sahut Ciong Ban-siu tersenyum getir.
"Siapa bilang aku hendak meninggalkan kau?" kata Ciong-hujin. "Aku hanya pergi buat beberapa hari saja dan segera kembali. Kepergianku adalah untuk menolong putri kita."
Segera ia ceritakan secara singkat tentang tertawannya Ciong Ling oleh orang-orang Sin-long-pang.
Menyaksikan itu, Toan Ki terkesima, ia tidak jadi melarikan diri, tapi setelah menenangkan diri, cepat ia sobek lengan baju sendiri dan hendak membalut luka Ciong Ban-siu.
Tak terduga mendadak sebelah kaki Ciong Ban-siu terangkat hingga Toan Ki kena ditendang terjungkal, bentaknya, "Anak haram, aku tidak sudi melihat cecongormu!"
Lalu ia berpaling kepada sang istri dan berkata, "Aku ... aku tidak percaya, tentu kau berdusta, sudah terang dia ... dia datang ke sini mengundangmu. Anak jadah ini sekalipun menjadi abu juga aku mengenalnya, malah dia ... dia tadi telah menghinaku."
Habis berkata, ia terbatuk-batuk dengan hebat.
Dan karena batuk, darah yang mengucur dari lukanya itu bertambah hebat. Mendadak ia teringat sesuatu, katanya kepada Toan Ki, "Ayolah maju, kenapa tidak maju? Meskipun aku terluka parah, belum tentu kujeri pada kau punya It-yang-ci! Ayolah maju!"
Karena tendangan tadi, jidat Toan Ki membentur sepotong batu kecil yang tajam hingga terluka, cepat ia merangkak bangun sambil memegangi jidatnya yang benjut itu, lalu menjawab, "Cayhe Toan Ki dari daerah Kanglam, sesungguhnya tidak paham tentang It-yang-ci segala!"
Kembali Ciong Ban-siu terbatuk-batuk, bentaknya dengan gusar, "Anak jadah, apa kau berlagak dungu? Pergilah me ... memanggil bapakmu kemari!"
Karena gusarnya itu, batuknya makin menjadi-jadi.
"Dalam keadaan demikian, penyakitmu suka curiga tetap tidak berubah," kata Ciong-hujin. "Kalau engkau tidak percaya padaku, lebih baik aku mati di hadapanmu saja."
Terus saja ia jemput pedangnya dan hendak menggorok leher sendiri.
Cepat Ciong Ban-siu rebut pedang itu, air mukanya berubah girang, katanya, "Niocu, jadi sungguh engkau bukan hendak ikut minggat dengan anak jadah ini?"
"Orang adalah Toan-kongcu yang terhormat, kenapa kau maki dia anak jadah segala?" omel Ciong-hujin. "Kepergianku ikut Toan-kongcu adalah hendak membunuh habis Sin-long-pang untuk menolong putri mestika kita."
Walaupun terluka parah, namun demi tampak sikap sang istri yang mengomel dan marah kecil, rasa cinta kasih Ciong Ban-siu semakin berkobar, dengan tersenyum ia menyahut, "Jika demikian halnya, ya, akulah yang salah."
Ketika Ciong-hujin periksa luka sang suami, ia lihat darah masih merembes keluar dengan deras. "Ba ... bagaimana baiknya, ini?" ratapnya khawatir.
Girang Ciong Ban-siu tidak kepalang, ia rangkul pinggang sang istri dan berkata, "Wan-jing, engkau begini memerhatikan diriku, biarpun aku mati seketika juga rela."
Muka Ciong-hujin menjadi merah, perlahan ia buang tangan sang suami dan menyahut, "Toan-kongcu berada di sini, kenapa main pegang-pegang begini?"
Dan karena melihat keadaan sang suami tampak bertambah payah dan wajah pucat, ia menjadi khawatir, katanya pula, "Sudahlah aku tak pergi menolong Ling-ji, dia berbuat onar sendiri, biar dia terima nasib saja."
Lalu ia bangunkan sang suami dan berkata kepada Toan Ki, "Toan-kongcu, harap kau sampaikan pada Sikong Hian bahwa suamiku sudah ... sudah mati. Jika dia berani mengganggu seujung rambut putriku itu, suruh jangan lupa pada keganasan 'Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing'!"
Melihat keadaan demikian, Toan Ki pikir Ciong Ban-siu jelas takkan ikut pergi, Ciong-hujin juga tidak tega meninggalkan sang suami untuk menolong putrinya, hanya mengandalkan kata-kata "Hiang-yok-jeh (si kuntilanak) Bok Wan-jing" apakah dapat menggertak Sikong Hian, sungguh masih disangsikan. Tampaknya racun "Toan-jiong-san" yang masih mengeram di dalam perutku sendiri ini pasti tak dapat diobati lagi.
Untuk sejenak ia tertegun, ia pikir urusan sudah demikian, banyak omong juga percuma, maka sahutnya kemudian, "Jika begitu, baiklah Wansing segera berangkat menyampaikan pesan Hujin itu."
Melihat ketegasan anak muda itu, sekali bilang berangkat lantas berangkat, sedikit pun tidak ragu-ragu, hal ini membuat Ciong-hujin teringat pada seseorang. Segera serunya, "Nanti dulu, Toan-kongcu, masih ada yang hendak kukatakan!"
Perlahan ia taruh sang suami ke tanah, lalu memburu ke dekat Toan Ki, ia mengeluarkan sepotong barang dan diserahkan pada pemuda itu, bisiknya, "Bawalah benda
ini kepada Toan Cing-bing, lekas ...."
Mendengar nama "Toan Cing-bing", air muka Toan Ki berubah.
Dasar nyonya Ciong atau Bok Wan-jing memang cermat, ketika mengucapkan "Toan Cing-bing" tadi, dia memang ingin tahu perubahan wajah Toan Ki. Karena itulah perlahan ia menghela napas, katanya pula, "Apakah sekarang engkau hendak membohongi aku? Lekaslah kau pergi dan semoga bisa tiba di sana tepat pada waktunya, agar jiwa Ling-ji dan kau sendiri tertolong."
Tanpa menunggu jawaban Toan Ki, segera ia putar balik ke samping sang suami dan membawanya pergi.
Waktu Toan Ki periksa barang yang diterimanya dari Ciong-hujin, ia lihat benda itu adalah sebuah kotak kecil bersepuh emas yang sangat indah.
Ketika tutup kotak ia buka, tertampak isinya hanya secarik kertas melulu yang warnanya sudah menguning, terang karena disimpan terlalu lama, malahan di atas kertas lamat-lamat masih kelihatan ada bekas tetesan darah.
Di atas kertas tertulis, "Tahun Kui-hay, bulan dua, tanggal lima, waktu Niu."
Gaya tulisannya bagus dan halus, seperti ditulis oleh kaum wanita. Lebih dari itu tiada barang lain lagi.
Diam-diam Toan Ki membatin, "Ini adalah surat lahir (Pek-ji) seseorang, Ciong-hujin menyuruhku menyerahkannya pada ayah, entah apakah maksud tujuannya. Masakah secarik surat lahir begini bisa menolong jiwa nona Ciong dan nyawaku? Tampaknya Ciong-hujin sudah dapat menerka bahwa aku adalah putranya ayah, sebaliknya Ciong Ban-siu berulang-ulang memaki aku, agaknya ia pun kenal wajahku mirip ayah. Apakah barangkali dia ada permusuhan dengan ayah?"
Sedang Toan Ki melamun sambil berjalan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seruan seorang tua, "Tunggu dulu Toan-kongcu!"
Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat seorang tua berbaju pendek kasar lagi menyusulnya dengan cepat. Sesudah dekat, orang tua itu memberi hormat dan berkata, "Hamba bersama Ciong Hok. Atas perintah Hujin agar membawa Kongcu keluar lembah ini."
"Baik," sahut Toan Ki mengangguk.
Segera Ciong Hok berjalan di depan, akhirnya mereka tiba di mulut lembah, yaitu melalui peti mati dan kuburan yang pernah dimasuki Toan Ki itu. Lalu Ciong Hok membawa Toan Ki melalui suatu jalan kecil lain hingga 6-7 li pula jauhnya, akhirnya sampailah di depan sebuah gedung besar.
"Harap Kongcu tunggu sebentar," kata Ciong Hok. Tanpa mengetuk pintu lagi, terus saja hamba itu melompat ke dalam gedung dengan melintasi pagar tembok.
Sementara itu hari sudah gelap, memandangi sinar bintang yang berkelip-kelip di tengah cakrawala, tiba-tiba Toan Ki terkenang pada patung dewi cantik yang dijumpainya di dasar danau itu.
Tengah pikiran Toan Ki melayang-layang jauh, tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda di halaman gedung, mendengar suara binatang yang nyaring panjang itu, tak tertahan Toan Ki berseru memuji, "Kuda bagus!"
Kemudian tampak pintu gedung terbuka dan menongol sebuah kepala kuda, di tengah malam gelap, kedua mata binatang itu tampak bersinar, hanya sekali pandang saja sudah kelihatan kuda itu memang lain dari yang lain.
"Prak-prak" dua kali, seekor kuda hitam mulus tampak melangkah keluar. Perlahan sekali suara yang dijangkitkan derap kaki binatang itu, agaknya seekor kuda kecil. Tapi bila melihat perawakan kuda itu, ternyata keempat kakinya panjang, tangkas gagah. Yang menuntun kuda adalah seorang pelayan kecil, dalam kegelapan tidak jelas mukanya, usianya kira-kira belasan tahun dan tentunya wajahnya juga tidak jelek.
Ciong Hok ikut keluar di belakang kuda itu, katanya, "Toan-kongcu, Hujin khawatir engkau tak bisa tepat waktunya tiba di Tayli, maka sengaja pinjam kuda bagus ini pada tuan rumah di sini untuk tunggangan Kongcu."
Sudah banyak juga kuda bagus yang pernah dilihat Toan Ki, dari suara ringkikan kuda ini tadi, ia tahu pasti seekor kuda bagus pilihan yang jarang terdapat.
Maka sahutnya, "Terima kasih!"
Segera ia hendak menarik tali kendali.
Perlahan kacung tadi mengelus leher kuda itu, katanya dengan suara halus, "Oh-bi-kui, Oh-bi-kui! Siocia meminjamkanmu kepada Kongcuya ini, kau harus menurut perintahnya. Lekas pergi dan cepat kembali!"
Kuda hitam yang diberi nama Oh-bi-kui atau mawar hitam itu berpaling dan menggosok-gosokkan lehernya ke lengan si pelayan, sikapnya sangat manja. Lalu pelayan itu menyerahkan tali kendali kepada Toan Ki dan berpesan, "Kuda ini jangan dipecut, semakin baik kau perlakukan dia, semakin cepat larinya."
"Baiklah," sahut Toan Ki. "Nah, Siocia mawar hitam, terimalah hormatku ini!"
Sembari berkata, ia benar-benar membungkukkan tubuh kepada binatang itu.
Pelayan kecil itu mengikik geli, katanya, "Lucu juga engkau ini. Eh, hati-hati, ya! Jangan terperosot jatuh!"
Namun soal menunggang kuda tidaklah asing bagi Toan Ki, sejak kecil ia sudah biasa. Maka dengan enteng saja ia mencemplak ke atas kuda hitam itu dan berkata pada si pelayan, "Sampaikan terima kasihku kepada Siociamu!"
"Dan tidak terima kasih padaku?" ujar si pelayan tertawa.
Toan Ki memberi hormat, katanya, "Terima kasih pada Cici, Nanti kalau datang lagi akan kubawakan banyak permen untukmu.""Sudahlah, jiwamu sendiri perlu dijaga baik-baik, bisa datang lagi atau tidak masih disangsikan, siapa ingin pada permen segala?" sahut si pelayan tertawa manis.
Ciong Hok ikut berkata juga, "Harap Kongcu menjaga diri baik-baik, dari sini lurus ke utara akan sampai di jalan raya yang menuju ke Tayli, maafkan hamba tidak mengantar lebih jauh."
Toan Ki melambaikan tangan sebagai tanda berpisah, lalu melarikan kudanya ke depan.
Oh-bi-kui alias mawar hitam itu ternyata tidak perlu diperintah, di tengah malam buta larinya secepat terbang. Toan Ki hanya merasa tumbuh-tumbuhan di sekitarnya tiada hentinya melesat lewat di sampingnya.
Yang paling hebat adalah anteng sekali menunggang di atas kuda itu, sangat sedikit terasa guncangan-guncangan, pikir Toan Ki, "Demikian cepat lari kuda ini, rasanya lewat tengah hari besok sudah bisa sampai di Tayli. Tapi ayah belum tentu sudi ikut campur urusan tetek bengek di dunia Kangouw ini, apakah aku terpaksa harus memohon Toapek (paman tertua)? Ai, urusan sudah telanjur begini, terpaksa harus kuserahkan pada Toapek dan ayah."
Tiada sejam lamanya, sudah puluhan li jauhnya, dalam malam gelap terasa angin silir sejuk, hawa malam sangat nyaman. Selagi Toan Ki merasa senang, sekonyong-konyong ada seorang membentak di depan, "Perempuan keparat, lekas berhenti!"
Menyusul sinar tajam berkelebat, sebatang golok lantas membacok.
Namun kuda hitam itu benar-benar teramat cepat, baru golok itu diayunkan, binatang itu sudah melompat lewat sejauh setombak lebih. Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat dua laki-laki bersenjata golok dan tombak lagi mengejar dari belakang dengan cepat sambil memaki kalang kabut, "Perempuan keparat! Pakai menyamar segala, apa dikira Locu (bapak) dapat kau kelabui demikian saja?"
Tapi hanya sekejap saja si mawar hitam sudah jauh meninggalkan kedua pengejar itu. Namun kedua laki-laki itu masih belum kapok, mereka masih memburu terus hingga tidak selang lama suara teriakan dan makian mereka pun tidak terdengar lagi.
Diam-diam Toan Ki membatin, "Kedua orang memaki aku sebagai 'perempuan keparat' segala dan menuduh aku menyamar sebagai lelaki. Ya, tentu mereka hendak cari setori pada majikan si mawar hitam ini. Kenal kuda tapi tak kenal orangnya, sungguh tolol benar!"
Setelah lebih satu li lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat, "Wah, celaka! Berkat kecepatan kuda ini aku bisa lolos dari sergapan kedua orang tadi. Tampaknya ilmu silat kedua orang itu pun tidak lemah, jikalau Siocia yang memberi pinjam kuda ini tidak tahu kejadianku ini dan jalan-jalan keluar, mungkin dia akan disergap musuh. Rasanya aku harus kembali ke sana dulu untuk memberi tahu padanya."
Segera ia berhentikan kuda, katanya pada binatang itu, "Oh-bi-kui, ada orang hendak membunuh Siociamu, kita harus lekas kembali dan memberi tahu padanya agar dia berjaga-jaga dan jangan keluar rumah."
Segera ia putar kuda dan lari kembali ke arah tadi. Ketika dekat tempat sergapan kedua laki-laki itu, ia desak si mawar hitam, "Lekas, lekas lari!"
Binatang itu ternyata mengerti maksud orang, di bawah desakan "lekas lari" itu, ia benar-benar
mencongklang terlebih pesat.
Namun kedua laki-laki itu ternyata sudah tidak di situ lagi, karena itu Toan Ki menjadi lebih khawatir malah, pikirnya, "Jika mereka berdua sudah menyerbu masuk ke rumah Siocia itu, hal ini pasti lebih celaka lagi!"
Segera ia membentak si mawar hitam agar lari lebih cepat.
Seketika lari si mawar hitam seolah terapung di atas tanah, secepat terbang ia lari pulang.
Ketika hampir sampai di depan gedung besar itu, mendadak dari samping dua batang pentung menyerang kaki kuda. Namun tidak perlu Toan Ki memberi perintah, kontan si mawar hitam melompat menghindarkan diri, menyusul kaki belakang terus mendepak, "bluk", salah seorang penyerang gelap itu kena didepak mencelat.
Dan sekali melompat lagi, si mawar hitam sudah sampai di depan pintu gedung itu. Dalam kegelapan mendadak tampak 4-5 orang muncul dan serentak hendak menarik tali kendali Oh-bi-kui menyusul Toan Ki merasa lengan sendiri kena dicengkeram orang terus diseret ke tanah. Segera seorang di antaranya membentak, "Siaucu (anak muda), untuk apa kau datang ke sini?"
Diam-diam Toan Ki mengeluh, "Celaka, rumah ini ternyata sudah dikepung musuh, entah tuan rumahnya sudah mengalami nasib malang atau belum?"
Ia merasa lengan kanan yang dicengkeram orang itu seakan-akan terjepit tanggam, separuh tubuhnya merasa kaku, maka cepat katanya, "Ada urusan hendak kucari tuan rumah di sini, kenapa kau begini kasar?"
Lalu terdengar suara seorang tua lain berkata, "Siaucu ini menunggang kuda hitam milik perempuan hina itu, boleh jadi adalah kawan karibnya, biar kita lepaskan dia ke dalam, babat rumput harus sampai ke akar-akarnya, nanti kita bereskan sekalian."
Hati Toan Ki berdebar tak keruan, pikirnya, "Aku ini benar-benar ular mencari gebuk, seperti ikan masuk jala sendiri. Sudah enak-enak pergi, sekarang datang kembali cari penyakit. Urusan sudah kadung begini, hendak lari juga tidak mungkin lagi, terpaksa masuk ke sana dan melihat gelagat menurut keadaan nanti."
Ia merasa cengkeram orang telah dikendurkan, segera ia betulkan bajunya, lalu melangkah masuk ke dalam rumah dengan membusung dada.
Di pekarangan ada suatu jalan batu, kedua samping penuh tanaman bunga mawar yang menyiarkan bau harum.
Jalan batu itu berliku-liku, setelah menembus sebuah pintu bundar, jalanan itu lurus ke depan.
Toan Ki melihat di sekitarnya di sana-sini banyak berdiri orang. Ketika mendengar ada suara dehem di tempat ketinggian, ia mendongak dan melihat di atas pagar tembok sana juga berdiri 7-8 orang dengan senjata terhunus. Di tengah malam gelap, sinar senjata yang gemilapan itu cukup membuat jeri siapa saja yang melihatnya.
Diam-diam Toan Ki membatin, "Gedung ini meski sekian besarnya, tapi belum tentu dapat dihuni orang sekian banyaknya. Tentu mereka ini adalah musuh tuan rumah, apa benar-benar mereka akan membunuh seisi rumah ini habis-habisan?"
Dalam kegelapan remang-remang Toan Ki melihat orang-orang itu sama melotot padanya dan pegang-pegang senjata utk menakuti. Tapi Toan Ki bisa tenangkan diri, akhirnya ia sampai di suatu ruangan besar yang berjendela panjang, di dalam ruangan tampak sinar lampu terang benderang.
Toan Ki mendekati deretan jendela panjang itu, lalu berseru lantang, "Cayhe Toan Ki, ada urusan mohon bertemu dengan tuan rumah!"
"Siapa? Gusur masuk!" suara seorang tua serak membentaknya.
Toan Ki mendongkol, ia dorong daun jendela panjang itu dan melangkah masuk. Tapi ia menjadi kaget melihat di dalam ruangan penuh dengan orang pula, ada yang berdiri, ada yang duduk, sedikitnya 17-18 orang.
Di tengah seorang wanita baju hitam duduk mungkur, muka menghadap ke dalam, maka wajahnya tidak kelihatan. Tapi dari perawakannya yang tampak langsing, rambutnya hitam gilap dan berkundai ciodah, dari dandanannya jelas seorang gadis remaja.
Kecuali itu, di sana-sini ada lagi belasan orang lelaki dan perempuan, ada pula dua Hwesio dan tiga Tosu.
Di antara orang-orang itu kecuali seorang kakek yang duduk di kursi malas di sudut timur sana dan seorang nenek serta kedua Hwesio, yang bertangan kosong, selebihnya sama bersenjata.
Di depan nenek itu menggeletak seorang, lehernya luka terbacok, agaknya sudah mati.
Segera Toan Ki dapat mengenalinya sebagai Ciong Hok, itu hamba tua yang membawanya ke sini untuk pinjam kuda itu.
Meski Toan Ki baru kenal orang tua itu, tapi ia merasa orang sangat sopan dan menghormat padanya. Ia menjadi sedih dan gusar melihat nasib hamba tua yang malang itu, terutama bila teringat dirinya yang menyebabkan kematiannya itu.
"Untuk apa kau datang ke sini?" dengan suara serak si kakek membentak pula. Meski antero rambut kakek ini sudah beruban, tapi janggutnya ternyata halus kelimis.
Sejak melangkah masuk tadi, Toan Ki sudah ambil keputusan, "Sekali sudah masuk sarang harimau, kalau bisa meloloskan diri, itulah baik. Kalau tidak bisa, tiada gunanya juga banyak bicara dengan manusia yang tampak bengis dan jahat ini."
Tapi sesudah melihat mayat Ciong Hok menggeletak di situ, seketika malah menimbulkan jiwa kesatrianya yang bersemangat banteng, dengan garang ia menjawab, "Aku bernama Toan Ki. Rasanya Lotiang (bapak tua) adalah seorang terhormat, engkau hanya lebih lama hidup beberapa tahun, kenapa kau panggil orang Siaucu segala secara tak sopan?"
Bab 4
Kedua alis kakek itu menegak, sinar matanya menyorot tajam, sikapnya keren, tapi tak menjawab.
Sebaliknya seorang laki-laki yang berdiri di sebelahnya lantas membentak, "Bangsat kecil, apa kau sudah bosan hidup, berani sembarang mengoceh! Loyacu ini sudi bicara dengan kau, hal ini sudah untung bagimu, apa kau kenal siapa Loyacu ini? Hm, matamu benar-benar buta!"
Melihat lagak kakek itu benar-benar lain dari yang lain, betapa pun timbul juga sedikit rasa hormat Toan Ki, maka sahutnya, "Aku pun tahu Lotiang ini pasti bukan orang sembarangan. Bolehkah mohon tanya siapakah nama Lotiang yang terhormat?"
Belum lagi si kakek menjawab, lelaki tadi sudah berkata pula, "Baiklah, supaya kau bisa mati dengan merem, dengarlah yang jelas. Loyacu ini adalah No-kang-ong, Sam-ciang-coat-beng Cin-loyacu!"
"Sam-ciang-coat-beng?" Toan Ki menegas, "Seorang tua baik-baik, kenapa pakai gelaran yang tak enak didengar itu? Dan kenapa di sebut No-kang-ong pula, Cin-loyacu."
Kiranya No-kang-ong, si raja sungai mengamuk, Sam-ciang-coat-beng atau tiga kali pukulan melenyapkan nyawa, nama lengkapnya adalah Cin Goan-cun. Tidak saja namanya mengguncangkan daerah selatan, terhitung tokoh terkemuka dalam dunia persilatan di wilayah Hunlam, bahkan di sekitar lembah Hongho dan kedua tepi sungai Yangcu, setiap jago silat juga segan pada namanya.
Tak terduga, sesudah mendengar nama dan gelar itu, Toan Ki anggap sepele saja, sedikit pun tidak heran.
Tentu saja No-kang-ong, Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun sangat gusar. Sejak namanya terkenal, jarang ia mendapat tandingan, sekalipun lawan yang berilmu silat lebih tinggi kalau mendengar namanya juga akan tergetar, sedikit pun tidak berani memandang enteng.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa hakikatnya Toan Ki tidak pernah merantau Kangouw, mengenai seluk-beluk kejadian dunia persilatan, sedikit pun tak diketahuinya, Jangankan nama Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun, sekalipun gelar "Sam-sian-su-ok", yaitu tokoh-tokoh "tiga orang bajik dan empat manusia jahat" yang diagungkan dunia persilatan, juga takkan membuatnya jeri.
Umumnya jago silat mana pun juga, dalam hal "nama" dipandangnya sangat penting. Maka Cin Goan-cun menyangka perbuatan Toan Ki ini sengaja hendak menghina dirinya, meski dalam hati sangat gusar, namun melihat sikap Toan Ki yang acuh tak acuh, kalau bukan memiliki ilmu silat yang diandalkan, rasanya pasti tidak berani begitu kurang ajar.
Karena menyangka Toan Ki pasti seorang jago sangat lihai, maka Cin Goan-cun cepat mencegah dua orangnya yang hendak maju melabrak pemuda itu, lalu tanyanya, "Saudara dari golongan dan aliran mana? Siapa gurumu?"
"Untuk belajar, kenapa rewel tentang golongan segala?" sahut Toan Ki. "Cayhe tidak masuk golongan dan aliran mana-mana, guruku khusus meyakinkan 'Kong-yang-ci-hak', namanya kalau kukatakan juga kau tidak kenal."
Meski ilmu silat Cin Goan-cun sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu sastra tentang "Kong-yang-ci-hak" segala, selama hidupnya tak pernah mendengar, maka ia menyangka apa yang dikatakan Toan Ki itu tentunya semacam ilmu sakti yang belum pernah dilihatnya. Diam-diam ia merasa syukur dirinya tidak gegabah bertindak, maka ia bertambah hati-hati lagi menghadapi pemuda itu, tanyanya pula, "Lalu kedatangan saudara ini ada urusan apa?"
Melihat Cin Goan-cun makin sungkan pada Toan Ki, semua orang yang hadir di situ menyangka juga pemuda itu pasti seorang tokoh silat pendaman.
Maka terdengar Toan Ki menjawab, "Kedatangan Cayhe ke sini adalah ingin menyampaikan sesuatu kabar pada tuan rumah."
"Kabar apa?" tanya Cin Goan-cun.
Toan Ki menghela napas dulu, lalu sahutnya, "Kedatanganku sudah terlambat, kukatakan atau tidak kabar itu, sama saja."
"Menyampaikan kabar apa? Lekas katakan!" desak Cin Goan-cun lagi. Nadanya makin bengis.
"Kalau sudah berhadapan dengan tuan rumah, dengan sendirinya akan kukatakan, apa gunanya bicara padamu?" sahut Toan Ki.
Cin Goan-cun tertawa dingin, selang sejenak, ia berkata pula, "Kau ingin bicara berhadapan dengan tuan rumah? Kukira tak perlu kau katakan, biar sebentar lagi kalian boleh bertemu saja di akhirat."
"Yang manakah tuan rumah?" tanya Toan Ki. "Ingin kusampaikan terima kasih telah diberi pinjam kuda."
Karena ucapan ini, sorot mata semua orang sama beralih kepada si nona berbaju hitam yang duduk
mungkur tadi.
Toan Ki terkesiap, pikirnya, "Apakah nona ini pemilik rumah? Seorang gadis lemah seperti dia telah dikepung musuh sebanyak ini, tampaknya jiwanya sukar diselamatkan."
Dalam pada itu terdengarlah wanita baju hitam sedang berkata, "Kuberi pinjam kuda adalah karena
permintaan orang lain, perlu apa terima kasih segala? Tidak lekas kau pergi menolong orang, buat apa kembali lagi ke sini?"
Sembari bicara mukanya tetap menghadap ke dalam tanpa menoleh.
Maka Toan Ki menjawab, "Cayhe menunggang si mawar hitam, sampai di tengah jalan telah disergap musuh yang salah sangka Cayhe sebagai nona serta dicaci maki. Cayhe rasa kurang enak, maka sengaja balik ke sini untuk memberi kabar pada nona."
"Kabar apa?" tanya perempuan itu, nadanya nyaring merdu, tapi sedikit pun tidak membawa rasa simpatik, hingga bagi yang mendengarkan rasanya tidak enak, seakan-akan wanita ini sudah terasing dari dunia ramai dan sama sekali tidak peduli terhadap segala apa di dunia ini, seperti setiap orang adalah musuh besarnya, kalau bisa setiap orang akan dibunuhnya.
Tentu saja Toan Ki rada mendongkol oleh jawaban orang. Tapi lantas teringat olehnya bahwa nona itu sudah jatuh di tangan kepungan musuh, keadaannya sangat berbahaya, kalau sikapnya menjadi kasar juga tak boleh salahkan dia. Karena itu, timbul juga rasa solider Toan Ki.
Maka dengan ramah ia menjawab, "Cayhe pikir kedua orang jahat itu akan bikin susah nona, hal itu tentu belum diketahui nona, maka sengaja kukembali ke sini untuk memberi kabar agar sebelumnya nona menyingkir. Tak terduga tetap terlambat juga, musuh sudah tiba lebih dulu, sungguh aku menyesal."
"Begini baik sengaja kau bela aku, sebenarnya apa maksud tujuanmu?" tanya wanita itu dingin.
Toan Ki menjadi gemas, sahutnya keras, "Selamanya tidak kukenal nona, cuma kutahu ada orang hendak bikin susah padamu, masa aku boleh berpeluk tangan dan diam saja?"
"Apakah kau tahu siapa aku?" tanya wanita itu.
"Tidak" sahut Toan Ki.
"Kudengar cerita Ciong Hok, katanya sama sekali engkau tidak mahir ilmu silat, tapi berani kau damprat terang-terangan di hadapan Ciong-kokcu. nyalimu sungguh tidak kecil, tapi kau sudah terlibat dalam kejadian ini, apa kehendakmu sekarang?"
"Sebenarnya sehabis menyampaikan berita ini, segera akan pulang ke rumah secepatnya," sahut Toan Ki. Ia menghela napas, lalu menyambung, "Tapi tampaknya nona bakal celaka dan aku pun tak terhindar dari malapetaka. Cuma entah cara bagaimana nona bermusuhan dengan orang-orang ini?"
"Berdasarkan apa kau berani tanya padaku?" nona itu menjengek.
Kembali Toan Ki tercengang, tapi segera katanya, "Urusan pribadi orang memang aku tidak pantas tanya. Baiklah, aku sudah menyampaikan kabar padamu, selesailah kewajibanku."
"Tentunya kau tidak menduga jiwamu bakal melayang di sini, bukan? Apa engkau menyesal?" tanya si wanita.
Mendengar kata orang bernada menyindir, kontan Toan Ki menjawab, "Perbuatan seorang Taytianghu (laki-laki sejati), asal demi kebaikan sesamanya, kenapa mesti menyesal?"
"Hm, hanya macam kau juga berani mengaku sebagai laki-laki sejati?" jengek wanita baju hitam itu.
"Kesatria atau bukan, masakah ditentukan dalam hal tinggi rendahnya ilmu silat?" sahut Toan Ki dongkol. "Sekalipun ilmu silatnya tiada tandingan di kolong langit, kalau kelakuannya rendah memalukan juga tak bisa disebut sebagai 'Taytianghu'!"
"Cin-losiangsing," tiba-tiba wanita baju hitam itu berpaling pada Cin Goan-cun, "kau dengar tidak ucapan Toan-ya ini? Kelakuan kalian ini rasanya tak dapat dikatakan terang-terangan, bukan?"
"Perempuan hina," mendadak nenek yang duduk di samping Cin Goan-cun itu memaki, "apa kau sengaja mengulur waktu? Bangkitlah untuk bertempur ...."
"Usiamu sudah lanjut begini, ingin mampus juga tidak perlu terburu-buru," sahut si baju hitam dengan tajam. "Jing-siong Tojin, kau pun datang mencari perkara padaku, apa orang Ban-jiat-kok mengetahuinya?"
Air muka Tosu berjenggot itu rada berubah, sahutnya, "Tujuanku adalah membalas dendam murid, apa sangkut pautnya dengan Ban-jiat-kok?"
"Ingin kutanya, sebelumnya kau minta bantuan Hiang-yok-jeh atau tidak?" tanya si wanita.
Tosu itu menjadi gusar, sahutnya, "Sekian banyak tokoh terkemuka berkumpul di sini, masakah masih tidak bisa memberesi dirimu?"
"Jawabanmu tidak jelas, tentu pernah kau minta bantuan Hiang-yok-jeh," kata wanita baju hitam. "Dan kau ternyata bisa keluar lagi dari Ban-jiat-kok dengan selamat, boleh dikata rezekimu tidak kecil."
"Aku tidak masuk ke Ban-jiat-kok, siapa bilang aku pergi ke sana?" sahut Jing-siong Tojin.
"Ehm, jika begitu, tentunya telah kau kirim seorang lain ke sana sebagai pengantar jiwa," kata wanita itu mengangguk-angguk.
Sekilas wajah Jing-siong Tojin merasa malu, segera ia berteriak, "Marilah kita putuskan dengan senjata, kenapa banyak mulut?"
Menyaksikan percakapan wanita baju hitam dengan orang-orang itu, Toan Ki dapat melihat rombongan Cin Goan-cun itu masih belum pasti di atas angin, kalah atau menang baru bisa diketahui sesudah bertanding. Tapi dari nada Jing-siong Tojin tadi, terang Tosu itu sangat jeri pada si wanita baju hitam. Diam-diam Toan Ki sangat heran, orang-orang itu berulang kali menantang, tapi tetap tiada seorang pun yang berani mulai bergebrak.
Tiba-tiba terdengar si wanita baju hitam berkata kepada Toan Ki, "Hai orang she Toan, sekian banyak orang-orang ini hendak mengeroyok diriku, menurut kau, bagaimana baiknya."
"Si mawar hitam berada di luar," ujar Toan Ki. "Kalau engkau bisa terjang keluar dari kepungan, lekas menunggangnya melarikan diri. Teramat cepat lari binatang itu, pasti mereka tak mampu menyusulmu."
"Lalu bagaimana dengan kau sendiri?" tanya nona itu.
"Selamanya aku tidak kenal mereka, tiada dendam tak ada sakit hati, boleh jadi mereka takkan bikin susah padaku" ujar Toan Ki.
Wanita baju hitam itu tertawa dingin, katanya, "Hm, jika mereka mau pakai aturan, tentunya aku takkan dikeroyok orang sebanyak ini. Jiwamu sudah pasti akan melayang. Bila aku bisa lolos, adakah sesuatu pesan tinggalanmu?"
Toan Ki menjadi sedih, sahutnya, "Ada seorang nona Ciong telah ditawan oleh Sin-long-pang di Bu-liang-san, ibunya memberikan kotak emas ini kepadaku dan minta disampaikan kepada ayahku agar berusaha menolong nona Ciong itu, Ji ... jika nona dapat lolos, harapanku adalah sudi melaksanakan tugasku ini, untuk mana aku merasa sangat terima kasih."
Sembari berkata, ia melangkah maju dan mengangsurkan kotak emas itu.
Kini jaraknya di belakang wanita baju hitam itu hanya setengah meter saja, tiba-tiba hidungnya mengendus semacam bau wangi yang mirip bunga anggrek, tapi bukan anggrek, seperti mawar, tapi bukan mawar. Meski bau harum itu tidak keras, namun membuat orang merasa pusing, tubuh Toan Ki menjadi sempoyongan sedikit.
Wanita itu ternyata tidak menerima kotak itu, tapi bertanya, "Kabarnya nona Ciong itu sangat cantik, apakah ia kekasihmu?"
"Bukan, bukan!" sahut Toan Ki cepat. "Nona Ciong masih terlalu muda, lincah dan kekanak-kanakan, mana ... mana bisa timbul maksudku yang tidak senonoh itu?"
Baru sekarang wanita itu ulurkan tangan ke belakang untuk mengambil kotak emas yang diangsurkan Toan Ki. Pemuda itu melihat tangan orang memakai sarung tangan sutera hitam hingga sama sekali tidak kelihatan kulit badannya.
Perlahan wanita itu masukkan kotak emas itu ke dalam bajunya, lalu berkata, "Nah, Jing-siong Tojin, lekas enyah dari sini!"
"Apa ... apa katamu?" Tosu itu menegas dengan tergegap.
"Enyah keluar, hari ini aku tidak ingin membunuhmu," kata si wanita.
Mendadak Jing-siong Tojin angkat pedangnya dan membentak, "Kau mengoceh apa segala?"
Tapi suaranya gemetar, entah saking gusar atau karena ketakutan?
"Kau tahu tidak bahwa mengingat Sumoaymu, maka aku mengampuni jiwamu," kata si wanita baju hitam lagi. "Nah, lekas enyah!"
Wajah Jing-siong Tojin sepucat mayat, perlahan pedangnya menurun ke bawah.
Melihat wanita baju hitam itu berlaku kasar dan membentak Jing-siong Tojin enyah dari situ, Toan Ki menyangka Tosu itu pasti akan murka, siapa tahu wajah Tosu itu tampak ragu sebentar, lalu tampak jeri pula, sekonyong-konyong pedang jatuh ke lantai, ia tutup mukanya dengan kedua tangan terus lari keluar.
Tapi sial baginya, baru tangan hendak mendorong pintu, si nenek yang duduk di samping Cin Goan-cun telah ayun tangannya, sebilah Hui-to atau pisau terbang melayang cepat dan tepat mengenai punggung Jing-siong Tojin. Tanpa ampun lagi Tosu itu terjungkal, setelah merangkak beberapa kali, akhirnya terkapar binasa.
Toan Ki menjadi gusar, teriaknya, "Hai, Lothaythay (nenek tua), Tosu itu kan kawanmu, kenapa kau serang dia sekeji itu?"
Dengan gaya loyo nenek itu berbangkit, dengan penuh perhatian ia pandang si wanita baju hitam, ucapan Toan Ki itu seperti tak didengarnya.
Serentak kawan-kawannya juga siap siaga untuk mengerubut, asal sekali diberi komando, kontan wanita baju hitam pasti akan dicacah mereka.
Melihat keadaan demikian, sungguh Toan Ki merasa penasaran, "Hai, kalian semua laki-laki hendak mengerubut seorang perempuan lemah, di manakah letaknya keadilan ini?"
Segera ia pun melangkah maju hingga wanita baju hitam teraling di belakangnya, lalu bentuknya pula, "Ayo, kalian masih berani turun tangan?"
Meski sama sekali Toan Ki tidak bisa silat, tapi sikapnya gagah perkasa dengan semangat banteng yang tak gentar pada siapa pun.
"Jadi saudara sudah pasti ingin ikut campur urusan ini?" dengan kalem Cin Goan-cun menegur.
Ya," teriak Toan Ki. "Aku melarang kalian main keroyok, menganiaya seorang wanita lemah."
"Hubungan famili apa antara saudara dengan perempuan hina ini, atas suruhan siapa hingga kau berani ikut campur urusan ini?" tanya Cin Goan-cun lagi.
"Aku dan nona ini bukan sanak bukan kadang, cuma segala apa di dunia ini tidak terlepas dari 'keadilan', maka kunasihati kalian supaya sudahi urusan ini, mengeroyok seorang gadis lemah, terhitung orang gagah macam apa?" sahut Toan Ki tegas. Lalu ia berbisik pada si wanita baju hitam, "Lekas nona lari, biar kurintangi mereka."
Wanita itu pun menjawab dengan suara lirih, "Jiwamu akan melayang demi membela diriku, apa takkan menyesal?"
"Biar mati tidak menyesal," sahut Toan Ki.
"Kau benar-benar tidak takut mati? Tetapi ...." mendadak suara wanita itu diperkeras, "sedikit pun kau tak bertenaga, masih kau berani berlagak kesatria?"
Sekonyong-konyong ia ayun tangannya, dua tali berwarna tahu-tahu melayang hingga kedua tangan dan kedua kaki Toan Ki terikat dengan erat.
Berbareng pada saat itu juga, sebelah tangan lain si wanita pun mengayun bergerak, Toan Ki hanya mendengar suara gemerencing dan gedubrakan beberapa kali, di sana-sini beberapa orang lantas jatuh terjungkal, menyusul sinar senjata gemerlapan menyilaukan mata, pandangan menjadi gelap, segenap lilin di dalam ruangan telah dipadamkan semua oleh orang. Segera Toan Ki merasa tubuhnya terapung seakan-akan terbang dibawa seseorang.
Semua kejadian itu datangnya terlalu cepat sehingga dalam sekejap itu Toan Ki tidak tahu dirinya sudah berada di mana. Hanya terdengar sekeliling ruangan ramai suara bentakan orang, "Jangan sampai lolos perempuan hina itu!"
"Jangan takut pada panah beracunnya!"
"Sambitkan Hui-to, sambitkan Hui-to!"
Menyusul terdengar pula suara gemerencing yang ramai, banyak senjata rahasia terbentur jatuh.
Ketika Toan Ki merasakan badannya berguncang lagi, menyusul terdengar suara derap kuda berlari, nyata dirinya sudah berada di atas kuda, kaki tangan terikat, sedikit pun tak bisa berkutik. Ia merasa tengkuknya bersandar di badan seseorang, hidung mengendus bau wangi, itulah bau harum dari badan si wanita baju hitam.
Suara derapan kuda berdetak-detak, enteng dan anteng, suara bentak dan kejar musuh makin lama makin ketinggalan jauh di belakang.
Oh-bi-kui berbulu hitam, antero tubuh wanita itu pun hitam, ditambah malam pekat dengan bau harum semerbak, suasana menjadi agak seram.
Sekaligus Oh-bi-kui alias si mawar hitam berlari sampai beberapa li jauhnya.
Akhirnya Toan Ki berseru, "Nona, tidak sangka kepandaianmu begini hebat, harap lepaskan aku."
Wanita itu mendengus sekali tanpa menjawab.
Karena kaki tangan terikat, setiap kali kuda itu mencongklang, tali pengikat bertambah kencang, makin lama Toan Ki makin kesakitan, ditambah lagi kepalanya terjuntai ke bawah hingga mirip orang tergantung, Toan Ki menjadi pening tak tertahan. Maka serunya lagi, "Nona, lekas lepaskan aku!"
"Plak," mendadak ia dipersen sekali tempelengan, dengan dingin nona itu berkata, "Jangan cerewet, tahu? Nona tidak tanya, dilarang bicara!"
"Sebab apa?" teriak Toan Ki penasaran.
"Plak, plak," kembali ia digampar dua kali terlebih keras daripada tadi.
Keruan Toan Ki merah bengap mukanya, telinga pun mendenging hampir-hampir pekak.
Dasar watak Toan Ki memang bandel, segera ia berteriak pula, "Kenapa sedikit-sedikit kau pukul orang? Lekas lepaskan aku, aku tidak sudi bersama kau."
Mendadak Toan Ki merasa tubuhnya terapung, tahu-tahu sudah terbanting di tanah, tapi anggota badannya masih terikat, bahkan ujung lain dari tali pengikat itu masih dipegang orang hingga badan Toan Ki terseret di tanah oleh Oh-bi-kui.
Wanita itu membentak tertahan menyuruh Oh-bi-kui berjalan perlahan, lalu tanyanya pada Toan Ki, "Kau menyerah tidak sekarang? Mau dengar perintahku tidak?"
"Tidak, tidak!" gembor Toan Ki. "Tadi meski terancam mati saja aku tidak gentar, apalagi sekarang hanya disiksa begini? Aku ...."
Sebenarnya ia ingin bilang, "Aku tidak takut," tapi kebetulan waktu itu badannya yang terseret di tanah itu membentur jalan yang tidak rata sehingga kata-katanya itu terputus.
"Kau takut, bukan?" kata si nona baju hitam dengan dingin. Segera ia sendal talinya, Toan Ki terangkat ke atas kuda lagi.
"Aku takut apa?" sahut Toan Ki. "Lekas lepaskan aku!"
"Hm, di hadapanku, tiada seorang pun berhak bicara," kata wanita itu. "Aku justru hendak menyiksa kau, biar mati tidak, hidup pun tidak, apa kau kira hanya sedikit siksaan begini saja?"
Habis berkata, kembali ia lemparkan Toan Ki ke tanah dan diseret pula.
Gusar Toan Ki tidak kepalang, pikirnya, "Semua orang tadi memaki dia sebagai perempuan hina, nyatanya ada benarnya juga"
Segera ia berseru pula, "Lepaskan aku! Kalau tidak, awas, aku akan memaki, lho."
"Kalau berani, boleh coba memaki," sahut nona itu. "Selama hidupku ini memang sudah kenyang dicaci maki orang."
Mendengar kata-kata orang yang terakhir itu diucapkan dengan nada penuh rasa sesal dan derita, caci maki Toan Ki yang sudah hampir dilontarkan itu menjadi urung dikeluarkan, hatinya menjadi lunak.
Menunggu sekian saat tidak terdengar makian Toan Ki, wanita itu berkata pula, "Hm, masakah kau berani memaki!"
"Mengapa tidak berani?" seru Toan Ki mendongkol. "Soalnya aku menjadi kasihan padamu, maka tidak tega memaki. Memangnya kau kira aku takut padamu?"
Wanita itu tidak menggubrisnya lagi, mendadak ia bersuit mempercepat kudanya, segera Oh-bi-kui mencongklang pesat ke depan. Keruan yang payah adalah Toan Ki, badannya tergesek oleh batu pasir yang tajam hingga babak belur dan darah mengucur.
"Kau mau menyerah atau tidak?" seru si wanita.
Dengan suara keras Toan Ki memaki malah, "Kau perempuan galak yang tak kenal aturan!"
"Aku memang perempuan galak, tak perlu kau katakan pun kutahu sendiri." sahut wanita itu. "Dan di mana aku tidak kenal aturan segala?""Aku ... aku bermaksud baik padamu ...." mendadak kepala Toan Ki membentur sepotong batu di tepi jalan, hingga seketika ia tak sadarkan diri.
Entah sudah selang berapa lama lagi, ketika mendadak Toan Ki merasa kepalanya dingin segar, ia siuman, menyusul terasa air merembes masuk ke dalam mulut, cepat ia tahan napasnya, namun tak keburu lagi, ia terbatuk-batuk sesak. Dan karena batuknya itu, air masuk lebih banyak lagi ke dalam mulut dan hidung.
Kiranya ia diseret oleh wanita baju hitam di tanah, ketika mengetahui Toan Ki jatuh pingsan, nona itu sengaja menyeberangi sebuah sungai kecil, karena terendam air, Toan Ki lantas sadar. Untung sungai itu kecil dan dangkal, sekali lompat si mawar hitam sudah menyeberanginya.
Dengan baju basah kuyup, perut kembung tercekok air sungai, ditambah badan memang babak belur, keruan antero badan Toan Ki terasa sakit.
"Sekarang menyerah tidak?" kembali wanita baju hitam itu tanya.
"Sungguh sukar dipahami bahwa di dunia ini ada perempuan sewenang-wenang seperti ini," demikian pikir Toan Ki. "Aku sudah tercengkeram di tangannya, banyak bicara juga tiada gunanya."
Karena itu, ketika beberapa kali si wanita baju hitam tanya lagi, "Kau mau menyerah tidak? Sudah cukup tahu rasa belum?"
Toan Ki tetap tidak menggubrisnya dan anggap tidak mendengar saja.
Nona itu menjadi gusar, dampratnya, "Apa kau tuli? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?"
Tetap Toan Ki tak gubris padanya.
Mendadak nona itu tahan kudanya, ingin tahu apakah Toan Ki sebenarnya sudah sadar atau belum.
Tatkala itu sang surya sudah menongol di ufuk timur dengan cahayanya yang remang-remang, maka nona itu dapat melihat jelas kedua mata Toan Ki lagi mendelik padanya dengan gusar.
Nona itu menjadi murka, dampratnya pula, "Bagus, jadi kau tidak pingsan, tapi sengaja main gila padaku. Baiklah, mari coba-coba kita adu bandel, apa kau lebih tahan atau aku lebih kejam?"
Ia terus melompat turun dari kudanya, dengan enteng ia melompat ke atas mendapatkan sepotong ranting pohon, "plak," segera ia sabet sekali di muka Toan Ki.
Baru untuk pertama kali ini Toan Ki berhadapan muka dengan wanita itu, ia lihat muka orang berkerudung selapis kain hitam tebal, hanya dua lubang matanya tertampak sepasang biji matanya yang hitam bersinar tajam.
Toan Ki tersenyum, katanya di dalam hati, "Kau ingin kujawab pertanyaanmu, hm, mungkin lebih sulit daripada naik ke langit."
"Dalam keadaan begini kau masih bisa tersenyum? Apa yang kau gelikan?" omel nona itu.
Tapi Toan Ki sengaja mengiming-iming dengan muka kocak, lalu tertawa lagi.
"Plak-plok, plak-plok," kembali nona itu menghujani sabetan beberapa kali. Namun Toan Ki sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, ia tetap diam.
Cara menghajar wanita itu sangat keji, setiap kali sabetannya pasti mengenai tempat Toan Ki yang paling sakit. Saking tak tahan, beberapa kali Toan Ki hampir-hampir menjerit, tapi syukur ia masih bisa mengekang diri.
Melihat pemuda itu sedemikian bandel, setelah berpikir sejenak, segera wanita itu berkata, "Baik, kau pura-pura tuli, biar kubikin benar-benar menjadi tuli!"
Terus saja ia keluarkan sebilah belati, dengan sinar gemerlap perlahan ia mendekati Toan Ki. Ia angkat belatinya dan ancam telinga kiri pemuda itu sambil membentak, "Kau dengar kata-kataku tidak? Apa kau tidak ingin daun kupingmu ini?"
Masih tetap Toan Ki tak menggubris, sinar mata nona itu menyorot beringas, selagi belati diangkat hendak menyayat kuping Toan Ki, tiba-tiba di tempat sejauh belasan tombak sana ada orang membentak, "Perempuan hina, kau akan mengganas lagi, ya?"
Suaranya lantang berwibawa.
Cepat wanita itu angkat tali pengikatnya hingga tubuh Toan Ki tergantung di atas dahan pohon. Waktu menoleh, Toan Ki melihat orang yang bersuara itu adalah seorang laki-laki tinggi besar bertangan kosong, pada pinggangnya terselip sebuah golok. Laki-laki itu tidak berlari, tapi tahu-tahu sudah sampai di depan mereka, cepatnya bukan main.
Toan Ki melihat muka orang itu kuning langsat, berbaju pendek warna kuning, bermuka lebar, kedua kaki dan tangan jauh lebih panjang daripada orang biasa, usianya sekitar 30-an tahun, kedua matanya bersinar tajam.
"Tentunya kau inilah Kim Tay-peng?" tegur nona tadi. "Orang bilang Ginkangmu sangat hebat, tapi, hm, kalau sepanjang jalan aku tidak menanyai bocah ini hingga jalanku terlambat, rasanya kau pun tak mampu menyusulku."
"Dan kalau bukan ada urusan lain hingga jalanku terlambat, rasanya kau pun takkan bisa lolos," sahut laki-laki itu ketus.
"Dan sekarang sudah dapat kau susul aku," kata si nona. "Nah, Kim Tay-peng, kau mau apa sekarang?"
"Si tukang obat, Ong-lohan, di kota Sengtoh itu, dibunuh olehmu bukan?" tanya laki-laki itu.
"Kalau benar, mau apa?" sahut si nona.
"Ong-lohan adalah sahabatku, dia suka menolong kaum miskin, selama hidupnya tidak pernah berbuat jahat, sebab apa kau bunuh dia?"
"Sebabnya?" sahut nona itu. "Hm, sebab ada orang terkena panahku yang berbisa, Ong-lohan sengaja tampil untuk mengobatinya, hal ini kau tahu tidak?"
"Menjual obat bertujuan menyembuhkan orang, itu memang kewajiban Ong-lohan" kata orang itu alias Kim Tay-peng.
Sekonyong-konyong terdengar suara mendesir perlahan, menyusul suara "cring" sekali pula, sebatang panah kecil menancap di samping kaki Kim Tay-peng.
Panjang panah itu hanya belasan senti, hampir seluruhnya ambles ke dalam tanah.
Dalam pada itu tampak Kim Tay-peng pun memasukkan goloknya ke dalam sarung yang tergantung di pinggangnya.
Kiranya dalam sekejap itu saja si nona sudah menyerang Kim Tay-peng dengan panah, tapi Kim Tay-
peng sempat cabut golok untuk menangkis. Nyata, diam-diam kedua orang sudah saling gebrak sejurus.
"Cepat juga gerakanmu, ya?" kata si nona.
"Kau pun tidak lamban," sahut Kim Tay-peng. "Nyata, nama Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing memang bukan omong kosong."
Toan Ki terperanjat mendengar nama itu, cepat ia berteriak, "He, engkau salah, Kim-heng, dia bukan Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing!"
"Dari mana kau tahu?" tanya Kim Tay-peng.
"Kukenal Bok Wan-jing dengan baik, Bok Wan-jing adalah Ciong-hujin, tapi perempuan jahat ini adalah seorang nona lain," kata Toan Ki.
Sekilas wajah Kim Tay-peng mengunjuk heran, katanya, "Jadi Hiang-yok-jeh sudah kawin? Entah orang she Ciong mana yang sial itu."
Tiba-tiba terdengar suara mendesir dua kali, dua batang senjata rahasia jatuh di samping Toan Ki, yang satu adalah panah kecil berwarna hitam, yang lain adalah sebuah mata uang. Di tengah mata uang itu berlubang dan tepat panah itu menancap di tengah lubang itu.
Kiranya wanita itu telah menyambit ke belakang hendak memanah Toan Ki, tapi Kim Tay-peng sempat menimpukkan mata uang itu hingga jiwa Toan Ki tertolong.
Melihat itu, barulah Toan Ki sadar barusan jiwanya telah berpiknik ke pintu gerbang akhirat, untung bisa balik lagi. Ia dengar wanita itu bertanya dengan gusar, "Siapa bilang aku Bok Wan-jing sudah kawin? Laki-laki di jagat ini tiada seorang pun yang baik, siapa yang setimpal menjadi suamiku?"
"Ya, agaknya saudara ini salam paham," ujar Kim Tay-peng.
Mendadak wanita baju hitam itu mengaku sebagai "Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing" atau si kuntilanak berbau harum, Toan Ki pikir di balik ini tentu ada sesuatu yang tak beres, sekalipun nona ini ganas dan jahat, rasanya tidak nanti sudi mengaku sebagai istri orang. Maka katanya, "Betul juga ucapan Kim-heng, yang kutahu ialah istrinya Kian-jin-ciu-sat Ciong Ban-siu yang bernama Bok Wan-jing."
"Cis, jadi perempuan keparat itu telah memalsukan namaku sebagai Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing?" teriak wanita baju hitam dengan gusar.
"Kim-heng," kata Toan Ki, "Ciong Ban-siu itu suka membunuh orang tak berdosa, dengan nona baju hitam ini sungguh suatu pasangan yang setimpal."
Baru selesai ucapannya itu tiba-tiba sinar hijau berkelebat di depan mata, sesuatu senjata telah membacok ke arahnya.
Dalam keadaan terikat dan terjungkir, dengan sendirinya Toan Ki tak dapat menghindar, namun biar dia bisa bergerak dan bersenjata sekalipun tentu juga sukar menghindari serangan kilat itu. Maka dengan pejamkan mata ia sudah pasrah nasib.
Mendadak terdengar suara gemerantang beberapa kali, senjata nona baju hitam itu ternyata tidak sampai di tubuhnya. Ketika membuka mata, ia lihat di depan sana sesosok bayangan hitam dan segulung kabut kuning lagi melayang kian kemari dengan cepat luar biasa, di tengah bayangan hitam dan kabut kuning itu terlihat berkelebatnya sinar putih pula, menyusul riuh ramai dengan suara saling beradunya senjata.
"Tuhan Maha Pengasih, semoga Kim-heng ini diberi kemenangan," diam-diam Toan Ki berdoa.
Tiba-tiba terdengar si nona baju hitam alias Bok Wan-jing membentak nyaring, kedua orang sama-sama melompat mundur, tampak golok Kim Tay-peng sudah dimasukkan ke sarungnya, dengan tenang berdiri di tempatnya.
Sebaliknya dengan pedang terhunus, Bok Wan-jing lagi memandang lawan dengan penuh perhatian.
"Kalah menang belum terjadi, kenapa nona Bok tidak terus bertempur?" kata Kim Tay-peng.
"Hm, 'It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng', suatu tokoh gemilang di dunia Kangouw paling akhir ini, huh!" sahut Bok Wan-jing.
"Ada apa maksudmu?" tanya Tay-peng.
"Dalam 500 jurus belum tentu dapat kau menangkan nonamu!" sahut Wan-jing.
"Benar!" kata Tay-peng, "Jika lebih dari 500 jurus?"
"Marilah boleh kita coba-coba," ujar Bok Wan-jing. Berbareng ujung pedangnya terus mengarah tenggorokan Kim Tay-peng.
"Trang," Kim Tay-peng melolos golok buat menangkis dan kembalikan golok ke sarungnya pula, lalu membentak, "Kim Tay-peng adalah seorang laki-laki sejati, mana bisa bertempur sampai lebih 500 jurus dengan perempuan siluman kecil macammu? Utang darah penjual jamu Ong-lohan sementara ini biar kutunda dulu. Cuma kau harus berjanji takkan mencelakai jiwa saudara ini."
"Lalu utang piutang kita sendiri kapan akan diselesaikan?" tanya Bok Wan-jing.
"Nanti kalau dalam 500 jurus aku sudah dapat membereskanmu, dengan sendirinya akan kubikin perhitungan padamu," sahut Kim Tay-peng. "Jelas belum pesanku tadi?"
"Hm, bilakah pernah kau dengar Hiang-yok-jeh menerima pesan seseorang?" sahut Bok Wan-jing dengan angkuh.
"Baiklah, kuhormati kepandaianmu yang hebat, anggaplah aku yang memohonkan keselamatan saudara ini," kata Tay-peng.
"Jadi kau sendiri yang memohon padaku?" Bok Wan-jing menegas.
"Ya, kumohon padamu," sahut Tay-peng dengan suara berat.
Maka terbahaklah senang sekali Bok Wan-jing, selama bertemu dengan dia, untuk pertama kali inilah Toan Ki mendengar suara tertawa nona itu yang penuh gembira ria, tidak saja senang luar biasa, bahkan membawa sifat kekanak-kanakan.
Terdengar ia berseru pula, "Haha, It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng ternyata memohon sesuatu pada aku Bok Wan-jing, maksud baik permohonan ini rasanya tidak pantas kalau kutolak. Cuma aku hanya berjanji tidak membunuh orang ini, menghajarnya atau mengutungi kaki tangannya tidak termasuk dalam jaminanku ini."
Habis berkata, tanpa menunggu jawaban Kim Tay-peng lagi, ia bersuit, dengan cepat si mawar hitam mendekatinya, sekali cemplak Bok Wan-jing sudah berada di atas kuda, berbareng ia sambitkan pedangnya hingga tali gantungan pada dahan pohon itu terpapas putus. Toan Ki bersama pedang itu jatuh ke bawah, dan pada saat itulah dengan tepat Oh-bi-kui atau si mawar hitam berlari sampai di bawah pohon, tangan kanan Bok Wan-jing menyambar kembali pedangnya, tangan kiri mencengkeram kuduk Toan Ki dan ditaruh di atas pelana kuda. Sekali congklang, secepat terbang Oh-bi-kui sudah berlari jauh.
Melihat pertunjukan Bok Wan-jing ketika hendak pergi itu, mau tak mau Kim Tay-peng memuji, "Sungguh lihai perempuan siluman ini."
Setelah Bok Wan-jing simpan pedangnya, ia berkata di atas kuda, "It-hui-ciong-thian yang namanya terkenal di seluruh jagat ini hari ini juga tak bisa mengapa-apakan diriku. Hm, biarpun dia memperdalam pula ilmu silatnya, memangnya setiap hari aku hanya tidur saja dan ilmu kepandaianku takkan bertambah? Wahai, bocah she Toan, sekarang kau menyerah tidak padaku?"
Toan Ki hanya diam saja tak menggubrisnya, tetap berlagak bisu dan tuli.
Agaknya hati Bok Wan-jing sangat riang, kembali ia berkata, "Orang Kangouw sama bilang It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng adalah jago muda yang jarang ada bandingannya, kecuali tokoh-tokoh angkatan tua seperti 'Sam-sian-su-ok', dia terhitung jago paling lihai. Tapi hari ini dia toh sudi memohon padaku."
Toan Ki menjadi dongkol, katanya di dalam hati, "Dia hanya merasa seorang laki-laki tidak pantas melabrak seorang perempuan, makanya mengampunimu, masa engkau sembarangan membual segala?"
Tapi ia sendiri pun menyaksikan sikap Kim Tay-peng, ia tahu meski nama 'It-hui-ciong-thian' (sekali terbang menjulang ke langit) terkenal di seluruh jagat, jelas juga tidak berani memandang enteng Bok Wan-jing. Ia pikir perempuan siluman ini meski keji dan ganas, tapi ilmu silatnya memang benar-benar sangat lihai.
Selagi Toan Ki termenung, mendadak pundaknya ditarik Bok Wan-jing hingga mukanya berpaling ke arahnya, demi tampak wajah pemuda itu belum lenyap dari rasa kagum, Bok Wan-jing terbahak-bahak, katanya, "Bocah bandel, di mulut kau tidak bicara, tapi di dalam hati kau menyerah padaku, bukan?"
Dan karena hatinya lagi senang, sepanjang jalan ia tidak siksa Toan Ki lagi.
Tidak lama, si mawar hitam telah membawa mereka ke suatu pekuburan. Segera Toan Ki dapat mengenali tempat itu adalah jalan masuk ke Ban-jiat-kok.
Ia lihat Bok Wan-jing melompat turun dari kudanya terus menarik batu nisan kuburan itu, cara menarik batu nisan itu persis seperti apa yang Ciong Ling ajarkan pada Toan Ki.
Begitu pintu kuburan terpentang, terus saja Bok Wan-jing jinjing Toan Ki melangkah ke dalam.
Perawakan Toan Ki sedikitnya belasan senti lebih tinggi daripada nona itu, bicara tentang bobot badan, sedikitnya juga lebih berat 30-40 kati. Tapi terjinjing olehnya, ternyata enteng saja bagai membawa sebuah keranjang.
Setelah masuk pula ke dalam peti mati, penyambutnya tetap si pelayan kecil yang menerima Toan Ki itu.
Sampai di tempat yang terang, pelayan itu kaget dan bertanya, "Hei, Bok-kohnio, ken ... kenapa kau bawa Toan-kongcu ke sini? Di ... di manakah Siocia kami?"
"Panggil keluar nyonyamu!" bentak Bok Wan-jing sambil banting Toan Ki ke lantai.
"Loya terluka parah, Hujin tak dapat meninggalkan beliau, silakan nona masuk ke dalam saja," kata si pelayan.
"Peduli apa dengan Loyamu yang terluka segala, suruh nyonyamu keluar!" bentak Bok Wan-jing bengis. "Sekalipun Loyamu saat ini akan mampus juga harus suruh nyonyamu lekas keluar!"
Pelayan itu tak berani bicara lagi, ia mengiakan dengan ketakutan, lalu cepat masuk ke dalam.
Tidak lama, Ciong-hujin tampak keluar dengan tergesa-gesa, katanya, "Nona Bok, kenapa tidak duduk dan bicara di dalam saja?"
Bok Wan-jing tidak menyahut, ia menengadah ke atas dan tidak menggubris.
Ciong-hujin seperti sangat jeri kepada nona baju hitam itu, dengan sabar ia berkata pula, "Bok-kohnio, apakah aku berbuat sesuatu kesalahan padamu?"
"Kau panggil siapa sebagai 'Bok-kohnio'?" tanya Bok Wan-jing tiba-tiba.
"Sudah tentu memanggil engkau," sahut nyonya Ciong.
"Hm, kusangka kau berkata pada dirimu sendiri," jengek Bok Wan-jing. "Kabarnya kau sekarang sudah ganti nama dan tukar she, kau pun bernama 'Bok Wan-jing'. Sungguh tidak nyana bahwa nama 'Bok Wan-jing' bisa mendapat perhatian orang, tapi julukan 'Hiang-yok-jeh' toh bukan nama yang enak di dengar, kalau benar-benar mau, biar kuberikan padamu dengan tangan terbuka."
Wajah Ciong-hujin sebentar merah sebentar pucat, katanya kemudian dengan suara halus, "Nona Bok, aku memalsukan namamu, hal ini memang tidak pantas. Soalnya karena aku terlalu mengkhawatirkan putriku, dengan harapan menggunakan namamu yang besar dapatlah menakutkan kawanan Sin-long-pang agar Ling-ji bisa dilepaskan mereka."
Mendengar itu, Bok Wan-jing berkata pula dengan nada agak halus, "Apa benar namaku mempunyai
pengaruh begitu besar?"
Ciong-hujin kenal watak si nona yang suka dipuji dan diumpak, maka cepat sahutnya, "Sudah tentu! Nama besar nona di kalangan Kangouw, siapa saja yang tidak takut? Maka kuyakin bila mendengar nama nona, biarpun nyali orang Sin-long-pang sebesar langit juga tak berani mengganggu seujung rambut Ling-ji."
"Baiklah, tentang memalsukan namaku, tak perlu kuusut lebih jauh," kata Bok Wan-jing. "Tapi awas, bila lain kali sembarangan kau pakai namaku lagi, tentu urusan takkan berakhir begini saja. Kau adalah istri Ciong Ban-siu, apakah ... apakah ... huk!" mendadak ia mengentak kaki ke lantai dengan keras.
Lekas-lekas Ciong-hujin menanggapinya dengan tertawa, "Ya, ya, memang akulah yang salah! Karena bingung memikirkan Ling-ji, aku menjadi lupa pada nama baik nona yang masih suci bersih."
Bok Wan-jing mendengus sekali, lalu tanya pula, "Jing-siong Tojin datang mencari perkara padaku, hal ini sebelumnya sudah kau ketahui, bukan?"
Air muka Ciong-hujin berubah seketika, sahutnya terputus-putus, "Ya, dia ... dia pernah datang minta bantuan kami berdua untuk mengeroyok nona. Tapi ... coba pikir, mana bisa kami berbuat demikian?"
"Ilmu silat suamimu sangat tinggi, kalau dia ikut mengeroyok, mungkin jiwaku akan melayang," kata Bok Wan-jing.
"Hubungan kami dengan nona sangat baik sejak dulu, mana bisa kami berbuat begitu?" sahut Ciong-hujin. Dan demi melihat sorot mata Bok Wan-jing di balik topeng hitamnya itu berkilat-kilat menyeramkan, cepat ia berkata pula, "Untuk bicara terus terang, sebenarnya kami pernah berunding tentang urusan itu. Tapi suamiku menduga biarpun No-kang-ong Cin Goan-cun, ditambah It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng, Hui-sian Taysu dari Siau-lim-si dan lain-lain ikut mengerubut belum tentu mereka mampu menangkap nona, sebab itulah, meski Jing-siong Tojin memohon dengan sangat, tetap suamiku tak mau."
"Ucapanmu ini adalah karanganmu belaka atau benar-benar keluar dari mulut suamimu?" tanya Wan-jing.
"Kata-kata ini diucapkan suamiku sendiri kepada Jing-siong Tojin," sahut Ciong-hujin. "Bila nona tidak percaya, boleh cari Jing-siong Tojin untuk ditanyai."
Bok Wan-jing mengangguk-angguk, katanya kemudian, "Jika demikian, jadi Ciong-siansing sendiri merasa bukan tandinganku?"
"Kata suamiku, ilmu silat nona sukar dijajaki, apalagi cerdik tiada bandingan, kami berdua hidup aman tenteram mengasingkan diri, buat apa mesti mencari permusuhan lagi."
"Hah, Ciong-siansing jelas jeri padaku, tapi masih pakai kata-kata begitu untuk menutupi rasa malunya," jengek Wan-jing.
Wajah Ciong-hujin tampak merasa malu, sahutnya, "Usia suamiku sudah lanjut, kalau lebih muda 20 tahun, boleh jadi masih sanggup melayani nona seratus-dua ratus jurus."
Kembali Bok Wan-jing tertawa dingin, nyata hatinya sangat senang.
Toan Ki yang terbanting di lantai itu dapat mengikuti percakapan mereka dengan jelas, pikirnya, "Ciong-hujin terus-menerus mengumpak nona ini, sedikit pun tidak kentara, terang ia pun seorang yang sangat lihai. Dasar nona galak suka diumpak orang, tapi aku justru ingin mengolok-oloknya."
Maka mendadak ia berseru, "Waduh, lagaknya! Melawan Kim Tay-peng seorang saja Bok-kohnio tak bisa menang, sekarang malah omong besar segala? Tadi mereka berdua saling gebrak, jelas Kim Tay-peng lebih unggul, nona Bok dihajar hingga berlutut minta ampun, dan setelah ia dipaksa memanggil sepuluh kali 'Kim-yaya' (kakek Kim) baru jiwanya diampuninya ...."
Selagi Toan Ki hendak mencerocos lagi, tiba-tiba Bok Wan-jing melompat datang dan mendepak dua kali pinggangnya sambil membentak, "Siapa bilang aku kalah? Siapa yang menyembah minta ampun padanya?"
"Ciong-hujin, aku bicara padamu," kata Toan Ki, "Nona Bok beruntun-runtun melepaskan 18 batang panah kecil, tapi semuanya dijatuhkan Kim Tay-peng dengan 18 buah mata uang. Ia dihajar Kim Tay-peng hingga minta ampun dan berjanji takkan membunuh diriku ...."
Keruan Bok Wan-jing sangat murka, sekali tangan kanan terangkat, segera anak muda itu hendak dibunuhnya dengan panah berbisa.
Syukur Ciong-hujin sempat berseru sambil melompat mengadang di depan Toan Ki, "Jangan, nona Bok! Asal usul Toan kongcu ini tidak sembarangan, jangan kau bunuh dia."
"Huh, hanya seorang pelajar lemah yang tak bisa ilmu silat, asal usulnya bisa hebat apa? Paling-paling calon menantu 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu saja!" jengek Bok Wan-jing.
Ciong-hujin menjadi jengah, sahutnya, "Kami adalah keluarga Kangouw yang kasar, mana berani mengharapkan menantu seperti Toan-kongcu."
"Untung dia bukan orang Kangouw, jika dia bisa sedikit ilmu silat saja, tentu sekali tebas sudah kucabut nyawanya." kata Bok Wan-jing. Segera ia teringat pada janji sendiri pada Kim Tay-peng untuk tidak membunuh Toan Ki, maka katanya pula, "Mending juga bocah ini ada sedikit baiknya, ketika tahu ada orang hendak bikin susah padaku, dengan cepat ia putar kuda kembali memberi kabar. Waktu Cin Goan-cun dan begundalnya mengerubuti diriku, ia pun berusaha melindungi aku.
Hehe, cuma sayang, semangat besar, tenaga kurang, jiwa kesatrianya sih boleh dipuji, tapi tiada punya kepandaian sebagai seorang gagah."
Bicara sampai di sini, nada suaranya menjadi ramah, ia sambung pula, "Ciong-hujin, hati bocah ini jauh lebih baik daripadamu. Kau tahu Jing-siong Tojin dan lain-lain hendak mengeroyok aku, tapi sengaja suruh Ciong Hok minta pinjam kudaku si mawar hitam sehingga aku tidak punya tunggangan dan sukar meloloskan diri. Sungguh hebat akalmu ini, sungguh keji muslihatmu ini!"
"Saking bingung memikirkan keselamatan putriku, sungguh aku tiada maksud membikin susah nona," sahut Ciong-hujin. "Kami suami istri juga sudah tahu bahwa Cin Goan-cun dan kawan-kawannya tak nanti mampu mengutik seujung rambut nona, pernah juga kami nasihatkan Jing-siong Tojin jangan cari mati sendiri, dan sekarang mungkin jiwanya sudah melayang di bawah pedang nona."
Padahal kematian Jing-siong Tojin itu hanya dugaannya saja, ia lihat Bok Wan-jing tak kurang suatu apa pun, sedangkan ilmu silat Jing-siong Tojin jauh di bawah Cin Goan-cun dan lain-lain, tentu Tosu itu yang paling dulu menjadi korban.
Maka sahut Bok Wan-jing, "Hm, pandanganmu cukup jitu juga!"
Habis berkata, sekali melesat, tahu-tahu ia sudah sampai di samping Toan Ki, sekali angkat, kembali pemuda itu dijinjingnya terus bertindak pergi.
"Nona Bok, tunggu dulu, aku ingin mohon sesuatu," seru Ciong-hujin.
"Berdasarkan apa kau hendak memohon padaku?" sahut Bok Wan-jing dengan dingin sambil menoleh. "Apa yang akan kau mohon rasanya aku pun takkan menyanggupi, maka lebih baik jangan kau katakan saja."
Selagi Ciong-hujin tertegun oleh jawaban itu, sementara itu Bok Wan-jing sudah tinggal pergi sambil menjinjing Toan Ki.
Setelah keluar dari liang kubur dan mengembalikan batu nisan ke tempatnya, Bok Wan-jing bersuit memanggil Oh-bi-kui, ia taruh Toan Ki di atas pelana, lalu ia sendiri mencemplak ke atas.
Sepanjang jalan beberapa kali Bok Wan-jing ajak bicara Toan Ki, tapi pemuda itu tetap bungkam tak menggubris padanya. Namun bila membayangkan betapa keji dirinya disiksa nona itu semalam, diam-diam Toan Ki kebat-kebit juga dan tidak berani membikin marah si nona lagi.
Setengah harian kuda itu dilarikan, kedua orang itu boleh dikatakan sementara itu dapat hidup damai berdampingan.
Sampai tengah hari, wah, celaka, mendadak perut Toan Ki terasa mulas. Pikirnya ingin minta Bok Wan-jing melepaskan dia agar bisa buang hajat, tapi kedua tangannya terikat, tak bisa memberi tanda, andaikan bisa, cara memberi tanda pun rada-rada runyam.
Terpaksa ia buka mulut, "Aku ingin buang air, harap nona lepaskan aku!"
"Bagus, sekarang kau tidak bisu lagi, ya? Kenapa ajak bicara padaku?" olok-olok si nona.
"Ya, terpaksa," sahut Toan Ki. "Aku tak berani bikin kotor nona. Nona adalah 'Hiang-yok-jeh' (kuntilanak berbau wangi), kalau aku berubah menjadi 'Jau-siau-cu' (bocah berbau busuk) kan runyam?"
Mau tak mau Bok Wan-jing mengikik geli juga, ia pikir terpaksa harus melepaskan anak muda itu, maka ia potong tali pengikat Toan Ki dengan pedangnya, lalu menyingkir pergi.
Karena sudah sekian lamanya diringkus, tangan dan kaki Toan Ki menjadi kaku dan tak dapat bergerak, ia mengesot sampai sekian lamanya di tanah baru kemudian dapat berdiri.
Selesai buang hajat alias kuras perut, Toan Ki melihat si mawar hitam lagi makan rumput di dekatnya dengan jinak, pikirnya, "Inilah kesempatan bagus untuk melarikan diri!"
Perlahan ia mencemplak ke atas kuda dan si mawar hitam ternyata menurut saja.
Sekali tarik tali kendali, terus saja Toan Ki melarikan Oh-bi-kui ke utara dengan cepat.
Ketika mendengar suara derap kaki kuda, segera Bok Wan-jing mengejar, namun lari si mawar hitam teramat cepat, betapa pun tinggi Ginkang Bok Wan-jing juga tidak mampu menyusulnya.
"Sampai ketemu lagi, Bok-kohnio," kata Toan Ki sambil memberi salam, sementara itu sudah berpuluh tombak jauhnya si mawar hitam mencongklang. Waktu Toan Ki menoleh pula, ia lihat bayangan Bok Wan-jing sudah teraling-aling pohon tak kelihatan lagi.
Bisa lolos dari cengkeraman hantu perempuan itu, Toan Ki merasa senang sekali, berulang kali ia berseru agar si mawar hitam lari terlebih cepat. Ia pikir saat itu sekalipun Bok Wan-jing menyerangnya dengan Am-gi atau senjata rahasia juga takkan mencapainya lagi.
Setelah berlari satu li jauhnya, selagi Toan Ki termenung ragu entah masih keburu menolong Ciong Ling atau tidak, apakah menuju langsung ke Bu-liang-san atau pulang ke Tayli dulu, sekonyong-konyong dari belakang berkumandang suara suitan yang panjang nyaring.
Mendengar suara itu, seketika si mawar hitam putar haluan dan berlari kembali ke arah tadi.
Toan Ki sangat terkejut, cepat ia berteriak-teriak, "Kuda yang baik, jangan kembali ke sana, jangan
kembali ke sana kudaku sayang!"
Sekuatnya ia menarik tali kendali agar si mawar ganti arah lagi.
Namun meski tali kendali sedemikian kencangnya ditarik Toan Ki hingga kepala si mawar ikut miring, namun binatang itu masih lari lurus ke depan, sedikit pun tidak mau lagi menurut perintah Toan Ki.
Hanya sekejap saja, Oh-bi-kui sudah berlari sampai di samping Bok Wan-jing, lalu tak bergerak. Keruan Toan Ki serbarunyam, malu tercampur dongkol.
"Aku pernah berjanji pada Kim Tay-peng dan takkan bunuh kau." kata Bok Wan-jing." Tapi sekarang kau bermaksud melarikan diri, bahkan hendak menggondol lari kudaku si mawar. Maka apa yang kujanjikan pada Kim Tay-peng itu selanjutnya kubatalkan!"
Toan Ki melompat turun dari kuda, dengan gagah berani ia menjawab, "Oh-bi-kui sejak mula kau sendiri yang meminjamkan padaku dan sampai kini belum kukembalikan padamu, mana boleh bilang aku mencuri kudamu? Mau bunuh, lekas bunuhlah diriku, seorang laki-laki sejati, tak perlu kuterima budi dari siapa pun."
"Sret", Bok Wan-jing lolos pedangnya, katanya dengan dingin, "Hm, nyalimu benar-benar tidak kecil, apa kau sangka aku tidak berani membunuhmu? Kau andalkan pengaruh siapa hingga berulang kali berani padaku?"
"Asal setiap perbuatanku dapat kupertanggungjawabkan, buat apa aku mesti mengandalkan pengaruh orang lain?" sahut Toan Ki.
Sorot mata Bok Wan-jing setajam kilat memandang Toan Ki, tapi anak muda itu pun balas melotot. Setelah saling melotot sekian saat, mendadak Bok Wan-jing masukkan kembali pedangnya dan membentak, "Sudahlah, lekas enyah! Buah kepalamu biar kutitipkan di atas lehermu, kapan-kapan bila nona merasa perlu, setiap saat juga bisa kutagih kepalamu."
Sebenarnya Toan Ki sudah nekat, sungguh tak tersangka olehnya bahwa si nona akan membebaskannya begitu saja. Untuk sejenak ia tercengang, tapi segera ia pun tinggal pergi.
Sambil memandangi bayangan pemuda itu, diam-diam Bok Wan-jing berkata di dalam hati, "Lelaki bandel seperti ini sungguh jarang ada di dunia ini. Padahal jago silat umumnya kalau melihat aku tentu ketakutan setengah mati, tapi bocah ini sedikit pun ternyata tidak gentar."
Setelah belasan tombak jauhnya, Toan Ki tidak mendengar suara kuda, waktu menoleh, ia lihat Bok Wan-jing masih berdiri di tempatnya dengan termangu-mangu, pikirnya, "Hm, tentu dia lagi pikirkan sesuatu akal keji, serupa kucing mempermainkan tikus, aku hendak digodanya habis-habisan, kemudian baru aku dibunuhnya. Baiklah, toh aku tidak bisa lari, segala apa terserah dia."
Tapi makin jauh ia berjalan, tetap tak mendengar suara Bok Wan-jing mengejarnya, setelah melintasi beberapa simpang jalan, barulah ia merasa lega dan percaya nona galak itu takkan mengejarnya.
Dan karena hatinya sedikit lega, ia merasa tubuhnya yang babak belur itu sakit perih, seorang diri ia bergumam, "Ai, perangai nona ini demikian aneh, boleh jadi karena kedua orang tuanya sudah meninggal, selama hidupnya banyak mengalami macam-macam kemalangan. Mungkin juga wajahnya teramat jelek maka tidak sudi memperlihatkan muka aslinya pada orang. Ai, dia boleh dikatakan seorang yang perlu dikasihani juga."
Kemudian ia pikir pula, "Kalau aku berjalan seperti ini, mungkin sebelum sampai di Tayli aku sudah mati keracunan Toan-jiong-san. Padahal nona Ciong lagi mengharapkan pertolonganku dengan tak sabar, bila aku tidak tampak kembali ke sana dan ayahnya juga tak pergi menolongnya, tentu ia menyangka aku tidak memenuhi kewajiban mengirim berita pada ayahnya. Biarlah, bagaimanapun jadinya, aku harus memburu ke Bu-liang-san sana untuk bersama dengan dia, agar dia tahu aku tidak mengkhianati harapannya."
Setelah ambil keputusan begitu, segera ia ambil arah yang tepat dan menuju ke Bu-liang-san.
Lembah sungai Lanjong itu sunyi senyap, berpuluh li jauhnya tidak tampak seorang penduduk pun. Hari itu terpaksa ia mencari buah-buahan sekadar tangsel perut, malam harinya tidur meringkuk seadanya di lereng bukit.
Besoknya lewat tengah hari, kembali ia menyeberangi sungai Lanjong. Dekat magrib, sampailah ia di suatu kota kecil.
Uang sangu yang dibawanya sudah terhanyut di danau tempo hari, ia tahu pakaian sendiri sudah compang-camping, ditambah perut sangat lapar, teringat olehnya ada sebentuk hiasan batu giok di kopiahnya yang nilainya tak terkira.
Segera ia tanggalkan batu permata itu dan membawanya ke suatu warung kelontong satu-satunya di kota itu untuk di jual.
Karena tidak kenal benda mestika, pemilik warung itu hanya berani membeli dengan harga tiga tahil perak, apa boleh buat, dengan uang itu Toan Ki masuk ke suatu warung nasi untuk makan.
Pikirnya hendak membeli pakaian pula, tapi di kota sekecil itu tak ada toko kelontong yang menjual pakaian. Selagi sulit, tiba-tiba dilihatnya di samping warung nasi itu, di suatu lapangan ada orang menjemur dua potong kain hitam.
Seketika pikirannya tergerak, teringat olehnya Ciong-hujin sengaja memalsukan nama "Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing" untuk menolong putrinya, pikir Toan Ki, "Kenapa aku tidak menyamar sebagai perempuan galak itu untuk menggertak Sikong Hian? Paling-paling gagal dan mati, tapi kalau berhasil menggertak Sikong Hian, kan hebat!"
Dasar watak orang muda, apa yang dia pikir segera dikerjakan, segera ia membeli sepotong kain hitam, ia pinjam gunting dan jarum serta benang, lalu berlagak sebagai penjahit ulung untuk membuat pakaian di belakang warung nasi itu.
Selama hidup Toan Ki hanya kenal buku, membaca dan menulis, kini memegang jarum, walaupun benda sekecil itu, namun rasanya seberat palu. Untung bukan menjahit pakaian bagus, hanya diperlukan membalut antero tubuh saja asal tidak kelihatan, maka di mana ada bagian renggang, di situ lantas dijahit, kalau ada lubang lantas ditambal.
Begitulah ia sibuk sendiri hingga mandi keringat, pegawai warung nasi menyangka Toan Ki agak kurang waras otaknya, maka tidak urus perbuatannya itu. Sampai malam, orang sudah pergi tidur, Toan Ki masih sibuk menjahit di warung itu.
Hampir tengah malam, baru selesai Toan Ki menunaikan tugas. Ia coba pakai baju baru itu, mending juga badannya bisa tertutup rapat. Sepasang sarung tangannya juga kasar, tapi kesepuluh jarinya dapat masuk dan bergerak dengan bebas.
Senang sekali Toan Ki, sambil mengenakan pakaian serbahitam itu, ia coba ingat-ingat suara Bok Wan-jing yang tajam melengking itu, lalu tekuk suara menirukan beberapa kali.
Ia tidak yakin suaranya mirip orang, tapi bila mengingat Sikong Hian juga belum tentu pernah melihat dan mendengar suara Bok Wan-jing, betapa pun memang sengaja untung-untungan, biarpun rahasianya terbongkar nanti, apa mau dikatakan lagi?
Setelah menyamar, ia coba-coba merancang bagaimana nanti kalau berhadapan dengan Sikong Hian, kemudian meninggalkan warung nasi itu dan menuju Bu-liang-san.
Kota kecil itu letaknya sudah di kaki gunung Bu-liang-san. Di bawah sinar bulan, Toan Ki dapat menempuh arah yang tepat. Setelah dua jam lamanya, dari jauh tertampak di lereng gunung sana sinar api berkelip-kelip, ia tahu di sanalah tempat tinggal Sin-long-pang, segera ia menuju ke tempat sinar api itu.
Kira-kira belasan tombak sebelum sampai di tempat sinar api itu, sekonyong-konyong dari tempat gelap melompat keluar seorang sambil membentak, "Siapa yang datang ini? Ada keperluan apa?"
Toan Ki tertawa dingin sekali, ia tekuk suaranya dan menyahut dengan garang, "Hm, macammu juga ingin tanya siapa diriku? Di mana Sikong Hian? Suruh dia menemui aku!"
Melihat antero tubuh Toan Ki tertutup kain hitam, di bawah sinar bulan hanya tertampak kedua biji matanya, orang itu terkesiap, teringat olehnya dandanan seorang iblis wanita yang mengguncangkan dunia Kangouw, maka tanyanya dengan suara gemetar, "Apakah engkau ... engkau Hiang ... yok ...."
"Namaku boleh sembarangan kau sebut?" bentak Toan Ki dengan gusar.
Karena terpengaruh oleh nama besar "Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing", nyali orang itu pecah, dengan gugup ia menjawab, "Sikong-pangcu terluka parah, tak bisa ... tak bisa berjalan, harap nona sudi ... sudilah ke sana!"
Sial pikir Toan Ki, masakan seorang jejaka 'ting-ting' disangka nona segala. Diam-diam ia pun bersyukur orang tak dapat mengenalnya, maka sengaja ia mendengus menirukan lagak angkuh Bok Wan-jing, katanya, "Lekas tunjukkan jalannya!"
Perlahan Toan Ki ikut orang itu ke depan. Ia tahu, semakin lambat jalannya, semakin sulit terbongkar rahasianya.
Sampai di tempat api unggun, ia lihat di sana-sini menggeletak beberapa orang yang terpagut oleh Kim-leng-cu itu. Ciong Ling diringkus kedua tangannya, begitu melihat Toan Ki, ia menjadi girang, terus saja ia berseru, "Bok-cici, engkau telah datang menolong aku!"
Selama tersiksa beberapa hari, keadaan Sikong Hian memang sudah payah, ketika melihat bentuk Toan Ki, ia sudah menduga pasti "Hiang-yok-jeh" yang namanya mengguncangkan Kangouw itu.
Maka ia berusaha bangun, kedua tangannya menahan di pundak kedua anak buahnya, lalu berkata, "Cayhe terkena racun ular, tidak bisa menjalankan peradatan, harap ... harap nona suka memaafkan."
"Nona Ciong adalah sobatku, kau tahu tidak?" tegur Toan Ki dengan suara melengking.
"Sesungguhnya Cayhe tidak tahu, harap maaf," sahut Sikong Hian.
"Lekas lepaskan dia," kata Toan Ki lagi.
Walaupun Sikong Hian gentar pada nama Hiang-yok-jeh yang besar itu, ia tahu sekalipun dirinya tidak terluka, untuk bertanding juga bukan lawan orang, bila Ciong Ling dibebaskan, kalau tiada obat penawar racun Kim-leng-cu, tidak lama lagi dirinya bersama anak buahnya tentu mati, dalam keadaan demikian, betapa pun hebat risikonya tak terpikir pula, segera jawabnya, "Apakah nona membawa obat penawar racun ular ini?"
Toan Ki mengeluarkan sebuah kotak emas dari bajunya, itulah barang yang diterimanya dari Ciong-hujin, cuma ketika di warung nasi ia sudah keluarkan surat di dalamnya dan menggantinya dengan adukan nasi dan tanah hingga penuh sekotak. Lalu katanya, "Ini adalah obat khas milik 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu, dia sudi memberikan padamu, boleh dikatakan nasibmu lagi mujur."
Sembari berkata, ia lemparkan kotak itu ke tanah.
Memangnya Sikong Hian sudah dapat menerka ayah Ciong Ling adalah "Kian-jin-ciu-sat" Ciong Ban-siu, kini diperkuat oleh keterangan Toan Ki itu, ia tambah percaya lagi. Maka cepat jawabnya, "Banyak terima kasih nona, banyak terima kasih juga kepada Ciong-tayhiap."
Segera ada bawahannya menjemput kotak itu untuk diserahkan pada Sikong Hian. Ia buka kotak itu dan mengendus isinya, ia mencium isi kotak itu berbau amisnya ikan, rada-rada berbau tanah juga.
Setiap anggota Sin-long-pang adalah ahli obat-obatan, lebih-lebih Sikong Hian, segala macam obat, sekali diciumnya tentu diketahuinya betapa kadar obat yang terkandung di dalamnya. Apalagi sekarang obat itu merupakan penyelamat jiwanya, tentu saja ia periksa lebih cermat.
Ketika diendus lagi dan merasa sedikit pun tiada bau obat, seketika timbul rasa curiganya. Segera ia tanya, "Tolong tanya nona, obat ini bagaimana memakainya?"
"Setiap orang minum setitik saja, lewat 12 jam, racun Kim-leng-cu akan lenyap," sahut Toan Ki. "Nah, lekas kau bebaskan nona Ciong!"
"Ya," sahut Sikong Hian sambil berjongkok mengambil sebatang kayu yang terbakar untuk menerangi tubuh Toan Ki.
Kalau di tempat gelap masih mendingan, kini sekali disinari, seketika terbongkarlah borok Toan Ki.
Tertampaklah pakaiannya yang hitam mulus itu di sana-sini tidak keruan jahitannya, hakikatnya tidak serupa pakaian.
Keruan Sikong Hian bertambah curiga. Ia melangkah maju lebih dekat dan mencium sekuatnya beberapa kali, tapi sedikit pun tidak mengendus bau harum apa-apa. Pikirnya, "Menurut cerita orang Kangouw, tubuh Hiang-yok-jeh mengeluarkan semacam bau harum yang khas, dari jauh orang sudah menciumnya, sebab itulah diperoleh julukan 'Hiang-yok-jeh'. Tapi orang ini sama sekali tiada bau wangi apa pun, sebaliknya malah rada-rada bau apak. Apa mungkin orang ini hanya samaran
saja?"
Melihat sikap orang, Toan Ki tahu dirinya sudah mulai dicurigai. Keruan hatinya kebat-kebit, tapi ia masih coba membentak, "Kusuruh kau lepaskan nona Ciong, kau dengar tidak?"
Walaupun sudah curiga, namun Sikong Hian masih tidak berani main kasar, dengan merendah ia menjawab, "Harap nona maklum, sekian banyak orang kami telah dipagut ular, jiwa masing-masing tinggal sehari-dua-hari, jika obat pemberian Ciong-tayhiap ini tidak manjur, kan jiwa kami akan melayang semua? Bukanlah Cayhe berani membangkang perintah Bok-kohnio, kami hanya minta nona Ciong bersabar beberapa hari lagi dan tinggal bersama kami, bila racun ular kami sudah disembuhkan, pasti kami akan mengantar nona Ciong ke rumah, sekalian mengaturkan terima kasih juga kepada Bok-kohnio."
"Kenapa kau berani mengoceh lagi, kukatakan lepaskan dia dan harus kau lakukan!" kata Toan Ki dengan gusar. Segera ia berpaling kepada seorang tua yang berdiri di samping Ciong Ling dan membentaknya, "Lekas buka tali ringkusannya!"
Dan karena gugupnya, suara Toan Ki lupa ditekuk hingga kentara sekali bersuara pria.
Kakek yang dibentak itu cukup cerdik, di bawah sinar api ia lihat pula isyarat sang Pangcu, maka pikirnya, "Orang ini entah tulen atau palsu, kalau Pangcu sendiri segan padanya, aku hanya bawahan, kasar sedikit tentu tidak apalah. Bila dia benar-benar Hiang-yok-jeh, tentu Pangcu akan mintakan maaf bagiku."
Karena pikiran itu, segera ia menjawab dengan suara keras, "Bok-kohnio, tidaklah sulit untuk melepaskan nona Ciong. Tapi wajah asli nona harus diperlihatkan kepada kami barang sekejap saja."
"Kau berani minta lihat wajahku, apa barangkali kau sudah bosan hidup?" damprat Toan Ki.
Diam-diam kakek itu berpikir, "Betapa lihai ilmu silatnya, wanita ini hanya seorang diri. Dengan jumlah kami sebanyak ini masakah tak bisa melawan seorang wanita?"
Namun demikian pikirnya, nama "Hiang-yok-jeh" sesungguhnya teramat besar, banyak cerita orang Bu-lim yang memujanya setinggi langit, kalau pakai kekerasan, bisa jadi dirinya akan celaka lebih dulu.
Maka dengan tertawa katanya pula dengan merendah diri, "Sekalipun Siauloji (aku orang tua yang rendah) punya sepuluh nyawa serep juga tidak berani pada nona. Cuma sudah lama kami dengar nama nona yang mahabesar, hati kami kagum tak terhingga, maka sangat berharap dapat menambah pengalaman bila nona sudi memberi petunjuk barang sejurus-dua jurus ilmu sakti."
Diam-diam Toan Ki mengeluh, cepat sahutnya, "Kemahiran nona adalah kepandaian membunuh orang melulu, tapi di sini agaknya tiada orang yang mau dibunuh."
Seorang tokoh Sin-long-pang di daerah Kuiciu menjadi tidak sabar, dengan suara keras ia menyela, "Kau minta kami bebaskan orang, paling sedikit harus kau unjuk sejurus-dua dulu."
Sembari berkata, ia lantas tampil ke muka.
Dalam pada itu rasa curiga Sikong Hian sudah tak tertahankan, segera ia pun berkata, "Baiklah, Ui-hiati, boleh coba-coba kau minta petunjuk nona Bok."
Tokoh she Ui itu menjadi tabah mendapat dorongan sang Pangcu, segera ia lolos Kim-pwe-to atau golok berpunggung tebal, sekali bergerak, lima gelang baja yang terpasang di atas golok itu berbunyi gemerantang, [dengan gagah ia berdiri di depan Toan Ki.
Diam-diam Toan Ki mengeluh, "Celaka, tidak jadi soal kalau rahasiaku terbongkar, tapi nona Ciong bakal menjadi korban juga."
Dan demi tampak kegarangan lawan, tanpa terasa ia menyurut mundur dua tindak.
Melihat langkah Toan Ki enteng tanpa kuda-kuda, hakikatnya seorang tak bisa ilmu silat, orang she Ui itu menjadi makin berani. Ia mendesak maju lagi dua tindak, goloknya pura-pura membacok ke depan hingga gelang baja menerbitkan suara gemerencing.
Saking ketakutan berulang Toan Ki mundur beberapa tindak, sampai akhirnya punggung sudah menyandar di suatu pohon beringin.
Saat itu, beratus pasang mata orang Sin-long-pang sama tertuju atas diri Toan Ki, dan karena mundur beberapa tindak, walaupun belum kentara samarannya, namun sudah jelas kelihatan kalau dia tak bisa ilmu silat. Banyak di antara orang Sin-long-pang saling berbisik membicarakan hal itu dengan heran.
"Bok-kohnio," kata Sikong Hian kemudian. "Silakan kau beri ajaran sedikit pada Ui-hiati itu. Cuma sukalah nona berlaku murah hati, asal menyentuh badan, lantas sudahi."
"Aku tak bisa menyentuh badan saja, sekali turun tangan, pasti bereskan nyawanya," kata Toan Ki.
"Makanya, hai, orang she Ui, lebih baik kau undurkan diri saja."
Walaupun bicaranya masih angkuh sekali, namun suaranya sudah gemetar hingga kentara perasaannya yang ketakutan.
"Silakan, memang jiwa orang she Ui hidup di ujung senjata," bentak jago she Ui itu mendadak sambil angkat goloknya.
"Jangan bergerak," seru Toan Ki berlagak garang. "Sekali aku turun tangan, seketika jiwamu bakal
melayang. Maka kunasihatkanmu undurkan diri saja lebih selamat."
"Silakan nona memberi ajaran," sahut jago she Ui itu.
Dan demi tampak kedua kaki Toan Ki rada gemetar, tanpa bicara lagi goloknya yang tebal besar itu terus membacok ke dada Toan Ki.
Cuma nama "Hiang-yok-jeh" sesungguhnya teramat disegani, maka serangannya ini masih tetap pura-pura saja, ketika golok itu hampir mengenai dada Toan Ki, mendadak ia belokkan arahnya ke samping, "sret", baju hitam di bahu kiri Toan Ki yang terpapas sebagian.
Keruan Toan Ki terkejut, sementara itu punggungnya sudah kepepet di batang pohon, untuk mundur lagi terang sudah buntu, diam-diam ia mengeluh, cepat ia berteriak, "Nona Ciong, lekas ... lekas melarikan diri!"
Sudah lama Ciong Ling kenal dengan Bok Wan-jing, maka begitu lihat perawakan Toan Ki, tingkah laku dan lagak lagunya yang sangat berbeda daripada Bok Wan-jing, sejak tadi gadis itu sudah tahu Hiang-yok-jeh palsu, cuma tak diketahuinya siapa gerangan pemalsu itu. Kini demi mendengar suara teriakan Toan Ki, seketika ia kenal anak muda itu dan berseru, "Hah, engkau Toan ...."
Belum lanjut ucapannya, mendadak golok jago she Ui tadi sudah menyambar lagi hingga lengan baju kanan Toan Ki terpapas pula sebagian.
"Haha!" orang she Ui itu terbahak-bahak. "Hiang-yok-jeh, hari ini aku justru ingin melihat wajahmu yang sebenarnya, apakah secantik bidadari, atau jelek seperti Yok-jeh (genderuwo)?"
Dengan tertawa segera seorang kawannya menanggapi dari samping, "Dia bernama Yok-jeh, tentu seorang genderuwo tua bangka, kalau tidak, untuk apa selalu mengerudungi muka sendiri."
Melihat dua kali bacokan kawannya berhasil tanpa mendapat perlawanan, bahkan Toan Ki tampak kelabakan ketakutan, mereka menjadi berani, banyak sindiran dan olok-olok kasar tercetus dari mulut mereka.
Di tengah sindir ejek orang-orang itu, mendadak golok orang she Ui itu menyambar pula ke muka Toan Ki dengan gerak tipu "Giok-liong-sia-hui" atau naga putih terbang miring, cepat Toan Ki mendoyong ke belakang, karena itu, kedua tangannya seakan-akan terangkat ke atas.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara "bluk," tahu-tahu tubuh jago she Ui yang besar itu jatuh terjengkang, menyusul "trang" sekali, goloknya terpental juga hingga gelang baja di atasnya menerbitkan suara nyaring.
Ketika memandang orang she Ui itu, tertampak dia sudah roboh telentang, batok kepalanya tertancap sebatang panah kecil warna hitam dan tak berkutik lagi.
Dalam kejutnya, cepat dua orang Sin-long-pang sudah memburu maju dan memeriksa sang kawan, demi mengetahui orang she Ui itu sudah putus nyawanya, kedua orang itu menjadi murka, dengan senjata terhunus mereka menubruk pula ke arah Toan Ki.
Tapi baru saja tubuh mereka bergerak, tiba-tiba terdengar suara mendesir dua kali, tahu-tahu kedua orang itu terbanting hingga meringkuk bagai cacing, setelah kelejetan beberapa kali lalu tak bergerak lagi.
Seketika kawanan Sin-long-pang menjadi panik, segera ada yang menganjurkan mengerubut maju semua. Benar juga, lebih 20 orang sekaligus lantas menerjang ke arah Toan Ki dari berbagai jurusan.
Melihat sekelilingnya penuh musuh bersenjata dan bermuka beringas, saking ketakutan Toan Ki sampai terkesima.
Bab 5
Tak terduga belum lagi setombak mendekati Toan Ki, tahu-tahu lebih 20 orang itu sudah dipapak pula oleh sambaran senjata rahasia, seketika ramai dengan suara mendesir, hujan panah terjadi, sekejap saja orang-orang itu sama menggeletak terbinasa.
Orang-orang itu adalah sisa kawanan Sin-long-pang yang masih kuat, tapi dalam sekejap saja sudah mati semua, keruan Sikong Hian sangat terkejut. Apalagi sebelumnya sudah berpuluh anak buahnya terpagut Kim-leng-cu, sisa anak buahnya sekarang hanya tinggal kelas rendahan saja.
"Hiang ... Hiang-yok-jeh, sungguh tak bernama kosong, keji amat cara turun tanganmu!" dengan dendam Sikong Hian berkata.
Mimpi pun Toan Ki tidak menyangka bahwa dalam sekejap saja penyerang sebanyak itu bisa roboh dan mati semua, terang diam-diam ada orang kosen telah menolongnya, tapi sekitarnya sunyi senyap, di mana ada orang kosen?
Ketika melihat kematian orang-orang itu cukup mengenaskan, ia merasa tidak tega, maka katanya, "Sikong-pangcu, engkaulah yang memaksa aku, sungguh aku merasa men ... menyesal."
Sikong Hian menjadi gusar, katanya, "Jiwaku hanya satu ini, hendak kau bunuh atau disembelih boleh silakan. Sin-long-pang hancur di tangan Sikong Hian, memangnya aku pun tidak ingin hidup lagi."
"Aku tiada bermaksud mencelakaimu," sahut Toan Ki menyesal. "Le ... lekas kau bebaskan nona Ciong saja."
Dalam keadaan terharu, nada suara Toan Ki menjadi berbeda sekali daripada suara Bok Wan-jing yang dingin.
Tapi Sikong Hian sudah kalap menyaksikan anak buahnya habis terbunuh, tak diperhatikan lagi apakah suara Toan Ki itu suara orang laki-laki atau perempuan, tulen atau palsu, segera ia membentak, "Akhirnya juga mati, Thio-hiati, kau bunuh dulu anak perempuan she Ciong itu!"
Anak buahnya yang she Thio itu mengiakan terus mendekati Ciong Ling, golok terangkat terus membacok kepala Cong Ling. Tapi belum lagi senjata itu diayunkan, sekonyong-konyong suara mendesir berjangkit lagi sekali, di mana panah kecil itu sampai, kontan orang she Thio itu roboh terjengkang, golok membacok di muka sendiri hingga berlumuran darah.
Sebenarnya orang she Thio itu sudah menduga bahwa "Hiang-yok-jeh" pasti akan menimpukkan panahnya untuk merintangi bacokannya itu, maka waktu membacok, ia sudah mencurahkan segenap perhatian ke arah Toan Ki, asal tangan "Hiang-yok-jeh" itu sedikit bergerak, segera ia bermaksud berjongkok untuk menghindar. Siapa duga datangnya panah itu sedikit pun tiada tanda apa pun.
Tadi waktu berpuluh orang mengepung Toan Ki, dalam keadaan hiruk-pikuk hujan anak panah, semua orang juga tidak jelas dari mana datangnya panah berbisa itu. Kini secepat kilat orang she Thio itu jatuh binasa pula, dari mana menyambarnya panah terlebih tiada seorang pun yang tahu. Keruan sisa anak buah Sin-long-pang menjadi ketakutan, beberapa di antaranya yang bernyali kecil menjadi lemas kakinya hingga dan terkulai tak sanggup berdiri.
"Kau lepaskan nona Ciong," Toan Ki tunjuk seorang laki-laki setengah umur.
Orang itu tahu bila tidak menurut perintah, sekejap saja jiwanya pun akan melayang seperti kawan-kawan lain. Sekalipun disiplin Sin-long-pang cukup keras, tapi demi keselamatan jiwa sendiri, terpaksalah ia mendekati Ciong Ling dengan takut-takut, ia lolos sebilah pisau dan memotong tali pengikat gadis itu.
Setelah bebas, Ciong Ling mendekati Sikong Hian, katanya, "Keluarkan obat di dalam kotak emas itu dan kembalikan kotaknya padaku."
Meski Sikong Hian sangsikan khasiat obat di dalam kotak itu, tapi toh dikoreknya juga semua isi kotak di telapak tangannya, lalu menyerahkan kotak kosong itu kepada Ciong Ling. Diam-diam ia cari akal cara bagaimana melawan panah berbisa Hiang-yok-jeh.
Setelah terima kotak emas itu, kembali Ciong Ling ulurkan tangan dan berkata, "Serahkan sini!"
"Apa lagi?" tanya Sikong Hian mendongkol.
"Obat pemunah racun Toan-jiong-san," sahut Ciong Ling. "Toan-kongcu telah mencarikan obat bagimu, harus kau berikan obat penawarnya pula."
Tergerak pikiran Sikong Hian, ia mendapat akal, serunya lantas, "Ambilkan obatnya!"
Lalu ia sebut beberapa nama ramuan obat.
Cepat dua anak buahnya mengeluarkan ramuan obat yang dimintanya itu dari peti obat. Setelah dicampur dan dibungkus. Sikong Hian berkata pula, "Serahkan pada nona Ciong."
Setelah terima obat itu, Ciong Ling berkata, "Kalau obat ini tidak manjur, akan kubunuh habis Sin-long-pang kalian!"
"Sudah tentu obat ini tidak bisa menyembuhkan racun Toan-jiong-san," sahut Sikong Hian dingin.
"Apa katamu?" tanya Ciong Ling dengan kaget.
"Obat ini hanya menunda bekerjanya racun Toan-jiong-san selama tujuh hari, habis itu kalau aku tidak mati, bolehlah kau minta obat penawarnya padaku," sahut Sikong Hian.
Sungguh gusar Ciong Ling tidak kepalang, ia berpaling pada Toan Ki dan berkata, "Bok-cici, tua bangka ini tidak bisa dipercaya, boleh kau panah mampus dia."
"Ingar, di dunia ini hanya aku seorang yang sanggup meracik obat penawar Toan-jiong-san," kata Sikong Hian.
Toan Ki menjadi khawatir, pikirnya, "Obat yang kuberikan padanya memangnya palsu, hanya adukan dari sisa nasi dan tanah, dengan sendirinya tidak manjur, nanti kalau racun Kim-leng-cu dalam tubuhnya bekerja, seketika dia akan mati, lalu bagaimana baiknya?"
Ciong Ling memandang Toan Ki tanpa berdaya, dalam gugupnya tiba-tiba timbul sifat keremajaannya, tangan Sikong Hian terus ditariknya sambil berkata, "Sikong-pangcu, marilah ikut padaku untuk menjenguk Toan-kongcu."
"Hei, macam apa pakai tarik-tarik begini?" seru Sikong Hian gusar.
"Saat ini Toan-kongcu tentu berada di rumahku, marilah kita pergi melihatnya," sahut Ciong Ling. "Bila racun Kim-leng-cu bekerja dalam tubuhmu, ayah bisa juga mengobatimu."
Toan Ki pikir akal si gadis itu bagus sekali, maka ia pun berkata dengan dingin, "Marilah kita berangkat bersama, kau takkan mati!"
Sikong Hian memandangnya sekejap, ia pikir kalau membangkang hingga membikin marah "Hiang-yok-jeh," bukan mustahil jiwanya akan melayang di bawah panah beracun orang. Tapi dirinya adalah seorang Pangcu, anak buahnya sudah banyak yang jadi korban, kini dirinya kena dibekuk orang pula, apa jadinya kalau kelak jiwanya selamat?
Karena itu ia menjadi serbasalah.
"Sikong-pangcu," Ciong Ling tak sabar, ia terus menyeretnya, "marilah berangkat lekas! Kau sendiri boleh minum obat penawar itu dulu, sisanya berikan kepada anak buahmu."
Walaupun ragu, namun Sikong Hian minum juga sebagian "obat penawar" tadi, ia khawatir khasiat obat kurang manjur, maka sebagian besar ia minum sendiri, sisanya tinggal sedikit baru diberikannya kepada anak buahnya.
Tanpa bicara lagi Ciong Ling menyeret pergi Pangcu Sin-long-pang yang sial itu.
Walaupun terluka parah, tapi kalau Sikong Hian mau mengipatkan tangan Ciong Ling, dengan mudah ia dapat bebaskan diri. Cuma, pertama ia jeri pada "Hiang-yok-jeh" yang ganas itu, kedua, khawatir obat penawar yang diminum tadi tidak manjur, biarpun bisa meloloskan diri, akhirnya juga mati, maka lebih baik ikut pergi saja dengan mereka.
"Memangnya aku ingin bertemu dengan ayahmu, ingin kuminta keadilan padanya," dengan mengucapkan kata-kata yang bersifat menutupi malunya, segera ia melangkah lebih dulu.
Cepat Ciong Ling memegang lengan ketua Sin-long-pang. Ketika lewat di samping Toan Ki, sekalian ia gandeng tangan pemuda itu pula.
Melihat sang Pangcu diseret pergi orang, sisa anak buah Sin-long-pang menjadi ribut dan berisik membicarakannya. Keruan Sikong Hian merasa malu dan menundukkan kepala.
Dengan bungkam Ciong Ling menggandeng tangan kedua orang dan berjalan terus, diam-diam ia pikir, "Kalau kubongkar rahasia Toan-kongcu, tentu si tua Sikong Hian ini akan berontak dan kami berdua jelas bukan tandingannya. Namun Bok-cici terang bersembunyi di sekitar sini, tadi anak buah Sin-long-pang banyak yang terbunuh, dengan sendirinya akibat perbuatannya."
Berpikir begitu, segera ia berseru dengan suara yang sengaja diperkeras, "Banyak terima kasih atas
pertolongan Bok-cici tadi."
Toan Ki terperanjat ketika mendadak mendengar seruan si nona, sejenak kemudian dengan suara yang dibuat-buat baru ia menjawab, "Ah, orang sendiri, tak perlu sungkan."
"Huh, masih berani bersandiwara," pikir Ciong Ling geli.
Tiba-tiba ia puntir tangannya hingga Toan Ki kesakitan, hampir saja ia menjerit. Ketika melirik si gadis, tampak Ciong Ling lagi tersenyum-senyum geli. Berbareng itu, diam-diam gadis itu jejalkan kotak emas dan bungkusan obat penawar yang diterimanya dari Sikong Hian tadi ke tangan Toan Ki.
Toan Ki tahu gadis itu sudah mengetahui rahasianya, maka ia mengangguk tanda terima kasih.
Pada saat itulah, tiba-tiba di jurusan barat sana ada suara suitan orang, menyusul dari sebelah selatan ada suara orang bertepuk tangan pula. Habis itu, sesosok bayangan secepat terbang tampak memapak dari depan.
Kira-kira beberapa meter di depan Toan Ki bertiga, mendadak orang itu berhenti dan membentak dengan suara yang serak, "Hiang-yok-jeh, memangnya kau bisa melarikan diri?"
Dari suaranya, Toan Ki dapat mengenali adalah Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun, si raja pengaduk sungai.
Pada saat lain, terdengar pula suara seorang tertawa dingin di belakang, waktu Toan Ki menoleh, di bawah sinar bulan yang remang-remang tertampaklah seorang nenek dengan golok terhunus dan tangan lain memegang sebatang gurdi baja bersinar kemilau.
"Celaka!" diam-diam Toan Ki mengeluh. "Semoga nona Bok lekas datang menolong!"
Ia menjadi bingung, apakah harus tetap memalsukan nama Hiang-yok-jeh atau membuka baju hitam menunjuk muka aslinya sendiri?
Sedang ragu-ragu, sementara itu dari kanan-kiri sudah bertambah lagi masing-masing seorang.
Yang sebelah kiri adalah seorang Hwesio tua berjubah kuning, membawa senjata Hong-pian-jan atau sekop serbaguna, suatu alat yang lazim dibawa kaum padri. Dan orang yang di sebelah kanan kurang jelas wajahnya, agaknya seorang laki-laki berusia belum lanjut, punggung menyandang pedang.
Ternyata dalam sekejap saja Toan Ki alias Hiang-yok- jeh palsu sudah terkepung dari empat jurusan. Ia kenal Cin Goan-cun, si nenek dan si Hwesio itu adalah kawanan pengeroyok di rumah Bok Wan-jing, kini mereka mengejar pula sampai di sini, dengan sendirinya laki-laki satunya tentu adalah komplotan mereka juga.
"Kalian hendak cari Bok-cici, bukan?" tanya Ciong Ling tiba-tiba.
"Benar," sahut si Hwesio. "Siapakah nona ini dan Cianpwe itu? Silakan menyingkir ke samping saja."
Belum lagi Ciong Ling menjawab, cepat Sikong Hian menimbrung, "Taysu tentu adalah Hui-sian Taysu dari Siau-lim-si, bukan? Dan yang ini tentunya No-kang-ong Cin-loyacu, dan yang itu adalah Sin-sipopo. Cayhe Sikong Hian dari Sin-long-pang. Maafkan kedangkalan pengalamanku, numpang tanya siapa pula nama yang mulia saudara yang ini?"
Laki-laki tak dikenal itu melangkah maju dua tindak hingga wajahnya kini jelas kelihatan, lalu sahutnya, "Cayhe she Su ...."
"Ah, kiranya adalah Oh-pek-kiam Su An, Su-tayhiap!" belum orang selesai memperkenalkan diri, cepat Sikong Hian sudah memotong. "Selamat bertemu, selamat bertemu!"
Su An itu balas hormat orang, sahutnya, "Sudah lama kudengar nama besar Sikong-pangcu dari Sin-long-pang, betapa bahagia hari ini bisa berjumpa di sini."
Toan Ki kini dapat melihat usia Su An itu kira-kira baru 30-an tahun, perawakannya sedang tapi gagah perkasa, jiwa kesatrianya tampak nyata pada sikapnya yang kereng, berbeda sekali dengan sifat Cin Goan-cun dan Sin-sipopo yang sombong tak mau kalah itu. Diam-diam timbul rasa suka Toan Ki kepada pendekar muda itu.
Sebagai seorang tokoh Bu-lim yang sudah lama menetap di daerah Hunlam, banyak juga jago silat terkemuka yang dikenal Sikong Hian, cuma sedikit yang tak dikenalnya. Di antara empat tokoh itu hanya Cin Goan-cun yang sudah pernah bertemu, ketiga orang yang lain hanya dikenalnya dari senjata serta diterka dari umur mereka, tapi nyatanya tepat juga dugaannya.
Ia tahu betapa lihai ilmu pukulan Cin Goan-cun, sedang Hui-sian Taysu itu adalah satu di antara delapan Hou-hoat atau pembela agama dari Siau-lim-si, ilmu permainan Hong-pian-jan terhitung nomor satu di kalangan murid Buddha.
Adapun Sin-sipopo mempunyai kepandaian khas tunggal juga dengan golok dan gurdi bajanya yang dapat dimainkan sekaligus dengan ganas dan keji.
Su An terkenal dengan julukan Oh-pek-kiam atau pedang hitam putih, paling akhir ini namanya sangat cemerlang di daerah Kanglam. Walaupun ilmu silatnya yang sejati belum diketahui sampai di mana tingkatannya, namun dapat diduga juga pasti bukan jago keroco.
Yang paling kebetulan adalah keempat tokoh ini sekaligus datang mencari Hiang-yok-jeh, tentu saja Sikong Hian tidak sia-siakan kesempatan bagus ini untuk meminjam tangan keempat tokoh itu melenyapkan suatu penyakit bagi dunia persilatan.
Dengan keputusan itulah segera ia pura-pura angkat tangan memberi hormat sambil berkata, "Dan entah ada keperluan apakah kedatangan kalian berempat ke Bu-liang-san sini?"
Berbareng itu, tanpa menunggu jawaban Cin Goan-cun berempat mendadak ia kipatkan tangannya hingga Ciong Ling dan Toan Ki tersentak mundur, bahkan Toan Ki yang tak bisa ilmu silat terus terjungkal roboh.
Sementara itu Sikong Hian sudah lantas melompat ke samping. Tapi karena racun Kim-leng-cu teramat berat mengeram dalam tubuhnya, kakinya masih terasa lemas, ia sempoyongan dan hampir jatuh.
Semula Hui-sian berempat mengira Sikong Hian adalah begundalnya Bok Wan-jing, walaupun tahu ilmu silatnya belum termasuk kelas wahid, tapi Sin-long-pang adalah suatu klik paling berkuasa di daerah Hunlam, orangnya banyak, pengaruhnya besar, suka main obat racun dan asap berbisa, untuk itu agak susah juga untuk dilawan. Kini demi tampak Sikong Hian melompat menyingkir dengan sempoyongan, mereka baru tahu Pangcu Sin-long-pang itu dalam keadaan terluka parah.
Sekali Sikong Hian putar tubuh, sambil bersandar di samping Hui-sian ia berkata dengan pedih, "Teramat keji cara turun tangan Hiang-yok-jeh, sekaligus berpuluh anak buah Sin-long-pang sudah menjadi korban keganasannya, sakit hatiku ini pasti kubalas."
"Nona cilik," segera Hui-sian berkata. "Lekas menyingkir ke samping."
"Kalian takkan mampu melawan Bok-cici, lebih baik lekas pergi saja," sahut Ciong Ling.
"Dia adalah putrinya 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu," Sikong Hian coba mengisiki Hui-sian. "Kabarnya ayahnya masih hidup, paling baik kalau tawan dia saja."
Nyata ia berharap Hui-sian dapat menawan Ciong Ling sebagai jaminan agar kelak Ciong Ban-siu terpaksa mengobati racun Kim-leng-cu di dalam tubuhnya itu.
Mendengar "Kian-jin-ciu-sat" Ciong Ban-siu masih hidup, Hui-sian rada tercengang. Ia tahu iblis besar itu sangat sukar dilawan, sekali terlibat bermusuhan dengan dia, selanjutnya Siau-lim-pay pasti takkan pernah aman, maka sesungguhnya ia tidak ingin mengikat musuh yang lihai itu.
Mendadak "ser" sekali, Hong-pian-jan atau sekop serbaguna, menyambar ke atas kepala Ciong Ling.
Cepat gadis itu mengegos, tak terduga sekop itu terus ditarik kembali hingga punggung sekop menggantol kuduk si gadis.
Jurus serangan ini disebut "Sui-ong-sit-hoan" atau seperti maju ke depan, tapi sebenarnya putar kembali. Yaitu suatu tipu serangan paling lihai di antara 36 jurus "Hok-mo-jan-hoat" atau permainan sekop penakluk iblis. Gerak tipunya di luar dugaan orang, cepatnya luar biasa pula, maka musuh sukar menghindarkan diri.
Baru saja Ciong Ling menjerit kaget, tahu-tahu punggung sekop sudah menempel tengkuknya.
Sekonyong-konyong sinar putih berkelebat, "cring", Su An telah lolos pedang menyampuk jatuh sebuah panah kecil.
Sementara itu Hui-sian sudah tarik sekopnya hingga Ciong Ling ikut terseret ke sampingnya, sekali pegang, tangan kiri Hui-sian telah pencet pergelangan tangan si nona hingga tak bisa berkutik, lalu katanya, "Terima kasih atas pertolongan Su-tayhiap."
Bila membayangkan kejadian barusan, tanpa tertahan padri itu berkeringat dingin. Coba kalau Su An tidak awas dan cekatan hingga panah gelap itu tersampuk jatuh, mungkin jiwanya sekarang sudah melayang.
Tampak Su An berpaling ke arah datangnya panah gelap itu sambil membentak, "Silakan keluar saja, Bok-kohnio!"
Diam-diam Cin Goan-cun dan lain-lain sama malu diri, "Kiranya orang berbaju hitam ini bukan Hiang-yok-jeh, untung Su An cukup cerdik dan cekatan."
Ketika mereka memandang ke sana, namun di situ keadaan sunyi senyap, gelap gulita tiada bayangan seorang pun.
Mendadak, di sebelah kiri terdengar suara "tek" sekali, sepotong batu kelihatan jatuh di tanah, cepat semua orang berpaling, tapi pada saat yang sama, kembali terdengar suara mendesirnya panah menyambar, "cring", lagi-lagi Su An menyampuk dengan pedang hingga sebatang panah kecil yang mengincar belakang kepala Sin-sipopo dapat dipukul jatuh.
Ternyata sehabis menyerang Hui-sian, dengan cepat penyerang tadi sudah mengisar ke kanan, ia pancing orang memandang ke kiri dengan sepotong batu, berbareng ia membokong Sin-sipopo pula.
Keruan nenek itu terkejut dan gusar, ia putar goloknya dengan kencang hingga tubuhnya seakan-akan terbungkus segulung sinar putih, terus menerjang ke semak-semak rumput di sebelah kanan sana. Rumput alang-alang di situ menjadi bertebaran kena dipapas goloknya, tapi tiada bayangan seorang pun kelihatan.
Tiba-tiba terdengar Su An bersuit nyaring, segera ia melayang ke atas sebatang pohon besar di arah barat sana, menyusul terdengarlah suara "crang-creng" beberapa kali, sekaligus pedang Su An sudah menyerang empat kali.
Selagi Hui-sian pentang mata dan pasang kuping mengikuti pertarungan kawan di atas pohon itu, mendadak dari udara menubruk turun sesosok bayangan hitam ke atas kepalanya. Cepat juga reaksi Hui-sian, sekali tangan kanan terangkat, Hong-pian-jan lantas menyabet ke arah bayangan itu.
Namun bayangan itu sempat mengentak kakinya ke batang sekop, dengan tenaga pantulan itu, tahu-tahu pedangnya menusuk si nenek alias Sin Si-nio.
Sekuat tenaga Sin Si-nio ayun goloknya menangkis, "cret", tahu-tahu ujung golok putus tertebas pedang musuh, menyusul sinar pedang musuh menyambar mukanya.
