Published using Google Docs
Ketika Flmboyan Berbunga - Maria A. Sardjono
Updated automatically every 5 minutes

Preview....

Ambar menjauhi setiap pria yang mendekatinya setelah ia dikhianati Bram. Tapi ketika Gatot memasuki kehidupan keluarga mereka sebagai tetangga baru, hatinya yang selama ini dingin membeku mulai terusik. Untuk menyelamatkan dirinya dari pesona lelaki itu, Ambar justru bersikap memusuhinya. Ia tak sudi berhandai-handai dengannya. Dan akibatnya, ia marah besar ketika Gatot mendekati Tina, adiknya, yang 14 tahun lebih muda. "Kau yang punya segudang pengalaman dengan wanita, tak pantas untuk adikku yang masih polos dan hijau!" semprotnya.

Tapi Gatot maupun Tina malah nekat, sehingga Ambar berkali-kali bertengkar dengan lelaki itu. Kemarahannya memuncak ketika "calon adik iparnya" itu juga merayunya, bahkan berani menciumnya dengan mesra. Anehnya, Ambar tak berdaya menolak kemesraan Gatot padanya. Ia tak percaya dirinya pun membalas ciuman itu. Ia marah dan benci pada dirinya. Hatinya kacau balau. Ia mencintai kekasih adiknya...

Baca Novel

KOTA Jakarta pada jam setengah enam pagi di hari Minggu itu masih belum bangun. Setidaknya, di sekitar rumah orangtuaku ini. Rumah-rumah di depan dan kiri-kanan tempat tinggal kami, sepi. Bahkan kulihat beberapa di antaranya masih belum mematikan lampu teras.

Meskipun sebenarnya hari libur itu bisa kupergunakan untuk bermalas-malasan dan tetap bergelung di atas tempat tidur tanpa harus terburu-buru menyiapkan diri untuk berangkat ke kantor seperti biasanya, aku toh lebih memilih mengerjakan sesuatu di taman depan rumah kami bersama Ibu. Hampir setiap hari Minggu, kami berdua merawat tanaman-tanaman yang tersebar di halaman depan itu, Aku paling suka memangkas tanaman hias yang daunnya bisa dibentuk dalam berbagai rupa. Ada yang berbentuk bulat seperti bola besar. Ada yang kupangkas seperti bentuk jamur dan seperti bentuk payung. Dan ada pula yang kupangkas berbentuk kerucut. Dan semakin lama, aku semakin ahli saja, sampai-sampai adikku, Tina, sering menggodaku.

"Pasang iklan sebagai ahli pembentuk tanaman, Mbak!" katanya suatu ketika. "Siapa tabu penghasilanmu sebagai pemangkas pohon lebih besar daripada sebagai pegawai bank!"

Digoda seperti itu aku hanya tersenyum saja.

Adikku yang baru saja lulus SMU itu memang jail dan senang rnenggoda. Wajahnya cantik, imut-imut, dan pembawaannya lincah. Dan manja, tentu saja. Khususnya kepadaku. Jarak usia karni cukup jauh. Aku berumur dua puluh tujuh, sementara Tina baru delapan belas. Di antara kami berdua terdapat seorang saudara lelaki yang baru saja menyelesaikan kuliahnya dan sedang mencari-cari lowongan kerja, antara lain dengan membeli setumpuk surat kabar setiap harinya.

Pagi itu, kedua adikku melakukan hal sama seperti yang banyak dilakukan oleb orang-orang di sekitarku, Tidur!

"Sudah saatnya tanaman-tanaman ini diberi pupuk lagi, Bu!" kataku sambil asyik mengguntingi dedaunan yang kering dan yang geripis dimakan ulat.

"Ya. Ibu sudah memesan kepada Pak Pot Bunga untuk membawakan dua karung pupuk kandang!" sahutnya. Ibu lebih suka mencabuti rumput liar di sekitar tanaman-tanaman hias kami.

Pak Pot Bunga yang disebut ibuku itu adalah tukang jualan bunga dorong langganan karol. Kami tak tahu namanya, dan tak pernah sekali pun terlintas dalam pikiran kami untuk menanyakannya. Begitupun sebaliknya, tukang tanaman itu tak pernah sekali pun menanyakan nama kami, padahal kami sering bertegur sapa.

Percakapan terhenti. Di jalan depan rumah kami, melintas dua lelaki muda yang sedang berlari-lari santai. Aku maupun Ibu menatap mereka sampai keduanya hilang dari pandangan mata.

"Pemuda-pemuda ganteng!" gumam ibuku. "Dan menarik."

Aku menoleh ke arah wanita yang melahirkanku ini dengan perasaan heran. Tak biasanya ibuku memuji seorang laki-laki sembarangan. Apalagi yang belum dikenalnya.

"Tumben Ibu memuji orang!" gumamku. Sekarang Ibu yang menoleh ke arahku.

"Mereka memang patut dipuji!" sahutnya. "Sejak awal mula berkenalan, aku dan ayahmu sudah menilai mereka berdua cukup tinggi."

"Kapan Ibu berkenalan dengan mereka?" Aku merasa heran. Wajah kedua pemuda itu memang tak terlalu asing bagiku. Sudah beberapa kali aku melihat mereka lari pagi di sekitar rurnah kami. Dan pernah juga mereka melernparkan senyum kepadaku ketika berpapasan. Aku membalas senyum mereka ala kadarnya. Meskipun aku tidak kenal keduanya dan tak tahu yang mana rumah mereka, aku yakin mereka pasti tetangga kami.

"Lho, kamu bagaimana sih?' ibuku menjawab perkataanku tadi. "Keduanya kan pernah berkunjung ke rumah kita!"

"Kapan, Bu?" tanyaku lagi, "Saya tidak ingat." "Sebulan yang lalu ketika mereka baru saja pindah kemari!" Ibuku terus saja mencabuti rumput tanpa mengurangi kecepatannya kendati sambil bercakap-cakap.

"Kok saya tidak melihat kedatangan mereka." Sekarang Ibu ingat. "Kau sedang pergi, entah ke mana Ibu lupa. Tetapi kedua adikmu ada dan mereka langsung akrab. Beberapa kali Ibu melihat mereka asyik mengobrol."

"Tetapi apa yang menyebabkan Ibu menilai mereka dengan tinggi?"

"Yah, di zaman sekarang yang penuh dengan segaIa macam urusan ini manusia tidak terlaIu banyak lagi menyisihkan waktu bagi orang lain. Antara tetangga yang satu dengan yang lain tidak saling kenal. Kalaupun kenaI, ya asal kenal begitu saja. Apalagi anak-anak mudanya, Mereka terlalu larut dalam hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Tetapi kedua pernuda tadi, memerlukan datang berkunjung ke tetangga untuk berkenalan dan bersilaturahmi. Dengan cara yang simpatik pula."

"Rumah mereka di mana sih, Bu?"

Ibu menatapku lagi dengan pandangan setengah jengkeL

"Kamu ini bagaimana sih, Ambar?" katanya lama kemudian. "Kedua pemuda itu tinggal di sebelah kiri rumah kita!"

"Oh, saya tak tahu .... " Aku agak tersipu. Harus kuakui sejujurnya, tahun-tahun terakhir ini aku tak banyak melebarkan sayapku dalam pergaulan. Termasuk dengan para tetanggaku. Meskipun aku sadar bahwa menarik diri dari pergaulan itu keliru, namun sulit sekali mengatasinya. Sejak Mas Bram mengkhianatiku dengan memacari temanku sendiri, aku enggan bergaul dengan orang banyak.

"Kan mereka itu yang membeli rumah Pak Ahmad di sebelah rumah kita ini!" ibuku menjelaskan lebih lanjut. "Kamu ini memang agak keterlaluan kok, Ambar. Sedikit memperhatikan lingkunganlah. Kita hidup di dunia ini tidak sendirian. Kita makhluk sosial yang mau atau tidak, senang atau sebaliknya, harus bergaul dengan orang lain. Sebab ada saatnya kita membutuhkan mereka. Dan ada saatnya pula mereka yang membutuhkan kita!"

"Iya, Bu!" aku memotong perkataan Ibu sambil tertawa. "Ibu ini senang sekali menguliahi orang. Hanya perkara tetangga sebelah yang belum saya kenal saja, tanggapan Ibu panjang sekali!"

Ibuku juga tertawa mendengar komentarku. Kemudian dengan tangannya yang lineah, ia membalik-balik tanah di sekitar tanaman bunga kesayangannya dengan sekop kecil. Aku memperhatikan perbuatannya sejenak. Tetapi pikiranku masih belum terlepas dari kedua pemuda yang disebut-sebutnya tadi.

"Mereka kakak-beradik, Bu?" tanyaku kemudian. "Bukan. Mereka saudara sepupu!"

"Orangtua mereka di mana?" tanyaku lagi. "Kenapa waktu itu mereka tidak ikut datang berkunjung kemari?"

"Orangtua mereka tinggal di Jawa Tengah. Nak Gatot dan sepupunya yang lebih muda itu tinggal di Jakarta sudah sejak kuliah. Sesudah bekerja lebib dari lima tahun, mereka memutuskan untuk membeli rumah. Sebab kata mereka, sudah capek pindah-pindah kos dan mengontrak rumah."

"Semuda itu sudah mempunyai rumah yang lumayan.bagus, pasti keluarganya kaya!' komentarku.

"Tidak persis begitu," sahut ibuku. "Ayahnya memang seorang dokter. Tetapi rumah sebelah itu dibeli oleh Nak Gatot sendiri dengan cara mencicil. Ia meminjam uang dari kantornya."

"Wah, cukup banyak juga yang Ibu ketahui tentang kedua anak muda itu!" Aku tertawa lagi.

Kalau Ibu jadi wartawan, pasti sukses."

Ibuku tersenyum.

"Soalnya sudah beberapa kali kami mengobrol, Ambar!" sahutnya kemudian. "Sejak kunjungan pertamanya sebulan lalu, sudah beberapa kali mereka mampir di depan rumah kita. Pernah juga Ibu berjumpa dengan Nak Gatot ketika kami sama-sama sedang berbelanja di toko Aceng dan kami berhandai-handai cukup lama. Malah Ibu diantar dengan mobilnya sampai ke rumah. Lalu, pernah juga Ibu dan ayahmu mengobrol di sepanjang jaIan depan rumah kita waktu kerja bakti menjelang Hari Kemerdekaan kemarin. Pendek kata, kecuali dirimu, kami udah cukup kenal dengan kedua anak muda itu. Lebih-Iebih dengan Nak Gatot. Orangnya ramah dan tampaknya pandai bergaul dengan siapa saja."

"Juga dengan Tina dan Didik?"

"Ya. Kedua adikmu juga sudah beberapa kali mengobrol dengan mereka. Kan sudah Ibu ceritakan tadi."

"Memang beberapa kali saya pernah mendengar Tina menyinggung soal tetangga baru kita. Tetapi saya kira bukan tetangga dekat. Malah saya tidak menyangka rumah Pale Ahmad sudah lakul" kataku lagi. "Sebab selama ini kan ada saja keluarga Pak Ahmad yang datang ke sebelah untuk membersih-bersihkan rumah."

"Jadi, seperti yang telah Ibu katakan tadi, sebaiknya mulai sekarang kau memperhatikan lingkungan sekitarmu!" komentar Ibu sambil menatap mataku. Tetapi sebelum komentarnya menjadi lebih panjang, lekas-lekas aku memotong kata-katanya sambil tertawa.

"Baik, Bu!" kataku. Kuangguk-anggukkan kepalaku dengan takzim sehingga Ibu tersenyum meskipun merasa kesal melihat kedegilanku. Aku yakin, beliau tahu betul bahwa kepatuhanku itu cuma di permukaan saja. Karenanya cepat-cepat aku mengalihkan pembicaraan. "Wah, pagi cepat sekali menjadi terang. Waktu kita keluar tadi hari masih agak remang."

Ibu menengadahkan wajahnya ke atas, menatap langit yang hari itu tampak bersih. Sinar cahaya matahari yang lembut mulai mewarnai kaki langit "Kelihatannya hari ini akan cerah ... ," gumamnya kemudian.

"Dan panas!" selaku.

"Ya. Belakangan ini udara kota Jakarta semakin panas saja rasanya."

"Tetapi meskipun begitu seharusnya Bapak tidak boleh menelantarkan olahraganya!" sahutku menanggapi perkataan Ibu. "Kalau enggan kena panas matahari, ya lari pagi saja seperti kedua tetangga kita tadi!"

"Yah, memang seharusnya demikian. Tak usah jauh-jauhlah. Keliling kompleks kita ini saja ... " Suara Ibu terhenti. Kedua pemuda yang dipuji oleh ibuku tadi melintas lagi di depan rumah. Kali ini salah seorang di antara keduanya melayangkan matanya ke arah kami dan melihat keberadaan Ibu.

"Selamat pagi, Bu!" sapanya kepada ibuku.

Langkah kakinya terhenti.

"Selamat pagi, Nak Hari."

Pemuda satunya yang tampaknya lebih tua dari pemuda yang melontarkan sapaan tadi juga menghentikan langkah kakinya ketika melihat Ibu.

"Selamat pagi, Bu Joko!" sapanya sambil tersenyum. "Wah, rajin betul merawat tanaman pagi-pagi begini."

Ibu menghentikan pekerjaannya, lalu berdiri. "Ini kan olahraga juga, Nak!" sahutnya tertawa.

"Mau lari pagi seperti kalian, Ibu sudah tidak begitu kuat lagi."

"Jalan santai sambil melatih pernapasan di sekeliling kompleks ini kan bisa, Bu. Tak usah lari-lari," pemuda pertama yang bernama Hari tadi menanggapi perkataan Ibu.

"Tetapi memang bertanam atau berkebun bisa juga dianggap sebagai olahraga ya, Bu!" sela pemuda satunya yang pasti bernama Gatot.

"Ya." Ibuku tersenyum. "Mencuci, memasak, bersih-bersih rumah juga bisa dianggap olahraga. Ya, kan?"

"Ya, Bu .... " Gatot juga tersenyum. Pandangan matanya mulai melayang ke arahku, kemudian senyumnya melebar sambil menganggukkan kepalanya.

Melihat perbuatan Gatot, Ibu melirikku, teringat bahwa aku belum mengenal keduanya.

"Kalian berdua belum berkenalan dengan putri sulungku ini, kan?" katanya kemudian, "Kemarilah, masuk sebentar. Atau kalian mau melanjutkan lari pagi?"

"Tidak, Bu, sudah satu jam lebih kami berlari-lari," Gatot menjawab sambil membuka pintu pagar rumah.

"Baru sekali ini Ibu melihat kalian lari pagi di sekitar sini!"

"Kalau sedang malas pergi ke Monas atau ke Senayan, kami sering memilih lari pagi di dekat-dekat sini saja kok, Bu!" sahut Gatot sambil melangkah masuk. Saudara sepupunya mengekor di belakangnya, "Tetapi lari pagi di mana pun sama menyenangkannya kalau kita melakukannya dengan suka hati."

Sementara ibuku dan kedua lelaki muda itu bercakap-cakap, aku masih tetap memainkan guntingku. Tetapi ketika kedua tetangga baruku itu udah berada di dekatku, aku menghentikan pekerjaanku demi sopan santun.

"Halo." Sambil tersenyum ramah, yang bernama Gatot itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Kenalkan, aku Gatot. Dan ini sepupuku, Hari."

Kuusapkan telapak tanganku yang kotor ke celana pendekku, baru kusambut uluran tangan Gatot. Setelah itu aku menyalami Hari. Tetapi tidak seperti kedua orang itu, aku tidak menyebutkan namaku. Bahkan tersenyum pun aku enggan.

"Siapa namamu? Maaf, telingaku kurang jelas menangkap suaramu." Gatot menelengkan kepalanya ke arahku. Rasanya, aku menangkap godaan dari pandangan matanya, sebab aku yakin sekali dia tahu betul mulutku tidak bersuara apa pun. Apalagi menyebutkan namaku.

Sialan. Baru beberapa saat berkenalan saja lelaki itu sudah berani menggodaku, padahal sikapku jelas-jelas tidak menyiratkan keinginan untuk berhandai-handai atau beramah-tamah dengannya maupun dengan saudara sepupunya itu.

"Ambar ... " Dengan perasaan apa boleh buat karena ada Ibu yang sedang memperhatikanku, aku terpaksa menyebut namaku.

"Hm, Mbak Ambar." Hari menanggapiku sambil tersenyum manis. Kulihat warna persahabatan tersirat dalam senyumnya itu. "Terus terang kami sudah sering mendengar namamu disebut-sebut oleh Tina dan Didik."

Kubalas senyum anak muda itu tanpa rnenanggapi kata-katanya.

"Kami juga sudah beberapa kali melihatmu, Mbak," dia meneruskan.

"Ya, apa yang dikatakan oleh Hari itu betuI," Gatot menyambung perkataan sepupunya. "Tetapi terus terang saja kami takut menegurmu."

Kusambar Gatot lewat pandangan mataku dengan perasaan kesal. Aku tahu, di dalam hatinya dia mau mengatakan bahwa sikapku tidak ramah. Entah Ibu merasakan hal itu atau tidak, tetapi dia menyela pembicaraan.

"Anak Ibu yang satu ini memang agak pendiam dibandingkan kedua saudaranya, Nak," katanya sambil tersenyum. Huh, bisa-bisanya Ibu mengatakan aku pendiam hanya demi menenggang perasaan kedua tetangga baru itu. "Nah, bagaimana kalau kalian berdua duduk di teras dan beristirahat dulu. Kalian mau minum apa?"

"Wah, seperti tamu saja," kata Hari kepada lbu.

"Tidak usah, Bu. Tadi di warung ujung jalan sana kami sudah minum. Terima kasih."

"Betul? Tidak bohong?" Ibu tertawa. "Atau malu?"

"Betul kok, Bu," jawab Gatot. "Terhadap Ibu yang selalu ramah, saya pasti tidak akan malu minta minum kalau memang merasa haus."

"Ya udah kalau begitu." Ibu mulai mencabuti rumput lagi. Melihatnya seperti itu aku juga mulai melanjutkan pekerjaanku mengguntingi tanaman. "Minggu-minggu begini kalian berdua tidak jalan-jalan?"

"Nanti siang, Bu. Ada teman sekantor saya yang akan menikah hari ini," Gatot yang menjawab. "Tetapi pagi ini tidak ada acara apa-apa. Kalau Ibu membutuhkan bantuan untuk menanam sesuatu atau memindahkan pot, jangan sungkan-sungkan lho. Kami siap membantu."

"Ya, Bu," Hari menyambung. "Seperti kata Ibu tadi, olahraga pagi kan tidak selalu harus lari-lari, jadi, kami siap melanjutkan olahraga di sini. "

Ibu tertawa. Tetapi aku tidak. Tersenyum pun tidak. Bahkan aku pura-pura tidak mendengar percakapan mereka. Aku lebih suka mencurahkan perhatianku kepada pekerjaanku mengguntingi tanaman. Tetapi diam-diam aku harus mengakui kebenaran penilaian Ibu tadi. Kedua anak muda itu memang termasuk laki-laki yang ganteng. Dan juga menarik. Ganteng saja belum tentu menarik. Terutama yang benama Gatot itu. Postur tubuhnya tinggi dan gagah. Dadanya bidang berisi, membuktikan bahwa kesukaannya berolahraga telah membuahkan hasil, sudah begitu, rambut dan alisnya tebal. Bahkan bulu matanya pun sama tebalnya. Namun sedikit pun tidak terkesan adanya ciri fisik perempuan meskipun biasanya bulu mata tebal dan Ientik seperti itu lebih banyak dimiliki oleh kaum perempuan.

Tetapi ah, buat apa aku memikirkan kedua lelaki ganteng itu? Biar sebagus Dewa Kamajaya sekali pun, apa peduliku? Seperti biasanya, aku harus tetap bersikap mengambil jarak dengan kaum laki-laki. Semakin menarik rnereka, semakin aku harus mengabaikannya. Sejak disingkirkan oleh Bram, aku berpendapat akan lebih baik bagiku kalau aku bersikap mengabaikan laki-laki dan tetap mengambil jarak dengan mereka. Daripada diabaikan nantinya, lebih baik aku yang rnengabaikan keberadaan mereka. Dan semakin menarik mereka, semakin aku harus menjauhinya. Terutama lagi semakin ramah mereka, aku harus semakin mengambil sikap yang sebaliknya. Sebab kurang apa baik, manis, hangat, dan ramahnya Bram dulu, bukan?

Mengingat itu aku mulai merasa risi melihat keberadaan kedua lelaki muda yang tampaknya terus saja betah mengoceh bersama Ibu sambil membantu mencabuti rumput-rumput liar. Kalau tidak ingat sopan santun, maulah aku melemparkan guntingku ke tanah dan pergi meninggalkan mereka. Tetapi untunglah tak berapa lama kemudian mereka pamit pulang, katanya mau mandi. Mendengar itu, bukan main leganya hatiku.

"Setelah itu mencuci mobil dulu sebelum pergi ke undangan perkawinan nanti," kata Gatot sambil bangkit berdiri.

"Silakan, Nak. Selamat berhari Minggu, ya?"

"Terima kasih, Bu." Kemudian lelaki itu menoleh ke arahku. "Ayo, Ambar, kami pulang dulu."

Aku menganggukkan kepalaku tanpa membalas tatapan matanya.

Begitu kedua laki-Iaki itu menghilang dari pandangan kami, Ibu langsung menatapku dengan pandangan mencela.

"Ambar, kau benar-benar tidak menunjukkan keramahan kepada mereka," katanya kemudian.

"Kan baru kenal, Bu!" dalihku sambil terus memangkas tanaman tanpa menoleh ke arah Ibu.

"Mereka itu tetangga paling dekat, Ambar. Tinggalnya di sebelah rumah kita persis!" Ibu berkata lagi tanpa memedulikan pembelaan diriku tadi "Kata orang, tetangga terdekat adalah saudara kita. Sebab kalau ada apa-apa, kita pasti akan berlari mencari bantuan atau minta tolong kepada mereka. Dan bukannya kepada sanak-keluarga atau saudara kita yang temp at tinggalnya jauh dari rumah kital"

"Iya Bu. Saya tahu itu." Aku menyeringai. "Tetapi sudahlah, jangan kita berbicara terus mengenai kedua pemuda tadi. Masa sejak tadi yang Ibu bicarakan hanya mereka. Seperti tidak ada pembicaraan lain saja."

Mendengar keluhanku, Ibu tersenyum. Dan pembicaraan pun berganti arah. Sampai kami berdua masuk ke rumah setelah matahari mulai muncul dan menyiramkan cahayanya ke permukaan bumi, Gatot dan sepupunya yang bernama Hari itu tak lagi menjadi bahan pembicaraan. Maka aku pun segera melupakan keduanya.

Tiga hari kemudian ketika aku sedang menunggu kendaraan umum di Iuar kompleks perumahan kami, sebuah jip berwarna putih yang semula berjalan kencang mulai memperlambat kecepatannya, bergerak pelan mendekati tempatku berdiri. Aku sudah kenal mobil itu kemarin. Mobil Gatot.

Begitu berada di depanku, kaca jendela mobil itu bergerak turun dan wajah ganteng pemiliknya muncul.

"Tidak dijemput?" tanyanya.

Jadi rupanya lelaki itu sudah mengetahui kalau biasanya aku pergi dan pulang kantor dengan mobil antar-jemput. Memang, aku dan beberapa teman sekantorku menyewa mobil antar-jemput yang dibayar secara bulanan. Tetapi hari ini sopirnya sakit dan sopir cadangannya sedang tidak ada di tempat sehingga pagi ini kami terpaksa berangkat ke kantor dengan cara masing-masing. Dan karena aku tidak bisa ikut mobil Bapak, karena tujuan kami bertolak belakang, aku memilih naik kendaraan umum. Rupanya, Gatot melihat itu.

"Sopirnya sakit," sahutku pendek.

Ini adalah pertemuan kami yang kedua. Aku masih belum tahu harus bersikap bagaimana terhadap pemuda ini, Aku harus tahu jelas lebih dulu, keramahannya itu hanya sekadar keramahan antara tetangga sajakah atau ada sesuatu yang lain. Hal itu penting bagiku sebab menurut pengalamanku selama ini, bergaul dengan laki-laki acap kali memunculkan persoalan yang tak menyenangkan. Bahkan di kantorku pun demikian. Setelah banyak yang mengetahui bahwa hubunganku dengan Bram putus, selalu saja ada teman sekantorku yang mencoba-coba mendekatiku. Padahal aku sudah memutuskan untuk tidak lagi mencoba hubungan baru dengan siapa pun. Setidaknya untuk beberapa tahun mendatang ini. Aku ingin memusatkan pikiranku kepada karier dan pekerjaanku dulu.

Akan halnya Gatot, laki-laki itu pasti akan tinggal lama bersebelahan dengan rumah orangtuaku. Jadi kami pasti akan sering bertemu dan berhubungan. Kalau mulai sekarang sikapku tidak berhati-hati hanya karena memikirkan kami bertetangga, bisa saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Sebab aku sudah berniat untuk bergaul dengan ukuran biasa saja dengan Gatot maupun Hari. Tidak dalam ukuran yang akrab, tetapi juga tidak sangat menjauh, yang bisa menimbulkan antipati mereka terhadap keluargaku.

"Mau ikut mobilku?" kudengar Gatot berkata lagi.

"Terima kasih," sahutku. "Aku naik kendaraan umum saja."

"Ikut aku sajalah," Gatot menawariku lagi. "Nanti kau kuturunkan di tempat yang terdekat dengan kantormu. Setelah itu kau bisa melanjutkan dengan kendaraan lain. Mau naik taksi atau bajaj, terserah."

"Aku tak mau merepotkan orang."

"Aku tidak merasa direpotkan. Kau kerja di Bank Indonesia, kan?"

"Ya." Wah, ini pasti warta berita dari Tina.

Aku yakin sekali. Adikku yang satu itu memang ceriwis, senang bercerita.

"Nah, karena itulah aku menawarimu. Kantorku juga berada di sekitar sana. Jadi ayolah, naik mobilku saja." Untuk kesekian kalinya Gatot membujuk. "Jangan sungkan-sungkan kepadaku, Ambar."

Aku menarik napas panjang. Mulai bimbang.

Tetapi ketika sekali lagi Gatot menawarkan jasanya sementara kulihat bus-bus yang lewat di depanku begitu penuh sesak, akhirnya aku menerima juga ajakannya.

"Kok Hari tidak bersamamu?" tanyaku begitu aku sudah berada di dalam jip putih itu.

"Sudah berangkat sejak pagi tadi. Dia lebih suka naik motornya. Katanya lebih praktis dan mudah menghindari kemacetan lalu lintas yang belakangan ini semakin sering terjadi di mana-mana di Jakarta ini."

"Ya, memang," sahutku mengambang. Aku tidak ingin mengomentarinya lebih panjang, takut terlibat pembicaraan yang akan menebarkan keakraban yang tak kuinginkan, apa pun warna keakraban itu.

"Sudah lama kau bekerja di bank itu?" Gatot mulai mengalihkan pembicaraan.

Suaranya terdengar empuk dan menyenangkan.

Tanpa sadar aku meliriknya. Ah, bukan main menariknya lelaki itu. Caranya mengemudi sungguh penub gaya. Enak sekali melihat bagaimana ia memindahkan persneling. Begitu juga caranya mengintip ke arah belakang melalui kaca spion di atas kepalanya. Matanya yang agak menyipit dan sebelah dahinya yang dikerutkannya itu sungguh sangat menarik. Tetapi ah, betulkah dia memang semenarik itu? Atau jangan-jangan aku saja yang terlalu tinggi menilainya?

Pikiran yang baru saja melintasi benakku itu menimbulkan kesadaran baru bagiku sebab rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah menilai lelaki. Apalagi menilai dengan begitu tinggi. Apalagi laki-laki yang baru saja kukenal. Entahlah, apa yang sedang terjadi padaku? Kenapa aku jadi begini?

Wah, aku harus mulai bersikap ekstra waspada. Sungguh, tidak biasanya aku seperti ini.

Aku sudah bertekad tidak akan melakukan perbuatan bodoh untuk kedua kalinya. Cukup satu kali saja aku dikhianati laki-laki yang semula begitu kucintai. Untuk selanjutnya aku harus melangkah hati-hati di jalan kehidupanku yang masih panjang ini. Khususnya jika itu berkaitan dengan kaum Iaki-laki.

Dengan pikiran seperti itu lekas-lekas aku menjawab pertanyaan Gatot tadi dengan sikap dingin dan mulai mengambil jarak Iagi. Terlebih karena aku tadi sempat mengagumi penampilannya, padahal sebelum ini aku tak pernah memikirkan hal-hal seperti itu.

"Sudah," jawabku dengan singkat.

"Selain bekerja di Bank Indonesia, apakah kau mempunyai pengalaman bekerja di tempat lain?"

"Tidak." Lagi-lagi aku menjawab pendek.

"Jadi berarti, begitu menyelesaikan kuliahmu kau langsung bekerja di tempatmu yang sekarang ini?"

"Ya."

"Kau senang bekerja di tempatmu itu?"

"Ya."

"Tidak ingin mencari pengalaman lain?" Gatot melirik sejenak ke arahku. "Mungkin di tempat yang lebih banyak tantangannya?"

"Tidak." Aku masih menjawab singkat dan sekenaku. Padahal sesungguhnya aku ingin juga mencari pengalaman bekerja di tempat lain yang lebih menantang. Aku menyukai kemajuan dan tantangan yang memacu kemampuan dan otakku.

"Hm, rupanya kau termasuk orang yang tidak menyukai tantangan," Gator mengomentari jawabanku.

Komentar yang, sangat keliru. Tetapi aku tak ingin menanggapi komentarnya. Bukan urusannya. Biar saja dia berpikir keliru tentang diriku. Aku tak peduli. Tetapi rupanya Gatot tidak puas. Ia ingin mengetahui pendapatku.

"Betulkan ucapanku tadi?" Laki-laki itu berkata lagi dengan nada memancing. Tetapi, aku tak semudah itu tetpancing olehnya.

"Yah, mungkin saja ... ," sahutku sambil melemparkan pandangan ke luar jendela dengan sikap acuh tak acuh yang kusengaja. Laki-laki itu tak perlu mendengar komentar yang keluar dari lubuk hatiku.

Aku merasa Gatot melirikku begitu mendengar jawabanku tadi. Tetapi aku berhasil menyembunyikan apa pun perasaan yang sedang melintasi hatiku, Bahkan sekarang kuangkat daguku dan mataku lurus menatap ke depan, ke lalu lintas kota Jakarta yang rasanya semakin hari semakin padat itu.

Selama beberapa saat tidak ada suara manusia di dalam mobil yang kutumpangi itu. Yang terdengar hanyalah suara musik instrumentalia yang menyajikan lagu-lagu manis. Tetapi kira-kira lima menit kemudian, Gatot bersuara lagi. Dia tak tahan berdiam diri terlalu lama, rupanya.

"Kau sungguh berbeda dengan kedua adikmu. Terutama dengan .Tina," katanya dengan nada suara mengambang. "Betul kan kataku ini?"

Aku tahu apa yang dimaksud olehnya. Kedua adikku memang termasuk ramah kepada siapa pun, sesuai dengan ajaran orangtuaku. Terutama Tina, yang pembawaannya memang lincah dan mudah akrab dengan siapa pun. Temannya banyak sekali. Laki-laki maupun perempuan.

Tetapi ah, rasanya dulu pun aku mirip dengan dia dalam banyak hal dan juga dalam pergaulanku dengan teman-teman. Seperti Tina, aku juga punya banyak teman. Baik teman-teman lama semasa masih sekolah maupun teman-temanku di masa dewasa. Dalam hal pergaulan, kedua orangtuaku selalu menekankan satu hubungan yang baik dan penuh rasa persahabatan. Seluruh ajaran mereka tentang nilai-nilai keindahan dalam kaitannya hidup bersama orang lain di dunia ini sudah terbatinkan dalarn diri kami bertiga. Dan apa yang sudah terinternalisasikan dalam diriku itu telah menjadi bagian serat tubuhku. Tetapi justru karena itulah ketika dengan mata kepalaku aku melihat Bram sedang berkasih mesra dengan sahabatku sendiri di kamar kosnya, aku benar-benar merasa seperti ditampar dengan amat keras di dasar hatiku. Pikirku saat itu, di manakah nilai-nilai kasih sayang dan kesetiaan yang sesungguhnya? Di manakah nilai-nilai persahabatan antarmanusia seperti yang selama ini menjadi prinsip hidupku? Kenapa dua orang yang katanya menyayangiku dan merupakan orang-orang terdekatku justru tega mengkhianatiku hanya karena kebutuhan biologis semata? Sungguh, sampai sekarang ini sulit rasanya bagiku untuk tetap menempatkan nilai-nilai kasih sayang dan kesetiaan agar tetap berada di atas kepalaku dan menjadi pegangan yang paling penting bagi hidupku.

Jadi salahkah aku kalau kemantapan sikapku terhadap laki-laki dan rasa persahabatanku yang kuat sekarang ini mulai bergeser? Salah pulakah kalau aku tidak lagi memiliki keramahan dan kemanisan sikap seperti yang masih dimiliki oleh TIna, si burung kenari tersayang dalam keluargaku itu?

"Hei, kok malah diam saja?" Tiba-tiba terdengar lagi suara Gatot menyadarkan diriku bahwa saat ini aku masih semobil dengannya.

Maka kukembalikan perhatianku.

"Memangnya apa yang harus kukatakan?" tanyaku kemudian.

"Tentu saja menjawab pertanyaanku tadi, Yaitu, apakah betul pendapatku mengenai dirimu itu?"

"Pendapatmu yang mana?" Aku pura-pura tak tahu.

"Bahwa kau berbeda sekali dengan kedua saudaramu!" Gatot melirikku lagi. Ada rasa jengkel di matanya. "Terutama dengan Tina!"

"Tentu saja aku berbeda. Biarpun kami bertiga sedarah dan sedaging, tetapi aku bukan mereka. Aku seorang individu tersendiri. Jadi, jangan suka menyama-nyamakan orang. Apalagi membanding-bandingkannya. ltu kurang etis. Paham?"

Mendengar sahutanku, Gatot melirikku lagi. Tetapi aku pura-pura tidak tahu meskipun aku sadar betul bahwa laki-laki itu sudah mulai merasa jengkel terhadapku. Sejujurnya harus kuakui, aku memang bukan seorang teman yang enak diajak bicara. Dan terlebih lagi, aku juga bukan seorang teman seperjalanan yang menyenangkan.

"Tetapi boleh kan kalau aku memberi penilaian mengenai dirimu?'

"Tidak, karena aku sudah tahu seberapa besar nilai diriku sendiri!" Aku meruncingkan bibirku dengan mengedikkan kepala.

"Tetapi pasti itu sifatnya subyektif. Beda dengan penilaian obyektifku. Bahwa kau adalah seorang gadis yang dingin, yang takut menebarkan rasa persahabatan, yang di mana pun atau ke mana pun kau pergi dan bertemu orang selalu kaubatasi dengan jurang-jurang galianmu sendiri."

"Kau boleh menilaiku apa saja, Gatot. Aku tak peduli." Kedengarannya memang tidak sopan, tetapi biarlah. Sebab pikirku, semakin negatif Gatot menilaiku akan semakin amanlah diriku. Dan semakin aman diriku, akan semakin damailah batinku. Suatu kedamaian yang bukan saja mahal harganya, tetapi juga didapat melalui jalan yang amat panjang. Sebab setelah berbulan-bulan lamanya aku sering menumpahkan air mata di bantalku atau di kamar mandi dengan diam-diam, dan juga sesudah aku sering merasa kaget setiap dering telepon berbunyi karena takut Bram mencariku untuk mendapatkan maafku lagi, barulah kepasrahan itu kudapatkan. Barulah pula kuraih kesadaran untuk menerima kenyataan pahit itu sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijalani oleh setiap manusia.

Sekarang, aku tidak ingin ketenangan dan kedamaian yang sudah berhasil kudapatkan itu tercemar oleh seorang tetangga baru. Apalagi kalau tetangga baru itu bernama Gatot, yang tadi sempat membangkitkan pujian dalam batinku. Oleh karena itu sebelum pujian itu menjadi berlarut dan berkembang lebih Ianjut, meskipun kemungkinan untuk itu kecil mengingat luka yang ditinggalkan oleh Bram masih belum sembuh betul, aku harus cepat-cepat mengamankan diriku. Apalagi firasatku membisikkan bahwa laki-laki bernama Gatot itu bisa membahayakan diriku. Maka segala risiko sekecil apa pun, harus kupikirkan dan kuwaspadai mulai sekarang juga. Aku juga tidak boleh menempatkan Gatot di hatiku. Baik bersifat positif maupun bersifat negatif.

Jadi, kuputuskan aku harus tetap mengambil jarak dengan tetangga baruku itu!

CUACA sore hari itu tampak begitu cerah. Meskipun matahari telah condong ke barat namun cahayanya yang keemasan masih terus menyepuh pucuk-pucuk tanaman di halaman depan rumahku sehingga tampak begitu indah. Sementara itu angin semilir yang lembut bertiup ke segala penjuru di sekitarku.

Aku duduk di teras menikmati kesendirianku, Di pangkuanku tergeletak majalah kesayanganku yang sejak aku duduk di tempat itu belum sekali pun sempat kubaca. Mataku lebih banyak melayang ke sekelilingku. Ke halaman yang selalu rapi karena terawat dengan baik sekali. Lalu ke langit yang cerah penuh warna keemasan, dan juga ke jalan raya dan ke mana pun mataku berlabuh. Damai rasanya.

Kompleks tempat kami tinggal termasuk daerah yang tenang karena jumlah rumahnya tidak terlalu banyak. Hanya sekitar tiga ratusan rumah saja. Di jalan depan rumahku yang bukan jalan utama, hanya sesekali mobil atau motor pribadi yang lewat. Yang sering melintas di jalan itu adalah anak-anak tanggung dengan sepeda mereka yang canggih, atau dengan bersepatu roda. Mereka meluncur di jalan sekelompok demi sekelompok. Terkadang pula, lewat pengasuh berseragam warna putih atau merah jambu sambil mendorong kereta dengan anak asuhan mereka di dalamnya.

Sementara itu di kejauhan kudengar teriakan-teriakan gembira anak-anak kecil yang pasti sedang bermain di taman, tak jauh dari ujung jalan rumah kami ini. Kegembiraan anak-anak seperti itu mengingatkanku pada masa kecilku dulu. Seperti mereka, dulu aku juga selalu merasa gembira setiap malam Minggu tiba. Sebab, tak ada PR yang harus kami kerjakan. Tak ada pelajaran yang harus diulang apalagi karena keinginan melihat acara kesayangan di televisi. Sudah begitu, di malam Minggu kami juga boleh tidur lebih malam dari hari biasa.

Di awal-awal masa dewasaku, kegembiraan malam Minggu mempunyai warna yang lain lagi. Selalu saja ada acara menarik yang kulalui bersama teman-temanku di malam panjang itu. entah nonton film, entah makan di luar, entah jalan-jalan ke suatu tempat, atau cuma mengobrol ramai-ramai di rumah teman secara bergantian. Dan bisa dipastikan, selalu ada makanan enak yang tersaji di atas meja. Kalaupun tidak, kami bisa membuatnya beramai-ramai dalam acara "bakar-bakaran." Ikan bakar, singkong, jagung, dan ubi bakar. Pokoknya, menyenangkan.

Kemudian ketika aku mulai berpacaran, malam Minggu menjadi lain lagi maknanya, Kalau sebelumnya acara-acara nonton film atau hura-hura itu kulakukan bersama teman-temanku, baik laki-laki maupun perempuan, keberadaan Bram dalam kehidupanku mengubah kebiasaan-kebiasaan semacam itu. Menonton film, makan di luar, jalan-jalan, atau hanya mengobrol di teras rumahku jarang sekali kulakukan bersama teman-temanku. Tetapi lebih banyak bersama Bram. Dan itu terus berlanjut sampai akhirnya Bram mengkhianatiku setelah permintaannya yang tidak pantas kutolak mentah-mentah.

Kini sesudah aku tidak lagi mempunyai kekasih, malam Minggu banya kunikmati sendirian saja. Kuisi malam-malam Minggu yang datang dalam kehidupan di masa kini ini dengan membaca, menonton televisi, jalan-jalan sendiri ke toko buku, atau duduk melamun sambil menikmati suasana damai seperti yang sekarang sedang kulakukan di teras depan ini.

Tentu saja kedamaian sebagaimana yang kurasakan sore hari menjelang malam minggu itu bukan datang dengan begitu saja, melainkan melalui perjuangan .batin yang tidak mudah. Sebelum aku berhasil menghadapi realita kehidupan dengan kepasrahan seperti ini, hampir setiap malam Minggu kuhabiskan di dalam kamar dengan deraian air mata. Malam-malam Minggu yang manis bersama Bram telah berakhir dengan cara yang sangat menyakitkan. Rasanya, luka hati itu tak kunjung sembuh, sampai-sampai aku nyaris putus asa. Tetapi toh akhirnya waktu juga yang mengusap luka-luka itu dan juga menyembuhkannya meskipun caraku menatap dunia pergaulan bersama kaum laki-laki kini berubah.

Tetapi bagaimanapun juga, senang rasanya bahwa pada akhirnya aku mampu menghadapi malam Minggu dengan hati yang lebih damai, seperti sore ini. Kesendirian itu kunikmati seperti apa adanya meski tak seorang pun menemaniku. Ibu dan Bapak sedang bepergian ke rumah kenalan mereka. Didik baru saja berangkat ke rumah pacarnya. Dan di dalam rumah, Tina sedang mengobrol melalui teIepon entah dengan teman yang mana, saking banyaknya. Kata Ibu, adik perempuanku inilah yang paling banyak mempergunakan telepon di rumah kami. Kalau tidak dia yang menelepon temannya, tentu teman-temannya yang menelepon dia. Adik bungsuku itu memang luas sekali pergaulannya, Dan dia termasuk gadis yang menyenangkan.

Setelah puas melamun, niatku membaca muncul kembali. Majalah yang sejak tadi berada atas pangkuanku, kuambil. Tetapi sebelum tanganku sempat membuka-buka halamannya, tanpa aku sengaja tatapanku melayang ke arah pohon flamboyan di tepi jalan depan rumahku. Lalu tiba-tiba saja aku sadar bahwa sudah lama sekali rasanya aku tidak melihat pobon itu berbunga. Entah karena memang belum musimnya berbunga atau entah karena kurang pupuk atau pula karena sebab-sebab lainnya, aku tidak tahu. Tetapi yang pasti tatkala melihat kehijauan daun-daunnya yang tak dihiasi bunga yang berwarna jingga dan indah itu, tiba-tiba saja aku merasakan adanya persamaan nasib. Sama seperti flamboyan di depan rumah itu, hatiku juga tak lagi menyimpan bunga-bunga kehidupan yang indah dan berseri.

Di luar kehendakku, aku menarik napas panjang sekali. Dan sebelum aku tenggelam lagi ke dalam kesedihan, cepat-cepat tanganku mulai membukai halaman-halaman majalah. Tetapi ketika aku sedang membalik-balik halaman majalah itu, suara seseorang terdengar menyapa diriku.

"Halo, Ambar .... "

Kuangkat wajahku. Di tangga menuju ke teras rumah, aku melihat Gatot berdiri tegak. Sebuah pot berisi tanaman hias berada dalam pelukannya. Entah kapan lelaki itu memasuki halaman rumah, aku tak tahu. Mendengar suara pintu pagar dibuka orang pun, tidak. Tahu-tahu saja dia sudah ada di dekatku. Pikirku, itulah kalau kubiarkan diriku terseret kenangan masa lalu.

Karena aku diam saja, lelaki itu menegurku lagi.

"Hai," sapanya lagi, sambil meletakkan pot yang semula berada di dalam pelukannya itu ke lantai teras dekat kakinya.

"Hai," aku terpaksa membalas sapaannya. Tetapi di dalam hati, aku merasa kesal melihat kedatangannya yang tidak pada waktu yang tepat. Sebab ketenangan, kedamaian, dan kebebasanku di tempat ini jadi ternoda.

"Bu Joko ada di rumah?" lelaki itu bertanya sambil melangkah mendekati tempatku duduk. Kemudian setelah menarik salah satu kursi teras di dekatku, dia langsung duduk dengan sikap santai yang tampak manis dan menyenangkan. Kentara sekali dia sudah terbiasa duduk di tempat itu. Tetapi ah, masa bodohlah. Aku tak ingin memikirkan apakah dia sudah terbiasa duduk di situ atau belum. Bukan urusanku.

"Ibu pergi," sahutku kemudian. Pendek saja dan tak ada niatku untuk meletakkan majalah yang terbuka di pangkuanku itu ke atas meja di depanku demi menunjukkan sikap sopan santun. Buat apa? Aku toh tidak mengharapkan seorang tamu di saat sedang ingin sendirian begini.

"Jadi, Bu Joko pergi, ya?" kudengar Gatot berkata lagi. "Padahal aku membawakan tanaman hias yang telah kujanjikan kepada beliau kemarin."

Mendengar perkataannya itu mataku melayang ke arah pot bunga yang dibawanya tadi. Memang Itu tanaman yang unik, Daunnya berbintik-bintik dan bergerombol lebat dengan kombinasi warna hijau dan putih yang indah. Aku yang juga menyukai jenis-jenis tanaman hias, tak tahan untuk tidak mengomentarinya. Baik sekali Gatot membawakan tanaman seindah itu untuk Ibu.

"Dari mana tanaman hias yang indah itu?" tanyaku kemudian.

"Kubeli di pameran tanaman di Lapangan Banteng kemarin."

"Berapa Ibu harus mengganti harga tanaman itu?" aku bertanya seenaknya. Pertanyaan tak sopan itu memang sengaja kulontarkan untuk menutupi rasa senangku atas tanaman itu. Padahal aku yakin sekali, Gatot datang mencari Ibu bukan untuk menagih uang yang telah dikeluarkannya untuk membeli tanaman itu. Bahkan aku juga yakin, dia pasti tidak mau menerima uang itu kalau Ibu menggantinya.

"Tidak usah." Seperti yang kuduga, Gatot memang tidak mau diganti uangnya. "Ini oleh-oleh dariku untuk Bu Joko. Beliau pernah berkata bahwa kalau kebetulan aku melihat tanaman hias yang unik, tolong belikan dulu. Tetapi untuk kali ini, uangnya tak usah diganti."

"Nanti akan kukatakan kepada Ibu. Dan terima kasih atas nama beliau!"

"Mudah-mudahan saatnya tepat. Besok hari Minggu. Biasanya kau dan Bu Joko suka berkebun, kan?'

"Ya."

Ah, laki-laki itu tetap saja duduk dengan santainya. Padahal aku tidak suka diganggu olehnya. Aku enggan sekali mengobrol dengannya. Pertama, karena aku tak ingin kehadiran orang lain saat ini. Kedua, kedatangannya toh bukan untuk menjumpaiku, melainkan Ibu. Ketiga, aku tidak ingin menatap wajab ganteng yang memiliki daya tarik yang luar biasa ini. Dan keempat, mekipun Gatot sudah sering datang kemari dan mengobrol bersama keluargaku, tetapi aku tak pernah mau bergabung dengan mereka. Biasanya aku lebih suka berada di dalam, entah untuk membaca atau untuk menonton televisi. Dan kebiasaan seperti itu tidak akan kuubah meski hanya demi basa-basi dengan tamu yang tak diundang ini.

Tetapi demi aturan sopan santun bertetangga, aku tidak boleh langsung berdiri dan meninggalkannya sendiri. Dan itu membuat perasaanku jadi amat tertekan. Tetapi untunglah tiba-tiba aku teringat pada Tina yang sedang di dalam dan mungkin sudah selesai menelepon. Akan kualihkan beban keharusan duduk di muka Gatot itu kepada adikku yang pasti lebih menyenangkan kalau diajak mengobrol.

"Mau mengobrol dengan Tina?" tanyaku tanpa memedulikan apakah pertanyaanku itu sopan atau tidak. Aku tidak ingin bersikap munafik.

Mendengar pertanyaanku, Gatot agak tertegun.

Aku yakin laki-laki itu telah menangkap keinginanku untuk menghindarinya. Tetapi agaknya dia berhasil menetralisir situasi yang menyudutkannya pada posisi sebagai "orang yang tak diinginkan". Hanya dalam waktu sekejap saja air mukanya kembali cerah dan matanya berseri-seri. Entah Itu pura-pura, atau memang senang akan bertemu dengan Tina, aku tak tahu.

"Jadi Tina ada di rumah? Kusangka dia pergi," katanya kemudian. "Kalau memang dia ada di rumah, suruhlah keluar untuk mengobrol di sini bersamaku. Aku paling suka bercakap-cakap dengan adikmu yang selalu ceria dan lincah itu."

"Oke," sahutku. "Akan kusuruh dia keluar. Tunggu, ya?"

Di dalam, aku melihat adik bungsuku itu sedang mengambil kue sambil menyanyi-nyanyi. Kue itu pasti buatan Bik Imas. Kemarin petang ketika aku pulang dari bepergian, aku melihat pembantu rumah tangga kami itu sedang memanggang adonan yang sekarang sudah menjadi kue lezat dan sedang dipotong oleh Tina. Begitu melihat kehadiranku, gadis itu langsung bertanya.

"Kau tadi bercakap-cakap dengan siapa, Mbak?"

Dimasukkannya sepotong besar kue ke mulutnya.

"Dengan Gatot. Dia datang untuk mengobrol denganmu!" sahutku sambil menatap wajah cantik yang sedang kerepotan dengan kue yang memenuhi mulut mungilnya itu. Sungguh seperti anak kecil saja. "Bersikaplah sedikit dewasa, Tina. Masa kue sebesar itu kaumasukkan sekaligus ke dalam mulut. Tidak sopan dan tidak manis dilihat orang. Ingat, sayang, sebentar lagi kau sudah menjadi mahasiwa, lho!"

Mendengar teguranku, mulut Tina menyeringai.

Kemudian dengan cepat dikunyahnya kue yang ada di dalam mulutnya itu. Lalu didorongnya dengan seteguk air putih. Matanya yang bagus agak mendelik ketika menelan kue itu.

"Aduh, Mbak, sikapmu melebihi sikap Ibu kalau menegurku!" gerutunya kemudian. "Padahal aku mau makan dengan cara apa pun tadi toh tidak ada siapa-siapa di dekatku. Malahan mau menelan dua potong sekaligus juga tidak ada yang melihat."

"Jangan suka berpikir seperti itu, Tina. Nanti jadi kebiasaan, Iho. Anggap saja di mana-mana ada mata yang sedang mengawasimu,"

''Termasuk matamu kan, Mbak?"

"Jangan selalu membela diri, Non. Nanti kau jadi tampak nyinyir. Jadilah orang yang tahu menempatkan diri di mana pun. Jangan memandang segala sesuatu dari sudut pandang sendiri. Lihat juga cara pandang orang lain."

"Iya, Eyang." Tina menyeringai lagi. "Sekarang sikapmu bukan lagi seperti Ibu, tetapi sudah seperti sikap Eyang kalau menasihati kita. Panjaaaaaang, berkilo-kilo. "

Aku tertawa.

"Itu karena aku sangat menyayangimu, tahu!" kataku kemudian.

"Tentu saja aku tahu. Sampai-sampai kalau saja itu mungkin, Mbak ingin menggendongku ke mana-mana seperti menggendong bayi...."

Lagi-lagi gadis bandel itu menyeringai dengan mulutnya yang bagus. Kecantikannya tidak jadi berkurang karenanya. Bahkan bagiku, tampak lucu dan menggemaskan.

"Sudahlah, lekaslah kau keluar menemui tetanggamu yang baik itu," sahutku tersenyum gemas. Dia sudah tidak sabar menunggumu."

"Mbak, dia sudah sering kali datang kemari. Tetapi dia datang bukan untuk menjumpai aku atau siapa pun dari keluarga kita secara khusus. Dia cuma ingin memperlihatkan keakraban dan kedekatannya dengan keluarga kita. Semuanya, tanpa terkecuali. Maka, kita semua di rumah ini adalah tuan atau nyonya rumah buatnya. Artinya, dia itu tetangga terdekat keluarga kita. Jadi, juga tetangga terdekatmu. Itu harus digarisbawahi dengan tinta tebal. Paham?"

"Apa maksud bicaramu itu?"

"Maksudku jelas sekali, Mbak." Tina mengerucutkan bibirnya yang indah itu. "Kau pun harus duduk mengobrol bersamanya dan menemani kehadirannya. Selain sebagai tetangga kita yang paling dekat, dia itu juga baik sekali, lho. Jadi bersikap ramahlah kepadanya. Kita ini tidak hidup sendirian di sini dan rumah kita juga tidak terpencil dari rumah-rumah lainnya. Jangan suka mengambil jarak dengan para tetangga. Tidak baik dan menyalahi kodrat, sebab kita ini makhluk sosial yang tidak bisa hidup seorang diri tanpa kehadiran orang lain."

"Nah, kau sekarang yang seperti Eyang!" aku memotong perkataan Tina dengan jengkel. Dia telah menyentuh tepat kelemahanku. "Kecil-kecil sudah berani menguliahi orang tua. Sudah sana, temani tetanggamu yang paling dekat dan paling baik itu. Aku tidak punya waktu untuk omong kosong dengannya. Lebih baik aku membaca-baca di dalam, karena itu jauh lebih bermanfaat. Oke?"

"Tetapi, Mbak, dia datang bukan melulu mencariku. Dia pasti juga ingin mengobrol dengan yang lain. Denganmu atau dengan siapa pun di rumah ini. Dan karena saat ini di rumah hanya ada aku dan kau, maka kita berdualah yang harus menemaninya bersama-sama. Bukan hanya aku saja."

"Itu kan katamu. Aku lebih suka sendirian kok," sahutku dengan suara tegas. "Lagi pula, dia kan lebih akrab denganmu atau dengan yang lain daripada denganku. Jadi pasti dia akan lebih suka mengobrol bersamamu daripada denganku. Aku yakin dia tidak akan suka berada di dekat seorang gadis yang malas bicara dengannya. Nah, jelaskan alasanku ini?"

''Tetapi, Mbak, yang bertetangga dengan Mas Gatot itu kan bukan hanya aku atau Mas Didik atau kedua orangtua kita saja. Tetapi kau juga tetangga dekatnya!" Tina masih juga belum mau mengalah. "Bahwa pada kenyataannya aku dan yang lain lebih akrab dengan Mas Gatot maupun dengan Mas Hari, itu karena kami sudah sering bertemu dan mengobrol bersama-sama. Jadi menurutku, sekarang inilah kesempatanmu untuk lebih kenal dengannya dan menjadi akrab seperti kami dengan mereka berdua .... Bayangkan, Bik Imas saja pun sudah akrab dengan dia maupun dengan Mas Hari."

"Biar saja kalau kalian suka berakrab-ria dengan dia. Aku malas kok. Terlalu akrab dengan tetangga bikin capek orang saja. Manggut sana, manggut sini, berbasa-basi ini dan itu di sana. Bersopan santun, berhandai-handai, padahal di dalam hatinya lain. Itu kan munafik. Jadi, Tina, kau sajalah yang menemani tetangga baikmu itu. Aku tidak tertarik untuk menjalin keakraban dengannya."

"Apa sih yang sebenarnya terjadi padamu, Mbak?' Tina menempatkan kedua belah tangannya di atas pinggulnya. "Apakah hanya karena pengkhianatan Mas Bram kau lalu menganggap semua orang tidak menyenangkan? Iya?"

"Jangan menganalisa yang bukan-bukan, Tina." "Aku cuma mau mengatakan bahwa Mbak keliru kalau masih saja memandang dunia yang sebetulnya indah ini dengan kacamata burammu itu. Lagi pula ... "

"Tina, aku tidak ingin berdebat denganmu!" aku mermotong perkataan Tina. Dan sebelum gadis itu berpanjang-panjang kata lagi, aku lekas-Iekas menyelinap masuk ke kamar tidurku. Biar saja Tina merasa jengkel kepadaku, aku tak peduli. Dan biar saja Gatot menganggapku sebagai nyonya rumah yang tidak ramah, masa bodoh. Memangnya kenapa memikirkannya?

Kira-kira setengah jam kemudian tatkala aku sudah tenggelam dalam bacaanku. Tina menyusul masuk ke kamarku. Blus longgar dan celana pendek yang dikenakannya tadi telah ditukarnya dengan celana jeans dan kemeja berpotongan feminin. Jahitan di bagian pinggang kemeja yang dikenakan Tina itu menyebabkan lekuk tubuhnya yang indah jadi kentara. Sementara itu di bahunya tergantung tas kesayangannya.

"Kau mau ke mana?" aku bertanya, ingin tahu. "Aku mau pergi, Mbak!" begitu dia berkata kepadaku. "Kalau Ibu dan Bapak sudah pulang nanti dan aku belum kembali, tolong katakan kepada mereka bahwa aku diajak jalan-jalan oleh Mas Gatot.'

"Jalan-jalan ke mana?" tanyaku acuh tak acuh.

"Apa yang akan kukatakan kepada Ibu kalau beliau menanyakanmu?"

"Aku sendiri tidak tahu mau diajak ke mana oleh Mas Gatot. Pokoknya dia ingin mengajakku pergi. Mungkin nonton film karena kebetulan ada film bagus di Planet Hollywood. Pokoknya, kami mau bersenang-senang mencari hiburan. Katakan saja begitu kepada mereka."

"Mau menonton yang jam berapa?"

"Entahlah. Tergantung yang mengajak dan tentu saja juga tergantung keadaan."

Sambil berkata seperti itu Tina mengibaskan rambutnya. Sungguh, cantik sekali adikku itu. Meskipun banyak orang mengatakan aku berwajah jelita tetapi rasanya aku tidaklah sejelita gadis itu. Semua kecantikan Ibu dan garis wajah Bapak yang tampan menurun dan diwariskan kepada si bungsu itu.

Melihatku diam, Tina berkata lagi, "Ikut ya, Mbak? Daripada di kamar sendirian kan lebih menyenangkan melihat dunia luar. Malam nanti pasti tampak indah karena kulihat rembulan udah mulai muncul menghiasi langit yang bersih. Mau ya menyaksikan itu semua?"

"Tidak. Aku lebih suka di rumah!"

"Yang menawarimu supaya kau mau ikut itu Mas Gatot lho, Mbak. Bukan cuma aku," kata Tina lagi.

"Idih, apa bedanya? Kau kan tahu Tina, aku tidak akan pergi kalau hatiku bilang tidak." Aku mendengus. "Apalagi kalau itu cuma mau menenggang perasaan orang."

"Mas Gatot tadi juga udah menyangka kalau kau tidak akan mau diajak pergi."

"Baguslah kalau dia sudah tahu itu."

"Kau sungguh tidak ramah terhadapnya, Padahal dia baik kepadamu," Tina berkata lagi sambil membetulkan letak tali tasnya. "Tetapi sudahlah, kalau kau tak mau ikut bersama kami ya sudah. Nah, aku berangkat sekarang."

"Bilang pada Bik Imas lho, Tin!" seruku. "Dan suruh dia mengunci pintu depan maupun pintu samping rumah."

"Beres!" Tina menutup kembali pintu kamarku, menghilang dari pandangan, dan meninggalkanku sendirian.

"Dan jangan terlalu malam, Tina," seruku lagi. "Tergantung keadaan." Suara adikku terdengar semakin jauh. Lalu samar-samar aku mendengar suaranya, berbicara dengan Bik Imas. Hatiku lega, terbebas dari keharusan untuk menemani tamu yang tak kuharapkan itu.

Seandainya aku tahu bahwa malam itu aku telah melakukan suatu keteledoran, karena sebagai seorang kakak, aku telah membiarkan adikku dibawa pergi oleh laki-laki berpengalaman, pasti tak akan kuizinkan itu terjadi. Sebab, sesudah kepergian mereka yang pertama itu, keduanya jadi sering pergi berduaan ke mana-mana. Bahkan pernah terjadi, mereka baru pulang sesudah jam dua belas malam. Entah ke mana mereka, aku tak tahu. Tetapi yang jelas, sekarang aku benar-benar menyesali keteledoranku malam itu. Hanya gara-gara aku ingin terbebas dari tamu tidak diundang itu, kubiarkan adikku menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Gatot. Ah, betapa egoisnya aku, sampai-sampai tak masuk ke dalam pikiranku apa akibatnya.

Tetapi sekarang menyesal pun sudah terlambat, " sebab belakangan ini aku telah melihat adanya tanda-tanda adikku itu sedang jatuh cinta. Dari kamarnya, selalu saja terdengar lagu-lagu cinta yang manis dan romantis. Dan juga, aku selalu mencium aroma wangi yang menguat dari tubuhnya kalau kami kebetulan berpapasan. Padahal, hal-hal semacam itu tak pernah terjadi sebelumnya.

Terus terang saja aku benar-benar merasa sangat khawatir kalau-kalau adikku sedang jatuh cinta kepada Gatot dan lalu mereka berdua mulai menjalin hubungan asmara yang terus berkelanjutan. Kekhawatiran itu bukan disebabkan karena Gatot orang yang tidak bisa dipercaya atau semacam itu. Tetapi karena sebab yang lain. Antara lain karena jarak usia mereka yang terlalu besar. Kudengar dari Ibu, Gatot berusia tiga puluh dua tahun sementara Tina baru sebulan yang lalu menginjak usia delapan belas tahun. Jarak usia mereka empat belas tahun. Sudah begitu, Tina termasuk gadis yang polos, lugu, dan belum berpengalaman dalam bercinta. Sedangkan Gatot, aku yakin lelaki itu sudah banyak pengalamannya. Dia ganteng, punya uang, anak dokter yang sukses pula. Aku berani memastikan, banyak gadis pernah tergila-gila padanya.