Karena tak keburu menolong, cepat Cin Goan-cun menghantam punggung musuh.
Agaknya orang itu pun tahu betapa lihai ilmu pukulan Cin Goan-cun, maka tidak berani menangkis dari depan, cepat pedangnya menepuk pundak Sin Si-nio, sekali tahan, sekali loncat, dengan enteng orangnya sudah melayang pergi.
Kalau orang itu tidak terpaksa karena digencet oleh pukulan Cin Goan-cun dari belakang, tentu pedangnya itu tidak menepuk melainkan menebas, jika begitu tentu tubuh Sin Sin-nio sudah terbelah menjadi dua.
Namun walaupun sudah dua kali jiwanya hampir melayang, Sin Si-nio masih belum kapok, ia menubruk maju pula dengan kalap. Berbareng itu Cin Goan-cun dan Hui-sian pun menyerang dari kanan-kiri.
Tapi biarpun dikeroyok tiga, orang itu masih bisa menyusup kian kemari di antara lawan-lawan itu dengan lincah dan luwes, nyata itulah dia Hiang-yok-jeh tulen alias Bok Wan-jing.
Sementara itu Su An sudah melompat turun dari atas pohon, tapi ia tidak ikut mengeroyok sebaliknya masukkan pedangnya ke sarung, lalu berdiri di samping untuk menonton.
"Su-heng," kata Toan Ki tiba-tiba mendekati Su An, "harap kau suruh mereka jangan berkelahi."
Sungguh di luar dugaan Su An ucapan Toan Ki itu. Ia coba melirik "Hiang-yok-jeh" palsu itu lalu bertanya, "Siapakah saudara sebenarnya?"
"Cayhe bernama Toan Ki. Sungguh aku tidak paham percekcokan di antara Bok-kohnio dengan kalian ini," demikian sahut Toan Ki. "Cuma cara bertempur mati-matian begini rasanya bukanlah jalan yang baik. Salah atau benar, seharusnya bisa diselesaikan secara berunding saja."
Su An memandang sekejap pada pemuda itu, pikirnya, "Benar juga ucapannya ini. Tapi percekcokan di antara orang Kangouw selamanya diselesaikan dalam ilmu silat, bila pakai berunding segala, buat apa lagi orang belajar silat. Namanya Toan Ki? Siapakah dia ini, belum pernah kudengar nama seorang tokoh demikian."
Selagi ia hendak tanya Toan Ki pula, tiba-tiba terdengar Ciong Ling sedang memanggil pemuda itu di sebelah sana.
Segera Toan Ki mendekati nona itu dan tanya, "Ada apa?"
"Marilah lekas kita lari, kalau ayal mungkin tak keburu lagi," ajak si gadis.
"Tapi Bok-cici lagi dikeroyok orang, mana boleh kita tinggal lari?" sahut Toan Ki.
"Kepandaian Bok-cici teramat lihai, dia pasti ada jalan buat meloloskan diri," ujar Ciong Ling.
Namun Toan Ki masih geleng-geleng kepala, katanya, "Tidak, dia datang kemari untuk menolong jiwa kita, kalau kita tinggal pergi begini saja, hatiku merasa tidak enak."
"Tolol," omel si gadis mendongkol. "Kau tinggal di sini, apakah bisa kau bantu Bok-cici?"
Dalam pada itu Cin Goan-cun, Sin Si-nio dan Hui-sian bertiga masih sengit menempur Bok Wan-jing. Kedua telapak tangan Cin Goan-cun sedemikian gencar mengerahkan tenaga pukulannya. Sekop serbaguna Hui-sian menyambar kian kemari dengan hebat, golok Sin Si-nio pun tidak ketinggalan membacok dan membabat di mana ada lubang. Namun Bok Wan-jing tampak sedikit pun tidak kewalahan, bahkan percakapan Toan Ki, Su An dan Ciong Ling barusan dapat diikutinya.
Ia dengar Toan Ki sedang berkata pula, "Ciong-kohnio, bolehlah kau lari dulu. Bukanlah semestinya aku mengingkari kebaikan Bok-cici dengan meninggalkannya di bawah keroyokan orang, Biarlah kutinggal di sini, bila akhirnya ternyata Bok-cici tak bisa melawan mereka, aku akan menasihati mereka dengan baik-baik, boleh jadi keadaan masih bisa dikendalikan."
"Masih kau berlagak? Paling-paling jiwamu akan ikut melayang nanti!" seru Ciong Ling gusar.
"Memangnya jiwaku ini sejak tadi sudah melayang kalau bukan ditolong oleh Bok-cici, aku orang she Toan kalau lupa pada kebaikan orang, ayah dan pamanku sendiri juga takkan mengampuni aku," sahut Toan Ki tegas.
"Tolol benar-benar! Percuma banyak bicara denganmu!" kata si gadis. Terus saja ia tarik tangan anak muda itu dan diseret lari.
"Tidak, tidak! Aku tak mau pergi!" teriak Toan Ki.
Tapi tenaga Ciong Ling lebih kuat daripadanya, ia menjadi sempoyongan kena diseret oleh gadis itu.
Melihat itu, diam-diam Su An terheran-heran, pikirnya, "Orang ini terang sedikit pun tak bisa ilmu silat, tapi jiwa setia kawannya sungguh harus dipuji. Lama kudengar bahwa 'Hiang-yok-jeh' ganas dan keji, tiada punya seorang teman pun, entah mengapa orang she Toan ini sedemikian berani hendak bicara tentang kebaikan dan setia kawan dengan momok perempuan itu?"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Bok Wan-jing berseru, "Ciong Ling, kau sendiri lekas enyah, dilarang menyeret dia!"
Ciong Ling semakin ketakutan, ia seret Toan Ki terlebih cepat.
Mendadak terdengar suara mendesing sekali, tahu-tahu di atas kundai Ciong Ling menancap sebatang panah kecil. Berbareng terdengar Bok Wan-jing membentak, "Kalau tidak lepaskan dia, awas, akan kupanah biji matamu!"
Ciong Ling kenal watak Bok Wan-jing, sekali berkata tentu bisa dilakukannya juga, tidak pernah omong main-main. Jika dirinya tetap bandel, bukan mustahil biji matanya akan dipanah sungguh-sungguh. Karena itu, terpaksa Ciong Ling lepaskan tangan Toan Ki.
"Lekas kau enyah dan pulang, lekas!" bentak Bok Wan-jing pula.
Ciong Ling tak berani membantah, katanya kepada Toan Ki, "Toan-heng, harap engkau jangan berbuat kejahatan, jagalah dirimu baik-baik."
Habis bicara, dengan rasa berat ia berlari pergi dan sekejap saja sudah menghilang di tempat gelap.
"Tunggu dulu, Ciong-kohnio!" teriak Sikong Hian. "Obat penawar dari ayahmu tadi manjur atau tidak?"
Mana Ciong Ling mau peduli. Segera Sikong Hian bermaksud mengejar, tapi baru melangkah dua tindak, kaki sendiri terasa lemas dan jatuh tersungkur.
Sambil membentak pergi Ciong Ling, Bok Wan-jing tetap bergerak kian kemari di antara ketiga pengeroyoknya dengan cepat, ia tetap di atas angin.
Menyaksikan itu diam-diam Su An menimbang, "Kegesitan perempuan ini ternyata masih jauh di atas kepandaianku. Hanya dalam hal ilmu pedang belum tentu dia mampu melawan aku."
Dan karena jaga martabat sendiri, ia tidak sudi ikut mengeroyok seorang perempuan, ia tunggu bila nanti ketiga orang itu dikalahkan baru ia sendiri akan maju.
Tak lama kemudian, mendadak permainan pedang Bok Wan-jing berubah, sinar pedang menyambar ke sana-sini bagai hujan mencurah dari langit dan sukar ditentukan arah serangannya.
Su An terkejut, serunya, "Kiam-hoat bagus!"
Di tengah sorak pujiannya itu, tiba-tiba terdengar Hui-sian menjerit sekali, iganya kena tusukan pedang. Menyusul pedang Bok Wan-jing menyambar pula ke depan beruntun tiga kali hingga Cin Goan-cun terpaksa melompat keluar kalangan untuk menghindar. Ketika arah pedang Bok Wan-jing berganti pula, tanpa ampun lagi Sin Si-nio sudah terkurung di tengah sinar pedangnya.
Tampaknya sekejap pula jiwa Sin Si-nio pasti akan menghadap raja akhirat, Su An tidak bisa tinggal diam lagi, cepat pedangnya bergerak, bagai kilat menyambar, ia menyela di antara lingkaran sinar pedang Bok Wan-jing, terdengarlah suara gemerencing beberapa kali, kedua pedang saling beradu beberapa kali dengan kecepatan luar biasa.
Meski Su An turun tangan tepat pada waktunya, namun tidak urung tubuh Sin Si-nio terluka tiga tempat. Sedikit pun nenek itu tidak menghiraukan lukanya, dengan kalap ia menubruk pula ke arah Bok Wan-jing.
Dalam pada itu pedang Bok Wan-jing sedang bertempelan dengan pedang Su An. Sejak gebrakan di atas pohon tadi ia sudah tahu ilmu pedang orang tidak boleh dibuat mainan, maka begitu Su An terjun ke kalangan pertempuran, antero perhatiannya lantas dicurahkan pada lawan tangguh ini, sedikit pun tidak berani ayal.
Siapa duga cara bertempur Sin Si-nio itu ternyata sedemikian nekatnya, begitu menubruk maju, ia jatuhkan diri terus menggelinding ke samping Bok Wan-jing, gurdi baja di tangan kanan terus menikam betis lawan itu.
Syukur Bok Wan-jing sempat ayun kakinya dan berbalik Sin Si-nio terdepak pergi.
Dan karena sedikit ayal itu, tusukan pedang Su An sudah sampai di depan mukanya. Dalam detik bahaya itu, pedang Bok Wan-jing secepat kilat menangkis ke atas, ia sadar menyusul mana serangan musuh pasti akan lebih gencar, maka ia tidak mau didahului, berbareng 3-4 jurus mematikan sekaligus dilontarkan ke arah Su An.
Cara serangan Bok Wan-jing itu adalah karena dalam keadaan kepepet, musuh dipaksa harus menyelamatkan diri lebih dulu. Maka terpaksa Su An berkelit sambil menarik kembali pedangnya untuk menjaga diri.
Melihat gerakan musuh itu. Bok Wan-jing menarik napas lega. Selagi hendak ganti serangan pula, mendadak "nyes," pundak kiri terasa kesakitan, ternyata kesempatan tadi telah digunakan Sin Si-nio untuk menikam dengan gurdi bajanya. Tapi Bok Wan-jing pun tidak tinggal diam, kontan tangannya menggaplok ke belakang hingga muka Sin Si-nio seketika hancur luluh dan terbinasa.
Sementara itu Cin Goan-cun dan Hui-sian lantas mengerubut maju lagi hingga keadaan kembali menjadi tiga lawan satu.
"Hai, hai! Tiga laki-laki mengeroyok seorang perempuan, apa kalian tidak merasa malu?" segera Toan Ki bergembar-gembor.
Su An memang ada maksud menarik diri dari pertempuran keroyokan itu, demi mendengar teriakan Toan Ki, seketika ia melompat mundur setombak jauhnya sambil berseru, "Bok Wan-jing, lekas buang pedangmu dan menyerah saja!"
Tapi semakin gencar permainan pedang Bok Wan- jing, ia tidak sempat mencabut gurdi baja yang menancap di pundaknya itu, dengan menahan sakit secepat kilat ia serang Cin Goan-cun dua kali dan menusuk Hui-sian sekali. Betapa lihai ketiga jurus serangan itu, tanpa ampun lagi pipi kanan Cin Goan-cun kontan tersayat suatu garis luka, begitu pula leher Hui-sian lecet keserempet pedang.
Walaupun luka kedua orang hanya ringan saja, tapi tempat yang terluka itu adalah tempat mematikan, sedikit ayal saja jiwa mereka tentu sudah melayang. Saking kagetnya kedua orang, berbareng mereka melompat pergi dengan napas terengah.
"Sayang, sayang!" diam-diam Bok Wan-jing gegetun tak berhasil mampuskan kedua lawan itu.
Tiba-tiba ia bersuit nyaring, segera terdengar suara derap kaki kuda, tahu-tahu Oh-bi-kui muncul dari balik bukit sana. Sekali cemplak, Bok Wan-jing melompat ke atas kuda itu. Ketika lewat di samping Toan Ki, sekali ulur tangan, Bok Wan-jing cengkeram kuduk Toan Ki dan diangkat ke atas kuda pula. Dua orang satu tunggangan terus berlari ke barat dengan cepat.
Tidak jauh, sekonyong-konyong dari dalam hutan di tepi jalan terdengar hiruk-pikuk bentakan, berpuluh orang mendadak melompat keluar mengadang di tengah jalan. Seorang kakek tinggi besar yang berdiri di tengah lantas membentak, "Hiang-yok-jeh! Sudah lama kutunggu di sini!"
Berbareng tali kendali si mawar hitam terus hendak ditariknya.
Namun sedikit Bok Wan-jing kesampingkan kudanya, berbareng tangan lain terayun, tiga panah kecil terus disambitkan. Kontan di antara gerombolan pengadang itu terjungkal tiga orang.
Tengah kakek tadi terkesiap oleh serangan mendadak itu, Bok Wan-jing sudah sendal tali kendalinya hingga Oh-bi-kui sekonyong-konyong melompat ke depan melalui atas kepala gerombolan orang itu. Dan sekali si mawar hitam mencongklang, mana bisa lagi kawanan pengadang itu mengejarnya?
Sebenarnya tidak kurang jago pilihan di antara para pengadang itu, tapi semuanya jeri pada panah berbisa Bok Wan-jing yang lihai, walaupun masih coba mengudak juga, namun sebentar saja mereka sudah ketinggalan jauh.
Toan Ki mendengar gerombolan orang itu mencaci maki kalang kabut di belakang, "Perempuan bangsat, para kesatria Hok-gu-ceh tidak ingin hidup bersamamu!"
"Biarpun kau lari sampai ujung langit juga akan kami bekuk kau!"
"Marilah kejar, kawan-kawan! Bekuk perempuan bangsat itu dan cencang dia untuk membalas sakit hati Co-toako!"
Suara caci maki itu lambat laun menjauh dan tidak terdengar lagi. Tapi rasa dendam kesumat yang terkandung dalam caci maki mereka itu masih terus mengiang di telinga Toan Ki.
Selama beberapa hari ini ia sudah banyak mengalami bahaya, tapi caci maki dengan rasa dendam yang tak terimpas baru sekali ini paling hebat. Karena itu, diam-diam ia mengirik.
Bok Wan-jing membiarkan Oh-bi-kui berlari sesukanya di lereng yang gelap itu. Sampai di suatu bukit, ia lihat di depan sana ada jurang, terpaksa ia turun dari kuda untuk mencari jalan lain.
Jalan pegunungan di Bu-liang-san itu ternyata berliku-liku, mendadak di depan sana ada suara seruan orang pula, "Itu dia, kudanya sudah kelihatan!"
"Awas, cegat sebelah sana!"
"Ya, jangan sampai perempuan hina itu lolos lagi!"
Dalam keadaan terluka, Bok Wan-jing tidak ingin bertempur lagi, cepat ia belokkan kuda ke arah lain. Walaupun bukan lagi jalan pegunungan, syukur si mawar hitam cukup tangkas, di lereng bukit yang penuh batu padas itu ia masih terus berlari secepat terbang.
Setelah berlari tak lama lagi, mendadak kaki depan si mawar tersandung sepotong batu, seketika larinya menjadi lambat, dengan kaki pincang binatang itu mulai tampak payah.
Toan Ki menjadi khawatir, katanya, "Bok-kohnio, harap turunkan aku saja, biar kau sendiri mudah melarikan diri. Aku tiada permusuhan apa-apa dengan mereka, andaikan aku tertangkap juga tidak menjadi soal."
"Hm, kau tahu apa?" jengek Bok Wan-jing. "Jika kau tertangkap orang Hok-gu-ceh, biarpun sepuluh nyawamu juga akan melayang."
"Tapi mereka teramat dendam pada nona, ada lebih baik nona menyelamatkan diri lebih dulu," ujar Toan Ki.
Memangnya pundak Bok Wan-jing lagi kesakitan, Toan Ki masih terus mencerocos saja, keruan nona itu menjadi gusar, "Hendaklah kau tutup mulut, jangan banyak bicara."
Toan Ki tertawa, sahutnya, "Tempo hari aku tidak suka bicara dan justru kau paksa aku buka mulut. Kini aku ajak bicara padamu, sebaliknya malah kau larang aku bicara. Ai, sungguh nona yang susah diladeni."
Saking kesakitan, Bok Wan-jing menjadi gemas, sekali cengkeram, pundak Toan Ki diremas hingga berkeriutan, jika keras lagi sedikit, boleh jadi tulang pundak Toan Ki akan remuk.
"Ya, sudahlah, aku takkan buka mulut lagi!" cepat Toan Ki berteriak sambil meringis.
Tiba-tiba si mawar hitam mendaki jalan pegunungan, karena jalanan cukup rata, langkah binatang itu menjadi cepat.
Sementara itu sudah menjelang fajar, cuaca sudah remang-remang, Toan Ki dapat mengenali jalanan itu, katanya, "He, jalan ini menuju ke Kiam-oh-kiong, apakah nona ada permusuhan dengan orang Bu-liang-kiam?"
Ia merasa dengan segala orang Bok Wan-jing suka bermusuhan, andaikan tiada permusuhan dengan Bu-liang-kiam, rasanya nona itu pun takkan bersahabat dengan mereka.
Maka Bok Wan-jing menjawab, "Hm, untuk bermusuhan bukanlah sangat mudah, bunuh saja beberapa orang mereka, bukankah lantas jadi?"
Tengah bicara, Kiam-oh-kiong yang megah sudah tampak dari jauh.
Sudah beberapa hari ini Bu-liang-kiam siap siaga menantikan datangnya serangan Sin-long-pang, tapi sampai kini masih tiada terjadi apa-apa. Maka jago-jago yang diundang itu seperti Be Ngo-tek dan lain-lain sudah sama mohon diri karena tidak ingin terlibat dalam persengketaan itu.
Tapi Bu-liang-kiam sekte barat betapa pun adalah orang sendiri, walaupun di antara mereka sendiri ada perselisihan, namun melihat sesama golongannya terancam bahaya, tak bisa tidak mereka harus tinggal di situ untuk membantu.
Maka waktu itu di sekeliling Kiam-oh-kiong secara bergiliran dijaga oleh anak murid Bu-liang-kiam dari Tang-cong dan Se-cong.
Di depan istana yang megah itu tampak dijaga oleh empat murid Bu-liang-kiam. Menjelang fajar, mereka sama kantuk dan letih, ketika tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda mendatangi dengan cepat, seketika semangat keempat orang itu terbangkit, cepat mereka menghunus pedang dan mengadang ke depan.
Pemimpin keempat orang itu bernama Tong Jin-hong, segera ia membentak, "Siapa itu yang datang? Kawan atau lawan? Lekas beri tahu namamu!"
Melihat demikian garang sambutan orang Bu-liang-kiam itu, Bok Wan-jing jadi mendongkol, kalau turuti wataknya, tentu segera diterjangnya dahulu dan urusan belakang.
Tapi kini ia terluka parah, pundaknya masih menancap sebuah gurdi yang belum berani dicabutnya, sebab khawatir akan keluar darah terlalu banyak.
Ia pun kenal ketua Bu-liang-kiam, Co Cu-bok terkenal lihai dengan ilmu pedangnya, tergolong tokoh terkemuka di daerah Hunlam. Maka dengan sabar ia tahan kudanya dan menjawab, "Ada orang mengejar kami, terpaksa harus menghindari sebentar ke Kiam-oh-kiong, lekas kalian menyingkir!"
Sungguh gusar sekali Tong Jin-hong, pikirnya, "Kurang ajar benar orang ini! Kau diuber musuh, seharusnya kau mohon perlindungan pada kami dengan baik-baik, kenapa bicara sedemikian kasar?"
Maka sekali pedangnya melintang ke depan, segera ia berkata, "Siapa kau ini? Ada hubungan apa dengan golongan kami?"
Pada saat itulah dari jauh sana terdengar suara teriakan orang, nyata Cin Goan-cun dan kawan-
kawannya serta orang Hok-gu-ceh sudah menguber datang.
Tanpa bicara lagi, sekali tarik tali kendali kuda, Bok Wan-jing membentak nyaring, sekonyong-konyong si mawar hitam mencongklang ke depan terus melompat lewat di atas kepala Tong Jin-hong berempat dan menerjang ke arah Kiam-oh-kiong.
Walaupun kaki Oh-bi-kui terluka, tapi di bawah keprakan sang majikan, dengan gagah kuat ia masih bisa lari dengan pesat. Keruan Tong Jin-hong berempat terkejut, sambil membentak-bentak mereka terus mengudak.
Tapi Bok Wan-jing tidak ambil pusing lagi, ia bedal si mawar hitam dan menerjang masuk pintu gerbang Kiam-oh-kiong, menerobos ke ruangan tengah dan menembus ke serambi belakang. Seketika Kiam-oh-kiong menjadi panik, ada 7-8 anak murid Bu-liang-kiam hendak maju merintangi, tapi mereka pun kacau-balau, kalau tidak didepak oleh si mawar, tentu kena ditusuk pedang Bok Wan-jing.
Tatkala itu Co Cu-bok baru bangun tidur. Selama beberapa hari ini ia memang tidak pernah hidup tenteram, kini mendengar di dalam istana terjadi ramai-ramai, segera ia memburu keluar dengan pedang terhunus.
Tiba-tiba ia dipapak oleh seekor kuda hitam, ia menyangka Sin-long-pang telah mulai menyerbu, sama sekali tak terduga di tengah istana itu ada kuda berkeliaran, tanpa bicara ia ulur tangan hendak menarik tali kendali kuda.
Tapi mendadak angin tajam menyambar mukanya, ujung pedang musuh sudah berada di depan batok kepalanya. Betapa cepat serangan musuh itu sungguh tak pernah dialaminya selama hidup.
Untung Co Cu-bok adalah jago kawakan, cepat ia menunduk dengan gaya "Hong-tiam-thau" atau burung Hong angguk kepala. Menyusul pedangnya menangkis ke atas, "trang", kedua pedang saling beradu.
Memang benar dugaannya, serangan lawan datangnya secara beruntun-runtun. Mendadak Co Cu-
bok jatuhkan diri ke tanah sambil menangkis lagi sekali, tapi mendadak pergelangan tangan kiri terasa sakit sekali, kiranya kena didepak oleh si mawar.
Sekuatnya Co Cu-bok lompat ke samping, sekilas dapat dikenalnya Toan Ki berada di atas kuda itu.
"He, kiranya kau!" tanpa merasa ia berseru. Tapi segera dilihatnya pula di belakang pemuda itu berduduk lagi seorang yang seantero tubuhnya terbungkus baju hitam mulus, tiba-tiba ia ingat seseorang, tak tertahan ia merinding
"Hiang ... Hiang-yok ...." demikian Co Cu-bok berteriak dengan gemetar, dalam pada itu Bok Wan-jing sudah keprak si mawar menuju ke taman bunga di belakang.
Sebenarnya Co Cu-bok masih mempunyai sejurus serangan dengan menimpuk pedang, kalau pedangnya ditimpukkan, tentu dapat menancap di pantat si mawar. Tapi pada saat pedang hampir terlepas dari tangan, ia lihat dandanan Bok Wan-jing maka pedang ditarik kembali mentah-mentah. Dan sedikit ayal itulah Bok Wan-jing sudah keprak kudanya menuju ke belakang.
Di taman belakang itu dijaga delapan anak murid Bu-liang-kiam, Kam Jin-kiat termasuk di antaranya. Ketika mendadak tampak seekor kuda hitam berlari datang dari ruangan depan, mereka menjadi terheran-heran.
Dalam pada itu Bok Wan-jing sudah bedal kudanya sampai di pintu taman, sekali tebas, gembok pintu dikutunginya.
"Hei, hei! Bukit di belakang adalah daerah terlarang, tidak boleh sembarangan terobosan ke sana!" cepat Kam Jin-kiat berseru.
Namun Oh-bi-kui sudah mencongklang keluar dengan dua penunggangnya.
Walaupun Co Cu-bok sangat jeri pada Bok Wan-jing, tapi orang telah menerjang sesukanya di dalam Kiam-oh-kiong, kini berlari ke bagian terlarang pula di gunung belakang, betapa pun ia tak bisa tinggal diam lagi.
Segera ia memberi perintah, kawan-kawan dari Se-cong diminta menjaga Kiam-oh-kiong kalau-kalau diserbu oleh Sin-long-pang, ia sendiri lantas memimpin berpuluh anak muridnya mengudak ke belakang gunung.
Melihat arah yang dituju Oh-bi-kui itu adalah jalan yang pernah didatanginya, segera Toan Ki berkata, "Bok-kohnio, di depan sana ada rintangan jurang, kita harus mengitar ke arah lain."
"Dari mana kau tahu?" tanya si nona dengan tercengang.
"Jalanan itu pernah kulalui," sahut Toan Ki.
Bok Wan-jing dapat memercayainya, ia tahan kudanya dan ragu-ragu sejenak, lalu belokkan Oh-bi-kui ke jalan kecil di sebelah kiri.
Tak terduga jalan itu terus menuju ke suatu lereng bukit yang panjang, makin jauh makin tinggi dan berliku-liku, dengan susah payah, akhirnya mereka dapat mencapai suatu tebing di atas bukit.
Waktu Bok Wan-jing menoleh, ia lihat para pengejarnya terbagi dalam tiga kelompok sedang mengurungnya dari kanan kiri dan belakang. Yang sebelah kiri membawa pedang semua, itulah Co Cu-bok dari Bu-liang-kiam dan anak muridnya, Sebelah kanan hanya tiga orang, yaitu Su An, Cin Goan-cun dan Hui-sian. Sedang pengejar di belakang adalah orang-orang Hok-gu-ceh.
Su An tampak gesit sekali, secepat terbang ia melompat dari batu padas yang satu ke batu padas yang lain. Melihat itu, diam-diam Bok Wan-jing terperanjat, tanpa banyak pikir terus ia keprak kudanya ke depan.
Tidak jauh, mendadak di depan terbentang sebuah jurang yang lebarnya belasan meter, dalamnya sukar dijajaki. Oh-bi-kui meringkik kaget dan cepat berhenti serta menyurut mundur beberapa langkah.
Menghadapi jalan buntu, sedang dari belakang pengejar makin dekat, cepat Bok Wan-jing ambil keputusan, segera ia tanya Toan Ki, "Aku akan bedal kuda melompat ke seberang jurang sana. Kau akan ikut aku menghadapi bahaya atau turun di sini saja?"
Toan Ki pikir kalau beban kuda itu berkurang, melompatnya tentu akan lebih mudah, maka sahutnya,
"Biarlah nona menyeberang dahulu, nanti menarik aku lagi dengan tali."
Tapi waktu Bok Wan-jing menoleh, ia lihat Su An sudah menguber datang, jaraknya cuma beberapa puluh meter saja. Maka katanya cepat, "Sudah tidak sempat lagi!"
Ia tarik si mawar mundur beberapa meter jauhnya, perlahan ia tepuk perut kuda itu sambil berseru,
"Melompatlah ke sana, kudaku sayang!"
Sekonyong-konyong si mawar membedal secepatnya ke depan, sampai di tepi jurang, binatang itu melompat sekuatnya. Seketika Toan Ki merasa seakan-akan terbang di udara, jantungnya seolah-olah ikut melompat keluar dari rongga dadanya.
Di bawah desakan sang majikan, Oh-bi-kui yang sudah terluka dan terlalu capek itu melompat sepenuh tenaga, tapi hanya kedua kaki depan dapat mencapai tepi jurang sana, kaki belakang tak sanggup lagi menginjak tanah, tubuhnya terjerumus ke bawah.
Syukur Bok Wan-jing dapat bertindak cepat, pada saat berbahaya itu ia melayang sekuatnya ke depan sambil jambret Toan Ki sekenanya. Lebih dulu Toan Ki jatuh di tanah, menyusul Bok Wan-jing ikut terbanting ke dalam pangkuannya. Khawatir gadis itu terluka, cepat Toan Ki merangkulnya erat-erat.
Dalam pada itu terdengar suara ringkik si mawar yang panjang mengerikan, binatang itu sudah tergelincir ke dalam jurang yang tak terkira dalamnya.
Bok Wan-jing sangat berduka, ia meronta lepas dari pelukan Toan Ki dan berlari ke tepi jurang. Namun permukaan jurang itu penuh tertutup kabut tebal, si mawar hitam sudah tak kelihatan lagi.
Saat itu kebetulan Su An juga baru mencapai tepi jurang dan menyaksikan adegan ngeri itu, ia ikut ternganga kesima.
Melihat pengejarnya tidak mampu menyeberangi jurang, hati Bok Wan-jing rada lega. Tapi sekonyong-konyong kepala terasa pening, langit dan bumi seakan-akan berputar, kakinya menjadi lemas pula, seketika robohlah dia tak sadarkan diri.
Keruan Toan Ki kaget, cepat ia memburu maju untuk menyeretnya mundur agar gadis itu tidak tergelincir ke dalam jurang. Ia lihat kedua mata si nona terpejam rapat dan sudah pingsan.
Selagi bingung entah apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba di seberang jurang sana ada orang berteriak, "Lepaskan panah, mampuskan kedua keparat itu!"
Waktu Toan Ki memandang, ia lihat di seberang sana sudah berdiri 7-8 orang, kalau benar-benar mereka melepaskan panah, bisa celakalah dirinya.
Segera ia pondong Bok Wan-jing, dengan susah payah ia membawanya lari mundur. Syukur badan si nona tiada 100 kati beratnya, maka Toan Ki masih sanggup memondongnya lari.
"Serr", mendadak sebatang panah menyambar lewat di samping telinganya.
Dengan gugup Toan Ki berlari ke depan sambil sedikit berjongkok, "serr", kembali sebatang panah menyambar lewat di atas kepalanya. Ia lihat di samping kiri sana ada sepotong batu besar, segera ia lari maju untuk sembunyi di belakang batu.
Dalam sekejap itu, anak panah sudah berseliweran dan bermacam-macam Am-gi membentur batu padas dan sama terpental jatuh.
Sedikit pun Toan Ki tidak berani bergerak. "Bluk", sekonyong-konyong sepotong batu sebesar mangga jatuh di sampingnya. Nyata, penimpuk batu itu sangat besar tenaganya, cuma jaraknya agak jauh, maka incarannya kurang tepat.
Toan Ki pikir kalau sembunyi di situ, akhirnya kepala pasti akan tertimpa batu sambitan itu, segera ia pondong si nona lagi dan berlari ke depan hingga belasan meter jauhnya, ia menduga senjata rahasia musuh takkan mencapainya lagi, lalu berhenti.
Setelah bernapas lega, Toan Ki taruh si gadis di belakang batu karang, ia coba mengintai ke seberang jurang sana. Ternyata jumlah orang sudah bertambah banyak dan kedengaran berisik sekali lagi mencaci maki kalang kabut, tampaknya seketika para pengejar itu tidak mampu menyeberang kemari.
Toan Ki pikir, "Jika mereka mengitar jalan dan mendaki dari sebelah sana, rasanya nasib kami berdua susah juga lolos dengan selamat."
Ia coba menuju ke tepi jurang sebelah lain, tapi sekali melongok, seketika kakinya ikut lemas saking kejutnya.
Ternyata di bawah jurang itu ombak mendebur dengan hebatnya, suatu sungai dengan airnya yang
bergelombang besar tepat berada di bawah jurang itu.
Ternyata di situ termasuk lembah sungai Lanjong. Melihat arus air yang begitu hebat, untuk mendaki dari situ terang tidak mungkin, tapi kalau musuh lebih dulu turun ke jurang, lalu memanjat ke atas, dirinya tak mengerti silat pasti sukar mencegahnya. Ia menghela napas, ia pikir biarlah untuk sementara terhindar dari bahaya, bagaimana jadinya nanti akan melihat gelagat saja.
Ia kembali ke samping Bok Wan-jing, ia lihat gadis itu masih belum sadar. Selagi Toan Ki hendak berdaya menolongnya, tiba-tiba terlihat pundak si nona masih tertancap sebuah gurdi baja, bajunya basah kuyup oleh darah.
Keruan Toan Ki terkejut, dalam keadaan terburu-buru menyelamatkan diri tadi, ia tidak mengetahui gadis itu terluka, kini melihat darah mengucur cukup banyak, pikiran pertama-tama timbul adalah, "Jangan-jangan dia telah meninggal?"
Maka dengan agak takut-takut ia coba membuka sedikit kerudung muka Bok Wan-jing untuk memeriksa napas di hidungnya, syukur gadis itu masih bernapas perlahan.
Pikir Toan Ki, "Aku harus mencabut gurdi itu untuk mencegah darah mengucur lebih banyak."
Tapi ia lihat gurdi itu menancap sangat dalam, kalau dicabut hingga dan membikin jiwanya melayang, kan celaka? Namun dalam keadaan begitu, jalan lain tiada lagi, diam-diam ia hanya berdoa, "Bok-kohnio, tujuanku hanya menolongmu, bila karena itu malah mencelakai jiwamu, ya, apa mau dikatakan lagi, toh seumpama aku tidak menolongmu, kau pun akan binasa juga."
Segera Toan Ki pegang batang gurdi, dengan mengertak gigi segera hendak dicabutnya. Tapi karena tidak biasa, saking kedernya hingga badan sendiri gemetar. Sementara itu di seberang jurang sana terdengar ramai dengan suara caci maki musuh, tanpa pikir lagi Toan Ki terus mencabut sekuatnya, darah yang merembes keluar membikin muka dan kepala Toan Ki penuh darah.
Saking kesakitan, Bok Wan-jing menjerit sekali dan siuman kembali, tapi menyusul lantas pingsan lagi.
Dengan mati-matian Toan Ki berusaha menutupi luka si nona agar darah tidak mengucur, namun darah yang merembes keluar bagai mata air dan sukar dicegah. Toan Ki menjadi kelabakan, ia coba cabut beberapa tumbuhan rumput di sekitarnya dan dikunyah, kemudian dibubuhkan pada luka Bok Wan-jing. Tapi sekali kena diterjang darah, luluhan rumput itu lantas buyar.
Tiba-tiba Toan Ki ingat gadis ini jago silat, boleh jadi ia sendiri membawa obat luka. Ia coba merogoh saku si gadis. Sekonyong-konyong tangannya menyentuh sesuatu yang lunak licin, dalam kagetnya cepat ia tarik tangannya. Kiranya adalah Kim-leng-cu.
"Hei, Kim-leng-cu, jangan kau gigit aku!" seru Toan Ki khawatir.
Menurut juga ular itu. Padahal Kim-leng-cu tidak paham perkataannya. Soalnya pada badan Toan Ki terdapat kotak kemala pemberian Ciong Ling yang berisi barang antiular berbisa. Setiap ular atau serangga beracun, asal mencium bau benda itu, pasti akan tunduk dan ketakutan.
Maka cepat Toan Ki masukkan tangannya ke saku Bok Wan-jing lagi. Kali ini tidak menyentuh benda hidup pula, satu per satu ia keluarkan isi baju si nona. Mula-mula dikeluarkannya sebuah sisir emas, lalu sebuah cermin tembaga kecil dan dua potong saputangan warna jambon, kecuali itu ada pula tiga buah kotak atau dus kecil.
Melihat barang-barang yang biasanya dipakai anak gadis itu, Toan Ki tertegun sejenak, baru teringat olehnya kelakuannya yang tidak sopan. Orang masih perawan suci, masakah tangan sendiri bergerayangan dalam saku orang.
Ia coba membuka kotak-kotak kecil itu. Kotak pertama ternyata Yanci (pemerah bibir) yang berbau harum, Kotak kedua berisi bubuk putih dan kotak ketiga bubuk warna kuning. Ia coba mengendusnya, bubuk putih itu tiada bau apa-apa, tapi bubuk kuning itu berbau pedas keras hingga ia bersin. Pikirnya, "Entah bubuk ini obat luka atau bukan, kalau racun hingga salah pakai, kan bisa celaka malah?"Segera ia pijat-pijat tengkuk si nona, tidak lama, perlahan nona itu membuka matanya. Toan Ki sangat girang, cepatnya tanyanya, "Bok-kohnio, obat dalam kotak mana yang boleh dibubuhkan pada lukamu?"
"Yang merah," sahut Bok Wan-jing singkat, lalu pejamkan matanya lagi. Ketika Toan Ki tanya pula, ia tidak mau menjawab.
Toan Ki menjadi heran, sudah terang bubuk merah itu adalah Yanci, mana bisa dipakai mengobati luka? Tapi orang mengatakan demikian, biarlah dicoba dulu daripada menggunakannya secara ngawur.
Segera ia sobek sedikit baju di tempat luka si nona, ia bubuhi sedikit bubukan Yanci itu. Ketika jari Toan Ki menyentuh luka Bok Wan-jing, meski dalam keadaan tak sadar toh nona itu mengejang kesakitan.
"Jangan khawatir, darahmu takkan keluar lebih banyak," Toan Ki menghiburnya.
Aneh juga, Yanci itu ternyata obat mujarab benar, cespleng, seketika darah berhenti mengucur keluar. Selang sebentar, dari luka itu merembes keluar air kuning.
Melihat keanehan itu Toan Ki menggerundel sendiri, "Obat luka juga dibikin seperti Yanci, sungguh pikiran anak gadis sukar diraba."
Setelah capek setengah hari, baru sekarang perasaan Toan Ki tenang kembali. Ia dengar suara berisik di seberang jurang sana tadi sudah berhenti. Pikirnya, "Jangan-jangan mereka benar-benar memanjat kemari melalui bawah jurang?"
Cepat ia merayap ke tepi jurang sana dan melongok ke bawah. Astaga celaka 13, dugaannya ternyata benar, belasan orang di seberang jurang itu sedang memberosot ke bawah dengan perlahan. Betapa dalam jurang itu tentu juga ada dasarnya, asal orang-orang itu sudah mencapai dasar jurang, tidak berapa lama pasti akan memanjat ke sebelah sini.
Toan Ki menjadi bingung, pikirnya, "Kalau musuh naik kemari, aku dan Bok-kohnio terpaksa terima ajal saja, lantas bagaimana baiknya sekarang?"
Walaupun tak bisa silat, menghadapi pilihan antara hidup dan mati, terpaksa ia berdaya sebisanya.
Ia coba periksa sekitarnya, lebih dulu ia memondong Bok Wan-jing ke balik sebuah batu padas yang menonjol, lalu sibuk mengumpulkan batu di tepi jurang sana. Memangnya di situ banyak terdapat batu, maka tiada lama, sudah beratus potong batu disiapkan.
Setelah selesai tugasnya, ia duduk di samping Bok Wan-jing untuk memulihkan semangat. Sepanjang malam ia tidak tidur, sesungguhnya ia sangat lelah, sedikit pejamkan mata, rasanya sudah akan pulas. Tapi menyadari kalau musuh tidak lama bakal datang, mana berani ia tidur?
Sayup-sayup ia mencium bau wangi yang keruar dari badan Bok Wan-jing, pikirnya, "Nona Bok ini berjuluk 'Hiang-yok-jeh', sungguh janggal juga bau harum demikian dihubung-hubungkan dengan poyokannya sebagai kuntilanak."
Tadi waktu mencoba pernapasan hidung Bok Wan-jing, ia telah sedikit menyingkap kain kedok mukanya di bawah hidung, tatkala itu ia tidak perhatikan bagaimana bentuk mulut hidungnya, entah pesek, entah mancung. Tapi kini ia tidak berani sembarangan membuka lagi kedok si gadis untuk melihatnya lebih jelas.
Bila diingat-ingat kembali, rasanya kulit muka nona itu sangat putih, ya, paling tidak, pasti tidak menakutkan.
Dalam keadaan tak sadarkan diri, kalau Toan Ki mau membuka kedok Bok Wan-jing pasti takkan diketahui olehnya. Tapi Toan Ki merasa ragu, ingin melihat mukanya, rasanya takut pula, pikirnya, "Tanpa sebab apa-apa aku ikut menempuh bahaya dengan dia, tampaknya 9/10 bagian pasti akan gugur bersama. Bila sampai saat binasa aku masih belum melihat mukanya yang sebenarnya, bukankah penasaran sekali?"
Namun dalam hati kecilnya ia berkhawatir pula kalau-kalau muka si gadis benar-benar sejelek setan, sebab kalau tidak jelek, kenapa sepanjang masa selalu berkedok?
Apalagi orang berjuluk "Hiang-yok-jeh", si kuntilanak harum, harumnya memang tulen, bermuka sejelek setan mungkin juga tidak palsu. Kalau melihat tindak tanduknya yang ganas keji, rasanya gadis itu pun tidak berjodoh dengan wajah "cantik molek". Karena itulah ia ambil keputusan takkan melihatnya.
Dalam keadaan ragu-ragu itu, akhirnya Toan Ki terpulas saking letihnya.
Entah sudah berapa lamanya, mendadak ia terjaga bangun dan berlari ke tepi jurang. Ia lihat ada 5-6 laki-laki diam-diam sedang memanjat ke atas jurang. Dinding jurang itu teramat curam, tidak mudah untuk mendaki ke atas, orang-orang itu hanya merayap dengan susah payah dengan berpegangan akar tumbuh-tumbuhan di tepi jurang itu.
Diam-diam Toan Ki bersyukur musuh belum sampai naik ke atas, segera ia ambil sepotong batu dan disambitkan ke bawah sambil berteriak, "Jangan naik, kalau tidak, jangan menyesal bila aku main kasar!"
Jarak orang-orang itu masih berpuluh meter dari Toan Ki, untuk menyerang dengan senjata rahasia terang tak sampai, maka demi mendengar ancaman Toan Ki itu, mereka berhenti sambil mendongak, setelah ragu-ragu sejenak, kembali mereka merayap naik lagi di bawah lindungan batu karang yang menonjol di sana-sini.
Menimpuk batu dari atas ke bawah tidaklah susah, maka beruntun Toan Ki melemparkan beberapa potong batu. Segera terdengar suara jeritan ngeri dua kali, dua orang di antaranya kena tertimpuk batu dan jatuh tergelincir ke bawah jurang, terang mereka pasti akan jatuh hancur lebur.
Sejak kecil Toan Ki rajin menjalankan ibadah agama, ilmu silat saja tidak sudi dilatihnya. Kini untuk pertama kalinya membunuh orang, ia menjadi ketakutan sendiri hingga pucat lesi.
Semula ia hanya bermaksud menggertak saja agar orang-orang itu mau pergi, tak terduga dua orang telah terbinasa oleh batunya itu. Ia merasa tidak tenteram, walaupun tahu juga bila orang berhasil memanjat ke atas, maka dirinya dan Bok Wan-jing yang akan terbunuh oleh mereka.
Dalam pada itu, khawatir kalau diserang lagi dari atas, sebagian orang itu terus merayap balik ke bawah. Ada satu di antaranya agak gugup hingga terpeleset dan jatuh ke jurang lagi.
Toan Ki terkesima sejenak, kemudian ia kembali ke samping Bok Wan-jing, ia lihat gadis itu sudah duduk sambil bersandar di batu. Kejut dan girang sekali Toan Ki, tanyanya, "Kau ... kau sudah baik, nona Bok?"
Bok Wan-jing tak menjawabnya, dengan termangu-mangu ia pandang pemuda itu, sinar matanya yang memancar dari balik kedok itu tampak bengis tak kenal ampun.
"Rebahlah, mengaso saja, akan kucarikan air minum untukmu," demikian Toan Ki menghiburnya.
"Ada orang hendak memanjat kemari, bukan?" tanya sinona.
Tak tertahan lagi air mata Toan Ki berlinang-linang, katanya dengan terguguk-guguk, "Ya, aku ... aku telah mem ... membunuh dua orang tanpa sengaja ... dan ... dan seorang pula jatuh binasa ketakutan."
Bok Wan-jing menjadi heran melihat pemuda itu menangis, tanyanya, "Lalu, kenapa?
"O, Tuhan Maha Pengasih, tan ... tanpa sebab aku telah membunuh orang, ti ... tidak kecil dosaku ini!" demikian Toan Ki meratap. Ia merandek sejenak, lalu menyambung lagi, "Kalau ketiga orang itu punya anak istri dan orang tua, bila mendengar berita kematian mereka, tentu akan ... akan sangat sedih, O, sung ... sungguh aku berdosa ... aku berdosa!"
Baru sekarang Bok Wan-jing paham sebab apa pemuda itu menangis, katanya dengan tertawa dingin, "Huh, kau sendiri kan juga punya anak istri dan orang tua?"
"Orang tua sih punya, istri belum," sahut Toan Ki.
Sekilas Bok Wan-jing memancarkan sinar mata yang aneh, tapi sorot mata aneh itu hanya sekejap lantas lenyap, segera kembali pada sinar matanya yang tajam dan dingin itu, katanya, "Dan kalau mereka berhasil memanjat ke sini, mereka akan membunuhmu dan membunuhku atau tidak?"
"Ya, mungkin sekali mereka akan membunuh kita," sahut Toan Ki.
"Hm, jadi kau lebih suka dibunuh daripada membunuh?" begitu tanya Wan-jing.
Toan Ki berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Jika ... jika melulu diriku, aku pasti takkan membunuh orang. Tapi ... tapi aku tak dapat membiarkan engkau dibunuh mereka."
"Sebab apa?" bentak Bok Wan-jing dengan bengis.
"Engkau pernah menolongku, dengan sendirinya aku pun ingin menolongmu," sahut Toan Ki.
"Ingin kutanya padamu, jika kau berdusta, segera panah dalam bajuku ini akan mencabut nyawamu," kata si nona pula sambil sedikit angkat tangannya mengincar tenggorokan Toan Ki.
"Eh, sekian banyak orang yang kau bunuh, kiranya panahmu dibidikkan dari dalam lengan baju," ujar Toan Ki.
"Tolol, kau takut tidak padaku?" tanya si nona
"Engkau toh takkan membunuh aku, kenapa aku takut?"
"Jika kau bikin marah padaku, bukan mustahil kau akan kubunuh," kata Wan-jing "Sekarang jawablah pertanyaanku, diam-diam kau melihat wajahku atau tidak?"
"Tidak," sahut Toan Ki menggeleng kepala.
"Benar-benar tidak?" si nona menegas. Suaranya makin lama makin rendah, kedok di jidatnya itu tampak basah sebagian, agaknya terlalu keras memakai tenaga, maka keringat merembes keluar, namun suaranya masih tetap bengis.
"Ya, buat apa aku dusta," demikian sahut Toan Ki pula.
"Pada waktu aku pingsan, kenapa tidak kau buka kedokku?"
"Yang kupikir hanya mengobati luka pada bahumu itu, tidak kupikirkan hal itu," ujar Toan Ki.
Mendadak Bok Wan-jing ingat sesuatu, ia menjadi gusar dan gugup, dengan napas tersengal-sengal ia berkata, "Jadi ... jadi kau telah melihat ... melihat kulit badanku bagian bahu? Kau membubuhkan obat pada lukaku?"
"Ya," sahut Toan Ki dengan tertawa. "Sungguh tidak nyana bahwa Yancimu itu ternyata begitu manjur."
"Coba kau kemari, payang aku sebentar," pinta si nona.
"Baiklah," sahut Toan Ki. "Memangnya engkau tak perlu banyak bicara, lebih baik mengaso dulu, nanti mencari jalan buat menyelamatkan diri."
Sembari berkata, terus saja Toan Ki mendekati si nona. Tak tersangka, belum lagi tangannya memegang tangan si nona, "plok", tahu-tahu pipi kena dipersen sekali gamparan.
Begitu keras tempelengan itu hingga kepala Toan Ki pusing tujuh keliling, tubuh sampai ikut berputar.
"Ken ... kenapa kau pukul aku?" tanya Toan Ki sambil memegang pipinya.
"Bangsat kurang ajar, kau berani menyentuh badanku dan ... dan melihat bahuku ...." saking gusarnya saja Bok Wan-jing jatuh pingsan lagi.
Dalam kejutnya Toan Ki menjadi lupa orang baru saja menggampar pipinya, cepat ia memburu maju untuk membangunkan si gadis. Ia lihat lukanya mengeluarkan darah lagi, rupanya waktu menampar Toan Ki tadi, nona itu banyak mengeluarkan tenaga, maka lukanya yang mulai rapat itu menjadi pecah pula.
Toan Ki menjadi ragu, si nona telah marah-marah karena kulit badannya dilihat orang, tapi kalau tak ditolong, mungkin jiwanya akan melayang karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Urusan sudah kadung begini, terpaksa berbuat sebisanya, paling-paling dipersen lagi dua kali tamparan. Demikian pikir Toan Ki.
Segera ia robek kain baju sendiri untuk membersihkan darah di sekitar luka si nona. Ia lihat kulit badan nona itu putih bersih laksana salju. Ia tidak berani lama-lama memandangnya, buru-buru ia poles sedikit Yanci tadi pada lukanya.
Sekali ini Bok Wan-jing cepat siuman, dengan sorot mata yang bengis ia pelototi Toan Ki. Takut digampar lagi, Toan Ki tidak berani dekat-dekat dengan gadis itu.
"Kembali kau ... kau ...." karena merasa bahunya silir-silir dingin, Bok Wan-jing tahu pemuda itu telah membubuhi obat di atas lukanya lagi.
"Ya, terpaksa, aku ... aku tak dapat tinggal diam," sahut Toan Ki sambil angkat bahu.
Saking gugupnya hingga napas Bok Wan-jing tersengal-sengal, dalam keadaan lemas, ia menjadi susah berbicara.
Toan Ki mendengar di sisi kiri sana ada suara gemerciknya air, segera ia berlari ke sana dan mendapatkan sebuah selokan dengan air pegunungan yang jernih.
Ia cuci bersih kedua tangan sendiri, lalu meraup air gunung itu untuk diminum beberapa ceguk. Kemudian ia meraup air jernih itu kembali ke samping Bok Wan-jing, katanya, "Bukalah mulutmu, minum air ini!"
Setelah banyak mengeluarkan darah, mulut Bok Wan-jing memang terasa kering, segera ia singkap sebagian kain kedoknya sehingga tertampak mulutnya.
Tatkala itu sudah tengah hari, di atas pegunungan itu terang benderang. Toan Ki melihat dagu si gadis agak lonjong, nyata mukanya potongan daun sirih, kulit mukanya putih halus seperti bahunya, mulutnya yang kecil mungil dengan bibir tipis, kedua larik giginya seputih mutiara dan rajin. Hati Toan Ki terguncang, "Dia ... sesungguhnya seorang gadis cantik!"
Sementara itu air merembes jatuh dari sela-sela jari tangan Toan Ki, muka Bok Wan-jing terciprat butir-butir air hingga mirip rintik embun di atas bunga teratai pada pagi hari.
Toan Ki terkesima sejenak, ia tidak berani lama-lama memandangnya, cepat ia berpaling ke arah lain.
"Lagi, ambilkan lagi!" pinta si nona sehabis minum air dari tangan Toan Ki itu.
Berturut-turut tiga kali Toan Ki meraupkan air gunung itu baru lenyap rasa dahaga Bok Wan-jing.
Kemudian Toan Ki mengintai pula ke tepi jurang, ia lihat di seberang sana masih tinggal beberapa orang dengan busur dan panah lagi mengawasi seberang sini.
Ketika melongok pula ke bawah jurang, ia tidak melihat ada orang memanjat ke atas. Tapi dapat diduga musuh pasti tak mau berhenti begitu saja, tentu sedang berusaha mencari jalan untuk mengejar kemari.
Tiba-tiba Toan Ki ingat racun Toan-jiong-san yang diminumnya dari Sikong Hian itu dalam beberapa hari ini pasti akan mulai bekerja, andaikan musuh tidak mengejar kemari dan mereka berdua tidak mati oleh luka dan racun masing-masing, akhirnya tentu juga akan mati kelaparan di atas bukit yang tandus ini.Karena itu, dengan lesu Toan Ki kembali ke samping Bok Wan-jing lagi, katanya, "Sayang di atas gunung tiada tetumbuhan apa pun, kalau ada akan kupetik beberapa biji untuk melenyapkan kelaparanmu."
"Sudahlah, apa gunanya banyak bicara yang tidak-tidak?" sahut Bok Wan-jing. "Coba ceritakan, bagaimana kau kenal anak dara keluarga Ciong itu? Kenapa kau berani sembarangan memalsukan aku untuk menolongnya?"
Toan Ki menjadi malu oleh pertanyaan itu, sahutnya, "Aku memang tidak pantas menyamar dirimu untuk menolongnya. Soalnya karena terpaksa, maka kuharap engkau jangan marah."
Bok Wan-jing hanya mendengus saja sekali, tidak menyatakan marah, juga tidak bilang tidak marah.
Maka berceritalah Toan Ki cara bagaimana ia kenal Ciong Ling di Kiam-oh-kiong tempo hari ketika dirinya dianiaya orang dan gadis itu telah menolongnya.
"Hm, kalau tidak paham ilmu silat, kenapa ikut campur urusan Kangouw? Apa barangkali kau sudah bosan hidup?" jengek Bok Wan-jing seusai mendengarkan cerita Toan Ki.
"Urusan sudah telanjur begini, menyesal juga tak berguna," ujar Toan Ki gegetun. "Cuma membikin nona ikut susah, aku merasa tidak enak sekali".
"Kau bikin susah aku apa?" kata si nona. "Permusuhanku dengan orang-orang itu adalah karena perbuatanku sendiri. Sekalipun di dunia ini tiada seorang kau, mereka juga tetap akan mengeroyok aku. Tapi, bila tiada dirimu, tentu aku tidak perlu khawatir dan bisa ... bisa membunuh sepuas-puasku daripada mati konyol di atas karang tandus ini."
Ketika mengucapkan kata-kata "tidak perlu khawatir", ia merandek sejenak, ia merasa ucapan terus terang menyatakan khawatir atas diri pemuda itu rada kurang patut, ia merasa jengah. Untung ia berkedok hingga mimik wajahnya tidak kelihatan.
Toan Ki tidak memerhatikan nada ucapan orang yang agak aneh itu, sebaliknya menyangka nona itu bicara dalam keadaan sedih, maka ia malah menghiburnya, "Sudahlah, asal nona mengaso beberapa hari lagi hingga luka bahumu sembuh, lalu kita terjang keluar, belum tentu musuh mampu menahan nona."
"Hm, enak saja kau bicara," kata Bok Wan-jing dengan menjengek, "melulu itu Oh-pek-kiam Su An saja aku hanya sanggup bertempur sama kuat dengan dia, apalagi aku menderita luka ...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong dari seberang karang sana berkumandang suara suitan tajam mengerikan hingga udara seluruh lembah gunung ikut mendenging-denging.
Mendengar suara suitan aneh itu, tak tertahan lagi hati Bok Wan-jing tergetar, katanya dengan suara gemetar, "Dia ... dia datang!"
Segera tangan Toan Ki dipegangnya erat-erat.
Suara suitan itu masih terus mendengung hingga lama di angkasa pegunungan dan sahut-menyahut, suara kumandangnya juga semakin keras hingga telinga Toan Ki seakan-akan pekak. Ia merasa tangan Bok Wan-jing gemetar tiada hentinya, jelas gadis itu sangat ketakutan.
Sejak Toan Ki kenal dia, biarpun di tengah kerubutan musuh, gadis itu tetap berlaku tenang, musuh dianggap barang sepele saja. Tapi kini, begitu suara suitan itu berbunyi, seketika Hiang-yok-jeh yang biasanya ditakuti orang itu berbalik ketakutan sendiri, maka dapatlah dibayangkan betapa lihai orang yang datang itu.
Sampai lama sekali, perlahan suara suitan tadi barulah berhenti.
"Siapa orang itu?" tanya Toan Ki perlahan.
"Sekali orang ini datang, jiwaku pasti tak bisa selamat lagi," ujar si nona. "Maka lebih baik kau cari jalan buat lari saja, jangan ... jangan urus diriku lagi."
Bab 6
"Nona Bok, rupanya engkau terlalu menilai rendah orang she Toan ini," sahut Toan Ki tertawa, "Masa orang she Toan adalah manusia berkualitas demikian?"
Dengan matanya yang jeli si nona memandang termangu-mangu sejenak kepada pemuda itu dengan penuh haru dan pilu, katanya kemudian dengan suara mesra, "Guna apakah kau ikut mati bersama aku? Kau ... kau tidak tahu betapa ganasnya orang itu."
Sejak kenal belum pernah Toan Ki mendengar gadis itu bicara dengan suara sedemikian halus, ia merasa datangnya suara suitan tadi benar-benar telah mengubah Hiang-yok-jeh menjadi seorang manusia lain.
Toan Ki menjadi girang malah, sahutnya dengan tersenyum, "Nona Bok, aku senang sekali mendengar suara ucapanmu ini, dengan demikian, engkau barulah benar-benar seorang nona yang cantik molek."
"Hm," mendadak Bok Wan-jing menjengek dan tanya dengan suara bengis, "dari mana kau tahu aku cantik? Jadi benar telah kau lihat wajahku, ya?"
Habis berkata, genggaman tangannya terus diperkeras sehingga tangan Toan Ki seperti terjepit tanggam, saling kesakitan hampir-hampir pemuda itu menjerit.
"Aku tidak melihat wajahmu," sahut Toan Ki kemudian dengan menghela napas, "tapi ketika memberi air minum padamu, aku memang melihat sebagian mukamu, walaupun hanya sebagian saja, namun sudah jelas engkau pasti cantik molek tiada taranya."
Betapa pun ganasnya Bok Wan-jing, sekali wanita tetap wanita. Dan wanita mana di dunia ini yang tidak suka akan pujian? Apalagi dipuji berwajah cantik?
Maka sekali hati merasa senang, genggamannya lantas dikendurkan, katanya, "Baiklah, lekas kau cari suatu tempat untuk bersembunyi, tak peduli apa pun yang terjadi, jangan sekali-kali keluar. Sebentar lagi orang itu akan naik ke sini."
Toan Ki terperanjat, serunya, "Wah, jangan sampai dia naik ke sini!"
Segera ia berlari ke tepi gunung, tapi pandangannya menjadi silau oleh berkelebatnya bayangan seorang berbaju kuning yang lagi melompat-lompat ke atas tebing dengan kecepatan dan kegesitan luar biasa.
Tebing jurang itu sangat curam dan licin, tapi orang itu dapat mendaki bagai di tanah datar saja, jauh lebih gesit daripada bangsa kera.
Diam-diam Toan Ki berkhawatir, segera ia menggembor, "Hai, orang itu! Jangan kau naik lagi! Jika tak menurut, awas akan kutimpuk dengan batu!"
Orang itu menyambutnya dengan terbahak-bahak, lompatannya ke atas menjadi terlebih cepat malah.
Melihat sedemikian lihainya orang itu dan Bok Wan-jing sedemikian takut padanya, Toan Ki pikir betapa pun orang ini harus dirintangi ke atas, tapi ia tidak ingin membunuh orang lagi, segera ia ambil sepotong batu dan ditimpukkan ke samping orang itu.
Walaupun batu itu tidak terlalu besar, tapi ditimpukkan dari atas, suaranya cukup keras menakutkan.
Toan Ki berseru pula, "Hai, kau lihat tidak? Kalau kutimpuk kepalamu, pasti jiwamu akan melayang! Maka lekas kau turun ke bawah saja!"
"Kau bocah ini rupanya sudah bosan hidup, berani kurang ajar padaku!" tiba-tiba orang itu tertawa dingin. Suaranya tidak keras, tapi seucap dan sekata dapat didengar Toan Ki dengan jelas.
Melihat orang sudah melompat naik lebih dekat lagi, keadaan sudah gawat, Toan Ki segera angkat dua potong batu terus ditimpukkan ke atas kepala orang itu sambil pejam mata, ia tidak berani menyaksikan adegan ngeri atas nasib orang yang bakal tergelincir ke bawah jurang.
Ia dengar suara gedebukan batu-batu yang menggelinding ke bawah, menyusul terdengar suara menderu dua kali dibarengi suara tertawa panjang orang itu.
Keruan Toan Ki heran, cepat ia buka mata, ia lihat kedua potong batu tadi lagi melayang ke tengah jurang, sebaliknya orang itu baik-baik saja tak kurang suatu apa pun.
Sekali ini Toan Ki benar-benar khawatir, lekas ia memberondongi orang itu dengan timpukan batu lagi. Tapi setiap batu yang melayang sampai di atas kepalanya, sekali lengan baju orang itu mengebut, batu itu lantas mencelat ke samping dan jatuh ke jurang, terkadang orang itu malah melompat ke atas lagi sehingga timpukan batu itu luput.
Dalam gugupnya, sekaligus Toan Ki telah berondongi orang itu dengan puluhan potong batu. Namun orang itu sedikit pun tidak cedera, bahkan sejengkal pun tak dapat merintangi majunya orang itu ke atas.
Melihat gelagat bakal celaka, lekas Toan Ki berlari kembali ke samping Bok Wan-jing dan berkata dengan suara terputus-putus, "No ... nona Bok, orang itu sang ... sangat lihai, ma ... marilah kita lekas lari!"
"Sudah terlambat!" sahut Bok Wan-jing dengan dingin.
Dan selagi Toan Ki hendak bicara pula, sekonyong-konyong tubuhnya terasa didorong oleh suatu tenaga mahadahsyat hingga mencelat ke depan bagai terbang, "bluk", akhirnya ia terbanting di dalam semak-semak pohon hingga kepala pusing tujuh keliling dan hampir-hampir jatuh kelengar.
Untung tanah di situ banyak tumbuh pepohonan pendek, hanya mukanya saja lecet sedikit, tapi tidak sampai terluka berat.
Buru-buru ia merangkak bangun, sementara itu tertampak orang berbaju kuning tadi sudah berdiri di depan Bok Wan-jing.
Khawatir orang itu mencelakai Bok Wan-jing, cepat Toan Ki lari maju dan mengadang di tengah-tengah mereka sambil menegur, "Siapakah engkau? Kenapa menganiaya orang dengan cara semena-mena?"
"Le ... lekas kau lari, jangan tinggal di sini!" seru Bok Wan-jing khawatir.
Hati Toan Ki berdebar-debar juga, namun ia tenangkan diri sebisanya sambil memerhatikan pendatang itu.
Ternyata buah kepala orang itu besarnya luar biasa, sebaliknya kedua matanya bundar kecil hingga mirip dua biji kacang menyelempit di atas semangka. Namun sinar matanya menyorot tajam ketika menatap Toan Ki, tanpa merasa pemuda itu bergidik.
Perawakan orang itu pun sedang saja, berewoknya pendek kaku seperti sikat kawat, tapi usianya sukar diduga. Kedua tangannya panjang melampaui lutut, sedang jarinya panjang lancip serupa cakar.
Waktu mula-mula Toan Ki melihat orang itu, ia merasa wajah orang sangat jelek. Tapi kini timbul
perasaan lain, makin dipandang, semakin terasa perawakan orang itu dan anggota badannya, bahkan dandanannya sangat cocok dengan orangnya.
"Kemarilah sini berdiri di sampingku!" demikian kata Bok Wan-jing pula.
"Tapi dia ... dia akan mencelakaimu?" ujar Toan Ki khawatir.
"Hm, melihat lagakmu ini, apakah kau tahan sekali hantam dari 'Lam-hay-gok-sin'?" jengek Bok Wan-jing. Tapi mau tak mau ia terharu juga melihat pemuda itu ingin melindunginya tanpa pikirkan keselamatan sendiri.
Toan Ki pikir memang benar kalau orang aneh ini hendak mengenyahkan dirinya, memang tidak perlu susah payah, lebih baik jangan membikin marah padanya.
Segera ia berdiri di samping Bok Wan-jing dan berkata pula, "Apakah Anda yang berjuluk 'Lam-hay-gok-sin'? Dalam beberapa hari ini sudah banyak aku bertemu dengan berbagai Enghiong-hohan (pahlawan dan kesatria), tapi ilmu silat Anda tampaknya adalah yang paling lihai. Telah kutimpuk engkau dengan berpuluh potong batu, tapi tiada sepotong pun yang mengenaimu."
Dasar watak manusia, siapa yang tidak suka dipuji dan diumpak? Begitu pula dengan Lam-hay-gok-sin atau si malaikat buaya dari laut selatan ini. Sifat Lam-hay-gok-sin ini biasanya kejam tak kenal ampun, tapi demi mendengar Toan Ki memuji ilmu silatnya sangat lihai, ia menjadi senang juga.
Ia terkekek tawa dua kali, lalu berkata, "Kepandaianmu tidak berarti, tapi pandanganmu masih boleh juga. Baiklah, kau enyah saja, kuampuni jiwamu!"
Girang Toan Ki tidak kepalang, sahutnya cepat, "Jika demikian, engkau juga mengampuni Bok-kohnio sekalian!"
Lam-hay-gok-sin itu tidak menjawab, hanya kedua matanya yang bulat kecil itu mendelik, mendadak ia melangkah maju, sekali kebut, lengan bajunya membuat Toan Ki terhuyung-huyung mundur beberapa tindak, lalu katanya dengan suara bengis, "Sekali lagi berani kau melangkah maju, tentu takkan kuampuni jiwamu lagi!"
Toan Ki percaya orang berani berkata tentu berani berbuat, ia pikir lebih selamat biarlah kulihat gelagat dulu. Maka ia tidak berani sembarang bertindak pula.
Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi berkata kepada Bok Wan-jing, "Kau inikah yang bernama Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing?"
"Benar," sahut si nona. "Sudah lama kudengar nama besar Lam-hay-gok-sin Gak-loyacu, ternyata memang tidak bernama kosong. Siaulicu (aku perempuan kecil) terluka parah, maaf tak dapat memberi hormat kepada engkau orang tua!"
Mendengar itu, diam-diam Toan Ki mendengus di dalam hari, "Hm, terhadap diriku kau garang melebihi setan, tak tahunya kau juga seorang yang cuma berani kepada kaum lemah tapi jeri pada yang jahat. Melihat orang lebih galak daripadamu, lantas kau panggil Loyacu (kakek) segala!"
Sementara itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi menjengek, "Hah, kabarnya kau mempunyai beberapa jurus juga, kenapa bisa terluka parah?"
"Aku dikeroyok Su An, Cin Goan-cun, Sin Si-nio dan Hui-sian berempat, kedua kepalanku tak dapat melawan delapan tangan mereka, maka aku kena dilukai oleh gurdi baja Sin Si-nio," tutur Bok Wan-jing.
"Berengsek, tak kenal malu, orang begitu banyak mengerubut seorang nona!" kata Lam-hay-gok-sin dengan gusar.
"Benar itu, engkau orang tua ternyata lebih bijaksana!" segera Toan Ki menanggapi. "Jangankan main keroyok, setiap lelaki memangnya juga tidak pantas berkelahi dengan wanita. Tapi mereka justru mengerubuti seorang nona lemah, terhitung orang gagah macam apakah itu? Kalau cerita ini tersiar di kalangan Kangouw, bukankah akan dibuat buah tertawaan orang?"
Lam-hay-gok-sin tidak menjawab, hanya mengangguk sambil mendelik.
Diam-diam Toan Ki bergirang, "Telah kukunci dia dengan kata-kata tadi, lalu mengumpaknya lagi setinggi langit, yang penting semoga dapat terhindar dari kesulitan di depan mata ini."
Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin sedang tanya pula, "Sun He-khek dibunuh olehmu atau bukan?"
"Benar!" sahut Bok Wan-jing.
"Dia adalah murid kesayanganku, kau tahu tidak?" tanya Lam-hay-gok-sin alias si malaikat buaya dari laut selatan.
Mendengar itu, diam-diam Toan Ki mengeluh, "Wah, celaka! Kiranya Bok-kohnio telah membunuh murid kesayangannya, urusan ini menjadi susah diselesaikan."
Ia dengar Bok Wan-jing lagi menjawab, "Waktu kubunuh dia tidak tahu, beberapa hari kemudian baru tahu."
"Kau takut padaku tidak?" tanya Lam-hay-gok-sin.
"Tidak!" sahut si nona tegas.
Lam-hay-gok-sin menjadi murka, ia meraung sekali hingga lembah gunung itu seakan-akan terguncang. "Kau berani tidak takut padaku, besar amat nyalimu, ya? Siapakah yang kau andalkan, hah?"
"Engkaulah yang kuandalkan!" sahut Bok Wan-jing dengan dingin.
Lam-hay-gok-sin melengak oleh jawaban itu, segera ia membentak, "Ngaco belo! Kenapa aku yang kau andalkan?"
"Engkau orang tua diagungkan di dunia persilatan, kepandaianmu tiada bandingannya, mana mungkin engkau bergebrak dengan seorang perempuan yang terluka parah!" sahut Wan-jing.
Ucapan ini setengahnya mengandung umpakan, tapi memaksa Lam-hay-gok-sin tidak bisa berbuat apa-apa.
Benar juga, setelah tertegun sejenak, malaikat buaya lautan selatan itu lantas terbahak-bahak, serunya, "Benar juga ucapanmu."
Habis ini, mendadak ia tarik muka lagi dan berkata, "Hari ini biarlah aku tidak membunuh kau. Ingin kutanya padamu, kabarnya kau senantiasa memakai kedok, siapa pun dilarang melihat wajahmu. Kalau ada orang yang melihatnya, jika tidak kau bunuh dia, maka kau akan kawin padanya. Apakah betul kabar ini?"
Toan Ki terperanjat oleh pertanyaan itu, ia lihat Bok Wan-jing mengangguk sebagai jawaban, keruan ia tambah sangsi.
"Sebab apa kau pakai peraturan aneh itu?" tanya Lam-hay-gok-sin.
"Itu adalah sumpah yang kuucapkan di hadapan Suhuku." sahut si nona. "Jika tidak demikian, Suhu takkan mengajarkan ilmu silat padaku."
"Siapakah gurumu itu?" tanya Gok-sin. "Mengapa begitu aneh dan tidak kenal peradaban orang hidup."
Sahut Wan-jing dengan angkuh, "Aku menghormatimu sebagai kaum Cianpwe, tapi kau gunakan kata-kata tidak pantas untuk menghina guruku, itulah tidak patut."
"Praak!" mendadak Lam-hay-gok-sin menghantam sepotong batu padas di sampingnya, seketika batu kerikil berhamburan, muka Toan Ki kesakitan juga terciprat oleh batu kerikil itu.
Diam-diam ia terkesiap, "Sedemikian lihai ilmu silat orang ini, sekali hantam membikin batu hancur lebur, kalau badan manusia yang digenjot, apakah masih bisa hidup?"
Namun ketika dia memandang ke arah Bok Wan-jing, ia lihat gadis itu bersikap dingin-dingin saja, sedikit pun tidak gentar oleh ilmu silat Lam-hay-gok-sin yang tiada taranya itu.
Sementara itu, sesudah memelototi Bok Wan-jing sekejap, lalu Lam-hay-gok-sin berkata lagi, "Baik, anggap ucapanmu tadi memang benar. Sekarang aku ingin tanya, siapakah gelaran gurumu yang terhormat itu?"
"Guruku bernama "Bu-beng-khek" (orang tak bernama)", sahut Wan-jing.
"Bu-beng-khek?" demikian Lam-hay-gok-sin mengulangi nama itu sambil mengingat-ingat kembali.
"Tidak pernah kudengar nama itu!"
"Sudah tentu, rasanya kau pun takkan pernah mengenalnya," jengek Bok Wan-jing.
Sekonyong-konyong Lam-hay-gok-sin perkeras suaranya dan membentak, "Kematian muridku Sun He-khek itu apakah disebabkan dia ingin melihat wajahmu?"
"Yang paling kenal sang murid tiada lebih daripada sang guru," sahut Bok Wan-jing dengan dingin. "Baik sekali bila engkau sudah kenal tabiat muridmu itu."
Memangnya Lam-hay-gok-sin cukup kenal muridnya itu berwatak bajul buntung, kalau mati akibat perbuatannya itu juga tidak perlu heran. Cuma, menurut peraturan "Lam-hay-pay" mereka, selamanya satu guru satu murid. Dengan tewasnya Sun He-khek, itu berarti jerih payahnya mendidik murid selama berpuluh tahun itu ikut hanyut ke laut.
Maka semakin dipikir semakin gusar, sekonyong-konyong ia berteriak, "Baik, aku akan menuntut balas bagi muridku itu!"
Melihat wajah orang mendadak berubah beringas menakutkan, begitu murka hingga air mukanya ikut berubah merah padam, Bok Wan-jing dan Toan Ki menjadi jeri. Sungguh tak tersangka oleh mereka bahwa air muka seorang bisa berubah begitu hebat.
Cepat Toan Ki melangkah maju, tapi segera teringat akan ancaman orang tadi, kembali ia melangkah mundur, lalu berkata, "Gak-locianpwe, bukankah engkau tadi sudah menyatakan takkan membunuh dia?"
Tapi Lam-hay-gok-sin tak menggubrisnya, ia tanya Bok Wan-jing lagi, "Dan muridku itu berhasil melihat wajahmu tidak?"
"Tidak!" sahut si nona.
"Bagus!" seru Lam-hay-gok-sin. "He-khek mati pun tentu tidak rela, biarlah aku mewakili dia melihat wajahmu. Ingin kulihat apakah mukamu seburuk setan atau secantik bidadari!"
Kejut Bok Wan-jing sungguh bukan buatan. Sesuai sumpahnya di hadapan sang guru, kalau sekarang Lam-hay-gok-sin memaksa melihat wajahnya, sedang dirinya tak mampu membunuhnya, lalu apakah harus kawin dengan dia?
Dalam gugupnya, cepat ia berkata, "Engkau adalah tokoh terkemuka kalangan Bu-lim, mana boleh berbuat serendah dan sekotor ini?"
"Hm, di antara 'Sam-sian-su-ok' (tiga tokoh bajik dan empat orang jahat), akulah satu di antara 'Su-ok' itu, kejahatanku memang sudah terkenal di mana-mana, takut apa lagi?" sahut Lam-hay-gok-sin dengan tertawa dingin. "Selama hidupku hanya kenal suatu aturan, yaitu tidak membunuh orang yang tidak mampu melawan. Kecuali itu, tiada sesuatu kejahatan lain yang tak kulakukan. Maka lebih baik kau menurut dan tanggalkan kedokmu sendiri, agar aku tidak perlu turun tangan lagi."
"Apakah engkau harus ... harus melihat?" sahut Bok Wan-jing dengan suara gemetar.
"Jangan kau banyak cincong lagi, jika rewel lagi, sebentar tidak hanya kedokmu yang kubuka, bahkan antero pakaianmu bisa kulucuti bulat-bulat," ancam Lam-hay-gok-sin dengan bengis. "Apakah kau tidak mendengar bahwa tahun yang lalu di kota Kayhong, dalam semalam saja aku telah memerkosa dan membunuh sembilan putri keluarga pembesar dan bangsawan?"
Bok Wan-jing sadar urusan hari ini pasti tak dapat dihindarkan lagi, ia coba mengedipi Toan Ki dengan maksud mendesak pemuda itu lekas melarikan diri. Tapi Toan Ki hanya menggeleng kepala saja.
Lam-hay-gok-sin sudah tidak sabar lagi, berewoknya yang mirip sikat kawat itu menjengkit. "Huk!" sekali bersuara, terus saja kelima jarinya yang mirip cakar itu terus mencengkeram kedok Bok Wan-jing.
Tanpa pikir Wan-jing tekan pesawat rahasianya, tiga batang panah kecil sekaligus menyambar ke depan secepat kilat dan semuanya tepat mengenai perut Lam-hay-gok-sin.
Tak terduga hanya terdengar "cret-cret-cret" tiga kali, ketiga panah itu jatuh semua ke tanah. Sedikit Bok Wan-jing bergerak, kembali tiga panah berbisa terbang ke depan, yang dua batang mengarah dada Lam-hay-gok-sin, yang satu mengincar mukanya.
Tapi- kedua batang panah yang mengenai dada Lam-hay-gok-sin tetap seperti membentur papan baja saja, semuanya jatuh ke tanah. Bedanya cuma tidak menerbitkan suara "crang-creng" yang nyaring, tapi hanya bersuara "blak-blek" yang aneh.
Sedang panah ketiga ketika hampir mencapai sasarannya, tiba-tiba Lam-hay-gok-sin ulur dua jarinya dan menyelentik perlahan batang panah kecil itu, kontan panah itu mencelat entah ke mana!
Hendaklah diketahui bahwa panah berbisa yang dibidikkan Bok Wan-jing secepat kilat, banyak jago kelas wahid telah tewas di bawah panahnya itu sebelum melihat bayangan panah, Sekalipun tangkas dan gesit, paling-paling juga cuma melompat berkelit saja.
Tapi kini Lam-hay-gok-sin bukan saja tidak mempan dipanah, bahkan sempat angkat jarinya menyelentik, sungguh selama hidup Bok Wan-jing belum pernah menghadapi tokoh selihai ini, saking jerinya hampir-hampir nyalinya pecah, cepat ia berseru, "Nanti dulu, jangan main kasar!"
Lam-hay-gok-sin tertawa dingin, sahutnya, "Menurut aturanku, aku hanya tidak membunuh orang yang tidak mampu membalas seranganku, tapi kau telah menyerang aku. Maka aku akan melihat macam apa wajahmu, kemudian mencabut nyawamu. Ini adalah salahmu sendiri yang menyerang lebih dulu, jangan kau salahkan aku melanggar aturan."
"Salah, salah!" tiba-tiba Toan Ki berteriak.
"Ada apa?" tanya Lam-hay-gok-sin sambil menoleh.
"Menurut aturan Locianpwe, engkau 'tidak membunuh orang yang tidak mampu membalas seranganmu' bukan?" Toan Ki menegas.
"Benar!" sahut Lam-hay-gok-sin dengan mata mendelik.
"Ketetapan itu bisa diubah atau tidak?" tanya Toan Ki.
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, sahutnya, "Sekali aturan sudah kutetapkan tidak bisa ditawar-tawar lagi!"
"Tapi kalau ada yang mengubahnya, orang macam apakah dia itu?" desak Toan Ki.
"Orang itu adalah anak kura-kura (anak germo) dan keturunan haram!" sahut si malaikat buaya dari laut selatan.
"Bagus, bagus!" seru Toan Ki. "Tadi sebelum kau serang Bok-kohnio, dia yang memanahmu dulu, itu bukan 'balas menyerang', tapi harus disebut 'menyerang lebih dulu'. Jika kau serang dia, dalam keadaan terluka parah, pasti dia tidak mampu membalas sedikit pun. Sebab itulah harus dikatakan dia mampu menyerang, tapi tidak mampu balas menyerang. Bila kau bunuh dia, itu berarti engkau telah mengubah peraturanmu sendiri, dan kalau engkau mengubah aturanmu sendiri, itu berarti engkau anak kura-kura dan keturunan haram!"
Ternyata dalam keadaan kepepet, Toan Ki terus main pokrol bambu. Ia sengaja pancing omongan Lam-hay-gok-sin untuk menjebaknya, lalu berdebat dengan dia secara pokrol-pokrolan.
Keruan Lam-hay-gok-sin meraung murka bagai guntur kerasnya, sekali melompat, segera kedua tangan Toan Ki dipegangnya sambil membentak, "Kurang ajar! Kau berani memaki aku sebagai anak kura-kura dan keturunan haram!"
Berbareng tangan lain diangkat terus hendak menghantam kepala pemuda itu.
Tapi dengan tenang Toan Ki masih menjawab, "Jika kau ganti peraturanmu, tentu engkau harus mengaku sebagai anak kura-kura, kalau tidak, ya bukan. Dan suka atau tidak engkau menjadi anak kura-kura, tergantung padamu akan mengubah peraturanmu atau tidak."
Melihat anak muda itu sedemikian teguh pendiriannya, biarpun jiwa terancam, tapi sama sekali tidak gentar, bahkan berani memaki orang sebagai "anak kura-kura" terus-menerus, Bok Wan-jing menjadi khawatir Lam-hay-gok-sin akan murka hingga sekali hantam kepala Toan Ki bisa remuk.
Saking takutnya, air matanya bercucuran, ia berpaling ke arah lain dan tidak tega menyaksikannya.
Tak terduga Lam-hay-gok-sin menjadi terkesima oleh karena debat kusir Toan Ki tadi, ia pikir, kalau sekali hantam kubinasakan dia berarti membunuh seorang yang tak mampu membalas seranganku, dan bukankah benar-benar aku akan menjadi anak kura-kura dan keturunan haram?
Karena itulah tangannya yang terangkat tadi perlahan diturunkan kembali, sebaliknya tangan lain yang memegang kedua tangan Toan Ki diperkeras dengan mata mendelik.
Begitu kuat remasannya itu hingga Toan Ki meringis kesakitan tidak kepalang, tulang tangannya sampai berkerutukan seakan-akan patah, hampir ia jatuh pingsan.
Tapi dasar wataknya memang sangat bandel, walaupun meringis, segera ia berseru, "Aku tidak mampu membalas seranganmu, lekas kau bunuh aku saja!"
"Huh, aku justru tidak mau masuk perangkapmu! Kau ingin aku menjadi anak kura-kura dan keturunan haram, ya?" sahut Lam-hay-gok-sin.
Habis berkata, tiba-tiba ia angkat tubuh pemuda itu dan dibanting ke tanah. Keruan mata Toan Ki berkunang-kunang, isi perutnya serasa jungkir balik dan hancur luluh.
"Aku tidak mau terperangkap! Aku takkan membunuh kalian dua setan cilik ini!" demikian Lam-hay-gok-sin berkomat-kamit sendiri.
Mendadak ia membentak kepada Bok Wan-jing, "Buka kain kedokmu!"
Wan-jing merasa air mata sendiri meleleh di kedua pipi, tiba-tiba hatinya tergugah, "Dahulu pernah kunyatakan bahwa selama hidupku ini takkan menikah, kecuali bila aku menangis bagi laki-laki itu!"
Karena urusan sudah mendesak, tanpa pikir lagi segera ia memanggil Toan Ki, "Kemarilah kau!"
Dengan masih meringis kesakitan Toan Ki mendekati si nona dan tanya, "Ada apa?"
"Engkau adalah laki-laki pertama di dunia ini yang melihat wajahku!" demikian Bok Wan-jing berbisik sambil berpaling ke hadapan pemuda itu dan menyingkap kain kedoknya.
Seketika hati Toan Ki terguncang seakan-akan kena aliran listrik.
Ternyata apa yang dilihatnya itu adalah sebuah wajah cantik ayu bagai bidadari, cuma agak putih pucat, tentunya disebabkan selama ini gadis itu menutupi mukanya dengan kedok, jarang terkena cahaya matahari. Kedua bibirnya yang tipis mungil itu pun kepucat-pucatan. Namun bagi Toan Ki, rasanya gadis ini menjadi lebih harus dikasihani, lemah lembut, sama sekali tiada mirip sebagai Hiang-yok-jeh yang membunuh orang tanpa berkedip.
Kemudian Bok Wan-jing menutup kedoknya lagi dan berkata kepada Lam-hay-gok-sin, "Nah, sekarang jika kau ingin melihat mukaku, harus kau minta izin dulu kepada suamiku."
"Hah, kau sudah bersuami?" Gok-sin menegas dengan heran. "Siapakah suamimu itu?"
"Aku pernah bersumpah bahwa laki-laki mana saja yang pertama kali melihat wajahku, kalau aku tidak membunuh dia, maka aku harus menikah padanya," sahut Wan-jing sambil menunjuk Toan Ki, "Kini orang ini telah melihat wajahku, aku tidak ingin membunuh dia, terpaksa aku menjadi istrinya."
Lam-hay-gok-sin tercengang, ia berpaling dan mengamat-amati Toan Ki.
Toan Ki merasa kedua mata orang yang kecil mirip kacang kedelai itu sedang memandang dirinya, dimulai dari ujung rambut sampai ke kaki, dan dari jari kaki kembali ke ubun-ubun, keruan Toan Ki menjadi risi dan merinding pula, khawatir kalau orang menjadi kalap dan sekali hantam membinasakan dirinya.
Siapa tahu mendadak mulut Lam-hay-gok-sin tiada hentinya berkecek-kecek memuji, katanya, "Ck-ck-ck-ck, bagus sekali, bagus sekali! Coba kau menghadap ke sini!"
Toan Ki tidak berani membangkang, ia menurut dan berputar ke hadapan orang.
"Ehm, benar-benar hebat, benar-benar cakap! Sangat mirip aku, sangat mirip aku!" demikian kembali Lam-hay-gok-sin memuji.
Mendengar ucapan yang tak jelas ujung pangkalnya itu, Bok Wan-jing dan Toan Ki sama heran, pikir mereka, "Ilmu silatmu memang benar tiada bandingannya, tapi rupamu jelek, bagian manakah yang mirip dengan Toan Ki yang tampan?"
Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin melompat ke samping Toan Ki, ia raba-raba tulang kepala belakang pemuda itu, lalu pijat-pijat tangan dan kakinya, kemudian meremas-remas pula pinggangnya.
Keruan Toan Ki merasa geli seakan-akan dikilik-kilik, hampir saja ia berteriak tertawa. Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin sedang terbahak-bahak dan berkata, "Kau sangat mirip aku, ya, sangat mirip aku!"
Berbareng itu tangan Toan Ki digandengnya sambil berkata pula, "Marilah ikut padaku!"
"Locianpwe suruh aku ke mana?" tanya Toan Ki dengan bingung.
"Ke istana Gok-sin-kiong di pulau Gok-to, di lautan selatan," sahut Gok-sin. "Aku telah menerima dirimu sebagai murid, lekas kau menjura padaku!"
Hal ini sungguh di luar dugaan Toan Ki, keruan ia kelabakan, "Ini ... ini ...."
Akan tetapi Lam-hay-gok-sin tidak mau tahu ini itu, saking senangnya ia berjingkrak-jingkrak seakan-akan orang putus lotre hadiah pertama, katanya, "Tangan dan kakimu panjang, tulang kepalamu bagian belakang menonjol keluar, tulang pinggangmu lemas, kau pintar dan cerdik, aku yakin bakatmu sangat baik, umurmu belum banyak lagi, benar-benar suatu bakat pilihan untuk belajar silat. Lihatlah ini, bukankah tulang kepalaku ini sama seperti kau?"
Sembari berkata, ia terus membalik tubuhnya.
Benar juga, Toan Ki melihat tulang kepala belakang orang memang sangat mirip dengan dirinya.
Buset! Jadi apa yang dimaksudkan "sangat mirip aku" tadi tidak lebih disebabkan persamaan sekerat tulang kepala belakang belaka!
Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin telah putar tubuh lagi, katanya dengan berseri-seri, "Lam-hay-pay kita selamanya ada suatu peraturan, yaitu setiap turunan hanya satu guru satu murid. Muridku yang sudah mati itu, Sun He-khek, tulang kepalanya tidak sebagus kau punya, kepandaiannya juga tiada dua bagian yang diterimanya dari ajaranku, kini dia sudah mati, biarlah, daripada sekarang aku repot membunuhnya, mendingan aku menerima kau sebagai murid saja."
Toan Ki bergidik oleh ucapan itu. Pikirnya, sifat orang ini sedemikian biadabnya, bila ada orang yang dipenujui olehnya, murid lantas akan dibunuhnya juga. Jangankan dirinya memang tidak sudi belajar silat, sekalipun mau juga tidak nanti mengangkat orang demikian sebagai guru.
Tapi Toan Ki juga tahu bila secara tegas menolaknya sekarang, seketika malapetaka pasti akan menimpa dirinya.
Tengah ia bingung tak berdaya, sekonyong-konyong terdengar Lam-hay-gok-sin membentak, "Kalian lagi berbuat apa main sembunyi-sembunyi di situ? Ayo, semuanya menggelinding kemari!"
Maka tertampaklah dari semak-semak pohon sana muncul tujuh orang.
Su An, Hui-sian, Cin Goan-cun termasuk di antaranya. Menyusul dari sebelah kiri sana juga menongol dua orang, mereka adalah Co Cu-bok dan Siang-jing dari "Bu-liang-kiam."
Kiranya sesudah Lam-hay-gok-sin naik ke atas tebing itu, Toan Ki tidak bisa menimpuk batu dan merintangi mereka lagi, maka kesempatan itu telah digunakan orang-orang itu untuk memanjat ke atas. Empat orang lagi di antara rombongan Su An itu adalah para Cecu (gembong-gembong) dari Hok-gu-ceh, semuanya jago terkenal dari kalangan Hek-to (hitam) yang kerjanya merampok dan membegal.
Meski orang-orang itu bersembunyi di tengah semak-semak dengan menahan napas, namun mana bisa mengelabui telinga Lam-hay-gok-sin yang tajam?
Tapi dasar orang aneh ini lagi senang karena memperoleh seorang murid berbakat bagus seperti Toan Ki, seketika ia tidak menjadi marah, dengan masih berseri-seri ia memelototi Co Cu-bok dan lain-lain, lalu membentak, "Ada apa kalian naik ke sini? Apakah hendak mengaturkan selamat padaku karena baru menerima seorang murid bagus?"
Dengan tabahkan diri, Jicecu (gembong kedua) dari Hok-gu-ceh yang bernama Coh Thian-koat menjawab, "Kami ingin menangkap perempuan hina si Hiang-yok-jeh ini untuk membalas sakit hati saudara kami."
"Tidak, tidak boleh!" seru Gok-sin sambil goyang kepala. "Hiang-yok-jeh adalah istrinya muridku, lekas kalian enyah semua!"
Keruan semua orang sama melongo heran sambil saling pandang.
"Tidak, aku tak mau mengangkatmu sebagai guru, sudah lama aku mempunyai guru," seru Toan Ki tiba-tiba.
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, bentaknya, "Siapakah gurumu? Apakah kepandaiannya bisa lebih tinggi daripadaku?"
"Kepandaian guruku itu kuyakin sedikit pun tak dapat kau bandingi," sahut Toan Ki. "Coba, apakah kau paham intisari 'Kong-yang-thoan'? Apa pernah kau belajar ilmu 'Ciong-ting-kah-kut' segala?"
Lam-hay-gok-sin garuk-garuk kepala, sebab dia memang tidak kenal apa itu, "Kong-yang-thoan" segala, bahkan dengar pun belum pernah.
Melihat wajah orang mengunjuk rasa bingung, diam-diam Toan Ki merasa geli, ia pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi, tapi otaknya ternyata bebal, segera katanya lagi, "Makanya, kebaikan Locianpwe biarlah kuterima di dalam hati saja, kelak aku akan mengundang guruku untuk coba-coba bertanding dengan Locianpwe, bila Locianpwe dapat mengalahkannya, barulah aku mau mengangkat engkau sebagai Suhu."
"Siapa Suhumu? Masakan aku jeri padanya? Ayo, tetapkan kapan harus bertanding?" teriak Gok-sin
dengan gusar.
Padahal apa yang diucapkan Toan Ki itu hanya sekadar untuk mengulur waktu saja, siapa duga orang benar-benar minta diadakan janji bertanding.
Keruan ia tak bisa menjawab.
Tengah bingung tak berdaya, tiba-tiba dari jauh sana terdengar kumandang suara suitan orang yang panjang bagai auman naga, suara itu bergelombang tak terputus-putus melintasi lereng gunung.
Kalau tadi Toan Ki merasa ngeri dan seram oleh suara suitan Lam-hay-gok-sin yang melengking tajam itu, adalah suara suitan sekarang ini kedengarannya keras tenang dan kuat mengguncangkan lembah gunung, sedikit pun tidak kalah hebatnya daripada suara Lam-hay-gok-sin tadi.
Mendengar suara ini tiba-tiba Gok-sin keplak batok kepala sendiri sambil berseru, "Haya, orang ini sudah tiba, aku tidak sempat banyak bicara lagi denganmu. Nah, kapan gurumu akan Pi-bu (bertanding silat) denganku dan di mana tempatnya? Ayo, lekas katakan, lekas!"
"Wah, aku ... aku tidak enak me ... mewakili guruku mengadakan perjanjian dengan engkau," sahut Toan Ki tergegap-gegap. "Apalagi sekali engkau sudah pergi, orang-orang ini tentu akan membunuh kami berdua, lalu cara bagaimana aku akan memberitahukan hal ini pada guruku?"
Sembari berkata, ia tuding-tuding Hui-sian dan lain-lain.
Mendengar itu, tanpa menoleh Lam-hay-gok-sin membaliki tangan kiri meraup ke belakang, seketika tangan Coh Thian-koat, Jicecu dari Hok-gu-ceh itu kena dipegangnya, menyusul tangan kanan Gok-sin menjojoh pula ke belakang, "cret", kelima jarinya menancap masuk dada Coh Thian-koat, kontan terdengar jeritan ngeri gembong Hok-gu-ceh itu.
Waktu tangan kanan Lam-hay-gok-sin ditarik kembali, di tengah tangannya yang berlumuran darah itu sudah memegang sepotong hati manusia.
Kedua kali gerakan Lam-hay-gok-sin itu cepat bukan main, percuma saja Coh Thian-koat memiliki kepandaian tinggi, sedikit pun ternyata tak mampu dikeluarkan. Keruan semua orang yang menyaksikan itu sama melenggong kesima.
Buah hati manusia tadi oleh Lam-hay-gok-sin terus dimasukkan ke mulutnya, "kruk", ia gigit sekali dan dikunyah dengan lezatnya bagai makan mentimun saja.
Sungguh pedih dan gusar tidak kepalang ketiga Cecu yang lain dari Hok-gu-ceh. Berbareng mereka meraung murka terus menubruk maju. Akan tetapi sama sekali Lam-hay-gok-sin tidak berpaling, bahkan mulutnya masih terus makan dengan lezatnya, sedang kaki kanan lantas mendepak tiga kali sekaligus ke belakang.
Kontan tertampak tubuh ketiga Cecu dari Hok-gu-ceh itu mencelat ke udara dan jatuh ke dalam jurang semua. Suara jeritan ngeri yang berkumandang di angkasa lembah pegunungan itu dan membuat Toan Ki merinding.
Menampak betapa ganas dan buasnya Lam-hay-gok-sin, ilmu silatnya sedemikian lihai pula, Hui-sian, Co Cu-bok dan lain-lain menjadi jeri dan menyurut mundur ketakutan.
Sambil mulutnya masih mengunyah sisa hati manusia tadi, samar-samar Lam-hay-gok-sin berseru pula, "Locu tidak cukup hanya makan sebuah hati, aku masih ... masih inginkan yang kedua, siapa yang larinya paling lambat, dia itulah akan menjadi mangsaku."
Mendengar itu, takut Co Cu-bok, Siang-jing, Cin Goan-cun dan lain-lain bukan buatan, sukma mereka hampir terbang ke awang-awang, cepat saja mereka berebut melarikan diri, begitu sampai di tepi jurang, tanpa pikir lagi mereka memberosot ke bawah begitu saja.
Hanya Oh-pek-kiam Su An saja yang masih tinggal di situ dengan mata mendelik sambil menghunus pedang, katanya dengan gagah berani, "Di dunia ini ternyata ada manusia sekejam dan seganas ini, sungguh melebihi binatang. Bila aku Su An juga takut mati dan melarikan diri, ke manakah mukaku harus ditaruh kalau berkelana di Kangouw lagi?"
Habis berkata, ia sentil batang pedangnya hingga berbunyi mendengung, bukannya mundur, sebaliknya melangkah maju dan membentak, "Awas pedang!"
Tanpa bicara lagi ia menusuk dada Lam-hay-gok-sin.
Di bawah cahaya matahari yang terang benderang itu, sinar pedang gemerlapan menyilaukan mata, tapi Lam-hay-gok-sin anggap seperti tidak melihatnya saja, ia asyik menikmati penganannya sendiri yang istimewa itu.
Ujung pedang Su An tampaknya sudah akan menembus dadanya, segera Su An kerahkan tenaga lebih kuat. "Kret", ternyata bukan dada Lam-hay-gok-sin yang tertembus, melainkan pedang Su An yang patah menjadi dua.
Sungguh luar biasa, tubuh Lam-hay-gok-sin itu ternyata kebal, tidak mempan senjata. Meski pedang Su An itu bukan Po-kiam atau pedang pusaka, tapi juga tergolong senjata pilihan yang sangat tajam. Keruan ia kaget, cepat ia melompat mundur sambil melolos pedang yang lain.
"Apakah kau ini Oh-pek-kiam Su An?" tanya Lam-hay-gok-sin.
"Benar," sahut Su An. "Kalau orang she Su hari ini tewas di tangan manusia buas seperti kau, kelak pasti ada yang menuntut balaskan."
Ia tahu ilmu sendiri terpaut sangat jauh dengan lawan dan pasti bukan tandingannya. Namun sedikit pun ia tidak gentar, ia sudah ambil keputusan, bila akhirnya tetap kalah, segera ia akan bunuh diri dan terjun ke bawah jurang daripada jatuh di tangan musuh dan dimakan hatinya.
Saat itu Lam-hay-gok-sin baru menjejalkan sisa hati manusia tadi ke dalam mulutnya, lalu berkata, "Oh-pek-kiam Su An, ehm, sudah lama kudengar namamu. Lam-hay-gok-sin justru paling suka makan buah hati Enghiong-hohan (orang gagah dan kaum kesatria), sebab lebih lezat daripada hati manusia pengecut yang tak berguna. Hahaha, tentu boleh juga hati manusia Su An ini!"
Habis berkata, sekonyong-konyong tubuhnya melejit ke depan secepat panah. Segera Su An memapak dengan tusukan pedang ke tenggorokan lawan.
Tapi sedikit Lam-hay-gok-sin egos kepala, tahu-tahu bahu Su An kena dicengkeramnya.
Seketika Su An merasa separuh tubuhnya kaku pegal, sepenuh sisa tenaga ia ketok-ketok batok kepala orang dengan gagang pedangnya, "tak", bukannya kepala lawan yang pecah, tapi pedangnya yang hitam mulus itu terpental dan tangannya terluka oleh getaran itu.
Dalam kejutnya Su An meronta sebisanya terus hendak terjun ke bawah jurang, namun sekali lengan sudah terpegang oleh Lam-hay-gok-sin, mana bisa terlepas begitu saja.
Dalam keadaan bahaya, tiba-tiba di angkasa raya berkumandang lagi suara suitan macam naga berbunyi, menyusul suara seorang berkata, "Hiong-sin-ok-sat Gak-losam, apa kau takut, maka tidak berani kemari?"
Suara itu berkumandang dari jauh, tapi kedengarannya orangnya seperti berada di dekat situ.
"Huh, selama hidup Gak-losam pernah gentar kepada siapa? Segera kudatang ke situ!" sahut Lam-hay-gok-sin dengan keras. Sembari berkata, tangannya terangkat terus hendak mencakar dada Su An.
Dalam keadaan begitu, Su An hanya pejamkan mata menunggu ajal saja.
Untunglah mendadak Toan Ki berseru, "Locianpwe, hati orang ini berbisa, jangan kau makan!"
Lam-hay-gok-sin tertegun, tanyanya, "Dari mana kau tahu?"
"Kemarin dulu orang ini berani main gila pada Sin-long-pang, maka Sikong-pangcu telah cekoki dia dengan Toan-jiong-san dan Hui-sim-tan (pil pembusuk hati)," demikian Toan Ki sengaja mengibul. "Dan kemarin dia bermusuhan lagi dengan Bok-kohnio hingga kena dipanah sekali oleh nona Bok dengan panahnya yang beracun, mungkin saat ini racun sudah mulai merasuk ke dalam hatinya. Apalagi pagi tadi dia kena digigit pula sekali oleh seekor ular emas kecil ...."
"Apakah Kim-leng-cu?" sela Lam-hay-gok-sin.
"Benar, Kim-leng-cu!" sahut Toan Ki sembari melepaskan Jin-leng-cu dari pinggangnya, lalu menyambung, "Lihat ini, Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu selalu berada bersama. Bisa binatang kecil ini teramat lihainya, sekalipun Lwekang Locianpwe sangat tinggi dan tidak takut terkena racun, tapi hati orang ini tentu sejak tadi sudah membusuk dan tak enak dimakan, jangan-jangan malah akan bikin sakit perut Locianpwe nanti!"
Ada benarnya juga pikir Lam-hay-gok-sin. Segera ia lemparkan Su An ke samping, lalu katanya kepada Toan Ki, "Kau bocah ini meski belum resmi mengangkat guru padaku, tapi kau ternyata sudah baik hati terhadap gurumu."
Sekonyong-konyong suara raungan aneh tadi berjangkit lagi dengan keras dan sahut-menyahut bagai paduan suara raungan binatang buas dan gesekan logam yang mengilukan perasaan dan memekak telinga.
Cepat Lam-hay-gok-sin mengeluarkan suaranya yang mirip hantu merintih, sekali lompat, tahu-tahu ia terjun ke bawah jurang.
Kejut dan girang Toan Ki, pikirnya, "Mampus kau sekarang melompat ke dalam jurang!"
Cepat ia berlari-lari melongok ke tepi jurang, ia lihat si malaikat buaya dari laut selatan itu lagi berlompatan ke bawah, sekali lompat belasan tombak jauhnya, tangannya digunakan menahan dinding jurang, habis itu tubuhnya menurun pula ke bawah dan begitu seterusnya hingga akhirnya bayangannya lenyap di balik awan yang menutupi jurang itu.
Toan Ki melelet lidah oleh kepandaian Lam-hay-gok-sin yang sukar dibayangkan itu. Ketika berpaling kembali, ia lihat Su An sedang jemput kembali pedang hitamnya dan dimasukkan sarungnya, lalu katanya sambil hormat dengan muka jengah, "Hari ini berkat pertolongan Toan-heng, sungguh aku Su An takkan melupakan budi kebaikan ini."
"Cayhe telah mengoceh sekenanya, untuk itu masih mengharapkan Su-heng jangan marah," sahut Toan Ki sambil membalas hormat.
"Lam-hay-gok-sin Gak Jong-liong ini tinggal di Ban-gok-to (pulau berlaksa buaya) di laut selatan, kali ini tiba-tiba datang ke Tionggoan, tentu tidak datang sendirian, mungkin masih banyak begundal yang dibawanya," kata Su An. "Konon orang ini sekali omong pasti dilaksanakan, maka sekali kalau dia penujui Toan-heng, tentu takkan berhenti begini saja. Kedatanganku merecoki istrimu sebenarnya adalah atas permintaan kawan saja, maka selanjutnya akan kuanggap selesai. Sekarang juga biar kuantar kalian suami istri turun gunung untuk menghindari gangguan begundal Lam-hay-gok-sin."
Toan Ki menjadi merah jengah mendengar orang berulang kali menyebut "suami istri" antara dia dan Bok Wan-jing, cepat ia goyang tangan dan berkata dengan tak lancar, "Ti ... tidak ... bu ... bukan ...."
Namun Bok Wan-jing lantas bersuara dengan dingin, "Su An, silakan kau pergi saja. Keselamatanmu sendiri saja menjadi persoalan, masih berlagak gagah perwira segala?"
Merah padam Su An oleh olok-olok itu, tanpa bicara ia putar tubuh dan tinggal pergi.
"Nanti dulu, Su-heng!" cepat Toan Ki berseru.
Namun Su An sudah ngambek, ia berlari ke tepi jurang dan memberosot turun.
Sekilas Toan Ki melihat di lereng gunung depan sana ada setitik benda kuning lagi bergerak dengan sangat cepat. Waktu ditegaskan, kiranya adalah Lam-hay-gok-sin, hanya dalam sekejap saja si malaikat buaya dari laut selatan itu sudah merayap sampai di sana.
Toan Ki kembali ke samping Bok Wan-jing dan berkata, "Apa yang dikatakan orang she Su itu bukan tiada beralasan, kenapa kau bikin menyesal dia?"
Bok Wan-jing menjadi gusar, sahutnya, "Baru menjadi suamiku, lantas hendak kau perintah aku, ya? Kalau kubunuhmu, paling-paling aku pun bunuh diri mengiringimu, apanya yang perlu dibuat ribut-ribut?"
Toan Ki tertegun, katanya pula, "Hal ini hanya untuk menipu Lam-hay-gok-sin karena keadaan mendesak tadi, kenapa kau anggap sungguhan? Mana dapat aku menjadi suami nona?"
"Apa katamu?" seru Bok Wan-jing sambil berbangkit dengan terhuyung-huyung memegangi dinding batu. "Jadi kau tidak sudi padaku? Kau cela diriku, bukan?"
Melihat nona itu sedemikian gusarnya, cepat Toan Ki berkata lagi, "Harap nona pikirkan kesehatanmu dulu, soal ucapan main-main tadi buat apa kau pikirkan dalam hati?"
"Plok", mendadak Bok Wan-jing melangkah maju dan persen Toan Ki dengan sekali tempelengan. Tapi badannya terlalu lemah, sekali sempoyongan, ia jatuh ke pangkuan anak muda itu. Cepat Toan Ki memeluknya agar tidak roboh.
Karena berada dalam pelukan pemuda itu, teringat pula dirinya sudah diakui sebagai istri, Bok Wan-jing merasa badan menjadi hangat, rasa gusarnya ikut berkurang pula beberapa bagian, katanya kemudian, "Lekas lepaskan aku!"
Toan Ki dukung nona itu duduk bersandar dinding batu, pikirnya, "Perangainya memang sangat aneh, setelah terluka parah mungkin akan menjadi lebih ganjil lagi wataknya. Kini terpaksa kuturuti dia, apa pun dia bilang akan kuturuti saja, toh aku ...."
Ia coba menghitung-hitung dengan jari, jarak waktu bekerjanya racun Toan-jiong-san sudah dekat, ia pikir walaupun racun itu tidak jadi kumat, dirinya juga takkan mampu turun dari gunung yang dikelilingi jurang-jurang curam itu dengan hidup.
Maka dengan suara halus kemudian ia menghibur Bok Wan-jing, "Sudahlah, jangan kau marah. Yang benar, marilah kita mencari apa-apa yang dapat kita makan."
"Di atas bukit tandus begini, apa yang dapat kita makan?" sahut Bok Wan-jing. "Biarlah aku mengaso sebentar, kalau sudah cukup kuat, akan kugendong turun ke bawah gunung saja."
"Wah, mana ... mana boleh," seru Toan Ki sambil goyang-goyang tangan. "Untuk jalan sendiri saja engkau belum kuat, mana dapat menggendongku pula?"
"Kau lebih suka korbankan jiwa sendiri ketimbang mengingkari aku," kata Wan-jing. "Karena itu, demi Longkun (suamiku), meskipun aku Bok Wan-jing biasanya membunuh orang tanpa berkedip juga rela berkorban untuk sang suami."
Kata-kata itu diucapkan dengan tegas, cuma ia tidak biasa mengutarakan perasaan yang haru dan mesra itu, dengan sendirinya nadanya menjadi rada kaku, tidak sesuai dengan rasa hatinya yang penuh cinta kasih itu.
"Banyak terima kasih, biarlah engkau mengaso dulu, nanti kita bicarakan lagi." Sampai di sini sekonyong-konyong perutnya terasa sakit, tak tertahan lagi ia menjerit, "Aduh!"
Begitu sakit perutnya itu hingga mirip disayat-sayat pisau, usus seakan-akan dipotong-potong. Dengan meringis Toan Ki menahan sakit perutnya, keringat berbutir-butir merembes keluar di jidatnya.
"He, ken ... kenapa kau?" tanya Bok Wan-jing khawatir.
"Sikong ... Sikong Hian dari Sin-long-pang men ... mencekoki aku dengan Toan-jiong-san ...." demikian Toan Ki bertutur dengan terputus-putus.
Keruan kejut Bok Wan-jing tak terkatakan, pikirnya, "Kabarnya Sin-long-pang paling ahli menggunakan obat, jika Pangcu mereka sendiri yang memberi racun, mungkin sukar ditolong lagi."
Ia lihat Toan Ki kesakitan hingga megap-megap, hatinya tidak tega, ia tarik pemuda itu duduk di sampingnya dan menghiburnya, "Kuatkanlah perasaanmu! Sekarang sudah baikan bukan?"
Tapi saking kesakitan sampai mata Toan Ki seakan-akan berkunang-kunang, maka dengan merintih ia berkata, "Aduh, sakitnya! Ma ... makin lama main sakit!"
Si gadis mengusap keringat Toan Ki dengan lengan bajunya, ketika melihat wajah pemuda itu pucat pasi, hatinya menjadi sedih dan air mata pun berlinang-linang, katanya dengan terguguk, "Jang ... jangan kau mati begini saja!"
Sembari berkata ia terus tarik kedoknya itu dan menempelkan pipi kanan sendiri ke pipi kiri Toan Ki, "O, Longkun, engkau ... engkau jangan mati!"
Selama hidup Toan Ki belum pernah berdekatan dengan gadis jelita, apalagi kini setengah dirangkul Bok Wan-jing, pipi menempel pipi, terdengar pula rayuan "Longkun" yang meresap, keruan sukma Toan Ki seakan-akan terbang ke awang-awang.
Kebetulan juga saat itu sakit perutnya agak reda. Sudah tentu Toan Ki merasa berat untuk berpisah dari rangkulan si gadis, maka katanya, "Selanjutnya jangan lagi kau pakai topeng, ya?"
"Jika kau minta begitu, pasti akan kuturut," sahut Bok Wan-jing. "Dan sekarang perutmu sudah baikan belum?"
"Sudah agak baik," sahut Toan Ki. "Tapi ...."
"Tapi apa?" tanya Wan-jing.
"Ta ... tapi kalau kau lepaskan aku, tentu akan kesakitan lagi."
"Cis, jadi kau hanya pura-pura saja," omel si nona dengan muka merah sambil mendorong Toan Ki.
Sebenarnya Toan Ki adalah seorang pemuda lugu dan polos, keruan ia menjadi malu juga. Ia tidak tahu cara bekerja racun Toan-jiong-san itu mula-mula agak lama baru berjangkit sekali, kemudian berjangkit makin kerap hingga akhirnya akan kesakitan tiada henti-hentinya dan orangnya akan mati.
Tadi ia salah sangka atas rayuan Bok Wan-jing yang penuh kasih manisnya madu, perasaannya terguncang hingga lupa sakit.
Sebaliknya Bok Wan-jing rada kenal sifat bekerjanya racun itu, kalau pemuda itu kesakitan terus-menerus malah masih bisa ditolong, tapi hanya kesakitan sebentar lantas berhenti, umumnya tentu terkena racun jahat yang susah disembuhkan, si penderita pasti akan tersiksa mati tidak hidup pun tidak, jauh lebih mengenaskan daripada mati.
Dan ketika melihat pemuda itu mengunjuk rasa malu, ia menjadi pedih, ia pegang tangan Toan Ki dan berkata pula, "Bila kau mati, Longkun, aku pun tidak ingin hidup sendirian, biarlah kita berdua menjadi suami istri di alam baka nanti."
Tapi Toan Ki tidak ingin gadis itu mati setia baginya, katanya, "Tidak, tidak! Engkau harus membalaskan sakit hatiku dulu, kemudian setiap tahun sekali engkau berziarah ke kuburanku. Kuminta engkau bersembahyang di kuburanku selama berpuluh tahun, dengan demikian barulah aku dapat tenteram di alam baka."
"Aneh juga engkau ini," ujar Wan-jing. "Sesudah mati, apa yang bisa dirasakan lagi? Aku datang berziarah atau tidak ke kuburanmu, apa gunanya bagimu?"
"Jika begitu, bila kau mati bersamaku lebih-lebih tiada berguna," sahut Toan Ki. "O, betapa cantiknya engkau, bila setiap tahun engkau sudi berziarah sekali ke kuburanku, kalau aku mengetahui di alam baka tentu akan senang juga hatiku melihatmu. Tapi bila engkau ikut mati bersamaku, kita sama-sama akan menjadi tulang belulang belaka, ini kan tidak bagus lagi untuk dilihat."
Mendengar dirinya dipuji cantik, senang hati Bok Wan-jing. Tapi segera terpikir pula olehnya baru hari ini mendapatkan seorang suami yang diidam-idamkan, sekejap lagi orangnya sudah akan mati, tak tertahan air matanya segera bercucuran.
Toan Ki rangkul pinggang si nona yang ramping itu, hatinya terguncang ketika tangan menyentuh badan yang halus kenyal itu, tak tertahan lagi ia menunduk dan mengecup sekali bibir si gadis.
Mendadak ia mengendus bau harum semerbak. Ia tidak berani lama-lama mencium, cepat ia mengangkat kepalanya dan berkata, "Orang menyebutmu 'Hiang-yok-jeh', wanginya memang nyata benar, kalau di alam halus benar-benar ada setan wangi sedemikian cantiknya, mungkin setiap laki-laki di jagat ini akan membunuh diri dan menjadi setan untuk mencari setan wangi secantikmu."
Setelah dicium tadi, hati Bok Wan-jing masih dak-dik-duk berdebar-debar, pipi bersemu merah, muka yang tadinya kepucat-pucatan itu menjadi lebih cantik molek. Katanya kemudian, "Engkau adalah laki-laki satu-satunya di dunia ini yang pernah melihat wajahku, setelah kau mati, segera kurusak mukaku agar tak dilihat lagi oleh laki-laki kedua."
Sebenarnya Toan Ki hendak mencegah maksud orang, tapi aneh juga, timbul semacam rasa cemburu di dalam hatinya, betapa pun ia juga tidak ingin ada laki-laki lain yang melihat lagi wajah cantik si gadis, maka kata-kata yang hampir diucapkan itu urung dikeluarkan, sebaliknya lantas tanya, "Sebab apa dahulu engkau bersumpah sekeji ini."
"Engkau sudah menjadi suamiku, tiada alangan kuceritakan padamu," sahut Wan-jing. "Aku yatim piatu, begitu lahir lantas dibuang orang di tepi jalan, beruntung guruku telah menolong diriku, dengan susah payah aku dibesarkan serta diberi pelajaran ilmu silat setinggi sekarang ini. Kata guruku, setiap laki-laki di dunia ini memang berhati palsu, kalau melihat wajahku, pasti aku akan digoda dan dipikat hingga terjerumus. Sebab itulah sejak kecil aku diberi kedok penutup muka. Sampai berumur 16 tahun, kecuali guruku, aku tidak pernah melihat orang lain. Dua tahun yang lalu, Suhu perintahkan aku turun gunung untuk menyelesaikan suatu urusan ...."
"Jadi tahun ini engkau berusia 18 tahun?" sela Toan Ki. "Aku lebih tua dua tahun."
Wan-jing menganggut-anggut, katanya pula, "Waktu turun gunung, Suhu suruh aku bersumpah, bila ada orang melihat wajahku, kalau aku tidak membunuh dia harus kukawin padanya. Dan bila orang itu tidak mau memperistrikan diriku atau sesudah menikah meninggalkanku, maka aku diharuskan membunuh manusia berhati palsu itu. Kalau aku tidak turut perintah Suhu ini, sekali diketahui Suhu, beliau akan membunuh diri di hadapanku."
Toan Ki merinding mendengar sumpah aneh itu, pikirnya, "Umumnya orang bersumpah tentu akan menyatakan bersedia dibunuh atau ditimpa malapetaka. Tapi gurunya sebaliknya mengancam hendak membunuh diri. Sumpah demikian sekali-kali tak boleh terjadi."
"Betapa besar budi kebaikan Suhu padaku, mana boleh kubangkang perintahnya itu?" demikian Wan-jing melanjutkan. "Apalagi pesannya itu adalah demi kebaikanku sendiri. Maka tanpa pikir tatkala itu aku menurut dan bersumpah. Selama dua tahun ini, tugas yang diberikan Suhu padaku masih belum terlaksana, sebaliknya aku telah banyak mengikat permusuhan.
Padahal orang-orang yang tewas di bawah pedang dan panahku itu adalah salah mereka sendiri, mereka yang lebih dulu merecoki aku karena hendak menyingkap kedok mukaku."
Toan Ki menghela napas, baru sekarang ia mengerti duduknya perkara, mengapa seorang gadis jelita begitu bisa mempunyai musuh sedemikian banyak.
"Kenapa kau menghela napas?" tanya Bok Wan-jing.
"Agaknya mereka melihatmu selalu berada sendirian, perawakan ramping menggiurkan, tapi sepanjang tahun memakai kedok muka, saking ingin tahu mereka ingin melihat mukamu sebenarnya cantik atau jelek, padahal belum pasti mereka mempunyai maksud jahat. Siapa tahu, karena sedikit kesalahan itu, jiwa mereka sama melayang."
"Bagiku, sudah pasti kubunuh mereka," ujar Wan-jing. "Kalau tidak, bukankah aku harus menjadi istri manusia-manusia yang menjemukan itu? Cuma aku pun tidak pikir bahwa orang-orang itu masih banyak mempunyai sanak kadang. Satu kubunuh, lantas berekor dengan beberapa orang sobat andainya datang mencari perkara padaku. Sampai akhirnya, bahkan Hwesio dan Tosu juga ikut-ikutan menjadi musuhku. Pernah kutinggal beberapa bulan di Ban-jiat-kok, suami istri she Ciong itu cukup menghormati aku, tak terduga Ciong-hujin bisa memalsukan namaku, coba, kan tidak pantas perbuatannya itu?"
Rupanya ia menjadi letih karena banyak bicara, ia pejamkan mata mengumpulkan semangat, sebentar kemudian berkata pula, "Semula aku mengira kau pun serupa laki-laki lainnya, hanya manusia yang tidak kenal budi kebaikan. Siapa duga setelah engkau berangkat meminjam Oh-bi-kui, engkau lari kembali lagi untuk memberi kabar padaku. Hal ini sungguh tidak mudah dilakukan setiap orang. Belakangan ketika Lam-hay-gok-sin mendesak terus, terpaksa kubiarkan engkau melihat wajahku."
Berkata sampai di sini, ia memandang Toan Ki dengan sorot mata yang penuh kasih mesra.
Keruan Toan Ki berdebar-debar, pikirnya, "Apa benar dia menjadi cinta padaku?"
Segera ia pun berkata, "Sudahlah, keadaan tadi hanya terpaksa, soal sumpahmu itu boleh juga tak perlu ditaati."
Bok Wan-jing menjadi gusar.
"Sumpah yang pernah kuucapkan mana boleh berubah." katanya dengan bengis. "Kalau engkau tidak sudi memperistrikan aku, lekas kau katakan terus terang, biar sekali panah kubinasakanmu, agar aku tidak melanggar sumpahku."
Selagi Toan Ki hendak memberi penjelasan lagi, sekonyong-konyong perutnya kesakitan pula, dengan kedua tangan menahan perut, ia merintih-rintih.
"Lekas katakan, kau mau memperistrikan diriku tidak?" tanya Bok Wan-jing lagi.
"Per ... perutku sakit .... Aduh! Sakit sekali!" keluh Toan Ki.
"Sebenarnya kau mau menjadi suamiku tidak?" Wan-jing mendesak pula.
Toan Ki pikir perutnya sedemikian sakit, hidupnya tentu tidak lama lagi, buat apa sebelum mati mesti melukai hati seorang nona. Maka ia pun mengangguk dan berkata, "Aku ... aku mau memperistrikanmu!"
Sebenarnya Bok Wan-jing sudah siapkan panah beracun di tangan, demi mendengar jawaban Toan Ki itu, seketika girangnya tak terkatakan, dengan senyum gembira ia rangkul pemuda itu dan berkata, "O, suamiku yang baik, biarlah kupijat perutmu."
"Tidak, tidak!" jawab Toan Ki cepat. "Kita masih belum menikah, laki-laki dan perempuan ada batasnya, ini ... ini tidak boleh."
Tergerak pikiran Bok Wan-jing tiba-tiba, katanya, "Eh, tentu kau sudah kelaparan, maka sakitnya menjadi tambah hebat. Biarlah kupotong sedikit daging keparat itu untuk kau makan."
Habis berkata, ia berbangkit dan merayap mendekati mayat Coh Thian-koat untuk memotong dagingnya.
Keruan kejut Toan Ki tidak kepalang, seketika terlupakan sakit perutnya, cepat ia menggembor, "Jangan, jangan! Daging manusia mana boleh dimakan, biarpun mati juga aku tidak mau makan!"
"Aneh, sebab apa tak boleh dimakan?" tanya Wan-jing heran. "Bukankah Lam-hay-gok-sin tadi sudah makan buah hatinya?"
"Lam-hay-gok-sin itu teramat kejam dan buas melebihi binatang, kita mana ... mana boleh kita tiru dia?"
"Ketika tinggal bersama dengan Suhu di gunung, sering kami makan daging harimau, daging menjangan. Kalau menurut pendirianmu, tentunya tak boleh dimakan juga?" kata si nona.
"Daging binatang itu dengan sendirinya boleh dimakan, tapi daging manusia tak boleh dimakan!" sahut Toan Ki.
"Apa daging manusia beracun?"
"Bukan beracun," sahut Toan Ki. "Tapi kita kan sama-sama manusia. Engkau manusia, aku pun manusia, Coh Thian-koat juga manusia. Manusia tak boleh makan manusia."
"Sebab apa?" tanya si gadis. "Kulihat waktu kawanan serigala kelaparan, mereka lantas makan serigala yang lain."
"Makanya," sahut Toan Ki gegetun. "Bila manusia pun makan manusia, bukankah tiada ubahnya seperti serigala?"
Sejak kecil Bok Wan-jing selalu berdampingan dengan sang guru, selamanya tidak pernah bergaul dengan orang ketiga, watak gurunya sangat aneh pula, biasanya tidak pernah bicara tentang urusan keduniawian dengan dia. Sebab itulah, tentang sopan santun dan peradaban manusia sedikit pun ia tidak paham.
Kini mendengar Toan Ki bilang "manusia tidak boleh makan manusia", ia menjadi heran dan ragu.
"Engkau sembarangan membunuh orang, itu pun tidak boleh," kata Toan Ki lagi. "Sebaliknya, bila orang lain ada kesukaran, harus kau bantu dia. Dengan demikian barulah sesuai dengan tujuan orang hidup."
"Jika begitu, kalau aku ada kesukaran, orang lain apakah juga akan membantuku?" tanya si gadis. "Tapi kenapa orang yang kujumpai, kecuali guruku, setiap orang selalu ingin membunuh, mencelakai dan menghina aku, selamanya tiada yang baik padaku? Kalau harimau hendak menerkam dan makan aku, aku lantas membunuhnya. Begitu pula orang-orang itu, bila mereka hendak membunuh aku, dengan sendirinya kubunuh mereka, apa bedanya?"
Pertanyaan ini benar-benar membikin Toan Ki bungkam dan tak bisa menjawab, terpaksa ia berkata, "Kiranya urusan peradaban sedikit pun engkau tidak paham, kenapa gurumu membiarkan engkau turun gunung begini saja?"
"Suhu bilang kedua urusannya itu betapa pun harus diselesaikan dan tidak dapat menunggu lagi," kata Wan-jing.
"Dua urusan apakah itu, dapatkah kau ceritakan?"
"Engkau adalah suamiku, dengan sendirinya boleh kuceritakan, kalau orang lain tentu tidak," sahut Wan-jing. "Suhu suruh aku turun gunung untuk membunuh dua orang."
"Ai, sudahlah!" cepat Toan Ki menyela sambil dekap telinganya. "Bicara ke sana kemari sejak tadi, kalau bukan hal makan manusia, tentu soal membunuh orang, auuuuh ... aduh ...."
Kiranya perutnya mendadak terasa kesakitan lagi hingga ia menjerit.
Si gadis coba mengurut perut Toan Ki dari luar baju. Sekonyong-konyong tangannya menyentuh sesuatu yang hangat-hangat, seperti ada sesuatu barang yang bergerak-gerak.
"Apakah ini?" tanyanya terus merogoh keluar benda itu dari baju Toan Ki.
Kiranya itu adalah sebuah kotak kemala kecil. Waktu diperhatikan, di dalam kotak terdengar ada suara "krak-krok."
Segera Wan-jing bermaksud membuka tutup kotak itu, tapi Toan Ki cepat mencegahnya, "Jangan, nona Ciong bilang tidak boleh membuka kotak ini, Jing-leng-cu sangat takut pada benda ini, begitu dibuka, segera dia akan lari."
"Ciong Ling bilang jangan dibuka, aku justru ingin membukanya," ujar Bok Wan-jing.
Segera ia buka tutup kotak perlahan hingga tertampak celah-celah kecil, waktu diintip di bawah sinar matahari, terlihatlah di dalam kotak itu berisi sepasang katak kecil yang antero badannya berwarna merah darah.
Begitu katak merah itu melihat cahaya, mendadak terus bersuara "koak-koak-koak" beberapa kali, suaranya keras bagai menguaknya kerbau hingga telinga orang seakan-akan pekak.
Keruan Toan Ki dan Bok Wan-jing terkejut, dan karena itu, hampir saja kotak yang dipegang Bok Wan-jing itu terjatuh.
Sungguh tak tersangka olehnya bahwa kedua katak sekecil itu bisa bersuara begitu keras, cepat saja ia tutup kembali kotak itu. Dan karena kotak ditutup, suara katak itu lantas berhenti.
"Ah, tahulah aku!" tiba-tiba Bok Wan-jing berseru. "Pernah kudengar cerita guruku, katanya binatang ini bernama ... bernama...." ia mengingat-ingat sejenak, lalu menyambung, "bernama Cu-hap! Ya, benar, inilah 'Bong-koh-cu-hap' (katak kerbau merah), adalah binatang antisegala macam ular. Ya, memang benar inilah dia, entah mengapa bisa berada pada Ciong Ling...."
"He, lihatlah!" tiba-tiba Toan Ki berseru.
Ternyata Jing-leng-cu yang melilit di pinggangnya itu tahu-tahu jatuh ke tanah terus meringkuk dengan lemas, sedikit pun tidak berani bergerak. Kim-leng-cu yang tadi sudah menyusup ke semak-semak rumput itu, kini pun merayap keluar bersama beberapa ekor ular kecil, semuanya meringkuk di situ tanpa bergerak sedikit pun seakan-akan lagi memberi sembah kepada kotak kemala.
Bok Wan-jing menjadi girang, katanya, "Hah, sepasang katak kecil ini ternyata bisa memanggil ular, sungguh menarik sekali, marilah kita coba-coba lagi!"
"Jangan!" cepat Toan Ki mencegah, "demikian banyak ularnya, apakah tidak menjemukan?"
"Kita memegang kedua ekor katak ini, betapa banyak ular berbisa juga kita tidak takut," ujar Wan-jing. Habis itu, kembali ia buka sedikit kotak kemala dan segera sepasang "Bong-koh-cu-hap" itu menguak lagi dengan ramainya.
"Bagus juga nama binatang ini, suaranya memang mirip banteng menguak," kata Toan Ki dengan tertawa geli.
"Kau bilang apa?" tanya Bok Wan-jing.
Kiranya suara Toan Ki itu kalah kerasnya daripada suara menguaknya katak-katak itu, biarpun si gadis berada di depannya juga tidak jelas ucapan anak muda itu.
Toan Ki hanya goyang-goyang tangan sambil mendengarkan suara menguak katak-katak itu yang semakin keras, ketika diperhatikan, di antara suara ngorek katak-katak itu terseling pula suara mendesis-desis.
Tiba-tiba Wan-jing menarik baju Toan Ki dan menunjuk ke kiri. Pandangan Toan Ki menjadi silau seketika, belasan ular yang beraneka warnanya gemilapan terkena sinar matahari sedang merayap datang dengan cepat sekali.
Bahwasanya katak-katak merah itu bisa memanggil ular memang sudah diduga oleh Toan Ki, tapi hanya dalam sekejap itu bisa datang ular sebanyak itu, betapa pun ia terkejut.
Cepat ia jemput dua potong batu untuk persiapan bila perlu.
Tidak lama, dari sebelah kanan datang pula segerombol ular dengan macam-macam warnanya, merah, kuning, hitam, putih, loreng dan sebagainya, yang besar sampai 2-3 meter, yang kecil hanya belasan senti saja.
Sudah banyak Toan Ki melihat ular, tapi kalau digabungkan seluruhnya, rasanya tiada satu bagian daripada jumlah yang dilihatnya sekarang.
Beribu ekor ular itu merayap sampai di depan kedua muda-mudi itu, lalu mendekam di tanah tanpa bergerak, kepala menjulai ke bawah dengan jinak, sedikit pun tidak berani menegak sebagaimana biasanya kalau hendak memagut orang.
Menghadapi ular sebanyak itu dengan bau amis yang memuakkan, tanpa terasa Bok Wan-jing menjadi jeri juga, pikirnya, "Katak ini menguak terus, mungkin ular-ular yang lain akan membanjir lagi. Untuk memanggil ular adalah gampang, hendak mengusirnya nanti mungkin susah."
Maka cepat ia tutup kembali kotak kemala itu.
Walaupun suara menguak katak-katak merah itu sudah berhenti, tapi kawanan ular itu tetap tidak bergerak.
Aneh juga, biarpun sebanyak itu ularnya, namun tiada seekor pun yang berani mendekati Toan Ki berdua dalam jarak lingkaran kira-kira tiga meter.
"Mari kita coba keluar sana!" ajak Wan-jing sambil memayang Toan Ki.
Dan baru mereka melangkah satu tindak ke depan, beratus ekor ular di depan mereka lantas menyingkir ke pinggir, biarpun ular yang paling besar dan menakutkan juga menggeser mundur dengan jeri.
Waktu mereka melangkah maju beberapa tindak lagi, kembali kawanan ular itu menyingkir dan memberi jalan.
Bok Wan-jing menjadi girang, katanya, "Menurut Suhuku, katanya Bong-koh-cu-hap ini adalah makhluk ajaib dari alam semesta ini, beliau juga cuma kenal namanya, tapi belum pernah melihat wujudnya."
Habis berkata, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ia tanya pada Toan Ki, "Benda mestika sedemikian pentingnya, mengapa si anak dara Ciong Ling itu rela memberikannya padamu?"
Melihat sinar mata si gadis menyorot aneh, cepat Toan Ki menjawab, "Ia ... ia hanya meminjamkannya padaku. Ia bilang dengan membawa kotak ini, Jing-leng-cu akan turut pada perintahku."
Baru selesai ia berkata, sekonyong-konyong perutnya kesakitan lagi, begitu melilit sampai batu yang dipegangnya terjatuh di tanah, badan gemetar dan sempoyongan.
Lekas Bok Wan-jing memayangnya duduk di samping batu tadi. Saking kesakitan, bibir Toan Ki sampai pecah digigit sendiri, lengan Wan-jing yang dipegangnya matang biru karena diremas dengan kuat.
Sungguh kasih sayang Bok Wan-jing sukar dilukiskan, tiba-tiba ia ingat sesuatu, katanya, "Longkun, perutmu makin lama makin sakit, melihat gelagatnya lebih banyak celaka daripada selamatnya."
"Ya, aku ... aku tidak ... tidak tahan lagi," demikian Toan Ki merintih-rintih. "Lekas ... lekas kau bunuh aku saja."
"Pernah kudengar dari Suhu, katanya ada racun sangat lihai yang tak dapat ditolong," kata Wan-jing pula. "Tapi kalau pakai racun lain untuk menggempur racun itu, hasilnya akan sangat mujarab. Sekarang apakah kau berani menelan beberapa buah kepala ular berbisa?"
Saat itu yang diharapkan Toan Ki secepatnya mati saja, maka tanpa pikir lagi ia menjawab, "Segala apa pun boleh, lekas beri makan padaku!"
Segera Bok Wan-jing mengeluarkan sebilah pisau dan memotong leher seekor ular berbisa di depannya.
Walaupun disembelih terang-terangan, namun ular itu sedikit pun tidak berani melawan. Maka dengan mudah saja berturut-turut Bok Wan-jing memotong tiga buah kepala ular berbisa yang berbentuk segitiga, ia siapkan di bibir Toan Ki dan berkata, "Nih, telan lekas!"
Dengan mata terpejam, Toan Ki telan mentah-mentah ketiga kepala ular itu.
Ketiga ular yang dipilih Bok Wan-jing itu semuanya adalah ular loreng yang paling berbisa. Maka dalam sekejap saja Toan Ki merasa perutnya bertambah melilit bagai dipuntir-puntir, ia tidak tahan lagi, ia berguling-guling di tanah, akhirnya hanya berkelojotan saja dengan napas tersengal-sengal.
Keruan Bok Wan-jing sangat terkejut, cepat ia periksa nadi pemuda itu, ia merasa denyutnya semakin lemah, ia tahu cara pengobatannya itu bukan menolong, sebaliknya mempercepat matinya sang suami. Saking pedihnya, air matanya bercucuran, ia rangkul leher Toan Ki dan meratap, "O, Longkun, pasti akan kuiringi kepergianmu!"
Toan Ki hanya goyang kepala saja tak sanggup bersuara lagi.
Tiba-tiba pisau Bok Wan-jing bekerja lagi, tiga buah kepala ular berbisa dipotongnya pula untuk ditelan sendiri. Tapi mulutnya terlalu sempit untuk dimasuki kepala ular, pikirnya, "Racun ular berada pada air liurnya, biarlah kuisap saja."
Segera ia kecup kepala ular itu dan mengisap liurnya yang berbisa. Tapi baru sebuah kepala ular itu diisapnya sudah terasa mata berkunang-kunang dan kepala pusing, akhirnya jatuh pingsan.
Melihat si nona rela berkorban baginya, seketika tak keruan rasa hati Toan Ki, sungguh tak tersangka olehnya bahwa seorang "iblis wanita" yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu bisa jatuh cinta sedalam ini kepadanya.
Segera ia meronta sekuatnya untuk merangkul Bok Wan-jing, ia merasa perut kesakitan pula, akhirnya ia tak sadarkan diri lagi.
Bab 7
Entah lewat berapa lama, perlahan Toan Ki siuman, waktu membuka mata, ia menjadi silau oleh cahaya matahari, kembali ia pejamkan mata lagi. Tapi segera terasa dirinya dirangkul sesosok tubuh yang lunak hangat. Ia membuka mata lagi untuk melihat, ternyata muka Bok Wan-jing yang putih pucat itu masih bersandar di dadanya.
Ia membatin, "Setelah kami menuju akhirat, ternyata masih berada bersama, suatu tanda bahwa cerita tentang alam halus segala bukanlah dongeng belaka."
Tiba-tiba ia dengar di tempat agak jauh sana ada suara orang lagi berkata, "Jika binatang melata ini merintangi jalan kita, marilah kita menggunakan Am-gi!"
Tapi seorang telah membentaknya, "Jangan! Sin-kun suruh kita menawannya hidup-hidup, kalau mencelakai dia, apakah tidak takut dimarahi Sin-kun?"
Waktu Toan Ki memandang ke arah datangnya suara itu, ia lihat ada empat laki-laki berbaju kuning lagi berdiri di tepi jurang situ, tangan mereka membawa tangkai kayu sedang menuding dirinya. Tampaknya sangat jeri pada ular yang merayap di situ, maka tidak berani mendekat.
Ketika Toan Ki memandang lagi sekelilingnya, ia lihat dirinya dilingkari kawanan ular yang lagi merayap-rayap, cahaya sang surya terang benderang, suasana demikian tiada ubahnya seperti waktu dirinya "mati" tadi, seketika pikirannya tergerak, "He, jangan-jangan aku tidak jadi mati?"
Segera ia merasa badan Bok Wan-jing yang berada di pangkuannya itu masih lunak-lunak hangat, napasnya mengeluarkan bau harum yang semerbak, nyata, gadis itu pun selamat tak kurang suatu apa pun.
Saking girangnya, terus saja Toan Ki berteriak-teriak, "Hura, aku belum mati, aku tidak mati!"
Keempat laki-laki berbaju kuning itu memang sudah lama menunggu di situ, soalnya karena dirintangi kawanan ular, maka tidak berani mendekat. Ketika mendadak mendengar teriakan Toan Ki, mereka menjadi kaget juga.
Dalam pada itu, dengan bersuara perlahan Bok Wan-jing juga sudah siuman, begitu membuka mata, segera ia tanya perlahan, "Longkun, apa kita sudah sampai di akhirat!"
"Tidak, tidak, engkau belum mati, aku pun tidak mati! Sungguh ajaib sekali bukan?" seru Toan Ki.
"Sekarang belum mati, kalau ingin mati sebentar lagi masih belum telat!" bentak seorang laki-laki berbaju kuning tadi. "Ayo lekas kemari, Sin-kun panggil kau!"
Sudah sekarat, kini dapat hidup kembali, tentu saja girang Toan Ki tidak kepalang. Mana ia mau gubris gemboran orang itu? Segera ia berkata pula kepada Bok Wan-jing, "Sungguh aneh bin ajaib, kita ternyata tidak jadi mati, bahkan sakit perutku juga sudah sembuh. Caramu menyerang racun dengan racun itu ternyata sangat manjur. Eh, lukamu sendiri sudah baik belum?"
Ketika Wan-jing geraki badannya, ia merasa luka di punggungnya kesakitan lagi. Tapi hal mana tidak mengurangi rasa girangnya yang luar biasa, sahutnya dengan tertawa, "Lukaku bukan keracunan, maka racun ular ini tidak bisa menyembuhkan luka luar ini. Ternyata kita berdua tidak mati oleh racun ular, tampaknya kita berdua jauh lebih lihai daripada ular berbisa!"
Nyata Toan Ki dan Bok Wan-jing yang tidak luas pengetahuannya itu tidak tahu bahwa racun ular itu baru bisa mencelakai orang bila masuk ke dalam darah melalui suatu luka. Tapi kalau dimakan ke dalam perut, asal di antara mulut, lidah, tenggorokan dan usus tiada sesuatu luka, racun ular itu tiada berbahaya sama sekali. Sebab itulah, makanya bila orang dipagut ular berbisa, orang berani mengisap racun dari luka pagutan itu tanpa ikut keracunan.
Kini secara ngawur kedua muda-mudi itu sembarangan menelan kepala ular dan mengisap racun ular, sebaliknya malah membawa hasil yang di luar dugaan mereka.
Toan-jiong-san yang lihai itu benar-benar lenyap digempur oleh racun tiga buah kepala ular yang dimakan Toan Ki itu. Cuma mereka sudah tak sadarkan diri selama semalam suntuk, kini sudah menginjak esok pagi hari kedua.
Sementara itu seorang laki-laki baju kuning di antaranya yang berperawakan paling tinggi di sana sedang membentak lagi, "Hai, kedua bocah itu, lekas kalian ke sini!"
Perlahan Bok Wan-jing berbangkit dari pelukan Toan Ki, dengan wajah yang masih tersenyum simpul, mendadak ia sambar seekor ular di tanah terus dilemparkan ke arah laki-laki itu.
Keruan laki-laki itu kaget, cepat ia berkelit. Di luar dugaan, Bok Wan-jing menyambar dan menimpuk lagi berulang-ulang dengan ular berbisa di sekitarnya itu.
Tentu saja keempat laki-laki itu kelabakan dihujani ular sebanyak itu, sambil berteriak kaget diseling caci maki, mereka menghindar kian kemari sembari putar tangkai kayu untuk menyampuk.
Begitu terlepas dari pengaruh "Bong-koh-cu-hap", ular-ular berbisa itu seketika bergerak dengan gesit sekali, dua ekor di antaranya yang berbuntut panjang terus membelit di atas batang kayu yang disabetkan itu, menyusul terus melejit maju untuk memagut. Seketika seorang baju kuning kena gigit mukanya dan tak terlepas lagi.
Sementara itu Bok Wan-jing masih terus melemparkan ular, keruan laki-laki berbaju kuning itu semakin kelabakan, sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri, laki-laki yang bertubuh paling tinggi tadi saking gugupnya telah tergelincir ke dalam jurang.
Seorang lagi menjadi kaget hingga lehernya kena digigit ular berbisa yang lain. Rupanya racun ular ini teramat jahatnya, yang digigit adalah pembuluh darah besar di leher, kontan saja orang itu menggeletak binasa.
Sisa seorang lagi bertubuh pendek kecil, tapi gerak-geriknya sangat lincah dan gesit. Belasan ular yang ditimpukkan Bok Wan-jing dapat dihindarkan. Tapi begitu ular itu jatuh ke tanah, segera merayap dan menggigit pula bagian kakinya.
Laki-laki itu benar-benar hebat juga, ia bisa menghindar kian kemari dengan cekatan sekali, namun keadaannya makin lama juga makin berbahaya.
"Lekas turun ke bawah, jiwamu akan diampuni!" seru Toan Ki.
"Sekali sudah turun tangan, tidak kenal ampun lagi!" ujar Bok Wan-jing. Berbareng empat ular dilemparkan sekaligus.
Saat itu orang berbaju kuning lagi sibuk menghindari pagutan ular di tanah, ia sudah mundur sampai di tepi jurang, maka timpukan keempat ular itu terang tak dapat dihindarkannya.
Mendadak serangkum angin keras menyampuk dari belakang, seketika belasan ular di sekitar laki-laki itu tersapu jauh ke depan, menyusul sesosok bayangan kuning melayang ke atas karang, sekali dorong, laki-laki baju kuning tadi kena disodok ke tempat luang yang ditinggalkan kawanan ular itu.
Orang yang baru melompat ke atas itu mengekek tawa tiga kali dan berdiri di tempatnya dengan mata jelalatan, siapa lagi dia kalau bukan Lam-hay-gok-sin.
Ketika laki-laki baju kuning itu dapat berdiri tegak dan melihat yang datang itu adalah malaikat buaya laut selatan, ia ketakutan setengah mati, ia hanya sanggup menyebut, "Sin-kun!"
Pikirnya hendak berlutut, tapi saking ketakutan, badannya gemetar sedemikian rupa hingga serasa lumpuh, hendak berlutut pun tak bisa lagi.
Melihat Lam-hay-gok-sin datang kembali, seketika wajah Toan Ki dan Wan-jing sama berubah.
"Kusuruh kau tangkap bocah she Toan ini, kenapa sampai sekian lamanya masih belum terlaksana?" kata Lam-hay-gok-sin pada laki-laki baju kuning tadi. "Apa barangkali kau hendak melarikan diri, ya?"
Saking ketakutan, gigi orang itu sampai gemertukan, sahutnya dengan tak lancar, "Hamb ... hamba ti... tidak ...." sampai di sini, ia tidak sanggup lagi meneruskan saking gemetarnya.
Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin sedikit bergerak, tidak jelas cara bagaimana dia melangkah maju, tahu-tahu dada laki-laki itu sudah dijambretnya terus diangkat, ia terkekeh-kekeh beberapa kali, mendadak tangan yang lain menjambak rambut laki-laki itu, sekali puntir, "kriut", buah kepala orang itu dipuntir patah mentah-mentah.
Kontan saja darah segar muncrat dengan derasnya hingga membasahi antero tubuh Lam-hay-gok-sin, tapi sedikit pun iblis aneh itu tidak ambil pusing, bahkan tampak sangat senang.
"Kepala anjing!" dampratnya kepada kepala yang patah itu, dan sekali lempar, kedua potong mayat itu dilemparkan ke jurang.
Mendadak ia hantam ke depan lagi, di mana angin pukulannya menyambar, kawanan ular itu terpaksa menyingkir jauh ke pinggir, dengan langkah lebar ia melangkah maju.
Cepat Bok Wan-jing menarik Toan Ki hendak menyingkir, tapi sudah terlambat. Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin ulur tangan kiri ke depan, seketika lengannya seakan-akan mulur sekali lipat panjangnya hingga kuduk baju Bok Wan-jing kena dijambretnya terus diangkat ke atas.
Toan Ki menyangka orang juga hendak melemparkan si gadis ke jurang, dengan khawatir ia berteriak, "Jangan, jangan! Boleh kau bunuh diriku saja!"
Terhadap kawanan ular yang masih merayap di sekitar situ, Lam-hay-gok-sin agak jeri juga. Ketika tangannya menghantam pula, di bawah hamburan batu pasir, kembali belasan ular kena dibinasakan olehnya.
Tiba-tiba ia melompat mundur ke tepi jurang sambil mengangkat Bok Wan-jing, kaki kirinya terangkat tinggi-tinggi ke atas, hanya kaki kanan saja yang berdiri di tepi jurang dengan gaya "Kim-khe-tok-lip" atau ayam emas berdiri dengan kaki tunggal, tubuhnya setengah tergontai seakan-akan setiap detik bisa terjerumus ke jurang bersama si gadis.
Toan Ki tidak tahu kalau orang aneh itu lagi pamer kepandaiannya, ia khawatirkan jiwa Bok Wan-jing, cepat ia berteriak-teriak, "Awas, hati-hati, jangan sampai terpeleset!"
Sedikit pun Bok Wan-jing tak bisa berkutik karena dicengkeram oleh Lam-hay-gok-sin. Ia lihat Toan Ki berada di tengah kepungan ular, kawanan ular itu tampak merayap-rayap maju, cepat ia lemparkan kotak kemala kepada pemuda itu sambil berseru, "Awas, terimalah ini!"
Dengan gugup Toan Ki menangkap kotak itu dan syukurlah dapat diterimanya dengan baik walaupun rada kerepotan. Dan begitu, "Bong-koh-cu-hap" itu berada di tangannya, serentak kawanan ular itu mendekam di tanah dan tak berani bergerak lagi.
"Locianpwe, su ... sudilah kau lepaskan dia," demikian Toan Ki memohon.
"Siaucu, kau sangat mirip aku, mau tidak mau harus kuterima kau sebagai murid," sahut Gok-sin. "Cuma menurut peraturan Lam-hay-pay kita, selamanya hanya murid yang memohon diterima sang guru, tidak pernah sang guru yang memohon pada si murid. Makanya aku akan menunggumu di puncak bukit sana ...." sembari berkata, ia tunjuk ke arah puncak paling tinggi yang penuh tertimbun salju di kejauhan sana, lalu menyambung pula, "bila kau datang memohon aku menerimamu sebagai murid, aku lantas mengampuni nyawa binimu ini. Kalau tidak, ha, ha, kreeekk ...." ia sengaja memberi contoh cara bagaimana akan memuntir patah kepala Bok Wan-jing.
Habis itu, mendadak ia berputar terus melompat ke bawah, tangan kiri menahan dinding jurang terus memberosot turun sambil menggondol Bok Wan-jing dengan cepat luar biasa.
Tiap-tiap kali kalau meluncur ke bawah, bila terlalu cepat, mendadak terasa tubuh kedua orang bisa mengerem sedetik untuk kemudian baru menurun lagi.
Agaknya tangan Lam-hay-gok-sin yang menahan di dinding jurang itu yang mengeremnya.
Dalam keadaan begitu, jangankan Bok Wan-jing sama sekali tak bisa berkutik, sekalipun bisa juga tidak berani sembarangan meronta selagi tubuh kedua orang terapung di udara. Sampai akhirnya, gadis itu pejamkan mata dan membiarkan dirinya dibawa turun.
Selang sebentar, terasa tubuhnya mental sekali, nyata mereka sudah sampai di dasar jurang. Begitu menginjak tanah, Lam-hay-gok-sin tidak lantas berhenti, tapi terus berlari lagi sambil menjinjing Bok Wan-jing.
Perawakan Lam-hay-gok-sin hanya sedang saja, sebaliknya perawakan Bok Wan-jing di kalangan wanita boleh dikatakan terhitung jangkung, kalau keduanya berdiri sejajar hampir sama tingginya. Tapi Lam-hay-gok-sin dapat mencengkeram leher baju gadis itu bagai menjinjing anak kecil, sedikit pun tidak membuang tenaga.
Dengan gerakan yang gesit tangkas itu, sebentar saja Lam-hay-gok-sin sudah keluar dari dasar lembah yang penuh batu dan kabut itu. Segera ia mendaki pula ke bukit di depannya, karena lereng bukit itu lebih landai, maka mendakinya lebih mudah.
Berada di bawah jinjingan Lam-hay-gok-sin, diam-diam Bok Wan-jing berpikir, "Aku masih mempunyai sisa lima batang panah berbisa, kalau saat ini aku menyerangnya mungkin bisa gugur bersama. Tapi kemarin aku sudah memanah dia dan tidak mempan semuanya, Entah badannya memang kebal atau karena dia memakai baju lapis baja yang tak tembus senjata?"
Berpikir begitu, ia coba menyentuh perlahan punggung orang, terasa lunak-lunak saja tiada lapisan
baja segala, hanya saja kulit dagingnya jauh lebih keras daripada orang biasa, diam-diam Wan-jing membatin pula, "Tampaknya pembawaan orang ini memang luar biasa, ilmu silatnya aneh pula. Kalau aku sembarangan turun tangan, bila sampai dia murka, apa akibatnya susah dibayangkan."
Tiba-tiba terdengar Lam-hay-gok-sin mengekek tawa dan berkata, "Hehe, apa kau hendak menusuk atau memanah aku? Hm, jangan harap, aku takkan mati dibunuh dan takkan luka diserang. Kau adalah bininya muridku, sementara ini aku takkan bikin susah padamu. Tapi kalau dia tidak datang mengangkat guru padaku, hehe, tatkala mana ia bukan lagi muridku dan kau pun bukan bini muridku lagi. Setiap kali Lam-hay-gok-sin melihat nona cantik, selalu perkosa dulu bunuh belakang, sekali-kali tidak main sungkan lagi."
Bok Wan-jing mengirik oleh ucapan itu, sahutnya, "Suamiku sedikit pun tak bisa ilmu silat, di atas jurang securam itu, cara bagaimana ia bisa turun? Tapi saking khawatir akan diriku, tentu dia akan mati-matian berusaha datang kemari mengangkat guru padamu, kalau terpeleset, ia akan jatuh hancur lebur ke dalam jurang. Bila begitu, engkau akan kehilangan seorang murid lagi. Bahan bagus, mutu tinggi, ke mana akan kau cari murid pula?"
Seketika Lam-hay-gok-sin berhenti, katanya, "Benar juga katamu. Aku tidak ingat bahwa Siaucu itu tak bisa turun ke bawah gunung."
Sekonyong-konyong ia bersuit nyaring, segera di atas bukit sebelah timur sana ada orang menyahut, lalu Lam-hay-gok-sin berteriak, "Pergi ke atas karang tandus itu, gendonglah bocah itu ke sini, jangan mencelakai jiwanya!"
Kembali orang di sebelah sana bersuara mengiakan.
Diam-diam Bok Wan-jing tercengang, "Lam-hay-gok-sin ini hanya bicara biasa saja, dan suaranya lantas tersiar ke lereng yang jauh itu, kepandaian setinggi ini biarpun guruku juga tak mampu menandinginya. Sebaliknya begundalnya yang di atas bukit sana harus menggembor baru bisa terdengar dari sini."
Selesai memberi perintah, Lam-hay-gok-sin menjinjing Bok Wan-jing dan melanjutkan perjalanan lagi. Diam-diam Wan-jing rada lega, ia tahu sebelum Toan Ki datang, dirinya takkan berbahaya. Cuma watak sang "suami" itu sangat kukuh, bila dia dipaksa angkat Lam-hay-gok-sin yang buas dan kejam itu sebagai guru, mungkin biarpun mati juga tidak sudi.
Pikirnya pula, "Terhadapku, rupanya ia cuma ingin membela keadilan saja dan bukan karena cinta kasih suami istri, mungkin dia takkan sudi berkorban bagiku dengan mengangkat guru orang jahat ini. Ai, baik atau jelek aku harus melihatnya sekali lagi, asal dia selamat tak kurang apa pun dan tidak terjatuh ke jurang, barulah aku merasa lega."
Berpikir sampai di sini, diam-diam ia heran sendiri, "He, kenapa aku sedemikian memerhatikan dia dan mencintainya sedalam ini? Wahai, Bok Wan-jing, tidak pernah begini selama hidupmu!"
Tengah Bok Wan-jing terombang-ambing oleh pikirannya sendiri, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah membawanya ke atas puncak sana. Tenaga Gok-sin ini benar-benar luar biasa, tanpa berhenti sedikit pun ia terus melintasi empat bukit lagi, akhirnya baru mencapai puncak tertinggi yang dikelilingi lereng bukit itu.
Begitu Lam-hay-gok-sin lepaskan Bok Wan-jing, terus saja ia buka celana dan kencing di situ.
Sungguh gusar Bok Wan-jing tidak kepalang. Ia pikir manusia ini sungguh kasar, rendah dan jahat tiada ubahnya seperti binatang. Cepat ia menyingkir agak jauh serta memakai kedoknya lagi. Ia pikir wajah sendiri yang cantik manis ini bila lebih banyak dipandang olehnya, bukan mustahil setiap waktu sifat kebinatangannya akan kambuh, tatkala mana soal bini murid segala tentu tak dipedulikan lagi.
Selesai Lam-hay-gok-sin buang air, segera ia berkata, "Ehm, bagus juga kau pakai kedok lagi. Sebentar ada beberapa orang jahat akan datang, semuanya adalah manusia yang tidak kenal aturan, bila wajahmu yang cantik itu dilihat mereka, mungkin bisa runyam."
"Aku adalah istri murid kesayanganmu, masakah orang lain berani kurang ajar padaku?" ujar Wan-jing.
"Tapi beberapa keparat anjing ini terlalu jahat, terlalu buas!" sahut Gok-sin sambil geleng kepala dan berkerut kening.
"Aku tidak percaya, masakah di jagat ini masih ada orang yang lebih galak dan jahat daripadamu?" ujar Wan-jing dengan tertawa.
Mendadak Lam-hay-gok-sin menabok paha sendiri, lalu berseru dengan marah-marah, "Ya, memang tidak adil! Di antara Su-ok di jagat ini, urutan Locu adalah nomor tiga. Sungguh tidak adil, aku harus berusaha mencapai nomor satu!"
Diam-diam Bok Wan-jing berpikir, "Nama 'Sam-sian-su-ok' pernah kudengar dari Suhu. Ketika aku akan membunuh Sun He-khek, pernah kutanya jelas wajah dan kelakuan gurunya, maka kutahu begitu suara suitannya terdengar, segera Lam-hay-gok-sin akan muncul. Tapi aku tidak tahu kalau menurut urutan Su-ok dia terhitung nomor tiga. Ternyata di dunia ini masih ada yang jauh lebih jahat dari dia, sungguh susah untuk dimengerti."
Segera Bok Wan-jing tanya, "Lalu, siapakah yang nomor satu dan nomor dua?"
"Buat apa kau tanya?" bentak Gok-sin dengan mata mendelik sebesar kedelai itu. "Apa kau bermaksud mengejek aku? Jika kau anggap Locu kurang jahat, segera kusembelih kau dulu, bisa jadi karena itu akan terus naik tingkat menjadi nomor dua!"
Habis berkata, "brak", mendadak ia menghantam sebatang pohon di sampingnya. Seketika pohon itu patah bagian tengah dan tumbang dengan gemuruh.
Meski pohon itu tidak terlalu besar, paling sedikit juga ada sebulatan mangkuk besarnya, tapi sekali hantam sudah dipatahkan olehnya, diam-diam Bok Wan-jing melelet lidah, Pikirnya, "Apa gunanya umpama dapat rebut sebutan juara orang jahat di seluruh jagat ini? Tapi oleh orang ini dianggapnya sebagai noda yang memalukan bila tidak bisa menduduki juara, maka sebaiknya aku jangan mengorek-ngorek boroknya itu, supaya aku tidak telan pil pahit."
Segera ia tidak buka suara lagi, tapi pejamkan mata sambil bersandar di batu padas untuk memulihkan semangat.
"Kenapa bungkam? Dalam hati kau pandang hina padaku bukan?" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin berkata pula.
"Tidak," sahut Wan-jing, "Aku justru lagi berpikir kenapa sebutan orang jahat nomor satu di seluruh jagat ini bukan dimiliki olehmu, padahal soal kejahatan dan kebuasan, sekalipun orang lain mungkin melebihimu, namun ilmu silatnya apa bisa lebih unggul daripadamu?"
Mendadak Lam-hay-gok-sin meludah dengan marah-marah, katanya, "Makanya kami harus mengulangi bertanding lagi untuk mengoreksi urutan masing-masing."
Melihat gelagatnya, Bok Wan-jing dapat menduga keempat orang mahajahat itu pasti sudah pernah bertanding. Agar tidak membikin marah orang, ia pikir jangan menyinggungnya lagi, maka katanya, "Gak-locianpwe, sebenarnya siapakah nama engkau orang tua? Dapatkah kau beri tahu agar kelak mudah memanggilmu bila suamiku sudah menjadi muridmu?"
"Aku bernama Gak ... Gak ... ah, keparat!" mendadak Lam-hay-gok-sin memaki sebelum menyebut namanya sendiri. "Namaku adalah pemberian ayahku, tapi namaku ini terlalu jelek, ayahku selamanya tidak berbuat sesuatu yang baik, sungguh anjing keparat!"
Hampir saja Bok Wan-jing tertawa geli, pikirnya, "Orang ini benar-benar lebih durhaka daripada binatang, masakah ayah sendiri juga dicaci maki. Dan kalau ayahmu anjing keparat, lalu engkau sendiri apa?"
Ia lihat Lam-hay-gok-sin lagi mondar-mandir kian kemari, tampaknya merasa gopoh sekali. Tiba-tiba Wan-jing teringat kepada Toan Ki, pikirnya, "Entah sekarang dia sudah turun gunung dengan selamat tidak? Jika dirintangi kawanan ular, apakah orang suruhan Lam-hay-gok-sin itu bisa melintasi kepungan ular itu?"
Pada saat itulah, tiba-tiba di udara tersiar suara tangisan yang perlahan, suaranya sangat memilukan, sayup-sayup seperti seorang wanita lagi meratap, "O, anakku! O, sayangku!"
Hanya dua kalimat itu saja suara tangisan itu sudah membikin perasaan Bok Wan-jing terguncang hebat seakan-akan sukma akan meninggalkan raganya.
"Fui", mendadak Gok-sin meludah lagi dan berkata, "Hm, si penangis kematian itu sudah datang!" lalu ia menggembor, "Kau menangisi apa? Locu sudah lama menanti di sini!"
Namun suara itu sayup-sayup masih terus menangis dengan pilunya, "O, anakku, betapa ibu mengenangkan engkau!"
Perasaan Bok Wan-jing menjadi kacau oleh pengaruh suara itu, tanyanya, "Apakah ini si jahat nomor empat?"
"Perempuan ini adalah 'Bu-ok-put-cok' Yap Ji-nio, gelar 'Ok' itu berurut pada tempat kedua, tapi pada suatu ketika aku 'Hiong-sin-ok-sat' pasti akan bertukar gelar dengan dia," demikian sahut Lam-hay-gok-sin.
Baru sekarang Bok Wan-jing mengerti seluk-beluknya urutan "Su-ok" itu. Kiranya yang menjadi ancar-ancar urutan mereka itu adalah pada huruf "Ok" itu.
Yap Ji-nio bergelar "Bu-ok-put-cok" atau tiada kejahatan yang tak dilakukannya, karena huruf "Ok" itu jatuh pada huruf kedua, maka ia adalah orang jahat nomor dua di dunia ini.
Sedang Lam-hay-gok-sin itu berjuluk "Hiong-sin-ok-sat" atau malaikat buas setan jahat, huruf "Ok" adalah huruf ketiga, maka menurut urutan ia menduduki tempat ketiga.
Segera Wan-jing tanya lagi, "Lalu, siapakah julukan orang jahat nomor satu di jagat ini? Dan siapa pula yang nomor empat itu?"
"Buat apa kau tanya? Aku tidak tahu!" seru Lam-hay-gok-sin marah-marah.
Tapi mendadak suara seorang wanita yang halus menyambungnya, "Lotoa kami berjuluk 'Ok-koan-boan-eng' dan Losi kami bergelar 'Kiong-hiong-kek-ok'."
Sungguh heran sekali Bok Wan-jing oleh nama-nama yang aneh itu. Nyata, sesuai dengan urut-urutan huruf "Ok" itu, Lotoa atau yang tertua, berjuluk Ok-koan-boan-eng atau kejahatan melebihi takaran. Dan Losi, si nomor empat, bergelar Kiong-hiong-kek-ok atau buas dan kejam luar biasa. Ia terkejut pula oleh betapa cepat datangnya Yap Ji-nio itu, kedengarannya tadi masih jauh, tahu-tahu sekarang sudah muncul di situ.
Dalam kejutnya itu ia coba perhatikan wanita itu. Ia lihat orang mengenakan baju panjang warna hijau muda, rambutnya panjang terurai, usianya kurang lebih 40 tahun, air mukanya cukup cantik, cuma kedua pipinya masing-masing terdapat tiga jalur merah darah seperti bekas cakaran. Pada tangannya membopong seorang anak laki-laki berumur kira-kira dua tahun, mungil dan menyenangkan.
Semula Wan-jing sangka "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio yang menurut urut-urutan masih di atas Lam-hay-gok-sin, tentu orangnya jauh lebih bengis, menakutkan, siapa tahu orangnya ternyata rada cantik juga. Karena itu, tanpa terasa ia pandang orang beberapa kejap.
Tiba-tiba Yap Ji-nio tersenyum padanya, seketika Bok Wan-jing mengirik, ia merasa di antara senyum wanita itu lamat-lamat mengandung rasa sedih dan duka luar biasa hingga bagi siapa yang memandangnya rasanya menjadi terharu seakan-akan ikut menangis. Maka lekas-lekas ia berpaling ke arah lain, ia tidak berani memandangnya lagi.
"Sammoay, kenapa Toako dan Site masih belum datang?" tanya Lam-hay-gok-sin.
Dengan perlahan Yap Ji-nio menjawab, "Sudah terang gamblang kau adalah Losam, tapi kau mati-matian ingin melampaui aku, ya? Coba kau panggil lagi sekali Sammoay, hm, tentu Encimu ini tidak sungkan-sungkan lagi padamu!"
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, teriaknya, "Tidak sungkan-sungkan lagi, lalu mau apa? Apa mau mengajak berkelahi?"
"Untuk berkelahi tentu tidak kekurangan waktu, memangnya aku jeri padamu?" sahut Yap Ji-nio. "Benar tidak, Bok Wan-jing?"
Mendengar nama sendiri disebut, seketika Bok Wan-jing tergetar, sukma seakan-akan melayang-layang terlepas dari raganya. Dalam kejutnya segera ia menjadi sadar juga.
Kiranya Yap Ji-nio itu lagi menggunakan ilmu "Liap-hun-tay-hoat", yaitu semacam hipnotisme pada zaman kuno yang lihai, bila sinar mata kedua orang kebentrok, seketika orang akan jatuh di bawah pengaruhnya serta menurut segala perintahnya.
Hal ini pernah Bok Wan-jing dengar dari gurunya. Maka ia tidak berani sembrono lagi, lekas ia pusatkan semangat dan kerahkan Lwekang sambil menarik kain kedoknya untuk menutupi mukanya, bahkan kedua mata juga ditutupnya sekalian.
"Bok Wan-jing," terdengar Yap Ji-nio berkata lagi dengan tertawa, "paling akhir ini nama jahatmu sangat tersohor, kalau kau angkat saudara dengan kami serta menjadi Gomoay (adik kelima) kami, rasanya boleh juga. Betul tidak, Samte?"
"Tidak!" sahut Lam-hay-gok-sin ketus.
"Kenapa tidak?" tanya Yap Ji-nio dengan ramah.
"Dia adalah bininya muridku, mana boleh menjadi Gomoayku? Toh sudah cukup mempunyai seorang Sammoay seperti kau!" demikian sahut Gok-sin. Mendadak ia membentak ke arah lain, "Gelinding kemari! Di mana bocah she Toan itu? Kenapa tidak dibawa kemari?"
Kiranya orang yang tadi disuruhnya mencari Toan Ki itu telah datang. Maka tertampaklah orang itu menjawab dari tempat sejauh belasan tombak dengan gelagapan, "Ham ... hamba sampai di atas karang tadi, tapi ... tapi orangnya sudah menghilang. Hamba telah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak ... tidak ketemu!"
Keruan Bok Wan-jing terkejut, ia menjadi khawatir jangan-jangan Toan Ki mati terjatuh ke dalam jurang.
Segera ia dengar Lam-hay-gok-sin lagi membentak, "Apakah disebabkan kau terlambat datang ke sana, maka bocah itu mati jatuh ke jurang?"
Orang itu tidak berani mendekat, jawabnya bertambah gelagapan, "Tapi hamba ... hamba sudah mencari ke seluruh lembah dan tidak menemukan mayatnya, juga tidak melihat sesuatu tanda bekas darah."
"Mustahil! Apa mungkin dia mampu terbang ke langit? Kau berani dusta padaku, ya?" bentak Gok-sin dengan murka.
Saking ketakutan, orang itu menyembah minta ampun sambil membentur-benturkan kepalanya ke atas batu di depannya.
Mendadak terdengar suara menyambarnya angin, sesuatu benda melayang ke sana, "plok", seketika orang itu tidak bersuara lagi. Tapi dari suara angin itu, Bok Wan-jing menduga pasti Lam-hay-gok-sin telah menimpukkan sepotong batu hingga membinasakan orang itu.
Sebenarnya Bok Wan-jing sendiri adalah seorang iblis pembunuh orang tanpa berkedip, orang itu tidak mampu menemukan Toan Ki, ia pun gemas tidak kepalang, andaikan Lam-hay-gok-sin tidak membinasakan orang itu, ia sendiri pun tidak mau mengampuninya.
Sesaat itu pikirannya jadi bergolak, "Dia sudah menghilang dari sana, tapi mayatnya tidak kelihatan di dasar jurang, lalu ke mana dia pergi? Apa mungkin ditelan ular besar? Ah, tidak mungkin, dia membawa 'Bong-koh-cu-hap', segala jenis ular tidak berani mengganggunya. Ya, tentu dia terjatuh di tempat yang terpencil sehingga orang itu tak bisa menemukannya, atau mungkin mayatnya telah diketemukan orang itu, tapi tidak berani bicara terus terang."
Semakin dipikir, ia merasa kemungkinan besar Toan Ki sudah meninggal. Waktu berpisah dari pemuda itu, ia sudah ambil keputusan bila Toan Ki mati, pasti dia juga akan menyusulnya. Apalagi sekarang dirinya berada di bawah cengkeraman Lam-hay-gok-sin, kalau tidak mati, entah siksaan keji apa yang akan dirasakannya.
Tapi sebelum melihat mayat Toan Ki, betapa pun toh masih ada harapan bahwa pemuda itu masih hidup? Karena itulah, ia pun tidak rela mati begitu saja.
Sedang pikiran Bok Wan-jing kacau, tiba-tiba terdengar anak kecil yang dipondong Yap Ji-nio itu berteriak-teriak menangis, "Ibu, ibu, mana ibuku?"
"Anak baik, aku inilah ibumu!" demikian Yap Ji-nio membujuknya.
Tapi tangis bocah itu semakin keras malah, "Tidak, engkau bukan ibuku! Aku minta ibu, mana ibuku?"
Perlahan Yap Ji-nio tepuk-tepuk badan anak itu sambil meninabobokannya dengan nyanyi kecil. Namun bukannya diam, sebaliknya tangis anak itu semakin keras. Tapi Yap Ji-nio tetap meninabobokannya dengan sabar sambil melagukan, "O, tidurlah anakku ...."
Lam-hay-gok-sin menjadi geregetan oleh suara orang yang membisingkan itu, dasar wataknya memang kasar, ditambah kehilangan calon murid kesayangannya, ia menjadi lebih gopoh lagi, tiba-tiba ia membentak, "Kau bujuk kentut! Kalau mau isap darahnya, lekas lakukan!"
Namun Yap Ji-nio tidak gubris padanya, ia masih terus meninabobokan bayi itu.
Sampai mengirik Bok Wan-jing mendengarnya, makin dipikir makin takut dia. Semula ketika melihat Yap Ji-nio yang bergelar orang jahat nomor dua di dunia ini ternyata membawa seorang bayi yang mungil, memangnya ia sudah heran. Kini mendengar ucapan Lam-hay-gok-sin itu, jadi Yap Ji-nio bakal mengisap darah anak itu, mau tak mau timbul rasa gusarnya dan takut pula.
Pikirnya, "Cara bagaimanakah supaya aku bisa menyelamatkan anak kecil ini?"
Tapi bila ingat mati hidup Toan Ki masih belum diketahui, terpaksa ia tidak berani pikirkan urusan orang lain. Namun suara timangan Yap Ji-nio yang penuh rasa kasih sayang itu, makin lama makin memuakkan perasaannya.
Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, dampratnya, "Setiap hari kau pasti minta korban seorang bayi, tapi kau sengaja berlagak welas asih, sungguh memuakkan dan tidak tahu malu!"
"Janganlah gembar-gembor hingga bikin kaget anakku!" sahut Yap Ji-nio dengan suara halus.
Gok-sin menjadi murka, mendadak anak di pondongan Yap Ji-nio itu hendak dijambretnya untuk dibanting. Tapi betapa pun cepatnya ternyata masih kalah cepat daripada Yap Ji-nio. Hanya sedikit berputar, cengkeraman Gok-sin itu sudah luput.
"Haya, Samte, tanpa sebab apa, kenapa kau ganggu anakku ini?" demikian dengan nada yang penuh rasa kasih sayang seorang ibu, Yap Ji-nio mengomel.
Walaupun kedua mata Bok Wan-jing ditutup sendiri dengan kain kedoknya, namun ia dapat mengikuti kejadian tadi dengan telinganya. Ia pikir, "Urutan Yap Ji-nio ini memang pantas berada di atas Lam-hay-gok-sin. Malaikat buaya ini selama hidup jangan harap akan melampaui wanita itu."
Benar juga, sekali jambret tidak kena, rupanya Lam-hay-gok-sin tahu juga kalau bergebrak tentu akan sia-sia belaka. Hanya mulutnya yang masih memaki, "Kurang ajar, Lotoa dan Losi kedua anak kura-kura ini kenapa sampai saat kini belum lagi datang, aku tidak sabar menunggunya lagi."
"Kau tahu tidak bahwa kemarin Losi telah kepergok musuh di tengah jalan dan menelan pil pahit?" tiba-tiba Yap Ji-nio tanya.
"He, Losi kepergok musuh? Siapa dia?" tanya Gok-sin heran.
Tiba-tiba Yap Ji-nio menuding Bok Wan-jing dan berkata, "Budak ini tampaknya tidak beres, kau sembelih dia dahulu baru kemudian kuceritakan."
Lam-hay-gok-sin menjadi ragu, sahutnya, "Dia adalah bini muridku, kalau kusembelih dia, muridku tentu akan ngambek tak mau mengangkat guru padaku."
"Jika begitu, biarlah aku yang kerjakan," ujar Yap Ji-nio dengan tertawa. "Kalau muridmu ngambek, suruh dia mencari balas padaku. Habis, kedua matanya itulah terlalu menggiurkan bagi siapa pun yang melihatnya, aku menjadi iri tak memiliki mata sejeli dia. Biarlah kucolok dulu kedua biji matanya!"
Sungguh kaget Bok Wan-jing tidak kepalang hingga keringat dingin seketika membasahi tubuhnya. Syukurlah ia dengar Lam-hay-gok-sin mencegah pula, "Jangan! Biar kututuk saja Hiat-to pingsannya, biar dia tidur selama sehari dua malam!"
Tanpa menunggu jawaban Yap Ji-nio lagi, sekonyong-konyong ia melompat ke samping Bok Wan-
jing dan menutuk dua kali. Seketika Bok Wan-jing merasa kepala pening, lalu tak sadarkan diri lagi....
Entah sudah berapa lama, ketika perlahan Bok Wan-jing siuman kembali, ia merasa badannya sangat dingin, segera terdengar pula serentetan suara tertawa mengikik. Meski dikatakan tertawa, hakikatnya tiada rasa tawa sedikit pun, tapi lebih mirip dikatakan suara mengilukan dan beradunya benda logam misalnya sebilah golok yang digosok-gosokkan di atas papan baja.
Bok Wan-jing sangat cerdik, ia tahu sekali dirinya bergerak, seketika pasti akan diketahui pihak lawan, boleh jadi akan mengakibatkan dirinya disiksa. Maka meski badan merasa kaku pegal sekali, ia tidak berani sembarangan bergerak.
Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi berkata, "Losi, tidak perlu omong gede! Sammoay telah memberi tahu padaku bahwa kau telan pil pahit dari orang, buat apa masih menyangkal? Sebenarnya kau dikeroyok berapa orang musuh?"
Suara orang yang mirip logam digosok itu segera menjawab, "Huh, apa yang diketahui Jici? Aku dikerubut tujuh orang musuh, semuanya tergolong jago kelas satu, sudah tentu, betapa tinggi kepandaianku juga tak bisa sekaligus membunuh musuh sebanyak itu."
"Eh, kiranya Losi yang berjuluk 'Kiong-hiong-kek-ok' itu juga sudah datang," demikian pikir Bok Wan-jing. Sebenarnya ia sangat ingin tahu macam apakah Kiong-hiong-kek-ok itu, namun betapa pun ia tidak berani sembarangan menarik kain kedoknya.
Terdengar Yap Ji-nio ikut berkata, "Ah, Losi memang suka omong besar. Sudah terang pihak lawan cuma dua orang, dari mana bisa muncul lima orang lagi? Masakah di dunia ini terdapat jago pilihan sebanyak itu?"
"Hm, dari mana pula kau mengetahuinya? Apa kau menyaksikan dengan mata hidungmu sendiri?" sahut Losi dengan gusar.
"Kalau aku tidak menyaksikan sendiri, dengan sendirinya aku takkan tahu," kata Yap Ji-nio dengan tersenyum. "Bukankah kedua orang itu masing-masing menggunakan senjata sebatang pancing ikan dan yang lain memakai kapak? Hihihi, kelima orang lain yang kau karang sendiri itu lalu memakai senjata apa, coba katakan?"
Sekonyong-konyong Losi berbangkit, dengan suara keras ia berkata, "Keparat! Jadi waktu itu kau berada di sana, kenapa kau tidak membantuku? Kau ingin aku mati di tangan orang, dan kau senang, ya?"
Tapi Yap Ji-nio tetap menjawabnya dengan senyum tak acuh, "Ah, kenapa kau merendahkan nama 'Kiong-hiong-kek-ok' In Tiong-ho? Siapa yang tidak kenal Ginkangmu tiada bandingan di jagat ini? Kalau kau kalah, masa kau tak bisa lari?"
Kiranya si mahajahat keempat ini bernama In Tiong-ho atau bangau terbang di angkasa, suatu tanda
Ginkang atau ilmu entengi tubuhnya pasti sangat lihai.
Ia semakin gusar demi mendengar ucapan Yap Ji-nio tadi, teriaknya lebih keras, "Kalau Losi terjungkal di tangan orang, apakah kau ikut bahagia? Hm, apa maksud tujuan kita Su-ok berkumpul di sini? Bukankah hendak berunding cara bagaimana cari perkara ke istana raja di negeri Tayli? Peristiwa ini bukankah berarti beralamat jelek?"
"Site," demikian Yap Ji-nio berkata pula dengan senyumnya yang tidak berubah, "selamanya aku tidak pernah melihat Ginkang sehebatmu, bangau terbang di angkasa, sungguh tidak bernama kosong. Wah, bagai asap terapung, seperti burung melayang, mana bisa kedua manusia itu menyusulmu?"
"Losi," tiba-tiba Lam-hay-gok-sin menyela, "sebenarnya siapakah yang mengerubuti dirimu itu? Apakah kaki tangan dari istana Tayli?"
"Ya, pasti dari sana," sahut In Tiong-ho dengan gusar. "Aku tidak percaya di daerah Tayli ada orang kosen lain lagi kecuali orang mereka."
"Makanya jangan kalian suka anggap enteng mereka, sekarang kalian percaya tidak pada omonganku?" ujar Ji-nio.
"Jici," kata In Tiong-ho tiba-tiba, "sampai saat ini Lotoa masih belum tampak batang hidungnya, padahal sudah lewat tiga hari daripada waktu yang kita tetapkan, selamanya ia tidak pernah langgar janji, jangan-jangan...."
"Jangan-jangan terjadi apa-apa, maksudmu?" potong Yap Ji-nio.
"Fui! Mana bisa jadi," seru Lam-hay-gok-sin dengan gusar. "Macam apakah Lotoa kita itu, memangnya dia seperti kalian, kalau kalah lantas mengacir?"
"Kalau kalah lantas mengacir, itu namanya bisa lihat gelagat!" sahut Yap Ji-nio. "Aku justru khawatir dia benar-benar dikeroyok musuh, tapi kepala batu tidak mau menyerah kalah, akhirnya tamatlah riwayatnya sesuai dengan julukannya 'Ok-koan-boan-eng' (kejahatan sudah melebihi takaran)!"
"Fui! Omong kosong!" semprot Lam-hay-gok-sin. "Selama hidup Lotoa malang melintang, pernah dia jeri pada siapa? Sudah belasan tahun ia menjagoi Tionggoan, masa di negeri Tayli sekecil ini malah dia terjungkal? Wah, kurang ajar, perut lapar lagi!"
Segera ia sambar sepotong daging paha lembu terus dipanggang di atas api unggun di sampingnya.
Tidak lama, bau sedap teruar perlahan.
Pikir Bok Wan-jing, "Dari percakapan mereka tadi, tampaknya aku sudah tak sadarkan diri selama tiga hari di sini. Entah Toan-long sudah ada kabar beritanya tidak?"
Dan karena sudah empat hari tidak makan apa-apa, perutnya terasa amat lapar, ketika dia mengendus bau daging panggang, tak tertahan perutnya berkeruyukan.
"Siaumoaymoay, perutmu lapar bukan?" tiba-tiba Yap Ji-nio berkata dengan tertawa. "Sejak tadi kau sudah sadar, kenapa pura-pura diam saja? Apa kau tidak ingin lihat bagaimana macamnya 'Kiong-hiong-kek-ok' In-losi kami?"
Lam-hay-gok-sin kenal watak In Tiong-ho paling gemar paras cantik, bila tahu Bok Wan-jing luar biasa ayunya, biarpun mati juga dia ingin mendapatkannya, berbeda seperti dirinya, kalau perlu barulah memerkosa dan membunuh.
Maka cepat ia sobek sepotong daging panggang dan dilemparkannya kepada Bok Wan-jing sambil
membentak, "Nih, makanlah ke sana, jauh sedikit, jangan mencuri dengar pembicaraan kami!"
Bok Wan-jing sengaja bikin kasar suara sendiri hingga kedengarannya lucu, tanyanya, "Suamiku sudah datang belum?"
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, sahutnya, "Keparat, aku sendiri sudah mencari ke sekitar jurang sana, tapi sedikit pun tidak menemukan jejak bocah itu. Dapat dipastikan bocah itu belum mampus, entah telah digondol siapa, aku sudah menunggu di sini tiga hari, biar kutunggu lagi empat hari, dalam tujuh hari kalau bocah itu tidak datang, hm, nanti kupanggang dirimu untuk dimakan!"
Hati Wan-jing sangat terhibur oleh keterangan orang, kalau dia sendiri sudah mencari ke sana dan yakin Toan-long belum mati, rasanya tentu betul. Ai, cuma entah dia masih ingat padaku atau tidak dan apakah akan datang kemari untuk menolong diriku?
Segera ia jemput daging panggang yang dilemparkan padanya tadi, perlahan ia berjalan ke balik karang sana untuk memakannya. Dalam keadaan lapar, ia merasa sangat letih dan lemas karena habis kelaparan empat hari, tapi karena itu, luka di punggungnya malah sudah sembuh.
Ia dengar Yap Ji-nio lagi tanya, "Sebenarnya di mana letak kebagusan bocah itu hingga membikin kau sedemikian suka padanya?"
Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak bangga, sahutnya. "Justru karena bocah itu sangat mirip aku, bila belajar silat Lam-hay-pay kami, pasti dia akan berhasil dan melebihi sang guru. Hehe, di antara Su-ok kita, aku Gak-lo ... Gak-loji (ia sengaja naikkan diri menjadi "Ji" atau nomor dua dan bukan "Sam" atau nomor tiga) meski tak bisa mencapai nomor satu, tapi bicara tentang murid, rasanya tiada seorang murid orang lain yang mampu menandingi muridku."
Sementara itu Bok Wan-jing sudah makin jauh menyingkir dari ketiga manusia mahajahat itu, demi mendengar Lam-hay-gok-sin memuji kebagusan bakat Toan Ki jarang ada bandingannya, diam-diam ia merasa senang dan sedih pula, tapi rada geli juga, "Toan-long hanya seorang sekolahan yang ketolol-tololan, ilmu silat apa yang dia miliki? Kecuali nyalinya yang besar, segala apa tidak bisa. Kalau Lam-hay-pay menerima murid mestika semacam itu, rasanya Lam-hay-pay sendiri yang bakal sial!"
Ia cari suatu tempat terpencil dan duduk di atas batu padas, lalu menikmati daging panggang tadi. Meski sangat lapar, namun daging panggang itu masih terlalu banyak baginya, hanya separuh saja dapat dihabiskannya dan perutnya sudah kenyang.
Diam-diam ia membatin pula, "Sampai hari ketujuh nanti kalau Toan-long lupa dan mengingkari aku serta tidak datang kemari, aku lantas cari jalan untuk melarikan diri."
Berpikir sampai di sini, ia menjadi pedih, "Andaikan aku bisa melarikan diri, lalu akan menjadi manusia apa lagi?"
Begitulah, dengan rasa tidak tenteram, kembali lewat pula dua hari. Namun bagi Bok Wan-jing, dua hari itu rasanya lebih lama daripada dua tahun. Siang malam yang dia harapkan senantiasa adalah semoga terdengar sesuatu suara dari bawah gunung, sekalipun bukan suaranya Toan Ki, paling tidak juga dapat menghibur hatinya yang lara merana.
Lebih-lebih bilamana sang malam tiba, rasa deritanya semakin bertambah, perasaannya bergolak mengombak, selalu terpikir olehnya, "Bila dia benar-benar niat mencari aku, hari pertama atau kedua tentu dia sudah datang kemari. Dan kalau sampai hari ini masih belum datang, rasanya tidak mungkin dia kemari lagi. Meski dia tak mahir silat, tapi mempunyai jiwa kesatria, betapa pun dia pasti tidak sudi mengangkat guru pada Lam-hay-gok-sin ini. Namun terhadap diriku, apa benar dia tak mempunyai rasa kasih sedikit pun?"
Begitulah jalan pikiran Bok Wan-jing, kalau hari-hari pertama dan kedua ia masih menaruh harapan dan menunggu dengan sabar, tapi makin lama makin merana, pesan gurunya bahwa "laki-laki di dunia ini adalah manusia palsu semua" selalu mendenging-denging terus di telinganya. Walaupun perasaannya sendiri selalu menyangkal Toan-long pasti bukan manusia demikian, namun sesungguhnya ia pun tidak berani yakin apakah sangkalan itu bukan menipu pada diri sendiri?
Syukur juga selama beberapa hari ini Lam-hay-gok-sin, Yap Ji-nio dan In Tiong-ho tidak urus dirinya. Ketiga manusia durjana itu hanya tekun menanti datangnya "Ok-koan-boan-eng", yaitu si juara orang jahat di seluruh jagat ini, meski mereka tidak segopoh Wan-jing, tapi mirip juga semut di tengah kuali panas, mereka kelabakan dan kesal luar biasa. Meski jarak Bok Wan-jing dengan mereka agak jauh, namun suara ribut dan cekcok mulut mereka sayup-sayup dapat terdengar dengan jelas.
Sampai malam hari keenam, pikir Bok Wan-jing, "Besok adalah hari terakhir, rasanya laki-laki palsu itu takkan datang. Biarlah malam nanti aku berusaha melarikan diri, kalau tidak, sampai esok pagi, untuk lari pasti sukar. Jangankan In Tiong-ho yang tersohor Ginkangnya tiada tandingan di seluruh jagat, cukup Lam-hay-gok-sin saja, asal dia sengaja mengejar, pasti aku pun tak bisa lolos."
Ia coba berdiri untuk melemaskan otot-ototnya, ia merasa semangatnya meski masih lesu, namun tenaga sudah pulih 7-8 bagian. Ia membatin, "Sebaiknya bila ketiga orang itu ribut terus dan diam-diam aku dapat melarikan diri beberapa ratus tombak jauhnya, lalu aku akan mencari suatu tempat sembunyi seperti gua dan sebagainya, dengan demikian mereka tentu menyangka aku sudah kabur jauh dan tidak mengejar lagi, kemudian dengan bebas dapatlah aku keluar lagi dan melarikan diri."
Di luar dugaan, meski rencananya sudah muluk-muluk, beberapa kali ia bermaksud angkat kaki, tapi hatinya selalu terkenang pada Toan Ki, ia menjadi ragu kalau-kalau pemuda itu akhirnya benar-benar datang mencarinya, lalu bagaimana? Jika besok tidak berjumpa dengan pemuda itu, mungkin untuk seterusnya tak bisa saling bertemu lagi. Padahal dia sengaja datang untuk sehidup semati dengan aku, tapi aku malah kabur pergi. Jelas dia tidak sudi mengangkat guru hingga mungkin dibunuh oleh Lam-hay-gok-sin, bila terjadi demikian, bukankah aku yang berdosa padanya?"
Begitulah bolak-balik ia berpikir, sampai akhirnya fajar pun menyingsing, tetap dia belum dapat ambil keputusan.
Tapi dengan datangnya fajar, maksud larinya menjadi batal juga. Jika sudah terang tak dapat melarikan diri, biarlah aku tetap menunggu, apakah dia datang atau tidak, aku tetap menunggu di sini sampai mati.
Selagi hatinya hampa sedih itulah, sekonyong-konyong terdengar suara gedebukan jatuhnya sesuatu benda ke tengah semak-semak rumput, segera ia merayap ke sana untuk memeriksanya.
Ketika sudah dekat, lebih dulu hidungnya mencium bau darah. Waktu rumput lebat di situ ia singkap ke samping dan melongok, seketika bulu romanya berdiri semua.
Ternyata di tengah semak rumput tergeletak enam sosok mayat bayi dengan tergelimpang tak teratur. Di antaranya terdapat pula bayi yang tempo hari dininabobokan oleh Yap Ji-nio itu.
Seketika Bok Wan-jing terkesima. Bila kemudian ia periksa mayat bayi itu, ia lihat di samping lehernya terdapat dua baris bekas gigitan hingga berwujud suatu lubang kecil dan tepat di atas urat darah leher.
Ia menjadi teringat pada apa yang dikatakan Lam-hay-gok-sin, maka tahulah dia akan duduknya perkara.
Kiranya "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio itu memang benar setiap hari harus mengisap darah seorang bayi. Sudah enam hari dia berada di atas puncak gunung itu, maka sudah ada enam bayi menjadi korbannya. Kalau melihat baju yang dipakai bayi-bayi itu terdiri dari kain kasar saja, dapat diduga Yap Ji-nio telah menculik dari keluarga pegunungan di sekitar Bu-liang-san.
Satu di antara enam mayat bayi itu terasa masih hangat, tapi kulitnya kisut, darahnya sudah kering terisap. Tentu itulah mayat yang dilemparkan Yap Ji-nio barusan.
Sungguhpun Bok Wan-jing juga banyak membunuh orang, tapi orang Kangouw yang dibunuhnya itu adalah akibat perbuatan sendiri karena ingin melihat mukanya. Sebaliknya perbuatan kejam membunuh anak bayi demikian, betapa pun juga membuatnya gusar dan kejut hingga badan ikut gemetar.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan hijau berkelebat, seorang bagai burung cepatnya telah melayang turun ke bawah gunung. Begitu cepat bayangan itu hingga mirip setan hantu. Itulah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio.
Melihat betapa cepat Ginkang wanita iblis itu, sekalipun gurunya juga selisih jauh dengan kepandaian orang, seketika Bok Wan-jing lemas rasanya, ia duduk terkulai terduduk dengan macam-macam perasaan bercampur aduk.
Setelah termangu-mangu sejenak, Bok Wan-jing kumpulkan keenam mayat bayi itu menjadi satu, lalu menguruknya dengan batu pasir seadanya di situ.
Tengah sibuk bekerja, tiba-tiba Wan-jing merasa tengkuk rada silir dingin. Ia dapat bergerak dengan cepat sekali, begitu kaki kanan bergerak, segera tubuhnya melesat ke depan.
Maka terdengarlah suara tertawa seorang yang mirip logam digosok dan berkata, "Nona cilik, suamimu telah meninggalkanmu, ia tidak sudi padamu lagi, marilah ikut aku saja!"
Siapa lagi dia kalau bukan "Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho, ia memang mahajahat dan buas luar biasa. Begitu bicara, terus saja tangan meraih hendak memegang Bok Wan-jing.
"Plak" mendadak dari samping menyela sebuah tangan hingga cengkeraman In Tiong-ho tertangkis.
Kiranya penangkis itu adalah Lam-hay-gok-sin, dengan marah-marah ia membentak, "Losi, orang Lam-hay-pay kami dilarang kau ganggu!"
Dalam pada itu In Tiong-ho sudah melompat mundur, sahutnya dengan tertawa, "Muridmu tak jadi kau terima, dengan sendirinya ia bukan orang Lam-hay-pay lagi."
Baru sekarang Bok Wan-jing dapat melihat jelas perawakan In Tiong-ho itu ternyata sangat tinggi, tapi sangat kurus pula hingga mirip galah bambu, raut mukanya sangat menakutkan juga, bila tertawa, lidahnya seakan-akan bisa mulur mengkeret mirip lidah ular.
"Dari mana kau tahu aku akan gagal menerima murid?" demikian Lam-hay-gok-sin membentak lagi.
"Apakah karena bocah itu telah dibunuh olehmu? Ya, tentu demikian halnya! Atau mungkin kau pun menaksir pada calon muridku yang bertulang bagus itu, lalu kau sembunyikan dia hendak mengangkanginya sebagai muridmu. Jadi kau yang mengacaukan rencanaku, biarlah aku cekik mampus kau dahulu dan urusan belakang!"
Si malaikat buaya laut selatan ini benar-benar kasar dan tidak kenal aturan segala, tanpa tanya-tanya lagi apakah benar In Tiong-ho yang menghilangkan calon muridnya atau bukan, terus saja ia menubruk maju dan menyerang bertubi-tubi.
Namun In Tiong-ho dapat berkelit dengan gesit dan cepat sekali sambil menjawab, "He, he! Muridmu itu bundar atau gepeng, lonjong atau cekak, selamanya aku belum kenal, dari mana bisa kau bilang aku yang mengumpetkan dia?"
"Kentut!" damprat Lam-hay-gok-sin. "Siapa yang mau percaya padamu! Pasti lantaran kau habis dihajar orang, lalu rasa dongkolmu kau lampiaskan atas diri muridku itu, begitu bukan?"
"Muridmu itu laki-laki atau perempuan atau banci?" tanya Tiong-ho.
"Sudah tentu laki-laki, guna apa aku menerima murid perempuan?" sahut Gok-sin.
"Nah, itu dia!" seru Tiong-ho. "Bukankah kau tahu, In Tiong-ho selamanya hanya suka pada orang perempuan dan tidak lelaki?'
Saat itu Lam-hay-gok-sin lagi menubruk maju, mendengar ucapan itu, ia pikir masuk di akal juga. Maka mendadak ia mengerem tubuhnya yang lagi terapung itu dan anjlok ke bawah hingga berdiri di atas sebuah batu padas, lalu membentak lagi, "Lantas ke mana perginya muridku itu? Kenapa sampai sekarang belum datang mengangkat guru?"
"Hehe, urusan Lam-hay-pay kalian peduli apa denganku?" kata In Tiong-ho dengan mengekek.
Dasar watak Lam-hay-gok-sin memang kasar, ditambah lagi sudah menunggu selama tujuh hari tanpa hasil, ia menjadi gelisah tak keruan, rasa dongkolnya lagi meluap, maka kembali ia membentak, "Setan alas, kau berani mengejek aku?"
Melihat kedua orang mahajahat itu saling ngotot, Bok Wan-jing tidak mau sia-siakan kesempatan baik itu, segera ia membakar Lam-hay-gok-sin katanya, "Ya, ya, Toan-long pasti dicelakai In Tiong-ho ini, kalau tidak, di atas karang securam itu, mana dapat ia turun? Ginkang In Tiong-ho ini sangat hebat, pasti dia yang memanjat ke atas karang itu untuk menggondolnya pergi dan dibunuh di lain tempat agar Lam-hay-pay tidak mempunyai bibit tokoh yang lihai."
Mendadak Lam-hay-gok-sin keplak batok kepala sendiri sambil menggembor, "Nah, kau dengar tidak! Bininya muridku juga bilang begitu, masa kau difitnah?"
Segera Bok Wan-jing pura-pura menangis dan berseru, "Suhu, kata suamiku, kalau dia mendapatkan seorang guru seperti engkau, sungguh suatu rezeki besar baginya, dia berjanji pasti akan belajar sepenuh tenaga demi kejayaan Lam-hay-pay, agar nama Lam-hay-gok-sin lebih mengguncangkan dunia, supaya itu 'Ok-koan-boan-eng' dan 'Bu-ok-put-cok' mengiri setengah mati pada engkau orang tua. Siapa duga In Tiong-ho ini juga cemburu padamu dan sengaja membunuh calon murid kesayanganmu itu, selanjutnya engkau orang tua sukar mendapatkan murid sebagus itu lagi."
Begitulah, setiap kalimat Bok Wan-jing diucapkan, setiap kali Lam-hay-gok-sin mengeplak batok kepala dan mengepal tangan dengan geregetan.
Maka Bok Wan-jing menyambung pula, "Tulang kepala suamiku terlalu mirip denganmu, kecerdasannya juga serupa. Coba, seorang ahli waris sebagus dan sepintar itu, ke mana akan dicari lagi. Tapi In Tiong-ho ini sengaja memusuhi engkau, mengapa engkau orang tua tidak lekas balaskan sakit hati muridmu?"
Mendengar sampai di sini, sinar mata Gok-sin berubah beringas. Kembali ia menubruk ke arah In Tiong-ho.In Tiong-ho tahu ilmu silat sendiri setingkat lebih rendah daripada orang, tapi tidak setolol Gok-sin yang mudah diakali. Sudah terang Bok Wan-jing sengaja mengadu domba, tapi untuk menjelaskan padanya tidaklah gampang, ia pun tidak sudi bergebrak dengan dia, maka begitu ditubruk Gok-sin, segera ia angkat kaki melarikan diri.
Sudah tentu Gok-sin tidak tinggal diam, terus saja ia mengudak.
"Nah, dia lari, itu tandanya takut!" demikian Wan-jing menambahi minyak pula. "Dan orang takut, itu tandanya salah!"
Keruan Lam-hay-gok-sin tambah panas hatinya, ia menggerung murka, "Bayar kembali jiwa muridku!"
Dan kejar-mengejar pun terjadi dan dalam sekejap saja sudah menghilang di balik gunung sana.
Diam-diam Bok Wan-jing bergirang. Sekejap kemudian, terdengar suara raungan Lam-hay-gok-sin makin mendekat lagi, kedua orang itu putar kembali dengan saling uber. Ginkang In Tiong-ho ternyata jauh lebih tinggi daripada Lam-hay-gok-sin, badannya yang jangkung bagai galah bambu seakan-seakan bergontai ke kanan dan ke kiri, tapi larinya cepat tidak kepalang, Lam-hay-gok-sin selalu ketinggalan dalam suatu jarak tertentu.
Ketika sampai di depan Bok Wan-jing, sekonyong-konyong In Tiong-ho melesat ke arah gadis itu, terus mencengkeram pundaknya.
Keruan Wan-jing terkejut, sekali bergerak, kontan ia sambut orang dengan sebatang panah berbisa.
Tapi Ginkang In Tiong-ho memang benar tiada taranya, entah cara bagaimana dia bergerak, tahu-tahu tubuh bisa menggeser sedikit hingga panah itu luput mengenainya, sebaliknya tangannya masih terus terjulur ke muka si gadis.
Dengan gugup lekas Bok Wan-jing berkelit, namun toh terlambat sedikit, mukanya terasa segar seketika, kain kedoknya telah disambar oleh In Tiong-ho.
Melihat wajah Wan-jing yang cantik molek itu, seketika In Tiong-ho terkesima. Kemudian dengan menyengir ia berkata, "Hebat, sungguh hebat! Cantik sekali anak dara ini. Cuma kurang genit, belum sempurna ...."
Tengah berkata, kembali Lam-hay-gok-sin memburu tiba terus menghantam punggungnya.
Sekuatnya In Tiong-ho tancap kakinya di tanah, ia kerahkan tenaga dalam dan menangkis ke belakang, "plak", dua telapak tangan saling bentur dengan keras, Bok Wan-jing merasa dada menjadi sesak, hampir tak bisa bernapas oleh gencetan dua tenaga pukulan yang hebat itu, batu pasir pun bertebaran di seputar situ. Dan dengan meminjam tenaga benturan itu, In Tiong-ho mencelat pergi dua tombak jauhnya.
"Nih, rasakan lagi tiga kali pukulanku!" teriak Gok-sin sengit.
Namun In Tiong-ho menjawabnya dengan tertawa, "Kau tak mampu mengejarku, sebaliknya aku tak berdaya berkelahi dengan kau. Biarpun kita bertempur tiga-hari tiga-malam lagi juga tetap begini saja!"
Begitulah kembali kedua orang itu uber-menguber dengan sengitnya.
Diam-diam Bok Wan-jing pikir harus berusaha untuk merintangi In Tiong-ho agar kedua orang jahat itu saling genjot berhadapan. Maka ia tunggu waktu In Tiong-ho berputar kembali lagi, mendadak ia memapak maju sambil geraki tangannya, kontan 6-7 panah berbisa sekaligus dibidikkan sambil berseru, "Bayar kembali jiwa suamiku!"
In Tiong-ho kenal kelihaian panah yang mendenging datang itu, tapi semuanya dapat dihindarinya dengan mengegos atau mendekam ke bawah.
Tiba-tiba Bok Wan-jing melolos pedang, beruntun ia menusuk dua kali. Namun In Tiong-ho tahu maksud gadis itu, ia tidak mau menangkis dan hanya berkelit ke samping.
Dan karena sedikit rintangan itu, dari belakang Lam-hay-gok-sin sudah menyusul tiba terus menghantam dengan kedua tangannya.
"Losam", seru In Tiong-ho akhirnya dengan gemas, "berulang kali aku mengalah padamu, memangnya kau sangka aku takut?"
Sekali tangannya meraba pinggang, tahu-tahu sepasang cakar baja telah dikeluarkan.
Cakar baja itu panjangnya masing-masing cuma setengah meteran, ujung cakar berbentuk tangan manusia dengan lima jari terpentang seakan-akan hendak mencengkeram. Ia mainkan senjatanya itu dengan rapat, tapi tetap menjaga diri saja tanpa balas menyerang.
Melihat itu, Lam-hay-gok-sin menjadi senang, serunya, "Wah, bagus! Sepuluh tahun tidak berjumpa, kiranya kau berhasil melatih semacam senjata aneh. Nih, lihat juga aku punya!"
Sembari bicara, ia terus buka ransel di punggungnya dan mengeluarkan semacam senjata yang lebih aneh.
Melihat kedua orang jahat itu akan main senjata, Bok Wan-jing pikir akan percuma saja bila dirinya ikut-ikutan bertempur. Segera ia undurkan diri ke pinggir.
Ia lihat senjata yang dikeluarkan Lam-hay-gok-sin itu adalah sebuah gunting aneh yang pakai gagang panjang, bagian mata gunting berbentuk gigi-gigi yang tajam hingga mirip moncong buaya. Sedang tangan lain memegang sebuah pecut yang bergigi juga serupa ekor buaya.
Bila orang kena digigit sekali oleh mulut gunting atau kena disabat sekali oleh pecut ekor buaya itu, kalau tidak mampus tentu juga akan sekarat.
In Tiong-ho melirik heran juga kepada kedua macam senjata aneh itu, tapi mendadak ia geraki cakar baja sebelah kanan terus mencakar ke muka Lam-hay-gok-sin.
"Tring", kontan Gok-sin angkat gunting buayanya menangkis hingga cakar baja lawan terpental ke samping. Namun In Tiong-ho cepat luar biasa, belum cakar kanan itu ditarik kembali, lagi-lagi cakar sebelah kiri menyambar ke depan pula.
"Krak", sekonyong-konyong gunting congor buaya Lam-hay-gok-sin memutar dan menggunting jari cakar baja itu, sungguh luar biasa tajamnya gunting yang entah terbuat dari bahan apa, tahu-tahu dua jari dari cakar In Tiong-ho tergunting putus, padahal cakar itu sendiri terbuat dari baja murni yang sangat kuat.
Masih untung bagi In Tiong-ho, ia sempat menarik secepatnya hingga cuma dua jari cakarnya yang
terkutung. Namun begitu, berarti juga mengurangi daya gunanya dari kesepuluh jari senjatanya yang hebat itu.
Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak, mendadak pecut ekor buaya menyabat pula selagi In Tiong-ho tertegun tadi. Namun tiba-tiba sesosok bayangan hijau menyelinap tiba, itulah dia Yap Ji-nio adanya. Dengan gesit ia menyela ke tengah, sekali tangannya meraih, ujung pecut Gok-sin kena disambarnya terus ditarik ke samping, kesempatan mana telah digunakan In Tiong-ho untuk melompat ke pinggir.
"Losam, Losi, urusan apa hingga kalian saling gebrak dengan senjata?" demikian tanya Yap Ji-nio kemudian.
Ketika sekilas dilihatnya wajah Bok Wan-jing yang cantik itu, seketika air mukanya berubah hebat. Biasanya yang paling dibenci olehnya ialah wanita yang berparas lebih cantik daripada dirinya. Kini melihat kecantikan Bok Wan-jing yang susah dilukiskan itu, seketika ia terkesiap.
Dalam pada itu Wan-jing juga melihat wanita jahat nomor dua di dunia ini sudah menggondol kembali seorang anak kecil kira-kira berumur 3-4 tahun. Tahulah dia sekarang, kiranya wanita jahat itu turun gunung tadi hanya untuk mencari korban bayi lain yang akan diisap darahnya.
Dengan datangnya Yap Ji-nio, terang pertarungan Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho takkan berlangsung terus. Ketika melihat sorot mata wanita jahat itu bersinar aneh, Bok Wan-jing jadi mengirik sendiri dan lekas berpaling, tidak berani memandangnya lagi.
Dalam pada itu terdengar anak yang dipondong Yap Ji-nio itu sedang berteriak-teriak dan menangis, "Ayah! Di mana ayah?"
"Diamlah, San-san sayangku! Ayah sebentar lagi akan datang, diamlah, jangan menangis, manisku!" demikian Yap Ji-nio menimang dengan kasih sayang seperti seorang ibu.
Bila teringat pada mayat bayi yang dilihatnya di tengah semak-semak itu, lalu dibandingkan dengan suara lembut yang penuh rasa kasih sayang Yap Ji-nio ini, bulu roma Bok Wan-jing seketika menegak semua.
Kemudian terdengar In Tiong-ho berkata dengan tertawa, "Jici, Losam telah berhasil meyakinkan ilmu gunting congor buaya dan pecut buntut buaya yang lihai, baru saja aku telah bergebrak beberapa jurus dengan dia dan aku merasa sulit melawannya. Selama sepuluh tahun ini, Jici sendiri berhasil meyakinkan ilmu apa? Dapatlah menandingi kedua macam senjata Losam yang aneh ini?"
Sama sekali ia tidak menyinggung tentang Lam-hay-gok-sin menuduhnya mencelakai calon muridnya, sebaliknya ia sengaja mengucapkan pancingan halus itu untuk mengadu domba Yap Ji-nio bergebrak dengan Lam-hay-gok-sin.
Yap Ji-nio sendiri ketika naik ke atas puncak tadi, dari jauh sudah melihat cara bagaimana kedua kawannya lagi saling hantam, maka dengan tertawa tawar saja ia menjawab, "Ah, selama sepuluh tahun ini aku hanya mengutamakan berlatih Lwekang, soal ilmu pukulan dan main senjata menjadi asing bagiku, tentu aku bukan tandingan Losam dan kau lagi."
Jawaban sederhana ini membikin Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho terkesiap juga, pikir mereka, "Selamanya dia unggul dalam hal kegesitan dan kelemasan, soal Lwekang hanya biasa saja. Tapi selama 10 tahun ini dia justru giat berlatih Lwekang, apa barangkali dia ketemu guru kosen atau beruntung menemukan sesuatu kitab pusaka ilmu Lwekang dan sebagainya?"
Selagi Lam-hay-gok-sin hendak tanya, tiba-tiba di pinggang gunung sana ada suara bentakan orang, "Perempuan bangsat, untuk apa kau menculik anakku? Lekas kembalikan!"
Baru lenyap suaranya, tahu-tahu orangnya juga sudah melayang naik ke atas puncak dengan cekatan sekali.
Waktu Bok Wan-jing mengawasi, ternyata orang ini tak-lain tak-bukan adalah Co Cu-bok, itu ketua Bu-liang-kiam. Ia terkejut, tapi segera mengerti pula duduknya perkara, "Ya, tentu Yap Ji-nio tidak mendapatkan anak kecil di sekitar Bu-liang-san ini, akhirnya anak ketua Bu-liang-kiam yang ditemukan olehnya terus digondol lari!"
Maka terdengar Yap Ji-nio sedang menjawab, "Co-siansing, putramu ini sungguh lincah dan menyenangkan, aku membawanya ke sini untuk bermain, besok tentu akan kupulangkan padamu, jangan kau khawatir!"
Sembari berkata, ia mencium sekali di pipi San-san yang kecil itu, lalu mengusap-usap kepala anak itu dengan sayangnya.
Co San-san, anak yang bernasib malang itu, segera berteriak-teriak demi tampak datangnya sang ayah dan minta digendong.
Co Cu-bok terharu, ia ulur tangan dan melangkah maju sambil berkata, "Anak kecil yang nakal, tiada apa-apanya yang menarik, silakan engkau kembalikan padaku saja!"
"Haha!" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin tertawa. "Sekali anak kecil sudah jatuh di tangan 'Bu-ok-put-cok' Yap Sam-nio, biarpun anak raja juga tidak mungkin dikembalikan olehnya."
Co Cu-bok tergetar mendengar ucapan itu, dengan suara gemetar ia tanya, "Kau ... kau bernama Yap Sam-nio? Pernah ... pernah hubungan apakah dengan Yap Ji-nio?"
Rupanya sudah lama ia dengar nama jahat Yap Ji-nio yang setiap hari mesti mengisap darah segar seorang bayi, maka ia menjadi khawatir jangan-jangan "Yap Sam-nio" ini adalah saudara Yap Ji-nio dan mempunyai hobi yang sama, kan anaknya itu bisa celaka?
Ia tidak tahu bahwa Lam-hay-gok-sin yang sengaja menurunkan urutan wanita jahat itu dari "Ji" atau kedua menjadi "Sam" atau ketiga, supaya bertukar urutan dengan dia dalam kedudukan "Su-ok" itu.
Namun Yap Ji-nio tidak gusar, sebaliknya ia mengikik tawa, lalu menyahut, "Ah, jangan kau percaya pada ocehannya. Aku sendirilah Yap Ji-nio! Di dunia ini mana ada lagi Yap Ji-nio yang lain atau Yap Sam-nio segala?"
Sekejap itu air muka Co Cu-bok menjadi pucat bagai mayat.
Semula waktu ia tahu anaknya diculik orang, sepenuh tenaga ia terus mengejar, meski di tengah jalan ia sudah merasakan ilmu silat penculik itu masih jauh di atas dirinya, namun ia masih menaruh harapan semoga wanita penculik yang tak dikenal dan tiada punya permusuhan apa-apa dengan dirinya ini mungkin takkan bikin susah putranya.
Siapa duga wanita itu justru adalah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio, si wanita mahajahat nomor dua dari dunia ini. Keruan seketika mulut Co Cu-bok ternganga seakan-akan tersumbat.
"Lihatlah betapa mungilnya anakmu ini, kulitnya halus, dagingnya gemuk, warnanya kemerah-merahan, sungguh pintar sekali piaraanmu, tentu banyak kau beri makan jamu kuat padanya. Ya, betapa pun memang lain anak orang terkemuka daripada anak orang desa yang kurus kurang makan!" demikian Yap Ji-nio berkata sembari memegang-megang dan mengangkat tangan si bocah ke arah sinar matahari, mulutnya tiada henti-hentinya berkecek-kecek memuji, seolah-olah seorang nyonya rumah yang lagi memilih sayur atau ayam daging bila sedang belanja di pasar.
Melihat wanita jahat yang itu hampir mengiler oleh karena bakal korbannya yang bermutu pilihan itu, Co Cu-bok menjadi khawatir dan gusar sekali. Walaupun tahu bukan tandingan orang, tapi mengingat sekejap lagi putranya bakal dimakan, tanpa pikir lagi pedangnya terus menusuk ke depan dengan tipu serangan "Yu-hong-tiau-gi" atau ada burung Hong datang menghadap, kontan ia tusuk tenggorokan Yap Ji-nio.
Namun Yap Ji-nio hanya tersenyum saja, ia sodorkan badan Co San-san ke depan, kalau tusukan Co Cu-bok itu diteruskan, pasti akan menembus badan putranya sendiri.
Syukur ilmu pedangnya sudah mencapai puncaknya, belum sepenuhnya pedang ditusukkan cepat ia tarik sedikit, ujung pedang menyendal, sekali putar, segera tipu serangannya sudah berganti dengan "Thian-ma-hing-kong" atau kuda langit terbang di angkasa, tahu-tahu pundak kanan Yap Ji-nio yang diarahnya sekarang.
Tapi Yap Ji-nio tetap tidak berkelit, kembali tubuh Co San-san digeser ke samping untuk dijadikan tameng lagi.
Hanya sekejap saja berturut-turut Co Cu-bok menusuk lima kali, tapi Yap Ji-nio hanya melayani dengan seenaknya saja, selalu ia sodorkan badan Co San-san ke arah tusukan Co Cu-bok, sudah tentu, terpaksa ketua Bu-liang-kiam itu urung menyerang.
Dalam pada itu, sesudah diudak Lam-hay-gok-sin, rasa dongkol In Tiong-ho belum terlampiaskan, melihat kelakuan Co Cu-bok itu, ia menjadi gemas, mendadak ia melompat maju, cakar baja sebelah kiri terus mencengkeram kepala Co Cu-bok.
Namun Cu-bok sempat menangkis dengan pedangnya, "trang", kedua senjata saling beradu, pikir Co Cu-bok sekalian hendak mendorong ujung pedangnya ke tenggorokan lawan dengan gerakan "Sun-cui-tui-ciu" atau mendorong perahu menurut arus air, tapi mendadak jari cakar baja lawan bisa mencakup hingga batang pedangnya tergenggam dengan kencang.
Kiranya senjata In Tiong-ho itu terpasang alat jeplakan yang sangat praktis, asal tekan pegasnya, segera jari baja mencengkeram menurut keinginan pemakainya, hingga mirip benar dengan jari manusia.
Sebagai seorang ketua sesuatu aliran persilatan, dalam hal ilmu pedang, Co Cu-bok mempunyai latihan yang sangat mendalam, meski kepandaiannya masih kalah tinggi daripada In Tiong-ho, tapi juga tidak sampai keok hanya dalam satu dua gebrakan saja.
Dalam kagetnya tadi, ia tidak rela melepaskan pedangnya begitu saja, cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menarik sekuatnya. Tapi pada saat itu juga, "cret", cakar baja In Tiong-ho yang lain telah mencengkeram pula pundaknya.
Masih untung baginya karena jari cakar itu sebelumnya sudah terkutung dua oleh gunting congor buayanya Lam-hay-gok-sin, maka lukanya tidak parah, namun darah segera bercucuran juga, sedang ketiga jari cakar baja itu masih tetap mencengkeram kencang tulang pundaknya. Terus saja In Tiong-ho melangkah maju menambahi sekali depakan hingga Co Cu-bok ditendang roboh.
Hanya sekali dua gebrakan saja ternyata seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka itu sama sekali tak bisa berkutik.
Segera Lam-hay-gok-sin berseru, "Hebat, Losi! Dua jurusmu barusan ini tidak jelek, tidak sampai bikin malu kawanmu ini!"
Sebaliknya Yap Ji-nio berkata dengan tertawa, "Co-tayciangbun, ingin kutanya padamu, apakah kau lihat Lotoa kami atau tidak?"
"Siapakah Lotoa kalian? Aku tidak melihatnya!" sahut Cu-bok dengan meringis menahan sakit karena tulang pundaknya masih dicengkeram oleh cakar baja.
"Kau bilang tidak tahu siapa Lotoa kami, kenapa kau jawab tidak melihatnya?" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin menyela. "Hm, Sammoay, lekas kau makan saja anaknya!"
Bab 8
"Pagi hari ini aku sudah sarapan, sekarang masih kenyang," sahut Yap Ji-nio. "Co-tayciangbun, boleh kau pergi saja, kami takkan cabut nyawamu!"
"Jika demikian, Yap ... Yap Ji-nio, harap kembalikan putraku itu, biar kucarikan 3-4 anak lain untukmu. Sungguh aku terima kasih tak terhingga."
"Ehm, baik juga!" seru Yap Ji-nio dengan berseri-seri. "Pergilah kau carikan delapan anak yang lain. Kami berjumlah empat orang, masing-masing membopong dua, cukup untuk makananku selama delapan hari. Nah, Losi, boleh kau lepaskan dia!"
Segera In Tiong-ho kendurkan jari cakarnya melepaskan Co Cu-bok. Dengan menahan sakit, Co Cu-bok berbangkit, lalu memberi hormat kepada Yap Ji-nio sambil ulur tangan hendak terima kembali putranya.
"Eh, sebagai tokoh kalangan Kangouw, kenapa Co-tayciangbun tidak kenal aturan?" ujar Yap Ji-nio dengan tertawa. "Tanpa ditukar delapan orang anak, masakah demikian gampang kuserahkan kembali putramu?"
Melihat putranya berada dalam rangkulan wanita itu, walaupun dalam hati sebenarnya seribu kali tidak rela, tapi apa daya, kepandaian sendiri jauh di bawah orang, terpaksa Co Cu-bok manggut dan menjawab, "Baiklah, biar kupergi mencarikan delapan anak yang putih gemuk untukmu, harap engkau menjaga baik-baik anakku."
Yap Ji-nio tak mau menggubrisnya lagi, kembali ia bernyanyi-nyanyi kecil menimang anak dalam pangkuannya itu.
"San-san anakku yang baik, sebentar ayah akan datang lagi untuk membawamu pulang ke rumah!" seru Cu-bok kemudian.
Co San-san menangis keras-keras minta ikut sang ayah dan meronta-ronta di pangkuan Yap Ji-nio.
Dengan rasa berat Co Cu-bok pandang beberapa kali pada sang putra, sambil memegangi luka di pundak, segera ia putar tubuh hendak berangkat.
Apa yang terjadi itu dapat diikuti Bok Wan-jing. Ia pikir, Co Cu-bok tentu akan memerintahkan anak muridnya pergi menculik anak kecil keluarga petani di sekitar Bu-liang-san untuk menukar putranya sendiri, hal itu dapat dikatakan demi cinta kasih ayah pada anaknya, soalnya terpaksa.
Tapi betapa pun juga adalah terlalu egoist, terlalu mementingkan diri sendiri, sebaliknya delapan anak keluarga orang lain yang tak berdosa akan menjadi korban.
Tanpa pikir lagi, segera ia melompat keluar dan mengadang di depan Co Cu-bok, bentaknya, "Orang she Co, kau kenal malu tidak, hendak merebut anak orang lain untuk menukar jiwa putramu sendiri? Apakah kau masih ada muka buat menjadi ketua suatu aliran persilatan?"
"Pertanyaan nona memang tepat," sahut Co Cu-bok dengan kepala menunduk. "Co Cu-bok selanjutnya tiada muka buat tancap kaki di kalangan Bu-lim lagi, segera aku akan simpan pedang dan cuci tangan mengasingkan diri."
"Aku melarang kau turun gunung!" bentak Wan-jing pula dengan pedang terhunus.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari jauh berkumandang suara suitan orang yang nyaring. Dengan girang Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho berseru, "Itu dia, Lotoa sudah datang!"
Berbareng kedua orang terus melompat pergi sambil bersuit sahut-menyahut ke arah datangnya suara nyaring tadi, hanya sekejap saja keduanya sudah menghilang di balik batu karang sana.
Sebaliknya Yap Ji-nio masih acuh tak acuh sambil menimang-nimang anak di pangkuannya, bahkan ia melirik sekejap kepada Bok Wan-jing, lalu katanya dengan tertawa, "Nona Bok, ternyata kau masih mempunyai jiwa kesatria pula."
Kontan Wan-jing mengirik ketika sinar matanya kebentrok dengan pandangan Yap Ji-nio yang tajam itu, cepat ia tenangkan diri sambil genggam pedangnya kencang-kencang.
Dengan tersenyum Yap Ji-nio berkata pula, "Sepasang matamu ini sungguh sangat jeli, aku ingin sekali bisa bertukar denganmu. Kemarilah, boleh kau cungkil dulu kedua biji matanya itu!"
Ucapan terakhir itu ditujukan kepada Co Cu-bok.
Sebenarnya Co Cu-bok tidak bermaksud memusuhi Bok Wan-jing, tapi putra sendiri berada di bawah cengkeraman orang, terpaksa ia menurut perintah. Begitu pedang bergerak, segera ia membentak, "Nona Bok, lebih baik kau turut pada perintah Yap Ji-nio saja, supaya tidak lebih banyak menderita siksaan."
Sambil berkata, segera ia menusuk.
"Manusia hina!" damprat Bok Wan-jing sambil menangkis. "Trang", kedua pedang saling beradu, tapi ujung pedang si gadis tahu-tahu menyelonong ke bahu musuh.
Tipu serangan ini sebenarnya hanya pura-pura belaka, maka sesudah tiga jurus, ia sengaja geser tubuh sedikit, sekonyong-konyong tiga panah berbisa dibidikkan ke belakang mengarah Yap Ji-nio.
Serangan itu sangat keji dan di luar dugaan, Bok Wan-jing berharap dapat mengenai sasarannya dalam keadaan musuh tidak berjaga-jaga.
"Jangan melukai putraku!" demikian Co Cu-bok menjerit khawatir.
Di luar dugaan, walaupun meluncurnya ketiga panah itu cepat luar biasa, tapi hanya sekali Yap Ji-nio kebas lengan bajunya, semua panah itu sudah disampuk jatuh ke samping. Berbareng itu sekenanya ia copot sebelah sepatu kecil yang dipakai Co San-san, terus ditimpukkan ke punggung Bok Wan-jing.
Mendengar sambaran angin dari belakang, cepat Wan-jing putar pedangnya menangkis ke belakang, namun biarpun menyerempet batang pedang, sepatu kecil itu tetap meluncur ke depan, "plak", tepat pinggang Bok Wan-jing tertimpuk.
Ternyata Yap Ji-nio telah memakai daya efek dalam sambitannya. Dalam keadaan sudah terluka, cepat Bok Wan-jing mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan.
Sementara itu sepatu kedua sudah disambitkan lagi oleh Yap Ji-nio, sekali ini dengan tepat mengenai punggung Bok Wan-jing. Pandangan Wan-jing menjadi gelap, tak tertahan lagi ia jatuh terkulai ke tanah.
Kesempatan itu segera digunakan Co Cu-bok, ujung pedangnya mengancam di dada si gadis, sedang tangan lain diulur hendak mencolok biji mata Bok Wan-jing.
Dalam keadaan tak berdaya, Wan-jing hanya menjerit tertahan sekali, "O, Toan-long!"
Sekonyong-konyong ia menubruk maju memapak ujung pedang lawan. Nyata ia sudah bertekad daripada menderita siksaan dicukil matanya, lebih baik mati di ujung pedang saja.
Syukurlah pada saat itu juga sekonyong-konyong menyambar tiba sinar kilat, tahu-tahu pedang yang dipegang Co Cu-bok itu mencelat ke udara, begitu hebat daya pental itu sampai ketua Bu-liang-kiam itu ikut sempoyongan ke belakang dan hampir-hampir terjungkal.
Keruan ketiga orang di atas puncak itu kaget semua. Berbareng mereka berpaling ke arah pedang yang mencelat ke atas itu.
Kiranya pedang itu terlilit oleh seutas tali pancing ikan yang panjang, ujung tali pancing itu adalah sebatang galah bambu, pemegangnya adalah seorang nelayan yang memakai caping dan bermantel ijuk.
Usia nelayan itu kira-kira 30 tahun, gagah berwibawa dan sedang tertawa dingin.
Segera Yap Ji-nio dapat mengenalnya sebagai orang yang tempo hari bertempur dengan In Tiong-ho, ilmu silatnya tidak lemah, tapi kalau dibanding dirinya masih selisih setingkat, maka ia tidak perlu takut. Cuma tak diketahuinya, apakah seorang kawannya yang lain ikut datang atau tidak?
Ketika ia melirik, benar juga segera tertampak seorang laki-laki berbaju pendek dan bersepatu rumput sudah berdiri di sebelah kiri sana. Pada pinggang laki-laki ini terikat seutas tali rumput yang kasar, di tengah tali itu terselip sebatang kapak pendek.
Sedang Yap Ji-nio hendak buka suara, tiba-tiba terdengar pula ada suara keresek perlahan di belakangnya. Cepat ia berpaling. Maka tertampaklah di sana-sini masing-masing juga sudah berdiri pula seorang.
Yang di sisi sana berdandan sebagai sastrawan, tangan kanan membawa kipas lempit, tangan kiri menggenggam segulung buku. Dan yang berdiri di sebelah sini adalah seorang laki-laki berkaki telanjang, alisnya tebal, matanya besar, pundaknya memanggul cangkul garuk bergigi lima. Keempat orang terbagi pada empat jurusan hingga berbentuk mengepung.
Diam-diam Yap Ji-nio pikir, "Jika ilmu silat keempat orang ini setara, seorang diri mungkin aku tak sanggup melawan mereka. Baiknya Lotoa berada di sekitar sini, kalau mendengar suaraku, tentu segera datang. Biarlah orang-orang ini kubereskan dahulu, agar kelak kalau menyerbu istana Tayli bisa banyak menghemat tenaga."
Tapi sebelum ia berteriak, tiba-tiba terdengar Co Cu-bok berseru, "Eh, keempat tokoh 'Hi-jiau-keng-dok' dari istana telah datang semua, terimalah hormatku Co Cu-bok dari Bu-liang-kiam ini!"
Sembari berkata ia terus memberi hormat kepada keempat laki-laki itu.
Hanya si sastrawan tadi yang membalas hormat dengan sopan, sedang ketiga laki-laki lainnya hanya diam saja tak menggubris.
Tiba-tiba si nelayan tertawa dingin sambil menggoyang-goyangkan alat pancingnya hingga pedang Co Cu-bok yang masih terlilit tali pancing itu berkilat-kilat oleh sinar sang surya, lalu ejeknya, "Huh, 'Bu-liang-kiam' kan juga suatu aliran persilatan terkemuka di negeri Tayli ini, sungguh tidak nyana bahwa Ciangbunjinnya justru adalah seorang yang begini rendah memalukan. Bagaimana dengan Toan-kongcu? Di mana dia?"
Dalam keadaan putus asa dan sudah bertekad untuk mati, kini tiba-tiba datang penolong, tentu saja Bok Wan-jing sangat girang, kini mendengar pula orang menanyakan Toan-kongcu, keruan ia tambah menaruh perhatian.
Maka terdengarlah jawaban Co Cu-bok, "Toan-kongcu? Ya, beberapa hari yang lalu memang pernah kulihat Toan-kongcu, dia... dia berada bersama dengan... dengan nona ini."
Segera pandangan si nelayan beralih kepada Bok Wan-jing dengan penuh tanda tanya.
Maka kata Wan-jing, "Tadinya Toan-kongcu berada di atas puncak karang sana, tapi selama beberapa hari ini ia menghilang, mati-hidupnya tidak diketahui."
Nelayan itu mengamat-amatinya sejenak, lalu membentak, "Jadi engkau inilah Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing yang terkenal jahat itu? Di manakah Kongcuya kami? Lekas katakan!"
Semula sebenarnya Bok Wan-jing rada suka pada si nelayan karena kata-katanya yang sangat memerhatikan dirinya Toan Ki. Tapi kini mendadak dirinya dibentak dan ditanya seperti pesakitan, seakan-akan dirinya dituduh membikin celaka Toan Ki.
Dasar watak Bok Wan-jing memang juga angkuh, mana ia sudi dihina seperti itu. Kontan ia balas tertawa dingin dan menjawab, "Siapakah kau? Berani kau tanya aku dengan sikap demikian?"
Nelayan itu menjadi gusar, katanya, "Kau malang melintang di wilayah Tayli, membunuh orang dengan semena-mena, memang sudah lama kami ingin mencari kau. Sekarang kebetulan bisa bertemu di sini, jika kau mengaku terus terang di mana beradanya Toan-kongcu, urusan dapat diakhiri dengan mudah, kalau tidak, hm, hm!"
"Toan Ki sudah dibinasakan oleh kawan perempuan itu," seru Wan-jing tiba-tiba sambil menuding Yap Ji-nio, lalu menyambung, "Orang itu katanya bernama 'Kiong-hiong-kek-ok' In Tiong-ho, tubuhnya tinggi kurus bagai galah bambu ...."
Nelayan itu sangat terkejut, bentaknya memotong, "Apa benar katamu ini? Benar-benar orang itu yang membunuh Toan-kongcu?"
Di antara keempat laki-laki itu, si petani yang membawa pacul garuk itu berwatak paling berangasan. Demi mendengar Toan Ki sudah mati, seketika ia menangis keras-keras, serunya, "Toan-kongcu, biarlah kubalaskan sakit hatimu!"
Berbareng garuknya terus menyambar kepala Yap Ji-nio.
Namun sekali mengegos Yap Ji-nio dapat menghindar, tanyanya dengan tertawa, "Apa engkau ini Tiam-jong-san-long di antara 'Hi-jiau-keng-dok' itu?"
"Benar! Rasakan dulu garukku ini!" sahut petani itu sambil menyerampang pula dengan senjatanya yang khas itu.
Beberapa hari yang lalu Yap Ji-nio pernah menyaksikan si nelayan dan si tukang kayu menempur In Tiong-ho, kini berhadapan sendiri dengan Tiam-jong-san-long atau si petani dari pegunungan Tiam-jong, nyata memang sangat hebat kedua kali serangan tadi.
Mendadak Yap Ji-nio tertawa terkekeh-kekeh. Tapi hanya beberapa kali tertawa, tiba-tiba suara tawa itu berubah menjadi menangis sambil sesambatan, "Aduh, 'Hi-jiau-keng-dok' keempat anakku dari negeri Tayli, kalian telah mati semua dalam usia pendek, sungguh ibumu ini sedih tak terhingga! O, anak-anakku, tunggulah ibumu Yap Ji-nio ini di akhirat!"
Padahal tokoh 'Hi-jiau-keng-dok' atau si nelayan, si tukang kayu, si petani dan si sastrawan, semuanya berusia setaraf dengan Yap Ji-nio. Tapi kini ia sendiri menyebut sebagai ibu mereka, sambil sesambatan, "O, anak-anakku sayang" dan sebagainya. Keruan Tiam-jong-san-long menjadi gusar, ia mainkan pacul garuknya terlebih kencang hingga berwujud segulung kabut putih yang mengurung rapat lawannya.
Namun Yap Ji-nio tidak balas menyerang, ia tetap peluk Co San-san sambil berkelit kian kemari, betapa pun kencang Tiam-jong-san-long memutar garuknya, tetap tak bisa menyenggol ujung baju lawannya.
Sebaliknya ratap tangis Yap Ji-nio masih tetap berkumandang dengan sedih memilukan, suaranya makin lama makin keras.
Tiba-tiba hati Bok Wan-jing tergerak, serunya segera, "He, dia sedang memanggil kawan-kawannya. Kalau 'Thian-he-su-ok' (empat durjana di dunia) datang semua, mungkin kalian tak sanggup melawannya."
Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari balik gunung sana berkumandang suara seruling yang nyaring merdu hingga suara tangis Yap Ji-nio yang memilukan itu terpengaruh seakan-akan paduan suara dari dua nada yang tinggi dan rendah.
Diam-diam Bok Wan-jing terkejut, "Jangan-jangan orang jahat nomor satu di jagat ini sudah datang sekarang."
Dalam pada itu si tukang kayu sudah cabut kapak pendek dari pinggangnya terus membentak, "Bu-ok-put-cok Yap Ji-nio memang tidak bernama kosong, biarlah aku 'Jay-sin-khek' (si Tukang Pencari Kayu) belajar kenal dengan kepandaianmu."
Habis berkata, segera ia membuka serangan dengan cepat.
Ternyata ilmu kepandaian si tukang kayu itu adalah 'Boan-kin-co-ciat-cap-pek-poh' atau 18 jurus ilmu permainan kapak pembabat akar, ia mengapak ke sini dan ke sana, yang diincar selalu bagian bawah musuh.
"Hah, bocah ini hanya mengganggu saja. Ini, boleh kau bacok mati dia!" ujar Yap Ji-nio dengan tertawa sambil sodorkan Co San-san ke arah kapak.
Keruan Jay-sin-khek terkejut, lekas ia tarik kembali senjatanya. Tak terduga, sedikit ayal itulah ia sendiri harus telan pil pahit, mendadak Yap Ji-nio ayun kakinya mendepak hingga tepat kena pundaknya. Syukur perawakan Jay-sin-khek kekar kuat, hingga depakan itu hanya membuatnya terhuyung-huyung dan tidak sampai terluka.
Dan dengan memperalat anak itu sebagai tameng, Tiam-jong-san-long dan Jay-sin-khek menjadi rada repot, pada waktu menyerang mereka menjadi ragu-ragu. Apalagi dari samping Co Cu-bok bergembar-gembor, "Awas anakku! Jangan melukai anakku!"
Sedang pertarungan itu berlangsung dengan sengit, terdengar suara seruling tadi semakin mendekat. Dari balik karang sana muncul seorang laki-laki berjubah longgar dan bertali pinggang kendur. Kedua tangan memegang sebuah seruling kemala sedang ditiup dengan asyiknya.
Bok Wan-jing melihat orang ini berjenggot cabang tiga, mukanya tampan, kulit badannya putih bagai salju, jari-jarinya yang memegang suling itu tampak sama putihnya dengan kulit mukanya.
Menampak datangnya orang itu, dengan langkah cepat si sastrawan tadi terus mendekati dan bisik-bisik berbicara dengan dia dengan sangat hormat. Tapi orang itu masih terus meniup serulingnya, hanya sinar matanya yang tampak mengerling ke arah Bok Wan-jing.
"Kiranya orang ini adalah segolongan dengan keempat tokoh Hi-jiau-keng-dok ini," demikian Bok Wan-jing membatin.
Dalam pada itu, sambil masih meniup seruling, perlahan orang itu lantas mendekati Yap Ji-nio bertiga yang masih bertempur dengan seru itu.
Meski si tukang kayu ayun kapaknya begitu keras dan Tiam-jong-san-long putar garuknya begitu kencang, namun orang itu seakan-akan tidak melihatnya saja, mendadak suara serulingnya meninggi keras hingga anak telinga semua orang serasa pekak.
Dan sekali jari-jari orang itu menutup rapat lubang-lubang serulingnya dan meniupnya dengan keras, tahu-tahu dari ujung seruling menyembur keluar serangkum angin tajam ke muka Yap Ji-nio.
Dalam kagetnya, Yap Ji-nio cepat menghindar, namun pada saat lain, ujung seruling lawan tahu-tahu sudah mengancam tenggorokannya.
Dua kali serangan itu dilakukan dengan kecepatan dan kegesitan yang mengejutkan, biarpun Yap Ji-nio dapat berkelit dengan cepat, tidak urung ia merasa kerepotan juga. Dalam seribu kerepotannya itu, ia paksakan diri mendoyong badan bagian atas ke belakang untuk menghindari tutukan seruling yang mengancam tenggorokan itu.
Tak tersangka, mendadak Koan-bau-khek atau si jubah longgar itu, menggunakan tenaga dalam dengan seruling menimpuk ke ulu hati Yap Ji-nio yang sedang mendoyong itu.
Dalam keadaan demikian, Yap Ji-nio tidak berani sembrono lagi, segera ia lemparkan Co San-san ke tanah dan ulur tangan hendak merampas seruling orang. Namun sekali Koan-bau-khek kebas lengan bajunya yang longgar itu, anak itu kena digulung olehnya, katanya, "Serahkan sini!"
Sambil berkata, ia pun angsurkan tangan kirinya.
Saat itu tepat Yap Ji-nio baru saja dapat memegang seruling yang diluncurkan pemiliknya, seketika ia merasa seruling itu panas seperti dibakar, hal ini benar-benar di luar dugaan Yap Ji-nio, pikirnya, "Jangan-jangan seruling ini dipoles racun?"
Maka cepat ia lepas tangan dan tak jadi merampasnya.
Dalam pada itu tangan kiri Koan-bau-khek yang terulur tadi tepat dapat merebut kembali serulingnya, sekalian ia terus sodokkan senjata itu ke bahu Yap Ji-nio, berbareng lengan bajunya yang menggulung Co San-san itu dikipratkan hingga bocah itu terlempar ke arah Co Cu-bok. Dengan tersipu-sipu cepat Co Cu-bok menangkap putranya itu.
Dua gerakan Koan-bau-khek, merebut anak dan menyerang musuh itu dilakukannya dengan cepat dan sewajarnya tanpa dipaksakan, gayanya indah, sasarannya jitu, sampai Bok Wan-jing pun ternganga saking kagumnya.
Yap Ji-nio sendiri, ketika orang menangkap kembali serulingnya tadi, sekilas dapat melihat telapak tengah Koan-bau-khek itu merah membara, ia menjadi kaget, "Jangan-jangan dia sudah berhasil meyakinkan Cu-se-jiu (tangan pasir merah) yang sudah lama hilang di kalangan Bu-lim itu? Jika demikian, terang di atas serulingnya bukannya dipoles dengan racun, tapi adalah tenaga dalamnya yang lihai itu telah membakar serulingnya hingga panasnya mirip habis dikeluarkan dari tungku."
Maka cepat ia mundur beberapa tindak, lalu katanya dengan tertawa, "Wah, ilmu silat saudara sungguh hebat. Tidak nyana bahwa di wilayah Tayli ini masih ada tokoh lihai begini. Numpang tanya siapakah namamu yang terhormat?"
Si jubah longgar hanya tersenyum saja, sahutnya, "Atas kunjungan Ji-nio ke wilayah kami ini, harap maaf kami tidak menyambut sebelumnya. Biarpun negeri Tayli ini hanya negeri kecil dan rakyatnya miskin, tapi sepantasnya memenuhi juga sekadar kewajiban sebagai tuan rumah."
Dalam pada itu Co Cu-bok yang sudah mendapatkan kembali putranya dengan selamat, dalam girang dan herannya itu, tiba-tiba teringat seseorang olehnya, pikirnya, "Dilihat dari wajahnya, orang ini memang mirip benar dengan tokoh yang sering dibuat cerita itu, tapi beliau mengapa bisa berkecimpung di kalangan Kangouw lagi?"
Namun begitu, tak tertahan juga rasa ingin tahunya, segera ia tanya, "Apakah tuan ini adalah ... adalah Ko-houya?"
Si jubah longgar itu tidak menjawab benar atau tidak, tapi lantas berkata kepada Yap Ji-nio, "Di manakah Toan-kongcu kami, bagaimana keadaannya, harap suka memberi tahu?"
"Aku tidak tahu," sahut Ji-nio dengan tertawa dingin. "Andaikan tahu juga takkan kukatakan."
Habis itu, sekonyong-konyong ia melayang turun ke bawah gunung.
"Nanti dulu!" seru si jubah longgar terus mengudak. Tapi mendadak pandangannya menjadi silau, tahu-tahu senjata rahasia musuh bagai hujan menghambur ke arahnya. Cepat ia putar serulingnya, sebagian senjata gelap itu dapat dihindari, sebagian lagi kena dipukul jatuh dengan seruling. Namun tangannya terasa pegal juga terbentur oleh sambitan senjata gelap yang kuat itu, diam-diam ia membatin, "Sungguh hebat perempuan ini."
Sementara itu Yap Ji-nio sudah sempat melayang pergi bagai hantu cepatnya, untuk mengejarnya terang tak keburu lagi. Ketika senjata gelap tadi ditegasi, ternyata terdiri dari macam-macam bentuk mainan. Segera Koan-bau-khek teringat, "Ya, barang-barang ini tentu diperolehnya dari anak-anak yang menjadi korbannya. Penyakit ini kalau tak dibasmi, entah betapa banyak anak kecil di negeri Tayli ini akan dicelakai pula!"
Di sebelah sana, si nelayan lantas ayun pancingnya hingga pedang yang terlilit oleh tali pancingnya mendadak mencelat ke arah Co Cu-bok dengan gagang pedang di depan. Dengan gugup, cepat Co Cu-bok menangkap pedangnya sendiri itu dengan wajah merah malu.
Lalu nelayan itu berpaling kepada Bok Wan-jing dan membentaknya dengan bengis, "Sebenarnya bagaimana keadaan Toan-kongcu? Apa benar telah dicelakai oleh In Tiong-ho?"
Walaupun dalam hati Bok Wan-jing rada mendongkol karena dibentak, tapi pikirnya, "Ilmu silat orang-orang ini sangat tinggi, tampaknya mereka adalah kawannya Toan-long. Biarlah kukatakan apa yang sebenarnya kepada mereka agar bersama-sama mereka bisa mencarinya ke sekitar jurang sana."
Tapi sebelum ia buka suara, tiba-tiba di bawah gunung sana ada suara teriakan seorang, "Bok-kohnio... Bok-kohnio... apakah engkau berada di sini?... Lam-hay-gok-sin, aku sudah datang, jangan engkau bikin susah Bok-kohnio!"
Mendengar suara itu, Koan-bau-khek dan kawan-kawannya itu tampak kegirangan luar biasa. Berbareng mereka berkata, "Itulah Kongcuya!"
Memang benar itulah suara Toan Ki. Dengan susah payah Bok Wan-jing telah menanti tujuh-hari tujuh-malam, kini mendadak mendengar suara orang yang diharapkan itu, saking girang dan kejutnya, sekonyong-konyong pandangannya terasa gelap terus jatuh pingsan....
Dalam keadaan sadar tak sadar, ia dengar ada suara orang menyebut namanya, "Bok-kohnio! Aku sudah berada di sini, lekas engkau siuman!"
Perlahan Bok Wan-jing siuman kembali, ia merasa dirinya berada di dalam pelukan orang, seketika ia ingin melompat bangun, tapi lantas teringat olehnya, "Ah, ini Toan-long yang memeluk aku."
Dengan rasa manis madu bercampur masam getir, perlahan ia membuka matanya, segera tertampak sepasang mata jeli yang berkilau-kilau sedang memandang padanya, siapa lagi dia kalau bukan Toan Ki.
"Hura, akhirnya engkau siuman juga!" demikian Toan Ki berseru girang.
Sementara itu Bok Wan-jing tak dapat lagi menahan air matanya yang bercucuran bagai hujan. Mendadak ia baliki tangannya, "plok", kontan ia persen Toan Ki sekali tamparan. Meski ia menggampar Toan Ki sekali, tapi badannya masih tetap berada dalam pangkuan pemuda itu, seketika ia pun tiada tenaga untuk melompat bangun.
Sejenak Toan Ki melongo sambil meraba-raba pipi yang ditampar itu, kemudian katanya dengan tertawa, "Kenapa engkau selalu suka memukul orang? Sungguh tiada nona sewenang-wenang seperti engkau ini!"
Habis ini, mendadak wajahnya berubah muram dan tanya, "Di manakah Lam-hay-gok-sin? Kenapa dia tidak menungguku di sini?"
"Orang sudah menunggu selama tujuh-hari tujuh-malam, apa masih belum cukup?" sahut Wan-jing. "Dia sudah pergi sekarang!"
Seketika Toan Ki berubah girang, serunya, "Bagus, bagus! Aku justru khawatir setengah mati. Bila dia paksa aku mengangkat guru padanya, kan runyam?"
"Dan kalau engkau tidak suka menjadi muridnya, kenapa kau datang lagi ke sini?" tanya Wan-jing.
"Eh, lalu bagaimana dengan dirimu?" sahut Toan Ki. "Bukankah engkau berada di bawah cengkeramannya. Kalau aku tidak datang kemari, dia tentu akan bikin susah padamu, mana aku tega tinggal diam?"
Hati Wan-jing terasa bahagia, katanya pula, "Hm, engkau ini sungguh jahat, ingin sekali kutusuk membinasakanmu. Coba katakan, sebab apa tidak lambat dan tidak telat engkau justru datang pada saat sudah mendapat bala bantuan dan musuh sudah pergi, lalu berlagak kesatria hendak menolong aku? Kenapa selama tujuh-hari tujuh-malam engkau tidak datang mencariku?"
Toan Ki menghela napas, sahutnya, "Sudah tentu engkau tidak tahu bahwa selama itu aku berada di bawah cengkeraman orang dan tak bisa berkutik. Padahal siang dan malam aku selalu merindukan dirimu, sungguh aku khawatir setengah mati, coba kalau aku bisa melepaskan diri, tentu sejak tadi aku sudah datang. Nona Bok, apakah lukamu sudah sembuh? Orang jahat itu tidak ... tidak menganiaya engkau bukan?"
"Pernah apa aku dengan engkau? Kenapa masih panggil nona apa segala terus-menerus?" omel Wan-jing.
Melihat paras si gadis yang kemerah-merahan dan semakin menambah kecantikannya, perasaan Toan Ki terguncang hebat. Sesungguhnya selama tujuh hari ini ia memang sangat merindukan gadis itu. Tak tertahan lagi ia merangkul lebih erat dan berkata, "Baiklah, Wan-jing, Wan-jing! Kupanggil demikian padamu, suka tidak engkau?"
Habis itu, terus saja ia tunduk kepala ke bawah hendak mencium bibir si nona.