Melihat keakraban yang terjalin di antara Gatot dan Tina, aku benar-benar merasa sangat tertekan. Semakin derajat keakraban itu meningkat, semakin meningkat pula kekhawatiranku. Dan nyaris memuncak sewaktu aku mendengar Ibu mengizinkan Gatot membawa Tina pergi ke luar kota. Begitu sepasang insan itu pergi, aku langsung mendekati Ibu.

"Kenapa Ibu membiarkan Gatot membawa Tina pergi ke sana kemari," kataku kesal. "Padahal, anak itu masih harus mengikuti tes ini dan itu untuk melanjutkan studinya yang masih belum jelas akan diterima di universitas mana."

"Ibu mempercayai Gatot, Ambar."

"Jadi Ibu setuju kalau mereka berdua saling jatuh cinta dan menjalin hubungan?" Aku menjinjitkan alis mataku tinggi-tinggi.

"Yah, apa salahnya? Mereka berdua sama-sama masih bebas dan tidak mempunyai keterikatan dengan seseorang secara kbusus," sahut Ibu tenang.

"Bu, Gatot itu empat belas tahun lebih tua daripada Tina. Jarak umur sekian itu terlalu jauh," kataku lagi. "Apalagi Tina masih begitu polos dan lugu."

Ibu menatap wajahku selama beberapa saat sebelum kemudian menanggapi perkataanku tadi.

"Memang benar, jarak usia mereka berdua cukup jauh," sahutnya kemudian dengan suara bergumarn. "Jadi semestinya, kaulah yang lebih cocok dengan dia dibanding Tina yang masih hijau itu."

"Kita sedang membicarakan Tina, Bu," aku memenggal perkataan Ibu. "Bukan membicarakan diriku."

"Baiklah. Tetapi kalau Tina dan Gatot saling jatuh cinta, apa yang harus Ibu katakan? Cinta itu kan tidak bisa dipaksa datangnya tetapi juga tidak bisa diusir kepergiannya. Jadi bagaimana mungkin Ibu menjauhkan sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta itu, Ambar?"

"Tetapi Ibu kan bisa menasihati Tina!" Aku masih ngotot. Hatiku tidak rela melihat Tina yang cantik dan masih belia itu menjadi kekasih Gatot. Barangkali saja di masa mendatang mereka akan mengalami kesulitan akibat perbedaan usia yang cukup jauh itu.

"Menasihati apa? Jatuh cinta itu bukan suatu keadaan yang membahayakan jiwa, kan?'

"Betul, Bu. Tetapi ada bahaya lain yang menyangkut kebahagiaannya di masa depan. Oleh karena itu harus ada orang yang bisa membuka mata Tina, bahwa nantinya jarak usia di antara rnereka berdua akan menjadi hambatan dalam komunikasi. Sebab akan ada banyak hal yang berbeda di antara mereka. Entah itu menyangkut kesenangan, selera, pandangan hidup, dan lain sebagainya. Dan ita pasti akan mengurangi keakraban, kernesraan, dan rasa kebersamaan di antara mereka berdua."

"Yah, apa yang kaukatakan itu memang ada benarnya, Ambar!" Ibu menganggukkan kepalanya. "Tetapi itu masih terlalu jauh untuk dipikirkan saat ini, Pertama, dalam perjalanan waktu bisa saja mereka akan sama-sama saling menimbuni jurang-jurang yang ada di antara mereka berdua sehingga perbedaan seperti yang kaukatakan tadi akan menipis secara bertahap. Kedua, hubungan percintaan di antara mereka berdua itu kan belum tentu mengarah pada ikatan perkawinan mengingat Tina masih muda dan masih ingin melanjutkan studinya."

"Tetapi Gatot sudah tidak muda lagi, Bu. Menilik umurnya, dia pasti sudah memikirkan untuk hidup berumah tangga. Sebab, apa lagi yang ditunggu? Umur, cukup. Rumah dan kendaraan, ada. Pekerjaan, bagus, Itulah, Bu, yang kucemaskan. Kalau Gatot meminta Tina menjadi istrinya, maka gadis itu akan kehilangan masa mudanya. Sekolahnya terhambat. Dan masa depannya bisa terhenti. Padahal, Ibu kan tahu bahwa Tina mempunyai otak yang sangat encer. Sayang, kan?"

Mendengar perkataanku Ibu menepuk lembut bahuku kemudian tersenyum manis sekali, "Sudahlah, Nduk, Jangan terlalu mengkhawatirkan adikmu itu," katanya beberapa saat kemudian, "Ibu akan mencoba menasihatinya."

Aku merasa lega mendengar janji Ibu. Kutunggu saja bagaimana hasilnya. Tetapi alangkah sedih dan cemasnya hatiku ketika kemudian kusaksikan bagaimana hubungan Tina dengan Gatot bukannya merenggang, bahkan semakin hari tampak semakin erat saja. Benar-benar membuat kekhawatiranku bertambah sehingga muncul dalam pikiranku bahwa kalau usaha Ibu tak berhasil maka harus ada orang lain yang bisa menyadarkan dan membuka mata Tina sehingga dia tidak semakin tenggelam dalam cinta butanya terhadap Gatot. Jadi kalau memang Ibu tidak sanggup melakukannya, akulah sebagai anak tertua yang harus menyelamatkan adikku. Semakin cepat itu kukerjakan akan semakin baik jadinya.

Dengan pikiran seperti itu aku mulai mencari kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Tina. Oleh karena itu ketika di suatu malam Minggu aku melihat dia pergi lagi dengan Gatot, aku sengaja menunggu kepulangan mereka. Selama menunggu itu entah sudah berapa film dan acara televisi yang kutonton, aku tidak begitu memperhatikan. Bahkan sadar apa yang kutonton saja pun tidak. Pikiranku terus melayang-layang membayangkan apa saja yang dilakukan oleh Gatot terhadap adikku yang masih polos itu. lsi dadaku sampai terasa bergolak menahan amarah.

Ketika akhirnya kudengar suara mobil berhenti di muka halaman rumah pada jam setengah satu kurang sepuluh menit, kemarahan yang kutahan-tahan sejak tadi pun nyaris meledak dan menyentak-nyentak kepalaku. Gatot sungguh keterlaluan, membawa gadis ingusan itu pergi sampai selarut ini. Entah ke mana pikiran warasnya.

Untuk mendinginkan kemarahanku, kubiarkan Tina masuk ke rumah dengan cara mencurahkan perhatianku ke televisi. Pura-pura sedang terlarut oleh cerita yang tersaji di layar kaca itu. Tetapi dari sudut mata kulihat Tina berdiri di tengah ruang, sedang memperhatikan keasyikanku.

"Kok belum tidur sih, Mbak?" tak berapa lama kemudian gadis itu menyapaku. Kemudian dengan sikap manis dia menyusulku duduk, Dari tangannya, ia meletakkan sebuah bungkusan beraroma martabak yang khas baunya. "Ini, kubawakan martabak istimewa. Mas Gatot yang membelikan. Masih hangat, lho."

Mendengar nama Gatot disebut, seketika itu juga aroma yang tadi sempat menggelitik perutku, lenyap tak berbekas. Tawaran Tina kuabaikan. Bahkan melirik ke arah martabak pun aku tak sudi. Jadi kusahuti perkataan Tina dengan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan martabak yang masih hangat itu.

"Dari mana saja kalian tadi?" tanyaku. Kukendalikan nada suaraku agar tidak sampai terdengar mengandung amarah.

"Nonton film, lalu pergi ke Ancol," Tina menjawab kalem.

Tetapi dadaku bergemuruh. Dengan cepat kepalaku menoleh ke arah gadis yang duduk di dekatku itu. Namun tampaknya dia tidak tahu kalau aku kaget mendengar jawabannya tadi. Dia duduk. dengan manis dan santai sekali. Kalau saja aku tidak sedang kaget, barangkali akan kukagumi adikku malam itu. Dia tampak luwes dan menarik dengan celana jins dan kemeja berikut rompinya yang terbuat dari bahan jins juga.

"Ke Ancol?' Aku melotot tanpa bisa mengendalikannya. "Kalian ke Ancol berduaan saja?"

"Ya," Tina menjawab sekalem caranya duduk.

Dan dengan gerakan kalem juga, dia mulai membuka bungkus martabak dan mengambil sepotong, lalu dimasukkannya ke dalam mulutnya yang mungil itu. Air mukanya seperti bayi yang belum kenal dosa.

Ah, alangkah naifnya gadis itu. Tidak mengertikah dia betapa berbahayanya pergi ke Ancol hanya dengan seorang lelaki, apalagi lelaki yang sudah matang seperti Gatot? Tidak tahu pulakah dia bahwa tempat itu, terutama di sepanjang pantainya, banyak orang berpacaran di dalam mobil yang kaca hitam jendelanya tertutup rapat. Apalagi pada malam-malam begini ini.

"Kau tahu itu tempat apa, Tina?" tanyaku kemudian. Tak tahan aku untuk tidak bertanya seperti itu. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak memperlihatkan kemarahanku. Bisa kacau kalau aku tidak pandai-pandai mengendalikan emosiku.

"Tahu." Masih saja Tina tampak kalem dan santai. Bahkan sambil mengunyah martabak dengan nikmat.

"Tahu apa?" aku bertanya lagi.

"Yah, di tempat itu ada bermacam hiburan, ada banyak pula tempat untuk jalan-jalan, untuk makan, untuk melihat barang-barang seni, dan sebagainya."

"Dan sebagainya itu apa konkretnya, Tina?" aku bertanya lagi.

Kali ini sulit bagiku untuk menyembunyikan suaraku yang terdengar ketus.. Akibatnya, Tina rnenghentikan gerak rahangnya yang sedang mengunyah martabak tam dan menatapku dengan pandangan heran.

"Sebenarnya apa sih yang ingin kaukatakan kepadaku Mbak?" ia ganti bertanya. "Apakah ada perbuatanku yang salah?"

Caranya menatapku dan pertanyaan yang dilontarkannya kepadaku itu menyiratkan kehijauan pengalaman yang menyentuh telak hatiku. Melihat itu kemarahanku surut dengan seketika. Ah, apakah aku terlalu rnencemaskannya dengan cara yang berlebihan? Atau apakah aku saja yang terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang tak perlu dicemaskan? Tetapi ah, kalau aku teringat tatapan Gatot yang bisa memukau orang itu malah seharusnyalah aku mencemaskan Tina karena kepolosannya.

"Keliru sih tidak, Tina. Cuma saja aku mengkhawatirkan dirimu," sahutku kemudian dengan suara berubah lembut. "Aku bertanya seperti tadi itu karena aku sangat menyayangimu. Aku tak ingin melihatmu mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan di kemudian hari."

"Memangnya kenapa, Mbak? Apa sih yang kaukhawatirkan?"

"Yah, ada beberapa hal yang membuatku merasa khawatir Tina. Antara lain karena kau pergi ke Ancol dengan Gatot malam-malam begini," jawabku terus terang. "Kau pasti sudah pernah mendengar bahwa pantai Ancol di waktu malam penuh dengan orang-orang yang berpacaran di dalam mobil-mobil yang tertutup rapat. Nah, terus terang saja aku khawatir kalau-kalau kau bersama Gatot juga ada di sana dan dan ... menjadi salah satu di antara mereka, lalu "

"Idih!" Tina memotong perkataanku dengan pipi merona merah. "Memangnya aku ini apa, Mbak? Aku dan Mas Gatot tadi cuma putar-putar keliling Ancol Ialu jalan-jalan di Pasar Seni sambil menonton Ienong. Kemudian makan malam di tempat itu juga. Setelah itu melihat-lihat lukisan dan benda-benda seni yang dijual di sana. Dan pulangnya, kami mampir beli martabak untuk oleh-oleh buatmu atau buat Mas Didik, Bukan sesuatu yang salah kan, Mbak?"

"Memang bukan. Aku percaya kepadamu," sahutku. Hatiku lega mendengar penuturannya itu. "Tetapi bagaimana halnya dengan Gatot? Terus terang aku kurang mempercayainya. Dia sudah cukup umur untuk berpacaran secara serius. Semestinya dia tidak membawamu pergi sampai larut malam begini. Aku cemas kalau-kalau dia akan membuatmu lupa diri."

"Mbak, kau tidak mengenal Mas Gatot sebagaimana aku mengenalnya!" Tina menyerobot perkataanku. "Dia tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan menyusahkan orang. Apalagi terhadapku maupun terhadap keluarga kita sebagai tetangganya yang paling dekat. Dia itu laki-laki yang sangat baik dan penuh rasa tanggung jawab lho, Mbak!"

"Mudah-mudahan memang seperti itu kenyataannya," aku bergumam perlahan.

Tina menelan martabaknya kemudian menatap mataku selama beberapa saat lamanya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, aku tak dapat menebaknya. Tetapi tak berapa lama kemudian dia memuntahkan apa yang dirasakannya.

"Rasa-rasanya, Mbak Ambar tidak suka melihat hubunganku dengan Mas Gatot. Betul, kan?" begitu ia bertanya terus terang.

Aku tertegun mendengar keterusterangannya. Kemudian lekas-lekas aku menjawab pertanyaannya itu.

"Kalau saja umurnya sepuluh tahun lebih muda daripada umurnya sekarang, atau kalau saja kau lebih tua sepuluh tahun daripada umurmu sekarang, aku tidak akan mempersoalkannya."

"Tetapi tidakkah terpikirkan olehmu, Mbak, bahwa dengan jarak usia yang banyak begini justru Mas Gatot telah memperlakukanku dengan lembut dan penuh pengertian? Ia juga memanjakanku dan sangat sabar menghadapiku," kata Tina menjelaskan. "Sungguh lho, Mbak, kalau aku bergaul dan berpacaran dengan pemuda sebayaku, belum tentu aku bisa merasa sebabagia seperti yang kurasakan bersama Mas Gatot saat ini."

Ah, adikku ini benar-benar sedang tenggelam dalam asmara. Apa pun mengenai Gatot, selalu bagus dan sempurna baginya. Untuk menyisihkan nama itu, aku mulai mengalihkan pembicaraan.

"Tina, terlepas dari apa yang telah kita bicarakan tadi, aku ingin tahu apakah kau tidak ingin melanjutkan studimu dan kemudian merealisasikan cita-citamu untuk menjadi notaris seperti yang kauceritakan waktu itu. Ataukah sudah ada cita-cita lain yang muncul belakangan? Menjadi psikolog, barangkali?"

"Aku masih tetap ingin menjadi notaris seperti Oom Iskandar, Mbak .... Tetapi kalau Mas Gatot tidak setuju, aku akan rnenurutinya dengan rela, Bagiku, apa yang diinginkan oleh Mas Gatot adalah sesuatu yang paling penting," jawab Tina dengan penuh keyakinan.

Mendengar perkataan Tina, aku menarik napas ..

Panjang sekali. Juga sedih sekali. Sebab apa yang kuhadapi itu bukanlah apa yang biasanya kulihat pada diri Tina. Semangatnya yang selalu berkobar setiap membicarakan tentang cita-cita dan masa depannya, tak lagi ada. Padabal gadis itu termasuk gadis yang cemerlang otaknya. Dan juga kemauannya untuk maju sangat keras. Cita-citanya pun tinggi. Cukup sering dia mengutarakan apa yang ada di hatinya mengenai jauhnya jangkauan yang hendak dicapainya. Ia menyukai kemajuan. Ia senang mempelajari hal-hal baru. Ia sangat haus pengetahuan. Mengenai hal itu beberapa kali Tina pernah mengatakan kepadaku bahwa dia tidak pernah merasa rendah diri berhadapan dengan orang yang secantik dan semenarik apa pun. Dia juga tidak akan merasa kecil berdekatan dengan pejabat tinggi, pengusaha hebat, ataupun dengan orang terkaya sedunia. Tetapi jika berada di dekat ilmuwan atau orang-orang pintar yang luas pengetahuan dan wawasannya, ia akan merasa dirinya tak berarti. Hal itulah antara lain yang menyebabkannya ingin belajar dan belajar mencari ilmu, menjadi orang pandai yang tahu banyak hal. Tetapi sekarang, apa yang baru saja kudengar dari mulut mungilnya itu? Kalau bukan mendengar dengan telingaku sendiri, pasti aku tak akan percaya Tina akan berkata begitu. Rasanya, aku sedang berhadapan dengan orang lain. Bukan dengan Tina. Asing rasanya.

Tetapi, aku masih tak mau menyerah. Aku harus bisa mengembalikan semangat dan gairah belajarnya.

"Tina, umurmu baru saja delapan belas dan baru akan menginjak bangku kuliah," kataku. "Tidakkah kau merasa sayaug telah menyia-nyiakan kesempatan untuk maju dan merealisasikan potensi yang ada padamu? Tidak sayangkah itu, Tina? Kau seorang gadis yang pandai dan tingkat kecerdasanmu tinggi sekali!"

"Memang. Tetapi itu semua tidak ada artinya jika dibanding dengan kebahagiaanku bersama Mas Gatot, Mbak."

"Tina, jangan biarkan dirimu tenggelam dalam asmara buta seperti itu .... Pikirkanlah lebih jauh. Jangan surutkan langkahmu dan tetaplah kau mencari sekolah dan ikut tes masuk. Soal Gatot, selama belum ada kepastian yang menyangkut masa depanmu, jalanilah itu sebagaimana rencanamu semula," saranku penuh harap, dengan suara lembut. Padahal di dalam hatiku, aku memaki Gatot yang telah menebarkan racun di kepala adik tersayangku.

"Mbak, aku memang akan mencari sekolah dan mengikuti tes masuk. Tetapi kalau nantinya Mas Gatot menginginkan diriku agar sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga, aku akan menomorduakan studiku."

Sekali lagi aku menarik napas panjang. Semakin kusadari sekarang betapa adikku ini sedang jatuh cinta berat kepada Gatot, mabuk kepayang, sehingga yang ada di dalam pikirannya hanyalah Gatot dan Gatot saja. Hal-hal lainnya, bahkan yang dulu merupakan sesuatu yang paling penting sekali pun, kini tersingkirkan olehnya.

"Kalau kau tetap saja ingin meninggalkan cita-citamu, Tina, suatu saat nanti kau pasti akan menyesalinya," kataku kemudian. Aku masih tetap berusaha menginsafkannya. "Sebab pernikahan bukan tempat orang mengubur cita-cita semula. Kalaupun seseorang ingin sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga, akan bagus jadinya kalau dia memiliki pengetahuan Iuas, pandai, dan bisa diajak bicara suami atau kenalan-kenalannya. Dan pasti juga bisa menjadi tempat bertanya bagi anak-anaknya."

Tetapi ternyata usahaku menginsafkan Tina itu sia-sia belaka. Bicaraku tidak didengarkan. Malahan gadis itu menertawakan aku.

"Mbak, aku yakin kalau kau mendapat seorang kekasih seperti Mas Gatot, hal-hal lainnya di dunia ini tak lagi penting bagimu," katanya sambil tertawa. "Percayalah padaku. Dan kau akan rnelihat dunia ini dengan kacamata lain yang lebih indah dan lebih berperasaan. Bukan cuma melulu diwarnai rasio belaka. Mas Gatot telah mengubah pandangan-pandangan hidupku dan memberi warna baru yang sangat indah sehingga apa yang semula kuanggap indah, benar dan baik, jadi kurang kualitasnya. Pendek kata, bagiku tak ada Jagi yang lebih indah daripada cinta kami berdua."

Mendengar perkataannya aku benar-benar merasa putus asa. Tina sudah tidak bisa lagi diajak bicara dari hati ke hati. Dia cuma melihat dunia dan segala sesuatunya dari satu sudut pandang saja. Yaitu cinta butanya terhadap Gatot.

"Kau benar-benar sedang mabuk cinta kelewat berat. Kau sedang tergila-gila pada Gatot," keluhku dengan hati sedih. Tak heran aku sekarang kenapa usaha Ibu untuk menginsafkan Tina tidak ada hasilnya.

Meskipun demikan, mendengar perkataanku yang terakhir tadi pipi Tina yang halus itu mulai merona merah kembali. Pandang matanya menyiratkan rasa malu yang sangat kental. Tetapi aku tidak memedulikannya. Apalagi pikiranku sedang tertuju kepada Gatot. Dialah sesungguhnya biang keladinya. Maka kalau usahaku menyadarkan Tina tidak berhasil, aku harus menyadarkan pihak satunya, yaitu Gatot. Laki-laki itu harus diperingatkan. Jika dia ingin menjadikan Tina sebagai calon terman hidupnya, maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Antara lain perbedaan usianya dengan Tina. Dan juga menyadarkannya, bahwa dengan mengakrabi adikku itu, dia telah menyia-nyiakan mutiara yang sebenarnya bisa rnenjadi notaris andal atau apa pun cita-cita Tina lainnya. Negara ini masih banyak membutuhkan orang-orang pandai.

TERNYATA, mencari kesempatan untuk berbicara empat mata saja dengan Gatot tidaklah mudah, walaupun kami bertetangga dekat. Sebab selalu saja ada telinga-telinga lain di sekitar kami. Jadi akhirnya aku mencari akal bagaimana caranya agar dapat menghubunginya tanpa diketahui orang. Terutama oleh keluargaku. Maka diam-diam aku mencari tahu nomor telepon kantornya. Ketika sudah kuperoleh begitu aku sendirian di ruang kerjaku di kantor, kutelepon dia.

Sebagaimana sudah kuduga, Gatot merasa heran menerima teleponku.

"Wah, ini benar-benar kejutan, Ambar!" komentarnya begitu ia mengetahui telepon itu dari aku. "Tak sekilas lintas pun aku pernah menyangka akan menerima telepon darimu."

"Kalau tidak suka, tutup saja pembicaraan kita!" kataku dingin.

"E-eh," Gatot buru-buru menjawab. "Justru aku merasa senang. Suaramu sungguh terdengar merdu. Segar rasanya setelah hampir separo hari aku berkutat dengan pekerjaan. Nab, apa yang bisa kubantu?"

Aku mengetatkan gerahamku. Gatot memang pandai memperlakukan seorang perempuan dengan cara seolah dia sangat istimewa baginya. Tak heran kalau Tina bisa tergila-gila kepadanya.

"Aku ingin bicara denganmu!" sahutku, masih nada dingin.

"Wah, ini benar-benar suatu kehormatan bagiku. Biasanya, kau tak suka mengobrol denganku. Bahkan berdekatan denganku saja kau tak sudi."

Dia benar, Jangankan meneleponnya, berhandai-handai sepatah atau dua patah kata saja pun tak pernah. Kecuali, kalau aku sudah telanjur berhadapan muka dengannya, sebab tak mungkin aku lari terbirit-birit hanya karena ada tamu. Dan kini, tiba-tiba saja aku yang ingin bicara padanya. Jadi memang perlu ada penjelasan sedikit untuknya.

"Aku menghubungimu karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan secara empat mata saja," sahutku menjelaskan, "Apa yang akan kita bicarakan itu penting. Dan aku tidak ingin ada telinga lain ikut mendengarnya."

"Di mana kita akan bicara?"

"Terserah. Asal jauh dari jangkauan telinga orang lain!"

"Bagaimana kalau kita bicara sambil makan siang di rumah makan dekat kantormu itu?"

"Oke."

"Aku akan menjemputmu sekarang. Bersiap-siaplah!"

"Sekarang? Ini baru setengah dua belas!" kataku sambil melirik arlojiku. "Malah masih kurang!"

"Sekali-sekali korupsi waktu tak apalah!" Gatot tertawa lembut. "Kantorku masih utang kepadaku. Aku sering pulang lambat untuk menyelesaikan pekerjaanku di saat teman-teman sekantorku sudah kembali di tengah keluarga mereka."

"Oke, kalau begitu. Supaya kita mempunyai waktu yang Iebih longgar, kau tak usah memarkir mobilmu untuk mencariku ke atas. Aku akan menunggumu di bawah. Kau memakai jip putihmu, kan?"

"Ya. Aku belum mampu mengganti mobilku dengan BMW!" kudengar lagi suara tawanya. Entah kenapa, aku menyukai tawanya yang lembut itu. Tetapi tentu saja aku cepat-cepat mengibaskan perasaan itu.

"Berapa lama perjalanan dari kantormu ke kantorku?"

"Paling lama sekitar dua puluh menit. Tetapi barangkali bisa lebih cepat lagi, sebab kulihat dari kaca jendela ruang kerjaku lalu lintas di bawah sana oke-oke saja. Termasuk lancar meskipun padat seperti biasanya."

"Oke. Aku pasti sudah ada di depan kantorku kalau kau sampai nanti!"

'Sudah tak sabar bertemu aku rupanya!" Usai berkata seperti itu kudengar lagi tawanya yang lembut. "Sampai nanti, Mbak Ambar!"

Sialan. Entah kenapa, atau mungkin juga karena sikap Gatot yang sering agak ugal-ugalan kepadaku, penilaianku terhadapnya kurang baik. Menurutku, dia bukan laki-laki alim yang bisa dipercaya kesetiaannya. Firasatkulah yang bilang begitu. Terhadapku yang belum begitu dikenalnya saja pun sikapnya agak-agak kurang ajar. Sering kali dari sikap atau pandangan matanya, aku menangkap keinginannya untuk menggoda dan sedikit main-main denganku. Untungnya aku selalu bersikap tegas dan mengambil jarak. Aku tak mau dikurangajari meskipun cuma untuk main-main atau bercanda saja.

Begitulah, jam dua belas kurang seperempat aku sudah melihat jip putih itu berjalan pelan-pelan di muka pintu kantorku. Aku segera meloncat dari tempatku duduk dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Rumah makan yang kami tuju tak jauh, dan berada dalam deret yang sama dengan kantorku. Tak sampai sepuluh menit perjalanan kami sudah tiba di tempat. Saat itu lalu lintas memang dalam keadaan normal. Tidak macet tetapi juga tidak lengang. Meskipun padat tetapi tidak terjadi kemacetan.

"Apa yang ingin kaubicarakan denganku?" tanya Gatot sesudah kami selesai memesan makanan.

"Ini tentang Tina ... ," sahutku.

"Tentang Tina? Kenapa dia?" Dahi Gatot mulai berkerut. Tampaknya ia sudah menduga-duga arah pembicaraan yang akan kutuju.

"Kau telah membuatnya jatuh cinta dan mabuk berat dalam pusaran asmara, sampai-sampai dia seperti tak berpijak lagi pada bumi. Kelakuannya seperti sedang melayang di awang-awang!"

Mendengar perkataanku, Gatot tertawa keras sehingga aku melotot ke arahnya. Namun tetap saja dia tidak menghentikan tawanya. Rupanya dia geli sekali mendengar kalimat yang kupakai untuk menggambarkan keadaan Tina itu. Tetapi, aku jadi jengkel. Ditertawakan seperti itu, memangnya aku ini seorang pelawak? Apalagi karena aku masih saja beranggapan tawanya itu enak didengar. Padahal, suara yang kuanggap enak itu muncul karena dia menganggapku lucu. Menyadari hal itu aku tertegun dengan tiba-tiba.

Hei, jangan-jangan aku juga tidak berpijak pada bumi sebagaimana halnya Tina. Sebab, apa sih kelebihan tawa Gatot dibanding dengan tawa orang lain? Bukankah di sepanjang sejarah manusia, rasanya belum pernah ada suara tawa sekeras itu dianggap atau dinilai merdu dan ernpuk bagaikan suara nyanyian. Ah, entahlah di mana letak kewarasan otakku saat ini.

Merasa marah kepada diriku sendiri yang telah melantur tak keruan, cepat-cepat kualihkan pembicaraan kepada pokok persoalannya.

"Kenapa kau tertawa?" tanyaku ketus. "Siapa yang kautertawakan dan apanya yang lucu?"

"Kau yang lucu," sahut Gatot dengan sikap santai, "Pertama, caramu mengungkapkan keadaan Tina tadi. Kedua, caramu berkata itu seperti mau menyalahkan aku. Padahal, Tina sedang jatuh cinta kepadaku atau kepada siapa pun orangnya, itu kan urusan pribadinya. Apalagi dia sudah dewasa untuk menentukan dirinya sendiri dan juga menggunakan hak asasinya sebagai seorang individu tentang apa yang benar-benar diinginkannya. Termasuk urusan jatuh cinta."

"Secara fisik, umur delapan belas tahun memang sudah dewasa. Tetapi untuk jatuh cinta, apalagi jatuh cinta kepada seorang lelaki yang empat belas tabun lebih tua dari umurnya, dia masih terlalu hijau."

"Delapan belas tahun sudah cukup umur untuk jatuh cinta dan menjalin hubungan serius dengan laki-laki Ambar. Dan itu wajar."

"Ya, jatuh cinta di usia deJapan belas tahun memang wajar terjadi. Tetapi, kalau itu terjadi dengan pemuda yang sebaya dengan umurnya. Atau paling banter, terpaut tiga atau empat tahun. Bukan dengan seorang laki-laki yang sudah terlalu matang baginya. Apalagi dengan pengalamanmu yang pasti jauh lebih banyak itu kau bisa dengan mudah membuat Tina yang masih sangat polos dan hijau itu terbuai oleh rayuan-rayuanmu. Menurutku, kaIian berdua itu merupakan pasangan yang kurang pas. Bahkan timpang," sahutku.

Gatot tidak segera menanggapi perkataanku. Tetapi sebagai gantinya, ia menatapku dengan tajam. Dari bola matanya, kutangkap adanya penolakan atau ketidaksetujuannya pada perkataanku tadi. Menyadari itu, perasaanku mulai tak enak. Aku sudah terlalu dalam mencampuri urusan pribadi orang. Tetapi yah, apa boleh buat. Aku ingin menyelamatkan adikku meskipun kusadari caraku menilai Gatot tadi memang kurang adil.

Apa yang baru saja melintasi pikiranku itu tidak salah. Aku toh belum kenal betul siapa Gatot yang sesungguhnya. Kami berdua jarang sekali bertemu. Apalagi bercakap-cakap berdua dengan sengaja atau terencana. Boleh dikata, baru dua kali inilah aku berbicara empat rnata lebih dari dua atau tiga kalimat. Dan baru sekali inilah pertemuan kami berdua direncanakan. Atas keinginanku pula.

Karena merasa tak enak, lekas-lekas aku mencairkan suasana yang kaku ini.

"Bukannya memberi tanggapan atas perkataanku tadi, kau malah menatapku seperti sedang melihat hantu," kataku tak sabar. Sungguh tidak enak dipandang dengan tatapan tajam seperti itu, sementara hatiku mulai menyadari ketidakadilan yang sedang kulakukan terhadapnya.

"Aku sedang mencerna apa yang tadi kauucapkan. Jadi begitu rupanya penilaianmu terhadapku maupun terhadap hubunganku dengan Tina," akhirnya kudengar Iaki-Iaki itu bersuara lagi.

"Ya."

"Tetapi itu kan menurutmu."

"Tentu saja. Memangnya menurut siapa lagi? Aku toh belum melaporkan perkara ini sampai ke DPR?"

Mendengar tajamnya lidahku itu, aku menangkap getar rasa geli di dalam bola mata Gatot. Tetapi cuma sesaat lamanya. Sesudah itu dia tampak lebih serius.

"Kedengarannya kau begitu yakin bahwa Tina benar-benar masih sehijau dan sepolos seperti sangkamu itu!" Suara Gatot bernada tantangan.

Mendengar perkataan Gatot, aku terkejut. Ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam kesadaranku. Selama ini, aku memang telah menganggap dan memperlakukan Tina sebagai gadis kecil yang masih polos dan kekanakan. Secara jujur harus kuakui bahwa terkadang aku melupakan bahwa adikku itu terus tumbuh dan berkembang menjadi gadis dewasa yang semakin lama semakin kehilangan sifat kekanakannya Aku terlalu menyayanginya dan menganggap gadis itu masih membutuhkan perlindunganku sebagai kakak tertua. Maka begitu mendengar ucapan Gatot itu aku kehilangan kata-kata, tak mampu membalas. Timbul pertanyaan dalam pikiranku, benarkah Tina masih sepolos dan sehijau sebagaimana yang kubayangkan selama bertahun-tahun ini? Bukankah sebagaimana dunia ini, Tina juga terus tumbuh berkembang? Gadis itu bukan benda mati. Dia bisa melihat, mendengar, membaca, mempelajari, dan mengadaptasi semua yang masuk ke dalam pikiran dan hatinya. Apalagi dia juga cerdas. Rasanya, memang terlalu naif kalau aku menganggap gadis itu masih saja hijau dan polos. Tetapi kalau sekarang dia sudah berubah, apa penyebab utamanya? Jangan-jangan Gatotlah penyebabnya.

Pertanyaan itu menggugahku dari ketertegunan tadi. Maka kutatap mata Gatot dengan tajam pula.

"Kalau dia sudah berubah dan tidak lagi polos, aku yakin sekali engkaulah penyebabnya," tuduhku dengan suara mengandung ancaman. "Dan kau harus mempertanggungjawabkannya padaku. Aku tidak rela kalau adikku sampai menjadi matang sebelum waktunya!"

"Tahukah, Ambar, kau itu terlalu berlebihan melindungi adikmu. Bisa-bisa dia akan tumbuh menjadi pribadi yang tak mampu mandiri, yang tergantung kepada orang lain, selalu ragu, dan kalau menghadapi kesulitan tak mampu mengatasinya!" Gatot berkomentar sambil menatapku lekat-lekat.

"Yang kita bicarakan tadi adalah tentang kepolosan dan kehijauan Tina. Bukan tentang sikapku yang terlalu melindunginya," sahutku ketus. "Dan itulah antara lain kenapa siang ini aku ingin bicara denganmu. Aku ingin supaya kau tahu pendirianku dalam hal ini. Bahwa aku tidak rela kalau adikku sampai tiba-tiba berubah menjadi matang hanya gara-gara mabuk cinta kepadamu. Mengerti?"

"Kurasa, sejauh kematangan itu merupakan proses perkembangan yang memang harus dilalui oleh setiap manusia, itu wajar-wajar saja," Gatot menjawab perkataanku tadi dengan sikap yang tenang sekali. "Kau jangan berlebihan mencemaskan sesuatu yang tak perlu dikhawatirkan!"

"Adikku dipacari lelaki yang jauh lebih tua dan jauh lebih berpengalaman kok tidak boleh cemas!" aku menggerutu kesal. "Sekarang, seandainya kau berada pada tmpatku, dan adikmu berpacaran dengan lelaki yang umurnya empat belas tahun lebih tua darinya, bagaimana perasaanmu?"

"Setidaknya, aku akan berusaha mengambil sikap yang lebih bijaksana dari sikapmu." Gatot mengerlingku sesaat lamanya. "Bahwa masalah selisih umur bukanlah merupakan persoalan besar bagi sepasang insan yang saling mencinta dan sama-sama berusaha membangun pengertian yang bisa menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada. Jadi seandainya adikku jatuh cinta kepada pria yang empat belas tahun lebih tua, aku akan mengarahkannya untuk belajar berpikir lebih luas dan lebih dewasa."

"Ah, bicara sih gampang." Aku mendengus.

"Aku tak yakin kau akan mampu bersikap seperti katamu itu kalau benar-benar rnengalaminya."

"Ambar, sebelum kita lanjutkan pembicaraan ini, aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu lebih dulu. Boleh, kan?' Tiba-tiba dengan sikap yang lebih serius, Gatot mengalihkan pembicaraan.

"Apa?"

"Cuma satu hal saja. Mengapa kau tidak menyukaiku, Ambar?"

Aku tertegun. Yah, kenapa aku tidak menyukainya? Pasti tidak hanya karena dia telah menyebabkan adikku jatuh cinta. Maka kalau aku mau jujur, pertanyaan itu harus kujawab bahwa alasanku tidak menyukainya itu tak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sebagai seorang individu bernama Gatot. Apalagi sebelumnya aku tak pernah kenal dia dan tak tahu pula bagaimana sifatnya. Bahwa aku tidak menyukainya, itu semata-mata karena dia memiliki daya tarik kuat yang bisa membahayakan diriku. Sebab aku tidak ingin tertarik kepada laki-laki mana pun yang seganteng Raden Arjuna sekali pun. Berdasarkan pemikiran bahwa laki-laki yang biasa-biasa saja seperti Bram bisa digoda dan menggoda perempuan lain sampai-sampai kehilangan rasa tanggung jawabnya sebagai seorang kekasih, apalagi Gatot yang sangat menarik itu. Pasti akan ada banyak perempuan yang jatuh hati kepadanya. Dan pasti pula dia menyadari hal itu. Jadi, aku tidak ingin bergaul akrab dengannya. Apalagi aku mulai merasakan tanda-tanda suasana hatiku yang tidak beres. Sebab bukankah aku pernah terpukau olehnya? Dan bukan hanya satu kali saja. Waktu aku ikut mobilnya beberapa waktu yang lalu, aku pernah terpukau oleh gerak tangannya saat memindah persneling dan caranya mengintip ke belakang lewat kaca spion di atasnya. Lalu baru saja tadi, ketika telingaku mendengar suara tawanya yang lembut. Maka, aku harus .mernbencinya kalau ingin tetap hidup tenang dan aman.

Yah, kalau kejujuran itu ada padaku semestinya kujawab saja pertanyaan Gatot tadi seperti apa adanya. Bahwa masa laluku yang pahit bersama Bram telah ikut mewarnai perasaanku terhadapnya. Bahwa secara pribadi dia tidak mernpunyai kesalahan kepadaku. Kalaupun ada, itu hanya sikap dan cara bicaranya yang seenaknya sendiri dan menyebalkan itu. Dengan kata lain, kebencianku kepadanya itu berasal dari diriku sendiri.

"Hei, kenapa pertanyaanku tadi tidak kaujawab?"

Kudengar suara Gatot membebaskanku dari lamunan. "Tidak bisa menjawab karena memang aku tidak punya kesalahan yang menyebabkanmu jadi membenciku, kan?"

"Bukannya tidak bisa menjawab, tetapi karena aku memang tidak ingin menjawab. pertanyaanmu!" Aku membuang pandanganku. Apa yang dikatakannya itu tak jauh dari kenyataan yang tak mau aku alami.

"Kenapa?"

"Karena pertanyaanmu tadi tak ada relevansinya dengan pembicaraan kita," jawabku mengelak.

"Ada, Ambar."

"Tidak ada. Jangan ngawur!"

"Aku tidak ngawur. Penilaian ini berdasarkan pengamatanku. Aku tahu bahwa kau sudah tidak menyukaiku sejak awal mula kita berkenalan sehingga ketika aku dan adikmu mulai menjalin suatu hubungan khusus, rasa tak suka itu semakin membubung tinggi. Maka beda usia sebanyak empat belas tahun itu kaujadikan alasan. Padahal, banyak terjadi perkawinan dengan beda usia yang sangat mencolok tanpa timbul masalah besar di antara mereka. Bahkan kehidupan perkawinan pasangan itu tetap bahagia sampai salah seorang dipanggil Tuhan."

Merasa tak enak karena apa yang dikatakan Gatot itu ada benarnya, aku cepat-cepat mencari alasan lain yang lebih berpijak pada kenyataan sebenarnya.

"Yah, sesungguhnya ketidaksukaanku atas hubunganmu dengan Tina itu memang bukan melulu disebabkan karena perbedaan usia saja," sahutku kemudian. "Tetapi juga karena hal-hal lainnya."

"Apa misalnya?"

"Pertama, karena usiamu yang sudah cukup pantas untuk memasuki kebidupan berumah tangga. Sehingga kalau kau mempunyai hubungan cinta dengan seorang gadis, maka hubungan itu akan segera berakhir dengan pernikahan. Tentu saja lain halnya kalau hubungan itu tidak serius dan cuma untuk main-main saja. Atau mungkin juga hanya untuk selingan hidup yang ... "

"Aku bukan lelaki yang suka iseng-iseng saja Ambar!" Gatot memotong perkataanku.

Aku menggigit bibirku sendiri, sadar bahwa aku telah berbicara tanpa menenggang perasaan Gatot.

"Oke aku percaya. Nah, sekarang akan kulanjutkan alasan-alasanku tadi," sahutku membetulkan kesalahan bicaraku itu. "Alasanku kedua, apabila kau benar-benar mau menikah dengan Tina, maka adikku itu akan kehilangan masa remajanya. Ketiga, dengan pernikahan itu maka kesempatannya untuk melanjutkan studinya akan terhambat. Dan alasanku yang keempat, kalau rnemang benar Tina tidak akan melanjutkan studinya, itu artinya dia telah mencampakkan cita-citanya semula. Maka di suatu saat nanti,  akan muncul masalah-masalah lain yang akan mengganggu hubungan kalian berdua ... "

"Gangguan macam apa misalnya?" Gatot memotong lagi perkataanku.

"Penyesalan, misalnya. Sebab Tina itu memiliki otak yang cernerlang. Cita-citanya tinggi dan dia selalu haus pengetahuan. Maka kalau suasana bulan madu kalian usai, entah itu setahun entah lima tahun kemudian, Tina akan merasa tak puas lagi dengan keadaannya."

"Gangguan lainnya?"

"Yah, perbedaan usia di antara kalian itu pasti juga diwarnai oleh perbedaan minat, perbedaan selera, dan perbedaan lainnya. Apalagi kau sudah jadi sarjana strata dua sementara kalau Tina tidak jadi melanjutkan studinya kan berarti dia cuma mendapat pengetahuan dari bangku SMU saja. Bagaimana dia bisa mengikuti kiprahmu mengenai hal-hal di Iuar jangkauan wawasannya? Jangan-jangan di suatu ketika nanti kau akan lebih betah berlama-lama mengobrol dengan sekretarismu atau dengan rekan sekantormu daripada dengan istrimul"

Mendengar alasan-alasan keberatanku atas hubungannya dengan Tina itu, Gatot terdiam. Dan dengan datangnya pelayan rumah makan yang mernbawakan makanan pesanan kami, laki-laki itu semakin diam. Entah dia sedang meresapi kebenaran perkataanku tadi, entah pula sedang menyusun pembelaan diri, aku tak bisa menebak apa yang sedang berkecamuk di dalam kepalanya.

Kutunggu sampai pelayan rumah makan itu meletakkan pesanan kami masing-masing.

"Kau tak bisa menanggapi perkataanku tadi, kan?" begitu aku berkata sesudah pelayan rumah makan itu pergi, "Kau juga sadar bahwa dengan menikahi Tina maka kau juga telah mengurangi satu calon mutiara bangsa yang semestinya bisa menyumbangkan tenaga, pikiran, dan keahliannya untuk negara ini."

"Aku tidak menanggapi perkataanmu itu karena aku merasa tak perlu menanggapinya," sahut Gatot kalem.

"Kenapa? Karena sulit membantah kebenarannya, kan?" sindirku.

"Aku cuma tidak ingin merusak selera makanku. Apalagi tadi pagi aku belum sempat sarapan. Jadi tundalah dulu pembicaraan tentang hal ini sampai kita selesai makan," sahut Gatot sambil mengambil sendok dan garpu yang ada di dalam tempatnya. Dan masih dengan sikap kalemnya itu. "Setuju?"

Karena usulannya masuk akal, aku terpaksa mengangguk dan ikut mengambil sendok dan garpu. Kami berdua pun mulai makan. Dan pembicaraan bergeser pada hal-hal lain yang tak ada kaitannya dengan Tina ataupun dengan hubungan mereka.

Kuikuti kemauan Gatot untuk tidak menyinggung pembicaraan kami tadi. Tetapi tiba-tiba kusadari bahwa mengobrol dengan Gatot apabila tidak diwarnai oleh suasana tegang, rasa jengkel, atau yang semacam itu, ternyata cukup menyenangkan. Tampaknya, dia bukan hanya punya daya tarik fisik saja, tetapi juga mempunyai banyak bahan pembicaraan menarik yang mengasyikkan. Analisa politiknya boleh juga. Pendapatnya tentang masalah sosial juga tajam. Dan caranya mengemukakan pendapat, enak didengar.

Tetapi aku tak mau terlarut dalam situasi baru yang semula tak kusadari itu. Oleh sebab itu, begitu makanan kami habis aku lekas-lekas rnengembalikan pembicaraan yang tertunda tadi, "Sekarang kita lanjutkan pernbicaraan tentang Tina yang tertunda tadi," kataku sambil melihat arlojiku.

"Oke. Tetapi sebaiknya langsung saja katakan apa yang kauinginkan dariku," Gatot menjawab sambil meniru perbuatanku melihat arloji.

"Sederhana saja. Aku ingin supaya kau yang lebih dewasa dari dia, mulai memikirkan segala sesuatu yang ada di antara kalian berdua dengan pikiran yang lebih jernih dan obyektif."

"Konkretnya ?"

"Konkretnya, kalau benar kalian berdua akan menjalin suatu hubungan serius yang mengarah pada perkawinan, pertimbangkanlah balk dan buruknya secara sungguh-sungguh. Camkanlah keempat keberatan yang kukemukakan tadi!"

"Seperti yang kukatakan tadi kekhawatiranmu itu terlalu berlebihan, Ambar. Aku dan Tina saja belum berbicara tentang masa depan seperti apa yang akan kami jalani. Tetapi asal kau tahu saja bahwa aku cukup kenal Tina dengan semangat belajarnya yang tinggi itu. Dan karenanya aku tidak pernah memintanya untuk menghentikan studinya."

"Mudah-rnudahan perkataanmu bisa kupegang. Tetapi bagaimana mengenai rencana pernikahan? Benarkah dugaanku bahwa mengingat usiamu maka perkawinan merupakan tujuan hubungan cintamu dengan Tina atau entah dengan siapa pun?"

"Benar. Aku sudah ingin mengakhiri masa lajangku. Jadi kalau Tina sudah siap untuk itu, esok atau lusa tak jadi masalah bagiku. Pokoknya, menikah!" Sambil berkata seperti itu Gatot menatap tajam mataku.

"Menurutmu tak jadi rnasalah. Tetapi menurutku, itu masalah."

"Kenapa kau bilang begitu?"

"Kok bertanya kenapa? Kan sudah kukatakan tadi, sedikitnya ada empat keberatanku. Bahkan akan kutambah lagi. Yaitu, karena kau tidak melihat pernikahan itu dari sisi kebutuhan Tina. Dia itu masih muda belia, Ia belum puas menikmati masa-masa remaja yang datangnya cuma sebentar dalam kehidnpan seorang manusia!" aku menjawab ketus. Kedamaian dan keasyikan mengobrol saat kami sedang makan tadi, luruh seketika.

"Ambar, aku tidak akan mengurangi keceriaan masa remajanya. Ia boleh melakukan apa saja yang disenanginya sebagai seorang remaja. Jangan menilaiku sebagai laki-laki yang egois."

"Itu kan bicaramu sekarang. Esok kalau dia sudah jadi istrimu dan lalu mengandung, pasti akan lain lagi bicaramu!"

'Gatot menatapku lagi dengan tatapan tajam. "Sebenarnya apa sih yang kauinginkan dariku?" tanyanya kemudian dengan suara mendesak, "Jawablah!"

"Aduh, kan sudah beberapa kali kusinggung tadi, bahwa aku merasa keberatan atas hubungan kalian berdua. Dan kenapa demikian, ada lima alasan yang sudah kaudengar secara panjang-Iebar tadi. Apakah itu kurang jelas?"

"Itu demi Tina, kan?"

"Tentu saja demi Tina. Memangnya apa urusanku denganmu?" Ah, alangkah tajamnya lidahku. Untuk membela adik tersayangku, aku sampai tidak memedulikan sopan santun lagi.

"Tetapi yang terus kauserang itu cuma aku, dan kau seperti mengabaikan Tina dalam hubungan kami. Seolah pula Tina jatuh cinta kepadaku itu karena kesalahanku. Rasa-rasanya kau memang sudah agak berlebihan dalam hal ini, Ambar. Jangan-jangan dugaan yang melintas di kepalaku ini benar."

"Dugaan apa?" Aku melotot, sadar Gatot akan ganti menyerangku. Entah apa pun bentuk serangannya itu.

"Aku melihat suatu celah yang berkaitan dengan kepentingan dirimu." Benar, Gatot mulai membalas perkataan-perkataanku yang sejak tadi memang memojokkan dirinya itu.

"Jangan mengada-ada!"

"Aku bukan rnengada-ada. Tetapi aku melihat hal itu berdasarkan pengalaman hidup dan pengamatanku selama ini," sahut Gatot dengan suara yang penuh keyakinan diri. "Nah, bukankah kau takut didahului kawin oleh adik bungsumu yang selama ini kauperlakukan seperti anak kecil yang manja dan yang kauanggap masih perlu perlindunganmu? Jika ia mendahuluimu menikah, kau jadi seperti diingatkan bahwa umurmu terus merayap tetapi belum juga menemukan jodoh yang ... "

"Cukup, Gatot!" bentakku. Dan kaget sendiri ketika kusadari ada beberapa kepala yang menoleh ke arah kami. Cepat-cepat kupelankan suaraku dan kulanjutkan bicaraku. "Kau benar-benar tukang mengarang isapan jempol yang tak bermutu. Pikiranmu tidak lurus."

"Lho, kok marah?" Gatot menyeringai, membuatku merasa sebal sekali. Tampaknya dia merasa yakin sekali pada penilaiannya itu. Tentu saja aku marah. Selintas pun aku tidak mempunyai pikiran seperti itu.

"Siapa yang tidak marah mendengar penilaian yang sama sekali ngawur itu!" semburku jengkel. "Aku tidak serendah itu. Soal jodoh ada di tangan Tuhan. Siapa saja yang sudah siap menikah lebih dulu di antara kami bertiga, bukan masalah bagiku. Aku tidak keberatan dilangkahi adik-adikku."

"Kalau begitu biarkanlah aku dan Tina melanjutkan hubungan kami. Dan ... restuilah itu!"

Aku tersenyum pahit, Kemudian kuraih tasku dan kudorong tempat dudukku. Sudah saatnya kami kembali ke kantor masing-masing.

"Merestui hubungan kalian adalah sesuatu yang masih teramat jauh bagiku," gumamku sambil berdiri. "Sebab aku masih harus melihat lebih dulu perkembangannya. Dan terus terang, aku tak yakin pada tekadmu itu!"

"Terserahlah apa penilaianmu tentang diriku."

Gatot menyusul berdiri. "Tetapi ingat, apa pun keberatanmu dan apa pun yang akan kaulakukan unuk menghambat hubunganku dengan Tina, aku akan melawanmu!"

"Keluargaku berada di pihakku, Gatot," desisku, "Aku tidak sendirian."

"Kau yakin?" Ada sinar penentangan di dalam matanya. Bahkan aku menangkap besarnya rasa percaya diri di dalamnya. Mungkin, itu karena dia tidak melihat keberatan yang diperlihatkan kedua orangtuaku maupun Didik atas hubungannya dengan Tina.

"Aku yakin sekali," sahutku. Padahal di dalam hati, aku meragukannya. Sepanjang ingatanku, kedua orangtuaku memang sangat baik terhadapnya.

"Oke, kita lihat saja nanti. Keyakinanmu yang benar ataukah keyakinanku yang jadi kenyataan!" Gatot berkata lagi.

Aku tidak mau menjawab perkataannya. Ketika melihat Gatot mengeluarkan dompet, kualihkan pikiranku dengan cepat-cepat mengeluarkan uang dari tasku. Aku tidak ingin dibayari olehnya.

"Biarkan aku yang membayar," kataku menyela.

"Akulah yang mengajakmu makan siang."

"Tidak. Akulah yang membayar!" Gatot berkata dengan suara tegas yang sulit dibantah. Apalagi ada nada perintah di dalam suaranya itu. "Seorang calon adik ipar harus menunjukkan rasa hormat dan penghargaan kepada calon kakak iparnya. Jadi, akulah yang mentraktirmu!"

"Gombal!" tanpa sadar aku mengumpat. Ternyata, di balik daya tarik dan kegantengannya, Gatot juga seorang lelaki keras kepala dan menjengkelkan.

Sengitnya lagi, laki-Iaki itu seperti menganggap umpatanku itu sebagai angin lalu. Dengan gesit ia memanggil pelayan dan langsung menyerahkan sejumlah uang.

"Tolong dihitung ya, Dik," katanya kepada orang itu.

Kalau saja di tempat itu tidak ada orang lain, sudah pasti aku akan merebut uang itu dan memasukkannya ke dalam saku kemejanya. Aku tak sudi ditraktir olehnya. Lebih-lebih alasannya adalab karena aku calon kakak iparnya. Sungguh gombal dia. Siapa yang sudi menjadi kakak iparnya?

Di sepanjang perjalanan pulang ke kantorku, aku memilih diam. Rasa tak puas memenuhi hatiku. Perjumpaanku dengan lelaki yang sedang duduk di sampingku itu sia-sia saja. Sudah berbusa-busa rnulutku, Gatot tetap saja menganggapku sebagai calon kakak iparnya. Dia mulai menang di atas angin sementara aku tidak mernpunyai senjata lain yang dapat mengalahkannya. Bahkan laki-laki itu menganggap kekhawatiranku atas hubungannya dengan Tina itu karena aku takut dilangkahi adikku. Kurang ajar betul dia.

Memang benar, ada kepercayaan yang mengatakan bahwa seorang gadis akan jadi berat jodohnya kalau adiknya menikah Iebih dulu. Tetapi aku tidak mempercayai hal-hal semacam itu. Dan kalaupun percaya, aku toh tidak akan menikah. Setidaknya sampai detik ini. Maka entah Didik entah Tina yang akan lebih dulu menikah, bagiku tidak masalah. Sebab yang kupermasalahkan adalah usia Tina yang masih terlalu muda untuk merencanakan pernikahan. Apalagi menikah dengan laki-laki yang jauh lebih tua.

Melihatku diam saja, Gatot menanggapinya dengan sikap serupa. Dia juga membisu di sepanjang perjalanan. Tak ada lagi yang dikatakannya. Tetapi sebelum menurunkan aku kembali di halaman kantorku, tiba-tiba ia mengucapkan sesuatu yang cukup mengganggu perasaanku.

"Terima kasih atas ajakanmu untuk berbincang-bincang tadi," katanya.

"Aku yang perlu, jadi kau tak perlu berterima kasih kepadaku!' kujawab dengan sikap kaku. "Lagi pula yang membayar makanan tadi bukan aku!"

"Tetapi kau tadi telah memberi kesempatan emas padaku," kata Gatot lagi.

"Kesempatan emas apa?" Kukerutkan dahiku. "Makan siang bersama seorang gadis matang yang sangat cantik, menarik, dan yang rasa-rasanya kesempatan seperti itu sulit didapat oleh lelaki mana pun. Sebab sepanjang aku mengenalmu, aku tak pernah melihatmu pergi dengan laki-laki."

Untuk sesaat lamanya aku tertegun, tak mampu berkata apa pun. Sejak putus dari Bram, memang tak pernah sekali pun aku pergi keluar dengan laki-laki. Apalagi pergi berduaan. Dan baru sekarang itulah aku melakukannya lagi meski ada alasannya. Tetapi tentu saja ucapan Gatot tadi tak perlu kutanggapi. .

"Kau terlalu berlebihan," aku menggerutu. "Tidak. Aku mengatakan yang sesungguhnya. Terus terang, aku merasa tersanjung pergi bersamamu." Gatot tersenyum manis, semanis madu. "Dan terus terang pula aku tadi sempat melirik ke sekitar ruang rumah makan. Temyata, cukup banyak mata pengunjung yang berulang kali menatap ke arah kita. Mungkin kau tidak menyadarinya, tetapi perlu kukatakan padamu bahwa hari ini kau tampak sangat luar biasa dengan gaun kuning gading yang kaukenakan itu. Kulitmu yang kuning langsat semakin menonjol dan tampak halus mulus. Pepatah kuno mengatakan, lalat pun akan tergelincir kalau hinggap di lengan atau di pipimu."

"Kau ... kau gombal!" aku tergagap, tak mengira akan mendengar perkataannya itu. Belum pernah aku dipuji terang-terangan oleh lelaki mana pun seperti ini. Bram saja tak pernah memujiku demikian.

"Lho apanya yang gombal, Ambar?" Gatot menatapku dengan pandangan bersungguh-sungguh. "Aku mengatakan yang sebenarnya dan itu sama sekali bukan rayuan gombal!"

"Kau memang seorang perayu lihai!" Masih saja aku tergagap, "Sekarang aku tak lagi terlalu heran kenapa gadis sehijau Tina bisa tergila-gila padamu. Untung saja aku bukan Tina yang masih ingusan!"

Usai berkata seperti itu lekas-lekas aku turun dari mobilnya dan pintunya kubanting. Kemudian, terbirit-birit aku meninggalkannya. Namun, telingaku masih sempat menangkap suara tawanya yang lembut, yang begitu menggoda di belakangku. Sialan!

Sejujurnya, perasaanku jadi terganggu oleh cara dan isi bicaranya, bahkan juga oleh tatapan matanya yang tajam menghunjamku. Aku betul-betul ingin marah karenanya. Laki-laki itu benar-benar telah membuatku kehilangan rasa damai dan ketenangan batin. Lelaki itu juga telah membuat jantungku bergoyang dengan cara-caranya memperlakukan diriku. Padahal yang seperti itu tak pernah terjadi sebelumnya. Ketika di awal-awal hubunganku dengan Bram bertahun-tahun yang lalu, perasaanku tak pemah terganggu seperti ini. Bayangkan saja, berbagai macam perasaan campur aduk di hatiku. Marah, jengkel, gemas, mendongkol, serba salah, dan bahkan juga ada perasaan senang dipuji sedemikian itu. Ya, perasaan senang. Rupanya, aku benar-benar sudah gila.

Namun apa pun itu, setelah peristiwa siang tadi niatku untuk melepaskan Tina dan daya tarik Gatot jadi semakin kuat. Laki-Jaki itu memang memiliki daya takluk yang bisa membuat gadis-gadis yang masih hijau masuk ke dalam pesonanya. Apalagi Tina memang sudah tergila-gila padanya. Akal sehatnya pasti tak mampu berfungsi dengan baik. Maka sebagai kakaknya dan orang yang masih mampu berpikir lebih panjang, aku harus segera menyelamatkannya. Semakin cepat akan semakin baik.

Memang, aku sadar itu tidak mudah. Saat ini Tina sedang hanyut-hanyutnya ke dalam pusaran cinta dan mabuk kepayang karenanya. Memintanya untuk menjauhi Gatot sama saja dengan menyuruhnya lari ke dalam pelukan Iaki-laki itu. Aku kenal tabiat adikku itu. Semakin dilarang, semakin tergoda dia untuk melanggarnya. Jadi aku harus bertindak hati-hati. Dan harus pula ada seseorang yang membantuku. Ibuku tak bisa diharapkan. Bukan saja karena beliau terlalu lemah terhadap anak bungsunya itu, tetapi juga karena dia sendiri pun terpukau oleh daya tarik Gatot yang memang mampu mengambil hati siapa pun di rumah kami. Aku tahu betul, ada saja yang dilakukan oleh Gatot untuk menyenangkan hati Ibu. Entah itu didasari oleh ketulusan hatinya atau entah ada maksud-maksud lainnya, yang jelas Ibu merasa senang diperlakukan demikian. Dan memang, ibu mana yang tidak ingin mempunyai calon menantu yang selalu mengistimewakannya, bukan?

Karena merasa tak mungkin mendapat bala bantuan dari Ibu, aku lari kepada Bapak. Terutama karena belakangan ini aku semakin kesal saja terhadap Gatot. Bahkan pemah kepalaku seperti mau meledak saja rasanya melihat gayanya yang kunilai kurang ajar itu. Sejak ia merasa sebagai calon suami Tina, kelakuannya di rumah kami tampak semakin menyebalkan. Seolah-olah, dia sudah menjadi bagian di dalam keluarga kami. Keluar dan masuk rumah kami seenaknya sendiri. Tidak jarang terjadi tiba-tiba saja dia sudah ada di ruang tengah atau di ruang tamu. Dan bahkan juga muncul di ruang makan.

Yang membuatku semakin seperti cacing kepanasan adalah tak seorang pun di keluargaku yang merasa keberatan atas kelakuan Gatot yang sebebas itu. Padahal kalau aku melihatnya muncul tiba-tiba di rumah kami, ingin sekali aku langsung mengusirnya. Apalagi kalau Ibu lalu mengajaknya makan bersama, seperti ketika Ibu membeli pepes ikan emas yang durinya empuk dan rasanya enak itu. Melihat Gatot ikut makan, aku merasa tak rela. Rasa-rasanya, kepala Gatot semakin besar saja di mataku.

Sore itu ketika di rumah hanya aku sendiri sementara Bik Imas pun sedang belanja ke pasar, lagi-lagi Gatot muncul dengan tiba-tiba di rumah kami. Tahu-tahu saja dia sudah ada di dapur tempat aku sedang membuat jus wortel yang kucampur dengan apel. Konon kata orang, kedua bahan makanan itu bagus untuk kesehatan badan dan juga untuk kulit.

"Hai," begitu lelaki itu menyapaku, hampir di sisi telingaku.

Aku tersentak kaget, tidak menyangka ada orang di dekatku. Pasti dia masuk Iewat pintu samping, sebab pintu depan kututup dan kukunci.

"Hrnm ... ," aku bergumam dengan sikap acuh tak acuh.

"Sedang apa?" dia bertanya Iagi tanpa memedulikan sikapku yang dingin.

Aku meliriknya. Ah, bukan main gantengnya dia sore ini. Ia memakai celana jins abu-abu dan kaus merah yang barangkali terlalu terang warnanya, tetapi ternyata begitu pantas dikenakan olehnya.

"Kaupikir aku sedang apa?" jawabku ketus. Lalu kulanjutkan pekerjaanku tanpa memedulikan keberadaannya. Takut terpukau oIeh pesonanya.

''Wah, di manakah keramahtamahanmu, Ambar?"

Sambil menegur begitu Gatot meraih sebuah gelas dan menyorongkannya di dekatku. "Minta jusnya sedikit saja. Aku juga ingin sehat!"