Keruan Bok Wan-jing kaget, ia menjerit sekali sambil melompat bangun dengan wajah merah, serunya, "Ada orang luar di sini? Mana boleh engkau .... He, di manakah orang-orang itu?"
Waktu ia perhatikan, ternyata di sekitar situ sudah tidak kelihatan lagi bayangan Koan-bau-khek alias si jubah longgar bersama keempat jago Hi-jiau-keng-dok itu.
"Siapakah yang berada di sini? Apakah Lam-hay-gok-sin?" tanya Toan Ki dengan wajah menampilkan rasa takut pula.
"Sudah berapa lama engkau berada di sini?" tanya Wan-jing.
"Baru saja, belum lama," sahut Toan Ki. "Begitu aku naik ke sini lantas kulihat engkau rebah tak sadarkan diri di sini, kecuali itu, tiada lagi bayangan orang lain. He, Wan-jing, marilah kita lekas pergi, jangan-jangan nanti akan tertawan pula oleh Lam-hay-gok-sin yang jahat itu!"
"Baiklah!" sahut Wan-jing. Lalu ia bergumam sendiri, "Aneh, hanya sekejap saja mengapa sudah menghilang semua?"
Saat itulah tiba-tiba dari balik batu karang sana terdengar seorang sedang bersenandung, lalu muncul seorang yang membawa kipas dan buku, itulah dia si sastrawan dari empat tokoh "Hi-jiau-keng-dok."
"Cu-heng!" seru Toan Ki girang.
Cepat sastrawan itu masukkan kitab dan kipasnya ke dalam baju, lalu memburu maju dan menjura kepada Toan Ki sambil berkata dengan girang, "Kongcuya, syukur engkau dalam keadaan selamat, tadi ketika mendengar ucapan nona ini, sungguh kami khawatir tak terhingga!"
Dengan ramah Toan Ki membalas hormat orang, sahutnya, "Jadi kalian sudah bertemu tadi? Ken ... kenapa baru sekarang muncul? Sungguh sangat kebetulan!"
"Kami berempat saudara diperintahkan menjemput Kongcuya pulang dan bukannya bertemu secara kebetulan," ujar si sastrawan. "Kongcuya, engkau juga terlalu gegabah, seorang diri merantau Kangouw, untunglah kami mencari ke rumah Be Ngo-tek, lalu menyusul ke Bu-liang-san sini, selama beberapa hari kami benar-benar teramat khawatir."
"Banyak juga penderitaan yang kurasakan," ujar Toan Ki tertawa. "Paman dan ayah tentu marah-marah bukan?"
"Sudah tentu," sahut si sastrawan. "Cuma pada waktu kami berangkat, kedua junjungan sudah reda marahnya dan sebaliknya merasa khawatir atas diri Kongcuya, kemudian Sian-tan-hou juga mendapat berita kedatangan Su-tay-ok-jin ke Tayli sini, beliau khawatir kalau Kongcuya dipergoki mereka, maka beliau sendiri pun ikut datang mencari engkau."
"Su-tay-ok-jin apa? Jadi Ko-sioksiok juga ikut datang mencariku? Ah, aku jadi tak enak, di manakah beliau sekarang?"
"Barusan kami berada di sini semua," sahut si sastrawan. "Ko-houya telah berhasil mengusir seorang wanita jahat, dan ketika mendengar suara datangnya Kongcuya, mereka merasa lega dan suruh aku menunggu engkau di sini, sedang mereka pergi menguber si wanita jahat itu. Kongcuya, marilah sekarang juga kita pulang ke istana agar tidak dibuat beban pikiran lebih lama oleh kedua tuan besar."
"Kiranya sejak tadi engkau sudah berada di sini," ujar Toan Ki kikuk. Teringat olehnya apa yang dia bicarakan dengan Bok Wan-jing yang meresap tadi, semua itu tentu telah didengar juga oleh sastrawan ini, tak tertahan lagi wajahnya menjadi merah jengah.
"Tadi aku lagi asyik membaca syair indah gubahan Ong Jiang-ling yang penuh semangat itu, di luar dugaan Kongcuya sudah lama berada di sini," demikian kata si sastrawan dengan maksud menghilangkan rasa malu Toan Ki.
Maka dengan masih rada kikuk Toan Ki berpaling kepada Bok Wan-jing dan berkata, "Bok ... Bok-kohnio, ini adalah Cu Tan-sin, Cu-siko, dia adalah kawanku yang paling karib."
Segera Cu Tan-sin melangkah maju dan memberi hormat kepada si nona, katanya, "Terimalah hormat Cu Tan-sin, nona!"
Dengan ramah Wan-jing membalas hormat, ia menjadi senang melihat orang begitu merendah padanya, sahutnya, "Cu-siko, engkau sungguh sangat ramah, tidak seperti kawan-kawanmu tadi yang kasar dan bengis itu."
Cu Tan-sin tertawa, katanya, "Ketiga saudaraku itu tentu khawatir karena mendengar berita buruk atas diri Kongcuya, maka ucapannya rada kurang sopan, harap nona suka memaafkan."
Dalam hati Cu Tan-sin heran juga, kejahatan "Hiang-yok-jeh" paling akhir ini sering didengar olehnya, tak terduga olehnya bahwa tokoh itu ternyata seorang gadis sedemikian cantiknya. Ia menjadi khawatir atas Kongcuya yang masih muda dan belum berpengalaman itu akan tenggelam dalam pengaruh kecantikan si nona hingga akhirnya merusak nama baik sendiri.
Cu Tan-sin adalah seorang yang lihai, biarpun diam-diam ia sudah waspada kepada Bok Wan-jing, tapi lahirnya ia tidak mengunjuk sesuatu tanda, bahkan dengan tertawa ia berkata, "Kedua tuan besar sangat mengkhawatirkan diri Kongcuya, maka hendaknya Kongcuya lekas pulang saja. Bila Bok-kohnio juga tiada urusan lain, silakan ikut bertamu ke rumah Kongcu barang beberapa hari."
Ia menduga melulu kekuatan sendiri mungkin tak mampu mengatasi Bok Wan-jing, tapi kalau nona ini juga diajak pulang tentu Toan Ki akan merasa senang.
Dengan ragu Toan Ki menyahut, "Tapi cara bagaimana aku ... aku harus berkata pada paman dan ayah?"
Wajah Bok Wan-jing menjadi merah, cepat ia berpaling ke arah lain.
"Kudengar bahwa ilmu silat Su-tay-ok-jin itu sangat tinggi, tadi meski Sian-tan-hou dapat mengenyahkan Yap Ji-nio yang jahat itu pun berkat serangan di luar perhitungan musuh. Demi keselamatan Kongcuya, marilah kita lekas berangkat saja," demikian kata Cu Tan-sin pula.
Bila ingat betapa buasnya Lam-hay-gok-sin, kembali Toan Ki merinding. Ia manggut dan berkata, "Baiklah, mari kita berangkat. Cu-siko, jika musuh terlalu lihai, lebih baik engkau pergi membantu Ko-sioksiok saja, biar aku pulang sendiri bersama nona Bok."
"Tidak," sahut Cu Tan-sin. "Dengan susah payah akhirnya Kongcuya dapat kutemukan, sepantasnya aku mengawal engkau pulang. Betapa tinggi kepandaian nona Bok, memang sudah lama juga kukagumi. Cuma melihat keadaannya, agaknya lukanya masih belum pulih sama sekali, bila di tengah jalan nanti kepergok musuh lagi, tentu akan susah, maka lebih baik Cayhe mengawal pulang saja."
Sebenarnya Toan Ki tidak ingin langsung pulang, tapi sekali sudah diketemukan Cu Tan-sin, untuk minggat lagi terang tidak gampang. Terpaksa ia menurut dan bertiga lantas turun ke bawah gunung.
Dalam hati Bok Wan-jing ingin sekali tanya Toan Ki ke mana perginya selama tujuh-hari tujuh-malam, cuma Cu Tan-sin berada di samping mereka, untuk bicara rasanya kurang leluasa, terpaksa ia bersabar sebisanya.
Tan-sin membawa ransum kering, di tengah jalan ia keluarkan dan dibagikan kepada Toan Ki dan Wan-jing.
Sampai di bawah gunung, tertampaklah di bawah pohon tertambat lima ekor kuda bagus, itulah kuda tunggangan rombongan Jay-sin-khek.
Segera Tan-sin membawakan tiga ekor di antaranya, ia silakan Toan Ki dan Wan-jing naik dulu, kemudian ia sendiri mencemplak ke atas kuda yang lain terus mengikut dari belakang.
Malamnya mereka bertiga menginap di suatu hotel kecil dan masing-masing mendiami sebuah kamar. Setelah tutup kamar, Bok Wan-jing duduk termangu-mangu bertopang dagu menghadapi api lilin di atas meja, pikirnya, "Tanpa menghiraukan keselamatan sendiri Toan-long sudi datang sendiri mencari aku, suatu tanda cintanya yang mendalam padaku. Sebaliknya selama beberapa hari ini dalam hatiku selalu menyumpahi dia berhati palsu segala, nyata aku telah keliru menyalahkan dia.
"Melihat sikap Cu Tan-sin yang sangat hormat, agaknya Toan-long kalau bukan putra keluarga bangsawan, tentu adalah angkatan muda dari tokoh persilatan terkemuka. Seorang nona seperti aku meski sudah bertunangan dengan dia, tapi begini saja aku lantas ikut pulang ke rumahnya, betapa pun aku merasa kikuk.
"Tampaknya ayah dan pamannya juga sangat bengis padanya, bila nanti aku pun dihina olehnya, lantas bagaimana baiknya? Hm, paling-paling kulepaskan panah beracun untuk membunuh mereka semua, hanya Toan-long seorang yang kubela."
Selagi berpikir cara bagaimana kelak akan mengganas, tiba-tiba terdengar suara keletakan perlahan dua kali di daun jendela. Cepat Bok Wan-jing ayun tangannya hingga api lilin tersirap.
Maka terdengarlah suara Toan Ki lagi berkata perlahan di luar jendela, "Akulah, nona Bok!"
Mendengar pemuda itu tengah malam datang ke kamarnya, hati Wan-jing menjadi berdebar-debar, dalam kegelapan ia merasa wajahnya merah membara. Dengan berbisik ia coba tanya, "Ada urusan apa?"
"Bukalah jendelamu, biar kukatakan padamu," sahut Toan Ki.
"Tidak, aku tak mau buka," ujar si nona. Sungguh aneh, dengan ilmu silatnya yang sangat tinggi itu, biasanya ia tidak gentar pada siapa pun juga, tapi kini ia merasa jeri hanya kepada seorang pelajar yang lemah, sungguh ia sendiri pun tidak tahu apa sebabnya.
Toan Ki heran juga mengapa si gadis tak mau membuka jendela, segera ia membisiki lagi, "Jika begitu, lekas engkau keluar, kita harus segera berangkat."
Mendengar itu, cepat Wan-jing bertanya lagi, "Sebab apa?"
"Cu-siko sedang tidur nyenyak, jangan kita bikin mendusin dia, aku tidak ingin pulang!" demikian kata Toan Ki.
Wan-jing menjadi girang, ia memang sedang khawatir cara bagaimana nanti kalau bertemu dengan ayah-bunda pemuda itu. Kini diajak minggat, tentu saja ia akur tanpa syarat. Segera ia buka jendela perlahan, lalu melompat keluar.
"Ssst! Perlahan, jangan sampai diketahui Cu-siko!" demikian Toan Ki mendesis. "Kau tunggu di sini, biar kupergi mengambil kuda."
Tapi Wan-jing lantas menggoyang tangannya, sekali ia rangkul pinggang Toan Ki, ia terus lompat ke atas rumah dan melayang keluar tembok sana. Katanya kemudian, "Jangan kita naik kuda, suara lari kuda akan mengejutkan Cu-sikomu."
"Benar juga, cermat sekali engkau," sahut Toan Ki dengan tertawa.
Maka dengan bergandengan tangan mereka cepat berjalan ke arah timur. Setelah beberapa li jauhnya tidak terdengar orang mengejar, mereka merasa lega. Kata Bok Wan-jing, "Sebab apa engkau tidak suka pulang?"
"Begitu pulang, tentu paman dan ayah akan menyekap aku dan dilarang keluar lagi," sahut Toan Ki. "Dan untuk bertemu lagi dengan engkau tentu susah."
Senang sekali hati Bok Wan-jing mendengar pernyataan itu, katanya, "Engkau tidak suka pulang, itulah sangat baik, biarlah mulai sekarang kita merantau, bukankah kita bisa hidup bebas tenteram? Dan sekarang kita harus pergi ke mana?"
"Pertama kita harus menghindari pengejaran Cu-siko, Ko-sioksiok dan lain-lain," sahut Toan Ki. "Lalu kita menghindari Lam-hay-gok-sin yang buas itu."
"Benar," kata Wan-jing. "Paling baik kita menuju ke barat-laut, kita memondok dulu di rumah seorang desa untuk menghindari pengejaran, lewat belasan hari kemudian, kalau luka di pundakku sembuh sama sekali, tentu kita takkan khawatir lagi terhadap apa pun."
Segera mereka berdua membelok ke arah barat-laut dengan cepat, di tengah jalan mereka tak berani berhenti dan banyak bicara, harapan mereka adalah semakin jauh meninggalkan Bu-liang-san, semakin baik.
Sampai fajar menyingsing, sudah sepuluh li mereka tempuh. Kata Wan-jing, "Musuhku terlalu banyak, kalau kita berjalan siang hari tentu akan menarik perhatian orang. Lebih baik kita mencari suatu tempat mengaso, siang hari kita makan-tidur dan malam hari meneruskan perjalanan."
Terhadap urusan-urusan Kangouw, sedikit pun Toan Ki tidak paham, maka sahutnya, "Baiklah, terserah kepada keputusanmu."
"Nanti sehabis kita sarapan, harus kau ceritakan ke mana engkau telah pergi selama tujuh-hari tujuh-malam ini," kata si nona pula. "Tapi kalau kau bohong, hm, awas...." berkata sampai di sini, mendadak ia berseru heran sambil menuding ke depan.
Ternyata di bawah pohon yang rindang tertambat tiga ekor kuda, di atas sepotong batu besar duduk seorang yang sedang membaca kitab sambil goyang-goyang kepala asyik bersyair. Siapa lagi dia kalau bukan Cu Tan-sin.
"Wah, celaka!" segera Toan Ki tarik tangan si nona dan diajak lari ke jurusan lain.
Namun Wan-jing cukup paham bahwa rencananya melarikan diri semalam tentu sudah didengar semua oleh Cu Tan-sin. Sastrawan itu menduga Toan Ki tak bisa Ginkang, tentu larinya takkan cepat, maka setelah tahu arah lari mereka, lalu ia naik kuda mengitari jalan lain untuk mengadang di depan.
Maka dengan bekernyit kening Wan-jing berkata, "Tolol, sudah diketahui orang, masakan masih bisa lari lagi?"
Terus saja ia mendekati Cu Tan-sin dan menegur, "Wah, pagi-pagi buta sudah asyik membaca di sini, senang benar tampaknya!"
Tan-sin manggut-manggut sambil tertawa, katanya kepada Toan Ki, "Kongcu, coba terka syair apa yang sedang kubaca?"
Lalu ia keraskan suaranya bersenandung sebait syair.
Selesai mendengarkan, segera Toan Ki menjawab, "Bukankah ini 'bisikan kalbu' gubahan Gui Tin?"
Tan-sin tertawa, katanya, "Pengetahuan Kongcuya sungguh sangat luas dan dalam, Tan-sin merasa sangat kagum!"
Toan Ki dapat memahami maksud syair orang yang mengatakan sebabnya malam buta mau menyusul dan mencarinya, yaitu karena merasa utang budi pada ayah dan pamanmu, maka tidak berani mengecewakan kepercayaan yang kuterima dari beliau-beliau itu.
Maka Toan Ki menjadi rikuh untuk minggat lagi, segera ia ajak Bok Wan-jing ikut pulang.
"Entah jalan yang kami tempuh ini benar tidak menuju ke Tayli?" dengan kikuk Bok Wan-jing tanya.
"Toh tiada urusan penting yang lain, ke timur atau ke barat serupa saja, akhirnya juga sampai di Tayli," sahut Tan-sin.
Kalau kemarin ia memberi Toan Ki seekor kuda yang paling bagus, adalah sekarang kuda bagus itu ia tunggangi sendiri untuk berjaga-jaga kalau pemuda itu melarikan diri lagi dan dirinya tentu akan sukar menyusulnya.
Segera Toan Ki mencemplak ke atas kuda dan berangkat ke jurusan timur. Khawatir pemuda itu mendongkol padanya, sepanjang jalan Tan-sin berusaha membikin senang hatinya dengan mengajak bicara tentang syair dan sastra.
Saking asyiknya Toan Ki dibuai oleh syair, hingga Bok Wan-jing yang berada di sampingnya itu tak terurus.
Keruan gadis itu mendongkol, pikirnya, "Pelajar tolol ini bila sudah asyik bicara tentang syair segala menjadi lupa daratan."
Tidak lama, sampailah mereka di jalan raya. Kemudian mereka berhenti di suatu kedai di tepi jalan untuk sarapan pagi sekadarnya. Baru selesai mereka pesan makanan, tiba-tiba dari luar melangkah masuk pula seorang yang bertubuh tinggi kurus.
Begitu ambil tempat duduk, segera si jangkung itu menggebrak meja sambil membentak, "Lekas bawakan lima kati arak, tiga kati daging rebus, lekas, cepat!"
Mendengar suara orang, tak usah melihat, segera Bok Wan-jing dapat mengenali si jangkung itu pasti In Tiong-ho adanya. Syukur ia menghadap ke dalam hingga tidak dilihat oleh tokoh jahat keempat itu. Segera ia gunakan jarinya mencelup air kuah untuk menulis nama In Tiong-ho di atas meja.
Tan-sin terkejut, segera ia pun menulis di atas meja, "Lekas berangkat, tak perlu menunggu aku!"
Terus saja Wan-jing berbangkit, ia tarik baju Toan Ki dan diajak menuju ke ruangan belakang.
Sejak masuk tadi, In Tiong-ho lantas duduk menghadap ke luar seperti sedang mengintai orang lewat. Tapi dia sangat cerdik, begitu mendengar ada suara orang bergerak di belakangnya, ia lantas menoleh dan masih keburu melihat bayangan Bok Wan-jing menghilang di balik pintu, segera ia membentak, "Siapa itu? Berhenti!"
Berbareng ia terus berbangkit dan memburu ke belakang.
Saat itu Cu Tan-sin sedang memegangi semangkuk bakmi kuah panas, ia sengaja menjerit keras sekali seakan-akan orang kaget, semangkuk bakmi panas itu disiramkan ke muka In Tiong-ho.
Jarak kedua orang memang sangat dekat, gerakan Cu Tan-sin itu sangat cepat pula, ditambah lagi sama sekali In Tiong-ho tak menyangka si sastrawan yang lemah itu mendadak bisa menyerang, pula ruangan kedai itu terlalu sempit untuk menghindar, mendingan juga Ginkangnya sudah mencapai tingkat tiada taranya, dengan cepat ia masih sempat mengegos sedikit hingga semangkuk bakmi panas itu dapat dielakkan sebagian, tinggal isi setengah mangkuk yang tetap mengguyur mukanya hingga pandangannya seketika menjadi kabur.
Dalam gusarnya segera In Tiong-ho mencakar dada Cu Tan-sin dengan niat sekaligus binasakan orang. Tak tersangka, begitu Tan-sin guyurkan bakminya tadi, menyusul ia lantas angkat meja hingga mangkuk piring berhamburan ke arah In Tiong-ho. "Crat," kelima jari In Tiong-ho yang mencakar itu pun menancap di muka meja.
Betapa tinggi ilmu silat In Tiong-ho, karena mendadak diserang ia menjadi kalang kabut juga dan kerepotan.
Lekas ia kerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuh sendiri hingga mangkuk piring yang berhamburan ke badannya itu semua terpental jatuh dan tak melukainya. Namun begitu, bajunya menjadi basah kuyup juga oleh siraman kuah bakmi itu.
Pada saat lain, terdengarlah derap lari kuda yang ramai di luar kedai, ada dua penunggang kuda telah kabur ke utara.
Cepat In Tiong-ho mengusap mukanya yang tersiram bakmi tadi, tapi pada saat itu juga sekonyong-konyong angin tajam menyambar pula, suatu benda keras telah menutuk ke arah dadanya. Cepat ia tarik napas dalam-dalam hingga dadanya tertarik mundur beberapa senti, berbareng telapak tangan kiri lantas menebas dan dua jari tangan lain dipakai menjepit kipas orang.
Ruji kipas milik Cu Tan-sin itu terbuat dari baja murni dan merupakan senjata ampuh yang diyakinkan sejak kecil, ia dapat memainkannya dengan cepat dan sesuka hati. Maka ia menduga dalam keadaan kelabakan terkena siraman bakmi panas tadi, sekali serang dapatlah merobohkan In Tiong-ho yang lihai itu.
Tak tersangka, bukan saja In Tiong-ho dapat menghindar serangan itu dengan baik, bahkan kipasnya hendak dijepit pula. Keruan Tan-sin terkejut, cepat ia tarik kembali kipasnya.
Bicara tentang tenaga dalam, Cu Tan-sin masih kalah setingkat daripada lawannya, tapi kipas adalah senjata kesayangannya, maka sekuatnya ia tarik, untung juga tangan In Tiong-ho basah oleh kuah bakmi, jarinya menjadi licin hingga kurang kencang jepitannya, maka dapatlah Tan-sin merebut kembali kipasnya itu.
Dalam keadaan demikian, mendadak Tan-sin mendapat akal, cepat ia berteriak-teriak, "Hai, kawan-kawan yang memakai pancing dan kapak, lekas kalian tutup pintu, si jangkung ini takkan mampu lari lagi!"
Kiranya Tan-sin pernah mendengar ceritanya "Bu-sian-tio-to" atau si tukang pancing dari danau Bu-sian, dan Jay-sin-khek, bahwa malam itu mereka pergoki seorang jangkung bagai galah bambu, dengan tenaga mereka berdua barulah sekadar bisa mengalahkan lawan. Sebab itulah sekarang ia sengaja main gertak, ia menggembor pura-pura memanggil kawan untuk menakutkan lawan itu.
In Tiong-ho tidak menyangka itu cuma gertakan belaka, ia pikir bisa celaka kalau benar si nelayan dan tukang kayu itu muncul, tentu dirinya sukar untuk meloloskan diri.
Ia menjadi gugup dan tidak mau bertempur lebih lama, terus saja ia terjang ke ruangan belakang dan melarikan diri melintasi pagar tembok.
"Wah, sudah lari, si jangkung sudah lari! Lekas kejar, lekas kejar!" demikian Tan-sin masih berteriak sambil berlari keluar kedai dan mencemplak ke atas kudanya, tapi bukan mengejar si jangkung, melainkan menyusul Toan Ki berdua.
Saat itu Toan Ki dan Wan-jing sudah melarikan kuda mereka beberapa li jauhnya, lalu melambatkan kudanya perlahan. Tidak lama, terdengar derapan kuda yang cepat dari belakang, waktu menoleh, kiranya Cu Tan-sin sudah menyusul tiba.
Mereka hentikan kuda untuk menunggu, setelah dekat, belum lagi mereka sempat tanya kawan itu, sekonyong-konyong Wan-jing berseru, "Celaka, orang itu mengejar kemari!"
Maka tertampaklah sesosok tubuh yang jangkung sedang memburu datang dengan cepat luar biasa, saking tinggi tubuh orang hingga mirip galah bambu dalam permainan jelangkung yang bergontai-gontai sempoyongan ke kanan dan ke kiri.
Kejut Tan-sin tak terhingga, sungguh tak terduga olehnya bahwa Ginkang si jangkung bisa begini hebat.
Cepat ia menyabat beberapa kali bokong kuda tunggangan Toan Ki dan Wan-jing, dalam kagetnya, kuda-kuda itu meringkik sekali terus membedal ke depan dengan kencang. Maka hanya sekejap saja In Tiong-ho sudah jauh ketinggalan di belakang.
Kira-kira beberapa li lagi, Bok Wan-jing mendengar napas kudanya sudah megap-megap, terpaksa ia lambatkan larinya, membiarkan binatang itu bernapas. Tapi karena sedikit ayal itu, kembali In Tiong-ho menyusul datang.
Biarpun kecepatan lari dalam jarak pendek In Tiong-ho tidak bisa memadai kuda, tapi tenaga untuk jangka lama ternyata tidak putus, ia masih mampu mengejar terus.
Cu Tan-sin tahu akal menggertaknya tadi sudah diketahui orang, untuk menakut-nakuti pula terang takkan mempan lagi, tampaknya dalam jarak belasan li tentu akan disusul olehnya.
Padahal asal bisa sampai di kota Tayli, betapa pun besarnya urusan tentu tidak perlu takut. Soalnya cuma ketiga ekor kuda mereka yang sudah payah, makin lama makin lambat, keadaan pun makin lama makin gawat.
Beberapa li lagi, sekonyong-konyong kuda Toan Ki kesandung hingga pemuda itu terbanting jatuh ke bawah. Syukur Bok Wan-jing dapat bertindak cepat, belum lagi tubuh Toan Ki menempel tanah, tangan si nona sudah sempat menjambret kuduk bajunya terus diangkat ke atas kuda sendiri.
Terhadap gadis itu sebenarnya Cu Tan-sin mempunyai kesan jelek, tapi ketika Toan Ki terjungkal dari kudanya, ia sendiri masih ketinggalan di belakang untuk merintangi musuh bila perlu, untuk menolong terang tidak keburu. Syukur gadis itu sempat turun tangan dengan cepat, melihat gerakan Bok Wan-jing yang cekatan itu, mau tak mau ia memuji juga.
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari belakang angin tajam menyambar, sepotong senjata rahasia menyerang ke arahnya.
Cepat Tan-sin putar kipasnya untuk menangkis, "trang", cakar baja In Tiong-ho tersampuk ke samping, tapi senjata aneh itu tidak lantas ditarik kembali oleh In Tiong-ho, sebaliknya terus menggaruk ke bawah hingga pantat kuda tercakar dan terluka.
Saking kesakitan, kuda itu meringkik terus mencongklang terlebih cepat hingga lagi-lagi In Tiong-ho tertinggal di belakang.
Namun demikian, kini Toan Ki dan Wan-jing harus bersatu kuda, sedang kuda Cu Tan-sin terluka pula, dengan sendirinya mereka sangat khawatir. Hanya Toan Ki yang sama sekali tidak kenal bahaya, ia masih tanya, "Wan-jing, apakah orang itu sangat lihai? Dapatkah Cu-siko melawan dia?"
"Tidak, biarpun aku bersama dia mengeroyoknya juga tak bisa menang," sahut si gadis.
Tiba-tiba timbul suatu akal dalam hatinya, katanya pula, "Eh, aku dapat pura-pura jatuh dari kuda dan rebah di tanah, nanti kalau dia mendekati aku, dalam keadaan tak tersangka-sangka akan kulepaskan panah, tentu dapat kurobohkan dia. Nah, lekas kau larikan kuda sendirian, tak perlu tunggu aku!"
Keruan Toan Ki gugup, tanpa pikir sebelah tangannya memeluk leher si gadis dan tangan lain merangkul pinggangnya sambil berkata, "Jangan, jangan! Aku takkan membiarkan engkau menempuh bahaya itu!"
Wan-jing menjadi jengah, omelnya, "Tolol, kenapa main pegang-pegang? Lekas lepaskan aku! Kalau dilihat Cu-siko, macam apa kelakuanmu ini?"
"O, ya! Maaf, jangan engkau marah!" seru Toan Ki terkejut sambil melepaskan rangkulannya.
"Engkau adalah suamiku, masakah pakai minta maaf segala?" ujar si nona.
Tengah bicara, dari jauh tampak In Tiong-ho memburu tiba lagi dengan gayanya yang gentayangan.
Sekilas Toan Ki melihat wajah Wan-jing mengunjuk rasa khawatir, seketika timbul rasa kasih sayangnya. Saat itulah tiba-tiba si gadis menjerit tertahan, tertampak Cu Tan-sin melompat turun dari kudanya dan sedang memberi tangan menyuruh mereka lari cepat. Lalu ia pentang kipasnya mengadang di tengah jalan hendak menempur In Tiong-ho.
Tak terduga maksud tujuan In Tiong-ho adalah ingin menawan Bok Wan-jing yang cantik itu. Sekonyong-konyong ia membelok ke pinggir hingga Cu Tan-sin dilalui, lalu mengejar terlebih cepat ke arah Toan Ki berdua.
Terus-menerus Bok Wan-jing mencambuk kudanya agar berlari lebih cepat, mulut binatang itu sudah berbusa, napasnya megap-megap, tapi masih tetap lari mati-matian.
"Wan-jing," ujar Toan Ki dengan menyesal, "coba kalau kuda yang kita tunggangi ini adalah si Mawar Hitam milikmu itu, jangan harap orang jahat itu mampu menyusul kita."
"Tentu saja," sahut Wan-jing.
Dan setelah kuda itu membelok ke suatu bukit, tiba-tiba di depan tampak sebuah jalan lapang lurus, di samping jalan juga tanah datar yang luas tanpa sesuatu tempat yang dapat dibuat sembunyi, hanya di ujung barat jalan sana tampak tetumbuhan rindang menghijau mengelilingi sebuah telaga kecil, di sisi telaga sana tampak menongol sebagian dinding berwarna kuning.
Melihat itu, Toan Ki bersorak, "Hura, lekas kita menuju ke sana!"
"Di sana adalah jalan buntu, apa cari mampus menuju ke sana?" sahut Wan-jing.
"Turutlah kataku, tentu kita akan selamat," ujar Toan Ki sambil bedal kudanya lebih cepat menuju ke semak pohon yang rindang itu.
Sesudah dekat, ketika Bok Wan-jing menegas, ia lihat dinding tembok yang kuning itu kiranya adalah sebuah bangunan kuil, di atas papan kuil itu tertulis "Jing-hoa-koan", nyata itulah sebuah To-koan atau kuil pemeluk agama To (Tao).
Hanya sepintas saja Wan-jing memandang kuil itu, dalam hati ia sedang berpikir, "Si tolol ini ajak lari ke sini, terang menghadapi jalan buntu, bagaimana baiknya sekarang? Ah, biarlah kusembunyi dulu untuk menyerang In Tiong-ho itu dengan panahku."
Saat itu kuda mereka sudah berlari sampai di depan kuil dan sedang Wan-jing hendak menoleh ke belakang, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa orang terbahak-bahak di belakang, terang itulah In Tiong-ho adanya.
Tiba-tiba Bok Wan-jing merasa kudanya berhenti serentak sambil menegak dan meringkik keras, hendak melangkah maju setindak lagi juga tak bisa. Dalam keadaan hampir merosot dari pelana kuda, cepat Wan-jing berpaling ke belakang, ia lihat kedua tangan In Tiong-ho memegangi ekor kudanya, pantas binatang itu berjingkrak dan meringkik sebab ekornya diganduli dari belakang.
Tenaga Kiong-hiong-kek-ok ini sungguh mengejutkan, kuda yang lagi membedal dengan cepat begitu ekornya ditarik lantas tak bisa berkutik sama sekali.
Segera terdengar juga Toan Ki lagi berteriak-teriak, "Ibu, Ibu! Lekas kemari, lekas!"
Sungguh mendongkol sekali Bok Wan-jing oleh gembar-gembor Toan Ki yang lucu seperti anak kecil itu, bentaknya gusar, "Tutup mulut, tolol!"
In Tiong-ho menjadi geli juga, ia terbahak-bahak dan mengejek, "Hahaha, biar kau panggil nenek moyangmu juga percuma!"
Mendadak Bok Wan-jing ayun tangan kanan ke belakang, sebatang panah terus menyambar ke tenggorokan In Tiong-ho.
Tapi sedikit mengegos, dapatlah Tiong-ho hindarkan serangan itu. Dari demi tampak Wan-jing hendak melompat pergi dari pelana kudanya, cepat cakar baja di tangan kiri terus mencengkeram pundak gadis itu.
Tapi Bok Wan-jing sangat cerdik dan cekatan, sekonyong-konyong ia merosot ke bawah terus menyelusup ke bawah perut kuda.
Dan selagi Tiong-ho melepaskan ekor kuda yang diganduli tadi dengan maksud hendak melabrak si gadis lebih jauh, ia menjadi tertegun ketika tiba-tiba dilihatnya dari dalam kuil itu berjalan keluar seorang To-koh (imam wanita) setengah umur dan berparas cantik, wajahnya tersenyum simpul, tangan kanan membawa sebuah kebut pertapaan.
Melihat To-koh itu, cepat Toan Ki berlari mendekatinya. Segera To-koh itu merangkul bahu anak muda itu sambil berkata dengan tertawa, "Kembali kau bikin onar lagi, ada apa bergembar-gembor!"
Melihat To-koh secantik itu sedemikian mesranya terhadap Toan Ki, bahkan tampak pemuda itu pun gunakan tangan kanan memeluk pinggang si To-koh dengan kegirangan, seketika timbul rasa cemburu Bok Wan-jing, tak terpikir olehnya bahwa musuh masih berada di situ, ia terus menubruk maju, telapak tangan lantas membacok kepala si To-koh sambil membentak, "Kau ... kau apanya?"
"Jangan kurang sopan, Wan-jing!" cepat Toan Ki berseru.
Mendengar pemuda itu membela si To-koh, rasa dongkol Wan-jing semakin berkobar, bacokannya tadi dilontarkan lebih keras lagi.
Tapi dengan tenang To-koh itu angkat kebutnya ke atas, sedikit berputar, tahu-tahu pergelangan tangan Bok Wan-jing terlilit oleh benang kebutnya. Seketika Wan-jing merasa tenaga lilitan kebut itu tidak kepalang kuatnya, tapi lunak pula, sedikit To-koh itu kebas kebutnya, kontan Wan-jing terhuyung-huyung ke samping.
Dalam gugup dan kalapnya, Wan-jing terus memaki, "Engkau adalah Cut-keh-lang (orang beragama), kenapa sedemikian tidak tahu malu!"
Semula, ketika tiba-tiba melihat muncul seorang To-koh yang cantik, diam-diam In Tiong-ho sangat girang, pikirnya hari ini aku benar-benar lagi dirundung dewi amor, sekali tangkap dua wanita cantik, biar nanti kugondol pulang semuanya.
Tapi kemudian demi menyaksikan cara bagaimana To-koh itu mematahkan serangan Bok Wan-jing dengan mudah. Sebagai seorang jago silat berpengalaman, hanya sejurus itu saja lantas diketahuinya ilmu silat si To-koh sangat hebat. Segera ia mencemplak ke atas kuda Toan Ki tadi, tapi tidak lantas turun tangan.
Terdengar To-koh tadi sedang berkata dengan gusar, "Kau sembarangan omong apa, nona cilik? Kau ... kau sendiri pernah apanya?"
"Aku ... aku istri Toan-long!" demikian Wan-jing menjawab. "Lekas engkau melepaskan dia!"
To-koh itu tercengang sejenak, tiba-tiba air mukanya berubah senang berseri-seri, ia jewer kuping Toan Ki, tanyanya dengan tertawa, "Apa betul perkataannya?"
"Dapat dikata betul, boleh dibilang tidak betul pula," sahut Toan Ki.
To-koh itu cubit sekali pipi pemuda itu sambil mengomel, "Huh, suruh kau belajar silat tidak mau, tapi lebih suka meniru watak ayahmu yang bangor, ya? Hm, lihatlah kalau aku tidak hajar kau."
Lalu ia berpaling mengamat-amati Bok Wan-jing, kemudian katanya, "Ehm, nona ini juga sangat cantik, cuma terlalu liar, perlu dididik dulu."
"Liar atau tidak peduli apa?" semprot Wan-jing dengan gusar. "Jika engkau tidak lekas lepaskan dia, jangan menyesal bila aku menyerang dengan panah."
"Jika kau suka, boleh kau coba-coba," ujar si To-koh tertawa.
"Jangan, Wan-jing!" demikian Toan Ki menyela. "Kau tahu tidak siapa beliau?"
Namun Bok Wan-jing sudah kadung minum cuka (cemburu), ia tak tahan lagi, begitu ayun tangan, "ser-ser", dua panah kecil terus menyambar ke arah si To-koh.
Melihat bidikan panah berbisa gadis itu, wajah si To-koh yang tadinya berseri-seri itu seketika berubah hebat. Sekali kebutnya mengebas, setiap benang perak dari kebut itu seakan-akan bertenaga sembrani, kedua panah itu dibungkus oleh bulu kebut.
"Kau pernah apanya 'Siu-lo-to' Cin Ang-bian?" tiba-tiba To-koh itu membentak.
"Apa itu 'Siu-lo-to' Cin Ang-bian segala? Aku tak pernah dengar!" sahut Wan-jing.
Melihat wajah si To-koh yang pucat pasi saking marahnya, cepat Toan Ki menghiburnya, "Engkau jangan marah, ibu!"
"Apa katamu, dia ibumu?" jerit Wan-jing terkejut oleh ucapan Toan Ki itu. Sungguh ia tidak percaya akan telinganya sendiri.
"Memang tadi aku sudah memanggil ibu, masakah engkau tidak dengar?" sahut Toan Ki tertawa. Lalu ia berpaling pada si To-koh dan berkata, "Mak, inilah nona Bok Wan-jing, selama beberapa hari ini anak banyak menghadapi bahaya dan kepergok orang jahat, tapi berkat pertolongan nona Bok ini, jiwa anak masih selamat sampai sekarang."
Pada saat itulah tiba-tiba dari sana terdengar seorang lagi berteriak-teriak, "Yau-toan-siancu, Yau-toan-siancu! Engkau harus hati-hati, ini dia satu di antara Su-ok!"
Kiranya yang datang ini adalah Cu Tan-sin yang ketinggalan di belakang tadi. Sesudah dekat dan melihat wajah si To-koh rada aneh, ia sangka orang telah dicederai oleh In Tiong-ho, dengan khawatir segera ia tanya, "Yau-toan-siancu, apa engkau... engkau sudah bergebrak dengan dia?"
Tiba-tiba In Tiong-ho bergelak tertawa, serunya, "Dimulai sekarang juga belum terlambat!"
Habis berkata, ia terus berdiri di atas pelana kuda.
Dasar perawakan In Tiong-ho sudah jangkung, berdiri lagi di atas kuda, keruan mirip tiang bendera menegak. Sekonyong-konyong tubuhnya mendoyong ke depan, ia gantol pelana kuda dengan kaki kanan, kedua cakar baja terus menggaruk ke arah si To-koh alias Yau-toan-siancu.
Cepat Yau-toan-siancu mengisar ke sisi kiri kuda, sekali kebutnya menyabat, segera kaki kiri In Tiong-ho diincar.
Sama sekali In Tiong-ho tidak menghindar, sebaliknya ia tetap ulur cakar baja sebelah kiri untuk mencengkeram punggung si To-koh. Tapi cepat sekali To-koh itu mendak tubuh terus menerobos lewat di bawah perut kuda, menyusul kebutnya mengebas, beribu benang perak yang kemilauan terus menancap ke kaki kanan lawan.
Namun kaki kanan In Tiong-ho segera melangkah maju, ia berdiri di atas kepala kuda dengan ringan, dari tempat yang lebih tinggi itu kembali ia menyerang, cakar baja kanan terus menyerampang.
"Turun!" tiba-tiba Cu Tan-sin membentak terus ikut terjun ke kalangan pertempuran. Mendadak ia pun melompat ke atas pinggul kuda, dari situ ia memukul inggang lawan dengan kepalan kiri, sedangkan kipas di tangan kanan berbareng menutuk kaki.
Senjata yang dipakai Cu Tan-sin sangat pendek dan sangat menguntungkan untuk bertempur dari jarak dekat.
Cepat In Tiong-ho menangkis dengan cakar sebelah kiri, berbareng cakar baja yang lebih panjang itu mencengkeram ke depan. Namun dengan cepat Yau-toan-siancu sudah tarik kembali kebutnya terus menyabat pula kaki lawan.
In Tiong-ho benar-benar sangat lihai, biarpun dikeroyok dua ia masih dapat memainkan sepasang cakar bajanya dengan kencang, sedikit pun tidak terdesak di bawah angin.
Melihat orang berdiri di atas kuda, kedudukannya lebih menguntungkan. Segera Bok Wan-jing membidikkan sebatang panah kecil hingga menancap di mata kiri kuda itu.
Racun panahnya itu sangat lihai, begitu masuk mata, seketika binatang itu roboh binasa.
Pada saat itu juga kebut Yau-toan-siancu dapat melilit sebelah cakar baja lawan, berbareng Cu Tan-sin ikut menubruk maju dan menyerang tiga kali beruntun-runtun.
Karena kedua senjata terlilit menjadi satu, Yau-toan-siancu dan In Tiong-ho saling betot sekuatnya. Meski tenaga dalam In Tiong-ho lebih kuat dari lawannya, karena sebagian tenaganya harus dipakai menangkis serangan kipas baja Cu Tan-sin, pula mesti berjaga-jaga serangan panah beracun dari Bok Wan-jing, maka ia tak kuat lagi memegangi senjatanya itu, cakar baja dan kebut pertapaan mencelat ke udara berbareng.
Namun sekali tangan kiri Yau-toan-siancu terayun, tahu-tahu seutas selendang sutera yang melibat di pinggangnya ditarik dan disabatkan pula.
"Huh, kawanan bangsat negeri Tayli hanya pintar main keroyok saja!" damprat In Tiong-ho. Ia insaf takkan bisa menang lagi, sekali entak kaki di atas pelana kuda, secepat panah orangnya terus melesat ke sana, cakar baja yang masih tertinggal itu menggantol pagar tembok, orangnya terus mengapung ke atas dan sekali berjumpalitan, menghilanglah dia keluar.
Pada waktu yang sama Bok Wan-jing membidikkan pula sebatang panah, tapi tetap kalah cepat, "plok", panah itu menancap di atas pagar tembok, sedang In Tiong-ho sudah lenyap bayangannya.
Menyusul mana terdengarlah suara gemerantang yang nyaring, kebut dan cakar baja jatuh ke tanah bersama. Diam-diam Yau-toan-siancu saling pandang dengan Cu Tan-sin dan Bok Wan-jing, mereka tercengang oleh kecepatan In Tiong-ho yang luar biasa itu.
Selang sejenak, barulah Cu Tan-sin membuka suara, "Yau-toan-siancu, kalau engkau tidak turun tangan, hari ini Tan-sin pasti tewas di tangan musuh."
Yau-toan-siancu tersenyum, sahutnya, "Sudah belasan tahun tidak pakai senjata, sudah kaku rasanya. Cu-hiante, siapakah sebenarnya orang tadi?"
"Kabarnya Su-tay-ok-jin (empat orang mahajahat) telah datang ke Tayli, orang tadi adalah nomor empat dari Su-tay-ok-jin itu. Tapi ilmu silatnya sudah begini tinggi, maka tiga orang yang lain tak usah ditanya lagi," demikian sahut Tan-sin. "Maka lebih baik engkau menghindarinya sementara ke Onghu saja sampai nanti kalau keempat durjana itu sudah dibereskan."
Wajah Yau-toan-siancu rada berubah, sahutnya kurang senang, "Guna apa aku pulang ke Onghu (istana pangeran)? Kalau Su-tay-ok-jin datang semua dan aku tak bisa melawannya, biarlah aku terima nasib saja."
Cu Tan-sin ternyata sangat menghormat pada padri wanita itu, ia tidak berani bicara lagi, sebaliknya berulang kali mengedipi Toan Ki agar anak muda itu ikut membujuk.
Maka berkatalah Toan Ki, "Mak, keempat durjana itu benar-benar terlalu jahat dan kejam, jika engkau tidak mau pulang, marilah kita pergi ke tempat Pekhu (paman) saja!"
"Tidak, aku tidak mau!" sahut Yau-toan-siancu sambil menggeleng, matanya lantas merah seakan-akan meneteskan air mata.
"Kalau ibu tidak mau pulang, biarlah aku menemanimu di sini," ujar Toan Ki. Lalu katanya pada Cu Tan-sin, "Cu-toako, harap engkau suka laporkan pada Empek dan ayahku, katakan bahwa kami ibu dan anak tetap tinggal di sini untuk melawan musuh."
Yau-toan-siancu tertawa, katanya, "Tidak malu, kepandaian apa yang kau miliki, berani bilang akan melawan musuh bersamaku?"
Walaupun ia tertawa geli karena kelakuan Toan Ki itu, tidak urung air mata yang mengembeng di kelopak mata itu menetes juga, lekas ia berpaling dan mengusap air mata dengan lengan baju.
Diam-diam Bok Wan-jing heran, "Kenapa ibu Toan-long seorang padri? Dan dengan perginya In Tiong-ho, selekasnya akan datang pula bersama ketiga orang kawannya, lalu apa ibunya sanggup melawannya? Tapi dia sudah bertekad tak mau menyingkir pergi. Ah, tahulah aku! Memang laki-laki di dunia ini berhati palsu semua, pasti ayah Toan-long punya kekasih baru lagi, hingga ibunya tirakat menyucikan diri."
Berpikir demikian, ia menjadi solider pada Yau-toan-siancu, katanya segera, "Yau-toan-siancu, biar aku
membantumu melawan musuh."
Yau-toan-siancu mengamat-amati paras Bok Wan-jing sejenak, mendadak ia tanya dengan suara bengis, "Kau harus mengaku terus terang, sebenarnya 'Siu-lo-to' Cin Ang-bian itu pernah apamu?"
Bok Wan-jing mendongkol juga oleh sikap orang, sahutnya, "Bukankah sudah kukatakan bahwa selamanya aku tidak pernah kenal nama itu. Apakah Cin Ang-bian itu laki-laki atau perempuan, manusia atau setan, sama sekali aku tidak tahu."
Baru sekarang Yau-toan-siancu mau percaya, sebab kalau gadis ini adalah sanak keturunan Siu-lo-to, tidak mungkin berkata tentang "setan" segala. Maka sikapnya berubah ramah kembali, katanya dengan tersenyum, "Nona jangan marah, soalnya karena tadi aku melihat cara kau melepaskan panah sangat mirip seorang wanita yang kukenal, parasmu juga rada mirip, maka timbul rasa curigaku. Nona Bok, siapakah nama kedua orang tuamu? Ilmu silatmu sangat bagus, tentu juga keluaran perguruan ternama!"
Bok Wan-jing menggeleng kepala, sahutnya, "Sejak kecil aku sudah piatu, Suhu yang membesarkan aku. Maka aku tidak tahu siapa ayah-bundaku."
"Jika begitu, siapakah gerangan gurumu itu?" tanya Yau-toan-siancu lagi.
"Guruku bernama 'Bu-beng-khek'," sahut Wan-jing.
"Namanya Bu-beng-khek?" Yau-toan-siancu mengulangi nama itu sambil termenung sejenak, kemudian ia pandang Cu Tan-sin dengan maksud tanya apakah kenal akan nama itu.
Tapi Cu Tan-sin menggeleng kepala, katanya, "Tan-sin tinggal terpencil di daerah selatan, sempit pengalamannya, maka banyak kaum kesatria gagah di Tionggoan tidak dikenalnya. Cianpwe Bu-beng-khek itu tentunya seorang kosen yang mengasingkan diri di pegunungan sunyi."
Tengah bicara, tiba-tiba di luar sana ramai dengan suara derap lari kuda, dari jauh ada seorang sedang berseru, "Site, Kongcuya baik-baik bukan?"
"Ya, Toako, Kongcuya tidak kurang sesuatu apa!" sahut Tan-sin.
Hanya sebentar saja, empat penunggang kuda sudah berhenti di depan Jing-hoa-koan, Bu-sian-tio-to, Jay-sin-
khek dan Tiam-jong-san-long bertiga tampak masuk, terus menyembah kepada Yau-toan-siancu.
Sejak kecil Bok Wan-jing dibesarkan di pegunungan sunyi, ia menjadi heran melihat tata krama yang kolot itu, pikirnya, "Orang-orang ini sangat hebat ilmu silatnya, mengapa melihat seorang wanita lantas menyembah semua?"
Keadaan ketiga orang itu kelihatan rada runyam, muka Tiam-jong-san-long, si petani dari pegunungan Tiam-jong, tampak terluka pula hingga perlu dibalut, Jay-sin-khek, si tukang kayu, badannya juga berlepotan darah, sedang alat pancing Bu-sian-tio-to, si tukang pancing dari danau Bu-sian, sudah terkutung sebagian.
Maka cepat Yau-toan-siancu tanya, "Bagaimana, apa musuh terlalu hebat? Parah tidak luka Su-kui?"
Tang Su-kui adalah nama Tiam-jong-san-long, si petani.
Mendengar pertanyaan itu, matanya seakan-akan berapi saking penasaran, sahutnya keras-keras, "Su-kui percuma belajar, sungguh memalukan hingga Onghui ikut berkhawatir."
"Kau sebut aku Onghui apa segala?" omel Yau-toan-siancu dengan perlahan. "Masa ingatanmu begitu jelek, ya?"
Seketika Tang Su-kui menunduk, sahutnya, "Ya, harap Onghui memaafkan!"
Walaupun mengaku salah, tapi mulutnya tetap menyebut "Onghui" atau nyonya pangeran. Rupanya panggilan itu sudah terlalu biasa diucapkan hingga sukar berubah.
"Di manakah Ko-houya? Kenapa tidak ikut datang?" demikian tanya Tan-sin.
"Houya berada di luar, ia terluka sedikit, tidak leluasa untuk turun dari kudanya," sahut Bu-sian-tio-to, si nelayan, yang bernama Leng Jian-li.
"Ah, jadi Houya juga terluka? Apa ... apa parah?" seru Yau-toan-siancu terkejut.
"Ko-houya tadi mengadu tenaga dalam dengan keadaan tak terpisahkan, sekonyong-konyong Yap Ji-nio menyerangnya dari belakang hingga punggungnya digaplok sekali," tutur Leng Jian-li.
Setelah ragu-ragu sejenak, mendadak Yau-toan-siancu menarik Toan Ki dan berkata, "Marilah, anak Ki, kita keluar menjenguk Ko-sioksiok."
Segera mereka mendahului keluar diikuti empat tokoh "Hi-jiau-keng-dok" atau si nelayan, si tukang kayu, si
petani dan si pelajar. Begitu pula Bok Wan-jing ikut keluar.
Bab 9
Benar juga, segera tampak Sian-tan-hou Ko Sing-thay tengkurap di atas kudanya, baju di bagian punggung tampak robek dan jelas kelihatan bekas telapak tangan. Cepat Toan Ki memburu maju dan tanya, "Ko-sioksiok, bagaimana keadaanmu?"
Waktu Ko Sing-thay mendongak dan tampak Yau-toan-siancu berdiri di depan pintu, cepat ia meronta turun dari kuda untuk memberi hormat.
"Ko-houya, engkau terluka, tidak perlu banyak adat lagi," kata Yau-toan-siancu.
Namun Ko Sing-thay sudah menyembah dari jauh dan berkata, "Sing-thay menyampaikan salam bakti kepada Onghui!"
"Anak Ki, lekas bangunkan Ko-sioksiok!" seru Siancu segera.
Diam-diam Bok Wan-jing bertambah curiga, pikirnya, "Ilmu silat orang she Ko ini sangat lihai, dengan serulingnya yang pendek itu, hanya dalam beberapa gebrak saja sudah mengalahkan Yap Ji-nio, tentu ia sangat terkemuka di dunia persilatan, tapi kenapa melihat ibu Toan-long, ia lantas begitu menghormat dan menyebutnya 'Onghui'? Apa mungkin Toan-long adalah... adalah Ongcu (pangeran) segala? Tapi, ah, seorang pelajar ketolol-tololan seperti dia masa mirip seorang Ongcu?"
Dalam pada itu terdengar Yau-toan-siancu lagi berkata, "Jika Ko-houya terluka, silakan segera pulang Tayli untuk merawat dirimu."
Ko Sing-thay mengiakan sambil berbangkit. Tapi segera katanya pula, "Su-tay-ok-jin telah datang ke Tayli, keadaan sangat berbahaya, harap Onghui suka pulang istana untuk menghindarinya sementara."
Yau-toan-siancu menghela napas, sahutnya, "Selama hidupku ini takkan pulang ke sana lagi."
"Jika begitu, biarlah kami tinggal dan menjaga di luar Jing-hoa-koan ini," ujar Sing-thay. Lalu ia berpaling pada Tang Su-kui dan berkata, "Su-kui, pulanglah dan lekas laporkan kepada Hongsiang dan Ongya."
Su-kui mengiakan terus mencemplak ke atas kudanya. Meski lukanya tidak ringan, tapi gerak-geriknya masih sangat cekatan.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Yau-toan-siancu mencegah. Ia menunduk dan berpikir. Sorot mata semua orang terpusat padanya, tapi dari air muka Siancu yang berubah-ubah itu, terang dia lagi menghadapi pertentangan batin yang serbasulit.
Selang agak lama, mendadak ia menengadah dan berkata, "Baiklah, marilah kita pulang ke Tayli semua, tidaklah patut kalau melulu lantaran diriku mesti bikin susah semua orang tinggal di sini."
Keruan Toan Ki berjingkrak saking girang, terus saja ia peluk sang ibu dan berkata, "Beginilah ibuku yang baik!"
"Biar kupergi memberi kabar dulu!" seru Su-kui terus melarikan kudanya.
Dalam pada itu Leng Jian-li sudah membawakan kuda untuk Yau-toan-siancu, Toan Ki dan Bok Wan-jing.
Begitulah beramai-ramai mereka lantas berangkat ke Tayli. Yau-toan-siancu, Toan Ki, Bok Wan-jing dan Ko Sing-thay berempat menunggang kuda, sedang Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li, Jay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bak-seng Cu Tan-sin berjalan kaki.
Tidak jauh, dari depan tampak datang seregu pasukan berkuda negeri Tayli, Leng Jian-li memberi tanda kepada komandan pasukan itu serta berkata beberapa patah padanya. Segera komandan pasukan itu memberi perintah, semua prajurit melompat turun dari kudanya serta menyembah di tanah.
Toan Ki memberi tanda dan berkata, "Silakan berdiri, tak perlu banyak adat!"
Segera komandan pasukan itu membawakan tiga ekor kuda lain untuk Leng Jian-li bertiga. Lalu ia pimpin pasukannya mendahului di depan.
Melihat suasana yang luar biasa itu, Bok Wan-jing menduga Toan Ki pasti bukan orang biasa, tiba-tiba ia menjadi khawatir, "Semula kusangka dia hanya seorang pelajar miskin, makanya aku pasrahkan diriku padanya. Tapi melihat gelagatnya sekarang, kalau bukan sanak keluarga kerajaan, tentu dia pembesar negeri, bukan mustahil aku akan dipandang hina olehnya. Suhu pernah berkata bahwa laki-laki itu semakin kaya dan berpangkat, semakin tidak punya Liangsim (perasaan), cari istri juga minta yang sederajat. Hm, syukurlah bila dia tetap memperistrikan aku dengan baik, kalau tidak, bila ragu dan macam-macam, huh, lihat saja kalau tidak kubacok kepalanya, peduli apakah dia anggota keluarga raja atau pembesar negeri!"
Karena berpikir begitu, ia tak tahan perasaannya lagi, segera ia larikan kudanya menjajari Toan Ki dan tanya, "He, sebenarnya siapakah kau? Apa yang kita putuskan di atas gunung itu masih tetap berlaku tidak?"
Melihat di depan umum si gadis terang-terangan menegur padanya tentang urusan perjodohan, keruan Toan Ki menjadi kikuk, sahutnya dengan tersenyum, "Setiba di kota Tayli, tentu akan kujelaskan padamu."
"Awas kalau kau ingkar janji ... aku ...." berkata sampai di sini, suaranya menjadi tersendat dan tak sanggup diteruskan lagi.
Melihat wajah si gadis kemerah-merahan menahan isak tangis, air matanya mengembeng berkilau-kilau hingga makin menambah cantiknya, rasa cinta Toan Ki menjadi berkobar, katanya dengan lirih, "Wan-jing, janganlah khawatir, lihatlah, ibuku juga sangat suka padamu."
Seketika dari menangis Bok Wan-jing berubah tertawa, sahutnya perlahan, "Ibumu suka atau tidak padaku, aku tidak urus!"
Di balik kata-katanya ini seakan-akan menyatakan, "asal saja kau suka padaku, sudahlah cukup."
Tentu saja perasaan Toan Ki terguncang, waktu ia berpaling ke arah ibunya, ia lihat Yau-toan-siancu lagi memandang kepada mereka dengan paras yang tertawa tidak tertawa. Keruan muka Toan Ki merah jengah.
Menjelang petang, kira-kira masih 30 li di luar kota Tayli, tiba-tiba kelihatan debu mengepul tinggi di depan sana, sepasukan tentara yang berjumlah beberapa ratus orang mendatangi dengan cepat. Dua buah panji kuning jingga tampak berkibar, yang sebuah tertulis dua huruf sulam "Tin-lam" dan yang lain "Po-kok" (menduduki selatan dan membela negara).
Segera Toan Ki berseru, "Mak, ayah sendiri datang memapak engkau!"
Yau-toan-siancu hanya mendengus saja dan menghentikan kudanya.
Ko Sing-thay dan lain-lain lantas turun dari kuda dan berdiri di pinggir jalan. Sedang Toan Ki segera bedal kudanya ke depan. Bok Wan-jing ragu-ragu sejenak, tapi cepat ia pun larikan kudanya menyusul ke sana.
Tidak lama, pasukan itu sudah dekat, segera Toan Ki berseru, "Tiatia (ayah), ibu sudah pulang!"
Maka tertampaklah dari tengah pasukan itu muncul seorang berjubah kuning menunggang seekor kuda putih yang tinggi besar, begitu datang terus membentak, "Anak Ki, gara-garamu sehingga Ko-sioksiok ikut terluka parah, lihatlah nanti kalau tidak kuhajar patah kedua kakimu!"
Bok Wan-jing menjadi khawatir, pikirnya, "Hm, kedua kaki Toan-long hendak kau patahkan? Tidak bisa, pasti akan kurintangi, biarpun engkau adalah ayahnya!"
Ia lihat orang yang berjubah kuning ini bermuka lebar, sikapnya sangat gagah dan kereng, alis tebal, mata besar, berwibawa sebangsa raja atau pangeran. Meski ucapannya tadi kedengarannya bengis, tapi melihat sang putra telah pulang dengan selamat, air mukanya lebih banyak girangnya daripada gusarnya.
Diam-diam Wan-jing membatin, "Untung paras Toan-long lebih banyak mirip ibunya, kalau macammu yang garang bengis begini, tentu aku takkan suka."
Ia lihat Toan Ki sudah memapak maju sambil berkata dengan tertawa, "Ayah, engkau baik-baik saja bukan?"
"Baik, hitung-hitung tidak mati gusar oleh perbuatanmu!" sahut orang berjubah kuning itu dengan marah.
"Tapi kalau anak tidak keluar rumah, ibu tentu juga takkan pulang. Jasa anak ini rasanya bolehlah mengimbangi kesalahannya, harap ayah jangan gusar lagi," demikian kata Toan Ki dengan tertawa.
"Seumpama aku tidak menghajarmu, Empek (paman) pasti juga tidak mau mengampunimu," ujar si jubah kuning. Dan sekali ia kempit kudanya, secepat terbang kuda putih itu lantas mencongklang ke arah Yau-toan-siancu.
Melihat prajurit pasukan itu semua berbaju perang yang mengilat dengan senjata lengkap, 20 orang di baris depan membawa panji dan papan yang bercat emas bentuk naga dan harimau, di atas salah sebuah papan merah itu tertulis tanda pangkat ayah Toan Ki sebagai Po-kok-tay-ciang-kun atau panglima besar pembela negara, papan lain bertulis gelar kebangsawanannya sebagai Tin-lam-ong she Toan dari negeri Tayli.
Meski biasanya Bok Wan-jing tidak takut langit dan tak gentar bumi, tapi menyaksikan perbawa barisan yang angker itu, mau tak mau ia prihatin juga. Tiba-tiba tanyanya pada Toan Ki, "He, apakah Tin-lam-ong, Po-kok-tay-ciang-kun ini adalah ayahmu?"
Toan Ki mengangguk, sahutnya lirih, "Dan juga ayah mertuamu."
Sesaat Bok Wan-jing menjadi termangu, di sekitar jalan besar itu penuh dengan orang, tapi ia merasa hampa tak terkatakan, ia menjadi lega setelah berdampingan dengan Toan Ki.
Sementara itu Tin-lam-ong tampak sudah berhadapan dengan Yau-toan-siancu, kedua orang saling pandang kian kemari, tapi tiada satu pun yang mulai bicara.
"Mak, ayah sendiri datang menyambutmu," seru Toan Ki.
"Kau pergi dan katakan pada Pekbo (bibi) bahwa aku akan tinggal beberapa hari di tempatnya, sesudah menghalau musuh, segera kukembali ke Jing-hoa-koan," demikian kata Yau-toan-siancu.
Maka dengan tertawa, Tin-lam-ong berkata, "Hujin, apakah engkau masih marah padaku? Marilah pulang dulu, nanti akan kuminta maaf padamu."
Yau-toan-siancu menarik muka, sahutnya, "Tidak, aku tidak pulang, aku akan ke istana."
"Bagus," seru Toan Ki tertawa, "kita ke istana dulu untuk menjumpai paman dan bibi. Mak, anak telah keluyuran keluar tanpa permisi, paman tentu akan marah, ayah jelas tidak mau membelaku, mohon ibu suka mintakan ampun pada paman."
"Tidak, semakin besar semakin bandel kau, biar paman memberi hajaran setimpal padamu," sahut Yau-toan-siancu.
"Tapi kalau anak dihajar, yang merasa sakit tentu ibu, maka lebih baik jangan sampai dihajar," kata Toan Ki dengan manja.
Yau-toan-siancu tertawa, katanya lagi, "Tidak, semakin keras kau dihajar, semakin senang aku."
Begitulah, suasana pertemuan kembali Tin-lam-ong dengan sang istri itu sebenarnya serbakikuk, tapi karena banyolan Toan Ki itu, perasaan suami istri itu seketika terasa bahagia.
"Ayah," tiba-tiba Toan Ki berseru pula, "kudamu lebih bagus, kenapa tidak bertukar kuda dengan ibu?"
"Tidak," kata Yau-toan-siancu terus larikan kudanya ke depan.
Segera Toan Ki memburunya dan menahan kuda sang ibu. Sementara itu Tin-lam-ong sudah turun dari kudanya serta menyusul.
Dengan tertawa Toan Ki terus pondong sang ibu ke atas kuda putih ayahnya dan berkata, "Mak, wanita secantik engkau menjadi lebih ayu bila menunggang kuda putih ini."
"Nonamu she Bok itu barulah benar-benar cantik tiada bandingannya, kau sengaja menertawai ibumu yang sudah nenek-nenek ini ya?" sahut Siancu tertawa.
Baru sekarang Tin-lam-ong berpaling ke arah Bok Wan-jing, tanyanya pada Toan Ki, "Anak Ki, siapakah nona ini?"
"Ia adalah ... nona Bok, ia adalah ... adalah kawan baik anak," sahut Toan Ki gelagapan.
Melihat sikap putranya itu, segera Tin-lam-ong tahu apa artinya. Ia lihat Bok Wan-jing cantik molek, putih halus, diam-diam ia memuji kepandaian putranya yang pintar pilih pasangan.
Tapi demi tampak sifat liar Bok Wan-jing, sama sekali tidak memberi hormat atau menyapa, diam-diam pikirnya dalam hati, "Kiranya dia seorang gadis desa yang tidak kenal peradaban."
Ia khawatir keadaan luka Ko Sing-thay, segera ia mendekatinya dan memeriksa urat nadinya.
"Hanya terluka sedikit, tidak apa-apa, jangan engkau buang tenaga ...." demikian kata Ko Sing-thay.
Namun Tin-lam-ong sudah lantas ulur jari telunjuk kanan dan menutuk tiga kali di punggung dan tengkuknya, berbareng telapak tangan kiri menahan pinggangnya.
Lambat laun tampak asap putih mengepul dari ubun-ubun Tin-lam-ong, selang sejenak lagi barulah melepaskan tangan kirinya.
"Kakak Sun, kita bakal menghadapi musuh tangguh, buat apa engkau membuang tenaga dalammu?" ujar Ko Sing-thay.
"Lukamu tidak enteng, lebih cepat disembuhkan lebih baik, kalau terlihat Toako, tanpa diminta tentu dia akan turun tangan sendiri," sahut Tin-lam-ong alias Toan Cing-sun.
Melihat wajah Ko Sing-thay yang tadinya sepucat mayat itu, hanya dalam sekejap saja sudah bersemu merah, lukanya sudah disembuhkan, diam-diam Bok Wan-jing terkejut, "Kiranya ayah Toan-long memiliki Lwekang mahatinggi, tapi ken ... kenapa ia sendiri tak bisa ilmu silat?"
Sementara itu Leng Jian-li sudah membawakan seekor kuda lain untuk Tin-lam-ong dan meladeni pangeran itu naik ke atas kuda. Tin-lam-ong larikan kudanya berjajar dengan Ko Sing-thay dan mengajaknya bicara tentang kekuatan musuh.
Toan Ki juga pasang omong dengan senangnya dengan sang ibu, berbondong-bondong pasukan tentara kerajaan Tayli itu berangkat kembali, hanya Bok Wan-jing yang merasa kesepian karena tiada yang mengajak bicara.
Petangnya rombongan sudah memasuki kota Tayli, di mana panji bertuliskan "Tin-lam" dan "Po-kok" tiba, di situ rakyat jelata bersorak-sorai memuji kebesaran panglimanya.
Tin-lam-ong balas memberi tangan kepada rakyat yang mengelu-elukannya itu, tampaknya ia sangat dicintai oleh rakyat.
Bok Wan-jing melihat kota Tayli sangat ramai, gedung berdiri di sana-sini dengan megah, jalan raya yang berlapiskan batu hijau besar rata penuh berjubel orang yang berlalu-lalang.
Setelah melalui sebuah jalan kota, kemudian tampak di depan membentang sebuah jalan batu yang lebar, di ujung jalan itu tampak berdiri beberapa istana berwarna kuning indah dengan kaca yang kemilauan tersorot oleh cahaya matahari waktu senja.
Rombongan sampai di depan sebuah gapura, semuanya lantas turun dari kuda. Bok Wan-jing melihat di atas papan gapura itu tertulis empat huruf "Cip-to-kiong-cu," artinya jalan menuju istana bijaksana.
Bok Wan-jing pikir, "Tentu inilah istana raja Tayli. Paman Toan-long tinggal di dalam istana, agaknya kedudukannya sangat tinggi, kalau bukan pangeran, tentu sebangsa panglima besar dan sebagainya."
Setelah lewat gapura itu, sampailah di depan istana raja "Seng-cu-kiong." Tiba-tiba seorang Thaykam (dayang kebiri) berlari keluar dengan cepat, katanya sambil menyembah, "Lapor Ongya, Hongsiang dan Nionio (baginda raja dan permaisuri) sedang menunggu di Onghu, silakan Ongya dan Onghui pulang ke Tin-lam-onghu untuk menghadap Hongsiang!"
Tin-lam-ong mengiakan dengan girang. Begitu pula Toan Ki lantas berseru, "Aha, bagus, bagus!"
"Apanya yang bagus?" omel Onghui dengan melototi sang putra, "kutunggu Nionio di dalam istana sini."
"Tapi Nionio pesan agar Onghui diharuskan menghadapnya sekarang juga, beliau ingin berunding sesuatu yang penting dengan Onghui," demikian Thaykam itu menutur.
"Ada urusan penting apa? Huh, tipu muslihat belaka!" Yau-toan-siancu menggerundel perlahan.
Toan Ki tahu itulah rencana yang sengaja diatur oleh Honghou (permaisuri), sebab diduganya ibu tentu tak mau pulang ke istana pangeran, maka sengaja menunggu di Tin-lam-onghu untuk mempertemukan kembali ayah-bundanya di sana. Maka ia pun tidak mau banyak bicara lagi, cepat ia bawakan kuda untuk sang ibu dan menaikkannya ke atas kuda.
Rombongan segera putar balik ke istana pangeran. Di sana suasana tampak sangat khidmat, pasukan pengawal berdiri dengan rajin memberi hormat atas pulangnya Tin-lam-ong dan permaisuri.
Tin-lam-ong mendahului masuk ke pintu istana, tapi Yau-toan-siancu masih ogah-ogahan, begitu naik ke atas undak-undakan, segera matanya basah. Namun dengan setengah mendorong dan setengah menyeret Toan Ki dapat mengajak sang ibu ke dalam istana, katanya, "Ayah, anak telah mengajak ibu pulang ke rumah, jasa anak sebesar ini, hadiah apa yang akan ayah berikan padaku?"
Saking senangnya, Tin-lam-ong menyahut, "Boleh kau tanya ibumu, ibu bilang hadiah apa, segera kuberikan."
"Kubilang paling tepat beri hadiah gebukan," kata Yau-toan-siancu dengan tertawa.
Toan Ki melelet lidah dan tak berani bicara lagi.
Setelah ikut masuk ke ruangan pendopo, Ko Sing-thay dan lain-lain tidak ikut masuk lebih jauh. Kata Toan Ki kepada Wan-jing, "Bok ... Bok-kohnio, silakan menunggu sebentar di sini, setelah kuhadap Hongsiang, segera kudatang lagi."
Terpaksa Wan-jing mengangguk, walaupun dalam hati sangat berat ditinggal pemuda itu. Tanpa peduli lagi ia terus duduk di atas kursi pertama yang tersedia di situ. Sebaliknya Ko Sing-thay dan lain-lain tetap berdiri, setelah Tin-lam-ong bertiga masuk ke ruangan dalam, barulah Ko Sing-thay ambil tempat duduk, yang lain-lain tetap berdiri dengan tangan lurus tegak.
Bok Wan-jing tidak ambil pusing terhadap mereka, ia lihat di dalam pendopo penuh terhias pigura lukisan dan seni tulis, begitu banyak hingga dia bingung melihatnya, apalagi memang banyak juga huruf yang tak dikenalnya. Maklum gadis gunung yang tak banyak "makan" sekolah.
Tidak lama, seorang dayang membawakan teh, dengan berlutut dayang itu angkat nampan tinggi-tinggi menyuguhkan minuman itu kepada Bok Wan-jing dan Ko Sing-thay.
Diam-diam si gadis menjadi heran mengapa hanya dirinya dan Ko Sing-thay yang mendapat minum, sedang Cu Tan-sin dan lain-lain tidak. Padahal jago itu ketika menghadapi musuh di puncak gunung, perbawanya tak terkatakan kerengnya. Tapi berada di dalam Tin-lam-onghu, mereka menjadi begitu prihatin, sampai bernapas pun tak berani keras-keras.
Sesudah lama menunggu, ternyata Toan Ki belum juga keluar. Wan-jing menjadi tak sabar, teriaknya tak peduli, "Toan Ki, Toan Ki, kerja apa kau di dalam, lekas keluar!"
Ruangan itu hening sunyi, bahkan setiap orang berdiam dengan menahan napas, tapi mendadak Bok Wan-jing menggembor, keruan mereka kaget. Tapi segera mereka merasa geli juga. Kata Ko Sing-thay, "Harap nona Bok suka sabar, sebentar Siauongya akan keluar."
"Siauongya apa katamu?" tanya Wan-jing.
"Toan-kongcu adalah putra Tin-lam-ong, bukankah Siauongya (putra pangeran) namanya?" sahut Sing-thay.
Bok Wan-jing menjadi heran, gumamnya, "Siauongya? Huh, pelajar ketolol-tololan begitu masakah mirip seorang Ongya segala?"
Sejenak kemudian, dari dalam keluarlah seorang Thaykam dan berseru, "Titah baginda, Sian-tan-hou dan Bok Wan-jing diperintahkan masuk menghadap!"
Waktu melihat keluarnya Thaykam itu, Ko Sing-thay sudah lantas berdiri dengan sikap hormat. Tapi Bok Wan-jing sama sekali tak peduli, ia tetap duduk di tempatnya dengan enaknya.
Dan demi mendengar namanya disebut begitu saja, ia menjadi kurang senang, omelnya perlahan, "Masakan menyebut nona juga tidak, apakah namaku boleh sembarangan kau panggil?"
Ko Sing-thay tersenyum, katanya segera, "Marilah nona Bok, kita masuk menghadap Hongsiang."
Biarpun Bok Wan-jing tidak pernah gentar terhadap siapa dan apa pun, tapi mendengar akan menghadap raja, tanpa terasa ia jadi merinding. Terpaksa ia ikut di belakang Ko Sing-thay, setelah menyusur serambi panjang dan menerobos beberapa ruangan lagi, akhirnya sampailah di sebuah ruangan besar yang indah.
Segera Thaykam tadi berseru sembari menyingkap kerai, "Sian-tan-hou dan Bok Wan-jing datang menghadap Hongsiang dan Nionio."
Ko Sing-thay mengedipi Bok Wan-jing agar mengikuti caranya, lalu ia mendahului masuk ke ruangan dan berlutut ke hadapan seorang laki-laki dan seorang wanita agung yang berduduk di tengah.
Sebaliknya Wan-jing tidak ikut berlutut, bahkan ia mengamat-amati laki-laki yang berjubah sulam kuning dan berjenggot panjang itu, lalu tanya, "Apakah engkau ini Hongte (kaisar)?"
Memang laki-laki yang duduk di tengah dengan agungnya itu adalah Toan Cing-beng, raja Tayli sekarang yang arif bijaksana dengan gelar Po-ting-te.
Tay-li-kok atau negeri Tayli itu berdiri sejak zaman Ngotay, sudah bersejarah lebih 150 tahun. Po-ting-te sudah belasan tahun naik takhta, tatkala itu seluruh negeri aman sentosa, rakyat hidup sejahtera, negara makmur, rakyat subur.
Melihat Bok Wan-jing tidak berlutut, sebaliknya tanya apakah dirinya kaisar atau bukan, Po-ting-te menjadi geli malah, sahutnya, "Ya, akulah kaisar. Bagaimana, senang tidak pesiar di kota Tayli ini?"
"Begitu masuk kota aku lantas datang kemari, belum ada waktu untuk pesiar," sahut si nona.
"Biarlah besok anak Ki mengajakmu pesiar menikmati keindahan kota Tayli ini," ujar Po-ting-te dengan tersenyum.
"Baiklah," kata Wan-jing. "Dan engkau juga akan mengiringi kami?"
Mendengar itu, semua orang ikut tertawa geli. Namun Po-ting-te menoleh kepada permaisurinya dan tanya, "Honghou, anak dara ini minta kita mengiringi dia, bagaimana pendapatmu?"
Belum lagi permaisuri itu menjawab, Bok Wan-jing sudah lantas buka suara pula, "Apakah engkau Honghou-nionio? Sungguh cantik sekali!"
Po-ting-te terbahak-bahak, serunya, "Anak Ki, nona Bok ini memang polos dan kekanak-kanakan, sungguh menarik."
"Kenapa kau panggil dia anak Ki?" tiba-tiba Wan-jing tanya lagi. "Empek (paman) yang sering dia sebut itu apakah engkau adanya? Kali ini dia berkeluyuran keluar, dia takut dimarahi olehmu. Harap jangan kau hajar dia, ya?"
"Sebenarnya aku akan persen dia 50 kali rangketan," sahut Po-ting-te dengan tertawa. "Tapi engkau mintakan ampun baginya, baiklah kuampuni dia. Nah, anak Ki, lekas kau berterima kasih kepada nona Bok?"
Melihat Bok Wan-jing membikin hati sri baginda sangat senang, Toan Ki ikut bergirang juga, ia cukup kenal watak sang paman yang suka turuti permintaan orang, maka cepat ia berkata kepada Wan-jing, "Terima kasih atas kebaikanmu, nona Bok."
Si gadis membalas hormat serta menyahut dengan perlahan, "Tak perlu berterima kasih, asal kau tak dihajar pamanmu aku sudah merasa lega."
Lalu ia berkata pula kepada Po-ting-te, "Semula kusangka seorang kaisar tentu sangat bengis menakutkan, siapa tahu engkau... engkau sangat baik!"
Sebagai kaisar, umumnya orang hanya disegani dan dihormati, tapi belum pernah ada orang memujinya "engkau sangat baik", keruan Po-ting-te sangat senang, terutama lihat sifat si gadis yang polos kekanak-kanakan itu, maka katanya pada permaisurinya, "Honghou, barang apa yang akan kau hadiahkan padanya?"
Segera Honghou tanggalkan sebuah gelang kemala dari pergelangan tangannya dan disodorkan pada Bok Wan-jing dan berkata, "Nih, kuhadiahkan padamu!"Wan-jing tidak menolak, ia terima hadiah itu dan dipakai di tangan sendiri, katanya kemudian dengan tertawa, "Terima kasih, ya! Lain kali aku pun akan mencari sesuatu barang bagus untuk dipersembahkan padamu."
Honghou tersenyum dan belum lagi menjawab, sekonyong-konyong di luar rumah sana, terdengar atap rumah berbunyi keresek sekali. Segera Honghou berpaling pada Po-ting-te dan berkata, "Itu dia, ada orang mengantar hadiah untukmu!"
Belum selesai ucapannya, kembali suara keresek berbunyi pula di atas rumah sebelah.
Bok Wan-jing terperanjat, ia tahu musuh yang datang itu berilmu Ginkang yang mahatinggi, entengnya laksana daun jatuh, bahkan cepat luar biasa.
Dalam pada itu segera terdengar juga beberapa orang telah melompat ke atas rumah, menyusul terdengar suara Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li lagi menegur, "Siapakah tuan ini, ada urusan apa malam-malam mengunjungi Onghu?"
"Aku ingin mencari muridku! Di mana muridku sayang itu? Lekas suruh dia keluar!" demikian jawab seorang yang mengerikan mirip logam digesek. Itulah dia suara Lam-hay-gok-sin.
Diam-diam Bok Wan-jing berkhawatir, meski ia pun tahu penjagaan di luar istana itu sangat keras dan kuat, Tin-lam-ong sendiri dan Yau-toan-siancu serta tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok sangat tinggi ilmu silatnya, tapi Lam-hay-gok-sin itu memang teramat lihai, pula dibantu Yap Ji-nio dan In Tiong-ho, belum lagi "orang jahat nomor satu di dunia" yang belum muncul itu, jika mereka bersatu untuk merampas Toan Ki, mungkin tidak mudah untuk melawannya.
Sementara itu Leng Jian-li lagi tanya, "Siapakah muridmu? Di dalam Tin-lam-onghu dari mana ada seorang muridmu?"
Sekonyong-konyong terdengar "brak" sekali, tahu-tahu dari udara menyelonong turun sebuah tangan besar hingga kerai di depan pintu tersingkap semua, menyusul bayangan orang berkelebat, Lam-hay-gok-sin sudah berdiri di tengah ruangan dengan matanya yang mirip kedelai itu lagi mengamat-amati setiap orang yang hadir di situ.
Ketika melihat Toan Ki, segera ia terbahak-bahak, "Haha, memang benar apa yang dikatakan Losi, muridku sayang ternyata berada di sini, marilah lekas ikut pergi bersamaku untuk belajar."
Sembari berkata, tangannya yang mirip cakar itu terus mencengkeram badan pemuda itu.
Mendengar sambaran angin cengkeraman Lam-hay-gok-sin itu sangat keras, Tin-lam-ong menjadi khawatir sang putra bisa dilukai. Tanpa pikir ia memapak dengan sebelah telapak tangannya hingga kedua tangan saling beradu dan sama-sama merasakan getaran tenaga dalam masing-masing.
Diam-diam Lam-hay-gok-sin terperanjat, tanyanya, "Siapakah kau? Aku hendak mengambil muridku, peduli apa denganmu?"
"Cayhe Toan Cing-sun," sahut Tin-lam-ong. "Pemuda ini putraku, bilakah dia mengangkat guru padamu?"
"Dia yang paksa menerimaku sebagai murid," demikian Toan Ki menyela dengan tertawa. "Sudah kukatakan padanya bahwa aku sudah punya guru, tapi ia tidak percaya."
Lam-hay-gok-sin memandang Toan Ki, lalu perhatikan Tin-lam-ong Toan Cing-sun pula, kemudian berkata, "Yang tua ilmu silatnya sangat hebat, tapi yang muda sedikit pun tidak becus, aku tidak percaya kalian adalah ayah dan anak. Toan Cing-sun, sekalipun dia benar anakmu, namun cara mengajar ilmu silatmu tidak tepat, anakmu ini terlalu goblok. Sayang, hehe, sungguh sayang."
"Apanya yang sayang?" tanya Toan Cing-sun.
"Bangun tubuh putramu ini lebih mirip diriku, boleh dikatakan adalah bahan belajar silat yang sukar dicari di dunia ini, asal dia belajar 10 tahun padaku, tanggung dia akan jadi seorang jago muda kelas satu di Bu-lim," sahut Gok-sin.
Sungguh geli dan mendongkol Toan Cing-sun. Tapi dengan gebrakan tadi ia pun tahu ilmu silat orang sangat hebat.
Selagi hendak buka suara, tiba-tiba Toan Ki telah mendahului, "Gak-losam, ilmu silatmu masih terlalu cetek, tidak sesuai untuk menjadi guruku. Silakan kau pulang ke Ban-gok-to di Lam-hay untuk berlatih lagi 10 tahun, habis itu barulah engkau ada nilainya buat bicara tentang ilmu silat."
Keruan Gok-sin menjadi gusar, bentaknya, "Kau bocah ingusan ini tahu apa?"
"Kenapa aku tidak tahu?" sahut Toan Ki. "Coba, ingin kutanya padamu, apa artinya, 'Hong-lui-ek, kun-cu-ih-kian-sian-cek-ih, yu-ko-cek-kay'. Ayo jawab, lekas!"
Lam-hay-gok-sin melongo tak bisa menjawab, tapi segera ia menjadi gusar, bentaknya, "Ngaco-belo! Apakah artinya itu? Artinya kentut!"
"Hahaha!" Toan Ki terbahak-bahak. "Hanya kalimat yang cetek artinya saja engkau tak paham, tapi engkau masih bicara tentang ilmu silat segala?"
Semua orang ikut geli mendengar Toan Ki menggunakan isi kitab "Ih-keng" untuk mempermainkan Lam-hay-gok-sin itu. Meski Bok Wan-jing juga tidak paham apa yang diuraikan Toan Ki itu, tapi ia dapat menduga tentu si pelajar tolol itu lagi putar lidah.
Sebaliknya Lam-hay-gok-sin lantas sadar dirinya lagi dipermainkan demi tampak wajah semua orang menertawai dirinya. Dengan menggerung sekali, segera ia hendak menyerang.
Namun Toan Cing-sun telah melangkah ke depan sang putra.
Dengan tertawa Toan Ki berkata lagi, "Apa yang kukatakan tadi adalah istilah ilmu silat yang mukjizat, engkau terang takkan paham. Haha, katak dalam sumur macammu ini juga ingin menjadi guru orang, sungguh gigi orang bisa copot tertawa geli. Padahal semua guruku, kalau bukan kaum terpelajar, tentu adalah padri saleh. Sebaliknya macam dirimu, biarpun belajar 10 tahun lagi juga belum tentu sesuai untuk menjadi guruku."
Lam-hay-gok-sin menggerung murka, bentaknya, "Siapa gurumu, ayo suruh dia keluar dan unjukkan beberapa jurus padaku!"
Melihat Lam-hay-gok-sin hanya datang sendirian, untuk melawannya tidaklah sulit, maka Toan Cing-sun tidak mencegah kelakuan Toan Ki, apalagi suami istri bisa berkumpul kembali, ia pikir biar putranya menggoda orang jahat ketiga itu sekadar bikin senang hati sang istri.
Keruan Toan Ki bertambah berani, ia berkata pula, "Baiklah, jika kau berani, tunggulah sebentar, biar kupanggil guruku dulu, kalau jantan sejati, jangan kau lari!"
Gok-sin menjerit murka, "Selama hidup Gak-loji malang melintang di seluruh jagat, pernah kutakut pada siapa? Ayo lekas panggil, lekas!"
Benar juga Toan Ki lantas pergi keluar. Tinggal Lam-hay-gok-sin yang memandangi setiap orang yang hadir di situ dengan sikap menantang, sama sekali ia tidak jeri biarpun seorang diri berada di tengah lawan sebanyak itu.
Tiada lama, terdengarlah suara tindakan orang, dua orang kedengaran mendatangi. Ketika Gok-sin mendengarkan, langkah orang yang datang itu kacau tak bertenaga, terang orang yang tak paham ilmu silat.
Terdengar suara seruan Toan Ki dari luar, "Mana itu Gak-losam, tentu dia sudah lari ketakutan? Ayah, jangan biarkan dia lolos, ini, Suhuku sudah datang!"
"Buat apa aku lari?" bentak Gok-sin dengan gusar. "Kurang ajar, bocah ini bikin gusar padaku melulu."
Belum selesai ucapannya, tertampak Toan Ki melangkah masuk sambil menyeret satu orang. Melihat itu, seketika semua orang bergelak tertawa.
Ternyata orang yang dibawa datang Toan Ki itu kurus kecil, pakai topi bentuk kulit semangka, berjubah panjang longgar, berkumis tikus, kedua matanya merah sepat seakan-akan kurang tidur selalu, kepalanya mengkeret takut-takut, sikapnya lucu menggelikan.
Segera Yau-toan-siancu dapat mengenal orang ini sebagai juru tulis di kantor Tin-lam-onghu. Juru tulis she Ho ini setiap hari suka mengantuk saja dan kerjanya berjudi dengan para pelayan di dalam istana. Dalam keadaan setengah mabuk, ia diseret Toan Ki ke dalam ruangan, dengan takut cepat juru tulis itu berlutut dan menyembah ke hadapan Po-ting-te dan permaisuri.
Sudah tentu Po-ting-te tidak kenal siapa juru tulis kecil itu, ia perintahkan orang berbangkit. Segera Toan Ki gandeng Ho-sinshe itu ke hadapan Lam-hay-gok-sin, katanya, "Nah, Gak-losam, di antara guru-guruku, Suhuku inilah ilmu silatnya paling rendah. Maka lebih dulu kau perlu mengalahkan dia, baru ada harganya buat menantang guru-guruku yang lain."
Gok-sin berkaok-kaok murka, teriaknya, "Macam begini gurumu? Haha, dalam tiga jurus saja kalau aku tak bisa bikin dia hancur seperti perkedel, biar aku angkat guru padamu."
Seketika sinar mata Toan Ki terbeliak mendengar itu, tanyanya cepat, "Ucapanmu ini benar-benar atau tidak? Seorang lelaki sejati, sekali bicara harus bisa pegang janji, kalau ingkar janji, itu berarti anak kura-kura, haram jadah!"
"Baik, mari, mari!" Gok-sin berteriak-teriak.
"Dan kalau cuma tiga jurus saja, tidak usah guruku turun tangan, biarlah aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk melayanimu," ujar Toan Ki.
Mendengar pemuda itu hendak maju sendiri, keruan Lam-hay-gok-sin bergirang. Datangnya ke istana pangeran ini atas berita In Tiong-ho yang menyatakan calon muridnya yang hilang itu diketemukan di dalam istana, maka tujuannya melulu ingin "jemput" Toan Ki untuk menjadi ahli waris Lam-hay-pay.
Tapi ketika bergebrak sekali dengan Toan Cing-sun, ia menjadi kaget oleh kepandaian pangeran itu. Apalagi di samping itu masih banyak juga lainnya, kalau hendak menggondol Toan Ki begitu saja rasanya tidaklah mudah. Ia menjadi girang mendengar pemuda itu sendiri yang akan bergebrak dengan dirinya, sekali ulur tangan ia yakin dapat menawan anak muda itu.
Maka katanya segera, "Bagus, jika kau yang maju aku pasti takkan menggunakan tenaga dalam untuk melukaimu."
"Kita janji dulu di muka, dalam tiga jurus kalau engkau tak bisa menjatuhkan aku, lantas bagaimana?" tanya Toan Ki.
Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak, ia tahu pemuda itu adalah seorang pelajar lemah yang ibaratnya memegang ayam saja tidak kuat, apalagi hendak bertanding tiga jurus dengan dirinya, mungkin setengah jurus saja tidak tahan. Maka sahutnya segera, "Dalam tiga jurus kalau aku tak bisa menang, segera aku angkat guru padamu!"
"Nah, semua hadirin di sini sudah dengar semua, jangan engkau mungkir janji nanti!" seru Toan Ki.
Gok-sin menjadi gusar, teriaknya, "Aku Gak-loji selamanya kalau bilang satu ya satu, bilang dua tetap dua!"
"Gak-losam!" seru Toan Ki.
"Gak-loji!" bentak Gok-sin.
"Gak-losam!" Toan Ki mengulang.
"Sudahlah, cerewet apa lagi, ayo lekas mulai!" teriak Gok-sin tak sabar.
Segera Toan Ki melangkah maju hingga berhadapan dengan tokoh ketiga Su-ok ini.
Di antara hadirin, dimulai Po-ting-te dan permaisuri ke bawah, setiap orang menyaksikan dewasanya Toan Ki, semuanya tahu anak muda itu gemar sastra dan tidak suka ilmu silat, selama hidupnya tidak pernah belajar silat sejurus pun. Malahan ketika dipaksa oleh Po-ting-te dan ayahnya supaya belajar silat, ia lebih suka minggat dari rumah. Jangankan bertanding melawan jago kelas wahid macam Lam-hay-gok-sin, biarpun melawan seorang prajurit biasa juga kalah. Semula semua orang mengira pemuda itu sengaja menggoda Lam-hay-gok-sin, siapa duga benar-benar akan bertanding.
Sebagai seorang ibu yang sangat sayang pada putranya, segera Yau-toan-siancu membuka suara, "Ki-ji, jangan sembrono, orang liar macam begitu jangan kau gubris padanya."
Cepat Honghou pun memberi perintah, "Sian-tan-hou, lekas kau perintahkan tangkap perusuh ini!"
Sian-tan-hou Ko Sing-thay mengiakan dan segera berseru, "Leng Jian-li, Tang Su-kui, Siau Tiok-sing dan Cu Tan-sin berempat dengarkan perintah, atas titah Nionio, lekas tangkap perusuh kurang ajar ini!"
Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li berempat menerima perintah itu.
Melihat dirinya hendak dikerubut, segera Lam-hay-gok-sin membentak, "Biarpun kalian maju semua juga aku tidak gentar. Ayo, Hongte dan Honghou juga silakan maju sekalian!"
"Nanti dulu, nanti dulu!" demikian cepat Toan Ki mencegah sambil goyang-goyang kedua tangannya. "Biarlah kuselesaikan tiga jurus dahulu denganmu."
Po-ting-te kenal tindak tanduk keponakannya itu sering di luar dugaan, boleh jadi diam-diam dia sudah atur perangkap untuk menjebak musuh, apalagi dirinya dan saudaranya berjaga di samping, kalau Lam-hay-gok- sin hendak bikin susah pemuda itu, rasanya juga tidak bisa. Maka dengan tersenyum ia berkata, "Mundurlah kalian, biarkan perusuh ini belajar kenal betapa lihainya Ongcu dari Tay-li-kok, supaya dia tahu rasa!"
Mendengar perintah itu, Leng Jian-li berempat yang sudah bersiap-siap mengerubut maju itu lantas mengundurkan diri.
"Gak-losam," segera Toan Ki berkata, "marilah kita janji sebelumnya secara tegas. Kalau dalam tiga jurus engkau tak bisa merobohkan aku, harus kau angkat guru padaku. Tapi meski aku menjadi gurumu, melihat tampangmu yang tolol begini, rasanya percuma kuajarkan ilmu silat padamu. Jadi aku tak mau ajarkan apa-apa padamu, setuju?"
"Siapa ingin belajar silat padamu?" bentak Gok-sin gusar. "Huh, ilmu silat kentut anjing apa yang kau miliki?"
"Baik, itu artinya sudah kau terima syaratku," ujar Toan Ki. "Dan sesudah kau angkat guru, segala perintah guru selanjutnya harus kau turuti. Kalau membangkang, itu berarti durhaka dan akan dikutuk oleh setiap orang Bu-lim. Kau terima tidak syarat kedua ini.
"Hahaha, sudah tentu," Gok-sin terbahak-bahak. "Dan begitu pula bila kau yang mengangkat guru padaku."
"Ya, namun kalau kau ingin menerima aku sebagai murid, kau harus kalahkan dulu setiap Suhuku untuk membuktikan bahwa kepandaianmu memang lebih tinggi daripada guru-guruku itu, dengan begitu baru ada harganya mengangkat guru padamu."
"Baik, baik, tak perlu cerewet, ayo lekas maju!" sahut Gok-sin tak sabar.
"Buat apa buru-buru? Lihatlah seorang guruku sudah berdiri di belakangmu ...." kata Toan Ki dengan tersenyum sambil menuding ke belakang Gok-sin.
Lam-hay-gok-sin tidak merasa kalau di belakangnya ada orang, namun begitu toh dia menoleh juga. Kesempatan itu segera digunakan Toan Ki dengan baik, mendadak ia melangkah miring ke kiri, dengan cepat dan lucu ia terus mencengkeram "To-to-hiat" di punggung Gok-sin.
Gerak-gerik Toan Ki sama sekali tidak mirip seorang pesilat, tapi Hiat-to yang dipegangnya itu adalah salah satu jalan darah penting di tubuh manusia. Begitu tercengkeram, seketika Lam-hay-gok-sin merasa dadanya sesak. Sementara itu tangan Toan Ki yang lain lantas tekan di "Ih-sik-hiat" bagian pinggangnya, jari jempol tepat menekan di tengah Hiat-to itu.
Dalam kagetnya cepat Lam-hay-gok-sin meronta dengan tenaga dalam. Tapi dua Hiat-to penting sudah diatasi orang, sekali tenaga dalam dikerahkan, bukannya terlepas dari cengkeraman Toan Ki, sebaliknya kedua tenaga itu saling terjang hingga seketika ia menjadi lemas tak bisa berkutik. Terus saja Toan Ki angkat tubuh Lam-hay-gok-sin dan dibanting ke lantai. Untung lantai di ruangan pendopo itu digelari permadani hingga kepalanya yang botak itu tidak sampai benjut.
Walaupun begitu, dengan nama besar Lam-hay-gok-sin, dengan begitu saja ia kena dibanting Toan Ki, tentu saja ia malu. Saking murkanya, sekali lompat dengan gerakan "Le-hi-tah-ting" atau ikan lele melejit, begitu berdiri, ia terus balas mencengkeram Toan Ki.
Hadirin yang berada di ruangan itu adalah jago terkemuka semua, tapi tiada seorang pun yang menyangka Toan Ki yang diketahui sama sekali tidak pernah belajar silat dan lemah itu, ternyata bisa membanting Lam-hay-gok-sin dengan begitu mudah. Dalam kaget mereka, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah melancarkan serangan tadi kepada Toan Ki.
Toan Cing-sun menjadi khawatir, tapi belum sempat turun tangan melindungi sang putra, tahu-tahu anak muda itu sudah menggeser miring ke kiri, langkahnya aneh gesit, hanya satu langkah itu saja sudah dapat menghindarkan serangan kilat Lam-hay-gok-sin.
"Bagus!" seru Toan Cing-sun memuji.
Menyusul mana serangan Gok-sin yang kedua sudah dilontarkan lagi. Tapi Toan Ki tetap tidak membalas, hanya melangkah maju dua tindak malah dan kembali serangan itu luput.
Dua kali menyerang tidak kena sasaran, Lam-hay-gok-sin menjadi gusar dan kejut. Ia lihat Toan Ki hanya berdiri satu meter di depannya, sekonyong-konyong ia menggerung keras-keras, kedua tangannya berbareng mencengkeram dada dan perut pemuda itu.
Ini adalah salah satu ilmu silat tunggal mahalihai yang dilatihnya sepuluh tahun ini, namanya "Tok-liong-jiau" atau cakaran naga berbisa. Ilmu ini sebenarnya disiapkan untuk melawan Yap Ji-nio guna merebut gelar dari Thian-he-su-ok atau empat orang mahajahat sedunia.
Tapi kini, setelah dibanting, pula balas menyerang berulang tidak kena, Gok-sin menjadi kalap, tak terpikir lagi olehnya apakah cakarannya itu bakal membinasakan "calon ahli waris" itu atau tidak.
Dalam pada itu Po-ting-te, Honghou, Toan Cing-sun, Yau-toan-siancu dan Ko Sing-thay menjadi khawatir juga, berbareng mereka memperingatkan Toan Ki, "Awas!"
Namun dengan enteng pemuda itu melangkah ke kanan setindak menyusul menggeser pula ke kiri selangkah, tahu-tahu ia sudah berputar sampai ke belakang Lam-hay-gok-sin. "Plok," ia keplak sekali atas kepala Gok-sin yang botak itu.
Sungguh sedikit pun Gok-sin tidak menduga bahwa anak muda itu bisa menabok kepalanya secara demikian ajaibnya. Ketika merasa tangan orang sudah sampai di atas kepala, diam-diam ia menjerit, "Matilah aku!"
Tapi demi kepala kena dikeplak, segera ia tahu serangan Toan Ki itu sedikit pun tidak bertenaga dalam. Tanpa ayal lagi ia angkat tangan kiri ke atas, "cret," kontan punggung tangan Toan Ki tercakar lima jalur luka oleh kuku jarinya.
Waktu Toan Ki tarik kembali tangannya dengan cepat, serangan Gok-sin itu masih belum bisa direm, cakarannya masih merosot ke bawah hingga jidatnya juga ikut tercakar.
Sebenarnya sesudah berhasil menghindarkan tiga jurus serangan lawan, Toan Ki sudah menang dan dapat mengakhiri pertandingan itu. Tapi dasar sifat bocahnya masih belum hilang, biarpun dirinya tak bisa Lwekang, namun ketika tampak ada kesempatan untuk menabok kepala orang, terus saja ia keplak sekali kepala Lam-hay-gok-sin yang gundul itu, akibatnya hampir dirinya kena tertawan. Keruan kejutnya bukan buatan, buru-buru ia sembunyi ke belakang sang ayah dengan muka pucat ketakutan.
Yau-toan-siancu melotot sekali ke arah putranya itu, katanya dalam hati, "Bagus, jadi selama ini diam-diam kau belajar Kungfu sehebat itu kepada ayah dan pamanmu, tapi aku sama sekali tak diberi tahu."
Dalam pada itu Bok Wan-jing telah berseru, "Nah, Gak-losam, sudah tiga jurus tak mampu kau robohkan dia, sebaliknya kau sendiri kena dibanting olehnya. Sekarang lekas menyembah dan panggil Suhu padanya."
Muka Lam-hay-gok-sin menjadi merah, ia garuk-garuk kepalanya yang tak gatal itu dan menyahut, "Dia toh belum bergebrak sungguh-sungguh denganku, kejadian tadi tak bisa dihitung."
"He, tidak malu?" seru Bok Wan-jing. "Kau tidak mau mengaku guru padanya, itu berarti kau rela menjadi anak kura-kura. Sebenarnya kau mau mengangkat guru saja atau terima menjadi anak kura-kura?"
"Tidak semua," sahut Gok-sin. "Aku ingin mengulangi bertanding dengan dia."
Melihat gerak langkah putranya tadi sangat hebat dan bagus luar biasa, sampai dirinya juga tidak paham di mana rahasia kepandaian itu. Segera Toan Cing-sun membisiki Toan Ki, "Boleh maju lagi, jangan pukul dia, tapi cari kesempatan mencengkeram Hiat-tonya."
"Tapi anak menjadi takut sekarang, mungkin takkan berhasil," sahut Toan Ki lirih.
"Jangan khawatir, aku mengawasimu dari samping," kata Cing-sun.
Nyali Toan Ki menjadi besar lagi karena mendapat dukungan sang ayah. Segera ia melangkah ke depan dan berkata pada Lam-hay-gok-sin, "Sudah tiga jurus tak mampu kau robohkan aku, kau harus menyembah guru padaku!"
Tapi tanpa menjawab lagi, Gok-sin menggerung sekali terus menghantam dengan telapak tangannya.
Lekas Toan Ki melangkah miring ke kiri, dengan enteng saja ia hindarkan serangan itu. "Brak," pukulan Gok-sin menghancurkan sebuah meja.
Toan Ki pusatkan pikiran sambil mulutnya perlahan mengucapkan istilah, "San-ta-pak, Hwe-te-cin ...." dan seterusnya, yaitu istilah di dalam kitab Ih-keng. Sama sekali ia tidak hiraukan datangnya serangan Lam-hay-gok-sin, ia hanya urus langkah sendiri yang ke kanan, ke kiri, maju dan mundur sesukanya.
Dalam pada itu semakin lama makin cepat dan keras pukulan Lam-hay-gok-sin hingga terdengar suara gedubrakan dan gemerantang yang riuh di dalam ruangan pendopo, meja kursi dan mangkuk cangkir sama pecah berantakan kena pukulan Gok-sin. Tapi dari mulai sampai akhir, sedikit pun ia belum mampu menyenggol ujung baju Toan Ki.
Hanya sekejap saja lebih 30 jurus sudah berlangsung. Selama itu Po-ting-te Toan Cing-beng dan Tin-lam-ong Toan Cing-sun dapat melihat langkah Toan Ki enteng tetapi kaku, memang sedikit pun tak bisa ilmu silat. Cuma entah dari mana pemuda itu mendapatkan ajaran seorang kosen dalam sejenis ilmu gerak langkah yang ajaib dengan mengikuti perhitungan Pat-kwa ciptaan Hok-hi di zaman baheula, yaitu yang mempunyai dasar hitungan 8x8=64 segi.
Padahal kalau dia benar-benar bertempur dengan Lam-hay-gok-sin, mungkin cuma sejurus saja pemuda itu akan dibinasakan orang. Tapi dia justru mengurusi gerak langkah sendiri sambil mulut mengucapkan istilah-istilah yang bersangkutan, dan sebegitu jauh pukulan Lam-hay-gok-sin tetap tak bisa menyenggolnya.
Diam-diam Toan Cing-beng dan Toan Cing-sun saling pandang sekejap, sekilas mereka mengunjuk rasa khawatir juga. Dalam hati mereka sama berpikir, "Bila Lam-hay-gok-sin itu menyerang dengan memejamkan mata misalnya dan tak perlu melihat ke mana anak Ki melangkah, sekenanya ia lontarkan sejurus pukulan saja dan tanpa susah lagi tentu pemuda itu akan dirobohkannya."
Tapi Lam-hay-gok-sin ternyata tidak mempunyai pikiran seperti mereka. Sebaliknya wajahnya makin lama makin beringas, matanya juga semakin mendelik hingga biji mata yang tadinya sebesar kacang, kini melotot sebesar gundu, ia masih tetap memukul sejurus demi sejurus dan tetap tak bisa mengenai sasaran, biarpun ia telah berganti tipu serangan dengan cepat, Toan Ki selalu dapat menghindar ke tempat yang sama sekali di luar perhitungannya.
Namun pertarungan demikian itu kalau diteruskan, sekalipun Toan Ki tidak sampai dirobohkan, tapi untuk mengalahkan lawan juga tidaklah mungkin.
Setelah melihat sebentar, tiba-tiba Po-ting-te berkata, "Anak Ki, melangkah perlahan sedikit, papak dari depan dan cengkeram Hiat-to di dadanya."
Toan Ki mengiakan sambil melambatkan langkahnya, segera ia memapak Lam-hay-gok-sin dari depan. Tapi ketika sinar matanya kebentur dengan sorot mata Gok-sin yang beringas itu, ia menjadi jeri, sedikit kakinya merandek, tempat kedudukannya menjadi rada menceng. Sekali cakar Lam-hay-gok-sin menyambar, kebetulan menyerempet samping kuping kirinya hingga berdarah. Bila cakaran itu sedikit geser ke kanan, tentu Toan Ki sudah menjadi mayat di situ.
Dan karena kupingnya terasa kesakitan, Toan Ki semakin jeri, ia percepat langkahnya menyingkir ke samping, terus mundur ke belakang sang ayah sambil berseru dengan menyengir, "Pekhu, aku tak sanggup!"
Cing-sun menjadi gusar, serunya, "Keturunan keluarga Toan dari Tayli tidak ada yang mundur ketakutan di garis depan? Ayo, lekas maju lagi, apa yang dianjurkan Pekhu tadi memang tidak salah!"
Yau-toan-siancu terlalu sayang pada sang putra, cepat ia menyela, "Ki-ji sudah bergebrak hampir 60 jurus dengan dia, keluarga Toan mempunyai keturunan sehebat ini, apakah engkau masih belum puas? Ki-ji, sejak tadi kau sudah menang, tak perlu diteruskan lagi."
"Tidak," kata Toan Cing-sun, "tak perlu kau ikut campur putraku, aku tanggung dia takkan mati."
Sedih dan dongkol rasa Yau-toan-siancu, air matanya berkilau-kilau akan menetes.
Melihat itu, Toan Ki menjadi tak tega, ia beranikan diri, segera ia melangkah maju dengan membusungkan dada, bentaknya, "Marilah kita teruskan bertempur!"
Sekali ini ia sudah nekat, ia berputar kian kemari dengan teratur, makin lama makin lambat, ketika berhadapan dengan Gok-sin, ia tidak mau beradu sinar mata lagi, tapi kedua tangan terus mencengkeram dada lawan.
Melihat tangan Toan Ki yang terulur itu lemas tak bertenaga, Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak geli, ia miringkan tubuh terus hendak pegang bahu pemuda itu malah. Tak terduga gerak langkah Toan Ki ternyata bisa berubah dengan sukar diraba, kedua orang berbareng menggeser tubuh hingga kebetulan dada Lam-hay-gok-sin seakan-akan disodorkan pada jari tangan Toan Ki.
Tanpa ayal lagi Toan Ki incar "Tan-tiong-hiat" dan "Gi-ko-hiat" dengan tepat, sekaligus terus mencengkeram.
Sama sekali Toan Ki tidak punya tenaga dalam, meski berhasil memegang kedua tempat Hiat-to di badan lawan, kalau Lam-hay-gok-sin tidak menggunakan tenaga dalam dan perlahan meronta melepaskan diri secara biasa, sebenarnya Toan Ki juga tak bisa mengapa-apakan dia.
Namun karena merasa Hiat-to penting kena dicengkeram lawan, dalam kagetnya tanpa pikir Lam-hay-gok-sin mengerahkan tenaga dalam untuk menutup kedua Hiat-to itu, berbareng kedua tangannya balas menyerang muka Toan Ki.
Serangan Gok-sin ini mengarah kedua mata Toan Ki, sebenarnya sangat tepat pemakaiannya, yaitu sesuai apa yang disebut "menyerang tempat musuh yang terpaksa harus menolong diri sendiri lebih dulu", betapa pun lihainya musuh, kalau menghadapi serangan demikian, terpaksa harus tarik kembali tangannya untuk melindungi diri sendiri. Dan bagi Lam-hay-gok-sin akan dapatlah terhindar dari malapetaka.
Tak tersangka olehnya bahwa Toan Ki sedikit pun tidak paham tentang menyerang atau diserang segala, ketika jari Gok-sin mencolok ke arah matanya, hakikatnya ia tidak pikir harus cepat tarik kembali tangannya untuk menangkis, sebaliknya kedua tangannya masih tetap mencengkeram kencang di tempat Hiat-to tadi.
Dan kesalahan ini ternyata malah membawa kebetulan baginya. Ketika Lam-hay-gok-sin mengerahkan Lwekang tadi, sekonyong-konyong ketemu rintangan di tempat kedua Hiat-to itu, seketika hawa murni dan darah bergolak hebat dalam tubuh, kedua tangan yang sudah terjulur kira-kira belasan senti di depan mata Toan Ki tahu-tahu terasa lemas tak mau turut perintah lagi. Ia masih belum terima, ia kerahkan tenaga dalam lebih kuat.
Tapi lebih celaka lagi baginya, sekali tenaga dikerahkan, ia merasa dua arus tenaga mahadahsyat saling terjang di dalam tubuh hingga aliran darah ikut kacau dan mogok, seketika matanya berkunang-kunang.
Sebaliknya mendadak Toan Ki juga merasakan dua arus tenaga mahakuat membanjir ke tangannya hingga tubuhnya ikut sempoyongan. Ia sadar keadaan waktu itu, asal kedua tangannya melepaskan Hiat-to lawan, segera jiwanya akan terancam. Sebab itulah meski rasanya menderita sekali, sedapat mungkin ia bertahan.
Jaraknya waktu itu dengan Toan Cing-sun hanya satu meteran saja. Ketika melihat air muka sang putra makin lama makin merah, terang anak muda itu lagi menahan rasa derita, segera Cing-sun ulur jari telunjuknya untuk menahan "Tay-cui-hiat" di punggung Toan Ki.
"It-yang-ci" atau ilmu jari betara surya dari keluarga Toan di negeri Tayli sudah tersohor di seluruh jagat. Maka begitu jari Toan Cing-sun menempel punggung Toan Ki, seketika suatu arus hawa hangat yang halus tersalur ke badan pemuda itu. Kontan badan Lam-hay-gok-sin tergetar, perlahan roboh dengan lemas.
Segera Toan Cing-sun pegang Toan Ki sambil mengerahkan tenaga jarinya lebih kuat. Hanya sebentar saja, lambat laun air muka Toan Ki sudah kembali merah, tapi untuk sejenak ia pun belum sanggup bicara.
Bagaimana diam-diam Toan Cing-sun memakai ilmu "It-yang-ci" untuk membantu sang putra hingga Lam-hay-gok-sin dapat dirobohkan, hal ini dapat diketahui setiap orang di ruangan itu. Namun begitu toh Lam-hay-gok-sin tetap jatuh di bawah tangan Toan Ki, betapa pun hal ini tak bisa dibantah.
Hiong-sat-ok-sin itu benar-benar lihai luar biasa. Begitu tangan Toan Ki melepaskan Hiat-to di badannya, seketika ia melompat bangun. Ia pandang Toan Ki dengan kedua matanya yang bundar kecil itu penuh rasa heran, gemas dan sedih pula.
"Nah, Gak-losam," demikian Bok Wan-jing lantas berteriak, "sekarang kau sudah kalah lagi, kulihat engkau lebih suka menjadi anak kura-kura daripada mengangkat guru, bukan?"
"Tidak, justru kuingin berbuat di luar dugaanmu," seru Gok-sin murka. "Angkat guru ya angkat guru, malu-malu apa? Aku Gak-loji sekali-kali tidak sudi menjadi anak kura-kura."
Habis berkata, benar juga ia terus berlutut dan menyembah empat kali kepada Toan Ki sambil berteriak, "Suhu, Tecu Gak-loji memberi hormat padamu!"
Untuk sejenak Toan Ki terkesima, dan belum lagi sempat menjawab, mendadak Lam-hay-gok-sin sudah melompat bangun terus mencelat ke atas wuwungan rumah. Tiba-tiba terdengar suara jeritan sekali di atas rumah menyusul suara gedebuk sekali, dari atas terbanting ke bawah tubuh seorang.
Waktu semua orang menegasi, kiranya seorang pengawal istana pangeran, dadanya sudah berlumuran darah dan berlubang, buah hatinya telah dikorek oleh Lam-hay-gok-sin untuk dimakan. Wi-su atau pengawal itu masih berkelojotan, keadaannya sangat mengerikan.
Sebenarnya kepandaian pengawal itu pun tidak rendah, walaupun tidak setingkat dengan empat tokoh Hi-jiau-keng-dok, tapi hanya dalam satu gebrakan saja ternyata hatinya sudah kena dikorek orang. Keruan semua orang saling pandang dengan terkejut.
"Longkun, muridmu itu benar-benar kurang ajar, lain kali kalau ketemu, harus kau hajar dia sampai minta ampun," seru Bok Wan-jing dengan gusar.
"Kemenanganku tadi hanya secara kebetulan saja berkat bantuan Tiatia," sahut Toan Ki tersenyum. "Tapi lain kali kalau ketemu lagi, mungkin buah hatiku sendiri juga bisa dikorek olehnya, kepandaian apa yang kumiliki untuk hajar dia?"
Waktu bicara itulah, Leng Jian-li dan Siau Tiok-sing sudah gotong keluar mayat pengawal tadi. Toan Cing-sun memberi perintah agar diberi pensiun pada keluarganya dan suruh Ho-sinshe tadi mengundurkan diri.
"Ki-ji," kata Po-ting-te kemudian. "Poh-hoat (ilmu gerak langkah) yang kau mainkan tadi berasal dari falsafah Pat-kwa ciptaan Hok-hi, kau boleh belajar dari siapa?"
"Anak mempelajarinya secara ngawur dari dalam sebuah gua, entah tepat atau tidak, masih mengharapkan petunjuk dari Pekhu," sahut Toan Ki.
"Dari sebuah gua bagaimana, coba ceritakan."
Maka berceritalah Toan Ki tentang pengalamannya.
Kiranya tempo hari waktu dia ditinggal di atas puncak karang, Bok Wan-jing digondol pergi oleh Lam-hay-gok-sin, dalam keadaan bingung Toan Ki terus mengudak. Tapi baru beberapa tindak tiba-tiba ia menginjak badan seekor ular sawah besar. Bundar dan licin badan ular itu penuh lendir yang basah. Toan Ki terpeleset dan tergelincir ke pinggir jurang.
Dalam keadaan bahaya, untung tangannya yang meraih serabutan itu dapat memegang akar pohon hingga badannya tidak terjerumus lebih jauh ke bawah, mati-matian ia pegang erat akar pohon itu tak dilepaskan lagi demi keselamatannya.
Dalam keadaan badan setengah terjuntai, kaki Toan Ki merasa menginjak di atas batu karang, telinganya mendengar pula suara gemuruh, air sungai mendebur-debur hebat di bawah sana.
Ia coba tenangkan diri dan mengawasi sekitarnya, ternyata dirinya berada di tengah tebing yang terjal sekali, untuk merambat ke atas terang tidak mampu, kalau turun ke bawah akan kecebur ke sungai. Terpaksa merembet ke kiri sana, di situ masih ada tempat untuk berpijak. Begitulah segera ia menggeremet ke sana dengan hati-hati.
Setelah merayap sebentar, ia mengaso sejenak. Kalau ketemukan tempat yang curam, terpaksa tabahkan diri dan akhirnya dapat merayap lewat juga dengan selamat.
Sampai hari sudah magrib, ia lihat di depan masih tetap tebing jurang yang terjal, sedikit pun belum ada tanda-tanda akan sampai di tempat datar, diam-diam Toan Ki putus asa. Ia coba merayap lagi sebentar, sekonyong-konyong pikirannya tergerak, pemandangan di depan ini lamat-lamat seperti sudah dikenalnya.
Waktu ia perhatikan lebih jauh, tak tertahan lagi ia berteriak, "Aha, ingatlah aku! Ketika aku keluar dari gua di luar danau itu, pemandangan yang kulihat tak-lain tak-bukan adalah seperti ini!"
Toan Ki senang sekali demi mengenal keadaan tempat itu, ia masih ingat bila dia merayap lewat beberapa tebing curam, ia akan sampai di suatu jalan kecil dan kalau jalan terus belasan li pula, ia akan tiba di jembatan "Sian-jin-toh".
Jadi mulut gua itu berada tidak jauh dari tempatnya sekarang ini, bila teringat pada patung dewi di dalam gua yang cantik tiada bandingannya itu, perasaannya lantas bergolak, ia tak tahan lagi, betapa pun ia ingin pergi menjenguk patung itu.
Tanpa pikir lagi segera ia merangkak terus. Tiada belasan meter jauhnya, benar juga ia sudah sampai di mulut gua tempat keluarnya dari bawah danau tempo hari. Cepat ia menyusup ke dalam gua, mengikuti jalan lama dan akhirnya mencapai kamar batu yang dulu.
Hari sudah gelap, tapi di dalam kamar batu itu tetap terang benderang oleh cahaya mutiara mestika yang menghias seputar dinding kamar. Toan Ki termangu-mangu memandangi patung dewi itu, pikirnya, "Untung ini hanya patung belaka dan bukan manusia. Bila di dunia benar-benar ada gadis secantik ini, aku Toan Ki bukan mustahil rela mati asal dapat mempersuntingkannya."
Begitulah ia terkesima di hadapan patung ayu itu sampai kakinya sudah terasa lemas toh dia masih belum merasa capek, nyata saat itu segala Bok Wan-jing, Lam-hay-gok-sin dan lain-lain sudah dibuang olehnya ke awang-awang. Sampai akhirnya ia benar-benar tidak tahan lagi, lalu ia rebah di bawah kaki patung itu dan terpulas.
Dalam mimpi, patung itu bisa bergerak dan memberikan Toan Ki sebilah pisau serta menyuruh dia membunuh 36 orang laki-laki dan wanita yang tak berdosa. Tanpa membantah, Toan Ki terima pisau itu dan membunuh serabutan hingga dalam sekejap lebih dari 50 orang telah dibunuhnya hingga mayat bergelimpangan dan darah berceceran.
Patung itu tersenyum senang seakan-akan memuji perbuatan Toan Ki itu, lalu menyuruh pergi membunuh ayahnya sendiri. Tentu saja Toan Ki tidak mau, patung itu menjadi marah, katanya, "Kau tidak turut perintah, lebih baik kau bunuh diri saja!"
Tanpa ragu Toan Ki terus angkat pisau dan menikam ulu hatinya sendiri. Dalam kagetnya ia menjerit hingga tersadar dari tidurnya dengan berkeringat dingin, hatinya masih berdebar dengan kerasnya. Ia lihat di dalam kamar sudah terang benderang oleh cahaya matahari, nyata ia sudah tertidur semalam.
Ia pandang patung itu pula, macam-macam pikiran berkecamuk, tiba-tiba teringat olehnya, "He, kamar ini berada di dasar danau, dari mana datangnya sinar matahari itu?"
Ia coba pandang ke arah datangnya sinar sang surya, ia lihat di ujung kanan atas kamar itu tergantung sebuah cermin perunggu, sinar matahari itu memantul balik dari cermin itu. Ketika cermin perunggu itu diperhatikannya lebih jelas, lamat-lamat ternyata di atas cermin ada ukirannya.
Tergerak pikiran Toan Ki, "Di dalam kamar ini penuh cermin seperti ini, bukan mustahil ada udang di balik batu?"
Segera ia ambil cermin tadi, ia kebut debu di atasnya dan diusap lebih bersih, maka tertampaklah di atas cermin itu memang terukir banyak sekali garis-garis tegak dan miring, di samping garis-garis itu terukir pula huruf "It-poh", "Liang-poh", "Poan-poh" (satu langkah, dua langkah, setengah langkah) dan seterusnya. Dan tiap ujung garis itu terukir pula penjelasan "Tong-jin", "Tay-yu" dan macam-macam huruf kecil lain.
Toan Ki pernah membaca "Ih-keng," maka tahu "Tong-jin", "Tay-yu" dan sebagainya itu adalah nama segi-segi Pat-kwa yang seluruhnya berjumlah 8x8=64 segi itu.
Waktu cermin itu ia balik, di punggung cermin terukir pula empat huruf kuno "Leng-po-wi-poh" atau langkah lembut dewi cantik. Kalimat ini mengingatkan Toan Ki pada syair Co Cu-kian, putra Co Cho di zaman Sam-kok, yaitu syair yang memuja wanita cantik. Tapi bagi Toan Ki, ia merasa syair itu masih belum cukup untuk melukiskan betapa cantiknya patung di depan matanya ini.
Untuk sekian lamanya ia termenung-menung di situ sambil memegangi cermin perunggu. Kemudian teringat pula olehnya tulisan di papan perunggu di bawah kaki patung yang pernah dibacanya itu. Kata tulisan itu, "Sesudah kau genap menjura seribu kali padaku, itu berarti sudah menjadi muridku. Pengalamanmu selanjutnya akan sangat mengenaskan, hendaklah kau jangan menyesal. Ilmu silat perguruan kita yang tiada bandingannya di jagat ini berada di dalam ruangan batu ini, harap melatihnya dengan tekun."
Malahan tempo hari waktu dia berpisah dari patung itu pernah mengatakan, "Enci Dewi, aku tidak mau menjadi muridmu, ilmu silatmu yang tiada bandingannya itu juga takkan kupelajarinya."
Tapi kini sesudah memandang lebih mesra terhadap patung itu, pikirannya menjadi kabur tak terkendali, pikirnya sekarang, "Di manakah beradanya ilmu silat tiada bandingannya itu? Apa barangkali terukir di atas cermin-cermin perunggu ini? Enci Dewi suruh aku belajar silat, tak boleh tidak aku harus mempelajarinya sekarang."
Berpikir begitu, segera ia balik cermin perunggu tadi dan menghafalkan hitungan ke-64 segi Pat-kwa itu lalu setindak demi setindak mulai berlatih.
Semula ia hanya melangkah mengikuti petunjuk yang terukir di atas cermin itu tanpa mengetahui di mana letak keajaibannya, terkadang tulisan di cermin itu sangat aneh, setelah melangkah setindak, langkah selanjutnya menjadi buntu rasanya. Tapi ketika kemudian mesti melompat sambil berputar tubuh, jalan selanjutnya terbuka lagi dengan lancar. Sering pula harus disertai dengan melompat maju atau mundur untuk bisa cocok dengan petunjuk di atas cermin itu.
Dasar Toan Ki memang sudah biasa tekun belajar, maka sekali sudah mau, biarpun menemukan persoalan sulit tentu dipecahkannya dengan peras otak baru mau berhenti. Dan bila kemudian sudah paham, ia lantas berjingkrak girang seperti orang sinting. Pikirnya, "Elok benar! Jadi ilmu silat juga bisa membikin orang senang, bahkan tidak kurang menariknya daripada orang membaca kitab."
Lalu pikirnya pula, "Aku tidak suka bikin susah atau membunuh orang, makanya selama ini aku tidak sudi belajar silat. Tapi Poh-hoat (ilmu gerak langkah) ini tak bisa dipakai membunuh orang, sebaliknya dapat menghindarkan maksud jahat musuh, kalau dipelajari, ada manfaatnya tiada jeleknya. Sekalipun ilmu silat lainnya kalau digunakan untuk menolong sesamanya, sebenarnya juga tidak jelek."
Begitulah, sekali dia sudah suka, ia lantas merasa tiada salahnya belajar silat. Dan dengan demikian, ia lantas belajar terlebih giat. Hanya dalam satu hari saja, Poh-hoat yang tertulis di atas cermin itu sudah 2-3 bagian dapat dipahaminya.
Malamnya, ia merasa sangat lapar. Segera ia keluarkan "Bong-koh-cu-hap" agar binatang itu bersuara memanggil ular. Ia pilih seekor ular yang gemuk, lalu menyembelihnya, ia keluar ke tepi sungai itu untuk mencari kayu bakar dan memanggang daging ular untuk dimakan.
Selama beberapa hari, kecuali makan ular dan tidur, senantiasa Toan Ki terbenam dalam pelajaran "Leng-po-wi-poh" yang aneh itu. Terkadang kalau sudah malas, begitu mendongak dan memandang patung dewi itu, ia lantas merasa patung cantik itu lagi mengomeli dia, ia terkesiap dan kembali belajar lagi dengan tekun.
Hari keempat, seluruh pelajaran ilmu langkah itu sudah dapat dihafalkannya. Selama itu sering juga teringat olehnya akan Bok Wan-jing yang tak diketahui bagaimana nasibnya selama digondol Lam-hay-gok-sin itu, tentu gadis itu lagi menunggu pertolongannya, demikian pikirnya.
Tapi bila sinar matanya kebentrok dengan pandangan patung cantik itu, ia menjadi seperti kesurupan dan lupa daratan. Tapi kini ia telah ambil ketetapan yang tegas, "Aku harus pergi menolong nona Bok dahulu, kemudian baru aku kembali lagi ke sini!"
Segera ia kembalikan cermin perunggu itu ke tempat asalnya, sekilas ia dapat melihat pula bahwa di atas cermin perunggu lain yang berada di lantai juga lorang-loreng penuh terukir tulisan dan garis-garis. Ia tahu bila terus melatih ilmu di atas cermin itu, tentu akan makan waktu beberapa hari lagi, padahal nona Bok masih berada di bawah cengkeraman orang jahat dan sedang menanti kedatangannya untuk menolong.
Namun begitu, dalam hati kecilnya timbul juga semacam rasa berat untuk meninggalkan patung cantik itu Kalau dia pergi, jelas dirinya takkan mampu mengalahkan Lam-hay-gok-sin dan terpaksa mengangkat guru padanya baru nona Bok mau dibebaskan. Padahal bila dia disuruh angkat orang sejahat itu menjadi guru, Toan Ki merasa lebih suka mati daripada mesti menurut.
Sebab itulah, pertentangan batinnya menjadi hebat, ia ragu sampai sekian lama. Akhirnya merasa bila dirinya tidak pergi menolong Bok Wan-jing, itu berarti tidak berbudi dan tak bisa dipercaya, seorang laki-laki sejati tidak nanti berbuat demikian, sekalipun akhirnya dirinya mesti celaka, sekali sudah berjanji harus ditepati.
Karena itu, segera ia menjura kepada patung dewi itu, katanya, "Enci Dewi, bila aku bisa meloloskan diri dari Lam-hay-gok-sin yang jahat itu dengan ilmu 'Leng-po-wi-poh' ajaranmu, kelak tiap tahun aku pasti akan tinggal bersamamu di sini setengah tahun lamanya."
Habis itu, segera ia bertindak keluar gua dengan gaya berlenggang menurut gerak langkah Leng-po-wi-poh.
Tak tersangka, baru saja ia menginjak sudut "Tay" dan menggeser ke segi "Koh," sekonyong-konyong suatu arus hawa panas menerjang ke atas dari dalam perutnya. Seketika badannya terasa lumpuh, kontan ia ambruk ke lantai.
Dalam kagetnya cepat Toan Ki bermaksud menahan lantai dengan tangannya untuk merangkak bangun. Tak terduga semua anggota badannya juga terasa kaku pegal tak mau turut perintah lagi, bahkan untuk menggerakkan sebuah jari saja terasa susah.
Kiranya "Leng-po-wi-poh" yang tertera di atas cermin perunggu itu adalah semacam ilmu silat mahatinggi, kalau orang melatihnya sudah mempunyai dasar ilmu silat yang baik, maka setiap gerak-geriknya akan selalu disertai dengan tenaga dalam yang kuat.
Sebaliknya Toan Ki sedikit pun tidak mempunyai dasar Lwekang, jalannya tergantung ingatannya melulu, melangkah sekali, pikir sekali dulu, lalu berhenti, kemudian melangkah pula, cara demikian tidak menjadi alangan karena pergolakan darah yang disebabkan gerak langkah itu mendapat cukup waktu untuk berhenti.
Tapi kini sesudah dia hafal, lalu sekaligus berjalan begitu saja, seketika darahnya berontak sehingga menerjang balik, seketika ia lumpuh di lantai, hampir darahnya tersesat atau apa yang disebut "Cau-hwe-jip-mo" dalam ilmu silat. Untung dia baru melangkah dua tindak dan tidak terlalu cepat pula, maka urat nadinya tidak sampai pecah atau putus.
Dalam keadaan kaget itulah, Toan Ki coba meronta bangun, tapi semakin bergerak semakin kaku, rasanya ingin tumpah, tapi tidak tumpah. Akhirnya ia menghela napas dan pasrah nasib.
Aneh juga, sesudah dia pasrah masa bodoh, rasa mualnya malah hilang lambat laun.
Dan sekali dia sudah menggeletak tak berkutik, keadaan itu berlangsung hingga esok paginya masih tetap begitu. Diam-diam ia pikir, "Papan perunggu di bawah kaki Enci Dewi itu tertulis bahwa pengalamanku selanjutnya akan sangat mengenaskan, aku diminta jangan menyesal. Kalau aku cuma mati kelaparan begini saja, rasanya masih belum terhitung mengenaskan."
Kira-kira pukul 10 pagi itu, sinar matahari menyorot miring dari luar hingga persis menerangi sebuah cermin perunggu. Mata Toan Ki menjadi silau oleh pantulan cahaya matahari itu. Pikirnya ingin menghindari sinar menyilaukan itu, tapi apa daya, antero badan tak bisa bergerak. Tiba-tiba ia melihat di atas cermin itu samar-samar seperti terukir huruf "Bi-ce", "Soi-ko" dan lain-lain. Oleh karena kepalanya tak bisa bergerak, ia lantas baca tulisan itu secara cermat, lalu direnungkan dalam-dalam.
Dari cermin pertama tadi ia hanya dapat belajar 32 segi dari 64 segi itu. Kebetulan apa yang terukir di atas cermin sekarang ini adalah sisa 32 segi yang lain. Segera ia mempelajarinya lebih jauh.
Meskipun kakinya tak bisa bergerak, tapi pikirannya bekerja seakan-akan kakinya lagi bergerak menurut langkah yang ditunjukkan di atas cermin itu. Sampai petang, sudah ada belasan langkah dapat dipahaminya, rasa muaknya jauh berkurang.
Bab 10
Sampai esok paginya lagi, ke-32 langkah itu sudah dapat dipecahkan seluruhnya. Diam-diam ia menghafalkan lagi seluruh ke-64 segi itu dari awal sampai akhir. Dan nyatanya memang berjalan dengan lancar.
Ibaratnya orang yang mogok di tengah jalan karena menghadapi jalan buntu, kini mendadak jalan itu dapat ditembus, keruan Toan Ki sangat girang, terus saja ia meloncat bangun sambil bertepuk tangan dan berseru, "Bagus, bagus!"
Mendadak ia tertegun heran teringat pada dirinya kini sudah dapat bergerak lagi tanpa terasa.
Kejut dan girang Toan Ki tidak terkira, ia khawatir lupa, maka ke-64 gerak langkah itu diulanginya beberapa kali hingga hafal benar-benar, ia melangkah perlahan setindak demi setindak hingga akhirnya tercapai dengan bulat, ia merasa semangatnya tambah kuat dan segar. Meski sudah beberapa hari tidak makan, tapi toh tidak terasa lapar.
Ia memberi hormat ke arah patung dan mengucapkan terima kasih, lalu cepat berlari keluar dari gua itu. Dengan mengikuti jalan yang pernah dilaluinya, ia melintasi "Sian-jin-toh" dan kembali ke Bu-liang-san, akhirnya berjumpa pula dengan Bok Wan-jing.
Demikianlah ia ceritakan pengalamannya itu kepada ayah dan paman, hanya mengenai patung cantik itu tidak ia ceritakan, ia bilang menemukan dua buah cermin perunggu dan dari tulisan ukiran di atas cermin itulah dapat diperoleh ilmu gerak langkah yang ajaib itu.
Ia merasa di hadapan orang sebanyak itu tidak pantas menceritakan dirinya kesengsem atas sebuah patung ayu, apalagi Bok Wan-jing tentu akan marah besar dan bukan mustahil dirinya bisa digampar pula.
Selesai Toan Ki bercerita, Po-ting-te lantas berkata, "Ke-64 gerak langkah itu terang mengandung semacam ilmu Lwekang yang mahatinggi, coba kau lakukan sekali lagi dari awal sampai akhir."
Toan Ki mengiakan dan segera mulai berjalan selangkah demi selangkah menurut perhitungan Pat-kwa.
Po-ting-te, Toan Cing-sun dan Ko Sing-thay adalah ahli Lwekang, tapi terhadap keajaiban ilmu langkah itu mereka cuma bisa menangkap satu-dua bagian saja, selebihnya mereka pun merasa bingung.
Selesai Toan Ki melangkah ke-64 segi itu, persis ia putar suatu lingkaran besar dan tiba kembali di tempat semula.
Po-ting-te sangat girang, serunya, "Bagus sekali! Poh-hoat ini tiada bandingannya di seluruh jagat, sungguh beruntung sekali Ki-ji dapat memperolehnya, harap Ki-ji melatihnya lebih masak. Sekarang silakan omong dengan ibumu yang baru pulang istana."
Lalu ia berpaling pada permaisurinya, "Marilah kita pulang!"
Honghou mengiakan sambil berbangkit. Segera Toan Cing-sun dan lain-lain mengantar Hongte dan Honghou keluar istana Tin-lam-ong.
Setelah berada di dalam istana sendiri, segera Toan Cing-sun mengadakan perjamuan untuk menyambut pulangnya sang istri dan datangnya Bok Wan-jing. Satu meja perjamuan hanya empat orang, yaitu Toan Cing-sun suami istri, Toan Ki dan Wan-jing, tapi dayang yang melayani hampir 20 orang banyaknya.
Sudah tentu selama hidup Bok Wan-jing belum pernah melihat kemewahan demikian, begitu pula semua masakan yang disuguhkan di situ jangankan melihat, bahkan mendengar pun tidak pernah. Tapi demi tampak ayah-bunda Toan Ki memandang dirinya sebagai anggota keluarga sendiri, diam-diam ia pun sangat senang.
Melihat sikap ibunya terhadap ayahnya tetap dingin saja, tidak mau minum arak dan tidak makan daging, hanya dahar sedikit sayuran saja, segera Toan Ki menuang satu cawan arak dan berkata, "Mak, marilah anak menghormati engkau secawan!"
"Tidak, aku tidak minum arak," sahut Yau-toan-siancu.
Tapi Toan Ki menuang lagi secawan dan mengedipi Wan-jing, katanya pula, "Minumlah Mak, nona Bok juga ingin menyuguh engkau secawan!"
Segera Bok Wan-jing mengangkat cawan yang diangsurkan Toan Ki itu dan berdiri. Yau-toan-siancu menjadi tidak enak kalau bersikap dingin terhadap Bok Wan-jing, maka katanya dengan tersenyum, "Nona, putraku ini terlalu nakal, ayah-bundanya sukar mengendalikan dia, selanjutnya perlu kau bantu mengawasi dia lebih keras."
"Tentu," sahut Wan-jing, "kalau dia tidak menurut, kontan kujewer dia!"
Yau-toan-siancu mengikik geli oleh jawaban itu sambil melirik sang suami. Dengan kikuk Toan Cing-sun tertawa, ujarnya, "Memang harus begitu!"
Lalu Yau-toan-siancu menerima cawan arak suguhan Bok Wan-jing itu. Di bawah sinar lilin yang terang, Wan-jing melihat lengan nyonya pangeran itu putih halus bagai salju. Tiba-tiba dapat dilihatnya pula di punggung tangan dekat pergelangan terdapat sebuah andeng-andeng (tembong) merah sebesar mata uang. Seketika badan Wan-jing tergetar, cepat ia tanya dengan suara gemetar, "Apa ... apakah engkau ber ... bernama Si Pek-hong?"
"Dari mana kau tahu namaku?" sahut Yau-toan-siancu dengan tertawa.
"Engkau ... benar-benar Si Pek-hong?" Wan-jing menegas pula dengan terputus-putus. "Bukankah dahulu engkau memakai senjata ... senjata pecut?"
Melihat sikap gadis itu rada aneh, namun Yau-toan-siancu alias Si Pek-hong masih belum curiga, sahutnya pula dengan tersenyum, "Sungguh Ki-ji sangat baik padamu, sampai nama kecilku juga diberitahukan padamu."
Mendadak Bok Wan-jing berteriak, "Budi guru mahatinggi, perintah guru tidak boleh dibangkang!"
Berbareng tangannya bergerak, dua batang panah beracun lantas menyambar ke dada Yau-toan-siancu.
Dalam perjamuan yang diliputi suasana riang gembira di antara anggota keluarga sendiri itu, sudah tentu siapa pun tidak menyangka bakal terjadi penyerangan mendadak dari Bok Wan-jing. Biarpun ilmu silat Yau-toan-siancu jauh lebih tinggi daripada Bok Wan-jing, tapi jarak kedua orang sangat dekat, pula terjadinya secara tiba-tiba, tampaknya kedua panah itu segera akan menancap di dada sasarannya.
Toan Cing-sun duduk di sebelah kiri Bok Wan-jing, begitu melihat gelagat jelek, cepat jarinya menutuk, tapi It-yang-ci yang lihai itu juga cuma membikin Bok Wan-jing tak bisa berkutik, sedang kedua panah masih tetap menyambar ke depan.
Sebaliknya Toan Ki duduk di sisi kanan, sudah beberapa kali ia pernah menyaksikan Bok Wan-jing menyerang dengan panahnya yang berbisa maut itu. Maka begitu tampak gadis itu ayun tangannya, segera ia tahu bakal celaka.
Ia tak mahir ilmu silat, tapi dengan "Leng-po-wi-poh" yang cepat luar biasa, tahu-tahu ia menyelinap mengadang di depan sang ibu hingga kedua panah berbisa tepat menancap di dadanya. Berbareng itu Bok Wan-jing sendiri merasa badan kaku dan tak bisa berkutik karena ditutuk Toan Cing-sun.
Betapa cepatnya Tin-lam-ong, menyusul sekaligus ia tutuk pula beberapa kali di sekitar luka Toan Ki yang terpanah itu agar racun tidak menyerang lebih dalam. Habis itu, ia putar balik dan memuntir tangan Bok Wan-jing hingga terlepas dari ruasnya, dengan demikian supaya gadis itu tak bisa melepaskan panah pula. Lalu ia bebaskan Hiat-to yang ditutuknya dan membentak, "Lekas keluarkan obat penawarnya!"
"Aku ... aku tidak bermaksud memanah Toan-long, aku ingin ... ingin membunuh Si Pek-hong!" demikian jerit Wan-jing setengah meratap. Dengan menahan sakit lengannya yang keseleo, cepat ia keluarkan dua botol kecil obat penawar racun, katanya, "Yang merah diminum, yang putih bubuhkan pada lukanya, lekas, harus lekas! Kalau terlambat tidak keburu tertolong lagi!"
Yau-toan-siancu melotot sekali kepada gadis itu, melihat begitu perhatiannya terhadap putranya yang sungguh-sungguh timbul dari lubuk hatinya, diam-diam ia dapat menduga sebab musabab kejadian ini. Segera ia rebut obat penawar itu dan mengobati Toan Ki menurut petunjuk Bok Wan-jing tadi.
"Terima kasih kepada langit dan bumi bahwa... bahwa jiwanya dapat diselamatkan, kalau ... kalau tidak...." demikian Bok Wan-jing tak sanggup meneruskan lagi ratapannya.
Sementara itu setelah terpanah, Toan Ki lantas jatuh pingsan di pangkuan sang ibu. Suami-istri Toan Cing-sun terus memerhatikan luka Toan Ki, melihat darah yang mengalir keluar dari luka itu dari hitam sudah berubah ungu, lalu menjadi merah kembali, mereka baru merasa lega karena tahu jiwa sang putra sudah dapat diselamatkan.
Segera Yau-toan-siancu pondong putranya ke dalam kamar, lalu keluar lagi ke ruangan makan itu.
"Tidak apa-apa bukan?" tanya Toan Cing-sun pada sang istri.
Tapi Yau-toan-siancu tak menjawabnya, sebaliknya lantas berkata kepada Bok Wan-jing, "Pergilah kau dan katakan pada Siu-lo-to Cin Ang-bian bahwa ...."
Mendengar disebutnya "Siu-lo-to Cin Ang-bian" itu, seketika air muka Toan Cing-sun berubah hebat, tanyanya dengan tergegap, "Kau ... kau bilang apa?"
Tapi Yau-toan-siancu tak menggubrisnya, ia tetap berkata kepada Wan-jing, "Katakanlah padanya, jika dia menginginkan jiwaku, pakailah cara terbuka dan terang-terangan, tapi kalau main licik begini, tentu akan dibuat tertawaan orang saja."
"Aku tidak kenal siapa gerangan Siu-lo-to Cin Ang-bian!" jawab Wan-jing keras-keras.
"Habis, siapa yang menyuruhmu membunuh diriku!" tanya Siancu.
"Guruku," sahut Wan-jing. "Guruku menyuruhku membunuh dua orang. Yang seorang adalah engkau. Beliau menerangkan padaku bahwa pada tanganmu ada tembong merah besar, namanya Si Pek-hong, parasnya cantik, bersenjata pecut. Tapi dia tidak bilang engkau berdandan sebagai To-koh (imam wanita). Kulihat engkau memakai kebut pertapaan, bernama Yau-toan-siancu pula, sungguh tidak nyana bahwa engkaulah orang yang harus kubunuh menurut perintah guruku, lebih-lebih tak kusangka bahwa engkau adalah ibu Toan-long ...."
Berkata sampai di sini, tak tertahan lagi air matanya bercucuran.
"Dan orang kedua yang ingin dibunuh gurumu bukankah juga seorang wanita cantik, tangan kanannya kehilangan tiga jari?" tanya Si Pek-hong alias Yau-toan-siancu.
"Benar," seru Wan-jing heran. "Dari mana engkau tahu? Wanita itu katanya she Keng ...."
Tiba-tiba pipi Si Pek-hong basah oleh air mata yang berlinang-linang, ia pikir sejenak, lalu berkata kepada sang suami, "Cing-sun, harap kau rawat Ki-ji baik-baik!"
"Pek-hong," sahut Tin-lam-ong, "suka duka masa lalu buat apa tetap kau pikir?"
"Kau tidak pikir, tapi aku tetap memikirnya dan orang lain pun tidak pernah melupakannya," sahut Si Pek-hong dengan rasa pedih. Habis ini, sekonyong-konyong ia melompat keluar melalui jendela.
Cepat Toan Cing-sun hendak menarik lengan bajunya, namun Si Pek-hong sempat angkat tangannya terus dan mengebas ke muka sang suami, untung Tin-lam-ong sempat mengegoskan kepalanya, "bret," hanya kain lengan baju Si Pek-hong kena dirobeknya.
"Apa kau ajak berkelahi?" seru Si Pek-hong dengan gusar sambil menoleh.
"Pek-hong, kau ...." baru sekian Toan Cing-sun menjawab, segera Si Pek-hong melesat pergi dengan cepat.
Dari jauh terdengar bentakan Leng Jian-li yang keras, "Siapa itu?"
Lalu terdengar Si Pek-hong menjawab, "Aku!"
Terdengar Leng Jian-li berseru gugup, "Ah, kiranya Onghui!"
Habis itu, lalu sunyi senyap tiada suara lagi.
Cing-sun termangu-mangu berdiri di tempatnya, akhirnya ia menghela napas dan memandang Bok Wan-jing yang sementara itu tampak pucat pasi menahan sakit, tapi toh tidak melarikan diri. Ia mendekati gadis itu dan pegang lengannya, "krak," ia betulkan lagi ruas tulang yang sengaja dipuntir keseleo tadi.
"Aku telah panah istrinya, entah siksaan keji apa yang hendak dilakukannya atas diriku?" demikian Wan-jing membatin.
Tak terduga Toan Cing-sun hanya diam saja, dengan lesu kemudian ia berduduk di atas kursinya, perlahan ia angkat cawan araknya tadi dan diminum habis sekaligus. Pandangannya terpaku ke arah perginya Si Pek-hong tadi dengan termangu-mangu.
Sejenak kemudian, ia menuang arak dan ditenggak habis lagi. Dengan cara menuang sendiri dan minum sendiri, tidak lama sudah 13 cawan dikeringkannya, kalau poci arak yang satu sudah kering, lantas menuang dari poci yang lain. Menuangnya sangat lambat, tapi meneguknya sangat cepat.
Makin lama Bok Wan-jing menjadi semakin kesal, saking tak tahan, akhirnya ia berteriak keras-keras, "Cara bagaimana hendak kau siksa aku, lekas kau lakukan!"
Baru sekarang Toan Cing-sun mendongak ke arahnya serta memandangnya tanpa berkedip. Selang agak lama, ia berkata, "Sungguh mirip! Seharusnya dapat kulihat sejak tadi. Ya, beginilah wajahnya dan beginilah tabiatnya ...."
Mendengar ucapan yang tak keruan tujuannya, Bok Wan-jing berseru pula, "Kau bilang apa? Ngaco-belo!"
Tapi Cing-sun tak menjawabnya, tiba-tiba ia berbangkit, perlahan telapak tangan kiri memotong miring ke belakang dengan perlahan, tahu-tahu sumbu lilin yang berkobar di belakangnya terpadam sebatang. Menyusul telapak tangan kanan memotong pula ke belakang dan lagi-lagi api lilin yang lain disirapkan.
Berturut-turut ia memadamkan lima batang api lilin, tapi pandangannya selalu melihat ke depan, gerak tangannya perlahan, tapi enteng dan indah gayanya.
"He, bukankah ini ... `Ngo-lo-gin-yan-ciang'? Kenapa engkau juga bisa?" demikian tanya Wan-jing dengan heran dan terkejut.
"Pernahkah gurumu mengajarkan ilmu ini kepadamu?" tanya Cing-sun dengan tersenyum getir.
"Tidak pernah," sahut si gadis. "Suhu bilang kepandaianku belum cukup masak untuk berlatih ilmu pukulan ini. Pula, Suhu menyatakan ilmu pukulannya ini pasti takkan diturunkan pada orang lain, kelak akan dibawa serta ke liang kubur."
"O, jadi dia bilang takkan mengajarkannya pada orang lain dan akan dibawa serta ke liang kubur kelak?" Cing-sun menegas.
"Ya," sahut Wan-jing. "Cuma Suhu masih sering melatihnya di luar tahuku, karena itu diam-diam aku sudah sering melihatnya juga."
"Dia sering berlatih ilmu pukulan ini seorang diri?" Cing-sun menegas pula.
Wan-jing mengangguk, sahutnya, "Ya, setiap kali Suhu berlatih ilmu pukulan ini, tentu dia uring-uringan dan mendamprat aku. Tapi ken ... kenapa kau pun bisa? Eh, malahan engkau seperti lebih pandai memainkannya daripada guruku."
Toan Cing-sun menghela napas, katanya, "Ilmu 'Ngo-lo-gin-yan-ciang' ini akulah yang mengajarkan kepada Suhumu."
Wan-jing terkejut, tapi ia percaya. Sebab setiap kali gurunya berlatih pukulan ini, sering kali diperlukan dua-tiga kali gerakan baru dapat memadamkan api lilin. Tapi Toan Cing-sun cukup sekali kebas sudah bisa sirapkan api lilin, geraknya indah dan dilakukan seperti seenaknya saja. Maka dengan tak lancar ia tanya pula, "Jadi engkau adalah gurunya Suhuku? Engkau adalah... adalah kakek guruku?"
"Bukan!" sahut Tin-lam-ong dengan menggeleng kepala. Kemudian ia komat-kamit sendiri sambil bertopang dagu, "Setiap kali dia berlatih tentu uring-uringan dan menyatakan ilmu ini takkan diajarkan pada orang lain, tapi akan dibawa ke liang kubur ...."
"Dan bagaimana engkau ....?"
Baru Wan-jing hendak tanya, tiba-tiba Toan Cing-sun menggoyang tangan mencegahnya supaya jangan bersuara. Lewat sebentar, ia tanya pula, "Tahun ini kau berumur 18, kau lahir dalam bulan sembilan, betul tidak?"
"He, dari mana kau tahu? Engkau pernah hubungan apa dengan Suhuku?" tanya Wan-jing heran.
Maka tertampaklah air muka Toan Cing-sun penuh rasa derita, dengan suara parau ia menjawab, "Aku merasa ber ... berdosa pada gurumu, berdosa pula... padamu, Wan-jing, kau ...."
"Ada apa?" sahut si nona. "Kulihat engkau ini sangat ramah tamah, sangat baik."
"Apakah nama gurumu tak pernah diberitahukan padamu?" tanya Cing-sun pula.
"Suhu bilang namanya 'Bu-beng-khek', tapi sebenarnya she apa dan namanya siapa, aku tidak mengetahuinya."
"Bagaimana penghidupan gurumu selama bertahun-tahun ini? Di mana kalian tinggal?" tanya Cing-sun lebih jauh.
"Kami tinggal di balik suatu gunung yang tinggi dan tidak pernah bertemu dengan siapa pun, sejak kecil aku pun demikian." sahut si gadis.
"Siapakah ayah-bundamu, apakah tak diberi tahu oleh gurumu?"
"Kata Suhu, aku adalah anak piatu yang dibuang oleh orang tua, Suhu menemukan aku di tepi jalan."
"Kau benci pada ayah-bundamu atau tidak?"
Bok Wan-jing tidak lantas menjawab, ia menggigit-gigit kuku jarinya, berpikir sambil miringkan kepala.
Melihat sikap demikian itu, tak tertahan lagi hati Toan Cing-sun menjadi pilu dan meneteskan air mata.
Wan-jing tambah heran melihat pangeran itu menangis, tanyanya, "He, kenapa engkau menangis?"
Lekas Tin-lam-ong berpaling dan mengusap air matanya, lalu paksakan diri tertawa dan menjawab, "Ah, masakah aku menangis? Karena pengaruh arak, mataku menjadi pedas!"
Sudah tentu si gadis tak percaya, katanya, "Terang kulihat engkau menangis. Biasanya cuma wanita yang menangis, jadi laki-laki juga bisa menangis? Aku tak pernah melihat orang laki-laki menangis, kecuali anak kecil."
Melihat gadis itu sama sekali tidak mengerti peradaban orang hidup, Tin-lam-ong menjadi lebih terharu, katanya kemudian, "Wan-jing, harus kujaga baik-baik dirimu barulah dapat sekadar mengganti kesalahanku yang lalu, adakah sesuatu cita-citamu, cob katakan padaku, pasti akan kulaksanakan sepenuh tenaga bagimu."
Sebenarnya hati Bok Wan-jing kebat-kebit karena habis memanah nyonya Toan, tapi demi mendengar ucapan Toan Cing-sun ini, ia menjadi girang, serunya, "Jadi engkau tidak marah lagi karena aku memanah istrimu?"
"Justru seperti apa yang kau katakan tadi, 'budi guru mahatinggi, perintah guru sukar dibantah', urusan orang tua masa dahulu tiada sangkut pautnya dengan dirimu, maka aku takkan marah padamu. Cuma lain kali jangan lagi kurang sopan kepada istriku."
"Tapi kelak bila ditanya Suhuku lantas bagaimana?" kata Wan-jing.
"Bawalah aku menemui gurumu, biar kubicara padanya," kata Cing-sun.
"Bagus!" seru Wan-jing dengan girang sambil bertepuk tangan. Tapi segera ia berkata pula dengan berkerut kening, "Namun guruku sering bilang bahwa laki-laki di dunia ini semuanya berhati palsu. Selamanya dia tidak sudi menemui orang laki-laki."
Sekilas Cing-sun mengunjuk rasa heran, tanyanya cepat, "Gurumu selamanya tidak mau bertemu dengan orang laki-laki?"
"Ya, untuk keperluan sehari-hari, Suhu selalu suruh pelayan perempuan tua yang melakukannya," sahut Wan-jing. "Satu kali, pelayan tua itu sakit dan suruh putranya mewakili belanja keperluan dapur, Suhu menjadi marah dan suruh dia taruh jauh-jauh di luar pintu dan melarangnya masuk ke rumah."
"Ai, Ang-bian! Buat apa engkau menyiksa diri begitu?" demikian gumam Cing-sun sambil menghela napas.
"Kau sebut 'Ang-bian' lagi, sebenarnya siapakah gerangan 'Ang-bian' itu?" tanya Wan-jing.
"Urusan ini tak dapat membohongimu selamanya, biarlah kukatakan padamu. Gurumu asalnya bernama Cin Ang-bian, orang memberi julukan Siu-lo-to (si Hantu Ayu) padanya."
"O, kiranya begitu! Pantas begitu melihat caraku membidikkan panah, nyonyamu lantas tanya aku pernah hubungan apa dengan Siu-lo-to Cin Ang-bian. Tatkala itu aku benar-benar tidak tahu, jadi bukan sengaja berdusta. Kiranya guruku bernama Cin Ang-bian. Ehm, indah benar namanya!"
"Tadi aku telah puntir tanganmu, masih sakit tidak sekarang?" tanya Cing-sun dengan menyesal.
Melihat sikap pangeran itu begitu ramah tamah, dengan tersenyum Wan-jing menjawab, "Sekarang sudah baik. Marilah kita pergi menjenguknya? Kukhawatir racun panahku itu belum lagi bersih dari lukanya."
"Baiklah." sahut Cing-sun sambil berbangkit. Lalu katanya pula, "Kau mempunyai keinginan apa, coba katakan padaku."
Paras Bok Wan-jing menjadi merah jengah, ia menunduk dan menyahut, "Sesudah ... sesudah kupanah istrimu, kukhawatir dia... dia akan marah padaku."
"Kita minta maaf padanya, boleh jadi dia takkan marah lagi," kata Cing-sun.
"Sebenarnya aku tidak pernah minta maaf pada siapa pun juga. Tapi demi Toan-long, tidak apalah biar kuminta ampun padanya kelak," habis ini, tiba-tiba Wan-jing memberanikan diri dan berkata pula, "Tin-lam-ong, apabila kukatakan cita-citaku, apa benar engkau akan ... akan melaksanakannya bagiku?"
"Sudah tentu, asal tenagaku mampu untuk melakukannya, pasti akan kulaksanakan bagimu," sahut Cing-sun.
"Apa yang kau katakan ini, jangan kau mungkir janji," ujar Wan-jing.
Tin-lam-ong tersenyum, ia mendekati si gadis dan membelai rambutnya dengan penuh rasa kasih sayang, jawabnya, "Aku pasti takkan mungkir janji."
"Baiklah, jika begitu, urusan pernikahan kami harap engkau melaksanakannya, dia tidak boleh mengingkari janji dan berhati palsu," habis mengucapkan kata-kata ini, wajah Wan-jing tampak berseri-seri.
Sebaliknya air muka Toan Cing-sun berubah guram dan perlahan menyurut mundur, lalu jatuhkan diri di atas kursinya dengan lesu. Sampai lama sekali tetap tidak bicara.
Melihat gelagatnya kurang benar, segera Bok Wan-jing mendesak lebih jauh, "Engkau ... engkau menyanggupi tidak?"
"Tidak, kau pasti tidak boleh menikah dengan Ki-ji," sahut Cing-sun kemudian dengan suara parau berat, tapi tegas.
Seketika hati Bok Wan-jing menjadi dingin, seakan-akan diguyur seember air, tanyanya dengan terputus-putus, "Sebab apa? Se ... sebab? Dia ... dia sendiri sudah berjanji padaku."
Tapi Toan Cing-sun hanya menjawab singkat, "Karma, karma!"
Wan-jing semakin gugup, serunya, "Jika dia tidak mau lagi padaku, aku ... aku lantas membunuhnya, lalu ... lalu membunuh diri. Sebab aku telah ... telah bersumpah di hadapan Suhu."
"Tidak bisa!" sahut Cing-sun sambil geleng kepala perlahan.
"Mengapa tidak? Biar kutanya dia!"
"Ki-ji sendiri pun tidak tahu," ujar Cing-sun. Dan ketika melihat rasa duka si gadis yang memilukan itu mirip benar dengan kejadian 18 tahun yang lalu, di mana ketika mendadak Cin Ang-bian mendengar berita duka, tidak bisa menahan perasaannya lagi, tercetuslah dari mulutnya, "Kau tak boleh menikah dengan Ki-ji, juga tak boleh membunuhnya!"
"Sebab apa?"
"Sebab ... sebab Toan Ki adalah kakakmu sendiri!"
Seketika mata Bok Wan-jing terbelalak lebar, sungguh ia tidak percaya pada telinga sendiri, tanyanya dengan suara gemetar, "Ap ... apa katamu? Kau ... kau bilang Toan-long adalah kakakku?"
"Ya," sahut Cing-sun tegas. "Wan-jing, apa kau tidak tahu siapakah sebenarnya gurumu itu? Dia adalah ibu kandungmu dan aku ini ayahmu!"
Terperanjat dan gusar tak terhingga rasa Bok Wan-jing hingga wajahnya pucat pasi, katanya dengan terputus-putus, "Aku tidak ... tidak percaya, aku tidak percaya!"
Sekonyong-konyong terdengar seorang menghela napas panjang di luar jendela, lalu suara seorang wanita berkata, "Wan-jing, marilah kita pulang saja!"
"Hei, Suhu!" teriak Wan-jing sambil putar tubuh dengan cepat.
"Srek," mendadak jendela terbuka, maka tertampaklah di luar berdiri seorang wanita setengah umur, berwajah bulat telur, alis lentik, mata jeli, parasnya sangat cantik, sinar matanya bercahaya bengis menandakan kekerasan hatinya.
Melihat bekas kekasihnya, yaitu Siu-lo-to Cin Ang-bian mendadak muncul di situ, Toan Cing-sun kaget dan girang, serunya keras, "Ang-bian, Ang-bian! Selama beberapa tahun ini, entah betapa aku merindukan dikau!"
Namun Cin Ang-bian tidak menjawab, katanya pula kepada Bok Wan-jing, "Wan-jing, marilah keluar! Rumah manusia yang tipis budi dan berhati palsu, jangan tinggal terlalu lama di sini!"
Melihat sikap sang guru terhadap Toan Cing-sun itu, perasaan Bok Wan-jing menjadi lebih tertekan, serunya tak lancar, "Suhu, dia ... dia dusta padaku, katanya engkau adalah ... adalah ibuku dan dia ... dia ayahku."
"Ibumu sudah lama meninggal, begitu pula ayahmu," sahut Cin Ang-bian dengan dingin.
Mendadak Toan Cing-sun berlari ke ambang jendela, serunya dengan suara memohon, "Ang-bian, marilah masuk ke sini, biar kupandang engkau barang sebentar. Jangan lagi engkau tinggalkan daku, marilah selanjutnya kita hidup berdampingan bersama."
Tiba-tiba sinar mata Cin Ang-bian berkilat-kilat, tanyanya, "Kau bilang kita akan hidup berdampingan untuk selama-lamanya? Benar demikian maksudmu?"
"Ya, benar, benar!" sahut Cing-sun. "O, Ang-bian, selama ini tidak pernah sedetik pun kulupakan dikau."
"Tapi apa engkau tega meninggalkan Si Pek-hong?" tanya Ang-bian.
Cing-sun tertegun, ia ragu dan tidak bisa menjawab, wajahnya mengunjuk rasa serbasulit.
Maka Cin Ang-bian berkata pula, "Bila engkau masih menaruh kasihan kepada putri kita ini, maka marilah engkau ikut pergi bersamaku dan selanjutnya tidak boleh ingat lagi pada Si Pek-hong, untuk selama-lamanya jangan pulang lagi ke sini."
Mengikuti percakapan itu, perasaan Bok Wan-jing jadi semakin tenggelam, makin tertekan, air matanya berkilau di kelopak matanya hingga bayangan sang guru dan Toan Cing-sun tampak samar-samar.
Sekarang ia yakin bahwa kedua orang di hadapannya ini memang benar-benar adalah ayah-bunda kandung sendiri. Dan yang lebih memukul perasaannya adalah kekasih yang selama ini dicintainya itu ternyata adalah saudara laki-laki sendiri dari satu ayah lain ibu. Maka segala impian muluk yang pernah dibayangkan olehnya selama ini dalam sekejap saja telah buyar sirna semua!
Terdengar Toan Cing-sun menjawab, "Tapi, Ang-bian, aku adalah ... adalah Tin-lam-ong kerajaan Tayli ini, aku memegang kekuasaan militer dan sipil, sebentar ... sebentar pun tak boleh meninggalkannya ...."
"Delapan belas tahun yang lalu kau bilang demikian, delapan belas tahun kemudian engkau tetap berkata begini, Toan Cing-sun, wahai Toan Cing-sun, engkau manusia berhati palsu dan tipis budi ini, aku benci ... benci padamu ...." demikian mendadak Cin Ang-bian mendamprat dengan suara bengis.
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar di atas rumah sebelah timur sana ada suara orang bertepuk tangan beberapa kali, lalu dari sebelah barat juga ada orang membalas dengan bertepuk tangan, begitu pula dari kedua jurusan yang lain.
Menyusul mana lantas terdengar suara Ko Sing-thay dan Leng Jian-li sedang berseru, "Ada musuh! Para saudara harap jaga di tempat masing-masing dan jangan sembarangan bergerak."
Melihat keadaan mulai genting, segera Cin Ang-bian membentak, "Wan-jing, kenapa kau belum keluar?"
Wan-jing mengiakan dan melayang keluar jendela dan menubruk ke pangkuan sang guru merangkap ibunda tercinta.
"Ang-bian, apa benar-benar engkau akan meninggalkan aku begini saja?" tanya Cing-sun. Ketika ia pandang ke atas rumah, ternyata di empat penjuru sudah penuh terjaga dengan orang.
Hendaklah diketahui bahwa di dalam istana pangeran Tin-lam-ong ini banyak berkumpul tamu terhormat, tidak sedikit jago silat kelas tinggi yang mengabdi di bawahnya dan dipimpin oleh Sian-tan-hou Ko Sing-thay bersama tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, maka sekali ada tanda bahaya, serentak para jago itu lantas siap siaga di tempatnya masing-masing.
Tiba-tiba Cin Ang-bian menjawab dengan suara rawan, "Sun-ko, sudah berpuluh tahun engkau menjadi Ongya, rasanya juga sudah cukup. Marilah ikut padaku, selanjutnya aku akan menurut pada segala keinginan dan perintahmu, sekecap pun aku takkan memakimu dan sedikit pun aku takkan memukulmu. Lihatlah putri kita yang cantik ini, masakah tidak disayang olehmu?"
Tergerak hati Toan Cing-sun, serunya tanpa pikir, "Baik, aku ikut pergi bersamamu!"
Girang sekali Cin Ang-bian, ia ulurkan tangan kanan menantikan jabatan tangan Toan Cing-sun.
Tapi mendadak terdengar suara seorang wanita sedang berkata dengan dingin di belakang, "Cici, kembali engkau diakali lagi. Paling-paling dia cuma mempermainkan engkau beberapa hari saja, lalu pulang ke sini pula untuk menjadi Ongya!"
Terguncang perasaan Toan Cing-sun demi mengenali suara itu, serunya, "He, A Po, jadi engkau juga datang!"
Waktu Wan-jing berpaling, ia lihat orang yang bicara itu adalah seorang wanita berbaju sutra hijau, ternyata adalah Ciong-hujin dari Ban-jiat-kok. Di belakangnya terdapat pula tiga orang, yaitu Yap Ji-nio dan In Tiong-ho, seorang lagi adalah Lam-hay-gok-sin yang sudah pergi tadi, tahu-tahu kini kembali lagi. Bahkan yang lebih mengejutkan Bok Wan-jing adalah Lam-hay-gok-sin itu memondong pula seorang yang ternyata adalah Toan Ki.
"He, Toan-long, bagaimana engkau?" seru Wan-jing khawatir.
Tadinya Toan Ki rebah di tempat tidurnya dalam keadaan terluka, dalam keadaan sadar tak sadar, tiba-tiba Lam-hay-gok-sin melompat masuk ke kamarnya serta memondongnya lari. Saking kagetnya pikiran Toan Ki menjadi sadar malah, sebab itulah ia dapat mendengar sebagian percakapan antara ayahnya dan Bok Wan-jing serta Cin Ang-bian. Meski tidak seluruhnya dapat didengar, namun ia sudah dapat meraba sebagian besar duduknya perkara.
Kini mendengar gadis itu masih memanggil dirinya sebagai "Toan-long," ia menjadi pilu, sahutnya dengan rawan, "Moaycu (adikku), selanjutnya asalkan kita kakak beradik selalu kasih sayang, bukankah serupa juga."
"Tidak, jauh bedanya!" seru Wan-jing dengan gusar, "Engkau adalah lelaki pertama yang telah melihat wajahku."
Tapi bila dia ingat bahwa pemuda itu adalah saudara satu ayah dengan dirinya, betapa pun kakak dan adik tidak mungkin boleh kawin. Bila dalam hal ini kekuatan manusia yang coba merintangi pernikahan mereka, tentu ia bisa binasakan orang itu dengan panah beracunnya. Tapi kini yang menjadi pengalang mereka adalah takdir Ilahi, biarpun setinggi langit ilmu silatnya atau mempunyai kekuasaan juga tidak mampu menghapusnya.
Seketika itu perasaan Bok Wan-jing serasa hampa. Dalam keadaan putus asa, tanpa pikir ia melompat keluar kamar terus berlari pergi.
"Wan-jing, Wan-jing! Hendak ke mana kau?" seru Cin Ang-bian khawatir.
Namun Wan-jing tidak gubris lagi pada sang guru merangkap ibunda tersayang itu, serunya, "Engkau bikin susah padaku, aku takkan peduli padamu lagi."
Berbareng itu, larinya bertambah cepat.
"Siapa itu?" tiba-tiba di depan mengadang seorang pengawal istana.
Tanpa menjawab lagi Bok Wan-jing terus bidikkan sebatang panah hingga mengenai tenggorokan pengawal itu dan roboh terjungkal. Si gadis sendiri setindak pun tidak berhenti, hanya dalam sekejap saja bayangan tubuhnya yang ramping itu sudah menghilang dalam kegelapan.
Melihat putranya digondol Lam-hay-gok-sin, Toan Cing-sun menjadi khawatir, ia tidak urus lagi ke mana putrinya lari pergi, tapi jarinya terus bekerja, kontan Lam-hay-gok-sin hendak ditutuk.
Namun dari samping Yap Ji-nio menangkis sambil memotong urat nadi pergelangan Cing-sun. Cepat pangeran itu baliki tangannya untuk menangkap tangan lawan, tapi tahu-tahu Yap Ji-nio malah menjentik punggung tangan Cing-sun dengan jari tengahnya.
Begitulah dengan cepat lawan cepat, hanya sekejap saja kedua orang sudah saling serang beberapa jurus. Diam-diam Toan Cing-sun terkesiap, "Sungguh hebat perempuan ini."
"Toan Cing-sun!" tiba-tiba Cin Ang-bian berseru sambil ulur tangan mengancam di atas kepala Toan Ki. "Kau masih inginkan jiwa putramu atau tidak?"
Cing-sun terkejut, cepat ia berhenti menyerang lagi. Ia cukup kenal wataknya Cin Ang-bian yang aneh, bencinya kepada Si Pek-hong, yaitu istrinya sendiri sekarang ini boleh dikata merasuk tulang, maka bukan mustahil bila jiwa Toan Ki benar ditamatkan olehnya. Cepat ia menjawab, "Ang-bian, luka anakku sangat parah karena dipanah oleh putrimu."
"Dia sudah diberi obat penawar, takkan mati, biarlah sementara ini aku membawanya pergi," demikian kata Cin Ang-bian pula. "Dan kau boleh pilih, inginkan putramu atau lebih suka tetap menjadi Ongya."
"Hahahaha!" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak. "Bocah ini akhirnya toh harus juga mengangkat guru padaku!"
"Ang-bian," sahut Cing-sun kemudian, "biarlah kuterima segala permintaanmu, asal engkau bebaskan putraku."
Sebenarnya cinta Cin Ang-bian kepada Toan Cing-sun belum pernah tawar biarpun sudah lewat 18 tahun lamanya. Maka demi mendengar ucapan Toan Cing-sun yang penuh rasa khawatir itu, hatinya menjadi lemas, sahutnya, "Apa ben ... benar engkau akan menurut segala permintaanku?"
"Ya, ya!" seru Cing-sun tanpa pikir.
"Cici, jangan kau percaya lagi kepada laki-laki yang berhati palsu ini," tiba-tiba Ciong-hujin menyela, "Gak-siansing, marilah kita pergi!"
Tanpa bicara lagi Lam-hay-gok-sin melompat ke atas, sekali membalik badan di udara, ia tancap kaki di atas rumah seberang sana, menyusul terdengar suara gedebuk dua kali, Yap Ji-nio dan In Tiong-ho masing-masing telah merobohkan dua jago pengawal istana yang berusaha hendak merintangi Lam-hay-gok-sin.
Toan Cing-sun tahu meski mengerahkan antero kekuatan penjaga istana belum tentu kawanan musuh itu bisa dicegat. Namun keselamatan putranya sendiri terancam, betapa pun tidak boleh bertindak gegabah, tindakan kekerasan bukan tindakan yang baik, apalagi dua wanita di hadapannya ini sangat luar biasa hubungannya dengan dirinya. Maka terpaksa ia menyahut dengan halus, "A Po, ken ... kenapa engkau juga ikut-ikut memusuhi aku?"
"Aku adalah istri Ciong Ban-siu, jangan sembarangan kau panggil, tahu?" seru Ciong-hujin.
"A Po, selama ini, sungguh aku sangat merindukan dikau," demikian Toan Cing-sun merayu pula.
Ciong-hujin menjadi terharu, matanya merah basah, sikapnya berubah lunak seketika, sahutnya rawan, "Tempo hari, begitu kulihat Toan-kongcu, segera aku ... aku tahu dia adalah anakmu."
"Sumoay, sekarang kau sendiri kena dibujuk olehnya!" seru Cin Ang-bian.
"Ya, baiklah, mari kita pergi!" sahut Ciong-hujin sambil tarik tangan Ang-bian. Lalu ia berpaling kepada Cing-sun, "Bila engkau menginginkan putramu dengan baik-baik, bawalah Si Pek-hong sambil menyembah tiap langkah pergi ke Ban-jiat-kok."
"Ban-jiat-kok?" Cing-sun menegas.
Sementara itu dilihatnya Lam-hay-gok-sin sudah makin jauh berlari pergi dengan menggondol Toan Ki. Ko Sing-thay, Leng Jian-li dan lain-lain tampak sedang mengudak dan mencegat dari berbagai jurusan.
Cing-sun menghela napas, serunya kemudian, "Ko-hiante, biarkan mereka pergi!"
Sahut Ko Sing-thay, "Tapi Siauongya ...."
"Biarlah, perlahan kita cari akal lain," kata Cing-sun. Sembari bicara, ia terus memburu Ko Sing-thay dan berkata pula, "Musuh sudah pergi, semua orang supaya kembali ke tempatnya masing-masing."
Habis itu, mendadak ia melompat ke samping Ciong-hujin, katanya dengan suara halus, "A Po, baik-baikkah engkau selama ini?"
"Sudah tentu, apa yang kurang baik?" sahut Ciong-hujin ketus.
Sekonyong-konyong jari Toan Cing-sun terus bekerja, secepat kilat ia telah tutuk "Tan-tiong-hiat" di dada nyonya itu. Dalam keadaan tak berjaga-jaga, kontan Ciong-hujin roboh.
Cepat Cing-sun tahan tubuh nyonya itu dengan tangan kiri sambil pura-pura kaget dan berseru, "He, A Po, ken ... kenapa engkau?"
Keruan Cin Ang-bian ikut terkejut, tanpa curiga ia lantas mendekat dan tanya dengan khawatir, "Ada apa, Sumoay?"
Dan tatkala Ang-bian berjongkok hendak memeriksa keadaan Ciong-hujin, secepat kilat jari Toan Cing-sun bekerja lagi, tepat Hiat-to Cin Ang-bian kena ditutuknya juga.
Dalam keadaan tertutuk kaku, Cin Ang-bian dan Ciong-hujin dipeluk oleh kedua belah tangan Toan Cing-sun, mereka sama melototi pangeran bangor itu, dalam hati masing-masing sama berpikir, "Ai, kembali aku teperdaya lagi! Kenapa aku begini sembrono, dulu sudah pernah masuk perangkapnya, mengapa sekarang aku tertipu pula?"
Dalam pada itu Toan Cing-sun telah berkata pada Ko Sing-thay, "Ko-hiante, lukamu belum sembuh, harap engkau pulang ke kamarmu untuk mengaso saja. Jian-li, kau pimpin kawan yang lain berjaga di sekitar sini."
Dengan hormat Ko Sing-thay dan Leng Jian-li mengiakan sambil membungkuk badan. Lalu Cing-sun kempit kedua wanita itu kembali ke ruangan tadi dan suruh koki menyediakan hidangan pula, perjamuan segera diperbarui lagi.
Setelah selesai menyediakan santapan dan para dayang sudah mengundurkan diri, Cing-sun tutuk pula Hiat-to bagian kaki kedua tawanannya supaya mereka tidak bisa berjalan, lalu melepaskan Hiat-to yang ditutuknya semula.
Segera Cin Ang-bian berteriak sesudah bisa bersuara, "Toan Cing-sun, sampai sekarang engkau masih ingin menghina kami berdua?"
Toan Cing-sun berputar ke hadapan kedua wanita itu, ia memberi hormat sambil berkata, "Maafkan aku berbuat kasar, terimalah hormatku ini."
"Siapa ingin kau beri hormat?" seru Cin Ang-bian dengan gusar. "Lekas lepaskan kami!"
"Kita bertiga sudah belasan tahun tidak berjumpa, kebetulan hari ini bisa berkumpul lagi, banyak sekali ingin kubicarakan pada kalian," demikian sahut Cing-sun. "Ang-bian, ternyata watakmu masih keras begini. Dan kau, A Po, makin lama engkau makin ayu, kenapa sedikit pun tidak kentara tambah tua?"
"Lekas kau lepaskan aku," teriak Ang-bian dengan gusar sebelum Ciong-hujin berkata, "Kalau A Po makin tua makin cantik, jadi aku makin tua makin jelek bukan? Ayo lepaskan aku, buat apa kau tahan seorang nenek jelek seperti aku?"
"Ang-bian," kata Cing-sun dengan gegetun, "cobalah engkau berkaca, bila engkau seorang nenek reyot dan jelek, maka sastrawan yang biasa melukiskan kecantikan wanita perlu ganti ungkapan menjadi sejelek bidadari."
Karena geli, tak tertahan Cin Ang-bian mengikik tawa, karena kaki tak bisa bergerak, terpaksa ia menggerutu, "Huh, siapa yang ajak berguyon denganmu? Cengar-cengir, masa begitulah kelakuan seorang pangeran?"
Melihat sikap orang yang bersungut tapi menawan hati itu, hati Cing-sun terguncang, terkenang olehnya cinta kasih masa lampau, tak tertahan lagi ia mendekati Cin Ang-bian, "ngok", ia cium sekali pipi wanita itu.
Meski kakinya tak bisa bergerak, tapi tubuh bagian atas Cin Ang-bian dapat bergerak dengan bebas, "plok", kontan ia persen sekali tamparan di muka pangeran bangor itu.
Kalau mau menghindar sebenarnya tidak susah bagi Toan Cing-sun, tapi ia sengaja menerima pukulan itu, bahkan ia terus berbisik di telinga orang, "Mati digampar Siu-lo-to, jadi setan juga rela!"
Seketika badan Cin Ang-bian tergetar mendengar itu, air matanya bercucuran, ia menangis keras-keras, ucapnya dengan parau, "Kembali ... kembali engkau gunakan kata-kata demikian lagi."
Kiranya pada masa dulu Cin Ang-bian pernah malang melintang di kalangan Kangouw dengan sepasang senjatanya yang berupa golok Siu-lo-to, karena itu juga ia mendapat julukan dari nama senjatanya itu. Ketika kesuciannya dirusak oleh Toan Cing-sun, kejadian itu adalah mirip seperti sekarang, yaitu dicium dulu, lalu ia tampar pipi pangeran itu, lalu ia lantas dirayu dengan bisikan "mati di bawah Siu-lo-to, jadi setan pun rela".
Kalimat itu entah sudah beratus ribu kali mengiang di telinganya selama belasan tahun ini. Kini, mendadak didengarnya pula dari mulut Toan Cing-sun, sungguh ia merasa sangat bahagia dengan aneka macam perasaan yang bercampur aduk.
"Suci, orang ini paling pandai merayu, pintar bermulut manis, tapi jangan kau percaya lagi padanya," tiba-tiba Ciong-hujin memperingatkan sang Suci atau kakak seperguruan.
"Ya, benar, aku tidak mau percaya lagi pada bujukanmu!" demikian kata Ang-bian yang ditujukan kepada Toan Cing-sun.
Tapi dengan cengar-cengir Toan Cing-sun lantas mendekati Ciong-hujin, katanya, "A Po, kalau aku juga 'ngok' pipimu, boleh tidak?"
Keruan Ciong-hujin rada kelabakan dan khawatir, dalam keadaan tak bisa berjalan, kalau orang benar-benar berbuat seperti apa yang dikatakan, kan bisa runyam.
Cepat ia berseru, "Tidak, jangan kurang ajar! Aku adalah wanita bersuami, sekali-kali tidak boleh kucemarkan nama baik suamiku, asal kau berani menyentuh badanku, segera akan kugigit lidah sendiri biar mati di hadapanmu."
Melihat kata-kata itu diucapkan dengan nekat dan sungguh-sungguh, Cing-sun tidak berani sembrono lagi, tanyanya kemudian, "A Po, bagaimanakah macam suamimu itu?"
"Suamiku sangat jelek, tabiatnya juga aneh, ilmu silatnya jauh di bawahmu, orangnya tidak segagah engkau pula, lebih-lebih tiada punya pangkat dan kedudukan seperti dirimu. Namun demikian, dengan hati suci murni ia mencintai aku, maka aku pun membalasnya dengan sama baiknya. Bila aku berbuat sedikit menyeleweng, itu berarti aku berdosa padanya, biarlah aku terkutuk, untuk selama-lamanya tak bisa menjelma kembali."
Mau tak mau Toan Cing-sun menaruh hormat kepada sikap tegas nyonya Ciong itu, maka ia tidak berani mengungkat-ungkat peristiwa asmara masa lalu lagi. Katanya kemudian, "Kalian telah menculik putraku, sebenarnya apa maksud tujuan kalian? A Po, Ban-jiat-kok yang kau katakan itu letaknya di mana?"
"Jangan katakan padanya!" tiba-tiba seorang berkata di luar jendela dengan suara serak.
Keruan Toan Cing-sun terkejut. Ia sudah perintahkan Leng Jian-li dan kawan-kawannya berjaga di luar, kenapa diam-diam ada orang asing menyusup sampai di luar kamar situ?
Maka terdengar Ciong-hujin buka suara dengan menarik muka, "Lukamu belum sembuh, buat apa engkau menyusul kemari?"
Lalu terdengar pula suara seorang wanita sedang berkata, "Silakan masuk, Ciong-siansing!"
Mendengar suara itu, Toan Cing-sun terlebih kejut hingga air mukanya merah jengah. Dan begitu kerai tersingkap, masuklah seorang wanita yang bukan lain adalah Yau-toan-siancu, di belakangnya menyusul seorang laki-laki bermuka sangat jelek, panjang mukanya itu hingga mirip muka kuda. Itulah dia muka yang istimewa dari Ciong Ban-siu, Kokcu atau pemilik lembah
Ban-jiat-kok.
Ciong-hujin menjadi heran demi tampak sang suami mendadak juga datang ke situ, ternyata datangnya bersama nyonya Toan alias Si Pek-hong itu.
Kiranya sesudah lama Bok Wan-jing berkelana dan belum pulang, Cin Ang-bian menjadi khawatir, segera ia keluar mencarinya ke tempat sang Sumoay, yaitu Ciong-hujin dari Ban-jiat-kok, kemudian mereka berdua lantas keluar pula mencari jejak Wan-jing.
Di tengah jalan mereka telah bertemu dengan Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho. Ang-bian sudah kenal dengan Yap Ji-nio, sebab di antara perguruan mereka ada sedikit hubungan, cuma biasanya tidak pernah saling bergaul. Ketika mendengar Bok Wan-jing telah ikut pergi ke Tayli, segera "Sam-ok" itu ikut menyusul ke situ.
Sebaliknya Ciong Ban-siu yang sangat mencintai sang istri itu, rasa cemburunya juga sangat besar, sejak sang istri pergi, ia menjadi tidak enak makan dan sukar tidur, tanpa peduli lagi bahwa lukanya belum sembuh, serta tak pikir bahwa selama ini dirinya pura-pura mati dan mengasingkan diri di lembah sunyi itu, segera ia berangkat menyusul sang istri.
Sampai di luar istana pangeran, kebetulan ia pergoki Si Pek-hong sedang berlari keluar dengan marah-marah, begitu kepergok, segera kedua orang saling gebrak. Tengah sengit pertarungan mereka, tiba-tiba sesosok bayangan orang berbaju hitam melayang lewat di samping mereka, orang itu tampak menutupi mukanya sambil menangis, ternyata Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing.
Melihat gadis itu, Ciong Ban-siu menjadi khawatir atas diri sang istri, katanya segera, "Paling penting harus kucari istriku dulu, aku tiada tempo buat menempurmu lagi."
"Ke mana hendak kau cari istrimu?" tanya Si Pek-hong.
"Ke rumah si bangsat Toan Cing-sun," sahut Ciong Ban-siu. "Bila istriku ketemu Toan Cing-sun, wah, bisa runyam!"
"Sebab apa bisa runyam?" tanya Pek-hong pula.
"Toan Cing-sun bermulut manis, pintar membujuk rayu, ia seorang hidung belang ahli pikat wanita, harus kubunuh dia nanti!" sahut Ban-siu gemas.
Diam-diam Si Pek-hong pikir sang suami sudah berumur lebih empat puluh, jenggotnya sudah panjang, masakah disamakan pemuda hidung belang segala? Tapi tentang sifat sang suami yang memang bangor itu, ia percaya kepada apa yang dikatakan orang bermuka kuda itu.
Segera ia coba tanya nama dan asal usul suami-istri Ciong Ban-siu. Dan ketika mengetahui Ciong-hujin adalah salah satu bekas kekasih sang suami, Pek-hong menjadi curiga, segera ia lari kembali ke istana bersama Ciong Ban-siu.
Meski waktu itu penjagaan di sekitar Tin-lam-onghu dilakukan dengan sangat ketat, tapi demi tampak Onghui, para pengawal tidak berani merintangi. Sebab itulah Si Pek-hong dan Ciong Ban-siu dapat mendekati ruangan belakang tanpa sesuatu peringatan dari para penjaga. Dan dengan sendirinya bujuk rayu Toan Cing-sun kepada Cin Ang-bian dan Ciong-hujin yang dilakukan dengan cengar-cengir dapat didengar semua oleh kedua orang di luar jendela itu.
Keruan hampir-hampir meledak dada Si Pek-hong saking gusarnya oleh kelakuan sang suami itu. Sebaliknya Ciong Ban-siu girang tidak kepalang mendengar istrinya sedemikian teguh imannya.
Cepat Ciong Ban-siu lari ke samping sang istri dengan rasa kasih sayang tercampur girang, ia terus mengitar kian kemari mengelilingi sang istri sambil berkata, "Biar, bila dia berani menghina engkau, segera aku adu jiwa dengan dia!"
Dan selang sejenak, baru teringat olehnya bahwa Hiat-to sang istri masih tertutuk, segera ia berpaling kepada Toan Cing-sun dan berkata, "Lekas, lekas lepaskan Hiat-to istriku!"
"Kalian telah menculik putraku, asal putraku itu kalian bebaskan lebih dulu, dengan sendirinya akan kulepaskan istrimu," demikian sahut Cing-sun.
Saking khawatir cepat Ciong Ban-siu memijat dan menepuk pinggang sang istri, tapi biarpun Lwekangnya sangat tinggi, betapa pun ia tak mampu memunahkan tutukan "It-yang-ci" keluarga Toan yang tiada bandingannya itu.
Sebaliknya karena dipijat dan ditepuk, Ciong-hujin menjadi sakit dan geli, sedang Hiat-to kaki yang tertutuk itu belum lagi bebas, maka omelnya, "Tolol, bikin malu saja!"
Terpaksa Ciong Ban-siu berhenti dengan kikuk, saking dongkolnya, terus saja ia membentak, "Toan Cing-sun, marilah maju, biar kita bertempur 300 jurus dulu!"
Sembari gosok-gosok kepalan segera ia hendak melabrak Toan Cing-sun.
Namun Ciong-hujin telah berkata, "Toan-ongya, putramu diculik oleh Lam-hay-gok-sin dan begundalnya, biarpun suamiku minta mereka bebaskan putramu belum tentu mereka mau menurut. Tapi kalau aku dan Suci sudah pulang dan mencari kesempatan untuk menolong, mungkin ada harapan. Paling sedikit putramu takkan dibikin susah oleh mereka!"
"Tapi aku tidak percaya," sahut Cing-sun sambil menggeleng kepala. "Ciong-siansing, silakan pulang saja, bawalah putraku kemari untuk ditukar dengan istrimu."
Ciong Ban-siu menjadi gusar, teriaknya, "Istanamu ini tempat cabul dan kotor, kalau istriku ditinggalkan di sini, wah, berbahaya!"
Muka Toan Cing-sun menjadi merah, bentaknya, "Tutup mulutmu! Berani mengoceh tidak keruan lagi, jangan menyesal bila aku berlaku kasar."
Sejak masuk tadi Si Pek-hong diam saja, kini mendadak menyela, "Kau ingin menahan kedua wanita di sini, sebenarnya apa maksud tujuanmu? Untuk kepentingan sendiri atau demi keselamatan Ki-ji?"
Cing-sun menghela napas, sahutnya, "Ternyata engkau juga tidak percaya padaku."
Mendadak ia menutuk pinggang Cin Ang-bian untuk melepaskan jalan darahnya. Menyusul segera hendak menutuk juga pinggang Ciong-hujin.
Tapi cepat Ciong Ban-siu mengadang di depan sang istri sambil goyang kedua tangannya kepada Toan Cing-sun, katanya, "Jangan kau main pegang-pegang badan wanita, orang macam kau suka main cubit, tubuh istriku tidak boleh kau sentuh!"
"Namun istrimu tertutuk, biarpun kepandaianku tidak berarti, tapi cara Tiam-hiat ini tak dapat ditolong oleh orang lain, kalau terlalu lama, mungkin kedua kaki istrimu akan cacat," ujar Cing-sun tersenyum mendongkol.
Ban-siu menjadi murka, dampratnya, "Bila istriku yang cantik molek ini benar-benar menjadi cacat, pasti akan kucencang juga putramu."
"Kau ingin kulepaskan Hiat-to istrimu, tapi melarang aku menyentuh tubuhnya pula, lantas bagaimana aku harus berbuat?" ujar Cing-sun tertawa.
Ban-siu bungkam tak bisa menjawab, sekonyong-konyong ia menjadi gusar, bentaknya, "Habis, mengapa kau tutuk dia tadi? He, wah, celaka! Kalau begitu, waktu kau tutuk dia tadi tentu sudah menyentuh tubuhnya. Biar aku pun menutuk sekali tubuh istrimu!"
"Kembali engkau ngaco-belo tak keruan!" omel Ciong-hujin sambil melototi sang suami.
"Habis, aku tidak mau dirugikan!" sahut Ban-siu.
Tengah ribut-ribut, tiba-tiba tirai tersingkap, dengan langkah perlahan masuk seorang berjubah sutra kuning, berjenggot cabang tiga, alis panjang, mata besar, muka putih, itulah dia Toan Cing-beng, raja Po-ting-te dari negeri Tayli.
"Hong-heng (kakak baginda)!" segera Cing-sun menyapa.
Po-ting-te mengangguk tanpa menjawab, tiba-tiba dari jauh ia angkat jarinya menutuk pinggang Ciong-hujin, samar-samar seperti ada seutas benang putih mirip asap terpancar dari ujung jarinya ke samping pinggang nyonya itu. Seketika Ciong-hujin merasa perutnya hangat, dua arus hawa panas terus mengalir ke kaki, cepat darahnya berjalan dengan lancar dan bisa berdiri dengan leluasa.
Melihat raja Tayli itu mengunjukkan ilmu sakti "Keh-kong-kay-hiat" atau membuka jalan darah dari tempat jauh, saking kagum dan kagetnya sampai Ciong Ban-siu ternganga tak bisa bicara, sungguh tak tersangka olehnya bahwa di dunia ini ada orang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.
"Hong-heng," kata Cing-sun kemudian, "Ki-ji telah digondol lari oleh mereka!"
Po-ting-te mengangguk, sahutnya, "Ya, Sian-tan-hou sudah lapor padaku. Adik Sun, kalau keturunan keluarga Toan kita ada yang jatuh di tangan musuh, tentu orang tua atau pamannya yang harus pergi menolongnya, kita jangan menahan orang lain sebagai sandera."
Muka Toan Cing-sun menjadi merah, sahutnya membenarkan ucapan kakak bagindanya itu.
Ucapan Po-ting-te itu sangat gagah penuh harga diri, yaitu merasa merosotkan pamor keluarga Toan bila adik pangeran itu menahan musuh sebagai jaminan keselamatan putranya. Dan sesudah merandek sejenak, kemudian katanya pula, "Sekarang silakan kalian pergi saja. Dalam tiga hari, keluarga Toan tentu ada orang akan mengunjungi Ban-jiat-kok."
"Tapi tempat Ban-jiat-kok kami itu sangat dirahasiakan, kalian belum tentu mampu menemukannya, untuk mana perlukah kuberi tahukan tempatnya?" tanya Ciong Ban-siu. Dalam hati ia berharap Po-ting-te akan minta diberitahukan tempatnya itu, dan kalau lawan tanya, ia justru tidak mau menerangkan.
Tak tersangka Po-ting-te tidak gubris pertanyaannya itu, sekali mengebas lengan baju, katanya pula, "Antarkan tamu keluar!"
Ciong Ban-siu sendiri berjuluk "Kian-jin-ciu-sat" atau melihat orang lantas membunuh, suatu tanda sifatnya yang kejam tak kenal ampun, dengan sendirinya wataknya sangat keras, terutama pada waktu sebelum dia mengasingkan diri, namanya sangat ditakuti oleh orang Kangouw umumnya, asal mendengar kedatangannya, setiap orang tentu kebat-kebit khawatir dibunuh olehnya.
Sebab itulah, maka Sikong Hian, itu ketua dari Sin-long-pang menjadi sangat ketakutan juga ketika mengetahui bahwa Ciong Ling adalah putri Ciong Ban-siu. Tapi berdiri di depan Po-ting-te yang berwibawa itu, aneh juga, gembong iblis yang tak kenal apa artinya takut itu menjadi jeri dengan sendirinya dan bingung. Begitu mendengar Po-ting-te bilang antar tamu pergi, segera ia berseru, "Baik, marilah kita pergi! Hm, selamanya aku paling benci pada orang she Toan, tiada seorang she Toan pun di dunia ini adalah manusia baik-baik!"
Habis bicara, ia gandeng tangan sang istri terus melangkah keluar dengan marah-marah.
"Cici, marilah kita pergi!" demikian Ciong-hujin menjawil lengan baju Cin Ang-bian.
Sekilas Cin Ang-bian memandang Toan Cing-sun, ia lihat pangeran itu berdiri terpaku dengan bungkam, hatinya menjadi pedih, dengan mata basah dan gemas ia melotot sekali ke arah Si Pek-hong, lalu ikut pergi dengan menunduk.
Begitu keluar ruangan, segera ketiga orang melompat ke atas wuwungan rumah.
Di atas emperan situ sudah berdiri Ko Sing-thay, ia membungkuk tubuh sambil berkata, "Selamat jalan!"
"Cuh!" Ciong Ban-siu meludah dengan sengit. "Huh, munafik, tiada satu pun manusia baik-baik!"
Dengan cepat mereka melompat pergi melintasi rumah sekitar situ, ketika kompleks istana pangeran itu hampir habis dilalui, tinggal melintasi pagar tembok luar saja, segera Ciong Ban-siu genjot tubuh sekuatnya, kaki kiri hendak berpijak di atas pagar tembok kurung istana pangeran itu.
Tak tersangka, mendadak di depan bertambah seorang yang persis berdiri di atas pagar tembok tempat yang akan dipijaknya itu.
Orang itu berjubah longgar, ikat pinggangnya kendur, siapa lagi kalau bukan Ko Sing-thay yang tadi berdiri di emper istana sana, entah dari mana tahu-tahu sudah mendahului berada di hadapan Ciong Ban-siu, bahkan begitu tepat perhitungannya bahwa tempat itulah yang akan dipijak oleh kaki Ciong Ban-siu, maka ia mendahului mengadang di situ.
Dalam keadaan tubuh terapung di udara, untuk mundur lagi terang tidak mungkin, membelok ke jurusan lain juga tak bisa, keruan Ciong Ban-siu kelabakan, terpaksa ia sodok kedua tangannya ke depan sambil membentak, "Minggir!"
Dengan tenaga sodokan kedua tangan yang bisa menghancurkan batu itu, Ban-siu taksir bila lawan menangkis, tentu lawan itu akan terpental ke bawah. Andaikan tenaga lawan sama kuatnya dengan dirinya, paling sedikit juga dapat meminjam tenaga aduan itu untuk bergeser ke atas pagar tembok di sampingnya.
Sungguh tak tersangka, ketika kedua tangan hampir menyodok dada orang, sekonyong-konyong Ko Sing-thay doyongkan tubuh ke belakang, dengan separuh tubuh terapung Ko Sing-thay gunakan gerakan "Tiat-pan-kio" atau jembatan papan baja, hanya kedua kakinya yang menancap di atas tembok. Dan karena tubuhnya mendoyong ke belakang itulah, ia dapat menghindarkan tenaga sodokan Ciong Ban-siu yang hebat itu.
Sekali menyerang tidak kena, diam-diam Ciong Ban-siu mengeluh bisa celaka. Sementara itu tubuhnya sudah melayang lewat di atas tubuh Ko Sing-thay yang mendoyong ke belakang itu. Dalam keadaan begitu, Ciong Ban-siu takkan mampu berbuat apa-apa bila diserang oleh Ko Sing-thay.
Untung baginya sama sekali Ko Sing-thay tidak melontarkan serangan hingga dengan selamat Ciong Ban-siu dapat menancapkan kakinya di tanah. Menyusul mana Cin Ang-bian dan Ciong-hujin juga melompat keluar.
Sementara itu Ko Sing-thay sudah berdiri tegak lagi di atas pagar tembok dengan gagah, katanya, "Maaf tidak mengantar lebih jauh!"
Ban-siu menjengek, mendadak celananya melorot ke bawah, hampir ia kedodoran di depan umum, untung cepat ia sempat menariknya ke atas lagi. Baru sekarang ia tahu bahwa tali kolornya telah putus.
Rupanya tadi waktu melayang lewat di atas tubuh Ko Sing-thay, tali kolor celananya kena diputus orang. Coba bayangkan, bila bukan Ko Sing-thay sengaja murah hati, sekali tutuk di bagian Hiat-to penting, mungkin jiwanya sudah melayang sejak tadi.
Mengingat itu, Ciong Ban-siu tidak berani lama-lama lagi tinggal di situ, cepat ia ajak sang istri dan Cin Ang-bian meninggalkan Tayli ....
Kembali bercerita tentang Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing.
Ketika berlari keluar dari istana Tin-lam-ong sambil mendekap mukanya, meski kepergok dan ditegur oleh Si Pek-hong dan Ciong Ban-siu, namun ia tidak ambil peduli dan berlari terus ke depannya tanpa tujuan.
Ia lari di lereng gunung dan hutan belukar, sampai fajar sudah menyingsing baru merasakan kedua kakinya linu pegal, ia berhenti sambil bersandar pada pohon besar, mulutnya komat-kamit sendiri, "Lebih baik aku mati saja, lebih baik aku mati saja!"
Meski hatinya penuh rasa benci dan sesal, tapi ia tidak tahu siapa yang harus dibencinya.
"Toan-long tidak mengingkari diriku, soalnya karena takdir Ilahi, ia justru adalah saudaraku sendiri satu ayah. Sedang guruku sendiri ternyata adalah ibu kandungku. Selama belasan tahun ini dengan susah payah ibu telah membesarkan aku, budi sebesar itu mana dapat kusalahkan dia?
"Adapun Tin-lam-ong Toan Cing-sun itu adalah ayahku, meski dia berdosa kepada ibu, namun bukan mustahil di dalam persoalannya ada banyak kesulitan yang sukar dijelaskan. Dia sangat ramah dan kasih sayang padaku, katanya kalau aku mempunyai sesuatu cita-cita, beliau pasti akan berusaha untuk memenuhi harapanku.
"Tetapi untuk persoalanku ini beliau justru tak mampu berbuat apa-apa. Sebabnya ibu tak bisa menikah dengan ayah mungkin disebabkan adanya rintangan Si Pek-hong, maka ibu menyuruh aku membunuhnya. Tapi diukur menurut hati nurani, bila aku menikah dengan Toan-long, rasanya sekali-kali aku pun tak mengizinkan dia menyukai wanita lain.
"Apalagi Si Pek-hong sudah menjadi padri, dapat diduga karena ayah juga berbuat salah padanya dan melukai hatinya. Aku telah panah dia dua kali, tapi putra satu-satunya juga terluka, namun dia tidak dendam padaku, tampaknya dia toh bukan seorang wanita yang kejam dan galak ...."
Begitulah makin dipikir hati Bok Wan-jing makin berduka, gumamnya, "Sejak kini aku akan melupakan Toan Ki, aku takkan pikirkan dia lagi!"
Namun omong memang gampang, untuk melupakan begitu saja masakah begitu mudah? Setiap detik bayangan Toan Ki yang tampan itu selalu timbul dalam benaknya.
Kemudian dia coba menghibur diri sendiri, "Biarlah untuk selanjutnya aku anggap dia sebagai kakak. Asalnya aku adalah anak yatim piatu, kini ayah sudah punya, ibu pun sudah ada, malah bertambah pula seorang saudara tua, kurang apa lagi? Bukankah aku sebenarnya harus bergirang, sungguh tolol aku ini!"
Akan tetapi, seorang kalau terlibat dalam jaring asmara, makin meronta semakin ruwet dan sukar melepaskan diri. Kalau dia sabar menanti selama tujuh-hari tujuh-malam di puncak Bu-liang-san, nyata akar cintanya sudah bersemi secara mendalam dan susah dihapus lagi.
Ia dengar suara gemuruh ombak yang mendebur semakin keras, dalam keadaan putus asa, timbul juga maksudnya membunuh diri. Ia mendekati arah suara ombak itu, setelah melintasi sebuah bukit, akhirnya tertampak ombak sungai Lanjong mengalir cepat di bawah tebing sungai itu. Ia menghela napas dan berkata seorang diri, "Ai, bila aku menceburkan diri ke dalam sungai, rasa kesalku tentu takkan terasa lagi."
Perlahan ia menyusuri tepi sungai. Sang surya yang baru menyingsing itu mulai memancarkan cahayanya yang gemerlapan menyilaukan mata. Ia termangu-mangu berdiri di atas batu karang di tepi sungai dengan perasaan bergolak sehebat ombak yang mendebur.
Sekonyong-konyong sekilas dilihatnya di atas sebuah batu karang sebelah sana duduk seorang. Cuma orang itu sejak tadi tak bergerak sama sekali, bajunya berwarna hijau mirip warna batu karang yang berlumut, maka tak diketahui olehnya sejak tadi.
Waktu Wan-jing memandang lagi lebih jelas, ia terkejut, "Tentu orang ini sudah mati."
Sudah banyak manusia yang dia bunuh, dengan sendirinya Bok Wan-jing tidak takut pada orang mati. Karena tertarik, segera ia mendekatinya, ia lihat orang berbaju hijau itu adalah seorang kakek, jenggotnya panjang sampai di dada dan hitam gilap, matanya terpentang lebar sedang menatap pusar sungai tanpa berkedip.
"Kiranya bukan orang mati!" ujar Wan-jing sendiri.
Tapi ketika ditegasi pula, ia lihat tubuh orang itu sedikit pun tidak bergerak, bahkan kelopak matanya juga tidak berkedip sama sekali, terang juga bukan orang hidup. Maka gumamnya pula, "Ah, kiranya orang mati!"
Tapi sesudah diamat-amati sebentar lagi, ia merasa kedua mata orang mati itu bersemangat, wajahnya bercahaya merah pula. Ia coba periksa pernapasan hidung orang, terasa napasnya seakan-akan ada dan seperti tak ada, waktu meraba pipinya, tiba-tiba terasa dingin dan lain saat berubah hangat. Dalam herannya terus saja Wan-jing meraba dada orang, kini terasa jantung orang kedat-kedut, seperti berdenyut, seperti juga berhenti.
Keruan Wan-jing bertambah heran, katanya seorang diri, "Orang ini sungguh aneh, katakan dia orang mati, toh seperti orang hidup, bilang dia orang hidup, mirip orang mati pula."
"Aku adalah orang hidup-mati!" tiba-tiba terdengar suara orang berkata.
Wan-jing menjadi kaget, cepat ia menoleh, tapi tiada bayangan seorang pun yang dilihatnya. Di sekitar itu adalah batu karang tandus yang tak dapat dibuat sembunyi orang. Sejak tadi dia berhadapan dengan orang aneh itu dan tidak kelihatan bibirnya bergerak ketika terdengar suara tadi.
Dengan penasaran segera Bok Wan-jing berseru, "Siapa berani menggoda nonamu? Apa barangkali kau sudah bosan hidup?"
Sembari berkata ia terus putar tubuh membelakangi sungai, maka ketiga arah lain dapat dilihatnya dengan jelas.
Tapi lantas terdengar suara tadi berkata pula, "Ya, aku memang sudah bosan hidup, sangat bosan hidup!"
Kejut Wan-jing sungguh tak terkatakan, sudah terang, kecuali orang aneh yang berada di depannya ini, dapat dipastikan tiada orang lain lagi. Namun terang gamblang kelihatan bibir orang aneh ini sama sekali tidak bergerak, mengapa bisa bicara?
Segera Wan-jing membentak lagi, "Siapa yang sedang bicara?"
"Kau sendiri sedang bicara?" sahut suara itu.
"Dan siapa yang bicara dengan aku?" seru Wan-jing.
"Tidak ada orang bicara denganmu!" sahut suara itu pula.
Dengan cepat Wan-jing putar tubuhnya tiga kali, tapi selain bayangan sendiri, tiada sesuatu tanda aneh yang kelihatan.
Ia yakin pasti Jing-bau-khek atau orang berbaju hijau di hadapannya ini yang sedang menggoda padanya, dengan tabahkan hati segera ia mendekat lebih rapat, ia coba dekap bibir orang, lalu tanya pula, "Apakah engkau yang bicara denganku?"
"Bukan!" kembali suara itu menjawab.
Sedikit pun tangan Wan-jing tidak merasakan getaran suara, maka tanyanya lagi, "Sudah jelas ada orang sedang bicara padaku, kenapa bilang tidak?"
"Aku bukan orang, aku pun bukan aku, di dunia ini tiada seorang aku lagi!" demikian sahut suara itu.
Seketika Bok Wan-jing mengirik, pikirnya, "Jangan-jangan ada setan?"
Segera ia tanya lagi, "Apakah eng ... engkau setan?"
"Kau sendiri tadi bilang tidak ingin hidup lagi, tentu kau akan menjadi setan juga, tapi mengapa kau ketakutan pada setan?" sahut suara itu.
"Siapa bilang aku takut pada setan? Aku tidak takut pada langit juga tidak gentar pada bumi!" seru Wan-jing dengan berani.
"Jika begitu, ada sesuatu yang kau takutkan," kata suara itu.
"Hm, tidak, segala apa pun aku tidak takut!" sahut Wan-jing tegas.
"Takut, jelas kau takut! Yang kau takutkan ialah seorang calon suami yang mendadak berubah menjadi saudara sendiri!"
Kepala Bok Wan-jing seperti dikemplang oleh ucapan itu, dengan lemas ia duduk terkulai di tanah. Ia termangu-mangu sejenak, lalu katanya dengan komat-kamit, "Engkau adalah setan, engkau setan!"
"Jangan khawatir, aku dapat menolongmu," demikian kata suara tadi. "Aku dapat menjadikan Toan Ki bukan kakakmu, dapat pula menjadikannya suamimu yang tercinta."
"Tidak, kau ... kau tipu aku," kata Wan-jing dengan suara gemetar. "Nasibku ini sudah ditakdirkan, tak bisa ... tak bisa berubah lagi."
"Peduli apa dengan takdir segala," ujar suara itu. "Aku mempunyai akal untuk mengubah kakakmu menjadi suamimu, kau mau tidak?"
Dalam keadaan putus asa dan hilang harapan, ucapan itu benar-benar merupakan suara wahyu yang turun dari langit, meski ragu juga, cepat Wan-jing menjawab, "Ya, mau, aku mau!"
"Sesudah aku selesai membantumu, dengan apa kau berterima kasih padaku?"
"Apa yang kumiliki? Aku tidak punya apa-apa!" sahut Wan-jing dengan pilu.
"Kini kau tak punya, tapi kelak mungkin akan punya."
"Baiklah, apa yang kau inginkan, akan kuberikan padamu."
"Tapi sampai saatnya nanti, jangan-jangan kau ingkar janji," ujar suara itu.
"Aku pasti akan pegang janji!" seru Wan-jing. Dalam hati ia pikir, "Di dunia ini ada barang apakah yang bisa melebihi Toan-long yang akan menjadi suamiku? Seumpama aku menjadi raja, rela juga kuberikan takhtaku kepada orang aneh ini."
Namun suara itu berkata pula, "Ucapan kaum wanita sukar dipercaya. Bila kelak tidak kau berikan padaku, lantas bagaimana?"
"Kepandaianmu begini sakti, bolehlah kau bunuh aku!" ujar Wan-jing.
"Tidak, aku takkan membunuhmu. Kalau kau tidak pegang janji, suamimu yang akan kubunuh," kata suara itu.
Diam-diam Wan-jing berpikir, "Kecuali Toan-long, aku pasti takkan menikah. Dan bila Toan-long berubah bukan lagi kakakku tapi menjadi suamiku, maka segala apa aku tidak mau lagi, tidak mungkin aku merasa berat memberi apa pun kepada hantu ini.
Maka segera jawabnya, "Baiklah, aku menerima syaratmu."
"Dan sampai waktunya nanti, jangan lagi meminta-minta padaku dengan menangis, sebab aku paling benci bila ditangisi wanita," kata suara itu.
"Aku pasti takkan memohon padamu," sahut Wan-jing. "Eh, siapakah engkau sebenarnya? Dapatkah engkau unjukkan mukamu padaku?"
"Sudah sekian lamanya kau lihat aku, masakah masih belum cukup?" kata suara itu pula. Sejak mula sampai sekarang nada suara itu selalu sama saja, tidak keras, tidak rendah, datar tanpa irama pula.
"Jadi engkau adalah ... adalah engkau ini?" tanya Wan-jing.
"Entahlah, aku pun tidak tahu apakah aku ini aku. Ai...." demikian suara itu. Helaan napas paling akhir itu telah menandakan rasa masygul hatinya yang tak terkatakan.
Keruan Bok Wan-jing bertambah sangsi, tapi kini ia sudah yakin benar bahwa suara itu memang keluar dari kakek berbaju hijau di depannya ini. Segera ia tanya pula, "Engkau tidak buka mulut, mengapa bisa bicara?"
"Aku adalah orang hidup-mati, bibir tak dapat bergerak, tapi bersuara dari dalam perut," sahut suara itu.
Dasar sifat kanak-kanak Bok Wan-jing belum hilang sama sekali, kalau tadi ia sangat berduka dan putus asa, adalah sekarang demi mendengar ada orang mampu bicara tanpa buka mulut dan gerak bibirnya, ia menjadi sangat ketarik, segera ia tanya pula, "Engkau bicara dengan perut? Sungguh aneh!"
"Kau tidak percaya?" sahut Jing-bau-khek itu. "Cobalah kau pegang perutku, tentu kau akan percaya nanti."
Tanpa pikir Wan-jing terus ulur tangan untuk meraba perut orang.
"Kau merasakan getaran perutku atau tidak?" tanya Jing-bau-khek.
Bab 11
Benar juga Wan-jing merasa perut orang naik turun dengan perlahan mengikuti gelombang suara tadi. Ia menjadi geli, "Haha, sungguh aneh!"
Kiranya apa yang dilatih Jing-bau-khek atau orang berbaju hijau itu adalah semacam "Hok-gi-sut" atau ilmu bicara dengan perut.
Ilmu bicara dengan perut itu pada zaman sekarang masih banyak yang mahir, yaitu terutama dalang 'boneka bicara'. Cuma untuk bicara dengan tegas dan jelas seperti Jing-bau-khek ini tentunya tidak mudah, sebab diperlukan Lwekang yang tinggi.
Dengan keheranan, Bok Wan-jing masih mengitar beberapa kali sambil mengamat-amati orang, kemudian tanyanya, "Mulutmu tak bisa bergerak, lalu cara bagaimana engkau makan?"
"Begini!" sahut orang itu sambil angkat kedua tangannya, ia pentang bibir atas dan tarik rahang bawah hingga mulutnya ternganga, lalu ambil sebutir makanan terus dijejalkan ke dalam mulut, "keruyuk", makanan itu ditelan sekaligus.
"O, kasihan!" ujar Wan-jing melihat cara makan orang, "Bukankah tiada rasa apa pun?"
Baru sekarang ia tahu kulit daging muka orang kaku beku, kelopak matanya tak bisa terkatup, dengan sendirinya tiada sesuatu tanda perasaan pada mukanya itu, dari itulah maka mula-mula Bok Wan-jing menyangkanya orang mati.
Ia pikir orang aneh ini sendiri tak dapat mengatasi kesulitan sendiri yang luar biasa, mana mampu mengubah kakak sendiri menjadi suami baginya? Agaknya apa yang dikatakannya tadi hanya bualan belaka.
Setelah pikir sejenak, lalu Wan-jing berkata, "Aku akan pergi saja!"
"Ke mana?" tanya si jubah hijau.
"Entah, aku sendiri tidak tahu!" sahut si gadis.
"Aku akan membikin Toan Ki menjadi suamimu, jangan kau tinggalkan aku," ujar orang itu.
Wan-jing tersenyum tawar sambil berjalan beberapa tindak ke depan, tiba-tiba ia berhenti dan tanya pula sambil putar tubuh, "Selamanya kita tidak kenal, dari mana kau tahu perasaanku? Engkau ... engkau kenal Toan-long?"
"Sudah tentu kutahu isi hatimu," sahut orang itu. Tiba-tiba katanya pula, "Kembalilah sini!"
Berbareng tangan kirinya terjulur dan menarik dari jauh.
Aneh juga, tiba-tiba Bok Wan-jing merasakan suatu tenaga mahakuat yang tak bisa ditahan, tanpa kuasa tubuhnya terseret mentah-mentah oleh tenaga tak kelihatan itu dengan sempoyongan dan tahu-tahu sudah berdiri lagi di depan Jing-bau-khek.
Kejadian itu benar-benar sangat mengejutkan Bok Wan-jing, katanya dengan suara gemetar, "Apakah... apakah kepandaianmu disebut Kim-liong-ciong-ho-kang?"
"Ehm, luas juga pengetahuanmu," kata Jing-bau-khek. "Tapi ini bukan Kim-liong-ciong-ho-kang (ilmu menangkap naga dan menawan bangau), hanya khasiatnya sama, cara berlatihnya berbeda."
"Habis apa namanya?" tanya Wan-jing.
"Namanya 'Kui-gi-lay-hi'!" sahut Jing-bau-khek.
"Kui-gi-lay-hi (kalau sudah pergi, pulanglah)! Hah, nama ini jauh lebih bagus daripada Kim-liong-ciong-ho-kang, bila Toan-long mendengar nama demikian, tentu dia ... dia ...." teringat pada Toan Ki, kembali Wan-jing berduka.
"Marilah berangkat!" kata Jing-bau-khek tiba-tiba sambil mengeluarkan dua potong tongkat bambu dari bajunya. Sekali tongkat bambu kiri menutul, tubuhnya terus melayang ke depan dan dengan enteng sudah melangkah setombak lebih jauhnya.
Melihat tubuh orang ketika terapung di udara, kedua kakinya tetap tertekuk seperti waktu duduk bersila, Wan-jing menjadi heran, tanyanya, "He, kedua kakimu ...."
"Ya, sudah lama kedua kakiku buntung," sahut Jing-bau-khek. "Sudahlah, sejak saat ini, urusanku dilarang kau tanya lagi."
"Kalau aku tanya lagi?" baru kalimat ini diucapkan Bok Wan-jing, sekonyong-konyong kedua kakinya terasa lemas, tubuhnya terbanting roboh.
Kiranya dengan kecepatan luar biasa si jubah hijau sudah melesat ke tempatnya, tongkat bambu sebelah kanan beruntun-runtun menutuk dua kali di balik lutut, menyusul mengetuknya sekali lagi, keruan Bok Wan-jing kesakitan seakan-akan remuk tulang kakinya, saking tak tahan sampai ia menjerit. Menyusul mana Jing-bau-khek menutuk lagi dua kali untuk membuka Hiat-to si gadis.
Dengan cepat Wan-jing melompat bangun, dampratnya dengan gusar, "Kenapa engkau begini kasar?"
Berbareng panah dalam lengan baju sudah siap dibidikkan.
"Jangan coba-coba main kayu denganku, ya!" demikian kata Jing-bau-khek. "Berani kau panah aku sekali, segera kuhajar bokongmu sekali, kau panah sepuluh kali, aku pun gebuk sepuluh kali bokongmu. Kalau tidak percaya, boleh coba kau lakukan!"
Wan-jing menjadi ragu, pikirnya, "Jika sekali aku dapat memanahmu, seketika jiwamu lantas melayang, mana dapat kau balas hajar diriku? Tapi ilmu orang ini sangat sakti, tampaknya ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada Lam-hay-gok-sin, rasanya susah kalau hendak memanahnya. Orang ini berani bicara berani berbuat, kalau benar-benar bokongku digaplok olehnya, kan runyam!"
"Nah, jika kau tidak berani memanah aku, kau harus menurut perintahku dengan baik, jangan membangkang!" demikian kata orang itu pula.
"Hm, aku justru tidak mau menurut perintahmu!" sahut Wan-jing. Walaupun begitu katanya, namun panah yang sudah disiapkan tadi disimpan kembali juga.
Segera Jing-bau-khek gunakan kedua tongkatnya sebagai kaki terus bertindak ke depan dengan cepat.
Bok Wan-jing mengikutinya dari belakang. Ia lihat kedua tongkat bambu orang sangat kecil, tapi keras seperti baja, meski digunakan menyangga ketiak, namun sedikit pun tidak bengkok. Tongkat bambu itu panjangnya lebih satu setengah meter, sekali melangkah, jauhnya melebihi langkah orang biasa. Terpaksa Bok Wan-jing harus mengerahkan Ginkang sekuatnya barulah sekadar dapat menyusulnya.
Tangkas sekali cara berjalan Jing-bau-khek ini, biar mendaki gunung atau melintasi bukit, jalannya seperti di tanah datar saja cepatnya. Bahkan yang dia pilih bukan lagi jalan besar yang rata tapi hutan belukar atau jalan pegunungan yang berbatu karang, keruan yang payah adalah Bok Wan-jing, ia megap-megap dan baju sobek oleh duri belukar. Namun dasar wataknya memang keras, biarpun menderita, sedikit pun ia tidak mau unjuk lemah.
Setelah melintasi beberapa lereng bukit, kemudian tertampak dari jauh banyak sekali kuburan, diam-diam Wan-jing heran, "Kenapa mendatangi Ban-jiat-kok ini?"
Benar juga Jing-bau-khek itu terus menuju ke kuburan yang batu nisannya tertulis, "Kuburan Ban Siu Toan", segera tongkatnya menghantam batu nisan tepat di atas huruf Toan.
Sudah beberapa kali Bok Wan-jing mendatangi Ban-jiat-kok, tiap kali ia gunakan rahasia cara memasuki gerbang lembah maut itu, yaitu mendepak beberapa kali pada huruf "Toan" di batu nisan itu. Tapi kini demi melihat huruf itu lagi, tiba-tiba timbul semacam perasaan aneh yang dahulu tidak pernah ada.
"Untuk apa kita datang ke Ban-jiat-kok ini?" demikian ia coba tanya.
Tapi mendadak Jing-bau-khek membalik tubuh, tongkatnya terus mengetuk sekali ke paha kanannya sambil membentak, "Kau berani ceriwis lagi tidak?"
Kalau menuruti watak Bok Wan-jing yang berangasan itu, betapa pun ia tidak sudi dihina secara demikian, biarpun ia tahu takkan mampu melawan orang. Tapi kini lamat-lamat terasa olehnya bahwa Jing-bau-khek ini tentu memiliki kepandaian di atas orang lain, bukan mustahil akan dapat membantu melaksanakan cita-citanya, yaitu bersuamikan Toan Ki.
Maka omelnya, "Hm, jangan kau sangka nona takut padamu, biarlah sementara ini aku mengalah padamu."
"Ayo jalan!" seru Jing-bau-khek pula.
Segera Bok Wan-jing mendahului masuk ke liang kubur dan disusul oleh Jing-bau-khek, mereka telah masuk ke Ban-jiat-kok tempat tinggal Ciong Ban-siu.
Agaknya Jing-bau-khek sudah hafal terhadap keadaan di dalam lembah Ban-jiat-kok. Beberapa kali Bok Wan-jing ingin tanya, tapi khawatir digebuk oleh tongkat orang, maka urung buka mulut.
Orang aneh itu membawanya mengitar ke sana dan membelok ke sini terus menuju ke belakang lembah.
Bok Wan-jing pernah juga tinggal beberapa hari di lembah Ban-jiat-kok ini, yaitu ketika ia mengunjungi bibi-gurunya, Ciong-hujin. Cuma sifat mereka berdua berbeda jauh, pada hari pertama juga mereka sudah lantas cekcok mulut. Tapi kini tempat yang didatanginya bersama Jing-bau-khek ini ternyata sebelumnya tidak pernah dikunjunginya. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa di tengah lembah sunyi ini masih ada tempat-tempat yang lebih terpencil.
Setelah beberapa li lagi, mereka masuk ke sebuah rimba raya yang pohonnya tinggi besar menjulang ke langit, biarpun waktu itu siang hari, namun sinar sang surya ternyata tak bisa menembus ke dalam rimba yang rindang itu. Makin jauh tetumbuhan di situ pun semakin lebat hingga sampai akhirnya untuk lewat saja diperlukan miringkan tubuh.
Setelah beberapa puluh meter lagi jauhnya, tertampaklah di depan tumbuh barisan pohon tua yang tinggi rapat bagai pagar yang kukuh, untuk masuk ke dalam sana terang sangat sulit.
Mendadak Jing-bau-khek tancap tongkatnya ke tanah untuk menyangga bahunya, lalu kedua tangannya menjuju dua batang pohon terus dipentang ke samping sekuatnya. Sungguh sangat mengagumkan, kedua pohon besar itu perlahan terbentang lebar ke samping hingga cukup untuk menyelinap tubuh manusia.
"Lekas masuk ke sana!" bentak orang aneh itu.
Tanpa pikir lagi Bok Wan-jing menyusup ke balik pagar pohon itu.
Waktu diperhatikan, ternyata di situ terdapat sebidang tanah kosong yang luas, di tengah tanah lapang sebuah rumah batu yang dibangun dengan bentuk sangat aneh, yaitu terdiri dari tumpukan batu besar hingga mirip piramida. Rumah batu itu hanya terdapat sebuah pintu yang besarnya mirip gua.
"Nah, masuk ke sana!" kata Jing-bau-khek pula.
Wan-jing coba memandang ke dalam rumah batu itu, ia lihat keadaan di dalam gelap gulita, entah tersembunyi makhluk aneh atau tidak, dengan sendirinya ia tidak berani masuk begitu saja.
Sedang Wan-jing sangsi, sekonyong-konyong punggung terasa ditempel oleh sebuah telapak tangan, cepat ia bermaksud mengelak, namun sudah terlambat, tenaga dorongan Jing-bau-khek itu sudah dikerahkan. Tanpa kuasa lagi tubuh Bok Wan-jing mencelat ke depan seakan-akan terbang masuk ke dalam rumah batu itu.
Walaupun terapung, namun Bok Wan-jing segera melindungi badan sendiri dengan sebelah tangan, ia gunakan gaya "Hia-hong-hut-liu" atau angin pagi mengembus pohon, tangan lain dipakai melindungi muka sendiri. Ia khawatir dalam keadaan gelap jangan-jangan akan diserang oleh sesuatu makhluk aneh.
Dalam pada itu, segera terdengar suara gemuruh yang keras, pintu rumah ditutup orang dengan benda keras.
Keruan Wan-jing terkejut, cepat ia lari ke arah pintu dan mendorong, tapi di mana tangannya memegang, rasanya kasap dan keras sekali. Ternyata tutup pintu itu adalah sepotong batu karang raksasa.
Sekuatnya ia coba membukanya, namun sedikit pun batu itu bergeming, bahkan goyang pun tidak. Dalam khawatirnya, ia berteriak-teriak, "Hai, hai! Mengapa engkau mengurung diriku di sini?"
Terdengar suara Jing-bau-khek menjawab, "Apa yang pernah kau mohon padaku, mengapa kau lupakan sendiri?"
Suara orang itu menyusup masuk dari lubang batu tadi, tapi kedengaran cukup jelas.
Wan-jing tenangkan diri sejenak, ia lihat lubang yang ditutup dengan batu karang itu sekitarnya masih banyak celah-celah, cuma untuk diterobos dengan tubuh manusia terang tidak bisa. Terpaksa ia berteriak-teriak lagi, "Lepaskan aku, lepaskan aku ke luar!"
Tapi yang terdengar hanya suara keresekan daun pohon di luar, agaknya Jing-bau-khek itu sudah pergi melintasi pagar pohon itu. Waktu mengintip keluar, yang dilihat Wan-jing hanya rontokan daun pohon yang berhamburan, selain itu tiada sesuatu lagi yang terlihat.
Ketika ia putar tubuh ke dalam dan coba mengawasi keadaan rumah batu itu, ia lihat di pojok sana ada sebuah dipan, di atas dipan duduk satu orang. Keruan ia kaget, tanyanya terputus-putus, "Sia ... siapa kau?"
"Jing-moay, kiranya kau masuk ke sini juga!" demikian sahut orang itu. Suaranya penuh rasa girang tercampur heran. Kiranya Toan Ki adanya.
Dalam keadaan putus asa, tiba-tiba Wan-jing ketemukan Toan Ki lagi, saking girangnya jantung serasa mau melompat keluar dari rongga dadanya. Cepat ia menubruk ke pangkuan anak muda itu.
Remang-remang terlihat muka si gadis pucat lesi, kasih sayang Toan Ki sungguh tak terkatakan, ia peluk si gadis dengan erat, melihat bibir si nona yang merah mungil itu, tak tertahan lagi terus dikecupnya.
Tapi demi bibir menempel bibir, segera kedua muda-mudi itu teringat, "Hai, kami adalah kakak beradik, mana boleh berbuat tidak senonoh?"
Cepat kedua orang melepaskan tangan masing-masing dan sama-sama menyurut mundur. Kedua orang berdiri bersandar dinding batu dan saling pandang dengan terkesima.
Bok Wan-jing yang menangis lebih dulu. Namun Toan Ki lantas menghiburnya, "Jing-moay, rupanya nasib kita sudah ditakdirkan begini, hendaklah engkau jangan sedih. Mempunyai seorang adik perempuan seperti engkau, sungguh aku sangat senang."
"Aku justru tidak senang, aku merasa sedih," demikian seru Wan-jing sambil membanting-banting kaki sendiri. "Jadi engkau merasa senang? Itu berarti engkau tidak punya perasaan."
"Apa mau dikatakan lagi, kenyataan memang begini," ujar Toan Ki sambil menghela napas. "Coba kalau dulu aku tidak bertemu dengan engkau, urusan tentu akan menjadi lain."
"Toh bukan aku yang ingin bertemu denganmu," sahut Wan-jing. "Habis, siapa suruh kau cari padaku, dan kalau engkau tidak kembali hendak memberi kabar padaku, belum tentu aku akan kenal engkau. Ya, semuanya adalah salahmu, kau yang mengakibatkan kematian mawar hitamku, bikin hatiku luka, bikin Suhuku berubah menjadi ibuku, bikin ayahmu ikut menjadi ayahku. Tapi aku tidak mau, semuanya itu aku tidak mau, engkau membikin susah aku pula hingga terkurung di sini, aku ingin keluar, aku ingin keluar!"
"Ya, sudah, Jing-moay, memang semuanya salahku," sahut Toan Ki, "Janganlah engkau marah, marilah kita mencari jalan untuk lari keluar dari sini."
"Tidak, aku tidak mau keluar, mati di sini atau mati di luar sana sama saja bagiku. Aku tidak mau keluar!" demikian Wan-jing berteriak-teriak.
Sungguh lucu juga, semula minta keluar dari situ, tapi sebentar lagi bilang tidak mau. Toan Ki tahu perasaan si nona terlalu terguncang, seketika juga sukar diberi mengerti. Maka ia tidak bicara lagi.
Dan setelah muring-muring sejenak, melihat Toan Ki diam saja, Wan-jing lantas tanya, "Kenapa kau tidak bicara?"
"Habis, apa yang harus kukatakan?" sahut Toan Ki.
"Coba terangkan, untuk apa engkau berada di sini?" tanya Wan-jing.
"Aku ditawan muridku ke sini ...."
"Muridmu?" Wan-jing memotong dengan heran. Tapi segera teringat olehnya, ia tertawa dan berkata, "Ya, benar, itulah Lam-hay-gok-sin, dia yang menawan dan mengurungmu di sini?"
Toan Ki mengiakan.
"Kenapa tidak kau gunakan pengaruhmu sebagai guru dan menyuruh dia melepaskan dirimu dari sini?" ujar si nona.
"Sudah, entah sudah berapa kali aku suruh dia, tapi ia bilang aku harus ganti mengangkat dia sebagai guru, barulah dia mau melepaskan aku."
"Ah, mungkin lagakmu sebagai guru kurang berwibawa, maka dia berani membangkang," kata Wan-jing.
"Ya, mungkin begitulah," sahut Toan Ki gegetun. "Dan engkau sendiri bagaimana, siapa yang menangkapmu ke sini?"
Maka berceritalah Bok Wan-jing tentang Jing-bau-khek yang dijumpainya itu. Cuma tentang janji orang aneh itu hendak "mengubah kakak menjadi suaminya" itu tak diceritakannya.
Mendengar ada seorang yang bisa bicara dengan perut tanpa gerak mulut, bisa berjalan secepat terbang meski kakinya buntung, Toan Ki menjadi sangat tertarik, berulang-ulang ia berkecek-kecek kagum dan tanya lebih jelas.
Setelah lama mereka berbicara, tiba-tiba terdengar suara keletak di luar, dari celah-celah tampak disodorkan masuk sebuah mangkuk, terdengar suara orang berkata, "Ini, makanlah!"
Segera Toan Ki menyambut mangkuk itu, ternyata isinya adalah Ang-sio-bak yang masih hangat dan berbau sedap.
Menyusul dari luar diangsurkan masuk pula semangkuk ham keluaran Hunlam yang terkenal, semangkuk lagi sayur dan beberapa potong bakpao.
"Kau kira di dalam makanan ini ditaruh racun tidak?" tanya Toan Ki kepada Wan-jing sesudah taruh makanan itu di atas meja.
"Umpama mereka hendak membunuh kita, tentunya tidak perlu susah-susah menaruh racun di dalam makanan," ujar Wan-jing.
Benar juga pikir Toan Ki, ia memang sudah sangat lapar, maka katanya, "Marilah makan!"
Terus saja ia mendahului serbu Ang-sio-bak yang lezat itu bersama bakpao.
"Habis makan lemparkan keluar mangkuk-mangkuk itu, nanti ada orang yang membereskannya," demikian terdengar suara orang di luar tadi. Habis berkata, orang itu lantas tinggal pergi.
"Engkau jangan khawatir, Jing-moay!" demikian kata Toan Ki sembari makan. "Paman dan ayah pasti akan datang menolong kita. Biarpun ilmu silat Lam-hay-gok-sin dan kawan-kawannya cukup hebat, tapi mereka belum tentu sanggup melawan ayah. Apalagi kalau paman mau turun tangan sendiri, tentu saja mereka bisa disapu bersih dengan mudah."
"Hm, dia cuma seorang raja negeri Tayli, masakah ilmu silatnya ada sesuatu yang hebat?" demikian Wan-jing berolok-olok. "Aku tidak percaya dia mampu mengalahkan orang aneh berbaju hijau itu, paling-paling dia hanya bisa mengerahkan pasukannya secara besar-besaran untuk menyerbu ke sini."
"Tidak, tidak!" berulang-ulang Toan Ki menggoyang kepala. "Leluhur kita adalah tokoh Bu-lim daerah Tionggoan, meski menjadi raja di negeri Tayli ini, selama ini tidak pernah melupakan peraturan Bu-lim yang berlaku. Kalau mengalahkan musuh dengan jumlah lebih banyak, bukankah keluarga Toan kita akan ditertawai orang persilatan di jagat ini?"
"Ehm, kiranya sesudah familimu menjadi raja dan Ongya, mereka tetap tak mau melupakan kedudukan mereka di dunia Kangouw," ujar Wan-jing.
"Ya, paman dan ayah sering berkata, itu namanya tidak melupakan asal usul," sahut Toan Ki.
"Huh," jengek si nona tiba-tiba, "di mulut selalu tentang kebajikan dan kebaikan, tapi yang diperbuat tak lain adalah hal-hal yang rendah memalukan. Coba jawab, ayahmu sudah mempunyai ibumu, kenapa ... kenapa mencederai guruku lagi?"
"He! Kenapa kau maki ayahku? Ayahku kan juga ayahmu?" sahut Toan Ki rada tercengang. "Lagi pula setiap pangeran atau orang bangsawan di jagat ini, siapakah yang tidak punya beberapa istri? Sekalipun mempunyai delapan atau sepuluh orang istri kan tidak menjadi soal dan lumrah?"
Tatkala itu zamannya dinasti Song utara. Di bagian utara ada negeri Cidan, di tengah adalah kerajaan Song, di barat laut negeri He, di barat daya ada negeri Turfan, sedang di selatan adalah negeri Tayli, seluruh Tiongkok waktu itu terbagi lima negeri. Dan memang benar, bukan cuma rajanya, pangeran-pangerannya dan bangsawan-bangsawannya, setiap orang mempunyai beberapa istri, bahkan berpuluh selir pula. Hal mana sudah menjadi kelaziman zaman feodal, kalau setiap bangsawan itu hanya memiliki seorang istri melulu, hal mana malah dipandang sebagai luar biasa.
Akan tetapi Bok Wan-jing menjadi gusar demi mendengar pembelaan Toan Ki itu, "plok", kontan ia tampar pipi pemuda itu.
Keruan Toan Ki kaget hingga separuh bakpao yang masih dipegangnya terjatuh ke tanah. "Ada ... ada apa?" tanyanya bingung.
"Tidak, aku tidak mau panggil dia sebagai ayah!" demikian seru Wan-jing. "Kalau lelaki boleh punya beberapa istri, kenapa wanita tidak boleh bersuami dua atau tiga?"
Geli dan dongkol Toan Ki, sambil meraba pipinya yang sakit pedas itu, ia berkata dengan tersenyum getir, "Engkau adalah adikku, kenapa engkau pukul Engkohmu sendiri?"
Namun marah si gadis masih belum reda, tangannya terangkat terus hendak menggampar lagi. Tapi sekali ini Toan Ki sudah berjaga-jaga, sedikit kaki menggeser, cepat ia keluarkan langkah "Leng-po-wi-poh" yang aneh, tahu-tahu ia sudah menyelinap ke belakang Bok Wan-jing. Ketika tangan si nona menghantam ke belakang, kembali Toan Ki dapat menghindar pula.
Meski luas kamar batu itu tidak lebih dua meter, namun "Leng-po-wi-poh" itu benar-benar sangat ajaib, biarpun pukulan Bok Wan-jing makin lama makin cepat, dari awal sampai akhir tetap tak dapat mengenai Toan Ki.
Keruan semakin marah Bok Wan-jing, tiba-tiba ia mendapat akal.
"Auuh!" ia pura-pura menjerit terus menjatuhkan diri ke lantai.
"He, kenapa!" seru Toan Ki khawatir sambil berjongkok untuk memayang si nona.
Dengan lemas saja Wan-jing menyandarkan tubuhnya di pangkuan Toan Ki, tangan kiri terus merangkul leher pemuda itu, mendadak ia merangkul kencang sambil berkata dengan tertawa, "Sekarang engkau bisa menghindar tidak?"
Menyusul tangan kanan diayun lagi, "plok", lagi-lagi pipi Toan Ki dipersen sekali tamparan.
Dalam sakitnya, Toan Ki menjerit pula, mendadak semacam arus hawa panas memburu ke atas dari dalam perut, seketika denyut nadinya bekerja keras, nafsu berahinya berkobar hingga sukar ditahan.
Bok Wan-jing berjuluk "Hiang-yok-jeh" atau si Hantu Wangi, memang tubuhnya membawa semacam bau harum yang memabukkan orang, kini tubuhnya dirangkul erat oleh Toan Ki, bau harum yang semerbak itu makin mengacaukan pikiran anak muda itu, tanpa terasa ia mencium bibir si gadis.
Dan sekali dicium, seketika Bok Wan-jing lemas lunglai. Segera Toan Ki mengangkat tubuh nona itu dan dibawa ke atas dipan ....
"Engkau ... engkau adalah kakakku!" tiba-tiba Wan-jing berbisik.
Meskipun pikiran sehat Toan Ki waktu itu sudah kabur, namun kata-kata Wan-jing itu mirip bunyi geledek siang bolong. Ia tertegun sejenak, sekonyong-konyong ia lepaskan gadis itu dan menyurut mundur beberapa tindak, menyusul "plak-plok" beberapa kali, ia berondongi pipi sendiri dengan tamparan keras sambil memaki, "Mampus kau, mampus kau!"
Melihat kedua mata pemuda itu merah membara menyorotkan cahaya yang aneh, kulit daging mukanya berkerut-kerut, hidungnya berkempas-kempis, Wan-jing menjadi kaget, teriaknya, "He, Toan-long, kita teperdaya, di dalam makanan ada racun!"
Waktu itu Toan Ki merasa antero badan panas bagai dibakar. Demi mendengar si gadis bilang di dalam makanan ada racun, ia menjadi girang malah, pikirnya, "Ah, kiranya racunlah yang telah mengacaukan pikiran suciku hingga timbul maksud tidak senonoh terhadap Jing-moay dan bukan karena jiwaku yang kotor dan mendadak hendak meniru perbuatan binatang yang rendah."
Akan tetapi panas badan benar-benar sukar ditahan, saking tak tahan satu per satu ia copot bajunya hingga akhirnya melulu tinggal pakaian dalam saja, untunglah pikirannya masih rada jernih hingga tidak mencopot lebih jauh, cepat ia duduk bersila menenangkan diri untuk melawan pikiran jahat tadi.
Bok Wan-jing sendiri juga merasakan badan panas seperti Toan Ki, sampai akhirnya saking tak tahan, ia pun menanggalkan baju luarnya.
Namun Toan Ki lantas berteriak, "Jing-moay, jangan lepas baju lagi! Lekas tempelkan punggungmu ke dinding, tentu terasa segar sedikit!"
Begitulah segera mereka bersandar di dinding batu. Namun racun di dalam badan tetap bekerja dengan hebat, meski punggung terasa sedikit dingin, anggota badan lain malah bertambah panas. Toan Ki melihat kedua pipi Wan-jing merah membara, cantiknya sukar dilukiskan, matanya berkilau-kilau seakan-akan ingin sekali menubruk ke pangkuannya, ia pikir, "Dengan iman teguh kita lawan terus bekerjanya racun. Namun tenaga manusia terbatas juga, kalau akhirnya berbuat hal-hal yang tidak senonoh, ini benar-benar akan menodai habis-habisan nama baik keluarga Toan dan selamanya sukar menebus kesalahan ini."
Maka cepat ia berkata, "Jing-moay, lemparkanlah sebatang panahmu kepadaku!"
"Untuk apa?" tanya Wan-jing.
"Supaya ... supaya kalau aku sudah tak tahan lagi, sekali tikam aku akan membunuh diri dengan panah berbisa itu, agar tidak membikin susah padamu," sahut Toan Ki.
"Tidak, aku tidak mau memberi," kata si gadis.
"Jika begitu, janjilah padaku untuk memenuhi sesuatu permohonanku," pinta Toan Ki.
"Tentang apa?" tanya Wan-jing.
"Bila tanganku sampai menyentuh badanmu, sekali panah boleh kau binasakan aku," kata Toan Ki.
"Tidak, aku tidak mau!" sahut si gadis.
"Jing-moay, terimalah permintaanku itu," pinta Toan Ki dengan sangat. "Nama baik keluarga Toan kita yang sudah bersejarah ratusan tahun ini tidak boleh hancur di tanganku. Kalau tidak, mati pun aku tidak bisa mempertanggungjawabkan pada leluhur di alam baka?"
"Huh, apanya yang hebat dari keluarga Toan di Tayli?" tiba-tiba suara jengek seorang di luar rumah batu itu. "Paling-paling di mulut saja selalu bicara tentang kebaikan dan kemanusiaan, tapi apa yang diperbuat lebih rendah daripada binatang. Apanya yang perlu dipuji?"
"Siapa kau? Ngaco-belo belaka!" damprat Toan Ki dengan gusar.
"Dia ... dia adalah si baju hijau yang aneh itu," dengan lirih Wan-jing membisiki Toan Ki.
Maka terdengar Jing-bau-khek itu berkata lagi, "Bok-kohnio, sudah kusanggupi akan menjadikan kakakmu sebagai suamimu, kutanggung pasti akan memenuhi harapanmu."
"Kau sengaja pakai racun untuk mencelakai kami, apa sangkut pautnya dengan permohonanku padamu?" sahut Wan-jing gusar.
"Di dalam Ang-sio-bak yang sudah kalian makan itu telah dengan banyak kucampur dengan `Im-yang-ho-hap-san' (puyer menjodohkan negatif dan positif), sesudah minum, kalau tidak terjadi pembauran hawa Im dan Yang, kalau laki-laki dan wanita tidak melakukan tugas suami istri, maka antero badannya segera akan membusuk, mata hidung dan telinga akan mengucurkan darah dan akhirnya mati. Bekerjanya obat Ho-hap-san itu makin lihai, sampai hari kedelapan, sekalipun dewa juga takkan mampu menolong," demikian orang itu menjelaskan.
Toan Ki menjadi gusar, dampratnya, "Selamanya aku tiada permusuhan apa-apa denganmu, kenapa kau perlakukan aku begini keji? Kau sengaja membikin kami berbuat hal-hal yang durhaka, agar ayah dan pamanku malu selama hidup, namun biar seratus kali aku harus mati, tidak nanti aku masuk perangkapmu!"
"Kau memang tiada permusuhan apa-apa denganku, tapi leluhur keluarga Toan kalian justru mempunyai permusuhan sedalam lautan denganku," demikian sahut Jing-bau-khek. "Hm, bilamana Toan Cing-beng dan Toan Cing-sun dirundung malu selama hidup hingga tiada muka buat bertemu dengan orang luar, itulah paling bagus, paling bagus!"
Rupanya karena mulutnya tak bisa bergerak, maka meski hatinya sangat senang, namun tak dapat bergelak tertawa.
Dan selagi Toan Ki hendak mendebat pula, sekilas dilihatnya paras Bok Wan-jing yang cantik bagai kuntum bunga baru mekar itu, hatinya berdebar-debar keras lagi, seketika benaknya menjadi kacau pula, pikirnya, "Aku memang ada ikatan perjodohan dengan Jing-moay, andaikan kami tidak pulang ke Tayli, siapa lagi yang tahu kami adalah kakak dan adik? Apa yang terjadi ini adalah hukum karma akibat dosa leluhur, peduli apa dengan kami berdua?"
Berpikir begitu, segera Toan Ki bangkit dengan sempoyongan. Terlihat sambil berpegangan dinding, Bok Wan-jing juga sedang berdiri perlahan.
Sekonyong-konyong terkilas pula pikiran sehat dalam benaknya, "Wah, tidak boleh, tidak boleh! Wahai Toan Ki, perbuatan binatang yang hendak kau lakukan ini tergantung pada pikiran sekilas saja, bila hari ini kau terjerumus, bukan saja nama baikmu sendiri akan hancur lebur, bahkan nama baik ayah dan paman serta leluhur juga ikut tercemar."
Karena itu, mendadak ia membentak, "Jing-moay, aku adalah kakakmu dari satu ayah, dan engkau adalah adikku sendiri, tahu tidak kau? Kau paham Ih-keng tidak?"
Dalam keadaan sadar tak sadar Bok Wan-jing menjawab, "Ih-keng apa? Aku tidak paham."
"Baiklah, biar kuajarkan padamu," kata Toan Ki. "Pelajaran Ih-keng ini rada sulit dan sangat dalam, engkau harus mendengarkan dengan cermat."
"Untuk apa aku mempelajarinya?" tanya Wan-jing.
"Besar manfaatnya sesudah kau belajar," sahut Toan Ki. "Boleh jadi sesudah belajar kita berdua akan dapat melepaskan diri dari kesulitan ini."
Kiranya Toan Ki merasa nafsunya semakin menyala-nyala. Dalam pertentangan batin antara kemanusiaan dan kebinatangan itu, sungguh keadaannya sangat berbahaya, asal Bok Wan-jing mendekatinya dan sedikit menggoda, rasanya pertahanannya akan bobol.
Sebab itulah ia bermaksud mengajarkan Ih-keng padanya untuk menyimpangkan pikirannya dari kesesatan. Maka katanya pula, "Dasar Ih-keng terletak pada Thay-kek (asas alamiah) dan Thay-kek melahirkan Liang-gi (langit dan bumi). Liang-gi menciptakan Su-siang (empat musim), Su-siang menimbulkan Pat-kwa (delapan unsur). Kau paham tidak lukisan Pat-kwa?"
"Tidak! Wah, gerah benar! Toan-long, marilah maju ke sini, aku ingin bicara padamu!" demikian kata si gadis.
"Aku adalah kakakmu, jangan panggil aku Toan-long, tapi harus panggil Toako," sahut Toan Ki. "Coba dengarkan, aku akan menguraikan kalimat-kalimat bentuk Pat-kwa itu, harus kau ingat dengan baik, Kian-sam-thong, Kun-liok-toan dan ...."
"Apa Kian, apa Kun? Entahlah, aku tidak paham!" kata Wan-jing.