Mendengar permintaannya, kukertakkan gerahamku. Lelaki itu benar-benar mampu membuat orang menjadi gila karena caranya mengganggu. Dengan perasaan dongkol, kuhentikan pekerjaanku ..

"Jus ini hanya pas untukku!" aku menjawab pendek.

"Sedikit sajalah. Cuma ingin mencicipi seperti apa jus buatan tanganmu."

Aku melotot ke arahnya.

"Kau ke sini mau mencari Tina, kan?" aku mulai menyemburkan rasa dongkolku. "Dia tidak ada di rumah. Datang saja nanti petang kalau kau sudah kangen padanya."

"Oh, tidak ada Tina tidak jadi masalah buatku."

Gatot menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa memandang keindahan bunga lili toh aku bisa menatap bunga mawar merah yang baru mekar, meskipun berduri."

"Kau mau mulai Iagi bergombal-gornbal di hadapanku?" hardikku.

Gatot menyeringai, kemudian mencubit daguku secara tak terduga.

"Kenapa sih kau selalu mernbuatku gemas, mawar cantik?" katanya dengan suara lembut. "Kalau saja kau ini kekasihku, sudah habis kau kulumat-lumat."

Ucapannya kujawab dengan sebuah tamparan yang mengarah ke pipinya. Tetapi meleset. Lelaki itu bergerak dengan amat gesit untuk menghindari tanganku yang melayang ke arah wajahnya. Dan dengan gerakan segesit itu pula tanganku ditangkapnya tepat pada pergelanganku sehingga tak bisa bergerak lagi.

"Lepaskan!" aku membentaknya. "Kau... kau ... sungguh kurang ajar. Betul-betul aku sangat menyesal kenapa Tina hari ini pergi. Betapa bahagia aku seandainya dia bisa melihat seperti apa hebatnya laki-laki yang ia cintai itu. Bisa-bisanya dia bersikap kurang ajar terhadap kakak pcrempuan gadis yang katanya ia cintai."

"Begini saja kok kurang ajar." Gatot tersenyum-senyum menatapku dengan mata nakal.

"Oh, dasar kau laki-laki yang sudah tidak tahu lagi mana yang baik dan mana yang buruk" aku menyembur lagi. "Nah, sekarang lepaskan tanganku. Jangan berlaku tidak sopan di rumah orang. Hargailah tuan dan nyonya rumah di sini!"

"Baiklah .... " Gatot menganggukkan kepalanya dengan tubuh setengah mernbungkuk, seperti cara orang memberi hormat di panggung. Tetapi tanganku tidak juga dilepaskannya.

"Lepaskan, Gatot!" aku mulai membentak lagi.

"Cepat!"

Gatot menjawab permintaanku dengan cara yang tak kusangka-sangka. Dia menarik tanganku ke arah bibirnya, Dan kemudian sebelum aku sempat berpikir apa yang akan dilakukannya, tiba-tiba saja jemariku sudah dikecupinya dengan mesra sementara matanya yang berkilauan menatapku tanpa berkedip. .

Aku tersentak kaget. Kurasakan betapa bibirnya yang hangat itu mengecupi jemariku yang sebagian ternoda oleh cipratan jus yang sedang kukerjakan. Bencinya aku, perbuatan laki-laki itu sempat membuat jantungku berdebar-debar sehingga aku menjadi marah kepada diriku sendiri. Dengan perasaan panik sebelum jantungku lebih bertalu-talu Iagi, cepat-cepat kusentakkan tanganku kuat-kuat sehingga akhirnya terlepas juga dari genggaman lelaki itu.

"Kau ... kau. .. benar-benar laki-laki hidung belang!" bentakku dengan terengah-engah. "Sekarang, keluar kau dari rumah ini!"

"Oke... oke ... " Gatot mundur dari hadapanku.

Tetapi bibirnya masih tersenyum-senyum. "Aku akan pergi. Tetapi izinkanlah aku mengucapkan terima kasih. Jus yang kucicipi dari tanganmu yang indah itu terasa jauh lebih manis, lebih nikmat, daripada jus mana pun yang pernah aku minum. Sekali lagi, terima kasih."

"Keluar kau, bawa kata-kata gombalmu itu!" aku mulai berteriak, semakin panik. Panik karena sadar kemarahan yang kutumpahkan itu sebenarnya tertuju kepada diriku sendiri. Aku cemas sekali kalau-kalau Gatot dapat merasakan perasaanku yang sebenarnya. Bahwa, aku sempat takjub diperlakukan semesra itu olehnya. "Keluar!"

"Oke, oke. Aku akan keluar ...," Dengan gerak terbirit-birit yang sengaja ia perlihatkan kepadaku, Gatot meninggalkanku sendirian.

Kupejamkan mataku, merasa diriku kacau-balau dan frustrasi karena hatiku mengkhianati diriku sendiri tadi. Kenapa lelaki kurang ajar yang tak tahu malu itu mampu membuat dadaku berguncang waktu bibirnya mengecupi jemari tanganku? Kenapa bukannya kemuakan atau rasa jijik yang muncul di sana?

Ya Tuhan, sudah gilakah aku sehingga tak lagi mampu melihat dan berpikir secara jernih, obyektif, dengan kepantasan yang seharusnya?

Ah, sialan kau, Gatot. Aku benar-benar benci padamu yang telah membuatku begini.

SUDAH sejak awal aku tidak menyetujui hubungan Tina dan Gatot. Dan kemudian semakin aku mengenal Gatot, rasa tidak setuju itu semakin meningkat derajatnya. Selama ini berulang kali aku ingin merenggut Tina dari cengkeraman pesona laki-laki itu. Tetapi sekarang, perasaan tidak setuju, perasaan khawatir tatkala menyaksikan hubungan mereka yang semakin hari semakin akrab itu sudah mencapai puncaknya. Semenjak peristiwa yang kualami dengan Gatot di dapur beberapa hari yang lalu, hatiku menjadi amat gelisah dan takut kalau-kalau Tina menjadi lupa diri kemudian masuk perangkap laki-laki kurang ajar itu. Dia bukan orang baik-baik. Dia kurang ajar dan kesetiaannya patut dipertanyakan. Bahkan menurut pendapatku, laki-laki itu juga patut diragukan kebagusan budi dan kesadaran moralnya. Bayangkan, terhadapku, kakak kekasihnya, dia pun berani bersikap kurang ajar dan menggoda. Rasanya kalau orang normal, di mana pun di dunia ini tak ada seorang laki-laki baik yang berani menciumi jemari tangan calon kakak iparnya dengan semesra itu.

Setelah beberapa hari lamanya aku berada dalam keadaan: bimbang, resah, dan tertekan, akhimya kuputuskan unuk mengadukan kelakuan Gatot itu kepada Bapak. Hanya kepada beliaulah aku mengharapkan bantuan untuk menginsafkan Tina dan membuka mata adikku itu bahwa laki-laki bernama Gatot itu bukan seorang calon suami yang baik dan cocok untuknya.

"Pak, ada sesuatu yang saya ingin bicarakan dengan Bapak," begitu kataku di suatu kesempatan berduaan dengan ayahku.

"Tentang?"

"Tentang Tina dan Gatot." Aku langsung mengatakan apa yang selama ini kukhawatirkan. Dan akhirnya meskipun dengan perasaan malu, kuceritakan apa yang terjadi di dapur beberapa hari lalu. "Jadi Bapak harus melakukan sesuatu agar Tina tidak sampai jatuh ke tangan lelaki seperti itu. Hanya Bapak saja yang bisa kuharapkan. Ibu tak berhasil menginsafkan Tina, bahkan sepertinya merestui hubungan rnereka!"

Seperti yang sudah kuduga, setelah mendengar penuturanku, ayahku yang sangat memperhatikan dan menyayangi keluarga itu bangkit amarahnya.

"Apakah hal itu sudah kauceritakan kepada ibumu?" tanyanya dengan alis bertaut dan wajah merona merah menahan amarah.

"Belum, Pak. Sebab rasanya akan sia-sia saja. Ibu begitu mempercayainya. Dan kelihatannya juga sudah berharap banyak pada laki-laki yang dianggapnya sebagai calon menantu paling hebat itu. Ibu tidak melihat bahwa Gatot adalah serigala berbulu domba!" aku menjawab sengit.

"Aneh sekali. Biasanya ibumu tidak seperti itu," gumam Bapak. "Ingatkah kau, Ambar, bagaimana sikap ibumu itu terhadap Bram di awal-awal hubungan kalian beberapa tahun yang lalu?"

"Ya .... "

Apa yang dikatakan, oleh Bapak memang perlu kugarisbawahi. Dulu di awal-awal hubungan cintaku dengan Bram, Ibu sangat cermat mengikuti perkembangan hubungan karni. Kalau Bram datang ke rumah, Ibu sering kali menanyakan ini dan itu yang tujuannya adalah mengorek seluruh latar belakang pemuda itu. Perlu waktu cukup lama sampai Ibu bisa bersikap manis dan menaruh rasa percaya kepadanya.

Tetapi tidak demikian sikap Ibu terhadap Gatot.

Daya tarik laki-Iaki itu telah mempengaruhinya dan membuatnya kehilangan kewaspadaan. Sesuatu yang sebenarnya bisa kumengerti, sebab sesungguhnya, kalau aku mau jujur, diriku pun tidak terlalu berbeda jauh dengan Ibu. Tidak biasanya aku bisa kehilangan akal sehat. Sampai-sampai aku tidak tahu bagaimana seharusnya menunjukkan kemarahanku atas perlakuan Gatot yang terang-terangan telah melecehkan diriku itu. Padahal biasanya jangankan tangan laki-Iaki sampai bisa mengusap atau mencubit pipiku, baru mengucapkan kata-kata yang bersifat "miring-miring" sedikit saja aku sudah memperlihatkan ketidaksetujuanku. Baik dengan perkataan maupun dengan sikap atau mimik muka yang pasti membuat seseorang yang bermaksud menggangguku akan mundur teratur. Dan sama seperti ibuku, mau atau tidak aku telah dipengaruhi pula oleh daya tariknya yang memang bisa dikatakan luar biasa itu. Sunggub, betapa berbahayanya lelaki seperti Gatot itu. Khususnya bagi Tina. Ibuku yang sudah banyak makan asam garam kehidupan saja bisa kehilangan kewaspadaannya. Terutama yang berkaitan dengan diriku maupun dengan Tina.

"Pak, justru karena sikap lunak Ibulah saya ceritakan apa yang terjadi itu kepada Bapak dan bukan kepada Ibu. Bapak barus segera turun tangan sebelum segalanya terlambat," kataku lagi.

"Baik, Bapak akan segera rnenyelesaikan persoalan ini secepatnya. Ibumu harus bisa bersikap tegas terhadap Gatot dan melindungi Tina dari hal-hal yang tidak kita inginkan," jawab Bapak, masih dengan suaranya yang mengandung amarah. "Kita tidak usah merasa sungkan hanya karena Gatot bertetangga baik dengan keluarga kita!"

"Betul, Pak. Bapak harus bisa menginsafkan Tina dan membuka mata Ibu!" kusambut janji Bapak dengan penuh harapan.

"Ya. Untuk tahap permulaan, Bapak akan bicara lebih dulu dengan ibumu, lalu dengan Tina. Sesudah itu baru dengan Gatot," kata ayahku lagi. "Tetapi ini memang bukan sesuatu yang mudah, karena selama ini Bapak pun terkecoh oleh penampilan Gatot. Bapak benar-benar tidak menyangka bahwa laki-laki itu mempunyai watak buruk seperti yang kaututurkan tadi!"

"Yah, itulah bukti bagaimana jenis manusia semacam ini merupakan makhluk yang paling sulit dimengerti karena penuh dengan kepura-puraan dan kemunafikan!"

"Betul. Berbulan-bulan lamanya Bapak dan Gatot bergaul dengan baik, mengobrol berjam-jam lamanya dalam suasana yang enak dan akrab pula. Sejujurnya, selain rnerasa cocok dengannya, Bapak juga menyukainya. Pengetahuannya luas. Bicaranya menyenangkan. Dan sepengetahuan Bapak selama ini, sifatnya juga baik. Kalau bukan kau yang rnenceritakan tentang peristiwa di dapur itu, pasti Bapak tidak akan mempercayainya. Itu benar-henar di luar pengenalan Bapak atas dirinya selama ini .... "

"Itulah yang saya katakan tadi bahwa dia itu seperti serigala berbulu domba, Pak. Jadi Bapak harus segera bertindak untuk menyelamatkan Tina!"

"Ya, baiklah."

Percakapanku dengan Bapak bari itu memberi rasa lega dalam hatiku. Aku kenal betul cara berpikir Bapak. Aku banyak menuruni sifat dan alam pikirannya. Jadi aku juga yakin, Bapak akan menyelesaikan masalah itu dengan caranya yang selalu pas sebagaimana biasanya kalau beliau menangani suatu persoalan. Mudah-mudahan saja Ibu bisa lebih terbuka pikirannya dan mudah-mudahan pula Tina tidak lagi terjerat cinta buta, cinta yang menutupi segala sesuatu yang seharusnya patut dilihat dan diperhatikannya.

Harapan besar itu membuatku agak terIena selama beberapa saat lamanya. Pikiranku tidak lagi banyak tersita oleh hal-hal yang menyangkut diri Gatot dan Tina. Dengan demikian, aku dapat bekerja dengan Iebih tenang di kantor, dan membiarkan kesibukan yang menjadi tugasku sehari-hari menyerap tenaga dan pikiranku seperti semula sebelum peristiwa gonjang-ganjing hatiku itu terjadi.

Namun sesudah satu minggu berlalu dan tidak ada tanda-tanda perubahan apa pun dalam kehidupan kami sehari-hari, pikiranku mulai lagi tertuju kepada Tina dan kekasihnya yang kurang ajar itu. Sebab hampir setiap petang aku melihat mereka berdua duduk dengan manis dan mesra di teras depan atau di depan televisi, seolah Gatot sudah menjadi bagian keluarga kami. Sering kali aku harus menahan perasaanku kuat-kuat agar tidak menuding hidungnya dan mengusir dia dari rumah ini. Dan sering kali pula aku harus menahan diri mati-marian agar tidak memperlihatkan rasa muak dan kebencianku terhadap laki-laki itu.

Ah, apakah Bapak belum sempat mengatakan apa yang kami bicarakan minggu lalu itu kepada Ibu dan Tina? Kalau sudah, mengapa sikap Ibu kepada Gatot tetap saja sehangat semula? Muak sekali aku melihat bagaimana Ibu dengan manisnya mengeluarkan apa saja yang ada di atas meja sudut ruang makan, termpat beberapa stoples berisi rnakanan kecil ditempatkan. Rasanya aku tidak rela melihat Gatot mengambil penganan atau kue-kue kesayanganku itu. Bahkan juga aku sempat memergoki sikap Bapak yang masih saja akrab terhadap laki-laki itu, seolah aku tak pemah menceritakan apa pun mengenai kelakuannya terhadapku, putri kesayangannya ini. Atau apakah jangan-jangan Bapak tidak mempercayai, apa yang kukatakan itu?

Pada suatu malam ketika dari kamarku aku mendengar Bapak mengizinkan Tina pergi jalan-jalan lagi bersama Gatot, aku tak mampu menahan diriku lebih lama lagi. Aku juga tak bisa lagi membiarkan dadaku bergejolak oleh api amarah dan berdiam diri di balik kaca jendela kamarku, menyaksikan kepergian mereka. Rasanya aku seperti melihat Gatot membawa pergi Tina ke tepi jurang yang berbahaya sementara kulihat pula Bapak dan Ibu malah membiarkannya.

Maka begitu melihat jip putih itu menghilang dari pandangan mata, aku langsung keluar menemui Bapak. .

"Bapak sudah berbicara dengan Ibu?' tanyaku kepadanya.

"Ya, sudah."

"Dan kenapa Bapak dan Ibu masih saja membiarkan Tina dibawa pergi oleh serigala berbulu domba itu?" .

Bapak menatapku beberapa saat lamanya. Air mukanya tampak tenang dan menyejukkan. Matanya bersorot lembut, seolah hendak memintaku bersikap sabar dan penuh pengertian. Tentu saja, aku merasa jengkel karenanya.

"Kenapa begitu, Pak?" aku bertanya lagi dengan perasaan tak sabar.

"Karena ternyata penilaianmu dan juga penilaian Bapak ketika baru mendengar ceritamu tentang peristiwa di dapur itu, terlalu subyektif dan agak berlebihan. Kurang melihat sisi lain yang juga perlu diperhitungkan," sahut Bapak kemudian.

Aku tertegun. Mulutku nyaris ternganga, tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu dari mulut laki-laki yang paling kuhormati karena kearifannya yang dalam itu.

"Apa, Pak? Penilaian kita bersifat subyektif?" akhirnya aku mampu bersuara lagi. Namun sulit bagiku menyembunyikan nada kecewa yang ada dalam suaraku. "Ataukah Bapak tidak mempercayai cerita saya waktu itu?"

"Bapak mempercayai ceritamu itu, Nduk." Seraya tersenyum lembut, Bapak menepuk pundakku. "Tetapi harus kita akui bahwa emosi sering kali menyebabkan kita tidak bisa bersikap obyektif. Jadi, terus terang saja Bapak meragukan penilaianmu terhadap Gatot. Apalagi karena Bapak sendiri sudah berbicara empat mata dengannya sewaktu ibumu tidak menyetujui saran Bapak agar menjauhkan Tina dari pemuda itu. Lebih dari satu jam lamanya Bapak berbincang-bincang dengannya."

"Di mana? Saya kok tidak tahu!"

"Di rumahnya."

"Dan ... ?" Bapak pasti tahu apa yang tersirat dari satu suku kata yang kulontarkan dengan pandangan bertanya itu.

"Waktu itu Bapak langsung menegur kelakuannya yang tak pantas terhadapmu. Kemudian Bapak juga mengatakan bahwa sebaiknya ia mundur saja dari keinginannya untuk menjadikan Tina sebagai kekasihnya dengan pelbagai macam alasan yang masuk akal. Antara lain masalah perbedaan usia mereka yang cukup besar. Dan lebih dari itu adalah karena perbuatannya terhadapmu yang tak pantas dilakukan oleh seorang Ielaki baik-baik."

"Lalu apa katanya?"

"Yah, dia lalu memberi banyak alasan yang cukup masuk aka! dan bisa Bapak terima ... " Perkataan Bapak terhenti karena kusela.

"Tetapi, Pale .. "

Ingin sekali aku mermuntahkan rasa tak puas dan frustrasiku. Tak bisa kumengerti kenapa Bapak bisa berkata seperti itu seolah Gatot cuma melakukan kesalahan kecil yang tak berarti. Padahal dia telah melanggar prinsip hidupku, Sekarang, mengertilah aku kenapa sampai saat ini Iaki-laki itu masih saja bebas berkeliaran di rumah kami.

Tetapi sebelum rasa tak puas itu kumuntahkan, Bapak ganti memotong perkataanku dengan meletakkan jari telunjuknya pada bibirku sambil tersenyum menyabarkan.

"Tunggu dulu," katanya kemudian. "Bapak belum selesai berbicara."

"Baiklah, lanjutkan, Pak," sahutku dengan perasaan apa boleh buat. Bukankah aku ingin tahu seluruh kejadiannya? Kalau Bapak tak kuberi kesempatan, bagaimana mungkin aku dapat rnengetahui apa hasil pembicaraannya dengan Gatot?

"Pokoknya waktu itu Bapak terang-terangan mengatakan padanya tentang semua keberatan kita terhadap hubungannya dengan Tina," Bapak melanjutkan. "Alasan yang Bapak paparkan juga kuat, jelas dan masuk akal. Bukan mengada-ada. Tetapi sesudah berbicara panjang-lebar dari hati ke hati, akhirnya Bapak mengetahui bahwa kekbawatiran dan penilaian negatif kita terhadapnya itu agak berlebihan. Dia tidaklah seburuk apa yang kelihatan di permukaan. Lagi pula ... "

"Apa maksud Bapak dengan mengatakan bahwa penilaian kita itu agak berlebihan?" aku memotong lagi perkataan Bapak. Tak tahan hatiku hanya tetap diam mendengarkan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinanku itu.

"Setelah mendengarkan alasan-alasan yang dikemukakannya, yaitu mengenai perasaan-perasaannya, rencana hidupnya, dan juga penuturan-penuturan, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan dirinya, Bapak mulai melihat sisi lain dirinya."

"Apa misalnya? Apakah itu dari hatinya yang terdalam?" aku bertanya dengan sengit. "Bapak jangan mempercayainya begitu saja."

Mendengar kata-kataku, Bapak tersenyum penuh pengertian.

"Bapak mengerti perasaanmu, Ambar. Tetapi Bapak juga memahami dia setelah kami bicara tentang bermacam hal mengenai dirinya," katanya kemudian. "Memang, dia itu sembrono. Dan itu diakuinya. Keinginannya untuk menjalin keakraban dan rasa persaudaraan dengan kita itu kurang pas caranya. Bahkan agak berIebihan dan bisa menimbulkan salah tafsir atau kekeliruan pengertian bagi orang yang diakrabinya. Maka melalui Bapak, dia mengatakan penyesalannya telah membuatmu merasa tersinggung. Katanya, dia tidak bermaksud kurang ajar. Dia hanya ingin berakrab-akrab denganmu sebagai seseorang yang diharapkannya menjadi caIon kakak iparnya. Meskipun kau lebih muda empat tahun lebih, tetapi dia ingin menjadikanmu sebagai seorang kakak yang akrab dengannya. Dan apa yang terjadi di dapur itu hanyalah salah satu cara dia memperlihatkan keakrabannya."

"Dan Bapak mempercayainya?" aku mernotong lagi. Kali ini dengan suara meninggi dan dengan amarah yang mulai menggumpal di dada.

"Setidaknya, Bapak mempercayai ketulusan hatinya. Kedua belah matanya seperti jendela yang bisa Bapak singkap untuk menjenguk isi dadanya. Bapak menangkap kejujuran dalam dirinya. Dia memang tidak bermaksud kurang ajar terhadapmu. Sikap akrab seperti yang diperlihatkannya kepadamu itu belum pernah sekali pun ditujukan kepada orang lain. Dia hanya mau menunjukkan rasa persaudaraan denganmu karena kau kakak kandung Tina. Itu saja.

"Tetapi pak apa yang dilakukannya sungguh kurang ajar!"

"Memang caranya memperlihatkan keakraban itu kurang pas, Nduk. Dia juga mengakui itu. Bahkan dia juga berjanji untuk tidak mengulanginya lagi!" sahut Bapak. "Katanya, tidak ada maksud lain kecuali ingin akrab denganmu. Sebab di rumah ini hanya kau saja yang tidak pernah menunjukkan sikap manis terhadapnya. Percayalah."

Aku terdiam. Kutatap wajah Bapak dengan seluruh kecermatan mataku. Kalau aku tidak mendengar sendiri perkataan Bapak, pasti aku tidak akan percaya Bapak bisa berkata seperti itu tentang Iaki-laki yang pernah kurang ajar kepadaku.

"Sudahlah, Sayang, jangan memperbesar masalah." Bapak menepuk lagi bahuku dengan lembut dan penuh kasih. "Ya?"

Aku diam saja. Air muka Bapak begitu tenang.

Begitu santai. Bahkan sikapnya menunjukkan keyakinan pada apa yang telah dikatakan kepadaku tadi. Aku benar-benar takjub bahwa ternyata ayahku yang biasanya selalu teliti, cermat, dan hati-hati dalam banyak hal bisa semudah itu terkecoh oleh Gatot. Bahkan Bapak juga tidak bisa menangkap bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh laki-laki itu cuma gombal belaka. Mana ada sih ingin menjalin keakraban dengan kakak kekasihnya kok dengan mencubit pipi, menowel dagu, memuji-muji dengan cara khusus, dan menciumi jemarinya dengan sedemikian mesra. Meski pengalamanku berpacaran tidak banyak, aku masih bisa menangkap apa yang tersirat di mata Gatot di dapur waktu itu. Bola matanya begitu berkilauan, mengandung entah itu kernesraan, entah pula godaan atau malah nafsu, tetapi jelas sekali memperlihatkan kenakalan seorang lelaki yang hanya ditujukan kepada perempuan. Sama sekali bukan keakraban yang bersifat persaudaraan.

Ya Tuhan, betapa besamya kekuatan daya tarik dan daya pikat Gatot, sampai-sampai ayahku yang padat pengalaman hidup itu bisa berubah pendapat dan mengganti kemarahannya dengan maaf dan penerimaan yang menurutku sudah melewati takaran yang semestinya.

Merasa kecewa berat atas kenyataan itu, aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Jadi kuputuskan untuk tidak memperpanjang masalah itu. Biarlah ayahku tak lagi berusaha melepaskan Tina dari Gatot dan biarlah pula ibuku membiarkan saja anak gadisnya yang cantik itu tergila-gila kepada seorang lelaki yang lebih pantas berpacaran dengan perempuan yang cukup gila, yang bisa tetap cuek bila suatu saat dikhianati demi perempuan idaman lain. Pokoknya, aku sebagai kakak tertua dan juga anak tertua dalam keluarga ini akan terus berjuang menyelamatkan Tina dengan kekuatan tangan dan kakiku sendiri.

Hanya sayangnya, aku belum mempunyai kesempatan untuk berbicara berdua saja dengan Gatot. Memintanya lagi untuk menemuiku seperti waktu itu, aku tak sudi. Pasti akan besar kepala dia, menganggap aku membutuhkannya dan merasa dirinya penting. Tidak, aku tak mau menemuinya dengan cara itu. Kecuali tentu saja kalau itu merupakan suatu kebetulan.

Untungnya, kesempatan yang kutunggu-tunggu itu datang juga tanpa aku harus memintanya untuk datang menjumpaiku seperti waktu itu. Sebab tiba-tiba saja sore itu dia datang menemuiku. Ketika itu jam kantor baru saja bubar. Rupanya dia sudah lama menunggu di bawah dan duduk di dekat meja penerima tamu, karena tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku begitu aku keluar dan lift.

"Hai," sapanya.

Karena aku turun bersama beberapa orang temanku dan mereka masih berada di dekatku, sapaan Gatot terpaksa kubalas.

"Hai." Tetapi suaraku terdengar dingin dan wajahku sengaja kubuat kaku agar dia tahu aku tidak suka melihatnya. Bahkan kuangkat daguku sedikit dengan sikap angkuh yang kusengaja.

"Kau tidak membawa mobil, kan?"

Sialan. Tahu saja dia bahwa aku tidak membawa mobil dan juga tidak menumpang mobil salah seorang temanku. Memang sudah dua bulan ini mobil antar-jemput yang kusewa bersama teman-temanku itu tidak kami lanjutkan lagi. Sebab sering kali pada sore hari, ada saja di antara kami yang tidak bisa ikut pulang. Ada saja di antara kami yang mempunyai acara lain setelah jam kantor. Atau terpaksa harus tinggal karena lembur. Dengan demikian kami semua merasa rugi jika langganan mobil antar-jemput itu diteruskan. Kami harus membayar penuh tetapi pemakaiannya sering separo-separo. Dan masih pula mengeluarkan uang ekstra buat taksi atau kendaraan umum lainnya untuk pulang ke rumah kembali.

"Aku tahu kau tidak naik mobil hari ini," kudengar Gatot berkata lagi.

Aku meliriknya dengan perasaan jengkel yang tak kusembunyikan.

"Memangnya kalau aku tidak membawa mobil, kenapa?"

Rupanya, dia juga tahu kalau belakangan ini aku sering membawa mobil orangtuaku. Mobil kami ada dua. Yang satu dipakai Bapak ke kantor dan yang lain milik bersama. Siapa pun boleh memakainya. Karena saat ini aku yang paling membutuhkan, prioritas utama ada padaku. Dan sesuai dengan perjanjian, siapa yang paling banyak memakai mobil, maka biaya perawatan harus dia yang menanggungnya. Termasuk beli bensin. Kecuali Tina tentu saja, yang belum mempunyai penghasilan sendiri.

Hari ini mobil itu dipakai oleh Didik ke luar kota. Dia sudah bekerja sekarang. Dan kantornya menugaskan dia ke Bogor untuk suatu urusan. Pemuda itu memilih naik mobil pribadi daripada mobil kantor. Entah apa alasannya aku tak tahu. Yang jelas, hari ini aku pergi ke kantor dengan kendaraan umum. Tetapi heran, dari mana Gatot mengetahui hal itu.

"Karena kebetulan aku tahu kau tidak membawa mobil, aku ingin mengajakmu pulang sama-sama," Gatot menjawab pertanyaanku tadi. "Bagaimana?"

"Aku tidak mau," sahutku ketus. "Di depan sana ada banyak angkutan umum yang bisa kutumpangi."

"Jangan jual mahal, Ambar." Gatot mengulurkan tangannya dan melingkari lenganku dengan telapak tangannya. "Untuk apa naik kendaraan umum kalau ada tetangga dekat yang bisa pulang bersama-sama."

"Lepaskan tanganmu!" aku mendesis pelan. Sungguh tidak enak kalau ada temanku yang memergoki kedekatan fisikku dengan lelaki seganteng Gatot. Sebab besok pasti akan ada saja pertanyaan dan pandangan spekulasi yang ditujukan kepadaku. Dan itu bukan hal yang mengherankan karena selama ini di mana-mana aku dikenal sebagai gadis yang dingin dan tak ramah terhadap kaum laki-laki. Bahkan untuk berteman dekat saja pun aku tak mau.

"Tidak, aku tak akan melepaskan tanganku. Kecuali, kalau kau mau ikut mobilku!" Gatot menjawab tegas, seolah rnengetahui kekhawatiranku atas kedekatan fisik kami. Dia mengancam tepat pada titik kelemahanku.

Semula aku ingin menolak ajakan Gatot dan sekaligus juga menghindari kedekatan fisikku dengan dia, tetapi tiba-tiba aku teringat kembali kepada rencanaku untuk bicara empat mata lagi bersamanya. Bukankah selama beberapa rninggu ini keinginanku untuk berbicara dengannya tak pernah kesampaian? Sekaranglah kesempatan itu. Dan ditawarkan oleh Gatot sendiri pula. Kenapa barus kutolak?

"Baiklah," sahutku cepat-cepat. "Sekarang, lepaskan tanganmu itu. Aku tidak suka dinilai murahan oleh teman-temanku."

Mendengar persetujuanku, Gatot segera melepaskan tangannya dari lenganku. Tetapi sambil mengancamku lagi.

"Awas, kalau kau tidak menepati janjimul" dia meniru caraku mendesis tadi. "Aku bukan saja akan mencengkeram lenganmu lagi, tetapi juga akan memeluk tubuhmu yang indah itu. Dan jangan pernah lagi menyebut sentuhan tanganku sebagai sesuatu yang murahan. Tangan ini tangan calon adik iparmu lho. Bukan tangan sembarangan!"

Aku melemparkan lirikan tajam yang mengandung kemarahan yang tak terlampiaskan. Tetapi dia membalas lirikan mataku itu dengan senyum kurang ajarnya. Aduh, luar biasa menggemaskan dia. Seharusnya kutampar atau kupukul. Sebab aku tahu betul dia sengaja mengungkit kemarahanku karena tahu aku tidak mungkin melampiaskannya di depan umum. Apalagi ada banyak temanku di tempat itu.

"Hm, tidak bisa bicara apa pun, kan?" kudengar laki-laki itu berkata lagi. Masih dengan senyum kurang ajarnya yang menyebalkan itu. "Jadi ayolah sedikit bersikap manis padaku. Ikuti aku sampai ke tempat parkir."

Dengan hati dongkol aku terpaksa mengekor di belakang Gatot, menuju ke tempat parkir. Tetapi kemudian kuhibur hatiku ketika sadar bahwa kenginanku untuk berbicara dengan laki-laki itu akhirnya terlaksana juga dengan cara yang tidak membuatnya jadi besar kepala. Bukan aku yang memintanya datang, kan?

Dengan pikiran itu aku bisa berjalan dengan lebih tenang di sampingnya sampai aku tertegun karna dia tidak membawaku pada jip putihnya, melainkan ke sebuah sedan baru yang pintunya langsung ia bukakan untukku.

"Silakan masuk," katanya dengan tubuh dibungkukkannya ke arahku. Aku tahu, dia masih ingin mengungkit kemarahanku.

"Mobil siapa?" tanyaku. "Jangan macam-macam terhadapku!"

"lni mobilku. Jipku sudah kujual. Hasilnya, ditambah tabunganku, kubelikan mobil ini. Tak percuma aku mengumpulkan sen demi sen setiap bulannya. Nah, silakan masuk ke mobil baruku ini!" Dengan suara mengandung rasa bangga, dia membungkukkan tubuhnya lagi tepat di bawah hidungku.

Dengan menahan perasaan sebal dan dongkol, agar tidak membuat Gatot merasa menang karena berhasil mengungkit kemarahanku, aku langsung masuk ke mobil barunya. Aroma wewangian yang diletakkan di bagian depan masih kalah oleh bau antikarat mobil. Mobil ini memang benar-benar masih gres.

Gatot menyusulku naik sesudah menutup pintu di sisi kiri tubuhku. Dari tubuhnya aku mulai mencium aroma wewangian maskulin kesukaannya. Semestinya, aroma campur aduk di dalam mobil itu membuatku mual. Tetapi tidak. Entahlah, barangkali saja aku memang sudah gila sekarang ini. Sebab temyata aku senang menghirup aroma segar semacam itu.

"Hei, kau tidak tanya kapan aku membeli mobil ini?" tanya Gatot begitu mobilnya bergerak meninggalkan halaman kantorku. Sekali lagi aku menyaksikan kembali gerakan-gerakan tangan dengan gaya yang enak dipandang sewaktu laki-laki itu sibuk dengan kemudi dan persneling. Ah, kenapa masih saja aku memperhatikan hal-hal semacam itu pada diri Gatot, padahal jelas-jelas lelaki itu sangat kurang ajar terhadapku. .

Mendengar perkataannya itu, kubuang pandanganku ke luar jendela. Lebih balk aku melihat pemandangan lalu lintas petang yang sedang padat-padatnya itu daripada menyaksikan gaya Gatot yang meraih perhatianku itu. Aku tak ingin terpikat olehnya.

"Kok malah mengalihkan pandanganmu ?" Gatot berkata lagi. "Tidak ingin tahukah kau kapan aku membeli mobil ini?"

"Tidak, Untuk apa?" Aku mendengus.

"Tidak bisakah kau memberi rasa senang sedikit saja untuk orang lain?" Gatot menggerutu kesal. "Padahal aku ingin membanggakan padamu bahwa mobil ini baru kubeli kemarin. Mobil ini memang bukan termasuk mobil mewah, tetapi ini kubeli dengan hasil keringatku sendiri, selagi aku masih belum punya keluarga yang harus kubiayai. Nah, perlu diketahui pula bahwa kau kuberi kehormatan sebagai yang pertama duduk di sisiku di mobil ini. Padahal Tina saja pun belum sempat duduk di sini dan ... "

"Memangnya apa istimewanya?" aku memotong perkataannya. "Mau duduk di sini sebagai orang pertama atau sebagai orang yang keseribu, aku tidak peduli. Kok repot-repot amat sih menghitung-hitung yang tak perlu."

"Lidahmu memang tajam, Ambar!" Gatot menggerutu lagi. "Sungguh, semakin terbukti sekarang betapa berbedanya kau dengan Tina."

"Terserah kau mau bilang apa tentang diriku, itu juga bukan masalah buatku. Memangnya kupikirkan?" Aku mendengus ketus. "Asal kau sadar saja bahwa dunia ini menjadi begitu kaya dan beragam justru karena tidak ada orang yang persis sama. Jadi bersikap kompromislah terhadap realita yang ada."

Aku tahu Gator sedang melirikku seraya menelengkan kepalanya ke arahku. Tetapi aku pura-pura tak tahu, seolah begitu asyik melihat pemandangan di luar jendela. Padahal pemandangan kota Jakarta saat jam kantor bubar itu benar-benar sangat tidak menyenangkan. Di depan, di kiri dan kanan, di belakang, penuh dengan mobil yang sulit bergerak. Dan motor-motor menyelip ke kiri dan kanan di antara tubuh bus besar-besar yang sepanjang pengalamanku menyetir sendiri, acapkali setangnya menyenggol kaca pion bagian samping mobil, Bapak malah pernah adu otot gara-gara kaca spionnya pecah di senggol motor yang tiba-tiba menyalip dari sebelah kiri. Selain melihat banyaknya motor yang bergerak gesit, dan terkadang tanpa perhitungan, di si kanan dan kiri mobil, aku juga menyaksikan halte-halte bus penuh dengan orang yang menunggu. Padahal bus yang mereka tunggu sudah begitu sarat penumpang sampai-sampai badan mobil miring, tidak tegak lagi.

Menyaksikan itu aku menarik napas panjang.

Letih rasanya terjebak kepadatan lalu lintas seperti ini. Hidup di kota sepadat Jakarta memang penuh dengan perjuangan. Pagi hari terpaksa harus berebut kendaraan dan berpacu dengan waktu agar tidak terlambat tiba di kantor .. Di tempat kerja atau di kampus, orang harus berjuang mendapatkan posisi, kesempatan, dengan masing-masing kekhasan yang harus mereka perjuangkan. Dan sore harinya, saat pulang dari tempat tugas menuju ke rumah pun, orang masih harus berjuang mendapatkan kendaraan yang bisa mengangkut mereka. Belum soal copet yang ada di mana-mana. Semakin padat orang, semakin itu merupakan sasaran empuk operasi para pemilik "tangan panjang" itu.

Aku menarik napas panjang lagi. Berjuang hidup di Jakarta yang keras ini memang memerlukan segudang kekuatan mental, keuletan, dan daya tahan untuk berjuang demi sesuap nasi. Bahkan harus berani malu. Bayangkan saja, siapa yang perasaannya tak ngilu melihat laki-laki tulen seratus persen yang punya istri dan anak, tetapi berdandan sebagai perempuan, berpura-pura menjadi waria dan menyanyi di perempatan jalan dengan modal sebuah rebana, hanya demi sekeping atau dua keping uang receh. Pedih hatiku melihat penampilan mereka. Pakaiannya ketat, sementara riasan wajah mereka sangat berlebihan sehingga tampak aneh. Bedak yang digunakan terlalu putih, menempel di wajah kehitaman bekas sengatan matahari, lalu pipi dan bibir kemerahan dengan kelopak mata seperti pelangi di kaki langit. Merah, kuning, hijau ....

Sekali aku merasa iba kepada orang-orang seperti itu, yang rela rnencuil harga dirinya sendiri hanya untuk memperpanjang hidup. Tetapi sering kali Juga aku merasa kesal melihat ulah mereka menengadahkan tangan dan kadang-kadang juga dengan setengah memaksa, kendati kita sudah mengatakan "maaf". Padahal di dekat mereka ada anak-anak kecil yang memilih menjual koran atau majalah daripada mengemis. Ironis memang. Begitu juga sedih perasaanku kalau melihat para pengamen yang baru melantunkan dua atau tiga patah lagu dengan suara sumbang sudah menengadabkan tangan, menganggap hak merekalah untuk mendapat uang dari orang-orang yang mendengar suara mereka.

"Hei, bagairnana dengan mobilku?" sekali lagi Gatot bertanya dan merebutku dari jeratan lamunan. "Kok diam saja sih?"

"Apanya?" aku ganti bertanya dengan acuh tak acuh.

"Semuanya, Kenyamanannya, interiornya, atau apanya sajalah. Pokoknya ada komentar darimu!"

"Kurasa. sama seperti mobil-mobil lainnya," sahutku masih dengan sikap acuh tak acuh yang sengaja kuperlihatkan.

"Tidak bisakah kau berbasa-basi sedikit saja untuk menyenangkan hati orang?"

"Tidak."

"Kau sungguh mampu membuat seluruh isi dunia ini merasa dongkol," untuk kesekian kaIinya pula Gatot menggerutu lagi.

Kali itu aku tak mau memberi tanggapan atas perkataan yang diucapkan dengan rasa jengkel yang tampaknya sudah mulai bergejolak. Aku tak boleh membuatnya marah dan menggagalkan rencanaku untuk berbicara dari hati ke hati dengannya. Sebab kalau belum-belum sudah membuatnya marah, bagaimana aku bisa bicara dengan runtut dan bagaimana pula Gatot bisa menerima perkataanku dengan kacamata jernih.

Karena aku diam saja Gatot juga tidak berkata apa-apa lagi. Perhatian kami mulai terarah ke termpat lain selama beberapa saat lamanya. Kulirik jaIan tol di sebelahku, juga macet. Bahkan nyaris tak bergerak. Bisa kubayangkan betapa orang-orang di dalam mobil itu merasa dongkol. Masuk tol dan mengulurkan uang ke loket dengan maksud agar bisa sampai lebih cepat ke tujuan, tetapi pada kenyataannya jalan tol yang katanya merupakan jalan bebas hambatan itu justru lebih macet daripada jalan biasa. Dan tragisnya, kalau sudah ada di jalan tol, mobil tidak bisa ke mana-mana lagi. Mau menyelinap ke jalan tikus, mana mungkin? Mau berhenti dulu di rumah makan, jelas mustahil. Memangnya mau meloncat turun? Atau mau meloncat pagar? Tidak ada alternatif lain.

"Kok diam saja?" lagi-lagi Gatot menarikku dari lamunan. ''Ngantuk?''

"Tidak."

"Kusangka kenyamanan mobilku telah membuatmu mengantuk sampai kau lupa ada di mana sekarang ini," Gatot mulai lagi mencari gara-gara.

Tetapi kali ini aku tak mau terpancing. Jadi aku diam saja. Seperti tadi, aku berusaha menjaga suasana agar Gatot tidak marah. Rencanaku untuk mengajaknya bicara empat mata masih belum surut. Dan semakin cepat itu dilaksanakan akan semakin baik jadinya.

Tetapi tampaknya lelaki itu tak mau menyerah.

Ia berkata lagi sambil membetulkan Ietak duduknya.

"Tetapi kalau kau memang tidak sedang mengantuk, kenapa kok diam saja seperti patung?" begitu dia mengusik perasaanku lagi.

"Apakah itu mengganggumu?" sekarang aku yang mulai mencari gara-gara. Aku mau diam seperti patung atau aku mau berteriak-teriak seperti orang mabuk, itu kan bukan urusannya.

"Tentu saja menggangguku. Di mana ada orang bisa duduk dengan enak dan senang kalau ternan seperjalanan satu-satunya cuma diam saja seperti arca betapapun indahnya arca itu!"

Aku ingin menanggapi perkataan Gatot dengan pedas, tetapi Iagi-lagi aku teringat pada rencanaku untuk bicara baik-baik padanya demi menyelamatkan Tina. Jadi kujawab perkataannya dengan kenyataan yang ada di sekelilingku saat ini.

"Aku diam saja karena sedang memikirkan kemacetan lalu lintas," sahutku kemudian. "Kulihat, jalan tol saja pun bisa macet total seperti itu."

"Itulah kota Jakarta dengan lalu lintasnya yang selalu ruwet." Tampaknya Gatot bisa menerima alasanku. Tatapannya langsung melayang ke arah tol di samping jalan yang kami lalui ini. "Dan sekaligus juga membuktikan bahwa kehidupan di Jakarta ini penuh dengan kesulitan. Tidak bisa diramalkan pula. Menyangka di sana atau di situ tidak macet, ternyata macet juga. Dan yang disangka akan mengalami kemacetan, jalannya malah agak longgar. Persis kehidupan manusia yang tidak bisa diramal."

"Ya."

"Kau merasa terganggu dengan kemacetan ini?" Hampir saja aku menjawab dengan perkataan yang bisa membuatnya merasa dongkol. Tapi lagi-lagi kuingat gencatan senjata sementara ini.

"Ya," akhirnya pertanyaannya tadi kujawab dengan sikap yang lebih manis.

"Bagaimana kalau kita berhenti di suatu tempat untuk minum sesuatu yang segar. Dan kalau kau mau, kita juga bisa makan sesuatu meskipun belum waktunya makan malam. Setuju?"

"Di mana kita bisa duduk minum atau makan?" sahutku sambil menatap ke arah kepadatan lalu lintas di sekitar kami. "Dengan menerbangkan mobilmu?"

"Jangan sinis. Di depan itu ada gang kecil yang menembus ke arab jalan raya Cikini. Kita makan di Taman Ismail Marzuki saja. Di sana ada ikan bakar Menado yang lumayan enak. Bagaimana?"

"Oke." Lagi-lagi aku terpaksa bersikap manis demi tugasku menyelamatkan Tina dari cengkerarman lelaki itu.

Tetapi ternyata tidak mudah mencapai gang yang di sebut Gatot tadi. Kendaraan lain tak mau di salip. Kendaraan lain tak ada yang mau mengalah sedikit pun untuk memberi kesempatan kami berbelok ke kiri. Memang, kami sudah telanjur berada di deretan agak tengah. Apa susahnya sih mereka membiarkan kami lewat, sebab tak banyak waktu yang kami curi dari mereka. Tetapi yah, itu memang ciri manusia kota Jakarta yang tidak begitu memedulikan kebutuhan orang lain. Maka, dengan apa boleh buat, mobil kami pun tergiring terus ke depan tanpa bisa berbelok ke kiri. Bahkan berbelok ke kanan pun sulit sehingga akhirnya Gatot mengusulkan rencana lain.

"Bagaimana kalau kita makan di Pasar Seni saja?"

"Pasar Seni di Ancol?" tanyaku menegaskan.

"Ya."

Aku tertegun. Ancol sering kali mendapat julukan sebagai tempat orang berpacaran. Tetapi mengapa Gatot mengusulkan makan di tempat itu padahal ada banyak tempat lain yang lebih netral.

"Bagaimana? Setuju?" kudengar Gatot bertanya lagi.

Semula aku bermaksud mengatakan keberatanku, tetapi tiba-tiba aku sadar bahwa tidak semua tempat di Ancol adalah tempat untuk berpacaran. Dunia Fantasi, misalnya. Atau Pasar Seni. Jadi kenapa aku harus menolak usulnya itu? Apalagi sambil makan di Pasar Seni dalam udara terbuka, aku bisa berbicara empat mata dengan lebih bebas. Jauh pula dari pendengaran orang lain. Jadi seandainya emosiku terkait atau meledak-Iedak, di sana suaraku tidak akan terlalu banyak menarik perhatian orang.

"Hai, kau belum juga menjawab usulku tadi," kudengar Gatot berkata lagi. Kini dengan nada tak sabar.

"Hmm, apakah tidak ada tempat lain yang lebih baik dan lebih dekat?" Aku masih mencoba mengulur waktu untuk berpikir lebih jauh.

"Ada. Dan banyak. Tetapi di Ancol kita bisa makan sambil menikmati udara laut yang segar. Coba kaulihat di sana itu, rembulan sedang bulat-bulatnya. Pasti nanti akan indah sekali pemandangannya."

Sekarang baru jam setengah enam petang, tetapi di kaki langit nun jauh di sana aku sempat melihat samar-samar rembulan mengintip di antara awan-awan setipis tirai sutra. Bentuknya yang bulat itu pasti akan tampak indah bercahaya malam nanti. Dipandang dari tepi laut pasti keindahannya akan semakin bertambah. Dan juga romantis. Tetapi bijaksanakah kalau kubiarkan Gatot membawaku ke sana?

"Tetapi, kita ini mau minum sambil menikmati cemilan ringan," sahutku kemudian. "Bukan mau menikmati pemandangan indah, kan?"

"Memang. Tetapi tidakkah kau merasa sayang menyia-nyiakan kesempatan untuk sedikit bersantai sambil memandang bulan pumama di tepi laut?"

Gatot menelengkan kepalanya. "Kurasa itu adalah suatu pilihan yang baik daripada terjebak kemacetan lalu lintas. Kalau kau setuju, aku akan berusaha putar balik lalu masuk tol yang ke arah Priok. Lalu lintasnya tidak sepadat yang lain."

"Oke kalau memang begitu alasannya." Aku mengalah demi mendapatkan kesempatan berbicara dengan Gatot, "Asal jangan terlalu lama di sana. Aku sudah ingin mandi, kemudian istirahat. Hari ini pekerjaanku di kantor bertumpuk."

"Kalau begitu kita akan langsung ke sana. Cepat pergi dan cepat pula pulang"

"Setuju sekali."

Lalu lintas ke arah utara memang tidak sepadat yang lain. Lalu lintas arah sebaliknyalah yang macet. Mereka yang bekerja di sekitar Tanjung Priok sedang pulang kembali ke kota. Hampir-hampir deretan kendaraan yang panjangnya berkilo-kilo meter itu tak bergerak, Maka di arah arus balik ini meskipun bukan berarti sangat mudah lalu lintasnya, mobil Gatot dapat menembus keramaian jalan raya dan kami pun semakin mendekati tujuan.

Hampir setengah tujuh ketika kami berdua duduk berhadapan di salah satu rumah makan di dalam Pasar Seni. Kami memilih duduk di luar. Orang yang lalu lalang di depan rumah makan tidak banyak. Malam baru mulai turun dan hari ini bukan hari libur. Di rumah makan itu hanya dua meja saja yang terisi tamu.

"Mau minum apa?" Gatot bertanya sambil menyerahkan daftar menu kepadaku.

Aku memilih minum es kelapa yang disediakan langsung dalam batoknya. Gatot meniru pilihanku itu.

"Makan sekalian, ya?" tanyanya ketika dia sudah menulis nama minuman yang kami pilih tadi. "Kalau masakannya matang kan sudah jam tujuh. Kita bisa menghemat waktu dan tenaga. Pulang ke rumah, mandi, dan langsung bisa beristirahat. Bagaimana?"

"Terserah. Tetapi perutku belum begitu lapar."

"Sate lontong saja ya, tidak begitu mengenyangkan. Mau?" Gatot bertanya lagi. "Atau mau yang lain? Mi bakso, misalnya."

"Aku mau sate lontong."

"Kambing atau ayam?"

"Ayam."

"Dua puluh tusuk?" Gatot menatap mataku. Entah kenapa, aku merasa melihat perasaan senang di matanya karena ia berhasil mengajakku makan malam. Atau, akukah yang terlalu ge-er?

"Sepuluh tusuk saja."

Setelah menyerahkan kertas pesanannya kepada pelayan rumah makan, Gatot menyandarkan punggungnya. Matanya menatap langit.

"Lihat itu, bulannya cantik sekali," katanya.

Aku mendongakkan kepalaku. Di balik kerimbunan pohon aku melihat cahaya rembulan yang keemasan. Memang cantik. Bulat penuh. Bulan purnama menunjuk tanggal lima belas pada penanggalan Jawa.

Tetapi aku tidak berniat untuk memberi komentar apa pun lagi karena mulai malas bicara. Pikiranku sedang berjalan, mencari dan menyusun strategi agar apa yang akan kukatakan kepada Gatot nanti bisa mengenai sasarannya secara tepat. Dia harus bisa mendengarkan perkataanku dan menerima semua alasan yang kukemukakan mengenai keberatanku atas hubungannya dengan Tina.

Dia harus memberiku penjelasan mengapa alasan-alasan keberatan yang kukatakan kepadanya waktu itu dia abaikan begitu saja, seolah kami tak pemah bicara apa pun. Oleh sebab itu, aku ingin agar usaha yang kedua ini jangan sampai mengalami nasib yang sama. Mungkin saja aku perlu memakai perkataan yang lebih halus dan bisa menyentuh perasaannya. Tidak dengan kata-kata pedas seperti waktu itu. Sedapat-dapatnya aku juga harus mampu mengendalikan emosiku.

Kuakui, pasti itu tidak akan mudah kulakukan.

Sebab jika berhadapan dengan Gatot, selalu saja aku ingin marah-marah kepadanya. Selalu saja aku ingin menyindirnya. Dan selalu saja pula aku bersikap mengambil jarak dan menolak keramahtamahannya. Bahkan beberapa kali aku ingin menampar wajahnya. Terlebih setiap aku teringat pada perbuatannya di dapur yang menurutku sangat kurang ajar, namun yang menurut Bapak cuma sebagai caranya mengakrabi calon kakak iparnya ini. Sulit rasanya menghapus ingatan bagaimana senyum kurang ajar yang mengandung nada kemenangan itu menghiasi bibirnya tatkala menatapku.

"Tumben!" tiba-tiba kudengar suara Gatot sehingga pikiranku kukembalikan pada realita yang ada di hadapanku.

"Apanya yang tumben?" Aku mulai waspada.

"Kau yang tumben, Biasanya, ada saja celaanmu terhadapku. Yang aku beginilah, Yang aku begitulah!"

"Aku sedang menyusun kata-kata," sahutku terus terang.

"Untuk ... "

"Untuk bicara dari hati ke hati denganmu." "Kenapa harus susah-susah disusun?" Gatot menatap mataku dengan pandangan menggoda. Tatapannya itu begitu tajam seolah menebus bola mataku. Aku yakin, ia sudah mempersiapkan diri untuk menangkis apa pun perkataan atau pertanyaan yang akan kulontarkan padanya.

"Oke, kalau begitu." Kuhentikan perkataanku sejenak karena pelayan datang membawa buah kelapa besar dan langsung meletakkannya di hadapan kami. Untuk menata hatiku, aku langsung mengisap airnya dengan sedotan. "Nah, seperti yang sudah kuminta kepadamu beberapa bulan yang lalu, tolonglah kaulepaskan Tina. Aku sama sekali tak menyetujui hubunganmu dengan adikku itu. Dia tidak cocok untukmu. Mengenai apa alasan-alasannya, kau pasti tahu, sebab aku sudah memaparkannya secara panjang-lebar waktu itu."

"Karena perbedaan usia yang banyak itu, kan?"

Gatot masih saja menatapku dengan tatapannya yang tajam. "Dan juga karena kau mengkhawatirkan studi adikmu, sebab dia seorang gadis yang cerdas dan berkemauan keras. Begitu, kan?"

"Syukurlah kalau masih ingat," kataku sambil menganggukkan kepala. "Bagus itu. Tetapi sekarang, ada alasan lain yang akan melengkapi alasan-alasan yang sudah kukatakan padamu itu, Alasan yang ini juga sangat penting!"

"Apa itu?" Gatot menelengkan kepalanya sambil memicingkan mata, menatapku dengan cara yang sangat kurang ajar. Tetapi aku tetap waspada. Sebab kelihatannya dia sengaja ingin membuat emosiku teraduk sehingga tak lagi mampu menyusun siasat untuk mengenyahkannya dari kehidupan adikku.

"Apakah kau tidak bisa menebaknya?" Kukembalikan pertanyaannya dengan sikap tenang yang berhasil kuperlihatkan. Dan kukendalikan pula kemarahan yang semula nyaris naik ke kepalaku. Aku tidak mau gagal lagi hanya karena emosiku yang meledak-ledak kalau berhadapan dengannya.

"Tentu saja tidak. Memangnya aku bisa meramal?" Pandang mata Gator yang berbinar-binar itu jelas sekali menunjukkan bahwa sesungguhnya dia sudah tahu apa yang kumaksud.

"Kalau kau memang tidak tahu, baiklah aku yang akan membuka matamu," kataku sambil menjaga nada suaraku. "Alasan baru tentang kenapa aku tidak merelakan Tina menjadi kekasihmu, apalagi sampai menjadi istrimu, karena aku sudah semakin mengenalmu Iebih jauh"

"Oh, ya? Wah aku jadi tersanjung karena ternyata kau sudah mengenalku dengan baik sekali." Gatot tersenyum-senyum kurang ajar.

Lagi-lagi aku tidak ingin membiarkan Gatot menguasai ernosiku. Jadi kuabaikan kekurang-ajarannya itu.

"Ya, aku memang sudah semakin mengenalmu. Bahwa temyata kau adalah seorang lelaki yang tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang sebaliknya. Juga tidak tahu mana-mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Bahkan juga tidak tahu memilah perkataan apa yang boleh diucapkan dan mana yang sebaiknya tak perlu diungkapkan!"

"Apakah perkataanmu itu ada kaitannya dengan peristiwa di dapur waktu itu?" laki-laki itu menatapku lagi dengan tatapannya yang sangat mengganggu dan yang bisa membuatku kehilangan ketenangan itu.

"Ya," terpaksa aku menjawab dengan sebenarnya, meskipun aku merasa malu. Bukankah waktu dia menciumi jemariku, ada sekian detik lamanya kubiarkan diriku terhanyut oleh perbuatannya itu?

"Ah, itu kan cuma canda biasa antara seorang calon adik ipar dengan calon kakak iparnya," sahut Gatot dengan santai "Hanya suatu tanda untuk memperlihatkan keakraban saja."

"Menurutku, itu bukan hal yang biasa. Ada banyak cara lain untuk memperlihatkan keakraban yang lebih baik dan lebih santun," aku memotong kata-katanya. "Sedangkan apa yang kaulakukan terhadapku itu sudah masuk dalam kategori kurang ajar. Bahkan seperti kelakuan laki-laki hidung belang!"

"Kau terlalu berlebihan menilaiku, Ambar!"

Gatot menelengkan kepalanya dengan cara yang sangat menyebalkan. "Begitu saja kok dibilang hidung belang?"

"Jadi benarlah apa yang kukatakan tadi, bahwa kau tidak bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk." Kali ini emosiku mulai tertarik. Aku nyaris tak mampu menahan diri. "Nyatanya, kau sering mengucapkan perkataan tak sopan yang biasa diucapkan oleh laki-laki mata keranjang. Tadi sore di kantorku misalnya, kau juga mengucapkan perkataan yang tak senonoh."

"Yang mana itu?"

"Bukankah kau tadi mengancam akan memeluk tubuhku yang katamu... indah kalau aku tidak mau ikut pulang bersamamu. Itu kan melecehkan?"

"Wah, cara pandang kita dalam hal ini berbeda. Memuji dan melecehkan itu kan sangat berbeda maknanya. Aku memang mengagumi bentuk tubuhmu yang indah itu. Apakah orang bersalah kalau memuji apa yang dikaguminya?" Gatot tersenyum manis dibuat-buat. "Tidak, kan?"

"Kau sungguh tak tahu malu!" suaraku mulai meninggi.

"Ssshhh ... ," Gatot memperingatkanku, Matanya melirik ke mana-mana sehingga aku mengikuti kelakuannya. Dan memang, ada dua kepala yang menoleh ke arahku sehingga cepat-cepat kusedot es kelapa mudaku lagi.

Melihatku tak berkutik lagi, Gatot melanjutkan bicaranya.

"Tahukah kau, Ambar, kalau kau marah begitu pipimu tampak kemerahan dan matamu berkilauan. Keduanya membentuk wajah yang luar biasa cantiknya," katanya. Aku melotot tanpa berani membentaknya. Takut kalau-kalau ada kepala yang menoleh lagi ke arahku. Tetapi tiba-tiba Gatot mengulurkan tangannya dan menggenggam lembut telapak tanganku.

"Sudahlah, jangan kita lanjutkan pembicaraan yang tak menyenangkan ini,'" katanya. "Tuh, makanannya sudah datang. Jangan sampai selera kita jadi rusak karenanya. Aku juga tidak ingin merusak malam yang indah ini."

"Tetapi aku harus mengatakan pendirianku dan kau harus mendengarkan perkataanku dengan pikiran terbuka," aku menyela dengan tegas dan memaksa.

Mendengar itu Gatot menatapku sesaat lamanya.

Kemudian kepalanya mengangguk lembut.

"Baiklah, kalau begitu. Tetapi tidak sekarang karena kita akan makan dulu," katanya kemudian sambil melepaskan tanganku dari genggaman tangannya.

Karena ucapannya beralasan, aku menurut. Maka kami segera menyantap makanan yang terhidang dengan membisu. Usai makan, Gatot langsung memanggil pelayan dan membayar apa yang telah kami pesan tadi. Kemudian dia berdiri. Tentu saja aku langsung protes.

"Katamu tadi kita akan berbicara setelah makan," kataku.

"Tetapi tidak di sini, Ambar!"

"Di mana?"

"Di mana sajalah asal tidak ada kepala yang menoleh berulang kali ke arah kita. Kau sangat emosional sehingga menarik perhatian orang," sahut Gatot. "Ayo, kita pergi."

Dalam hatiku aku membenarkan perkataan Gatot lagi. Jadi aku terpaksa ikut berdiri dan mengekor ke mana pun dia pergi asalkan kami bisa bicara dengan bebas. Kulirik, arlojiku menunjuk pukul setengah delapan kurang beberapa menit.

Sementara itu, kulihat pengunjung Pasar Seni sudah tampak lebih banyak daripada ketika kami baru datang tadi. Malam ini acara panggung terbuka di tengah Pasar Seni itu akan menyajikan musik rock yang banyak disukai oleh anak-anak muda. Tak heran kalau tempat itu mulai dipenuhi pengunjung.

'Ke mana kita?" tanyaku. Ketika itu kami berdua sudah berada di dalam mobilnya kembali.

"Tunggu saja dan bersabarlah," kata Gatot sambil membawa mobilnya keluar dari tempat parkir. "Pasti kau akan senang melihatnya sehingga emosimu yang mudah meledak-ledak itu bisa berkurang karenanya."

Aku meliriknya dengan perasaan sebal. Tetapi laki-Iaki itu mernbalas Iirikanku dengan senyum manis dan dengan gerakan kepala yang enak dipandang. Ah, jangan-jangan laki-laki itu tahu kalau dirinya menarik. Dan jangan-jangan pula dia tahu kalau aku terpesona oleh daya tariknya itu ..

Sialan. Sungguh sialan, Kenapa sih aku harus bertemu dengan makhlnk seperti ini? Kenapa dia harus jadi tetanggaku sehingga adikku jatuh cinta kepadanya. Ah, bikin masalah saja.

TIBA-TIBA Gatot membelokkan mobilnya ke arab pantai dan memarkirnya di bawah pohon ketapang yang Iebat daunnya.

"Kenapa kauhentikan mobilmu di tempat ini?" aku membentak. Aku tahu betul, di sepanjang pesisir pantai di daerah Ancol ini terkenal sebagai tempat anak-anak muda atau pasangan-pasangan yang sedang bercinta, memadu kasih mereka.