"Itu menggambarkan bentuk Pat-kwa," tutur Toan Ki. "Harus kau tahu, Pat-kwa itu meliputi segala benda di alam semesta ini, dari langit dan bumi sampai semua makhluk di dunia. Misalnya keluarga kita, Kian adalah ayah dan Kun adalah ibu, Cin menyimbolkan putra dan Soan menandakan putri .... Kita berdua adalah kakak-beradik, aku adalah unsur Cin dan engkau adalah unsur Soan."
"Tidak, engkau unsur Kian dan aku unsur Kun," demikian sahut Wan-jing dengan kemalas-malasan. "Biarlah kita berdua menikah, kelak melahirkan putra dan putri ...."
Mendengar ucapan si nona yang tak keruan itu, hati Toan Ki terguncang, serunya khawatir, "He, Jing-moay, jangan kau pikir yang tidak-tidak, dengarkanlah uraianku lebih jelas!"
"Kau duduklah di sampingku sini dan aku akan mendengarkan uraianmu," ujar Wan-jing.
"Bagus, bagus! Sesudah kalian berdua menjadi suami istri dan melahirkan putra-putri, aku lantas melepaskan kalian keluar," demikian terdengar Jing-bau-khek yang aneh itu berkata di luar rumah batu. "Dan bukan saja aku takkan membunuh kalian, bahkan akan kuajarkan kalian macam-macam kepandaian, biar kalian suami istri malang melintang di seluruh jagat."
"Ngaco!" seru Toan Ki gusar. "Sampai saat terakhir, akan kubenturkan kepalaku ke dinding. Anak-cucu keluarga Toan lebih suka mati daripada dihina. Kau ingin membalas dendam atas diriku, jangan harap!"
"Kau mau mati atau ingin hidup, aku peduli apa?" sahut Jing-bau-khek. "Bila kalian berdua mencari mati, aku akan belejeti pakaian kalian hingga telanjang bulat, akan kutuliskan keterangan di atas mayat kalian bahwa inilah putra-putri Toan Cing-sun yang telah berbuat maksiat, tapi kepergok orang, saking malu maka lantas membunuh diri. Akan kubawa mayat kalian berkeliling ke setiap kota sesudah aku mengawetkan dulu mayat kalian."
Sungguh tidak kepalang gusar Toan Ki, bentaknya murka, "Ada permusuhan apakah sebenarnya keluarga Toan kami dengan dirimu sehingga kau balas secara begini keji?"
"Urusanku, buat apa kuceritakan padamu?" sahut Jing-bau-khek. Habis ini, suaranya tak terdengar lagi, mungkin sudah pergi.
Toan Ki tahu, banyak bicara dengan Bok Wan-jing, bahayanya akan bertambah besar pula. Segera ia duduk menghadap dinding untuk memikirkan langkah-langkah "Leng-po-wi-poh" yang ajaib itu. Setelah terdiam agak lama, tiba-tiba teringat olehnya, "Enci Dewi di dalam gua itu berpuluh kali lebih cantik daripada Jing-moay, bila aku bisa memperistrikan dia, rasanya tidak sia-sia hidupku ini."
Dalam keadaan sadar tak sadar ia berpaling, ia lihat muka Bok Wan-jing samar-samar mulai berubah menjadi patung cantik di dalam gua itu.
"O, Enci Dewi, betapa deritaku ini, tolonglah aku!" demikian Toan Ki berteriak. Mendadak ia menubruk ke depan merangkul betis Bok Wan-jing.
Justru pada saat itu juga, di luar ada suara orang, "Makan malam dulu ini!"
Berbareng sebatang lilin yang sudah dinyalakan diangsurkan. Dengan tertawa orang itu berkata lagi, "Nah, lekas sambut ini, malam pengantin, mana boleh tanpa lilin?"
Dalam kejutnya Toan Ki terus berbangkit, di bawah sinar lilin yang terang itu, ia lihat mata Wan-jing yang jeli itu berkilau-kilau penuh arti, cantiknya sukar dilukiskan. Cepat ia sirap lilin, lalu membentak, "Di dalam nasi ada racun, lekas bawa pergi, kami tidak mau makan!"
"Sudah banyak racun yang masuk perutmu, tidak perlu ditambah lagi," sahut suara itu sambil tetap menyodorkan makanan.
Tanpa terasa Toan Ki sambut juga dan ditaruh di atas meja. Pikirnya, "Kalau sudah mati, musnahlah segalanya, apa yang terjadi sesudah itu, mana bisa aku mengurusnya lagi?"
Lalu pikirnya pula, "Tapi betapa kasih sayang ayah-bunda dan paman padaku, mana boleh aku menodai nama baik keluarga Toan hingga ditertawai orang?"
Tiba-tiba terdengar Bok Wan-jing berteriak, "Toan-long, aku akan bunuh diri dengan panahku, supaya tidak bikin susah padamu!"
"Nanti dulu!" seru Toan Ki, "Biarpun kita mati, keparat yang mahajahat itu pun takkan mengampuni kita. Orang ini sangat keji dan licik, dibanding Yap Ji-nio yang suka isap darah bayi dan Lam-hay-gok-sin yang suka makan hati manusia, orang ini jauh lebih jahat! Entah siapa dia sebenarnya?"
"Ucapanmu memang tidak salah," tiba-tiba terdengar suara Jing-bau-khek itu menjawab, "Lohu tak-lain tak-bukan adalah 'Ok-koan-boan-eng' (kejahatan sudah melebihi takaran), kepala Su-ok aku adanya!"
Kembali mengenai keadaan di istana Tin-lam-ong.
Si Pek-hong alias Yau-toan-siancu menjadi sangat khawatir atas diri sang putra yang digondol kawanan Su-ok itu, tanyanya pada Po-ting-te, "Hong-heng, di manakah letak Ban-jiat-kok itu, apakah Hong-heng sudah tahu?"
"Nama Ban-jiat-kok juga baru kudengar hari ini," sahut Po-ting-te Toan Cing-beng. "Tapi rasanya tidak jauh dari Tayli ini."
"Dari nada ucapan Ciong Ban-siu itu, agaknya tempat itu sangat dirahasiakan," kata Pek-hong dengan khawatir. "Dan kalau terlalu lama Ki-ji berada dalam cengkeraman musuh, mungkin ...."
"Ki-ji terlalu dimanjakan di rumah, biarkan dia mengalami sedikit gemblengan juga ada baiknya," demikian sela Po-ting-te dengan tersenyum.
Si Pek-hong tidak berani banyak bicara lagi meski dalam hati khawatir sekali.
Maka Po-ting-te berkata pula kepada Toan Cing-sun, "Sun-te, suruh keluarkan santapan lagi, mari kita menjamu diri sendiri dahulu."
Cing-sun mengiakan dan memberi perintah, hanya sebentar saja perjamuan lengkap sudah disediakan lagi. Segera Po-ting-te suruh semua orang duduk semeja untuk makan minum.
Meski dia diagungkan sebagai raja, tapi tempatnya bukan di istana, biasanya ia tidak suka banyak adat, maka Toan Cing-sun, Si Pek-hong dan Ko Sing-thay lantas sama duduk mengiringinya tanpa rikuh.
Dalam perjamuan itu, mereka sama sekali tidak bicara tentang kejadian tadi.
Ketika dekat fajar, tiba-tiba seorang pengawal masuk melapor, "Pah-sugong ingin menghadap Hongsiang!"
Maka masuklah seorang laki-laki kehitam-hitaman, bertubuh pendek kurus. Ia memberi hormat kepada Po-ting-te dan berkata, "Lapor Hongsiang, untuk ke tempat itu harus melalui Sian-jin-toh dan jembatan rantai, mulut lembahnya adalah sebuah kuburan."
"Wah, bila tahu Pah-sugong sudah turun tangan, masakah sarang musuh takkan diketemukan dan aku pun tidak perlu khawatir lagi," seru Pek-hong dengan tertawa.
"Onghui terlalu memuji, Pah Thian-sik tidak berani terima," sahut laki-laki hitam itu.
Kiranya Pah Thian-sik ini meski bermuka jelek dan potongannya kecil, tapi dia sangat cerdik dan pintar, sudah banyak berjasa bagi Po-ting-te. Pangkatnya sekarang di negeri Tayli adalah Sugong.
Gelar pangkat Suto, Suma dan Sugong sangat terhormat dalam kerajaan kecil ini. Pah Thian-sik sendiri ilmu silatnya sangat tinggi, lebih-lebih dalam ilmu Ginkang. Kali ini ia ditugaskan Po-ting-te untuk menguntit jejak musuh, dan benar juga ia dapat mengetahui tempat Ban-jiat-kok itu.
"Thian-sik, duduklah dan makan yang kenyang," kata Po-ting-te kemudian dengan tertawa. "Habis makan, kita lantas berangkat."
Thian-sik cukup kenal watak sang raja yang biasanya tak suka orang berlutut dan menyembah padanya, kalau terlalu kukuh pada adat-adat kolot itu, sang raja malah kurang senang. Maka ia hanya mengiakan sekali dan ambil tempat duduk, terus saja ia serbu apa yang tersedia di atas meja itu.
Setetes arak pun Pah Thian-sik tidak minum, tapi takarannya makan ternyata sangat mengejutkan, hanya sekejap saja hampir sepuluh mangkuk nasi telah dilangsir ke dalam perutnya.
Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan lain-lain sudah lama bersahabat dengan Pah Thian-sik, maka mereka tidak menjadi heran akan kelakuan orang aneh itu.
Habis makan, segera Thian-sik berbangkit, ia usap mulutnya yang berlepotan minyak itu dengan lengan baju, lalu berkata, "Marilah Hongsiang, biar hamba menunjukkan jalannya."
Dan segera ia mendahului melangkah keluar.
Berturut-turut Po-ting-te, Toan Cing-sun suami istri dan Ko Sing-thay lantas mengikuti di belakangnya.
Sampai di luar istana, tampak tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok sudah menanti di situ sambil menuntun kuda, di samping itu ada belasan pengawal lain yang membawakan senjata Po-ting-te.
Nyata, biarpun kedua saudara Toan ini mempunyai kedudukan terpuji, namun mereka tidak pernah meninggalkan etiket sebagai orang persilatan daerah Tionggoan yang diwariskan leluhur mereka. Sering kali mereka pun menyamar sebagai rakyat jelata untuk pesiar keluar, kalau ketemukan orang Bu-lim hendak menuntut balas atau mencari mereka, selalu mereka pun menghadapinya menurut peraturan Bu-lim, selamanya tidak gunakan pengaruh kedudukan mereka untuk menghina orang.
Sebab itulah, maka keluarnya Po-ting-te sekarang ini sedikit pun tidak mengherankan para pengiringnya, mereka anggap sudah biasa.
Melihat di antara beberapa orang pengiring itu ada yang membawa pacul dan sekop, dengan tertawa Si Pek-hong tanya, "Pah-sugong, apakah kita hendak pergi menggali pusaka pendaman?"
"Pergi menggali kuburan!" sahut Pah Thian-sik.
Begitulah segera rombongan mereka berangkat beramai-ramai, kuda yang mereka pakai adalah pilihan, maka tidak sampai tengah hari mereka sudah tiba di tanah pekuburan di luar Ban-jiat-kok itu.
"Gali situ!" kata Pah Thian-sik segera sambil menunjuk kuburan besar yang ketujuh.
Terus saja pengiring-pengiring yang membawa alat-alat galian itu bekerja cepat.
"Wah, penghuni di Ban-jiat-kok ini rupanya dendam tiada tara terhadap keluarga Toan kita!" demikian kata Po-ting-te dengan tertawa sambil menuding batu nisan yang bertuliskan "Kuburan Ban Siu Toan" atau kuburan orang beribu sakit hati pada orang she Toan.
Dalam pada itu Jay-sin-khek Siau Tiok-sing sudah lantas ayun kapaknya dengan cepat pada batu nisan itu hingga batu kerikil bertebaran, hanya sebentar saja batu nisan itu sudah dihancurkan olehnya dan melulu tertinggal huruf "Toan" yang masih tetap utuh.
Sementara itu para pengiring juga sudah meratakan sebagian besar kuburan itu hingga kelihatan jalan masuk ke bawah tanah itu.
Segera Siau Tiok-sing mendahului masuk ke dalam, lalu keempat tokoh Hi-jiau-keng-dok mendahului membuka jalan, di belakangnya adalah Pah Thian-sik dan Ko Sing-thay, menyusul lantas Toan Cing-sun suami istri dan paling akhir Po-ting-te.
Setelah masuk ke dalam lembah itu ternyata keadaan sunyi senyap tiada seorang pun yang menyambut kedatangan mereka.
Pah Thian-sik menuruti peraturan Kangouw, ia bawa kartu nama Toan Cing-beng dan Toan Cing-sun menuju ke depan rumah utama di lembah itu, serunya keras-keras, "Dua saudara she Toan dari negeri Tayli ingin bertemu dengan Ciong-kokcu!"
Baru selesai ucapannya, sekonyong-konyong dari semak-semak pohon sisi kiri sana berkelebat keluar sesosok bayangan orang yang panjang sekali, dengan cepat luar biasa tahu-tahu melayang ke arah Pah Thian-sik terus hendak menyambar kartu nama yang dipegangnya itu.
Namun Thian-sik cukup cepat juga gerakannya, ia menggeser ke samping sambil membentak, "Siapa?"
Kiranya itulah "Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho. Sekali sambar tidak kena, ia tidak berhenti tapi terus putar balik dan menubruk ke arah Thian-sik.
Melihat Ginkang orang sangat hebat, timbul keinginan Pah Thian-sik untuk menjajal kepandaian orang yang sesungguhnya, maka cepat ia geser pula ke samping lain. Segera In Tiong-ho mengudak juga.
Maka tertampaklah dua bayangan orang, yang satu jangkung dan yang lain pendek, dalam sekejap saja sudah saling uber kian kemari beberapa kali. Meski langkah In Tiong-ho sangat lebar, namun dengan gesit sambil berlompatan, Pah Thian-sik dapat menyusup pergi datang dengan lincah, jarak kedua orang tetap terpisah lebih satu meter. In Tiong-ho tak bisa menyusul Pah Thian-sik, sebaliknya Thian-sik juga tak mampu melepaskan diri dari kejaran Tiong-ho.
Biasanya kedua orang itu sama-sama sangat mengagulkan Ginkangnya sendiri, tapi kini ketemukan lawan setanding, diam-diam mereka sama terkejut. Makin berlari makin cepat, begitu cepatnya hingga baju mereka berkibaran menjangkitkan angin yang menderu-deru.
Meski hanya dua orang yang kejar-mengejar, namun bagi penglihatan orang menjadi seperti beberapa orang yang sedang saling udak kian kemari. Sampai akhirnya, saking cepatnya lari mereka hingga orang merasa bingung apakah sebenarnya In Tiong-ho yang lagi mengejar Pah Thian-sik atau Thian-sik yang sedang mengudak Tiong-ho?
Tiba-tiba terdengar suara keriut pintu dibuka, Ciong Ban-siu tampak keluar dari rumah itu.
Melihat tuan rumah itu, tanpa berhenti berlari, Pah Thian-sik mengerahkan tenaga dalam terus menyambitkan kartu nama yang enteng dan lemas, tapi Thian-sik ternyata dapat menimpuknya dengan lurus enteng, apalagi dia sedang berlari diuber musuh, angin yang terjangkit karena larinya itu cukup keras, tapi kartu nama itu mampu menembus sambaran angin dan tetap menuju ke arah Ciong Ban-siu, maka dapatlah dibayangkan betapa lihai Lwekang Pah Thian-sik.
Ban-siu lantas tangkap kartu yang terbang ke arahnya itu, serunya dengan gusar, "Orang she Toan, jika kau datang ke lembah ini menurut peraturan Kangouw, mengapa kau rusak peralatan pintu lembahku?"
"Hongsiang mahaagung, mana boleh menerobos liang kuburmu dan peti matimu yang busuk itu?" demikian sahut Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li.
Si Pek-hong sendiri paling khawatir keselamatan putranya, maka segera ia tanya, "Di manakah anakku, kalian mengurungnya di mana?"
Belum lagi Ciong Ban-siu menjawab, sekonyong-konyong dari belakangnya tampil seorang wanita, dengan suara yang tajam ia berseru, "Kedatanganmu sudah terlambat, bocah she Toan itu sudah kami sembelih dadanya dan isi perutnya kami buang sebagai umpan anjing!"
Kedua tangan wanita itu tampak memegangi sepasang golok, batang golok itu sangat ciut bagai daun pohon Liu, tapi bersinar kemilau. Itulah dia Siu-lo-to yang ditakuti orang Kangouw bila melihatnya.
Kedua wanita ini, Si Pek-hong dan Cin Ang-bian, pada masa belasan tahun yang lalu sudah saling bermusuhan. Meski Si Pek-hong tahu apa yang dikatakan Cin Ang-bian tadi tidak benar, namun ucapan orang yang mengerikan atas diri putranya, membuat Si Pek-hong menjadi gusar, dendam lama dan benci baru meledak sekaligus, dengan dingin ia balas berolok-olok, "Huh, aku bicara sendiri dengan Ciong-kokcu, siapa yang sudi omong-omong dengan perempuan rendah tak kenal malu hingga mengotorkan diri sendiri."
"Creng-creng," sekonyong-konyong kedua golok Cin Ang-bian membacok secepat kilat ke atas kepala Si Pek-hong. Serangan "Sip-ji-gam" atau bacokan bersilang, yang satu malang ke sana dan yang lain melintang ke sini, jurus ini adalah kepandaian khas Cin Ang-bian yang telah banyak menjungkalkan jago dunia Kangouw.
Maka lekas Si Pek-hong ayun kebut pertapaannya untuk menangkis, berbareng tubuhnya bergeser ke samping, ujung kebut lantas balas menyabet punggung lawan.
Menyaksikan itu, Toan Cing-sun menjadi serbasalah. Yang seorang adalah istri kesayangannya, dan yang lain adalah bekas kekasih. Dalam pertarungan sengit itu, siapa pun terluka, dirinya yang sudah pasti akan menyesal selama hidup. Maka segera ia membentak, "Berhenti, berhenti dulu!"
Ia terus melompat maju dengan pedang terhunus hendak memisah.
Melihat Toan Cing-sun, marah Ciong Ban-siu lantas berkobar, ia lolos golok "Tay-goan-to," golok tebal yang bergelang hingga menerbitkan suara gemerantang nyaring, tanpa bicara lagi terus membacok kepala Toan Cing-sun.
"Tak usah Ongya maju sendiri, biar hamba membereskan dia saja," kata Leng Jian-li sambil menjuju dengan senjata pancingnya.
"Haha," Ban-siu tertawa mengejek. "Memang kutahu orang she Toan hanya besar omong saja, paling-paling cuma pandai main keroyokan."
"Mundur Jian-li!" seru Cing-sun dengan tertawa, "biar kubelajar kenal sendiri dengan kepandaian Ciong-kokcu yang lihai."
Berbareng ia lantas menangkis tangkai pancing Leng Jian-li, sekalian pedang terus menempel punggung Tay-goan-to lawan yang dipakai menangkis tangkai pancing Leng Jian-li tadi, untuk memotong jari tangan Ciong Ban-siu.
Ban-siu terkejut oleh tiga gerakan yang dilakukan sekaligus, yaitu menangkis, menempel dan memotong, diam-diam ia harus mengaku orang she Toan ini benar-benar lihai. Maka ia tidak berani marah lagi, tapi ia hadapi lawan dengan sungguh-sungguh. Meski wataknya kasar, namun kalau sudah berhadapan dengan musuh, ia bisa berlaku hati-hati.
"Coba kalian masuk dan geledah sana!" perintah Po-ting-te kepada Leng Jian-li.
Jian-li mengiakan, segera tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok menyerbu ke dalam rumah orang. Tapi baru sebelah kaki Siau Tiok-sing melangkah masuk, tiba-tiba dari depan menyambar sebatang golok tipis ke mukanya. Untung ia sempat mengkeret kembali dengan cepat, kalau tidak tentu mukanya sudah rata terpotong, paling tidak batang hidungnya pasti terpapas.
Saking kagetnya sampai Siau Tiok-sing berkeringat dingin. Ia coba perhatikan siapa gerangan penyergap itu. Kiranya seorang wanita yang berparas cantik, itulah dia Bu-ok-put-cok Yap Ji-nio adanya.
Golok yang dipakai Yap Ji-nio itu bentuknya sangat aneh, enteng tipis, senjata tajam luar biasa. Sambil memegangi gagang golok yang pendeknya cuma belasan senti itu, hanya sedikit diputar seketika terjadilah segulung sinar putih.
Kaget Siau Tiok-sing semula memang luar biasa, tapi sesudah tenangkan diri, segera ia membentak, kapak baja diayun, terus saja ia bacok senjata musuh.
Namun Yap Ji-nio lekas putar goloknya yang tipis tajam itu, ia tidak berani adu senjata dengan kapak lawan.
Siau Tiok-sing mainkan 36 jurus "Khay-san-po-hoat" atau ilmu permainan kapak membelah gunung, ia membacok ke atas dan membabat ke bawah. Sebaliknya Yap Ji-nio terus-menerus mengejeknya dengan kata-kata yang menusuk hati.
Melihat perempuan itu sambil bicara seenaknya saja melayani serangan Tiok-sing, Cu Tan-sin menjadi khawatir jangan-jangan kawannya teperdaya musuh. Maka cepat ia pun menerjang maju, kipasnya berputar terus menutuk.
Tatkala itu In Tiong-ho masih tetap main putar kayun dengan Pah Thian-sik. Ginkang kedua orang sama lihainya, mereka tahu juga dalam waktu singkat sukar untuk menentukan kalah menang, tapi yang diuji sekarang adalah tenaga dalam, siapa yang tahan lama, dia akan menang.
Tapi Thian-sik tahu lawan sudah mengerahkan sepenuh tenaga untuk mengejar, berbeda seperti dirinya yang main melompat dan melejit, tenaga dalam masih terpelihara, bila sewaktu-waktu dirinya mendadak berhenti berlari terus menyerang serentak, tentu lawan tak kuat menahannya.
Cuma tujuannya memang ingin menguji Ginkang lawan, maka ia masih terus berlari dan belum ingin menundukkan lawan dengan ilmu pukulan.
"Setan alas, dari mana datangnya kawanan anjing ini, bikin berisik melulu hingga aku tak bisa tidur!" demikian tiba-tiba terdengar suara makian orang. Lalu tertampak Lam-hay-gok-sin melompat datang dengan senjatanya yang istimewa, yaitu Gok-cui-cian atau gunting moncong buaya.
Segera Tiam-jong-san-long menjawabnya dengan suara keras, "Ini dia ayah gurumu yang datang kemari!"
"Apa ayah guruku?" bentak Lam-hay-gok-sin dengan bingung.
"Ini," sahut Tiam-jong-san-long sambil tunjuk Toan Cing-sun, "Tin-lam-ong adalah ayah Toan-kongcu, dan Toan-kongcu adalah gurumu, masakah kau berani menyangkal, ayo?"
Biarpun perbuatan Lam-hay-gok-sin mahajahat, tapi ada suatu sifatnya yang baik, yaitu apa yang pernah dia ucapkan, tentu ditepatinya.
Maka demi mendengar jawaban itu, mukanya menjadi merah padam saking gusar, tanpa menjawab benar atau tidak, segera ia membentak pula, "Aku angkat guru padanya adalah urusanku sendiri, peduli apa dengan anak kura-kura macam kau ini?"
"Hahaha! Aku toh bukan anakmu, kenapa kau panggil aku anak kura-kura?" sahut San-long bergelak tertawa.
Lam-hay-gok-sin tertegun, ia bingung akan jawaban itu. Tapi kemudian ia menjadi sadar bahwa secara tidak langsung orang telah memaki dia sebagai kura-kura alias germo.
Sadar akan hal itu, keruan ia berjingkrak gusar, senjatanya yang aneh itu menggunting beberapa kali ke arah musuh.
Walaupun otaknya rada bebal, tapi ilmu silat Lam-hay-gok-sin memang sangat lihai. Gok-cui-cian yang dipakai itu penuh dengan gigi buaya yang tajam, baru Tiam-jong-san-long menangkis tiga jurus dengan pacul garuknya, kedua lengannya sudah mulai terasa linu pegal.
Melihat kawannya terdesak, segera pancing Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li bergerak, sekali terayun, cepat kait pancingnya melayang ke mata kiri Gok-sin.
"Huh, senjata apaan ini?" jengek Lam-hay-gok-sin.
"Aku berjuluk Lam-hay-tio-toh, kerjaku memancing buaya!" sahut Leng Jian-li dengan tertawa.
"Kau paham kentut, masakah buaya dapat dipancing, sekali gigit sudah putus pancingmu ini," sahut Gok-sin tak mau kalah.
"Baik, boleh kau coba-coba," ujar Jian-li tertawa. Kembali tali pancingnya terayun dan kait pancing hendak mencantol mulut Lam-hay-gok-sin.
Namun Gok-sin tidak lengah, mendadak Gok-bwe-pian atau ruyung ekor buaya terus dilolos, sekali sabat, segera tali pancing lawan hendak digulungnya.
Ruyung lawan kasar antap, sedang tali pancingnya halus enteng, maka Leng Jian-li tak berani sembrono, cepat ia tarik pancingnya dan putar sekali di udara, menyusul batok kepala belakang Gok-sin hendak dikait lagi.
Menyaksikan situasi pertarungan itu, Po-ting-te menaksir pihaknya tidak berbahaya, cuma sepasang Siu-lo-to Cin Ang-bian yang dimainkannya dengan cepat luar biasa dengan aneka macam perubahannya, di atas golok-golok tipis itu dilumasi racun pula. Dalam hal ilmu silat sejati tidak nanti Si Pek-hong kalah, tapi kalau tersentuh senjata lawan yang beracun, itulah yang dikhawatirkan.
Segera Po-ting-te berkata pada Ko Sing-thay, "Jaga dan awasi keadaan di sini, kalau perlu boleh kau rampas sebilah golok nyonya itu."
Ko Sing-thay mengiakan, dengan tenang ia berdiri mengawasi kalangan pertempuran dengan gagahnya.
Po-ting-te lantas masuk ke dalam rumah, serunya keras-keras, "Ki-ji, apakah kau berada di sini?"
Tapi sama sekali tiada jawaban orang. Ia coba membuka pintu kamar sebelah kiri dan berseru pula, "Ki-ji!"
Belum hilang suaranya, sekonyong-konyong sesosok bayangan hijau berkelebat, seutas tali panjang secepat kilat menyambar lehernya.
Walaupun benda hijau itu menyambar dengan terapung di udara, tapi ternyata adalah makhluk hidup. Po-ting-te terkejut, segera ia dapat melihat jelas bahwa benda itu adalah seekor ular hijau yang panjang. Dengan lidahnya yang mulur mengkeret, ular itu hendak menggigit tenggorokannya.
Tanpa pikir lagi Po-ting-te segera menyelentik dengan jarinya hingga tepat kena bawah leher ular itu.
Tenaga selentikan Po-ting-te ini sungguh bukan main hebatnya, biarpun ular hijau itu keras sebagai kawat baja, sekali kena diselentik, seketika patah juga tulang lehernya, ular itu jatuh ke lantai, setelah mengesot beberapa kali, lalu mati.
Maka terdengarlah suara jeritan kaget seorang gadis cilik, "Haya, kau bunuh aku punya Jing-leng-cu!"
Waktu Po-ting-te memerhatikan tertampak seorang nona cilik berusia 15-16 tahun muncul dari balik pintu dengan wajah yang kaget tercampur takut.
"Di mana Toan-kongcu berada?" tanya Po-ting-te.
"Untuk apa kau cari Toan-kongcu?" berbalik gadis itu tanya.
"Aku hendak menolongnya keluar!" sahut Po-ting-te.
"Engkau takkan dapat menolongnya," ujar gadis itu. "Ia terkurung di dalam sebuah rumah batu, di luar ada yang jaga pula."
"Harap bawa aku ke sana," kata Po-ting-te, "akan kurobohkan orang yang jaga, membuka rumah batu itu dan menolong keluar Toan-kongcu."
"Tidak bisa!" sahut si gadis cilik. "Kalau aku membawa engkau ke sana, tentu ayah akan membunuh aku!"
"Siapa ayahmu?" tanya Po-ting-te.
"Aku she Ciong, ayahku adalah tuan rumah lembah ini," sahut si gadis cilik yang bukan lain adalah Ciong Ling itu. "Dan engkau sendiri siapa?"
Po-ting-te hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia pikir terhadap seorang nona cilik begini, baik memancingnya dengan kata-kata atau mengancam dengan kekerasan, semuanya tidak pantas digunakan atas diri gadis cilik ini. Kalau Toan Ki sudah terang dikurung di dalam lembah itu, tentu tidak sulit untuk mencarinya.
Karena itu, ia lantas keluar lagi dari rumah itu dengan maksud mencari jalan lain untuk menemukan Toan Ki ....
Kembali mengenai Toan Ki dan Bok Wan-jing yang dikurung di dalam kamar batu sebagai "ternak" yang disuruh mengembang biak itu. Ketika mengetahui bahwa Jing-bau-khek yang mengeram mereka dengan muslihat keji itu adalah "Ok-koan-boan-eng" atau kejahatan sudah melampaui takaran, tentu saja mereka bertambah kejut dan khawatir.
Dan karena pikiran kacau, keteguhan iman mereka semakin tipis, sampai akhirnya, entah bagaimana jadinya, tiba-tiba mereka duduk saling berdekapan.
"Jing-moay," demikian Toan Ki berkata perlahan, "kita sudah jatuh dalam cengkeramannya, mungkin sukar menyelamatkan diri."
Wan-jing hanya mengiakan sekali, ia merasa pipinya panas bagai dibakar, terus saja ia susupkan kepalanya di pangkuan Toan Ki.
Perlahan Toan Ki membelai rambut si nona, keringat kedua orang sudah membasahi baju masing-masing hingga mirip orang habis kecemplung dalam air. Dan begitu mencium bau badan masing-masing, keruan makin bertambah daya tariknya.
Jangankan mereka adalah muda-mudi yang belum berpengalaman, seumpama tidak terpengaruh oleh racun, tentu mereka pun sukar mengendalikan diri, apalagi racun "Im-yang-ho-hap-san" yang mereka minum itu sangat banyak, biarpun nabi sekalipun kalau sudah minum racun itu juga akan gugur imannya.
Untunglah dalam keadaan lupa daratan itu, dalam benak Toan Ki masih timbul setitik sinar terang yang mengingatkan nama baik dan kehormatan keluarga Toan mereka, maka sekuatnya ia terus bergulat dengan nafsu kebinatangannya.
Yang paling celaka adalah si baju hijau alias "Ok-koan-boan-eng" itu masih terus membakar dari luar, katanya, "Ayolah lekas kalian laksanakan cita-citamu. Lebih cepat kalian mempunyai anak lebih cepat pula kalian akan keluar dari kurungan ini. Nah, aku akan pergi!"
Habis itu, terdengar suara daun pohon berkeresekan, agaknya orangnya sudah pergi jauh.
Toan Ki berteriak-teriak, "Gak-losam! Gak-losam! Gurumu ada kesulitan, lekas menolongnya!"
Namun sampai tenggorokannya bejat tetap tiada seorang pun yang menyahut, pikirnya, "Dalam keadaan begini, biarpun aku harus angkat guru padanya juga tidak soal lagi. Soal salah mengangkat orang jahat sebagai guru adalah urusan pribadiku dan tak ada sangkut paut dengan ayah dan paman."
Segera ia berteriak-teriak pula, "Gak-losam! Lam-hay-gok-sin! Aku rela mengangkat guru padamu, terima menjadi ahli waris Lam-hay-pay, lekas menolong muridmu ini. Kalau tidak cepat, tentu takkan kau peroleh murid berbakat!"
Tapi sampai ia capek sendiri, tetap tiada suatu bayangan setan pun yang kelihatan.
"Toan-long," tiba-tiba Wan-jing berkata, "sesudah kita kawin, engkau lebih suka anak pertama kita nanti laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki," sahut Toan Ki dalam keadaan sadar tak sadar.
"Hai, Toan-kongcu, engkau adalah Engkohnya, tidak boleh kalian kawin!" tiba-tiba suara seorang gadis cilik menyela dari luar.
Toan Ki terperanjat, cepat ia tanya, "Ap ... apakah Ciong-kohnio adanya?"
"Ya, benar, memang akulah!" demikian sahut gadis itu yang memang benar adalah Ciong Ling. "Sudah kudengar semua ucapan Jing-bau-khek yang jahat itu, tapi jangan khawatir, aku pasti akan berdaya untuk menolongmu!"
"Bagus!" seru Toan Ki girang. "Nah, lekas kau pergi mencuri obat penawarnya untuk kami."
"Akan lebih baik kugeser batu besar ini untuk menolong kalian keluar dahulu," demikian ujar Ciong Ling.
"Tidak, tidak! Lekas kau curikan obat penawar dahulu," sahut Toan Ki cepat. "Seb ... sebab aku tak tahan lagi, aku ham ... hampir mati!"
"Mengapa tak tahan? Apakah engkau sakit perut?" tanya Ciong Ling khawatir.
"Bu ... bukan," sahut Toan Ki.
"Habis, apakah sakit kepala?" Ciong Ling menegas pula.
"Juga bukan," sahut Toan Ki.
"Habis, apamu yang tidak tahan?"
Toan Ki menjadi sulit menjawab, masakah urusan begituan boleh diterangkan pada seorang nona cilik yang masih hijau? Terpaksa ia menjawab, "Seluruh badanku terasa tidak enak, cukup asal kau berusaha mendapatkan obat penawarnya."
"Tapi engkau tidak terangkan apa penyakitnya, dari mana kutahu obat penawar apa yang diperlukan?" ujar Ciong Ling berkerut kening. "Ayahku pandai mengobati segala macam penyakit, tapi dia harus tahu dulu apakah kau sakit perut, sakit kepala, atau sakit jantung?"
"Ak ... aku tidak apa-apa," sahut Toan Ki sambil menghela napas. "Tapi aku salah ... salah minum semacam racun yang disebut 'Im-yang-ho-hap-san'."
"Bagus," seru Ciong Ling, "asal kau tahu namanya, mudahlah urusan diselesaikan."
Lalu dengan cepat gadis itu pulang ke rumah hendak minta obat penawar "Im-yang-ho-hap-san" pada ayahnya.
Tak tersangka begitu Ciong Ling menyebut tentang "Im-yang-ho-hap-san", belum lagi ia menerangkan lebih lanjut, kontan Ciong Ban-siu terus menarik muka yang berbentuk muka kuda itu, dampratnya, "Anak perempuan sekecil ini untuk apa tanya ini dan itu, kalau berani sembarangan omong lagi, sebentar kujewer kupingmu."
Dan sebelum Ciong Ling sempat bicara lebih lanjut, saat itulah Po-ting-te dan rombongannya menyerbu ke dalam lembah Ban-jiat-kok, maka cepat Ban-siu keluar menghadapi musuh sehingga Ciong Ling ditinggal sendirian di dalam kamar.
Ketika mendengar di luar sudah terjadi pertarungan sengit, Ciong Ling tidak ambil pusing sama sekali, ia asyik membongkar lemari obat simpanan sang ayah. Ia ubrak-abrik beratus botol obat Ciong Ban-siu yang tersimpan di dalam lemari, setiap botol obat itu tertempel etiket yang menunjukkan nama obat masing-masing, tapi obat penawar "Im-yang-ho-hap-san" itu justru tidak terdapat.
Dan sedang Ciong Ling bingung entah ke mana harus mencari obat penawar yang dibutuhkan, tiba-tiba terdengar suara orang mendobrak pintu dan melangkah masuk. Tanpa pikir lagi ia lepaskan Jing-leng-cu, siapa tahu badan Jing-leng-cu yang kuat seperti besi itu, sekali diselentik Po-ting-te lantas binasa.
Dalam pada itu, Toan Ki yang menunggu-nunggu kembalinya Ciong Ling hingga lama itu, pikiran tak senonohnya sudah semakin berkobar-kobar, beberapa kali hampir saja ia menubruk maju untuk memeluk Bok Wan-jing. Sampai akhirnya, saking tak tahan, segera ia berteriak, "Jing-moay, aku tidak ingin hidup lagi, lekas berikan panahmu yang berbisa itu!"
"Tidak, aku tak mau memberi," sahut Wan-jing dengan suara serak dan mata merah.
Toan Ki terus memukul dada dan perut sendiri sambil berteriak pula, "Mati, matilah aku!"
Dan mendadak kepalan yang menghantam dada sendiri itu memukul sebuah benda keras, itulah kotak kemala yang berada dalam bajunya. Seketika pikirannya tergerak, "Hah, biarlah kugunakan Bong-koh-cu-hap ini untuk memanggil ular beracun, biarlah aku digigit mati ular berbisa saja."
Segera ia keluarkan kotak kemala itu dan membuka tutupnya. Benar juga sepasang katak aneh itu lantas menguak keras-keras.
Namun di lembah Ban-jiat-kok itu berhubung Ciong Ling suka main Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu, maka ular berbisa lainnya sudah jauh menyingkir ke tempat lain sehingga tidak mungkin mendengar suara menguaknya katak raja ular ini.
Sampai lama Toan Ki menunggu, namun tiada seekor ular pun yang muncul. Sebaliknya badan semakin panas, mulut terasa kering, keringat membasah kuyup bajunya.
Pikirnya, "Sepasang Cu-hap ini bisa mengatasi ular berbisa, agaknya racun pada badan binatang ini pasti jauh lebih lihai daripada ular beracun yang paling jahat."
Karena dia sudah ambil keputusan hendak membunuh diri, dalam keadaan pikiran gelap, tanpa banyak pikir lagi ia terus comot seekor katak merah itu, ia masukkan binatang itu ke dalam mulut terus dikunyahnya.
Ia merasakan air segar mengalir masuk tenggorokannya, rasanya sangat enak. Ternyata katak-katak itu adalah binatang berdarah dingin. Maka hanya sekejap saja seekor katak merah yang merupakan makhluk mestika yang jarang ada di jagat ini sudah dimakannya habis. Bahkan ia belum lagi puas, segera katak yang kedua dimakannya pula.
Melihat muka Toan Ki sangat beringas sambil makan katak hingga mulutnya penuh berlepotan darah, rambutnya kusut masai pula, Bok Wan-jing menjadi rada takut.
Sementara itu setelah makan dua ekor Cu-hap mestika itu, pernapasan Toan Ki bertambah megap-megap, ia justru berharap racun binatang itu lekas bekerja agar dirinya lekas mati, supaya terhindar daripada siksaan yang sukar ditahan itu ....
Kembali mengenai Po-ting-te. Sesudah tinggalkan Ciong Ling, ia coba mencari pula terkurungnya Toan Ki. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara tindakan orang, cepat ia menoleh, ternyata Ciong Ling yang sedang menyusulnya. Segera ia pun berhenti menanti gadis cilik itu.
Sambil mendekat, Ciong Ling berkata, "Aku tidak menemukan obat penawarnya, marilah kubawa engkau ke sana. Tapi entah batu itu dapat kau geser atau tidak?"
Sudah tentu Po-ting-te tidak tahu tentang obat penawar segala, tanyanya, "Obat penawar apa? Dan batu apa lagi?"
"Marilah ikut padaku, sebentar engkau akan tahu sendiri," sahut Ciong Ling dan mendahului jalan ke depan.
Meskipun jalanan di Ban-jiat-kok itu berliku-liku penuh rahasia, namun di bawah petunjuk Ciong Ling, sebentar saja ia sudah membawa Po-ting-te sampai di depan pagar pohon yang mengelilingi rumah batu itu.
Dengan enteng Po-ting-te pegang bahu Ciong Ling, sama sekali tidak tampak raja itu bergerak, tahu-tahu ia sudah melintasi pagar pohon itu dengan enteng dan anteng sambil membawa Ciong Ling.
Keruan gadis itu kagum dan kegirangan, ia bertepuk tangan memuji, "Bagus, bagus, engkau seperti bisa terbang saja, sungguh hebat! Wah, celaka!"
Tiba-tiba seruannya ditutup oleh jeritan khawatir.
Kiranya tiba-tiba dilihatnya di depan rumah batu itu berduduk seorang, itulah dia Jing-bau-khek atau si baju hijau yang aneh itu.
Rupanya Ciong Ling sangat takut terhadap manusia yang setengah-mati setengah-hidup itu, ia membisiki Po-ting-te, "Marilah kita pergi dulu, nanti kalau orang itu sudah enyah, barulah kita kembali lagi."
Po-ting-te sendiri rada heran juga melihat Jing-bau-khek yang luar biasa itu. Ia coba menghibur si gadis, "Jangan khawatir, ada aku di sini. Apakah Toan Ki terkurung di dalam rumah batu ini?"
Ciong Ling mengangguk, lalu sembunyi di belakang Po-ting-te.
Perlahan Po-ting-te mendekati Jing-bau-khek, tegurnya dengan ramah, "Dapatkah saudara menyingkir sedikit?"
Namun Jing-bau-khek itu anggap tidak melihat dan tidak mendengar, ia tetap duduk bersila dengan tenang di tempatnya.
"Jika saudara tidak suka menyingkir, maaf kalau aku berlaku kasar," kata Po-ting-te pula. Sekali miringkan tubuh, segera ia melayang lewat di samping Jing-bau-khek terus hendak mendorong batu penutup pintu rumah.
Tapi sebelum Po-ting-te mengeluarkan tenaga, sekonyong-konyong Jing-bau-khek menarik keluar sebatang tongkat bambu terus menutuk ke "Koat-bun-hiat" di bawah ketiaknya. Anehnya tongkat bambu itu bergetar terus dan tidak lantas ditutukkan, bila Po-ting-te mengerahkan tenaga untuk mendorong batu, sekali tongkat itu ditusukkan, tentu Po-ting-te sukar menghindarkan diri.
Keruan Po-ting-te terkesiap, pikirnya, "Ilmu Tiam-hiat orang ini sungguh sangat pandai. Di zaman ini, siapakah gerangan tokoh kosen selihai ini?"
Cepat ia ayun tangan yang lain untuk membelah tongkat bambu orang, sedang tangan lain tetap menahan di atas batu untuk sewaktu-waktu mendorongnya. Namun reaksi Jing-bau-khek itu benar-benar sangat cekatan, sekali tongkatnya berputar, kembali ia ancam "Thian-ti-hiat" di dada lawan.
Secepat kilat Po-ting-te berganti serangan sampai beberapa kali, tapi selalu diatasi lebih dulu oleh tongkat bambu si baju hijau yang tetap mengancam sesuatu tempat Hiat-to berbahaya di tubuhnya.
Pertarungan di antara kaum ahli memang tidak perlu setiap serangan mesti mengenai sasarannya dengan telak. Maka sesudah belasan kali berganti tipu serangan, selalu Jing-bau-khek berhasil membuat Po-ting-te tidak sempat mengerahkan tenaga untuk mendorong batu besar itu. Betapa jitu caranya mengincar Hiat-to, Po-ting-te harus mengakui lawan itu tidak kalah daripada dirinya, bahkan masih di atas adiknya, yaitu Toan Cing-sun.
Sekonyong-konyong Po-ting-te memotong miring ke bawah dengan tangan kiri, menyusul mata telapak tangan itu mendadak berubah dengan tutukan jari. "Cus", ia keluarkan Lwekang It-yang-ci untuk menutuk tongkat lawan. Kalau tutukan ini kena, jangankan hanya tongkat bambu, biarpun tongkat baja juga akan dibuatnya bengkok.
Bab 12
Tak tersangka, tiba-tiba tongkat bambu orang itu pun bergerak, "cus", tongkat itu menutuk ke arahnya hingga kedua tenaga tutukan itu saling bentur di udara.
Kontan Po-ting-te tergetar mundur setindak, sebaliknya Jing-bau-khek juga tergeliat. Muka Po-ting-te sekilas memerah, sebaliknya wajah Jing-bau-khek sekilas bersemu hijau, namun sama lantas lenyap dalam sekejap saja.
Sungguh heran Po-ting-te tak terkatakan. Pikirnya, "Ilmu silat orang ini sangat tinggi, bahkan sudah terang satu sumber dengan diriku. Jelas kelihatan ilmu permainan tongkatnya ini ada hubungannya dengan It-yang-ci."
Karena itu, segera ia memberi hormat dan bertanya, "Siapakah nama Cianpwe yang terhormat, sudilah kiranya memberi tahu?"
"Kau ini Toan Cing-beng atau Toan Cing-sun?" terdengar suara mendenging berbalik tanya padanya.
Melihat mulut orang tanpa bergerak, tapi dapat bicara, Po-ting-te menjadi lebih heran, sahutnya, "Aku Toan Cing-beng!"
"Hm, jadi kau inilah raja Po-ting-te negeri Tayli sekarang?" jengek orang aneh itu.
"Benar," sahut Po-ting-te.
"Sesudah pertandingan barusan, ilmu silat kita siapa lebih tinggi?" tiba-tiba Jing-bau-khek itu tanya.
Untuk sejenak Po-ting-te berpikir, lalu menjawab, "Bicara tentang ilmu silat, memang engkau lebih menang sedikit. Tetapi kalau bergebrak sungguh-sungguh, aku bisa mengalahkan engkau."
"Benar," Jing-bau-khek itu mengaku, "betapa pun karena badanku sudah cacat. Ai, sungguh tidak nyata bahwa sesudah menjadi raja, sedikit pun engkau tidak telantarkan ilmu silatmu."
Walaupun suaranya keluar dari perutnya dengan nada yang aneh, tapi tetap dapat terdengar ucapannya yang terakhir itu penuh mengandung rasa bimbang, sesal dan kecewa.
Karena tak bisa menerka asal usul orang, dalam sekejap itu benak Po-ting-te berputar macam-macam tanda tanya.
Saat itulah, tiba-tiba dari dalam rumah batu berkumandang keluar suara jeritan seorang yang keras dan serak. Itulah suara Toan Ki.
Cepat Po-ting-te berseru, "Ki-ji, kenapa kau? Jangan khawatir, segera dapat kutolongmu!"
Kiranya sehabis makan kedua ekor Bong-koh-cu-hap mestika itu, semula Toan Ki memang merasa agak segar. Tak tersangka sepasang katak merah itu adalah makhluk ajaib yang jarang terdapat di alam semesta ini, hidupnya berkat hawa Yang atau positif (lelaki) yang murni. Bila yang memakannya itu adalah Bok Wan-jing, maka dengan pembauran hawa Im dan Yang, seketika racun yang berkobar di dalam tubuh si gadis akan dapat dihapus.
Tapi sekarang yang memakannya adalah Toan Ki yang bertenaga Yang juga, tenaga kaum lelaki. Memangnya hawa Yang itu sedang bergolak di dalam tubuh Toan Ki, sekarang ditambah hawa Yang murni dari Cu-hap, keruan sebentar saja hawa Yang katak-katak itu bekerja, keadaan Toan Ki menjadi mirip api disiram minyak, saking panas oleh bergolaknya hawa Yang itu, sampai akhirnya Toan Ki hanya megap-megap dengan mulut menganga, dengan demikian dapatlah hawa yang bergolak di dalam tubuh itu sekadar dikeluarkan.
Tentang percakapan antara Po-ting-te dan Jing-bau-khek itu di luar rumah batu serta Po-ting-te menyuruhnya jangan khawatir segala, Toan Ki hanya dapat mendengarnya, tapi tidak sadar lagi akan maksudnya.
"Hm, Siaucu ini boleh juga dasar imannya, setelah minum 'Im-yang-ho-hap-san' ternyata masih mampu bertahan sampai sekarang," demikian tiba-tiba Jing-bau-khek berkata.
Keruan Po-ting-te kaget, tanyanya ragu, "Kau ... kau beri racun sejahat dan secabul itu, apa maksud tujuanmu sebenarnya?"
"Di dalam rumah ini terdapat pula adik perempuannya," sahut Jing-bau-khek.
Maka mengertilah Po-ting-te akan muslihat keji orang. Sekalipun biasanya ia sangat sabar, kini ia tak tahan lagi, dengan ilmu It-yang-ci yang mahalihai itu menutuk. Segera Jing-bau-khek membalasnya dengan tongkat bambunya.
Menyusul tutukan kedua Po-ting-te dilancarkan pula, kali ini mengarah "Tan-cong-hiat" di dada lawan. Hiat-to ini adalah tempat yang mematikan, ia menduga musuh tentu akan menangis sepenuh tenaga.
Tak tersangka Jing-bau-khek itu hanya mendengus dua kali, ia tidak menangkis juga tidak berkelit, ia membiarkan dadanya ditutuk. Dalam pada itu jari Po-ting-te sudah menyentuh baju orang, ia menjadi curiga melihat lawannya terima saja diserang, segera ia tahan tutukannya itu di tengah jalan sambil tanya, "Kenapa kau rela mati?"
"Kalau aku mati di bawah tanganmu, itulah paling baik, biarlah dosa keluarga Toan dari Tayli akan bertambah lagi setingkat," sahut Jing-bau-khek.
"Siapakah engkau sebenarnya?" tanya Po-ting-te pula.
Dengan perlahan Jing-bau-khek itu mengucap satu kalimat.
Mendengar itu, seketika wajah Po-ting-te berubah hebat, katanya dengan terputus-putus, "Ak ... aku tidak percaya!"
Tiba-tiba Jing-bau-khek oper tongkat bambunya ke tangan kiri, lalu jari telunjuk tangan kanan menutuk ke arah Po-ting-te. Namun cepat Po-ting-te mengegos ke samping, berbareng balas menutuk sekali.
"Cus", lagi-lagi tutukan kedua Jing-bau-khek itu dilontarkan dengan jari tengah. Dengan sikap prihatin Po-ting-te membalas pula dengan jari tengah pula.
Menyusul Jing-bau-khek menutuk pula dengan jari manis yang menyambar dari samping, kemudian tutukan keempat dilancarkan dengan jari kecil dengan gaya mencukit.
Dengan wajah sungguh-sungguh Po-ting-te membalas semua tutukan itu dengan jari-jari yang sama.
Ketika tutukan kelima kalinya terjadi, kini Jing-bau-khek menggunakan jari jempol dengan gaya menekan ke depan.
Ciong Ling yang menonton di samping menjadi terheran-heran, sifat kanak-kanaknya menjadi timbul lagi hingga lupa rasa takutnya pada Jing-bau-khek itu. Dengan tertawa ia berseru, "He, apakah kalian sedang main sut-sutan)? Siapakah yang menang?"
Sembari berkata, Ciong Ling berjalan mendekati. Tapi sekonyong-konyong serangkum angin keras menyambar ke arahnya, seketika dadanya sesak seakan-akan ditikam senjata tajam.
Untung Po-ting-te sempat ayun sebelah tangannya hingga tubuh Ciong Ling dapat didorong mundur, menyusul Po-ting-te sendiri pun melesat mundur untuk memegang badan si gadis dengan wajah guram, katanya, "Apakah kau sudah tidak sayang pada jiwamu lagi?"
"Huak," terus saja Ciong Ling tumpahkan darah segar, dengan tercengang ia menjawab, "Ap ... apa dia hendak membunuhku?"
"Bukan," sahut Po-ting-te. "Aku sedang mengadu kepandaian dengan dia, orang luar tidak boleh sembarangan mendekat."
Habis itu, Po-ting-te urut beberapa kali punggung Ciong Ling hingga pernapasan gadis itu lancar kembali.
"Sekarang kau percaya tidak?" demikian Jing-bau-khek bertanya pada Po-ting-te.
Segera Po-ting-te melangkah maju, ia memberi hormat dan berkata, "Toan Cing-beng memberi hormat pada Cianpwe."
"Kau panggil aku Cianpwe, jadi tidak sudi mengakui siapa diriku atau memang belum mau percaya?" tanya Jing-bau-khek itu.
"Cing-beng adalah pemimpin suatu negeri, mempunyai tanggung jawab yang berat, setiap tindak tanduk dengan sendirinya tidak boleh sembrono," demikian jawab Po-ting-te. "Cing-beng sendiri tidak punya anak, Toan Ki itu adalah satu-satunya anak laki-laki keluarga Toan kami, maka mohon Cianpwe suka memberi ampun dan lepaskan dia."
"Tidak, aku justru ingin keluarga Toan rusak moral dan runtuh iman, hilang anak putus turunan. Dengan susah payah kucari kesempatan dan baru hari ini berhasil, mana boleh sembarangan kubebaskan dia?"
"Toan Cing-beng tidak dapat terima perbuatanmu ini!" seru Po-ting-te dengan suara keras.
"Hehe, kau mengaku sebagai raja Tayli, tapi bagiku kau tidak lebih daripada pemberontak yang rebut kekuasaan. Jika kau berani, boleh kau kerahkan pasukan dan pengawalmu ke sini. Tapi ingin kukatakan padamu, memang kekuatanku tidak bisa melawanmu, namun bila aku mau bunuh si bangsat cilik Toan Ki rasanya teramat mudah."
Wajah Po-ting-te menjadi pucat pasi. Ia tahu apa yang dikatakan orang memang benar, bila dirinya bertambah lagi seorang pembantu, tentu Jing-bau-khek ini takkan mampu melawannya, tapi Toan Ki segera akan menjadi korban, apalagi orang terhitung kaum Cianpwe, mana boleh dirinya melawan orang tua. Maka terpaksa ia tanya, "Habis, cara bagaimana baru engkau bersedia membebaskan Ki-ji?"
"Tidak susah, mudah sekali!" sahut Jing-bau-khek. "Lekas kau jadi Hwesio dan serahkan takhtamu padaku, segera akan kubebaskan Toan Ki."
"Warisan leluhur, mana boleh sembarangan kuberikan pada orang lain?" sahut Po-ting-te.
"Jika begitu, boleh menanti saja, bila Toan Ki dan adik perempuannya sudah melahirkan anak, segera kulepaskan dia," kata Jing-bau-khek.
"Lebih baik lekas kau bunuh dia saja," sahut Po-ting-te.
"Tidak," kata Jing-bau-khek. "Selain itu, masih ada lagi dua jalan."
"Dua jalan apa?" tanya Po-ting-te.
"Pertama, secara mendadak kau serang aku, karena tak sempat jaga diri, dapat kau bunuh aku dengan mudah dan tentu dapat kau tolong keponakanmu itu."
"Aku tidak pernah membokong orang, juga tidak padamu!" ujar Po-ting-te.
"Hm, sekalipun kau hendak kau bokong aku juga belum mampu," sahut Jing-bau-khek. "Dan jalan kedua, boleh kau suruh Toan Ki tempur aku dengan It-yang-ci, asal dia bisa menang, bukankah dia dapat lolos? Hehe, hehe!"
Sungguh gusar Po-ting-te tak terkatakan, namun dia masih dapat mengendalikan diri, katanya pula, "Ki-ji tak tahu ilmu silat, ia tidak pernah belajar ilmu It-yang-ci."
"Putra keluarga Toan tak bisa It-yang-ci? Hah, siapa yang mau percaya!" jengek Jing-bau-khek.
Sejak kecil Ki-ji hanya baca kitab dan tekun beribadat, hatinya welas asih, ia bertekad tidak mau belajar silat," demikian Po-ting-te menjelaskan.
"Huh, kembali seorang laki-laki berhati palsu lagi. Orang demikian kalau menjadi raja Tayli juga takkan menguntungkan rakyatnya, lebih baik lekas dibunuh saja."
"Cianpwe," tiba-tiba Po-ting-te berseru dengan bengis, "kecuali itu tadi, apakah masih ada jalan lain pula?"
"Dahulu kalau aku diberi jalan lain, tentu tak jadi seperti sekarang ini," sahut Jing-bau-khek dingin. "Kalau orang lain tidak memberi jalan padaku, kenapa aku harus memberi jalan padamu?"
Po-ting-te menunduk dan berpikir sejenak, mendadak ia angkat kepala dengan sikap yang penuh kepercayaan, serunya, "Ki-ji, selekasnya aku akan berdaya untuk menolongmu, janganlah kau lupa bahwa kau adalah keturunan keluarga Toan!"
Terdengar Toan Ki berseru menjawab, "Pekhu, lekas masuk ke sini dan ... dan menutuk mati aku saja!"
"Apa? Jadi kau sudah melakukan perbuatan yang merusak kehormatan keluarga Toan kita?" bentak Po-ting-te.
"Tidak! Tapi Titji (keponakan) merasa panas bagai dibakar, tak sanggup ... tak sanggup hidup lagi!"
"Mati atau hidup sudah takdir Ilahi, biarkan saja terjadi apa mestinya!" seru Po-ting-te.
Habis itu ia gandeng tangan Ciong Ling dan melompat lewat pagar pohon.
"Nona cilik, terima kasih engkau telah tunjukkan jalannya, semoga engkau mendapat ganjaran yang pantas," kata Po-ting-te pada Ciong Ling, lalu tinggal pergi kembali ke depan rumah utama tadi.
Dalam pada itu pertarungan yang berlangsung itu sudah mulai kentara kekuatan masing-masing, Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li dan Tiam-jong-san-long Tang Su-kui berdua menempur Lam-hay-gok-sin sudah jelas di atas angin. Sebaliknya Jay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bak-seng Cu Tan-sin yang mengerubut Yap Ji-nio malah terdesak oleh golok tipis tokoh kedua Su-ok itu.
Si Pek-hong tampak putar kebutnya dengan kencang hingga sepasang Siu-lo-to lawannya susah menembus pertahanannya.
Di sebelah sana In Tiong-ho masih main udak-udakan dengan Pah Thian-sik. Napas In Tiong-ho tampak megap-megap bagai kerbau sekarat, sebaliknya Thian-sik masih dapat melompat dan melejit dengan enteng dan cekatan.
Sedang Sian-tan-hou Ko Sing-thay tetap acuh tak acuh menggendong tangan mondar-mandir di samping, nyata ia sudah yakin akan kemenangan di pihaknya, maka terhadap pertarungan sengit di depannya itu dianggapnya sepi saja. Padahal ia justru pasang telinga dan mata memusatkan antero perhatiannya mengikuti situasi medan pertempuran, asal tidak ada kawannya menghadapi bahaya, ia pun tidak perlu turun tangan membantu.
Dan karena tidak melihat adik pangerannya berada di situ, segera Po-ting-te tanya, "Ke mana adik Sun pergi?"
"Tin-lam-ong mengejar Ciong-kokcu dan sedang mencari Toan-kongcu," sahut Sing-thay.
Segera Po-ting-te berseru, "Kita sudah ada rencana lain, harap semua mundur dulu."
Mendadak Pah Thian-sik berhenti lari. Tapi In Tiong-ho masih terus menubruk ke arahnya. "Plak", cepat Thian-sik melontarkan pukulan ke belakang. Ketika In Tiong-ho menangkis, kontan dada terasa sesak, darah hampir tersembur keluar dari mulutnya. Sekuatnya ia tahan, namun pandangannya menjadi remang-remang, susah lagi melihat datangnya lawan.
Untung Thian-sik tidak menghantam lebih jauh, sebaliknya cuma menjengek dan berkata, "Terima kasih!"
Dalam pada itu, tampak Toan Cing-sun telah muncul juga dari semak-semak pohon sana, segera ia tanya, "Hong-heng, apakah Ki-ji sudah ... sudah ditemukan?"
Sebenarnya ia hendak tanya apakah sudah "tertolong", tapi karena tidak melihat Toan Ki, ia tanya apakah sudah diketemukan atau belum.
"Sudah ketemu," sahut Po-ting-te mengangguk. "Marilah kita pulang saja dahulu."
Mendengar perintah "gencatan senjata" raja mereka, Leng Jian-li dan kawan-kawannya lantas hendak berhenti. Namun Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan Cin Ang-bian sedang bernafsu melabrak lawannya, seketika mereka tidak rela berhenti begitu saja.
Po-ting-te bekernyit kening melihat itu, katanya pula, "Marilah kita pergi saja!"
Ko Sing-thay mengiakan, berbareng ia keluarkan senjata "Giok-tik" atau seruling kemala, sekali bergerak, segera punggung Cin Ang-bian ditutuknya.
"Huh, tidak malu, main keroyok!" damprat Ang-bian dengan gusar sambil menangkis.
Maka terdengarlah suara "crang-cring" dua kali, sepasang Siu-lo-to kena ditekan ke bawah, kesempatan mana segera digunakan Si Pek-hong untuk melompat mundur.
Menyusul Ko Sing-thay kebas lengan bajunya yang longgar itu hingga berjangkit serangkum angin keras, ia tahan agar Cin Ang-bian tidak menyerang lebih jauh lawannya, lalu serulingnya menutuk pula ke arah Lam-hay-gok-sin, dan sekali serulingnya membalik, kini Yap Ji-nio yang diincar.
Kedua gerak serangan itu semuanya menyerang titik kelemahan musuh yang terpaksa mesti menghindar. Maka Lam-hay-gok-sin dan Yap Ji-nio menjadi kaget, cepat mereka melompat mundur beberapa tindak.
Sebenarnya ilmu silat Ko Sing-thay tidak lebih tinggi daripada ketiga lawannya itu, soalnya sudah lama dia mengikuti pertarungan mereka dari samping, sebelumnya ia sudah merencanakan tipu serangan hebat untuk melayani ketiga orang itu. Asal tipu serangan yang sudah disiapkan lebih dulu itu dilontarkan, seketika ketiga orang itu pasti kelabakan dan terpaksa melompat mundur.
Mendelik mata Lam-hay-gok-sin yang bundar kecil sebesar kacang itu, ia terkejut tercampur kagum, serunya, "Setan, hebat benar, sungguh tidak nyana ...."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya yang bermaksud "tidak nyana begini lihai kepandaianmu, rasanya aku memang bukan tandinganmu."
Dalam pada itu Si Pek-hong lantas tanya Po-ting-te, "Hong-heng, bagaimana dengan Ki-ji?"
Meski dalam batin Po-ting-te sangat khawatir, namun lahirnya ia tetap tenang saja, sahutnya, "Tidak apa-apa, saat ini justru adalah kesempatan yang paling bagus untuk menggemblengnya, lewat beberapa hari lagi tentu dia akan bebas."
Habis berkata, segera ia putar tubuh dan mendahului berangkat.
Cepat Sugong Pah Thian-sik berlari ke depan sebagai pembuka jalan. Sedang suami istri Toan Cing-sun menyusul di belakang Po-ting-te, lalu para pengiring dan tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, paling akhir adalah Ko Sing-thay yang mengawal dengan berlenggang seenaknya.
Nyata, dengan serangan yang lihai tadi, Ko Sing-thay telah bikin lawan-lawannya merasa jeri. Biarpun Lam-hay-gok-sin biasanya sangat garang dan buas, kini juga tidak berani sembarangan menantang pula.
Setelah belasan tindak berjalan, tiba-tiba Toan Cing-sun menoleh dan memandang Cin Ang-bian. Saat itu, dengan termangu-mangu Ang-bian juga sedang memandang bekas kekasihnya itu. Dua pasang mata ketemu, seketika mereka sama terkesima.
"Keparat!" mendadak Lam-hay-gok-sin membentak, "Apakah kau masih belum mau pergi dan ingin berkelahi pula dengan Locu (bapakmu)?"
Toan Cing-sun kaget, cepat ia berpaling kembali, ia lihat sang istri sedang memandangnya dengan sikap dingin, dengan kikuk lekas ia percepat langkah dan keluar Ban-jiat-kok.
Sesudah rombongan sampai di Tayli, Po-ting-te berkata, "Mari kita berkumpul semua di istana untuk berunding!"
Sampai di pendopo istana, Po-ting-te duduk di tengah, Toan Cing-sun suami istri di sisinya, sedang Ko Sing-thay dan lain-lain hanya berdiri.
Segera Po-ting-te suruh dayang membawakan kursi dan suruh semua orang ikut duduk. Habis itu, ia perintahkan semua dayang keluar ruangan, lalu menceritakan keadaan Toan Ki yang dikurung oleh musuh itu.
Mendengar itu, semua orang tahu bahwa kunci dari mati hidup Toan Ki terletak pada diri Jing-bau-khek itu. Tapi demi mendengar Po-ting-te bilang orang aneh itu pun paham It-yang-ci, bahkan lebih lihai daripada sang raja, keruan tiada seorang pun yang berani sembarangan buka suara.
Sebab harus diketahui bahwa It-yang-ci adalah ilmu khas warisan keluarga Toan turun-temurun, hanya diajarkan pada anak laki-laki dan tidak kepada anak perempuan. Dan kalau Jing-bau-khek itu pun mahir ilmu sakti itu, dengan sendirinya dia pasti juga berasal dari keturunan keluarga Toan.
Sedang semua orang menunduk berpikir, Po-ting-te berkata pada Toan Cing-sun, "Adik Sun, coba kau terka siapakah gerangan orang itu?"
Cing-sun geleng kepala, sahutnya, "Aku tidak bisa menebaknya, barangkali orang dari Cing-peng-si kembali menjadi orang preman dan menyamar?"
"Bukan," sahut Po-ting-te, "dia adalah Yan-king Taycu!"
Mendengar nama "Yan-king Taycu" atau putra mahkota Yan-king itu, seketika semua orang terkejut.
"Yan-king Taycu?" Cing-sun menegas. "Bukankah sudah lama dia meninggal? Besar kemungkinan orang itu memalsukan beliau untuk menipu belaka."
"Nama orang bisa dipalsu, apakah It-yang-ci juga dapat dipalsu?" sahut Po-ting-te dengan menghela napas. "Memang banyak juga orang Bu-lim mencuri belajar ilmu silat aliran lain, akan tetapi rahasia Lwekang It-yang-ci kita cara bagaimana bisa dicurinya? Maka menurut pendapatku, orang ini pastilah Yan-king Taycu adanya, hal ini tidak perlu disangsikan lagi."
Cing-sun pikir sejenak, lalu berkata, "Jika Toako sudah jelas mengenalnya, ini berarti dia tokoh pilihan keluarga Toan kita, tapi sebab apa dia malah hendak merusak nama baik keluarga kita sendiri?"
"Orang ini cacat badan, dengan sendirinya sifat-sifatnya sangat menyendiri dan aneh, segala tindak tanduk dengan sendirinya juga abnormal," demikian Po-ting-te menjelaskan. "Apalagi takhta kerajaan Tayli sudah kududuki, dengan sendirinya ia tidak senang, maka kita berdua hendak dihancurkannya habis-habisan."
"Toako sudah lama naik takhta dan didukung penuh oleh seluruh rakyat, negara pun aman tenteram, rakyat hidup sejahtera, jangankan Yan-king Taycu datang kembali, sekalipun Siang-tek-te hidup kembali juga sukar menggantikan takhta Toako," demikian ujar Cing-sun.
Segera Ko Sing-thay juga bangkit, dan berdatang sembah, "Apa yang dikatakan Tin-lam-ong memang tepat. Urusan akan menjadi beres bila Yan-king Taycu mau bebaskan Toan-kongcu dengan baik-baik, kalau tidak, kita pun tidak kenal lagi apakah dia itu Taycu apa segala, kita hanya anggap dia sebagai kepala Su-ok yang mahajahat serta pantas dibasmi. Biarpun ilmu silatnya tinggi, akhirnya juga takkan mampu lawan kita yang berjumlah lebih banyak."
Kiranya pada masa 14 tahun yang lalu, tatkala itu raja Tayli Toan Lian-cit dengan gelar Siang-tek-te, telah dibunuh oleh menteri dorna Nyo Cit-ceng. Kemudian keponakan sang raja dapat membasmi pemberontakan Nyo Cit-ceng, lalu naik takhta sendiri dengan gelar Siang-beng-te.
Tapi Siang-beng-te tidak suka menjadi raja, ia hanya bertakhta satu tahun, lalu mengundurkan diri untuk menjadi Hwesio, ia serahkan takhtanya kepada adik sepupunya Toan Cing-beng, yaitu Po-ting-te yang sekarang.
Siang-tek-te sebenarnya mempunyai seorang putra kandung yang disebut oleh para menteri dengan gelar Yan-king Taycu. Tapi sewaktu terjadi kudeta oleh Nyo Cit-ceng, Yan-king Taycu telah menghilang hingga semua orang menyangka dia juga dibunuh oleh pemberontak. Siapa duga setelah belasan tahun lamanya, kini mendadak muncul kembali.
Maka sesudah mendengar pendapat Ko Sing-thay tadi, Po-ting-te berkata sambil geleng kepala, "Tidak, aku tidak setuju. Takhtaku ini memangnya adalah hak Yan-king Taycu. Tatkala itu disebabkan dia menghilang, makanya Siang-beng-te menerima takhta ini, kemudian diserahkan padaku. Tapi kini kalau Yan-king Taycu sudah kembali, takhta kerajaan ini sepantasnya kukembalikan padanya."
Lalu ia menatap Ko Sing-thay dan menyambung, "Andaikan mendiang ayahmu masih hidup, tentu ia pun sependapat denganku."
Kiranya Ko Sing-thay ini tak-lain tak-bukan adalah putranya Ko Ti-sing, itu menteri setia yang membantu Siang-tek-te membasmi pemberontakan.
Segera Ko Sing-thay melangkah maju, ia menyembah dan bertutur pula, "Mendiang ayahku membaktikan dirinya kepada negara dan cinta pada rakyat. Padahal Jing-bau-khek ini mengaku sebagai kepala dari Su-ok yang mahajahat, kalau dia yang merajai negeri Tayli ini, maka susah dibayangkan betapa celakanya rakyat jelata akan menderita akibat angkara murkanya itu. Maka pendapat Hongsiang tentang akan menyerahkan takhta padanya, hamba sekalipun mati tak bisa terima."
Cepat Leng Jian-li pun menyembah, katanya, "Tadi Jian-li juga mendengar gembar-gembor Lam-hay-gok-sin itu, katanya kepala Su-ok mereka berjuluk 'kejahatan sudah melebihi takaran'. Coba pikiran, andaikan benar orang itu adalah Yan-king Taycu, lalu Hongsiang menyerahkan takhta ini kepada seorang yang kejam dan durhaka seperti dia untuk memerintah rakyat Tayli ini, maka pastilah negara akan hancur dan rakyat akan celaka!"
"Harap kalian bangun, apa yang kalian katakan memang ada benarnya juga," sahut Po-ting-te. "Cuma Ki-ji berada dalam cengkeramannya, kecuali kuserahkan takhta padanya, jalan lain rasanya tiada lagi."
"Toako," kata Cing-sun, "selama ini kita kenal peraturan 'orang tua ada kesulitan, yang muda harus berusaha menolong'. Meski Ki-ji sangat disayang oleh Toako, mana boleh Toako rela melepaskan takhtamu hanya untuk keselamatannya seorang? Andaikan Ki-ji dapat diselamatkan, rasanya ia pun merasa berdosa pada rakyat negeri Tayli ini."
Po-ting-te tidak berkata pula, ia bangkit sambil berjalan mondar-mandir di ruangan pendopo itu, tangan kiri mengelus jenggot, tangan lain ketuk-ketuk perlahan jidat sendiri.
Semua orang tahu bila sang raja sedang menghadapi sesuatu kesulitan, selalu dia memeras otak seperti demikian, maka tiada seorang pun yang berani bersuara mengganggu.
Sesudah mondar-mandir agak lama, kemudian berkatalah Po-ting-te, "Perbuatan Yan-king Taycu ini benar-benar keji sekali, racun 'Im-yang-ho-hap-san' yang dia minumkan pada Ki-ji itu sangat lihai, orang biasa sangat sukar bertahan. Maka kukhawatir saat ini Ki-ji sudah ... sudah khilaf oleh pengaruh racun serta sudah berbuat .... Ai, tapi kejadian ini adalah muslihat yang sengaja diatur musuh, tak dapat menyalahkan Ki-ji."
Toan Cing-sun menunduk dengan rasa malu, sebab, kalau soal ini diungkat secara mendalam, semuanya adalah gara-gara perbuatannya sendiri yang sok bangor itu.
Tiba-tiba Po-ting-te berpaling pada Ko Sing-thay dan tanya, "Sing-thay, tahun ini putrimu itu berusia berapa?"
"Siauli (putriku) tahun ini berumur delapan belas," sahut Sing-thay.
"Bagus!" ujar Po-ting-te. Lalu ia berkata lagi kepada Cing-sun, "Sun-te, kita tetapkan untuk melamar putri Sian-tan-hou sebagai menantu. Pah-sugong, harap kau pergi ke bagian protokol untuk mengatur peresmian lamaran ini serta menyediakan emas kawin yang diperlukan. Peristiwa ini harus dirayakan semeriahnya hingga setiap pelosok negeri Tayli ini mengetahui semua."
Suami-istri Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan Pah Thian-sik merasa keputusan itu terlalu mendadak datangnya. Namun segera mereka pun paham bahwa tindakan Po-ting-te ini adalah demi nama baik keluarga serta kehormatan Toan Ki yang masih suci bersih itu.
Asal setiap orang di seluruh negeri sudah tahu bahwa istri Toan Ki adalah putri Sian-tan-hou Ko Sing-thay, sekalipun kemudian Yan-king Taycu menyebarkan desas-desus bahwa Toan Ki mengadakan hubungan tak susila dengan adik perempuannya sendiri, tentu orang luar akan menganggapnya sebagai dusta dan fitnah belaka, paling-paling juga cuma setengah percaya setengah tidak.
Maka Toan Cing-sun menjawab, "Siasat Hong-heng ini memang sangat bagus. Sudah lama kudengar putri Sian-tan-hou cantik molek, pintar lagi berbakti, sungguh seorang istri yang susah dicari. Tetapi tabiat Ki-ji agak aneh juga, maka lebih baik kita tunggu kalau dia sudah lolos dari bahaya, kemudian beri tahukan hal ini padanya, lalu mengatur emas kawin untuk memastikan perjodohan ini."
"Sudah tentu aku pun tahu watak Ki-ji memang suka bandel," ujar Po-ting-te. "Misalnya waktu kita hendak ajarkan It-yang-ci padanya, tapi betapa pun ia tidak mau belajar, sungguh seorang yang tidak tahu adat. Tapi mengenai perjodohan, selamanya harus tunduk pada pilihan orang tua, masakah dalam hal ini ia berani membangkang perintah kalian suami istri? Apalagi hal ini demi menyelamatkan nama baik keluarga Toan, demi kehormatan selama hidupnya, bagaimanapun ia tidak boleh membangkang."
"Kabarnya putri Ko-hiante itu badannya rada lemah, maka urusan ini paling baik dirundingkan lebih masak dulu," ujar Cing-sun.
Po-ting-te merasa alasan adik pangeran itu terlalu dicari-cari, maka katanya pula, "Soal badan lemah bukan soal penting. Ilmu silat Ko-hiante begitu tinggi, asal dia ajarkan sedikit kepandaian Lwekang, dalam waktu singkat tentu badannya akan sehat kuat."
"Namun ... namun ....." kata Cing-sun.
"Sun-te," demikian Po-ting-te memotong sebelum adik pangeran itu bicara lebih lanjut, "sejak tadi kau selalu menolak saja, sebenarnya apa maksudmu? Apakah dalam hatimu ada sesuatu yang kurang senang terhadap Ko-hiante?"
"O, tidak, tidak!" cepat Cing-sun menjawab. "Hubungan Ko-hiante denganku laksana saudara sekandung. Kalau kami berdua dapat besanan lagi, tentu lebih bagus. Ehm, ka ... kabarnya Pah-sugong juga mempunyai seorang putri dan Hoan-suma juga ada dua anak perempuan. Marilah kita pun ajukan mereka itu sebagai calon."
Thian-sik tertawa, katanya, "Tapi anak Thian-sik itu baru lahir tahun yang lalu, sampai sekarang pun usianya belum genap setahun. Sedang kedua putrinya Hoan-suma, yang satu adalah menantuku yang tertua, sedang yang lain konon sudah bertunangan, yaitu mendapat putra sulung Hoa-suto."
Po-ting-te menjadi kurang senang juga atas sikap adiknya itu, segera katanya pula, "Sun-te, percumalah engkau sama bertugas dengan Thian-sik bertiga, masakah urusan mereka itu sedikit pun tak kau ketahui?"
Melihat kakak bagindanya rada gusar, Cing-sun tidak berani buka mulut lagi.
"Tin-lam-ongya," tiba-tiba Sing-thay berkata, "sejak kecil Sing-thay sudah bergaul dengan Ongya, hubungan kita boleh dikatakan melebihi saudara sekandung, di antara kita biasanya tidak pernah kenal istilah rahasia, maka sudilah katakan bila ada dengar sesuatu yang menjelekkan nama baik putriku hingga terasa tidak sesuai untuk menjadi menantumu? Jika benar begitu, hendaklah katakan terus terang, Sing-thay tak nanti merasa tersinggung."
Cing-sun agak ragu, tapi kemudian berkata, "Jika demikian, biarlah Cing-sun bicara, tapi harap Ko-hiante jangan marah."
"Silakan Ongya bicara terus terang saja," sahut Sing-thay.
"Begini," kata Cing-sun dengan merandek sejenak, "sejak kecil putrimu sudah kehilangan ibu, betapa pun Hiante rada memanjakan dia. Konon watak putrimu sangat keras, suka turuti kemauan sendiri. Kabarnya dia sudah mendapat seluruh ilmu silat Hiante, bahkan katanya lebih hebat daripadamu. Jika begitu, kelak bila dia sudah menjadi menantuku, mungkin ... mungkin, hehe, aku menjadi khawatir kalau Ki-ji akan menderita selama hidupnya. Ki-ji sedikit pun tidak suka ilmu silat dan melulu mahir beberapa langkah 'Leng-po-wi-poh' itu untuk berlari kian kemari di dalam kamar guna menghindarkan hajaran putrimu, hidup demikian bukankah tiada artinya lagi."
Po-ting-te terbahak-bahak oleh keterangan itu, katanya, "Sun-te, sebabnya kau ragu-ragu kiranya melulu soal demikian saja."
Cing-sun melirik Si Pek-hong sekejap, lalu menyahut dengan tertawa, "Toako, adik iparmu selalu selisih paham denganku, pada waktu cekcok, untung kepandaian kami berdua sama kuatnya hingga Siaute tidak sampai dihajar olehnya, kalau sebaliknya, wah, bisa runyam."
Mendengar itu, mau tak mau semua orang tersenyum geli juga.
Dengan dingin Si Pek-hong berkata, "Asal Ki-ji dapat mempelajari It-yang-ci keluarga Toan, tentu tiada tandingannya di dunia ini, biarpun dia menikah dengan lima atau sepuluh perempuan bawel juga tidak perlu takut."
Di balik kata-katanya itu terang ia sengaja berolok-olok "It-yang-ci."
Namun Cing-sun hanya tersenyum saja tanpa menjawab.
Segera Ko Sing-thay bicara pula, "Siauli (putriku) meski benar kurang mendapat didikan, tapi rasanya juga takkan berbuat sembarangan. Sing-thay sudah banyak menerima budi, tidak berani menerima budi lebih besar lagi dari Hongsiang dan Tin-lam-ong."
Po-ting-te tertawa, katanya, "Jika putrimu bisa bantu menghajar sedikit anak kami yang suka bikin gara-gara itu, kami bersaudara justru merasa sangat berterima kasih, itu berarti putrimu telah berjasa mendidik anak kami itu. Sing-thay, siapa nama anak itu? Apakah benar rada ... rada keras wataknya?"
"Putri hamba bernama 'Bi', hanya satu huruf saja," sahut Sing-thay. "Sejak kecil ia tidak pernah keluar rumah, tabiatnya sangat ramah. Mungkin ada orang yang dendam pada Sing-thay, maka sengaja menyebarkan kabar tidak benar itu dan dapat didengar Ongya."
Nyata dia menjadi kurang senang karena mendengar Tin-lam-ong menyatakan watak putrinya kurang baik.
Maka cepat Cing-sun mendekati Ko Sing-thay, ia gandeng tangan kawan karib itu dan berkata dengan tertawa, "Ko-hiante, aku tadi salah omong, hendaklah engkau jangan pikirkan lebih jauh."
"Nah, urusan boleh diputuskan demikian," kata Po-ting-te kemudian dengan tersenyum. "Thian-sik, aku menugaskanmu sebagai Lap-jay-su, supaya kau bisa menarik komisi sebagai comblang dari kedua belah pihak."
Lap-jay-su atau duta pengantar emas kawin di kalangan kerajaan adalah sama dengan comblang di kalangan rakyat jelata. Kalau urusan selesai, umumnya dari pihak pengantin laki-laki dan perempuan akan memberi hadiah cukup besar.
Maka dengan tertawa Pah Thian-sik menerima tugas itu sambil mengucapkan terima kasih.
"Segera kau teruskan perintahku pula agar Han-lim-ih (bagian perpustakaan) mencatat dalam buku silsilah, aku mengangkat adikku Cing-sun sebagai Hong-thay-te (adik pangeran mahkota)," demikian perintah Po-ting-te lebih lanjut.
Cing-sun terperanjat, cepat ia berlutut menyembah, "Usia Toako masih muda, kesehatan kuat, luhur budi dan bijaksana, tentu akan diberkahi Thian yang mahakuasa dengan keturunan banyak, maka keputusan tentang Hong-thay-te ini hendaklah ditunda dahulu."
Po-ting-te bangunkan adik pangeran itu, katanya, "Kita bersaudara adalah dwitunggal, dua badan satu jiwa. Nasib negeri Tayli ini terletak di tangan kita berdua, jangankan aku memang tidak punya anak, sekalipun punya keturunan juga takhtaku kelak akan kuturunkan padamu. Sun-te, keputusanku sudah lama tersirat dalam hatiku, pula rakyat di seluruh negeri pun sudah lama tahu, hari ini hanya kutetapkan secara resmi saja, biar Yan-king Taycu yang bertujuan jahat itu hilang harapannya!"
Karena berulang menolak tetap tak diizinkan, akhirnya terpaksa Cing-sun menerima dengan baik serta mengaturkan terima kasih pada Hongsiang.
Segera Ko Sing-thay dan lain-lain saling memberi selamat kepada Toan Cing-sun.
Perlu diketahui bahwa Po-ting-te sendiri memang tidak punya keturunan, maka sudah bukan rahasia lagi bahwa kelak yang akan menggantikannya pasti Tin-lam-ong, hal ini sama sekali tidak mengherankan mereka.
Dengan tertawa Pah Thian-sik memberi tangan juga kepada Ko Sing-thay, maksudnya memberi selamat bahwa bila kelak Toan Ki menggantikan takhta ayahnya, dengan sendirinya putrimu adalah permaisuri, maka uang jasaku sebagai comblang ini harus istimewa.
Akhirnya Po-ting-te berkata, "Sekarang silakan semua pergi mengaso. Tentang urusan Yan-king Taycu itu harap jangan sampai bocor."
Semua orang mengiakan dan memberi hormat lalu mengundurkan diri.
Setelah dahar, Po-ting-te tidur siang sebentar. Ketika bangun, ia dengar di luar ramai dengan suara musik yang meriah, suara letusan mercon bergemuruh di mana-mana. Dayang yang melayaninya itu memberi laporan, "Oleh karena putra Tin-lam-ong mengirim Lap-jay kepada putri Sian-tan-hou, maka di luar istana rakyat ikut merayakannya dengan meriah."
Perlu diketahui bahwa tatkala itu seluruh negeri Tayli dalam keadaan aman tenteram dengan pemerintahan yang bijaksana, rakyat hidup makmur sejahtera, maka dukungan rakyat kepada raja, Tin-lam-ong, Sian-tan-hou dan para pembesar lain, luar biasa besarnya. Ketika mendengar keluarga Toan dan Ko besanan, segenap penduduk kota Tayli ikut riang gembira.
Segera Po-ting-te memberi perintah, "Sampaikan titahku agar besok dimeriahkan dengan membakar kembang api, segala larangan di kota Tayli dicabut untuk sementara, semua angkatan bersenjata diberi cuti agar bisa ikut merayakan, orang tua dan anak piatu diberi hadiah tersendiri."
Ketika titah raja itu disampaikan kepada umum, segenap rakyat Tayli seketika makin bersorak-sorai gembira.
Menjelang petang, Po-ting-te menyamar dengan pakaian preman dan keluar sendirian. Ia tarik topinya yang lebar itu ke bawah hingga hampir menutupi matanya, dengan demikian orang lain sukar mengenalnya. Sepanjang jalan ia lihat rakyat menyanyi dan menari dengan riangnya, laki-perempuan, tua-muda hilir mudik dengan ramai.
Betapa bersyukurnya Po-ting-te menyaksikan negerinya yang sentosa itu. Diam-diam ia berdoa, "Semoga rakyat negeri Tayli turun-temurun senantiasa diberkahi kegembiraan seperti ini, maka aku Toan Cing-beng sekalipun tidak punya keturunan juga takkan menyesal."
Sesudah keluar kota, langkah Po-ting-te lantas dipercepat, makin lama makin sunyi tempat yang dituju, kira-kira belasan li jauhnya, setelah melintasi beberapa lereng bukit, sampailah di suatu kelenteng kuno kecil, di atas papan kelenteng itu tertulis tiga huruf "Liam-hoa-si" atau kelenteng petik bunga.
Po-ting-te berhenti di depan kelenteng sambil berdoa sejenak, lalu mengetuk pintu dengan perlahan.
Tidak lama, pintu dibuka dan muncul seorang Hwesio kecil, tanyanya sambil memberi hormat, "Ada keperluan apakah kunjungan tuan tamu ini?"
"Harap sampaikan pada Ui-bi Taysu, katakan sobat lama Toan Cing-beng mohon bertemu," sahut Po-ting-te.
"Silakan masuk," kata padri cilik itu.
Po-ting-te dibawa ke ruangan tengah melalui suatu pekarangan yang sunyi, kata padri kecil itu, "Harap tuan tamu suka menunggu sebentar, biar kulaporkan kepada Suhu."
Po-ting-te mengiakan, ia mondar-mandir di ruangan itu sambil menggendong tangan.
Selama hidup Po-ting-te tidak pernah berdiri di luar rumah untuk menunggu orang, yang selalu terjadi ialah orang lain menanti di luar istana hendak menghadap padanya. Namun begitu, ternyata sedikit pun ia tidak gelisah, ia tetap menanti dengan sabar di dalam kelenteng yang seakan-akan memberi rahmat padanya itu, sama sekali ia lupa bahwa dirinya adalah seorang raja.
Agak lama kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara seorang tua berkata dengan tertawa, "Toan-hiante, rupanya engkau sedang dirundung sesuatu kesulitan?"
Waktu Po-ting-te menoleh, terlihatlah seorang padri tua bermuka sudah penuh keriput, berperawakan tinggi besar, sedang melangkah masuk dari pintu samping.
Kedua alis padri tua ini sangat panjang hingga melambai ke bawah, bulu alisnya bersemu kuning hangus. Ia bukan lain adalah Ui-bi Hwesio yang hendak ditemuinya itu.
Po-ting-te memberi hormat, lalu katanya, "Maafkan mengganggu ketenteraman Taysu."
Ui-bi Hwesio (padri alis kuning) hanya tersenyum, sahutnya, "Mari masuk."
Po-ting-te ikut masuk ke suatu pondok kecil, di situ tampak enam Hwesio setengah umur berjubah abu-abu serentak membungkuk memberi hormat kepada mereka.
Po-ting-te tahu keenam Hwesio itu adalah anak murid Ui-bi Taysu, segera ia membalas hormat mereka, lalu duduk bersila di atas tikar di sisi kiri sana.
Sesudah Ui-bi Hwesio juga duduk di tikar sebelah kanan, Po-ting-te lantas berkata, "Aku mempunyai seorang keponakan bernama Toan Ki, waktu berusia tujuh tahun, pernah kubawa dia ke sini untuk mendengarkan khotbah Suheng."
"Ya, anak itu memang pintar, sungguh anak bagus, anak bagus!" ujar Ui-bi.
"Setelah mendapat rahmat Buddha, wataknya juga welas asih, tidak mau belajar silat, katanya agar tidak membunuh sesamanya," tutur Po-ting-te.
"Tidak bisa ilmu silat juga bisa membunuh orang. Sebaliknya mahir ilmu silat, belum tentu akan membunuh orang," ujar Ui-bi.
Po-ting-te membenarkan. Lalu ia pun bercerita tentang Toan Ki yang bandel, tidak mau belajar silat, minggat dari rumah, lalu berkenalan dengan Bok Wan-jing dan kemudian tertawan oleh Yan-king Taycu yang bergelar "orang jahat nomor satu di jagat" itu.
Dengan tersenyum Ui-bi mendengarkan cerita itu tanpa menyela. Keenam muridnya yang berdiri di belakangnya dengan tangan lurus ke bawah pun diam saja, bahkan bergerak sedikit pun tidak.
Habis Po-ting-te bicara, kemudian Ui-bi berkata dengan perlahan, "Jikalau Yan-king Taycu adalah saudara sepupumu, kau sendiri memang tidak enak bergebrak dengan dia, seumpama kau kirim bawahanmu untuk menghadapi dia dengan kekerasan, rasanya juga tidak pantas, maksudmu demikian bukan?"
Po-ting-te mengangguk, sahutnya, "Suheng memang bijaksana!"
Ui-bi tersenyum, ia tidak berkata pula, tapi mendadak mengulur jari tengah terus menutuk perlahan ke arah dada Po-ting-te.
Po-ting-te tersenyum juga, ia pun ulur jari telunjuknya tepat menutuk ujung jari orang. Seketika tubuh kedua orang sama tergeliat sedikit, lalu menarik kembali tangan masing-masing.
Dengan berkerut kening berkatalah Ui-bi, "Toan-hiante, aku punya Kim-kong-ci-lik toh tidak bisa menangkan It-yang-cimu yang hebat?"
"Tapi dengan kebijaksanaan dan kecerdikan Suheng, tidak perlu menang dengan tenaga jari," ujar Po-ting-te.
Ui-bi tidak berkata pula, ia menunduk berpikir.
Tiba-tiba Po-ting-te bangkit dan berkata, "Sepuluh tahun yang lalu Suheng pernah minta aku membebaskan cukai garam bagi segenap rakyat negeri Tayli. Tapi tatkala itu, karena perbendaharaan negara belum mengizinkan, pula Siaute bermaksud menunggu bila adikku Cing-sun menggantikan takhtaku, barulah aku melaksanakan politik dalam negeri itu agar setiap rakyat jelata berterima kasih kepada adikku. Tetapi kini aku berpikir lain, besok juga Siaute akan memberi perintah pembebasan cukai garam demi kebahagiaan rakyat."
Ui-bi berbangkit juga dan memberi hormat, katanya, "Hiante sudi beramal bagi rakyat seluruh negeri, aku merasa terima kasih tak terhingga."
Lekas Po-ting-te membalas hormat orang, lalu tanpa bicara lagi ia tinggal keluar dari kelenteng itu.
Pulang sampai di istana, segera Po-ting-te memerintahkan dayang mengundang Pah Thian-sik dan Hoa-suto serta memberitahukan kepada mereka tentang keputusan menghapuskan cukai garam itu.
Mengetahui itu, kedua Sugong dan Suto ikut berterima kasih dan memberi pujian atas kebijaksanaan sang raja.
"Dan untuk selanjutnya, segala pembiayaan di dalam istana harus diperkecil dan dihemat," demikian pesan Po-ting-te lebih lanjut. "Sekarang pergilah kalian, coba rundingkan dan periksa secara teliti, apakah ada pengeluaran lain yang dapat dihemat pula."
Segera kedua pejabat tinggi itu mengiakan dan mengundurkan diri.
Meski urusan diculiknya Toan Ki diperintahkan oleh Po-ting-te agar dirahasiakan, namun Hoa-suto dan Hoan-suma adalah orang-orang kepercayaan Po-ting-te, dengan sendirinya tidak perlu dirahasiakan, maka sejak tadi Pah Thian-sik sudah beri tahukan hal itu kepada kedua rekannya itu.
Waktu itu Hoan-suma sedang menantikan kabar apa yang bakal dibawa kembali oleh kedua kawannya yang dipanggil menghadap ke istana itu. Maka sesudah Pah Thian-sik dan Hoa-suto memberitahukan tentang keputusan raja akan membebaskan cukai garam serta menghemat anggaran belanja negara, Hoan-suma ikut bergirang, katanya, "Hoa-toako dan Pah-hiante, sebabnya Hongsiang memutuskan untuk menghapuskan pajak garam, tentunya disebabkan putra Tin-lam-ong masih berada dalam cengkeraman musuh, maka ingin mohon belas kasihan Tuhan agar calon mahkota itu diberi berkah untuk pulang dengan selamat. Kita bertiga sama sekali tak bisa ikut menanggung beban kesukaran junjungan kita, masakah kita masih ada muka menjabat kedudukan setinggi ini di pemerintahan kerajaan?"
"Ucapan Hoan-jiko memang tidak salah, apa barangkali engkau mempunyai tipu daya yang bisa menolong Toan-kongcu?" tanya Thian-sik.
Hoan-suma ini bernama satu huruf "Hua" saja, tabiatnya jenaka, tapi banyak tipu akalnya, maka jawabnya kemudian, "Jika musuh benar-benar adalah Yan-king Taycu, terang Hongsiang tak ingin bermusuhan dengan dia secara terang-terangan. Siaute sih mempunyai suatu akal, cuma diperlukan pengorbanan tenaga Hoa-toako."
"Kalau tenagaku bisa dipakai, masakah aku berani menolak? Lekaslah terangkan tipu akalmu!" sahut Hoa-suto cepat.
"Menurut keterangan Hongsiang," demikian Hoan Hua, "katanya ilmu silat Yan-king Taycu itu lebih tinggi daripada Hongsiang sendiri. Maka bila kita memakai kekerasan, terang takkan dapat menolong Toan-kongcu. Kalau Hoa-toako sudi, dapat juga pekerjaan Hoa-toako yang dulu coba-coba dilakukan lagi sekarang."
Wajah Hoa-suto yang lebar dan rada kekuning-kuningan itu menjadi merah, sahutnya dengan tertawa, "Ah, kembali Jite hendak menggoda aku."
Kiranya Hoa-suto ini asalnya bernama A Kin, meski sekarang berkedudukan tinggi di negeri Tayli, tapi dahulunya berasal dari kaum miskin, sebelum dia mendapat pangkat, kerjanya ialah membongkar kuburan. Kepandaiannya yang paling mahir adalah mencuri isi kuburan keluarga bangsawan dan hartawan. Sebab dalam kuburan orang-orang demikian tentu banyak disertai pendaman harta pusaka. Dan Hoa A Kin lantas menggangsir dari tempat jauh, ia menggali satu jalanan di bawah tanah sampai menembus ke dalam kuburan yang menjadi sasarannya, di situlah dia mencuri isi kuburan yang berharga itu.
Caranya membongkar kuburan itu dengan sendirinya sangat memakan tenaga dan waktu, untuk menggangsir satu kuburan terkadang diperlukan waktu sebulan atau dua bulan lamanya, tetapi dengan caranya menggangsir itu justru sangat kecil sekali risikonya akan diketahui orang.
Suatu kali, ia berhasil menggangsir ke dalam suatu kuburan kuno, di situ ia mendapatkan sejilid kitab pusaka ilmu silat. Ia lantas melatihnya menurut petunjuk kitab itu hingga memperoleh ilmu Gwakang (kekuatan luar) yang sangat tinggi, akhirnya ia pun lepaskan pekerjaannya yang tak bermoral itu serta mengabdikan diri kepada kerajaan, karena jasa-jasanya selama bertugas, akhirnya pangkatnya mencapai Suto seperti sekarang ini, yaitu setingkat dengan pembantu menteri.
Sesudah menjadi pembesar, ia anggap namanya yang dulu terlalu kampungan, makanya lantas diganti menjadi Hek-kin. Di antara kawan-kawan karibnya, kecuali Hoan Hua dan Pah Thian-sik berdua, orang lain jarang yang tahu asal usulnya.
Maka dengan tertawa Hoan Hua menjawab, "Mana Siaute berani menggoda Toako? Tapi maksudku bila kita dapat menyelundup ke dalam Ban-jiat-kok, di situ kita menggangsir satu jalan di bawah tanah yang menembus ke tempat kurungan Toan-kongcu, maka dengan bebas tanpa diketahui oleh musuh, kita tentu dapat menolongnya keluar."
"Bagus, bagus!" teriak Hek-kin sambil tepuk paha sendiri.
Menggangsir kuburan sebenarnya adalah pekerjaan yang paling digemari Hoa Hek-kin. Meski sudah belasan tahun lamanya pekerjaan itu tak pernah lagi dilakukan, namun terkadang bila teringat kembali, tangannya menjadi gatal lagi.
Soalnya cuma pangkatnya sekarang sudah tinggi, hidupnya tidak kekurangan, kalau mesti menjalankan pekerjaan menggangsir, bagaimana jadinya kalau diketahui orang? Maka kini demi ada yang mengusulkan agar dirinya melakukan pekerjaan lama lagi, ia menjadi girang sekali.
"Nanti dulu, Hoa-toako jangan buru-buru senang dulu," demikian kata Hoan Hua pula. "Dalam urusan ini kita masih banyak kesulitannya. Terutama hendaklah diketahui bahwa Su-tay-ok-jin (empat mahadurjana) telah berada di Ban-jiat-kok semua. Suami-istri Ciong Ban-siu dan Siu-lo-to Cin Ang-bian tergolong tokoh-tokoh lihai pula, kalau kita hendak menyelundup ke sana, sesungguhnya tidaklah gampang. Lagi pula, Yan-king Taycu ini senantiasa duduk jaga di depan rumah batu tempat Toan-kongcu dikurung, kalau kita harus menggali melalui bawahnya, apakah tidak mungkin akan diketahui olehnya?"
Hoa Hek-kin berpikir sejenak, sahutnya kemudian, "Jalan yang akan kita gangsir itu harus menembus ke dalam rumah itu melalui belakang untuk menghindari tempat jaga Yan-king Taycu itu."
"Tapi Toan-kongcu setiap saat terancam bahaya, kalau kita menggangsir perlahan, apakah masih keburu?" ujar Hoan Hua, Hoan-suma.
"Kalau perlu, marilah kita bertiga kerja keras serentak," usul Hoa-suto. "Cuma untuk itu kalian harus menjadi muridku sebagai tukang gangsir kuburan."
"Kita adalah Sam-kong (tiga menteri) dari Tayli, biarpun mesti bekerja menggangsir, tugas ini betapa pun tak boleh ditolak," sahut Pah Thian-sik dengan tertawa.
Maka tertawalah ketiga orang itu.
"Kalau sudah mau bekerja, marilah sekarang juga kita mulai," ajak Hoa-suto.
Segera Pah Thian-sik melukiskan situasi lembah Ban-jiat-kok itu, dengan riang gembira Hoa Hek-kin lantas merencanakan di mana akan dimulai dan di mana akan berakhir dari lorong yang akan digangsirnya nanti.
Sedang mengenai cara bagaimana harus menghindari pengintaian musuh dan cara bagaimana mengitari rintangan batu padas di bawah tanah, hal ini memang merupakan kepandaian Hoa-suto yang tiada bandingannya, maka tidak perlu dipersoalkan.
Sesudah dia memakan sepasang Bong-koh-cu-hap itu, hawa Yang dalam tubuhnya semakin bergolak, saking luar biasa panasnya, akhirnya ia jatuh pingsan.
Dan pingsannya itu justru menolongnya terhindar dari penderitaan selama semalam. Sudah tentu ia tidak sadar bahwa sehari semalam itu di luar sudah terjadi banyak perubahan. Ayahnya telah diangkat menjadi calon pengganti paman dan dia sendiri sudah dilamarkan putrinya Ko Sing-thay, Ko Bi, sebagai istri. Di seluruh kota Tayli saat itu sedang diadakan perayaan besar untuk memeriahkan kedua peristiwa gembira itu, sekaligus untuk merayakan dihapus pajak garam rakyat oleh pemerintah. Sedangkan dia sendiri masih bersandar di dinding batu itu dalam keadaan tidak sadar.
Sampai esok tengah hari, barulah Toan Ki agak sadar ketika bekerjanya racun Im-yang-ho-hap-san dan Bong-koh-cu-hap yang sangat panas itu kebetulan berhenti bersama untuk sementara. Tapi setelah berhenti dan bila kumat lagi, maka racun itu akan bertambah hebat. Toan Ki tidak tahu bahaya apa yang masih mengeram di dalam tubuhnya, dengan sadarnya pikiran, walaupun badan masih sangat lemas, ia menyangka racun sudah mulai hilang.
Dan selagi ia hendak bicara dengan Bok Wan-jing, tiba-tiba terdengar di luar rumah batu itu ada suara seorang tua lagi berkata, "Sembilan garis malang melintang, entah betapa banyak digemari orang. Apakah Kisu juga ada minat untuk coba-coba satu babak denganku?"
Toan Ki menjadi heran, ia coba mengintip keluar melalui celah-celah batu. Maka tertampaklah seorang Hwesio tua bermuka keriput dan beralis kuning panjang sedang berjongkok sambil menggunakan jari tangannya lagi menggores-gores garis lurus di atas sebuah batu besar yang rata. Begitu hebat tenaga jarinya itu hingga terdengar suara "srak-srek" disertai berhamburnya bubuk batu, lalu jadilah satu garis lurus yang panjang di atas batu itu.
Toan Ki terkejut. Meski dia tidak mahir ilmu silat, tapi sebagai keturunan tokoh silat terkemuka, sering juga ia menyaksikan sang ayah dan pamannya waktu berlatih It-yang-ci. Ia pikir wajah padri tua ini seperti sudah pernah kenal, tenaga jarinya ternyata sedemikian lihainya, mampu menggores batu menjadi satu garis yang dalam. Tenaga jari demikian adalah semacam ilmu Gwakang yang mengutamakan kekerasan tenaga melulu, agaknya berbeda dengan It-yang-ci yang dilatih paman dan
ayahnya itu.
Maka terdengar pula suara seorang yang tak jelas berkata, "Bagus, sungguh Kim-kong-ci-lik yang hebat!"
Terang itu adalah suara si baju hijau alias "Ok-koan-boan-eng."
Segera tertampak sebatang tongkat bambu menjulur ke atas batu, dengan rajin ia pun menggores satu garis di atas batu itu, cuma kalau Ui-bi-ceng atau padri alis kuning itu menggores garis lurus, maka garisan tongkat sekarang melintang, hingga berwujud satu garis palang dengan goresan padri tadi.
Dari dalam rumah batu itu Toan Ki tidak bisa melihat bagaimana cara bergerak Jing-bau-khek itu, ia pikir tongkat itu dengan sendirinya lebih keras daripada jari manusia, sudah tentu lebih menguntungkan bagi yang memakainya. Namun jari lebih pendek dan tongkat lebih panjang, untuk menggores garisan di atas batu dengan memakai tongkat sepanjang itu, terang tenaga yang dikeluarkan akan jauh lebih besar daripada memakai jari.
Lalu terdengar Ui-bi-ceng berkata dengan tertawa, "Jika Toan-sicu sudi memberi petunjuk, itulah sangat baik."
Habis berkata, kembali ia menggaris lagi di atas batu dengan jarinya.
Segera Jing-bau-khek menambahi garisan melintang lagi seperti tadi. Dengan demikian, yang satu menggaris lurus dan yang lain menggaris melintang, makin lambat menggores garisan sendiri, agar setiap garis bisa dilakukan dengan cukup dalam dan sama rajinnya seperti semula.
Harus diketahui bahwa pertandingan di antara tokoh-tokoh terkemuka, soal menang atau kalah melulu tergantung sedikit selisih saja, asal satu garisan di antaranya menunjukkan kurang dalam atau menceng, maka itu berarti sudah kalah.
Maka kira-kira sepertanak nasi lamanya, sebuah peta catur yang berjumlah 19 garis malang melintang itu sudah selesai digaris dengan rajin.
Diam-diam Ui-bi-ceng membatin, "Apa yang dikatakan Po-ting-te memang tidak salah. Tenaga dalam Yan-king Taycu ini benar luar biasa dan sedikit pun tidak di bawah Po-ting-te sendiri."
Sebaliknya Yan-king Taycu alias Jing-bau-khek itu terlebih kejut lagi, kalau datangnya Ui-bi-ceng memang disengaja dan sudah siap sedia sebelumnya, adalah Yan-king Taycu sendiri sama sekali tidak menyangka apa-apa, maka pikirnya, "Aneh, dari manakah mendadak bisa muncul seorang Hwesio tua selihai ini? Terang datangnya ini adalah atas undangan Toan Cing-beng, dalam saat demikian, kalau Toan Cing-beng ikut menyerbu ke dalam untuk menolong Toan Ki, terang aku tak berdaya untuk merintanginya."
Dalam pada itu Ui-bi-ceng sedang berkata, "Betapa tinggi kepandaian Toan-sicu, sungguh aku sangat kagum, maka dalam hal kekuatan catur rasanya juga akan berpuluh kali lebih pandai daripadaku, terpaksa kuminta Toan-sicu suka mengalah empat biji dahulu."
Jing-bau-khek tercengang, pikirnya, "Meski aku tak kenal asal usulmu, tapi tenaga jarimu begini lihai, dengan sendirinya adalah orang kosen yang tidak sembarang. Baru mulai menantang bertempur kenapa buka mulut lantas minta aku mengalah?"
Segera katanya, "Kenapa Taysu mesti merendah diri, jika harus menentukan kalah menang, dengan sendirinya kita harus maju sama tingkat dan sama derajat."
"Tidak, tetap kuminta Toan-sicu harus mengalah empat biji," sahut Ui-bi-ceng.
"Aneh juga usul Taysu ini," ujar Jing-bau-khek dengan tawar. "Jikalau Taysu mengaku kepandaian caturmu tidak lebih tinggi daripadaku, maka tak perlulah kita bertanding."
"Kalau begitu, sudilah memberi tiga biji saja, bagaimana?" kata Ui-bi-ceng pula.
"Biarpun memberi satu biji, namanya juga mengalah," sahut Jing-bau-khek alias Yan-king Taycu.
"Hahaha!" tiba-tiba Ui-bi-ceng tertawa. "Kiranya dalam ilmu main catur, kepandaianmu sangat terbatas, jika demikian biarlah aku yang memberi padamu tiga biji."
"Itu pun tidak perlu," sahut Jing-bau-khek. "Mari kita mulai dengan kedudukan sama."
Diam-diam Ui-bi-ceng bertambah waspada dan prihatin, pikirnya, "Orang ini tidak sombong juga tidak gopoh, sebaliknya tenang dan sukar diduga, sungguh merupakan lawan yang tangguh. Meski aku sudah memancingnya dengan berbagai jalan, toh ia tetap tidak berubah sikap."
Kiranya Ui-bi-ceng menginsafi dirinya tiada harapan buat menangkan It-yang-ci dari Jing-bau-khek itu. Ia tahu orang yang gemar catur, umumnya suka menang sendiri, bila diminta agar mengalah dua-tiga biji catur, biasanya tentu diluluskan.
Sebagai seorang pertapa, Ui-bi-ceng memandang soal nama sebagai sesuatu yang tak berarti. Asal Yan-king Taycu bersedia mengalah sedikit dalam permainan catur itu, maka dalam pertarungan sengit itu dia akan ada harapan buat menang.
Siapa duga sifat Yan-king Taycu itu ternyata lain daripada yang lain, ia tidak mau ambil keuntungan atas orang lain, tapi juga tidak mau dirugikan orang, setiap tindak tanduknya sangat prihatin dan tegas.
Karena tiada jalan lain lagi, terpaksa Ui-bi-ceng berkata, "Baiklah, engkau adalah tuan rumah, aku adalah tamu, aku yang main dulu."
"Tidak," sahut Jing-bau-khek. "Tamu mana boleh merebut hak tuan rumah? Aku yang main dulu!"
"Wah, jika demikian, rupanya kita harus sut dulu," kata Ui-bi-ceng. "Baik begini saja, coba kau terka umurku tahun ini ganjil atau genap? Jika betul engkau terka, kau main dulu, kalau salah terka, aku main dulu."
"Umpama tepat aku menerkanya, tentu engkau juga menyangkal," ujar Jing-bau-khek.
"Baiklah, boleh engkau menerka sesuatu yang tidak mungkin aku bisa menyangkal," kata Ui-bi-ceng pula. "Coba kau terka, bila aku berumur 70 tahun, jari kakiku akan ganjil atau genap?"
Teka-teki ini benar-benar sangat aneh. Mau tak mau Jing-bau-khek harus berpikir, "Umumnya jari kaki orang berjumlah sepuluh, jadi genap. Tapi dia menegaskan bila sudah berumur 70, terang maksudnya agar aku menyangka kelak jari kakinya akan berkurang satu, jika demikian halnya, tentu aku akan menerka jarinya berjumlah ganjil. Namun seperti dikatakan ilmu siasat bahwa kalau berisi, katakanlah kosong; kalau kosong katakanlah berisi. Jangan-jangan jari kakinya tetap sepuluh, tapi sengaja main gertak. Mana bisa aku ditipu olehnya?"
Karena itu, segera ia menjawab, "Berjumlah genap!"
"Salah, tapi berjumlah ganjil," kata Ui-bi-ceng.
"Coba buka sepatu, periksa buktinya," sahut Jing-bau-khek.
Terus saja Ui-bi-ceng membuka sepatu dan kaus kaki kiri, ternyata jari kakinya masih tetap utuh berjumlah lima. Ketika Jing-bau-khek memerhatikan wajah padri itu, ia lihat orang tersenyum, sikapnya tenang-tenang saja, mau tak mau ia membatin, "Wah, kiranya jari kaki kanannya memang cuma tinggal empat."
Dalam pada itu Ui-bi-ceng sedang membuka sepatu lagi dengan perlahan, ketika mulai menanggalkan kaus kakinya, hampir-hampir Jing-bau-khek berseru jangan membuka lagi dan menyilakan orang main dulu. Namun sekilas timbul pula pikirannya, "Ah, tidak bisa, jangan aku tertipu olehnya."
Dan benar juga, ia lihat kaus kaki kanan padri itu sudah dilepas dan jari kaki itu pun tampak masih utuh berjumlah lima tanpa cacat apa-apa.
Meski badan Jing-bau-khek itu sudah cacat dan mukanya kaku tanpa emosi hingga tidak kentara apa yang dirasakannya waktu itu, sebenarnya dalam sekejap itu hatinya sudah berganti berbagai perasaan untuk menduga-duga sebenarnya apa maksud tujuan perbuatan Ui-bi-ceng itu. Dan ia menjadi bersyukur ketika akhirnya melihat tebakannya jitu, yaitu jari kedua kaki padri itu toh tetap berjumlah genap sepuluh.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong Ui-bi-ceng terus angkat telapak tangan kanan dan memotong ke bawah sebagai pisau, "krek", tahu-tahu jari kecil kaki kanan itu telah dipotong putus.
Sekalipun keenam anak muridnya yang berdiri di belakang sang guru itu sudah dalam belajar ilmu Buddha, setiap orangnya bisa berlaku tenang meski menghadapi keadaan bagaimanapun. Tapi mendadak tampak sang guru membikin cacat anggota badan sendiri, darah lantas mengucur pula, keruan mereka terperanjat, bahkan murid termuda yang bernama Boh-ban Hwesio, sampai berseru kaget.
Cepat murid keempat, Boh-gi Hwesio, mengeluarkan obat luka untuk dibubuhkan di atas kaki Suhunya itu.
Menyusul berkatalah Ui-bi-ceng dengan tertawa, "Tahun ini aku berumur 69, bila berumur 70 tahun nanti, persis jariku berjumlah ganjil."
Tanpa pikir lagi Jing-bau-khek menjawab, "Benar. Silakan Taysu main dulu."
Nyata sebagai tokoh dari Su-ok yang berjuluk "orang jahat nomor satu di dunia," perbuatan kejam dan ganas apa di dunia ini yang tidak pernah dilakukannya atau dilihatnya, maka terhadap kejadian memotong satu jari kaki yang sepele itu, tentu saja tidak terpikir olehnya. Cuma bila mengingat bahwa melulu untuk rebut hak main dulu dalam catur, Hwesio tua ini rela memotong jari kaki sendiri, maka dapat dipastikan bahwa tujuan padri ini harus menangkan percaturan itu, dan bila dirinya kalah, bukan mustahil syarat yang akan dikemukakan padri itu tentu pelik luar biasa.
Maka terdengarlah Ui-bi-ceng berkata, "Terima kasih atas kesudianmu mengalah."
Segera ia ulur jarinya dan menekan kedua ujung peta catur masing-masing satu kali. Karena tekanan jari itu, di atas batu lantas melekuk dua lubang hingga mirip dua biji catur hitam.
Segera Jing-bau-khek angkat tongkatnya juga dan menggores dua lingkaran kecil pada kedua ujung lain peta catur itu. Lingkaran kecil yang melekuk itu pun mirip dua biji catur putih.
Cara pembukaan main catur dengan menaruh dua biji catur di kedua ujung itu adalah lazim dilakukan dalam permainan catur kuno yang mirip permainan dam zaman sekarang.
Begitulah, maka secara bergiliran kedua orang itu saling menaruh biji caturnya masing-masing dengan tekanan tenaga jari dan goresan tongkat. Mula-mula cara menaruh mereka sangat cepat, tapi lambat laun menjadi perlahan. Sedikit pun Ui-bi-ceng tidak berani ayal, ia tetap menguasai permainan berkat hak bermain dahulu tadi yang ditukarnya dengan memotong jari kaki itu.
Sampai belasan biji catur sudah dijalankan, pertarungan ternyata bertambah sengit dan pertahanan masing-masing pun semakin kuat, tapi tenaga yang dikeluarkan kedua orang pun semakin besar. Di samping memusatkan pikiran untuk menangkan permainan catur itu, di lain pihak harus mengerahkan tenaga untuk menekan atau menggores batu sekuatnya. Maka makin lama makin lambatlah permainan mereka itu.
Di antara keenam murid yang ikut datang bersama Ui-bi-ceng itu, murid ketiga, Boh-tin Hwesio juga seorang penggemar catur. Ia menjadi sangat kagum dan gegetun demi tampak ilmu permainan catur gurunya dengan Jing-bau-khek yang hebat itu. Ketika tiba langkah ke-24, mendadak Jing-bau-khek melakukan serangan aneh hingga kedudukan masing-masing segera berubah banyak, kalau Ui-bi-ceng tidak segera balas dengan langkah yang tepat, pasti pertahanannya akan bobol.
Tampak Ui-bi-ceng berpikir agak lama, agaknya seketika masih belum mendapat cara yang baik untuk balas serangan lawan itu. Tiba-tiba terdengar dari dalam rumah batu itu ada orang berkata, "Balas gempur sayap kanan, tetap menguasai permainan!"
Kiranya sejak kecil Toan Ki juga mahir main catur. Kini melihat permainan kedua orang itu, ia menjadi bersemangat dan ikut-ikutan bicara.
Penonton memang lebih jelas daripada yang main. Demikian orang bilang. Apalagi kepandaian catur Toan Ki memang lebih tinggi daripada Ui-bi-ceng, ditambah sudah mengikuti dari samping sejak tadi, ia menjadi lebih terang di mana letak kunci permainannya.
Maka terdengar Ui-bi-ceng berkata dengan tertawa, "Memang sudah kupikir begitu, cuma masih ragu-ragu, tapi dengan ucapanmu, aku menjadi mantap sekarang."
Segera ia taruh bijinya di sayap kanan yang dimaksud itu.
"Penonton yang tidak bicara adalah Cin-kun-cu (jantan tulen), orang yang ambil keputusan sendiri adalah Tay-tiang-hu (laki-laki sejati)," demikian Jing-bau-khek menyindir.
"Kau kurung aku di sini, sejak kapan engkau adalah Cin-kun-cu?" segera Toan Ki berteriak.
"Dan aku adalah Thayhwesio dan bukan Tay-tiang-hu," sahut Ui-bi-ceng tertawa.
"Huh, tidak malu!" jengek Jing-bau-khek. Segera ia pun taruh bijinya dengan menggores satu lingkaran kecil lagi.
Tapi lewat beberapa langkah lagi, kembali Ui-bi-ceng menghadapi serangan bahaya. Boh-tin Hwesio menjadi khawatir karena melihat gurunya tak berdaya memecahkannya, sedangkan Toan Ki juga diam saja. Segera ia mendekati pintu batu itu dan tanya dengan perlahan, "Toan-kongcu, langkah ini bagaimana harus menjalankannya?"
"Jalan yang baik sih sudah kupikirkan," demikian sahut Toan Ki. "Cuma jalan ini seluruhnya meliputi tujuh langkah, kalau kukatakan begini saja hingga didengar musuh, tentu akan gagal juga rencanaku, makanya aku diam saja tidak bersuara."
Segera Boh-tin ulur telapak tangan kanan ke dalam rumah itu melalui celah-celah batu, bisiknya, "Silakan tulis di sini."
Toan Ki pikir bagus juga akal ini, segera ia gunakan jarinya menulis ketujuh langkah catur yang diciptakan itu di telapak tangan Boh-tin.
Boh-tin pikir sejenak, ia pikir langkah catur yang ditulis anak muda itu memang sangat tinggi, cepat ia kembali ke belakang sang guru dan menulis juga di punggung Suhunya dengan jari. Karena jubahnya sangat longgar hingga tangannya tertutup semua, maka Jing-bau-khek tidak tahu apa yang dilakukan orang.
Sesudah mendapat petunjuk itu, Ui-bi-ceng menjalankannya satu langkah.
"Hm, langkah ini adalah ajaran orang lain, agaknya kepandaian catur Taysu masih belum mencapai tingkatan ini," jengek Jing-bau-khek.
Tapi dengan tertawa Ui-bi-ceng menjawab lagi, "Permainan catur memang harus mengadu kecerdasan. Yang pintar pura-pura bodoh, mahir juga berlagak tak bisa. Kalau tingkatan permainanku diketahui Sicu, lalu buat apa pertandingan ini diadakan?"
"Huh, main licik, main sulap di bawah lengan baju," sindir Jing-bau-khek pula. Rupanya ia pun menduga Boh-tin yang mondar-mandir dan memegang punggung gurunya itu pasti sedang main gila. Cuma dia sedang mencurahkan perhatiannya di atas papan catur, terpaksa ia tak bisa mengurus apa yang terjadi di samping.
Untuk selanjutnya Ui-bi-ceng lantas menjalankan enam langkah menurut saran Toan Ki itu tanpa banyak pikir, ia mengerahkan sepenuh tenaga jarinya untuk menekan enam biji catur itu di atas batu hingga lekuknya lebih dalam serta lebih bulat.
Melihat enam langkah itu makin lama makin kuat, Jing-bau-khek rada terdesak, terpaksa ia harus peras otak memikirkan langkah-langkah perlawanan, kini terpaksa ia mesti bertahan saja sekuatnya, lingkaran yang digores di atas batu dengan tongkat bambu itu tidak sedalam tadi lagi.
Di luar dugaan, ketika mesti menjalankan langkah keenam sesudah giliran Ui-bi-ceng, mendadak ia berpikir lama, habis itu, tiba-tiba ia jalankan bijinya pada suatu tempat yang tak tersangka-sangka dan sama sekali di luar taksiran Toan Ki.
Keruan Ui-bi-ceng melongo, pikirnya, "Pemikiran ketujuh langkah Toan-kongcu ini sangat teliti dan bagus, tampaknya aku sudah mulai mendesaknya, tapi dengan perubahan yang mendadak dan hebat ini, rasanya langkahku yang ketujuh ini tak bisa dijalankan lagi dan bukankah akan sia-sia saja serangan-serangan tadi?"
Harus diketahui bahwa dalam hal kepandaian main catur memang Jing-bau-khek lebih mahir daripada Ui-bi-ceng atau si Padri Beralis Kuning, maka begitu ia melihat gelagat jelek, segera ia mengadakan perubahan siasat, ternyata ia tidak mau masuk perangkap yang diatur Toan Ki itu. Keruan yang kelabakan adalah Ui-bi-ceng.
Melihat perubahan di luar dugaan itu, pula tampak gurunya berpikir sampai lama masih belum mendapatkan akal yang sempurna, segera Boh-tin mendekati rumah batu pula, dengan perlahan ia uraikan keadaan percaturan itu kepada Toan Ki serta meminta petunjuknya.
Toan Ki pikir sejenak, segera ia pun mendapat akal lain, ia minta Boh-tin ulur tangannya agar bisa ditulis lagi petunjuk di atas telapak tangan.
Boh-tin menurut dan ulurkan tangannya ke dalam rumah batu itu. Tapi baru saja Toan Ki mencorat-coret beberapa kali di telapak tangan orang, sekonyong-konyong antero badannya terasa berguncang, dari perutnya mendadak terasa ada hawa panas menerjang ke atas hingga seketika mulutnya terasa kering, matanya berkunang-kunang. Tanpa pikir lagi tangannya mencengkeram sekenanya hingga tangan Boh-tin tadi dipegangnya erat-erat.
Tentu saja Boh-tin kaget ketika mendadak tangannya digenggam Toan Ki dengan kencang, ia menjadi lebih kaget lagi ketika merasa hawa murni dalam badan sendiri terus-menerus mengalir keluar karena disedot melalui telapak tangan yang digenggam orang itu. Saking kejutnya terus saja ia berteriak, "Hei, Toan-kongcu, apa yang kau lakukan ini?"