"Memangnya kenapa kalau kita berada di sini?"

Gatot memancing.

"Seperti kau tidak tahu saja ini tempat apa!" bentakku lagi.

"Aku tahu. Tetapi kau juga perlu tahu bahwa tempat ini bukan melulu hanya untuk bercinta-cintaan saja. Ada banyak orang yang datang kemari untuk menikmati pemandangan. Dan juga ada banyak pasangan yang datang kemari untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan lebih tenang karena tidak ada mata dan telinga lain yang ikut mendengar! "

Apa yang dikatakan oleh Gatot juga kuketahui.

Dia benar. Tetapi aku tak mau mengakui itu.

"Tetapi bagimu pasti tempat ini hanya untuk pacaran," semburku. "Dan pasti pula kau pernah mengajak adikku yang masih polos itu ke sini. Akuilah!"

"Kau salah. Aku tak pernah membawa gadis-gadis terhormat kemari!"

Pasti Gatot menyangka jawaban itu akan melegakan hatiku. Tetapi dia keliru, Justru sebaliknya, dari jawaban itu terkandung pengertian bahwa dia sering datang kemari dengan perempuan-perempuan lain yang tidak tergolong "terhormat" seperti yang dikatakannya itu. Tentu saja aku tersinggung.

"Dengan kata lain, aku ini bukan gadis terhormat maka kau bawa kemari!" untuk ketiga kalinya aku membentaknya. "Dan berarti pula, kau sudah sering kemari bersama gadis lain. Dan itu membuktikan bahwa kau memang laki-laki yang tak bisa dipercaya. Mata keranjang dan tak setia!"

"Wah, keliru bicara sedikit saja sudah panjang betul penilalan negatifmu!" Gatot mengeluh. "Apa yang kukatakan tadi sama sekali berbeda maksudnya dari apa yang kaukatakan barusan. Percayalah."

"Bohong kalau kau belum pernah ke sini!"

"Aku tadi tidak mengatakan bahwa aku belum pernah ke sini, lho. Sebab sebenarnya aku memang pernah sekali atau dua kali datang ke sini bersama pacarku dulu. Itu pun bukan untuk berpacaran, tetapi untuk membicarakan persoalan yang meretakkan hubungan kami. Dan bahkan akhirnya juga menelorkan perpisahan kami karena tidak ada titik temu," Gatot menjawab perkataanku dengan suara yang meyakinkan. "Percayalah, aku tidak mengada-ada."

Mendengar kesungguhan bicaranya, aku mulai mempercayainya. Memang tempat ini cocok untuk berpacaran maupun untuk membicarakan masalah-masalah pribadi tanpa terganggu orang. Juga tidak mengganggu orang lain pula.

"Baiklah kalau begitu," akhirnya aku mampu juga melihat kenyataan. "Kita akan bicara empat mata di sini. Tetapi tolong turunkan kaca jendela mobilmu ini."

"Oke." Gatot menurut. Tangannya meraba tombol di sampingnya dan kaca jendela di sebelah kiriku, maupun di sebelah kanan, turun. Dengan seketika angin laut yang segar rnenyerbu masuk. Maka perhatianku pun terseret keluar. Dan baru saat itu kusadari betapa indahnya malam itu. Langit bersih tanpa sepotong awan pun. Dan rembulan yang tampak bulat penuh dengan segala kemegahannya itu menyiramkan cahayanya yang keperakan ke seluruh permukaan bumi, membangkitkan suasana yang menyentuh perasaan.

Sementara itu kulihat air laut yang sedang pasang, bergelora pelan dan berkilauan memantulkan sinar rembulan, seolah menyiratkan perasaan para pasangan kekasih yang berpelukan di atas bangku beton nun di sebelah sana itu. Motor mereka ikut menjadi saksi bisu, apa pun yang sedang mereka bicarakan atau ikrarkan.

Barangkali Gatot juga merasakan keindahan yang sama. Ia bergumam lembut sambil menatap ke arab rembulan yang sedang cantik-cantiknya itu.

"Indab sekali ciptaan Tuhan itu," gumamnya.

"Meskipun keindahan seperti itu tersaji setiap bulan purnama, aku tak pernah bosan mengaguminya."

Aku diam saja, tak ingin memberi komentar.

Tetapi ia pasti tahu bahwa aku membenarkan perkataannya. .

Tiba-tiba Gatot memindahkan tatapannya ke arahku.

"Dari ucapanmu tadi tentang tempat ini, aku berkesimpulan bahwa kau pernah datang kemari bersama seseorang," katanya kemudian.

"Pernah atau tidak, itu bukan urusanmu!" aku memotong kata-kata Gatot. "Dan aku harap perkataan seperti itu tidak pernah lagi kauucapkan di hadapanku. Aku akan marah sekali dan kau tak akan kumaafkan karenanya."

"Kenapa? Apakah pertanyaanku tadi telah mengingatkan kembali kenangan indahmu bersama si dia?" Gatot bertanya lagi. Wajahnya menampilkan air muka tak berdosa yang rnembuatku ingin menamparnya.

Sungguh keterlaluan lelaki itu. Berani-beraninya dia membicarakan seuatu yang paling menyakitkan dalam hidupku. Sebab sesungguhnya ketika melihat kilau air laut yang bergelora di depanku itu, ingatanku sempat singgah ke masa Ialuku yang pahit.

Sebelum hubunganku dengan Bram putus, pemuda itu mengajakku ke Ancol untuk mengagumi bulan purnama.

"Di sana, bulan purnama tampak lebih indab karena tidak terhalang benda-benda lain seperti rumah dan pepohonan. Juga tidak terganggu suara-suara lainnya. Yang ada hanyalah nyanyian angin laut dan gemerisiknya dedaunan di sekitar kita yang seolah mendendangkan lagu malam yang misterius letapi indah dan manis dicecap," begitu Bram berkata waktu itu.

Maka kami pun pergi ke Ancol berduaan. Dan di situlah, kira-kira sepelemparan batu dari tempatku duduk bersama Gatot ini, Bram menciumku berulang kali dengan mesra. Aku membiarkannya karena saat itu aku merasa kami berdua saling mencintai. Tetapi ketika ia mulai berani dan meraba pahaku dan dadaku, tangannya kutepis kuat-kuat.

"Apa-apaan sih, Brarn!" bentakku. "Jangan biarkan nafsu menguasaimu!"

"Ini bukan nafsu, Sayang. Ini cinta," desah Bram dengan suara menggeletar. "Cinta membutuhkan perealisasian secara konkret, Ambar. Ayolah, untuk kali ini saja."

Lelaki itu terus saja mendesakkan tubuhnya sampai aku terpojok ke pintu mobiL Dan tangannya mulai lagi menyingkap gaunku. Tetapi seperti tadi.

Segera kutepis kuat-kuat. Aku tidak suka perlakuannya yang sudah melewati batas itu. Sejak awal remajaku aku dibekali nilai-uilai mengenai keutamaan yang menyangkut hubungan antara laki-laki dan perempuan oleh orangtuaku.

"Sayang, hargailah dirimu dan hargai pula tubuhmu sendiril" begitu Ibu dan Bapak berulang kali menasihati semua anak. "Maka orang lain pun akan menghargaimu."

Perkataan-perkataan semacam itu yang kemudian terinternalisasi dalam diriku dan menyebabkan aku menjaga makna keluhuran cinta di atas kebutuhan-kebutuhan biologis. Orang yang tak mampu mengendalikan diri biasanya tak bisa dipercaya.

Ketika permintaan Bram kutolak, lelaki itu marah-rnarah.

"Cintamu kepadaku cuma ada di bibir saja," katanya. "Kau juga tidak menaruh rasa percaya kepada kekasihmu sendiri."

"Caramu menilai cinta tidak tepat, Bram. Apa jadinya para muda-mudi kita kalau menganggap hubungan intim sebagai bagian dari percintaan," sahutku dengan perasaan sedih. Kenapa Bram berpikir sependek itu?

"Bram, perealisasian cinta yang tepat hanya bisa terjadi dalam suatu pernikahan. Sedangkan kita berdua, bertunangan saja belum. Jadi hindarilah perbuatan yang bisa menurunkan kesucian cinta..kita."

"Kau itu puritan, idealis!" Bram memuntahkan kekecewaannya dengan menghinaku. "Sok jual mahal. Tinggi hati. Padahal aku ini kekasihmu, pacarmu yang sangat mencintaimu. Masa aku ingin menunjukkan cinta saja kau tolak sih!"

Aku diam saja, tetapi air mata menetes membasahi pipiku. Untung angin laut cepat mengeringkannya. Sambil menatap rembulan aku bertanya sendiri, apakah seperti itu yang namanya cinta.

"Ambar, kenapa kau menolakku?" Kudengar suara Bram yang masih saja menuntut. "Tidak cinta lagikah kau padaku?"

"Aku mencintaimu. Bahwa aku menolakmu, itu tak ada kaitannya dengan perasaan cinta. Aku masih perawan, Bram. Justru karena aku menghargaimulah maka aku ingin kau tidak bertindak terlalu jauh, Sebab keperawanan itulah yang akan kuberikan padamu di malam pertama perkawinan kita kelak. Maka begitu juga yang kuinginkan darimu. Kauberikan keperjakaanmu padaku di saat yang tepat."

"Ah, gombal cinta idealismu itu!"

Karena percuma saja bicara dengan Bram tentang prinsip hidup yang kuanut, aku segera memintanya untuk mengantarkanku kembali ke rumah. Aku tidak ingin berlama-Iama di Ancol betapapun indahnya pemandangan alam waktu itu. Tetapi seminggu sesudah itu, aku datang ke tempat kosnya. Tujuanku, ingin menjelaskan sekali lagi tentang pendirianku sambil berharap kemarahannya telah surut dan kemudian dia bisa mernahamiku. Sebab sungguh tidak enak membiarkan hubungan kami terkatung-katung.

Selama satu minggu itu satu kali pun dia tidak pernah meneleponku. Padahal biasanya paling sedikit satu kali dia menelepon meski hanya untuk menyapaku saja.

Di tempat kosnya itulah aku melihat Bram tengah berkasih mesra dengan Nina, sahabatku sendir. Saat menyaksikan pemandangan itu aku merasa langit seperti sedang runtuh menimpaku. Dua orang terdekatku telah mengkhianatiku hanya karena aku telah menolak hubungan badan yang dibutuhkan Bram. Sakit sekali rasanya. Maka apa pun alasan mereka mengenai kejadian itu, telingaku kututup rapat-rapat. Mereka telah melanggar bukan saja kepercayaan yang kuberikan tetapi juga telah menginjak-injak prinsip hidupku. Tak ada maafku bagi mereka. Hubungan kami harus putus.

Namun dalam keadaan patah hati, aku masih sempat mensyukuri keteguhan hatiku karena tidak membiarkan diriku terlena oleh cinta nafsu Bram. Tak ada kenangan kotor yang terjadi di antara kami berdua. Aku masih bisa berjalan dengan kepala tegak bahwa Bram tak berhasil merenggut salah satu milikku yang berharga.

Sesudah kejadian itu, lama sekali aku tenggelam di dalam kepahitan dan keputusasaan. Acapkali aku menyesali perkenalanku dengan Bram. Kusesali pula masa laluku bersamanya. Acapkali pula aku bertanya-tanya sendiri kenapa aku bisa jatuh cinta setengah mati kepada lelaki seperti Bram. Kenapa aku begitu mempercayai Nina, sahabat baikku itu. Dan kenapa pula aku tidak tahu sebelumnya tentang tipisnya arti kesetiaan bagi kedua orang itu. Terutama, kusesali diriku kenapa aku pernah membiarkan Bram memeluk dan mengotori bibirku dengan ciumannya yang penuh nafsu. Kalau saja aku tahu siapa Bram dan siapa Nina, pasti tidak akan begini jalan cerita hidupku. Setelah itu, aku tak lagi mau bergaul akrab dengan laki-Iaki. Aku juga tak berani lagi menjalin keakraban dengan teman-teman perempuanku. Di dalam pergaulan aku harus bersikap hati-hati, sebab sangat menyakitkan dikhianati kekasih dan sahabat sendiri.

Karena teringat kembali kepahitan-kepahitan yang pernah kutelan itulah maka aku jadi marah sekali sewaktu Gatot menyinggung tentang masa laluku itu.

"Kau jangan menggangguku," semburku padanya.

"Kita kemari tidak untuk menyinggung masalah pribadiku!"

"Kenapa sih kau mudah sekali tersinggung?"

Gatot memandangku dengan dahi berkerut, "Apa itu ada kaitannya dengan perasaan tak suka melihatku berpacaran dengan Tina?"

"Itu jelas!"

"Kau berpikir seolah Tina akan menderita kalau hidup bersamaku."

"Itu juga jelas karena mudah sekali ditebak!"

Aku mengerucutkan bibirku. "Tina pasti akan menderita hidup bersamamu."

"Kau terlalu memandang rendah cinta kami."

"Cintamu kepadanya memang rendah. Karenanya patut dipertanyakan. Aku bicara kasar begini karena aku memiliki suatu keyakinan yang kudapat bukan saja dari pengenalanku atas dirirnu, tetapi juga dari firasatku yang tajam!"

"Dan dengan alasan-alasan yang pernah kaukatakan padaku itu, kan?"

"Ya. Aku bahkan ingin membuat spanduk dengan tulisan besar-besar berisi kelima alasanku itu untuk dipasang di kamarrnu agar setiap kau membacanya seketika itu pula muncul kesadaranmu bahwa kau dan Tina tidak cocok!"

"Kalau melihat bagaimana kau ngotot ingin memisahkan aku dengan Tina, rasanya aku menangkap ada alasan lain yang belum kaukatakan ... "

"Menurutmu, karena aku takut dilangkahi adikku, kan?" aku memotong perkataan Gatot yang belum selesai. "Kau salah kalau mengira begitu. Kau belum kenal siapa aku. Bagiku hal-hal kecil seperti itu bukan masalah."

"Kau juga salah. Bukan itu yang kumaksud!"

"Lalu apa kalau begitu. Kau jangan mengada-ada!" Aku berbasil memasukkan nada ancaman ke dalam suaraku.

"Lho, justru akulah yang ingin mengetahui apa yang masih tersembunyi di dalam hatimu. Kenapa kau begitu getol menghalangi percintaanku dengan Tina sampai-sampai Pak Joko sengaja datang ke rumahku untuk membicarakan kejadian memalukan yang katanya dialami oleh putri sulung kesayangannya di dapur rumahnya sendiri."

"Jangan menyebut peristiwa itu lagi," gerutuku.

"Dan jangan mengira aku telah menyembunyikan sesuatu darimu. Sebab yang paling pokok adalah aku tidak menyetujui hubunganmu dengan Tina. Percayalah, kalau hubungan kalian tetap dilanjutkan tak akan baik jadinya. Ia terlalu muda untuk mampu menerima seorang suami yang mata keranjang dan tak kenal apa arti kesetiaan serta ... "

Sebelum perkataanku selesai, lenganku disentak oleb Gatot sehingga tubuhku oleng dan nyaris membentur bahunya.

"Jangan menghinaku, Ambar!" ia mendesis di sisi kepalaku.

"Apa yang kukatakan itu bukan penghinaan," aku juga mendesis. "Ini suatu kenyataan. Kau memang tidak bisa bersikap santun terhadap perempuan. Buktinya, enak saja kaurenggut tanganku. Bukankah itu kelakuan yang kasar.. tidak sopan, dan bahkan juga kurang ajar?"

Gatot menanggapi perkataanku dengan menarik Iebih dekat lenganku sehingga kepalaku terantuk tubuhnya. Sebagian pada pangkal bahunya dan sebagian ke bagian dadanya yang bidang. Sedemikian dekatnya tubuh kami sehingga hidungku langsung saja menyentuh aroma yang dipercayai masyarakat umum sebagai aroma segar maskulin. Tetapi yang membuatku merasa sangat tak enak adalah karena aku tak menduga debur darah di jantungku bisa bergerak lebib cepat hanya karena kedekatan fisikku dengan Gatot. Aku sampai ketakutan pada diriku sendiri karena apa yang kualami ini benar-benar di luar kebiasaan, "Lepaskan tanganmu," gumamku dengan perasaan bingung. Sungguh mati, aku tak menyangka diriku bisa terpengaruh sedemikian rupa oleh kedekatan fisikku dengan laki-laki yang kubenci itu.

"Baik, akan kulepaskan. Tetapi katakan lebih dulu bahwa penilaianmu terhadapku itu keliru. Bahwa sesunggubnya aku pantas menjadi calon adik iparmu!"

"Memangnya aku ini apa?" Aku melotot "Aku bukan orang yang mudah dibujuk, Sekali aku menilaimu kurang ajar atau mata keranjang, untuk selanjutnya penilaian itu tidak akan berubah. Sebab aku menilai bukan hanya dari apa yang kulihat dan kudengar saja, tetapi juga dari apa yang kualami sendiri. Paham?"

"Kalau memang begitu penilaianmu, ada baiknya kalau kulakukan saja. Kau tahu kan peribahasa lama 'kepalang basah, mandi sekalian'. Jadi kalaupun aku mengalami kerugian, masih ada sisanya yang berharga," sahut Gatot menanggapi perkataanku tadi.

"Apa maksudmu?" Aku melotot lagi. "Ini maksudku!"

Sebelum aku tahu apa maksud kata-katanya dan sebelum otakku bekerja untuk menebak maksud ucapannya, tiba-tiba saja Gatot sudah merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Dan sebelum hilang rasa kagetku atas perbuatannya yang tidak aku sangka-sangka itu, bibirnya telah mengecup bibirku dengan penuh nafsu.

Aku tersentak seperti tersengat listrik. Seandainya bumi tiba-tiba kiamat, barangkali rasa kagetku tidaklah seperti ketika tiba-tiba kusadari aku telah membiarkan diriku berada di dalam pelukan lengannya yang erat dan kecupan bibirnya yang sedemikian hangat. Sedemikian kagetnya sampai aku tak mampu berpikir apa pun lagi kecuali merasakan betapa ciuman-ciumannya itu penuh penguasaan dan sangat mesra.

Aku sering berciuman dengan Bram. Tetapi tidak pernah sekali pun aku terseret arus perasaan sedemikian rupa seperti yang sedang kurasakan. Lelaki itu memeluk erat tubuhku seolah aku - ini miliknya yang paling berharga. Lelaki itu mengelusi bahu, rambut, dan punggungku seolah aku ini kekasih yang amat dicintainya. Tubuhku sampai menggigil karenanya. Jantungku bertalu-talu sampai kepalaku mau pecah rasanya.

Yang lebih gila dari itu, Gatot bukan saja mengeIusi punggung dan rambutku saja, tetapi dia juga menaikkan daguku dengan jemarinya agar wajahku tertengadah menghadap ke arahnya. Dan kemudian dengan bibirnya yang hangat itu ia mengecupi leher di bawah daguku sehingga gigilan tubuhku semakin menjadi-jadi. Belum pernah aku diperlakukan seintim itu tapi tanpa kekurangajaran. Aku jadi teringat lagi pada Bram, sesudah dia menciumiku dengan penuh nafsu, tangannya langsung saja menyusup ke dada dan ke permukaan pahaku sehingga saat itu juga ia kutepis karena merasa jijik.

Tidak demikian halnya dengan Gatot. Meskipun kunilai dia sebagai laki-laki kurang ajar, tetapi ketika aku sudah berada di dalam penguasaannya tangannya tidak bergerak nakal seperti Bram. Memang Gatot menciumi bibirku dengan agresif, juga pipi, rambut, dagu, dan leherku. Tetapi tangannya hanya mengelusi kuduk dan bahu di bagian belakang tubuhku. Dan terlepas dari masalah itu, aku benar-benar heran pada diriku sendiri karena perlakuan rnesra itu kubiarkan begitu saja. Tidak ada rasa jijik apa pun. Padahal sebenarnya kalau menuruti otakku, aku harus merenggutkan tubuhku dari pelukan Gatot dan kemudian menampar wajahnya kuat-kuat.

Tetapi tidak. Aku diam saja dan menikmati sensasi-sensasi yang ditimbulkan oleh perlakuan Gatot saat itu. Bahkan ketika berulang kali Gator mengeratkan pelukannya dan membuatku begitu dekat dalam dekapannya, tanganku begitu saja terulur dan melingkar di lehernya.

Entah berapa lama kami berpagut dan berciuman seperti itu, aku tidak tahu. Aku benar-benar terlena. Aku sadar ketika kemudian telingaku mendengar suara motor di sebelah depan sana. Saat itulah aku tersentak dan menyadari kenyataan yang sedang kualami.

Kudorong dada Gatot dan kurenggutkan tubuhku dari pelukan lengannya sehingga tubuh kami berdua merenggang. Setelah itu cepat-cepat pula aku menggeser tubuhku menjauhi laki-laki itu sampai merapat ke pintu mobil. Kutenangkan debur jantungku yang masih saja bergerak tak beraturan. Kubenahi pakaianku yang kusut dan kurapikan rambutku dengan jemari tanganku yang gemetar. Kemudian cepat-cepat kulemparkan pandang mataku ke arah rembulan yang kelihatannya semakin cantik dan ke arah laut yang semakin bergelora seperti perasaanku saat ini.

Sungguh mati, aku merasa sangat malu. Bukan saja malu kepada Gatot, tetapi terutama kepada diriku sendiri dan kepada alam semesta yang telah menyaksikan perbuatanku dengan Gatot barusan. Kenapa aku bisa sampai Iupa diri, lupa tempat, dan lupa pada sopan santun yang selama ini menjadi pakaianku sehari-hari, seolah aku tidak kenal nilai-nilai moral. Betul-betul sangat keterlaluan. Dan betul-betul tak kusangka sama sekali. Padahal ketika Bram menciumiku dan memintaku untuk melakukan sesuatu di tempat ini hampir dua tahun yang lalu, kepalaku rnasih begitu sehat dan mampu menolak kemauannya dengan sikap yang amat tegas. Bahkan sampai-sampai menyebabkan hubungan kami putus karenanya. Padahal pula, aku mencintai laki-laki itu. Tetapi Gatot?

Sakit dadaku memikirkan kenyataan yang baru saja terjadi itu. Apalagi tatkala kuingat lelaki yang baru saja memesraiku itu adalah kekasih adikku sendiri. Sungguh, betapa menyesalnya aku. Ke manakah ajaran-ajaran moral yang sering kali dimasukkan ibuku agar aku menjadi orang yang berakhlak dan berkepribadian tinggi? Padahal, aku paling setia memegang ajaran-ajaran budi pekerti yang diberikan orangtuaku. Padahal pula aku sendiri telah menentang mati-matian hubungan Gatot dengan Tina karena menurutku dia bukan laki-laki  yang baik. Dia juga dia bukan laki-laki yang bisa dipcrcaya. Tetapi ternyata sekarang aku sendiri malahan membiarkan diriku dipeluk, dicium, dan dibelai-belai dengan mesra oleh Iaki-laki yang menurut otakku tidak perlu diperhitungkan itu.

Merasa putus asa, kulampiaskan frustrasiku kepada Ielaki yang telah membuatku terbuai dan tenggelam dalam suasana yang memalukan tadi.

"Kau ... kau telah menghinaku, akhirnya dengan suara serak dan bergelombang aku mampu berkata-kata.

"Tidak. Sama sekali aku tidak menghinamu!" kudengar suara Gatot begitu pelan dan lembut. Entah apa yang ada di kepalanya, aku tidak bisa menebaknya.

"Ya. Kau telah menghinaku. Kauperlakukan diriku seperti perempuan murahan yang kauambil dari pinggir jalan .... " Suaraku yang semula begitu keras, semakin pelan dan bergelombang. "Aku benci kepadamu .... "

"Sudah kukatakan padamu tadi, sama sekali aku tidak menghinamu!" Suaranya yang tadi begitu lembut dan pelan, berubah menjadi keras.

"Kalau memang begitu, kenapa kaucium aku .... dengan cara seolah ... aku ini kekasihmu. Itu sungguh sangat keterlaluan dan seharusnya tidak boleh terjadi." Setetes air mata meluncur turun ke pipiku dan kuhapus dengan diam-diarn agar Gatot tidak melihatnya. "Bukankah kau kekasih adikku dan aku menentang hubungan itu? Rasanya ... rasanya ... aku begitu murah. Menentang hubungan kalian, tetapi kubiarkan kau menciumku. Aku ... aku semakin benci padamu!"

"Ambar, aku benar-benar khilaf tadi. Suasana malam yang indah dan romantis itu mempengaruhi diriku. Meliharmu dan merasakan betapa dekatnya dirimu dan betapa pula cantik dan menawannya wajahmu yang tersirami cahaya rembulan itu, aku ... aku tak mampu lagi menahan diriku. Lupa sama sekali siapa dirimu."

"Itu karena pada dasarnya kau memang mata keranjang!" Aku melampiaskan kemarahanku lagi dengan membentak-bentaknya. "Dan hidung belang. Sekarang, semakin yakin saja aku pada penilaianku itu."

"Aku bukan ... "

"Diam!" aku membentak lagi. "Kau harus menebus kesalahanmu malam ini dengan suatu keharusan. Yaitu, segera putuskan hubunganmu dengan Tina."

"Aku tidak akan melepaskan dia," Gatot menjawab dengan suara pasti yang terasa menyakitkan telingaku.

"Kau harus!"

"Tidak, Ambar. Aku tak akan melepaskannya."

''Tidak malukah kau kepada dirimu sendiri?"

Suaraku semakin meninggi. Dan kupelototi dia dengan mataku yang masih basah. "Tidak berbunyikah suara hati nuranimu itu?"

''Tidak. Kenapa mesti malu pada diriku sendiri?"

"Kau benar-benar sudah rusak parah!" Aku megap-megap menahan perasaan putus asa yang semakin menjadi-jadi. "Aku membencimu, Gatot. Aku akan mengadukan peristiwa tadi kepada Tina. Semakin cepat dia mengetahui siapa dirimu, semakin baik buat dial"

Gator menoleh ke arahku dan menatapku dengan pandangan menyelidik.

"Kau sanggup mengatakan hal itu kepadanya?" tanyanya dengan suara rnengandung rasa ingin tahu yang pekat. .

Aku tertegun. Tina seorang gadis yang lincab, periang, dan selalu memandang dunia ini dengan dua warna .. Hitam dan putih. Bagaimanakah perasaannya kalau aku menceritakan kelakuan kekasihnya terhadap diriku? Tidakkah hatinya akan terluka? Tidakkah hatinya akan tercabik-cabik dan kelincahannya menghilang? Ah, aku tidak tega mengurangi keceriaan masa remajanya.

"Beranikah kau mengatakan apa yang terjadi tadi kepadanya?" Gatot mengulangi pertanyaannya.

"Kenapa tidak berani?" aku berdusta. "Kurasa justru akan baik jadinya kalau mulai sekarang dia bisa melihat dirimu dengan kacamata lain, kacamata transparan yang tidak tertutup oleh hal-hal lain."

"Akan kita lihat nanti." Gatot menyandarkan punggungnya ke jok mobil. "Aku ingin tahu apa reaksinya!"

"Kau betul-betul laki-laki yang tidak tahu malu dan menjijikkan!" aku menyembur marah. "Nah, sekarang nyalakan mesin mobilmu dan segeralah pergi dari tempat ini. Aku muak.!"

"Jadi pembicaraan kita telah selesai?"

"Untuk apa lagi dibicarakan?" Aku mendengus.

"Sudah jelas, aku dan pasti juga keluargaku akan melarangmu masuk ke rumah kami kalau peristiwa malam ini kuceritakan kepada mereka!"

Gatot tidak menjawab. Tetapi tubulmya juga tidak bergerak barang sedikit pun sehingga untuk kesekian kalinya aku membentak dia lagi.

"Jangan diam begitu saja," teriakku. "Cepat nyalakan mesin mobilmu, lalu segera bawa aku pulang!"

Gatot melirikku sesaat lamanya, kemudian tangannya memutar kunci mobil dan menuruti permintaanku. Tanpa berkata apa pun, dia membawa mobilnya menjauh dan pantai. Dan tak lama kemudian ia telah mengarahkan mobil barunya itu ke arah pintu gerbang, keluar dari daerah Ancol.

Di sepanjang perjalanan, aku diam saja. Begitupun Gatot, sehingga ingin sekali aku cepat-cepat tiba di rumah untuk melupakan semua hal yang baru saja terjadi tadi. Tak akan kubiarkan peristiwa itu masuk ke dalam kenanganku. Dan tak akan kubiarkan peristiwa semacam itu terjadi lagi.

Selama berhari-hari sesudah malam itu aku amat sibuk dengan pikiranku sendiri sebab keadaan seperti ini tak boleh dibiarkan berlarut-laru. Aku harus menjauhkan diriku dari Gatot. Dan aku juga harus bisa menjauhkan Tina dari laki-Iaki itu. Daya tariknya terlalu kuat. Malahan sampai-sampai aku pernah mempunyai pikiran tak waras dan tak masuk akal, yaitu bahwa Gatot pasti mempunyai ilmu pelet. Ilmu yang mampu meraih perhatian kaum perempuan dan membuat mereka bertekuk lutut, menyerah dalam pesonanya.

Tetapi yang paling membuat diriku resah adalah konflik batin yang kurasakan terhadap Tina belakangan ini, Di satu pihak, aku merasa telah mengkhianatinya karena telah membiarkan Gatot memesraiku. Di lain pihak aku ingin menceritakan peristiwa memalukan di Ancol waktu itu, untuk menjauhkannya dari laki-laki yang tak kenal arti kesetiaan itu. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara yang paling tepat untuk membuka mata Tina agar adikku itu tidak kaget ketika mengetahui seperti apa sebenarnya lelaki yang katanya ia cintai setengah mati itu.

Ketika pada suatu malam Tina masuk ke dalam kamarku untuk meminjam salah satu blusku, kupakai kesempatan itu untuk sedikit berbicara dengannya. Siapa tahu aku mempunyai kesempatan juga untuk menjauhkannya dari Gatot.

"Tina, bolehkah aku mengetahui sesuatu tentang dirimu?" tanyaku membuka pembicaraan.

Aku benar-benar ingin tahu seperti apa hubungan mereka berdua saat ini. Sebab menurut pikiranku, kalau Gatot seorang laki-laki yang baik pastilah dia mempunyai rasa bersalah atau sedikitnya merasa malu kepada dirinya sendiri atas apa yang terjadi di Ancol waktu itu. Dan pasti pula ada sesuatu yang ia lakukan untuk mengurangi beban rasa bersalah itu terhadap Tina. Lebih memanjakan gadis itu, misalnya.

"Kenapa tidak?" si lincah itu menjawab sambil mematut-matut blusku ke atas dadanya. "Tentang apa sih?"

"Tentang dirimu dengan Gatot," jawabku dengan sikap hati-hati, "Bagaimana hubungan kalian belakangan ini?"

Seperti yang sudah kuduga, pertanyaan itu menimbulkan rasa heran pada Tina. Ia menatapku penuh rasa ingin tahu.

"Tumben pertanyaan itu kaulontarkan kepadaku, Mbak.. Ada alasan tertentu?" ia balik bertanya.

"Lho, memangnya aku tidak boleh bertanya seperti itu?" Aku pura-pura tak acuh dengan cara menyibukkan diri mencarikan blus yang kira-kira pantas dipakai olehnya.

"Boleh sih, tetapi kok tumben kau menunjukkan kepedulianmu terhadap hubungan kami. Biasanya kalau bukan sikap acuh tak acuh dan masa bodoh yang kauperlihatkan, sikapmu menunjukkan penentangan atas hubungan kami berdua," sahut Tina dengan pandangan bertanya. "Ada kemajuan?"

"Terus terang, tidak. Pendirianku tetap seperti semula, tidak setuju kau menikah dengan laki-laki yang empat belas tahun lebih tua. Dan itu berkaitan dengan masa depanmu, Tina. Aku tidak ingin melihatmu menyesal di kemudian hari. Makanya aku ingin tahu perkembangan hubunganmu dengan Gatot belakangan ini."

"Mbak, sudah kukatakan berkali-kali bahwa kau terlalu berlebihan mencemaskan diriku. Aku sudah bukan anak kecil lagi, lho. Aku ini gadis yang sudah dewasa!"

"Aku tahu, Tina. Tetapi umur delapan bela masih terlalu muda untuk memikirkan kehidupan rumah tangga. Jangan sia-siakan masa mudamu, Aku sangat menyayangimu, Tina."

"Menyia-nyiakan masa muda dalam hal apa, Mbak?"

"Dalam hal kehidupan pribadimu sebagai seorang individu. Saat ini kalau kau ditanya siapa dirimu, pasti kaukaitkan eksistensimu pada keluarga dan pada statusmu di dalam masyarakat. Maka selain menyebut nama, pasti kau akan menjawab bahwa dirimu adalah anak ketiga keluarga Joko Pribadi. Bahwa kau baru lulus SMU dan sekitar itulah."

"Apa sih maksudmu, Mbak?" Tina memotong perkataanku.

"Maksudku, kalau kau menikah muda maka kau akan kehilangan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirimu sebagai seorang individu atau seorang subyek otonom yang tidak terkait dengan status atau peranmu di masyarakat. Artinya, kau bukan hanya sekadar sebagai seorang istri, pendamping suami, atau ibu dari anak-anakmu saja. Dan kau bukan hanya milik mereka saja, tetapi juga milik dirimu sendiri yang tahu apa maumu, mampu mengambil sikap dan pilihan-pilihan yang tidak serba didikte oleh masyarakat, oleh individu mana pun atau oleh keharusan ini-itu yang dibuat oleh budaya atau lainnya. Di sini yang bermain adalah kehendak bebasmu dengan seluruh tanggungjawabnya."

Mendengar perkataanku, Tina tercenung beberapa saat lamanya. Aku tahu, dia sedang mencerna apa yang keluar dari mulutku.

"Bagaimana kalau pilihanku memang ingin menikah?" tanyanya lama kemudian.

"Asalkan itu benar keluar dari hatimu yang murni, yah, aku mau bilang apa? Tetapi kalau pilihan itu kauambil karena membayangkan akan hidup berdua saja dengan kekasih, atau apa sajalah yang serba manis dan indah dalam lautan madu cinta, aku merasa wajib untuk menyadarkanmu agar tak mabuk kepayang .... "

Suaraku terhenti oleh tawa Tina yang renyah.

Gadis itu merasa geli mendengar kata-kataku.

"Bisa-bisanya kau memilih kata-kata antik," komentarnya.

"Hush." Aku tersenyum. "Aku cuma mau mengatakan padamu, bahwa menjadi seseorang adalah menjadi pribadi yang mandiri. Yang mempunyai cita-cita ke masa depan yang mampu menentukan dirinya sendiri, yang mampu memberi makna hidupnya, yang tidak membiarkan diri tenggelam dalam suatu perasaan semusim belaka. Kenapa semua ini kukatakan, adalah karena aku ingin menyadarkanmu pada kelebihan-kelebihan yang dianugerahkan Tuhan kepadamu. Seperti kecemerlangan otak yang tidak dimiliki setiap orang. Juga kemampuan orangtuamu untuk memberi kesempatan belajar setinggi mungkin, yang tidak dimiliki setiap orang. Dan juga semangat belajar yang tinggi. Kau pasti tahu ada banyak orang memiliki otak yang encer, kesempatan, tetapi malah belajar, dan tak punya daya juang."

"Mbak, kalau tentang itu jangan khawatir, Aku akan melanjutkan studiku seperti niatku semula kok. Masa kau tidak tahu itu. Tanya saja pada Bapak atau Ibu."

"Tetapi itu hanya untuk mengisi waktu atau menunggu perkembangan hubunganmu dengan Gatot saja, kan?" Aku menebak-nebak,

"Ya. Tetapi itu sesuatu yang baik kan, Mbak?

Sambil menunggu menikah, aku menambah ilmu pengetahuan. Daripada menganggur, kan?"

"Berarti kalau menikah nanti, kuliahmu akan kautinggalkan begitu saja?" .

"Itu mungkin saja. Tergantung kemauan Mas Gatot!"

"Tetapi tidakkah kaupikirkan berapa banyak biaya yang telah telanjur dikeluarkan oleh orangtua kita!"

"Mengenai hal itu aku sudah pernah membicarakannya dengan Mas Gatot," sahut Tina dengan enteng. Caranya berbicara memperlihatkan sifatnya yang masih kekanak-kanakan. "Dan dia mengatakan akan mengembalikan uang yang telah dikeluarkan oleh Bapak dan Ibu untuk membiayai pendidikanku selama ini."

"Wah, hebatnya si Gatot itu. Mentang-mentang anak orang kaya dan dia sendiri pun sudah berpenghasilan besar!" aku menyindir.

"Tetapi, Mbak, kita tidak sedang mendiskusikan Mas Gatot, kan?" Tina menjinjitkan alis matanya yang berbentuk indah asli itu. "Kalau tidak salah, kau tadi menanyakan bagaimana hubunganku dengan Mas Gatot saat ini. Ya, kan?"

"Ya ... "

"Nah, aku akan menjawab pertanyaanmu tadi, Hubungan kami berdua saat ini baik-baik saja. Aku dan dia tetap saling mencintai. Bahkan belakangan ini Mas Gatot sering memberiku hadiah-hadiah kecil tetapi sarat bermakna cinta."

Aku menarik napas panjang. Kutatap wajah Tina yang cantik tetapi masih begitu muda dan hijau pengalaman itu. Kentara sekali dari air mukanya yang polos. Aku jadi semakin kuatir memikirkannya. Gadis itu benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai kenakalan kekasihnya. Bagaimana kalau kelak dia menyadarinya? Tidak akan patah hatikah dia?

"Apakah kau sudah kenal betul bagaimana sifatnya, kebiasaan-kebiasaannya, kepribadiannya, dan lain sebagainya?" tanyaku lama kemudian.

"Tentu saja sudah."

"Seperti apa, Tina?" tanyaku lagi. "Coba tolong kau jelaskan."

"Mas Gatot itu seorang lelaki yang baik budi, sabar, murah hati terhadap siapa pun, mudah memaafkan, memiliki rasa tanggung jawab dan kesetiaan yang tinggi," jawab Tina dengan fasihnya, seperti sedang menyebutkan hafalannya.

"Ah, alangkah sempurnanya kekasihmu itu, Tina!" aku menyindir.

Tina menyadari sindiranku. Kepalanya berputar menoleh ke arahku. Ada teguran dalam pandang matanya. "Mbak, kau tidak mengenalnya sebagaimana aku mengenalnya," katanya kemudian. "Jadi tolong, jangan menilainya secara negatif dulu."

"Dengan kata lain, dia benar-benar sempurna kan menurutmu?" aku tetap menyindir kekasihnya dengan perasaan sebal dan muak. Entah ilmu pelet apa yang dipakainya untuk mengelabui adikku itu.

Kalau saja tidak ingat apa akibatnya, ingin sekali aku mengatakan kepada Tina bahwa Gatot yang katanya kesetiaannya tinggi dan tanggung jawabnya besar itu belum lama ini telah menciumi, membelai, dan memesrai calon kakak iparnya. Dan tanpa mengucapkan penyesalan atau permintaan maaf sama sekali.

"Wah, ya bukan begitu, Mbak!" kudengar suara Tina menanggapi sindiranku tadi. Bibirnya tersenyum miring. "Mas Gatot itu manusia biasa. Dan yang namanya manusia, tidak seorang pun yang sempuma. Jadi, Mas Gatot juga tidak sempurna. Pasti seperti manusia lainnya, dia juga mempunyai kekurangan di samping kelebihan-kelebihannya itu. Sama seperti aku dan juga kau, Mbak. '

"Tetapi yang kurang itu belum kaulihat, kan?" lagi-lagi aku menyindir kekasih tercintanya itu. "Tetapi yah bagaimana bisa kaulihat kalau yang tampak hanya kebaikan-kebaikannya, kemanisannya dan pernyataan cintanya yang menggebu-gebu"

Tina menghentikan tangannya yang semula sibuk memantas-mantas beberapa helai blus ke tubuhnya di depan cermin meja rias ku. Badannya berputar ke arahku.

"Sebenarnya apa sih yang Mbak Ambar mau katakan kepadaku?" tanyanya kemudian. "Berterus-teranglah padaku. Jangan menyindir-nyindir saja. Aku tidak bisa menebak-nebak apa yang ada di dalam pikiranmu itu!"

Mendengar perkataannya, aku merasa bimbang.

Haruskah aku berterus terang dengan risiko hati adik tersayangku itu akan terluka? Ataukah tetap menyembunyikan kenyataan dan membiarkan adikku terperosok semakin dalam di telaga cintanya itu?

Melihatku terdiam, Tina mengerutkan dahinya.

"Ada apa sih, Mbak? Katakan sajalah," katanya lagi. Kini dengan nada suara mendesak.

"Aku. .. aku cuma ingin kau tidak membiarkan dirimu terlalu tenggelam dalam perasaanmu saja," akhirnya aku mencoba menjawab juga meskipun dengan agak gugup. "Hendaknya kau juga tetap menjaga kewaspadaanmu. Tidak mudah mempercayai orang dan mampu berpikir secara rasional."

"Ah, kau belum juga mengatakan apa yang sebenarnya ada di dalam pikiranmu itu, Mbak." Tina meneliti air mukaku. "Ada apa sih sebenarnya?"

Aku menarik napas panjang. Bingung.

"Begini," kataku sambil mencari kata-kata yang netral. "Mengingat umur Gatot yang sudah tiga puluh dua, aku yakin dia sudah pernah menjalin cinta dengan gadis lain sebelum denganmu .... "

"Ya, itu pasti!" Tina memenggal perkataanku.

"Aku saja sudah pernah jatuh cinta kepada teman sekelasku meski itu cuma cinta monyet. Waktu itu beraninya cuma tulis-tulisan surat dan jalan ramai-ramai dengan yang lain. Jadi, apalagi Mas Gatot yang sudah seumur itu. Dan dia menceritakannya sendiri secara terus terang. Yang pertama dengan teman kuliahnya. Gagal karena pacarnya jatuh cinta kepada dosen mereka. Yang kedua juga gagal karena sang kekasih terlalu banyak menuntut perhatiannya. Mas Gatot tidak tahan dan memilih berpisah sebelum hubungan mereka berubah jadi saling membenci!"

"Wah, tahu betul kau tentang masa lalunya!"

"Tentu saja. Mas Gatot seorang lelaki yang jujur. Ia juga menceritakan pertemuan tak sengajanya dengan Rini, pacar terakhirnya itu. Katanya, tampaknya bekas pacarnya itu menunjukkan keinginan untuk kembali."

"Kau tidak cemburu waktu Gatot menceritakan hal itu kepadamu, Tina?" tanyaku ingin tahu.

"Aku akan lebih merasa cemburu kalau Mas Gatot menyembunyikan hal itu dariku!" Tina menjelingkan matanya kepadaku, membuat dadaku berdesir. Apakah Gatot telah menceritakan peristiwa malam purnama di Ancol waktu itu? Tetapi ah, itu tak mungkin. Aku yakin Gatot tak akan berani bercerita.

"Tina, yakinkah kau bahwa Gatot akan, akan setia kepadamu?" aku bertanya dengan hati-hati.

Mendengar apa yang kutanyakan, kulihat ada rasa geli dalam mata Tina. Dan dia menatapku berlama-Iama.

"Kenapa sih kautanyakan itu padaku, Mbak?" tanyanya kemudian. "Apakah menurutmu, Mas Gatot itu tidak bisa menjadi seorang kekasih yang setia?"

"Menurutmu bagaimana?" Karena tak bisa menjawab, aku balik bertanya.

"Aku tidak tahu," sahut Tina. "Terus terang aku kan baru sekali ini berpacaran dengan sungguh-sungguh. Bukankah kau lebih berpengalaman dariku, setidaknya pengalaman yang kaudapatkan ketika masih menjadi kekasih Mas Bram!"

"Kalau begitu, bisa kukatakan bahwa kita kaum perempuan ini hendaknya jangan terlalu mudah mempercayai kesetiaan seorang kekasih, Sebab menurut pengalamanku, baik dengan Bram ... maupun dengan ... dengan Orang lain ... " Ah, hampir saja kusebut nama Gatot tanpa kusadari. "Lelaki lebih mudah tergoda lawan jenisnya sehingga tentu saja juga lebih mudah melanggar kesetiaan."

"Wah, apa yang kaukatakan itu merupakan ketidakadilan jender, Mbak. Stereotip tentang laki-laki bahwa mereka itu mata keranjang, mudah tergoda, dan seterusnya!" Tina tertawa-tawa. Kedua belah bola matanya masih saja bergelimang rasa geli. "Padahal lelaki yang setia juga banyak. Sebaliknya, perempuan yang mata keranjang dan tidak setia juga cukup banyak."

"Tetapi apa yang kualami secara langsung, membuktikan hal itu, Tina. Laki-laki tidak bisa mempertahankan kesetiaan!'

"Mudah-mudahan Mas Gatot termasuk yang sebaliknya," kata Tina sambil menatap mataku. Rasa geli masih berbinar-binar dari kedua belah bola matanya.

Entah apa yang membuatnya merasa geli, aku tak tahu. Pikiranku lebih terserap pada penilaian buta Tina terhadap Gatot. Padahal, aku menjadi saksi bagaimana laki-laki itu telah melanggar nilai kesetiaan. Sungguh, betapa kesal perasaanku karena tak sanggup mengatakan terus terang kepada gadis yang sedang mabuk kepayang itu bahwa kekasih yang dianggapnya sangat setia itu pernah menciumiku dengan penuh gairah.

"Tina, sebaiknya kau jangan hanya, bisa mengatakan mudah-mudahan saja" tegurku sambil menahan perasaan kesalku itu. "Tetapi sebaiknya pasang jugalah mata dan telingamu. Sebab siapa tahu kekasihmu yang hebat itu tidak tahu apa arti kesetiaan!"

"Tetapi, Mbak ... "

Cepat-cepat perkataan Tina kuhentikan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.

"Sudahlah, Tina, aku tak mau berdebat denganmu. Pokoknya, jangan pemah mempercayai laki-laki," kataku menyela. "Nah, sekarang aku ingin menonton film seri kesayanganku. Kau boleh memilih blus mana saja yang kauinginkan. Asal jangan yang warna hitam bunga-bunga merah dan ungu itu. Akan kupakai besok!"

Tanpa menunggu jawaban, lekas-lekas aku keluar kamar dan meninggalkan Tina sendirian di sana. Maka pcmbicaraan tentang Gatot pun terhenti dengan meninggalkan perasaan tak puas karena aku belum juga berani berterus terang kepadanya mengenai kekurangajaran kekasihnya itu. Tetapi bagaimana mungkin aku berani? Bukankah di dalam peristiwa itu, aku sama sekali tidak menolak ciumannya yang menggebu-gebu?

Sekarang ini yang masih bisa kulakukan hanyalah berdoa kepada Tuhan agar mata Tina terbuka untuk melihat sisi gelap yang ada pada diri Gatot dan mau memikirkan kembali masa depannya bersama laki-laki itu. Dan bagi diriku, aku juga berdoa agar jangan sampai ada kesempatan yang menyebabkan aku dan Gatot bertemu lagi. Aku tak ingin berada di dekatnya. Berbicara dengannya saja pun aku tak mau lagi.

Tetapi apalah kekuatan manusia ini dibanding dengan kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Seribu kali kita berdoa kalau Tuhan tidak menghendaki, bagaimana mungkin itu bisa terjadi. Kita yang tak mempunyai kekuatan apa-apa ini bisanya hanya menyerah dan pasrah pada kehendak-Nya. Dan pikiran kita yang hanya mampu termuati segelas air ini pasti tak akan mampu memahami apa yang telah direncanakan oleh samudra raya milik Tuhan yang menciptakan seluruh air di dunia ini. Jadi tatkala di sebuah pertokoan tiba-tiba saja aku sudah berhadapan muka dengan Gatot sendirian aja, aku juga tak mampu mengelak. Sebab selama ini aku sudah berhasil menghindari laki-laki itu, walaupun rumah kami bersebelahan, dan hanya dibatasi pagar tembok rendah. Tetapi sekarang di tempat yang belasan kilometer jauhnya dari rumah, kami berdua malah bertemu muka dengan muka di depan kasir, seolah dunia begitu sempit. Padahal kota Jakarta ini padat penduduknya dan luas sekali areanya. Padahal pula, kota Jakarta ini mempunyai ratusan ribu toko yang tersebar di mana-mana. Tetapi anehnya aku dan Gatot berada di toko yang sama, bahkan di depan kasir yang sama pula, masing-masing mau membayar belanjaan kami. Siapa tidak frustrasi berat karenanya, bukan?

"Hai," sapanya.

"Hmm ... ," gumamku tak jelas. Aku tak berani menatap wajahnya. Apalagi di antara orang-orang yang juga sedang antre di samping kasir.

"Belanja kok jauh-jauh dari rumah," Gatot berkata lagi.

"He-eh," sahutnya acuh tak acuh. "Sendirian?" tanyanya lagi.

"Ya ... ," aku terpaksa menjawab bukan dengan gumaman tak jelas seperti sebelumnya. Bagaimanapun frustrasinya diriku, aku masih harus menenggang perasaannya di hadapan orang banyak. Jangan sampai ia kupermalukan dengan sikapku yang meremehkannya. Padahal kalau mengingat kelakuannya di Ancol waktu itu, sikap dingin yang kuperlihatkan itu masih terlalu baik. Orang seperti Gatot harus dikerasi dan diperlakukan dengan tega.

"Kau masih mau belanja apa lagi?" untuk kesekian kalinya dia bertanya.

Ah, alangkah inginnya aku membentaknya agar ia segera menyingkir dari dekatku. Dan ingin kukatakan keras-keras padanya bahwa dia tidak perlu bertanya atau bicara apa pun denganku. Tak ada urusan antara dirinya dengan aku. Tetapi sayang, itu tak mungkin kulakukan di depan orang banyak. Jadi aku terpaksa menjawab dengan lebih sopan ..

"Ti ... tidak," aku terpaksa menjawab juga pertanyaannya tadi.

"Kalau begitu kau sudah mau pulang?"

Aduh, nyinyirnya lelaki satu ini. Benar-benar sulit sekali aku mau menjawab apa dalam situasi seperti ini. Menegurnya bahwa ia tak berhak bertanya tentang apa yang akan kulakukan, itu pasti bukan perbuatan yang sopan. Mau menjawab bahwa aku sudah mau pulang, aku khawatir kalau-kalau dia menawariku pulang bersama. Sebab ia pasti tahu bahwa mobil "umum" di rumah kami sedang dicat ulang setelah diserempet mikrolet ketika sedang dipakai Tina. Sedangkan mobil Bapak jarang sekali dipinjam oleh anak-anaknya kalau tidak sangat perlu. Pendek kata, kebiasaan-kebiasaan yang ada di rumah kami, Gatot sudah tahu. Dan apa yang sedang terjadi di rumah kami, lelaki itu juga cepat sekali mengetahuinya. Tina yang tukang cerita itu telah menjadi sumber berita yang paling terpercaya bagi Gatot. Jadi laki-laki itu pasti bisa menduga kalau aku jalan-jalan kemari dengan kendaraan umum. Jadi, aku bingung mau menjawab apa atas pertanyaannya tadi. Kalau kukatakan masih ada yang akan kubeli, aku khawatir dia menawariku jasa untuk menemaniku. Sungguh jawaban apa pun yang akan kuberikan padanya mengandung fisiko keberadaanoya di dekatku. Serba salah jadinya.

"Bagaimana? Kau sudah mau pulang, atau ... ?"

Gatot bertanya lagi.

"Aku masih pikir-pikir dulu ... ," akhirnya aku hanya bisa berkata begitu. Setidaknya, aku berharap agar Gatot juga bingung mau melakukan apa mendengar jawabanku itu.

"Kok pikir-pikir dulu ... ?" Ah, masih saja lelaki tak tahu malu itu mendesakku.

"Ya, karena aku masih berpikir-pikir apakah jadi membeli sesuatu atau tidak," sahutku dengan perasaan apa boleh buat. Padahal ingin sekali aku membentaknya dan menyuruhnya pergi dari dekatku.

Betapa lega hatiku tatkala akhirnya aku sudah berada tepat di muka kasir dan dapat mengalihkan perhatian dengan mengeluarkan uang dari dompetku. Dan kemudian tanpa pamit kepada Gatot sesudah menerima uang kembaliannya, dengan gesit aku segera meloloskan diri. Dia masih terhalang dua orang lagi sebelum tiba di depan kasir satunya.

Bukan main lega hatiku ketika menoleh ke belakang, aku tidak melihat Gatot menyusulku. Maka dengan kecepatan dan kegesitan yang kumiliki aku lekas-lekas naik ke atas, ke bagian penjualan sepatu. Pikirku, Gatot pasti mengira aku sudah keluar pertokoan dan sedang mencari kendaraan untuk pulang.

Pikiran itu melegakan hatiku sehingga aku bisa melihat-lihat jajaran sepatu yang dipajang di tempat itu dengan lebih leluasa. Bahkan kubiarkan diriku untuk memuaskan keinginan menambah sepatu untuk kekantor. Aku memang membutuhkan sepatu yang tak terlalu tinggi dan enak dipakai untuk mondar-mandir di kantor, Sepatu tinggi membuatku merasa cepat lelah. Dan juga tak bisa bergerak dengan enak dan bebas.

Ketika aku melihat sepatu dengan model yang kuinginkan, langsung saja aku tertarik. Modelnya cantik tetapi sekaligus juga sportif. Lekas-lekas tanganku terulur untuk mengambil sepatu itu. Tetapi karena kurang hati-hati, tanganku menyenggol sepatu lain yang dipajang di dekat sepatu itu. Maka tanpa sempat kutahan, sepatu itu jatuh. Untung lantainya dialasi dengan karpet sehingga kulit sepatu itu tidak tergores.

Cepat-cepat aku berjongkok dan mengulurkan tangan untuk mengambil sepatu tersebut. Tetapi belum lagi aku menyentuh benda itu, ada tangan lain yang lebih dulu meraihnya. Kepalaku yang tertunduk langsung menengadah, ingin melihat pemilik tangan itu dan mengucapkan terima kasih padanya. Maka kulihatlah, tepat di depan wajahku karena dia juga sedang berjongkok di dekatku, wajah pemilik tangan itu Wajah Gatot yang sedang tersenyum lebar kepadaku.

Aku tersentak. Tersentak bukan hanya karena tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi karena mengira dia sudah pergi, tetapi juga kaget atas reaksiku sendiri. Sebab begitu aku melihat wajah yang dekat dengan wajahku itu, jantungku langsung meloncat-loncat dan darah di tubuhku mengalir dengan deras sekali. Sungguh mati, aku membenci diriku sendiri karenanya!

KENAPA kau ada di sini?" aku mendesis sambil melotot ke arahnya. Kemudian kurebut sepatu yang ada di dalam tangannya itu.

Dengan cepat dan sambil berusaha keras untuk menenangkan deburan jantungku yang sangat tak beraturan, sepatu itu kukembalikan ke sandarannya di atas rak pajang. Aku benar-benar membenci laki-laki yang selalu saja membuat emosiku teraduk-aduk dan aku jadi kehilangan kontrol diri ini.

"Kenapa aku ada di sini, jawabannya sederhana saja. Yaitu sama seperti alasanmu kenapa kau ada di tempat ini," Gatot menjawab kalem. "Mencari sepatu, kan?"

Aku terdiam beberapa saat lamanya, tak tahu harus berkata apa. Sebab memang tempat ini tempat umum dan dia boleh-boleh saja hilir-mudik di sini semaunya. Tak ada hakku melarangnya. Lagi pula belum tentu dia sengaja membuntutiku. Mungkin saja dia memang ingin membeli sepatu.

"Sepatu seperti apa yang kaucari?" Karena aku tidak mernberi tanggapan atas perkataannya tadi, dia melanjutkan bicaranya, "Ayo, kita sarna-sama mencarinya, Jadi kita bisa saling memberi pendapat atau saran tentang pilihan kita masing-masing!"

"Aku sudah biasa memilih sendiri sepatu yang kuinginkan," sahutku dengan suara ketus. "Pendapat orang lain hanya akan membuatku bingung menentukan pilihan. Jadi silakan jalan sendiri. Aku juga mau jalan sendiri!"

"Wah, kau masih saja tidak pernah memperlihatkan keramahanmu terhadap seorang tetangga yang paling dekat dan paling baik. Apalagi tetangga yang akan menjadi adik iparmu!" Gatot berkata lagi.

Aku melotot lagi. Tak peduli aku seandainya ada orang yang melihatku seperti itu. Biar saja.

"Adik ipar apa?" Aku mendengus. "Tak akan kubiarkan Tina menjadi istri seorang lelaki hidung belang macam dirimu!"

"Lelaki hidung belang? Wah, jangan memberi cap seburuk itu padaku, kakak ipar!" Gatot membelalakkan matanya yang bagus itu. "Sebuah ciuman mesra dari seorang calon adik ipar adalah sesuatu yang wajar terjadi dan itu tidak perlu dipermasalahkan."

"Oh, dasar lelaki mata keranjang yang tak tahu nilai-nilai moral!" Aku megap-megap menahan marah yang berbaur dengan perasaan malu karena diingatkan pada peristiwa memalukan malam itu. "Aku sungguh muak melihatmu. Sekarang menyingkirlah dari depanku!"

"Waduh, bukan main galaknya calon kakak iparku yang jelita ini!" Gatot menatapku dengan bola mata berbinar-binar. Aku tak sudi memperpanjang waktu untuk berdebat dan adu kata dengan lelaki hidung belang itu. Oleh sebab itu tanpa berniat untuk membalas perkataannya tadi, dengan langkah lebar-Iebar kutinggalkan tempat itu tanpa pamit padanya. Menoleh sedikit pun, tidak. Keinginanku untuk membeli sepatu hilang lenyap tanpa bekas.

Kini selagi Gatot masih ada di belakangku aku melangkah cepat-cepat, berniat segera meninggalkan pertokoan itu. Pikirku, seandainya Gatot akan menyusulku, ia pasti akan memakai eskalator yang tak jauh dari dekat kami berdiri tadi. Dia pasti akan mengira aku mempergunakan tangga jalan itu untuk turun. Dengan pikiran itu cepat-cepat aku menyelinap ke arah lift. Aku berharap dia tidak berpikir aku akan turun dengan sarana itu.

Sayangnya, tanda panah di atas kedua lift itu menunjuk arah panah ke atas. Berarti aku tidak bisa segera turun dan menghilang dari pertokoan ini. Karenanya, kucegat salah satu lift yang saat itu masih berada di lantai tiga agar berhenti di lantai lima tempat aku sedang berdiri ini. Pikirku aku bisa ikut naik dulu entah sampai ke tingkat mana nanti, dan baru sesudah penumpang lift lainnya keluar aku bisa memijit tombol ke arah turun. Yang penting, aku tidak bertemu Gatot lagi.

Dengan perasaan tak sabar, mataku terus-menerus menatap angka-angka di alas pintu lift dan berharap benda itu segera tiba di lantai tempatku berdiri. Waktu melihat lift yang kupijit berhenti lama di lantai empat, kesabaranku nyaris menguap. Pasti ada banyak penumpang lift yang keluar di tempat penjualan pakaian anak-anak dan perlengkapan bayi. Sedang ada obral di sana. Ketika akhirnya lift bergerak lagi aku mulai bersiap-siap. Begitu pintunya terbuka, tak sabar aku langsung masuk dan membiarkan saja tubuhku bersenggolan dengan penumpang yang akan keluar.

Tetapi dasar memang sedang sial, aku jadi kehilangan kewaspadaanku karena tadi terus menengadah memandangi angka-angka yang menyala di atas pintu lift. Maka sebagai akibatnya, ketika kakiku sudah menapak memasuki lift dan di belakangku menyusul masuk orang yang justru sedang kuhindari, nyaris saja aku memekik. Tetapi udah terlambat kalau aku ingin keluar kembali.

Pintu lift segera tertutup dan di dekatku berdiri dengan sopan seorang pria berkulit putih. Apa nanti kata bangsa asing itu kalau melihat dua orang yang baru masuk ke dalam lift bertengkar di dekatnya.

Bukan main dongkolnya hatiku. Sia-sia saja usahaku melarikan diri dari dekat Gatot. Aku ingin menangis karena frustrasi berat. Dengan menahan perasaan seperti itu aku terpaksa membiarkan lift bergerak naik. Di tingkat tujuh baru lift itu berhenti dan laki-laki berkulit putih itu keluar sesudah melemparkan senyum ke arah kami berdua.

Berada hanya berduaan aja dengan satu-satunya orang yang justru ingin kuhindari itu merupakan siksaan berat bagiku. Air mataku mulai merebak memenuhi kelopak mata saat tanganku memijit tombol lift kembali ke lantai dasar. Tetapi lekas-lekas kusembunyikan wajahku agar Gatot tidak melihat air mata yang meluncur di pipiku. Aku bermaksud menghapusnya dengan diam-diam. Tetapi rupanya laki-laki itu memperhatikan air mukaku dari cermin yang ada di dinding lift. Sebab tiba-tiba saja tangannya terulur, menyentub lembut pipiku yang basah dengan jemarinya.

"Ah, begitu saja kok menangis," bisiknya dengan suara yang selembut elusan jemarinya.

Aku tak mau terpengaruh oleh kelembutan sikapnya. Tangan Gatot segera kutepis. Dan meskipun aku ingin menangis sekeras-kerasnya, kemarahanku harus kusalurkan sebagai pengobat frustrasiku tadi.

"Apakah kau ... kau ... tak merasa telah menggangguku dan melenyapkan semua kegembiraanku berbelanja di hari liburku ini?" bentakku. Tetapi suaraku tak bisa sekeras yang kuinginkan karena bergetar menahan tangis.

"Jangan membesar-besarkan hal yang tak perlu dipermasalahkan," sahut Gatot dengan tenang. "Sebab semestinya hari ini bisa kita isi dengan berbelanja dan memilih barang bersama-sama sambil mengobrol dengan tenang dan santai. Dan setelah capek, kita bisa makan di basement. Ada es cincau hijau dan es doger di bawah sana."

"ldih, siapa yang sudi jalan berduaan dengan lelaki hidung belang macam dirimu!" aku membentak lagi. Tetapi kali itu air mata yang belum tuntas keluar tadi, meluncur lagi ke pipiku. Menyebalkan juga air mataku itu. Kenapa harus keluar di saat yang tidak tepat?

Gatot tidak menanggapi perkataanku. Kelihatannya, perhatian laki-laki itu lebih tercurah pada air mataku. Tangannya terulur lagi, dan dia mengusap-usap pipiku dengan gerakan lembut.

Tidak seperti tadi, tangan Gatot tak kutepiskan.

Dan gilanya, hatiku bahkan tersentuh oleh perbuatannya itu. Usapan tangannya yang menyentuh pipiku yang lembap dan gerakan jemarinya yang lembut membuatku tak lagi mampu berpikir sehat. Untungnya kejadian itu hanya berlangsung selama beberapa saat saja.

"Lepaskan tanganmu yang kurang ajar itu," kataku kemudian. "Jangan pura-pura baik hati terhadapku!"

Gatot menuruti perkataanku. Tangannya yang berada di pipiku dilepaskannya. Tetapi sebagai gantinya, tangan yang baru lepas dari pipiku itu dilingkarkannya ke bahuku. Lengannya yang kokoh, yang terbentuk oleh kesukaannya berolahraga, memelukku dengan sikap melindungi. Dan telapak tangannya menepuk-nepuk pangkal bahuku, persis seperti orang sedang membujuk anak kecil yang sedang menangis. Tetapi aku tak mau jatuh ke dalam rayuannya itu, "Lepaskan!" sentakku lagi.

"Tidak sebelum kau mau memaafkanku karena telah membuat air matamu tumpah!" dia berbisik di sisi telingaku. "Percayalah, Ambar, aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu marah. Dan percayalah pula bahwa aku benar-benar ingin jalan-jalan bersamamu di pertokoan ini. Pasti banyak orang akan merasa iri melihatku berjalan bersama seorang gadis jelita, yang matang dan semenarik dirimu."

Aku tahu betul, apa yang dikatakannya itu hanyalah rayuan gombal belaka. Rayuan yang entah sudah diobralnya ke mana saja. Sebab meskipun aku sadar bahwa diriku memang cantik, tetapi kalau sampai membuat banyak orang merasa iri kepada Gatot, rasanya itu sangat berlebihan. Lelaki itu cuma ingin mengobral rayuan gombalnya saja. Kota Jakarta ini gudangnya perempuan cantik. Pasti yang lebih cantik dari aku banyak sekali.

Namun yang membuatku merasa aneh adalah perasaanku ketika mendengar rayuan gombal itu. Tak ada amarah dalam hatiku. Tak ada rasa kesal padaku. Yang ada justru sentuhan perasaan yang agak-agak manis. Padahal kalau rayuan gombal itu diucapkan oleh laki-laki lain, barangkali aku akan merasa muak mendengarnya. Bukankah itu aneh? Apalagi kalau diingat betapa bencinya aku kepadanya.

Tetapi yah kalau aku mau bersikap jujur, memang cara Gatot mendekatiku sejak tadi patut kuhargai. Dia telah mengejarku di pertokoan ini hanya untuk menemaniku berbelanja. Sikapnya mengatakan bahwa bagi dirinya, aku ini orang yang penting. Tak peduli apakah itu merupakan bagian dari sifat mata keranjangnya, tetapi aku merasa dia tidaklah main-main dengan ucapannya itu. Artinya, meskipun yang diucapkannya itu sangat berlebihan kalau ditangkap dengan rasio, tetapi bagi Gatot itulah penilaian subyektifnya, penilaian yang diambil dari sudut pandangnya sendiri. Dan itulah yang menyentuh perasaanku.

Sentuhan perasaan itu membuatku jadi agak terlena, sehingga kubiarkan diriku dipeluk olehnya. Untungnya, sampai kami mencapai lantai dasar, tak ada orang yang mencegat lift. Jadi, ketika pintunya terbuka barulah Gatot melepaskan bahuku dari pelukannya. Tetapi tetap saja sebagian orang yang menunggu di muka pintu lift sempat melihat kemesraan itu. Terus terang, aku agak malu dipergoki seperti itu. Jangan-jangan mereka mengira aku dan Gatot baru saja mencuri kesempatan untuk bermesraan di dalam lift tertutup itu.

Beberapa pengalamanku menunjukkan bahwa entah kebetulan entah tidak, jika seseorang sedang mendapat sial, ada kemungkinan dia akan menerima kesialan berikutnya. Dan itulah rupanya yang kualami pada siang hari itu. Hari libur yang sebenarnya merupakan hari santaiku itu, menjadi hari yang tak menyenangkan. Sebab waktu pintu lift terbuka dan lengan Gatot masih melingkari bahuku, salah satu dari orang-orang yang menyaksikan adegan itu tiba-tiba menegur Gatot. Dia wanita muda berwajah manis.

"Mas Gatot?"

Mendengar sapaan itu, Gatot menghentikan langkahnya. Begitupun aku. Kami lalu mencari asal suara. Dan kulihat seorang perempuan muda yang sebaya denganku. Rupanya, begitu melihat Gatot dia tidak jadi masuk ke dalam lift. Dia menunggu kami keluar, lalu mendekat. Wajahnya bercahaya oleh senyum manisnya.

"Mas Gatot!" dia menyebut nama Gatot lagi. "Rini," kudengar Gatot membalas sapaannya, namun berbeda dengan wanita itu, tak ada senyum di wajahnya.

Sedangkan aku begitu mendengar nama itu disebut, perhatianku langsung tercurah kepada perempuan itu. Aku teringat cerita Tina bahwa Gatot pernah berpacaran dengan gadis bernama Rini. Inikah gadis yang diceritakannya itu ataukah hanya namanya saja yang kebetulan sama?

Dalam waktu singkat aku dan Gatot sudah berdiri berhadapan dengan gadis itu. Entah dia bekas pacar Gatot entah bukan, tanpa mauku aku mulai memperhatikan wajah dan keseluruhan dirinya untuk kubandingkan dengan Tina.

Wajahnya memang manis sekali. Lesung pipinya menambah daya tariknya. Bentuk tubuhnya juga termasuk indah. Tetapi kalau dibanding Tina, gadis itu masih kalah. Yang menang hanya caranya merias diri dan memantas pakaian. Dan kelihatannya, apa yang dikenakannya itu merupakan barang-barang pilihan. Termasuk tas yang di bahunya yang bermerek terkenal buatan Prancis. Sama seperti sepatunya. Belum Iagi arloji dan perhiasan yang dipakainya. Aku yakin, dia pasti anak orang kaya.

Tetapi meskipun serba "wah", kulihat apa yang menempel pada gadis itu tidak tampak berlebihan. Semua serba pas berada di tempatnya. Dan tampak modis .. Dia tahu betul barang-barang yang berkelas dan bagaimana mengenakannya dengan tepat.

Sebaliknya Tina, sebagaimana juga dengan diriku, mempunyai selera yang sama. Tidak pernah memedulikan merek. Tidak pemah memperhatikan mahal atau murahnya barang yang menempel pada kami. Juga tidak peduli apakah atribut itu akan menaikkan gengsi atau tidak. Pola pikir seperti itu bukan saja karena kami terbiasa hidup apa adanya, tetapi juga karena orangtua kami bukan orang yang berkelebihan. Dan lebih dari itu, mereka tak pernah memberi contoh apalagi mendidik kami untuk menggarisbawahi harga diri atau gengsi dengan mengaitkan diri pada materi. Mereka mengajarkan kami hal-hal yang lebih bernilai, yang tidak bisa dicuri dari kami, yaitu budi pekerti, pengetahuan, dan hal-hal yang bersifat substansial.

"Dengan siapa, Mas?" Rini menegur Gatot lagi, tetapi pandang matanya menghunjam ke arahku.

Karena tidak ditanya, aku diam saja meskipun keberadaanku di dekat Gatot disinggungnya. Namun aku sadar, gadis itu dipenuhi oleh rasa ingin tahu yang begitu pekat. Matanya menelusuri tubuhku sehingga aku sadar dia merasa tersaingi olehku. Siang itu aku memang memakai setelan celana panjang dan blus pendek berwarna oranye muda dengan sepatu dan tas senada yang membuat kecantikanku tambah menonjol. Memang bukan barang mahal, tetapi tampak serasi dan pantas membalut tubuhku. Cermin di kamarku tadi telah mengatakannya padaku.

"Dengan ... dengan ... seseorang yang akrab denganku," kudengar Gatot agak kerepotan menjawab pertanyaan Rini. Aku tahu, Iaki-laki itu takut aku akan membantah perkataannya di depan Rini, dan membuatnya merasa malu.

"Apakah gadis ini yang kauceritakan padaku waktu itu, Mas?" Rini bertanya lagi. Pandang matanya menusuk ke arahku.

Entah apa yang pernah dibicarakan oleh kedua orang itu, aku tidak mengerti. Dan gadis mana yang disinggung oleh Rini, aku juga tak tahu. Tetapi yang pasti, aku melihat kepala Gatot mengangguk, membenarkan pertanyaan Rini.

Kalau saja aku tidak ingat bahwa kami bertiga berada di tempat umum dan kalau saja aku tidak mau menenggang perasaan Gatot, sudah pasti aku akan menuntut penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan "gadis" yang diceritakan Gatot kepada Rini dan apa pula makna "ya" yang diperlihatkan olehnya tadi. Sebab tampaknya, aku terkait di dalam pembicaraan mereka.

"Cantik sekali. Dan sangat menawan," kudengar Rini bergumam sambil terus meneliti wajah dan penampilanku. Namun aku menangkap tatapan tak tulus di matanya.

"Kau jalan dengan siapa, Rin?" kudengar Gatot mengubah pembicaraan tentang diriku. Tahu diri juga dia, pikirku. "Kaupikir aku akan jalan dengan siapa?" Rini malah membalikkan pertanyaan kepada Gatot.

"Mana aku tahu, Rin," Gatot menjawab sabar.

"Sudah lama sekali kita tidak bersama-sama."

Mendengar tanya-jawab itu dugaanku semakin kuat. Gadis di hadapanku ini adalah Rini, bekas pacar Gatot. Maka perasaan sedang sial itu pun melanda hatiku. Sebab pikiranku langsung saja melayang kepada hal-hal yang semestinya bukan urusanku dan tidak perlu pula kupikirkan. Misalnya, ketika aku melihat bibir Rini yang mungil, serta-merta aku bertanya-tanya, sudah berapa puluh kalikah bibir itu dikecupi oleh Gatot dengan cara seperti yang pernah dilakukannya padaku malam itu? Jadi, bukankah hari ini hari yang sial buatku?

"Kaupikir mudah ya mencari kekasih baru yang cocok?" Rini menjawab pertanyaan Gatot tadi dengan gumaman. Matanya melirik tajam ke arah Gatot.

Mendengar pembicaraan kedua orang, aku memilih diam. Caraku bersikap jadi seperti patung. Tetapi kesadaranku tetap penuh sehingga aku tahu betul bagaimana Gatot menjadi risi oleh perkataan Rini barusan. Kentara dari pandangan mata, sikap dan ketidakmampuannya menanggapi perkataan Rini itu.

Barangkali Rini merasa juga bahwa kehadirannya membuat perasaan Gatot jadi tidak nyaman. Ia melirik arlojinya yang mahal.

"Silakan lho kalau mau melanjutkan belanja," katanya. "Kapan-kapan aku akan mampir ke kantormu untuk melanjutkan obrolan kita. Boleh kan, Mas?"

"Boleh saja."

"Nah, sampai di sini dulu ya," kata Rini lagi.

Kemudian dia menyapaku, sapaan pertama yang ditujukan khusus kepadaku. "Ayo, Mbak."

"Silakan," aku membalas sapaannya. Sampai gadis itu pergi, sepatah kata pun tidak ada tanda-tanda dari pihak Gatot untuk memperkenalkan aku dengan Rini. Entah lupa entah disengaja, aku tak tahu. Tetapi ah, untuk apa aku repot-repot memikirkannya.

"Ayo, Ambar ... ," begitu Rini menghilang di antara orang banyak, kudengar Gatot berkata di dekat telingaku. Tangannya menggamit lenganku.

Sekarang karena tidak ada orang lain, aku bisa melampiaskan apa yang ada di hatiku dengan lebih leluasa. Lenganku kurenggut dari pegangan Gatot.

"Ayo ke mana?" bentakku kemudian. "Aku masih belum mau pergi dari tempat ini. Apalagi bersamamu!"

"Lho kok marah?" Gatot memicingkan matanya ke arahku. "Kalau kau belum mau pulang sekarang atau masih ada keperluan lain, ya silakan saja. Aku akan menemanimu sampai urusanmu selesai!"

"Aku tidak memintamu untuk menemaniku. Aku juga tidak suka kautemani. Jadi tolong tinggalkan aku sendiri!" Aku membentak lagi.

"Tetapi, Ambar, rumah kita kan bersebelahan. Aku membawa mobil dan kau tidak. Aku juga tidak punya acara lain. Jadi, berjalan-jalan bersamamu begini merupakan sesuatu yang pasti akan menyenangkan. Sebab mana enak sih jalan-jalan sendirian?" Sekali lagi Gatot memicingkan matanya, "Lagi pula kalau Bu Joko tahu kita ketemu di sini dan aku tidak mengajakmu pulang bersama, pasti aku akan dianggapnya tak punya perasaan."

Merasa apa yang dikatakannya tidak salah, aku terpaksa mengakhiri acara jalan-jalan itu dengan membeli sebuah lipstik warna baru yang dijual di salah satu pojok tempat penjualan kosmetik dan perhiasan imitasi. Aku tidak suka ada yang orang yang mengekor di belakangku. Membeli sepatu seperti yang kuinginkan tadi, bisa kulakukan kapan-kapan saja.

"Nah, ke mana lagi?" Gatot bertanya dengan sabar sesudah aku membayar dan menyimpan benda yang baru saja kubeli itu ke dalam tasku.

"Tidak ke mana-mana lagi," aku menjawab ketus.

" Jadi, sudah ... ?"

"Ya."

"Tetapi bagaimana kalau sebelum pulang kita mengisi perut lebih dulu?" usul laki-laki itu sambil melirik ke arahku. "Perjalanan dari sini ke rumah jauh lho. Aku tak mau mati kelaparan di jalan."

Karena perutku sudah lapar dan karena memang sudah waktunya makan siang, aku terpaksa mengiyakan.

"Terserah," sahutku menerima ajakannya, Gatot tersenyum manis.

"Enak kan suasananya kalau kau tidak lagi terus-menerus membantah, membentak-bentak, dan melarikan diri dariku," katanya kemudian. "Apalagi aku ini 'benar-benar sehat lho, jadi kalau melihatku jangan lari terbirit-birit lagi seperti melihat orang yang berpenyakit menular menyeramkan!"

Aku tidak menanggapi perkataan Gatot. Tetapi langkah kakinya kuikuti ketika dia turun ke lantai bawah dengan mempergunakan eskalator. Di basement banyak kios yang menjajakan pelbagai macam makanan dan minuman, berjajar-jajar, dengan foto-foto makanan dan minuman yang ditawarkan berikut harganya. Tetapi karena sedemikian banyaknya tawaran, aku jadi bingung mau memilih apa.

"Mau makan apa?" tanya Gatot.

Aku memilih yang mudah dan cepat tersaji supaya bisa cepat pulang ke rumah. Maka aku memilih masakan Padang. Nasinya separo saja, tetapi lauknya macam-macam. Kupilih rendang hati sapi, gulai otak, sayur daun singkong, dan dendeng balado yang tipis renyah itu. Kulihat, Gatot juga memilih makanan Padang. Memang praktis dan cepat tersaji. Tinggal memilih yang sudah terpajang saja. Tidak usah menunggu dimasak dulu. Dan yang penting, lezat rasanya.

"Karena yang kupilih mahal-mahal, aku akan membayar sendiri apa yang akan kumakan ini," kataku kepadanya.

"Aku yang mengajakmu makan, maka aku yang akan membayar," Gatot menjawab dengan tegas.

"Kau sudah beberapa kali membayariku makan. Aku tidak enak."

"Kalau begitu, kesempatan mendatang kau yang membayari. Oke?" ,

"Tidak akan ada lagi kesempatan untuk itu. Camkanlah!" aku menjawab perkataannya dengan suara tajam.

Aku tidak ingin bersitegang otot leher lagi. Jadi dari situ aku segera memesan es cincau hijau. Tetapi lagi-lagi Gatot meniru pilihanku. Dan juga membiarkan aku yang memilih meja. Di atas meja itulah kuletakkan tanda bertuliskan nomor kios tempat penjualan minuman es cincau hijau tadi.

Tetapi sungguh, kesialanku rupanya belum habis.

Baru saja aku duduk, mataku menangkap Rini yang sedang duduk sendirian di sudut, menanti pesanannya. Ada nomor di mejanya. Sialnya, dia melihat kehadiran kami. Dan lebih sial lagi, ia langsung berdiri sambil membawa nomor pesanannya, dan langsung ia letakkan di atas meja kami.

"Boleh aku ikut bergabung, kan?" katanya sambil duduk. "Tidak enak makan sendirian!"

"Silakan." Karena Gatot diam aja aku terpaksa menjawab pertanyaan Rini walaupun perasaanku tak suka. Sebab bagaimana mungkin menolak permintaannya karena dia sudah langsung duduk di tempat kami. Mana mungkin aku mengatakan "jangan" meskipun hatiku ingin mengusirnya.

Gatot tetap tidak memberi tanggapan apa pun.

Hanya saja dari pandang matanya aku melihat ketidakpedulian dan ketidaksukaan yang amat kentara. Ah, laki-laki itu memang pandai membuat orang merasa jengkel. Aku yakin Rini pasti juga merasakan hal yang sama. Kehadirannya di meja kami ditanggapi oleh Gatot dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Kalau mata lelaki itu bisa bicara pasti mereka sudah menyuruh Rini kembali ke tempat duduknya semula.

Suasana menjadi kurang enak sampai akhirnya es cincau pesanan kami datang, hampir bersamaan dengan datangnya makanan yang dipesan Rini. Untuk mencairkan suasana, es cincau itu langsung kuminum dan kusendok.

"Mm, ini rasanya lebih enak daripada di tempat lain," komentarku, entah kutujukan kepada siapa. "Ada wangi daun jeruk."

Belum ada tanggapan sampai akhirnya Gatot yang juga memesan minuman yang sama memberi komentarnya. "Ya, ini memang lebih enak. Rasa daun jeruk purut ini berasal dari santannya," katanya kemudian.

Karena Rini memesan minuman di tempat lain, Ia tidak bisa ikut memberi komentar. Tetapi meskipun demikian suasana tegang yang ada di sekitar kami jadi mulai terasa agak mencair. Kulihat Rini menyesap es jeruknya pelan-pelan. Kemudian dengan sikap wajar yang berhasil ditampilkannya dia mulai bicara lagi.

'Waktu kita berjumpa tempo hari, kau bilang rumahmu sudah pindah," katanya kepada Gatot.

"Memang."

"Menyewa kamar saja atau mengontrak rumah lagi?"

"Aku membelinya."

"Wah, hebat. Sukses rupanya kau sekarang ya, Mas?"

"Untuk membelinya aku meminjam uang orang-tuaku kok," sabut Gatot tanpa menoleh barang sekilas pun kepada Rini.

"Belum juga mampu mandiri?"

"Hampir," Gatot menjawab pelan. "Uang yang kupinjam dari orangtuaku sudah hampir lunas."

"Jadi benar kan kalau kukatakan tadi bahwa kau sudah sukses sekarang. Kariermu sudah maju begitu kok."

"Hidup ini perjuangan, kan?" lagi-lagi Gatot menjawab dengan kalem. "Tujuh tahun bekerja masa iya tidak ada kemajuan."

"Bolehkah kapan-kapan aku main ke rumahmu?

"Hari masih tinggalbersamamu?" Rini bertanya lagi.

"Ya, Hari masih tinggal bersamaku," Gatot menjawab tanpa menyinggung permintaan Rini yang ingin berkunjung ke rumahnya.

Dari Tina, aku pernah mendengar bahwa Gatot memutuskan hubungannya dengan Rini karena gadis itu terlalu banyak menuntut perhatian. Aku tidak tahu begitu banyak karena Tina pun tidak begitu banyak memberiku informasi. Yang jelas, kedua insan itu merasa tidak cocok satu sama lainnya. Tetapi entah kenapa, aku melihat seperti apa yang juga pernah diceritakan oleb Tina, bahwa Rini tampaknya gagal menjalin hubungan cinta dengan laki-laki lain dan sekarang mulai menyesali putusnya dia dengan Gatot.

"Mas, apakah kau masih suka membaca, berolahraga dan mengikuti kursus ini-itu daripada menemani kekasih jalan-jalan?" Rini bertanya lagi. Dan kemudian tiba-tiba ia mengalihkan pertanyaannya kepadaku, "Dan bagaimana denganmu, Mbak? Apakah sebagai kekasih Gatot, kau juga sering dinomorduakan olehnya?"

Aku tertegun. Rupanya, Rini mengira aku kekasih Gatot. Dan itu baru kusadari sekarang, karena dari tadi pikiranku terkait kepada Tina sebagai kekasih lelaki itu. Akibatnya, aku sama sekali tidak siap menjawab pertanyaan Rini tadi. Lagi pula aku masih belum tahu harus berdiri di mana. Membela Gatot atau membela Rini. Dan aku juga tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh Tina seandainya dia yang mendapat pertanyaan dari bekas kekasih Gatot itu.

Untungnya Gatot menyadari kesulitanku. Dengan cepat ia mengoper pembicaraan demi melihatku tertegun-tegun seperti itu.

"Pengalaman lalu telah mengajar aku untuk belajar menjadi orang yang lebih baik dan lebih peka menangkap kebutuhan orang lain," katanya. "Nah, sebelum kita melanjutkan acara makan ini ada sesuatu yang telah kita lupakan. Sejak bertemu tadi kalian berdua belum berkenalan, kan?"

Hm, Gatot mulai lagi melepaskan diri dari percakapan yang menjurus ke masalah pribadinya.

"Ya, kami memang belum berkenalan." Rini menjawab sambil mendorong gelas es jeruknya ke samping. Kemudian tangannya terulur ke arahku. "Namaku Rini. Astarini, lengkapnya."

Uluran tangannya kusambut. Mata kami bertemu.

Dan aku pun merinding. Ada sinar kebencian dan bahkan seperti dendam yang tersiar dari kedua bola matanya. Rupanya apa yang Tina ceritakan padaku ada benarnya. Sebenarnya Rini masih ingin kembali kepada Gatot.

"Aku, Ambar!" Kusingkirkan perasaan tak enak tadi dari hatiku. Aku toh bukan saingannya. Gatot bukan apa-apaku. "Lengkapnya Niken Ambarwiyati."

"Nama Jawa banget."

"Aku memang orang Jawa meskipun sejak kecil sudah tinggal di Jakarta dan tidak pernah tinggal lama di Jawa Tengah atau pun di Jawa Timur."

"Aku pernah membaca tentang kebudayaan Jawa.

Bahwa orang Jawa itu menyukai dan mengusahakan harmoni atau keselarasan yang dituangkan dalam sikap rukun dan hormat. Kedua sikap tersebut menjadi kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Selain itu juga mereka menekankan rasa isin, atau rasa malu. Jadi jangan bikin malu keluarga atau kelompok, harus punya rasa tak enak, dan seterusnya. Nah, apakah juga demikian sikap hidup yang kaupegang, Mbak?"

Sekali lagi aku tertegun. Aku orang Jawa, memang, Tetapi tentang dua kaidah itu aku tak tahu benar. Kedua orangtuaku dan bahkan kakek-nenekku tak pernah mengajariku demikian. Namun demikian setiap aku menginap di Solo tempat kakek-nenekku tinggal, aku selalu memperhatikan cara orang Jawa bercakap-cakap. Bahasa yang mereka pergunakan mempunyai tingkat kehalusan yang berbeda-beda dengan penggunaan yang berbeda-beda pula, tergantung kepada lawan bicaranya. Dengan orang yang lebih tuakah, atau dengan atasankah, dengan orang yang harus dihormatikah, atau dengan orang yang baru dikenal dan seterusnya. Atau sebaliknya, dengan mereka yang lebih mudakah, dengan bawahankah, atau pula dengan yang setara, yang sebaya, dan dengan saudara atau teman akrab. Pendek kata, meskipun aku orang Jawa tetapi masih saja sering merasa heran menyaksikan bagaimana mereka bisa mempergunakan tingkat bahasa yang tepat dengan sendirinya. Tetapi sekarang sesudah Rini mengatakan ada kaidah yang menentukan pola hubungan antar manusia, yaitu sikap rukun dan hormat, tiba-tiba saja mataku mulai terbuka. Bahwa karena adanya pemakaian tingkatan bahasa itulah maka muncul perasaan sungkan, rasa segan, hormat, dan menenggang perasaan orang lain yang dengan sendirinya membentuk situasi yang harmoni. Sedangkan nilai kerukunan sudah pasti membawa rasa damai. Dan otomatis pasti harmonis.

Berpikir seperti itulah baru aku bisa menjawab pertanyaan Rini tadi.

"Memang harmoni merupakan sesuatu yang harus dicapai oleh orang Jawa meskipun itu tidak diucapkan secara jelas atau secara terang-terangan dalam didikan keluarga. Bahkan juga mungkin tanpa yang bersangkutan menyadari. Misalnya, bagaimana hidup ini harus mengalir seperti air. Menghanyutkan diri tanpa harus terhanyut, dan semacam itu. Dengan kata lain, hidup ini tidak untuk dipersoalkan tetapi untuk dijalani. Kalau dalam aliran kehidupan ini kita tersandung sesuatu, maka dicarilah sikap-sikap kompromis demi menghindari gesekan-gesekan yang mengganggu harmoni." Begitu aku menjawab sekenaku. "Sedangkan sikap hormat, sikap rukun, dijabarkan dalam rasa sungkan, tahu menenggang rasa, menjaga rasa malu, menghindari konflik, termasuk konflik batin. Meskipun tidak diucapkan secara nyata oleh para pendidik, kami selalu diarahkan untuk tidak melanggar hal itu."

"Aku akan menambahi apa yang dikatakan oleh Ambar," Gatot menyela bicaraku sambil memandang ke arah Rini. "Orang Jawa mendidik anak tidak secara khusus bahwa kami harus begini atau begitu, kecuali kalau memang itu perlu. Tetapi dengan peragaan konkret yang mereka perlihatkan dalam hidup keseharian. Nah, kurasa mengenai budaya Jawa itu dicukupkan sampai di sini saja. Lagi pula kenapa sih kau tiba-tiba saja membahas paham Jawa?"

Rini tersenyum manis. Lesung pipi dan giginya yang sehat tertata rapi itu tampak menawan. Dan secara tak kusangka-sangka aku merasa tidak nyaman. Aku ingin sekali Gatot tidak melihat keindahan di hadapannya itu. Entahlah mengapa timbul perasaan seperti itu. Dan entah pula perasaan itu muncul demi Tina atau demi diriku sendiri, masih baur. Dan yang tidak baur hanyalah perasaan marah terhadap diriku sendiri. Kenapa aku harus merasa terganggu hanya karena melihat senyum Rini, yang memesona, yang mungkin pemah membuat Gatot tergila-gila.

Dengan perasaan tertekan, aku mencoba untuk duduk dengan tenang sambil tetap berusaha menikmati nasi Padang di hadapanku.

"Belakangan ini aku memang amat tertarik pada segala sesuatu mengenai Jawa. Mungkin karena kau orang Jawa ya, Mas." kudengar Rini menjawab pertanyaan Gatot. Dan kulihat dia tersenyum lagi dengan pesona lesung di pipinya itu. "Sayangnya sudah terlambat. Kenapa itu tidak kupelajari dulu-dulu sewaktu kita masih bersama. Maaf lho, Ambar. Aku ini suka berterus terang dan berkata apa adanya."

"Terkadang keterusterangan lebih baik daripada apa-apa yang disembunyikan walau dengan dalih yang sangat beralasan sekali pun," sahutku mencoba bersikap bijak sambil meletakkan sendok. lsi piringku sudah nyaris habis. Cuma tersisa beberapa sendok nasi, tapi perutku sudah tidak muat lagi. "Tetapi orang Jawa terbiasa diarahkan untuk pandai-pandai menutupi perasaan sebenarnya demi menjaga keselarasan atau harmoni. Namun menurutku, di zaman sekarang, di mana kita hidup bersama masyarakat yang semakin majemuk, untuk kasus-kasus tertentu atau untuk situasi tertentu, hal itu sudah tidak cocok lagi. Keterusterangan juga mempunyai nilai positif terutama kalau itu bertujuan menghindari konflik yang malah bisa membahayakan keselarasan."

"Syukurlah kalau kau bisa mengerti itu, Ambar."

Rini menganggukkan kepalanya. Makanan di dalam piringnya juga sudah habis. "Itulah mengapa aku selalu bicara secara spontan dan mencetuskan apa saja yang kurasakan agar orang yang kuajak bicara dapat menentukan sikap karena sudah mengetahui pijakan atau letak pendirianku."

Gatot yang sudah sejak tadi menghabiskan isi piringnya tampaknya merasa jemu mendengar percakapan Rini denganku. Dia melihat ke arah arlojinya.

"Sudah siang," katanya. "Sore nanti akan ada acara dengan teman-teman sekantorku."

"Aku juga sudah ingin pulang," sahutku, ikut-ikutan melirik arloji. Memang sudah jam dua siang.

Setelah menghabiskan minuman masing-masing, aku mulai berdiri. Disusul oleh Gatot.

"Nah, sampai ketemu lagi ya?" kataku kepada Rini.

"Ya." Rini meraih tasnya dan menggantungkannya kembali ke bahunya. "Eh, kalian naik apa?"

"Naik mobilku," Gatot yang menjawab.

"Boleh aku ikut sampai di tempat yang paling dekat dengan arah jalan ke rumahku?" tanya Rini. Kemudian dia menoleh ke arahku. "Boleh kan, Mbak?"

"Tanyakan kepada yang mempunyai mobil. Jangan kepadaku."

"Ayolah," akhirnya Gatot berkata. Kudengar nada terpaksa dalam suaranya. Mungkin Rini juga merasakannya, tetapi tampaknya gadis itu tidak peduli.

Dengan perasaan tak enak, aku terpaksa jalan beriringan bertiga menuju tempat parkir. Ah, alangkah enaknya kalau aku bisa pulang dengan bus Patas seperti ketika berangkat tadi. Lebih bebas dan perasaanku tidak tertekan seperti saat ini. Sebab sungguh tak enak rasanya berada di antara dua orang yang dulu pernah menjadi sepasang kekasih itu.

Waktu Rini melihat mobil Gatot yang masih baru dan tampak mengilat itu, dia mendecakkan mulutnya.

"Wah, kau memang benar-benar sudah menunjukkan kemajuan lho, Mas!" begitu dia memberi komentar sambil mengelus-elus bodi mobil Gatot selama beberapa saat lamanya. "Selamat ya? Dan kau, Mbak Ambar, sungguh beruntung mengenal Mas Gatot sudah seperti sekarang. Dulu, dia itu keras kepala. Orangtuanya kaya tetapi tidak mau memakai fasilitas yang ada. Ke mana-mana naik motor yang sudah butut, sampai kami berdua dulu pernah basah kuyup ketika hujan turun tiba-tiba.'

Aku tak tahu harus memberi sahutan apa atas komentarnya itu. Karenanya aku hanya tersenyum saja meskipun sebenarnya aku tidak ingin tersenyum. Tetapi untungnya Gatot segera mengambil alih pembicaraan.

"Berani hidup ya harus berani berjuang," katanya tanpa senyum. "Masa iya hanya karena punya orangtua kaya lalu mau enak-enakan saja. Kekayaan kan tidak abadi. Nah, sudahlah, ayo kita segera naik."

Sambil berkata seperti itu, diam-diam aku merasa Gatot mendorong tubuhku agar aku duduk di depan, di samping pengemudi. Semula aku ingin membantahnya. Tetapi kubatalkan ketika ingatanku lari kepada Tina. Pikirku, meskipun aku ingin memisahkannya dari Gatot, tetapi itu bukan karena kehadiran orang ketiga. Apalagi kalau orang ketiga itu bekas pacar Gatot. Jadi, aku harus duduk di depan, di samping Gatot.

Karena berpikir seperti itu akhirnya aku menuruti keinginan lelaki itu. Tetapi di sepanjang perjalanan aku tidak lagi banyak bicara karena Gatot juga lebih banyak berdiam diri. Kelihatan sekali kalau dia tidak menyukai kehadiran Rini.

Ketika akhirnya Rini minta diturunkan di suatu tempat, Gatot langsung menurutinya. Sama sekali tidak ada basa-basi padanya. Misalnya menawari Rini untuk mengantarkan sampai ke rumahnya. Atau apa sajalah asal tidak bersikap sekaku itu. Aku jadi merasa kasihan pada gadis itu.

"Dari sini naik apa?" tanyaku untuk menunjukkan perhatianku padanya.

"Akan kuteruskan dengan taksi."

"Mobilmu yang bagus itu di mana?" Gatot menyela. Rupanya ada juga rasa ingin tahu yang muncul di hatinya.

"Dipakai ibuku."

"Mobil di rumahmu kan banyak. Yang lain dikemanakan?"

"Sudah dijual untuk tambahan modal usaha ayahku. "

"Kok bisa ... ?"

"Tentu saja bisa. Memangnya orang itu harus sukses terus?" Suara Rini terdengar kaku. Kemudian dengan terburu-buru dia membuka pintu mobil dan segera keluar. Kelihatan sekali dia tak mau berbicara tentang keadaan keluarganya. Tetapi begitu berada di luar dia mendekati jendela di samping kanan Gatot sehingga laki-laki itu menurunkan kacanya. "Aku minta kartu namamu dong. "

Tanpa berkata apa pun Gatot segera mengeluarkan kartu namanya dari dompetnya dan mengulurkannya ke arah Rini yang langsung menyimpannya dengan hati-hati. Kemudian, gadis itu menoleh ke arahku.

"Aku juga minta kartu namamu," katanya kepadaku. "Supaya perkenalan kita tidak berhenti di sini saja. Kecuali kalau kau tak suka berteman denganku."

Karena kata-kata terakhirnya itu aku terpaksa memberi kartu namaku juga meskipun tadinya aku ingin berkata tidak membawanya andai dia memintanya. Tetapi hati nuraniku tak mengizinkan aku berdusta.

"Oke, kutinggal ya Rin!" Gatot menyela tak sabar. "Aku harus cepat tiba di rumah."

"Baiklah. Kapan-kapan kita lanjutkan lagi obrolan kita, Nah, terima kasih ya, Mas," sahut Rini sambil melambaikan tangannya. Tetapi ketika mobil mulai bergerak maju, tiba-tiba gadis itu berteriak lagi. "Hei, ternyata rumah kalian bersebelahan, ya?"

Baik aku maupun Gatot tidak mau memberi komentar atas penemuan Rini sewaktu dia membaca kartu nama kami. Tetapi begitu kecepatan mobil sudah memasuki kecepatan yang normal, aku menoleh ke arah Gatot.

"Lain kali jangan kauikutsertakan aku ke dalam obrolan kalian," semburku. "Dan jangan pernah lagi membiarkan kesan pada siapa pun, terutama kepada Rini, seolah aku ini kekasihmu. Lebih-lebih kalau tujuannya untuk membangkitkan perasaan cemburu kepada bekas kekasihmu tadi!"

"Wah, begitu saja marah," sahut Gatot kalem.

"Kenapa sih kau jadi pemarah begini? Padahal kata Tina, kau bukan seorang pemarah, bahkan sabar dan penuh pengertian."

"Berada di dekat orang yang tak punya perasaan seperti dirimu siapa pun akan jadi pemarah!"

"Tak punya perasaan bagaimana sih? Aku justru sejak tadi terlalu dipenuhi oleh perasaan bangga. Tidakkah kau mempunyai sedikit saja kerelaan untuk membiarkan rasa bangga itu bermegah-megah di hatiku?"

"Bangga apanya?" Kukerutkan dahiku.

"Bangga bahwa Rini dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa sekarang aku telah mendapatkan banyak kemajuan dalam hidupku. Terutama seorang kekasih yang lebih baik segalanya," masih saja Gatot berkata dengan kalem. Seolah sedang membicarakan acara teve yang membosankan. Padahal dia telah menyangkutkan nama baikku.

Tentu saja aku jadi marah. Apalagi dia memperlakukan diriku sebagai kekasihnya di hadapan Rini.

"Sudah kukatakan tadi, jangan memperlakukan diriku sebagai kekasih barumu di hadapan bekas kekasihmu itu!" aku mulai menyemburkan kemarahanku.

"Sejak tadi kau menyinggung tentang bekas kekasihku. Memangnya siapa yang mengatakan bahwa Rini itu bekas kekasihku?"

Aku tertegun mendengar pertanyaan itu. Bukankah dugaan itu awalnya dari ingatan tentang percakapanku dengan Tina beberapa waktu yang lalu?

"Tidak ada yang memberitahu aku," sahutku kemudian dengan terburu-buru. Aku tidak ingin Gatot mengetahui bahwa aku dan Tina pernah membicarakan dirinya. "Aku hanya menduga-duga saja. Apalagi Rini sendiri telah memberi kesan seperti itu di dalam pembicaraan tadi. Apakah aku salah?"

"Tidak. Rini memang bekas kekasihku." Gatot melemparkan pandang matanya ke arahku beberapa detik lamanya.

"Dan kau masih menaruh perhatian khusus terhadapnya, kan?"

"Itu urusanku, Ambar."

"Itu juga urusanku!" aku memberuak, "Kau akan menerima balasan dariku kalau sampai menyakiti perasaan adikku. Aku memang ingin memisahkan hubungan kalian berdua. Tetapi dengan caraku. Bukan karena hadirnya orang ketiga!"

"Tina sudah tahu mengenai Rini!"

"Tetapi pasti tidak tahu bahwa kau masih memperhatikan bekas kekasihmu itu dengan cara membuatnya cemburu!" aku menyembur lagi.

"Kalau memang begitu, seharusnya kau merasa senang, kan?" Gatot melemparkan lagi lirikan matanya.

"Itu betul. Tetapi seperti sudah kukatakan tadi, aku punya cara lain tanpa menyakiti perasaannya. Yaitu dengan cara membuka matanya agar dia melihat seperti apa kau sebenarnya."

"Jadi artinya, kau masih belum menceritakan kepadanya mengenai peristiwa di Ancol itu, kan?" Sekali lagi Gatot melemparkan lirikan matanya kepadaku. Ada godaan dalam suaranya.

Aku tak bisa menjawab perkataannya dengan seketika. Tetapi pipiku jadi panas rasanya begitu mendengar perkataan yang mengandung godaan itu. Melihat pipiku yang pasti berwarna kemerahan itu, Gatot tersenyum.

"Kenapa peristiwa indah malam itu belum juga kaukatakan kepada Tina agar adikmu itu tahu bahwa aku ini seorang laki-laki yang mudah tergiur oleh kecantikan seseorang?" Gatot menggangguku lagi dengan suaranya yang menggoda itu.

"Pasti di suatu ketika nanti aku akan mengatakannya," sahutku jengkel sekali.

"Kenapa tidak sekarang saja? Bukankah semakin cepat Tina mengetahuinya akan semakin baik jadinya. Sebab apa yang akan diketahuinya itu bisa memisahkan dia dariku." Lagi-lagi Gatot memperdengarkan suaranya yang mengandung godaan, membuat rasa jengkelku semakin menjadi-jadi. "Ataukah karena kau merasa malu?"

"Kenapa aku harus merasa malu?" aku membentak.

"Ya, . siapa tahu, kan?" Gatot menjinjitkan alis matanya, menampilkan wajah seperti orang yang tak berdosa. "Sebab kalau kuingat-ingat apa yang kita alami itu, sebenarnya kau juga ... "

"Cukup!" terburu-buru aku memotong perkataan Gatot. Wajahku seperti terbakar rasanya. Panas sekali. Aku sudah tahu apa yang kira-kira akan dikatakan oleh Gatot tadi. Bahwa sebenarnya kesalahan itu tidak seluruhnya ada pada dirinya. Sebab ketika peristiwa itu terjadi, selama beberapa waktu lamanya aku telah membiarkannya menciumi dan membelai diriku. Bahkan aku sempat pula membalas pelukan dan kemesraannya.

Mendengar aku memotong perkataannya, Gatot menggumamkan suara tawa yang enak didengar dan mengusap alat pendengaranku. Lembut, dalam dan mesra, ataukah aku saja yang sudah semakin gila? Sebab mana ada sih suara tawa yang menguap lembut telinga orang?

"Jangan tertawa!" Hanya itu yang masih bisa keluar dad mulutku dengan wajah yang terasa semakin panas itu. Rasanya aku seperti tersudut, sadar bahwa Gatot tahu aku telah menikmati ciuman dan elusan tangannya. Sungguh memalukan.

"Lho, kok tidak boleh tertawa sih? Aku sedang merasa senang sekali," sahut Gatot masih dengan tawa yang terdengar empuk.

"Apanya sih yang membuatmu merasa senang?"

Aku mendengus kesal. "Apakah karena aku tidak berani berterus terang kepada Tina? Kau salah kalau mengira aku masih menyembunyikan itu karena hal-hal lain seperti yang kausangka. Aku belum menceritakannya karena aku takut melukai hatinya. Sudah kukatakan tadi, kan? Saat ini aku sedang mencari kesempatan yang pas untuk mengatakan padanya dan sekaligus juga menyelamatkannya dari bahaya berdekatan denganmu. Jadi jangan senang dulu!"

"Yang membuatku senang bukan itu kok!"

"Lalu apa kalau begitu?"

"Pipimu yang memerah seperti tomat matang itu, lho," sahut Gatot. "Kulihat wajahmu yang begitu putih dan halus dengan rona merah seperti itu jadi bertambah cantik. Sekaligus juga membuatku merasa kagum. Di zaman sekarang ini tidak mudah menemukan pipi seorang gadis yang menjadi kemerahan karena diingatkan pernah dicium seseorang. Apalagi, gadis itu sudah pernah berpacaran sebelumnya dan toh pipinya bisa semerah itu oleh godaanku tadi. ltu tandanya, kau seorang gadis yang masih kuat menyimpan perasaan malu. Padahal zaman sekarang ini banyak orang yang sudah tidak lagi punya rasa malu. Nah, hal itulah yang membuatku merasa gembira. Aku semakin bangga saja terhadapmu."

"Idih, memangnya aku ini apamu, kok hatimu bangga karena diriku!" seruku dengan perasaan amat kesal. Padahal bentakan itu untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya. Betapapun juga harus kuakui bahwa apa barusan yang dikatakannya telah menyentuh perasaanku yang terdalam.

Tiba di rumah, sesudah mengganti pakaianku dengan sehelai daster batik yang enak dipakai, aku langsung mengempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Hatiku menjadi sedih sekali. Sedih karena pikiran warasku tidak sejalan lagi dengan perasaanku. Sedih pula karena keinginanku juga tidak lagi beriringan dengan kenyataan yang kuhadapi hari ini.

Otakku mengatakan supaya aku bersikap tegas kepada Gatot dan lalu dengan sekuat tenaga segera menjauhkannya dari Tina. Tetapi perasaanku membiarkan daya tarik laki-laki itu mempengaruhi diriku dan menghambat ketegasan yang seharusnya kulakukan.

Sementara itu keinginanku untuk menjauhi Gatot agar pikiranku dapat lebih tertata demi kebaikan diriku sendiri dan juga derni keselamatan Tina, mulai tampak berlawanan dengan kenyataan yang terjadi. Seperti apa yang terjadi hari ini, misalnya. Aku ingin menjauhi Gatot, tetapi aku malah bertemu dengan dia di tempat yang rasanya mustahil bisa bertemu dengan tetanggaku itu. Dan di sana kami malah berbelanja, makan, dan pulang bersama-sama pula. Seolah bukan Tina yang kekasih Gatot tetapi aku. Sungguh, memikirkan semua itu hatiku sangat sedih rasanya.

Dan yang lebih tragis lagi, dalam kesedihan yang begitu mendalam itu aku tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan berpikir saja pun aku tak bisa. Dan karenanya aku hanya bisa menyesali apa yang telah terjadi. Semuanya. Mulai dari pertanyaan batin tentang kenapa rumah kosong di sebelah itu bukannya dibeli orang lain, dan kenapa pula harus Gatot dan sepupunya yang tinggal di situ. Dan juga kenapa harus terjalin keakraban di antara mereka dengan keluargaku ini sampai-sampai hati perawan adikku bisa terkuak oleh lelaki yang tak pantas untuknya itu?

Masih dengan perasaan sedih yang tak terhingga, mataku menembus tirai jendela kamarku yang bergerak-gerak tertiup angin menjelang sore hari. KuIihat pucuk-pucuk pohon flamboyan di tepi jalan di muka rumahku itu masih saja seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Hanya kehijauan saja yang kulihat. Pohon itu tak pernah berbunga lagi. Sama seperti hatiku yang juga cuma punya satu warna. Kesepian, dan sekarang ditambah rasa pilu yang mendalam.

DARI jendela ruang kerjaku di tingkat enam, kulihat cahaya petir yang mengerikan sambar-menyambar mengoyak langit, sementara hujan lebat tumpah mengguyur Ibukota tercinta ini. Sedemikian derasnya sampai pandang mataku tak mampu menembus bentuk gedung-gedung bertingkat di lingkungan ini. Tetapi samar-samar aku masih bisa melihat pohon angsana dan beringin putih di halaman kantorku meliuk-liuk diterpa angin dan air, layaknya dua penari yang sedang menyajikan atraksi yang rnemukau.

Saat itu hari masih pagi. Baru jam sepuluh kurang beberapa menit. Tetapi cuaca buruk di luar sana telah mempengaruhi semangat kerjaku. Kalau saja aku sedang ada di rumah, sudah pasti satu-satunya hal yang akan kulakukan adalah bergelung di atas tempat tidur, berselimut, sambil menonton televisi di kamarku yang tenang.

"Hai, apa sih yang sedang kaulamunkan?" Tiwi, teman sekantorku, menyapa. Entah sejak kapan gadis langsing yang selalu tampak anggun dan keren itu berdiri di muka meja kerjaku. Tangannya yang memegang kantong plastik berisi kue itu diulurkannya kepadaku. "Daripada melamun kan lebih enak mencicipi makanan enak ini. Ayo, Mbar."

Aku mengembalikan perhatian dan pikiranku ke dalam ruangan ini. Kemudian sambil tersenyum kuraih sepotong kue. Kuperhatikan kue yang sudah pindah ke tanganku itu dengan cermat. Kue itu berbentuk bintang tetapi membulat. Tidak pipih.

"Ini kue apa?" tanyaku kemudian.

"Mana aku tahu, Non?" Tiwi menyeringai sambil mengangkat bahunya. "Ah, kau kan tahu aku tak pandai dalam hal perkuean, kok bertanya juga. Tanyakan saja bagaimana rasanya, itu aku tahu persis!"

"Rasanya bagaimana?" Senyumku berubah menjadi tawa.

"Rasanya, wow. Renyah, gurih, manis, dan ada rasa jahenya. Ayo, gigit. Dan resapi bagaimana rasanya."

"Mestinya kau tidak bekerja di kantor ini, Wi!"

Aku tertawa lagi. "Kau lebih pantas jadi bintang iklan makanan, Begitu meyakinkan!"

Tiwi juga tertawa.

"Sudahlah, jangan menggoda," katanya. "Rasakan, dan berikan komentarmu!"

Kugigit kue yang ada di tanganku itu pelan-pelan. Rasanya memang enak. Begitu kue itu bertemu dengan lidahku, langsung menjadi lembek dan mencair di mulut.

"Mm, memang enak," komentarku.

"Ambillah lagi." Tiwi mengulurkan lagi bungkusan plastiknya kepadaku. "Makan kue seperti ini dalarn cuaca buruk sungguh nikmat. Dan jelas sekali ini jauh bermanfaat daripada melamun. Heh, apa sih yang kaulamunkan tadi?"

Aku mencoba mengukir senyum di bibirku. "Aku tidak melamun," aku berdalih. "Aku hanya menatap cuaca buruk di luar sana. Dan terus terang saja, suasana muram di luar sana telah membuat semangat kerjaku jadi luntur!"

Tiwi melemparkan pandangannya ke luar jendela kaca di samping meja kerjaku. Jendela kaca itu telanjang karena tirainya kusatukan ke tepi. Aku tidak suka tirai yang menghalangi pandangan mataku ke luar sana.

"Deras sekali ya hujannya. Mudah-mudahan jangan terlalu lama. Kasihan mereka yang tinggal di daerah-daerah rawan banjir," gumam Tiwi kemudian.

"Ya, mudah-mudahan begitu," aku juga bergumam. "Jakarta sangat tidak menyenangkan kalau jalan-jalannya digenangi air."

"Ya. Dan mudah-mudahan pula semangat kerjaku tidak surut sepertimu!" Sekali lagi Tiwi menyeringai. "Sebab aku sudah telanjur janji bertemu dengan seorang nasabah yang mengajak dua temannya mengambil kredit untuk usaha mereka."

"Kelas kakap atau teri?"

"Bandeng. Tetapi bandeng besar." Tiwi menyeringai lagi untuk ketiga kalinya. "Nah, aku mau turun. Kue ini kusimpan di laci mejaku. Kalau masih kepingin ambil aja."

"Thanks. "

Sepeninggal Tiwi aku mencoba untuk mengembalikan perhatianku kepada pekerjaan yang terletak di bawah hidungku. Tetapi temyata tidak mudah. Sama tidak mudahnya bagiku untuk tetap bersikap tenang dan mantap seperti biasanya. Sebab sudah beberapa hari ini pikiranku sangat resah. Ada sesuatu yang mengganggu batinku. Sesuatu yang teramat sangat berat dan nyaris tak tertahankan olehku.

Sesuatu itu adalah kesadaran yang memasuki pikiranku tentang beberapa perubahan yang mulai terjadi pada diriku. Sebab sudah beberapa waktu belakangan ini aku mulai sadar bahwa setiap kali aku melangkah ke luar rumah, kepalaku begitu saja menoleh ke arah rumah Gatot. Dan sudah beberapa waktu lamanya ini pula, jantung di dadaku selalu meloncat liar kalau telingaku mendengar suara Gatot di sekitar rumahku. Aku benar-benar merasa benci kepada diriku sendiri. Aku tahu betul, itu suatu malapetaka besar bagiku. Sebab tanpa kukehendaki, laki-laki itu telah masuk begitu saja ke dalam hatiku. Dan tanpa kuwaspadai sebelumnya, laki-laki itu telah menyerbu masuk ke dalam pikiranku. Rupanya, kebencian dan kemarahan yang kurasakan padanya selama ini menyebabkan seluruh pikiranku terserap padanya. Dan tanpa kusadari, besarnya keinginanku untuk memisahkan dia dari Tina telah pula menyebabkan namanya merasuki pikiran dan hatiku. Rupanya pula dalam perjalanan waktu selama berbulan-bulan ini, dengan tidak kusangka-sangka barang secuil pun, tiba-tiba saja Iaki-laki itu telah menguasai diriku.

Bagaimana aku tidak putus asa karenanya? Sungguh tak bisa kupahami kenapa jadi begini akhirnya, Entah ke mana saja perginya pikiran warasku, menghadapi laki-laki tak berharga seperti itu saja kok aku bisa kalah.

Demikianlah sesudah datangnya kesadaran itu, acap kali aku duduk tercenung dan kadang-kadang juga berbicara sendirian seperti orang gila. Sedih sekali rasanya. Bayangkan saja, usahaku untuk menyelamatkan Tina dari cengkeraman daya tarik Gatot belum lagi berhasil, sekarang malah aku sendiri tergelincir ke dalam perangkap yang sama. Rasanya seperti si buta menuntun orang buta dan keduanya jatuh tertelungkup di tepi jurang.

Semestinya, aku lebih merasakan marah kepada diriku sendiri daripada kepada Gatot atas apa yang kualami belakangan ini. Tetapi kenyataannya, aku sangat membenci Gatot. Sebab, menurut pikiranku, seandainya dia tidak terus-menerus menggangguku atau andaikata dia tidak berusaha mengambil hatiku yang menurutnya adalah calon kakak iparnya, pasti sampai detik ini hatiku masih dalam keadaan darnai dan tenang. Dan tak akan kurasakan betapa resab, gelisah, dan kacaunya batinku seperti saat ini.

Merasa sulit untuk mengkonsentrasikan pikiran kepada layar monitor di hadapanku, kuhentikan pekerjaanku dan kulayangkan kembali mataku ke luar jendela. Hujan masih saja lebat. Dan pucuk-pucuk pepohonan di halaman kantorku masih saja meliuk-liuk genit, bercanda dengan angin dan hujan. Tetapi di tengah-tengah pemandangan menyedihkan di luar jendela itu, aku teringat pada apa yang kuobrolkan bersama teman-temanku beberapa waktu lalu saat jam istirahat makan siang. Ketika itu kami sedang ramai-ramai menasihati Hastuti yang sangat membenci atasannya yang masih bujangan tetapi sok mengatur.

"Tut, sebaiknya kau Iebih bersikap bijaksana dan tetap berpegang pada rasiomu. Jangan emosional begitu!" salah seorang teman kami menasihati gadis itu. "Sebab kalau tidak, kau akan terjungkal sendiri."

"Bagaimana caranya?" tanya Hastuti waktu itu. "Cara yang paling penting adalah jangan terlalu membenci Pak Irwan seperti itu," sahut yang ditanya. "Kena batunya kau nanti. Sebab ketahuilah bahwa batas antara perasaan benci dan yang sebaliknya itu sangat tipis. Setipis benang!"

"Itu benar," kata teman kami yang lain sambil tertawa. "Sebab begitulah yang kerap terjadi pada sebagian orang. Mulanya dia benci kepada seseorang, tetapi akhirnya dia terperangkap ke dalam perasaan cinta, dan buntut-buntutnya kalau berpisah sebentar saja dia merasa rindu setengab mati kepada orang itu. Gawat kan jadinya?"

Aku tertawa mendengar celoteh teman-temanku saat kami sedang makan siang. Tetapi hari ini aku tertegun-tegun sendiri begitu percakapan yang pernah kudengar itu memasuki ingatanku. Mengingat perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini, ada rasa cemas luar biasa yang mulai menggenggam jantung kalbuku. Aku tidak ingin mengalami apa yang diceritakan oleh teman-temanku sewaktu mereka menasihati Hastuti. Kebencianku kepada Gatot jangan sampai berubah menjadi rasa rindu setengah mati.

Sedang aku tertegun-tegun seperti itu, telepon di ruanganku berbunyi. Seperti biasanya, Sabat Sitompul yang duduknya tak jauh dari tempat telepon mengangkatnya sehingga deringnya yang sempat menyela lamunanku tadi terhenti. Perhatianku kukembalikan ke luar jendela lagi. Tetapi sebelum aku terseret kembali ke dalam lamunan, Sabat memanggil namaku.

"Telepon untukmu, Ambar!"

"Dari .. ?"

"Mana aku tahu, Non. Terimalah sendiri." Aku bangkit dari kursiku.

"Lelaki atau perempuan, Sabat?" tanyaku sambil berjalan ke arahnya.

"Lelaki dengan suara bariton!" Sabat memicingkan sebelah matanya. "Empuk dan enak didengar!"

Aku tertegun sesaat lamanya ketika mendengar jawaban Sabat. Jangan-jangan Gatot yang meneleponku. Tetapi ah, memangnya suara empuk hanya milik dia seorang? Aduh, kenapa aku jadi begini? Sedikit-sedikit mengaitkan sesuatu kepada Gatot.

Dengan penuh rasa ingin tahu kuangkat gagang telepon dan kutempelkan erat-erat di telingaku.

"Halo ... ?"

"Ya halo, kaukah itu, Ambar?"

"Ya," sabutku. Suara empuk diseberang itu membuat jantungku mulai bergerak tak teratur. Kukenali betul suara itu. Suara Bram. Rasanya sudah berabad-abad lamanya aku tak pernah lagi mendengar suaranya. Kenapa tiba-tiba dia meneleponku? Akan mengabariku bahwa dia akan menikah dengan Nina yang pernah menjadi teman. dekatku itu?

"Masih ingat suaraku?" tanya suara di seberang sana.

"Siapa, ya?" Aku pura-pura tidak ingat. Pertama, belum tentu telingaku benar. Si penelepon itu bukan Bram. Mungkin saja itu suara seseorang yang mirip dengan suara Bram. Kedua, aku tidak ingin Bram jadi besar kepala karena aku masih ingat pada suaranya.

"Masa lupa sih?"

"Maaf, aku benar-benar tidak mengenali suara Anda. Semula kusangka suara Gatot, tetapi kok agak beda," sahutku. Pikirku, kalau itu memang suara Bram, aku ingin memberinya kesan bahwa aku sudah mempunyai teman laki-laki.

"Siapa itu Gatot?" Kudengar suara itu lagi. "ini aku, Ambar, Bram" .

"Bram?" Aku masih tetap berpura-pura tak ingat.

"Bram, Bram yang dulu itu?"

"Ya, Ambar. Masa kau tak mengenali suaraku?"

"Aduh, maaf. Aku pangling," sahutku berusaha tenang. "Sudah terlalu lama aku tidak mendengar suaramu, mana mungkin. aku bisa segera mengenalinya?"

"Benar-benar sudah tidak ada lagikah aku dalam kenanganmu, Ambar? Tidak tersisa sedikit pun?"

"Tentu saja masih ada yang kukenang, Mas. Masa iya kulupakan begitu saja."

"Wah, kejutan kalau begitu. Aku tak menyangka kau masih mau mengingat diriku!" Kudengar nada suara hangat dari seberang sana. "Terima kasih, Ambar. Tetapi bolehkah aku tahu kenangan mana yang masih ada padamu itu? Samakah seperti yang kukenang selama ini?"

"Itu Tho, Mas, kenangan sewaktu aku terburu-buru ke tempat kosmu untuk mengatakan sesuatu, tetapi di sana aku menemukan dirimu sedang bermesraan penuh gairah dengan Nina!" aku menjawab dengan kalem.

"Ah, Ambarl" Suara Bram di seberang sana mulai hilang kegembiraannya.

Tetapi memang itulah kenangan tentang dia yang masih tersisa padaku. Sesuatu yang justru memacu diriku untuk bersikap lebih waspada dan lebih arif dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Khususnya yang berkaitan dengan pergaulan. Kenangan pahit dengan Bram telah kuambil hikmahnya. Bahwa betapapun sakitnya diriku saat itu, pengalaman itu telah membuka wawasan baru dalam diriku. Misalnya mengenai betapa tipisnya batasan antara cinta dan nafsu. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa melupakan kenangan pahit saat aku menyaksikan sebuah kesetiaan cinta tercabik hanya oleh nafsu badaniah?

"Kusangka kau masih mengenangku dalam hal lainnya." Kudengar lagi suara Bram. Ada nada merajuk dalam suaranya.

"Kalau yang Iainnya, terus terang saja aku tak pernah mengingatnya lagi. Lagi pula semua itu kan gombal belaka, masa harus dikenang?" sahutku. Laiu dengan gesit aku mengalihkan pembicaraan. "Apa kabar, Mas? Tumben meneleponku. Jangan-jangan mau menyampaikan kabar gembira tentang kau dan Nina. Kalau ya, jangan lupa kartu undangannya lho, Aku pasti akan datang untuk mengucapkan selamat pada kalian berdua."

"Wah, bukan main tangkasnya bicaramu sampai aku tak bisa menyelamu."

"Maaf," aku bergumam pelan. "Nah, kalau begitu katakanlah segera, kapan hari bahagiamu akan dilangsungkan?"

"Tidak ada kabar gembira seperti yang kausangka itu kok, Ambar, Hubunganku dengan Nina sudah putus sejak kemarin-kemarin."

"Oh, maaf. Aku ikut prihatin mendengarnya."

Aku kaget mendengar berita itu. "Lalu kenapa kau meneleponku'?"

"Tidak boleh, ya?"

"Bukannya tidak boleh. Tetapi untuk apa?"

"Kok untuk apa?" Kudengar Bram menggerutu.

"Hubungan cinta di antara kita berdua memang sudah berakhir. Tetapi itu kan karena kau yang memutuskannya. Seribu kali aku minta maaf kepadamu, tetapi seribu kali pula kautolak permintaan maafku itu. Telepon dari Nina pun tak pernah kauterima. Tetapi aku ingat betul tentang persetujuanku tatkala aku memintamu agar kita tetap berteman meskipun sudah tidak menjadi sepasang kekasih lagi."

"Lalu sekarang apa maumu?"

"Menagih janjimu, yaitu kita tetap berteman.

Maka hari ini aku ingin menyapamu. Sapaan pertamaku adalah ingin tahu apa kabarmu."

"Kabarku? Aku baik-baik saja. Terima kasih!" Ah, seharusnya kuakhiri saja pembicaraanku dengan Bram itu. Aku agak curiga mengapa dia tiba-tiba menghubungiku lagi. Jangan-jangan itu disebabkan karena hubungannya dengan Nina putus lalu ia mulai merasa kesepian. Aku tak berminat jadi ban serep baginya. Memangnya aku ini siapa?