Perlu diketahui, setiap orang yang berlatih ilmu silat yang mengutamakan Lwekang, maka hawa murni dalam tubuh sangat besar sangkut-pautnya dengan jiwanya, semakin kuat hawa murninya, semakin tinggi pula ilmu Lwekangnya. Dan bila hawa murni itu hilang, sekalipun orangnya tidak mati, tentu juga seluruh ilmu silatnya akan kandas dan mirip orang cacat selama hidup.
Boh-tin Hwesio sendiri sudah berumur lebih 40 tahun, tapi ia tidak pernah kawin, masih berbadan jejaka, selama berpuluh tahun ia giat berlatih Lwekang, maka hawa murni dalam tubuhnya boleh dikatakan kuat luar biasa. Akan tetapi begitu telapak tangannya menempel tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuhnya seakan-akan air bah yang bobol tanggulnya terus mengalir keluar tanpa bisa dicegah sama sekali.
Ia membentak berulang-ulang untuk tanya, namun saat itu keadaan Toan Ki sudah tak sadarkan diri. Maksud Boh-tin hendak melepaskan tangannya, tapi aneh bin ajaib, kedua tangan itu seperti lengket menjadi satu, betapa pun sukar dipisahkan lagi, dan hawa murni dalam tubuh Boh-tin tetap mengalir keluar tak mau berhenti.
Kiranya "Bong-koh-cu-hap" atau katak merah bersuara kerbau yang dimakan oleh Toan Ki itu mempunyai semacam khasiat aneh pembawaan yang bisa mengisap ular beracun dan serangga berbisa lain. Binatang aneh itu berasal dari perkawinan campuran dari bermacam-macam ular berbisa hingga beberapa keturunan.
Bab 13
Ciong Ban-siu suami-istri dan Ciong Ling cuma tahu bahwa sepasang katak itu bisa memanggil ular, tapi tidak tahu bila orang memakannya, maka akan timbul reaksi aneh pada tubuh orang yang memakannya itu.
Namun hendaklah maklum juga bahwa secara kebetulan Toan Ki bermaksud membunuh diri hingga secara ngawur pula telah makan katak-katak aneh itu. Kalau tidak, coba siapakah orangnya yang berani makan binatang yang dapat mengalahkan ular-ular berbisa itu?
Sesudah Toan Ki makan sepasang katak merah itu, segera timbul pertentangan dengan racun Im-yang-ho-hap-san yang bekerja di dalam perut itu. Hawa positif atau kelakiannya menjadi luar biasa kerasnya hingga sukar ditahan, bahkan timbul pula semacam sifat istimewa yang bisa menyedot hawa murni orang lain.
Waktu itu hawa murni Boh-tin masih terus-menerus mengalir ke tubuh Toan Ki, seumpama Toan Ki dalam keadaan sadar, pemuda itu pun tidak bisa menggunakan tenaga dalam untuk melepaskan tangan Boh-tin, apalagi ia dalam keadaan tak sadar, hakikatnya ia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Boh-tin menjadi kelabakan ketika merasa hawa murninya terus mengalir keluar, terpaksa ia berteriak-teriak, "Tolong, Suhu, tolong!"
Mendengar itu, kelima murid Ui-bi-ceng yang lain cepat berlari mendekati Boh-tin, tapi karena tidak kelihatan apa yang terjadi di dalam rumah batu itu, mereka hanya ribut dan tanya, "Ada apa, Sute?"
"Tang ... tanganku!" seru Boh-tin sambil berusaha hendak menarik kembali tangannya sekuatnya. Namun waktu itu hawa murninya sudah hilang 8-9 bagian, untuk bersuara saja hampir tak kuat, apalagi hendak menarik tangan?
Boh-ban Hwesio, itu murid keenam, tanpa pikir terus ikut pegang tangan sang Suheng dengan maksud membantu menarik.
Tak tersangka, begitu tangan menempel, kontan seluruh badannya ikut tergetar seperti terkena aliran listrik, hawa murni dalam tubuhnya juga bergolak mengalir keluar, keruan ia kaget dan berteriak-teriak, "Aduh, celaka!"
Kiranya secara tidak sengaja Toan Ki telah makan sepasang katak ajaib itu hingga timbul semacam "Cu-hap-sin-kang" atau tenaga sakti katak merah dalam badannya yang mempunyai daya sedot yang tak terbatas kuatnya. Siapa yang dipegangnya, lantas diisapnya. Bahkan orang ketiga kalau menempel badan orang yang tersedot itu, secara kontan hawa murninya juga akan ikut disedot seperti kena arus listrik ....
Kembali bercerita tentang ketiga tokoh kerajaan Tayli, yaitu Suto Hoa Hek-kin, Suma Hoan Hua dan Sugong Pah Thian-sik.
Sesudah mereka menyelundup ke dalam Ban-jiat-kok, mereka lantas pilih tempat yang direncanakan dan terus menggangsir liang di bawah tanah.
Sebenarnya Ban-jiat-kok itu ada yang jaga, tapi sejak kuburan yang merupakan pintu masuk itu dibabat rata oleh orang-orang yang dibawa Po-ting-te, tempat itu menjadi bebas untuk keluar-masuk tanpa rintangan.
Setelah menggali semalaman, sudah berpuluh meter terowongan yang mereka gali. Hoa Hek-kin adalah ahli menggangsir, dibantu lagi jago seperti Pah Thian-sik dan Hoan Hua, tentu saja kemajuan mereka sangat pesat, mereka bertiga mengaso bergiliran, apalagi ransum dan air minum sudah tersedia hingga mereka tidak kekurangan perbekalan.
Hari kedua mereka menggali pula sepanjang hari, sampai petangnya, mereka taksir sudah tidak jauh lagi jaraknya dengan rumah batu yang mereka tuju. Mereka tahu ilmu silat Yan-king Taycu sangat tinggi, alat-alat gali mereka harus bekerja perlahan supaya tidak mengeluarkan suara. Sebab bagi orang yang Lwekangnya tinggi, biarpun dalam keadaan tidur pulas juga akan terjaga bangun bila mendengar sedikit suara berisik. Karena kekhawatiran itu, kemajuan mereka lantas banyak dilambatkan.
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa saat itu Yan-king Taycu justru lagi pusatkan perhatiannya untuk mengukur kepandaian catur Ui-bi-ceng disertai adu tenaga dalam, maka takkan dapat merasakan suara yang timbul dari bawah tanah.
Kiranya waktu Ui-bi-ceng melihat keenam muridnya berkerumun di luar rumah batu dengan ribut-ribut, tampaknya terjadi sesuatu yang aneh, ia menyangka Yan-king Taycu telah pasang perangkap apa-apa di depan rumah batu itu hingga murid-muridnya itu telah terjebak. Maka katanya segera, "Sicu terlalu banyak bertingkah yang aneh-aneh, Loceng harus pergi ke sana melihatnya dulu."
Sembari berkata, ia terus berbangkit.
Tak terduga Jing-bau-khek justru tidak mau melepaskannya, tiba-tiba tongkat kiri diangkat terus menutuk ke iga kiri Ui-bi-ceng sambil berkata, "Babak catur ini belum selesai, jika Taysu mau mengaku kalah, boleh silakan pergi."
Cepat Ui-bi-ceng angkat tangan kiri terus hendak pegang ujung tongkat orang. Namun tongkat Jing-bau-khek lantas ditarik kembali, menyusul ujung tongkat itu bergetar sambil menutuk pula ke bawah dada si padri. Mendadak Ui-bi-ceng memotong ke bawah dengan telapak tangan, tapi tongkat itu sudah ditarik kembali lagi serta berubah pula dengan gerak serangan lain. Hanya sekejap saja kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa jurus.
Sungguh celaka bagi keenam murid Ui-bi-ceng itu, seperti terkena aliran listrik saja, satu sama lain telah melengket tersedot oleh Cu-hap-sin-kang yang tiba-tiba timbul dalam tubuh Toan Ki. Sebaliknya Ui-bi-ceng yang sedang mencapai titik menentukan mati-hidup dalam pertandingannya melawan catur dan Lwekang tokoh utama dari Su-ok itu terpaksa tak bisa juga menolong murid-muridnya itu.
Ui-bi-ceng pikir tongkat orang menang panjang, terang lebih leluasa dibuat menyerang. Sementara itu tongkat itu tampak sedang menutuk lagi ke arahnya, tanpa pikir lagi ia pun ulur jari tengah, ia incar ujung tongkat orang dan menutuk juga.
Jing-bau-khek tidak menghindar, ia benturkan ujung tongkatnya pada ujung jari lawan. Keduanya saling mengadu tenaga dalam masing-masing. Dan baru sekarang Ui-bi-ceng mengerti bahwa di tengah tongkat orang itu dipasang pula dengan lonjoran besi, pantas saja begitu keras. Dan meski tongkat itu digencet oleh dua tenaga raksasa dari dua ahli Lwekang yang tinggi toh tidak tampak bengkok sedikit pun.
"Wah, rupanya ini adalah langkah simpanan Taysu yang tidak sembarangan dikeluarkan, lalu, apakah percaturan kita ini Taysu akan mengaku kalah sekarang?" kata Jing-bau-khek.
"Haha, belum tentu aku akan kalah," sahut Ui-bi-ceng terbahak-bahak, berbareng jari kanan lantas menutul lagi sekali di atas batu hingga menambah lagi satu lekukan.
Tapi Jing-bau-khek tanpa pikir juga balas menggores lagi satu kali. Dengan demikian, di samping mengadu Lwekang, kedua orang sambil bertanding catur pula. Ui-bi-ceng sadar dalam keadaan demikian bila mesti memikirkan pula keselamatan murid-muridnya, mungkin jiwa sendiri akan melayang lebih dulu. Padahal munculnya sekali ini adalah untuk memenuhi undangan Po-ting-te.
Sepuluh tahun yang lalu Ui-bi-ceng pernah memohon kemurahan hati Po-ting-te agar suka menghapuskan pungutan pajak garam rakyat, dan harapan itu baru sekarang diluluskan, meski kedua orang tidak bicara secara terang, namun sebagai timbal baliknya sudah pasti Ui-bi-ceng harus menolong Toan Ki.
Sebab itulah Ui-bi-ceng tidak berani pencarkan perhatiannya untuk mengurus keadaan murid-muridnya itu. Ia sudah bertekad, sekalipun jiwa sendiri harus melayang, Toan Ki harus diselamatkan demi memenuhi janji kepada Toan Cing-beng. Maka ia cuma kerahkan tenaga dalam untuk menandingi musuh di samping asyik memikirkan catur yang tegang itu, sekuat tenaga ia bertahan mati-matian.
Dalam pada itu "Cu-hap-sin-kang" dari Toan Ki yang mempunyai daya sedot luar biasa itu, setelah hampir kering mengisap hawa murni Boh-tin Hwesio, kemudian ditambah lagi menempelnya Boh-ban Hwesio, sekaligus korban kedua lantas disedot pula hawa murninya.
Keruan terjadilah sesuatu yang hebat, sebagai seorang yang sama sekali tidak pernah belajar silat, seketika Toan Ki telah berubah menjadi seorang yang memiliki tenaga dalam berpuluh tahun lamanya.
Murid Ui-bi Hwesio yang pertama bernama Boh-tam dan kedua Boh-ay, kedua orang itu menjadi panik demi melihat gelagat kedua Sutenya tidak benar, cepat mereka pun mendekat, yang satu hendak menarik Boh-tin dan yang lain membetot Boh-ban.
Akan tetapi, dengan sendirinya mereka pun ikut tersedot pula oleh Cu-hap-sin-kang yang lihai.
Boh-tam dan Boh-ay terhitung paling tinggi Lwekangnya di antara murid-murid Ui-bi-ceng itu. Ketika merasa hawa murni dalam tubuh bergolak mengalir keluar, cepat mereka pusatkan tenaga untuk menahan, meski sesaat itu mereka masih bisa bertahan hingga hawa murni tidak membanjir keluar disedot Toan Ki, namun jangan sekali-kali mereka lengah, asal sedikit ayal, segera hawa murni merembes keluar lagi.
Tatkala itu Toan Ki masih tetap tak sadar, badannya panas bagai dibakar penuh hawa murni yang bergolak. Semakin banyak hawa murni dari keempat Hwesio itu mengalir masuk ke tubuhnya, semakin kuat pula daya isap Cu-hap-sin-kang yang hebat itu.
Syukurlah pula dasarnya dia tidak bermaksud menyedot hawa murni korban-korbannya itu, maka Boh-tam dan Boh-ay masih dapat bertahan, tapi karena sedikit demi sedikit masih terasa merembes, sedikit-sedikit akhirnya menjadi banyak juga, itu berarti daya tahan sendiri semakin berkurang, sebaliknya daya sedot lawan bertambah kuat, maka sampai akhirnya perembesan hawa murni mereka pun semakin deras keluarnya.
Murid keempat dan murid kelima masing-masing bernama Boh-ti dan Boh-ek menjadi tertegun menyaksikan Suheng dan Sute mereka yang celaka itu. Maksudnya ingin minta pertolongan sang guru, tapi gurunya sedang bertanding tenaga dalam dengan musuh, saat itu pun sudah mencapai titik menentukan hidup atau mati.
Keruan mereka kelabakan berlari ke sana ke sini tanpa berdaya. Sampai akhirnya, karena dorongan sesama saudara seperguruan, mereka pun tidak pikir panjang lagi dan segera ikut-ikut menarik Boh-tam dan Boh-ay sekuatnya.
Waktu itu Cu-hap-sin-kang sudah bertambah dengan tenaga murni dari Boh-tam, Boh-ay, Boh-tin dan Boh-ban berempat, betapa hebat daya sedotnya, sudah tentu tak mungkin dapat mereka tarik begitu saja. Bahkan kontan mereka berdua pun ikut tersedot dan melengket.Sungguh sial bagi keenam padri itu, tanpa sengaja mereka ketemu Cu-hap-sin-kang, tenaga latihan selama berpuluh tahun mereka akan hilang dalam sekejap saja. Sambil masih melengket satu sama lain, mereka hanya bisa saling pandang saja dengan cemas. Bahkan saking pedihnya, Boh-ti dan Boh-ek sampai mengucurkan air mata ....
Kembali bercerita tentang ketiga tokoh Suma, Suto dan Sugong.
Menjelang magrib, menurut perhitungan Hoa Hek-kin galian mereka sudah sampai di bawah kamar batu di mana Toan Ki terkurung.
Tempat itu sangat dekat dengan tempat duduk Jing-bau-khek, maka kerja mereka harus lebih hati-hati lagi, sedikit pun tidak boleh menerbitkan suara. Karena itu Hoa Hek-kin lantas taruh sekopnya, ia gunakan jari tangan untuk mencakar tanah.
"Hou-jiau-kang" atau ilmu cakar harimau yang dilatih Hoa Hek-kin sangat lihai, kini dipakai mencakar tanah, mirip benar dengan garuk besi, sekali cakar lantas segumpal tanah kena dikeduknya. Hoan Hua dan Pah Thian-sik mengikut di belakangnya untuk mengusung keluar tanah galian itu.
Kini arah yang digali Hoa Hek-kin tidak lagi menjurus maju, tapi dari bawah ke atas. Maka tahulah Thian-sik
dan Hoan Hua bahwa pekerjaan mereka sudah dekat rampung. Dapat tidak menyelamatkan Toan Ki, tidak lama lagi akan ketahuan dengan pasti. Karena itu, hati mereka menjadi berdebar-debar.
Menggali tanah dari bawah ke atas dengan sendirinya jauh lebih mudah. Sedikit tanahnya longgar, segera longsor sendiri. Ketika Hoa Hek-kin sudah dapat berdiri tegak, cara galinya menjadi lebih cepat lagi. Tapi setiap kali mengeruk sepotong tanah, ia lantas berhenti untuk mendengarkan apakah ada sesuatu suara di atas sana.
Tidak lama pula, Hek-kin menaksir tinggal belasan senti saja dengan permukaan tanah, kerjanya lantas dilambatkan lagi dengan hati-hati, perlahan ia korek lapisan tanah dan akhirnya dapat menyentuh sepotong papan kayu yang rata.
Ia menjadi heran bahwa lantai rumah bukan dari batu, tapi papan kayu. Namun dengan begitu menjadi lebih leluasa lagi bagi kerjanya.
Segera Hek-kin kerahkan tenaga pada ujung jarinya, perlahan ia mengorek satu lubang persegi pada papan kayu itu hingga cukup untuk dibuat masuk keluar tubuh orang. Ia memberi tanda siap kepada kedua temannya, lalu mengendurkan tangannya yang menyanggah papan lubang yang sudah dipotong itu, dengan sendirinya potongan papan itu lantas jatuh sendiri ke bawah, segera Hek-kin ulurkan sekopnya ke atas melalui lubang itu sambil diabat-abitkan untuk menjaga kalau diserang musuh dari atas.
Di luar dugaan, bukannya diserang dari atas, tapi lantas terdengar jeritan kaget seorang wanita di atas situ.
"Jangan bersuara, Boh-kohnio, kawan sendiri yang datang untuk menolongmu!" demikian bisik Hek-kin perlahan sambil melompat ke atas melalui lubang papan itu.
Tapi kejutnya sungguh tak terkira ketika mengetahui bahwa kamar itu ternyata bukan rumah batu yang dituju itu.
Kamar itu banyak lemari dan meja yang penuh botol obat. Di pojok sana tampak seorang gadis cilik meringkuk dengan ketakutan.
Maka tahulah Hoa Hek-kin bahwa mereka salah gali. Rumah batu yang dikatakan Pah Thian-sik itu hanya didengarnya dari cerita Po-ting-te, maka rencana mereka itu didasarkan pada taksiran belaka, dan kini ternyata kesasar.
Kiranya kamar yang mereka masuki itu adalah kamar kerjanya Ciong Ban-siu dan gadis cilik itu bukan lain adalah Ciong Ling.
Gadis itu senantiasa berusaha mencari obat penawar di kamar kerja ayahnya guna menolong Toan Ki. Ia tidak tahu "Im-yang-ho-hap-san" itu tidak bisa sembarangan disembuhkan dengan obat penawar, tapi ada cara penyembuhan yang istimewa. Dengan sendirinya biarpun Ciong Ling mengubrak-abrik kamar obat ayahnya tetap tak bisa mendapatkan sesuatu obat penawar yang diharapkan.
Waktu itu ayah-bundanya sedang menjamu tamu di ruangan depan, maka diam-diam Ciong Ling masuk kamar ayahnya untuk mencari lagi. Siapa duga mendadak lantai kamar itu berlubang, menyusul sebatang sekop menyelonong keluar, bahkan terus
melompat keluar pula seorang laki-laki tak dikenal, keruan kaget Ciong Ling tak terperikan.
Hoa Hek-kin bisa berpikir cepat, sekali sudah salah gali, terpaksa harus gali pula ke jurusan lain. Jejaknya sudah diketahui, kalau nona cilik ini dibunuh, tentu mayatnya akan diketemukan orang di sini dan segera pasti akan diadakan penggeledahan secara besar-besaran, jika hal itu terjadi, mungkin dirinya akan diketemukan sebelum berhasil menggali sampai di rumah batu itu. Rasanya jalan paling baik harus gondol gadis cilik ini ke dalam lorong di bawah tanah, bila orang lain kalau mencari gadis ini, tentu akan mencarinya di luar sana.
Dan pada saat itulah, tiba-tiba di luar kamar ada suara tindakan orang. Cepat Hek-kin goyang tangan kepada Ciong Ling dengan maksud agar gadis itu jangan bersuara, lalu ia putar tubuh dengan lagak seperti hendak menerobos ke dalam lubang. Tapi mendadak terus melompat ke belakang, segera mulut Ciong Ling didekapnya, menyusul badan gadis itu lantas diangkat ke tepi lubang terus dimasukkan ke bawah. Di situ Hoan Hua lantas menyambutnya.
Setelah ikut melompat ke bawah lubang lagi, cepat Hek-kin jejal mulut Ciong Ling dengan secomot tanah, keruan gadis itu kelabakan. Namun Hek-kin tak urus lagi, ia tutup kembali lubang papan tadi, lalu mendengarkan apa yang terjadi di atas.
Kejadian itu berlangsung dengan cepat luar biasa, dalam keadaan kaget dan takut, Ciong Ling menjadi bingung hingga tidak tahu apa maksud tujuan orang menculiknya. Apalagi mulutnya dijejali tanah, ia menjadi gelagapan tak bisa bersuara lagi.
Sementara itu terdengar ada dua orang telah masuk ke dalam kamar, yang seorang tindakannya berat, yang lain sangat enteng. Lalu suara seorang laki-laki lagi berkata, "Terang cintamu padanya belum lenyap seluruhnya, kalau tidak, sengaja kurusak nama baik keluarga Toan, mengapa kau merintangiku?"
"Belum lenyap apa segala, hakikatnya aku tidak cinta padanya," sahut seorang perempuan.
"Jika demikian, itulah yang kuharapkan," kata laki-laki tadi dengan penuh rasa syukur dan girang.
Maka terdengar wanita itu berkata pula, "Tapi nona Bok adalah putri kandung Suciku, meski tabiatnya agak kasar dan bertindak kurang sopan pada kita, namun betapa pun juga adalah orang sendiri. Kau mau bikin susah Toan-kongcu aku tidak urus, tapi nona Bok juga akan kau korbankan nama baiknya sehingga selama hidupnya bakal merana, itulah aku tak bisa tinggal diam."
Mendengar sampai di sini, tahulah Hek-kin kedua orang yang berbicara itu adalah suami-istri Ciong Ban-siu. Mendengar pembicaraan mereka menyangkut dirinya Toan Ki, segera ia pasang kuping lebih cermat.
Terdengar Ciong Ban-siu lagi berkata, "Sucimu berusaha melepaskan pemuda itu, untung dipergoki Yap Ji-nio dan sekarang dia bermusuhan dengan kita, mengapa kau malah ingin mengurus putrinya itu? A Po, para tamu di depan itu adalah tokoh Bu-lim kenamaan semua, tanpa pamit kau tinggal masuk kemari, bukankah kelakuanmu ini agak kurang sopan?"
"Hm, untuk apa engkau mengundang orang-orang macam begitu?" dengan kurang senang Ciong-hujin menegur. "Huh, Lo-kang-ong Cin Goan-cun, It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng, murid utama Tiam-jong-pay Liu Cu-hi, Co Cu-bok dan Siang-jing tokoh dari Bu-liang-kiam dan ada lagi guru silat Be Ngo-tek apa segala, memangnya kau sangka orang-orang macam demikian berani main gila kepada Sri Baginda Raja Tayli sekarang?"
"Aku tidak bermaksud mengundang mereka untuk ikut memberontak pada Toan Cing-beng," demikian Ciong Ban-siu menjawab. "Hanya secara kebetulan aku melihat mereka berada di sekitar sini, lantas kuundang mereka kemari untuk meramaikan suasana saja agar bisa ikut menjadi saksi bahwa putra-putri Toan Cing-sun tidur sekamar. Malahan di antara hadirin itu terdapat pula Hui-sian dari Siau-lim-si, Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si, Oh-pek-kiam Su An. Orang-orang ini adalah tokoh di daerah Tionggoan. Besok beramai-ramai kita pergi membuka rumah batu itu, biar semua orang menyaksikan betapa bagus perbuatan keturunan keluarga Toan yang terpuji itu, bukankah hal ini sangat menarik dan segera akan tersiar luas di dunia Kangouw dengan cepat? Hahahaha!"
"Huh, rendah dan memalukan!" jengek Ciong-hujin.
"Kau maki siapa yang rendah dan memalukan?" tanya Ban-siu.
"Siapa yang berbuat rendah dan tidak kenal malu, dia manusia yang rendah dan memalukan," sahut Ciong-hujin mendongkol.
"Benar, keparat Toan Cing-sun itu selama hidupnya banyak berbuat dosa, tapi akhirnya putra-putri sendiri berbuat tidak senonoh, haha, memang rendah dan memalukan!"
"Kau sendiri tidak mampu mengalahkan orang she Toan, selama hidup sembunyi di lembah ini dan pura-pura mati, namun maklum, engkau masih tahu diri dan terhitung seorang laki-laki yang kenal malu. Tapi sekarang kau sengaja mempermainkan putra-putri orang yang bukan tandinganmu, bila diketahui kesatria-kesatria seluruh jagat, mungkin orang yang akan ditertawai bukan dia, melainkan engkau sendiri!"
Keruan Ciong Ban-siu berjingkrak, teriaknya gusar, "Jadi ... jadi maksudmu aku yang rendah dan memalukan?"
Tiba-tiba Ciong-hujin mengucurkan air mata, sahutnya terguguk-guguk, "Sungguh tidak nyana bahwa suamiku adalah orang sedemikian gagah perwira!"
Sebenarnya Ciong Ban-siu memang sangat cinta pada istrinya ini, sebabnya dia benci dan dendam pada Toan Cing-sun juga disebabkan rasa cemburunya, kini melihat sang istri menangis, ia menjadi kelabakan, sahutnya cepat, "Baiklah, baiklah! Kau suka maki aku, makilah sepuasmu."
Habis berkata, ia mondar-mandir di dalam kamar, pikirnya hendak mengucapkan sesuatu untuk minta maaf pada sang istri, tapi seketika tidak tahu apa yang harus dikatakan. Tiba-tiba ia melihat botol obat di lemari pada sudut kamar sana berserakan tak teratur, segera ia mengomel, "Hm, Ling-ji ini benar-benar kurang ajar, masih kecil sudah tanya tentang 'Im-yang-ho-hap-san' apa segala, sekarang berani mengubrak-abrik lagi kamarku."
Sembari berkata, ia terus mendekati lemari obat untuk membetulkan botol-botol obat yang tak keruan itu dan tanpa sengaja sebelah kakinya mendadak menginjak di atas papan yang dilubangi Hoa Hek-kin. Keruan Hek-kin kaget, cepat ia menyanggah dari bawah sekuatnya agar tidak diketahui orang.
"Di mana Ling-ji?" tiba-tiba Ciong-hujin tanya. "Selama beberapa hari ini banyak kedatangan orang jahat, Ling-ji harus diperingatkan jangan sembarang keluar. Aku lihat mata maling In Tiong-ho itu selalu mengincar Ling-ji saja, kukira kau pun harus hati-hati."
"Aku hanya hati-hati menjaga engkau seorang, wanita cantik seperti engkau, siapa yang tidak menaksir padamu?" demikian sahut Ban-siu dengan tertawa.
"Cis!" semprot nyonya Ciong. Lalu ia berseru memanggil, "Ling-ji!"
Segera seorang pelayan mendekat dan memberi tahu bahwa barusan saja sang Siocia berada di situ.
"Coba cari dan undang kemari," perintah Ciong-hujin.
Sudah tentu Ciong Ling mendengar semua percakapan ayah-bundanya itu. Tapi apa daya, mulut tersumbat tanah, sama sekali tak dapat bersuara, hanya dalam hati kelabakan setengah mati.
Dalam pada itu terdengar Ciong Ban-siu lagi berkata pada sang istri, "Engkau mengaso saja di sini, aku akan keluar mengawani tamu."
"Hm, kau berjuluk 'Kian-jin-ciu-sat' (melihat orang lantas membunuh), kenapa sesudah tua lantas `Kian-jin-ciu-bah' (melihat orang lantas takut)?" sindir Ciong-hujin.
Ban-siu tidak berani marah, sambil menyengir kuda ia tinggal keluar ke ruangan depan.
Dalam pada itu, di kota Tayli dengan gembira rakyat sedang merayakan dihapuskannya cukai garam.
Hendaklah maklum bahwa produksi garam di wilayah Hunlam sangat terbatas, seluruh negeri hanya ada sembilan sumur garam, yaitu sumber penghasil garam yang terdapat di daratan Tiongkok bagian barat daya. Maka setiap tahun kerajaan Tayli mengimpor sebagian besar garam dari daerah Sucoan dengan cukai garam yang berat, bahkan sebagian besar dari penduduk di pinggiran negeri itu dalam setahun hampir setengah tahun mesti makan secara tawar tanpa garam.
Po-ting-te tahu bila cukai garam sudah dihapuskan, tentu Ui-bi-ceng akan berusaha menyelamatkan Toan Ki untuk membalas kebijaksanaannya itu. Biasanya Po-ting-te sangat kagum terhadap ilmu silat serta kecerdikan Ui-bi-ceng itu, keenam anak muridnya pun memiliki ilmu silat yang tinggi, jika guru dan murid bertujuh orang keluar sekaligus, pasti akan gol usaha mereka.
Tak terduga, sesudah ditunggu sehari semalam, ternyata tiada sedikit pun kabar yang diperoleh, hendak memerintahkan Pah Thian-sik pergi mencari tahu, siapa sangka Pah-sugong dan Hoa-suto serta Hoan-suma juga ikut menghilang tanpa pamit.
Keruan Po-ting-te menjadi khawatir, pikirnya, "Jangan-jangan Yan-king Taycu memang teramat lihai hingga Ui-bi Suheng bersama murid-muridnya dan ketiga pembantuku telah terjungkal semua di Ban-jiat-kok?"
Karena itu, segera ia undang berkumpul adik pangeran Toan Cing-sun dan permaisuri, Sian-tan-hou Ko Sing-thay serta tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, lalu diajak berangkat ke Ban-jiat-kok pula.
Karena khawatirkan keselamatan sang putra, Si Pek-hong minta Po-ting-te suka mengerahkan pasukan untuk menyapu bersih Ban-jiat-kok, namun sang raja yang bijaksana itu tidak setuju, ia ingin pertahankan kehormatan dan nama baik keluarga Toan sebagai tokoh utama dunia persilatan, kalau tidak terpaksa, ia tetap bertindak menurut peraturan Kangouw.
Dan baru saja rombongan mereka sampai di mulut lembah yang dituju, tertampaklah In Tiong-ho memapak mereka dengan tertawa, ia memberi hormat lebih dulu, lalu berkata, "Selamat datang! Ciong-kokcu menduga Paduka Yang Mulia hari ini pasti akan berkunjung kemari lagi, maka Cayhe disuruh menanti di sini. Bila kalian datang bersama pasukan secara besar-besaran, kami lantas angkat langkah seribu. Tapi bila kalian datang menurut peraturan Kangouw, maka kalian disilakan masuk untuk minum dulu!"
Melihat pihak lawan sedemikian tenang, terang sudah siap sedia sebelumnya, tidak seperti tempo hari, begitu datang lantas saling labrak, maka diam-diam Po-ting-te tambah khawatir dan lebih prihatin. Segera ia membalas hormat dan berkata, "Terima kasih atas penyambutanmu!"
Segera In Tiong-ho mendahului dan membawa rombongan Po-ting-te ke ruangan tamu. Begitu melangkah masuk ke ruangan pendopo itu, Po-ting-te lantas melihat ruangan itu sudah banyak berkumpul tokoh-tokoh Kangouw, kembali ia tambah waswas.
Segera In Tiong-ho berteriak, "Ciangbunjin Thian-lam Toan-keh Toan-losu tiba!"
Ia tidak bilang "Paduka Yang Mulia Raja Tayli", tapi menyebutkan gelar keluarga Toan dalam kalangan Bu-lim, suatu tanda ia sengaja menyatakan segala tindak tanduk selanjutnya harus dilakukan menurut peraturan Bu-lim.
Nama Toan Cing-beng sendiri dalam Bu-lim memang terhitung juga seorang tokoh terkemuka dan disegani. Maka begitu mendengar namanya, seketika hadirin berbangkit sebagai tanda menyambut. Hanya Lam-hay-gok-sin yang masih duduk seenaknya di tempatnya sambil berseru, "Kukira siapa, tak tahunya Hongte-loji (si tua raja) yang datang! Baik-baikkah kau?"
Sebaliknya Ciong Ban-siu lantas melangkah maju dan menyapa, "Ciong Ban-siu tidak keluar menyambut, harap Toan-losu suka memaafkan!"
"Ah, jangan sungkan!" sahut Po-ting-te.
Oleh karena pertemuan ini dilakukan secara orang Bu-lim, maka ketika disilakan duduk, Toan Cing-sun dan Ko Sing-thay lantas duduk di sisi Po-ting-te, sedang Leng Jian-li berempat berdiri di belakang Po-ting-te, segera pula pelayan menyuguhkan minuman.
Melihat Ui-bi-ceng dan murid-muridnya serta Pah Thian-sik bertiga tidak tampak di situ, diam-diam Po-ting-te pikir cara bagaimana harus buka mulut untuk menanyakannya.
Sementara itu Ciong Ban-siu lantas buka suara, "Atas kunjungan kedua kalinya dari Toan-ciangbun ini, sungguh aku merasa mendapat kehormatan besar. Mumpung ada sekian banyak kawan Bu-lim berkumpul di sini, biarlah kuperkenalkan satu per satu kepada Toan-ciangbun."
Habis berkata, segera Ban-siu memperkenalkan Co Cu-bok, Be Ngo-tek, Hui-sian Hwesio dan lain-lain kepada raja Tayli itu. Sebagian besar Po-ting-te tidak kenal, tapi ada juga yang pernah mendengar namanya.
Setiap orang yang diperkenalkan itu lantas saling memberi hormat pula dengan Po-ting-te. Be Ngo-tek, Co Cu-bok dan kawan-kawannya sangat menghormat dan merendah diri terhadap Po-ting-te, sebaliknya Liu Cu-hi, Cin Goan-cun dan begundalnya bersikap sangat angkuh. Sedangkan Kah-yap Siansu, Kim Tay-peng, Su An dan lain-lain memandang Po-ting-te sebagai kaum Cianpwe, mereka tidak terlalu merendahkan derajat sendiri juga tidak menjilat orang.
Lalu Ciong Ban-siu berkata lagi, "Mumpung Toan-ciangbun sempat berkunjung kemari, sudilah kiranya tinggal lebih lama barang beberapa hari di sini, agar para saudara bisa minta petunjuk."
"Keponakanku Toan Ki berbuat salah pada Ciong-kokcu dan ditahan di sini, kedatanganku hari ini pertama adalah ingin mintakan ampun bagi bocah itu, kedua ingin minta maaf juga. Harap Ciong-kokcu suka memandang diriku, sudilah mengampuni anak yang masih hijau itu, untuk mana aku merasa terima kasih sekali," demikian jawaban Po-ting-te.
Mendengar itu, diam-diam para kesatria sangat kagum, pikir mereka, "Sudah lama kabarnya Toan-hongya dari Tayli suka menghadapi kaum sesama Bu-lim dengan peraturan Bu-lim pula, dan nyatanya memang tidak omong kosong. Padahal wilayah ini masih di bawah kekuasaan Tayli, bila dia mengirim beberapa ratus prajuritnya sudah cukup untuk membebaskan keponakannya itu, tapi dia justru datang sendiri untuk memohon secara baik-baik."
Dalam pada itu Ciong Ban-siu sedang terbahak-bahak, belum lagi menjawab, tiba-tiba Su An telah menyela, "Hah, kiranya Toan-kongcu berbuat salah sesuatu kepada Ciong-kokcu, jika demikian, untuk itu kuikut mohon ampun baginya, sebab aku pernah mendapat pertolongan dari Toan-kongcu."
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar mendadak, bentaknya, "Urusan muridku, buat apa kau ikut cerewet?"
"Toan-kongcu adalah gurumu dan bukan muridmu," cepat Ko Sing-thay menjawabnya dengan mengejek. "Kau sendiri sudah menyembah dan mengangkat guru padanya, apa sekarang kau hendak menyangkal?"
Muka Lam-hay-gok-sin menjadi merah, ia memaki, "Keparat, Locu takkan menyangkal. Hari ini biar Locu membunuh juga Suhu yang cuma namanya saja, tapi kenyataannya tidak. Hm, masakah Locu mempunyai seorang guru macam begitu, bisa mati kaku aku!"
Karena tidak tahu seluk-beluknya, keruan semua orang merasa bingung oleh tanya jawab itu.
Kemudian Si Pek-hong ikut bicara, "Ciong-kokcu, lepaskan putraku atau tidak, hanya bergantung satu kata ucapanmu saja."
"Oya, tentu saja kulepaskan dia, tentu kulepaskan!" sahut Ciong Ban-siu dengan tertawa. "Buat apa kutahan putramu itu?"
"Benar," tiba-tiba In Tiong-ho menimbrung. "Dasar Toan-kongcu tampan dan ganteng, sedangkan nyonya Ciong-kokcu sangat cantik ayu, kalau Toan-kongcu tinggal terus di lembah ini, apakah itu bukannya memiara serigala di kandang kambing dan cari penyakit sendiri? Maka sudah tentu Ciong-kokcu akan melepaskan bocah itu!"
Semua orang menjadi tercengang oleh kata-kata In Tiong-ho yang tidak kenal aturan dan tanpa tedeng aling-aling itu, nyata suami-istri Ciong Ban-siu sama sekali tak terpandang sebelah mata olehnya, sungguh julukan "Kiong-hiong-kek-ok" atau jahat dan buas luar biasa, memang tidak bernama kosong.
Tentu saja Ciong Ban-siu menjadi murka, syukur ia masih bisa menahan diri, katanya sambil berpaling, "In-heng, kalau urusan di sini sudah selesai, pasti akan kubelajar kenal dengan kepandaianmu."
"Bagus, bagus!" sahut In Tiong-ho tertawa. "Akan justru sudah lama ingin membunuh suaminya untuk mendapatkan istrinya, ingin kurebut hartanya serta mendiami lembahnya ini!"
Keruan para kesatria tambah terkesiap. Segera It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng berkata, "Para kesatria Kangouw kan belum mati seluruhnya, sekalipun kepandaian 'Thian-he-su-ok' kalian sangat tinggi, betapa pun takkan terhindarkan dari keadilan umum."
Tiba-tiba Yap Ji-nio terbahak-bahak dengan suaranya yang nyaring, katanya, "Kim-siangkong, aku Yap Ji-nio tiada permusuhan apa-apa denganmu, kenapa aku ikut-ikut disinggung, ha?"
Hati Kim Tay-peng tergetar oleh suara tertawa orang yang mengguncang sukma itu. Begitu juga Co Cu-bok berdebar-debar, terutama bila teringat putra sendiri hampir menjadi korban wanita iblis itu, tanpa terasa ia melirik sekejap pada tokoh kedua Su-ok itu.
Yap Ji-nio sedang terkikik tawa, katanya pula, "He, Co-ciangbun, baik-baikkah putramu itu, tentu kini tambah gemuk dan putih mulus bukan?"
Co Cu-bok tidak berani membantah, sahutnya tak jelas, "Ah, tempo hari ia masuk angin, sampai sekarang masih belum sehat."
"O, kasihan!" ujar Ji-nio. "Biarlah nanti kujenguk putramu yang baik itu."
Keruan Co Cu-bok terkejut, cepat ia goyang-goyang tangannya dan berkata, "Jang ... jangan, ti ... tidak usah!"
Sudah tentu ia khawatir, kalau orang benar-benar bermaksud baik menjenguk anaknya tentu tak mengapa, tapi kalau digondol lari lagi untuk diisap darahnya, kan celaka!
Melihat suasana begitu, diam-diam Po-ting-te membatin, "Rupanya kejahatan `Su-ok' memang sudah keterlaluan dan banyak mengikat permusuhan, nanti kalau Ki-ji sudah diselamatkan, boleh juga sekalian cari kesempatan untuk membasminya. Yan-king Taycu dari Su-ok ini meski terhitung orang keluarga Toan, tapi akhirnya akan tiba juga hari tamatnya sesuai dengan julukannya `kejahatan sudah melebihi takaran'."
Dan karena melihat pembicaraan orang-orang itu telah menyimpang dari persoalan pokok, segera Si Pek-hong berbangkit dan bicara lagi, "Ciong-kokcu, jika engkau sudah menyanggupi akan mengembalikan anakku, baiklah sekarang suruh dia keluar, biar kami ibu dan anak bisa bertemu kembali."
Cepat Ciong Ban-siu juga berbangkit dan menyahut, "Baik!"
Mendadak ia menoleh dan mendelik pada Toan Cing-sun dengan penuh rasa dendam, katanya pula sambil menghela napas, "Toan Cing-sun, engkau mempunyai istri cantik dan putra tampan, mengapa engkau masih belum puas dan masih sok bangor? Jika hari ini harus menanggung malu di depan umum, itu adalah akibat perbuatanmu sendiri dan jangan menyalahkan aku orang she Ciong."
Pada waktu mendengar Ciong Ban-siu bersedia membebaskan Toan Ki begitu saja, Toan Cing-sun sudah sangsi urusan pasti takkan terjadi demikian sederhana, tentu musuh sudah mengatur sesuatu muslihat keji, maka demi mendengar ucapan Ban-siu itu, segera ia mendekati Kokcu itu dan menjawab tegas, "Ciong Ban-siu, kau sendiri punya anak-istri, bila kau bermaksud membikin celaka orang, aku Toan Cing-sun pasti akan membikin kau menyesal selama hidup."
Melihat sikap pangeran Tayli yang gagah perkasa dan agung itu, Ciong Ban-siu merasa dirinya semakin jelek, rasa siriknya bertambah menyala-nyala, segera teriaknya, "Urusan sudah begini, biarpun akhirnya Ciong Ban-siu harus gugur dan rumah tangga hancur, betapa pun aku akan melawan sampai titik darah penghabisan. Ayolah, kau ingin putramu, mari ikut padaku!"
Habis berkata, segera ia mendahului bertindak keluar.
Setelah beramai-ramai semua orang ikut Ciong Ban-siu sampai di depan pagar pohon yang lebat itu, In Tiong-ho sengaja pamer Ginkang, sekali lompat, segera ia melintasi pagar pohon yang tinggi itu.
Toan Cing-sun pikir urusan hari ini terang tak dapat diselesaikan secara damai, akan lebih baik sekarang juga memberi sedikit demonstrasi, agar pihak lawan tahu gelagat dan mundur teratur. Maka katanya segera, "Tiok-sing, penggal beberapa pohon itu, agar mudah dilalui semua orang!"
Jay-sin-khek Siau Tiok-sing, si Pencari Kayu, mengiakan sekali lalu mengayun kapaknya, sekali bacok, bagai pisau mengiris tahu saja, seketika sebatang pohon ditebang putus di dekat pangkalnya. Menyusul Tiam-jong-san-long hantamkan sebelah tangannya ke depan hingga pohon itu mencelat dan tersangkut di antara pohon-pohon yang lain.
Beruntun-runtun tampak kapak bekerja cepat pula hingga dalam sekejap saja sudah ada lima batang pohon yang tumbang, maka berwujudlah sekarang sebuah pintu masuk.
Ciong Ban-siu menanam dan merawat pagar pohon itu selama bertahun-tahun dengan susah payah, tentu saja ia menjadi gusar pohon itu ditebang dan dirusak oleh Siau Tiok-sing. Tapi segera terpikir olehnya, "Orang-orang she Toan dari Tayli hari ini bakal dibikin malu besar, buat apa aku mesti ribut urusan tetek bengek ini."
Karena itu, tanpa bicara lagi ia lantas mendahului masuk melalui pintu pagar pohon yang bobol itu.
Maka tertampaklah segera di balik pohon sana Ui-bi-ceng dan Jing-bau-khek, yang satu menggunakan tangan kiri menahan ujung tongkat bambu yang lain, ubun-ubun kedua orang kelihatan mengepulkan kabut putih, terang kedua orang sedang mengadu Lwekang.
Mendadak Ui-bi-ceng mengulur tangan dan menekan sekali di atas papan batu di depan situ hingga berwujud suatu lekukan. Menyusul mana, hanya berpikir sejenak, Jing-bau-khek juga ikut menggores satu lingkaran kecil dengan tongkat bambunya.
Melihat itu segera Po-ting-te mengerti duduknya perkara. Kiranya Ui-bi Suheng itu di samping bertanding catur dengan Yan-king Taycu, berbareng juga mengadu Lwekang dengan tokoh utama dari Su-ok itu. Jadi mengadu otak dan tenaga secara berbareng, cara bertanding lain dari yang lain ini sesungguhnya sangat berbahaya. Pantas, makanya sudah ditunggu sehari semalam sang Suheng masih tiada kabar beritanya, rupanya pertandingan demikian itu sudah berlangsung selama sehari semalam dan masih belum ketahuan siapa akan menang atau kalah.
Sepintas lalu Po-ting-te melihat kedudukan di atas papan catur, kedua pihak sama-sama sedang menghadapi satu langkah sulit yang menentukan, rupanya Ui-bi-ceng berada di pihak terdesak, maka mati-matian padri itu sedang mencari jalan keluar bagi biji caturnya itu.
Waktu Po-ting-te menengok pula ke arah rumah batu, ia lihat keenam murid Ui-bi-ceng sedang duduk bersila di depan rumah dengan wajah pucat dan mata merem, mirip orang yang sudah hampir putus napas yang penghabisan. Keruan ia terkejut, pikirnya, "Apa barangkali keenam murid Suheng ini telah bergebrak dulu dengan Yan-king Taycu dan telah terluka parah semua?"
Segera ia mendekati mereka, ia coba periksa denyut nadi Boh-tam Hwesio, ia merasa denyut nadinya sangat lemah, seperti bergerak seperti tidak, seakan-akan setiap waktu bisa berhenti berdenyut.
Cepat Po-ting-te mengeluarkan sebuah botol porselen dan menuang keluar enam biji pil merah serta dijejalkan ke mulut keenam padri itu. Pil itu bernama "Hou-pek-wan," sangat manjur untuk menyembuhkan luka dalam. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Boh-tam berenam bukanlah terluka dalam, tapi disebabkan antero hawa murni dalam tubuh mereka telah kering benar-benar tersedot oleh Cu-hap-sin-kang Toan Ki yang mahalihai itu. Pil itu digunakan tidak tepat pada penyakitnya,
dengan sendirinya tidak berguna.
Dalam pada itu Cing-sun sedang berseru, "Jian-li, kalian berempat coba dorong batu besar itu, bebaskan Ki-ji dari dalam situ!"
Leng Jian-li berempat mengiakan, berbareng mereka lantas maju.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Ciong Ban-siu mencegah. "Apakah kalian mengetahui siapa-apa saja yang terkurung di dalam rumah itu?"
Toan Cing-sun dan jago-jagonya itu belum tahu bahwa Bok Wan-jing juga sudah ditawan Yan-king Taycu serta dikurung bersama Toan Ki di dalam satu kamar.
Bahkan kedua muda-mudi itu telah dicekoki "Im-yang-ho-hap-san", maka sama sekali mereka tidak curiga dan serentak hendak membebaskan Toan Ki dari penjara itu tanpa pikirkan apa yang bakal disaksikan orang banyak.
Kini demi mendengar ucapan Ciong Ban-siu itu, Cing-sun menjadi curiga, segera dampratnya, "Ciong-kokcu, bila kau berani bikin cacat sedikit pun atas diri putraku, hendaklah kau ingat bahwa engkau sendiri pun punya anak istri."
Nyata yang dikhawatirkan adalah jangan-jangan Toan Ki telah disiksa atau dicacatkan sesuatu anggota badannya.
Maka dengan tertawa mengejek Ciong Ban-siu menjawab, "Hehe, memang benar orang she Ciong juga punya anak istri, cuma anakku adalah perempuan, untung aku tidak punya anak laki-laki, andaikan punya, anakku laki-laki takkan melakukan perbuatan binatang dengan anak perempuanku sendiri."
"Kau sembarangan mengoceh apa?" bentak Cing-sun dengan gusar.
"Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing adalah putrimu dari hubungan gelap dengan wanita lain, bukan?" tanya Ban-siu dengan senyum ejek.
"Asal usul nona Bok pribadi, peduli apa kau ikut campur?" sahut Cing-sun dengan gusar.
"Hahaha, belum tentu bahwa aku yang suka ikut campur urusan," sahut Ban-siu terbahak-bahak. "Keluarga Toan kalian merajai negeri Tayli, di kalangan Kangouw juga gilang-gemilang pula namanya. Tapi kini biarlah para kesatria seluruh jagat membuka mata lebar-lebar untuk menyaksikan bahwa putra dan putri Toan Cing-sun sendiri telah berbuat maksiat di antara sesama saudara sendiri, sungguh dunia sudah terbalik!"
Mendengar itu, rasa curiga Toan Cing-sun semakin menjadi, pikirnya, "Apa benar Jing-ji juga berada di dalam rumah ini dan bersama Ki-ji sudah .... sudah ...."
Ia tidak berani membayangkan lebih lanjut lagi, ia cocokkan ucapan Ciong Ban-siu dari mula hingga sekarang, agaknya berada bersamanya kedua putra-putrinya di dalam satu kamar itu tak perlu disangsikan lagi.
Keruan seketika badannya serasa dingin bagai kecemplung di sungai es, diam-diam ia mengeluh, "Betapa keji muslihat musuh ini!"
Dalam pada itu Ciong Ban-siu lantas memberi tanda kepada Lam-hay-gok-sin, segera mereka berdua mulai hendak mendorong batu besar yang menutupi pintu rumah itu.
"Nanti dulu!" seru Cing-sun sambil ulur tangan hendak merintangi.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong Yap Ji-nio dan In Tiong-ho berbareng menyerangnya dari samping kanan dan kiri. Terpaksa Cing-sun angkat tangan menangkis, sedang Ko Sing-thay serentak pun menyusup maju untuk menangkis serangan In Tiong-ho.
Tak tersangka serangan kedua tokoh Su-ok itu hanya pancingan belaka, tangan yang satu pura-pura menyerang Toan Cing-sun, tapi tangan yang lain dipakai membantu mendorong batu besar penutup pintu itu.
Meski batu itu beratnya beribu kati, tapi di bawah dorongan tenaga bersama Ciong Ban-siu, Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho berempat, seketika batu itu menggelinding ke samping.
Tindakan mereka itu memang sudah direncanakan, maka sama sekali Toan Cing-sun tak mampu merintanginya. Di samping itu Cing-sun sendiri sebenarnya juga ingin lekas mengetahui keadaan putranya, maka tidak mencegah sekuat tenaga.
Dan begitu batu penutup pintu itu didorong ke pinggir, tertampaklah di dalam rumah batu itu gelap gulita belaka, sedikit pun tidak kelihatan pemandangan di dalam rumah.
"Huh, dua muda-mudi berada sendirian di dalam kamar segelap itu, dapat dibayangkan perbuatan apa yang akan dilakukan mereka!" demikian Ciong Ban-siu menjengek.
Baru lenyap ucapannya, tiba-tiba terlihat dari dalam rumah bertindak keluar seorang pemuda dengan rambut terurai, badan bagian atas telanjang, siapa lagi dia kalau bukan Toan Ki adanya? Bahkan di tangan pemuda itu membawa pula seorang wanita tak berkutik seperti orang yang tak sadarkan diri.
Melihat itu, alangkah malunya rasa Po-ting-te, Toan Cing-sun pun menunduk kepala, sedangkan Si Pek-hong mengembeng air mata sambil berkomat-kamit, "Karma! Hukum karma!"
Lekas Ko Sing-thay menanggalkan bajunya dengan maksud agar dipakai Toan Ki, sedang Oh-pek-kiam Su An mengingat pemuda itu pernah menolong jiwanya, ia merasa tidak tega kalau Toan Ki dibikin malu di depan orang banyak, maka cepat ia melompat maju untuk mengalingkan di depan pemuda itu.
Sebaliknya Ciong Ban-siu terbahak-bahak senang. Tapi mendadak suara tertawanya berubah menjadi jeritan kaget menyeramkan, "He, kau, Ling-ji?"
Mendengar suara teriakan itu, hati semua orang ikut terkesiap. Ketika semua orang memerhatikan apa yang terjadi, tertampak Ciong Ban-siu sedang menubruk ke arah Toan Ki terus hendak merampas wanita yang berada di pondongan pemuda itu.
Maka sekarang dapatlah semua orang melihat jelas wajah wanita yang dipondong Toan Ki itu, tampak umurnya lebih muda daripada Bok Wan-jing, tubuhnya juga lebih kecil mungil, mukanya masih kekanak-kanakan, terang bukan Hiang-yok-jeh yang tersohor itu, tapi Ciong Ling, putri kesayangan Ciong Ban-siu sendiri.
Dalam kaget dan gusarnya, Ciong Ban-siu tidak mengerti sebab apa mendadak putri kesayangannya itu bisa berada di dalam situ, dengan cepat ia sambut putrinya itu dari pondongan Toan Ki. Tak terduga, begitu kedua tangannya menyentuh badan Ciong Ling, sekonyong-konyong tubuhnya tergetar hebat, tenaga murni dalam tubuh sendiri seakan-akan hendak terbang
meninggalkan raganya.
Waktu itu Toan Ki sendiri belum lagi sadarkan diri, dalam keadaan samar-samar terasa dirinya dirubung orang banyak, lamat-lamat di antaranya terdapat paman dan kedua orang tua, segera ia lepaskan Ciong Ling dan berseru memanggil, "Mak, Pekhu, Ayah!"
Dan karena dilepaskannya Ciong Ling oleh Toan Ki, maka Cu-hap-sin-kang yang hebat itu tidak jadi menyedot hawa murni Ciong Ban-siu.
Oleh karena sudah lama berdiam di tempat gelap, kini Toan Ki menjadi silau oleh sinar matahari yang terang benderang itu hingga seketika matanya susah dipentang. Sebaliknya antero badannya terasa sangat kuat, semangat berkobar-kobar, tulang anggota badan terasa enteng seakan-akan bisa terbang saja.
Dalam pada itu Si Pek-hong sudah lantas mendekat serta merangkul sang putra dan bertanya, "Ki-ji, ken ... kenapakah kau?"
"En ... entahlah, aku sendiri tidak tahu. Di ... di manakah aku berada?" demikian sahut Toan Ki.
Sungguh sama sekali tak terpikir oleh Ciong Ban-siu bahwa muslihatnya yang hendak bikin malu orang, kini berbalik senjata makan tuan, putri sendiri yang menjadi korban malah. Sedikit pun tidak terpikir olehnya bahwa wanita yang dipondong keluar oleh Toan Ki bukanlah Bok Wan-jing, melainkan putri kesayangannya itu.
Setelah tertegun sejenak, kemudian ia pun lepaskan Ciong Ling ke tanah.
Ketika menyadari dirinya cuma memakai baju dalam melulu, keruan Ciong Ling malu tak terkatakan. Cepat Ban-siu menanggalkan baju sendiri untuk ditutupkan di atas badan sang putri. Menyusul ia lantas persen sekali tamparan di pipi Ciong Ling hingga muka gadis itu merah bengap.
"Tidak malu! Siapa yang menyuruhmu berada bersama binatang cilik itu?" demikian Ban-siu memaki.
Tentu saja Ciong Ling merasa penasaran, katanya dengan menangis, "Aku ... aku ...." tapi sukar untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Tiba-tiba terpikir oleh Ciong Ban-siu, "Bukankah Bok Wan-jing juga terkurung di dalam rumah batu ini, betapa pun dia takkan mampu membuka batu penutup pintu ini, jelas dia masih berada di dalam, biar aku memanggilnya keluar, paling tidak dia akan menanggung sebagian dari rasa malu putriku ini."
Karena itu segera ia berteriak-teriak, "Bok-kohnio, silakan lekas keluar!"
Namun berulang-ulang ia berteriak hingga bejat kerongkongannya sekalipun tetap tiada sesuatu suara jawaban di dalam rumah batu itu.
Dengan tak sabar segera Ciong Ban-siu mendekati pintu dan coba melongok ke dalam, rumah itu tidak luas, maka sekejap saja sudah kentara bahwa di dalam kosong melompong, tiada bayangan seorang pun. Keruan dada Ciong Ban-siu hampir-hampir meledak saking gusarnya, ia putar balik dan segera hendak hajar lagi putrinya itu sambil membentak, "Biar kumampuskan kau budak yang memalukan ini!"
Sekonyong-konyong dari samping ada orang menangkis tamparannya itu, nadi tangannya terasa kesemutan tersentuh oleh jari orang. Lekas Ban-siu tarik kembali tangannya dan baru diketahuinya bahwa yang menyerangnya dari samping itu adalah Toan Cing-sun. Keruan ia tambah gusar, bentaknya, "Aku menghajar anakku sendiri, peduli apa denganmu?"
Cing-sun menjawab dengan tersenyum, "Ciong-kokcu, rupanya engkau telah memberi pelayanan istimewa kepada putraku itu, khawatir dia kesepian di dalam rumah itu, sampai-sampai putri kesayanganmu disuruh mengawaninya, sungguh aku merasa sangat berterima kasih. Dan karena urusan sudah telanjur, nasi sudah menjadi bubur, putrimu sudah terhitung anggota keluarga Toan kami, dengan sendirinya aku tak bisa tinggal diam lagi."
"Apa? Terhitung anggota keluarga Toan kalian?" sahut Ban-siu dengan gusar.
"Habis, selama beberapa hari putrimu telah melayani anakku si Toan Ki di dalam rumah ini, coba bayangkan, sepasang muda-mudi berada sendirian di tempat segelap ini, kelihatan pula baju mereka terbuka, lalu perbuatan apa yang telah mereka lakukan?" demikian kata Cing-sun dengan tertawa. "Putraku adalah ahli waris Tin-lam-ong, meski sudah melamar putri Sian-tan-hou sebagai istri, tapi sebagai seorang calon pangeran, apa salahnya kalau punya beberapa istri dan selir? Dan dengan demikian, bukankah engkau sudah menjadi Jinkeh (besan) dengan aku? Hahaha, hahaaaaah!"
Sungguh gusar Ciong Ban-siu tak tertahan lagi, ia melompat maju dan beruntun menghantam tiga kali.
Namun dengan terbahak-bahak Cing-sun dapat mematahkan setiap serangan orang kalap itu.
Diam-diam para kesatria sangat kagum pada pengaruh keluarga Toan yang ternyata tidak boleh sembarangan dihina itu, Ciong-kokcu hendak menghancurkan nama baik mereka, tapi entah dengan cara bagaimana tahu-tahu malah putri Ciong-kokcu sendiri yang telah ditukar dan dikurung di dalam rumah batu itu.
Kiranya kejadian itu tak-lain tak-bukan adalah hasil karya Hoa Hek-kin bertiga. Waktu mereka menawan Ciong Ling ke dalam lorong, maksud mereka cuma untuk menghindarkan rahasianya dibongkar oleh gadis itu. Tapi kemudian sesudah mendengar percakapan suami-istri Ciong Ban-siu, mereka tahu nama baik keluarga Toan sedang diuji oleh tipu muslihat yang diatur bersama antara Ciong Ban-siu dan Yan-king Taycu.
Segera mereka bertiga berunding di bawah tanah situ dan merasa urusan itu besar sekali sangkut pautnya dengan junjungan mereka, pula waktunya sudah sangat mendesak. Maka begitu Ciong-hujin keluar dari kamar itu, segera Pah Thian-sik menerobos keluar, dengan Ginkang yang tinggi ia menyelidiki lebih pasti di mana letak rumah batu yang dituju itu. Dan sesudah ditentukan pula arah galian baru, segera mereka bertiga mempercepat galian lorong di bawah tanah itu hingga semalam suntuk, baru pagi hari itu mereka menggali sampai di bawah rumah batu yang tepat.
Ketika Hoa Hek-kin menggangsir ke atas lagi dan menerobos ke dalam rumah, ia lihat Toan Ki sedang memegang tangan orang di luar rumah dengan kencang, wajahnya tampak sangat aneh. Sudah tentu tak terpikir oleh Hek-kin bahwa tangan yang terjulur dari luar rumah itu adalah tangan Boh-tin Hwesio, sebaliknya ia menyangka sebagai tangan Yan-king Taycu, maka ia tidak berani mengajak bicara pada Toan Ki, hanya perlahan ia tepuk bahu pemuda itu.
Tak terduga olehnya, begitu tangannya menyentuh badan Toan Ki, seketika tubuh sendiri tergetar seperti menyenggol besi bakar panasnya. Ia menjadi khawatir pula ketika melihat kedua mata pemuda itu merah membara, sekuatnya ia bermaksud menarik Toan Ki terlepas dari genggaman tangan orang di luar itu, untuk kemudian melarikan diri melalui lorong di bawah tanah yang digalinya itu.
Siapa sangka, begitu tangannya memegang tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuh Hoa Hek-kin seakan-akan bocor keluar, saking kagetnya sampai ia menjerit.
Pah Thian-sik dan Hoan Hua adalah orang yang sangat cerdik, begitu melihat gelagat kurang beres, cepat mereka pun melompat ke atas untuk menarik Hoa Hek-kin dan dibetot sekuatnya. Dan berkat tenaga gabungan ketiga orang itulah dapat Hoa Hek-kin terlepas dari sedotan Cu-hap-sin-kang yang lihai itu.
Untunglah tenaga dalam ketiga tokoh kerajaan Tayli itu jauh lebih tinggi daripada Boh-tin berenam, pula dapat bertindak cepat sebelum kasip, namun demikian, toh mereka pun kaget luar biasa hingga mandi keringat dingin. Pikir mereka, "Ilmu sihir Yan-king Taycu ini sungguh sangat lihai."
Karena itu juga mereka tidak berani menyentuh badan Toan Ki lagi.
Dan pada saat itu juga di luar terdengar suara ramai-ramai datangnya rombongan Po-ting-te, lalu Ciong Ban-siu sedang menyindir dengan terbahak-bahak. Tabiat Hoan Hua sangat jenaka dan banyak akal, tiba-tiba pikirannya tergerak, "Ciong Ban-siu ini benar-benar jahat, biar kita kerjai dia agar malu sendiri."
Terus saja mereka mencopot baju luar Ciong Ling untuk dipakai Bok Wan-jing, lalu mereka seret Bok Wan-jing ke dalam lorong serta menutup kembali lantai batu yang mereka gali itu hingga tidak kentara sesuatu yang mencurigakan.
Begitulah setelah Toan Ki telah keluar rumah batu itu, oleh karena hawa murni Boh-tin berenam tak dapat dihimpunnya ke dalam perut untuk dijalankan menurut keinginannya, maka enam arus hawa murni yang sangat kuat itu masih terus bergolak dalam tubuh hingga isi perut seakan-akan keterjang jungkir balik, ia menjadi sempoyongan dan tak bisa berdiri tegak.
Melihat itu, Po-ting-te menyangka sang keponakan keracunan jahat, cepat ia tutuk ketiga Hiat-to penting "Jin-yang", "Thay-yang" dan "Leng-tay-hiat" di badan pemuda itu, walaupun hawa murni itu masih belum bisa disalurkan ke tempat yang semestinya, namun pikiran Toan Ki menjadi rada jernih, ia sudah bisa bicara dengan terang, "Pekhu, aku kena racun Im-yang-ho-hap-san."
Po-ting-te merasa lega keselamatan Toan Ki tidak berbahaya, tapi segera teringat olehnya pertandingan di antara Ui-bi-ceng dan Yan-king Taycu sedang mencapai klimaksnya, maka ia tak sempat mengurus Toan Ki lebih jauh dan mendekati Ui-bi-ceng untuk mengikuti pertandingan otak dan Lwekang kedua orang itu.
Ia lihat jidat Ui-bi-ceng penuh butiran keringat sebesar kedelai, sebaliknya Yan-king Taycu tampak tenang-tenang saja seperti tidak merasakan apa-apa. Terang kekuatan kedua pihak itu sudah kentara nyata, mati hidup Ui-bi-ceng bergantung dalam sekejap saja.
Dalam pada itu karena pikiran Toan Ki sudah jernih kembali, ia pun memerhatikan lagi situasi percaturan kedua orang itu. Ia lihat jalan mundur Ui-bi-ceng sudah buntu, bila Yan-king Taycu mendesak maju lagi satu biji, maka Ui-bi-ceng pasti akan menyerah kalah.
Benar juga, ia lihat tongkat bambu Yan-king Taycu sedang diangkat dan akan menggores batu pula, tempat yang dituju itu adalah tepat langkah yang mematikan lawannya.
Keruan Toan Ki khawatir, pikirnya, "Biar aku mengacaunya sekali ini!"
Segera ia ulur tangan untuk menahan ujung tongkat orang yang akan digoreskan itu.
Sungguh kejut Yan-king Taycu tak terkatakan ketika mendadak terasa tongkatnya tertahan sesuatu, berbareng lengan tergetar dan tenaga murni seakan-akan membanjir keluar tak tertahankan. Waktu ia lirik, ia lihat Toan Ki sedang menahan tongkat dengan dua jarinya.
Keruan ia tambah kaget dan heran, "Tempo hari waktu menangkap bocah ini, terang sedikit pun ia tak bisa ilmu silat, paling-paling cuma pandai berkelit dengan gerak langkah yang aneh, mengapa dalam waktu cuma beberapa hari mendadak bisa menggunakan ilmu sihir untuk menyedot tenaga murni orang? Apa barangkali tempo hari ia sengaja pura-pura bodoh dan baru sekarang turun tangan?"
Toan Ki sendiri tidak tahu bahwa sesudah makan dua ekor katak merah itu, dalam tubuh telah timbul semacam Cu-hap-sin-kang yang mempunyai daya isap luar biasa lihainya, tentu saja Yan-king Taycu lebih-lebih tidak mengerti mengapa bocah yang masih hijau itu sekonyong-konyong menjadi sedemikian saktinya.
Segera ia tarik napas dalam-dalam, ia kerahkan tenaga sekuatnya dan disalurkan ke tongkatnya, sekali puntir dan betot, seketika terlepaslah tongkat itu dari tangan Toan Ki.
Hendaklah diketahui bahwa Lwekang tokoh utama Su-ok itu tinggi sekali, jarang ada bandingannya di zaman ini. Toan Ki sendiri meski kini terhimpun tenaga murni dari Boh-tam berenam yang disedotnya itu, namun dia tak tahu cara menggunakannya, sedikit pun ia tak bisa mengerahkan tenaga, dengan sendirinya ia tergetar lepas dari puntiran tongkat lawan, segera ia merasa separuh badan kesemutan dan hampir jatuh pingsan.
Sebaliknya tenaga dalam yang dikerahkan Yan-king Taycu itu saking besarnya hingga ada juga sebagian yang tak keburu ditarik kembali lagi, dalam terkejutnya, tanpa sengaja tongkatnya lantas melambai ke bawah dan mencoret di atas batu.
Cepat Yan-king Taycu sadar dan juga mengeluh, namun sudah telanjur, tongkatnya sudah mencoret setengah lingkaran di atas peta catur, cuma bukan tempat yang ditujunya semula, tapi jatuh di sisinya, sehingga gagal bikin buntu jalan lawan. Seketika wajah Yan-king Taycu berubah.
Sebagai seorang tokoh yang menjaga gengsi, meski tahu salah langkah dan itu berarti kekalahan total baginya, namun Yan-king Taycu tidak mau ribut dengan Ui-bi-ceng, segera ia berbangkit sebagai tanda menyerah kalah. Tapi kedua tangan masih menahan di atas papan batu itu sambil memerhatikan papan catur hingga lama sekali.
Sebagian besar di antara hadirin itu belum pernah kenal siapa tokoh Jing-bau-khek, melihat sikapnya yang aneh itu, semua orang ikut memerhatikan juga apa yang dilakukannya.
Sampai lama Yan-king Taycu memandangi papan catur, mendadak ia angkat tongkatnya, tanpa berkata lagi ia putar tubuh dan melangkah pergi.
Pada saat lain, tiba-tiba angin meniup, papan batu tadi tampak bergoyang sedikit, sekonyong-konyong batu besar itu pecah berantakan menjadi belasan potong.
Keruan semua orang ternganga dan saling pandang dengan kesima, sungguh tak terpikir oleh mereka bahwa Jing-bau-khek yang tidak mirip manusia dan tidak serupa setan itu, ilmu silatnya ternyata sudah mencapai taraf yang sukar diukur.
Ui-bi-ceng sendiri meski sudah menangkan babak percaturan itu, namun dia masih duduk merenung di tempatnya dengan rasa syukur dan bingung pula. Syukur karena pertandingan yang berbahaya itu akhirnya dimenangkan olehnya, bingung pula mengapa Yan-king Taycu yang sudah terang memegang kunci kemenangan itu mendadak bisa menyumbat jalan hidup sendiri, bukankah itu sengaja mengalah? Tapi dalam keadaan demikian, tidaklah masuk akal bahwa orang sudi mengalah padanya.
Po-ting-te dan Toan Cing-sun juga merasa tidak mengerti oleh kejadian itu. Akan tetapi mereka tidak ambil pusing lebih jauh, yang terang sekarang Toan Ki sudah diselamatkan dan Yan-king Taycu sudah dikalahkan dan sudah pergi, nama baik keluarga Toan telah dipertahankan, pertarungan ini boleh dikatakan telah menang total.
Maka segera Toan Cing-sun berolok-olok lagi dengan tertawa, "Ciong-kokcu, putraku pasti bukan manusia yang tipis budi, sekali putrimu sudah menjadi selir putraku, dalam waktu singkat tentu akan kami kirim orang untuk memapaknya dan kami sekeluarga akan menyambut baik-baik dan sayang padanya seperti anak sendiri, harap engkau jangan khawatirkan urusan ini."
Ciong Ban-siu adalah seorang kasar, jiwanya sempit dan berangasan, karena tak tahan diolok-olok dan disindir Toan Cing-sun, ia menjadi naik darah lagi, tanpa tanya apakah Ciong Ling benar-benar telah dinodai Toan Ki atau tidak, terus saja ia cabut golok dari pinggangnya dan membacok kepala Ciong Ling sambil membentak, "Kau bikin aku mati gusar saja, biarlah kumampuskan budak hina dina ini lebih dulu!"
Sekonyong-konyong bayangan orang melayang tiba, dengan cepat luar biasa Ciong Ling telah dirangkul dan dibawa kabur beberapa tombak jauhnya. "Crat," golok Ban-siu membacok di atas tanah dan ketika ditegasi orang yang menyambar Ciong Ling itu kiranya adalah "Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho.
"Kau ... kau mau apa?" bentak Ban-siu dengan gusar.
"Kau tidak mau pada putrimu ini, maka hadiahkan saja padaku dan anggap dia sudah mati kau bacok barusan," sahut In Tiong-ho dengan cengar-cengir, berbareng itu orangnya lantas melesat pergi lagi beberapa tombak jauhnya.
Ia tahu bicara tentang ilmu silat, jangankan dirinya tak mampu menandingi Po-ting-te dan Ui-bi-ceng, sekalipun Toan Cing-sun atau Ko Sing-thay juga sudah lebih unggul daripadanya. Karena itu In Tiong-ho ambil keputusan, bila gelagat jelek, segera Ciong Ling akan digondolnya lari.
Pah Thian-sik yang diseganinya itu tidak tampak hadir di situ, maka dalam hal Ginkang, terang tiada seorang pun di antara hadirin itu mampu mengejarnya.
Ciong Ban-siu juga tahu Ginkang tokoh keempat dari Su-ok itu sangat lihai, untuk mengejar terang tak mampu, saking gemasnya ia cuma bisa berjingkrak sambil memaki kalang kabut.
Po-ting-te tempo hari sudah menyaksikan In Tiong-ho itu main udak-udakan dengan Pah Thian-sik, kini melihat orang menggondol Ciong Ling dan larinya begitu cepat dan enteng, terpaksa ia pun tak bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba timbul suatu akal dalam benak Toan Ki, segera ia berseru, "Gak-losam, sebagai gurumu, aku memerintahkanmu lekas rebut kembali nona cilik itu?"
Lam-hay-gok-sin tercengang sekejap, segera ia menjadi gusar dan membentak, "Keparat, apa katamu?"
"Kau telah menyembah aku sebagai guru, apakah kau berani menyangkal?" sahut Toan Ki. "Memangnya apa yang sudah kau katakan sendiri itu kau anggap seperti kentut saja?"
Seperti diketahui, biarpun Lam-hay-gok-sin itu sangat jahat dan buas, tapi ada suatu sifatnya yang terpuji, yaitu apa yang pernah ia janji atau katakan, tidak pernah ia mungkir dan pasti akan ditepati.
Ia mengangkat guru pada Toan Ki, meski hal ini seribu kali hatinya tidak rela, tapi ia juga tidak menyangkal, maka dengan mendelik gusar ia membentak pula, "Apa yang telah kukatakan sudah tentu tetap berlaku. Kau adalah guruku, lantas mau apa? Hm, jika Locu geregetan, guru macammu juga sekalian akan kubunuh."
"Baiklah jika kau sudah mengaku," ujar Toan Ki. "Sekarang nona Ciong itu digondol si jahat keempat itu, nona itu adalah istriku, jadi dia ibu-gurumu pula, maka lekas kau rebutnya kembali. Kalau In Tiong-ho menghina nona itu, sama artinya menghina ibu-gurumu, jika kau tak mampu membelanya, bukankah terlalu pengecut?"
Lam-hay-gok-sin tercengang sejenak, ia pikir benar juga teguran sang "guru" itu. Tapi lantas teringat olehnya bahwa Bok Wan-jing juga mengaku sebagai istrinya, kenapa nona cilik she Ciong ini diaku istrinya pula? Segera ia tanya, "Kenapa begitu banyak ibu-guruku? Sebenarnya berapa orang istrimu?"
"Tak perlu kau tanya," sahut Toan Ki. "Yang penting, lekaslah kau laksanakan perintahku, bila tidak dapat merebut kembali ibu-gurumu, itu berarti kau tiada muka buat bertemu lagi dengan kesatria-kesatria di jagat ini, sekian orang gagah di sini telah menyaksikan, kalau kau tak mampu menangkan In Tiong-ho yang nomor empat, ya, biar urutanmu diturunkan menjadi nomor lima saja, bisa jadi nomor enam malah!"
Mana Lam-hay-gok-sin sudi terima olok-olok demikian? Suruh dia berada di bawah nama In Tiong-ho, hal ini baginya lebih celaka daripada mati. Karena itu, ia menggerung keras-keras sambil berlari mengudak ke arah In Tiong-ho dan membentak, "Lepaskan ibu-guruku!"
Cepat In Tiong-ho melayang beberapa tombak pula ke depan sambil berseru, "Gak-losam, sungguh tolol, ditipu orang masakah tidak tahu!"
Keruan marah Lam-hay-gok-sin semakin berkobar, biasanya ia paling suka mengaku dirinya paling pintar, masakan di hadapan orang banyak dicemooh sebagai orang tolol? Segera ia "tancap gas" lebih kencang untuk mengejar. Maka dengan cepat sekali kedua orang yang saling uber itu telah melintas beberapa lereng bukit.
Ciong Ban-siu yang kehilangan anak perempuan itu, meski dalam kalapnya tadi putrinya hendak dibacok mati, tapi kini demi melihat putrinya digondol lari orang jahat, betapa pun soal darah daging, apalagi nanti kalau ditanya sang istri, bagaimana dia harus memberi tanggung jawab? Maka tanpa pikir lagi ia pun ikut mengejar dengan golok terhunus.
Melihat pelaku utamanya sudah pergi, segera Po-ting-te memberi hormat kepada para kesatria yang hadir itu, katanya, "Mumpung hadirin kebetulan berkunjung ke Tayli sini, marilah silakan mampir ke tempat kami agar aku dapat sekadar memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah."
Hui-sian dan lain-lain memang berminat untuk berkenalan dengan Toan Cing-beng, raja Tayli yang terkenal sebagai "orang utama di dunia selatan", demi diundang secara ramah, mereka lantas menerima baik undangan itu dengan tertawa.
Hanya Yap Ji-nio yang berkata dengan tersenyum, "Nyonyamu ini khawatir akan disembelih kalian untuk dimakan, maka lebih baik aku angkat langkah seribu saja lebih selamat!"
Habis berkata, tanpa pamit lagi ia lantas mengeluyur pergi dengan tersenyum.
Po-ting-te pun tidak merintangi kepergian tokoh kedua Su-ok itu, ia ajak para tamu meninggalkan Ban-jiat-kok dan pulang ke Tayli.
Boh-tam berenam sudah terlalu payah dan lemas, untuk berdiri saja tak sanggup, maka Leng Jian-li dan kawan-kawannya lantas menaikkan mereka ke atas kuda dan beramai-ramai kembali ke Tin-lam-onghu.
Sementara itu Pah Thian-sik bertiga sudah menunggu di situ, mereka lantas menyambut keluar bersama seorang gadis jelita yang berdandan mewah, siapa lagi dia kalau bukan Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing!
Dalam pada itu Toan Ki yang sejak minum "Im-yang-ho-hap-san", racun yang masih mengeram dalam tubuh itu belum lagi lenyap. Kini mendadak melihat Bok Wan-jing, tanpa kuasa lagi ia pentang kedua tangan terus berlari maju hendak peluk gadis itu. Syukurlah, betapa khilafnya, dalam benaknya masih timbul setitik pikiran jernih, mendadak ia sadar perbuatannya yang tidak pantas itu, seketika ia menahan diri dan berdiri terpaku di tempatnya.
Ternyata Im-yang-ho-hap-san itu bukan saja sangat lihai karena bekerjanya racun itu sangat awet, tahan lama, bahkan kedua pihak laki-laki dan perempuan yang minum racun itu akan timbul daya tarik yang sangat kuat. Mendingan kalau kedua pihak dipisahkan, tapi bila bertemu kembali, seketika pikiran kedua orang akan kabur dan tenggelam dalam perasaan yang tidak senonoh hingga sukar mengekang diri.
Melihat sikap kedua muda-mudi itu agak kurang beres, pipi merah, begitu pula mata mereka seakan-akan berapi, terang keracunan sangat hebat.
Cepat Po-ting-te bertindak, "cus-cus" dua kali, ia tutuk dari jauh, seketika Toan Ki dan Wan-jing tertutuk roboh pingsan. Segera Cu Tan-sin mengangkat Toan Ki dan Si Pek-hong memondong Wan-jing ke dalam kamar.
Kemudian para tamu disilakan masuk ke istana dan diadakan perjamuan secara meriah. Karena Siau-lim-si dipandang sebagai bintang cemerlang dalam dunia persilatan, maka Hui-sian Hwesio disilakan duduk di tempat tamu utama oleh para kesatria.
Dalam perjamuan itu Hoan Hua lalu menceritakan hasil karya mereka yang telah menggali lorong di bawah tanah hingga menembus ke dalam rumah batu tempat Toan Ki dikurung serta menaruh Ciong Ling yang mereka tawan di dalam rumah itu. Sudah tentu ia tidak menceritakan tentang Bok Wan-jing yang ditolong keluar sebagai ganti Ciong Ling.
Mendengar itu, para kesatria baru tahu duduknya perkara serta menertawakan Ciong Ban-siu yang sial itu, ingin bikin malu orang, siapa duga senjata telah makan tuan malah.
Dan oleh karena putra kesayangannya masih keracunan, Cing-sun menjadi murung dan coba tanya apakah sekiranya di antara hadirin itu ada yang bisa menolong. Namun para kesatria hanya saling pandang dengan bingung tak bisa berbuat apa-apa.
Pada saat itulah dari luar masuk seorang pengawal dan menyerahkan sepucuk surat kepada Toan Cing-sun, katanya yang membawakan surat itu adalah seorang dayang perempuan, di dalam sampul itu katanya ada pula resep obat untuk menyembuhkan putra pangeran yang keracunan itu.
Sungguh kejut dan girang Cing-sun tak terkatakan, cepat ia membuka sampul surat dan melihat di atas secarik kertas kecil yang putih bersih tertulis enam huruf kecil yang indah, "Banyak minum susu manusia dan segera sembuh."
Cing-sun mengenali tulisan itu adalah buah tangan Ciong-hujin, saking terguncang perasaannya, tanpa merasa secawan arak di atas meja telah tersampuk tumpah oleh lengan bajunya.
"Sun-te, resep apakah itu?" tanya Po-ting-te.
Cing-sun tertegun, jawabnya dengan tergegap, "Apa? O, resep ini bilang banyak minum susu manusia dan Ki-ji akan segera sembuh."
Po-ting-te mengangguk, katanya, "Tiada alangan untuk dicoba. Banyak minum susu manusia sekalipun tidak manjur juga tidak berbahaya."
Segera Si Pek-hong berbangkit dan masuk ke dalam istana untuk memberi perintah pada para "abdi dalam" agar lekas mencari susu manusia pada para ibu yang meneteki.
Para pesuruh itu memang sangat cekatan, pula susu manusia juga bukan barang yang susah dicari, maka belum lagi perjamuan bubar, Toan Ki dan Bok Wan-jing sudah sadar kembali dari keracunan mereka serta keluar ke ruangan depan untuk menemui para tamu.
Toan Ki mengaturkan terima kasih kepada Ui-bi-ceng dan Hoa Hek-kin yang telah menyelamatkan jiwanya. Ia menyatakan penyesalannya pula akan terlukanya Boh-tam berenam.
Tatkala itu keenam murid Ui-bi-ceng masih sangat payah dan belum dapat bicara, maka bagaimana mereka menjadi begitu, bukan saja Ui-bi-ceng tidak tahu duduknya perkara, bahkan Toan Ki juga tidak mengerti bahwa dirinya yang menjadi gara-gara atas malapetaka yang menimpa murid-murid padri beralis kuning itu.
Kemudian Toan Cing-sun mengumumkan juga bahwa Bok Wan-jing adalah putri angkatnya. Dalam keadaan begitu, meski Cin Goan-cun, Hui-sian dan lain-lain saling bermusuhan dengan gadis wangi itu, kini mereka menjadi tidak enak untuk bikin onar di situ. Apalagi di hadapan empat tokoh mahasakti seperti Po-ting-te, Ui-bi-ceng, Toan Cing-sun dan Ko Sing-thay, betapa pun besar nyali mereka juga tiada seorang pun berani berkutik.
Bab 14
Di tengah perjamuan itu, hadirin ramai mengobrol ke timur dan ke barat, kemudian sama mengaturkan selamat pula kepada Toan Cing-sun suami-istri dan Ko Sing-thay karena kedua keluarga itu telah berbesanan. Seketika suasana tambah semarak dan beramai-ramai sama mengajak angkat cawan.
Bok Wan-jing coba melirik Toan Ki, ia lihat pemuda itu menunduk dengan lesu, teringat olehnya waktu mereka berduaan tinggal bersama di dalam rumah batu itu, tanpa terasa ia pun ikut muram durja. Ia tahu selama hidup ini terang tiada harapan untuk menjadi istri Toan Ki, tapi demi mendengar pemuda itu sudah melamar putri Ko Sing-thay, tentu saja ia pun berduka dan hancur perasaannya.
Semakin memandang Ko Sing-thay, semakin gemas hatinya, sungguh ia ingin sekali panah binasakan orang itu sebagai hukumannya mengapa melahirkan seorang anak perempuan untuk diperistri oleh kekasihnya itu? Cuma ia tahu kepandaian Ko Sing-thay terlampau lihai, untuk memanahnya tidaklah mudah, maka panah yang sudah disiapkan dalam lengan baju itu tidak lantas dibidikkan.
Ia lihat suasana perjamuan itu semakin memuncak riang gembira, ia khawatir saking tak tahan dirinya bisa menangis, hal mana tentu akan ditertawai orang, maka segera ia berbangkit dan menyatakan kepalanya pusing, ingin kembali ke kamar saja. Habis itu, tanpa permisi lagi pada Toan Cing-sun dan Po-ting-te, ia terus tinggal masuk ke dalam dengan cepat.
Dengan tersenyum Cing-sun minta maaf kepada para tamu atas kelakuan putrinya yang kurang adat itu.
Tiba-tiba datang bergegas seorang penjaga dan menyampaikan secarik kartu nama kepada Cing-sun serta melapor, "Ko Gan-ci, Ko-siauya dari Hou-cut-koan mohon bertemu dengan Ongya."
Sungguh di luar dugaan Toan Cing-sun atas kunjungan tamu yang tak diundang ini. Ia tahu Ko Gan-ci itu adalah murid pertama dari Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, di kalangan Kangouw cukup harum namanya sebagai pendekar yang budiman, julukannya adalah "Tui-hun-jiu" atau si Tangan Penguber Nyawa. Konon ilmu silatnya sangat hebat, tapi selamanya tiada hubungan apa-apa dengan keluarga Toan, lantas untuk keperluan apa jauh-jauh dia datang kemari?
Walaupun agak sangsi, namun Cing-sun berbangkit juga dan berkata, "Kiranya Tui-hun-jiu Ko-tayhiap yang datang, aku harus menyambutnya sendiri."
Para kesatria yang hadir di situ juga pernah mendengar namanya Ko Gan-ci, di antaranya Hui-sian dan Kim Tay-peng malah sudah kenal, maka beramai-ramai mereka lantas ikut menyambut keluar. Hanya Po-ting-te, Ui-bi-ceng, Co Cu-bok dan Cin Goan-cun yang tetap duduk di tempat masing-masing.
Kalau Po-ting-te dan Ui-bi-ceng tidak keluar menyambut adalah mengingat kedudukan mereka di kalangan Bu-lim memang lebih tinggi daripada orang lain, sedang Co Cu-bok dan Cin Goan-cun berdua sengaja berlaku angkuh, anggap diri sendiri adalah tokoh utama suatu aliran tersendiri. Ko Gan-ci dipandang mereka lebih rendah setingkat, betapa pun tenar nama Ko Gan-ci juga masih mempunyai seorang guru, yaitu Kwa Pek-hwe.
Ketika Toan Cing-sun sampai di luar, ia lihat seorang laki-laki setengah umur yang berperawakan tinggi besar sambil menuntun seekor kuda putih yang gagah sedang menunggu di depan pintu. Laki-laki itu memakai baju berkabung, wajah murung, kedua mata merah bendul, terang orang sedang ditimpa kemalangan kematian sanak keluarga.
Melihat orang, segera Kim Tay-peng melangkah maju dan menyapa, "Ko-toako, baik-baikkah engkau!"
Kiranya laki-laki berbaju berkabung inilah Ko Gan-ci. Maka jawabnya, "Kiranya Kim-hiante juga berada di sini."
"Atas kunjungan Ko-tayhiap, maafkan Siaute tidak menyambut lebih dulu," demikian Cing-sun memberi hormat.
Cepat Ko Gan-ci membalas hormat sambil merendah diri, diam-diam ia mengagumi keluarga Toan di Tayli yang tersohor bijaksana nyatanya memang tidak omong kosong.
Sesudah saling kagum, lalu Cing-sun membawa tamunya ke dalam serta diperkenalkan kepada Po-ting-te dan lain-lain. Segera Cing-sun memerintahkan pelayan menyediakan pula satu meja untuk menjamu Ko Gan-ci.
Namun Ko Gan-ci menolak, katanya, "Cayhe masih berkabung, pula ada urusan penting lain, cukup menerima suguhan secangkir teh saja!"
Habis itu, ia terus minum habis secangkir teh yang disediakan, lalu katanya pula, "Ongya, sudah lama Susiokku memondok di dalam istana sini, untuk mana Cayhe sangat berterima kasih. Kini Cayhe ada suatu urusan hendak bicara dengan beliau, sudilah Ongya mengundangnya keluar."
"Susiok Ko-heng?" Cing-sun menegas dengan heran. Dalam hati ia tidak habis mengerti masakah di dalam istananya ada seorang tokoh Ko-san-pay segala?
Namun Ko Gan-ci berkata pula, "Susiokku suka ganti nama dan memondok di sini sekadar menghindari bahaya, hal mana mungkin tak berani dikatakan terus terang kepada Ongya, sungguh perbuatan yang tidak pantas, maka harap Ongya yang bijaksana sukalah memberi maaf."
Berbareng ia memberi hormat lagi.
Sambil membalas hormat orang, diam-diam Cing-sun berpikir dan tetap tidak ingat siapakah gerangan Susiok orang yang dimaksud itu?
Tiba-tiba Ko Sing-thay berkata kepada seorang pesuruh di sampingnya, "Coba pergi ke kamar tulis, undanglah Ho-siansing kemari, katakan bahwa Tui-hun-jiu Ko-tayhiap sedang menunggu, ada urusan penting yang perlu dibicarakan dengan 'Kim-sui-poa' Cui-locianpwe!"
Pesuruh itu mengiakan dan selagi hendak bertindak masuk, tiba-tiba terdengar dari ruangan belakang sana ada suara tindakan orang yang berkeletakan, dengan langkah setengah diseret, orang itu berkata, "Sekali ini kau benar-benar hancurkan periuk nasiku ini."
Ketika para kesatria mendengar nama "Kim-sui-poa" Cui-locianpwe atau si Swipoa Emas disebut, ada yang merasa bingung tidak paham apa yang dimaksudkan, tetapi ada pula yang terkesiap, mereka ragu apakah benar iblis kawakan Swipoa emas itu bercokol di negeri Tayli?
Tengah mereka heran, tertampaklah seorang kakek berwajah jelek dan berkumis tikus sedang keluar dari belakang dengan tertawa. Setiap orang dalam istana kenal Ho-siansing ini adalah juru tulis rendahan merangkap pekerjaan serabutan, yaitu juru tulis yang tempo hari diseret keluar oleh Toan Ki dan diaku sebagai gurunya untuk menggoda Lam-hay-gok-sin itu.
Keruan Toan Cing-sun terkejut, pikirnya, "Apakah benar Ho-siansing inilah Cui Pek-khe yang dimaksudkan? Ke manakah mukaku ini harus ditaruh bahwa seorang tokoh terkenal setiap hari berada di hadapanku, tapi aku tidak tahu sama sekali."
Syukurlah dengan segera Ko Sing-thay dapat membuka rahasia itu hingga para hadirin mengira Tin-lam-onghu sudah lama mengetahui beradanya tokoh Ko-san-pay ini, maka Toan Cing-sun tidak sampai kehilangan muka.
Ho-siansing itu tetap lucu tampaknya, setengah mabuk setengah sadar dengan matanya yang keriyep-keriyep. Tapi demi tampak pakaian berkabung Ko Gan-ci, ia menjadi kaget dan bertanya, "He, ken ... kenapakah kau?"
Cepat Ko Gan-ci melangkah maju dan menjura ke hadapan sang Susiok sambil menangis, katanya, "Cui-susiok, Su ... Suhuku dibin ... dibinasakan orang."
Seketika air muka Ho-siansing itu berubah hebat, muka yang tertawa tadi kontan berubah muram dan waswas. Tanyanya kemudian dengan perlahan, "Siapakah pembunuhnya?"
"Titji (keponakan) tak becus, sampai sekarang belum tahu dengan pasti siapa pembunuh Suhu itu," demikian tutur Gan-ci dengan menangis. "Tapi menurut taksiran, besar kemungkinan adalah orang keluarga Buyung."
Sekilas wajah Ho-siansing mengunjuk rasa jeri demi mendengar nama itu, namun cepat ia bisa tenangkan diri dan berkata dengan suara berat, "Urusan ini harus kita bicarakan secara mendalam."
Semua orang merasa heran melihat sikap Cui Pek-khe itu. Mereka cukup kenal nama-nama Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci, namun paling akhir ini Gan-ci jauh lebih tenar daripada nama sang Susiok. Dan tentang kelihaian keluarga Buyung yang disebut-sebut itu, mereka sama sekali tidak tahu. Hanya Po-ting-te dan Ui-bi-ceng saling pandang sekejap, bahkan perlahan Ui-bi-ceng menghela napas.
Betapa telitinya Cui Pek-khe, ternyata sedikit menghela napas Ui-bi-ceng lantas diketahui olehnya. Tiba-tiba ia memberi hormat kepada padri itu dan berkata, "Dunia Kangouw bakal terancam malapetaka, Taysu mahawelas-asih, sudilah memberi petunjuk jalan yang sempurna."
Cepat Ui-bi-ceng membalas hormat orang, sahutnya, "Siancay, sudah lama kuasingkan diri dan tidak pernah ikut campur urusan Bu-lim di Tionggoan. Padahal tokoh sakti seperti Cui-sicu ternyata sudah sekian tahun tinggal di Tin-lam-ong, dan sama sekali tidak kuketahui, mana aku berani bicara tentang urusan Kangouw lagi?"
Cui Pek-khe tampak lemas dan sedih oleh jawaban itu, katanya kepada Gan-ci, "Ko-hiantit, cara bagaimana tewasnya Suheng, coba uraikan dengan jelas dari awal sampai akhir."
"Sakit hati terbunuhnya guru senantiasa mengganggu pikiran Siautit, satu hari sakit hati itu tak terbalas, satu hari pula Siautit akan merasa tidak enak makan dan tidur. Maka mohon Susiok sekarang juga suka berangkat, biarlah di tengah jalan nanti Siautit akan menuturkan secara jelas demi menghemat waktu," demikian sahut Ko Gan-ci.
Melihat sikap sang Sutit yang ragu-ragu itu, Cui Pek-khe tahu pasti Gan-ci merasa tidak leluasa untuk bicara terus terang karena di depan orang banyak. Namun dalam hati ia sudah ambil keputusan, "Telah sekian lama aku memondok di istana pangeran ini tanpa ketahuan jejakku, siapa duga Ko-houya ini sebenarnya sudah lama mengetahui samaranku. Jika aku tidak minta maaf pada Toan-ongya, itu berarti aku berbuat kurang ajar pada keluarga Toan. Apalagi aku masih perlu membalas sakit hati Suheng terhadap keluarga Buyung, untuk mana melulu tenagaku seorang terang takkan berhasil, kalau bisa mendapat bantuan keluarga Toan ini, pasti kekuatan pihakku akan berbeda, untuk inilah aku tidak boleh berlaku sembrono."
Karena pikiran itu, mendadak ia menjura ke hadapan Toan Cing-sun sambil menangis.
Hal ini tentu saja di luar dugaan semua orang. Cepat Cing-sun hendak membangunkan orang. Tak terduga tubuh Cui Pek-khe ternyata tak dapat ditarik, sebaliknya seperti terpaku di lantai, sedikit pun tidak bergerak.
Diam-diam Cing-sun membatin, "Bagus kau setan arak ini, begini lihai kepandaianmu, tapi selama ini aku telah kau tipu."
Segera ia kerahkan tenaga pada kedua tangannya dan diangkat ke atas.
Pek-khe tidak bertahan lagi dengan Lwekangnya, tapi lantas berdiri mengikuti daya tarikan orang. Namun baru saja berdiri tegak, terasalah tulang seluruh tubuhnya seakan-akan retak, sakitnya tak terkatakan.
Ia tahu Toan Cing-sun sengaja hendak menghajarnya sebagai ganjaran perbuatannya itu. Dasar namanya adalah "Pek-khe" atau beratus akal, otaknya memang benar-benar cerdas. Ia pikir bila mengerahkan tenaga untuk melawan, tentu rasa dongkol Tin-lam-ong takkan hilang, boleh jadi malah akan mencurigai dirinya sengaja menyelundup ke dalam istana pangeran dengan muslihat tertentu.
Sebab itulah, ia biarkan dirinya digencet oleh tenaga dalam orang terus menjatuhkan diri duduk di lantai sambil berseru, "Aduh!"
Cing-sun tersenyum puas dan menarik bangun orang, ketika tangan menempel tubuh Cui Pek-khe, sekalian ia hapuskan rasa sesak dada orang dengan Lwekangnya.
"Tin-lam-ong," kata Pek-khe kemudian, "karena terdesak musuh, tiada jalan lain terpaksa Pek-khe dengan tidak malu-malu berlindung di bawah pengaruh Ongya dan beruntung dapat hidup sampai hari ini. Untuk itu Pek-khe tidak pernah mengaku terus terang pada Ongya, maka sangat mengharapkan kemurahan hati Ongya untuk memaafkan perbuatanku yang lancang ini."
"Ah, Cui-heng suka merendah diri saja," tiba-tiba Ko Sing-thay menyela sebelum Toan Cing-sun menjawab. "Sudah lama Ongya mengetahui asal usulmu, cuma Ongya sengaja tidak mau bikin malu Cui-heng. Jangankan Ongya sudah tahu, orang-orang yang lain juga banyak yang tahu. Misalnya tempo hari waktu Toan-kongcu menerima tantangan Lam-hay-gok-sin, bukankah Cui-heng yang diseretnya keluar untuk diaku sebagai gurunya? Sebab Toan-kongcu juga tahu, hanya Cui-heng saja yang mampu menandingi iblis itu."
Padahal tempo hari hanya secara kebetulan saja Toan Ki telah menyeret keluar Cui Pek-khe untuk diaku sebagai gurunya, sebab di antara penghuni istana itu, hanya wajah Cui Pek-khe yang paling jelek dan lucu, makanya diseret keluar untuk menggoda Lam-hay-gok-sin. Namun kini bagi pendengaran Cui Pek-khe, ia percaya penuh kejadian mana seperti apa yang
dikatakan Ko Sing-thay.
Lalu Sing-thay melanjutkan lagi, "Dasar Ongya memang suka bergurau, jangankan Cui-heng memang tiada bermaksud jahat terhadap negeri Tayli kami, sekalipun ada, tentu juga Ongya yang bijaksana akan melayanimu dengan segala kebesaran jiwanya. Maka tidak perlu Cui-heng banyak adat lagi."
Di balik kata-katanya ini seakan-akan hendak menyatakan bahwa syukurlah selama ini kelakuanmu tidak mengunjuk sesuatu tanda mencurigakan, kalau ada, tentu sudah lama kau dibereskan.
"Namun demikian, apa maksud Pek-khe berlindung di dalam Onghu, pada sebelum mohon diri, adalah pantas kujelaskan dulu, kalau tidak, rasanya terlalu tidak jujur," demikian kata Cui Pek-khe. "Cuma urusan ini banyak pula menyangkut nama orang lain, maka terpaksa harus kubicara secara terus terang."
"Ah, rasanya Cui-heng tidak perlu tergesa-gesa, soal sakit hati adalah sangat penting, biarlah dirundingkan nanti setelah selesai perjamuan ini," ujar Cing-sun.
Mendengar percakapan itu, para hadirin adalah kesatria Kangouw yang kenal adat, maka cepat mereka selesaikan makan-minum itu, lalu sama mohon diri.
Terhadap kawan Kangouw, biasanya Cing-sun sangat terbuka, maka begitu para tamu hendak mohon diri, segera ada pelayan menyediakan hadiah dan Cing-sun sendiri yang menyampaikan kepada masing-masing tetamu itu. Terhadap tamu dari jauh seperti Kim Tay-peng, Su An dan lain-lain malah diberi bekal sangu pula.
Dengan tanpa rikuh para kesatria itu menerima juga pemberian itu serta mengaturkan terima kasih pada tuan rumah.
Tengah bicara, tiba-tiba di luar pintu terdengar suara sabda Buddha yang nyaring, "Omitohud!"
Suara itu tidak keras, tapi terdengar sangat jelas seperti diucapkan berhadapan. Keruan semua orang terkejut.
Harus diketahui bahwa istana pangeran itu sangat luas, dari pintu gerbang sampai ruangan pendopo itu jaraknya ada berpuluh tombak jauhnya, di tengah banyak teraling oleh dinding dan pintu lain. Maka dapat diduga bahwa ilmu "Jian-li-thoan-im" atau mengirim gelombang suara dari jarak ribuan li yang dimiliki orang di luar itu sesungguhnya sudah mencapai tingkatan sangat tinggi.
Cing-sun dapat mendengar bahwa ilmu mengirim suara dari jauh itu adalah dari aliran Siau-lim-pay, maka ia lantas menegur, "Padri sakti Siau-lim manakah yang sudi berkunjung kemari, maafkan kalau Toan Cing-sun tidak menyambut sebelumnya!"
Sembari berkata, segera ia bertindak keluar untuk menyambut.
Sampai di luar, tertampaklah seorang Hwesio kurus kering, berusia antara 50-an, sedang berdiri di situ. Melihat Cing-sun, padri itu lantas merangkap tangan memberi salam dan berkata, "Hui-cin dari Siau-lim-si memberi hormat pada Toan-ongya."
Tengah Cing-sun membalas hormat orang, dari belakang muncul Hui-sian dan segera menegur dengan heran, "He, Suheng, engkau juga datang ke Tayli sini?"
Melihat sang Sute, tiba-tiba mata Hui-cin lantas merah basah, sahutnya dengan pedih, "Sute, Suhu sudah wafat!"
Meski sudah menjadi murid Buddha, namun sifat Hui-sian masih mudah terguncang, demi mendengar berita buruk itu, terus ia berlari maju dan memegang tangan sang Suheng sambil menegas dengan suara gemetar, "Bet ... betulkah katamu?"
Belum lagi Hui-cin menjawab, air matanya sudah lantas bercucuran.
"Tidak beruntung kami dirundung malang, maka kami telah berlaku kurang adat di hadapan Ongya, hendaklah Ongya jangan marah," demikian pinta Hui-cin.
"Ah, kenapa Taysu berlaku sungkan," cepat Cing-sun menjawab. Diam-diam ia pun membatin, "Guru Hui-sian dan Hui-cin ini adalah Hian-pi Taysu yang kabarnya amat hebat ilmu silatnya, jika demikian, jago Siau-lim-pay yang terkemuka kini telah hilang satu lagi."
Lalu terdengar Hui-sian tanya pula dengan suara parau, "Sakit apakah Suhu hingga beliau wafat? Bukankah selama ini kesehatan beliau sangat baik?"
Melihat di depan ramai orang berlalu-lalang, banyak kesatria Bu-lim yang pergi-datang, maka Hui-cin berkata pula, "Ongya, atas perintah Ciangbun Supek hendak menyampaikan surat kepada Ongya sendiri serta Hongya (baginda raja)."
Ia lantas mengeluarkan satu buntelan kertas minyak, ia buka berlapis-lapis kertas itu, akhirnya tertampaklah sepucuk surat dengan sampul warna kuning dan diserahkan kepada Toan Cing-sun.
"Kebetulan Hong-heng berada di sini, marilah kuperkenalkan Taysu kepadanya," kata Cing-sun. Segera ia membawa Hui-cin dan Hui-sian ke dalam.
Tatkala itu Po-ting-te sudah undurkan diri dan sedang istirahat di ruangan dalam sambil minum dan mengobrol dengan Ui-bi-ceng. Melihat datangnya Hui-cin, segera mereka berbangkit untuk menyambut.
Setelah Cing-sun menyerahkan sampul surat yang diterimanya tadi, Po-ting-te membuka dan membacanya. Ia lihat awal surat itu penuh tertulis kalimat yang menyatakan kekaguman dan pujian atas nama keluarga Toan mereka, kemudian ketika sampai pada soal pokok, surat menyatakan bahwa dunia persilatan bakal tertimpa malapetaka maka diharapkan campur tangan kedua saudara Toan itu demi menyelamatkan dunia persilatan umumnya, tentang hal-hal yang lebih jelas supaya tanya kepada Hui-cin yang membawa surat ini. Penanda tangan surat adalah Ciangbun Hongtiang dari Siau-lim-si, Hian-cu.
Po-ting-te membaca habis surat itu sambil berdiri sebagai tanda hormat kepada Siau-lim-si. Sedang Hui-cin dan Hui-sian juga ikut berdiri di samping dengan sikap sangat hormat.
Kemudian Po-ting-te berkata, "Silakan kedua Taysu duduk. Jika Siau-lim Hongtiang ada panggilan, sebagai sesama orang Bu-lim, asal dapat, tentu aku akan menurut dan berusaha sekuat tenaga."
Tiba-tiba Hui-cin berlutut ke hadapan Po-ting-te dan menjura sambil menangis sedih sekali. Melihat kelakuan sang Suheng itu, meski bingung, mau tak mau Hui-sian ikut berlutut juga.
Melihat padri Siau-lim-si itu menjalankan penghormatan sebesar itu padanya, diam-diam Po-ting-te merasa urusan agak ganjil, pikirnya, "Jago Siau-lim-si jumlahnya sukar dihitung, urusan besar apakah yang tak dapat diselesaikan mereka hingga perlu minta bantuanku secara sungguh-sungguh begini?"
Segera ia membangunkan Hui-cin berdua dan berkata pula, "Sesama kaum Bu-lim, aku tidak berani menerima penghormatan setinggi ini."
"Suhuku tewas di tangan orang she Buyung dari Koh-soh, melulu tenaga Siau-lim-pay kami rasanya susah membalas sakit hati itu, maka Hongya dimohon sudi tampil untuk mengamankan situasi gawat dalam Bu-lim ini," demikian pinta Hui-cin dengan menangis.
Kembali nama "Buyung" disebut, air mula Po-ting-te rada berubah. Sebaliknya, Hui-sian lantas berteriak sambil menangis, "Jadi Suhu telah dibinasakan musuh itu? Suheng, marilah kita adu jiwa dengan mereka!"
"Sute," sahut Hui-cin dengan menarik muka, "di hadapan Hongya, hendaklah berlaku tenang."
Perawatan Hui-cin kurus kecil, sebaliknya Hui-sian tinggi kekar, namun takut juga dia terhadap sang Suheng, karena omelan itu, ia tidak berani buka suara lagi, tapi tetap terguguk menangis perlahan.
"Silakan kalian duduk dulu untuk bicara lebih lanjut," kata Po-ting-te kemudian. "Lebih 20 tahun yang lalu pernah kudengar bahwa di Koh-soh ada seorang tokoh she Buyung, lengkapnya bernama Buyung Bok. Dia pernah mengacau ke Siau-lim-si, apakah sekarang juga orang itu yang berbuat?"
Dengan mengertak gigi saking gemasnya, Hui-cin menjawab, "Siauceng cuma tahu musuh memang she Buyung, namanya apa, itulah kurang jelas."
"Siau-lim-pay adalah suatu aliran terkemuka di kalangan Bu-lim, di jagat ini siapa yang tidak tunduk pada nama kebesarannya, gurumu Hian-pi Taysu juga sudah mencapai puncaknya melatih Lwekang dan Gwakang, sebagai seorang Cut-keh-lang (penganut agama), biasanya ia tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun, mengapa kini bisa dibunuh orang lain?"
Maka bertuturlah Hui-cin dengan air mata berlinang, "Suatu hari, selagi Siauceng duduk semadi di kamar sendiri, tiba-tiba Siauceng dipanggil Hongtiang Supek, ketika sampai di sana, jenazah Suhu sudah tampak tertaruh di situ. Kata Supek jenazah Suhu diketemukan orang kampung di kaki gunung, karena dikenal sebagai padri Siau-lim-si, segera ada yang mengirim kabar ke kuil, sebab itulah, cara bagaimana Suhu ditewaskan musuh dan siapa nama pembunuhnya, sampai sekarang belum jelas diselidiki."
Sejak tadi Ui-bi-ceng hanya mendengarkan saja, kini tiba-tiba menyela, "Bukankah tewasnya Hian-pi Taysu disebabkan dadanya terkena serangan 'Kim-kong-co'?"
Hui-cin terkejut, tanyanya, "Dugaan Taysu memang tepat, entah dari ... dari mana Taysu mengetahuinya?"
"Sudah lama kudengar ilmu Kim-kong-co Hian-pi Taysu terhitung salah satu ilmu silat khas yang tiada tandingannya di Bu-lim, siapa yang terkena serangannya, semua tulang iganya akan patah. Ilmu silat demikian memang lihai sekali, namun sesungguhnya agak terlalu ganas, tidaklah sesuai untuk dipelajari oleh murid Buddha kita."
"Ya, benar, kepandaian begitu sesungguhnya terlalu ganas," tiba-tiba Toan Ki ikut menimbrung.
Mendengar guru mereka dikritik Ui-bi-ceng, Hui-cin dan Hui-sian menjadi kurang senang, tapi betapa pun juga orang terhitung padri saleh angkatan tua, mereka cuma kurang senang karena Toan Ki ikut mengoceh, tanpa terasa mereka sama melototi pemuda itu. Namun Toan Ki anggap tidak lihat dan tak gubris.
"Dari mana Suheng mengetahui Hian-pi Taysu ditewaskan oleh 'Kim-kong-co'?" tiba-tiba Cing-sun ikut bertanya.
Ui-bi-ceng menghela napas, sahutnya, "Ketua Siau-lim-si, Hian-cu Taysu, begitu melihat jenazah Sutenya lantas menduga pasti pembunuhnya adalah keluarga Buyung dari Koh-soh. Toan-jite, orang-orang she Buyung itu terkenal suka menggunakan istilah 'dengan kepandaiannya, digunakan di atas dirinya'. Pernah kau dengar tidak ungkapan itu?"
Cing-sun menggeleng kepala tanda tidak tahu.
Ui-bi-ceng mengulangi lagi ungkapan kata-kata tersohor dari keluarga Buyung itu, mendadak terkilas rasa jeri pada wajahnya.
Po-ting-te dan Toan Cing-sun sudah kenal padri itu selama berpuluh tahun lamanya, tapi selama ini tidak pernah melihat dia mengunjuk rasa jeri seperti sekarang. Seperti waktu padri itu melawan Yan-king Taycu secara mati-matian, meski hampir keok, namun dalam keadaan terdesak sedikit pun ia tidak khawatir, bahkan tetap bersikap tenang sewajarnya. Tapi kini belum lihat musuhnya sudah mengunjuk rasa jeri, maka dapat dibayangkan pihak lawan pasti bukan orang sembarangan.
Untuk sejenak keadaan ruangan menjadi hening lelap. Selang sebentar, perlahan Ui-bi-ceng berkata lagi, "Kudengar di dunia ini memang ada seorang tokoh kelas satu bernama Buyung Bok. Ia sengaja memakai nama 'Bok' (luas), dengan sendirinya ilmu silatnya pasti sangat luas peyakinannya. Agaknya tidak peduli Kungfu khas lihai dari aliran dan golongan Bu-lim mana pun pasti dipelajarinya dengan baik, bahkan jauh lebih mahir daripada pemiliknya sendiri. Dan yang paling aneh, setiap kali ia hendak membinasakan lawannya, tentu ia gunakan ilmu silat andalan sang korban itu untuk membunuhnya."
"Ini sungguh sukar dimengerti," Toan Ki ikut berkata. "Padahal di dunia ini ada sekian banyak ilmu silat yang berbeda, masakah dia dapat mempelajarinya dengan lengkap?"
"Apa yang dikatakan Toan-kongcu ada benarnya juga," sahut Ui-bi-ceng. "Ilmu adalah sesuatu yang tiada batasnya, cara bagaimana orang bisa lengkap mempelajarinya? Akan tetapi musuh Buyung Bok memang sangat banyak dan untuk membalas dendam, sebelum dia mahir mempelajarinya, dia tidak mau sembarangan turun tangan."
"Ya, aku pun pernah mendengar ada seorang tokoh aneh seperti itu di Tionggoan," kata Po-ting-te. "Lok-si-sam-hiong (tiga jago she Lok) dari Hopak mahir menggunakan Hui-cui (gurdi terbang), tapi akhirnya mereka bertiga tewas terkena Hui-cui yang mereka andalkan itu. Ciang-hi Tojin dari Soatang bila membunuh orang suka memotong dulu anggota badan musuh agar merintih-rintih setengah harian baru dibinasakan olehnya. Tapi Ciang-hi Tojin sendiri akhirnya juga mengalami nasib kesukaannya itu. Sebabnya Buyung Bok dikenal suka menggunakan ungkapan memakai kepandaiannya dan digunakan atas dirinya justru tersohor dari mulut Ciang-hi Tojin itu."
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Waktu itu, di tengah pasar Celam, entah betapa banyak orang merubung Ciang-hi Tojin yang menggeletak di tanah sambil berteriak merintih kesakitan."
Bicara sampai di sini, lamat-lamat terbayang olehnya keadaan waktu ajal Ciang-hi Tojin yang mengerikan itu, maka wajahnya menampilkan rasa kurang senang pada orang yang membunuh secara kejam begitu.
Tiba-tiba Cing-sun ingat sesuatu, katanya, "Jika begitu, guru Ko-tayhiap, Kwa Pek-hwe, kabarnya mahir menggunakan cambuk. Pada waktu membunuh musuh ia sering menggunakan cambuknya untuk melilit leher lawan hingga sesat napasnya dan akhirnya mati. Jangan-jangan dia ... dia ...." tiba-tiba ia berhenti, ia memanggil seorang pelayan dan memberi perintah, "Pergilah ke belakang dan panggil Cui-siansing dan Ko-tayhiap ke sini, katakan aku ingin berunding dengan mereka."
Pelayan itu mengiakan, tapi tampak ragu dan tidak lantas bertindak pergi. Maka dengan tertawa Toan Ki berkata, "Cui-siansing itu sama dengan Ho-siansing, si juru tulis kantor itu."
Mendengar penjelasan itu, si pelayan mengiakan dan segera bertindak ke belakang. Maka tidak lama Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci sudah diundang keluar.
"Ko-tayhiap," segera Cing-sun bicara, "ada sesuatu pertanyaanku, lebih dulu harap dimaafkan."
"Ongya tidak perlu sungkan-sungkan, katakanlah," sahut Gan-ci.
"Tolong tanya, bagaimana gurumu Kwa-locianpwe itu ditewaskan orang? Apakah karena terluka oleh senjata atau terkena pukulan dan tendangan?" tanya Cing-sun.
Mendadak wajah Ko Gan-ci berubah merah jengah, setelah ragu sejenak, akhirnya ia menjawab, "Guruku justru tewas ... tewas di bawah serangan cambuk dengan tipu 'Leng-coa-sian-keng' (ular gesit melilit leher)."
Mendengar keterangan itu, tanpa terasa Po-ting-te, Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan lain-lain saling pandang dengan terkesiap.
Tiba,-tiba Hui-cin melangkah maju ke depan Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci, ia memberi hormat dengan merangkap tangan, lalu berkata, "Ternyata Siauceng berdua mempunyai musuh yang sama dengan kalian berdua, bila musuh she Buyung dari Koh-soh itu tak dihancurkan ...." berkata sampai di sini ia menjadi ragu-ragu apakah yakin pasti dapat membasmi musuh yang lihai itu, namun akhirnya ia kertak gigi dengan penuh dendam, lalu melanjutkan, "Ya, pendek kata Siauceng sudah bertekad mengadu jiwa dengan dia."
"Jadi ... jadi Siau-lim-pay juga mengikat permusuhan dengan orang she Buyung dari Koh-soh itu?" tanya Ko Gan-ci dengan mengembeng air mata.
Hui-cin mengangguk, lalu ia pun menceritakan dengan ringkas cara bagaimana gurunya tewas di bawah tangan orang she Buyung itu.
Melihat Ko Gan-ci penuh rasa dendam dari berduka, sebaliknya sikap Cui Pek-khe tampak lesu, kepala menunduk dan bungkam seakan-akan sakit hati sang Suheng yang terbunuh itu sama sekali tak terpikir olehnya, diam-diam Po-ting-te merasa heran perbedaan sikap kedua tokoh Ko-san-pay itu.
Watak Hui-sian keras dan jujur, melihat sikap Cui Pek-khe yang acuh tak acuh itu, ia tak tahan lagi, ia lantas menegur, "Cui-siansing, kenapa engkau diam saja? Apakah engkau takut pada manusia she Buyung itu?"
"Sute, jangan kurang sopan?" cepat Hui-cin membentak.
Harus diketahui bahwa sesudah Kwa Pek-hwe meninggal, dengan sendirinya Cui Pek-khe akan menjadi ketua Ko-san-pay yang sekarang. Sedangkan Ko-san-pay adalah tetangga Siau-lim-si. Sebabnya dahulu cikal bakal Ko-san-pay dapat tancap kaki dan mendirikan perguruan di samping Siau-lim-pay, sudah tentu orangnya mempunyai ilmu kepandaian tersendiri yang lain daripada yang lain. Apalagi nama Kwa Pek-hwe dan Ko Gan-ci paling akhir ini sangat menonjol di kalangan Bu-lim, dengan sendirinya derajat Cui Pek-khe dalam dunia persilatan juga tidak boleh dipandang rendah.
Tak tersangka, meski ditegur dengan ucapan yang agak menghina, namun Cui Pek-khe malah celingukan ke sana dan ke sini seperti maling kesiangan, seakan-akan ada yang sedang mengubernya, sikapnya itu penuh mengunjuk rasa ketakutan.
Tiba-tiba Ui-bi-ceng berdehem perlahan, lalu berkata, "Apakah orang itu ...."
Baru tercetus kata-kata "orang itu" dari mulut padri itu, sekonyong-konyong Cui Pek-khe bergemetar dan melompat ke belakang hingga sebuah meja teh di sampingnya tersampuk dan terjungkir balik, mangkuk dan cangkir pun pecah berantakan.
Setelah tenangkan diri dan melihat sorot mata semua orang dipusatkan ke arahnya, wajah Cui Pek-khe menjadi merah jengah, cepat katanya dengan gugup, "O, ma ... maaf, maafkan!"
Mau tak mau Ko Gan-ci berkerut kening melihat kelakuan sang Susiok yang tak dapat dipuji itu, segera ia membantu membersihkan pecahan mangkuk dan cangkir itu.
Diam-diam Toan Cing-sun bersungut juga, sungguh tak tersangka olehnya bahwa Cui Pek-khe itu ternyata seorang penakut. Segera ia berkata pada Ui-bi-ceng, "Suheng, apa yang hendak kau katakan?"
"Orang itu ..." Ui-bi-ceng menghirup seceguk teh dulu, lalu menyambung dengan kalem, "maksudku Buyung Bok itu, apakah orang itu pernah dilihat oleh Cui-sicu?"
Mendengar nama "Buyung Bok", mendadak Cui Pek-khe menjerit kaget sambil memegangi meja, sahutnya dengan suara gemetar, "O, ti ... tidak ... tidak pernah kulihatnya."
Melihat sikap orang yang pengecut itu, segera Hui-sian ikut berteriak, "Sebenarnya Cui-siansing pernah melihat Buyung Bok atau tidak?"
Cui Pek-khe termangu-mangu memandang jauh ke depan seperti orang linglung. Sampai agak lama baru ia jawab dengan suara gelagapan, "Ti ... tidak ... eh ... seperti ti ... tidak pernah melihatnya."
Cing-sun dan lain-lain menggeleng kepala melihat kelakuan tokoh Ko-san-pay itu. Diam-diam Ko Gan-ci juga merasa malu, sungguh tak tersangka olehnya bahwa sang Susiok yang biasanya sangat dihormati itu ternyata membikin malu saja di depan orang banyak.
"Loceng sendiri pernah juga mengalami suatu kejadian, biarlah kuceritakan agar bisa dibuat bahan pertimbangkan hadirin," demikian tutur Ui-bi-ceng. "Peristiwa ini terjadi pada 43 tahun yang lalu. Tatkala itu usiaku masih muda, tenaga kuat, belum lama berkelana di Kangouw, namun sedikit-sedikit sudah terkenal. Sungguh waktu itu aku seperti anak banteng yang tidak kenal harimau, belum kenal apa artinya takut. Aku merasa di dunia ini kecuali guruku tiada orang lain lagi yang berkepandaian lebih tinggi daripadaku.
"Tahun itu aku mengawal seorang pembesar yang pensiun pulang ke kampung halamannya bersama keluarganya. Di tengah jalan aku dicegat oleh empat begal besar. Tujuan begal-begal itu ternyata bukan harta, tapi begitu maju lantas hendak menggondol putri kesayangan pembesar itu. Sebagai pemuda yang berdarah muda, sudah tentu aku tidak bisa mengampuni perbuatan mereka, sekali menyerang kugunakan tipu ganas, dengan Kim-kong-ci telah kubinasakan keempat begal itu, setiap orang kututuk ulu hatinya, tanpa bersuara sedikit pun mereka sama menggeletak binasa.
"Dan saat itulah kudengar suara derap kuda berdetak-detak, ada dua penunggang keledai tampak lewat di sampingku. Dasar watak orang muda, waktu itu aku sedang membual di hadapan pembesar yang kukawal itu tentang betapa lihainya Kungfu Kim-kong-ci yang menjadi andalanku itu, kataku biar musuh datang lagi sepuluh atau dua puluh orang juga akan kubinasakan satu per satu dengan Kim-kong-ci.
"Tiba-tiba kudengar salah seorang penunggang keledai itu mendengus sekali, suaranya seperti kaum wanita, tapi nada dengusan itu penuh mengunjuk rasa hina dan memandang rendah. Waktu atau menoleh, kiranya penunggang keledai itu memang benar orang perempuan, yang seorang muda cantik, usianya sekitar 32 atau 33 tahun, seorang lagi adalah anak berumur 12-13 tahun yang bermuka putih bersih menyenangkan. Kedua orang itu sama-sama berpakaian berkabung warna putih. Kudengar si anak sedang berkata pada wanita muda itu, 'Mak, apanya yang hebat Kim-kong-ci itu, huh, dasar pembual!'
Adapun asal usul Ui-bi-ceng sendiri, kecuali Po-ting-te berdua saudara, orang lain tiada yang tahu. Tapi ketika dia menggunakan tenaga jari Kim-kong-ci untuk menggores batu melawan Yan-king Taycu di Ban-jiat-kok tempo hari, kejadian itu telah disaksikan orang banyak serta sudah menggemparkan kalangan Bu-lim, terutama mengenai Kim-kong-ci-lik yang lihai luar biasa itu.
Maka kini demi mendengar ceritanya tentang ucapan anak kecil itu, mereka sama menganggap anak itu mengoceh tak keruan saja.
Tak tersangka Ui-bi-ceng lantas menghela napas, lalu menyambung ceritanya, "Tatkala itu meski aku mendongkol mendengar ucapan itu, tapi aku pikir ocehan seorang bocah ingusan, buat apa diurus. Maka aku hanya mendelik sekali saja pada anak itu dan tidak menggubrisnya.