"Kedua, aku ingin tahu apakah sesekali aku masih boleh datang berkunjung ke rumahmu. Sebab menurut janjimu waktu itu, kita kan masih berteman. Dan yang namanya berteman, tentunya ada saat di mana saling berkunjung atau sedikitnya saling berkabar di antara teman. Bagaimana Ambar, boleh?"

"Terserah. "

"Kok terserah?"

"Habis aku harus mengatakan apa? Kalau aku mengatakan tidak seperti yang ada di dalam hatiku, tentu itu tidak pantas diucapkan oleh seorang teman. Mau mengatakan boleh, aku tak bisa menjamin apakah aku ada di rumah atau tidak saat kau datang berkunjung. Sekarang ini aku sibuk sekali dan sering bepergian."

"Kalau saat aku datang ke rumahmu kau tidak ada di rumah, itu risiko yang harus kuterima. Yang penting, asal kau memberiku izin berkunjung ke rumahmu."

Aku diam saja sehingga Bram mengisi kediamanku dengan suaranya lagi.

"Ambar, tidakkah kau ingin tahu kenapa hubunganku dengan Nina putus?"

"Terus terang, tidak. Untuk apa sih? Lagi pula itu kan bukan urusanku lagi, Mas Bram." jawabku tegas.

"Tetapi aka ingin menceritakannya padamu, Ambar. Setidaknya aku bisa mengeluarkan ganjalan perasaanku sebagai seseorang yang pernah dekat denganmu!" kala Bram. "Terutama aku ingin mengatakan kepadamu betapa pedihnya perasaanku setiap aku teringat bagaimana kau memergoki pengkhianatanku waktu itu. Apalagi yang mengkhianatimu itu bukan hanya kekasihmu saja, tetapi juga sahabatmu .... "

"Peristiwa itu sudah lama kulupakan. Untuk apa dibicarakan lagi sih, Mas!" aku memotong perkataan Bram yang belurn selesai itu.

"Aku cuma mau mengatakan betapa besar penyesalanku karena pernah menikamkan penderitaan ke jantungmu, dan sekarang ini aku mengalami hal yang sama. Rasanya aku seperti kena kutuk. Nina mengkhianatiku dengan teman sekantorku sendiri dan kemudian ... "

"Aduh, Mas, jangan menyangkut-pautkan apa yang kaualami sekarang ini dengan peristiwa lama yang sudah terkubur," aku memotong lagi perkataan Brarn dengan perasaan muak.

Rupanya masih saja dia tidak memahami bahwa rasa sakit yang menghunjarn kalbuku itu lebih banyak disebabkan oleh kekecewaanku atas pengkhianatan terhadap kesetiaan, persahabatan, rasa hormat, dan keteguhan memegang prinsip moral, daripada kehilangan seorang kekasih dan sahabat baik. Dan bahwa yang tidak bisa kuterima adalah kenapa pengkhianatan yang mencabik prinsip hidup utamaku itu justru dilakukan oleh dua orang yang paling dekat dengan diriku. Sama sekali dia tidak mengerti di mana sakit yang kurasakan itu berasal.

"Tetapi, Ambar ... "

"Tunggu, aku belum selesai bicara!" selaku lagi.

"Peristiwa lama itu jangan kauungkit-ungkit lagi, Mas. Buat apa? Aku benar-benar sudah melupakannya. Kalaupun ada kaitannya, itu adalah hikmah yang kudapat dari pengalaman pahit itu. Antara lain bahwa dalarn kehidupan manusia, ada banyak rencana, cita-cita, keinginan, dan lain sebagainya yang bisa mengalami kegagalan sebelum kita dapat meraihnya. Tentu saja itu menimbulkan kekecewaan, kecil maupun besar porsi kekecewaannya. Tetapi suatu ketika nanti, cepat atau lambat, kita bahkan bisa berterima kasih kepada Tuhan atas atas kegagalan itu. Sebab kemudian terbukti, ada hal lain yang jauh lebih baik dari rencana kita. Dan itulah yang kualami."

"Alangkah bijaknya kau sekarang, Ambar. Mendengar perkataanmu itu tiba-tiba saja aku mulai melihat sisi baik dari pengkhianatan Nina dengan temanku itu. Pertama, sekarang aku jadi lebih mampu memahami bagaimana perasaan orangyang dikhianati. Kedua, pengkhianatan itu untungnya terjadi sekarang, sebelum Nina menjadi istriku. Ketiga, dengan keadaanku yang bebas begini, aku jadi tidak takut lagi menghubungimu. Sebab sebelum ini Nina sangat cemburu terhadapmu. Mendengar namamu kusebut saja dia sudah marah-marah. Dan yang keempat, sekarang aku bisa lebih meresapi makna maafku terhadapmu atas perbuatanku di masa lalu."

Aku terdiam, berusaha mencema apa yang baru saja diceritakan Bram. Jadi begitulah rupanya akhir hubungan cinta mereka berdua. Nina bermain api lagi. Aku ingat, gadis itu memang agak nakal. Dulu semasa kami masih duduk di SMA saja pun, dia sering main mata dengan pemuda-pemuda yang baru dikenal. Pacarnya berganti-ganti. Kalau kunasihati, dia marah. Katanya, perbuatannya itu cuma iseng saja. Bukan sesuatu yang serius. Tetapi temyata di masa dewasanya, keisengan itu masih saja dipertahankannya. Bahkan tanpa menenggang perasaan orang.

Karena aku tidak memberi komentar apa pun atas perkataannya tadi, Bram melanjutkan kata-katanya.

"Sungguh, Ambar, aku merasa lega karena akhirnya keinginanku untuk menghubungimu kembali terwujud," katanya. Entah apa maksud ucapannya itu. Tetapi sedikit pun aku tak berrninat untuk mengetahuinya. Sudah terlalu banyak yang kupikirkan saat ini. Aku tidak ingin menambahinya lagi.

"Maaf, Mas, aku sedang banyak pekerjaan," akhirnya kuputuskan untuk menghentikan pembicaraan yang tak ada manfaatnya itu. "Kapan-kapan saja kita mengobrol lagi, ya? Tidak enak melihat teman-temanku bekerja dan kita mengobrol di telepon."

"Tuggu dulu, Ambar. Aku masih belum selesai mengeluarkan isi hatiku. Sebentar saja." Ternyata tidak mudah menghindari Bram.

"Baiklah. Tetapi cepat, ya?"

"Oke. Begini, Ambar, setelah kupikir-pikir lagi temyata dikhianati kekasih itu tidak selalu menyedihkan ... "

"Mas, hari ini sudah cukup banyak aku mendengar kisahmu dengan Nina," kataku menyela. Ah, temyata ya cuma itu-itu saja yang ia katakan padaku. Sungguh menyebalkan, "Bicara yang lainnya sajalah. Saat ini aku benar-benar sedang repot!"

"Oke. Tetapi berikanlah padaku pandangan-pandanganmu yang mungkin bisa menjadi bahan refleksi buatku."

"Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku ikut prihatin atas gagalnya hubunganmu dengan Nina. Sudah kukatakan tadi, kan? Tetapi mudah-mudahan itu menjadi pelajaran bagimu di masa depan. Kalau kau akan menjalin hubungan baru dengan gadis lain, sebaiknya kau lebih berhati-hati dan lebih arif. Jangan biarkan nafsu kotor membauri cinta. Sebab pasti tidak akan bagus akhirnya, Oke?"

"Aku ... aku ... mengerti," kudengar suara Bram mengandung rasa malu. "Tetapi hanya itu sajakah yang kaukatakan padaku sesudah sekian lamanya kita tidak pernah saling berkabar?"

"Lho, aku harus mengatakan apa lagi?" sahutku dengan suara agak meninggi. "Bahwa aku merasa senang karena kau juga mengalami apa yang pernah kurasakan waktu itu? Wah, kau keliru kalau berpikir seperti itu. Sebab bagiku, akan lebih menyenangkan kalau aku mendengar kau sudah menikah dengan Nina dan hidup berbahagia bersamanya. Sebab dengan demikian, kau tidak lagi punya kesempatan untuk meneleponku. Apalagi pada saat jam kantor sedang sibuk-sibuknya. Maaf aku terpaksa mengatakan apa adanya. Dalam hal yang penting begini aku tak mau berbasa-basi. Ini menyangkut tanggung jawabku sebagai karyawan."

"Tetapi, Ambar, percayalah bahwa aku tidak akan berani meneleponmu seandainya aku tidak mengetahui banyak hal tentang dirimu. Kata mereka, kau ... "

"Banyak hal seperti apa dan siapa yang mengatakannya?" aku memotong lagi perkataan Bram dengan tidak sabar. Ah, apa saja yang orang-orang bicarakan di belakangku?

"Bahwa di kantor dan di antara teman-temanmu di Iuar kantor, kau dijuluki dengan sebutan 'si gunung es' Ya, kan?"

"Si gunung es?" Kukerutkan dahiku. "Aku belum pernah mendengar julukan itu. Lagi pula apa alasannya?"

"Wah, rupanya kau tidak menyadari keadaan dirimu sendiri, Ambar. Orang-orang itu bilang bahwa sejak kau putus hubungan denganku, sikapmu berubah menjadi dingin, kaku, dan mengambil jarak dalam pergaulan. Terutama terhadap laki-laki. Mereka juga mengatakan padaku bahwa sampai saat ini kau masih belum mempunyai seorang kekasih. Karena itulah, Ambar, aku berani meneleponmu."

Aku tahu ada banyak teman yang menganggapku kapok berpacaran lagi ketika mereka melihat perubahan sikapku setelah putus dengan Bram. Tetapi aku tidak pernah menyangka diriku telah menjadi bahan pembicaraan mereka dan bahkan mendapat julukan sebagai gunung es, kaku, mengambil jarak, dan seterusnya.

"Hmm, begitu," sabutku kemudian. "Lalu bagaimana menurutmu sendiri?"

"Terus terang aku merasa edih. Akibat perbuatankulah kau jadi dingin terhadap laki-laki. Sungguh, aku sangat menyesal."

"Tak perlu sedih begitu. Itu cuma cerita lama. Sekarang aku sudah tidak seperti apa yang dikatakan orang-orang itu di belakangku. Kan tadi sudah kukatakan padamu bahwa aku telah mendapat hikmahnya," sahutku. "Saat ini aku sedang giat-giatnya menyusun masa depan yang lebih gemilang. Jadi, Maaf, kurasa sudah tidak relevan lagi kalau kau rnasih membicarakan hal-hal yang telah lewat. Nah, kita cukupkan pembicaraan kita sampai sekian ... "

"Tunggu dulu Ambar!"

"Sudahlah, Mas, aku tak punya waktu lagi untuk berlama-lama denganmu. Aka hanya berharap kau bisa segera mendapat kekasih baru yang lebih baik segalanya. Maaf, aku harus mengingatkanmu bahwa saat ini aku masih di kantor."

"Baiklah kalau begitu. Tetapi boleh kan kalau kapan-kapan aku datang untuk menjumpaimu di rumah atau mungkin di kantor?"

"Terserah. Sudah kukatakan tadi, kan? Juga dengan segala alasannya?"

Kudengar helaan napas Bram di seberang sana. "Baiklah, Ambar, kita sudahi dulu pernbicaraan kita. Tetapi rasanya ingin sekali aku segera melihatmu kembali. Seperti apa kau sekarang?"

Perkataan Bram kupotong dengan cepat. "Selamat siang, Mas!"

Dan sebelum kudengar apa pun dari seberang sana, kuletakkan kembali gagang telepon ke termpatnya. Aku benar-benar merasa kesal ditelepon oleh Bram. Sudah begitu bicaranya lama dan bertele-tele seperti kantor ini milik ayahku saja. Bagiku, dia itu sekarang tak berarti apa-apa lagi. Dan aku sudah tidak mempunyai perasaan apa pun terhadapnya. Entah itu cinta, entah itu rindu, entah itu benci atau apa pun. Dia hanyalah salah satu perjumpaan dalam hidupku. Sama seperti perjumpaan-perjumpaanku dengan orang lain. Berpapasan sekali atau dua kali, bertegur sapa untuk kemudian terlupakan seiring dengan jalannya waktu.

Sahat yang duduk tak jauh dari meja telepon melirikku. Aku yakin, dia cukup banyak mendengar suaraku dan menarik kesimpulan dari perkataan-perkataan yang kuucapkan tadi. Ah, apa peduliku? Bukan urusannya. Tempi, seorang teman yang kebetulan lewat di muka meja kerjaku setelah aku kembali duduk di situ, menegurku.

"Hei, kenapa kau seperti orang sedang sakit gigi, sih?"

Kuangkat wajahku. Linda, si burung nuri di kantor kami, sedang menghentikan langkah kakinya sejenak dan berdiri ke arahku dengan penuh gaya. Ada beberapa lembar kertas di tangannya.

Bisik-bisik teman di kantor mengatakan bahwa Linda pernah menjadi model dan peragawati. Tetapi tidak diteruskan karena kekasihnya tidak menyetujui profesi yang masa kejayaannya tidak panjang itu. Maka Linda pun melanjutkan studinya sampai S2 dan berkarier di bidang perbankan. Kini sang kekasih telah menjadi suami yang sangat mencintainya. Mereka hidup berbahagia. Dan gaya Linda yang aduhai bisa ditatap secara langsung di mana-mana. Tidak perlu melalui foto dan tidak usah di atas cat walk.

"Kenapa kau bilang begitu, Lin?" Aku pura-pura tak tahu. Padahal aku sadar, sejak Bram meneleponku tadi, aku jadi uring-uringan sendiri.

"Biasanya meskipun tidak banyak bicara, wajahmu selalu tampak cerah dan memancarkan kemanisan hatimu." Linda tersenyum. "Apakah kau sedang kedatangan itu tuh, si rembulan?"

Mau tak mau aku tertawa. Linda selalu saja menghubungkan emosi teman-teman perempuannya dengan siklus haid.

"Jangan kaitkan aku ke situ, Nyonya," sahutku kemudian. "Aku tak pernah terpengaruh oleh hal-hal semacam itu. Dan kalaupun ada pengaruh semacam itu, percayalah aku pasti bisa mengatasinya. Manusia kan dianugerahi akal budi oleh Tuhan. Dan manusia mempunyai martabat yang tinggi. Maka kalau kita menyerah pada hal-hal yang bersifat biologis, lha apa bedanya kita dengan makhluk lainnya, bukan? Dan ke mana martabat kita sebagai makhluk tertinggi ciptaan Tuhan ini?"

Linda ganti tertawa.

"Kau semestinya tidak bekerja di sini, Ambar. Tetapi menjadi dosen!" perempuan muda itu berkomentar. "Nah, kembali ke soal semula, kenapa bibirmu meruncing begitu sih?"

"Kalan kau memang ingin tahu, katakanlah padaku dengan terus terang tentang satu hal yang ingin kuketahui."

"Apa itu?"

"Apakah benar teman-teman kita pernah menjulukiku si gunung es di belakangku?"

Linda tertawa lagi.

"Kok kau tahu sih?" dia malah balik bertanya. "Ya tahu dong. Ada yang bilang!" aku menggerutu. "Sialan. Begini kok dijuluki i gunung es!"

Untuk ketiga kalinya Linda tertawa.

"Makanya, Non, jangan selalu bersikap dingin seperti es dan menganggap teman-teman pria kita seperti angin lalu. Mereka takut mendekatimu," katanya kemudian sambil melenggang pergi. "Jadi sebaiknya kauubah sikapmu dan jangan uring-uringan kalau dijuluki gunung es lagi."

Aku terdiam. Kutatap punggung Linda yang nyaris lenyap di balik pintu. Harus kuakui, dia benar. Aku memang terlalu banyak mengambil jarak terhadap teman-teman pria di kantor ini. Kalau ada di antara mereka tampak mulai ramah sedikit saja, aku langsung menutup diri. Memang kupikir-pikir, orang-orang itu pasti merasa seperti membentur gunung es yang menjulang tinggi kalau berhadapan denganku.

Mungkin memang aku harus mulai mengubah sikap demi sopan santun pergaulan, pikirku sambil berusaha berkonsentrasi untuk melanjutkan pekerjaanku kembali. Tetapi menjelang jam dua belas, konsentrasiku dibuyarkan lagi oleh suara dering telepon. Kali itu telepon dari bawah. Bukan dari luar kantor. Namun ternyata juga untukku.

"Ada yang mencarimu, Ambar, Kusuruh dia duduk di ruang tunggu," kata seorang teman yang bertugas di bawah.

Hatiku berdebar. Bram-kah yang datang? Atau siapa?

"Laki-laki atau perempuan?" tanyaku kemudian. "Perempuan."

Entah siapa lagi yang mengganggu ketenanganku itu, tanyaku dalam hati. Kulirik arloji yang melingkari tanganku. Jam dua belas kurang enam menit. Sebentar lagi jam istirahat makan siang. Maka kusambar dompet dari dalam tas yang kugantungkan di punggung kursiku. Aku ingin makan soto mi. Hujan-hujan begini pasti enak makan yang panas-panas tetapi menyegarkan seperti itu.

Tetapi temyata hari ini nasibku memang sedang sial. Tamu yang mencariku itu ternyata Rini, bekas kekasih Gatot. Entah mau apa dia mencariku sampai kemari. Tetapi radar dalam kepalaku memintaku agar aku waspada. Dengan pikiran itulah kuajak dia masuk ke ruang tamu yang tak terlalu ramai. Aku tak ingin ada orang yang mendengar pembicaraan kami.

"Ada yang perlu kubantu?" tanyaku begitu kami telah duduk berhadapan.

"Ya. Bantulah aku!"

"Dalam hal?"

"Menyadarkan Mas Gatot, bahwa dia masih mencintaiku!"

Aku nyaris ternganga mendengar perkataan tak terduga itu. Rupanya radar di dalam kepalaku tadi cukup peka menangkap gelagat yang tak menyenangkan.

"Kau itu bicara apa sih, Rin?" kataku sesudah mampu menguasai diri. "Memangnya Mas Gatot itu anak kecil yang masih bisa didikte dan diarahkan begitu saja semau gue?"

"Kalau begitu jauhkanlah dirimu dari dia," Rini meralat.

Wah, bukan main beraninya gadis ini. lnikah yang disebut kemajuan zaman?

"Alasannya?" aku bertanya dengan sikap sabar yang berhasil kuperlihatkan. Aku tak mau jadi perhatian teman-teman yang ada di sekitar tempat kami duduk.

"Alasannya, aku ingin dia kembali kepadaku!"

Rini menjawab langsung. "Sebab putusnya hubungan kami waktu itu tidak disebabkan oleh hal-hal besar. Juga bukan karena orang ketiga. Jadi Aku tertegun lagi. Ingatanku melayang kepada Tina. Seandainya dia yang didatangi Rini, entahlah apa yang terjadi. Adikku itu masih sangat muda. Kalau Rini menekan dan memojokkannya, maka kemungkinan besar dia akan kalah. Jadi, untunglah Rini tidak tahu bahwa kekasih Gatot yang sebenarnya bukanlah orang yang ada di hadapannya ini.

"Lalu kau mau apa, Rin?"

"Sudah kukatakan tadi, membuka mata Mas Gatot bahwa sesungguhnya dia rnasih mencintaiku dan bahwa hubungannya dengan gadis lain, siapa pun dia, hanyalah pelarian belaka. Dalam hal ini perlu kauketahui, Ambar, bahwa kami dulu betul-betul saling mencintai. Kekurangan kami, sama-sama belum matang secara mental. Waktu itu aku terlalu banyak menuntut darinya. Ya waktunya, ya perhatiannya, ya daya juangnya. Antara lain, aku ingin agar dia bisa seperti ayahku yang sukses. Tetapi kemudian ... "

"Tunggu dulu, Rin," aku memotong perkataannya. "Sebenarnya apa sih tujuanmu menceritakan semua ini padaku?"

Rini tertegun beberapa saat lamanya. Mungkin dia sadar, dirinya terlalu banyak bercerita, sedangkan apa tujuannya menjumpaiku belum diutarakannya secara jelas. Kalaupun dia memintaku agar menjauhinya, bagaimana caranya dan apakah Gatot bisa semudah itu diatur olehku ataupun olehnya?

"Begini," sahutnya beberapa saat kemudian. "Seperti yang sudah pernah kukatakan kepada Gatot waktu kita bertiga makan bersama itu, dia sekarang benar-benar sudah maju. Bahkan bolehlah disebut sukses. Tetapi dalam hal ini mungkin kau tidak tahu, Ambar, bahwa kesuksesan itu berkat diriku. Aku punya andil besar di dalamnya. Akulah yang rnemacu dirinya sehingga bisa seperti sekarang ini."

"Lalu?"

"Lho, tidakkah kau melihat sesuatu di balik itu?"

"Terus terang saja, tidak, Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang ingin kaukatakan!"

"Ambar, sebenarnya Mas Gatot masih mencintaiku. Kemajuan yang dicapainya sekarang itu sebenarnya untuk menunjukkan keberhasilannya padaku. Lalu berpacaran dengan gadis lain pun sebenarnya juga untuk pelarian belaka. Bahkan juga untuk membuatku cemburu. Apakah kau tidak merasakan haI itu kemarin?" sahut Rini sambil menatapku. "Dia pura-pura bersikap dingin padaku, kau tahu apa sebabnya?"

"Tidak," aku memancing jawaban darinya.

"Itu karena dia ingin menyakiti hatiku, Ambar.

Aku kenal betul siapa Mas Gatot. Keberadaanmu merupakan cara dia menunjukkan egonya untuk melampiaskan kemarahannya padaku. Baginya, kau adalah alat untuk membuatku merasa kehilangan dirinya. Padahal di dalam hati, dia masih sangat mencintaiku. Sekali lagi Ambar, aku kenal siapa Mas Gatot!"

Aku ingin marah kepada Rini sebenarnya. Entah sadar entah tidak, dia telah menghinaku. Seolah aku hanya semacam mainan sementara saja bagi Gatot. Jadi yang hendak dikatakannya adalah kaIau tujuan sesungguhnya sudah tercapai, maka mainan itu akan dicampakkan oleh Gatot. Ingin sekali aku menampar mulut gadis itu. Tetapi kemudian aku sadar, apa yang dikatakan oleh Rini itu bukanlah diriku. Melainkan kekasih Gatot yang sekarang. Dan dia adalah Tina.

Di luar hal-hal yang tampak oleh mataku, aku tak pernah menilai Gatot setinggi itu. Bahkan kuanggap dia itu kurang ajar, hidung belang, mata keranjang. Dan karenanya, aku ingin menjauhkan dia dari Tina. Semakin cepat itu terjadi akan semakin selamatlah Tina.

Sekarang, ada seorang gadis yang katanya sangat mengenal Gatot dan mengatakan bahwa keberadaan gadis lain hanyalah merupakan pelarian lelaki itu belaka. Bahkan gadis itu dipakai oleh Gatot sebagai alat untuk memuaskan egonya dan untuk melampiaskan kemarahannya kepada gadis yang merupakan cinta sejatinya. Dengan kata lain, Gatot tidak mencintai Tina. Gadis itu cuma ban serep dan untuk membangkitkan kecemburuan Rini.

Aku tidak sepenuhnya mempercayai apa yang dikatakan oleh Rini. Tetapi toh ada sesuatu yang masuk akaI dan bisa kusimpulkan dari perkataannya. Terutama kalau itu dikaitkan dengan apa yang pernah diperbuat oleh Gatot terhadapku. Maka sekarang tahulah aku kenapa laki-laki itu tidak kenal kesetiaan. Sekarang tahu pulalah aku kenapa laki-laki yang katanya kekasih Tina itu bisa menciumiku dengan penuh gairah dan tidak merasa bersalah karenanya.

Teringat itu, darahku mulai mendidih. Gatot memang sepadan dengan Rini. Keduanya tidak terlalu memikirkan perasaan. Apalagi menenggang hati orang. Tetapi aku tak boleh memperlihatkan kemarahanku. Jadi aku berusaha untuk tetap tenang dan terkendali. Aku juga ingin tetap bersikap anggun.

"Jadi, Rin, apa yang harus kulakukan?" Hebat juga aku. Suaraku bisa terdengar begitu tenang dan sabar.

"Lepaskan Mas Gatot, Ambar."

"Jadi singkatnya, kau ingin supaya aku dan Gatot putus hubungan?" tanyaku kemudian.

"Ya."

"Kau bicara seolah Gatot itu sebuah benda yang bisa dilepas atau diambil semau kita. Tetapi kalau itu yang kaukehendaki, silakan saja. Kuserahkan Gatot ke tanganmu kembali," kataku. Barangkali saja inilah kesempatanku untuk mengenyahkan Gatot dari kehidupan Tina dan tentu saja juga dari kehidupanku. Mumpung belum berlarut-larut.

Rini terpana, tak menyangka aku akan berkata seperti itu. Dengan sikap yang tenang pula, bagaikan seseorang yang sedang mengembalikan buku yang dipinjamnya.

"Kau... kau... bersungguh-sungguh, Ambar?' akhirnya gadis itu bertanya dengan tergagap-gagap. Pasti, sama sekali dia tidak menyangka akan semudah itu usahanya menjauhkan aku dari Gatot. Aku juga berani memastikan, sebelum berangkat ke sini tadi di dalam batinnya ada sepasukan tentara yang sudah bersiap-siap menjadi pasukan berani mati untuknya. Dengan pandangan melecehkan yang sulit kutahan agar jangan memancar di mataku, aku menjawab pertanyaannya tadi.

"Untuk urusan besar aku tak pernah main-main, Rin. Jadi apa yang kukatakan tadi itu benar," aku menjawab mantap.

"Tetapi ... kau sendiri bagaimana?" Kelihatannya gadis yang semula datang dengan genderang perang itu mulai digugat oleh hati nuraninya sendiri. Bingung tidak tahu harus bagaimana menempatkan pasukan berani matinya tadi.

"Rin, aku seorang perempuan mandiri dan memiliki kepercayaan diri yang kuat. Aku adalah aku. Dan aku tidak pernah mau menggantungkan diriku baik secara fisik maupun secara mental kepada siapa pun, termasuk kepada kekasih atau suami, kelak kalau aku sudah menikah. Jadi kapan dan di mana saja, aku selalu siap sewaktu-waktu untuk berpisah dengan kekasihku. ltu alasanku yang pertama. Yang kedua, itu menyangkut keberadaanku sebagai seorang individu yang kebetulan berjenis kelamin perempuan. Selama ini masyarakat hampir seluruhnya mempunyai pandangan-pandangan tentang keberadaan perempuan dengan kacamata buram yang salah kaprah."

"Salah kaprah bagaimana? Jelaskan maksudmu itu, Ambar!" Rini menyela. Suaranya yang berapi-api tadi terdengar melembut.

"Kesalahkaprahan itu menyangkut suatu sudut pandang, penilaian, anggapan, dan bahkan juga norma-norma yang diwarnai oleh sistem nilai milik kaum lelaki akibat budaya patriarkat. Namun dalam hal ini aku memiliki kesadaran untuk tidak terlarut dalam situasi seperti itu. Aku seorang individu otonom, subyek utuh yang tahu apa yang kumaui, tahu apa pilihan-pilihan dalam hidupku. Jadi, aku tak mau dipinggirkan, dinomorduakan atau dijadikan obyek karena jenisku yang perempuan. Karenanya, Rin, aku juga tak mau melecehkan diriku sendiri, berebut laki-laki seolah kebahagiaanku hanya bertumpu pada dia. Dilandasi kedua alasan itulah kuputuskan uutuk melepaskan Gatot untukmu. Oke?"

Aku tidak bermaksud menyindir Rini, tetapi kata-kataku tadi rupanya menyentuh perasaannya. Kulihat semburat rona merah melintasi kedua belah pipinya, "Oke," sahutnya dengan suara pelan.

"Kalau begitu, sudah tidak. ada lagi hal-hal yang perlu kita bicarakan lagi, kan?"

Rini menganggukkan kepalanya sambil melirik arlojinya, kemudian bangkit. Kuperhatikan wajahnya yang manis dan rambutnya yang agak basah di bagian depannya itu. Lalu kulayangkan pandang mataku ke luar gedung. Hujan masih belum juga berhenti meskipun tidak sederas tadi.

"Kau naik apa, Rin?" tanyaku dengan suara lembut. Tak enak juga kalau aku tidak bersikap ramah kepada tamuku.

"Naik mobil."

"Jauh parkirnya?" tanyaku untuk menunjukkan perhatianku padanya.

"Tidak Tetapi aku tidak membawa payung."

"Mau kupinjami?"

"Tak usahlah, Ambar. Aku akan lari sebentar.

Tasku yang lebar bisa menjadi tudung kepala."

"Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan lho. Licin."

Rini menganggukkan kepalanya. Matanya mengawasiku beberapa saat lamanya.

"Maafkanlah aku ya, Ambar," katanya kemudian. Mendengar itu kejengkelanku, rasa direndahkan dan semacamnya yang semula mengusik hatiku, luruh. Sebenarnya, Rini gadis yang baik. Hanya saja egoisme telah menguasai dirinya. Dan cintanya kepada Gatot, entah itu cinta sejati entah karena alasan lainnya, telah mengaburkan akal sehatnya, menyingkirkan pula harga dirinya. Kasihan.

"Tak apa, Rin. Barangkali saja Gatot memang bukan jodohku," sahutku. Dan di dalam hati kutambahi, mudah-mudahan saja juga bukan jodoh Tina.

Rini masih juga belum bergerak. Matanya juga masih mengawasiku.

"Sebenarnya masih ada satu hal lagi yang ingin kukatakan kepadamu,Ambar!" ia berkata lagi. Kini dengan sikap agak malu-malu. "Apa yang akan kukatakan ini mudah-mudahan bisa menambah maafmu kepadaku. Ini hanya untukmu saja, Ambar. Terus terang saja saat ini usaha ayahku mengalami kemunduran. Semula, bolehlah keluarga kami disebut kaya-raya. Dan kebetulan pula, kakak dan adik perempuanku menikah dengan laki-laki kaya yang juga datang dari keluarga kaya pula. Sedangkan waktu itu, meskipun orangtua Gatot juga cukup kaya, tetapi dia sendiri termasuk orang yang sederhana. Tidak mau memakai fasilitas dari orangtuanya. Tentu saja aku sering merasa malu kepada keluargaku. Maka kudorong dia agar bisa sehebat ipar-iparku. Tetapi rupanya laki-laki itu keras kepala dan terlalu besar kepercayaan dirinya. Katanya, harga diri seseorang tidaklah terletak pada harta dan kesuksesan ... "

"Tetapi dia benar, kan?" aku memotong. "Kekayaan, pangkat, kebagusan fisik, adalah atribut belaka. Bukan sesuatu yang bersifat substansial, bukan yang hakiki. Semua itu bisa lenyap kalau Tuhan menghendaki. "

"Aku tahu. Tetapi tidak semua orang berpendapat begitu, kan? Nah, kembali ke soal semula, perbedaan pandangan di antara kami berdua itu pun menjadi salah satu penyebab retaknya hubungan kami. Maka akhinya kami pun putus. Tetapi setelah aku berpacaran dengan orang lain, kusadari bahwa Gatot benar. Aku jadi sering menyesali putusnya hubungan kami. Apalagi sesudah keadaan ekonomi keluarga kami semakin surut begini. Maka ketika hubunganku dengan pacar baruku putus, aku selalu mencoba menghubunginya kembali. Bagiku, sekarang ini dia menjadi satu-satunya harapanku di masa depan. Dan juga gengsinya dimata keluargaku pasti naik karena kulihat dia telah berhasil menjadi orang. Rupanya, berkat dorongan-dorongankulah akhirnya Gatot mengalami kemajuan. ltulah kenapa aku yakin, sesungguhnya dia masih mencintaiku ... "

Kuhentikan perkataan Rini dengan menepuk bahunya.

"Aku mengerti," kataku kemudian. "Semoga kau bisa meraih hati Gatot kembali, Rin!"

"Terima kasih. Tetapi kau tidak marah padaku, kan?"

"Tadi, ya. Sekarang tidak lagi. Sebab sebenarnya aku tidak mencintainya!"

"Jadi apa yang kulihat itu benar rupanya. Sikapmu kepadanya tidak tampak mesra." Rini menatap mataku.

"Sudahlah. Aku tak mau membicarakannya lagi."

"Oke. Aku akan pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih ya, Ambar." Sambil berkata seperti itu Rini mulai melangkah pergi dari hadapanku.

Aku termangu-mangu sendirian. Meskipun Rini merasa senang mendengar aku mau melepaskan Gatot, tetapi aku masih menangkap perasaan bimbang di matanya. Barangkali dia merasa tak yakin apakah Gatot mau kembali padanya.

Tetapi apa pun itu, hatiku tiba-tiba saja menjadi kosong. Seolah aku tak mempunyai perasaan apa pun lagi. Kalaupun ada yang tersisa, itu berkaitan dengan Tina adikku. Bagaimana perasaannya kalau dia mengetahui ada gadis lain yang siap menerima Gatot kembali ke dalam pelukannya?

Ah, kasihan Tina. Dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi.

AKU duduk bergelung di sudut sofa ruang keluarga, menonton televisi sendirian dan menikmati sejuknya udara di sekelilingku. Hari itu hari Minggu dan senja baru saja turun. Di luar, gerimis masih belum berhenti sesudah sebelumnya hujan lebat mengguyur bumi ini berjam-jam lamanya.

Sudah satu minggu ini Jakarta sering hujan bukan dalam musimnya. Ibuku mengatakan itu sebagai udan salah mongso, hujan salah musim. Namun meskipun membuat jalan-jalan di Ibukota jadi banjir, datangnya hujan di saat kemarau sedang berada di puncaknya ini di sambut cukup hangat oleh sebagian penduduk. Kota yang berdebu, dicuci air hujan. Air sumur yang mulai kering, terisi kembali. Dan udara yang pengap menjadi sejuk. Sementara itu jalan di depan rumah kami, sepi. Nyaris tak ada kendaraan yang lewat. Kalau tidak ada keperluan penting, orang-orang pasti lebih suka berada di dalam rumahnya yang hangat. Dan di kejauhan aku mendengar suara nyanyian katak yang membuatku jadi mengantuk.

Dalam cuaca seperti itu aku memilih tinggal di rumah dan menikmati kesendirianku. Bapak, Ibu, dan kedua adikku baru saja berangkat ke resepsi perkawinan seorang kerabat. Windarti pasti tidak merasa kehilangan aku. Kemarin dalam upacara siraman, malam midodareni, dan tadi pagi dalam upacara pernikahan yang sesungguhnya, aku selalu berada di sampingnya dan membantu apa saja yang bisa kubantu. Sekarang aku ingin beristirahat. Kakiku yang terus-menerus berpijak pada selop tinggi terasa pegal semua.

"Hai!" Suara Gatot yang khas memasuki lingkup pendengaranku dan menghilangkan seluruh kenikmatanku untuk menyendiri.

Karena merasa jengkel pada kehadirannya yang tak kuharapkan itu, sapaannya tak kusahuti. Aku hanya meliriknya sekilas untuk kemudian kulabuhkan kembali mataku ke layar kaca di depanku. Tetapi sempat kulihat pakaiannya yang santai dan rambutnya yang agak basah karena gerimis.

"Hai!" Gatot mengulangi sapaannya.

Sapaan itu tetap tak kusahuti. Tetapi tanpa sadar aku meliriknya lagi. Kulihat ada seringai nakal di wajahnya yang sangat menarik itu. Karenanya cepat-cepat aku mengalihkan lagi mataku ke acara televisi.

"Hai," untuk ketiga kalinya laki-laki itu menyapaku. Merasa kesal akhirnya kujawab juga sapaan itu.

"Hai-mu itu untuk Tina, kan? Dia tidak ada di rumah," kataku ketus. "Sedang pergi dan baru pulang malam nanti."

"Aku tahu, Tina tidak ada di rumah," Gatot menjawab kalem dan santai. "Aku juga tahu dia pergi bersama Bapak dan Bu Joko dan Didik. Mereka baru saja berangkat, kan?"

"Nah, sudah tahu begitu kok kemari sih!" aku menggerutu. Tanpa sadar aku menoleh ke arahnya.

Melihatnya begitu santai, rasa jengkelku semakin meningkat, Ia memang sudah terbiasa keluar-masuk rumah ini lewat pintu mana pun yang ia suka. Dan juga memilih duduk di mana pun yang ia inginkan. Seperti rumahnya sendiri saja. Menyebalkan!

"Lho, justru karena tahu kau sedang sendirian maka aku sengaja datang kemari untuk menemanimu," sahutnya sambil tersenyum manis. Tetapi mata dan lekuk bibirnya mencerminkan godaan yang membuat aku semakin jengkel.

"Apakah kau tidak pernah mengerti bahwa aku merasa jauh lebih senang berada sendirian saja tanpa teman daripada mengobrol bersamamu dan melihat tampangmu yang tengil itu."

"Wah, kau memang tak pernah mau bersikap manis terhadap tetangga dekatmu ini," Gatot menggerutu sambil mengempaskan tubuhnya ke kursi di dekat sofa yang kududuki ini.

"Itu penting untuk menghindari bibit penyakit!" lagi-lagi aku berkata dengan ketus. "Berdekatan denganmu membuat orang jadi sial!"

"Lho, kok begitu sih penilaianmu? Memangnya kenapa?" Bukan main kalemnya lelaki itu, seolah tak pernah berbuat salah. Padahal ... ?

"Apakah Rini tidak mengatakan apa-apa kepadamu?"

"Rini?"

"Ya, Rini-mu. Masa kau tidak tahu kalau dia datang ke kantorku?'

"Aku tidak tahu," sahutnya masih dengan sikap kalem yang membuatku jadi yakin bahwa sesungguhnya dia sudah tahu kalau Rini menemuiku. Di kantor "Iseng betul dia menemuimu. Memberimu oleh-oleh apa, dia?"

Aku tak mau menanggapi godaannya itu.

"Dia memintaku untuk melepaskanmu," kataku.

"Idih, memangnya aku ini apamu kok disuruh melepaskan dirimu. Jangankan menjadi pacarmu, menjadi temanmu pun aku ogah. Enak saja dia menyuruhku begitu!"

"Tetapi kau tidak bilang begitu kepadanya. Ya, kan?'

Aku menoleh ke arahnya. Keyakinanku semakin bertambah, Gatot pasti sudah bertemu dengan Rini.

"Kau sudah bertemu lagi dengannya?" tanyaku menyelidik.

"Kalaupun ya, itu tidak penting. Dan jangan menilai apa yang terjadi hanya dari sudut pandangmu saja atau dari apa yang cuma sedikit kauketahui," sahut Gatot. 'Bisa-bisa kau keliru menentukan langkah nanti. Aku kenal Rini cukup baik."

"Apa maksudmu?"

"Aku tak ingin menjelaskannya padamu. Itu tidak penting. Tetapi ada sedikit yang ingin kusampaikan kepadamu, bahwa kau terlalu serius menghadapi Rini. Itu saja." Gatot menyeringai. "Ah, sudahlah. Ada hal yang lebih penting daripada soal Rini. Kau tadi bilang bahwa kau tak sudi menjadi pacarku, bahkan menjadi temanku pun tidak. Itu bisa kumengerti. Sebab yang jelas kau adalah calon kakak iparku!"

Aku melotot ke arahnya begitu mendengar perkataannya. Tetapi aku segera menyesal telah memelototinya. Sebab dengan mata membesar begitu aku jadi melihat wajahnya yang ganteng, senyumnya yang menggoda, dan tubuhnya yang gagah. Baju kausnya yang ketat mencetak tonjolan otot-otot di bahu dan dadanya, serta lengannya yang kokoh menjelaskan padaku bahwa Gatot memang benar-benar pecinta olahraga. Sedikitnya setiap pagi dia lari di sekeliling kompleks perumahan ini. Tetapi aku tak mau terpengaruh oleh apa yang kusaksikan itu. Jadi lekas-lekas aku membentaknya sambil membuang pandang ke tempat lain.

"Siapa yang sudi menjadi calon kakak iparmu!"

"Tetapi itu pasti akan terjadi. Cepat atau lambat!" Gatot berkata yakin.

"Tidak, Gatot, Tidakl" Aku melotot lagi. Tetapi kali ini daya tariknya tak sempat masuk ke dalam pikiranku karena aku amat marah melihatnya begitu yakin pada dirinya itu. "Rasanya itu sudah ratusan kali kukatakan kepadamu. Tolonglah, jangan kauhancurkan masa depannya. Dia masih polos dan suci. Sebaiknya kau kembali sajalah kepada Rini. Dia lebih pantas untukmu daripada Tina. Percayalah!"

"Menurutku, Tina tidak akan sependapat denganmu," sahut Gatot kalem. "Kecuali kalau kau sudah menceritakan kepadanya tentang bagaimana panas dan bergairahnya ciuman kita di malam purnama waktu itu!"

Diingatkan pada peristiwa malam itu, pipiku menjadi panas dengan seketika. Gatot pasti melihat betapa merahnya pipiku saat itu. Tetapi aku tak mau menyenangkan hati lelaki kurang ajar itu. Karenanya cepat-cepat aku berkata lagi.

"Ilmu pelet apa yang kaupakai untuk memikat Tina sampai-sampai dia belum juga bisa melihat seperti apa dirimu yang sesungguhnya dan pikiran kotor macam apa yang ada di kepalamu," kataku kesal sekali. "Mudah-mudahan kau masih mempunyai sedikit saja hati nurani untuk tidak menciumi Tina seperti... seperti yang pernah kaulakukan kepadaku."

"Kalau ya, apakah itu menganggu pikiranmu?"

"Tentu saja!" seruku marah. "Pertama, aku tidak rela kalau kauperlakukan gadis sepolos dia dengan cara ... cara ... sebrutal itu. Kedua, kalau yang seperti itu juga kaulakukan kepada Tina, aku benar-benar akan semakin membencimu. Sebab berarti kau telah membenamkan diriku ke lumpur yang busuk. Bayangkan saja, bisa-bisanya aku kau buat jadi orang yang paling goblok dan tak tahu malu di dunia ini karena telah memberimu kesempatan untuk menciumiku dengan cara sepanas itu. Padahal, aku ini kakak kandung Tina.... "

"Tetapi kau tidak akan merasa begitu kalau yang kucium dengan penuh gairah itu Rini, kan?" Gatot memotong bicaraku. Nada bicaranya mengandung godaan.

"Kau ... kau seperti beruang busuk!" Aku nyaris berteriak. "Mata keranjang, hidung belang. Aku sangat membencimu, Gatot."

"Waduh, reaksimu kok bisa begitu berlebihan sih. Kan aku tadi mengatakan, kalau .... " Gatot menanggapi sikap marahku dengan kalem sekali. "Lagi pula aku tidak punya niat sedikit pun untuk menciumi Rini."

Aku terdiam. Aku yakin sekarang, Gatot tidak pura-pura dingin terhadap Rini waktu kami bertemu di pertokoan waktu itu. Baginya Rini hanyalah masa lalu, sebagaimana sikap yang diperlihatkannya di pertokoan waktu itu. Berarti usaha Rini untuk mendekatinya lagi sia-sia saja, walaupun aku sudah mengatakan padanya bahwa dia bebas meraih hati Gatot kembali. Mungkin itulah yang dimaksud Gatot ketika mengatakan padaku tadi bahwa aku bisa keliru langkah kalau melihat masalah Rini hanya dari sudut pandangku aja. Entahlah benar atau tidak dugaanku itu. Tetapi ah, buat apa kupikirkan. Bukan urusanku.

"Kok diam?" Gatot bertanya ambil memicingkan matanya.

"Aku sedang berpikir," dalihku. "Tentang?"

"Cara bagaimana supaya kau itu sadar bahwa Tina bukanlah orang yang tepat untukmu. Masa semua alasan yang kuberikan kepadamu tidak kau dengar sama sekali. Padahal kalian berdua betul-betul tidak cocok. Carilah gadis lain yang lebih pantas untukmu!"

"Bagus juga pikiranmu itu, Ambar. Aku jadi punya pikiran baru."

"Pikiran baru bagaimana?"

"Bahwa kalau Tina memang tidak cocok untukku, maka yang lebih pas untuk kujadikan istriku adalah kau!" Gatot menjawab pertanyaanku dengan sangat tenang.

"Gombal!" aku berteriak sambil melemparkan bantalan kursi ke wajahnya. "Siapa yang sudi!"

"Aku yang sudi, Ambar. Jadi kalau aku tidak jadi dengan Tina dan seandainya aku disuruh memilih antara dirimu atau Rini, maka seribu kali aku akan lebih memilihmu!" Gatot menangkap bantalan kursi yang kulempar tadi sambil menjawab perkataanku. Dan dengan sikap yang masih itu-itu juga. Tenang. Seolah dia sedang berbicara tentang bagaimana memilih burung peliharaan. Sialan.

"Dasar tak punya perasaan, ya begitu itu yang diomongkan!" Aku melotot lagi,

Gatot menanggapi pelototan mataku dengan sikap yang kurang ajar sekali. Tangannya menopang dagu dan matanya mengawasiku dengan geli sementara bibirnya tersenyum-senyum. Benar-benar membuatku kalang kabut, Ingin sekali aku menampar wajah gantengnya yang kurang ajar itu. Tanganku sudah gatal.

Dering bel pintu depan yang tiba-tiba memecah suasana yang menegangkan perasaanku itu menyelamatkanku dari perbuatan tak sopan yang hampir saja kulakukan. Apalagi bik Imas muncul di ambang pintu, bermaksud untuk membuka pintu depan ..

"Biar aku saja yang membukakan pintu, Bik," kataku kepadanya.

"Kalau begitu, saya buatkan minumnya saja ya, Non."

"Jangan dulu, Bik. Belum tentu itu tamu untukku. Kalau mencari Bapak atau yang lain, pasti dia akan segera pulang."

"Pak Gatot sajalah, kalau begitu. Mau minum apa?" Bik Imas ganti menoleh ke arah Gatot.

"Nanti saja, Bik Lagi pula aku kan bukan tamu. Calon menantu di rumah ini bisa mengambil apa saja yang kumaui, kan? Betul tidak, Bik?"

Bik Imas tertawa sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian dia masuk ke belakang kembali. Tepat pada saat itu bel pintu berdering lagi. Dengan perasaan kesal karena tak sempat menumpahkan kejengkelanku kepada Gatot, aku terpaksa pergi ke depan. Kulihat Gatot mengekor di belakangku. Hatiku semakin kesal saja jadinya. Memangnya dia yang punya rumah?

Namun tatkala aku melihat siapa yang datang, kedongkolanku kepada Gatot berubah menjadi rasa syukur. Untunglah dia mengekor di belakangku. Bahkan kehadirannya telah memberiku kekuatan ekstra. Sebab yang datang adalah Bram.

Laki-laki muda yang tampak gagah dan rapi itu berdiri di muka pintu dengan sikap percaya diri.

Penampilannya sangat menarik, jauh lebih menarik daripada yang bisa kuingat tentang dirinya. Dan dia tersenyum manis sekali kepadaku. Sedangkan aku masih berdiri bingung karena sedikit pun tak singgah dalam pikiranku bahwa dia akan datang petang ini. Di saat cuaca kurang bagus pula. .

"Halo?" ia menyapaku. Tangannya terulur kepadaku.

"Halo ... " Kusambut tangannya. Tetapi karena aku merasakan remasan tangannya, cepat-cepat aku menariknya kembali. Lalu dengan perasaan masih bingung kupersilakan dia masuk.

Bram lalu melangkah masuk dan langsung duduk di sudut dekat jendela. Persis seperti yang dulu sering ia lakukan. Padahal di ruang tamu itu sudah ada beberapa perubahan barang maupun letak pengaturannya.

"Hm ... rasanya seperti pulang kandang ... ," kata Bram sambil melayangkan pandangannya ke sekeliling.

"Hampir-hampir tak ada yang berubah di tempat ini. termasuk flamboyan di tepi jalan itu, masih tetap pohon yang dulu juga. Kecuali, saat ini sedang tak berbunga."

Aku tidak ingin memberi komentar apa pun.

Perasaanku tak tenang. Aku belum siap menghadapi Bram kendati waktu itu kami sudah bercakap-cakap melalui telepon dan sudah sekian tahun lamanya tak pernah saling berkabar maupun bertemu. Tetapi meskipun demikian aku masih ingat satu hal. Yaitu jangan sampai lelaki itu menyangka masih ada sela di hatiku untuk menguakkan kembali pintu-pintu hubungan kami yang lama. Jam pikiranku bergerak cepat. Kulirik Gatot masih berdiri agak canggung di belakangku. Bram pasti kurang memperhatikannya sebab Gatot hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut dan sandal jepit. Mungkin dikiranya, Gatot termasuk kerabatku.

"Mas, ikut duduk di sini dong!" dengan manis kupanggil Gatot agar ia mau bergabung.

Kulihat Gatot tertegun mendengar sebutan "mas" dari mulutku. Tetapi itu tak lama. Bibirnya segera membentuk senyum manis. Rupanya, sudah ada lintasan dugaan di kepalanya bahwa aku membutuhkan kehadirannya untuk menghadapi tamu tak diundang ini. Dengan cepat ia maju mendekati Bram.

"Tetapi sebelumnya ada baiknya kalau aku berkenalan dengan tamumu ini, Dik Ambarl" kata lelaki itu. Dalam keadaan biasa, meskipun aku membenci Gatot, sebutan "dik" yang diucapkannya dengan fasih itu pasti akan membuatku tertawa.

Mendengar pembicaraanku dengan Gatot, barulah Bram memperhatikan keberadaan lelaki yang belum dikenalnya itu. Apalagi Gatot sudah mengulurkan tangan lebih dulu.

"Gatot." begitu lelaki itu mengenalkan dirinya. "Bramanto!" Bram berdiri sebentar, menyambut uluran tangan Gatot, lalu duduk kembali. "Masih keluarga Ambar?"

"Hampir, Ya kan, Mas?" aku yang menjawab, menyambar lebih dulu dengan penekanan pada kata "hampir" itu secara khusus.

Gatot sungguh pandai melihat gelagat. Jawabanku yang gesit itu ditanggapinya dengan baik sekali. .

"Ya," ia menjawab sambil memilih duduk di kursi yang pas untuk dua orang.

Aku menyusul duduk. Sengaja kupilih tempat di samping Gatot. Lalu aku bertanya pada Bram untuk menunjukkan bahwa aku nyonya rumah yang baik.

"Tidak kehujanan tadi? Di luar masih gerimis."

"Mobilku kuparkir dekat teras ... ," jawabnya. Dari pandangan matanya yang sudah kukenal itu, aku melihat keingintahuannya mengenai keberadaan Gatot di rumah ini. Jawabanku yang mengatakan bahwa Gatot hampir menjadi keluargaku pasti menimbulkan teka-teki dalam dirinya.

"Wah, aku kok tidak mendengar suara mobil masuk," kataku lagi. "Mungkin karena kita berdua sibuk mengobrol tadi ya, Mas."

"Ya." Gatot menganggukkan kepalanya, kemudian tersenyum.

"Dingin-dingin begini kau pasti membutuhkan minuman hangat ya, Mas Bram. Mau kopi, teh, atau cokelat?"

"Apa sajalah .... "

Aku menoleh kepada Gatot dan tersenyum manis . . "Kau pasti ingin cokelat susukan seperti biasanya?" tanyaku.

"Tentu!" Gatot juga membalas senyumku. Manis sekali senyumnya itu. Ah, pandainya dia menanggapi sandiwaraku.

"Kalau begitu akan kubuatkan minuman untuk kalian." Aku berdiri dan langsung meninggalkan kedua lelaki itu di ruang tamu. Dan kupanggil pembantu kami untuk membuatkan tiga cangkir minuman hangat.

"Cokelat susu semua sajalah, Bik!" kataku kepadanya. Kemudian dengan langkah cepat aku berjalan ke ruang tamu kembali.

"Tak jadi bikin sendiri, Dik?" Gatot menatapku dengan pandangan geli. Ia pasti tahu alasanku cepat kembali ke ruang tamu itu. Dia pasti tahu, aku tidak ingin dia sendirian saja bersama Bram. Takut keliru bicara.

"Tidak, Mas. Diminta Bibik!" sahutku. Kesal aku karena Gatot merasa geli dan tampaknya ingin menertawakan kelakuanku. Karenanya cepat-cepat aku mengalihkan pembicaraan kepada Bram. "Tumben, Mas. Memang sengaja datang kemari atau karena kebetulan lewat di dekat sini?"

"Keduanya, Maksudku, aku memang bermaksud untuk berkunjung kemari dalam waktu dekat ini. Dan kebetulan, aku lewat tak jauh dari rumahmu. Jadi kupikir, apa salahnya aku menjengukmu. Tetapi kalau kau keberatan... atau kalau aku mengganggumu, aku akan pergi...."

"Lho, jangan berkata begitu, Mas!" Gatot yang mewakili bicaraku. "Dik Ambar pasti senang dikunjungi teman. Apalagi di luar, hujan belum berhenti. Kan Iebih enak mengobrol di sini."

"Tidak kesasar tadi. .. ?" tanyaku, berbasa-basi. "Bagaimana mungkin bisa kesasar?" Bram menatapku dengan dahi agak berkerut. Mungkin pertanyaanku tadi telah menyinggung perasaannya. Entahlah. "Apakah kau tidak ingat betapa seringnya aku dulu datang kemari?"

"Oh ya, aku lupa .... " Aku tersipu agak malu.

"Maklum ... sudah lama sekali."

"Dulu Mas sering datang kemari?" Gatot menimpali.

"Ya."

"Dik Ambar tidak pernah menceritakannya padaku. Padahal hampir semua teman dekatnya sudah kukenal dan kuketahui ceritanya. Dia itu kalau sudah bercerita mengenai teman-temannya, wah, bisa berjilid-jilid kalau dibukukan. Tetapi mengenai Mas Bram, tidak pernah dia bercerita. Terlalu!" Gatot tertawa.

"Maaf, aku lupa." Aku pura-pura tertawa. Sialan sekali si Gatot ini. Tampaknya dia sangat menikmati sandiwaraku.

"Bisa-bisanya lupa sih?" Gatot mencubit pipiku dengan gemas tanpa malu dilihat oleh Bram. "Belakangan ini kau sering lupa ini dan itu. Terlalu banyak pekerjaan di kantor ya? Kasihan."

"Ah, namanya juga manusia. Lupa itu manusiawi kan, Mas!" Aku mengimbangi caranya bersandiwara dengan tersenyum manis dan sedikit manja. Tetapi begitu Bram melayangkan matanya ke luar jendela, kucubit kera-keras lengan Gatot sampai laki-Iaki itu meringis kesakitan. Rasakan, pikirku. Enak saja dia mencubit-cubit pipi orang di depan tamu.

Tetapi apa pun yang terjadi saat itu, aku langsung tahu bahwa perasaan Bram mulai resah. Rupanya kemesraan yang berhasil kuperlihatkan bersama Gatot tadi menyadarkan dirinya bahwa laki-laki yang dikiranya masih keluargaku itu mempunyai hubungan khusus dengan diriku. Dengan kata lain, keinginannya untuk mengakrabiku kembali sudah tidak mungkin lagi terjadi.

Aku yakin laki-laki itu sudah ingin keluar dari rumah ini. Tetapi demi sopan santun ia masib mencoba bertahan untuk tetap berada di tempat. Hal seperti itu juga kurasakan. Sebenarnya aku sudah tidak tahan duduk lebih lama lagi di dekat kedua lelaki itu. Terhadap Bram aku sudah tidak punya perasaan apa pun. Dan meskipun waktu baru melihatnya tadi aku sempat memujinya di dalam hati, itu sama saja seperti kalau aku mengagumi lelaki lain yang gagah. Berteman dengannya saja pun aku sudah tidak mau.

Bahwa aku bersikap mesra terhadap Gatot di muka Bram, itu adalah caraku untuk memberitahu bahwa aku sudah mempunyai kekasih. Dan bahwa aku sudah menutup masa laluku bersama dia. Tak ada niatku membuat dia jadi cemburu karena memang tidak ada relevansinya dengan perasaanku dan juga tidak ada gunanya. Untuk apa membuatnya cemburu kalau seujung kuku pun aku sudah tidak peduli padanya?

Namun sebagai tuan rumah yang tahu sopan santun aku tetap mengajak Bram mengobrol tentang ini dan itu yang tak ada kaitannya dengan masalah-masalah pribadi. Gatot juga kuikutsertakan dalam obrolan itu. Padahal aku benar-benar sudah ingin mengusirnya pergi. Bukan hanya karena aku sudah tidak menyukainya saja, tetapi terutama karena kekurangajaran Gatot yang bersikap seolah aku ini kekasih tersayangnya. Sebentar-sebentar ia menyebutku "Sayang". Sebentar-sebentar pula ia menggenggam telapak tanganku atau melingkarkan lengannya ke bahuku. Padahal dua kali aku mencubit lengannya keras-keras sambil melototkan mata ke arahnya pada waktu Bram sedang tidak melihatnya.

Untunglah akhirnya Bram minta diri sesudah cokelat susunya habis dan gerimis di luar berhenti. Dan seperti tadi, untuk menunjukkan diriku sebagai tuan rumah yang baik, aku terpaksa sedikit berbasa-basi juga agar Bram tidak terlalu merasa kecewa karena kedatangannya sia-sia saja.

"Terima kasih atas kunjunganmu lho, Mas Bram," kataku setelah kami berada di teras, sebelum Bram turun ke halaman.

Dan ketika laki-laki itu sudah masuk ke mobilnya aku masih menambahkan basa-basi pergaulan lainnya, "Salam ya untuk kedua orangtuamu dan juga saudara-saudaramu."

"Terima kasih. Ayo, Ambar, Mas Gatot.. .. " Bram menganggukkan kepalanya, menutup kaca jendeJa mobilnya, dan dalam waktu yang singkat menghilang dari pandanganku.

Kututup dulu pintu pagar, baru aku masuk ke rumah. Tetapi karena Gatot masih mengekor di belakangku, niatku untuk mengunci pintu depan kutunda.

"Kau tidak pulang sekalian?" tegurku. Lebih sebagai usulan daripada pertanyaan.

Gatot tidak menjawab pertanyaanku. Tetapi dengan tangannya yang berotot dan kokoh itu ia mengunci pintu depan rumahku. Sedemikian tenangnya cara dia melakukan itu sampai aku jadi jengkel sekali.

"Kok malah dikunci?" semburku. "Kau kan masih ada di sini!"

"Memangnya pintu rumah di sini cuma ini satu-satunya?" dia balik bertanya.

"Oke, Jadi kau mau pulang lewat pintu samping? Ayolah, kalau begitu. Kuantar kau keluar sekarang. Akan kukunci sekalian." Kuharap Gatot tahu bahwa apa yang kukatakan itu merupakan caraku mengusir dia dari rumah ini secara halus.

"Aku belum mau pulang. Jam delapan belumlah terlalu malam untuk ukuran kota besar seperti Jakarta," Gatot menanggapi perkataanku sambil tersenyum manis yang dibuat-buat. "Jadi, aku masih tetap setia pada tujuanku kemari tadi, yaitu menemanimu sampai keluargamu pulang."

"Aku bukan anak kcil yang masih membutuhkan pengasuh. Jadi, Gatot, pulanglah. Aku lebih suka sendirian. Mau menonton televisi dengan kaki ke atas meja, atau kepalaku kuletakkan di bawah dan kakiku ke atas, tak ada yang melihat. Bebas. Sudah begitu ... "

Suaraku terhenti oleh sentakan tangan Gatot pada lenganku. Dan tidak segera dilepaskannya.

"Jangan mengusirku sesudah tadi kaupakai aku dengan sesuka hatimu!" ia mendesis di samping wajahku.

''Memakaimu untuk apa?"

"Untuk membuat bekas kekasihmu itu cemburu!"

Gatot mendesis lagi. Lenganku yang terjepit tangannya terasa sakit. "Jadi, Ambar, jangan pernah lagi memperalat diriku untuk memberi kesan bahwa aku ini kekasihmu. Apalagi dengan tujuan membuatnya gelisah karena cemburu!"

Kalau tidak dalam keadaan seperti itu, aku pasti tertawa. Sebab perkataannya mengingatkanku pada perkataan senada yang pernah kulontarkan padanya ketika kami baru saja berpisah dengan Rini sesudah makan siang bertiga, beberapa waktu yang lalu. Kalau ini sebuah pertandingan, maka hasilnya seri Satu lawan satu.

"ldih," sahutku mengusir rasa geli yang melintasi perasaanku itu. "Buat apa membuatnya cemburu dan siapa bilang dia itu bekas kekasihku?"

"Dari sikap kalian berdua dan dari pembicaraan kalian, sangat mudah bagiku untuk menangkap adanya hubungan khusus yang pernah terjalin di antara dirimu dan dia!" Gatot menatapku dengan bengis. "Jadi jangan mengikutsertakan aku dalam urusan kalian berdua!"

Lagi-Iagi aku ingin tertawa. Sebab perkataan seperti itu juga pernah kukatakan kepadanya waktu dia melakukan hal sama kepadaku di hadapan Rini Tetapi tentu saja rasa geli itu kutindas kuat-kuat.

"Aku tidak bermaksud membuat Bram cemburu," sahutku. " Buat apa? Sudah tak ada kaitannya dengan kehidupanku sekarang ini. Apalagi ke masa depan."

"Kalau begitu, kenapa tadi kau begitu bersemangat membuat kesan seolah ada hubungan cinta yang mesra di antara kita berdua?"

"Aku hanya mau menunjukkan padanya bahwa di antara kami berdua sudah tidak ada apa-apa lagi yang bisa dilanjutkan kembali. Aku ingin memperlihatkan padanya babwa saat ini aku sudah mempunyai kekasih ... " Suaraku terhenti mendadak, sadar bahwa tanpa sengaja aku telah mengakui sandiwara yang mengikutsertakan Gatot tanpa minta persetujuannya lebih dulu. Maka tanpa aku mampu menahannya, wajahku langsung saja seperti terbakar.

"Teruskan!" Gatot mendesis lagi. Tetapi aku melihat ada rasa geli di bola matanya yang berkilat-kilat itu.

"Apanya?" Aku tak mau kalah. Kupelototi dia dengan mataku.

"Pengakuanmu tadi?"

"Tetapi, .. lepaskan dulu tanganmu. Sakit, tahu!"

"Tidak, sebelum kau mengakui kesalahanmu."

"Oke, Aku tadi memang telah memperalat dirimu seolah kau kekasihku. Untuk itu, aku minta maaf!" Aku memang mengakui kesalahanku, tetapi tentu saja air mukaku tidak sejalan dengan apa yang kuucapkan itu. "Nah, sekarang kau puas kan mendengar pengakuan itu?"

"Tidak. Sama sekali tidak puas!" Gatot menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata menyipit menatapku. "Pengakuanmu itu tidak tulus keluar dari hatimu. Jadi aku tak mau melepaskan lenganmu!"

"Jangan main-main denganku, Gatot. Apa sih maumu? Apakah aku harus menyembah kakimu?" Aku mulai jengkel.

"Jangan sebut namaku begitu saja. Aku lima tahun lebih tua darimu. Sebutlah seperti di hadapan Bram tadi, Mas Gatot. Manis sekali terdengar di telinga. Maka aku akan menyebutmu Dik Ambar. Nah, manis juga, kan?"

"Tak sudi!"

"Harus sudi. Kau telah membangunkan macan tidur dalam diriku. Senang sekali aku menerima sikap mesramu tadi. Dan kemanjaan yang kauperlihatkan tadi membuatku mengira apa yang terjadi itu bukan bagian dan sandiwaramu. Aku sampai terlarut di dalamnya dan ... "

"Membangunkan macan tidur bagaimana?" aku memotong perkataannya dengan pipi yang semakin terasa panas. "Jangan mengada-ada. Dan cepat, lepaskan tanganmu dari lenganku!"

Bukannya melepaskan lenganku, Gatot malah menarikku ke arah tubuhnya sehingga aku yang tidak memperhitungkan perbuatannya itu terjerembap masuk ke pelukannya. Dan tak diberinya pula aku kesempatan untuk mendapatkan keseimbangan tubuhku agar bisa tegak kembali. Tangan laki-laki itu langsung saja mengunci tubuhku dengan cara memelukku erat-erat, Dan kemudian dengan gesit didorongnya aku ke pintu sehingga aku tersandar di sana dan terperangkap di dalam kekerasaan pelukannya.

"Lepaskan, Tot." Aku mulai panik. Suaraku mulai bergetar.

Tetapi Gatot tidak mau mendengarkan permintaanku. Dia sibuk dengan perasaannya sendiri.

"Sekarang ini aku masih mabuk: kesenangan karena sikap mesramu kepadaku tadi," katanya, "Rasanya, aku ini benar-benar seperti kekasihmu."

Kemudian didekatkannya wajahnya ke wajahku.

Ketika kurasakan embusan napasnya yang hangat pada dahiku, aku jadi semakin panik. Tetapi bukan dia, yang kutakuti, melainkan diriku sendiri.

"Lepas ... ," pintaku. Tetapi ucapanku selesai. Sebab tiba-tiba saja bibirku telah dilumat oleh bibirnya. Seperti yang pernah terjadi di Ancol beberapa waktu yang lalu, sekarang aku juga tak mampu berpikir apa pun kecuali merasakan penguasaan bibirnya atas bibirku. Maka kalau berpikir saja pun tak sanggup, bagaimana pula aku bisa menolaknya? Aku bahkan langsung saja terseret ke dalam pesonanya. Laki-laki itu menciumiku dengan penuh gairah. Tubuhnya yang kokoh mengimpit tubuhku. Dadanya yang bidang dan kenyal itu merapat ke dadaku sehingga paha kami saling menempel. Dan kemudian tangannya yang semula melingkari lenganku dilepaskannya. Tetapi sebagai gantinya, dengan tangan itu ia mulai membelaiku. Belum pernah aku diperlakukan seintim itu. Bahkan oleh Bram sekali pun. Tubuhku dikunci dengan tangan kirinya dan rambut serta bagian-bagian wajahku dibelai dan ditelusuri oleh jemari tangan kanannya dengan cara seorang pemilik. Bahkan bagai seorang pemenang. Sementara itu tubuhnya menekan tubuhku.

Aneh sungguh diriku ini. Dengan Bram, aku selalu mampu menahan gairahnya dengan ucapan maupun dengan sikapku yang tegas sehingga lelaki itu tak pernah berani berbuat lebih dari sekadar menciumku. Membelai sedikit turun saja dari rambutku, aku sudah menegurnya.

Tetapi berada dalam pelukan Gatot, aku kehilangan segalanya. Kesadaranku, akal sehatku, sikap tegasku, penolakanku. Bahkan tanpa mauku, badanku menggigil oleh usapan-usapan tangannya pada kuduk, lengan, dan punggungku. Dan ketika bibir Gatot mulai menciumi sisi leherku dan menggigit lembut daguku aku merasa kakiku seperti kehilangan tulang penyangga. Seluruh tubuhku menjadi lemah lunglai. Barangkali Gatot merasakan hal itu. Ia merengkuh tubuhku yang setengah bergayut pada bahu dan lehernya itu.

Meskipun sudab sedemikian jauhnya kami bercumbu, otak warasku masih saja belum bisa bekerja secara normal. Yang terjadi justru aku pasrah dan bahkan menikmati kemesraan yang diselubungkan lelaki itu padaku. Selain itu aku malah membalas pelukan dan ciumannya dengan sepenuh gelora. Merasakan balasanku, tubuh Gatot juga gemetar.

"Ambar ... ," kudengar lelaki itu membisikkan namaku berulang-ulang dengan sangat mesra, menyebabkan darahku mengaIir deras dan jantungku berpacu demikian cepat. Tubuhku terasa panas dan dingin bergantian.

Tiba-tiba Gatot menarik tanganku dari lehernya, lalu menuntunnya dan meletakkannya, menyusup melalui lubang baju kausnya. Aku menggelinjang dan bergetar tatkala kurasakan kulit dadanya yang hangat dan bulu dadanya yang halus.

Aku mengeluh tanpa sadar, Perbuatan itu sudah terlalu intim untuk dilakukan oleh insan yang belum terikat sebagai suami-istri. Lebih-lebih bagi kami berdua. Tak ada hubungan percintaan di antara diriku dan Gatot. Tetapi toh dalam kemacetan otakku itu aku telah membiarkan kemesraan itu terjadi. Kalau saja aku tidak mendengar gumaman yang Iebih mirip seperti erangan seekor kucing yang menikmati elusan tangan tuannya, barangkali kami berdua akan terus melekat satu sama lain seperti lintah.

Maka begitu aku tersadar dari amukan gairah yang dibangkitkan oleh lelaki itu, kudorong dadanya agar menjauhi tubuhku. Kemudian kurenggut tubuhku dari rengkuhan tangan kekarnya.

"Hentikan," aku mengeluh dengan suara serak.

Bahkan seperti suara orang tercekik. Padahal aku ingin sekali berteriak dan membentaknya. Sampai-sampai aku tak mengenali suaraku sendiri.

Untungnya Gatot juga menyadari bahwa perbuatan kami sudah berlebihan. Dilepaskannya pelukannya atas tubuhku yang lemas itu, sementara aku segera berlari ke arah sofa agar tidak terpuruk di tempat. Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku.

"Pu. .. pulanglah," kataku dengan suara serak. Padahal seperti tadi, aku juga ingin berteriak dan membentaknya untuk mengusir Ielaki itu.

Tetapi bukannya pergi, Gatot malah menyusul duduk di sampingku. Tangannya terulur menggenggam telapak tanganku. Tetapi aku segera menarik tanganku sehingga terlepas.

"Pergilah ... ," aku mengeluh pelan dengan suara menggeletar menahan tangis.

"Ambar ... "

"Jangan mengucapkan kata-kata apa pun!" aku memotong kata-katanya. "tetapi pulanglah. Aku ... aku tidak ingin melihatmu lagi .... "

Oh Tuhan, ingin sekali aku menangis menggerung-gerung. Dadaku terasa penuh dan perasaanku kacau-balau. Tetapi aku tak mau menangis di hadapan Gatot.

"Ambar .... ' Gatot tidak memperdulikan sikapku yang tak mau didekati.. Ia tetap duduk di sisiku. "Ambar, jangan marah kepadaku. Sama sekali aku tak bermaksud melecehkanmu. Bahkan aku sendiri pun dalam keadaan mabuk. Begitu bibirku menyentuh bibirmu, diriku seperti melayang. Lupa tempat, Lupa waktu. Lupa segalanya. Sama sekali aku tidak menyangka ciuman yang semula hanya kumaksudkan untuk sedikt melanjutkan permainan sandiwaramu tadi telah berubah menjadi ledakan gairah, Aku ... aku ..."

"Sudah, sudah!" kupotong perkataan Gatot yang belum selesai itu. Tetapi kini air mata yang sejak tadi kutahan-tahan itu mulai mengaliri pipiku. "Aku tak mau mendengarkan pidatomu. Cepat pulanglah sebelum aku mengamuk!"

Gatot terdiam. Ia menatapku lama sehingga darah yang mengaliri urat-urat tubuhku mengalir lebih cepat dan pipiku terasa hangat. Dengan gerakan kasar kuseka pipiku kuat-kuat oleh frustrasi yang melanda diriku.

Rupanya Gatot memahami keadaanku. Ia tersenyum kemudian mengusap lembut pipiku tanpa sempat kucegah. Lalu, dengan gesit dan sigap tubuhnya melesat berdiri.

"Selamat malam, Sayang," katanya dengan suara lembut. Kemudian dengan cepat tubuhnya menghilang. Tak berapa lama, kudengar suara pintu samping rumah dibuka dan ditutup kembali. Laki-laki itu sudah pergi.

Sendirian, aku termangu dengan pandangan buram oleh air mata. Pelan-pelan otakku bisa kupergunakan dengan lebih baik meskipun masih agak baur. Seluruh pengalamanku sejak awal perkenalan kami sampai apa yang baru saja terjadi tadi, berhamburan menyerbu masuk ke dalam ingatanku. Kuingat betapa kacau-balaunya perasaanku terhadapnya. Aku pernah mengagumi wawasannya yang luas, daya tarik fisiknya, kegantengannya dan gayanya yang enak dipandang. Tetapi aku juga pernah begitu membencinya, begitu marah, begitu kesal, dan begitu rendah menilainya.

Dengan pelbagai macam perasaan itu, aku juga menginginkan Gatot pergi dari kehidupan kami sekeluarga. Namun belakangan ini, semenjak kubiarkan lelaki itu menciumku di Ancol waktu itu, aku merasa sudah seperti orang yang tak waras saja jika berhadapan dengan dia. Sulit merumuskan bagaimana perasaanku terhadapnya sehingga aku ingin sekali mengusir dia keluar dari rumah ini setiap kudengar suaranya atau kulihat sosok tubuhnya. Aku benar-benar tidak tahan melihatnya.

Tetapi malam ini, ketika kusadari betapa mudahnya aku terbenam dalam cumbuannya sampai melupakan realitas di mana aku berada, kekacauan perasaan yang belakangan ini kurasakan terhadapnya mulai meledak. Maka selurub frustrasi yang kurasakan, kebingungan atas tanggapan fisikku ketika dia memeluk dan menciumku, sensasi-sensasi yang dibangkitkannya pada tubuhku yang selama ini tertidur nyenyak dan bahkan tak pernah kuketahui ada padaku ini, tumpah ruah ke dalam satu perasaan yang membuncah. Yaitu perasaan putus asa yang luar biasa.

Sungguh mati, aku tak bisa mengerti kenapa aku jadi begini? Kenapa aku bisa kehilangan pegangan? Di manakah tolok ukur yang kupakai untuk menilai baik dan buruknya suatu perbuatan. Di manakah kemampuan dan kesadaran moral yang selama ini menjadi pakaianku? Kenapa pula otakku yang sebetulnya masih cukup waras itu tidak mengingatkan diriku bahwa laki-laki yang memeluk dan menciumi secara begitu intim itu adalah kekasih adik kandungku sendiri. Semestinya dan seharusnyalah kutampar dia, kumaki-maki dia, dan kuusir dia secepatnya dari rumah ini. Bukannya membiarkan diriku meresapi kemesraannya seperti perempuan murahan, perempuan yang tak tahu malu. Kututup wajahku dengan tangan gemetar. Dalam hidupku, di seluruh perjalanannya dan di seluruh pengalaman yang pernah kutemui, baru sekali inilah aku rnengalami perasaan yang sedemikian menyakitkan ini. Begitu sakitnya sampai melanjutkan tangis pun aku tak sanggup lagi. Begitu pedih dan perihnya jiwaku sampai berpikir apa pun aku tak mampu lagi. Ini benar-benar suatu tragedi, bahkan malapetaka, bagi diriku. Sesuatu yang merusak seluruh prinsip hidupku. Sesuatu yang menghancurkan seluruh kebanggaan diriku selama ini. Sebab sejak Bramanto mengkhianatiku aku berhasil memiliki kemampuan untuk bersikap : mandiri, khususnya secara mental, di mana hatiku tetap utuh tanpa pemah dipengaruhi oleh keberadaan seorang lelaki dalam bentuk ketergantungan apa pun. Tetapi kini, rasanya nilai seperti itu sudah tak ada lagi padaku. Bahkan tak tersisa sedikit pun.

Ya Tuhan. Kenapa begini jadinya? Aku terus mengeluh sendirian dengan perasaan yang semakin lama semakin tercabik-cabik. Sebab semakin semua yang terjadi di antara diriku dan Gatot kurenungkan, semakin aku merasa seperti sedang berdiri di muka layar film yang sedang memutar seluruh kisah paling memalukan dalam hidupku. Dan seluruh hati nurani sampai yang paling tersembur menggugatku keras-keras.

Aku kenal diriku. Aku bukanlah temasuk gadis yang mudah tergiur oleh hebatnya seorang lelaki dan betapa pun besarnya daya pikatnya. Bahkan kalau ada lelaki yang terus-menerus mengganggu ketenanganku entah melalui telepon, entah melalui surat, entah pula melalui pendekatan secara langsung, aku bisa menjadi muak karenanya. Dengan tegas pula aku mampu mengatakan secara terus terang bahwa aku tak suka didekati kalau mereka ingin menjalin hubungan yang lebih dari sekadar teman biasa. Dan itu bukan hanya sekali atau dua kali terjadi. Aku tahu ada beberapa orang yang mencoba untung-untungan karena merasa gemas melihat sikap dinginku selama ini. Tetapi toh aku mampu mengatasi itu semua dengan baik sekali.

Aku harus mengakui pada diriku sendiri bahwa keberhasilanku menjaubkan diriku dari lelaki-lelaki sernacam itu telah membuatku sombong meski pun kesombongan itu hanya kusimpan sendiri. Justru karena itulah kini sesudah aku sadar bahwa ada seorang lelaki yang dengan begitu mudahnya mampu menyentuh bibirku, bahkan juga rambut, leher, kuduk dan punggungku dengan cara yang sedemikian rnesranya, aku hampir tak mempercayai kenapa ini semua bisa terjadi. Malangnya, lelaki yang telah menghancurkan seluruh prinsip hidup dan kebanggaan diriku itu adalah seorang mata keranjang, seorang yang tak punya tenggang rasa, lebih jauh lagi kekasih adik kandungku sendiri yang sedang kuusahakan agar menjauhi keluargaku. Bukankah ini semacam malapetaka yang menimpa diriku? Tragis dan sangat ironis.

Dengan tangan yang masih tetap menggigil karena perasaan-perasaan yang bercampur aduk itu akhirnya aku berdiri dari tempat dudukku. Lalu dengan langkah terseok-seok seperti prajurit kalah perang yang terluka, kubawa tubuhku masuk ke kamar. Di sanalah kuempaskan tubuhku. Di sanalah aku harus mengakui satu hal lagi yang jauh lebih menyakitkan dan jauh lebih dalam menusuk hatiku. Bahwa sebagai gadis baik-baik dan telah menyerap seluruh ajaran, baik yang terucapkan maupun yang melalui contoh kongkret kehidupan ini, aku tahu betul bahwa kepasrahanku dipeluk dan dicium oleh Gatot adalah suatu bukti bahwa lelaki itu secara tak kusadari telah memasuki hatiku dan bertengger di tempat yang istimewa. Atau dengan kata lain yang lebih jelas, bahwa secara tak kusadari dan datangnya tak kuramalkan sebelumnya, sesungguhnya aku ini telah jatuh cinta kepada Gatot.

Jelasnya, aku telah jatuh cinta kepada kekasih adikku sendiri. Jelasnya lagi, aku telah jatuh cinta kepada seorang lelaki yang tak pantas. Bahkan pada orang yang salah!

Itulah mengapa tadi kukatakan bahwa ini adalah suatu tragedi. Bahwa ini adalah suatu malapetaka .

Malapetaka yang sulit kuhindari. Maka kalau itu sulit dihindari, satu-satunya cara yang masih bisa kulakukan adalah menjauhkan diriku dari si sumber malapetaka. Semakin cepat, semakin baik. Dan langkah pertama yang bisa kulakukan saat ini adalah mengajukan cuti. Cuti tahunanku belum kuambil. Aku harus pergi sejauh mungkin dari Jakarta.

DIAM-DIAM selama beberapa waktu belakangan ini aku mengurus cutiku. Sudah kuputuskan, aku akan menghabiskan cutiku ke rumah budeku yang tinggal di Solo. Kepada beliau aku sudah meminta kerelaannya untuk menerima kehadiranku selama kurang lebih dua minggu. Budeku yang sudah janda itu malahan merasa gembira mendengar kabar tersebut.

"Bude juga akan berlibur bersamamu, kalau begitu. Kita bisa menyewa sebuah pondok di Tawang mangu. Ada teman Bude yang mempunyai beberapa tempat untuk disewakan. Kalau bukan pada hari libur, tempat-tempat itu kosong, ia pasti senang kalau kita sewa. Sebab, itu berarti pemasukan tambahan buatnya!" begitu budeku menyambut berita kedatanganku itu dengan antusias melalui telepon. "Tempatnya enak, dekat pasar dan pemandangannya indah!"

Bude mempunyai tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan yang semuanya sudah berumah tangga. Ia tinggal bersama salah seorang dari ketiga anak lelakinya. Hidup bersama menantu dan cucu-cucu yang sedang banyak-banyaknya menyita perhatian pastilah sangat merepotkan Bude. Sesekali beliau pastilah membutuhkan suasana yang sama sekali lain. Bahkan membutuhkan istirahat guna menghimpun kekuatan untuk tugas-tugas di hari selanjutnya.

Aku menyukai ide budeku untuk berlibur di Tawang mangu, yaitu kota kecil tempat peristirahatan yang terletak di kaki Gunung Lawu. Sekarang bukan musim liburan. Suasananya pasti Iebih tenang dan juga Iebih lengang dengan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat yang berada dalam keadaan "normal". Tarif sewa penginapan, makanan, dan barang-barang lain saat ini bukanlah harga katrolan seperti kalau sedang ada banyak pengunjung dari kota-kota sekitarnya. Bisa sampai dua atau tiga kali lipat daripada harga normal. Apalagi kalau ada mobil-mobil yang datang dari Jakarta. Terutama di hari-hari libur.

Sementara menunggu hari cutiku tiba, aku benar-benar berusaha mati-matian, lebih dari yang sudah-sudah, agar tidak bertemu muka dengan Gatot. Penemuan diriku bahwa hatiku telah terpanah asmara olehnya menyebabkan aku harus keras pada diriku sendiri untuk tidak membiarkan kelemahan hatiku menguasai otakku juga. Jadi apa pun yang berkaitan dengan lelaki itu, kuhindari sama sekali. Bahkan usahaku untuk menjauhkan Gatot dan Tina seperti yang selama ini kulakukan, sekarang kuhentikan sama sekali. Setidaknya untuk sementara, sampai perasaanku lebih tertata, meskipun aku tak tahu kapan itu terjadi.

Tentu saja perubahan yang terjadi padaku itu tak luput dari perhatian Tina. Apalagi karena sebelumnya aku terus-menerus mendesaknya agar dia mau membuka matanya dan jangan membiarkan ia menjadi buta karena cinta. Hal itu dikatakannya secara terus terang di suatu malam sesudah kami sekeluarga makan.

"Sudah kalah ya, Mbak?" begitu dia mengusik ketenanganku.

"Apanya yang kalah?"

"Kau sudah menyerah dan sekarang merelakan diriku tetap menjalin hubungan dengan Mas Gatot. Kalau benar begitu, wah, aku benar-benar merasa amat berterima kasih padamu!" lagi-lagi gadis itu mengusik batinku.

"Tidak, Tina. Aku masib belum kalah. Dan tidak boleh kalah demi kebaikanmu dan demi masa depanmu agar tetap gemilang." Kugelengkan kepalaku keras-keras. "Tetapi terus terang, aku memang belum tahu bagaimana caranya merenggutkan dirimu dari dia. Jadi satu-satunya harapanku hanyalah agar kau segera sadar untuk tidak selalu menempatkan Gatot sebagai orang yang serba sempurna."

"Kenapa kau berkata seperti itu, Mbak.?"

"Yah ... karena ... karena ... aku mempunyai firasat bahwa Rini bekas kekasihnya itu, masih terus-menerus berusaha agar hubungan mereka dulu terjalin kembali." Hanya dalih itu yang bisa kukatakan kepada Tina. Sebab tak mungkin aku mengatakan bahwa Gatot telah menciumiku seperti orang kelaparan, bukan?

"Mas Gatot pernah mengatakan padaku bahwa dia sudah lama sekali tidak Iagi mencintai Rini. Dan aku percaya itu!"

"Tina, jangan mudah percaya kepada seorang laki-laki. Rini itu sangat menarik dan Gatot itu seorang manusia biasa, berdarah dan berdaging. Sudah begitu, Rini juga cukup mempunyai pengalaman untuk melenturkan hati Gatot. Mereka kan pernah berpacaran. Yakinkah kau bahwa Gatot bisa tetap setia padamu?"

"Kau bicara seolah sudah kenal baik dengan Rini sih, Mbak!" Tina menjawab perkataanku sambil menatapku dengan pandangan menyelidik.

"Belum, aku belum pernah bertemu dengannya," sahutku, nyaris gugup karena apa yang kurahasiakan tentang pertemuanku dengan Rini hampir saja terloncat dari mulutku. "Aku cuma menduga-duga saja.'

"Kalau begitu kau terlalu berlebihan membayangkan yang bukan-bukan. Aku percaya kok kepada kesetiaan Mas Gatot!"

"Bagairnana kalau suatu saat apa yang kukhawatirkan itu terjadi? Sekali lagi, Tina sadarilah bahwa Gatot itu bukan malaikat!"

"Ah, aku tak mau memikirkan sesuatu yang belum tentu Mbak!" Adik tersayangku yang keras kepala itu mengakhiri pembicaraan kami dengan meninggalkanku sendirian.

Sedemikian beratnya rasa putus asa membebani batinku sementara aku tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menyadarkan Tina, membuatku malah jadi apatis. Perhatian dan pikiranku pun tercurah pada urusan pribadiku. Semakin dekat hari cutiku semakin aku mencoba menyingkirkan masalah-masalah lain yang bisa mengurangi harapan untuk mendapatkan kembali ketenangan batinku. Aku juga tidak ingin kegembiraan di hari-hari cutiku pudar hanya karena memikirkan adikku yang terlalu percaya diri dan terlalu mempercayai kekasihnya yang tak kenal kesetiaan itu.

Begitulah sehari sebelum aku berangkat ke Solo, barulah keluargaku kuberitahu. Itu pun pada waktu makan malam. Besok, aku masih bekerja dan jam sembilan malam harinya baru aku meninggalkan Jakarta menuju ke Solo dengan kereta api Argo Lawu. Sebab akan terdengar aneh kalau aku baru mengatakannya saat aku pamit kepada mereka besok. Meskipun demikian, seperti yang sudah kuperkirakan sebelumnya, berita kepergianku itu menimbulkan reaksi juga pada keluargaku.

"Kenapa begitu mendadak, Ambar?' ibuku bertanya dengan kerut dalam di dahinya.

"Ini tidak mendadak kok, Bu. Cuti ini kan memang hak saya dan ke mana saya akan pergi sudah terencana jauh-jauh hari sebelumnya. Karcis kereta juga sudah ada di tangan saya sejak beberapa hari yang lalu."

"Tetapi menurut Bapak keberangkatanmu ke Solo besok malam itu termasuk mendadak, Nduk," Bapak menyela pembicaraanku dengan ibu. "Sebab kemarin-kemarin ini kau tidak menceritakan apa pun mengenai hal itu kepada kami. Kok seperti orang yang mau melarikan diri saja!"

"Iya, Pak, Mbak Ambar ini seperti lari menghindari seseorang!" Tina ikut bicara.

"Memangnya mau menghindari siapa, Tina? Perkataanmu ini kok macam-macam saja." Aku berlagak tenang. Sebab meskipun dadaku sedikit berdebar ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Bapak maupun oleh Tina tadi, tetapi aku harus tetap menjaga rahasia batinku. Mereka tidak boleh tahu babwa aku memang melarikan diri dari seseorang.

"Yah, siapa tahu perkataanku itu ada benarnya kan, Mbak?" sabut Tina dengan sikap acuh tak acuh yang menggemaskan. "Apalagi Bik Imas telab menceritakan sesuatu kepadaku dan juga kepada Ibu, Ya kan, Bu? Lalu ... "

"Tina!" Ibu menegur putri bungsunya itu sehingga si gadis lincah menghentikan ucapannya dengan mendadak. Tetapi masih sempat kulihat Ibu mengedipkan mata kepadanya.

Karena udah telanjur mengarah ke pembicaraan yang menyangkut diriku sehingga jantungku mulai lagi berpacu kencang, aku ingin mendapatkan kejelasan mengenai apa yang telah diceritakan oleh Bik Imas kepada mereka. Aduh jangan-jangan pembantu rumah tangga itu memergoki aku dan Gatot sedang berciuman?

"Sebenarnya apa sih yang ada dalam pikiran Bapak, Ibu, dan Tina sampai-sampai mengira aku mau melarikan diri dari seseorang?" tanyaku merasa tak enak. Kuletakkan sendok dan garpuku ke arah piringku yang masih penuh. Selera makanku mulai lenyap.

Melihat keadaanku, Didik, adikku yang sejak tadi hanya menjadi pendengar dan hanya sibuk memindahkan isi piringnya ke perut, mulai mengambil bagian dalam pembicaraan kami.

"Katakan saja secara terns terang, Tina!" begitu dia berkata sambil menggigit kerupuk. "Kasihan Mbak Ambar tuh. Selera makannya jadi hilang."

"Ah, begitu saja kok sampai kehilangan selera makan sih, Mbak. Bik Imas cerita ... " Tina terdiam sebentar dan memandangku dengan tatapan tajam. Tampaknya dia sengaja hendak mengusik ketenanganku dengan cara mengulur-ulur waktu. Sialan gadis itu. Jantungku jadi semakin cepat berpacu. Barangkali, seperli itulah yang dirasakan oleh pencuri ayam yang ketahuan sedang beroperasi. "Bik Imas bercerita, bahwa ... bahwa ... ketika aku dan Mas Didik ikut Bapak-Ibu ke perkawinan Mbak Windarti, Mas Bram datang ke sini. Mm, begitulah sebagian cerita Bik Imas!"

Meskipun jantungku masih berdegup kencang tetapi demi mendengar nama Bram yang disebut dan bukannya Gatot, perasaanku terasa agak lega. Maka aku mulai lagi menyuap nasiku.

"Apa betul Brarn datang kemari, Ambar?" Bapak menyela. Matanya menatap tajam ke arahku.

"Ya."

"Kenapa hal itu tidak kauceritakan kepada kami?" kata Bapak lagi.

"Kalau bukan karena cerita Bik Imas, mana kami tahu peristiwa itu!" Tina menyambung lagi.

Kejadian itu tidak kuceritakan karena bagiku itu bukan peristiwa penting. Bahkan sangat tidak penting," sahutku berdalih. "Jadi kalau kepergiank ke Solo besok dianggap sebagai usaha menghindarinya, itu keliru besar. Bram hanya sejarah. Dan bisa dipastikan, kedatangannya kemari waktu itu adalah kedatangannya yang terakhir di rumah ini!"

"Betul begitu?"

"Pasti betul!"

"Tetapi kalau kau memang tidak menghindari seseorang, kenapa kepergianmu ke Solo itu begitu mendadak, Mbak?" Tina bertanya lagi. Dan lagi-lagi juga aku menangkap pandangan tajam dari kedua bola matanya. "Dan mengapa pula baru sekarang rencanamu pergi itu kaukatakan kepada kami. Ini kutanyakan karena tak biasanya kau berbuat seperti ini, lucu jadinya."

"Apanya yang lucu?" Setelah tahu yang diceritakan oleh Bik Imas itu bukan adegan mesraku dengan Gatot, rasa laparku mulai muncul lagi.

"Kau yang lucu, Mbak. Caramu memberitahu tentang kepergianmu ke Solo tadi, padahal sebelumnya sama sekali kau tak pernah menyinggungnya, dan lalu juga dari slkapmu yang belakangan ini sering menghindari kami semua, menunjukkan Mbak tidak seperti yang kami kenal, Mbak benar-benar tampak lain. Sepertinya ... "

"Tina!" Ibu menegur adik bungsuku itu Iagi.

Entah mengapa aku merasa masih ada sesuatu yang disembunyikan mereka semua dariku. Apalagi Tina langsung menghentikan perkataannya begitu ditegur Ibu.

"Kau terlalu banyak berkhayal, Tina!" aku menggerutu. "Tahu akan dipojokkan begini, aku baru akan pamit besok kalau mau berangkat."

"Nah, itu kan juga lucu!" Tina mencibir dengan bibir mungilnya. "Jangan lagi sudah mau berangkat, biasanya baru punya rencana saja kau sudah bercerita ke sana dan kemari kepada kami semua. Ya kan, Bu?"

"Memang begitu." Ibu tersenyum sambil melirikku. Ada siratan pandang mata mengandung pemahaman yang aku tak tahu apa artinya. Namun apa pun itu, jelas telah mengusik hatiku. Tahukah Ibu kenapa mendadak saja aku mengambiI cutiku?

"Nah!" Tina mencibir lagi dengan gaya seperti pemenang lomba. "Aku saja merasa kau itu aneh, apalagi Ibu yang melahirkanmu, Mbak. Beliau pasti sudah sejak kemarin-kemarin menangkap perubahan sikap dan kebiasaanmu. Sedangkan Mas Didik yang biasanya suka tidak pedulian saja pun bisa mengatakan bahwa belakangan ini kau tampak lain. Ya kan, Ma?"

"Mungkin." Didik menyeringai. "Ya kan, Pak?"

"Mungkin." Bapak meliriku. Kulihat, ada senyum samar yang sengaja di sembunyikannya.

"Ah, sernua orang cuma menduga yang bukan-bukan saja" aku menggerutu untuk ke sekian kalinya. "Padahal tak ada yang berubah pada diriku. Jadi sebaiknya jangan terlalu jauh mengartikan perubahan sikapku belakangan ini .. Itu pun kalau ada yang berubah."

"Mungkin saja kami memang terlalu berlebihan, Mbak!" Didik mulai bicara lagi. "Tetapi sejak Mas Bram muncul kembali di rumah ini, kulihat kau lebih suka berkurung sendirian di kamar daripada mengobrol bersama yang lain."

Kupejamkan mataku sesaat lamanya. Perasaanku mulai baur Iagi. Di satu pihak aku merasa agak lega karena Didik, dan mungkin juga yang lain-lain, menganggap perubahan sikapku itu ada kaitannya dengan kedatangan Bram. Tetapi di lain pihak perasaanku yang digayuti suara hati nurani, menggugatku agar aku tidak membiarkan mereka tetap mengira demikian. Sebab aku tahu betul semua yang dikatakan mereka itu bersumber dari kekhawatiran dan rasa sayang mereka alas diriku. Sesuatu yang tidak mengherankan, sebenarnya. Mereka semua tahu betul betapa hancurnya diriku ketika baru mengetahui pengkhianatan Bram. Hampir satu tahun lamanya aku hidup seperti robot dan menarik diri dari pergaulan. Simpati dari teman-temanku bukan saja tak ada gunanya, tetapi bahkan kuanggap seperti acara belas kasihan yang menyinggung harga diriku. Ketika itu, seluruh keluargaku ikut berbela rasa dengan cara mereka masing-masing. Tak heran kalau kedatangan Bram beberapa waktu yang lalu itu membuat keluargaku merasa khawatir. Berpikir seperti itu aku merasa haru memberi semacam penjelasan yang sekiranya bisa sedikit menenangkan mereka. Kalau perlu dengan berdusta. Tidak semua dusta itu buruk, kan?

"Begini, Dik," kataku kemudian. Kusahakan agar suaraku terdengar meyakinkan. "Kuakui bahwa kedatangan Bram yang tiba-tiba itu cukup rnernbuatku kaget. Sebab bayangkanlah, sekian tahun lamanya mendengar namanya disebut orang saja pun tak pernah, kok sekarang tiba-tiba muncul begitu saja. Tetapi percayalah, kekagetanku itu tak ada kaitannya sarna sekali dengan perasaan yang pernah kurasakan terhadapnya dulu. Baik yang sifatnya mengandung kasih maupun yang mengandung kebencian dan kernarahan. Dengan perkataan yang lebih jelas, kedatangannya yang tiba-tiba itu sedikit pun tidak berpengaruh pada diriku. Bagiku sekarang ini, dia tak lebih hanya sebagai teman lama yang tak perlu diperhitungkan keberadaannya. Paham?"

"Tetapi kenapa tiba-tiba dia datang lagi ke rumah ini?" Didik bertanya lagi. "Aku ini seorang lelaki juga, Mbak. Sama seperti Mas Bram. Kalau aku datang ke rumah seorang gadis sendirian saja dan tidak ada suatu keperluan khusus seperti misalnya mau meminjam diktat atau berkaitan dengan urusan lainnya, berarti aku sedang berusaha mendekati hati gadis itu!"

"Apalagi Mbak Nina tidak diajak serta!" Tina menyambung bicara Didik.

"Oke, akan kuceritakan persoalan sesungguhnya!"

Aku menarik napas panjang. "Terus terang saja sebelum Bram datang ke sini dia mencleponku di kantor, bercerita bahwa Nina baru saja selingkuh dengan temannya sehingga dia mulai memahami bagaimana perasaanku waktu memergokinya berkasih mesra dengan sahabatku sendiri. Lalu dia bertanya apakah dia boleh berkunjung ke rumah. Kujawab saja silakan. Masa aku bilang tidak boleh, seperti anak kecil saja. Maka beberapa hari kemudian datanglah dia ke sini .... "

"Dia ingin mendekatimu lagi barangkali, Mbak?"

"Mungkin. Tetapi aku sama sekali tak berminat. Berteman lagi pun aku tak mau!" aku menjawab sebenarnya. "Kurasa dia akhirnya mengerti itu!"

"Tetapi kau rnelarikan cliri dari kota ini untuk menghindari kedatangannya lagi, kan?" Tina menukikkan pandang matanya. "Sebab kau takut jatuh cinta lagi kepadanya."

"Tina, tolonglah aku dengan cara melepaskan Bram dari pembicaraan kita. Dia itu sudah tidak ada kaitannya lagi denganku. Sedikit pun tidak. Jadi jangan kaitkan dia dengan kepergianku ke Solo. Oke?"

"Sudahlah," Bapak yang sejak tadi tak banyak bicara mulai ikut ambil bagian dalam pembicaraan kami, "Apa pun yang dirasakan atau dialami oleh Ambar, itu adalah urusan pribadinya. Jadi sebaiknya kita akhiri sampai sekian saja pembicaraan mengenai Bramanto!"

Aku senang ditengahi oleh Bapak. Selesai makan cepat-cepat aku mengatur pakaian dan barang-barangku yang akan kubawa ke Solo. Tak ada waktu lain bagiku. Besok aku masih harus ke kantor. Dan malamnya aku akan berangkat. Dalam kerepotan seperti itu Tina masuk ke kamarku dan duduk di tepi tempat tidur, Dia memandangi kesibukanku.

"Banyak juga bawaanmu, Mbakl" komentarnya. "Dua minggu itu lama, Tina."

"Selama dua minggu itu kau hanya akan ada di rumah Bude Yanti saja?"

"Mungkin. Aku masih belum tahu apa rencana selanjutnya."

"Sayang sekali kau tidak ada di rumah kalau nanti keluarga Mas Gatot datang kemari, Mbak .... " Tanganku yang sedang melipat blusku yang antikusut terhenti demi mendengar perkataan Tina.

"Memangnya mereka itu mau apa?" tanyaku dengan perasaan yang mendadak jadi tak enak.

"Untuk berkenalan dan menyusun langkah selanjutnya .... "

''Langkah berikut apa?" selaku. Tanpa kusadari aku telah berbicara dengan cepat dan keras.

Tina menatapku beberapa saat lamanya. Entah apa yang ada dalam pikirannya, tetapi perasaanku semakin tak enak saja rasanya.

"Tentu saja melamar, Mbak!"

Kini kedua tanganku betul-betul telah berhenti dari kesibukanku semula. Seluruh pikiran dan perasaanku terserap kepada apa yang baru saja dikatakan oleh Tina.

"Tina, apakah itu tidak terlalu cepat. .. ?" tanyaku.

Suaraku terdengar agak rnenggeletar. Mudah-mudahan Tina tidak mendengarnya.

Aku tak mampu membayangkan seorang lelaki yang kurang ajar, yang tak tahu arti kesetiaan akan hadir di rumah ini sebagai suami adik kandungku. Lelaki yang tak pantas menjadi suami Tina, yang kubenci kelakuannya tetapi yang ternyata kucintai dengan cara yang khusus itu, akan hadir untuk menjadi bagian dari keluarga kami. Betapa sulitnya aku menerima kenyataan seperti itu.

"Tetapi itu kemauan Mas Gatot kok, Mbak!" kudengar Tina menjawab pertanyaanku tadi.

"Katakan kepadanya untuk menunda niat itu sampai sedikitnya kau menyelesaikan kuliahmu lebih dulu .... "

Tina tertawa mendengar perkataanku. Aku sungguh merasa jengkel melihat cara tertawanya yang jelas-jelas menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap kata-kataku. Bahkan seperti menyepelekannya, "Kok tertawa?" aku membentak.

"Habis kau lucu sih, Mbak," Tina menjawab seenaknya. "Mana bisa sih orang membendung aliran sungai yang deras dalam waktu sehari?'

"Apa maksudmu?" aku mernbentak Jagi.

"Ya, gamblang sekali kan maksudku. Percuma saja menahan kemauan Mas Gatot. Jadi, Mbak, tenang-tenang sajalah. Kalau tidak, kau sendiri yang akan babak-belur membentur batu karang!"

Aku menarik napas panjang. Menilik gejalanya, memang hanya sia-sia sajalah usahaku untuk menyelamatkan adik tersayangku ini. Betapa polos dan tak berpengalamannya adikku ini, Gatot memang sangat kurang ajar. Dia menginginkan seorang istri yang masih suci dan polos, yang belum berpengalaman dalam seluk-beluk percintaan, tetapi di luar perkawinan, Gatot mencari seseorang yang bisa menyalakan api gairahnya.

"Tina ... " aku mulai merasa putus asa. Suaraku terdengar lemah, sedikit pun tak ada sisa-sisa bentakanku tadi. "Kau tahu bahwa aku sangat menyayangimu dan ingin sekali melihatmu bahagia, kan?"

"Tahu sekali, Mbak!" Ada pandangan lembut dalam mata Tina tatkala menatapku.

"Kalau begitu kau pasti tahu mengapa aku tidak menyetujui Gatot menjadi kekasihmu, kan? Apalagi sampai menjadi suamimu!"

"Itu aku juga memahaminya, Mbak."

"Tetapi kenapa ... ?" Belum selesai bicaraku, Tina sudah menyambar perkataanku itu dengan jawaban yang membuatku tersudut.

"Karena kau belum kenal betul siapa Mas Gatot sebagaimana aku mengenalnya. Kau hanya melihat sisi buruknya saja, Mbak. Kau hanya kenal sebagian dari dirinya saja, yang kau nilai jelek. Padahal manusia mana pun di dunia ini tak ada yang sempuma. Padahal pula, sisi baik Mas Gatot yang cukup banyak itu belum kaulihat. Jadi, Mbak, janganlah terlalu mencemaskan diriku. Aku tidaklah sebodoh yang kausangka. Aku sudah cukup dewasa untuk melihat-lihat dan mempunyai wawasan lebih mendalaml" katanya dengan suara bersungguh-sungguh.

Aku masih belum mampu berkata apa pun.

Rasa seperti dipojokkan itu masih mengharu-biru hatiku. Bahkan kemudian timbul suatu pemikiran baru. Selama ini aku menganggap Tina pasti akan menderita atau sedikitnya tak akan berbahagia jika ia tetap melanjutkan rencananya menikah dengan Gatot. Tetapi baru sekarang muncul pikiran lain, yang menentang semua anggapanku selama ini. Yaitu, apakah Tina pasti berbahagia jika tidak menikah dengan Gatot?

Sungguh mati aku tak mampu menjawab pertanyaan yang baru muncul di kepalaku itu. Bahkan terbayang olehku keadaan Tina yang pasti akan seperti bunga layu dan kering seandainya terenggut dari Gatot.

"Sudahlah, Tina... aku menyerah ... ," sahutku lama kemudian. "Mudah-mudahan saja kekhawatiranku agak berlebihan."

Melihatku seperti tawanan perang, Tina bangkit dari duduknya dan dengan spontan ia memeluk dan mencium pipiku.

"Maaf, aku telah membuatmu sedih, Mbak," katanya dengan penuh perasaan. "Aku sungguh sangat berbahagia mempunyai kakak perempuan yang begitu menyayangi dan memperhatikan diriku."

Air mataku menitik. Kemelut apa pun yang masih tinggal dan bermegah-rnegah dalam hatiku, kusingkirkan sejenak. Tanpa kata-kata, kubalas peluk dan cium kasih Tina itu. Dan kemudian tanpa kata pula, kuselesaikan pekerjaanku mengatur barang-barang yang akan kubawa ke Solo besok malam.

Tetapi meskipun demikian, selama perjalananku ke Solo hari berikutnya, aku tak pernah bisa mengikis ingatanku pada kata-kata Tina dan pelukan kasihnya atas kepasrahanku terhadap pilihan hidupnya. Setiap ingatan itu menyusup pikiranku, air mataku menitik lagi. Dan segera kuhapus diam-diam agar tidak terlihat oleh sesama penumpang kereta api yang kunaiki ini.

Seandainya saja perasaanku terhadap Gatot tidak ikut ambil bagian dalam persoalan ini, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk menghadapi Tina dan mengatakan kebenarannya. Kebenaran tentang kelakuan Gatot yang terang-terangan memperlihatkan kekurangajaran dan kenakalannya terhadapku.

Adub, Tina, Tina, aku menangis dalam hati.

Kalau saja kau tahu bagaimana aku membenci Gatot yang telah berhasil membuka pintu hatiku yang selama ini tertutup. Dan kalau saja kau tahu bagaimana aku rnembenci diriku sendiri yang telah membiarkan Gatot masuk ke hatiku dan berhasil menyalakan kembali api yang mati dalam diriku. Sungguh mati, Tina, aku ingin melepaskan seluruh ingatan, seluruh kejadian yang pernah kualami bersama Gatot. Semua itu membuat diriku menjadi kotor oleh noda-noda berbau busuk yang tak mungkin bisa dicuci bersih.

Aduh, Tina, Tina, aku menangis terus dalam batin. Kenapa perubahan yang terjadi di dalam hatiku ini disebabkan oleh seorang lelaki yang kaucintai, yang kauharapkan akan menjadi pendamping hidupmu? Bagaimana mungkin aku sanggup menghadapi kenyataan yang ada di hadapanku? Bayangkanlah, aku pernah mengalami sentakan-sentakan sensasi melalui sentuhan tubuh dengan suami adikku sendiri. Bayangkanlah pula bagaimana malunya aku terhadap diriku sendiri karena mencintai lelaki yang dicintai mati-matian oleh adik yang kusayangi dengan sepenuh hatiku itu.

Sedemikian tenggelamnya aku ke dalam pikiran yang terus membuntuti diriku di sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Solo sampai-sampai tak kuperhatikan penumpang-penumpang lain di sekitarku yang akan menjadi teman seperjalananku selama kira-kira tujuh sampai delapan jam ini. Padahal di samping, di belakang, dan di depanku sudah terjalin tanya-jawab dan perkenalan di antara penumpang dengan teman sebelahnya. Tak jarang perkenalan itu akan berlanjut sampai di luar kereta api. Salah satu sahabat keluarga temanku juga berawal dari perkenalan di kereta api. Ayah temanku kecopetan dalam perjalanan di kereta api. Sesama penumpang meminjami uang. Dan akhirnya kedua keluarga mereka menjadi sahabat sampai sekarang. Bahkan katanya sudah seperti saudara saja.

Di stasiun Cirebon, kereta api berhenti sekitar tiga menit lamanya. Kusentuhkan dahiku ke kaca jendela. Dan kulayangkan pandanganku ke peron, menyaksikan kesibukan orang-orang yang lalu lalang di tempat itu. Meskipun hari sudah larut malam, masih saja banyak penjual makanan hilir-mudik menjajakan dagangannya. Bahkan kalau ada kereta api berhenti, mereka segera masuk ke gerbong-gerbong kelas ekonomi yang pintunya selalu terbuka.

"Dunia ini memang milik orang yang berduit...," kudengar gumam suara di sampingku. Suara seorang laki-laki muda.

"Ya," aku menjawab tanpa menoleh. Meskipun tak begitu pasti apa yang dimaksud oleh lelaki itu aku mengiyakan saja.

"Mereka, para penjual itu tidak berani masuk ke kereta api kita. Maka di sini terasa tenang, nyaman, dan tetap sejuk oleh alat pendingin. Di gerbong kelas ekonomi yang panas, sesak, berisik, dan terkadang juga pengap, bahkan pernah lampunya mati, penjual-penjual itu masuk dan menambah penuh serta berisiknya tempat yang kurang nyaman itu," kudengar laki-laki itu berkata lagi. Lebih panjang dari perkataan sebelumnya

Aku ingin mengatakan "ya" saja seperti tadi, tetapi kuurungkan. Sebab rasanya tak pantas kalau aku diramahi orang yang duduk di sampingku tetapi aku tak membalasnya dengan sikap yang sama.

"Memang benar," sahutku berbasa-basi. "Dan itulah mengapa semakin dalam saja jurang perbedaan antara si orang berduit dan yang tidak."

"Dan orang-orang seperti saya adalah orang-orang yang terjepit di antara dua dunia itu," kormentar laki-laki itu lagi.

Kini aku memalingkan wajahku dari arah luar jendela kereta api, masuk ke dalam. Dan kupandangi wajah si sumber suara. Tiba-tiba hatiku berdetak keras untuk beberapa saat lamanya. Wajah lelaki muda di sarnpingku itu mirip wajah Gatot!

Untuk seketika lamanya aku marah kepada diriku sendiri. Kenapa kubiarkan wajah lelaki itu muncul di dalam pikiranku sampai-sampai aku menilai wajah orang yang duduk di sisiku itu mirip dengan wajahnya. Tetapi setelah kupandangi lebih lama dan lebih teliti, kemarahan pada diriku sendiri terurai. Wajah orang itu memang benar mirip Gatot. Sial bukan nasibku ini? Mau menjauhi Gatot, di sini malah ada seorang lelaki yang wajahnya mirip dia.

"Terjepit bagaimana?" tanyaku sambil mencoba mengusir pikiranku.

"Yah, saya memilih naik kereta api yang tiketnya lebih mahal ini dengan tujuan supaya lebih cepat sampai dan dapat duduk dengan nyaman. Saya butuh beristirahat setelah menyelesaikan tugas-tugas saya. Tetapi mau membeli makanan dan minuman yang ditawarkan pramugari kereta api tadi ngeri. Harganya mahal-mahal, Padahal makan malam yang dihidangkan sebagai bagian dari layanan kereta ini tadi tidak cocok dengan mulut saya. Mau membeli dari luar, tak ada penjaja yang masuk sampai kemari. Inilah yang saya katakan terjepit tadi. Dan itu bukan hanya di kereta api saja, tetapi di mana-mana dan di pelbagai sektor kehidupan, Celakanya, kaum yang di atas sering menatap dengan pandangan meremehkan, sedangkan yang di bawah, menatap dengan pandangan macam-macam yang semuanya bisa dikatakan keliru!"

Kutanggapi perkataan tetanggaku ini dengan senyum. Kupahami sungguh apa yang ia maksudkan. Sebab seperti itu jugalah yang sering kualami meskipun tak kupedulikan.

"Kedengarannya Anda memandang dunia dengan sedikit pesirnis," kataku kernudian.

"Mungkin," lelaki itu mengakui sambil tersenyum. "Tetapi setidaknya saya masih peduli terhadap Iingkungan sekitar. Sedangkan Anda, sejak kereta api yang kita tumpangi ini meninggalkan Stasiun Gambir hanya duduk membisu saja dengan wajah murung dan sedih. Sedikit pun Anda tidak memeduIikan sekitar Anda. Maaf, saya memang suka bicara apa adanya." .

Aku tertegun. Cara lelaki itu bicara juga mengingatkanku pada Gatot yang suka bicara ceplas-ceplos dan blak-blakan.

"Saya tidak sedang murung dan tidak sedang sedih," dustaku. Persis kalau aku sedang membantah apa yang dikatakan oleh Gatot. Kemiripan wajah dan cara bicara Iaki-laki yang mirip Gatot itu menyebabkan aku bersikap sama juga tanpa kusadari.

"Mudah-rnudahan memang Mbak tidak sedang sedih seperti yang terlihat oleh saya tadi." Laki-laki itu tersenyum penuh pengertian, dan itu yang membedakan dia dengan Gatot "Maaf kalau saya keliru."

"Tak apa. Mungkin memang wajah saya tampak seperti orang yang sedang bersedih. Saya tidak menyadari itu." Karena sikapnya yang lebih simpatik daripada sikap Gatot terhadapku, aku mulai memperlihatkan keramahanku.

"Kalau saya boleh berkata dengan jujur, saya memang menangkap kesedihan dari wajah Mbak," laki-laki itu berkata lagi. Suaranya terdengar mengandung simpati. "Maaf, saya tadi sempat melihat.. Mbak menitikkan air mata, yang mungkin juga tidak Mbak sadari."

Aku tertegun. Bukan hanya karena dia telah melihat air mataku, tetapi juga karena caranya berbicara. Meskipun sarna-sama suka bicara blak-blakan seperti Gatot, tetapi laki-laki itu mempunyai keinginan untuk menenggang perasaan orang. Ada kesan yang ia ingin katakan bahwa bersedih dan menangis adalah bagian dari ekspresi manusia yang wajar dan karenanya tak perlu dipersoalkan.

Melihatku terdiam, laki-laki itu berkata lagi dengan terburu-buru.

"Maafkanlah kalau perkataan saya tadi menyinggung perasaan Mbak. Lupakanlah," katanya. "Mari kita ganti pokok pernbicaraan. Mbak nanti akan turun di Purwokerto, Yogya, atau Solo?"

"Solo. Dan Anda, Dik?" Kereta Argo Lawu memang hanya berhenti di tiga tempat saja sebelum mengakhiri perjalanannya di kota Solo. Itu pun hanya tiga menit.

"Saya juga turun di Solo. Pulang ke rumah."

"Anda orang Solo rupanya," aku menanggapi perkataan lelaki itu dan mulai rnelupakan sejenak kesedihan yang kubawa dari Jakarta tadi.

"Ya, saya memang orang Solo. Saya di Jakarta hanya dua hari, ada urusan yang harus saya selesaikan."

"Berarti tidak sempat melihat-lihat kota Jakarta, kalau begitu. Sayang sekali.. .. "

"Apa boleh buat. Mau mampir ke rumah sepupu saja pun tidak sempat" Laki-laki itu tersenyum lagi. "Mbak sendiri pasti bukan orang Solo:"

"Bukan. Saya orang Jakarta meskipun nenek-moyang saya asli orang Solo."

"Ke Solo menjenguk saudara, barangkali?"

"Bisa dikatakan begitu," sahutku. "Pokoknya menghabiskan cuti."

''Tetapi jangan lupa mencicipi nasi liwet Solo dan tengkleng-nya."

"Apa itu tengkleng!"

"Tengkleng itu gule kambing tetapi tidak memakai santan. Rasanya lezat, segar, gurih, pedas, dan ah, pokoknya enak." Laki-laki itu tertawa. "Solo itu gudangnya makanan enak lho. Apalagi kalau kita mau keluyuran dan nongkrong di pasar tradisional. Jajan pasarnya juga enak."

"Belum termasuk ayam bakar dan soto ayamnya, kan? Bude saya juga mengatakan begitu." Aku juga tertawa. "Konon orang Solo itu terkenal suka menikrnati hidup, termasuk makan enak."

Begitulah di sepanjang perjalanan kami mengobrol diseling tidur-tidur ayam. Mengobrol macam-macam hal tentang kota Solo dengan seseorang yang lahir di kota itu cukup menyenangkan juga. Dan yang jelas, bisa mengurangi kesedihan dan kejemuanku mengarungi kota demi kota lewat stasiunnya.

Kami tiba di Solo pada pagi hari tatkala cuaca masih gelap. Namun tampaknya Stasiun Balapan dan juga kota Solo tidak pernah tidur. Sepagi itu sudah terlihat kesibukannya. Di luar sana dalam keremangan pagi, kulihat becak kota Solo yang gemuk-gemuk sedang membawa perempuan dengan barang dagangan yang menumpuk di atasnya, lewat di jalan yang masih sepi sambil mengobrol keras dengan pengemudinya. Ada bermacam dagangan yang sempat singgah pada penglihatanku. Kelapa, sayur-mayur, buah-buahan, dan entah apa lagi. Tampaknya, mereka semua menuju ke pasar.

Sering kali aku menyaksikan bagaimana perempuan Jawa lebih banyak ikut ambil bagian di bidang ekonomi di pasar dibanding perempuan-perempuan suku lainnya. Secara kecil-kecilan aku pernah melakukan penelitian pribadi mengenai hal itu. Di pasar tradisional Jakarta misalnya, kebanyakan perempuan yang berdagang di sana adalah orang Jawa. Jarang sekali aku melihat perempuan Betawi berdagang di pasar. Dan sekarang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana perempuan-perempuan Solo naik becak sambil duduk di atas tumpukan dagangannya, menuju ke pasar.

"Ada yang menjemput, Mbak?" Teman seperjalananku sudah berada di sisiku dengan bawaannya yang cuma satu tas kecil. Beda dengan yang kubawa. Satu kopor beroda dan satu tas besar yang berisi bermacam keperluanku. Aku tahu, seandainya kukatakan tidak ada yang menjemputku, ia pasti akan menawarkan diri untuk mengantarku.

"Ada." Aku menganggukkan kepalaku. "Saya sudah mengabari saudara saya, harinya apa, nama kereta apinya apa, dan sampainya jam berapa."

"Wah komplet plet," Laki-laki itu tertawa, kemudian mengulurkan tangannya. "Kalau begitu sampai di sini perjumpaan kita. Selamat bersenang-senang di kota Solo dan lupakan apa pun kesedihan Anda!"

Setelah uluran tangannya kusambut, laki-laki itu pergi. Karena bawaannya tidak banyak, sebentar saja dia sudah lenyap di balik punggung penumpang-penumpang lain yang juga baru turun dari kereta api. Selain kereta yang kutumpangi, ada satu kereta lagi yang baru berhenti, menumpahkan penumpangnya, yang lalu memenuhi peron Stasiun Balapan. Tetapi aku sempat tertegun agak lama mendengar ucapannya tadi sehingga meskipun mataku sudah tidak melihatnya lagi, perkataannya masih tetap terngiang-ngiang di telingaku.

Pikiranku tentang lelaki itu lenyap oleh munculnya Mas Tomi dari balik pilar. Putra budeku itu melambai-lambaikan tangannya ke arahku.

"Ambar!" Dengan langkah lebar ia berjalan ke arahku. Rupanya Mas Tomi yang disuruh Bude Yanti untuk menjemputku.

Begitu berdekatan, kami berpelukan sesaat lamanya. Bagiku, dia adalah kakak lelaki yang tak pernah kumiliki.

"Aku membuatmu repot ya, Mas," kataku. "Pagi-pagi buta begini harus bangun menjemputku."

"Belum tentu setahun sekali kok!" Mas Tom tertawa sambil mengambil tasku. Sementara aku tetap menarik kopor. "Ayo, ikuti aku ke tempat parkir."

"Bagaimana kabar Mbak Tri, Mas?" tanyaku sambil mengekor di belakangnya.

"Baik. Dia senang sekali mendengar kau datang."

"Aku juga rindu kepadanya. Apakah kalian sudah tambah momongan lagi?"

"Ah, dua orang anak saja sudah repot setengah mati, Mbar." Mas Tomi tertawa. Tetapi tiba-tiba dia memutuskan bicaranya. Tangannya melambai-lambai ke arah seseorang dan meneriaki namanya. "Hai, Anto! Anto!"

Yang dipanggil menoleh, tertawa, dan langsung berjalan ke arah kami dengan tergesa. Aku terkejut. Orang yang dipanggil oleh Mas Tomi itu adalah laki-laki yang tadi duduk di sebelahku dan mengobrol denganku. Terkadang, bumi ini memang sempit.

"Tomi!" Laki-laki bernama Anto itu langsung menepuk pundak kakak sepupuku begitu berada di dekatnya. "Kau sekereta api denganku atau menjemput seseorang?"

"Menjemput adik sepupuku!" Mas Tomi menunjuk aku.

Melihat siapa yang ditunjuk oleh Mas Tomi, Anto tertawa lebar, "Aku sudah kenal meskipun belum tahu siapa namanya," katanya kemudian. "Kebetulan kami duduk bersebelahan di kereta."

"Namanya Ambar," Mas Tomi menyebutkan namaku.

"Kalau begitu aku juga akan memanggilmu Ambar," sahut Anto sambil menatapku. "Dan kau boleh memanggilku Anto, begitu saja. Setuju?"

Kuanggukkan kepalaku. Mas Tomi tersenyum. "Dunia temyata sempit, ya?" katanya kemudian.

"Nah, bagaimana? Kita bisa meninggalkan tempat ini sekarang, Ambar?"

"Ayolah," aku menjawab ..

"Kau naik apa, To?" Mas Tomi bertanya kepada Anto.

"Garopang. Ada becak, ada andong."

"Ikut kami sajalah, To. Sama teman sendiri kok sungkan."

"Terima kasih kalau begitu."

Begitulah yang terjadi di hari pertama aku tiba di kola Solo, kota yang berbeda dari kota Jakarta ini. Kulihat tempat-tempat yang berbeda di sini. Kutemui pula orang-orang yang baru kukenal. Harapanku, aku akan segera melupakan Gatot dan semua yang berkaitan dengan dirinya sehingga kalau pulang ke Jakarta nanti aku sudah sembuh dari penyakit gilaku ini!

SORE hari di kota Solo. Udara begitu cerah, langit bersih dan angin sepoi-sepoi mengembus lembut ke atas tanaman mas di sekitar teras tempat aku dan Bude Yanti sedang duduk. Dedaunan dan bunga-bunga yang mekar di halaman tampak indah tersirami cahaya mentari sore yang keemasan. Semuanya terangguk-angguk dibuai oleh embusan mesra angin sore kota Solo.

Di luar pagar rumah, jalan raya tampak lengang, dibandingkan kota Jakarta. Becak, sepeda, dan andong masih bisa berjalan dengan tenang dan tak sedikit pun terkesan buru-buru seperti semua kendaraan yang melaju di Jakarta.

Sungguh, hidup di kota Solo, dan juga kota-kota kecil lain di daerah, sangat tenang dan damai. Irama hidup penduduknya tak banyak mengandung keragaman yang terkadang mengurangi ketenangan batin. Memang di bagian-bagian tertentu, orang-orangnya terkesan hidup dalam kerutinan dan nyaris tanpa variasi. Tetapi keadaan semacam itu jarang sekali timbul kebosanan karena di dalam hidup keseharian yang itu-itu saja terdapat kemantapan dan kekuatan luar biasa terhadap makna kemapanan. Di dalamnya juga terdapat kemampuan untuk melakukan kompromi dengan realitas yang dihadapi sehingga memunculkan sikap nrimo ing pandum. Suatu penerimaan yang berbeda dengan sikap apatis, yang mementingkan kedamaian dan bahkan keselarasan dengan ketiga hal utama dalam hidup manusia. Selaras dengan Sang Pencipta, selaras dengan dunia termasuk sesama, dan selaras dengan diri sendiri.

Barangkali saja orang Jakarta akan merasa kesal menghadapi kelambanan mereka. Tetapi barangkali pula orang Solo pun akan mengerutkan kening melihat betapa orang Jakarta selalu terkesan penuh dengan ketergesaan dan sering kali kehilangan kesabaran. Kata mereka, hidup seperti itu apakah bisa dinikmati untuk mencapai kebahagiaan? Dan bisakah orang Jakarta, yang tak pernah santai dan di mana-mana harus selalu sikut-sikutan dulu untuk mendapatkan sesuatu, mencapai usia tinggi?

"Kau tadi bisa tidur nyenyak, Mbar?" tanya Bude Yanti, mengeluarkan diriku dari lamunan.

"Bisa, Bude. Habis sarapan tadi saya tidur sekitar tiga jam. Lalu sesudah menonton film dan kemudian makan siang, saya tidur lagi kurang-lebih dua jam. Enak sekali. Maklum, semalam di kereta api, saya hampir-hampir tidak tidur,"

"Apakah karena diajak Anto mengobrol?" suara Mbak Tri yang baru muncul dari dalam sambil menggendong bayinya ikut arnbil bagian dalam obrolan kami.