"Siapa duga wanita muda berbaju putih itu lantas mengomeli anak itu, 'Kim-kong-ci orang ini memang ajaran asli Tat-mo-ih Hokkian Siau-lim-si, sedikitnya sudah tiga bagian cukup masak. Anak kecil tahu apa? Biar kau pun tidak sejitu jarinya itu.'
"Sudah tentu aku tambah kaget dan gusar. Padahal asal usul perguruanku jarang diketahui orang Kangouw, tapi nyonya muda ini dengan jitu dapat membuka rahasia diriku. Sedang aku punya Kim-kong-ci dikatakan cuma mencapai tiga bagian masak, sudah tentu aku tidak terima. Ai, sesungguhnya waktu itu aku sendiri memang masih hijau, tiga bagian masak bagiku sebenarnya sudah berlebihan, tapi dalam gusarku segera aku membentak, 'Siapakah she nyonya yang terhormat ini? Jika merasa Kim-kong-ci-likku masih cetek, marilah coba-coba memberi petunjuk barang sejurus-dua?'
"Nyonya itu tidak menyahut, sebaliknya anak kecil itu segera hentikan keledainya dan hendak menjawab. Namun mata nyonya itu tiba-tiba mengembeng air mata, katanya, 'Pesan apa yang ditinggalkan ayahmu sebelum wafat? Masa sudah kau lupakan?' Anak kecil itu menjawab, 'Ya, anak tidak berani melupakannya.' Habis itu, keledai mereka lantas dilarikan ke depan dengan cepat.
"Tapi semakin kupikir, aku semakin penasaran karena diolok-olok. Segera kularikan kuda dan menyusul mereka sambil berseru 'Hai! Kau berani sembarangan mengoceh mencela ilmu silat orang, tanpa coba-coba dulu barang beberapa jurus lantas hendak mengeluyur pergi begini saja?'
"Kuda tungganganku adalah kuda pilihan, maka dalam sekejap aku dapat melampaui dan mengadang di depan mereka. 'Lihatlah, karena ocehanmu orang telah marah.', demikian nyonya itu mengomeli anaknya. Rupanya bocah itu sangat penurut dan berbakti pada orang tua, ia tidak berani memandang padaku lagi.
"Dan karena melihat mereka jeri padaku, kupikir tidaklah pantas aku berkelahi dengan anak kecil dan orang perempuan karena urusan sepele. Tapi bila dari nada ucapan nyonya itu tadi agaknya anak itu pun mahir Kim-kong-ci-lik. Padahal ilmu ini sudah 20 tahun kulatih dengan susah payah, masakah anak kecil itu juga bisa? Ah, tentu bualan belaka! Karena pikiran itu, aku membentak pula, 'Baiklah, hari ini biar kulepaskan kalian, tapi selanjutnya kalau bicara hendaklah hati-hati.'
"Nyonya muda itu masih tetap tidak memandang sekejap pun padaku, katanya pada anaknya, 'Nah, apa yang dikatakan paman ini memang benar, selanjutnya kalau bicara harus hati-hati!'
"Jika urusan diakhiri sampai di situ saja, bukankah kedua pihak sama-sama tidak kehilangan muka? Tapi waktu itu aku masih berdarah muda, ketika aku menarik kuda ke samping jalan, segera nyonya itu keprak keledainya jalan lebih dulu. Waktu anak itu pun larikan keledainya lewat di depanku, dengan tertawa aku ayun cambuk menyabet bokong keledainya sambil berkata, 'Cepat sedikit!'
"Sungguh tak terduga, ketika cambukku masih jauh dari bokong keledai orang; tiba-tiba terdengar suara 'cus' sekali, tahu-tahu anak itu menoleh dan tenaga jarinya lantas menyambar dari jauh, kontan cambukku patah menjadi dua. Sungguh kagetku bukan buatan. Aku menaksir kalau bicara tentang tenaga jari, sama sekali aku tidak mampu menandingi anak itu.
"Tiba-tiba terdengar nyonya muda tadi berkata, 'Sekali sudah turun tangan jangan kepalang tanggung lagi!' Anak itu mengiakan terus melompat turun dari keledainya, tanpa bicara lagi ia acungkan jarinya dan menutuk betis kakiku.
"Perlu diketahui bahwa tubuh anak itu pendek, pula aku menunggang kuda, maka jarinya cuma bisa mencapai betis kakiku saja. Tapi gerak serangannya ternyata sangat bagus dan memang benar-benar Kim-kong-ci tulen. Cepat kulompat turun, sedikit pun aku tidak berani ayal dan menempurnya dengan Kim-kong-ci.
"Dan sesudah bergebrak, semakin lama semakin jeri hatiku. Ilmu jari anak itu belum dapat dikatakan mahir betul, bahkan terkadang tampak salah menggunakannya, namun di mana tenaga jarinya sampai, suaranya sungguh mengejutkan, maka aku tidak berani menangkis berhadapan. Kira-kira sampai jurus kesembilan, 'cus', terasa dada kiriku sakit, tenagaku pun hilang seketika.
Bicara sampai di sini Ui-bi-ceng membuka jubahnya hingga tertampak tulang iganya yang berderek-derek kurus itu. Semua orang kaget melihat keadaan dada padri itu. Ternyata tepat di atas jantung di dada kiri terdapat sebuah lubang sedalam dua-tiga senti. Meski lubang bekas luka itu sudah sembuh, tapi dapat dibayangkan betapa parahnya luka itu dahulu. Anehnya, meski luka itu terang begitu dalam dan tepat di tempat jantung tapi toh padri itu tidak tewas dan masih hidup sampai sekarang.
Ui-bi-ceng lantas tunjuk dada sebelah kanan dan berkata, "Coba lihat!"
Ternyata dada kanan padri itu tampak bergerak-gerak. Baru sekarang semua orang tahu bahwa pembawaan tubuh padri itu ternyata berbeda daripada manusia umumnya. Jantungnya justru terletak di dada kanan dan tidak di sebelah kiri. Makanya terluka parah pun tidak mati.
Setelah Ui-bi-ceng mengenakan kembali jubahnya, kemudian katanya pula, "Orang yang jantungnya tumbuh di sebelah kanan memang jarang terdapat. Ketika anak itu melihat aku tidak binasa oleh tutukannya segera ia melompat mundur dengan terheran-heran. Sebaliknya demi melihat darah mengucur dari dada kusangka jiwaku tak bisa diselamatkan, aku menjadi nekat dan memaki. 'Bangsat cilik, katanya kau mahir Kim-kong-ci, tapi hm, adakah Kim-kong-ci Tat-mo-ih dapat melukai lawannya dan orangnya tidak binasa?'
Segera anak itu melompat maju hendak menyerang pula. Tatkala itu aku sudah lemas dan tak bisa melawannya lagi, terpaksa tinggal menunggu ajal saja. Tak tersangka cambuk si nyonya muda lantas bekerja, dengan perlahan pinggang anak itu dililit dan ditarik kembali dan didudukkan di atas keledainya lagi.
"Dalam keadaan kesima lamat-lamat kudengar nyonya itu mengomeli anaknya, 'Keluarga Buyung dari Koh-soh masakah mempunyai keturunan tak becus seperti dirimu ini? Jika Kim-kong-cimu belum terlatih sempurna, tidak boleh kau bunuh dia lagi. Biar kuberi hukuman dalam tujuh hari ....' Hukuman apa dalam tujuh hari itu, karena aku lantas jatuh pingsan, maka tidak kudengar lagi."
"Taysu," tiba-tiba Kim-sui-poa Cui Pek-khe bertanya, "kemudian ... kemudian engkau pernah berjumpa lagi tidak dengan mereka?"
"Sungguh memalukan, sejak itu aku lantas putus asa, aku merasa hanya seorang anak kecil saja sudah melebihiku, maka sekalipun aku berlatih selama hidup juga takkan mampu melebihinya," demikian sambung Ui-bi-ceng. "Maka setelah luka dadaku sembuh, aku lantas meninggalkan Tionggoan dan datang ke Tayli sini untuk bernaung di bawah lindungan Toan-hongya, beberapa tahun kemudian, aku lantas cukur rambut menjadi Hwesio. Selama ini Loceng tenggelam dalam ajaran agama Buddha, tidak pernah pikirkan lagi urusan masa lalu itu. Cuma kalau terkadang ingat, sungguh hatiku masih kebat-kebit, nyaliku benar-benar sudah pecah oleh kejadian dahulu."
Mendengar cerita itu, semua orang terdiam hingga lama. Rasa memandang hina mereka kepada Cui Pek-khe seketika lenyap. Sebab Ui-bi-ceng yang begitu sakti juga takut pada keluarga Buyung di Koh-soh, maka dapatlah dimengerti bila Cui Pek-khe juga sedemikian jerinya.
Cui Pek-khe dapat merasakan pikiran orang banyak itu, maka katanya, "Dengan kedudukan setinggi Ui-bi Taysu toh bersedia menceritakan apa yang dialaminya dahulu, sebaliknya aku Cui Pek-khe orang macam apa hingga mesti takut malu? Biarlah kuceritakan juga sebab musabab bernaung di istana Tin-lam-ong ini, harap pula hadirin sebentar suka memberi pendapat masing-masing."
Habis ucapkan kata-kata itu, karena guncangan perasaan, tenggorokannya terasa kering, terus saja ia ceguk habis semangkuk teh yang tersedia untuknya, habis itu, ia sambar pula mangkuk teh yang disediakan untuk Ko Gan-ci dan dituang pula ke kerongkongannya, kemudian barulah ia mulai berkata dengan terputus-putus, "Kejadian ... kejadian ini sudah ... sudah berlangsung 18 tahun yang lalu ...."
Bicara sampai di sini, tanpa terasa ia memandang ke luar jendela dengan rasa jeri. Setelah tenangkan diri, kemudian ia menyambung, "Di kota Bu-oh terdapat seorang buaya darat she Joa yang jahat dan suka menindas rakyat. Ada seorang sobat Suhengku, segenap keluarganya telah dibunuh oleh buaya darat itu."
"Susiok, apakah engkau maksudkan si jahanam Joa Ging-toh itu?" sela Ko Gan-ci.
"Benar," sahut Pek-khe. "Dahulu bilamana Suhumu membicarakan jahanam itu, selalu ia geregetan dan ingin membunuhnya. Cuma gurumu adalah seorang yang baik hati dan patuh pada peraturan, beberapa kali ia coba menggugat kejahatan Joa Ging-toh itu kepada pembesar negeri, tapi karena buaya itu pintar menyogok dan banyak hubungannya dengan kalangan atas, maka pengaduan gurumu itu selalu ditahan oleh pembesar yang bersangkutan.
"Kalau mau, sebenarnya tidak susah bagi gurumu untuk membunuh jahanam she Joa itu. Tapi selamanya gurumu memang orang alim, tidak suka berbuat sesuatu di luar hukum. Sebaliknya berbeda dengan aku Cui Pek-khe ini, dalam hal maling, segala perbuatan 'M', bahkan membunuh sekalipun aku tidak pantang, semuanya kulakoni.
"Maka pada suatu malam, tatkala aku sudah gemas, diam-diam aku menggerayangi rumah jahanam she Joa itu dan sekaligus kusapu bersih seluruh isi keluarganya yang lebih 30 jiwa itu. Aku mulai membunuh dari pintu depan terus sampai taman di belakang, dari penjaga pintu sampai tukang kebun, dari kacung-kacung, babu-babu, semuanya kubunuh, tiada satu pun kuampuni. Ketika sampai di tengah taman belakang, kulihat di balik jendela sebuah loteng masih tampak sinar pelita. Segera kupanjat ke atas loteng itu, kutendang pintu kamarnya hingga terpentang.
"Kiranya loteng itu adalah sebuah kamar tulis, di sekeliling kamar penuh terdapat rak buku. Tampak sepasang muda-mudi sedang duduk menyanding sebuah meja, agaknya asyik membaca sesuatu kitab. Pemuda itu kira-kira berumur 27-28 tahun, tampan dan ganteng. Usia yang pemudi lebih muda, cuma mungkur duduknya, maka mukanya tidak kelihatan, tapi dari bajunya yang dipakai serta potongan tubuhnya yang menggiurkan, dapat dipastikan seorang wanita cantik.
"Sekaligus aku sudah membunuh puluhan orang, semangatku masih berkobar-kobar. Tetapi demi tampak kedua muda-mudi itu, buset, aku menjadi rada heran. Sebab setiap orang di rumah jahanam she Joa itu kasar dan bengis, mengapa mendadak bisa muncul sepasang muda-mudi yang gagah dan cantik itu? Seketika aku terkesima hingga tidak lantas turun tangan membunuh mereka."
Mendengar sampai di sini, diam-diam Toan Ki mencocokkan cerita Ui-bi-ceng tadi dengan Cui Pek-khe ini. Ui-bi-ceng bilang waktu bertemu dengan anak kecil yang berusia belasan tahun itu adalah 43 tahun yang lalu. Sedang pemuda yang dilihat Cui Pek-khe itu berumur hampir 30 tahun dan terjadi pada 18 tahun yang lampau. Jika demikian, usia pemuda itu dan si anak kecil satu sama lain tidak cocok, terang bukan terdiri dari orang yang sama.
Dalam pada itu Cui Pek-khe sedang melanjutkan, "Dan karena aku tertegun, maka terdengarlah pemuda itu berkata, 'Niocu (istriku), dari sudut Kui-moay menggeser ke tempat Bu-hong apakah demikian caranya?'"
Mendengar istilah "Kui-moay" dan "Bu-hong" segera Toan Ki paham apa yang dikatakan itu adalah istilah yang terdapat dalam Ih-keng.
Sementara itu Pek-khe sedang menyambung, "Maka tertampaklah si wanita merenung sejenak, lalu berkata, 'Apabila jalannya miring ke sana, masuk dulu ke sudut Beng-ih, dari situ kemudian berputar ke Soan-wi, coba bisa ditembus tidak?'"
Toan Ki bertambah kaget oleh istilah paling akhir itu, apa yang diuraikan wanita itu terang adalah ilmu gerak langkah "Leng-po-wi-poh" yang pernah dipelajarinya di dasar telaga dulu itu. Cuma tempat-tempat yang dikatakan wanita itu tempatnya kurang tepat. Jangan-jangan wanita itu ada hubungannya dengan patung cantik Enci Dewi itu? Demikian Toan Ki menjadi ragu-ragu.
Sudah tentu Cui Pek-khe tidak tahu pikiran Toan Ki itu, ia meneruskan pula, "Dan karena kedua orang itu masih sibuk terus membicarakan entah isi kitab apa, aku menjadi tak sabar lagi segera aku membentak, 'Hai, kalian berdua anjing laki-perempuan ini lekas enyah semua!'
"Tak terduga mereka seperti orang tuli saja, bentakanku sama sekali tak digubris, pandangan mereka masih tetap dicurahkan ke dalam kitab mereka. Malah terdengar pula si wanita berkata dengan lemah lembut, 'Tapi dari sini menuju ke sudut Soan-wi seluruhnya ada sembilan langkah, inilah tidak mungkin tercapai.'
"Saking mendongkol aku lantas membentak lebih keras lagi, 'Hai, lekas enyah, enyah ke akhirat untuk menemui kakek-moyangmu.'. Dan baru aku hendak menerjang maju, sekonyong-konyong si pemuda bertepuk tangan sambil berseru dengan tertawa, 'Bagus, bagus! Im sama Kun, kakek-moyang 18 keturunan, hah, 9x2 sama dengan 18, jadi mesti berputar ke sudut Kun, ya, benar, jalan ini sangat tepat.'
"Sambil bicara, tangan pemuda itu pun menyambar sebuah Swipoa di atas meja, dan entah cara bagaimana, tahu-tahu tiga butir biji Swipoa menyambar kencang ke arahku, seketika aku merasa dada sesak dan kesakitan, tubuhku seakan-akan terpaku dan tak bisa berkutik lagi.
"Habis itu, kedua muda-mudi itu masih tetap tidak gubris padaku, mereka masih tetap tukar pikiran tentang isi kitab, perasaanku menjadi sangat ketakutan. Sebab, hendaklah diketahui bahwa julukanku yang jelek adalah Kim-sui-poa, ke mana pun kupergi selalu membawa sebuah Swipoa terbuat dari emas, dan ke-77 biji Swipoa itu setiap saat dapat kugunakan untuk melukai orang.
Cuma caraku membidikkan biji Swipoa adalah berkat pegas yang terpasang di dalam Swipoa, sebaliknya Swipoa yang dipakai pemuda tadi hanya sebuah Swipoa kayu biasa saja. Ketika aku memandang Swipoa kayu itu, tertampak satu ruji bambu di tengahnya sudah patah, jadi pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya untuk mematahkan ruji Swipoa, lalu dengan Lwekang yang mahahebat menimpukkan biji Swipoa ke arahku, sungguh ilmu silat hebat yang sukar dibayangkan.
"Percakapan kedua muda-mudi itu ternyata berlangsung terus dan semakin asyik dengan gembiranya, sebaliknya semakin mendengar aku jadi semakin takut. Pikirku, sudah lebih 30 jiwa di rumah ini kubunuh, sekarang aku justru terpaku tak bisa berkutik di situ, tak bisa bergerak dan tak bisa bicara pula, jika aku mesti membayar jiwaku sendiri karena aku sudah utang jiwa begitu banyak, akan tetapi dengan demikian tentu Suhengku juga akan ikut tersangkut.
"Ada lebih dua jam aku terpaku di situ, tapi rasanya seperti disiksa selama 20 tahun. Kira-kira sudah hampir pagi, terdengar pemuda itu berkata dengan tertawa, 'Niocu, langkah-langkah ini sungguh sukar kita tembus sekarang, biarlah ditunda saja, marilah kita pergi!'
"Wanita itu menjawab, 'Kim-sui-poa Cui-losu telah membantumu memecahkan satu langkah bagus, sepantasnya engkau memberi apa-apa sebagai tanda terima kasih padanya!' Terkejut dan girang rasaku, jadi sejak mula mereka sudah kenal namaku. Maka terdengar yang lelaki sedang berkata, 'Jika begitu, biarlah jiwanya diberi hidup lebih lama beberapa tahun. Lain kali kalau bertemu lagi tentu tidak ada ampun!'
"Habis bicara, mereka menyimpan kembali kitab yang dibaca itu, lalu bergandengan tangan melayang keluar jendela dengan enteng sekali. Wajah wanita itu tetap tidak terlihat olehku, cuma sebelum pergi, tiba-tiba ia ayun tangan kirinya, lengan bajunya mengebut perlahan pada punggungku hingga Hiat-to terbuka seketika. Waktu kuperiksa dadaku, ternyata baju bagian situ berlubang tiga, dua biji Swipoa tepat terjepit di atas buah dadaku dan biji Swipoa ketiga persis berada di tengah-tengah kedua biji yang lain. Nah, inilah, biar hadirin periksa hiasan di dadaku ini."
Sembari berkata ia terus membuka baju. Melihat itu, hampir semua orang tertawa geli. Kiranya dua biji Swipoa itu tepat sekali menclok di atas pentil teteknya dan di tengah-tengah kedua pentil menclok, pula sebiji Swipoa yang lain. Kejadian itu sudah belasan tahun yang lalu, tapi biji-biji Swipoa itu ternyata tidak dibuang dari dadanya.
Cui Pek-khe goyang-goyang kepala, ia kancing kembali bajunya, lalu berkata pula, "Deritaku sungguh tidak sedikit karena mencloknya tiga biji Swipoa ini di dadaku. Sebenarnya aku bermaksud mengoreknya keluar dengan pisau, tapi asal tersentuh sedikit saja Hiat-to sendiri, seketika aku jatuh pingsan, untuk mana harus 12 jam kemudian baru bisa sadar dengan sendirinya. Bila perlahan aku mengikir atau menggosoknya dengan kertas ampelas, namun sakitnya tetap tidak kepalang,
sungguh aku seperti disiksa oleh kakek-moyang ke-18 turunan! Rupanya sudah nasibku mesti disiksa begini, bila hari mendung dan hawa lembap, ketiga tempat di dadaku ini lantas kesakitan seperti disayat-sayat!"
Mendengar cerita Pek-khe yang lucu dan luar biasa itu, semua orang merasa heran dan geli pula.
Maka Pek-khe melanjutkan pula sambil menghela napas, "Orang itu menyatakan bila lain kali ketemukan aku lagi jiwaku takkan diampuni. Maka jiwaku ini harus kujaga baik-baik, jalan yang paling selamat adalah jangan sampai kepergok lagi dengan dia. Untuk mana terpaksa aku harus kabur jauh-jauh dan menyusup ke dalam istana pangeran di Tayli ini. Kupikir daerah ini jauh terpencil di selatan, orang Bu-lim dari Tionggoan jarang datang kemari. Umpama akhirnya disusul juga oleh keparat anak kura-kura itu ke sini, paling tidak di sini ada Ongya dan Ko-houya serta jago lain, masakah mereka tega berpeluk tangan tidak ikut campur dan menyaksikan jiwaku melayang begitu saja? Selama ini, karena siksaan tiga biji Swipoa di dada ini, bila kesakitan, terpaksa aku minum arak sebanyak-banyaknya untuk melupakan rasa derita yang hebat ini."
Selesai mendengar cerita Cui Pek-khe, semua orang berpendapat apa yang terjadi itu hampir serupa dengan Ui-bi-ceng, bedanya cuma yang seorang akhirnya menjadi Hwesio dan yang lain mengasingkan diri dengan bersembunyi.
"Ho-siansing," tiba-tiba Toan Ki tanya, karena sudah biasa memanggil demikian, seketika pemuda itu tak bisa ganti panggilan lain, "habis dari mana engkau mengetahui suami-istri yang kau jumpai itu adalah keluarga Buyung dari Koh-soh?"
Pek-khe garuk-garuk kepala dan menjawab, "Hal itu adalah taksiran Suhengku, sebab setelah melihat ketiga biji Swipoa yang bersarang di dadaku ini, Suheng berpendapat di dunia persilatan cuma keluarga Buyung saja yang memakai kepandaian orang untuk digunakan atas diri orang itu. Dan karena kami yakin tak mampu melawan tokoh keluarga setan iblis itu, jalan paling gampang ialah kabur dan mengkeret seperti kura-kura."
Sampai di sini, ia berpaling dan berkata kepada Toan Cing-sun, "Nah, Toan-ongya, sekianlah penjelasanku, sekarang aku mohon diri untuk segera berangkat ke Koh-soh."
"Kau hendak pergi ke sana?" hanya Cing-sun heran.
"Ya," sahut Pek-khe tegas. "Hubunganku dengan Suheng laksana saudara sekandung. Sakit hati membunuh saudara masakah tidak lekas kubalas? Gan-ci, marilah kita berangkat!"
Habis berkata, ia memberi hormat pada hadirin, lalu bertindak keluar diikuti oleh Ko Gan-ci.
Tindakan Cui Pek-khe itu benar-benar di luar dugaan semua orang. Semula tampaknya sangat ketakutan kepada keluarga Buyung itu. Tapi demi bicara membalas sakit hati sang Suheng, walaupun tahu kepergiannya tidak lebih daripada mengantarkan nyawa, tapi sedikit pun ia tidak gentar lagi. Maka diam-diam semua orang merasa kagum dan tidak dapat mencegah keberangkatannya itu.
Kemudian Hui-cin Hwesio berdiri dan berkata dengan hormat, "Ciangbun Supek telah memberi pesan bahwa Sri Baginda Po-ting-te adalah kaum Cianpwe yang diagungkan, dengan sendirinya kami tidak berani bikin repot, tapi kalau Toan-ongya sudi berkunjung ke kuil kami untuk memberi petunjuk cara bagaimana harus menghadapi orang Buyung dari Koh-soh, hal mana
berarti Ongya telah menyelamatkan kaum Bu-lim di Tionggoan dari bencana. Kata Ciangbun Supek pula bahwa beliau seharusnya berkunjung sendiri ke sini untuk minta petunjuk Toan-ongya, cuma utusan kuil kami telah banyak dikirim untuk mengundang para tokoh berbagai aliran terkemuka untuk berkumpul di Siau-lim-si, sebagai tuan rumah, Supek tidak dapat tinggal pergi dan terpaksa tinggal di rumah untuk menantikan kedatangan para kesatria."
"Kiranya Siau-lim-si bakal mengadakan Enghiong-tay-hwe (pertemuan besar para kesatria), itulah kesempatan yang sukar dicari buat menemui tokoh-tokoh Bu-lim dari Tionggoan, kalau bisa hadir, menggembirakan juga hal itu," ujar Cing-sun sambil memandang kakak bagindanya untuk memberi keputusan.
Namun dengan kereng Po-ting-te berkata, "Keluarga Toan kami berasal juga dari kalangan Bu-lim di Tionggoan, selama ratusan tahun belum pernah lupa pada sumbernya. Setiap kawan Bu-lim yang datang ke wilayah Tayli sini selalu kami sambut dengan hormat. Tapi leluhur kami ada suatu pesan agar anak-cucunya dilarang ikut campur urusan permusuhan dan bunuh-membunuh di kalangan Bu-lim. Terhadap ilmu silat dan pribadi Hian-cu Taysu selama ini Cing-beng sangat kagum, sayang maksud baiknya itu bertentangan dengan pesan tinggalan leluhur, maka terpaksa tak dapat kami penuhi dan harap saja Hian-cu Taysu suka memaafkan."
Hui-cin sangat kecewa oleh jawaban itu, sebaliknya Hui-sian lantai berlutut pula sambil berseru, "Untuk membalas sakit hati Suhu, Hui-sian mohon Sri Baginda suka memberi izin kepada Tin-lam-ong pergi ke Siau-lim-si."
Segera Hui-cin menambahi juga, "Kehadiran Tin-lam-ong ke Siau-lim-si bukanlah untuk bertanding dengan orang Buyung, soalnya cuma mengenai ilmu silat musuh terlalu luas dan aneh, maka Supek sengaja mengundang para kesatria sekadar berkumpul untuk memberi prasaran yang berharga guna mengatasi keganasan orang Buyung itu. It-yang-ci keluarga Toan di Tayli sini adalah ilmu yang tiada bandingan dalam Bu-lim, dalam pertemuan besar di Siau-lim-si nanti kalau tiada hadir ahli waris keluarga Toan berarti belum lengkap dan mungkin tak bisa lagi menandingi orang she Buyung itu."
Tiba-tiba Po-ting-te kebas lengan jubahnya hingga Hui-sian merasa terangkat bangun oleh tenaga mahabesar, sungguh kagumnya tak terkatakan, serunya segera, "Hongya, sungguh kepandaian yang luar biasa ...."
Sahut Po-ting-te, "Jauh-jauh kalian datang kemari, silakan mengaso dan dahar dulu. Mendengar berita duka gurumu, sungguh aku ikut merasa menyesal. Cuma sayang keluarga Toan telah dipesan leluhur agar jangan ikut campur urusan persengketaan dalam Bu-lim, terpaksa tak dapat kuterima undanganmu, harap dimaafkan."
Mendengar raja Tayli itu tetap menolak, Hui-cin dan Hui-sian tahu takkan berhasil mengubah pendirian orang, terpaksa mereka mohon diri buat keluar.
Kini ruangan dalam itu hanya tinggal anggota keluarga Toan sendiri, maka Cing-sun lantas berkata, "Hong-heng, ilmu kepandaian keluarga Buyung itu sedemikian hebatnya, seharusnya namanya mengguncangkan dunia, tapi mengapa selama ini jarang terdengar namanya di dalam Bu-lim?"
"Mungkin anggota keluarganya itu jarang keluar rumah, jika bertengkar dengan orang juga belum tentu memperkenalkan nama asli mereka, maka Siau-lim-pay dan Ko-san-pay pun tak tahu siapakah sebenarnya musuh mereka," demikian sahut Po-ting-te.
"Keputusanmu untuk tidak ikut campur persengketaan itu memang sangat tepat," Ui-bi-ceng ikut bicara. "Kalau sampai urusan ini menjalar menjadi besar, mungkin dunia persilatan akan banjir darah, entah berapa jiwa manusia akan menjadi korban. Tayli selama ini aman tenteram, negeri makmur, rakyat subur, bila Ongya hadir ke Siau-lim, selanjutnya tentu juga takkan terputus-putus orang Bu-lim akan mencari perkara ke Tayli sini."
Tengah bicara, tiba-tiba seorang pengawal masuk memberi tahu, "Lapor Ongya, di luar ada seorang Totiang (Tosu, imam agama Tao) mohon bertemu. Katanya kawan lama dari Thian-tay-san."
Cing-sun sangat girang, katanya, "Hong-heng, tentu Ciok-jing-cu Toheng yang datang!"
Segera ia menyambut keluar dengan langkah lebar.
Ui-bi-ceng saling pandang sekejap dengan Po-ting-te. Tiba-tiba padri itu berdiri dan berkata, "Biarlah aku menyingkir saja."
"Apakah rasa marah Suheng masa lalu sampai kini masih belum lenyap?" ujar Po-ting-te dengan tersenyum.
Ui-bi-ceng hanya membalas tersenyum saja tanpa menjawab, lalu ia bertindak ke ruangan belakang untuk memeriksa keadaan murid-muridnya yang luka parah.
Selang tak lama, terdengarlah suara tertawa panjang nyaring berkumandang dari luar. Segera Po-ting-te berbangkit dan tertampaklah Cing-sun membawa masuk seorang Tojin berumur antara 50 tahun.
Imam itu berjubah kuning dan berkopiah kuning, bermuka putih, sikapnya gagah. Ia memberi hormat kepada Po-ting-te sambil berseru dengan tertawa, "Saudara Cing-beng, selama beberapa tahun ini engkau hidup jaya dan diagungkan, sungguh hidupmu ini aman tenteram penuh rezeki."
Po-ting-te membalas hormat dan menjawab dengan tertawa, "Dan kau Gu-pi-cu (hidung kerbau, olok-olok pada kaum Tosu) ini selalu sibuk kian kemari di Kangouw, apa belum merasa capek dan bosan?"
"Hahaha, belum bosan, belum bosan!" sahut Ciok-jing-cu terbahak-bahak. Lalu ia berpaling pada hadirin yang lain, "Hai, saudara Sing-thay, baik-baikkah engkau? Dan kau si maling tukang bongkar kuburan, bagaimana rezekimu sekarang? Wah, cahaya muka Hoan-heng tampak berseri-seri, tentu telah bertambah beberapa putra! Tapi Thian-sik kelihatan makin kurus tinggal kulit membungkus tulang, kalau mengandalkan tubuh sekurus ini untuk menangkan gelar Ginkang nomor satu di dunia rasanya juga kurang cerlang-cemerlang. Eh, tukang pancing, engkau dapat mengait seekor kura-kura atau tidak?"
Begitulah Ciok-jing-cu menegur setiap hadirin yang berada di situ sebagai kawan lama tanpa canggung-canggung.
Toan Ki kenal watak sang paman yang ramah tamah, tapi toh tidak pernah melihatnya bergurau dengan orang. Kini dengan datangnya Tojin itu, seketika suasana di situ menjadi riang, bahkan paman pun menyebutnya sebagai "hidung kerbau", maka dapat diduga Ciok-jing-cu ini sifatnya sangat jenaka dan disukai orang.
Segera Cing-sun berkata, "Ki-ji, lekas maju memberi hormat! Totiang ini adalah 'Tang-hong-te-it-kiam' Ciok-jing-cu yang sering kukatakan padamu itu, betapa tinggi ilmu pedangnya di zaman ini tiada bandingannya."
Toan Ki menjadi heran, sebab selama ini ia tidak pernah mendengar tentang "Tang-hong-te-it-kiam" atau jago pedang nomor satu di wilayah timur. Tapi ia pun tidak enak untuk bertanya, ia menurut dan melangkah maju untuk menjura.
Dengan tertawa Ciok-jing-cu berkata, "Wah, kacang memang tidak meninggalkan lanjarannya, ayahnya gagah, putranya ternyata juga ganteng tampan. Sebagai keturunan keluarga Toan dari Tayli, tentu ilmu silatnya juga hebat."
Sembari berkata ia terus ulur kedua tangannya untuk membangunkan Toan Ki dengan maksud sekalian menjajal kepandaiannya.
Keruan yang khawatir adalah Toan Cing-sun, cepat ia berseru, "Hati-hati hidung kerbau, putraku ini tidak pernah belajar ilmu silat apa-apa!"
Belum lenyap suaranya, tangan Ciok-jing-cu sudah menyentuh tangan Toan Ki, mendadak perasaannya tergetar, tenaga dalam yang dikerahkannya tahu-tahu lenyap sirna seperti lempung kecemplung ke laut, bahkan tiba-tiba terasa tangan Toan Ki timbul semacam daya sedot yang sangat kuat untuk mengisap tenaga dalamnya dengan paksa.
Ciok-jing-cu sudah menjelajah ke mana pun, pengetahuan dan pengalamannya sangat luas, dalam kejutnya segera ia menduga, "Bukankah ini Hoa-kang-tay-hoat dari aliran Sing-siok-hay di Kun-lun-san? Keluarga Toan dari Tayli adalah Beng-bun-cing-pay (perguruan terkenal dan aliran baik), kenapa mempelajari ilmu sesat yang dikutuk oleh sesama Bu-lim ini?"
Segera ia pun kerahkan tenaga, tangannya membalik terus menggeblak punggung tangan Toan Ki hingga daya lengket tadi terlepas.
Keruan Toan Ki meringis kesakitan, tulang tangan seakan-akan dipatahkan, pikirnya dengan gusar, "Aku memberi hormat dengan baik padamu, kenapa malah kau pukul aku?"
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Ciok-jing-cu menyangka dia menggunakan "Hoa-kang-tay-hoat" atau ilmu melenyapkan kepandaian orang untuk menyerangnya. Siapa pun yang terkena sedotan Hoa-kang-tay-hoat, seketika antero kepandaian yang pernah dilatihnya akan punah.
Cuma Hoa-kang-tay-hoat memang gunanya untuk melenyapkan ilmu orang hingga sang korban akan kembali seperti orang biasa, jadi merugikan orang dan tidak membawa untung bagi diri sendiri.
Sebaliknya "Cu-hap-sin-kang" yang dimiliki Toan Ki tanpa sadar itu mempunyai khasiat menyedot Lwekang orang untuk memupuk tenaga dalam sendiri, setiap kali jatuh korban, setiap kali pula tenaga dalam sendiri akan bertambah kuat Sebab itulah dalam persentuhan tangan Ciok-jing-cu dan Toan Ki tadi kontan ada sebagian kecil tenaga dalam Ciok-jing-cu telah disedot oleh Toan Ki.
Melihat sikap Ciok-jing-cu itu agak aneh, Po-ting-te dan lain-lain menjadi heran. Cing-sun khawatir juga kalau putra kesayangannya dilukai imam itu, cepat ia mengadang maju dan berkata dengan tertawa, "Sudah sekian lama tidak berjumpa, sekali bertemu, si hidung kerbau hendak memberi hadiah apa kepada putraku ini?"
Berbareng ia sudah bersiap-siap kalau imam itu menyerang lagi. Ia tahu Ciok-jing-cu itu sangat lihai, asal Toan Ki terkena serangannya, kalau tidak mati tentu juga terluka parah.
Maka terdengar Ciok-jing-cu menjawab dengan tertawa dingin, "Huh, It-yang-ci keluarga Toan sudah termasyhur di seluruh jagat, buat apa mesti mempelajari lagi ilmu sesat dari iblis tua Sing-siok-hay?"
"Apa katamu? Ilmu sesat iblis tua Sing-siok-hay? Apa kau maksudkan 'Hoa-kang-tay-hoat' itu?" tanya Cing-sun heran. "Dan siapa yang kau katakan mempelajari ilmu itu?"
"Hm, putramu ini telah masuk golongan menyesatkan itu, apa tidak khawatir bikin kotor nama baik keluarga Toan di Tayli sini?" jengek Ciok-jing-cu.
Cing-sun bertambah heran dan menyangka orang maksudkan peristiwa Lam-hay-gok-sin itu. Maka dengan tertawa katanya pula, "Tentang Lam-hay-gok-sin, memang benar dia penujui anakku ini dan ingin menerimanya menjadi murid. Tapi kejadiannya justru terbalik hingga dia yang telah mengangkat guru pada anakku. Hal ini hanya main-main saja dan tak bisa dianggap sungguh-sungguh."
Namun Ciok-jing-cu menggeleng kepala, sahutnya, "Meski ilmu silat Lam-hay-pay cukup hebat, tapi belum tentu mahir 'Hoa-kang-tay-hoat' ini."
"Berulang-ulang hidung kerbau bicara tentang Hoa-kang-tay-hoat segala, sebenarnya apa-apaan maksudmu ini?" tanya Cing-sun bingung.
Keruan Ciok-jing-cu mendongkol. Betapa pun tak tersangka olehnya bahwa "Cu-hap-sin-kang" yang dimiliki Toan Ki itu bukan saja tak diketahui ayah dan pamannya, bahkan pemuda itu sendiri pun tidak tahu-menahu.
Maka mendadak ia berbangkit dan berkata, "Engkau memang tidak tahu atau berlagak pilon? Aku orang she Ciok meski orang pegunungan dan suka kelayapan di Kangouw, tapi kedua kakiku ini pun bukan cetakan dari besi, jauh-jauh dari Kanglam kudatang kemari, kau kira tujuanku melulu hendak minta secangkir teh ini? Jika kalian tidak anggap aku sebagai kawan, biarlah sekarang juga aku akan pamit."
Habis berkata, terus saja ia bertindak keluar.
"Hek-kin, Thian-sik, rintangi hidung kerbau itu, minta penjelasan padanya," seru Po-ting-te dengan tersenyum. "Para kawan sudah datang di Tayli, tanpa makan minum lebih dahulu masakan lantas mau angkat kaki begitu saja?"
Hoa Hek-kin dan Thian-sik juga kawan karib Ciok-jing-cu, dengan terbahak-bahak cepat mereka melompat ke ambang pintu untuk merintangi. "Hahaha, Ciok-lauto, kau datang ke Tayli sini tanpa membawa pedang, itu tandanya engkau bermaksud baik serta mengindahkan Hongya kami. Tapi tanpa pedang engkau hendak menerobos keluar rintangan kami, hal ini rasanya tidaklah mudah!"
Melihat sikap semua orang tiada tanda bermusuhan padanya, pikiran Ciok-jing-cu tergerak pula, "Rasanya keluarga Toan tidak mungkin mengizinkan anak-cucunya belajar ilmu siluman dari Sing-siok-hay yang kotor itu. Apa barangkali diam-diam Toan Ki ini mempelajarinya, di luar tahu ayah dan pamannya? Kalau kubongkar rahasianya itu berarti aku akan mengikat permusuhan dengar pemuda ini. Tetapi hubunganku dengan ayah dan pamannya adalah lain daripada yang lain, kalau tahu sesuatu tak boleh kutinggal diam."
Karena itu, segera ia putar balik dan berkata pula kepada Toan Ki dengan sungguh-sungguh, "Toan-kongcu, jelek-jelek Ciok-jing-cu adalah angkatan lebih tua daripadamu. Sekarang aku mempunyai suatu pertanyaan, mengingat hubunganku dengan ayah dan pamanmu, maka ingin kukatakan terus terang, harap engkau jangan marah."
"Ciok-totiang mempunyai petunjuk apa, silakan bicara, aku akan terima dengan hormat," sahut Toan Ki.
Diam-diam Ciok-jing-cu membatin bocah ini masih tetap berlagak pilon. Segera katanya, "Sudah berapa lama Toan-kongcu berhasil mempelajari 'Hoa-kang-tay-hoat'? Gurumu adalah Cinjin yang mana dari anak murid iblis tua di Sing-siok-hay itu?"
Toan Ki menjadi bingung, ia garuk-garuk kepala, sahutnya, "Hoa-kang-tay-hoat dan iblis tua dari Sing-siok-hay apa? Wanpwe baru sekarang mendengar nama-nama itu."
Ciok-jing-cu pikir mungkin orang yang mengajar Toan Ki itu sengaja tidak mengatakan asal usul dan nama perguruannya itu. Maka tanyanya pula, "Habis, dari mana engkau belajar ilmu itu, bagaimana wajah orang itu?"
"Wanpwe tidak pernah belajar apa-apa," sahut Toan Ki.
Dan pada saat itu juga, sekonyong-konyong dari ruangan belakang berlari keluar seorang dan tangan Toan Ki terus dicengkeramnya. Kiranya orang ini adalah Ui-bi-ceng.
Tapi begitu kedua tangan bersentuhan, seketika badan padri itu tergetar, tenaga dalam tubuhnya seakan-akan membanjir keluar tak terhentikan. Tanpa pikir lagi Ui-bi-ceng ayun kakinya hingga Toan Ki didepak terjungkal.
Tentu saja semua orang kaget, beramai-ramai mereka berbangkit dan bertanya ada apa?
"Kedua Toan-heng, bocah ini akan kalian binasakan sendiri atau aku membereskannya?" tanya Ui-bi-ceng tiba-tiba dengan suara gemetar.
Kiranya berturut-turut Boh-tam berenam telah sadar kembali dan menceritakan kejadian tenaga dalam mereka disedot habis oleh Toan Ki. Karena itu timbul pendapat Ui-bi-ceng yang berlainan daripada Ciok-jing-cu. Padri itu menyangka Toan Ki telah membalas air susu dengan air tuba, ditolong malah mentung, dan merusak Lwekang keenam muridnya itu. Apalagi waktu tangannya memegang tangan pemuda itu, seketika tenaga dalam sendiri juga akan diisap, maka ia menjadi lebih yakin lagi akan cerita murid-muridnya itu.
Bab 15
Mula-mula Po-ting-te dan lain-lain merasa heran ketika mendengar ucapan Ciok-jing-cu tadi, mereka mengira imam yang biasanya jenaka itu sedang membadut. Tapi kini demi tampak sikap Ui-bi-ceng yang sungguh-sungguh itu, barulah mereka tahu urusan benar-benar sangat gawat.
Segera Po-ting-te pegang tangan Toan Ki dan hendak menyeretnya bangun. Ketika tangan menempel tangan, tiba-tiba hati tergetar juga, tenaga dalam terus merembes keluar. Cepat ia tahan sekuatnya berbareng lengan jubah mengebas hingga Toan Ki terentak ke samping beberapa tindak. Lalu bentaknya dengan suara bengis, "Sejak kapan kau belajar ilmu sesat begini?"
Sejak kecil sampai dewasa, jarang sekali Toan Ki melihat pamannya bicara dengan suara bengis padanya. Saking gugupnya cepat ia berlutut dan menjawab, "Kecuali 'Leng-po-wi-poh' itu selamanya anak tidak pernah belajar ilmu apa-apa lagi. Apa barangkali ilmu gerak langkah itu sejahat ini? Jika ... jika demikian, biarlah anak takkan menggunakannya lagi mulai sekarang, bahkan akan kulupakan saja seluruhnya."
Po-ting-te cukup kenal watak keponakannya, selamanya tidak pernah berdusta, terhadap orang tua juga sangat hormat, maka apa yang dikatakan pasti salah. Tentu di dalamnya ada sesuatu yang ganjil, maka katanya pula, "Kau gunakan ilmu melenyapkan tenagaku, hal ini sengaja kau lakukan atau karena terpaksa lantaran mendapat tekanan orang lain?"
Toan Ki bertambah heran dan bingung, "Titji ben ... benar tidak tahu sama sekali, dari mana Titji berani melenyapkan tenaga paman? Hakikatnya Titji tidak bisa sesuatu ilmu apa-apa!"
Tadi waktu Hui-cin dan Hui-sian menemui Po-ting-te, sebagai Onghui yang diagungkan, Si Pek-hong tidak bebas bertemu dengan orang luar, maka dia menyingkir ke dalam. Kemudian waktu mendapat laporan bahwa putra kesayangannya di depan terjungkal oleh tindakan Ui-bi-ceng dan sedang dimarahi Po-ting-te, saking gugupnya cepat ia keluar lagi.
Dan ketika melihat Toan Ki berlutut di hadapan sang paman dengan sikap bingung dan takut, sebagai ibu yang mahakasih, segera ia menarik bangun sang putra sambil berkata, "Ki-ji, jangan khawatir, segala urusan boleh katakan terus terang pada Pekhu dan aduuuuh ...."
Sekonyong-konyong ia merasa tangan sendiri seakan-akan tersedot dan tenaga dalam terus merembes keluar tak terhentikan.
Untunglah sebelum itu Po-ting-te sudah bersiap-siap, cuma di antara ipar tidak boleh bersentuhan badan, maka tidak enak baginya menarik tangan Si Pek-hong, tapi cepat ia kebas lengan bajunya hingga berjangkit serangkum angin keras ke tengah-tengah kedua orang itu, dengan paksa ia pisahkan daya lengket tangan ibu dan anak itu.
"Kenapa kau ... kau ...." seru Si Pek-hong kaget setelah dapat menarik kembali tangannya.
Melihat kelakuan sang ibu yang kaget dan gugup itu, Toan Ki belum sadar kalau dirinya yang menjadi gara-gara, cepat ia berbangkit hendak memegang sang ibu.
"Jangan Ki-ji!" lekas Cing-sun mencegahnya sambil mengadang di antara istri dan anaknya.
Maka sekarang tahulah semua orang bahwa pada badan Toan Ki ada sesuatu yang tidak beres, tapi mereka pun tidak mencurigai lagi bahwa arak muda itu mahir "Hoa-kang-tay-hoat" dan sengaja hendak mencelakai orang. Hal ini dapat mereka ketahui dari sikap Toan Ki yang polos dan lugu itu, sedikit pun tidak berpura-pura atau palsu. Pula, seumpama pemuda itu benar-benar jahat dari keji, rasanya tidak mungkin membunuh ibu kandung sendiri.
"Ui-bi Taysu, Ciok-jing-cu," tiba-tiba Sing-thay berkata, "apakah sebabnya Toan-kongcu bisa begitu? Ayolah, coba siapa yang lebih dulu dapat menerangkannya!"
Mendengar itu, Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu saling melotot sekali, lalu sama-sama memeras otak untuk menemukan jawabannya.
Kiranya Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu sebenarnya adalah dua kawan karib pada masa lalu. Suatu kali, karena berdebat tentang agama yang dianut masing-masing itu, keduanya sama-sama tidak mau mengalah hingga akhirnya saling gebrak.
Tapi karena kepandaian masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri, muka kekuatan kedua pihak boleh dikatakan setali-tiga-uang alias sama kuat.
Beberapa kali mereka pernah bertanding, pada penghabisan kalinya, hampir-hampir keduanya menggeletak dan gugur bersama. Untunglah datang Po-ting-te memisahkan mereka dengan Lwekang yang tinggi, tapi ketiga orang sama menderita kerugian tenaga dalam yang besar hingga perlu merawat diri dalam waktu cukup lama. Sejak itu Hwesio dan Tosu itu sama bersumpah tidak sudi bertemu muka lagi. Siapa duga hari ini justru saling berjumpa pula di istana pangeran Tin-lam-ong ini.
Ko Sing-thay bermaksud melenyapkan persengketaan di antara kedua tokoh itu, maka sengaja ia kemukakan persoalan tadi dengan maksud agar kedua orang itu bertanding kecerdasan otak dan tidak bertanding ilmu silat, jika pertanyaannya tadi dapat dimenangkan oleh salah satu pihak, ia harap dapatlah mengakhiri percekcokan di antara kedua orang itu.
Pertanyaan Ko Sing-thay itu sebenarnya lebih menguntungkan Ciok-jing-cu, sebab imam itu telah menjelajah ke mana saja, dengan pengalamannya yang luas terang lebih menguntungkan daripada Ui-bi-ceng yang sudah sekian lama terasing di pegunungan sunyi.
Namun biarpun Ui-bi-ceng tidak tahu apa sebabnya Toan Ki menjadi begitu, bagi Ciok-jing-cu, kecuali menduga kepandaian pemuda itu adalah Hoa-kang-tay-hoat ajaran iblis tua Sing-siok-hay, lebih dari itu ia pun tidak bisa mengemukakan pendapat lain.
Maka dengan gusar Cing-sun berkata, "Ketika Ki-ji disekap di rumah batu itu, tentu dia telah dicekoki sesuatu obat racun apa-apa oleh Jing-bau-khek itu hingga ada ilmu sihir masuk tubuhnya tanpa disadarinya."
"Ya, masuk akal juga pendapatmu ini," ujar Po-ting-te mengangguk. "Tentu Ki-ji terkena apa-apanya, makanya bisa begini. Ki-ji, coba katakan, waktu dikurung di rumah batu itu, apa kau pernah pingsan?"
"Pernah," sahut Toan Ki, "bahkan beberapa kali Titji tak sadarkan diri."
"Itulah dia!" seru Cing-sun. "Pasti kesempatan pada waktu Ki-ji tak sadar itu telah digunakan oleh Jing-bau-khek untuk memasukkan ilmu sihir yang bisa menghilangkan kepandaian orang ke dalam badannya. Maksud tujuannya tentu secara tak langsung Ki-ji hendak dipakai untuk mencelakai sanak familinya, yaitu, supaya kepandaian kita lenyap semua di tangan Ki-ji. Sungguh tipu muslihat yang keji dan terkutuk. Toako, urusan tak boleh terlambat, marilah kita segera mencari akal untuk melenyapkan ilmu sihir dalam tubuh Ki-ji itu."
Dan di antara semua orang itu, dengan sendirinya Si Pek-hong yang paling khawatir, tanyanya cepat, "Ki-ji, apakah kau rasakan badanmu menderita sesuatu?"
Toan Ki berkerut kening, sahutnya, "Antero tubuhku terasa penuh terisi tenaga belaka, di mana-mana seakan-akan melembung, tepi justru susah untuk ditumpah keluar. Hawa itu terasa meresap ke sana-sini di dalam badan, mungkin seluruh isi perutku kacau-balau diterjang olehnya."
"O, kasihan!" seru Si Pek-hong terus hendak merangkul sang putra.
Syukur Cing-sun keburu mencegahnya sambil berkata, "Jangan menyentuh Ki-ji! Badannya keracunan."
"Badan keracunan", memang demikianlah pendapat semua orang yang hadir di situ. Mereka menjadi kasihan dan gegetun pemuda yang tampan itu mesti menderita penyakit yang aneh itu.
"Toapek, kita harus lekas berdaya untuk menyembuhkan Ki-ji," pinta Si Pek-hong kepada Po-ting-te.
"Harap adik ipar jangan khawatir," sahut Po-ting-te. "Di depan kita sekarang sudah siap seorang Hwesio dan seorang Tosu, keduanya tokoh nomor wahid dalam Bu-lim, satu tadi telah memaki Ki-ji habis-habisan, yang lain bahkan telah menendangnya hingga terjungkal, dengan sendirinya penyakit Ki-ji wajib mereka sembuhkan."
Saat itu Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu justru sedang peras otak memikirkan penyakit apa yang diderita Toan Ki. Maka apa yang dikatakan Po-ting-te itu sama sekali tak masuk dalam telinga mereka.
Sekonyong-konyong Ui-bi-ceng berteriak, "He, ya!
Semua orang ikut girang dan mengarahkan pandang kepadanya. Siapa duga padri itu lantas goyang-goyang tangan dan menyatakan dengan menyesal, "Ah, salah, salah! Obat racun itu melulu dapat merusak kepandaian sendiri dan tak bisa melenyapkan kepandaian pihak lain."
Penjelasan itu membikin semua orang merasa kecewa.
Tiba-tiba Ciok-jing-cu juga berseru, "Ya, tentu begitu!"
"Bagus!" teriak Sing-thay ikut bergirang. "Nah, apa sebabnya, lekas katakan?"
Dengan berseri-seri segera Ciok-jing-cu bercerita, "Di luar lautan sana, di pantai semenanjung Liautang terdapat sebuah pulau ular ...." tiba-tiba wajah yang berseri-seri tadi membuyar hingga akhirnya berubah menjadi lesu, ia geleng-geleng kepala dan menyambung, "Wah, salah rekaanku, tak mungkin terjadi begini."
Begitulah, suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi senyap, tiada seorang pun membuka suara lagi.
Dalam keadaan hening itulah, terdengar di luar ada tindakan orang datang dan segera ada suara seorang berseru, "Lapor Sri Baginda, ada dua orang mata-mata musuh berpura-pura tuli dan bisu telah tertawan di luar, pada mereka terdapat tulisan-tulisan yang tak bisa diampuni."
Mendengar kata-kata "tuli dan bisu", pikiran Po-ting-te tergerak, cepat tanyanya, "Apakah benar-benar orang bisu, atau bisu disebabkan lidah mereka terpotong?"
"Baginda memang mahasakti, lidah kedua mata-mata itu memang bekas terpotong," sahut pelapor di luar.
Po-ting-te memandang sekejap kepada Ui-bi-ceng, Ciok-jing-cu dan Toan Cing-sun, diam-diam ia membatin, "Nyata Liong-ah Lojin juga sudah muncul, kesulitan-kesulitan selanjutnya tentu semakin banyak lagi."
Segera ia pun berkata, "Thian-sik, coba keluar membawa masuk kedua tamu itu!"
Thian-sik memberi hormat dan bertindak keluar.
Tidak lama, masuklah Thian-sik dengan membawa dua pemuda berusia antara 18 atau 19 tahun dan memberi lapor, "Cong-pian Siansing mengirim utusan untuk menghadap Sri Baginda."
Kiranya apa yang disebut Liong-ah Lojin atau si Kakek Bisu Tuli itu justru sengaja memakai gelaran "Cong-pian Siansing" atau si Tajam Telinga dan Tangkas Mulut. Maksudnya mengatakan meski kuping budek, tapi dapat mendengar lebih jelas daripada orang lain, dan meski bisu, namun kalau bicara sebenarnya jauh lebih tangkas daripada siapa pun.
Nama tokoh bisu tuli itu sangat tenar di dunia persilatan, tindak tanduknya agak aneh, tidak suci, tidak jahat. Kalau ada orang bermusuhan dengan dia, maka celakalah orang itu, selama hidupnya pasti akan selalu terlibat dalam pertempuran dengan si kakek tuli-bisu itu, kalau sakit hatinya belum terbalas, tentu takkan selesai urusannya. Sebab itulah, siapa pun juga, baik ilmu silatnya sama kuat atau lebih tinggi daripada kakek itu, tentu mengindahkan dan menghormatinya untuk menghindari kesukaran-kesukaran yang mungkin terjadi.
Sikap kedua pemuda tadi ternyata cukup gagah, wajah putih bagus, semuanya memakai baju putih, tapi di bagian dada tertulis dua baris huruf, "Utusan Cong-pian Siansing, ada sesuatu urusan hendak disampaikan kepada Toan Cing-beng Siansing dari Tayli."
Sebagai raja, nama "Cing-beng" di negeri Tayli tidak boleh sembarangan disebut oleh siapa pun. Tapi tulisan di dada baju pemuda itu terang-terangan menyebut "Cing-beng Siansing" tanpa sebutan kebesaran lain, dengan sendirinya oleh pelapor tadi dianggap perbuatan berdosa.
Namun Po-ting-te hanya tersenyum saja, katanya, "Cong-pian Siansing ternyata sudi menyebut Siansing padaku, hal itu sudah boleh dikatakan mengindahkan diriku."
Kemudian kedua pemuda tadi mendekati Po-ting-te, mereka hanya menghormat dengan membungkuk badan, tidak berlutut dan menyembah.
Segera Thian-sik mengambil pensil dan menulis di atas secarik kertas, "Cong-pian Siansing ada urusan apa, boleh segera lapor kepada Hongsiang."
Hendaklah diketahui bahwa watak Liong-ah Lojin itu sangat aneh. Setiap anak murid atau pengikutnya, semuanya dipotong lidah dan dirusak anak telinganya hingga berwujud orang bisu tuli seperti dia sendiri, supaya tidak bisa mendengarkan pembicaraan orang, tapi ia sendiri juga tak dapat bicara. Peraturan yang aneh dan istimewa itu sudah diketahui oleh orang Kangouw umumnya.
Maka untuk menjawab pertanyaan Thian-sik itu, dengan sendirinya kedua pemuda itu tak bisa bicara, tapi pemuda sebelah kanan lantas menanggalkan buntelan yang dibawanya, ia mengeluarkan sepotong baju wanita warna jambon dan dikenakan di badan sendiri, lalu mengeluarkan bedak dan gincu untuk bersolek sekadarnya.
Pemuda yang lain lantas membantu kawan itu melepaskan rambutnya untuk dikepang menjadi dua kucir serta diberi pita merah pula hingga serupa dandanan gadis remaja.
Melihat kelakuan mereka, semua orang merasa heran dan geli pula. Tapi tiada seorang pun yang dapat menerka apa maksud tujuan Liong-ah Lojin dengan mengirim kedua utusannya ini.
Selesai pemuda itu berdandan sebagai seorang gadis, lalu ia berjalan beberapa tindak dengan berlenggak-lenggok, kemudian melompat dan berjingkrak sebagaimana lazimnya gadis remaja yang lincah dan riang.
Meski geli melihat kelakuan pemuda yang menyamar sebagai gadis itu, namun semua orang menduga tindakan Liong-ah Lojin ini tentu mempunyai maksud dalam, maka tiada seorang pun berani tertawa.
Hanya Toan Ki saja yang tidak kenal siapakah gerangan Liong-ah Lojin itu, dengan bertepuk tangan ia tanya dengan tertawa, "Haha, kau berperan sebagai nona cilik, dan dia menjadi siapa lagi?"
Pemuda yang lain ternyata tidak menyamar apa-apa, ia sengaja mendongak dan berjalan dengan membusungkan dada seakan-akan dunia ini aku punya. Dengan lagak tuan besar ia berjalan satu putaran di ruangan itu, ketika sampai di depan "gadis remaja" tadi, tiba-tiba ia mengamati-matinya dengan tersenyum-senyum, bahkan terus mencubit perlahan pipi gadis gadungan itu.
Gadis palsu itu tampak tersenyum dan bibirnya bergerak-gerak menandakan telah bicara apa-apa. Mendadak pemuda itu tempelkan muka dan mencium sekali pipi si gadis palsu. "Plak", tiba-tiba si gadis palsu memberi persen sekali tamparan kepada pemuda bangor itu. Namun dengan cepat pemuda itu menjulurkan jari telunjuknya dan menutuk iga si gadis palsu.
Melihat gerak tutukan jari itu, seketika Po-ting-te, Toan Cing-sun, Ko Sing-thay, Ui-bi-ceng, Ciok-jing-cu, Hoa Hek-kin dan kawan-kawannya sama terkejut hingga bersuara heran. Bahkan saking heran Cing-sun dan Ciok-jing-cu berbangkit dari tempat duduknya.
Kiranya tutukan jari yang digunakan pemuda itu, baik gayanya maupun tempat yang diarah persis adalah kepandaian khas keluarga Toan, yaitu "It-yang-ci" yang hebat itu.
Gerak tutukan "It-yang-ci" itu tampaknya tidak sulit, tapi sebenarnya membawa gerak perubahan yang hebat, sekali tutuk, baik tempat yang diarah atau jaraknya, sedikit pun tidak boleh salah, kalau tidak, daya tekanannya tak bisa dilontarkan seluruhnya.
Meski Ui-bi-ceng, Ciok-jing-cu, Ko Sing-thay dan lain-lain tidak pernah belajar ilmu itu, tetapi hubungan mereka dengan keluarga Toan sangat erat, maka benar atau salah It-yang-ci yang digunakan itu cukup diketahui mereka.
Mereka pun tahu ilmu silat Liong-ah Lojin itu adalah suatu aliran tersendiri dan tergolong lunak, sama sekali berbeda seperti It-yang-ci yang mengutamakan kekerasan. Tapi mengapa anak muridnya juga dapat mempelajari ilmu tutuk itu?
Hanya sekejap itu saja rasa heran orang, sebab di tengah kalangan itu keadaan telah berubah lagi. Ketika melihat lawan menutuk iganya, tiba-tiba si gadis palsu mengulur tangan dan dengan cepat menangkap jari lawan. "Krek", tahu-tahu tulang jari si pemuda dipatahkannya.
Serangan balasan si gadis palsu ini meski dilakukan dengan sangat aneh dan cepat, namun dapat diikuti semua orang dengan jelas. Tapi tiada seorang pun menduga sebelumnya bahwa gadis palsu itu bisa melontarkan tipu serangan itu.
Maka menyusul pemuda tadi melangkah maju, kembali jari tangan kiri menutuk ke dada si gadis palsu, tipu serangan yang dipakai tetap bergaya It-yang-ci. Tapi ketika kedua tangan si gadis palsu menyambar, "krek", lagi-lagi jari pemuda itu dipatahkan.
Meski dua jarinya sudah patah, namun, pemuda itu seperti tidak kenal apa artinya sakit, ia masih tetap menyerang terus, hanya sekejap saja kembali ia keluarkan enam gerak It-yang-ci. Tapi gadis palsu itu pun dapat menangkis dengan cepat dan menggunakan enam gerakan yang berbeda-beda untuk mematahkan serangan jari si pemuda.
Karena delapan jarinya telah dipatahkan dan tinggal dua buah jari jempol saja, pemuda itu tidak berani menyerang pula, ia putar tubuh dan terus melarikan diri ke samping. Si gadis palsu bertepuk tangan dengan tertawa sebagai tanda sangat senang. Menyusul ia lantas ambil pensil dan menulis di atas kertas, "Keluarga Toan dari Tayli, tak bisa menangkan Buyung di Koh-soh."
Habis menulis, segera si pemuda yang patah jarinya itu digandengnya pergi.
"Nanti dulu!" segera Thian-sik bermaksud mencegat.
Namun Po-ting-te goyang-goyang kepala dan berkata, "Biarlah mereka pergi!"
Sesudah kedua pemuda itu pergi, pikiran semua orang merasa tertekan, mereka paham bahwa maksud Liong-ah Lojin mengirim kedua utusannya itu adalah untuk menunjukkan kepada Po-ting-te dan Toan Cing-sun bahwa orang she Buyung di Koh-soh itu sudah mempunyai ilmu khusus untuk mematahkan It-yang-ci.
Walaupun It-yang-ci itu kalau dimainkan Po-ting-te atau Toan Cing-sun, daya tekannya tentu jauh lebih lihai daripada permainan pemuda tadi. Akan tetapi sama halnya pihak lawan juga cuma seorang gadis remaja saja, kalau orang dewasa yang memainkan, dengan sendirinya kekuatannya juga jauh lebih hebat.
Yang harus dipuji adalah si pemuda bisu-tuli tadi ternyata bisa menirukan gerakan kedelapan jurus It-yang-ci dengan sangat tepat, meski cara mengerahkan tenaganya masih banyak kesalahannya, tapi gayanya yang indah itu sedikit pun tidak keliru. Sebaliknya cara si gadis palsu itu mematahkan jari-jarinya itu terlebih hebat dan aneh pula, perubahan-perubahan ternyata sukar diduga.
Namun Po-ting-te ternyata tidak mau mempersoalkan hal itu, dengan tersenyum ia tanya Ciok-jing-cu, "Ciok-heng, jauh-jauh kau datang kemari, apakah ada hubungannya dengan persoalan orang Buyung di Koh-soh itu?"
"Tidak, tiada sangkut pautnya dengan orang Buyung di Koh-soh," sahut Ciok-jing-cu menggeleng kepala. "Tapi besar sangkut pautnya dengan keluarga Toan kalian. Anak murid Toan kalian telah keterlaluan menggemparkan kota Yangciu. Kaisar kerajaan Song mungkin tidak enak mengusut perkara itu mengingat nama baikmu, tapi orang-orang Bu-lim dari Tionggoan merasa penasaran padamu."
Keruan Po-ting-te terkejut, cepat tanyanya, "Mana bisa jadi begitu? Keturunan keluarga Toan kami melulu Ki-ji seorang, tapi selamanya ia tidak pernah meninggalkan wilayah Tayli, dari mana bisa mengacaukan kota Yangciu?"
"Yangciu-sam-hiong, yaitu He Hou-siu, Kim Tiong dan Ong Siok-kian, dan anggota keluarga laki-laki mereka yang berjumlah 28 jiwa dalam semalam saja telah tewas semua di bawah tutukan It-yang-ci," demikian tutur Ciok-jing-cu, "Toan-hongya, katakanlah, dosa apakah Yangciu-sam-hiong itu terhadap Toan-keh kalian?"
"Dua puluh delapan jiwa mati semua di bawah tutukan It-yang-ci, apa betul dan tidak salah lihat, Ciok-toheng?" sahut Po-ting-te."Cara It-yang-ci membunuh orang sangat halus, pihak yang terkena seluruh badan terasa nikmat, anggota badan juga hangat tanpa derita sedikit pun, makanya korban tetap bersenyum tanpa luka, betul tidak begitu tanda terkena It-yang-ci?" tanya Ciok-jing-cu.
"Sedikit pun tidak salah cara hidung kerbau melukiskan itu, seakan-akan dia sendiri pernah mencicipi rasanya It-yang-ci," ujar Cing-sun dengan tertawa.
Namun Ciok-jing-cu tidak bisa tertawa lagi, katanya dengan sungguh-sungguh, "Anggota keluarga Yangciu-sam-hiong yang terbunuh itu semuanya mati dengan wajah tersenyum, pada badan mereka pun tiada tanda luka apa-apa."
"Tapi mayat mereka lemas seperti orang hidup, sedikit pun tidak kaku bukan?" sela Cing-sun.
"Ya," sahut Ciok-jing-cu. "Kita tahu ada beberapa macam racun bila membinasakan orang, wajah sang korban juga tampak tersenyum-senyum, namun tiada sesuatu ilmu lain lagi di dunia ini yang bisa menjadikan mayat sang korban tetap lemas tanpa kaku sedikit pun seperti halnya korban yang terkena It-yang-ci."
"Tapi di antara anak murid dan keturunan keluarga Toan kami, sampai kini melulu Ki-ji seorang saja, sedangkan dia sampai saat ini belum pernah belajar It-yang-ci," ujar Cing-sun.
"Ciok-toheng," kata Po-ting-te. "Kau bilang anggota keluarga Yangciu-sam-hiong yang terbunuh itu adalah kaum laki-laki semua, jika begitu kaum wanitanya tentu masih hidup dan telah melihat wajah si pembunuh itu?"
"Menurut cerita He-hujin dan Ong-hujin, katanya pembunuh itu memakai kedok kain hijau, mukanya tidak jelas kelihatan, cuma menurut taksiran usianya masih muda," sahut Ciok-jing-cu.
Po-ting-te menghela napas dan memandang sekejap kepada Toan Cing-sun.
Maka berkatalah Cing-sun, "Ciok-toheng, putraku ini kesurupan ilmu sihir, orang yang mencelakainya itu justru adalah anggota keluarga Toan kami sendiri, orang itu terkenal sebagai 'Thian-he-te-it-ok-jin' (orang jahat nomor satu di jagat ini)."
Lalu ia bercerita cara bagaimana Toan Ki diculik dan dikurung oleh Yan-king Taycu di dalam rumah batu itu, kemudian Ui-bi-ceng berusaha menolongnya.
Pertandingan antara Yan-king Taycu dan Ui-bi-ceng sebenarnya dimenangkan Yan-king, tetapi Cing-sun sengaja bilang Yan-king Taycu salah menjalankan caturnya hingga mengaku kalah.
Karena itu Ui-bi-ceng lantas berkata, "Toan-ongya tidak perlu menutupi maluku, pertandingan itu terang aku yang kalah. Seumpama Gu-pit-cu yang melawan Yan-king Taycu, dia juga pasti akan kalah."
"Ah, belum tentu," sahut Ciok-jing-cu.
"Jika begitu, marilah kita boleh coba-coba satu babak," kata Ui-bi-ceng.
"Bagus, aku justru ingin minta petunjuk padamu," kontan Ciok-jing-cu terima tantangan itu.
"Hahaha, sungguh menertawakan orang," tiba-tiba Ui-bi-ceng terbahak-babak.
"Apa yang menggelikanmu?" tanya Ciok-jing-cu mendongkol.
"Aku tertawa karena ada orang begitu tolol," sahut Ui-bi-ceng. "Sudah terang kejahatan itu dilakukan anak murid Toan Yan-king, tapi Toan-hongya yang dimintai tanggung jawabnya."
Muka Ciok-jing-cu menjadi merah, sahutnya, "Memangnya kalau anak murid Toan Yan-king itu bukan anak murid keluarga Toan? Toan Yan-king itu she Toan atau bukan?"
"Ah, pokrol bambu!" sahut Ui-bi-ceng.
"Ah, ngaco-belo!" jengek Ciok-jing-cu tak mau kalah.
Po-ting-te sudah biasa menyaksikan pertengkaran kedua tokoh itu, maka ia hanya tersenyum saja, katanya kemudian, "Cong-pian Siansing telah menyaksikan gadis keluarga Buyung mematahkan ilmu It-yang-ci, boleh jadi pemuda yang coba menggoda si gadis yang dimaksudkan itulah si pembunuh Yangciu-sam-hiong."
Bicara sampai di sini, tiba-tiba sikapnya berubah kereng, katanya pula, "Sun-te, menurut pesan leluhur, soal permusuhan dan bunuh-membunuh dalam Bu-lim, jelas kita tak boleh ikut campur. Tapi sekarang ternyata ada orang menggunakan It-yang-ci untuk melakukan kejahatan di luaran, hal mana rasanya keluarga Toan kita tidak boleh tinggal diam lagi."
"Benar," sahut Cing-sun.
Dalam hati kedua saudara itu sebenarnya mempunyai pikiran yang sama, cuma tidak mereka katakan. Kalau ternyata orang she Buyung di Koh-soh itu mampu menggunakan ilmu lihai untuk mematahkan jari anak murid keluarga Toan dan hal ini didiamkan saja, tentu nama baik keluarga Toan di Tayli akan sangat dirugikan.
Maka Po-ting-te lantas berkata, "Sun-te, hendaknya segera membawa serta Sam-kong Su-un (tiga tokoh dan empat jago, maksudnya Pah Thian-sik bertiga dan Leng Jian-li berempat) berangkat ke Siau-lim-si untuk menemui Hian-cu Taysu, sekalian boleh juga belajar kenal dengan ilmu silat keluarga Buyung di Koh-soh yang lihai itu. Yan-king Taycu adalah keturunan lurus dari mendiang raja yang dulu, kalau ketemu dia hendaklah berlaku sopan dan menghormatinya. Kalau anak muridnya ada berbuat sesuatu yang tidak senonoh, paling baik selidiki dulu hingga terang, lalu tangkap dan serahkan pada Yan-king Taycu untuk dihajar sendiri, kita jangan sembarangan mencelakai mereka."
Cing-sun dan ketiga tokoh serta empat jago sama mengiakan menerima titah baginda itu.
Melihat Ko Sing-thay ada maksud ingin ikut serta, dengan tersenyum Po-ting-te berkata, "Jago-jago kita seakan-akan dikerahkan semua, biarlah Sian-tan-hou tinggal di rumah untuk membantu aku saja."
Ko Sing-thay mengiakan atas titah itu.
"Pekhu," tiba-tiba Toan Ki berkata, "bolehkah Titji ikut pergi bersama ayah untuk menambah pengalaman?"
Po-ting-te menggeleng kepala, sahutnya, "Badanmu kesurupan ilmu sesat, aku masih harus menyembuhkan kau, apalagi kau tak bisa ilmu silat, kalau ikut pergi mungkin malah bikin malu keluarga Toan kita saja."
Wajah Toan Ki menjadi merah, baru sekarang ia menyesal mengapa dahulu tidak belajar silat hingga kini tak boleh ikut pesiar ke Tionggoan yang indah permai itu.
Dalam pada itu perjamuan untuk menyambut kedatangan Ciok-jing-cu lantas dilangsungkan dengan meriah. Toan Ki duduk menyendiri, orang lain tiada yang berani mendekatinya, sebab khawatir tersentuh racun jahat di tubuh pemuda itu.
Tentu saja yang paling kesal adalah Toan Ki karena seakan-akan terasing dari pergaulan, sedangkan hawa murni dalam badannya masih terus bergolak karena tak bisa dipusatkan.
Semakin lama duduk di situ, semakin tak tahan Toan Ki, hanya minum dua cawan arak ia lantas mohon diri untuk kembali ke kamarnya. Teringat olehnya pengalaman yang aneh selama beberapa hari ini, ia terkenang pada Bok Wan-jing dan Ciong Ling, kedua nona jelita yang baru dikenalnya itu entah ke mana perginya sekarang.
Terpikir juga olehnya putri Ko Sing-thay, Ko Bi, yang telah dilamarkan oleh kedua orang tuanya itu, nona itu selama ini tidak pernah dilihatnya, entah bagaimana perangainya dan cocok tidak dengan dirinya, pula entah cantik atau jelek makanya.
Begitulah Toan Ki rebah di ranjang dengan macam-macam pikiran yang berkecamuk dalam benaknya, hawa murni dalam badannya masih terus bergolak tak keruan rasanya, walaupun deritanya tidak sehebat seperti berkobarnya nafsu waktu minum Im-yang-ho-hap-san, tapi rasanya juga sukar ditahan, syukurlah akhirnya ia dapat tidur pula.
Sampai tengah malam, mendadak ia terjaga dari tidurnya ketika merasa kedua tangannya digenggam kencang oleh orang, dan baru saja mulutnya terpentang hendak menjerit, tahu-tahu sepotong kain dijejalkan ke dalam mulutnya.
Waktu ia berpaling sedikit, di bawah sinar lilin remang-remang ia lihat seraut wajah yang putih cakap sedang tersenyum padanya. Itulah Ciok-jing-cu adanya.
Cepat ia berpaling pula ke sisi lain, yang pertama-tama tertampak olehnya adalah dua jalur alis kuning yang panjang melambai, itulah dia Ui-bi-ceng. Muka padri yang kurus itu pun mengunjuk senyum penuh welas asih dan sedang mengangguk perlahan sebagai tanda agar pemuda itu jangan khawatir. Menyusul ia lantas keluarkan kain penyumbat mulut Toan Ki tadi.
Toan. Ki merasa lega melihat tokoh itu, segera ia merangkak bangun untuk memberi hormat. Namun Ciok-jing-cu lantas berkata padanya, "Hiantit tak perlu banyak adat, hendaklah rebah saja dengan tenang, biar kami berdua menyembuhkan racun jahat dalam tubuhmu."
"Sungguh Wanpwe merasa terima kasih harus membikin susah kedua Cianpwe," kata Toan Ki.
"Kami berdua adalah kawan karib pamanmu, hanya sedikit urusan ini, kenapa mesti dipikirkan?" sahut Ui-bi-ceng.
"Sedikit urusan? Huh, jangan membual dahulu, Hwesio," jengek Ciok-jing-cu tiba-tiba. "Dapat tidak kita sembuhkan dia masih harus melihat hasilnya dulu."
Selagi Toan Ki hendak berkata pula, sekonyong-konyong terasa kedua telapak tangannya tergetar, dua arus hawa sekaligus merembes masuk dari kanan-kiri, badan Toan Ki terguncang sedikit, mukanya menjadi merah membara seakan-akan orang mabuk arak.
Kedua arus hawa murni itu mula-mula berkeliaran kian kemari di antara urat-urat nadinya, tapi kemudian semakin lemah dan semakin lambat, akhirnya lantas lenyap. Menyusul dari telapak tangan yang dipegang Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu itu terasa merembes masuk lagi hawa murni yang lain.
Begitulah kira-kira sepertanak nasi lamanya, Toan Ki merasa separuh tubuh bagian kanan semakin lama semakin panas, sebaliknya separuh tubuh sisi kiri makin lama makin dingin, yang kanan seperti dibakar, yang kiri seperti direndam es. Tapi aneh bin ajaib, biarpun panas dingin rasanya, namun nikmatnya tak terkatakan. Ia tahu kedua tokoh terkemuka itu sedang menggunakan Lwekang mereka yang tinggi untuk mengusir racun dalam tubuhnya.
Sudah tentu apa yang diduga Toan Ki itu tidak benar seluruhnya.
Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu entah sudah berapa kali bertanding, baik mengadu kecerdasan maupun mengadu ketangkasan, dari pertandingan kasar sampai perlombaan secara halus, namun selalu sama kuat hingga sukar ditentukan siapa lebih unggul.
Ketika mereka bertengkar dan saling sindir pula siang tadi, keduanya sama-sama masih mendongkol. Sampai tengah malam, diam-diam kedua orang itu mengeluyur ke taman untuk berunding cara bagaimana harus bertanding lagi. Akhirnya acara jatuh pada diri Toan Ki, mereka sepakat untuk menyembuhkan pemuda itu sebagai batu ujian mereka.
Dahulu sudah dua kali mereka bertanding Lwekang dan banyak membuang tenaga, untung ditolong oleh Po-ting-te hingga jiwa mereka dapat diselamatkan. Karena itu, sekarang mereka ingin memberi jasa-jasa baik bagi Po-ting-te untuk mengusir racun dalam tubuh Toan Ki. Sebab, kalau bicara tentang menyembuhkan penyakit dengan Lwekang di dunia ini rasanya tiada yang lebih kuat daripada It-yang-ci, cuma tenaga dalam yang harus dikorbankan si pemakai It-yang-ci itu terlalu besar.
Dari itu Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu telah bersepakat untuk menyembuhkan Toan Ki masing-masing separuh badan, kanan dan kiri, siapa yang lebih dulu berhasil, dia yang menang.
Hwesio dan Tosu itu sudah pernah merasakan kelihaian racun dalam tubuh Toan Ki itu. Mereka tahu begitu menyenggol badan pemuda itu, tenaga dalam mereka segera akan buyar. Sebab itulah, begitu mulai, terus saja mereka mengerahkan sepenuh tenaga, sedikit pun tidak berani ayal, pikir mereka dengan tenaga kedua jago pilihan seperti mereka, paling-paling cuma racunnya tidak bersih dilenyapkan, tapi pasti tiada halangan bagi kesehatan Toan Ki.
Tak mereka duga bahwa apa yang mengeram di dalam tubuh Toan Ki itu hakikatnya bukan racun apa segala, tapi adalah semacam ilmu sakti yang bisa menyedot hawa murni orang yaitu tenaga sakti yang berasal dari sepasang katak Bong-koh-cu-hap yang merupakan makhluk mestika di alam ini. Karena katak-katak itu telah dimakan oleh Toan Ki, maka khasiat yang berada pada katak-katak itu sudah terlebur di dalam tubuh pemuda itu hingga tiada mungkin dilenyapkan lagi. Apalagi daya isap tenaga Cu-hap itu memang sangat kuat, ditambah lagi hawa-hawa murni dari Lwekang yang dilatih Boh-tam berenam, maka tenaga dalam yang dimiliki Toan Ki tatkala itu sesungguhnya sudah tidak di bawahnya Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu. Cuma saja Toan Ki tak bisa menjalankan dan menggunakan tenaganya itu. Namun begitu, setiap kali Hwesio dan Tosu itu
mengerahkan tenaga mereka, keruan seperti air mengalir ke laut saja, seketika kena disedot oleh Cu-hap-sin-kang dalam tubuhnya Toan Ki.
Sebenarnya urusan memang juga sangat kebetulan, rupanya sudah takdir ilahi dalam hidup Toan Ki harus mengalami kejadian itu. Coba kalau bukan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu dengan sukarela mau menyalurkan tenaga murni mereka ke dalam tubuh Toan Ki, betapa pun kuat daya isap Cu-hap-sin-kangnya Toan Ki juga susah untuk menyedot Lwekang kedua tokoh kelas wahid itu, paling tidak mereka pasti mampu melepaskan diri dari daya isap itu.
Dan sebabnya badan Toan Ki bisa terasa panas-dingin pada kedua sisi tubuhnya itu adalah karena apa yang diyakinkan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu itu memang berbeda-beda si Hwesio meyakinkan ilmu keras dari unsur Yang, sebaliknya si Tosu meyakinkan ilmu bersumber pada unsur Im yang lunak. Dasar agama mereka pun berbeda, ilmu yang diyakinkan pun berlainan, maka kedua arus tenaga mereka tidak mungkin dipersatukan.
Dalam pada itu dirasakan tenaga yang mereka kerahkan ke badan Toan Ki selalu lenyap seperti air mengalir ke laut, sedikit pun tak bisa ditarik kembali lagi. Hal ini tidak pernah mereka alami. Semakin kuat mereka mengerahkan tenaga semakin cepat pula lenyapnya Lwekang mereka.
Semula mereka terus bertahan oleh karena rasa ingin menang, tapi setelah setengah jam kemudian, jantung Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu mulai berdebar dan tenaga mulai macet.
Ui-bi-ceng sadar ketidakberesan hal itu, kalau diteruskan pasti antero Lwekangnya akan ludes sama sekali. Segera ia berkata, "Ciok-toheng, urusan ini agak ganjil, marilah kita berhenti sementara untuk mempelajari apa sebab musababnya?"
Sebenarnya Ciok-jing-cu juga mempunyai maksud begitu, tapi karena rasa ingin menangnya, ia pikir orang telah lebih dulu minta padanya, maka ia sengaja menjawab, "Jika tenaga Taysu kurang cukup, silakan mundur dulu, tidak mungkin kupaksa orang yang tidak tahan lagi."
Ui-bi-ceng menjadi gusar, "Hidung kerbau, betapa tinggi kepandaianmu memangnya aku tidak tahu? Him, kau berlagak gagah apa?"
Ciok-jing-cu juga tahu tenaga mereka sebenarnya setali-tiga-uang alias sama kuat. Tapi tempo hari si Hwesio sudah menempur Yan-king Taysu, Lwekang yang dikorbankan tentu sangat besar, inilah kesempatan yang sukar dicari, dirinya pasti dapat mengalahkan dia, bila kesempatan bagus ini dilewatkan, mungkin sampai mati kelak kedua orang tetap susah menentukan kalah dan menang.
Karena pikiran itulah, maka Ciok-jing-cu tetap bertahan sekuatnya dengan harapan lawan terpaksa akan undurkan diri lebih dulu.
Tak terduga Ui-bi-ceng juga mempunyai wataknya sendiri. Dalam segala hal ia bisa berlaku tenang dan sabar, suka mengalah. Tapi terhadap Ciok-jing-cu sungguh aneh sifatnya, asal bertemu tentu marah, betapa pun tidak mau mengalah.
Setelah bertahan lagi sebentar, tenaga murni dalam tubuh Toan Ki semakin penuh, daya sedotnya semakin kuat. Kedua orang itu merasa sisa tenaga mereka masih terus merembes keluar, segera mereka hendak menarik tangan, akan tetapi sudah tidak dapat lagi, dalam gugup mereka terpaksa soal pertandingan mereka itu harus dikesampingkan dan berbareng lepas tangan hendak meninggalkan badan Toan Ki.
Namun sudah telat, daya sedot Toan Ki teramat kuat, tenaga mereka bertambah lemah, tenaga murni mereka yang terlatih selama puluhan tahun itu sebagian besar sudah mengalir ke badan Toan Ki, sisa tenaga mereka tinggal sedikit saja, dengan sendirinya tangan mereka seperti lengket di badan pemuda itu dan tak bisa ditarik kembali, jadi mirip seperti Boh-tam berenam tempo hari.
Ui-bi-ceng saling pandang sekejap dengan Ciok-jing-cu, pikir mereka, "Sebabnya bisa terjadi begini, semuagara-gara karena rasa ingin menang. Bila sejak tadi lepas tangan ketika mengetahui gelagat tidak enak, tentu tidak sampai demikian jadinya."
Dan tidak lama Hwesio dan Tosu itu mulai lesu dan lemas, napas mereka sudah kempas-kempis. Celakanya dalam peristiwa ini Toan Ki sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, kalau tahu bakal begitu, sejak mula tentu dia tidak sudi terima hawa murni dari kedua tokoh itu, perbuatan yang menguntungkan diri sendiri tapi merugikan orang lain, betapa pun tidak mungkin dilakukannya.
Tapi ia justru mengira kedua Locianpwe itu sedang mengusir racun guna menyembuhkannya, hawa murni dalam tubuhnya terasa bergolak bagai air bah membanjir, makin lama makin keras, sampai akhirnya saking panasnya ia menjadi mabuk dan seperti orang tertidur pulas, maka terhadap bahaya yang sedang mengancam Ui-bi-ceng berdua itu sama sekali tak disadarinya.
Dalam keadaan begitu, asal lewat setengah jam lagi, Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu pasti akan menjadi cacat selama hidupnya. Untunglah pada detik berbahaya itu, tiba-tiba pintu kamar didobrak orang dan masuklah seorang yang bukan lain adalah Po-ting-te.
"Celaka!" serunya kaget melihat keadaan ketiga orang itu. Cepat ia tarik lengan baju Ui-bi-ceng dan dibetot hingga terlepas dari lengketan Toan Ki. Menyusul ia pun menarik Ciok-jing-cu dan berkata, "Kalian berdua asal ketemu tentu terjadi gara-gara, sudah kucari kalian, siapa tahu kalian justru bersembunyi dan sedang main gila di sini."
Dan ketika melihat keadaan kedua tokoh itu sangat payah, dengan gegetun katanya pula, "Ai, usia kalian sudah sekian tua, urusan apa lagi yang mesti kalian ributkan terus? Dengan pertarungan ini, tidak sedikit pula tenaga yang telah kalian korbankan."
Ia coba memegang nadi Ui-bi-ceng dan terasa denyutnya sangat lemah, waktu memeriksa Ciok-jing-cu, keadaannya serupa. Berulang Po-ting-te menggeleng kepala, disangkanya kedua orang itu mengulangi lagi apa yang terjadi dahulu, yaitu keduanya sama-sama mengalami cedera. Sudah tentu tak terduga olehnya bahwa tenaga murni kedua orang itu justru kena disedot oleh sang keponakan.
Dan ketika melihat Toan Ki tak sadarkan diri, ia malah menyangka keponakan itu menjadi korban pertandingan kedua tokoh itu. Cepat ia pun memeriksa nadinya, namun jalannya baik-baik saja, bahkan terasa ada sesuatu tenaga sedot yang sangat kuat hendak mengisap tenaga dalamnya.
Keruan Po-ting-te terkejut dan ragu, sebab kalau melihat keadaan begitu, agaknya tenaga dalam kedua tokoh Hwesio dan Tosu itu yang telah terisap ke dalam tubuh sang keponakan malah.
Ia pikir sejenak, lalu memanggil dayang istana pangeran agar membawa Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu ke kamar yang terpisah untuk istirahat.
Esok paginya, Toan Cing-sun beserta Sam-kong Su-un memohon diri kepada kakak baginda dan sang istri untuk berangkat ke Siau-lim-si bersama Hui-cin dan Hui-sian.
Meski hatinya masih khawatir karena keadaan sang putra yang keracunan itu, tapi mengingat kakak bagindanya sudah turun tangan sendiri, tentu takkan terjadi apa-apa. Sebelum berangkat, Cing-sun coba tengok Toan Ki, ia merasa lega ketika melihat pemuda itu masih tidur nyenyak dengan wajah merah bercahaya.
Setelah mengantarkan keberangkatan adik pangeran dan para kesatria, Po-ting-te lantas pergi memeriksa keadaan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu. Ia lihat kedua tokoh itu sedang bersemadi di kamar masing-masing. Wajah Ui-bi-ceng tampak pucat, badan gemetar. Sebaliknya muka Ciok-jing-cu merah membara bagai terbakar, terang kedua orang itu sama-sama terluka parah, tenaga murni mereka banyak terbuang.
Segera Po-ting-te menutuk dengan It-yang-ci pada Hiat-to penting masing-masing dan kemudian baru pergi menjenguk keadaan Toan Ki.
Tapi baru saja sampai di luar kamar pemuda itu, tiba-tiba terdengar suara gedubrakan dan gemerencang keras. Dayang yang jaga di luar kamar tampak sangat khawatir, mereka berlutut menyambut kedatangan raja dan melapor, "Secu (putra pangeran) kesurupan dan sedang ... sedang kumat, dua Thayih (tabib istana) sedang mengobatinya di dalam."
Po-ting-te mengangguk dan masuk ke dalam kamar. Ia lihat Toan Ki sedang berjingkrak-jingkrak di dalam kamar sambil mengubrak-abrik isi kamar seperti meja-kursi, mangkuk-piring dan lain-lain. Kedua Thayih tampak bersembunyi kian kemari untuk menghindari "piring terbang" yang mungkin menyambar kepala mereka.
"Ki-ji, kenapa kau?" tanya Po-ting-te segera. Meski tangannya mengamuk, tapi pikiran Toan Ki masih jernih sekali, hanya hawa murni dalam tubuh itu terlalu penuh hingga rasanya seakan-akan meletuskan kulit badannya, saking tak tahan, maka ia menggeraki anggota badan sekenanya hingga perabot di dalam kamar dirusaknya, tapi aneh, asal kaki-tangannya bergerak, rasa hawa dalam badan itu menjadi longgar.
Ketika melihat pamannya masuk, segera Toan Ki berseru, "Pekhu, wah, celakalah aku!"
Berbareng kedua tangannya masih terus bergerak serabutan.
"Bagaimana rasanya?" tanya Po-ting-te.
"Seluruh badanku rasanya seperti melembung," sahut Toan Ki. "Pekhu, harap buangkan sedikit darahku."
Po-ting-te pikir mungkin ada faedahnya juga cara itu, segera katanya kepada salah seorang Thayih, "Coba ambil sedikit darahnya."
Tabib itu mengiakan dan segera membuka peti obatnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak porselen dan mengambil seekor lintah yang besar dan gemuk, ia taruh lintah itu di urat darah lengan Toan Ki agar darahnya diisap lintah itu.
Oleh karena tabib itu tidak bisa ilmu silat, dalam badan tidak terdapat tenaga murni latihan Lwekang, maka ia tidak terpengaruh oleh daya sedot dalam tubuh Toan Ki yang lihai itu. Akan tetapi begitu lintah itu menempel lengan Toan Ki, terus saja binatang itu berkelojotan dan tidak berani menggigit lengan yang disediakan itu.
Tentu saja tabib itu heran, sekuatnya ia tekan lintah itu di atas lengan Toan Ki agar darahnya terisap, tapi hanya sebentar saja, bukannya mengisap darah, sebaliknya tahu-tahu lintah itu mati.
Karena kepandaiannya tidak becus di hadapan raja, tabib itu menjadi gugup hingga mandi keringat, cepat ia keluarkan lagi lintah kedua. Tapi serupa yang tadi, hanya sebentar binatang itu juga mati kaku di atas lengan Toan Ki.
Melihat itu, si tabib menjadi putus asa, cepat ia berkata, "Lapor Hongsiang, badan Secu keracunan mahajahat, sampai lintah juga mati keracunan."
Ia tidak tahu bahwa Cu-hap-sin-kang yang terdapat di badan Toan Ki itu, jangankan cuma lintah, sekalipun ular yang paling berbisa bila mencium baunya juga akan menyingkir jauh-jauh dengan takut.
Po-ting-te menjadi khawatir juga, cepat tanyanya, "Keracunan apakah sebenarnya, kenapa begitu lihai?"
"Menurut pendapat hamba," demikian kata tabib yang lain, "denyut nadinya sangat keras dan panas, tentu terkena semacam racun ganas yang jarang terdapat, adapun namanya ...."
"Bukan," tiba-tiba tabib yang satu lagi menyela, "denyut nadi lemah dan dingin, racunnya tentu tergolong dingin, harus disembuhkan dengan obat yang bersifat panas."
Kiranya dalam tubuh Toan Ki terdapat tenaga murni Ui-bi-ceng dari unsur Yang (panas), dan terdapat pula tenaga murni Ciok-jing-cu dari unsur Im mahadingin, makanya kedua tabib itu mempunyai pendapat berbeda.
Melihat kedua tabib itu tiada persesuaian paham, padahal kedua orang ini adalah tabib istana terpandai, tapi tak berdaya terhadap penyakit Toan Ki, maka dapat dibayangkan racun dalam tubuh pemuda itu sesungguhnya sangat aneh.
Dalam pada itu Toan Ki masih terus berjingkrak-jingkrak sambil menarik dan menyobek baju sendiri hingga tak keruan macamnya, Po-ting-te menjadi tak tega, pikirnya, "Rasanya soal ini harus dimintakan pemecahannya ke Thian-liong-si."
Maka katanya segera, "Ki-ji, biarlah kubawa dirimu menemui beberapa orang tua, kukira mereka dapat menyembuhkanmu."
Toan Ki mengiakan. Karena rasanya semakin menderita, yang dia harap asal lekas sembuh, maka cepat ia ganti pakaian dan ikut sang paman keluar istana, masing-masing menunggang seekor kuda terus dilarikan ke arah barat-laut.
Thian-liong-si yang dikatakan itu terletak di puncak Thian-liong di arah barat laut kota Tayli.
Puncak itu merupakan puncak utara pegunungan Thian-liong yang lerengnya memanjang dari barat-laut dan berakhir di wilayah Tayli. Leluhur keluarga Toan yang wafat semuanya dikubur di pegunungan itu.
Pegunungan Thian-liong yang panjang itu mirip seekor naga raksasa, maka puncak utama itu menjadi seperti kepala naga, dan di situlah leluhur keluarga Toan dikubur. Dan oleh karena leluhur keluarga Toan yang menjadi raja akhirnya cukur rambut menjadi Hwesio, maka semuanya tinggal di Thian-liong-si.
Sebab itulah Thian-liong-si merupakan kuil kerajaan yang terpuja. Karena itu juga maka kuil itu sangat megah dan terawat baik, biarpun kuil ternama di daerah Tionggoan seperti Ngo-tay, Boh-to, Kiu-hoa, Go-bi dan lain-lain yang merupakan pegunungan terkenal dengan kuilnya yang indah, kalau dibandingkan Thian-liong-si mungkin juga kalah. Cuma letak Thian-liong-si itu terpencil di daerah perbatasan, maka namanya tidak terkenal.
Setelah ikut sang paman sampai di biara itu, Toan Ki melihat kemegahan Thian-liong-si boleh dikatakan tidak kalah daripada istana di Tayli.
Thian-liong-si adalah tempat yang sering didatangi Po-ting-te. Meski dia diagungkan sebagai raja, tapi Hwesio dalam kuil itu banyak yang terhitung angkatan lebih tua, maka Ti-kek-ceng atau Hwesio penyambut tamu dengan hormat menyambut kedatangan dan tidak terlalu gugup seperti umumnya orang biasa bila mendadak bertemu dengan seorang raja.
Po-ting-te dan Toan Ki lebih dulu menemui ketua Thian-liong-si, Thian-in Taysu.
Menurut silsilah, bila Thian-in Taysu itu tidak jadi Hwesio, beliau terhitung paman Po-ting-te. Sebagai orang beragama, padri itu tidak kukuh lagi pada urutan umur dan perbedaan pangkat, kedua orang saling menghormat dengan derajat sama. Lalu secara ringkas Po-ting-te ceritakan kejadian Toan Ki kesurupan racun jahat itu.
Setelah berpikir sejenak, kemudian Thian-in berkata, "Marilah ikut padaku ke Bo-ni-tong untuk menemui ketiga Suheng dan Sute di sana."
"Terpaksa mesti mengganggu ketenteraman para Taysu, sungguh dosa Cing-beng tidak kecil," ujar Po-ting-te.
"Tin-lam-secu adalah calon putra mahkota kerajaan kita, urusan keselamatannya besar sangkut pautnya dengan kesejahteraan negara. Padahal kepandaianmu jauh di atasku, namun sudi datang bertanya padaku, maka dapatlah dipastikan soal ini pasti tidak sederhana," demikian kata Thian-in.
Begitulah setelah menyusuri serambi samping dan belasan ruangan lain, akhirnya Thian-in membawa Po-ting-te dan Toan Ki sampai di depan beberapa buah rumah. Rumah-rumah itu dibangun dengan kayu cemara, dindingnya dari papan kayu yang tak terkupas kulitnya, berbeda sekali dengan rumah lain yang dibangun secara megah itu. Malahan di antara dinding dan pilar kayu sudah banyak yang lapuk hingga lebih mirip perumahan kaum pemburu di pegunungan.
Dengan wajah serius Thian-in merangkap tangan dan berkata ke dalam rumah itu, "Omitohud, Thian-in mempunyai sesuatu kesulitan, terpaksa mesti mengganggu ketenteraman ketiga Suheng dan Sute."
"Hongtiang silakan masuk!" demikian sahut seorang dari dalam.
Perlahan Thian-in mendorong pintu kayu dan melangkah masuk diikuti Po-ting-te dan Toan Ki. Pintu itu mengeluarkan suara berkeriut ketika didorong, suatu tanda jarang sekali digunakan orang untuk masuk-keluar.
Toan Ki menjadi heran ketika melihat di dalam rumah itu terdapat empat Hwesio yang duduk terpisah di empat bangku batu, padahal tadi ia dengar Thian-in mengatakan ketiga Suheng dan Sute.
Ketiga Hwesio yang duduk menghadap keluar itu, dua di antaranya bermuka kurus kering, sebaliknya yang seorang lagi sehat kuat. Hwesio keempat yang duduknya di pojok timur sana menghadap dinding dan tidak bergerak sedikit pun, sejak mula juga tidak berpaling.
Po-ting-te kenal kedua padri yang kurus itu masing-masing bergelar Thian-koan dan Thian-siang, keduanya Suheng Thian-in. Sedang padri yang kekar itu bernama Thian-som adalah Sutenya.
Po-ting-te cuma tahu Bo-ni-tong itu dihuni tiga padri saleh dan tidak tahu masih ada seorang lain, yaitu Hwesio keempat yang duduk menghadap dinding itu.
Dengan membungkuk tubuh Po-ting-te memberi hormat. Thian-koan bertiga membalas hormat dengan tersenyum. Sedang padri yang menghadap dinding itu entah sedang semadi atau latihannya lagi mencapai titik genting hingga sedikit pun tidak boleh terganggu, maka ia tetap tidak peduli kedatangan Po-ting-te.
Po-ting-te cukup paham ajaran Buddha, ia tahu arti "Bo-ni" adalah tenang, sunyi. Karena ruangan itu bernama Bo-ni-tong, lebih sedikit bicara lebih baik. Maka secara ringkas ia menguraikan pula bagaimana Toan Ki keracunan dan kesurupan itu. Katanya paling akhir, "Mohon dengan sangat sudilah keempat Taysu suka memberi petunjuk jalan yang sempurna."
Thian-koan termenung sejenak, lalu mengamat-amati pula keadaan Toan Ki, kemudian berkata, "Bagaimana pendapat kedua Sute?"
"Ya, walaupun harus membuang sedikit tenaga dalam, rasanya juga takkan mengganggu hasil peyakinan Lak-meh-sin-kiam kita," sahut Thian-som.
Mendengar "Lak-meh-sin-kiam" itu, hati Po-ting-te terguncang, pikirnya, "Waktu kecil pernah kudengar cerita ayah bahwa leluhur keluarga Toan ada mewariskan semacam ilmu yang sangat lihai dengan nama 'Lak-meh-sin-kiam'. Namun ayah mengatakan cuma mendengar namanya saja dan selamanya tidak pernah mengetahui siapakah gerangan tokoh keluarga Toan yang mahir ilmu itu, maka betapa hebat sebenarnya ilmu itu tiada seorang pun yang tahu. Kini Thian-som Taysu mengatakan sedang meyakinkan ilmu itu, jadi memang benar ada ilmu yang aneh dan sakti itu."
Kemudian ia pikir pula, "Tampaknya ketiga Taysu ini hendak menggunakan Lwekang mereka untuk menyembuhkan Ki-ji, jika demikian, tentu akan mengakibatkan latihan 'Lak-meh-sin-kiam' mereka terganggu. Tapi melihat betapa hebatnya penyakit Ki-ji, sampai Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu juga tidak mampu menolongnya, kalau tidak memakai tenaga gabungan kami berlima, mana dapat menyembuhkan Ki-ji?"
Begitulah meski menyesal mesti mengganggu kemajuan latihan ketiga Taysu itu, namun demi keselamatan Toan Ki yang dianggapnya seperti anak kandung sendiri, terpaksa ia pun tidak menolak.
Begitulah, tanpa bicara lagi Thian-siang Hwesio lantas berbangkit, dengan kepala tertunduk ia siap berdiri di sudut yang lain.
"Siancay, Siancay," demikian Thian-in mengucapkan sabda Buddha, lalu ia pun ambil tempat di arah barat daya.
"Ki-ji," kata Po-ting-te, "keempat kakek Tianglo dengan tidak sayang tenaga dalam sendiri hendak menyembuhkanmu, lekas kau mengaturkan terima kasih!"
Melihat sikap dan kelakuan keempat padri itu sangat khidmat, Toan Ki tahu apa yang bakal dilakukan mereka tentu bukan urusan kecil, maka cepat ia menjura dan mengucapkan terima kasih kepada para padri tua itu.
"Ki-ji, duduk bersila di tengah itu, longgarkan badanmu, sedikit pun jangan bertenaga, kalau terasa sakit atau gatal, jangan kaget dari khawatir," pesan Po-ting-te kemudian.
Toan Ki mengiakan dan menurut perintah sang paman.
Segera Thian-koan Hwesio angkat jari jempolnya dan menekan Hong-hu-hiat di kuduk Toan Ki, satu arus hawa hangat dari It-yang-ci terus merembes masuk.
Hong-hu-hiat itu kira-kira tiga senti di bawah rambut bagian tengkuk, termasuk urat nadi "Tok-meh". Menyusul Thian-siang Hwesio juga menutuk Ci-kiong-hiat dan Thian-som menutuk Tay-hiang-hiat, Thian-in ikut menutuk juga kedua nadi yang lain dan Po-ting-te, menutuk Jing-bing-hiat.
Begitulah tujuan mereka hendak menggunakan tenaga It-yang-ci yang berunsurkan hawa Yang yang keras itu untuk mengusir racun dari tubuh Toan Ki.
It-yang-ci kelima tokoh keluarga Toan ini boleh dikatakan sama hebatnya, maka terdengarlah suara mendesis perlahan, lima arus hawa panas berbareng menyusup ke dalam badan Toan Ki. Seketika tubuh pemuda itu terguncang dan merasa seperti jemur badan di bawah sang surya di musim dingin, nyaman dan segar sekali rasanya.
Berulang jari kelima tokoh itu bekerja, maka semakin bertambah juga tenaga dalam yang masuk di badan Toan Ki. Po-ting-te, Thian-in dan padri-padri lainnya sama merasakan tenaga mereka yang masuk ke badan Toan Ki itu perlahan lantas buyar dan tak bisa ditarik kembali, bahkan terasa daya sedot pada badan pemuda itu luar biasa kuatnya. Keruan mereka terkejut dan terheran-heran dengan saling pandang.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara gerungan yang sangat keras hingga memekak telinga. Po-ting-te tahu itulah ilmu semacam Lwekang yang mahatinggi dalam ilmu Buddha, namanya "Say-cu-ho" atau auman singa.
Menyusul terdengar padri yang duduk menghadap dinding tadi sedang berkata, "Musuh tangguh dalam waktu singkat segera datang, nama kebesaran Thian-liong-si selama ratusan tahun ini akan terguncang, apakah bocah ingusan ini keracunan atau kesurupan, kenapa mesti banyak membuang tenaga percuma baginya?"
Kata-kata itu diucapkan dengan penuh wibawa hingga sukar dibantah, maka Thian-in lantas menyahut, "Ya, ajaran Susiok memang tepat!"
Terus saja ia memberi tanda dan kelima orang lantas melangkah mundur. Meski daya sedot Cu-hap-sin-kang dalam badan Toan Ki itu sangat hebat, tapi untuk mengisap tenaga kelima tokoh itu sekaligus, ternyata tidak kuat juga.
Mendengar Thian-in membahasakan Hwesio itu dengan sebutan "Susiok" atau paman guru, cepat Po-ting-te memberi hormat dan berkata, "Kiranya Koh-eng Tianglo hadir di sini, maafkan Wanpwe tidak memberi hormat sebelumnya."
Kiranya Koh-eng itu paling tinggi tingkatannya di dalam Thian-liong-si, para padri dalam kuil itu tiada satu pun yang pernah melihat wajah aslinya. Po-ting-te juga cuma mendengar namanya dan selamanya tidak pernah bertemu. Ia dengar padri tua itu selamanya bersemadi di ruang Siang-su-ih dan jarang orang membicarakannya, maka disangkanya padri tua itu sudah lama wafat. Siapa tahu sekarang justru dijumpainya di sini.
"Urusan harus dibedakan mana yang penting dari mana yang tidak," demikian kata Koh-eng Tianglo pula. "Perjanjian dengan Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san sekejap lagi akan tiba. Cing-beng, ada baiknya juga kalau kau pun ikut berunding memberi pendapatmu."
"Aneh, Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san terkenal sangat saleh dan tinggi ibadatnya, kenapa ada perselisihan dengan kita?" tanya Po-ting-te dengan heran.
Segera Thian-in mengeluarkan sepucuk surat yang berwarna kuning menyilaukan dan diangsurkan kepada Po-ting-te. Ternyata sampul surat itu sangat aneh, rasanya juga antap, kiranya terbuat dari lapisan emas murni yang sangat tipis, di atas sampul surat terbingkai pula beberapa huruf dari emas putih yang ditulis dalam bahasa Hindu kuno.
Po-ting-te paham ilmu Buddha, maka dapat membaca tulisan itu yang berarti, "Diaturkan kepada ketua Thian-liong-si."
Dari sampul emas itu Po-ting-te mengeluarkan secarik kertas surat yang terbuat dari emas juga, surat itu pun tertulis dalam bahasa Sanskerta dan terjemahannya kira-kira adalah, "Dahulu aku kebetulan bertemu dengan Buyung-siansing dari Koh-soh di negeri Thian-tiok hingga terikat persahabatan yang akrab. Dalam membicarakan ilmu silat di dunia ini, Buyung-siansing sangat memuji kitab 'Lak-meh-sin-kiam' kuil kalian dan menyatakan menyesal sebegitu jauh belum dapat membacanya.
Belum lama berselang kabarnya Buyung-siansing telah wafat, rasa dukaku sungguh tak terkatakan, sebagai tanda persahabatanku ingin kumohon kitab yang dimaksudkannya itu kepada kalian untuk kubawa ke hadapan makam Buyung-siansing. Untuk itu dalam waktu singkat aku akan berkunjung kemari, hendaklah kalian jangan menolak permintaanku ini. Sudah tentu akan kuberi imbalan yang setimpal dengan hadiah yang bernilai tinggi, masa kuberani mengambilnya dengan begitu saja."
Tulisan Sanskerta dalam surat itu pun dicetak dengan emas putih dengan sangat indah, terang dibuat oleh pandai emas yang sangat mahir. Melulu sampul dan kertas surat itu saja sudah merupakan dua benda mestika, maka dapatlah dibayangkan betapa royalnya Tay-lun-beng-ong.
Po-ting-te tahu Tay-lun-beng-ong itu adalah Hou-kok-hoat-ong atau raja agama pelindung negara negeri Turfan, kabarnya seorang yang cerdik pandai dan mahir ilmu Buddha, setiap lima tahun sekali tentu mengadakan khotbah umum, banyak padri saleh dari Thian-tiok dan negeri barat lainnya sama berkunjung ke Tay-lun-si di Tay-swat-san untuk mengikuti ceramah keagamaan itu.
Tapi dalam surat yang ditujukan kepada Thian-liong-si ini dia mengatakan pernah tukar pikiran dalam hal ilmu silat dengan Buyung-siansing dari Koh-soh serta bersahabat sangat karib, maka dapat dipastikan Tay-lun-beng-ong pun seorang tokoh silat yang tinggi. Orang cerdik pandai demikian kalau sudah belajar silat, maka dapat dipastikan akan lain daripada yang lain.
Lalu terdengar Thian-in berkata, "Itu 'Lak-meh-sin-kiam-keng' adalah kitab pusaka kuil kita dan merupakan ilmu tertinggi daripada ilmu silat keluarga Toan kita di Tayli ini. Cing-beng, ilmu saat keluarga Toan yang tertinggi terdapat di Thian-liong-si sini, engkau adalah orang biasa meski terhitung sanak keluarga sendiri, namun terpaksa banyak rahasia ilmu silat kita tak boleh kukatakan padamu."
"Ya, hal itu kupaham," sahut Po-ting-te.
"Anehnya," demikian Thian-koan ikut bicara, "tentang kuil kita mempunyai 'Lak-meh-sin-kiam-keng', bahkan Cing-beng dan Cing-sun juga tidak tahu, mengapa orang she Buyung itu malah mengetahuinya?"
"Dan Tay-lun-beng-ong itu juga seorang padri saleh yang terkemuka di zaman ini, mengapa tidak kenal aturan dan berani minta kitab secara kekerasan pada kita?" ujar Thian-som dengan gusar. "Cing-beng, oleh karena Hongtiang-suheng tahu musuh yang bakal datang itu tidak bermaksud baik, akibat dari urusan ini tidaklah kecil, maka Koh-eng Susiok diundang untuk mengatasi urusan ini."
"Sungguh memalukan juga," Thian-in ikut berkata, "meski kuil kita mempunyai kitab pusaka itu, tapi tiada seorang pun di antara kita yang mahir ilmu sakti itu, bahkan mempelajari juga tidak pernah. Sedangkan ilmu yang diyakinkan Koh-eng Susiok adalah semacam ilmu sakti lain, untuk itu juga diperlukan sedikit waktu lagi baru terlatih sempurna. Sebaliknya bila teringat akan kedatangan Tay-lun-beng-ong itu, kalau dia tidak mempunyai sesuatu andalan, masakah dia berani terang-
terangan minta kitab pusaka kita secara kekerasan?"
"Sudah tentu ia tidak berani memandang enteng Lak-meh-sin-kiam," ujar Koh-eng Tianglo tiba-tiba. "Melihat isi surat itu, agaknya dia begitu mengagumi Buyung-siansing dan orang she Buyung itu pun sangat tertarik pada kitab pusaka kita, dengan sendirinya Tay-lun-beng-ong bisa mengukur dirinya sendiri. Namun dia menduga dalam kuil kita tiada sesuatu tokoh yang luar biasa, biarpun terdapat kitab pusaka juga tiada orang mampu meyakinkannya, maka sama sekali dia tidak jeri pada kita."
"Jika ia sendiri mengagumi kitab pusaka kita, asal dia mau pinjam secara baik-baik mengingat dia adalah padri saleh dalam Buddha, paling-paling kita akan menolaknya dengan hormat dan urusan akan selesai begitu saja. Tapi ia justru minta kitab itu untuk dibakar di hadapan orang sudah mati, bukankah tindakan demikian terlalu menghina Thian-liong-si kita?" demikian Thian-som berseru dengan gusar.
"Ai, Sute juga tidak perlu marah," ujar Thian-siang. "Kulihat Tay-lun-beng-ong itu bukan seorang yang bodoh, dia hendak meniru perbuatan orang zaman dulu dengan membakar kitab di depan kuburan sahabat, agaknya dia benar-benar sangat kagum kepada Buyung-siansing itu."
"Apakah Thian-siang Taysu kenal pribadi Buyung-siansing itu?" tanya Po-ting-te.
"Aku tidak tahu," sahut Thian-siang. "Tapi mengingat betapa seorang tokoh macam Tay-lun-beng-ong begitu kesengsem padanya, maka dapat dipastikan Buyung-siansing itu tentu seorang yang lain daripada yang lain."
Berkata sampai di sini, sikapnya ikut sangat kagum pada orang yang dibicarakan itu.
"Menurut penilaian Susiok pada kekuatan musuh," demikian kata Thian-in, "kalau kita tidak lekas-lekas meyakinkan Lak-meh-sin-kiam, mungkin kitab pusaka kita akan direbut orang dan Thian-liong-si akan runtuh untuk selama-lamanya. Cuma ilmu pedang sakti itu mengutamakan tenaga dalam dan tidak mungkin berhasil dilatih dalam waktu singkat. Cing-beng, bukan kami tidak mau membantu menyembuhkan Ki-ji, tapi kita khawatir terlalu banyak membuang tenaga, bila musuh tangguh mendadak datang, tentu kita akan susah melawannya. Tampaknya keselamatan Ki-ji takkan terancam dalam waktu beberapa hari, maka selama beberapa hari ini biarlah dia merawat dirinya di sini, bila kesehatannya bertambah buruk, kita akan dapat menolongnya setiap saat, sebaliknya kalau tidak apa-apa, nanti kalau musuh tangguh sudah dienyahkan baru kita akan berusaha menolongnya sepenuh tenaga."
Walaupun Po-ting-te sangat khawatir akan kesehatan Toan Ki, namun demikian dia adalah seorang yang bijaksana, ia tahu Thian-liong-si adalah modal dasar keluarga Toan dari Tayli, setiap kali kerajaan ada bahaya, selalu Thian-liong-si memberi bantuan sekuatnya. Selama keturunan kerajaan Tayli banyak mengalami kesukaran dan dapat berdiri sampai sekarang, jasa Thian-liong-si itu sesungguhnya tidak kecil. Sebaliknya Thian-liong-si terancam bahaya, mana bisa dirinya tinggal diam.
Maka berkatalah Po-ting-te, "Atas kebaikan Hongtiang, Cing-beng merasa terima kasih sekali. Entah urusan menghadapi Tay-lun-beng-ong itu apakah Cing-beng dapat sekadar memberi bantuan?"
Thian-in pikir sejenak, lalu menyahut, "Engkau adalah jago nomor satu keluarga Toan kita di kalangan orang biasa, bila engkau dapat menggabungkan tenagamu untuk menghadapi musuh, sudah tentu akan banyak menambah kekuatan kita. Cuma engkau adalah orang biasa, kalau ikut campur pertengkaran dalam kalangan agama, tentu akan ditertawai Thian-liong-si kita sudah kehabisan jago."
"Kalau kita latih Lak-meh-sin-kiam itu sendiri-sendiri, biar siapa pun tiada seorang akan berhasil," tiba-tiba Koh-eng berkata. "Kita pun sudah pikirkan suatu akal, yaitu masing-masing orang berlatih satu 'Meh' (nadi, Lak-meh = enam nadi) di antara Lak-meh-sin-kiam itu. Tatkala menghadapi musuh nanti cukup salah seorang tampil ke muka, sedang lima orang lainnya hanya membantunya dengan menyalurkan tenaga dalam padanya. Asal lawan tidak tahu akal kita ini, tentu kita akan menang. Cara ini meski kurang jujur, namun apa daya, keadaan terpaksa. Hanya untuk mencari orang keenam yang memiliki tenaga jari mahahebat, di Thian-liong-si ini memang sukar diketemukan lagi. Kebetulan engkau datang kemari, Cing-beng, marilah ikut mengisi kekurangan itu. Cuma engkau harus dicukur dulu dan pakai jubah Hwesio."
"Kembali pada Buddha memang sudah lama menjadi cita-cita Cing-beng, cuma ilmu sakti yang hebat itu selama ini Cing-beng belum pernah mendengarnya ...."
"Jika pakai akal itu, sudah lama engkau paham, kini cukup kau pelajari tipu ilmu pedangnya saja," sela Thian-som cepat.
Po-ting-te merasa bingung, tanyanya, "Silakan Taysu memberi petunjuk."
"Coba duduklah untuk bicara lebih jelas," kata Thian-in.
Sesudah Po-ting-te duduk bersila di atas tikar, lalu Thian-in berkata pula, "Apa yang disebut Lak-meh-sin-kiam itu sebenarnya tidak ada wujud pedang sesungguhnya, kita hanya menggunakan tenaga jari It-yang-ci yang hebat dan menjadikannya hawa pedang, ada kekuatan tapi tiada wujudnya, maka boleh juga dikatakan semacam Bu-heng-ki-kiam (pedang hawa yang tak berwujud). Tentang Lak-meh (enam nadi) di atas lengan itu adalah Thayim, Koatin ...."
Sambil berkata ia terus mengeluarkan satu berkas kertas gulungan. Mungkin sudah terlalu tua, maka gulungan kertas itu bersemu kuning.
Setelah Thian-som menerima gulungan kertas itu, lalu digantung di dinding, waktu gulungan kertas itu dibuka, kiranya adalah sebuah lukisan badan seorang laki-laki, di atas badan tercatat jelas tempat-tempat Hiat-to mengenai keenam urat nadi yang bersangkutan.
Po-ting-te adalah ahli It-yang-ci, pula "Lak-meh-sin-kiam-keng" itu berdasarkan tenaga It-yang-ci, jadi sejalan dengan ilmu silat keluarga Toan mereka, dengan sendirinya ia paham begitu melihat gambar itu tanpa penjelasan lagi.
"Cing-beng," kata Thian-in kemudian, "engkau adalah seorang raja suatu negeri, untuk sementara meski dapat menyamar, tapi kalau sampai diketahui musuh, tentu akan sangat merugikan nama baik kita. Sebab itulah sebelumnya hendaklah kau pertimbangkan lebih masak."
"Maju terus, pantang mundur," sahut Po-ting-te tegas.
"Bagus," kata Thian-in. "Lak-meh-sin-kiam-keng ini tidak diajarkan kepada anak murid orang biasa, maka engkau harus cukur rambut menjadi Hwesio baru boleh kuajarkan padamu."
Tanpa pikir Po-ting-te berlutut ke hadapan Thian-in dan berkata, "Silakan Taysu!"
"Kemarilah, biar kucukur engkau," kata Koh-eng Taysu tiba-tiba.
Po-ting-te menurut, ia melangkah maju dan berlutut, oleh karena Koh-eng duduk menghadap dinding, jadi Po-ting-te berlutut di belakangnya.
Dengan tenang sejak tadi Toan Ki meringkuk di tempatnya dengan perasaan sadar, maka ia dapat mengikuti semua percakapan orang, pikirnya, "Bicara ke sana ke sini ternyata selalu ada sangkutnya dengan orang she Buyung itu."
Dan ketika melihat sang paman hendak dicukur untuk menjadi Hwesio, diam-diam ia terkesiap juga. Ia lihat Koh-eng Taysu telah membaliki tangannya hingga benar-benar tinggal kulit membungkus tulang belaka.
Tetap Koh-eng Tianglo itu tidak putar tubuh sedikit pun, hanya mulutnya mengucapkan sabda Buddha, ketika tangannya kemudian diangkat, tahu-tahu seluruh rambut Po-ting-te bertebaran jatuh ke tanah, kepalanya sudah gundul kelimis, biarpun dicukur dengan pisau cukur mungkin juga tidak sehalus itu.
Sungguh kejut Toan Ki tak terkatakan, Po-ting-te, Thian-koan dan lain-lain juga kagum tak terhingga atas ilmu sakti paman guru mereka itu. Maka terdengar Koh-eng Taysu berkata, "Sesudah masuk ke dalam Buddha, nama agamamu adalah Thian-tim."
"Terima kasih atas pemberian nama ini," sahut Po-ting-te dengan merangkap tangan. Dan oleh karena Po-ting-te telah dicukur oleh Koh-eng, menurut agama ia menjadi Sute Thian-in, walaupun dalam urut-urutan keluarga Thian-in sebenarnya adalah pamannya.
Lalu Koh-eng berkata pula, "Boleh jadi malam ini juga Tay-lun-beng-ong itu akan tiba, Thian-in, boleh kau ajarkan intisari Lak-meh-sin-kiam padanya."
Thian-in mengiakan dan menunjuk tanda-tanda Hiat-to yang terdapat pada gambar yang tergantung di dinding itu. Segera Po-ting-te menurutkan petunjuk itu untuk menjalankan tenaga murni pada waktu jarinya menutuk dan segera mengeluarkan suara mencicit perlahan.
Koh-eng sangat girang, katanya, "Tidak cetek latihan Lwekangmu, meski Kiam-hoat ini sangat ruwet perubahannya, namun hawa pedang sudah dapat kau wujudkan, dengan sendirinya dapat kau gunakan sesuka hati."
"Marilah sekarang juga kita mulai berlatih," ujar Thian-in. "Susiok khusus melatih Siau-siang-kiam dengan jari jempol, aku melatih jari telunjuk, Thian-koan Suheng latih jari tengah, Thian-tim Sute latih jari manis dan Thian-siang Suheng melatih jari kecil tangan kiri. Waktu mendesak, kita harus cepat meyakinkannya."
Cepat ia mengeluarkan pula enam lukisan dan digantung di sekeliling dinding, keenam lukisan itu masing-masing menunjukkan titik-titik Hiat-to keenam orang yang harus dilatihnya dan menggambarkan di mana jari mereka harus menutuk.
Dalam pada itu Toan Ki merasakan hawa dalam tubuhnya semakin penuh dan bergolak dengan hebat, jauh lebih menderita daripada tadi, maklum, tadi Thian-in berlima tidak sedikit mencurahkan tenaga dalam mereka ke dalam badan pemuda itu.
Karena sang paman dan padri-padri itu sedang memusatkan pikiran untuk berlatih ilmu sakti, maka Toan Ki tidak berani mengganggu, ia bertahan sekuatnya dengan termenung-menung. Dalam iseng, tanpa sengaja ia coba memandang lukisan yang menggambarkan Hiat-to di badan manusia yang tergantung di dinding itu, dan kebetulan pada saat itu tanpa terasa tangan kirinya sedang melonjak-lonjak seakan-akan ada sesuatu yang akan menerobos keluar dari bawah kulit tangannya.
Bersambung ke jilid 16-30...