"Antara lain memang begitu, Mbak" senyum ke arah istri Mas Tomi itu. .. An cantik-cantik sekali lho, Mbak, seperti ibunya ..

"Ah, masa!" Mbak Tri berusaha membantah pujianku untuk menunjukkan basa-basi pergaulan. Tetapi tampak dari air mukanya, ia merasa bangga atas kelebihan kedua anaknya itu. Yang besar berumur dua tahun, sangat lucu. Matanya bundar dan rambutnya ikal. Seperti boneka. Cantik sekali.

Kupandangi Mbak Tri yang asyik menyusui bayinya yang berumur empat bulan itu. Bagiku, kemesraan seperti itu sungguh sedap dipandang mata. Rupanya Bude Yanti memperhatikan caraku menatap menantu dan cucunya.

"Mempunyai anak itu sungguh membahagiakan, Ambar ... ," komentarnya. "Apakah kau masih belum juga memikirkan untuk berkeluarga? Umurmu sudah cukup Iho. Jangan biarkan dirimu terlarut oleh ketakutan dikhianati seorang kekasih. Masih cukup banyak pemuda-pemuda yang baik di dunia ini."

"Misalnya Anto!" Mbak Tri menimpali. "Dia juga baru saja putus hubungan dengan kekasihnya. Aku heran pada Dik Asih. Kurang apa sih Anto itu, kok malah memilih Hari!"

"Cinta kan tidak bisa dipaksa-paksa. Lagi pula kalau dipikir-pikir, lebih baik Auto dan Asih putus, Ibu sudah sejak lama kurang menyukai Asih. Gadis itu agak nakal." Bude Yanti menjawab.

"Kasihan Anto!" komentar Mbak Tri, "Kedengarannya, hubungan Anto dengan keluarga ini cukup akrab!" komentarku.

"Memang. Anto adalah adik sahabat Mas Tomi."

Mbak Tri yang menjawab perkataanku. "Keluarga mereka akrab dengan keluarga kami."

"Mereka, Anto dan Fajar, kakaknya, orang-orang yang baik sekali. Keduanya berhasil dalam studi mereka dan kini keduanya telah bekerja!" Bude Yanti menyambung. "Tak sia-sia paman keduanya merawat dan membesarkan mereka."

"Kenapa orangtua mereka? Kurang mampu?' tanyaku ingin tahu.

"Sudah meninggal ketika mereka masih kecil-kecil. Kecelakaan lalu-lintas."

"Kasihan ... "

"Memang. Tetapi mereka tak mau dikasihani, Keduanya mempunyai kemauan besar untuk menjadi orang dan berhasil mencapainya. Fajar menjadi dokter seperti pamannya. Dan Anto, begitu lulus langsung mendapat pekerjaan di tempat yang menjanjikan masa depan cerah."

"Umur berapa sih Anto itu?"

Mbak Tri melirikku demi mendengar pertanyaanku. Lalu tersenyum kecil.

"Ada minat untuk mengenal lebih jauh?" godanya.

"Tidak." Godaannya kujawab dengan serius.

"Aku masih belum mau memikirkan hal-hal semacam itu. Tetapi kalau bersahabat saja sih aku tidak keberatan. Selama bercakap-cakap dengannya di kereta api semalam, aku memang menaruh respek padanya. Wawasannya luas dan tampaknya kepribadiannya baik."

"Bukan hanya tampaknya saja, Ambar. Dia memang baik!" bude Yanti menyela lagi, "Mengenai umurnya, kami tidak tahu persis berapa. Tetapi Fajar sebaya dengan Tomi, kira-kira tiga puluh satu tahun. Sedangkan Anto, mungkin sekitar dua puluh lima atau dua puluh enam. Sebab Bude masih ingat, waktu kakakmu Tomi dan Fajar sama-sama diwisuda beberapa tahun lalu, Anto baru saja masuk ke perguruan tinggi."

Berarti, aku lebih tua dari Anto, pikirku. Berarti pula, pemuda itu lebih matang daripada umurnya. Jadi memang benarlah, Anto seorang lelaki yang baik. Tiba-tiba saja aku teringat kepada Tina. Andaikata adikku itu berkenalan dengan Anto yang baik dan menyenangkan itu, apakah ia bisa melupakan si mata keranjang? Ah, alangkah inginnya aku mengenalkan keduanya.

"Kelihatannya kau menaruh perhatian kepadanya, Nduk!" kata Bude Yanti ketika melihat air mukaku.

Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku. . "Saya sedang berpikir, alangkah senangnya kalau Tina bisa saya temukan dengan dia," sahutku terus terang.

"Dia belum punya kekasih?" Bude Yanti ikut menaruh perhatian pada keinginanku itu. "Dan tentunya ia sudah besar dan tambah cantik. Sejak kecil anak itu sudah menunjukkan tanda-tanda akan menjadi gadis jelita."

"Dia memang sudah tumbuh menjadi gadis yang jelita!" sahutku bangga. "Dan udah mempunyai kekasih. Tetapi sayang sekali, kekasihnya jauh lebih tua dan menurut penilaian saya, pemuda itu kurang pantas untuk Tina."

"Kurang pantas bagaimana?" tanya Bude Yanti lagi. .

"Saya tidak mau menceritakannya, Bude. Karena, itu adalah penemuan saya pribadi yang mungkin saja bersifat subyektif!" sahutku hati-hati, Aku tak mau menjelek-jelekkan orang di depan orang-orang yang tak mempunyai kaitan dengan persoalan Gatot "Yang jelas, jarak usia yang empat belas tahun lebih itu menjadi pokok perhatian saya. Lelaki itu sudah ingin menikah sedangkan Tina baru saja mulai kuliah. Kan sayang sekali kalau Tina meninggalkan bangku kuliahnya padahal anak itu pandai sekali!"

"Jadi dengan kata lain, kau akan merasa lebih senang kalau Tina menjadi kekasih Anto?"

"Ya. Jarak usia mereka tidak terlalu jauh dan pasti Anto juga belum akan menikah dalam waktu dekat ini. Umur dua puluh lima atau dua puluh enam di zaman sekarang ini masih terlalu muda bagi seorang lelaki untuk menikah."

"Ya, kurasa kau benar, Nduk."

"Tetapi bagaimana caranya mengenalkan mereka?" Mbak Tri ikut bicara. "Apalagi setelah dikhianati Dik Asih, Anto mulai mengambil jarak terhadap para gadis."

Aku terdiam, Apa yang dikatakan oleh Mbak Tri benar. Semalam, kami banyak bicara tentang ini-itu dalam suasana yang enak dan menyenangkan. Baik aku maupun Anto pasti merasakan adanya kecocokan dalam pergaulan. Dalam kondisi normal, aku yakin Anto akan menyebutkan namanya dan kemudian menanyakan namaku. Lalu akan dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain sebagai usaha menjembatani keakraban lebih Ianjut. Menanyakan alamat rumah, misalnya, atau menanyakan latar belakang masing-masing. Tetapi pada kenyataannya, Anto tidak melakukan hal itu. Dan aku karena kondisi dan situasi batinku, juga tidak mempunyai niat sedikit pun untuk berkenalan lebih jauh. Bagiku, dia adalah teman seperjalanan yang baik, hanya itu saja. Bahwa ternyata lelaki itu kenal baik dengan keluarga Bude Yanti, itu tak pernah kami sangka. Yang jelas, aku memang merasakan bahwa Anto tidak ingin membuka diri untuk berkenalan dengan gadis yang baru dikenalnya. Rupanya, itu ada kaitannya dengan pengalaman pahit dikhianati kekasihnya. Dan aku sangat memahaminya sebab aku juga mengalami dan merasakan pahit-getirnya.

Melihatku terdiam, Bude Yanti tertawa kecil, "Kita kok malah memikirkan yang bukan-bukan saja!" katanya kemudian. "Sebab kenyataannya kan Tina sudah mempunyai kekasih dan Anto sedang tidak suka memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan urusan asmara. Lebih baik kita membicarakan rencana kita untuk ke Tawangmangu. Betul kan, Ambar?"

Aku jadi tertawa juga. Sejak tadi kami hanya bicara tentang hal-hal yang jauh dari kenyataan sebenarnya.

"Bude benar," sahutku. "Nah, bagaimana usaha Bude untuk mendapat tempat penyewaan di Tawangmangu? Apakah sudah berhasil menghubungi kenalan Bude yang mempunyai pondok-pondok penginapan di sana?"

"Kalau Bude yang mengurus, pasti beres!" kata Bude Yanti. "Tampaknya enak dan sewanya murah. Kenalan Bude tidak mau memakai tarif seperti biasanya. Apalagi sekarang ini bukan musim liburan. Katanya, daripada kosong kan lebih baik ditempati. Selain lebih terawat karena ada penghuninya, juga ada pemasukan ekstra. Soal jumJah, dia tidak terlalu mementingkannya."

"Wah, menyenangkan sekali!" sahutku gembira.

"Lalu kapan kita bisa berangkat ke sana, Bude? Dan dengan apa?"

"Nanti diantar Mas Tom!" Mbak Tri yang menjawab. "Yang penting, Dik Ambar mau berangkat kapan, segera saja katakan kepadanya supaya dia bisa mengatur waktunya. Dari Solo ke Tawangmangu tidak lama kok. Sebelum Mas Tomi praktek, bisa saja dia mengantarmu dan Ibu lebih dulu."

Aku jadi merepotkan kalian semua!"

"Sekali-sekali tak apa. Suatu ketika kalau kami libur ke Jakarta, kau yang ganti kami repotkan!" Mbak Tri tersenyum manis.

"Aku akan senang sekali, Jadi bisa membalas budi!"

"Dengan keluarga sendiri kok balas-balasan budi!" Mbak Tri bergumam, "Pokoknya, santai sajalah. Jangan sungkan-sungkan. Ya kan, Bu?"

"Benar sekali!"

Begitulah keesokan harinya, sebelum Mas Tomi praktek, aku dan Bude Yanti diantar olehnya sampai ke ternpat kami menginap. Tempatnya enak sebagaimana yang dikatakan oleh Bude Yanti. Pemandangannya juga indah dan dekat sarana olahraga. Ada kolam renang, lapangan bulu tangkis, tenis, dan meja pingpong. Pasar juga tidak terlalu jauh dari tempat itu.

Agar tidak repot, aku dan Bude rantangan selama tinggal di tempat itu. Untuk mencuci pakaian, ada seorang tenaga upahan yang ditunjuk oleh pemilik penginapan.

Harus kuakui, di Jakarta dan sekitarnya kemudahan-kemudahan semacam itu belum tentu akan kami dapatkan. Di sana, hanya dengan uang dan kekuasaan sajalah segala sesuatu dapat berjalan dengan lancar dan mudah. Beda dengan di Tawangmangu ini.

Pada hari Sabtu siang ketika aku pulang dari belanja kue-kue di toko dekat pasar, kulihat sebuah mobil bergambar tongkat dililit ular terparkir di muka penginapan kami. Itu pasti bukan mobil Mas Tomi, jadi aku rnasuk ke penginapan kami melalui pintu belakang. Tetapi karena pondok penginapan itu kecil, kehadiranku cepat diketahui. Demikian juga sebaliknya. Aku juga segera tahu bahwa tamu yang datang dengan mobil milik dokter itu adalah Anto. Di dekatnya duduk sepasang insan. Yang perempuan manis sekali dan yang lelaki gagah. Wajah lelaki itu mirip Anto.

"Ini dia Ambar sudah datang!" Bude Yanti menyambut kehadiranku dengan riang. "KemariIah, Nduk. Ayo berkenalan dengan Fajar dan istrinya. Mereka datang untuk menginap juga di tempat ini. Kebetulan pondok di sebelah kita itu juga boleh disewa untuk beberapa hari dengan tarif khusus."

Sambil tersenyum aku memperkenalkan diri kepada kakak Anto dan istrinya itu. Jadi rupanya mobil di depan itu milik mereka.

"Akan menginap berapa lama?" tanyaku kepada mereka.

"Hanya dua malam saja. Senin pagi kami sudah akan turun. Anto akan langsung ke kantor dan saya harus ke rumah sakitl" Fajar yang menjawab. "Sudah agak lama kami tidak berlibur. Kebetulan Bu Yanti menginap di sini dan katanya ada beberapa pondok kenalan beliau yang bisa disewa dengan harga miring. Jadi, apa salahnya kalau kami bergabung kemari. Cuma sayangnya, Tomi tidak bisa ikut ya?"

"Wah, kalau Tomi ikut, hanya akan membuat dia dan istrinya capek!" kata Bude menanggapi perkataan Fajar. "Menginap dua rnalam bukan akan membuatnya santai tetapi malah sebaliknya. Sebab, seperti orang pindahan. Dan belum tentu kedua anaknya akan senang. Itu pernah terjadi sih. Keduanya rewel terus karena merasa asing di tempat yang belum mereka kenal."

Kami semua tertawa membayangkan apa yang diceritakan oleh Bude. Bagaimana bisa bersenang-senang dan beristirahat kalau anak-anak mereka rewel terus, bukan? Jangankan bersantai, tidur saja pun barangkali kurang.

"Kalau Tomi dan keluarganya ikut, Bu Yanti pasti tidak bisa beristirahat," istri Fajar menyela. "Ya kan, Bu?"

"Benar, Nak!" Bude tertawa. "Jadi mungkin saja Tomi memang sengaja tidak mau ikut kemari karena ingin memberiku kesempatan berlibur penuh. Lha di rumah itu, kalau saya sedang berbaring untuk istirahat siang misalnya, tahu-tahu saja anaknya minta dikeloni eyangnya. Tetapi ternyata itu cuma akal-akalan anak itu saja untuk mencari perhatian. Semua barang yang ada di kamar dikacau-balau. Maka jangankan bisa tidur siang, duduk saja pun tidak bisa."

Sekali lagi kami tertawa. Seraya mengobrol tanganku sibuk rnenempatkan kue-kue yang baru saja kubeli dari pasar. Kemudian kuhidangkan di depan tamu-tamu itu."

"Silakan mencicipi," kata Bude.

"Terima kasih. Kami juga membawa banyak makanan, nanti kami antar kemari," kata Fajar, "Masih ada di mobil ya, Jeng?"

"Ya," sahut istrinya, "Nanti kalau pondok di sebelah sudah dirapikan, akan kukeluarkan."

"Biar aku nanti yang mengurusnya!" Anto yang sejak tadi tak banyak bicara, menyela perkataan kakak iparnya.

"Asal jangan kaukorup lho!" sang kakak ipar menggodanya. "Ingat tidak waktu kita kedatangan tamu dan kusuruh kau membeli kue sus sepuluh biji?"

"Tentu saja aku ingat. Bentuknya menggiurkan, ya aku ambil saja satu potong dan diam-diam kumasukkan mulut sebelum disajikan ke ruang tamu!" Anto tertawa. "Tetapi kenapa kau bisa tahu kalau susnya kurang sepotong, Mbak?"

"Sebab di depan tamu, aku menghitungnya diam-diam. Soalnya, piringnya kok tidak sepenuh biasanya." Istri mas Fajar tertawa geli. "Padahal kalau aku rnenghidangkan sepuluh buah sus atau kroket di piring Itu, dilihatnya pas. Sejak itu aku harus hati-hati kalau berurusan denganmu dalam soal perkuean."

Kami gembira saling bercanda. Aku rnerasa senang merasakan kekeluargaan di antara mereka, Aku juga senang ada Anto yang usianya tak banyak berbeda denganku. Dengan teman sebaya, pasti akan ada banyak bal yang bisa kami lakukan bersama. Mungkin berkuda. Mungkin main bulu tangkis atau tenis di sebelah sana. Kata Bude Yanti, kami bisa menyewa lapangan berikut peralatannya. Atau mungkin juga kami cuma sekadar jalan-jalan saja di Gerojogan Sewu atau di tempat Iainnya. Harus kuakui, di tempat yang berudara sejuk dengan pemandangan yang indah itu, semangat hidupku mulai tumbuh.

"Anto bagaimana kalau sore nanti kita main pingpong?" usulku kepadanya. "Kulihat di aula sana ada meja pingpong."

"Oke, Aku setuju sekali. Belakangan ini aku kurang gerak."

Ternyata, bergaul dengan Anto sangat menyenangkan. Orangnya baik dan suka humor. Dan lebih dari itu, kami berdua mempunyai latar belakang pemikiran yang sama dan sejalan. Tak ada pikiran lain apa pun kecuali berteman dan mencari suasana gembira bersama-sama. Kami isi sore itu dengan bermain pingpong, berkaraoke, dan mencari makanan panas di dekat pasar. Dan bahkan sesudah tahu usiaku Iebih tua darinya, langsung saja dia menjadi lebih akrab dan menempatkan diriku sebagai kakak perempuan. Tentu saja aku senang.

"Bagaimana kalau besok kita berkuda, Mbak?"

Sebelum kami masuk ke pondok masing-masing, dia memberiku usul yang menarik.

"Oke. Kau yang mencarikan kudanya, ya?'

"Tetapi tidak dengan dituntun pemiliknya lho. Berani?"

"Tidak. Aku tidak berani," sahutku tertawa. "Di Puncak atau di Lernbang, aku memang sering berkuda. Tetapi selalu dituntun. Bukan aku yang memegang kendali."

"Masa takut sih? Kan ada aku." Anto tersenyum.

"Mudah kok, Mbak, nanti kuajari. Akan kupilihkan kuda yang jinak dan penurut."

"Dan yang agak. pendek Iho, ya. Supaya kalau jatuh tidak terIalu sakit!"

"Kau tidak akan terjatuh. Percayalah!" Anto tertawa.

Esok paginya jam enam kurang sepuluh, Anto sudah mengetuk pondok kami. Untungnya aku sudah siap. Bude Yanti yang belum lama bangun sedang menyeduh teh untuk kami. Melihatku meraih topi lebar yang memang sengaja kubawa dari Jakarta, perempuan itu menegurku.

"Tidak sarapan dulu, Ambar? Itu ada roti isi ayam."

"Nanti saja, Bude. Masih terlalu pagi untuk sarapan. Lagi pula Anto rnenyewa kuda cuma dua jam saja. Jam delapan nanti kami sudah kembali," aku menjawab dengan tergesa. Sudah kudengar ringkik kuda di halaman. "Kalau Bude mau sarapan, jangan menungguku."

"Kalau begitu minumlah dulu."

"Panas!"

"Tidak. Cuma hangat saja karena sudah kucampur dengan air dingin. Minumlah, Sayang."

Kali itu aku menurut. Ternyata teh hangat itu enak dan menyegarkan sehingga aku tidak menyesal telah mengurangi waktu persiapanku.

"Terima kasih, Bude." Kuletakkan cangkir ke atas meja kembali. "Nanti pulang berkuda akan kucuci!"

"Cuma satu cangkir kotor saja apa susahnya sih."

Bude Yanti tertawa. "Nah, berangkatlah dan bersenang-senanglah. Jangan kaupikirkan soal-soal yang tidak penting. Biarkan Bude yang mengurusinya."

Aku tersenyum. Setelah mendapat sedikit pelajaran dari Anto tentang bagaimana menunggang kuda, aku naik ke atas punggung binatang itu, dibantu olehnya. Bude Yanti yang berdiri di ambang pintu tertawa melihat cara dudukku yang masih kaku itu, kemudian tangannya melambai ke arahku.

Aku segera membalasnya. Tetapi baru saja kudaku melangkah, perempuan setengah baya itu memanggilku.

"Ya, Bude ... ?"

Bude Yanti tersenyum, menatapku dengan penuh kasih, baru kemudian berkata lagi dengan suara tertahan-tahan.

"Kau tampak cantik sekali pagi ini," katanya. "Ah, Bude!" Aku tersipu.

Tetapi harus kuakui, pagi ini aku memang tampak sangat cantik. Cermin di kamar tadi telah memberitahu aku. Kukenakan blus dengan dasar warna putih berbunga-bunga kecil warna merah dan hitam. Di bagian bawah aku memakai celana jins ketat yang panjangnya tiga perempat lutut. Kukenakan sepatu kulit bersol rendah yang enak dipakai. Ringan, ulet, dan kuat. Sementara di atas kepalaku bertengger topi lebar. Agar topi itu tidak terbang, kuikat dengan scary Iebar polo berwarna merah yang kemudian kulilitkan di bawah daguku. Singkat kata, aku sadar betul apa yang dikatakan oleh Bude Yanti tadi benar. Pagi ini aku memang tampak sangat cantik dan menarik. Setidaknya, itulah yang kurasakan.

Bagiku yang tidak biasa berkuda duduk di atas punggung binatang itu dengan berjalan di lereng-lereng bukit yang tidak rata, membuatku merasa cepat lelah. Baru setengah jam berkuda saja aku sudah minta beristirahat.

"Istirahat sebentar ya?" pintaku kepada Anto.

"Punggungku pegal rasanya."

"Capek, ya?" Anto tampak luwes dan menarik di atas punggung kuda berbulu hitam yang gagah itu.

"Ya."

"Kita beristirahat di dangau itu saja yuk." Anto menunjuk sebuah gubuk kecil beratap rumbia yang nyaris tanpa dinding. Tetapi di dalamnya ada tempat duduk yang terbuat dari bambu.

Aku setuju beristirahat di tempat itu. Setelah mengikat kuda-kuda kami, aku dan Anto duduk di tempat itu. Entah milik siapa, kami tidak tahu, Tetapi sungguh menyenangkan duduk di situ. Atapnya yang lebar dan menjorok melewati liang penyangganya menudungi kami dari siraman matahari pegunungan yang menyengat. Kubiarkan angin Gunung Lawu membelai wajahku. Perhatianku lebih tercurah pada pemandangan indah di bawah sana. Kulihat kebun-kebun yang tertata rapi dan jalan setapak yang berliku melingkar-lingkar itu tampak seperti ular. Aku juga melihat hutan-hutan kecil yang penuh dengan pelbagai macam pepohonan, sungai kecil yang berkelok-kelok, dan sawah yang bertingkat-tingkat.

"Tanah air kita ini sungguh indah sebenarnya. Sayang tidak banyak orang yang menyadari itu. Enak saja rnereka merusaknya, menebang semaunya dan mengeruk kekayaannya!" aku mulai bicara. Menyuarakan keprihatinanku.

"Ya. Dunia ini pasti akan binasa kalau manusia lupa menjaga apa yang dinamakan keseimbangan, keselarasan, atau harmoni di alam semesta ini.

"Bahwa jika ada laut harus ada gunung, misalnya. Sedangkan gunung pasti ada hutannya."

"Ya." Kulayangkan pandang mataku ke kejauhan.

"Eh, sudah seberapa jauh kita berkuda tadi?"

"Tidak begitu jauh. Perasaanmu saja yang mengira kita sudah berjalan jauh. Padahal kita hanya berputar-putar saja kok tadi." Sambil menjawab pertanyaanku itu, Anto mengeluarkan dua gelas plastik berisi air mineral dari saku jaketnya. Satu diulurkannya kepadaku.

"Mungkin karena jalannya naik-turun itu aku mengira kita sudah berjalan jauh sekali," sahutku sambil menerima Aqua gelas itu. Kemudian kutusuk tutup gelas dengan itu batang sedotannya.

"Ya." Anto menyedot isi gelasnya. Tetapi tiba-tiba dia menoleh ke arahku dan menanyakan sesuatu yang sama sekali tak kusangka. "Nah, bagaimana, Mbak, sudah tidak sedih lagi, kan?"

Aku tertegun.

"Apa yang kauketahui tentang diriku?" Aku mulai curiga.

Jangan-jangan Bude atau Mas Tomi telah menceritakan kehidupan pribadiku kepada pemuda itu. Atau kalaupun tidak, mereka bercerita kepada Mas Fajar dan Mas Fajar menceritakannya kepada Anto, itu bisa saja terjadi. Mungkin maksud Bude atau Mas Tomi agar mereka, Mas Fajar dan istrinya serta Anto, bisa menenggang perasaanku.

Rupanya Anto mengerti apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiranku. Dia tersenyum sambil melempar gelas plastiknya yang sudah kosong ke dalam lubang sampah. Lubang yang tampaknya sering dipakai untuk membakar sampah itu kini tampak kosong.

"Terus terang kemarin dulu di rumah kami, aku mendengar percakapan Mas Fajar dengan Mas Torni," sahutnya kemudian. "Tanpa sengaja lho. Mereka tidak tahu kalau aku ada di bawah jendela ruang tempat mereka mengobrol. Kata Mas Tomi, kau sudah putus dengan pacarmu. Kau memergoki kekasihmu sedang bermesraan dengan sahabatmu sendiri. Dan saat ini kau sedang menenangkan diri di tempat budemu. Maaf, kalau kau tidak suka membicarakan ini, aku akan berhenti. Jangan sungkan untuk mengatakannya. Percayalah, aku bisa memahami itu dengan baik sekali. Aku juga pernah dikhianati kekasih, justru di saat cintaku kepadanya sedang mekar-mekarnya."

Aku menyukai Anto. Laki-Iaki itu jujur dan memiliki keterbukaan yang manis sehingga berbicara dengan dia sungguh enak. Tidak perlu harus ada basa-basi atau rasa takut kalau-kalau akan menyinggung perasaan. Aku juga melihat rasa simpati yang tidak ada kaitannya dengan rasa kasihan, melainkan karena pengalaman dan perasaan sama yang pernah dialaminya. Karenanya tidak seharusnya kalau aku mempertahankan pikirannya yang keliru tentang hubunganku dengan Bram sekarang. Kalau dengan manisnya Anto telah membuka diri bagiku, kenapa aku tidak?

"Anto, kau keliru kalau mengira aku lari ke sini karena pengalaman pahit itu," kataku kemudian.

Kutengadahkan wajahku menatap langit Tawangmangu yang bersih kebiruan itu. "Aku sudah tidak mempunyai perasaan apa pun lagi pada bekas pacarku itu. Tidak cinta. Tidak benci. Dan seterusnya."

"Tetapi kudengar dari pembicaraan mereka, kau jadi menarik diri dari pergaulan."

"Mungkin memang begitu. Sebab sesudah dikhianati oleh kekasih dan sahabatku itu, selama beberapa waktu lamanya pikiranku terhadap makna persahabatan agak negatif. Tetapi pelan-pelan pikiranku mulai terbuka lagi, seiring dengan waktu yang menyembuhkan luka-luka batinku itu."

"Tetapi malam itu di kereta api, aku sempat melihat air matamu menitik meskipun kausembunyikan dari penglihatan orang."

Aku menarik napas panjang. Sekali lagi kutatap langit biru di atasku.

"Anto, sebenarnya air mata itu tidak ada kaitannya lagi dengan bekas pacarku itu. Kan sudah kukatakan tadi, bagiku dia sudah bukan apa-apa lagi," kataku lama kemudian. "Saat ini aku sedang mengalami persoalan yang jauh lebih berat daripada ketika cintaku dikhianati."

"Dan itu yang menyebabkanmu lari ke sini, begitu?"

"Kalau kau memang mempercayaiku, ceritakanlah itu. Siapa tahu aku bisa sedikit mengurangi bebanmu dengan pandangan-pandangan yang barangkali tidak kaulihat. Sebab konon kata orang, biasanya seseorang yang tenggelam dalam persoalan, tidak bisa melihat langit yang ada di atasnya."

"Terima kasih, To. Aku menghargai simpatimu," sahutku. "Mungkin ada gunanya kalau aku memuntahkan apa yang selama berbulan-bulan ini menyesakkan dadaku. Begini, setelah sekian tahun lamanya hatiku tertutup, tiba-tiba saja aku mulai merasakan jatuh cinta lagi. Namun sayang seribu sayang, cinta itu jatuh pada laki-laki yang salah."

"Salahnya bagaimana?"

Aku terdiam. Kutundukkan wajahku. Mataku mulai terasa panas.

"Salahnya karena Iaki-laki itu adalah kekasih adikku sendiri," sahutku dengan suara mulai bergetar. "Bukankah aku ini perempuan yang tak bermoral?"

"Mbak, cinta itu datangnya tidak bisa dihindari. Jangan salahkan dirimu."

Kuangkat wajabku dan kutatap Anto dengan pandang mataku yang buram.

''Masalahnya tidak sesederhana itu, Anto," kataku kemudian. "Baiklah aku akan menceritakan padamu semuanya supaya kau bisa memahami perasaanku. Sebab sampai detik ini aku tidak tahu harus berbuat apa."

"lni kehormatan bagiku karena kau telah mempercayaiku, Mbak. Terima kasih atas kepercayaan itu."

"Aku yang harus berterima kasih padamu karena kau mau mendengarkan keluhanku."

Begitulah untuk pertarna kalinya aku mempercayakan seluruh pengalaman dan perasaanku kepada Anto. Ya, seluruhnya. Tetapi tentu saja mengenai detail saat Gatot menciumiku, aku tidak menceritakannya. Tetapi air mata yang selama ini kutahan-tahan akhirnya tumpah juga sesudah semuanya kuceritakan kepada Anto.

"Oh, Mbak, pantaslah kau tampak begitu sedih."

Dengan penuh rasa simpati, Anto mengulurkan tangannya dan menggenggam telapak tanganku dengan lembut. Ada semangat persaudaraan dan pengertian yang mengalir dari tangannya itu sehingga aku merasa agak terhibur.

Pelan-pelan dengan sebelah tanganku yang bebas, kuhapus pipiku yang basah. Kemudian kuangkat wajahku yang semula tertunduk untuk mengucapkan terima kasih kepada Anto yang telah begitu sabar mendengarkan isi hatiku. Tetapi begitu kepalaku terangkat, aku kaget sekali. Belum pernah aku mengalami rasa kaget seperti saat itu. Tubuhku sampai tersentak, seperti dipagut seekor ular berbisa. Sebab di sana, di bawah pohon petai, kira-kira sepuluh meter dari tempatku duduk bersama Anto, aku melihat seseorang yang sama sekali tak pernah kuduga akan ada di tempat ini.

Kulihat orang itu, Gatot, sedang mengawasiku dengan pandangan mata yang sulit kutebak apa maknanya. Ya Tuhan, ya Tuhan, benarkah apa yang kulihat itu? Ataukah itu hanya halusinasiku saja karena baru saja aku membicarakan dirinya?

Untuk meyakinkan diriku, cepat-cepat kupejamkan mataku yang masih basah itu. Lalu kubuka lagi dengan harapan sosok tubuh yang baru saja kulihat tadi menghilang. Dengan demikian, aku tidak lagi diganggu halusinasiku sendiri. Tetapi ya Tuhan, sosok tubuh itu benar-benar hidup. Gatot masih berdiri di sana. Dan bahkan mulai bergerak, melangkah mendekati tempat aku dan Anto sedang duduk.

Melihat itu kulepaskan tanganku dari genggaman tangan Anto dengan tubuh yang tiba-tiba mulai menggeletar. Dengan mata nanar tanpa berkedip, kupandangi sosok tubuh yang sedang menyeberangi rerumputan itu. Dalam hatiku aku masih berharap, apa yang kulihat itu cuma khayalanku belaka. Tetapi tidak. Apa yang kulihat itu tetap bergerak, berjalan ke arahku. Maka tubuhku bergetar semakin hebat. .

Melihat tubuhku bergetar, Anto menatapku heran.

Kemudian pandang matanya mengikuti arah apa yang sedang kutatap tanpa berkedip itu. Saat itu aku benar-benar tidak bisa berpikir apa pun. Tubuhku yang masih saja bergetar, mematung di tempatku duduk. Rasanya seperti orang kena tenung.

Belum lagi rasa kagetku surut, tiba-tiba saja Anto berseru memanggil orang yang baru dilihatnya itu.

"Mas Gatot!" .

Menghadapi realita yang ada di hadapanku itu, lengkaplah sudah penderitaan batinku saat itu. Bukan saja karena orang yang kulihat itu! memang benar Gatot, tetapi juga karena ternyata Anto mengenal Iaki-laki itu. Padahal aku baru saja menceritakan rahasiaku kepadanya. Rahasia yang menyangkut Gatot. Menghadapi kenyataan itu, kekuatan yang masih tersisa padaku itu pun luruh dengan seketika. Mataku berkunang-kunang sementara semua benda di sekitarku seperti berputar-putar, semakin lama semakin pudar, hingga akhirnya aku tenggelam dalam satu warna saja. Hitam dan gelap. Dan pertahanan diriku pun lenyap. Aku pingsan.

Aku tidak tahu apa-apa lagi, Dan entah berapa lama aku kehilangan kesadaranku itu. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi sesudah itu. Aku hanya tahu ketika kesadaranku pulih kembali dan mataku bisa kubuka lagi, orang yang pertama kali kulihat adalah Tina. Ya, Tina adikku yang menurut pikiranku saat ini ada di Jakarta.

"Hai, Mbak ... ," Tina menyambut kesadaranku kembali dengan senyurn manis yang luar biasa.

Aku masih tidak mempercayai penglihatanku.

Kukerjap-kerjapkan mataku. Kukumpulkan ingatanku yang berserakan. Lalu kupandangi sekelilingku. Ternyata aku berada di kamar penginapan yang kami sewa. Dan di dalam kamar itu hanya ada Tina. Oh, tidak. Di sampingnya ada seorang lelaki yang sudah berkenalan denganku kemarin. Mas Fajar. Di lehernya terkalung stetoskop yang mengingatkan diriku bahwa dia seorang dokter. Dan ketika pandang mataku berlabuh padanya, Mas Fajar tersenyum.

"Halo, Dik Ambar?"

Kedua sapaan manis, yang satu dari Tina dan yang lain dari Mas Fajar, tak kusambut dengan semestinya. Aku diam saja dan kupejamkan kembali mataku. Tetapi sempat kurasakan tangan Mas Fajar meraba pergelangan tanganku untuk merasakan denyut nadinya.

"Masih pusing?" tanyanya dengan suara lembut. "Se. .. sedikit."

"Nanti akan hilang. Denyut nadimu sudah mulai normal. Coba kuukur dulu tekanan darahmu." Sambil berkata seperti itu Mas Fajar meraih alat pengukur tekanan darah dari atas meja, kemudian diukurnya tekanan darahku. Lalu katanya, "Tekanan darahmu juga sudah mulai mendekati angka normal. Sarapan sedikit, ya?"

"Aku tidak lapar ... .'

"Tetapi Dik Ambar harus makan biarpun cuma sedikit. Sejak pagi tadi belum sarapan, kan? Padahal baru belajar berkuda lalu ... lalu mengalami kejutan itu."

Aku diam saja. Kupejamkan mataku lagi. Apa tadi kata Mas Fajar? Aku mengalami kejutan? Itu bukan kejutan, Mas. Tetapi kiamat.

"Bagaimana perasaanmu, Dik Ambar? Rasanya bagaimana?"

"Lemas .... "

"Kalau begitu, cobalah untuk makan. Sedikit saja .... "

"Aku tidak lapar," sahutku. Ya Tuhan, rasanya aku begitu lemah dan kehilangan seluruh kekuatan tubuhku. Kenapa Tina ada di sini? Ke mana pula Gatot tadi?

"Minum susu saja ya, Mbak?" Kudengar lagi suara Tina. "Nanti kuambilkan. Bude Yanti sudah menyiapkan untukmu."

"Ya, Dik Ambar, minumlah. Kau tidak ingin terbaring sakit di sini, kan?" Mas Fajar ikut membujukku.

Menyadari tak enaknya sakit di tempat orang, aku terpaksa membuka mataku lagi. Melihat itu Tina mulai membujukku lagi.

"Minum susu ya, Mbak?"

Akhirnya kuanggukkan kepalaku. Melihat itu wajah Tina tampak gembira. Dia bangkit dati tempat duduknya.

"Diberi gula ya, Dik Tina!" kata Mas Fajar. "Baik, Mas."

Ternyata susu manis mampu menambah kekuatanku yang kusangka sudah lenyap sarna sekali itu. Sesudah menghabiskan segelas susu, sedikit demi sedikit aku mulai mampu menata pikiranku sampai akhirnya Mas Fajar menganggap aku tak lagi perlu diawasi olehnya. Sesudah memeriksaku sekali lagi, dia pamit kembali ke pondok sebelah, tempatnya menginap.

Begitu Mas Fajar telah pergi, Tina mendekati tempat tidurku dan mengecup selintas pipiku.

"Maafkan aku ya, Mbak, aku telah membuatmu begini menderita," katanya dengan penuh perasaan.

"Jangan berkata seperti itu, Tina kau tidak bersalah kepadaku." Ah, aku telah membuat gadis itu jadi merasa bersalah. "Tetapi kenapa kau tiba-tiba menyusulku kemari?"

"Itu ide Mas Gatot, Mbak. Begitu tahu kau pergi ke Solo, Mas Gatot langsung menginterlokal ke sana. Yang menerima Mbak Tria. Dia berkata bahwa kau dan Bude Yanti sedang berada di Tawangmangu. Maka Mas Gatot mengajakku ke Solo. Dan begitu pagi tadi sampai, kami langsung menyusulmu kemari setelah diberi ancer-ancer tempatnya oleh Mbak Tri."

"Untuk apa kalian menyusulku?" Aku benar-benar tidak mengerti kenapa Tina dan Gatot menyusulku.

"Untuk minta ampun, Mbak. Kami berdua ingin minta ampun kepadamu!"

"Kenapa?" Jantungku terasa dingin. Apakah mereka berdua mau meminta kerelaanku untuk mengizinkan mereka menikah?

"Karena kami telah mempermainkanmu. Melalui diriku, Ibu dan Bapak di Jakarta juga ingin agar kau memberi maaf kepada mereka."

Jadi mereka berdua bukan meminta izinku untuk menikah. Lalu kenapa mereka ingin meminta maaf padaku? Ah, membingungkan saja mereka itu.

"Mempermainkan aku dalam hal apa? Dan minta maaf untuk apa ... ?" Kukerutkan dahiku. Apa salah Tina padaku? Dan apa salah Bapak dan Ibu terhadapku? Aku tidak mengerti apa yang dikatakan Tina tadi.

"Begini, Mbak, sesungguhnya antara aku dan Mas Gatot tidak ada hubungan apa pun sebagaimana yang selama ini kaupikirkan .... "

"Apa?!" Tanpa sadar aku terduduk, nyaris tak mempercayai apa yang baru saja kudengar itu. Apa katamu, Tina?"

"Maafkan kami semua, Mbak. Ketahuilah sejak pertama melihatmu, Mas Gatot sudah tertarik kepadamu. Sedikit pun dia tidak pemah tertarik padaku. Dia selalu menganggapku seperti anak kecil!" Tina tertawa menyeringai. "Begitupun sebaliknya. Mana mungkin sih aku jatuh cinta kepadanya? Sayangnya, sikapmu terhadapnya sangat dingin dan selalu saja mengambil jarak. Setiap kali langkahnya baru memasuki halaman rumah kita, kau langsung menghindar masuk ke kamar. Maka Mas Gatot bertanya kepadaku apakah sikap seperti itu juga ditujukan kepada orang lain .... "

"Lalu apa jawabmu?" aku memotong. Dadaku mulai berdebar tak beraturan. Seluruh perhatianku tertarik kepada apa saja yang akan keluar dari mulut Tina.

"Kujawab apa adanya. Bahwa kau memang sangat dingin terhadap semua laki-laki. Tetapi kukatakan kepadanya juga bahwa sikap dingin yang berlebihan itu memang baru kauperlihatkan kepadanya saja"

"Lalu ... ?"

"Lalu Mas Gatot meminta bantuanku untuk mencairkan hatimu. Tetapi karena aku juga tidak tahu bagaimana caranya, kuminta bantuan lbu. Ternyata Ibu juga bingung, tidak tahu bagaimana melenturkan hatimu yang keras itu. Maka akhimya dibuatlah sandiwara seolah Mas Gatot dan aku menjalin hubungan cinta. Tujuannya agar dia bisa lebih leluasa datang dan pergi ke rumah kita. Dan yang kedua, agar kau marah dan melabrak Mas Gatot. Pikir kami bertiga, kalau secara manis Mas Gatot tidak bisa mendekatimu maka rasanya sah-sah saja kalau kami memakai cara lain dengan membangkitkan kemarahanmu. Ternyata, kedua tujuan itu berhasil baik."

"Bertiga? Jadi Bapak dan Didik tidak ikut-ikutan?" aku menyela tak sabar.

"Semula Bapak dan Mas Didik tidak tahu-menahu, agar sandiwara kami dapat berjalan mulus. Sebab kata orang, semakin sedikit orang yang mengetahui suatu rahasia, akan semakin baik jadinya. Tetapi ketika Bapak marah kepada Ibu karena telah memberi hati kepada Mas Gatot dan kemudian beliau juga datang ke rumahnya untuk meminta supaya Mas Gatot menjauhiku, terpaksalah kami menceritakan rahasia itu. Rupanya kau mengadu kepada beliau atas perbuatan Mas Gatot menciumi tanganmu di dapur itu ya .... "

"Ya, aku memang mengadu kepadanya .... " Aku tersipu. "Dia kurang ajar sih!"

"Itu karena dia mencintaimu." Tina tertawa.

"Nah, setelah peristiwa itu, akhirnya Bapak dan juga Mas Didik mulai ikut ambil bagian dalam sandiwara kami. Maka kami semua terus mengikuti dengan saksama perkembangan yang terjadi di antara dirimu dengan Mas Gatot. Kau pasti tidak menyangka bagaimana kami semua bersorak gembira ketika Mas Gatot menceritakan bagaimana dia telah berhasil membangunkan macan tidur ketika kalian berdua menyaksikan bulan purnama di Ancol. ..

"Tina .. " aku memotong perkataan Tina dengan wajah yang terasa panas. Terbayang dalam pikiranku tentang segala hal yang terjadi di antara diriku dan Gatot. Dan mereka semua mengikuti perkembangannya dan bahkan menikmati permainan itu di belakang punggungku. Sialan. "Kalian ... kalian semua keterlaluan!"

"Sudah kukatakan tadi, Mbak, kami semua ingin minta ampun padamu." Suara Tina mulai mengiba, "Terutama aku, Mbak, betapa aku telah menyusahkan hatimu. Tetapi percayalah, tidak ada maksud kami untuk menyakiti hatimu. Justru kami ingin membuka hatimu kembali dan menyadarkan dirimu bahwa tidak semua laki-laki jahat."

Aku terdiam. Seluruh peristiwa yang terjadi semenjak Gatot pindah di sebelah rumah kami, terbayang kembali. Semuanya. Tetapi dengan cara pandang yang berbeda sama sekali. Maka akhirnya muncullah perasaan lega dalam hatiku. Sebab ternyata Tina bukanlah kekasih Gatot. Semua yang dikatakannya kepadaku, dan yang pernah membuatku jengkel dan marah, bahkan juga kecewa dan sedih, ternyata hanya sandiwara belaka.

Tetapi perasaan lega yang paling menguap seluruh luka-luka batinku selama ini adalah kenyataan bahwa Gatot bukanlah laki-laki mata keranjang. Ia menggodaku, ia merayu dan menciumku bukan untuk iseng-iseng belaka, tetapi karena dia mencintaiku.

"Aduh, Mbak, jangan diam saja." Tina memeluk dan menciumi pipiku. "Maafkan kami, ya? Jangan marah dan jangan membuatku takut. Wajahmu merah padam bergantian pucat.. .membuatku takut saja .... "

Aku masih tetap diam. Sungguh, tidak mudah bagiku mengubah suatu pandangan atau anggapan yang selama berbulan-bulan ini telah begitu melekat dalam diriku. Dan juga tidak mudah mencerna kenyataan sebenarnya, yang telah menjungkir-balikkan seluruh pikiran, gambaran, penilaian, dan bahkan kepedihan yang kubawa lari sampai ke tempat ini.

"Mbak, ketika kami semua melihatmu terluka dan lari meninggalkan rumah, hati kami sangat gelisah. Meskipun kau mengatakan ingin menghabiskan cutimu di Solo dan tidak mau mengakui apa penyebab kepergianmu itu, kami justru melihat apa yang sebenarnya ada di dalam hatimu. Bahkan Bapak mulai menyadari bahwa sesungguhnya kau mencintai Mas Gatot sebagaimana dia mencintaimu. Kata beliau, tidak mungkin kau membiarkan Mas Gatot merayumu kalau hatimu tidak ada padanya. Dan tidak mungkin kau merasa sedemikian takutnya melihatku menjadi kekasih Mas Gatot kalau kau tidak tahu persis bagaimana Mas Gatot telah memesraimu seperti laki-laki yang tak tahu arti kesetiaan. Dia bukan hidung belang seperti katamu itu lho .... "

"Diam kau, Tinal"

"Tunggu, masih ada sedikit lagi yang harus kukatakan padamu." Tina menyeringai lagi. Wajahnya tampak lucu. "Nah, karena itulah maka Bapak dan juga Mas Gatot memutuskan untuk menyusulmu ke Solo dan menghentikan sandiwara ini. Sebab Mas Gatot sudah ingin memelukmu lagi .... "

"Diam kau, Tina!"

"Baik, aku akan diam!" Tina menyeringai sekali lagi. "Tetapi perlu kukatakan kepadamu Mbak, bahwa aku dan Mas Gatot tadi sempat merasa ketakutan bahkan luar biasa menyesal ketika melihatmu pingsan sampai lama. Untung ada Mas Fajar. Tetapi, Mbak, kau harus tahu. Mas Gatot sangat cemas melihat keadaanmu. Di luar kamar dia terus-menerus mondar-mandir seperti orang gila. Bagaimana, kusuruh dia masuk ke sini ya, Mbak?"

"Jangan!" aku membentak. Kurasakan, jantungku mulai bergoyang tak teratur.

Tetapi si gadis lincah itu telah melesat pergi tanpa mendengarkan perintahku. Maka Gatot pun menggantikan tempatnya di kamar ini. Melihat itu aku cepat-cepat bangkit, bermaksud lari keluar. Tetapi lelaki itu bergerak lebih cepat lagi. Bahuku didorongnya dengan lembut agar aku menyandar kembali ke tumpukan bantal yang tadi diatur Tina di belakang punggungku.

"Tenanglah," katanya sambil duduk di tepi tempat tidurku. "Kendalikan emosimu, Sayang."

"Sayang, sayang, gombal!" aku membentaknya. Mendengar bentakanku, Gatot tersenyum manis. "Aku seribu kali lebih suka melihatmu membentak-bentak daripada melihatmu pingsan sampai selama itu. Aku benar-benar ketakutan tadi .... "

"Gombal!"

Gatot tersenyum lagi. Tetapi kini tangannya terulur kepadaku untuk membelai rambut dan pipiku dengan jemarinya yang terasa lembut.

"Seandainya kau tadi tidak pingsan, aku pasti merasa cemburu kepada Anto ... ," katanya. "Tetapi untunglah sepupuku itu begitu lugu dan polos. Ia menceritakan kesedihanmu yang baru saja kauceritakan kepadanya tadi. Harap jangan marah kepadanya. Ia menceritakan hal itu tanpa tahu bahwa lelaki yang kaumaksud itu adalah aku. Sebab tujuannya menceritakan hal itu di depan Mas Fajar adalah untuk memberi informasi kalau-kalau pingsanmu itu berkaitan dengan kesedihan yang luar biasa."

Aku terdiam, mulai memahami segala sesuatunya. Tetapi tak akan kukatakan bahwa aku pingsan tadi akibat perasaanku yang kacau-balau. Dan ditambah rasa sesal karena telah menceritakan rahasia hatiku kepada Anto yang ternyata kenal lelaki di depanku ini. Ah, andaikata saja aku tahu mereka berdua masih sepupu, pasti akan kukunci rapat-rapat mulutku.

"Jadi kalian sepupu ... ?" tanyaku ingin tahu kepastiannya.

"Ya. Kedua orangtuanya telah meninggal sewaktu ia masih kecil. Ayahkulah yang merawat dan membesarkannya bersama kakaknya, Mas Fajar, dan menyekolahkan keduanya sampai selesai. Bahkan Bapak merasa bangga karena Mas Fajar mengikuti jejaknya menjadi dokter, padahal tak seorang pun di antara anak-anaknya sendiri yang berminat jadi dokter."

Aku terdiam. Pelan-pelan aku mulai mampu menguak segala sesuatunya. Bahwa Mas Fajar dan Anto, pemuda-pemuda yang baik dan keduanya dibesarkan oleh paman mereka sebagaimana diceritakan oleh Bude Yanti dan Mbak Tri, temyata ada kaitannya dengan Gatot. Paman keduanya adalah ayah Gatot.

Jadi rupanya itu pulalah jawaban mengapa wajah Anto ada kemiripan dengan Gatot. Sebab keduanya bersaudara sepupu, mempunyai kakek dan nenek yang sama.

"Lalu, Dik Hari itu juga bersaudara dengan Anto dan Mas Fajar kalau begitu?" gumamku kemudian.

"Kalau dikatakan sebagai saudara sedarah, tidak. Sebab, Hari adalah sepupuku dari pihak ibuku. Sedang Anto dari pihak bapak."

"Dia tidak ikut kemari?"

"Untuk apa? Tak ada urusan dengannya. Lagi pula, dia masih mempunyai banyak urusan di Jakarta."

Aku terdiam Iagi. Setelah bercakap-cakap dengan emosi yang mulai tertata kembali, setahap demi setahap aku mampu berpikir lebih jernih dan bahkan mulai mampu melihat segi-segi positif dari seluruh kejadian yang kualami sejak aku berkenalan dengan Gatot. Semua tergambar kembali seperti rekaman film yang sedang diputar dan kutonton dengan memakai kacamata transparan. Tetapi kemudian sosok Rini, ikut mewarnai rekaman itu.

"Bagaimana kabar Rini?" tanyaku kemudian. "Rini? Untuk apa ia kita bicarakan?"

"Terakhir kali kami bertemu, ia mengatakan ... " Bicaraku terhenti karena Gatot merebut pembicaraan.

"Aku tahu itu!" katanya. "Ia juga datang menemuiku di kantor dan minta diantar pulang. Kukabulkan permintaannya itu karena kupikir kurang pantas kalau aku menolak keinginan seorang gadis dalam keadaan seperti itu. Tetapi rupanya pendapat seperti itu keliru kalau kuterapkan untuk Rini. Lebih-lebih karena ia mempunyai pikiran bahwa sedikit-banyak, aku masih menaruh perasaan khusus terhadapnya. Mungkin pikirnya karena putusnya hubungan kami itu tidak disebabkan karena orang ketiga. Di sepanjang perjalanan ia berulang kali mernancing-mancing hatiku sampai akhirnya aku memutuskan untuk bicara terus terang untuk menghentikan angan-angannya. Maka dengan tegas kukatakan bahwa kami tak mungkin bisa bersatu lagi karena aku sudah mempunyai seorang kekasih yang dalam waktu dekat ini akan dilamar oleh orangtuaku .... "

"Tina ... ?" tanyaku mengajuk. Aku ingat kepada cerita Tina ketika memanas-manasi hatiku agar aku memperlihatkan isi hatiku sebenarnya tetapi gagal. Dan aku tetap meneruskan niatku untuk lari ke Solo.

"Masa Tina. sih!" Gatot tersenyum. "Kan sudah sejak awal kukatakan kepada Rini bahwa kekasihku itu kau. Bukan Tina."

"Kenapa bukan Tina seperti yang kalian semua kesankan kepadaku?" sindirku. .

"Itu kan hanya sandiwaraku dengan Tina. Pada kenyataannya, gadis yang kucintai kan bukan Tina." Gatot tersenyum manis.

Aku merasa malu oleh perkataannya itu, dan tak tahu harus mengatakan apa. Maka kamar tempat aku setengah terbaring itu menjadi hening. Akibatpya, suara tawa Tina yang disusul oleh Anto menyusup jelas ke tempat itu. Apa yang beberapa sore lalu menjadi pembicaraanku dengan Bude Yanti dan Mbak Tri, memenuhi kepalaku kembali. Alangkah senangnya hatiku seandainya Tina dan Anto bisa saling jatuh cinta.

"Kurasa Tina memang tidak pantas untukmu!" aku mulai mengganggu Gatot.

"Hal itu sudah puluhan kali kaukatakan kepadaku!" Gatot tersenyum. "Dan aku setuju sekali meskipun waktu sandiwara itu belum terbuka, aku membantahnya demi membangkitkan kemarahanmu!"

"Dia lebih pantas menjadi kekasih Anto!" cetusku. Kini dengan sungguh-sungguh.

"Cocok!" Gatot tersenyum riang. "Itu juga yang ada dalam kepalaku!"

Senyum riangnya menulariku. Tanpa sadar aku tersenyum juga. Dan ini adalah pertama kalinya aku tersenyum manis kepada Gatot di sepanjang pengalaman kami berdua. Biasanya, apa yang terbentuk di bibirku adalah cibiran, cemberut, dan desis kemarahan. Dan yang keluar dari bibir itu cuma sindiran, kata-kata ketus, dan bentakan-bentakan.

Melihat senyumku, Gatot menatapku dengan pandangan yang amat mesra dan berhenti lama di bibirku. Akibatnya, pelan-pelan kurasakan betapa pipiku dirambati hawa panas yang menjalar sampai ke telinga dan sisi leherku.

Senyum Gatot melebar. Kemudian tangannya terulur lagi untuk menyentuh pipiku yang panas itu dengan jemarinya. Gerakannya begitu lembut.

"Ambar, kau sungguh amat cantik...," bisiknya, semesra tatapan matanya yang penuh arti itu. "Tetapi ketahuilah, seandainya kau tidak cantik pun, aku pasti juga akan tergila-gila padamu. Kau mempunyai banyak hal yang dapat membuatku jatuh cinta setengah mati!"

"Kau gombal!" Aku tersipu-sipu.

"Heh, masih saja mengumpat meskipun sudah tahu aku bukan kekasih adik tersayangmu!"

"Aku mau mengumpat atau memaki-maki, itu hakku!" desisku untuk menghilangkan rasa malu. "Kau mau apa?"

"Kau ingin tahu aku mau apa untuk menghentikan bibirmu yang mengeluarkan bentakan-bentakan itu?" tanyanya dengan nada mengancam. "Begitu?"

Selintas aku mulai didatangi dugaan yang membuat jantungku berdenyut lebih kencang. Tetapi tentu saja aku pura-pura tidak tahu.

"Mau apa?" aku membentak lagi. "Jadi kau betul-betul ingin tahu?"

"Tentu saja ... " Ah, sialan. Kenapa pipiku jadi seperti terbakar begini?

Rupanya Gatot mengerti babwa aku sudab tahu apa yang ia mau. Dengan tersenyum diraihnya tubuhku dan dibawanya aku masuk ke pelukannya. Kemudian bibirnya mengecup, bibirku. Kini baru sekarang kurasakan betapa besar cinta lelaki itu padaku sehingga aku larut ke dalam ciuman dan belaian tangannya. Maka dengan seluruh perasaan yang telah terbebas dari hal-hal negatif yang selama ini menguasaiku, kubalas pelukan dan ciumannya dengan sepenuh kasih.

Seperti yang sudah kuduga, bara api yang ada di hati kami pun menyala begitu tubuh kami merapat. Kami saling mencium, berpagut, membelai, dan lupa segala-galanya dan baru menyadari keadaan ketika telinga kami mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Cepat-cepat kurenggutkan tubuhku dari pelukan Gatot. Dan cepat-cepat pula kusurutkan darahku yang mulai bergejolak.

Tina dan Anto muncul hanya beberapa detik sesudah aku dan Gatot berhasil menenangkan diri. Adik tersayangku itu tersenyum-senyum nakal.

"Halo, Mbak Ambar? Sudah mendarat ke bumi?" Aku tidak mau menanggapi perkataannya yang nakal itu. Perhatianku kutujukan kepada Anto yang langsung menyapaku dengan hangat.

"Sudah merasa lebih sehat, Mbak?"

"Lumayan ... ," aku menjawab malu-malu. Sebab, dia tahu betul apa yang kualami. Aku telah mengisahkannya. Dan sekarang dia pasti juga tahu betul bagaimana perasaanku sesudah seluruh sandiwara itu tamat ceritanya.

"Kalau begitu, sudah siap berkuda lagi?" Anto menggodaku.

"Sekarang?" kutanggapi gurauan Anto sambil tersenyum.

Tetapi Tina yang tidak sabaran menghentikan basa-basi kami dengan pertanyaannya.

"Bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu, Mbak?"

"Tentang apa?"

"Apakah selama kutinggal tadi, kalian berdua sudah bisa menyelesaikan benang kusut yang kami buat?"

"Menurut penglihatanmu bagaimana, Tina?"

Gatot mengambil alih jawaban. Wajahnya tampak berseri-seri.

"Aku melihat wajahmu berseri-seri dan pipi Mbak Ambar kemerah-merahan seperti tomat segar," Tina menjawab dengan serius. Tetapi matanya berkilat-kilat mengandung godaan. Gatot menyukai itu dan menimpalinya dengan gembira.

"Kira-kira merahnya karena apa ya, Tin? bisa kaujelaskan?" tanyanya. "Demam, kepanasan, kedinginan, atau karena apa?"

Tina mengamat-amati wajahku dengan mendekatkan wajahnya ke arahku. Tetapi kulempar dia dengan bantal.

"Jangan kurang ajar Tina!" aku mendesis dengan wajah semakin terasa panas.

Tetapi Tina menangkap bantal itu dan meletakkannya kembali ke pangkuanku. Dan matanya yang nakal masih saja berkilauan.

"Oh Mas Gatot, merahnya pipi itu karena dia ingin ditinggal sendirian bersamamu!" ia masih saja menggodaku.

"Tina!" aku membentaknya.

"Sudahlah, Dik Tina, jangan kauganggu terus kakakmu itu," Anto menyela. Pemuda yang halus perasaannya itu menarik tangan Tina dengan lembut. "Ayo kita keluar. Biarkan dia beristirahat."

"Beristirahat? Mana bisa. Ada Mas Gatot begitu kok!" Tina menaikkan alis matanya tinggi-tinggi. Wajahnya tampak sangat cantik. Aku berharap Anto akan terpesona olehnya.

Anto tertawa. Tetapi pandang matanya tertancap ke wajah cantik di dekatnya itu. Ah, mudah-mudahan ada sesuatu di antara kedua orang muda itu.

"Ayo kita keluar," katanya lagi.

Kali itu Tina menurut. Dia membiarkan tangannya digandeng Anto keluar dari kamarku. Sikapnya yang polos dan lugu kentara dari caranya dia membiarkan Anto membimbingnya keluar. Aku berharap Anto melihat hal itu. Di zaman sekarang ini, di mana pergaulan muda-mudi begitu bebas, kepolosan yang dimiliki Tina adalah sesuatu yang langka.

Sepeninggal adikku yang nakal itu kamarku berubah menjadi hening. Namun di dalam keheningan itu termuat semacam aliran listrik tegangan tinggi. Aku tertunduk tak berani menatap mata Gatot yang masih duduk di tepi tempat tidurku.

"Ambar," dia menyebut namaku.

"Hmm ... ?"

"Kau sudah tahu bahwa aku mencintaimu. Tetapi sepatah kata pun aku belum mendengar bagaimana perasaanmu terhadapku, Cintakah kau padaku?"

Aku diam saja. Kepalaku semakin tertunduk sehingga Gatot mengulangi pertanyaannya dengan cara lain.

"Ambar, apakah menurutku aku ini mata keranjang dan hidung belang?"

Aku tersipu. "Tidak."

"Jadi kau mempercayai perasaanku kepadamu?"

"ya .... "

"Kauterimakah itu, Ambar?"

Sekarang aku diam saja. Malu. Akibatnya Gatot merasa tak sabar. Diangkatnya daguku agar wajahku menghadap ke arahnya. Maka tampaklah olehku betapa gantengnya wajah lelaki itu.

"Ayolah, Ambar, katakan sesuatu kepadaku agar hatiku lega," katanya.

"Mengatakan apa?"

"Apakah kau juga mencintaiku?"

Aku terdiam lagi dan kepalaku mulai tertunduk lagi. Tetapi tangan Gatot mengangkat daguku kembali.

"Jawablah, Ambar. Aku menunggu," bisiknya. Terpaksalah aku mengeluarkan perkataanku, 'Ya ... .'

"Ya apa?"

"Ya, aku juga mencintaimu."

Gatot tersenyum manis. Dari air muka dan caranya menatapku aku tahu bahwa ia ingin menciumku lagi. Tetapi tiba-tiba Tina muncul kembali.

"Oh ya, Mbak, tadi aku lupa mengatakan sesuatu yang penting padamu," katanya. "Beberapa bulan yang lalu kau kan pernah mengatakan kepadaku kenapa flamboyan di depan rumah kita tak pernah lagi berbunga. Katamu, barangkali saja pohon itu kena penyakit. Ingat?"

"Ya. Lalu kenapa, Tina?"

"Kemarin waktu aku dan Mas Gatot berangkat ke stasiun, tanpa sengaja aku memandang pucuk-pucuk flamboyan itu. Aku merasa heran. Sebab kulihat pohon itu mulai dipenuhi kuncup-kuncup bunga berwarna jingga kemerahan yang selama beberapa waktu ini tidak kita perhatikan. Kurasa, kalau kita pulang nanti, pasti kita semua akan disambut meriah oleh bunga kesayanganmu itu, Mbak."

Aku terpana. Pikirku, mudah-mudahan ini adalah pertanda baik bagi diriku. Tatkala batinku dibebani kesedihan, tatkala hatiku sakit flamboyan itu seperti hendak bela rasa denganku. Tak mau berbunga. Dan kini flamboyan itu telah mulai berbunga lagi, di saat hatiku juga sedang bersemi kembali. Sungguh, aku yakin betapa indahnya itu nanti.

Berpikir seperti itu, aku tersenyum bahagia. Dan tanpa malu-malu lagi kuraih lengan Gatot agar ia memelukku dengan kehangatannya. Biarlah Tina menjadi saksinya.

**Selesai**